penggunaan model discovery learning pada pembelajaran
Post on 26-Mar-2022
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PENGGUNAAN MODEL DISCOVERY LEARNING PADA
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MTs DI KURULUM 2013
Oleh:
Drs. Khamim Thohari, Med.
Widyaiswara BDK Surabaya
Abstrak
Model pembelajaran Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya
konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaan inkuiri dan
problem solving dengan Discovery Learning ialah bahwa pada discovery learning
masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa
oleh guru. Dalam mengaplikasikan model pembelajaran Discovery Learning guru
berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa
untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing
dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini
ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented. Dalam Discovery Learning, hendaknya guru memberikan kesempatan
muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau
ahli matematika. Bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi siswa
dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan. Kesulitan utama
guru adalah mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa bekerja secara
mandiri dan berkelompok menyeslesaikan masalah-masalah yang dibuat oleh guru
yang berakhir pada generalisasi, serta menguji hasil untuk menyelesaikan masalah
nyata dalam kehidupan sehari-hari, hal yang penting dalamberkenaan dengan
metode ini adalah tersedianya LKPD (lembar Kegiatan Peserta Didik) yang baik
bahasanya, mudah dipahami adalah kunci keberhasilan dalam pembelajaran. Kita
harus ingat luasnya cakupan materi matematika hanya bisa dimengerti dan
dipahami jika peserta didik memiliki kesempatan untuk membangun (construct)
dan mengembangkan keselurahan aspek dan menemukan sendiri konsep
matematika yang itu bisa dicapai melalui pola pembelajaran yang tepat, salah satu
diantaranya adalah discovery learning.
Kata Kunci: Discovery Learning, Pembelajaran Matematika
2
A. Pendahuluan
Pada Kurikulum 2013, pembelajaran Matematika tidak hanya menekankan
pada aspek pengetahuan (kognitif) saja, tapi juga benar-benar memperhatikan
aspek ketrampilan dan sikap matematika juga perlu memperoleh perhatian
yang khusus. Itu terbukti pada pelaporan hasil belajar yang mengahuruskan
seorang guru untuk melaporkan capaian tiga ranah tersebut. Pendekatan
pembelajaran matematika harus bena-benar memperhatikan pendekatan proses
pembelajaran, tidak hanya pendekatan hasil saja.
Pada Permendikbud no. 65 tahun 2013 tentang Satandar Proses pada
pendidikan dasar dan menengah, ditegaskan bahawa pendekatan proses
pembelajaran menggunakan pendekatan saitifik yang mengacu pada urutan
berikut ini: mengamati, menanya, megunpulkan data/eksplorasi,
mengasosiasi/menalar, dan mengkomunikasikan ide dan gagasan. Pada tataran
pelaksanaan pendekatan ini diharapkan bisa dipadupadankan dengan model
Discovery Learning, Project Based Learning dan Problem based learning.
Disisi lain Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari
perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai
disiplin dan memajukan daya pikir manusia kita sering menyebutnya dengan
“Mother of science” yang artinya sain bisa berkembang maksimal jika di
kembangkan melalui bahasa matematika. Untuk menguasai dan mencipta
teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak
dini. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada anak-anak sejak dini
untuk membekali mereka dengan suatu kompetensi yang mampu berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.
(Soedjadi, 2000).
Menyadari betapa pentingnya pendidikan matematika, telah banyak dilakukan
upaya peningkatan kualitas pembelajaran matematika di sekolah. Namun
demikian sampai sejauh ini pencapaian hasil belajar matematika di sekolah
secara umum masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Pada tingkat dasar sifat konkrit objek yang dipelajari anak diusahakan
lebih besar daripada yang abstrak. Semakin tinggi jenjang sekolah siswa dapat
3
menerima materi dengan kemampuan berpikir yang lebih abstrak. Seorang
anak akan lebih mudah mengerti atau memahami sesuatu yang konkrit, nyata
dan baru secara bertahap meningkat ke arah abstrak dengan pelan-pelan
mengurangi sifat konkritnnya, dengan harapan akan sampai pada tahap abstrak
sepenuhnya (Soedjadi, 2007:31).
Menurut Soedjadi (2007:30) Secara umum perkembangan kemampuan
kognitif anak boleh dikatakan mulai dengan hal yang konkrit secara bertahap
mengarah ke hal yang abstrak. Bagi setiap anak perjalanan dari konkrit ke
abstrak dapat saja berbeda. Ada yang cepat dan tidak mustahil ada yang
lamban sekali. Bagi yang cepat mungkin tidak memerlukan banyak tahapan,
tetapi bagi yang tidak cepat, tidak mustahil perlu melalui banyak tahapan.
Tugas pendidik matematika saat ini adalah membantu siswa menemukan
strategi untuk mengolah materi yang dipelajari agar dia mengerti materi
tersebut. Khususnya strategi pembelajaran yang dapat menjembatani antara
konsep matematika yang bersifat abstrak dan siswa yang cenderung masih
mengedepankan pola berfikir konkrit. Strategi pembelajaran kepada peserta
didik (siswa) selama ini cenderung bersifat sekedar memindahkan ilmu
pengetahuan saja. Strategi ini harus diubah, yaitu diarahkan kepada kegiatan
yang sifatnya dapat merangsang kreativitas peserta didik dalam proses belajar
mengajar. Dalam pembelajaran yang baru ini siswa harus dikondisikan
sedemikian rupa sehingga mereka terbiasa menemukan, mencari,
mendiskusikan sesuatu yang berkaitan dengan pembelajaran
(Syahputra,1998:2)
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah pembelajaran penemuan
terbimbing. Hal ini dikarenakan bahwa banyak murid, khususnya yang lambat
dalam menerima pelajaran, sebaiknya memerlukan beberapa tahapan dengan
memakai pendekatan yang ditunjukkan dan dikatakan oleh gurunya. Dimana
guru memimpin murid-murid dengan tahapan-tahapan yang benar,
mengijinkan adanya diskusi, dan menanyakan pertanyaan yang menuntun.
Proses pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing dapat
membantu dalam mengembangkan kreativitas serta merangsang dan
memelihara daya tarik dalam belajar matematika, karena menuntut siswa untuk
4
menemukan, mencari dan mendiskusikan sesuatu yang berkaitan dengan suatu
materi yang dipelajari (Sobel dan Maletsky, 2004:15)
Pada makalah ini penulis menyajikan beberapa contoh penggunaan model
pembelajaran discoveri learning pada mata pelajaran matematika diera
kurikulum 2013 pada Madrasah Tsanawiyah.
B. PEMBAHASAN
1. Pembelajaran Discovery Learning
Belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun (meng-konstruk)
pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman/pengetahuan yang sudah
dimilikinya, Jerome Brunner dalam (Romberg & Kaput, 1999). Dalam
pandangan konstruktivisme ‘Belajar’ bukanlah semata-mata mentransfer
pengetahuan yang ada diluar dirinya, tetapi belajar lebih pada bagaimana otak
memproses dan menginterpretasikan pengalaman yang baru denga
pengetahuan yang sudah dimilikinya dalam form yang baru. Proses
pembangunan ini bisa melalui Asimilasi atau Akomodasi (Mc Mahon, 1996).
Sementara yang kita lihat saat ini sebagaian besar pola pembelajaran
matematika saat ini masih bersifat transmisif, pengajar mentransfer dan
menggerojokkan konsep-konsep secara langsung pada peserta didik. Dalam
pandangan ini, siswa secara pasif “menyerap” struktur matematika yang
diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran. Pembelajaran hanya
sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip dan keterampilan kepada siswa
(Clements & Battista, 2001). Senada dengan itu Soedjadi (2000) menyatakan
bahwa dalam kurikulum matematika sekolah di Indonesia dan dalam
pengajarannya selama ini terpatri kebiasaan dengan urutan sajian pembelajaran
sebagai berikut: (1) diajarkan teori/teorema/definisi, (2) diberikan contoh-
contoh dan (3) diberikan latihan soal-soal.
Model Discovery Learning mengacu kepada teori belajar yang didefinisikan
sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan
pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasi
sendiri. Sebagai model pembelajaran, Discovery Learning mempunyai prinsip
yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan
5
yang prinsipil pada ketiga istilah ini. Pada Discovery Learning lebih
menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak
diketahui. Perbedaan inkuiri dan problem solving dengan Discovery Learning
ialah bahwa pada discovery learning masalah yang diperhadapkan kepada
siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Dalam mengaplikasikan
model pembelajaran Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif,
sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini ingin merubah
kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.
Metode Discovery Learningadalah teori belajar yang didefinisikan sebagai
proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran
dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana
pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning
that takes place when the student is not presented with subject matter in the
final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam
Emetembun, 1986:103). Yang menjadikan dasar ide Bruner ialah pendapat dari
Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di
kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, dimana murid
mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono,
1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan
hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila indifidu terlibat,
terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa
konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalaui observasi, klasifikasi,
pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive
process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of
assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik,
2001:219).
Sebagai strategi belajar,Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama
dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang
prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan
6
pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui.
Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang
diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru.
Sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa
harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan
temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian, sedangkan
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan
masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery
Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak
disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik
didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan
mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk
(konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk
akhir.
Setiawan (2001:1) mengemukakan bahwa pembelajaran penemuan terbimbing
merupakan salah satu metode mengajar yang mengacu pada pembelajaran aktif
yang bermanfaat dalam pembelajaran matematika, yang salah satu ciri
utamanya adalah guru dapat membimbing siswa yang perlu. Dalam metode ini
siswa didorong untuk berfikir sehingga dapat menemukan prinsip umum
berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru. Sejauh mana siswa dibimbing
tergantung pada kemampuan dan materi yang sedang dipelajari.
Para pendidik yang menyukai discovery learning mencatat bahwa
pendekatan/model/ metode ini konsisten dengan cara-cara seseorang belajar
dan berkembang. Misalnya, Jerome Brunner (1966, 1971) mengidentifikasi 3
tahap perkembangan kognitif, mirip dengan 3 tahap yang diidentifikasi oleh
Piaget. Brunner yakin bahwa anak-anak berkembang dari tahap enaktif
(enactive stage) ke tahap ikonic (iconic stage) dan berikutnya berkembang ke
tahap simbolik (symbolic stage). Pada tahap enaktif (mirip dengan tahap
sensori motor Piaget), anak-anak merepresentasikan dan memahami dunia
melalui aksi—untuk memahami sesuatu mereka harus memanipulasinya,
mencicipinya, melemparnya, menghancurkannya, dan sebagainya. Pada tahap
7
ik onik, anak-anak merepresentasikan dunia dengan gambar-gambar—
penampakan lebih dominan. Tahap ini berkoresponden dengan tahap berpikir
praoperasional Piaget, di mana dicontohnya makin tinggi ketinggian air di
dalam gelas, berarti bahwa ada lebih banyak air di dalam gelas itu, karena hal
tersebut kelihatannya-penampakannya benar begitu. Hal ini terjadi tanpa
mereka mempertimbangkan diameter gelas yang bisa saja berbeda dan air yang
tampak tinggi belum tentu lebih banyak jumlahnya dibanding air yang terdapat
di gelas lain. Pada tahap akhir, anak-anak mulai dapat menggunakan ide-ide
abstrak, simbol, bahasa, dan logika untuk memahami dan merepresentasikan
dunia. Aksi-aksi dan gambar-gambar masih dapat digunakan dalam berpikir,
tetapi tidak lagi bersifat dominan.
Discovery learning (pembelajaran penemuan) memungkinkan siswa untuk
bergerak pada ketiga tahapan tersebut di atas saat mereka berhadapan dengan
informasi-informasi baru. Pertama-tama siswa akan memanipulasi dan berbuat
sesuatu terhadap bahan-bahan; kemudian mereka akan membentuk gambar-
gambar saat mereka mencatat ciri-ciri khusus dan melakukan observasi.
Karena siswa mengalami ketiga tahap tersebut di atas, Brunner yakin siswa
akan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu topik. Saat
siswa termotivasi dan benar-benar berpartisipasi di dalam proyek penemuan
(discovery project), pembelajaran penemuan atau discovery learning akan
membawa pada proses belajar yang sangat baik (Strike, 1975).
Agar pada situasi pembelajaran penemuan didapatkan benefit, siswa harus
mempunyai pengetahuan dasar tentang masalah yang akan dipelajari dan tahu
bagaimana mengaplikasikan strategi-strategi pemecahan masalah. Tanpa
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan ini, mereka akan menyerah dan
frustasi. Bukannya memperoleh pelajaran dari bahan-bahan tersebut, mereka
justru akan bermain-main dengannya. Sedikit siswa yang brilian mungkin akan
memperoleh “penemuan-penemuan”, sementara kebanyakan yang lainnya akan
kehilangan minat dan menunggu secara pasif terhadap orang lain yang
mungkin akan menyelesaikan proyek penemuan itu. Alih-alih memperoleh
keuntungan dari penjelasan guru yang terorganisasi dengan baik, justru siswa-
8
siswa yang tak berhasil memperoleh “penemuan” ini akan mendapatkan
penjelasan yang keliru dari dari siswa-siswa yang tak dapat
mengkomunikasikan apa yang telah mereka “temukan” dengan bahasa yang
tepat.
Para kritikus pembelajaran penemuan (discovery learning) yakin bahwa
pembelajaran penemuan tidak efektif dan terlalu sulit untuk diorganisasikan.
Pendapat ini tentunya akan sangat tepat bila guru berhadapan dengan siswa-
siswa dengan kemampuan rendah. Discovery learning mungkin tidak tepat
untuk mereka karena meminta terlalu banyak, sementara siswa-siswa tidak
atau kurang memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup dan
keterampilan-keterampilan pemecahan masalah yang diperlukan untuk
menjamin kesuksesan pelaksanaan discovery learning. Banyak hasil penelitian
justru menunjukkan bahwa model pembelajaran penemuan (discovery
learning) tidak efektif dan bahkan melemahkan pada anak-anak
berkemampuan rendah
2. Langkah-langkah Pembelajaran Discover learning
Secara umum Langkah-langkah pembelajaran Discovery leaning dalam buku
pedoman Kemdikbud (2013:5-8) adalah sebagai berikut:
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak
memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri.
Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan
pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini
berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan
teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong
eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-
9
teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan
siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian
salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban
sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Sedangkan
menurut permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement)
sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisa
permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna
dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu
masalah.
c. Data collection (pengumpulan data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada
para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang
relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah,
2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik
diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi
yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan
nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi
dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu
yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian
secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan
pengetahuan yang telah dimiliki.
d. Data processing (pengolahan data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah
data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui
wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai
hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah,
10
diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan
cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu
(Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean
coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan
pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu
mendapat pembuktian secara logis
e. Verification (pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah,
2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada,
pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian
dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-
prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa
harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya
penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang
luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses
pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
g. Mencoba/Menggunakan simpulan
Yang tidak kalah pentingnya dalam metematika adalah menggunakan
hasil generalisasi untuk menyelesaikan masalah-malasalah nyata dalam
11
kehidupan sehari hari, sehingga bisa dipastikan apakah generalisasi yang
sudah dicapai itu valid atau tidak. Jika ternyata generalisasi itu tidak valid
maka, maka hasus dikembalikan (looping) dari awal, yaitu dari problem
statmen
Jika digambarkan metode Discovery Learning itu tersaji dalam Fowchart
dibawah ini
3. Kelebihan Pembelajaran Discovery Learning
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-
keterampilan dan proses-proses kognitif, kita harus ingat porises kognitif
adalah yang menjadi dasar pembelajaran matematika. Usaha penemuan
12
merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki
dan berhasil.
d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai
dengan kecepatannya sendiri, menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan
belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
e. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena
memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
f. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan
sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
g. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena
mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
h. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide matematika lebih baik;
i. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses
belajar yang baru;
j. Mendorong siswa berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri, mendorong
siswa berfikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri;
k. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada
pembentukanmanusia seutuhnya;
l. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa;
m. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber
belajar, Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu
4. Kelemahan Pembelajaran Discovery Learning
a. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar.
Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau
berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang
tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
13
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori
atau pemecahan masalah lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara
belajar yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara
keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk
mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
5. Penggunaan Model Discovery learning Pada Pembelajaram Matematika
Kelas VII MTs
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : VII/Dua
Materi Pokok : Deret Aritmatika/Jumlah n suku pertama (Sn)
Alokasi Waktu : 2 x 40 menit
Kompetensi Dasar
3.8 Memahami pola dan menggunakannya untuk menduga dan membuat
generalisasi (kesimpulan)
4.1 Menggunakan pola dan generalisasi untuk menyelesaikan masalah
Indikator
3.5.5 menemukan bentuk umum jumlah n suku pertama melalui
generalisasi
4.1.1 menggunakan konsep pola bilangan untuk menyelesaikan soal dalam
kehidupan sehari-hari
Kegiatan awal
a) Meminta siswa untuk menanyakan kesulitan mengenai materi sebelumnya (bentuk
umum suku ke-n) dan atau pekerjaan rumah
b) Meminta siswa menjumlahkan 1+2+3+4
14
c) Meminta siswa menjumlahkan 1+2+3+ … + 1000 (ini untuk memancing
permasalahan, betapa sulitnya jika penjumlahan itu berhubjngan dengan hal ayang
cukup banyak dan cukup besar
Kagiatan Inti
Mengamati
a) Guru meminta siswa mengamati masalah “Menara Batu” (lembar Peraga 1)
b) Guru meminta siswa mengamati dan menginvertsrisir fakta yang ada pada obyek
(menghubungkan dengan penjumlahan bilangan yang berurutan).
Menanyakan:
a) Siswa menanyakan hal hal yang belum dimengerti. (Membuat kalimat tang dengan
kata tanya berapa, bagaimana, dst)
b) Guru meminta siswa secara berpasangan mengumpulkan informasi tentang soal
(yang berhubungan dengan penjumlahan bilangan berurutan)
Mencoba/mengekplorasi:
c) Siswa mencoba penyelesaian (soal a), dengan mempartisi bangun (Guru mengamati
penyelesaian siswa)
d) Siswa diminta untuk mencoba menyelesaikan pada soal b (Lembar Peragaan 1),
menghentikan kegiatan penghitungan karena ketinggian batu yang dihitung terlalu
tinggi (100 step)
e) Guru membagikan LKPD 1, dan meminta siswa mengerjakannya secara
berpasangan.
15
f) Dengan berpasangan siswa mencoba menurunkan sebuah konsep tentang bentuk
umum jumlah n suku pertaman (Sn)
g) Guru meminta siswa untuk mempelajari pola bilangan pada buku siswa masalah 2.25
(hal 123)
h) Guru mengamati dan atau membimbing selama siswa melakukan diskusi,
memastikan bahwa semua siswa terlibat dalam penurunan konsep
i) Guru meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi, siswa
yang lain diminta menanggapi hasil presentasi.
j) Guru memberikan umpan balik hasil diskusi dan presentasi dan memberikan
penguatan
k) Guru meminta siswa untuk mencoba menggunakan konsep yang baru
diturunkannnya untuk mengerjakan soal nomor 3 di LKPD1, dan
Mengasosiasi/menalar:
(a) Guru meminta siswa menyelesaikan masalah yang lebih rumit (lembar peragaan 1,
soal b, c, dan d) dan hasilnya dipresentasikan
(b) Guru meminta menghubunkan konsep Sn= ½ n (a+Un) dengan konsep sebelumnya Un
= (a + (n-1)b), sehingga muncul konsep baru
16
(c) Guru meminta mempresentasikan hasil
(d) Guru meminta siswa untuk mengerjakan soal-soal melibatkan rumus Sn dan Un atau
dengan konsep-konsep yang lain secara berpasangan (Lembar Peraga 2), hasilnya
dipresentasikan
Mengkomunikasi/jejaring:
a) Guru meminta menyampaikan secara tertulis/lisan rumusan bentuk umum suku
ke-n dan jumlah n suku pertama, kelompok lain menanggapi presentasi.
b) Memprediksi pola barisan dan deret aritmetika dan geometri
atau barisan lainnya melalui pengamatan dan memberikan
alasannya.
c) Menyajikan hasil menemukan pola barisan dan deret dan
penerapannya dalam penyelesaian masalah sederhana.
Kegiatan Penutup a) Siswa diminta menyimpulkan hasil-hasil pembelajaran hari ini
b) Dengan bantuan presentasi komputer, guru menayangkan apa yang telah dipelajari
dan disimpulkan, dan merefleksi sikap sikap baik yang perlu terus dikembangkan
dalam pembelajaran
17
c) Guru meminta siswa mengerjakan Lembar Soal 1 secara individual, dan
mengumpulkan hasil pekerjaannya
d) Guru memberikan tugas PR pada buku siswa hal. 116-117
e) Guru menyampaikan kegiatan pembelajaran pada pertemuanyang akan datang, dan
mencari konsep yang akan diajarkan dari berbagai sumber
f) Guru mengakhiri kegiatan belajar dengan memberikan pesan untuk tetap belajar.
C. Penutup
Berdasarkan paparan dalam makalah ini, penulis bisa membuat simpulan dari
penggunaan discovery learning pada pembelajaran matematika sebagai
berikut:
18
1. Rencana pembelajaran pada metode discovery learning perlu persiapan
yang cukup lengkap diantaranya: Indikator pencapaian kompetensi harus
jelas; Lembar kerja peserta didiki (LKPD) harus dipersiapakan dengan
dengan tepat, yang mampu membimbing siswa melakukan kegiatan yang
pada bagaian akhir mampu melakukan generalisasi terhadap sebuah
konsep.
2. Penggunaan LKPD (Lemmbar Kerja Peserta Didik) perlu diperhatikan dari
segi kebahasaannya, keterbacaannya, alur penggunaan logika apakah sudah
benar-benar mampu membawa dan membimbing peserta didik mencapai
kesimpulan yang diharapkan oleh guru.
3. Perangkat pembelajaran yang disusun dengan menggunakan pembelajaran
penemuan terbimbing merupakan suatu pendekatan yang memberikan
kesempatan pada siswa untuk ikut berpartisipasi dalam proses penemuan
dan formalisasi dengan mengidentifikasi keteraturan dari suatu kejadian
sehingga dapat ditemukan pola atau aturan umum yang sangat bermanfaat
dalam menentukan kesimpulan atau generalisasi dari suatu persoalan.
4. Pola hasil generalisasi harus memperoleh validasi guru dan diujicoba untuk
menyelesaikan masalah. Guru punya kewajiban meyakinkan pesrta didik
bahwa konsep dari hasil generalisasi itu benar dan bisa
dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Clements, D.H. & Battista, M.T. 2001. Constructivist Learning and Teaching.
(Online)
(Http://www.terc.edu/investigation/relevant/html/constructivistlearning.ht
ml.
Davidson, Neil & Kroll, D.L. 1991. “An Overview of Research ON Cooperative
Learning Related to Mathematics”. Journal for Research in Mathematics
Education. 22(5):362-365
Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP
Malang.
Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivis.
Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Upaya-upaya Meningkatkan
Peran Pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi”. Program Pasca
Sarjana IKIP Malang. Malang: 4 April.
Ibrahim, M dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa University
Press.
Dahar, RW. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud P2LPTK.
Ruseffendi, E.T. 1980. Pengajaran Matematika Modern. Bandung: Tarsito.
Slavin, R.E. 1994. Educational Psyhology and Practice. Boston: Allin and Bacon
Sobel, M. A and Evan M. Maletsky. 1991. Teaching Mathematics A Source Book
of Aids, Activities and Strategies. Second Edition. Boston: Alin and
Soedjadi, R. 1995, Miskonsepsi dalam Pembelajaran Matematika (Pokok-pokok
tinjauan dikaitkan dengan konstruktivisme) (makalah). Disampaikan
pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika FPMIPA. Medan: IKIP
Medan
Setiawan, 2001. Pembelajaran Matematika di Sekolah dalam Rangka
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Makalah
Seminar RME. Surabaya: UNESA
Yunengsih, Yuyun. Dkk. 2008. Ujian Nasional: Dapatkah Menjadi Tolak Ukur
Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Research Department Putra
Sampoerna Foundation.
top related