pemaknaan jurnalis tentang uji kompetensi …repository.fisip-untirta.ac.id/1114/1/pemaknaan...
Post on 09-Mar-2019
245 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMAKNAAN JURNALIS TENTANG UJI
KOMPETENSI JURNALIS TELEVISI
(Studi Pada Wartawan Televisi di Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Jurnalistik
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh
Ardi Purwadi
6662120676
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
ABSTRAK
Ardi Purwadi, 6662120676. Skripsi. Pemaknaan Jurnalis Tentang Uji
Kompetensi Jurnalis Televisi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Program Studi Ilmu Komunikasi. Konsentrasi Jurnalistik. Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa. 2018. Puspita Asri P, M.Ikom. Ronny Yudhi SP,
M.Si.
Pesatnya perkembangan media di Indonesia membuat rivalitas sebuah kualitas
media semakin selektif. Kemasan sebuah pemberitaan kini menjadikan tolak ukur
sebuah media yang unggul, dalam hal ini peran yang sangat penting dalam
keunggulan sebuah media yaitu proses pembuatan berita dengan mutu dari
seorang jurnalis atau wartawan. Prinsip jurnalisme yang sering disalah artikan
serta profesionalitas dilapangan yang masih belum sesuai dengan harapan dalam
proses pengemasan berita. Maka dari itu pentingnya wartawan melaksanakan uji
kompetensi wartawan, belum keseluruhan wartawan memaknai uji kompetensi
wartawan yang seharusnya sudah tertanam dalam pemikiran seorang jurnalis.
Terutama jurnalis televisi yang berbeda uji kompetensinya dari uji kompetensi
media cetak. Dalam penelitian ini penulis menitik beratkan pada pemaknaan
sertifikasi pada uji kompetensi jurnalis televisi. Metode yang digunakan adalah
kualitatif deskriptif dengan paradigm post-positivis. Penelitian ini menggunakan
teori Konsep Diri Blumer dimana konsep diri merupakan perangkat relatif yang
stabil mengenai persepi seseorang yang dipegang mengenai diri mereka sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1. kompetensi wartawan tidak hanya dilihat
dari sebuah uji kompetensi wartawan saja melainkan pada sebuah pembentukan
diri memaknai profesi yang dijalaninya. 2. Kode etik jurnalistik kerapkali
berbenturan dengan idealisme dan realita di lapangan .3. pembentukan diri
menjadi sebuah yang professional dalam profesi wartawan tentu dari bagaimana
seorang jurnalis memaknai uji kompetensi jurnalis dengan sepenuh hari yang
berasal dari dirinya dan idealis yang dipegangnya. Tentu dalam penelitian ini
penulis memberikan saran kepada lembaga uji kompetensi yang seharusnya
melaksanakan uji kompetensi sesuai dengan porsi kerja yang sedang dia
laksanakan, bukan hanya sekedar dari keanggotaan, karena pada praktiknya
dilapangan, ada beberapa praktisi yang menduduki jabatan media elektronik
padahal dia berlatar belakang dan uji kompetensinya tidak sesuai dengan
profesinya kini.
Kata Kunci : Sertifikasi, Uji Kompetensi, Jurnalis, Konsep Diri.
ABSTRACT
Ardi Purwadi, 6662120676. Thesis. The Meaning of Journalist About
Journalist Profession Certification. Faculty of Social Science and Political
Science. Communication Studies Program. Journalistic Concentration.
University of Sultan Ageng Tirtayasa. 2018. Puspita Asri P, M.Ikom. Ronny
Yudhi SP, M.Sc.
The rapid development of media in Indonesia makes the rivalry of a quality of the
media more selective. The packaging of a newsletter now makes the benchmark
of a superior media, in this case a very important role in the superiority of a media
that is the process of making news with the quality of a journalist. The principle of
journalism is often misunderstood and professionalism in the field that is still not
in accordance with expectations in the process of packaging news. Therefore the
importance of a journalist to conduct a competency test, not all journalists
interpret the competence test of journalists that should have been embedded in the
thinking of a journalist. Especially different television journalists competence test
of competence test print media. In this study the authors emphasize on the
definition of certification in the competency test of television journalists. The
method used is qualitative descriptive with post-positivist paradigm. This study
uses Blumer's Self Concept theory where self-concept is a stable relative device
regarding the persepi of a person held about themselves. The results showed that
the competence of journalists is not only seen from a test of journalist competence
alone but on a formation of self-interpreted professions undertaken. 2. The
journalistic code of ethics often conflicts with idealism and reality in the field. the
establishment of a professional into the profession of journalists, of course, of
how a journalist interpret the test of journalist competence with the full day that
comes from himself and the idealist.Of course in this study the authors provide
advice to the competency test institutions that should carry out the competency
test in accordance with the portion of work that he was doing, not just from
membership, because in practice in the field, there are some practitioners who
occupy the position of electronic media when he had a background and test his
competence is incompatible with his current profession.
Keywords: Certification, Competency Test, Journalist, Self Concept.
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim, segala puji dan syukur saya panjatkan kepada
Sang Maha Pencipta Tuhan Semesta alam Allah SWT, karena atas berkat rahmat
serta segala kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan judul Pemaknaan Jurnalis Tentang Uji Kompetensi Jurnalis Televisi
(Studi Wartawan Pada Wartawan Televisi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia).
Tujuan penulisan penelitian ini untuk memenuhi sebagai salah satu dari
syarat untuk meraih gelar sarjana di program studi Ilmu Komunikasi konsenterasi
Jurnalistik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari bahwa
penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu dengan kerendahan
hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak demi mewujudkan kesempurnaan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis selalu mendapatkan bimbingan,
dorongan, serta semangat dari banyak pihak. Penghargaan dan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada Ibu tersayang Sulastri, dan Alm. Ayahanda Ihwanudin
yang senantiasa membantu tentu dengan alam yang sudah berbeda Semoga Allah
selalu memberikan kesehatan, karunia dan tempat yang layak bagi ibu di dunia
dan ayah di akhirat. Atas budi baik yang telah dilimpahkan kepada penulis. Tidak
lupa juga, Peneliti mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat., M.Pd. selaku Rektor Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu
Komunikasi.
4. Ibu Puspita Asri P, M.Ikom., selaku dosen pembimbing I yang telah
bersedia membimbing penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan
walaupun dengan waktu yang cukup lama.
5. Bapak Ronny Yudhi SP, M.Si. selaku dosen pembimbing II yang juga
telah bersedia membimbing penulis hingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
6. Bpk Ari Pandu S.Sos selaku dosen Pembimbing Ilmu Komunikasi
yang juga telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
7. Bapak Prof Yoki Yusanto selaku dosen Ilmu Komunikasi yang juga
telah memberikan banyak ilmu sekaligus sebagai sahabat yang
memberi banyak arahan.
8. Kepada seluruh dosen Ilmu Komunikasi Untirta yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis, terima kasih
banyak.
9. Kepada Bapak Rachmat Hidayat Kepala pruduksi berita MNC NEWS
yang bersedia menjadi informan dan juga telah memberikan
pemahaman baru
10. Kepada mba Putri Jurnalis Muda ANTV (Viva News) yang juga
bersedia untuk menjadi informan tambahan sebagai pelengkap dari
penelitian ini.
11. Kepada Anggi staff khusus Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
pusat yang senantiasa bersedia memberikan data dan juga informasi.
12. Kepada Keluarga Besar Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.
13. Sahabat dan keluarga teman kostan, main , berbagi keluh kesah dan
juga support Rzky, Gian, Fahrian, Hardiyansyah, Tio, Riyad, Rengga,
Awaludin.
14. Teman Perbojakan Dian, Asri, Yohana, Eko, Nina , Jannah, Rahel
Mutia
15. Sahabat JURNAL12TIK yang selalu menyemangati dengan angan-
angannya membentuk media yang bersih dan jujur. Terima kasih telah
menjadi teman berbagi selama ini.
16. Teman - Teman di Lab Ilmu Komunikasi (UTV, Radio Tirta FM,
Multimedia dan Fotografi) yang telah berbagi suka dan duka selama
perkuliahan dan menjadi tempat pelepas penat: Teh Fingkan, Sarah,
Teh Syilvi, Bang Galuh, Deni, Hanum, Cindy, Fitra, Ena, Jalal, Arif,
Bang Anton, Bang Hegar, Bang Ibad, Bang Dhenim, Pipit, dan
seluruh keluarga Lab. Ilmu Komunikasi yang tidak bisa disebutkan
satu-persatu.
17. Crew UBIKOM FISIP UNTIRTA, Ferdinand, Jalal, Adam Paula,
Fitri. Bu Asri, Pak Ari pandu
18. Keluarga Besar Serang Ahmad family, bibi lilis, om maman, ua titin
dan keluarga lainnya yang senantiasa mendukung.
19. Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah
mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang
memerlukan. Aamiin.
Serang, 31 Mei 2018
Penulis,
Ardi Purwadi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL .................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah . ............................................................................................. 7
1.3 Identifikasi Masalah ................................................................................ 7
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 7
1.5 Signifikansi Penelitian ........................................................................................ 8
1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................................................... 8
1.5.2 Manfaat Praktis ..................................................................................... 8
ii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Konseptual ................................................................................. 9
2.1.1 Definisi Sertifikasi Kompetensi ............................................... 9
2.1.2 Definisi Jurnalisme ............................................................... 10
2.1.3 Jurnalisme Televisi ................................................................. 12
2.1.4 Uji Kompetensi Wartawan (UKW) ........................................ 12
2.1.5 Pofesionalisme Wartawan ...................................................... 13
2.2 Tinjauan Teoritis .................................................................................... 17
2.2.1 Konsep Diri ........................................................................... 17
2.3 Penelitian Terdahulu ............................................................................. 19
2.4 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ............................................................................... 24
3.2 Paradigma Penelitian ......................................................................... 26
3.3 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 27
3.3.1 Observasi ............................................................................... 27
3.3.2 Wawancara Mendalam ......................................................... 28
3.3.3 Dokumentasi ......................................................................... 28
3.4 Analisis Data ......................................................................................... 29
3.5 Uji Keabsahan Data ............................................................................. 31
3.6 Informan Penelitian .............................................................................. 32
3.7 Lokasi Penelitian ................................................................................. 33
3.8 Jadwal Penelitian ................................................................................ 34
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Penelitian …………....................................................35
4.1.1 Gambaran Sertifikasi Kompetensi Wartawan ………….35
4.1.2. Gambaran IJTI Sebagai lembaga Uji Sertifikasi .................37
ii
4.2. Analisis Data……………............................................................38
4.2.1 Deskripsi Informan…………….......................................... 38
4.2.1.1 Rachamat Hidayat ……………..........................38
4.2.1.1 Puteri Gita Agustina ……………........................... 39
4.3 Hasil dan Pembahasan ……………................................................ 39
4.3.1 Sertifikasi Wartawan dalam Profesi Wartawan ........................39
4.3.2 Standar Kompetensi Wartawan dan Profesionalisme ...............45
4.3.3 Pembentukan Identitas Jurnalis Profesional …..........................50
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 55
5.2. Saran ................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ii
DAFTAR TABEL
TABEL 2.1 Perbandingan Dengan Pnelitian Terdahulu ............................. 20
TABEL 3.1 Jadwal Penelitian ..................................................................... 34
iii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2.1 Alur Bagan Kerangka Penelitian .............................................23
iv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Transkrip Wawancara.
LAMPIRAN 2 Dokumentasi dan Biodata Penelitian
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan media yang sangat pesat mempengaruhi sebuah nilai berita
saat ini di Indonesia, dahulu untuk memperoleh berita masyarakat bisa
mendapatkan hanya dari beberapa media saja. Namun kini msayrakat bisa
mendapatkan media dari banyak media yang menghadirkan sajian berbeda dari
setiap karakter yang berbeda pada sebuah media. Tentu ini juga mempengaruhi
kualitas berita yang dibuat oleh seorang jurnalis dan pewarta berita, mudahnya
menjadi wartawan saat ini, tidak harus berlatar belakang pendidikan jurnalis.
Dengan hanya bermodalkan kemampuan menulis dan menuturkan sebuah kasus
menjadi beberapa paragraf untuk dijadikan kesatuan berita. Juga Sedikir
kemampuan, bagaimana mengoperasikan sebuah alat perekam suara dan gambar
mereka sudah menjadi seorang wartawan. Kondisi ini berdampak pada banyaknya
media-media serta wartawan yang meyebar di seluruh pelosok daerah di Indonesia
yang mengakibatkan sebuah kualitas wartawan dipertanyakan kompetensinya
sebagai wartawan.
Wartawan atau jurnalis memiliki makna sebagai profesi yang bergerak
dalam kegiatan jurnalistik. Kegiatan seni dan profesi dalam mencari, mengolah
dan menyiarkan sebuah berita yang diperoleh untuk konsumsi publik secara
berkala. Menjadi seorang wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara.
Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan.
Pekerjaan wartawan sendiri sangat berhubungan dengan kepentingan publik,
karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, musuh
penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk1 .
Dja’far H. Assegaft mengemukakan bahwa pekerjaan wartawan
merupakan profesi yang mulia dan memiliki tanggung jawab yang besar. Profesi
wartawan juga mempunyai status sosial yang tinggi, karena di banyak negara
berkembang wartawan merupakan pemimpin opini publik dan sekaligus juga
berperan membentuk opini publik2.
Pada prakteknya, profesi wartawan tidak bisa disamakan dengan profesi
lainnya seperti hukum dan kedokteran dimana mereka lebih bersifat otonom dan
perilaku apapun langsung terlihat secara fisik.. dalam profesi wartawan tentu ada
beberapa hal mendasar keahlian yang dimiliki untuk mendukung kinerja seorang
wartawan dalam membentuk profesionalisme kewartawanan. Mempunyai
banyak kecakapan dan juga wawasan yang luas, kemampuan memahami etika
dan hukum pers, serta aspek teknologi yang penting dalam instrumen jurnalis
televisi. Itu semua harus dilakukan oleh seorang wartawan
Era konvergensi dan kemajuan teknologi media di Indonesia,
mengharuskan jurnalis memiliki kompetensi yang sangat baik, agar tidak
tertinggal jauh dengan perkembangan jurnalis yang ada di negara lain. Masyarakat
yang kini sadar dan cerdas memilah dan memilih sebuah bahan konsumsi publik ,
1 Ahmad Alhafiz dkk, Uji Kompetensi Wartawan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI KDT. 2014.
Hal. 1 2 Dja’far H. Assegaft. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia.1982. Hal.19
menjadikan hal ini sebuah pegangan penuh, atas kelayakan profesionalisme dan
kompetensi jurnalis.
Pada sisi lain, Indonesia telah bergabung dan memasuki pada babak
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Artinya ruang lingkup kerja wartawan tak
tertutup hanya di negeri sendiri tapi di 10 negara ASEAN yang lain. Begitu pula
para wartawan dari negara lain, bisa dengan masuk dan bekerja di Indonesia,
ruang lingkup dan persaingan semakin ketat, yang pada intinya peranan
kompetensi sertifikasi profesi memgang penting dalam menghadapi MEA, tidak
terlepas profesi sebagai jurnalis.
Sertifikasi kompetensi wartawan (SKW) merupakan hal penting yang
harus dimiliki wartawan sebagai legistimasi kompetensi dan peningkatan kualitas
serta profesionalisme wartawan3. bukan hanya lagi sekedar formalitas tapi
sertifikasi berperan penting dalam sebuah pembentukan identitas wartawan yang
profesional, untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) serta
mengimbangi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, demi tercapainya
kualitas jati diri bangsa.
Dalam melaksanakan profesinya, seorang jurnalis harus memiliki standar
kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Melalui proses
Uji Kompetensi Wartawan. Etika pers dan kode etik jurnalistik merupakan
aturan dan pedoman dalam jati diri seorang pewarta berita yang harus dipegang
3 Ida ayu F.M. Wartawan Perlu Sertifikasi diakses dari
http://rri.co.id/surabaya/post/berita/205862/pendidikan/wartawan_perlu_sertifikasi.html pada tanggal 27 April 2016 pukul 12.17.
erat dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, bekerja tanpa kode etik dan etika
jurnalistik menunjukan seseorang tidak professional. Dibalik Standar kompetensi,
menjadi alat ukur profesionalitas jurnalis dalam melindungi kepentingan publik
dan hak pribadi masyarakat, serta menjaga kehormatan profesi jurnalis4.
Sejak Dewan Pers menetapkan pada 2010 bahwa wartawan harus
memiliki sertifikasi, sejumlah media, organisasi pers, berbenah. Sertifikasi
wartawan bukan sekedar pendaftaran dan pendataan tapi juga pemenuhan
standar kompetensi yang diharapkan.
Dewan Pers sudah menerbitkan standar kompetensi yang dapat
membedakan, mana wartawan asli dan mana yang gadungan. Uji kompetensi
diselenggarakan banyak lembaga. Ada institusi pendidikan, seperti Lembaga
Pendidikan Pers Dr. Soetomo (LPDS). Ada organisasi profesi wartawan, seperti;
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Juga
sejumlah perusahaan pers yang tersertifikasi.
Sementara profesi wartawan atau jurnalis penyiaran – khususnya televisi –
memiliki ke-khasan yang sulit diuji dengan instrumen uji wartawan cetak.
Aspek teknologi. Presentasi layar dan aspek teknis lainnya, sangat membedakan
profesi jurnalis TV dengan media lainnya. Untuk Itu lembaga uji kompetensinya
pun berbeda. Sehingga dirasakan sangat perlu jurnalis televisi diuji dengan
instrumen yang sesuai kebutuhan dan pekerjaaan mereka sehari-hari. Sejak
ditetapkan sebagai Lembaga Sertifikasi Pers pada Desember 2012, Ikatan
4 Ahmad alhafiz dkk, Uji Kompetensi Wartawan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI KDT. 2014.
Hal. X
Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) secara khusus membentuk Bidang Sertifikasi
dan Kompetensi yang merumuskan Pedoman Uji Kompetensi Jurnalis Televisi5.
Uji Kompetensi Wartawan ini belum sepenuhnya dijadikan sebuah
kewajiban untuk memiliki lisensi dan sertifikasi dari lembaga penguji oleh
seluruh wartawan di belahan daerah di Indonesia. Dari 40 ribu wartawan di
Indonesia yang aktif baru 4900 ribu wartawan yang mengantongi sertifikasi 6.
IJTI sebagai lembaga khusus sertifikasi yang mewadahi jurnalis televisi
Indonesia, memiliki Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia sebagai wadah bagi
wartawan televisi yang berada di daerah di sebagian wilayah Indonesia.
IJTI merupakan organisasi yang menaungi jurnalis televisi yang mencakup
wilayah diberbagai pelosok di Indonesia, kualitas pemberitaan jurnalis TV masih
bisa dibilang professional peneliti menemukan pada prariset ada beberapa jurnalis
yang tidak sesuai dengan tupoksi kerja sebagai jurnalis televisi. Juga tingkat
kesejahteraan serta realitas wartawan jurnalis Banten yang memahami profesi
wartawan yang tersertifikas tidak berpengaruh kepada penghasilan dan juga
tingkat kesejahteraan yang diinginkan.
Dalam hal ini ada yang terlupakan dalam sebuah Uji Kompetensi Jurnalis
Televisi, perhatian yang belum sepenuhnya tertuju pada fakta dilapangan ada
dua hal yang memperngaruhi sebagian wartawan belum melaksanakan Ujian
5 Ahmad alhafiz dkk, Uji Kompetensi Wartawan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI KDT. 2014.
Hal. XI 6 Ida ayu F.M. Wartawan Perlu Sertifikasi diakses dari
http://rri.co.id/surabaya/post/berita/205862/pendidikan/wartawan_perlu_sertifikasi.html pada tanggal 27 April 2016 pukul 12.17.
Kompetensi Wartawan salah satunya tidak berpengaruh terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat, serta jaminan karier yang belum jelas.
Sementara itu , ukuran tentang pelaksanaan tugas jurnalis televisi tidak
sama seperti dengan jurnalis media cetak, nilai-nilai yang dari awal telah
memikul tanggung jawab sosial. menggunakan frekuensi publik untuk
menyiarkan berita dengan jangkauan lebih luas dalam menyiarkan sebuah berita
dan kabar terkini , dengan jangkauan frekuensi publik membangun pemancar dan
ikut membeli space untuk kanal di Indonesia yaitu satelit PALAPA.
Kebebasan pers dan penggunaan frekuensi publik dewasa ini telah
membuat persepsi sebagian masyarakat Indonesia mengenal wartawan sebagai
pekerjaan yang dipandang sebelah mata, dengan fakta di lapangan, wartawan
bodrex, penggunaan frekuensi publik untuk alat kampanye serta kemudahan
menjadi seorang wartawan hanya dengan bermodalkan kecakapan dan pandai
mengaplikasikan kamera.
Untuk itu peneliti ingin mrngrtahui sejauh mana wartawan memanahami
sebuah pemaknaan terhadap sertifikasi dan memiliki pertanyaan bagaimana
profesionalisme dan idealisme serta kelayakan kualitas Uji Kompetensi wartawan
yang ada di Indonesia terlebih pada wartawan televisi yang menggunakan
frekuensi publik, serta tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
“Pemaknaan Jurnalis Tentang Uji Kompetensi Jurnalis Televisi (Studi Pada
Wartawan Televisi di Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia“.
1.2. Rumusan masalah
Untuk memberikan paparan yang jelas dan agar terfokusnya pembahasan
maka focus dari penelitian ini adalah ““Pemaknaan Jurnalis Tentang Uji
Kompetensi Jurnalis Televisi (Studi Pada Wartawan Televisi di Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia“.
1.3. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, peneliti
mengidentifikasikan permasalahan yang akan diteliti ke dalam identifikasi sebagai
berikut :
1. Bagaimana wartawan televisi memaknai Kompetensi Wartawan
dan sertifikasi kewartawanan ?
2. Bagaimana wartawan televisi menjalankan profesionalismenya
sesuai dengan kode Etik yang berlaku ?
3. Bagaimana wartawan televisi membentuk identitas profesinal
Wartawan ?
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan
penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui wartawan televisi terserifikasi memaknai Kompetensi
Wartawan dan sertifikasi kewartawanan .
2. Mengetahui wartawan televisi tersertifikasi menjalankan
profesionalismenya sesuai dengan kode Etik yang berlaku.
3. Mengetahui wartawan televisi terserifikasi membentuk identitas
profesinalisme setelah melakukan Uji Kompetensi Wartawan. .
1.5. Signifikansi Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengaruh yang
bermanfaat untuk perkembangan dan kemajuan pengetahuan terutama dalam
bidang jurnalistik untuk kompetensi wartawan dalam melaksanakan
profesionalismenya sebagai pekerja bersertifikasi.
1.5.2. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini semoga dapat menjadi bahan evaluasi dan dapat
menambah pengetahuan dari perkembangan kompetensi wartawan sekarang dan
juga dimasa yang akan datang, peneliti juga berharap penelitian ini bermanfaat
bagi masyarakat luas pada umumnya terutama bagi wartawan Televisi yang belum
memahami akan keprofesian dan juga kewajiban sertifikasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Konseptual
2.1.1 Definisi Sertifikasi Komptensi
Sertifikasi merupakan istilah yang sudah tidak lazim didengar pada
kalangan pekerja profesi, kita mengenal sertifikasi sebagai sebuah tanda bahwa
kita diakui kualitas secara professional, atau suatu penetapan yang diberikan oleh
suatu organisasi professional terhadap seseorang untuk menunjukan bahwa orang
tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas spesifik. Sertifikasi
biasanya harus diperbaharui secara berkala atau dapat pula hanya berlaku untuk
suatu periode tertentu sebagai bagian dari pembaharuan sertifikasi, umumnya
diterapkan berkelanjutan atau memperoleh nilai CEU (Continuing Education
Unit)7.
Melalui sertifikasi kompetensi, sertifikat yang diberikan memberikan
manfaat bagi pekerja professional ataupun bagpemberi kerja, baik dalam skala
nasional maupun skala internasional. Sertifikasi kompetensi menunjukan kualitas
dan produktivitas SDM ( Sumber Daya Manusia) serta pemenuhan standar dalam
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan industry. Dalam hal ini perlu
7 Sertifikasi professional. diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Sertifikasi_profesional ,
tanggal, 23 September 2016 Pukul 14:19WIB.
merumuskan system, kelembagaan, dan mekanisme sertifikasi kompetensi profesi
yang efektif, efisien, dan kredibel8.
Penempatan Sertifikasi wartawan jika dilihat dari proses pembuatannya
harus kita lihat sebagai hal yang positif. Dewan pers menginisiasi berbagai
kegiatan untuk menyusun standar kompetensi wartawan, dan setelah standar
teresbut disusun, maka dihasilkanlah sejumlah penatar atau penguji standart
kompetensi tersebut. Mereka yang berhasil lolos dari kompetensi ini layak
menerima sertifikat. Ini semacam cap atau tanda bahwa mereka adalah wartawan
yang memang professional9
2.1.2 Definisi Jurnalisme
Jurnalisme merupakan proses perilaku yang dimiliki individu atau
sekelompok orang yang bertugas mencari, mengolah, hingga menyiarkan sebuah
informasi kepada khalayak dan disebarkan melalui media massa (cetak atau
elektronik)10
. Dalam perkembangannya jurnalisme menjadi sebuah profesi yang
dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada media massa. Di dalam profesi
dibutuhkan keahlian dan kerja sesuai dengan keahliannya sehingga orang
mendapatkan sebuah imbalan11
.
Definisi jurnalisme dengan sendirinya berkembang sesuai dengan
perkembangan teknologi komunikasi. Setelah muncul internet, definisi jurnalisme
juga sudah mengalami perubahan. Jurnalisme yang awalnya dilekatkan pada
8 Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Sertifikasi Kompetensi Profesi. Jakarta:2014. Hal.11
9 Ignatus Haryanto. Jurnalisme Era Digital. Jakarta:PT.Gramedia.2014.Hal.99
10 Nurudin. Jurnalisme masa kini. Jakarta:Rajawali Pers.2009.Hal.9
11 Ibid. Hal.9
orang yang berkerja pada media cetak, saat ini sudah berubah dengan berbagai
macam jurnalis, diantaranya jurnalisme televisi, radio, online dan juga jurnalisme
warga atau (citizen journalism). Masyarakat yang tidak mempunyai penerbitan
bisa menjadi wartawan atas dirinya sendiri dengan menggunakan website dan
blog. Meskipun masih perdebatan perkembangan ini adalah realitas dalam
lapangan kerja jurnalisme.
Dalam literatur disebutkan jurnalis memiliki berbagai macam person.
Perannya yang utama adalah menyiarkan informasi (to inform) tentang persitiwa
yang terjadi, gagasan, atau pikiran orang. Orang membaca sur kabar terutama
karena ingin mencari informasi. kemudian yang adalah mendidik (to educate).
Lewat pemberitannya, pers mencoba memberi pencerahan, mencerdaskan, dan
meluaskan wawasan khalayak pembacanya. Dalam konteks politik, pers
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, menyadarkan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara.
Selanjutnya yang ketiga adalah menghibur (to entertain). Hal-hal yang
bersifat menghibur sering kita temukan di media massa, yang terakhir adalah
mempengaruhi (to influence). Media independen yang bebas dan dapat
mempengaruhi dan melakukan fungsi control sosial (social control). Yang
dikotrol bukan hanya penguasa, pemerintah, parlemen institusi pengadilan,
militer, tetapi juga berbagai hal di dalam masyarakat itu sendiri12
12
dari F.Rachmadi, perbandingan system pers : analisis deskriptif system pers di berbagai negara Jakarta:gramedia 1990, hal. 16-18
2.1.3 Jurnalisme Televisi
Jurnalis televisi jurnalis siaran ini banyak tertuju pada berita televisi dan
radio (meskipun ada yang mengatakan tertuju pula pada berita online) dalam
siarannya. Dalam jurnalisme televisi seorang wartawan tidak hanya dituntut bisa
mengambil gambar pada sebuah peristiwa, tetapi sekaligus menulis dan
menyiarkannya. Sebuah profesi yang tidak seua orang bisa menggelutinya13
.
Seorang jurnalis siaran juga harus mampu memberikan ilustrasi pendukung
(misalnya data) dalam wawancara atau laporan jurnalistiknya.
Jurnalis televisi bersandar pada informasi visual dalam mengilustrasika
laporannya. Yang melibatkan orang diwawancarain dengan menggunakan alat
perekam atau kamera . serta grafis yang mendukungnya.
2.1.4 Uji Kompetesi Wartawan (UKW)
kualitas wartawan atau jurnalis sangat dibutuhkan demi tercapainya
kualitas masyarakat pada umumnya serta perusahaan pers pada khususnya. Untuk
itulah uji kompetensi wartawan sanat diperlukan sebagai saah satu syarat
peningkatan jurnalis dalam mengemas sbuah pemberitaan dan berperngaruh pada
peningkatan kecerdasan masyarakat dalam mengkonsumsi sebuah pemberitaan14
.
Kecerdasan wartawan dalam mengangkat persoalan atau informasi untuk
disiarkan, mau tidak mau berkorelasi erat dengan peningkatan pengetahuan dan
wawasan.
13
Ibid. Hal.15 14
Nurudin. Jurnalisme masa kini. Jakarta:Rajawali Pers.2009.Hal.161
Begitu rumit dan banyaknya syarat kualitas yang tidak sembarangan
dipunyai oleh seorang jurnalis, sampai sampai Ignas Kleden pernah mengatakan
pekerjaan atau profesi seorang jurnalis adalah pekerjaan intelektual. Sebab
wartawan dalam bekerja mendasarkan diri pada perangkat ilmu yang tidak bisa
dilakukan orang lain, orang cerdas boleh saja cerdas, tetapi tidak semua orang bisa
melakukan kerja jurnalistik15
. Untuk itulah jurnalis membutuhkan kompetensi.
Berdasarkan Rumusan Dewan Pers (Luwarso dan Gayatri, 2006) ada
setidaknya tiga kategori kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis
antara lain16
:
1. Kesadaran (awareness); mencakup kesadaran tentang etika, hukum dan
karier.
2. Pengetahuan (knowledge); mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan
khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.
3. Keterampilan (skills); mencakup keterampilan menulis wawancara, riset,
investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti computer, kamera,
mesin scanned, faksmili, dan sebagainya.
2.1.5 Profesionalisme Wartawan
Profesionalisme didefinisikan sebagai: mutu, kualitas, dan tindak tanduk
yang merupakan ciri suatu profesi. Jurnalis bekerja berdasarkan profesinalisme,
maka tidak bisa lepas dari kompetensi, dengan kompetensi profesionalisme kerja
jurnalis akan lebih berkualitas. Tidak ada praktik-praktik yang banyak mencoreng
15
Ibid. Hal.162 16
Ibid. Hal. 163.
nama baik jurnalis atau wartawan. Kompetensi pula yang menjadi pedoman
sejauh mana profesioanalisme wartawan atau jurnalis dibuktikan secara tertulis.
Jurnalisme memang sebuah profesi, kerenanya jurnalis harus bekerja sesuai
dengan profesinya dengan segala konsekuensi idealnya. Hanya profesinya sering
kali luluh karena persoalan kebutuhan materi dan “tinvisible hand” (tangan
tersembunyi) yang mengitari jurnalis.
Profesi merupakan sebuah pernghargaan atas karya etika profesi berarti
suatu cabang ilmu yang secara sistematis merefleksikan moral yang melekat pada
suatu profesi. Etika profesi juga dipahami sebagai nilai-nilai dan asas moral yang
melekat pada pelaksanaan fungsi professional tertentu dan wajib dilaksanakan
oleh pemegang profesi tersebut.17
. Untuk menjadi jurnalis yang professional,
maka harus memahami elemen-elemen jurnalisme. Bill Kovack dan Tom
Rosenstiel merumuskan Sembilan elemen jurnalisme yang merupakan prinsip
dasar yang harus dipahami oleh jurnalis, yaitu:
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran.
Kebenaran yang dimaksud adalah mendapatkan fakta yang sebenar-
benarnya ketika akan menyiarkan sebuah berita kepada masyarakat.
2. Loyalitas utama adalah kepada masyarakat.
Jurnalis tidak seperti pegawai di perusahaan lain, mereka mempunyai
kewajiban sosial yang sebetulnya mengkesampingkan kepentingan
pemilik perusahaan dimana sewaktu-waktu bertentangan dengan
17
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Yogyakarta:2004. Hal.35
kesuksesan finansial pemilik, dan memiliki loyalitas kepada
masyarakat.
3. Inti dari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Mengecek kembali atau verifikasi berita yang akan disiarkan kepada
khalayak umm menjadi sebuah tanggung jawab seorang jurnalisme,
jika pada proses verifikasi ada sebuah hal yang tidak berimbang pada
sebuah pemberitaan, maka akan berdampak pada penerima berita yaitu
masyarakat.
4. Para praktisinya harus mempertahankan independensi terhadap
sumber berita.
Berdiri demi keujuran dan memberi informasi kepada publik.
5. Jurnalis harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
Jurnalis tidak hanya menjadika manajemen dan pelaksana kekuasaan
berlaku transparan semata, tetapi juga menjadikan akibat dari
kekuasaan itu diketahui dan dipahami untuk itu jurnalis berperan
sebagai watchdog.
6. Jurnalis harus menyediakan forum publik untuk kritik dan
kompromi.
Jurnalis harus menyediakan forum untuk kritik dan saran serta
kompromi bagi publik. diskusi darus dibangun atas kejujuran, fakta,
seperti hal lainnya dalam jurnalisme.
7. Jurnalis harus berupaya untuk embuat hal penting, menarik dan
relevan.
Jurnalis menyediakan informai yang dibutuhkan masyarakat untuk
memahami apa yang terjadi didunia ini, untuk itu jurnalis bertanggung
jawab menyediakan informasi yang bermakna dan relevan dan enak di
simak.
8. Jurnalis harus menjaga agar berita komperhensif dan
proporsional.
untuk memahami berita tetap dalam proporsi adalah dengan
memahami selera, kebutuhan dan tren masyarakat.
9. Para praktisnya harus diperbolehkan untuk mengikuti hati nurani
mereka.
Setiap wartawan dari redaksi hingga dewan redaksi harus memiliki
rasa etika tanggung jawab personal sebuah panduan moral. Mereka
punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya hari nurani
mereka, dan membiarkan yang lain melakukan hal serupa. Artinya
mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya
kewajiban pribadi untuk bersikap beda dan menentang jika kejujuran
dan akurasi mengharuskan mereka bertinak seperti itu.
2.2 Tinjauan Teoritis
2.2.1 Konsep Diri
Menurut Blumer konsep diri merupakan sebuah perangkat relatif yang
stabil mengenai persepi seseorang yang dipegang mengenai diri mereka sendiri.
Konsep diri ini terbentuk dari fisik,fitur, peraturan dan prinsip, keahlian dan
kemampuanm keadaan emosi, nilai kemampuan sosial dan keterbatasan,
kepandaian dan lain-lain yang mendukung terbentuknya konsep diri. Lingkungan
membentuk konsep diri seutuhnya,karena individu akan senantiasa aktif
memberikan reaksi terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya, sehingga
pembentukan konsep diri tersebut tidak lepas dari teman, keluarga, orang lain
yang tidak dikenal, guru, orang yang dicintai dan orang-orang lain yang
memberikan pengaruh kepadanya.
Individu akan membentuk konsep dirinya melalui interaksi yang
ditimbulkan kepada lingkungan serta konsep diri tersebut akan memberikan
motivasi penting dalam berperilaku. Burns juga memaparkan bahwa konsp diri
merupakan hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.
Sedangkan Pemily mendefinisikan sebagai sistemyang dinamis dan kompleks dari
keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan,
persepsi, nilai-nlai dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut. Dari
berbagai pendapat dan pandangan tentang konsep diri yang sudah dikemukakan
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri merupakan Sebuah persepsi
seseorang tentang diri sendiri, melalui pengalaman dan interpretasi lingkungan
sekitar.
Bagaimana individu memproses informasi mengenai dirinya, juga motif-
motif yang menyertainya, keadaan emosional, evaluasi diri, serta kemampuan.
Hal tersebutlah yang menjadikan sebuah kerangka individu yang terbentuk dari
hasil interaksi individu dengan orang-orang dan ligkungan sekitarnya yang
membentuk dirinya sendiri.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep diri merupakan persepsi dan
kepercayaan tentang diri yang didapat melalui pengalaman dan interpretasi
lingkungan sekitar. Faktor lingkungan adalah faktor yang sangat penting dalam
mengkonstruk konsep diri, salah satu pemberi penyumbang penting dalam
pembentukan kepercayaan adalah agama. Agama merupakan dimensi penting
dalam kehidupan manusia yang dapat mempengaruhi cara seseorang berfikir,
merasa, bertindak dan berhubungan dengan orang lain.
Dalam hal penelitian ini wartawan membentuk diri dari lingkungan luar
yang membentuk sebuah persepsi bersama ketika melakukan sebuah kegiatan
juralistik serta bagaimana mereka membangun konsep sebuah pemikirannya
masing-masing dari apa yang mereka dapatkan selama menjalankan aktifitasnya
sebagai jurnalis, juga konsep diri wartawan yang membantu dalam memaknai
sebuah idealis, profesionalisme serta kesadaran diri tentang uji kompetensi
wartawan sebagai sebuah kualitas diri.
Menurut Larossa dan Reitzes dalam west dan Turner konsep, diri dapat
diasumsikan beberapa konsepsi, antara lain :
1. Individu akan membentuk konsep dirinya melalui interaksi yang
ditimbulkan kepada lingkungan.
2. Konsep diri tersebut akan memberi motivasi penting dalam sebuah
perilaku
Hubungan tersebut terbentang dari keiginan individu yang bebas didapatkan pada
desakan aturan yang diciptakan dalam kehidupan sosial. Dalam memahami
pemaknaan seorang jurnalis, peneliti menggunakan teori konsep diri, dengan teori
konsep diri ini, peneliti ingin meliat bagaimana seorang wartawan atau jurnalis
memaknai sertifikasi yang dilihat dari pembentukan konsep diri melalui proses
sebuah pembentukan diri dari proses uji kompetensi yang menimbulkan sebuah
makna profesinalisme dalam sebuah profesi sebagai jurnalis.
2.3 Penelitian Terdahulu
Ada dua penelitian yang dianggap memiliki kemiripan kasus dengan yang
dibahas dalam penelitian ini. Berikut kedua penelitian yang didapat dari
perpustakaan Fisip Untirta dan Universitas Indonesia Library.
Kedua penelitian hampir memiliki kasus yang sama dengan penelitian ini.
Penelitian Ririn Muthia Rislaesa dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang
berjudul “Pemahaman Idealisme dalam Profesi Wartawan”. Dalam penelitian
tersebut sama-sama meneliti tentang profesi wartawan dalam pemahaman
idealism dan kode etik profesi. Namun, pada penelitian tersebut terdapat
perbedaan dengan peneliti ini yaitu hanya terpaut profesi wartawan yang dimaknai
dengan sertifikasi wartawan atau kompetensi wartawan.
Sedangkan pada penelitian kedua yang berjudul “Pemahaman Jurnalis
Mengenai Konsep Jurnalisme Bencana” milik Adika Pertiwi yaitu memfokuskan
pada pemahaman jurnalisme bencana dan perbedaannya pun terletak pada
mekanisme pemahaman profesi wartawan tentang jurnalisme bencana dengan
wawancara lima jurnalis dari media cetak dan juga media elektronik, tentu sangat
berbeda dengan penelitian ini yang hanya memfokuskan pada wartawan media
Televisi dalam organisasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Secara keseluruhan, kedua penelitian tersebut yaitu sama-sama meneliti
pemahaman profesi jurnalis atau wartawan. Berikut merupakan tabel
perbandingan kedua penelitian tersebut dengan penelitian saya:
Tabel 2.1 Perbandingan Dengan Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti Ririn Muthia Rislaesa Adhika Pertiwi Ardi Purwadi
Judul
Penelitian
Pemahaman Idealisme
dalam Profesi
Wartawan (Studi pada
Wartawan di Banten)
Pemahaman Jurnalis
Mengenai Konsep
Jurnalisme Bencana
(Wawancara Lima Jurnalis
dari Media Cetak,Televisi,
Pemaknaan Wartawan
Tentang Sertifikasi Profesi
Wartawan (Studi
Wartawan Televisi )
dan Media Online0
Tahun
Penelitian 2012 2012 2017
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan adalah
kualitatif deskriptif,
dimana peneliti
mendeskripsikan
bagaimana pemahaman
idealism profesi
seorang wartawan local
Banten.
Penelitian bersifat
deskriftif, metode yang
dilakukan manajemen
data, penyempitan data
dan pegembangan konsep.
Dalam penelitian ini data
hasil wawancara
mendalam dan observasi
yang dilakukan terhadap
para jurnalis kemudian
akan dikelompokan
sehingga dapat
menghasilkan tema yang
bisa mendeskripsikan
focus penelitian dan
memungkinkan
interpretasi
Pendekatan kualitatif yang
bersifat deskriptif yang
menjelaskan pemaknaan
wartawan tentang
sertifikasi wartawan
Metode yang dilakukan
yaitu studi kasus.
Sedangkan uji keabsahan
data, dilakukan melalui
teknik triangulasi sumber,
yaitu dengan
membandingkan
jawaban/penjelasan dari
tiap-tiap informan.
Kesimpulan
Penelitian
Idealism wartawan
sangat tergantung pada
beberapa faktorn yang
memperngaruhinya.
Banyak hal yang
dilakukan wartawan
dalam menjalankan
profesinya, mulai dari
hal positif sampai
Pemahaman jurnalis
mengenai jurnalisme
bencana ini tidak
didapatkan dari pendidikan
formal jurnalistik meupun
pelatihan yang dibekali
oleh media. Jurnalis
paham dari pengalaman
saat turun lanngsung
1. kompetensi wartawan
tidak hanya dilihat dari
sebuah uji kompetensi
wartawan saja melainkan
pada sebuah pembentukan
diri memaknai profesi
yang dijalaninya. 2. Kode
etik jurnalistik kerapkali
berbenturan dengan
negative. Banyak yang
dilakukan wartawan
menyimpang yang
berlandaskan
“kesejahteraan”.
meliput persitiwa bencana,
karena sebagian besar
informan sudah meliput
bencana lebih dari sekali.
idealisme dan realita di
lapangan .3. pembentukan
diri menjadi sebuah yang
professional dalam profesi
wartawan tentu dari
bagaimana seorang
jurnalis memaknai uji
kompetensi jurnalis
dengan sepenuh hari yang
berasal dari dirinya dan
idealis yang dipegangnya
Sumber
Perpustakaan Fisip-
Untirta .PDF
http://lib.ui.ac.id/detail?id
=20285010&lokasi=lokal
pdf. (diakses pada 4
Oktober 2016,)
2.4 Kerangka Pemikiran
Dari uraian konsep-konsep yang telah dikemukakan sebelumnya, peneliti
ingin menggambarkan pemaknaan sebuah jurnalis televisi yang tersertifikasi
dalam melaksanakan kinerjanya di lapangan, terutama jurnalis televisi yang
menjadi bagian dari sebuah organisasi Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI),
dengan sebuah pemaknaan bagaimana wartawan yang telah melakukan sertifikasi,
serta bagaimana prosefionalisme dengan sertifikasi wartawan mempengaruhi
dalam sebuah kinerja baik yang terjadi dilapanngan ataupun terjadi didalam
sebuah organisasi jurnalis tersebut.
Untuk itu peneliti menggunakan teori konsep diri, dimana sebuah persepsi
seseorang jurnalis yang dipegang mengenai diri mereka sendiri, konsep diri ini
kemudian dibentuk oleh lingkungan, karena individu akan senantiasa aktif
memberi reaksi terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya, sehingga
pembentukan konsep diri tersebut tidak lepas dari ruang lingkup kerja, teman
keluarga dan orang lain yang tidak dikenal.
Gambar konsep awal penelitian :
Gambar 2.1 Alur Bagan Kerangka Pemikiran
Paham Sertifikasi Wartawan .
Pemaknaan Jurnalis Tentang Uji Kompetensi Jurnalis Televisi
Teori Konsep Diri
Pemahaman
Sertifikasi Uji
kompetensi
Profesionalisme
Jurnalis
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan Studi Kualitatif.
Metode Kualitatif adalah sebuah riset yang bertujuan untuk menjelaskan
fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-
dalamnya. riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan
populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah
mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari
sampling lainnya. Riset yang ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas)
data bukan banyaknya (kuantitas) data18
.
Penelitian kualitatif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat,
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,
termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-
pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh
dari suatu fenomena. Jadi penelitian deskriptif hanyalah memaparkan situasi atau
peristiwa. Penelitian kualitatif digunakan karena dapat menggali informasi
tersembunyi yang tidak dapat diungkap melalui pendekatan formal dan terstruktur
seperti yyang terdapat dalam penelitian kuantitatif.
Dalam hal ini peneliti menggunakan tipe penelitian deskripsi kualitatif,
dimana peneliti mendeskripsikan atau mengkonstruksi wawancara-wawancara
18
Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi,Jakarta:Kencana.2010. Hal.56
mendalam terhadap subjek penelitian. Peneliti bertindak sebagai fasilitator dan
tindak sebagai aktivis yang ikut memberi makna secara kritis pada realitas yang di
konstruksi subjek penelitian. Tujuan penggunaan ini untuk menggambarkan
secara detail mengenai fakta Pemaknaan wartawan tentang sertifikasi wartawan,
dan karakter objek penelitian secara faktual dan cermat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif yang
bertujuan untuk menggambarkan suatu mengenai proses, komunikasi. peneliti
mengobservasi dan kemudian menjelaskan apa yang telah di observasi. Melalui
penelitian deskriptif, peneliti memberikan gambaran akurat mengenai sebuah
kelompok, serta enggambarkan mekanisme dari sebuah proses atau hubungan
dalam penelitian deskriptif ini peneliti telah memiliki definisi jelas mengenai
subjek penelitian, kerangka konseptual, serta landasan teori yang akan digunakan.
Deskripsi adalah sebuah tugas analisis inti yang menyajikan pondasi
analisis data dan mengungkapkan konteks perilaku yang dapat memberikan
pertunjukan makna sosial maupun kultural. (hennik, 2011:234)
Data yang dikumpulkan dalam riset ini adalah pemaknaan wartawan dari
sertifikasi wartawan, sehingga data yang disetujuui merupakan suatu informasi
dalam bentuk wawancara yang akan dijelaskan secara deskriptif. Peneliti
mengharapkan suatu makna yang actual dibalik data tersebut. Untuk itu sebuah
wawancara diolah, dideskripsikan berdasarkan ungkapan, bahasa,cara berfikir dan
pandangan subjek peneliti sehingga mengungkapkan sebuah pemkanaan
wartawan dari sertifikasi wartawan, untuk itu penelitian kualitatif lebih efektif
digunakan dalam riset ini.
3.2. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas
dunia nyata. Paradigm tertenam kuat dalam sosialisasi para penganut dan
praktisninya, bersifat normatif, menunjukan kepada praktisinya apa yang harus
dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologi
yang panjang. dua arti pokok dari paradigm: (1) seperangkat bentuk yang
berbeda-beda dari sebuah kata seperti pada ungkapan verb paradigm; sehingga
muncullah istilah hubungan paradigmatic atau paradigmatic relationship, (2) jenis
sesuatu, pola, atau model seperti dalam ungkapan a paradigm for others to copy
.dalam metodologi penelitian, paradigm merujuk pada seperangkat pranata
kepercayaan bersama metode-metode yang menyertainya. Selain berperan sebagai
rujukan dan sudut pandang, paradigma juga berperan sebagai ruang batas peneliti
dan sudut pandang, paradigma berpesan sebagai pembatas kisi metodologis sesuai
dengan paradigma yang diikuti. Ada seperangkat asumsi, teori, konsep, dan
proposisi yang berkaitan secara logis mengorientasikan seorang peneliti19
.
Paradigma penelitian dalam riset ini adalah post-positivis. Penelti
mengupayakan untuk mengetahui lebih dalam, sebuah pemaknaan wartawan dari
sertifikasi wartawan. Dalam paradigma ini menganggap bahwa sebuah
pemaknaan harus dipahami secara kontekstual, bahwa objek penelitian merupakan
hal terpenting, yang apabila diteliti dan dipahami dalam setiap bagiannya akan
membentuk suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan.
19
A.Chaedar Alwasih. Pokoknya kualitatif.Jakarta:Pustaka Jaya.2006.Hal 77-78
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian adalat alat atau cara menjawab pertanyaan penelitian.
Observasi, menginterviu dan dokuemntasi. Merupakan cara untuk mengetahui
kefektifan metode yang sedang diteliti, dalam penelitian ini teknik tersebut
digunakan dan dapat dijelaskan sebagai berikut.:
3.3.1. Observasi
Dalam teknik observasi ini peneliti menggunakan observasi langsung yang
memungkinkan peneliti menarik inferensi kesmipulan terkait dengan makna dan
sudut pandang responden, kejadian, peristiwa, atau proses yang diamati. Lewat
observasi ini, peneliti akan melihat pemahaman yang tidak terucapkan (tacit
understanding), sebagaimana teknik langsung lewat wawancara atau survey20
.
Melalui teknik ini peneliti akan mengamati pemahaman yang tidak terucapkan
dari pemaknaan wartawan tentang sertifikasi wartawan. Peneliti secara langsung
melihat atau mengamati bagaimana seorang jurnalis televisi sertifikasi menyusun
draf sebelum liputan, peliputan lapangan, verifikasi berita sehingga. menyiarkan
hasil berita kepada masyarakat.
20
Ibid. Hal 154-155
3.3.2. Wawancara Mendalam
Wawancara dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi yang tidak
mungkin diperoleh lewat observasi. Untuk mengetahui langsung proses
bagaimana objek melakukan sebuah aktifitas dan proses kinerjanya jurnalis
pofesional yang memaknai sertifikasi kompetensi jurnalis.
Pada wawancara mendalam, pewawancara relatif tidak mempunyai
Kontrol atas respon informn, artinya informan bebas memberikan jawaban.
Karena itu periset mempunyai tugas berat agar informan bersedia memberikan
jawaban yang lengkap, mendalam, bila perlu tidak ada yang disembunyikan.
Dalam riset ini penelti memiliki pedoman utama yaitu menggunakan
teknik wawancara mendalam, dengan jenis wawancara terstuktur dan tidak
terstruktur, dengan tujuan peneliti tetap mendapatkan data yang sesuai, serta
menjadikan suasana tanya jawab menjadi kondusif dan juga komunikatif agar,
pola komunikasi sendiri akan efektif ketika komunikasi berjalan dengan kondusif
dan komunikatif.
3.3.3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang bertujuan untuk
menggali data yang terdahulu secara sistematis dan juga objektif. Dalam sebuah
metode penelitian penelusuran dokumentasi sangat dibutuhkan sebagai metode
pendukung dari metode sebelumnya yang memiliki satu kesatuan agar menjadikan
sebuah penelitian dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Dokumen bisa
berbentuk dokumen publik atau dokumen privat. Dokumen publik bisa berupa
sebuah tayangan rekam video hasil sebuah liputan berita, serta dokumen privat
meliputi hasil draft wawancara, data perusahaan atau lembaga yang berkaitan
dalam sebuah liputan.
3.4. Analisis Data
Proses analisis data adalah teknik-teknik yang dapat digunakan untuk
memberikan arti kepada berates-ratus atau bahkan beribu-ribu, lembar catatan
lapangan, transkrip wawancara, dan komentar peneliti21
. Analisis data
memerlukan usaha untuk secara formal mengidentifikasi tema dan menyusun
hipotesis yang ditampilkan oleh data, serta upaya untuk menunjukan bahwa tema
dan hipotesis tersebut didukung oleh data. Tujuan penyusunan hipotesis di
lapangan adalah agar peneliti peka terhadap sikap perilaku di dalam lingkungan
penelitian dan sifat interaksi sosial secara umum, sekaligus utuk membantu
peneliti memahami gejala yang sebelumnya tidak dimengerti22
Dalam metode ini ada beberapa tahapan analisis data diantaranya :
1. Tahap Pralapangan
a. Peneliti Mempersiapkan pedoman pengamatan dan wawancara
dengan draft wawancara yang sudah disediakan
b. Peneliti Memilih lokasi penelitian
21
Dr.Basrowi,M.pd & Dr.Suwandi,M.si. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta:Rineka Cipta:2008. Hal 223-224 22
Ibid. Hal.224
c. Peneliti Memilih model pengamatan dengan cara wawancara
mendalam
d. Peneliti Melakukan pengamatan pendahuluan dengan pra-riset
datang ke lokasi penelitian
2. Tahap pralapangan
a. Peneliti Melakukan pengamatan partisipasi (go to the people)
b. Peneliti Melakukan wawancara
c. Peneliti mencatat data pengamatan (catatan lapangan)
d. Peneliti data wawancara termasuk dokumen pribadi (transkrip
wawancara)
e. Peneliti Data dokumentasi
f. Peneliti Menyusun hipotesis sementara dilapangan
g. Peneliti Membuat tema
h. Peneliti Memperbaiki hipotesisdan tema
3. Tahap pasca lapangan
a. Peneliti Mengidentifikasi ulang tema dan membuan bagan
hubungan antara tema .
b. Peneliti Menyusun hipotesis dan memperbaiki/memperhalus
hipotesis
c. Peneliti Memeriksa data untuk memperbaiki tema dan hipotesis
4. Temuan penelitian
a. Peneliti mengemukakan dan menguji hasil penelitian
Dalam analisis data ini peneliti melakukan tahapan diatas secara
terstruktur, yang ditujukan agar peneliti tidak melakukan kesalahan dalam sebuah
penelitian. Juga sebagai acuan ketika melakukan riset lapangan dan juga megolah
data dari lapangan, yang kemudian akan dilakukan uji teori dan juga uji
keabsahan data, dengan proses data yang telah diperoleh, dilakukan klasifikasi,
sesudah dilakukan klasifikasi data kemudian sampailah pada kesimpulan.
3.5. Uji Keabsahan Data
Dalam kualitatif periset dijadikan sebagai intrumennya, maka validitas dan
reliabilitas instrument ada pada peneliti yang berarti keabsahan data tergantung
pada kemampuan peneliti23
. Triangulasi data merupakan ukuran menganalisis
jawaban subjek dengan meneliti kebenarannya dengan data empiris (sumber data
lainnya) yang tersedia24
. Pada tahapan inilah jawaban dari subjek harus di cross-
check dengan dokumen yang sudah dimiliki. Dalam uji keabsahan data penelitian
ini digunakan analisis triangulasi data sumber Membandingkan atau mengecek
ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang
berbeda, misalnya membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara
membandingkan apa yang dikatakan umum dengan yang dikatakan pribadi.
23
Rachmat Kriyantono. 2008. Teknik Praktis Riset komunikasi. hal 152 24
Ibid. Hal 72
Dengan triangulasi data tersebut merupakan teknik mempertahankan
sebuah keabsahan peneliti yang berposes dari membandingkan dari setiap hasil
dari wawancara peneliti dilapangan.
3.6. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar-benar
mengetahui dan menguasai masalah, serta terlihat langsung dengan masalah
penelitian. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, maka peneliti
sangat erat kaitannya dengan factor-faktor konteksional, informan penelitian
dimaksudkan untuk mengali informasi yang menjadi dasar permasalahan. Dalam
wawancara informan dijadikan subjek utama (key informant), subjek kedua
(second informant) dan juga subjek pendukung.
Informan penelitian ini adalah wartawan atau jurnalis televisi yang
tergabung dalam organisasi kewartawanan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI). yang merupakan wartawan aktif dan terdaftar di organisasinya dan juga
perusahan. Masing-masing subjek penelitian memiliki latar belakag pendidikan
mengenai jurnalistik dan juga pengalaman sebagai pewarta televisi yang sudah
lebih dari 3 tahun, selanjunya peneliti melakukan pemilihan informan berdasarkan
karakteristik dan kualifikasi informan dalam penelitian ini sebagai berikut
1. Informan bekerja dalam pengurus aktif organisasi IJTI.
2. Informan bekerja dalam perusahaan media.
3. Informan berfungsi mencari,melaporkan,menulis, dan menyiarkan
berita.
4. Informan memiliki wewenang dalam menentukan pemilihan angle
berita.
Pemilihan informan diatas sebagai sumber data dalam penelitian
ini adalah berdasarkan pada asas subjek yang menguasai permasalahan,
memiliki data, dan bersedia memberokan informasi lengkap dan akurat
3.7. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di beberapa tempat diantaranya :
1. Kantor ikatan jurnalis televisi Indonesia (IJTI) Pusat
Gd. Dewan Pers Lantau V, Jl. Kebon Sirih No.32-34, Jakarta 10110
Telp, 021-3500774/ fax 021 – 3481005, website : www.ijti.org , email :
secretariat@ijti.org / ijti.pusat@gmail.com
2. Kantor Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Banten yang
beralamat di Jl.Yusuf Martadilaga. Gg.Kejaksaan II No.24. Telp. (0254)
9030992 Kota Serang – Banten . Email : ijtibanten@email.com
3. MNC Tower Lt. 23 Jl. Kebon Sirih Raya 17 – 19 Jakarta Pusat 10340
Phone : 021 – 3905302 Fax : (+62-21) 392 0032 Email
: corsec.inewstv@mncgroup.com
4. Komplek Rasuna Epicentrum Lot 9, Jl. H.R Rasuna Said, Karet Kuningan
Setiabudi, Jakarta Selatan , DKI Jakarta 12940 , 021-29912155
Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan rincian seperti yang tertera pada tabel di
bawah ini :
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
No. Keterangan Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov
1. Studi Pustaka X X
2. Observasi Awal
3. Revisi Bab 1, II dan III
4. Sidang Outline
5. Penyusunan Laporan
6. Sidang Skripsi
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Penelitian
4.1.1 Gambaran Sertifikasi Kompetensi Wartawan
Dalam beberapa referensi yang telah dikaji, sebuah
penyusunan standar kompetensi wartawan memiliki tiga kategori
kompetensi yaitu kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge)
dan keterampilan (skills). Kesadaran tentang etika hukum dan
karir, serta pengetahuan mencakup umum dan khusus sesuai
dengan bidang kewartawanan yang diperoleh. Sebagai upaya untuk
menjadi seorang jurnalis yang bersertifikasi tiga standart
kompetensi itu harus sudah melekat pada diri seorang jurnalis.
Sejauh ini sertifikasi kompetensi tidak begitu diprioritaskan oleh
sebagian jurnalis karena tidak adanya sebuah kewajiban dan juga
keharusan untuk melakukan sebuah uji kompetensi.
Mengenai kegelisahan wartawan ini sudah dibahas pada
2008, hal ini menghasilkan pelaksanaan sertifikasi sejak 2010,
dengan keluarnya peraturan Dewan Pers Nomor 1Tahun 2000
tentang Standar Kompetensi Wartawan pada 2 Februari 2010.
Sertifikat secara sederhana adalah sebuah seleksi formal yang
menentukan wartawan itu professional atau bukan.
Ditegaskan kembali Pada februari 2017, Dewan Pers mulai
melakukan pendataan ulang kembali pada seluruh perusahaan pers
media yang ada di seluruh bagian Indonesia. Hal ini bertujuan agar
seluruh media di Indonesia terdaftar dalam list Dewan Pers. Alasan
adanya pendataan ini disebabkan membludaknya angka
perusahaan pers yang kian menjamur di Indonesia. Sehingga
karenanya sebuah kompetensi jurnalis diperlukan agar perusahaan
pers dapat terverifikasi dan mendapatkan perlindungan dari dewan
pers. Upaya ini dilakukan untuk menghadapi langkah strategis
ketika Indonesia sudah memasuki pasar bebas Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA).
Sebuah sertifikasi menjadi penting dalam sebuah
persaingan tenaga profesi di dalam negeri maupun luar negeri.
Sehingga masyarakat Indonesia siap bersaing dengan lingkup
global karena tidak hanya berbekal ijazah saja namun
kemampuannya dalam bidang profesi didukung oleh sebuah lisensi
khusus yaitu sertifikasi. Sertifikasi ini juga bisa digunakan sebagai
sistem evaluasi bagi sebuah perusahaan media atas kualititas yang
dimiliki jurnalis itu sendiri yang mendorong adanya standarisasi
terhadap profesi yang bergerak di bidang media massa. Sehingga
diharapkan dalam jangka panjang akan menjaga nama baik profesi
jurnalis. Meski tak dirumuskan tertulis adanya lisensi khusus tentu
saja mencegah wartawan abal-abal yang memanfaatkan profesi ini.
4.1.2 Gambaran Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Sebagai
Lembaga Penguji Sertifikasi Jurnalis Televisi .
Dewan pers telah mengelurkan empat surat keputusan
tentang bagaimana kriteria dan tata cara yang harus dipenuhi
lembaga atau organisasi yang bisa menjadi lembaga Uji
Kompetensi Wartawan (UKJ). Organisasi dan lembaga yang
memiliki sertifikat menguji data itu salah satunya Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia (IJTI) .
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) merupakan sebuah
wadah pemberdayaan dan peningkatan profesi para jurnalis
televisi. Awalnya, IJTI juga merupakan lembaga penguji khusus
profesi ini, terbentuk dari sebuah perbincangan serta pertemuan
beberapa reporter stasiun televisi indosiar dan SCTV yang sedang
melakukan peliputan di Pulau Panjang Kepulauan Seribu pada 25
April 1998. Dari pembicaraan tersebut maka disepakati ide
pembentukan organisasi jurnalis televisi. Kemudian dilanjutkan
dengan pertemuan pada 30 Mei 1998 hingga 03 Juli 1998. Dari
pembentukan tersebut maka dibentuklah panitia persiapan
pembentukan organisasi yang didalamnya terdiri dari Pokja
AD/ART : Ruslan Abdul Ghani (ketua), Pokja Kode Etik : Sumita
Tobing (ketua), Pokja Persiapan kongres : Herling Tumbel (Ketua).
Dari pembentukan panitia kemudian diteruskan dengan
persiapan kongres dan seminar degan topik “Peran Politik
Jurnalisme”. Kongres berlangsng pada tanggal 8-9 Agustus 1998
dengan hasil deklarasi pembentukan organisasi dengan nama
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia atau yang disingkat IJTI diketuai
oleh Haris jauhari dengan ketua formatur da anggota formatur
Reva Deddy Utama, Zihni Rifai, Nugroho F. Yudho dan Iskandar
Siahaan.
Pada tahun 1999 pengembangan organisasi terbentuk untuk
mewakili setiap daerah dengan pemebtukan awal yang berjumlah 9
koordinator Daerah (korda) diantaranya ; Korda Jawa Barat, Korda
Jawa Tengah, Korda Jawa Timur, Korda Sumatera Utara, Korda
Sumatera Selatan, Korda Kalimantan Selatan Korda Sulawesi
Selatan, Korda Sulawesi Utara, Korda Bali dan NTB .
4.2 Analisis Data Wawancara dan Observasi
4.2.1 Deskripsi Informan
4.2.1.1 Rachmat Hidayat
Lahir pada 30 januari 1976,. Mengawali karir jurnalis
sebagai koordinasi biro Jawa Timur majalah Gatra. Pria yang lulus
kuliah pada 2002 memutuskan untuk menetap di ibu kota dan sekarang
tinggal di Depok ini pernah menjadi jurnalis televisi di TPI yang kini
menjadi MNC TV yang bermula sebagai reporter dibarengi dengan
menekuni peliputan investigatif. Kasus pembunuhan paska konflik
SARA di Poso, Sulawesi Tengah salah satu hasil karyanya, serta
gempa Yogyakarta dan semburan lumpur Sidoarjo, begitu penjelasan
singkat terkait dengan karyanya pada masanya. Sejak 2007, mas dayat
mengurusi newsroom untuk berita-berita buletin MNC TV. Kini Mas
Dayat menjadi kepala produksi berita di MNCTV.
4.2.1.2 Puteri Gita Agustina
Seorang wartawan muda yang mengawali karir menjadi
seoraang Customer Service and Database pada salah satu perusahaan
swasta di Jakarta kemudian kini berkarir pada sebuah media swasta
dijakarta, yaitu ANTV. Dengan latar belakang Sarjana Ekonomi
Wanita kelahiran tahun 1987 bulan Agustus Tanggal 10 dijakarta kini
sudah menjadi seorang jurnalis yang memiliki sertifikasi kompetensi
sebagai jurnalis muda pada akhir tahun 2016.
4.3 Hasil dan Pembahasan
4.3.1 Sertifikasi Wartawan dalam Profesi Wartawan
Kendati menjadi wartawan saat ini bisa berangkat dari
jurusan apapun walau bukan kelulusan Ilmu Komunikasi atau
Jurnalistik, namun untuk dianggap professional dan siap bersaing,
maka dibutuhkan “alat ukur”. Sertifikasi wartawan dalam profesi
wartawan kemudian dianggap sebagai elemen yang penting.
Sesuai yang kita tahu bahwa hari ini wartawan tidak harus
berangkat dari pendidikan jurnalis, melainkan semua jurusan di
luar komunikasi dan jurnalistik boleh terjun ke profesi ini,
sehingga karenanya dibutuhkan pemahaman terkait dengan
jurnalistik serta uji kompetensi dan sertifikasi sebagai tanda bahwa
jurnalis tersebut menyampaikan informasi sesuai dengan
kompetensinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala
produksi berita MNC media Rachmat Hidayat, memahami bahwa
sebuah sertifikasi wartawan merupakan sebuah keharusan di era
globalisasi ini. Dikarenakan sebuah sertifikat kini sama
berharganya sengan sebuah ijazah, karena orang yang berijazah
belum tentu berpengalaman dengan orang yang sudang memiliki
sebuah sertifikat terutama sertifikat keprofesian.
Profesi apapun tentu selalu memiliki aturan mainnya
masing-masing, diantaranya profesi yang memiliki Kode Etik
Jurnalistik Indonesia yang disepakati oleh Dewan Pers bersama 29
organisasi wartawan pada 1999 dan direvisi atau disempurnakan
pada tahun 2006 yang terdiri dari 11 pasal. Pada dasar tersebutah
IJTI sebagai lembaga sertifikasi yang memiliki peran sebagai
Pembina keprofesian untuk selalu menegaskan seluruh anggota
yang bekerja di media harus memiliki sebuah sertifikat yang jelas.
Karena pada dasarnya sebuah sertifkat tidak hanya sebuah simbol
yang formal sehingga seseorang dianggap memiliki identitas
keahlian yang profesinal.
Sertifikat itu sendiri diperoleh setelah melalui beberapa
tahap yang dinilai tidak mudah. Seorang jurnalis dipandang
professional apabila telah mengantongi banyak pengalaman di
bidang jurnalistik ini, yang kemudian diuji resmi oleh suatu
lembaga berbadan hukum dan bertanggung jawab.
Seperti yang diungkap Rachmat Hidayat, “Sertifikasi
merupakan sebuah tolak ukur sejauh mana wartawan televisi
sudah kompeten atau belum.“ (Wawancara Ketika di ruang
redaksi Inews Tower Maret 2017) . Untuk itu sebuah sertifikasi
penting bagi profesi wartawan, di tengah perusahaan media yang
kian menjamur di berbagai penjuru Indonesia, yang berarti
bertambah juga tenaga profesi kewartawanan. Karenanya peran
sebuah lembaga sertifikasi dan perusahaan kemediaan dianggap
penting untuk melakukan sebuah tinjauan ulang mengenai
kelayakan sumber daya sebagai tenaga professional yang seusai
dengan keahlian dan kemampuannya. Mas dayat mengatakan
sebuah prifesionalitas harus dapat mempertahankan indepedensi
terhadap sumber berita, indepedensi disini berarti bida
membedakan mana berita yang mengandung profit bagi
perusahaannya dan juga berita yang benar dan untuk dikonsumsi
bagi khalayak. Untuk itu butuh proses verifikasi wartawan dari
mulai wartawan muda, madya dan utama. Mereka semua harus
melalui tahapan yang diperuntukan untuk sebuah sertifikasi dan
identias professional agar sebuah indepensi berita sesuai dengan
aturan yang berlaku.
Dalam uji kompetensi yang ditetapkan dewan pers ada 11
elemen kunci kompetensi, karena sifat khas mekanisme, tanggung
jawab dan fungsi dalam sistem keredaksian televisi tidak semua
elemen dapat diterapkan dalam penilaian pada tiap jenjang jurnalis
TV.
Diantara 11 elemen kompetensi diantaranya :
1. Memahami dan menaati kode etik jurnalistik dan P3SPS
2. Mengidentifikasi masalah yang terkait dan memilik nilai berita
3. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi
4. Menguasai bahasa
5. Mengumpulkan dan menganalisis informasi berupa fakta dan
data dari bahan berita.
6. Menyusun berita
7. Menyunting berita
8. Merancang rubric dan slot program
9. Manajemen redaksi
10. Menentukan kenijakan dan arah pemberitaan
11. Menggunakan peralatan teknologi informasi pemberitaan
Dari kesebelas elemen di atas Rachmat Hidayat
memandang bahwa cara kerja jurnalis adalah memahami
keseluruhan elemen yang merupakan tugas individu untuk
membentuk seorang yang professional dalam artian mampu
bertanggung jawab atas profesi dan aturan yang dipedomankan
kepada diri individu tersebut.
Dalam sebuah profesi Puteri memandang bahasa setiap
profesi harus memiliki sertifikasi .
“Semua yang sudah tersertifikasi otomatis sudah berkompeten
menjadi jurnalis setidaknya dia tau apa tugas sebagai jurnalis dan
memahami kode etik serta P3SPS”. (Wawancara Ketika di ruang
redaksi Inews Tower Maret 2017)
Informan memandang bahwa setiap jurnalis yang
tersertifikasi dan memiliki sertifikat sudah bisa dibilang sebagai
jurnalis yang berkompeten, dan layak dikatakan sebagai jurnalis
yang professional. Profesional yang dimaksud sebuah pencapaian
yang dilalui melalui sebuah proses test untuk mendapatkan sebuah
sertifikat uji kompetensi. Serta memahami betul tentang pedoman
apa yang boleh dan tidak dilakukan, serta apa yang layak tayang
atau tidak dalam publikasi sebuah pemberitaan. serta memaknai
jurnalis sebagai orang yang bersifat netral dalam memenuhi
kepentingan konsumsi publik yaitu pemberitaan.
“Professional itu tidak berat sebelah, missalya lebih
mementingkan urusan kelompok disbanding urusan publik dengan
contoh kita adalah pendiri salah satu parpol atau ketum parpol,
tetap harus professional dalam menyajikan sebuag berita. Ketika
kita harus memberitakan sesuai dengan data dan fakta yang ada
dilapangan.” (Wawancara Ketika di ruang redaksi Inews Tower
Maret 2017)
Dalam pernyataan diatas, informan memahami betul apa
yang disebut dengan keberimbangan sebuah penyajian berita untuk
konsumsi publik, begitu juga konsep diri yang terbentuk sudah
memiliki sebuah penjiwaan sebagai jurnalis yang bersifat netral,
namun masih bisa berubah ketika lingkungan akan
memperngaruhinya. Karena pada dasarnya dilapangan akan
berubah dengan sebuah hasil yang akan di edit dalam ruang redaksi
berita.dalam hal ini peneliti memahami betul sebuah produksi
berita yang dilakukan sebuah redaksi pemberitaan. Tidak sebuah
data dan fakta bisa disajikan dengan keberimbangan.Atasan
kerapkali melakukan beberapa tindakan diluar ekspektasi yang
tidak mencerminkan sebuah jurnalis dalam koridor yang
tersertifikasi. Peneliti pernah melakukan sebuah praktik kerja
lapangan pada sebuah media yang dimiliki petinggi parpol di
Indonesia.
Sebuah sertifikasi bukan hanya saja dimiliki namun bisa
dipertanggung jawabkan sehingga dapat meningkatkan kualitas
berita di Indonesia. Selain itu sertifikasi mampu membentuk
sebuah konsep diri sehingga kemudian akan memberikan motivasi
penting dalam berperilaku agar tidak mudah terpengaruh oleh
pihak luar yang berusaha mencampuri sebuah pandangan yang
tidak seharusnya dilakukan kepada wartawan yang telah memiliki
sertifikasi jurnalis.
4.3.2 Standar Kompetensi Wartawan dan Profesionalisme
Pengoptialisasian standar proposional seorang jurnalis
dapat dilihat dari bagaimana seorang wartawan memaknai tentang
kode etik sebagai wartawan , juga elemen dan pedoman jurnalitik
yang berlaku di Indonesia,
“ Bekerja seusai standart dan kode etik itu professional
kita juga harus menjaga etika harus bisa menempatakan posisinya
sesuai fungsinya. Fungsi seorang jurnalis itu memberikan sebuah
pemberitaan yang akan dikonsumsi masyarakat berdasarkan fakta
lapangan yang sesuai dengan kebenaran.”. (Wawancara Ketika di
ruang redaksi Inews Tower Maret 2017)
Dari Interpretasi yang dikemukakan oleh Rachmat Hidayat
diatas, ia beranggapan bahwa professional bisa dibentuk dari
sebuah pemahaman tentang kode etik serta menempatkan sebagai
fungsi dari profesi yang telah diembannya sebaga jurnalis. Jurnalis
merupakan ujung tombak dalam sebuah produksi berita yang akan
disampaikan pada kahalyak publik. jika berita berkualitas maka
insan pers akan jauh berkuatias diatas standart.
“ jurnalis yang professional dapat melakukan tupoksi
kerjanya sesuai kemampuan dalam bidangnya”
(Wawancara Ketika di ruagn redaksi Inews Tower Maret
2017)
Dalam penyampaian sebagai seorang yang professional
Rachmat hidayat selaku kepala poduksi berita MNC News , telah
melakukan profesi yang sangat professional ketika dia dapat
membagi tugasnya sebagai kepala produksi berita dengan peran
dalam organisasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dalam
bidang sertifikasi dan juga kompetensi.
Hal ini dilihat dari pertemuan yang dilakukan oleh peneliti
dalam acara uji kompetensi jurnalis televisi yang didakan di
Gedung ANTV. disana pak rachmat hidayat bertugas sebagai tim
penguji untuk jurnalis muda yang melakukan sertfikasi. Dari setiap
penyampaian materi yang dilakukan penuh dengan materi yang
mencerminkan bahwa dia seorang yang professional.
“Menerapkan kode etik yang berlaku dalam sebuah
pemberiaan, dan berimbang, karena jurnalis yang telah
tersertifikasi merupakan jurnalis yang telah diuji serta
senantiasa menerapkan kode etik yang berlaku, jurnalis
yang masih menjunjung idealisme sebagai jurnalis.
“(Wawancara Ketika di Epicentrum ANTV Maret 2017)
“ professional tidak berat sebalah, mencari data
dan fakta serta mengolah menjadi sebuah berita
sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.”
“(Wawancara Ketika di Epicentrum ANTV Maret
2017)
Dari ungkapan puteri professional harus menanamkan
sebuah nilai diri sebagai jurnalis yang sesuai dengan kinerja dan
porsinya demi menjadikan terciptanya sebuah trandar kompetensi
yang professional.
Puteri membentuk serta mempersiapkan dirinya menjadi
jurnalis yang sesuai dengan starndart kompetensi selama 3 tahun
menjadi soerang jurnalis, kini dia menganggap bahwa standar
kompetensi harus didukung oleh sebuah sertifikat, oleh karena itu
puteri mengikuti uji kompetensi jurnalis TV yang diadakan oleh
perusahan medianya yaitu ANTV yang dilaksanakan di Kantornya
Kuningan Epicentrum Jakarta.
Setiap uji kompetensi tidak sembarangan, hal ini hanya
dilakukan oleh lembaga-lembaga penguji sertifikasi wartawan
yang diakui oleh dewan pers. Khususnya di Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI). Urgensi uji kompetensi wartawan kini diharuskan
dan sangat penting karena kini, pejabat atau pemangku
kepentingan kini bisa menolak sebuah wawancara apabila seorang
wartawan itu belum melakukan uji kompetensi.
Hal ini ditegaskan pada sebuah media. Kompetensi kerja
merupakan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang terhadap
segala aspek pekerjaan yang akan dilakkan dan keterampilan
tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai
berbagai tujuan dalam pekerjaannya. Standart kompetensi kerja
yang dilakukan oleh puteri sudah termasuk dalam kategori
professional bagaimana dia menganggap penting sebuah uji
kompetensi dan sertifikasi bagi dirinya untuk memperkuat diri
menjadi jurnalis yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
Indonesia.
Banyak pernyataan ketika peneliti melakukan pertanya
acak kepada setiap jurnalis. Tentang sertifikasi wartawan apakah
dari mereka mengatahui tetang uji kompetensi , ada yang bemun
mengetahuinya. Ada sebagian dari mereka yang belum mengetahui
tentang uji kompetensi jurnalis dan wartawan, mereka
beranggapan, apakah harus seorang profesi jurnalistik mengikuti
kompetensi ? akankah berpengaruh pada kesejahteraan kami?
Beberapa orang yang beranggapan seperti ini, tidak
mewajibkan bahwa dirinya harus melakukan standart kompetensi
sebagai jurnalis. Degan konsep diri yang terpengaruh dari luar ini
mereka bisa menjadi seseorang yang tidak memperdulikan
bagaimana sebuah kualitas dan standart kompetensi yang harus
melekat pada dirinya, diri mereka melaukan sebuah pekerjaan
sesuai dengan apa yang mereka kerjakan dilapangan. Pada
kenyatannya banyak sekali jurnalis yang mengaku dirinya sudah
professional tanpa harus meakukan sebuah uji kompetensi. Disini
peneliti menganalisis dari diksi yang di ucapkan ketika dia berkata
“apakah kita harus melakukan itu” “(Wawancara Ketika di
Epicentrum ANTV Maret 2017) dari diksi itu mereka mengakui
bahwa dirinya sudah menjadi seorang yang professional. Tanpa
harus di uji hanya berbekal pengalaman saja tanpa harus
diberlakukan sebuah lisensi yang seharusnya diuji kembali.
Dalam praktiknya dilapangan memang tak semudah yang
dibayangkan kerja sebagai jurnalis tentu berhubungan dengan
orang ternama dan orang pernting, bukan orang sembarangan.
Semakin kita bisa mengenal narasumber kita sebagai objek berita
kita akan lebih mudah mendapatkan sebuah berita yang tentunya,
bisa sama-sama saling menguntungkan dalam hal ini peneliti
mendapatkan temuan penelitian diantaranya, kedekatan antar
jurnalis dengan lembaga pers bisa menjadikan kemudahan dalam
sebuah uji kompetensi kewartawanan. serta formalitas sertifikasi
dalam sebuah profesi jurnalistik.
4.3.3 Pembentukan Identitas Jurnalis Profesional.
Identitas merupakan sebuah jati diri seseorang untuk
menunjukan bahwa dia memiliki kepribadian yang beberbeda dari
yang lainnya, dalam melaksanakan tugasnya seorang jurnalis perlu
memiliki identitas diri agar ketika melaksanakan kegiatan meliput
mengolah, dan menayangkan berita terlihat sebagai seorang
jurnalis . Karena dalam hal ini seorang jurnalis mengungkapkan
kebenaran bagi kepentingan kebaikan masyarakat. Tidak hanya
dengan menggunakan id card saja namun sebuah identitas jurnalis
bisa kita lihar cari bagaimana ketika dilapangan seorang jurnalis
memiliki etika laynya seorang jurnalis. Identitas yang telah
melekat di masyrakat kini memang jauh sangat negarif terhadap
profesi jurnalis, karena jurnalis dilapangan kerapkali tidak
menerapkan etika seorang jurnals. Dalam hal ini penulis
menemukan beberapa temuan lainnya dipalapngan, ada beberapa
oknum yang mengaku jurnalis dan memiliki identitas jurnalis
hanya bermodalkan id card yang dapat dibuat dengan sendirinya.
Kasus ini kerap terjadi dan membuat identitas jurnalis semakin
tidak baik di wajah masyarakat pada umumnya.
Identitas jurnalis terbentuk dari sebuah individu dan
kelompok, serta bagaimana individu itu menerapkan konsep
dirinya. Dalam teori koinsep diri yang telah penulis tuliskan,
konsep diri terbentuk melalui interaksi yang di timbulkan kepada
lingkungnannya yang akan memberikan motivasi penting dalam
berperilaku. Maka dari itu identitas terhadap lingkungan
berpengaruh terutama dilapangan, karena pada praktiknya jurnalis
yang melaksanakan peliputan berita tidak semuanya memiliki
sertifikasi dan telah melaksanakan uji kompetensi. Pembentukan
identitas yang professional bisa dibentuk dari uji kompetensi
jurnalis, dalam prosesnya uji kompetensi dan sertifikasi ini
menguji kembali kelayakan kualitas dan kuantitas seorang jurnalis
dalam memproduksi sebuah berita, dengan starndart yang berbeda.
Tentu dengan pentingnya uji kompetensi ini sangat membantu
memulihkan identitas negative yang telah melekat di msyarakat
pada umumnya.
Dalam dunia jurnalis TV identitas dibentuk dari karakter
media itu sendiri. Karena media TV selalu mengahruskan memakai
atribut lengkap dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Bagaimana identitas itu terbentuk, terlihat dari hasil yang
ditayangkan setelah melaksanakan peliputan berita. Proses
peliputan berita tentu akan di edit oleh seorang produser dan di
preview oleh executive produser, lalu tayang di TV. Peran editor
berita sangat memerngaruhi kualitas berita. Kualitas jurnalis
lapangan yang telah meliput berita tentu akan menulis sesuai
karakter media dimana dia bekerja sebagai praktisi media.
Sejauh mana seorang jurnalis memahami sertifikasi dan uji
kompetensi jurnalis, tentu akan berpengaruh juga terhadap sejauh
mana identitas professional jurnalis itu terbentuk. Tentu dalam
observasi lapangan itu diungkapkan oleh informan yang telah
penulis observasi. Uji kompetensi kini sebagai tolak ukur kualitas
seorang jurnalis dari mulai dia memahami kembali kode etik,
memahami proses uji kompetensi, serta membentuk identtitas dri
menjadi seorang yang professional. Dalam uji kompetensi mereka
diuji kembali dari kelayakan menjadi seorang yang professional ,
dalam dalam tahapan uji kompetensi kembali ditekankan
menereapkan kode etik, serta pemahaman jurnalis yang seharusnya
seperti apa dilapangam agar identitas jurnalis dan wartawan
kembali menjadi yang positif.
Dalam pemahaman profesinalisme jurnalis tidak bisa
terbentuk dengan bauk dalam tahapan tertentu yaitu self dimana
pada proses ini konep diri bukan dating dari interaksi yang telah
diciptakan keoada orang lain sehingga orang lain dapat
memberikan penggambaran mengenau dirinya. Dengan contoh diri
sendiri telah memahami apa itu makna profesionalisme namun
kerap kali dilapangan itu semua bergeser dengan realita yang ada
dilapangang. Terutama jika kajiannya sudan profit untuk sebuah
perusahaan media dan juga komisi yang diterima untuk dirinya
sendiri. Dalam hal ini peneliti mewawancarai informan pendukung
pada salah satu sebuah media nasional yang baru mendaparkan ijin
siarnya. Para petinggi disana memaknai soal profesionalitas namun
pada praktiknya dilapangan tentu saja sangat berbeda degan apa
yang dilakukan. Kadang tidak seusai dengan apa yang di harapkan.
Kepentingan media lebih di prioritaskan untuk mendapatkan profit
bagi perusahaan . karena media tidak bisa hidup dari hanya sebuah
produksi berita . namun juga didukung dengen berita yang
mengandung profit dan pemasukan bagi perusahaan media
tersebut.
Dalam hal ini peneliti memposisikan sebagai karyawan
dalam sebuah media tersebut. Dengan latar belakang sertifikasi
yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Yang seharunya mereka
memiliki kompetensi sebagai jurnalis televisi. Namun keseluruhan
mereka yang sudah sertifikasi merupakan lembaga cetak. ini
merupakan sebuah blunder bagaimana professional terbentuk jika
tidak sesuai dengan kompetensinya. Perlu aturan yang sangat tegas
dan jugapublikasi yang secara berulang agar bagi pendiri media
sesuai dengan kompetensi yang seharunya sesuai kemampuan
pendirinya. Peneliti memandang bahwa pendidikan berperngaruh
terhadap kegiatan jurnalistik. Hal ini dikarenakan individu yang
memiliki latar belakang jurnalis lebih mudah melaksanakannya,
begitupun khususnya dalam penelitian ini memaknai sertifikasi
profesi jurnalis TV, tentu mereka harus memiliki latar belakang
jurnalis TV dan juga dasar penyiaran. Menurut informan tambahan
ini itu bukan masalah. SS memandang bahwa latar belakang
jurnalis cetak pun masih bisa menyesuaikan dengan kegiatan
jurnalistik TV jika individunya masih memiliki keinginan untuk
mengembangkan latar belakang jurnalis cetak menjadi jurnalis
televisi. Peneliti menemukan temuan ini dan memasukan dalam
hasi penelitia untuk menambah pemahaman profesi jurnalis
televisi. Peneliti juga menemui temuan baru dalam memaknai
prosei jurnalis dalam sebuah media local dengan frekuensi siar
nasional.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada temuan penelitian, dapat disimpulkan
bahwa konsep memaknai sertifikasi untuk profesionalisme yang
dipahami oleh sebagian jurnalis hanya sebatas pekerjaan jurnalis
sebagai penyampai informasi, sementara pemahaman urgensi
sertifikasi sendiri bagi para jurnalis dianggap kurang bermanfaat
karena tidak menghasilkan dampak yang positif seperti kesejahteraan
atau jaminan lain yang menjanjikan seperti tunjangan atau lainnya,
bahkan dalam beberapa kondisi justru membahayakan bila status
sertifikasi disalahgunakan oleh jurnalis yang tidak bertanggung
jawab. Profesonalisme merupakan metode efisien dan ekonomis yang
dimana sebuah organisasi berita megontrol reporter dan editor
Akan tetapi organisasi berita tidak hanya menandalkan
norma profesionalisme pekerjaan mereka selanjutnya dalam
menentukan perilaku jurnalis organisasi berita harus
mengembangkan aturan atau kebijakan baru. Organisasi berita
mengandalkan pengaruh profesionalisme berita secara umum dan
kebijakan berita dalam mengontrol.
Kebijakan profesionalisme sebagai jurnalis hanya dilihat
dari bagaimana jurnalis tersebut menyelesaikan tugas dan fungsinya.
Management organisasi hanya melihat sekedar dari apa yang telah
dilakukan dan dilaksanakan dalam upaya peliputan berita saja
dilapangan.
Organisasi tidak tegas memberi aturan atau yang mengacu
pada undang-udang yang telah berlau selama ini. Bagaimana perilaku
jurnalis dilapangan tidak kontroversi dalam pelaksanaan kegiatan
jurnalistik.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti melihat bahwa
masalah utama dari profesionalisme yang dimaknai dengan uji
kompetensi dan sertfikasi wartawan adalah kesadaran untuk seroang
jurnalis itu sendiri untuk keikutsertaan dalam melaksanakan uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga khusus pelaksana uji
kompetensi jurnalis televisi (UKJTV).
Selain itu peneliti memandang bahwa IJTI pusat perlu
membuat ketentuan yang jelas mengenai bagaimana pelaksanaan uji
komptensi dari mekanisme yang sesuai dengan ketentuan beserta.
Ketentuan yang jelas dimaksudkan kepada sebuah regulasi dimana
media televisi diharuskan mengikuti uji kompetensi yang sesuai
dengan kompetensinya, agar pada praktiknya proses dan mekanisme
jurnalis tv sesuai dengan sebagai mana mestinya.
5.3 Keterbatasan penelitian
Penelitian kualitatif dengan paradigma deskriptif ini hanya
memandang pada sebuah pemaknaan uji kompetensi jurnalis televisi.
Belum pada tahapan jurnalis cetak, cyber dan juga radio. Namun
karena keterbatasan peneliti melakukan penelitian mengenai jurnalis
TV saja, peneliti tidak dapat menganalisis lebih lanjut sejauh mana
penerapan dan mekanisme uji kompetensi yang berlaku di Indonesia
sendiri.
Hal lain juga yang dapat diperlukan dan diperhatikan
adalah objek penelitian yaitu jurnalis muda dan juga jurnalis madya
serta jurnalis utama, hal ini hanya mampu memahami dari segi
jurnalis muda saja dan sedikit pemaparan dari seorang jurnalis utama.
DAFTAR PUSTAKA
Assegaff, Djafar. (1983). Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indoneis .
Alhafiz dkk. (2014) Uji Kompetensi Wartawan. Jakarta: Perpustakaan Nasional
RI KDT.
Alwasih. (2006) Pokoknya kualitatif. Jakarta: Pustaka jaya.
Baksin, Askurifai.(2006). Jurnalistik Televisi, Teori dan Praktik. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Basrowi. et. Al. (2008) Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Bungin, Burhan. (2008) Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.
Basroi. et.al. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Haryanto. (2014) Jurnalisme Era Digital. Jakarta: PT.Gramedia.
Kriyantono, Rachmat. (2010) Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Masduki, et. al. (2004) Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalisrik Yogyakarta:
UII Press.
Morissan. (2008) Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta: Prenada Media Group.
Nurudin. (2009) Jurnalisme Masa Kini. Jakarta : Rajawali Pers.
William. et.al. (2003) Mass Media and Modern Society 2nd
Edition. Jakarta:
Prenda Media
Yayasan Tenaga Keja Indonesia. (2014). Sertifikasi Kompetensi Profesi. Jakarta.
Jurnal :
Jurnal F.Rachmadi, perbandingan system pers : analisis deskriptif system pers di
berbagai negara Jakarta:gramedia 1990
Situs Website :
Ida ayu F.M. Wartawan Perlu Sertifikasi diakses dari
http://rri.co.id/surabaya/post/berita/205862/pendidikan/wartawan_perlu_sertifikasi.html pada
tanggal 27 April 2016 pukul 12.17.
LAMPIRAN 1
Transkrip Wawancara
Transkrip Wawancara Informan
Nama Informan : Rachmat Hidayat ( News Production
Departement Head)
Hari/tanggal : Kamis / 02 Maret 2017
Waktu : 18.55 WIB
Lokasi : Jl. Kebon sirih Kav 17-19 jakarta 10340 –
Indonesia
Keterangan:
P: Peneliti
I1: Informan pertama
P : Selamat malam, terimakasih telah meluagkan waktu untuk melakukan
wawancara penelitian terkait dengan pemaknaan wartawan tentang
sertifikas wartawan.
Sebelumnya om rachmat ini jabatannya apa ya di Lembaga IJTI ?
I1 : ohya tidak apa-apa , mohon maaf ya kita bertemu tidak sesuai jam
yang di tentukan diawal perjanjian jam 5 tadi, saya menjabat sebagai
P : bisa jelaskan sedikit terkait dengan desripsi kerjanya om ?
I1 : saya bekerja menjadi kepala produksi berita news mnc jadi saya yang
menghandle, megawasi dan berita mana yang layak tayang atau tidak.
P : seperti apa fungsi dan peran om di lembaga IJTI pada sertifikasi
jurnalis ?
I1 : IJTI itukan organisasi profesi, dia itu berkewajiban untuk membina
anggotanya, meningkatkan kompetensi anggotanya, untuk bisa mencapai
standart pofesional seperti yang disyaratkan oleh dewan pers. Berbicara
jurnalis televisi, nah peran IJTI itu lebih kearah pembinaan tadi itu, ,
kemudian IJTI itu ehh… pada waktu ada kewajiban untuk
menstandarkan kompetensi jurnalis perlu diadakannya sertifikasi. Nah
sertifikasi itu untuk mengukur sejauh mana jurnalis televisi itu sudah
berkompeten atau belum berkompeten. Untuk alat ukurnya ada nah nanti
bisa dibaca dibuku itu ada beberapa. Terus perannya sampai saat ini IJTI
terus mendorong semua anggotanya disertifikasi, itu menjadi tanggung
jawab IJTI juga, jadi tidak hanya berperan sebagai pelaksana penguji
jurnalis televisi, tapi dia juga punya tanggung jawab untuk mensertifikasi
anggotanya yang sekarang sudah mencapai 1700 Orang.
Nah IJTI itu telah menjadi lembaga uji sejak 2012 yang telah
disahkan oleh dewan pers, lembaga ujinya itu baru berjalan di dua tahun
kemudian, dengan terbitnya buku edisi pertama, kenapa ditandai dengan
terbitnya buku itu?, karena itu salah satu tanda dan alat ukur buat kita
menstandarkan seorang jurnalis televisi. Akhirnya kita baru mula berani
menguji jurnalis jurnalis tv seetelah buku itu keluar. Apakah semua
anggota IJTI itu harus tersertifikasi ? iya , apakah jurnalis televisi diluar
IJTI boleh sertifikasi? Boleh , jadi memang satu-satunya lembaga uji
khusus jurnalis televisi hanya IJTI
apakah anggota IJTI boleh minta sertifikasi ke PWI ke AJI
silakan , tapi alat ukurnya berbeda, masasih jurnalis televisi diujinya
sama jurnals cetak. Seharunys sama lembaga uji yang sesuai dengan
ikatan jurnalis profesinya, itu perannya.
Kita juga meningkatkan kapabilitas anggota IJTI juga melalui
workshop, nah workshop itu juga akan larinya ke sertifikasinya juga jadi
semua disesuaikan , kita menyusun workshop itu juga mengarah ke uji
kompetensi, apa aja, ya mulai masuk dari etika, terus undang-undang
penyiaran, harus paham terus ada pedoman perilaku penyiaran (P3SPS)
itu softskillnya nah terus apa hardskillnya ? ada pelatihan kamera,
standup, presenting, reporting,, jadi contohnya begini ada jurnalis televisi
yang baru bergabung setahun dua tahun bergabung, bolehga uji
kompetensi ? boleh, tapi nunggu dua tahun ya, karena kita minimal baru
2 tahun , baru boleh megikuti uji kompetensi , jadi jurnalis muda kita
mengistiahkannya. Jadi biar paham dulu, kasiankan jika masih belum
paham dan belum berkompeten, salah satu hardskill yang harus dimiliki
yaitu tadi standup, itu harus dimiliki oleh jurnalis muda, mereka harus
bida standup, kalo kameraman mereka harus paham mendirect orang,
menempatkan posisi mana yang sesuai dengan lokasi yang bagus untuk
wawancara, mana visual yang bagus untuk dijadikan bahan materi liputan
nah itu, hardskillnya juga ada.
P : menurut om kode jurnalistik itu seperti apa ya ?
I1 : kode etik merupakan sebuah pengingat kita agar kita tetap mengacu
pada sebuah peraturan mana yang tidak boleh dilanggar. kode etik tidak
sembarangan dibuat, karena kode etik berita mrupakan rancangan dari
sebuah profesi. Tidak semua profesi memiliki kode etik yang berlaku.
P : Bagaiamana peran pendidikan yang melekat pada seorang jurnalis
apakah berpengaruh terhadap kinerja seorang jurnalis ketika dilapangan
?
I1 : kita tidak ada masalah siapapun wartawan dengan latarbelakang
apapun tidak harus dari komunikasi, dari teknik pun ada, yang dari
kedokteran juga ada cuman sayang aja kedokteran jadi jurnalis hehe , tapi
itu adalah passion masu dia kuliahnya apa dari mana soalnya pasti larinya
ke jurnalis, IJTI tetap mengadakan pelatihan tadi yang aku bilang
workshop itu, workshopnya juga macem-macem tadi, dari mulai kode
etik, teknik reportase, editing dan itu dibentuk dari situ, tapi biasanya
masing-masing stasion atau perusahaan media punya pelatihan, nah kal
IJTI organisasi profesi kita punya pelatihan tapi biasanya untuk anggota
IJTI, kan macem-macem tuh latar belakangnya biar disama ratakan , biar
ikut pelatihan dikita, apakah boleh diluar keanggotaan ikut pelatihan?
boleh , waktu itu juga kita mengadakan workshop di NET, yang sama
sekali bukan anggota IJTI sebagian besarnya. Itu sama sekali mereka
belum mendaftarkan diri menjadi keanggotaan IJTI, kan kita ga
memaksakan orang, masa ikut keanggotaan suatu organisasi harus dalam
bentuk paksaan kan itu kesadaran pribadinya masing-masing aja, jadi bisa
kita memberikan pelatihan itu kemana aja, ga keharus anggota IJTI saj.
Jadi pendidikannya akan disama standartkan , ini loh cara membuat lead
berita, ini loh cara penulisan naskah berita, ini loh cara penggunaan
kalimat berita diTV yang tentunya berbeda dengan cara penulisan skripsi.
P : bagaimana dengan persepsi bahwa sertifikasi belum bisa
mensejahterakan profesi wartawan ?
I1 : ini yang didorang sama IJTI, jadi IJTI itu mendorong mereka yang
sudah tersertifikasi untuk disesuaikan, dalam artian entah itu golongan
grade ya, kan dalam sebuah perusahan ada golongan atau grade
istilahnya, yang itu berdampak pada kenaikan gaji, ada beberapa
paerusahaan media yang telah mengikuti sarannya IJTI, misalnya kita
menyarankan ke perusahaan media itu, tolong dong mereka yang sudah di
sertifikasi di perharikan atau tolong dong HRD perusahaan media
sertifikasi in penting lo, untuk kalian bisa menilai karyawan kalian seuai
kompetensinya, kalo memang dia harus kompetensi muda tarolah
ditempat muda, kalo ditempat madya tarolah di madya, biar kalian tidak
salah tempat karena ini berdampak pada pekerjaan yang otomatis yang
kaitannya dengan pendapatan dan penhasilan jadi kita mendorong untuk
perusahaan media mereka yang sudah tersertifikasi di perhatikan , di
MNC itu sudah mengikuti saran IJTI mereka yang sudah akan
dipromosikan mereka harus lolos sertifikasi dulu, jadi misalnya ada
reporternih mau dipromosikan menjadi produser mereka harus lolos
sertifikasi sebagai jenis muda, ketika dia sudah dinyatakan berkompeten
di jurnalis muda silakan digunakan utuk kalian mempromosikan dan itu
diterapkan diMNC dan Emtek.
Berbeda dengan Kontributor karena mereka tenaga lepas, ini
pendapat pribadi ya, kontri itu ibarat pedagang, dia menjual berita diakan
dibayar jika beritanya naik. Istilahnya pedangang akan dibeli barangnya
jika kualitas barangnya bagus, kalo misalnya ga bagus ya ga akan laku
kontri seperti itu. Apakah kontri boleh sertifikasi? Boleh, jadi kontributor
yang telah melakukan komptensi dan sertifikasi dan dinyatakan
kompeten mereka bisa menjual kompetensinya itu, maksunya dirinya itu
ya mereka bisa menjual dirinya keperusahaan media lain, “ eh gue sudah
sertifikasi nih, gue mau ngelmar disini, kira-kira gajih yang ditawarin lu
berapa nih 3 juta, wah gue gamau , gue maunya 4,5 juta “ nah itu menjadi
nilai tambah tawar dia jadi itu bisa dipakai.
P : apakah IJTI KORDA bisa melaksanakan kompetensi ?
I1 : ga bisa, jadi yang berhak dan bisa melaksanakn uji kompetensi itu
hanya lembaga uji kompetensi IJTI, bagaimana posisi lembaga uji
kompetensi IJTI di organisasi? Dia itu bagian dari IJTI lembaga uji ini,
ada kepala bidangnya, kepala bidang sertifikasi, kompetensi dan diklat
ijti, kalo kepala lembaga ujinya aku, sebagai kepala ujinya jadi aku
dibawah kepala bidang posisinya, cuman ada satu . KORDA di daerah
mengadakan uji kompetensi? Tidak bisa karena lembaga ujinya ini hanya
bisa disahkan dan dikeluarkan oleh dewan pers. Sedangkan korda belum
bisa kaena hanya IJTI pusat saja.
Jika anggota korda ingin melakukan uji komptensi tahanpannya
mendaftar dulu secara kolektif dikorda baru mengajukan kepusat. Dengan
melampirkan pernayaratan yag diberlkukan.
P : apakah jika melakukan sertifikasi dibiayai oleh IJTInya?
I1 : jika di korda kan banyak dari berbagai perusahaan media, nah dari
mana pembiayaain itu? Itu pembiayaan mandiri atas dasar kesadaran diri
sendiri mengajukan sertifikasi, dengan biaya 1,5 juta itu berlaku untuk
semua, apakah jika belum lulus atau dinyatakan belum kompeten boleh
melakukan ulang? Boleh itu dilakukan hingga lulus dan gratis . sekali
bayar hingga lulus.
Jadi kenapa harus bayar ini profesi mandiri ini melekat pribadi kalo lu
mau ningkatain kompetensi lu ya harus usaha, ya usaha seperti apa ya
usaha harus dengan biaya bila ingin kompeten. Kenapa sih harus bayar?
Memang IJTI tidak membiayai? IJTI hidup dari iuran anggota doang, tapi
program banyak ya hanya mengandalkan iuran saja dan sponsor, jadi ga
cuman mensertifikasi anggotanya saja tapi ada kegiatan lain yang harus
dibiayai, workshop dan pelatihan itupun belum cukup. IJTI anti tidak
menerima uang dari pemerintah. Ko IJTI bisa melaksanakan konferensi
internasional? Ya bisa soalnya kita dari sponsor. Gitu soang biayanya.
P : menurut om seperti apa peran jurnalis di masyarakat ?
I1 : peran jurnalis tidak akan lepas dari masyarakat karena jurnalis saling
berhubungan. Berhubungan disini berarti masyarakat perlu informasi
yang didapatkan oleh jurnalis. Begitupun jurnalis perlu msyarakat sebagai
penikmat berita yang di publikasi oleh jurnalis.
P: bagaiman cara kerja om ketika dulu pernah melakukan kegiatan
jurnalistik dilapangan ?
I1 : selalu detail dalam mengambil sebuah permasalahan berita yagn akan
diangkat. Serta peka dalam sebuah masalah yang sedang terjadi itu apaan.
P : menurut om apa saja yang dilakukan sebelum mendapatkan sebuah
berita ?
I1 : membuat sebuah rancangan, short list menentukan topic berita. Riset
terlebuh dahulu baru melakukan sebuah peliputan.
P : menurut om sebaiknya seperti apa berita yang seharusnya diberikan
kepada masyarakat ?
I1 : berita yang berlandaskan fakta dan berimbang. Walaupun kadang
persepsi penonton berbeda dalam sebuah media. Tapi kita tetap
melakukan sebuah pemberitaa yang berdasarkan fakta.
P : apa sih om professional itu ?
I1 : berkerja sesuai standar dan kode etik itu profesional, kita juga harus
menjaga etika, harus bisa menempatkan posisinya sesuai fungsinya,
fungsinya seorang jurnalis itu apa sih ya itu memberitakan sesuai
kebenaran untuk masyarakat.
P : bagaimana menjadi seorang jurnalis yang profesional menurut om ?
I1 : jurnalis yang professional dapat melakukan tupoksi kerjanya seusai
kemampuan dalam bidangnya .
P : seperti apa sih om proses menjadi seorang yang professional hingga
mencapai julukan jurnalisTV yang tersertifikasi ?
I1 : menereapkan kode etik yang berlaku dalam sebuah pemberitaan, dan
berimbang . karena jurnalis yang telah tersertifikasi merupakan jurnalis
yang telah diuji serta sudah mendapatka sebuah lisensi bahwa ia
merupakan jurnals yang layak dan dapat dipertimbangkan dari jurnalis
lainnya.
P : apa saja yang dilakukan ketika wartawan sebelum melakukan uji
kompetensi wartawan ?
I1 : latihan dengan membaca kembali dari apa yang telah kita pelajari
dan mengevaluasli kembali kerja kami
P : bagaimana om menerapkan profesionalisme dalam profesi sebagai
jurnalis ?
I1 : tetap berpegang teguh pada hati nurani dan tidak menitik beratkan
pada sebuah kepentingan, tetap berimbang dalam memberitakan suatu
informasi
P : seperti apa peran IJTI selama ini untuk para anggotanya ?
I1 : peran IJTI menaungi dan mengkoordinir dari setiap wilayah, serta
menjadi wadah yang berlandaskan lembaga sah dari dewan pers. Dalam
hal ini IJTI menaugi jurnalis televisi untuk melakukan segala sesuatu
pekerjaan dengan kode etik yang berlaku. Serta IJTI disini sebagai poros
dan juga lembaga sertifikasi jurnalis televisi dalam profesionalisme
jurnalis televisi.
Transkrip Wawancara
Transkrip Wawancara Informan
Nama Informan : AIMAR ( Ketua IJTI Korda
Banten/Kontributir
MNCNEWS )
Hari/tanggal : Kamis, 08 Desember 2016
Waktu : 18.07 WIB
Lokasi : Jl. Yusuf Martadilaga Gg. Kejaksaan 2 No.24
Keterangan
P : Peneliti
I2: Informan 2
P : apakah semua keanggoataan di IJTI Korda Banten merupakan
Kontributor?
I2 : IJTI local atau Korda Banten ini yang mendominasi adalah TVlokal
yang ada di Banten, seperti CTV (Carlita TV), BarayaTV, dan
kontributor televisi yang ada di daerah Banten ini, IJTI banten memiliki
setiap Korlap di setiap kabupaten dan kota seperti pandeglang,
tanggerang, rangkas, cilegon dan lainnya, Akan tetapi dalam keanggotaan
organisasi ini tidak memaksa dan dipaksakan unruk menjadi anggota,
meskipun berbasis jurnalis televisi, secara tidak langsung diberi
kebabasan lah yah , karena organisasi profesi yang diakui oleh dewan
pers yaitu PWI,AJI dan IJTI ini, tapi resikonya adalah kalo ada anak TV
yang lari ke PWI atau AJI ya putus garis profesi keorganisasiannya.
P : menurut om apakah sertifikasi perlu dan akan berdampak ?
I2 : sertifikasi tidak akan berdampak pada apapun bagi sebuah kontributor
, dan tidak akan mempengaruhi keejahteraan kita .
Transkrip Wawancara
Transkrip Wawancara Informan
Nama Informan : BOWO ( Anggota IJTI Korda
Banten/Kontributir
MetroTV)
Hari/tanggal : Kamis, 08 Desember 2016
Waktu : 18.07 WIB
Lokasi : Jl. Yusuf Martadilaga Gg. Kejaksaan 2 No.24
Keterangan
P : Peneliti
I2: Informan 2
I2 : Jika kita berbcara tentang jurnalis dulu pada saat forum acara terkait
dengan sertifikasi dari PWI, AJI dan IJTI dari pihak AJI menolak
sedangkan IJTI abu abu, terus juga sertifikasi kan bayar juga berapa itu
3,5 juta yah. Dan juga waktu itu di Banten belum ada satupun yang
tersertifikasi dan melakukan uji kompeensi dari keanggotaannya IJTI,
kita juga jika melakukan uji kompetensi kan harus menghafal uu
pernyiaran dan apa itu namanya yang satu lagi pedoman pengaduan,
(p3sps ) itu ya sehingga kompetensi ini semakin berat untuk kita terus
juga belum biaya dibayar sendiri dan pegangannya 2 kan kalo kita beda
dengan media cetak. Gua ajah udah 12 tahun yang lalu sampai sekarang
gue berifikir uga buat pa adanya sertifikasi wartawan juga. Toh ga
bakalan sama kaab merubah jabatan gue menjadi seorang kontributor
yang akan merubah sebua jabatan gue di daerah ini
Transkrip Wawancara
Transkrip Wawancara Informan
Nama Informan : Putri
Hari/tanggal : Rabu, 29 Maret 2017 – 22 May 2017
Waktu : 10.04 WIB
Lokasi : ANTV
P: Peneliti ,
I3 : Informan
P : bagaimana kaka memaknai sertifikasi wartawan ?
I3 : menurut saya semua profesi memang ada sertifikasinya begitu juga
wartawan dan juga jurnalis .
P : kenapa jurnalis harus memiliki sertifikasi ka ?
I3 : semua yang sudah tersertifikasi otomatis sudah berkompeten menjadi
jurnalis setidaknya dia tau apa tugas sebagai jurnalis dan memahami kode
etik jurnalistik serta P3SPS
P : kode etik dan P3SPS itu apa menurut kaka ?
I3 : kode etik iru menurut saya pedoman tentang apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan, sedangkan P3SPS menurut saya itu apa yang dan tidak
boleh tayang di tv atau yang tidak boleh di radio. Secara harfiah itu
merupakan sebuah acuan dan juga regulasi untuk siar televisi pedoman .
serta jurnalis itu netral dan mementingkan kepentingan publik.
P : bagai mana seseorang bisa dikategorikan sebagai juralis ?
I3 : seseorang yang dapat dikategorikan sebagai jurnalis merupakan
seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik, sepertihalnya sebuah
peliputan untuk menadapatkan sebuah berita kemudian di siarkan kepada
masyarakat.
P : seperti apa person jurnalis di masyarakat ka ?
I3 : jurnalis sangat berperan bagi masyarakat untuk mengambil sebuah
keputusan maka daru itu jurnalis tidak boleh menggiring opini publik .
missal dari media dia tau harga cabai naik atau harga sembako naik dia
harus ambil keputusan bagaimana cara meghadapi masalah itu.
P : menurut kaka professional itu apa ?
I3 : professional itu tdak berat sebelah, missal lebih mementingkan
urusan kelompok disbanding kepentingan publik, misalnya atasan kita
adalah pendiri salah satu parpol atau ketum parpol, ya kita harus
professional dalam menyajikan berita, ketika kita harus memberitakan
sesuai dengan data dan fakta yang ada dilapangan.
P : bagaimana kaka menerapkan profesinal dalam sebuah profesi jurnalis
?
I3 : bekerja professional itu mencari data dan fakta serta megolah menjadi
sebuah berita sesuai degan kondisi yang ada dilapangan sesuai yang ita
temui dilapangan, mencari seorang narasumber dari kedua belah pihak
yang sedang kontroversi tidak boleh berat sebalah atau kita kelihatan
memihak satu sama lain, serta jangan menggirig opini publik dengan
menggunakan salah satu kelompok atau narasumber. Agar masyarakat
tidak salah persepsi daan tidak salah mencerna berita. Intinya jurnalis itu
harus berpihak kepada masyarakat .
P : bagaimana kakamembentuk identitas sebagai jurnalis yang
professional ?
I3 : lewat sebuah pemberitaan , membentuk jurnalis yang profesinal ya
lewat liputan harus ada dua unsur yang pro dan kontra. Tapi jurnalis
mendukung kepentingan publik.
P : apakah ada perbedaan ketika kaka sudah tersertfikasi dan belum ?
I 3 : sejauh ini belum ada perubahan yang signifikan .
LAMPIRAN 2
Figure 1 Aktifitas kegiatan jurnalistik menguji kompetensi jurnalis.
Figure 2Aktifitas kegiatan jurnalistik menguji kompetensi jurnalis.
Figure 3Aktifitas kegiatan jurnalistik menguji kompetensi jurn
Figure 4Aktifitas kegiatan jurnalistik menguji kompetensi jurnalis.
alis.
Figure 5Aktifitas kegiatan jurnalistik menguji kompetensi ju
Figure 6 foto bersama UKJTV
Figure 7 verifikasi ber
Figure 8 previrew hasil berita
ita
Figure 9 wawancara hasil liputan
top related