pembatalan perkawinan karena penipuan oleh pihak …
Post on 16-Oct-2021
30 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PENIPUAN OLEH PIHAK
WANITA (ANALISIS PUTUSAN NO.0012/PDT.G/2016/PA.SKY)
JURNAL
Disusun dan
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
PARANGE MELIANA SITORUS
NIM : 150200077
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUMFAK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
CURRICULUM VITAE
DATA PRIBADI
Nama : Parange Meliana Sitorus
Tempat, Tgl Lahir : Amborgang, 12 Desember 1996
NIK : 1212075212960001
Alamat : Jl. Berdikari No.7, Pasar 1. Padang Bulan, Medan.
No.HP : 081329470210
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Belum Menikah
Email : parangemeliana@gmail.com
PENDIDIKAN FORMAL
Tahun 2003– Tahun 2009 :SDN NO. 176367 Soposurung Balige
Tahun 2009 – Tahun 2012 : SMP NEGERI 2 BALIGE
Tahun 2012 – Tahun 2015 : SMA NEGERI 2 BALIGE
Tahun 2015 - Tahun 2019 : Universitas Sumatera Utara (USU), S1 Ilmu Hukum
PENDIDIKAN NON FORMAL
2016 : Mengikuti Seminar Hukum Mahkamah Konstitusi di Peradilan Semu Fakultas Hukum
PENGALAMAN ORGANISASI
2015 : Anggota seksi Publikasi di Panitia Natal, Persekutuan Pemuda Pemudi Solagratia
2016 : Koordinator seksi acara Panitia Natal, Persekutuan Pemuda Pemudi Solagratia
2017 : Koordinator Komisi Persekutuan di Persekutuan Pemuda Pemudi Kristen Solagratia
2018 : Koordinator seksi doa Panitia Natal Fakultas Hukum USU
KERJA
2018 : Magang di Pengadilan Negeri Kabanjahe
Fresh Graduate
KEMAMPUAN DAN KEAHLIAN
Bisa menggunakan MS. Office (seperti Word, Power Point)
Mengerti Internet
Bahasa Inggris Pasif
Demikan daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Hormat Saya,
Parange Meliana Sitorus
ABSTRAK
Parange Meliana Sitorus*
Rosnidar Sembiring**
Syaiful Azam***
Melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat maupun rukun dalam
perkawinan. Syarat dan rukun dalam perkawinan sering sekali diabaikan,
sehingga tidak menutup kemungkinan perkawinan yang telah dilangsungkan dapat
dibatalkan. Permasalahan dalam skripsi berjudul Pembatalan Perkawinan Karena
Penipuan Oleh Pihak Wanita (Analisis Putusan No.0012/Pdt.G/2016/PA.Sky)
adalah bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap alasan pemohon
untuk membatalkan perkawinan dalam putusan ini dan apakah akibat hukum yang
timbul dari putusan pembatalan perkawinan karena adanya penipuan.
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dan metode pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang
menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan
permasalahan yang dikemukakan. Data yang digunakan adalah data sekunder dan
metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian
Kepustakaan (Library Research). Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan dalam
perkawinan disebabkan oleh adanya salah sangka terhadap diri suami atau isteri.
Sebelum melangsungkan pernikahan, Termohon mengaku kepada Pemohon
bahwa dirinya masih perawan. Namun kenyataannya Termohon sudah berulang
kali melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain sebelum melangsungkan
perkawinan dengan Pemohon. Menurut bukti-bukti ditemukan fakta bahwa ketika
perkawinan mereka dilangsungkan ternyata Termohon sudah dalam keadaan
hamil 1 bulan, sedangkan Termohon baru mengakuinya atau memberitahu kepada
Pemohon 8 bulan kemudian setelah bayi yang ada dalam kandungannya telah
dilahirkan, sehingga Pemohon merasa ditipu, dengan demikian pembatalan
perkawinan tersebut sudah sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan sesuai juga dengan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam. Dapat disimpulkan bahwa putusan ini mengabulkan permohonan
pembatalan perkawinan yang dilakukan suami, dengan adanya pembatalan
perkawinan tersebut maka perkawinan tersebut tidak pernah ada. Akibat hukum
pembatalan perkawinan mempunyai dampak hukum terhadap suami isteri yaitu
keduanya dianggap tidak pernah terjadi perkawinan, serta dampak hukum bagi
anak yaitu Pemohon tidak memiliki hubungan apapun terhadap si anak.
Kata Kunci : Perkawinan,Pembatalan Perkawinan, Penipuan
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
ParangeMelianaSitorus *
RosnidarSembiring **
SyaifulAzam ***
Having a marriage must meet the requirements and get along well in
marriage. Terms and harmony in a marriage are often ignored, so that it is not
possible to cancel the marriage that has been held. The problem in the thesis
entitled Cancellation of Marriage Because of Fraud By Women (Analysis of
Decision No.0012 / Pdt.G / 2016 / PA.Sky) is how the judicial legal
considerations of the reason for the applicant to cancel the marriage in this
decision and whether the legal consequences arise from the decision cancellation
of marriage due to fraud.
The type of research used is descriptive and the approach method used is a
normative juridical approach, namely an approach that uses legislation as a basis
for solving the problems raised. The data used are secondary data and data
collection methods used in this study areLibrary Research. Analysis of the data
used is qualitative.
One of the factors that caused the cancellation in marriage was caused by
the misunderstanding of the husband or wife. Before the marriage took place, the
Respondent admitted to the Petitioner that he was still a virgin. But in reality the
Respondent had intercourse with other men repeatedly before the marriage took
place with the Petitioner. According to the evidence found the fact that when their
marriage was held it turned out that the Respondent had been pregnant for 1
month, while the Respondent had just admitted it or told the Applicant 8 months
later after the baby in her womb had been born, so the Petitioner felt cheated, thus
canceling the marriage has been in line with Article 27 paragraph (2) of Law
Number 1 Year 1974 and is also in accordance with Article 72 paragraph (2)
Compilation of Islamic Law. It can be concluded that this ruling granted the
request for the cancellation of the marriage by the husband, with the cancellation
of the marriage the marriage never existed. The legal consequences of marital
cancellation have a legal impact on the husband and wife, both of which are
considered never to have happened to marriage, as well as the legal impact on the
child, namely the Applicant does not have any relationship to the child.
Keywords: Marriage, Cancellation of Marriage, Deception
* Law Faculty students at the University of North Sumatra
** First Lecturer, Faculty of Law, University of North Sumatra
*** Supervisor II Faculty of Law, University of North Sumatra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat.
Bahkan hidup bersama ini yang kemudian melahirkan anak keturunan yang
merupakan sendi yang utama bagi pembentukan bangsa dan negara.
Kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama ini menetukan kesejahteraan dan
kebahagiaan bangsa dan negara juga, sebaliknya rusak dan kacaunya hidup
bersama yang dinamakan keluarga ini akan menimbulkan rusak dan kacaunya
bangunan masyarakat.1
Perkawinan yang ditandai dengan akad maka telah dihalalkanlah bagi
mereka keduanya antara suami dengan istri yang semula masih haram setelah
akad maka dihalalkan mengadakan hubungan kelamin (arti yang hakiki) baginya
baik secara umum agama maupun Undang-undang dan peraturan yang berlaku di
suatu Negara yang berdaulat. 2
Aturan tata tertib perkawinan sudahada sejak masyarakat sederhana yang
dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka agama. Aturan-
aturan itu terus berkembang maju dalam masyarakat yang memiliki aturan dan
hukum. Dalam perkawinan adat terdapat asas-asas, yaitu:3
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
1Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika). hlm 3.
2H. M. Ridwan Piliang, Perilaku Perkawinan Dalam Membangun Rumah Tangga
Bahagia, (Medan: Perdana Publishing, cet.1, 2012) hlm. 5. 3Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Rineka Cipta, 2005), hlm. 37.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau
kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan anggota
kerabat.Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak
diakui masyarakat adat.
4. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan beberapa wanita,
sebagai istri kedudukannya masing masing ditentukan menurut hukum adat
setempat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau
masih anak anak, walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan
ijin orang tua/ keluarga dan kerabat.
6. Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh. Perceraian
antara suami istri dapat berakibat pecahnya kekerabatan antara kedua belah
pihak.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum
adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah tangga dan
ada istri yang bukan ibu rumah tangga.
Perkawinan bagi orang Islam di Indonesia diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
“(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ayat (2) disebutkan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan yang dimaksud
dalam ayat (2) tersebut merupakan upaya baru yang dilakukan pemerintah
untuk menertibkan perkawinan, selain juga untuk melindungi hak-hak
suami isteri jika terjadi persengketaan. Perkembangan antara tuntutan
idealitas dan realitas selalu tidak beriringan. Masih banyak perkawinan
yang tidak dicatatkan, yang dalam istilahnya disebut dengan nikah
dibawah tangan. Perkawinan bawah tangan oleh Undang-Undang
dianggap melanggar tertib administrasi dan hukum perkawinan di
Indonesia. Perkawinan bawah tangan dapat diitsbatkan ke Pengadilan
Agama, yaitu penetapan sah secara hukummelalui putusan. Keabsahan
suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, karena
berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut
dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta.4
Transaksi atau akad akan mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum
yang pasti, sehingga masing-masing tidak boleh mundur dari transaksi
atau akad tersebut kecuali oleh hal-hal yang secara hukum dapat
dibenarkan. Suatu transaksi atau akad yang tidak memenuhi syarat
rukunnya, hanya nampak di permukaan, tetapi dalam pandangan hukum
belum dianggap ada/terlaksana.5
Akad nikah, ia dikatakan sah bilamana dilaksanakan dengan melengkapi
syarat rukun nikah. Akad nikah yang sah, mempunyai kekuatan hukum di
4H. M. Anshary MK,Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.
1, 2010) hlm. 12. 5Satria Effendi M. Zein, Analisis Fiqh, dalam Mimbar Hukum (Jakarta : Al-Hikmah &
Ditbinbapera Islam, No. 31 Tahun VIII, Maret-April 1997), hal. 121.
samping beberapa akibat hukum sebagai konsekuensi dari keabsahannya
tersebut, antara lain halalnya bergaul sebagai suami isteri, suami wajib
memberi nafkah kepada isteri, saling mewarisi, dan jika punya keturunan
maka keturunan tersebut berhak atas segala sesuatu sebagai layaknya
keturunan/ anak yang sah.6
Jika seseorang mengetahui adanya cacat –baik formil maupun materiil
yang bisa membatalkan perkawinan seseorang, apalagi hal-hal yang menurut
hukum agama tidak boleh terjadi dalam suatu perkawinan, maka orang tersebut
harus segera mengambil tindakan agar perkawinan tersebut segera dapat
dibatalkan, sehingga kesalahan tidak berlarut-larut. Dalam hal ini, hukum
memberi jalan keluar yang tidak terlalu sulit ditempuh.
Telah jelas bahwa pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh para pihak
dapat terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam perkawinan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap alasan pemohon
untuk membatalkan perkawinan dalam Putusan
No.0012/Pdt.G/2016/PA.Sky?
2. Apakah akibat hukum dari putusan pembatalan perkawinan karena
adanya penipuan oleh pihak wanita?
6Ibid.
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim mengenai alasan
pembatalan perkawinan oleh pemohon dalam Putusan
No.0012/Pdt.G/2016/Pa.Sky.
2. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari pembatalan
perkawinan karena penipuan.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat secara teoritis
Secara akademik penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
perkembangan ilmu pendidikan di bidang ilmu hukum khususnya
hukum perdata yang berkaitan dengan masalah pembatalan
perkawinan.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menambah referensi dan
memberikan sumbangan pemikiran tentang pembatalan perkawinan
dalam hukum perdata yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian
ini adalah melalui studi kepustakaan (Library Research) dilakukan
dengan menelaah berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini yaitu
diperoleh melalui bahan kepustakaan yang disebut dengan data
sekunder. . Data sekunder dapat dibedakan menjadi :
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif atau artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim, meliputi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), dan Putusan
No.0012/Pdt.G/2016/Pa.Sky.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer, yaitu buku-buku, artikel, jurnal
hukum, rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah
para sarjana, hasil-hasil penelitian, yang tentunya mempunyai
relevansi dengan apa yang hendak diteliti.
3. TeknikPengumpulan Data
Dalam hal pengumpulan bahan hukum, baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik
permasalahan dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu peneliti
mengumpulkan bahan-bahan hukum dari berbagai peraturan
perundang-undangan, buku-buku, artikel, jurnal ilmiah, makalah, hasil
penelitian pakar hukum dan kliping koran serta melakukan browsing
internet mengenai segala hal yang terkait dengan permasalahan di atas.
4. Metode Analisis
Adapun metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriftif
kualitatif yaitu menyajikan kajian pada data-data yang diperoleh.
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian diuraikan dan
dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan
yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan.
BAB II
ISI
A. Perkawinan
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual, tetapi menurut
arti majazi (methaporik) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan
halal hubungan seksual sebagai suami isteri antara seorang pria dengan seorang
wanita.7 Istilah yang digunakan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu
perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.8
Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan
antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan
suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua
keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala
urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan
7Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1999) hlm 1.
8Ibid, hlm 8.
mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan
terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.9
2. Asas-asas Perkawinan
Suatu perkawinan memerlukan adanya ketentuan-ketentuan yang menjadi
dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan. Untuk mencapai tujuan
perkawinan, maka diterapkan prinsip atau asas perkawinan. Dalam ajaran Islam
ada beberapa asas dalam perkawinan yaitu:10
a. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang
mengadakan perkawinan.
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada
ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dasn wanita yang
harus diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak
maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah membentuk suatu keluarga atau
rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga,
dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
3. Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat untuk sahnya perkawinan diatur dalam Bab II dari pasal 6
sampai pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat berarti memenuhi
9Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) hlm 374.
10Santoso, Op.Cit. hlm 419.
ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan, sah berarti menurut hukum yang
berlaku. Perkawinan dikatakan sah apabila memenuhi syarat dan hukum yang
telah ditentukan. Apabila perkawinan dilaksanakan tidak sesuai tata tertib hukum
yang ditentukan, maka perkawinan itu menjadi tidak sah. Jadi yang dimaksud
dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan,
apabila salah satu dari syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi maka
perkawinan itu menjadi tidak sah.
4. Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal
38sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14
sampai dengan Pasal 36. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan
perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian
2. Perceraian, dan
3. Atas Keputusan Pengadilan
B. Pembatalan Perkawinan
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena
terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti
nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai), nietig
verklaard (dapat dibatalkan), sedangkanabsolut nietig adalah kebatalan mutlak,
berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan.11
Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini, berarti dapat difasidkan,
jadi relatif nietig. Jadi perkawinan dapat dibatalkan berarti suatu perkawinan
sudah terjadi dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.12
Pembatalan perkawinan diatur dalam Undang-undang Perkawinan yaitu
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 termuat dalam Bab IV pada Pasal 22
sampai dengan pasal 28, diatur lebih lanjut dalam peraturan Pelaksanaanya (PP
No. 9 Tahun 1975) dalam Bab VI Pasal 37 dan 38, serta diatur pula dalam
Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)) Bab XI Pasal 70
sampai Pasal 76. Pasal 22 Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan
itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud, namun jika
perkawinan itu terlanjur terlaksana maka perkawinan itu dapat dibatalkan.
2. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan
Pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan diatur
dalam pasal 23 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Para keluarga dalam keturunan garis lurus keatas dari suami atau isteri
b. Suami atau isteri
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
11
Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit. hlm 25. 12
Ibid.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
Yahya harahap berpendapat mengenai pejabat yang berwenang untuk
mengajukan pembatalan selama perkawinan belum diputuskan, diartikan bahwa
jika telah ada putusan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang
disebut yakni para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami atau isteri dan
dari suami atau isteri dalam pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka
pejabat yang berwenang tersebut tidak boleh mengajukan pembatalan perkawinan.
Pembatalan juga dapat dimintakan oleh Jaksa sesuai pasal 26 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal perkawinan dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali tidak sah atau tidak dihadiri oleh dua
orang saksi.13
Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut
Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari
suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-Undang;
13
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Indonesia,(Medan: CV. Zahir Tranding 1978), hlm
73.
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undnagan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.
3. Alasan-alasan batalnya perkawinan
Dalam BW ditentukan syarat-syarat baik syarat materiil maupun syarat
formil.14
Syarat materiil diperinci menjadi syarat materiil absolut (syarat inti
mutlak), dan syarat materiil relatif (syarat inti nisbi). Tidak dipenuhinya syarat-
syarat ini dalam perkawinan, maka perkawinan dapat dimintakan pembatalan.
Dengan kata lain, perkawinan tersebut tetap dianggap sah sampai dinyatakan
batal.15
Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang
harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya. Syarat-syarat ini adalah:
1) Monogami.
Yakni bahwa seorang laki-laki hanya dapat kawin dengan seorang
perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-
laki (Pasal 27 KUH Perdata/BW). Prinsip ini merupakan pengaruh dari ajaran
agama Kristen yang merupakan back-ground dari BW. Demikian pentingnya
prinsip ini, hingga menjadi salah satu asas perkawinan.
2) Persetujuan dari calon suami dan calon isteri.
Hal ini merupakan dasar dari kehendak bebas sebagaimana dituntut oleh
setiap perjanjian (Pasal 28). Prinsip ini juga menjadi salah satu asas perkawinan
sekaligus menegaskan bahwa perkawinan adalah suatu persetujuan.
14
Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut BW, (Yogyakarta : Yayasan Badan Penerbit
Gajah Mada, 1964), hal. 12. 15
Ibid, hlm 27.
3) Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal.
Bagi laki-laki harus telah berumur 18 tahun, dan bagi wanita harus telah
berumur 15 tahun (Pasal 29). Namun demikian, dimungkinkan terjadinya
pelanggaran terhadap ketentuan ini sepanjang calon pengantin tersebut
mendapatkan dispensasi dari Presiden/pemerintah melalui pejabat yang ditunjuk.
4) Masa tunggu 300 hari bagi janda yang hendak melangsungkan
perkawinan. Tenggang waktu ini berkaitan dengan usia terlama kehamilan
seorang perempuan begitu perkawinannya bubar/dibubarkan (Pasal 34).
Ketentuan ini hanya berlaku bagi perempuan dan tidak bagi laki-laki.
5) Izin dari orang tua (ayah/ibu) atau wali (bagi yang berada di bawah
perwalian) bagi anak sah yang belum berumur 21 tahun (Pasal 35). Bagi anak
yang lahir di luar kawin yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari
ayah dan/ ibu yang mengakuinya (Pasal 39). Ijin dari orang tua atau wali ini tidak
dapat digantikan oleh ijin dari Pengadilan. Bagi orang yang telah dewasa tetapi
belum mencapai umur 30 tahun masih juga diperlukan ijin dari ayah ibunya.
Tetapi jika ijin tersebut tidak diberikan, orang tersebut dapat mengajukan
permohonan ijin ke Pengadilan.
4. Prosedur Pengajuan Pembatalan Perkawinan
Batalnya perkawinan tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Maksudnya
apabila melangsungkan perkawinan diketahui suatu pelanggaran, maka dengan
sendirinya perkawinannya batal, tidak demikian, akan tetapi harus melalui
pengaduan ke Pengadilan Agama seperti pada saat melangsungkan perkawinan.
Pengadilan Agama yang berhak menerima perkara pembatalan perkawinan
adalah pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau
di tempat tinggal suami atau isteri. Pembatalan dapat dilakukan oleh pengadilan
agama, atau permohonan dari pihak-pihak yang berhak melakukan pembatalan
perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 26 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, yaitu pihak suami atau isteri, keluarga suami atau isteri
dalam keturunan lurus ke atas, pejabat yang berwenang serta jaksa.
Tentang tata cara atau prosedur pengajuan pembatalan perkawinan, diatur
dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan
sebagai berikut:
1. Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan
sesuai dengan tatacara pengajuan perceraian (ayat 2).
2. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan
pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan dilakukan sesuai
dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36
Peraturan Pemerintah ini (ayat 3).
5. Akibat Pembatalan Perkawinan
Pasal 28 ayat (1) Undnag-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
batalnya suatu perkawinan dimulai setelah Putusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
Adanya keputusan pengadilan tersebut berarti perkawinan dianggap tidak sah dan
dengan sendirinya dianggap tidak pernah kawin. Namun dalam pasal 28 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku
surut terhadap:
a. Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini dimaksudkan
untuk melindungi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
agar mempunyai status hukum yang jelas dan resmi sebagai anak dari
orang tua mereka.
b. Suami atau isteri yang beritikad baik kecuali terhadap harta bersama,
apabila pembatalan perkawinan berdasarkan adanya perkawinan lain
yang lebih dulu.
c. Pihak ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan
itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Segala perikatan hukum di bidang
keperdataan yang dibuat oleh suami isteri sebelum pembatalan
perkawinan adalah perikatan yang sah dan dapat dilaksanakan kepada
harta perkawinan atau dipikul bersama oleh suami isteri yang telah
dibatalkan perkawinanya secara tanggung menanggung, baik terhadap
harta bersama maupun terhadap harta kekayaan masing-masing.
C. Analisis Hukum Terhadap Putusan No.0012/Pdt.G/2016/PA.Sky
1. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Putusan No.
0012/Pdt.G/2016/PA.Sky
Pemohon yang mengajukan perkara ini mengaku sedang terikat dalam
sebuah perkawinan dengan Termohon, kemudian mengajukan permohonan agar
perkawinanya itu dibatalkan dengan alasan adanya keadaan salah sangka terhadap
diri Termohon, maka berdasarkan Pasal 23 huruf b dan Pasal 27 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pemohon merupakan pihak
yang berkepentingan langsung dengan perkara ini (persona standi in judicio),
sehingga memiliki legal standing untuk mengajukan perkara ini;
Berdasarkan surat permohonannya tanggal 22 Desember 2015 yang telah
didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sekayu, dengan Nomor
0012/Pdt.G/2016/PA.Sky, tanggal 04 Januari 2016, yang kemudian telah
dilakukan perubahan olehnya tertanggal 22 Januari 2016. Pemohon
mengemukakan dalil-dalil dan/alasan-alasan sebagaimana yang telah diuraikan
dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya Pemohon memohon agar hubungan
perkawinannya dengan Termohon dibatalkan oleh Pengadilan Agama Sekayu,
dengan alasan adanya keadaan salah sangka atas diri Termohon, dimana Pemohon
merasa ditipu oleh Termohon tentang keadaan Termohon yang sesungguhnya,
karena Termohon tidak hadir, maka segala dalil dan/atau alasan Permohonan
Pemohon harus dianggap benar dan Pemohon tidak lagi perlu membuktikan lebih
lanjut, dan Permohonan Pemohon dapat dikabulkan sebagaimana jiwa dari
ketentuan Pasal 149 ayat (1) R.Bg, sepanjang jelas menurut Pengadilan bahwa
Permohonan Pembatalan Perkawinan yang diajukan Pemohon memiliki dasar
hukum untuk diadili dan memiliki alasan hukum yang cukup, maka atas Pemohon
masih dibebankan pembuktian tentang dasar hukum dan alasan hukum
Permohonan Pemohon;
Majelis Hakim berpendapat bahwa telah ada dasar hukum dan alasan
hukum yang cukup untuk mengabulkan permohonan Pemohon agar
perkawinannya dengan Termohon dibatalkan tanpa hadirnya Termohon (verstek)
sesuai ketentuan pasal 149 ayat (1) R.Bg. Adapun terhadap adanya posita angka
11 Permohonan Pemohon yang salah satu maksudnya adalah bahwa pengajuan
permohonan pembatalan nikah ini dilakukan Pemohon agar antara dirinya dan
anak yang lahir dalam perkawinannya dengan Termohon tidak ada ikatan, dengan
kata lain Pemohon menghendaki agar anak itu tidak dinisbatkan kepadanya, maka
terhadap hal ini Majelis Hakim memberikan pertimbangan bahwa putusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut salah satunya terhadap anak yang lahir
dalam perkawinan tersebut sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 75 dan Pasal 76 huruf
a Kompilasi Hukum Islam.
Jika Pemohon merasa keberatan atas ketentuan itu atau Pemohon
keberatan atas adanya hubungan hukum antara dirinya dan anak yang lahir dalam
perkawinan yang telah dibatalkan itu, atau jika Pemohon merasa tidak memiliki
hubungan biologis dengan anak yang lahir dalam perkawinannya tersebut, maka
Pemohon dapat melakukan upaya hukum tersendiri diluar perkara ini;
2. Alasan Pemohon Untuk Membatalkan Perkawinan dalam
Putusan No. 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky
Perkawinan dapat dibatalkan apabila dalam pelaksanaanya terdapat unsur
penipuan atau salah sangka mengenai identitas, keadaan diri, atau status
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUP dan Pasal 72 ayat (2) KHI.
Dalam perkara ini Nomor 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky yang menjadi sorotan dalam
pembatalan adalah Pemohon merasa tertipu oleh Termohon. Penipuan dengan
kata dasar tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohonh, palsu,
dan sebagainya), dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari
untung. Sedangkan penipuan adalah proses, perbuatan, cara menipu.16
Di
kalangan mayarakat pengertian penipuan adlah suatu tindakan kebohongan baik
berupa perbuatan dan/atau perkataan yang dibuat demi mendapatkan keuntungan
pribada tetapi merugikan orang lain. Penipuan dapat diartikan juga sebagai suatu
tindakan memberikan keterangan tidak sesuai dengan keadaan asli (kenyataan)
atau faktanya. Penipubhnhjnan yang dimaksud dalam perkawinan adalah salah
sangka terhadap keadaan asli pasangannya.
Perkawinan dengan penipuan atau salah sangka terhadap identitas,
keadaan diri atau status akan menimbulkan perasaan bahwa dirinya telah tertipu
atau ditipu, ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan, pertengkaran, dan
perpecahan dalam rumah tangga yang menimbulkan hubungan suami isteri
menjadi tidak harmonis. Perkawinan dengan penipuan atau slah sangka terhadap
identitas, keadaan diri, atau status jelas akan membawa kemudharatan dan
merugikan para pihak yang terkait.
3. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Alasan Pemohon dalam
Putusan No. 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kasus Putusan Pengadilan Agama
Sekayu sebagaimana yang telah diuraikan di atas, berikut disajikan dasar
pertimbangan hakim dalam menerima dan memutus perkara pembatalan
perkawinan sebagai berikut:
Pembatalan perkawinan menurut hukum Islam disebut juga dengan istilah
Fasakh yang artinya merusak atau membatalkan, ini berarti bahwa perkawinan itu
16
Tim Penyusun Kamus Pusat dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) hlm 952.
diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh Pengadilan
Agama. Fasakh disebabkan karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain
atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya
perkawinan.17
Fasakh atau pembatalan perkawinan dapat diminta oleh pihak suami
kepada pengadilan dengan alasan:
a. Suami merasa tertipu bahwa isterinya yang pernah mengatakan masih
gadis ternyata sudah bukan gadis lagi.
b. Istrinya yang dulu nampak berambut indah ternyata setelah kawin
diketahui bahwa rambutnya adalah palsu atau ia tidak berambut sama
sekali.
c. Istrinya yang mengaku anak kandung orang yang mengasuhnya
ternyata setelah kawin diketahui hanya anak pungut atau anak angkat.
d. Secara garis besar, suami kemudian menjumpai bahwa pada isterinya
terdapat hal-hal yang tidak mungkin mendatangkan ketentraman dan
pergaulan yang baik dalam hidup perkawinan yang semula tidak
diketahuinya dapat mengajukan kepada pengadilan untuk minta fasakh
perkawinanya atau dibatalkan perkawinannya.18
Berdasarkan uraian diatas, maka apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi penipuan maka seorang suami atau isteri dapat mengajukan
pembatalan perkawinan. Seperti yang terjadi pada putusan Pengadilan Agama
Sekayu Nomor 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky. berdasarkan data penelitian pemohon
17
Soemiyati, Op.Cit hlm 113. 18
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,( Yogyakarta: UII Press, 1990)hlm 78.
mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan merasa tertipu, berdasarkan
gugatan pemohon yang dikuatkan dengan bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi
maka dapat ditemukan fakta bahwa ketika perkawinan mereka dilangsungkan
ternyata Termohon sudah dalam keadaan hamil 1 bulan dengan orang lain,
sedangkan Termohon baru mengakuinya atau memberitahu kepada Pemohon 8
bulan kemudian setelah bayi yang ada dalam kandungannya telah dilahirkan,
sehingga Pemohon merasa ditipu, dengan demikian pembatalan perkawinan
tersebut sudah sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan sesuai juga dengan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Pembatalan perkawinan dengan alasan merasa ditipu ini juga sudah sesuai dengan
beberapa doktrin yang menyebutkan bahwa pembatalan perkawinan dapat
dilakukan jika suami atau istri merasa tertipu.
Setelah perkara pembatalan perkawinan memperoleh putusan Pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap, maka perkawinan tersebut batal sejak saat
perkawinan tersebut berlangsung, dengan demikian perkawinan tersebut dianggap
tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi, sesuai dalam pasal 28 ayat (1) UUP
menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hukum hakim terhadap alasan pemohon untuk membatalkan
perkawinan dalam putusan No. 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky adalah pemohon
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dengan alasan karena
adanya penipuan yang dilakukan pihak wanita mengenai status atau
keadaan diri Termohon yang masih gadis (perawan) ternyata sudah
berulangkali melakukan hubungan dengan laki-laki lain sebelum
melangsungkan perkawinan dengan Pemohon. Pemohon menguatkan
dalil-dalil gugatannya dengan mengajukan alat bukti surat maupun saksi.
Alat bukti tersebut berupa bukti surat fotokopi, kutipan akta nikah, dan
para saksi. Berdasarkan alat bukti yang diajukan oleh penggugat maka
pertimbangan hukum yang digunakan hakim terhadap alasan pemohon
untuk membatalkan perkawinan adalah pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “seorang suami atau isteri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri.” dan Kompilasi Hukum Islam pasal 72
ayat (2) yang menyebutkan “Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.”
2. Akibat hukum yang timbul dari putusan pembatalan perkawinan karena
adanya penipuan oleh pihak wanita adalah pertama, anak yang lahir di
luar perkawinan Pemohon dan Termohon hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, sesuai dengan Pasal 43
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pemohon tidak mempunyai kewajiban
untuk bertanggung jawab dalam bentuk apapun terhadap anak yang
dilahirkan Termohon. Dalam putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
disebutkan bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak
tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat
juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak
dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Kedua, akibat pembatalan
perkawinan ini terhadap hubungan suami isteri adalah tidak pernah terjadi
perkawinan antara Pemohon dan Termohon atau dianggap tidak pernah
ada. Ketiga, akibat pembatalan perkawinan terhadap harta bersama antara
Pemohon dan Termohon selama perkawinannya, dilakukan dengan adil
sesuai dengan usaha yang dilakukan baik Pemohon maupun Termohon,
sehingga mereka masing-masing memperoleh harta hasil usahanya selama
perkawinan mereka.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, Penulis memberikan
saran sebagai berikut:
1. Para pihak yang ingin melangsungkan perkawinan, sebaiknya meneliti
terlebih dahulu dan mengecek keadaan sesungguhnya mengenai
seseorang yang akan dinikahinya, baik pria maupun wanita. Hal ini
dibutuhkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti
adanya salah sangka mengenai diri suami atau istri maupun adanya
penipuan atau kebohongan yang dapat merugikan pihak-pihak yang
bersangkutan seperti pada Putusan Nomor 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky
ini. Pengecekan identitas dapat dilakukan kepada keluarga terdekat
orang yang akan dinikahi.
2. Sebaiknya pihak wanita meminta pertanggung jawaban terhadap ayah
biologis anak untuk menjamin hak dan status anak yang dilahirkan
tersebut dengan pembuktian melalui perkembangan teknologi seperti
tes DNA sehingga dapat dibuktikan secara pasti bahwa anak tersebut
adalah anak kandungnya, dengan demikian anak yang dilahirkan
memiliki status ayah yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Afandi, Ali. 1964. Hukum Keluarga Menurut BW. Yogyakarta : Yayasan
Badan Penerbit Gajah Mada.
Basyir, Ahmad Azhar . 1990. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII
Press.
Harahap, Yahya. 1978. Hukum Perkawinan Indonesia. Medan: CV. Zahir
Tranding.
Piliang, H. M Ridwan. 2012. Perilaku Perkawinan Dalam Membangun
Rumah Tangga Bahagia, Medan: Perdana Publishing.
Soemiyati, 1997. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan(Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan). Yogyakarta:Liberty.
Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika.
Sudarsono, 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Rineka Cipta.
Tim Penyusun Kamus Pusat dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
2. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Putusan Pengadilan Agama Sekayu Nomor 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky.
top related