pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di … · 1. pdrb kabupaten/kota di propinsi jawa barat pada...
Post on 22-Mar-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM
DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH
OLEH ANGGI MAHARDINI
H14102048
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
ANGGI MAHARDINI. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah (dibimbing oleh DEWI ULFAH WARDHANI).
Indikator makro ekonomi yang sering dijadikan acuan untuk mengevaluasi kinerja pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Selama kurun waktu 1994-1997 Propinsi Jawa Barat merupakan propinsi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diantara propinsi lain di Pulau Jawa (BPS, 1998).
Keberhasilan Propinsi Jawa Barat didorong oleh pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat. Masing masing kabupaten/kota yang berada di Jawa Barat memberikan kontribusi yang berbeda satu sama lain berdasarkan kemampuan pengelolaan sumber daya yang ada dan karakteristik perekonomian setiap kabupaten/kota di Jawa Barat. Pada awal pemekaran wilayah yang terjadi di Propinsi Jawa Barat khususnya ketika lepasnya kabupaten/kota yang membentuk Propinsi Banten mengakibatkan penurunan kinerja perekonomian Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat periode sebelum pemekaran wilayah tahun 1995-1997, (2) menganalisis pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat periode setelah pemekaran wilayah tahun 2000-2004, (3) membandingkan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.
Penelitian ini dibagi kedalam dua kurun waktu yaitu periode 1995-1997 sebelum terjadinya pemekaran dan 2000-2004 setelah pemekaran wilayah. Untuk melihat pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat baik secara total maupun sektoral dan pertumbuhan ekonomi kabupaten kota dianalisis menggunakan analisis Shift Share dengan menggunakan software Microsoft Excel 2003.
Hasil penelitian menunjukkan selama dua periode penelitian selama kurun waktu 1995-2004 pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan PDRB total pada periode sebelum pemekaran ,sebesar 0,15 mengalami peningkatan menjadi 0,20 pada periode setelah pemekaran wilayah. Pertumbuhan PDRB tidak lepas dari kontribusi sektoral di Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah pemekaran wilayah kontribusi terbesar sebelum pemekaran wilayah dimiliki sektor industri, setelah pemekaran wilayah dimiliki oleh sektor utilitas. Pertumbuhan sektor primer merupakan yang paling kecil selama dua periode penelitian. Kabupaten dan kota yang secara konsisten tumbuh progresif pada dua periode ini adalah Kabupaten Bekasi dan Kota Bogor. Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Purwakarta tidak tumbuh progresif selama dua periode penelitian. Kota hasil pemekaran yang sudah dapat tumbuh progresif pada periode 2000-2004 adalah Kota Depok dan Kota Bekasi. Kota Banjar, Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi pada periode 2000-2004 daerah ini belum mampu tumbuh progresif dibandingkan daerah lain di Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purwakarta memiliki pertumbuhan paling lambat. Kedua wilayah tersebut diharapkan menjadi perhatian pemerintah agar dapat memacu pertumbuhan ekonominya. Penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan penelitian di Propinsi Banten untuk mengetahui bagaimana kinerja perekonomiannya setelah lepas dari Propinsi Jawa Barat.
PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN
SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH
Oleh
ANGGI MAHARDINI H14102048
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Anggi Mahardini
Nomor Registrasi Pokok : H14102048
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di
Propinsi Jawa Barat Periode Sebelum dan
Sesudah Pemekaran Wilayah
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Dewi Ulfah W, M.Si. NIP. 131 878 914
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi.
Dr. Ir.Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
Anggi Mahardini H14102048
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
skripsi ini adalah “Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi
Jawa Barat Periode Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah”.
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator utama dari keberhasilan
pembangunan suatu wilayah. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan topik ini, khususnya di Propinsi Jawa Barat. Disamping hal
tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak akan pernah terbayar oleh
apapun kepada keluarga penulis, yaitu Deddy Sastra (Papa), Yeyet Kurniasih
(Mama), Citra Reynantra (Kakak), Angga Mahardika (Adik) yang tidak pernah
berhenti untuk berdoa, memotivasi secara moril, memfasilitasi dan selalu
memberikan dorongan semangat dan kesabaran yang tiada henti untuk penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama
kepada Ibu Ir Dewi Ulfah W, M.Si, yang telah memberikan bimbingan baik secara
teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu
Sahara, SP, M.Si, yang telah menguji hasil penelitian saya ini. Semua saran dan
kritikan beliau sangat penting dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Alla Asmara, S.Pt, M.Si, terutama
atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala
kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung
jawab penulis.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua sahabat penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima
kasih untuk semua dorongan semangat dan kasih sayang kalian, thanks god I
found you all. Special thanks to Ferry Rachman, terima kasih untuk semangat, doa
dan cintanya. Untuk teman-teman penulis khususnya di Departemen Ilmu
Ekonomi Angkatan 39 dan 38, senang rasanya pernah menjadi bagian dari kalian.
Serta teman-teman FEM Ilmu Ekonomi dan Manajemen dan fakultas lain di IPB
yang telah memberi warna selama empat tahun ini. Semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
Anggi Mahardini H14102048
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Anggi Mahardini lahir pada tanggal 22 September 1983
di Banjar, sebuah kota yang berada di Propinsi Jawa Barat. Penulis merupakan
anak tengah dari tiga bersaudara, dari pasangan Deddy Sastra dan Yeyet
Kurniasih. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis
menamatkan sekolah dasar pada SDN 10 Banjar, kemudian melanjutkan ke SLTP
Negeri 1 Banjar dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SMUN 1 Banjar dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi
pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan
mengembangkan pola pikir, sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang
berguna bagi pembangunan Kota Banjar tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswi Program
Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif di organisasi mahasiswa
yaitu Hipotesa.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….... xi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3. Tujuan Penelitian ….………………………………………………..... 8
1.4. Manfaat Penelitian ….………………………………………………... 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………….... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka …………………………………………………….. 9
2.1.1. Pengertian dan Indikator Pertumbuhan Ekonomi ....................... 9
2.1.2. Indikator Ekonomi Untuk Mengetahui Pertumbuhan Wilayah............................................................. .... 11
2.1.3. Pemekaran Wilayah .................................................................... 13
2.2. Penelitian Terdahulu ............................................................................. 15
2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................... 18
2.4. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................... 21
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 26
3.2. Sumber dan Jenis Data ......................................................................... 26
3.3. Metode Analisis Data ........................................................................... 26
3.3.1. Analisis Laju Pertumbuhan PDRB ............................................ 29
3.3.2. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ............................... 31
3.3.3. Analisis Profil Pertumbuhan Wilayah ........................................ 33
3.4. Konsep dan Definisi Data .................................................................... 35
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Geografi ………………………………………………………............ 38
viii
4.2. Topografi…….......…………………………………………………… 39
4.3. Populasi ……………………………………………………………… 39
4.4. Perekonomian………………………………………………………… 40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 (Sebelum Pemekaran Wilayah) ............................. 41
5.1.1. Komponen Pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Barat ................ 41
5.1.2. Komponen Pertumbuhan Sektoral Propinsi Jawa Barat ............. 43
5.1.3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ..................................... 51
5.1.4. Profil Pertumbuhan Wilayah ...................................................... 58
5.2. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004 (Setelah Pemekaran Wilayah) ............................... 64
5.2.1. Komponen Pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Barat ................ 65
5.2.2. Komponen Pertumbuhan Sektoral Propinsi Jawa Barat ............. 66
5.2.3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ..................................... 74
5.2.4. Profil Pertumbuhan Wilayah ...................................................... 79
5.3. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah …….................................. 85
5.3.1. Komponen Pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Barat ................ 85
5.3.2. Komponen Pertumbuhan Sektoral Propinsi Jawa Barat ............. 86
5.3.3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ..................................... 89
5.3.4. Profil Pertumbuhan Wilayah ...................................................... 90
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 95
6.2. Saran ..................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 98
LAMPIRAN ………………………………………………………….................100
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. PDRB Propinsi di Pulau Jawa Tahun 1994-2003....................................... 2
4.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Tahun 1993-2004 …………....... 40
5.1. Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 ……....................…....................................………..... 42
5.2. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997...................................................................................... 44
5.3. Urutan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Periode 1995-1997…………….... 47
5.4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 …………………………………………... 52
5.5. Urutan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Periode 1995-1997 ………….. 56
5.6. Pergeseran Bersih Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 ................................................. 59
5.7. Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat Tahun 1999-2000........................................................................................ 64
5.8. Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004 …………….....................………................................. 66
5.9. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004 .....................…………………… 67
5.10. Urutan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Periode 2000-2004 ……………... 70
5.11. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004 ….....................…………….... 75
5.12. Urutan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Periode 2000-2004 ..…...…… 77
5.13. Pergeseran Bersih Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004 ................................................ 80
5.14. Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 dan 2000-2004 .......................................................................... 85
5.15. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Propinsi Jawa Barat
Periode 1995-1997 dan 2000-2004 ............................................................. 87
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Model Analisis Shift Share ......................................................................... 20
2.2. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................... 25
3.1. Profil Pertumbuhan PDRB ......................................................................... 34
5.1. Profil Pertumbuhan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat pada kurun waktu 1995-1997…......…………………………………………… 63
5.2. Profil Pertumbuhan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat pada kurun waktu 2000-2004 ………………………………………………..... 84
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. PDRB Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Pada Tahun 1995 dan Tahun 1997 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (juta Rupiah) …..101
2. PDRB Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Pada Tahun 2000 dan Tahun 2004Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (juta Rupiah) ..….102
3. Nilai Komponen Pertumbuhan Proporsional Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 ………………………………....103
4. Nilai Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997……………………………........104
5. Nilai Komponen Pertumbuhan Proporsional Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004…………………………………105
6. Nilai Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004 …………………………………106
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan pada hakikatnya merupakan sebuah konsep dinamis yang
merupakan aktifitas usaha tanpa akhir untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur. Sebagai sebuah konsep yang dinamis, maka pembangunan nasional atau
daerah mengandung pengertian perubahan secara terus-menerus pada setiap aspek
kehidupan masyarakat. Tujuan pembangunan diharapkan dapat meningkatkan
taraf hidup manusia dan masyarakat suatu negara secara relatif, sehingga tercapai
suatu masyarakat yang adil dan makmur secara material maupun spiritual.
Tolak ukur keberhasilan pembangunan suatu wilayah adalah tingkat
pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses
bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu.
Proses perkembangan itu terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama dimana
dapat terjadi penurunan atau kenaikan, namun secara umum menunjukkan
kecenderungan untuk naik.
Untuk mengukur seberapa besar kinerja perekonomian suatu wilayah di
suatu negara maka dapat dilihat dari kontribusi Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) total nasional.
Untuk mengukur kinerja perekonomian Propinsi Jawa Barat terhadap
perekonomian Indonesia maka dapat dilihat dari berapa besar kontribusi
PDRBnya dibandingkan Propinsi lain di Indonesia. Selama kurun waktu 1994-
1997 Propinsi Jawa Barat merupakan propinsi yang memberikan kontribusi
2
terbesar diantara propinsi lain di Pulau Jawa. Pertumbuhan kontribusi PDRB Jawa
Barat selama kurun waktu 1994-1997 sebesar Rp 12.721,10 milyar (Tabel 1.1).
Merupakan suatu prestasi tersendiri bagi Jawa Barat bila mengingat kontribusinya
lebih besar dari DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.
Tabel 1.1. PDRB Propinsi di Pulau Jawa Tahun 1994-2003 Atas Dasar Harga Konstan 1993.
PDRB
(milyar rupiah) No
Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah
1 1994 55.505,27 57.823,11 52.727,48 36.345,91 2 1995 60.648,69 62.491,17 57.040,50 38.969,65 3 1996 66.164,80 68.243,53 61.752,47 41.862,20 4 1997 69.543,45 71.568,94 64.346,96 43.129,84 5 1998 57.380,52 58.847,84 53976,38 37.852,30 6 1999 57.215,22 53.442,34 55058,97 39.394,51 7 2000 59.694,42 55.660,21 56856,82 40.941,67 8 2001 61.865,97 57.824,84 58750,18 42.305,18 9 2002 64.259,08 60.096,78 60754,06 43.759,54
10 2003 66.745,56 63.179,49 62.765,93 45.867,65 Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat (1994-2004).
Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa kontribusi PDRB Jawa Barat mengalami
penurunan akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998. Tahun 1998
merupakan puncak krisis moneter dan ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia.
Krisis tersebut berdampak buruk bagi perekonomian di hampir seluruh wilayah di
Indonesia termasuk di Propinsi Jawa Barat. PDRB Propinsi Jawa Barat turun
(kontraksi) dengan sangat tinggi yaitu sebesar 17,71 persen. Kondisi ini tentu saja
berdampak buruk bagi roda perekonomian Jawa Barat, baik secara global maupun
per sektor perekonomian (BPS, 1999).
3
Pada tahun berikutnya yaitu tahun 1999-2003 pertumbuhan PDRB Jawa
Barat menurun. Puncaknya terjadi ketika lepasnya Banten menjadi Propinsi
Banten pada pemekaran wilayah tahun 2000. Lepasnya Banten menyebabkan
penurunan kinerja perekonomian Jawa Barat. Hal ini dikarenakan Propinsi Banten
merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memberikan kontribusi yang
besar terhadap pertumbuhan PDRB Jawa Barat khususnya dalam menunjang
sektor utilitas dan sektor jasa di Propinsi Jawa Barat (BPS, 1999). Setelah
mengalami penurunan kinerja perekonomian pada saat terjadinya pemekaran
wilayah, Propinsi Jawa Barat mampu memulihkan kembali keadaan
perekonomiannya. Pada kurun waktu setelah terjadinya pemekaran wilayah yaitu
tahun 2000-2003 PDRB Jawa Barat menunjukkan peningkatan sebesar Rp
7.519,28 milyar walaupun hanya menempatkan Propinsi Jawa Barat sebagai
Propinsi kedua dengan kontribusi terhadap PDB nasional terbesar (Tabel 1.1).
Indikator makro ekonomi yang sering dijadikan acuan untuk mengevaluasi
kinerja pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi. Melihat laju pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat yang cukup signifikan, dari 4,50 persen pada tahun 2003
menjadi 5,08 persen pada 2004 (di atas target pemerintah Jawa Barat sebesar 4,62
persen), menjadi catatan tersendiri akan prestasi dan keberhasilan Pemerintah
Jawa Barat dalam mengemban dan melaksanakan visinya sebagai propinsi termaju
di Indonesia dan mitra terdepan ibu kota negara tahun 2010. Kalau rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi dapat dicapai sebesar 1 persen saja dari tahun sebelumnya,
Jawa Barat akan mencapai pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan nasional.
Sama halnya ketika lima tahun sebelum tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Jawa
4
Barat mencapai rata-rata 8,95 persen, yang berarti di atas pertumbuhan ekonomi
nasional. Tentu bukan sesuatu yang tidak mungkin kalau empat tahun yang akan
datang Jawa Barat merupakan propinsi termaju di Indonesia (Jawa Barat Dalam
Angka 2004/2005).
Berdasarkan perhitungan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, laju
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2004 sebesar 5,08 persen dan laju
pertumbuhan tanpa migas sebesar 5,94 persen. Dari sembilan sektor yang ada
pada PDRB, delapan sektor menghasilkan pertumbuhan yang positif. Sektor yang
menghasilkan pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah sektor jasa,
bangunan/konstruksi dan pengangkutan dan komunikasi, yang besarnya di atas
dua digit. Kenaikan tersebut masing-masing 16,75 persen, 10,31 persen dan 10,20
persen. Dilanjutkan oleh kenaikan yang lebih kecil terletak pada sektor listrik, gas
dan air bersih, perdagangan, hotel dan restoran, pertanian, industri pengolahan,
keuangan, persewaan dan jasa. Kenaikan tersebut masing-masing 8,65 persen,
6,63 persen, 5,98 persen, dan 2,69 persen. Yang terakhir adalah sektor
pertambangan dan penggalian dengan angka kenaikan negatif 3,71 persen. (Jawa
Barat Dalam Angka 2004/2005)
Keberhasilan Propinsi Jawa Barat sebagai propinsi yang menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak lepas dari peranan kabupaten dan kota di
Propinsi Jawa Barat. Masing-masing kabupaten dan kota memberikan kontribusi
yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat.
Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat yang meningkat dari tahun ke tahun
ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota yang juga pesat.
5
Propinsi Jawa Barat pada tahun 1995 memiliki 20 kabupaten dan 5 kota. Setelah
terjadinya Pemekaran Wilayah pada tahun 1999 maka Propinsi Jawa Barat terdiri
dari : 16 kabupaten dan 9 kota.
Kinerja perekonomian Jawa Barat sangat tergantung oleh kinerja
perekonomian kabupaten/kota di Jawa Barat. Masing-masing kabupaten/kota yang
terdapat di Jawa Barat tersebut memiliki karakteristik perekonomian yang
berbeda-beda. Terdapat beberapa kabupaten/kota yang memberikan kontribusi
yang besar terhadap pembentukan PDRB Jawa Barat, dan ada juga yang
memberikan kontribusi sangat kecil. Kinerja perekonomian kabupaten/kota di
Jawa Barat sangat ditentukan oleh pertumbuhan sektor-sektor perekonomian
pendukungnya. Perbedaan karakteristik pertumbuhan sektor-sektor perekonomian
masing-masing kabupaten/kota disebabkan perbedaan Sumber Daya Alam (SDA)
dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diolah oleh setiap kabupaten/kota
di Jawa Barat.
Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan faktor penting untuk mengukur
keberhasilan pembangunan suatu daerah. Berdasarkan hal tersebut penulis akan
menganalisa pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota selama kurun sebelum
pemekaran wilayah dan sesudah pemekaran wilayah di Propinsi Jawa Barat.
1.2. Perumusan Masalah
Setiap wilayah dalam pembangunan ekonomi nasional dilihat peranan dan
kepentingan untuk masing-masing wilayah serta dilihat juga peranan wilayah
tersebut terhadap wilayah lain dengan tidak melupakan peranannya terhadap
6
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Propinsi
Jawa Barat sebagai suatu bagian dari Negara Indonesia dalam pembangunannya
juga tidak lepas dari pengaruh kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Jawa
Barat.
Secara struktural peranan sektor ekonomi dilihat dari sumbangan masing-
masing sektor ekonomi dalam membentuk total PDRB setiap kabupaten/kota dan
dapat pula digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi dan potensi
masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat. Dengan mengetahui struktur dan
potensi ekonomi antar kabupaten/kota di Jawa Barat diharapkan kabupaten/kota
dapat mengevaluasi serta menggali potensi SDA dan SDM yang dimilikinya agar
dapat memacu pertumbuhan ekonomi sampai pada tingkat yang optimal. Dengan
terpacunya setiap kabupaten/kota untuk mengolah SDA dan SDM yang tersedia
diharapkan dapat terlihat potensi sektor-sektor ekonomi di masing-masing daerah
agar dapat dijadikan sektor unggulan dalam pembentukan PDRB total
kabupaten/kota yang pada akhirnya menunjang pembentukan PDRB total Jawa
Barat.
Pembentukan PDRB Propinsi Jawa Barat disumbang oleh 16 kabupaten
dan 9 kota yang ada saat ini. Pertumbuhan dan kontribusi masing-masing
kabupaten dan kota terhadap perekonomian Propinsi Jawa Barat berbeda satu
sama lain. Beberapa kabupaten/kota menjadi daerah yang memberikan kontribusi
yang dominan terhadap pembentukan PDRB Jawa Barat dan kabupaten/kota
lainnya sebagai daerah dengan kontribusi terhadap pembentukan PDRB Jawa
Barat terkecil. Hal ini dikarenakan terdapatnya perbedaan faktor-faktor ekonomi
7
maupun non ekonomi yang menunjang pertumbuhan ekonomi masing-masing
kabupaten dan kota yang ada. Perbedaan karakteristik perekonomian setiap
kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Jawa Barat menentukan kemempuan
pertumbuhan ekonominya yang berbeda satu sama lainnya.
Perubahan kontribusi terhadap pembentukan total PDRB Jawa Barat dari
setiap kabupaten/kota yang ada terjadi pada saat pemekaran wilayah di Propinsi
Jawa Barat. Lepasnya kabupaten/kota yang memisahkan diri dan membentuk
Propinsi Banten berpengaruh terhadap kinerja perekonomian Propinsi Jawa Barat.
Pemekaran wilayah bukan hanya berdampak terhadap kinerja perekonomian Jawa
Barat, tetapi secara langsung berdampak terhadap beberapa kabupaten/kota yang
mengalami pemekaran. Lepasnya beberapa daerah dari pemerintahan induknya
yang membentuk pemerintahan sendiri mengakibatkan terjadinya perubahan
dalam kontribusi terhadap pembentukan PDRB Jawa Barat dari setiap
kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Barat dari sebelum terjadinya
pemekaran wilayah dan setelah terjadinya pemekaran wilayah.
Berdasarkan keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan yang dirumuskan
dalam permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat
sebelum pemekaran wilayah (tahun 1995-1997) ?
2. Bagaimana pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat
setelah pemekaran wilayah (tahun 2000-2004) ?
3. Bagaimana perbandingan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di
Propinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah terjadinya pemekaran wilayah?
8
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai
berikut:
1. Menganalisis pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa
Barat sebelum terjadinya pemekaran wilayah tahun 1995-1997.
2. Menganalisis pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa
Barat setelah terjadinya pemekaran wilayah tahun 2000-2004.
3. Membandingkan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa
Barat sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :
1. Bagi penulis, penelitian ini digunakan sebagai penerapan terhadap pemahaman
teoritis yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pustaka,
informasi dan referensi bagi yang memerlukan serta sebagai bahan rujukan
untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan membahas pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat
dan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. Periode penelitian terbagi dua yaitu
tahun 1995-1997 yaitu sebelum pemekaran wilayah di Jawa Barat dan tahun
2000-2004 yaitu setelah terjadinya pemekaran wilayah di Jawa Barat.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pengertian dan Indikator Pertumbuhan Ekonomi
Perencanaan pembangunan ekonomi di Propinsi Jawa Barat didasarkan
pada pedoman yang telah ditetapkan dalam GBHN atau lebih dikenal dengan
istilah trilogi pembangunan yang masing-masing adalah :
1). Pemerataan pendapatan
2). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
3). Stabilitas
Dari ketiga trilogi pembangunan yang lebih sesuai dengan pembahasan
dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bisa
diartikan sebagai peningkatan dalam kegiatan perekonomian pada suatu tahun
tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi
merupakan tujuan dari suatu negara yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas
ekonomi dan berdampak bagi peningkatan kesejahteraan (Darojat, 2004).
Sadono Sukirno (1985) menyimpulkan istilah dari pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi sebagai berikut :
1. Peningkatan dalam pendapatan per kapita masyarakat yaitu tingkat
pertumbuhan GDP pada 1 tahun tertentu adalah melebihi tingkat pertumbuhan
penduduk.
2. Perkembangan GDP yang berlaku dalam suatu masyarakat diikuti oleh
perbaikan dan modernisasi dalam struktur ekonominya yang umumnya masih
10
bercorak tradisional. Sedangkan pertumbuhan ekonominya diartikan sebagai
kenaikan dalam GDP tanpa memandang kenaikan itu lebih besar atau lebih
kecil daripada tingkat pertumbuhan penduduk.
Sementara itu Kuznets dalam Jhingan (2003) menunjukkan 6 ciri dari
pertumbuhan ekonomi yaitu :
1. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan laju kenaikan produk perkapita yang
tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat.
2. Pertumbuhan ekonomi terlihat dari semakin meningkatnya laju pendapatan per
kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang
meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input.
3. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan adanya perubahan struktur ekonomi
yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri jasa.
4. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk yang
berpindah dari pedesaan ke perkotaan.
5. Pertumbuhan ekonomi terjadi karena adanya ekspansi negara maju dan adanya
kekuatan dalam hubungan internasional.
Pertumbuhan Ekonomi menurut W.W. Rostow dalam Irawan dan
Suparmoko (1999) melalui beberapa tingkatan, diantaranya :
1. Masyarakat Tradisional
2. Masyarakat prasyarat untuk lepas landas (pre condition for take-off).
3. Masyarakat lepas landas (take off).
4. Masyarakat menuju kematangan (drive to maturity).
5. Masyarakat konsumsi yang berlebih (high mass consumption).
11
2.1.2. Indikator Ekonomi Untuk Melihat Pertumbuhan Wilayah
BPS (2003) menjelaskan bahwa salah satu indikator penting untuk
mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah
data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada dasarnya PDRB merupakan
jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam
suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Perhitungan PDRB menggunakan dua
macam harga, yaitu PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan PDRB Atas Dasar
Harga Konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap
tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah
barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada
satu waktu tertentu sebagai tahun dasar.
Besar kecilnya PDRB yang dapat dihasilkan oleh suatu wilayah/daerah
dipengaruhi oleh besarnya sumber daya alam yang telah dimanfaatkan dan
macamnya, jumlah dan mutu sumber daya manusia, kebijaksanaan pemerintah,
letak geografis, serta tersedianya sarana dan prasarana. Dalam menghitung
pendapatan regional, seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai
sektor/lapangan usaha yang melakukan usahanya disuatu wilayah dihitung tanpa
memperhatikan kepemilikan atas faktor produksi. Penghitungan PDRB dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan penghitungan, diantaranya :
1). Pendekatan Produksi
12
PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi didalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu.
Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 9 sektor,
yaitu : (1) sektor pertanian; (2) sektor pertambangan dan penggalian; (3)
sektor industri pengolahan; (4) sektor listrik, gas dan air bersih; (5) sektor
konstruksi/bangunan; (6) sektor perdagangan, hotel dan restoran; (7) sektor
pengangkutan dan komunikasi; (8) sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan; (9) sektor jasa-jasa.
2). Pendekatan Pendapatan
PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi yang
turut serta dalam proses produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu
setahun. Balas jasa produksi dimaksud meliputi upah dan gaji, sewa tanah,
bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak
penghasilan dan pajak langsung lainnya.
3. Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1)
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari
keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok;
(3) pengeluaran konsumsi pemerintah; (4) ekspor nettto (yaitu ekspor
dikurangi impor) dalam jangka waktu setahun.
PDRB dari suatu daerah/wilayah lebih menunjukkan pada besaran
produksi suatu daerah, bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh
penduduk di daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian PDRB merupakan
13
data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan
dengan data-data yang lainnya. Pada penelitian ini, data PDRB inilah yang
digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Propinsi
Jawa Barat, data yang digunakan yaitu data PDRB atas dasar harga konstan tahun
1993 dari masing-masing kabupaten/kota yang terdapat di Propinsi Jawa Barat.
2.1.3. Pemekaran Wilayah
Dalam pasal 4 ayat (3) UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah
disebutkan, "Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah
atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi
dua daerah atau lebih". Pembentukan suatu daerah harus memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan (vide pasal 5 ayat (1)).
Syarat administrasi untuk propinsi meliputi adanya persetujuan DPRD
kabupaten/kota dan bupati/wali kota yang akan menjadi cakupan wilayah
provinsi, persetujuan propinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi menteri
dalam negeri. Yang akan mengalami hambatan ketika wacana itu muncul dari
bawah adalah syarat persetujuan dari DPRD atau gubernur propinsi induk serta
pemerintah pusat. Syarat teknis meliputi dasar pembentukan terdiri dari faktor
kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan keamanan, dan faktor lain yang me-
mungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik untuk pembentukan
provinsi paling sedikit lima kabupaten/kota, lokasi calon ibu kota, sarana, dan
prasarana pemerintahan.
14
Pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2001,
telah memberikan kesempatan kepada setiap daerah propinsi di Indonesia untuk
mengembangkan sendiri potensi daerah (faktor endowment) yang dimilikinya.
Selama ini pengembangan potensi daerah telah diarahkan pada 9 sektor ekonomi,
yaitu : Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri, Bangunan, Angkutan,
Perdagangan, Hotel dan Restoran, Lembaga Keuangan dan Jasa Perbankan, serta
Jasa-Jasa (Wikipedia Indonesia, 2006).
Pada periode sebelum pemekaran wilayah Propinsi Jawa Barat memiliki
25 kabupaten/kota yang terdiri dari 20 kabupaten dan 5 kota. Pemekaran wilayah
di Propinsi Jawa Barat diawali lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Propinsi
Banten maka Wilayah Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi
ditetapkan menjadi Propinsi Banten. Propinsi Banten terbentuk dari
kabupaten/kota yang melepaskan pemerintahannya dari Propinsi Jawa Barat
dengan daerahnya meliputi : Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang,
Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.
Pemekaran wilayah yang terjadi dengan lahirnya Propinsi Banten
kemudian diikuti oleh pemekaran beberapa kabupaten di Jawa Barat. Pemekaran
beberapa kabupaten yang terjadi diantaranya Kota Tasikmalaya pemekaran dari
Kabupaten Tasikmalaya, Kota Depok pemekaran dari Kabupaten Bogor, Kota
Banjar pemekaran dari Kabupaten Ciamis, Kota Bekasi pemekaran dari
Kabupaten Bekasi dan Kota Cimahi pemekaran dari Kabupaten Bandung. Setelah
terjadinya pemekaran wilayah, Propinsi Jawa Barat terdiri dari : 16 kabupaten dan
15
9 kota, dengan membawahi 584 Kecamatan, 5.201 Desa dan 609 Kelurahan (BPS,
2002).
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian Darojat (2004) yang berjudul ”Analisis Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi Regional Terhadap Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Propinsi Jawa
Barat Periode 1980-2002” yang dilakukan dengan menggunakan analisis regresi
ini untuk mengetahui korelasi antara laju pertumbuhan ekonomi terhadap
pertumbuhan kesempatan kerja yang mampu diciptakan dalam proses
pembangunan yang berkelanjutan. Kesimpulan yang dapat diambil menunjukkan
bahwa ternyata pengaruh laju pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kesempatan
kerja memberikan kontribusi yang cukup kuat atau signifikan. Hubungan Linier
yang ditunjukkan dari hasil analisis tentang pengaruh laju pertumbuhan ekonomi
terhadap perkembangan yang cukup besar bagi penyerapan tenaga kerja untuk
kondisi di Propinsi Jawa Barat mengalami fluktuasi perkembangan yang cukup
besar bagi penyerapan tenaga kerja oleh sektor-sektor ekonomi khususnya sektor
industri dan pertanian dimana besarnya kontribusi pengaruhnya pada sektor
pertanian adalah 82,78 persen, sektor industri 43,64 persen. Dilihat dari
kontribusinya maka tingkat produktivitas dominan dipegang oleh sektor pertanian.
Irawan (1994) menganalisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan
Antar Wilayah di Propinsi Jawa Barat Tahun 1986-1990 dengan menggunakan
analisis Shift Share menyimpulkan bahwa sektor pertanian ternyata memegang
peranan penting dalam pertumbuhan di beberapa wilayah Dati II Jawa Barat.
16
Beberapa daerah yang pertumbuhan ekonominya sangat dipengaruhi oleh sektor
pertanian ini yaitu Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya,
Ciamis, Kuningan, Majalengka, Cirebon, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan
Karawang. Sementara itu di beberapa daerah lainnya seperti Bogor, Bandung,
Bekasi, Tangerang, Serang, Kota Bandung, dan Kota Cirebon pertumbuhan
ekonominya dipengaruhi oleh sektor indusri dan jasa. Kota Sukabumi dan Kota
Bogor bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa, sedangkan Kabupaten
Indramayu perekonomiannya didukung oleh sektor pertambangan dan penggalian.
Setiawan (2004) menganalisis tentang Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten
dan Kota di Propinsi Sumatera Utara Periode 1993-2002 dengan menggunakan
analisis Shift Share terhadap PDRB Propinsi Sumatera Utara memperlihatkan
adanya peningkatan perekonomian Propinsi Sumatera Utara pada kurun waktu
1993-1997. Hal ini dapat dilihat dari PDRB Propinsi Sumatera Utara yang tumbuh
sebesar 38 persen. Analisis komponen pertumbuhan memperlihatkan bahwa pada
kurun waktu 1993-1997 untuk komponen pertumbuhan nasional Kota Medan
merupakan darah yang mempunyai pertumbuhan nasional yang paling besar,
sedangkan yang paling kecil adalah Kota Sibolga. Hal ini berarti pada periode
1993-1997 Kota Medan merupakan daerah yang memberikan kontribusi paling
besar dalam pembentukan PDRB Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan laju
pertumbuhan sektor ekonomi yang paling cepat adalah Kota Pematang Siantar dan
yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat. Daerah yang mempunyai daya
saing yang paling baik adalah Kota Sibolga dan yang paling buruk adalah
Kabupaten Langkat. Dilihat dari pertumbuhan wilayah, maka wilayah yang
17
tumbuh maju pada periode ini adalah Kabupaten Asahan, Kabupaten Tapanuli
Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Labuhan Ratu, Kabupaten Dairi,
Kabupaten Deli Serdang, Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai dan Kota Tebing
Tinggi. Hasil analisis pada kurun waktu 1998-2002 menunjukkan untuk
komponen pertumbuhan nasional Kota Medan merupakan daerah yang
mempunyai pertumbuhan nasional yang paling besar, sedangkan yang paling kecil
adalah Kota Sibolga. Laju pertumbuhan sektor ekonomi yang paling cepat adalah
Kota Medan dan paling lambat adalah Kabupaten Asahan. Daerah yang
mempunyai daya saing yang paling baik adalah Kabupaten Asahan dan yang
paling buruk adalah Kabupaten Langkat. Dilihat dari pertumbuhan wilayah, maka
wilayah yang tumbuh maju adalah Kabupaten Nias, Kabupaten Labuhan Ratu,
Kabupaten Asahan, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi,
Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai, Kota pematang Siantar, Kota Medan, dan Kota
Binjai. Ada beberapa daerah yang secara konsisten tumbuh maju pada dua periode
penelitian yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Labuhan Ratu, Kabupaten Asahan,
Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kota Sibolga dan
Kota Tanjung Balai.
Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
alat analisis Shift Share dapat dipergunakan untuk menganalisis pertumbuhan
sektor-sektor perekonomian maupun wilayah kabupaten dan kota yang berada
dalam suatu propinsi. Penelitian ini hampir sama seperti penelitian yang dilakukan
oleh Irawan (1994), Dodi Darojat (2004) dan Doni Setiawan (2004) yaitu melihat
pertumbuhan wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Perbedaannya
18
dengan penelitian Irawan (1994) yaitu hanya menganalisis pertumbuhan sektor-
sektor ekonomi atau pertumbuhan wilayah dalam satu kurun waktu tertentu.
Penelitian Dodi Darojat (2004) terletak pada alat analisis yang digunakan,
sedangkan untuk penelitian Doni Setiawan (2004) yaitu perbedaan pada objek
penelitian dan kurun waktunya. Penelitian ini menggunakan Propinsi Jawa Barat
sebagai objeknya, pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dan pertumbuhan wilayah
dianalisis pada dua kurun waktu, yaitu sebelum adanya pemekaran wilayah
periode 1995-1997 dan periode setelah adanya pemekaran wilayah yaitu periode
2000-2004.
2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis
Analisis Shift Share
Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et all pada
tahun 1960. Pada awalnya, analisis Shift Share digunakan untuk
mengidentifikasikan sumber pertumbuhan ekonomi wilayah di Amerika Serikat.
Selain itu, analisis Shift Share dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi
pertumbuhan sektor-sektor/wilayah yang lamban di Indonesia dan Amerika
Serikat. Manfaat lain dari analisis Shift Share dapat menduga dampak kebijakan
wilayah ketenagakerjaan.
Analisis Shift Share merupakan suatu analisis mengenai perubahan
berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada
dua titik waktu di suatu wilayah. Analisis Shift Share memiliki tiga kegunaan,
yaitu untuk melihat perkembangan : (1) sektor perekonomian di suatu wilayah
19
terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, (2) sektor-sektor
perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, dan
(3) suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat
membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan
perkembangan wilayah. Dengan demikian, dapat ditunjukkan adanya Shift
(pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah, bila daerah itu
memperoleh kemajuan sesuai kedudukannya dalam perekonomian nasional.
Selain itu, analisis Shift Share juga dapat digunakan untuk
membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah
dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya dan
mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan tersebut. Bila
penyimpangannya bernilai positif, maka dapat dikatakan bahwa sektor ekonomi
dalam wilayah tersebut memiliki keunggulan kompetitif.
Analisis Shift Share menunjukkan bahwa perubahan sektor i pada wilayah
j dipengaruhi oleh tiga komponen pertumbuhan wilayah. Ketiga komponen
pertumbuhan wilayah yang dimaksud adalah Komponen Pertumbuhan Regional
(PR), Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Komponen Pertumbuhan
Pangsa Wilayah (PPW). Berdasarkan tiga komponen pertumbuhan wilayah
tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor
ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka dapat dikatakan
bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk kedalam kelompok
progresif (maju). Sementara itu, PP + PPW ≤ 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan
sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lamban.
20
Secara skematik model analisis Shift Share disajikan sebagai berikut :
Sumber : Budiharsono, 2001.
Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share
Kemampuan teknik analisis Shift Share untuk memberikan dua indikator
positif yang berarti bahwa suatu wilayah mengadakan spesialisasi di sektor-sektor
yang berkembang secara nasional dan bahwa sektor-sektor dari perekonomian
wilayah telah berkembang lebih cepat dari rata-rata nasional untuk sektor-sektor
itu, tidaklah lepas dari kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan dari analisis
Shift Share adalah :
1. Analisis Shift Share tidak lebih dari pada suatu teknik pengukuran atau
prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan suatu variabel wilayah menjadi
komponen-komponen. Persamaaan Shift Share hanyalah identity equation dan
tidak mempunyai implikasi-implikasi keprilakuan. Metode Shift Share tidak
untuk menjelaskan mengapa, misalnya, pengaruh keunggulan kompetitif
Komponen Pertumbuhan Regional
Komponen Pertumbuhan Pangsa
Wilayah
Komponen Pertumbuhan Proporsional
Wilayah ke j
(sektor ke i)
Maju
PP + PPW > 0 Wilayah ke j
(sektor ke i) Lamban
PP + PPW < 0
21
adalah positif dibeberapa wilayah, tetapi negatif di daerah-daerah lain. Metode
Shift Share merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem
penghitungan semata dan tidak analitik.
2. Komponen pertumbuhan regional secara implisit mengemukakan bahwa laju
pertumbuhan suatu wilayah hendaknya tumbuh pada laju regional tanpa
memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan wilayah.
3. Kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) berkaitan dengan hal-
hal yang sama seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan
teknologi dan perubahan lokasi, sehingga tidak dapat berkembang dengan
baik.
4. Teknik analisis Shift Share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua
barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Bila pasar suatu
wilayah bersifat lokal maka barang itu tidak dapat bersaing dengan wilayah-
wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak
mempengaruhi permintaan agregat.
2.4. Kerangka Pemikiran Operasional
Pembangunan di berbagai daerah dapat diukur dengan mengamati
beberapa indikator baik di bidang sosial maupun bidang ekonomi. Dengan
menyajikan berbagai data tersebut diharapkan dapat membandingkan kemajuan
yang telah dicapai dan tingkat kesejahteraan masyarakat oleh masing-masing
daerah di Indonesia (BPS, 2004).
22
Pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan barang dan jasa
dalam kegiatan ekonomi yang dapat dilihat dari meningkatnya hasil produksi serta
peningkatan pendapatan per kapita. Peningkatan pendapatan per kapita akan
terjadi apabila pertumbuhan ekonomi yang dinilai berdasarkan harga konstan
lebih besar dari pertumbuhan penduduk.
Kondisi perekonomian suatu wilayah selain dipengaruhi oleh kondisi
demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, aksesibilitas,
juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerinah
daerah. Karakteristik dan potensi sektor-sektor perekonomian dan wilayah di
Propinsi Jawa Barat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan propinsi ini. Pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang cepat pada
gilirannya akan berdampak pada cepatnya pertumbuhan wilayah, begitu pula
sebaliknya. Sebagai sebuah propinsi pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat
juga sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten dan kota
yang ada.
Pada tahun 2000 terjadi pemekaran wilayah di Propinsi Jawa Barat yaitu
berdirinya Propinsi Banten memisahkan diri dari Jawa Barat dan pembentukan
beberapa daerah kota di Jawa Barat. Untuk mengetahui dampak pemekaran
wilayah terhadap perekonomian Propinsi Jawa Barat maka dilakukan analisis
yang terbagi menjadi dua periode yaitu sebelum pemekaran wilayah pada tahun
1995-1997 dan setelah pemekaran wilayah tahun 2000-2004. Periode sebelum
pemekaran wilayah yang diambil kurun waktu 1995-1997 karena pada tahun
1998-1999 terjadi krisis moneter yang membuat perekonomian seluruh daerah di
23
Indonesia menurun drastis. Keadaan amat langka ini tidak dimasukkan dalam
analisis karena dapat menyebabkan gambaran yang terlalu menyimpang dari
kondisi rataan normal atau disebut juga keadaan pencilan (outlier). Analisis
periode setelah pemekaran wilayah dimulai pada tahun 2000-2004. Untuk
mengetahui dampak pemekaran terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di
Propinsi Jawa Barat maka dilakukan analisis Shift Share.
Langkah-Langkah Analisis Shift Share
1. Menentukan PDRB total dan PDRB sektoral berdasarkan harga konstan 1993
Propinsi Jawa Barat dan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. Selanjutnya
menentukan kurun waktu penelitian, sebelum pemekaran wilayah tahun awal
analisis yaitu tahun 1995 dan tahun akhir analisis yaitu tahun 1997. Setelah
pemekaran wilayah tahun awal analisis yaitu tahun 2000 dan tahun akhir
analisis yaitu tahun 2004.
2. Sektor ekonomi yang dianalisis terbagi menjadi empat kelompok yaitu sektor
primer yang terdiri dari sektor pertanian dan sektor pertambangan dan
penggalian; sektor industri terdiri dari sektor industri pengolahan; sektor
utilitas yang terdiri dari sektor listrik, gas dan air bersih ditambah sektor
pengangkutan dan komunikasi; sektor jasa yang terdiri dari sektor bangunan
ditambah sektor perdagangan, hotel dan restoran ditambah sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan serta ditambah sektor jasa-jasa.
3. Menghitung perubahan PDRB dari sektor primer, sektor industri, sektor
utilitas dan sektor jasa di kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.
24
Dari hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui kabupaten dan kota
mana yang memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB total Propinsi
Jawa Barat serta dapat diketahui pula kabupaten dan kota yang memilki
pertumbuhan cepat atau lambat, sehingga dapat diketahui daya saing masing-
masing kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat. Hasil analisis dapat digunakan
dalam menentukan arah perencanaan pembangunan yang tepat di Propinsi Jawa
Barat. Secara sistematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan dalam Gambar
2.2.
25
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional.
Kondisi Perekonomian
Propinsi Jawa Barat
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di
Propinsi Jawa Barat
Sebelum pemekaran
Tahun 1995-1997
Setelah pemekaran
(Berdirinya Propinsi Banten lepas dari
Propinsi Jawa Barat)
Tahun 2000-2004
Data PDRB
Kabupaten dan Kota
Menurut Lapangan Usaha
Analisis Shift Share
Perbedaan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota
Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat dengan pertimbangan
bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan propinsi yang memberikan kontribusi
besar terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia selain itu Propinsi
Jawa Barat dicanangkan sebagai propinsi termaju di Indonesia. Pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai
dengan Juni 2006.
3.2. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa
data PDRB Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat dari tahun 1995-2004. Data
tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Jawa Barat, serta data sekunder yang
mendukung lainnya.
3.3. Metode Analisis Data
Penelitian ini mempergunakan alat analisis Shift Share untuk
mengetahui bagaimana perkembangan suatu sektor di suatu wilayah jika
dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, apakah bertumbuh
cepat atau lambat. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan bagaimana
27
perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, apakah
bertumbuh cepat atau lambat.
Secara matematik komponen pertumbuhan dapat dinyatakan sebagai
berikut :
Propinsi Jawa Barat dengan m kabupaten/kota (j = 1,2,3...m) dan n sektor
ekonomi (i = 1,2,3...n), maka perubahan tersebut pada tahun awal analisis dan
tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Total pada tahun dasar
analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) total di Propinsi Jawa Barat pada
tahun awal analisis
∑∑= =
=n
ij
m
ijYijY .. (3.1)
dimana :
Y.. = PDRB total di Propinsi Jawa Barat pada tahun akhir analisis (juta
rupiah).
Yij = PDRB dari sektor i di kabupaten/kota ke j di Propinsi Jawa Barat pada
tahun awal analisis (juta rupiah).
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) total di Propinsi Jawa Barat pada
tahun akhir analisis
∑∑= =
=n
ij
m
ijijYY '..' (3.2)
28
dimana :
Y’.. = PDRB total di Propinsi Jawa Barat pada tahun akhir analisis (juta
rupiah)
Y’ij = PDRB dari sektor i di kabupaten/kota ke j di Propinsi Jawa Barat
pada tahun akhir analisis (juta rupiah).
3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor i di Propinsi Jawa
Barat pada tahun awal analisis :
∑=
=m
ij
YijYi (3.3)
dimana :
Yi. = PDRB dari sektor i di Propinsi Jawa Barat pada tahun awal analisis
(juta rupiah).
Yij = PDRB dari sektor i di kabupaten/kota ke j di Propinsi Jawa Barat pada
tahun awal analisis (juta rupiah).
4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor ke i di Propinsi Jawa
Barat pada tahun akhir analisis :
∑=
=m
ijijYiY '' (3.4)
dimana :
Y’i. = PDRB dari sektor i di Propinsi Jawa Barat pada tahun akhir analisis
(juta rupiah).
Y’ij = PDRB dari sektor i di kabupaten/kota ke j di Propinsi Jawa Barat
pada tahun akhir analisis (juta rupiah).
29
3.3.1 Analisis Laju Pertumbuhan PDRB
Analisis PDRB digunakan untuk mengidentifikasi perubahan PDRB
sektor ke i di kabupaten/kota ke j dan perubahan PDRB dari sektor ke i di
Propinsi Jawa Barat pada tahun awal analisis maupun tahun akhir analisis.
Analisa terbagi atas ri, rw, Ri dan Ra.
1. Nilai Ra
Nilai Ra menunjukkan selisih antara PDRB total Propinsi Jawa Barat
pada tahun akhir analisis dengan PDRB total Propinsi Jawa Barat pada tahun
awal analisis dibagi PDRB total Propinsi Jawa Barat pada tahun awal analisis.
Nilai Ra dapat dirumuskan sebagai berkut :
......'
YYYRa −
= (3.5)
dimana :
Y’.. = PDRB di Propinsi Jawa Barat pada tahun akhir analisis (juta rupiah).
Y.. = PDRB di Propinsi Jawa Barat pada tahun awal analisis (juta rupiah).
2. Nilai Ri
Ri menunjukkan selisih antara PDRB dari sektor i di Propinsi Jawa
Barat pada tahun akhir analisis dengan PDRB dari sektor i di Propinsi Jawa
Barat pada tahun awal analisis dibagi PDRB dari sektor i di Propinsi Jawa
Barat pada tahun awal analisis. Nilai Ri dapat dirumuskan sebagai berikut :
...'
YiYiiYRi −
= (3.6)
30
dimana :
Y’.. = PDRB sektoral Propinsi Jawa Barat pada tahun akhir analisis (juta
rupiah).
Y.. = PDRB sektoral Propinsi Jawa Barat pada tahun awal analisis (juta
rupiah).
3. Nilai rw
Nilai rw menunjukkan selisih antara PDRB total kabupaten/kota ke j
pada tahun akhir analisis dengan PDRB total kabupaten/kota ke j pada tahun
awal analisis dibagi PDRB total kabupaten/kota ke j pada tahun awal analisis.
Nilai rw dapat dirumuskan sebagai berikut :
jYjYjYrw *
*'* −= (3.7)
dimana :
Y’*j = PDRB kabupaten/kota ke j pada tahun akhir analisis (juta rupiah).
Y*j = PDRB kabupaten/kota ke j pada tahun awal analisis (juta rupiah).
4. Nilai ri
Nilai ri menunjukkan selisih antara PDRB dari sektor i di
kabupaten/kota ke j pada tahun akhir analisis dengan PDRB dari sektor i di
kabupaten/kota ke j pada tahun awal analisis dibagi PDRB dari sektor i di
kabupaten/kota ke j pada tahun awal analisis. Nilai ri dapat dirumuskan sebagai
berikut :
YijYijijYri −
=' (3.8)
31
dimana:
Yij = PDRB dari sektor i di kabupaten/kota ke j di Propinsi Jawa Barat pada
tahun awal analisis (juta rupiah).
Y’ij = PDRB dari sektor i di kabupaten/kota ke j di Propinsi Jawa Barat pada
tahun akhir analisis (juta rupiah).
3.3.2. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah
Analisis komponen pertumbuhan wilayah digunakan untuk
mengidentifikasi perubahan produksi suatu wilayah pada tahun awal dengan
tahun akhir analisis. Komponen pertumbuhan wilayah terdiri dari Komponen
Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah
(PPW).
1. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)
Komponen pertumbuhan proporsional (PP) tumbuh karena perbedaan
sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan
mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan
keragaman pasar.
Dirumuskan sebagai berikut :
PPij = (Ri – Ra)Yij (3.9)
dimana :
PPij = Komponen pertumbuhan proporsional sektor i di kabupaten/kota
ke j (juta rupiah).
32
Yij = PDRB sektor i di kabupaten/kota ke j pada tahun awal analisis
(juta rupiah).
(Ri–Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen
pertumbuhan proporsional (persen).
Apabila :
PPij < 0, menunjukkan bahwa sektor i di kabupaten/kota ke j
pertumbuhannya lambat.
PPij > 0, menunjukkan bahwa sektor i di kabupaten/kota ke j
pertumbuhannya cepat.
2. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) timbul karena
peningkatan atau penurunan PDRB dalam suatu wilayah dibandingkan denagn
wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan
dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar,
dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi
regional pada wilayah tersebut.
Dirumuskan sebagai berikut :
PPWij = (ri - Ri)Yij (3.10)
dimana :
PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i di
kabupaten/kota j (juta rupiah).
Yij = PDRB dari sektor i di kabupaten/kota ke j pada tahun awal analisis
(juta rupiah).
33
(ri-Ri) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen
pertumbuhan pangsa wilayah (persen).
Apabila :
PPWij < 0, berarti sektor i di kabupaten/kota ke j tidak dapat bersaing
dengan baik dibandingkan kabupaten/kota lainnya.
PPWij > 0, berarti sektor i di kabupaten/kota ke j dapat bersaing dengan
baik dibandingkan kabupaten/kota lainnya.
3.3.3. Analisis Profil Pertumbuhan Wilayah
Apabila komponen pertumbuhan proporsional dan pangsa wilayah
dijumlahkan, maka akan diperoleh pergeseran bersih yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasikan pertumbuhan perekonomian suatu wilayah apakah
tumbuh maju (progresif) atau tidak maju pada suatu kurun waktu tertentu.
Pergeseran bersih (PB) suatu wilayah dirumuskan sebagai berikut :
PBj = PPj + PPWj (3.11)
dimana :
PBj = Pergeseran bersih di kabupaten/kota ke j.
PPj = Komponen pertumbuhan proporsional di kabupaten/kota ke j.
PPWj = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah di kabupaten/kota ke j.
Apabila :
PBj > 0, maka pertumbuhan kabupaten/kota tersebut termasuk kedalam
wilayah progresif.
PBj < 0, maka pertumbuhan kabupaten/kota tersebut tidak progresif.
34
Profil pertumbuhan PDRB digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan
produksi (PDRB) setiap sektor di wilayah yang bersangkutan pada kurun waktu
yang telah ditentukan dengan cara mengekspresikan persen perubahan
komponen pertumbuhan proporsional (PP.j) dan pertumbuhan pangsa wilayah
(PPW.j). Pada sumbu horizontal, terdapat PP sebagai absis, sedangkan pada
sumbu vertikal terdapat PPW sebagai ordinat. Secara lebih jelas disajikan pada
Gambar 3.1.
Kuadran IV Kuadran I
PP.j
450
PB.j
Kuadran III Kuadran II
PPW.j
Sumber : Budiharsono, 2001. Gambar 3.1. Profil Pertumbuhan PDRB
a. Kuadran I menunjukkan bahwa sektor-sektor di suatu wilayah memiliki
pertumbuhan yang cepat, demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-
sektor tersebut baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan merupakan
wilayah maju.
35
b. Kuadran II menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada di wilayah
tersebut pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing untuk sektor-sektor pada
wilayah tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya tidak baik.
c. Kuadran III menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah yang
bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat dan daya saing yang
kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini menunjukkan
bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah yang lambat pertumbuhannya.
d. Kuadran IV menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi pada wilayah
tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing sektor-sektor
pada wilayah tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
e. Garis 450 merupakan garis pemisah yang menunjukkan wilayah yang
berada diatas garis tersebut merupakan wilayah yang progresif (maju),
sedangkan wilayah di bawah garis merupakan daerah yang pertumbuhannya
tidak progresif.
3.4. Konsep dan Definisi Data
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Penghitungan PDRB pada penelitian ini menggunakan penghitungan
dengan pendekatan produksi dimana PDRB merupakan jumlah nilai tambah
yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah dalam jangka
waku tertentu, misalnya dalam satu tahun. Sektor-sektor tersebut meliputi
sembilan sektor (lapangan usaha): (1) pertanian; (2) pertambangan dan
penggalian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan air bersih; (5)
36
konstruksi/bangunan; (6) perdagangan, hotel dan restoran; (7) pengangkutan
dan komunikasi; (8) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; (9) jasa.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
suatu tahun tertentu (misalnya tahun dasar 1993) merupakan nilai produk atau
pendapatan atau pengeluaran yang dinilai atas dasar harga tetap suatu tahun
tertentu tersebut (misalnya tahun dasar 1993).
Data PDRB yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah PDRB Atas
Dasar Harga Konstan Tahun1993 menurut lapangan usaha. Data-data PDRB
yng dibutuhkan adalah data PDRB Propinsi Jawa Barat menurut
kabupaten/kota tahun 1995-2004. Analisis yang dilakukan akan dibagi menjadi
dua periode waktu dikarenakan terjadinya pemekaran wilayah di Propinsi Jawa
Barat, yaitu :
(1). Periode 1995-1997 dimana pada periode ini belum terjadi pemekaran
wilayah di Propinsi Jawa Barat. Tahun 1995 menjadi tahun awal analisis
sedangkan tahun 1997 menjadi tahun akhir analisis.
(2). Periode 2000-2004 dimana pada periode ini telah terjadi pemekaran
wilayah di Propinsi Jawa Barat. Tahun 2000 menjadi tahun awal analisis
sedangkan tahun 2004 menjadi tahun akhir analisis.
2. Lapangan Usaha
Lapangan usaha adalah bidang kegiatan dari pekerjaan/tempat
bekerja/perusahaan/kantor dimana seseorang bekerja. Sektor (lapangan usaha)
unggulan merupakan sektor yang menjadi prioritas utama untuk terus
ditingkatkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi daerah.
37
3. Sektor Ekonomi
Sektor ekonomi adalah kesatuan dari unit-unit produksi yang dihasilkan
oleh suatu wilayah tertentu. Sektor-sektor ekonomi yang ada di Propinsi Jawa
Barat terdiri atas sembilan sektor, yaitu : (1) sektor pertanian; (2) sektor
pertambangan dan penggalian; (3) sektor industri pengolahan; (4) sektor listrik,
gas dan air bersih; (5) sektor konstruksi/bangunan; (6) sektor perdagangan,
hotel dan restoran; (7) sektor pengangkutan dan komunikasi; (8) sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; (9) sektor jasa-jasa.. Untuk
mengelompokkannya dalam mempermudah analisis maka kesembilan sektor
tersebut dapat dikelompokkan menjadi Sektor Primer, Sektor Sekunder dan
Sektor Tersier (BPS 2003). Dalam penelitian ini sektor industri pengolahan
menjadi sektor tersendiri, sehingga pembagiannya menjadi empat kelompok
sebagai berikut:
1. Sektor primer yang terdiri dari sektor pertanian ditambah sektor
pertambangan dan penggalian.
2. Sektor industri yang terdiri dari sektor industri pengolahan.
3. Sektor utilitas yang terdiri dari sektor listrik, gas dan air bersih ditambah
sektor pengangkutan dan komunikasi.
4. Sektor jasa yang terdiri dari sektor bangunan ditambah sektor perdagangan,
hotel dan restoran ditambah sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan serta ditambah sektor jasa-jasa.
IV. GAMBARAN UMUM
Jawa Barat merupakan propinsi yang dibentuk pertama kali di wilayah
Indonesia (staatblad Nomor: 378). Propinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan
Undang Undang No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat.
Ditetapkannya Undang Undang No. 23 Tahun 2000, wilayah Banten resmi
ditetapkan menjadi Propinsi Banten. Pada tahun 2002 Jawa Barat terdiri dari 16
Daerah Kabupaten (Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya,
Purwakarta, Karawang, dan Bekasi), 9 Daerah Kota (Bogor, Sukabumi, Bandung,
Cirebon, Depok, Bekasi, Tasikmalaya, Cimahi, dan Banjar), 535 Kecamatan,
1.724 Kelurahan, dan 3.939 Desa (BPS, 2003).
4.1. Geografi
Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak diantara 5°5'-7º50' LS dan
104º48-108°48'. Batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut
Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan dengan
Propinsi Jawa Tengah, antara Samudera Indonesia di selatan dan Selat Sunda di
barat. Jawa Barat terdiri dari daratan dan pulau-pulau kecil (48 pulau di Samudera
Indonesia), 4 pulau di Laut Jawa, 14 pulau di Teluk Banten dan 20 pulau di Selat
Sunda). Luas wilayah Jawa Barat 44.354.61 Km² atau 4.435.461 Ha (BPS, 2004).
Letak geografis yang startegis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa
Barat terutama dari segi komunikasi perhubungan. Kawasan utara merupakan
39
daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit
pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung di kawasan tengah (BPS, 2004).
4.2. Topografi
Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari kepulauan gunung api
(aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga
ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan
curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m diatas permukaan laut,
wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100-1.500 m di atas
permukaan laut, wilayah dataran luas di utara dengan ketinggian 0-10 m di atas
permukaan laut, dan wilayah aliran sungai (BPS, 2004).
Lahan di Jawa Barat cukup subur karena mengandung endapan vulkanis
serta banyaknya aliran sungai. Tidak mengherankan jika sebagian besar
digunakan untuk lahan pertanian, dan Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung
pangan nasional (BPS, 2004).
4.3. Populasi
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2000 jumlah penduduk
Jawa Barat setelah Banten terpisah berjumlah 35,72 juta jiwa. Pada tahun 2002
meningkat menjadi 36,9 juta jiwa. Penduduk terbanyak ada di kabupaten Bandung
yaitu 4,3 juta diikuti oleh Kabupaten Bogor 3,6 juta jiwa, sedangkan Kota
Sukabumi memiliki penduduk paling sedikit sebanyak 0,26 juta jiwa. Kepadatan
penduduk di tahun 2002 mencapai 3.012 jiwa per Km². Sedangkan laju
40
pertumbuhan penduduk selama dasawarsa 1990-2000 mencapai angka 2,17 persen
(BPS, 2004).
4.4. Perekonomian
Perekonomian Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang dapat dilihat dari
laju perekonomiannya yang terus meningkat sampai tahun 1996. Mulai tahun
1997 seiring terjadinya krisis perekonomian Jawa Barat menunjukkan
perlambatan, bahkan pada tahun 1998 pertumbuhannya lebih parah dari Indonesia
(-13,13 persen) yaitu mencapai (-17,17 persen). Pada tahun 2000 perekonomian
mulai membaik, namun tahun 2001 kembali menurun. Seiring dengan suasana
yang cukup kondusif pada tingkat nasional maupun regional pada tahun 2004,
perekonomian Jawa Barat mampu tumbuh sebesar 5,08 persen lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan tahun 2003.
Tabel 3.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Tahun 1993-2004.
Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 1993 6,89 1994 7,20 1995 8,07 1996 9,21 1997 4,87 1998 -17,7 1999 2,08 2000 4,15 2001 3,89 2002 3,93 2003 4,38 2004 5,08
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1993-2004).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 (Sebelum Pemekaran Wilayah)
Keragaman laju pertumbuhan ekonomi sektoral di Jawa Barat selama
periode tahun 1995-1997 telah mendorong terjadinya perubahan struktur ekonomi
Jawa Barat secara keseluruhan. Hal ini tidak lepas dari kontribusi sektor-sektor
perekonomian dari masing-masing kabupaten dan kota yang ada. Pada periode
1995-1997 yaitu sebelum terjadinya pemekaran wilayah terdapat 25 kabupaten
dan kota yang terdiri dari 20 kabupaten diantaranya: Pandeglang, Lebak, Bogor,
Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon,
Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi,
Tangerang, Serang; dan 5 kota yaitu: Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon,
Tangerang.
5.1.1. Komponen Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat
Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat yang dilihat dari peningkatan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) total dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang cukup berarti yang menempatkan Propinsi Jawa Barat menjadi
propinsi yang memberikan kontribusi ekonomi terbesar terhadap perekonomian
nasional di Pulau Jawa.
PDRB total Propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, pertumbuhan PDRB total Propinsi Jawa Barat periode 1995-1997 dapat
dilihat pada Tabel 5.1. Dari tahun 1995 sampai 1996 terjadi peningkatan sebesar
42
Rp 5.752.635 juta dengan laju pertumbuhan sebesar 9,21 persen. Besarnya
kontribusi PDRB total Jawa Barat terutama sekali ditunjang oleh sektor industri
pengolahan yang pada periode ini merupakan sektor andalan dalam pembentukan
PDRB total Jawa Barat. Besarnya kontribusi sektor industri di Jawa Barat
disebabkan banyaknya industri pengolahan yang menjadi sentra industri nasional
di Jawa Barat sehingga menjadikan sektor industri sebagai sektor yang strategis
dalam menunjang peningkatan perekonomian Propinsi Jawa Barat periode 1995-
1996 (BPS, 1997).
Tabel 5.1. Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997.
Tahun Total PDRB (juta rupiah)
1995 62.491.165 1996 68.243.530 1997 71.568.924
∆ PDRB 9.077.759 Nilai Ra 0,15
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997), diolah. Keterangan : Ra = ∆ PDRB 1997-1995/PDRB 1995
Propinsi Jawa Barat selama kurun waktu 1995-1997 merupakan propinsi
yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) total Indonesia (BPS, 1998). Pada tahun 1995-1997
perekonomian Propinsi Jawa Barat tumbuh sebesar Rp 9.077.759 juta rupiah
(Tabel 5.1). Untuk mengetahui laju pertumbuhan PDRB total selama kurun waktu
1995-1999 dilakukan perhitungan dengan menggunakan tahun 1995 sebagai tahun
awal analisis dan tahun 1997 sebagai tahun akhir analisis. Laju pertumbuhan
PDRB total (Ra) Jawa Barat selama kurun waktu 1995-1997 sebesar 0,15 (Tabel
43
5.1). Nilai Ra Propinsi Jawa Barat sebesar 0,15 atau 15 persen menunjukkan
bahwa selama kurun waktu 1995-1997 terjadi peningkatan laju pertumbuhan
PDRB total Propinsi Jawa Barat.
5.1.2. Komponen Pertumbuhan Sektoral Propinsi Jawa Barat
Pertumbuhan PDRB total suatu wilayah ditentukan oleh pertumbuhan
sektor-sektor ekonomi yang ada di wilayah tersebut. Begitu juga dengan Propinsi
Jawa Barat yang pembentukan PDRB totalnya disumbang oleh sektor-sektor
perekonomian yang ada. Berdasarkan Tabel 5.2 pertumbuhan yang paling
mencolok terjadi pada sektor industri yaitu sebesar 0,26 atau 26 persen (Tabel
5.2). Selain menghasilkan laju pertumbuhan yang cepat, sektor industri juga
memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan PDRB total Jawa Barat.
Peningkatan sektor industri dari tahun ke tahun didukung oleh peningkatan yang
stabil dari subsektor penunjang sektor industri. Propinsi Jawa Barat memiliki
beberapa wilayah yang diandalkan dalam sektor industri pengolahan dintaranya
wilayah Tangerang dan Kabupaten Bandung dalam industri pengolahan non migas
dan Kabupaten Indramayu dalam industri pengolahan migas.
Pertumbuhan sektor utilitas menempati posisi kedua dengan nilai sebesar
0,16 atau 16 persen (Tabel 5.2). Selain menghasilkan laju pertumbuhan yang
cepat, sektor utilitas juga memberikan sumbangan yang besar terhadap
pembentukan PDRB total Jawa Barat. Peningkatan sektor utilitas dari tahun ke
tahun didukung oleh peningkatan yang stabil dari subsektor penunjang sektor
utilitas. Peningkatan yang terjadi pada subsektor komunikasi dan transportasi
44
selama periode 1995-1997 ini dikarenakan pada periode ini terjadi peningkatan
penggunaan komunikasi seiring dengan berkembangnya telepon seluler untuk
menunjang komunikasi (BPS, 1997).
Tabel 5.2. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997.
PDRB (juta rupiah) Tahun
Sektor Primer Sektor Industri Sektor Utilitas Sektor Jasa 1995 12.815.304 20.810.291 4.959.109 23.906.461 1996 12.930.078 24 113 084 5.478.024 25.722.353 1997 12.299.543 26 310 843 5.768.203 27.190.354
∆ PDRB -515.673 5.500.545 809.087 3.283.890 Nilai Ri -0,04 0,26 0,16 0,14
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997), diolah. Keterangan : Sektor Primer = Pertanian + Pertambangan Sektor Industri = Industri Pengolahan Sektor Utilitas = Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi Sektor Jasa = Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa Ri = ∆ PDRB 1997-1995/PDRB 1995
Laju pertumbuhan sektor jasa selama periode 1995-1997 yaitu sebesar -
0,14 atau 14 persen (Tabel 5.2). Peningkatan kontribusi sektor jasa terbesar
selama periode 1995-1997 terjadi merupakan dampak positif dari semakin
berkembangnya subsektor perdagangan dan pariwisata di beberapa wilayah di
Propipinsi Jawa Barat yang kontribusinya sangat besar terhadap peningkatan
sektor jasa Propinsi Jawa Barat.
Pada Tabel 5.2 terlihat bahwa peranan sektor primer cenderung semakin
kecil terhadap pembentukan PDRB total Jawa Barat yaitu sebesar -0,04 atau -4
persen. Hal ini dikarenakan peranan sektor pertanian yang semakin menurun
setiap tahunnya. Penurunan produksi pertanian disebabkan karena dampak dari
kemarau panjang yang melanda Jawa Barat sepanjang tahun 1997. Semakin
45
berkurangnya lahan pertanian dan terjadinya transformasi ke sektor industri
menyebabkan semakin lemahnya pertumbuhan sektor pertanian. Sektor
pertambangan dan penggalian juga mengalami penurunan yang agak mencolok
karena turunnya produksi minyak bumi pada tahun 1995 sebesar 4,91 persen,
kemudian mengalami peningkatan pada tahun 1996 namun kembali turun pada
tahun 1997 (BPS, 1997). Penurunan ini disebabkan oleh karena sektor
pertambangan dan penggalian sangat tergantung pada produksi minyak dan gas
bumi, sehingga kenaikan dan penurunan yang sedikit dari komoditi ini sangat
berpengaruh terhadap sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap
pembentukan total PDRB Jawa Barat secara keseluruhan.
Pertumbuhan PDRB total Propinsi Jawa Barat ditunjang oleh pertumbuhan
sektor-sektor ekonominya. Cepat atau lambatnya pertumbuhan PDRB total
ditentukan oleh cepat atau lambatnya pertumbuhan sektor ekonominya. Pada
periode 1995-1997, pertumbuhan sektor ekonomi yang cepat terjadi pada sektor
industri dan sektor utilitas dengan laju pertumbuhan (Ri) berturut-turut sebesar
0,26 dan 0,16 (Tabel 5.2). Sektor utilitas dan sektor industri pada periode 1995-
1997 tumbuh lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan PDRB total Propinsi
Jawa Barat sebesar 0,15 (Tabel 5.1). Besarnya laju pertumbuhan sektor industri
dan sektor utilitas menunjukkan bahwa pada periode 1995-1997 pertumbuhan
PDRB total Jawa Barat sangat ditunjang oleh kontribusi kedua sektor tersebut.
Laju pertumbuhan sektor jasa pada periode 1995-1997 belum cepat bila
dibandingkan laju pertumbuhan PDRB total Jawa Barat. Sektor primer pada
periode 1995-1997 tumbuh lambat dengan laju pertumbuhan negatif yaitu sebesar
46
-0,04 (Tabel 5.2). Penurunan kontribusi sektor primer terhadap pembentukan
PDRB total Jawa Barat dikarenakan semakin menurunnya produktivitas sektor
pertanian di Jawa Barat pada periode 1995-1997.
Pembentukan PDRB total Jawa Barat ditunjang oleh kontribusi PDRB
total setiap kabupaten dan kota di Jawa Barat. Semakin besar kontribusi PDRB
total setiap kabupaten dan kota maka semakin besar pula PDRB total Propinsi
Jawa Barat. Besarnya kontribusi PDRB total kabupaten dan kota ditentukan oleh
besar kecilnya kontribusi sektor-sektor ekonomi pendukungnya. Demikian halnya
dengan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Propinsi Jawa Barat ditunjang oleh
pertumbuhan sektor-sektor ekonomi setiap kabupaten dan kotanya.
Untuk mengetahui cepat atau lambatnya pertumbuhan sektor ekonomi
kabupaten dan kota dibandingkan dengan pertumbuhan sektoral Jawa Barat maka
digunakan komponen Pertumbuhan Proporsional (PP). Komponen Pertumbuhan
Proporsional (PP) kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat pada kurun waktu
1995-1999 disajikan pada (Lampiran 3). Nilai komponen PP diperoleh dengan
perhitungan menggunakan nilai laju pertumbuhan PDRB total Jawa Barat (Ra)
dan laju pertumbuhan sektoral Jawa Barat (Ri) yang diproporsikan terhadap
PDRB per sektor di setiap kabupaten dan kota. Untuk mempermudah mengetahui
kabupaten dan kota yang tumbuh cepat atau lambat secara sektoral dapat dilihat
pada Tabel 5.3. Pada Tabel 5.3 terlihat urutan tingkat pertumbuhan sektoral
kabupaten dan kota di Jawa Barat periode 1995-1997 dari yang tumbuh paling
cepat sampai tumbuh paling lambat.
47
Tabel 5.3. Urutan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Periode 1995-1997.
PPp PPm Ppu PPs No (−) (+) (+) (−)
1 Indramayu Bandung Kota Tangerang Kota Bandung 2 Bogor Bekasi Kota Bandung Bandung 3 Bandung Serang Bandung Bogor 4 Sukabumi Bogor Tangerang Kota Tangerang 5 Garut Kota Tangerang Serang Bekasi 6 Cianjur Tangerang Bogor Garut 7 Ciamis Kota Bandung Bekasi Tasikmalaya 8 Subang Karawang Karawang Serang 9 Tasikmalaya Cirebon Kota Cirebon Karawang 10 Tangerang Kota Bogor Kota Bogor Ciamis 11 Karawang Purwakarta Ciamis Cirebon 12 Serang Tasikmalaya Cirebon Tangerang 13 Pandeglang Sukabumi Cianjur Cianjur 14 Bekasi Sumedang Sukabumi Sukabumi 15 Cirebon Majalengka Indramayu Subang 16 Sumedang Ciamis Tasikmalaya Indramayu 17 Lebak Garut Garut Kota Bogor 18 Majalengka Indramayu Purwakarta Kota Cirebon 19 Kuningan Subang Kota Sukabumi Sumedang 20 Purwakarta Cianjur Majalengka Lebak 21 Kota Sukabumi Pandeglang Pandeglang Majalengka 22 Kota Tangerang Lebak Kuningan Kuningan 23 Kota Bandung Kuningan Sumedang Purwakarta 24 Kota Cirebon Kota Cirebon Lebak Pandeglang 25 Kota Bogor Kota Sukabumi Subang Kota Sukabumi
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997), diolah. Keterangan : (+) : nilai pertumbuhan proporsional positif (−) : nilai pertumbuhan proporsional negatif PPp : Pertumbuhan Proporsional Sektor Primer (Pertanian + Pertambangan) PPm : Pertumbuhan Proporsional Sektor Industri (Industri Pengolahan) PPu : Pertumbuhan Proporsional Sektor Utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) PPs : Pertumbuhan Proporsional Sektor Jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
48
Pada Tabel 5.3 dapat dilihat urutan kabupaten dan kota dilihat dari cepat
atau lambatnya pertumbuhan sektor sektor ekonominya. Sektor ekonomi yang
bernilai negatif menunjukkan bahwa sektor ekonomi tersebut tumbuh lambat pada
periode 1995-1997. Sebaliknya, sektor ekonomi yang bernilai positif
menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ekonomi di kabupaten dan kota tersebut
cepat. Cepat atau lambatnya pertumbuhan sektor-sektor ekonomi setiap kabupaten
dan kota menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan sektoral Jawa Barat.
Sektor ekonomi yang tumbuh cepat pada periode 1995-1997 adalah sektor
industri dan sektor utilitas. Hal ini terlihat dari nilai komponen pertumbuhan
proporsionalnya yang positif (Lampiran 3). Cepatnya sektor industri dan sektor
utilitas kabupaten/kota dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap pertumbuhan
sektor ekonomi tersebut di Propinsi Jawa Barat. Pertumbuhan sektor industri dan
sektor utilitas di Propinsi Jawa Barat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan
PDRBnya. Hal ini menyebabkan nilai selisih pertumbuhan sektoral dengan PDRB
Jawa Barat untuk sektor industri dan sektor utilitas bernilai positif. Sehingga nilai
komponen PP sektor industri dan sektor utilitas setiap kabupaten/kota bernilai
positif (Lampiran 3 ).
Berdasarkan Tabel 5.3 terlihat bahwa Kabupaten Bandung memiliki
pertumbuhan sektor industri paling cepat dibandingkan daerah lain pada periode
1995-1999. Cepatnya pertumbuhan sektor industri Kabupaten Bandung didukung
oleh besarnya kontribusi sektor ini terhadap pembentukan PDRB totalnya.
Kabupaten Bandung merupakan salah satu sentra industri terbesar di Jawa Barat.
Subsektor industri pengolahan minyak dan gas maupun non minyak dan gas di
49
Kabupaten Bandung tumbuh sebesar Rp 401.875,53 juta pada periode 1995-1997
(Lampiran 3). Kabupaten Bandung memiliki industri pengolahan migas yang
didukung oleh aktifnya sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten
Bandung. Sementara untuk industri pengolahan non migas didukung oleh
banyaknya pabrik-pabrik industri pengolahan yang terdapat di Kabupaten
Bandung yang meningkatkan pendapatan PDRB sektoral yang berasal dari
industri pengolahan.
Kota Tangerang pada periode 1995-1997 merupakan daerah yang
pertumbuhan sektor utilitas paling cepat diantara daerah yang lain di Jawa Barat
(Tabel 5.3). Peningkatan pertumbuhan ini dikarenakan pada periode 1995-1997
Kota Tangerang merupakan sentra industri terbesar di Jawa Barat dimana
pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang terutama didorong oleh kegiatan industri
dimana hampir semua industri besar terdapat di Kota Tangerang. Peranan kegiatan
industri tersebut mendorong peningkatan laju pertumbuhan sektor perdagangan
Kota Tangerang. Laju pertumbuhan sektor perdagangan di Kota Tangerang
mendorong semakin dibutuhkan sarana dan prasarana yang memudahkan
mengakses Kota Tangerang. Hal tersebut mendorong meningkatnya sektor
pengangkutan pendukung kegiatan perdagangan di Kota Tangerang yang diikuti
peningkatan penggunaan listrik dari tahun ke tahun untuk kebutuhan industri.
Peningkatan kinerja sektor utilitas di Kota Tangerang pada periode 1995-1997
menempatkan Kota Tangerang sebagai daerah dengan pertumbuhan sektor utilitas
paling cepat.
50
Sektor ekonomi yang tumbuh lambat pada periode 1995-1997 adalah
sektor primer dan sektor jasa. Hal ini terlihat dari nilai komponen pertumbuhan
proporsionalnya yang negatif (Lampiran 3). Lambatnya sektor primer dan sektor
jasa kabupaten/kota dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap pertumbuhan sektor
ekonomi tersebut di Propinsi Jawa Barat. Pertumbuhan sektor primer dan sektor
jasa di Propinsi Jawa Barat lebih lambat dibandingkan pertumbuhan PDRB total.
Hal ini menyebabkan nilai selisih pertumbuhan sektoral dengan PDRB total
Propinsi Jawa Barat untuk sektor primer dan sektor utilitas bernilai negatif,
sehingga nilai komponen PP sektor industri dan sektor utilitas setiap
kabupaten/kota bernilai negatif (Lampiran 3). Negatifnya nilai komponen PP
hanya menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ekonomi tersebut lambat tanpa
dipengaruhi besar atau tidaknya kontribusi sektor tersebut terhadap pembentukan
PDRB total.
Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa Kabupaten Indramayu merupakan
daerah dengan pertumbuhan sektor primer paling lambat pada periode 1995-1997.
Untuk kontribusi sektor primer, sebenarnya Kabupaten Indramayu memberikan
kontribusi paling besar. Tetapi semakin besar kontribusinya yang diproporsikan
terhadap nilai selisih pertumbuhan sektoral dengan PDRB total Jawa Barat untuk
sektor primer yang bernilai negatif menyebabkan Kabupaten Indramayu
menghasilkan nilai komponen PP sektor primer dengan nilai negatif terbesar yitu
minus Rp 626.995,93 juta (Lampiran 3). Besarnya kontribusi sektor primer
Kabupaten Indramayu ditunjang oleh besarnya kontribusi sektor pertambangan
dan penggalian minyak dan gas bumi Kabupaten Indramayu. Besarnya kontribusi
51
sektor ini menyebabkan pertumbuhan sektor primer Kabupaten Indramayu sangat
tergantung pada peningkatan kegiatan sektor pertambangan dan panggalian
minyak dan gas bumi. Hal ini menempatkan pertumbuhan PDRB total Kabupaten
Indaramayu tergantung pada pertumbuhan sektor primernya.
Daerah yang memiliki nilai komponen PP sektor jasa paling besar yaitu
Kota Bandung yaitu sebesar minus Rp 29.663,67 juta (Lampiran 3). Hal ini tidak
mengherankan karena sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat, sektor jasa merupakan
sektor unggulan Kota Bandung. Sehingga nilai proporsi sektor jasa (Ri-Ra)
sebesar -0,01 sangat berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan sektor jasa
Kota Bandung pada periode 1995-1997 (Tabel 5.2). Kota Bandung sebagai
Ibukota Propinsi Jawa Barat sebagai pusat kegiatan perekonomian Jawa Barat
menjadikan daerah ini ditunjang oleh berbagai prasarana dan infrastruktur yang
lengkap dalam bidang gedung-gedung perkantoran, banyaknya investasi yang
ditanamkan di Kota Bandung menghasilkan peningkatan kontribusi sektor jasa
Kota Bandung pada periode 1995-1997.
5.1.3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Barat
Kinerja perekonomian Jawa Barat sangat tergantung oleh kinerja
perekonomian kabupaten dan kota di Jawa Barat. Masing-masing kabupaten dan
kota yang terdapat di Jawa Barat tersebut memiliki karakteristik perekonomian
yang berbeda-beda. Terdapat beberapa kabupaten/kota yang sangat dominan
mendukung perekonomian Jawa Barat namun terdapat pula yang masih lemah.
Untuk mengetahui kinerja masing-masing kabupaten/kota maka dilihat dari laju
52
pertumbuhan PDRBnya baik secara total (rw) maupun PDRB sektor-sektor
ekonomi pendukungnya (ri).
Tabel 5.4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997.
Kabupaten/Kota rp rm ru rs rw
Bekasi -0,32 0,93 0,88 0,80 0,92 Kota Cirebon -0,19 18,69 0,15 0,16 0,62
Kota Tangerang -0,23 0,44 0,19 0,20 0,31 Indramayu 0,03 6,44 0,16 0,09 0,23
Bogor 0,00 0,24 0,24 0,16 0,17 Majalengka 0,16 0,21 0,11 0,17 0,17 Tangerang 0,03 0,22 0,12 0,16 0,17 Kota Bogor -0,05 0,40 0,07 0,13 0,17
Bandung -0,12 0,26 0,20 0,11 0,16 Karawang -0,02 0,23 0,16 0,14 0,14
Kota Bandung -0,10 -0,87 -0,03 0,12 0,14 Serang -0,01 0,12 0,22 0,20 0,13
Sukabumi 0,07 0,41 0,25 0,10 0,12 Tasikmalaya 0,04 0,04 0,28 0,15 0,12
Kota Sukabumi -0,45 0,21 0,09 0,26 0,12 Lebak 0,04 0,26 0,17 0,14 0,11 Cianjur 0,06 0,25 0,21 0,12 0,11 Ciamis 0,04 0,21 0,16 0,12 0,11
Kuningan 0,00 0,21 0,16 0,17 0,11 Subang 0,07 0,05 0,36 0,14 0,11 Cirebon 0,04 0,21 0,17 0,11 0,11
Pandeglang -0,01 0,34 0,34 0,13 0,10 Purwakarta -0,04 0,21 0,29 0,09 0,10
Garut 0,01 0,36 0,19 0,13 0,01 Sumedang -0,02 0,28 0,23 0,12 0,01
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997), diolah. Keterangan : Tanda (*) menunjukkan kabupaten/ kota dengan laju pertumbuhan positif rw : nilai laju pertumbuhan total PDRB Kabupaten/Kota rp : nilai ri sektor primer (Pertanian + Pertambangan) rm : nilai ri sektor industri (Industri Pengolahan) ru : nilai ri sektor utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) rs : nilai ri sektor jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
Pertumbuhan PDRB total dari setiap kabupaten dan kota di Propinsi Jawa
Barat serta pertumbuhan PDRB di setiap sektor ekonominya dapat dilihat pada
Tabel 5.4. Nilai rw diperoleh dari selisih PDRB total setiap kabupaten dan kota di
53
Propinsi Jawa Barat pada tahun 1997 dengan PDRB total setiap kabupaten dan
kota di Propinsi Jawa Barat pada tahun 1995 dibagi dengan PDRB total setiap
kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat pada tahun 1995. Di Propinsi Jawa
Barat, dari 25 kabupaten dan kota yang dianalisis dalam kurun waktu 1995-1997
memperlihatkan seluruh kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat memiliki nilai
laju pertumbuhan PDRB total (rw) positif.
Pertumbuhan ekonomi paling besar dimiliki oleh Kabupaten Bekasi
dengan nilai rw sebesar 0,92 (Tabel 5.4). Besarnya laju pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Bekasi terutama sekali didorong oleh tingginya pertumbuhan di sektor
industri yaitu sebesar 93 persen. Sektor industri mengalami peningkatan dari Rp
3.258.078 juta pada tahun 1995 menjadi Rp 6.272.332,01 juta pada tahun 1997
(Lampiran 1). Sektor industri Kabupaten Bekasi ditunjang oleh industri
pengolahan. Banyaknya pabrik industri pengolahan yang terdapat di Kabupaten
Bekasi mendatangkan keuntungan yang sangat besar dari kegiatan industri
pengolahan Kabupaten Bekasi. Pertumbuhan ekonomi paling kecil pada periode
1995-1997 dimiliki oleh Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut dengan nilai
rw 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut
merupakan kabupaten yang mempunyai laju pertumbuhan PDRB total terkecil di
Propinsi Jawa Barat.
Laju pertumbuhan seluruh sektor ekonomi pada periode 1995-1997 secara
umum menunjukkan peningkatan meskipun ada beberapa daerah yang
pertumbuhannya negatif. Pada Tabel 5.4 laju pertumbuhan sektor primer terbesar
dimiliki oleh Kabupaten Majalengka yaitu sebesar 0,16. Sektor pertanian
54
Kabupaten Majalengka terutama sekali ditunjang oleh hasil pertanian tanaman
bahan makanan yang merupakan sektor utama penunjang perekonomian
daerahnya (BPS, 1997). Sebaliknya, Kota Sukabumi mengalami pertumbuhan
yang negatif yaitu sebesar -0,45 (Tabel 5.5). Kota Sukabumi dalam sektor
pertaniannya sebagian besar didukung oleh subsektor peternakan, sedangkan dari
pertanian tanaman bahan makanan maupun perkebunan tidak menjadi
menunjukkan peningkatan yang berarti dari tahun ke tahun selama periode 1995-
1997 (BPS, 1997). Kurang berkembangnya sektor primer Kota Sukabuni
menyebabkan semakin menurunnya kinerja sektor primer dari tahun ke tahun
pada periode 1995-1997.
Pada Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa Kota Cirebon memiliki laju
pertumbuhan sektor industri terbesar yaitu 18,69. Sektor industri Kota Cirebon
terutama sekali ditunjang oleh perkembangan industri pengolahan rotan Kota
Cirebon selama periode 1995-1999. Besarnya laju pertumbuhan sektor industri
Kota Cirebon menempatkan sektor industri sebagai sektor penunjang
perekonomian Kota Cirebon. Laju pertumbuhan sektor industri terkecil diperoleh
Kota Bandung yaitu sebesar -0,87 (Tabel 5.4). Hal ini disebabkan kontribusi
sektor industri yang hanya ditunjang oleh subsektor industri pengolahan tanpa
minyak dan gas Kota Bandung hanya menunjukkan peningkatan yang kecil dari
tahun ke tahun bahkan cenderung menurun pada periode 1995-1997 (BPS, 1998).
Laju pertumbuhan sektor utilitas (ru) tertinggi dimiliki oleh Kabupaten
Bekasi yaitu sebesar 0,88 (Tabel 5.4). Hal ini terutama didukung oleh peningkatan
kinerja sektor listrik, gas dan air bersih selama periode 1995-1997 di Kabupaten
55
Bekasi. Peningkatan kinerja terbesar selama periode 1995-1997 terjadi pada
subsektor listrik pada tahun 1997 yaitu sebesar Rp 610.186,55 juta rupiah
(Lampiran 1).
Kabupaten Bekasi pada periode 1995-1997 memiliki laju pertumbuhan
sektor jasa terbesar yaitu 0,80 (Tabel 5.4). Tingginya laju pertumbuhan sektor jasa
Kabupaten Bekasi terutama didorong oleh perekembangan sektor industri yang
mendorong peningkatan sektor-sektor penunjangnya pada periode 1995-1997.
Laju pertumbuhan sektor jasa paling kecil terdapat di Kabupaten Purwakarta yaitu
sebesar 0,09 (Tabel 5.4). Penurunan kontribusi sektor jasa yang terbesar selama
periode 1995-1997 yaitu pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
pada tahun 1997 (BPS, 1998).
Dengan mengetahui laju pertumbuhan PDRB dari setiap sektor ekonomi
Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat maka dapat dihitung komponen
Pertumbuhan Pangsa Wilayahnya (PPW). Komponen PPW diperoleh dari selisih
laju pertumbuhan sektor ekonomi kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan sektor
ekonomi Propinsi Jawa Barat yang diproporsikan terhadap nilai PDRB sektoral
kabupaten dan kota pada periode 1995-1997.
Berdasarkan Tabel 5.4, di Propinsi Jawa Barat dari 25 kabupaten dan kota
yang dianalisis terdapat 17 kabupaten dan kota yang mampu bersaing secara baik
dengan kabupaten dan kota lainnya. Hal ini diperlihatkan dari nilai PPW yang
bernilai positif (PPW>0). Delapan kabupaten dan kota yang lainnya tidak mampu
bersaing dengan baik atau memiliki nilai PPW yang negatif (PPW<0). Untuk nilai
56
komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah setiap kabupaten dan kota di Propinsi
Jawa Barat dapat dilihat di Lampiran 4.
Tabel 5.5. Urutan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Periode 1995-1997.
No PPWpj PPWmj PPWuj PPWsj
1 Indramayu* Bekasi* Bekasi* Bekasi* 2 Sukabumi* Indramayu* Bogor* Kota Tangerang* 3 Cianjur* Kota Tangerang* Serang* Serang* 4 Subang* Kota Cirebon* Kota Tangerang* Bogor* 5 Majalengka* Kota Bogor* Bandung* Kota Sukabumi* 6 Ciamis* Sukabumi* Tasikmalaya* Tangerang* 7 Tasikmalaya* Garut* Sukabumi* Majalengka* 8 Bogor* Pandeglang* Pandeglang* Kuningan* 9 Garut* Sumedang* Purwakarta* Kota Cirebon* 10 Tangerang* Lebak Subang* Tasikmalaya* 11 Cirebon* Cianjur Cianjur* Karawang* 12 Lebak* Kota Sukabumi Sumedang* Subang* 13 Serang* Kuningan Garut* Lebak* 14 Pandeglang* Ciamis Cirebon* Pandeglang 15 Kuningan* Majalengka Ciamis* Kota Bogor 16 Sumedang* Kota Sukabumi Lebak* Sumedang 17 Karawang* Majalengka Karawang* Garut 18 Purwakarta* Purwakarta Kuningan Cianjur 19 Kota Bogor Cirebon Indramayu Ciamis 20 Kota Cirebon Karawang Kota Cirebon Purwakarta 21 Kota Bandung Tasikmalaya Majalengka Cirebon 22 Kota Tangerang Bogor Kota Sukabumi Sukabumi 23 Kota Sukabumi Tangerang Kota Bogor Indramayu 24 Bandung Serang Tangerang Bandung 25 Bekasi Kota Bandung Kota Bandung Kota Bandung
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997), diolah. Keterangan : Tanda (*) menunjukkan kabupaten/kota dengan nilai komponen PPW positif PPWp : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Primer (Pertanian + Pertambangan) PPWm : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Industri (Industri Pengolahan) PPWu : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan
Komunikasi) PPWs : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
57
Kemampuan daya saing sektoral paling baik seperti terlihat pada Tabel 5.5
sebagian besar diduduki oleh Kabupaten Bekasi. Kabupaten Bekasi mampu
bersaing dengan baik di sektor industri, sektor utilitas dan sektor jasa
dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Propinsi Jawa Barat. Kemampuan daya
saing sektoral Kabupaten Bekasi yang secara umum paling baik merupakan
dampak positif yang dirasakan dari tingginya pertumbuhan sektor industri
pengolahan. Berkembangnya perdagangan Kabupaten Bekasi semakin menarik
banyaknya investor yang menanamkan modalnya di Kabupaten Bekasi. Hal ini
merupakan pendorong semakin meningkatnya keuangan, dan jasa-jasa di Kota
Bandung pada periode 1995-1997. Kebutuhan untuk mempermudah akses menuju
Kabupaten Bandung pun pada akhirnya mendorong semakin berkembangnya
sektor utilitas khususnya peningkatan kinerja sektor pengangkutan dan
komunikasi. Lingkaran perekonomian yang saling menguntungkan ini mendorong
semakin meningkatnya pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kabupaten
Bekasi yang menunjang pertumbuhan PDRB total yang semakin meningkat pula
sehingga memperbesar kontribusi terhadap pembentukan PDRB total Jawa Barat.
Pada Tabel 5.5 terlihat bahwa Kabupaten Indramayu menduduki peringkat
teratas untuk daya saing sektor primer sebesar Rp 227.595,35 juta (Lampiran 4).
Tingginya pertumbuhan sektor primer terutama sekali didorong oleh sektor
pertambangan minyak dan gasnya yang sangat tinggi sehingga menjadikan
Kabupaten Indramayu sebagai kekuatan ekonomi terkemuka di Jawa Barat. Hal
ini memberikan potensi yang cukup besar dalam membangun infrastruktur, baik
dalam bentuk sarana penunjang usaha maupun penyediaan SDM di wilayah
58
Kabupaten Indramayu. Ditambah dengan adanya regulasi bagi pelaku usaha,
wilayah ini menjadi tujuan utama penanam modal domestik maupun asing (BPS,
1998), sehingga mendorong sektor primer maju pesat dibandingkan daerah lain di
Propinsi Jawa Barat khususnya selama periode 1995-1997.
5.1.4. Profil Pertumbuhan Wilayah
Analisis profil pertumbuhan PDRB digunakan untuk mengevaluasi
pertumbuhan ekonomi setiap sektor di kabupaten dan kota yang ada di Propinsi
Jawa Barat pada kurun waktu 1995-1997 dengan cara mengekspresikan persentase
perubahan komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Pertumbuhan Pangsa
Wilayah (PPW). Data-data yang telah dianalisis diinterprestasikan dengan cara
memplotkan persentase perubahan komponen pertumbuhan proporsional kedalam
sumbu horizontal dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah ke dalam sumbu
vertikal. Penjumlahan komponen Pertumbuhan Proporsional dengan komponen
Pertumbuhan Pangsa Wilayah menghasilkan Pergeseran Bersih setiap
kabupaten/kota yang dapat menunjukkan progresif atau tidak progresifnya
pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota tersebut.
Pada Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa pada periode 1995-1997 terdapat 9
kabupaten/kota yang tumbuh progresif yaitu dengan nilai pergeseran bersih yang
positif (PB.j>0) diantaranya adalah Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang, Kota
Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Majalengka dan Kota Bogor. Sementara itu 16
kabupaten/kota diantaranya Kabupaten Cianjur, Kabupaten Subang, Kabupaten
59
Ciamis, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan,
Kabupaten Serang, Kabupaten Garut, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tasikmalaya,
, Kabupaten Purwakarta, Kota Sukabumi dan Kabupaten Karawang. Kabupaten
Sumedang, Kabupaten Cirebon, dan Kota Bandung tidak tumbuh progresif atau
memiliki pergeseran bersih yang negatif (PB.j<0) pada periode 1995-1997.
Tabel 5.6. Pergeseran Bersih Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997.
PB.j PP.j PPW.j Kabupaten/Kota
(juta rupiah) Bekasi* 3.733.812,20 306.821,28 3.426.990,92
Kota Tangerang* 839.662,30 290.084,08 549.578,22 Kota Cirebon* 375.586,35 122,88 375.463,47
Indramayu* 349.089,65 -615.409,98 964.499,62 Bogor* 144.652,11 104.163,05 40.489,06
Tangerang* 98.771,33 134.115,38 -35.344,05 Bandung* 98.567,24 224.287,64 -125.720,41
Majalengka* 24.040,64 -44.322,79 68.363,43 Kota Bogor* 21.932,15 17.864,22 4.067,93
Karawang -12.435,11 8.441,64 -20.876,76 Kota Sukabumi -14.953,41 -13.885,99 -1.067,41
Lebak -28.545,65 -55.695,90 27.150,26 Kuningan -31.952,61 -57.824,86 25.872,25 Sumedang -39.676,13 -46.995,08 7.318,95 Purwakarta -41.688,67 -24.198,23 -17.490,44 Pandeglang -43.593,94 -70.476,78 26.882,84 Sukabumi -46.849,18 -146.914,31 100.065,13
Serang -51.212,40 288.431,37 -339.643,77 Subang -56.191,54 -109.766,90 53.575,37 Cirebon -57.888,54 -51.350,52 -6.538,01
Tasikmalaya -58.234,22 -90.416,53 32.182,32 Cianjur -67.198,47 -138.718,47 71.520,00 Ciamis -82.973,44 -112.079,37 29.105,93 Garut -94.114,99 -135.252,95 41.137,96
Kota Bandung -1.568.853,50 134.786,88 -1.703.640,38 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997), diolah. Keterangan Tanda (*) menunjukkan kabupaten/kota yang progresif PP.j : Pertumbuhan Proporsional total PDRB PPW.j : Pertumbuhan Pangsa Wilayah total PDRB PB.j : Pergeseran Bersih total PDRB kabupaten/kota (PP.j + PPW.j)
60
Kabupaten dan kota yang tumbuh progresif dengan pertumbuhan PDRB
yang cepat dan berdaya saing yang baik pada periode ini adalah Kabupaten
Bekasi, Kota Cirebon, Kota Tangerang, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Bila
dilihat pada gambar profil pertumbuhan ekonomi (Gambar 5.1) terlihat bahwa
kabupaten/kota ini berada di kuadran 1 diatas garis 450 yaitu daerah yang
memiliki Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah
(PPW) bernilai positif (PP>0 dan PPW>0).
Kabupaten/kota yang pada periode 1995-1997 memiliki pertumbuhan
PDRB yang cepat namun kemampuan daya saingnya lemah dibandingkan daerah
lain adalah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang.
Daerah ini pada Gambar 5.1 termasuk dalam kuadran 2 yaitu memiliki
Pertumbuhan Proporsional bernilai positif (PP>0), tetapi Pertumbuhan Pangsa
Wilayah bernilai negatif (PPW<0). Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Tangerang pada Gambar 5.1 berada diatas garis 450, hal ini menunjukkan bahwa
daerah ini tumbuh progresif pada periode 1995-1997.
Berdasarkan Tabel 5.6 daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang
lambat dan tidak memiliki daya saing yang baik pada periode 1995-1997 adalah
Kabupaten Cirebon, Kota Sukabumi dan Kabupaten Purwakarta. Daerah ini
termasuk dalam kuadran 3 pada Gambar 5.1 dengan nilai Pertumbuhan
Proporsional dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah bernilai negatif (PP<0 dan
PPW<0). Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan buruknya daya saing
dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Barat menyebabkan Kabupaten
61
Cirebon, Kota Sukabumi dan Kabupaten Purwakarta tidak tumbuh progresif pada
periode 1995-1997.
Kabupaten dan kota yang memilki pertumbuhan yang lambat tapi
memiliki daya saing yang baik dibandingkan daerah lain di Jawa Barat pada
periode 1995-1997 adalah Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka
Kabupaten Lebak, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Sumedang, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi,
Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis
dan Kota Bandung. Daerah ini pada Gambar 5.1 termasuk di kuadran 4 yaitu
memiliki Pertumbuhan Proporsional bernilai negatif (PP<0), sedangkan
Pertumbuhan Pangsa Wilayah bernilai positif (PPW>0). Daerah yang tumbuh
progresif pada Gambar 5.1 diatas garis 450 diantaranya adalah Kabupaten
Indramayu dan Kabupaten Majalengka memiliki nilai daya saing yang lebih baik
dari nilai pertumbuhan PDRBnya sehingga menghasilkan pergeseran bersih yang
positif.
Pada periode 1995-1997 daerah yang tumbuh paling progresif adalah
Kabupaten Bekasi dengan nilai pergeseran bersih sebesar Rp 3.733.812,20juta
(Tabel 5.6). Hal ini ditunjang pula oleh nilai komponen PP dan PPW Kabupaten
Bekasi yang juga positif (Tabel 5.6). Sehingga dapat dikatakan bahwa pada
periode ini Kabupaten Bekasi memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling cepat
diantara daerah lain, dan memiliki daya saing baik yang mendorong menjadi
wilayah paling progresif diantara kabupaten/kota yang lain di Jawa Barat.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi terutama sekali didorong oleh majunya
62
sektor industri Kabupaten Bekasi. Sebagai kota dengan kontribusi sektor industri
terbesar, maka sebagian besar kegiatan industri Propinsi Jawa Barat sebagian
besar berpusat di Kabupaten Bekasi. Pertumbuhan sektor industri dan sektor jasa
Kabupaten Bekasi merupakan yang paling progresif diantara kabupaten/kota yang
lain di Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan Tabel 5.6 daerah pertumbuhannya paling tidak progresif
adalah Kota Bandung. Nilai pergeseran bersih Kabupaten Bekasi sebesar minus
Rp 1.568.853,50 juta merupakan yang paling buruk diantara kabupaten/kota yang
lain di Jawa Barat periode 1995-1997 (Tabel 5.6). Dilihat dari daya saing,
kemampuan daya saing Kota Bandung merupakan yang paling buruk. Hal ini
terlihat dari nilai komponen PPW.j yaitu sebesar minus Rp 1.703.640,38 juta
merupakan yang terkecil diantara kabupaten/kota yang lain di Jawa Barat (Tabel
5.6).
63
Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997), diolah. Gambar 5.1. Profil Pertumbuhan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat pada
kurun waktu 1995-1997.
IV I III II
Indramayu
Bekasi
Serang
Kota Bandung
Kota Cirebon
Pandeglang Lebak
Bogor
SukabumiCianjur
Bandung
Garut TasikmalayaCiamisKuningan
Cirebon
Majalengka
Sumedang
Subang
Purwakarta
KarawangTangerang
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Tangerang
-40,00
-20,00
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
-20,00 -15,00 -10,00 -5,00 0,00 5,00 10,00
PPW.j
PP.j
64
5.2. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004 (Setelah Pemekaran Wilayah)
Pemekaran wilayah di Propinsi Jawa Barat terjadi berdasarkan UU No.23
Tahun 2000 tentang Propinsi Banten, maka Wilayah Administrasi Pembantu
Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Propinsi Banten dengan
daerahnya meliputi : Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Lebak, KabupatenTangerang, Kota Tangerang serta Kota Cilegon.
Terlepasnya Banten dari Propinsi Jawa Barat diikuti oleh terlepasnya
beberapa kabupaten/kota dari kabupaten/kota induknya. Sehingga pada tahun
2000 setelah terjadinya pemekaran wilayah, Propinsi Jawa Barat memiliki 16
kabupaten dan sembilan kota. Adapun kabupaten/kota yang mengalami
pemekaran diantaranya adalah Kota Bekasi lepas dari pemerintahan Kabupaten
Bekasi, Kota Depok yang lepas dari Kabupaten Bogor, Kota Cimahi yang lepas
dari pemerintahan Kabupaten Bandung, Kota Tasikmalaya yang lepas dari
pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya, dan Kota Banjar yang lepas dari
pemerintahan Kabupaten Ciamis.
Tabel 5.7. Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat Tahun 1999-2000.
SEKTOR 1999
(juta rupiah) 2000
(juta rupiah) ∆PDRB
(juta rupiah) Persen
Pimer 11.240.589 11.330.278 89.689 0,80
Industri 21.029.934 21.833.139 803.205 3,82
Utilitas 5.602.435 4.508.699 -1.093.735 -19,52
Jasa 22.327.747 17.988.087 -4.339.659 -19,44
Total PDRB 60.200.705 55.660.204 -4.540.500 -7,54 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1999-2000), diolah.
65
Terjadinya pemekaran wilayah khususnya berdirinya Propinsi Banten di
tahun pertama mengakibatkan penurunan PDRB total Propinsi Jawa Barat.
Dengan menggunakan perhitungan PDRB total Propinsi Jawa Barat tahun 1999-
2000 atas dasar harga konstan tahun 1993. Pada Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa
terjadi penurunan pada total PDRB sebesar -7,54 persen. Hal ini dikarenakan
terjadinya penurunan yang cukup besar pada sektor utilitas sebesar -19,52 persen
dan juga sektor jasa sebesar -19,44 persen dalam kurun waktu 1999-2000 (BPS
2000). Penurunan ini menunjukkan bahwa terlepasnya kabupaten/kota yang
kemudian tergabung menjadi Propinsi Banten menyebabkan penurunan terhadap
kontribusi pada sektor utilitas dan jasa.
5.2.1. Komponen Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat
Propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan pertumbuhan PDRB total
selama periode 2000-2004. Penurunan laju pertumbuhan PDRB total Jawa Barat
yang sempat dirasakan sebagai dampak pemekaran wilayah di tahun 2000
mengalami peningkatan pada tahun 2001 dari Rp 55.660.204 juta pada tahun 2000
menjadi Rp 57.824.843 juta di tahun 2001 atau mengalami peningkatan sebesar
Rp 2.164.638 juta (Tabel 5.8).
Pertumbuhan PDRB total pada tahun 2002 sebesar Rp 60.096.782
mengalami peningkatan sebesar Rp 2.271.939 juta dari tahun 2001 (Tabel 5.8).
Peningkatan pertumbuhan PDRB total Jawa Barat dari tahun ke tahun selama
periode 2000-2001 terjadi didorong oleh peningkatan kinerja sektor jasa Jawa
Barat yang meningkat seiring berkembangnya pertumbuhan sektor keuangan
sebagai pemulihan dari masa krisis pada tahun 1998 (BPS, 2002).
66
Tabel 5.8. Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004.
Tahun Total PDRB (juta rupiah)
2000 55.660.204 2001 57.824.843 2002 60.096.782 2003 63.249.926 2004 66.861.448
∆ PDRB 11.201.243 Nilai Ra 0,20
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Keterangan : Ra = ∆ PDRB 2004-2000 / PDRB 2000
Pertumbuhan PDRB total Jawa Barat selama kurun waktu 2000-2004
menunjukkan peningkatan yang stabil dari tahun ke tahun. PDRB total Propinsi
Jawa Barat pada tahun 2000 sebesar Rp 55.660.204 juta menjadi Rp 66.861.448
juta di tahun 2004. Laju pertumbuhan PDRB total Jawa Barat pada periode 2000-
2004 yaitu sebesar 0,20 dengan pertumbuhan sebesar Rp 11.201.243 juta (Tabel
5.8). Perkembangan perekonomian Jawa Barat yang progresif pada periode 2000-
2004 menunjukkan bahwa kinerja Jawa Barat menunjukkan peningkatan
dibandingkan periode 1995-1997 dimana laju pertumbuhan PDRB total Jawa
Barat sebesar 0,15 (Tabel 5.1).
5.2.2. Komponen Pertumbuhan Sektoral Propinsi Jawa Barat
Peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada periode 2000-2004
terutama ditunjang oleh peningkatan kinerja sektor ekonominya. Untuk
mengetahui laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian (Ri) dilakukan
penghitungan dengan menggunakan tahun 2000 sebagai tahun awal analisis dan
tahun 2004 sebagai tahun akhir analisis. Dengan mengetahui laju pertumbuhan
67
sektoral maka dapat diketahui sektor manakah yang memberikan kontribusi
dominan terhadap pembentukan PDRB total Jawa Barat atau juga sektor yang
memberikan kontribusi paling kecil terhadap pembentukan PDRB total Propinsi
Jawa Barat.
Tabel 5.9. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004.
PDRB (juta rupiah) Tahun
Sektor Primer Sektor Industri Sektor Utilitas Sektor Jasa 2000 11.330.278 21.833.139 4.508.699 17.988.087 2001 11.360.510 22.908.171 4.809.210 18.746.951 2002 10.792.334 23.631.807 5.293.519 20.379.121 2003 10.913.934 24.528.733 5.619.631 22.187.625 2004 11.275.644 25.187.839 6.159.906 24.238.057
∆ PDRB -54.634 3.354.700 1.651.206 6.249.970 Nilai Ri -0,01 0,15 0,37 0,35
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Keterangan : Sektor Primer = Pertanian + Pertambangan Sektor Industri = Industri Pengolahan Sektor Utilitas = Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi Sektor Jasa = Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa Ri = ∆ PDRB 2004-2000/PDRB 2000
Peningkatan struktur ekonomi Propinsi Jawa Barat pada periode 2000-
2004 ditunjang oleh kontribusi sektor utilitas, sektor jasa dan sektor industri.
Peningkatan per sektoral ekonomi Jawa Barat mampu memberikan kontribusi
yang positif terhadap pemulihan keadaan perekonomian Jawa Barat pada periode
2000-2004. Hal ini dapat dilihat dari nilai laju pertumbuhan sektor (Ri) berturut
turut untuk sektor utilitas, jasa dan industri adalah sebesar 0,37, 0,35 dan 0,15 atau
sebesar 37 persen, 35 persen dan 15 persen (Tabel 5.9).
68
Laju pertumbuhan sektor primer pada periode 2000-2004 paling kecil
diantara sektor lain yaitu hanya sebesar -0,01 atau -1 persen (Tabel 5.9).
Penurunan yang cukup signifikan dari sektor primer lebih disebabkan kinerja
sektor pertanian yang mengalami banyak penurunan. Penurunan kinerja sektor
pertanian tersebut sebagai dampak terjadi banyaknya alih fungsi lahan menjadi
lahan non pertanian. Perubahan pola pikir masyarakat yang semakin modern
dirasakan cukup berpengaruh terhadap kinerja sektor primer khususnya sektor
pertanian. Sektor pertanian mulai ditinggalkan dan beralih ke sektor industri
karena dianggap menghasilkan pendapatan yang lebih besar (BPS, 2003).
Kurangnya lahan sebagai sumber daya alam dan tenaga kerja sektor pertanian
menyebabkan sektor pertanian menunjukkan kinerja semakin menurun di Jawa
Barat pada periode 2000-2004.
Penurunan yang cukup besar periode 2000-2004 dialami sektor industri
yang tumbuh sebesar 15 persen (Tabel 5.9). Penurunan kinerja industri
pengolahan Jawa Barat dikarenakan menurunnya kontribusi sektoral industri pada
saat terjadinya pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah yang terjadi pada tahun
2000 mengakibatkan lepasnya beberapa daerah yang menyokong sektor industri di
Jawa Barat. Setelah terjadinya pemekaran, yaitu tahun 2000-2004 pertumbuhan
sektor industri Jawa Barat belum kembali pulih seperti pada saat sebelum
terjadinya pemekaran wilayah dimana sektor industri merupakan kontributor
terbesar terhadap pembentukan PDRB total Jawa Barat.
Peningkatan kinerja yang cukup tinggi terjadi pada sektor pengangkutan
dan komunikasi di tahun 2004. Sektor utilitas yang pada periode 1995-1997
69
tumbuh 16 persen mengalami peningkatan yang besar pada periode 2000-2004
(Tabel 5.2). Peningkatan ini mampu mendongkrak kontribusi sektor utilitas
sebesar 37 persen terhadap pembentukan PDRB total Jawa Barat selama periode
2000-2004 (Tabel 5.9). Faktor yang mendorong peningkatan sektor ini terutama
sekali disebabkan oleh semakin berkembangnya sistem komunikasi. Hal ini
terlihat dari maraknya penggunaan alat komunikasi telepon genggam. Penggunaan
alat komunikasi yang semakin berkembang ini menarik berbagai investor untuk
menanamkan modalnya di bidang komunikasi. Peningkatan ini menempatkan
sektor utilitas sebagai sektor pendukung terbesar PDRB total Jawa Barat periode
2000-2004.
Kinerja sektor jasa mengalami peningkatan menjadi sebesar 35 persen
(Tabel 5.9). Peningkatan kinerja sektor jasa ini terutama didorong olah
peningkatan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Semakin
kondusifnya suasana politik nasional mendorong semakin berkembangnya
investasi baik dari dalam maupun luar negeri di Propinsi Jawa Barat. Hal ini
mendorong peningkatan yang cukup signifikan terhadap peranan sektor jasa
terhadap perekonomian Jawa Barat pada periode 2000-2004.
Struktur perekonomian daerah sangat dipengaruhi oleh kemampuan tiap-
tiap sektor dalam menghasilkan nilai tambah di daerah tersebut. Sama halnya
dengan struktur perekonomian kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat memiliki
tingkat pertumbuhan yang beragam. Kemampuan tumbuh sebagian daerah cepat,
dan sebagian lagi tumbuh secara lambat. Hal ini tergantung kinerja dari sektor
70
perekonomian penunjang daerah tersebut. Cepat atau lambatnya pertumbuhan
ekonomi daerah tergantung kinerja sektor ekonomi penunjang daerah tersebut.
Tabel 5.10. Urutan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Periode 2000-2004.
PPp PPm Ppu PPs No (−) (-) (+) (+)
1 Indramayu Bekasi Bandung Kota Bandung 2 Cianjur Bandung Kota Bandung Bandung 3 Sukabumi Bogor Bogor Kota Bekasi 4 Garut Kota Bekasi Kota Bekasi Bekasi 5 Subang Kota Bandung Kota Cirebon Bogor 6 Bandung Karawang Karawang Garut 7 Ciamis Indramayu Bekasi Karawang 8 Bogor Purwakarta Cirebon Cianjur 9 Karawang Kota Depok Ciamis Ciamis 10 Cirebon Kota Cirebon Kota Bogor Sukabumi 11 Majalengka Sukabumi Cianjur Subang 12 Tasikmalaya Kota Cimahi Kota Cimahi Cirebon 13 Kuningan Kota Bogor Sukabumi Purwakarta 14 Sumedang Cirebon Indramayu Indramayu 15 Kota Tasikmalaya Garut Purwakarta Tasikmalaya 16 Bekasi Sumedang Kota Depok Kota Cimahi 17 Purwakarta Ciamis Tasikmalaya Kota Bogor 18 Kota Banjar Majalengka Garut Kota Cirebon 19 Kota Depok Tasikmalaya Majalengka Kota Depok 20 Kota Bekasi Subang Subang Majalengka 21 Kota Bandung Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Kuningan 22 Kota Sukabumi Cianjur Kota Sukabumi Sumedang 23 Kota Cimahi Kuningan Sumedang Kota Tasikmalaya 24 Kota Bogor Kota Sukabumi Kuningan Kota Sukabumi 25 Kota Cirebon Kota Banjar Kota Banjar Kota Banjar
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Keterangan : (+) : nilai pertumbuhan proporsional positif (−) : nilai pertumbuhan proporsional negatif PPp : Pertumbuhan Proporsional Sektor Primer (Pertanian + Pertambangan) PPm : Pertumbuhan Proporsional Sektor Industri (Industri Pengolahan) PPu : Pertumbuhan Proporsional Sektor Utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) PPs : Pertumbuhan Proporsional Sektor Jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
Analisis komponen PP digunakan untuk mengetahui kemampuan
pertumbuhan ekonomi di kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat. Komponen
71
PP merupakan selisih laju pertumbuhan PDRB total Propinsi Jawa Barat (Ra)
dengan laju pertumbuhan PDRB sektoral Propinsi Jawa Barat (Ri) yang
diproporsikan terhadap PDRB total setiap kabupaten dan kota di Propinsi Jawa
Barat. Hasilnya dapat menunjukkan daerah mana yang mampu tumbuh cepat, dan
daerah mana yang pertumbuhannya lambat. Begitu juga sektor ekonomi
pendukungnya, sektor apa yang mampu tumbuh cepat atau tumbuh lambat.
Sektor ekonomi yang tumbuh cepat pada periode 2000-2004 adalah sektor
utilitas dan sektor jasa. Hal ini terlihat dari nilai komponen pertumbuhan
proporsionalnya yang positif (Lampiran 5). Cepatnya sektor utilitas dan sektor
jasa kabupaten/kota dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap pertumbuhan sektor
ekonomi tersebut di Propinsi Jawa Barat. Pertumbuhan sektor utilitas dan sektor
jasa di Propinsi Jawa Barat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan PDRB
totalnya. Hal ini menyebabkan nilai selisih pertumbuhan PDRB sektoral dengan
PDRB total Jawa Barat untuk sektor industri dan sektor utilitas bernilai positif.
Sehingga nilai komponen PP sektor utilitas dan sektor jasa setiap kabupaten/kota
bernilai positif (Lampiran 5).
Kabupaten Bandung pada periode 2000-2004 menempati urutan teratas
dalam sektor utilitas. Pertumbuhan sektor utilitas Kabupaten Bandung paling
cepat dibandingkan daerah lain di Jawa Barat dengan nilai sebesar Rp 109.966,57
juta (Lampiran 5). Peningkatan kinerja sektor utilitas Kabupaten Bandung
ditunjang oleh peningkatan yang sangat besar sektor listrik dari tahun ke tahun.
Meningkatnya penggunaan listrik di Kabupaten Bandung untuk memenuhi
pasokan kebutuhan pabrik-pabrik industri pengolahan yang banyak terdapat di
72
Kabupaten Bandung (BPS, 2003). Keberadaan Kabupaten Bandung sebagai sentra
industri Jawa Barat pada periode 2000-2004 menyebabkan semakin baiknya
pengangkutan khususnya pengangkutan jalan raya untuk mengakses Kabupaten
Bandung.
Pertumbuhan sektor jasa paling cepat dimiliki Kota Bandung pada periode
2000-2004 yaitu Rp 532.623,75 juta (Lampiran 5). Sebagai ibukota Propinsi Jawa
Barat, induk segala kegiatan perekonomian khususnya bangunan, perdagangan,
keuangan, persewaan dan jasa-jasa terpusat di Kota Bandung. Kinerja di bidang
pengangkutan dan komunikasi Kota Bandung sangat dibutuhkan oleh
kabupaten/kota lain di Propinsi Jawa Barat. hampir sebagian besar kegiatan
perdagangan diadakan di Kota Bandung, sehingga mendorong para investor baik
asing maupun dalam negeri untuk menanamkan modalnya dalam kegiatan
perekonomian Kota Bandung pada periode 2000-2004.
Sektor ekonomi yang tumbuh lambat pada periode 2000-2004 adalah
sektor primer dan sektor industri. Hal ini terlihat dari nilai komponen
pertumbuhan proporsionalnya yang negatif (Lampiran 5). Lambatnya sektor
primer dan sektor jasa kabupaten/kota dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap
pertumbuhan sektor ekonomi tersebut di Propinsi Jawa Barat. Pertumbuhan sektor
primer dan sektor jasa di Propinsi Jawa Barat lebih lambat dibandingkan
pertumbuhan PDRB totalnya. Hal ini menyebabkan nilai selisih pertumbuhan
PDRB sektoral Jawa Barat dengan PDRB total Jawa Barat untuk sektor primer
dan sektor industri bernilai negatif, sehingga nilai komponen PP sektor industri
dan sektor utilitas setiap kabupaten/kota bernilai negatif (Lampiran 5). Negatifnya
73
nilai komponen PP hanya menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ekonomi
tersebut lambat tanpa dipengaruhi besar atau tidaknya kontribusi sektor tersebut
terhadap pembentukan PDRB total.
Pada Tabel 5.10 dapat dilihat bahwa Kabupaten Indramayu merupakan
daerah dengan pertumbuhan sektor primer paling lambat pada periode 2000-2004.
hal yang sama terjadi pada periode 1995-1999. Hal ini menunjukkan bahwa
kontribusi sektor primer Kabupaten Indramayu paling besar. Tetapi semakin besar
kontribusinya yang diproporsikan terhadap nilai selisih pertumbuhan PDRB
sektoral Jawa Barat dengan PDRB total Jawa Barat untuk sektor primer yang
bernilai negatif menyebabkan Kabupaten Indramayu menghasilkan nilai
komponen PP sektor primer dengan nilai negatif terbesar yaitu minus Rp
497.419,27 juta (Lampiran 5). Besarnya kontribusi sektor primer Kabupaten
Indramayu ditunjang oleh besarnya kontribusi sektor pertambangan dan
penggalian minyak dan gas bumi Kabupaten Indramayu. Besarnya kontribusi
sektor primer ini terutama sekali ditunjang oleh peningkatan kinerja sektor
pertambangan dan penggalian. Kabupaten Indramayu merupakan daerah dengan
industri minyak dan gas terbesar di Jawa Barat, sehingga sektor pertambangan dan
penggalian menjadi kontributor paling dominan dalam pembentukan PDRB total
Kabupaten Indramayu.
Daerah yang memiliki nilai komponen PP sektor industri paling kecil yaitu
Kabupaten Bekasi yaitu sebesar minus Rp 321.696,21 juta (Lampiran 5).
Peningkatan PDRB sektor industri Kabupaten Bekasi pada periode 2000-2004
sebesar Rp 1.543.010,78 juta (Lampiran 2). Pertumbuhan PDRB sektor industri
74
pengolahan Kabupaten Bekasi yang terjadi ditunjang oleh peningkatan
produktivitas sentra-sentra industri Kabupaten Bekasi, banyaknya pabrik-pabrik
industri pengolahan di Kabupaten Bekasi menyebabkan peningkatan kontribusi
sektor industri Kabupaten Bekasi walaupun dengan pertumbuhan yang paling
lambat di Propinsi Jawa Barat pada periode 2000-2004.
5.2.3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Barat
Kemampuan daya saing kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat ditentukan
oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana
sosial dan ekonomi serta kebijakan regional Propinsi Jawa Barat. Komponen
Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat
pada kurun waktu 2000-2004 ditentukan kemampuan daya saing sektor-sektor
ekonomi pendukung perekonomian kabupaten dan kota yang ada.
Komponen PPW didapatkan dari selisih laju pertumbuhan sektor ekonomi
kabupaten/kota (ri) dengan laju pertumbuhan sektor ekonomi Jawa Barat (Ri)
yang diproporsikan terhadap PDRB total setiap kabupaten dan kota. Dengan
komponen pertumbuhan pangsa wilayah maka dapat diketahui kabupaten/kota
mana yang dapat bersaing baik, dan kabupaten/kota mana yang tidak mampu
bersaing baik dengan kabupaten/kota lainnya. Semakin baik pertumbuhan sektor
ekonomi kabupaten/kota dibandingkan pertumbuhan sektor ekonomi Propinsinya,
maka semakin baik pula daya saing kabupaten/kota tersebut dibandingkan
kabupaten/kota yang lain. Demikian pula apabila pertumbuhan sektor ekonomi di
suatu kabupaten/kota lebih kecil dibandingkan pertumbuhan sektor ekonomi
75
propinsinya, maka daerah ini tidak mempunyai daya saing yang baik
dibandingkan daerah lainnya.
Tabel 5.11. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004.
Kabupaten/Kota rp rm ru rs rw Kota Bandung 0,20 0,75 1,08 0,61 0,71
Subang 0,12 -0,08 0,45 0,31 0,29 Karawang 0,24 0,31 0,29 0,29 0,27
Kota Depok 0,13 0,31 0,29 0,25 0,27 Sukabumi 0,25 0,28 0,39 0,24 0,26 Cirebon 0,44 0,19 0,26 0,19 0,26
Kota Bogor 0,18 0,28 0,30 0,24 0,26 Kota Bekasi 0,22 0,27 0,03 0,25 0,24
Bekasi 0,02 0,23 0,32 0,23 0,23 Kota Sukabumi 0,34 0,43 0,24 0,21 0,23
Kuningan 0,22 0,48 0,32 0,19 0,21 Bogor 0,03 0,18 0,40 0,22 0,19
Kota Cirebon 0,14 0,18 0,13 0,23 0,19 Kota Tasikmalaya -0,57 0,79 0,71 0,38 0,18
Cianjur 0,16 0,14 0,17 0,14 0,16 Ciamis 0,02 0,05 0,35 0,25 0,16
Majalengka 0,06 0,24 0,25 0,21 0,16 Sumedang 0,08 0,18 0,29 0,19 0,16
Garut 0,12 0,22 0,22 0,16 0,15 Kota Banjar -0,33 0,90 0,32 0,32 0,14 Purwakarta 0,09 0,07 0,14 0,23 0,14
Tasikmalaya 0,51 -0,17 -0,16 0,30 0,12 Bandung 0,14 -0,02 0,14 0,07 0,04 Indramayu 0,00 0,00 0,24 0,28 0,03
Kota Cimahi 1,23 1,37 -0,46 -0,51 0,02 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Keterangan : Tanda (*) menunjukkan kabupaten/ kota dengan laju pertumbuhan positif rw : nilai laju pertumbuhan total PDRB Kabupaten/Kota rp : nilai ri sektor primer (Pertanian + Pertambangan) rm : nilai ri sektor industri (Industri Pengolahan) ru : nilai ri sektor utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) rs : nilai ri sektor jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
Berdasarkan Tabel 5.11 nilai laju pertumbuhan PDRB total (rw) Kota
Bandung sebesar 0,71 merupakan yang terbesar dibandingkan laju pertumbuhan
76
PDRB total kabupaten/kota yang lain di Jawa Barat. Besarnya laju pertumbuhan
PDRB total Kota Bandung besar ditunjang oleh nilai laju pertumbuhan sektor jasa
(rs) dan sektor utilitas yang paling tinggi diantara kabupaten/kota yang lain di
Jawa Barat yaitu berturut-turut sebesar 1,08 dan 0,61 (Tabel 5.11). Sektor jasa
merupakan sektor penunjang utama pembentukan PDRB total Kota Bandung
sebagai wilayah yang dijadikan ibukota Propinsi Jawa Barat dimana hampir
semua kegiatan perekonomian terpusat di Kota Bandung.
Setelah lepas dari Kota Bandung pada tahun 2000 saat pemekaran wilayah,
Kota Cimahi hanya mampu mendapatkan laju pertumbuhan PDRB total paling
kecil yaitu sebesar 0,02 (Tabel 5.11). Kecilnya laju pertumbuhan PDRB total (rw)
Kota Cimahi disebabkan nilai laju pertumbuhan sektor utilitas (ru) dan sektor jasa
(rs) yang negatif yaitu berturut-turut sebesar -0,46 dan -0,51 (Tabel 5.11).
Berdirinya Kota Cimahi dengan pemerintahannya sendiri yang sebelumnya
dibawah pemerintahan Kota Bandung pada periode 1995-1997 belum terlihat
peningkatan pertumbuhannya pada periode 2000-2004.
Laju pertumbuhan sektor primer dan sektor industri di Kota Cimahi
merupakan yang paling besar dibandingkan dearah lain yaitu berturut-turut
sebesar 1,23 dan 1,37 (Tabel 5.11). Tingginya laju pertumbuhan sektor industri ini
dikarenakan Kota Cimahi merupakan pusat industri pengolahan non migas di
Jawa Barat. Hal ini terlihat dari banyaknya kegiatan industri di daerah ini,
kegiatan industri pengolahan di Kota Cimahi antara lain industri tekstil dan
industri pangan. Besarnya kinerja sektor industri pengolahan terlihat dari
banyaknya pabrik-pabrik industri pengolahan di Kota Cimahi. Hal ini mendorong
77
besarnya kontribusi sektor industri terhadap pembentukan PDRB total Kota
Cimahi pada periode 2000-2004.
Tabel 5.12.Urutan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Periode 2000-2004.
No PPWpj PPWmj PPWuj PPWsj
1 Sukabumi* Kota Bandung* Kota Bandung* Kota Bandung*
2 Tasikmalaya* Bekasi* Kota Tasikmalaya* Kota Depok*
3 Cirebon* Kota Cimahi* Bogor* Kota Tasikmalaya*
4 Cianjur* Kota Bekasi* Sukabumi* Kota Banjar
5 Karawang* Karawang* Kota Depok* Subang
6 Bandung* Bogor* Kota Banjar Tasikmalaya
7 Garut* Sukabumi* Kuningan Kota Sukabumi
8 Subang* Kota Tasikmalaya* Ciamis Indramayu
9 Kuningan* Kota Bogor* Sumedang Karawang
10 Sumedang* Majalengka* Kota Sukabumi Majalengka
11 Majalengka* Garut* Majalengka Kota Bogor
12 Purwakarta* Kota Cirebon* Kota Bogor Kota Cirebon
13 Bogor* Kota Banjar* Bekasi Sumedang
14 Kota Bekasi* Kuningan* Garut Kuningan
15 Ciamis* Cirebon Purwakarta Ciamis
16 Kota Cimahi* Kota Sukabumi* Cianjur Purwakarta
17 Kota Sukabumi* Sumedang* Kota Cirebon Sukabumi
18 Kota Bandung* Cianjur Cirebon Cirebon
19 Bekasi* Kota Depok Karawang Kota Bekasi
20 Kota Bogor* Ciamis Indramayu Bogor
21 Kota Cirebon* Subang Tasikmalaya Bekasi
22 Kota Banjar Tasikmalaya Kota Cirebon Cianjur
23 Indramayu Purwakarta Kota Bekasi Garut
24 Kota Depok Indramayu Kota Cimahi Bandung
25 Kota Tasikmalaya Bandung Bandung Kota Cimahi Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Keterangan : Tanda (*) menunjukkan kabupaten/kota dengan nilai komponen PPW positif PPWp : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Primer (Pertanian + Pertambangan) PPWm : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Industri (Industri Pengolahan) PPWu : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) PPWs : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
78
Daya saing paling baik sektor primer pada periode 2000-2004 dimiliki
oleh Kabupaten Sukabumi (Tabel 5.12). Hal ini dapat dilihat dari nilai
pertumbuhan pangsa wilayah Kabupaten Sukabumi sebesar Rp 206.376,10 juta
(Lampiran 6). Daya saing yang baik sektor primer Kabupaten Sukabumi ditunjang
oleh kemampuan daya saing sektor perikanan Kabupaten Sukabumi yang
mempunyai sektor perikanan yang memberikan kontribusi besar terhadap PDRB
total (BPS, 2003). Selain itu produktivitas sektor penggalian Kabupaten Sukabumi
mampu bersaing dengan baik dibandingkan daerah lain dengan pertumbuhan yang
besar.
Pada periode 2000-2004 pertumbuhan seluruh sektor perekonomian Kota
Bandung diatas pertumbuhan sektor ekonomi Jawa Barat. sektor ekonomi di Kota
Bandung hampir sebagian besar berdaya saing paling baik dibandingkan
kabupaten/kota lain (Tabel 5.12). Hal ini terlihat dari nilai pertumbuhan pangsa
wilayah sektor industri, sektor utilitas dan sektor jasa berturut-turut sebesar Rp
745.208,88 juta, Rp 432.324,74 juta dan Rp 691.061,10 juta merupakan nilai
tertinggi diantara kabupaten/kota lain di Jawa Barat (Lampiran 6). Kota Bandung
merupakan pusat kegiatan perekonomian Jawa Barat, berkembangnya
perdagangan Kota Bandung semakin mendorong aktivitas industri non migas dan
hal ini menarik semakin banyaknya investor yang menanamkan modalnya di Kota
Bandung. Hal ini merupakan pendorong semakin meningkatnya keuangan, dan
jasa-jasa di Kota Bandung pada periode 2000-2004. Kebutuhan untuk
mempermudah akses menuju Kota Bandung pun pada akhirnya mendorong
semakin berkembangnya sektor utilitas khususnya peningkatan kinerja sektor
79
pengangkutan dan komunikasi. Lingkaran perekonomian yang saling
menguntungkan ini mendorong semakin meningkatnya pertumbuhan sektor-sektor
perekonomian Kota Bandung yang menunjang pertumbuhan PDRB total Kota
Bandung yang semakin meningkat pula sehingga memperbesar kontribusi
terhadap pembentukan PDRB total Jawa Barat.
5.2.4. Profil Pertumbuhan Wilayah
Posisi relatif pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa
Barat periode 2000-2004 disajikan pada Tabel 5.13. Nilai Pergeseran Bersih (PB)
menunjukkan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota, apakah termasuk progresif
atau tidak progresif dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Barat.
Pada Tabel 5.12 terlihat bahwa pada periode 2000-2004 terdapat 12
kabupaten/kota yang tumbuh progresif diantaranya Kota Bandung, Kabupaten
Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Sukabumi, Kota Bekasi, Kabupaten
Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Subang,
Kota Sukabumi, dan Kabupaten Kuningan. Sementara itu 13 kabupaten/kota
diantaranya Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kabupaten Sumedang,
Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bogor, Kabupaten Ciamis, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Purwakarta, Kota Cimahi, Kabupaten
Indramayu, dan Kabupaten Bandung tidak tumbuh progresif pada periode 2000-
2004.
Kabupaten dan kota yang tumbuh progresif dengan pertumbuhan PDRB
yang cepat dan berdaya saing yang baik pada periode 2000-2004 adalah Kota
80
Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon dan
Kota Depok. Bila dilihat pada gambar profil pertumbuhan ekonomi (Gambar 5.2)
terlihat bahwa kabupaten/kota ini berada di kuadran 1 yaitu daerah yang memiliki
Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) bernilai
positif (PP>0 dan PPW>0). Daerah ini pada Gambar 5.2 berada diatas garis 450.
Tabel 5.13. Pergeseran Bersih Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004.
PB.j PP.j PPW.j Kabupaten/Kota
(juta rupiah) Kota Bandung* 2.296.105,75 423.868,60 1.872.237,15
Karawang* 243.458,60 58.488,11 184.970,49 Bekasi* 224.918,37 -109.310,18 334.228,55
Sukabumi* 131.298,27 -29.117,22 160.415,49 Kota Bekasi* 115.520,70 196.163,65 -80.642,95 Tasikmalaya* 103.102,89 51.212,38 51.890,52
Cirebon* 94.498,22 61.549,38 32.948,85 Kota Depok* 93.341,41 77.408,19 15.933,21 Kota Bogor* 65.054,23 111.726,51 -46.672,28
Subang* 25.877,69 -8.861,23 34.738,93 Kota Sukabumi* 12.829,68 62.857,07 -50.027,39
Kuningan* 10.632,46 20.511,17 -9.878,71 Kota Banjar -11.106,55 3.000,81 -14.107,36
Kota Tasikmalaya -13.383,43 33.296,50 -46.679,93 Kota Cirebon -13.722,28 120.419,91 -134.142,18
Sumedang -42.542,78 16.165,44 -58.708,22 Majalengka -42.878,05 6.063,73 -48.941,78
Bogor -50.799,60 30.547,47 -81.347,07 Ciamis -68.118,30 29.273,42 -97.391,72 Cianjur -96.155,68 -7.922,89 -88.232,79 Garut -105.845,29 27.645,42 -133.490,71
Purwakarta -115.735,97 61.001,49 -176.737,46 Kota Cimahi -218.726,79 115.404,42 -334.131,22 Indramayu -661.989,25 -407.247,82 -254.741,43 Bandung -1.115.045,31 71.883,71 -1.186.929,02
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Keterangan Tanda (*) menunjukkan kabupaten/kota yang progresif PP.j : Pertumbuhan Proporsional total PDRB PPW.j : Pertumbuhan Pangsa Wilayah total PDRB PB.j : Pergeseran Bersih total PDRB kabupaten/kota (PP.j + PPW.j)
81
Kabupaten/kota yang pada periode 2000-2004 memiliki pertumbuhan
PDRB yang cepat namun kemampuan daya saingnya lemah dibandingkan daerah
lain adalah Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Kuningan, Kota
Banjar dan Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten
Majalengka, Kabupaten Bogor, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Garut, Kabupaten
Purwakarta, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Daerah ini pada Gambar 5.2
termasuk dalam kuadran 2 yaitu memiliki Pertumbuhan Proporsional bernilai
positif (PP>0), tetapi Pertumbuhan Pangsa Wilayah bernilai negatif (PPW<0).
Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Sukabumi dan Kabupaten Kuningan walaupun
tidak berdaya saing baik tetap memperoleh nilai pergeseran bersih yang positif
yaitu Kota Bekasi sebesar Rp 115.520,70 juta, Kota Bogor Rp 65.054,23 juta,
Kota Sukabumi Rp 12.829,68 juta dan Kabupaten Kuningan Rp 10.632,46 juta
(Tabel 5.13). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun daerah tersebut tidak berdaya
saing baik tetapi termasuk daerah yang tumbuh progresif didukung oleh
pertumbuhan PDRBnya yang cepat di Propinsi Jawa Barat pada periode 2000-
2004. Daerah ini pada Gambar 5.2 berada diatas garis 450 yang artinya merupakan
daerah yang tumbuh progresif.
Berdasarkan Tabel 5.6 daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang
lambat dan tidak memiliki daya saing yang baik pada periode 2000-2004 adalah
Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Indramayu. Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Indramayu termasuk dalam kuadran 3 pada Gambar 5.2 dengan nilai Pertumbuhan
Proporsional dan Pertumbuhan Pangsa Wilayah bernilai negatif (PP<0 dan
PPW<0). Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan buruknya daya saing
82
dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Barat menyebabkan Kabupaten Cianjur
dan Kabupaten Indramayu tidak tumbuh progresif pada periode 2000-2004.
Kabupaten dan kota yang memilki pertumbuhan yang lambat tapi
memiliki daya saing yang baik dibandingkan daerah lain di Jawa Barat pada
periode 2000-2004 adalah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Subang. Daerah ini pada Gambar 5.2 termasuk di kuadran 4 yaitu
memiliki Pertumbuhan Proporsional bernilai negatif (PP<0), sedangkan
Pertumbuhan Pangsa Wilayah bernilai positif (PPW>0). Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Subang walaupun tidak memiliki
pertumbuhan PDRB yang cepat tetap memperoleh nilai pergeseran bersih yang
positif yaitu Kabupaten Bekasi sebesar Rp 224.918,37 juta, Kabupaten Sukabumi
Rp 131.298,27 juta dan Kabupaten Kuningan Rp 25.877,69 juta (Tabel 5.13). Hal
ini menunjukkan bahwa meskipun daerah tersebut tidak berdaya saing baik tetapi
termasuk daerah yang tumbuh progresif didukung oleh pertumbuhan PDRBnya
yang cepat di Propinsi Jawa Barat pada periode 2000-2004. Pada Gambar 5.2
daerah ini berada diatas garis 450.
Kota Bandung pada periode 2000-2004 merupakan daerah paling progresif
di Jawa Barat dengan nilai pergeseran bersih sebesar Rp 2.296.105,75 juta (Tabel
5.13). Kota Bandung memiliki pertumbuhan ekonomi paling cepat dan berdaya
saing paling baik diantara kabupaten/kota lain di Jawa Barat. Kemampuan Kota
Bandung menjadi wilayah termaju di Jawa Barat ditunjang oleh majunya sektor-
sektor ekonomi pendorong pertumbuhan PDRB Kota Bandung. Prestasi Kota
Bandung sebagai wilayah yang pertumbuhan perekonomiannya diatas
83
pertumbuhan Jawa Barat merupakan keuntungan yang diperoleh Kota Bandung
sebagai penyangga kinerja perekonomian Jawa Barat pada periode 2000-2004.
sektor ekonomi utilitas, industri dan jasa Kota Bandung tumbuh paling progresif
dibandingkan wilayah lain.
Untuk memicu pertumbuhan PDRB maupun sektoral kabupaten/kota d
Propinsi Jawa Barat dibutuhkan kinerja yang baik dari seluruh sumber daya
pendukungnya. Apabila pertumbuhan kabupaten/kota cepat maka daya saing
kabupaten/kota tersebut pasti baik dibandingkan daerah lain. Membaiknya tingkat
laju pertumbuhan yang diiringi peningkatan kemampuan daya saingnya
mendorong kabupaten/kota tersebut tumbuh progresif dibandingkan
kabupaten/kota lain di Propinsi Jawa Barat.
Secara lebih jelas pada Gambar 5.2 disajikan profil pertumbuhan PDRB
disetiap kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat pada kurun waktu 2000-2004.
Untuk mengevaluasi pertumbuhan PDRB setiap kabupaten dan kota di Propinsi
Jawa Barat pada periode 2000-2004 adalah dengan mengekspresikan persentase
perubahan komponen Pertumbuhan Proporsional sebagai sumbu absis dan
persentase perubahan komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah sebagai sumbu
ordinat.
84
Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Gambar 5.2. Profil Pertumbuhan Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat pada
kurun waktu 2000-2004.
IV I III II
Sukabumi
Cianjur
Tasikmalaya
Indramayu
Subang
Karawang
Bekasi
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Bogor
Bandung
Garut
Ciamis
Kuningan
Cirebon
Majalengka
Sumedang
Purwakarta
Kota Bogor
Kota Banjar
-40,00
-30,00
-20,00
-10,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
-15,00 -10,00 -5,00 0,00 5,00 10,00 15,00 PP.j
PPW.j
85
5.3. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah
5.3.1. Komponen Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat
Pertumbuhan PDRB total Propinsi Jawa Barat selama dua periode
penelitian ditunjukkan pada Tabel 5.14. Pada periode sebelum pemekaran wilayah
pertumbuhan PDRB total Jawa Barat merupakan yang paling besar diantara
propinsi lainnya di Pulau Jawa. Pertumbuhan PDRB total ini menempatkan
Propinsi Jawa Barat pada periode sebelum pemekaran wilayah sebagai kontributor
terbesar terhadap pembentukan PDB total Indonesia. Saat terjadinya pemekaran
wilayah di awal tahun 2000 PDRB total Jawa Barat mengalami penurunan yang
cukup signifikan. Pada periode setelah pemekaran wilayah yaitu tahun 2000-2004
pertumbuhan PDRB total Jawa Barat cenderung terus meningkat.
Tabel 5.14. Pertumbuhan PDRB Total Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 dan 2000-2004.
Tahun Total PDRB
(juta rupiah) Tahun Total PDRB (juta rupiah)
1995 62.491.165 2000 55.660.204
1996 68.243.530 2001 578.248.43
1997 71.568.924 2002 60.096.782
- - 2003 63.249.926
- - 2004 66.861.448
∆ PDRB 9.077.759 ∆ PDRB 11.201.243
Nilai Ra 0,15 Nilai Ra 0,20 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1997-2004), diolah.
PDRB total pada awal periode sebelum pemekaran sebesar Rp 62.491.165
juta lebih besar dibandingkan PDRB total pada awal periode setelah pemekaran
86
sebesar Rp 55.660.204 (Tabel 5.14). Hal ini disebabkan pada periode kedua
terjadi penurunan total PDRB awal yaitu pada tahun 2000 yang dipengaruhi oleh
terjadinya pemekaran wilayah. Pertumbuhan PDRB terbesar selama dua periode
penelitian pada tahun 1997 yaitu sebesar Rp 71.568.924 juta, sedangkan
pertumbuhan PDRB terkecil yaitu pada tahun 2000 Rp 55.660.204 juta (Tabel
5.14).
Laju pertumbuhan PDRB total Jawa Barat (Ra) menunjukkan
peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai laju pertumbuhan PDRB total Jawa
Barat pada periode 1995-1997 sebesar 0,15 menjadi 0,20 pada periode 2000-2004.
Pertumbuhan PDRB total Jawa Barat pada periode 2000-2004 belum
menunjukkan pertumbuhan sebesar periode 1995-1997. Dari dua periode
penelitian dapat dikatakan bahwa pertumbuhan PDRB total Jawa Barat cenderung
meningkat meskipun belum kembali dengan pertumbuhan pada periode pertama.
Propinsi Jawa Barat sempat mengalami penurunan karena dampak pemekaran
wilayah selanjutnya dapat kembali memulihkan keadaan perekonomiannya.
5.3.2. Komponen Pertumbuhan Sektoral Propinsi Jawa Barat
Pertumbuhan PDRB total Jawa Barat ditunjang oleh pertumbuhan PDRB
sektoralnya. Pada periode setelah pemekaran kinerja sektor perekonomian
cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan kinerja sektor perekonomian
Jawa Barat setelah terjadinya pemekaran wilayah cenderung lebih besar
dibandingkan pada periode sebelum pemekaran wilayah atau pada tahun 1995-
87
1997. Pada periode setelah pemekaran wilayah sektor utilitas dan jasa kembali
menunjukkan peningkatan pertumbuhannya dengan sangat tinggi.
Tabel 5.15. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997 dan 2000-2004.
PDRB per sektor
(juta rupiah) Tahun Sektor Primer Sektor Industri Sektor Utilitas Sektor Jasa
1995 12.815.304 20.810.291 4.959.109 23.906.461 1996 12.930.078 24 113 084 5.478.024 25.722.353 1997 12.299.543 26 310 843 5.768.203 27.190.354
∆ PDRB -515.673 5.500.545 809.087 3.283.890 Nilai Ri -0,04 0,26 0,16 0,14
2000 11.330.278 21.833.139 4.508.699 17.988.087 2001 11.360.510 22.908.171 4.809.210 18.746.951 2002 10.792.334 23.631.807 5.293.519 20.379.121 2003 10.913.934 24.528.733 5.619.631 22.187.625 2004 11.275.644 25.187.839 6.159.906 24.238.057
∆ PDRB -54.634 3.354.700 1.651.206 6.249.970 Nilai Ri -0,01 0,15 0,37 0,35
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1997-2004), diolah. Keterangan : Sektor Primer = Pertanian + Pertambangan Sektor Industri = Industri Pengolahan Sektor Utilitas = Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi Sektor Jasa = Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa
Berdasarkan Tabel 5.15 terlihat bahwa kinerja sektor primer selama dua
periode penelitian cenderung menurun. Pertumbuhan PDRB sektor primer terus
menurun disebabkan semakin berkurangnya lahan pertanian di Jawa Barat pada
periode 2000-2004 (BPS, 2003). Kinerja sektor primer pada periode setelah
pemekaran belum bisa kembali seperti pada awal periode sebelum pemekaran.
Keadaan ini menunjukkan sektor primer di Propinsi Jawa Barat bukan pendukung
utama terhadap perkembangan perekonomian Jawa Barat selama dua periode
penelitian.
88
Kinerja sektor industri di Propinsi Jawa Barat mengalami penurunan pada
periode setelah terjadinya pemekaran wilayah. Sektor industri yang pada periode
sebelum pemekaran wilayah mampu tumbuh sebesar 26 persen, pada periode
setelah terjadinya pemekaran wilayah menjadi sebesar 15 persen. Penurunan
kontribusi sektor industri yang cukup signifikan merupakan dampak dari
terjadinya pemekaran wilayah. Keadaan ini menunjukkan daerah-daerah yang
mekar menjadi Propinsi Banten sebelumnya yaitu pada periode sebelum
pemekaran wilayah sangat menunjang terhadap pembentukan PDRB sektoral
industri di Jawa Barat.
Sektor utilitas mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama dua
periode penelitian. Laju pertumbuhan PDRB sektor utilitas pada periode sebelum
pemekaran sebesar 0,16 menjadi sebesar 0,37 pada periode 2000-2004 (Tabel
5.15). Pertumbuhan PDRB sektor utilitas sempat menurun pada awal tahun 2000
yang disebabkan lepasnya Kota Tangerang yang sebelumnya memberikan
kontribusi besar pada sektor utilitas. Penurunan pertumbuhan PDRB sektor utilitas
Jawa Barat tidak berlangsung lama. Pada tahun-tahun berikutnya selama periode
setelah pemekaran kinerja sektor utilitas terus meningkat bahkan melebihi
pertumbuhan pada periode 1995-1997 yang menempatkan sektor utilitas sebagai
sektor pendukung utama terhadap pembentukan PDRB total Jawa Barat setelah
terjadinya pemekaran wilayah.
Peningkatan petumbuhan yang cukup besar terjadi di sektor jasa pada
periode setelah pemekaran. Sama seperti sektor utilitas, pada awal pemekaran
wilayah sektor jasa mengalami penurunan pertumbuhan PDRB akibat lepasnya
89
kabupaten/kota yang membentuk Propinsi Banten yang memberikan kontribusi
yang besar terhadap pembentukan PDRB sektor jasa. Sama halnya dengan sektor
utilitas, dampak pemekaran wilayah terhadap sektor jasa hanya terjadi pada awal
tahun 2000. Selama periode setelah pemekaran sektor jasa terus mengalami
peningkatan bahkan melebihi pertumbuhan PDRB sektor jasa pada periode
sebelum pemekaran dengan laju pertumbuhan PDRB sebesar 0,35 (Tabel 5.15).
5.3.3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Barat
Kemampuan daya saing sektoral kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat
ditentukan oleh kemampuan setiap kabupaten/kota mengelola SDA yang tersedia
secara optimal. Selama dua periode penelitian terlihat bahwa kemampuan daya
saing sektoral setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat berbeda satu sama
lainnya.
Dilihat dari hasil penelitian mengenai kemampuan daya saing di
kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dapat dilihat bahwa terdapat ketimpangan
kemampuan daya saing untuk setiap sektor ekonomi. Kemampuan daya saing
untuk tingkat kota dan tingkat kabupaten berbeda selama dua periode penelitian.
Untuk sektor utilitas, sektor jasa dan sektor industri khususnya kemampuan daya
saing lebih banyak dimiliki oleh beberapa kota di Propinsi Jawa Barat. Untuk
sektor primer, kemampuan daya saing cenderung dimiliki oleh tingkat kabupaten.
Hal ini menunjukkan ketersediaan lahan pertanian maupun penggalian di tingkat
kabupaten lebih banyak dibandingkan di kota yang lebih menekankan peningkatan
pada sektor-sektor diluar sektor primer.
90
Penurunan kemampuan daya saing yang paling terlihat selama dua periode
penelitian terjadi pada sektor jasa dan sektor utilitas. Pada periode sebelum
pemekaran terdapat 17 kabupaten dan kota yang dapat bersaing baik di sektor
utilitas dan 13 kabupaten dan kota yang dapat bersaing baik di sektor jasa. Pada
periode setelah pemekaran hanya terdapat lima kabupaten dan kota yang mampu
bersaing di sektor utilitas sedangkan di sektor jasa hanya terdapat tiga kota yang
dapat bersaing dengan baik. Hal ini menunjukkan kemampuan daya saing sektor
utilitas dan sektor jasa kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat mengalami
penurunan pada periode setelah pemekaran.
Dilihat dari kecenderungan pembangunan di tingkat kabupaten dan kota,
terlihat bahwa sektor jasa dan sektor utilitas lebih berkembang di tingkat kota
dibandingkan kabupaten. Hal ini secara langsung berdampak terhadap pemerataan
kemampuan pertumbuhan sektoral kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.
Terjadinya ketimpangan kemampuan daya saing sektoral antara kabupaten dan
kota yang terdapat di Jawa Barat menunjukkan terjadinya perbedaan kinerja
perekonomian di tingkat kabupaten dan tingkat kota di Propinsi Jawa Barat
selama periode sebelum pemekaran.
5.3.4. Profil Pertumbuhan Wilayah
Kemampuan setiap kabupaten dan kota dalam menciptakan nilai tambah
dalam pembentukan PDRB totalnya menunjukkan kemampuan pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota tersebut. Indikator yang dapat digunakan yaitu
kemampuan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan daya saing terhadap daerah
91
lain yang pada akhirnya menunjukkan progresif atau tidak progresifnya
pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota tersebut.
Selama kurun waktu sebelum dan sesudah pemekaran wilayah
pertumbuhan beberapa kabupaten/kota mengalami pergeseran. Pada periode
sebelum pemekaran terdapat 9 kabupaten dan kota yang tumbuh progresif. Pada
periode setelah pemekaran meningkat menjadi 12 kabupaten dan kota yang
tumbuh progresif. Kabupaten/kota yang secara konsisten tumbuh progresif pada
dua periode ini adalah Kabupaten Bekasi dan Kota Bogor. Kabupaten/kota yang
secara konsisten tumbuh tidak progresif selama dua periode penelitian yaitu
Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Purwakarta.
Kabupaten Bekasi dan Kota Bogor konsisten tumbuh progresif dengan
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berdaya saing baik pada dua periode
penelitian. Kabupaten Bekasi dan Kota Bogor menunjukkan pertumbuhan
ekonomi yang semakin cepat dan kemampuan daya saing semakin baik dari tahun
ke tahun selama kurun waktu 1995-2004 dibandingkan daerah lain di Jawa Barat.
Kota Bogor bertahan tumbuh progresif dengan memiliki pertumbuhan
ekonomi yang cepat tetapi daya saing kurang baik setelah terjadinya pemekaran
wilayah. Pada periode sebelum pemekaran wilayah, Kota Bogor tumbuh progresif
ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat dan daya saing baik, tetapi pada
periode ini Kota Bogor hanya ditunjang oleh pertumbuhan ekonominya yang
cepat.
92
Kabupaten Bekasi bertahan tumbuh progresif selama dua periode
penelitian. Pada periode setelah pemekaran mengalami peningkatan dalam
kemampuan daya saingnya. Pada periode sebelum pemekaran Kabupaten Bekasi
mempunyai pertumbuhan yang cepat dan didukung daya saing yang baik,
sehingga pertumbuhannya progresif. Pada periode setelah pemekaran daya saing
Kabupaten Bekasi mendorong progresifnya pertumbuhan Kabupaten Bekasi.
Kabupaten Bandung pada periode sebelum pemekaran wilayah tumbuh
progresif dengan memiliki pertumbuhan ekonomi yang cepat meskipun daya
saingnya kurang baik. Pada periode setelah pemekaran wilayah Kabupaten
Bandung menjadi tidak tumbuh progresif karena pertumbuhan ekonominya
menurun dengan kemampuan daya saing yang kurang baik.
Pada periode setelah pemekaran pertumbuhan Kabupaten Majalengka dan
Kabupaten Indramayu mengalami kemunduran. Pada periode sebelumnya daerah
ini tumbuh progresif sementara pada periode setelah pemekaran daerah ini
tumbuh tidak progresif. Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu
mengalami penurunan daya saing pada periode setelah pemekaran. Penurunan
kemampuan daya saya saingnya kurang bisa diimbangi dengan pertumbuhan
ekonominya, sehingga pada periode setelah pemekaran pergeseran bersih kedua
daerah negatif. Hal ini menyebabkan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten
Indaramayu menjadi tumbuh tidak progresif pada periode setelah pemekaran.
Pertumbuhan Kota Sukabumi, Kabupaten Kuningan, Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Subang menjadi progresif pada
periode setelah pemekaran wilayah. Kota Sukabumi dan Kabupaten Kuningan
93
mengalami peningkatan pertumbuhan ekonominya pada periode 2000-2004 yang
menjadikan kedua daerah ini tumbuh progresif pada periode setelah pemekaran
wilayah. Sementara itu Kabupaten Bekasi, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Subang menjadi tumbuh progresif pada periode setelah pemekaran wilayah
ditunjang oleh peningkatan kemampuan daya saingnya.
Kabupaten Cianjur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Sumedang tidak
menunujukkan kemajuan pertumbuhan ekonomi maupun daya saing selama dua
periode penelitian. Kadua daerah ini tidak memiliki daya saing yang baik terhadap
daerah lain di Jawa Barat. selama dua periode pertumbuhan ekonomi yang cepat
dari kedua daerah ini belum mampu menghasilkan pergeseran bersih yang positif.
Keadaan ini menyebabkan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang tetap
tidak tumbuh progresif selama periode sebelum pemekaran dan periode setelah
pemekaran.
Daerah yang terbentuk setelah pemekaran wilayah pada tahun 2000 yaitu
Kota Banjar, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya dan Kota Bekasi
menunjukkan keragaman dalam kemampuan tumbuh perekonomiannya. Kota
Banjar, Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi menunjukkan pertumbuhan ekonomi
yang cepat selama periode setelah pemekaran. Kemampuan pertumbuhan yang
cepat daerah ini tidak didukung oleh kemampuan daya saingnya, sehingga pada
periode setelah pemekaran daerah ini belum mampu tumbuh progresif
dibandingkan daerah lain di Jawa Barat.
Pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi dan Kota Depok yang cepat
menempatkan kedua daerah ini sebagai kota yang progresif pada periode setelah
94
pemekaran. Kota Depok sebagai wilayah baru hasil pemekaran wilayah pada
tahun 2000 sudah mampu menunjukkan pertumbuhan yang cepat dengan
didukung kemampuan daya saing yang baik sehingga dapat tumbuh progresif
pada periode setelah pemekaran. Kota Bekasi tumbuh progresif dengan
pertumbuhan ekonomi yang cepat meskipun kurang ditunjang oleh kemampuan
daya saingnya dibandingkan daerah lain di Jawa Barat.
Beragamnya kegiatan perekonomian Propinsi Jawa Barat merupakan
indikator yang menggambarkan struktur perekonomian Jawa Barat yang sangat
dipengaruhi oleh potensi ekonomi setiap kabupaten dan kota yang ada. Potensi
ekonomi setiap daerah ditunjang oleh Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber
Daya Manusia (SDM) yang tersedia. Untuk melihat struktur ekonomi suatu
wilayah maka dapat dilihat distribusi persentase sektoralnya. Kontribusi nilai
tambah setiap sektor dalam pembentukan PDRB akan menunjukkan sektor-sektor
yang menjadi pemicu pertumbuhan. Dengan demikian struktur perekonomian
kabupaten dan kota di Jawa Barat selama periode sebelum dan sesudah pemekaran
wilayah sangat dipengaruhi oleh kemampuan tiap-tiap sektor dalam penciptaan
nilai tambah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada dua periode yaitu
sebelum dan sesudah pemekaran wilayah diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertumbuhan PDRB total Propinsi Jawa Barat pada periode sebelum
pemekaran sebesar 0,15. Sektor industri merupakan kontributor terbesar
sementara sektor primer merupakan kontributor terkecil terhadap
pembentukan PDRB total Jawa Barat. Kabupaten/kota yang tumbuh progresif
adalah Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang, Kota Cirebon, Kabupaten
Indramayu, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Majalengka dan Kota Bogor. Kabupaten/kota yang tidak tumbuh
progresif adalah Kabupaten Cianjur, Kabupaten Subang, Kabupaten Ciamis,
Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan,
Kabupaten Serang, Kabupaten Garut, Kabupaten Lebak, Kabupaten
Tasikmalaya, , Kabupaten Purwakarta, Kota Sukabumi dan Kabupaten
Karawang. Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cirebon, dan Kota Bandung.
2. Pertumbuhan PDRB total Propinsi Jawa Barat pada periode setelah pemekaran
sebesar 0,20. Sektor utilitas merupakan kontributor terbesar sementara sektor
primer merupakan kontributor terkecil terhadap pembentukan PDRB total
Jawa Barat. Kabupaten/kota yang tumbuh progresif adalah Kota Bandung,
Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Sukabumi, Kota Bekasi,
Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor,
96
Kabupaten Subang, Kota Sukabumi, dan Kabupaten Kuningan.
Kabupaten/kota yang tidak tumbuh progresif adalah Kota Banjar, Kota
Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka,
Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Garut, Kabupaten Purwakarta, Kota Cimahi, Kabupaten Indramayu, dan
Kabupaten Bandung.
3. Sektor primer merupakan sektor dengan kontribusi terkecil terhadap
pembentukan PDRB Jawa Barat pada periode sebelum dan sesudah
pemekaran wilayah. Pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi
Jawa Barat menunjukkan peningkatan setelah terjadinya pemekaran wilayah.
Daerah yang secara konsisten tumbuh progresif diantaranya Kabupaten Bekasi
dan Kota Bogor. Daerah yang konsisten tumbuh tidak progresif adalah
Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten
Purwakarta.tetap tidak tumbuh progresif selama dua periode penelitian. Kota
hasil pemekaran yang sudah dapat tumbuh progresif adalah Kota Depok dan
Kota Bekasi. Kota Banjar, Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi belum mampu
tumbuh progresif dibandingkan daerah lain di Jawa Barat.
6.2. Saran
Setelah melihat hasil penelitian dan kondisi yang ada, maka saran yang
dapat saya ajukan adalah:
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Sumedang, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purwakarta memiliki pertumbuhan
97
paling lambat. Kedua wilayah tersebut diharapkan menjadi perhatian
pemerintah agar dapat memacu pertumbuhan ekonominya.
2. Pemekaran wilayah yang akan dilakukan wilayah lain selanjutnya diharapkan
lebih menekankan pada usaha untuk memacu pertumbuhan ekonominya.
Pelaksanaan pemekaran wilayah memberikan dampak yang berbeda pada
setiap wilayah. Untuk itu diharapkan setiap wilayah dapat melakukan
pertimbangan lebih lanjut untuk melakukan pemekaran wilayah apabila dapat
menyebabkan penurunan kinerja perekonomian wilayah tersebut.
3. Penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan penelitian di Propinsi
Banten untuk mengetahui bagaimana kinerja perekonomiannya setelah lepas
dari Propinsi Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat. 2002. Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat 2010. Bappeda Jawa Barat, Bandung.
Badan Pusat Statistik. 1996. PDRB Propinsi Jawa Barat Menurut Lapangan
Usaha Tahun 1995. BPS Jawa Barat, Bandung. . 1997. PDRB Kabupaten dan Kota Propinsi Jawa Barat
Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993-1997. BPS Jawa Barat, Bandung. . 1997. PDRB Propinsi Jawa Barat Menurut Lapangan
Usaha Tahun 1993-1997. BPS Jawa Barat, Bandung. . 2000. PDRB Propinsi Jawa Barat Menurut Lapangan
Usaha Tahun 1999-2000. BPS Jawa Barat, Bandung. . 2003. PDRB Propinsi Jawa Barat Menurut Lapangan
Usaha Tahun 2000-2003. BPS Jawa Barat, Bandung. . 2003. PDRB Kabupaten dan Kota Propinsi Jawa Barat
Menurut Lapangan Usaha Tahun 1999-2003. BPS Jawa Barat, Bandung. . 2004. Jawa Barat Dalam Angka 2004. BPS Jawa Barat,
Bandung. . 2004. PDRB Propinsi Jawa Barat Menurut Lapangan
Usaha Tahun 2002-2004. BPS Jawa Barat, Bandung. . 2004. PDRB Kabupaten dan Kota Propinsi Jawa Barat
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004. BPS Jawa Barat, Bandung. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis: Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Boediono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi. BPFE UGM, Yogyakarta. Darojat, D. 2004. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Regional Terhadap
Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Jawa Barat Periode 1980-2002 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Padjajaran, Bandung.
99
Departemen Ilmu Ekonomi. 2005. Pelatihan Teknik Perencanaan Wilayah dan Ekonometrika Paket A. Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Irawan. 1994. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antar Wilayah di
Provinsi Jawa Barat Tahun 1986-1990 [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Irawan dan Suparmoko. 1999. Ekonomika Pembangunan. BPFE, Yogyakarta. Jhingan, ML. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Edisi ke-9. PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta. Pasaribu, S et al. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pemerintah Propinsi Jawa Barat. 2006. Profil Jawa Barat [Jabar Online].
http://www.jabar.go.id/profiljabar.htm [29 Januari 2006]. Pemerintah Propinsi Jawa Barat. 2006. Visi Jawa Barat [Jabar Online].
http://www.jabar.go.id/visijabar.htm [29 Januari 2006]. Setiawan, D. 2004. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di
Provinsi Sumatera Utara Periode 1993-2002 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar
Kebijaksanaan. LPFE UI, Jakarta. Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT Bumi
Aksara, Jakarta. Wikipedia Indonesia. 2006. Pemekaran Daerah di Indonesia [Wikipedia Online].
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Pemekaran_daerah_di_Indonesia.htm [29 Juli 2006].
Lampiran 1. PDRB Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Pada Tahun 1995 dan Tahun 1997 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (juta rupiah).
Sektor Pimer Sektor Industri Sektor Utilitas Sektor Jasa Total PDRB Kabupaten/Kota
1995 1997 1995 1997 1995 1997 1995 1997 1995 1997 Pandeglang 414.208,34 410.878,69 74.174,70 99.102,85 56.925,83 76.244,69 441.206,63 500.001,19 986.515,50 1.086.227,42
Lebak 324.349,00 337.544,33 62.368,00 78.491,03 44.260,00 51.578,27 473.710,00 539.946,79 904.687,00 1.007.560,56 Bogor 992.550,92 992.334,07 2.489.379,98 3.075.845,51 393.297,44 488.153,95 1.912.955,20 2.217.320,74 5.788.183,54 6.773.654,27
Sukabumi 868.098,80 929.636,75 153.851,79 216.439,14 126.920,80 159.169,68 817.626,53 900.065,86 1.966.497,92 2.205.338,43 Cianjur 770.858,99 818.060,08 75.301,61 94.230,52 129.918,63 157.440,04 886.620,84 996.355,49 1.862.700,07 2.066.086,13
Bandung 925.191,86 810.548,77 3.375.561,66 4.251.370,61 534.137,92 639.650,68 1.962.794,57 2.182.146,86 6.797.686,01 7.883.716,92 Garut 771.378,82 775.598,01 127.253,97 172.664,73 84.146,47 100.231,52 1.115.016,24 1.259.921,84 2.097.795,50 2.308.398,10
Tasikmalaya 554.051,20 574.913,18 159.499,10 165.632,68 121.221,66 155.562,89 1.112.765,26 1.276.102,62 1.947.537,22 2.172.211,37 Ciamis 665.546,41 689.274,20 133.913,93 162.624,28 167.299,72 194.836,50 955.495,64 1.071.783,14 1.922.255,70 2.128.518,12
Kuningan 310.333,00 309.682,98 20.765,00 25.096,27 49.616,00 57.593,12 457.493,00 535.643,89 838.207,00 928.016,26 Cirebon 377.632,44 394.141,75 195.655,38 236.129,14 152.003,51 177.652,21 925.014,93 1.024.225,83 1.650.306,26 1.832.148,93
Majalengka 317.256,23 366.869,19 143.561,00 173.664,00 60.116,33 66.655,67 460.120,00 540.417,77 981.053,56 1.147.606,63 Sumedang 334.574,24 329.212,00 150.983,78 193.214,20 49.451,74 60.596,60 479.431,05 539.104,30 1.014.440,81 1.122.127,60 Indramayu 3.379.839,87 3.471.410,64 124.330,07 924.415,40 122.617,56 142.327,11 684.670,18 748.696,69 4.311.457,82 5.286.849,84
Subang 641.700,00 686.036,80 121.446,00 127.382,00 40.985,00 55.553,00 748.871,00 853.435,00 1.553.002,00 1.722.416,80 Purwakarta 225.353,26 216.703,81 166.542,00 202.321,14 72.834,00 94.166,24 445.927,00 488.062,59 910.656,26 1.001.805,35 Karawang 471.644,00 460.576,00 842.928,00 1.033.533,00 211.720,00 246.304,00 1.038.441,00 1.184.450,00 2.564.733,00 2.924.863,00
Bekasi 394.741,00 268.935,96 3.258.078,00 6.272.332,01 324.254,00 610.186,55 1.726.041,00 3.113.932,70 5.357.884,00 10.265.387,22 Tangerang 473.259,73 488.049,71 1.859.622,53 2.276.507,67 424.890,78 477.110,50 896.791,68 1.042.547,34 3.654.564,72 4.284.215,22
Serang 424.727,93 421.224,66 3.095.075,96 3.473.434,00 398.952,11 486.918,18 1.062.433,71 1.271.991,39 4.981.189,71 5.653.568,23 Kota Bogor 4.899,85 4.648,21 171.452,13 239.770,69 170.417,17 182.540,91 593.261,16 671.555,85 940.030,31 1.098.515,66
Kota Sukabumi 80.131,66 44.081,38 19.866,83 24.078,00 62.660,62 68.148,39 317.288,86 398.406,28 477.947,97 534.714,05 Kota Bandung 21.747,91 19.594,79 1.312.314,84 172.215,75 684.793,77 663.658,91 3.754.629,93 4.187.847,15 5.773.486,45 6.593.226,69 Kota Cirebon 6.820,00 5.507,00 19.870,00 391.232,06 196.281,00 225.081,00 568.114,00 659.768,00 791.085,00 1.281.588,06
Kota Tangerang 31.559,09 24.260,72 2.466.643,26 3.547.381,00 923.711,02 1.096.244,70 1.803.306,28 2.156.035,38 5.225.219,65 6.823.921,80 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997). Keterangan : Primer = Sektor Pertanian + Sektor Pertambangan Industri = Sektor Industri Pengolahan Utilitas = Sektor Listrik, gas dan air bersih + Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Jasa = Sektor Bangunan + Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran + Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Sektor Jasa-jasa
Lampiran 2. PDRB Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Pada Tahun 2000 dan Tahun 2000 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (juta rupiah).
Sektor Pimer Sektor Industri Sektor Utilitas Sektor Jasa Total PDRB Kabupaten/Kota
2000 2004 2000 2004 2000 2004 2000 2004 2000 2004 Bogor 523.589,26 541.002,56 2.216.292,31 2.607.935,94 382.462,45 534.001,42 1.183.643,00 1.438.798,52 4.305.987,03 5.127.300,89
Sukabumi 855.152,57 1.070.080,20 372.928,85 477.123,36 157.670,08 219.423,87 862.886,74 1.065.832,45 2.248.638,24 2.826.894,75 Cianjur 878.581,14 1.023.015,83 64.020,97 73.056,15 167.766,47 195.903,84 926.548,12 1.058.701,03 2.035.916,70 2.351.753,59
Bandung 759.252,00 862.306,14 3.553.687,73 3.488.213,04 666.530,87 762.325,66 1.889.403,32 2.023.298,60 6.868.873,92 7.135.242,38 Garut 762.530,49 854.700,47 178.368,97 217.536,02 100.516,95 122.322,73 1.131.130,79 1.309.353,25 2.172.547,20 2.505.141,19
Tasikmalaya 353.858,55 535.893,18 112.417,14 93.120,18 107.640,52 90.367,60 728.258,52 947.950,60 1.302.180,18 1.462.720,23 Ciamis 640.574,47 654.209,46 145.929,91 153.554,68 176.945,62 238.819,22 885.940,68 1.106.866,50 1.849.345,33 2.150.958,07
Kuningan 325.055,37 395.358,37 22.566,19 33.466,53 57.834,81 76.454,95 507.553,61 602.099,73 913.009,98 1.108.287,07 Cirebon 407.415,91 585.244,95 182.175,07 216.739,52 178.607,96 225.540,55 811.639,60 964.743,66 1.579.838,54 1.992.767,01
Majalengka 390.925,21 412.617,92 145.489,30 180.713,10 77.753,80 97.375,70 512.433,84 619.738,51 1.126.602,16 1.310.282,96 Sumedang 314.317,52 339.744,82 170.211,47 200.016,62 67.198,86 86.806,64 501.278,16 595.805,55 1.053.006,01 1.221.913,81 Indramayu 2.600.976,26 2.592.208,67 972.571,68 973.483,24 156.221,46 194.235,08 757.032,86 967.824,90 4.486.802,27 4.635.159,47
Subang 720.900,75 809.722,43 89.728,26 82.988,10 70.620,83 102.300,95 831.868,92 1.088.738,64 1.713.118,77 2.209.581,86 Purwakarta 191.790,76 209.108,28 837.446,17 893.618,44 134.823,99 153.358,63 788.550,64 973.740,23 1.952.611,56 2.226.968,60 Karawang 479.454,78 593.235,50 996.677,00 1.306.451,03 262.775,75 340.000,28 1.055.080,21 1.360.030,83 2.793.987,74 3.535.960,10
Bekasi 208.203,71 212.078,53 6.759.527,78 8.302.538,56 271.615,65 359.749,58 1.418.476,49 1.750.704,30 8.657.823,63 10.623.838,00 Kota Bogor 4.701,80 5.542,11 296.656,23 379.037,22 175.579,96 228.529,62 668.751,02 828.196,52 1.145.689,01 1.440.484,65
Kota Sukabumi 14.549,55 19.459,07 18.427,82 26.312,66 68.364,88 84.711,67 377.802,89 457.916,17 479.190,14 589.824,35 Kota Bandung 18.788,54 22.618,85 1.241.119,40 2.177.028,48 603.496,28 1.256.837,51 2.646.665,80 4.257.312,29 4.510.070,01 7.710.843,95 Kota Cirebon 4.588,71 5.248,88 457.562,58 539.208,69 302.135,70 342.167,11 637.630,44 783.696,96 1.401.917,43 1.667.662,25 Kota Bekasi 37.183,00 45.438,31 1.492.076,00 1.898.230,31 356.726,00 365.876,09 1.473.463,00 1.841.490,38 3.359.448,00 4.153.141,42 Kota Depok 43.099,10 48.534,13 517.377,26 679.108,69 129.357,28 167.356,81 608.257,02 757.664,48 1.298.090,66 1.652.191,11 Kota Cimahi 5.115,46 11.411,82 337.912,92 801.492,28 164.310,68 89.456,18 720.593,48 353.958,66 1.227.932,55 1.255.550,87
Kota Tasikmalaya 230.066,45 98.467,81 73.089,69 131.116,56 69.984,10 119.567,37 473.488,21 654.471,58 846.631,99 1.002.165,18 Kota Banjar 65.681,83 44.311,12 14.963,05 28.503,27 18.138,61 23.952,74 90.840,67 119.911,07 189.624,16 217.004,00
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004). Keterangan : Primer = Sektor Pertanian + Sektor Pertambangan Industri = Sektor Industri Pengolahan Utilitas = Sektor Listrik, gas dan air bersih + Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Jasa = Sektor Bangunan + Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran + Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Sektor Jasa-jasa
103
Lampiran 3. Nilai Komponen Pertumbuhan Proporsional Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997.
PPp PPm PPu PPs PP.j Kabupaten/Kota (juta rupiah) (juta rupiah) Persen
Bekasi -73.228,62 387.886,65 5.799,93 -13.636,69 306.821,28 5,73
Kota Tangerang -5.854,54 293.663,32 16.522,43 -14.247,13 290.084,08 5,55
Serang -78.791,51 368.480,64 7.136,06 -8.393,82 288.431,37 5,79
Bandung -171.632,85 401.873,53 9.554,13 -15.507,17 224.287,64 3,30
Kota Bandung -4.034,47 156.236,10 12.248,91 -29.663,67 134.786,88 2,33
Tangerang -87.794,67 221.395,18 7.600,02 -7.085,15 134.115,38 3,67
Bogor -184.128,66 296.370,21 7.034,91 -15.113,41 104.163,05 1,80
Kota Bogor -908,97 20.412,03 3.048,25 -4.687,09 17.864,22 1,90
Karawang -87.494,94 100.353,80 3.787,04 -8.204,26 8.441,64 0,33
Kota Cirebon -1.265,18 2.365,60 3.510,88 -4.488,42 122,88 0,02
Kota Sukabumi -14.865,27 2.365,22 1.120,81 -2.506,76 -13.885,99 -2,91
Purwakarta -41.805,41 19.827,46 1.302,78 -3.523,07 -24.198,23 -2,66
Majalengka -58.854,38 17.091,49 1.075,30 -3.635,20 -44.322,79 -4,52
Sumedang -62.067,05 17.975,20 884,54 -3.787,77 -46.995,08 -4,63
Cirebon -70.054,80 23.293,52 2.718,89 -7.308,13 -51.350,52 -3,11
Lebak -60.170,16 7.425,15 791,68 -3.742,57 -55.695,90 -6,16
Kuningan -57.570,04 2.472,15 887,48 -3.614,45 -57.824,86 -6,90
Pandeglang -76.840,01 8.830,78 1.018,23 -3.485,78 -70.476,78 -7,14
Tasikmalaya -102.782,34 18.988,98 2.168,29 -8.791,47 -90.416,53 -4,64
Subang -119.042,12 14.458,61 733,10 -5.916,50 -109.766,90 -7,07
Ciamis -123.465,88 15.942,97 2.992,49 -7.548,95 -112.079,37 -5,83
Garut -143.098,90 15.150,07 1.505,13 -8.809,25 -135.252,95 -6,45
Cianjur -143.002,47 8.964,94 2.323,86 -7.004,80 -138.718,47 -7,45
Sukabumi -161.041,48 18.316,64 2.270,23 -6.459,71 -146.914,31 -7,47
Indramayu -626.995,93 14.801,97 2.193,26 -5.409,28 -615.409,98 -14,27 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997) , diolah. Keterangan : PP : Pertumbuhan Proporsional PPp : Pertumbuhan Proporsional Sektor Primer (Pertanian + Pertambangan) PPm : Pertumbuhan Proporsional Sektor Industri (Industri Pengolahan) PPu : Pertumbuhan Proporsional Sektor Utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) PPs : Pertumbuhan Proporsional Sektor Jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
104
Lampiran 4. Nilai Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 1995-1997.
PPWpj PPWmj PPWuj PPWsj PPW.j Kabupaten/Kota (juta rupiah) (juta rupiah) Persen
Bekasi -
109.918,35 2.153.083,70 233.029,96 1.150.795,60 3.426.990,92 63,96
Indramayu 227.595,35 767.222,59 -295,71 -30.022,61 964.499,62 22,37
Kota Tangerang -6.028,25 428.758,28 21.828,67 105.019,52 549.578,22 10,52
Kota Cirebon -1.038,52 366.110,05 -3.223,58 13.615,52 375.463,47 47,46
Sukabumi 96.475,34 21.921,47 11.541,54 -29.873,22 100.065,13 5,09
Cianjur 78.224,98 -974,70 6.324,97 -12.055,24 71.520,00 3,84
Majalengka 62.381,21 -7.842,83 -3.268,74 17.093,79 68.363,43 6,97
Subang 70.162,57 -26.164,43 7.881,23 1.695,99 53.575,37 3,45
Garut 35.264,00 11.775,18 2.356,41 -8.257,63 41.137,96 1,96
Bogor 39.729,22 -71.523,66 30.689,37 41.594,13 40.489,06 0,70
Tasikmalaya 43.160,25 -36.024,98 14.563,71 10.483,34 32.182,32 1,65
Ciamis 50.513,28 -6.685,58 241,55 -14.963,32 29.105,93 1,51
Lebak 26.249,04 -361,99 97,18 1.166,03 27.150,26 3,00
Pandeglang 13.340,52 5.322,40 10.031,31 -1.811,40 26.882,84 2,73
Kuningan 11.839,60 -1.157,30 -117,81 15.307,77 25.872,25 3,09
Sumedang 8.102,99 2.322,61 3.076,73 -6.183,37 7.318,95 0,72
Kota Bogor -54,44 23.000,59 -15.680,11 -3.198,11 4.067,93 0,43
Kota Sukabumi -32.825,31 -1.040,00 -4.735,42 37.533,31 -1.067,41 -0,22
Cirebon 31.707,45 -11.241,58 849,07 -27.852,96 -6.538,01 -0,40
Purwakarta 420,09 -8.240,99 9.449,25 -19.118,78 -17.490,44 -1,92
Karawang 7.913,72 -32.196,47 41,52 3.364,46 -20.876,76 -0,81
Tangerang 33.836,73 -74.647,51 -17.101,93 22.568,66 -35.344,05 -0,97
Bandung -77.407,94 -16.414,46 18.367,26 -50.265,26 -125.720,41 -1,85
Serang 13.590,27 -439.727,81 22.876,36 63.617,41 -339.643,77 -6,82
Kota Bandung -1.277,86 -
1.486.968,19 -132.860,12 -82.534,22 -1.703.640,38 -29,51 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (1995-1997), diolah. Keterangan : PPW.j : Pertumbuhan Pangsa Wilayah total PDRB PPWp : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Primer (Pertanian + Pertambangan) PPWm : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Industri (Industri Pengolahan) PPWu : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) PPWs : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
105
Lampiran 5. Nilai Komponen Pertumbuhan Proporsional Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004.
PPp PPm PPu PPs PP.j Kabupaten/Kota (juta rupiah) (juta rupiah) Persen
Kota Bandung -3.593,18 -59.066,76 99.566,91 386.961,63 423.868,60 9,40
Kota Bekasi -7.111,00 -71.010,17 58.853,89 215.430,92 196.163,65 5,84
Kota Cirebon -877,56 -21.776,10 49.847,40 93.226,17 120.419,91 8,59
Kota Cimahi -978,30 -16.081,79 27.108,55 105.355,97 115.404,42 9,40
Kota Bogor -899,19 -14.118,32 28.967,79 97.776,22 111.726,51 9,75
Kota Depok -8.242,41 -24.622,77 21.341,81 88.931,56 77.408,19 5,96
Bandung -145.201,86 -169.125,40 109.966,57 276.244,40 71.883,71 1,05
Kota Sukabumi -2.782,50 -877,01 11.279,08 55.237,51 62.857,07 13,12
Cirebon -77.915,56 -8.669,99 29.467,36 118.667,57 61.549,38 3,90
Purwakarta -36.678,70 -39.855,34 22.243,73 115.291,79 61.001,49 3,12
Karawang -91.692,51 -47.433,37 43.353,65 154.260,34 58.488,11 2,09
Tasikmalaya -67.673,08 -5.350,10 17.758,91 106.476,65 51.212,38 3,93
Kota Tasikmalaya -43.998,67 -3.478,45 11.546,22 69.227,39 33.296,50 3,93
Bogor -100.132,94 -105.476,72 63.099,98 173.057,15 30.547,47 0,71
Ciamis -122.505,57 -6.945,03 29.193,10 129.530,92 29.273,42 1,58
Garut -145.828,84 -8.488,85 16.583,64 165.379,48 27.645,42 1,27
Kuningan -62.164,66 -1.073,96 9.541,79 74.208,00 20.511,17 2,25
Sumedang -60.111,12 -8.100,62 11.086,70 73.290,48 16.165,44 1,54
Majalengka -74.761,83 -6.924,06 12.828,09 74.921,52 6.063,73 0,54
Kota Banjar -12.561,21 -712,11 2.992,57 13.281,56 3.000,81 1,58
Cianjur -168.022,75 -3.046,86 27.678,69 135.468,02 -7.922,89 -0,39
Subang -137.867,44 -4.270,30 11.651,27 121.625,24 -8.861,23 -0,52
Sukabumi -163.542,20 -17.748,25 26.012,96 126.160,27 -29.117,22 -1,29
Bekasi -39.817,56 -321.696,21 44.812,09 207.391,50 -109.310,18 -1,26
Indramayu -497.419,27 -46.286,17 25.773,96 110.683,67 -407.247,82 -9,08 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Keterangan : PP : Pertumbuhan Proporsional PPp : Pertumbuhan Proporsional Sektor Primer (Pertanian + Pertambangan) PPm : Pertumbuhan Proporsional Sektor Industri (Industri Pengolahan) PPu : Pertumbuhan Proporsional Sektor Utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) PPs : Pertumbuhan Proporsional Sektor Jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
106
Lampiran 6. Nilai Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Periode 2000-2004.
PPWpj PPWmj PPWuj PPWsj PPW.j Kabupaten/Kota (juta rupiah) (juta rupiah) Persen
Kota Bandung 3.642,42 745.208,88 432.324,74 691.061,10 1.872.237,15 41,51
Bekasi 1.792,78 504.397,33 -11.338,99 -160.622,57 334.228,55 3,86
Karawang 108.986,17 156.632,84 -19.010,98 -61.637,54 184.970,49 6,62
Sukabumi 206.376,10 46.893,33 4.010,79 -96.864,73 160.415,49 7,13
Tasikmalaya 178.496,04 -36.570,05 -56.693,76 -33.341,72 51.890,52 3,98
Subang 81.612,67 -20.527,07 5.816,88 -32.163,56 34.738,93 2,03
Cirebon 173.754,88 6.572,93 -18.478,43 -128.900,53 32.948,85 2,09
Kota Depok -55.123,42 -5.138,59 287,12 63.127,53 15.933,21 1,23
Kuningan 67.052,45 7.433,00 -2.560,52 -81.803,64 -9.878,71 -1,08
Kota Banjar -22.027,53 11.241,12 -828,71 -2.492,24 -14.107,36 -7,44
Kota Bogor 793,29 36.799,23 -11.352,42 -72.912,38 -46.672,28 -4,07 Kota
Tasikmalaya -
133.899,30 46.796,51 23.953,22 16.469,65 -46.679,93 -5,51
Majalengka 17.783,46 12.869,11 -8.853,62 -70.740,73 -48.941,78 -4,34
Kota Sukabumi 4.764,02 5.053,37 -8.690,26 -51.154,53 -50.027,39 -10,44
Sumedang 22.284,12 3.651,86 -5.002,24 -79.641,96 -58.708,22 -5,58
Kota Bekasi 7.883,48 176.894,18 -121.492,52 -143.928,09 -80.642,95 -2,40
Bogor 12.177,41 51.106,38 11.470,98 -156.101,85 -81.347,07 -1,89
Cianjur 135.648,88 -801,76 -33.303,20 -189.776,71 -88.232,79 -4,33
Ciamis 7.229,25 -14.797,62 -2.928,62 -86.894,72 -97.391,72 -5,27
Garut 84.544,68 11.760,34 -15.006,22 -214.789,51 -133.490,71 -6,14
Kota Cirebon 614,28 11.340,81 -70.618,77 -75.478,50 -134.142,18 -9,57
Purwakarta 15.399,61 -72.502,82 -30.841,51 -88.792,73 -176.737,46 -9,05
Indramayu -34.777,35 -148.525,81 -19.198,86 -52.239,41 -254.741,43 -5,68
Kota Cimahi 6.245,21 411.658,44 -135.029,47 -617.005,39 -334.131,22 -27,21
Bandung 95.461,62 -611.505,12 -148.306,65 -522.578,87 -
1.186.929,02 -17,28 Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2000-2004), diolah. Keterangan : PPW.j : Pertumbuhan Pangsa Wilayah total PDRB PPWp : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Primer (Pertanian + Pertambangan) PPWm : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Industri (Industri Pengolahan) PPWu : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Utilitas (Listrik, gas dan air bersih + Pengangkutan dan Komunikasi) PPWs : Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sektor Jasa (Bangunan + Perdagangan, Hotel dan Restoran + Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan + Jasa-jasa)
top related