penghapusan paham muktazilah...
Post on 13-Mar-2019
239 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGHAPUSAN PAHAM MUKTAZILAH OLEH
KHALIFAH JAFAR AL-MUTAWAKKIL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Ipan Maspupan
NIM: 1113022000083
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ipan Maspupan, NIM (1113022000083), Penghapusan Paham Muktazilah
oleh Khalifah Jafar Al-Mutawakkil, Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang peranan paham
Muktazilah sebagai paham resmi negara dari masa khalifah al-Ma`mn sampai
masa khalifah al-Mutawakkil yang berhasil menghapus paham tersebut.
Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana larangan paham Muktazilah dan
menguatnya Ahli Hadis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode historis yang menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau yang berlandaskan pada penelitian terhadap paham
Muktazilah sebagai obyek penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini
melalui lima tahap, yaitu pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan
historiografi. Dalam skripsi ini menggunakan teori yang dikemukakakan oleh
Pierre Bourdieu, teori ini mendukung pengaturan sosial pada ranah tertentu, dan
dengan demikian mengistimewakan pihak yang dominan dan menganggap posisi
dominan tersebut lebih disukai secara universal (universally favorable). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa umat Islam telah lama merasa tertekan akibat
pemaksaan dan kekerasan yang dilancarkan kaum Muktazilah, akan tetapi setelah
paham ini dihapuskan oleh khalifah Jafar al-Mutawakkil, umat muslim mulai
berani angkat bicara, berdiskusi, mengkritisi, bahkan membantah paham-paham
Muktazilah dengan berbagai argumentasi, ditambah lagi dengan kemunculan
Asyariyah yang telah digagas oleh seorang Ulama besar, tokoh sentral kaum
Ahlu as-Sunnah wa al Jamaah yaitu Abu al-Hasan al-Asyari.
Kata kunci: Dinasti Abbasiyah, Paham Muktazilah, Khalifah al-Ma`mn,
Khalifah al-Mutawakkil.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan banyak
nikmat kepada setiap hamba-Nya dan jika dihitung, maka kita tidak akan sanggup
menghitungnya. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada
baginda nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing manusia dari
zaman Jahiliyah menuju zaman yang terang benderang.
Skripsi yang berjudul Penghapusan Paham Muktazilah oleh Khalifah
Jafar al-Mutawakkil Alhamdulillah telah diselesaikan oleh penulis, meskipun
penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya dukungan dari banyak pihak.
Maka patutlah penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah mendukung, baik dalam bentuk materi ataupun nonmateri. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan, M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..
4. Solikatus Sadiyah, M.Pd. selaku Sekertaris Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..
5. Dr. H. Abd. Chair selaku dosen pembimbing yang dengan kebaikan hati
dan kesabarannya telah memberikan arahan, sumber-sumber, nasihat dan
masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA. selaku dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing penulis dari semester satu hingga mendapatkan
dosen pembimbing skripsi.
7. Dr. Usep Abdul Matin, MA (penguji I) dan Nurhasan, S.Ag, MA (Penguji
II). Terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kritik, saran, dan
koreksi yang membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan
skripsi penulis.
8. Seluruh dosen Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah
memberikan banyak ilmu kepada penulis selama berada di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
9. Papah dan mamah (Sukandi, alm dan Siti Sajaah ) yang tidak pernah lelah
menengadahkan kedua tangannya guna mendoakan keselamatan putra
vi
putrinya, memberikan pengorbanan, dukungan moril maupun materil,
nasihat, dan kasih sayang.
10. Saudara saudari penulis (Imas Maspupah, M. Iqbal, Pia Sopiah, Alfa
Muhammad Said, Qisthina Amajida, dan Hani Puspita Amalia) yang
selalu memberikan motivasi, masukan, dan dukungan.
11. Saudara-saudara THE DJAVU Vespa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang selalu menghibur dan selalu membantu kawan-kawan seperjuangan,
Komunitas ANAK PANAH dan kawan-kawan NAGA HITAM yang tidak
kenal lelah berjuang bersama.
12. Seluruh angkatan 2013 Sejarah Kebudayaan Islam yang selalu membantu
dalam proses belajar selama empat tahun, memberikan semangat dan
saling bekerjasama dalam belajar.
Jakarta, 28 Februari 2018
Ipan Maspupan
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
ABSTRAK.... i
KATA PENGANTAR............ ii
DAFTAR ISI... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .......... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........1
B. Identifikasi Masalah..6
C. Batasan dan Rumusan Masalah.....6
D. Tujuan Penelitian.......7
E. Manfaat Penelitian.....7
F. Tinjauan Pustaka........7
G. Kerangka Teori......10
H. Metodologi Penelitian...12
I. Sistematika Penulisan....13
BAB II PAHAM MUKTAZILAH DALAM DAULAH ABBASIYAH
SEBELUM AL-MUTAWAKKIL
A. Perkembangan Paham Muktazilah.....15
B. Dukungan khalifah-khalifah Abbasiyah Kepada Muktazilah........18
C. Mihnah pada Masa al-Mamun..22
D. Priode Perkembangan Muktazilah sampai Akhir Kejayaannya.........32
viii
BAB III AL-MUTAWAKKIL SEBAGAI KHALIFAH
A. Biografi al-Mutawakkil......33
B. Pengangkatan al-Mutawakkil sebagai Khalifah.....33
C. Keadaan Sosial, Politik, dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil....35
D. Pembunuhan terhadap al-Mutawakkil....41
E. Silsilah Dinasti Abbasiyah.... 44
BAB IV LARANGAN PAHAM MUKTAZILAH DAN MENGUATNYA
AHLI HADIS
A. Penghapusan Mihnah ....45
B. Larangan Paham Muktazilah ....49
C. Menguatnya Kelompok Ahli Hadis ......51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...57
B. Saran..58
DAFTAR PUSTAKA
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
Transliterasi penulisan skripsi yang digunakan dalam penelitian ini merujuk
pada pedoman transliterasi Arab-Indonesia yang ditetapkan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Berikut pedoman yang digunakan:
1. Konsonan
No. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidk dilambangkan .1
B be .2
T te 3
Ts te dan es .4
J je .5
h dengan garis bawah .6
Kh ka dan ha .7
D de .8
Dz de dan zet .9
R er .10
z zet .11
S es .12
Sy es dan ye .13
es dengan garis bawah .14
de dengan garis bawah .15
te dengan garis bawah .16
zet dengan garis bawah .17
.18Koma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha .19
F ef .20
Q ki .21
K ka .22
x
L el .23
M em .24
N en .25
W we .26
H ha .27
Apostrof .28
Y ye .29
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab sama seperti vokal pada bahasa Indonesia.
Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal tunggal, rangkap, dan panjang.
a. Vokal tunggal (monoftong)
Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat yang
transliterasinya diuraikan sebagai berikut:
Tanda Tanda Vokal Latin Keterangan
a fatah
i Kasrah
u ammah
b. Vokal rangkap (diftong)
Vokal rangkap bahasa Arab dilambangkan dengan gabungan antara
harakat dengan huruf dan , transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i
au a dan u
xi
c. Vokal panjang (madd)
vokal panjang dilambangkan dengan harakat dan huruf, transliterasinya
adalah sebagai berikut:
Tanda Tanda Vokal Latin Keterangan
---- a dengan topi di atas
---- i dengan topi di atas
---- u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijl bukan ar-rijl, al-dwan bukan ad-dwn.
d. Syaddah (Tasydd)
Syaddah atau tasydd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda . Dalam alih aksara ini dilambang dengan huruf yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata -tidak ditulis al
arrah melainkan ad-arrah, demikian seterusnya.
e. Ta marbthah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na t) (lihat contoh 2). Namun
jika huruf ta marbtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
arqah 1
xii
al-jmiah al-islmiyyah 2
wahdat al-wujd 3
f. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik itu kata kerja (fil), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut contoh transliterasi dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan di atas:
Teks Arab Teks Latin
dzahaba al-ustdzu
al-dars al-khmis
idzhab antum
asyhadu an l ilha ill Allh
yu'atstsirukum Allah
Mauln Malik al-Shlih
al-yt al-kauniyyah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa Dinasti `Umayyah sudah ditemukan adanya cikal bakal
gerakan-gerakan filosofis keagamaan yang akan menggoyahkan fondasi agama
Islam. Pada paruh pertama abad ke-4, di Bashrah hidup seorang tokoh terkenal
bernama `Ab Huzaifah Wil bin Aa al-Ghazza (80-131 H/700-748 M),1
seorang pendiri mazhab rasionalisme yang disebut Muktazilah. Orang Muktazilah
mendapatkan sebutan itu karena mendakwahkan ajaran bahwa siapapun yang
melakukan dosa besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tetapi
tidak menjadikannya kafir. Dalam hal ini orang semacam itu berada dalam kondisi
pertengahan antara dua status.2
Kelahiran filsafat dalam Islam ditandai dengan munculnya buku al-
Rislah karya al-Syfii.3 Karier al-Syfii diwarnai dengan terjadinya berbagai
peristiwa penting yang mengarah pada terbentuknya mazhab-mazhab hukum
Islam dalam perjuangannya melawan gerakan Rasionalis Muktazilah. Dalam
karyanya itu al-Syfii menyebut orang Muktazilah sebagai Ahlu Kalm. Istilah ini
secara teknis merujuk pada para teolog filsuf (mutakallimn). Kalangan
tradisional menganggap kata-kata mereka sebagai omong kosong semata, karena
mereka menolak otoritas al-Quran.4
1 Wil bin Aa sering juga disebut `Ab Huzaifah dan lebih dinenal dengan gelar al-
Gazzal, ia lahir pada tahun 80 H di Madinah dan meninggal pada tahun 131 H di Bashrah. Wil
bin Aa adalah seorang teolog dan filusuf terkemuka pada masa Dinasti `Umayyah, pada mulanya
ia belajar kepada `Ab Hsyim Abdullh bin Muhammad al-Hanafiyah, selanjutnya ia banyak
menimba ilmu di Mekkah dan banyak mengenal ajaran-ajaran Syiah di Madinah, kemudian ia
melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru kepada Hasan al-Bari. 2 Philip K. Hitti, History of Arab (Jakarta: Serambi, 2005), h. 306. 3 Al-Syfii adalah ulama pertama yang menyusun buku tentang `Ul Fiqh. Bagi bidang
`Ul Fiqh ini beliau menulis kitab al-Rislah, Ahkm Al-Quran, Ikhtilf al-Had, Ibl al-
Istihsn, Jama al-Ilm, dan al-Qiys. 4 George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam (Jakarta: Serambi, 2005), h.26
2
Wil pernah belajar pada Hasan al-Bari,5 yang cendrung pada doktrin
kebebasan berkehendak, yang kemudian menjadi doktrin utama dalam sistem
keyakinan orang Muktazilah, doktrin tersebut pada saat itu dianut oleh kelompok
Qadariyah. Pengikut Qadariyah merepresentasikan penentangan terhadap konsep
takdir dalam Islam. Kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam al-Quran,
dan pengaruh Yunani Kristen. Pengikut Qadariyah adalah mazhab filsafat Islam
yang pertama, dan besarnya pengaruh pemikiran mereka bisa disimpulkan dari
kenyataan bahwa dua khalifah `Umayyah, Muwiyah II, dan Yazd III, merupakan
pengikut Qadariyah.6
Al-Ma`mn al-Rasyd dengan nama asli Abdullah al-Ma`mn bin Harun
al-Rasyd bin al-Mahdi7 yang gairahnya pada pemikiran filsafat menumbuhkan
ajaran baru dalam agama negara, pada tahun 827 M mendeklarasikan suatu
pernyataan penting tentang keterciptaan (khalq) al-Quran. Ajaran itu
menentang pandangan ortodoks dengan menegaskan bahwa pada bentuk
aktualnya al-Quran merupakan reproduksi identik dari model aslinya di langit.
Ajaran baru al-Quran sebagai mahluk segera menjadi pijakan baru umat Islam
saat itu. Al-Ma`mn melangkah lebih jauh dengan mewajibkan para hakim yang
akan bertugas agar mengikuti ujian seputar konsep barunya. Pada tahun 833 M,
khalifah memberlakukan suatu keputusannya yang tidak populer yang
menegaskan bahwa setiap hakim atau calon hakim yang tidak mengakui ajaran
al-Quran sebagai mahluk tidak boleh menjadi hakim atau diangkat sebagai
hakim.8
Pada masa al-Ma`mn, paham Muktazilah dijadikan paham resmi negara.
Ia mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti paham ini. Bagi yang tidak
5 Hasan al-Bari adalah seorang sufi angkatan tabiin, seorang yang sangat takwa, warak
dan zahid. Nama lengkapnya adalah `Ab Sad al-Hasan ibn `Ab al-asan. Lahir di Madinah pada
tahun 21 H. 6 Philip K. Hitti, History of Arab, h.306. 7 Al-Ma`mn dilahirkan pada tanggal 15 Rabiulawal 170 H atau 14 September 786 M dan
meninggal pada tanggal 18 Rajab 218 H atau bertepatan dengan 9 Agustus 833 M. Beliau bergelar
`Ab al- Abbs. Al-Ma`mn adalah salah seorang Khalifah Bani Abbs, beliau anak kedua
Khalifah Harun al-Rasyd dari seorang ibu asal Persia. Ketika masih menjadi putra mahkota, ia
diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw.
8 Philip K. Hitti, History of Arab, h. 542.
3
mau mengikuti paham ini maka ia akan dihukum. Untuk menguji paham
seseorang apakah Muktazilah atau bukan, ia memberlakukan al-Mihnah
(inquisition),9 semacam lembaga penyelidik untuk meneliti paham seseorang.
Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam al-Mihnah adalah tentang
kemakhlukan al-Quran. Bagi yang menentang paham bahwa al-Quran bukan
mahluk maka ia akan diberi hukuman. Salah satu ulama terkenal yang menjadi
korban al-Mihnah adalah Ahmad bin Hanbal. Ia disiksa dan dipenjara selama
bertahun-tahun karena bertahan dengan pendapatnya bahwa al-Quran bukan
makhluk.10
Ahmad bin Hanbal, meninggalkan dua jejak sejarah penting, yakni
perlawanannya terhadap lembaga al-Mihnah dan keteguhannya terhadap prinsip
bahwa al-Quran merupakan firman Allah yang azali, bukan makhluk, yang
berefek pada kekalahan al-Mihnah; serta kesungguhan usahanya untuk menyusun
hadis berdasarkan rangkaian periwayat, sebagai satu cara untuk menguji otentitas
hadis melalui kritik historis pada para periwayat hadis.11
Sebagai sebuah sistem pemikiran, ilmu fikih menempati posisi di antara
dua kajian ekstrem dalam ilmu-ilmu agama Islam. Di satu sisi, teologi filsuf yang
disebut kalam, diwakili oleh kelompok Muktazilah, yang menyokong kekuatan
akal, al-Quran dan Sunnah bisa diterima selama sesuai dengan akal. Di sisi lain,
aliran tradisional ekstrem, yang bersandar pada ketaatan berlebih-lebihan, mencari
perlindungan pada al-Quran dan Sunnah nabi Muhammad Saw dan membatasi
ruang gerak akal. Kajian fikih menengahi dominasi wahyu dengan memanfaatkan
akal sebagai pendukung, karena itu di satu sisi, fikih menolak anggapan bahwa
teologi filsuf tidak Islami; di sisi lain ia menjalin kebersamaan dengan aliran
tradisional dengan tetap berpegang kepada al-Quran dan Sunnah. Di antara dua
aliran ekstrem ini, fikih mengupayakan jalan tengah berupa rasionalisme teologi
filsuf dan fanatisme progresif. Ia menahan laju dominasi rasionalisme teologi
9 Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 45. 10 Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, h. 46. 11 George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h.27.
4
filsuf dan fanatisme pada Sunnah yang berlebihan; fikih menempuh jalannya
sendiri untuk menyeimbangkan akal dan wahyu.12
Di samping doktrin utama kebebasan berkehendak, kelompok Muktazilah
menambahkan doktrin lain, seperti penolakan terhadap kesatuan antara Tuhan dan
sifat-sifatnya, seperti Berkuasa, Bijaksana, dan Mahahidup, dengan argumen
bahwa konsep semacam itu akan merusak keesaan Tuhan. Oleh karena itu,
julukan yang sangat disukai oleh kalangan Muktazilah untuk kelompok mereka
adalah Pendukung Keadilan dan Keesaan. Gerakan paham rasionalis ini
mengalami masa kejayaannya pada masa Dinasti Abbsiyah terutama pada masa
al-Ma`mn (813-833 M).13
Berawal dari restu khalifah al-Ma`mn (813-833), al-Mihnah berlangsung
hingga tiga khalifah selanjutnya, Al-Mutaim (218-227 H/833-842 M), al-wiq
(227-232 H/842-847 M), dan al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M). Periode al-
Mihnah berlangsung selama lima belas tahun, dari 218 hingga 233 H (833-848
M). Ketika al-Mihnah berakhir pada tahun kedua khalifah al-Mutawakkil,
Muktazilah banyak menerima kerugian. Pada pertengahan abad ke-9 M, gerakan
tradisionalis mendapatkan kemenangannya kembali dan berhasil mengalahkan
aliran Muktazilah, di bawah pemimpin pahlawan anti-mihnah, Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H/855 M).14
Keberpihakan al-Ma`mn terhadap paham Muktazilah tampaknya tidak
dapat dipisahkan dari kehausannya akan pengetahuan yang rasional. Kecintaannya
terhadap filsafat mendorongnya untuk lebih menyetujui paham Muktazilah yang
rasional dan filosofis daripada paham yang lain.
Setelah al-Ma`mn wafat, Khalifah al-Mutaim dengan nama lengkapnya
`Ab Ishq Muhammad bin Harun al-Rasyd bin al-Mahdi bin al-Manr ia naik
menggantikan al-Ma`mn pada tahun 833 M.15 Pengangkatan al-Mutaim tidak
disetujui oleh sekelompok tentara yang menginginkan Abbs, anak al-Ma`mn,
sebagai penguasa mereka. Meskipun demikian, kerusuhan yang muncul dapat
12 George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h.50.
13 Philip K. Hitti, History of Arab, h. 307. 14 George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, h. 30. 15 Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, h. 46.
5
dihindarkan. Sebagaimana al-Ma`mn, al-Mutaim juga berpaham Muktazilah. Di
istananya, kebebasan berdiskusi tentang semua masalah diizinkan. Penyiksaan
terhadap penganut bukan Muktazilah dilanjutkan olehnya.
Pemerintahan dilanjutkan oleh `Ab Jafar Hrn al-Wiq Billh bin al-
Mutaim bin Harun al-Rasyd. Ia dibaiat menjadi khalifah setelah kematian
ayahnya pada hari kamis, 9 Rabiulawal 227 H/ 5 Januari 842 M. Ia menjadi
khalifah hingga meninggal pada bulan Zulhijah tahun 232 H/ Agustus 847 M,
masa kekhalifahannya selama lima tahun, sembilan bulan, lima belas hari.
Umurnya 36 tahun.16
Ia memiliki majelis diskusi yang menghadirkan para ahli fikih dan ahli
kalam, mereka berdiskusi berbagai macam ilmu, baik yang bersifat akli maupun
naqli. Perilaku dalam hal itu serupa dengan perilaku pamannya, al-Ma`mn,
karena itu masalah paham al-Quran makhluk mengambil bentuk yang lebil
sensitif pada masanya daripada masa ayahnya, al-Mutaim. Sebenarnya al-
Mutaim terpaksa mengurusi masalah itu karena wasiat saudaranya.17
Selanjutnya pada kekhalifahan al-Mutawakkil, pada usia yang ke-26
tahun, ia diangkat menjadi khalifah menggantikan saudaranya khalifah al-Wiq,
dengan panggilan al-Mutawakkil (232-247 H/ 847-861 M). Ia menjadi Khalifah
dan memerintah selama 14 tahun 9 bulan.18
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil dalam bidang mazhab terlihat
menonjol peranan `Ahmad bin Hanbal (wafat 242 H/855 M) yang mempunyai
pengaruh kuat dan besar pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil, yang
dibebaskan oleh khalifah al-Mutawakkil dari tahanan penjara, dan menjabat
pemuka kalangan al-Muhaddin (Ahli Hadis).19
Tindakan khalifah al-Mutawakkil tersebut disambut hangat oleh kalangan
Suni, terutama kalangan al-Muhaddiin (ahli Hadis), yang ingin memurnikan
16 Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbsiyah (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2016), h. 409. 17 Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbsiyah , h. 416. 18 Joesoef Souyb, Daulah Abbsiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 7. 19 Joesoef Souyb, Daulat Abbasiah II, h. 9.
6
Tauhid kembali ke dalam bentuk kesederhanaannya tanpa pembahasan-
pembahasan yang logis dan al-Maniqy (rasional).
Sejalan dengan tindakan itu khalifah al-Mutawakkil memulihkan kembali
kedudukan aliran Suni dan mengumumkan larangan terhadap aliran Muktazilah,
berlangsung demonstrasi-demonstrasi luas di Ibu Kota untuk mendukung tindakan
tersebut, di bawah pemukanya `Ahmad bin Hanbal.20
Tekanan resmi itu dirasakan semenjak khalifah al-Ma`mn yang telah
memaksakan aliran Muktazilah yang bertentangan dengan khalifah al Mutawakkil
yang berbeda dengan paman, ayah dan saudaranya yang bersikap bemusuhan
terhadap alirah Muktazilah. Pada saat ia diangkat menjadi khalifah, maka tindakan
yang pertama ia lakukan adalah membebaskan `Imm `Ahmad bin Hanbal dari
tahanan yang sebelumnya ditahan kembali oleh khalifah al-Wiq karena kritik-
kritiknya yang keras terhadap khalifah.21
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ambil, yaitu Penghapusan
Paham Muktazilah oleh Khalifah Jafar al-Mutawakkil, maka obyek yang
menjadi kajian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Paham Muktazilah dalam Daulah Abbsiyah sebelum al-Mutawakkil
2. Biografi al-Mutawakkil sebagai Khalifah Abbsiyah
3. Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Pada penelitian ini masalah yang akan diangkat adalah mengenai
Penghapusan Paham Muktazilah oleh Khalifah Jafar al-Mutawakkil, diawali
dengan mengkaji mazhab resmi Dinasti Abbsiyah sebelum khalifah al-
Mutawakkil hingga pada masa kekuasannya yang menghapus paham Muktazilah
dari mazhab resmi negara, mengkaji biografi khalifah al-Mutawakkil dan latar
belakangnya, dan larangan paham Muktazilah sebagai mazhab resmi negara
hingga menguatnya Ahli Hadis.
Untuk memudahkan dalam penelitian, maka dibuatlah rumusan masalah
20 Joesoef Souyb, Daulat Abbasiah II, h.10. 21 Joesoef Souyb, Daulat Abbasiah II, h. 10.
7
sebagai berikut:
1. Bagaimana Paham Muktazilah dalam Daulah Abbsiyah sebelum al-
Mutawakkil?
2. Bagaimana Biografi al-Mutawakkil sebagai Khalifah?
3. Bagaimana Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis?
Berangkat dari rumusan masalah yang telah penulis ajukan di dalam
bagian ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan penulis cari jawabannya dengan
menggunakan sumber-sumber dan metode penelitian yang akan penulis jelaskan
dalam bagian selanjutnya.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana mazhab Muktazilah berkembang di Dinasti Abbsiyah.
2. Mengetahui bagaimana biografi khalifah Jafar al-Mutawakkil,
3. Mengetahui penyebab paham Muktazilah bisa dihapuskan oleh Khalifah Jafar
al-Mutawakkil dan mulai menguatnya Ahli Hadis.
E. Manfaat Penelitian
1. secara akademis memberikan wawasan yang luas tentang kondisi Umat Islam
pada masa Dinasti Abbsiyah,
2. sebagai bahan perbandingan bagi penulis selanjutnya,
3. menambah perbendaharaan ilmu pengatahuan,
4. secara praktis memberikan manfaat bagi penulis dan para pecinta studi
penelitian sejarah dalam rangka upaya pengembangan sejarah Islam umumnya
dan khususnya pada masa penghapusan paham Muktazilah oleh khalifah al-
Mutawakkil
F. Tinjauan Pustaka
Karya-karya yang berkaitan dengan Dinasti Abbsiyah dan kebijakan
keagamaannya menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan. Dengan demikian,
hal ini menarik pula untuk diteliti. Karya-karya tersebut baik dalam bentuk buku,
jurnal, artikel, maupun majalah, di antaranya:
8
1. Pertama buku Tarikh al-Rusul wa al-Mulk 'Annals of the Apostles and
Kings, karya Abu Jafar Muhammad bin Jarir al-abari (839-923 M), yang
secara umum merupakan karya sejarah universal terpenting yang diproduksi
di dunia Islam.
Karya monumental ini mengeksplorasi sejarah bangsa-bangsa kuno, para
Nabi, kebangkitan Islam dan sejarah dunia Islam sampai tahun 915 M/302 H
yaitu Kembalinya Kekhalifahan ke Baghdad: (Khilafah al-Mutadid, al-
Muktaf dan al-Muqtadir), ini dibagi dalam 40 Volume (termasuk indeks)
yang masing-masing mencakup sekitar dua ratus halaman teks asli bahasa
Arab.
Imam al-abari menghabiskan 12 tahun menulis ensiklopedia ini tentang
sejarah Islam. Tugasnya tidak mudah karena ia harus mengumpulkan dan
mengkompilasi materi dari sumber yang berbeda. Dia harus mengandalkan
laporan lisan sekaligus melengkapi ensiklopedianya. Ensiklopedianya,
'Sejarah para Rasul dan Raja-raja', mencatat Sejarah Islam dari tahun ke
tahun. Sebuah upaya untuk mengkategorikan sejarah dari penciptaan sampai
tahun 915 M. Pada saat dia menyelesaikan pekerjaannya, dia telah
mengumpulkan semua tradisi historis orang-orang Arab dalam karya
besarnya. Dunia Muslim tidak lamban dalam menunjukkan penghargaannya,
dan karya ini menjadi lebih terkenal daripada Tafsir Al-Quran, karena tidak
ada karya lain seperti yang ada saat itu.
Dilaporkan bahwa setidaknya ada 20 salinan ensiklopedianya di semua
perpustakaan besar di negara Muslim pada masa itu. Ratusan penyalin
mendapatkan penghasilan mereka untuk menyalin karyanya untuk
penggunaan individu dan perpustakaan. Banyak karya aslinya hilang seiring
berlalunya waktu. Baru pada akhir abad yang lalu para ilmuwan modern
menyatukan karyanya sehingga bisa dipelajari oleh siswa di zaman modern.
2. Selanjutnya buku The History of al-abari Volume 34, yang diterjemahkan
dan dijelaskan oleh Joel L. Kraemer. Peristiwa yang digambarkan dalam buku
ini berlangsung selama waktu abari sendiri. Al-abari dengan demikian
menulis sejarah sementara dan ceritanya, yang sering didasarkan pada
9
laporan tangan pertama ditarik dengan detail dan dijelaskan dengan sangat
menarik.
Volume tersebut menggambarkan puncak periode Samarra setelah
perpindahan al-Muktaim dari ibu kota Abbsiyah dihukum dari Baghdad
sampai Samarra, ada tiga Khalifah yang digambarkan dalam buku ini: putra
dan penerus Al-Mutaim yaitu, al-Waiq, al-Mutawakkil dan al-Muntair
(putra al-Mutawakkil).
3. Selanjutnya buku Daulah Abbsiyah. Yang ditulis oleh Joesoef Souyb.
Buku ini mengupas tuntas Dinasti Abbsiyah mulai dari berdirinya di
Khurasan, pemerintahan Bani Buwaih, berdirinya Dinasti Hamdaniyah
hingga runtuhnya Dinasti Fimiyah. Kegemilangan periode pemerintahan al-
Mahdi, Harun al-Rasyd, dan al-Ma`mn yang disertai dengan intrik-intrik
politik untuk memperoleh kekuasaan, juga dituturkan secara runtut dalam
buku ini.
4. Selanjutnya buku Tarikh Khulaf: Sejarah Para Khalifah di sini
menjelaskan literatur Islam klasik tentang sejarah para khalifah dan
kekhilafahan. Imam as-Suyi penulisnya mengawali kajiannya dengan
menyebutkan syarat-syarat penetapan khalifah beserta dalil-dalilnya,
dilanjutkan dengan pemaparan sejarah kehidupan para khalifah, mulai dari al-
al-Khulaf al-Rsyidn, Bani `Umayyah , Bani Abbsiyah, hingga khalifah-
khalifah bayangan yang memisahkan diri dari pusat kekhilafahan Islam yang
resmi. Penjabarannya dilengkapi dengan uraian pelbagai peristiwa penting
yang terjadi dalam periode kekuasaan setiap khalifah, prestasi maupun
kegagalan mereka, serta pasang surut pemerintahan mereka.
Kelengkapan dan kesahihan rujukan yang digunakan penulisnya, serta
pemaparan episode sejarah dan peristiwa historis yang sistematis merupakan
keunggulan karya ini. Dengan menelaahnya, para pembaca dapat
menapaktilasi kehidupan para pemimpin kaum Muslimin dulu, mengetahui
sebab-sebab kejayaan dan kejatuhan suatu periode kekhilafahan, serta
memetik pelajaran dari kepemimpinan maupun pemerintahan para khalifah
tersebut.
10
5. Selanjutnya buku Pendidikan Islam Transformatif yang ditulis oleh Dr.
Mahmud Arif. Di sini menjelaskan kebijakan khalifah al-Mutawakkil (847-
861 M.) mengubah haluan politik yang telah digariskan oleh tiga
khalifah Abbsiyah sebelumnya (al-Ma`mn, al-Muktaim, dan al-Wiq)
tentang paham resmi kebaruan al-Quran dan al-Mihnah bagi para penentang,
dan ia pun berbalik mendukung paham Ahli Hadis.
6. Selanjutnya buku Al-Juaini Peletakan Dasar Teologi Rasional Dalam
Islam, buku ini ditulis oleh Dr. Tsuroya Kiswati. di sini menjelaskan ilmu
kalam dan teologi membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap
orang yang igin menyelami seluk beluk agama yang dianutnya. Seseorang
yang telah memahami teologi dengan cara mempelajarinyasecara mendalam
diharapkan bisa mendapatkan keyakinan dan pedoman yang kokoh dalam
beragama. Orang yang demikian tidak mudah diperdayakan oleh zaman yang
selalu berubah. Setiap gerak langkah tindakan dan perbuatan selalu
dilandaskan dengan keyakinan.
7. Selanjutnya buku Daulah Abbsiyah II, Yang ditulis oleh Joesoef Souyb.
buku ini terdiri dari tiga jilid. Pada jilid II ini menjelaskan tentang latar
belakang khalifah al-Mutawakkil, perkembangan Dinasti Abbsiyah , dekrit
mengenai non-Muslim dan Syiah dan gerakan Suni pada masa Khalifah al-
Mutawakkil.
Dari banyaknya buku yang menjelaskan tentang Dinasti Abbsiyah dan
paham Muktazilah tersebut tidak menjelaskan secara detail tentang penjelasan
mengapa paham Muktazilah dihapuskan dan tidak lagi dijadikan mazhab
resmi negara. Penulis di sini akan menjelaskan tentang dihapusnya paham
muktazilah tersebut, sehingga bisa melengkapi tulisan dari buku-buku lain
dengan jelas.
G. Kerangka Teori
Sebagaiman yang penulis jelaskan di atas, skripsi ini menjelaskan tentang
penghapusan pahan Muktazilah oleh khalifah Jafar al-Mutawakkil terkait dengan
kekhalifahan yang dipimpin oleh khalifah al-Ma`mn yang menjadikan paham
Muktazilah sebagai paham resmi negara yang kemudian di lanjutkan oleh al-
11
Mutaim dan al-Wiq lalu dilanjutkan oleh al-Mutawakkil kemudian dihapus
olehnya.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan
oleh Pierre Bourdieu, ia mencetuskan bahwa doxa memiliki sejumlah makna
terkait dangan jenis pemahaman yang bekerja, tetapi konsep secara luas mengacu
pada kesalahpengenalan (misrecognition) dari bentuk kesewenang-wenangan
sosial yang menimbulkan ketidakteraturan, non-discursive, tetapi dihayati dan
pengakuan praktis atas kesewenang-wenangan sosial yang sama. Hal ini
memberikan kontribusi untuk reproduksinya dalam lembaga-lembaga sosial,
struktur dan hubungan serta pikiran dan tubuh, harapan dan perilaku.22 Doxa
mengacu pada pra-refleksif pengetahuan intuitif yang dibentuk oleh pengalaman,
kepada kecenderungan fisik dan relasional yang diwarisi secara tak disadar. Doxa
merupakan seperangkat keyakinan dasar (a set of fundamental belief) yang bahkan
tidak perlu ditegaskan dalam bentuk yang eksplisit, dogma yang disadari dengan
sendirinya.23
Konsep doxa sebagai kepercayaan bersama yang tidak dipertanyaan lagi
membentuk sebuah arena, mendasari gagasan yang menghubungkan pada
kekuasaan simbolik, secara khusus relevan dengan pemahaman relasi sosial dalam
masyarakat modern. Dalam konteks ini, doxa mengambil bentuknya sebagai
kekuasaan simbolik yang memediasi berbagai bentuk akumulasi modal (budaya,
ekonomi, sosial). Kekuasaan ini dijalankan melalui kebiasaan, mekanisme,
perbedaan dan asumsi-asumsi, kekuatan dan legitimasinya berada di dalam
kesalah-pengenalan (misrecognition) atas kareakter kemunculan dan reproduksi
sosial historis yang sewenang-wenang.24
Dengan demikian, doxa sesungguhnya merupakan kebenaran obyektif
yang diterima dalam lintas ruang sosial, dari praktik dan persepsi individu
menjadi praktik dan persepsi yang diterima kelompok atau institusi sosial lainnya
(universe of undispute). Artinya, doxa dapat menciptakan legitimasi bagi wacana
22 Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, (UK: Acumen, 2008), h. 119-
120. 23 Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, h. 119-120. 24 Michael Grenfell (ed.), Pierre Bourdieu; Key Concepts, h. 121.
12
dominan yang diproduksi dan direproduksi oleh institusi25 yang ada dalam
masyarakat. Sebagaimana ruang sosial yang selalu bergerak, di dalam doxa
terdapat pertarungan dunia wacana (universe of discourse) antara heterodoxy dan
orthodoxy. Heterodoxy adalah opini (wacana) yang berusaha memberikan
penilaian negatif terhadap doxa, sedangkan orthodoxy adalah wacana yang terus
berusaha mempertahankan (semakin membenarkan) doxa.
H. Metodologi Penelitian
Laporan penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan metode yang
digunakan adalah metode historis. Metode historis merupakan proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. 26 Poin-poin
penting yang akan ditulis dipaparkan sesuai dengan bentuk, kejadian, suasana dan
masanya. Adapun analisa pada faktor-faktor politik menjadi faktor pendukung.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melalui beberapa tahapan yaitu
pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),
interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan sejarah).
1. Pemilihan Topik
Dalam hal ini penulis memilih Penghapusan Paham Muktazilah oleh
Khalifah al-Mutawakkil. Adapun metode yang digunakan oleh penulis adalah
deskripsi-analisis yang dilanjutkan dengan perencanaan penelitian. Dalam rencana
penelitian, penulis mengemukakan permasalahan dan garis besar yang akan
dibahas.
2. Heuristik (pengumpulan sumber)
Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan sumber-sumber terkait
dengan tema penelitian, baik itu dalam bentuk buku seperti uh al-Islm, Fajr
al-Islm, Zuhr al-Islm, Trkh al-Khulaf dengan penulis-penulis yang semasa
pemerintahan masa itu, e-book, jurnal, surat kabar, artikel, sumber tak terbit
25 Istilah institusi yang dipakai Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi
tertentu, tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial yang relatif terus bertahan, yang memberikan
berbagai bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi
inilah yang memberikan otoritas kepada penutur (agen) untuk melakukan tindakan sebagaimana
ujaran yang diucapkan dalam ujaran performatif. 26 Louis Gottschalk. Mengerti sejarah. Terj: Nugroho Noto Susanto. Jakarta: UI Press.
1983. h.3.
13
(skripsi dan tesis) dan berita media elektronik. Penulis mendapat sumber-sumber
tersebut dari Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora, dan Perpustkaan Nasional Republik Indonesia.
3. Verifikasi (kritik sumber)
Setelah penulis berhasil mengumpulkan beberapa sumber, kemudian
penulis melakukan verifikasi terhadap sumber-sumber yang telah didapat tersebut
dengan tujuan untuk mengetahui sumber tersebut bersifat objektif dan tidak.
Penulis banyak mengambil sumber dari buku-buku yang semasa dengan
pemerintahan masa itu, seperti Ahmad Amin. Dari sumber-sumber tersebut
penulis menerjemahkan agar bisa memahami permasalahan-permasalahan yang
penulis bahas dalam tulisan tersebut. Penulis mengklasifikasikannya dalam
sumber primer, sekunder, dan sezaman. Tujuannya adalah untuk menemukan
fakta yang valid sesuai dengan penelitian ini.
4. Interpretasi (penafsiran)
Selanjutnya, dari data yang sudah diverifikasi tersebut penulis melakukan
interpretasi atau penafsiran tentang persisnya peristiwa yang terjadi. Karena dari
beberapa sumber yang penulis ambil, penulis-penulis sejarah pada masa itupun
tidak lepas dari penguasa, yang artinya Ini dilakukan untuk mencari keterkaitan
antara masing-masing sumber, juga untuk dijadikan sebagai argumen. Dengan
begitu dapat disimpulkan data yang dimaksud dalam penulisan ini.
5. Historiografi (penulisan sejarah)
Tahap yang terakhir dalam penelitian ini adalah penulisan sejarah. Pada
tahap ini, penulis akan menuangkan semua pemahaman, analisis, dan jawaban
dari penelitian ini ke dalam tulisan sejarah yang deskriptif- analitis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelumnya.
Seperti tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemerintahan, berikut hubungan
para tokoh dengan pemerintahan yang bertemu dalam satu permasalahan
mengenai penghapusan paham Muktazilah tersebut.
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini mempunyai tiga hal
yang tiap-tiap bagiannya saling berkaitan. Bagian-bagian tersebut berupa
14
pendahuluan, isi, dan akhir atau kesimpulan yang selalu berkaitan antara satu bab
dengan bab lainnya. Di dalam tiap bab tersebut juga terdapat beberapa subbab
yang jumlahnya tidak mengikat meskipun tetap dalam koridor penguraian hasil
penelitian.27
Pada Bab I, berisi latar belakang masalah, identifikasi permasalahan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Pada Bab II, Paham Muktazilah Dalam Daulah Abbsiyah sebelum al-
Mutawakkil.
Pada Bab III, Al-Mutawakkil Sebagai Khalifah dengan subbab yaitu Asal
Usul al-Mutawakkil, Pengangkatan al-Mutawakkil Sebagai Khalifah, Keadaan
Sosial, Politik dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil, Pembunuhan terhadap
al-Mutawakkil dan silsilah Dinasti Abbsiyah.
Pada Bab IV, Larangan Paham Muktazilah dan Menguatnya Ahli Hadis.
Pada Bab V penutup, berisi kesimpulan dan saran yang dilengkapi dengan
daftara pustaka.
27 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 69.
15
BAB II
Paham Muktazilah Dalam Daulah Abbsiyah sebelum al-Mutawakkil
A. Perkembangan Paham Muktazilah
Aliran Muktazilah adalah aliran pikiran Islam yang terbesar dan tertua,
yang telah memainkan peranan yang sangat penting. Orang yang hendak
mengetahui filsafat Islam yang sesungguhnya dan yang berhubungan dengan
agama dan sejarah pemikiran Islam haruslah menggali buku-buku yang dikarang
orang-orang Muktazilah, bukan yang dikarang oleh orang-orang yang lazim
disebut filsuf-filsuf Islam, seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Aliran Muktazilah lahir
kurang lebih pada permulaan abad kedua Hijrah di kota Basrah, pusat ilmu dan
peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan
pertemuan bermacam-macam agama.28
Nama Muktazilah bukan ciptaan orang-orang Muktazilah sendiri, tetapi
diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Muktazilah menamakan dirinya
"ahli keadilan dan keesaan" `ahlu at-Tl wa at-tauhdy. Nama Muktazilah
diberikan karena:
1. Orang-orang Muktazilah menyalahi pendapat sebagian besar umat,
karena mereka (orang-orang Muktazilah) mengatakan bahwa orang
fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mukmin tidak pula
kafir.
2. Wil bin Aa, pendiri aliran Muktazilah, berbeda pendapat dengan
gurunya, yaitu Hasan al-Bari, dalam soal tersebut di atas yang
karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya
dan berdiri sendiri, kemudian mendapat pengikut banyak. Melihat
tindakan Wil dan temannya itu, Hasan al-Bari pun berkomentar
dengan kata: Itazala Ann Wil (Wil telah memisahkan diri dari
28 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), cet-12, h. 43.
16
kita). Semenjak itulah Wil dan kawannya-kawannya dinamai dengan
sebutan Muktazilah.29
3. Ahmad Amin berpendapat bahwa yang mula-mula memberikan nama
Muktazilah adalah orang-orang Yahudi. Seperti diketahui, sepulang
mereka dari tawanan di Syiria (Perang Meccabea melawan Antiochus
Raja Syiria, abad keempat atau ketiga sebelum lahir Isa) timbullah
antara mereka golongan Pharisee yang artinya memisahkan diri (dari
bahasa Ibrani, parash, separate). Maksud sebutan ini tepat sekali
dipakai untuk orang-orang Muktazilah. Selain itu pendapat golongan
Yahudi Pharisee mirip dengan golongan Muktazilah, yaitu bahwa
semua perbuatan, bukan Tuhan yang mengadakannya, tetapi pendapat
terakhir ini kurang tepat, karena motif berdirinya golongan Pharisee
berlainan dengan motif berdirinya golongan Muktazilah.30
Persoalan teologis yang cukup hangat diperbincangkan oleh para ulama
pada pengujung abad I Hijrah ialah tentang status orang mukmin yang melakukan
dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau menjadi kafir. Persoalan tersebut
kemudian muncul pula di majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan al-Bari ( 21-
110 H/642-728 M) di masjid Barah.31
Ada pula versi lain sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi bahwa Wil
dan temannya Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan al-Bari dari majelisnya karena
adanya perbedaan pendapat antara mereka tentang masalah qadar dan orang
mukmin yang berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari Hasan al-
Bari dan mereka pun disebut dengan kaum Muktazilah karena pendapat mereka
memisahkan diri dari pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang
berdosa besar.32
29 Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Cairo Mesir : Mushaf al-Baby al-Halaby,
1961), h.48. 30 Ahmad Hanafi, Teologi Islam, h. 44. 31 Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Ilmu
Ushuluddin, V. 12, No. 1 (Januari 2013): h. 88. 32 Al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq ( Cairo: Maktabah Ali Sabih), h. 20.
17
Istilah Muktazilah sebenarnya sudah pernah muncul satu abad sebelum
munculnya Muktazilah yang dipelopori oleh Wil bin Aa. Sebutan Muktazilah
ketika itu merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan
urusan politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.33
Suasana lahirnya Muktazilah sejak Islam meluas, banyaklah bangsa-
bangsa yang masuk Islam untuk hidup di bawah naungannya. Akan tetapi tidak
semuanya memeluk dengan segala keikhlasan. Ketidakihlasan ini terutama
dimulai sejak zaman Muwiyah, karena mereka telah memonopoli segala
kekuasaan pada bangsa Arab sendiri. Tindakan ini menimbulkan kebencian
terhadap bangsa Arab dan keinginan menghancurkan Islam dari dalam, sumber
keagungan dan kekuatan mereka.34
Secara khusus sebutan Muktazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak
mau ikut peperangan, baik Perang Jamal antara pasukan Sayyidin Ali bin Abi
lib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun Perang Siffin antara pasukan
Sayyidin Ali bin Abi lib melawan pasukan Muwiyah. Kedua peperangan ini
terjadi karena persoalan politik.35 Jika Muktazilah pertama muncul berkaitan
dengan masalah politik, maka Muktazilah yang kedua, yang muncul satu abad
kemudian, lebih disebabkan karena persoalan agama semata. Muktazilah inilah
yang kemudian menjadi salah satu aliran kalam dalam pemikiran Islam.36
Di antara musuh-musuh Islam dari dalam ialah golongan Rafah, yaitu
golongan syiah ekstrem yang banyak mempunyai unsur-unsur kepercayaan yang
jauh sama sekali dari ajaran Islam, seperti kepercayaan agama Many dan
golongan skeptik yang pada waktu itu tersebar luas di kota-kota Kufah dan
Basrah, juga golongan tasawuf inkarnasi termasuk musuh Islam.37
Dalam keadaan demikian itu muncullah golongan Muktazilah yang
berkembang dengan pesatnya sehingga mempunyai sistim/metode dan pendapat-
pendapatnya sendiri. Meskipun banyak golongan-golongan yang ditentang
33 Ahmad Amin, uhr al-Islm IV (Cairo Mesir: Maktabah al-Nahah, 1975), h.7. 34 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, 1969), h.289. 35 Ahmad Amin, Fajr al-Islm, h.290. 36 Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 89. 37 Ahmad Hanafi, Teologi Islam, h. 45.
18
Muktazilah namun mereka sendiri sering sering terpengaruh oleh golongan-
golongan tersebut, karena pendapat dan pikiran selalu bekerja, baik terhadap
lawan maupun kawan, baik menerima atau membantah bahkan sering masuk
kepada lawannya tanpa dikehendaki atau disengaja.
B. Dukungan Khalifah-Khalifah Abbsiyah kepada Muktazilah
Pada awalnya Muktazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut
oleh masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal
ini menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintah
kerajaan Abbsiyah. Melihat hal demikian, khalifah al-Ma`mn (813-833 M)
putera Harun al-Rasyd (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi
Muktazilah sebagai mazhab resmi negara.38 Sejak itu resmilah aliran Muktazilah
menjadi satu-satunya aliran teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam
wilayah kekuasaan Dinasti Abbsiyah.
Di zaman pemerintahan al-Ma`mn ialah masalah al-Quran sebagai
makhluk. Kaum Muktazilah telah mendukung al-Ma`mn menentang ahlusunnah
dan Ulama Hadis dalam perkara ini. Kaum Muktazilah menolak sifat-sifat Many
Allah SWT, yang di antara sifat Allah ialah al-Kalm, karena pengakuan terhadap
sifat-sifat ini membawa kepada kemajemukan sifat-sifat yang qadm. Ini menjadi
sifat yang bertentangan dengan tauhid, karena itulah mereka mengatakan bahwa
al-Quran adalah mahluk, karena al-Quran berupan suara-suara dan huruf-huruf
yang mana bukan zat Allah. Bahkan Allah menciptakannya selain dari Lauh al-
Mahf atau Jibril lalu kepada Nabi. Dalam mempertahankan pendapat mereka itu
kaum Muktazilah telah mengemukakan dalil-dalil akli dan juga naqli, tetapi
Ahlusunnah dan Ulama Hadis menentang dengan bersungguh-sungguh tanpa
hujah-hujah dan dalil-dalil yang kuat untuk mempertahankan pendapat mereka.39
Khalifah al-Ma`mn telah campur tangan secara keras dan menggunakan
kekuasannya untuk memaksa rakyat bepegang kepada pendapat al-Quran sebagai
makhluk. Banyak juga dari para kalangan penulis yang mengecam kebijakan
38 Ahmad Amin, uh al-Islm, juz III. (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), h. 8. 39 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III (Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru,
2003), h. 122.
19
tersebut karena mengamalkan sikap memberantas kebebasan menggunakan mata
pedang untuk memperkukuh pihaknya dan menindas ulama yang menentang
prinsipnya itu. Tetapi penulis yang adil mungkin bisa mencarikan alasan yang
sesuai tentang sikap al-Ma`mn tersebut, yang sebenarnya tidak ada kaitan
dengan dirinya sama sekali, seandainya ada kaitan dengan dirinya niscaya beliau
tentu bersikap pemaaf, tetapi bagi al-Ma`mn pekara itu lebih mendalam, tentang
suatu masalah keislaman yang menyangkut pokok-pokok akidah, dan beliau juga
berpendapat barang siapa tidak mengakui al-Quran sebagai makhluk maka keluar
dari akidah Islam. Oleh karena itu, beliau mengumumkan sebagai khalifah kaum
Muslimin yang menguruskan masalah-masalah agama dan dunia untuk mereka.
Beliau berkewajiban untuk tidak menggunakan golongan yang keluar dari agama
itu dalam hal-ihwan kerajaan, dan juga berkewajiban melindungi rakyat dari
pikiran yang beliau anggap sesat dan salah. Al-Ma`mn semakin bertambah
marah terhadap golongan Ahli Hadis, karena sikap mereka yang jumud (beku) dan
tidak mempertahankan pendapat mereka dengan logika atau hujah-hujah naqli.40
`Imm `Ahmad bin Hanbal telah memimpin golongan yang menentang
pendapat al-Quran sebagai makhluk, tetapi barang siapa yang meneliti buku-buku
sastra dan sejarah dapat menganggap bahwa `Imm `Ahmad bin Hanbal dan
pedukung-pendukungnya tidak mempertahankan pendapat mereka secara logis
dengan bukti-bukti naqli.41
Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa rekannya telah mengalami banyak
penderitaan karena tidak mau merubah sikap dan pendapat mereka. Masyarakat
umum menilai sikap itu sebagai keperwiraan dan keimanan golongan tersebut.
Patut ditekankan juga bahwa beberapa pukulan yang berat telah menimpa
golongan tersebut sesudah kemangkatan al-Ma`mn, tetapi malangnya al-Ma`mn
telah mewasiatkan saudaranya al-Mutaim supaya rakyatnya berseru dan
mengakui al-Quran sebagai makhluk.42
40 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 122. 41 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 123. 42 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 123.
20
Pemerintahan al-Ma`mn mendukung paham teologi rasional Muktazilah
dan bahkan telah menetapkan paham ini menjadi haluan negara secara resmi. Oleh
karena itu, mereka yang menentangnya akan diadili (al-Mihnah).43
Dengan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, maka otomatis aliran
ini mendapat dukungan sekaligus perlindungan dari penguasa saat itu. Selanjutnya
aliran ini pun dengan leluasa dan berani menyebarkan paham-pahamnya secara
terbuka kepada publik. Penyebaran tersebut mereka lakukan mulai cara lemah
lembut sampai pemaksaan dan kekerasan. Puncak kekerasan dan pemaksaan itu
berkenaan dengan paham al-Quran Makhluk. Masalah ini sampai
menimbulkan peristiwa al-Mihnah yaitu pemeriksaan terhadap Ulama Ahli Hadis
dan ahli fikih oleh khalifah al-Ma`mn pada Dinasti Abbsiyah. Mula-mula
khalifah al-Ma`mn mengirimkan surat kepada `Ishq bin `Ibrhm (gubernur
Baghdad) agar memerintahkan kepada para pejabat untuk mengakui paham bahwa
al-Quran adalah makhluk. Ada tiga langkah yang harus diambil, pertama
memberhentikan pejabat-pejabat yang tidak mau mengakui kemakhlukan al-
Quran, kedua memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap ulama ahli
fikih dan Ahli Hadis serta yang terkait dengan urusan fatwa tentang makhluk
tidaknya al-Quran. Bila upaya kedua ini tidak membawa hasil (mereka
tawaqquf), maka perlu dilakukan langkah ketiga yaitu mereka harus disiksa
bahkan diancam hukuman mati.44
Dalam peristiwa al-Mihnah, `Ishq telah memeriksa sekitar 30 orang
hakim, ulama ahli hadis dan ahli fikih, mereka sepakat mengakui kemakhlukan al-
Quran, namun ada empat orang ulama yang tawaqquf yaitu `Ahmad bin Hanbal,
Sajjadah, al-Qawariri dan Muhammad bin Nuh,45 karena itu keempat ulama tadi
dimasukkan ke dalam tahanan dalam keadaan diborgol. Keesokan harinya
Sajjadah mau mengakui dan ia pun dibebaskan. Pada hari-hari berikutnya ketiga
ulama yang masih ditahan tadi terus dipaksa dan diancam agar mau mengakui
43 Taufiq Abdullah, Era Pengaruh Turki, dalam Starlita, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, vol. I (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 98. 44 Abu Zahrah, Trkh Mahib al-Islmiyah ( Cairo Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.), h.
180-181. 45 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 176.
21
kemakhlukan al-Quran, hingga akhirnya al-Qawariri mengakuinya dan iapun
dibebaskan. Sementara dua lainnya dikirim kepada khalifah al-Ma`mn di urus.
Muhammad bin Nuh meninggal dunia dalam perjalanan. Di tengah perjalanan
tersiar kabar bahwa al-Ma`mn meninggal dunia, namun sebelumnya ia sempat
berwasiat kepada penggantinya yaitu al-Mutaim agar melanjutkan
kebijakannya.46 Atas wasiat tersebut, al-Mutaim pun melanjutkan al-Mihnah
terhadap mereka yang belum mengakui kemakhlukan al-Quran termasuk yang
masih tawaqquf. `Ahmad bin Hanbal karena tetap tawaqquf, iapun dipenjarakan
dan disiksa sampai beberapa tahun baru ia dibebaskan.47
Setelah al-Mutaim meninggal, kekhalifahan diganti oleh al-Wiq (842-
847 M). Kebijakan melakukan al-Mihnah tampaknya tidak dihentikan, namun
tidak lagi terlalu keras seperti pendahulunya. Ada informasi bahwa khalifah
terakhir ini telah memancung seorang ulama terkenal `Ahmad bin Naser al-
Khuz karena tidak mengakui kemakhlukan al-Quran.48 Setelah al-Wiq
meninggal, kekhalifahan digantikan oleh al-Mutawakkil (232-247 H). Berbeda
dengan khalifah-khalifah sebelumnya, al-Mutawakkil tidak menudukung aliran
Muktazilah, sehingga masalah al-Mihnah tidak lagi ia teruskan. Sejak itu al-
Mihnah pun terhenti, ia bahkan berusaha meredam ketegangan situasi dan
membebaskan ulama yang ditahan sebelumnya.49
Jika semula aliran Muktazilah mengalami kemajuan dan dapat meraih
zaman keemasan karena mendapat dukungan penguasa dan ajarannya disenangi
kaum intelektual, namun setelah mereka melancarkan kekerasan dan penyiksaan,
terlebih lagi pemenjaraan terhadap para ulama, maka sejak itu kaum muslimin
mulai membenci aliran Muktazilah. Merekapun mulai meninggalkan aliran
tersebut. Kebencian mereka seakan didukung oleh sikap khalifah al-Mutawakkil
yang juga tidak senang dengan aliran Muktazilah. Aliran ini perlahan-lahan mulai
mengalami kemunduran dan kehilangan kekuatannya. Lebih-lebih setelah
46 Abu Zahrah, Trkh Mahib al-Islmiyah, h.182. 47 Abu Zahrah, Trkh Mahib al-Islmiyah, h.183. 48 Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah Waljamaah?
(Surabaya: Bina Ilmu, 1987).h. 44. 49 Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk, h.44.
22
Muhammad al-Ghazwani, seorang pengikut mazhab Suni dan Syfii berkuasa
sampai ke wilayah Irak tahun 395 H mengeluarkan pengumuman larangan
terhadap aliran Muktazilah di wilayahnya, buku-bukunya banyak yang dibakar
dan ajaran-ajarannya tak boleh lagi dianut.50 Akhirnya al-Mutawakkil pun
membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara pada tahun 848
M.51
C. Mihnah pada Masa al-Ma`mn
Mihnah berasal dari kata mahana - yumhinu - mihnan yang berarti
menguji, mengetes. Adapun al-Mihnah 52 yaitu manusia yang
diuji dengan cobaan. Menurut Hans Wehr53 al-Mihnah berarti severe, trial,
ordeal, tribulation,54 yaitu pemeriksaan keras, cobaan berat, kesengsaraan. Dari
pengertian ini dapat disimpulkan bahwa al-Mihnah adalah ujian, pemeriksaan dan
cobaan yang berat yang mengakibatkan kesengsaraan.
Dalam pengertian lebih lanjut, al-Mihnah adalah suatu pemeriksaan,
penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Muktazilah terhadap para
Q dan pejabat serta tokoh masyarakat agar mereka menerima paham bahwa al-
Quran diciptakan, sebagaimana dianut kaum Muktazilah. Bagi para Q yang
menyatakan pandangannya sesuai dengan Muktazilah dalam hal diciptakannya al-
Quran itu, dapat melanjutkan jabatannya dan mereka dipandang sah kesaksiannya
di pengadilan. Paham tentang kemakhlukan al-Quran sebenarnya merupakan
konsekuensi dari ajaran Muktazilah tentang at-Tauhd. Tuhan dalam paham
mereka akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan satu Zat yang
50 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980), cet.II, h.102. 51 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 60. 52 Louis Maluf, a-Munjd f al-Lughah wa al- lam (Beirut: Dr al-Masyriq, 1973), h.
750. 53 Hans Wehr, (Jerman: Hans Wehr lahir, 5 Juli 1909, meninggal, 24 Mei 1981) ia adalah
seorang Arabis Jerman. Seorang profesor di Universitas Munster dari tahun 1957-1974, dia
menerbitkan majalah Arabisches Worterbuch (1952), yang kemudian diterbitkan dalam edisi
bahasa Inggris sebagai A Dictionary of Modern Written Arabic, disunting oleh J Milton Cowan.
Saat ini, karya tersebut dianggap sebagai kamus ilmiah standar bahasa Arab untuk siswa dan
cendekiawan bahasa Inggris. Untuk kamus Wehr membuat skema transliterasi untuk mewakili
alfabet Arab. Edisi terakhir kamus ini diterbitkan pada tahun 1995 dan hanya bahasa Arab-Jerman. 54 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz),
1960, h. 895.
23
unik, tidak ada yang serupa dengannya. Mereka menolak paham antropomorfisme
yaitu menggambarkan Tuhan dekat dengan makhluknya. Satu-satunya sifat Tuhan
yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya ialah sifat qadm. Hanya zat
Tuhan yang boleh qadm. Mengakui al-Quran qadm adalah syirik, karena berarti
ada yang qadm selain Allah.55
Surat pertama khalifah al-Ma`mn kepada gubernur ibu kota Baghdad,
Emir `Ishq bin `Ibrhm bin Muab menyatakan sifat al-Ma`mn mengenai
masalah kalmullah di dalamnya dikaitkan masalah kitab suci al-Quran.56
Khalifah al-Ma`mn, putra khalifah Hrn al-Rasyd, setelah menjadikan
teologi Muktazilah sebagai paham resmi yang dianut negara, lalu beliau
mengumumkan pula tentang kemakhlukan al-Quran.57
Sebenarnya paham tentang kemakhlukan al-Quran ini sudah ada pada
masa khalifah bani `Umayah terakhir, pada masa khalifah Marwan bin
Muhammad. Paham ini dilontarkan oleh Jaad bin Dirham, guru Marwan. Jd
memperolehnya dari Aban bin Saman, sedangkan Aban sendiri memperolehnya
dari alut bin Aam, seorang Yahudi. Jd mempunyai murid bernama Jaham bin
afwan, yang kelak mempunyai pengaruh yang besar dalam pemikiran
Muktazilah, karena pahamnya tersebut, akhirnya ia dibunuh oleh Khalid bin
Abdillah al-Qasri, wali Kufah.58
Pada masa Khalifah Hrn al-Rasyd, paham tentang kemakhlukan al-
Quran ini dikemukakan oleh Basyar al-Marisi. Khalifah marah sekali sehingga
beliau mengatakan kalau Tuhan memberi panjang umurku dan aku bersua
dengan Basyar, niscaya akan aku bunuh dia". Akhirnya Basyar al-Marisi
menyembunyikan diri sampai khalifah meninggal dunia.59
Setelah mengumumkan kemakhlukan al-Quran, khalifah al-Ma`mn
melancarkan al-Mihnah kepada para q, para pejabat dan tokoh masyarakat.
55 Joesoef Souyb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), h. 151. 56 Joesoef Souyb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
151. 57 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan (Jakarta:
UI-Press, 1986), h. 53. 58 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 162. 59 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 162.
24
Tujuannya adalah untuk meluruskan akidah warga negaranya, karena banyak para
q yang juga meyakini qadmnya al-Quran, padahal mereka harus dapat
dipercaya, yang dapat dipercaya hanyalah yang benar imannya.60
Pelaksanaan al-Mihnah dijelaskan oleh Harun Nasution sebagai berikut:
Perintah untuk menguji dan memeriksa itu dalam bentuk instruksi pemerintah
kepada gubernurnya, yang pertama sekali harus menjalani ujian ialah para hakim
(al-Quh). Instruksi itu menjelaskan bahwa orang yang mengakui al-Quran
bersifat qadm, dan dengan demikian menjadi musyrik, tidak berhak untuk
menjadi hakim. Bukan para hakim dan para pemuka saja yang dipaksa mengakui
bahwa al-Quran diciptakan, yang menjadi saksi dalam perkara yang diajukan di
Mahkamah juga harus menganut paham demikian. Jika tidak, kesaksiannya batal.
Kemudian ujian serupa dihadapkan pula kepada para pemuka tertentu dari
masyarakat, karena yang memimpin rakyat haruslah orang yang betul-betul
menganut paham tauhid. Ahli fikih dan hadis di waktu itu mempunyai pengaruh
besar dalam masyarakat. Kalau golongan ini mengakui diciptakannya al-Quran,
tentu banyak dari rakyat yang mengikuti ajaran Muktazilah.61
Langkah pertama yang dilakukan al-Ma`mn adalah menulis surat kepada
Ishq bin Mushab, Gubernur Baghdad, pada bulan Rabiulawal 218 H. Surat
tersebut berisi antara lain tentang kemakhlukan al-Quran dan agar menguji para
qi dan Ahli Hadis. Surat yang sama juga dikirimkan kepada Gubernur Mesir,
Kaidar. Beliau menguji Harun bin Abdullah al-Zuhri, qi Mesir waktu itu.
Dalam jawabannya ia mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Selanjutnya
ia menguji para saksi dan muhaddin.62
Surat kedua dikirimkan kepada Ishq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad
untuk menguji tujuh orang muhaddin yaitu Muhammad bin Saad, Abu Muslim,
Yahya bin Main Zuhair bin Harb Abu amah, Ismail bin Daud, Ismail bin Abi
Masd, dan Ahmad bin Ibrahim al-Dauraqi. Dalam pengujian itu, mereka
60 Risan Rusli, Teologi Islam: Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya (Jakarta:
Gramedia Group, 2015), h. 91. 61 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 62. 62 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 170.
25
semuanya menjawab bahwa al-Quran adalah makhluk. Lalu mereka
dikembalikan ke Baghdad.63
Kekalahan ketujuh orang ortodoks ini membuat Imam Ahmad bin Hanbal
luka yang amat mendalam. Dia berpendapat sekiranya mereka bersabar dan tetap
pada pendiriannya, al-Mihnah pasti tidak akan kedengaran lagi di Baghdad. Jika
demikian halnya, kemungkinan ketujuh orang ini melakukan taqiah.64
Surat ketiga dikirimkan kepada Ishq bin Ibrhm untuk menguji para
pejabat pemerintah, fuqah dan muhaddin. Kemudian Ishak memanggil para
pejabat fuqah dan muhaddin. Dari pengujian tersebut banyak di antara mereka
yang memberikan jawaban tidak tegas sebagai upaya mengelak mengatakan
bahwa al-Quran makhluk, dan tidak pula terang-terangan mengatakan qadm. Ini
agaknya dilakukan sebagai upaya untuk menghindari siksaan, di antaranya Bisyr
bin Wali, Ali bin Abi Muqatal, bin Hanbal, dan bin al-Bakka.65
Hasil ujian tersebut dikirim kepada Khalifah al-Ma`mn. Ternyata
khalifah tidak puas terhadap jawaban mereka yang tidak tegas. Khalifah
memerintahkan Gubernur Ishq untuk memanggil kembali Basyar bin Walid dan
Ibrahim bin Mahdi. Jika mereka menerima, dibebaskan, jika menolak, maka akan
dibunuh.66
Khalifah al-Ma`mn masih tetap marah sehingga Ishq mengumpulkan
kembali 30 orang terdiri dari qi, muhaddin, dan fuqah. Lalu mereka diuji.
Mereka menerima bahwa al-Quran adalah makhluk, kecuali empat orang, yaitu:
Ahmad bin Hanbal, Sajadah, Qowariri, dan Muhammad bin Nuh. Mereka
kemudian dibelenggu. Ishq lalu menguji mereka kembali. Dalam ujian ini
sajadah mengakui kemakhlukan al-Quran, lalu ia dilepaskan. Hari berikutnya al-
Qawariri juga mengakui kemakhlukan al-Quran dan persoalannya selesai, kecuali
Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Nuh yang tetap pada pendiriannya. Dengan
63 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 170. 64 Di dalam lingkungan aliran Syiah pada masa itu ada suatu sikap yang diizinkan
terhadap para pengikutnya, yang disebut dengan al-Taqiyat, yang artinya diperbolehkan mengikuti
apapun yang dipaksakan oleh pihak penguasa asalkan pendirian didalamnya teguh dan tidak
berubah-ubah. Maka Ishak ibn Hanbal menganjurkan keponakannya supaya meminjam sikap al-
Taqiyat tersebut. Tetapi anjuran itu ditolak oleh Ahmad ibn Hanbal. 65 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 170. 66 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 176.
26
tangan terbelenggu, keduanya dikirim kepada khalifah di Tarsus. Namun mereka
belum sempat dihadapkan langsung kepada khalifah, karena beliau telah wafat
sebelum keduanya sampai di sana. Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh
dikembalikan ke Baghdad. Dalam perjalanan pulang ini Muhammad meninggal
dunia.67
Dengan meninggalnya Khalifah al-Mamun, tidak berarti pengujian dan
penyiksaan terhadap Ahmad bin Hanbal juga selesai. Khalifah Muktaim
melanjutkan ujian-ujian tersebut. Karena keras kepada pendiriannya Ahmad bin
Hanbal didera dan dimasukkan ke dalam penjara.68
Khalifah al-Mutaim (218-227 H/833-842 M) yang menggantikan khalifah
al-Ma`mn (198-218 H/813-833 M) adalah seorang militer, dan juga berjiwa
militer. Sekalipun ia adalah putra khalifah Harun al-Rasyd (170-193 H/786-809
M), yang bersama saudaranya al-Amin dan al-Ma`mn diperintahkan turut
menghadiri diskusi-diskusi pada balai waktu penghadapan khalifah, akan tetapi
sejak muda ia tidak berselera terhadap masalah-masalah ilmiah dan filsafat
ataupun teologi. Pada masa pemerintahannya balai penghadapan khalifah dapat
dikatakan sepi dari diskusi.69
Akan tetapi karena ia memegang wasiat dari saudaranya, al-Ma`mn,
iapun melanjutkan kebijakan yang telah digariskan sebelumnya. Pada masa al-
Muktaim tidak ada pengumuman-pengumuman ataupun dasar-dasar pikiran yang
baru untuk dikeluarkan. Ia hanya memerintahkan supaya al-Mihnah, yakni
pemeriksaan atau penelitian keyakinan yang dianut tentang al-Quran, tetap
dijalanjan kepada seluruh wilayah Islam pada masa itu.70
Naiknya al-Mutaim menandai diakhirinya kebijakan ini. Pemerintah al-
Muktaim cendrung melindungi paham yang dianut mayoritas rakyatnya.
Mayoritas umat Islam secara nominal banyak mengikuti paham al-Muhaddisn
67 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 177. 68 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 63. 69 Joesoef Souyb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), h. 172. 70 Joesoef Souyb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
172.
27
(terkadang disebut Ahlusunnah) yang lebih berpegang pada panduan al-Quran
dan hadis daripada pertimbangan rasional sebagaimana yang banyak dianut oleh
kaum Muktazilah. Bahkan, pada priode ini, jumlah umat Islam yang
mengamalkan pendekatan sufi juga semakin bertambah.71
Tindakan al-Ma`mn tentang jabatan putra mahkota itu menjadikan al-
Mutaim setaraf dengan khalifah-khalifah Islam pilihan dan ahli-ahli pikir yang
terkemuka. Anaknya sendiri al-Abbs berkedudukan tinggi dikalangan angkatan
tentara sebenarnya layak menjadi khalifah. Tetapi al-Ma`mn menyingkirkannya
karena beliau menganggap al-Mutaim lebih cerdas dan berani. Sikap ini hanya
diamalkan sejumlah kecil para khalifah dan sultan-sultan Islam. Al-Ma`mn
menyadari saudaranya al-Mutaim kurang pengatahuan dan pengalaman ilmiah,
karena itu ia menyediakan untuk al-Mutaim suatu perlembagaan yang terpisah.
Di mana diuraikan apa yang patut dibuat oleh al-Muktaim dan apa yang mesti
dibuang. Perlembagaan itu meliputi masalah kemakhlukan al-Quran, dan
perlunya rakyat berpegang teguh kepada pendapat tersebut, karena masalah itu
pada pandangan al-Ma`mn adalah salah satu pokok ajaran agama yang
berhubungan dengan sifat wahdniyah. Perlembagaan itu juga ditugaskan al-
Muktaim menumpas gerakan Khurramiyah, akhirnya ia menganalisis beberapa
tokoh yang terkemuka dan berpesan supaya bersikap baik kepada sebagian juga
berjaga-jaga terhadap sebagian yang lainnya.72
Sebagai contoh maka dibawah ini telah diriwayatkan oleh at-abri:
Ikutilah jejak langkah saudaranya berhubung dengan masalah al-Quran
itu, jalankanlah tugas khalifah sebagai seorang yang patuh kepada Allah
SWT, takut akan hukuman dan siksanya. Jangan lalaikan urusan rakyat
karena dengan adanya kerajaan karena adanya mereka.
Ambillah hak dari mereka yang kuat untuk dibagikan kepada pihak yang
lemah. Bersikaplah adil satu sama lain menurut hak masing-masing.
Perangilah gerakan Khurramiyah dengan tegas dan keras... janganlan
71 Taufiq Abdullah, Era Pengaruh Turki, h. 98. 72 Joesoef Souyb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
173.
28
berjauhan dari Abu Abdullah Ahmad bin Daud untuk suatu perundingan...
karena itu maka bisa kita katakan bahwa Al-Mutaim didalam banyak hal
adalah lanjutan dari saudaranya al-Ma`mn .
Lanjutan dalam perkara al-Quran adalah mahluk, sikapnya terhadap
pemberontakan Zatti sehingga berhasil menumpasnya, seperti yang telah
disebutkan dahulu tentang pertarungannya dengan gerakan Khurraiyah sehingga
mencapai kejayaan, kehebatan dan keagungannya berhadapan dengan tentara
Roma ketika beliau telah memperlihatkan kecakapan yang luar biasa di medan
perang Amuriyah.
Sementara itu `Imm `Ahmad bin Hanbal telah terpandang hero oleh
kalangan awam, sebagai pahlawan yang teguh hatinya dalam mempertahankan
pendirian di kalangan al-Muhaddisn, yang bertahan dengan tetapi tidak mengakui
al-Quran sebagai makhluk, yang mengakibatkan kemarahan dalam kalangan
khalifan. Bahkan konon pamannya sendiri, `Ishq bin Hanbal, pernah berkunjung
ke penjara dan menganjurkan kepada keponakannya yang sudah berusia lanjut itu,
supaya menyerah dan mengakui saja bahwa al-Quran itu suatu ciptaan Allah atas
dasar at-Taqiyah.73
Khalifah al-Mutaim pernah suatu hari memerintahkan untuk membawa
`Imm `Ahmad bin Hanbal dari penjara untuk menghadapnya. Dalam majelis
penghadapannya itu turut hadir hakim agung Ahmad bin Abi Daud beserta
sahabat-sahabatnya dari aliran Muktazilah dan ruangan majelispun penuh dengan
para hakim yang sudah dikumpulkan beserta pembesar-pembesar pemerintahan.74
Berlangsung tanya jawab sebagai berikut:
Al-Mutaim: coba jelaskan pendirian Anda?
73 Joesoef Souyb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
173. Didalam lingkungan aliran Syiah pada masa itu ada suatu sikap yang diizinkan terhadap para
pengikutnya, yang disebut dengan al-Taqiyat, yang artinya diperbolehkan mengikuti apapun yang
dipaksakan oleh pihak penguasa asalkan pendirian didalamnya teguh dan tidak berubah-ubah.
Maka Ishak bin Hanbal menganjurkan keponakannya supaya meminjam sikap at-Taqiyah tersebut,
tetapi anjuran itu ditolak oleh Ahmad bin Hanbal. 74 Joesoef Souyb, Peranan aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
174.
29
`Ahmad bin Hanbal: saya mengakui bahwa tiada yang disembah kecuali
Allah. Moyang anda, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib (wafat 68
H/688 M). Bercerita tentang peruntusan Abdul Qais dan sampai didepan
Rasulullah lalu diperintahkan untuk beriman kepada Allah. Beliau
bersabda: apakah anda tahu yang dimaksud Iman kepada Allah itu?.
Merekapun menjawab: Allah dan Rasul lebih mengatahui. Beliaupun
bersabda: pengkuan bahwa tiada yang disebah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad itu Rasulullah, melaksanakan Shalat, membayar Zakat,
berpuasa dalam bulan Ramadhan, dan menyerahkan seperlima dari setiap
rampasan perang... ya Amral Mu`minn, coba berikan salah satu
pembuktian dari kitab Allah maupun sunnah Rasulullah untuk jadi
pegangan bagiku untuk merubah pendirian.
`Ahmad bin Hanbal hendak menyindir bahwa Rasulullah di dalam
persoalan Iman itu tidak mengkaitkannya dengan kemestian mengakui al-Quran
itu suatu ciptaan Allah. Demikian dalam setiap sidang yang sudah dilaksanakan,
iapun dipulangkan kembali ke dalam penjara dengan pengawalan ketat.
Pemeriksaan terhadap Ahmad bin Hanbal itu berulang sampai tiga hari lamanya.
Pada saat setiap pihak yang telah putus asa untuk menundukan pendiriannya yang
keras itu maka khalifah al-Mutaim menjatuhkan hukuman cambuk dengan
cemeti terhadap `Ahmad bin Hanbal sebanyak tiga puluh delapan cemeti, hingga
darah berleleran pada pungungnya. Lalu beliau diangkat kembali ke dalam
penjara.75
Konon hakim Agung `Ahmad bin Abi Daud sendiri mengusulkan agar
memberikan hukuman mati, akan tetapi khalifah al-Mutaim menolak usulan itu,
dan merasa sudah cukup dengan memberinya hukuman cambuk. Setelah sembuh
dari lukanya, khalifah al-Mutaim langsung membebaskan `Imm `Ahmad bin
Hanbal.76
75 Joesoef Souyb Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
174. 76 Joesoef Souyb Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, h.
176.
30
Setelah al-Mutaim wafat pada tahun 842 M, penggantinya al-Wiq,
seorang yang mempunyai pengetahuan luas dan diberi nama al-Ma`mn Kecil,
melanjutkan al-Mihnah bukan saja kepada para fuqah dan muhaddin, tetapi
juga kepada seluruh rakyat, sehingga penjara penuh dengan orang-orang yang
menolak kemakhlukan al-Quran.77
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan yang dicapai
Dinasti Abbsiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk
hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih
mewah dari pendahulunya. Kecenderungan mewah, ditambah dengan kelemahan
khalifah dan faktor lainnya seperti persaingan antar bangsa, kemorosotan ekonomi
dan konflik keagamaan, menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat
menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal
Turki yang semula diangkat oleh khalifah al-Mutaim untuk mengambil kendali
pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada
di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbs di dalam khilafah Abbsiyah
yang dirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini
sekaligus keruntuhan keilmuan dan pendidikan Islam, meskipun setelah itu
usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.78
Al-Wiq tidak melakukan kekerasan kepada `Imm `Ahmad bin Hanbal,
hanya melarang tinggal di negeri itu. `Imm `Ahmad bin Hanbal lalu bersembunyi
sampai al-Wiq wafat. Tampaknya al-Wiq takut akan menimbulkan
kekacauan, karena `Imm `Ahmad bin Hanbal ini banyak pengikutnya.79
Seperti yang telah dikatakan bahwa al-Wiq juga mengikuti jejak langkah
al-Ma`mn. Dari sini jelas terlihat bahwa sikapnya jelas condong memandang
perkara al-Quran adalah makhluk, mendekati ulama, menjaga rakyat dan tidak
bersungguh-sungguh untuk melantik anaknya sebagai putra mahkota.80
77 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 184. 78 Dr. Siswanto M.Pd.I, Dinamika Pendidikan Islam Perspektif Historis (Pamekasan:
Pena Salsabila. 2013), h. 72. 79 Ahmad Amin, uh al-Islm, h. 184. 80 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III, h. 133.
31
Al-Mutawakkil mulai memerintah tahun 847 M, menggantikan al-Wiq
dan al-Mihnah masih tetap ada selama 2 tahun. Akhirnya al-Mutawakkil
membatalkan al-Mihnah pada tahun 848 M. Dengan demikian, selesailah riwayat
al-Mihnah yang ditimbulkan kaum Muktazilah dan dari ketika itu mulailah
menurun pengaruh dan arti kaum Muktazilah.81
Umat Islam yang telah lama merasa tertekan akibat pemaksaan dan
kekerasan yang dilancarkan kaum Muktazilah, begitu mengetahui khalifah telah
membatalkan aliran Muktazilah sebagai mazhab resmi negara, maka muslimin
pun mulai berani angkat bicara, mendiskusikan, mengkritisi bahkan membantah
paham-paham Muktazilah dengan berbagai argumentasi. Situasi ini juga didukung
oleh mulai berkembangnya aliran `Asyariyah yang telah digagas oleh seorang
ulama besar, tokoh sentral kaum `Ahlusunnah wa al-Jamah yaitu `Ab al-Hasan
al-`Asyari (260-324 H). Dengan kharisma al-`Asyari dan ditambah dengan ajaran-
ajaran yang dibawanya agak moderat dan tradisional serta merupakan jalan tengah
antara dua pemikiran yang ekstrem, akhirnya semakin mendapat simpati dan
dukungan masyarakat luas bahkan juga pihak penguasa, semakin membuat aliran
Muktazilah tidak berdaya lagi sampai datangnya pasukan Mongolia yang
meluluhlantakkan kota Baghdad dan kota-kota lainnya tahun 1258 M, aliran
inipun lenyap.82
Jika diperhatikan masa perkembangan aliran ini yaitu dimulai sekitar awal
abad kedua Hijrah bertepatan dengan awal abad ke-4 Masehi, kemudian
mengalami kemajuan dan kejayaan hingga masa khalifah al-Mutawakkil pada
abad ke-3 Hijrah. Setelah itu mengalami kemunduran sekitar abad ke-5 Hijrah
bertepatan dengan abad ke-11 M. Aliran rasional ini akhirnya lenyap sama sekali
seiring dengan hancurnya kota Baghdad dan kota lainnya akibat serangan tentara
Mongolia pada abad ke-7 Hijrah atau 13 Masehi.83
81 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, h. 63. 82 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h.103. 83 Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, h. 99.
32
D. Priode Perkembangan Muktazilah Sampai Akhir Kejayaannya
33
BAB III
Al-Mutawakkil Sebagai Khalifah
A. Biografi al-Mutawakkil
Al-Mutawakkil84 Alallh bin al-Mutaim bin al-Rasyd. Ibunya adalah
ummu walad dari Khawarizm bernama Syuj, al-Mutawakkil lahir pada bulan
Syawal tahun 206 H di Fam as-ulh. Semasa saudaranya, ia tidak disukai,
sehingga al-Wiq memerintahkan dua orang, yaitu Umar bin Faraj al-Rakhaji
dan Muhammad bin al-Alla al-Khdim agar selalu mengawasinya dan mencatat
berita-beritanya setiap saat. Hal itu juga menyebabkan penyimpangan prilaku
menteri Muhammad bin Abdil Malik az-Zayyat terhadap dirinya. Sang menteri
tidak menerimanya dengan penerimaan yang baik. Jatah rezeki tidak diberikan
kepadanya kecuali dengan cara yang sulit, sehingga Umar bin Faraj mengambil
jatahnya dan sesekali melemparkannya ke halaman masjid, di mana pada saat
itupun Umar duduk di dalam. Orang yang bersikap baik itu adalah Ahmad bin Ab
Du`d.85
B. Pengangkatan al-Mutawakkil sebagai Khalifah
Ketika al-Wiq meninggal dan belum sepat mewasiatkan penggantinya,
maka para pembesar negripun berkumpul. Mereka adalah Q bin Ab Du`d,
menteri Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyt, Umar bin Faraj, Ahmad bin
84 Al-Mutawakil al-Abbasi (206-247 H/821-861 M); nama lengkapnya Jafar al-
Mutawakil Alallah bin Muhammad al-Muktashim Billah bin Harun ar-Rasyid Abu al-Fadhl,
seorang khalifah Abbasiyah. Al-Mutawakil lahir di Baghdad dan dibaiat menjadi khalifah setelah
saudaranya al-Wiq, meninggal dunia tahun 232 H. Dia seorang yang dermawan, terpuji dan
menyukai pembangunan. Di antara jasanya adalah pembangunan Istana al-Mutawakiliyah di
Baghdad. Tatkala diangkat menjadi khalifah, al-Mutawakil menulis surat kepada penduduk
Baghdad secara terbuka dan umum. Surat tersebut dibacakan di atas mimbar yang isinya larangan
memperdebatkan al-Qur'an tidak ada hukuman bagi orang yang berpaham al-Qur'an makhluk atau
yang berpaham al-Qur'an tidak makhluk. Ia memindah ibukota kekhalifahan dari Baghdad menuju
Damaskus. Setelah tinggal di sana dua bulan, ia tidak merasa cocok dengan iklimnya. Maka ia
kembali ke Irak dan tinggal di Samara hingga terbunuh di kota itu pada malam hari. Sebagian
penyair membuat syair-syair yang mencela al-Mutawakil karena ia telah menghancurkan kuburan
al-Husain dan sekitarnya. 85 Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbsiyah , h. 417.
34
Khalid (mereka adalah sekretaris kerajaan), Itakh dan Wahif (panglima Turki).
Mereka bermusyawarah tentang siapa yang akan menjadi pengganti al-Wiq.86
Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyt mengusulkan Muhammad bin al-
Wiq. Merekapun sepakat. Akan tetapi saat mereka mendatangkannya dan
memakaikan pakaian-pakaian kebesaran, Wahif berkata kepada mereka, apakah
kalian tidak bertaqwa kepada Allah. Kalian menyerahkan urusan khilafah kepada
orang sepertinya, padahal shalat bersamanya pun tidak sah?. Binu Ab Du`d
mengusulkan Jafar bin al-Muktaim. Merekapun sepakat atas usulan Binu Ab
Du`d ini.87
Mereka menghadirkan Jafar bin al-Muktaim. Ahmad Ab Du`d
memakaikan pakaian kebesaran kepadanya dan mengecup dahinya. Ahmad Ab
Du`d berkata, selamat wahai Amral Mukminn. Orang-orang yang hadir
berbaiat kepadanya. Ia digelari dengan al-Mutawakkil Alallh. Kemudian
masyarakat umum berbaiat kepadanya. Semua itu berlangsung di hari
meninggalnya al-Wiq, yaitu tanggal 24 Zulhijah tahun 232 H/11 Agustus tahun
847 M. Ia tetap menjadi khalifah hingga terbunuhnya pada malam kamis, 4
Syawal tahun 247 H/11 Desember tahun 861 M.88
Menjadi khalifah dengan gelar al-Mutawakkil. Ia berkuasa dari tahun 847
M hingga 861 M. Menyadari bahwa dirinya bukan pilihan pertama, al-
Mutawakkil melakukan berbagai langkah untuk memastikan basis kekuatannya
antara lain dengan menyingkirkan tokoh yang kurang menyenanginya,
mengangkat para pendukungnya, dan menunjuk ketiga putranya untuk menjadi
calon khalifah secara bertingkat. Ketiga anaknya ini untuk sementara diangkat
menjadi gubernur: al-Muntair (putra sulung) menjadi gubernur di Mesir, al-
Mutz menjadi gubernur di wilayah timur, dan al-Mu`ayyad menjadi gubernur di
Suriah dan Palestina.89
86 Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daullah Abbsiyah , h. 417. 87 Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daullah Abbsiyah , h. 417. 88 Muhammad al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbsiyah , h. 418. 89 Taufiq Abdullah, Era Pengaruh Turki, dalam Starlita, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. , 2002), h. 98.
35
`Ab Bakar bin `Ab Syaibah duduk di masjid al-Manr dan lebih dari
30.000 orang ikut berkumpul di sekelilingnya. Rakyat sangat mendukung al-
Mutawakkil sehingga mereka mendoakannya dan berlebih-lebihan dalam memuji
serta mengagungkannya, hingga ada di antara mereka yang berkata, Khalifah ada
tiga, yakni `Ab Bakar yang memerangi orang murtad, Umar bin Abdul Azz yang
memerangi kezaliman, dan al-Mutawakkil yang menghidupkan sunah dan
menyingkirkan kekacauan.
Mengenai hal ini, `Ab Bakar bin Khabazah pernah bersyair :
Amma bad, sesungguhnya hari ini sunah menjadi kuat, hingga seakan-
akan tidak pernah dihinakan. Sunah menerkam dan menyergap karena
menaranya telah ditegakkan. Menara kebohongan dan kepalsuan telah jatuh
karena rapuh. Saudara pencipta agama berkuasa dengan melarikan diri ke
neraka, dalam keadaan berpaling, bukan menghadap. Allah menyembuhkan
mereka dengan Khalifah Jafar, Khalifah pendukung Sunnah adalah Al-
Mutawakkil. Khalifah Tuhanku dan putra paman Nabi-Nya, keturunan terbaik
Bani Abbs yang berkuasa. Dia mengumpulkan keutuhan agama setelah tercerai-
berai dan dia memenggal kepala orang-orang murtad dengan pedang. Semoga
Tuhan para hamba memanjangkan umurnya. Selamat dari teror yang tidak
tergantikan. Semoga Dia menetapkan surga untuknya karena telah menolong
agama-Nya. Bersanding dengan Rasul terbaik di taman-taman-Nya.90
C. Keadaan Sosial, Politik dan Keagamaan pada Masa al-Mutawakkil
Pada masa pemerintahannya yang panjang itu hanya terjadi dua atau tiga
permusuhan yang agak besar, akan tetapi permusuhan tersebut dapat segera
diselesaikan. Hanya pada masa pemerintahannya itu ada banyak terjadi gempa
bumi pada wilayah Syiria, Parsi, Khurasan dan Yaman. Gempa bumi tersebut
banyak menghancurkan sekian banyak kota dan menelan banyak korban, tetapi
kota-kota itu berhasil dibangun kembali. Oleh sebab itulah banyak ahli-ahli
90 Jalluddn as-Suy, Trkh al-Khulaf (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), h.
224.
36
sejarah mencatat bahwa pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil itu banyak
mendirikan bangunan.91
Di dalam buku al-Mihan, karya as-Sulami, Sesungguhnya Zun-Nun
adalah orang pertama yang berbicara di Mesir mengenai ketertiban sosial dan
derajat para pemangku kekuasaan. Dia mengingkari Abdullah bin al-Hakam, dia
adalah pemimpin Mesir dan termasuk
top related