penentuan posisi marker sekuen stratigrafi sebagai dasar ...€¦ · sedimentasi secara umum...
Post on 16-May-2020
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
32
Penentuan Posisi Marker Sekuen Stratigrafi Sebagai Dasar Pengikat
Korelasi Lithostratigrfi Di Daerah Limau Cekungan Sumatra Selatan
Taat purwanto *), Vijaya Isnaniawaghani **), Budi Mulyana **), Eko Widianto *)
*)Teknik Geologi Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi – Universitas Trisakti.
**) Program studi Geologi Fakultas Teknik Geologi – Universitas Padjadjaran
Abstrak Lapangan minyak di daerah Limau terdiri dari 8 blok struktur antiklin, dimana kondisi
sekarang sudah merupakan lapangan minyak tua. Lapangan ini pada 1 Januari 2005
dikembalikan kepada PT.Pertamina (Persero) dari JOB-PSEL. Pada saat ini 7 blok lapangan
minyak sudah dilakukan injeksi waterflood di beberapa lapisan terpilih. Original Oil In Place
(OOIP) di seluruh Limau status Januari 2005 adalah sebesar 823 MMBbl, kumulatif produksi
diperkirakan sudah mencapai 265.40 MMBbl,dengan Recovery Factor (RF) = 32.24 %.
Tetapi kenyataan sampai sekarang lapangan Limau (Niru) masih produksi di beberapa lapisan
pada sayap antiklin sebelah timur laut, oleh karena itu perlu ditinjau dan dikaji lebih
mendalam mengenai korelasi detil lapisan-lapisan produksi di daerah kawasan Limau ini.
Zona produksi terutama dari Formasi Talang Akar bagian atas (Transition Member/TRM)
dengan interval studi meliputi ± 500 meter, terdiri dari selang seling batupasir, shale,
batugamping dan batubara yang di endapkan pada kondisi lingkungan transisi sampai laut
trangresi secara umum.
Korelasi yang dilakukan di daerah Limau untuk mala lampau masih menggunakan
metode konventional berdasarkan korelasi sand to sand secara lithostratigrafi, hasilnya masih
kurang tepat dan tidak mencukupi untuk kebutuhan mendapatkan bodi reservoir yang
mempunyai genesa dan umur yang sama, pada skala sub-cekungan yang cukup luas. Korelasi
secara sekuen stratigrafi berdasarkan log sumuran (electro facies) yang di integrasikan
dengan data biostratigrafi akan lebih membantu di dalam identifikasi reservoir secara
kronostratigrafi sehingga sand body reservoir yang di identifikasi akan berada pada kondisi
lingkungan genesa dan umur yang sama, dengan demikian reservoir yang di identifikasi akan
sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Di dalam kajian ini di aplikasikan 9 data sumur yang
dilengkapi dengan data biostratigrafi. Kunci utama adalah menentukan Maximum Floading
Surface (MFS)yang melampar secara regional didasarkan pada puncak kelimpahan fosil
(abundance fosil ), dan umur ditentukan berdasarkan fosil-fosil indek yang terkandung
didalam interval tersebut. Setelah MFS ditentukan kemudian baru menentukan batas sekuen
(sequence boundary/ SB) diantara 2 MFS dan biasanya ditandai adanya bidang erosi.
Pada interval F.TAF-TRM telah dapat di identifikasi sebanyak 3 sekuen utama, dimana setiap
sekuen dibatasi oleh batas sekuen(SB) dan pada setiap sekuen dicirikan ada Maximum
Floading Surface(MFS) dan batas sekuen paling atas ditentukan pada posisi Top- F.Talang
Akar. Hasil dari korelasi sekuen stratigrafi ini adalah merupakan marker sekuen yang
merupakan kerangka stratigrafi yang terdiri dari : SB-25 Ma, MFS-22.5 Ma, SB-22 Ma, MFS-
21 Ma, SB-20 Ma, MFS-19 Ma dan Top TAF. Dari 3 sekuen tersebut berdasarkan
lingkungan pengendapannya dibagi lagi menjadi siklus-siklus sedimen yang merupakan
sekuen system tract. Korelasi sand to sand secara lithostratigrafi di dalam koridor kerangka
system tract yang seumur akan menghasilkan bodi batupasir atau reservoir yang mempunyai
genesa dan umur yang sama. Sehingga kerangka marker sekuen ini akan dapat di pakai
sebagai pengikat atau kunci korelasi untuk daerah yang lebih luas di daerah Limau dan
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
33
sekitarnya. Dari korelasi yang sudah dibatasi dengan kerangka system tract ini akan terlihat
apakah hasil korelasi merupakan bodi batupasir yang melampar luas ( bar blanked sand) atau
merupakan endapan yang membaji atau channeling.
Kata kunci: Transition member/TRM, electro facies, Sequence boundary/SB, Maximum
Floading Surface/MFS,System tract.
1. PENDAHULUAN
Lapangan Limau terdapat di Cekungan
Sumatra Selatan,terletak di kota
Prabumulih kurang lebih 90 km sebelah
barat Palembang, daerah ini sekarang
termasuk dalam daerah operasi
EP.Pertamina. (Gambar.1). Lapangan ini
terdiri dari 8 blok struktur antiklin,
dimnana kondisi sekarang sudah
merupakan lapangan tua .Awalnya
lapangan ini dikelola oleh JOB-PSEL dan
pada 1 Januari 2005 karena habis kontrak
dikembalikan ke PT.Pertamina (Persero)
dan langsung dikelola oleh UBEB-Limau.
Saat dikembalikan Original Oil In Place
(OOIP) seluruh Limau adalah sebesar 823
MMBbl dengan kumulatif produksi
sebesar 265.40 MMBbl, jadi kondisi
produksi adalah dengan Recovery Factor
(RF)= 32.24 %. Kondisi sekarang dibawah
pengelolaan PT.Pertamina ternyata
lapangan Limau (Niru,Belimbing,Barat
dan tengah masih berproduksi) bahkan di
Niru produksi dihasilkan dari beberapa
lapisan yang berada di sayap antiklin
sebelah timur-laut, diduga merupakan trap
stratigrafi, oleh karena itu perlu dikaji
lebih mendalam mengenai korelasi
lapisan-lapisan produksi di daerah ini.
Meninjau kajian-kajian terdahulu korelasi
yang dilakukan di daerah Limau untuk
masa lampau masih menggunakan metode
konvensional berdasarkan lithostratigrafi
(sand to sand correlation), hasilnya masih
kurang tepat dan tidak mencukupi untuk
kebutuhan mendapatkan bodi reservoir
yang mempunyai genesa dan umur yang
sama pada skala sub-cekungan yang cukup
luas.
Korelasi secara sekuen stratigrafi
berdasarkan log sumuran (electric facies)
yang di integrasikan dengan data
biostratigrafi akan lebih membantu
didalam identifikasi reservoir secara
kronostratigrafi, sehingga bodi batupasir
sebagai reservoir yang di identifikasi akan
berada pada kondisi lingkungan genesa
dan umur yang sama (Posamentier dan
Vail,1988) , oleh karena itu reservoir yang
diidentifikasi akan sesuai dengan kondisi
yang sebenarnya pada saat di endapkan.
Dengan demikian korelasi menggunakan
kerangka marker sekuen ini akan dapat
dipakai sebagai pengikat atau kunci
korelasi untuk daerah yang lebih luas di
daerah Limau dan sekitarnya
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
Lapangan Limau terletak di Cekungan
Sumatra Selatan yang merupakan
Cekungan Busur Belakang (Back Arc
Basin) Tersier yang terletak sepanjang sisi
barat dan selatan dari dataran Sunda.
Cekungan berbentuk asimetris ini di
sebelah baratdaya dibatasi oleh sesar–sesar
dan singkapan–singkapan batuan Pra-
Tersier yang terangkat di sepanjang
kawasan kaki Pegunungan Barisan. Di
timur-laut dibatasi oleh formasi-formasi
sedimen dari Paparan Sunda. Di sebelah
selatan dan timur dibatasi oleh
Pegunungan Garba dan daerah tinggian
Lampung dan suatu tinggian yang sejajar
dengan pantai timur Sumatra. Di utara dan
barat laut dibatasi oleh Pegunungan Tiga
Puluh dan Pegunungan Dua Belas.
Evaluasi Cekungan Sumatera Selatan ini
diawali sejak Mesozoic (Pulunggono et al.,
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
34
1992), dimana cekungan ini merupakan
salah satu dari seri cekungan busur
belakang Tersier yang terletak sepanjang
Sumatera-Jawa dan berkembang sepanjang
pinggiran utama dari paparan Sunda,
sebagai hasil subduksi dari Lempeng
Samodra Hindia kebawah dari Lempeng
Asia Tenggara (Gambar.2). Secara
struktural Cekungan Sumatera Selatan ini
dapat dibagi menjadi 4 sub cekungan,
yaitu :
• Sub Cekungan Jambi
• Sub Cekungan Palembang Utara
• Sub Cekungan Palembang Tengah
• Sub Cekungan Palembang Selatan
Daerah penelitian termasuk di dalam Sub
Cekungan Palembang Selatan, dimana
struktur geologi Lapangan Limau
menunjukkan jalur antiklinorium Pendopo-
Limau diantara Lematang Depression
(Muara Enim deep) dan Lembak Deep
atau dikenal juga dengan Limau Graben
yang merupakan suatu depresi bagian dari
Sub Cekungan Palembang Selatan.
( Rudd et al.,2013)
2.2 Stratigrafi Regional
Urutan stratigrafi didalam Sub Cekungan
Palembang Selatan telah dilakukan oleh
Tobler, 1908 dalam Spruyt,1956 dalam
Pulunggono 1986. Penelitian selanjutnya
pada pertengahan tahun dua puluhan
menentukan keberadaan ketidakselarasan
antara sedimen Tersier dan batuan Pra-
Tersier yang berada di bawahnya. Sejak
saat itu diskusi dan review stratigrafi
sedimen endapan Tersier telah
didokumentasi dalam laporan-laporan
geologi perminyakan.
Pembagian Lithostratigrafi Sub Cekungan
Palembang Selatan dimulai dengan sekuen
transgresi dengan diendapkannya endapan
vulkanik non marine (Formasi Lahat atau
Formasi Lemat), endapan paralik (Formasi
Talang Akar Bawah) yang sering disebut
sebagai GRM ( Great sand member ),
endapan laut dangkal (Formasi Talang
Akar Atas atau sering disebut sebagai
TRM/Transition Member dan Formasi
Baturaja), dan endapan laut dalam
(Formasi Gumai). Sekuen transgresi pada
bagian atas diikuti oleh sekuen regresi
dengan diendapkannya Formasi Air
Benakat, Formasi Muara Enim dan
Formasi Kasai. Keseluruhan sekuen
sedimentasi secara umum dikenal sebagai
megacycle, dimana pada bagian bawah
berupa fasies transgresi (Telisa Group),
yang terutama terdiri dari material klastik
kasar sampai halus, dan pada bagian atas
berupa fasies regresi (Palembang Group),
yang terdiri dari material klastik kasar.
Dari bawah ke atas urutan stratigrafi di
Sub Cekungan Palembang Selatan
diilustrasikan pada (Gambar.3).
3. METODE PENELITIAN
3.1 Sekuen pengendapan.
Sekuen pengendapan (depositional
sequence), atau biasa disebut sekuen saja,
didefinisikan sebagai kumpulan strata
(parasequence) yang berhubungan secara
genetis dan mengalami perubahan yang
relatif selaras serta dibatasi oleh
ketidakselarasan atau permukaan selaras
yang korelatif dengannya. (Mitchum, 1977
dalam Van Wagoner et al., 1990). Satu
sikuen merepresentasikan satu siklus
relative sea level dan terdiri dari beberapa
system tract yaitu lowstand system tract,
highstand system tract, dan transgresssive
system tract.
Perubahan dari HST ke LST atau Dari
HST ke TST biasanya merupakan bidang
Sequence Boundary ( SB ) yang biasanya
merupakan batas dasar dari suatu
Reservoar yang berupa Channel atau
Distributary Channel yang terendapkan
diatas bidang erosi. Sedangkan perubahan
dari TST ke HST biasanya merupakan
bidang condent section berupa Maximum
Floading Surface (MFS) yang merupakan
pelamparan batu lempung (shale) yang
cukup luas dan berfungsi sebagai batuan
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
35
penyekat yang sangat baik. Kemudian
pada skala yang lebih kecil yaitu setiap
perubahan dari parasekuen satu ke
parasekuen berikutnya selalu dibatasi oleh
Floading Surface (FS) yang umumnya
merupakan fraksi halus berupa shale.
(Kendal,2005)
3.2 System tract
System tract adalah hubungan dari
beberapa sistem pengendapan yang
seumur. Setiap system tract terbentuk pada
tahapan atau waktu tertentu dalam satu
siklus perubahan muka air laut relatif.
System tract dan sekuen didefinisikan atas
bentuk geometri dan hubungan fisik dari
suatu strata dan fasies yang tidak
tergantung pada lamanya pembentukkan,
ukuran atau mekanisme pengendapan.
Diatas System tract dipisahkan oleh
permukaan stratigrafi kunci, permukaan
tersebut yang paling penting adalah
sequence boundary (SB) dan maximum
flooding surface (MFS), dimana diatas SB
biasanya ada batuan reservoir yang cukup
baik dan pada posisi MFS secara umum
merupakan tempat kedudukan dari fraksi
halus yang pelamparannya cukup luas dan
akan berfungsi sebagai batuan penyekat.
Didalam satu sekuen secara umum akan
terdiri dari Lowstand System Tract (LST),
Transgressive System Tract (TST) dan
Highstand System Tract (HST)
(Gambar.4)(Kendal,2005).
3.3 Korelasi Sekuen Stratigrafi
Untuk menentukan marker sekuen telah
dilakukan korelasi sekuen stratigrafi yang
terintegrasi dengan data biostratigrafi
melalui sumur-sumur TB-33A, TB-32,
TL-237, TL-227, TL-8A, TLM-49, TL-
233, TL-221st dan TL-229. Dari data
pemboran yang ada rata-rata sumur
tersebut terdalam hanya mencapai SB-
8 ,Jadi yang dapat ditentukan secara
menyakinkan adalah SB-8,MFS-8, SB-9,
MFS-9, SB-10 dan MFS-10 , yaitu interval
yang mewakili Formasi Talang Akar
bagian atas yang dikenal sebagai F.TAF-
TRM.(Gambar.5). Kemudian untuk SB-8
sampai MFS-1 hanya dapat ditelusuri pada
sumur-sumur yang relative cukup dalam
(TL-260 dan TGK-79) dan tidak tersedia
data biostratigrafi, jadi penentuan marker
sekuen hanya dengan menggunakan data
log (elektrofasies).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis penentuan umur marker
sekuen.
Data biostratigrafi didaerah penelitian
tersedia dari 9 sumur pengembangan yang
tersebar dari lapangan Belimbing
disebelah barat ada 2 sumur ( BEL- 33A
dan BEL-32 ), di lapangan Niru ada 3
sumur ( L5A-227 , 236 dan 237 ), di
lapangan Limau Barat ada 1 sumur (L5A-
8A) , di lapangan Limau Tengah ada 1
sumur ( LMC-49) , di Lapangan Limau P
ada 1 sumur ( L5A-221) , di lapangan Q22
ada 1 sumur ( L5A-233) dan di lapangan
Limau Q51 ada 1 sumur (L5A-229).
(Gambar.6) Dari data biostratigrafi 9 sumur yang ada
dapat ditentukan umur dari marker sekuen
yang mewakili interval dari Formasi
Talang Akar bagian atas (TAF-
TRM),yaiitu:
Posisi SB-8 diperkirakan berumur
Oligosen Akhir (NP.24) berdasarkan
pemunculan fosil polen Meyeripollis
naharkotensis dan Floschuetzia trilobata
dengan umur absolut SB-25 Ma).(TL-
237)(Rahardjo,1994)
Posisi MFS-8 diperkirakan berumur
(NP.25) berdasarkan pemunculan teratas
dari Dictyococcites bisectus dengan umur
absolut (MFS-22.5 Ma) (TL-237).
(Martini.1971)
Posisi SB-9 diperkirakan berumur Oligo-
Miosen atau N4 bagian bawah berdasarkan
pemunculan Heterostegina
cf.H.borneensis (Te bawah) dengan umur
absolut (SB-22Ma) (Berggren,1973)
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
36
Posisi MFS-9 diperkirakan berumur N4
bagian bawah berdsarkan pemunculan
Globigerinoides primordius dan
Globorotalia kugleri (TL-237 dan TL-227)
dan mempunyai umur absolut MFS-21
Ma). (Blow.1969)
Posisi marker SB-10 diperkirakan
berumur N4 bagian tengah atau NN1b
dengan munculnya Cyclicargolithus
obisectus dengan umur absolut (SB-20
Ma).
Marker teratas dari TAF-TRM adalah
MFS-10 diperkirakan berumur N4 bagian
atas atai NN2 berdasarkan pemunculan
Discoaster druggi dan Sphenolithus
belemnos dengan umur absolut (MFS-19
Ma).(lihat Gambar. 7, 8, 9 dan
10).(Martini,1971)
4.2 Korelasi marker sekuen
(kronostratigrafi)
Korelasi marker sekuen telah ditarik dari
barat TB-33A kearah timur sampai TL-229
dan diikat pada datum MFS-10 yang
mempunyai umur Miosen Awal N4 bagian
atas dengan umur absolut MFS-19 Ma,
(Gambar.11). Dari penampang tersebut
tampak bahwa marker marker sekuen
dibawahnya yaitu MFS-9 dan MFS-8
secara lateral mempunyai umur yang
relative sama tetapi diendapkan pada
lingkungan pengendapan dan
paleobatimetri yang bervariasi secara
lateral. (Gambar.12)
5. KESIMPULAN
1. Penentuan marker sekuen stratigrafi
berdasarkan data log yang terintegrsi
dengan data biostratigrafi akan
memberikan hasil yang lebih akurat
dan efektif karena korelasi didalam
satu system tract yang sama atau
seumur akan memberikan identifikasi
bodi reservoir yang mempunyai
genesa dan umur yang sama,dengan
demikian bodi reservoir tersebut akan
sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya.
2. Dari korelasi secara sekuen stratigrafi
di interval F.Talang Akar bagian atas
(TRM) menghasilkan 3 sekuen dan 6
system track dengan batas marker
sekuen dari yang paling tua kemuda
adalah sbb: SB-8 (SB-25 Ma), MFS-8
(MFS-22.5 Ma), SB-9 (SB-22 Ma),
MFS-9 (MFS-21 Ma), SB-10 (SB-20
Ma) dan MFS-10 (MFS-19 Ma)
DAFTAR PUSTAKA
[1]. BATM-UNIV.TRISAKTI, 2012,.
Studi Modeling Geologi dan Simulasi
Lapangan Limau Barat-Tengah
PT.Pertamina-UBEB-LIMAU
(Pertamina Intern Report- Tidak
dipublikasi).
[2]. Barbeau D. , Kendal C, 2005. Clastic
Depositional Systems, Their Respone
to Base level change. kendal@sc,edu
777.2410.
[3]. Blow, 1969., Planktonic Foraminiferal
Zonation (Modified by
LEMIGAS,1974)
[4]. Berggren, 1973., Large and Smaller
Benthonic Foraminiferal Zonation.
[5]. Kendal,C., 2005. Sequence
stratigraphy: A framework of
genetically related stratigraphic facies
geometries and their bounding surface
used to determine depositional setting.
kendall@sc.edu 803-7772410.
[6]. Martini,1971., Calcareous
Nannoplankton Zonation.
[7]. Posamentier H.W. & Vail P.R.,1988.
Eustatic control on clastic deposition-I
Conseptual framework, wilgus et
al,eds.,sea level changes an Integrated
Aproach. SEPM, Special
Publication,no.42,h.109-124.
[8]. Posamentier H.W. & Vail P.R.,1988.
Eustatic control on clastic deposition-
II Sequence and System Tract models.
SEPM, Special
Publication,no.42,h.125-154.
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
37
[9]. Posamentir H.W., and Weimer,P.,
1993. Silisiclastic Sequence
Stratigraphy and Petroleum geology.
The American Association of
Petroleum Geologists
Bullettin,v.77,p.731-742.
[10]. Pulunggono, A, 1986.Tertiary
Structural Features Related to
Extentional and Compressive Tectonic
in the Palembang Basin, South
Sumatera, Proceeding15th IPA
Convention, pp. 187 – 213.
[11]. Pulunggono, A. ,Haryo, A.S and
Kosuma, C.G, 1992. Pre–Tertiary and
Tertiary Fault System as a Frame
Work of The South Sumatra Basin : A
Study of SAR –MAPS, Proceeding
21st IPA Convention, pp. 339 – 360.
[12]. Ratna Asharina Rudd, Suraya
Tulot, Darius Siahaan, 2013,.
Rejuvenating Play Based Exploration
Concept In South Sumatera Basin.,
Proceeding IPA.37th
,May 2013.
[13]. Van Wagoner J.C., Mitchum R.M.,
Campion K.M., Rahmanian
V.D.,1990. Silisiclastic sequence
stratigraphy in well log, core and
outcrops : Concepts for high
resolution correlation of time and
facies, AAPG Metods in Exploration
series, no.7,Tulsa, Oklahoma,55h.
Gambar.1. Lokasi daerah penelitian
LOKASI DAERAH
PENELITIAN
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
38
Gambar.2. Posisi Tektonik Cekungan Sumatra Selatan dan Pembagian sub-cekungan di Cekungan
Sumatra Selatan (Jastek Pertamina,2003)
Gambar.3. Penampang Stratigrafi Sub-Cekungan Palembang Selatan
( Pertamina,2003 ; modifikasi Taat.P,2015)
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
39
Gambar.4. Posisi Maximum Floading Surface (MFS) pada system tract LST,TST danHST (Kendal,2005)
Dengan Metode sekuen stratigrafi akan dapat diidentifikasi marker sekuen terutama Maximum Floading surface (MFS) dan Floading Surface (FS) dengan ciri kandungan
Fosil yang melimpah.
MFS
MFS
MFS
MFS
MFSSB
SB
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
40
Gambar.5. Korelasi sekuen stratigrafi dari barat ke timur melalui TB-33A, TB-32, Tl-227, TL-237, Tl-
240, TL-08A, TLm-49, TL-221, TL-233
MF
W3
W3
W3
W3
W3
W3 W
3 W3
A
B
TB-33
TL-22
TB-
TL-23
TL-22
TLm-
TL-08
TL-24
TL-24
TL-23
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
41
Gambar.6. Lokasi data sumur yang mempunyai data biostratigrafi
Gambar 7. Penentuan posisi marker MFS-8, MFS-9 dan MFS-10 di sumur TL-227
TL-227
TB-33A
T-32
TL-237
TL-08A
TLm-49 TL-221
TL-233
TL-229
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
42
Gambar 8. Penentuan posisi marker MFS-8, MFS-9 dan MFS-10 di sumur TL-237
Gambar 9. Penentuan umur marker SB-8, MFS-8, SB-9, MFS-9, SB-10 dan MFS-10 di sumur TL-237
?
Foram Plangtonik Bentonik Gampingan Bentonik Pasiran Foram Besar
Kedalaman
(Meter)
Je
nis
Pe
rc
on
to
Ba
gia
n R
es
idu
Fo
ra
m Y
an
g D
ian
alis
a
Glo
big
eri
na
sp
p.
Cassig
erinella c
hip
ole
nsis
Pla
nkto
nic
sp
p.
Glo
big
eri
no
ide
s s
ub
qu
ad
ratu
s
Glo
big
eri
na
ve
ne
zu
ela
na
Glo
bo
rota
loid
es s
ute
ri
Ha
stig
eri
na
pra
esip
ho
nife
ra
Ne
og
lob
oq
ua
dri
na
co
ntin
uo
sa
Glo
big
eri
na
an
gu
stiu
mb
ilic
ata
Glo
big
eri
na
pra
eb
ullo
ide
s
Glo
big
eri
na
wo
od
i
Glo
bo
rota
lia
ma
ye
ri
Glo
big
eri
na
fa
lco
ne
nsis
Glo
big
eri
no
ide
s s
pp
.
Glo
bo
rota
lia
me
na
rdii(s
)
Glo
big
eri
no
ide
s a
ltia
pe
rtu
rus
Glo
big
eri
no
ide
s s
accu
life
r
Glo
big
eri
no
ide
s tri
lob
us-g
rou
p
Glo
bo
rota
lia
ple
sio
tum
ida
Glo
bo
qu
ad
rin
a a
ltis
pir
a
Glo
bo
qu
ad
rin
a d
eh
isce
ns
Glo
bo
qu
ad
rin
a p
rae
de
his
ce
ns
Glo
bo
rota
lia
ob
esa
Glo
bo
rota
lia
se
miv
era
Glo
bo
rota
lia
pra
escitu
la
Glo
big
eri
na
glu
tin
ata
Glo
big
eri
no
ide
s p
ara
wo
od
i
Glo
big
eri
na
tella
in
su
eta
Ca
tap
syd
rax u
nic
avu
us
Glo
big
eri
no
ide
s p
rim
ord
ius
Ca
tap
syd
rax d
issim
ilis
Glo
bo
rota
lia
pe
rip
he
roro
nd
a
Glo
big
eri
na
ne
pe
nth
es
Glo
big
eri
no
ide
s o
bliq
uu
s
Sp
ha
ero
idin
ello
psis
se
min
ulin
a
Orb
ulin
a u
niv
ers
a
Glo
bo
rota
lia
me
rotu
mid
a
Bo
livin
a/B
riza
lin
a s
pp
.
Cib
icid
es s
pp
.
Ca
ssid
ulin
a s
pp
.
Ca
ssid
ulin
a la
evig
ata
Cib
icid
oid
es s
pp
.
Fu
rse
nko
ina
bra
dya
na
La
ge
na
sp
p.
Le
nticu
lin
a s
pp
.
No
do
sa
ria
sp
p.
Tri
fari
na
an
gu
losa
Uvig
eri
na
sp
p.
Uvig
erina p
roboscid
ea
Uvig
eri
na
mu
ltic
osta
ta
Gyro
idin
a n
eo
so
lda
ii
Denta
lina s
pp.
Ga
ve
lin
op
sis
lo
ba
tulu
s
Bu
lim
ina
str
iata
An
om
alin
a s
pp
.
Qu
inq
ue
locu
lin
a s
pp
.
Ep
isto
min
ella
sp
p.
Gla
nd
ulin
a s
pp
.
No
nio
n s
pp
.
Am
mo
nia
um
bo
na
ta
Ba
gg
ina
in
dic
a
Sp
ha
ero
idin
a b
ullo
ide
s
Fis
su
rin
a s
pp
.
Am
mo
nia
sp
p.
Glo
bo
ca
ssid
ulin
a s
ub
glo
bo
sa
Cib
icid
oid
es p
se
ud
ou
ng
eri
an
us
He
tero
lep
a s
ub
ha
idin
ge
ri
He
tero
lep
a d
ute
mp
lei
Sip
honin
a t
ubulo
sa
Lagena s
ulc
ata
Elp
hid
ium
sp
p.
An
om
alin
ella
ro
str
ata
?N
eoro
talia s
pp.
Are
na
ce
ou
s s
pp
.
Am
mo
ba
cu
lite
s s
pp
.
Ha
plo
ph
rag
mo
ide
s c
ari
na
tus
Ha
plo
ph
rag
mo
ide
s s
pp
.
Ha
plo
ph
rag
mo
ide
s c
om
pre
ssa
Am
mo
dis
cu
s s
pp
.
Eg
ge
rella
sp
p.
Tro
ch
am
min
a s
pp
.
Te
xtu
lari
a s
pp
.
Do
roth
ia s
pp
.
Ba
thysip
ho
n s
pp
.
Tri
taxia
tri
ca
rin
ata
Te
xtu
lari
a p
se
ud
og
ram
en
Cla
vu
lin
a s
pp
.
Tro
ch
am
min
a n
itid
a
Tro
ch
am
min
a in
fla
ta
Te
xtu
lari
a a
gg
lutin
an
s
Tro
ch
am
min
a s
qu
am
ata
?A
lve
olo
ph
rag
miu
m s
pp
.
Milia
mm
ina
sp
p.
Am
mo
sca
lari
a s
pp
.
?A
mm
otiu
m s
pp
.
Op
erc
ulin
a s
pp
.
Pe
ne
rop
lis s
pp
.
Am
ph
iste
gin
a s
pp
.
Le
pid
ocyclin
a s
pp
.
Sphaero
gypsin
a s
pp.
Hete
roste
gin
a c
f. H
. born
eensis
1284 DC 1/4 47 15 23 0 0 1 4 0 2 14 2 0 1 9 0 0 2 8 0 1 0 0 3 9 1 0 3 1 0 1 0 0 0 2 0 0 1 1 1 1 1
1314 DC 1/4 52 9 17 0 0 1 2 1 16 0 3 0 11 1 7 0 0 4 0 0 6 0 1 1 0 0 0 0 3 1 0 0 0 0 0
1340 DC 1/8 55 16 24 0 3 1 13 1 1 3 0 0 4 2 0 0 7 0 2 2 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0
1362 DC 1/8 51 13 26 0 0 2 0 0 11 3 6 1 5 5 0 0 3 2 2 1 2 0 1 0
1376 DC 3/32 59 19 17 0 0 0 7 2 17 1 3 7 1 4 0 0 3 0 0 1 3 0 3 2 0 0 0 0 0 0 0
1400 DC 1/16 63 15 24 0 0 1 9 0 2 31 2 2 5 2 6 1 0 7 0 0 2 0 2 0 2 1 0 1 1 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1420 DC 1/8 58 21 28 0 0 6 0 1 21 0 2 6 2 3 0 0 8 0 0 2 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0
1440 DC 1/8 52 24 38 0 1 3 0 7 13 2 4 2 3 3 3 0 4 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
1450 DC 3/16 44 21 42 0 0 8 9 15 0 9 1 4 0 0 5 2 0 5 0 0 0 1
1460 DC 3/8 18 4 49 0 1 3 2 6 3 12 0 4 14 0 2 3 8 1 1 2 1 1 0 0 0 0
1476 DC 1/4 31 8 46 0 0 1 1 4 1 9 1 5 0 0 5 2 0 0 2 1 3 1 2 1 2 0 0 0 1 0 0
1490 DC 1/16 47 22 31 1 0 0 8 4 11 1 8 3 9 0 6 0 4 0 4 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1504 DC 3/64 41 24 23 0 0 5 4 13 1 5 2 6 0 4 0 7 3 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1520 DC 1/32 45 26 19 0 0 6 2 15 0 4 0 2 0 7 0 9 2 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1536 DC 1/16 38 23 28 0 0 3 2 10 0 3 0 3 0 5 0 6 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
1550 DC 1/2 29 3 23 1 1 2 14 3 13 1 3 0 1 1 2 2 1 2 1 4 1 1 1 2 1 1 1 3
1570 DC 1/4 20 1 21 0 2 12 1 2 1 0 1 1 1 2 1 1 1 1 3 1 1 2 2 2 1 1
1580 DC 1/4 24 11 1 1 17 1 5 1 2 1 0 3 0 1 1 2 1 0 3 1 2 1 1
1600 DC All 12 16 8 1 2 1 1 1 11 4 7 2
1610 DC All 10 23 1 12 2 2 2 2 1 1 1 3 1 3 2
1624 DC All 11 15 1 3 1 1 1 2 1 2 13 8 2 11 1 2 1 1
1640 DC All 1 4 1 1 2 4 2 29 2 1 13 4 24 1 2 5 3 7 1 4 3 1 1 1
1646 DC All 1 2 1 1 5 1 2 1 3 1 1 1 1 2 1 1 1
1662 DC All 5 6 7 3 4 1 1 1 1 11 5 3
1670 DC All 26 2 16 3 3 1 1 1 1 1 2 2 2
1678 DC All 5 1 1 1 2
1690 DC All 28 1 11 24 2 3 1 3 1 1
1700 DC All 86 33 21 2 5 2 3 1
1710 DC All 14 2 2
1730 DC All 1 3 28 1 1 2
1750 DC All 4 6 1 3
1756 DC All 3 2 12 1 1 5 2 2 1
1768 DC All 5 23 2 7 4 6
1776 DC All 5 13 3 1 1 16 2 1 8
1786 DC All 3 6 27 2 2 21 3 2 10 1
TEBEL PENYEBARAN STRATIGRAFI FORAM
SUMUR : L5A-237
MFS-10 (MFS-19Ma)
MFS-9 (MFS-21Ma)MFS-8 (MFS-
22.5Ma)
SB-8
SB-9
SB-10
MFS-8
MFS-9
MFS-10
Top BRF Top TAF
Inner neritic
Darat/litoral
Transisi
Litoral
Outer neritic
Middle neritic
Outer neritic
Inner to Middle neritic
OLIGOSEN Akhir / Te OLIGOSEN Akhir / TNP25
OLIGOSEN Akhir bagian bawah
Miosen Awal bagian tengah-NN1
Miosen Awal N4 bag.atas
OLIGO-MIOSEN ( Miosen Awal N4 bag. Bawah)
Ikhtisar Biostratigrafi dan Lingkungan pengendapan sumur
TL-237
Miosen Awal N5 bag. tengah Miosen Awal N5 bag. bawah
TL-237 (MD)
MFS-10 (MFS-19Ma)
MFS-9 (MFS-21Ma)
MFS-8 (MFS-22.5Ma)
SB-10 (SB-20Ma)
SB-9 (SB-22Ma)
SB-8 (SB-25Ma)
UMUR Marker Sekuen Stratigrafi
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
43
Gambar 10. Korelasi marker sekuen melalui sumur TB-33A-TB-32-TL-237-TL-227 (Datum MFS-10)
Gambar 11. Korelasi marker sekuen melalui sumur TL-08A-TLm-49-TL-233-TL-229 (Datum MFS-10)
Umur
Umur N4
Umur N5-
?
B
TM
M
S
? ?
M
M
S
T
B
F.
Umur
Umur
Umur N5-To
To
MFS
M
MFS
SB
SB-9
SB
Top TAF (1340m)>>>
Umur N4
Umur
Umur N5-N6
Umur N4
S
S
S
MFS-8
MFS-9
M
To
To
Darat/lit
Transisi
Litoral OLIGOSEN
OLIGO-MIOSEN
Miosen
DATUM DATUM
TB
T
TL
TL
OLIGOSEN
Umur Umur
Miosen Awal
Miosen Awal
Miosen Awal
Miosen Awal N5-
M
M
S
B
M
S
Miosen Awal
Miosen Awal
Miosen Awal N5-
M
S
B
M
SFAULT-78
DATUM
Miosen Awal
Miosen Awal
Miosen Awal
Miosen Awal
S
M
M
S
B
M
S
M
M
Miosen
Miosen Awal- N4
ToMiosen Awal-
S
S
DATUM
Miosen Awal
OLIGOSEN
OLIGOSEN Akhir
TL
TLTL
TL
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
44
Gambar 12. Paleobatimetri MFS-9 bervariasi dari barat (Belimling)- inner neritik di (NIRU)-deep
Middle neritik , di Limau Tengah-Litoral ,di Limau-P dan Q51 –inner neritik.
Litoral
Inner Neritic
Shalow Mid. Neritic
Deep Mid. Neritic
Outer Neritic
MFS-9
MFS-9
MFS-9
Litoral
Inner Neritic
Shalow Mid. Neritic
Deep Mid. Neritic
Outer Neritic
TB-33A
TB-32
TB-32
top related