refarat rkp - andi muh hidayat (2)
Post on 22-Jan-2016
35 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Refarat
Fakultas Kedokteran Oktober 2015
Universitas Halu Oleo
RESUSITASI JANTUNG PARU
Oleh :
Andi Muhammad Hidayat
K1A2 10 002
Pembimbing :
dr. La Duwi, Sp. An.
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
RESUSITASI JANTUNG PARU
La Duwi, Andi Muh Hidayat
A. Definisi
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah
suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas
atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.
Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis,
terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan terjadinya
penurunan atau kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana kerusakan otak tak
dapat diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh Karena
itu, berhasil atau tidaknya tindakan RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan
tepatnya teknik yang dilakukan. (Alkatiri, 2007)
B. Indikasi
1). Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi
jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung,
radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya. Pada awal henti napas,
jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital
lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan
segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan
berakibat henti jantung. (Mansjoer, 2009)
2). Henti Jantung
Henti Jantung ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan
oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat menyebabkan
kematian atau kerusakan otak. Henti jantung bisa diakibatkan oleh karena penyebab
primer maupun sekunder. Penyebab primer henti jantung disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel dari focal iskemia miokard. Penyebab primer lainnya termasuk fibrilasi
ventrikel dan asistole dari infark miokard akut, blok jantung, syok elektrik atau pun obat-
obatan. Penyebab sekunder henti jantung yang paling sering adalah asfiksia yang dapat
berkembang secara cepat ataupun lambat. Contoh kasus henti jantung sekunder yang
cepat termasuk asfiksia dari obstruksi napas atau apneu, kehilangan darah yang
berlangsung cepat dan anoksia alveolar (dari edema pulmonal akut). Contoh kasus henti
jantung sekunder yang lambat adalah hipoksemia berat (dari pneumonia atau edema
pulmonal dan konsolidasi, misalnya syok pulmonal, syok distributive (septik), disosiasi
elektromekanik karena syok kardiogenik). (Safar dan Bircher, 1988)
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis)
disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali (dead like appearance), pernapasan berhenti
atau satu-satu (gasping, apneu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan
pasien tidak sadar. Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4
menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun
setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali. (Safar dan Bircher, 1988)
C. Sistem Pernapasan dan Sirkulasi
Tubuh manusia terdiri dari beberapa sistem, diantaranya yang utama adalah
sistem pernafasn dan sistem sirkulasi. Kedua sistem ini merupakan komponen utama
dalam mempertahankan hidup. Terganggunya salah satu fungsi ini dapat mengakibatkan
ancaman kehilangan nyawa. Tubuh dapat menyimpan makanan untuk beberapa minggu
dan menyimpan air untuk beberapa hari, tetapi hanya dapat menyimpan oksigen (O²)
untuk beberapa menit saja. (Price dan Wilson, 2008)
Sistem pernafasan mensuplai oksigen kedalam tubuh sesuai dengan kebutuhan
dan juga mengeluarkan karbondioksida (CO2). Sistem sirkulasi inilah yang
bertanggungjawab memberikan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh.
Komponen-komponen yang berhubungan dengan sirkulasi adalah:
1) Jantung
2) Pembuluh Darah ( Arteri, Vena, Kapiler)
3) Darah dan kompone-komponennya. (Putz dan Pabst, 2010)
Jantung berfungsi untuk memompa darah dan kerjanya sangat berhubungan erat
dengan sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja jantung semakin cepat
pula frekuensi pernafasan dan sebaliknya.
Jantung dapat berhenti bekerja karena banyak sebab,diantaranya:
1) Penyakit jantung
2) Gangguan pernafasan
3) Syok
4) Komplikasi penyakit lain: Stroke
5) Penurunan kesadaran (Mansjoer, 2009)
D. Bantuan Hidup Dasar
Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada
organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai
paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal.
Resusitasi mencegah agar supaya sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen. Bantuan
hidup dasar (Basic Life Support) atau resusitasi ABC atau resusitasi kardiopulmoner
berarti menjaga jalan napas tetap paten (A), membuat napas buatan (B) dan membuat
sirkulasi buatan dengan pijatan jantung (C). Tindakan ini dilakukan tanpa alat atau
dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan cepat dalam waktu kurang dari 4
menit pada suhu normal secara baik dan terarah. (Mansjoer, 2009)
1) Dalam fase I ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C
(circulation).
a. A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka
b. B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
c. C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
paru
2) Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D (drug)
dan E (EKG)
a. D ( drugs ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
b. E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk
mengetahuis fibrilasi ventrikel.
3) Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambahan dari BLS dan
ALS, G (gauge), H (head), I (Intensive care).
a. G ( gauge ) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita
secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian
mengobatinya.
b. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem
saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga
dapat dicegah terjadinya neurologic yang permanen.
c. I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi
mengedalikan jika terjadinya kejang. (Sherperd, 2010)
Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur awal
pada pasien/korban, yaitu:
a. Memastikan keamanan lingkungan
Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu sendiri.
b. Memastikan kesadaran pasien/korban
Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan menyentuh
atau menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut dan mantap,
sambil memanggil namanya atau Pak!!!/ Bu!!!!/ Mas!!!/Mbak!!!, dll.
c. Meminta pertolongan
Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon segera
minta pertolongan dengan cara : berteriak ”tolong !!!!” beritahukan
posisi dimana, pergunakan alat komunikasi yang ada, atau aktifkan
bel/sistem emergency yang ada (bel emergency di rumah sakit).
d. Memperbaiki posisi pasien/korban
Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi telentang,
berada pada permukaaan yang rata/keras dan kering. Bila ditemukan
pasien/korban miring atau telungkup pasien/korban harus ditelentangkan
dulu dengan membalikkan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk
mencegah cedera/komplikasi.
e. Mengatur posisi penolong
Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar pada
ssat memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak perlu
banyak pergerakan. (Alkatiri, 2007)
Gambar 1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi
1) A (AIRWAY) Jalan Nafas
Jika diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus segera
dimulai. Letakkan pasien pada posisi telentang pada alas keras ubin atau selipkan
papan jika pasien diatas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah aan menyumbat
faring dan epiglottis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglottis penyebab utama
tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini,
maka dilakukan beberapa tindakan atau parasat misalnya:
a. Parasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift maneuver)
Parasat ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong
dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan
epiglottis terbuka, sniffing position, posisi cium, posisi hirup.
b. Perasat dorong rahang bawah (jaw-thrust maneuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorongkedepan
pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Karena lidah melekat pada
rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka.
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan ‘manuever triple airway’ (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender atau benda asing
lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan napas buatan. (John Field, 2010)
(a) (b)
Gambar 2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw thrust manuver (b)
2) B (BREATHING) Bantuan Nafas
Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas buatan tanpa
alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of life, mouth-to-mouth),
mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut
via sungkup muka.
a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)
Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong tarik
nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban dan
hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari
penolong.Volume udara yang berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke
lambung.
Gambar 3. Pemberian nafas dari mulut ke mulut
b. mulut ke hidung (mouth-to-nose),
Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak
memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus atau luka
berat.Penolong sebaiknya menutup mulut pasien/korban pada saat
memberikan bantuan nafas.
Gambar 4. Pernafasan dari mulut ke hidung
c. mulut ke stoma trakheostomi
Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau mengalami
laringotomi. (Sayre, 2010)
Gambar 5. Pernafasan mulut ke stoma.
3) C (CIRCULATION) bantuan sirkulasi
Terdiri dari 2 tahap :
a. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban
Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan cara
dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian
digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 – 10 detik.
Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan
nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas pertahankan airway pasien/korban.
b. Memberikan bantuan sirkulasi
Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau kompresi
jantung luar dengan cara:
a. Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang iga
pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu tulang
dada (sternum).
b. Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut
merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.
c. Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
telapak tangan diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-jari menyentuh
didnding dada pasien/korban.
d. Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan
kedalaman penekanan 1,5 – 2 inchi ( 3,8 – 5 cm).
e. Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang
kembali ke posisi semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan
melepaskan kompresi harus sama ( 50% duty cycle).
f. Tangan tidak boleh berubah posisi.
g. Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu penolong
maupun dua penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit.
Dilakukan selama 4 siklus.
Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60 – 80
mmHg dan diastolik yang sangat rendah.Selang waktu mulai dari menemukan
pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30 detik.
(Sayre, 2010)
Gambar 6. Kompresi dada
4) D (DEFIBRILATION) terapi listrik
Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada pasien/korban yang
penyebab henti jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama adalah
ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi.Pada penggunaan orang awam tersedia alat
Automatic External Defibrilation (AED). Tahapan defibrilasi :
a. Nyalakan AED
b. Ikuti petunjuk
c. Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)
PENILAIAN ULANG
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi
kembali :
a. Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas dengan
ratio 30 : 2
b. Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi sisi
mantap
c. Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas
sebanyak 12 kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat. (John
Field, 2010)
Gambar 7. Defibrilasi
E. Pembaharuan pada BLS Guidelines 2010
Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2010, berbanding dengan 2005.
Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti berikut:
1) Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan pernafasan.
(ie korban tidak bernafas)
2) “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS
3) Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang tidak terlatih
4) Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum breathing.
5) Health care providers memberi chest compression yang efektif sehingga terdapat
sirkulasi spontan.
6) Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7) penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care providers.
8) Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
9) Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali chest
compression, airway management,rescue breathing, rhythm detection dan shock.
Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal yang tidak
mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan memulakan CPR,
ini akan mengurangi survival rate korban tersebut. Chest compression merupakan antara
tindakan yang sangat penting dalam CPR karena perfusi tergantung kepada kompresi.
Oleh karena itu, chest compression merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat
korban yang mengalami SCA. (Sayre, 2010)
Prinsip utama dalam resusitasi: memperkuat rantai harapan hidup (chain of
survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi jalur chain of
survival. Jalur ini meliputi:
1) Pengenalan segera akan henti jantung dan aktivasi sistem respons darurat
(emergency response system)
2) RJP dini dengan penekanan pada kompresi dada
3) Defibrilasi cepat
4) Advance life support yang efektif
5) Post-cardiac arrest care (perawatan pasca henti jantung) yang terintegrasi’
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini dapat
meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti jantung VF (ventricle fibrillation)
hingga 50%. Pada sebagian besar sistem gawat darurat angkanya masih lebih rendah,
menandakan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan dengan evaluasi ulang dari jalur
ini. Penyelamat dapat memiliki berbagai pengalaman, pelatihan dan kemampuan. Begitu
pula dengan status korban dan keadaan sekitar kejadian. Tantangannya adalah bagaimana
meningkatkan RJP yang lebih dini dan lebih efektif bagi setiap korban. (Andrew Travers,
2010)
Panduan RJP 2010 :
1) Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus
AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan kebutuhan RJP yang
berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
a. Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari ”kurang lebih”
100 x/menit)
b. Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling sedikit
sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi
(sekitar 1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2 inchi [5cm] pada anak-anak)
Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman
mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA
Guidelines for CPR and ECC
c. Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali
selesai kompresi
d. Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
e. Menghindari ventilasi yang berlebihan
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi yaitu
sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir).
AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan
nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas telah dibebaskan, kompresi dada dapat
dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak
lagi diselingi dengan ventilasi. Nafas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali
nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 nafas per detik). Ventilasi yang berlebihan
harus dihindari. (Robert Berg, 2010)
2) Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B
Guideline 2005 mengatakan bahwa tahapan dari RJP mulai dari membuka jalan
napas, mengecek pernapasan normal atau tidak, dan memberikan pernapasan 2 kali
diikuti dengan kompresi dada sebanyak 30 kali dan bantuan pernapasan 2 kali. Perubahan
yang utama pada BLS 2010, urutan dari Airway-Breathing-Circulation berubah menjadi
Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari penghambatan pada
pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai
prioritas utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil
100%, terutama oleh penolong yang seorang diri.
Peter Safar dan Nicholas Bircher (1988) mengemukakan bahwa beberapa
educator RJP eropa merekomendasikan untuk melatih pada 2 keadaan, step A-B-C
dilakukan pada keadaan henti jantung sekunder, dan step C-A-B dilakukan pada keadaan
henti jantung primer.
Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum
adalah Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada penderita
tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah kompresi dada dan
defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda ketika
penolong membuka jalan nafas untuk memberikan nafas buatan, mencari alat pembatas
(barrier devices), atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency
response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada.
Hanya RJP pada bayi yang merupakan perkecualian dari protokol ini, dimana urutan
yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, feel, sehingga
komponen ini dihilangkan dari panduan. (Sayre, 2010)
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai sesegera
mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama dari 30
kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita yang
mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh
orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun salah satu
hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang
paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan memberikan nafas buatan. Memulai
pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong untuk
memulai RJP. (Sayre, 2010)
3) Rata-rata kompresi
Guideline 2005 mengatakan bahwa kompresi dada sekitar 100 kali/menit yang
kemudian diubah ditahun 2010 menjadi, dilakukan minimal 100 kali/ menit. Jumlah
kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation [ROSC]) dan fungsi
neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit
ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam
melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas, memberikan nafas buatan,
dan melakukan analisis AED [Automated Electrical Defibrilator]). (Robert Berg, 2010)
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan
tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit dihubungkan
dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi
dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang
adekuat, tapi juga pada meminimalkan gangguan pada komponen penting dari CPR
tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan
mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per menit. (Sayre, 2010)
4) Kedalaman kompresi
Pada guideline 2005, untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak
1½ - 2 inch (4-5 cm) menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan
dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi
pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan
meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Kompresi
menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung
dan otak. (Kattwinkel, 2010)
Gambar 8. Algoritma Bantuan Hidup Dasar sederhana
5) RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)
Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka. Hands
Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang
belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon.
Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang sama jika
dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi. (Sayre, 2010)
6) Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher Identification of
Agonal Gasps)
Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau sulit
bernafas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk memulai RJP jika
korban tidak bernafas atau pernafasan yang tidak normal. Pengecekan kecepatan
pernafasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi emergency response system. John
Field, 2010)
7) Penekanan krikoid
Guideline 2005 mengatakan bahwa penekanan krikoid harus dilakukan jika
korban engalami ketidaksadaran yang dalam dan biasanya melibatkan penolong ketiga,
sedangkan pada guideline 2010 menekankan bahwa penekanan krikoid tidak
direkomendasikan pada pasien henti jantung. Penekanan krikoid adalah suatu teknik
dimana dilakukan pemberian tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan
trakea kearah posterior dan menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid
dapat menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi
selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi. Saat
ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan. Penelitian
menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi
dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. (John Field, 2010)
8) Aktivasi Emergency Response System.
Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah penilaian
respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut panduan
tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang
tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi selama 10
detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.
(Sayre, 2010)
9) Tim Resusitasi
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya :
satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong kedua
melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau memakaikan bag
mask untuk membantu pernafasan dan penolong ke-empat mempersiapkan dan
defibrilator. (Robert Berg, 2010)
Gambar 9. Tim Resusitasi
Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk RJP pada neonatus).
Tabel 1. Bantuan Hidup Dasar pada Dewasa dan Anak.
F. Kesimpulan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah suatu
tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau henti
jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Bantuan hidup
dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Ini
bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang
awam.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta mampu
melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan RJP yang dipakai adalah pedoman
yang dikeluarkan oleh Amerikan Heart Assosiation. Amerikan Heart Assosiation merevisi
pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada tahun 2010. AHA merevisi dari A-B-
C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk
masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma khusus untuk
petugas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Alkatiri, J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-177.
Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation
2010;122;S676-S684
John, M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation
2010;122;S640-S656.
Kattwinkel, J., et al. Part 15 : Neonatal Resuscitation : 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation 2010 ; 122 ; S909-S917
Mansjoer, A. Resusitasi Jantung Paru dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi V. FKUI. Jakarta. 2009. Hal. 227-233.
Price, S.A., Wilson, L.M. Edisi 6, Volume 1. 2008. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. EGC : Jakarta. H.517-519
Putz, R., Pabst, R. Atlas natomi Manusia : Sobotta. Edisi 22. Jilid 2. 2010. EGC : Jakarta. H.88
Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation2010;122;S685-S705.
Safar, P., dan Bircher, N.G. 1988. Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation. Third Edition.
Laerdal Medical : United Kingdom.
Sayre, MR. et al. Highlights of the 2010 American Heart Association Guidelines for CPR and
ECC. 7272 Greenville Avenue. Dallas, Texas 75231-4596.. 90-1043.
Sherperd, M., Rasanathan, D. Cardiopulmonary Resuscitation. Paeds Resuscitation Committee.
2010, Starship ; h.1-12
top related