rancangan peraturan presiden tentang jaminan kesehatan
Post on 06-Nov-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
08 /2012
Rancangan
Peraturan Presiden
tentang Jaminan Kesehatan
Sarat Masalah
(Versi Juli 2012)
Oleh:
A. A. Oka Mahendra
Asih Eka Putri
PT MARTABAT
Prima
Konsultindo (MARTABAT)
Ruko Kebayoran Arcade Blok C2 No. 31, Jl. Boulevard Bintaro Jaya
Pusat Kawasan Niaga, Sektor 7, Tangerang Selatan, 15224
T. +62.21.74870811 F. +62.21.74870811 ekst. 401
E. martabat@jamsosindonesia.com
W. http://www.jamsosindonesia.com/
Seri Telaah MARTABAT
1 | MARTABAT Prima Konsultindo
RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
TENTANG JAMINAN KESEHATAN SARAT MASALAH Oleh : A. A. Oka Mahendra, S.H. dan Dr. Asih Eka Putri
Jakarta, 6 Agustus 2012
Pemerintah sekarang sedang mempersiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang
Jaminan Kesehatan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
DJSN dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan
Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat (2), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23
ayat (5), Pasal 26, Pasal 27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (2).
Dalam Undang-Undang BPJS terdapat 2 Pasal yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 15 ayat (3), Pasal 19 ayat (5) huruf a.
PERLU DIPRIORITASKAN
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan perlu diprioritaskan untuk mendukung
beroperasinya BPJS Kesehatan, mulai 1 Januari 2014.
Menurut Pasal 70 huruf a Undang-Undang BPJS Peraturan Presiden tentang Jaminan
Kesehatan harus ditetapkan paling lama pada tanggal 25 November 2012. Maksudnya agar
Peraturan Presiden tersebut dapat dijadikan pedoman dalam mempersiapkan
beroperasinya BPJS Kesehatan.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan mengatur secara komprehensif mengenai
besaran Iuran, tambahan Iuran dan tata cara pembayaran Iuran, penahapan pendaftaran
peserta, kepesertaan Jaminan Kesehatan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan
kerja, manfaat Jaminan Kesehatan, pelayanan kesehatan dan urun biaya, kewajiban BPJS
Kesehatan memeberikan kompensasi, jenis pelayanan kesehatan yang tidak dijamin,
kerjasama dengan fasilitas kesehatan dan lain-lain.
2 | MARTABAT Prima Konsultindo
Sebagai peraturan pelaksanaan, Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus
bersifat operasional dan dirumuskan secara jernih (clear) dan efektif, agar program
Jaminan Kesehatan dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus secara konsisten menjabarkan
ketentuan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS yang memberi pendelegasian,
agar tujuan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dapat dicapai yaitu untuk menjamin
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan tidak boleh bertentangan dengan prinsip
asuransi social dan prinsip ekuitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang SJSN .
Prinsip asuransi sosial meliputi:
a. Kegotongroyongan;
b. Kepesertaan bersifat wajib dan tidak selektif;
c. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;
d. Bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas, yaitiu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan seharusnya mengatur secara teknis
operasional dan komprehensif ketentuan Pasal-Pasal Undang-Undang SJSN dan Undang-
Undang BPJS yang memberikan delegasi dan secara tata asas berpedoman pada Pasal 19
sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang SJSN dan Pasal-Pasal Undang-Undang BPJS yang
erat kaitannya dengan Jaminan Kesehatan.
SARAT MASALAH
Meskipun Pemerintah telah berupaya menjabarkan ketentuan pokok mengenai Jaminan
Kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS, namun
Rancangan Peraturan Presiden yang kini sedang dibahas dikalangan Pemerintah masih
sarat masalah (versi Juli 2012).
Permasalahan yang menonjol antara lain sebagai berikut.
1. TUJUAN YANG INGIN DICAPAI TIDAK JELAS
Penyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan masih gamang dalam
merumuskan tujuan pembentukan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan.
Penyususun terkesan sekedar ingin memenuhi formalitas membentuk Peraturan Presiden
3 | MARTABAT Prima Konsultindo
tentang Jaminan Kesehatan sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan dalam Undang-
Undangn BPJS.
Padahal menurut Veda R Charrow c.s. (Clear and Effective Legal Writing, 1995:86)
”One of the first steps in planning any document is to list every purpose you have for
writing that document. Start by thinking abaut your ultimate purposes for the
document.”
Tujuan srategis dari pembentukan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan belum
tampak. Akibatnya penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tersebut meminjam kata-
kata Veda R.Charrow ”like trying to plot a route, on a road map without knowing your
destination.”
PerPres Jaminan Kesehatan sesungguhnya merupakan peluang emas untuk memperbaiki
mekanisme penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia secara menyeluruh dan
sistematis.
2. SISTIMATIKA TIDAK LOGIS
Sistimatika Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, belum tersusun
dalam alur yang sistimatis menurut sekuen yang logis. Masih terdapat lompatan-lompatan
dari satu bab ke bab lainnya atau dari satu bagian ke bagian lainnya, bahkan dari satu ide
ke ide yang lain.
Misalnya, mengenai pengaturan peserta bukan Penerima Bantuan Iuran, belum tuntas
diatur sudah dilanjutkan dengan pengaturan kepesertaan bersifat wajib dan dikembangkan
secara bertahap. Kemudian dilanjutkan dengan Bagian yang mengatur anggota keluarga
peserta.
Ikhwal pentahapan peserta kembali diatur dalam Bab lain yang mengatur mengenai
Pendaftaran Peserta.
Contoh lainnya ialah Bab tentang Manfaat Jaminan yang diawali dengan pengaturan
mengenai Manfaat Dasar, tanpa uraian yang jelas mengenai cakupannya, kemudian
dilanjutkan dengan Bagian Penyelenggaraan.
Contoh lainnya lagi, Bab VIII tentang Fasilitas Kesehatan sistimatikanya melompat-lompat.
Sistimatika Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan bertentangan
dengan prinsip perancangan peraturan sebagaimana dikemukakan oleh Dickerson, The
Fundamental of Legal Drafting, Second Edition:
”The second major formal technique for ridding a legal instrument of many of its
substantive inadequacies is to arrange it rigorously and sistimaticaly. The reason is
4 | MARTABAT Prima Konsultindo
simply that good architecture directs attention to the nature and relative position of
each element in the hierarchy of the client’s ideas.”
3. INKONSISTENSI PENGGUNAAN ISTILAH
Masih ditemukan pengunaan istilah secara tidak konsisten dalam Rancangan Peraturan
Presiden tentang Jaminan Kesehatan .
Contoh-contoh istilah yang tidak konsisten:
1. “keluarga “Pasal 1 angka 17 atau “anggota keluarga“ Pasal 9 RPerpres dengan
pengertian masing-masing;
2. ”anggota TNI “Pasal 1 angka 22 dan Pasal lainnya dalam RPerpres, berbeda dengan
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang menggunakan istilah
“Prajurit TNI” (Bab VII).
3. ”Fasilitas pelayanan kesehatan ”Pasal 1 angka 18 , istilah “provider” dalam Pasal
Pasal 36 ayat(2)dan istilah “fasilitas kesehatan Bab VIII RPerpres. Undang-Undang
SJSN menggunakan istilah ”fasilitas kesehatan” dalam Pasal 23 ayat (1), ayat(2)
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2).
4. ”Kartu Peserta” dalam Pasal 13 ayat (6) dan Pasal 21 R Perpres, tidak diatur dalam
Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS. Sebaliknya, Pasal 15 ayat(1)
Undang-Undang BPJS dan Pasal 13 huruf a Undang-Undang BPJS mewajibkan BPJS
memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta.
5. ”Penarikan Iuran” dalam Pasal 30 RPerpres, tidak dikenal dalam Undang-Undang
SJSN maupun dalam Undang-Undang BPJS yang menggunakan istilah ”memungut,
membayar, membayarkan, menyetor, memungut dan mengumpulkan, menerima
bantuan Iuran, dan menagih pembayaran iuran.”
6. ”Sumber Iuran” dalam judul bagian kesatu Bab V tidak konsisten dengan bunyi Pasal
22 RPerpres. Sebaliknya, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang BPJS menggunakan
istilah “ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.”
7. ”BPJS” dalam Pasal 11 ayat(3), Pasal12, Pasal 13 dll, dan “BPJS pelaksana program
jaminan kesehatan” dalam Pasal 62 R Perpres, seharusnya secara konsisten ditulis
“BPJS Kesehatan” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 RPerpres.
8. Pengelompokan peserta jaminan kesehatan dalam Pasal 5 RPerpres ke dalam
“peserta penerima bantuan iuran dan “peserta bukan penerima bantuan iuran”.
”Peserta bukan penerima bantuan iuran” dikelompokkan lagi menjadi ”peserta
pekerja penerima upah dan keluarganya”, ”peserta pekerja yang tidak menerima
5 | MARTABAT Prima Konsultindo
upah yang mampu membayar iuran dan keluarganya” dan “peserta bukan pekerja
yang mampu membayar iuran dan keluargannya.” Hal tersebut tidak konsisten
dengan ketentuan Pasal Pasal 27 Undang-Undang SJSN yang mengelompokkan
peserta menjadi ”peserta penerima upah”, “peserta yang tidak menerima upah” dan
“penerima bantuan iuran.” ”Setiap pemberi kerja”dalam Pasal 13 ayat(1) sedangkan
Pasal 13 ayat (3) R Perpres mengunakan istilah “seluruh pemberi kerja”dalam Pasal
13 ayat (3) .
4. MATERI MUATAN BERTENTANGAN/TIDAK SESUAI DENGAN UU SJSN/UU BPJS
Masih terdapat materi muatan RPerpres tentang Jaminan Kesehatan yang
bertentangan/tidak sesuai dengan Undang-Undang SJSN atau Undang-Undang BPJS.
Materi muatan R Perpres tentang Jaminan Kesehatan yang bertentangan/tidak sesuai
dengan Undang-Undang SJSN, atau Undang-Undang BPJS antara lain:
(1) Penerima manfaat
Pasal 9 RPerpres mengenai anggota keluarga peserta tidak dibatasi jumlahnya,
bertentangan dengan Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang SJSN yang membatasi
jumlah anggota keluarga sebanyak-banyaknya 5 (lima orang) terdiri dari istri/suami yang
sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah dan anak angkat yang sah.”
(2) Kewajiban Fasilitas Kesehatan
Pasal 12 ayat (3) RPerpres yang mewajibkan fasilitas kesehatan memberi tahu peserta dan
atau kantor BPJS terdekat apabila mendapatkan perubahan status peserta, bertentangan
dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang SJSN yang menentukan bahwa fasilitas
kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS bertugas memberikan manfaat jaminan
kesehatan kepada peserta. UU SJSN tidak mengatur kewajiban fasilitas kesehatan untuk
memberitahu perubahan status peserta, melainkan perubahan status peserta menjadi
urusan BPJS dan/atau pemberi kerja.
(3) Iuran Tambahan
Pasal 25 ayat(1) dan ayat (2) RPerpres yang mewajibkan peserta mengikutsertakan
anggota keluarganya yang lain, bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
SJSN yang menentukan “Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima ) orang
yang ingin mengikutsertakan anggota keluarganya wajib membayar tambahan iuran.”
Ketentuan Undang-Undang tersebut tidak mewajibkan Pekerja untuk mengikutsertakan
anggota keluarganya yang lain sebagai peserta jaminan kesehatan. Tetapi jika ia
mengikutsertakannya, maka ia wajib membayar tambahan iuran.
6 | MARTABAT Prima Konsultindo
Pasal 25 ayat (3) huruf c dan d memperluas Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-undang
SJSN yang menyatakan ”Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang lain dalam
ketentuan ini adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, mertua.”
Untuk mengikutsertakan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut, dapat diatur mutatis mutandis seperti pekerja penerima upah.
(4) Kelas Perawatan di Rumah Sakit
Pasal 34 RPerpres yang mengatur mengenai kelas perawatan untuk rawat inap bagi
peserta bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang SJSN yang
menentukan ”Dalam hal peserta mebutuhkan rawat inap di rumah sakit maka kelas
pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.” Ketentuan tersebut harus
dihubungkan dengan prinsip ekuitas jaminan kesehatan yang ditentukan dalam Pasal 19
ayat (1) Undang-Undang SJSN. RPerPres harus menetapkan kriteria kelas standar sebagai
dasar hukum bagi BPJS Kesehatan berkontrak dengan fasilitas kesehatan, misalnya luas
ruang rawat perorang dan fasilitas yang tersedia di ruang rawat untuk setiap pasen.
Penetapan kelas dengan menggunakan angka (kelas 2 atau kelas 3) akan menimbulkan
ketidakjelasan dalam praktik.
(5) Urun Biaya
Pasal 37 R Perpres mengenai urun biaya belum konsisten menjabarkan ketentuan Pasal 22
ayat (2) Undang-Undang SJSN yang menentukan bahwa untuk jenis pelayanan yang dapat
menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Jenis pelayanan
dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazard (sangat dipengaruhi
oleh selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian suplemen, pemeriksaan diagnostik,
dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis. Urun biaya dikenakan kepada
setiap peserta yang meminta jenis pelayanan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 Undang-Undang SJSN.
(6) Kontrak BPJS dengan Fasilitas Kesehatan
Pasal 48 ayat (2) RPerpres yang mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah dan pemerintah daerah bekerjasama dengan BPJS bertentangan dengan Pasal
23 ayat (1) Undang-Undang SJSN yang tidak mewajibkan fasilitas kesehatan milik
pemerintah atau swasta untuk bekerjasama dengan BPJS. Secara hukum kerjasama
dimaksud menghendaki adanya kesepakatan diantara para pihak.
Selain itu Pasal 48 ayat (2) RPerpres tidak harmonis dengan Pasal 48 ayat (4) RPerpres
yang menentukan kerjasama dikaksanakan dengan membuat perjanjian tertulis antara
BPJS dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
7 | MARTABAT Prima Konsultindo
Pasal 51 ayat (1) RPerpres yang memberi kewenangan kepada DJSN untuk menetapkan
kriteria yang terstandar bagai fasilitas pelayanan kesehatan yang akan mengikuti seleksi,
bertentangan dengan Pasal 7 Undang-Undang SJSN yang menentukan tugas DJSN adalah
melakukan kajian dan penelitian, mengusulkan kebijakan investasi, mengusulkan anggaran
jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada
pemerintah, dan kewenangan melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
program jaminan sosial.
(7) Penanganan Keluhan
Pasal 57 ayat (3) mengenai penyampaian keluhan kepada DJSN tidak sesuai dengan
fungsi,tugas dan wewenang DJSN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang SJSN.
Bab X R Perpres tentang Penanganan Keluhan tidak sesuai dengan Pasal 48 Undang-
Undang BPJS yang menentukan “Ketentuan mengenai unit pengendali mutu dan
penanganan pengaduan peserta diatur dalam Peraturan BPJS.”
(8) Penanganan Sengketa
Bab XI R Perpres tentang Penyelesaian Sengketa, tidak sesuai dengan Pasal 49 ayat(5)
Undang-Undang BPJS yang menentukan ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.” Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan disini
adalah Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang BPJS menentukan mekanisme mediasi dilakukan melalui
bantuan mediator yang disepakati oleh kedua belah pihak secara tertulis. Bukan
diselesaikan oleh Dinas Kesehatan setempat melalui proses mediasi sebagaimana diatur
dalam pasal 58 ayat (1) RPerpres. Undang-Undang BPJS tidak mendelegasikan pengaturan
soal tersebut dalam Perpres. Apalagi materi muatannya tidak sesuai dengan Pasal 49
Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa.
(9) Pengundangan
Pasal 65 RPerpres bertentangan dengan Pasal 82 undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan antara lain
bahwa Perpres diundangkan dalam Lembaran Negara RI.
5. KETIDAKSESUAIAN MATERI MUATAN DENGAN PRINSIP SJSN
Salah satu contoh ketidaksesuaian materi muatan dengan prinsip SJSN adalah ketentuan
mengenai iuran dan manfaat jaminan kesehatan.
8 | MARTABAT Prima Konsultindo
(1) Iuran
Iuran bersifat regresif. Batas atas upah sebagai dasar perhitungan iuran sangat rendah,
sehingga Pekerja yang berpenghasilan di atas batas tersebut membayar lebih kecil jika
dibandingkan secara proporsional terhadap pendapatannya.
Batas bawah upah untuk perhitungan iuran tidak ditentukan. Selain itu tidak ditetapkan
pula batas penghasilan bagi penduduk yang dibebaskan dari kewajiban membayar iuran
jaminan kesehatan dan berhak atas subsidi iuran dari Pemerintah.
Dasar perhitungan iuran berbeda untuk tiap kelompok pekerja, sehingga terkesan
mengistimewakan kelompok tertentu. Dasar perhitungan iuran jaminan kesehatan bagi
pegawai negeri adalah gaji pokok, sedangkan iuran pekerja dihitung dari upah yang dalam
ketentuan umum termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.
Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah ditetapkan dalam satu angka nominal.
Penetapan ini tidak mencermati rentang penghasilan yang lebar dalam kelompok pekerja
ini. Besar iuran yang wajib dibayarkan oleh Pemerintah bagi Penerima Bantuan Iuran
ditetapkan dalam angka nominal tanpa dibatasi dengan ketentuan sekurang-kurangnya
sama dengan besar iuran terendah yang dibayar oleh pekerja. Kedua ketentuan tersebut
berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
Oleh karena hal tersebut di atas, Besaran iuran dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4)
RPerpres perlu dihitung secara cermat dengan memperhatikan prinsip ekuitas dan prinsip
gotong-royong, inflasi pelayanan kesehatan, luas dan dalamnya manfaat, kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan, serta kelangsungan penyelenggaraan program
jaminan kesehatan.
(2) Manfaat
Manfaat sangat terbuka, tidak ada batasan yang jelas maupun tegas. RPerpres perlu
mengatur pagu manfaat total untuk setahun dengan sub-sub pagunya agar lebih memberi
kepastian kepada setiap peserta dan menjamin kelangsungan penyelenggaraan program.
PerPres memuat daftar manfaat (positive list) dan daftar pengecualian (negative list),
bagimana dengan pelayanan yang tidak tercantum dalam kedua daftar tersebut?
Ketidaklengkapan daftar akan menyulitkan dalam praktek. Berbeda halnya jika PerPres
menganut teori residu, yaitu PrePres menentukan di luar jenis pelayanan yang tidak
dijamin berarti dijamin.
Pasal 26 Undang-Undang SJSN menentukan “Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJS
akan diatur lebih lanjut dalam Perpres.” Dalam RPerpres diatur pelayanan kesehatan yang
9 | MARTABAT Prima Konsultindo
dijamin, pelayanan kesehatan dengan urun biaya dan pelayanan kesehatan yang tidak
dijamin (Pasal 36,Pasal 37 dan Pasal 39). Ketentuan Pasal-Pasal tersebut belum sesuai
dengan kaidah jaminan kesehatan sehingga perlu dikaji secara seksama, terutama untuk
menentukan kriteria jenis pelayanan yang dijamin, yang dengan urun biaya dan yang tidak
dijamin sesuai dengan prinsip pelayanan kesehatan dalam SJSN.
Hendaknya dalam menentukan jenis pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, PerPres
mentapkan daftar pelayanan berdasarkan kriteria jenis penyakit dan metode terapi,
seperti halnya menetapkan daftar manfaat.
6. KETENTUAN YANG AMBIGU.
Dalam RPerpres masih terdapat ketentuan yang ambigu antara lain:
1. Bagaimana tata cara pemungutan iuran WNI yang berada di luar negeri? Apakah
pemberi kerja tempat WNI yang bersangkutan bekerja wajib memungut iuran dari
pekerjanya dan membayar iuran yang menjadi kewajiban pemberi kerja dan
menyetorkannya kepada BPJS? Atau iuran dipungut dan disetorkan ke BPJS oleh
perusahaan pengirim tenaga kerja yang bersangkutan? Apakah pemberi kerja WNI di
Negara lain tunduk kepada ketentuan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang
BPJS?
2. Tidak jelas siapa yang wajib mendaftar menurut Pasal 8 ayat (3) RPerpres? Peserta
pekerja penerima upah atau pemberi kerjanya?
3. Pasal 10 ayat (3) RPerpres tidak jelas menetapkan siapa yang dimaksud dengan
pemerintah dalam ayat ini.
4. Pasal 11 ayat (3) RPerpres tidak jelas menetapkan siapa yang dimaksud dengan
Kementerian/lembaga terkait ?
5. Tidak jelas siapa atau insstansi mana yang menentukan peserta yang tidak menerima
upah termasuk secara ekonomi mampu sebagai, mana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) RPerpres?
6. Tidak jelas siapa yang membentuk kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2)? Apakah kelompok dimaksud harus berbentuk badan hukum atau cukup
kelompok sukarela yang dibentuk diantara peserta?
7. Peraturan perundang-undangan mana yang dimaksud dalam pasal 15 RPerpres?
Apakan PP tentang PBI?
8. Pasal 24 RPerpres tidak jelas maksudnya.
10 | MARTABAT Prima Konsultindo
9. Pasal 25 ayat (1) tanpa penempatan tanda baca yang tepat dapat berubah
pengertiannya mejadi “Peserta bukan pekerja yang mampu membayar iuran”,
sehingga ayat tersebut menjadi tidak logis.
10. Pasal 26 RPerpres apakah tidak perlu ditetapkan batas atasnya?
11. Apa yang dimaksud dengan “secara berkala” dalam pasal 27 ayat (6) R Perpres?
12. Apa yang dimaksud dengan “sesegera mungkin” dalam Pasal 30 ayat (2)?
13. Mengapa Pasal 30 ayat (3) tidak mencantumkan kewenangan BPJS untuk menagih
pembayaran iuran sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf a Undang-Undang BPJS?
14. Pasal 36 angka 11 RPerpres tidak jelas menentukan diatur lebih lanjut oleh siapa
dengan instrumen hukum apa?
15. Pasal 39 ayat(1) huruf RPerpres diatur oleh pemerintah, tidak jelas siapa yang
dimaksud dengan pemerintah dan tidak jelas juga dengan instrumen hukum apa
diatur?
16. Tidak jelas tenaga apa yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) RPerpres?
17. Pasal 46 RPerpres apakah terkait dengan mutu pelayanan? Sebab Pasal tersebut
berbicara masalah kompensasi jasa medis atau gaji yang sama bagi pemberi
pelayanan tanpa memandang kelas pelayanan.
7. LAIN-LAIN 1. Perlu dikaji secara yuridis apakan Peraturan Presiden ini dapat memberikan delegasi
kewenangan kepada BPJS untuk mengatur atas persetujuan DJSN (Pasal 22 ayat (5),
Pasal 37 ayat (3), Pasal 40 ayat (2), atau tanpa persetujuan DJSN (Pasal 13 ayat (3),
Pasal 14 ayat (3), Pasal 21 ayat (5), Pasal 35 ayat(3), Pasal 36 ayat (1) huruf c angka 1
dan 3, Pasal 38 ayat (2) R Perpres selain kewenangan mengatur yang ditentukan
dalam Undang-Undanag BPJS?
2. Apakan dikenal jenis peraturan perundang-undangan dalam bentuk peraturan
bersama BPJS dan DJSN sebagaiman ditentukan dalam Pasal 43 ayat (3) RPerpres?
3. Bab XII Pembinaan dan pengawasan RPerpres tidak termasuk materi muatan yang
didelegasikan pengaturannya dalam Perpres.
4. Pasal 50 ayat (1) RPerpres yang mencantumkan Ikatan Dokter Indonesia dan
Persatuan Dokter Gigi Indonesia sebagai asosiasi fasilitas kesehatan untuk dokter
praktek pribadi tidak sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentak Praktik
11 | MARTABAT Prima Konsultindo
Kedokteran, yang menentukan organisasi tersebut sebagai organisasi profesi yang
berfungsi melakukan pembinaan terhadap dokter dan dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran.
5. Pasal 50 ayat (2) RPerpres yang menentukan pengaturan dengan Peraturan Menteri
mengenai asosiasi fasilitas kesehatan untuk rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang
lain di luar ketentuan Pasal 50 ayat (1) tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan tentang perhimpunan berbadan hukum.
PERLU DIBEDAH DAN DIRUMUSKAN ULANG
RPerpres yang kini sedang digodog oleh Pemerintah belum layak untuk diundangkan.
Materi muatan RPerpres tentang Jaminan Kesehatan masih sarat dengan berbagai masalah.
Masalah sangat luas dan dalam, baik dilihat dari teknik penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan, maupun dari kesesuaian materi muatannya dengan Undang-Undang SJSN dan
Undang-Undang BPJS serta dengan prinsip penyelenggaraan jaminan kesehatan.
Jika ingin Perpres tersebut operasional, efektif dan memberi manfaat yang lebih baik bagi
peserta, RPerpres tentang Jaminan Kesehatan perlu dibedah secara cermat dan
dirumuskan ulang. Libatkan pemangku kepentingan, para ahli dan perancang peraturan
perundang-undangan yang berpengalaman.
Masyarakat menunggu diundangkannya Perpres tentang Jaminan Kesehatan dengan
harapan yang tinggi, yaitu adanya regulasi yang jelas, operasional dan efektif, untuk
memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas dan komprehensif
kepada seluruh penduduk, dan kepastian hukum bagi BPJS Kesehatan dan fasilitas
kesehatan.
Sangat disayangkan, jika window of opportunity yang disediakan oleh UU SJSN tidak
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk penataan ulang pelayanan kesehatan perorangan di
Indonesia. Melalui program jaminan kesehatan nasional, diharapkan segera terwujud
cakupan semesta (universal coverage) pelayanan kesehatan untuk peningkatan
ketersediaan pelayanan berkualitas yang dapat berdampak pada peningkatan derajat
kesehatan dan produktifitas bangsa Indonesia.
top related