pengertian hadits, sunnah, khobar, atsar dan struktur ... · pdf fileilmu hadits dirayah yaitu...
Post on 06-Feb-2018
320 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengertian hadits, sunnah, khobar, atsar dan Struktur Hadist
1. Pengertian Hadits
Berasal dari basaha Arab : Al Hadist, hudatsa jamaknya ahadis, hidtsan dan
hudstan
2. Penegrtian Sunnah
Sunnah menurut bahasa banyak artinya di antaranya : suatu perjalanan yang
diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk.Di samping istilah hadis
terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama‟ yaitu sunnah.
Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan.
Maka dari itu kami kemukakan pengertiannya agar lebih jelas.
3. Pengertian Khabar
Menurut bahasa khabar diartikan = berita. Dari segi istilah muhadditsin khabar
identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (baik
secara marfu’, mawquf, dan maqthu’) baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan, dan sifat.
4. Pengertian Atsar
Dari segi bahasa atsar diartikan = peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya
peninggalan atau bekas Nabi karena hadis itu peninggalan beliau. Atau diartikan =
(yang dipindahkan dari Nabi), seperti kalimat : dari kata atsar artinya doa yang
disumberkan dari Nabi.
Menurut istilah ada dua pendapat, pertama, atsar sinonim hadis. Kedua, atsar
adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf) dan tabi‟in
(maqthu’) baik perkataan maupun perbuatan.
5. Struktur Hadits
Secara struktur, hadits terdiri atas tiga komponen, yakni sanad atau isnad (rantai
penutur), matan (redaksi hadits), dan mukhraj (rawi).
A. Sanad Hadits
Sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits atau rentetan para
rawi yang menyampaikan matan hadits.
B. Matan
Menurut bahasa, matan artinya sesuatu yang tampak, bagian bumi yang
keras dan tinggi. Dalam istilah ilmu hadis, matan adalah materi atau
redaksi hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain .
C. Rawi Hadits
Kata Al-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberitahukan hadits.
Sebenarnya antara sanad dan rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada setiap generasi atau thabaqah juga terdiri
dari para rawi.
Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama
1. Pengertian
Kedudukan hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah
disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan
demikian, karena dalam sejararah umat Islam (dari dulu sampai
sekarang) ada kalangan yang hanya berpegang pada al-qur‟an dalam
menjalankan ajaran agamanya.
2. Golongan yang Menolak Kehujjahan Al-Hadits
Golongan yang menolak Hadits secara keseluruhan, alasan yang
mereka pergunakan dapat disimpulkan sebagai berikut
Al-Qur‟an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab, yang
sudah tentu digunakan oleh bangsa Arab
Al-Qur‟an sendiri telah menyatakan bahwa al -Qur‟an itu telah
mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia mengenai segala
aspek kehidupannya berdasarkan keterangan yang menurut
mereka berasal dari Nabi sendiri.
3. Perbendaharaan Al-Hadits Terhadap Al-Quran
Berfungsi menetapkan dan memperkuat hokum-hukum yang
telah ditentukan oleh Al-Quran. Maka dalam Hal ini keduanya
bersama-sama menjadi sumber hokum
Memberikan perincian dan penafsiran ayat -ayat al-quran yang
masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat -ayat al-
quran yang masih mutlaq dan memberikan takhshish ayat -ayat
alquran yang masih umum
Memberikan perincian dan penafsiran ayat -ayat al-quran yang
masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat al-
quran yang masih mutlaq dan memberikan takhshish ayat -ayat
alquran yang masih umum.
Sejarah Pertumbuhan Al-Hadits
A. Periwayatan dengan Islam
1. Larangan menulis al-hadits
“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain al-
qur‟an. Barang siapa menuliskan tang ia terima dariku selain al -qur‟an
hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang ia terima dariku, tidak
mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namanku, maka
hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka .”
2. Perintah menulis Al-Hadits
Abu Syah :
“ya Rasulullah! Tulislah untukku!”
Jawab rasul:
“tulislah oleh kamu, sekalian untuknya!.”
B. Menulis dan membukukan Al-Hadits secara resmi (abad ke-
11)
• PERINTIS SEJARAH (MOTIF) MEMBUKUKAN AL-
HADITS
1) Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan al-hadits
seprti waktu yang sudah-sudah
2) Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan
memelihara al-hadits dari hadits-hadits maudlu‟
3) Alasaan tidak terdewannya al -hadits secara resmi di zaman
rasulullah
4) Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan
dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir
• CIRI-CIRI KITAB HADITS YANG DIDEWANKAN PADA
ABAD KE-2
• KITAB-KITAB HADITS YANG MAYSHUR
1) Al-muwaththa
2) Musnadu‟sy Syafi‟iy
3) Mukhtalifu‟l-Hadits
C. Periode penyaringan Al-Hadits dari fatwa-fatwa abad ke-3)
Perintisnya
Pada permulaan abad ke-III para ahli hadits berusaha
menyisihkan al-hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi‟in.
Karena adanya kelemahan-kelemaha kitab-kitab hadits,
para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk
menentukan suatu hadits apakah itu shahih atau da‟if.
D. Periode menghafal dan mengisnadkan hadits mutaqaddimin
(abad ke-4)
Abad ke-V ini merupakan abad pemisah antara ulama
Mutaqaddimin dengan ulama Mutaakhirin.
Kitab-kitab yang masyhur hasil ulama abad ini antara lain :
1) Mu‟jamu‟l-Kabir.
2) Mu‟jamu‟l-Ausath.
3) Mu‟jamu‟sh-Shagir.
4) Sunan Ad-daruquthy.
5) Shahih Abi „Auwanah .
6) Shahih Ibnu Khudzaimah.
E. Periode mengklasifikasi dan mensistematiskan susunan
kitab-kitab hadits (abad ke-5)
Usaha ulama ahli hadits pda abad ke-v dan seterusnya adalah
ditujukan untuk mengklasifikasikan al -hadits dengan menghimpun
hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat -sifat
isinya dalam suatu kitab hadits. Pada abad ini lahirlah kitab-kitab
hadits hukum dan kitab-kitab hadits targhib wat-tarhib.
Cabang-cabang Ilmu Hadits
A. Ilmu Hadits
“ Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir
(persetujuan), atau sifat “.
B. Pembagian Ilmu Hadits
a. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan
tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal
yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Ilmu Haits Dirayah
Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai beberapa
kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan
perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy)dari segi diterima atau
ditolaknya.
C. Sejarah Perkembngan Ilmu Hadits
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan
hadits itu sendiri. Hanya saja belum berwujud sebagai suatu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
D. Cabang-cabang ilmu Hadits
a. Ilmu Rijali‟l Hadits
b. Ilmu Tawarihi‟r Ru-wah
c. Ilmu Thabaqah
d. Ilmu Jarhi Wa‟ta‟dil
e. Ilmu Gharibi‟l-Hadits
f. Ilmu Asbabi Wurudi‟l-Hadits
g. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
h. Ilmu Mukhtalifu‟l-Hadits
i. Ilmu Ilali‟l-Hadits
Klasifikasi Hadits
A. Pembagian Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya (jumlsh
perowi)
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau
dari segi kuantitasnya atau jumlah rawi yang menjadi sumber berkaitan.Di
antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian , yakni
hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya
menjadi dua , yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Muwatir
Menurut bahasa mutawatir berarti muttabi‟ artinya yang datang kemudian,
yang beriringan atau yang berurut-urut, maksudnya beriring-iringan
antara yang satu dengan yang lain.
2. Hadits Ahad
Kata Ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka Ahad
atau khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.Khabar yang
jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits mutawatir, baik
perowinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya, Yang
memberikan pengertian bahwa jumlah perowi tersebut tidak mencapai
jumlah perowi hadits mutawatir.
B. Pembagian hadis berdasarkan kualitas
1. Hadits Shahih
Sahih secara etimologi adalah lawan dari saqim (sakit), sedangkan dalam
istilah ilmu hadits berarti hadits yang berhubungan (bersambung)
sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil , dhabith, yang
diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai
kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula berillat.
2. Hadits Hasan
Hadits Hasan menurut bahasa berarti Sesuatu yang disenangi dan di oleh
nafsu. Sedangkan hadits Hasan menurut istilah para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya.
3. Hadits Hadits Dla’if
Menurut bahasa Dlaif berarti „Ajiz = yang lemah sebagai lawan qawiyyu
= kuat. Sedangkan hadits dha‟if menurut istilah , para ulama‟berbeda-beda
dalam susunsn redaksiny, tetapi substansi dari definisi tersebut adalah
sama.
Ilmu Jarhi Wa’T-Ta’dil
A. Pengertian
Lafadz “jarh”, menurut muhadditsiin ialah sifat seorang rawi yang
dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih
seorang rawi berarti menyifati sorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat
menyebabkan kelemahan tau tertolak apa-apa yang diriwayatkannya.
Sedangkan rawi yang adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-
sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberikan sifat-
sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang dirriwayatkannya
dapat diterima disebut dengan menta‟dilkannya.
B. Perkembangan ilmu al-Jarh wa Ta’dil
Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinikilkan
nabi shalallahualaihiwasallam sebagaimana telah di sebutkan tadi. Lalu
menjadi banyak dari pada sahabat, tabi‟in dan orang setelah mereka,
karena takut terjadi apa yang di peringatkan rasulullah, sebagaimana
sabdanya, “ akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang – orang yang
menceritakan hadist kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga
bapak – bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap
mereka “ ( muqaddimah shahih muslim ). Ilmu ini akan tumbuh bersama –
sama dengan tumbuhnya perawi dalam islam, karena untuk mengetahui
hadist – hadist shahih perlu mengetahui keadaan perawi – perawinya,
secara memungkinkan ahli-ilmu menetapkan kebenaran perawi, atau
kedustaannya hingga dapatlah mereka membedakan antara yang diterima
dan dengan yang di tolak.
C. Jalan-jalan untuk Mengetahui Kecacatan dan Keadilan Seorang
Rawi
1. Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu
2. Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan
sebagai rawi yang adil oleh rawi yang adil, yang pada awalnya rawi
yang di ta‟dil itu belum dikenal sebagai orang yang adil.
D. Tingkatan – tingkatan al-Jarh wa Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan bukanlah semuanya dalam satu derajat
dari segi keadilan, kedhabitan dan hafalan mereka sebagaimana yang telah
di jelaskan sebelumnya. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna,
ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula orang yang
sering lupa dan salah padahal mereka adalaha orang yang „adil dan
amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadist, maka allah
menyingkap perbuatannya ini melalui tangan ulamayang sempurna
pengetahuan mereka. Oleh karena itu para ulama meningkatkan tingkatan
jarh dan ta‟dil, dan lafazh lafahz yang menunjukkan pada setiap tingkatan,
sehingga tingkatan ta‟dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam
tingkatan juga.
E. Tingkatan tingkatan at-Ta’dil
Tingkatan pertama yang menggunakan superlatif dalam penta‟dilan, atau
dengan menggunakan wazan “af-fala”, seperti : “ fulan kepadanyalah puncak
ketepatan dalam periwayatan”,atau,” fulan orang yang paling tepat
periwayatannya dan ucapannya”.
Tingkat kedua : dengan menyebutkan sifat menguatkanketsiqahannya,
ke‟adilan dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafazh maupun dengan
makna seperti : “tsiqah – tsiqah” , “ tsiqah – tsabat “, atau “ tsiqah dan hafish”.
Tingkat ketiga : yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya
penguatan akan hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, hujjah, mutqin.
Tingkat keempat : yang menunjukkan adanya keadilan dan kepercayaan
tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, seperti : shadug (jujur),
ma‟mun ( di pecaya), mahallum ash-shidiq ( ia tempatnya kejujuran ).
Tingkat kelima : yang tidak adanya pentsiqahan ataupun celaan,
seperti : “ fulan syaikh “ ( fulan seorang syaikh ), “ ruwiya „anhu al-hadist “ (
orang yang meriwayatkan hadist darinya ).
Tingkatan keenam : isyarat yang mendekati pada celaan
(jarh), seperti : shahih al-hadist ( hadistnya lumayan ), atau “yaktabu
haditsuhu “ ( di tulis hadistnya ).
F. Tingkatan – tingkatan al-jarh
Tingkatan pertama : yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini
yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh (kritikan), seperti : ( lemah
hadistnya ), atau fiihi maqaal ( dirinya dibicarakan).
Tingkatan kedua : yang menunjukkan adanya kelemahan
terhadapat perawi dan tidak boleh di jadikan sebagai hujjah, seperti : “
fu;an tidak boleh di jadikan sebagai hujjah “, dhaif “ ia mempunyai hadist
– hadist yang mungkar.
Tingkatan ketiga : yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh
di tulis hadistnya, seperti : fulan dha‟if jiddan (dhaif sekali), atau wahin
marrah (sangat lemah).
Tingkatan keempat : yang menunjukkan tuduhan dusta atau
pemalsuan hadist, seperti : fullan muttaham bil kadzib (dituduh berdusta),
atau “laisa bi tsiqah” ( bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan kelima : yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan,
dan ini adalah seburuk busurknya tingkatan, seperti “ fulan orang yang
paling pembohong” atau “ ia adalah puncak dari kedustaan”.
G. Syarat-syarat Orang yang Dapat Mentajrihkan atau Menta’dilkan
Seorang Rawi
Mentajrih atau menta‟dilkan seorang rawi bukanlah perkara main-
main, melainkan harus benar-benar menetapkan dengan jujur dan adil,
serta bersih dari berbagai kepentingan duniawi, karena berkaitan dengan
penerimaan atau penolakan terhadap sebuah periwayatan.
Bagi orang-orang yang mentajrihkan (jarih) atau menta‟dilkan
(mu‟addil) harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1) Berilmu pengetahuan.
2) Takwal.
3) Wara.
4) Jujur.
5) Menjauhi fanatik golongan.
6) Mengetahui sebab-sebab untuk menta‟dilkan dan untuk mentajrihkan.
H. Jumlah orang yang dipandang cukup untuk menta’dilkan dan
mentajrihkan rawi-rawi
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat :
1) Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal
riwayah.
2) Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah.
3) Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal
syahadah.
I. Perlawan Antara Jarh dan Ta’dil
Apabila terdapat ta‟arudl antara jarh dan ta‟dil pada seorang rawi, yakni
sebagian ulama menta‟dilkan dan sebagian ulama mentajrihkan dalam hal ini
terdapat 4 pendapat :
1) Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu‟addilnya lebih
banyak dari pada jarhya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu
yang tidak diketahui oleh mu‟addil
2) Ta‟dil harus didahulukan daripada jarh. Karena si jarih dalam mengaibkan
si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk menaibkan
itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya apalagi kalau
dipengaruhi rasa benci.
3) Bila jumlah mu‟addilnya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan
ta‟dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan
mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.
4) Masih tetap dalam keta‟arudlannya selama belum ditemukan yang
merajihkannya. Pengrang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya
khilaf ini, ialah jika jumlah mu‟addilnya lebih banyak, tetapi kalau
jumlahnya seimbang antara mu‟addil dan jarihnya, maka mendahulukan
jarah itu sudah merupakan putusan ijma‟.
J. Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dilkan dan mentjrihkan
1. Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk menta‟dilkan rawi-rawi
Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, yaitu
1) Berbentuk af‟alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan
af‟alut tafdhil.
Contoh :
ناس ك ال ( orang yang paling tsiqah ) أوث
ة فظا وعدال ناس ح بت ال ( orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya ) أث
تهي ف ن م يه ال بتإل ث ( orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya ) ي ال
2) Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja.
Contoh:
بت بت ث ( orang yang teguh dalam pendirianya ) ث
قة قة ث ( orang yang tsiqah lagi tsiqah ) ث
قة بة ث ( orang yang teguh lagi tsiqah ) ث
قه ت ط م ضاب ( orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )
3) Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan.
Contoh:
بت ( orang yang teguh hati dan lidahnya ) ث
قه ت ( orang yang meyakinkan ilmunya ) م
قة ( orang yang tsiqoh ) ث
ظ ( orang yang kuat hafalanya ) حاف
4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil
Contoh:
صدوق ( orang yang sangat jujur )
( orang yang dapat memegang amanat ) مأمىن
أس ه الب ( orang yang tidak cacat ) ب
5) Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn
Contoh:
صدق له ال ( orang yang berstatus jujur ) مح
ث حدي يد ال ( orang yang baik haditsnya ) ج
ث حدي سه ال ( orang yang bagus haditsnya ) ح
6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-
sifat diatas yang diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz
tersebut dikaitkan dengan pengharapan .
Contoh:
هللا شاء صدوق إن ( orang yang jujur, jika Allah menghendaki )
ه أس ب أن الب الن أرجوا ب ( orang yang diharapkan tsiqah ) ف
لح صوي الن ( orang yang shalih ) ف
ثه بول حدي ق الن م ( orang yang diterima haditsnya ) ف
Hadits Maudhu
A. Pengertian
Menurut bahasa:
merupakan isim maf'ul (objek) dari kata wadha'a Asy-Syaia, yang
berarti menurunkannya.
Menurut istilah:
hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang
ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah saw. secara palsu dan dusta,
baik hal itu disengaja, maupun tidak.
B. Awal muncul hadits Maudhu
Perpecahan kaum Muslimin menjadi beberapa kelompok
setelah fitnah (masa setelah terbunuhnya Utsman bin Affan),
menjadikan setiap kelompok mencari dukungan dari Al Qur'an dan As
Sunah. Sebagian kelompok mentakwilkan Al Qur'an bukan pada makna
sebenarnnya. Dan membawa As Sunah bukan pada maksudnya. Bila
mereka mentakwilkan hadits mereka menisbatkan kepada Nabi. Apalagi
tentang keutamaan para Imam mereka. Dan kelompok yang
pertama melakukan hal itu adalah Syi'ah.
Hal ini tidak pernah terjadi paada masa Rasulullah n dan tidak
pernah dilakukan seorang shahabatpun. Apabila diantara mereka
berselesih mereka berijtihad, dengan mengedepankan mencari
kebenaran.
C. Ciri-ciri Hadits Maudhu
1. Terdapat Sanad
A. Pengakuan dari si pembuat sendiri.
B. Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat
hadits maudhu‟.
C. Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya atau
adanya inidikasi perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya.
2. Terdapat Matan
Adanya indikasi pada isi hadits, bertentangan dengan akal sehat,
bertentangan dengan indra, berlawanan dengan ketetapan agama atau
susunan lafadz lemah dan kacau, serta kemustahilan hadits tersebut
bersumber dari Rasulullah.
D. Motivasi Melakukan pemalsuan hadits
1. Membela suatu madzhab.
2. Mempertahankan idiologi partainya (golongannya) sendiri dan
menyerang partai lawannya.
3. Dalam rangka Taqarrub kepada Allah.
4. Mendekatkan diri kepada penguasa demi menuruti
hawa nafsu.
5. Zindiq yang ingin merusak manusia dan agamanya.
E. Usaha Para Ulama untuk memberantas pemalsuan hadits
1. Mengisnadkan hadits.
2. Meningkatkan perlawatan mencari hadits.
3. Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits.
4. Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya.
5. Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadits.
6. Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits
maudhu.
A. Pengertian Inkar Al-Sunnah
Arti Bahasa
Kata inkar “al-sunnah” terdiri dari dua kata, yaitu “inkar” dan “sunnah.” Kata
“inkar” berasal dari kata bahasa Arab: إنكارا-ينكر-أنكر yang mempunyai beberapa
arti, diantaranya: “tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati,
bodoh atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan
dalam hati.
B. Sejarah Kemunculan Dan Latar Belakang Inkar Al-Sunnah
Dalam berbagai penuturan sejarah disebutkan bahwa sebelum
terjadi perang saudara antara shahabat Nabi saw, Umat Islam benar-benar
utuh, satu dengan yang lain saling mempercayai. Tetapi setelah terjadi
perang saudara, mulai dari terbunuhnya Usman ra, hingga puncaknya pada
masa terbunuhnya Ali ra. Kaum muslimin terpecah-pecah karena adanya
kepentingan politik, kaum khawarij yang sebenarnya anti perpecahan
justru tampil dengan amat kasarnya, mengadakan pembunuhan kepada
semua pihak yang terlibat dalam perang saudara.
Kalau sebelumya mereka percaya kepada sahabat-sahabat Nabi saw, tetapi
setelah terjadi perang saudara, mereka hanya mempercayai shahabat yang
yang tidak terlibat dalam konflik perebutan kekuasaan tersebut. Artinya
mereka tidak lagi mempercayai hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
shahabat-shahabat Nabi yang terlibat dalam pertikaian politik, seperti
usman, Ali, dan mereka yang terlibat dalam perang onta dan tahkim.
C. Argumentasi Inkar Al-Sunnah Dan Bantahan Para Ahli
1. Argumentasi inkar al-sunnah
Memang cukup banyak argumen yang telah dikemukakan oleh mereka yang
berpaham inkar as-sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman al-Syafi‟i
maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari berbagai argumen yang banyak
jumlahnya itu, ada yang berupa argumen-argumen naqli (ayat Al-Qur‟an dan
hadis) dan ada yang berupa argumen-argumen non-naqli. Dalam uraian ini,
pengelompokan kepada dua macam argumen tersebut digunakan.
2. Bantahan Ulama Inkar Al-Sunnah
Alasan pengingkar As-Sunnah mendapat bantahan karena meskipun
kebenaran Al-Qur‟an sudah diyakini sebagai kalamullah, namun masih ada ayat
Al-Qur‟an yang membutuhkan penjelasan karena belum pastinya hukum yang
terkandung. Untuk membantah argumen dari kelompok Inkar As-Sunnah maka
Abu Al Husain mengatakan, “Dalam menerima hadis-hadis ahad, sebenarnya kita
memakai dalil-dalil pasti yang mengharukan untuk menerima hadis-hadis itu”,
jadi sebenarnya kita tidak memakai shann (dugaan kuat).
top related