referat orthopedi
Post on 07-Aug-2015
233 Views
Preview:
TRANSCRIPT
OSTEOPOROSIS
A. STRUKTUR TULANG
Secara garis besar tulang dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks
(kompak) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar
kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan
bagian dalamnya adalah tulang trabekular yang tersusun seperti bunga karang
(Buckwalter, 1995; Riis, 1996).
Tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka,
mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang tinggi dan mampu
menahan tekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran yang berat.
Tulang korteks terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami
mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan permukaan tulang. Tulang
korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas dan vertebra. Tulang
spongiosa atau canselous atau trabekular mempunyai elastisitasnya lebih kecil
dari tulang korteks, mengalami proses resorpsi lebih cepat dibandingkan
dengan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan
epifisis tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek (Buckwalter,
1995; Cusharon, 1998).
Secara makroskopis tulang dibedakan menjadi tulang woven dan
tulang berlapis lamellar. Tulang woven adalah bentuk tulang yang paling awal
pada embrio dan selama pertumbuhannya terdiri dari jaringan kolagen
berbentuk ireguler. Setelah dewasa tulang woven diganti oleh tulang berlapis
yang terdiri dari tulang korteks dan trabekular (Lane, 2001; Rachman, 2006).
Korteks tulang tersusun seperti osteon, yaitu lapisan konsentris dari tulang
yang dikelilingi oleh kanal dengan panjang > 2 mm dan lebar 2 mm dimana
didalamnya terdapat osteosit dan pembuluh darah untuk nutrisi. Trabekular
tulang terdiri dari unit tulang struktural. Pada kedua tempat ini yaitu bagian
trabekular tulang dan permukaan dalam korteks tulang merupakan bagian
yang rentan terhadap pengeroposan tulang (Lane, 2001; Rachman, 2006).
Terdapat sistem havers yang merupakan susunan melingkar berbentuk
silinder yang dihubungkan oleh saluran havers. Saluran ini berisi kapiler,
arteriola, venula, nervi dan limfe. Tulang mendapat nutrisi melalui sirkulasi
intraoseus (Buckwalter,1995; Compston, 2001).
Selama perkembangannya tulang membutuhkan kalsium yang tinggi
dan setelah mencapai masa pubertas kematangan hormon estrogen pada
wanita da kematangan hormon testoteron pada laki-laki, karena pengaruh
anabolik dan prekusor estrogen terjadilah proses remodeling tulang.
Keterlambatan dan kegagalan pembentukan gonad (sindroma Turner,
sindroma Klinefelter), faktor nutrisi dan aktifitas fisik berat terutama saat
puber sebelum menarche (atlit berperestasi merupakan faktor yang
menyebabkan tidak tercapai puncak massa tulang dan ancaman terjadinya
osteoporosis dini) (Rachman, 2006).
B. FISIOLOGI TULANG
Tulang rangka tubuh manusia terdiri tulang kortikal 70-80% dan
tulang trabekular 20-30%. Pada keadaan normal tulang rangka, sebanyak 25%
volume tulang anatomi yang spesifik sebagai jaringan tulang. Dan 75 %
merupakan sumsum tulang (bone marrow) dan lemak, tetapi ini sangat
bervariasi tergantung sebagaimana besar tulang skeletonnya. Pada jaring
tulang yang spesifik, hanya 60% berupa mineral tulang dan 40% merupakan
jaringan organik, berupa kolagen. Sumsum tulang mengandung stroma,
jaringan mieloid, sel lemak, pembuluh darah, sinusoid, dan beberapa jaringan
limfe.
Jaringan tulang sangat kompleks, aktifitas metabolisme aktif pada
tulang pada proses mineralisasi yang terdiri dari komposisi esensial, yaitu
garam kalsium dan fosfat. Garam tersebut merupakan 2/3 bagian dari berat
tulang kering dan merupakan unsur yang paling banyak kalsium dan fosfat
dari seluruh tubuh. Integritas tulang dipertahankan oleh kompartement
ekstraselular calsium.
Tubuh mengandung 1000 gram ( 2500 mmol) Kalsium, terdiri dari 9
gram ( 225 mmol ) berada di jaringan lunak, 1 gram ( 25 mmol) berada di
cairan ekstraseluler dan sisanya berada pada jaringan tulang.
Aktivitas sel sel tulang yaitu resorpsi dan pembentukan dikendalikan
oleh faktor sistemik, salah satu faktor sistemik tersebut adalah 1,25
dihydroksivitamin D. Selain vitamin D, faktor sistemik lain adalah hormon
paratiroid (PTH ), kalsitonin, insulin, estrogen/androgen, hormon
pertumbuhan dan hormon tiroid. Semua faktor tersebut saling terkait dalam
proses metabolisme tulang.
Tulang secara fisiologis memiliki 3 fungsi utama yaitu sebagai fungsi
metabolik dan fungsi mekanik serta fungsi hemopoetik. Fungsi metabolik
menyediakan cadangan ion seperti calsium, fosfat dan magnesium sedangkan
fungsi mekanik melindungi organ-organ vital, tempat melekatnya otot dan
menunjang gerak tubuh serta menjadi “pembungkus” sumsum tulang. Sebagai
fungsi hemopoetik, sumsum tulang juga merupakan tempat asal utama limfosit
manusia dan ada bukti untuk sel prekursor sama dari kedua sistem hemopoetik
dan limfoid. Stem sel hemopoetik juga membentuk osteoklas yang merupakan
bagian sistem fagosit monosit dan berfungsi sebagai resorpsi tulang. Proses
pembentukan tulang terdiri dari dua tahap yaitu modeling dan remodeling
tulang sebagai berikut (Hoffbrand, 1996, Buckwalter, 2000; Soeatmadji, 2002;
Compston, 2001; Canalis, 2005; Rachman, 2006)
Modeling
Modeling tulang adalah suatu proses untuk mencapai bentuk dan
ukuran yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan tulang.
Pembentukan tulang panjang terjadi melalui mekanisme pergeseran tulang
endokondrial pada tulang panjang dan pergeseran pada tulang apendikular.
Hal ini merupakan perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi
kondroblas selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan
sebagai dasar dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks
ekstraseluler, berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor
osteoklas dan prekursor osteoblas. Kalsifikasi tulang rawan disebut the
primary spongiosum bone dan untuk tulang yang terletak di antara jaringan
disebut the secondary spongiosum bone yang
nantinya dikenal sebagai woven bone (Compston, 2001; Rachman, 2006).
Remodeling
Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar),
tulang terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi yang
dikenal sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan
pembentukan kembali tulang atau remodeling tulang adalah untuk mereparasi
kerusakan tulang akibat kelelahan atau fatigue damage, mencegah proses
ketuaan atau aging dan akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh
sel osteoblas dan osteoklas yang tersusun dalam struktur yang disebut “bone
remodeling unit” (BRU). BRU merupakan suatu struktur temporer yang unik
aktif saat modeling dan remodeling. Struktur dari BRU terdiri dari osteoklas
didepan diikuti oleh osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah terdapat
kapiler, jaringan syaraf dan jaringan ikat. Panjang BRU 1-2 mm dengan lebar
0,24 mm bekerja memahat tulang, meresorpsi tulang dan membentuk tulang
baru. Pada orang dewasa sehat diperkirakan 1 juta BRU aktif bekerja
sedangkan 2-3 juta BRU dalam keadaan non aktif. BRU bekerja pada tulang
kortikal maupun trabekular (Compston, 2001; Canalis, 2005; Rachman, 2006).
C. DEFINISI OSTEOPOROSIS
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National
Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai
penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength
sehingga tulang mudah patah. Menurut WHO (1994), osteoporosis adalah
suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya
perubahan mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya
kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang serta risiko terjadinya
patah tulang. (Karolina, 2009)
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit
degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem
muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-
negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada survey kependudukan tahun
1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai
9,2%, meningkat 50% dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian,
kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan
juga akan meningkat.
Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak massa
tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang
pasca menopause adalah 1,4%/tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik
Reumatologi RSCM mendapatkan faktor risiko osteoporosis yang meliputi
umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor
proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat berat badan
lebih/obesitas dan latihan yang teratur.
Berbagai problem yang cukup prinsipil masih harus dihadapi oleh
Indoneisa dalam penatalaksanaan osteoporosis yang optimal, seperti tidak
meratanya alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya
pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan standar untuk
osteoporosis di Indonesia. (Setiyohadi, 2007)
D. FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS
Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial.
Umur merupakan salah satu faktor risiko yang terpenting yang tidak
tergantung pada densitas tulang. Setiap peningkatan umur 1 dekade setara
dengan peningkatan risiko osteoporosis 1,4-1,8 kali. Ras kulit putih dan
wanita juga merupakan faktor risiko osteoporosis. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan gangguan pencapaian puncak massa tulang juga
merupakan faktor risiko osteoporosis, seperti sindrom Klinefelter, sindrom
Turner, tetapi glukokortikoid jangka panjang dan dosis tinggi, hipertiroidisme
atau defisiensi hormon pertumbuhan. Pubertas terlambat, anoreksia nervosa
dan kegiatan fisik yang berlebihan yang menyebabkan amenore juga
berhubungan erat dengan puncak massa tulang yang tidakmaksimal.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga merupakan faktor risiko osteoporosis,
oleh sebab itu harus diperhatikan masalah ini pada penduduk yang tinggal di
daerah 4 musim. Selain kalsium dan vitamin D, defisiensi protein dan vitamin
K juga berhubungan dengan osteoporosis. Faktor hormonal juga berperan
pada pertumbuhan tulang, termasuk hormon seks gonadal androgen adrenal
(dehidroepiandrosteron dan androstenedion). Aspek hormonal lain yang
berperan pada peningkatan massa tulang adalah IGF-1, 1,25(OH)2D,
reabsorbsifosfat anorganik di tubulus dan peningkatan fosfat serum. Faktor
hormonal yang berhubungan dengan kehilangan massa tulang adalah
hiperkortisolisme, hipertiroidisme dan hiperparatiroidisme. Faktor lain yang
juga berhubungan dengan osteoporosis adalah merokok dan konsumsi alkohol
yang berlebihan.
Aspek skeletal yang harus diperhatikan sebagai faktor risiko
osteoporosis adalah densitas massa tulang, ukuran tulang, makro- dan
mikroarsitektur tulang, derajat mineralisasi dan kualitas kolagen tulang.
Selain faktor risiko osteoporosis, maka risiko terjatuh juga harus
diperhatikan karena terjatuh berhubungan erat dengan fraktur osteoporotik.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan risiko terjatuh adalah usia tua,
ketidakseimbangan, penyakit kronik seperti sakit jantung, gangguan
neuroligik, gangguan penglihatan, lantai yang licin dan sebagainya.
(Setiyohadi, 2007)
E. KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS
Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer
(involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah
osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis
sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940-
an, Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada patogenesis
osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi
osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II.
1. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pasca menopause, dapat
terjadi pada dewasa muda dan usia tua, baik pria maupun wanita.
Osteoporosis tipe I berkaitan dengan perubahan hormon setelah
menopouse. Pada osteoporosis tipe ini terjadi penipisan bagian keras
tulang paling luar (korteks) dan perluasan rongga tulang (trabekula)
2. Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh
gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan
hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis.
Osteoporosis jenis ini banyak terjadi pada usia di atas 70 tahun. (Karolina,
2009)
Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol
pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada
osteoporosis tipe II juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhirnya pada
tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan
mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada
timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis.
Sementara osteoporosis sekunder disebabkan berbagai penyakit tulang (kronik
rheumatoid arthritis, tbc spondilitis, osteomalacia, dll) pengobatan
menggunakan kortikosteroid untuk waktu yang lama, astronot tanpa gaya
berat, paralise otot, tidak bergerak untuk periode waktu yang lama, hipertiroid,
dll.
Peran Estrogen pada Tulang
Struktur estrogen vetebrata terdiri dari 18 karbon dengan 4 cincin.
Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu estron (E1), 17β-estradiol
(E2), estriol (E3). Selain itu juga terdapat jenis-jenis estrogen lain, seperti
estrogen dari tumbuh-tumbuhan (fitoestrogen), estrogen sintetik (misal
etinilestradiol, dietilstilbestrol, klomifen sitrat), xenobiotik (DDT, bifonel dll).
Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal sebagai anti-estrogen, tetapi pada
organ nonreproduktif bersifat estrogenik; struktur ini disebut selective
estrogen receptor modulators (SERMs).
Estrogen yang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol.
Estron juga dihasilkan oleh tubuh manusia, tetapi terutama berasal dari luar
ovarium, yaitu dari konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol
merupakan estrogen yang terutama didapatkan di dalam urin, berasal dari
hiroksilasi-16 estron dan estradiol. Estrogen berperan pada pertumbuhan tanda
seks sekunder wanita dan menyebabkan pertumbuhan uterus, penebalan
mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan saluran-saluran
pada payudara. Selain itu estrogen juga mempengaruhi profil lipid dan endotel
pembuluh darah, hati, tulang, susunan saraf pusat, sistem imun, sistem
kardiovaskular dan sistem gastrointestinal.
Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER), yaitu
reseptor estrogen-α (ERα) dan reseptor estrogen-β (ERβ). ERa dikode oleh
gen yang terletak di kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino, sedangkan
ERβm dikode oleh gen yang terletak di kromosom 14 dan terdiri dari 530
asam amino. Sampai saat ini, fungsi ERb belum diketahui secara pasti. Selain
itu, distribusi kedua reseptor ini bervariasi pada berbagai jaringan, misal di
otak, ovarium, uterus dan prostat. Reseptor estrogen juga diekspresikan oleh
berbagai sel tulang, termasuk osteoblas. Laki-laki dengan osteoporosis
idiopatik mengekspresikan mRNA ERα yang rendah pada osteoblas maupun
osteosit. Delesi ERa pada tikus jantan dan betina menyebabkan penurunan
densitas tulang, sedangkan perusakan gen ERβ pada wanita ternyata
meningkatan bone mineral content (BMC) tulang kortikal walaupun pada
tikus tidak memberikan perubahan pada tulang kortikal maupun trabekular.
Delesi gen ERα dan ERβ juga menurunkan kadar IGF-1 serum.
Tabel. Distribusi Reseptor Estrogen pada Sel-sel Tulang
Sel Tulang Reseptor Estrogen
Osteoblas
Osteosit
Bone marrow stromal cells
Osteoklas
Kondrosit
ERα dan ERβ
ERα dan ERβ
ERα dan ERβ
ERα dan ERβ
ERα dan ERβ
Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang
yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang.
Efek tak langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan
homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus,
modulasi 1,25(OH)2D, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid
(PTH).
Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek. Efek-efek
ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh
osteoklas. (Setiyohadi, 2007)
F. PENDEKATAN KLINIS OSTEOPOROSIS
Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan
yang sistematis, terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder.
Sebagaimana penyakit lain, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang.
Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi pasien
osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah
kepada diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, bowing
leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari
pada hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh
pendek, nyeri tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal,
kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik.
Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma
minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya
paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfot dan vitamin D, latihan yang
teratur yang bersifat weight-bearing.
Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus
diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon steroid, antikonvulsan, heparin,
antasid yang mengandung alumunium, sodium fluorida dan bifosfonat
etidronat.
Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko osteoporosis.
Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan
osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan
insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopouse,
penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan, karena ada
beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter.
Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap pasien
osteoporosis. Demikin juga gaya berjalan pasien, deformitas tulang, leg-length
inequality, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid).
Sklera yang biru biasanya terdapat pada pasien osteogenesis
imperfekta. Pasien ini biasanya juga akan mengalami ketulian, hiperlaksitas
ligamen dan hipermobilitas sendi dan kelainan gigi. Cafe-au-lait spots
biasanya didapatkan pada sindrom McCune-Albrigt. Pada anak-anak dengan
vitamin D-dependent rickets tipe II, sering didapatkan alopesia, baik total atau
hanya berambut jarang.
Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat mengarahkan ke
diagnosis, seperti perawakan pendek, kraniotabes, parietal pipih, penonjolan
sendiri kostokondral (rashitic rosary), bowing deformity tulang-tulang panjang
dan kelainan gigi.
Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal, yang berupa tetani.
Biasanya akan didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi MCP dan
ekstensi sendi IP. Pada keadaan yang laten, akan didapatkan tanda hovstek dan
Trosseau.
Pada pasien hipoparatiroidisme idiopatik, pemeriksa harus mencari
tanda-tanda sindrom kegagalan poliglandular, seperti kandidiasis
mukokutaneus kronik, penyakit Adison, alopesia, kegagalan ovarium
prematur, diabetes melitus, tiroiditis otoimun, dan anemia pernisiosa. Pada
pasien hiperparatiroidisme primer dapat ditemukan band keratoplasty akibat
deposisi kalsium fosfat pada tepi limbik kornea.
Pasien dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau
gibbus (Dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga
didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang
tipis (tanda McConkey). (Setiyohadi, 2007)
G. PATOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS
Mekanisme dasar kerapuhan tulang
Kerapuhan tulang terjadi karena suatu keadaan yaitu ( Raisz, 2005) :
1. Kegagalan memproduksi massa dan kekuatan tulang secara optimal
selama pertumbuhan atau non optimal peak bone mass.
2. Resorpsi tulang yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya densitas
tulang dan kerusakan mikroarsitektur dari sistem skeleton.
3. Berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon peningkatan resorpsi
selama remodeling tulang
Semua bagian tubuh berubah seiring bertambahnya usia, begitu pula
dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir hinggga mencapai usia dewasa atau
kira-kira 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang
hilang, namun setelah 30 tahun situasi terbalik jaringan tulang yang hilang
lebih (Lane, 2001). Kekuatan tulang berasal dari dua sumber yaitu bagian luar
yang padat (korteks) yang beratnya 80% dari massa tulang dan bagian dalam
yang halus seperti spons yang disebut trabekular 20% dari massa tulang dan
jaringan dasar tulang mengandung sel-sel tulang (osteosit) yang terdiri dari
osteoklas (penghancur) dan osteoblas (pembentuk) (Gomez,2006 dan Roesma
2006)
Siklus resobrsi dan pembentukan tulang terjadi sepanjang hidup, pada
masak anak-anak pembentukan tulang lebih banyak daripada proses resobrso
tulang, namun keadaan ini menurun secara bertahap selama masa dewasa
muda dan pada usia 25-35 tahun kedua proses ini berada dalam keseimbangan,
sampai akhirnya proses resorbsi lebih banyak daripada pembentukan tulang,
yang biasanya dimulai pada usia 35 tahun sehingga secara bertahap jaringan
tulang akan menghilang bersamaan dengan kandungan mineralnya (kalsium)
terutama pada bagian trabekular (Gomez,2006)
Pada wanita menopause tingkat estrogen turun sehingga siklus
remodeling tulang berubah dan penguran jaringan tulang dimulai karena salah
satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang
normal, sehingga ketika estrogen turun tingkat resobsi tulang menjadi lebih
tinggi daripada formasi tulang yang mengakibatkan berkurangnya massa
tulang (Lane, 2001)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa tulang sangat
tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas massa tulang spinal lebih dari
50% belum memberikan gambaran radiologik yang spesifik. Selain itu teknik
dan tingginya kilovoltage juga memengaruhi hasil pemeriksaan radiologik
tulang.
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada
tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.
(Setiyohadi, 2007)
I. PENCEGAHAN
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk pencegahan terjadinya osteoporosis
adalah:
1. Peningkatan peak bone mass (umur 0 – 35 tahun)
a. Masukan kalsium yang adekuat
b. Latihan yang cukup
c. Hindari merokok
d. Pengobatan defisiensi estrogen sesegera mungkin
e. Hindari pengobatan kortison jika mungkin
2. Pencegahan kehilangan tulang saat menopause
a. Terapi sulih hormon estrogen (gold standar)
b. Masukan kalsium yang adekuat. (UNSRI)
J. TERAPI
Osteoporosis bersifat multifaktorial sehingga penanganannya pun
sangat komplek. Terapi untuk osteoporosis difokuskan tidak hanya untuk
menghambat resorpsi tulang atau merangsang pembentukan tulang. Tidak
kalah penting untuk mengurangi risiko terjatuh.
Beberapa RCT dilaksanakan lebih dari 10 tahun telah membantu
mengarahkan terapi farmakologi, yang juga meliputi intervensi non-
farmakologi yang sebaiknya direkomendasikan pada semua pasien.
Penghambat resorpsi tulang meliputi estrogen, kalsitonin,
bisphosphonate dan kalsium. Estrogen memperlambat bone loss pada
menopause. Estrogen juga meningkatkan massa tulang pada wanita dengan
osteoporosis dan mungkin efektif digunakan pada wanita usia 65 – 70 tahun.
Namun harus mempertimbangkan efek sampingnya. Sementara HRT lebih
disarankan.
Osteoporosis sekunder sebaiknya jika memungkinkan diterapi sesuai
dengan penyebabnya. Asupan kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 800
IU/hari, aktifitas fisik ≥30 menit minimal 3 kali dalam seminggu, menghindari
merokok dan konsumsi alkohol juga telah dibuktikan mampu mencegah
osteoporosis.
Latihan dan Program Rehabilitasi
Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi pasien
osteoporosis karena dengan latihan yang teratur, pasien akan menjadi lebih
lincah, tangkas, dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain
itu latihan juga akan mencegah perburuhkan osteoporosis karena terdapat
rangsangan biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling
tulang.
Pada pasien yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan
adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah
osteoporosis, maka latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian
ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan beban yang adekuat.
Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan alat bantu
(ortosis), misalnya korset lumbal untuk pasien yang mengalami fraktur korpus
vertebra, tongkat atau alat bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua
yang terganggu keseimbangannya.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah mencegah risiko terjatuh,
misalnya menghindari lantai atau alas kaki yang licin; pemakaian tongkat atau
rel pegangan tangan, terutama di kamar mandi atau kakus, perbaikan
penglihatan, misalnya memperbaiki penerangan, mengggunakan kacamata dan
lain sebagainya. Pada umumnya fraktur pada pasien osteoporosis disebabkan
oleh terjatuh dan risiko terjatuh yang paling sering justru terjadi dalam rumah.
Vitamin D
Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg
kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur
nonspinal sampai 50% (Dawson-Hughjes, 1997). Vitamin D diindikasikan
pada orang-orang tua yang tinggal di Panti Werda yang kurang terpapar sinar
matahari, tetapi tidak diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar
sinar matahari. (Setiyohadi, 2007)
Kalsium
Asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih rendah dari
kebutuhan kalsium yang direkomendasikan oleh Institute of Medicine,
National Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai
monoterapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur pada pasien
osteoporosis. Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena
mengandung kalsium elemen 400mg/gr, disusul Kalsium fosfat yang
mengandung kalsium elemen 230 mg/gr, kalsium sitrat yang mengandung
kalsium elemen 211 mg/gr, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen
130 mg/gr, dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemen 90 mg/gr.
Pembedahan
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur
terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada
terapi bedah pasien osteoporosis adalah:
1. Pasien osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan
tindakan bedah, sebaiknya segera dilakukan, sehingga dapat dihindari
imobilisasi lama dan komplikasi fraktur lebih lanjut.
2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil,
sehingga mobilisasi pasien dapat dilakukan sedini mungkin.
3. Asupan kalsium tetap harus diperhatikan pada pasien yang
menjalani tindakan bedah, sehinggal mineralisasi kalus menjadi
sempurna.
4. Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan
medikamentosa osteoporosis dengan bisfosfonat, atau raloksifen, atau
terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin, tetap harus diberikan.
OSTEOARTRITIS
A. Definisi
Osteoartritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti
tulang, arthro yang berarti sendi, dan itis yang berarti inflamasi meskipun
sebenarnya. penderita osteoartritis tidak mengalami inflamasi atau hanya
mengalami inflamasi ringan. Osteoartritis (OA) adalah penyakit degeneratif
sendi yang bersifat kronik, berjalan progresif lambat, seringkali tidak
meradang atau hanya menyebabkan inflamasi ringan, dan ditandai dengan
adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi serta pembentukan tulang baru pada
permukaan sendi (Koentjoro, 2010).
B. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyakit tersering yang menyebabakan
timbulnya nyeri dan disabilitas (hambatan) gerakan pada populasi usia lanjut.
OA merupakan kelainan yang mengenai berbagai ras dan kedua jenis kelamin.
Pria dan wanita memiliki kesempatan yang sama untuk terkena OA, namun
pada wanita biasanya sendi yang terkena lebih banyak. Seiring dengan
bertambahnya usia, insidens OA juga semakin bertambah. Di Indonesia,
prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-
60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun.5 Untuk osteoarthritis lutut
prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita
(Koentjoro, 2010)
C. Faktor risiko
Hal-hal yang dapat menjadi faktor risiko timbulnya OA antara lain (Soeroso,
2006) :
a. Trauma, yaitu patah tulang yang mengenai permukaan sendi.
b. Pekerjaan yang menimbulkan beban berulang pada sendi.
c. Obesitas, yang menyebabkan peningkatan beban pada sendi, terutama
sendi lutut.
d. Riwayat OA pada keluarga.
e. Densitas (kepadatan) tulang yang rendah
D. Gejala Klinis
Gambaran klinis osteoarthritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama
apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri yang dirasakan adalah
nyeri tumpul. Nyeri tumpul ini dapat berkurang bila pasien beristirahat. Nyeri
merupakan keluhan utama tersering dari pasien-pasien dengan OA yang
ditimbulkan oleh kelainan seperti tulang, membran sinovial, kapsul fibrosa,
dan spasme otot-otot di sekeliling sendi. Nyeri awalnya tumpul kemudian
semakin berat, hilang timbul, dan diperberat oleh aktivitas gerak sendi
(Soeroso, 2006).
Kekakuan pada kapsul sendi dapat menyebabkan kontraktur
(tertariknya) sendi dan menyebabkan terbatasnya gerakan. Kekakuan sendi
juga dapat terjadi jika sendi tersebut tidak digerakkan, namun kekakuan ini
akan menghilang setelah sendi digerakkan kembali. Kekakuan ini bisa terjadi
di pagi hari yang biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila
dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh
arthritis rematoid. Spasme otot atau tekanan pada saraf di daerah sendi yang
terganggu adalah sumber nyeri (Price&Wilson, 2006).
Perlahan-lahan sendi akan bertambah kaku.Sendi akan terlihat
membengkak karena adanya penumpukan cairan di dalam sendi.
Pembengkakan ini terlihat lebih menonjol karena pengecilan otot sekitarnya
yang diakibatkan karena otot menjadi jarang digunakan (Soeroso, 2006).
Gambar 1. Gambaran Peradangan Osteoartritis
Gejala klinis lainnya adalah keterbatasan dalam gerakan (terutama
tidak dapat berekstensi penuh), nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar
sendi, efusi sendi yang minimal, dan krepitasi (Price&Wilson, 2006).
Gambar 2. Gambaran Osteoarthritis Lanjut
E. Patofisiologi dan Patogenesis
degenerasi matriks Chondroitin matriks sintesis
Sitokin Chondroitin Chondroitin
IGF-1
Enzim TGF-β
Nitric Oxide Genetic Growth
Hormon
CSFs
Keterangan :
IGF-1 : Insulin like Growth Factor
TGF-β : Transforming Growth Factor
CSFs : Coloni Stimulating Factor
Berdasarkan patogenesisnya, OA diklasifikasikan menjadi 2, yaitu OA
primer dan OA sekunder. Osteoarthritis primer disebut juga OA idiopatik
yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan
penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Sedangkan OA
sekunder merupakan OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin,
inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta
imobilisasi yang terlalu lama. Osteoarthritis primer lebih sering ditemukan
disbanding OA sekunder (Soeroso et al., 2006).
Patofisiologi OA mulanya ditandai dengan fase hipertofi kartilago yang
berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks
makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair).
Osteoarthritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi,
remodeling, tulang dan inflamasi cairan sendi.
Beberapa studi membuktikan bahwa ternyata rawan sendi dapat
melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami replikasi dan
memproduksi matriks baru. Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu
komunikasi antar-sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensintesis
asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen serta proteoglikan.
Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth hormone (IGF-
1), growth hormone, transforming growth factor β (TGF-β) dan coloni
stimulating factors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang
peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi,
sel menjadi kurang sensitive terhadap efek IGF-1.
Faktor pertumbuhan TGF-β mempunyai efek multiple pada matriks
kartilago yaitu merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan
stromelisin, yaitu enzim yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan
produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan melawan efek inhibisi sintesis PGE2
oleh interleukin-1 (IL-1). Hormon lain yang mempengaruhi sintesis komponen
kartilago adalah testosterone, β-estradiol, platelet derivate growth factor
(PDGF), fibroblast growth factor dan kalsitonin.
Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolism
rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini
cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta
mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi.
Perbandingan rata-rata antara sintesis dan pemecahan matriks rawan sendi
pada pasien OA kenyataannya lebih rendah disbanding normal, yaitu 0,29
dibanding 1.
Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas
fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan
terjadinya penumpukan thrombus dan komplek lipid pada pembuluh darah
subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
subkondral tersebut. Hal tersebut menyebabkan dilepaskannya mediator
kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan
bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf
sensible yang dapat menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat
juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan
prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendo atau
ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang
berlebihan. Rasa nyeri pada sendi juga disebabkan oleh adanya osteofit yang
menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta
kenaikan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses
remodeling pada trabekula dan subkondrial.
Peran makrofag di dalam cairan sendi juga berperan penting, yaitu apabila
dirangsang oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau
CSFs, akan memproduksi sitokin activator plasminogen (PA) yang disebut
katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1,IL-6, TNF α dan β, dan interferon
(IFN) α dan τ. Sitokin-sitokin ini akan merangsang kondrosit melalui reseptor
permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan
mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara
langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya.
Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi.
Interleukin-1 mempunyai efek multiple pada sel cairan sendi, yaitu
meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin
dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondrosit.
Pada percobaan menggunakan binatang, ternyata pemberian human
recombinant IL-1a sebesar 0,01 ng dapat menghambat sintesis
glukoaminoglikan sebanyak 50% pada hewan normal. Kondrosit pasien OA
mempunyai reseptor IL-1 dua kali lipat lebih banyak dibanding individu
normal dan kondrosit sendiri dapat memproduksi IL-1 secara lokal.
Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang
berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang
degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan
merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan
individu normal pada umur yang sama. Percobaan pada Kelinci membuktikan
bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi setelah 10 hari perangsangan dan
kembali normal setelah 3-4 minggu.
F. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap
Osteoarthritis adalah gangguan arthritis lokal, sehingga tidak ada
pemeriksaan darah khusus untuk menegakkan diagnosis. Uji
laboratorium hanya dipakai untuk menyingkirkan bentuk-bentuk
arthritis lainnya. Faktor rheumatoid bisa ditemukan dalam serum,
karena faktor ini meningkat secara normal pada peningkatan usia. Laju
endap darah eritrosit mungkin akan sedikit meningkat apabila ada
sinovitis yang luas(Soeroso, 2006).
b. Pemeriksaan radiologi
Ciri khas yang sering terlihat pada gambaran radiologram
osteoarthritis adalah penyempitan ruang sendi. Keadaan ini terjadi
akibat menyusutnya tulang rawan sendi. Pada sendi lutut, penyempitan
ruang sendi dapat terjadi pada salah satu kompartemen saja.
Disamping ditemukan penyempitan sendi, peningkatan densitas tulang
di sekitar sendi juga dapat terjadi. Osteofit (spur) dapat terlihat pada
aspek marginal dari sendi. Kadangkala terlihat perubahan-perubahan
kistik dalam berbagai ukuran (Soeroso, 2006).
G. Penatalaksanaan
Tatalaksana terhadap OA secara umum dapat dibedakan menjadi
tatalaksanan non bedah dan bedah. Tatalaksana non bedah berupa obat-
obatan, perubahan pola diet, fisioterapi, serta modifikasi aktivitas. Terapi
obat-obatan berupa antinflamsi non steroid merupakan penatalaksanaan
utama pada OA (Soeroso, 2006).
Pengobatan ini selain membantu menghilangkan gejala nyeri juga
dapat mencegah perburukan yang dapat terjadi. Injeksi kortikosteroid pada
sendi dapat mengurangi nyeri untuk sementara, namun injeksi ini tidak
boleh sering diulang karena merupakan dapat menyebabkan destruksi
tulang. Fisioterapi bertujuan untuk memelihara mobilitas sendi dan
meningkatkan kekuatan otot. Memperkuat otot-otot di sekitar sendi dapat
memberikan efek proteksi terhadap sendi yang terserang OA dengan
meningkatkan penyerapan tekanan dan mengurangi beban terhadap sendi
(Soeroso, 2006).
Latihan yang dilakukan dapat berupa gerakan aerobik, namun tetap
menghindari aktivitas yang memberatkan sendi. Latihan secara teratur
dapat berguna dalam menurunkan berat badan yang pada akhirnya
membantu perbaikan OA, mengingat obesitas merupakan salah satu faktor
risiko OA.Terapi operatif pada pasien OA diindikasikan apabila
penatalaksanaan secara konservatif tidak memberikan hasil yang adekuat
berupa peningkatan fungsi sendi yang terkena serta adanya kelainan yang
progresif (Soeroso, 2006).
Debridement (pembersihan) sendi efektif dalam mencegah atau
menunda tindakan operatif. Sendi seperti sendi lutut cocok apabila
dilakukan debridement menggunakan alat yang disebut artroskopi.
Artroplasti atau prostatic joint replacement (penggantian sendi)
merupakan tindakan pembuangan sendi yang dan membuat sendi palsu
yang dapat terbuat dari plastik atau logam. Indikasi utama tindakan ini
adalah adanya nyeri, terutama yang disertai deformitas dan instabilitas.
Terapi ini memberikan hasil yang baik pada pasien-pasien OA yang berat
dan tidak dapat ditangani dengan terapi konservatif. Artrodesis atau
penggabungan sendi merupakan tindakan yang menghilangkan nyeri sendi
secara permanen namun menyebabkan hilangnya fungsi pergerakan
(Soeroso, 2006).
Tindakan ini lebih sering dilakukan pada sendi-sendi kecil seperti
sendi tangan, sedangkan bila dilakukan pada sendi-sendi besar seperti
sendi lutut atau sendi panggul umumnya memberikan hasil yang kurang
baik. Tindakan ini hanya dilakukan bila tindakan artroplasti tidak dapat
dilakukan karena alasan tertentu; atau untuk menyelamatkan artroplasti
yang gagal (Soeroso, 2006).
DISLOKASI
I. Pengertian
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkoknya.
Bila hanya sebagian yang bergeser disebut subluksasi dan bila seluruhnya
disebut dislokasi.
II. Diagnosa umum dislokasi:
- Anamnesis:
Persendiannya lepas/keluar dari tempatnya
Nyeri
Spasme otot
Gangguan fungsi- Pemeriksaan Fisik:
Swelling/pembengkakan
Deformitas: angulasi, rotasi, kehilangan bentuk yang normal,
pemendekan
Gerakan yang abnormal
Nyeri setempat
Dislokasi Shoulder/Bahu
a. Definisi
Dislokasi shoulder adalah pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral,
berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi
posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior). Sendi Bahu merupakan salah
satu sendi besar yang paling sering berdislokasi.Ini disebabkan karena banyaknya
rentang gerakan sendi bahu,mangkuk sendi glenoid yang dangkal serta adanya
longgarnya ligament.
1. Dislokasi Anterior
Dislokasi preglenoid subkorakoid, subklavikuler
Mekanisme trauma:
Paling sering ditemukan, jatuh dalam keadaan out stretched, trauma pada
scapula gambaran klinis nyeri hebat dengan gangguan pergerakan bahu,
kontur sendi bahu jadi rata, kaput humerus bergeser ke depan pemeriksaan
radiologist:
Kaput humerus terlihat di depan dan medial glenoid
Pengobatan:
1. dengan bius umum
Metode hipocrates: dibaringkan, tank anggota gerak, tekan kaput
humeri
Metode kocher: dilakukan tahap-tahap reposisi kocher
2. tanpa pembiusan
Teknik menggantung lengan
2. Dislokasi Posterior
Mekanisme trauma
Jarang ditemukan, trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi
interna.
Gambaran klinis
Nyeri, benjolan dibagian belakang sendi pemeriksaan radiologis
Khas: light bulb karena rotasi internal humerus
Pengobatan
Reduksi dengan menarik lengan, rotasi interna, Imobilisasi 3-6 minggu
3. Dislokasi Inferior
Kaput humerus terjepit di bawah glenoid, dengan lengan arah ke atas
pengobatan dilakukan reposisi tertutup seperti dislokasi anterior, jika gagal
dilakukan reposisi terbuka dengan operasi
4. Dislokasi dengan Fraktur
Biasanya adalah dislokasi tipe anterior dengan fraktur
Pengobatan
Dilakukan reposisi pada dislokasi maka fraktur akan tereposisi dan kembali
melekat pada humerus
b. Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong
kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-
kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat
mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta [dengan tangan
mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah
karakoid
c. Indikasi Operasi
Dislokasi bahu yang tidak berhasil direduksi secara tertutup dan dislokasi yang
sudah neglected lebih dari 2 minggu.
d. Komplikasi reduksi tertutup pada dislokasi bahu akut
Kerusakan nervus aksilaris
Kerusakan pembuluh darah
Tidak dapat tereposisi
Kaku sendi
Dislokasi rekuren, dilakukan tindakan operasi Putti-platt, Bristow dan
bankart
Perawatan Pasca reduksi tertutup
Imobilisasi dengan verban Velpeau atau collar cuff selama 3 minggu
Follow up
Pengawasan posisi ekstremitas atas dalam posisi fleksi, adduksi dan
internal rotasi untuk dislokasi bahu anterior dan ekstensi, abduksi, dan
eksternal rotasi untuk yang tipe posterior. Daerah lipatan aksilla harus
diperhatikan terjadinya mycosis, dan kondisi yang lembab harus
dihindarkan dan diatasi. Latihan isometrik segera dilakukan dan latihan
isotonik setelah 3 minggu.
e. Kontra indikasi operasi
Berhubung dengan kondisi medis/cedera penyerta yang tidak memungkinkan
dilakukan tindakan pembiusan
f. Diagnosis Banding
1. dislokasi akromioklavikula
2. fraktur klavikula
3. firaktur kolumna humeri
4. traktur humerus proksimal
g. Pemeriksaan penunjang
Rontgen foto (X-ray)
Sinar –X pada bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang
tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa Glenoid,Kaput biasanya terletak di
bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi.
h. Komplikasi
Komplikasi Dini
- Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang
mati rasa pada otot tesebut.
- Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.
Komplikasi lanjut
- Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu ,terutama pada pasien yang
berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral ,yang secara
otomatis membatasi Abduksi
- Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau
kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
- kelemahan otot
Dislokasi sendi panggul
Dislokasi sendi panggul merupakan suatu trauma yang hebat
apalagi dengan meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan
dislokasi sendi panggul sering ditemukan.
Dislokasi sendi panggul dibagi menjadi dalam tiga jenis :
a. Dislokasi posterior atau dislokasi posterior disertai adanya fraktur
Mekanisme trauma
Kaput femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui
suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi
panggul dalam posisi fleksi atau semifleksi. Trauma biasanya terjadi
karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam
keadaan fleksi dan menabrak dengan keras bagian depan lutut.
Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor. Lima
puuh persen dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum
dengan fragmen kecil atau besar.
Klasifikasi
Klasifikasi menurut Thompson Epstein 1973 , klasifikasi ini penting
untuk rencana pengobatan.
1) Tipe I; dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang
kecil
2) Tipe II; dislokasi dengan fragmen tunggal yang besar pada bagian
posterior acetabulum
3) Tipe III; dislokasidengan fraktur bibir acetabulum yang kominutif
4) Tipe IV; dislokasi dengan fraktur dasar acetabulum
5) Tipe V; dislokasi dengan fraktur caput os femur
Gambaran klinis
Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat
disertai nyeri dan deformitas pada daerah sendi panggul. Sendi
panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi abduksi, fleksi
dan rotasi interna. Terdapat pemendekan anggota gerak bawah.
Pemeriksaan radiologi
Dengan sinar-x akan diketahui jenis dislokasi dan apakah
dislokasi disertai fraktur atau tidak. Pemeriksaan radiografi
menunjukkan caput os femur berada di atas acetabulum.
Pengobatan
Dislokasi harus direposisi secepatnya dengan pembiusan
umum disertai relaksasi yang cukup. Penderita dibaringkan dengan
pembantu menahan panggul. Sendi panggul difleksikan serta lutut
difleksikan 900 dan kemudian dilakukan penarikan pada paha secara
vertikal. Setelah direposisi, stabilitas sendi diperiksa apakah sendi
panggul dapat didislokasi dengan cara menggerakkan secara vertikal
pada sendi panggul.
Pada tipe II setelah reposisi, maka fragmen yang besar
difiksasi dengan screw secara operasi. Pada tipe III biasanya
dilakukan reduksi tertutup dan apabila ada fragmen yang terjebak
dalam acetabulum dikeluarkan melalui tindakan operasi. Tipe IV dan
V juga dilakukan reduksi secara tertutup dan apabila bagian fragmen
yang lepas tak tereposisi maka harus dilakukan reposisi dengan
operasi.
Perawatan pasca reposisi
Traksi kulit selama 4-6 minggu, setelah itu tidak
menginjakkan kaki dengan jalan mempergunakan tongkat selama 3
bulan.
Komplikasi
1) Dini
a) Kerusakan nervus sciatic; biasanya dapat mengalami
pemulihan. Apabila terdapat lesi sesudah reposisi, maka perlu
dilakukan eksplorasi saraf.
b) Kerusakan pada caput femur; sewaktu dislokasi sering caput
femur berbenturan dengan acetabulum hingga pecah.
c) Kerusakan pada pembuluh darah; pembuluh darah yang biasa
mengalami robekan adalah arteri gluteus superior. Bila
terdapat kecurigaan terhadap robekan pembuluh darah perlu
dilakukan arteriogram
d) Fraktur diafisis femur
2) Lanjut
a) Nekrosis avaskuler; sebanyak 10% dari seluruh dislokasi
panggul mengalami kerusakan pembuluh darah. Apabila
reposisi ditunda sampai beberapa jam, maka insidensnya
akan meningkat menjadi 40%. Kelainan ini biasanya
dideteksi setelah enam bulan sampai 2 tahun dan dengan
pemeriksaan radiologist ditemukan fragmentasi, sklerosis dan
pembentukan kista.
b) Miositis osifikans
c) Dislokasi yang tidak dapat direduksi. Apabila reduksi
tertunda untuk beberapa hari biasanya reposisi dengan cara
manipulasi sulit dilakukan.
d) Osteoarthritis; terjadi karena adanya kerusakan tulang rawan,
terdapat fragmen fraktur dalam ruang sendi atau adanya
nekrosis iskemik caput femur.
b. Dislokasi Anterior
Mekanisme trauma
Dislokasi anterior dapat terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas,
terjatuh dari ketinggian atau trauma dari belakang pada saat
berjongkok dan posisi penderita dalam keadaan abduksi yang
dipaksakan. Trochanter menabrak acetabulum dan keluar melalui
robekan pada kapsul anterior. Bila sendi panggul dalam keadan
fleksi, maka terjadi dislokasi tipe obturator dan bila sendi panggul
dalam posisi ekstensi maka terjadi dislokasi tipe pubic atau iliaca.
Gambaran klinis
Tungkai bawah dalam keadaan rotasi eksterna, abduksi dan
sedikit fleksi. Tungkai tidak mengalami pemendekan karena
perlekatan musculus rectus femoris mencegah caput femur bergeser
ke proksimal. Terdapat benjolan di depan daerah inguinal, dimana
caput femur dapat diraba dengan mudah. Sendi panggul sulit
digerakan.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan menunjukkan caput os femur berada di bawah
acetabulum pada region foramen obturator, foto oblik dapat
menunjukkan bahwa letak caput os femur berada di anterior.
Pengobatan
Dilakukan reposisi seperti pada dislokasi posterior, kecuali
pada saat fleksi dan tarikan tungkai pada dislokasi posterior,
dilakukan adduksi pada dislokasi anterior.
Komplikasi
Komplikasi yang sering didapatkan adalah nekrosis avaskuler.
c. Dislokasi Sentral
Mekanisme trauma
Terjadi apabila caput os femur terdorong ke dinding medial
acetabulum pada rongga panggul. Namun kapsul tetap utuh. Fraktur
acetabulum terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh
dari ketinggian pada satu sisi atau suatu tekanan yang melalui femur
dimana panggul dalam keadaan abduksi.
Gambaran klinis
Didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai
bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada daerah
trochanter. Gerakan sendi panggul sangat terbatas.
Pemeriksaan radiologis
Dengan pemeriksaan radiologis dapat diketahui adanya
pergeseran dari caput femur menembus panggul.
Pengobatan
Selalu diusahakan untuk mereposisi fraktur dan
mengembalikan bentuk acetabulum ke bentuk normalnya. Pada
fraktur acetabulum tanpa penonjolan caput femur ke dalam panggul,
maka dilakukan terapi konservatif dengan traksi tulang selama 4-6
minggu. Pada fraktur dimana caput femur tembus ke dalam
acetabulum, sebaiknya dilakukan traksi pada 2 komponen yaitu
komponen longitudinal dan lateral selama 6 minggu dan
diperbolehkan untuk berjalan dengan menggunakan penopang berat
badan.
Komplikasi
1) Kerusakan alat-alat dalam panggul yang dapat terjadi bersama-
sama fraktur panggul
2) Kaku sendi merupakan komplikasi lanjut
3) Osteoartritis
DAFTAR PUSTAKA
Compston JE, 2001. Sex Steroid and Bone. In: Physiological reviews. The
american physiology society: p. 419-46
Canalis E, 2005. The Fate of Circulating Osteoblast. N Engl J Med (35)2: p. 19
Perhimpunan Osteoporosis Indonesia. Indomedika: p. 1-16
Buckwalter JA, Glinicher MJ, Cooper RR, Recher R, 1995. Bone biology. J.Bone
Joint Surg; 77(8): p.1256-72
Cusharon, 1998. Basic Sciences. Electronic Textbook: www.worldortho.com
Darmawan. Ed.2. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: hal. 180-5
Gomes J (2006). Osteoporosis dan bahaya pengeroposan tulang. Jakarta Arcan
Hoffbrand A.V, Pettit J.E, 1996. Essential Haematology; alih bahasa, Iyan
Karolina, Maha S. 2009. Hubungan Pengetahuan dan Pencegahan Osteoporosis
yang Dilakukan Lansia di Kecamatan Medan Selayang. FK USU.
Lane,N (2001). Osteoporosis : Patofisiologis. Jakarta. Raja Grafindo Persada
Osteoporosis. edisi I. Editor: Suherman SK, Tobing S Dohar AL.
Rachman IA, 2006. Osteoporosis primer (Post menopause osteoporosis). In:
Raisz LG, 2005. Pathogenesis of osteoporosis concepts, conflicts and prospects.
J.Clin Invest; 115 (12): p. 3318-25
Riis BJ, 1996. The role of bone turnover in pathophysiology of osteoporosis. Br J
Obstet Gynecol. 103 (13): p. 9-15
Setiyohadi, Bambang. 2007. Osteoporosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
EGC: Jakarta
UNSRI. OSTEOPOROSIS : SUATU PROBLEMATIK PADA MASA
KLIMAKTERIUM DAN MENOPAUSE. Diakses pada tanggal 10 Feb. 12
melalui http://digilib.unsri.ac.id
Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003.
Makasar
http://bedahunmuh.wordpress.com/2010/05/20/dislokasi-bahu-akut/
http://dislokasisendibahu.blogspot.com/2011/04/dislokasi-pada-sendi-bahu.html
http://herdinrusli.wordpress.com/2009/03/06/fisioterapi-pada-dislokasi-shoulder-
anterior/
http://www.emedicinehealth.com/shoulder_dislocation/article_em.htm
Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. In: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia; 2006. p. 1195-201.
Koentjoro, S.L. 2010. Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan
Derajat Osteoartritis Lutut menurut Kellgren dan Lawrence. Skripsi. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
top related