pertanggungjawaban pemegang lisensi-wajib paten …
Post on 15-Oct-2021
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERTANGGUNGJAWABAN PEMEGANG
LISENSI-WAJIB PATEN MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001
TENTANG PATEN
TESIS
OLEH :
INDI FANDAYA
127005048 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERTANGGUNGJAWABAN PEMEGANG
LISENSI-WAJIB PATEN MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001
TENTANG PATEN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH :
INDI FANDAYA
127005048 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN PEMEGANG
LISENSI-WAJIB PATEN MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN
2001 TENTANG PATEN
Nama Mahasiswa : INDI FANDAYA
Nomor Pokok : 127005048
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)
Ketua
Pembimbing
(Prof. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum)
Anggota
Pembimbing
(Dr. Utary Maharany Barus, SH., M.Hum)
Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MS, CN)
Dekan,
Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum
Tanggal Lulus : 25 Agustus 2016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji pada
Tanggal : 25 Agustus 2016
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum
Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH., CN, M.Hum
2. Dr. Utary Maharany Barus, SH., M.Hum
3. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum
4. Dr. Hasyim Purba, SH., MHum
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : INDI FANDAYA
Nim : 127005048
Program Studi : Magister Hukum FH USU
Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN PEMEGANG LISENSI-
WAJIB PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri,
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Hukum FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan, 25 Agustus 2016
Yang membuat Pernyataan
INDI FANDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERTANGGUNGJAWABAN PEMEGANG LISENSI-WAJIB MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN
Oleh :
Indi Fandaya*)
Runtung Sitepu**)
T. Keizerina Devi Azwar**)
Utary Maharany Barus**)
ABSTRAK
Istilah Paten pertama kali muncul di kawasan Eropa pada abad kegelapan
seiring dengan perkembangan teknologi yang digunakan. Istilah Paten sendiri berasal
dari bahasa Yunani yang berarti ‘terbuka’. Di Inggris dikenal istilah letters Patent,
yaitu surat keputusan yang dikeluarkan oleh kerajaan yang memberikan hak eksklusif
kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata Paten itu sendiri, konsep
Paten untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya,
inventor mendapatkan hak eklusif selama periode tertentu. Permasalahan dalam
penulisan tesis ini adalah Apakah syarat-syarat pemberian lisensi-wajib Paten sesuai
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Hak Kekayaan Intelektual? Bagaimanakah
peran pemerintah dalam menentukan besarnya royalti lisensi-wajib?
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif, yaitu penelitian
kepustakaan yang ditujukan pada peraturan-peraturan atau bahan hukum lain yang
menekankan pada bahan data yang bersifat sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif
analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis
masalah-masalah yang berkenaan dengan syarat-syarat pemberian lisensi-wajib dan
peran pemerintah dalam menentukan besarnya royalti yang dibahas dalam tesis ini.
Hasil penelitian menunjukkan syarat pemberian syarat-syarat pemberian
lisensi wajib belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Kekayaan
Intelektual, hal ini disebabkan hilangnya asas keadilan pada pemilik atau pemegang
Paten pada saat Paten yang telah ditemukan atau dihasilkan oleh pemilik atau
pemegang Paten diambil alih oleh pemerintah hanya karena kebutuhan yang
mendesak dan untuk kepentingan masyarakat. Peran pemerintah sangatlah besar dan
mutlak terhadap menentukan besarnya royalti terhadap pelaksanaan Paten yang
dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 20014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah dan Peraturan
Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang
Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada
Inventor.
Kata Kunci : Hak Kekayaan Intelektual, Paten, Lisensi-wajib.
*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
THE HOLDER OF THE COMPULSORY LICENSE LIABILITY BY LAW
NUMBER 14 OF 2001 CONCERNING THE PATENT
By :
Indi Fandaya*)
Runtung Sitepu**)
T. Keizerina Devi Azwar**)
Utary Maharany Barus**)
ABSTRACT
Patent term first appeared in Europe in the Dark Ages as technologies used ..
Patent term itself comes from the Greek word meaning 'open'. In the UK the term
known letters Patent, namely the decree issued by the kingdom which gives exclusive
rights to certain individuals and businesses. From the definition of the word itself
Patents, Patents concept to open knowledge for the betterment of society and instead,
inventors obtain exclusive rights for a certain period. Problems in this thesis is Do
the terms of compulsory patent licensing according to the principles contained in the
Intellectual Property Rights? How is the government's role in determining the
amount of royalties for a compulsory license?
This research is uses legal normative research, namely research literature
aimed at regulations or other legal materials which emphasizes the data that is of
secondary materials. This research is an analytic descriptive study aimed to describe
and analyze the problems relating to the terms of compulsory licensing and
government's role in determining the amount of royalties that are discussed in this
thesis.
The results showed a condition of the terms of the license shall not fully in
accordance with the principles of intellectual property rights, this is due to the loss of
the principle of justice on the owner or holder of patents when patent that has been
discovered or produced by the owner or holder of patents taken over by government
simply because of the pressing needs and for the benefit of society. The role of
government is enormous and absolutely to determine the amount of royalties to the
patent exploitation undertaken by the government issued Government Regulation
No. 27 of 20014 About the Mechanism of Patent by the Government and Regulation
of the Minister of Finance Ministry of Finance Regulation No. 72/PMK.02/2015
About Rewards Comes from Non Tax Revenue Royalties To Patent Inventor.
Keywords : Intellectual Property Rights , Patents , Compulsory Licenses.
*) Students Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra **) Lecturer of Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahnabirrahim
Alhmdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada
Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya kepada Penulis sehingga Penulis
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan baik. Begitu pula shalawat beriring
salam Penulis ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW (Allahumma Sholli
Alla Sayyidina Muhammad Wa Ala Alihi Sayyidina Muhammad).
Tesis ini merupakan salah satu syarat wajib untuk meraih gelar Magister
Hukum pada Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa ide-ide yang Penulis tuangkan dalam penulisan tesis ini
tidaklah datang dengan begitu saja, tetapi melalui proses pembelajaran yang panjang
yang Penulis telah lewati pada bangku perkuliahan di Program Studi Pascasarjana
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis yang Penulis
Kemukan :
“Pertanggungjawaban Pemegang Lisensi-Wajib Paten Menurut Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten”.
Dalam penulsan tesis ini, Penulis telah mendapat banyak bantuan, bimbingan
dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
“Kedua Orang Tua Penulis, yang telah sabar dan mencurahkan segenap kasih
sayangnya dan segala pengorbanannya serta doa sehingga Penulis dapat memperoleh
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pendidikan tinggi ini, kepada orang tua penulis yang paling Penulis sayangi dan cintai
Ayahanda H. E. Zulfan Effendi, SE., MM., Ibunda Hj. Ismawaty Siregar dan Ibu
Mertua Hj. Nadrah Hanim Lubis, BA dengan doa mereka jugalah Penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.”
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara sekaligus Pembimbing yang mana beliau telah memberikan bimbingan,
ilmu, motivasi, saran dan masukan yang membangun kepada Penulis;
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
3. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara sekaligus Penguji yang telah memberikan ilmu, saran,
masukan dan arahan yang membangun kepada Penulis;
4. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H., sebagai Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Studi
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus
Pembimbing yang mana beliau telah memberikan bimbingan, ilmu, motivasi,
saran dan masukan yang membangun kepada Penulis;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7. Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., sebagai Pembimbing yang mana
beliau telah memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, saran dan masukan yang
membangun kepada Penulis;
8. Dr. Hasyim Purba, SH., M.Hum., selaku Penguji Penguji yang telah memberikan
ilmu, saran, masukan dan arahan yang membangun kepada Penulis;
9. Bapak-bapak, Ibu-ibu dosen dan staff pengajar Program Studi Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan berbagai ilmu
pengetahuan dan berbagai hal-hal yang bermanfaat sebagai bekal yang berharga
bagi penulis untuk sekarang dan masa yang akan datang;
10. Seluruh pegawai Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan banyak bantuan dan informasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
11. Istriku tercinta drg. Elfi Amalia Lubis yang telah membantu dan memotivasi
dalam pengerjaan tesis agar Penulis menyelesaikan tesis ini;
12. Adinda Elvina Suci Kartika, SE dan Adinda Suhendra Adani tersayang yang
memberikan motivasi dan menghibur agar Penulis menyelesaikan tesis ini;
13. Abangda Kurnia Boloni Sinaga, SSTP., Abangda M. Alkhairi Sirait, SE., kakanda
Nurul Wardani Lubis, SE., M.Si., Kakanda Silviyani Lubis, SE., M.Si., Adinda
Robith Ismi Lubis, SE., Ak., CA., dan Adinda dr. Anggita Dwi Putri Rangkuti
yang memberikan motivasi dan menghibur agar Penulis menyelesaikan tesis ini;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku dan rekan mahasiswa,
sudah membantu selama penyelesaian tesis, yang tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu-persatu.
Penulis tidak dapat membalas segala kebaikan pihak-pihak yang telah
membantu Penulis selama Penulis mengecap pendidikan di Program Studi
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa
yang dapat membalas budi baik mereka. Penulis juga menyadari akan
ketidaksempurnaan hasil tesis ini karena Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT,
oleh sebab itu besar harapan Penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan
saran guna menghasilkan sebuah karya yang lebih baik di masa mendatang. Semoga
ilmu yang telah Penulis peroleh selama ini dapat bermanfaat, bermakna, serta dapat
Penulis terapkan dalam kehidupan bemasyarakat.
Dengan bantuan dan dukungan yang telah Penulis dapatkan akhirnya dengan
meyerahkan diri dan senantiasa memohon petunjuk serta perlindungan dari Allah
SWT semoga amalan dan perbuatan baik tersebut mendapat imbalan dengan yang
lebih baik. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Medan, 25 Agustus 2016
Penulis,
INDI FANDAYA
NIM. 127005048
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
Nama : Indi Fandaya
Tempat /Tanggal Lahir : Medan / 08 November 1989
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Sudah Menikah
Alamat : Jl. Mistar No. 16 Medan, 20118
Handphone : 081361788117
Email : indifandaya@gmail.com
II. PENDIDIKAN
Tahun 1995 – 2001 : SD Negeri 060834 Medan
Tahun 2001 – 2004 : SMP Negeri 1 Medan
Tahun 2004 – 2007 : SMA Negeri 4 Medan
Tahun 2007 – 2011 : Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
Tahun 2012 – 2016 : Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………….................................................................................... i
ABSTRACT ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... vii
DAFTAR ISI...................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................... 14
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 14
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 14
E. Keaslian Penulisan ................................................................. 15
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi …………............... 16
G. Metode Penelitian .................................................................. 26
BAB II : SYARAT-SYARAT PEMBERIAN LISENSI WAJIB PATEN
SESUAI PRINSIP-PRINSIP YANG TERKANDUNG
DALAM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ……...............
29
A. Prinsip-prinsip Dalam Hak Kekayaan Intelektual ................
B. Prinsip-prinsip Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
2001 Tentag Paten ................................................................
C. Syarat-syarat Pemberian Lisensi-Wajib ...............................
1. Lisensi Paten .................................................................
2. Jenis Lisensi ..................................................................
3. Tahapan Permohonan Paten ..........................................
4. Perlindungan Hak Terhadap Penerima Lisensi di
Indonesia ....................................................................
5. Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Lisensi Paten di
Indonesia ....................................................................
29
38
41
41
49
52
59
61
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6. Syarat Dan Prosedur Pendaftaran Paten Asing di
Indonesia ....................................................................
7. Perlindungan Paten Asing di Indonesia .......................
8. Lisensi Wajib .............................................................
62
64
65
D. Prosedur Pemberian Lisensi-Wajib .................................... 68
E. Kriteria Paten Yang di berikan Lisensi-Wajib ....................
1. Paten Produk dalamLisensi Paten …............................
2. Paten Proses …...……………………...........................
3. Hubungan Hukum :
3.1 Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi ...
3.2 Hubungan Hukum Para Pihak ……...…..………...…
4. Hukum Yang Berlaku Dalam Perjanjian Lisensi ……...…
72
72
73
79
82
84
F. Contoh Kasus Pelanggaran Paten …………..…………….… 91
BAB III : PERAN PEMERINTAH DALAM MENENTUKAN
BESARNYA ROYALTI LISENSI-WAJIB ............................
97
A. Pengertian Royalti .......................................................... 97
B. Dasar Menentukan Besarnya Royalti Dalam Lisensi Paten ... 100
C. Dasar Menentukan Royalti Pada Lisensi-Wajib .................. 103
D. Peranan Pemerintah Dalam Pengaturan Lisensi Paten .......... 108
E. Peran Pemerintah Dalam Menentukan Besarnya Royalti .... 123
F. Contoh Kasus Royalti (Ilustrasi) ..................................... 131
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 135
A. Kesimpulan .............................................................................. 135
B. Saran ........................................................................................ 137
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 139
LAMPIRAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah Paten pertama kali muncul di kawasan Eropa pada abad kegelapan
seiring dengan perkembangan teknologi yang digunakan. Peraturan pertama kali
sekitar tahun 1470 di Venice, Italia yang diberikan kepada Caxton, Galileo Galilei
dan Johannsburg Guttenberg atas temuannya sehingga mereka dapat memiliki hak
monopoli. Ide ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru wilayah Eropa sekitar abad
ke 16 yang di gunakan pada masa kerajaan inggris zaman Tudor. Keadaan tersebut
membuat bidang perindustrian berkembang pesat dan memuncak pada Revolusi
Industri yang terjadi di Inggris.1
Hak Paten baru lahir di Inggris pada tahun 1623 dengan nama Statute of
Monopolies lalu menyebar ke daerah Amerika Serikat. Amerikat sendiri baru
mempunyai undang-undang Paten pada tahun 1719.Pada masa itu hak Paten
digunakan pada penemuan telepon oleh Alexander Graham Bell. Ia dapat menjadi
orang kaya setelah temuannya ini digunakan oleh banyak orang dengan hak yang
dimilikinya sebagai pemegang Paten.
Istilah Paten sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘terbuka’. Di
Inggris dikenal istilah letters Patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan oleh
kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu.
Dari definisi kata Paten itu sendiri, konsep Paten untuk membuka pengetahuan demi
1 https://andasiallagan92.wordpress.com/2014/06/07/hak-Paten/ diakses pada tanggal
17 Juli 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapatkan hak eklusif selama
periode tertentu (20 tahun untuk Paten Biasa, dan 10 tahun untuk Paten Sederhana).2
Istilah Paten dapat dikatakan sebagai suatu hak khusus yang diberikan kepada
seorang penemu atau si pencipta berdasarkan Undang-Undang yang berlaku atas
permintaan yang diajukan kepada pihak penguasa bagi temuan yang diperolehnya
khususnya dalam bidang teknologi, yang dapat diterapkan dalam bidang industri, baik
berupa temuan baru, cara memperbaiki sistem kerja lama, atau menambahkan sebuah
perbaikan-perbaikan baru dalam cara kerjanya untuk jangka waktu tertentu.Terdapat
beberapa pengertian atau definisi mengenai hak Paten. Pengertian tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, Paten adalah hak eksklusif
yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.
2. Menurut Octroiwet 1910, Hak Paten yaitu suatu hak khusus yang diberi kepada
seseorang atas permohonannya kepada orang itu yang menciptakan sebuah
produk baru, cara kerja baru, atau perbaikan baru dari produk atau dari cara kerja.
3. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Paten berasal dari kata Ocktroi yang
dalam bahasa Eropa mempunyai arti suatu surat perniagaan atau izin dari
pemerintahan yang menyatakan bahwa orang atau perusahaan boleh membuat
barang pendapatannya sendiri (orang lain tidak boleh membuatnya).
2 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hak Paten
adalah hak yang diberikan kepada seseorang atas temuannya di bidang teknologi
yang nantinya dapat berguna dalam perkembangan industri penemuan-penemuan
tersebut dapat berupa cara kerja baru dan segala perbaikannya atau pun penambahan
cara kerja yang dianggap lebih baik yang dapat dilaksanakan sendiri secara komersial
atau pun diserahkan kepada orang lain dengan seizinnya yang dilaksanakan
berdasarkan jangka waktu tertentu.3
Lisensi merupakan penjualan izin atau privilege untuk mempergunakan Paten,
teknologi, hak atas merek ataupun Hak Kekayaan Intelektual lainnya kepada pihak
lain, dimana pemberi lisensi akan memperoleh keuntungan berupa pembayaran fee
atau royalti dari penerima lisensi. Selain itu pengertian lisensi telah diambil alih
dalam peraturan perUndang-Undangan Republik Indonesia sebagaimana dapat dilihat
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desian Industri, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten, dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang
Merek, semuanya mengatur mengenai Hak Kekayaan Intelektual.
Adapun rumusan atau pengertian lisensi yang diberikan dalam keempat
Undang-Undang tersebut adalah,secara berturut-turut sebagai berikut :4
1. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada
pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan
3 Ibid. 4 Yusdinal, “Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten”, (Semarang : Fakultas Hukum
UNDIP, 2008), Hal. 93-94.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang
yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu (Pasal
1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000).
2. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Desain industri kepada
pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan
pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Disain Industri
yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu
(Pasal 1 angka 11 Undang Nomor 31 Tahun 2000).
3. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak kepada pihak lain melalui
suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk
menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang
diberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu (Pasal 1
angka 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000).
4. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Paten kepada pihak lain
melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak untuk menikmati
manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberikan perlindungan dalam jangka
waktu tertentu dan syarat tertentu (Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2001).
5. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain
melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak)
untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberikan perlindungan
dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu (Pasal 1 angka 13 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut Black’s Law Dictionary. Lisensi diartikan sebagai “ A personal
privilege to do some particular act or series of fact…” atau The permission by
competent authority to do an act which, without such permission would be illegal, a
trespass, a tort, or otherwise would not allowable artinya lisensi adalah suatu bentuk
hak untuk melakukan satu atau serangkaian tindakan atau perbuatan yang diberikan
oleh mereka yang berwenang dalam bentuk izin, tanpa adanya izin tersebut maka
tindakan atau perbuatan tersebut merupakan suatu tindakan terlarang yang tidak sah,
yang merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam Law Dictionary karya PH Collin,
lisensi didefinisikan sebagai: Official document which allows someone to do
something or to use something; Permission given by someone to do something which
would otherwise be illegal.5
Pengertian lisensi menurut Betsy Ann Toffler dan Jane Imber dalam
Dictionary of marketing Terms, diartikan sebagai berikut :
Contractual agreement between two business entities in which licensor permits the
licensee to use a brand name, Patent, other proprietary right, in exchange for a
royalty.Licensing enables the licensor to profit from the skills, expansion capital, or
other capacity of the license.Licensing is often used by manufactures to enter foreign
markets in which they have no expertise.The licensee benefits from the name
recognition and creativity of the licensor.6
Lisensi merupakan suatu bentuk pemberian izin untuk memanfaatkan suatu
Hak atas kekayaan Intelektual, yang dapat diberikan oleh pemberi lisensi kepada
5 Ibid., Hal.87. 6 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penerimalisensi agar penerima lisensi dapat melakukan suatu bentuk kegiatan usaha,
baik dalam bentukteknologi atau pengetahuan (know how) yang dapat dipergunakan
untuk memproduksi menghasilkan, menjual, atau memasarkan barang (berwujud)
tertentu. Untuk keperluan tersebut penerima lisensi diwajibkan untuk memberikan
kontra prestasi dalam bentuk pembayaran royalti yang dikenal juga dengan licensi
fee.7
Lisensi dalam pengertian yang lebih lanjut senantiasa melibatkan suatu bentuk
perjanjian (kontrak tertulis) dari pemberi lisensi dan penerima lisensi. Perjanjian
tersebut juga berfungsi sebagai dan merupakan bukti pemberian izin dari pemberi izin
lisensi kepada penerima lisensi untuk menggunakan nama dagang, Paten atau hak
milik lainnya (Hak atas Kekayaan Intelektual).8
Melalui lisensi, pengusaha memberikan izin kepada suatu pihak untuk
membuat produk yang akan dijual tersebut, namun tidak secara cuma-cuma. Sebagai
imbalan dari pembuatan produk dan atau biasanya juga meliputi hak untuk menjual
produk yang dihasilkan tersebut, pengusaha yang memberi izin memperoleh
pembayaran berupa royalti. Besarnya royalti selalu dikaitkan dengan banyak atau
besarnya jumlah produk yang dihasilkan atau dijual dalam kurun waktu tertentu.
Pada dasarnya, terdapat dua tipe lisensi, yaitu lisensi secara sukarela dan
lisensi wajib. Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian para pihak berdasarkan
prinsip-prinsip umum dalam hukum kontrak, sedangkan lisensi wajib melibatkan
7Ibid., Hal 88. 8Ibid., Hal 87-88.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
interfensi pemerintah dalam melaksanakannya.9 Dalam hal ini, lisensi diberikan tanpa
memerlukan perjanjian dari pemegang hak Paten. Di Indonesia, lisensi wajib diatur
berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 74 sampai
Pasal 87.10
Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten,
yang dimaksud dengan lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan Paten yang
diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal atas dasar permohonan. Lisensi
wajib hanya dapat terlaksana bila memenuhi kondisi dan syarat-syarat tertentu
sebagaiamana dalam Pasal 75, yaitu bila telah lewat jangka 36 (tiga puluh enam)
bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten ternyata Paten yang bersangkutan
tidak dilaksanakan maupun dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh
pemegang Paten, atau Paten telah dilaksanakan oleh pemegang Paten atau penerima
lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan lisensi wajib sebagaimana dalam Pasal 78 disertai dengan
pembayaran royalti oleh penerima lisensi wajib kepada Pemegang Paten dengan
besaran royalti dan tata cara pembayaran yang telah ditentukan oleh Direktorat
Jendral dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian
Lisensi Paten atau perjanjian lain yang sejenis.11
9 Tobing Alexander D.L., ”Perlindungan Hukum Terhadap Paten asing Yang Telah Di
Daftarkan Menurut Undang-Undang No 14 Tahun 2001 Tentang Paten”, (Sumatera Utara Fakultas
Hukum USU, 2010) tanpa halaman. 10 Ibid. 11 Sunendar, Aqimuddin dan Dzulman, “Penempatan Model Fleksibilitas Paten Atas Obat
Dalam WTO-Aggrement On Trade Related Aspects Of Intelectual Property Right (Trips) Oleh
Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang No 14 Tahun 2001 Tentang Paten”. (Bandung : Prosiding
SNa PP, 2014), Hal 95-96.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam kesepakatan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of
Intelectual Property Rights), ketentuan yang mengatur lisensi wajib juga
dapatditemukan dalam Section 5 tentang Patents, yaitu dalam ketentuan Pasal 31
tentang Other Use Without Authorization of the Right Holder, di mana antara lain
disebutkanadanya empat alasan pemberian lisensi wajib, yaitu:12
1. Karena keperluan yang sangat mendesak (Emergency and extreme urgency);
2. Kepentingan praktek persaingan usaha (Anti-competitive practices);
3. Penggunaan non komersial untuk kepentingan public (Public noncommercialuse);
dan
4. Adanya saling ketergantungan (Dependent Patents).
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten dinyatakan
bahwa lisensi wajib hanya dapat diberikan apabila :13
1. Pemohon yang mengajukan permintaan tersebut mempunyai bukti
yangmeyakinkan bahwa :
a. Mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang
bersangkutan secara penuh;
b. Mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan
secepatnya;
c. Telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup
untuk mendapatkan lisensi dari pemegang Paten atas dasar persyaratan dan
kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan
12 Maria Edietha.”Perjanjian Lisensi Patent Pooling Terkait Aspek Hukum Persaiangan
Usaha”, (Depok : Fakultas Hukum UI, 2010), Hal.16. 13 Ibid., Hal. 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Direktorat Jenderal berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di
Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat
kepada sebagian besar masyarakat.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten tidak mengatur secara
rinci mengenai hal-hal apa saja yang harus dimuat dalam perjanjian lisensi Paten
sehingga para pihak bebas menentukan hal-hal apa saja yang akan dimuat dalam
perjanjian lisensi yang mereka buat, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian dan Pasal 1338 tentang kebebasan
berkontrak.
Dengan demikian, hak dan kewajiban para pihak perlu diatur dalam suatu
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang membuat
perjanjian lisensi, karena dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten hanya diatur hak dan kewajiban Pemegang Paten saja, dimana hak dan
kewajiban tersebut apabila tidak dilaksanakan akan menimbulkan akibat hukum
terhadap status Paten tersebut, misalnya kewajiban Pemegang Paten untuk membayar
biaya tahunan dan kewajiban pemegang Paten untuk melaksanakan Patennya di
Indonesia.
Apabila pemegang Paten terlambat membayar biaya tahunan, maka akan
dikenakan denda dan bahkan dapat juga Paten tersebut dibatalkan apabila tidak
dibayar selama tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, apabila pemegang Paten tidak
melaksanakan Patennya di Indonesia, maka pihak lain yang ingin menggunakan
Paten tersebut dapat meminta lisensi wajib dari Direktorat Jenderal HKI untuk
melaksanakan Paten tersebut. Dengan demikian, kewajiban untuk membayar biaya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tahunan dan biaya lain yang timbul yang diwajibkan oleh Undang-Undang terhadap
pemegang Paten harus jelas dalam perjanjian lisensi kewajiban tersebut kepada siapa
dibebankan.14
Menurut Pasal 82 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten,
permintaan lisensi wajib bisa dilakukan oleh pemegang Paten itu sendiri atas dasar
alasan bahwa pelaksanaan Patennya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar
Paten lainnya yang sudah ada.
Keputusan atas pemberian lisensi wajib dari Direktorat Jenderal HKI memuat
ketentuan sebgai berikut :15
1. Lisensi wajib non eksklusif;
2. Alasan pemberian lisensi wajib;
3. Bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan
pemberian lisensi wajib;
4. Jangka waktu lisensi wajib;
5. Besarnya biaya royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi wajib kepada
pemegang hak Paten dan cara pembayarannya;
6. Syarat berakhirnya lisensi wajib dan hal yang dapat membatalkannya;
7. Lisensi wajib terutama digunakan untuk memnuhi kebutuhan pasar di dalam
negeri;
8. Lain lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang
bersangkutan secara adil.
14 Tobing Alexander D.L.Loc.Cit. 15 Mastur. ”Pengaturan Dan Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intelektual Dibidang
Paten”, Majalah ilmiah Ilmu Hukum QISTIE. Hal 59.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sedangkan menurut ilmu pengetahuan hukum Paten juga mengembangkan
beberapa bentuk lisensi Paten, yaitu :16
1. Lisensi Eksklusif
Merupakan lisensi yang dalam perjanjiannya diberikan oleh pemegang hak Paten
hanya kepada satu orang penerima saja dan tidak diberikan kepada orang lain.
2. Lisensi Non-Eksklusif
Pada lisensi eksklusif hak Paten dialihkan kepada satu orang saja, maka dalam
lisensi non-eksklusif hak Paten tidak hanya diberikan kepada satu orang saja, tetapi
dapat diberikan kepada beberapa orang penerima lisensi Paten.
3. Lisensi Silang
Lisensi ini terjadi bila seorang pemegang Paten memberikan lisensi kepada pihak
lain atas hak Patennya dan sebagai imbalannya ia akan menerima lisensi atas Paten
dari pihak lain tersebut. Hal seperti ini biasanya terjadi atas Paten yang meliputi
aspek yang berbeda dari penemuan yang sama, misalnya satu pihak memiliki Paten
utama, sedangkan pihak lain memiliki penyempurnaan Paten tersebut, oleh karena itu
mereka dapat melakukan lisensi silang.
Dalam perkembangannya di Indonesia, maka masih minimnya peran
pemerintah terhadap Paten di Indonesia sehingga terjadinya pelanggaran yang
diakibatkan oleh pemegang atau pemilik Paten, dimana pemegang atau pemilik Paten
tidak menjalankan Paten yang dimiliki setelah pemegang atau pemilik Paten
mendaftarkan Patennya ke Direktorat Jeneral HKI. Dalam hal tersebut Paten tersebut
acapkali diambil oleh pihak lain untuk di klaim atau digunakan demi keuntungan
16 Maria Edietha, Op .Cit., Hal. 17-18.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pribadi. Hal tersebut sering berkembang menjadi perkara hukum, dimana pihak lain
mengklaim Paten dari pemilik atau pemegang Paten. Pada perkara hukum yang
terjadi, maka diperlukan peran pemerintah dalam penyelesaian perkara hukum
tersebut.
Pemilik atau pemegang Paten apabila tidak menggunakan Patennya setelah
mendaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI, dapat diambil alih atau diberikan kepada
orang lain dengan ketentuan adanya permohonan dari pihak lain untuk menggunakan
Paten berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HKI yang merupakan lisensi-wajib.
Dalam hal ini, semestinya Direktorat Jenderal HKI meminta informasi kepada
pemilik atau pemegang Paten alasan tidak menggunakan Paten yang yang dimiliki
setelah didaftarkan dan apabila timbul kemungkinan pemilik atau pemegang Paten
tidak memiliki biaya untuk melaksanakan Paten, maka seharusnya peran Direktorat
Jenderal HKI membantu pemilik atau pemegang Paten untuk melaksanakan Patennya
terlebih lagi Paten tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan memiliki manfaat
bagi masyarakat luas bukan hanya mengambil alih Paten dari pemilik atau pemegang
Paten dikarenakan tidak digunakan atau dilaksanakan dengan kompensasi pemberian
yang royalti yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal HKI dengan besar yang
tidak sesuai atau merugikan bagi pemilik atau pemegang Paten.
Paten yang dimohon oleh pemohon Paten, dimana Paten yang dimohon
diambil alih oleh Direktorat Jenderal HKI yang merupakan lisensi-wajib dan
diberikan kepada pemohon Paten yang sudah mendapatkan izin, maka si pemohon
Paten dapat menggunakan Paten yang di mohon dengan melakukan perjanjian lisensi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan si pemilik atau si pemegang Paten dengan hal-hal yang sudah disepakati oleh
para pihak termasuk royalti untuk si pemilik atau pemegang Paten.
Royalti yang telah disepakati oleh para pihak ditentukan oleh pemerintah atau
Direktirorat Jenderal HKI, dimana royalti yang ditetapkan oleh Direktirorat Jenderal
HKI acapkali tidak sesuai dengan hasil yang telah ditemukan oleh si pemilik atau
pemegang Paten. Hal tersebut dapat memberikan kerugian bagi si pemilik atau
pemegang Paten dari segi moril, dimana pemilik atau pemegang Paten merasa tidak
dihargai hasil penemuannya sehingga pemilik atau pemegang Paten tidak akan
mendaftarkan Paten bahkan tidak akan melakukan penemuan untuk suatu Paten yang
baru. Dalam hal ini Direktirorat Jenderal HKI harus lebih memperhatikan dari sisi
keadilan atas royalti yang diberikan kepada si pemilik atau pemegang Paten, dimana
harus sesuainya royalti yang diberikan kepada si pemilik atau pemegang Paten agar si
pemilik atau pemegang Paten merasa dihargai dan didukung oleh pemerintah.
Pertanggung jawaban dari pemilik atau pemegang Paten terkait dengan
lisensi-wajib dimana pemilik atau pemegang Paten harus memeberikan segala
informasi terkait Paten yang dimilikinya, walaupun pada dasarnya pemilik atau
pemegang Paten tidak menginginkan Paten yang dimilikinya diambil alih oleh
Direktorat Jenderal HKI atau di lisensi-wajibkan dikarenakan tidak digunakan atau
dilaksanakan Paten yang dimiliki oleh pemilik atau pemegang Paten walaupun
pemilik atau pemegang lisensi-wajib Paten mendapatkan royalti.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka, penting untuk dilakukan
penelitian tentang : “Pertanggungjawaban Pemegang Lisensi-Wajib Paten Menurut
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten”.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, selanjutnya dapat
dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah syarat-syarat pemberian lisensi-wajib Paten sesuai prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Hak Kekayaan Intelektual ?
2. Bagaimanakah peran pemerintah dalam menentukan besarnya royalti
lisensi-wajib ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian
ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat pemberian lisensi-wajib atas
Paten sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Hak Kekayaan
Intelektual.
2. Untuk mengetahui dan memahami peran pemerintah dalam menentukan besarnya
royalti lisensi-wajib.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang Hak Kekayaan Intelektual
serta menambah khasanah kepustakaan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, manfaat bagi seluruh
pihak yang berwenang dan membantu pengetahuan terkait dengan permasalahan yang
diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif serta memadai dalam upaya
mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya dalam hal hak Paten,
lisensi-wajib serta hak eksklusifnya.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Pertanggungjawaban
Pemegang Lisensi-Wajib Paten menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah
yang sama, walaupun ada beberapa topik tentang Lisensi-Wajib Paten seperti :
1. Alexander Dumont L. Tobing (077005109)
“Perlindungan Hukum Terhadap Paten Asing yang telah didaftarkan
Menurut Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten.” Dengan
rumusan masalah :
a. Bagaimana syarat-syarat dan prosedur pendaftaran Paten asing di
Indonesia ?
b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Paten asing di Indonesia ?
c. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap Paten asing di
Indonesia ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Munawar Lubis (097005053)
“Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Paten di Indonesia.”
Dengan rumusan masalah :
a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap penerima lisensi Paten
di Indonesia ?
b. Apakah yang menjadi hambatan-hambatan penegakan hukum dalam
memberikan perlindungan terhadap penerima lisensi Paten di
Indonesia ?
c. Bagaimanakah penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa dalam
perjanjian lisensi Paten di Indonesia ?
Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,
rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang
membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari ketergantungan pada
berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungan pada metodelogi, karena aktivitas
penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori
berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau tertentu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktor-faktor yang
dapat menunjukan ketidakbenarannya.17
Teori berasal dari kata Theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan,
yang pada gilirannya berasal dari kata Thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki
menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar Theo ini pula muncul kata
modern Teater yang berarti pertunjukkan atau tontonan. Dalam banyak literatur
beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menujukkan bangunan berpikir yang
tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan) dan juga simbolis.18
Fred N Kerlinger menjelaskan pengertian teori sebagai : “seperangkat konsep,
batasan, dan proposi yang menyajikan pendangan sistematis tentang fenomena
dengan merinci hubungan-hubungan anatar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan
memprediksikan gejala itu.”19
Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk
mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori
merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori
merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari
seperangkat konsep atau variable, defenisi dan proposisi yang disusun secara
sistematis.20
17 Desy Purnama Sari Nainggolan, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pendaftaran indikasi
Geografis Produk Pertanian Di Sumatera Utara”, (Medan, Fakultas Hukum USU, 2013), Hal. 19. 18 H. R. Otje Salaman dan Aton F. Susanto, “Teori Hukum”, (Bandung : PT. Refika Aditama,
2004), Hal. 21. 19 H. Salim, “Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum”, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2010), Hal. 7. 20 J. Supranto, “Metode Penelitian Hukum dan Statistik”, (Jakarta : Rhineka Cipta, 2003),
Hal. 194.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis. 21 Teori diperlukan untuk menerangkan atau
menjelaskan gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.22
Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana
mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.23
Kata lain kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan
perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.24
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuan-
penemuan penelitian, memuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan
menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.25
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Teori Hukum Benda dan Hak Kebendaan.
Hukum Benda adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang
benda atau barang-barang (zaken) dan Hak Kebendaan (zakelijk recht). Pengertian
21 M. Soly Lubis, “Filsafat Ilmu dan Penelitian”, (Bandung : C.V. Mandar Maju, 1994),
Hal. 27. 22 J. J. M. Wuisman, “Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas”, Penyunting : M. Hisyam,
(Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996) Hal. 13.
23 Burhan Ashsofa, “Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta, Rineka Cipta, 1998), Hal. 23.
24 M. Solly, Op. Cit, Hal. 80. 25Ibid., Hal. 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
benda dapat dibedakan menjadi pengertian dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Pengertian ialah benda dalam arti sempit ialah setiap barang yang dapat diihat saja
(berwujud). Sedangkan pengertian benda dalam arti luas disebut dalam Pasal 509
KUHPerdata yaitu benda ialah tiap barang-barang dan hak-hak yamg dapat dikuasai
dengan hak milik atau denga kata lain benda dalam konteks hukum perdata adalah
segala sesuatu yang dapat diberikan/diletakkan suatu hak diatasnya, utamanya yang
berupa hak milik. Dengan demikian, yang dapat memiliki sesuatu hak tersebut adalah
Subyek Hukum, sedangkan sesuatu yang dibebani hak itu adalah Obyek Hukum.
Benda yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II KUHPerdata,
pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II KUHPerdata ini mempergunakan
sistem tertutup, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak hak kebendaan
selain dari yang telah diatur dalam Undang-Undang ini. Selain itu, hukum benda
bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi,
termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut dalam hukum perdata, yang namanya benda itu bukanlah segala sesuatu
yang berwujud atau dapat diraba oleh pancaindera saja, melainkan termasuk juga
pengertian benda yang tidak berwujud, seperti misalnya kekayaan seseorang. Istilah
benda yang dipakai untuk pengertian kekayaan, termasuk didalamnya
tagihan/piutang, atau hak hak lainnya, misalnya bunga atas deposito. Meskipun
pengertian zaak dalam KUHPerdata tidak hanya meliputi benda berwujud saja,
namun sebagian besar dari materi Buku II tentang Benda mengatur tentang benda
yang berwujud. Selain itu, istilah zaak didalam KUHPerdata tidak selalu berarti
benda, tetapi bisa berarti yang lain, seperti : “perbuatan hukum”
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(Pasal 1792 KUHPerdata), atau “kepentingan” (Pasal 1354 KUHPerdata), dan juga
berarti “kenyataan hukum” (Pasal 1263 KUHPerdata).26
Hak kebendaan (zakelijkrecht) ialah hak yang mutlak atas sesuatu benda di
mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat
dipertahankan terhadap siapapun. Hak perdata itu diperinci atas dua hal :
1) Hak Mutlak (hak absolut), yaitu :
a) Hak kepribadian, misalnya : hak atas namanya, kehormatannya, hidup,
kemerdekaan dan lain-lain.
b) Hak-hak yang terletak dalam hukum keluarga, yaitu hak-hak yang timbul
karena adanya hubungan antara suami isteri, karena adanya hubungan antara
orang tua dan anak.
c) Hak mutlak atas sesuatu benda, inilah yang disebut hak kebendaan.
2) Hak Nisbi (hak relatif) atau hak persoonlijk, yaitu semua hak yang timbul karena
adanya hubungan perutangan sedangkan perutangan itu timbul dari perjanjian,
Undang-Undang dan lain-lain.27
b. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum yang sejalan
dengan prinsip legalitas dalam sistem eropa kontinental, bilamana hukum akan
ditegakkan harus ada aturan yang mengaturnya, sehingga aturan itu secara pasti akan
dilaksanakan. Bila tidak dilaksanakan, maka hukum itu akan mengandung
26 Nin Yasmin Lisasih. “Teori Hukum Benda”.
http://yasminelisasih.com/2011/08/14/teorihukumbenda/ diakses tanggal 27 agustus 2014. 27 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Benda”, (Yogyakarta : Liberty. 2004), Hal. 20.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
norma-norma yang mati yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan hukum.28
Ada kalanya kata-kata atau kalimat dalam sebuah undang-undang bisa jadi
jelas sekali dan bisa pula tidak jelas tentang apa yang diperintahkan undang-undang
tersebut, sehingga ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang
diselesaikan melalui interpretasi. H.L.A Hart dalam bukunya berjudul ”The Concept
of Law” menyebutnya ketidakpastian (legal uncertainty) dalam undang-undang.29
Masalah kepastian hukum dalam teoritis dari dulu hingga kini tidak pernah
selesai dibicarakan. Mungkin dapat direnungkan teori hukum dalam pandangan Hans
Kelsen dan Jeremy Bentham. Kedua pemikir ini saling berbeda memaknai hukum
positif sebagai suatu kepastian hukum. Ketika seseorang berhaluan pada Hans Kelsen
analisis positivistiknya akan bersifat top down, dan ketika yang lain berhaluan pada
Jeremy Bentham, maka analisis positivisitiknya bersifat botton up.30
Kepastian hukum bila dilihat berdasarkan analisis top down, maka analisisnya
akan melihat kepastian hukum sesuai dengan apa yang ditentukan dalam undang-
undang, tetapi jika melihat kepastian hukum berdasarkan analisis botton up, maka
analisisnya akan melihat kepastian hukum bukan hanya ditentukan dalam
undang-undang melainkan lebih luas daripada itu.31
28 Mellisa Yanwar. “Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Perkara Pembatalan Merek
Terdaftar (Studi Kasus Merek PT. Krakatau Steel dan Merek PT. Perwira Adhitama Sejati)”, (Medan,
Fakultas Hukum USU, 2015), Hal. 19. 29 H.L.A Hart, “The Concept of Law”, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997),
diterjemahkan oleh M. Khozim, “Konsep Hukum”, (Bandung : Nusamedia, 2010), Hal. 230. 30 Achmad Ali, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)”, (Kencana, Jakarta, 2009),
Hal. 106. 31 Mellisa Yanwar, Op. Cit., Hal. 20.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Teori kepastian hukum dalam Peter Mahmud Marzuki, menyebut aturan
hukum yang bersifat umum menjadi batasan bagi masyarakat dalam melakukan
tindakan terhadap individu lain. Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa dalam
kehidupan masyarakat diperlukan aturan agar dapat melindungi kepentingan
masyarakat. Namun tidak semua ketentuan dalam undang-undang mampu
mengakomodasi semua kepentingan.32
Hans Kelsen menyebut tidak ada kekosongan hukum tetapi yang ada hanya
kekosongan Undang-Undang. Hans Kelsen menentang kebijakasanaan diserhakan
kepada keyakinan hakim untuk menilainya. 33 Penentangan Kelsen semakin
memperkuat doktrinnya tentang kepastian hukum adalah kepastian Undang-Undang.
Peter Mahmud Marzuki memandang sebaliknya bahwa ketika terjadi suatu
kekosongan Undang-Undang atau kekosongan aturan, maka harus diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim dengan menerapkan kebebasan hakim perlu menemukan
hukumnya, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan, tidak ada Undang-Undang
yang mangaturnya. 34 Kepastian hukum ditanggapi secara berbeda-beda manakala
memperhatikan kasus-kasus tertentu, terutama di kalangan para praktisi hukum
maupun kalangan akademisi.35
Kepastian hukum dalam suatu undang-undang menghendaki kepastian dalam
perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan
32 Peter Mahmud Marzuki, “Pengantar Ilmu Hukum”, (Kencana, Jakarta, 2009), Hal. 286 dan
Hal. 294. 33 Hans Kelsen, “Pengantar Teori Hukum”, diterjemahkan oleh Siswi Purwandari, (Bandung
: Nusa Media , 2009), Hal. 135-137. 34 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., Hal. 159. 35 Faisal, ”Menerobos Positivisme Hukum”, (Bekasi : Gramata Publishing, 2012), Hal. 162.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lainnya dari pasal-pasal undang-undang. Kepastian hukum juga menghendaki suatu
kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum yang telah
ditentukan dalam undang-undang dalam parktek.36
c. Teori Perlindungan Hukum
Teori ini dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum
merupakan perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak
asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan
berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku dinegara tersebut guna mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi
sebagai perlindungan atas kepentingan manusia.37
Perlindungan hukum adalah suatu upaya yang dilakukan oleh hukum dalam
menanggulangi pelanggaran, yang terdiri dari dua jenis, yaitu:38
1) Perlindungan hukum yang bersifat represif, yaitu perlindungan hukum yang
dibuat untuk menyelesaikan suatu sengketa.
2) Perlindungan hukum yang bersifat preventif, yaitu perlindungan hukum yang
dibuat dengan tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
Perkembangan hak kekayaan intelektual sebagai hak milik yang eksklusif
melandasi beberapa teori yang dikenal sebagai reward theory, recovery theory,
danincentive theory dalam rangka melindungi hak kekayaan intelektual tersebut. 39
Berdasarkan reward theory maka seseorang pencipta/penemu harus dilindungi dan
mendapatkan penghargaan atas jerih payahnya. Recovery Theory menyatakan bahwa
36 Mellisa Yanwar. Op. Cit., Hal. 24. 37 Philipus M Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), Hal. 19. 38Ibid. 39 Cita Citrawinda Priapantja, “Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi :
Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi”, (Jakarta : Chandra Pratama, 1999), Hal. 29.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
seorang pencipta/penemu harus memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kembali
suatu yang telah dikeluarkan selama dalam proses menghasilkan suatu karya. Incentive
theory menyatakan diperlukannya insentif untuk memacu pengembangan kreativitas
sehingga menghasilkan suatu yang baru.
Hak Kekayaan Intelektual sebagai hak milik eksklusif memerlukan perlindungan
agar hak pemilik Hak Kekayaan Intelektual tidak dilanggar. Pemilik Hak Kekayaan
Intelektual dapat melakukan berbagai upaya untuk melindungi hak miliknya dari
penggunaan dan pemanfaatan tanpa izinnya.40
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsi berfungsi menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
konsep yang digunakan dalam proposal tesis ini agar secara operasional diperoleh
hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan berdasarkan judul
penelitian “Pertanggungjawaban Pemegang Lisensi-Wajib Paten Menurut
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten”, berikut penjelasan
konsepsional tersebut :
a. HKI (intellectual property rights) yang berkaitan dengan hak kepemilikan
atas karya-karya intelektual adalah hak-hak yang tidak berwujud (intangible
right).41
b. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas
hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
40 Desy Purnama Sari Nainggolan. Op. Cit. Hal. 23. 41 Roscoe Pound, “Pengantar Filsafat Hukum”. Diterjemahkan oleh M. Radjab, Cet. 3
(Jakarta : Batara Karya Aksara. 1982), Hal. 139.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya
kepada pihak lain untuk melaksanakannya.42
c. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari
suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat
tertentu.43
d. Lisensi-wajib adalah suatu bentuk lisensi yang diberikan dengan alasan
tertentu oleh pemilik atau pemegang suatu Hak Atas Kekayaan Intelektual
yang dilisensikan secara paksa tersebut, melainkan diberikan oleh suatu badan
nasional yang berwenang.44
e. Pertanggungjawaban hukum adalah hal yang dapat dipertanggungjawabkan
atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan
kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas Undang-Undang
yang dilaksanakan.45
f. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan
pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk
atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.46
g. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara
bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang
menghasilkan Invensi.47
42 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 43 Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 44 Gunawan Widjaja, “Lisensi (Seri Hukum Bisnis)”. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2003), Hal. 34. 45 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 337. 46 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
hukum dari sisi normatifnya.48
1. Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini jika dilihat dari sifatnya merupakan penelitian diskriptif
analitis yang diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diteliti pada
saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perUndang-Undangan (Statute
Approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). 49 Data yang telah
dikumpulkan secara kualitatif normatif baik melalui penelitian perpustakaan sebagai
data pelengkap kepada para pihak yang berkompetensi dengan masalah Paten, dalam
melakukan lisensi Paten akan dilakukan editing dan dibuat suatu abstraksi sehingga
akan memperoleh komponen substansi perjanjian lisensi Paten dari sudut hukum
kemudian dianalisa secara kualitatif. Didalam menganalisa data normatif, data
empirik dijadikan suatu alat kontrol atau untuk mengecek data normatif. Dengan
demikian data empirik dideskripsikan dengan norma-norma yang telah ada, analisa
yang akan di teliti adalah mengenai regulasi yang mewajibkan pencatatan perjanjian
lisensi-wajib Paten.
47 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 48Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2007), Hal. 57. 49 Johny Ibrahim, Op. Cit., Hal. 302.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perUndang-Undangan yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Peraturan Undang-Undang yang terkait lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder
Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, dan jurnal-jurnal hukum. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks
mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para
sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.50
c. Bahan Hukum Tersier
Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap
bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal
ilmiah.51
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan ini
50 Petter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta : Pradyna Paramitha, 2005), Hal. 141. 51 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat”, (Jakarta : Rajawali Pers) , Hal. 14.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan
perUndang-Undangan, literatur-literatur, jurnal ilmiah dan data-data analisis yang
ditabulasi kemudian disistematika dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang
relevan dengan objek penelitian. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk
mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau
tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun
naskah resmi.
5. Analisis Data
Pengolahan sumber bahan hukum hakikatnya kegiatan untuk mengadakan
sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat
klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan
pekerjaan penafsiran dan konstruksi. 52 Data yang diperoleh dari hasil penelitian
dikelompokkan menurut permasalahan yang selanjutnya dilakukan analisis secara
kualitatif yang dimaksudkan untuk menganalisa dengan penjelasan dalam bentuk
interpretasi yang dituangkan sehingga memberikan penjelasan yang
mempresentasikan hasil dari data yang diperoleh. Berdasarkan analisa terhadap
substansi pembahasan dalam penulisan ini, maka dapat dilakukan penafsiran dengan
metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil dari interpretasi yuridis ini
diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang diajukan dalam
penulisan ini secara lengkap.
52 Bambang sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada. 2003), Hal. 195.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II
SYARAT-SYARAT PEMBERI LISENSI-WAJIBPATEN SESUAI
PRINSIP-PRINSIP YANG TERKANDUNG DALAM HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL
A. Prinsip-prinsip Dalam Hak Kekayaan Intelektual
Prinsip atau asas hukum, sebagai sarana yang membuat hukum itu hidup,
tumbuh dan berkembang serta menunjukan kalau hukum itu bukan sekedar kosmos
kaedah.Kekosongan atau kumpulan dari peraturan belaka, sebab asas hukum itu
mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya
dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan
melahirkan suatu peraturan selanjutnya.53
Asas hukum menjadi alat anasir untuk mengisi kekosongan dan kesenjangan
hukum. Asas hukum akan menghindari keterbelakangan aturan normatif dari realitas.
Dari hukum yang normatif dan terus berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan
(het recht hint antcher). Banyak yang memberikan komentar diantara ahli yuridis
mengenai asas/prinsip hukum sebagai ground norm (Kelsen) dan penting dalam
penyusunan sebuah aturan, sebagaimana dikemukakan oleh Suparto Wijoyo
(2005: 45-49)54
1. Asas hukum itu adalah tendensi-tendensi, yang disyaratkan pada hukum oleh
pandangan kesusilaan kita (Paul Scholten).
53 Damang Averroes Al-Khawarizmi, Prinsip-prinsip Hukum. 6 Desember 2011
http://www.negarahukum.com/hukum/prinsip-prinsip-hukum.html diakses pada tanggal
7 Agustus 2016. 54 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Asas hukum adalah ukuran-ukuran hukumiyah-etis, yang memberikan arah
pembentukan hukum (Karl Larens).
3. Dari asas itulah hukum positif memperoleh makna hukumnya. Di dalamnya juga
terdapat kriterium yang dengannya kualitas dari hukum itu dapat dinilai, hukum
itu dapat dipahami dengan berlatar belakang suatu asas yang melandasi
(Meuwissen).
4. Asas adalah anggapan-anggapan pertimbangan-pertimbangan fundamental yang
merupakan dasar diletakkannya tingkah laku kemasyarakatan (King Gie dan Ten
Berg).
Perlindungan HKI didasarkan prinsip bahwa HKI merupakan hak milik yang
bersifat eksklusif bagi pemilik atau pemegang HKI untuk memanfaatkan dan
menguasai sepenuhnya hak tersebut. Pemegang HKI berhak mencegah pihak lain
menggunakan atau berbuat sesuatu tanpa seizinnya. Hak eksklusif ini sebagai
penghargaan atas upaya karya intelektual yang dihasilkannya.55
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual lebih dominan pada perlindungan
individual, namun untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan
masyarakat, maka sistem Hak Kekayaan Intelektual mendasarkan diri pada prinsip
sebagai berikut :56
55 Chandra Irawan, “Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia : Kritik Terhadap
WTO/TRIPs dan Upaya Membangun Hukum Kekayaan Intelektual Demi Kepentingan Nasional”,
(Bandung : CV. Mandar Maju, 2011), Hal.53-55. 56 Muhammad Djumhana, “Hak Kekayaan Intelektual Teori dan Praktek”, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1999), Hal. 25-26.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Prinsip Keadilan (the Principle of Natural Justice)
Prinsip keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang
bekerja membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam
pemiliknya.57 Pencipta sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan
hasil dari kemampuan intelektualnya, berhak memperoleh imbalan. Imbalan
tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi seperti adanya rasa aman
karena dilindungi, dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan
perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk
bertindak dalam rangka kepentingan tersebut, yang disebut hak. Setiap hak
menurut hukum itu mempunyai peristiwa tertentu yang menjadi alasan
melekatnya hak itu pada pemiliknya. Menyangkut hak milik intelektual, maka
peristiwa yang menjadi alassn melekatnya itu, adalah penciptaan yang
mendasarkan atas kemampuan intelektualnya. Perlindungan ini tidak terbatas di
dalam negeri penemu itu sendiri, melainkan juga dapat meliputi perlindungan di
luar batas negaranya. Hal itu karena hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan
pihak lain untuk melakukan (commision), atau tidak melakukan (omission) sesuai
perbuatan.
2. Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Prinsip ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu
kemauan daya pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang
57 http://yuarta.blogspot.co.id/2011/03/prinsip-prinsip-hak-kekayaan.html diakses pada
tanggal 7 Agustus 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
akan memeberikan keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.58 Hak milik
intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu
kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum
dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam
kehidupan manusia, maksudnya ialah bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat
ekonomis manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk menunjang
kehidupannya didalam masyarakat. Dengan demikian hak milik intelektual
merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikannya,
seseorang akan menapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk pembayaran
royalti dan technical fee.
3. Prinsip Kebudayaan (The Culture Agreement)
Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni
untuk meningkatkan kehidupan manusia.59 Karya manusia itu pada hakikatnya
bertujuan untuk memungkinkannya hidup, selanjutnya dari karya itu pula akan
timbul pula suatu gerakan hidup yang harus menghasilkan karya lebih banyak
lagi. Konsepsi demikian, maka pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan seni, dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf
kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu juga akan memberikan
kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Pengakuan atas kreasi, karya,
karsa, cipta manusia yang dilakukan dalam sistem hak milik intelektual adalah
suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang
58 Ibid. 59 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong dan
melahirkan ciptaan baru.
4. Prinsip Sosial (The Social Argument)
Prinsip sosial, yakni hak yang diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada
individu merupakan satu kesatuan sehingga perlindungan diberikan bedasarkan
keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. 60 Hukum tidak mengatur
kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, terlepas dari
manusia yang lain akan tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai
warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, yang
sama-sama terikat dalam satu ikatan kemasyarakatan.
Menurut Achmad Zen Umar Purba, ada 5 (lima) jenis prinsip dasar dalam
Hak Kekayaan Intelektual, yaitu :61
1. Hak Otoritas
Hak Kekayaan Intelektual adalah hak, dan sebagai hak dia merupakan harta atau
aset berupa benda yang tidak berwujud (intangible asset). Hak Kekayaan
Intelektual baru ada secara hukum jika telah ada pengayoman, penaungan, atau
perlindungan hukum dari Negara atau otoritas publik terhadap suatu karya
intelektual. Melalui mekanisme pengurusan dokumentasi diberikan hak kepada
pemohon Hak Kekayaan Intelektual, termasuk inventor, pendesain dan pemilik
merek. Di sini terdapat 3 (tiga) unsur utama, yaitu (i) hak ekslusif, (ii) Negara dan
(iii) jangka waktu tertentu.
60Ibid. 61Indra Rahmatullah.“Aset Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan dalam Perbankan”.
(Yogyakarta : Deepublish, 2015), Hal. 39-44.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dengan hak yang didapat dari otoritas publik, tumbuhlah ekslusivitas atau
kepemilikan sehinggasi pemilik dapat melarang pihak lain menggunakan hak
tersebut tanpa izinnya. Mengenai negara yang memberikan pengayoman,
penaungan atau perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual, hukum
internasional menempatkan negara sebagai otoritas tertinggi di dunia. Kalaupun
ada lembaga internasional, lembaga ini mendapat mandat dari negara-negara yang
membentuk lembaga di maksud.
2. Hak Privat dan Pasar
Hak Kekayaan Intelektual adalah hak bagi pemilik karya intelektual, jadi sifatnya
individual, perorangan dan privat. Namun, masyarakatlah yang mendapat
kemaslahatannya melalui mekanisme pasar. Sebagai contohnya, Bell menemukan
telepon, Watt menemukan mesin dan Edison menemukan listrik. Karya
intelektual yang telah mendapat atau telah dikemas dengan hak eksklusif yang
oleh sebab itu merupakan property pemiliknya menciptakan pasar (permintaan
dan penawaran). Hal itu timbul karena pelaksaan sistem Hak Kekayaan
Intelektual memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Sebagai contohnya dalam
Paten, pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten diisyaratkan adanya unsur dapat diterapkan dalam industri selain harus
mengandung invensi baru dan langkah-langkah inventif.
Ada 2 (dua) prinsip dengan bahasan di atas yaitu prinsip kebudayaan (the culture
argument) dan prinsip sosial (the social argument). Prinsip kebudayaan yang
menjelaskan bahwa karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk
memungkinkan hidup yang selanjutnya dari karya itu akan timbul suatu gerakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian, maka
pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra dapat
meningkatkan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia di samping
memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan prinsip sosial menjelaskan bahwa hukum tidak mengatur kepentingan
manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri akan tetapi juga mengatur
kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain, yang sama-sama terikat dalam satu ikatan
kemasyarakatan. Dengan demikian hak apapun yang diakui oleh hukum, dan
diberikan kepada perseorangan atau suatu persekutuan merupakan kepentingan
seluruh masyarakat yang terpenuhi.
3. Prinsip Berkesinambungan
Apabila sistem telah tercipta sehingga mempertemukan pemegang Hak Kekayaan
Intelektual dan masyarakat, maka hubungan ini akan berkesinambungan yang
akhirnya masyarakatlah yang membutuhkan barang-barang, kreativitas terus
diperlukan dan pada akhirnya pada sistem Hak Kekayaan Intelektual melekat
unsur berkesinambungan atau estafet. Sebagai contohnya dalam hal Paten,
inventor harus membuka dan mengungkapkan invensinya. Dengan demikian,
selain dimaksudkan agar publik mengetahui isi invensi yang dilindungi tersebut,
keterbukaan ini bertujuan untuk merangsang orang lain mengembangkan lagi
invensi tersebut untuk kemudian dimintakan Paten baru.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Satu Kesatuan
Hak Kekayaan Intelektual merupakan satu kesatuan sistem. Hal ini berarti
kekayaan intelektual mencakup berbagai bidang yang luas, sehingga diperlukan
pengikatan antara semua unsur agar saling terkait menjadi satu. Kendatipun saat
ini pengeloaan Hak Kekayaan Intelektual masih berada dibawah Departemen
Hukum dan HAM, pengelolaan sistem Hak Kekayaan Intelektual dilakukan
berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait, seperti yang direfleksikan dalam
berbagai bidang Hak Kekayaan Intelektual, yaitu hak cipta, Paten, merek, indikasi
geografis, desain industry, desain tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang.
5. TRIPs Mengikat
TRIPs sebagai salah satu lampiran WTO Agreement merupakan dokumen yang
mengikat Indonesia dan telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1994. Dikatakan salah satu karena dalam WTO termuat piagam aturan-
aturan kelembagaan beserta 4 (empat) lampiran penting. Keempat Annex tersebut
yaitu :
a. Annex 1 terdiri dari tiga bagian
1) Annex 1 A tentang Multilateral Agreement on Trade in Goods :
• GATT 1994 (harus dibaca bersamaan dengan GATT 1947).
• Agreement on Agriculture.
• Agreement on Sanitary and Phylosanitary measures.
• Agreement Textile and Clothing (perjanjian ini diakhiri pada
Januari 2005).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
• Agreement on Technical Barriers to Trade.
• Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs.
• Agreement on Implemantation of Article VI (Anti Dumpin).
• Agreement on Implemantation of Article VII (Cusom Valuation).
• Agreement on Preshipment Inspection.
• Agreement on Rules of Origin.
• Agreement on Import Licensing.
• Agreement on Safeguards.
2) Annex 1 B :General Agreement on Trade in Services (GATS).
3) Annex 1 C :Trade-Related Aspects of International Property Rights
(TRIPs), including Trade in Counterfeit Goods.
b. Annex 2 : Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement
of Disputes
c. Annex 3 : Trade Policy Review Mechanisme
d. Annex 4 : Plurilateral Trade Agreement
• Annex 4 (a) Agreement on Trade in Civil Aircraft.
• Annex 4 (b) Agreement on Government Procurement.
• Annex4 (c) International Dairy Agreement (perjanjian ini diakhiri pada
tahun 1997).
• Annex4 (d) International Bovine Meat Agreement (perjanjian ini diakhiri
pada tahun 1997).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
B. Prinsip-prinsip Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten
Asas-asas atau prinsip-prinsip yang dianut dan mendasari pengaturan
perlindungan Paten dalam peraturan perUndang-Undangan di Indonesia adalah
sebagai berikut :62
1. Asas Manfaat
Yang dimaksud dengan asas manfaat adalah perlindungan Paten yang
memberikan manfaat bagi para inventor pemegang hak dan pengguna hak Paten.
2. Asas Rasional
Yang dimaksud asas rasional adalah perlindungan Paten yang mempertimbangkan
nilai ekonomis dari invensi, berdasarkan sifat alamiah dari perkembangan
pengetahuan manusia itu sendiri, mempertimbangkan ketahanan nasional,
kesejahteraan masyarakat dan keadilan bagi seluruh komponen masyarakat.
3. Asas Efisien
Yang dimaksud asas efisien adalah perlindungan Paten yang mempertimbangkan
pengelolaan hak pada biaya yang layak.
4. Asas Optimal
Yang dimaksud dengan asas optimal adalah invensi yang menggunakan seluruh
sumberdaya dan pengetahuan yang ada di dalam negeri.
62 DR. Enny Nurbaningsih, SH., M.Hum, “Naskah Akademik RUU Tentang Paten”,
(Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2015), Hal. 25-30.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Asas Ekonomis
Yang dimaksud dengan asas ekonomis adalah perlindungan Paten memberikan
manfaat secara efisien dan optimal yang menghasilkan nilai tambah.
6. Asas Peningkatan Nilai Tambah
Yang dimaksud dengan asas peningkatan nilai tambah adalah perlindungan Paten
yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
7. Asas Berkelanjutan
Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan adalah pengelolaan hak yang
memperhatikan perkembangan teknologi dan sosiologi agar pemanfaatannya
dapat diteruskan dalam waktu mendatang.
8. Asas Berkeadilan
Yang dimaksud dengan asas berkeadilan adalah perlindungan Paten yang
menjamin aksesibilitas informasi seluruh lapisan masyarakat.
9. Asas Kesejahteraan Masyarakat
Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan masyarakat adalah perlindungan Paten
yang berorientasi pada kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
10. Kebaruan (Novelty)
Invensi adalah konsep pemikiran inventor yang diterjemahkan kedalam suatu
kegiatan pemecahan masalah spesifik di bidang teknologi yang dapat berupa
produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
Suatu invensi dianggap baru apabila mengandung langkah inventif dimana bagi
manusia yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hak tidak
dapat diguna sebelumnya. Invensi tersebut juga harus dapat diterapkan dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
industri. Suatu invensu dianggap baru jika penerimaan tersebut tidak sama dengan
teknologi yang diungkapkan sebelumnya adalah teknologi yang telah diumumkan
di Indonesia atau diluar Indonesia dalam suatu tulisan atau uraian tulisan atau
melalui peragaan atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk
melaksanakan invensi tersebut sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas.
11. Hak Eksklusif
Hak eksklusif artinya hak yang hanya diberikan kepada pemegang atau pemilik
Paten untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan sendiri secara komersial
atau memberikan hak lebih lanjut untuk itu kepada orang lain. Dengan demikian,
orang lain dilarang melaksanakan Paten tersebut tangpa persetujuan pemegang
atau pemilik Paten.
Paten merupakan suatu pemberian (grand) oleh negara berupa hak untuk
melarang pihak lain untuk menggunakan/membuat/menjual invensi, dan negara
member pengakuan secara hukum dalam bentuk hak ekonomi dan hak moral
untuk kreasi inventor. Dengan demikian hanya inventorlah yang mempunyai
akses dan pengakuan dari negara. Asas ini telah diterapkan di dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten yang mengatur pemegang atau
pemilik Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya
dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuan dari pemegang atau pemilik
Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12. First to File
Sistem ini adalah suatu sistem pemberian Paten yang menganut mekanisme
bahwa seseorang yang pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai
pemegang atau pemilik Paten, bila semua persyaratan sudah terpenuhi.
13. Penentuan tanggal penerimaan permohonan Paten (Filling Date)
Tanggal penerimaan adalah tanggal penerimaan permohonan yang telah
memenuhi peresyaratan administratif. Tanggal penerimaan merupakan tanggal
dimana Direktorat Jenderal HKI menerima surat permohonan yang telah
memenuhi ketentuan dan syarat-syarat pengajuan permohonan.
14. Hak Prioritas
Hak prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal
dari negara yang tergabung dari negara yang tergabung dalam Paris Convention
for the protection og Industrial Property atau Agreement Establishing the World
Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di
negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah
satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun
waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut.
C. Syarat-syarat Pemberian Lisensi-Wajib
1. Lisensi Paten
Pengaturan lisensi Hak Kekayaan Intelektual adalah suatu perjanjian yang
lazimnya dibuat secara tertulis yang disebut dengan perjanjian lisensi. Dengan adanya
perjanjian lisensi ini, penerima lisensi Hak Kekayaan Intelektual tidak dapat digugat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
karena dianggap melanggar Hak Kekayaan Intelektual sebab pemilik Hak Kekayaan
Intelektual telah memberikan izin kepadanya untuk menggunakan haknya tersebut,
baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang yang didaftarkan. Selain memuat
jangka waktu pemberian lisensi, juga mencantumkan persyaratan tertentu yang harus
dilaksanakanpenerima lisensi Paten terdaftar dalam jangka waktu tertentu tersebut.
Dalam bidang Paten bahwa pemilik terdaftar berhak memberikan lisensi akan
menggunakan Paten tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa, yang
berlaku diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan
lain. 63
Perjanjian lisensi dimaksudkan dicatat oleh Direktorat Jenderal HKI dalam
Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Paten. Adanya perjanjian lisensi
hak atas Paten terdaftar tidak menyebabkan pemilik terdaftar kehilangan hak untuk
menggunakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak lainnya untuk
menggunakan Paten terdaftar tersebut. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 21
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten yang menyatakan bahwa
pemilik Paten terdaftar yang telah memberikan lisensi kepada pihak lain tetap dapat
menggunakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk
menggunakan Paten tersebut, kecuali bila diperjanjikan lain.64
63 Gunawan Suryomurcito, dkk, “Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum
Perjanjian Lisensi”, (Jakarta : BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2006) tanpa halaman. 64 Rachmadi Usmani, “Hukum HKI, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia.”
(Jakarta : Alumni. 2003) Hal. 350.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Paten dapat diberikan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :65
a. Aspek kebaharuan penemuan (novelty).
Suatu invensi dianggap memenuhi syarat kebaruan jika pada saat pengajuan
permintaan Paten, invensi tersebut tidak sama atau tidak merupakan bagian dari
invensi terdahulu. Untuk menentukan apakah sebuah invensi bersifat baru, harus
diadakan pemeriksaan terhadap data terdahulu untuk mencari dokumen pembanding
yang terbit sebelum tanggal penerimaan permohonan Paten.
Syarat kebaruan (novelty), dapat ditentukan berdasarkan pembatasan-
pembatasan tertentu, misalnya daerah (territory), kapan penemuan itu diketahui, dan
cara pengumuman penemuan itu kepada masyarakat. Syarat kebaruan dapat bersifat
mutlak (world wide novelty) atau relatif.Bersifat mutlak adalah syarat kebaruan
adalah syarat yang harus diikuti oleh semua negara, sedangkan syarat kebaruan relatif
adalah syarat yang timbul kondisi dan kepentingan negara yang semakin
berkembang. Indonesia dalam hal syarat kebaruan menganut sistem kebaruan yang
luas (world wide novelty), hal tersebut tercantum dalam ketentuan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, yaitu : bahwa suatu penemuan tidak
dianggap baru, jika pada saat pengajuan permintaan Paten, penemuan tersebut telah
diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau
melalui peragaan atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk
melaksanakan penemuan (invensi) tersebut sebelum tanggal penerimaan atau tanggal
prioritas.
65 Abdulkadir Muhammad, “Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual”, (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 2001), Hal. 131.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten juga mengatur bahwa suatu invensi tidak dianggap telah diumumkan
jika dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaan:
a) Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di
Indonesia, atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam
suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi;
b) Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh inventornya dalam rangka
percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan.
b. Langkah inventif yang terkandung dalam penemuan (inventive step).
Suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seorang
yang mempunyai keahlian biasa mengenai teknik merupakan hal yang tidak dapat
diduga sebelumnya (non-obviousness). Di Indonesia, penilaian adanya langkah
inventif merujuk pada Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, yang penilaiannya mengacu pada kriteria suatu invensi merupakan hal yang
tidak dapat diduga harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada
saat diajukan permintaan Paten, atau yang telah ada pada saat diajukan permintaan
Paten, atau yang telah ada pada saat diajukan permintaan pertama dalam hal
permintaan itu diajukan dengan hak prioritas.
c. Dapat atau tidaknya penemuan diterapkan atau digunakan dalam industri
(industrially aplication).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten, suatu invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi tersebut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dapat diproduksi, atau dapat digunakan dalam berbagai jenis industri (dalam hal ini
pengertian industri merupakan pengertian yang luas). Suatu invensi harus dapat
diterapkan untuk tujuan praktis, harus dapat dilaksanakan dalam praktek. Jika invensi
itu dimaksudkan sebagai produk atau bagian dari produk, maka produk itu harus
mampu dibuat secara berulang-ulang dengan kualitas yang yang sama, sedangkan
jika invensi dimaksudkan sebagai proses atau bagian dari proses, maka invensi
tersebut harus mampu digunakan dalam praktek.
Dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan
Peraturan pemerintah. Oleh karena hingga saat ini Peraturan Pemerintah tersebut
belum ada maka segala ketentuan mengenai perjanjian lisensi selain tunduk pada
Undang-Undang Paten itu sendiri, juga tunduk pada ketentuan umum sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan tentunya juga tunduk pada
kesepakatan para pihak, selama tidak bertentangan dengan aturan hukum lainnya
yang berlaku.66
Termasuk di dalamnya ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten, dimana dicantumkan ketentuan yang melarang ketentuan
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang
merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat
kemampuan bangsa Indonesia dalam mengusai dan mengembangkan teknologi pada
umumnya dan yang berkaitan dengan penemuan yang diberi Paten tersebut. Dalam
66 Edietha Maria.,Op .Cit., Hal. 15.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hal demikian, maka Direktorat Jenderal Paten memiliki hak untuk menolak
pencatatan atas perjanjian lisensi yang memuat ketentuan tersebut.67
Pada Pasal 71 ayat (2) Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten dinyatakan
bahwa permohonan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Direktorat Jenderal. Kalau
diperhatikan ketentuan Pasal 71 ayat (2) di atas, batasan serta yang dimaksud dengan
merugikan perekonomian Indonesia ataupun pembatasan yang menghambat
kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada
umumnya dalam perjanjian lisensi Paten tidak jelas. Dalam Undang-Undang ini tidak
dijelaskan pembatasan-pembatasan dalam perjanjian lisensi Paten yang bagaimana
yang dilarang serta perjanjian lisensi Paten yang bagaimana dibolehkan. Barang kali
yang dimaksud dengan ketentuan yang merugikan perekonomian dan kemamuan
bangsa Indonesia dalam menguasai teknologi dalam perjanjian lisensi Paten adalah
grandback dan restrictive. Larangan untuk membuat klausula ini adalah penting
untuk menghindari adanya hambatan penguasaan teknologi bagi bangsa Indonesia.68
Menurut ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, maka perjanjian lisensi Paten wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal HKI,
kemudian dimuat dalam daftar umum dengan membayar biaya yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Selanjutnya dalam Pasal 72 ayat (2) Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten, dijelaskan pula bahwa apabila perjanjian lisensi tidak
67 Ibid.,Hal. 15. 68 Tobing Alexander D.L. Loc .Cit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak
ketiga.
Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, bahwa
dalam mengembangkan usahanya dengan cara menggunakan lisensi Paten orang lain
baik dari licensor asing, maupun lokal. Maka pihak licensee (penerima lisensi) harus
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pengalihan Paten, guna melindungi
kepentingannya, dengan memperhatikan beberapa ketentuan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten sebagai berikut :69
1. Licensee berhak untuk mendapatkan segala macam informasi yang berhubungan
dengan Hak Kekayaan Intelektual yang dilisensikan, yang diperlukan olehnya
untuk melaksanakan lisensi yang dialihkan tersebut. Lisensi dapat dialihkan
sebagian atau seluruhnya, bergantung pada perjanjian tertulis antara para pihak
(Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten);
2. Hak eksklusif yang dilindungi oleh negara bagi pemegang Paten adalah dalam
pelaksanaan Paten produk dan Paten proses (Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten);
3. Agar diperhatikan, bahwa pengalihan Paten harus disertai dokumen asli Paten
berikut hal lain yang berkaitan dengan Paten (Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten) dan segala bentuk pengalihan Paten wajib
dicatat dan diumumkan (Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten. Sebab pangalihan Paten yang tidak memperhatikan
69 Wr. Imas R. “Perjanjian Lisensi Paten Dan Know-How Transfer Sebagai bentuk
Investasi”. Hal. 12-13.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hal-hal tersebut diatas (Pasal 66 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten), akan mengakibatkan pengalihan hak Paten ini tidak sah dan batal demi
hukum (Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten);
4. Perjanjian lisensi Paten tersebut tidak diperbolehkan memuat ketentuan, baik
langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian
Indonesia;
5. Bahwa lisensi tersebut berlaku selama jangka waktu yang diberikan dan
berlakuuntuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 69 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten). Lamanya Perlindungan
terhadap Paten adalah 20 (dua puluh tahun) untuk Paten (Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten) dan 10 (sepuluh) tahun
untuk Paten sederhana (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten);
6. Agar memperhatikan, bahwa lisensi tersebut benar-benar dapat bermanfaat yang
mengandung inovasi baru yang dapat memiliki “added value” dan diterapkan
dalam industri (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten);
7. Penatapan besarnya royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim
digunakan dalam perjanjian Lisensi Paten atau perjanjian lain yang sejenis
(Pasal 78 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten).
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) di atas terdapat 3 (tiga) unsur
perjanjian lisensi tidak boleh memuat :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Ketentuan baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan
perekonomian Indonesia;
2. Pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai
dan mengembangkan teknologi pada umumnya; dan
3. Hal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
Kalau diperhatikan ketiga persyaratan tersebut masih bersifat umum, oleh
karena itu masih perlu diuraikan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah
ataupun dalam bentuk Peraturan Presiden.70
2. Jenis Lisensi
Pada dasarnya, terdapat dua tipe lisensi, yaitu lisensi secara sukarela dan
lisensi wajib. Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian para pihak berdasarkan
prinsip-prinsip umum dalam hukum kontrak, sedangkan lisensi wajib melibatkan
intervensi pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal ini, lisensi diberikan tanpa
memerlukan perjanjian dari pemegang hak Paten. Di Indonesia, lisensi wajib diatur
berdasarkan Pasal 74 sampai Pasal 87 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten. Lisensi wajib harus bersifat non eksklusif, artinya bahwa disamping
orang yang memegang lisensi wajib masih dapat di pihak lain mengerjakan dan
melaksanakan Paten yang bersangkutan, dan penggunaannya juga hanya untuk
kepentingan pasar dalam negeri.
70 Tobing Alexander D.L. Loc.Cit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Objek dari ketentuan lisensi wajib ini adalah Paten yang tidak
digunakan.Tujuannya, untuk menjamin agar inventor, baik asing maupun domestik,
dan pemegang Paten nasional dapat melaksanakannya dalam wilayah Negara
Republik Indonesia, sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi, industri dan
perdagangan nasional. Selain itu, ketentuan ini juga ditujukan untuk mencegah impor
barang yang sama ke dalam wilayah Indonesia.
Melalui peraturan domestik Indonesia, pemerintah mengijinkan terjadinya
importasi ke Indonesia tanpa izin dari pemegang Paten dengan dasar teori pelepasan
(theory of exhaustion). Teori ini menyatakan bahwa pemegang hak atas Paten
kehilangan haknya setelah penjualan pertama dari produk Paten disuatu negara. Teori
pelepasan ini kemudian dianut dan digunakan pasca Deklarasi Doha sebagai sarana
untuk membela kepentingan kesehatan masyarakat.
Kegiatan Impor Pararel di Indonesia diatur dalam dalam Bab XV tentang
Ketentuan Pidana, tepatnya pada Pasal 135 huruf a Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten. Ketentuan tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa
imporpararel merupakan bentuk pengecualian Ketentuan Pidana. Impor Pararel tidak
masuk dalam katagori suatu tindak pidana, jika memenuhi dua unsur yakni :71
1) Pelaksanaan impor pararel hanya dilakukan terhadap produk obat yang dalam
proses pemasaran di suatu negara yang ternyata telah terbukti memiliki harga
yang melampaui harga pasar internasional;
71 Sunendar, Aqimuddin dan Dzulman, Op.Cit., Hal. 94.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2) Pelaksanaan impor pararel harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan
perUndang-Undangan yang mengatur tentang kegiatan impor berdasarkan
ketentuan hukum nasional dan hukum Internasional.
Proses pemeriksaan substantif permohonan Paten, harus diajukan permohonan
tertulis kepada Direktorat Jenderal HKI dengan dikenai biaya (Pasal 48 ayat 1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten). Permohonan pengajuan
pemeriksaan substantif harus diajukan paling lambat dalam 36 bulan sejak tanggal
penerimaan. Bila permohonan pemeriksaan substantif tidak diajukan dalam batas
waktu tersebut atau biaya untuk itu tidak dibayar, permohonan akan dianggap ditarik
kembali.72
Direktorat Jenderal HKI dalam pemeriksaan substantif dapat meminta bantuan
ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari pemerintah terkait atau
pemeriksa Paten dari Kantor Paten negara lain. Penggunaan bantuan ahli, fasilitas,
atau pemeriksa Paten dari Kantor Paten negara lain tetap dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan kewajiban untuk menjaga kerahasiaan invensi yang
dimohonkan Paten (Pasal 50 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten).
Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan substantif pada Direktorat Jenderal HKI
berkedudukan sebagai pejabat fungsional. Pemeriksan diberi jenjang dan tunjangan
fungsional selain hak-hak lainnya sesuai Pasal 51 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten.
72 Rachmadi Usmani. Op .Cit., Hal. 254.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Tahapan Permohonan Paten
73
Sumber :www.dgip.go.id
73Direktorat Jenderal Hak atas kekayaan Intelektual, Departemen KeHKIman dan HAM,
“Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual”, DJ HKI, Jakarta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Persetujuan atau Penolakan Permohonan
Direktorat Jenderal HKI wajib memberi keputusan untuk menyetujui atau
menolak permohonan :74
1. Paten, paling lama 36 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat
permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud Pasal 48 atau
terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pengumuman sesuai dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1) apabila permohonan pemeriksaan itu diajukan
sebelum berakhirnya jangka waktu pengumuman tersebut;
2. Paten sederhana, paling lama 24 bulan sejak tanggal penerimaan (Pasal 54
Undang-UndangNomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten).
Ketentuan waktu 36 bulan dalam memberikan keputusan terhadap permohonan
dimaksudkan untuk mendekati pengaturan internasional dalam rangka kerja sama
Paten.
b. Permintaan Banding
Permintaan banding dapat diajukan terhadap penolakan permohonan yang
berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat
substantif sesuai Pasal 56 ayat 1 atau Pasal 56 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten. Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon atau kuasanya kepada Komisi Banding Paten dengan tembusan yang
disampaikan kepada Direktorat Jenderal HKI. Permohonan banding diajukan paling
lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan
74 Sukandarrumidi.“Paten.”(Yogyakarta : Pusat Pelayanan HAKI UGM. 2007) Hal. 2.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penolakan permohonan. Bila melewati jangka waktu tanpa adanya permohonan
banding, penolakan permohonan dianggap diterima oleh pemohon.
Permintaan Banding diajukan melalui sekretariat Komisi Banding Paten yang
berkantor di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atau melalui kantor
wilayah Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia, berdasarkan keputusan
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. : M.ll.PR.07.06
TAHUN 2003 Tentang Penunjukan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk menerima Permohonan Hak Kekayaan
Intelektual.75
Ada tahapan Tata Cara Permintaan Banding, adalah sebagai berikut :76
a. Pemohon/kuasa mengajukan Permohonan Banding Paten secara tertulis kepada
Ketua Komisi Banding melalui Sekretariat Komisi Banding dalam bahasa
Indonesia, dengan mengisi formulir yang telah disediakan dengan tembusan
Kepada Direktur Paten, dalam hal ini ditangani oleh urusan tata usaha.;
b. Permohonan banding harus diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal Surat Pemberitahuan Penolakan Permohonan Paten;
c. Permohonan banding dapat dilakukan secara langsung atau melalui pos secara
tercatat.
Permintaan Banding diajukan rangkap 5 (lima) dengan melampirkan :
1. Surat kuasa, jika pengajuan banding melalui Kuasa;
75 Direktorat Jenderal Kekayaan Hak Intelektual 2013.”Buku Panduan Hak Kekayaan
Intelektual.Tangerang.Hal 25. 76 Ibid., Hal.25-26.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Bukti Pembayaran Biaya Permohonan Banding (yang dibayarkan melalui loket
atau Bank yang ditunjuk);
3. Photocopy Keputusan Penolakan Permintaan Paten;
4. Alasan atau penjelasan Permohonan Banding;
5. Salinan Bukti Permohonan Paten yang diajukan berdasarkan Hak Prioritas yang
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia apabila Permohonan Paten diajukan
dengan menggunakan Hak Prioritas.
Sekretariat Komisi Banding memberikan tanda terima berkas yang lengkap,
kemudian dicatat dalam Buku khusus Komisi Banding Paten.
a. Apabila tanggal Penerimaan berkas yang disampaikan secara langsung
melampaui batas waktu 3 (tiga) bulan, terhitung sejak tanggal Surat Penolakan
Permohonan Paten Sekretaris memberitahukan secara tertulis kepada pemohon
tentang penolakan Permohonan banding atas dasar alasan tidak dipenuhi;
b. Jika Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat, maka tanggal penerimaan
berkas tersebut di Sekretariat Komisi Banding dianggap sebagai tanggal
diajukannya Permohonan Banding;
c. Berkas Permohonan banding diteruskan ke Urusan Permohonan.
Apabila berkas Permohonan banding telah dilengkapi dengan persyaratan
yang dibutuhkan, formulir serta berkas Permohonan banding tersebut diteruskan
kepada urusan Persidangan untuk diberi Nomor Urut Banding.
1. Apabila setelah lewat 14 (empat belas) hari persyaratan Permohonan banding
tersebut tidak dilengkapi, maka permohonan banding tersebut dianggap ditarik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kembali dan biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali. Berkas
Permohonan banding terse but dikembalikan kepada pemohon atau kuasa dan satu
berkas menjadi Arsip Direktorat Jenderal HKI;
2. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir (a) berakhir pada
waktu/hari libur, maka hari terakhirdihitung pada hari kerja berikutnya;
3. Permohonan Banding Paten yang telah diajukan tersebut tidak dapat diajukan
kembali.
Setelah Permohonan Banding diperiksa Komisi Banding apabila permohonan
ditolak, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan gugatan ke pengadilan Niaga
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan banding.
c. Pengalihan Paten
Paten adalah hak kekayaan intelektual yang bersifat bergerak dan tidak
berwujud dan mengandung nilai ekonomi. Jadi, Paten dapat beralih kepada pihak
lain, baik secara biasa maupun lisensi.
a) Karena Pewarisan atau Perjanjian :
Menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Paten
dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena pewarisan,
hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan peraturan
perUndang-Undangan.77
77 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b) Karena Pemberian Lisensi :
Pemegang Paten berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasar perjanjian
lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 16. Kecuali jika
diperjanjikan lain, lingkup lisensi meliputi semua perbuatan dalam Pasal 16,
berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia (Pasal 69 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten).78
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten mengatur 3 jenis
pembatalan Paten, yaitu :
1. Batal Demi Hukum
Paten dinyatakan batal demi hukum apabila pemegang Paten tidak memenuhi
kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang ditentukan (Pasal 88
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001Tentang Paten).Paten yang batal demi hukum
diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Jenderal kepada pemegang Paten serta
penerima lisensi dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut.79
2. Pembatalan Karena Permohonan
Paten dapat dibatalkan oleh Direktorat Jenderal untuk seluruh atau sebagian
atas permohonan pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat
Jenderal. Pembatalan Paten tidak dapat dilakukan jika penerima lisensi tidak memberi
persetujuan tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut.
78 Pasal 69 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 79 Pasal 88 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Pembatalan Karena Gugatan
Menurut Pasal 91 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, gugatan pembatalan Paten dapat dilakukan bila :80
a. Paten tersebut menurut ketentuan Pasal 2, Pasal 6 atau Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten seharusnya tidak diberikan.
b. Paten tersebut sama dengan Paten lain yang telah diberikan kepada pihak
lain untuk invensi yang sama berdasarkan Undang-Undang ini.
c. Pemberian lisensi wajib ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya
pelaksanaan Paten dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan
kepentingan masyarakat dalam jangka waktu 2 tahun sejak tanggal
pemberian lisensi wajib yang bersangkutan atau sejak tanggal pemberian
lisensi wajib pertama dalam hal diberikan beberapa lisensi wajib.
Gugatan pembatalan karena alasan :
1. Ketentuan Pasal 2, Pasal 6 atau Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2001 Tentang Paten diajukan oleh pihak ketiga kepada pemegang Paten
melalui Pengadilan Negara.
2. Paten tersebut sama dengan Paten lain yang telah diberikan kepada pihak lain
dapat diajukan oleh pemegang Paten atau pemegang lisensi kepada
Pengadilan Negara agar Paten lain yang sama dengan Patennya dibatalkan.
80 Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Pemberian lisensi wajib ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya
pelaksanaan Paten dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan
kepentingan masyarakat dapat diajukan oleh jaksa terhadap pemegang Paten
atau penerima lisensi wajib kepada Pengadilan Niaga (Pasal 91 ayat 2, ayat 3,
dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten).81
Isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan Paten disampaikan ke
Direktorat Jenderal paling lama 14 hari sejak putusan diucapkan. Direktorat Jenderal
mencatat dan mengumumkan putusan tentang pembatalan Paten tersebut. Pemegang
lisensi Paten yang dibatalkan karena alasan sama dengan Paten lain yang telah
diberikan kepada orang lain untuk penemuan yang sama tetap berhak melaksanakan
lisensi yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan
dalam perjanjian lisensi.
4. Perlindungan Hak Terhadap Penerima Lisensi Paten Di Indonesia
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh Undang-Undang
guna mencegah terjadipelanggaran, maka pelanggaran tersebut harus diproses secara
hukum, dan apabila terbukti melakukan pelanggaran, dia akan dijatuhi hukuman
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang bidang Hak Kekayaan Intelektual yang
dilanggar. Apabila terdapat perbuatan dengan sadar melanggar hukum dan pelaku
dapat dituntut membayar ganti rugi. Penuntutan ganti rugi tidak mengurangi hak
negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran Paten tersebut.
81 Pasal 91 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tindak pidana terhadap Paten ancamannya hukuman pidana penjara empat
tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sedangkan
tindak pidana yang dilakukan karena melanggar hak pemegang Paten sederhana dapat
dipidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah).82
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
terdapat pengecualian yaitu perbuatan yang tidak dapat dikenakan pidana apabila :
1. Mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produk
tersebut telah dimasukkan ke pasar disuatu negara oleh pemegang Paten yang sah
dengan syarat produk tersebut diimpor sesuai dengan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku;
2. Memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dalam jangka
waktu dua tahun sebelum berkahirnya perlindungan Paten dengan tujuan untuk
proses perizian kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan tersebut
berakhir.
Pengaturan ketentuan pidana dalam hukum Paten selain menyangkut
pelanggaran terhadap pemegang Paten atau pemegang lisensi juga diatur mengenai
pelanggaran terhadap kewajiban menjaga serta menyimpan kerahasiaan penemuan
dan seluruh dokumen permintaan patem, yaitu Pasal 132 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten yaitu :
“Barang siapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Pasal 40 dan Pasal 41 dipidana dengan
pidana penjara paling lama dua tahun”.
82 Mastur.”Op. Cit., Hal. 62.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Lisensi Paten di Indonesia
Menurut Prof. Komar Kantaatmaja S.H bahwa penyelesaian sengketa dapat
digolongkan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negoisasi baik berupa negoisasi
yang bersifat langsung (negotiation simplisiter) maupun pernyataan pihak ketiga
(mediasi dan rekonsiliasi);
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
Internasional;
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase baik yang bersifat ad hoc
maupun terlembaga.
Ketentuan penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten berpijak pada penyelesaian melalui proses
litigasi di lembaga pengadilan. Proses pemeriksaan pada sengketa Paten dilakukan
dengan melihat materi yang diajukan oleh pihak yaitu :
1. Sengketa pemberian Paten;
2. Sengketa atas hak eksklusif pemegang Paten, yaitu menyangkut perbuatan pihak
yang tidak berhak atau tidak mendapatkan persetujuan dari pemegang Paten,
melakukan perbuatan, membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan, atau
diserahkan produk yang diberi Paten atau menggunakan proses produksi yang
diberi Paten untuk membuat barang.83
83Ibid., Hal. 65.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hukum acara dalam pemeriksaan atas sengketa tersebut secara singkat juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten yang
menyangkut :
1. Lembaga yang memeriksa yaitu Pengadilan Niaga;
2. Tata cara dan lamanya proses pemeriksaan;
3. Pembatasa pemeriksaan, maksudnya pemeriksaan putusan untuk sengketa Paten
tidak mengenal banding apabila putusan tingkat pertama dirasakan tidak puas
maka pihak tersebut hanya dapat melakukan kasas;
4. Ada pembatasan waktu pemeriksaan, artinya pemeriksaan dibatasi hanya seratus
delapan puluh hari sejak tanggal gugatan didaftarkan atau berkas perkara diterima
Mahkamah Agung.
Dalam kenyataannya sengketa tidak hanya diselesaikan Pengadilan tetapi bisa
diselesaikan di luar pengadilan.84
6. Syarat Dan Prosedur Pendaftaran Paten Asing di Indonesia
Tidak semua Invensi dapat diberi Paten (Patentability) atau mencakup ruang
lingkup Paten. Di negara manapun pada umumnya mensyaratkan bahwa Paten hanya
akan diberikan pada Invensi yang baru (novelty), mengandunglangkah Inventif
(inventif step) dan dapat diterapkan dalam industri (industrialapplycability).
Persyaratan-persyaratan ini merupakan persyaratan yang merupakan yang bersifat
substantif yang menentukan apakah suatu invensi dapat diberi Paten atau tidak.
Persyaratan yang demikian diatur juga di Indonesia, terbukti dalam Pasal 2 angka 1
84 Pasal 124 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten menyatakan bahwa Paten
diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat
diterapkan dalam industri, dengan demikian, berdasarkan bunyi Pasal 2 angka 1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten tersebut, tidak semua hasil
invensi dapat diberi Paten, hanya invensi yang memenuhi persyaratan saja yang dapat
diberi Paten.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten menganut prinsip
terbuka artinya siapa saja berhak menerima Paten asalkan syarat-syarat untuk
permohonan tentang pemberian Paten dapat dipenuhi baik secara substantif maupun
secara administrasi formal.
Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, hak Paten akan diberikan jika ada permohonan, hal ini mengandung pengertian
bahwa seseorang dapat melaksanakan hak Patennya jika permohonannya sudah
diterima dan tercatat dalam Lembaran Berita Paten Negara.
Perihal bagaimana permohonan Paten dilakukan diatur dalam Pasal 20 dan
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten yang menyatakan
bahwa Paten diberikan atas dasar permohonan dan Pasal 21 menyatakan bahwa setiap
permohonan hanya dapat diajukan untuk satu invensi atau beberapa invensi yang
merupakan satu kesatuan invensi. Ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 ini, jelas
ditentukan bahwa pemberian Paten didasarkan pada permohonan yang diajukan oleh
inventor atau kuasanya. Mengenai permohonan yang diajukan oleh mereka yang
berdomisili diluar negeri atau tidak berdomisili atau tidak berkedudukan tetap di
Wilayah Negara Republik Indonesia, diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 ayat (2)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten yang menyatakan bahwa
permohonan yang demikian harus diajukan melalui konsultan HKI yang telah
terdaftar di Indonesia. Untuk itu mereka harus menyatakan dan memilih domisili atau
kedudukan hukum diIndonesia untuk kepentingan permohonan tersebut.85
7. Perlindungan Paten Asing di Indonesia
Salah satu prinsip pokok yang dianut oleh WTO dengan TRIPs sebagai salah
satu lampirannya adalah non diskriminasi, salah satunya yakni: perlakuan nasional
(National Treatment) yang terdapat dalam Pasal 3 TRIPs dimana semuaproduk
berasal dari luar negeri harus diperlakukan sama (non diskriminasi) dengan produk
lokal sehingga dengan perlakuan ini bisa memberi jaminanperlindungan bagi produk
luar yang pada giliranya akan menciptakan iklim kompetisi yang sehat, sehingga
terjadi adaya alih teknologi seperti yang diharapkan, dan pada akhirnya akan tercipta
pemerataan kemampuan antaranegara berkembang dengan negara maju.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tetang Paten
adalah sebagai bentuk keseriusan Indonesia dalam menyikapi segala ketentuan yang
ada dalam TRIPs, hal ini dibuktikan dengan dilakukan perubahan atas Undang-
Undang Nomor 13 tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten, dan semua itu dilakukan untuk melakukan penyesuaian dan beberapa
penyempurnaan terhadap ketentuan-ketentuan dalam TRIPs.
85 Kurniawan.“Perlindungan Terhadap Paten Asing Berdasarkan Sistem Hukum Paten Di
Indonesia Pasca Trips-WTO”. Vol-27 No.3 November 2012 (Mataram : Universitas Mataram.
Jatiswara), Hal. 8-9.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, menjelaskan
bahwa pada dasarnya perlindungan terhadap pemegang Paten itu hanya bersifat
teritorial saja artinya Paten tersebut hanya berlaku untuk satu wilayah tertentu saja
dan jika ingin diakui di negara luar maka ia harus mendaftarkan kembali Patennya di
negara tersebut. Ini artinya Paten asing apabila ingin mendapatkan perlindungan di
Indonesia, maka terlebih dahulu harus melakukan pendaftaran pada Direktorat
Jenderal HKI Republik Indonesia.86
8. Lisensi Wajib
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu
Paten yang diberikan perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Pada
umumnya bagi negara-negara yang telah memiliki perundangan yang mengatur
tentang perjanjian lisensi yaitu lisensi wajib, lisensi karena permufakatan dan lisensi
karena berlakunya hukum.
Lisensi karena permupakatan/perjanjian yaitu seorang atau badan hukum
menerima lisensi boleh memberi suatu lisensi dibawah penemuan Patennya kepada
orang lain melalui suatu kontrak. Lisensi Pemegang Paten berhak memberikan
Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi, kecuali diperjanjikan lain,
pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada
Pihak ketiga.
86 Ibid., Hal. 16-17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak
langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan
yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan
mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang
diberi Paten tersebut pada khususnya. Perjanjian Lisensi harus dicatat dan
diumumkan dengan dikenai biaya, dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatat di
Direktorat Jenderal HKI, perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum
terhadap pihak ketiga.
Lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan,
berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HKI, atas dasar permohonan dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi wajib kepada Direktorat
Jenderal HKI setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung
sejak tanggal pemberian Paten dengan membayar biaya tertentu, dengan alasan
bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau tidak dilaksanakan
sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang Paten;
2. Permohonan lisensi wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten diberikan
atas dasar alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh pemegang Paten atau
pemegang lisensinya dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan
masyarakat;
3. Selain kebenaran alasan tersebut, lisensi wajib hanya dapat diberikan apabila
Pemohon dapat menunjukan bukti yang meyakinkan bahwa ia:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. Mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang
bersangkutan secara penuh;
b. Mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang
bersangkutan dengan secepatnya;
c. Telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang
cukup untuk mendapatkan lisensi dari pemegang Paten atas dasar
persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak mendapat hasil; dan
d. Direktorat Jenderal HKI berpendapat bahwa Paten tersebut dapat
dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat
memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.
Sedangkan menurut Rahmi Jened persyaratan lisensi wajib :87
1. Article 27 TRIPs secara implisit mengisyaratkan bahwa Pemerintah tidak boleh
membebankan lisensi wajib berdasarkan alasan kurangnya pekerjaan di wilayah
setempat atau lokal. Oleh karena itu pemegang Paten dapat mengimpor produk
yang dibuat dengan proses yang telah diPatenkan;
2. Lisensi wajib tidak boleh diberikan hanya karena alasan bahwa pemegang Paten
telah menolak memberikan lisensi pada pihak ketiga, karena esensi dari hak
eksklusif Paten adalah memang untuk mengecualikan pihak ketiga yang tanpa
seizinnya melaksanakan haknya dan menggunkan invensinya. Mengingkari hak
ini berarti merusak hak eksklusif Paten tersebut dan hal ini beretentangan
dengan tujuan dari standar yang ditetapkan dalam TRIPs.
87 Amelya Zuharni, “Perliindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib”, (Medan,
Fakultas Hukum USU, 2008) Hal. 27-28.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
D. Prosedur Pemberian Lisensi-Wajib
Permintaan lisensi wajib dapat diajukan oleh setiap pihak kepada Direktorat
Jenderal HKI setelah jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal
pemberian Paten.Permohonan lisensi wajib dilakukan dengan alasan bahwa Paten
tersebut tidak dilaksanakan atau dilaksankan tidak sepenuhnya di Indonesia. Lisensi
wajib dapat terlaksana apabila memenuhi kondisi dan syarat-syarat tertentu :
1. Paten tersebut dalam jangka waktu 3 tahun terhitung sejak pemberian Paten tidak
dilaksanakan di Indonesia oleh pemegang Paten, padahal kesempatan untuk
melaksankan sendiri secara komersial sepatutnya ditempuh;
2. Pihak yang mengajukan permintaan tersebut dapat menunjukkan bukti yang
meyakinkan bahwa :
a) Kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan secara
penuh;
b) Mempunyai fasilitas sendiri untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan
secepatnya;
c) Telah mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk
mendapatkan lisensi dari pemegang Paten atas dasar persyaratan dan kondisi
yang wajar tetapi tidak memperoleh hasil.
Menurut Pasal 82 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten88,
permintaan lisensi wajib bisa dilakukan oleh pemegang Paten itu sendiri atas dasar
alasan bahwa pelaksanaan Patennya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar
Paten lainnya yang sudah ada.
88 Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Keputusan atas pemberian lisensi wajib dari Direktorat Jenderal HKI memuat
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Lisensi wajib non eksklusif;
2. Alasan pemeberian lisensi wajib;
3. Bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan
pemberian lisensi wajib;
4. Jangka waktu lisensi wajib;
5. Besarnya biaya royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi wajib kepada
pemegang hak Paten dan cara pembayarannya;
6. Syarat berakhirnya lisensi wajib dan hal yang dapat membatalkannya.
7. Lisensi wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam
negeri;
8. Lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang
bersangkutan secara adil.
Suatu hak milik dapat berakhir atau hapus dengan cara-cara di bawah ini :89
1. Orang lain memperoleh hak milik itu dengan salah satu cara untuk memperoleh
hak milik;
2. Binasanya benda;
3. Eigenaar melepaskan benda tersebut dengan ketentuan bahwa pemilik
melepaskan benda tersebut dengan maksud untuk melepaskan hak milik.
89 Sri Soedewi Mascjchoen Sofwan. “Hukum Perdata : Hukum Benda.” (Yogyakarta :
Liberty. 1981) Hal. 82.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Demikian pula dengan invensi yang dilindungi Paten akan berakhir dengan
adanya penarikan kembali yang dilakukan oleh inventor atau kuasanya terhadap
invensi yang dimohonkan Patennya. Penarikan kembali permohonan Paten dilakukan
dengan mengajukan permohonan penarikan kembali secara tertulis oleh pemohon
atau kuasanya kepada Direktorat Jenderal HKI. Pelaksanaan Paten oleh pemerintah
juga merupakan salah satu berakhirnya invensi yang dilindungi oleh Paten.
Ketentuan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
ditentukan apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat
penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak
untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang
bersangkutan. Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten ditetapkan dengan
Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan
menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait.90
Penjelasan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
menyatakan bahwa Ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi
yang dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46. Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan
sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten serupa itu
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah. Pemegang Paten sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai
dengan Paten tersebut dapat dilaksanakan.91
90 Pasal 99 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 91 Pasal 100 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pasal 101 dan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten menyatakan bahwa :
Pasal 101 :
1) Dalam hal Pemerintah bermaksud melaksanakan suatu Paten yang penting
artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan bagi kebutuhan sangat
mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah memberitahukan secara
tertulis hal tersebut kepada Pemegang Paten dengan mencantumkan:
a. Paten yang dimaksudkan disertai nama Pemegang Paten dan Nomornya;
b. Alasan;
c. Jangka waktu pelaksanaan;
d. Hal-hal lain yang dipandang penting.
2) Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dilakukan dengan pemberian imbalan
yang wajar kepada Pemegang Paten.92
Pasal 102 :
1. Keputusan Pemerintah bahwa suatu Patenakan dilaksanakan sendiri oleh
Pemerintah bersifat final.
2. Dalam hal Pemegang Paten tidak setuju terhadap besarnya imbalan yang
ditetapkan oleh Pemerintah, ketidaksetujuan tersebut dapat diajukan dalam
bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga.
3. Proses pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghentikan pelaksanaan Paten oleh Pemerintah.93
Bentuk perlindungan lain yang diberikan Undang-Undang kepada pemegang
lisensi adalah pemegang/penerima lisensi tidak wajib meneruskan pembayaran royalti
yang seharusnya masih wajib dibayarkan kepada pemegang Paten yang Patennya
dibatalkan, tetapi mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu lisensi
yang dimilikinya kepada pemegang Paten yang berhak.94
92 Pasal 101 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 93 Pasal 102 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 94 Jurnal Fakultas Hukum UNIB. 2012. “Tinjauan Hukum Pemegang Paten.”
http://www.slideshare.net/asef2012/tinjauan-hukum-pemegang-Paten diakses tanggal 1 November
2014.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
E. Kriteria Paten Yang Diberikan Lisensi-Wajib
1. Paten Produk Dalam Lisensi Paten
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten secara tersirat
mengenalkan jenis-jenis Paten yang lain, yaitu Paten proses dan Paten produk. Paten
produk adalah Paten yang diberikan terhadap produk. Produk lisensi Paten adalah
invensi atau penemuan di bidang teknologi. Perlu diketahui bahwa penemuan tersebut
dapat terdiri dari Patendan know how. Sebagai perbandingan, di Eropa perjanjian
lisensi ini dapat mencakup Paten murni, know how, dan campuran antara know how
dan Paten murni.95Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa umumnya yang
dapat dilisensikan adalah invensi yang sudah diPatenkan.Dengan demikian, Paten
yang dijadikan sebagai obyek dalam perjanjian lisensi harus memenuhi persyaratan
substansial 96 dan kriteria penemuan yang dapat diPatenkan (Patentabilitas).
Berkaitan dengan Patentabilitas dari suatu penemuan, pada dasarnya semua
penemuan yang lahir dari kemampuan intelektual manusia dapat diPatenkan 97 ,
kecuali beberapa hal yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten : tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum,
dan moral.98 Sedangkan terminology know how digunakan untuk mengkonstruksi
95 Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer. 240/96 of 31 January 1996,
Article 10 (6) and Recital 4. 96 Persyaratan substansial ini mencakup kebaruan, langkah inventif, dan industrial
applicability. Lihat: Pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten. Bandingkan
dengan TRIPs, Pasal 27 ayat (1). 97 Lihat: 35 USC, s.101; Lihat juga: Diamond v Chakrabarty 447 U.S. 303 (1980);
Bandingkan dengan : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 7, Australian
Patent Act, s.51 and Japanese Patent Law, s.32. 98 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
informasi komersial yang bermanfaat yang tidak dilindungi oleh Paten.99Know how
merupakan pembadanan dari informasi tekhnis yang bersifat rahasia,100 substantial,101
dan diidentifikasidalam bentuk yang wajar. Secara khusus, knowhow adalah
pengetahuan atau keahlian dalam melaksanakan beberapa fungsi dalam produk atau
proses secara efesien. Sebagai contoh, dalam lisensi know how lisensor akan
memberitahukan atau mendeskripsikan pada lisensi tentang teknik manufacturing
atau proses, resep, formula kimia, rancangan atau gambar pabrik. Dalam hal know
how, lisensi mendapat ijin untuk mengakses dan menggunakan know how yang
merupakan bagian dari perjanjian lisensi yang tidak dapat diperoleh dengan mudah
dan murah oleh lisensi. Oleh karena itu, perlindungan atas informasi rahasia menjadi
penting. Ia dapat dilindungi atas dasar hubungan kontraktual diantara para pihak yang
terlibat dalam perjanjian lisensi.
2. Paten Proses
Paten proses adalah Paten yang diberikan terhadap proses. Patenproses
mencakup : algoritma, metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software),
teknik medis, teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus.
Barang yang diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan
komposisi materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA, dan sebagainya.
Paten dapat berhubungan dengan zat alamiah (misalnya zat yang ditemukan di
hutan rimba) dan juga obat-obatan, teknik penanganan medis dan juga sekuens
99 Lihat: Blakeney, Michael, 1989, pp.42. 100 Lihat: Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer, No. 240/96 of 31
January 1996, Art.10 (2). 101 Ibid., Art.10 (3).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
genetik, termasuk juga subjek yang kontroversial. Di berbagai negara, terdapat
perbedaan dalam menangani subjek yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, di
Amerika Serikat, metode bedah dapat diPatenkan, namun hak Paten ini mendapat
pertentangan dalam prakteknya.Mengingat sesuai prinsip sumpah Hipokrates
(Hippocratic Oath), dokter wajib membagi pengalaman dan keahliannya secara bebas
kepada koleganya.Sehingga pada tahun 1994, The American Medical Association
(AMA) House of Delegates mengajukan nota keberatan terhadap aplikasi Paten ini.
Syarat hasil temuan yang akan diPatenkan di Indonesia adalah baru (belum
pernah diungkapkan sebelumnya), mengandung langkah inventif (tidak dapat diduga
sebelumnya), dan dapat diterapkan dalam industri. Jangka waktu perlindungan untuk
Paten ‘biasa’ adalah 20 tahun, sementara Paten sederhana adalah 10 tahun. Paten
tidak dapat diperpanjang. Untuk memastikan teknologi yang diteliti belum
diPatenkan oleh pihak lain dan layak diPatenkan, dapat dilakukan penelusuran
dokumen Paten.
Ada beberapa kasus khusus penemuan yang tidak diperkenankan mendapat
perlindungan Paten, yaitu proses/produk yang pelaksanaannya bertentangan dengan
Undang-Undang, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan; metode
pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap
manusia dan/atau hewan; serta teori dan metode di bidang matematika dan ilmu
pengetahuan, yakni semua makhluk hidup, kecuali jasad renik, dan proses biologis
penting untuk produksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses
mikro-biologis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Subyek dalam perjanjian lisensi adalah para pihak yang terlibat dalam
kontrak lisensi. Kontrak tersebut dibuat oleh lisensor dan lisensee atau pengguna
dari teknologi yang dilisensikan. Dalam prakteknya, para pihak tersebut dapat
melibatkan pemerintah, lembaga, perusahaan dan atau bahkan individu.
Pada dasarnya terdapat dua tipe lisensi: (i) sukarela; dan (ii) lisensi wajib.
Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian para pihak berdasarkan prinsip-prinsip
umum dalam hukum kontrak sedangkan lisensi wajib melibatkan intervensi
pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal ini lisensi diberikan tanpa
memerlukan perjanjian dari pemegang hak Paten. Di Indonesia, lisensi wajib diatur
berdasarkan Pasal 74 sampai dengan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten.
Obyek dari ketentuan lisensi wajib ini adalah Paten yang tidak digunakan.
Tujuannya, untuk menjamin agar inventor baik asing maupun domestik dan
pemegang Paten nasional dapat melaksanakannya dalam wilayah Negara Indonesia102
sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi industri dan perdagangan
nasional. Selain itu, ketentuan ini juga ditujukan untuk mencegah impor barang yang
sama ke dalam wilayah Indonesia.
Ketentuan yang berkaitan dengan lisensi wajib ini merefleksikan perhatian
pemerintah terhadap upaya perlindungan kepentingan nasional, kepentingan publik,
dan agar teknologi yang diPatenkan tersebut tidak disalahgunakan. Sejalan dengan
pernyataan tersebut, berdasarkan kepentingan nasional, pertahanan keamanan, dan
kepentingan publik seperti kesehatan, makanan, dan untuk mengawasi pelaksanaan
102 Pasal.76 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
suatu Paten, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten memberlakukan
ketentuan tentang lisensi wajibdan pembatalan atau penarikan (revocation) atas suatu
Paten.
Pelaksanaan lisensi-wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi-
wajib kepada pemegang Paten. Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara
pembayarannya ditetapkan oleh Direktorat Jenderal HKI dengan memperhatikan tata
cara yang lazim digunakan dalam perjanjian lisensi Paten atau yang sejenis (misalnya
perjanjian yang lazim dibuat dalam pengalihan kemampuan atau pengetahuan tentang
teknologi yang tidak diPatenkan).
Lisensi-wajib dapat pula dimintakan oleh pemegang Paten atas alasan bahwa
pelaksanaan Patennya tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa melanggar Paten lain
yang telah ada. Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan Paten yang
merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan penemuan yang lebih dahulu
telah dilindungi Paten.
Permohonan lisensi-wajib sebagaimana tersebut diatas, berdasarkan Pasal 82
(ayat 1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, hanya dapat
dipertimbangkan apabila Paten yang benar-benar dilaksanakan mengandung unsur
pembaruan teknologi yang nyata-nyata lebih maju dari pada Paten yang telah ada
sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut maka pemegang Paten berhak untuk
saling memberikan lisensi untuk menggunakan Paten pihak lainnya berdasarkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
persyaratan yang wajar dan penggunaan Paten oleh penerima lisensi tidak dapat
dialihkan kecuali bila dialihkan bersama-sama dengan Paten sebelumnya.103
Pemberian lisensi-wajib berdasarkan Paris Convention dengan ketentuan
sebagai berikut :
1. Pemberian lisensi-wajib bukan merupakan suatu bentuk keharusan, tetapi suatu
hal yang diperbolehkan;
2. Lisensi-wajib hanya dapat diberikan untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan hak eksklusif yang telah diberikan oleh negara, yang tidak
disertai dengan pelaksanaan Paten yang telah diberikan perlindungan tersebut;
3. Sehubungan dengan ketiadalaksanaan Paten, pembatalan Paten hanya mungkin
dilakukan jika dilakukan dalam jangka waktu tiga tahun setelah berlakunya
lisensi-wajib yang pertama, yang diwajibkan sehubungan dengan pelaksanaan
Paten yang dilindungi tersebut;
4. Pemberian lisensi-wajib itu sendiri baru dapat diberikan dalam jangka waktu
4 (empat) tahun terhitung sejak permohonan perlindungan Paten diajukan, atau
tiga tahun terhitung sejak Paten diberikan yang mana yang terlama;
5. Lisensi-wajib bersifat non-eksklusif dan tidak dapat dialihkan, serta tidak
memberikan hak untuk mensub-lisensikan lisensi-wajib yang telah diberikan
tersebut.104
Direktorat Jenderal HKI dapat membatalkan keputusan pemberian lisensi-
wajib dalam hal sebagai berikut :
103 Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 104 Gunawan Widjaja, Op. Cit., Hal. 39.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi-wajib tidak ada lagi;
2. Penerima lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi wajib tersebut atau
tidak melakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera
melaksanakannya;
3. Penerima lisensi-wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk
pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian lisensi wajib.
Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
selanjutnya menentukan bahwa pemeriksaan atas permintaan lisensi-wajib dilakukan
oleh Direktorat Jenderal HKI dengan mendegarkan pula pendapat instansi dan pihak-
pihak terkait dan pemegang Paten yang bersangkutan.
Berakhirnya lisensi-wajib yaitu setelah selesainya jangka waktu yang
ditetapkan atau karena adanya pembatalan.Dengan berakhirnya lisensi-wajib
penerima lisensi mempunyai kewajiban untuk menyerahkan kembali lisensi yang
diperolehnya kepada Direktorat Jenderal HKI yang selanjutnya mengakibatkan
pulihnya hak pemegang Paten atas Paten yang bersangkutan terhitung sejak tanggal
pencatatan lisensi-wajib yang telah berakhir tersebut.
Lisensi-wajib tidak dapat dialihkan kecuali karena pewarisan, alasannya
adalah bahwa lisensi-wajib tersebut hanya diberikan dalam keadaan khusus dan
terikat pada syarat-syarat yang khusus pula di dalam pelaksanaannya. Lisensi-wajib
yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya maupun
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ketentuan lainnya, terutama jangka waktu dan harus dilaporkan kepada Direktorat
Jenderal HKI.105
3. Hubungan Hukum
3.1. Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima Lisensi
Hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi ini dituangkan dalam
perjanjian yang dibuat oleh mereka yang bersepakat. Hak dan kewajiban tersebut
antara lain dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Kewajiban Pemberi lisensi meliputi :
a. Memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan hakPaten
yang dilisensikan yang diperlukan oleh penerima lisensi untuk melaksanakan
lisensi yang diberikan tersebut.
b. Memberikan bantuan pada penerima lisensi cara pemanfaatan dan atau
penggunaan hak Paten yang dilisensikan tersebut.
2. Hak Pemberi Lisensi, meliputi:
a. Memperoleh pengawasan jalannya pelaksanaan dan penggunaan atau
pemanfaatan lisensi oleh penerima lisensi;
b. Memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan usaha
penerima lisensi yang mempergunakan hak Paten yang dilisensikan;
c. Melaksanakan inspeksi pada daerah kerja penerima lisensi lisensi guna
memastikan bahwa hak Paten yang dilisensikan telah dilaksanakan sebagai
mestinya sesuai dengan perjanjian;
105 Gunawan Widjaja. Op. Cit., Hal. 59-63.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
d. Mewajibkan penerima lisensi dalam hal tertentu untuk membeli barang-
barang lainnya dari pemberi lisensi;
e. Mewajibkan penerima lisensi untuk menjaga kerahasiaan hak Paten yang
dilisensikan;
f. Mewajibkan agar penerima lisensi tidak melakukan kegiatan yang sejenis,
serupa ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menimbulkan persaingan tidak sehat dengan kegiatan usaha yang
mempergunakan hak Paten yang dilisensikan;
g. Menerima pembayaran royalti dalam bentuk, jenis dan jumlah yang dianggap
layak olehnya;
h. Atas pengakhiran lisensi, pemberi lisensi meminta kepada penerima lisensi
untuk mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang
diperoleh penerima lisensi selama masa pelaksanaan lisensi;
i. Atas pengakhiran lisensi, pemberi lisensi melarang penerima lisensi untuk
memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun keterangan yang
diperoleh penerima lisensi selama masa pelaksanaan lisensi;
j. Atas pengakhiran lisensi, pemberi lisensi melarang penerima lisensi untuk
tatap melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun yang langsung maupun
tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan mempergunakan hak
Paten yang dilisensikan;
k. Pemberi lisensi tidak menghapuskan hak penerima lisensi untuk tetap
memanfaatkan, menggunakan atau melaksanakan sendiri hak Paten yang
dilisensikan tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Kewajiban Penerima Lisensi Paten adalah:
a. Melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh pemberi lisensi Paten
kepadanya guna melaksanakan hak Paten yang dilisensikan;
b. Memberikan keleluasaan bagi pemberi lisensi untuk melakukan pengawasan
maupun inspeksi berkala maupun secara tiba-tiba guna memastikan bahwa
penerima lisensi telah melaksanakan hak Paten yang dilisensikan dengan baik;
c. Memberikan laporan-laporan baik secara berkala maupun atas permintaan
khusus dari pemberi lisensi;
d. Menjaga kerahasiaan atas hak Paten yang dilisensikan, baik selama pemberian
maupun setelah berakhirnya masa pemberian lisensi Paten;
e. Melaporkan segala pelanggaran hak Paten yang ditemukan dalam praktek;
f. Tidak memanfaatkan hak Paten yang dilisensikan selain untuk tujuan
melaksanakan lisensi Paten yang diberikan;
g. Melakukan pendaftaran lisensi bagi kepentingan pemberi lisensi dan jalannya
pemberian lisensi tersebut;
h. Tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha
yang mempergunakan hak Paten yang dilisensikan;
i. Melakukan pembayaran royalti dalam bentuk jenis dan jumlah yang telah
disepakati secara bersama;
j. Atas pengakiran lisensi tidak memanfaatkan lebih lanjut seluruh data
informasi maupun keterangan yang diperoleh oleh penerima lisensi Paten
selama masa pelaksanaan lisensi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Hak Penerima Lisensi.
a. Memperoleh segala macam informasi yang berhubungan dengan hak Paten
yang dilisensikan yang diperlukan olehnya untuk melaksanakan lisensi yang
diberikan.
b. Memperoleh bantuan dari pemberi lisensi atas segala macam cara
pemanfaatan dan atau penggunaan hak Paten yang dilisensikan.
3.2. Hubungan Hukum Para Pihak
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten memuat beberapa
ketentuan yang secara khusus mengandung unsur-unsur yang khas apabila ditinjau
dari hukum perdata dan hukum dagang, antara lain mengenai :106
1. Pengakuan, perolehan dan pendaftaran Paten oleh penemu.
2. Peralihan hak, hubungan hukum para pihak.
3. Penyalahgunaan dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Paten sebagai hak kebendaan yang bergerak pada awalnya diperoleh dan
dimiliki oleh pencipta dapat dialihkan kepada pihak-pihak lain sesuai dengan
kemampuan atau keinginan pencipta. Yang dianggap sebagai benda bergerak tidak
lain adalah suatu ciptaan yang merupakan hasil setiap karya penemuan dalam bentuk
yang berbeda dan menunjukan keasliannya dan novelty dalam bidang ilmu
pengetahuan.
106 Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, DTLST&RG, “Perlindungan Hukum Terhadap
Hak Cipta di Indonesia”, Makalah disampaikan dalam rangka bimbingan dan konsultasi HAKI para
Pengusaha UKM Indag di Bandung, Hal. 18.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada setiap peralihan hak selalu melibatkan dua pokok, yaitu pihak yang
mengalihkan dan pihak yang menerima peralihan. Hubungan hukum yang terjadi
diantara para pihak pada dasarnya bergantung pada jenis dan sifat dari peralihan itu
sendiri. Peralihan hak yang didasarkan pada atas hak pewarisan, hibah atau wasiat
hanya memberikan keuntungan sepihak dari pihak penerima hak. Penerima hak dapat
menikmati atas hak Paten yang diperolehnya melalui berdasarkan warisan, hibah,
atau wasiat. Prosedur peralihannya sendiri pada dasarnya ditentukan oleh prosedur
dan persyaratan bagi suatu warisan, hibah atau wasiat.
Hubungan hukum antara pewaris atau penerima wasiat menjadi satu
hubungan hukum yang sepihak dalam arti tidak ada hak dan kewajiban yang timbal
balik antara para pihak karena hak dan kewajibannya secara sepihak ditentukan oleh
pewaris, pemberi hibah atau pemberi wasiat. Peralihan hak Paten karena perjanjian,
biasanya atas perjanjian jual beli.
Peralihan hak Paten dengan cara ini harus dilakukan secata tertulis dengan
syarat-syarat yang jelas sebagai pernyataan kata sepakat diantara para pihak.
Peralihan hak karena perjanjian, melahirkan suatu hubungan hukum diantara para
pihak dengan hak dan kewajiban yang seimbang, sesuai dengan syarat yang telah
disepakati. Oleh karena itu dalam akta perjanjian peralihan hak dimaksud, hendaknya
diatur dengan rinci sehingga dengan jelas segera diketahui apa yang menjadi hak dan
kewajiban para pihak antara lain :107
1. Hak-hak apa saja yang diperoleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain.
2. Kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh pihak satu terhadap pihak lain.
107 Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, DTLST dan RD, Op. Cit., Hal. 21.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para pihak.
4. Berapa lama perjanjian berlaku dan kapan akan diakhirinya.
4. Hukum Yang Berlaku Dalam Perjanjian Lisensi
Yang dimaksud dengan Governing Law adalah hukum yang diberlakukan
terhadap perjanjian lisensi Paten yang dibuat oleh para pihak yaitu licensor dan
licensee untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian agar kedua belah
pihak mempunyai pengertian yang sama mengenai segala hak dan kewajiban, maka
biasanya dalam perjanjian ditentukan sistem hukum mana yang akan dipergunakan
atau dianggap berlaku.
Menurut Sudargo Gautama, dalam hal para pihak tidak menentukan secara
eksplisit sistem hukum mana yang akan berlaku maka pilihan hukum ini akan
ditentukan berdasarkan teori yaitu :108
1. Teori Lex loci contractus, yang berarti bahwa hukum yang dipakai adalah hukum
dari tempat terjadinya perjanjian. Teori ini acapkali dipakai akan tetapi sekarang
tidak praktis lagi karena seringkali tempat terjadinya perjanjian sulit ditentukan.
Sebab banyak perjanjian cukup dibuat melalui telepon, atau faxsimile sehingga
para pihak tidak bertemu disuatu tempat.
2. Teori Lex Loci Solutions, yang mengandung arti bahwa hukum yang
dipergunakan dan berlaku untuk suatu perjanjian adalah hukum dari tempat
dimana perjanjian tersebut dilaksanakan. Teori ini untuk beberapa kontrak juga
sulit dipakai karena ada perjanjian yang pelaksanaannya tidak terikat pada suatu
108 Sunaryati Hartono, “Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional”, (Bandung : Bina Cipta,
1995), Hal. 51.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
negara tertentu misalnya dalam perjanjian antara pabrik dengan orang-orang yang
bertindak sebagai agen bagi hasil produksinya. Pelaksanaan perjanjain oleh pihak
agen ini didadakan diberbagai negara sehingga sulit untuk menentukan hukum
mana yang disebut lex loci solutionis.
3. Teori “the Proper Law of Contract”, menurut teori ini hukum yang dipergunakan
adalah sistem hukum dengan mana peristiwa tersebut mempunyai hubungan yang
paling erat.
Menurut Martin Wolf harus “exemintaion whit law the contract has the most
realconnexion” 109 Sedangkan menurut Sudargo Gautama, hukum yang akan
dipergunakan dalam teori “the proper law of contract”, adalah sistem hukum yang
mempunyai koneksitas yang paling erat yaitu titik taut yang lebih banyak dengan
sistem hukum dari negara manakah yang kita saksikan, maka hukum negara itulah
yang diapakai. 110 Untuk mempertegas mengenai hal ini Sudargo Gautama
mengemukakan :
Kepastian dari semula dapat dicapai dengan memegang pada apa yang
dinamakan teori tentang “prestasi yang paling karakteristik. Maka hukum dari pihak
yang melakukan prestasi yang paling karakteristik itulah yang dipakai. Pendapat itu
merupakan pencerminan dari teori “dei charactertiche leistung”. Teori ini
menunjukan pada hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang khusus atau yang
paling karakteristik yang berlaku untuk perjanjian tersebut.111 Yang dimaksud dengan
109 Marton Wolf, Private International Law, Secon Edition, Oxford London, 1950. 110 Sunaryati Hartono, Op. Cit., Hal. 53. 111 Sudargo Gautama “Hukum Perdata International Indonesia (selanjutnya disingkat
Sudargo Gautama III)”, Lokakarya HPI, Jakarta 30 September 1983, Hal. 6.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
prestasi yang paling karakteristik adalah prestasi yang paling utama dan menonjol
dari salah satu pihak dalam hubungan perjanjian yang bersangkutan.
Teori ini semula dikembangkan di Swiss, semakin banyak pengikutnya dan
dapat diterima oleh berbagai pihak. Bahkan dalam konsep Rancangan Undang-
Undang Hukum Perdata Internasional Indonesia, teori “die chracteristiche Leistung”
ini yang dipergunakan apabila tidak terdapat pilihan hukum yang diutarakan secara
tegas. Dalam pelaksanaan pencatatan lisensi Paten persyaratan-persyaratan dan
ketentuan-ketentuan yang dituntut dari pihak yang akan menerima hasil dari Paten si
penemunya, serta dituangkan dalam suatu perjanjian lisensi. Semakin tinggi rumit
dan eksklusif suatu Paten yang akan dialihkan semakin banyak persyaratan dan
ketentuan yang diminta.
Di lain pihak yang membutuhkan Paten dalam sebuah Tekhnologi kadang-
kadang terpaksa menerima persyaratan dan ketentuan tersebut (seperti perusahaan-
perusahaan yang dijadikan objek penelitian) karena teknologi itu sangat dibutuhkan
untuk industri yang akan dikembangkan dalam kaitannya dengan lisensi Paten secara
umum perangsang paling besar bagi pemilik teknologi adalah mengalihkan
teknologinya secara bisnis terbuka peluang untuk perluasan pasar dan peningkatan
volume penjualan. Lebih dari itu pemilik teknologi hanya akan mengalihkan
teknologinya jika yakin bahwa antara pihaknya dan pihak penerima teknologi akan
terjadi hubungan kerja sama jangka panjang yang saling menguntungkan.
Hanya dalam keadaan yang demikian ia bergerak berbagai pengalaman dan
sumber daya ekonominya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten secara mendasar akan membantu pengembangan industri pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
umumnya sedangkan di bidang ekonomi adanya peraturan Paten ini setidaknya akan
membantu menciptakan iklim yang semakin mantap bagi kegiatan penanaman modal
asing. Dalam arti bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten para investor asing tidak perlu khawatir untuk berusaha dan membawa
teknologi yang mereka bawa karena adanya perlindungan hukum.
Berkaitan dengan perjanjian lisensi Paten kaitannya dengan pengalihan
teknologi dapat dikatakan bahwa sistem Paten mendorong pengembangan teknologi
melalui lima jalur sebagai berikut :
1. Memberikan insentif bagi upaya untuk menghasilkan teknologi baru;
2. Menciptakan iklim yang merangsang penerapan teknologi baru secara sukses;
3. Mendorong iklim teknologi baik karena informasi tentang teknologi yang tersedia
dalam dokumen-dokumen Paten maupun karena adanya sistem Paten itu sendiri;
4. Merupakan alat bagi perencanaan industri baik pada tingkat teknis/perushaan
maupun pada tingkat makro;
5. Mendorong penanaman modal.112
Dengan demikian terlihat besarnya peranan suatu lisensi Paten bagi negara
sedang berkembang dalam mengembangkan industrinya. Oleh karena itu adanya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten seperti yang telah
dikemukakan diatas dapat sangat membantu dalam pengembangan industri dan
sekaligus akan membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi para penanam
modal atau pemilik modal dan teknologi untuk tidak saja menanam modalnya tetapi
112 Balitbang Deperindag III, Op. Cit., Hal. 96.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tidak ragu membawa teknologinya untuk dipergunakan di negara yang menerima
lisensi teknologi.
Perjanjian lisensi yang dibuat dalam rangka penanaman modal asing itu pada
dasarnya merupakan dasar kerjasama yang mengatur syarat-syarat dan kondisi
pemindahan teknologi dari pihak asing kepada perusahaan-perusahaan penerima
lisensi di Indonesia. Dengan demikian perjanjian lisensi akan mengalihkan hak untuk
mengeksploitasi dari pemberi lisensi Paten kepada penerima lisensi. Jadi penerima
lisensi akan dapat melakukan hak untuk mengekspolitasi yang tadinya dipegang oleh
pemberi lisensi. Namun demikian menurut sistem yang dianut oleh Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. Pihak pemberi lisensi Paten pada dasarnya
masih boleh melaksanakan sendiri Paten yang dilisensikan atau memberi lisensi yang
sama kepada pihak ketiga lainnya.113
Secara ekonomi penguasaan teknologi merupakan sumber kemungkinan bagi
peningkatan nilai tambah dan kemakmuran dan sekaligus menciptakan kemandirian
serta mengurangi ketidak pastian. Untuk itu diperlukan kemandirian serta mengurangi
ketidakpastian. Untuk itu diperlukan strategi penguasaan dan pengembangan
teknologi yang tepat prioritas utama perlu diberikan pada penguasaan, penerapan dan
pengembangan teknologi yang menyentuh dan dapat dimanfaatkan oleh orang banyak
dan meningkatkan derajat hidupnya tanpa mempersoalkan apakah teknologi tersebut
merupakan teknologi sederhana atau teknologi canggih.114
113 Sudargo Gautama. “Seri-Seri hukum Hak Milik Intelektual (disingkat Sudargo gautama
IV)”, (Bandung : PT. Eresco, 1990), Hal. 39. 114 JB Sumarlin,“Demokrasi Ekonomi” (Jakarta : ISEI, 1990), Hal. 25.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dengan memperhatikan uraian diatas menunjukan bahwa perjanjian lisensi
bukan hanya merupakan dokumen hukum yang mencantumkan kepentingan perdata
dan resiko yang disetujui dalam perjanjian tetapi sebenarnya perjanjian itu juga harus
melindungi juga kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan arahan
Undang-Undang 1945 yang mengatakan bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.
Perjanjian di Indonesia pada prinsipnya masih berpedoman kepada hukum
perikatan yang dituangkan dalam KUHPerdata Indonesia. Oleh Karena itu adanya
suatu peraturan perUndang-Undangan yang khusus mengatur mengenai perjanjian
lisensi sebagaimana yang dikehendaki oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten Pasal 73 belum terlaksana sehingga pembuatan perjanjian
lisensi antara pihak didasarkan kepada penerapan asas kebebasan berkontrak.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman kebebasan berkontrak itu adalah salah
satu asas hukum kontrak dan ia tidak berdiri sendiri. Maknanya hanya dapat
ditentukan setelah kita memahami posisinya dalan kaitannya dengan asas-asas hukum
kontrak yang lain yang secara menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar tiang
pondasi dari hukum kontrak tidak terbatas akan tetapi dibatasi oleh tanggung jawab.
Asas ini mendukung kedudukan yang seimbang diantara para pihak sehingga sebuah
kontrak akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.115
115 Mariam Darus Badrulzaman, “Aneka Hukum Bisnis”, (Bandung : Alumni.1994), Hal. 38.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut penelitian literatur yang dikeluarkan oleh WIPO ada hal-hal yang
sangat perlu diperhatikan oleh penerima lisensi dalam membuat persetujuan
perjanjian lisensi Paten yang berhubungan dengan teknologi adalah :
1. Penerima Lisensi harus memahami informasi yang lengkap mengenai :
a. Data pokok kelayakan ekonomis, proyeksi kebutuhan dan biaya pengoperasian
yang diestimasikan;
b. Rincian tentang bahan mentah dan masukan yang diperlukan, dant ersedianya
masukan itu, termasuk keahlian bidang keteknikan dalam negeri;
c. Tahapan pabrikasi yang direncanakan, petunjuk adanya sumber pemasok
bahaya yang akan diproses, komponen-komponen dan suku cadang pembantu
yang diperlukan setiap tahap;
d. Hak-hak Paten, jika ada yang berhubungan dengan produk atau proses, apakah
hak-hak Paten itu telah diberikan dinegara penerima lisensi, dan masa
berlakunya hak-hak Paten itu menurut surat-surat Patennya.
2. Memilih Teknologi
Langkah-langkah berikut ini direkomendasikan :
a. Pemilihan tersebut harus menetapkan bahwa teknologi itu telah dibuktikan
secara komersial, tetapi tidak ketinggalan zaman;
b. Teknologi-teknologi alternatif yang tersedia harus dievaluasi berkaitan dengan
hal-hal sebagai berikut :
(i) Biaya untuk memperoleh teknologi itu.
(ii) Masukan-masukan pokok yang diperlukan dan lokasi tersedianya masukan-
masukan pokok itu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
c. Dimana teknologi telah diterapkan dari suatu negara tertentu yang lain,
evaluasi perbandingan harus tetap dibuat, untuk mengantisipasi kemungkinan
selanjutnya, seperti dalam butir (b) diatas, dan untuk tujuan negosiasi.
3. Memilih Pemberi Lisensi.
Untuk menetapkan pemberi lisensi tertentu yang cocok penetapan itu harus :
a. Mengevaluasi kedudukan pemberi lisensi tersebut termasuk para pemberi
lisensi asing lainnya sumber alternatif teknologi yang sama dapat diperoleh.
b. Mengevaluasi kualitas pengalaman pemberi lisensi dan kemampuan pemberian
bantuan teknik yang diperlukan.
c. Memperoleh informasi mengenai keluasan dan kedalaman operasi dan sifat
berbagai produk, dimana pemberi lisensi adalah pembuatnya.
d. Mengetahui pengalaman pemberi lisensi dalam pemberian lisensinya pada
waktu yang lalu.
F. Contoh Kasus Pelanggaran Hak Paten
Salah satu kasus pelanggaran hak Paten Alat Terapi Fisik Gondo Seri-8
(ATFG-8) adalah perkara Pidana dengan terdakwa Dra.Lili Andrianti Als Lily Binti
Sutiman dan terdakwa Drs. Parwoto Djati Als. Parwoto Bin Jiyi Parwiro yang
terdaftar di pengadilan Negeri Pekanbaru dengan Nomor register perkara 725/PID
B/2008/PN_PBR, yang mana kedua terdakwa tersebut diatas didakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan dakwaan Nomor PDM-1920/PEKAN/06/2008.
Berdasarkan dakwaan tersebut dapat diketahui kronologis terjadinya tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa Dra. Lily Andrianti Als Lily Binti Sutiman dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terdakwa Drs. Parwoto Djati Als Parwoto Bin Jiyi Parwiro yang telah menimbulkan
kerugian terhadap Sugondo selaku pemilik Paten ATFG-8.116
Terdakwa telah membuka alat praktik alat terapi yang diberi nama ATFB-
2005 yang bertempat di jalan Ahmad Yani Nomor 157 B dimana pemilik alat tersebut
adalah Sugondo selaku pimpinan pusat ATFG-8 di Bandung, sedangkan terdakwa
selaku pengelola/Kepala cabang di Pekanbaru sejak 2003 dan membuka praktik di
Pekanbaru. Dimana system pengelolaan terdakwa apabila ada setiap pasien yang
hendak terapi dikenakan biaya sebesar Rp.75.000 (tujuh puluh lima ribu rupiah),
dimana terdakwa memperoleh 20% dari satu pasien sedangkan Sugondo selaku
pemilik memperoleh 70% dari satu pasien.
Sejak bulan Desember 2005 terdakwa tidak mengadakan kerjasama lagi
dengan Sugondo dan tanpa sepengetahuan Sugondo terdakwa telah membuka alat
terapi sendiri sejak bulan januari 2006 dimana terdakwa memperoleh alat terapi
ATFB memesan alat terapi tersebut melalui telepon sebesar Rp.1.300.000 (satu juta
tiga ratus ribu rupiah). Terdakwa sampai saat ini tidak memiliki sertifikat atau hak
Paten dari Hak Kekayaan Intelektual.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dengan dakwaan
alternative yang diajukan oleh penuntut Umum yaitu pertama melanggar Pasal 131
Jo. Pasal 16 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
116 Ayu Trisna Novriyani.”Perlindungan Hak Paten Terhadap Alat Terapi Fisik Gondo Seri-
8 (ATFG-8) di Pekanbaru Menurut Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten”, (Pekanbaru, Fakultas Hukum UIR,2010 ), Hal. 46.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Jo. Pasal 55 ayat (2) sub 1e KUHP atau kedua didakwa melanggar Pasal 378 KUHP
Jo. Pasal 55 ayat (2) sub 1e KUHP.117
Berdasarkan keterangan saksi, ahli, Terdakwa dan barang bukti, Terdakwa
terbukti telah melanggar Pasal 131 Jo. Pasal 16 Ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten Jo. Pasal 55 ayat (2) sub 1e KUHP yang unsur
unsurnya adalah sebagai berikut : Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak
melanggar hak pemegang Paten sederhana dengan membuat, menggunakan, menjual,
mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau
disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten, sebagai Pelaku adalah mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakuakn
perbuatan.118
Berdasarkan keterangan saksi, ahli, Terdakwa dan barang bukti bahwa Alat
Terapi Fisik Gondo (ATFG-8) dan fitur dari ATFB-2005 terdapat kesamaan
mengenai kegunaan, bentuk dan cara penggunaan. Alat Terapi Fisik Gondo Seri-8
(ATFG-8) ini telah didaftarka oleh Sugondo ke Direktorat Jendral Hak Atas
Kekakyaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal
1 Juli 2001 yang berlaku selama 10 (sepuluh) tahun, sejak tanggal 1 Juli 2002 sampai
dengan tanggal 1 Juli 2012.119
Alat Terapi Fisik Gondo Seri-8 (ATFG-8) memiliki peranan tersendiri dalam
dunia bisnis di Indonesia khusunya dan Internasional umumnya. Sugondo melakukan
komersialisasi penemeuannya tersebut dengan Lisensi.Lisensi yang diberikan oleh
117 Ibid., Hal.47-48. 118 Ibid. Hal. 56. 119 Ibid. Hal. 60.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sugondo hanya terbatas pada penerima lisensi menerima izin dari Sugondo,
kemudian mendapatkan Alat Terapi Fisik Sugondo Seri-8 (ATFG-8), kemudian
melakukan terapi kepada pasien dan memperoleh keuntungan dengan persentase
tertentu dari pembayaran.Artinya penerima lisensi tidak diberikan izin untuk
melakukan penjualan Alat Terapi Fisik Gondo Seri-8 (ATFG-8) tersebut secara bebas
kepada masyarakat.120
Sugondo selaku pemilik lisensi Alat Terapi Fisik Seri-8 (ATFG-8)
mempunyai hak untuk memberikan lisensi hak Paten kepada pihak lain. Hal ini diatur
dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten. Sebagai
timbal balik dari pemberian lisensi, Sugondo mendapatkan imbalan yang layak
dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari Invensi yang
dinamakan dengan royalti.121
Dalam perkara ini Terdakwa dituntut secara pidana disertai tuntutan ganti rugi
atas pelanggaran hak Paten. Terdakwa diputus bersalah karena telah melakukan
tindak pidana hak Paten sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 131 Jo. Pasal
16 ayat (1) huruf aUndang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten.
Tindakan pelanggaran Paten alat Terapi Fisik Gondo Seri-8 (ATFG-8)
tersebut pada dasarnya telah merugikan Sugondo secara ekonomi dan moral.
Sugondo selaku Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten
yang dimiliknya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat,
120Ibid.Hal. 65. 121 Ibid., Hal. 66.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menggunkan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan
untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten.
Paten ini dapat memberikan nilai ekonomis bagi Sugondo dengan
memberikan lisensi bagi pihak lain. Nilai ekonomis yang diterima Sugondo dapat
dibayarkan oleh pemohon lisensi dengan beberapa ketentuan, diantaranya :
1. Dalam jumlah tertentu dan sekaligus;
2. Persentase;
3. Gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus;
4. Gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus ; atau
5. Bentuk lain yang disepakati para pihak.122
Selain secara ekonomi, Sugondo juga dirugikan secara moral, hal ini
disebabkan karena Sugondo selaku penemu dari Alat Terapi Fisik Seri-8
(ATFG-8) tidak akan diakui sebagai orang yang menciptakannya.123
Dengan mengingat dan memperhatikan Pasal 131 Jo. Pasal 16 Ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten Jo. Pasal 55 ayat (2)
sub 1e KUHP, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memutuskan :
1. Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan
tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang Paten
sederhana dengan cara menggunakan;
122Ibid .Hal. 71-72. 123Ibid .Hal. 79.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan
denda masing masing sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan apabila
denda itu tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu)
bulan masing-masing.124
124 Ibid., Hal. 95- 96.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III
PERAN PEMERINTAH MENENTUKAN BESARNYA ROYALTI
LISENSI-WAJIB
A. Pengertian Royalti
Istilah Royalti Paten berada pada sisi membagi sesuatu, yang sifatnya
memberi dan menerima serta kesepakatan antar individu dan/atau badan
hukum.Umumnya untuk royalti Paten diberikan kepada pemilik/pemegang Paten
sebagai imbalan untuk melaksanakan salah satu atau sebagaian atau keseluruhan hak
dari pemegang Paten oleh pihak lain, khususnya terkait dengan empat hak dasarnya,
yaitu untuk manufaktur, untuk menggunakan, untuk menjual, atau menyediakan
untuk dijual dari suatu Paten yang dilindungi.
Dalam bentuk lain juga ada istilah “fee” yang menyerupai bentuk royalti, yang
biasanya diberikan oleh Pemohon Paten kepada inventor atau para inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi tertentu atau imbalan yang dibayarkan oleh pemegang
hak kepada inventor atau para inventor atas dasar suatu pengalihan hak atas
invensinya terhadap permohonan Paten yang telah diberi Paten.125
Besaran angka royalti Paten ini dipengaruhi oleh berapa besar nilai dan
kepentingan atas suatu invensi yang diberikan hak Paten. Patent Royalty Rate ini
sering dihitung dari persentase nilai produk akhir. Di samping tergantung dari
“besaran angka royalti Paten” tersebut di atas, nilai royalti juga dipengaruhi oleh
beberpa faktor, antara lain :
125 http://pusbindiklat.lipi.go.id/wp-content/uploads/Pengelolaan-dan-royalti-HKI-khususnya-
Paten-Compatibility-Mode.pdf diakses pada tanggal 5 Maret 2015.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Apakah Paten yang dilaksanakan oleh pihak lain tersebut bersifat fundamental atau
sedikit hasilnya (penyempurnaan);
2. Apakah teknologi penggantinya dapat dilaksanakan;
3. Berapa besar kontribusi terhadap produk akhir yang komersial.
Contoh royalty rate (nilai royalti) yang dibayarkan oleh penerima lisensi dari
pemegang Paten (US Pharmaceutical Industry) dihitung dari rata-rata hasil penjualan
kotor, yaitu :
a. Royalty Patent pending (Paten yang ditunda pemberian sertifikatnya karena
belum siap dibebani kewajiban membayar biaya tahunan) untuk usaha bisnis
yang kuat: + 1%;
b. Paten yang telah terdaftar tetapi belum ada uji pra-klinis: 1 s/d 2%;
c. Produk Paten farmasi dengan uji pra-klinis : 2 s/d 3%;
d. Produk Paten farmasi setelah uji coba klinis : 3 s/d 4%;
e. Produk Paten obat-obatan yang telah lolos uji USFDK 5 s/d 7%;
f. Produk Paten obat-obatan yang telah ada pangsa pasarnya.
Persetujuan perlisensian atau kontrak lisensi teknologi adalah sarana efektif
didalam proses alih teknologi dari negara-negara yang sedang berkembang.
Pengaturan royalti dalam persetujuan perlisensian adalah salah satu bentuk imbalan
yang dibayar pemegang lisensi (nasional atau joint venture) kepada pemberi lisensi
(asing). Imbalan atas alih teknologi dapat diatur dalam persetujuan jenis-jenis
perlisensian yaitu :
a. Persetujuan perlisensi Paten;
b. Persetujuan technological knowhow;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
c. Persetujuan bantuan teknis;
d. Persetujuan jasa-jasa engineering (rekayasa);
e. Persetujuan kontrak pemasokan mesin dan instalasi serah kunci (turn key);
f. Lisensi Merek Dagang franchise;
g. Persetujuan perlisensian berangkai (composite).
Disini akan dibatasai mengenai persetujuan-persetujuan lisensi Paten dan
technological knowhow. Didalam persetujuan-persetujuan lisensi dapat ditemukan
banyak jenis imbalanselain royalti seperti misalnya :
a. Pembayaran sekaligus (lumpsum);
b. Uang pangkal atau pembayaran (front end);
c. Ongkos penyingkapan (disclosuer fee);
d. Ongkos rekayasa manajemen/konsultan;
e. Peran serta didalam equity (saham dalam Perseroan terbatas);
f. Penjualan barang-barang yang diproduksi.
Para pembeli lisensi dari negara-negara yang dahulu dinamakan sosialis,
biasanya menyeratkan agar pemegang lisensi membayar sekaligus untuk lisensi
teknologi mereka. Juga menghendaki agar pemegang lisensi itu membayar
pemberilisensi asing itu dalam bentuk penjualan ekspor barang-barang produksi
mereka.126
126 Yusdinal, Op. Cit. Hal. 147.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
B. Dasar Menentukan Besarnya Royalti Dalam Lisensi Paten
Royalti dalam Perjanjian Lisensi Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
kompensasi dari pemberian lisensi dari suatu Paten adalah adanya royalti.
Pembayaran royalti adalah pembayaran sejumlah royalti kepada pemberi lisensi, yaitu
pemegang hak oleh penerima lisensi dan jumlah royalti yang dilakukan oleh
penerima lisensi. Pembayaran royalti ini dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi. Jadi dalam
hal ini setiap pemberian lisensi biasanya diikuti dengan pembayaran royalti.
Royalti dalam hal ini diartikan sebagai kompensasi bagi penggunaan sebuah
hak Paten. Dengan kata lain para pengguna hak tersebut (disebut juga “user”) yang
wajib meminta izin dan membayar royalti adalah mereka yang memperdengarkan
mempertontonkan karya cipta pada kegiatan-kegiatan yang bersifat komersial.
Royalti harus dibayar karena karya cipta adalah suatu karya intelektual manusia yang
mendapat perlindungan hukum. Jika pihak lain ingin menggunakan secara komersil,
maka sudah sepatutnya minta izin kepada penciptanya. Pembayaran royalti
merupakan konsekuensi dari menggunakan jasa/karya orang lain.127
1. Macam-macam Bentuk Royalti
a. Royalti Berjalan (Running Royalties)
Menurut WIPO dalam buku Licensing Guide, suatu royalti bisa
didefinisikansebagai suatu pembayaran “ter pasca hitung”(post calculated) dan
berulang darijumlah yang ditentukan sebagai fungsi penggunaan ekonomis dari hasil
127 Tim Lindsey, “Hak Kekayaan Intelektual suatu Pengantar”, (Bandung : Alumni. 2005),
Hal. 120.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
unit, produksi, penjualan, produk, laba. Maka apa yang disebut dengan royalti
berjalan itu diformulasikan sebagai berikut : Tarif Royalti x dasar royalti (royalti rate
x royalty base).128
Tarif royalti diungkapkan dalam presentase tertentu,sedangkan dasar
royaltidapat berbentuk unit produksi, penjualan atau laba tersebut diatas. Dasar
royalti yang paling sering dijumpai adalah nilai bersih penjualan yang pada
prinsipnya berarti harga jual produk yang dihasilkan di bawah lisensi dikurangi pajak
penjualan, raba atau potongan lainnya. Juga royalti ditetapkan dengan nilai tertentu
(fixed) untuk seluruh masa kontrak maka disebut royalti tarif tetap (fixed royalti rate).
Kadang-kadang digunakan jenis selain dari royalti tarif tetap ini. Misalnya tarif
royalti yang berubah-ubah (variable) selama jangka waktu kontrak.129
Contoh :
Royalti ditetapkan sebagai berikut:
1. a % dari nilai penjualan sampai dengan P juta rupiah atau ribu ton setahun.
2. b % dari nilai bersih penjualan lebih dari P juta rupiah atau ribu ton tetapi
kurang dari Q juta rupiah atau ribu ton setahun.
3. c % dari nilai bersih penjualan dari Q juta rupiah atau ribu ton setahunkeatas.
Ditentukan bahwa nilai : a>b>c> dan P<Q, biasanya hal ini terjadi jika si pemegang
lisensi memutuskan selamakontrak berlaku untuk mendirikan deretan (train) atau
instalasi kedua, yang akan disusul dengan yang ketiga dan seterusnya. Selain itu juga
menggairahkan produksi cepat dan efisien oleh pemegang lisensi.
128 Yusdinal, Op. Cit. Hal. 147. 129 Ibid., Hal. 148.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Royalti Minimum Tahunan.
Suatu pembayaran royalti tahunan yang minimal adalah untuk menjamin agar
pemegang lisensi akan memelihara sesuatu tingkat produksi yang minimal. Hal ini
biasanya terjadi dalam praktek bila menyangkut lisensi eksklusif. Jika pemegang
lisensi gagal memenuhi royalti minimum maka mungkin akan berakibat hilangnya
eksklusifitas. Sering kali untuk operasi tahunan pertama tidak dikenakan persyaratan
royalti minimum tetapi mungkin hanya dikenakan royalti minimum yang amat
rendah, dengan maksud agar tarif royalti minimal tahunan itu akan dapat dinaikan
nanti bila produksi penuh telah tercapai.130
c. Royalti Bayar Penuh (paid Up).
Ongkos royalti bayar penuh didefiniskan sebagai royalti total yang
harusdibayar selama periode kontrak dengan kapasitas pabrik (design capacity)
tertentu, royalti bayar penuh ini digunakan sebagai dasar ketika ongkos lisensidibayar
dalam angsuran. Untuk tahun pertama angsuran ini dapat diturunkan, tetapi didalam
tahun-tahu nberikutnya angsuran itu dapat dinaikan. Jelas royalti ini sangat penting
karena penerapannya didalam perhitungan laba rugi (profitabiliys) dan analisis aliran
tunai (cash flow analylisis) untuk proyek industri tertentu. Jenis ini juga merupakan
dasar untuk perlisensian proses tertentu yang berbeda dengan lisensi teknologi
produk.131
130Ibid. 131Ibid.,Hal. 149.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
C. Dasar Menentukan Royalti Pada Lisensi-Wajib
Kalkulasi royalti lisensi teknologi seharusnya didasarkan pada kalkulasi laba
yang diharapkan oleh si pemegang lisensi selama waktu berlakunya persetujuan. Jadi
pertama hendaklah dilakukan suatu survai pasar yang disusul suatu studi kelayakan
ekonomi dan keuangan yang lengkap tentang proyek itu, lalu pembayaran royalti oleh
pemegang lisensi hendaklah didasarkan pada prinsip bahwa pemberi lisensi akan ikut
mendapat bagian dari laba yang diharapkan itu, maka rumus umum dapat disusun
sebagai berikut :132
Tarif royalti dalam % = Y x Z
100
Y= Laba pemegang lisensi dalam %
Z= bagian untuk pemberi lisensi dari laba pemegang lisensi dalam %
Hal ini bisa dikira-kira bahwa biasanya pemberi lisensi setuju dengan bagian
25% dari labapemegang lisensi, atau Z = 25%. Misalkan laba pemegang lisensi
Y= 20% dari nilai bersihpenjualan maka dalam hal ini tarif royalti adalah 5%.
Sedangkan apabila laba untuk tahun-tahun berikutnya diperkirakan, katakanlah 25%,
maka tarif royalti adalah 25% dari 25% atau 6,25%.
Perkiraan sebesar 25% bagian laba untuk pemberi lisensi didasarkan pada
suatu alihteknologi yang tidak begitu rumit tetapi juga tidak begitu sederhana, jika
teknologi yang dimaksudamat maju atau rumit, maka bagian laba untuk pemberi
lisensi dapat bisa mencapai 50% daripada25%. Sebaliknya apabila teknologi yang
dilisensikan itu menduduki suatu bagian kecil yang bersifatkhas maka bagian sebesar
132 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10% dari laba untuk si pemberi lisensi adalah wajar atau masuk akal. Jadi untuk
lisensi teknologi maju tarif royalti sebesar 10% adalah biasa dan untuk lisensi
teknologimadya yang tidak diPatenkan, tarif royalti dapat ditentukan 2%.133
Hal ini harus berhati-hati bila akan menaksir suatu royalti sekaligus
(lumpsum). Dengan memperhatikan teori aliran tunai terdiskon (discointed cashflow),
maka harus menerpakan metode net prsent value (NPV) untuk memperoleh nilai
royalti yang lebih realitas dibanding metode konvensional nilai royalti yang lebih
realitas dibanding metode konvensional. Di dalam perlisensian teknologi proses
kalkulasi royalti sekaligus juga disyaratkan, biasanya oleh pemberi lisensi.134
Rumusnya adalah :
L= tarif Royalti x U x C x T
L= Jumlah pembayaran total sekaligus
U= Harga jual per unit ($ per ton)
T= Jangka waktu kontrak dalam tahun
Mengingat teori discounted cash flow maka metode NPV juga harus ditetapkan disini
suatu pendekatan lain adalah bahwa kita tidak memandang laba sipemegang lisensi
sebagai presentase dari laba atas penjualan bersih melainkan atas investasi (return on
investment=ROI) yang selalu lebih rendah daripada persentase atas penjualan bersih
untuk proyek-proyek padat modal.
Guna menentukan suatu royalti berjalan yang layak, maka pertama harus
plotkan royalti berjalan (persentase penjualan bersih) sebagai ROI tahunan. Tarif
133 Ibid. 134 Ibid., Hal. 150.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
royalti ditaksir melalui proses tawar menawar atau negosiasi antara pemberi lisensi
dan calon pemegang lisensi.
Umumnya suatu kebijaksanaan adalah jika pemberi lisensi menuntut tarif
royalti yang amat tinggi karena hal itu dapat mengawali hubungan antara pemakai
dan pemberi lisensi menjadi tidak baik sebaliknya masalah perlisensian jangan
ditangani sebagai suatu tindakan dermawan atau belas kasihan. Dinegara-negara yang
sedang berkembang hasil karya dan pengetahuan mengenai perlisensian teknologi
amat kurang diantara para usahawan nasional, hendaknya mereka sendiri dan
konsultan mereka menguasai aspek-aspek teknologi dan komersial persetujuan
pelisensian. Mereka yang menamakan dirinya konsultan manajemen teknologi harus
mampu memberikan teknologi dalamarti yang ekonomis menguntungkan dan
mengenali sifat-sifat istimewa teknologi yang bersangkutanyang akan memberinya
kelebihan atau keunggulan ekonomis diatas teknologi bersaing lainnya.
Guna meningkatkan pengetahuan, mereka dapat bergabung dengan
asosiasiprofesi seperti Licensing Executive Sosiety (LES) yang mempunyai anggota
diseluruh dunia. Penetapan tarif royalti tergantung pada banyak faktor misalnya
eksklusifitaslisensi, teritorial geografis, tingkat minimum penjualan, bantuan teknis,
pembelian suku cadang yang cocok, aspek pemasaran dan seterusnya. Jadi melalui
perundingan antara pemberi dan pemakai lisensi, hendaknya diperoleh kesepakatan
tarif royalti.
Sebagaimana telah dinyatakan tadi, pengetahuan mengenai pelisensian pada
umumnya penetapan harga (tarif) royalti pada khususnya di Indonesia amat kurang.
Para usahawan dapat mengusulkan supaya didirikan suatu kantor pemerintah yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
khusus untuk memnberi nasihat dan informasi mengenai pelisensian kepada para
usahawan Indonesia. Di negara-negara yang sedang berkembang saat ini banyak
kantor yang digunakan secara khusus untuk membantu usahawan setempat dalam
perundingan dengan pemberi lisensi asing, misalnya di Meksiko, Philipina, Argentina
dan negara-negara lain.135
Menurut UNIDO dalam Guidelines for evaluation for Transfer Agereement,
perhitungan royalti dilakukan sebagai berikut :136
Payment to licensor
Sales Royalty = --------------------------
Product sales price
Atau
Licensors profit
Sales Royalty = ------------------------
Product sales price
Licensors profit Licensee profit
= -------------------- x -------------------------
Licensee profit Product sales price
Atau
Royalty rate on sales = licensor share of licensee profit x licensee, profit on sales.
Atau
ROS= LSLPxPOS
Jadi penerima lisensi yang dapat memperkirakan keuntungannya dibandingkan
dengan nilai jual (POS) dapat juga memperkirakan LSP untuk POS yang diingini.137
135 Yusdinal, Op. Cit., Hal.208. 136 UNIDO, “Guidelines for Evaluation of Transfer of technologi Agreement”, United
Nation, New York, 1979, Hal. 39. 137 Yusdinal, Op. Cit., Hal. 209.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Contoh jika pemberi lisensi ingin bagian 20% dari keuntungan penerima
lisensi atau produk yang nilai julanya $ 500/kg dan menurut perkiraan pemberi lisensi
$.150/kg pemberi lisensi akan menawarkan 6% royalti atas harga jual.138
ROS = LSLP x POS
20 $ 1.50
= ----- x ---------
100 $ 5.00
Rumus tersebut penting bagi pemerintah untuk menentukan batas royalti yang dapat
diterima dan penting bagi penerima dan pemberi lisensi untuk dasar perhitungan
tawar menawar. Andaikata pemerintah menghendaki memberi izin LSLP hanya 10%,
maka royalti rate menjadi :
10 150
-------- (LSLP) x ------ POS = 3% (ROS)
1000 5.00
Jika ROS tetap 6% (kasus A), harga penjual produks $ 500/kg, tetapi keuntungan
penerima lisensi turun menjadi $ 0,50/kg maka :
ROS
LSLP = ----------
POS
6
= --------
0,50/5.00
= 60%
Jadi LSLP naik jika keuntungan penerima lisensi menurun. Dengan perkataan
lain,untuk suatu royalti rate yang diperjanjiakn dalan perjanjian lisensi, LSLP
138 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
merupakan yang tertinggi jika penerima lisensi membeuat keuntungan yang kecil atas
penjualan, dengan mempergunakan rumus :
ROS=LSLPxPOS
Dapat disimpulkan dua kemungkinan :
1. Penerima lisensi atau pemerintah negara bersangkutan harus memperhatikan
royalti rates, jika kemungkinan perusahaan membuat keuntungan agak rendah.
Keuntungan rendah apabila :
a. Tahap pertama proyek.
b. Penualan dalam ekspor.
c. Teknologi industri rendah.
d. Dalam persaingan.
2. Royalty rates yang tinggi dapat disetujui jika proyek menjalankan perusahaan
yang sangat menguntungkan (seperti barang elektronik dan instrumentation).139
D. Peranan Pemerintah Dalam Pengaturan Lisensi Paten
Pelaksanaan pencatatan lisensi Paten dengan persyaratan-persyaratan dan
ketentuan-ketentuan yang dituntut dari pihak yang akan menerima teknologi yang
dihasilkan dari Paten si penemunya, serta dituangkan dalam suatu perjanjian lisensi.
Semakin tinggi rumit dan eksklusif suatu teknologi yang akan dialihkan semakin
banyak persyaratan dan ketentuan yang diminta. Di lain pihak yang membutuhkan
teknologi kadang-kadang terpaksa menerima persyaratan dan ketentuan tersebut
(seperti perusahaan-perusahaan yang dijadikan objek penelitian), karena teknologi itu
139 Ibid. Hal. 210.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sangat dibutuhkan untuk industri yang akan dikembangkan. Dalam kaitanya dengan
lisensi Paten secara umum perangsang paling besar bagi pemilik teknologi adalah
mengalihkan teknologinya secara bisnis terbuka peluang untuk perluasan pasar dan
peningkatan volume penjualan. Lebih dari itu pemilik teknologi hanya akan
mengalihkan teknologinya, jika yakin bahwa antara pihaknya dan pihak penerima
teknologi akan terjadi hubungan kerja sama jangka panjang yang saling
menguntungkan. Hanya dalam keadaan yang demikian ia bergerak berbagai
pengalaman dan sumber daya ekonominya.140
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten secara
mendasar akan membantu pengembangan industri pada umumnya, sedangkan di
bidang ekonomi adanya peraturan Paten ini setidaknya akan membantu, menciptakan
iklim yang semakin mantap bagi kegiatan penanaman modal asing. Dalam arti bahwa
dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten para invenstor
asing tidak perlu khawatir untuk berusaha dan membawa teknologi yang mereka
bawa, karena adanya perlindungan hukum.
Berkaitan dengan perjanjian lisensi Paten kaitannya dengan pengalihan
teknologi dapat dikatakan bahwa sistem Paten mendorong pengembangan teknologi
melalui lima jalur sebagai berikut :
a. Memberikan insentif bagi upaya untuk menghasilkan teknologi baru.
b. Menciptakan iklim yang merangsang penerapan teknologi baru secara sukses.
140 Ibid., Hal. 151.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
c. Mendorong iklim teknologi baik karena informasi tentang teknologi yang
tersedia dalam dokumen-dokumen Paten maupun karena adanya sistem Paten itu
sendiri.
d. Merupakan alat bagi perencanaan industri baik pada tingkat teknis/perushaan
maupun pada tingkat makro.
e. Mendorong penanaman modal.141
Perjanjian lisensi yang dibuat dalam rangka penanaman modal asing itu pada
dasarnya merupakan dasar kerjasama yang mengatur syarat-syarat dan kondisi
pemindahan teknologi dari pihak asing kepada perusahaan-perusahaan penerima
lisensi di Indonesia. Dengan demikian perjanjian lisensi akan mengalihkan hak untuk
mengeksploitasi dari pemberi lisensi Paten kepada penerima lisensi. Jadi penerima
lisensi akan dapat melakukan hak untuk mengekspolitasi yang tadinya dipegang oleh
pemberi lisensi. Namun demikian, menurut sistem yang dianut oleh Undang-Undang
Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten, pihak pemberi lisensi Paten pada dasarnya
masih boleh melaksanakan sendiri Paten yang dilisensikan atau memberi lisensi yang
sama kepada pihak ketiga lainnya.142
Secara ekonomi penguasaan teknologi merupakan sumber kemungkinan bagi
peningkatan nilai tambah dan kemakmuran sekaligus menciptakan kemandirian serta
mengurangi ketidakpastian. Untuk itu diperlukan strategi penguasaan dan
pengembangan teknologi yang tepat prioritas utama perlu diberikan pada penguasaan,
penerapan dan pengembangan teknologi yang menyentuh dan dapat dimanfaatkan
141 Ibid. Hal 152. 142 Ibid. Hal. 152-153.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
oleh orang banyak dan meningkatkan derajat hidupnya, tanpa mempersoalkan apakah
teknologi tersebut meriupakan teknologi sederhana atau teknologi canggih.143
Dengan memperhatikan uaraian diatas menunjukan bahwa perjanjian, lisensi
bukan hanya merupakan dokumen hukum yang mencantumkan kepentingan perdata
dan resiko yang disetujui dalam perjanjian tetapi sebenarnya perjanjian itu juga harus
melindungi juga kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan arahan
Undang-Undang 1945 yang mengatakan bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.
Perjanjian di Indonesia pada prinsipnya masih berpedoman kepada hukum
perikatan yang dituangkan dalam KUHPerdata Indonesia. Oleh karena itu adanya
suatuperaturan perUndang-Undangan yang khusus mengatur mengenai perjanjian
lisensi sebagaimana yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 73 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten belum terlaksana sehingga pembuatan
perjanjian lisensi antara pihak didasarkan kepada penerapan asas kebebasan
berkontrak.
Kebebasan berkontrak itu adalah salah satu asas hukum kontrak dan ia tidak
berdiri sendiri. Maknanya hanya dapat ditentukan setelah kita memahami posisinya
dalam kaitannya dengan asas-asas hukum kontrak yang lain, yang secara menyeluruh
asas-asas ini merupakan pilar tiang pondasi dari hukum kontrak tidak terbatas, akan
tetapi dibatasi oleh tanggung jawab. Asas ini mendukung kedudukan yang seimbang
143 Ibid., Hal. 153.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
di antara para pihak, sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan
keuntungan bagi kedua belah pihak.144
Dengan demikian bahwa penerapan asas kebebasan berkontrak dalam
pembuatan perjanjian lisensi bukanlah sasuatu yang tanpa batas, tetapi dalam
penerapannya asas ini harus dilakukan dengan suatu tanggung jawab dari para pihak,
sehingga apa yang diperjanjikan itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah
ditentukan dalam Code of Conduct on transfer of Technologi, WIPO, UNCTAD,
TRIPs dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten.145
Pengalihan teknologi yang berlangsung melalui proses penanaman modal
asing, dalam bentuk perjanjian lisensi, pada dasarnya masih merupakan suatu
hubungan kontraktual antara para pihak yang dalam prakteknya didasarkan pada
penerapan asas kebebasan berkontrak dan kemampuan bernegosiasi antara penerima
lisensi dan pemberi lisensi. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa salah satu asas lain
yang terkait dengan penerapan asas kebebasan berkontrak adalah asas itikad baik dari
para pihak asas itikad baik ini harus diterapkan dalam pelaksanaan dari perjanjian
lisensi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata Indonesia.
Dengan demikian dalampembuatan dan pelaksanaan perjanjian lisensi, asas
kebebasan berkontrak dan asas itikad baik mempunyai peranan yang sangat penting.
Dalam perjanjian lisensi sudah tentu licensor dan licensee menentukan
syarat-syarat dan kondisi untuk disepekati bersama melalui suatu negosiasi. Secara
rinci mencakup aturan dalam perjanjian pada umumnya, isis keseluruhan atau
144 Ibid. 145 Ibid., Hal. 154.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagian dari teknologi Paten yang dialihkan. Di sini kejelian dari pihak penerima
teknologi sangat dibutuhkan termasuk adanya jaminan pelaksanaan alih teknologi
tepat waktu tidak sah penerapannya dan cara atau proses pengalihannya.146
Secara teoritis perjajian lisensi berperan sebagai sarana yang efektif untuk
terjadinya alih teknologi dari luar negeri ke Indonesia dalam rangka penanaman
modal asing. Karena dalam klausula-klausula perjanjian lisensi yang telah disepakati
oleh licensor dan licensee berdasarkan penerapan asas kebebasan berkontrak telah
dituangkan persetujuan dari pihak licensor untuk mengalihkan teknologinya kepada
pihak licensee. Adanya klausula mengenai pengalihan teknologi tersebut, harus
dipandang sebagai suatu jaminan terjadinya pengalihan teknologi melalui perjanjian
lisensi.
Untuk memperoleh informasi berdasarkan hasil penelitian. Pembahasan dan
analisa menegani hal ini dilakukan dengan menguraikan beberapa masalah yang
tertuang dan terkait dengan manfaat pencatatan lisensi Paten. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa masalah-masalah yang diuraikan berikut ini mempunyai pengaruh
yang besar dalam menentukan besar atau tidak suatu perjanjian lisensi Paten dalam
penyelengaraan lain teknologi secara maksimal. Adapun hal tersebut
meliputi :147
a. Posisi Tawar (bargaining position),
b. Pembatasan-pembatasan,
c. Masalah pemahaman teknis melalui pendidikan dan latihan,
146 Ibid., Hal. 154. 147Ibid., Hal. 155.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
d. Pemasaran dan wilayah Pemasaran,
e. Masalah Jaminan,
f. Hak atas penemuan baru,
g. Penyediaan mesin alat-alat dan bahan baku,
h. Penguasaan atas teknologi yang dilisensikan.
a. Posisi Tawar (bargaining Position)
Kekuatan dan kelemahan dalam posisi tawar menawar dalam suatu kontrak
perjanjian lisensi sangat tergantung dari pada kesiapan para pihak dalam
merencanakan kontrak perjanjian lisensi Paten. Biasanya kelemahan yang ada pada
licensee biasanya ditemui berkaitan dengan :
1. Tidak menguasai atau kurangnya informasi mengenai teknologi yang akan
dialihkan.
2. Belum mempunyai standar agreement atau kesiapan tentang bentuk perjanjian
yang akan disepakati dalam rangka alih teknologi.
3. Kurang menguasai bahasa yang dipergunakan dalam perjanjian.
4. Tidak memiliki informasi tentang potensi nasional yang dapat diandalkan untuk
membantu, baik dalam negosiasi maupun dalam pelaksanaan perjanjian.
5. Tidak memiliki suatu panduan atau pedoman perjanjian lisensi yang berisi
peraturan-peraturan pemerintah atau ketentuan lain yang ada kaitannya dengan
pembuatan suatu perjanjian lisensi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6. Pihak licensee tidak memiliki banyak informasi tentang licensor.148
b. Pembatasan-pembatasan dalam kontrak perjanjian lisensi-wajib Paten.
Pembuatan kontrak perjanjian lisensi Paten yang diadakan oleh perusahaan-
perusahaan yang menjadi objek penelitian ini, ada terdapat pembatasan-pembatasan
dan/atau larangan-larangan yang pada prinsipnya tidak boleh dicantumkan dalam
klausula-klausula perjanjian lisensi Paten. Pembatasan ini merupakan
penyalahgunaan kedudukan dari satu pihak untuk menekan pihak lain dalam
mengejar keuntungan materi yang maksimal.
Salah satu perusahaan yang diperoleh datanya adalah membuat beberapa
larangan dalam klausula perjanjanjian mereka antara lain menyebutkan dilarang
untuk ekspor bagi licensee atas produk-produk yang dilisensikan. Penerima lisensi
boleh melakukan ekspor jika hal tersebut sudah mendapat persetujuan dari pemegang
lisensi. Dengan demikian pemegang lisensi mempunyai posisi dominan yang
akhirnya menentukan suatu keadaan klausula yang sangat berat dan membatasi ruang
gerak dari penerima lisensi. Klausula yang tersebut di atas pada dasarnya tidak
diperkenankan dalam klausula kontrak lisensi, sebagaimana yang diatur dalam
WIPO, UNCTAD, TRIPs dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten.149
c. Masalah latihan dan pendidikan
Setiap perjanjian lisensi Paten ditentukan juga bahwa kewajiban pemberi
lisensi untuk mengadakan latihan atau training bagi tenaga yang tenaga kerja
148 Ibid. 149 Ibid., Hal. 156.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penerima lisensi agar dalam menjalan suatu teknologinya dapat sesuai dengan
petunjuk teknis yang ditentukan. Pendidikan dan latihan itu diberikan didalam dan
luar negeri dan biasanya diberikan secara paket dalam jangka waktu tertentu yang
tergantung kepada tingkat kesulitan teknologi yang dilisensikan. Dari hasil penelitian
biasanya yang dilakukan pendidikan dan latihan adalah mengenai proses pembuatan,
metode produksi, desain industri serta manajemen dengan tempat disesuai dengan
kontrak perjanjian, biasanya dilakukan di negara pemegang hak dengan alasan
peralatan dan daya dukung sudah siap.150
d. Pemasaran serta Wilayah Pemasaran
Aspek pemasaran adalah salah satu aspek penting dalam rangka alih teknologi
adalah masalah pemasaran barang yang dihasilkan oleh industri atau
perusahaan-perusahaan tertentu. Bagi suatu industri, agar tercipta permintaan yang
efektif, pemasaran pemegang peranan yang sangat menentukan bagi maju atau
mundurnya industri yang bersangkutan. Oleh karena itu, usaha pemasaran biasanya
diusahakan agar menjangkau wilayah-wilayah yang seluas mungkin, baik didalam
negeri maupun di luar negeri. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Direktorat Paten
menunjukan bahwa dengan adanya pembatasan wilayah pemasaran yaitu hanya
terbatas di Indonesia saja, sebagai teritori yang disepakati bersama.
Pembatasan wilayah pemasaran ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh
adanya kekhawatiran licensor bahwa ia pada suatu ketika akan disaingi oleh licensee
dan didesak dalam pemasaran, sehingga licensor pada akhirnya akan tersaingi.
150 Ibid., Hal. 157.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adanya pembatasan wilayah pemasaran ditentukan dalam perjanjian lisensi
tersebut akan mengakibatkan pengaruh yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan ekonomi dan teknologi negara berkembang. Pembatasan ini
sesungguhnya merupakansalah satu untuk praktek RBP, yang sebenarnya tidak boleh
dimuat dalam perjanjian lisensi.151
e. Masalah jaminan
Pencantuman klausula tentang jaminan dalam perjanjian lisensi mempunyai
peran penting dalam mendukung keberhasilan alih teknologi. Kiranya ketentuan
tentang jaminan ini telah merupakan suatu keharusan untuk dicantumkan dalam
perjanjian yang bersangkutan. Klausula tentang masalah jaminan yang memuat
ketentuan-ketentuan yang berisi jaminan, atas kesamaan kualitas produk dengan apa
yang diproduksi oleh licensor, untuk membuat atau mengasemblingkan produk, atau
memberikan pendidikan dan latihan tenaga kerja yang melaksanakan teknologinya.
Lebih dari itu diberikan jaminan perlindungan dari pihak ketiga yang mungkin timbul
karena adanya kekuarangan atau cacat, yang tersembunyi atau yang kelihatan dalam
desain dan pembuatan produk.
Pada dasarnya setiap perusahaan pemberi lisensi menjamin bahwa know how
dan informasi yang diberikan kepada licensee adalah benar-benar kepunyaannya,
mempunyai keadaan yang sama dengan yang digunakan oleh licensor, dan
menghasilkan produk yang sama sebagai hasil asembling.152
151 Ibid. 152 Ibid,. Hal. 158.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
f. Hak atas Penemuan Baru.
Perjanjian lisensi merupakan salah satu saluran untuk terjadinya alih teknologi
itu, ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terdapat pada perusahaan-
perusahaan penanaman modal asing di Indonesia dapat dikurangi secara bertahap.
Hal ini didasari oleh adanya kesadaran bahwa tanpa adanya kegiatan penelitian dan
pengembangan di perusahaan, hal ini menghindari ketergantungan kepada
pemberilisensi. Hal ini sangat kurang menguntungkan jika penerima lisensi
menemukan dan mengembangkan teknologi yang berasal dari hasil pengembangan
lisensi teknologi, akan tetapi hak atas penemuan tersebut tetap harus diserahkan
kepada pemberi lisensi selama kontrak perjanjian lisensi Paten berlangsung. Kecuali
diperjanjian lain dalam klausula kontrak.153
g. Penyediaan Mesin Alat-Alat dan Bahan Baku.
Klausula yang mencantumkan bahwa licensee akan mendapatkan peralatan-
peralatan teknis, seperti mesin, alat-alat, bahan-bahan setengah jadi dan bahan baku
lainnya dari licensor itu sendiri. Hal ini disebabkan karena adanya kebutuhan yang
mendesak untuk mengoperasikan teknologi tersebut. Klausula tersebut termasuk
suatu klausula yang tidak boleh dituangkan dalam perjanjian lisensi, hal itu karena
adanya pembatasan RBP. Namun demikian ada juga perusahan yang menyediakan
mesin, peralatan dan bahan baku tidak mendatangkan langsung dari pihak licensor
atau prinsipal. Akan tetapi pihak ketiga yang memasok mesin dan peralatn maka
untuk pendidikan dan latihan dilakukan oleh pihak ketiga.
153 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
h. Penguasan Teknologi.
Penguasaan teknologi yang diimpor merupakan proses evolutif. Proses
tersebut dapat dibedakan menjadi empat tahap, yaitu (1) tahap memakai teknologi
yang di impor, (2) tahap menirunya, (3) tahap mengadaptasinya, (4) tahap
mengembangkan teknologi baru berdasarkan teknologi yang diimpor. Tahap-tahap
tersebut dibedakan berdasarkan kadar inovasi yang dilakukan oleh licensee dalam
pemanfaatan teknologi tersebut. Anggapan utama yang mendasari pentahapan
tersebut adalah bahwa tingkat penguasaan akan naik apabila ada kemampuan riil
berinovasi meningkat. Dari hasil penelitian diatas bahwa suatu kemampuan dalam
menguasai teknologi adalah sebagai patokan majunya suatu bangsa. Dengan melalui
lisensi teknologi adalah upaya dalam mencapai kemampuan berinovasi, kemampuan
tersebut harus melalui proses tahap demi tahap, sehingga dalam setiap proses atau
tahapan harus dilakukan inovasi teknologi untuk mencapai proses yang maksimal
atau penemuan baru.154
Ronny Hanitijo Soemitro, menunjukan bahwa proses alih teknologi terdapat
dalam suatu bagan yang berbentuk dua buah simpul umpan balik yang bertemu pada
terminal proses alih teknologi itu sendiri. Simpul umpan balik pertama adalah pemilik
teknologi yang disebut sektor pemberi (suplai). Simpul umpan balik kedua
merupakan sektor kebutuhan. Terhadap kedua sektor simpul balik tersebut bekerja
dimensi-dimensi kebutuhan, ketatalaksanaan dan kelembagaan. 155 Namun dalam
kenyataan dilapangan bahwa adanya berbagai pembatasan-pembatasan yang
154 Ibid., Hal. 159. 155 Ibid ., Hal. 160.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dituangakan dalam kontrak perjanjian lisensi seperti yang telah diungkapkan diatas,
yaitu antara lain : pembatasan pemasaran, wilayah pemasaran, larangan ekspor, hak
atas penemuan yang baru, penyediaan alat-alat dan bahan baku, dan belum mampu
menguasai teknologi yang dilisensikan secara maksimal karena licensor cenderung
tidak sungguh-sungguh dalam mengalihkan teknologinya. Selain itu dengan adanya
pembatasan-pembatasan menunjukan adanya bargaining position yang tidak
seimbang antara penerima dan pemberi lisensi. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa tidak mudah untuk menciptakan terjadinya alih teknologi melalui perjanjian
lisensi, karena pada dasarnya perjanjian lisensi itu dibuat untuk kepentingan bisnis
dan bukan kepentingan mengalihkan teknologi. Jadi yang menjadi tujuan utama dari
perjanjian lisensi itu pada prinsipnya adalah untuk memperoleh keuntungan yang
maksimal bagi pihak licensor maupun licensee.
Perjanjnian lisensi yang dilakukan dalam rangka penanaman modal asing oleh
perusahaan-perusahaan penanaman modal asing atau joint venture, yang dibuat
berdasarkan penerapan asas kebebasan berkontrak, kenyataannya belum dapat
berperan secara efektif sebagaimana yang diharapkan karena pada prinsipnya baru
memasuki tahap awal dari penguasaan teknologi yaitu tahap pengenalan dari
teknologi yang dijadikan obyek lisensi.
Belum efektifnya peranan perjanjian lisensi Paten disebabkan oleh berbagai
kendala, antara lain disebabkan oleh orientasi dari perjanjian lisensi itu sendiri yang
lebih cenderung kepada kepentingan bisnis guna memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya bagi para pihak, sedangkan masalah alih teknologi belum
memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh, terutama oleh pihak licensor sebagai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemilik teknologi walaupun telah dituangkan dalam isi perjanjian lisensi. Lebih dari
itu belum terciptanya keseimbangan bargainig position, adanya pembatasan-
pembatasan ruang gerak licensee oleh pihak licensor, adanya kecendrungan pihak
licensor tidak sungguh-sungguh ingin mengalihkan teknologinya, selain dari kendala-
kendala yang terkait lainnya. Sehingga tidak mengherankan bila dalam pelaksanaan
perjanjian lisensi itu, kenyataan belum memberi peluang kepada pihak licensee untuk
menguasai teknologi yang dilisensikan itu sebagaimana yang diharapkan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian lisensi belum dapat secara maksimal
menjadi sarana yang efektif dalam penyelenggaraan alih teknologi sebagaimana yang
diharapkan. Dengan demikian, jika pembatasan-pembatasan masih berlangsung maka
proses alih teknologi hanya simbolis.
Walaupun alih teknologi melalui perjanjian lisensi yang dibuat belum
berperan secara maksimal, namun telah mempunyai andil atau keterkaitan dengan
pengembangan industrialisasi. Disebabkan teknologi yang telah dialihkan itu, sangat
penting artinya dalam menunjang pengembangan industrialisasi.156
Roscoe Pound dengan teori social engineering mengemukakan bahwa hukum
sebagai alat rekayasa sosial dan sesuai dengan konsep teori ini memang perjanjian
lisensi Paten sebagai salah satu peringkat pranata hukum dapat diguanakan sebagai
alat rekayasa agar terciptanya alih teknologi secara efektif. Melalui perjanjian-
perjanjian lisensi yang dilakukan para pihak yang berkepentingan, yaitu licensor dan
licensee diharapkan terjadinya alih teknologi, namun dari temuan dilapangan
kenyataanya lain, oleh karena itu kiranya menganalisis temuan ini teori interaksi
156Ibid , Hal. 160-161.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
simbolik relevan untuk diterapkan dalam teori interaksi simbolis, memang perjanjian
lisensi sebagai stimulus tidak selalu menghasilkan terjadinya alih teknologi sebagai
respon secara memuaskan. Dalam hal stimulus tidak menghasilkan respon, maka
perlu dipelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik introspeksi guna
mengetahui sesuatu yang melatarbelakangi aktor, yaitu baik licensor maupun
licensee. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa dalam suatu interaksi simbolis, stimulus
tidak secara otomatis melahirkan suatu respon yang dikehendaki, akan tetapi antara
stimulus yang diterima dan respon yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses
interprestasi oleh aktor, yaitu proses berpikir yang khas dimiliki oleh manusia.
Dengan demikian berperannya atau tidak lisensi Paten dalam meningkatkan alih
teknologi sangat bergantung kepada kehendak para pihak yang berkepentingan, dan
tidak selalu tergantung kepada apa yang tertuang didalam perjanjian lisensi yang
disepakati.
Hal tersebut diakui juga oleh WIPO suatu organisasi yang menangani Hak
Kekayaan Intelektual sering kali dijumpai berbagai kendala, salah satu diantaranya
adalah adanya keengganan dari pemilik teknologi untuk melakukan alihteknologi
kepada penerima teknologi di negara-negara sedang berkembang.157 Jika dipandang
secara sosiologi, bahwa alih teknologi baru akan dapat berhasil bila terjadi bersamaan
dengan pergeseran pola kehidupan masyarakat dari tradisonal agraris ke modern
industriali. Dengan demikian dalam penyelenggaraan alih teknologi sangat
dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti : orientasi perjanjian lisensi, kehendak para
pihak, pembatasan-pembatasan terhadap ruang gerak licensee, bargaining position,
157Ibid , Hal. 161-162.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
infrastruktur yang relevan, kemampuan negosiasi dan manajemen, disamping pola
kehidupan masyarakat. Namun demikian harus diikuti oleh upaya untuk mengadakan
infrastruktur yang relevan, membuat rancangan orientasi perjanjian lisensi,
kemampuan bernegosiasi dan manajemen yang handal, serta mengubah pola
kehidupan masyarakat, dari pola kehidupan tradisional agraris ke modern industrial
agar masyarakat itu mampu mendukung proses industrialisasi.
Usaha perbaikan terhadap kelemahan-kelemahan seperti diuraikan diatas,
haruslah sungguh-sungguh dilakukan oleh pihak licensee secara terarah dan
terprogram karena secara konsepsional perjanjian lisensi itu meripakan sarana yang
paling efektif dalam pengalihan teknologi dari luar negeri ke Indonesia seperti yang
telah diungkapkan.
Salah satu yang sangat mendesak untuk dilakukan dalam memperbaiki
kelemahan-kelemahan itu, adalah diadakannya suatu perangkat peraturan-peraturan
perUndang-Undangan yang jelas mengatur tentang perjanjian lisensi Paten teknologi,
sebagai tindaklanjut dari yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten, yang ditunjang oleh suatu pusat informasi teknologi, baik mengenai
teknologi yang akan dialihkan maupun teknologi yang ada diluar negeri dalam
berbagai bidang usaha. Informasi ini sangat penting bagi para pengusaha.158
E. Peran Pemerintah Dalam Menentukan Besarnya Royalti
Royalti merupakan subsistem terpenting yang mempengaruhi kualitas
hubungan antara pemberi dan penerima lisensi. Bagi pemberi lisensi, royalti adalah
158Ibid , Hal. 162.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
imbalan baginya karena telah menghabiskan waktu, biaya, dan percobaan untuk
memperoleh penemuan baru tersebut. Sehingga sedapat mungkin pemberi lisensi atau
pemilik paten berharap untuk memperoleh royalti yang tinggi dari penerima lisensi.
Perjanjian lisensi di Indonesia hingga saat ini masih berdasarkan pada asas
kebebasan berkontrak. Belum terdapat aturan yang membatasi para pihak yang
terlibat dalam perjanjian lisensi. Dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2001 Tentang Paten, mekanisme pembayaran royalti hanya dijelaskan dalam lisensi
wajib saja dimana dikatakan bahwa besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara
pembayarannya ditetapkan oleh Direktorat Jenderal HKI. Selanjutnya, penetapan
besarnya royalti ini dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim dilakukan
dalam perjanjian lisensi paten atau perjanjian lain yang sejenis. Terhadap lisensi
biasa, mekanisme pembayaran royalti diserahkan kepada perjanjian diantara para
pihak.159
Dalam hal ini, peran pemerintah dalam pemberian dan menentukan besarnya
royalti merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah dalam melindungi Paten
atau Hak Kekayaan Intelektual lainnya. Dengan demikian pemerintah secara otomatis
melindungi si pemilik atau pemegang Paten, dimana dalam menemukan suatu Paten
diperlukan pemikiran, waktu dan biaya yang cukup banyak sehingga pemilik atau
pemegang Paten akan sangat dirugikan apabila Paten yang ia miliki diambil atau
pembayaran atas Paten berupa royalti dalam suatu perjanjian lisensi tidak sesuai
dengan apa yang telah ditemukan atau dibuat oleh pemilik atau pemegang Paten.
159 Taufiq Kurniawan, 19 Juni 2012, “Kontrak Lisensi Alih Teknologi Di Indonesia”,
http://kurniowen.blogspot.co.id/2012/06/kontrak-lisensi-alih-teknologi-di.html diakses pada tanggal
2 Agustus 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Paten yang dimiliki oleh pemilik atau pemegang Paten dapat diambil alih oleh
pemerintah sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten yang merupakan lisensi wajib yang dimana Paten tersebut merupakan Paten
yang memiliki kegunaan yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah atau masyarakat
luas.
Pemerintah juga mengatur Paten yang dapat digunakan oleh pemerintah
dengan mengambil alih Paten dari pemilik atau pemegang Paten sebagaimana telah
diantur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Tata Cara
Pelaksananaan Paten Oleh Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah menjelaskan
pada Pasal 1 terkait definisi Paten yaitu :
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas
hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya
kepada pihak lain untuk melaksanakannya.160
Dapat diambil kesimpulan bahwa Paten dalam Peraturan Pemerintah tersebut
merupakan Paten dalam bidang teknologi dimana Paten yang dihasilkan atau
ditemukan dapat membantu atau dapat bermanfaat dalam pertahanan keamanan
negara. Dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka pemerintah dengan
alasan yang mendesak untuk kepentingan masyarakat pelaksanaan Paten dapat
dilakukan oleh Pemerintah.
Pada Peraturan Pemerintah tersebut, mengatur pula tentang imbalan atau
royalti bagi pemilik atau pemegang Paten tetapi yang mengatur tentang besaran
royalti yang didapat oleh pemilik atau pemegang Paten. Dengan demikian,
160 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Paten Oleh Pemerintah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemerintah dapat menentukan besarnya royalti tidak sesuai dengan apa yang telah di
hasilkan oleh pemilik atau pemegan Paten dikarenakan alasan yang sangat mendesak
bagi masyarakat dan keamanan negara. Hal tersebut bertentangan dengan asas
ketidakadilan bagi pemilik atau pemegang Paten. Oleh karena itu, pemilik atau
pemegang Paten dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga apabila royalti yang
didapat dari Paten yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak sesuai dengan hasil yang
sudah dilakukannya sampai akhirnya Paten yang dilaksanakan oleh pemerintah
ditemukan.
Pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan terkait dengan royalti yang
dituangkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang
Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada
Inventor. Pada Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan tersebut menyebutkan bahwa :
Pemberian Imbalan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kegiatan
inovasi yang berorientasi Paten dan meningkatkan PNBP Royalti Paten atas
inovasi tersebut.161
Imbalan yang diterima oleh pemilik atau pemegang Paten dapat diterima
setelah Paten yang ia miliki diambil alih oleh pemerintah dimana pemerintahlah yang
melaksanakan Paten tersebut. Dalam menentukan besarnya royalti pemerintah
mempunyai cara perhitungannya sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
tersebut, dimana sudah tercantum pada Pasal 7 dan Pasal 8, yakni :
161 Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang Imbalan Yang
BerasalDari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pasal 7 :
(1) Dasar perhitungan imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
merupakan hasil perkalian antara PNBP Royalti Paten dengan presentase
persetujuan penggunaan PNBP Royalti Paten instansi pemerintah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) PNBP Royalti Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
jumlah PNBP Royalti Paten atas 1 (satu) jenis Paten selama 1 (satu) tahun
anggaran.162
Pasal 8 :
Tarif Imbalan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dihitung
berdasarkan lapisan nilai dengan persentase menurun dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Untuk lapisan nilai sampai dengan Rp100.000.000,- (seratusjuta rupiah),
Inventor diberikan tarif Imbalan tertentu sebesar 40% (empat puluh
persen);
b. Untuk lapisan nilai sampai dengan Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah)
sampai dengan Rp500.000.000 (lima ratusjuta rupiah), Inventor diberikan
tarif Imbalan tertentu sebesar 30% (tiga puluh persen);
c. Untuk lapisan nilai sampai dengan Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah), Inventor diberikan
tarif Imbalan tertentu sebesar 20% (dua puluh persen);
d. Untuk lapisan nilai lebih dari Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah),
Inventor diberikan tarif Imbalan tertentu sebesar 10% (sepuluh persen).163
1. Formula Perhitungan Imbalan Atas PNBP Royalti Paten
Perhitungan Imbalan dihitung berdasarkan hasil perkalian dasar perhitungan
Imbalan dengan tarif Imbalan tertentu. Formula perhitungan Imabalan adalah sebagai
berikut :
I = DPI x tarif Imabalan tertentu
162 Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang Imbalan Yang
BerasalDari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor. 163 Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang Imbalan Yang
BerasalDari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Keterangan :
I = Imbalan
DPI = dasar perhitungan Imbalan
Tarif Imbalan tertentu = lapisan nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
a. Dasar Perhitungan Imbalan (DPI)
Formula perhitungan DPI adalah sebagai berikut : 164
DPI = PNBP Royalti Paten x PP
Keterangan :
DPI = dasar perhitungan Imbalan
PNBP Royalti Paten = Nilai PNBP Royalti Paten setahun
PP = keputusan menteri keuangan mengenai
persetujuan penggunaan PNBP
b. Tarif Imbalan Tertentu
Tarif Imbalan tertentu tertinggi adalah 40% (empat puluh persen) untuk nilai
kumulatif dasar perhitungan Imbalan sampai dengan sebesar Rp100.000.000
(seratus juta rupiah) pertama dan selanjutnya dengan presentase menurun
dengan ketentuan sebagai berikut :165
164 Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang Imbalan Yang
BerasalDari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor. 165 Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang Imbalan Yang
BerasalDari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lapisan Nilai Tarif Imbalan Tertentu
S.d Rp.100.000.000,00 (40% x Rp.100.000.000,00)
Di atas Rp.100.000.000,00 s.d
Rp.500.000.000,00
(Imbalan untuk s.d Rp.100.000.000,00)
+ 30% x (DPI – Rp.100.000.000,00)
Di atas Rp.500.000.000,00 s.d
Rp.1.000.000.000,00
(Imbalan untuk s.d Rp.500.000.000,00)
+ 20% x (DPI – Rp.500.000.000,00)
Di atas s.d Rp.1.000.000.000,00 (Imbalan untuk s.d
Rp.1.000.000.000,00) + 10% x
(DPI – Rp.1.000.000.000,00)
2. Contoh Perhitungan Imbalan
Paten ABC pada Satker Litbang A menghasilkan nilai kumulatif PNBP
Royalti pada tahun 20xl sebesar Rpl.250.000.000,00 (satu milyar dua ratus lima
puluh ribu rupiah). Persetujuan penggunaan atas PNBP pada Satker Litbang A
sebesar 80% (delapan puluh persen). Dasar penghitungan Imbalan sebesar :166
DPI = Rpl.250.000.000,00 x 80%
= Rp 1.000.000.000,00
Perhitungan Imbalan
Lapisan DPI (Rp) Perhitungan DPI
(Rp)
Nilai DPI (Rp) Tarif Perhitungan
1 2 3 4 5 = 3x4
s.d.
100.000.000,00
100.000.000,00 -
0,00
100.000.000,00 40% 40.000.000,00
lebih dari
100.000.000,00
s.d.
500.000.000,00
500.000.000,00 –
100.000.000,00
400.000.000,00 30% 120.000.000,00
166 Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang Imbalan Yang
BerasalDari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lebih dari
500.000.000,00
s.d.
1.000.000.000,00
1.000.000.000,00 –
500.000.000,00
500.000.000,00 20% 100.000.000,00
lebih dari
1.000.000.000,00
1.000.000.000,00 –
1.000.000.000,00
0,00 10% 0,00
Total 1.000.000.000,00 260.000.000,00
Pelaksanaan Paten oleh pemerintah berdasarkan teori pengawasan. Mengacu
kepada teori pengawasan pembedaan dapat ditinjau dari segi sifat kontrol terhadap
objek yang diawasi. Dengan kata lain, apakah kontrol itu hanya dimaksudkan untuk
menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukumnya saja (segi legilitas),
ataukah juga dinilai pula benar-tidaknya perbuatan ditinjau dari segi/pertimbanagan
kemanfaatannya (opportunitasnya).167
Paten yang diberikan oleh pemerintah dibatalkan karena dalam keadaan
mendesak untuk kepentingan masyarakat dan perlindungan Paten menyebabkan harga
menjadi mahal, tentu sangat merugikan pemegang Paten karena untuk menemukan
suatu Invensi membutuhkan biaya riset yang tidak sedikit, waktu yang cukup lama
dan tenaga serta pikiran. Oleh karena itu, mekanisme pelaksanaan Paten oleh
pemerintah dengan pemerintah yang menentukan besar royalti yang akan diterima
pemegan Paten, merupakan jalan keluar yang adil bagi pihak pemegang Paten
maupun masyarakat.168
Dapat dilihat bahwa pemerintah sudah mengatur dan berperan dalam
menentukan besaran royalti yang dalam Paten, dimana pemilik atau pemegang Paten
167 DR. Enny Nurbaningsih, SH., M.Hum, Op. Cit., Hal. 37 168 Ibid., Hal. 38.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dapat menerima Paten apabila Paten yang dihasil dilaksanakan oleh pemerintah.
Sampai pada saat ini Paten di Indonesia dapat dibilang masih sedikit dikarenakan
masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang tata cara permohonan Paten dan
ketakutan akan diambil alihnya Paten yang mereka temukan oleh pemerintah tanpa
adanya pergantian berupa royalti yang setara dengan apa yang telah ditemukan atau
dihasilkan. Melihat hal tersebut pemerintah harus lebih melakukan sosialisasi
ketentuan-ketentuan terkait dengan Paten, Paten yang diambil alih oleh pemerintah
dan royalti.
F. Contoh Kasus Royalti (Ilustrasi)
1. Contoh I
Seorang pemegang Paten memiliki sebuah temuan yang telah ia hasilkan
dengan waktu 3 (tiga) tahun dengan biaya sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh
juta rupiah). Paten yang ia hasilkan adalah suatu Paten dalam sebuah produk, dimana
produk tersebut merupakan alat untuk mempermudah pekerjaan dalam bidang
pertambangan.
Paten tersebut dapat menggali lebih cepat dengan perbedaan waktu yang
lumayan jauh. Hal tersebut merupakan suatu keuntungan yang sangat bagus dalam
dunia pertambangan serta dapat menghemat waktu. Mesin galian biasa memerlukan
waktu 30 menit untuk kedalaman 10 m sedangkan dengan Paten yang telah
ditemukan dapat menghasilkan kedalam 20 m dalam waktu yang sama.
Paten yang ditemukan oleh pemegang Paten setelah didaftarkan dan disetujui
oleh Direktorat Jenderal HKI sebagaimana prosedur dan persyaratan yang berlaku
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, maka
pemegang telah melindungi Patennya dari pihak-pihak yang merugikan. Pemegang
Paten setelah mendapat persetujuan dapat melakukan perjanjian lisensi dengan pihak
lain dengan hal-hal yang disepakati dengan jangka waktu 6 (enam) tahun.
Penerima Paten menerima segala informasi terkait dengan Paten yang dimiliki
oleh pemegang Paten termasuk cara penggunaannya. Pemberi Paten menerima
haknya berupa royalti yang dibayarkan oleh penerima Paten setiap tahunnya. Pada
tahun pertama sampai dengan tahun ketiga pembayaran royalti berjalan lancer tanpa
adanya keterlambatan. Pada tahun keempat, penerima Paten melakukan wanprestasi
atau melanggar ketetentuan yakni tidak melakukan pembayaran royalti kepada
pemberi Paten dan secara diam-diam penerima Paten membuat Paten yang sama
dengan Paten yang dimiliki oleh pemberi Paten tanpa seizing pemberi Paten. Paten
yang dihasilkan oleh penerima Paten dijual dengan harga yang lebih murah dari
pemilik Paten yang sebenarnya. Sehingga pemberi Paten melaporakan penerima
Paten kepada Pengadilan setempat. Hal tersebut telah merugikan pemberi Paten
dikarenkan tidak mendapat royalti dari Paten yang telah ia temukan dengan susah
payah.
Peran pemerintah sangatlah dibutuhkan dalam hal tersebut untuk melindungi
Paten yang ditemukan oleh pemilik atau pemegang Paten dan telah disetujui oleh
Direktorat Jenderal HKI sebagai Paten yang dimiliki oleh pemilik atau pemegang
Paten. Sehingga pemilik atau pemegang Paten merasa dilindungi dan dihargai Paten
yang telah ia temukan dengan memakan banyak waktu dan biaya yang cukup besar.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Contoh II169
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memperoleh royalti total
Rp1,5 miliar dari dua paten para penelitinya yang telah digunakan oleh PT Inti dan
PT Tiga Pilar Sejahtera. "BPPT adalah lembaga riset pemerintah yang pertama
memperoleh royalti dari hasil risetnya melalui BPPT Enjiniring (BE). Lembaga riset
pemerintah lainnya bisa juga seperti itu," kata Kepala BPPT Marzan A Iskandar
seusai "Customer Gathering BPPT 2014" di Jakarta, Kamis (25/4/2014).
Menurut dia, selama ini BPPT sebagai lembaga pemerintah non-kementerian
hanya boleh melakukan riset hingga menghasilkan prototipe, sementara proses
produksi dan pemasaran dari hasil riset tersebut dilakukan sektor industri yang
hasilnya dimasukkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun,
sejak ada Keputusan Menteri Keuangan No. 158/KMK.05/2007, lembaga pemerintah
dimungkinkan mengelola PNBP yang diperolehnya, misalnya untuk dimanfaatkan
sebagai fasilitas riset.
"BE adalah suatu unit dari total 18 satuan unit kerja di BPPT yang dapat
melakukan kerja sama teknis atau pelayanan teknologi kepada mitra pengguna
melalui PNBP sesuai UU No. 20 tahun 1998, dan sesuai Keputusan Menteri
Keuangan menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU),"
terang Marzan. Ia menjelaskan, BPPT hingga saat ini memiliki 156 paten, 10 hak
cipta, sembilan hak merk, dan 18 desain industri, namun baru dua paten yang telah
dilisensi oleh industri dan mendapatkan royalti, yakni mesin perisalah (notulensi
169 rri.co.id RadioRepublik Indonesia BPPT Terima Royalti Rp 1,5 Miliar dari Paten
Penelitiannya,http://rri.co.id/post/berita/75996/teknologi/bppt_terima_royalti_rp_15_miliar_dari_paten
_penelitinya.html diakses pada tanggal 1 Agustus 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
otomatis dari bahasa lisan ke tulisan), serta Biskuneo (biskuit yang mengandung
nutrisi lengkap khusus untuk korban bencana). "Tapi yang digunakan masyarakat
sudah banyak seperti hujan buatan dan lain-lain. Sistem royalti tentu akan diikuti oleh
prototipe lainnya, misalnya pesawat tanpa awak yang sedang dalam proses produksi
di PT DI dengan lisensi juga diproses secara paralel," imbuh Marzan.
Kepala BPPT Enjiniring, JB Satya Sananugraha menambahkan, sampai saat
ini jumlah mitra yang telah bekerja sama dengan BE sebanyak 117 mitra, yakni
24 mitra asing, 24 mitra BUMN, 31 mitra pemerintah, serta 38 mitra swasta.
"Sedangkan jumlah kontrak kerja sama sebanyak 295 kontrak kegiatan senilai
Rp.373,7 miliar dan royalti yang diterima melalui BE pada 2013 sebesar
Rp.1,5 miliar," katanya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Syarat dan proses pemberian lisensi-wajib atas Paten adalah dengan cara
inventor harus mengajukan permohonan atas suatu temuan atau invensi yang
memiliki sifat kebaruan, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan di
industri. Pengajuan invensi itu sendiri harus mematuhi persyaratan pokok yakni
syarat formalitas (administrasi) dan substantif (teknis). Kriteria sebagai syarat
pemberian lisensi-wajib Paten apabila Paten tersebut dapat dilaksanakan di
Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberi manfaat kepada
sebagian besar masyarakat. Syarat-syarat pemberian lisensi wajib belum
sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual, hal ini
disebabkan hilangnya asas keadilan pada pemilik atau pemegang Paten pada
saat Paten yang telah ditemukan atau dihasilkan oleh pemilik atau pemegang
Paten diambil alih oleh pemerintah hanya karena kebutuhan yang mendesak
dan untuk kepentingan masyarakat. Apabila Paten yang telah ditemukan atau
dihasilkan pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah, maka pemerintah wajib
memberikan royalti sesuai dengan prinsip keadilan dan ekonomi. Dalam hal
tersebut, pemerintah seharusnya lebih berperan dalam melindungi dan
membantu pemilik atau pemegang Paten dalam melaksanaakan Paten yang ia
miliki agar pemilik atau pemegang Paten tidak takut untuk menemukan atau
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat luas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Paten yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah terhadap suatu Paten
yang telah ditemukan atau dihasilkan oleh pemilik atau pemegang Paten dan
sudah didaftarkan kepada Direktorat Jenderal HKI, maka pemilik atau
pemegang Paten berhak mendapatkan keuntungan atau pergantingan berupa
royalti. Royalti yang di dapat oleh pemilik atau pemegang Paten besarnya dan
tata cara pembayarannya ditentukan dengan kesepakatan yang disepakati antara
penerima Paten dengan pemilik atau pemegang Paten yang tertuang dalam
suatu perjanjian. Dalam hal Paten pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah
dikarenakan kebutuhan yang sangat mendesak, maka pemerintah akan
membayar pergantian terhadap Paten tersebut berupa royalti, dimana besarnya
royalti sudah ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Apabila pemilik atau
pemegang Paten keberatan atas besaran jumlah royalti yang diberikan oleh
pemerintah, maka pemilik atau pemegang Paten dalam mengajukan gugatan
melalui Pengadilan Niaga. Dapat di lihat bahwa peran pemetintah sangatlah
besar dan mutlak terhadap menentukan besarnya royalti terhadap pelaksanaan
Paten yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 20014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten Oleh
Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 72/PMK.02/2015 Tentang Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan
Negara Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor, dimana pemilik atau
pemegang Paten dapat mengajukan gugatan terhadap besar royalti yang di
terima pada Pengadilan Niaga.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
B. SARAN
1. Masuknya Paten dan lahirnya berbagai perjanjian lisensi merupakan konsekuensi
logis dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, karena ini merupakan bagian dari globalisasi perekonomian dunia dan
Negara Indonesia yang telah mencanangkan dirinya untuk menjadi negara
industri sudah seharusnya melakukan perjanjian lisensi ini semaksimal mungkin.
Oleh karena itu, maka pemerintah Indonesia harus secara berkelanjutan
melakukan sosialisasi tentang Paten atau lisensi Paten untuk menunjang dan
mempercepat laju industrialisasi. Agar para penemu mencatatkan Patennya,
maka pemerintah harus lebih mensosialisasikan peraturan tentang Paten itu
sendiri dan harus adanya kejelasan serta kepastian hukum terhadap Paten yang
mereka punyai termasuk royalti, sehingga dapat memberikan motivasi dan
semangat dalam menemukan suatu produk atau proses. Pemerintah juga harus
segera mengeluarkan perturan terkait dengan lisensi-wajib yang sampai saat ini
belum adanya perturan yang mengatur secara tersendiri terkait dengan lisensi
wajib. Apabila peraturan terkait lisensi-wajib tersebut sudah diatur, maka para
pemilik atau pemegang Paten akan lebih tenang dalam menemukan,
mengahasilkan dan mengembangkan Paten yang ia miliki tanpa ada rasa takut
untuk diambil alih tanpa melihat usaha keras pemilik atau pemegang Paten demi
menemukan, menghasilkan dan mengembangkan Paten karena pada hakikatnya
sumber daya alam Indonesia sangat luas dan melimpah untuk dijadikan suatu
temuan yang akan sangat berguna atau bermanfaat bagi masyarakat secara luas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Perlu adanya kejelasan dan klausula perjanjian lisensi Paten tentang pembayaran
royalti, karena masalah pembayaran royalti saat ini masih ditemui kendala-
kendala yang sifatnya tidak adil dalam pembayaran royalti, sehingga merugikan
pemberi Paten. Peran pemerintah juga dibutuhkan dalam melindungi pemilik
atau pemegang Paten terkait dengan royalti, sehingga pemilik atau pemegang
Paten tidak merasa dirugikan dan tidak bertentangan prinsip keadilan yang
berada dalam Hak Kekayaan Intelektual. Penentukan besarnya royalti yang
pelaksanaan Paten dari pemilik atau pemegang Paten dilaksanakan oleh
Pemerintah sudah ditentukan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 20014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah dan
Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
72/PMK.02/2015 Tentang Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara
Bukan Pajak Royalti Paten Kepada Inventor. Akan tetapi alangkah baiknya
pemerintah lebih memperhatikan pemilik atau pemegang Paten dengan melihat
proses yang dialami dalam menemukan, menghasilkan dan mengembangkan
Paten dengan membantu pemilik atau pemegang Paten dalam melaksanakan
Patennya melalui bantuan pendanaan dan perlindungan terhadap Patennya. Hal
tersebut akan berdampak baik bagi pemilik atau pemegang Paten agar merasa
terlindungi dan dihargai atas apa yang telah ia temukan, hasilkan dan
kembangkan tanpa merasa khawatir atas Patennya dan lebih banyak memberikan
sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Aqimuddin, Sunendar dan Dzulman. 2014. Penempatan Model Fleksibilitas Paten
Atas Obat Dalam WTO-Aggrement On Trade Related Aspects Of Intelectual
Property Right (Trips) Oleh Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang No 14
Tahun 2001 Tentang Paten. Bandung : Prosiding SNa PP.
Ali, Achmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence).Jakarta : Kencana.
Anwar, Chairul. 1992. Hukum Paten dan PerUndang-Undangan
PatenIndonesia.Jakarta : Djambatan.
Ashsofa, Burhan. 1998.Metode Penelitian Hukum.Jakarta : Rineka Cipta.
Badrulzaman, Mariam Darus. 1992. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni.
Balitbang Deperindag. 1993. Peranan Pengacara/Konsultan Hukum Dalam
Pembangunan Industri Nasional (selnjutnya Deperindag III). Jakarta :
lokakarya.
Chazawi, Adami. 2007. Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI).
Malang : Bayumedia Publishing.
Djumhana, Muhammad. 1999. Hak Kekayaan Intelektual Teori dan Praktek.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Faisal. 2012. Menerobos Positivisme Hukum. Bekasi : Gramata Publishing.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu.
Bandung : PT Aditya Bakti.
Gambiro, Ita. 1995. Hukum Paten. Jakarta : Sebelas Printing.
----------------. 1996.Perjanjian Alih Teknologi Jenis dan Karakteristiknya.
Semarang : Depperindag.
Gautama, Sudargodan Rizawanto Winata. 1998. Pembaharuan Undang-
UndangPaten1997.Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Habibie, B.J. 1992. Ilmu Pengetahuan, teknologi dan Pembangunan Bangsa.
Jakarta : BPPT.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesi. Surabaya :
Bina Ilmu.
Hart, H.L.A. The Concept of Law. (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997)
diterjemahkan oleh M. Khozim. Konsep Hukum. Bandung : Nusamedia. 2010.
Hartono, Sunaryati. 1995. Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional. Bandung :
Bina Cipta.
H.R, Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Ibrahim, Johny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bandung :
Citra Aditya Bakti.
ldham, Ibrahim. 1990. Peraturan PerUndang-Undangan tentang Perjanjian Lisensi
Paten.Jakarta : BPHN.
-------------------. 1985. Alih Teknologi Melalui Perjanjian Lisensi. Jakarta : FH Ul.
-------------------. 1998. Persaingan Sehat di Bidang Hak Atas Kekayaan
Intelektual.Jakarta : BPHN.
-------------------. 1985. “Alih Teknologi Melalui Pvjanjian Lisensi.”Jakarta : FH UI.
Irawan, Chandra. 2011.Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia : Kritik
Terhadap WTO/TRIPs dan Upaya Membangun Hukum Kekayaan Intelektual
Demi Kepentingan Nasional.Bandung : CV. Mandar Maju.
Jened, Rahmi. 2000. Diktat Hukum Paten. Surabaya :Fakultas Hukum Universitas
Airlangga.
------------------. 2007. Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif.
Surabaya : Airlangga Universty Press.
Kelsen, Hans. 2009. Pengantar Teori Hukum, diterjemahkan oleh Siswi
Purwandari.Bandung :Nusa Media.
Khairandy, Ridwan dkk. 1999. Kapita Selekta HKI I. Jogyakarta : UH.
Kurniawan. Perlindungan Terhadap Paten Asing Berdasarkan Sistem Hukum Paten
Di Indonesia Pasca Trips-WTO. Jurnal Hukum, Vol. 27 No.3 November
2012. Universitas Mataram. Jatiswara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lindsey, Tim, dkk. 2002. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung : PT.
Alumni.
Lubis, M. Soly. 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian.Bandung : CV. Mandar Maju.
Lubis, T. Mulya. 1991. Undang-UndangPaten. Jakarta : PT. Gramedia.
----------------------. Alih Teknologi antara Harapan dan Kenyataan. Majalah Prisma
No. 4 Th XVI April 1987.
Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana.
Muhammad, Abdulkadir. 1998. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Pamuntjak, Amir. 1994. Sistem Paten Pedoman Praktek dan Alih Teknologi. Jakarta :
Djambatan.
Pound, Roscoe. 1982. Pengantar Filsafat Hukum. Diterjemahkan oleh M. Radjab,
Cet. 3, Jakarta : Batara Karya Aksara.
Prakosa, Djoko.1991. Hukum Merek dan Paten.Semarang : Dahara Prize.
Priapantja, Cita Citrawinda. 1999.Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi
: Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi. Jakarta. Chandra
Pratama.
Purba, Ahmad Zen Umar. Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HKI
Nasional.Jurnal Hukum Bisnis, Vol.13, April 2001.
Rahmatullah, Indra. 2015. Aset Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan dalam
Perbankan.Yogyakarta : Deepublish.
Riduan. 2004. Metode dan Tekhnik Menyusun Tesis. Bandung : Bina Cipta.
Salaman, H. R. Otje dan Aton F. Susanto.2004.Teori Hukum, Bandung : PT. Refika
Aditama.
Saleh, Ruslan. 1994. Seluk Beluk Praktek Lisensi. Jakarta : Sinar Grafika.
Salim, H, 2010. PerkembanganTeori dalam Ilmu Hukum.Jakarta : RajaGrafindo
Persada.
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta : Rajawali Press.
Sanusi Bintang. 1998. Hukum Hak Paten. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Satri. J. 2001. Hukum perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Buku
I.Bandung : PT. Citra Adityabakti.
Setyawanto, L. Tri. 1994. Aspek Hukum Pemilihan Paket Teknologi yang akan
Dialihkan Dalam Pelaksanaan Alih Teknologi di Indonesia Menuju Era
Industrialisasi dalam Majalah Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP,
Semarang.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 1990. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat.Jakarta : Rajawali Pers.
----------. 2006. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 1981. Hukum Perdata : Hukum Benda.
Yogyakarta : Liberty.
-------------------------------------------. 2004. Hukum Benda. Yogyakarta : Liberty.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada. 2005.
Supranto, J. 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik.Jakarta : Rhineka Cipta.
Suradimadja, Supyan. Peranan Paten dan Merek dalam Alih Teknologi, Makalah
Seminar alih Teknologi. LIPI, Jakarta.
Suryomurcito, Gunawan, dkk. 2006. Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang
Hukum PerjanjianLisensi. Jakarta : BPHN Departemen Hukum dan HAM.
UNIDO. 1979. “Guidelines for Evaluation of Transfer of technologi Agreement”,
New York : United Nation.
Usman, Rachmadi. 2003. Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan Dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia.Bandung : PT. Alumni.
Waluyo, Bambang. 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika.
Widjaja, Gunawan. 2001. Seri Hukum Bisnis Lisensi. Jakarta : PT. Rajagrafindo.
Wuisman, J. J. M. 1996.Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting :
M. Hisyam, Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
II. Peraturan PerUndang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten
Oleh Pemeintah.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
III. Tesis dan Naskah Publikasi
Edietha, Maria.2010. Perjanjian Lisensi Patent Pooling Terkait Aspek Hukum
Persaiangan Usaha.Depok :Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Novriyani, Ayu Trisna. 2010. Perlindungan Hak Paten Terhadap Alat Terapi Fisik
Gondo Seri-8 ( ATFG-8 ) di Pekanbaru Menurut Undang -Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.Pekanbaru : Fakultas Hukum
Universitas Islam Riau.
Purnama Sari Nainggolan, Desy.2013. Tinjauan Yuridis Terhadap Pendaftaran
indikasi Geografis Produk Pertanian Di Sumatera Utara.Medan : Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Yanwar .Mellisa. 2015. Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Perkara
Pembatalan Merek Terdaftar (Studi Kasus Merek PT. Krakatau Steel dan
Merek PT. Perwira Adhitama Sejati). Medan : Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Yusdinal. 2008. “Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten”. Semarang :
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Zuharni, Amelya. 2008. Naskah Publikasi. “Perliindungan Hukum Pemilik Paten
Dalam Lisensi Wajib”.Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
IV. Internet
Damang Averroes Al-Khawarizmi, Prinsip-prinsip Hukum.6 Desember 2011
http://www.negarahukum.com/hukum/prinsip-prinsip-
hukum.htmldiaksespada tanggal 7 Agustus 2016.
Direktorat Jenderal Hak atas kekayaan Intelektual, Departemen KeHKIman
danHAM, “Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual”, DJ HKI, Jakarta
Direktorat Hak Cipta ,Desain Industri , DTLST&RG,” Perlindungan Hukum
Terhadap Hak Cipta di Indonesia”, Makalah disampaikan dalam rangka
bimbingan dan konsultasi HKI para Pengusaha UKM Indag di Bandung.
DR. Enny Nurbaningsih, SH., M.Hum, “Naskah Akademik RUU Tentang Paten”,
(Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2015),
http://bphn.go.id/layanan/res_nasmis, diakses pada tanggal 8 Agustus 2016.
“Hak Paten “,https://andasiallagan92.wordpress.com/2014/06/07/hak-Paten/ diakses
pada tanggal 17 Juli 2016.
“Hak Paten Masih Soal Reog”, http://www.annasagung.blog.com/2424617,
dipublikasikan tanggal 17 Desember 2007, diakses tanggal 1 April 2014.
Henny Marlyna.“Kuliah Hak
Paten”.https://www.google.co.id/search?q=Henny+Marlyna.+Kuliah+Hak+P
aten.&biw=1366&bih=657&source=lnms&sa=X&ved=0ahUKEwjokMKDgs
XNAhVDLI8KHV1VC6wQ_AUIBygA&dpr=1#q=Hak-Milik-Intelektual-
Pertemuan-7diakses pada tanggal 5 Februari 2016.
https://andasiallagan92.wordpress.com/2014/06/07/hak-Paten/ diakses pada tanggal
17 Juli 2016.
http://yuarta.blogspot.co.id/2011/03/prinsip-prinsip-hak-kekayaan.html diakses pada
tanggal 7 Agustus 2016.
Jurnal Fakultas Hukum UNIB. 2012. “Tinjauan Hukum Pemegang Paten.”
http://www.slideshare.net/asef2012/tinjauan-hukum-pemegang-Paten diakses
tanggal 1 November 2014
.
Klinik Konsultasi HKI-IKM http://www.slideshare.net/daffyducks/hki-35825653
diakses pada tanggal 5 Februari 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Nin Yasmin Lisasih. “Teori Hukum Benda”.
http://yasminelisasih.com/2011/08/14/teorihukumbenda/ diakses tanggal
27 agustus 2014.
Purba, A. Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual dan Perjanjian Lisensi.
http//www.dgp.gp.id/eb.htm, dipublikasikan November 2001, diakses tanggal
01 April 2014.
rri.co.id RadioRepublik Indonesia BPPT Terima Royalti Rp 1,5 Miliar dari Paten
Penelitiannya,http://rri.co.id/post/berita/75996/teknologi/bppt_terima_royalti_
rp_15_miliar_dari_paten_penelitinya.html diakses pada tanggal
1 Agustus 2016.
Sentra Hak Kekayaan Intelektual – Balai Besar Tekstil,
https://ipbbt.wordpress.com/perolehan-hki/ diakses pada tanggal
5 Februari 2016.
Sri. “Akuisisi Hak Paten Obat”. http://sriright.wordpress.com/2012/11/09/HKI1/.
diakses tanggal 3 September 2014.
Taufiq Kurniawan, 19 Juni 2012, “Kontrak Lisensi Alih Teknologi Di Indonesia”,
http://kurniowen.blogspot.co.id/2012/06/kontrak-lisensi-alih-teknologi-
di.html diakses pada tanggal 2 Agustus 2016
Wr. Imas R. “Perjanjian Lisensi Paten Dan Know-How Transfer Sebagai bentuk
Investasi”.
http://www.academia.edu/12636419/PERJANJIAN_LISENSI_PATEN_DAN
_KNOW-HOW_TRANSFER_SEBAGAI_BENTUK_INVESTASI diakses
pada tanggal 15 oktober 2015.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LAMPIRAN
A. Contoh Formulir Paten
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
B. Contoh Sertifikat Paten
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
top related