penyusunan standar kompetensi aparatur sipil...
Post on 06-Feb-2018
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
PENYUSUNAN
STANDAR KOMPETENSI
APARATUR SIPIL NEGARA
DI PEMERINTAH DAERAH
DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
2015
PEDULI INOVATIF INTEGRITAS PROFESIONAL
-
i
PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI APARATUR SIPIL
NEGARA DI PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI
ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
2015
-
ii
Penyusunan Standar Kompetensi Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Daerah
dalam Menghadapi ASEAN Economic Community
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
Editor | Widhi Novianto
Tim Penyusun | Ridwan Rajab, Ani Suprihartini, Widhi Novianto, Edy Sutrisno,
Tony Murdianto Hidayat, Maria Dika, Rico Hermawan, Rusman Nurjaman, Tri
Murwaningsih, Nurlina, Dewi Prakarti Utami, Rita Dwi Kartika Utami, M. Imam
Alfie Syarien
Desain Sampul | Maria Dika
Layout | Maria Dika, Tony Murdianto Hidayat
Gambar sampul diperoleh dari:
http://coverdocument.blogspot.com/2014/06/background-cover-a4_2509.html
http://duniaperpustakaan.com/wp-content/uploads/2013/06/kerjasama.jpg
Diterbitkan oleh
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lembaga Administrasi Negara
Jalan Veteran Nomor 10 Jakarta Pusat 10110
Telp. (021) 3868201-05 Ext. 112-116, Fax. (021) 3866857
Email: pkdod@lan.go.id Web: dkk.lan.go.id
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Widhi Novianto (Editor).
Cetakan I, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah LAN RI, Jakarta.
x + 218; 15,8 cm x 24,1 cm
ISBN: 978-979-1301-33-6
http://coverdocument.blogspot.com/2014/06/background-cover-a4_2509.htmlhttp://duniaperpustakaan.com/wp-content/uploads/2013/06/kerjasama.jpgmailto:pkdod@lan.go.id
-
iii
SAMBUTAN
KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, selaku
Kepala Lembaga Administrasi Negara RI, saya menyambut baik dan
menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Pusat Kajian
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara yang
telah berhasil menyelesaikan Kajian Penyusunan Standar Kompetensi
Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN
Economic Community.
Sebagai sebuah konsep integrasi ekonomi ASEAN, ASEAN
Economic Community (AEC) akan menjadi babak baru dimulainya
hubungan antarnegara ASEAN. Berkaitan dengan hal ini, sudah
seharusnya Pemerintah melakukan berbagai upaya mempersiapkan diri
menghadapi AEC. Pemerintah sebagai penyelenggara negara yang
memiliki fungsi dalam hal regulasi maupun pelayanan memegang
peranan yang sangat penting dalam merespons dinamika tersebut.
Implikasi pelaksanaan AEC tidak hanya terjadi pada tataran Pemerintah
Pusat, namun juga Pemerintah Daerah sehingga daerah seharusnya
memiliki daya saing yang kuat dan mampu bersaing pada era arus bebas
barang, jasa, dan investasi tersebut.
Di sektor pemerintahan sendiri, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) memberikan semangat
perubahan bahwa ASN merupakan suatu profesi dan diisi oleh sumber
daya manusia yang memiliki kompetensi. Berdasarkan UU tersebut, ASN
harus memiliki kompetensi manajerial, kompetensi teknis, dan
kompetensi sosial-kultural.
Menyadari adanya tantangan menghadapi AEC dan implementasi
UU Aparatur Sipil Negara, Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat
Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah memandang perlu untuk
melakukan kajian Penyusunan Standar Kompetensi Aparatur Sipil Negara
-
iv
di Pemerintah Daerah dalam menghadapi AEC. Kajian ini berfokus pada
penyusunan standar kompetensi teknis bidang perindustrian dan
perdagangan bagi pemangku Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Kompetensi
teknis menjadi fokus karena dalam hal meningkatkan daya saing
menghadapi AEC, ASN semestinya memiliki kompetensi teknis yang
mampu merespons lingkungan strategis dan tidak hanya berdasarkan
tugas fungsi jabatan saja. Sedangkan, bidang perindustrian dan
perdagangan merupakan isu penting yang perlu terus diperkuat dalam
menghadapi arus bebas barang dan jasa yang berlaku pada AEC.
Dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi AEC tersebut,
kajian ini memberikan deskripsi kondisi daerah, identifikasi kompetensi
teknis yang relevan berdasarkan lingkungan strategis di level kebijakan
dan praktis, serta rencana aksi sebagai tindak lanjut kajian ini.
Akhir kata, semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat dan
memberikan khazanah yang berguna bagi setiap pembaca khususnya
dan stakeholders LAN pada umumnya.
Jakarta, Desember 2015
Dr. Adi Suryanto, M.Si
-
v
KATA PENGANTAR
Integrasi kawasan ASEAN akan memasuki babak baru dengan
diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC). Penelitian ini
berargumen bahwa negara justru semakin penting dalam konteks
integrasi ekonomi di kawasan. Negara berfungsi untuk meregulasi
kebijakan-kebijakan domestik, mengefektifkan pelayanan publik, dan
memfasilitasi pemerataan ekonomi agar tidak muncul ketimpangan.
Dalam konteks AEC, peran-peran tersebut membutuhkan aparatur yang
siap untuk menghadapi integrasi ekonomi regional. Namun demikian,
masih terdapat sejumlah catatan yang menunjukkan bahwa daya saing
institusional pemerintah masih belum kompatibel dengan AEC.
Komitmen pemerintah untuk membenahi birokrasi dimanifestasikan pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Lahirnya UU tersebut merupakan tonggak keberhasilan reformasi
birokrasi dan juga lahirnya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berbasis
profesionalisme dan kompetensi, serta memenuhi kualifikasi dalam
menjalankan jabatannya. UU tersebut mengatur bahwa ASN harus
memiliki 3 (tiga) kompetensi, meliputi kompetensi teknis, kompetensi
manajerial, dan kompetensi sosial kultural. Sejalan dengan implementasi
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka
diperlukan penyusunan kompetensi Aparatur Sipil Negara, khususnya
kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di
Pemerintah Daerah dalam menghadapi liberalisasi ekonomi. Dalam hal
ini sektor perdagangan dan perindustrian dipilih karena isu di kedua
sektor tersebut sangat krusial dalam pelaksanaan AEC dan Indonesia
masih cukup tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya.
Penyusunan standar kompetensi ASN di Pemerintah Daerah ini menarik
karena selain mempertimbangkan tugas dan fungsi ASN seperti yang
selama ini dilakukan, proses penyusunan standar kompetensi juga
mempertimbangkan isu-isu strategis yang dihadapi ASN di Pemerintah
Daerah, seperti AEC Blueprint, Nawa Cita, aspek lingkungan strategis
sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
-
vi
Nasional (RPJMN 2015-2019), dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) pada lokus kajian.
Hasil kajian ini memberikan deskripsi kondisi empiris yang harus dihadapi
oleh JPT di Pemerintah Daerah, identifikasi kompetensi teknis yang
relevan dibutuhkan pada bidang perindustrian dan perdagangan, serta
rencana aksi sebagai tindak lanjut kajian.
Kami atas nama tim kajian mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, Badan Kepegawaian Negara, Provinsi Kepulauan Riau,
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, ASEAN Studies Center UGM, KADIN Indonesia, KADIN Daerah,
CORE Indonesia, serta semua pihak yang telah bersedia bekerja sama
dalam penyusunan kajian ini.
Akhir kata, semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat luas. Kritik dan saran untuk
penyempurnaan buku ini sangat kami harapkan.
Jakarta, Desember 2015
Sri Hadiati WK, S.H., M.B.A
Deputi Bidang Kajian Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
-
vii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ....................................................................................................... i
Sambutan Kepala Lembaga Administrasi Negara RI .................................. iii
Kata Pengantar .......................................................................................................... v
Daftar Isi ....................................................................................................................... vii
Daftar Tabel ............................................................................................................... ix
Daftar Gambar ........................................................................................................... xii
Daftar Grafik ............................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Tujuan .................................................................................................. 7
C. Metode Penelitian ............................................................................ 8
D. Framework Kajian .............................................................................. 10
BAB 2 PENDEKATAN KONSEPTUAL ......................................................... 13
A. Negara dan Pasar dalam Globalisasi ......................................... 13
B. Competitive and Representative Government ...................... 17
C. State Capacity dan Reinventing Peran Aparatur Sipil
Negara .................................................................................................. 20
D. Tinjauan terhadap Rencana Pembangunan Jangka
Menengah 2015-2019 ..................................................................... 24
BAB 3 TEMUAN LAPANGAN KEPULAUAN RIAU ................................ 37
A. Deskripsi Kondisi Daerah ............................................................... 37
B. Pencapaian di Bidang Ekonomi .................................................. 40
C. Tinjauan Terhadap RPJMD ........................................................... 54
D. Tinjauan Kebijakan Perekonomian Daerah ............................. 57
E. Validasi Standar Kompetensi Teknis .......................................... 64
BAB 4 TEMUAN LAPANGAN JAWA TIMUR .......................................... 79
A. Deskripsi Kondisi Daerah ............................................................... 79
B. Pencapaian di Bidang Ekonomi .................................................. 81
C. Tinjauan Terhadap RPJMD ........................................................... 90
D. Tinjauan Terhadap Kebijakan Perekonomian Daerah ......... 100
E. Validasi Standar Kompetensi Teknis .......................................... 110
-
viii
BAB 5 TEMUAN LAPANGAN SULAWESI UTARA ................................. 125
A. Deskripsi Kondisi Daerah ................................................................ 125
B. Pencapaian di Bidang Ekonomi .................................................. 129
C. Tinjauan Terhadap RPJMD ............................................................ 140
D. Tinjauan Kebijakan Perekonomian Daerah .............................. 145
E. Validasi Standar Kompetensi Teknis .......................................... 154
BAB 6 TEMUAN LAPANGAN NUSA TENGGARA BARAT ................. 168
A. Deskripsi Kondisi Daerah ................................................................ 168
B. Pencapaian di Bidang Ekonomi .................................................. 172
C. Tinjauan Terhadap RPJMD ............................................................ 177
D. Tinjauan Kebijakan Perekonomian Daerah .............................. 181
E. Validasi Standar Kompetensi Teknis .......................................... 184
BAB 7 Identifikasi Kompetensi Teknis ...................................................... 195
A. Identifikasi Kompetensi Teknis ..................................................... 195
B. Jenis Kompetensi Teknis ................................................................ 205
BAB 8 Penutup ..................................................................................................... 209
A. Kesimpulan .......................................................................................... 209
B. Rekomendasi dan Rencana Aksi ................................................. 210
Referensi ............................................................................................. 213
-
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kerjasama Ekonomi Bilateral, Multilateral, dan Regional
yang Melibatkan Indonesia per 2014 ....................................... 3
Tabel 1.2 AEC Scorecard Key Deliverables Phases I-III (2008-2013) 3
Tabel 1.3 Faktor Paling Bermasalah di Indonesia dalam Global
Competitiveness Report ................................................................ 5
Tabel 2.1 Matriks RPJMN 2014-2019 Buku II ............................................ 26
Tabel 3.1 Distribusi Persentase PDRB dengan Migas Atas Dasar
Harga Konstan menurut Lapngan Usaha di Kepulauan
Riau Tahun 2008-2013 ................................................................... 39
Tabel 3.2 Jumlah Perusahaan Industri Besar-Sedang di Provinsi
Kepulauan Riau Tahun 2011-2014 ............................................. 44
Tabel 3.3 Capaian Kinerja Urusan Perindustrian di Provinsi
Kepualaun Riau Tahun 2011-2014 ............................................. 45
Tabel 3.4 10 Jenis Komoditi Ekspor Terbesar Provinsi Kepulauan
Riau Tahun 2013 ............................................................................... 46
Tabel 3.5 10 Jenis Komoditi Impor Terbesar Provinsi Kepualauan
Riau Tahun 2013 ............................................................................... 48
Tabel 3.6 10 Jenis Komoditi Ekspor Terbesar Provinsi Kepulauan
Riau Tahun 2014 ............................................................................... 50
Tabel 3.7 10 Jenis Komoditi Impor Terbesar Provinsi Kepulauan
Riau Tahun 2014 ............................................................................... 52
Tabel 3.8 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMD Provinsi
Kepualaun Riau ................................................................................ 54
Tabel 3.9 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMD Provinsi
Kepulauan Riau ................................................................................. 56
Tabel 4.1 Produksi Tanaman Tahunan dan Musiman Provinsi
Jawa Timur Tahun 2009-2013 ..................................................... 80
Tabel 4.2 Kinerja Perdagangan Jawa Timur Tahun 2010-2013 .......... 82
Tabel 4.3 Jumlah Industri di Jawa Timur Tahun 2009-2013 ................ 84
Tabel 4.4 Realisasi Nilai Ekspor Jawa Timur (Migas dan Non
Migas) ................................................................................................... 85
Tabel 4.5 Realisasi Nilai Ekspor Jawa Timur ............................................... 85
-
x
Tabel 4.6 Realisasi Nilai Ekspor Jawa Timur Per 10 Kelompok
Komoditi Utama ................................................................................ 86
Tabel 4.7 Realisasi Nilai Ekspor Jawa Timur Per 10 Negara Tujuan
Utama .................................................................................................... 86
Tabel 4.8 Realisasi Nilai Impor Jawa Timur (Migas dan Non
Migas) ................................................................................................... 87
Tabel 4.9 Realisasi Nilai Impor Jawa Timur Per Gol. Penggunaan
Barang ................................................................................................... 88
Tabel 4.10 Realisasi Nilai Impor Jawa Timur Per 10 Kelompok
Komoditi Utama ................................................................................ 88
Tabel 4.11 Realisasi Nilai Impor Non Migas Jawa Timur Per 10
Provinsi Utama ................................................................................... 89
Tabel 4.12 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMD provinsi
Jawa Timur Tahun 2014-2019 ...................................................... 92
Tabel 5.1 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB 2006-2010
Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi Sulawesi Utara .. 130
Tabel 5.2 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB 2006-2010
Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Sulawesi Utara .............. 131
Tabel 5.3 Perkembangan Kontribusi Sektor dalam PDRB 2006-
2011 Atas dasar Harga Berlaku (Hb) dan Harga Konstan
(Hk) Provinsi Sulawesi Utara ......................................................... 132
Tabel 5.4 Pertumbuhan Konstribusi Sektor dalam PDRB 2006-
2010 Atas Dasar Harga Berlaku (Hb) dan Harga Konstan
(Hk) Provinsi Sulawesi Utara ......................................................... 135
Tabel 5.5 Matriks Kontribusi Terhadap PDRB Total Pertumbuhan
Ekonomi Sub Sektoral Provinsi Sulawesi Utara 2005-
2009 ....................................................................................................... 136
Tabel 5.6 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMD ................... 140
Tabel 6.1 PDRB Provinsi NTB Tahun 2011-2014 Termasuk Sub
Sektor Pertambangan Non Migas .............................................. 172
Tabel 6.2 PDRB Provinsi NTB Tahun 2011-2014 Tanpa Sub Sektor
Pertambangan Non Migas ............................................................ 173
Tabel 6.3 PDRB Menurut Lapangan Usaha Provinsi NTB Atas
Dasar harga Konstan 2010 ............................................................ 174
-
xi
Tabel 6.4 Volume dan Nilai Ekspor Dirinci Menurut Negara
Tujuan 2013 ........................................................................................ 176
Tabel 6.5 Masalah, Isu Strategis, dan Jenis Kompetensi Berbasis
RPJMD Provinsi NTB Tahun 2013-2018 ................................... 179
Tabel 7.1 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis Konsepsi ................. 195
Tabel 7.2 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis AEC Blueprint ........ 196
Tabel 7.3 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMN 2014-
2019 dan RPJMD di Beberapa Lokus Kajian ........................... 198
Tabel 7.4 Identifikasi Jenis Kompetensi Teknis Berbasis
Pembagian Urusan Perdagangan dan Perindustrian.......... 202
Tabel 7.5 Jenis Kompetensi Teknis ................................................................ 205
-
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Framework Kajian ........................................................................... 10
Gambar 3.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi
Kepulauan Riau dengan Nasional Tahun 2008-2013 ........ 40
Gambar 2.1 Dampak Pendapatan Rendah dan Perubahan Lahan ... 22
Gambar 2.2 Grafik Produksi CPO Indonesia Tahun 2013......................... 23
Gambar 2.3 Grafik Perbandingan Luasan Smallholders dan
Perusahaan ........................................................................................ 25
Gambar 2.4 The Policy Process as a Hierarchy ............................................ 27
Gambar 3.1 Grafik Luas Areal Tanaman Kelapa Sawit, Kelapa, dan
Karet Provinsi Riau Tahun 2009-2013 ................................... 40
Gambar 3.2 Grafik Luas Areal Tanaman Kelapa Sawit, Kelapa,
Karet Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Provinsi
Riau ..................................................................................................... 45
Gambar 3.3 Grafik Produksi Kelapa Sawit, Kelapa, dan Karet Tahun
2009-2013 di Provinsi Riau ......................................................... 46
Gambar 4.1 Formulir Standar Daftar Usaha Budidaya Tanaman
Perkebunan ....................................................................................... 56
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Produktivitas .......................................... 59
Gambar 5.1 Review Institusional ....................................................................... 89
Gambar 5.2 Petani Mandiri dalam Sistem Pasar Investasi ....................... 98
Gambar 6.1 Model Skema Kemitraan.............................................................. 111
Gambar 6.2 Institutional Arrangement dalam Pemberdayaan
Petani Mandiri Kelapa Sawit ....................................................... 123
Gambar 6.3 Usulan Kelembagaan Petani ....................................................... 126
-
xiii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1 Rekapitulasi Persentase Relevansi Kompetensi Teknis
Provinsi Kepulauan Riau .............................................................. 65
Grafik 4.1 Rekapitulasi Persentase Relevansi Kompetensi Teknis
Provinsi Jawa Timur ....................................................................... 112
Grafik 5.1 Rekapitulasi Persentase Relevansi Kompetensi Teknis
Provinsi Sulawesi Utara ................................................................ 155
Grafik 6.1 Rekapitulasi Persentase Relevansi Kompetensi Teknis
Provinsi NTB ..................................................................................... 184
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setelah krisis ekonomi yang melanda khususnya kawasan Asia
Tenggara, para Kepala Negara ASEAN dalam KTT ASEAN ke-9 di Bali
pada tahun 2003 meyepakati pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN
Community) dalam bidang Keamanan Politik (ASEAN Political-Security
Community), Ekonomi (ASEAN Economic Community), dan Sosial Budaya
(ASEAN Socio-Culture Community) yang dikenal dengan Bali Concord II.
Untuk pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun
2015, ASEAN menyepakati perwujudannya diarahkan pada integrasi
ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada AEC Blueprint.
AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota
ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat empat pilar
utama, yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi
tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa,
investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2)
ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan
elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan
intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce;
(3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang
merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan
-
2
prakarsa integrasi ASEAN; (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi
secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan
yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan
meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
Sesuai dengan empat pilar utama AEC tersebut, negara-negara
ASEAN telah melakukan persiapan yang diawali dengan
diberlakukannya penghapusan hambatan tarif menjadi 0% pada tahun
2010 oleh negara-negara ASEAN 6 (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand). Akan tetapi, perencanaan para elite politik
negara ASEAN melalui pilar-pilar tersebut nyatanya menimbulkan
permasalahan utama dalam pencapaian regionalisasi ekonomi ASEAN,
yaitu ketimpangan signifikan antara dua pilar pertama dengan dua pilar
yang terakhir. Laporan tahunan pembentukan AEC tahap II misalnya,
menunjukkan bahwa target integrasi dengan pasar global telah tercapai
85,7% sementara target peningkatan daya saing regional dan
pemerataan pembangunan baru tercapai berturut-turut 67,9% dan
66,7% (ASEAN Secretariat, 2012). Dengan kata lain, upaya ASEAN untuk
membebaskan pasarnya dengan berbagai kesepakatan pasar bebas
dengan negara-negara di luar kawasan jauh lebih akseleratif daripada
memperkuat daya saing internal kawasan ASEAN itu sendiri.
Kendati secara regional pencapaian empat pilar utama AEC
masih menemui ganjalan, data Perdagangan pada tahun 2014
menunjukkan bahwa share perdagangan intra-ASEAN menunjukkan
angka yang cukup menjanjikan pada masing-masing share perdagangan
ke negara-negara ASEAN, yaitu di atas 15%. Hal ini berarti bahwa
regionalisme ekonomi di Asia Tenggara merupakan hal yang krusial bagi
masing-masing negara ASEAN.
Seiring dengan perkembangan konstelasi ekonomi global,
Indonesia tetap terus berupaya mendorong peningkatan kerjasama
internasional baik di forum bilateral, regional, maupun multilateral. Salah
satunya adalah melalui peningkatan peran dan kemampuan Indonesia
dalam melakukan diplomasi ekonomi. Pada tingkat bilateral, saat ini
telah ada kesepakatan kerjasama ekonomi antara IndonesiaJepang,
IndonesiaKorea Selatan, IndonesiaAustralia serta Indonesia dengan
-
3
negara-negara European Free Trade Association (EFTA) seperti gambar
berikut ini.
Tabel 1.1.
Pada tingkat regional, kerjasama ekonomi ASEAN semakin
meningkat sejak dimulainya integrasi ekonomi regional dalam ASEAN
Free Trade Area (AFTA) hingga kepada pembentukan AEC yang akan
diimplementassikan secara penuh pada tanggal 31 Desember 2015.
Perkembangan persiapan implementasi AEC yang diukur melalui
scorecard menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai 82,4% dari 431
butir penilaian pada scorecard AEC. Capaian tersebut di atas rata-rata
ASEAN yang saat ini mencapai 82,1% dari 229 Key Deliverables prioritas
yang ditargetkan selesai pada tahun 2015.
Tabel 1.2.
-
4
Tantangan kerjasama ekonomi internasional antara lain: 1) masih
belum selarasnya antara diplomasi politik dan diplomasi ekonomi; 2)
belum optimalnya kualitas koordinasi lintas sektor dan seluruh pihak
terkait dalam proses penyiapan dan implementasi hasil-hasil kerjasama
ekonomi internasional; serta 3) belum optimalnya pemanfaatan
kesepakatan kerjasama ekonomi internasional dalam mencapai
kepentingan nasional terutama untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Awareness dan preparedness pemerintah menjadi kunci penting
dalam memenangkan AEC. Studi lain yang dilakukan oleh Pusat Studi
ASEAN (2014) menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih
memfokuskan diri pada pelaku ekonomi yang berbasis ekspor.
Padahal dampak AEC nantinya tidak hanya dirasakan pelaku ekspor,
namun juga pelaku ekonomi yang menggunakan bahan baku impor,
maupun pelaku ekonomi lokal yang memproduksi barang yang sama
dengan negara lain di ASEAN. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
rendahnya kesiapan pelaku ekonomi terhadap AEC ditentukan oleh
pendekatan pemerintah dan aparaturnya yang kurang komprehensif.
Dalam konteks AEC, aparatur memerlukan penyesuaian-
penyesuaian institusional untuk menghadapi tantangan baru yang akan
muncul di lingkungan ASEAN (Hill dan Menon, 2012; Aksaranee dan
Arunanondchai, 2005). Penyesuaian tersebut antara lain terkait
dengan liberalisasi di sektor perdagangan dan jasa yang membuat
pemerintah tidak hanya harus mereposisi kebijakan-kebijakan
ekonominya, tetapi juga memastikan semua komponen aparatur siap
dengan perubahan struktural ini.
Terkait dengan kompetensi misalnya, dalam menghadapi AEC,
Kasali (2014) mengisyaratkan perlunya penyesuaian kapasitas internal
organisasi. AEC memberikan paradigma baru, sebuah transformasi dari
cara pandang siapa yang mampu beradaptasi akan bertahan menjadi
siapa yang cepat, dialah pemenangnya. Menurut Kasali, tantangan
seperti AEC tadi memerlukan sebuah kapasitas yang dibangun secara
berkelanjutan agar organisasi mampu merespon peurbahan dengan
waktu yang efisien, tangkas, dan efektif. Kasali menyebutnya sebagai
-
5
agility dan dynamic capability, yaitu kualitas sensorik yang cepat
dalam mengidentifikasi ancaman maupun kesempatan.
Namun demikian, pemerintah saat ini masih punya beberapa
persoalan serius. Catatan ASEAN Competitiveness Fundamentals (2013)
memperlihatkan bahwa Indonesia masih cukup tertinggal dalam hal
pengembangan infrastruktur makroekonomi dan masih belum memiliki
institusi yang responsif terhadap perkembangan ekonomi regional.
Dengan kata lain, daya saing institusional pemerintah masih belum
kompatibel dengan AEC. Akibatnya, indeks daya saing Indonesia masih
cukup rendah di sektor infrastruktur (terendah dari ASEAN-5),
perkembangan pasar tenaga kerja (terendah dari ASEAN-5), serta cukup
minim dalam hal pengembangan institusional (hanya lebih baik daripada
Thailand yang baru saja mengalami kudeta militer).
Beberapa fakta di atas mengisyaratkan pentingnya Indonesia
untuk mempersiapkan kapasitas pemerintah dalam menghadapi AEC.
Secara garis besar, Indonesia memiliki peluang sebagai negara tujuan
investasi di ASEAN karena share Foreign Direct Investment (FDI) yang
tinggi serta market size yang sangat besar. Dari persepsi Investor,
Indonesia adalah the most favorable country sebagai ekonomi pasar
yang besar dan tenaga kerja yang juga cukup menjanjikan (ASEAN
Business Outlook, 2015). Namun demikian, selama ini ada problem
institusional yang belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan kerangka
Good Governance. Data Global Competitiveness Report empat tahun
terakhir menunjukkan bahwa masalah paling krusial yang dihadapi di
Indonesia dalam menjaga daya saingnya adalah permasalahan di sektor
publik, baik berupa inefisiensi, maupun korupsi. Kondisi ini tentunya
akan mengganggu iklim untuk berbisnis akibat ekonomi biaya tinggi.
Tabel 1.3.
Faktor Paling Bermasalah di Indonesia dalam Global Competitiveness Report
No 2010 2011 2012 2013
1 Inefisiensi Birokrasi Korupsi Inefisiensi Birokrasi Korupsi
2 Korupsi Inefisiensi Birokrasi Korupsi Inefisiensi Birokrasi
-
6
No 2010 2011 2012 2013
3 Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur
4 Akses Pembiayaan Ketidakstabilan
Politik
Etika Kerja Buruk Akses Pembiayaan
5 Inflasi Akses Pembiayaan Peraturan
Ketenagakerjaan
Peraturan
Ketenagakerjaan
Sumber: Global Competitiveness Report, 2013, diolah.
Dengan berpijak pada kerangka Competitive and
Representative Government, penelitian ini ingin berargumen bahwa
negara justru semakin penting dalam konteks regionalisasi ekonomi di
kawasan (lihat Nesadurai, 2003; Nesadurai, 2013). Negara berfungsi
untuk meregulasi kebijakan-kebijakan domestik, mengefektifkan
pelayanan publik, dan memfasilitasi pemerataan ekonomi agar tidak
muncul ketimpangan (lihat Shin, 2005). Dalam konteks AEC, peran-peran
tersebut membutuhkan aparatur yang siap untuk menghadapi integrasi
ekonomi regional. Oleh sebab itu, secara lebih spesifik, penelitian ini
ingin melihat bagaimana dan dalam kapasitas apa negara bisa berperan
dalam menghadapi AEC, dengan mengambil studi kasus empat daerah
di Indonesia.
Penelitian ini berpegang pada tiga argumen penting mengapa
sektor perdagangan dan perindustrian menjadi fokus penelitian.
Pertama, isu perdagangan dan perindustrian adalah salah satu dari
empat elemen penting dalam AEC yang akan dihadapi oleh Indonesia.
Cetak Biru AEC (2007) telah menyatakan bahwa ASEAN akan
menginisiasi sebuah pasar dan basis produksi tunggal yang salah satu
substansi pentingnya adalah arus bebas perdagangan barang dan jasa.
Konsekuensinya, isu perdagangan menjadi penting untuk direspons
oleh semua kalangan di Indonesia. Di samping itu, Cetak Biru tersebut
juga menyatakan bahwa salah satu target AEC adalah integrasi dengan
ekonomi global dan kawasan ekonomi yang sangat kompetitif. Hal
tersebut mengimplikasikan masing-masing negara untuk mendorong
investasi untuk mendorong competitiveness (WEF, 2013). Dengan
demikian, variabel perdagangan dan perindustrian menjadi penting
untuk direspons dalam menghadapi AEC.
-
7
Kedua, secara komparatif, Indonesia cukup tertinggal dari
negara-negara anggota ASEAN lain dalam dua isu ini. Data indeks
ASEAN Competitiveness Fundamentals menunjukkan bahwa Indonesia
tertinggal dari Singapura dan Malaysia dalam inovasi, pertumbuhan
pasar keuangan, serta infrastruktur pasar barang dan jasa. Padahal
tiga variabel ini penting dalam menopang industri dan perdagangan
barang dan jasa di ASEAN sehingga pemerintah perlu memperhatikan
kesiapan dalam menghadapi pertumbuhan di dua sektor ini agar
Indonesia bisa punya daya saing dalam menghadapi AEC.
Ketiga, isu perdagangan dan industri adalah dua isu yang krusial
bagi negara- negara Middle Power seperti Indonesia, karena isu ini
menunjukkan daya saing (competitiveness) Indonesia di tingkat global.
Dengan pertumbuhan ekonomi dan market size yang cukup besar,
Indonesia berpotensi untuk menjadi sasaran ekspansi perdagangan
dalam skema liberalisasi di kawasan maupun global. Jika pemerintah
tidak mempersiapkan diri menyambut hal ini, Indonesia akan dirugikan
karena hanya akan menyediakan tenaga kerja murah dan konsumsi
karena market size-nya yang besar. Oleh sebab itu, mempersiapkan
sektor perdagangan dan perindustrian menjadi penting. Tanpa diikuti
oleh produktivitas dari sektor perdagangan dan perindustrian, Indonesia
akan kehilangan daya saingnya dalam pasar global dan kawasan. Pada
titik inilah pemerintah bisa memfasilitasi semua elemen untuk
memperkuat daya saing dengan menumbuhkan knowledge economy
sebagai fondasi ekonomi menghadapi integrasi ekonomi (Irawati dan
Rutten, 2014).
B. TUJUAN
1. Mengidentifikasi kompetensi ASN Jabatan Pimpinan Tinggi Pemda
yang dibutuhkan dalam menghadapi AEC dengan
mempertimbangkan permasalahan, kebutuhan, mandat kebijakan,
dan tantangan dalam menghadapi AEC.
2. Menyusun standar kompetensi ASN Jabatan Pimpinan Tinggi Pemda
dalam menghadapi AEC.
-
8
C. METODE PENELITIAN
1. Rencana Metode Analisis Data
Kajian ini bertujuan mengidentifikasi kompetensi yang seharusnya
dimiliki oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerintah daerah dalam
menghadapi AEC 2015, terutama terkait dengan sektor perdagangan
dan industri. Hasil identifikasi kedua faktor tersebut kemudian
menjadi basis bagi Tim Peneliti untuk menyusun standar kompetensi
ASN JPT di pemerintah daerah yang terkait dengan kompetensi
manajerial, sosial kultural, dan teknis.
2. Metode Pengumpulan Data
Guna mencapai tujuan tersebut, kajian ini menggunakan
pendekatan yang melibatkan serangkaian aktivitas, yakni:
a. Pemetaan Literatur dan Regulatory Mapping. Pemetaan literatur
bertujuan mengindentifikasi hasil-hasil riset terdahulu tentang
pemahaman dan kesiapan ASN Pemda dalam menghadapi AEC.
Sementara itu, regulatory mapping digunakan untuk memetakan
sejauh mana regulasi dan kebijakan dari level pusat hingga daerah
terkait sektor perdagangan dan perindustrian, serta kebijakan
terkait dengan perencanaan (RPJMN dan RPJMD). Proses ini juga
mendeteksi sejauhmana dan bagaimana pemerintah pusat dan
daerah menterjemahkan isu AEC ke dalam penyusunan standar
kompetensi.
b. Penelitian Lapangan. Dilakukan untuk memperoleh gambaran
terkait dengan kondisi existing ASN pemerintah daerah yang
akan secara langsung berinteraksi dalam arena AEC. Kondisi yang
dipetakan terutama terkait dengan pemahaman tentang AEC,
peluang dan tantangan yang dihadapi dalam konteks AEC, serta
aspek-aspek yang diperlukan untuk mengantisipasi dan
memaksimalkan peluang dalam AEC. Hasil penelitian lapangan
tersebut dijadikan dasar dalam penyusunan standar kompetensi
ASN pemerintah daerah yang akan difokuskan dalam kajian ini,
yaitu Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Di samping
-
9
pemerintah, pemahaman dan kesiapan juga akan dilihat di
kalangan pengusaha yang diwakili oleh Kamar Dagang dan
Indus t r i (KADIN) di setiap daerah. Proses analisis stakeholders
ini diselenggarakan di empat provinsi, yaitu: Provinsi Kepulauan
Riau, Sulawesi Utara, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Proses penggalian data dilakukan dengan menyelenggarakan
Diskusi Terbatas dan wawancara mendalam dengan para aktor
kunci di masing-masing daerah.
c. Observasi. Dilakukan untuk melihat secara langsung kesiapan
pemerintah maupun masyarakat di keempat ibu kota provinsi
obyek studi dalam menghadapi AEC. Observasi dilakukan untuk
melihat potensi perindustrian dan perdagangan di masing-masing
daerah.
Secara garis besar, penelitian ini mengambil sampel-sampel kota
yang berada di pulau Jawa dan 2 kota yang berada di wilayah
perbatasan dan merupakan wilayah Kawasan Ekonomi Khusus yang
memiliki karakteristik khas sebagai kota tujuan perdagangan serta
berpotensi untuk berhadapan langsung dengan AEC. Provinsi
Jawa Timur dipilih karena karakteristiknya sebagai area industri dan
perdagangan dengan potensi investasi di sektor industri pengolahan
(lihat BPS 2014). Provinsi Kepulauan Riau dipilih karena
karakteristiknya sebagai area perdagangan bebas (free trade zone)
dan dengan demikian akan menjadi salah satu area penting dalam
integrasi ekonomi kawasan (lihat BPS Kepulauan Riau, 2014). Provinsi
Sulawesi Utara dipilih karena karakteristiknya sebagai kepulauan
yang berbatasan dengan Filipina dan memiliki Kawasan Ekonomi
Khusus, dengan potensi sektor ekspor dan impor (lihat RPJMD
Provinsi Sulawesi Utara 2010-2015). Sedangkan Provinsi Nusa
Tenggara Barat dipilih karena karakteristiknya sebagai destinasi
wisata dan mewakili koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara.
3. Analisis dan Pengolahan Data. Berbagai data dan informasi yang
telah diperoleh kemudian dirumuskan dalam field note yang akan
menjadi bahan diskusi dalam merumuskan laporan penelitian dan
rekomendasi praktis pada pemerintah.
-
10
D. FRAMEWORK KAJIAN
Gambar 1.1. Framework Kajian
Riset Desain dalam kajian ini disusun dengan mempertimbangkan
berbagai aspek antara lain :
a. Tinjauan Konseptual
Kerangka Competitive and Representative Government yang
diajukan pada poin di atas pada dasarnya memerlukan kapasitas
penyelenggara negara yang prima. Secara teoretik, penelitian ini
akan menggunakan bingkai Competitive and Representative
Government untuk mendefinisikan kapasitas-kapasitas tertentu
yang harus dimiliki oleh negara dan dijalankan oleh
Kompetensi
Manajerial
Kompetensi
Teknis
Pengumpulan Data
Kuesioner & FGD di Pusat
Draft awal
Standar
Kompetensi
Validasi Standar
Kompetensi
Tinjauan
Lingkungan
Strategis
Tinjauan
Yuridis
AEC
Blueprint
Riset Desain Penyusunan Standar
Kompetensi ASN Pemda
Tinjauan
Konseptual
Standar Kompetensi
Kompetensi
Sosial - Kultural
-
11
penyelenggara negara. Sebagaimana diulas pada bagian
sebelumnya, Competitive and Representative Government
memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi kompetisi
di tingkat regional/global tetapi juga mampu membangun
legitimasi internal di tingkat domestik (Bretton, 2007).
b. AEC Blueprint
AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota
ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat
empat pilar utama, yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan
berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran
bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran
modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya
saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi,
perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual,
pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce; (3)
ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang
merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan
menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN, (4) ASEAN sebagai
kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian
global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam
hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran
serta dalam jejaring produksi global.
c. Tinjauan Yuridis
Peraturan Perundang-undangan yang relevan dijadikan
pertimbangan dalam kajian ini antara lain:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang
Perindustrian;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
-
12
d. Tinjauan Lingkungan Strategis
Penyusunan standar kompetensi yang dibutuhkan Aparatur Sipil
Negara (ASN) di Pemda dalam menghadapi ASEAN Economic
Community mempertimbangkan Nawa Cita (9 Program Prioritas
Pemerintahan Jokowi) dan aspek lingkungan strategis
sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pada lokus
kajian.
Riset Desain berikut dengan instrumen jenis kompetensi di
bidang perindustrian dan perdagangan yang telah disusun,
selanjutnya didiskusikan dengan narasumber antara lain :
Kementerian Perdagangan
Kementerian Perindustrian
Badan Kepegawaian Negara
Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia
Kegiatan berikutnya adalah melakukan penelitian lapangan di
beberapa lokus, yaitu: Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jawa
Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
dalam rangka melakukan validasi jenis-jenis kompetensi di
bidang perdagangan dan perindustrian.
Berdasarkan hasil validasi dilakukan penyempurnaan jenis-jenis
kompetensi yang dibutuhkan Aparatur Sipil Negara Jabatan
Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi
ASEAN Economic Community.
-
13
BAB 2
PENDEKATAN KONSEPTUAL
A. NEGARA DAN PASAR DALAM GLOBALISASI
Kajian tentang penyusunan standar kompetensi Aparatur Sipil
Negara di Pemerintah, secara teoretik, akan terkait dengan perdebatan
tentang posisi negara dan pasar di tengah politik regional dan global
yang terintegrasi (Pusat Studi ASEAN UGM, 2015). Dalam konteks AEC,
integrasi yang terjadi sangat terkait dengan proses ini, ketika Asia
Tenggara sebagai sebuah kawasan mengalami pengurangan-
pengurangan hambatan dalam arus ekonomi, termasuk barang dan
jasa (Nesadurai, 2003; ASEAN, 2007). Oleh sebab itu, penting untuk
memetakan terlebih dulu, secara teoretik, hubungan antara negara dan
pasar dalam kajian tentang globalisasi.
Secara teoretik, ada dua posisi pendekatan tentang negara dan
pasar dalam literatur- literatur tentang globalisasi (Held, 2010) dalam
(Pusat Studi ASEAN UGM, 2015). Pertama, pendekatan yang melihat
globalisasi sebagai proses. Dalam perspektif ini, globalisasi dilihat
sebagai proses yang niscaya dalam politik global, akibat jatuhnya Uni
Soviet yang mengakhiri perang dingin, adanya proses globalisasi
produksi, serta hilangnya batas-batas negara bangsa akibat
perkembangan teknologi informasi yang kian massif (Friedman, 1999; cf.
Fuchs, 2001). Adanya integrasi ekonomi global, yang ditandai oleh
menguatnya peran institusi-institusi internasional dalam pembangunan
-
14
(terutama di dunia ketiga) dan maraknya proyek-proyek regionalisme
menjadi salah satu argumen penting dari perspektif ini (Deshpande,
2002). Perspektif ini melihat globalisasi sebagai manifestasi dari akhir
sejarah karena tidak ada lagi perseteruan politik global yang
membuat integrasi global terhalang, sehingga menjadikan globalisasi
menjadi mungkin (cf. Fukuyama, 1993).
Kata kunci untuk melihat globalisasi dalam perspektif ini adalah
negarabangsa yang kehilangan relevansinya. Pandangan ini tentu
sangat dipengaruhi oleh pandangan ekonomipolitik liberal neo-
institusionalis yang sangat percaya dengan supremasi pasar
dalam ekonomi-politik internasional dan menganggap negara sebagai
penghalang bagi terciptanya mekanisme pasar (lihat Wunderlich, 2007;
cf. Nesadurai, 2003: 22). Merujuk pada konsep de-teritorialisasi,
pandangan ini percaya bahwa dengan adanya arus bebas perdagangan,
terutama di wilayah barang dan jasa, negara tidak lagi memiliki kuasa
untuk mengintervensi perekonomian dan menjadikan pasar bisa
berjalan secara optimal (Nesadurai, 2003: 23). Namun demikian,
perspektif ini juga menuai kritik. Walaupun sangat menitikberatkan
pada pasar, perspektif ini sebetulnya juga tidak bisa lepas dari
negara. Posisi negara, dalam perspektif ini, bukan lagi dalam
kerangka negara yang memiliki kuasa tertentu atas ekonomi,
melainkan regulatory state, yakni negara yang memainkan
fungsinya sebagai regulator dalam perekonomian, menjadikan
regulasi-regulasi tersebut sesuai dengan kebutuhan pasar dan
menjadikan pasar bermain dalam koridor regulasi tersebut (Jayasuriya,
2004). Dalam perspektif yang berbeda, globalisasi juga mengisyaratkan
munculnya knowledge economy yang berporos pada institusi,
jaringan, dan dukungan inovasi yang juga, secara tidak langsung,
membutuhkan peran negara di dalamnya (Irawati dan Rutten, 2014).
Hal yang sama juga berlaku dalam konteks ASEAN. Tidak mungkin
melepaskan integrasi ekonomi di Asia Tenggara dengan peran
negara karena pada dasarnya justru negara-lah yang membangun
inisiatif untuk membangun proyek integrasi ekonomi kawasan
(Nesadurai, 2003; Jayasuriya, 2004). Dengan demikian, asumsi bahwa
-
15
globalisasi menihilkan peran negara tidak sepenuhnya benar, terutama
dalam konteks AEC.
Kedua, pendekatan yang melihat globalisasi sebagai sebuah
proyek politik global. Pendekatan ini percaya bahwa globalisasi adalah
sebuah proyek politik yang didorong oleh institusi kepengaturan global
dan melibatkan kepentingan negara juga di dalamnya (Nesadurai, 2003;
lihat Joseph, 2010). Konsekuensinya, pendekatan ini percaya bahwa
dalam lanskap politik global yang semakin terintegrasi, negara penting
untuk meregulasi pasar dan memberdayakan sumber daya yang
ada di dalamnya. Dalam perspektif ini, globalisasi mensyaratkan
negara sebagai regulator dan perangkat institusional untuk mendorong
inovasi dan knowledge economy. Negara sebagai regulator berarti
negara memiliki kuasa untuk mengarahkan proses-proses integrasi
regional sejauh kemampuannya untuk melahirkan perangkat-perangkat
aturan main bagi kelompok bisnis (Jayasuriya, 2004). Hal ini menjadi
penting karena integrasi ekonomi global pada dasarnya ditandai oleh
globalisasi produksi yang, pada titik tertentu, mengharuskan negara
untuk mempersiapkan sumber daya manusia siap pakai untuk
menjawab tantangan-tantangan global yang ada (Irawati, 2014).
Kata kunci dalam pendekatan ini adalah peran negara sebagai
regulatory state (Hameiri, 2010). Proses state-building dalam perspektif
ini tidak lagi diarahkan pada upaya untuk mendisiplinkan proses-proses
ekonomi dan politik dengan kekuatan koersif yang ia miliki, tetapi
lebih diarahkan pada proses mengatur dan memberikan koridor
agar mekanisme pasar dapat berlangsung secara optimal. Secara lebih
spesifik, negara sebagai regulatory state bertugas untuk menyiapkan
proses-proses ekonomi untuk mampu berhadapan dengan globalisasi
ekonomi, termasuk dalam konteks ini integrasi ekonomi kawasan.
Dengan demikian, paradigma state-building sedikit demi sedikit
bergeser menjadi capacity building (Hameiri, 2010: 3). Artinya, peran
negara lebih diarahkan bukan untuk membangun kekuasaan politik
yang bersifat koersif, melainkan membangun kapasitas (internal
maupun eksternal) agar sejalan dengan integrasi ekonomi
regional/global. Kompleksitas ekonomi yang ada, dalam perspektif ini,
-
16
menjadikan negara pada titik tertentu sebagai aktor pasar, baik di
tingkat global ataupun regional (Nesadurai, 2013).
Dengan melihat globalisasi sebagai proyek (begitu juga dengan
integrasi ekonomi regional), maka penting bagi kita untuk
memposisikan ulang peran negara dalam trayektori regionalisme di
Asia Tenggara. Dengan berpijak pada asumsi bahwa (1)
regionalisme adalah bagian tak terpisahkan dari globalisasi dan (2)
pada dasarnya globalisasi adalah proyek politik yang melibatkan negara
di dalamnya, penelitian ini akan berargumen bahwa regionalisme
ekonomi di Asia Tenggara, dengan hadirnya AEC, adalah proyek politik
yang tak terpisahkan dari negara. Dilacak dari akar pendiriannya,
AEC sangat kental dengan peran yang kompleks antara negara dan
aktor-aktor bisnis yang saling menegosiasikan kepentingan satu sama
lain. Untuk itu, perlu adanya perspektif yang mampu (1) memahami
transformasi dalam ekonomi regional (2) mampu memahami dan
menempatkan posisi negara dalam trayektori regionalisme ekonomi di
Asia Tenggara.
Secara teoretik, regionalisme sendiri diwarnai oleh perdebatan
dua perspektif yang saling berkontestasi dalam mendefinisikan
proyek integrasi regional. Perspektif pertama yang berporos pada
pandangan state-centric melihat bahwa pada dasarnya regionalisme
berakar dari negara-negara yang memiliki satu kepentingan bersama
dan menegosiasikan kepentingan tersebut dalam forum ekonomi
regional (Wunderlich, 2007). Perspektif ini kemudian dikenal sebagai
liberal intergovernmentalism, yang berporos pada kepentingan negara
untuk mendefinisikan regionalisme di kawasan (Wunderlich, 2007; lihat
juga Moravcsik, 2002). Perspektif kedua yang dikenal sebagai
supranasionalisme lebih percaya pada gagasan dan ide besar yang
mendorong adanya integrasi ekonomi regional. Melampaui liberal
intergovernmentalism, perspektif ini percaya bahwa walaupun integrasi
regional didorong oleh negara, pada dasarnya mereka akan sampai
pada sebuah konstruksi supra-nasional yang meniscayakan adanya
pembentukan satu institusi baru yang melampaui negara-bangsa
(Wunderlich, 2007). Adanya penyatuan mata uang tunggal dan
-
17
terbentuknya Komisi Eropa via Perjanjian Maastricht sering menjadi
argument dari perspektif ini.
Penelitian ini ingin meletakkan AEC dalam dua perdebatan ini.
Walaupun pada dasarnya ASEAN merupakan organisasi
intergovernmental dan proses-proses perundingan yang ada di
dalamnya juga masih berporos pada negara, beberapa poin dalam
cetak biru AEC mengisyaratkan adanya integrasi dengan ekonomi
global (ASEAN, 2007). Dengan berpijak pada asumsi
intergovernmentalism dalam integrasi regional, penelitian ini
mencoba untuk menghadirkan negara sebagai salah satu entitas
yang bisa bersinergi dengan entitas lain (termasuk bisnis) untuk
membangun kerangka integrasi ekonomi regional. Oleh sebab itu,
penelitian ini mencoba untuk menghadirkan sebuah perspektif baru
tentang pemerintahan yang di satu sisi kompetitif (mampu
meletakkan dirinya secara sinergis dalam kerangka ekonomi politik
regional) dan secara internal representatif (mampu menghadirkan
legitimasi politiknya di tingkat domestik).
B. COMPETITIVE AND REPRESENTATIVE GOVERNMENT
Sebagaimana telah dianalisis pada bagian sebelumnya,
paradigma lama dalam perdebatan negara dan pasar yang meletakkan
interaksi keduanya dalam posisi diametrikal alias saling meniadakan
(historically and politically divided) sudah sedikit banyak ditinggalkan
dan digeser oleh sebuah cara pandang baru yang melihat bahwa
negara dan pasar bisa bekerja bersama dalam logika functional co-
existence, bahkan mutually reinforcing (lihat misalnya Hirsch, 1995)
dalam (Pusat Studi ASEAN UGM, 2015). Di satu sisi, pasar global (dan
regional) mendikte negara untuk look down terhadap integrasi pasar
regional dan di sisi lain hal ini mengisyaratkan adanya institusi-
institusi baru di kawasan yang harus diadaptasi oleh negara (lihat
Nesadurai, 2003). Artinya, peran negara dalam AEC menjadi penting
untuk bisa beradaptasi, dan kemudian bersinergi dengan entitas bisnis
-
18
(baik bisnis besar maupun kecil) di dalam lanskap ekonomi regional
yang kompetitif sembari di saat bersamaan juga menjaga representasi
dan legitimasi politik di tingkat domestik.
Oleh karena itu, pertanyaan sekaligus tantangan yang lebih
mengedepan bukanlah apakah harus memilih negara atau pasar
melainkan bagaimana meletakkan keduanya dalam sebuah continuum
hubungan. Pola hubungan baru tersebut dengan segala
kontroversinya jelas membutuhkan kualifikasi baru, terutama dari sisi
negara yang tidak harus menjadi pasar untuk bisa berpikir dan
bertindak seperti pasar. Dari berbagai literatur yang bisa dirangkum,
kualifikasi baru ini disebut competitive and representative government.
Secara sederhana, kedua kualifikasi tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut. Ketika berhadapan dengan tuntutan pasar dalam
konteks globalisasidan AEC menjadi bagian darinyamaka wacana
dominan yang muncul adalah menyiapkan dan menciptakan
pemerintah yang kompetitif. Ini merupakan tipikal pemerintah yang
tidak hanya bekerja berbasis logika dasar teritorialitas di tengah mulai
memudarnya batas-batas jurisdiksi, tetapi juga ditandai oleh otonomi
relatif terhadap aktor dan faktor di sekitarnya (Hirsch, 1995). Tegasnya,
pemerintah hadir sebagai aktor yang harus bertarung dengan aktor-
aktor lain, tidak melulu dalam konteks menundukkan, tetapi juga
melayaninya. Konsep ini, sayangnya, diterjemahkan secara
serampangan dalam menempatkan negara ketika berhadapan dengan
pasar. Dalam banyak situasi, negara secara operasional dipaksa untuk
melakukan berbagai hal guna memfasilitasi bekerjanya pasar. Dengan
kata lain, logika dan tuntutan pasar dijadikan pijakan untuk menilai
kompetitif tidaknya sebuah negara (Farazmand, 2013). Hal itu dapat
dilihat dari tuntutan kepada pemerintah untuk menghadirkan rezim
perijinan usaha atau investasi yang murah dari sisi biaya, cepat dari sisi
waktu, sederhana dan sisi proses, dan seterusnya. Lembaga-lembaga
internasional seperti Bank Dunia dan World Economic Forum sangat
gencar mengkampanyekan ini dan tidak segan-segan turun tangan
memberikan bantuan dan tekanan kepada negara-negara yang
dianggap business-hostile. Dengan kata lain, competitive state sudah
-
19
direduksi menjadi sekedar state competitiveness sehingga negara
kehilangan makna hakikinya.
Di tengah memudarnya makna competitive state, dibutuhkan
suplemen ideologi untuk mengembalikan negara atau pemerintah
pada jalurnya. Oleh karena itu, konsep competitive state perlu
diperkuat atau dipertegas lagi dengan kualifikasi tambahan yang
disebut representative state (lihat misalnya Colas, 2003; Farazmand,
2010). Meminjam konsep representative bureaucracy, konsep
representative state terutama mengacu pada kualifikasi aktor dari
representasi di mana negara hadir secara konkret untuk melayani
masyarakat yang memberikan mandat kepadanya. Jika konsep
competitive state terutama diarahkan untuk melayani aktor-aktor di
lingkup jurisdiksinya investasi asing, perusahaan multinasional,
lembaga-lembaga internasional, dan NGOs internasional maka
konsep representative state memberikan perhatian pada aktor dan
kepentingan domestiknya.
Bagaimana kedua kualifikasi tersebut bisa bekerja secara
bersamaan? Mengikuti logika demokrasi, basis pijakan negara dan
pemerintah adalah lingkup domestiknya. Lingkup global di luar batas
jurisdiksinya lebih diperlakukan sebagai perluasan arena perwujudan
kepentingan domestiknya. Dalam konteks ini pula, tuntutan
kepentingan aktor-aktor global harus ditundukkan di bawah
kepentingan domestiknya. Konsepsi yang demikian sama sekali tidak
dikembangkan untuk mewadahi naluri-naluri ultra-nasionalis.
Sebaliknya, ia semata-mata didesain untuk memastikan agar
kepentingan domestik benar-benar menjadi basis pijakan pertarungan
sebuah negara di arena global ataupun dengan aktor-aktor global di
ranah lokal.
Pada level yang lebih operasional, implementasi kedua
kuafilikasi negara tersebut bisa menjembatani hasrat sebuah
pemerintah untuk mengikatkan dirinya pada berbagai komitmen global
tanpa harus kehilangan basis pijakan lokalnya. Sebaliknya, pertarungan
pada ranah global atau pada tingkat lokal dengan aktor-aktor global
-
20
menjadi bagian dari strategi untuk mengamankan kepentingan
domestiknya. Secara pragmatis, inilah pilihan yang paling ideal.
Banyak negara yang kehilangan legitimasi dan kepercayaan
masyarakatnya karena hanya melulu melayani kepentingan aktor-
aktor global (Comptom, 2000; Ivanova dan Castellano, 2011).
Beberapa negara juga kehilangan peluang dan pada akhirnya
tertinggal justru ketika ia mencoba menutup diri dari percaturan
global secara rapat. Tuntutan ini mengharuskan sektor publik
melakukan berbagai pembenahan serius, mulai dari aspek makro
kelembagaan hingga aspek mikro individual, baik yang bersifat
strategis maupun yang bersifat teknis (Farazmand, 2009; Cheung,
2009; Bowornwathana, 2009). Pada jantung dari pembenahan tersebut
adalah aspek kapasitas (lihat misalnya Hameiri, 2007; Leindenberg,
1999; Weiss, 1998). Walaupun banyak pihak merujuk pada struktur
sebagai biang kerok berbagai persoalan, proposal perubahan seringkali
menghadapi jalan buntu. Sambil menunggu perombakan struktural
yang bersifat jangka panjang, solusi inkremental bisa ditemukan pada
strategi dan agensi.
C. STATE CAPACITY DAN REINVENTING PERAN
APARATUR SIPIL NEGARA
Kerangka Competitive and Representative Government (Pusat
Studi ASEAN UGM, 2015) yang diajukan pada poin di atas pada
dasarnya memerlukan kapasitas penyelenggara negara yang prima.
Secara teoretik, penelitian ini akan menggunakan bingkai Competitive
and Representative Government untuk mendefinisikan kapasitas-
kapasitas tertentu yang harus dimiliki oleh negara. Sebagaimana diulas
pada bagian sebelumnya, Competitive and Representative Government
tidak hanya memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi
kompetisi di tingkat regional/global, tetapi juga mampu
membangun legitimasi internal di tingkat domestik (Bretton, 2007). Hal
ini membutuhkan konseptualisasi mengenai apa saja kapasitas yang
perlu dimiliki oleh negara.
-
21
Proyek integrasi ekonomi regional secara teoretik
melahirkan satu konsep baru dalam paradigma pengelolaan negara,
yakni regulatory state. Model pengelolaan negara ini membutuhkan
pergeseran dalam paradigma penyelenggaraan negara dari state-
building menjadi capacity building (Hameiri, 2010; Irawati dan Rutten,
2004). Sebagai regulator, negara memerlukan kemampuan untuk
melakukan manajemen risiko dan krisis untuk menyelamatkan
perekonomian ketika pasar tidak mampu berjalan secara optimal
(Hameiri, 2010). Di sisi lain, negara juga dituntut untuk beradaptasi
dengan knowledge economy yang beriringan dengan regionalisasi
produksi dan bisnis di kawasan. Dalam model knowledge economy, ada
tiga elemen yang diperlukan: (1) institusi untuk mendukung inovasi; (2)
jaringan untuk mengembangkan dan mentransfer pengetahuan (ke
dalam inovasi); serta (3) dukungan infrastruktur inovasi untuk
mendorong perusahaan untuk berinovasi (Irawati dan Rutten, 2004).
Dalam konteks ini, kapasitas negara dan aparatur di dalamnya
sangat penting untuk mendukung inovasi, baik yang diinisiasi oleh
aparatur, entitas bisnis, maupun komunitas-komunitas masyarakat
kreatif.
Sebagai contoh, kapasitas negara diperlukan untuk membiayai
research and development yang berskala besar. Negara perlu
mendorong riset karena sumber daya yang dimiliki (seperti instiusi
perguruan tinggi atau lembaga riset negara) memiliki kapasitas untuk
melakukan riset-riset dasar, berskala besar, dan siap digunakan untuk
industri. Pada titik ini, skema triple helix menjadi penting untuk
menghubungkan negara dalam sistem knowledge economy (Kroll and
Schiller, 2014). Contoh yang lain, negara juga penting untuk
memastikan rantai produksi berjalan secara optimal serta
memberdayakan kelompok- kelompok usaha kecil menengah untuk
mampu bersaing dalam skala regional (Permana, Rachman, dan
Sulistyastuti, 2014). Dalam konteks yang lebih luas, negara juga
menjadi aktor yang penting untuk menegosiasikan kepentingannya
dalam forum-forum yang tidak hanya mengikutsertakan negara, tetapi
juga aktor bisnis. Artinya, kapasitas diplomasi yang dimiliki oleh negara
tidak hanya ditujukan hanya pada perundingan yang melibatkan negara,
-
22
tetapi juga dengan pasar (Nesadurai, 2013) dalam (Pusat Studi ASEAN
UGM, 2015). Pada konteks ini, perlu adanya reposisi paradigma
penyelenggaraan negara untuk menghadapi proyek integrasi ekonomi
regional. Dengan demikian, dalam lanskap integrasi ekonomi regional
tersebut, posisi negara menjadi penting untuk membangun kapasitas
dalam empat hal penting. Pertama, kapasitas regulatory, yakni
kapasitas untuk membuat aturan-aturan, norma, dan koridor yang
memastikan pasar bisa berjalan secara optimal dan risiko-risiko yang
berpotensi muncul dalam hal tersebut dapat diantisipasi. Kedua,
kapasitas pengetahuan, yakni kapasitas untuk merespons perubahan-
perubahan yang terjadi di tingkat global/regional dan
menghubungkan pengetahuan tersebut, secara institusional, dengan
para pemangku kepentingan (stakeholders). Ketiga, kapasitas
pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas untuk memperkuat
kapasitas pemangku kepentingan yang tidak memiliki kapasitas skill,
pengetahuan, serta akses terhadap modal yang membuat mereka gagal
berkompetisi dalam pasar regional/global. Keempat, kapasitas
negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan
ekonomi lain, baik di dalam maupun luar negeri, serta
membangun kerjasama yang bisa menguntungkan untuk
pengembangan ekonomi domestik.
Dalam konteks Indonesia yang menerapkan desentralisasi,
keempat kapasitas ini perlu diturunkan menjadi daftar kapasitas yang
bisa diimplementasikan, baik oleh pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat. Keberadaan lembaga riset seperti Lembaga
Administrasi Negara atau instansi terkait akan menjadi sangat krusial
dalam memastikan kapasitas-kapasitas tersebut bisa diimplementasikan
dalam pengembangan kapasitas aparatur negara di berbagai
tingkatannya.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul di aras yang lebih
mikro, bagaimana aparatur negara harus menyikapi integrasi ekonomi
regional? Tantangan bagi administrator publik telah berkembang
secara paradigmatis dari peran tradisional sebagai pembentuk enabling
environment seperti regulasi, infrastruktur, pendidikan dan pelatihan;
-
23
membentuk prakondisi bagi ekonomi pasar yang efektif seperti
menjaga kompetisi yang sehat, menjamin keterbukaan informasi,
penegakan hukum, dan minimalisasi dampak eksternalitas (Klinger,
2004) menuju peran non-tradisional Governing on The Edges. Dengan
pendekatan baru tersebut, Mintzberg (2004) dalam Abonyi & Slyke
(2010) menekankan pada kebutuhan untuk menghubungkan
pemerintah dengan lingkungan global yang kompleks, dinamis, dan
saling terkait. Paradigma Governing on The Edges memerlukan
kolaborasi yang efektif antara pemerintah dengan sektor privat dalam
membentuk kebijakan yang mampu memberikan insentif bagi dunia
bisnis namun di saat yang sama merupakan pendekatan yang
mengedepankan aspek akuntabilitas publik. Secara umum, Governing
on The Edges berpegang erat pada prinsip (1) linking ketimbang
commanding; (2) convincing daripada controlling; (3) enabling,
partnering versus doing.
Sebenarnya ada dua problem utama yang harus diselesaikan
dalam memecahkan masalah inkompatibilitas aparatur negara dengan
tantangan seperti AEC. Chen dan Neo (2007) melalui pendekatan
dynamic governance menjelaskan problem tersebut sebagai pertama,
ketidakmampuan organisasi publik dalam memahami perubahan yang
terjadi di sekitarnya dan kedua, sulitnya membuat penyesuaian-
penyesuaian institusional sehingga organisasi tetap efektif dalam
merespon perubahan.
Dalam konteks AEC, permasalahan pertama bisa diartikan
sebagai problem awareness. Aparatur negara perlu menjadi yang
terdepan untuk memahami aturan main perdagangan bebas dan
investasi di ASEAN, membaca dan menerjemahkannya menjadi
serangkaian peluang dan tantangan yang perlu diantisipasi oleh seluruh
elemen masyarakat. Aspek kedua adalah unsur preparedness dalam
tataran pragmatis tentang bagaimana aparatur melakukan
penyesuaian. Penyesuaian misalnya dalam hal kelembagaan, dengan
aturan main baru di tingkat regional apakah perlu direspon dengan
lembaga yang ramping dan ringkas sehingga gerak organisasi menjadi
tangkas. Ataukah diperlukan organisasi yang besar, merespon banyak
-
24
permasalahan sehingga pendekatan terhadap AEC menjadi lebih
komprehensif.
Konseptualisasi peran aparatur negara dalam menghadapi AEC
juga bisa dilihat dalam kapabilitas seperti apakah aparatur negara telah
memiliki mindset untuk thinking ahead, thinking again, dan thinking
across (Chen & Neo, 2007) dalam (Pusat Studi ASEAN UGM, 2015).
Aparatur harus berpikir ke depan (thinking ahead), menyadari bahwa
dalam lanskap ekonomi baru ide, kreativitas dan pengetahuan
merupakan faktor produksi atau input yang sangat penting. Dalam
skema liberalisasi perdagangan jasa AEC, hanya tenaga kerja
bersertifikasi dengan skill khusus yang dapat memaksimalkan
kesempatan mobilitas tenaga kerja.
Selanjutnya, thinking again yang berarti aparatur harus
mampu meninjau ulang kebijakan yang sudah ada apakah mampu
menjawab tantangan yang berkembang sehingga kebijakan dapat
berkinerja lebih baik dari sebelumnya. Dalam hal ini, penyesuaian atau
adaptasi kebijakan tidak hanya sebuah reaksi pasif dari tekanan
eksternal tapi merupakan pendekatan proaktif terhadap inovasi,
kontekstualisasi dan eksekusi kebijakan.
Thinking across berarti kemampuan dan keterbukaan untuk
belajar dari pengalaman institusi lainnya di luar batas-batas organisasi
sehingga ide baru dapat diperkenalkan dalam sebuah institusi.
Kemampuan ini juga memerlukan kapasitas aparatur untuk
bekerjasama dengan institusi lainnya di luar batas-batas administratif
birokrasi.
D. TINJAUAN TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH 2015-2019
Perwujudan pembangunan ekonomi dalam periode tahun 2015-
2019 dirancang dengan menekankan pemahaman mengenai dasar untuk
memulihkan harga diri bangsa dalam pergaulan antar bangsa yang
-
25
sederajat dan bermartabat, yakni berdaulat dalam bidang politik,
berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,
yang tertuang dalam Trisakti. Dalam mewujudkan kemandirian ekonomi
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di dalam
pengelolaan keuangan negara dan sebagai pelaku utama dalam
pembentukkan produksi dan distribusi nasional.
Pembangunan di bidang ekonomi ditujukan untuk mendorong
perekonomian Indonesia ke arah yang lebih maju, yang mampu
menciptakan peningkatan kesejahteraan rakyat. Tercapainya peningkatan
kesejahteraan rakyat ini harus didukung oleh berbagai kondisi penting
yang meliputi: (1) terciptanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
secara berkelanjutan; (2) terciptanya sektor ekonomi yang kokoh; serta
(3) terlaksananya pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa dalam penyusunan standar
kompetensi Aparatur Sipil Negara dalam menghadapi ASEAN Economic
Community mempertimbangkan berbagai isu strategis, sasaran, arah
kebijakan dan strategi di bidang ekonomi (buku II) sebagaimana
dituangkan dalam RPJMN 2015-2019 sebagai berikut.
-
26
Tabel 2.1.
Matriks RPJMN 2014-2019 Buku II
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
1 Industri Re-Industrialisasi yang
Berkelanjutan
(1) Deindustrialisasi
(2) Populasi dan
Struktur Industri
Lemah
(3) Bahan mentah
diekspor,
sementara bahan
setengah jadi
diimpor.
(4) Ketergantungan
pada impor tinggi
(5) Produktivitas
Rendah
(6) Industri
Terkonsentrasi di
Pulau Jawa dan
Sumatera
Pertumbuhan industri Tahun
2015-2019 ditargetkan lebih
tinggi dari pertumbuhan PDB
dengan sasaran sebagaimana
ditunjukkan dalam Tabel 3.21.
Untuk mencapai sasaran
tersebut, jumlah industri
berskala menengah dan besar
perlu meningkat sekitar 9.000
unit usaha selama 5 tahun ke
depan
(1) Pengembangan
Perwilayahan Industri di luar
Pulau Jawa: (1)Wilayah Pusat
Pertumbuhan Industri
terutama yang berada
dalam Koridor ekonomi;
(2)Kawasan Peruntukan
Industri; (3)Kawasan Industri;
dan (4) Sentra IKM
(1) Memfasilitasi pembangunan 14
Kawasan Industri (KI)
(2) Membangun paling tidak satu
kawasan industri di luar Pulau
Jawa
(3) Membangun 22 Sentra Industri Kecil
dan Menengah (SIKIM)
(4) Berkoordinasi dengan para
pemangku kepentingan dalam
membangun infra-struktur utama
(jalan, listrik, air bersih, telekomunikasi,
pengolah limbah, dan logistik),
infrastruktur pendukung tumbuhnya
industri, dan sarana pendukung kualitas
kehidupan (Quality Working Life) bagi
pekerja.
(2) Penumbuhan Populasi
Industri
(1) Mendorong investasi untuk industri
pengolah sumber daya alam, baik hasil
pertanian maupun hasil pertambangan
(hilirisasi)
(2) mendorong investasi industri
penghasil barang konsumsi kebutuhan
dalam negeri, penghasil bahan baku,
bahan setengah jadi, komponen dan
-
27
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
sub-assembly
(3) Memanfaatkan kesempatan dalam
jaringan produksi global baik sebagai
perusahaan subsidiary, contract
manufacturer, maupun sebagai
independent supplier (Integrasi ke
Global Production Network).
(4) Pembinaan industri kecil dan
menengah (Pembinaan IKM) agar
dapat terintegrasi dengan rantai nilai
industri pemegang merek
(Original Equipment Manufacturer,
OEM) di dalam negeri dan dapat
menjadi basis penumbuhan populasi
industri besar dan sedang.
(3) Peningkatan Daya Saing
dan Produktivitas (Nilai
Ekspor dan
Nilai Tambah Per Tenaga
Kerja)
(1) Peningkatan Efisiensi Teknis
(2) Peningkatan Penguasaan Iptek /
Inovasi
(3) Peningkatan Penguasaan dan
Pelaksanaan Pengembangan Produk
Baru (New Product Development) oleh
industri domestik.
(4) Pembangunan Faktor Input
(5) Peningkatan kemudahan, kepastian
dan perlindungan usaha.
-
28
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
2 Perdagangan
DN
Mendorong
Perdagangan Dalam
Negeri
(1) Masih terdapatnya
kelangkaan stok
dan disparitas
harga bahan pokok
yang tinggi
(2) Belum optimalnya
aktivitas
perdagangan
dalam negeri
(3) Masih rendahnya
minat masyarakat
terhadap produk
domestik.
(4) Belum optimalnya
upaya pelindungan
konsumen
Pertumbuhan PDB riil sub
kategori perdagangan besar
dan eceran menjadi sebesar
8,2 persen di tahun 2019
Meningkatkan aktivitas
perdagangan dalam negeri
yang lebih efisien dan
berkeadilan
(1) Pembenahan
sistem distribusi
bahan pokok dan
sistem logistik
rantai pasok agar
lebih efisien dan
lebih andal serta
pemberian
insentif
perdagangan
domestik
sehingga dapat
mendorong
peningkatan
produktivitas
ekonomi dan
mengurangi
kesenjangan
antar wilayah
(1) Meningkatkan
ketersediaan
sarana dan
prasarana
perdagangan
Terjaganya koefisien variasi
harga barang kebutuhan
pokok antar waktu rata-rata di
bawah 9,0 persen per tahun.
(2) Pembenahan
iklim usaha
perdagangan
yang lebih
kondusif
(2) Meningkatkan
kualitas sarana
perdagangan
(terutama pasar
rakyat)
Terjaganya koefisien variasi
harga barang kebutuhan
pokok antar wilayah rata-rata
di bawah 13,6 persen per
tahun
(3) Penguatan
perlindungan
konsumen dan
standardisasi
produk lokal di
(3) Meningkatkan
aktivitas
perdagangan
antar wilayah di
Indonesia
-
29
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
Pembangunan/revitalisasi 5000
pasar rakyat, yang didukung
oleh pemberdayaan terpadu
nasional pasar rakyat
pusat dan di
daerah
(4) Meningkatkan
kapasitas pelaku
usaha dagang
kecil menengah
(5) Meningkatkan
iklim usaha
perdagangan
konvensional dan
non konvensional
yang lebih
kondusif
(6) Mendorong
penggunaan
produk domestik
(7) Meningkatkan
perlindungan
konsumen
(8) Menerapkan
Standar Nasional
Indonesia (SNI)
secara konsisten,
baik untuk produk
impor maupun
produk domestik
(9) Meningkatkan
efektivitas
pengelolaan impor
untuk menjaga
stabilitas pasar
-
30
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
domestik,
(10) Mendorong
Perdagangan
Berjangka
Komoditi
(11) Mendorong
pengembangan
Sistem Resi
Gudang dan Pasar
Lelang
(12) Meningkatkan
kuantitas dan
kualitas sarana
dan prasarana
penunjang
perdagangan
3 Perdagangan
LN
Peningkatan Daya
Saing Ekspor
(1) Sebagian besar
ekspor merupakan
komoditas Primer.
(2) Masih rendahnya
tingkat diversifikasi
pasar tujuan
ekspor.
(3) Masih rendahnya
Pertumbuhan ekspor produk
non-migas rata-rata sebesar
11,6 persen per tahun
(1) Menjaga dan
meningkatkan pangsa pasar
produk Indonesia di pasar
ekspor utama (market
maintenance)
(1) Meningkatkan kemampuan
diplomasi perdagangan
Rasio ekspor jasa terhadap
PDB rata-rata sebesar 3,0
persen per tahun
(2) Meningkatkan peran perwakilan
dagang di luar negeri
Peningkatan pangsa ekspor
produk manufaktur menjadi
sebesar 65 persen
(2) Meningkatkan pangsa
pasar ekspor di pasar
prospektif (market creation)
(1) Memanfaatkan kerjasama
perdagangan yang ada dan
meningkatkan kerjasama perdagangan
bilateral
(2) Meningkatkan peran perwakilan
-
31
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
daya saing ekspor
jasa
(4) Meningkatnya
hambatan non tarif.
(5) Fasilitasi ekspor
yang belum
optimal
dagang di luar negeri
(3) Meningkatkan promosi ekspor
(4) Meningkatkan pemanfaatan Rantai
Nilai Global dan Jaringan Produksi
Global yang menghasilkan barang dan
jasa berorientasi ekspor
(3) Mengidentifikasi peluang
pasar ekspor produk dan
jasa potensial (product
creation)
(1) Meningkatkan efektivitas market
intelligence
(2) Meningkatkan kapasitas dan
kemampuan calon eksportir dan
eksportir pemula
(3) Meningkatkan sosialisasi dan
diseminasi informasi mengenai produk
potensial kepada seluruh produsen
atau pelaku usaha potensial
(4) Meningkatkan daya saing produk
nasional
(5) Meningkatkan kuantitas dan kualitas
ekspor sektor jasa prioritas dalam
rangka mendorong ekspor non-migas,
meningkatkan efisiensi ekonomi dan
produktivitas ekonomi serta
meningkatkan fasilitasi perdagangan
(4) Meningkatkan fasilitasi
ekspor dan impor untuk
mendukung daya saing
produk nasional (export
(1) Meningkatkan efektivitas
manajemen impor
(2) Mengoptimalkan fasilitas safeguards
dan pengamanan perdagangan lainnya
-
32
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
facilitation and import
management)
(3) Melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan Free Trade Agreements
(FTA) yang sudah dilakukan
(4) Meningkatkan upaya pemantauan
produk dan jasa luar negeri yang
berpotensi mengancam daya saing
produk lokal di pasar domestik
(5) Mengembangkan fasilitasi
perdagangan yang lebih efektif
4 Kerjasama
Ekonomi
Internasional
Kerjasama Ekonomi
Internasional
(peningkatan
kerjasama
internasional baik di
forum bilateral,
regional, maupun
multilateral)
(1) menurunnya jumlah
hambatan tarif dan non-tarif di
negara-negara yang menjadi
pasar ekspor utama dan
prospektif
Indonesia;
Mendorong kerja sama
ekonomi internasional yang
lebih selektif dengan
mengutamakan
kepentingan
nasional dalam rangka
mendorong pertumbuhan
ekonomi yang
berkelanjutan, khususnya
melalui peningkatan ekspor,
pariwisata, dan investasi,
bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
(1) Perumusan strategi diplomasi
ekonomi nasional yang lebih
komprehensif untuk mendukung kerja
sama ekonomi internasional yang
dapat mendorong penurunan
hambatan non tarif, pembukaan pasar
prospektif, dan menarik investasi asing
langsung (foreign direct investment),
serta menciptakan koherensi antara
kebijakan kerja sama ekonomi
internasional dengan kebijakan
pembangunan
nasional dan daerah.
(2) meningkatnya pemanfaatan
skema perundingan kerjasama
ekonomi internasional yang
telah disepakati
(2) Penyusunan kriteria dalam
menentukan prioritasi (seleksi) kerja
sama ekonomi internasional dalam lima
tahun ke depan, yang menguntungkan
dan sesuai dengan kepentingan
nasional.
-
33
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
(3) mengurangi dampak
negatif implementasi hasil
kesepakatan
kerjasama ekonomi
internasional;
(3) Pemantauan, kaji ulang, dan
evaluasi terhadap perjanjian kerjasama
ekonomi internasional yang telah
berjalan maupun yang tengah dalam
proses negosiasi
(4) meningkatnya produktivitas
para pelaku usaha di pasar
prospektif Indonesia
(4) Peningkatan koordinasi antar
lembaga pemerintah, antara lembaga
pemerintah dengan kalangan dunia
usaha, akademisi, LSM, dan masyarakat
dalam proses perumusan strategi
diplomasi ekonomi, serta implementasi
dan pemanfaatan kerja sama ekonomi
internasional yang telah disepakati.
(5) Peningkatan kemampuan
identifikasi kepentingan nasional untuk
diperjuangkan dalam forum kerja sama
ekonomi internasional, baik dalam
forum bilateral, regional, maupun
multilateral sehingga tercipta koherensi
efektif antara diplomasi politik dan
diplomasi ekonomi dengan program-
program pembangunan di tingkat
pusat dan daerah
(6) Pembentukan tim diplomasi lintas
sektor/instansi yang mewakili Indonesia
dalam memperjuangkan kepentingan
nasional pada negosiasi kerja sama
ekonomi internasional baik bilateral,
regional, dan multilateral.
-
34
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
(7) Peningkatan kerja sama ekonomi
internasional yang lebih luas dan
menguntungkan bagi Indonesia dalam
rangka membuka penetrasi ekspor ke
pasar prospektif sambil tetap menjaga
dan mempertahankan pasar ekspor
utama Indonesia.
(8)
Peningkatan
daya saing
perekonomian
nasional untuk
menghadapi
implementasi
dan
peningkatan
pemanfaatan
Indonesia
dalam AEC
2015
(1) Peningkatan peran
aktif berbagai
pemangku
kepentingan, baik
dari pemerintah
pusat, pemerintah
daerah, maupun
kalangan
dunia usaha dalam
mengoptimalkan
manfaat dari
implementasi
(2) Peningkatan peran
dan fungsi Sekretariat
Nasional ASEAN,
Komite Nasional
ASEAN, Pusat Studi
ASEAN, dan ASEAN
Economic Community
Center (AEC Center).
-
35
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
(3) Peningkatan
efektivitas sosialisasi,
komunikasi, serta
layanan edukasi
terhadap masyarakat
dan para pelaku bisnis
mengenai
pemahaman dan
pemanfaatan AEC
(4) Peningkatan daya
saing nasional dalam
rangka menghadapi
dan meningkatkan
pemanfaatan AEC
2015 perlu didukung
pula oleh peningkatan
iklim usaha dan
investasi yang
kondusif, peningkatan
daya saing produk
unggulan Indonesia,
peningkatan
infrastruktur,
peningkatan daya
saing sumber daya
manusia, serta
peningkatan kapasitas
UKM.
-
36
No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi
(9) Pembentukan aliansi strategis
dengan negara-negara kekuatan
ekonomi baru dalam membentuk
skema perdagangan yang lebih adil
dan menguntungkan serta mendorong
reformasi lembaga-lembaga keuangan
internasional.
(10) Peningkatan dialog dan kerja sama
teknis di bidang ekonomi dengan
negara-negara tetangga di kawasan
Asia Timur dan Asia Tenggara guna
memperkuat integritas kawasan serta
menjamin kestabilan politik dan
ekonomi kawasan dan nasional.
(11) Penyusunan road map kerangka
kerja sama ekonomi maritim dalam
rangka mendukung pembangunan,
pengelolaan, dan pemanfaatan wilayah
maritim Indonesia yang lebih baik.
-
37
BAB 3
TEMUAN LAPANGAN
KEPULAUAN RIAU
A. DESKRIPSI KONDISI DAERAH
Beberapa wilayah di Provinsi Kepulauan Riau memiliki potensi
untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya seperti perikanan,
pertanian, pariwisata, industri, pertambangan dan lain-lain. Sesuai
dengan RTRW Provinsi Kepulauan Riau, Kawasan peruntukan hutan
produksi meliputi Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi
Konversi. Luas kawasan hutan produksi di Provinsi Kepulauan Riau adalah
49.441 Ha, Kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 164.209 Ha dan
Kawasan Hutan Produksi Konversi seluas 265.806 Ha yang tersebar di
seluruh wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Kepulauan Riau.
Rencana kawasan peruntukan pertanian di Provinsi Kepulauan
Riau seluas 84.332 Ha. Kawasan pertanian ini terdiri dari kawasan
budidaya tanaman pan
top related