photography magazine
Post on 10-Jun-2015
1.034 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
EDISI III / 2007 1
EDIS
I 3/2
007
www.thelightmagz.com
FREE
2 EDISI III / 2007
TABLEOFCONTENT
EDISI III / 2007 3
THEEDITORIAL
PT Imajinasia Indonesia, Jl. Pelitur no. 33A Jakarta, 47866725, www.thelightmagz.com, Pemimpin Perusahaan/Redaksi: Ignatius Untung, Technical Advisor: Gerard Adi, Redaksi: redaksi@thelightmagz.com, Contributor: C Production, Public relation: Prana Pramudya, Marketing: , Albert Ishak,
marketing@thelightmagz.com, Sirkulasi: Maria Fransisca Pricilia, sirkulasi@thelightmagz.com, Graphic Design: ImagineAsia, Webmaster: Gatot Suryanto
“Hak cipta foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang menggunakan foto dalam majalah
ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa seijin pemiliknya.”
Satu edisi lagi selesai. Ada beberapa improvement yang kami lakukan, seperti ukuran foto yang kini lebih besar dan lebih banyak, walaupun berdampak pada jumlah halaman dan juga besar ukuran file. Namun belajar dari edisi-edisi sebelumnya, tampaknya hal ini tidak akan menjadi masalah. Perubahan ke arah lebih baik akan terus kami lakukan. Dan pada edisi mendatang pun anda akan semakin dimanjakan dengan beberapa perkembangan yang sudah kami ren-
canakan dari sekarang. Tunggu saja tanggal mainnya.
Menyikapi beberapa komentar dan permintaan yang masuk mengenai rubrik tutorial, step by step, lighting diagram, data teknis, dan lain sebagainya kami memilih untuk tidak menghad-
irkan hal-hal tersebut dalam majalah ini. Semata-mata karena alasan untuk mendidik pehobi fotografer untuk lebih MENGERTI FOTOGRAFI, bukan MENGHAPAL FOTOGRAFI. Sejak didirikan,
THE LIGHT mengambil posisi sebagai inspirasi bagi para pehobi fotografi, bukan buku pelaja-ran dimana anda bisa menemukan dan menghapalkan lighting diagram membosankan yang
berakibat pada keluhan banyak fotografer profesional bahwa fotografer sekarang tidak memiliki karakter. Bagaimana tidak, jika lighting diagram dan hal-hal teknisnya dihapal.
Pertimbangan lain adalah karena kami ingin menjadikan THE LIGHT sebagai sumber inspirasi yang akan selalu menarik bagi anda bahkan ketika anda sudah dalam level yang berbeda.
Bayangkan bagaimana tidak menariknya majalah ini bagi anda jika masih menampilkan light-ing diagram dan hal teknis lainnya padahal anda sudah dalam level yang jauh lebih advanced dari sekarang. Untuk itu, biarlah lighting diagram dan data teknis menjadi “barang dagangan”
majalah lain yang memang menyasar segmen pemula.
Pada akhirnya, terima kasih atas respon luar biasa yang telah diberikan dan selamat membaca.
Redaksi
Fashion photographyHary Subastian
Fine art photographyNico Darmadjungen
Liputan UtamaBeing a commercial photogarapher
Jurnalistic photographyEnny NuraheniThe Inspiration
kreatifitas bergantung alatPro comment
Wedding photographyPerak Mas (Gondo S)
Commercial PhotographyHenky Christianto
LepasanDo you have guts?
6254259788587101137
ABOUT THE COVERPHOTOGRAPHER: HENKY CHRISTIANTOMAKE UP: QIQI FRANKIEMODEL: DIGITAL IMAGING:LAURA MAGIC WANT
4 EDISI III / 2007 EDISI III / 2007 5
6 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 7
FASHIONPHOTOGRAPHY
HARY SUBASTIAN, MENITI KARIR MENJADI FOTOGRAFER MAJALAHBagi para pehobi fotografi terutama fotografi fashion, nama Hary Subastian sepertinya bukan
nama asing. Hary Subastian adalah salah satu fotografer fashion senior di Indonesia. Saat ini ia
bekerja di group majalah cosmopolitan. Pada kesempatan kali ini kami mendapat kehormatan
untuk diperbolehkan berbincang-bincang dengannya.
Hary mengenal fotografi sudah sejak kelas
6 SD. Saat itu ia dipinjami sebuah kamera
rangefinder oleh ayahnya. Rupanya keinginan
ayahnya untuk menceburkan Hary ke dunia
fotografi sudah sangat besar. Segala macam
kebutuhan Hary untuk mempelajari fotografi
disediakan oleh orang tuanya itu. Mulai dari
film hingga biaya untuk cuci cetak. Hary pun
makin dalam dan makin cinta pada fotografi.
Ia mulai lebih serius mempelajari fotografi
dengan banyak melihat buku dan majalah.
Ia juga melakukan eksplorasi teknik fotografi
sendiri. Namun ketika sudah pada tahap
kecanduan berat, ayahnya justru member-
hentikan dukungan finansialnya untuk hobi
fotografi Hary tersebut. Alasannya karena
semakin lama pengeluaran Hary semakin
besar di fotografi.
Karena sudah terlanjur kecanduan dengan
fotografi, hari pun mencari cara untuk bisa
terus mendalami fotografi walaupun tanpa
dukungan fnansial dari orang tuanya. “Orang
kalau dalam posisi tertekan seringkali justru
(c) Hary Subastian
8 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 9
FASHIONPHOTOGRAPHY
menjadi lebih kreatif.” Ungkapnya. Hari pun menemukan cara untuk bisa terus memperdalam
fotografi tanpa membebani kocek orang tuanya. Setiap harinya Hary selalu memburu teman-
teman wanita di sekolahnya untuk di foto dari jarak jauh (candid), terutama mereka yang banyak
pengaggumnya. Selanjutnya hasil fotonya itu dicetak dan dijual ke teman-teman laki-laki yang
tertarik dengan teman-teman wanitanya itu. Hasil menjual foto itu ia gunakan untuk membeli
film dan cuci cetak. Di sisi lain, kecintaannya untuk mendaki gunung dan bergabung dengan
kelompok pecinta alam membuatnya memiliki kesempatan banyak untuk memiliki foto land-
scape yang menarik. Dan sekali lagi Hary menemukan cara untuk membiayai hobinya tersebut.
Hary menjual foto-foto landscapenya tersebut ke teman-teman wanitanya.
Perjalanan hidup Hary di fotografi berlanjut ketika ia kuliah di IISIP Jakarta. Ketika duduk di
semester 2 masa kuliahnya, sebuah majalah terbitan Amerika serikat menawarinya menjadi
kontributor foto untuk seni dan budaya. Hary pun menyambut tawaran itu. Berselang beberapa
waktu, Hary berpindah bekerja untuk sebuah majalah otomotif. Di sana ia banyak melakukan
pemotretan landscape di samping memotret sepeda motor. Namun lama kelamaan memotret
landscape menjadi sedikit membosankan bagi Hary. Hary berpikir untuk menambahkan model
pada setiap foto landscape atau otomotifnya. “Bahkan kalau ke daerah lain, saya biasa nyari
sinden atau warga setempat yang menarik untuk dijadikan model foto saya.” Kenangnya.
Perjalanan Hary berpindah-pindah dari satu majalah yang satu ke yang lain akhirnya berhenti
“Orang kalau dalam posisi tertekan ser-
ingkali justru menjadi lebih kreatif.”
(c) Hary Subastian
10 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 11
FASHIONPHOTOGRAPHY
(c) Hary Subastian
12 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 13
FASHIONPHOTOGRAPHY
di majalah Harper’s Bazaar setelah sebelumnya sempat bekerja pada majalah internal PT Pem-
bangunan Jaya, majalah Aneka dan majalah Femina.
Kecintaan Hary akan fotografi fashion salah satunya karena team yang terlibat cukup ban-
yak. Mulai dari klien yang memiliki bajunya, make up artis, model, stylist hingga fotografer itu
sendiri. “Di fashion eksplorasinya bisa lebih tak terbatas, baik dari warna, gerak, komposisi, dan
sebagainya. Dan semuanya bisa kita kontrol.” Jelasnya. Untuk itu Hary sangat tertarik membuat
karya foto yang kaya akan warna, Gerak dan komposisi yang dinamis. Namun begitu sesekali
Hary melakukan pemotretan komersil di hari non kerja. “Kebanyakan klien pemotretan komer-
sil saya nggak jauh dari produk fashion.” Ungkapnya. Untuk masalah ini Hary mengaku tidak
mendapat hambatan dari kantor tempat ia bekerja selama tidak mengganggu jam kerja dan
tidak ada conflict of interest dengan majalah tempat ia bekerja.
Bagi Hary fotografi fashion adalah salah satu fotografi yang paling dinamis. Hal ini mengikuti
trend mode yang juga terus berubah. Untuk itu Hary mengaku sering mencari referensi dari
berbagai sumber. Mulai dari majalah dan buku fashion hingga website fashion. Peran seorang
fotografer pada fotografi fashion akan sangat
menentukan walaupun tidak jarang konsep
justru datang dari fashion stylist. “Walaupun
konsepnya dari stylist, tapi stylist kan nggak
begitu ngerti lighting. Nah di situ fotografernya
bisa eksplorasi. Bahkan lebih jauh lagi
sampai pemilihan property dan pemilihan
warna fotografer bisa banyak bermain di
situ.” Ungkapnya. Misalnya untuk pemotretan
dengan tema winter. Biasanya fashion stylist
hanya datang dengan satu set pakaian winter.
Peran fotografer di situ sangat besar. Karena
“Walaupun konsepnya dari stylist, tapi
stylist kan nggak begitu ngerti lighting.
Nah di situ fotografernya bisa
eksplorasi. Bahkan lebih jauh lagi sampai
pemilihan property & pemilihan warna,
fotografer bisa banyak bermain di situ.”
14 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 15
FASHIONPHOTOGRAPHY
(c) Hary Subastian
16 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 17
FASHIONPHOTOGRAPHY
jika fotografer yang melakukan eksekusi
tidak berhati-hati dan memperhatikan tiap
detailnya maka konsep yang diinginkan tidak
optimal dan menjadi janggal. “Misalnya ketika
melakukan pemotretan dengan tema winter
seharusnya foto yang dihasilkan jangan
terlalu kuat kontrasnya, karena winter kan
artinya minim matahari, jadi kontrasnya juga
minim.” Jelasnya. Pemilihan warna pun juga
harus berhati-hati, agar kesan winternya lebih
menyatu maka warna yang dipilih pun juga
harus warna-warna “dingin”. Setiap detail ini
lah yang seringkali dilupakan dan dianggap
remeh oleh fotografer. Padahal justru dengan
bantuan hal-hal detail seperti itu foto yang
dihasilkan justru lebih sesuai dengan tema.
Mengenai fotografer masa kini yang semakin
lama semakin mirip fotonya, Hary ber-
pendapat bahwa sebaiknya setiap fotografer
memiliki karakter pada setiap foto-fotonya.
Karakter bisa terbentuk sejalan dengan makin
bertambahnya jam terbang. Bahkan seringkali
karakter justru terbentuk dengan sendirinya
tanpa disengaja. Proses pembentukan
karakter bisa dengan mengeksplorasi hal-hal
kecil dalam fotografi, mulai dari permainan
komposisi, permainan warna, kontras, tonal
balance, hingga pada gerakan dan gesture.
Hary sendiri saat ini sedang sangat menyu-
kai foto-foto dengan kontras tinggi, colorful
dan terdapat motion. Namun hari mengaku
style harus terus berkembang sesuai dengan
perkembangan fashion itu sendiri.
Hary mengakui bahwa keuntungan menjadi
fotografer inhouse sebuah majalah lifestyle
adalah dari network majalah tersebut. Seperti
majalah Cosmopolitan tempat ia bekerja yang
juga terdapat di beberapa Negara dengan
konten local masing-masing. Setiap Negara
(c) Hary Subastian
18 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 19
FASHIONPHOTOGRAPHY
punya ciri khas sendiri, dan foto-foto dari
Negara lain itu bisa memperkaya referensi
Hary. Selain itu menjadi fotografer inhouse
membuat Hary bisa ikut ambil bagian lebih
banyak pada setiap konsep fotonya.
Ditanya mengenai kasus tersulit yang pernah
ia hadapi dalam melakukan pemotretan, Hary
menjawab dalah ketika modelnya tidak begitu
menarik sementara pakaian yang diguna-
kan juga ribet dan juga lokasi yang terbatas
aksesnya. Mengenai model yang tidak begitu
menarik, Hary mengaku sesekali bisa diakali
dengan photoshop dan juga make up. Selain
itu Hary selalu mencoba menolong dengan
permainan angle dan komposisi yang bisa
menutupi kelemahan model tersebut. Untuk
itu Hary selalu memilih model yang relative
tinggi, dengan bentuk tubuh yang propor-
sional, fotogenic dan yang tidak kalah penting
adalah memiliki attitude yang baik. “attitude
itu penting banget. Model seberapa cantiknya
kalau attitudenya jelek juga jadi susah dapetin
foto bagus. Karena jadi nggak enak diajak
kerjasama.” Ungkapnya.
Selain hal teknis yang harus dikuasai seperti
penguasaan lighting, Hary melihat sangat
perlunya mempelajari ekspresi dan gesture (c) Hary Subastian
20 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 21
FASHIONPHOTOGRAPHY
(c) Hary Subastian(c) Hary Subastian
22 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 23
FASHIONPHOTOGRAPHY
bagi mereka yang tertarik menjadi fotografer
fashion. “banyak model yang cantik tapi
begitu disuruh ekspresi tertentu jadi nggak
cantik lagi. Maka dari itu perlu dipelajari lebih
dulu.” Ungkapnya. Untuk itu Hary juga merasa
perlu untuk memperlakukan model dengan
proporsional. “Saya selalu memperlakukan
model kayak teman aja. Jangan Cuma dijadiin
obyek foto. Karena akan jadi susah komu-
nikasinya. Levelnya harus sama dulu baru
enak komunikasinya.” Ungkapnya.
Di akhir perbincangan kami dengannya, kami
menanyakan apakah ia tidak tertarik untuk
berhenti bekerja sebagai fotografer fashion
dan menjadi fotografer komersil mengingat
bayaran yang didapat juga lebih besar. Hary
pun menjawab “Di fashion, biarpun duitnya
nggak sebesar komersil tapi stresnya juga
nggak sebesar fashion. Jadi yang penting
fun.” Ia pun bersyukur karena dengan menjadi
fotografer fashion ia bisa berteman banyak
dengan berbagai kalangan mulai dari model,
make up artist, stylist dan lain-lain.
(c) Hary Subastian
(c) Hary Subastian
24 EDISI III / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 25
FINEARTPHOTOGRAPHY
TOTALITAS SEORANG
FOTOGRAFERAN INTERVIEW WITH NICO DARMADJUNGEN
Salah satu spesialisasi dalam fotografi yang cukup jarang peminatnya di Indonesia adalah fine
art photography. Setidaknya ini terlihat dari minimnya foto art yang bisa kita temui dengan
mudah di web gallery, photo blog dan juga komunitas fotografi online. Alasannya bisa beragam,
mulai dari kemampuan artistic yang tergolong terlalu spesifik dan sulit untuk dipelajari hingga
alasan klise seperti kurang menghasilkan uang. Jika kita lihat portfolio fotografer-fotografer se-
nior kita, tidak sedikit dari mereka memiliki karya fine art. Ya, memang dahulu fine art photogra-
phy seringkali menjadi salah satu karya fotografer yang seakan-akan bisa menjadi pembuktian
akan “jiwa seni” yang dimiliki fotografer yang bersangkutan. Namun entah mengapa, semakin
lama fine art photography semakin langka.
Di tengah langkanya fine art fotografer, kami menemui Nico Darmadjungen, seorang fotografer
fine art yang masih konsisten dan konsekuen dengan komitmennya untuk terus hidup bersama
karya-karya fine artnya. Adalah salah satu kehormatan bagi kami untuk menjadi salah satu
yang diperbolehkan berbicara hingga berjam-jam bersamanya, mengingat begitu selektifnya ia
terhadap permintaan interview dari majalah-majalah fotografi yang ada.
26 EDISI III / 2007
FINEARTPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 27
FINEARTPHOTOGRAPHY
28 EDISI III / 2007
FINEARTPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 29
FINEARTPHOTOGRAPHY
Sore itu, ketika kami tiba di rumah sekaligus
studionya di bilangan pasar minggu, Jakarta
Selatan kami disambut dengan hangat. Di
luar dugaan kami akan persepsi kehidu-
pan fotografer yang mentereng, Nico justru
menyambut kami dengan kesederhanaannya.
Dengan bercelana pendek ia menyambut
kami dan mempersilahkan kami masuk ke
dalam rumahnya itu. Di ruang depan, tampak
beberapa buah pigura dengan foto-foto fine
art tergantung di tembok. Kami pun diajak
masuk ke dalam ruang kerjanya. Tampak ban-
yak sekali foto terpampang di tembok ruang
kerjanya. Lebih dari 50 foto menurut hitungan
kasar kami. “Saya dulu sempat motret com-
mercial juga.” Ungkapnya untuk membuka
perbincangan kami dengannya. “Motret iklan
untuk cari uang, tapi untuk mengimbanginya
saya motret art.” Tambahnya. Namun lama
kelamaan dengan alasan idealismenya yang
begitu kuat ditambah tuntutan fotografer kom-
ersil yang harus lebih kompromi dengan klien,
Nico memutuskan untuk lebih total memotret
fine art. “Hati saya sudah di sana.” Ung-
kapnya. Nico berpendapat bahwa memotret
memang harus menggunakan hati selain juga
mata dan pikiran.
Nico memulai hidupnya sebagai seorang
fotografer dengan berbekal sekolah fotografi,
kamar gelap, seni grafis hingga lukis di
Jerman. Totalitasnya untuk mempelajari seni
sudah terlihat sejak saat itu. Ia juga suka
melukis dan menulis. Namun karena berbagai
alasan ia memilih untuk lebih menekuni
fotografi. Totalitas Nico untuk mengeksplorasi
“Saya pernah selama 5 tahun motret besi aja, nggak ada yang lain. Saya Cuma
mau motret besi.”
30 EDISI III / 2007
FINEARTPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 31
FINEARTPHOTOGRAPHY
32 EDISI III / 2007
FINEARTPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 33
FINEARTPHOTOGRAPHY
satu per satu obyek fotonya sudah ditunjukan sejak berada di jerman. “Saya pernah selama 5
tahun motret besi aja, nggak ada yang lain. Saya Cuma mau motret besi.” Begitu ungkapnya.
Setiap harinya Nico bersepeda hingga 10 sampai 20 kilometer dengan membawa peralatan
fotografinya untuk mencari besi dengan motif dan tekstur yang belum pernah ia jumpai untuk ia
foto. Hingga akhirnya ia mengumpulkan 360 motif besi dalam 5 tahun itu. Beberapa saat kemu-
dian, sebuah lomba fotografi digelar di Jerman. Temanya adalah “baja” karena disponsori oleh
industri baja di Jerman. Nico yang sebelumnya tidak pernah mengikuti lomba foto pun merasa
tertantang untuk mengirimkan hasil fotonya. Dan benar saja, ia pun memenangkan lomba itu
dengan foto besinya itu. “Sejak saat itu saya nggak pernah takut menghadapi apa saja. Percaya
diri saya meningkat drastic. Saya bisa hidup dengan fotografi. Ditaruh di Afrika pun saya bisa
hidup dari fotografi. Biarpun mungkin nggak bisa kaya, tapi saya akan tetap hidup.” Ungkapnya.
Sejak saat itu Nico pun menganggap berkarya dalam fotografi seperti sumber energi baginya.
Setiap harinya Nico selalu haus untuk berkarya. “Orang lain terserah mau gimana, tapi saya
harus selalu bikin hal baru. Kalau saya nggak dapat hal baru dalam berkarya maka saya depresi
hingga akhirnya saya menemukan sesuatu yang baru.” Terangnya. Berbagai macam teknik
fotografi pun ia coba dan bahkan ia ciptakan. Hasratnya untuk membuat karya yang baru tidak
pernah padam.
Selama tinggal di Jerman, Nico pernah
menjalani hidup sebagai seorang asisten
fotografer freelance. Dalam satu masa, ia bisa
mengasisteni beberapa orang fotografer. Hal
ini dalam rangka mencapai misinya untuk
“mencuri” ilmu dari fotografer-fotografer yang
lebih senior darinya. “Banyak fotografer yang
bilang “you are the best assistant in town”
Tapi saya bilang, “Yeah right. Tapi saya nggak
mau jadi the best assistant in town, saya mau
jadi the best photographer in town.” Kenang-
nya. Setelah 1 tahun puas menimba ilmu dari
para fotografer yang lebih senior, Nico pun
memutuskan untuk membuka studio sendiri.
Ia mulai membuat pameran-pameran atas
karya-karyanya. Karirnya pun terus menanjak
hingga bisa mempekerjakan asisten yang
justru adalah orang jerman. “Kalau dulu saya
yang jadi asisten fotografer jerman, seka-
rang orang jerman yang jadi asisten saya.”
Ucapnya geli.
Tahun 1992, Nico memutuskan untuk kembali
ke Indonesia. Ia pun menjalani kehidupannya
sebagai fotografer komersil. Beberapa klien
besar seperti Gudang Garam pun pernah
mempercayakan pekerjaan pemotretan kepa-
danya. Bahkan salah satu iklan legendaries
Gudang Garam yang pernah dipasang berta-
“Saya bisa hidup dengan fotografi. Ditaruh di
Afrika pun saya bisa hidup dari fotografi.
Biarpun mungkin nggak bisa kaya, tapi saya
akan tetap hidup.”
“Orang lain terserah mau gimana, tapi saya harus selalu bikin hal baru. Kalau saya nggak dapat hal baru dalam berkarya maka saya depresi hingga akhirnya saya menemukan sesuatu yang baru.”
34 EDISI III / 2007
FINEARTPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 35
FINEARTPHOTOGRAPHY
hun-tahun adalah salah satu karyanya. Hanya saja, perlahan-lahan idealismenya yang teguh se-
makin bersinggungan dengan tuntutan kompromi layaknya fotografer komersil pada umumnya.
Saat itu Nico berpendapat bahwa kondisi periklanan di Indonesia semakin tidak menguntungkan
fotografer. Fotografer komersil semakin lama semakin dituntut untuk “patuh” pada keinginan
klien. Hal ini membuat banyak karya foto iklan yang menjadi tidak optimal artnya. “Seharusnya
kalau klien sudah milih fotografer ya percayain aja ke fotografernya, nggak usah banyak ikuta
campur.” Ungkapnya. Hal ini pula yang menurutnya menjadikan iklan-iklan di Indonesia keting-
galan dibandingkan di luar negeri. Walaupun ia menyadari bahwa tingkat pendidikan rakyat
Indonesia lah yang membuat cita rasa terhadap satu karya fotografi & iklan sebegitu parahnya,
namun ia berpendapat bahwa seharusnya proses edukasi pasar untuk memperkenalkan karya
fotografi & iklan yang baik harus dimulai. Maka dari itu ia pun memutuskan untuk meninggalkan
fotografi komersil untuk terjun total ke “quadran” fine art.
Tapi saya nggak mau jadi
the best assistant in town, saya
mau jadi the best
photographer in town.”
Eksplorasi Nico terhadap sebuah proses
penciptaan karya fotografi pun habis-habisan.
Walaupun didesak kebutuhan hidup layaknya
manusia biasa Nico pun tetap berpegang
teguh pada komitmennya untuk “mengabdi-
kan diri” pada fine art photography, walaupun
ia tahu bahwa penghasilan yang ia dapat dari
fotografi fine art tidak seberapa jika diband-
ingkan fotografi komersil. “Mungkin saya
satu-satunya yang masih berani begini. Orang
lain mungkin sudah pindah ke komersil atau
fashion, yang jelas lebih menghasilkan. Tapi
hati saya sudah terlanjur di sini.” Ujarnya.
Totalitas Nico pun terus berjalan di jalurnya
sendiri. Setiap harinya ia mencari sesuatu
36 EDISI III / 2007
FINEARTPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 37
FINEARTPHOTOGRAPHY
“Mungkin saya satu-satu-nya yang masih berani be-gini. Orang lain mungkin sudah pindah ke komersil atau fashion, yang jelas lebih menghasilkan. Tapi hati saya sudah terlanjur di sini.”
yang baru dari karya-karyanya. Sesekali
ia hendak memotret sebuah konsep yang
membutuhkan besi yang dipenuhi bercak, ia
pun mengambil besi kemudian menyiraminya
dengan cuka setiap harinya lalu dijemur. Ia
mengulanginya terus hingga besi itu menge-
luarkan bercak karat seperti yang diinginkan-
nya. Nico selalu membuat sendiri property
yang akan digunakan dalam foto-fotonya.
Proses penciptaan karya fotonya tidak seba-
tas hanya pada sesi pemotretan saja. Sejak
memikirkan konsep yang ingin dieksekusi
proses penciptaan sebagai seorang fotografer
sudah ia mulai. Berlanjut hingga proses
persiapan property yang dibutuhkan. Bahkan
hingga pada tahap pasca produksi pun proses
penciptaan karya itu pun tidak berhenti. Suatu
saat Nico terpikir untuk mendapatkan sebuah
efek yang tidak mungkin didapatkan dengan
kameranya. Ia pun memutar otaknya untuk
mencari jalan keluarnya. Hingga akhirnya ia
menemukan jalan keluarnya, yaitu dengan
merusak bagian tertentu pada film negative
hasil fotonya sebelum diproses. Ia masuk
kamar gelap dan menggores bagian-bagian
tertentu pada film negative yang belum
diproses itu dengan kuku dan jarinya. Hasilnya
foto dengan teknis yang benar-benar beda.
Sekali lagi totalitasnya membuktikannya
bahwa Nico layak disebut sebagai fotografer,
bukan sekedar “tukang jepret”.
38 EDISI III / 2007
FINEARTPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 39
FINEARTPHOTOGRAPHY
Pada akhir abad lalu, Nico sempat membuat rangkaian workshop gratis untuk fotografer-fo-
tografer muda. Beberapa nama sukses pun bermunculan dari situ, Mulai dari Paul Kadarisman
hingga Davy Linggar adalah beberapa orang lulusan workshopnya itu. Nico mengaku senang
bergaul dengan fotografer muda. “Saya dapat banyak inspirasi dari yang muda-muda. Salah
satunya karena saya nggak pernah mau kalah dari yang muda-muda.” Ungkapnya. “Kalau
dari yang senior saya nggak dapet apa-apa, mereka nggak pernah kasih inspirasi buat saya.”
Tambahnya. Namun begitu Nico masih beranggapan bahwa bergaul dengan fotografer senior
juga masih banyak gunanya. “Yang senior, biar udah nggak bagus pun tapi foto-fotonya punya
karakter. Nggak kayak yang muda, sedikit sekali yang punya karakter. Kebanyakan fotonya
sama.” Jelasnya.
“Saya dapat banyak inspirasi dari yang muda-muda. Salah sa-
tunya karena saya nggak pernah mau
kalah dari yang muda-muda.”
Ketika kami minta untuk berbagi tips kepada
fotografer pemula untuk menjadi fotografer
yang baik, Nico pun membagikan beberapa
tips. “Motret yang benar itu dari mata, masuk
ke otak, turun ke hati, lalu naik ke otak lagi,
baru motret.” Ungkapnya mengenai tips yang
pertama. Nico melihat banyak foto yang di-
hasilkan hanya dengan mata dan pikiran saja,
tapi tidak dengan hati, sehingga banyak foto
yang terkesan hampa. Mengenai minimnya
fotografer muda yang memiliki karakter, Nico
berujar “kalau berguru sama Nico, jangan
jadi Nico yang kedua, tapi jadi kamu yang
pertama.” Nico melihat seharusnya fotografer
muda hanya menjadikan fotografer senior
sebagai referensi untuk memberikan inspirasi
bukan untuk dicontek habis-habisan. “Buatlah
warnamu sendiri, buat foto & karaktermu
sendiri.” Tambahnya. Selain itu Nico juga
40 EDISI III / 2007
FINEARTPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 41
FINEARTPHOTOGRAPHY
“Yang senior, biar udah nggak bagus pun tapi foto-fotonya punya karakter.
Nggak kayak yang muda, sedikit sekali yang punya karakter. Kebanyakan foto-
nya sama.”
menganjurkan fotografer muda untuk memperkaya pengalaman. “Tapi jangan lupa untuk ber-
mimpi. Karena semuanya berasal dari mimpi. Takutlah jika kamu tidak memiliki mimpi.”
Mengenai referensi Nico mempercayai bahwa karena fotografi berasal dari Negara barat, maka
banyaklah belajar ke sana. Lihat referensi fotografer barat.
Di akhir perbincangan kami dengannya ia membacakan sepenggal tulisannya kepada kami.
“ketika memotret, kurangilah informasi perbanyak sugesti. Kurangi prosanya perbanyak puisi.
Kurangi deskripsi perbanyak sumber informasi.”
“Tapi jangan lupa untuk bermimpi. Karena semuanya berasal dari mimpi. Takutlah jika kamu tidak memiliki mimpi.”
“ketika me-motret,
kurangilah informasi per-
banyak sugesti. Kurangi pro-
sanya perbanyak
puisi. Kurangi deskripsi per-
banyak sumber informasi.”
42 EDISI III / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI III / 2007 43
LIPUTANUTAMA
BEING A COMMERCIAL PHOTOGRAPHERObyek dan treatment pada fotografi bisa beragam. Mulai dari landscape, human interest,
architecture, produk, still life, food, fashion, portraiture, wedding, fine art, jurnalistik dan masih
banyak lagi. Setiap bidangnya memiliki keunikan tersendiri. Misalnya pada fotografi jurnalistik
yang lebih memprioritaskan foto yang bercerita di atas teknis dan detail. Begitu juga dengan
fashion yang prioritasnya lebih banyak ke arah style & overall mood di atas detail lighting. Setiap
pehobi di bidangnya masing-masing seharusnya mengetahui apa yang menjadi prioritas dari
bidang fotografi yang mereka minati.
Pada edisi ini, kami tertarik untuk membahas fotografi komersil. Fotografi komersil yang kami
maksud di sini adalah fotografi yang aplikasinya untuk keperluan iklan baik itu iklan di majalah
dan Koran, poster, billboard, POP (point of purchase) material, dan berbagai materi penun-
jang pemasaran sebuah merk. Fotografi komersil mungkin masih menjadi salah satu kiblat
dari banyak pecinta fotografi di dunia. Hal ini karena memang output yang dihasilkan cukup
comprehensive. “Tidak hanya fotografi, bahkan di bidang broadcasting pun segala hal yang
berkaitan dengan keperluan iklan outputnya pasti benar-benar comprehensive.” Tegas Indra,
seorang creative group head sebuah perusahaan periklanan multinasional. Indra yang sudah
lebih dari 7 tahun bekerja di divisi kreatif perusahaan periklanan dan sehari-harinya bekerja
dengan berbagai macam film director & fotografer menganggap kualitas output sebuah materi
iklan bisa sangat tinggi standarnya karena supervisinya dilakukan benar-benar sampai hal
paling detail. “Bayangkan film layar lebar yang berdurasi 2 jam shootingnya memakan waktu
“Tidak hanya fotografi, bah-kan di bidang broadcasting
pun segala hal yang berkaitan dengan keper-luan iklan out-
putnya pasti benar-benar comprehen-
sive.”
paling lama 6 bulan, atau kalau di Indonesia
tidak lebih dari 3 minggu dengan jumlah take
terbanyak dari tiap adegannya tidak lebih dari
5. Sementara TV Commercial (iklan TV) yang
durasinya hanya 30 detik saja, shootingnya
bisa memakan waktu 1 sampai 3 hari dengan
jumlah take per adegannya bisa 20 sampai
30 take. Kebayang dong gimana nggak
sempurna detailnya. Begitu juga dengan sesi
pemotretannya.” Tambahnya. Pendapat Indra
pun dibenarkan oleh Ati, seorang creative
director yang sudah lebih dari 10 tahun
bekerja di berbagai perusahaan periklanan.
“Pemotretan iklan waktunya memang paling
lama. Jaman masih pakai slide medium for-
mat saya pernah supervisi pemotretan sampai
2 hari non stop. Selama itu bukan karena
fotografernya nggak jago, tapi justru karena
tuntutan foto yang dihasilkan sebisa mungkin
nggak ada cacatnya.” Ungkapnya.
Senada dengan Indra dan Ati, Didit salah
44 EDISI III / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI III / 2007 45
LIPUTANUTAMA
seorang creative director sebuah perusahaan
periklanan berpendapat “Hasil foto iklan
pasti lebih sempurna daripada foto lainnya,
ini karena yang supervisi pemotretan adalah
art director yang notabene orang-orang yang
memang ahli di bidang artistik. Belum lagi
mempertimbangkan foto yang dihasilkan
harus bisa membantu kegiatan pemasaran
yang dilakukan, jadi pasti lebih teliti ngerjain-
nya.”
Dengan tingkat kesulitan yang tinggi seperti
itu tidaklah heran jika bayaran rata-rata se-
orang fotografer komersil tergolong paling
mentereng dibandingkan fotografer lain.
Pernyataan ini pun terjawab oleh survey
kecil-kecilan terhadap bayaran berbagai
macam bidang fotografer. Seorang fotografer
landscape dan human interest rata-ratanya
bisa menjual sebuah fotonya dengan kisaran
angka Rp.500 ribu hingga Rp.5 juta rupiah.
Sementara fotografer jurnalistik lepasan
hanya dibayar Rp.50 ribu hingga Rp.250 ribu
“Hasil foto iklan pasti lebih sem-purna daripada foto lainnya, ini karena yang supervisi pe-motretan ada-lah art director yang notabene orang-orang yang memang ahli di bidang artistik. Belum lagi memper-timbangkan foto yang di-hasilkan harus bisa membantu kegiatan pe-masaran yang dilakukan, jadi pasti lebih teliti ngerjainnya.”
per fotonya. Pada tingkat yang lebih tinggi ada fotografer fashion & wedding. Fotografer fashion
menerima upah rata-rata berkisar dari Rp.1,5 juta hingga Rp.5 Juta per fotonya. Sementara
upah yang diterima seorang fotografer wedding memiliki rentang yang cukup luas, mulai dari
Rp.500 ribu per paket (bisa terdiri dari 10 foto) hingga Rp.50 Juta per paket. Namun di atas
semua itu yang tidak kalah lebar rentangnya adalah fotografer komersil. Seorang fotografer
komersil menerima upah rata-rata berkisar dari Rp.5 Juta hingga Rp.100 Juta per fotonya.
Besaran itu tidak termasuk bayaran memotret produk yang sederhana yang biasanya berkisar
antara Rp.1,5 juta hingga Rp. 5 juta per fotonya. Angka rata-rata sebuah project pemotretan
komersil yang memakan waktu seharian berkisar antara Rp.15 juta rupiah hingga Rp.25 juta
rupiah. Bayangkan jika perharinya pemasukan seorang fotografer komersil bisa mencapai angka
tersebut, berapa banyak penghasilan seorang fotografer komersil per bulannya. Mungkin ban-
yak yang tidak percaya dan terkejut dengan angka yang bisa dihasilkan oleh seorang fotografer
komersil. “Bayaran fotografer komersil bisa setinggi itu selain karena memang standar kualitas-
nya tinggi juga karena adanya worldwide advertising agency yang menjadi kliennya. Sehingga
sedikit banyak harga yang diterapkan juga tidak terlalu jauh dengan harga pemotretan iklan di
luar negeri.” Ungkap Gerard Adi salah seorang fotografer komersil. Pernyataan Gerard ini pun
diamini oleh Indra, “Apapun yang berhubungan dengan iklan pasti mahal, Lihat aja produksi
iklan TV yang bisa mencapai ratusan juta dan bahkan miliaran rupiah hanya untuk sebuah iklan
berdurasi 30 detik. Begitu juga dengan bayaran modelnya. Kalau untuk main sinetron seorang
artis terkenal dibayar Rp.10 Juta per episode, kalau di iklan bisa dibayar sampai 300 juta untuk
kontrak per tahun.”
Melihat besaran itu tidak heran jika fotografi komersil menjadi salah satu bidang yang paling
diminati. Pertanyaannya adalah apakah semua fotografer bisa menjadi fotografer komersil? Dan
bagaimana caranya menjadi fotografer komersil?
Banyak pehobi fotografer yang tergiur menjadi fotografer komersil sayangnya tidak banyak
yang mengetahui standar kualifikasi seorang fotografer komersil. Kondisi ini terjadi salah
satunya karena lingkungan pekerjaan yang menyangkut iklan sangat tertutup. “Pemotretan
iklan seringkali tertutup, karena seringnya iklan yang sedang dibuat rahasia, begitu juga dengan
46 EDISI III / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI III / 2007 47
LIPUTANUTAMA
“Apapun yang berhubungan dengan iklan pasti mahal, Lihat aja produk-si iklan TV yang bisa mencapai ratusan juta dan bahkan miliaran rupiah hanya untuk sebuah iklan berdurasi 30 detik. Begitu juga dengan ba-
yaran modelnya. Kalau untuk main sinetron seorang artis terkenal diba-yar Rp.10 Juta per episode, kalau di iklan bisa dibayar sampai 300 juta
untuk kontrak per tahun.”
produknya. Jadi memang susah untuk dapet
akses untuk belajar fotografi komersil.”
Ungkap Henky Christianto, seorang fotografer
komersil. Kondisi tertutupnya akses ke dalam
lingkungan pekerja iklan juga dibenarkan oleh
Ati. “Jangankan untuk bisa jadi fotografer ko-
mersil, untuk jadi pekerja iklan aja susahnya
bukan main. Hal ini karena bidang ini terkesan
eklusif dan tertutup, Jadi aksesnya terbatas
sekali, Padahal kalau sudah masuk, informasi
apapun di lingkungan pekerja iklan walaupun
beda kantor bisa nyebar dengan cepat.” Ung-
kapnya. Untuk itu pula Ati menyarankan para
fotografer yang tertarik menjadi fotografer
komersil untuk lebih sabar dan berhati-hati.
“Nggak usah buru-buru, kalau belum bisa
memenuhi standarnya jangan masuk dulu.
Karena kalau sudah masuk dan terlanjur
ngecewain klien beritanya nyebar sangat
cepat di lingkungan ini akhirnya malah jadi di
black list dan malah jadi makin susah dapet
orderan. Karena pertemanan di antara sesama pekerja iklan sangat erat, jadi berita bagus dan
jelek bisa menyebar sangat cepat.” Tambahnya.
Tertutupnya akses ke lingkungan pekerja iklan memperburuk posisi fotografer yang tertarik
menjadi fotografer komersil. Di satu sisi seorang fotografer harus tahu standar kualitas komersil,
namun di sisi lain aksesnya terbatas, sehingga informasi mengenai standar kualitas komersil
sendiri masih tidak jelas. Untuk permasalahan ini, Didit memberi saran “Gampang aja, coba
sering-sering lihat foto iklan, terutama yang bagus-bagus. Kalau foto yang kamu buat sudah
selevel dengan foto-foto itu, artinya sudah bisa memenuhi standar. Tapi harus hati-hati jangan
sampai ketika foto yang dibuat masih di bawah level foto-foto iklan tetapi dianggap sudah
selevel, mendingan jangan jadi fotografer sekalian. Karena kalau bedain foto bagus dan jelek
aja nggak bisa, gimana mau berhadapan dengan klien yang lebih jago dalam hal artistic?”
Pernyataan ini senada dengan pernyataan Sam Nugroho pada edisi kedua THE LIGHT yang
mengatakan “Banyak banget fotografer yang bilang “gue mau jadi fotografer” dan setelah
dua bulan belajar, berani bilang “gue udah jadi fotografer”. Banyak orang yang ketika pegang
kamera berani ngaku fotografer. Itu banyak banget dan menurut saya itu sangat-sangat salah.
Kebanyakan orang suka disebut fotografer.”
Karena tertutupnya akses ke lingkungan pekerja komersil ini tidak heran jika Henky menyarank-
an setiap fotografer yang tertarik menjadi fotografer komersil untuk berguru langsung kepada
fotografer komersil. “Belajarnya ya dari fotografer komersil, karena memang beda. Bahkan kalau
bisa terlibat pada proses pemotretan komersil.”
“Nggak usah buru-buru, kalau belum
bisa memenuhi standarnya jangan
masuk dulu. Karena kalau sudah masuk
dan terlanjur ngece-wain klien beritanya
nyebar sangat ce-pat di lingkungan
ini akhirnya malah jadi di black list dan
malah jadi makin su-sah dapet orderan.
Karena pertemanan di antara sesama
pekerja iklan sangat erat, jadi berita ba-gus dan jelek bisa menyebar sangat
cepat.”
48 EDISI III / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI III / 2007 49
LIPUTANUTAMA
Tantangan menjadi fotografer komersil se-
makin rumit saja ketika banyaknya pernyataan
fotografer professional yang menyatakan
bahwa kemampuan teknis yang selama ini
justru menjadi pusat perhatian para pehobi
fotografer ternyata bukan satu-satunya hal
penting dalam fotografi komersil. Seperti
mengutip dari pernyataan Jerry Aurum pada
edisi perdana THE LIGHT yang mengatakan
“… di fotografi komersil memotret dengan
bagus itu masih jauh dari cukup…” Memang,
fotografi komersil tantangannya lebih berat
karena bukan melulu masalah teknis dan
artistic. Seperti pernyataan Gerard Adi “Kalau
mau jadi fotografer ya belajar motret, tapi
kalau mau jadi fotografer komersil jangan lagi
belajar motret tapi ada yang lebih penting
yaitu belajar bisnis. Masalah teknis sih bisa
dicari, karena di komersil yang penting end
resultnya, gimana cara dapetnya terserah.”
Pernyataan ini senada dengan pernyataan
Jerry Aurum pada THE LIGHT edisi perdana
“Kalau mau jadi fotografer ya belajar motret, tapi kalau mau jadi fotografer ko-mersil jangan lagi belajar motret tapi ada yang lebih penting yaitu belajar bisnis.“Di dunia komersil (fotografi komersil.Red)
yang penting resultnya dapet. Bagaimana cara
mendapatkannya bukan masalah, justru ke-
tika kita nggak tau teknik yang benar semen-
tara kita dituntut untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan di situ justru tersedia banyak
kesempatan untuk penemuan-penemuan
baru. Misalnya lighting scheme yang baru dan
belum pernah dipakai orang lain.”
Dalam hal hasil akhir yang menjadi penting,
Gerard mengingatkan para pehobi fotografer
yang tertarik menjadi fotografer komersil
untuk bisa membedakan keperluan penggu-
naan digital imaging dalam foto. “Banyak yang
punya foto bagus dan layak jadi fotografer
komersil setelah dioprek di photoshop. Tapi
sayangnya ketika motret iklan semua proses
disupervisi, jadi jelas nggak mungkin hasil
fotonya apa adanya lalu sisanya dikerjain di
photoshop. Karena klien juga nggak akan
biarin kita selesai motret kalau fotonya belum
kelihatan jadi. Nggak bisa bilang “nanti
sisanya dikerjain di photoshop”. Jadi fotonya
harus kelihatan jadi dulu, baru photoshop
untuk bantu bikin yang bener-bener nggak
bisa dibikin dengan kamera.” Ungkapnya. Ini
membuktikan anggapan kebanyakan pehobi
fotografer bahwa fotografer komersil terlihat
lebih bagus outputnya karena bantuan photo-
shop. “Benar photoshop memang bisa bantu
outputnya jadi maksimal, tapi art director yang
supervisi juga nggak bego-bego amat. Jadi
motretnya harus bener dulu, baru dirapihin
sedikit di photoshop.”
Mengenai hal lain di luar kemampuan teknis
fotografi, Gerard Adi pun menjelaskan
beberapa factor yang juga harus dipenuhi
untuk menjadi fotografer komersil “Jadi
komersial fotografer harus punya standar.
Standar equipment, standar service dan
“Banyak yang pu-nya foto bagus dan layak jadi fotografer komersil setelah dioprek di photo-shop. Tapi sayang-nya ketika motret iklan semua proses disupervisi, jadi jelas nggak mung-kin hasil fotonya apa adanya lalu sisanya dikerjain di photoshop. Karena klien juga nggak akan biarin kita se-lesai motret kalau fotonya belum ke-lihatan jadi. Nggak bisa bilang “nanti sisanya dikerjain di photoshop”. Jadi fotonya harus ke-lihatan jadi dulu, baru photoshop untuk bantu bikin yang bener-bener nggak bisa dibikin dengan kamera.”
50 EDISI III / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI III / 2007 51
LIPUTANUTAMA
standar teamwork.” Mengenai standar equipment Gerard menekankan akan pentingnya kualitas
photography equipment yang digunakan. “Gimana detailnya mau sempurna kalau kameranya
noisenya tinggi, nggak tajam, megapixelnya nggak cukup, dan kualitas sensornya nggak bisa
menangkap detail.” Tambahnya. Begitu juga dengan lighting equipment yang digunakan, Gerard
menganggap penggunaan lighting equipment yang tanggung justru bisa menjadi blunder yang
membahayakan. Namun melihat mahalnya harga photography equipment terutama yang sering
digunakan oleh fotografer komersil, Gerard pun memberi solusi. “Equipment yang digunakan
harus bagus, tapi saya nggak bilang harus punya. Kan bisa sewa. Sekarang ini kan banyak
fotografer komersil yang nggak punya alat sendiri tapi motretnya bagus-bagus kayak Heret &
Henky.” Jelasnya.
Standar kedua yang harus dipenuhi adalah standar service. Standar service di sini artinya ada-
lah service yang memang terbaik yang diberikan kepada klien. “Motret project sejuta dua juta
rupiah harus sama servicenya dengan motret project ratusan juta rupiah. Begitu juga dengan
kualitas fotonya, nggak boleh kualitas foto yang dihasilkan dari project sejuta dua juta jauh
lebih jelek daripada project ratusan juga.” Ungkapnya. Dengan menerapkan pola pikir seperti
ini Gerard percaya klien yang sudah mempercayakan pekerjaan pemotretan kepada kita akan
kembali lagi.
“Gimana detailnya mau sempurna
kalau kameranya noisenya tinggi,
nggak tajam, megapixelnya ng-
gak cukup, dan kualitas sensornya
nggak bisa me-nangkap detail.”
Standar ketiga, yaitu teamwork. Pemotretan
iklan memang melibatkan banyak orang.
Team standar yang selalu terlibat adalah
fotografer, producer, dan asisten fotografer
yang bisa mencapai 3 sampai 5 orang. Belum
lagi team dari advertising company dan klien
yang menunjuk kita. Dari advertising company
biasanya ada Art Director dan supervisornya
(bisa creative group head, creative director
atau associatenya) dan producer agency. Dari
“Equipment yang digunakan harus bagus, tapi saya
nggak bilang harus punya. Kan bisa
sewa.departemen client service ada account execu-
tive dan supervisornya (account manager,
account director atau client service director).
Sementara dari pihak klien biasanya diwakili
oleh product manager atau brand manager
dan marketing manager atau marketing
director. Pada kasus-kasus pemotretan yang
lebih spesifik jumlah team yang terlibat bisa
lebih banyak lagi. Misalnya untuk pemotretan
makanan maka ada tambahan food stylist
dan teamnya yang bisa berjumlah 3 sampai
5 orang. Untuk pemotretan model ada make
up artist, wardrobe, stylist dan pengarah
gaya termasuk asistennya masing-masing.
Untuk pemotretan dengan set yang cukup
besar akan melibatkan set builder, property
manager/art director property, dan asisten-
nya yang bisa mencapai lebih dari 3 orang.
Belum lagi ketika dibutuhkan pasca produksi
dengan digital imaging yang sudah pasti akan
melibatkan digital imaging artist dan producer
digital imaging. Hal ini menunjukkan betapa
“Motret project sejuta dua juta ru-piah harus sama servicenya dengan motret project ra-tusan juta rupiah. Begitu juga den-gan kualitas foto-nya, nggak boleh kualitas foto yang dihasilkan dari project sejuta dua juta jauh lebih jelek daripada project ratusan juga.”besarnya team yang terlibat dalam proses
pemotretan sebuah iklan. Yang menjadi lebih
tantangan lagi adalah fotografer komersil ber-
fungsi sebagai leader dari team yang begitu
besarnya yang terdiri dari ahli di masing-
masing bidangnya. Artinya selain harus benar-
benar bisa memotret, seorang fotografer
komersil juga harus bisa memimpin sebuah
tim, baik dari segi kemampuan menajerial
serta kepercayaan diri dalam memimpin team
yang begitu besar. “Fotografer komersil nggak
bisa kerja sendiri, harus ada teamwork. Nggak
bisa semuanya dikerjain sendiri.” Ungkap
52 EDISI III / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI III / 2007 53
LIPUTANUTAMA
Gerard. Gerard beranggapan bahwa ketiga
hal tersebut harus dipenuhi oleh seorang
fotografer komersil. “harus diingat, bahwa kita
dibayar mahal, jadi jangan pakai equipment
yang jelek, service yang apa adanya, dan
team yang cuma fotografer itu sendiri. Tanpa
ngeliat hasilnya pun klien juga nggak akan
PeDe sama fotografernya.” Tambahnya.
Hal senada juga diutarakan Pinky Mirror, salah
seorang fotografer komersil. “Punya dasar
pengetahuan fotografi yang baik. Di era digital
ini mungkin banyak juga yang ‘dadakan’
bisa jadi fotografer komersial. Tapi dengan
pengetahuan yang memadai, biasanya
sangat menolong dalam menghadapi client/
art director yang berbeda-beda kemauannya.
Juga harus mengenal seluruh aspek dalam
dunia fotografi, secara spesifik. Misalnya
fotografer khusus Food. Tentunya diharap-
“Fotografer komersil nggak
bisa kerja sendiri, harus ada team-work. Nggak bisa
semuanya dikerjain sendiri.”
“harus diingat, bahwa kita dibayar mahal, jadi jangan pakai equipment yang jelek, service yang apa adanya, dan team yang cuma fotografer itu sendiri. Tanpa nge-liat hasilnya pun klien juga nggak akan PeDe sama fotografernya.”
kan mengetahui A-Z dunia fotografi food itu
sendiri. Marketnya bagaimana, saingannya
siapa saja, food stylist yang bagus siapa,
dsb.” Selain kemampuan teknis dan informasi
seputar fotografi komersil itu sendiri, Pinky
juga melihat pentingnya faktor marketing dan
promosi sebagai salah satu hal yang pent-
ing. “Jadi fotografer komersial tidak semata
mengandalkan kemampuan teknis. Sudah
sering saya tekankan pentingnya kemam-
puan non teknis, misalnya marketing, PR dan
promotion. Jadi nggak semua fotografer yang
jago motret pasti bisa menembus dunia foto
komersial. sebaliknya dengan promosi yang
bagus, fotografer yang kemampuan teknisnya
sedang-sedang saja bisa saja”
Fotografi komersil memang susah dimasuki,
namun sayangnya sangat mudah untuk
terlempar dari persaingan di lahan fotografi
komersil. Di tengah persaingan yang semakin
ketat di antara para fotografer komersil, ban-
yak nama-nama besar yang pernah berjaya di
bidang ini yang mulai berguguran. Order pe-
motretannya menurun drastis bahkan sampai
titik dimana tidak ada lagi yang mau mem-
percayakan pemotretan kepadanya. Untuk
itu tanpa bermaksud merendahkan kami pun
merasa harus bisa mengambil pelajaran dari
“...Jadi nggak se-mua fotografer yang jago motret pasti bisa me-nembus dunia foto komersial. sebaliknya den-gan promosi yang bagus, fotografer yang kemampuan teknisnya sedang-sedang saja bisa saja”
mereka-mereka yang mulai meredup. Apa
yang menjadi penyebab mengapa semakin
sedikit advertising company yang memper-
cayakan pekerjaan kepada mereka? Kami pun
mewawancarai beberapa pekerja kreatif di
perusahaan periklanan. “waktu masih belum
rame, motretnya teliti banget, disupervisi juga
enak banget. Tapi begitu sudah rame dan
sudah punya nama besar, disupervisi nggak
mau. Maunya kita yang nurutin fotografer.
Mereka lupa bahwa yang dibayar tuh ya
fotografernya. Jadi harusnya lebih kooperatif.”
Ungkap Udin (nama samaran) salah seorang
pekerja iklan yang tak mau disebutkan
54 EDISI III / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI III / 2007 55
LIPUTANUTAMA
“waktu masih belum rame, motret-nya teliti banget, disupervisi juga enak
banget. Tapi begitu sudah rame dan sudah punya nama besar, disupervisi
nggak mau. Maunya kita yang nurutin fotografer. Mereka lupa bahwa yang
dibayar tuh ya fotografernya. Jadi harusnya lebih kooperatif.”
namanya. “Harus diingat, fotografer komersil
itu bukan seniman, jadi nggak bisa nurutin
maunya sendiri.” Tambahnya. Mengenai hal
ini Jaya (nama samaran) seorang fotografer
komersil yang berkeberatan disebut na-
manya pun berpendapat bahwa hal ini akibat
budaya senioritas yang dianut fotografer
tersebut. “Dulu waktu fotografer tersebut
mulai merintis, art director yang supervisi
kebanyakan seumurannya. Setelah sepuluh
tahun kemudian, art director yang supervisi
kan sepuluh tahun lebih muda dari dia, karena
yang seumuran dia sudah naik pangkat dan
nggak supervisi lagi. Di situ kadang fotografer
merasa lebih hebat dari art director yang lebih
muda dan mungkin lebih pendek jam terbang-
nya. Padahal tetap kliennya adalah mereka,
yang ngerti konsepnya mereka jadi kita yang
harus bisa deliver apa yang mereka mau.”
Ungkap Jaya. Selain itu Jaya beranggapan
Harus diingat, fotografer komersil itu bukan seniman,
jadi nggak bisa nurutin maunya
sendiri.”
seharusnya fotografer selalu update. Ketika generasi di advertising berganti, fotografer harus
bisa menghadapi generasi baru yang mungkin lebih muda darinya. “Fotografer komersil harus
bisa berkomunikasi dengan bahasa mereka, walaupun mereka jauh lebih muda.” Tambah Jaya.
Faktor lain yang membuat fotografer
komersil menjadi tidak laku adalah karena
tidak mampunya fotografer yang bersang-
kutan menjawab tuntutan klien yang selalu
berkembang. “Harus diingat advertising
adalah salah satu bidang yang paling dinamis.
Mereka selalu berubah dan berkembang, baik
style, selera dan juga tuntutan. Fotografer
komersil harus bisa mengimbanginya kalau
mau bertahan.” Ungkap Indra. Tuntutan klien
yang jelas-jelas terlihat berkembang salah
satunya adalah pada proses pemotretan itu
sendiri. Jika dulu proses pemotretan hanya
berlangsung di hari H, kini banyak advertising
company yang menuntut pre production dan
post production yang selain menyita waktu
juga menuntut fotografer yang bersangkutan
untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan “Fotografer ko-mersil harus bisa
berkomunikasi dengan bahasa
mereka, walaupun mereka jauh lebih
muda.”
pada tahap pre production dan post produc-
tion. “sayangnya suka ada yang menganggap
enteng perkembangan tuntutan ini. Akhirnya
mereka tersingkir dan nggak kepakai lagi.”
Ungkap Indra.
Sikap menganggap enteng dan meremehkan
klien juga sering dilakukian oleh fotografer
komersil yang sudah mapan, setidaknya ini
“Harus diingat advertising adalah salah satu bidang yang paling dina-mis. Mereka se-lalu berubah dan berkembang, baik style, selera dan juga tuntutan. Fotografer komersil harus bisa mengimbanginya kalau mau bertahan.”
56 EDISI III / 2007
LIPUTANUTAMA
EDISI III / 2007 57
LIPUTANUTAMA
keluar dari mulut para art director. “Dulu mereka motret pakai digital back 22 megapixel, tapi
sekarang mereka malah pakai DSLR dengan resolusi di bawah 20 megapixel. Apa mereka
pikir kita bego?” ungkap Udin menyikapi fotografer yang mulai mengakali klien. Hal serupa
juga diungkapkan Awan, seorang art director sebuah perusahaan periklanan papan atas “udah
supervisi capek-capek, ternyata besar filenya nggak cukup. Art director memang nggak banyak
yang ngerti kualitas kamera, tapi kita tahu persis kualitas file output dari kamera bagus atau
tidaknya.” Ketidakpuasan terhadap fotografer komersil juga dirasakan Bebet, Creative director
Bintang Pratama sebuah perusahaan periklanan local yang selalu masuk dalam ranking 10 be-
sar. Bebet pernah mengalami hasil yang didapatkan tidak memuaskan dan hal ini diduga karena
fotografer yang mengerjakan pemotretan kurang fokus karena terlalu banyak pemotretan yang
harus dikerjakan.
“Dulu mereka motret pakai digital
back 22 mega-pixel, tapi sekarang
mereka malah pakai DSLR den-
gan resolusi di bawah 20 mega-pixel. Apa mereka
pikir kita bego?”
Pada akhirnya, banyak pekerja kreatif
periklanan yang memutuskan untuk menun-
juk fotografer untuk melakukan pemotretan
iklan mereka berdasarkan beberapa criteria
utama yaitu portfolio yang dimiliki harus bisa
menggambarkan kemampuan fotografer yang
bersangkutan. Selanjutnya faktor service,
teamwork dan equipment yang digunakan
juga menjadi perhatian tersendiri. Dan yang
tidak kalah penting adalah attitude dari fo-
tografer yang bersangkutan. “Sejago-jagonya
fotografer, kalau nggak bisa diajak komunikasi
dan kerjasama juga percuma, karena yang
punya project kan kita bukan dia.” Ungkap
salah seorang art director.
“udah super-visi capek-capek,
ternyata besar filenya nggak cu-kup. Art director memang nggak
banyak yang ngerti kualitas kamera,
tapi kita tahu per-sis kualitas file
output dari kamera bagus atau
tidaknya.”
“Sejago-jagonya fotografer, kalau
nggak bisa diajak komunikasi dan kerjasama juga
percuma, karena yang punya proj-ect kan kita bu-
kan dia.”
58 EDISI III / 2007
FASHIONPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 59
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
ENNY NURAHENI, KARTINI FOTOGRAFI INDONESIAFotografi jurnalistik adalah salah satu spesialisasi fotografi yang membutuhkan bukan hanya
kemampuan fotografi yang mumpuni, tapi juga keberanian, ketahanan fisik, disamping kepe-
kaan dalam menangkap momen. Fotografer jurnalistik seringkali harus terjun ke tengah medan
berita yang tidak bersahabat dan bahkan cenderung berbahaya. Mulai dari situasi demo para
mahasiswa dan buruh yang seringkali berakhir dengan bentrokan fisik, situasi bencana seperti
gunung meletus, tanah longsor, banjir, gempa bumi dan tsunami hingga situasi perang yang
seringkali juga merenggut korban jiwa dari pihak jurnalis mau tidak mau harus menjadi keseha-
rian bagi para jurnalis termasuk fotografer jurnalistik.
Dengan resiko dan pertaruhan yang begitu besar, kami mendapati sebuah nama yang begitu
menonjol. Bukan hanya karena prestasi dan kapabilitas fotografinya saja yang menonjol, namun
60 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 61
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
juga karena ia adalah seorang wanita (tanpa bermaksud membedakan kemampuan pria dan
wanita). Ia adalah Enny NurahenI.
Enny adalah seorang ibu dari 2 orang anak
yang sejak tahun 1986 menjadi satu-satunya
fotografer untuk Reuters. Enny mengenal
fotografi secara lebih serius sejak tahun
1983. Saat itu, ketika baru saja lulus SMA di
Wonosobo Enny memutuskan untuk mem-
bantu kakaknya yang memiliki usaha studio
foto yang banyak menangani pemotretan
documenter dan wedding. Kurang lebih
selama 4 tahun Enny mempelajari fotografi
melalui kakaknya itu. Tidak hanya cara
memotret, namun juga segi artistic fotografi
seperti komposisi hingga teknik kamar gelap.
Sesuatu yang sudah langka saat ini. Enny
merasa bahwa kemampuan penguasaan
teknik kamar gelap itu pulalah yang membuat
kemampuan fotografinya lebih matang dan
akhirnya membawanya bekerja di Reuters.
Tahun 1986, ketika Reuters membuka
lowongan untuk posisi fotografer, Enny
memberanikan diri untuk mengajukan diri.
Setelah menjadi salah satu dari 3 finalis yang
ada, Enny berhasil terpilih menjadi fotografer
Reuters dan alasan utamanya adalah karena
ia adalah satu-satunya yang menguasai teknik
kamar gelap. Perjalanan karir Enny sebagai
fotografer jurnalistik pun dimulai. Walaupun
tidak berbekal pendidikan jurnalistik dan
fotografi formal, Enny tidak pernah menyu-
rutkan langkahnya untuk menjadi fotografer
jurnalistik. “saya belajar menjadi fotografer
jurnalistik dari senior-senior saya di Reuters,
karena waktu itu yang saya tahu hanya motret
documenter dan wedding.” Ungkapnya.
Senior-seniornya yang juga fotografer Reuters
di biro luar negeri dianggap sebagai gurunya,
karena ia mendapat banyak pelajaran dari
mereka. Enny pun menjalani hari-hari sebagai
fotografer satu-satunya Reuters di Indonesia
hingga tahun 1993. Bahkan ketika sedang
hamil 7 bulan pun Enny tetap melakukan
pemotretan liputan sepak bola. Pada awalnya
sang suami tidak mengijinkannya, namun
dengan alasan tidak ada orang lain yang ada
untuk mengerjakan pekerjaannya itu Enny
pun mengantongi ijin dari sang suami. Enny
pun berangkat memotret di stadion utama
senayan dengan ditemani sang suami. Hanya
saja kalau Enny harus berada di pinggir lapan-
gan untuk memotret, sang suami menunggu
di tribun atas. Rupanya kekhawatiran sang
62 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 63
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
suami pun terjadi, suatu saat ketika salah
satu tim sedang melakukan sepak pojok, bola
mengalir dengan derasnya ke perut Enny
yang sudah membesar karena hamil 7 bulan.
Beruntung refleksnya menolong, ia segera
menggunakan tangannya untuk menangkis
bola yang sudah beberapa centimeter lagi
akan mengunjam kandungannya tersebut, ia
pun selamat.
Namun rupanya bahaya belum mau pergi dari
Enny pada saat itu, usai pertandingan penon-
ton yang tidak puas pun rusuh. Beruntung
sang suami ada di situ untuk melindunginya.
Melihat kondisi penonton yang semakin berin-
gas, sang suami pun segera turun ke pinggir
lapangan dan mengamankan Enny dari
amukan penonton yang semakin brutal. Untuk
kedua kalinya Enny selamat dari bahaya.
Berhadapan dengan bahaya saat sedang
mangalami kehamilan usia tua tidak me-
nyurutkan semangat Enny untuk menekuni
hidupnya sebagai seorang fotografer jurnal-
istik. Pada masa referendum di Timor Timur,
Enny pun harus kembali berhadapan dengan
bahaya ketika harus menggantikan rekannya
Bea Wiharta yang tertembak ketika sedang
bertugas di sana. Enny pun berangkat ke
64 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 65
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
66 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 67
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
Timor Timur. Saat tiba di sana, ia bersama
beberapa orang rekan sesama jurnalis
mendengar akan ada aksi mass adi sekitar
kantor UNAMET. Ia pun memutuskan untuk
berangkat ke lokasi bersama beberapa orang
rekan jurnalis. Berbekal rompi dan helm anti
peluru, Enny tiba di lokasi. Namun tidak ada
aksi massa yang dikabarkan akan terjadi.
Ia pun menyimpan rompi dan helm anti
pelurunya di mobil yang membawa mereka di
situ dan kembali menunggu di pinggir jalan
depan kantor UNAMET itu. Tiba-tiba seger-
ombolan massa bergerak menuju tempat itu
dengan beringasnya. Ia pun berlari masuk ke
dalam sebuah gedung SD yang berada tepat
di samping kantor UNAMET dan terjebak di
dalam sana. Sayangnya justru para pengungsi
yang berada di gedung SD itu juga berpikir
untuk mengungsi ke kantor UNAMET. Setelah
puas memotret, ia pun membantu satu-
persatu para pengungsi itu untuk memanjat
tembok pembatas yang tingginya tidak kurang
dari 2,5 meter. Hingga semua orang sudah
tertolong, ia baru sadar bahwa tinggal dirinya
sendiri yang berada di situ, sementara gerom-
bolan massa sudah semakin dekat. Sempat
berusaha sembunyi di sebuah truk bertutup
terpal di situ, ia pun akhirnya memutuskan
untuk berteriak minta tolong kepada orang-
68 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 69
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
70 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 71
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
orang yang sudah berada di dalam kantor
UNAMET. Beberapa orang mencoba meno-
longnya dengan menarik tangannya, namun
berkali-kali ia coba tetap tak berhasil juga.
“saya sudah putusa asa, sampai akhirnya da-
lam hati saya bilang “Tuhan tolong saya” dan
tiba-tiba saya sudah berada di atas tembok
itu.” Kenangnya. Ia pun selamat dari amukan
massa.
Pergulatan Enny menjadi seorang fotografer
jurnalistik yang baik tidak pernah padam
walaupun menghadapi begitu banyak bahaya.
Hingga kini pun ia masih bangga menjabat
chief fotografer Reuters Jakarta.
Berbicara mengenai Reuters dan kantor berita
sejenis, Enny merasa bahwa sebagai seorang
fotografer jurnalistik bekerja di sebuah kantor
berita seperti Reuters merupakan kebang-
gaan tersendiri. Hal ini karena dengan bekerja
di Reuters foto yang ia hasilkan berstandar
internasional karena dipakai di berbagai
macam surat kabar di seluruh dunia. Berbeda
dengan fotografer jurnalis di surat kabar
tertentu, di Reuters foto yang dihasilkan pada
setiap event bisa dipakai secara bersamaan
di berbagai surat kabar di seluruh dunia.
Dan menjadi kepuasan tersendiri ketika foto
yang ia hasilkan terpampang di surat kabar
terkemuka di dunia, ditambah lagi namanya
tercantum di bawah foto yang ia hasilkan.
Bekerja di kantor berita juga memberikan
kebebasan pada level tertentu untuk memilih
foto yang akan dipakai, tidak seperti di surat
kabar dimana redaktur foto lah yang berhak
memilih foto yang akan diterbitkan. Namun di
atas segala macam kelebihan yang bisa dida-
patkan seperti di atas, Enny juga mengakui
ada tantangan tersendiri ketika bekerja di
sebuah kantor berita yang melayani berbagai
macam surat kabar di berbagai macam Neg-
ara dengan berbagai macam tenggat waktu
penerbitan. “di Reuters, setiap detik adalah
deadline. Jadi selain kemampuan memotret
yang baik management waktunya juga harus
baik. Begitu dapat foto bagus harus langsung
kirim.” Ungkapnya.
Mengenai kemampuan fotografi jurnalistik
fotografer Indonesia Enny percaya bahwa
kualitas fotografer furnalistik local tidak kalah
dibandingkan fotografer asing. Hanya saja
Enny menyayangkan sikap fotografer senior
yang pelit ilmu. “fotografer asing itu mau
membagikan ilmunya sehabis-habisnya dan
tidak takut tersaingi, sayangnya di Indonesia
banyak yang nggak mau bagi ilmu karena
takut tersaingi.” Ungkapnya. Enny melihat ada sekelompok fotografer senior yang takut disaingi
ketika mereka membagikan ilmunya pada juniornya. “Jangan takut disaingi, jangan takut bersa-
ing. Karena biar ilmunya ditulari pun belum tentu motretnya sama, karena “mata”nya beda.”
Tambahnya. Hal ini lah yang membuat Indonesia sering “dijajah” seperti ketika beberapa kali
foto pemenang world press yang berasal dari Indonesia yang dihasilkan oleh fotografer asing.
Mendengar pernyataannya untuk tidak berpelit ilmu, kami pun segera memintanya untuk mem-
bagikan ilmu fotografi jurnalistik kepada para pembaca The Light. Enny pun dengan senang hati
membagikannya. Enny berpendapat bahwa untuk menjadi fotografer jurnalistik yang baik sisi
teknis harus sudah dikuasai. Selebihnya Enny juga menyarankan untuk mengembangkan daya
cipta. “foto jurnalistik jangan Cuma dokumentasi, tapi harus bercerita dan bermakna.” Ungkap-
nya. Untuk melatih itu, saran klasik yang selalu muncul dari fotografer manapun terucap, yaitu
memperbanyak referensi, baik foto-foto local maupun dunia. Bagi mereka yang tertarik untuk
bekerja di kantor berita yang melayani surat kabar di berbagai Negara di seluruh dunia Enny
menganjurkan untuk mempelajari selera dan standar dari tiap surat kabar yang ada. Hal ini bisa
dilakukan dengan rajin-rajin melihat-lihat foto-foto di berbagai surat kabar internasional. Ada
beberapa surat kabar yang hanya tertarik pada straight news style. Yaitu gaya foto yang mengu-
tamakan perekaman momen penting. Sementara ada juga yang tertarik dengan gaya majalah/
essay. Gaya Essay ini pun diyakini bisa memperkaya sudut pandang yang bisa dimiliki seorang
fotografer jurnalis. Misalnya ketika memotret seorang yang kakinya bunting karena tsunami,
bisa jadi angle yang diambil tidak hanya dengan pose standar dokumentasi, tapi bisa juga justru
kaki buntungnya itu yang dijadikan foreground sementara usaha yang ia jalankan (apapun itu)
bisa dijadikan background. Dengan permainan komposisi yang baik foto tersebut diyakini bisa
sangat menarik. Enny juga menyarankan para fotografer jurnalistik pemula untuk tidak terpaku
hanya pada momen. “jangan jadi nggak bisa motret ketika nggak ada bencana, atau nggak ada
demo. Karena berita dimana-mana ada, setiap saat setiap waktu. Bahkan di pasar pun banyak
sekali yang bisa difoto.” Ungkapnya. Selain itu Enny juga berpesan untuk selalu melatih “mata”.
Artinya ketika menjadi fotografer jurnalis terutama untuk kantor berita yang melayani berbagai
surat kabar dari berbagai Negara, mata kita harus mewakili mata orang asing tersebut. Artinya
72 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 73
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
74 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 75
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
76 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 77
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
sesuatu yang buat kita bisa biasa-biasa saja,
buat orang asing bisa jadi menarik karena
mereka tidak terbiasa melihatnya. Misalnya
tukang ikan di pinggir jalan di pasar ikan. Di
Indonesia hal seperti ini adalah obyel yang
biasa saja, namun buat Negara-negara di ba-
rat hal ini bisa menjadi menarik. Hal terakhir
yang tidak kalah pentingnya adalah cita rasa
seni. Enny melihat cita rasa seni adalah salah
satu prioritas yang harus diperjuangkan bagi
seorang fotografer professional. Cara mem-
perjuangkannya salah satunya adalah dengan
tidak cepat puas dengan foto yang dihasilkan.
“cari angle yang terbaik, kalau perlu dari
berbagai angle.” Dengan begitu Enny yakin
seorang fotografer jurnalis bisa menjadi jauh
lebih baik lagi.
78 EDISI III / 2007
THEINSPIRATION
EDISI III / 2007 79
THEINSPIRATION
KREATIFITAS SEORANG FOTOGRAFER DIBATASI ALATBeberapa waktu yang lalu saya terlibat pada sebuah diskusi menarik di sebuah mailing list.
Diskusi tersebut membahas mengenai pentingnya kecanggihan kamera bagi seorang fotografer.
Ada yang berpendapat bahwa kecanggihan dan kehebatan sebuah kamera tidak begitu penting.
Yang penting adalah cita rasa seni yang dimiliki fotografer yang bersangkutan sehingga bisa
menghasilkan foto-foto yang indah. Beberapa orang dari kelompok ini mengajukan beberapa
contoh foto dari beberapa orang fotografer terkenal yang semuanya luar biasa bagusnya bahkan
ketika tampak sedikit blur dan kurang focus. Ada beberapa foto yang juga tidak kalah bagusnya
bahkan ketika terdapat noise.
Berbekal foto-foto yang jika ditinjau dari kualitas file memiliki beberapa kelemahan itu (blur,
noise, dll) kelompok ini berpendapat bahwa cita rasa seni lah yang terpenting. Sedangkan
kualitas alat yang digunakan seperti ketajaman lensa, kualitas sensor yang minim noise dan
keunggulan teknologi lain dalam peralatan fotografi apapun menjadi kurang penting lagi.
Beberapa tahun yang lalu ketika saya
mengawali karir saya di divisi kreatif sebuah
perusahaan iklan saya pun berpendapat
sama terhadap kelompok tersebut. Bahwa
ide, kreatifitas, konsep dan cita rasa seni
adalah segala-galanya, sementara faktor lain
seperti alat untuk mengeksekusinya bukan
hal penting lagi. Namun perlahan pemikiran
ini pun memudar. Bahwa memang benar iklan
yang baik tidak harus menggunakan teknologi
komputer grafis dan kamera tercanggih di
dunia, sama benarnya seperti pernyataan
teman-teman di komunitas fotografi itu bahwa
foto yang baik tidak harus dibuat dengan
kamera bermegapixel besar dan lensa super
tajam yang meraih penghargaan di berbagai
ajang fotografi dunia. Namun sayangnya
seiring dengan perkembangan imajinasi dan
daya cipta kreatif saya yang terus meningkat,
daftar ide-ide brilian (brilian menurut saya
setidaknya) yang tidak berhasil dieksekusi pun
mulai terisi dan makin lama semakin panjang.
Alasannya bukan lain adalah karena keter-
batasan teknologi broadcasting dan com-
puter grafis yang tidak mampu mewujudkan
“ide-ide gila” saya tersebut. Banyak ide-ide
menarik yang ternyata amat sangat sulit untuk
dieksekusi karena memang teknologinya
belum ada di republik ini. Perlahan-lahan
kepercayaan saya pada fanatisme bahwa
ide adalah yang terpenting pun memudar,
atau dalam bahasa orang-orang optimis
bisa disebut “berkembang”. Berkembang
menjadi pemikiran bahwa “ide dan daya cipta
kreatif bukan satu-satunya hal yang penting.”
Banyak ide-ide menarik yang ternyata amat sangat sulit untuk dieksekusi karena memang teknologinya belum ada di republik ini.
80 EDISI III / 2007
THEINSPIRATION
EDISI III / 2007 81
THEINSPIRATION
Setidaknya ada hal-hal lain seperti penguasaan teknologi yang juga tidak kalah pentingnya.
Bahwa banyak iklan bagus yang dibuat tanpa menggunakan kamera tercanggih dan mesin edit-
ing tercanggih. Namun saya menyadari bahwa dalam teori keseimbangan statement tersebut
belumlah komplit. Untuk menjadi komplit mungkin bisa ditambahkan satu statement di bela-
kangnya lagi yaitu: “bahwa tidak kalah banyaknya iklan bagus yang tidak sempat tereksekusi
karena ketidakmampuan teknologi dalam mewujudkannya.”. Beberapa tahun yang lalu seorang
senior saya di sebuah perusahaan iklan tempat saya dulu bekerja pernah berkata bahwa iklan
Indonesia masih susah menembus festival iklan di tingkat regional seperti Adfest, London
advertising festival, Clio Award, Cannes Advertising Festival & New York Advertising Festival
salah satunya karena crafting yang masih “pas-pasan”. Crafting di sini bisa diartikan sebagai
cara mengemas ide kreatif yang ada menjadi sebuah ide brilian yang “komplit”. Crafting bisa
menyangkut art directing (pemilihan warna, typografi, komposisi, dll) dan juga bisa menyangkut
kualitas eksekusi foto yang di dalamnya tentu saja teknologi untuk mengeksekusinya. Memang
benar, iklan yang mendapat penghargaan di festival tingkat dunia tidak selalu iklan dengan
kualitas fotografi yang tajam, bebas noise dan luas dynamic rangenya, namun ketika ide saya
membutuhkan eksekusi yang clean & sharp tentunya saya tidak bisa menggunakan camera
pocket untuk mengeksekusinya. Artinya ketika saya tidak memiliki daftar fotografer yang memi-
liki kualitas yang “komplit” maka kreatifitas saya untuk membuat karya iklan tentu saja menjadi
terbatas.
Begitu juga dengan fotografi. Adalah benar bahwa amat sangat banyak foto yang luar biasa
bagusnya tercipta dari kamera film dengan fitur yang paling standar sekalipun. Namun untuk
melengkapi statement itu menurut teori keseimbangan, jadi ada tambahan dibelakangnya yaitu
“adalah tidak kalah benarnya bahwa amat sangat banyak foto yang amat sangat bagusnya yang
belum sempat tercipta karena ketidakmampuan kamera yang kita punyai dalam mewujudkan
ide kita tersebut.
Jika melihat mundur ke beberapa tahun sebelum saat ini, sudah menjadi hakikatnya penemuan
berbagai macam teknologi adalah untuk memuaskan ide-ide liar manusia. Teknologi memang
lahir untuk mewujudkan keinginan-keinginan
manusia yang belum bisa direalisasikan oleh
imajinasi itu sendiri. Berabad-abad yang lalu
amat sangat mungkin manusia memimpikan
imajinasi untuk bisa berbincang-bincang
dengan kerabatnya yang berada di belahan
lain dunia dalam waktu yang real time tanpa
harus keluar rumah. Dan sangat mungkin ide-
ide gila semacam ini tidak pernah terpuaskan
hingga ditemukan teknologi telepon.
Berabad-abad yang lalu amat sangat mungkin
ada segelintir manusia yang memimpikan
untuk bisa bertukar foto dengan teman-teman
sesama pehobi fotografi di belahan bumi lain
dalam hitungan detik. Ide ini pun mungkin
tidak sempat terwujud hingga ditemukan
internet.
Bagaimana dengan fotografi? Beberapa tahun
yang lalu mungkin banyak fotografer yang
memimpikan untuk membuat foto yang baik
dengan color temperature yang relative tepat
dari berbagai macam waktu (pagi, siang, sore,
Teknologi memang lahir untuk mewu-judkan keinginan-keinginan manusia yang belum bisa direalisasikan oleh imajinasi itu sendiri.
malam) dengan sebuah film daylight. Namun
itu tidak terwujud hingga muncul teknologi
white balance adjustment pada kamera digital
kita.
Manusia tercipta dengan kodratnya sebagai
mahluk yang tidak pernah puas. Terlebih
sebagai manusia kreatif, daya cipta imajinasi
kita pun berkembang. Saat ini mungkin saja
kita puas bereksperimen dengan kamera tua
kita. Ide-ide yang muncul bisa dieksekusi
dengan kamera tua sekalipun. Namun seiring
dengan perkembangan daya cipta kreatif kita,
suatu saat kita pun akan menemui batasan
di mana ide-ide kita sudah jauh melampaui
teknologi kamera yang kita miliki sehingga
sudah merasa layak dan sepantasnya jika kita
memiliki kamera yang lebih canggih. Hal ini
berkembang terus hingga pada titik tertentu
ketika kita memiliki kamera tercanggih di
82 EDISI III / 2007
THEINSPIRATION
EDISI III / 2007 83
THEINSPIRATION
dunia sekalipun masih banyak ide liar kita yang tidak sempat terwujud karena sudah melebihi
kemampuan dari teknologi yang ada. Kalau begitu sejatinya, saya rasa tidaklah berlebihan jika
saya berkeyakinan bahwa kreatifitas seorang fotografer dibatasi oleh alat. Bahwa benar kita
bisa mencipta foto bagus yang tak terbatas jumlahnya hanya dengan sebuah kamera kuno.
Namun bahwa banyak foto bagus yang tidak bisa kita ciptakan dengan kamera kuno juga sama
benarnya.
Untuk itu, ketika beberapa rekan saya memilih untuk seakan-akan memperlakukan kamera dan
berbagai macam peralatan fotografi dengan pemiliknya seperti majikan dan budak belian atau
dalam kasta yang lebih rendah dengan nama “tools”, saya justru memilih untuk berbeda, yaitu
dengan menganggap kamera dan berbagai macam peralatan fotografi lainnya dalam kasta
yang sederajat dalam konteks penciptaan karya foto yang baik. Kasta yang sederajat itu saya
namai “partner”. Ya, kamera bukan sekedar “tools” buat saya, kamera adalah partner bagi saya.
Partner yang bisa membuat imajinasi saya lebih berkembang lagi dengan mengetahui betul
seluk beluk kekurangan dan kelebihannya. Partner yang ketika saya mengerti betul kelebihan-
nya membuat saya memiliki kesempatan lebih untuk memaksa imajinasi saya berkembang
setidaknya sampai tahap dimana bisa diwujudkan oleh partner saya tersebut. Partner untuk
saya pelajari betul batasannya sehingga saya tidak terlalu banyak (maaf) “bermasturbasi” den-
gan menghasilkan gambaran-gambaran indah di pikiran saya (baca: ide foto yang luar biasa)
tanpa bisa mewujudkannya di depan mata
saya semata-mata karena alasan ketidakpa-
haman terhadap keterbatasan sang partner
tersebut.
Dan karena saya tidak ingin menjadi manusia
yang dibatasai imajinasinya saya memilih un-
tuk memiliki partner (baca: peralatan fotografi)
yang memiliki kemampuan terbaik yang
masih mampu saya beli. Karena semakin baik
peralatan fotografi yang kita miliki seharusnya
semakin luas pula batasan imajinasi yang bisa
kita wujudkan.
Selanjutnya muncul pertanyaan: “apa yang
harus saya lakukan jika saya merasa kamera
saya sudah bisa mewujudkan semua ide-ide
saya. Apakah saya harus memiliki kamera
yang lebih baik?” Jawabannya sederhana,
ketika semua permasalahan dalam pen-
ciptaan ide foto yang baik sudah terjawab
oleh kamera yang kita punya, jangan-jangan
justru imajinasi kitalah yang harus diupgrade.
Karena ketika semua ide sudah terjawab
dan tercipta oleh teknologi yang ada berarti
kemajuan teknologi sudah selangkah lebih
maju dari imajinasi kita.
Kalau begini mana yang anda pilih? Menjadi
tidak tergantung pada teknologi yang lebih
baik karena semua permasalahan sudah
terjawab dengan peralatan fotografi yang kita
miliki namun berarti imajinasi kita “dika-
lahkan” oleh kepintaran pencipta teknologi
kamera masa kini, atau memilih untuk tergan-
tung pada peralatan fotografi yang lebih baik
karena imajinasi kitalah yang sudah selang-
kah lebih maju daripada kepintaran produsen
peralatan fotografi?
ketika semua permasalahan dalam penciptaan ide foto yang baik sudah terjawab oleh kamera yang kita pu-nya, jangan-jangan justru imajinasi kitalah yang harus diupgrade. Karena ketika semua ide sudah terjawab dan tercipta oleh teknologi yang ada berarti kemajuan teknologi sudah selangkah lebih maju dari imajinasi kita.
84 EDISI III / 2007
JURNALISTIKPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 85
PROCOMMENT
Fotografer: Mulyadi NatakusumahHary Subastian:Komposisi sudah bagus karena memusat,
POI pas. Lighting pas karena menunjukan
siapa orang ini. Gradasinya ok. Namun sayang
penggunaan lensanya terlalu wide sehingga
membuat muka jadi cembung. Kecuali me-
mang itu yang ingin didapatkan.
Henky Christianto:Cool banget, moodnya dapat Saya mellihat
karakter ini cocok sekali dengan pembawaan-
nya Glenn Fredly sendiri. Pemilihan Hitam
putih serta jas sangat cocok dengan Glenn
Fredlly yang memang metro seksual.
Fotografer: Much. FirmansyahHary Subastian:
Lighting bagus, low key dramatis. Kontras di
kiri kanan muka juga pas, simetris. Sayangnya
detail bajunya hilang, akan lebih baik jika
croppingnya sekalian lebih ketat di muka,
supaya lebih nonjolin karakter wajahnya.
Henky Christianto:Lighting tidak ada masalah, akan tetapi “aura”
si model kurang keluar. Sebaiknya dicari dulu
karakter si model cocoknya untuk apa.
(serius?, santai? marah?, dll)
Subscribe via:
86 EDISI III / 2007
PROCOMMENT
EDISI III / 2007 87
WEDDINGPHOTOGRAPHY
Fotografer: Arie Satria
Subscribe via:
Fotografer: Sigit Prasetyo
Hary Subastian:Permainan kontras biru & orange menarik.
Penempatan model juga pas. Permainan
zoom terlalu kuat efek komputernya. Mungkin
kalau dibuat lebih asli tapi lebih kuat birunya
& lebih bersih (garisnya dikurangi) akan lebih
menarik. Perspektifnya bisa lebih menarik
dengan penggunaan lensa lebih wide, supaya
ujung perspektif tidak putus.
Hary Subastian:Susah untuk nunjukin terbang dengan alami
karena kaitan dengan baju. Sayang tangan
kirinya hilang. Lebih bagus kalau tangannya
kelihatan dua-duanya. Lighting OK, dengan
backlight & fill in yang pas. Komposisi agak
dead centre, lebih baik geser ke kiri sedikit,
supaya lebih seimbang,
Henky Christianto:Saya suka dengan pemilihan warna
orangenya, efek gerak juga menimbulkan
kesan dinamis yang lebih kuat, didukung
dengan efek gerak di wardrobe yang menim-
bulkan kesan seksi.
Henky Christianto:Mood fashionnya dieksekusi dengan sukses..warna wardrobe yang kemerahan dan shadow
juga menimbulkan kesan sangat bagus. Saya sangat senang melihat foto ini.
PERAK MAS, JAWARA
WEDDING DARI SURABAYA
Jauh-jauh hari sebelum edisi perdana ini diluncurkan fotografi wedding sudah menjadi salah
satu spesialisasi dalam fotografi yang kami rencanakan untuk ikut memenuhi halaman-
halaman majalah ini. Alasannya beragam, mulai dari paling banyaknya peminat spesialisasi ini
hingga pada berbagai macam permasalahan yang cukup rumit yang sering dihadapi oleh para
fotografer wedding. Namun karena berbagai macam alasan, baru pada edisi ketiga ini fotografi
wedding bisa ambil bagian dalam lembaran majalah ini.
Salah satu nama fotografer wedding yang sudah menjadi incaran kami sejak ide pembentukan
majalah ini dicetuskan adalah Gondo dari Perak Mas Surabaya. Alasannya adalah karena di
tengah persaingan fotografi pre wedding yang semakin berdarah-darah, Gondo dan Perak mas
menjadi salah satu yang konsisten mempertahankan standar kualitas dan harganya. Untuk itu,
walaupun harus menempuh perjalanan tidak kurang dari satu setengah jam dengan pesawat ke
Surabaya, kami pun tidak pernah mengurungkan niat kami untuk menimba ilmu dari Gondo &
Perak Mas untuk dibagikan kepada anda semua.
“Dulu keluarga saya sudah mulai usaha lab cuci cetak duluan”. Ungkap lelaki beranak dua ini
di sebuah kafe yang tak jauh dari studionya di Surabaya. Ya, sebelum mendirikan Perak Mas,
Gondo sudah banyak belajar mengenai fotografi dari usaha yang dijalankan orang tuanya.
88 EDISI III / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 89
WEDDINGPHOTOGRAPHY
Justru karena belajar dari lab cuci cetak milik orang tuanya, Gondo merasa makin mengerti
fotografi. “Karena belajar dari lab cuci cetak, saya jadi tau film seperti itu jadinya kayak
apa.” Ungkapnya. Memang banyak sekali fotografer yang menjadi lebih matang dalam me-
motret karena mengerti dan menguasai kemampuan cuci cetak. Sebut saja Arbain Rambey,
Enny Nuraheni, dan nama-nama besar lainnya yang menjadi besar salah satunya karena
menguasai teknik cuci cetak foto.
Sama seperti fotografer wedding pada umumnya, Gondo juga memulai usaha fotografi
wedding dengan hanya memotret untuk beberapa orang teman dekatnya saja. Namun
pada akhirnya lama kelamaan menjadi makin banyak yang puas dan merekomendasikan-
nya. Namun, walaupun terjunnya Gondo ke dalam usaha fotografi wedding terkesan tidak
disengaja, Gondo tidak pernah tidak serius terhadap pekerjaannya. Bahkan ketika pada
awal-awal ia menjalankan usaha ini ia menggunakan kamera medium format walaupun
masih dengan media film/slide. Berbeda dengan kebanyakan fotografer wedding saat itu
yang merasa puas dengan menggunakan kamera SLR. Ketika kamera digital mulai marak
di Indonesia, Gondo pun berpindah menggunakan DSLR. Namun, dengan alasan ingin
memberikan yang terbaik untuk klien, sudah
tiga tahun lebih ini Gondo menggunakan
Digital Back dengan resolusi tidak kurang dari
22 megapixel. “Saya ingin memberikan yang
terbaik, termasuk dari segi equipment.” Hal ini
pulalah menjadi salah satu alasan mengapa
kami tertarik untuk mengenalnya lebih dalam,
mengingat dari ratusan atau bahkan ribuan
fotografer wedding yang ada di Indonesia
ini hanya beberapa yang berani berinvestasi
untuk membeli digital back berharga tidak
kurang dari Rp.200.000.000,-. Bukanlah be-
saran rupiah dari alatnya yang membuat kami
“Karena belajar dari lab
cuci cetak, saya jadi tau film
seperti itu jadinya kayak apa.”
“Saya ingin memberikan
yang terbaik, ter-masuk dari segi
equipment.”
90 EDISI III / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 91
WEDDINGPHOTOGRAPHY
“silau”, namun setidaknya hal itu adalah salah satu bukti akan keseriusannya dalam menekuni
usahanya.
Mengenai equipment yang digunakan, Gondo juga menyadari bahwa sebagian besar klien
tidak mengetahui peralatan yang baik dan ini yang menjadikan banyak fotografer yang tertarik
untuk menjalankan usaha fotografi wedding. Namun Gondo percaya bahwa ketika dibandingkan
secara berdampingan klien akan mengetahui kualitas yang lebih baik.
Berbicara mengenai fotografi wedding, Gondo justru melihat persaingan dan perjuangan untuk
menghadapi klien sebagai hal yang menarik. Klien yang dihadapinya bermacam-macam, dari
karakter sampai seleranya. Banyak juga yang cerewet. “Justru yang cerewet itu yang menarik
untuk saya. Karena kalau saya berhasil muasin dia, rasanya “menang” banget. Lagipula yang
cerewet kalau sudah puas, justru akan merekomendasikan ke teman-temannya.” Jelasnya.
Gondo bisa mengerti jika klien dari fotografi wedding cenderung lebih sulit untuk dihadapi.
Karena selain relative tidak begitu mengerti tentang fotografi dan seni, kemauannya pun
“Justru yang cerewet itu yang menarik untuk saya. Karena kalau saya berhasil mua-sin dia, rasanya “menang” banget. Lagipula yang cerewet kalau su-dah puas, justru akan merekomen-dasikan ke teman-temannya.”
“Saya selalu cari ide yang susah. Susah dari segi lighting, detail,
lokasi, dll. Saking susahnya kadang saya juga males ngerjainnya, Tapi
dengan begitu competitor nggak
gampang untuk niru.”
92 EDISI III / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 93
WEDDINGPHOTOGRAPHY
macam-macam. Banyak klien yang datang
dengan tanpa ide. Untuk itu adalah tugas
fotografer untuk menciptakan konsep dan ide
pemotretan. “maunya macem-macem, begitu
dibuatin ide yang macem-macem mentoknya
di duit.” Jelasnya mengenai permasalahan
yang sering dihadapi dalam berhadapan
dengan klien.
Untuk itu Gondo menekankan pentingnya
komunikasi di antara fotografer dan klien.
“dari ide itu diciptakan, sampai saat pe-
motretan butuh beberapa kali ketemu, supaya
mereka makin yakin dengan hasil yang akan
didapatkan.” Jelasnya. Untuk itu Gondo selalu
mengadakan pre production meeting sebelum
pemotretan. Pada pre production meeting
ini Gondo selalu mengkomunikasikan semua
detail pemotretan yang akan dilakukan, mulai
dari tema, make up, kostum, lokasi, dll. Hal
ini untuk menghemat waktu pemotretan serta
memaksimalkan output.
“Seharusnya foto pre wedding bisa
mendekati atau bahkan sekelas dengan kualitas
foto commercial & fashion.”
94 EDISI III / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 95
WEDDINGPHOTOGRAPHY
Menyikapi persaingan yang semakin tidak
karuan di bidang fotografi wedding, Gondo
menyesalkan kondisi ini. Gondo melihat
seharusnya fotografer wedding tidak perlu
terjebak dalam perang harga jika kualitas
output yang dihasilkan di atas rata-rata.
Bahkan Gondo melihat fenomena baru dalam
usaha fotografi wedding, yaitu dengan adanya
paket-paket yang membuat fotografer hanya
dibayar jasa pemotretan saja. Sedangkan
untuk cetaknya klien lah yang akan mencetak
sendiri setelah mendapat soft copy dari hasil
pemotretannya. Gondo menyayangkan kondisi
ini. Ia berpendapat sebuah standar kualitas
foto wedding bisa didapatkan ketika 3 tahap
yang dilalui dikontrol. Mulai dari input yang
meliputi konsep, ide, detail property, kostum,
lokasi, tahap processing yang meliputi editing,
touch up, color correction, cropping dan post
production hingga tahap akhir yaitu output
yang merupakan proses cetak. Dengan mem-
berikan hanya soft copynya saja setidaknya
tahap akhir yang juga tidak kalah pentingnya
menjadi terkorbankan. Padahal akan lebih
baik jika fotografer yang melakukan ketiga
tahap tadi sehingga penyimpangan warna dan
tonal pada proses cetak dapat diminimalisir.
Strategi yang ia jalankan untuk menghadapi
persaingan yang makin tidak menguntungkan
fotografer wedding adalah dengan selalu
menjaga kualitas. “nggak perlu ikut-ikutan
banting harga, karena nggak akan ada
habisnya. Yang penting kita yakin kualitas
yang diberikan sesuai harganya.” Ungkapnya.
Gondo selalu menjalankan pekerjaannya
dengan serius, mulai dari melibatkan team
dalam melakukan pemotretan. Mulai dari
fotografernya sendiri yang bisa mencapai
2 orang untuk tiap pemotretan, make up
artis, dan beberapa orang asisten. Untuk
pemotretan indoor, Gondo selalu menggu-
nakan 2 studio sekaligus. Ketika pemotretan
sedang berlangsung di studio 1, teamnya
bisa mempersiapkan studio 2, sehingga
ketika pemotretan selesai di studio 1, mereka
bisa langsung pindah ke studio 2 sementara
“nggak perlu ikut-ikutan banting har-ga, karena nggak akan ada habisnya. Yang penting kita yakin kualitas yang diberikan sesuai harganya.”
96 EDISI III / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 97
WEDDINGPHOTOGRAPHY
gantian studio 1 yang disiapkan untuk setting
berikutnya. Gondo juga menjaga maksi-
mal hanya 1 klien per hari, sehingga tidak
terburu-buru dalam melakukan pemotretan.
Ketika ditanya bagaimana caranya memper-
tahankan kualitas foto, Gondo memberikan
saran sederhana. “Saya selalu cari ide yang
susah. Susah dari segi lighting, detail, lokasi,
dll. Saking susahnya kadang saya juga males
ngerjainnya, Tapi dengan begitu competitor
nggak gampang untuk niru.” Ungkapnya.
“Seharusnya foto pre wedding bisa mendekati
atau bahkan sekelas dengan kualitas foto
commercial & fashion.” Tambahnya. Namun
Gondo menyayangkan hal tersebut tidak dapat
terjadi dengan berbagai alasan. “Di wedding
nggak bisa hanya cari uang, kita harus suka
motret wedding. Kalo enggak nggak akan
bagus jadinya.” Ungkapnya.
Di akhir perbincangan kami dengannya,
Gondo menyarankan kepada para pehobi
fotografi yang tertarik mendalami fotografi
wedding untuk memprioritaskan kepuasan
klien. “Jangan mentang-mentang klien nggak
begitu ngerti lalu dikasih apa adanya. Padahal
mereka juga nggak bego-bego amat, suatu
saat mereka juga bisa bedain mana yang
bagus mana yang enggak.” Tutupnya.
“Di wedding nggak bisa hanya cari uang, kita harus suka motret wed-ding. Kalo enggak nggak akan bagus jadinya.”
“Jangan mentang-mentang klien ng-gak begitu ngerti lalu dikasih apa adanya. Padahal mereka juga nggak bego-bego amat, suatu saat mereka juga bisa bedain mana yang bagus mana yang eng-gak.”
98 EDISI III / 2007
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 99
WEDDINGPHOTOGRAPHY
100 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 101
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
HENKY CHRISTIANTO NGGAK PERNAH MIMPI JADI FOTOGRAFER KOMERSILJika edisi terdahulu pada rubric ini kami menampilkan Sam Nugroho salah seorang fotografer
komersil tersukses di Indonesia, pada edisi ini kami tertarik untuk menggali segala hal men-
genai fotografi komersil dari Henky ChristIanto, salah seorang fotografer komersil yang relative
masih muda yang bisa dikatakan murid dari Sam Nugroho. Yang menarik bagi kami adalah
Henky memiliki latar belakang yang bertolak belakang dengan Sam. Ketika Sam dibesarkan di
Amerika Serikat, Henky hanyalah seorang fotografer muda yang terlahir dari keluarga pedagang
di republik yang jauh masih tertinggal dibandingan Amerika Serikat. Namun begitu, Henky
memiliki visi dan pandangan yang bisa menjadi inspirasi bagi fotografer muda Indonesia.
102 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 103
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Henky adalah seorang lulusan marketing manajemen Universitas Atma Jaya Jakarta. Saat masih
berkuliah, sama seperti kebanyakan orang Henky bercita-cita ingin bekerja di perkantoran
dengan kemaja dan dasi sebagai pakaian sehari-hari. Maka dari itu walaupun sejak kuliah
ia sudah tertarik untuk mendalami fotografi dan bahkan sempat menjabat ketua Studio 51,
sebuah komunitas fotografi di kampusnya, Henky tetap meneruskan jalurnya sebagai seorang
sarjana ekonomi dengan bekerja di perusahaan sekuritas. Bagi Henky bekerja sebagai pegawai
kantoran dengan berkemeja dan berdasi sudah cukup baginya pada saat itu. Hingga pada
suatu saat, salah seorang klien lamanya menghubunginya dan menanyakan apakah ia masih
memotret. Henky pun segera mengiyakan, walaupun mencari uang dari fotografi hanya sebagai
pekerjaan sampingan baginya. Akhirnya pekerjaan pemotretan itu pun ia kerjakan. Dan yang
henky christianto
henky christianto Mandom Satucitra M Ridwan Sugisalon Magicwant
Sony Ericsson Advis Arief Wibowo
104 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 105
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
henky christianto Qiqi Frangky Magic want
106 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 107
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
henky christianto Qiqi Frangky Magic want Denny Wirawan
108 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 109
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
membuatnya berpikir ulang mengenai masa depannya adalah karena bayaran yang ia per-
oleh untuk melakukan pemotretan yang hanya makan waktu sehari itu sama dengan 3 bulan
penghasilannya dari kantor tempat ia bekerja sebagai pegawai kantoran. “lumayan juga, motret
sehari bisa untuk hidup 3 bulan.” Kenangnya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk membelot
ke jalur fotografi karena ia yakin bisa mendapatkan order pemotretan dalam waktu 3 bulan,
sebelum cadangan keuangannya habis.
Henky pun memulai peruntungan di fotografi
dengan berguru pada Anton Ismael, salah
seorang fotografer komersil yang juga murid
Sam Nugroho. Selama beberapa bulan Henky
berguru pada Anton sambil membantunya
bekerja. “Gue mulai dari ngangkat-ngangkat
lampu, mindahin lampu.” Ungkapnya. Setelah
beberapa lama Henky dikenalkan Anton pada
Sam Nugroho. Sejak saat itu Henky ser-
ing mengintip-intip ketika Sam memotret.
Keinginannya untuk belajar begitu besar.
Hingga akhirnya Henky ditawari Sam untuk
bergabung dengan The Looop, perusahaan
photography service miliki Sam, sebagai junior
photographer. Henky pun sempat kaget dan
merasa minder, namun keinginannya untuk
belajar fotografi yang membuatnya menerima
tawaran itu.
Masa awal bergabung dengan The Looop,
Henky sempat frustasi karena selama
berbulan-bulan ia tidak mendapat klien.
Sementara jika ia tidak mendapat klien maka
ia tidak akan mendapat bayaran. “Gue sempet
menggadaikan lensa tua gue, itu pun ditolak
di beberapa toko, sampai akhirnya ada yang
mau juga walaupun harganya nggak sampai
setengah harga pasar.” Kenangnya. Hal itu ia
lakukan sekedar untuk menyambung hidup.
Namun kegigihannya dan kebulatan tekadnya
pun mulai berbuah. Perlahan-lahan Henky
mulai mendapat beberapa order pemotretan
walaupun berawal dari menampung order
yang tidak tertampung Sam & Anton karena
penuhnya jadwal pemotretan kedua seniornya
itu. Henky pun selalu menerima tawaran yang
datang tanpa mempedulikan apa yang akan
ia potret dan bayarannya. “Yang penting bisa henky christianto Cristal Jade
henky christianto Marjan Syrup BBDO Komunika Any C Prodaksien
110 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 111
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
nambah portfolio sekaligus nyambung hidup.”
Ungkapnya. Lama kelamaan order pemotretan
Henky pun bertambah dan Henky pun mulai
memiliki klien tetap yang kembali karena puas
akan hasil karya Henky.
Lama kelamaan Henky merasa sudah bisa
“berdiri sendiri”, maka ia mengajak Heret Fr-
asthio rekan sesama fotografer di The Looop
untuk keluar dari The Looop dan mendirikan
sebuah perusahaan sendiri. Heret pun me-
nanggapinya dan kini mereka bernaung pada
sebuah perusahaan sendiri bernama 2Hphoto
(Henky & Heret Photography).
Berbicara mengenai fotografi komersil, Henky
berpendapat bahwa hal-hal yang membuat
fotografi komersil unik adalah karena menjadi
fotografer komersil bukan sekedar mengua-
sai teknik fotografi dan memiliki daya cipta
artistic yang baik. Namun lebih jauh lagi
dibutuhkan attitude yang baik. “Di komersil,
seberapapun bagus dan jagonya lo, klien ng-
gak akan balik kalau lo sombong dan nggak
bisa bekerjasama.” Jelasnya. “Fotografer
komersil harus sadar bahwa dia hanyalah satu
bagian dari sekian banyak pihak yang terlibat
dalam proses penciptaan iklan yang baik, jadi
“Di komersil, seberapapun bagus dan jag-onya lo, klien nggak akan balik kalau lo sombong dan nggak bisa bekerjasama.”
henky christianto
henky christianto Tommy HartantoPanasonic Dentsu
Jejak, Rumah Iklan Dan Desain Jejak CreativeHSBC
112 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 113
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
henky christianto NEA Magazine Miranda Tobing
114 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 115
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
henky christianto NEA Magazine Miranda Tobing
116 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 117
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
nggak bisa punya mental maunya sendiri. Tapi
harus diubah jadi apa maunya team. Karena
teamnya banyak dari klien hingga make up
artist, dari art director sampai digital imaging
artist.” Tambahnya. Dan karena team yang
terlibat tergolong paling banyak dibanding
fotografi lain, Henky berpendapat bahwa ko-
munikasi dan service yang ditawarkan harus
comprehensive dan pro aktif.
Henky pun setuju bahwa hal non teknis sering
menjadi hal yang menentukan di fotografi
komersil. “yang membedakan fotografi
komersil dan fotografi lain lebih banyak di hal
non teknisnya. Tapi sayangnya justru hal non
teknis itulah yang paling sering menghambat
seseorang jadi fotografer komersil.” Jelasnya.
“masalah teknis, nggak usah diomongin lagi.
Karena itu sudah suatu keharusan.”
“Fotografer kom-ersil harus sadar bahwa dia hany-alah satu bagian dari sekian banyak pihak yang terlibat dalam proses pen-ciptaan iklan yang baik, jadi nggak bisa punya mental maunya sendiri. Tapi harus diubah jadi apa maunya team.
henky christianto
henky christianto
TVS
TVS
Aryo
Aryo
Heru
Heru
118 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 119
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Hal penting lainnya dari seorang fotografer adalah style. Henky berpendapat bahwa yang
membuat klien memilih kita untuk melakukan pemotretan untuk mereka di luar masalah
kemampuan fotografi dan non teknis seperti service adalah style. Style lah yang membuat klien
tertarik dengan foto kita. Dan yang lebih penting lagi style tersebut harus terus diupdate. Untuk
itu Henky biasa mencari referensi sebanyak-banyaknya. Mulai dari website, video clip, film,
hingga iklan-iklan. Berbeda dengan kebanyakan fotografer yang menyarankan untuk belajar
dari foto yang baik. Henky juga menyarankan semua yang ingin belajar fotografi untuk belajar
dari foto yang jelek. “Kalau lihat foto yang jelek, coba dicari dimana salahnya. Supaya kita nggak
“yang membe-dakan fotografi komersil dan fo-tografi lain lebih banyak di hal non teknisnya. Tapi sayangnya justru hal non teknis itulah yang paling sering meng-hambat seseorang jadi fotografer komersil.”
henk
y ch
ristia
nto
henk
y ch
ristia
nto
Fem
ale
Mag
azin
eM
irand
a To
bing
Rexo
naLO
WE
Mar
sha
Sale
h
120 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 121
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
henky christianto NEA Magazine Miranda Tobing
122 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 123
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
melakukan kesalahan yang sama.” Tegas-
nya. Henky sendiri pernah dimaki-maki klien
karena hasil fotonya tidak disukai kliennya.
Namun Henky pun memilih untuk intropeksi
dan pada akhirnya menyadari bahwa memang
ia yang melakukan kesalahan. “Jadi fotografer
terutama komersil harus bisa terima kritik.
Jangan nggak mau disalahin, karena kita
bukan seniman.” Jelasnya.
Walaupun berstatus sebagai fotografer
komersil, namun Henky mengaku sangat suka
memotret fashion dan interior. Mengenai hal
ini Henky berkomentar “untuk jadi fotografer,
idealnya harus bisa semua. Masalah lebih
bagusnya dimana itu terserah orang yang
melihat.” Ungkapnya.
Ditanya mengenai tips menjadi fotografer
komersil, Henky berpendapat bahwa tidak
mudah menjadi fotografer komersil. “Nggak
setiap orang yang bisa dan suka menyanyi
bisa dan suka jadi penyanyi. Nggak setiap
orang yang bisa dan jago nyetir bisa dan suka
jadi pembalap.” Ungkapnya. Artinya banyak
orang yang bisa memotret dengan bagus,
namun belum tentu bisa dan suka menjadi
fotografer komersil. Namun begitu Henky
menggaris bawahi untuk menjadi fotografer
komersil, modal dasar yang harus dimiliki
adalah kesempatan, kemauan dan kebera-
nian. “Banyak yang punya kesempatan karena
punya uang dan punya relasi di advertising
company, tapi tanpa kemauan dan keberanian
nggak akan jadi juga.” Tegasnya. “Begitu juga
orang yang punya uang dan relasi, dan juga
punya kemauan yang kuat tapi nggak berani,
ya nggak jadi juga. Sebaliknya orang yang
punya kemauan kuat dan keberanian yang
kuat tanpa punya kesempatan juga nggak
akan jadi.” Tambahnya. Maka dari itu Henky
“Kalau lihat foto yang jelek, coba dicari dimana salahnya. Supaya kita nggak melaku-kan kesalahan yang sama.”
henky christianto Female Magazine Monique
124 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 125
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
menggarisbawahi ketiga hal tersebut sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Sementara
hal-hal yang mungkin membuat orang tidak menyukai menjadi fotografer komersil adalah kar-
ena menjadi fotografer komersil harus bisa memendam idealisme dan ego. “Harus diingat sekali
lagi bahwa ini kerja team. Jadi nggak bisa maunya gue, tapi harus maunya kita.” Tegasnya.
Mengenai factor “kemauan” Henky pun menekan bahwa untuk menjadi fotografer komersil
harus punya kemauan yang sangat kuat sehingga menjadi kebulatan tekad. Kebulatan tekad
untuk menghadapi berbagai macam rintangan, termasuk terbatasnya modal. Henky berpenda-
pat factor “kesempatan” bisa diciptakan jika kita mau. “sampai sekarang gue nggak punya
kamera apapun, bahkan DSLR sekalipun. Gue jadi fotografer komersil karena pingin punya uang
banyak, bukan karena sudah punya uang banyak.” Ujarnya. Untuk itu Henky selalu menyewa
peralatan ketika mendapat order memotret. Namun dari setiap pekerjaan Henky selalu menyisi-
hkan sebagian pemasukan untuk tabungan membeli peralatan.
“Jadi fotografer terutama komersil harus bisa terima kritik. Jangan ng-gak mau disalahin, karena kita bukan seniman.”
henky christianto
henky christianto
Female Magazine
Female Magazine
Monique
Monique
126 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 127
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Hal lain dari factor “kesempatan” adalah
relasi dengan klien. Henky membagikan tips
konkretnya. Dalam melakukan pencarian dan
pendekatan ke klien, Henky membuat formula
7 step. Step pertama adalah daftar klien.
“Gampang banget cari daftar klien, karena su-
dah ada directorynya dan dijual bebas di toko
buku seperti gramedia.” Jelasnya. Setelah
daftar klien didapat Henky langsung menele-
ponnya satu persatu untuk minta kesempatan
untuk presentasi. “Kalau bisa presentasi lebih
besar peluangnya dibanding Cuma disuruh
“untuk jadi fo-tografer, idealnya
harus bisa semua. Masalah lebih ba-
gusnya dimana itu terserah orang
yang melihat.”
“Nggak setiap orang yang bisa dan suka menyanyi bisa dan suka jadi penyanyi. Nggak setiap orang yang bisa dan jago ny-etir bisa dan suka jadi pembalap.”
henky christianto
henky christianto
Female Magazine
Female Magazine
Miranda Tobing
Miranda Tobing
128 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 129
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“Banyak yang pu-nya kesempatan karena punya uang dan punya relasi di advertising com-pany, tapi tanpa kemauan dan ke-beranian nggak akan jadi juga.”
henky christianto Female Magazine Miranda Tobing
130 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 131
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
kirim portfolio.” Ungkapnya. Tahap ketiga
adalah presentasi. Ketika tiga tahap awal ini
berhasil, maka akan tiba tahap keempat yaitu
tahap dimana klien mengirimkan layout foto
untuk difoto. Layout ini harus dianalisa dan
diolah menjadi penawaran yang merupakan
tahap ke 5. “Penawaran yang diajukan pun
harus masuk akal, jangan kemahalan jangan
kemurahan, harus disesuaikan dengan posi-
tioning kita. Mau jadi fotografer kelas apa.”
Jelasnya. Tahap ke enam adalah pemotretan.
Dari tahap pertama hingga keenam kita harus
hati-hati agar tidak “gagal”. Jika semua
tahapan ini dilakukan dengan berhasil maka
biasanya hasil dari tahapan ke enam adalah
munculnya feedback dari klien yang menjadi
tahap ke tujuh. Menyikapi feedback pun harus
hati-hati agar tidak mengecewakan klien. Jika
semua tahapan ini dilakukan dengan benar,
maka tahap pertama hingga ketiga tidak usah
dilakukan lagi untuk klien yang sama karena
mereka sudah mengenal dan mencoba kita.
Namun jika ada tahapan yang gagal dan men-
gakibatkan klien tidak tertarik menggunakan
jasa kita lagi, maka kita pun harus melakukan
tahap 1 dari awal lagi untuk mencari klien
baru.
“Belajarnya ya dari fotografer komersil, kar-ena memang beda. Bahkan
kalau bisa terli-bat pada pros-es pemotretan
komersil.” henk
y ch
ristia
nto
Sam
sung
Play
grou
pBu
dim
an
132 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 133
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
Mengenai hal teknis dalam fotografi komersil, Henky menyarankan semua yang tertarik untuk
menjadi fotografer komersil untuk belajar dari fotografer komersil secara langsung. “Belajarnya
ya dari fotografer komersil, karena memang beda. Bahkan kalau bisa terlibat pada proses
pemotretan komersil.” Ungkapnya. Namun begitu Henky berpendapat bahwa untuk bisa melihat
apalagi terlibat pada proses pemotretan komersil bukanlah hal yang mudah. “Masalahnya ada-
lah iklan sering kali bersifat rahasia, jadi nggak boleh bocor sebelum ditayangkan. Jadi susah
untuk dapet akses ngeliat pemotretan komersil.” Tutupnya.
henky christianto
henky christianto
Golfpunk
Golfpunk
Muara Bagja
Muara Bagja
134 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 135
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
“Masalahnya ada-lah iklan sering kali bersifat rahasia, jadi nggak boleh bocor sebelum ditayang-kan. Jadi susah untuk dapet akses ngeliat pemotretan komersil.”
henky christianto Female Magazine Miranda Tobing
henky christianto Golfpunk Muara Bagja
136 EDISI III / 2007
COMMERCIALPHOTOGRAPHY
EDISI III / 2007 137
THELEPASAN
DO YOU HAVE GUTS?Menjadi seorang profesional; baik itu dalam artian bekerja secara maksimal dan penuh tang-
gung jawab maupun dalam artian menjadikan sebuah profesi sebagai mata pencaharian utama.
Mmhhh… sebuah ungkapan yang sangat sulit untuk dipraktekkan walaupun secara teoritis
mudah sekali untuk diucapkan bahkan juga untuk di analisa juga dikritisi.
Saya mencoba mencari berbagai referensi untuk mengartikan “menjadi professional” namun
entah kenapa akhirnya semua berujung pada kalimat “segalanya berpulang pada pribadi
masing-masing” yang buat saya sendiri (yang mungkin subjektif) ini tidak memberikan arti
apa-apa, klise. Yah klise; karena kalimat itu saya sudah dengar dari orang tua saya semenjak
saya kecil, kemudian terulang beratus-ratus kali banyaknya hingga detik ini. Sebab amat saya
yakini bahwa ya keberhasilan atau ketidakberhasilan seseorang itu pasti balik pada orang itu
sendiri, loh kok balik lagi??! Lantas apa yak? seperti menyusun puzzle rasanya, perlu sebuah
petunjuk kunci untuk menyempurnakan seluruh bagian gambar. Perlu sebuah generalisasi kata
tepat yang dapat mengantar kita agar “menjadi profesional” dapat dipahami hingga akhirnya
tidak klise.
Selalu ada saat pertama kali bagi seseorang , pertama kali bekerja, pertama kali pacaran,
pertama kali sekolah, pertama kali punya teman, pertama kali berjalan, pertama kali ejakulasi
mungkin… dan saat-saat pertama kali lainnya. Apa yang buat pertama kali itu bisa dilewati
yak? Waktu bayi berjalan pertama kalinya dia acap kali terjatuh bahkan terguling tapi dia terus
belajar berjalan hingga akhirnya lancarl berjalan. Naluri?… Kemauan?… atau Keberanian?…
Bila naluri kok terdengar seperti anak sapi yang baru lahir terus bisa jalan yak? lantas apa
bedanya dengan hewan hehehe…
Kemauan? bukannya anak bayi belum bisa berfikir? Dan ketika itu dia belum tahu apa-apa,
agak kurang tepat.
138 EDISI III / 2007
THELEPASAN
EDISI III / 2007 139
Mungkin kata “keberanian” lebih tepat dan
rasanya keberanian itu timbul atas dorongan
naluriah dan kemauan. Keberanian mem-
buat seseorang mencoba melakukan hal
yang tadinya dia belum tahu, belum pernah,
ataupun yang belum dimengerti bahkan
belum terbayangkan sehingga seseorang mau
mencoba, mau mencari tahu yang akhirnya
mau menjalankannya. Memang keberanian
itu ga boleh sekedar berani tapi harus diikuti
dengan perhitungan yang benar, karena bila
kata keberanian berdiri sendiri pengalaman
membuktikan hasilnya konyol. Tapi kalau
keberanian dengan perhitungan yang benar
kayaknya oke deh.
Analoginya seperti bila anda hendak menye-
brangi jalan protokol besar yang tidak ada
jembatan penyebrangannya, terlalu banyak
kendaraan yang lalu-lalang dengan kecepatan
yang kalau kita kesenggol pasti masuk ICU di
rumah sakit. Tidak akan ada kata siap untuk
menyebrangi jalan tersebut, mau berkalkulasi
pun rasanya kelamaan dan malah gak jadi
nyebrang karena takut ketabrak mobil. Yang
membuat anda akhirnya menyebrangi jalan
adalah keberanian. Keberanian memaksa
anda menjadi siap, membuat kita mem-
perhitungkan resiko, juga membantu anda
meyakini apa yang sedang dijalani. Bukankah
juga ketika hari pertama sekolah kita merasa
takut? Setelah kita bisa mengatasi rasa takut
dengan keberanian barulah kita belajar dan
terus membekali diri.
Begitu juga dengan “menjadi profesional”,
keberanian harus menjadi bagian penting dari
profesionalisme seseorang selain segala fak-
tor teoritis dari para ahli tentunya. Keberanian
menjadi bekal untuk berbuat sesuatu, menen-
tukan langkah berikutnya dan terus berkem-
bang. Ada beberapa kenalan saya beberapa
fotografer profesional yang karyanya bagus
tapi karena keberaniannya belum mengkristal
akhirnya menjadi fotografer biasa-biasa
saja, come on don’t be a save player! Make
it happen guys! Skillful tanpa keberanian ga
ada apa-apanya, inisiatif timbul disebabkan
adanya keberanian, motivasi adalah kata
selanjutnya dari kata keberanian, so do you
have guts? (pp)
140 EDISI III / 2007
WHERETOFIND
EDISI III / 2007 141
WHERETOFIND
JABOTABEKSeasons ImagingJl Senopati no 37Kebayoran Baru Jakarta selatanFocus NusantaraKH Hasyim Azhari No 18Jakarta5804848Susan Photo AlbumKemang raya no.15, LT 3Jakarta Selatan12730E-studioWisma StarpageJl Salemba tengah no 53928440Vogue Photo StudioRuko Sentra Bisnis Blok B16-17Tanjung Duren raya 1-38Jakarta5647873-75Shoot & PrintJl. Bulevard Raya Blok FV-1 No. 4 Kelapa Gading-JakartaTELP: 021-4530670QFotoJl. Balai Pustaka Timur No 17Rawamangun, Jakarta4706022Digital Studio CollegeJl. Cideng Barat No. 21AJakarta PusatTel/Fax : 021-633 0950Darwis Triadi School of PhotographyJl. Patimura No.2
KebayoraneK-gadgets CentreRoxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, JakartaLubang Mata Jln. Pondok Cipta Raya B2/28 .Bekasi Barat 17134TELP: 8847105CONTACT PERSON: Rafi IndraTelefikom FotografiUniversitas Prof. Dr. Moestopo (B).Jln. Hang Lekir I Jak-pus.Indonesia Photographer Organization (IPO)Studio 35Rumah SamsaraJl. Bunga Mawar, no. 27Jakarta Selatan 12410Unit Seni Fotografi IPEBI (USF-IPEBI) Komplek Perkantoran Bank Indonesia , Menara Sjafruddin Prawirane-gara lantai 4,Jl. MH.Thamrin No.2, JakartaUKM mahasiswa IBII Fotografi Institut Bisnis Indo-nesia (FOBI)Kampus STIE-IBII Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta UtaraPerhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA),PPFGA, Gedung Garuda Indo-nesia Lt.18Jl. Medan Merdeka Selatan No.13
JakartaKomunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya JakartaUNIKA Atma Jaya Jakarta Jl Jendral sudirman 51 Sekretariat Bersama Fakul-tas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100Kelompok Pelajar Peminat fotografi SMU 28 (KPPF28)Jl Raya Ragunan (depan RS Pasar Minggu)JakartaXL PhotographGrha XL, Jl. Mega Kuningan Kav. E 4 – 7 no. 1 Jakarta SelatanHSBC Photo Club Menara Mulia Lantai 22, Jl Jend Gatot Subroto Kav 9-11, JakSel 12930LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya)Komplek Green Ville – AW / 58-59, Jakarta Barat 11510Klub Fotografi PT Ko-matsuJl. Raya Cakung CIlincing Km.4Jakarta Utara 14140Style PhotoJl Gaya Motor Raya No. 8Gedung AMDI-B,Sunter Jakarta Utara 14330Contact Person: Hasan SupriadiPerhimpunan Fotografi
TarumanagaraKampus I UNTAR Blok M lt. 7 Ruang PFTJl. Letjen S. Parman I Jak BarStudio 51Universitas Atma Jaya JakartaCP PERFILMA (Film dan Fotografi Hukum UI)Freephot (Freeport Jakarta Photography Community)PT Freeport IndonesiaPlaza 89, 6th floorJl. HR Rasuna Said Kav X-7/ No.6CANILENSKolese Kanisius JakartaNothofagusPT Freport Indonesia Plaza 895th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6V-3 TechnologiesMal Ambasador Lt. UG / 47Jl. Prof. Dr. Satrio - KuninganBANDUNG & JAWA BARATPadupadankan PhotographyJl. Lombok No 9sBandung4232521Laboratorium Teknologi Proses MaterialJl. Ganesha 10 Labtek VI Lt.dasar Bandung CP: dwi karsa agung r. STUDIO INTERMODELFashion Design and Photogra-phy CourseJl. Cihampelas 57 A - Bandung 40116
Perhimpunan Amatir Foto (PAF-Bandung)Kompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111 JepretSekeretariat Jepret Lt Base-ment Labtek IXB Arsitektur ITBJl. Ganesa 10 BandungFSRD ITBContact: Genoveva HegaEcoAdventure CommunityJl. Margasari No. 34 RT 2 RW 8 Rajapolah Tasikmalaya 46155SEMARANG & JAWA TENGAHDigimage Studio IJl Setyabudi 86aSemarang7461151Digimage Studio IIJl Pleburan VIII No 2Semarang8413991Ady Photo Studiod/a Kanwil BRIJl. Teuku Umar 24SemarangContact Person: Ady AgustianPrisma UNDIPPKM (Pusat Kegiatan Maha-siswa) Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Semarang 50243Lembaga pendidikan seni dan design visimedia collegejl. Bhayangkara 72 SoloYOGYAKARTAAtmajaya Photography clubGedung PUSGIWA kampus 3
UAJY,jl. babarsari no. 007 yogya-karta INDONESIA“UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSD (Modern SchooL of DEsign)Jalan Taman Siswa 164 Yogyakarta 55151, UFO (Unit Fotografi UGM)Gelanggang Mahasiswa UGM, BulaksumurYogyakartaFotografi Jurnalistik KlubKampus 4 FISIP UAJYJl. BabarsariYogyakartaADVY YogyakartaContact person: Sdr. ToddyFOTKOMUniversitas Pembanungan Nasional (UPN)YogyakartaSURABAYA & JAWA TIMURHot Shot Photo StudioPloso Baru 101Surabaya3817950Toko DigitalAmbengan Plasa B2031-5313366Himpunan Mahasiswa Penggemar Fotografi (HIM-MARFI)Jl. Rungkut Harapan K / 4, SurabayaUFO (united fotografer club) perum mastrip y-8 jember, jawatimur
142 EDISI III / 2007
WHERETOFIND
JUFOC (Jurnalistik Fo-tografi Club)Universitas Muhammadiah MalangVANDA Gardenia Hotel & VillaJl Raya Trawas, Jawa TimurContact Person : RoySENTRA DIGITALPusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 SurabayaSUMATRABatam Photo ClubPerumahan Muka kuning indah Blok C-3Batam 29435Medan Photo ClubJl. Dolok Sanggul Ujung No.4 Samping Kolam Par-adiso Medan, 20213 SumutTelp : 061-77071061CCC Caltex Camera ClubPT. Chevron Pacific Indone-sia, SCM-Planning, Main Office 229, Rumbai Pekanbaru 28271KALIMANTANBadak Photographer Club (BPC)ICS DepartmentSystem Support SectionPT BADAK NGLBontang, KALTIM 75324KPC Click Club/PT Kaltim Prima CoalSupply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta
SULAWESISorowako Photographers SocietyGeneral Facilities & Serv. Dept - DP. 27(Town Maintenance) - Jl. Sumantri BrojonegoroSOROWAKO 91984 - LUWU TIMURSULAWESI SELATANMasyarakat Fotografi GorontaloGraha Permai Blok B-18, Jl. Rambutan, Huangobotu, Dungingi, Kota GorontaloMAILING LISTthelightmagz@yahoogroups.compentax-indonesia@yahoogroups.comindonikon@yahoogroups.comindonesianphotographer@yahoogroups.comCanonMania@yahoogroups.comartdirectorclub@yahoogroups.comkomunitas-fotografer@yahoogroups.comkameradigital@yahoogroups.comfoto-id@yahoogroups.combelajardesain@yahoogroups.comfgd@yahoogroups.comid_photographer@yahoogroups.combursakamera@yahoogroups.comDiPan@yahoogroups.comindomelb_fotografi@yahoogroups.comWEBSITEwww.thelightmagz.comwww.estudio.co.idwww.forumkamera.comwww.ayofoto.comhttp://charly.silaban.net
top related