pengelolaan kulit kakao sebagai sumber pakan alternatif berkualitas by made sudarma
Post on 21-Jan-2016
198 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH
MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN
‘Pengelolaan Kulit Kakao Sebagai Sumber Pakan Alternatif
Berkualitas’
NAMA : I MADE ADI SUDARMA
NIM : 1211010006
SEMESTER : I (SATU)
PRODI : ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2013
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang, karena atas berkat dan pertolongan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah berjudul pengelolaan kulit buah kakao sebagai pakan alternative berkualitas hingga
pada tahap ini.
Makalah ini disusun guna memprediksi ketersediaan dari pakan ternak yang dapat
diperoleh terutama dalam bentuk limbah kakao yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
berkualitas di Indonesia secara umum maupun Nusa Tenggara Timur khususnya.
Dengan segala kerendahan hati saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritik dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
sekalian. Terima kasih.
Kupang, Januari 2013
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar Belakang ...................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................... 1
Metode Pengambilan Data ……………………………………………. 1
PEMBAHASAN ................................................................................................. 2
Pakan Ternak ......................................................................................... 2
Budidaya Kakao .................................................................................... 3
Syarat Tumbuh ............................................................................ 3
Pohon Pelindung .......................................................................... 5
Pedoman Budidaya ...................................................................... 6
Panen ........................................................................................... 9
Hasil Penelitian dalam Meningkatkan Produksi Kakao ............ 10
Kakao dan Potensi yang Dimilikinya .................................................. 12
Inovasi Teknologi Pod Kakao Sebagai Pakan ternak ......................... 16
PENUTUP ........................................................................................................... 21
Simpulan ............................................................................................... 21
Saran ...................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jarak Tanam dan Jumlah Pohon per Hektar Kakao ......................................... 7
2. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Kakao di Indonesia............. 14
3. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Kakao di NTT ..................... 15
4. Kandungan Gizi Pod Kakao Segar dan Fermentasi ........................................ 20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk meningkatkan produksi daging ternak dalam upaya mencukupi kebutuhan protein
hewani secara nasional, disamping kualitas yang baik juga diperlukan kuantitas dan kontinuitas
ketersediaan pakan sepanjang tahun. Namun, pada saat ini ketersediaan pakan hijauan semakin
berkurang karena semakin berkurangnya lahan pertanian serta rendahnya mutu hijauan dan
rerumputan sehingga diperlukan usaha pengadaan pakan alternative yang ketersediaannya cukup
banyak, terkonsentrasi di wilayah tertentu dan belum dimanfatkan oleh para peternak.
Kulit buah kakao merupakan salah satu limbah tanaman perkebunan yang cukup potensial
untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan serat bagi ternak ruminansia. Hal ini dikarenakan
jumlah produksi kakao yang begitu besar di Indonesia dengan tingginya persentasi limbah dari
buah kakao tersebut yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia diseluruh
Indonesia. Berdasarkan penelitian Amirroenas (1990) dalam Hartati (2008), dilaporkan bahwa
pertumbuhan sapi yang mengkonsumsi ransum mengandung 30% kulit buah kakao lebih baik
dibandingkan dengan yang mengandung 30 % rumput gajah (0,980 vs 0,750 kg/hari)
Akan tetapi kulit buah kakao yang cukup potensial tersebut belum termanfaatkan secara
optimal, karena mengandung lignin tinggi dan serat kasar tinggi serta protein kasar yang rendah.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu teknik atau cara dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak
dalam jumlah besar dengan teknologi pakan yang sudah berkembang saat ini.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi limbah kakao di
Indonesia secara umum dan NTT khususnya sebagai pakan ternak berkualitas tinggi.
C. Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan adalah pengumpulan referensi dari berbagai sumber terkait.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pakan Ternak
Dalam usaha pengembangan ternak pakan merupakan salah satu faktor yang harus
diperhatikan baik kualitas, kuantitas maupun kontinyuitas ketersediaanya. Kenyataan
memperlihatkan bahwa ketersediaan bahan pakan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor iklim
tetapi juga oleh daya saing bahan makanan. Hal ini karena sebagian besar bahan penyusun
konsentrat sebagai pakan utama ternak non ruminansia dan sebagai pakan tambahan ternak
ruminansia seperti jagung masih bersaing dengan kebutuhan manusia. Kondisi demikian,
menyebabkan usaha peternakan di Indonesia pada saat ini masih dalam tahap pengembangan,
serta sering dibatasi oleh masalah pakan yang harganya relatif mahal.
Ketersediaan pakan hijauan sangat berfluktuasi, berlimpah pada musim hujan dan terjadi
kekurangan saat kemarau. Kondisi ini sangat dirasakan terutama pada daerah padat ternak.
Selain itu, ketersediaan pakan hijauan semakin berkurang seirama dengan menyusutnya luas
lahan pertanian dan padang penggembalaan karena sudah beralih fungsi menjadi kawasan
pemukiman, perkantoran dan industri. Untuk mengatasi kendala tersebut, perlu di cari pakan
alternatif yang ketersediaannya cukup banyak dan belum dimanfaatkan.
Pakan alternatif yang paling cocok dikembangakan adalah pakan yang berasal dari daerah
tersebut. Oleh karena itu, penggunaan bahan pakan lokal yang berpotensi sebagai pakan
alternatif untuk menjamin ketersediaannya secara kontinyu dan harganya relatif murah sangat
dibutuhkan. Salah satu pakan lokal alternatif yang sudah mulai dikembangkan saat ini adalah
pakan yang berasal dari limbah maupun hasil samping industri pertanian, perkebunan maupun
kehutanan. Pakan tersebut umumnya berupa pakan tinggi serat yang banyak digunakan sebagai
pakan utama dalam sistem pemeliharaan ternak ruminansia di Indonesia.
Limbah tanaman perkebunan mempunyai keunggulan praktis dibanding limbah lainnya
yaitu ketersediaannya pada satu tempat dalam jumlah banyak sehingga biaya untuk
mengumpulkannya lebih rendah. Salah satu pakan alternatif limbah perkebunan yang cukup
potensial adalah tanaman kakao ( Theobroma cacao ) antara lain kulit buah kakao atau dikenal
dengan nama pod kakao.
2
B. Budidaya Cacao
Tanaman kakao merupakan tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tetapi jika
faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon
alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor pemeliharaan
lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitas akan rendah (Chairani, 2008).
Berikut beberapa hal mengenai teknik budidaya cacao yang diringkas dari hasil penelitian
Chairani (2008).
Syarat Tumbuh
Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan. Lingkungan alami
tanaman kakao adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan, suhu udara dan sinar
matahari menjadi bagian dari faktor iklim yang menentukan. Demikian juga dengan faktor fisik
dan kimia tanah yang erat kaitannya dengan daya tembus (penetrasi) dan kemampuan akar
menyerap hara. Ditinjau dari wilayah penanamannya kakao ditanam pada daerah-daerah yang
berada pada 10o LU sampai dengan 10o LS. Walaupun demikian penyebaran pertanaman kakao
secara umum berada diantara 7o LU sampai 18o LS. Hal ini erat kaitannya dengan distribusi
curah hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun. Kakao juga masih toleran pada
daerah 20o LU sampai 20o LS. Dengan demikian Indonesia yang berada pada 5o LU sampai
dengan 10o LS masih sesuai untuk pertanaman kakao.
Ketinggian Tempat
Ketinggian tempat di Indonesia yang ideal untuk penanaman kakao adalah tidak lebih
tinggi dari 800 m dari permukaan laut.
Curah Hujan
Curah hujan yang berhubungan dengan pertanaman dan produksi kakao ialah distribusinya
sepanjang tahun. Hal tersebut berkaitan dengan masa pembentukan tunas muda dan produksi.
Areal penanaman kakao yang ideal adalah daerah-daerah dengan curah hujan 1.100-3.000 mm
per tahun. Curah hujan yang melebihi 4.500 mm per tahun tampakya berkaitan erat dengan
serangan penyakit busuk buah (blask pods). Di tinjau dari tipe iklimnya, kakao sangat ideal
ditanam pada daerah-daerah yang tipenya iklim A (menurut Koppen) atau B (menurut Scmidt
dan Fergusson). Di daerah-daerah yang tipe iklimnya C menurut (Scmidt dan Fergusson) kurang
baik untuk penanaman kakao karena bulan keringnya yang panjang. Dengan membandingkan
curah hujan diatas dengan curah hujan tipe Asia, Ekuator dan Jawa maka secara umum areal
penanaman kakao di Indonesia masih potensial untuk dikembangkan. Adanya pola penyebab
curah hujan yang tetap akan mengakibatkan pola panen yang tetap pula.
3
Temperatur
Pengaruh temperatur terhadap kakao erat kaitannya dengan ketersedian air, sinar matahari
dan kelembaban. Faktor-faktor tersebut dapat dikelola melalui pemangkasan, penataan tanaman
pelindung dan irigasi. Temperatur sangat berpengaruh terhadap pembentukan flush,
pembungaan, serta kerusakan daun. Menurut hasil penelitian, temperatur ideal bagi tanaman
kakao adalah 300 C - 320 C (maksimum) dan 180 C - 210 C (minimum). Berdasarkan keadaan
iklim di Indonesia temperatur 250 - 260 C merupakan temperatur rata-rata tahunan tanpa faktor
terbatas. Karena itu daerah-daerah tersebut sangat cocok jika ditanami kakao.
Sinar Matahari
Lingkungan hidup alami tanaman kakao ialah hutan hujan tropis yang didalam
pertumbuhanya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan penuh. Cahaya matahari
yang terlalu banyak menyoroti tanaman kakao akan mengakibatkan lilit batang kecil, daun
sempit, dan batang relatif pendek. Pemanfaatan cahaya matahari semaksimal mungkin
dimaksudkan untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan pencapain indeks luas daun optimum.
Air dan Hara
Air dan hara merupakan faktor penentu bila mana kakao akan ditanam dengan sistem tanpa
tanaman pelindung sehingga terus menerus mendapat sinar matahari secara penuh.
Naungan
Pembibitan kakao membutuhkan naungan, karena benih kakao akan lebih lambat
pertumbuhannya pada pencahayaan sinar matahari penuh. Penanaman kakao tanpa pelindung
saat ini giat diteliti dan diamati karena berhubungan dengan biaya penanaman maupun
pemeliharaan. Penanaman dilakukan dipagi hari pada musim hujan tenyata lebih baik hasilnya
kalau sore/malam harinya hujan turun dibandingkan dengan jika hujan yang turun 2 hari
kemudian. Dengan demikian, air dan hara memang merupakan faktor penentu bila mana cahaya
matahari dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi pertanaman kakao.
Tanah
Kakao dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan persyaratan kimia dan fisik yang
berperan dalam pertumbuhan dan produksi tanaman kakao terpenuhi. Kemasaman tanah, kadar
zat organik, unsur hara, kapasitas adsorbsi, dan kejenuhan basa merupakan sifat kimia yang perlu
diperhatikan, sementara faktor fisiknya adalah kedalaman efektif, tinggi permukan air tanah,
drainse, struktur dan konsesntensi tanah. Selain itu kemiringan lahan juga merupakan sifat fisik
yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao.
4
Pohon Pelindung
Penanaman pohon pelindung sebelum penanaman kakao bertujuan mengurangi intesnsitas
sinar matahari langsung. Bukan berarti bahwa pohon pelindung tidak menimbulkan masalah
yang menyangkut biaya, sanitasi kebun, kemungkinan serangan hama dan penyakit, atau
kompetisi hara dan air. Karena itu, jumlah pemeliharaan untuk meniadakan pohon pelindung
pada areal penanaman kakao saat ini sedang dilakukan. Penanaman pohon kakao secara rapat
atau pengurangan pohon pelindung secara bertahap, misalnya, merupakan upaya meniadakan
pohon pelindung itu.
Manfaat Pohon Pelindung
Melindungi daun. Pohon pelindung sangat berpengaruh terhadap kadar gula pada batang dan
cabang kakao. Pengaruh itu mengisyaratkan perlunya pohon pelindung pada areal penanaman
yang sebagai faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi proses fisiologis. Ditinjau
dari kemampuan menyerap sinar matahari sebagai sumber energi, kakao masuk kedalam
tanaman C3, yaitu tanaman yang mampu berfotosintesis pada suhu daun rendah. Tanaman yang
tergolong C3 membutuhkan temperatur optimum 10-25o C. Dengan demikian dengan adanya
pohon pelidung terutama akan mempengaruhi kemampuan daun kakao melakukan proses
fisiologis.
Menciptakan iklim mikro. Pohon pelindung terutama pada areal yang belum menghasilkan
memainkan peranan penting pula dalam menciptakan iklim mikro yang lembab.
Menghindari pencucian hara. Pohon pelidung juga berperan dalam memperbaiki unsur tanah,
mengembalikan hara tercuci, dan menahan terpaan angin terutama pada kakao yang belum
menghasilkan.
Memperbaiki struktur tanah. Peranannya sebagai memperbaiki struktur tanah dikarenakan
sistem perakaran pohon pelindung umunya dalam. Pengembalian hara yang tercuci bisa terjadi
karena adanya guguran daun tanaman pelindung yang akan melapuk membentuk senyawa
organik.
Kerugian Pohon Pelindung
Pohon pelindung juga dapat memberikan pengaruh yang merugikan. Kerugian itu berkaitan
dengan perbandingan biaya penanaman dan pemeliharaan dengan peranannya sebagai
peningkatan produksi, terutama bagi tanaman yang menghasilkan. Hasil dari beberapa penelitian
telah dibuktikan bahwa tanpa pohon pelindung kakao akan menghasilkan buah lebih banyak
dari pada kakao yang ada pohon pelindungnya. Kerugian lainya dari adanya pohon pelindung
5
adalah timbulnya persaingan dalam mendapatkan air dan hara antara tanaman pelindung dengan
kakao tersebut. Kerugian bisa juga timbul mengingat pohon pelindung punya kemungkinan
menjadi inang hama Helopeltis sp, seperti tanaman pelindung Accasia decurens dan Albissia
chinensis.
Pedoman Budidaya
Pembersihan Areal
Pembersihan areal dilaksanakan mulai dari tahap survai/pengukuran sampai tahap
pengendalian ilalang. Pelaksanaan survai/ pengukuran biasanya berlangsung selama satu bulan.
Pada tahap ini, pelaksanaan pekerjaan meliputi pemetaan topografi, penyebaran jenis tanah,
serta penetapan batas areal yang akan ditanami. Tahap selanjutnya dari pembersihan areal
adalah tebas/babat. Pelaksanaan pekerjaan pada tahap ini adalah dengan membersihkan semak
belukar dan kayu-kayu kecil sedapat mungkin ditebas rata dengan permukaan tanah, lama
pekerjaan ini adalah 2-3 bulan baru kemudian dilanjutkan dengan tahap tebang . Tahap berikut
ini dilaksanakan selama 3-4 bulan, dan merupakan tahap yang paling lama dari semua tahap
pembersihan areal. Bila semua pohon telah tumbang tumbangan itu biarkan selama 1- 1,5
bulan agar daun kayu mengering. Areal yang telah bebas dari semak belukar, kayu-
kayu kecil, dan pohon besar, apalagi bila baru dibakar, biasanya cepat sekali
menumbuhkan ilalang. Seperti diketahui, ilalang merupakan gulma utama dari areal pertanian.
Karena itu, pengendaliannya harus dilaksanakan sesegera mungkin, sehingga sedapat mungkin
areal telah bebas dari ilalang saat penanaman pohon pelindung. Tahap pengendalian ilalang
ini dapat dilasanakan selama 2-3 bulan.
Persiapan areal
Pembersihan areal sering juga diakhiri dengan tahap pengolahan tanah. Pengolaan tanah
biasanya dilaksanakan secara mekenis. Pengolahan tanah selain dinilai
mahal, juga dapat mempercepat pengikisan lapisan tanah atas.
Penanaman tanaman penutup tanah
Untuk mempertahankan lapisan atas tanah dan menambah kesuburan tanah, pembersihan
areal terkadang diikuti dengan tahap penanaman tanaman penutup tanah. Tanaman penutup
tanah biasanya adalah jenis kacang-kacangan antara lain Centrosema pubescens, Colopogonium
mucunoides, Puerarai javanica atau Pologonium caeruleum. Biji dapat ditanam menurut cara
larikan atau tugal, bergantung pada ketersediaan biji dan tenaga kerja. Jarak tanam
kacang-kacangan biasanya disesuaikan dengan jarak tanam kakao yang hendak ditanam.
6
Jarak tanam
Jarak tanam yang ideal bagi kakao adalah jarak yang sesuai dengan perkembangan
bagian tajuk tanaman serta cukup tersedianya ruang bagi perkembangan akar. Pemilihan
jarak tanam erat kaitannya dengan sifat pertumbuhan tanaman, sumber bahan tanam, dan
kesuburan tanah. Jarak tanam tergantung dari luasan tajuk yang akan dibentuk tanaman.
Tabel 1. Jarak tanam dan jumlah pohon per hektarJarak Tanam (mxm) Jumlah Pohon per Ha
2,4x2,4 16803x3 11004x4 6255x5 400
3,96x1,83 13802,5x3 13334x2 12503x2 1250
Pola Tanam
Kakao dapat ditanam dibarisan kelapa, kelapa sawit, atau juga karet sebagai tanaman
intercropping. Kakao juga dapat ditanam diantara barisan pisang atau singkong yang
berfungsi sebagi pohon pelindung sementara. Pola tanam yang diterapkan pada areal
demikian umumnya menyesuaikan pola tanam terdahulu. Untuk mendapatkan areal penanaman
kakao yang sebaik-baiknya dianjurkan untuk menetapkan pola tanam terlebih dahulu.
Pola tanam erat kaitannya dengan: keoptimuman jumlah pohon per ha; keoptimuman pohon
pelindung; dan meminimumkan kerugian yang timbul pada nilai kesuburan tanah.
Ada tiga pola yang dianjurkan adalah: Pola tanam kakao segi empat, pohon pelindung segi
empat; Pola tanam kakao berpagar ganda, pohon pelindung segi tiga; dan Pola tanam
kakao berpagar ganda, pohon pelindung segi empat.
Penanaman dan pemeliharaan
Bila jarak tanam dan pola tanam telah ditetapkan dan keadaan pohon pelindung
tetap telah memenuhi syarat sebagi penaung, dan bibit dalam polybag telah berumur 4-6 bulan
dan tidak dalam keadaab flush, maka penanaman sudah dapat dilaksanakan. Rencana
penanaman hendaknya diiringi pula dengan rencana pemeliharaan sehingga bibit yang
ditanam tumbuh dengan baik untuk jangka waktu yang cukup lama.
Penanaman
Dua minggu sebelum penanaman. Lebih dahulu disiapkan lubang tanah berukuran 40cm x
40cm x40cm atau 60cm x 60cm, bergantung pada ukuran polybag. Lubang kemudian
ditaburi 1 kg pupuk Agrophos dan ditutupi lagi dengan serasah. Pemberian pupuk tersebut
7
dimaksudkan untuk menyediakan hara bagi bibit yang akan ditanam beberapa minggu
kemudian. Berikan pupuk kandang yang dicampur dengan tanah (1:1) ditambah pupuk
TSP 1-5 gram per lubang. Bibit yang hendak ditanam sebaiknya tidak terlalu sering
dipindahkan dari suatu tempat ketempat lain. Untuk itu diperlukan tempat pengumpulan
polybag, misalnya untuk setiap 50 lubang disediakan suatu tempat pengumpulan bibit.
Pemangkasan
Selama masa tanaman belum menghasilkan, pemeliharaan ditunjukkan kepada pembentukan
cabang yang seimbang dan pertumbuhan vegetatif yang baik. Disamping itu, pemangkasan
pohon pelindung tetap juga dilaksanakan agar percabangan dan dedaunnya tumbuh tinggi dan
baik. Sedangkan pohon pelindung sementara dipangkas dan akhirnya dimusnahkan sejalan
dengan pertumbuhan kakao. Pohon pelindung sementara yang dibiarkan akan membatasi
pertumbuhan kakao, karena menghalangi sinar matahari serta menimbulkan persaingan dengan
tanaman utama dalam mendapatkan air dan hara.
Pengendalian Hama & Penyakit
Hama
Ulat Kilan (Hyposidea infixaria; Famili : Geometridae ). Menyerang pada umur 2-4 bulan.
Serangan berat mengakibatkan daun muda tinggal urat daunnya saja. Pengendalian dengan
Pestona dosis 5-10cc/liter.
Ulat Jaran / Kuda ( Dasychira inclusa, Familia : Limanthriidae ). Ulat ini ada bulu-bulu gatal
pada bagian dorsalnya menyerupai bentuk bulu (rambut) pada leher kuda, terdapat pada
marke 4 dan 5 berwarna putih atau hitam, sedang ulatnya coklat atau coklat kehitam-hitaman.
Pengendalian: dengan musuh alami predator Apanteles mendosa dan Carcelia spp, atau
dengan bahan kimia.
Parasa lepida dan Ploneta diducta (Ulat Srengenge). Serangan dilakukan silih berganti
karena kedua species ini agak berbeda siklus hidup maupun cara meletakkan kokonnya,
sehingga masa berkembangnya akan saling bergantian. Serangan tertinggi pada daun muda,
kuncup yang merupakan pusat kehidupan dan bunga yang masih muda. Siklus hidup
Ploneta diducta 1 bulan, Parasa lepida lebih panjang dari pada Ploneta diducta.
Kutu - kutuan (Pseudococcus lilacinus). Kutu berwarna putih. Simbiosis dengan semut
hitam. Gejala serangan: infeksi pada pangkal buah di tempat yang terlindung, selanjutnya
perusakan ke bagian buah yang masih kecil, buah terhambat dan akhirnya mengering lalu
mati. Pengendalian: tanaman terserang dipangkas lalu dibakar, dengan musuh alami
predator; Scymus sp, Semut hitam, parasit Coccophagus pseudococci atau mempergunakan
bahan kimia.
8
Helopeltis antonii. Hama ini menusukkan ovipositor untuk meletakkan telurnya ke dalam
buah yang masih muda, jika tidak ada buah muda hama menyerang tunas dan pucuk
daun muda. Serangga dewasa berwarna hitam, sedang dadanya merah, bagian menyerupai
tanduk tampak lurus. Ciri serangan: kulit buah ada bercak-bercak hitam dan kering,
pertumbuhan buah terhambat, buah kaku dan sangat keras serta jelek bentuknya dan buah
kecil kering lalu mati. Pengendalian: pengendalian dilakukan dengan bahan kimia dan
sanitasi lahan, dan pembuangan buah yang terserang.
Kakao Mot (Ngengat Buah), Acrocercops cranerella (Famili; Lithocolletidae). Buah
muda terserang hebat, warna kuning pucat, biji dalam buah tidak dapat mengembang
dan lengket. Pengendalian: Sanitasi lingkungan kebun, menyelubungi buah coklat dengan
kantong plastik yang bagian bawahnya tetap terbuka (kondomisasi), pelepasan musuh
alami semut hitam dan jamur antagonis Beauveria bassiana (BVR) dengan cara disemprotkan.
Penyakit
Penyakit Busuk Buah (Phytopthora palmivora). Gejala serangan: dari ujung buah atau
pangkal buah nampak kecoklatan pada buah yang telah besar dan buah kecil akan langsung
mati. Pengendalian: membuang buah terserang dan dibakar, pemangkasan teratur.
Jamur Upas (Upasia salmonicolor). Penyakit ini menyerang batang dan cabang.
Pengendaliannya: kerok dan olesi batang atau cabang terserang dengan pestisida nabati
atau kimia, pemangkasan teratur, serangan yang berkelanjutan dipotong lalu dibakar.
Catatan : Jika pengendalian hama penyakit dengan menggunakan pestisida alami belum
mengatasi dapat masalah dapat dipergunakan pestisida kimia yang dianjurkan. Agar
penyemprotan pestisida kimia lebih merata dan tidak mudah hilang oleh air hujan tambahkan
surfaktan.
Panen
Saat petik persiapkan rorak-rorak dan koordinasi pemetikan. Pemetikan dilakukan
terhadap buah yang masak tetapi jangan terlalu masak. Potong tangkai buah dengan
menyisakan 1/3 bagian tangkai buah. Pemetikan sampai pangkal buah akan merusak bantalan
bunga sehingga pembentukan bunga terganggu dan jika hal ini dilakukan terus menerus,
maka produksi buah akan menurun. Buah yang dipetik umur 5,5 - 6 bulan dari berbunga,
warna kuning atau merah. Buah yang telah dipetik dimasukkan dalam karung dan
dikumpulkan dekat rorak. Pemetikan dilakukan pada pagi hari dan pemecahan siang hari.
Pemecahan buah dengan memukulkan pada batu hingga pecah. Kemudian biji dikeluarkan dan
dimasukkan dalam karung, sedang kulit dimasukkan dalam rorak yang tersedia.
9
Pengolahan Hasil
Fermentasi
Tahap awal pengolahan biji kakao. Bertujuan mempermudah menghilangkan pulp,
menghilangkan daya tumbuh biji, merubah warna biji dan mendapatkan aroma dan cita rasa
yang enak.
Pengeringan
Pengeringan biji kakao yang telah difermentasi dikeringkan agar tidak terserang
jamur dengan sinar matahari langsung (7-9 hari) atau dengan kompor pemanas suhu 60-
700C (60-100 jam). Kadar air yang baik kurang dari 6%.
Sortasi
Untuk mendapatkan ukuran tertentu dari biji kakao sesuai permintaan. Syarat mutu
biji kakao adalah tidak terfermentasi maksimal 3 %, kadar air maksimal 7%, serangan hama
penyakit maksimal 3 % dan bebas kotoran.
Hasil Penelitian dalam meningkatkan produksi Kakao
Penggunaan Fungisida dalam Pengawetan benih Kakao
Penggunaan fungisida (berbahan aktif mankozeb + karbendazim) dengan dosis 2 – 6 g/kg
benih dapat menekan perkembangan cendawan selama penyimpanan benih kakao hingga 9
minggu. Benih yang disimpan tanpa fungisida, pada periode simpan 1 minggu terserang
cendawan hingga 90,67% dan daya berkecambahnya 57,33%, setelah satu minggu serangan
cendawan 100 % dan benih kehilangan viabilitas dan vigornya. Viabilitas dan vigor benih kakao
dapat dipertahankan tetap tinggi hingga periode 9 minggu dengan perlakuan fungisida. Perlakuan
dosis fungisida 6 g/kg benih cenderung menurunkan viabilitas dan vigor benih, sedangkan pada
dosis 2 g/kg benih belum sepenuhnya dapat menekan serangan cendawan. Dosis fungisida
terbaik adalah 4,21 g/kg benih. Benih kakao dengan perlakuan fungisida masih mempunyai
viabilitas dan vigor yang tinggi hingga periode simpan 9 minggu, yaitu daya berkecambahnya
sekitar 90%, kecepatan tumbuh, tinggi bibit dan jumlah dauunya tidak berbeda dengan yang
disimpan 1 minggu (Budiarti, 1997)
Pupuk Organik Cair
Hasil penelitian Angkapradipta et al. (1988) menunjukkan bahwa pemberian pupuk Urea
dan TSP berpengaruh terhadap pertumbuhan kakao lindak tanaman belum menghasilkan
pada tanah latosol yang ditunjukkan oleh pertumbuhan panjang dan lilit batang kakao. Akan
tetapi menurut Abdoellah (1996) pemberian pupuk anorganik saja bukanlah jaminan
untuk memperoleh hasil maksimal tanpa diimbangi pupukorganik, karena pupuk organik
10
mampu berperan terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, yang pada akhirnya
terhadap produksi kakao. Pupuk organik dalam bentuk cair dapat meningkatkan suplai unsur
hara pada tanaman dibandingkan dengan pupuk anorganik (Lingga, 1999). Pemupukan melalui
daun dapat mengurangi kerusakan akibat pemberian pupuk melalui tanah. Beberapa jenis
pupuk organik cair (POC) termasuk POC Bioton selain memiliki unsur hara (makro dan mikro)
yang dibutuhkan oleh tanaman juga mengandung hormon yang sangat berperan dalam
pertumbuhan vegetatif tanaman. Pemberian kombinasi pupuk organik cair (POC) Bioton
dan pupuk anorganik hanya berpengaruh terhadap diameter batang dan panjang cabang
primer. Frekuensi pemberian POC 4 minggu sekali cukup efektif dalam mendukung
pertumbuhan kakao (Wachjar, 2007)
Teknik Sambung Samping
Biasanya tanaman kakao yang berumur 25 tahun produktivitasnya akan menurun 50% dari
potensi produksinya. Penggunaan entres lokal untuk mendukung program rehabilitasi melalui
sambung samping, selain dapat meningkatkan produktivitas juga dapat mencegah penyebaran
hama penyakit dari satu daerah ke daerah lain, mengurangi biaya transportasi entres,
memperkecil risiko kerusakan entres akibat pengangkutan jarak jauh, dan klon unggul lokal
tahan terhadap hama/penyakit tertentu. Menurut hasil penelitian Limbongan (2011),
menyatakan bahwa kesiapan teknologi sambung samping didukung oleh tersedianya berbagai
klon unggul introduksi maupun klon lokal di beberapa daerah pengembangan yang dapat
dijadikan sebagai sumber entres pada program rehabilitasi tanaman kakao. Pembangunan
kebun entres sebagai kebun koleksi dan sumber entres berbagai jenis klon unggul sebaiknya
dilakukan di setiap daerah pengembangan. Hal ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan entres,
baik kuantitas maupun kualitasnya, dan mencegah penyebaran hama/penyakit tanaman dari satu
daerah ke daerah yang lain. Tingkat keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh jenis entres
yang digunakan, umur entres, tersedianya entres dalam jumlah yang memadai dan dekat
lokasi pengembangan, kemampuan dan keterampilan petani melakukan penyambungan, serta
kondisi cuaca. Sambung samping merupakan teknologi yang murah, mudah diterapkan, dan
dapat meningkatkan pendapatan petani sehingga dapat menjadi salah satu pilihan dalam
program rehabilitasi tanaman kakao.
Pemberian Boron dan Seng dalam mengatasi Layu Pentil
Tanaman kakao dapat berbunga sepanjang tahun dengan jumlah bunga hingga 5000 –
10000 bunga/pohon/tahun, namun hanya sekitar 1 – 5% buah yang dapat mencapai matang.
Salah satu penyebabnya adalah adanya layu pentil pada puncak pertama sekitar 58 hari setelah
penyerbukan dan meningkat pada puncak kedua 70 hari setelah penyerbukan. Mekanisme layu
11
pentil diawali dengan adanya pertumbuhan pentil yang terhenti dan selanjutnya terjadi perubahan
warna kulit menjadi kuning kemudian kehitaman dan mengerut. Penyebab terjadinya layu pentil
adalah kompetisi antara buah muda dan buah yang lebih tua dan pertumbuhan vegetative atau
pembentukan flush, dimana pembentukan flush dengan intensitas tinggi dan serempak
merupakan pemakai asimilat yang dominan dan berakibat pada ketersediaan asimilat bagi buah
yang menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan adanya persaingan yang tidak seimbang antara
pentil kakao dan flush dalam penggunaan asimilat sehingga terjadi kelayuan pentil. Kelayuan
pentil kakao dapat ditekan dengan pemberian multimikro (B, Cu, Mn, Mo, dan Zn) dan NAA,
sehingga pembentukan buah dapat meningkat. Menurut hasil penelitian Kurniawati (1998),
pemberian boron menurunkan secara nyata jumlah kumulatif pentil terbentuk, jumlah kumulatif
pentil kakao sehat, dan jumlah kakao dapat dipanen tetapi dapat menekan jumlah pentil layu.
Tanggap tanaman kakao terhadap boron dipengaruhi oleh Zn pada peubah jumlah kumulatif
pentil kakao terbentuk dan jumlah kumulatif pentil kakao layu. Pemberian boron 3 350 ppm dan
zn 2 500 ppm meningkatkan jumlah pentil kakao terbentuk lebih besar 18,3% dibanding kontrol.
Kombinasi Boron 3 350 ppm dan Zn 3 750 ppm dapat menekan pentil layu hingga 86%.
C. Kakao dan Potensi Yang Dimilikinya
Tanaman kakao yang mempunyai nama latin Theobroma Cacao L atau biasa kita sebut
dengan cokelat merupakan tanaman yang banyak ditemukan tumbuh di daerah tropis. Kakao
secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem inkompatibilitas sendiri.
Buah tumbuh dari bunga yang diserbuki. Ukuran buah jauh lebih besar dari bunganya, dan
berbentuk bulat hingga memanjang. Buah terdiri dari 5 daun buah dan memiliki ruang serta di
dalamnya terdapat biji. Warna buah berubah-ubah. Sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu.
Apabila masak kulit luar buah biasanya berwarna kuning (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
2004)
Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ketiga setelah dua negara di benua Afrika
yaitu Pantai Gading dan Ghana. Di Indonesia tanaman kakao sendiri tersebar sebagian besar di
beberapa pulau di seluruh wilayah Indonesia yaitu diantaranya di pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Di Indonesia sendiri tanaman ini dapat
tumbuh pada ketinggian kurang dari 800 m dibawah permukaan laut dengan curah hujan rata-
rata 1100 – 3000 mm per tahun. Suhu ideal bagi tanaman kakao untuk tumbuh adalah 30–32
derajat Celcius (Maksimum) dan 18–21 derajat Celcius (Minimum). Tanaman kakao dapat
tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki bahan organik tanah yang tinggi masaman pH 6–
12
7.5 tidak lebih tinggi dari 8 dan tidak lebih rendah dari 6, kebutuhan air dan hara yang cukup
serta membutuhkan naungan dalam pertumbuhannnya (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Tanaman kakao rentan terhadap hama dan penyakit. Beberapa jenis hama dan penyakit
yang menyerang tanaman kakao antara lain adalah Ulat Kilan ( Hyposidea infixaria; Famili :
Geometridae ), Ulat Jaran / Kuda ( Dasychira inclusa, Familia : Limanthriidae ), ulat srengenge
(Parasa lepida dan Ploneta diducta ), Kutu – kutuan ( Pseudococcus lilacinus ), Helopeltis
antonii, Cacao Mot ( Ngengat Buah ) Acrocercops cranerella (Famili : Lithocolletidae),
Penyakit Busuk Buah (Phytopthora palmivora), Jamur Upas (Upasia salmonicolor). Oleh karena
itu teknis budidaya dan penanganan yang tepat terhadap hama dan penyakit yang menyerang
tanaman kakao mutlak diperlukan untuk tanaman kakao agar tumbuh berkembang dengan baik
(Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004)
Buah kakao yang telah siap panen yaitu buah yang dipetik pada umur 5,5 – 6 bulan dari
berbunga, warna kuning atau merah. Buah yang telah dipetik dikumpulkan kemudian
dimasukkan ke dalam karung.. Pemetikan dilakukan pada pagi hari dan pemecahan biji dan kulit
dilakukan pada siang hari. Pemecahan buah dilakukan dengan memukulkan buah kakao pada
batu hingga pecah. Kemudian biji dikeluarkan dan dimasukkan dalam wadah yang telah
disediakan, sedangkan kulit dari kakao dimasukkan dalam karung. (Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao. 2004)
Menurut Puastuti (2008) kulit buah kakao belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan
pakan kecuali sebagai pupuk. Namun demikian, penempatan kulit buah kakao di sekitar
kebun lebih banyak mengotori lingkungan perkebunan bahkan menimbulkan banyak masalah
terhadap tanaman perkebunan dibandingkan dengan manfaatnya sebagai pupuk. Menumpuknya
kulit buah kakao menimbulkan pembusukan karena kelembaban dan temperatur yang tinggi,
bahkan cendawan mikotoksin Phytopthora palmivora (Butler) dapat berkembang dengan baik.
Cendawan ini dilaporkan dapat menjadi hama dan penyakit busuk buah, hawar daun dan
kanker batang pada tanaman kakao (LOPEZ et al., 1984 dalam Puastuti, 2008). Oleh karena itu,
untuk memanfaatkan kulit buah kakao sebaiknya dikeluarkan dari lokasi perkebunan agar
tanaman kakao terhindar dari penyakit tersebut.
Menurut Priyanto (2004) kasus penanganan limbah pertanian dan perkebunan sampai saat
ini masih merupakan kendala dalam program penanganan limbah di tingkat petani. Masalah ini
di antaranya adalah keterbatasan waktu, tenaga kerja, maupun keterbatasan areal pembuangan.
Di samping itu limbah pertanian dan perkebunan belum banyak dimanfaatkan walaupun dalam
beberapa kondisi memiliki potensi sebagai bahan pakan ternak maupun bahan baku pembuatan
13
kompos, sehingga perlu dilakukan pengamatan dalam mendukung program pemanfaatan limbah
potensial terutama limbah potensial yang dihasilkan oleh tanaman kakao yaitu limbah kulit
kakao.
Tanaman kakao banyak dikenal sebagai tanaman yang dapat menghasilkan cokelat. Akan
teapi selain bijinya yang dapat diproses menjadi cokelat ternyata kulit dari buah kakao yang
selama ini menjadi limbah dari industri cokelat juga mempunyai nilai jual yang tinggi. Kulit
buah kakao (shel fod husk) adalah merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan tanaman
kakao. Berdasarkan penelitian, kulit kakao atau biasa kita sebut kulit cokelat mempunyai
kandungan gizi yaitu 22% protein, 3–9% lemak, bahan kering (BK) 88%, protein kasar (PK) 8%,
serat kasar (SK) 40,15, dan TDN 50,8%, metabolisme energi (K.kal) 2,1, dan pH 6,8 (Priyanto,
2004).
Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Cokelat/Kakao di Indonesia, 1995 - 2010
No Tahun Luas Areal (0000 Ha) Produksi (Ton) Laju Produksi (%)
1 1995 125.4 46,4
2 1996 129.6 46,8 0,86
3 1997 146.3 65,889 40,79
4 1998 151.3 60,925 -7,53
5 1999 154.6 58,914 -3,30
6 2000 157.8 57,725 -2,02
7 2001 158.6 57,86 0,23
8 2002 145.8 48,245 -16,62
9 2003 145.7 56,632 17,38
10 2004 87.7 54,921 -3,02
11 2005 85.9 55,127 0,38
12 2006 101.2 67,2 21,90
13 2007 106.5 68,6 2,08
14 2008 98.4 62,913 -8,29
15 2009 95.3 67,602 7,45
16 2010* 95.9 70,919 4,91
Ket: * angka sementara
Sumber : BPS Indonesia 2012
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman perkebunan yang cukup
banyak dikembangkan di Indonesia. Indonesia memiliki areal perkebunan yang sangat luas. Luas
areal perkebunan di Indonesia sekitar hektar. Salah satunya adalah perkebunan kakao yang
mencapai 959.000 ha (BPS Indonesia, 2011). Selama lima belas tahun terakhir ini produksi 14
kakao terus meningkat mencapai 70.919 ton pada tahun 2010 (BPS Indonesia, 2012). Jika
proporsi limbah mencapai 75 % dari produksi, maka limbah kulit buah kakao mencapai 53.190
ton per tahun. Hal ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan sebagai
bahan pakan ternak (Tabel 2).
Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Cokelat/Kakao Menurut Kabupaten/Kota, 2011
Kabupaten/Kota
Jumlah Luas Areal
Jumlah Produksi
Produksi Limbah
Produksi Pod BK
(ha) (ton) (ton) (Kg)
Sumba Barat 641 39 29,25 25740Sumba Timur 491 6 4,5 3960Kupang 259 19 14,25 12540Timor Tengah Selatan
319 11 8,25 7260
Timor Tengah Utara
313 46 34,5 30360
Belu 548 32 24 21120Alor 1 051 14 10,5 9240Lembata 829 80 60 52800Flores Timur 4 312 698 523,5 460680Sikka 21 661 7 158 5368,5 4724280Ende 5 962 2 513 1884,75 1658580Ngada 931 189 141,75 124740Manggarai 1 836 123 92,25 81180Rote Ndao - - - -Manggarai Barat 3 432 323 242,25 213180Sumba Tengah 327 18 13,5 11880Sumba Barat Daya 1 378 156 117 102960Nagekeo 1 653 253 189,75 166980Manggarai Timur 2 478 251 188,25 165660Sabu Raijua - - - -Kota Kupang - - - -Jumlah 48 421 11 929 8946,75 78731402010 46 447 12 978 9733,5 85654802009 45 129 12 247 9185,25 8083020
Sumber : BPS NTT 2012
Pod kakao merupakan bagian terbesar limbah kakao yaitu mencapai 70-75.67% (Wong et
al., 1986 dan Darwis et al. 1988 dalam Hartati, 2012). Satu buah kakao yang dipanen diperoleh
biji sebanyak 29% dan 71% limbah tanaman terutama pod kakao yaitu kulit buah yang
bertekstur tebal dan keras (Siregar dkk., 1992). Produksi bahan kering di daerah padat sapi
potong yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar 351.713,96 ton/tahun. Jika
diasumsikan bahwa pod kakao dapat menggantikan 50% dari hijauan dengan ratio
hijauan:konsentrat 60:40, maka dapat menampung sebanyak 120.038,80 ST. (Angraeny dan 15
Umiyasih, 2008 dalam Hartati, 2012). Akan tetapi pod kakao belum dimanfaatkan secara optimal
karena mengandung protein rendah (7,17-9,36%), serat kasar tinggi (30,16-47,87%) dan lignin
tinggi (27,95-38,78%) (Amiroenas, 1990 dan Laconi, 1998, Guntoro, et al. 2004, Anggraeny dan
Umiyasih, 2008 dalam Hartati, 2012) dan menurut Islamiyati (2010), pod kakao memiliki
kandungan gizi yang rendah yaitu protein 5-8%, serat kasar 19-40% dengan kecernaan bahan
kering 31,1%.
Di Nusa Tengggara Timur sendiri, luas areal perkebunan Kakao mencapai 48.421 ha
dengan jumlah produksi 11.929 ton/ tahun dengan produksi limbah kulit kakao sebanyak 75 %
yakni 8.950 ton atau sekitar 7.873 ton BK/tahun. Apabila diasumsikan bahwa kulit buah kakao
cukup menggantikan 50% jumlah kebutuhan hijauan ternak ruminansia yakni sebesar 3 % bahan
kering dari bobot badan ternak (300 kg / ST) maka kulit buah kakao dapat menampung sebanyak
4.793 Satuan Ternak atau 2.397 ST apabila diberikan 100% hijauan dari kulit buah kakao. Pada
ternak kambing dengan asumsi pemberian 40 % dari total hijauan yakni 3 % bahan kering dari
bobot badan ternak (70 kg/ST) maka kulit buah kakao dapat menampung sebanyak 13.121.900
ekor ternak kambing/domba atau sekitar 1.837.066 satuan ternak kambing /domba di NTT.
Selain itu, pod kakao juga dapat diberikan pada unggas dan babi dengan jumlah maksimal 40 %
mengganti kebutuhan jagung dan dedak dalam ransum yang ada. Pada ternak babi, dengan
asumsi kebutuhan ransum 2,5 kg/satuan ternak babi dewasa (bobot badan 75kg) dan kebutuhan
jagung / dedak 50 % maka dapat memberi makan 15.746.280 ekor ternak babi atau sekitar
6.298.512 satuan ternak babi di NTT. Untuk ternak unggas, dengan asumsi kebutuhan jagung
50% dalam berat total ransum sekitar 150 gram/ekor maka pod kakao dapat memberi makan
1.049.752 satuan ternak unggas di NTT.
D. Inovasi Teknologi Kulit Kakao (Pod) Sebagai Pakan Ternak
Usaha peningkatan produktivitas di bidang peternakan terus diupayakan seiring
dengan meningkatnya permintaan produk peternakan. Namun usaha untuk meningkatkan
produktivitas ternak, khususnya ternak ruminansia dihadapkan pada kendala makin
menyempitnya lahan sumber pakan oleh pengguna lahan untuk kebutuhan lain yang dinilai
lebih menguntungkan. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
melakukan eksplorasi sumber bahan makanan baru yang lebih murah dengan ketersediaan
lebih besar dan berkesinambungan, tetapi tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.
Tampak bahwa limbah pertanian/perkebunan memenuhi kriteria tersebut.
16
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, limbah perkebunan seperti kulit buah kakao
memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Namun, tingginya kandungan serat
kasar yang dimiliki kulit kakao mencapai 40% yang mempengaruhi daya cerna, kandungan
protein kasar yang rendah yakni 6%, adanya senyawa theobromin sebanyak 0,17-0,22% yang
dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen serta diare apabila dikonsumsi > 300 mg/BB.
Selain itu, kulit bauh kakao juga mengandung kafein sebanyak 1,8-2,1% dan tannin sebanyak
0,84% dimana kafein mempunyai efek diuretic sedangkan tannin dapat mengendapkan protein
dan karbohidrat sehingga mempengaruhi ketersediaan nutrient dalam kulit buah kakao. Dengan
daya cerna yang rendah yakni 29,27%, biomassa kulit buah kakao juga bersifat tidak tahan lama
bila disimpan dalam keadaan segar sehingga perlu penanganan tersendiri bila digunakan sebagai
pakan ternak karena apabila kulit buah kakao disimpan lebih dari 24 jam akan menjadi berjamur
di bawah kondisi lembab sehingga menjadi tidak palatable (Puastuti, 2008). Hal inilah yang
membuat kulit buah kakao ini masih belum dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Untuk menjadikan kulit buah kakao sebagai alternatif pakan ternak yang memiliki nilai
nutrisi tinggi dapat dilakukan dengan cara a) teknologi fisik, yaitu dilakukan dengan cara
pencacahan, perendaman, pengeringan, penghalusan, dan pelleting; b) teknologi kimia, yaitu
dilakukan dengan cara amoniasi; dan c) teknologi biologi berupa fermentasi.
Upaya meningkatkan nilai nutrisi kulit buah kakao dan mengatasi berlimpahnya produksi
kulit buah kakao perlu dilakukan pengolahan seperti amoniasi. Amoniasi merupakan pengolahan
secara alkali dengan penambahan urea. Urea sering digunakan untuk meningkatkan kecernaan
pakan serat melalui proses amoniasi (Van Soest, 2006 dalam Puastuti, 2008). Proses amoniasi
dengan menggunakan urea lebih mudah, murah dan lebih aman dibandingkan proses alkali
lainnya dan dapat meningkatkan kadar N (nitrogen). Meningkatnya kadar N asal urea dapat
mensuplai kebutuhan N bagi mikroba rumen. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Laconi
(1998) dimana teknologi amoniasi dengan 1,5 % urea pada kulit buah kakao lebih efektif dan
efisien untuk diaplikasikan pada tingkat peternak maupun industri pakan ternak.
Agar ternak dapat memanfaatkan secara optimal bahan pakan yang memiliki kecernaan
rendah, maka penambahan sejumlah mineral perlu dilakukan. Penambahan mineral Zn-metionin
dalam pakan dapat meningkatkan kecernaan komponen serat kasar tinggi (Haryanto et al.,
2002, dalam Puastuti, 2008). Meningkatnya kecernaan mengindikasikan adanya peningkatan
aktivitas fermentasi mikroba rumen, dimana unsur seng berfungsi untuk menstimulasi
pertumbuhan mikroba rumen.
17
Menurut hasil penelitian Puastuti (2008), menyatakan bahwa penggunaan biomasa kulit
buah kakao sebagai pengganti rumput menghasilkan kecernaan bahan kering in vitro ransum
yang lebih rendah. Melalui proses amoniasi pada kulit buah kakao dan suplementasi Zn organik
belum meningkatkan kecernaan BK ransum. Secara umum ransum berbasis rumput dan kulit
buah kakao baik yang diamoniasi maupun kulit buah kakao asli, baik yang disuplementasi Zn
organik maupun tidak menghasilkan aktivitas bioproses di dalam rumen yang tidak berbeda
sehingga diperoleh produk VFA yang serupa.
Perendaman dengan basa kuat terhadap bahan pakan yang mengandung lignoselulosik
sering digunakan dengan tujuan untuk melarutkan kristal silika dan memecah ikatan
lignoselulosa. Namun demikian hasilnya kurang memuaskan, antara lain bahan organik sebagian
terbuang (larut), kurang tersedia di pedesaan dan merupakan sumber pencemaran lingkungan.
Untuk itu para peneliti sudah berupaya mencari teknik pengolahan lain dengan menggunakan
bahan-bahan yang terdapat di pedesaan yang merupakan sumber basa murah, diantaranya abu
sekam padi, abu tempurung kelapa dan abu kulit buah kakao.
Menurut hasil penelitian Islamiyati (2010), bahwa semakin lama perendaman, terjadi
penurunan kecernaan bahan kering in vitro kulit buah kakao, sedangkan sumber larutan basa
yang memberikan kecernaan bahan kering in vitro terbaik adalah abu kulit buah kakao dan
memberikan hasil yang sama dengan yang direndam larutan NaOH 6%.
Salah satu cara pengawetan pakan agar tidak cepat rusak dan dapat disimpan relatif lama
adalah dengan proses ensilase biasanya dilakukan dalam silo (dalam lubang tanah), atau wadah
lain yang prinsipnya anaerob (hampa udara), agar mikroba anaerob dapat melakukan reaksi
fermentasi (Sapienza dan Bolsen, 1993 dalam Sianipar, 2009)
Keberhasilan lain dalam pembuatan silase selain mempertahankan kandungan nutrisi
adalah adanya perkembangan bakteri pembentuk asam laktat yang meningkat selama proses
fermentasi sehingga terjadi penurunan kandungan asam (pH) pada silase berkisar 4 – 6 (Khan et
al., 2004, dalam Sianipar, 2009. Namun demikian teknik ensilase ini sering menimbulkan
permasalahan lain yakni efek kurang disukai ternak karena silase rasanya asam akibat pH
relatif rendah. Untuk meningkatkan konsumsi dan menetralisir tingkat keasaman cairan rumen
sebagai akibat mengkonsumsi silase maka perlu dilakukan penambahan pakan tertentu (Farhan
dan Thomas, 1978 dalam Sianipar, 2009. Salah satunya adalah dengan mencampur silase dengan
pakan tambahan yang disukai ternak.
18
Menurut hasil penelitian Sianipar (2009), menyatakan bahwa pemberian silase sampai 30%
dalam pakan menurunkan tingkat konsumsi dan kecernaan pakan. Pemberian silase kulit buah
kakao diatas 30% dalam pakan, mengakibatkan penurunan pertambahan bobot hidup harian
sebesar 1,43 gram tiap kenaikan 1% silase dalam pakan. Silase kulit buah kakao dapat
digunakan sebagai pakan penguat sumber protein dan penggunaannya direkomendasikan sampai
20% dalam pakan kambing potong.
Hasil ini juga didukung oleh penelitian Hartati (1998) yang menyatakan bahwa kualitas
kulit buah kakao dapat diperbaiki melalui proses ensiling dan penambahan urea dimana
kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik silase kulit buah kakao meningkat dengan
penambahan urea hingga 1 % masing-masing 40,17% dan 35,08%.
Selain teknik tersebut diatas, juga terdapat teknik pengolahan dengan pemanfaatan
teknologi fermentasi dengan bantuan jamur Trichoderma sp. Jamur ini merupakan salah satu
jamur penghasil enzim selulase yang sangat efisien untuk mendegradasi unsur selulosa jika
dibandingkan dengan jamur perombak serat lainnya (Irwani, 2000; ismujianto, 1996, dalam
syahrir, 2005)
Menurut hasil penelitian Syahrir (2005) menyatakan bahwa faktor dosis trichoderma sp.
dan lama fermentasi tidak menunjukkan adanya interaksi antara kedua perlakuan tersebut
terhadap kandungan zat-zat makanan kulit buah kakao fermentasi. Faktor dosis trichoderma sp.
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kandungan bahan kering kulit buah kakao
fermentasi dan begitu juga dengan faktor lama fermentasi. Faktor lama fermentasi memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kandungan abu, lemak kasar, protein kasar dan serat kasar. Waktu
fermentasi yang lebih singkat dapat meningkatkan kualitas kulit buah kakao fermentasi, terutama
peningkatan kandungan protein kasar dan penurunan serat kasar.
Respon pertumbuhan domba yang mendapat ransum berbasis KBK tanpa amoniasi dengan
suplementasi Zn organik menghasilkan PBHH yang setara dengan ransum berbasis
rumput. Pertumbuhan ini didukung oleh konsumsi dan kecernaan nutrien, retensi N dan
parameter fermentasi yang baik (Puastuti dkk, 2010).
Tape KBK dapat digunakan sebagai pakan ternak kambing yang sedang tumbuh sampai
level 40% dengan PBB minimal 77 gr/ekor/hari. Peningkatan level pemberian tape kbk pada
ternak kambing akan menurunkan konsumsi dan PBB ternak (Hesti, 2008)
Menurut Sari (2012), Kulit buah kakao dapat dijadikan sebagai bahan pakan ternak
ruminansia maupun ternak unggas dengan pemberian dalam bentuk segar maupun dalam bentuk
19
kulit buah kakao fermentasi. Pemberian dalam bentuk segar sangat terbatas dikarenakan adanya
zat antinutrisi berupa theobromin yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas pada ternak.
Kulit buah kakao yang difermentasi dengan Aspergillus niger mampu meningkatkan PK dari
10% menjadi 16,60 % dan menurunkan SK menjadi 10,15 %. Pemberian kulit buah kakao
fermentasi kepada ternak mampu meningkatkan produksi dan produktivitas ternak ruminansia
dan unggas. Kulit buah kakao berpotensi sebagai bahan pakan pengganti konsentrat karena harga
yang relatif murah dan jumlah yang banyak. Pemberian kulit buah kakao fermentasi 10 % dalam
ransum itik tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap konsumsi ransum. 22 % pemberian
dalam ransum ayam broiler mampu meningkatkan produktivitas broiler dan pemberian pada taraf
20-40 % dari total ransum mampu menurunkan kadar kolesterol daging broiler.
Penggunaan kulit buah kakao sebagai bahan pakan sebaiknya dilakukan secara
bersama-sama dengan penambahan hijauan/pakan tambahan lain seperti rumput atau
leguminosa. Pemberian 15% dari konsentrat Ternak domba, dapat menambah bobot badan
sebanyak 80,52 g/ekor/hari. Ternak sapi dan kambing dapat diberikan sebanyak 0,7-1,0 %
BB, bisa diberikan sebagai pengganti dedak. Pada ayam pemberian limbah kulit buah
kakao sebagai pengganti dedak hingga 36% dari total pakan dapat meningkatkan produksi
telur. Pada babi dapat diberikan sebagai pengganti dedak sekitar 35-40% dalam pakan.
Penggunaan 35% sebagai substitusi jagung dapat menghemat penggunaan jagung
sebanyak 20%. Penggunaan 40% kulit buah kakao sebagai substitusi bungkil kelapa dapat
menghemat penggunaan bungkil kelapa sebanyak 5% (Dirjen PKH, 2012)
Tabel 4. Kandungan gizi Pod Kakao segar dan fermentasi
Nutrisi, Energy, KBK, dan KBO Kulit Buah Kakao Segar Kulit Buah Kakao FermentasiBahan Kering % 14,5 18,4Abu % 15,4 12,7Protein Kasar % 9,15 12,9Lemak % 1,25 1,32Serat Kasar % 32,7 24,7BETN % 41,2 47,1TDN % 50,3 63,2ME, MJ/kg Bahan kering 7,60 9,20Kecernaan Bahan Kering (KBK) 76,3 38,3Kecernaan Bahan Organik (KBO) 25,4 42,4Ca 0,29 0,21P 0,19 0,13Sumber: Dirjen PKH, 2012
20
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tanaman kakao memiliki potensi
yang besar dari segi kuantitas produksi limbah di Indonesia pada umumnya dan NTT khususnya,
namun limbah kakao ini masih belum termanfaatkan oleh petani peternak sehingga dibutuhkan
sentuhan teknologi sederhana seperti silase maupun fermentasi untuk meningkatkan kualitas pod
kakao sebagai pakan ternak ruminansia, babi dan unggas.
B. Saran
Dibutuhkan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat petani peternak maupun
pengusaha ternak dalam memanfaatkan potensi limbah kakao yang melimpah di daerahnya
masing – masing.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, S. 1996. Bahan Organik, Peranannya Bagi Perkebunan Kopi Dan Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia, 12 (2) : 70 – 78.
Angkapradipta, P., T. Warsito, M.S. Nurdin. 1988. Tanggap Tanaman Kakao Lindak Upper Amazon Hybrid Terhadap Pemupukan N, P Dan K Pada Tanah Latosol . Menara Perkebunan, 56 (1) : 2 - 8.
BPS Indonesia 2012 (www.bps.go.id)
BPS NTT 2012 (www.ntt.bps.go.id)
Budiarti Tati Dan Yulmiarti. 1997. Pengaruh Dosis Fungisida Dan Periode Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Kakao. Bul. Agron. 25 (3) : 7 – 14.
Chairani Hanum. 2008. Teknik Budidaya Tanaman. Buku Ajar. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Dirjen PKH. 2012. Limbah Kakao Sebagai Alternative Pakan Ternak. Leaflet. Direktorat Pakan Ternak. Direktur Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.
Hartati Erna. 1998. Suplementasi Minyak Lemuru Dan Seng Ke Dalam Ransum Sapi Yang Mengandung Silase Pod Kakao Dan Urea Untuk Memacu Pertumbuhan Sapi Holstein Jantan. Disertasi. Program pasca sarjana. Ipb. Bogor.
Hesti Wahyuni Tri, Iskandar Sembiring, Dan Wina J. Sihombing. 2008. Tape Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan Kambing Boerka. Jurnal Agribisnis Peternakan 4 (2) : 65 – 68.
Islamiyati R. 2010. Kecernaan Bahan Kering In Vitro Kulit Buah Kakao Yang Direndam Dengan Larutan Basa Yang Berbeda. JITP 1 (1) : 43-47
Kurniawati Ani, Ade Wachjar, Dan Anita Th. Sinaga. 1998. Pengaruh Pupuk Boron (B) Dan Seng (Zn) Terhadap Layu Pentil Dan Buah Kakao Yang Dapat Dipanen. Bul. Agron. 26 (3) : 8 – 12.
Laconi Erika Budiarti. 1998. Peningkatan Mutu Pod Kakao Malalui Amoniasi Dengan Urea Dan Biofermentasi Dengan Phanerochaete Sheysosporium Serta Penjabarannya Ke Dalam Formulasi Ransum Ruminansia. Disertasi. Program pasca sarjana. Ipb. bogor
Limbongan Jermia. 2011. Kesiapan Penerapan Teknologi Sambung Samping Untuk Mendukung Program Rehabilitasi Tanaman Kakao. Jurnal Litbang Pertanian, 30 (4) : 156 – 163.
Lingga, P. 1999.Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Priyanto, D., A. Priyanti dan I. Inonu. 2004. Potensi Dan Peluang Pola Integrasi Ternak Kambing Dan Perkebunan Kakao Rakyat. Pemda Lampung.
22
Puastuti Wisri; D. Yulistiani dan Supriyati. 2008. Ransum Berbasis Kulit Buah Kakao Diperkaya Mineral : Tinjauan Pada Kecernaan Dan Fermentasi Rumen In Vitro. Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 442-448
Puastuti Wisri, Dwi Yulistiani, I Wayan Mathius, Fransiscus Giyai, Dan Elis Dihansih. 2010. Ransum Berbasis Kulit Buah Kakao Yang Disuplementasi Zn Organik: Respon Pertumbuhan Pada Domba. Jitv 15 (4) : 269-277
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sari Ria Puspita. 2012. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan ternak. Skripsi. Univeritas Bengkulu. Bengkulu
Sianipar Junjungan dan K. Simanhuruk. 2009. Performans Kambing Sedang Tumbuh Yang Mendapat Pakan Tambahan Mengandung Silase Kulit Buah Kakao. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. hal 435-441
Syahrir dan Maleka Abdeli. 2005. Analisis Kandungan Zat-Zat Makanan Kulitbuah Kakao Yang Difermentasi Dengan Trichoderm Sp. Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Journal Agrisains 6 (3) : 157-165.
Wachjar Ade dan Luga Kadarisman. 2007. Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik Cair dan Pupuk Anorganik serta Frekuensi Aplikasinya terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Belum Menghasilkan. Bul. Agron. Bul. Agron. 35 (3) : 212 – 216.
23
Pengelolalan didalamnya ada pemanfaatan
Karakteristik, kontinutas, umur produksi awal,
Asumsi-asumsi
Luas tanam, jumlah produksi
Harus tabel,. Kuantitaskan data kualitas
Kultifasi
Data budidaya tuk peningkatan produksi – limbah melimpah – pakan ternak (mempercepat
produksi)
Ga perlu tabel banyak2,, cukup hasil penelitian n pake
24
top related