ppok (2) edit
Post on 19-Jul-2015
388 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 1/25
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
Defenisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit atau
gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi
saluran napas.atau penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang
progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali. Sumbatan aliran udara ini
umumnya bersifat progresif nonreversibel dan berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas yang beracun/berbahaya.
Ada 2 penyebab penyumbatan aliran udara pada penyakit paru obstruksi
kronis ini yaitu bronkitis kronis dimana terjadi sekresi berlebih mukus kronik atau
berulang ke dalam cabang bronkus dan enfisema yaitu suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai dengan terjadinya pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli.
Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk terhadap
penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya.
Obstruksi saluran napas yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain
seperti infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakit penderita.
Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah PPOM
(Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang sama atau
lebih dikenal dengan nama COPD (Chronic Obtructive Pulmonary Disease).
Epidemiologi
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) di anggap sebagai penyakit yang
berhubungan antara genetik dengan lingkungan. Dimana bila seseorang bekerja di
lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang berbahaya, maka bisa
meningkatkan resiko terjadinya penyakit paru obstruksi kronis. Tetapi kebiasaan
merokok pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan seseorang,
dimana sekitar 10-15 % perokok menderita Penyakit paru obstruksi kronis.
Sehingga bisa dikatakan penyebab utama PPOK sampai saat ini adalah merokok.
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 2/25
Menurut data Sukernas tahun 2001, penyakit pernafasan (termasuk PPOK)
merupakan penyebab kematian ke 2 di Indonesia. WHO memperkirakan pada tahun
2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6 menjadi peringkat ke-3
di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian
tersering setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.
Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK dengan
prevalensi 5,6 persen, dimana kejadian meningkat dengan makin banyaknya jumlah
perokok atau 90 % persen penderita PPOK adalah smoker atau ex-smoker.
Prevalensi ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan juga
prevalensi ini lebih tinggi pada pria daripada wanita karena pada umumnya pria
lebih banyak menjadi perokok.
Survey tahun 2001 di Amerika Serikat, kira-kira 12,1 juta pasien menderita
PPOK, 9 juta menderita bronkitis kronik dan sisanya menderita emfisema, atau
kombinasi keduanya. PPOK merupakan penyebab kematian keempat di AS dan
menyebabkan 5% kematian. PPOK berkembang 20-30 tahun setelah seseorang
mulai merokok, tetapi tidak semua perokok akan menderita PPOK.
Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya PPOK, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan factor host. Beberapa faktor paparan
lingkungan antara lain adalah :
1. Merokok
Merokok adalah faktor risiko utama penyebab PPOK dan merupakan
penyebab dari 85-90 % kasus PPOK. Komponen dari asap rokok dapat
mengaktifkan sel-sel inflamasi yang memproduksi dan melepaskan mediator
inflamasi, jika hal ini terus berlangsung maka dapat menyebabkan
kerusakan paru-paru dan jaringan sehingga timbul PPOK. Namun demikian,
hilangnya fungsi paru-paru terutama ditentukan oleh status merokok dan
sejarahnya.
Perokok 12 sampai 13 kali lebih mungkin untuk meninggal akibat PPOK
dibanding yang bukan perokok. Kematian akibat PPOK terkait dengan
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 3/25
banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok
yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua
penderita PPOK adalah perokok. 10% orang yang tidak merokok juga
mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering
terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
Menurut buku Report of the WHO Expert Committe on Smoking Control,
rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis kronik dan emfisema
paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP
(Volume Ekspirasi Paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan
dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus
saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan broncokontriksi akut.
2. Pekerjaan
Pekerjaan juga faktor risiko penting untuk. Para pekerja tambang emas atau
batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja
yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan asbes,
mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain
yang disebutkan di atas.
3. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya
dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti
asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun poluso dari dalam rumah
misalnya asap dapur.
4. Infeksi
Koloisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu
pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan
rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian
inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan
frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua
ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasa dari host/pasiennya antara lain adalah :
1. Usia
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 4/25
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang didiagnosa PPOKA sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar
dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun
kejadian ini hanya dialami <1% pasien PPOK.
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkean PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait
dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah
wanita yang merokok.
3. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/hypogammaglubulin)
atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis.
Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi
paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya
normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnnya PPOK.
Termasuk di dalamnya adalah orang yan pertumbuhan parunya tidak normal
karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami PPOK.
4. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1 antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan
oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif
karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor
protektif. Makrofag dan neotrofil melepaskan enzim lisosomal yaitu elastase
yang dapat merusak jaringan di paru. Pada keadaan normal faktor protektif
AAT , menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah kerusak. Karena
itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap
kerusakan paru.
AAT diproduksi oleh gen inhibitor protease (M). Satu dari 2500 orang
adalah homozigot untuk gen resesif (Z) yang menyebabkan kadar AAT
dalam darah rendah dan berakibat emfisema yang timbul lebih cepat. Orang
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 5/25
yang heterozigot (mempunyai gen MZ) juga berisiko menderita emfisema,
yang makin meningkat kemungkinannya dengan merokok karena asap
rokok juga menginaktifasi AAT. Wanita yang mempunyai kemungkinan
perlindungan oleh estrogen yang akan menstimulasi sintesis inhibitor
protease seperti AAT karenanya, faktor resiko pada wanita lebih rendah
daripada pria.
Patofisiologi
PPOK ditandai dengan perubahan inflamasi kronis yang mengarah pada
keterbatasan aliran udara. Sel inflamasi dan mediator ini menyebabkan perubahan
dekstruktif meluas pada jalan udara, pembuluh pulmonar, dan parenkim paru-paru.
Menghirup partikel asing dan gas menstimulasi aktivasi neutrofil,makrofag, dan
limfosit CD 8+, yang membebaskan sejumlah mediator kimia, termasuk tumor
nekrosis faktor (TNF), alfa interleukin-8 (IL-8, dan Leukotrien B4 (LTB4).
Proses patofisiologik lainnya termasuk stress oksidatif dan
ketidakseimbangan antara pertahanan agresif dan protektif di paru-paru (protease
dan antiprotease). Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi dan merusak
berbagai protein dan lipid, yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Oksidator juga memudahkan inflamasi secara langsung dan memperparah
ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan menginhibisi aktivitas
antiprotease
Partikel Berbahaya
dan Gas
Perbaikan
Mekanisme
Stres Oksidatif Proteinase
Radang Paru-
paruAntiproteinasesAntioksidan
Patologi PPOK
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 6/25
Patogenesis penyakit paru obstruktif kronik(PPOK)
Kondisi paling umum yang menyebabkan PPOK adalah bronkitis Kronik dan
enfisema.
1. Bronkitis kronis
Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan,
yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus
seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan
pada mekanisme pertahanan ini. Asap rokok menghambat pembersihan
mukosiliar (mucociliary clearance). Faktor yang menyebabkan gagalnya
mukosiliar adalah adanya proliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang
bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar
penghasil mukus menyebabkan hiper sekresi mukus di saluran nafas. Iritasi
asap rokok juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan
alveoli (alveolitis). Akibatnya makrofag dan neotrofil berinfiltrasi ke epitel
dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi
mukus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Dengan banyaknya mukus
yang kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar
menyebabkan meningkatnya risiko.
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan
penyempitan lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 7/25
pernafasan yang kecil, yang makin mempersempit saluran pernafasan.
Autopsi menunjukkan bahwa pasien dengan bronkitis kronis mempunyai
diameter jalur pernafasan yang kurang dari 0,4 mm.
Bronkitis kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada
saluran nafas kecil menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana
perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia.
Hipoksemia mengakibatkan hipertensi pulmonary dengan berikutnya terjadi
gagal jantung kanan (cor pulmonale). Pasien denga hipertensi pulmonari
mengalami peningkatan persentasi intima dan media pada arteri pulmonari.
Hipoksemia persisten menstimulasi eritropoiesis dengan akibat polisitemia
dan meningkatnya viskositas darah, yang akan mendorong terjadinya mental
confusion dan thrombotic stroke.
Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk
membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang.
Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenza. Tanda-tanda infeksi adalah perubahan sputum
seperti meningkatnya volume mukus, mengental, dan perubahan warna.
Demam dapat terjadi atau pun tidak. Infeksi yang berulang dapat
menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar dan berkontribusi secara
signifikan pada percepatan penurunan fungsi pulmonar karena inflamasi
menginduksi fibrosis pada bronkus dan bronkiolus.
2. Emfisema
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang
bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory
bronkiolus, duktus alveolus dan kantong alveolar. Pada emfisema terjadi
kerusakan dinding dalam asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas
berkurang. Ada beberapa tipe emfisema berdasarkan pola asinus yang
terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema
sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian
bronkiolus. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung
dan cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris dan
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 8/25
kantung alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. Penyakit ini
seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya
cenderung tersebar tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih banyak
ditemukanpada orang yang merokok, dan jarang dijumpai pada orang yang
tidak merokok.
Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat
pada hilangnya elastisitas pengempisan (recoil). Hal ini menyebabkan
tertekannya jalan udara selama penghembusan nafas yang berkontribusi
secara singnifikan pada alur obstruksi yang terlihat pada tes fungsi
pulmonal. Hilangnya dinding alveolar berakibat pada hilangnya jaringan
kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup. Akibatnya terjadi penurunan
ventilasi dan perfusi, sehingga rasio V/Q dipertahankan dengan lebih baik
daripada bronkitis kronik. Oleh karena itu, pada pasien emfisema lebih
banyak mengalami dyspnea (sesak nafas) daripada pasien bronkitis.
Merokok
Polusi udara
leukosit
Enzim proteolitik
elastase, colla enase
Inflamasi paru
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 9/25
Mekanisme Terjadinya emfisema
Keterangan:
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan
melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja
enzim ini akan dihambat oleh α1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi
defisiensi α1-antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada
alveous menyebabkan emfisema.
Pemeriksaan Gejala
Predominan
bronchitis kronik
Predominan
emphysema
Gejala
Batuk kronis,produksi
sputum banyak
Dyspenia, batuk jarang,
produksi sputum sedikit
Berat badan Umumnya gemuk Umumnya BB menurun
Riwayat merokok Sering Sering
Gas darah
PaO2 rendah
PaO2 naik
Asidosis
PaO2 normal/agak tinggi
PaCO2 normal/agak tinggi
pH normal, sedikit asidosis
Infeksi bronkhial Lebih sering Kurang sering
Kegagalan respirasi Berulang Jarang sampain end-stage
Car pulmonale Banyak,diawal Jarang,di akhir
Mediator
inflamasin lainnya
EMFISEMA↓Pertukaran gas
Destruksi jaringan baru
Melemahnya salurannafas↓Elastisitas saluran nafas
↓Daya kembang paru
Alfa-antitripsin
Secara normal menghambat enzim proteolitik
Jika kadar alfa antitripsin rendah
Makrofag,neutrofil
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 10/25
Uji fungsi paru
FEV1 dan FVC turun
Volume residu naik
FEV 1 dan FVC turun
Volume residu naik signifikan
Diagnosa
1. Anamnesis; riwayat penyakit yang ditandai 3 gejala klinis diatas dan faktor-
faktor penyebab.
2. Pemeriksaan fisik
a) Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapedchest (diameter
anteroposterior dada meningkat). Fremitus taktil dada berkurang atau
tidak ada.
b) Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih
rendah, pekak jantung berkurang.
c) Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow
berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks
paru dan corakan paru yang bertambah.
b. Pada emfisema paru, foto toraks menunjukkan adanya overininflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh
darah pulmonal, dan penambahan corakan ke distal.
4. Pemeriksaan fungsi paru
a. Terdapat penurunan FEV1, FVC, FEV1 /FVC
b. Kapasitas difusi pada emphysema berkurang karena banyak alveolus
yang rusak, sedangkan pada bronchitis relative lebih normal.
5. Pemeriksaan gas darah
a. Pada bronchitis kronis : PaO2 arteri rendah, PaCO2 tinggi
b. Pada emphysema : PaO2 dan PaCO2 relatif normal
6. Pemeriksaan EKG
7. Pemeriksan laboratorium darah: hitung sel darah putih (Mansjoer
et al., 2001).
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 11/25
Tingkat Keparahan PPOK
Tingkat Nilai FEV1
0
Beresiko
Mempunyai 1/lbh gejala bentuk kronis produksi sputum dispnea.
Ada paparan factor resiko. Spirometer normal
I
Ringan
FEV1/ FVC < 70 %, ada gejala batuk kronis dan produksi
sputum. Pasien belum merasakan ada masalah di paru-paru
II
Sedang
FEV1/ FVC < 70 %, FEV1 50-80%, gejala mulai progrosif,
dengan nafas pendek-pendek
III
Berat
FEV1/ FVC < 70 %, FEV1 30-50%, terjadi eksaserbasi berulang,
kualitas hidup turun, pasien mulai sesak nafas & mencari obat
IV
Sangat berat
FEV1/ FVC < 70 %, FEV1 30% + kegagalan respirasi kronis atau
kegagalan jantung. Kualitas hidup terganggu & mengancam jiwa
Tujuan Terapi
1. Terapi untuk pemeliharaan pada PPOK yang stabil :
a. Memperbaiki keadaan obstruksi kronik.
b. Mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut.
c. Menurunkan kecepatan peningkatan penyakit.
d. Meningkatkan keadaan fisik dan psikologi sehingga pasien dapat
melakukan kegiatan sehari-hari, menurunkan jumlah hari-hari tak
bekerja, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah sakit dan
menurunkan jumlah kematian.
2. Terapi untuk pemeliharaan eksaserbasi akut :
a. Memelihara fungsi pernafasan.
b. Memperpanjang survival (Ikawati, 2006).
Tatalaksana Terapi
Penatalaksanaan PPOK terdiri dari : (Ikawati, 2006)
1. Terapi Non Farmakologi, meliputi :
a. Pemantauan dan assesmen penyakit.
b. Mengurangi faktor resiko : merokok, infeksi, dan polusi udara.
2. Terapi Farmakologi :
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 12/25
a. Penatalaksanaan PPOK stabil.
b. Penatalaksanaan eksaserbasi akut.
Terapi Non Farmakologis
Penatalaksanaan terapi PPOK secara non farmakologi terdiri dari :
1. Komponen satu :
Penatalaksanaan terapi non-farmakologi PPOK diawali dengan pemantauan
penyakit pasien dan assesmen, antara lain:
a. Bagaimana paparan terhadap faktor resiko, termasuk intensitas dan
durasinya.
b. Seperti apa riwayat kesehatannya, meliputi penyakit terkait seperti asma,
alergi, sinusitis, polip hidung, infeksi saluran nafas, atau penyakit paru
lanilla.
c. Apakah ada riwayat keluarga PPOK dan penyakit paru kronis lanilla.
d. Seperti apa pola perkembangan gejala.
e. Seperti apa riwayat eksaserbasi atau perawatan rumah sakit sebelumnya.
f. Apakah ada penyakit penyerta seperti penyakit jantung atau rematik,
yang mungkin mempengaruhi aktifitasnya (Ikawati, 2006).
2. Komponen kedua adalah mengurangi faktor resiko.
Penghentian merokok merupakan tahap pertama yang penting yang dapat
memperlambat memburuknya fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan
meningkatkan gejala kualitas hidup pasien (Ikawati, 2006).
3. Komponen tiga adalah dengan rehabilitasi paru-paru secara komprehensif
termasuk fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan
drainase postural, mengoptimalkan perawatan medis, mendukung secara
psikososial dan memberikan edukasi kesehatan (Ikawati, 2006).
Jika diperlukan, terdapat beberapa pengobatan untuk mengatasi
ketergantungan terhadap merokok, seperti terlihat pada Tabel berikut: (Dipiro,
2003)
Obat Dosis lazim Durasi Efek
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 13/25
samping
Bupropion SR 150 mg /hari, p.o,
selama 3 hari,
dilanjutkan 2x sehari
12 minggu- 6
bulan
Insomia,
mulut kering
Nikotin gum
2-4 mg gum, bila perlu
sampai dengan 24 mg
gum perhari
12 minggu Dispepsi
Nikotin inhaler 6-16 cartridges perhari hingga 6 bulan Laringitis,
Nikotin spray
hidung
8-40 dosis perhari
3-6 bulan
Iritasi
Nikotin patches bervariasi, 7-21 mg /24
jam
hingga 8 minggu Insomia,
terdapat
reaksi
radang kulit
Terapi Farmakologis
Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil, dan terapi
untuk eksaserbasi akut.
Untuk PPOK yang stabil, penggunaan obat ditujukan untuk mengurangi
gejala dan komplikasi. Sampai saat ini tidak ada satu obatpun yang dapat
memodifikasi penurunan fungsi paru yang merupakan tanda khas PPOK.
Penggunaan bronkodilator merupakan terapi utama untuk menatalaksana gejala
PPOK, bisa diberikan bila perlu atau secara reguler, tergantung pada kondisi pasien.
Algoritma penatalaksanaan PPOK stabil dapat dilihat pada Tabel 2
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 14/25
Tabel 2. Algoritma Penatalaksanaan PPOK Stabil
Derajat
Keparahan
PPOK
0:beresiko I:Ringan II:Sedang III:Berat IV:Sangat Berat
Karakte-
Ristik
•Gejala kronis
•Paparan terhadapfaktor resiko
•Spirometri normal
• FEV1/FVC<70%
•FEV1≥80%
•Dengan atau tanpa
gejala
•FEV1/FVC<70%
•50%≤FEV1<80%
•Dengan atau tanpa
gejala
•FEV1/FVC<70%
•30%≤FEV1<50%
•Dengan atau tanpa
gejala
•FEV1/FVC<70%
•FEV1<30%30% atau ada kegagalan pernapasan kronis atau gagal jantung
kanan
Terapi Penghindaran faktor resiko : vaksinasi influenza, vaksinasi pneumococcal
Ditambahkan bronkodilator aksi pendek jika diperlukan
Tambahkan pengobatan regular dengan satu atau lebih bronkodilator aksi panjang, tambahkan terapi
rehabilitasi
Tambahkan inhalasi kortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang
Tambahkan oksigen jangka panjang jika terjadi kegagalan pernafasan
kronis, pertimbangkan pembedahan jika perlu
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 15/25
Keterangan :
•
FEV = Forced Expiratory Volume atau Volume Ekspiratori Paksa, yaituvolume maksimum udara yang dapat diekspirasikan seseorang dalam
suatu rentang waktu tertentu.
• FEV1 = Forced Expired Volume in 1 second, yaitu volume udara pada 1 detik
pertama ekspirasi paksa.
• FVC = Forced Vital Capacity, yaitu vulume udara maksimum yang dapat
dihembuskan secara paksa, umumnya dapat dicapai dalam 3 detik, Normal :
4L.Penatalaksanaan terapi untuk eksaserbasi akut umumnya memerlukan
intervensi medis dan obat-obatan. Bronkodilator inhalasi, teofilin dan kortikosteroid
sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi eksaserbasi akut. Untuk
pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti peningkatan volume dan
purulensi sputum dan demam sebaiknya diberikan antibiotik (Ikawati, 2006).
Algoritma penatalaksanaan untuk PPOK eksaserbasi akut dapat dilihat pada Tabel
3.
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 16/25
Tabel 3. Algoritma Penatalaksanaan Untuk PPOK Eksaserbasi Akut
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 17/25
Obat-Obat Yang Digunakan
1. Bronkodilator
Yang termasuk bronkodilator dalam terapi PPOK adalah β2 agonis,
antikolinergik, dan metilksantin. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan
irama otot polos saluran pernafasan, sehingga meminimalisasi keterbatasan
aliran udara. Pada pasien PPOK, manfaat penggunaan bronkodilator
meliputi peningkatan kemampuan beraktivitas, menurunkan air trapping
pada paru-paru, dan memperbaiki simptom, seperti dispnea. Namun
demikian, penggunaan bronkodilator tidak signifikan terhadap perbaikan
fungsi paru, sepereti FEV1. Secara umum, efek samping penggunaan
bronkodilator adalah terkait dengan efek farmakologinya, serta
ketergantungan dosis. Karena PPOK biasa diderita oleh pasien usia tua dan
biasanya dalam kondisi abnormal, resiko terhadap efek samping dan
interaksi obat lebih tinggi dibandingkan asma (Dipiro, 2005).
a. Simpatomimetik (β2 agonis)
Tabel 4. Macam-macam Obat Golongan β 2 Agonis
ONSET
Terapi Rekomendasi
Antibiotik
Jika terdapat 2 atau lebih gejala seperti dibawah ini :Peningkatan dispnea
Peningkatan produksi sputum
Peningkatan purunlensi sputum
Kortikosteroid
Terapi oral atau i.v bisa digunakan.
Jika menggunakan i.v, harus diganti terapi oral setelah terjadi peningkatan fungsi paru-paru
Jika penggunaan lebih dari 14 hari, dosis harus disesuaikan untuk menhindari supresi HPA
Bronkodilator
MDIs dan DPIs memiliki efikasi sama untuk penggunaan aerosol
β-agonis dapat meningkatkan pengeluaran mukus
β-agonis kerja panjang tidak dianjurkan untuk mengobati gejala pada serangan akut
Terapi kontrol
oksigen Penyesuaian oksigen untuk oksigen saturasi (>90%)
Ventilasi
mekanik
noninvasive
Dipertimbangkan untuk pasien dengan kegagalan saluran pernafasan akut
Tidak dianjurkan untuk pasien dengan gangguan mental, asidosis sedang,
Respiratory arrest, atau ketidakstabilan jantung
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 18/25
DURASI
Singkat Panjang
Cepat Fenoterol Formoterol
Pirbuterol
Procaterol
Salbutamol
(Albuterol)
Terbutaline
Lambat Salmeterol
β2 agonis menyebabkan bronkodilatasi, dengan menstimulasi
enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosine 3’,5’
monophosphate (3’,5’-cAMP). cAMP memediasi relaksasi otot polos
bronkial sehingga menyebabkan efek bronkodilatasi. Golongan ini juga
menyebabkan pembersihan mukosiliar. Albuterol, tersedia dalam
sediaan oral dan inhalasi, merupakan golongan β2 agonis yang paling
sering digunakan (Dipiro, 2005).
Pada pasien PPOK yang stabil, β2 agonis direkomendasikan
sebagai terapi lini kedua, sebagai tambahan atau menggantikan
Ipratropium untuk pasien yang tidak menunjukkan keuntungan klinik
yang memuaskan dengan menggunakan Ipratropium saja (Ikawati,
2006).
Penggunaan β2 agonis pada eksaserbasi akut merupakan
pilihan pertama karena onset kerjanya yang cepat (Ikawati, 2006).
Kondisi lain dimana β2 agonis sangat berguna meliputi :
a) Digunakan sebagai monoterapi untuk episode PPOK yang
ringan.
b) Digunakan untuk gejala PPOK yang stabil secara kronik dalam
kombinasi dengan antikolinergik.
c) Digunakan dalam gejala PPOK yang stabil secara kronik sebagai
obat yang tetap (Ikawati, 2006).
b. Antikolinergik
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 19/25
Apabila diberikan dalam sediaan inhalasi, aantikolinergik
(seperti Ipratropium atau atropin) menyebabkan efek bronkodilatasi.
Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat reseptor kolinergik
pada otot polos bronkial. Kolinergik menstimulasi peningkatan aktivitas
guanil siklase, yaitu enzim yang mengkatalisis pembentukan cyclic
guanosine 3’, 5’-monophosphate (cGMP), dimana dalam keadaan
normal bekerja menstimulasi bronkokonstriksi. Aktivitas antikolinergik
ini memblok kerja asetilkholin sehingga menurunkan pembentukan
cGMP, dan hasilnya adalah menginhibisi bronkokonstriksi (Dipiro,
2005).
Antikolinergik digunakan sebagai terapi lini pertama untuk
pasien PPOK yang stabil. Antikolinergik menghasilkan perbaikan yang
lebih besar daripada β2 agonis saat dites fungsi paru-parunya.
Antikolinergik dapat mempertahankan keefektifannya selama bertahun-
tahun dalam penggunaan yang teratur terus-menerus (Ikawati, 2006).
Ipratropium Bromida lebih disukai daripada atropin sulfat karena
mempunyai efek samping sistemik yang lebih sedikit. Ipratropium
bromida tersedia dalam bentuk Metered Dose Inhaler (MDI) dan larutan
untuk inhalasi yang menunjukkan puncak efek pada 1,5- 2 jam dan
durasi kerja 4-6 jam. Efek sampingnya adalah mulut kering dan rasa
logam.
c. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik
Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi sering digunakan
jika perkembangan penyakitnya memburuk. Kombinasi dua golongan
bronkodilator ini akan lebih efektif jika dibandingkan digunakan
sendiri-sendiri selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya
sehingga menurunkan potensi efek sampingnya kombinasi antara suatu
β- agonis aksi pendek maupun panjang dengan antikolinergik terbukti
dapat meningkatkan efek perbaikan gejala dan fungsi paru (Ikawati,
2006).
d. Metilksantin
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 20/25
Golongan metilksantin, sepeti teofilin dan aminofilin, cukup
lama digunakan pada terapi PPOK lini pertama. Namun dengan makin
banyaknya golongan β2 agonis dan antikolinergik inhalasi, serta
banyaknya potensi interaksi obat antara teofilin/aminofilin serta
variabilitas respon antar dan inter pasien, golongan metilksantin ini
bergeser menjadi terapi lini ketiga. Teofilin/aminofilin umumnya
digunakan jika pasien intoleran terhadap bronkodilator lainnya (Dipiro,
2005).
Mekanisme kerja metilksantin dalam menyebabkan
bronkodilatasi adalah:
a) Penghambatan phospodiesterase, dengan demikian meningkatkan
cAMP.
b) Penghambatan influk ion kalsium ke otot polos.
c) Antagonis prostaglandin.
d) Stimulasi katekolamin endogen.
e) Antagonis reseptor adenosin.
f) Penghambatan pelepasan mediator mast sel dan leukosit (Dipiro,
2005).
Bentuk sediaan lepas lambat merupakan bentuk yang paling tepat
untuk terapi pemeliharaan PPOK, karena menghasilkan kadar serum yang
lebih konsisten. Penggunaan golongan metilksantin sendiri tidak banyak
memberikan perbaikan atau pemburukan pada perkembangan penyakit
PPOK. Namun jika diberikan sebagai terapi tambahan bagi bronkodilator
lain yang mendukung hipotesis bahwa terdapat efek sinergistik paa
bronkodilatasi. Penggunaan kombinasi teofilin dan salmeterol misalnya,
dilaporkan dapat meningkatkan fungsi paru dan mengurangi dispnea
dibandingkan jika digunakan secara tunggal (Ikawati, 2006).
Untuk terapi pemeliharaan, teofilin digunakan dengan dosis awal
200 mg 2x sehari, dan dititrasi meningkat dalam 3-5 hari, sampai dicapai
dosis lazimnya antara 400-900 mg sehari. Penyesuaian selanjutnya
seharusnya dilakukan berdasarkan kadar serumnya. Dan selanjutnya, perlu
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 21/25
dipantau efek samping maupun toksisitasnya, serta interaksinya dengan obat
lain (Ikawati, 2006).
2. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid untuk PPOK memiliki mekanisme kerja
sebagai anti inflamasi dan mempunyai keuntungan pada penggunaan PPOK,
yaitu:
a. Mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mucus.
b. Menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit.
c. Menghambat pelepasan prostaglandin.
Kortikosteroid digunakan untuk pasien PPOK pada tingkat
keparahan (stage) II atau IV (FEV1 < 50%) yang mengalami eksaserbasi
berulang (Dipiro, 2005).
Terapi untuk pasien eksaserbasi akut dimulai dengan
metilprednisolon 0,5-1 mg/kg IV setiap 6 jam. Bila gejala pasien telah
membaik dapat diganti dengan prednison 40-60 mg sehari. Steroid
sebaiknya dihentikan secara tapering untuk meminimalisasi penekanan
hypothalamic-pitutiary-adrenal (HPA). Bila diperlukan terapi lebih lama,
digunakan dosis rendah yaitu 7,5 mg/hari, diberikan pada pagi hari atau
selang hari (Ikawati, 2006).
3. Terapi pengganti AAT (α1 antitripsin)
Pada pasien dengan denfisiensi secara regiter, selain dapat
mengurangi faktor resiko dan terapi simptomatik menggunakan
bronkodilator, dapat ditambahkan terapi penggantian AAT. Terapi ini terdiri
dari infus AAT secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT
plasma diatas 10 mikromolar. Sebuah studi menunjukkan bahwa terapi AAT
dapat memperlambat progresivitas penyakit dan mengurangi mortalitas
dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan terapi tersebut.
Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan
secara intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0,08 ml/kg permenit,
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 22/25
disesuaikan dangan toleransi pasien. Namun terapi ini masih banyak
menimbulkan masalah, kaitannya dengan harga yang mahal dan
ketersediaan produk yang memenuhi syarat. Contoh produk yang tersedia
adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira (Ikawati, 2006).
4. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi virus
atau bakteri. Karena itu, antibiotik merupakan salah satu obat yang sering
digunakan dalam penatalaksanaan PPOK sebuah studi metanalisis dari 9
studi klinik menunjukkan bahwa pasien yang menerima antibiotik
mendapatkan perbaikan fungsi paru lebih besar daripada yang tidak
menerima. Studi tersebut menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan
harus mulai diawali jika pasien memperlihatkan sedikitnya 2 dari 3 tanda
berikut ini :
a.Peningkatan dyspnea (sesak nafas).
b.Peningkatan volume sputum.
c.Peningkatan purulensi sputum.
Tabel 5. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut
PPOK (William dan Bourdeis, 2005)
Karakteristik pasien Patogen penyebab
yang mungkin
Terapi yang
direkomendasikan
Eksaserbasi tanpa
komplikasi, < 4
eksaserbasi setahun,
tidak ada penyakit
penyerta, FEV1 > 50%
S . pneumoniae, H.
influenza, H .
parainfluenza, dan M .
catarrhalis umumnya
tidak resisten
makrolid (azitromisin,
klaritomisin) sefalosporin
generasi 2 atau 3
doksisiklin
Eksaserbasi kompleks,
umur > 65 th, > 4
eksaserbasi per tahun,
`FEV1 < 50 % tapi > 35
seperti diatas ditambah
H. influenza dan M.
catarrhalis penghasil
β-laktamase
Amoksisilin/klavulanat,
Fluorokuinolon
(levofloksasin, gatiflokasin,
moksifloksasin)
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 23/25
%
Eksaserbasi kmpleks
dengan resiko P .
Aeruginosa
seperti diatas,
ditambah P.
Aeruginosa
Fluorokuinolon
(levoflokasin, gatifloksasin,
moksifloksasin) terapi I.V.
jika diperlukan :
sefalosporin generasi 3 atau
4
Terapi antibiotik dimulai dalam 24 jam setelah gejala terlihat untuk
mencegah percepatan penurunan fungsi paru-paru karena iritasi dan
sumbatan mukus karena adanya proses infeksi. Pemilihan antibiotik empirik
harus berdasarkan pada bakteri yang paling umum menginfeksi. Pada tabel
5 disajikan terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut
PPOK.
5. Long-term Oksigen
Penggunaan oksigen berkesinambungan (> 15 jam sehari) dapatmeningkatkan harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan
respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia
(hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status mental.
Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat
keparahan IV (sangat berat) jika :
a. PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88 %, dengan atau tanpa
hiperkapnia, atau
b. PaO2 antara 55 mmHg-60 mmHg, atau SaO2 89 %, tetapi ada tanda
hipertensi pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal
jantung kongestif, atau polisitemia.
Cara pemberiannya ádalah dengan kanula hidung yang menyalurkan 24-28
% oksigen (1-2 liter/menit). Tujuannya adalah mencapai PaO2 diatas 60
mmHg. Pada pasien yang diketahui menahan CO2 harus hati-hati dalam
menaikkan PaO2 terlalu tinggi karena akan menekan pernafasan (Ikawati,
2006).
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 24/25
6. Imunisasi
Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali
vaksin pneumococcal dari vaksinasi influenza pertahun. Vaksin influenza
terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK
sampai 50%. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka
dapat digunakan amantadin dan rimantadin (Ikawati, 2006).
5/17/2018 PPOK (2) Edit - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/ppok-2-edit 25/25
Monitoring dan Evaluasi Terapi
Pada PPOK stabil kronis, tes fungsi paru-paru harus dinilai dengan adanya
penambahan terapi, perubahan dosis, atau penghapusan terapi. Hasil lainnya
termasuk dyspnea, kualitas hidup, dan eksaserbasi (termasuk kunjungan gawat
darurat dan rawat inap).
Pada PPOK eksaserbasi akut, jumlah sel darah putih, tanda-tanda vital,
rontgen dada, dan perubahan frekuensi dari dyspnea, dan volume dahak, harus
dinilai di awal dan di seluruh eksaserbasi tersebut.
Dalam eksaserbasi yang lebih berat, gas darah arteri dan oksigen jenuh juga
harus dipantau.
Kepatuhan pasien terhadap terapi, efek samping, interaksi obat yang
potensial, dan ukuran subjektif kualitas hidup juga harus dievaluasi.
top related