referat obsgyn hana
Post on 27-Oct-2015
69 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat Ilmu
Kebidanan dan Kandungan dengan mengambil tema “EKLAMPSIA POST PARTUM”.
Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan obstetri
ginekologi di RSUD SOREANG. Penyelesaian tugas ini juga tak lepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati penulis haturkan ucapan
terima kasih kepada pembimbing dr. Aditiyo Januajie sp.OG,Mkes dan dr. Iman SF Wirayat
sp.OG .
Penulis sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.
Oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
tugas ini dan sebagai bekal penulis untuk menyusun tugas-tugas lainnya di kemudian hari.
Semoga referat ini banyak memberi manfaatbagi semua pihat yang membutuhkan.
Soreang, 15 Agustus 2013
PENULIS
1
PENDAHULUAN
Penyakit hipetensi mempersulit 5 hingga 10 persen kehamilan bersama perdarahan
dan infeksi, membentuk suatu trias yang mematikan, yang berperan besar dalam angka
kesakitan serta kematian ibu. Pada kasus kehamilan dengan hipertensi, sindrom
preeklampsia, baik terisolasi maupun bertumpang tindih dengan hipertensi kronis,
merupakan yang paling berbahaya.1
Preeklampsia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi
yang tertinggi di Indonesia. Penyakit yang disebut sebagai “ disease of theories “ ini,
masih sulit untuk ditanggulangi. Jika preeklampsi tidak ditangani dengan baik, maka bisa
berkembang menjadi eklampsi.1
Preeklamsi adalah salah salah satu penyulit kehamilan yang biasanya didapatkan pada
kehamilan lebih dari 20 minggu. Sampai saat ini preeklamsi masih menjadi
permasalahan. Penyebab pasti dari preeklamsi belum diketahui dan preeklamsi sulit untuk
dideteksi secara dini, sehingga pada banyak kasus terjadi keterlambatan deteksi dan
penanganan. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang
disusul dengan koma. Kejang disini bukan akibat kelainan neurologis.1
Zuspan F.P. (1978) dan Arulkumaran A. (1995) melaporkan angka kejadian
preeklamsi di dunia sebesar 0--13%, sedangkan di Indonesia 3,4-8,5%. Sedangkan di
Indonesia kematian ibu karena eklamsi menurut survei pada tahun 2001 sebesar 24 %.7
Diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5%, sedangkan kematian bayi lebih
dari tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%, sebaliknya kematian ibu dan bayi di negara-negara
maju lebih kecil. Hal ini disebabkan karena di negara-negara maju terdapat kesadaran
untuk melakukan pemeriksaan antenatal dan natal secara rutin.7
Eklampsia post partum dilaporkan oleh Chames terjadi pada 78% pasien yang tidak
didiagnosis mempunyai penyakit hipertensi. Sedangkan pada pasien yang sebelumnya
didiagnosis dengan superimposed preeclampsia hipertensi kronik, 5,2% berkembang
menjadi preeclampsia post partum dan tidak ada yang berkembang menjadi eklampsia. 9
2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
II.I. DEFINISI
Hipertensi dalam Kehamilan1
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu paska salin.
Hipertensi gestational adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita
yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai oleh proteinuri. Gejala ini akan
hilang dalam waktu kurang dari 12 minggu paska salin.
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang
disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi, edema disertai proteinuria (eksresi
protein dalam urin yang melebihi 300 mg dalam 24 jam) akibat kehamilan, setelah umur
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20
minggu bila terjadi penyakit trofoblastik.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas
yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma pada perempuan dengan preeklampsia
yang tidak disebabkan oleh penyebab lain. Kejang yang timbul merupakan kejang umum
dan dapat terjadi sebelum, saat, atau setelah persalinan. 10 persen perempuan yang
mengalami eklampsia, khususnya nullipara tidak mengalami kejang eklamptik setelah 48
jam postpartum. Peneliti lain melaporkan bahwa hingga seperempat kasus kejang
eklamtik timbul setelah 48 jam postpartum.
II.I.I INSIDEN DAN FAKTOR RESIKO1
Preeklampsia sering mengenai perempuan muda dan nulipara, sedangkan
perempuan yang lebih tua lebih beresiko mengalami hipertensi kronis. 7
Insidens preeklamsia relatif stabil antara 4-5 kasus per 10.000 kelahiran hidup
pada negara maju. Pada negara berkembang insidens bervariasi antara 6-10 kasus per
10.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu bervariasi antara 0%-4%. Sekitar kurang
lebih 75% eklampsi terjadi antepartum dan 25% terjadi pada postpartum. Hampir semua
kasus ( 95% ) eklampsi antepartum terjadi pada terjadi trisemester ketiga. 1
3
Insiden eklampsia telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Di negara maju
insiden eklampsia mungkin sekitar 1 dalam 2000 kelahiran. 1
Dilaporkan angka kejadian rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan 12
% pada kehamilan primigravida. Lebih banyak dijumpai pada primigravida daripada
multigravida terutama primigravida usia muda.
Faktor risiko preeklampsia adalah: 1
1. Nullipara
2. Kehamilan ganda
3. Obesitas
4. Riwayat keluarga preeklampsia – eklampsia
5. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
6. Diabetes mellitus gestasional
7. Adanya trombofilia
8. Adanya hipertensi atau penyakit ginjal
II.I .II ETIOPATOGENESIS1
Penyakit hipertensi dalam kehamilan lebih mungkin timbul pada perempuan yang:
- Terpajan vili korionik untuk pertama kali
- Terpajan vili korionik dalam jumlah berlebihan seperti pada kehamilan ganda atau
mola hidatidosa
- Telah memiliki penyakit ginjal atau kardiovaskular
- Secara genetik beresiko mengalami hipertensi selama kehamilan
Apapun etiologi pencetusnya, rangkaian peristiwa yang menyebabkan sindrom
preeklampsia ditandai dengan sejumlah kelainan yang menimbulkan kerusakan endotel
pembuluh darah dan selanjutnya vasospasme, transudasi plasma, serta komplikasi
iskemik dan trombotik.
II.I II.I Etiologi1,7
Penyebab preeklampsia meliputi factor ibu, plasenta dan janin. Mencakup:
1. implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus.
4
Pada kehamilan normal, invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua menghasilkan
suatu ‘perubahan fisiologis’ pada arteri spiralis. Untuk memenuhi kebutuhan kehamilan
maka jalan yang paling mungkin adalah membesarkan diameter arteri. Pada wanita hamil,
pembesaran diameter arteri spiralis meningkat 4-6 kali lebih besar daripada arteri spiralis
wanita tidak hamil, yang akan memberikan peningkatan aliran darah 10.000 kali
dibandingkan aliran darah wanita tidak hamil. Maka kemampuan melebarkan diameter
arteri spiralis ini merupakan kebutuhan utama untuk keberhasilan kehamilan.
Hasil akhir dari perubahan fisiologis yang normal adalah arteri spiralis yang
tadinya tebal dan muskularis menjadi lebih lebar berupa kantung yang elastis, bertahanan
rendah dan aliran cepat, dan bebas dari kontrol neurovascular normal, sehingga
memungkinkan arus darah yang adekuat untuk pemasokan oksigen dan nutrisi bagi janin.
Pada preeklampsia terjadi defisiensi plasentasi. Terjadi kegagalan pada invasi
trofoblas, sehingga ‘perubahan fisiologis’ pada arteri spiralis tidak terjadi. Perubahan
hanya terjadi pada sebagian arteri spiralis segmen desidua, sementara arteri spiralis
segmen miometrium masih diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain itu ditemukan pula
adanya hyperplasia tunika media dan thrombosis. Garis tengah arteri spiralis 40% lebih
kecil dibandingkan pada kehamilan normal, hal ini menyebabkan tahanan terhadap aliran
darah bertambah dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi dan iskemia.
5
2. toleransi imunologis yang bersifat maladaptive diantara jaringan maternal, paternal
(plansental) dan fetal
Toleransi system imun ibu terhadap antigen janin dan plasenta yang berasal dari
paternal. Hilangnya toleransi ini atau mungkin adanya disregulasi proses toleransi.
Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat spekulasi
bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal dan mekanisme ”blocking
antibodies” terhadap plasenta belum baik, sehingga timbul preeklamsi. Teori ini masih
dipertanyakan karena Strickland pada tahun 1986 mengadakan penelitian terhadap
29.000 wanita hamil dengan preeklamsi yang sebelumnya pernah keguguran. Seharusnya
menurut teori imunologis, wanita –wanita tersebut dianggap telah ”terimunisasi”dan
tidak akan mengalami preeklamsi. Namun, pada kenyataannya hanya terjadi sedikit
penurunan, yaitu sebesar 22 sampai 25 %.2
Ada juga yang memberikan pendapat bahwa preeklamsi terjadi karena maladaptasi pada
sistem imun dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita
yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih
sedikit dibandingkan dengan wanita yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi
karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T helper ini
mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu kerusakan pada proses ini dapat
menyebabkan preeklamsi.
3. maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang terjadi
pada kehamilan normal.
Perubahan inflamatorik disebabkan oleh kecacatan dalam plasentasi. Sebagai respon
terhadap factor-faktor plasenta yang dilepaskan akibat perubahan iskemik. Karena itu
factor metabolic dan mediator inflamasi lainnya diduga memicu cedera endotel.
Disfungsi sel endotel disebabkan oleh keadaan leukosit terhiperaktivasi dalam sirkulasi
ibu. Sitokin seperti TNF-α dan IL berperan dalam timbulnya stress oksidatif yang akan
menimbulkan cedera pada endotel dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Akibat
lain dari stress oksidatif adalah trombositopenia dan peningkatan permeabilitas kapiler,
yang ditandai dengan edema dan proteinuria.
4. Faktor-faktor genetic, termasuk gen predisposisi yang diwariskan.
6
Preeklampsia merupakan penyakit multifaktorial dan poligenik. Kecenderungan herediter
merupakan akibat interaksi ratusan gen yang diwariskan ayah dan ibu yang
mengendalikan sejumlah fungsi besar metabolic dan enzimatik.
Variabel genetik yang mempengaruhi sindrom preeklampsia:
- Genotipe ganda: maternal dan plasental (fetal dan plasental)
- Subkelompok: penyakit diabetes, paritas
- Etnisitas genomic
- Interaksi antar gen
- Fenomena epigenetik: variasi dalam ekspresi gen stabil yang fungsional
- Interaksi gen-lingkungan-hal ini bersifat tidak terbatas
5. Faktor Nutrisi
Beberapa defisiensi atau kelebihan suatu bahan makanan tertentu telah dijadikan
penyebab preeklamsi. Bahan makanan yang tidak diperbolehkan seperti daging, protein,
purin, lemak, produk susu, garam dan bahan makanan lain. Ada beberapa penelitian yang
menemukan bahwa ada hubungan antara defisiensi zat tertentu dangan kejadian
preeklamsi. Penelitian ini didahului oleh penelitian tentang suplementasi zinc, kalsium,
dan magnesium yang dapat mencegah preeklamsi. Penelitian lain menunjukkan bahwa
diet tinggi buah dan sayuran memiliki efek anti oksidan sehingga dapat menurunkan
tekanan darah
II.I.II.II Patogenesis 1
Vasospasme
Kontriksi vascular menyebabkan meningkatkan tahanan pembuluh darah sehingga timbul
hipertensi. Pada saat bersamaan, kerusakan sel endotel menyebabkan kebocoraninterstitial
tempat lewatnya komponen komponen darah, termasuk trombosit dan fibrinogen yang
kemudian tertimbun di subendotel.
Wang dkk., (2002) juga menemukan adanya gangguan pada protein junctional .dengan
berkurangnya aliran darah akibat maldistribusi, iskemia pada jaringan sekitar akan
7
menyebabkan nekrosis, perdarahan dan gangguan organ lain yang khas untuk sindrom
tersebut.
Vaskulopati (Kerusakan Endotel) dan Perubahan Inflamasi
Teori ini merupakan kelanjutan dari teori imunologi dan teori invasi trofoblas
abnormal. Sistem imun maupun invasi trofoblas yang abnormal akan menyebabkan
iskhemik dan pengeluaran mediator. Mediator ini akan merusak sel-sel endotel.
TNF- dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif yang berhubungan
dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan adanya oksigen reaktif dan radikal
bebas yang akan menyebabkan pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan
toksin radikal yang membuat kerusakan endotel. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh
stres oksidatif meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi
intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria).
Faktor Genetik
Menurut Ness, dkk terdapat predeposisi herediter preeklamsi-eklamsi. Chesley dan
Cooper (1986) mempelajari saudara perempuan, anak perempuan, cucu perempuan, dan
menantu perempuan dari para wanita sengan eklamsia yang melahirkan di The Margaret
Hague MaternityHospital sejak tahun 1935 sampai 1984. Mereka menyimpulkan bahwa
kecendrungan mengidap preeklamsi-eklamsi sangat mungkin diturunkan. Cooper dan
Linston (1979) meneliti kemungkinan terhadap preeklamsia bergantung pada sebuah gen
resesif.
Protein Angiogenik dan Antiangiogenik
Pembentukan vaskularisasi plasenta sudah terlihat sejak hari pascakonsepsi, dan substansi
pro dan antiangiogenik terlihat dalam perkembangan vaskularisasi plasenta
Pada preeklamsia, mungkin terjadi invasi trofoblas inkomplit, sehingga pembuluh desidua
akan dilapisi oleh trofoblas endovaskuler yang menjadi penyebab iskemia placenta.1-2
Iskemia plasenta diperkirakan mensintesis peningkatan jumlah pengeluaran vasoactive
factors seperti soluble fms-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1), cytokines, dan mungkin
angiotensin II (ANG II) type 1 receptor autoantibodies (AT1-AA).1
8
Soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) merupakan salah satu faktor anti-angiogenic,
sedangkan vascular endothelial growth factor (VEGF) receptor 1 dan placental growth
factor (PlGF) merupakan faktor angiogenic. Pada kehamilan normal, konsentrasi PIGF
meningkat pada 2 trimester pertama yang kemudian akan mengalami penurunan pada
trimester selanjutnya. Hal ini berbanding terbalik dengan anti-angiogenic sFlt-1.
Konsentrasi sFlt-1 stabil pada awal sampai pertengahan kehamilan, dan akan mengalami
peningkatan pada trimester terakhir kehamilan. Pada preeklamsi, terjadi perubahan
konsentrasi faktor anti-angiogenic dan angiogenic. Tingkat sFlt-1 lebih tinggi dan PlGF
lebih rendah dibandingkan pada kehamilan normal. Ketika endotelium kekurangan
angiogenik faktor (VEGF dan PlGF) dan antiangiogenic berlebih seperti sFlt-1,
endotelium menjadi disfungsional dan mengarah ke sindrom klinis hipertensi dan
proteinuria.3
Pada preeklamsia, terjadi penurunan tekanan perfusi uterus yang mengakibatkan
timbulnya beberapa manifestasi klinik yang timbul. Berdasarkan hasil penelitian pada
hewan (tikus yang hamil) dengan penurunan tekanan perfusi uterus menunjukkan
peningkatan rata-rata tekanan arteri, penurunan laju filtrasi glomerulus, penurunan
tekanan natriuresis renal, penurunan laju plasma renal dan proteinuria, serta disfungsi
endotel. Selain itu, penurunan tekanan perfusi uterus berhubungan dengan
ketidakseimbangan faktor angiogenik khususnya peningkatan sFlt-1 dan penurunan
VEGF dan PlGF.
SFlt1 (Soluble Fms-like Tyrosine kinase 1)
sFlt1 adalah suatu protein yang strukturnya serupa dengan tirosin, dibuat oleh
plasenta. Pada penelitian, sFlt1 yang disuntikan pada tikus mengakibatkan kenaikan
tekanan darah, proteinuri, dan kerusakan renal yang serupa dengan penderita
preeklamsi.6,7Pada pasien preeklamsi diketahui bahwa peningkatan sFlt1 sebanding
dengan tingkat proteinuri. sFlt1 juga ditemukan lebih tinggi pada wanita yang hamil
pertama kali dibandingkan dengan wanita yang hamil kedua kali. Ada juga penelitian
pada tikus yang mengemukakan bahwa kadar sFlt1 dapat terdeteksi pada 5 minggu
sebelum onset dari preeklamsi. Penemuan ini sangat berarti dalam usaha deteksi dini
penderita preeklamsi.8 Cara kerja sFlt1 adalah dengan berikatan dengan VEGF (Vaskular
Endothelial Growth Factor) dan P1GF (Placental Growth Factor) sehingga VEGF dan
9
P1GF tidak dapat berikatan dengan VEGFR (Vascular Endothelial Growth Factor
Receptor). P1GF masih termasuk golongan VEGF namun dihasilkan oleh plasenta.
Diagram 1. Kadar sFlt 1
II.I.III Patofisiologi 1,7
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme pembuluh
darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila dianggap bahwa spasmus arteriolar juga
ditemukan diseluruh tubuh, maka mudah dimengerti bahwa tekanan darah yang
meningkat nampaknya merupakan usaha mengatasi kenaikan tahanan perifer, agar
oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Peningkatan berat badan dan oedema yang
disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui
sebabnya. Telah diketahui bahwa pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang
rendah dan kadar prolaktin yang tinggi daripada kehamilan normal. Aldosteron penting
untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium. Pada
preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.
a. Perubahan Kardiovaskuler
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi perifer yang
diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol, mungkin akibat meningkatnya kadar
progesteron di sirkulasi, dan atau menurunnya kadar vasokonstriktor seperti angiotensin
II dan adrenalin serta noradrenalin, dan atau menurunnya respon terhadap zat-zat
10
vasokonstriktor tersebut akan meningkatnya produksi vasodilator atau prostanoid seperti
PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang
normal ke tekanan darah sebelum hamil.
Kurang lebih sepertiga pasien dengan preeklampsia akan terjadi pembalikan ritme
diurnalnya, sehingga tekanan darahnya akan meningkat pada malam hari.
b. Regulasi Volume Darah
Pengendalian garam dan homeostasis juga meningkat pada preeklampsia.
Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu tapi pada derajat mana hal ini
terjadi adalah sangat bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya
oedem. Bahkan jika dijumpai oedem interstitial, volume plasma adalah lebih rendah
dibandingkan pada wanita hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi
suatu penurunan atau suatu peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal
hipertensi.
c. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia dibandingkan hamil
normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang melahirkan BBLR.
d. Aliran Darah di Organ-Organ
1. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal ini
berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin merupakan suatu faktor
penting dalam terjadinya kejang pada preeklampsia maupun perdarahan otak.
2. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi pertanda pada
kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal rata-rata berkurang 20%
(dari 750 ml menjadi 600ml/menit) dan filtrasi glomerulus berkurang rata-rata 30% (dari
170 menjadi 120ml/menit) sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan
terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan
kortikal. Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya
mungkin untuk dicadangkan untuk menaikan tekanan darah dan menjamin perfusi
plasenta yang adekuat. Pada kehamilan normal renin plasma, angiotensinogen,
angiotensinogen II dan aldosteron semuanya meningkat nyata diatas nilai normal wanita
tidak hamil. Perubahan ini merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar
11
progesteron dalam sirkulasi. Pada kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh
renin, angiotensin dan aldosteron, namun keseimbangan ini tidak terjadi pada
preeklampsi. Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah
iskemi uteroplasenter, dimana terjadi ketidak seimbangan antara massa plasenta yang
meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasentanya yang berkurang. Apabila
terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin uterus yang mengakibatkan
vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan pembuluh darah, disamping itu angiotensin
menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek prostaglandin sebagai mekanisme
kompensasi dari hipoperfusi uterus.
Glomerulus filtration rate (GFR) dan arus plasma ginjal menurun pada preeklampsi tapi
karena hemodinamik pada kehamilan normal meningkat 30% sampai 50%, maka nilai
pada preeklampsi masih diatas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi
asam urat juga menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada perubahan pada
GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula peningkatan
pengeluaran protein, biasanya ringan sampai sedang, namun preeklampsia merupakan
penyebab terbesar sindrom nefrotik pada kehamilan.
Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin adalah bagian dari lesi
morfologi khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapiler glomerulus, yang
merupakan tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia.
3.Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan patofisiologi
terpenting pada preeklampsi, dan mungkin merupakan faktor penentu hasil kehamilan.
Namun yang disayangkan belum ada satupun metode pengukuran arus darah yang
memuaskan baik di uterus maupun didesidua.
4. Aliran darah paru
Kematian ibu pada preeklampsi dan eklampsi biasanya oleh karena edema paru yang
menimbulkan dekompensasi cordis.
5. Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah. Bila terjadi hal-hal tersebut,
maka harus dicurigai terjadinya PEB. Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah
12
skotoma, diplopia dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan peredaran
darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau dalam retina.
6. Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara, asam laktat dan
asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat-zat organik dioksidasi dan
dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan terbentuknya natrium
bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih kembali.
II.I.IV . Preeklampsia
II.I.IV.I Pre Eklampsia Ringan.
Pre eklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema
setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul
sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas.2,3.
II.I.I.I.1 Gejala Klinis
Gejala klinis pre eklampsia ringan meliputi :
1. Hipertensi: Kenaikan tekanan darah sistol 30 mmHg atau lebih; diastol 15 mmHg atau
lebih dari tekanan darah sebelum hamil pada kehamilan 20 minggu atau lebih; atau
tekanan sistol antara 140 mmHg sampai 160 mmHg dan tekanan diastol 90 mmHg
sampai 110 mmHg. Tekanan darah ini harus diukur 2 kali dengan selang waktu 2 jam.
2. Edema : timbulnya oedema didahului oleh pertambahan berat badan yang berlebihan
yang disebabkan oleh retensi air dalam jaringan dan kemudian timbul oedema.
Eedema tidak hilang dengan istirahat. Edema pada pretibia, dinding abdomen,
lumbosakral, wajah atau tangan
3. Proteinuria : sering ditemukan pada preeklampsia karena vasospasmus pembuluh
darah ginjal. Proteinuria timbul saat hipertensi bertambah berat. Secara kuantitatif
lebih 0,3 gr/liter dalam 24 jam atau lebih dari 1 gr/liter pada urine sewaktu. Dan
secara kualitatif positif 2 (+2).
Gejala-gejala subjektif lain: 2,3
13
1. Nyeri kepala
Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan semakin sering terjadi pada kasus-kasus
yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan
tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami
serangan eklampsi, nyeri kepala hebat hampir dipastikan mendahului serangan kejang
pertama.
2. Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan yang sering
ditemukan preeklampsi berat dan dapat menunjukan serangan kejang yang akan terjadi.
Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat oedem atau
perdarahan.
3. Gangguan penglihatan
Seperti pandangan yang sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan sebagian atau total.
Disebabkan oleh vasospasme, iskemia dan perdarahan ptekie pada korteks oksipital.
II.I.I.I.2 Diagnosa 3,6
1. Tekanan darah >140 / 90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
2. Proteinuria kuantitatif (Esbach) 300 mg / 24 jam, atau dipstick +1
II.I.I.I.3 Penatalaksanaan 3,4,6
Pada dasarnya penangan preeklampsi terdiri atas pengobatan medik dan penanganan
obstetrik. Penanganan obsterik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal,
yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup
diluar uterus.
Tujuan pengobatan adalah :
1. Mencegah terjadinya eklampsi.
2. Anak harus lahir dengan kemungkinan hidup besar.
3. Persalinan harus dengan trauma yang sedikit-sedikitnya.
4. Mencegah hipertensi yang menetap.
14
Dasar pengobatan adalah:
- Istirahat
- Diet
- Obat-obat antihipertensi
- Sedative
- Induksi persalinan
Jika pasien sudah hamper aterm maka induksi persalinan akan memenuhi ke 4
maksud di atas. Tetapi jika kehamilan baru 7 bulan maka pilihan adalah terapi
konservatif atau seksio
II.I.I.I.3.1 Pengobatan Rawat Jalan
Pengobatan rawat jalan diperbolehkan jika tekanan darah < 140/90 dan edema dan
proteinuria tidak ada atau ringan sekali.
Anjuran yang diberikan pada pasien ini
1. istirahat sebanyak mungkin di rumah
2. kurangi penggunaan garam
3. pemeriksaan kehamilan 2x seminggu
4. dapat juga diberikan sedative dan obat-obat antihipertensi
Tanda-tanda bahaya harus diketahui oleh penderita
II.I.I.I.3.2 Pengobatan di RS
Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita preeklampsia di rumah sakit ialah:
1. Tekanan darah sistolik 140 mm Hg atau lebih.
2. Proteinuria 1+ atau lebih.
3. Kenaikan berat badan 1,5 kg atau lebih dalam seminggu yang berulang.
4. Penambahan Edema berlebihan secara tiba-tiba.
Di rumah sakit harus dilakukan pemeriksaan dan observasi yang teliti
1. Pengukuran tekanan darah setiap 4 jam kecuali ibu tidur
2. Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen
3. Penimbangan berat badan 2 kali sehari
4. Pengamatan dengan cermat gejala preeklampsi dengan impending eklampsi :
15
Nyeri kepala frontal atau oksipital
Gangguan visus
Nyeri kuadran kanan atas perut
Nyeri epigastrium
5. Pemeriksaan laboratorium :
Proteinuria dengan dipstick pada waktu masuk dan sekurangnya diikuti 2
hari setelahnya.
Pemeriksaan darah: Hematokrit dan trombosit : 2 x seminggu.
Test fungsi hepar 2 x seminggu .
Test fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat, dan
BUN.
Pengukuran produksi urine setiap 3 jam (tidak perlu dengan kateter tetap).
6. Pemeriksaan Retina
Selanjutnya perawatan dan pengobatan yang dilakukan adalah:
1. Istirahat dalam kamar yang tenang dan tidak silau
2. makanan yang sedikit mengandung garam (3gram sehari), protein harus cukup
3. cairan yang diberikan ±3000 cc
4. sebagai pengobatan diberi luminal 4x30mg kalau ada edema diberikan NH4CL ± 4 g
sehari jangan lebih dari 3 hari. Atau diuretik.
Pengobatan preeklampsia yang tepat ialah pengakhiran kehamilan karena tindakan
tersebut menghilangkan sebabnya dan mencegah terjadinya eklampsia dengan bayi yang
masih premature.
Penjagaan Janin pada Preeklampsia
1. dengan pemeriksaan air ketuban
2. cephalometri
3. kardiografi
4. penentuan estrogen dalam urine
Pemeriksaan kesejahteraan janin :
16
o Pengamatan gerakan janin setiap hari.
o NST 2 x seminggu.
o Profil biofisik janin, bila NST non reaktif.
o Evaluasi pertumbuhan janin dengan USG setiap 3-4 minggu.
o Ultrasound Doppler arteri umbilikalis, arteri uterina.
II.I.IV.II Preeklampsia Berat
Pre eklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada kehamilan
20 minggu atau lebih. 4
Bila didapatkan satu atau lebih dari gejala dibawah ini:1
Tekanan diastol ≥ 110 mmHg.
Proteinuri ≥ 2 g/24 jam atau 2+ dalam pemeriksaan kualitatif (dipstick).
Kreatinin serum >1,2 mg% disertai oliguri (<400 ml/24 jam).
Trombosit < 100.000/ mm3.
Angiolisis mikroangiopati (peningkatan kadar LDH).
Peninggian kadar enzim hati (SGOT dan SGPT).
Sakit kepala yang menetap atau gangguan visus dan serebral.
Nyeri epigastrium yang menetap.
Pertumbuhan janin yang terhambat.
Edema paru disertai sianosis.
Adanya “the HELLP syndrome” (H: Hemolyis, EL: Elevated Liver enzyme, LP: Low
Platelet count).
II.I.I.2.1 PENANGANAN PEB (Preeklampsia Berat) 5,6
17
Rawat bersama dengan bagian yang terkait (penyakit dalam, penyakit mata, penyakit
syaraf, anestesi, dll.)
Perawatan Konservatif
Indikasinya: Kehamilan ≤ 37 minggu, keadaan janin baik.
Penatalaksanaan:
MgSO4 40% 8 gr i.m (4 gr i.m gluteus kiri, 4 gr i.m gluteus kanan)
Ulang tiap 4 jam: 4 gr i.m sampai 2 jam post partum atau tekanan darah
140/90mmHg.
Perawatan Aktif
Indikasinya bila didapatkan 1 atau lebih keadaan di bawah ini:
Ibu
Kehamilan ≥ 37 minggu
Adanya gejala impending eclampsy
Gagal dengan terapi konservatif
Janin
Adanya tanda-tanda gawat janin.
Laboratorium
Adanya HELLP syndrome (Hemoglobin turun, SGOT > 72 IU/L, Trombosit <
100.000/mm3)
a. Rawat dalam kamar isolasi
b. Pengobatan medikamentosa
Infus Dextrosa : Ringer Laktat = 2:1. Kurang lebih 60-100 cc/jam, maksimal 2500
cc. Botol pertama diguyur habis dalam 1 jam. Selanjutnya: 20-30 tetes/menit
tergantung urine dan insensible loss.
18
c. Pasang Dauer kateter.
d. Laboratorium: periksa hemoglobin, leukosit, differential count, urine, trombosit,
SGOT, fibrinogen, kreatinin, asam urat.
e. Pemberian MgSO4 40% 8 gr i.m (4 gr i.m gluteus kiri, 4 gr i.m gluteus kanan)
Ulang tiap 4 jam: 4 gr i.m sampai 2 jam post partum atau tekanan darah
140/90mmHg.
Syarat-syarat pemberian MgSO4:
Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10% (I gram dalam
10 cc) diberikan i.v waktu 3-5 menit.
Refleks patella (+) kuat.
Frekuensi pernafasan ≥ 16 kali per menit.
Produksi urin ≥ 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)
MgSO4 dihentikan bila:
Ada tanda-tanda intoksikasi.
Setelah 24 jam paska salin.
f. Diuretikum tidak diberikan kecuali ada:
Oedem paru
Payah jantung kongestif
Oedem anasarka
g. Antihipertensi diberikan bila:
Tekanan darah:
Sistolik ≥ 180 mmHg
Diastolik ≥ 110 mmHg
Obat-obat hipertensi yang diberikan:
19
Obat pilihan adalah hidralazin yang diberikan 5 mg i.v pelan-pelan selama 5
menit. Dosis dapat diulang dalam waktu 15-20 menit sampai tercapai tekanan
darah yang diinginkan.
Apabila hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:
o Nifedipin: 10 mg, dapat diulangi setiap 30 menit (maksimal 120 mg/24
jam) sampai terjadi penurunan tekanan darah.
o Labetalol 10 mg i.v. Apabila belum terjadi penurunan tekanan darah, maka
dapat diulangi pemberian 20 mg setelaj 10 menit, 40 mg pada 10 menit
berikutnya, diulangi 40 mg setelah 10 menit kemudian, dan sampai 80 mg
pada 10 menit berikutnya.
o Bila tidak tersedia, maka dapat diberikan: Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau air untuk suntikan. Disuntikan mula-
mula 5 cc i.v perlahan-lahan selama 5 menit. Lima menit kemudian
tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan maka diberikan lagi
sisanya 5 cc i.v selama 5 menit. Kemudian diikuti pemberian secara tetes
sebanyak 7 ampul dalam 500 cc dextrose 5% atau Martos 10. Jumlah
tetesan dititrasi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan,
yaitu penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20% dari awal.
Pemeriksaan tekanan darah dilakukan setiap 10 menit sampai tercapai
tekanan darah yang diinginkan, kemudian setiap jam sampai tekanan darah
stabil.
h. Kardiotonika
Indikasi pemberian kardiotonika adalah: bila ada tanda-tanda payah jantung dan
nadi > 120x/menit. Jenis kardiotonika yang diberikan: Cedilanid-D.
Perawatan dilakukan bersama dengan sub bagian penyakit jantung.
i. Pemeriksaan dalam dilakukan 30 menit sesudah pemberian MgSO4.
Pengelolaan Obstetrik
20
Belum Inpartu
Amniotomi sesudah pemeriksaan dalam.
Pitosin drip
Seksio bila:
o Kontraindikasi untuk pitosin drip
o 12 jam sesudah mulai amniotomi dan ptiosin drip belum masuk fase aktif
o Ada indikasi dari ibu dan anak
Sudah Inpartu
Kala I
o Fase laten: Amniotomi + tetes pitosin dengan syarat skor Bishop ≥ 6.
o Fase aktif: Amniotomi, bila his tidak adekuat, diberikan tetes pitosin.
Kala 2 dipersingkat dengan vakum ekstraksi (tidak boleh dilakukan bila ada gawat janin)
Seksio sesaria dilakukan atas indikasi ibu dan anak.
II.1.V. Eklampsia
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas
yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelainan neurologik)
dan/atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala preeklampsia. 6,7
Jenis Eklampsia 8,9
Menurut saat terjadinya, eklampsi terbagi 3:
- Eklampsi antepartum: eklampsi yang terjadi sebelum persalinan
- Eklampsi intrapartum: eklampsi yang terjadi sewaktu persalinan
- Eklampsi postpartum: eklampsi yang terjadi setelah persalinan
o Segera: terjadi setelah 24 jam-48 jam post partum
21
o Tertunda: terjadi setelah 48 jam – 6 minggu post partum
Eklampsia Post partum
Menurut Lubarsky, dari 334 kasus eklampsia. Terdapat 56% pada Kasus eklampsia post
partum tertunda. Pada study yang lain, menurut chames terdapat 79% pada kasus eklampsia
post partum terlambat.
Gejala sakit kepala adalah gejala yang sering dialami oleh pasien eklampsia postpartum
disertai dengan gejala prodormal lainnya.
II.1.2.1. Patofisiologi.6,7
Sama dengan pre-eklampsia dengan akibat yang lebih serius pada organ-organ hati,
ginjal, otak, paru-paru dan jantung yakni terjadi nekrosis dan perdarahan pada organ-
organ tersebut.
II.1.2.2. Gejala Klinis6,7
1. Kehamilan lebih 20 minggu atau persalinan atau masa nifas
2. Tanda-tanda pre eklampsia (hipertensi, edema dan proteinuria)
3. Kejang-kejang dan/atau koma
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual yang
hebat, nyeri epigastrium, dan hiperreflexia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak
segera diobati, akan timbul kejang.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni :
1. Stadium Invasi (tingkat awal atau aura)
Mula-mula gerakan kejang dimulai pada daerah sekitar mulut dan gerakan-
22
gerakan kecil pada wajah. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata dan
tangan bergetar. Setelah beberapa detik seluruh tubuh menegang dan kepala berputar
ke kanan dan ke kiri. Hal ini berlangsung selama sekitar 30 detik.
2. Stadium kejang tonik
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki
membengkok ke dalam, pernafasan berhenti, muka mulai kelihatan sianosis, dan lidah
dapat tergigit. Stadium ini berlangsung kira-kira 20-30 detik.
3. Stadium kejang klonik
Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi berulang-ulang dalam tempo
yang cepat. Mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa, lidah dapat tergigit,
mata melotot, muka kelihatan kongesti, dan sianotik. Kejang klonik ini dapat
demikian hebatnya hingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Setelah
berlangsung selama 1-2 menit, kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar,
menarik nafas seperti mendengkur.
4. Stadium koma
Koma berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Secara perlahan-lahan
penderita mulai sadar kembali. Kadang-kadang antara kesadaran timbul serangan baru
dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma. Selama serangan tekanan darah
meninggi, nadi cepat dan suhu naik sampai 40°C.
4. Kadang-kadang disertai gangguan fungsi organ.
II.1.2.3. Pemeriksaan penunjang dan diagnosis
1. Berdasarkan gejala klinis di atas
2. Pemeriksaan laboratorium
- Adanya protein dalam urin
- Fungsi organ hepar, ginjal, dan jantung
- Fungsi hematologi / hemostasis.
23
II.1.2.4. Diagnosis banding
Diagnosa eklamsi umumnya tidak mengalami kesukaran dengan adanya tanda dan
gejala pre eklamsi yang disusul oleh serangan kejang seperti telah diuraikan, maka
diagnosa eklamsi sudah tidak diragukan, walaupun demikian eklamsi harus dibedakan:
a. Epilepsi, dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau hamil
muda dan tanda pre eklamsi tidak tampak.
b. Kejang karena obat anestesi, Apabila obat anestesi lokal disuntikkan ke dalam
vena,kejang baru timbul
c. Koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis,
dan lain-lain.
II.1.2.5. Penatalaksanaan6,7,8,10
Tujuan pengobatan :
1. Untuk menghentikan dan mencegah kejang.
2. Mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis
3. Sebagai penunjang untuk mencapai stabilisasi keadaan ibu seoptimal mungkin
4. Mengakhiri kehamilan dengan trauma ibu seminimal mungkin.
Dasar-dasar pengelolaan eklampsia :
1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada ibu.
2. Selalu diingat ABC (Airway, Breathing, Circulation).
3. Pastikan jalan nafas atas tetap terbuka .
4. Mengatasi dan mencegah kejang.
24
Sama seperti pengobatan pre eklampsia berat kecuali bila timbul kejang-kejang
lagi maka dapat diberikan MgSO4 2 gram intravenous selama 2 menit minimal 20
menit setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan 2 gram hanya diberikan 1 kali
saja. Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan
amobarbital / thiopental 3-5 mg/kgBB/IV perlahan-lahan.
5. Koreksi hipoksemia dan asidemia.
6. Mengatasi dan mencegah kejang.
7. Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya hipertensi krisis.
8. Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang tepat.
9. Perawatan bersama : konsul bagian saraf, penyakit dalam / jantung, mata, anestesi
dan anak.
Perawatan kejang :
1. Tempatkan penderita di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu terang
(tidak perlu ditempatkan di ruangan gelap) .
2. Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat di ubah dalam posisi
Trendelenburg, dan posisi kepala lebih tinggi .
3. Rendahkan kepala kebawah : diaspirasi lendir dalam orofaring guna mencegah
aspirasi pneumonia .
4. Sisipkan sudip lidah antara lidah dan gigi rahang atas .
5. Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur.
Perawatan koma :
1. Derajad kedalaman koma diukur dengan ”Glasgow-Coma Scale”.
2. Usahakan jalan nafas atas tetap terbuka .
3. Hindari dekubitus .
4. Perhatikan nutrisi.
Pengobatan Obstetrik. 6,7,8,10
Sikap dasar pengelolaan eklampsi :
Semua kehamilan dengan eklampsi harus diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin. Berarti sikap terhadap kehamilannya adalah aktif.
25
Saat pengakhiran kehamilan, ialah bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan)
hemodinamika dan metabolisme ibu.
Stabilisasi dicapai selambat-lambatnya dalam : 4-8 jam, setelah salah satu atau lebih
keadaan seperti dibawah ini, yaitu setelah :
Pemberian obat anti kejang terakhir.
Kejang terakhir.
Pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
Penderita mulai sadar (dapat dinilai dari skor Glasgow-Coma-Scale yang meningkat
Terminasi Kehamilan :
1. Apabila pada pemeriksaan, syarat-syarat untuk mengakhiri persalinan pervaginam
dipenuhi maka persalinan tindakan dengan trauma yang minimal.
2. Apabila penderita sudah inpartu pada fase aktif, langsung dilakukan amniotomi lalu
diikuti partograf. Bila ada kemacetan dilakukan seksio sesar.
3. Tindakan seksio sesar dilakukan pada keadaan :
- Penderita belum inpartu
- Fase laten
- Gawat janin
Tindakan seksio sesar dikerjakan dengan mempertimbangkan keadaan atau kondisi ibu.8
Perawatan pasca persalinan :
a. Tetap di monitor tanda vital.
b. Pemeriksaan laboratorium lengkap 24 jam pasca persalinan
II.1.2.6. Komplikasi 6,7
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan
eklampsia.1
26
1. Solutio Plasenta .Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita
hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada per-eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia. Pada preeklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
bipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen
secara berkala.
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan
gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah
ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal
hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkanikterus
tersebut.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan
akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi
ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui
dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP. Yaitu baemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-
kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
27
II.1.2.7. Prognosis
Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia. Kriteria Eden
antara lain:
1.Koma yang lama
2.Nadi diatas 120 x/menit
3.Suhu diatas 39,4˚C atau lebih
4.Tekanan darah sistolik diatas 200 mmHg
5.Kejang lebih dari 10 kali
6.Protein lebih dari 10 gr/liter atau lebih
7.Tidak ada edema, edema menghilang
Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsia masuk ke kelas ringan
bila didaptkan 2 atau lebih dari gejala tersebut, maka prognosis ibu adalah buruk.
Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang disebabkan oleh kurang
sempurnanya pengawasan masa antenatal dan natal. Penderita eklampsia sering datang
terlambat sehingga terlambat memperoleh pengobatan yang tepat dan cepat. Biasanya
preeklampsia dan eklampsia murni tidak menyebabkan hipertensi menahun.
Maternal mortalitas pada kasus eklampsia postpartum lebih sedikit daripada
eklampsia antepartum dan eklampsia intrapartum.
II.1.2.8. Pencegahan
Upaya-upaya yang dilakukan adalah :
a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat bahwa eklampsia
bukanlah penyakit kemasukan seperti banyak yang disangka oleh masyarakat
b. Meningkatkan jumlah poliklinik pemeriksaan antenatal serta mengusahakan
28
agar semua ibu hamil memeriksakan kehamilan sejak hamil muda
c. Pelayanan kebidanan yang bermutu yaitu pada tiap-tiap pemeriksaan kehamilan
diamati tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya sedini mungkin
d. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapat pada kehamilan 37 minggu keatas apabila
setelah dirawat inap tanda-tanda tidak menghilang.
29
BAB III
KESIMPULAN
Walaupun secara klinis terdapat kasus berat, maternal mortalitas pada kasus
eklampsia postpartum lebih sedikit daripada eklampsia antepartum dan eklampsia
intrapartum. Untuk kasus fetal mortalitas juga sangat jarang dan kemungkinan gejala sama
pada toksemia preeklampsia berat. 10
Sekitar 98 % kasus terjadi pada saat 24 jam pertama post partum dan kemungkinan
juga terjadi setelah 12 minggu pertama.10
Banyak pada kasus eklampsia postpartum kemungkinan mempunyai faktor:
trombosis vena serebral primer, hipertensi maligna, epilepsi dan lain-lain. Padahal yang
sebenarnya terjadi pada kasus eklampsia post partum tertunda adalah kasus eklampsia dimana
terjadi setelah melahirkan plasenta yg meningkatkan resiko pada ini.10
Kemungkinan kasus eklampsia post partum bukti bahwa terjadi toksemia pada
proses kehamilan. Eklampsia post partum juga kemungkinan besar terjadi pada gemelli.
Kejadian tersebut kemungkinan terjadi setelah 24 jam pasca melahirkan plasenta.10
DAFTAR PUSTAKA
30
1. Pritchard, MacDonald, Gant. 1985. ”Hypertensive disorders in pregnancy” in
“Williams obstetrics.”, Connecticut, United States : Appleton-Century-Crofts. Page 525-
60.
2. Salgas Gestosis POGI. Panduan Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia.
Ed. 1985.
3. Murah Manoe, Syahrul Rauf, Hendrie Usmany. 1999. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Obstetri dan Ginekologi. Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, Rumah Sakit Umum Pusat, dr. Wahidin Sudirohusodo,
Makassar.
4. John Rambulangi. http://209.85.175.104/search?q=cache:9IpP62CgTToJ: www.
kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_139_kebidanan_dan_penyakit_kandungan.pdf+peran+mgs
o4+dalam+preeklampsia&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id. Diambil tanggal 28-5-2013
5. Ketut Sudhaberata. 2001. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10_Penanganan
PreeklampsiaBerat.pdf/10_PenangananPreeklampsiaBerat.html. Diambil tanggal 29-5-
2013
6. Johanes C. Mose. 2005. Managemen preeklamsi dan eklamsi. In: Presentasi Pedoman
pengelolaan hipertensi dalam kehamilan di Indonesia. Himpunan kedokteran feto
maternal POGI.
7. Cunningham, Leveno, Bloom. 2009. Obstetri Williams Volume 2. Penerbit Buku
Kedokteran. Edisi 23. Jakarta
8. Chesley LC, Tepper I. Plasma levels of magnesium attained in magnesium sulfate
therapy for pre-eclampsia and eclampsia. Surg Clin North Am 1957; 37: 353-67.
www.ncbi.nlm.nih.gov. Diambil tanggal 31-5-2013.
9. Alsafi Zain, Anthony Imudia. Delayed Postpartum Preeclampsia and Eclampsia.
American College of Obstetricians and Gynecologists 2011;5: 1102-1107.
www.ncbi.nlm.nih.gov. diambil tanggal 2-8-2013
10. Campbell William. Post-Partum Eclampsia.Obstetric Surgeon Belfast City Hospital
Gyncologist. 2007:5. www.ncbi.nlm.nih.gov. diambil tanggal 14-8-2013
31
top related