penerapan model pembelajaranpace …math.fkip.uns.ac.id/wp-content/uploads/2014/06/ruang-1.pdf ·...
Post on 20-Aug-2018
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 25
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANPACE DALAM
MENINGKATKANKEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS
Andri Suryana
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
Jl. Nangka No.58C Tanjung Barat (TB Simatupang), Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530e-
mail:andri_16061983@yahoo.com
Abstrak
Dalam pembelajaran matematika, khususnya di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk
peka terhadap situasi yang sedang dihadapi. Kondisi seperti ini akan memunculkan
kemampuan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan
untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru serta memandang sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda dari yang biasanya. Akan tetapi kenyataannya, mahasiswa hanya
mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh
dosen. Jika mereka diberikan soal-soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka
akan mengalami kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja.
Salah satu model untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematisadalah
Model PACE. Model PACEmerupakan salah satu model pembelajaran berlandaskan
konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project), Aktivitas (Activity),
Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Model tersebut
penting untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika, karena dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif matematis.
Keywords: Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis, Model Pembelajaran PACE
PENDAHULUAN
Materi matematika untuk level perguruan tinggi sulit untuk dipelajari karena materi yang
disajikan lebih bersifat abstrak. Dalam mempelajari matematika, mahasiswa membutuhkan
kemampuan-kemampuan matematis, diantaranya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.
Dalam pembelajaran matematika, mahasiswa dituntut untuk peka terhadap situasi yang sedang
dihadapi. Kondisi seperti ini akan memunculkan kemampuan berpikir kreatif matematis.
Berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan
yang baru serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasa (Evans
dalam Sabandar, 2008).
Akan tetapi menurut hasil penelitian Mettes (1979), mahasiswa hanya mencontoh dan
mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh dosen. Jika mereka
diberikan soal-soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka akan mengalami
kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja.
Salah satu mata kuliah di Program Studi Pendidikan Matematika yang membutuhkan
kemampuan berpikir kreatif matematis adalah Statistika Matematika. Statistik Matematika
merupakan mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa. Dalam pembelajaran di kelas,
mahasiswa cenderung hanya mencatat dan mencontoh bagaimana cara mencari solusi yang telah
dikerjakan dosen. Mereka jarang mengajukan pertanyaan ketika proses pembelajaran dan takut
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
26 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
mencoba cara lain dalam menyelesaikan soal karena masih terbiasa dengan berpikir konvergen
sehingga kurang kreatif. Selain itu, berdasarkan hasil temuan di salah satu perguruan tinggi di
Jakarta terungkap bahwa dosen selama ini menggunakan ekspositori selama mengajar dan
kurang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kreatif karena dosen
cenderung memberikan soal yang bersifat tertutup.
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dalam Mata Kuliah Statistika
Matematika, maka diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh dosen untuk mengelola
pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk secara aktif terlibat
dalam pengkajian materi dan dapat mengkonstruksi konsep-konsep dengan kemampuan sendiri.
Salah satu model yang menganut teori belajar konstruktivisme yang menekankan keterlibatan
aktif mahasiswa adalah pembelajaran Model PACE. Model PACE dikembangkan oleh Lee
(1999) yang merupakan singkatan dari Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran
kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Mahasiswa yang diajarkan oleh
Model PACE jauh lebih terlibat dalam pembelajaran aktif melalui kerja kelompok dan diskusi
kelas (Lee, 1999).
Dikarenakan pentingnya hal tersebut dalam pembelajaran matematika, maka akan dikaji
lebih jauh secara teoritis mengenai penerapan Model PACE dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif matematis. Melalui kajian ini diharapkan dapat menjadi suatu referensi serta
wacana bagi para praktisi pendidikan matematika dalam upaya meningkatkan kualitas
pembelajaran yang lebih efektif dan efisien.
PEMBAHASAN
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Munandar (1999) mengatakan bahwa berpikir kreatif (juga disebut berpikir divergen)
ialah aktivitas berpikir dalam memberikan macam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan
informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian. Menurut
Torrance (dalam Munandar, 1999), kemampuan berpikir kreatif terbagi menjadi tiga hal, yaitu:
(a) Fluency (kelancaran), yaitu menghasilkan banyak ide dalam berbagai kategori/ bidang; (b)
Originality (keaslian), yaitu memiliki ide-ide baru untuk memecahkan persoalan; serta (c)
Elaboration (penguraian), yaitu kemampuan memecahkan masalah secara detail.
Menurut Guilford (dalam Munandar, 1999), terdapat lima indikator berpikir kreatif, yaitu:
(a) Kepekaan (problem sensitivity), adalah kemampuan mendeteksi, mengenali, dan memahami
serta menanggapi suatu pernyataan, situasi, atau masalah; (b) Kelancaran (fluency), adalah
kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan; (c) Keluwesan (flexibility), adalah
kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap
masalah; (d) Keaslian (originality), adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan
cara-cara yang asli, tidak klise, dan jarang diberikan kebanyakan orang; serta (e) Elaborasi
(elaboration), adalah kemampuan menambah suatu situasi atau masalah sehingga menjadi
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 27
lengkap, dan merincinya secara detail, yang didalamnya terdapat berupa tabel, grafik, gambar,
model dan kata-kata.
Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, dosen harus menciptakan kondisi
kelas yang merangsang kepekaan mahasiswa melalui pemberian tugas baru dengan cara: (1)
menyelesaikan soal dengan cara yang lain; (2) mengajukan pertanyaan ―bagaimana jika‖; (3)
mengajukan pertanyaan ―apa yang salah‖; serta mengajukan pertanyaan ―apa yang akan kamu
lakukan‖ (Krulik & Rudnick, 1999).
Berdasarkan uraian di atas, maka kemampuan berpikir kreatif dalam kajian ini adalah
kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), serta elaborasi (elaboration).
Model Pembelajaran PACE
Model PACE dikembangkan oleh Lee (1999) untuk pembelajaran statistika yang
merupakan singkatan dari Proyek (Project), Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif
(Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise). Mahasiswa yang diajarkan oleh Model PACE
jauh lebih terlibat dalam pembelajaran aktif melalui kerja kelompok dan diskusi kelas (Lee,
1999).
Model PACE didasarkan pada prinsip-prinsip: (1) mengutamakan pengkonstruksian
pengetahuan sendiri melalui bimbingan, (2) praktik dan umpan balik merupakan unsur penting
dalam mempertahankan konsep-konsep baru, serta (3) mengutamakan pembelajaran aktif dalam
memecahkan suatu masalah. Teknologi komputer merupakan alat yang diperlukan dalam Model
PACE (Lee, 1999).
Dalam kajian ini, Model PACE akan disesuaikan dengan karakteristik Mata Kuliah
Statistika Matematika. Hal ini dikarenakan dalam mata kuliah tersebut jarang menggunakan
teknologi komputer, justru lebih banyak membutuhkan analisis teori yang bersifat abstrak dan
lebih menekankan pada aspek penalaran deduktif, maka Model PACE akan dilakukan based
paper. Dengan kata lain, pembelajaran menggunakan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM).
Proyek merupakan komponen penting dari Model PACE. Laviatan (2008) mengatakan
bahwa proyek merupakan bentuk pembelajaran yang inovatif yang menekankan pada kegiatan
kompleks dengan tujuan pemecahan masalah yang berdasarkan pada kegiatan inkuiri. Proyek
dilakukan dalam bentuk kelompok. Mereka dapat memilih sendiri topik yang dianggap menarik.
Mereka diminta untuk mencari solusi/penyelesaian dari permasalahan yang dipilihnya. Mereka
diharuskan membuat laporan dari proyek yang dikerjakan. Dalam proyek ini, mahasiswa
dituntut untuk terlibat secara aktif, kritis dan kreatif.Melalui proyek, mahasiswa lebih
memahami konsep dan dapat meningkatkan retensinya serta dapat menggali kemampuan
matematisnya, baik kemampuan kognitif maupun afektif.
Aktivitas dalam Model PACE bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa terhadap
informasi atau konsep-konsep yang baru. Hal ini dilakukan dengan memberikan tugas dalam
bentuk Lembar Kerja Aktivitas (LKA) yang merupakan salah satu bentuk dari Lembar Kerja
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
28 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Mahasiswa (LKM) untuk mempelajari materi. Melalui LKA, mahasiswa diberikan kesempatan
untuk menemukan sendiri konsep yang akan dipelajari.
Pembelajaran kooperatif dalam Model PACE dilaksanakan di kelas. Pada pembelajaran
tersebut, mahasiswa bekerja di dalam kelompok dan harus mendiskusikan solusi dari
permasalahan dalam Lembar Kerja Diskusi (LKD). LKD merupakan bentuk dari Lembar Kerja
Mahasiswa (LKM) untuk mempelajari materi selain LKA. Melalui LKD, mahasiswa
berkesempatan untuk mengemukakan temuan-temuan yang diperoleh pada saat diskusi. Selama
diskusi, terjadi pertukaran informasi yang saling melengkapi sehingga mahasiswa mempunyai
pemahaman yang benar terhadap suatu konsep.
Latihan dalam Model PACE bertujuan untuk memperkuat konsep-konsep yang telah
dikonstruksi pada tahap aktivitas dan pembelajaran kooperatif dalam bentuk penyelesaian soal-
soal. Latihan ini diberikan kepada mahasiswa berupa tugas tambahan yang termuat dalam
Lembar Kerja Latihan (LKL) agar penguasaan terhadap materi lebih baik lagi. Tahap latihan
berkaitan dengan refleksi seperti dalam Polya pada langkah ke-4 nya, yaitu memeriksa kembali
hasil dan proses (Polya, 1981:16).
Berdasarkan penjelasan di atas, Model PACE dalam kajian ini merupakan salah satu
model pembelajaran berlandaskan konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project),
Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise)
dengan menggunakan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) dalam proses pembelajarannya.
Penerapan Model Pembelajaran PACE dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematis
Penerapan Model PACE dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis
terlihat dari langkah-langkah pembelajarannya, yaitu:
1) Dalam tahap aktivitas, dosen memberikan LKA (Lembar Kerja Aktivitas) kepada
mahasiswa untuk dikerjakan di rumah sebelum perkuliahan. Pada saat perkuliahan, dosen
membahas LKA secara klasikal yang dikerjakan oleh mahasiswa dengan memperhatikan
peran aktif mahasiswa agar tidak terjadi miskonsepsi. Adapun contohnya adalah sebagai
berikut:
Berdasarkan soal bagian a) sampai c), terlihat bahwa mahasiswa dituntut untuk
menguraikan materi sebagai sarana untuk memperkenalkan informasi atau konsep-konsep
yang baru. Untuk menyelesaikan soal bagian d), mahasiswa membutuhkan informasi yang
ada dari uraian sebelumnya. Soal yang diberikan berkategori sedang.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 29
2) Dalam tahap pembelajaran kooperatif, dosen memberikan LKD (Lembar Kerja Diskusi)
ke setiap kelompok terkait dengan materi yang dibahas. Ini merupakan kelanjutan dari
LKA dan memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Adapun contohnya adalah sebagai
berikut:
Berdasarkan contoh di atas, terlihat bahwa dibutuhkan kemampuan berpikir kreatif
matematis untuk menyelesaikannya. Pada tahap ini, mahasiswa berkesempatan untuk
mengemukakan temuan-temuan yang diperoleh pada saat diskusi agar terjadi pertukaran
informasi sehingga terbentuk pemahaman yang benar terhadap suatu konsep.
3) Dalam tahap latihan, dosen memberikan tugas tambahan untuk memperkuat konsep-
konsep yang telah dikonstruksi pada tahap aktivitas dan pembelajaran kooperatif dalam
bentuk penyelesaian soal-soal. Melalui tahap ini, mahasiswa diminta mencoba berbagai
tipe soal agar memperkuat konsep. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
4) Pada tahap proyek, dosen memberikan tugas proyek kepada mahasiswa yang dikerjakan
dalam bentuk kelompok. Mahasiswa dapat memilih sendiri topik yang dianggap menarik
sesuai dengan materi. Mereka diminta untuk mencari solusi/penyelesaian dari
permasalahan yang dipilihnya. Mereka diharuskan membuat laporan dari proyek yang
dikerjakan dan dikumpulkan pada waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan antara dosen
dan mahasiswa. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
30 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Tugas Proyek
Topik Masalah : Teori Antrian
Petunjuk:
1. Setiap kelompok diharuskan memilih salah satu jenis antrian dengan desain single
channel, single server sebagai aplikasi dari materi Statistika Matematika 1. Misalkan
antrian di ATM, di Bank, restoran, dan lain-lain.
2. Setiap kelompok diharuskan terjun ke lapangan berdasarkan jenis antrian yang
dipilihnya untuk mengetahui lebih lanjut mengenai teori antrian.
3. Pahamilah pertanyaan-pertanyaan dalam tugas proyek ini. Apabila mengalami
kesulitan, silakan konsultasikan dengan dosen.
4. Susunlah sebuah laporan kelompok mengenai solusi dari pertanyaan yang diberikan
dengan baik, dan dikumpulkan di akhir pertemuan.
5. Setiap laporan dari tiap kelompok wajib dipresentasikan di dalam kelas.
Pertanyaan-pertanyaan:
1. Uraikanlah mengenai teori antriandengan memanfaatkan informasi dari berbagai
sumber.
2. Berikut ini akan diuraikan mengenai aplikasi dari teori antrian.
Berdasarkan jenis antrian yang dipilih, jawablah pertanyaan berikut ini sesuai dengan
data lapangan yang ada. Tentukanlah:
a) Banyaknya customer dalam sistem.
b) Jumlah rata-rata customer yang datang persatuan waktu.
c) Jumlah rata-rata customer yang dilayani persatuan waktu.
d) Tingkat intensitas pelayanan customer.
e) Peluang tidak ada customer dalam sistem.
f) Peluang kepastian ncustomer dalam sistem.
g) Jumlah rata-rata customer yang diharapkan dalam sistem.
h) Waktu yang diharapkan oleh customer dalam sistem.
i) Waktu yang diharapkan oleh customer selama menunggu dalam sistem.
j) Jumlah customer yang diharapkan menunggu dalam sistem.
SELAMAT MENGERJAKAN
Berdasarkan tahap-tahapan di atas, terlihat secara teoritis bahwa Model PACE dapat
diterapkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dalam Mata Kuliah
Statistika Matematika.
SIMPULAN DAN SARAN
Karakter Mata Kuliah Statistika Matematika yang bersifat abstrak, menekankan pada
aspek penalaran deduktif, dan memerlukan pemahaman secara analitik menuntut mahasiswa
memiliki mental yang kuat dalam mempelajarinya. Mahasiswa dituntut untuk menggali
kemampuan berpikir kreatif matematisnya. Salah satu model untuk dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif matematis adalah Model PACE. Model PACEmerupakan salah satu
model pembelajaran berlandaskan konstruktivisme yang memiliki tahap/fase: Proyek (Project),
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 31
Aktivitas (Activity), Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) dan Latihan (Exercise).
Melalui kajian ini, diharapkan dapat dikembangkan ke arah penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Herrhyanto, Nar & Tuti G. (2009). Pengantar Statistika Matematis. Bandung: Yrama Widya.
Krulik, S. & Rudnick. (1999). Innovative Tasks to Improve Critical dan Creative Thinking
Skills. Dalam Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Virginia: NCTM.
Laviatan, T. (2008). Innovative Teaching and Assessment Method: QBI and Project Based
Learning. Mathematics EducationResearch Journal,Vol 10, 2, 105-116.
Lee, Carl. (1999). An Assesment of the PACE Strategy for an introduction statistics Course.
USA: Central Michigan University.
Mettes, C.T.W. (1979). Teaching and Learning Problem Solving in Science A General Strategy.
International Journal of Science Education, 57(3), 882-885.
Munandar, U. (1999). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineca Cipta.
Polya, G. (1981). Mathematical Discovery : On Understanding, Learning, and Teaching
Problem Solving. New York : John Wiley Inc.
Ross, S. M. (2000). Introduction to Probability Models. Ed. ke-7. San Diego: Academic Press.
Sabandar, J. (2008). Berpikir Reflektif. Makalah. Prodi Pendidikan Matematika SPS.UPI : Tidak
diterbitkan.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
32 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
ANALISIS KUALITAS RESPON SISWA IDEALIST
DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA BERBASIS TAKSONOMI
SOLO (STRUCTURE OF OBSERVED LEARNING OUTCOME) PADA SISWA
KELAS XI SMK SMTI YOGYAKARTA TAHUNPELAJARAN 2013/2014
Maryani
1), B. Kusmanto
2)
1) Program Studi Pendidikan Matematika, PMIPA FKIP UST
Jl. Batikan, Tuntungan, UH III Yogyakarya, e-mail: ryavicky@yahoo.co.id
2) Program Studi Pendidikan Matematika, PMIPA FKIP UST
Jl. Batikan, Tuntungan, UH III Yogyakarya, e-mail: -
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas respon siswa idealist
dalam pemecahan masalah matematika. Penelitian menggunakan metode kualitatif
deskriptif. Terdapat 3 subjek terpilih dengan purposive sampling terdiri dari siswa tipe
kepribadian idealist. Instrumen yang digunakan Kiersey Temperament Sorter dan tes
penyelesaian masalah matematika. Respon siswa didasarkan taksonomi SOLO.Teknik
pengumpulan data menggunakan test, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan teknik
analisis data mengacu pada Lexy J. Moelong. Triangulasi data dan dependabilitas
digunakan sebagai teknik keabsahan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2
subjek berada pada level unistruktural dan 1 subjek pada level multistruktural.
Keyword : proses berfikir, idealist, taksonomi
PENDAHULUAN
Nativis berpendapat bahwa pembawaan atau factor-faktor endogen menentukan
perkembangan anak. Faktor-faktor eksogen tak akan kuasa mengubah factor-faktor
endogen. Schopenhauer sebagai tokoh aliran nativis menyatakan bahwa tidak mungkin kita
dengan pendidikan mengubah pembawaan anak. Tak ubahnya menempa loyang menjadi
emas dan sebaliknya. Pasti berdampak pada adanya macam kepribadian terdapat pada satu
kelas dalam individu yang berbeda-beda. (Fudyartanta : 2012, 56)
Para pakar telah mendefinisikan macam-macam kepribadian berdasarkan pemikiran
dan pendapat mereka. Salah satunya David Kiersey (1984) mengkategorikan kepribadian
siswa ada 4 macam yaitu guardians, artisans, idealist dan rationals. Kepribadian idealist
dipilih sebagai subjek dikarenakan memiliki salah satu ciri-ciri yaitu lebih banyak
berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata abstrak dan perumpamaan dan lebih senang
berbicara mengenai hal-hal yang tidak secara nyata dapat diamati, tetapi hanya dapat
dibayangkan. Hal ini sejalan dengan karakteristik matematika yang didominasi hal abstrak.
Sejalan dengan kepribadian siswa, Biggs dan Collis (1982) dalam Subyantoro
menyatakan dalam pengamatannya dalam mengamati siswa saat pembelajaran, respon anak
bervariasi terhadap tugas-tugasyang sejenis. Suatu saat seorang anak menunjukkan tingkat
yang lebih rendah,tetapi disaat lain menunjukkan tingkat yang lebih tinggi. Mereka
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 33
beranggapanbahwa hal ini bukanlah sekedar pengecualian tetapi memang begitusifat alami
perkembangan intelektual anak.
Sedangkan Gieles dalam Ali Syahbana (2010:51) mengartikan berpikir adalah
berbicara dengan dirinyasendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan,
menganalisis,membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan,
menelitisesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu
samalain. Jadi peserta didik akan dipacu untuk mencari, mempelajari dan menemukan
pemahaman.
Oleh karenanya digunakan taksonomi SOLO yang merupakan suatu sarana sehingga
menungkinkan para guru mengidentifikasi kompleksitas serta kualitas pikiran peserta didik.
Taksonomi ini dapat digunakan untuk memperbaiki hasil-hasil pembelajaran dengan
penambahan kualitas umpan balik. Juga berguna untuk memfasilitasi proses mental
terutama untuk memperoleh dan mencapai tujuan atau denga kata lain sebagai alat belajar
berfikir. Taksonomi memecahkan bagian menjadi unit-unit yang berhubungan dengan unit
lainnya secara komprehensif, akan tetapi ringkas dan jelas sebagai kata kunci.serta
bertujuan untuk meningkatkan komunikasi dan sebagai alat praktik pengidentifikasian oleh
para pendidik. (Wowo Sunaryo ,2012:98)
Pengelompokkan tingkat kemampuan siswa pada lima level berbeda dan bersifat
hirarkis, yaitu level 0: prastruktural yaitu belum bisa mengerjakan tugas yang diberikan
secara tepat, level 1: unistruktural yaitu siswa dapat menunjukkan hubungan yang jelas dan
sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep belum dipahami,
level 2: multistruktural yaitu siswa memahami beberapa komponen namun masih bersifat
terpisah tapi belum membentuk pemahaman secara komprehensif, level 3: relasional yaitu
siswa memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan
sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa.dan level 4: extended abstract yaitu
siswa dapat menghubungkan tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan
saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu.
Mengacu pada kondisi diatas maka penelitian akan difokuskan tingkat kompleksitas
pemahaman dalam pemecahan masalah matematika diantaranya adalah bagaimana respon
siswa idealist pada tingkat prestruktural, unistruktural , multistrultural, relational dan
extended abstract.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan meneliti fenomena
yang terdapat pada realita.Penelitian ini bersifat derkriptif kualitatif artinya data diperoleh
dari hasil pengamatan, analisis dokumen dan catatan lapangan yang nantinya akan menjadi
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
34 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
suatu deskripsi dari subyek. Dalam penelitian ini kedudukan peneliti sebagai instrument
utama. Bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data,
dan pelapor hasil.
Waktu dan Tempat Penelitian
Dilaksanakan di SMK SMTI Yogyakarta. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni
2013 sampai November 2013.
Target/Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK SMTI Yogyakarta, terdiri dari
5 kelas masing-masing dengan jumlah 32 siswa. Setelah pengisian KTS didapatkan 12
siswa idealist, sedangkan melalui teknik purposive sampling maka didapatkanlah 3
siswa idealist. ketiga siswa tersebut yaitu Ti, H1, dan C1.
Prosedur Penelitian
Pada awalnya siswa diberikan tes menggunakan KTS menyeleksi siswa sesuai kriteria
idealist. Siswa terpilih selanjutnya diberikan lembar kerja siswa sebagai instrument tahap
kedua. Hasil pengerjaan soal uraian oleh siswa dianalisis untuk mengetahui sejauh mana
respon siswa dalam menghadapi masalah matematika diantara 5 level yaitu prestruktural,
unistruktural, multisrtuktural, relasional dan extended abstrak.
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan yaitu test, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan insrumen
yang digunakan yaitu Kiersey Temperament Test (KTS) dan soal matematika uji terpakai
dengan validasi konstruk.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan metode alur yang berpedoman pada Moeleong yaitu
metode perbandingan tetap terdiri reduksi data, kategorisasi, sintesasi dan menyusun
hipotesis kerja. Sedangkan untuk keabsahan data yang digunakan yaitu kredibilitas berupa
teknik triangulasi data dan depentabilitas atau audit trail.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis terhadap pemecahan masalah matematika dilakukan tersendiri menggunakan
instrumen soal selanjutnya dilakukan wawancara. Tipe kepribadian idealist dengan dimensi
teacher, champion, healer. Sedangkan untuk kepribadian idealist dimensi counselor tidak
ditemukan dalam hasil test. Namun peneliti tidak menekankan pada masing-masing dimensi
namun hanya pada respon siswa kepribadian idealist terhadap pemecahan masalah
matematika.
Validasi dari guru matematika menunjukkan pemecahan soal matematika layak
digunakan sebagai instrument penyelesaian masalah matematika. Selanjutnya melakukan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 35
wawancara dengan sampel terpilih (siswa kepribadian idealist) mengenai cara pengerjaan
soal ditinjau dari pemahaman terhadap soal.
Hal- hal yang dianalisis dari wawancara tersebut meliputi (1) Proses pengerjaan dan
aturan yang dipakai dalam mengejakan soal matematika, (2) Syarat yang harus diketahui
agar bisa mengerjakan soal, (3) Aplikasi terhadap soal serupa
Pada hasil pekerjaan subjek dalam L1 dan L2 sangat terlihat bahwa T1 kurang teliti
dan berhati-hati pada saat mengoperasikan bilangan dan menerapkan sifat-sifat aljabar
sehingga mengalami kesalahan dalam melakukan manipulasi dan menyebabkan kesalahan
dalam hasil subtitusi limit secara langsung pada akhir penyelesaian.
Subjek telah mampu: (1) mengekspresikan membaca soal melalui tulisan serta
berusaha mendemonstrasikannya dalam bahasa matematika, (2) Mengingat dan
menggunakan konsep-konsep matematika untuk menyelesaikan soal matematika agar
mampu menyajikan jawaban yang sesuai, (3) Prosedur sederhana meliputi operasi hitung
dan aplikasi matematika telah terbentuk.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa T1 memahami
hubungan konteks satu dengan konteks yang lain namun belum sepenuhnya dipahami. Pada
intinya siswa mampu mengidentifikasi soal, mengingat, melakukan prosedur sederhana dan
berfokus pada satu aspek yang relevan sehingga T1 tergolong unistruktural.
H1 juga mengalami kesalahan seperti T1 dalam memahami operasi hitung bilangan
akar pada baris pertama. Meskipun begitu H1 mampu: (1) mengekspresikan ide-ide
matematika melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya
secara visual, (2) Mengidentifikasi unsure-unsur yang diketahui melalui kecukupan unsure
yang diperlukan, (3) Metode yang digunakan menunjukkan pemahaman dan interpretasi
baik secara lisan maupun tulisan, (4) Proses berpikirnya mampu menyelesaikan soal yang
mempunyai keterkaitan dengan kemampuan mengingat, berusaha mengenali hubungan
diantara konsep-konsep dan adanya hubungan sebab akibat sehingga memunculkan
gagasan-gagasan original, (5) Operasi aljabar dan operasi hitung tercipta dalam prosedur
penyelesaian soal.
Dapat disimpulkan telah mampu mengidentifikasi, mengingat dan melakukan
prosedur sederhana. Bahkan telah menempuh dua cara penyelesaian soal, memahami
komponen-komponen secara umum namun tidak mampu menemukan koneksi keduanya
sehingga tidak membentuk pemahaman. Sehingga H1 termasuk golongan multistruktural.
Sedangkan proses berpikir C1 menyelesaikan mempunyai keterkaitan dengan
kemampuan, membuat hubungan diantara konsep-konsep matematika, membuat analogi.
Operasi hitung dan aljabar tercipta secara runtut dan sistematis sesuai konsep sehingga
ditemukan suatu penyelesaian soal matematika hingga tuntas.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
36 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Secara keseluruhan C1 mampu: (1) memahami beberapa komponen dalam kesatuan
konsep, (2) Mengaplikasikan konsep dalam keadaan yang serupa, (3) Mengidentifikasi,
mengingat dan melakukan prosedur sederhana, membilang, menjelaskan dan menjelaskan,
(4) Pada hasil akhirnya. tidak terdapat kesalahan dalam memanipulasi data pada operasi
aljabar juga dalam operasi hitung bilangan.
Namun begitu subjek C1 hanya berfokus pada satu penyelesaian masalah. Artinya
dalam hal ini meskipun soal yang ada mempunyai kemungkinan satu penyelesaian tapi tidak
menutup kemungkinan untuk mencoba teknik lain. Oleh karena itu C1 termasuk kategori
unistruktural.
SIMPULAN DAN SARAN
Respon siswa idealist pada tugas matematika teridentifikasi pada level unistruktural
dan multistruktural. Pada unistruktural telah mampu subjek secara utuh mampu
mengidentifikasi soal secara menyeluruh, mengingat proses hingga melakukan prosedur-
prosedur sederhana namun dalam proses penyelesaian soal sehingga kompleksitas
pemahaman terpisah-pisah seiring pengetahuan kognitif yang belum terbentuk.Pada
multistruktural telahmampu membilang dan mencacah angka, mampu menjelaskan
struktur, mengerjakan minimal dua alternatif jawaban namun tidak mampu untuk membuat
hubungan antar keduanya. Secara keseluruhan subjek telah mampu mengklasifikasi soal
kedalam suatu kategori tertentu serta melakukan prosedur sederhana dalam pengerjaan
soalnya.
DAFTAR PUSTAKA
David Kiersey. 1998. Please Understandme II. United States of America. Prometheus
Namesis Books.
Ki Fudyartanta. 2012. Psikologi perkembangan. Yogyakarta. Pustaka PelajaR
Moleong, Lexy J. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sri Adi Widodo. 2012. Proses Berfikir Mahasiswa dalam Menyelesaikan Masalah
Matematika Berdasarkan Tipe Kepribadian Idealist. Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa Yogyakarta
Subyantoro.___. Pengembangan Perangkat Evaluasi Berdasarkan Taksonomi The
Structure Of The ObservedLearning Outcome (SOLO) Pada Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia. Universitas Negeri Semarang
Wowo Sunaryo Kusnawa. 2012. Taksonomi Kognitif Pengembangan Ragam Berfikir.
Bandung. PT Remaja Rosdaka.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 37
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED
HEAD TOGETHER ( NHT ) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR
MATEMATIKA SISWA SMA
Hastuti Lastiurma Pakpahan
Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana UPI
Jl. Dr. Setiabudhi N0.229, Bandung 40154, email: tutiecx@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh dan berapa besar
pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap
motivasi belajar matematika siswa pada materi pokok kaidah pencacahan di kelas XI
SMA Budi Murni. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen. Populasi penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas XI IPA yang terdiri dari 3 kelas dengan sampel terdiri dari 2
kelas siswa yaitu; 40 orang kelas XI IPA-1 sebagai kelas eksperimen menggunakan
model pembelajaran kooperatif Tipe NHT dan 39 orang kelas XI IPA-2 sebagai kelas
kontrol dengan model pembelajaran konvensional. Hasil penelitian diperoleh rata-rata
skor motivasi awal kelas eksperimen 51,95 (64,8%) dan kelas kontrol 52,41 (65,5%) yang
masih dalam kategori rendah. Rata-rata skor motivasi akhir eksperimen 59,47 (74,34%)
dan kelas kontrol 56,35 (70,43%). Uji hipotesis yang digunakan adalah uji regresi dan
diperoleh untuk kelas kontrol 𝑟 = 0,5569 dan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027.
Sedangkan kelas eksperimen 𝑟 = 0,6203 dengan dk = 38, 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 >
2,025 maka pembelajaran di kedua kelas memiliki pengaruh. Besar pengaruh
pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih tinggi dibanding pembelajaran konvensional
dengan masing-masing 38,5% dan 31,0%.Dengan demikian berarti ada pengaruh yang
signifikan antara model pembelajaran kooperatif tipe NHTterhadap motivasi belajar
matematika siswa.
Kata Kunci— Model pembelajaran Kooperatif tipe NHT, Motivasi belajar siswa, Kaidah
pencacahan.
PENDAHULUAN
Matematika sebagai ilmu dasar yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari
merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Erlangga (dalam
Juliana, 2006:1) menyatakan :
―Matematika sebagai ilmu dasar, memegang peranan yang cukup penting dalam banyak
bidang ilmu terapan. Setelah sukses diterapkan dalam bidang astronomi dan mekanika,
matematika telah berkembang menjadi alat analisis yang penting dalam bidang fisika dan
juga engineering. Dengan demikian matematika telah menjadi komponen esensial dalam
kegiatan hidup‖.
Disamping itu matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi dan
meningkatkan daya pikir manusia. Dengan belajar matematika dapat meningkatkan kemampuan
berfikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan. Oleh karena itu, matematika telah dipelajari
mulai dari sekolah rendah (taman kanak-kanak) sampai pada perguruan tinggi.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
38 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Peranan penting matematika dalam kehidupan seharusnya membuat matematika menjadi
mata pelajaran yang diminati dan menarik. Namun faktanya banyak siswa yang kurang
menyukai matematika karena dianggap sulit dan tidak menarik. Hal yang sama Kristini ( 2007:
1) menyatakan bahwa:
―Kebanyakan siswa menganggap pelajaran matematika adalah pelajaran yang paling sulit
dimengerti, ketidakberhasilan siswa dalam mempelajari matematika antara lain adalah
siswa belum mampu menangkap konsep/lambang-lambang dengan benar yang sifatnya
abstrak.. Misalkan pada Materi Peluang tentang permutasi dan kombinasi di kelas XI,
mudah menghapal dan mengingat materi tersebut, namun sulit memahami serta
menerapkan dalam soal yang berupa pemecahan masalah. Siswa sering menyelesaikan soal
dengan menerapkan rumus secara bergantian antara rumus permutasi dan rumus
kombinasi.‖
Selanjutnya Syaban ( 2011 : 1 ) menyatakan bahwa:
―Masalah klasik dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi
siswa dan kurangnya motivasi siswa untuk belajar matematika. Hal ini terlihat bahwa
siswa kita kalah bersaing dengan Singapura dan Malaysia, posisi peringkat siswa kita jauh
tertinggal. Singapura di peringkat pertama dan Malaysia di peringkat ke sepuluh,
sementara kita masih di peringkat 411.‖
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa masalah pembelajaran matematika
di Indonesia adalah rendahnya prestasi siswa dan kurangnya motivasi belajar matematika siswa.
Khususnya dalam materi pokok kaidah pencacahan yang membutuhkan analisis dari siswa
sehingga materi ini dianggap materi yang sulit dan siswa kurang termotivasi untuk
mempelajarinya. Hal ini dapat disebabkan karena pembelajaran yang diterapkan tidak
memotivasi siswa dalam belajar matematika ataupun tidak adanya motivasi dari guru dalam
proses belajar mengajar.
Berdasarkan observasi proses belajar mengajar yang dilakukan peneliti pada tanggal 9
Maret 2011 di SMA Budi Murni 2 Medan, peneliti menemukan bahwa guru tidak memberikan
motivasi saat belajar matematika. Metode ceramah yang digunakan guru dalam pembelajaran
membuat siswa tidak temotivasi belajar. Hal ini dapat dilihat dari kondisi siswa yang tidak
fokus saat belajar yaitu ada 18 orang yang tidak fokus dengan mengerjakan aktifitas lain diluar
pembelajaran matematika (mengantuk, membicarakan hal yang tidak berhubungan dengan
pembelajaran, mengganggu teman, bermain), suasana kelas yang tidak kondusif, saat guru
memberikan soal tidak ada siswa yang termotivasi dan percaya diri untuk menjawab soal
tersebut, dan hanya 1 orang siswa yang bertanya kepada guru walaupun pada dasarnya mereka
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 39
belum mengerti pelajaran tersebut. Data dan kondisi tersebut menunjukkan bahwa motivasi
belajar matematika siswa di kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan masih rendah.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru didapat bahwa model
pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran konvensional yaitu dengan metode
ceramah, tanya jawab. Dan guru menyatakan bahwa siswa kurang memiliki motivasi terhadap
mata pelajaran matematika dan kurang aktif bertanya di dalam kelas.
Sesuai dengan uraian di atas, masalah utama dalam peningkatan kualitas belajar adalah
rendahnya motivasi belajar matematika siswa. Padahal mata pelajaran matematika khususnya
dalam materi pokok kaidah pencacahan membutuhkan suatu penalaran dalam pemecahan
masalahnya. Namun karena kurangnya motivasi siswa dalam belajar matematika materi pokok
ini dianggap siswa menjadi topik yang membosankan dan sulit. Kurangnya motivasi belajar
siswa tersebut perlu ditumbuhkan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Karena dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), terdapat berbagai upaya yang dapat dilakukan
sebagai tindak lanjut pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal tersebut
antara lain mencakup peningkatan aktivitas dan kreatifitas peserta didik serta motivasi belajar.
Seperti dikemukakan oleh Mulyasa (2007:264) yang menyatakan bahwa:
―Peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi belajar
yang tinggi. Dengan kata lain seorang peserta didik akan belajar dengan baik apabila ada
faktor pendorongnya (motivasi). Dalam kaitan ini guru dituntut memiliki kemampuan
membangkitkan motivasi belajar peserta didik sehingga dapat membentuk kompetensi dan
mencapai tujuan belajar.‖
Hal serupa Mohamad Nur (dalam Pujiati, 2008 : 3) mengemukakan bahwa:
―Banyak faktor yang mempengaruhi kemauan untuk melakukan upaya dalam
pembelajaran, terentang dari kepribadian, kemampuan siswa sampai tugas-tugas
pembelajaran, perangsang untuk belajar, tatanan pelajaran, dan perilaku guru. Tugas
pendidik menemukan, menggugah, dan mempertahankan motivasi siswa untuk belajar, dan
terlibat dalam aktivitas yang menuju pada pembelajaran, sehingga motivasi siswa dalam
pembelajaran akan meningkat. Meningkatnya motivasi belajar siswa, dan meningkatnya
perbuatan untuk tuntas belajar, dapat meningkatkan hasil belajar siswa.‖
Sesuai dengan pendapat di atas maka guru dituntut untuk menggunakan pembelajaran yang
dapat membangkitkan motivasi belajar siswa. Namun pembelajaran yang saat ini seringkali
dilakukan adalah pembelajaran konvensional yang merupakan pembelajaran berpusat pada guru.
Siswa hanya menjadi penerima informasi saja dengan mendengar kemudian mencatat informasi
yang disampaikan guru. Sehingga interaksi guru dengan siswa dan siswa dengan siswa kurang
mengakibatkan peningkatan mutu belajar siswa tidak tercapai. Untuk itu perlu dicari suatu
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
40 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
model pembelajaran yang berpusat pada aktifitas siswa sehingga menciptakan adanya interaksi
yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa serta mampu meningkatkan
motivasi siswa. Slavin (dalam Fifi, 2010:1) mengatakan bahwa :
―Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama,
dimana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam
kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya. Dalam
melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada
saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan
saling belajar mengajar sesama mereka‖.
Selanjutnya Slavin (2008 : 4) menyatakan bahwa:
―Pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan
untuk mengajarkan berbagai macam mata pelajaran. Mulai dari matematika, membaca,
menulis samapai pada ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kemampuan dasar sampai
pemecahan masalah-masalah yang kompleks. Lebih daripada itu, pemebelajaran
kooperatif juga dapat digunakan sebagai cara utama dalam mengatur kelas untuk
pengajaran‖.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan
pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan aktifitas dan interaksi siswa sehingga kualitas
pembelajaran lebih baik. Selanjutnya pembelajaran kooperatif juga cocok diterapkan pada mata
pelajaran matematika terkhusus pada materi pokok kaidah pencacahan yang membutuhkan
penalaran yang baik dalam pemecahan masalahnya.
Salah satu model pembelajaran kooperatif yaitu tipe Numbered Head Together (NHT).
Model ini dapat dijadikan alternatif variasi model pembelajaran sebelumnya. Dibentuk
kelompok heterogen, setiap kelompok beranggotakan 3-5 siswa, setiap anggota memiliki satu
nomor, guru mengajukan pertanyaan untuk didiskusikan bersama dalam kelompok, guru
menunjuk salah satu nomor untuk mewakili kelompoknya. Dengan guru hanya menunjuk
seorang siswa yang mewakili kelompoknya tanpa memberitahu terlebih dahulu siapa yang akan
mewakili kelompoknya tersebut. Sehingga cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa.
Cara ini upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam dalam
diskusi kelompok dan meningkatkan motivasi dalam belajar matematika.
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT, bila dibandingkan dengan model pembelajaran
kooperatif lain misalnya STAD, dimana anggota yang mempresentasikan hasil kelompok adalah
anggota yang ditunjuk kelompok sendiri jadi tidak menjamin seluruh anggota terlibat. Sehingga
dapat dikatakan tipe NHT lebih menjamin keterlibatan total dan keaktifan seluruh anggota
kelompok dibandingkan STAD.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 41
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT memiliki manfaat yang baik dalam
meningkatkan motivasi siswa. Hal ini serupa dengan pendapat Lungdren (dalam Sahara, 2007)
yang menyatakan bahwa:
―Manfaat dari pembelajaran kooperatif tipe NHT bagi siswa adalah:
1. Penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar
2. Perselisihan antar pribadi berkurang
3. Sikap apatis berkurang
4. Pemahaman lebih mendalam
5. Motivasi lebih besar
6. Hasil belajar lebih baik
7. Meningkatkan budi pekerti, kepekaan dan toleransi
Berdasarkan hal di atas melatar belakangi peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan
judul Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) terhadap
Motivasi Belajar Matematika Siswa SMA.
Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada pengaruh model pembelajaran
kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa dan berapa besar pengaruh model
pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar
siswa dan besar pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar
siswa. Selanjutnya Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran bagi guru dalam mengajarkan materi pokok kaidah pencacahan dan dapat
meningkatkan motivasi siswa, masukan bagi peneliti dalam menambah wawasan pengetahuan
dalam memilih model pembelajaran yang tepat, bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya
dalam meneliti atau mengembangkan penelitian yang koheren dan hasil dari penelitian ini dapat
digunakan sebagai salah satu masukan untuk kepentingan pengembangan pembelajaran di
sekolah tersebut pada khususnya dan sekolah lain pada umumnya.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen dengan bentuk nonequivalent
control group design yaitu 1 kelas dijadikan kelas eksperimen untuk perlakuan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dan 1 kelas menjadi kelas kontrol dan tidak diberi perlakuan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Waktu dan Tempat Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SMA Budi Murni 2 Medan pada bulan Juli Tahun
Ajaran 2011/2012.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
42 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan
yang terdiri dari 3 kelas dengan jumlah siswa 129 orang . Sampel diambil secara cluster
random sampling artinya setiap kelas berada pada kelompok yang sama dan memiliki
kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Kelas yang terpilih adalah kelas XI1 IPA sebagai
kelas eksperimen dan kelas XI2 IPA sebagai kelas kontrol.
Prosedur
Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap persiapan adalah:
a. Menetapkan tempat dan jadwal penelitian.
b. Menentukan sampel penelitian.
c. Menyusun rancangan pembelajaran pada materi pokok kaidah pencacahan dengan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
d. Menyiapkan alat pengumpul data berupa angket awal dan angket akhir dan lembar
observasi
e. Memvalidkan angket oleh validator.
2. Tahap Pelaksanaan
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaan adalah:
a. Menentukan kelas sampel yang diambil secara random dimana kelas sampel ada dua
kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.
b. Memberikan angket awal dan melakukan pre-test.
c. Mengadakan pembelajaran pada dua kelas dengan bahan dan waktu yang sama, hanya
model pembelajaran yang berbeda. Untuk kelas eksperimen diberikan perlakuan yaitu
pembelajaran kooperatif tipe NHT sedangkan kelas kontrol diberikan perlakuan
pembelajaran konvensional.
d. Memberikan angket akhir untuk mengukur motivasi akhir dan melakukan post-test.
3. Tahap Akhir
Langkah-langkah pada tahapan pengumpulan data adalah:
a. Mencari nilai rata-rata dan simpangan baku
b. Pemeriksaan uji normalitas data
c. Pemeriksaan uji homogenitas varians
d. Melakukan uji hipotesis dengan uji-regresi
e. Membuat kesimpulan dari data yang telah dianalisis
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 43
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan 2 alat pengumpul data:
1. Angket
Angket yang diberikan kepada siswa berfungsi untuk pengukuran motivasi belajar
matematika siswa yang terdiri dari 17 butir. Peneliti melakukan validitas angket berdasarkan
validitas isi dengan meminta penilaian dari beberapa validator yang merupakan ahli bidang studi
(dosen, guru) yang disesuaikan dengan indikator dikandung pertanyaan, dan menentukan valid
atau tidaknya tiap butir pertanyaan angket. Angket diberikan pada dua tahap yaitu di awal dan
akhir. Pemberian angket di awal penelitian berfungsi untuk mengetahui tingkat motivasi siswa
di awal kemudian angket yang diberikan di akhir penelitian berfungsi untuk mengetahui tingkat
motivasi siswa setelah diberi perlakuan.
Tabel 1. Indikator penyusunan angket motivasi
No Indikator
No.Item
Sikap Positif Sikap negatif
1 Tekun menghadapi tugas.
2 Ulet menghadapi kesulitan belajar
matematika.
3 Menunjukkan minat terhadap
masalah matematika
4 Percaya diri
5 Senang berkompetisi sehat
Dari hasil angket dapat dihitung persentase tingkat motivasi siswa dengan rumus:
%M=P
T×100%
Keterangan: %M = Persentase tingkat motivasi
P = Skor perolehan siswa
T = Skor total angket motivasi
Dengan kriteria persentase:
90% ≤ M ≤ 100% : Sangat tinggi
80% ≤ M < 90% : Tinggi
65%≤ M < 80% : Sedang
55%≤ M < 65% : Rendah
0% ≤ M < 55% : Sangat rendah
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
44 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
2. Observasi
Observasi yang dilakukan adalah terhadap proses pembelajaran yang dilakukan peneliti
apakah sesuai dengan rancangan yang telah dibuat.
Teknik Analisis Data
Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi. Uji ini dilakukan
untuk mengukur besarnya pengaruh variabel bebas (model pembelajaran Kooperatif tipe NHT
untuk kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol) terhadap
variabel terikat (motivasi belajar matematika siswa) dan memprediksi variabel terikat dengan
menggunakan variabel bebas.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pemberian angket motivasi awal kepada siswa diperoleh rata-rata skor
motivasi awal siswa di kelas eksperimen adalah 51,95 dan di kelas kontrol 52,41 dengan
persentase motivasi 64,8% dan 65,5% dengan kategori ―rendah‖. Dan dari angket motivasi akhir
diperoleh rata-rata skor motivasi kelas eksperimen adalah 59,475 dan kelas kontrol 56,35
dengan persentase motivasi 74,34% dan 70,43% sehingga kategori motivasi kedua kelas
tersebut adalah ―sedang‖.
Tabel 2. Ringkasan Data Motivasi Belajar Matematika Kedua Kelas
No Statistik
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Angket
Awal
Angket
Akhir Angket Awal
Angket
Akhir
1 N 39 39 40 40
2 Jumlah Nilai 2044 2198 2078 2379
3 Rata-Rata 52,41 56,35 51,95 59,47
4 Simpangan Baku 6,18 8,22 5,027 7,168
5 Varians 38,248 67,604 25,279 51,383
6 Maksimum 64 73 64 77
7 Minimum 41 42 41 44
Uji Normalitas
Untuk menguji normalitas data digunakan uji liliefors yang bertujuan untuk mengetahui
apakah penyebaran data motivasi belajar memiliki sebaran data yang berdistribusi normal atau
tidak. Sampel berdistribusi normal jika dipenuhi L0 < Ltabel pada taraf signifikan = 0,05.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 45
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data Motivasi Belajar
Kelas Motivasi awal Motivasi akhir
L0 Ltabel Keterangan L0 Ltabel Keterangan
Eksperimen 0,123 0,1400 Normal 0,1382 0,1400 Normal
Kontrol 0,0999 0,1418 Normal 0,0873 0,1418 Normal
Uji normalitas data motivasi awal kelas eksperimen diperoleh L0 (0,123) < Ltabel (0,1400)
dan data motivasi awal kelas kontrol diperoleh L0 (0,0999) < Ltabel (0,1418). Data motivasi akhir
kelas eksperimen diperoleh L0 (0,1382) < Ltabel (0,1400) dan data motivasi akhir kelas kontrol
diperoleh L0 (0,0873) < Ltabel (0,1418). Dengan demikian dapat disimpulkan distribusi data
motivasi awal dan akhir baik di kelas eksperimen maupun kelas kontrol terdistribusi normal.
Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas data untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan dalam
penelitian berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Untuk pengujian homogenitas
digunakan uji kesamaan kedua varians yaitu uji F. Jika Fhitung ≥ Ftabel maka H0 ditolak dan jika
Fhitung< Ftabel maka H0 diterima. Dengan derajat kebebasan pembilang = (n1 – 1 ) dan derajat
kebebasan penyebut = (n2 – 1 ) dengan taraf nyata α = 0,05.
Tabel 4.Hasil Uji Homogenitas Motivasi Belajar
Data Varians Terbesar Varians Terkecil Fhitung Ftabel Keterangan
Angket
Awal 38,248 25,279 1,513 1,71 Homogen
Angket
Akhir 67,604 51,383 1,31 1,71 Homogen
Dari hasil pengujian homogenitas diperoleh data kedua kelas sampel adalah homogen.
Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji regresi untuk mengukur besarnya pengaruh
motivasi awal terhadap motivasi akhir setelah diberi perlakuan pembelajaran di kedua kelas
dengan taraf signifikan yang digunakan adalah α = 0,05. Sebelum dilakukan pengujian terlebih
dahulu ditentukan model regresinya sehingga diperoleh model regresi kelas kontrol adalah Y
=17,5496 + 0,7404 X dan kelas eksperimen adalah 𝑌 = 13,5294 + 0,8844𝑋.
a. Uji keberartian regresi
Untuk melihat apakah variabel Y independen dengan X secara linier digunakan uji F dengan
ANAVA. Diperoleh Fhitung = 16,6376 untuk kelas kontrol dan Fhitung = 23,7697 untuk kelas
eksperimen. Karena di kelas eksperimen Fhitung ≥ F(0,95)(1,38) yaitu 23,7697 ≥ 4,10 dan di kelas
kontrol Fhitung ≥ F(0,95)(1,37) yaitu 16,6376 ≥ 4,105 ini menunjukkan bahwa regresi memiliki
keberartian atau variabel Y dependen dengan X secara linier.
b. Uji kelinieran
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
46 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Uji linieritas model regresi bertujuan untuk menguji apakah model linier yang telah diambil
itu benar-benar cocok dengan keadaanya atau tidak dengan menggunakan uji F. Diperoleh
Fhitung<F(0,95)(4,32) yaitu 1,0263< 2,14 dengan α = 0,05 hal ini menunjukkan model regresi kelas
kontrol linier (E(y) = a + bX) dan kelas eksperimenFhitung<F(0,95)(4,32) yaitu 1,1746< 2,16 dengan
α = 0,05 hal ini menunjukkan model regresi kelas eksperimen linier (E(y) = a + bX).
Gambar 1. Regresi Motivasi Siswa Kelas Eksperimen
Dari gambar 4.1 dapat dilihat bahwa:
1. Dengan motivasi awal di sumbu mendatar sedangkan motivasi akhir di sumbu tegak dapat
dilihat hubungan yang cukup dekat dari sebaran data di sekitar garis.
2. Motivasi awal dan akhir memiliki hubungan yang linier terlihat dari titik-titik data yang
membentuk pola garis lurus.
3. Motivasi akhir mengalami pertambahan positif hal ini dapat dilihat dari titik-titik data yang
menunjukkan gejala dari kiri ke kanan semakin tinggi nilainya pada sumbu tegak.
Gambar 2. Regresi Motivasi Siswa Kelas Kontrol
Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa:
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 47
1. Dengan motivasi awal di sumbu mendatar sedangkan motivasi akhir di sumbu tegak dapat
dilihat hubungan yang ccukup dekat namun pada titik-titik data di bagian tengah tampak
titik di bawah garis yang merupakan titik-titik data yang memiliki nilai motivasi akhir di
bawah model regresi.
2. Motivasi awal dan akhir memiliki hubungan yang linier terlihat dari titik-titik data yang
membentuk pola garis lurus.
3. Motivasi akhir mengalami pertambahan positif hal ini dapat dilihat dari titik-titik data yang
menunjukkan gejala dari kiri ke kanan semakin tinggi nilainya pada sumbu tegak.
c. Uji hipotesis data penelitian
Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh model pembelajaran terhadap
motivasi belajar siswa. Dari uji hipotesis diperoleh untuk kelas kontrol 𝑟 = 0,5569 dan
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 4,9102 , dengan 𝑡(0,975) = 2,027 karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran konvensionalterhadap
motivasi belajar dengan besar pengaruh 31,0%. Sedangkan untuk kelas eksperimen dengan
𝑟 = 0,6203 dan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 6,2153, dari tabel diperoleh𝑡(0,975) = 2,025 dengan dk = 38 karena
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 > 2,025 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar dengan
besar pengaruh 38,5%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar pengaruh model pembelajaran kooperatif
tipe NHT lebih tinggi dibanding besar pengaruh model pembelajaran konvensional terhadap
motivasi belajar matematika siswa.
Observasi
Observasi proses pembelajaran dilakukan oleh seorang pengamat baik di kelas kontrol
maupun di kelas eksperimen. Pengamat mengobservasi proses pembelajaran yang dilakukan
peneliti dari awal hingga akhir dan mengamati respon siswa. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 5. Pengamatan Proses Pembelajaran
Kelas Pertemuan Skor Skor
Diperoleh Nilai Kategori
1 2 3 4
Eksperimen I 18 14 110 85,93 Baik
II 9 23 119 92,96 Sangat baik
Kontrol I 2 8 22 112 87,5 Baik
II 2 10 20 114 89,06 Baik
Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa peneliti melaksanakan proses pembelajaran dengan
baik.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
48 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di SMA Budi Murni 2 Medan siswa kelas XI IPA dengan
menggunakan model pembelajaran yang berbeda untuk 2 kelas sampel yaitu kelas eksperimen
dan kelas kontrol. Model pembelajaran yang diterapkan di kelas eksperimen adalah kooperatif
tipe Numbered Head Together (NHT) dan di kelas kontrol model pembelajaran konvensional.
Jumlah siswa di kedua kelas masing-masing adalah 40 orang dan 39 orang.
Perbedaan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan konvensional yang paling
mendasar yaitu pada pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam menyampaikan materi
pembelajaran guru hanya sebagai pembimbing, dan bersama-sama dengan siswa melalui diskusi
untuk menemukan konsep dari materi tersebut dan diakhir pembelajaran guru memberikan
konsep yang benar, sedangkan pada pembelajaran konvensional dalam menyampaikan materi
pelajaran guru yang menjelaskan materi kepada siswa dan agar siswa lebih paham, guru
memberikan soal-soal untuk diselesaikan secara individu.
Pada penelitian ini peneliti memberikan angket awal kepada siswa sebelum melakukan
perlakuan untuk mengetahui motivasi awal siswa dan sebagai dasar dalam pengelompokan
untuk kelas eksperimen. Dari pemberian angket motivasi tersebut diperoleh 51,95 dan kelas
kontrol 52,41 dengan persentase tingkat motivasi 64,8% dan 65,5% yang masih dalam kategori
‗rendah‘. Dapat dilihat bahwa motivasi belajar siswa di kedua kelas hampir sama dan dari
pengujian normalitas diperoleh data kedua kelas terdistribusi normal dan homogen.
Setelah pemberian angket awal diberikan perlakuan yang berbeda terhadap kedua kelas
kontrol dan kelas eksperimen. Di kelas eksperimen siswa dibagi terhadap kelompok-kelompok
yang berjumlah 4 orang tiap kelompok sehingga dapat dibentuk 10 kelompok. Dalam
pembelajaran dibantu oleh observer baik di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol untuk
mengamati proses pembelajaran penilaian 1-4 untuk tiap point. Dan dari pengamatan yang
dilakukan oleh observer pembelajaran berjalan dengan baik.
Pada saat pembelajaran selesai dilakukan untuk mengetahui motivasi belajar matematika
siswa setelah diberikan perlakuan kedua model pembelajaran maka peneliti memberikan angket
motivasi akhir kepada siswa. Dari hasil angket akhir diperoleh rata-rata skor motivasi 59,47 di
kelas eksperimen dan 56,35 di kelas control dengan persentase tingkat motivasi 74,34% dan
70,43% yang merupakan dalam kategori ‗sedang‘. Dapat dilihat bahwa kelas eksperimen
memiliki rata-rata skor kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol yang sebelumnya
pada motivasi awal memiliki rata-rata lebih rendah dibanding kelas kontrol.
Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan uji regresi untuk mengetahui apakah
terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap motivasi belajar siswa.
Dari pengujian diperoleh bahwa regresi di kelas eksperimen memiliki keberartian dan
merupakan model regresi yang linier serta berdasarkan uji hipotesis 𝑟 = 0,6203 dan karena
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 6,2153 > 2,025 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 49
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar dengan
besar pengaruh 38,47%. Dengan pengujian yang sama dilakukan kepada kelas kontrol diperoleh
𝑟 = 0,5569 dan karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 4,9102 > 2,027 hal ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh model pembelajaran konvensionalterhadap motivasi belajar dengan besar pengaruh
31,01%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar pengaruh model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)terhadap motivasi belajar lebih tinggi
dibanding model pembelajaran konvensional.
Lebih tingginya pengaruh di kelas eksperimen berkaitan dengan perlakuan yang diberikan.
Di kelas eksperimen peneliti terlebih dahulu membimbing siswa dalam diskusi dan siswa
membaca LAS serta berusaha menemukan konsep-konsep terlebih dahulu di dalam kelompok
diskusi dan ketika tidak memahami dapat berinteraksi langsung pada teman dan guru yang
membuat siswa semakin aktif. Dalam pembelajaran ini juga peneliti yang tidak memberitahukan
siapa yang akan menjawab soal yang diberikan guru mendorong totalitas kelompok untuk
terlibat sehingga meningkatkan motivasi dalam belajar matematika. Disamping itu peneliti juga
memberikan penghargaan bagi nomor dari anggota kelompok yang telah dipanggil guru untuk
menjelaskan kepada teman-temannya hasil diskusi mereka, orang yang menanggapi dan hadiah
bagi kelompok terbaik sebagai wujud dalam memotivasi siswa belajar.
Sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru menjelaskan kepada siswa seluruhnya
secara satu arah sehingga siswa kurang aktif dan tidak terdapat interaksi yang baik antara guru
dan siswa yang berakibat siswa kurang termotivasi belajar matematika dan siswa tidak berani
bertanya saat peneliti memberikan kesempatan bertanya, saat peneliti memberikan soal-soal
siswa juga hanya mengerjakan secara individu sehingga tidak terjadi pertukaranpikiran dengan
teman sehingga hasilnya kurang optimum.
Dari hal di atas dipandang perlu untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Head Together (NHT) sebagai salah satu alternatif pembelajaran untuk dapat
meningkatkan motivasi belajar matematika siswa.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Motivasi belajar matematika siswa pada materi pokok kaidah pencacahan dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT memiliki nilai rata-rata 59,475.
Sedangkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional memiliki nilai rata-
rata 56,35
2. Secara statistik dengan menggunakan regresi disimpulkan bahwa motivasi belajar
matematika siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT lebih tinggi dibandingkan dengan motivasi belajar matematika siswa yang diajar
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
50 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada materi pokok kaidah
pencacahan di kelas XI IPA SMA Budi Murni 2 Medan T.A. 2011/ 2012, hal ini dibuktikan
dari model regresi dan hasil pengujian hipotesis untuk kelas eksperimen kelas eksperimen
adalah 𝑌 = 13,5294 + 0,8844𝑋 dan besar pengaruh 38,47% sedangkan kelas kontrol Y
=17,5496 + 0,7404 X dan besar pengaruh 31,01%
Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran yang dapat peneliti berikan adalah:
1. Kepada guru matematika dapat menjadikan model pembelajaran kooperatif tipe NHT
sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi
belajar matematika siswa.
2. Kepada calon peneliti berikutnya agar mengadakan penelitian yang lebih sempurna
sehingga memperoleh hasil yang lebih maksimal dengan materi ataupun tingkatan kelas
yang berbeda sehingga hasil penelitian dapat berguna bagi kemajuan pendidikan
khususnya pendidikan matematika.
DAFTAR PUSTAKA
A.M, Sardiman.2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Fifi. 2011. Perbedaan Hasil dan Aktivitas Belajar Siswa yang Diajar dengan Menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dan Tipe TGT pada Pokok Bahasan
Logaritma di Kelas X MAN 3 Medan T.A. 2010/2011. Medan:UNIMED
Hamalik, Oemar.2009. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara
Junaidi. Wawan. 2010. Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT. http://wawan-
junaidi.blogspot.com/2010/05/pembelajaran-kooperatif-tipe- nht.html (Diakses Februari
2011)
Kristini, Handriani. 2007. Meningkatkan Kemampuan Siswa SMA Memahami Konsep
Permutasi dan Kombinasi dengan Menggunakan Model pembelajaran Siklus Belajar
(Learning Cycle). JurnalIlmiah Guru kanderang Tingang1: No.1
Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo
Majid, Abdul. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Pujiati, Irma. 2008. Peningkatan Motivasi dan Ketuntasan Belajar Matematika Melalui
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Jurnal Ilmiah Kependidikan 1:No. 1
Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Surabaya: Kencana.
Rohani, Ahmad. 2004. Pengelolaan pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta: Jakarta.
Salvin, Robert. 2008. Cooperatif Learning Teori. Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media
Sudjana.2005. Metoda Statistika. Tarsito: Bandung.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 51
Sugiyono.2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning. Surabaya: Pustaka Pelajar
Syaban, Mumun. 2011. Penerapan Pembelajaran Investigasi dalam Pembelajaran Matematika.
Jurnal pendidikan dan Budaya
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Surabaya: Prestasi Pustaka.
Wirodikromo, Sartono. 2007. Matematika untuk SMA Kelas XI. Erlangga: Jakarta
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
52 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
INTERAKSI SISWA DALAM KELOMPOK UNTUK MEMECAHKAN
MASALAH KONTEKSTUAL TOPIK PECAHAN KELAS VII
Aan Dwi Saputra1)
, M. Andy Rudhito2)
1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma
Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta,
e-mail: aan.putra30@gmail.com
2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma
Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, email: arudhito@gmail.com
Abstract
Interaksi antar siswa dalam pembelajaran matematika, khususnya dalam pemecahan
masalah sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan dalam
Kurikulum 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiinteraksi siswa dalam
kelompok pada saat menyelesaikan masalah, khususnya masalah kontektual.
Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan subyek penelitian 3
siswa SMP kelas VII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah matematika
yang semula secara individu tidak dapat diselesaikan, melalui diskusi dalam
kelompok dengan difasilitasi guru, akhirnya dapat diselesaikan. Interaksi yang
nampak adalah guru memberikan rangsangan, siswa mengemukakan ide
penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan saling mengoreksi kesalahan.
Keywords: interaksi siswa, kelompok, pemecahan masalah, masalah kontekstual,
pecahan.
PENDAHULUAN
Matematika adalah ilmu dasar yang berupa fakta, konsep, yang wajib dikuasai oleh
siswa sejak awal. Tujuan pembelajaran matematika adalah terbentuknya kemampuan bernalar
pada diri siswa yang tercermin melalui kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis dan
memiliki sifat obyektif. Pembelajaran matematika bagi sekolah menengah harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif anak.
Materi pecahan merupakan salah satu materi matematika di sekolah menengah yang harus
dikuasai dan dipahami oleh siswa. Konsep dasar pecahan tersebut memiliki kesinambungan
terhadap materi pada jenjang berikutnya.
Berdasarkan wawancara dengan siswa SMP, selama ini materi pecahan diajarkan dengan
metode konvensional. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami
konsep dari pecahan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan siswa menunjukkan
bahwa siswa mengalami kesulitan mengenai konsep pecahan pada umumnya dan dalam
memecahkan permasalahan pecahan pada khususnya. Hal tersebut semakin menambah
keyakinan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan belum mampu membuat siswa paham
akan konsep dari pecahan. Oleh karena itu, guru atau pendidik seharusnya menggunakan cara
sedemikian rupa sehingga siswa dapat memahami konsep pecahan secara menyeluruh.
Berdasarkan kurikulum 2013, dalam kompetensi dasar kelas VII 2.3; mengatakan bahwa
memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi
kelompok maupun aktivitas sehari-hari. Kompetensi dasar tersebut sangat jelas bahwa interaksi
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 53
kelompok sangat penting dalam upaya pemhaman konsep secara menyeluruh. Untuk itu
disinilah peran guru sangat penting, guru seharusnya memperhatikan interaksi antar siswa yang
mendukung dalam proses pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam interaksi
tersebut adalah dengan model pembelajaran kooperatif. Strategi pembelajaran ini merupakan
strategi pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan untuk
digunakan, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat
memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini mengalami kelemahan (Wina Sanjaya).
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan mengunakan sistem
pengelompokan/tim kecil, yaitu antara tiga sampai dengan enam orang yang mempunyai latar
belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda. (Wina Sanjaya).
Penelitian ini menggunakan pembelajaran kooperatif dengan tujuan menunjukkan bahwa
apakah pembelajaran kooperatif berbasis masalah dapat menyelesaikan permasalahan
kontekstual yang berhubungan dengan pecahan. Selain itu juga, dapat mengetahui interaksi-
interaksi apa saja yang mendukung dalam menyelesaikan permasalahan kontekstual yang
berhubungan dengan pecahan. Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan guru dapat
mengetahui apakah metode kooperatif lebih efektif membantu siswa dalam memahami konsep
dan memecahkan permasalahan pecahan serta interaksi-interaksi apa saja yang mendukung
dalam proses pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini
mendeskripsikan hasil penelitian berupa pemanfaatan interaksi siswa dalam kelompok untuk
memecahkan masalah kontekstual dengan pendekatan pembelajaran kooperatif berbasis
masalah.
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian pada tanggal 26 oktober 2013. Tempat penelitian di rumah peneliti di
dusun Sragan VII, Sendangagung, Minggir, Sleman.
Target/Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah 3 siswa kelas VII SMP Pangudi Luhur Moyudan pada
semester ganjil tahun ajaran 2013/2014. Teknik memperoleh subjek penelitian dengan
pendekatan secara personal. Subjek diperoleh melalui hubungan kekerabatan. Kegiatan
pembelajaran dilakukan sebanyak satu kali pertemuan. Pembelajaran menggunakan metode
kooperatif berbasis masalah.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
54 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Prosedur
Data penelitian diperoleh dengan cara observasi langsung, apersepsi, dan wawancara.
Observasi langsung dilaksanakan dengan mengamati kegiatan pembelajaran. Pertemuan awal
digunakan untuk apersepsi. Apersepsi bertujuan untuk mengingatkan materi sebelumnya dan
mengarahkan materi yang akan peneliti uji cobakan. Materi pembelajaran yang diamati yaitu
masalah sehari-hari yang berhubungan dengan pecahan.
Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian deskriptif kualitatif dilakukan dengan berbagai tahap-tahap sebagai berikut :
1. Tahap awal
Sebelum melakukan penelitian, penulis menyiapkan soal yang secara individu tidak
bisa dikerjakan dengan kelompok dapat diselesaikan. Soal berhubungan kehidupan sehari-
hari atau kontekstual. Soal tersebut dipilih karena sesuai dengan kompetensi inti kelas VII
poin 2, dikatakan bahwa menghargai dan menghayati perilaku jujur, displin,
tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaanya. Dengan demikian siswa nantinya dapat berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan.
2. Tahap pengumpulan data
Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan data dengan melakukan
pengamatan langsung/observasi dan melakukan tanya jawab dalam kelompok kecil dalam
hal ini situasi dalam pembelajaran. Dalam hal ini pengumpulan data dilaksanakan di rumah
peneliti.
Lembar Soal
Nama :
Sekolah :
Soal :
Pak Aan seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta. Setiap
bulan ia menerima gaji Rp. 840.000. Dari gaji tersebut 1
3 bagian digunakan untuk
kebutuhan rumah tangga, 1
5 bagian untuk membayar pajak,
1
4 bagian untuk biaya
pendidikan, dan sisanya ditabung.
a. Berapa bagiankah uang Pak Aan yang ditabung?
b. Berapa rupiahkah bagian masing-masig kebutuhan ?
c. Kebutuhan mana yang paling banyak di keluarkan oleh Pak Aan ?
Gambar 1. Lembar Soal
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 55
Sebelum melakukan pengamatan peneliti juga menyiapkan rencana pembelajaran,
skenario penelitian, lembar soal, catatan dalam proses pengamatan di lapangan, dan bahan
yang diperlukan selama proses pengamatan berlangsung. Pengamatan ini dilakukan selama
proses pembelajaran pada topik pecahan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif
berbasis masalah. Peneliti bertindak sebagai guru. Semua hasil pengamatan dan informasi
dikumpulkan. Selain itu proses pembelajaran juga direkam dalam camera guna melengkapi
data yang diperlukan oleh peneliti.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu :
1. Instrumen Pembelajaran
Instrumen pembelajaran pada penelitian ini adalah berupa skenario penelitian. Skenario
penelitian ini disusun oleh peneliti didasarkan pada pembelajaran yang menggunakan
kooperatif berbasis masalah.
2. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan istrumen penelitian berupa tes prestasi
belajar siswa. Tes belajar siswa ini merupakan alat ukur atau prosedur yang digunakan
untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana dengan cara dan aturan tertentu.
Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif dengan tahap-
tahap sebagai berikut :
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu proses membandingkan data yang satu dengan data
yang lain untuk menemukan dan menghasilkan topik-topik data. Tahap reduksi data dibagi
menjadi dua kegiatan, yaitu :
a. Transkripsi Rekaman Video
Segala hasil rekaman video ditranskripsikan, yaitu menyajikan data kembali berupa
segala sesuatu yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, yang nampak hasil
rekaman video selama pembelajaran ke dalam bentuk narasi tertulis dengan dilengkapi
data hasil dari pengamatan langsung.
b. Penentuan Topik-Topik Data
Penentukan topik-topik data yang terdapat dalam transkripsi, merupakan kandungan
makna dan arti yang terdapat dalam bagian setiap data yang berkaitan serta
mengandung makna tertentu. Makna tertentu tersebut mengenai ide siswa dalam
upaya pemecahan masalah pecahan. Selanjutnya dalam menentukan topik-topik data,
perlu melakukan interprestasi data transkrip rekaman video. Pengelompokan
didasarkan pada data yang mempunyai kesamaan data dijadikan satu topik data,
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
56 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
sedangkan data yang tidak mempunyai kesamaan dapat dijadikan topik data baru.
Selain itu, tahap data dalam penelitian ini meliputi mengoreksi pekerjaan siswa.
2. Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang disusun untuk memberikan
kemungkinan-kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam tahap
ini data yang berupa interaksi siswa disusun menurut dari urutan obyek penelitian yang
dipilih. Tahap penyajian data dalam penelitian ini meliputi menyajikan rekaman dalam
proses pembelajaran yang telah direkam pada camera. Dari hasil penyajian data dilakukan
analisis, selanjunya disimpulkan yang berupa data temuan, sehingga bisa menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.
3. Menarik kesimpulan dan verifikasi
Verifikasi adalah sebagian dari satu tujuan dari konfigurasi yang utuh sehingga
mampu menjawab pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Itu semua dilakukan dengan
membandingkan hasil pekerjaan siswa dan hasil rekaman dalam proses pembelajaran.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bagian ini akan disajikan proses pembelajaran kooperatif berbasis masalah
mengenai masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan. Peneliti menggunakan
sampel 3 siswa kelas VII SMP Pangudi Luhur Moyudan dengan kemampuan akademis yang
relatif berbeda. Pada awal pertemuan peneliti melakukan apersepsi materi pecahan secara umum
dengan cara guru menanyakan suatu kasus (wawancara) dan siswa menjawab secara lisan.
Pembelajaran dilanjutkan dengan pemberian soal yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari
dalam kaitannya pecahan. Guru memberikan waktu 30 menit untuk mengerjakan lembar soal.
Sampai batas waktu yang sudah ditentukan ketiga siswa mengalami kesulitan dalam
mengerjakan lembar soal secara individu tidak dapat diselesaikan. Lembar soal ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat dan ketercapaian siswa dalam pembelajaran kooperatif berbasis
masalah. Selanjutnya guru menyuruh setiap siswa untuk mempresentasikan jawabannya didepan
kelas, melalui diskusi dalam kelompok dengan difasilitasi guru, ketiga siswa dapat
menyelesaikan lembar soal. Contoh interaksi yang nampak adalah guru memberikan
rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, saling mengingatkan yang lupa, dan saling
mengoreksi kesalahan.
Tabel 1. Interaksi yang nampak dalam pembelajaran
G = Guru (Peneliti), S1 = Siswa 1 , S2 = Siswa 2, S3 = Siswa 3
Kegiatan Pembelajaran Kooperatif Interpretasi Interaksi
1. [G mengucapkan selamat sore teman-
teman semua]
2. G : Sebelum kita memulai pembelajaran
pada sore hari ini alangkahnya kita berdoa
terlebih dahulu, silahkan salah satu dari
kalian memimpin doa, tidak usah saya
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 57
tunjuk.
3. G : Ayo S1 memimpin doa
4. G : Terima kasih nima
5. G : Ini ada presensi nanti diisi ya
6. G : Oke, pada sore hari ini kita akan
belajar mengenai pecahan. Dari teman-
teman semua, apakah yang kalian ketahui
tentang pecahan? Pernahkah belajaar
pecahan?
7. S1, S2, S3 : Pernah, saat SD dan SMP
8. G : Pada sore hari ini, kita akan belajar
mengenai sub bab dari pecahan yakni
memecahan masalah sehari-hari yang
berkaitan dengan pecahan
9. G : Dalam kehidupan sehari-hari,
pernahkah kalian berhubungan dengan
pecahan? Ayo sebutkan ?
10. S1 : Kalau mau membeli bumbu-bumbu
dapur, beli 1
4 cabai
11. G : Terima kasih S1, bagus
12. G : Ada yang lain, bagaimana kalau S2?
13. S2 : Apa ya ?
14. G : R berapa bersaudara ?
15. S2 : 5
16. G : Kalau ibu beli 1 roti, dek R mendapat
berapa bagian agar sama-sama rata ?
17. S2 : 1 : 5 jadinya 1
5
18. G : Bagus S2, bagaimana kalau S3 ?
19. S3 : Kalau membeli buah, beli 1
4 atau
1
2 kg
20. G : Oke, nah dengan demikian kalian
ternyata sangat berhubungan dan dekat
dengan pecahan dalam sehari-hari. Banyak
manfaat pecahan dalam kehidupan sehari.
21. G : Biar lebih jelas, saya mempunyai soal.
Tolong dikerjakan sendiri-sendiri ya?
[Guru membagikan soal, dan
mengingatkan siswa jangan dilupakan
materi pecahan sebelumnya serta meminta
siswa mengerjakan di kertas manila yang
saya bagikan]
22. G : Salah satu dari kalian membaca terlebih
dahulu soalnya?
23. S2 : [Membaca Soal]
24. S2 : Pak Aan seorang karyawan di sebuah
perusahaan swasta di Yogyakarta. Setiap
bulan ia menerima gaji Rp. 840.000. Dari
gaji tersebut 1
3 bagian digunakan untuk
kebutuhan rumah tangga, 1
5 bagian untuk
membayar pajak, 1
4 bagian untuk biaya
pendidikan, dan sisanya ditabung.
25. G : Pertanyaannya ?
26. S2 : Berapa bagiankah uang Pak Aan yang
ditabung?
Guru memberikan rangsangan
Siswa saling mengemukakan ide
Guru memberikan rangsangan
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
58 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Berapa rupiahkah bagian masing-masing
kebutuhan ?
Kebutuhan mana yang paling banyak di
keluarkan oleh Pak Aan ?
27. G : Sudah jelas maksud dari soal? Kalau
ada yang belum jelas silahkan bertanya
[Guru memberikan kesempatan
mengerjakan soal dengan waktu 30 menit]
[Guru juga melihat hasil pekerjaan siswa,
ternyata dari ketiga siswa, semuanya tidak
dapat menyelesaikan soal]
28. G : Guru meminta hasil dari pekerjaannya
dipresentasikan di depan ?
29. G : Ayo dek S3 maju?
30. S3 : [C maju di depan]
31. S3 : [Membacakan hasil pekerjaanya]
32. S3 : Kebutuhan rumah tangga
= 1
3 x Rp. 840.000 = Rp. 280.000
Kebutuhan pajak
= 1
5 x Rp. 840.000 = Rp. 168.000
Kebutuhan pendidikan anak
= 1
4 x Rp. 840.000 = Rp. 210.000
Jadi jawabannya : Rp. 350.000
33. G : Bagaimana pekerjaan S3 ?
34. S2 : Tempatku jawabannya yang A beda ?
35. S2 : Yang bawah sendiri per 60 ?
36. G : KPK dari 3, 4, dan 5 berapa ? yang
benar 60 atau 80 ?
37. S1, S2, S3 : 60
38. Terima kasih dek S3. Sekarang gantian S2
yang maju.
39. [S2 mulai maju dan mengerjakan di depan
kelas]
= 1 - 1
3−
1
5−
1
3
= 20
20 –
20−12−15
60
=..
40. G : Guru menanyakan, benar atau salah
nilai 1 menjadi 20
20 ?
41. S1, S2, S3 : Salah, seharusnya disamakan
penyebutnya dulu, menjadi 60
60
42. S2 : [Mulai membetulkan jawabannya]
= 1 - 1
3−
1
5−
1
3
= 60
60 –
(20+12+15)
60
=13
60; jadi bagian yang ditabung
13
60
43. G : Bagus S2, sudah jelas?
44. S1, S2, S3 : Sudah
45. G : Guru meminta N maju ke depan kelas
46.S1 : [Mulai mengerjakan di depan kelas]
Kebutuhan rumah tangga
= 1
3 x Rp. 840.000 = Rp. 280.000
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Siswa mengemukakan ide penyelesaian,
Saling mengkoreksi kesalahan
Guru memberikan rangsangan
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Guru memberikan pancingan
Mengingatkan yang lupa
Siswa mengemukakan ide penyelesaian,
Saling mengkoreksi kesalahan
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 59
Kebutuhan membayar pajak
= 1
5 x Rp. 840.000 = Rp. 168.000
Kebutuhan pendidikan anak
= 1
4 x Rp. 840.000 = Rp. 210.000
Di tabung
= 1
4 x Rp. 840.000 = Rp. 182.000
47. G : Guru meminta untuk mengulangi
hasilnya, apakah semua kebutuhan apakah
sama dengan gaji Pak Aan?
48. S1 : [Mulai menjumlahkan semua
kebutuhan]
Hasilnya sama seperti dengan gaji pak Aan,
Rp. 840.000.
49. S1, S2, S3 : yee [Ketawa] [Semua siswa
sudah bisa menyelesaikan lembar soal
dalam kelompok dengan didampingi guru]
50. G : Guru menanyakan apakah sudah jelas?
51. S1, S2, S3 : Sudah
52. G : Selanjutnya sekarang yang S3? Siapa
yang belum maju ?
53. S1 dan S2 : Menyebut S3 belum maju, tadi
hanya berdiri, belum menjelaskan.
54. G : Guru meminta S3 untuk maju didepan
menjelaskan soal C?
55. S3 : [Membaca soal C] Kebutuhan mana
yang paling banyak dikeluarkan oleh Pak
Aan ?
Kebutuhan rumah tangga : Rp 280.000
56. G : Benar?
57. S1 dan S2 : Ya, karena yang paling banyak
58. G : Menanyakan apakah sudah jelas?
59. S1, S2, S3 : Sudah
60. G : Kenapa tadi tidak bisa mengerjakan?
61. S1, S2, S3 : Lupa materi mas, tadi belum
kepikiran
62. G: Dengan pembelajaran sore ini tolong
diingat dan disimpan ya ?
63. G : Ada yang ditanyakan?
64. S1, S2, S3 : Tidak mas
65. G : Pembelajaran hari ini kita belajar apa?
66. S1, S2, S3 : Lebih mengerti, lebih
mendalami pecahan dalam kehidupan
sehari-hari
67. G : Guru memberikan peneguhan materi
pecahan. Selanjutnya guru mengucapkan
terima kasih atas pembelajaran hari ini.
Guru meminta salah satu siswa untuk
memimpin doa penutup.
68. S1 : [Memimpin doa penutup]
69. G : Selamat sore teman-teman. Terima
kasih.
Guru memberikan rangsangan
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Mengingatkan yang lupa
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Siswa mengemukakan ide penyelesaian
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
60 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Hasil pengamatan interaksi dalam proses pembelajaran kooperatif berbasis masalah dengan
pendampingan guru. Terlihat berbagai macam interaksi-interaksi yang nampak antara lain : guru
memberikan rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan
saling mengoreksi kesalahan. Dalam pembelajaran tersebut, siswa terlihat lebih antusias dalam
pembelajaran, siswa juga menjadi aktif dalam pembelajaran berlangsung. Selain itu terlihat
bahwa masalah matematika yang semula secara individu tidak dapat diselesaikan, melalui
diskusi dalam kelompok dapat diselesaikan. Proses demikian sangat baik bagi siswa dalam
proses membangun pengetahuan dan pemecahan masalah kontekstual.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pembelajaran kooperatif berbasis masalah dengan pendampingan guru dapat
menyelesaikan permasalahan kontekstual yang berhubungan dengan pecahan.
2. Interaksi yang nampak dan mendukung dalam menyelesaikan permasalahan
kontekstual yang berhubungan dengan pecahan antara lain: guru memberikan
rangsangan, siswa mengemukakan ide penyelesaian, mengingatkan yang lupa, dan
saling mengoreksi kesalahan.
SARAN
Penelitian ini bisa diujicobakan dalam lingkup kelas yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasionsal. 2013. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah.
Kartika, Budi. 2001. Berbagai Strategi Untuk Melibatkan Siswa Secara Aktif Dalam Proses
Pembelajaran Fisika Di SMU, Efektivitasnya, Dan Sikap Mereka Pada Strategi
Tersebut. Yogyakarta: Widya Dharma (Universitas Sanata Dharma)
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Surjadi. (2012). Membuat Siswa Aktif Belajar. Bandung: CV. Mandar Maju.
Wina Sanjaya.(2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 61
Self Efficacy dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation
Ahmad Dzulfikar
Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI
Jl. Dr. Setiabudi 229, Bandung 40154, email: dzulfikara@yahoo.co.id
Abstrak
Matematika perlu dikuasai sejak dini untuk membekali siswa agar memiliki
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk menghadapi
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, tidak pasti, dan
kompetitif. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mata pelajaran matematika
diberikan pada siswa yaitu agar mereka memiliki kemampuan pemecahan masalah.
Namun, ironisnya penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah siswa belum memuaskan. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa harus ditingkatkan. Studi literatur ini mengkaji secara teoritis
efektivitas dari pembelajaran kooperatif tipe group investigation dalam meningkatkan
kemampuan ini. Selain itu, akan dikaji pula keefektifan pembelajaran ini dalam
mengembangkan self efficacy matematis siswa. Hal ini dikarenakan, self efficacy
memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa.
Kata kunci: self efficacy, kemampuan pemecahan masalah matematis, pembelajaran
kooperatif tipe group investigation
PENDAHULUAN
Matematika perlu dikuasai sejak dini untuk membekali siswa agar memiliki
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk menghadapi
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Hal
ini sejalan dengan salah satu tujuan mata pelajaran matematika diberikan pada siswa,
sebagaimana disebutkan pada lampiran permendiknas nomor 22 tahun 2006, yaitu agar mereka
memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Hal ini diperlukan agar sebelum siswa dihadapkan dengan permasalahan dalam kehidupan nyata
yang sedemikian kompleks dan rumit, mereka telah memiliki kemampuan pemecahan masalah.
Sehingga siswa terbiasa dalam menghadapi masalah di kemudian hari. Oleh karena itu,
kemampuan pemecahan masalah siswa harus selalu diasah dan ditingkatkan.
Cooneyet al. (Hudojo, 2003: 167) menyatakan bahwa mengajar siswa untuk
memecahkan masalah-masalah memungkinkan mereka menjadi lebih analitis dalam mengambil
keputusan dalam hidup. Hal ini dikarenakan mereka menjadi terampil mengumpulkan informasi
yang relevan, menganalisis informasi tersebut, dan menyadari pentingnya meneliti kembali hasil
yang telah diperoleh.
NCTM menekankan bahwa pemecahan masalah sebagai fokus sentral dari kurikulum
matematika dan kemampuan untuk memecahkan masalah menjadi alasan untuk mempelajari
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
62 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
matematika (Wahyudin, 2008: 356). Lebih lanjut, NCTM menyatakan bahwa pemecahan
masalah juga menjadi fokus dalam pendidikan matematika (McIntosh & Jarrett, 2000: 4).
Berdasarkan uraian tersebut bahwa memiliki kemampuan pemecahan adalah sangat
bermanfaat bagi siswa. Namun, kenyataan yang ada adalah kemampuan pemecahan masalah
siswa belum memuaskan. Laporan The Third International Mathematics and Science Study
(TIMSS) bahwa siswa SLTP Indonesia sangat lemah dalam problem solving namun cukup baik
dalam keterampilan prosedural (Mullis et al., dalam Herman, 2006). Bukti ini diperkuat lagi
dengan gambaran kelemahan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal Matematika dari
PISA dan TIMSS yang disadur dari laporan hasil survey PISA tahun 2000 dan TIMSS tahun
2003 terbitan tahun 2006 oleh Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan) Balitbang Depdiknas
(Wardani dan Rumiati, 2011: 55) yang memperlihatkan bahwa siswa di Indonesia lemah dalam
mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah.
Hasil tidak jauh berbeda juga ditunjukkan dari hasil studi PISA pada 2009, Indonesia
memperoleh skor 371 dari rata-rata internasional 500 atau menduduki peringkat 61 dari 65
negara peserta (PISA, 2010). Sementara itu, pada hasil TIMSS terbaru yang dirilis pada 2011
skor dan peringkat Indonesia menunjukkan penurunan. Pada 2011 skor Indonesia turun dari 397
menjadi 386 dengan menduduki peringkat 38 dari 42 negara.
Penurunan tersebut mungkin disebabkan oleh kurangnya kemampuan berfikir
matematis pada diri siswa yang termasuk di dalamnya adalah kemampuan berfikir matematis
tingkat tinggi. Dimana, salah satu bentuk kemampuan berfikir matematis tingkat tinggi adalah
kemampuan pemecahan masalah matematis.
Hasil penelitian Supriatna (2011) memberikan gambaran bahwa soal-soal yang
menuntut kemampuan pemecahan masalah matematis belum dikuasai oleh siswa. Hal ini terlihat
dari jumlah siswa SMP Negeri di Sumedang yang menjawab benar adalah 25,70%. Sedangkan,
pada siswa SMA Negeri di Sumedang yang menjawab dengan benar adalah 36,6%. Dari hasil
tersebut, diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa rendah.
Hasil tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh Rahayuningrum (2013), ia juga menemukan
bahwa kemampuan dalam menyelesaikan masalah matematis siswa masih rendah. Ketika
dihadapkan soal penyelesaian masalah, siswa masih terlihat kebingungan dan memerlukan
waktu lama untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Robiah (2013) menemukan bahwa siswa
kesulitan dalam melaksanakan proses pemecahan masalah matematis. Dilihat dari langkah
pemecahan masalah yang diajukan Polya yang di dalamnya adalah meliputi memahami
masalah, merencanakan penyelesaian, melakukan penyelesaian sesuai rencana dan melakukan
pengecekan kembali jumlah siswa yang kesulitan melaksanakan proses tersebut pada kelas
kontrol dan eksperimen berturut-turut adalah 6,84%, 31,61%, 47,89%, dan 68,64%. Oleh karena
itu, perlu diupayakan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa guna
mengoptimalkan prestasi belajar mereka.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 63
Setiawan (2006: 2) menyebutkan bahwa rendahnya hasil pembelajaran matematika di
Indonesia salah satunya disebabkan karena siswa cenderung pasif dalam pembelajaran yang
berakibat mereka tidak dapat berfikir matematis secara optimal yang mendorong
terkonstruksinya pengetahuan mereka sendiri. Hal ini bermuara pada kurang efektifnya
pembelajaran yang dikembangkan di kelas. Rahayuningrum (2013) menemukan bahwa faktor
yang menyebabkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa selain mereka
kesulitan dalam menyusun model matematika dan menyelesaikan masalah yang diberikan
adalah kurangnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran.
Selain mengamanatkan pentingnya kemampuan pemecahan masalah dimiliki siswa,
dalam lampiran permendiknas no. 22 tahun 2006 juga mengamanatkan pentingnya percaya diri
dimiliki oleh para siswa. Lampiran permendiknas no. 22 tahun 2006 juga menyebutkan tujuan
mata pelajaran matematika diberikan pada siswa yaitu agar mereka memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Salah satu bagian dari kepercayaan/keyakinan diri siswa adalah keyakinan diri mereka pada
matematika atau self efficacy matematis.
Hacket & Betz (Nicolaidou & Philippou, 2004: 4) menyatakan bahwa pengaruh self
efficacy terhadap performa dalam matematika sama kuatnya dengan pengaruh kemampuan
mental secara umum. Oleh karena itu, dibutuhkan self efficacy yang kuat pada diri siswa agar
mereka dapat berhasil dalam proses pembelajaran matematika.
Hasil penelitian tentang self efficacy menunjukkan bahwa self efficacy secara signifikan
mempengaruhi prestasi akademik dan menjadi dasar indikator yang paling kuat atas prediksi
performa dalam tugas-tugas matematika (Gaskill & Murphy, dalam Mukhid, 2009: 118) dan
memiliki korelasi positif yang signifikan, serta menjadi powerful predictor terhadap pemecahan
masalah (Nicolaidou & Philippou, 2004: 1).
Sejalan dengan hasil-hasil penelitian tersebut, hasil penelitian Collins (Mukhid, 2009:
116) menunjukkan bahwa siswa yang berkemampuan matematika dan memiliki self efficacy
yang lebih kuat, mereka lebih cepat dalam membuat strategi dan memecahkan masalah, dan
memilih mengerjakan kembali masalah yang belum mereka pecahkan, serta melakukannya
dengan lebih akurat daripada siswa dengan kemampuan sama yang diragukan self efficacy-nya.
Mayer (Sophocleous & Gagatsis, 2009) menekankan bahwa siswa yang meningkat self efficacy-
nya akan meningkat pula kesuksesan dalam memecahkan masalah.
Namun, kenyataannya self efficacy matematissiswa dapat dikatakan masih rendah. Hasil
penelitian Risnanosanti (2010) menemukan bahwa secara umum self efficacy matematis siswa
masuk dalam kategori cukup. Sementara itu, dalam penelitiannya Widyastuti (2010)
menemukan bahwa self efficacy matematis siswa tergolong rendah. Bahkan, 40,69%
diantaranya termasuk dalam kategori sangat rendah.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
64 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Berdasarkan urgensi tersebut, kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy
matematis siswa harus dikembangkan sejak dini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan melibatkan siswa dalam pembelajaran melalui implementasi pembelajaran kooperatif
tipe Group Investigation. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana pembelajaran kooperatif
tipe Group Investigation dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan self
efficacy matematis siswa.
PEMBAHASAN
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh siswa
dalam proses pemecahan masalah. Krulik & Rudnick (Carson, 2007: 7) mendefinisikan
pemecahan masalah sebagai sarana bagi siswa untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan,
dan pemahaman yang telah mereka miliki untuk diterapkan dalam situasi yang baru dan
berbeda. Sedangkan, menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 (Shadiq, 2009:
14) bahwa pemecahan masalah matematis merupakan kompetensi strategik yang ditunjukkan
siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan
menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Indikator yang menunjukkan kemampuan
pemecahan masalah matematis adalah sebagai berikut.
a. Menunjukkan pemahaman masalah.
b. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah.
c. Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk.
d. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat.
e. Mengembangkan strategi pemecahan masalah.
f. Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah.
g. Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
Pemecahan masalah adalah proses dan bukan hasil(NCTM, dalam Latterell, 2003: 5).
Dewey (Carson, 2007: 8) menyatakan langkah untuk menemukan solusi pemecahan masalah
adalah: (1) menghadapi masalah, (2) mendiagnosis dan mendefinisikan masalah, (3)
merencanakan solusi, (4) mencari solusi sesuai rencana, dan (5) mengecek kembali solusi.
Sedangkan menurut Krulik & Rudnick (Carson, 2007: 8),adalah (1) membaca, (2)
mengeksplorasi, (3) memilih strategi, (4) memecahkan, dan (5) meninjau kembali.
Pendapat lain dikemukakan oleh Polya (Hudojo, 2003: 84), ia menyatakan bahwa
terdapat empat langkah untuk menemukan solusi pemecahan masalah, yaitu sebagai berikut.
a. Memahami masalah
Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak akan
mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Setelah siswa dapat memahami
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 65
masalah dengan benar, selanjutnya mereka harus dapat menyusun rencana penyelesaian
masalah.
b. Merencanakan penyelesaian
Kemampuan melakukan langkah kedua ini sangat tergantung pada pengalaman
siswa dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya semakin bervariasi pengalaman
mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu
masalah.
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana
Setelah rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis
ataupun tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang
dianggap paling tepat.
d. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan
Langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah adalah melakukan pengecekan
atas apa yang telah dilakukan mulai dari langkah pertama sampai langkah yang ketiga.
Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali
sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang
diberikan.
Gagne (Saad & Ghani, 2008: 51-54) menyatakan bahwa terdapat delapan tingkatan
belajar, yaitu belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian
verbal, belajar diskriminasi, belajar konsep, belajar teorema/ aturan, dan pemecahan masalah.
Lebih lanjut, Gagne (Suyitno, 2004: 37) menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan
proses belajar yang paling tinggi karena harus mampu memanfaatkan pengetahuan yang
dimilikinya untuk memecahkan masalah.
Sehubungan dengan pemecahan masalah, NCTM (Mustakim, 2009: 5) menyebutkan
bahwa pembelajaran matematika harus mengupayakan siswa agar dapat mengkonstruksi
pengetahuan melalui pemecahan masalah dan memecahkan masalah yang muncul dalam
konteks matematika ataupun lainnya. Hal ini diperlukan agar siswa memiliki kemampuan
pemecahan masalah dan menjadi pemecah masalah yang baik. Kilpatrick et al. (Problem
Solving Research Base, n.d.: 1)menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa
meningkat, jika mereka diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam menemukan sendiri
solusi dari permasalahan yang disajikan dengan mengintegrasikan konsep, teorema, dan
pengetahuan yang siswa miliki.
Dalam lampiran permendiknas No. 22 tahun 2006 dinyatakan bahwa dalam setiap
kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang
sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa
secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Di samping itu, juga dapat
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
66 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
memotivasi siswa untuk menyenangi matematika karena mengetahui keterkaitan dan kegunaan
matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Self Efficacy Matematis
Bandura (1997: 3) menggunakan istilah self efficacy mengacu pada beliefs seseorang
tentang kemampuannya untuk mengorganisasi dan melaksanakan tindakan guna mencapai
tujuan tertentu. Self efficacy didefinisikan sebagai judgement seseorang atas kemampuannya
untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan
tertentu (Bandura, dalam Nicolaidou & Philippou, 2004: 3). Dalam hal ini, self efficacy
matematis diartikan sebagai judgement seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan
melaksanakan tindakan untuk berhasil dalam tugas-tugas matematika.
Bandura (1997: 3) menyatakan bahwa self efficacy berpengaruh terhadap pilihan cara
seseorang, banyaknya upaya yang dilakukan, ketekunan dalam menghadapi hambatan dan
kegagalan, dan tingkat ketercapaian yang diwujudkan. Schunk (1981: 93) menyebutkan bahwa
seseorang dengan self efficacy tinggi, jika diberikan penugasan ia akan antusias dan berusaha
keras menunjukkan kemampuannya agar berhasil. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki self
efficacy yang tinggi mereka cenderung menghidari penugasan atau melaksanakannya dengan
setengah hati sehingga cepat menyerah jika menemui hambatan.
Bandura (1997: 80-115) menyatakan bahwa ada empat sumber utama yang
mempengaruhi self efficacy. Empat sumber tersebut diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pengalaman keberhasilan, yang merupakan sumber yang paling berpengaruh.
Hal ini dikarenakan kegagalan/keberhasilan pengalaman masa lalu akan
menurunkan/meningkatkan self efficacy seseorang untuk pengalaman serupa kelak. Semakin
sering seseorang berhasil dalam hidupnya, semakin tinggi pula self efficacy-nya. Sebaliknya,
semakin sering seseorang mengalami kegagalan, maka semakin rendah pula self efficacy-nya.
Kedua, pengalaman orang lain. Teori belajar observasional menyatakan bahwa
seseorang dapat belajar secara terus menerus dengan mengamati tingkah laku orang lain. Ia
menggunakan informasi hasil observasi tersebut untuk membentuk harapan dari suatu perilaku
dan konsekuensinya, terutama tergantung pada tingkat keyakinan mana dia mempunyai
kesamaan dengan orang yang diobservasi tersebut. Pengalaman orang lain ini biasanya
diperoleh melalui interaksi sosial. Dalam penelitian tentang pengaruh pengalaman orang lain
terhadap self efficacy, Schunk & Hanson (1985) menyelidiki bagaimana self efficacy dan
prestasi siswa dipengaruhi oleh observasi mereka terhadap teman sebaya. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa baik kelompok yang mengobservasi teman sebaya maupun guru
menghasilkan self efficacy dan prestasi yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol yang tidak
mengobservasi model sama sekali. Model teman sebaya berdampak pada self efficacy dan
prestasi yang lebih tinggi daripada model guru.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 67
Ketiga, persuasi sosial. Persuasi sosial ini berkaitan dengan dorongan/pengaruh orang
lain. Persuasi positif meningkatkan self efficacy, sedangkan persuasi negatif menurunkan self
efficacy. Secara umum, lebih mudah untuk menurunkan self efficacy seseorang daripada
meningkatkannya. Self efficacy seseorang dapat meningkat melalui pengaruh orang lain yang
kompeten sehingga ia mendapat umpan balik positif dalam mengerjakan suatu tugas. Komentar
atau persuasi negatif dapat berdampak besar terhadap emosi dan self efficacy seseorang.
Keempat, keadaan fisiologis dan emosi. Terkadang, seseorang sering mengandalkan
perasaan, secara fisik dan emosi untuk menilai kapabilitas mereka. Jika ada hal negatif, seperti
lelah, kurang sehat, cemas, atau tertekan, akan mengurangi tingkat self efficacy seseorang.
Sebaliknya, jika seseorang dalam kondisi prima, hal ini akan berkontribusi positif bagi
perkembangan self efficacy. Lebih lanjut, emosi yang tinggi akan mengubah self efficacy
seseorang. Seseorang yang dalam keadaan stres, cemas, atau tegang dapat menjadi indikator
kecenderungan terjadinya kegagalan. Namun, peningkatan emosi yang tidak berlebihan dapat
meningkatkan self efficacy.
Bandura (1997: 42-43, 2006: 313-314) menyatakan bahwa pengukuran self efficacy
seseorang mengacu pada tiga dimensi, yaitu level, strength, dan generality. Berikut akan
diuraikan mengenai ketiga dimensi tersebut.
Dimensi level berkaitan dengan tingkat kesulitan yang diyakini oleh seseorang untuk
dapat ia selesaikan. Sebagai contoh, jika seseorang dihadapkan pada masalah atau tugas yang
disusun menurut tingkat kesulitan tertentu maka self efficacy-nya akan jatuh pada tugas-tugas
yang mudah, sedang, dan sulit sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan.
Dimensi strength berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan
seseorang terhadap kompetensinya. Dengan kata lain, dimensi ini menunjukkan derajat
kemantapan seseorang terhadap keyakinannya dalam menghadapi kesulitan yang bisa
dikerjakan. Dimensi ini terkait dengan dimensi level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas
maka makin lemah keyakinan untuk menyelesaikannya. Seseorang dengan self efficacy lemah
mudah dikalahkan oleh pengalaman sulit. Sedangkan, orang yang memiliki self efficacy kuat
dalam kompetensi akan mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan.
Dimensi Generality menunjukkan apakah self efficacy seseorang akan berlaku pada
domain tertentu atau bertahan dalam berbagai macam aktivitas dan situasi. Dimensi ini
berkaitan dengan tingkat pencapaian keberhasilan seseorang dalam mengatasi atau
menyelesaikan masalah atau tugas dalam kondisi tertentu.
Pajares (1997: 25) menyatakan bahwa ketiga dimensi tersebut terbukti paling akurat
dalam menjelaskan self efficacy seseorang. Hal ini dikarenakan self efficacy bersifat spesifik
dalam tugas dan situasi yang dihadapi. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi
terhadap suatu tugas atau situasi tertentu, tetapi tidak untuk tugas atau situasi lainnya.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
68 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation
Group Investigation adalah salah satu bentuk pembelajaran kooperatif. Menurut Sharan
& Sharan (Slavin, 2009: 24), pembelajaran Group Investigation merupakan suatu perencanaan
pengorganisasian kelas secara umum dimana siswa bekerja dalam kelompok kecil menggunakan
inkuiri kooperatif, diskusi kelompok, serta perencanaan dan proyek kooperatif. Dalam
pembelajaran ini, para siswa dibebaskan membentuk kelompoknya yang terdiri dari dua sampai
enam orang anggota. Kelompok ini kemudian memilih topik-topik dari unit yang telah dipelajari
oleh seluruh kelas, membagi topik-topik ini menjadi tugas-tugas pribadi dan melakukan
kegiatan yang diperlukan untuk mempersiapkan laporan kelompok. Selanjutnya, tiap kelompok
mempresentasikan atau menampilkan penemuan mereka di depan kelas.
Interaksi sosial dalam pembelajaran Group Investigation menjadi salah satu faktor
penting bagi perkembangan skema mental baru. Guru memberi kebebasan kepada siswa untuk
berfikir secara analitis, kritis, kreatif, reflektif, dan produktif. Pola pengajaran ini akan
menciptakan pembelajaraan yang diinginkan, karena siswa sebagai objek pembelajaran ikut
terlibat dalam penentuan pembelajaran.
Sharan & Sharan (Slavin, 2009: 218) menjabarkan langkah-langkah pembelajaran
kooperatif tipe Group Investigation sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi topik dan mengatur siswa ke dalam kelompok
Siswa memilih subtopik tertentu dalam bidang permasalahan umum tertentu, yang
biasanya diterangkan oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan ke dalam kelompok-
kelompok kecil berorientasi tugas yang beranggotakan dua sampai dengan enam orang.
b. Merencanakan tugas yang akan dipelajari
Siswa dan guru merencanakan prosedur, tugas, dan tujuan belajar tertentu dengan
sub-sub topik yang dipilih dalam langkah a. Tugas-tugas pembelajaran dibagi-bagi setiap
anggota sesuai dengan topik yang ditetapkan.
c. Melaksanakan investigasi
Siswa melaksanakan rencana yang diformulasikan dalam langkah b. Pembelajaran
mestinya melibatkan beragam kegiatan dan keterampilan dan seharusnya mengarahkan
siswa ke berbagai macam sumber di dalam maupun di luar sekolah. Guru mengikuti dari
dekat perkembangan masing-masing kelompok dan menawarkan bantuan bila dibutuhkan.
d. Menyiapkan laporan akhir
Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dalam langkah c
dan merencanakan bagaimana informasi itu dapat dirangkum dengan menarik untuk
ditampilkan atau dipresentasikan kepada teman-teman sekelas.
e. Mempresentasikan laporan akhir
Beberapa atau semua kelompok di kelas memberikan presentasi menarik tentang
topik-topik yang dipelajari untuk membuat satu sama lain saling terlibat dalam pekerjaan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 69
temannya dan mencapai perspektif yang lebih luas tentang sebuah topik. Presentasi
kelompok dikoordinasikan oleh guru.
f. Evaluasi
Untuk kelompok yang menindaklanjuti aspek-aspek yang berbeda dari topik yang
sama, siswa dan guru mengevaluasi kontribusi masing-masing kelompok ke hasil pekerjaan
secara keseluruhan. Evaluasi dapat memasukkan asesmen individual atau kelompok ataupun
kedua-duanya.
Walaupun dalam pembelajaran ini terpusat pada siswa. Namun peran guru, masih
sangatlah esensial. Peran guru dalam pembelajaran ini, sebagaimana diungkapkan oleh Setiawan
(2006: 12) antara lain sebagai berikut.
a. Memberikan instruksi dan informasi yang jelas.
b. Memberikan bimbingan seperlunya dengan menggali pengetahuan siswa yang menunjang
pada pemecahan masalah (bukan menunjukkan hasilnya).
c. Memberikan dorongan sehingga siswa lebih termotivasi.
d. Menyiapkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh siswa.
e. Memimpin diskusi dalam pengambilan kesimpulan.
Saad & Ghani (2008: 172) menjelaskan peran guru dalam pembelajaran kooperatif,
yaitu sebagai berikut.
a. Sebelum pembelajaran
Guru menentukan secara spesifik kemampuan yang diharapkan dapat dicapai siswa,
menentukan ukuran kelompok dan bagaimana mengatur siswa ke dalam kelompok-
kelompok kecil, bagaimana membangun peran siswa dalam kelompok, dan merancang
bahan ajar yang akan digunakan, serta menentukan pengaturan kelas selama pembelajaran.
b. Setting pembelajaran
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan penugasan yang diberikan, menjelaskan
elemen-elemen utama dalam belajar kooperatif, dan menjelaskan bagaimana supaya siswa
dapat berhasil baik secara individual maupun kelompok.
c. Selama kerja kelompok
Guru harus memonitor aktivitas siswa dan memberikan bantuan seperlunya jika
dibutuhkan. Selain itu, guru juga harus mengumpulkan data kemampuan belajar dan
bersosialiasi siswa.
d. Di akhir pembelajaran
Guru harus mensurvei kualitas dan kuantitas belajar siswa secara individual maupun
kelompok. Selain itu, guru harus memberikan umpan balik positif atas proses dan hasil
belajar siswa.
Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dapat melatih siswa untuk
menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan secara aktif dapat terlihat mulai tahap
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
70 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
pertama sampai tahap terakhir pembelajaran sehingga memberi peluang bagi siswa untuk lebih
mempertajam gagasan dan guru akan mengetahui kemungkinan gagasan siswa yang salah
sehingga guru dapat memperbaikinya. Secara umum dapat diuraikan beberapa keuntungan yang
diperoleh siswa sebagaimana yang dungkapkan oleh Setiawan (2006: 9) berikut ini.
a. Keuntungan pribadi
Dalam proses belajarnya dapat bekerja secara bebas.
Memberi semangat untuk berinisiatif, kreatif, dan aktif.
Rasa percaya diri dapat lebih meningkat.
Dapat belajar untuk memecahkan dan menangani suatu masalah.
Mengembangkan antusiasme dan rasa tertarik pada matematika.
b. Keuntungan sosial
Meningkatkan belajar bekerja sama.
Belajar berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun dengan guru.
Belajar berkomunikasi yang baik secara sistematis.
Belajar menghargai pendapat orang lain.
Meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan.
c. Keuntungan Akademis
Siswa terlatih untuk mempertanggungjawabkan jawaban yang diberikannya.
Bekerja secara sistematis.
Mengembangkan dan melatih keterampilan matematika dalam berbagai bidang.
Merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaannya.
Mengecek kebenaran jawaban yang mereka buat.
Selalu berfikir tentang cara/strategi yang digunakan sehingga didapat suatu kesimpulan
yang berlaku umum.
Sumarmo (2005) menyebutkan bahwa kelebihan pembelajaran kooperatif adalah: (1)
semua kelompok siswa (tinggi, sedang, rendah) mencapai hasil belajar yang lebih baik, (2)
berlangsung hubungan personal dan akademik yang lebih baik di antara anggota, dan (3)
menumbuhkan suasana psikologis yang sehat pada anggotanya, seperti toleransi, sensitivitas,
keramahan, self efficacy, pengembangan sosial kemampuan sosial, self esteem, identitas diri,
dan kemampuan mengatur keberagaman dan tekanan. Karena Group Investigation merupakan
salah satu tipe dari pembelajaran kooperatif maka kelebihan yang ada pada pembelajaran
kooperatif juga termuat dalam Group Investigation ini.
Sharan & Sharan (1989: 20) menyebutkan bahwa, ―Group Investigation lebih efektif
diterapkan karena memberikan siswa kesempatan lebih untuk menguasai pembelajaran daripada
dengan metode pembelajaran yang lain‖. Selanjutnya menurut Zingaro (2008: 6), ―Skor hasil
belajar siswa lebih tinggi ketika Group Investigation digunakan‖. Hasil penelitian Lazarowitz &
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 71
Karsenty (Istikomah et al., 2010: 40) menunjukkan bahwa, ―Model pembelajaran Group
Investigation mampu meningkatkan hasil belajar dan prestasi akademik‖.
Kaitan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self Efficacy Matematis dengan
Pembelajaran KooperatifTipe Group Investigation
Hasil penelitian menunjukkan bahwa self efficacy matematis memberikan dampak
positif pada prestasi siswa. Terlebih self efficacy matematis dapat menjadi strong predictor
terhadap kemampuan pemecahan matematis pada diri siswa.
Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation juga berkaitan erat dengan empat
sumber yang dapat mempengaruhi perkembangan self efficacy. Pengalaman keberhasilan, baik
individu maupun kelompok yang diperoleh siswa dapat mengembangkan self efficacy-nya.
Selama pembelajaran berlangsung siswa dapat mengobservasi teman dalam kelompoknya,
teman kelas ataupun gurunya. Sesuai dengan hasil penelitian Schunk & Hanson (1985) bahwa
siswa yang mengobservasi teman sebaya menghasilkan self efficacy yang lebih tinggi daripada
sekedar mengobservasi gurunya. Lebih lanjut, siswa yang mengobservasi guru atau teman
sebaya memiilki self efficacy yang lebih tinggi daripada siswa yang tidak mengobservasi model
sama sekali. Selain itu, sesuai dengan teori Vygotsky yang mendukung pembelajaran ini, dalam
pembelajaran kooperatif ini terdapat proses scaffolding, yaitu siswa diberikan permasalahan,
jika ia menemui kesulitan, maka diberikan bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah
tersebut. Scaffolding ini terkait erat dengan persuasi sosial pada sumber self efficacy atau dapat
dikatakan scaffolding ini sebagai persuasi positif yang diberikan guru, dimana persuasi positif
ini dapat meningkatkan self efficacy pada diri siswa.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa dalam pembelajaran kooperatif akan
menciptakan suasana menyenangkan, dan membangun rasa percaya diri dan antusiasme siswa
dalam belajar. Kondisi ini akan berdampak pada keadaan fisiologis dan emosi siswa yang akan
mempengaruhi perkembangan self efficacy-nya.
Dalam pembelajaran kooperatiftipe Group Investigation siswa terlibat aktif dalam
pembelajaran, termasuk di dalamnya proses investigasi dan proses pemecahan masalah. Mereka
dapat secara aktif belajar dalam melakukan pemecahan. Bila siswa menemui kesulitan, guru
dapat memberikan scaffolding atau bantuan seperlunya kepada siswa. Hal ini sangat bermanfaat
dalam upaya mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Oleh karena itu, berdasarkan paparan tersebut, ada dugaan bahwa pembelajaran
kooperatiftipe Group Investigation merupakan salah satu pembelajaran yang dapat membantu
dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy matematis siswa.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
72 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
SIMPULAN
Penulis berhipotesis bahwa dengan implementasi pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Selain itu,
self efficacy matematis siswa juga dapat di tingkatkan melalui penerapan pembelajaran ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W. H. Freeman and
Company.
_________. (2006). Guide for Constructing Self-efficacy Scales. Dalam Self-Efficacy Beliefs of
Adolescents, 307-337. Diakses tanggal 2 November 2012 dari
http://www.ravansanji.ir/files/ravansanji-ir/21655425banduraguide2006.pdf.
Carson, J. (2007). A Problem With Problem Solving: Teaching Thinking Without Teaching
knowledge. The Mathematics Educator, 17, (2), 7-14.
Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi, tidak
diterbitkan. PPS Universitas Pendidikan Indonesia.
Hudojo, H. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: JICA
Universitas Negeri Malang.
Istikomah, S. et al. (2010). Penggunaan Model Pembelajaran Group Investigation untuk
Menumbuhkan Sikap Ilmiah Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 6, 40-43.
Kementerian Pendidikan Nasional. (2006). PeraturanMenteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar
Dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Latterell, C.M. (2003). Testing the Problem-Solving Skills of Students in an NCTM-oriented
Curriculum. The Mathematics Educator, 1,(13), 5-13.
McIntosh, R. & Jarrett, D. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving: Implementing The
Vision (A Literature Review). Diakses tanggal 27 Oktober 2012 dari
http://cimm.ucr.ac.cr/ciaemFrances/articulos/universitario/conocimiento/Teaching%20
Mathematical%20Problem%20Solving%3A%20Implementing%20the%20Vision*McIn
tosh,%20Robert%20.*McIntosh.pdf.
Mukhid, A. (2009). Self Efficacy (Perspektif Teori Kognitif Sosial dan Implikasinya terhadap
Pendidikan). Tadris, 4,(1), 108-122.
Mustakim. (2009). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Model
Pembelajaran Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 73
Matematik Peserta didik Kelas VIII. Tesis, tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri
Semarang.
Nicolaidou, M. dan Philippou, G. (2004). Attitudes Towards Mathematics, Self Efficacy and
Achievement in Problem Solving. Dalam European Research in Mathematics
Education III Thematic Group 2. Diakses tanggal 2 Oktober 2012 dari
http://www.dm.unipi.it/~didattica/CERME3/proceedings/Groups/TG2/TG2_nicolaidou
_cerme3.pdf.
Pajares, F. (1997). Current Direction in Self-efficacy Research. In M. maher & P. R. Pintrich
(Eds.). Advances in Motivation and Achievement, 10, 1-49. Greenwich, CT: JAI Press.
PISA. (2010). PISA 2009 Results: What Students Know and Can Do – Student Performance in
Reading, Mathematics and Science (Volume I).
Problem Solving Research Base. (n.d.). Math Handbooks Problem Solving: developing
Thinking Skills Through Reading and Writing. Diakses tanggal 12 Januari 2012 dari
http://www.greatsource.com/GreatSource/pdf/Problem_Solving_Research.pdf.
Rahayuningrum, R.H. (2013). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Pada Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung dengan Metode Penemuan Terbimbing
Siswa Kelas IX F SMP Negeri 2 Imogiri Bantul Yogyakarta. Prosiding Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2013. 509-516. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Risnanosanti. (2010). Kemampuan Berfikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy terhadap
Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajarn Inkuiri.
Disertasi, tidak diterbitkan. SPs Universitas Pendidikan Indonesia.
Robiah, T. (2013). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Peserta Didik
Menggunakan Pembelajaran Discovery Strategy. Journal Universitas Siliwangi
Tasikmalaya. Diakses tanggal 11 November 2013 dari
http://journal.unsil.ac.id/jurnalunsil-1659-.html.
Saad, N.S. & Ghani, S.A. (2008). Teaching Mathematics In Secondary Schools: Theories And
Practices. Perak: Universiti Pendidikan Sultan Idris.
Schunk, D.H. (1981). Modelling and Attributional Effect on Children Achievement: A Self
Efficacy Analysis. Journal of Educational Psychology, 73, 93-105.
Schunk, D. H. & Hanson, A. R. (1985). Peer Model: Influence on Children‘s Self Efficacy and
Achievement. Journal of Educational Psychology, 77, 313-322.
Setiawan. (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Investigasi.
Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan dan Penataran
Guru Matematika.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
74 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Shadiq, F. (2009). Kemahiran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan P4TK
Matematika.
Sharan, Y. & Sharan, S. (1989). Group Investigation Expands Cooperative Learning.
Educational Leadership, 47 (4), 17-21.
Slavin, R.E. (2009). Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Translated by Narulita
Yusron. Bandung: Nusa Media.
Sophocleous, P. & Gagatsis, A. (2009). Efficacy Beliefs and Ability to Solve Volume
Measurement Tasks in Different Representations. Proceedings of CERME 6. Diakses
tanggal 2 Oktober 2012 dari ife.ens-lyon.fr/publications/edition.../wg1-05-sophocleous-
gagatsis.pdf.
Sumarmo, U. (2005). Belajar Kooperatif: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Melaksanakan dan
Mengevaluasinya. Makalah padaPelatihanDosen Muda Indonesia Bagian Timur,
Ujung Pandang.
Supriatna. (2011). Pengembangan Disain Didaktis Bahan Ajar Pemecahan Masalah Matematis
Luas Daerah Segitiga Pada Sekolah Menengah Pertama. Tesis, tidak diterbitkan. SPs
Universitas Pendidikan Indonesia.
Suyitno, A. (2004). Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika 1 (Handout
Perkuliahan). Tidak diterbitkan.
Trends in International Mathematics and Science Study. (2011). Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) Result. Diakses tanggal 12 November 2013
dari http://nces.ed.gov/timss/table11_3.asp.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran & Model-model Pembelajaran (Pelengkap untuk
Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Tidak
diterbitkan.
Wardhani, S. dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP:
Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kemdiknas Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan P4TK Matematika.
Widyastuti. (2010). Pengaruh Pembelajaran Model Eliciting Activities terhadap Kemampuan
Representasi Matematis dan Self Efficacy Siswa. Tesis, tidak diterbitkan. SPs
Universitas Pendidikan Indonesia.
Zingaro, D. (2008). Group Investigation: Theory and Practice. Diakses tanggal 25 November
2012 dari http://www.danielzingaro.com/gi.pdf.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 75
VISUAL THINKING MATEMATIS
DALAM DISCOVERY LEARNING
SCRISTIA
Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI Bandung
Jl. Geger Kalong Girang, Bandung 40154, email: bae_tia@yahoo.com
Abstract
Globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, serta materi
TIMSS dan PISA merupakan beberapa tantangan masa depan yang perlu
diperhatikan oleh seluruh pemerhati pendidikan. Mencari cara, solusi, dan modal
untuk siap menghadapinya merupakan kewajiban untuk semua lapisan. Pemerintah
telah berupaya untuk menyediakan cara dan solusi untuk siap menghadapi
tantangan tersebut, yaitu pengembangan terhadap kurikulum pendidikan. Khusus
untuk materi TIMSS dan PISA, Guru memiliki peran yang paling besar untuk
menghadapi tantangan ini, membiasakan siswa untuk terus berlatih dengan soal-soal
jenis TIMSS dan PISA. Untuk mengukur kemampuan Matematika siswa, Geometri
merupakan salah satu dari empat materi yang di ukur oleh TIMSS. Kemampuan
siswa terhadap Geometri sangat mengandalkan kemampuan Visual Thinking, yaitu
kemampuan berpikir siswa secara visual, tidak hanya melihat gambaran umum tetapi
melalui sudut pandang yang jelas dan kreatif, dengan kemampuan berpikir secara
visual ini juga siswa dapat mengidentifikasi masalah, melihat hubungan dari
informasi yang ada, dan mengubah informasi ke dalam gambar, grafik atau bentuk-
bentuk lain yang dapat membantu mengkomunikasikan informasi untuk menemukan
solusi dari masalah. Kemampuan berpikir yang baik merupakan hal yang mendasar
dalam menyelesaikan permasalahan matematika dan membantu mengelola informasi
serta membantu dalam kegiatan penyelidikan dan penemuan. Belajar penemuan
(Discovery Learning) dapat di utamakan dalam proses pembelajaran untuk
meningkatkan kemampuan Visual Thinking siswa. Tuntutan kurikulum 2013 untuk
menerapkan Discovery learning dengan segala macam kelebihan dan
keuntungannya merupakan tindakan yang tepat untuk menjadikan siswa Indonesia
siap menghadapi tantangan masa depan, materi TIMSS dan PISA, kemajuan
teknologi informasi serta Globalisasi.
Kata kunci : Visual Thinking matematis, Discovery Learning
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir, beragumentasi dan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan
dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Untuk itu
matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar, membekali
peserta didik dengan kemampuan memecahkan masalah, mengaitkan dan merepresentasikan
ide-ide, serta mampu mengelola dan memanfaatkan informasi yang diterimanya, yang
selanjutnya diharapkan dapat mendorong dan membantu peserta didik dalam melakukan
kegiatan penemuan dan penyelidikan.
Kemampuan berpikir yang baik merupakan hal yang mendasar dalam menyelesaikan
permasalahan matematika, membantu dalam mengelola informasi yang diterima, serta
membantu dalam kegiatan penyelidikan dan penemuan yang diharuskan dalam kegiatan
matematika. Pendapat ini didukung oleh Plato (Sugilar, 2012) bahwa seseorang yang baik dalam
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
76 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
matematika akan cenderung baik pula dalam proses berpikirnya, dan seseorang yang dilatih
dalam matematika memiliki kecenderungan menjadi pemikir yang baik.
Tahap berpikir dalam matematika salah satunya adalah tahap berpikir secara visual
yang merupakan tahapan dasar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa berpikir visual sebagai sumber alternatif bagi siswa untuk bekerja
dengan matematika (Barwise dan Etchemendy, 1991; Dorffler, 1991; Goldenberg, 1991; Tall,
1991 dalam Nemirovsky, 1997). Berpikir visual (visual thinking) dapat menjadi salah satu
alternatif untuk mempermudah siswa dalam mempelajari matematika. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikemukan oleh Surya (2011) yang menyatakan bahwa siswa biasanya mengalami
kesulitan menjembatani pengetahuan informal ke matematika sekolah. Siswa perlu bimbingan
dan bantuan khusus pada bentuk representasi pemikiran visual (visual thinking) dari apa yang
mereka maksud atau mereka pikirkan sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk struktur ide,
ide tersebut bisa sebagai angka, simbol, gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang dapat
membantu siswa dalam proses belajar dan menyelesaikan permasalahan matematika mereka.
Kemampuan siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk
sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh
Giaquinto (2007) yang menyatakan bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap kalidigunakan
untukmenemukan (discovery). Selama proses penemuan (discovery learning) siswa dihadapkan
untuk berpikir sendiri, menganalisa sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip atau prosedur
matematika yang telah dipersiapkan oleh guru, dengan discovery learning siswa dihadapkan
kepada situasi dimana ia bebas menyelidiki, menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan-bahan serta
membuat kesimpulan-kesimpulan, dalam proses menyelidiki hingga menarik kesimpulan.
Kemampuan siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk
sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh
Giaquinto (2007) yang menyatakan bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap kalidigunakan
untukmenemukan (discovery).
Penemuan sebagai kreativitas merupakan karakteristik dari Matematika (Marsigit, 2011).
Geometri salah satu materi pokok dalam Matematika, Giaquinto (2007) menyatakan bahwa
berpikir secara visual (visual thinking)dapat menjadi saranapenemuan (discovery)dalam
geometri. NCTM, (2000: 43)menyatakan bahwa siswa harus mengembangkan kemampuan
visualisasi melalui hands-on experience dengan variasi terhadap objek-objek Geometri yang
selanjutnya dapat menjadikan mereka senang menganalisis dan menggambarkan perspektif,
serta dapat mendeskripsikan sifat-sifat yang tidak tampak tetapi dapat disimpulkan. Balim
(2009) juga berpendapat bahwa dalam Discovery Learning siswa mengkontruksi pengetahuan
berdasarkan informasi baru dan kumpulan-kumpulan data melalui lingkungan mereka sendiri.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 77
Dalam pembelajaran matematika kemampuan visual thinking dapat menjadi alat yang
ampuh mengekplorasi masalah matematis dan untuk memberi arti bagi konsep-konsep
matematis dan hubungannya (Rosken & Rolka, 2007). Cunninghamm, S & Zimmermann, W
(1991) dari kajian teorinya menyimpulkan bahwa visual thinking digunakan untuk menerangkan
bermacam-macam fakta dan permasalahan matematika.
Namun fakta dari hasil survey Trends International Mathematics Science Study
(TIMSS) tahun 2007 (dalam Wardhani & Rumiati, 2011) dalam domain konten geometri
kemampuan visual thinking atau berpikir secara visual serta visualisasi terhadap informasi yang
diberikan belum dikatakan tinggi, terlihat dari jawaban siswa pada soal TIMSS berikut ini,
hanya 19% siswa Indonesia menjawab dengan benar.
Soal ini berada dalam domain konten geometri dan domain kognitif penerapan.
Kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab soal tersebut telah dipelajari siswa di kelas VII
SMP yaitu ―menentukan hubungan antara dua garis, serta besar dan jenissudut‖ (KD 5.1).
Hasil TIMSS menunjukkan bahwa secara internasional, 32% siswa menjawab benar dan
hanya 19% siswa Indonesia menjawab benar. Soal ini masih cukup sulit bagi siswa Indonesia.
Ada banyak kemungkinan penyebabnya sehingga siswa belum berhasil menjawab dengan
benar, antara lain siswa kurang memahami pengetahuan terkait sudut, besarnya jumlah sudut
dalam segitiga, hubungan antar sudut. Kemungkinan penyebab lain adalah siswa kurang
memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain, dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa siswa tidak menggunakan kemampuan berpikir secara visualnya.
Terkhusus untuk siswa SMP Lubuklinggau yang berlokasi di salah satu daerah
diprovinsi Sumatera Selatan, Lubuklinggau merupakan daerah di perbatasan Provinsi Bengkulu-
SumSel, dari wawancara dengan beberapa guru matematika SMP Lubuklinggau, tidak sedikit
dari guru tersebut mengetahui jenis dari soal TIMSS maupun PISA, bayangkan jika salah satu
SMP di Lubuklinggau yang menjadi sampel dalam penilaian TIMSS maupun PISA, entah
apalagi yang akan terjadi dengan skor matematika siswa Indonesia kita.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
78 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
VISUAL THINKING MATEMATIS
Visual thinking didefinisikan oleh Hershkowitz, 1998 (dalam Kania, 2013) sebagai
kemampuan merepresentasikan, mentransformasikan, menggeneralisasikan, mengkomunikasi,
mendokumentasikan dan merefleksikan objek atau benda menjadi informasi visual. Lebih
lanjut, Wileman (Stokes, 2001) mendeskripsikan visual thinking sebagai kemampuan untuk
mengubah informasi dari semua jenis ke dalam gambar, grafik atau bentuk-bentuk lain yang
dapat membantu mengkomunikasikan informasi.
Visual thinking menurut Wileman (Stoke, 2001)merupakan kemampuan dalam
mengubah informasi dari semua jenis gambar, grafik atau bentuk-bentuk lain yang dapat
membantu mengkomunikasikan informasi. Giaquinto (2007) menegaskan bahwa visualisasi
dapat menggambarkan kasus definisi, sehingga memberikan kita pemahaman yang lebih jelas
tentang aplikasi, dan dapat membantu kita memahami deskripsi dari situasi matematika atau
langkah-langkah dalam beberapa penalaran yang diberikan kalimat demi kalimat, serta
memungkinkan untuk menyarankan proposisi pada penyelidikan atau ide sebagai bukti.
Sementara itu, Arcavi (2003) mendefinisikan visual thinking sebagai kemampuan,
proses dan hasil kreasi, interpretasi, penggunaan serta gagasan mengenai gambar, image dan
diagram di dalam pikiran, di atas kertas atau menggunakan alat-alat teknologi, dengan tujuan
menggambarkan dan mengkomunikasikan informasi, gagasan dan mengembangkan ide-ide
sebelumnya serta meningkatkan pemahaman. Seperti yang dikatakan oleh Surya (2011) visual
thinking adalah suatu pemikiran yang aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan
dan memproduksi pesan visual, interaksi antara melihat, membayangkan, menggambarkan
sebagai tujuan yang dapat digunakan seperti berpikir verbal.
Begitu banyak para ahli telah meneliti tentang visual thinking dan mendefinisikan
kemampuan visual thinking, yang pada intinya dengan kemampuan visual thinking yang tinggi
membantu seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan definisi visual thinking sebagai kemampuan yang harus ditingkatkan. Visual
thinking merupakan kemampuan berpikir dan proses berpikir yang menggunakan imajinasi dan
gambaran pada keadaan nyata dalam memandang suatu permasalahan sehingga dapat
menghubungkan, menggambarkan dan mengkomunikasikan informasi yang ada menjadi
informasi yang lebih spesifik dalam membuat keputusan atau pemecahan masalah.
Presmeg (2011) mengungkapkan tujuh peranan visual thinking dalam pembelajaran
matematika, yaitu:
1. Untuk memahami masalah, dengan merepresentasikan masalah visual
siswa dapat memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang
berhubungan satu sama lain;
2. Untuk menyederhanakan masalah, visualisasi memungkinkan siswa
mengidentifikasi masalah dengan versi yang lebih sederhana, pemecahan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 79
masalah dan kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan
dan mengidentifikasi metode yang digunakan untuk masalah yang
serupa;
3. Untuk melihat keterkaitan masalah;
4. Untuk memahami gaya belajar individual, karena setiap siswa memiliki
gaya tersendiri untuk merepresentasikan visualisasi saat memecahkan
masalah;
5. Sebagai pengganti untuk komputasi/perhitungan. Jawaban masalah dapat
diperoleh secara langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa
memerlukan komputasi;
6. Sebagai alat untuk memeriksa solusi. Representasi visual dapat
digunakan untuk memeriksa kebenaran dari jawaban yang diperoleh;
7. Untuk mengubah masalah kedalam bentuk matematis melalui
representasi visual.
Langkah-langkah Visual Thinking menurut Bolton (Nurdin, 2012: 29) adalah:
(1) Looking, pada tahap ini, siswa megidentifikasi masalah dan hubungan timbal baliknya,
merupakan aktivitas melihat dan mengumpulkan;
(2) Seeing, mengerti masalah dan kesempatan, dengan aktivitas menyeleksi dan
mengelompokkan;
(3) Imagining, mengeneralisasikan langkah untuk menemukan solusi, kegiatan pengenalan
pola;
(4) Showing and Telling, menjelaskan apa yang dilihat dan diperoleh kemudian
mengkomunikasikannya.
Di Indonesia, siswa di sekolah kesulitan dalam belajar matematika khususnya dalam
memahami permasalahan mempresentasikan apa yang ada dalam pikirannya (visual thinking)
dan memecahkan masalah matematika padahal pemecahan masalah matematika merupakan
jantung dari matematika dan visualisasi merupakan inti dari matematika.
Pada hakekatnya belajar matematika adalah berpikir dan berbuat atau mengerjakan
matematika. Disinilah makna dan strategi pembelajaran matematika adalah strategi
pembelajaran yang aktif, yang ditandai oleh dua faktor : a. Interaksi optimal antara seluruh
komponen dalam proses belajar mengajar di antaranya antara komponen utama yaitu guru dan
siswa, b. Berfungsinya secara optimal seluruh ‗‘sense‘‘ yang meliputi indera, emosi, karsa,
karya, dan nalar. Hal itu dapat berlangsung antara lain jika proses itu melibatkan aspek visual,
audio, maupun teks (Anderson, 2002).
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
80 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
DISCOVERY LEARNING
Sund, R.B. (Lutfan, 2008) menyatakan discovery (penemuan) adalah proses mental
dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut
antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Dalam pembelajaran dengan
metode penemuan siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu
sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.
Menurut Ruseffendi (2006) metode discovery adalah metode mengajar yang mengatur
pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum
diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Pada
metode discovery, bentuk akhir dari yang akan ditemukan itu tidak diketahui.
Dengan metode discovery menurut Ruseffendi (2006) pada dasarnya konsep, dalil,
prosedur, algoritma dan semacamnya yang dipelajari siswa merupakan hal yang belum
diketahui oleh siswa, namun telah diketahui oleh guru. Untuk memperoleh pengetahuan tanpa
proses pemberitahuan ini, siswa melakukan kegiatan-kegiatan terkaan, mengira-ngira, dan coba-
coba untuk sampai pada yang harus ditemukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Balim (2009)
bahwa Discovery Learning adalah sebuah metode yang mendorong siswa untuk mencapai
kesimpulan yang didasarkan atas hasil aktivitas dan observasi siswa. Hal ini juga diperkuat oleh
pendapat Joolingen (1999) dimana siswa mekonstruksi pengetahuan mereka sendiri melalui
percobaan dan mengambil kesimpulan dari hasil percobaan tersebut, karena aktivitas
konstruktivis akan mengambil domain pemahaman pada tingkat yang tinggi daripada ketika
informasi hanya diperkenalkan oleh guru atau hanya dijelaskan. Alliance for Childhood (2000)
menyatakan bahwa siswa yang memperoleh pengetahuan dari mereka sendiri lebih besar
kemungkinan untuk menggunakan dan memperluas pengetahuan daripada yang menerima
pengajaran secara langsung.
Dengan demikian, untuk keberhasilan discovery learning, pelajar harus memiliki
banyak kemampuan dalam penemuan, seperti Hypothesis umum, desain experiment, perkiraan,
dan analisis data ( De Jong & Van Joolingen, in press ).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning menurut Sardiman, 2005
(Kemdikbud, 2013) guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing
dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Hal ini disesuaikan dengan
karakteristik siswa SMP yang masih belum bisa dilepas begitu saja bekerja untuk menemukan
sesuatu. Tetapi memerlukan bimbingan dari guru berupa mengajukan beberapa pertanyaan,
memberikan informasi secara singkat, dan sebagainya.
Pada pembelajaran penemuan, siswa dihadapkan pada situasi ia bebas menyelidiki dan
menarik kesimpulan. Terkaan, intusi, dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 81
dianjurkan. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan, membantu siswa agar mempergunakan ide,
konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan
pengetahuan yang baru. Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas
siswa dan membantu mereka dalam ‗menemukan‘ pengetahuan yang baru tersebut. Perlu diingat
bahwa, memang metode ini memerlukan waktu yang relatif banyak dalam pelaksanaannya, akan
tetapi hasil belajar yang akan dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang digunakan.
Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama apabila siswa diajarkan secara langsung dalam
proses pemahaman dan mengkonstruksi sendiri konsep atau pengetahuan tersebut. Metode
pembelajaran ini bisa dilakukan baik secara perseorangan maupun kelompok.
Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir,
siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat
kesimpulan-kesimpulan. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri
mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa
yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery
Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang
lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif
jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih,
2005:41).
KESIMPULAN
Untuk memahami masalah dengan merepresentasikan masalah visual siswa dapat
memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain. Karena
dengan visual thinking siswa dapat menyederhanakan masalah, dengan melihat keterkaitan
masalah kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi
metode yang digunakan untuk masalah yang serupa.
Rendahnya kualitas pembelajaran menurut Ruseffendi (2006) dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu (1) metode pembelajaran; (2) kreativitas guru; (3) penggunaan media
pembelajaran; (4) motivasi siswa.
Penerapan metode pembelajaran patut diduga memiliki kontribusi yang besar dalam
meningkatkan hasil belajar siswa. Metode pembelajaran yang diduga mampu mendongkrak
kemampuan visual thinking hasil belajar siswa adalah metode discovery learning. Penggunaan
soal-soal yang berjenis TIMSS dan PISA juga bisa di aplikasikan Guru dalam proses
pembelajaran.
Selama proses penemuan (discovery learning) siswa dihadapkan untuk berpikir sendiri,
menganalisa sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip atau prosedur matematika yang telah
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
82 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
dipersiapkan oleh guru, dengan discovery learning juga siswa dihadapkan kepada situasi dimana
ia bebas menyelidiki, menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan,
menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan-bahan serta membuat kesimpulan-
kesimpulan, dalam proses menyelidiki hingga menarik kesimpulan. Kemampuan siswa dalam
berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk sampai pada penarikan
kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh Giaquinto (2007) yang
menyatakan bahwavisualisasimenjadidiandalkansetiap kalidigunakan untukmenemukan
(discovery).
Langkah-langkah Visual Thinking menurut Bolton berupa Looking, Seeing, Imagining,
dan Showing and Telling dapat dimodifikasi dalam proses pembelajaran pada kegiatan
discovery learning sehingga konsep, teorema, rumus, aturan dan sejenisnya ditemukan kembali
oleh siswa dan siswa didorong untuk berpikir sendiri berdasarkan intuisi dan pengalamannya,
melakukan visualisasi sendiri untuk memecahkan permasalahan yang sedang mereka hadapi
sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru, dalam
hal ini guru bertindak sebagai pengarah dan pendamping jika diperlukan. Selanjutnya, intuisi,
terkaan dan mencoba-coba serta kemampuan visualisasi hendaknya dianjurkan dalam proses ini
dan guru sebagai pengarah untuk membantu siswa agar menggunakan ide, konsep dan
keterampilan yang sudah mereka pelajari. Dengan membiasakan siswa berpikir secara intuisi
mereka masing-masing dan membiasakan siswa dalam kegiatan berpikir secara visual terhadap
suatu permasalahan khusunya dalam mengerjakan tugas dan soal matematika dalam suatu
rangkaian penemuan dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan secara langsung serta dilibatkan dalam
berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Alliance for Childhood. (2000). Fool‘s gold: A critical look at computers in childhood. [Online]
http://www.allianceforchildhood.net/projects/computers/computers_reports_htm (22
september 2013)
Anderson, R.D. (2002). Reforming science teaching: What research says about inquiry. Journal
of Science Teacher Education, 13(1),1-12
Arcavi, A. (2003). The Role of Visual Representation in the Learning of Mathematics.
Educational Studies in Mathematics, 52, pp. 215-241
Balim, A. G. (2009). The Effects of Discovery Learning on Students‘ Success and Inquiry
Learning Skill. Egitim Arastirmalari-Eurasian Journal of Educational Research. 35, 1-
20.
Bruner, J. (1985). Actual Minds, Possible Worlds. Harvard University Press
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 83
Cunningham, S & Zimmermann, W. (1999). Visualization in Teaching and Learning
Mathematics. Editor‘s Introduction: What Is Mathematical Visualization?. Eds. MAA
Notes No.19
De Jong, T & Joolingen, W.R. (1998). Discovery Learning with computer simulations of
conceptual domain. Review of Educational Research, 68, 179-201
Giaquinto, M. (2007). Visual Thinking in Mathematics. An Epistemological Study. New York:
Oxpord University Press
Joolingen, W.V. (1999). Cognitive Tools for Discovery Learning. International Journal of
Artificial Inteligence in Education, 10, 385-397
Kania, N. (2013). Perbandingan Efektivitas Penggunaan Alat Peraga Konkret dengan Alat
Peraga Maya (Virtual Manipulative) terhadap Peningkatan Visual Thinking Siswa.
Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan
Lutfan. (2008). Teknik Penyajian Discovery. Tersedia di www.indoskripsi.com. (hal.20, 26)
Marsigit, MA. (2003). Pendalaman dan Pengembangan Konsep Kurikulum 2004 dan Silabus
Berbasis Kompetensi Matematika SMP Disampaikan pada Pelatihan TOT II Ilmu-Ilmu
Dasar Se Indonesia Di PPPG Matematika Yogyakarta
Nemirovsky, Ricardo., & Tacy Noble. 1997. On Mathematical Visualization and The Place
Wher We Live. (In) Educational studies in Mathematics: An International Journal,
Volume 33, Issue 2, pp 99-131. [Online]
http://link.springer.com/article/10.1023%2FA%3A1002983213048 (13 Maret 2013)
Nurdin, E. (2012). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis
Siswa Melalui Pendekatan Pembelajaran Visual Thinking: Kuasi-Eksperimen pada
Siswa Salah Satu MTs Negeri di Tembilahan. Bandung: Tesis Jurusan Pendidikan
Matematika SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan
Presmeg, N. (2011). Visualisation in High School Mathematics. Educational Resources
Information Center (ERIC). Online [http‖//www.eric.ed.gov/, 14 Maret 2013]
Rosken, B & Rolka, K. (2006). A picture is worth a 1000 words-the role of visualization in
mathematics learning. Proceedings 30th Conference of the International Group for the
Psychology of Mathematics Education, Vol. 4, pp. 457-464.
_____________________. (2007). Integrating Intuition: The Role of Concept Image and
Concept Definition for Students‘ Learning of Integral Calculus. The Montana
Mathematics Enthusiast (TMME), ISSN 1551-3440, Monograph 3, pp. 181-204.
Ruseffendi. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam
Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Stoke, S. (2001). Visual Literacy in Teaching and Learning: A Literature Perspective. Electronic
Jounal for the Integration of Technology in Education, vol1, no.1. [Online]
http://ejite.isu.edu/Volume1No1?Stokes.html, (18 Maret 2013)
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
84 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Sugilar, Hamdan. (2012). Miningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Disposisi
Matematika Siswa Madrasah Tsanawiyah Melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi
Doktor pada SPs Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Surya, E. (2011). Visual Thinking dalam memaksimalkan Pembelajaran Matematika Siswa
dapat Membangun Karakter Bangsa. Jurnal Abmas thn.10, no.10. [Online]
http://jurnal.upi.edu/abmas (7 JUli 2013)
Trends International Mathematics Science Study (TIMSS). (2011). Online
[http://doelfproduct.blogspot.com/2013/01/hasil-timss-terbaru. html. 31 Maret 2013]
Wardhani & Rumiati. (2011). Modul Matematika SMP Program Bermutu. Instrumen Penilaian
Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar Dari PISA Dan TIMSS. Kementerian
Pendidikan Nasional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan Pusat Pengembangan dan PPPPTK Matematika. [Online]
http://p4tkmatematika.org/file/Bermutu%202011/SMP/4.INSTRUMEN%20PENILAIA
N%20HASIL%20BELAJAR%20MATEMATIKA%20.pdf, (25 Juni 2013)
Zimmerman, B. J., (2000). Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn. Contemporary
Educational Psychology, 25, 82-91. [Online].
http://www.unco.edu/cebs/psychology/kevinpugh/motivation_project/resources/zimmer
man00.pdf, (1 Oktober 2013)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 85
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
DALAM MEMECAHKAN DAN MENGAJUKAN MASALAH MATEMATIKA
DI SDN LEMAH PUTRO 1 SIDOARJO
Sabrina Apriliawati Sa’ad1)
, Tatag Yuli Eko Siswono2)
(Program Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya
Kampus Ketintang Surabaya; 1)
Jl. R.A Kartini 16/15 Gresik Jawa Timur; sabrheana@gmail.com) 2)
Perum. Gebang Raya AF 18 Sidoarjo; tatagyes@gmail.com)
Abstrak
Salah satu kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran adalah
kemampuan berpikir kreatif. Namun, pelaksanaan pembelajaran matematika yang
masih belum optimal mengakibatkan rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa
terutama bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di kelas inklusi. Tulisan ini akan
memberikan gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK dalam
memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK
dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Penelitian kualitatif ini
merupakan bagian Penelitian Strategi Nasional (Stranas) yang telah dilakukan di
SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo dengan cara pretes-postes pembelajaran dan
wawancara. Subjek dalam penelitian ini adalah 13 anak kelas IV, VA, dan VB yang
termasuk ABK. Analisis data hasil tes evaluasi pembelajaran dilakukan dengan
mengidentifikasi soal yang dapat diselesaikan ABK. Kemudian dianalisis
berdasarkan kriteria tingkat berpikir kreatif. Berdasarkan hasil analisis data,
disimpulkan bahwa terdapat 8 subjek (62%) ABK yang termasuk TBK 0, terdapat 2
subjek (15%) ABK yang termasuk TBK 1, dan terdapat 2 subjek (15%) ABK yang
termasuk TBK 2, dan terdapat 1 subjek (8%) yang termasuk TBK 3.
Kata kunci : anak berkebutuhan khusus (ABK), kemampuan berpikir kreatif
PENDAHULUAN
Salah satu kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran adalah
kemampuan berpikir kreatif. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomer 67 tahun 2013
(Depdiknas, 2013), tujuan pendidikan nasional untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga Negara yang beriman, produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, setiap
kegiatan pendidikan termasuk pembelajaran matematika diharapkan meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif siswa.
Alexander (2009) menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kreatif merupakan hasil dari
interaksi antara individu dengan lingkungan. Jadi kemampuan berpikir kreatif dapat
dikembangkan dengan baik apabila situasi lingkungan mendukung. Kemampuan berpikir kreatif
siswa dapat dinilai dengan beberapa kriteria. Siswono (2007) memberikan penjenjangan
kemampuan berpikir kreatif yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan siswa sebagai
berikut.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
86 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Tabel 1. Penjenjangan kemampuan berpikir kreatif siswa
Tingkat Karakteristik
Tingkat 4
(Sangat Kreatif)
Siswa mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan atau
kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan
masalah.
Tingkat 3
(Kreatif)
Siswa mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau kefasihan dan
fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 2
(Cukup Kreatif)
Siswa mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam
memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 1
(Kurang Kreatif)
Siswa mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan maupun
mengajukan masalah.
Tingkat 0
(Tidak Kreatif)
Siswa tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif.
Lebih lanjut Siswono (2008) menjelaskan bahwa kefasihan adalah kemampuan siswa
untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai macam jawaban dan benar. Fleksibilitas adalah
kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai cara yang berbeda.
Sedangkan kebaruan adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan beberapa
jawaban yang berbeda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang ―tidak biasa‖ dilakukan oleh
siswa.
Salah satu cara atau metode yang dapat diberikan kepada siswa dan mendorong
kemampuan berpikir kreatif siswa adalah memecahkan dan mengajukan masalah matematika.
Menurut Wheeler et all (dalam Alexander, 2007) tanpa kemampuan berpikir kreatif, individu
akan kesulitan untuk mengembangkan kemampuan imajinasinya sehingga siswa tersebut kurang
mampu untuk mencari berbagai penyelesaian dari suatu masalah. Sehingga bisa disimpulkan
bahwa dalam aktifitas pemecahan masalah, kemampuan berpikir kreatif digunakan untuk
mengidentifikasi masalah dan mencari berbagai kemungkinan penyelesaian dari masalah
tersebut.
Pengajuan masalah pada intinya adalah meminta siswa untuk mengajukan atau membuat
masalah baru sebelum, selama, atau sesudah menyelesaikan masalah soal yang diberikan.
Siswono (2009) menjelaskan manfaat pengajuan masalah antara lain membantu siswa dalam
mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika dan sebagai kegiatan untuk
mengarah kepada sikap kritis dan kreatif. Hal ini dikarenakan siswa diminta untuk membuat
soal dari informasi yang diberikan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam aktifitas pengajuan
masalah, kemampuan berpikir kreatif digunakan untuk memahami informasi yang diberikan dan
membuat soal dari informasi tersebut.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 87
Pendidikan adalah kebutuhan bagi semua anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan
khusus (ABK). Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 (1) yakni negara memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa
terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan. Oleh karena itu,
proses pembelajaran di sekolah diharapkan dapat membantu dan mewujudkan prestasi belajar
siswa, baik siswa normal maupun siswa berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusi merupakan salah satu layanan pendidikan yang memfasilitasi
pembelajaran dengan menggabungkan siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusi ini mulai mendapat perhatian masyarakat setelah dikeluarkannya Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 77/P Tahun 2007 Pasal 1 tentang inklusi. Dalam keputusan
tersebut dijelaskan bahwa inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan untuk semua.
Sejalan dengan keputusan presiden tersebut, sekarang ini sudah banyak terbentuk sekolah-
sekolah inklusi yaitu sekolah yang dapat menerima siswa berkebutuhan khusus belajar bersama
dengan siswa-siswa normal lainnya. Salah satunya di SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo.
Kustawan (2012) membedakan anak berkebutuhan khusus menjadi anak berkebutuhan
khusus permanen dan anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus
permanen dibedakan dalam tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
anak berkesulitan belajar, anak lamban belajar, anak autis, anak yang memiliki gangguan
motorik, tunaganda, dan anak berbakat. Beragam kelainan ABK tersebut memiliki karakteristik
yang berbeda. Terkadang ABK mengalami keterbatasan kemampuan dalam menyerap
informasi. Selain itu, ABK juga memiliki hambatan dalam pengelolaan emosi dan perilaku. Hal
ini berdampak pada kemampuan akademik terutama kemampuan belajar mereka dalam
matematika. Oleh karena itu, ABK memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik mereka.
Proses pembelajaran matematika di kelas inklusi diharapkan dapat menumbuhkan
kreatifitas ABK. Namun, pelaksanaan pembelajaran matematika masih belum optimal dalam
melatih kemampuan berpikir kreatif siswa apalagi ABK. Hal ini disebabkan guru terkadang
hanya mentransfer ilmunya dan memberikan soal latihan yang tidak melatih kreatifitas siswa.
Dalam pemecahan masalah, guru terkadang mengharuskan siswa untuk menyelesaikan masalah
tersebut sesuai dengan langkah penyelesaian guru. Akibatnya kemampuan berpikir kreatif siswa
termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) menjadi rendah dan tidak berkembang.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan
masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan
masalah matematika.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
88 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
METODE PENELITIAN
Penelitian yang merupakan bagian dari Penelitian Strategi Nasional (Stranas)
dilaksanakan di SDN Lemah Putro 1 Sidoarjo tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini
termasuk dalam penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena data kualitatif yang
diperoleh digunakan untuk memberikan gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif ABK
dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan tingkat berpikir kreatif ABK
dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Subjek dalam penelitian ini adalah
13 anak kelas IV, VA, dan VB yang termasuk siswa ABK. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pretes-postes pembelajaran untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif
ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika dan pedoman wawancara.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes dan metode wawancara.
Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis data hasil tes dalam memecahkan dan
mengajukan masalah dan analisis data hasil wawancara. Analisis data dari tes tersebut dilakukan
dengan memperhatikan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan yang dilihat dari metode
penyelesaian yang digunakan siswa. Dari hasil analisis tersebut, kemampuan berpikir kreatif
siswa akan dinilai berdasarkan rubrik penjenjangan kemampuan berpikir kreatif (TBK) Siswono
(2007). Kemudian peneliti membandingkan tingkat kemampuan berpikir kreatif ABK dan baru
dilakukan wawancara terhadap subjek penelitian. Subjek penelitian yang diwawancarai dipilih
berdasarkan hasil tes pemecahan dan pengajuan masalah. Subjek dipilih dari masing-masing
TBK (jika ada). Prosedur penelitian yang dilakukan adalah:
1. Memberikan tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah kepada
subjek tiap kelas untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan dan
mengajukan masalah.
2. Menganalisis hasil tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah
dengan memperhatikan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dari masalah yang dapat
diselesaikan subjek. Hasil analisis tersebut akan menunjukkan TBK subjek.
3. Memilih subjek yang akan diwawancarai untuk mengetahui gambaran kemampuan
berpikir kreatif subjek dalam memecahkan dan mengajukan masalah.
4. Melaksanakan wawancara dan menganalisis hasil wawancara.
5. Menganalisis hasil data tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah
dan hasil wawancara untuk mengelompokkan siswa ke dalam TBK.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas IV, VA, dan VB SDN Lemah Putro 1
Sidoarjo dengan jumlah 13 siswa berkebutuhan khusus yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 3
orang perempuan. Subjek tersebut memiliki berbagai kelainan antara lain lamban belajar,
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 89
tunarungu, tunanetra, kesulitan membaca, dan autis. Peneliti bersama kolaborator melakukan
penilaian terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Kemampuan berpikir kreatif ABK
diketahui dari tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan mengajukan masalah yang diberikan
sebelum pembelajaran (pretes) dan sesudah pembelajaran (postes). Hasil tes tersebut
digambarkan dengan tingkat berpikir kreatif (TBK) yang dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Hasil Tes Berpikir Kreatif dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah
Nama Samaran
(ABK)
TBK I Skor
Pretes
TBK II Skor
Postes
Ahmad (4) 1 28,57 0 0
Erik (4) 1 28,57 3 42,86
Noval (4) 1 28,57 2 42,86
Raja (4) 0 0 0 0
Iwan (4) 0 0 0 0
Udin (5A) 0 12,5 0 16,67
Narko (5A) 1 25 1 50
Billa (5A) 3 62,5 0 16,67
Anta (5A) 0 12,5 0 16,67
Dina (5A) 1 50 2 50
Ana (5B) 0 50 0 16,67
Amar (5B) 0 0 0 33,33
Budi (5B) 0 0 1 50
Rata-rata 22,94 25,83
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif ABK
dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika sangat bervariasi. Pada saat sebelum
pembelajaran tingkat berpikir kreatif ABK masih rendah yaitu sekitar TBK 0 atau 1. Hanya ada
1 siswi yang memperoleh TBK 3. Hal ini menunjukkan bahwa ABK masih belum bisa
memecahkan dan mengajukan masalah secara kreatif. Namun, setelah diadakan pembelajaran di
dalam kelas inklusi, pada akhir pembelajaran ABK menunjukkan kemajuan. Rata-rata
kemampuan untuk memecahkan dan mengajukan masalah matematika meningkat menjadi
25,83 dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya sekitar 22,94.
Tingkat berpikir kreatif ABK juga mengalami peningkatan sesuai dengan tabel 2. Tingkat
berpikir kreatif ABK dalam memecahkan dan mengajukan masalah setelah pembelajaran ada
yang mencapai tingkat 2 dan 3. Artinya ABK dapat menunjukkan kefasihan dan fleksibel atau
kefasihan dan kebaruan dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Sehingga
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
90 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
guru dalam proses pembelajaran bisa lebih memperhatikan ABKuntuk mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif ABK.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat dibahas tingkat kemampuan berpikir
kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika sebagai berikut.
1. ABK yang termasuk dalam TBK 0 atau tidak kreatif adalah ABK yang tidak memenuhi
ketiga indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Pada hasil
pretes terdapat 7 subjek (54%) yang tidak kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 8
subjek (62%) yang tidak kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang tidak kreatif
meningkat karena ada ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Ada siswa yang
berubah dari TBK 1 ke TBK 0, bahkan ada yang berubah dari TBK 3 ke TBK 0. Dari 8
ABK pada tingkat ini dipilih 1 ABK untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang
diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK tidak dapat menemukan berbagai cara untuk
memecahkan masalah yang diberikan dan tidak dapat memberikan jawaban soal yang
beragam dan benar.
Contoh jawaban yang diberikan ABK tidak kreatif.
Selain itu, ABK tidak dapat menjawab soal dengan cara yang tidak biasa. Dalam pengajuan
masalah, ada ABK yang menulis kembali soal yang diberikan dan ada yang memecahkan
soal dengan solusi yang salah. Selain itu, ada 6 ABK tidak dapat mengajukan masalah
matematika.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 91
Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa ABK mempunyai kemampuan mengingat
materi yang telah dipelajarinya. Namun, ABK tersebut kesulitan untuk memahami masalah
matematika yang dihadapinya. Kesulitan tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor
emosional ABK pada saat mengerjakan tes berpikir kreatif dalam memecahkan dan
mengajukan masalah. Kemungkinan ABK mengalami kesulitan dalam memahami
informasi dan mengkaitkan dengan materi yang telah dipelajari. Setelah peneliti berdiskusi
dengan guru kelas IV, VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada
TBK 0 yaitu 5 anak termasuk lamban belajar, 1 anak lamban belajar sekaligus tunanetra
ringan, 1 anak lamban belajar sekaligus berkesulitan membaca, dan 1 anak lamban belajar
sekaligus tunarungu ringan. Seorang anak dikatakan lamban belajar apabila IQ anak di
bawah 90. Menurut Kustawan (2012), anak lamban belajar membutuhkan waktu yang lebih
lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Sehingga untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir kreatifnya memerlukan pelayanan pendidikan yang
khusus. Selain itu, ada 2 ABK yang mengalami kesulitan membaca. Hal ini menyebabkan
ABK tersebut tidak menjawab soal yang diberikan pada saat tes berpikir kreatif. Sehingga
kemampuan berpikir kreatif mereka menjadi rendah. Lebih lanjut, pada saat tes, ABK yang
tidak bisa fokus dengan pekerjaan mereka, ABK tersebut ada yang diam saja atau
mengganggu teman-temannya.
2. ABK yang termasuk dalam TBK 1 atau kurang kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi
satu indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan. Pada hasil pretes terdapat 5 subjek (38%)
yang kurang kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 2 subjek (15%) yang kurang
kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang kurang kreatif menurun karena ada
ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Dari 2 ABK pada tingkat ini dipilih 1 ABK
untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah siswa
dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Namun, ABK tersebut tidak
dapat menyelesaikan soal dengan cara lain yang berbeda. ABK malah menuliskan kembali
cara tersebut pada soal berikutnya. Contoh Jawaban ABK kurang kreatif.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
92 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Dalam pengajuan masalah, ABK mulai terlihat kreatif dalam membuat soal meskipun soal
yang dibuat hanya mengubah beberapa dari informasi yang diberikan. Mereka cenderung
menyisipkan keterangan lain dan beralih ke soal yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa
ABK mencoba mengingat kembali materi yang dipelajari tapi tidak dapat menemukan cara
yang tepat untuk menyelesaikan soal. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas IV,
VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada TBK 1 yaitu 2 ABK
lamban belajar. Tapi ABK pada TBK ini setingkat lebih tinggi kemampuan berpikir
kreatifnya dari pada ABK pada TBK 0. Menurut Kustawan (2012), setiap anak lamban
belajar itu unik. Hal itu berarti setiap anak memiliki karakteristik masing-masing.
Kemungkinan ABK yang memiliki TBK 1 lebih mudah untuk memahami masalah
matematika yang diberikan. Sehingga kemampuan berpikir kreatifnya pada TBK 1.
3. ABK yang termasuk dalam TBK 2 atau cukup kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi
satu indikator berpikir kreatif yaitu fleksibilitas atau kebaruan. Pada hasil pretes tidak ada
subjek (0%) yang cukup kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 2 subjek (15%) yang
cukup kreatif. Bila dibandingkan, persentase subjek yang cukup kreatif meningkat karena
ada ABK yang berubah tingkat berpikir kreatifnya. Dari 2 ABK pada tingkat ini dipilih 1
ABK untuk diwawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah
ABK dapat memecahkan masalah yang diberikan dengan cara lain yang berbeda. Namun,
ABK kurang teliti dalam menyelesaikan soal tersebut sehingga jawaban yang diperoleh
belum tepat. Contoh jawaban ABK cukup kreatif.
Dalam pengajuan masalah, ABK membuat soal yang sesuai dengan informasi yang
diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa ABK telah mampu mengkaitkan informasi yang
diberikan dengan materi yang telah dipelajari. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas
IV, VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari masing-masing subjek pada TBK 2 yaitu 1
ABK lamban belajar dan 1 ABK hidrocefalus. Menurut Prasetyono (2008), melatih ABK
hal yang tidak mudah karena kemampuan mengingat mereka dalam mencerna suatu objek
kurang. Hal ini terlihat dalam jawaban yang diberikan ABK pada tingkat 2. ABK ini bisa
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 93
mengingat cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Namun, dia kurang
teliti dalam menjawab masalah tersebut sehingga jawabannya kurang tepat.
4. ABK yang termasuk dalam TBK 3 atau kreatif adalah ABK yang hanya memenuhi dua
indikator yaitu kefasihan dan fleksibilitas. Pada hasil pretes terdapat 1 subjek (8%) yang
kreatif. Sedangkan pada hasil postes terdapat 1 subjek (8%) yang kreatif. Bila
dibandingkan, persentase subjek yang kreatif tetap. ABK tersebut langsung menjadi subjek
wawancara. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat
memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. ABK juga dapat menyelesaikan
dengan cara lain yang berbeda. Akan tetapi, ABK tidak tepat dalam memasukkan panjang
sisi dari persegi sehingga hasil akhir yang diperoleh ABK salah. Contoh jawaban ABK
kreatif.
Dalam pengajuan masalah, ABK membuat soal yang sesuai dengan informasi yang
diberikan. ABK mampu mengkaitkan informasi tersebut dengan materi yang telah
dipelajari dan menyelesaikannya dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa ABK mampu
berimajinasi dan mencurahkan idenya. Setelah peneliti berdiskusi dengan guru kelas IV,
VA, dan VB diperoleh kerakteristik dari subjek pada TBK 3 yaitu lamban belajar. Menurut
Kustawan (2012), anak lamban belajar memiliki rata-rata prestasi belajar yang cukup
rendah. Hal itu terlihat dari rata-rata pretes dan postes yang masih rendah. Walaupun ABK
yang lamban belajar memiliki IQ di bawah 90, mereka tetap berusaha seperti anak normal
dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika. Sehingga apabila guru
memberikan pelatihan yang khusus pada ABK, ABK kemungkinan bisa meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif dalam matematika.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
94 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
1. Terdapat 8 subjek yang termasuk TBK 0 atau tidak kreatif. ABK yang termasuk dalam
TBK 0 adalah ABK yang tidak memenuhi ketiga indikator berpikir kreatif yaitu kefasihan,
fleksibilitas, dan kebaruan. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah
ABK tidak dapat menemukan berbagai cara untuk memecahkan masalah yang diberikan
dan tidak dapat memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Selain itu, ABK tidak
dapat menjawab soal dengan cara yang tidak biasa.
2. Terdapat 2 subjek yang termasuk dalam TBK 1 atau kurang kreatif. ABK yang termasuk
dalam TBK 1 adalah ABK yang hanya memenuhi satu indikator berpikir kreatif yaitu
kefasihan. Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah siswa dapat
memberikan jawaban soal yang beragam dan benar. Namun, ABK tersebut tidak dapat
menyelesaikan soal dengan cara lain yang berbeda. ABK malah menuliskan kembali cara
tersebut pada soal berikutnya.
3. Terdapat 1 subjek yang termasuk dalam TBK 2 atau cukup kreatif. ABK yang termasuk
dalam TBK 2 adalah ABK yang memenuhi satu indikator yaitu fleksibilitas atau kebaruan.
Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat memecahkan
masalah yang diberikan dengan cara lain yang berbeda. Namun, ABK kurang teliti dalam
menyelesaikan soal tersebut sehingga jawaban yang diperoleh belum tepat.
4. Terdapat 1 subjek yang termasuk dalam TBK 3 atau kreatif. ABK yang termasuk dalam
TBK 3 adalah ABK yang memenuhi dua indikator yaitu kefasihan dan fleksibilitas.
Karakteristik ABK yang diperoleh dari hasil wawancara adalah ABK dapat memberikan
jawaban soal yang beragam dan benar. ABK juga dapat menyelesaikan dengan cara lain
yang berbeda. Akan tetapi, ABK tidak tepat dalam memasukkan panjang sisi dari persegi
sehingga hasil akhir yang diperoleh ABK salah.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang diperoleh, maka peneliti dapat mengemukakan
saran sebagai berikut.
1. Karakteristik dan keterbatasan yang dimiliki ABK harap lebih diperhatikan guru dalam
proses pembelajaran matematika sehingga kemampuan berpikir kreatif ABK akan lebih
berkembang.
2. Soal pemecahan dan pengajuan masalah perlu diberikan kepada siswa agar terbiasa
untuk mengerjakan soal-soal yang memiliki banyak cara atau penyelesaian sehingga
kemampuan berpikir kreatif siswa bisa berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, K. L. (2007). Effects Instruction in Creative Problem Solving on Cognition,
Creativity, and Satisfaction among Ninth Grade Students in an Introduction to World
Agricultural Science and Technology Course. Disertasi pada Texas Tech University.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 95
[Online]. Tersedia:http://etd. lib.ttu.edu/theses/available/etd-01292007-
144648/unrestricted/Alexander_ Kim_Dissertation.pdf. [3 November 2013]
Depdiknas. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 67 Tahun 2013. Jakarta:
Depdiknas
Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusif dan upaya implementasinya. Jakarta: Luxima
Prasetyono. 2008. Serba-serbi Anak Autis. Jogjakarta: Diva Press
Siswono, Tatag YE. 2007. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Identifikasi Tahap
Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan mengajukan Masalah Matematika.
Disertasi yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Pascasarjana UNESA
Siswono, Tatag YE. 2008. Model pembelajaran Berbasis Pengajuan Dan pemecahan Masalah
untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya: UNESA University Press
Siswono, Tatag YE. 2009. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui
Pengajuan Masalah. Jurnal Online. Tersedia:
http://tatagyes.files.wordpress.com/2009/11/paper05_problemposing.pdf [3 November
2013]
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
96 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
KEMAMPUAN DAN KARAKTERISTIK INTUISI SISWA DALAM
MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA
Budi Usodo, Dyah Ratri Aryuna, Ponco Sudjatmiko
Program Studi Pendidikan Matematika UNS
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendiskripsikan kemampuan pemecahan
masalah dalam memecahkan masalah matematika, (2) Mendiskripsikan intuisi siswa
dalam memecahkan masalah matematika.
Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut maka dalam penelitan ini
menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA
1 SMAN 3 Sragen. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
menggunakan teknik tes, dan wawancara berbasis tugas. Validasi data hasil wawancara
berbasis tugas menggunakan triangulasi waktu. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalahteknik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis
data kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil wawancara dalam menelusuri intuisi
siswa dalam memecahkan masalah matematika. Teknik analisis kuantitatif digunakan
untuk menganalisis hasil tes kemampuan pemecahan masalah.
Hasil penelitian adalah: (1) Kemampuan problem solving siswa SMA pada
umumnya masih relatif rendah khususnya pada permasalahan non algoritmik. Sedangkan
pada permasalahan algoritmik, kemampuan siswa SMA dapat dikatakan cukup baik. (2)
Subjek penelitian dalam menyelesaikan masalah, baik pada tahap memahami masalah,
membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeverikasi
jawaban cenderung tidak menggunakan intuisi.
Kata kunci: Kemampuan, intuisi, pemecahan masalah.
PENDAHULUAN
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada beberapa SMA di wilayah eks
Karesidenan Surakarta pada tahun 2005 dan 2006, menunjukkan bahwa kemampuan siswa
dalam memecahkan masalah non rutin sangat rendah. Dari hasil pengamatan pada saat guru
matematika mengajar di sekolah tersebut, kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan
cenderung mekanistik dan lebih banyak memberikan masalah yang bersifat algoritmik (masalah
rutin). Selain itu guru tidak mengajarakan kepada siswa bagaimana menyelesaikan
permasalahan matematika, tetapi lebih pada guru menunjukkan kemampuannya kepada para
siswanya bahwa dia mampu menyelesaikan soal matematika. Bahkan terkesan guru merasa
bangga bila dapat mendemontrasikan kemampuannya walaupun para siswa masih kebingungan
kenapa cara pengerjaannya demikian, dari mana trik yang diperoleh dan lain sebagainya.
(Marjuki, Budi Usodo, 2005, Budi Usodo, Ponco Sujatmiko, 2006).
Bila diperhatikan pada kegiatan pembelajaran tradisional, beberapa guru matematika
terkadang tidak melakukan upaya bagaimana agar para siswa menjadi problem solver yang
handal. Seharusnya jangan sampai terjadi siswa hanya mampu menyelesaikan permasalahan
matematika bila telah diberikan caranya dari guru. Dengan kondisi demikian, maka yang sering
terjadi adalah pada saat siswa menyelesaikan permasalahan matematika seringkali dihadapkan
pada beberapa kesulitan. Misalnya bila diberikan soal matematika terkadang tidak tahu apa
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 97
yang harus diperbuat dengan soal tersebut atau bila telah dapat memberikan jawaban, namun
mengalami kemacetan di tengah penyelesaian soal tersebut.
Dari uraian di atas mestinya yang perlu dilakukan guru atau pendidik matematika untuk
mengajarkan pemecahan masalah kepada para siswa tidak cukup hanya mengajarkan bagaimana
menyelesaikan permasalahan matematika. Namun yang lebih penting adalah bagaimana siswa
mampu menghasilkan ide-ide atau gagasan yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan
permasalahan matematika. Untuk menghasilkan kemampuan memunculkan ide atau gagasan
tersebut perlu dikembangkan ―intuisi‖ pada diri siswa. Fischbein (1994) mendefinisikan intuisi
sebagai immediate knowledge (kognisi segera) yang disetujui secara langsung tanpa
pembenaran. Sejalan dengan itu Piaget (Tall, 1991) memandang intuisi sebagai kognisi yang
diterima langsung tanpa kebutuhan untuk menjastifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit.
Selain itu kognisi yang dikembangkan individu yang tidak bergantung kepada
pembelajaran tetapi sebagai efek dari pengalaman pribadi, disebut kognisi intuitif primer
(primary intuitive cognition) (Henden, G, 2004). Sebagai contoh anak sekolah dasar kelas I dan
II mempunyai intuisi bahwa pembagian akan mengasilkan sesuatu yang lebih kecil, karena anak
tersebut melihat dari kejadian sehari-hari sesuatu yang dibagi-bagi akan menjadi lebih sedikit.
Pada sisi lain, intuisi baru dapat dikembangkan melalui pembelajaran atau pelatihan sistematik
kita sebut kognisi intuitif sekunder (secondary intuitive cognition), misalnya siswa yang telah
dikenalkan bilangan rasional dan diajarkan pembagian dengan bilangan rasional akan memiliki
intuisi bahwa pembagian dengan pembagi kecil sekali akan menghasilkan sesuatu yang lebih
besar.
Menurut Fischbein (1999), intuisi dikategorikan menjadi dua, yaitu intuisi afirmatori
(affirmatory intuition) dan intuisi antisipatori (anticipatory intuition). Semua pembahasan
karakteristik umum dalam matematika seperti yang di sampaikan di atas merupakan intuisi
afirmatori. Intuisi afirmatori berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi yang secara
individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan cukup secara instrinsik.
Disamping kategori intuisi afirmatori, terdapat kategori intuisi lain yang berbeda,
disebut intuisi antisipatori. Karakteristik intuisi antisipatori adalah sebagai berikut. a) intuisi
tersebut akan muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah. b) intuisi tersebut
menyajikan ciri-ciri yang bersifatr global. c) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada
umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling, meskipun pembenaran secara rinci atau
bukti belum ditemukan.
Selain jenis-jenis intuisi yang disampaikan Fischbein di atas, Poincare (http://www-
history.mcs.st-andrews.ac.uk/Extras/Poincare_Intuition.html) mem-bagi intuisi menjadi 3 jenis,
yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indera dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada
generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan ekxperimental, (3) intuisi
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
98 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara nyata, seperti intuisi dari
bilangan murni yang menghasilkan aksioma yang dikenal dengan prinsip induksi matematika.
Dari uraian di atas, Intuisi yang dimaksudkan adalah kognisi segera (immediate
cognition) yang keberadaannya tidak melalui proses penalaran secara deduktif serta
mempunyai ciri-ciri yaitu diterima secara langsung (direct), self evident, pasti secara intrinsik
(intrinsic certainty), penggiringan (coerciveness), ekstrapolatif atau holistik. Intuisi dapat
berupa ide atau gagasan yang digunakan untuk memecahkan masalah.
Di lain pihak, penelitian yang berkaitan dengan intuisi menunjukkan bahwa
karakteristik intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika adalah; siswa SMA
cenderung tidak menggunakan intuisi dalam memecahkan masalah matematika, kalaupun ada
yang menggunakan intuisi biasanya berupa intusi yang bertentangan pada umumnya dan
cenderung tidak dapat menyelesaikan masalah (Budi Usodo, 2012a).
Oleh sebab itu perlu diteliti kembali kemampuan dan intuisi siswa dalam memechkan
masalah matematika. Dengan demikian tujuan penelitian ini untuk: (1) mendiskripsikan
kemampuan pemecahan masalah siswa SMA dan (2) mendiskripsikan intuisi siswa SMA dalam
memecahkan masalah matematika.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 3. Penelitian direncanakan selama 10 bulan,
dimulai bulan Januari 2013 sampai dengan bulan Oktober 2013. Subjek penelitian adalah siswa
kelas XI IPA 1 dan guru matematika SMA Negeri 3 Sragen.
Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Tes, digunakan
untuk memperoleh data tentang kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, (2)
wawancara berbasis tugas, digunakan untuk memperoleh data tentang karakteristik intuisi siswa
SMA dalam memecahkan masalah matematika.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalahteknik analisis data
kualitatif dan kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil
wawancara yang digunakan untuk mendiskripsikan intuisi siswa dalam memecahkan masalah.
Analisis data kualitatif menggunakan langkah-langkah (i) reduksi data, (ii) penyajian data, dan
(iii) penarikan kesimpulan.
Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis data tentang hasil tes kemampuan
pemecahan masalah.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 99
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kemampuan Siswa SMA Dalam Memecahkan Masalah Matematika
Dari data hasil tes kemampuan pemecahan masalah, dapat diinterpretasi bahwa
kemampuan problem solving siswa SMA termasuk rendah. Siswa yang mempunyai kemampuan
problem solving dalam kategori tinggi sangat kecil tidak sampai 15 % (14,81 %). Sebagian
besar siswa hanya pada kategori sedang.
Bila dilihat dari kategori subyek berdasarkan kemampuan problem solving, yaitu tinggi,
sedang dan rendah, pada siswa pada kategori rendah tidak ada yang mampu dengan baik
menyelesaikan permasalahan algoritmik. Pada siswa kategori sedang dan tinggi yang telah
mampu menyelesaikan permasalahan algoritmik telah mencapai lebih dari 50 %. Sedangkan
pada permasalahan non algoritmik yang mampu dengan baik menyelesaikan permasalahan
tersebut sangat sedikit baik dari kategori rendah, sedang dan tinggi. Bahkan pada siswa kategori
rendah dapat dikatakan tidak mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan non
algoritmik. Pada siswa kategori sedang yang mampu menyelesaikan permasalahan non
algoritmik dengan baik sangat kecil sekali, yaitu tidak sampai 5 %. Sebagian besar pada siswa
kategori sedang mempunyai kemampuan rendah dalam menyelesaikan permasalahan non
algoritmik, yaitu hamper 75%. Sedangkan pada siswa kategori tinggi juga sangat sedikit yang
mempunyai kemampuan dengan baik dalam menyelesaikan maasalah non algoritmik, yaitu
tidak sampai 15%.
Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat simpulan bahwa siswa SMA sudah cukup baik
dalam menyelesaikan permasalahan algoritmik, tetapi sangat rendah kemampuan dalam
menyelesaikan permasalahan non algoritmik. Hal ini dapat dipahami karena kebiasaan
pembelajaran yang cenderung mekanistik dan lebih banyak memberikan permasalah-
permasalahan algoritmik (prosedur).
Intuisi Siswa dalam memecahkan Masalah Matematika
Untuk menggali informasi yang berkaitan dengan intuisi siswa dalam memecahkan
masalah dilakukan dengan wawancara yang berbasis tugas, yang dilakukan terhadap satu orang
yang termasuk kategori sedang, yaitu Oni Noveta. Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 3 Sragen.
Pembahasan Hasil Analis Data Wawancara terbagi dalam empat tahap pemecahan masalah
menurut Polya, yaitu memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan
rencana dan memeriksa jawaban.
Pada subjek penelitian dalam memahami masalah adalah tidak langsung dari teks soal.
Subjek penelitian dalam memahami masalah melakukan serangkaian proses, yaitu dengan
membuat ilustrasi gambar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam
memahami masalah tidak menerima begitu saja apa yang ada pada teks soal, sehingga dari hal
tersebut dikatakan tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek dalam memahami masalah.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
100 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Jadi dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memahami masalah tidak menggunakan
intuisi. Menurut Fischbein (1999), intuisi adalah kognisi segera sehingga berkaitan dengan
pemahaman yang bersifat holistik, tidak langkah demi langkah. Dengan demikian sesuai dengan
hasil penelitian ini bahwa ada kecenderungan ubjek perempuan tidak menggunakan intuisi
dalam memahami masalah.
Dalam membuat rencana penyelesaian subjek penelitian menggunakan pembagian
dengan bilangan 9. Pemikiran tersebut tidak muncul begitu saja, namun berdasarkan pemikiran
bahwa banyaknya potongan yang dibawa siswa yang utuh ada 9 potongan. Dengan penjelasan
tersebut maka dapat dikatakan tidak ada kognisi segera tentang pemikiran penggunaan
pembagian dengan 9. Karena tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek penelitian dalam
membuat rencana penyelesian, maka dikatakan tidak ada intuisi yang digunakan subjek
penelitian dalam membuat rencana penyelesaian.
Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, subjek penelitian langsung menggunakan
pembagian dengan bilangan 9 sesuai dengan apa yang direncanakan. Pada proses penyelesaian
tidak didapati suatu pemikiran dari semua subjek yang berupa loncatan berpikir atau kognisi
segera. Jadi yang dilakukan subjek tersebut adalah menggunakan pemikiran langsung yang
berupa kognisi formal. Walaupun cara yang digunakan tidak tepat, subjek penelitian merasa
tidak menemui permasalahan dalam melaksanakan rencana penyelesaian, sehingga tidak timbul
pemikiran lain yang mungkin dapat berupa kognisi segera. Oleh karena tidak ada kognisi segera
yang digunakan dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, maka dapat dikatakan
bahwa tidak ada intuisi yang digunakan. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam melaksanakan
rencana penyelesaian, tidak ada intuisi yang digunakan. Di samping itu berdasarkan jawaban
tertulis pada saat wawancara memberikan penjelasan bahwa jawaban yang diberikan oleh
subjek penelitian adalah salah. Dengan demikian dikatakan bahwa jawaban yang tidak
didasarkan intuisi tidak menghasilkan jawaban yang benar.
Dalam memeriksa kembali jawaban, subjek penelitian melakukan dengan mengulangi
dalam menjawab dan memeriksa jawaban langkah demi langkah. Karena dalam memeriksa
dilakukan langkah demi langkah, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam
memeriksa jawaban dengan menggunakan pemikiran yang berupa kognisi formal. Subjek
penelitian sudah merasa yakin akan jawabannya, sehingga tidak menggunakan cara lain dalam
memeriksa jawaban. Jadi yang dilakukan subjek penelitian tersebut bukan merupakan kognisi
segera. Oleh karena tidak ada pemikiran subjek yang menggunakan kognisi segera, sehingga
dapat dikatakan bahwa subjek penelitian dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi.
Dari hasil di atas, bahwa subjek penelitian dalam memecahkan masalah, bail dari tahap
memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan
memeriksa kembali jawaban tidak menggunakan intuisi. Jawaban yang diperoleh oleh subjek
penelitian tersebut juga salah.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1 101
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kemampuan problem solving siswa SMA pada umumnya masih relatif rendah khususnya
pada permasalahan non algoritmik. Sedangkan pada permasalahan algoritmik, kemampuan
siswa SMA dapat dikatakan cukup baik.
2. Subjek penelitian dalam memahami masalah, membuat rencana penyelesaian,
melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban cenderung tidak
menggunakan intuisi.
Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada permasalahan non algoritmik
dapat dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran yang khusus berkaitan dengan
pengembangan kemampuan pemecahan masalah, yaitu pembelajaran berbasis masalah atau
pembelajaran yang dapat mengembangan intuisi siswa dalam memecahkan masalah
matematika.
2. Perlu adanya pengembangan model pengembangan model pembelajaran yang berbasis
pada pengembangan intuisi siswa dalam pembelajaran matematika untuk melihat pengaruh
penggunaan model pembelajaran tersebut terhadap peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Usodo. 2012a. Karakteristik Intuisi Siswa SMA Daalam Memecahkan Masalah
Matematika ditinjau dari Kemampuan Matematika dan Perbedaan Gender. Disertasi.
UNESA.
Budi Usodo. 2012b. Penerapan Pembelajaran yang Berbasis Pada Pengembangan Intuisi untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMAN 1 Sragen (RSBI).
Laporan Penelitian Hibah PGMIPABI, Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Budi Usodo, Ponco Sujatmiko 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Pada Pembelajaran Matematika Di SMA (Upaya untuk Meningkatkan Kemampuan
Problem Solving Siswa SMA). Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Fischbein, E. 1999. Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies in
Mathematics. 38,11–50.
Volume 1 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
102 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1
Fischbein, E., Grossman, A. 1997, ―Schemata and Intuitions in Combinatorial
Reasoning‘,Educational Studies in Mathematics 34, 27–47
Fischbein, E. 1994. ―The Interaction between the Formal, the Algorithmic, and the Intuitive
Components in a Mathematical Activity‖. In R. Biehler, R. W. Scholz, R. Sträßer, &
B. Winkelmann (Eds.), Didactics of Mathematics as a Scientific Discipline (pp.231-
245). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Henden, G. 2004.“Intuition and Its Role in Strategic Thinking”. Unpublished Dissertation. BI
Norwegian School of Management.
Kneeland, Steve.2001. Pemecahan Masalah. Terjemahan Kusnandar. Jakarta: Elex Media
Komputindo
Mardjuki, Budi Usodo. 2005. Pengembangan Intuisi Siswa Sekolah Menengah Atas Dalam
Memecahkan Masalah Matematika, Penelitian tidak dipublikasikan. Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Nieveen, N. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. Dalam Plomp, T; Nieveen, N;
Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in
Education and Training. London: Kluwer Academic Publisher.
top related