pembuatan peta tematik kawasan...
Post on 27-Feb-2020
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
PEMBUATAN PETA TEMATIKKAWASAN PETERNAKAN
Kerja Sama
Antara
Dinas Peternakan dan Kesehatan HewanProvinsi Nusa Tenggara Barat
Dengan
Koperasi Pegawai NegeriDepartemen Pertambangan Dan Energi
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Mataram, 2012
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan taufiq-Nya, sehinggalaporan Pembuatan Peta Tematik Kawasan Peternakan dapat diselesaikan sesuaidengan jadwal yang ditetapkan. Laporan ini merupakan salah satu yang harusdisusun sesuai dengan perjanjian kerja sama antara Dinas Peternakan danKesehatan Hewan Provinsi NTB dengan Koperasi Pegawai Negeri DepartemenPertambangan dan Energi Provinsi NTB.
Dalam laporan ini menyajikan peta kawasan peternakan di Provinsi NTB danpeta kawasan peternakan di masing-masing kabupaten/kota se-Provinsi NTB.
Dengan telah selesainya laporan ini, tim menyampaikan terima kasih kepada:1. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB yang telah
memberikan kepercayaan kepada Koperasi Pegawai Negeri DepartemenPertambangan dan Energi Provinsi NTB untuk membuat Peta TematikKawasan Peternakan di Provinsi NTB.
2. Sekretaris dan Sub Bagian Program dan Pelaporan beserta jajarannya padaDinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB yang telah memberikandata dan informasi yang diperlukan.
Akhirnya semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi Dinas Peternakan danKesehatan Hewan Provinsi NTB sebagai pihak yang berwenang dalam pengelolaankegiatan ini.
Mataram, Desember 2012
Ketua Tim
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... iDAFTAR ISI ................................................................................................. iiDAFTAR TABEL .......................................................................................... iiiDAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ivBAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................. 11.2. Tujaun Penelitian.......................................................... 21.3. Manfaat Peneitian ........................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 32.1. Definisi Peta Tematik.................................................... 32.2. Jenis-Jenis Peta ........................................................... 52.3. Penginderaan Jauh ...................................................... 62.4. Landsat ETM+.............................................................. 7
BAB III BAHAN DAN METODE ......................................................... 113.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................ 113.2. Bahan dan Alat............................................................. 113.3. Metode Penelitian......................................................... 11
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN .............................. 17
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................. 215.1. Seleksi Data Citra Landsat ETM+................................. 215.2. Data Populasi Ternak dan Penempatannya pada Peta 37
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 446.1. Kesimpulan ................................................................. 446.2. Saran ........................................................................... 44
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik Landsat ETM+........................................................................ 10
Tabel 2. Data dan Peta yang digunakan dalam Penelitian...................................... 11
Tabel 3. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian.............................................. 11
Tabel 4. Nilai OIF Daerah Penelitian......................................................................... 22
Tabel 5. Populasi Kota Mataram Tahun 2011 .......................................................... 37
Tabel 6. Populasi Kabupaten Lombok Barat Tahun 2011........................................ 38
Tabel 7. Populasi Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011 ....................................... 38
Tabel 8. Populasi Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2011.................................... 38
Tabel 9. Populasi Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011....................................... 39
Tabel 10. Populasi Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2011.................................. 40
Tabel 11. Populasi Kabupaten Sumbawa Tahun 2011............................................ 40
Tabel 12. Populasi Kabupaten Dompu Tahun 2011................................................. 41
Tabel 13. Populasi Kabupaten Bima Tahun 2011.................................................... 41
Tabel 13. Populasi Kota Bima Tahun 2011............................................................... 42
Tabel 14. Target dan Realisasi Populasi Ternak Tahun 2009-2013............... 42
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Daerah Penelitian .................................................................. 19
Gambar 2. Peta Curah Hujan pada Daerah Penelitian ............................................ 20
Gambar 3. Citra Landsat ETM+ Wilayah Pulau Lombok dan Pulau SumbawaPath/Row 116/66, 115/66, 114/66............................................... 21
Gambar 4. Hasil Mosaiking Variasi Komposit RGB dari Fusi 542 pada DaerahPenelitian ................................................................................... 22
Gambar 5. Penajaman Spektral Komposit RGB 542 untuk Penutup/ PenggunaanLahan di NTB (September 2012). ............................................................. 24
Gambar 6. Kenampaan Tiga Dimensi Provinsi Nusa Tenggara Barat.............. 25
Gambar 7. Fusi Multispasial Brovey dengan Variasi Penajaman di DaerahPenelitian....................................................................................... 27
Gambar 8. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan Kabupaten Bima............. 28
Gambar 9. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan Kota Bima....................... 29
Gambar 10. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kab. Dompu.............. 30
Gambar 11. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kab. Sumbawa ......... 31
Gambar 12. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kab. Sumbawa Barat 32
Gambar 12. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kab. Lombok Timur .. 33
Gambar 13. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kab. Lombok Tengah 34
Gambar 14. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kab. Lombok Barat ... 35
Gambar 15. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kab. Lombok Utara... 36
Gambar 16. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kota Mataram ........... 37
Gambar 17. Data Pupulasi Ternak pada Peta Tematik Pengusahaan Peternakandi Provinsi NTB............................................................................ 43
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangPembangunan peternakan saat ini focus pada pencapaian swasembada
daging sapi/kerbau sebagai program utama kementrian pertanian dengan rentang
waktu 2010-2014. Berbagai factor pendukung yang telah tersedia mulau dari
sumberdaya alam, yaitu ternak, pakan, lahan, sumberdaya manusia, Iptek social
budaya.
Dalam manajemen budidaya ternak, pakan merupakan kebutuhan tertinggi
yaitu 60-70 % dari seluruh biaya produksi, mengingat tingginya biaya tersebut, maka
perlu ada penyediaan baik dari segi kuantitas maupun kualitas, tidak terkecuali bagi
ternak ruinansia. Dimana pakan diperlukan berupa hijauan makanan ternak,
kebutuhan pokok konsumsi hijauan makan ternak setiap hari 10 % dari bobot badan
ternak.
Peningkatan produksi ternak khususnya ternak ruminansia akan berhasil
dengan baik jika tersedia pakan hijauan sebagai sumber pakan dapat dipenuhi
secara kualitas dan kuantitas tersedia secara kontinyu. Hijauan makanan ternak
bersumber dari padang rumput alam atau dengan melakukan penanaman hijauan
makan ternak. Jenis dan hijauan dipengaruhi oleh kondisi ekologi, iklim, dan sumber
air tanah/mata air di suatu daerah.
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi yang masih tersedia
kawasan padang pengembalaan terutama di Pulau Sumbawa. Masyarakat Samawa
(suku Sumbawa) menyebut kawasan pengembalaanya dengan Lar, sedangkan
Mbojo (suku Bima dan Dompu) menyebutnya dengan istilah So.
Adanya peningkatan kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan
baik untuk kepentingan produksi pertanian maupun untuk kepentingan lainnya,
diperlukan adanya penataan dan perencanaan penggunaan lahan guna
menghindari permasalahan berkaitan dengan penggunaan lahan yang kurang
sesuai. Beberapa pemasalahan yang dapat timbul diantaranya adalah (1) alih
fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman atau industri, (2) rusaknya
unsur hara tanah akibat pengolahan tanah konvensional, (3) adanya
penambangan tanpa izin, (4) penggunaan pupuk kimia atau buatan, (5) penggunaan
pestisida dan bahan kimia lainnya terhadap tanah secara berlebihan, (6) pola tanam
yang tidak berkelanjutan (non sustainable), (7) penjarahan hutan, (8) eksploitasi
hutan industri yang tidak mengacu pada kerangka dan program reboisasi, dan (9)
2
adanya bencana alam. Berbagai permasalahan tersebut dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan maupun keseimbangan ekosistem berupa
lahan, sehingga mengakibatkan berkurangnya areal pengembalaan (Lar/So)
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. NTB mencatat bahawa potensi
Lar/So di Pulau Sumbawa sekitar 73.298 Ha, dan baru sebagian kecil yang
ditetapkan dengan SK Bupati.
Studi permasalahan tersebut dapat dilihat dari kondisi fisik lingkungan
(geografis) ataupun dengan melihat keterkaitan antara bentuk lahan (landform)
dengan penggunaan lahan (landuse). Dimana bentuk lahan dipengaruhi oleh
kondisi geologi dan geomorfologi, sedangkan penggunaan lahan lebih
dipengaruhi oleh kegiatan manusia.
1.2. Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini antara lain untuk:
- Analisis citra landsat ETM+ untuk kajian Lar/So dan
penutup/penggunaan lahan.
- Pembuatan peta tematik Lokasi Lar/So, Potensi Ternak Perkecamatan.
- Memberikan rekomendasi untuk mengurangi rusaknya daya dukung
lingkungan Lar/So.
1.3. Manfaat PenelitianAdapun manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah untuk dapat
mengidentifikasi dan memetakan Lokasi Lar/So dibandingkan dengan potensi
ternak dan pengembangan peternakan kedepan yang kemudian dapat
memberikan rekomendasi rehabilitasi lahan untuk lahan atau perluasan areal Lar/
So, dan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan bagi pembangunan di Prov.
NTB.
3
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Peta TematikBeberapa definisi mengenai Peta Tematik, Peta dapat didefinisikan
sebagai : “media penyajian informasi dari unsur-unsur alam dan buatan
manusia pada permukaan bumi yang dibuat secara kartografis (informasi
yang berreferensi geografis) pada bidang datar menurut proyeksi tertentu dan
skala tertentu”. Peta yang baik, adalah peta yang mempunyai nilai informatif,
komunikatif, artistik dan estetik. Sedangkan penyajian informasi: Informasi
tentang permukaan bumi begitu banyak (misalnya; vegetasi, sungai, jalan,
pemukiman, topografi/bentuk lapangan), sehingga tidak mungkin disajikan
seluruhnya sesuai bentuk dan ukuran aslinya dalam selembar peta yang
mempunyai keterbatasan ruang dan ukuran. Oleh karenanya, informasi
tersebut digambarkan dalam bentuk simbol-simbol (sehingga peta sering
disebut bahasa simbol).
Peta Tematik (juga disebut sebagai peta statistik atau peta tujuan
khusus) menyajikan patron penggunaan ruangan pada tempat tertentu sesuai
dengan tema tertentu. Berbeda dengan peta rujukan yang memperlihatkan
pengkhususan geografi (hutan, jalan, perbatasan administratif), peta-peta
tematik lebih menekankan variasi penggunaan ruangan daripada sebuah
jumlah atau lebih dari distribusi geografis. Distribusi ini bisa saja merupakan
fenomena fisikal seperti iklim atau ciri-ciri khas manusia seperti kepadatan
penduduk atau permasalahan kesehatan.
Di Indonesia peta dasar dibuat dan ditetapkan oleh Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Sedang peta-peta
tematik dibuat berdasarkan peta dasar oleh instansi yang berkepentingan
(Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Energi, Badan
Pertanahan Nasional, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, dll)
untuk tema-tema sesuai pekerjaan /kegiatannya.
Simbol dapat berupa simbol titik, simbol garis dan simbol luasan/area.
Simbol titik secara kualitatif dapat berupa titik tinggi, base kamp atau
pemukiman, sedangkan secara kuantitatif dapat berupa titik triangulasi
(primer, sekunder, tersier), atau kota (ibukota provinsi, kabupaten,
kecamatan). Simbol garis, secara kualitatif dapat berupa sungai, jalan, batas,
4
garis kontour, dan secara kuantitatif dapat berupa jalan (induk, cabang) atau
sungai dan anak sungai. Sedangkan simbol luasan/area secara kualitatif
dapat berupa hutan, kebun atau rawa, dan secara kuantitatif dapat berupa
hutan (rapat, sedang, jarang). Simbol sering dikombinasikan dengan warna,
notasi dan arsir.
Letak geografis: Suatu titik, tempat atau wilayah dipermukaan bumi
dapat diketahui letak atau posisinya (disebut posisi geografis atau sering
disebut letak astronomis) yang dinyatakan dengan koordinat geografis.
Sebagai contoh, secara astronomis Indonesia terletak di antara
6° 08’ LU - 11° 15’ LS dan 94° 45’ BT - 141° 05’ BT. Koordinat geografis
ditentukan oleh perpotongan dua garis lengkung bumi yaitu garis bujur /
meridian / longitude dengan garis lintang / paralel / latitude. Satuan koordinat
geografis adalah derajat (°), menit (‘) dan detik (“). Satu derajat sama dengan
60 menit dan satu menit sama dengan 60 detik. Meridian 0 atau meridian
pertama (prime meridian) dimulai dari kutub Utara sampai ke kutub Selatan
melalui Greenwich Observatory-London-Inggris. Sedangkan paralel 0 adalah
Ekuator / katulistiwa. Dari meridian 0 kearah timur (-180°) disebut Bujur Timur
dan kearah Barat (+180°) disebut Bujur Barat. Dari Ekuator kearah Utara (0 –
90°) disebut Lintang Utara dan kearah Selatan (0 -90°) disebut Lintang
Selatan. Untuk koordinat bidang datar/proyeksi, digunakan sistim koordinat
Cartesian (koordinat planar) dengan satuan ukuran metrik (m).
Proyeksi peta: karena permukaan bumi merupakan bidang lengkung
(speroid), maka untuk dapat menggambarkan atau memindahkan lintang/bujur
pada lengkungan muka bumi ke dalam bentuk bidang datar digunakan cara
proyeksi tertentu. Proyeksi tertentu adalah sesuai dengan suatu aturan dalam
menggambarkan posisi di permukaan bumi ke bidang datar dengan
menggunakan rumus-rumus matematika. Bentuk bumi yang di proyeksikan ke
bidang datar, Skala peta: Karena peta merupakan wujud abstrak permukaan
bumi pada bidang datar dalam ukuran yang lebih kecil, maka dalam
penyajiannya digunakan perbandingan tertentu yang disebut skala. Jadi, skala
peta adalah perbandingan jarak antara dua titik di peta dan jarak antara dua
titik yang sama di lapangan. Contoh: Pada peta berskala 1:50.000, jarak 1 cm
di peta sama dengan jarak 500 m dilapangan. Dalam kaitannya dengan
informasi yang disajikan pada peta, maka skala peta menggambarkan juga
tingkat ketelitian dan detail suatu informasi. Penulisan skala yang sering dan
5
lazim dalam perpetaan, disamping ditulis pecahan (numerical scale) adalah
ditulis/dinyatakan dengan grafik (graphical scale).
2.2. Jenis-Jenis PetaBerdasarkan data dan informasi yang ditonjolkan ada 2 (dua) macam
atau 2 (dua) kategori / jenis peta, yaitu : Peta Dasar dan Peta Tematik.
Peta dasar: Pada dasarnya, peta dasar adalah peta yang menunjukkan
obyek-obyek dipermukaan bumi pada posisi yang sebenarnya, yang
digunakan sebagai dasar bagi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
data dan informasi yang berreferensi geografis (misalnya untuk pembuatan
peta-peta tematik). Peta dasar bisa dibuat berdasarkan atas pengukuran
langsung di lapangan, pengukuran fotogrametris dan penafsiran potret udara,
atau dengan analisa citra penginderaan jauh lain seperti citra satelit atau
radar. Peta dasar dipakai untuk dasar pembuatan peta-peta tematik.
Unsur-unsur yang disajikan pada peta dasar adalah : unsur hypsografi/relief
(garis kontour, titik tinggi, gunung, lembah dll.); unsur hydrologi (sungai,
danau, laut); unsur vegetasi (hutan, belukar, kebun sawah); unsur buatan
(jalan, pemukiman, pelabuhan).
Di Indonesia dikenal antara lain peta topografi atau biasa disingkat peta
TOP (dibuat oleh Jawatan Topografi AD/Dinas Topografi AD, tahun 1970-an)
dan peta Rupa Bumi Indonesia atau biasa disingkat peta RBI (dibuat oleh
BAKOSURTANAL pada 1982). Informasi pada Peta topografi dititikberatkan
pada unsur-unsur alam asli (sungai, kota/desa, garis kontour, titik tinggi).
Sedangkan pada Peta Rupa Bumi Indonesia, disamping informasi yang ada
pada peta topografi, juga dicantumkan informasi tentang penutupan lahan
(antara lain sawah, perkebunan, hutan). Selain itu terdapat peta yang biasa
digunakan sebagai peta dasar, yaitu peta Joint Operation Graphic atau biasa
disingkat peta JOG adalah jenis peta topografi yang dibuat oleh Inggris dan
hanya satu skala, yaitu 1 : 250.000.
Peta tematik adalah peta yang menyajikan informasi tentang suatu tema
atau maksud tertentu, dalam kaitannya dengan unsur topografi yang spesifik
sesuai tema peta. Detail topografi pada peta tematik diambil dari peta dasar.
Tema peta dapat diketahui dari judul petanya, sehingga dengan membaca
judul peta dapat diketahui tema atau informasi pokok apa yang tersaji dalam
peta tersebut.
6
Suatu peta dapat terdiri dari satu tema (peta analisis), misalnya peta
tanah, peta geologi, peta kelas lereng; atau dapat terdiri dari dua tema atau
lebih yang mempunyai kaitan atau relevansi (peta multi-tema), misalnya peta
areal HPH yang berisi informasi tentang batas areal HPH, nama HPH serta
batas-batas fungsi hutan. Peta sintesis adalah peta hasil perpaduan
beberapa peta tematik, yang setelah diadakan skoring berubah menjadi peta
dengan tema baru, misalnya peta TGHK yang merupakan perpaduan dari
peta tanah, peta kelas lereng dan peta curah hujan.
Selanjutnya, berdasarkan skalanya, lazim dipahami umum ada 5 (lima)
macam, yaitu :Peta Kadaster, skala 1 : 100 s/d 1 : 5.000 biasa dipakai
menggambar peta-peta tanah dan peta dalam sertifikat tanah;
1. Peta Skala Besar, skala 1 : 5.000 s/d 1 : 250.000 biasa untuk menggambar
wilayah yang relatif sempit seperti kelurahan, kecamatan dan seterusnya;
2. Peta Skala Sedang, skala 1 : 250.000 s/d 1 : 500.000 biasa untuk
menggambar wilayah yang agak luas seperti wilayah propinsi dan
seterusnya;
3. Peta Skala Kecil, skala 1 : 500.000 s/d 1 : 1.000.000 biasa untuk
menggambar wilayah yang cukup luas seperti wilayah negara dan
seterusnya;
4. Peta Skala Lebih Kecil, skala lebih kecil dari 1 : 1.000.000 biasa untuk
menggambar kelompok negaraatau benua dan dunia.
Di Indonesia peta dasar dibuat dan ditetapkan oleh Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Sedang peta-peta
tematik dibuat berdasarkan peta dasar oleh instansi yang berkepentingan
(Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Energi, Badan
Pertanahan Nasional, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, dll)
untuk tema-tema sesuai pekerjaan /kegiatannya.
2.3. Penginderaan JauhPenginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa adanya suatu kontak langsung dengan objek, daerah, atau
fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994).
7
Data penginderaan jauh merupakan hasil rekaman dari intraksi antara
tenaga dengan objek yang direkam oleh sensor atau alat pengindera seperti
kamera, penyiam (scanner), dan radiom yang masing-masing dilengkapi dengan
detektor di dalamnya. Data penginderaan jauh dapat berupa data digital (data
numerik) dan data visual. Data visual terdiri dari citra maupun non citra. Data
citra berupa gambaran yang mirip ujud aslinya atau berupa gambaran planimetrik
sedangkan data non citra pada umumnya berupa garis atau grafik (Sutatnto, 1986).
Simonett et al. (1983) dalam Sutanto (1986) mengutarakan pengertian
tentang citra yaitu suatu gambaran rekaman dari objek (biasanya berupa gambaran
pada foto) yang dihasilkan dengan cara optik, elektro-optik, optik mekanik, atau
elektronik.
Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau penalaran
untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai arti pentingnya objek yang
tergambar pada citra (Estes dan Simonett, 1975, dalam Sutanto, 1986).
Interpretasi citra mempunyai sembilan unsur, yaitu (1) rona atau warna, (2)
ukuran, (3) bentuk, (4) tekstur, (5) pola, (6) tinggi, (7) bayangan, (8) situs dan (9)
asosiasi. Sembilan unsur interpretasi citra ini disusun secara hirarki (Sutanto,
1986).
Peranan penginderaan jauh dalam studi lahan kritis adalah untuk melakukan
identifikasi dan interpretasi citra secara visual maupun digital sehingga dapat
menghasilkan suatu peta lahan kritis.
2.4. Landsat ETM+Landsat ETM+ merupaka seri ke-7 atau terakhir dari Landsat yang memiliki
beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan dengan seri sebelumnya.
Landsat (Land Satellite) merupakan satelit sumberdaya alam pertama yang
awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technological Satellite) yang
diluncurkan pertama kalinya pada tanggal 23 juli 1972 yang mengorbit hingga 6
Januari 1978. Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari. Tepat
sebelum peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic
and Space Administration) secara resmi menangani program ERTS menjadi
program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit oseanografi
“SEASAT” yang telah direncanakan sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi
Landsat-1 dan Landsat-2. Sedangkan Landsat-3 diluncurkan pada tanggal 5 Maret
1978. (Purwadhi, 2001).
8
Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3 mempunyai kesamaan param orbit dan
mempunyai interval waktu pemotretan terhadap objek yang sama, yaitu setiap 18
hari. Landsat berikutnya (4 dan 5) dirancang untuk mempunyai stabilitas lebih
baik dari sebelumnya (Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3). Landsat-4
diluncurkan pada bulan Juli 1982 dan Landsat-5 diluncurkan pada bulan Maret
(1984) (Purwadhi, 2001).
Landsat-4 dan Landsat-5 memuat sensor Multi Spectral Scanner (MSS) dan
sensor Thematic Mappers (TM). Sensor MSS memiliki 4 band dengan resolusi
spasial 79 m, sedangkan sensor TM memiliki 7 band dengan resolusi spasial 30 m
dan 120 m (khusus untuk band 6). Citra Landsat di wilayah khatulistiwa
memberikan liputan 185x185 Km2 (Asriningrum, 2002).
Landsat merekam radiasi gelombang elektro-magnetik benda-benda di
muka bumi, lalu dikirimkan ke bumi dalam bentuk data digital, untuk kemudian
diolah menjadi citra atau gambar. Saat ini telah dibangun 25 stasiun bumi di
seluruh dunia untuk menerima dan merekam data Landsat maupun SPOT, satu di
antaranya adalah milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di
Pasar Rebo Jakarta (Soesilo, 1994).
Landsat-6 memuat sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper) diluncurkan
pada bulan Februari 1993 tetapi mengalami kegagalan yang dikarenakan tidak
mencapai orbit dan jatuh ke laut (Purwadhi, 2001).
Selanjutnya Landsat-7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Landsat-7
memuat sensor ETM+ dan memiliki 8 band. Perbedaan antara Landsat-7 dengan
Landsat generasi sebelumnya adalah adanya tambahan 1 band pankromatik dan
perubahan sistem perekaman pada band 6 beserta resolusinya. Band pankromatik
memiliki resolusi 15 m dan band 6 memiliki resolusi 60 m, sedangkan sistem
perekaman band 6 dibedakan menjadi dua yaitu low gain dan high gain.
Perekaman sistem low gain ditujukan untuk analisis laut, sedangkan high gain
untuk analisis darat (Asriningrum, 2002). Landsat-7 disebut juga Landsat ETM+.
Keunggulan utama pada Landsat-7 dibandingkan dengan generasi
sebelumnya adalah mempunyai resolusi spektral 8 band, resolusi radiometrik 8
bit, resolusi temporal 16 hari, dan resolusi spasial 30 m x 30 m (untuk band
visible, near infrared, dan midlle infrared), 60 m x 60 m (untuk band thermal)
dan 15 m x 15 m (untuk band pankromatik) (Purwadhi, 2001).
Dalam menjalankan kerjanya, Landsat menggunakan sensor-sensor yang
dapat merekam kenampakan permukaan bumi dari angkasa. Setiap sensor
9
memiliki kemampuan memisahkan setiap objek yang disebut resolusi.
Menurut Swain dan Davis, 1978, dalam Asriningrum, 2002, resolusi adalah
kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi yang
secara spasial berdekatan atau yang secara spektral mempunyai kemiripan. Dalam
pengolahan citra ada empat macam resolusi yang penting, yaitu meliputi resolusi
spektral, resolusi spasial, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal.
1. Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk
membedakan informasi (objek) berdasarkan pantulan atau pancaran
spektralnya (Danoedoro, 1996 dalam Asriningrum, 2002).
2. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi oleh
suatu sistem pencitraan (Danoedoro, 1996 dalam Asriningrum, 2002).
Semakin kecil ukuran objek yang dapat terdeteksi, berarti resolusinya
semakin halus atau semakin tinggi.
3. Resolusi radiometrik adalah resolusi yang menunjukkan kemampuan sensor
untuk mencatat respon spektral objek. Kemampuan ini dikaitkan dengan
kemampuan koding (coding), yaitu pengubahan intensitas pantulan spektral
menjadi angka digital dan dinyatakan dalam bit (Danoedoro, 1996, dalam
Asriningrum, 2002).
4. Resolusi temporal adalah resolusi yang menunjukkan kemampuan suatu
sistem untuk merekam ulang daerah yang sama dengan satuan hari atau jam
(Asriningrum, 2002). Landsat ETM+ memiliki resolusi temporal 16 hari, ini
berarti bahwa sistem ini secara normal akan merekam ulang daerah yang
sama setiap 16 hari sekali.
Karakteristik Landsat ETM+ ditunjukkan pada Tabel 3, sedangkan
karakteristik masing-masing band disajikan pada Tabel 4. Band atau kanal
merupakan serangkaian nilai file data dari bagian tertentu spektrum
elektromagnetik dari reflektan atau emisi panas (biru, merah, hijau, inframerah
dekat, inframerah termal, dsb). Dengan semakin meningkatnya jumlah band maka
akan semakin banyak memberikan keleluasaan untuk melakukan berbagai fusi
data untuk mendapatkan lebih banyak informasi disesuaikan dengan bidang
aplikasinya.
Landsat merupakan data penginderaan jauh yang memiliki cakupan yang
luas dan kualitas resolusi spasial yang semakin membaik dari waktu ke waktu.
Karakteristik ini menguntungkan untuk tujuan analisis geomorfologis karena
dengan menggunakan satu liputan (scene) data dapat di peroleh kenampakan
10
bentang lahan secara utuh, sehingga sangat membantu untuk analisis morfologi,
morfogenesis, dan morfokronologi bentuk lahan secara komposit (Asriningrum,
2002).
Tabel 1. Karakteristik Landsat ETM+
No. Tipe Spesifikasi1. Karakteristik Orbit :
Ketinggian 705 KmInklinasi 98,2Orbit Sinkron matahari hampir polarMelintas ekuator 09.30 waktu setempatPeriode 99 menitPeriode ulang 16 hari
2. Karakteristik Teknik Sensor :Tipe penyiam Opto-mechanicalResolusi spasial 15/30/60 mResolusi radiometrik 8 bit (256 level)Panjang gelombang 0,45-12,5 □ mJumlah band 8Liputan 183 x 170 KmLebar liputan 183 KmStereo TidakDapat deprogram(programmable)
YaSumber: EROS Data Center (1995), dalam Asriningrum (2002).
11
BAB IIIBAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Lokasi PenelitianPenelitian ini dimulai dari bulan Oktober sampai dengan bulan Desember
2012. Lokasi Penelitian adalah di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini
diawali dengan pengumpulan data dan dilanjutkan dengan analisis
Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Lokasi Lar/ So.
3.2. Bahan dan AlatBahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas citra satelit,
peta-peta, dan seperangkat komputer yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2
dan Tabel 3.
Tabel 2. Data dan Peta yang digunakan dalam Penelitian.No. Nama Bahan Spesifikasi/Skala1. Cita Satelit Lansat ETM Oktober 2012
Provinsi NTB Path 114,115,116 row 66Resolusi 30 m
2. Citra Resolusi Tinggi Dari Geogle Earth Resolusi 5 m2. Peta Topografi NTB Skala 1 : 25.000.3. Cita Bing Map NTB Resolusi 9 m4. Peta Administrasi NTB 1 : 100.000.5. Peta Pengunaan Lahan (Land Use) 1 : 250.000.6. Data Curah Hujan
Tabel 3. Peralatan yang digunakan dalam PenelitianNo Hard Ware Pengolah Data/Software1. Komputer PC / Laptop Er Mapper 7.02. Scanner Arc Gis 9.33. Printer Microsoft Office Word 20074. - Microsoft Office Excel 2007
3.3. Metode PenelitianPenelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan dan
pengolahan citra (data dasar), (2) tahap interpretasi citra, (3) pengecekan Lokasi di
Peta Topografi, (4) tahap analisis hasil, dan (5) penyajian hasil.
3.3.1. Tahap Persiapan Data dan Pengolahan CitraTahap persiapan data meliputi pengumpulan data primer maupun data
sekunder yang jumlah dan jenisnya sesuai dengan param kriteria lahan kritis yang
digunakan. Pembuatan peta kerja untuk melakukan cek lapang (survey) melalui
12
persiapan data dasar berupa citra Landsat ETM+ dan pengolahan citra.
Tahap pengolahan citra Landsat ETM+ meliputi: koreksi geometrik,
pemotongan (cropping) citra, fusi band dan penajaman yang mencakup fusi
multispektral dan fusi multispasial, dan penentuan jenis citra komposit.
a) Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik atau rektifikasi bertujuan memperbaiki distorsi
geometrik sehingga diperoleh citra dengan sistem proyeksi dan koordinat
seperti yang ada pada peta. Koreksi geometrik ini dapat dilakukan dengan
cara koreksi citra yang belum terkoreksi ke peta digital (image to map geo-
correction). Koreksi geometrik dilakukan pada citra dengan mengidentifikasi
Ground Control Point (GCP) atau titik ikat yang mudah ditentukan seperti
perumahan kecil atau bangunan yang terisolasi yang dibuat merata pada
seluruh citra. Akurasi yang baik ditunjukkan oleh nilai Root Mean Square
Errorr (RMS-error) yang sangat kecil mendekati nol atau kurang dari 0,5.
Akan tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan koreksi geometrik karena
citra yang ada sudah terkoreksi secara sistematis.
b) Pemotongan (Cropping) Citra
Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan daerah penelitian
dengan maksud untuk dapat dilakukan pengolahan data yang lebih terfokus
dan lebih terinci pada daerah tersebut. Pada pemotongan citra ini dilakukan
berdasarkan posisi koordinat yang terdapat di peta topografi dengan proyeksi
UTM (Universal Transfer Mercator).
c) Fusi Band dan Penajaman Citra
Fusi band adalah penggabungan berbagai band yang terdapat pada
Landsat ETM+. Fusi band dilakukan dalam dua bentuk, yaitu fusi multispektral
dan fusi multispasial.
1. Fusi Multispektral dan Penajaman Spektral
Fusi multispektral adalah penggabungan kombinasi antar band
yang memiliki resolusi spektral berbeda dan resolusi spasial sama. Dalam
citra Landsat ETM+, band-band yang digunakan adalah band 1, 2, 3, 4, 5,
dan 7 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m. Untuk band 6
dan band 8 tidak digunakan dalam fusi ini karena memiliki resolusi spasial
yang berbeda, masing-masing 60 m dan 15 m.
Fusi multispektral dilakukan dengan pemilihan kombinasi band
terbaik dengan param Optimum Index Factor (OIF) yang dikembangkan
13
oleh Chaves. Nilai OIF secara statistik menghitung pembagian antara
jumlah standar deviasi nilai-nilai spektral pada tiga band dengan jumlah
nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga band. Untuk
memperoleh nilai OIF maka digunakan persamaan sebagai berikut:
3∑ Sk
OIF = 3K=1
∑ Abs (rj)i=1
Keterangan:
Sk : Standard deviasi nilai-nilai spektral pada band
Abs (rj) : Nilai absolut koefisien antara tiap dua dari tiga band
Dari perhitungan nilai OIF terdapat 20 kombinasi yang kemudian
ditentukan urutan nilai OIF tertinggi untuk dipilih sebagai kombinasi
band terbaik. Namun Danoerdoro (1996) mengemukaan bahwa bentuk
kombinasi yang memakai band 1 sebaiknya tidak digunakan untuk
interpretasi objek karena band 1 atau spektrum biru mengandung
hamburan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan variasi nilai
spektral atau meningkatkan nilai OIF. Dalam penelitian Asriningrum
(2002), perhitungan nilai OIF tetap menggunakan 6 band (1, 2, 3, 4, 5, dan
7) namun kombinasi yang dipilih adalah kombinasi band yang tidak
menggunakan band 1 dan memiliki urutan nilai OIF tertinggi.
Dari hasil pemilihan satu kombinasi band terbaik, selanjutnya
dilakukan kombinasi kembali yaitu dengan cara dibolak-balik urutannya
sehingga akan didapatkan 6 kombinasi. Keenam kombinasi ini bisa berbeda
dalam warna, namun jumlah warnanya akan tetap sama, sehingga
pengubahan susunan kombinasi tidak akan mengubah kedetilan
informasi.
Penajaman spektral atau kontras adalah manipulasi citra dengan
merentangkan histogram untuk mendapatkan kecerahan citra. Penajaman
spektral citra dilakukan untuk tahap lanjutan setelah pembuatan fusi
band karena penajaman diaplikasikan pada model-model fusi band yang
sudah terpilih. Penajaman citra meliputi semua operasi yang
menghasilkan citra “baru” dengan kenampakan visual dan karakteristik
spektral berbeda.
14
Proses penajaman spektral dilakukan dengan memakai model
penajaman yang ada pada perangkat lunak ER Mapper 7.0, yang meliputi
transformasi linear, transformasi autoclip, transformasi level-slice,
equalisasi histogram, equalisasi gaussian, transformasi logaritmik,
transformasi exponential, dan transformasi histogram only. Semua
transformasi ini menghilangkan 0,5% dikanan dan kiri histogram namun
masing-masing algoritma bentuk transformasinya berbeda. Pada tahap ini
beberapa jenis penajaman diamati dan kemudian dipilih jenis penajaman
yang terbaik.
2. Fusi Multispasial dan Penajaman Spasial
Fusi multispasial merupakan penggabungan band-band yang
memiliki resolusi spasial berbeda. Pada landsat ETM+ dilakukan
penggabungan antara citra multispektral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) yang
memiliki resolusi spasial 30 m dengan pankromatik (band 8) yang
memiliki resolusi spasial 15 m, sehingga hasil akhirnya akan didapat citra
baru yang memiliki resolusi spasial 15 m.
Fusi multispasial dilakukan dengan menggunakan kombinasi band
yang sudah terpilih. Metode fusi multispasial yang akan digunakan dan
dibandingkan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Brovey
dan metode RGBI yang kemudian dipilih salah satu metode yang terbaik
untuk kenampakan bentuk lahan dan penutup/penggunaan lahan.
Metode Brovey adalah metode fusi citra yang digunakan untuk
memepertajam kenampakan air dan menampilkan dataran lebih alami.
Metode Brovey bekerja dengan cara membagi band yang digunakan dalam
lapisan warna tertentu dengan jumlah dari ketiga band yang digunakan
dalam tiga lapisan warna (RGB) dan hasilnya dikalikan dengan citra
pankromatik. Untuk dapat mengerjakan metode Brovey pada perangkat
lunak ER Mapper maka digunakan rumus: R = r/(r+g+b)*l, G =
g/(r+g+b)*l, B = b/(r+g+b)*l. Dimana : r, g, dan b adalah band terseleksi
dan l adalah band pankromatik (band 8).
Metode RGBI adalah metode fusi yang digunakan untuk analisis
visual maupun untuk menggabungkan data penginderaan jauh yang
berbeda jenis yaitu ke dalam sistem HSI (Hue-Saturation-Intensity).
Dalam metode ini terdapat rangkaian proses dari RGB-HSI-RGB. Dimana
masing-masing saluran R, G, dan B diubah dalam I, H, dan S dan
15
kemudian dilakukan algoritma balik dari masing-masing I, H, dan S ke
dalam R, G, dan B. citra pankromatik atau band 8 ditempatkan pada
saluran intensity sehingga nanti akhirnya didapatkan citra yang baru
dengan bentuk RGB. Metode RGBI berguna untuk meningkatkan
kemampuan interpretasi citra komposit multispektral sehingga
menghasilkan data baru yang warna kompositnya meningkat.
Penajaman spasial atau filtering bertujuan untuk menghaluskan,
menonjolkan, dan mempertajam detail permukaan bumi. Proses penajaman
spasial ada beberapa macam, namun dalam penelitian ini digunakan tiga
jenis penajaman spasial, meliputi low pass filter, high pass filter, dan edge
detection filter. Hasil dari proses penajaman ini dipilih yang terbaik untuk
kenampakan bentuk lahan.
d) Penentuan Jenis Citra Komposit
Citra komposit dibuat untuk mendapatkan tampilan visual citra yang
optimal untuk identifikasi bentuk lahan dengan tujuan menonjolkan detail
bentuk permukaan bumi dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai
spektral dan penajaman, sehingga aspek-aspek morfologi, morfogenesis, dan
morfokronologi bentuk lahan diharapkan dapat diidentifikasi. Kemudian
dilakukan interpretasi bentuk lahan secara visual pada monitor komputer
dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi.
3.3.2. Tahap Interpretasi CitraData penginderaan jauh dapat berupa data numerik maupun data visual.
Oleh karena itu interpretasi datanya dilakukan secara digital bagi data numerik
dan secara manual bagi data visual.
Interpretasi citra dilaksanakan untuk identifikasi, delimitasi, dan delineasi
bentuk lahan lar/so. Identifikasi adalah mengenali bentuk lahan dan memberikan
nama bentuk lahan. Delimitasi adalah mencari dan mengenali batas antar bentuk
lahan pada citra, sedangkan delineasi adalah menarik garis batas antar bentuk
lahan tersebut (sebagai hasil delimitasi) untuk disajikan kedalam bentuk peta.
Ketiganya dilakukan dengan mencangkup aspek-aspek morfologi,
morfogenesis,dan morfokronologi.
a) Interpretasi Secara Digital
Interpretasi data penginderaan jauh secara digital pada dasarnya berupa
klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya. Klasifikasi dapat dilakukan
16
berdasarkan berbagai cara statistik. Tiap kelas kelompok piksel tersebut
kemudian dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi.
• Klasifikasi Citra
Dalam interpretasi citra secara digital dilakukan klasifikasi citra yang
bertujuan untuk mendapatkan kelas-kelas penutup/ penggunaan lahan
dengan mengelompokkan piksel-piksel dari citra.
Klasifikasi dilakukan secara terbimbing (supervised) dengan
menggunakan metode Klasifikasi Kemungkinan Maksimum (Maximum
Likelihood Classification). Klasifikasi ini dilakukan setelah diperoleh
daerah contoh (training site).
Ketelitian klasifikasi dinilai dari Nilai Kappa dan Matrik Konfusi
dengan ketelitian minimal 85%.
Klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini mengacu pada
hasil rekomendasi klasifikasi penutup/penggunaan lahan untuk pemetaan
tematik dari UGM dan Bakosurtanal (2000).
b) Interpretasi Visual
Interpretasi data penginderaan jauh secara visual dilakukan melalui
interpretasi dan klasifikasi kenampakan asli dari citra.
Pada tahap ini dilakukan interpretasi citra dengan memasukkan
kriteria identifikasi bentuk lahan, penutup/penggunaan lahan, dan kunci
interpretasi penginderaan jauh.
Interpretasi digital dan visual dilakukan untuk menghasilkan peta
bentuk lahan sementara, peta penutup/penggunaan lahan sementara, dan peta
lahan kritis sementara. Peta lahan kritis ini dibuat berdasarkan klasifikasi
menurut Sitorus (2004), yang mencangkup: lahan potensial kritis, lahan agak
kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis. Peta-peta tersebut dibuat untuk
dapat digunakan pada saat pengecekan lapang.
3.3.3. Tahap Analisis HasilPada tahap ini dilakukan analisis hubungan antara bentuk lahan,
penutup/penggunaan lahan, dan lahan kritis dengan memasukkan param-param
penentu kriteria lahan areal pengembalaan sehingga dapat menyajikan peta
lahan Lar/So dan rekomendasi rehabilitasi lahan kritis.
17
BAB IVKONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Provinsi Nusa Tenggara Barat sesuai dengan namanya, meliputi bagian
barat Kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Lombok
yang terletak di barat dan Sumbawa yang terletak di timur. Ibu kota provinsi ini
adalah Kota Mataram yang berada di Pulau Lombok.
Secara geografis Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terletak pada 115.00
° 46.00 ' - " BT s.d 119.00 ° 5.00 ' - " BT dan 8.00 ° 10.00 ' - " LS s.d 9.00 ° 5.00 ' - "
LS dengan luas daerah sebesar 9,312.19 km2 dengan batas wilayah sebagai
berikut:
Arah Timur : Selat Sape / Provinsi NTT(600 km).
Arah Barat : Selat Lombok / Provinsi Bali (25 km).
Arah Utara : Laut Jawa dan Laut Flores (60 km).
Arah Selatan : Samudera Indonesia (60 km).
Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas 8 kabupaten dan 2 kota. Sebagian
besar dari penduduk Lombok berasal dari suku Sasak, sementara suku Bima dan
Sumbawa merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas
penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam (96%).
Geologi daerah Lombok dimulai dengan terbentuknya batuan gunung api
Tersier yaitu Miosen Awal yang terdiri dari Formasi Kawangan dan Formasi
Pengulung yang saling menjemari. Formasi Kawangan terdiri dari batuan sedimen
perselingan batupasir kuarsa, batulempung dan breksi, sedangkan Formasi
Pengulung terdiri dari breksi, lava, tuf dengan lensa batugamping bermineral sulfida
dan mengandung urat kuarsa. Kedua formasi ini diterobos oleh dasit dan basal yang
berumur Miosen Tengah.
Di atasnya diendapkan Formasi Ekas yang terdiri dari batugamping yang
berumur Miosen Atas. Kemudian pada Pliosen Atas sampai Plistosen diendapkan
batupasir tufaan, batulempung tufaan dengan sisipan tipis karbon yang tergolong
kedalam Anggota Selayar Formasi Kalipalung, lalu Formasi Kalipalung yang terdiri
dari perselingan breksi gampingan dan lava, Formasi Kalibabak yang terdiri dari
breksi dan lava serta Formasi Lekopiko berupa tuf berbatuapung, breksi lahar dan
lava. Formasi Kalipalung dan Formasi Kalibabak saling menjemari. Pada waktu
Holosen Bawah diendapkan lava, breksi dan tuf yang termasuk kedalam Batuan
Gunungapi Tak Terpisahkan tersebar sangat luas di utara yang dikelilingi oleh
18
Formasi Lekopiko dan Formasi Kalibabak, sedangkan di Holosen Atas terhampar
endapan permukaan aluvium. Sesar yang panjang berarah Timurlaut-Baratdaya,
sedang sesar-sesar lainnya berarah Baratlaut-Tenggara dan sedikit jumlahnya
hampir berarah Utara-Selatan.
Pulau Sumbawa memanjang dari arah barat ke timur. Di bagian utara terdiri
dari jalur gunungapi Kuarter dengan puncak Gunung Tambora (2851m). Bagian
selatan terdiri dari punggungan-punggungan bukit kasar dengan ketinggian berkisar
dari 800 - 1400 m.
Batuan yang penyusun terdiri dari batuan sedimen, gunungapi, batuan
terobosan dan endapan permukaan. Batuan sedimen yang berumur Tersier
(Miosen-Pliosen), umumnya terdiri dari batuan hasil gunungapi dan batuan endapan
lainnya, batugamping koral, batulempung tufaan dan terumbu koral. Batuan
gunungapi terbentuk pada umur Kuarter antara lain terdiri dari breksi, lahar, tuf abu
dan lava.
Batuan terobosan bersusunan andesit, diorit, tonalit dan dasit. Dasit dan
andesit umumnya mengandung pirit. Batuan ini menerobos batuan sedimen dan
batuan gunungapi di atasnya. Batuan terobosan ini berumur Miosen. Endapan
muda terdiri dari endapan hasil gunungapi muda dan aluvium. Struktur yang ada di
daerah ini berarah baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya, sebagian berarah
utara-selatan dan barat-timur.
Tembaga, emas dan perak tipe porfiri ditemukan di Batu Hijau, Sumbawa
Barat. Selain itu cebakan emas terdapat di beberapa daerah dengan tipe epitermal,
seperti di Biang Bambu, Dodo, Senggoro, Pelanggan, Donggamas, Sori Pesa,
Penggembur dan Bangkatmonteh.
Kerikil, pasir, lempung dan batugamping yang terdapat di beberapa tempat
seperti di daerah Praya, Pujut, Taliwang dan Sumbawa Besar dapat digunakan
untuk bahan bangunan dan kapur tohor. Batuapung terdapat di sekitar lereng-
lereng Gunung Rinjani seperti di sekitar Sukamulia dan Kupang.
19
Gambar 1. Peta Daerah Penelitian
20
Gambar 2. Peta Curah Hujan pada Daerah Penelitian
21
BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Seleksi Data Citra Landsat ETM+
Pengolahan Citra Landsat diawali dengan menggabungkan band-band
yang memiliki resolusi spasial sama; yaitu band 1, band 2, band 3, band 4, band 5,
dan band 7 dengan resolusi spasial 30 m. Masing-masing karakteristik band dapat
dilihat pada Tabel 3, sedangkan band 8 dengan resolusi spasial 15 meter
digunakan pada saat fusi multispasial. Dalam penelitian ini band 6 tidak
digunakan karena memiliki resolusi spasial yang rendah yaitu 60 m dan
karakteristik band 6 (infra merah thermal) adalah berhubungan dengan panas
objek di permukaan bumi. Penggabungan band pada citra ini dimaksudkan untuk
dapat mengolah citra secara utuh dengan melakukan seleksi fusi multispektral dan
seleksi fusi multispasial.
Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat-
ETM+ September 2012 dalam liputan (scene) Path/Row 114/66, 115/66, 116/66
wilayah Prov. Nusa Tenggara Barat. Gambar citra Landsat wilayah Prov. Nusa
Tenggara Barat ini disajikan pada Gambar 6,untuk dapat memperlihatkan
kenampakan secara keseluruhan wilayah di sekitar Prov. Nusa Tenggara Barat.
Gambar 3. Citra Landsat ETM+ Wilayah Pulau Lombok dan PulauSumbawa Path/Row 116/66, 115/66, 114/66
5.1.1. Seleksi Fusi MultispektralSeleksi fusi multispektral dalam penelitian ini dilakukan setelah
penggabungan band-band yang memiliki resolusi spasial sama dalam satu citra
kemudian dilakukan pemotongan citra berdasarkan batas koordinat daerah
penelitian yaitu pada wilayah Prov. Nusa Tenggara Barat. Seleksi fusi
multispektral ini dilakukan dengan melihat nilai Optimum Index Factor (OIF).
Berdasarkan perhitungan nilai OIF ini, seluruh wilayah daerah penelitian
didapatkan hasil bahwa nilai OIF tertinggi adalah berturut-turut pada fusi-fusi band
145, 147, 134, 124, dan seterusnya (Tabel 4).
22
Tabel 4. Nilai OIF Daerah PenelitianKombinasi OIF Kombinasi OIF
145 54.4136 247 23.4853147 42.7857 347 21.1658134 38.8017 235 20.3338124 37.0217 257 19.6416157 31.2448 137 19.1133135 28.7847 457 18.2029125 27.9163 127 17.9906245 27.8345 357 17.9521234 24.7241 237 14.6802345 24.6394 123 13.3257
Pemilihan kombinasi band terbaik diambil dari fusi yang memiliki nilai
OIF tertinggi, akan tetapi fusi 145 tidak dipilih melainkan fusi 245 yang dipilih
sebagai kombinasi terbaik walaupun fusi 245 berada diurutan kedelapan. Fusi ini
dipilih karena band 1 memiliki hamburan spektral tinggi yang menaikkan nilai
OIF sehingga tidak dapat mewakili nilai spektral permukaan bumi sebenarnya.
Dari fusi terseleksi 245 ini selanjutnya dipilih warna komposit RGB-nya.
Terdapat 6 kombinasi dari 245 yaitu: 245, 254, 425, 452, 524, dan 542. Dari
keenam kombinasi tersebut dipilih tiga kombinasi yang kenampakannya paling
jelas dan paling kontras.
Dari keenam kombinasi tersebut, fusi 254, 452, dan 542 terlihat lebih jelas
dibandingkan tiga kombinasi yang lain. Kemudian dari ke tiga kombinasi tersebut
diseleksi kembali untuk mendapatkan citra dengan kenampakan bentuk lahan
dan penutup/penggunaan lahan yang paling jelas. Dari proses penyeleksian
akhirnya terpilih citra komposit untuk kenampakan bentuk lahan paling jelas,
yaitu fusi multispektral 452 karena dapat menampilkan detail bentuk permukaan
bumi lebih baik. Untuk kenampakan penutup/penggunaan lahan dipilih fusi
multispektral 542 karena dapat menampilkan warna natural dengan kontras
warna paling tegas dan paling jelas dalam menampilkan penutup/penggunaan
lahan. Variasi komposit RGB dari fusi 542 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hasil Mosaiking Variasi Komposit RGB dari Fusi 542 pada DaerahPenelitian.
23
Menurut Asriningrum (2002), komposit terseleksi menonjolkan dua hal,
yaitu konfigurasi nilai spektral dengan ketajaman warna dan kontras warna, serta
detail kenampakan bentuk lahan. Meskipun pada jenis tampilan memiliki warna
berbeda, namun sebenarnya memiliki variasi spektral yang sama. Citra komposit
RGB hasil fusi multispektal ini merupakan citra warna semu atau bukan warna
sebenarnya. Untuk membuat citra komposit warna sebenarnya dapat dilakukan
melalui fusi band 123 dengan memasukkan setiap band spektral tepat pada filter
merah, hijau, dan biru, sehingga merupakan komposit RGB 321.
Berdasarkan perhitungan nilai OIF pada daerah peneltian diperoleh bahwa
fusi band 123 memiliki nilai OIF terendah atau berada diurutan ke 20. Nilai OIF
untuk fusi band 123 juga menempati urutan ke 20 atau urutan terendah pada hasil
penelitian Asriningrum (2002) untuk daerah model dan verifikasi bentuk lahan
marin, fluvial, struktural, dan vulkanik, sedangkan untuk bentuk lahan karst berada
diurutan ke 19 (Tabel Lampiran 2), sehingga dari hasil tersebut dapat dikatakan
bahwa citra komposit warna semu memiliki tampilan yang lebih baik
dibandingkan dengan citra komposit warna sebenarnya.
5.1.2. Seleksi Penajaman SpektralSeleksi penajaman spektral dilakukan setelah memperoleh hasil citra
komposit dari fusi multispektral, dalam hal ini dipilih fusi 542 sebagai kombinasi
band terbaik untuk kenampakan penutup/penggunaan lahan, sedangkan untuk
kenampakan bentuk lahan dipilih 452 sebagai kombinasi band terbaik. Untuk
penajaman spektral di daerah penelitian yang didominasi bentuk lahan vulkanik
ini, diperoleh hasil penajaman terbaik adalah dengan transformasi autoclip untuk
kenampakan bentuk lahan dan penutup/penggunaan lahan karena dapat
menampilkan warna lebih kontras dengan kenampakan relief untuk bentuk lahan
yang lebih menonjol. Penajaman dengan transformasi autoclip ini cukup sulit
dibedakan dengan transformasi linear dan histogram only, tetapi akhirnya dapat
dibedakan karena transformasi autoclip dapat mengurangi munculnya lapisan
awan pada citra tersebut. Variasi penajaman spektral komposit RGB 542 untuk
penutup/penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Dan
hasil kombinasi dengan DEM SRTM menghasilkan Citra komposit tiga dimensi
seperti terlihat pada gambar 6.
24
Gambar 5. Penajaman Spektral Komposit RGB 542 untuk Penutup/ Penggunaan Lahan di NTB (September 2012).
25
Gambar 6. Kenampaan Tiga Dimensi Provinsi Nusa Tenggara Barat.
26
Hasil pengamatan bentuk lahan dengan metode Brovey 4528 dan RGBI 4528
dengan penajaman High Pass Filter, Sharpen11 menghasilkan informasi yang sangat
detail. Tampilan warna pada citra yang pertama terlihat lebih cerah dibandingkan
dengan citra yang kedua. Namun pada citra RGBI dapat menampilkan relief yang
lebih kontras dibandingkan dengan citra Brovey 4528 dengan penajaman High Pass
Filter, Sharpen11. Hal ini dikarenakan penggunaan rumus yang berbeda pada masing-
masing metode. Secara teknis, pada metode Brovey, fusi citra Landsat ETM+
multispektral dan pankromatik dilakukan pada perlapisan warna RGB dan diproses
secara bersamaan karena citra pankromatik digunakan untuk mengalikan hasil pembagian
setiap band oleh jumlah ketiga band dari tiap lapisan pada citra kompositnya, sehingga
dapat menghasilkan citra yang kontras secara spektral dan bagus untuk kenampakan
alami lahan dan air. Sedangkan pada metode RGBI proses fusi dilakukan terlebih
dahulu dengan mentransformasikan kombinasi tiga band (komposit RGB 452 atau 542)
ke dalam sistem Hue dan Saturasi, dan transformasi citra pankromatik ke dalam
Intensity, sehingga diperoleh nilai Hue, Saturasi, dan Intensity (HSI) yang dihitung
berdasarkan nilai RGB dari kombinasi tersebut, hasilnya kemudian ditransformasi kembali
ke dalam RGB dengan bentuk akhir adalah RGB, sehingga hasil dari fusi ini dapat
mempertipis liputan awan dan pada citra di daerah penelitian ini terlihat lebih kontras
untuk kenampakan relief. Fusi Multispasial Brovey dengan Variasi Penajaman di
Daerah Penelitian dapat dilihat pada gambar 7, sedangkan hasil indentifikasi lar/so
dipulau Sumbawa dengan mengunakan citra geogle dipadukan dengan peta topografi
masing-masing kabupaten disajikan pada gambar berikut.
27
Gambar 7. Fusi Multispasial Brovey dengan Variasi Penajaman di Daerah Penelitian
28
Gambar 8. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan Kabupaten Bima.
29
Gambar 9. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kota Bima
30
Gambar 10. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kabupaten Dompu
31
Gambar 11. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kabupaten Sumbawa
32
Gambar 12. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kabupaten Sumbawa Barat
33
Gambar 12. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kabupaten Lombok Timur
34
Gambar 13. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kabupaten Lombok Tengah
35
Gambar 14. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kabupaten Lombok Barat
PETA TEMATIK PENGUSAHAAN PETERNAKAN KAB. LOBAR
36
Gambar 15. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kabupaten Lombok Utara
37
Gambar 16. Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Kota Mataram
5.2. Data Populasi Ternak dan Penempatannya pada PetaData peternakan dibedakan menjadi dua kategori yakni Ternak Besar dan
Ternak Kecil, adapun rinciannya untuk masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat
pada uraian berikut.
5.2.1. Populasi Kota MataramAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kota Mataram dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Populasi Kota Mataram Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Ampenan 320 4 271 647 29 242 Sekarbela 525 13 153 739 28 4603 Mataram 200 51 101 259 - 9024 Selaparang 108 5 79 351 15 565 Cakranegara 146 - 45 121 3 4276 Sandubaya 504 4 130 305 12 456
Jumlah 1,803 77 779 2,422 87 2,325
38
5.2.2. Populasi Kabupaten Lombok BaratAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kabupaten Lombok
Barat dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Populasi Kabupaten Lombok Barat Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Sekotong 20,254 2,129 48 7,163 - 3,3362 Lembar 17,808 1,630 270 6,164 473 2,4533 Gerung 9,302 2,810 905 9,337 1,580 8,2824 Labuapi 974 56 345 1,409 22 145 Kediri 948 568 317 1,513 598 2,8436 Kuripan 814 825 124 1,181 37 9017 Narmada 7,666 - 316 1,318 - 5,9758 Lingsar 5,001 71 482 904 - 8489 Gunungsari 4,278 84 446 4,605 - 1,04110 Batu Layar 4,075 - 466 2,648 - 790
Jumlah 71,120 8,173 3,719 36,242 2,710 26,483
5.2.3. Populasi Kabupaten Lombok UtaraAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kabupaten Lombok
Utara dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7. Populasi Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Tanjung 10,732 5 237 2,181 - 4,0122 Pemenang 8,608 - 316 1,553 - 1053 Gangga 9,957 - 22 3,595 - 1,9504 Kayangan 15.714 36 26 5,877 - 39,2295 Bayan 21,771 372 29 12,878 - 32,907
Jumlah 66,782 413 630 26,084 - 148,531
5.2.4. Populasi Kabupaten Lombok TengahAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kabupaten Lombok
Tengah dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8. Populasi Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Batukliang 8,936 13 223 293 - 852 Batukliang Utara 10,610 - 48 300 - -3 Janapria 8,586 530 73 4,427 - -4 Jonggat 13,626 297 313 4,290 - 511
39
5 Kopang 8,666 - 265 873 - -6 Praya 4,441 261 272 2,373 8 -7 Praya Barat 11,367 3,386 169 16,017 258 -8 Praya Barat Daya 8,374 4,431 139 2,953 - -9 Praya Tengah 10,515 797 240 6,980 - -10 Praya Timur 2,657 2,239 262 6,984 188 1011 Pringgarata 8,677 30 108 178 - 92012 Pujut 22,574 6,524 92 19,238 - -
Jumlah 119,029 18,508 2,204 64,906 454 1,526
5.2.5. Populasi Kabupaten Lombok TimurAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kabupaten Lombok Timur
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 9. Populasi Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Keruak 514 393 198 5,914 1,329 -2 Jerowaru 1,491 1,848 82 10,192 1,681 -3 Sakra 1,095 3 502 4,898 - -4 Sakra Barat 1,706 18 281 8,728 - -5 Sakra Timur 624 141 209 2,402 - -6 Terara 7,992 - 273 1,700 - -7 Montong Gading 6,365 - 121 306 - -8 Sikur 6,382 - 312 389 - -9 Masbagik 5,687 10 380 3,136 181 -10 Pringgasela 10,833 - 50 1,354 - -11 Sukamulia 927 - 49 292 - -12 Suralaga 3,745 7 213 2,120 - -13 Selong 3,153 10 332 2,791 - -14 Labuhan Haji 5,515 - 227 2,323 - -15 Pringgabaya 3,452 676 1,044 8,465 3,927 -16 Suela 6,973 5 - 2,460 - -17 Aikmel 13,364 - 432 3,611 25 -18 Wanasaba 5,761 1 129 4,122 - -19 Sembalun 5,746 3 25 996 - 2720 Sambelia 7,767 1,333 77 6,183 1,122 -
Jumlah 99,092 4,448 4,936 72,382 8,265 27
5.2.6. Populasi Kabupaten Sumbawa BaratAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kabupaten Sumbawa
Barat dapat dilihat pada tabel berikut:
40
Tabel 10. Populasi Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Taliwang 1,673 2,267 1,143 3,345 1,217 -2 Brang Ene 3,696 958 707 405 - -3 Brang Rea 3,519 2,119 985 250 283 -4 Seteluk 9,366 3,961 1,598 3,449 30 -5 Poto Tano 0,158 1,523 722 6,253 54 3306 Jereweh 4,522 675 315 300 384 -7 Maluk 2,226 159 312 2,196 328 -8 Sekongkang 2,621 396 455 440 449 -
Jumlah 7,781 12,058 6,237 16,638 2,745 330
5.2.7. Populasi Kabupaten SumbawaAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kabupaten Sumbawa
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 11. Populasi Kabupaten Sumbawa Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Sumbawa 6,261 77 286 920 - -2 Labuhan Badas 8,846 351 378 1,852 - 2,0513 Unter Iwis 8,809 587 704 977 - -4 Batu Lanteh 5,305 798 1,275 1,385 - -5 Utan 10,672 646 905 3,553 439 1,2476 Rhee 4,251 140 232 853 38 2867 Buer 2,895 325 446 723 82 -8 Alas 2,420 382 618 358 208 -9 Alas Barat 5,062 1,191 1,012 1,116 285 28510 Moyo Hulu 16,077 6,218 2,218 1,568 - -11 Lenangguar 3,892 3,355 1,579 1,446 - -12 Orong Telu 3,107 1,751 1,654 7,950 - -13 Lantung 2,718 292 1,181 674 - -14 Ropang 4,728 359 3,076 349 - -15 Lunyuk 11,056 1,605 1,427 1,385 - 2,31716 Moyo Hilir 13,033 7,052 4,718 1,948 23 -17 Moyo Utara 8,699 2,250 867 1,426 42 -18 Lape 4,165 5,028 1,171 869 - -19 Lopok 12,783 3,918 3,567 266 12 -20 Maronge 3,396 3,566 412 572 - -21 Plampang 12,157 4,126 3,095 2,008 19 9122 Labangka 6,392 96 119 1,689 - 16723 Empang 3,983 8,399 5,507 3,502 - -24 Tarano 6,628 3,194 2,058 2,007 215 -Jumlah 162,924 55,706 38,505 39,396 1,363 6,444
41
5.2.8. Populasi Kabupaten DompuAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kabupaten Dompu dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 12. Populasi Kabupaten Dompu Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Dompu 9,172 1,530 1,256 7,820 20 -2 Hu'u 2,694 786 78 4,440 19 -3 Kempo 16,437 12,840 1,679 6,127 78 1,1134 Kilo 8,195 1,073 697 1,342 - 1605 Manggalewa 11,582 1,573 747 2,890 - 8856 Pajo 3,406 284 179 2,308 50 -7 Pekat 23,390 377 1,019 5,870 - 1,1928 Woja 10,736 968 1,731 20,523 - -Jumlah 85,612 19,431 7,386 51,320 167 3,350
5.2.9. Populasi Kabupaten BimaAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kabupaten Bima dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 13. Populasi Kabupaten Bima Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Ambalawi 7,024 1,167 188 17,552 - -2 Belo 2,914 206 543 19,194 6,240 -3 Bolo 4,780 178 299 14,521 507 -4 Donggo 4,812 569 852 10,943 1,040 -5 Lambu 6,724 1,342 122 14,146 812 -6 Lambitu 2,541 534 36 3,875 410 -7 Langgudu 7,953 2,175 295 10,638 868 -8 Mada Pangga 8,274 1,424 437 23,555 1,077 -9 Monta 8,338 686 106 15,365 1,460 -
10 Palibelo 3,940 378 427 21,907 2,834 -11 Parado 3,211 276 60 10,206 1,074 -12 Sanggar 10,113 891 640 9,676 390 -13 Sape 5,299 1,034 655 23,426 390 -14 Soromandi 12,509 1,904 513 12,234 1,084 -15 Tambora 4,238 157 21 11,282 150 -16 Wawo 5,823 676 159 13,868 1,092 -17 Wera 14,767 7,629 188 7,125 799 -18 Woha 4,582 777 693 16,455 1,040 -
Jumlah 117,842 22,003 6,234 255,968 21,267 -
42
5.2.10. Populasi Kota BimaAdapun data Populasi Ternak masing-masing kecamatan di Kota Bima dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 13. Populasi Kota Bima Tahun 2011
No KecamatanPopulasi Ternak (Ekor)
Ternak Besar Ternak KecilSapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
1 Asakota 2,948 195 553 2,553 39 -2 RasanaE Barat 436 19 128 2,102 3 -3 Mpunda 1,398 13 540 2,338 105 -4 Raba 2,572 54 515 2,989 143 -5 RasanaE Timur 4,680 413 543 3,910 152 -
Jumlah 12,034 694 2,279 13,892 442 -
5.2.11. Target dan Realisasi Populasi Ternak Prov. NTBAdapun data target dan realisasi populasi ternak masing-masing Kabupaten/Kota se-
NTB tahun 2009 – 2013 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 14. Target dan Realisasi Populasi Ternak Tahun 2009-2013
No Kab/Kota 2009 2010 2011 2012 ASEM I2012 2013
1 Mataram 1,016 1,282 1,803 1,989 2,186 2,193
2 Lobar 67,229 72,861 71,120 81,841 74,461 89,778
3 KLU 56,732 65,159 66,782 76,086 76,086 84,455
4 Loteng 80,574 94,759 119,029 138,502 137,200 152,292
5 Lotim 70,240 80,162 99,092 114,030 110,510 123,187
P.Lombok 275,791 314,223 357,826 412,448 400,443 451,905
6 KSB 32,661 41,536 47,781 54,238 54,393 60,376
7 Sumbawa 132,297 156,797 162,924 187,485 196,224 217,809
8 Dompu 63,198 74,889 85,612 96,163 94,320 104,695
9 Bima 74,671 91,725 117,842 133,952 137,554 152,685
10 Kota Bima 14,257 16,781 12,034 13,546 13,299 14,629
P.Sumbawa 317,084 381,728 426,193 485,384 495,790 550,194
NTB 592,875 695,951 784,019 897,832 896,233 1,002,099
43
Berikut adalah hasil akhir tampilan peta tematik kawasan peternakan setelah melalui proses penempatan data dalam bentuk grafik di masing-masing
kabupaten kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Gambar 17. Data Pupulasi Ternak pada Peta Tematik Pengusahaan Peternakan di Provinsi NTB
44
BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KesimpulanData penginderaan jauh yang terseleksi untuk identifikasi lahan kritis adalah
citra landsat ETM+ dengan komposit 452 dan 542. Untuk identifikasi bentuk lahan
menggunakan hasil fusi multispasial metode RGBI 4528 dengan penajaman High
Pass Filter, Sharpen11, dan untuk identifikasi penutupan/penggunaan lahan
menggunakan metode Brovey 5428 dengan penajaman High Pass Filter,
Sharpen11. Hasil fusi tersebut baik untuk studi geomorfologi maupun
penutupan/penggunaan lahan. Dengan demikian citra landsat ETM+ cukup baik
untuk pemetaan lahan melalui identifikasi bentuk lahan dan penutup/penggunaan
lahan.
6.2. SaranUntuk membuat data spasial lokasi Lar/So dan lokasi pengusahaan
peternakan lainnya, sebaiknya lokasi tersebut diukur koordinat geografisnya.
Kondisi lahan kritis di Prov. Nusa Tenggara Barat harus diperbaiki sehingga
tidak bertambah atau menjadi lahan sangat kritis. Sedangkan manajemen lahan yang
baik dapat dibantu oleh penyuluh pertanian dan pembinaan pengetahuan
masyarakat mengenai kerusakan lingkungan. Sehingga areal pengembangan
peternakan tidak terganggu.
45
DAFTAR PUSTAKA
Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi
Citra(Terjemahan). Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Mather, A.S. 1986. Landuse. Longman. London and New York.
Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta.
Petunjuk Praktikum Studi Kota. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh. Fakultas
Geografi. UGM. Yogyakarta.
Sutanto. 1986. Pengantar Penginderaan Jauh. Gajah Mada University press.
Yogyakarta.
Swain, PH, and Shirley M. Davis. 1978. Remote Sensing (The Quantitative Approach).
Mc. Graw-Hill, Inc. USA. Thornbury, W.D. 1954. Principles of Geomorphology. 2nd
ed. John Wiley & Sons,
Inc. New York. UGM dan Bakosurtanal. 2000. Pembakuan Spek Metodologi
Kontrol Kualitas
Pemetaan Tematik Dasar dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang.
Kerjasama Fakultas Geografi UGM dan Bakosurtanal. Yogyakarta
top related