staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/pramita.gayatri/...agus firmansyah konas vii pghnai...
Post on 31-Dec-2019
48 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Agus Firmansyah
KONAS VII PGHNAI 1 Manado, 17-19 Maret 2017
PERAN USUS DALAM TUMBUH-KEMBANG DAN KESEHATAN ANAK
Agus Firmansyah
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSCM Jakarta
Pendahuluan
Proses tumbuh kembang anak memerlukan fungsi usus yang baik.
Tumbuh kembang anak yang baik tentu akan menjamin terpeliharanya
kesehatan anak. Usus tidak bekerja sendiri, tetapi berkaitan dengan organ
lain yang tergabung dalam sistem pencernaan. Mulut dengan geliginya,
pankreas dengan jaringan eksokrinnya dan hati sebagai produsen empedu.
Yang disebut usus terbatas pada usus halus dan kolon.
Fungsi usus tidak hanya mencerna (digesti) dan menyerap (absorpsi)
nutrien, tetapi juga fungsi hormonal, imunitas dan barier. Beberapa
hormon, yang berperan dalam proses digesti maupun tidak, dihasilkan oleh
usus. Usus lahir steril dan beberapa hari kemudian dikolonisasi oleh kuman
dari ibunya, terutama Bifidobacteria dan Lactobacillus. Kolonisasi
mikrobiota pada awal kehidupan penting dalam mengembangkan sistem
imun.1 Seperti halnya saluran nafas, usus merupakan barier terdepan yang
berhadapan dengan berbagai antigen dan kuman yang masuk per oral.
Barier usus yang baik akan mencegah berbagai penyakit saluran cerna
dan alergi.2
Usus besar dihuni oleh sekitar 1012
-1014
bakteri; sebagian besar
bakteri anaerob tetapi seperseribu diantaranya merupakan bakteri Gram (-)
berpotensi patogen (oportunis). Bila integritas mukosa usus baik (barier
baik) maka bakteri dan endotoksin yang berada dalam usus tetap berada di
dalam lumen usus, tidak menembus epitel usus masuk ke sirkulasi darah
(translokasi bakteri) menyebabkan bakteriemia dan selanjutnya.3
Agus Firmansyah
KONAS VII PGHNAI 2 Manado, 17-19 Maret 2017
Struktur usus
Dinding usus merupakan barier anatomis dan imunologis, terbentuk dari
selapis epitel yang berasal dari sel punca di kripta usus. Mukosa usus
terdiri dari lapisan epitel (enterosit) dan lamina propria. Sel punca asal
kripta akan bermigrasi ke arah apex dan berkembang menjadi enterosit
absorptif, sel goblet, sel enteroendokrin dan sel panet. Di bawah mukosa
usus terdapat jaringan submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan
pertama yang mencegah translokasi bakteri adalah lapisan mukus yang
terbentang melapisi permukaan enterosit.4
Kecukupan asupan makanan
Fungsi usus yang baik siap berfungsi mencerna dan menyerap makanan.
Asupan makanan sangat penting pada awal kehidupan sejak 0 sampai 24
bulan untuk mencegah gangguan gizi. Pada enam bulan pertama berilah
ASI eksklusif. Bila karena suatu alasan tidak bisa diberikan ASI eksklusif,
dapat diberikan formula bayi. Tahap ini disebut sebagai fase makan cair;
tidak diperlukan makanan tambahan lain. Tahap 6-12 bulan disebut
sebagai fase transisi; mulai diperkenalkan makanan tambahan selain
ASI/formula yang konsistensinya disesuaikan secara bertahap. Fase
transisi ini sering menjadi penyebab masalah makan pada anak di
kemudian hari bila tidak berlangsung mulus, Menjelang usia satu tahun
diharapkan bayi telah makan makanan lumat atau bubur kasar. Setelah
anak berusia 1 tahun atau lebih, anak telah bisa menikmati makanan
keluarga sesuai dengan penerimaannya. Rekomendasi WHO, bayi berusia
6-23 bulan harus menerima minimum dietary diversity (MDD) dan minimal
meal frequency (MMF).5 ASI merupakan makan yang penting bagi bayi
dalam hubungannya dengan interitas mukosa usus, karena bayi
mengandung baik prebiotik maupun probiotik (sinbiotik).6
Agus Firmansyah
KONAS VII PGHNAI 3 Manado, 17-19 Maret 2017
Digesti dan absorpsi nutrien
Pencernaan merupakan proses yang kompleks, beberapa enzim terlibat
dalam proses pencernaan makanan (Tabel 1 dan 2).7
Tabel 1. Digesti enzimatik terhadap beberapa jenis makanan7
Lokasi Lipid Karbohidrat Protein
Kelenjar ludah - Amilase saliva -
Lambung Lipase gastrik - Pepsin
Pankreas Lipase
Kolipase
Fosfolipase
Kolesterol-esterase
Amilase Tripsin
Kimotripsin
Elastase
Karboksipeptidase
Hati (asam empedu) - -
Usus halus - Sukrase
Laktase
Maltase
Enterokinase
Endopeptidase
Oligopeptidase
Dipeptidilpeptidase
Tabel 2. Enzim pankreas yang terkait digesti7
Enzim Fungsi
Enterokinase Mengubah tripsinogen menjadi tripsin di duodenum
Enzim proteolitik:
Tripsinogen (tripsin)
Kimotripsinogen (kimotripsin)
Karbokjsipeptidase, Elastase
Tripsin dan kimotripsin memecah protein menjadi
polipeptida dan peptida; karboksipeptidase memecah
peptida menjadi asam amino
Enzim amilolitik:
Amilase
Hidrolisis pati, glikogen dan karbohidrat lain (selain
selulosa) menjadi disakarida dan trisakarida
Enzim lipolitik:
Lipase, fosfolipase A1, A2 dan
esterase
Lipase menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan
monogliserida; fosfolipase memecah asam lemak dari
fosfolipid, esterase menghidrolisis ester kolesterol.
Gangguan integritas mukosa usus
Beberapa penyakit yang langsung mengenai usus (diare, malnutrisi) atau
sistemik (alergi, renjatan) dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus
(atrofi). Atrofi usus dapat menyebabkan defisiensi laktase, insufisiensi
enzim pankreas, protein losing enteropati, translokasi bakteri dan
berkurangnya absorpsi nutrien.
Agus Firmansyah
KONAS VII PGHNAI 4 Manado, 17-19 Maret 2017
Laktase terdapat dalam brushborder vilus usus dan kadarnya tinggi
pada sepertiga puncak vilus. Bila terjadi atrofi vilus maka akan terjadi
defisiensi laktase; pada bayi dan anak yang mengkonsumsi susu akan
terjadi gejala intoleransi laktosa, berupa kembung, sering flatus, sakit perut
dan diare.8
Usus hasus memproduksi hormon yang penting dalam proses digesti,
yaitu sekretin dan kolesistokinin. Atrofi usus akan menyebabkan defisiensi
hormon tersebut dengan akibat ekskresi enzim pankreas dan empedu
berkurang; selanjutnya akan menyebabkan maldigesti makanan.9
Kerusakan mukosa usus menyebabkan kerusakan tight junction yang
merupakan perekat antar epitel usus yang penting dalam transpor molekul
antar sel. Kerusakan tight junction akan memudahkan terjadinya
translokasi bakteri dengan akibat bakteremia dan sepsis.10
Fungsi hormonal
Banyak hormon disekresi oleh sel endokrin yang terdapat di jaringan
mukosa usus dan pankreas. Gastrin, sekretin dan kolesistokinin
merupakan hormon-hormon saluran cerna yang pertama ditemukan.
Sekarang telah ditemukan lebih dari 50 gen hormon dan berbagai peptida
bioaktif; yang membuat usus merupakan organ endokrin terbesar dalam
tubuh. Beberapa hormon lain adalah somatostatin, ghrelin, bombesin, GLP
(glucagon like peptides), VIP (vasoactive intestinal peptide), neurotensin,
GIP (gastric-inhibitory polypeptidde), dan lain-lain.11
Fungsi barier
Integritas mukosa usus penting dijaga dalam rangka fungsi usus sebagai
barier. Kuman yang masuk peroral tidak menyebabkan penyakit dan
mikrobiota usus dan endotoksinnya tidak menembus mukosa usus. Untuk
mempertahankan integritas mukosa usus, beberapa mikronutrien
mempunyai peran penting regenerasi mukosa usus, antara lain Zn,
glutamin, serat pangan dan probiotik.
Zn merupakan komponen dari lebih 300 enzim; berperan dalam
proliferasi sel dan regenerasi enterosit. Interaksi antara Zn, diare dan
mnalnutrisi telah terbukti. Diare akan menyebabkan kehilangan Zn melalui
tinja; defisiensi Zn akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan imunitas
Agus Firmansyah
KONAS VII PGHNAI 5 Manado, 17-19 Maret 2017
seluler; kedua faktor tersebut menimbulkan diare berulang; dan
berlanjutnya siklus diare-malnutrisi.12
Suplementasi Zn dapat memperbaiki
pertumbuhan anak malnutrisi.13
Sayangnya Zn banyak terdapat pada
makanan asal hewan yang biasanya mahal seperti daging, ikan, dan
udang.
Suplementasi probiotik berguna dalam mempertahankan
keseimbangan mikrobiota usus. Probiotik dan prebiotik dapat
meningkatkan produksi musin, memperkuat tight junction sehingga dapat
merestorasi permeabilitas dan mencegah perlekatan bakteri patogen pada
enterosit. Peran tersebut dapat memberikan proteksi terhadap epitel
usus.14,15
Serat pangan sangat penting perannya dalam mempertahankan barier
usus. Serat tidak akan dicerna usus dan dikirim ke kolon. Mikrobiota usus
akan mengurainya menjadi beberapa komponen, antara lain short chain
fatty acid (asetat, propionat, butirat). Zat-zat tersebut merupakan nutrien
kolon dalam mempertahankan integritasnya.16
Epitel saluran cerna sangat membutuhkan nutrien dari lumen usus
untuk mempertahankan integritasnya. Glutamin dari lumen merupakan
nutrien penting untuk kehidupan enterosit. Glutamin terdapat dalam ASI.
Peran glutamin penting dalam regenerasi epitel usus pasca mengalami
kerusakan.17-19
Barier usus bisa pula dirusak oleh iskemia usus. Iskemia usus akan
menimbulkan kerusakan mukosa usus dan disbiosis; kedua perubahan
tersebut akan menyebabkan translokasxi bakteri dengan akibat sepsis.20
Agus Firmansyah
KONAS VII PGHNAI 6 Manado, 17-19 Maret 2017
Fungsi imun
Kuman yang masuk per oral akan dikontrol oleh mekanisme pertahanan
tubuh non-imunolgis, seperti peristaltik usus, asam lambung, sekret usus
(empedu, enzim dan imunoglobulin), dan mukus. Probiotik mempunyai efek
anti-infeksi seperti memproduksi bahan antimikroba, kompetisi dengan
patogen terhadap adhesi pada epitel, memperkuat tight junction,
memperbaiki permeabilitas dan motilitas usus. Probiotik melindungi usus
terhadap patogen melalui mekanisme stimulasi produksi sitokin,
meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag, meningkatkan aktivitas sel
NK (natural killer) dan meningkatkan respons antibodi spesifik terhadap
patogen.21
Gut health
Gut health merupakan obyektif baru dalam ilmu kedokteran. Banyak
penyakit di masa dewasa disebabkan oleh usus yang tidak sehat pada
masa awal kehidupan. Kesehatan usus tidak hanya bebas dari penyakit
usus, tetapi juga meliputi digesti dan absorpsi nutrien yang efektif,
mikrobiota usus yang seimbang, status imun yang efektif dan terjaminnya
rasa nyaman (ganguan fungsional usus sering menimbulkan dispepsia.22
Penutup
Sebagai rangkuman, kesehatan usus penting untuk mempertahankan
fungsi digesti-absorpsi nutrien, hormonal, barier dan perkembangan sistem
imun. Usus yang sehat menjamin tumbuh-kembang dan kesehatan anak.
Bila terjadi kerusakan pada struktur dan fungsi usus akibat penyakit, upaya
perbaikan harus segera dilakukan. Kesehatan usus yang baik di masa awal
kehidupan akan menghindari penyakit di masa dewasa.
Agus Firmansyah
KONAS VII PGHNAI 7 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Isolauri E, Sutas Y, Kankaanpaa P, Arvilommi H, Salminen S.
Probiotics: efects on immunity. Am J Clin Nutr. 2001;73:444-50.
2. Rao RK, Polk DB, Seth A, Yan F. Probiotics the good neighbor:
guarding the gut mucosal barrier. Am J Infec Dis. 2009;5:182-92.
3. Mizock BA. Probiotics. Disease-a-month 2015;21:259-90.
4. Sherman MP. New concept of microbial translocation in the neonatal
intestine: mechanisms and prevention. Clin Perinatol. 2010;37:565-79.
5. WHO. Indicators for assesing infant and young child feeding practice.
Conclusions of a consensus meeting held on 6-8 November 2007 in
Washington DC, USA.
6. Lara-Villoslada F, Olivares M, Sierra S, Rodriguez JM, Boza J.
Beneficial effects of probiotic bacteria isolated from breastmilk. Brit J
Nutr. 2007;98:96-100.
7. Roxas M. The role of enzyme supplementation in degestive disorders.
Altern Med Rev. 2008;13:307-14.
8. Heyman MB. Lactose intolerance in infants, children and adolescent.
Pediatrics 2006;118:1279-86.
9. Sikkens ECM, Cahen DL, Kulpers EJ, Bruno MJ., Pancreatic enzyme
replacemant therapy in chronic pancreatitis. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2010;24:337-47.
10. Grootjans J, Thuils G, Verdam F, derikx JP, lenaerts K, Buurman WA.
Non-invasive assessment of barrier integrity and function of the human
gut. World J Gastroenterol Surg. 2010;2:61-9.
11. Rao JN, Wang JY. Peptide growth factor in GI mucosal growth. San
Rafaei, Morgan & Claypool Life Science, 2010.
12. de Quieroz CAA, Fonseca SGC, Frota FB, Figueiredo IL, Aragazo KS,
Magalhaes CEC, et al. Zinc treatment ameliroates diarrhea and
intestinal inflammation. BMC Gastroenterol. 2014;136:1-14.
13. Umeta M, Rst CE, Haidar J, Deurenberg, Hautvast JG. Zinc
supplementation and stunted infants in Ethiopia: a randomized
controlled trial. Lancet 2000;355:2021-6.
Agus Firmansyah
KONAS VII PGHNAI 8 Manado, 17-19 Maret 2017
14. Ohland CL, Macnaughton WK. Probiotic bacteria and intestinal epitel
barrier function. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2010;298:807-
10.
15. Murguia-Peniche T, Mihatsch WA, Zegarra J, Supapannachart S, Ding
ZY, Neu J. Intestinal mucosal defence system.Part 2. Probiotics and
prebiotics. J Pediatr. 2013;162:65-71.
16. Anderson JW, Baird P, Davis RH, Ferreri S, Knudtson M, Korarym A, et
al. Health benefits of dietary fiber. Nutr Rev. 2009;67:188-205.
17. Roediger WEW. Metabolic basis of starvation diarrhea: implication for
treatment. Lancet 1986;i:1082-4.
18. Firmasyah A, Penn D, Lebenyhal E. Isolated colonocyte metabolism of
glucose, glutamine, n-butyrate, and ß-hydroxybutyrate in malnutrition.
Gastroenterology 1989;97:622-9.
19. Higashiguchi T, Hasselgren PO, Wagner K, Fischer JE. Effect of
glutamine on protein synthesis in isolated intestinal epithelial cells. J
Parenter Enteral Nutr. 1993;17:307-14.
20. Deitch EA. Gut-origin sepsis: evolution of a concept., Surgeon
2012;10;350-6.
21. Gilolo HS, Probiotics to enhance anti-infective defences in the
gastrointinal tract. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2003;17:755-73.
22. Bischoff SC. Gut health: a new objective in medicine? BMC Medicine
2011;9:1-14.
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 9 Manado, 17-19 Maret 2017
THE EVIDENCE OF ZINC IN REDUCING THE PREVALENCE OF
DIARRHEA
I Putu Gede Karyana, I Gusti Ngurah Sanjaya Putra,
Ni Nyoman Metriani Nesa
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Diare akut masih menjadi penyebab utama kematian anak meskipun
keberhasilan upaya rehidrasi oral (URO) tak terbantahkan. Di seluruh
dunia, penyakit diare merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak, dengan 1,5 miliar episode dan diperkirakan 1,5-2,5
juta kematian setiap tahunnya pada anak-anak di bawah usia lima tahun.1,2
Di negara-negara berkembang, catatannya lebih buruk karena infeksi,
kekurangan gizi, dan buta huruf. Insiden diare di Indonesia cenderung
meningkat. Pada tahun 2000 insiden penyakit diare 301/1000 penduduk,
tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi
423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Studi
Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa
diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia.
Peningkatan kematian akibat diare adalah terutama terkait dengan
tatalaksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan.
Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tatalaksana yang cepat
dan tepat.3
Penggunaan larutan rehidrasi oral (oralit) menyelamatkan
nyawa anak-anak, tetapi tampaknya tidak memiliki efek pada pengurangan
lama diare pada anak.
Oleh karena itu, rekomendasi baru telah dirumuskan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF, bekerja sama dengan United
States Agency for International Development (USAID) dan ahli lainnya
pada tahun 2004. Rekomendasi penggunaan zink bersama dengan oralit
osmolaritas rendah (dengan pengurangan kadar glukosa dan garam)
selama diare akut, mampu mengurangi durasi dan keparahan episode
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 10 Manado, 17-19 Maret 2017
diare. Suplemen zink diberikan selama 10-14 hari menurunkan kejadian
diare untuk dua sampai tiga bulan berikutnya.4
Meskipun terbukti bemanfaat, ada sedikit hambatan pada pengenalan
luas oralit osmolaritas rendah dan zink untuk pengobatan diare. Banyak
negara telah mengubah kebijakan tatalaksana diare untuk menyertakan
oralit osmolaritas rendah dan zink, tetapi ada kesenjangan antara
perubahan kebijakan dan pelaksanaan program yang efektif, dengan
sangat sedikit anak-anak yang saat ini sedang diobati dengan tepat.5
Mekanisme Kerja Zink pada Diare
Efek fisiologis zink pada transport ion di usus belum jelas secara
menyeluruh. Dalam penelitian in-vitro dengan ileum tikus yang telah
dipublikasi didapatkan bahwa zink menghambat induksi cAMP dan sekresi
cairan tergantung klorida dengan menghambat saluran kalium (K)
basolateral. Penelitian ini juga menunjukkan spesifisitas dari Zn terhadap
saluran saluran K diaktivasi cAMP. Zink tidak menghambat saluran K
dimediasi kalsium (Ca). Penelitian ini tidak dilakukan pada hewan dengan
defisiensi Zn, ini membuktikan bahwa Zn mungkin efektif tanpa adanya
defisiensi Zn.6,7
Zink juga meningkatkan penyerapan air dan elektrolit,
regenerasi epitel usus, kadar enzim brush border, dan respon imun, yang
memungkinkan clearance yang lebih baik terhadap patogen.8 Laporan lain
memberikan bukti bahwa zink menghambat toksin kolera, tetapi tidak
toksin heat-stable dari Escherichia coli. Sekresi ion diinduksi oleh
enterotoksin dalam kultur sel Caco-2.9 Dengan demikian, zink berperan
penting dalam modulasi pertahanan inang terhadap agen infeksi dan
mengurangi risiko, tingkat keparahan, dan durasi diare. Zink juga
memainkan peran penting dalam metallo-enzim, polyribosome, dan fungsi
membran sel dan sel sendiri, sehingga memberikan keyakinan bahwa zink
memainkan peran sentral dalam pertumbuhan sel dan fungsi sistem
kekebalan tubuh. 10
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 11 Manado, 17-19 Maret 2017
Farmakokinetik Zink pada Diare11
Penyerapan
Berat molekul zink elemental adalah 65,37 dan zinc sulfat adalah 287,5.
Setiap gram zink sulfat merupakan 3,5 milimol Zn. Kelarutannya adalah 1
dalam 0,6 ml air dan tidak larut dalam alkohol. Zink dan garamnya kurang
diserap (hanya 20 sampai 30%) di duodenum dan ileum. Zink endogen
diserap kembali di ileum dan kolon, menciptakan sirkulasi enterohepatik.
Distribusi
Setelah penyerapan zink terikat oleh protein metallothionein dalam usus.
Zink didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, kemudian disimpan
dalam sel darah merah, leukosit, otot, tulang, kulit, ginjal, hati, pankreas,
retina, dan prostat. Luasnya pengikatan adalah 60-70% pada albumin
plasma, 30-40% pada alpha 2 macroglobulins, dan 1% pada asam amino
seperti histidin dan sistein. Konsentrasi zink plasma tertinggi adalah dalam
dua jam setelah dikonsumsi.
Eliminasi
Zink diekskresi terutama dalam feses (90%) dan hanya sebagian kecil
ditemukan dalam urin. Sepertinya ginjal memainkan peran kecil dalam
mengatur zink tubuh.
Suplemen Zink Mengurangi Keparahan dan Durasi Diare
Sebuah penelitian menguji hipotesis bahwa suplementasi harian zink
memiliki efek pada perjalanan klinis diare akut pada 117 anak-anak, usia 6-
59 bulan. Paramameter yang dinilai adalah frekuensi tinja, jumlah tinja, dan
durasi diare. Pengurangan frekuensi tinja per hari didapatkan 62% pada
kelompok dengan suplementasi zinc dan pengurangan 26% didapatkan
pada kelompok plasebo. Perbedaan yang jelas 36% antara dua kelompok
dari hari pertama sampai hari ke-3 dan hari ke-5 menjadi signifikan secara
statistik. Demikian pula, perbedaan yang signifikan didapatkan dalam
pengurangan jumlah tinja per hari dari hari pertama sampai hari ke-3 dan
hari ke-5 dengan perbedaan 45% antara kedua kelompok.12
Sebuah meta-analisis dari 12 penelitian mengamati dampak suplemen
zink pada tatalaksana diare akut, 11 di antaranya menunjukkan
pengurangan durasi episode diare. Delapan dari penilitian tersebut,
didapatkan pengurangan signifikan secara statistik. Lima dari penelitian ini
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 12 Manado, 17-19 Maret 2017
juga mengumpulkan data volume tinja dan frekuensi defekasi, dan
menemukan bahwa suplemen zink mengurangi volume tinja dan frekuensi
defekasi. Data menunjukkan bahwa suplementasi zink memiliki dampak
yang signifikan dan menguntungkan pada perjalanan klinis diare akut,
mengurangi baik durasi dan tingkat keparahan.3
Meta-analisis lain dari 18 penelitian oleh Lazzerini dkk., dengan
melibatkan 6165 partisipan menunjukkan bahwa pada diare akut, zink
mengurangi durasi diare, baik mengurangi diare kurang dari tiga hari, diare
kurang dari lima hari, maupun diare kurang dari tujuh hari. Zink juga
mengurangi durasi diare persisten. Beberapa penelitian melaporkan tingkat
keparahan diare, tetapi hasilnya tidak konsisten.13
Hasil sebuah kajian sistematik oleh Patel dkk. menunjukkan bahwa
suplemen zink mengurangi durasi rata-rata diare akut sekitar 20%, dan
diare persisten sebesar 15-30%, tetapi tidak memiliki efek yang signifikan
pada frekuensi atau volume tinja. Ada tingkat heterogenitas yang tinggi
signifikan secara statistik di seluruh penelitian untuk efek suplementasi zink
pada rerata durasi diare dan risiko muntah setelah pemberian zink.14
Suplementasi Zink dalam Pencegahan dari Diare Akut dan Persisten
Beberapa penelitian yang mengevaluasi efek dari suplementasi zink pada
penyakit diare menemukan bahwa zink mempunyai efek pencegahan yang
cukup bertahan lama. Satu penelitian komunitas di Bangladesh yang
melibatkan 8070 anak 3-59 bulan mengamati efek preventif suplementasi
zink. Pada penelitian dengan cluster randomized comparison tersebut
dilakukan pengamatan selama 2 tahun. Hasil dari penelitian tersebut
didapatkan zink mampu mengurangi lama diare (hazard ratio 0,76, IK
95%, 0,65-0,90), insiden diare (rate ratio 0,85, IK 95%, 0,76-0,96),
kejadian masuk rumah sakit (rate ratio 0,76, IK 95%, 0,59-0,89), angka
kematian (rate ratio 0,49, IK 95%, 0,25-0,49) dan mencegah diare untuk 2-
3 bulan berikutnya.15
Badan Kesehatan Sedunia (WHO) dan UNICEF
kemudian merekomendasikan suplementasi zink 20 mg per hari, selama
10-14 hari, untuk anak dengan diare, dan 10 mg per hari pada bayi
dibawah usia enam bulan, untuk mengurangi tinggat keparahan diare dan
mencegah kejadian diare 2-3 bulan setelah kejadian diare.
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 13 Manado, 17-19 Maret 2017
Suplementasi Zink pada Pengobatan Diare Persisten
Sebuah penelitian randomized controlled trial (RCT) mengevaluasi efek
dari pemberian suplementasi zink oral pada 40 bayi (usia 6-18 bulan)
dengan diare persisten (durasi lebih dari dua minggu). Penelitian ini
menyimpulkan bahwa pada diare persisten terjadi deplesi dari zink seiring
dengan berjalannya penyakit, dan pemberian suplementasi zink oral
memperbaiki status zink dari bayi. 16
Sebuah analisis gabungan dari empat RCT melaporkan tentang efek
dari suplementasi zink oral pada anak dibawah usia lima tahun dengan
diare persisten. Analisa Cox survival regression digunakan untuk
mengevaluasi efek zink pada diare berkelanjutan. Suplementasi zink pada
anak dengan diare persisten mempunyai kemungkinan lebih rendah 24%
untuk terjadi diare berkelanjutan dan rerata gagal terapi atau kematian
lebih rendah 42% dari pada grup kontrol.17
Suplementasi Zink pada Pengobatan dan Pencegahan terhadap Diare
Berdarah
Penelitian yang dilakukan pada shigelosis akut menunjukan bahwa terapi
zink berhubungan dengan peningkatan respon antibodi terhadap antigen
spesifik. Kadar titer antibodi baktericidal terhadap Shigella meningkatkan
proporsi dari sel limfosit B dan sel plasma, dan juga terjadi respon
proliferasi limfosit yan glebih tinggi pada sirkulasi perifer, selama fase
konvalesen awal dari shigelosis. Semua ini menjadikan alasan yang jelas
untuk pemberian suplemetnasi zink sebagai terapi tambahan selain terapi
antibiotik pada diare berdarah. 18
Suplemetasi Zink dan Cost-effectiveness
Sebuah penelitian menganalisa biaya tambahan, efek, dan cost-
effectiveness biaya ketika zink diberikan sebagai terapi tambahan dari
terapi standar pada anak dengan diare, termasuk disentri, dan menaksir
cost-effectiveness kembali manajemen standar diare dengan
menggunakan oralit. Analisis kemungkinan cost-effectiveness dilakukan
dengan menggunakan tehnik simulasi Monte-Carlo dan hal yang
mempengaruhi parameter tunggal dieksplorasi dengan menggunakan One-
way sensitivity analyses. Pada penelitian ini, cairan oralit memiliki cost-
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 14 Manado, 17-19 Maret 2017
effectiveness yang lebih rendah. Penggunaan zink sebagai terapi
tambahan, secara signifikan meningkatkan cost-effectiveness dari
tatalaksana standar dari diare baik untuk disentri maupun penyakit selain
disentri.19
Suplemetasi Zink dan Penggunaan Antibiotik yang Irasional
Penggunaan antibiotik pada diare adalah salah satu faktor penyumbang
terbesar terjadinya resistensi antibiotik pada negara berkembang. Pada
sebuah penelitian pada daerah rural di Bangladesh menemukan bahwa
26% dari obat-obatan yang paling sering dibeli adalah antibiotik, dimana
pembelian obat tersering untuk anak pada usia 0-4 tahun adalah untuk
mengobati diare. Sebuah penelitian berbasis komunitas (Community-
based controlled trial) yang dilakukan di Bangladesh di 30 daerah di sekitar
Matlab Treatment Center, dengan jumlah anak pada setiap daerah sekitar
200 anak berusia antara 3 hingga 59 bulan, setiap area secara acak
dilakukan intervensi dan kontrol. Setiap anak dengan usia 3 hingga 59
bulan dimasukan dalam penelitian. Penurunan penggunaan antibiotik
secara signifikan tampak pada grup intervensi yang menunjukkan bahwa
keuntungan suplementasi zink dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada anak. Suplementasi zink untuk diare dengan program
edukasi selain dengan terapi rehidrasi oral, dapat menurunkan
penggunaan antibiotik yang tidak diperlukan yang dapat menyebabkan
resistensi.20
Dosis dan Lama Pemberian Zink pada Diare
Zink elemental digunakan secara oral sebagai tambahan terapi rehidrasi
oral pada diare akut. Untuk bayi usia kurang dari 6 bulan: 10 mg per hari
selama 10-14 hari; dan pada anak-anak (6 bulan-5 tahun): 20 mg per hari
selama 10-14 hari. 21
Sebuah penelitian mengamati apakah terapi zink selama 5-hari atau
10-hari sama ampuh mencegah diare pada 3 bulan berikutnya di antara
anak-anak Bangladesh. Penelitian tersebut merupakan suatu randomized,
double-blind placebo controlled trial di daerah rural pada anak-anak usia
4-59 bulan. Luaran yang diamati setelah pemberian 5-hari atau 10-hari
terapi zink pada diare akut adalah kejadian dan durasi diare selama 90 hari
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 15 Manado, 17-19 Maret 2017
berikutnya. Anak-anak (n=1.622) dengan diare akut secara acak
dialokasikan baik untuk 5-hari atau 10-hari pengobatan zink. Hasilnya,
kejadian diare selama 90 hari berikutnya tidak berbeda antara grup 5-hari
(1.0861.38) dan 10-hari (1.0261.35) (p=0,35). Anak-anak pada kedua grup
mengalami durasi episode diare sebanding (3.165.6 hari vs 2.965.6 hari,
5-hari vs 10-hari, secara berurutan; p=0,64) dengan perbedaan rerata
antara grup dalam rentang ekuivalen yang ditetapkan. Waktu untuk
timbulnya episode pertama dan proporsi anak mengalami diare selama 90-
hari berikutnya juga tidak berbeda antara grup. Temuan ini menunjukkan
bahwa di antara anak-anak Bangladesh, 5-hari pengobatan zink untuk
diare akut sama ampuhnya dengan 10-hari dalam mencegah diare pada 3
bulan berikutnya.22
Cara Memberikan Garam Zink21
Zink sulfat, asetat, dan glukonat semuanya merupakan formulasi garam
zink yang telah digunakan secara luas. Zink sulfat bersifat aman, murah,
dan sangat efektif sehingga optimal untuk digunakan dalam program
nasional. Tablet zink sulfat dapat terdistribusi melalui air susu ibu, cairan
rehidrasi oral, atau pada air. Anak yang lebih tua dapat mengunyah tablet
atau menelan langsung dengan menggunakan air. Tablet zink sulfat
terdispersi dan sirup juga telah tersedia, mengandung 10 atau 20 mg zink
elemental.
Interaksi Obat21,23,24
Bila zink diberikan bersamaan dengan beberapa obat tertentu, maka
interaksi obat dapat terjadi. Phytate yang terdapat pada makanan pokok
seperti sereal, jagung, dan nasi, dapat menurunkan penyerapan zink.
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa zink dapat dipresipitasi oleh fosfat
dan phytate pada pH yang mendekati pH lumen usus. Produk susu dan roti
menurunkan absorpsi zink. Kopi juga menghambat penyerapan zink.
Suplemen besi menghambat absorpsi zink sehingga suplementasi zink
sebaiknya diberikan 2 jam sebelum zat besi. Penicillamine dan chelator
lainnya mengurangi absorpsi zink. Garam kalsium mengurangi absorpsi
zink. Tetrasiklin oral mengurangi absorpsi zink, sehingga suplementasi zink
diberikan 2 jam sebelum tetrasiklin. Asam amino, seperti histidin dan
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 16 Manado, 17-19 Maret 2017
metionin, dan ion lain dengan berat molekul rendah seperti EDTA dan
asam organik (misal sitrat), meningkatkan absorpsi zink. Zink menghambat
absorpsi copper dari intestin. Diuretik thiazid meningkatkan ekskresi zink
melalui urin. Zink mengurangi absorpsi siprofloksasin, levofloksasin, dan
ofloksasin. Absorpsi dari garam zink dan garam besi akan menurun bila
dikonsumsi secara bersamaan.
Efek Samping dari Suplementasi Zink25
Sampai saat ini belum ada laporan mengenai reaksi simpang yang berat
dari segala bentuk suplementasi zink yang digunakan untuk terapi diare.
Dosis zink 40 mg dapat digunakan secara aman dan diterima oleh Food
and Drug Administration (FDA). Dosis zink yang melebihi dosis tesebut
dapat menimbulkan risiko. Terlalu banyak zink yang diberikan dapat
mengganggu metabolisme dan absorpsi mineral esensial yang lain,
terutama besi, magnesium, dan copper, dapat menurunkan fungsi
imunitas, serta menurunkan kadar HDL. Suplementasi oral zink sulfat
dapat menimbulkan efek samping seperti gejala gastrointestinal, heartburn,
dan nausea. Efek samping yang jarang meliputi demam, nyeri
tenggorokan, sariawan, kelemahan dan kelelahan. Beberapa penelitian
efektivitas zink pada lebih dari 8.500 anak yang berpartisipasi sebagai grup
plasebo dan zink, dengan hampir 12.000 anak yang diobservasi per tahun,
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan reaksi simpang pada pemberian
garam zink yang berbeda (sulfat, asetat, dan glukonat). Satu penelitian
menunjukkan efek samping berupa muntah lebih besar pada kelompok
zink dibandingkan kontrol, ketika zink diberikan bersamaan dengan
beberapa mikronutrien lain. Kadar copper telah dievaluasi pada 4
penelitian, dan pada 3 penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan
kadar copper setelah suplementasi zink. Namun, satu penelitian
menunjukkan penurunan kadar copper yang signifikan pada kelompok
anak malnutrisi dengan diare persisten yang diberikan suplementasi zink.
Tetapi dapat disimpulkan bahwa tidak ada efek samping substansial pada
pemberian suplementasi zink untuk terapi diare yang dapat mempengaruhi
kadar copper.
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 17 Manado, 17-19 Maret 2017
Rekomendasi
World Health Organization (WHO) dan UNICEF telah merekomendasikan
penggunaan zink sebagai suplemen disamping terapi rehidrasi oral untuk
penatalaksanaan diare. Dosis zink elemental 20 mg per hari bersifat efektif
dan aman pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Pemberian zink
direkomendasikan untuk digunakan sejak pada layanan kesehatan primer.
Untuk efek yang maksimal, zink dan terapi rehidrasi oral sebaiknya
tersedia di masyarakat. Program berbasis komunitas dapat meningkatkan
penggunaan zink serta meningkatkan terapi rehidrasi oral pada komunitas
yang sama.
Revitalisasi tenaga kesehatan dengan menggapai masyarakat
ekonomi rendah sangat penting dalam mencapai tingkat cakupan sasaran.
Selain itu, kerjasama dengan sektor swasta, sektor medis dan non medis,
serta formal dan informal, dapat membantu mencapai perluasan program
di populasi.
Penutup
Pemberian zink oral memberikan manfaat tambahan dalam menurunkan
jumlah, frekuensi, dan durasi diare, dengan sifat aman, efektif, serta murah
untuk terapi diare. Selain itu, pemberian zink selama 10-14 hari mencegah
terjadinya diare sampai 2-3 bulan berikutnya, sehingga dapat mengurangi
prevalens diare. Dapat disimpulkan bahwa suplementasi zink oral
merupakan intervensi terapi yang sederhana dan efektif dalam tatalaksana
diare.
Daftar Pustaka
1. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrheal
diseases as estimated from studies published between 1992 and 2000.
Bull World Health Organ 2003;81:197-204.
2. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children
dying every year ? Lancet 2003;361:2226-33.
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan 2011; triwulan II:1-18.
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 18 Manado, 17-19 Maret 2017
4. WHO/UNICEF Joint Statement-Clinical management of acute diarrhea.
WHO/FCH/CAH 04.7 May 2004.
5. Fischer Walker CL, Fontaine O, Young MW, Black RE. Zinc and low
osmolarity oral rehydration salts for diarrhea: A renewed call to action.
Bull World Health Organ 2009;87:780-6.
6. Hoque KM, Rajendran VM, Binder HJ. Zinc inhibits cAMP-stimulated Cl
secretion via basolateral K-channel blockade in rat ileum. Am J Physiol
2005;288:G956-63.
7. Hoque KM, Binder HJ. Zinc in the Treatment of Acute Diarrhea: Current
Status and Assessment. Gastroenterology 2006;130:2201-05.
8. Zinc supplementation helps diarrhea symptoms. Available from:
http://www. newsmedical.net / news / 2008 / 02 / 04 / 34888.aspx. [last
cited on 2010 Feb 6].
9. Berni CR, Cirillo P, Buccigrossi V, Ruotolo S, Annalisa P, De Luca P,
dkk. Zinc inhibits cholera toxin induced, but not Escherichia coli heat
stable enterotoxininduced, ion secretion in human enterocytes. J Infect
Dis 2005;191:1072-7.
10. Implementing the new recommendations on the clinical management of
diarrhea-Guidelines for policy makers and programme managers.
WHO, Geneva. 2006.
11. Ramanujam TR. Role of zinc in health and disease. Available from:
http: / www.medindia.net / articles / roleofzinc.asp. [last cited on 2010
Nov 15].
12. Trivedia SS, Chudasamab RK, Patel N. Effect of zinc supplementation
in children with acute diarrhea: Randomized double blind controlled
trial. Gastroenterol Res 2009;2:168-74.
13. Lazzerini M, Ronfani L. Oral zinc for treating diarrhea in children.
Cochrane Database Syst Rev 2008:CD005436.
14. Patel A, Mamtani M, Dibley MJ, Badhoniya N, Kulkarni H. Therapeutic
value of zinc supplementation in acute and persistent diarrhea: a
systematic review. PLoS ONE 2010;5:e10386.
15. Baqui AH, Black RE, Arifeen SE, Yunus M, Chakraborty J, Ahmed S,
Vaughan JP. Effect of zinc supplementation started during diarrhoea on
morbidity and mortality in Bangladeshi children: community randomised
trial. BMJ 2002; 325:1-7.
IPG Karyana, IGN Sanjaya Putra, Ni Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 19 Manado, 17-19 Maret 2017
16. Sachdev HP, Mittal NK, Yadav HS. Oral zinc supplementation in
persistent diarrhea in infants. Ann Trop Paediatr 1990;10:63-9.
17. Bhutta ZA, Bird SM, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A, dkk.
Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in
children in developing countries: Pooled analysis of randomized
controlled trials. Am J Clin Nutr 2000;72:1516-22.
18. Roy SK, Raqib R, Khatun W, Azim T, Chowdhury R, Fuchs GJ, dkk.
Zinc supplementation in the management of shigellosis in
malnourished children in Bangladesh. Eur J Clin Nutr 2008;62:849-55.
19. Robberstad B, Strand T, Black RE, Sommerfelt H. Cost effectiveness
of zinc as adjunct therapy for acute childhood diarrhea in developing
countries. Bull World Health Organ 2004;82:523-31.
20. Baqui AH, Black RE, El Arifeen S, Yunus M, Zaman K, Begum N, dkk.
Zinc therapy for diarrhea increased the use of oral rehydration therapy
and reduced the use of antibiotics in Bangladeshi children. J Health
Popul Nutr 2004;22:440-2.
21. Medicines for diarrhea in children. Dalam: Stuart MC, Kouimtzi M, Hill
SR, penyunting. WHO Model Formulary; 2008:351.
22. Alam DS, Yunus M, El Arifeen S, Chowdury HR, Larson CP, Sack DA,
Baqui AH, Black RE. Zinc treatment for 5 or 10 days is equally
efficacious in preventing diarrhea in the subsequent 3 months among
Bangladeshi children. J Nutr 2011;141(2):312-5.
23. Lönnerdal B. Dietary factors infl uencing zinc absorption. J Nutr
2000;130:1378S-83.
24. Pécoud A, Donzel P, Schelling JL. Effect of foodstuffs on the
absorption of zinc sulfate. Clin Pharmacol Ther 1975;17:469-74.
25. Fischer C, Harvey P. Low risk of adverse effects from zinc
supplementation. MOST, The USAID Micronutrient Program.
Hanifah Oswari
KONAS VII PGHNAI 20 Manado, 17-19 Maret 2017
RASIONALISASI PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B DALAM 12
JAM PERTAMA KEHIDUPAN
Hanifah Oswari
Divisi Gastroenterohepatolog
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM Jakarta
Pendahuluan
Virus hepatitis B ada di sekitar kita. Terdapat 2 milyar orang dengan
HBsAg positif di dunia, di antaranya terdapat 360 juta orang menjadi karier
kronis. Setiap tahun terjadi kematian sebesar 600.000 karena hepatitis B.
Masalahnya terapi hepatitis B sampai saat ini belum memuaskan. Pada
anak dan remaja dengan hepatitis B 3-5% akan menjadi sirosis hati dan
0,01-0,03% mengalami karsinoma hepatoselular sebelum menjadi
dewasa.1,2
Risiko mengalami karsinoma hepatoselular meningkat 9-24%
secara keseluruhan seumur hidup, dengan insidens 2-3% per tahun.3,4
Oleh sebab itu pencegahan hepatitis B sangat penting dilakukan untuk
mengontrol penyebaran hepatitis B. Vaksin hepatitis B telah diketahui
sangat aman dan efikasinya mencegah infeksi mencapai lebih dari 90%
untuk semua serotipe dan genotipe virus hepatitis B.
Rasionalisasi pemberian vaksinasi hepatitis B dalam 12 jam pertama
setelah lahir
Perjalanan penyakit hepatitis B tergantung dari usia, cara infeksi.
Perbedaan ini terjadi karena respons imun yang berbeda-beda. Respons
imun tubuh akan toleran bila terjadi infeksi pada usia sangat muda.
Penularan hepatitis B di Asia, terutama di Asia Tenggara, terjadi terutama
melalui transmisi vertikal atau disebut juga infeksi perinatal. Artinya
seorang bayi mendapat infeksi hepatitis B dari ibu yang melahirkannya. Hal
ini terjadi karena infeksi persisten hepatitis B pada ibu hamil sangat tinggi
(>8%), dan prevalensi HBeAg tinggi pada ibu hamil dengan hepatitis B
kronis.5 HBeAg positif adalah petanda serologis untuk makin tingginya
risiko transmisi hepatitis B dari ibu hamil ke bayi. Penularan hepatitis B dari
ibu dengan HBsAg positif ke bayinya dapat mencapai 90%.
Hanifah Oswari
KONAS VII PGHNAI 21 Manado, 17-19 Maret 2017
Anak yang hidup di daerah endemis hepatitis B yang mendapat infeksi
hepatitis B secara perinatal (transmisi vertikal), akan tetap dalam keadaan
HBeAg positif dengan replikasi virus yang tinggi, walaupun kerusakan
jaringan biasanya ringan.6 Bayi yang mendapat infeksi perinatal akan
mengalami infeksi hepatitis B kronis dan akan masuk fase imun toleran
selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau bahkan beberapa dekade
sebelum berpindah ke fase imun aktif. Pada fase imun toleran ini terapi
hepatitis B tidak dianjurkan karena jarang sekali memberikan respons yang
baik. Selain itu anak akan mengalami sirosis pada usia lebih besar. Pada
292 anak dengan HBsAg dengan peningkatan ALT, sirosis hati ditemukan
pada 10 pasien (3%) pada usia 4,0 + 3,3 tahun, tetapi memiliki ko-infeksi
dengan hepatitis D atau hepatitis C.7 Pada 76 anak dengan HBeAg postif
dan peningkatan ALT, paling sedikit setengahnya memiliki fibrosis sedang
sampai berat.8 Hal ini menunjukkan anak yang mendapat infeksi perinatal
(transmisi vertikal) berisiko mengalami sirosis pada masa depan.
Pada fase imun toleran, walaupun kerusakan jaringan hati ringan,
tetapi pada fase ini dapat saja terjadi karsinoma hepatoselular (KHS),
sehingga anak perlu selalu dimonitor untuk terjadinya KHS. Orang dewasa
yang terinfeksi hepatitis B perinatal akan berkembang menjadi KHS sekitar
5% per dekade.
Jelaslah bahwa hepatitis B yang mengenai bayi karena transmisi
vertikal umumnya sulit dapat diterapi, bila diterapi hasilnya kurang
memuaskan, berisiko terjadi sirosis hati dan karsinoma hepatoselular
(KHS). Oleh sebab itu pencegahan dengan cara pemberian vaksinasi
menjadi sangat penting.
Bayi yang akan dilahirkan perlu mendapat perlakukan khusus untuk
mencegah transmisi hepatitis B dari ibu ke bayi. Transmisi hepatitis B dari
ibu ke bayi dapat terjadi pada saat di dalam kandungan atau setelah lahir.
Tingginya efikasi protektif (95%) vaksinasi neonatal menunjukkan transmisi
ini paling sering terjadi pada saat lahir atau setelah lahir, sehingga masih
dapat dicegah dengan vaksinasi saat lahir. Oleh sebab itu upaya
pencegahan harus dilakukan secepat mungkin setelah lahir, agar virus
hepatitis B tidak berkesempatan menginfeksi sel hati anak.
WHO merekomendasikan pemberian dosis pertama saat lahir dalam
waktu kurang dari 24 jam untuk dilakukan pada negara-negara dengan
Hanifah Oswari
KONAS VII PGHNAI 22 Manado, 17-19 Maret 2017
penularan perinatal (sekitar kelahiran) hepatitis B yang tinggi secara
universal. Satgas imunisasi IDAI menganjurkan pemberian vaksinasi
hepatitis B sebelum bayi berusia 12 jam agar pencegahan dapat dimulai
secepat mungkin.
Negara-negara yang menjalankan rekomendasi WHO tersebut di atas
mendapatkan beberapa keuntungan. Negara Taiwan yang melakukan
vaksinasi bayi hepatitis B seperti anjuran WHO yang dimulai pada semua
bayi tahun 1986 terjadi penurunan insidens HBsAg positif dari 9,8% (1986)
menjadi 1,2% dalam waktu 20 tahun kemudian.9 Selain itu angka insidens
karsinoma hepatoselular (kanker hati) menurun sampai 70% di antara bayi
yang mendapat vaksinasi hepatitis B.10
Hal ini sekaligus menyatakan pentingnya waktu pemberian vaksin
hepatitis B pada seorang bayi. Makin cepat vaksinasi diberikan akan makin
memperkecil kemungkinan terjadinya infeksi hepatitis B pada bayi.
Pencegahan hepatitis B
Bayi dari ibu dengan HBsAg positif dengan berat lahir > 2 kg
Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBsAg positif selain diberikan
vaksinasi hepatitis B sedini mungkin, diberikan sebelum 12 jam kelahiran
sesuai anjuran IDAI, bayi perlu diberikan juga hepatitis B immunoglobulin
(HBIg) sebelum 12 jam (atau bila mengikuti WHO dan Kemenkes: kurang
dari 24 jam). Vaksinasi dan HBIg untuk bayi dari ibu dengan HBsAg positif
sangat cost-effective.11
Pemberian vaksin dan immunoglobulin (HBIg)
dilakukan bersamaan, pada 2 paha yang berbeda sebelum bayi berusia 12
jam (atau bila mengikuti WHO dan Kemenkes: kurang dari 24 jam). Untuk
mencegah terjadinya perdarahan karena penyuntikan, bayi perlu diberikan
vitamin K1 terlebih dahulu. Selanjut pemberian vaksin perlu dilanjutkan
dengan jadwal usia 1 bulan dan 6 bulan bila menggunakan vaksin hepatitis
B monovalen, atau usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan bila menggunakan
Pentabio sesuai jadwal kemenkes, atau dapat juga diberikan pada usia 2
bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Pencegahan dengan cara memberikan HBIg
dan vaksin ini sangat efektif, keberhasilannya mencapai 95%.12,13
Penelitian di Taiwan dan Hongkong pemberian vaksinasi tanpa HBIg
untuk bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif mencapai 75-80%
protektif.14,15
Dari data di atas terlihat bahwa pemberian vaksinasi saja
Hanifah Oswari
KONAS VII PGHNAI 23 Manado, 17-19 Maret 2017
(tanpa immunoglobulin) belum cukup baik. Kemenkes RI secara bertahap
telah memberikan HBIg (dan vaksin hepatitis B) pada bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan HBsAg positif sejak tahun 2014. Ibu hamil dianjurkan
memeriksa kadar HBsAg pada kunjungan prenatal pertama, atau paling
lambat pada trimester ketiga kehamilan. Ibu dengan HBsAg positif perlu
dirujuk ke dokter hepatologi dewasa untuk penanganan lebih lanjut. Bayi
yang akan dilahirkan perlu mendapat perlakukan khusus untuk mencegah
transmisi hepatitis B dari ibu ke bayi.
Bayi dari ibu dengan HBsAg positif dengan berat lahir < 2 kg
Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBsAg positif diberikan vaksinasi
hepatitis B sedini mungkin, diberikan sebelum 12 jam kelahiran sesuai
anjuran IDAI dan bayi perlu diberikan juga hepatitis B immunoglobulin
(HBIg) sebelum 12 jam. Pemberian vaksinasi saat lahir ini tidak
diperhitungkan, sehingga dosis selanjutnya pada saaat bayi berusia 2
bulan atau beratnya mencapai 2 kg dianggap sebagai pemberian pertama.
Pemberian vaksin hepatitis B pada bayi prematur dengan berat badan < 2
kg bersifat kurang imunogenik dibandingkan dengan bayi matur.16,17
Itulah
sebabnya dosis vaksin yang diberikan saat lahir tidak dianggap sebagai
dosis pertama. Dosis kedua dan selanjutnya wajib diberikan. Bila
menggunakan vaksin monovalen, dosis kedua diberikan pada 1 bulan dari
dosis sebelumnya dan dosis ketiga 5 bulan dari dosis kedua.
Bayi dari ibu dengan HBsAg negatif dengan berat lahir > 2 kg
Pemberian vaksin hepatitis B diberikan pertama kali pada usia kurang dari
12 jam, dosis kedua usia 1-2 bulan, dan dosis ketiga pada usia 6 bulan-18
bulan (dosis ketiga ini sebaiknya diberikan pada usia > 24 bulan). Dosis
pertama diberikan vaksin hepatitis B monovalen, sedang dosis kedua dan
ketiga dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin
kombinasi yang mengandung vaksin hepatitis B. Bila menggunakan vaksin
kombinasi vaksin hepatitis B dapat berjumlah 4 kali, karena vaksin
kombinasi dapat diberikan pada usia 2,3, dan 4 bulan (DTwP-HIB-Hepatitis
B) atau 2,4,dan 6 bulan (DTaP-HIB-Hepatitis B). Penggunaan vaksin
hepatitis B monovalen atau kombinasi tidak berbeda reaktogenisitasnya
walaupun jumlah pemberian vaksin hepatitis B berbeda.18
Hanifah Oswari
KONAS VII PGHNAI 24 Manado, 17-19 Maret 2017
Pemberian dosis pertama dalam waktu kurang dari 12 jam ini
merupakan pengaman untuk mencegah infeksi perinatal pada bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan HBsAg positif yang tidak berhasil diidentifikasi
(misalnya karena kesalahan pemeriksaan laboratorium atau kesalahan
pelaporan hasil laboratorium).
Bayi dari ibu dengan HBsAg negatif dengan berat lahir < 2 kg
Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif dengan berat kurang dari 2
kg dan bayinya dalam keadaan stabil diberikan imunisasi pertama pada
usia 2 bulan atau berat badan mencapai 2 kg. Selanjutnya bila
menggunakan vaksin hepatitis B monovalen, dosis kedua diberikan pada 1
bulan dari dosis pertama dan dosis ketiga 5 bulan dari dosis kedua.
Bayi dari ibu dengan status HBsAg tidak diketahui dengan berat lahir
> 2 kg
Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan status HBsAg yang tidak diketahui
dan berat lahir > 2 kg harus diberikan secepat mungkin sebelum bayi
berusia 12 jam. Dosis kedua dan ketiga dapat menggunakan vaksin
hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi yang mengandung vaksin
hepatitis B. Bila menggunakan vaksin kombinasi vaksin hepatitis B dapat
berjumlah 4 kali, karena vaksin kombinasi dapat diberikan pada usia 2,3,
dan 4 bulan (DTwP-HIB-Hepatitis B) atau 2,4, dan 6 bulan (DTaP-HIB-
Hepatitis B). Bila ibu kemudian diperiksa HBsAg dan hasilnya positif, bayi
perlu diberikan HBIg 0,5 mL sebelum usia 1 minggu.
Bayi dari ibu dengan status HBsAg tidak diketahui dengan berat lahir
< 2 kg
Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg tidak diketahui dengan berat kurang
dari 2 kg dan bayinya dalam keadaan stabil, bayi perlu mendapat dosis
pertama vaksin sebelum usia 12 jam, dosis pertama ini tidak
diperhitungkan sehingga selanjutnya dosis berikutnya yang diberikan
imunisasi pada usia 2 bulan atau berat badan mencapat 2 kg dianggap
sebagai dosis pertama. Bila ibu kemudian diperiksa HBsAg dan hasilnya
positif, bayi perlu diberikan HBIg 0,5 mL sebelum usia 1 minggu.
Hanifah Oswari
KONAS VII PGHNAI 25 Manado, 17-19 Maret 2017
Penutup
Di dunia sangat banyak terdapat penderita hepatitis B. Di Asia Tenggara
termasuk di Indonesia penularan hepatitis B terutama terjadi melalui
transmisi vertikal, pada saat proses kelahiran. Oleh sebab itu pencegahan
dengan vaksinasi perlu dilakukan secepat mungkin sebelum bayi berusia
12 jam, pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan status HBsAg positif,
bayi perlu diberikan HBIg sebelum bayi berusia 12 jam pada paha yang
berbeda. Dengan cara ini diharapkan angka transmisi hepatitis B secara
vertikal dapat ditekan sampai di bawah 5%.
Daftar Pustaka
1. Chang MH, Chen TH, Hsu HM, et al. Prevention of hepatocellular
carcinoma by universal vaccination against hepatitis B virus: the effect
and problems. Clin Cancer Res. 2005;11:7953-7.
2. Chang MH, Hsu HY, Hsu HC, et al. The significance of spontaneous
hepatitis B e antigen seroconversion in childhood: with special emphasis
on the clearance of hepatitis B e antigen before 3 years of age.
Hepatology. 1995;22:1387-92.
3. Luo Z, Li L, Ruan B. Impact of the implementation of a vaccination
strategy on hepatitis B virus infections in China over a 20-year period.
Int J Infect Dis. 2012;16:82-8.
4. Yu MW, Chang HC, Liaw YF, et al. Familial risk of hepatocellular
carcinoma among chronic hepatitis B carriers and their relatives. J Natl
Cancer Inst. 2000;92:1159-64.
5. Goldstein ST, Zhou F, Hadler SC, et al. A mathematical model to
estimate global hepatitis B disease burden and vaccination impact. Int J
Epidemiol. 2005;34:1329-39.
6. Lok AS, Lai CL. A longitudinal follow-up of asymptomatic hepatitis B
surface antigen-positive Chinese children. Hepatology. 1988;8:1130-3.
7. Bortolotti F, Calzia R, Cadrobbi P, et al. Liver cirrhosis associated with
chronic hepatitis B virus infection in childhood. J Pediatr. 1986;108:224-
7.
8. Godra A, Perez-Atayde AR, Jonas MM. Histologic features of chronic
hepatitis B in children (abstract). Hepatology. 2005;42:478A.
Hanifah Oswari
KONAS VII PGHNAI 26 Manado, 17-19 Maret 2017
9. Ni YH, Huang LM, Chang MH, et al. Two decades of universal hepatitis
B vaccination in taiwan: impact and implication for future strategies.
Gastroenterology. 2007;132:1287-93.
10. Chang MH, Chen CJ, Lai MS, et al. Universal hepatitis B vaccination
in Taiwan and the incidence of hepatocellular carcinoma in children.
Taiwan Childhood Hepatoma Study Group. N Engl J Med.
1997;336:1855-9.
11. Margolis HS, Coleman PJ, Brown RE, et al. Prevention of hepatitis
B virus transmission by immunization. An economic analysis of current
recommendations. JAMA. 1995;274:1201-8.
12. Stevens CE, Taylor PE, Tong MJ, et al. Yeast recombinant
hepatitis B vaccine in perinatal hepatitis B virus transmission: a
preliminary report. J Infect. 1986;13 Suppl A:13.
13. Gong XH, Liu LR, Jia L, et al. [Epidemiological effect of hepatitis B
immunization among newborn babies in Beijing]. Zhonghua Gan Zang
Bing Za Zhi. 2003;11:201-2.
14. Beasley RP, Hwang LY, Lee GC, et al. Prevention of perinatally
transmitted hepatitis B virus infections with hepatitis B immune globulin
and hepatitis B vaccine. Lancet. 1983;2:1099-102.
15. Wong VC, Ip HM, Reesink HW, et al. Prevention of the HBsAg carrier
state in newborn infants of mothers who are chronic carriers of HBsAg
and HBeAg by administration of hepatitis-B vaccine and hepatitis-B
immunoglobulin. Double-blind randomised placebo-controlled study.
Lancet. 1984;1:921-6.
16. Lau YL, Tam AY, Ng KW, et al. Response of preterm infants to
hepatitis B vaccine. J Pediatr. 1992;121:962-5.
17. Losonsky GA, Wasserman SS, Stephens I, et al. Hepatitis B
vaccination of premature infants: a reassessment of current
recommendations for delayed immunization. Pediatrics. 1999;103:E14.
18. Pichichero ME, Blatter MM, Reisinger KS, et al. Impact of a birth
dose of hepatitis B vaccine on the reactogenicity and immunogenicity of
diphtheria-tetanus-acellular pertussis-hepatitis B-inactivated poliovirus-
Haemophilus influenzae type b combination vaccination. Pediatr Infect
Dis J. 2002;21:854-9.
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 27 Manado, 17-19 Maret 2017
MANIFESTASI ALERGI MAKANAN PADA SALURAN CERNA
Wahyu Damayanti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta
Pendahuluan
Alergi makanan merupakan reaksi tubuh terhadap makanan tertentu yang
dihantarkan melalui mekanisme imunologik. Pada peristiwa sehari-hari
istilah ini sering digunakan juga untuk berbagai reaksi terhadap makanan,
meskipun reaksinya terjadi secara non-imunologik, contohnya intoleransi
makanan yang berkaitan dengan semua jenis reaksi fisiologik abnormal
terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan.1
Meskipun 25-30% populasi umum percaya bahwa mereka alergi
terhadap makanan namun kemungkinan ini tidak benar. Insidensi alergi
makanan di Amerika Serikat yang dikonfirmasi dengan riwayat dan food
challenges memperkirakan angka prevalensi pada anak 6% dan pada
dewasa 3,5%.2 Alergi makanan juga dilaporkan di negara berkembang
meskipun data yang kuat belum ada.3 Insidensi tertinggi tampak pada usia
1-2 tahun karena kebanyakan alergi makanan didapat pada sekitar usia itu.
Insidensi menurun tajam sampai masa anak akhir kemudian menetap
stabil. Hipotesis untuk peningkatan insidensi pada bayi dan anak awal
adalah karena pertahanan usus yang belum matang, kerusakan mukosa
usus akibat diare dan pengenalan makanan padat yang terlalu dini.
Tugas yang dihadapi oleh dokter anak adalah mengenali gejala klinis
dari alergi makanan dan membedakannya dari spektrum reaksi simpang
terhadap makanan yang non imunologi. Hal ini terkadang sulit di praktek
klinik karena terkadang membutuhkan waktu yang lama antara menelan
makanan dan munculnya gejala serta alat diagnostik kurang adekuat.
Lebih jauh lagi karena tak ada terapi pasti kecuali menghindari alergi
makanan, masalah ini menjadi tantangan yang besar untuk orang tua dan
dokter anak.1
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 28 Manado, 17-19 Maret 2017
Terminologi Dan Definisi
Reaksi makanan yang menyimpang adalah respon yang tidak normal
terhadap makanan yang dimakan, tanpa melihat patofisiologinya. Hal ini
terbagi menjadi reaksi simpang toksik dan non toksik. Reaksi toksik
(contohnya keracunan makanan) dapat terjadi pada individu yang menelan
toksin dalam jumlah yang cukup. Reaksi non toksik bersifat lebih individual
dan bisa berupa reaksi imun (alergi/hipersensitivitas) atau reaksi non imun
(intoleransi laktosa, malabsorbsi karbohidrat).
The European Academy of Allergy and Clinical Immunology Task Force
tahun 2001 menyatakan bahwa semua reaksi simpang terhadap makanan
dinamakan hipersensitivitas terhadap makanan, definisinya adalah:
Hipersensitivitas menyebabkan gejala atau tanda obyektif yang timbul
berulang, dicetuskan oleh paparan terhadap stimulus yang pasti dan pada
orang normal dosisnya dapat ditoleransi.
Kondisi ini tidak mencakup respon klasik terhadap infeksi, autoimun
atau reaksi toksik. Ketika mekanisme imunologi dipicu oleh protein
makanan, maka istilah yang tepat digunakan adalah alergi makanan.
Ketika mekanisme imunologi tak terlibat pada reaksi simpang terhadap
bahan-bahan makanan , hal ini disebut dengan istilah idiosinkrasi, atau
respon metabolik (misalnya intoleransi laktosa), reaksi farmakologi
terhadap protein makanan, migrain setelah makan keju yang mengandung
tyramin.
Manifestasi alergi makanan bisa beragam dan mengenai berbagai
sistem organ. Kecuali sebagai organ sasaran, saluran pencernaan juga
berfungsi sebagai pembawa antigen makanan ke organ-organ sasaran
lainnya, seperti kulit, sistem saluran pernafasan. Dalam hal ini kami fokus
pada aspek alergi makanan dan intoleransi yang melibatkan saluran
gastrointestinal.
Patofisiologi Alergi Makanan
Sebagian besar makanan yang ditelan tidak menyebabkan alergi karena
ada mekanisme oral tolerance. Protein makanan dicerna oleh enzim di
saliva dan asam lambung sehingga mengurangi imunogenisitas. Namun
protein dengan berat molekul kurang dari 70Kd, sumber antigen yang
berlebihan, adanya residu glicosilatin, dan protein yang tahan terhadap
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 29 Manado, 17-19 Maret 2017
panas atau digesti menyebabkan protein tersebut tetap berpotensi alergi
saat makanan mencapai usus halus.
Pertahanan kompleks gastrointestinal
Pertahanan mukosa gastrointestinal menggunakan pertahanan
fisiologis maupun imunologis untuk mencegah penetrasi protein asing.
Pertahanan fisiologis berupa intestinal epithelial cells (IEC), glicocalik,
membran microvillus intestinal, tight junction yang menghambat penetrasi
antigen dan enzim amilase, asam lambung, pepsin, enzim pankreas dan
usus, lisosim yang memecah antigen yang tertelan. Pertahanan imunologi
terdiri dari antigen spesifik IgA dan Ig G yang menghambat dan
membersihkan penetrasi antigen yang tertelan.
Perjalanan antigen makanan melewati sistem pertahanan tubuh
GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang matang berfungsi
sangat kompleks, berintegrasi dengan jaringan dan sel melakukan tugas
pertahanan. Perkembangan komponen pertahanan usus dan sistem imun
yang belum sempurna mengurangi kemampuan pertahanan kompleks dan
berperan pada tingginya prevalensi alergi makanan yang tampak pada
beberapa tahun pertama kehidupan. Kurang lebih 2% antigen makanan
yang tertelan diabsorbsi dan ditransportasikan sepanjang badan dalam
bentuk antigen imunologis yang utuh dan dikenali walaupun melewati usus
matang yang normal. Meskipun demikian, toleransi adalah respon GALT
yang dominan dan dipertahankan oleh Antigen Presenting Cells (APC),
seperti IEC, sel dendritik dan T sel regulator. Flora komensal usus dan sel
langerhans di mukosa mulut juga berperan penting pada toleransi oral.
Pada bayi dan anak kecil pertahanan fisiologis dan imunologis belum
matang sehingga terjadi peningkatan masuknya antigen makanan dan
GALT tampaknya belum mampu menoleransi antigen dibanding anak lebih
besar dimana sistem pertahanan sudah lebih matang, sehingga alergi
makanan atau hipersensitivitas banyak terjadi selama usia rentan ini.
Reaksi makanan immune-mediated merupakan ciri khas dari alergi
makanan Ig E-mediated (tipe1), ada juga alergi makanan yang melibatkan
baik Ig E dan non-Ig E atau alergi makanan tipe lambat (hipersensitivitas
non Ig- E atau tipe 4). Manifestasi alergi makanan tipe 1 meliputi Oral
Allergy Syndrome (OAS), anafilaksis saluran cerna. Manifestasi alergi
makanan yang melibatkan mixed Ig E dan cell mediated adalah
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 30 Manado, 17-19 Maret 2017
eosinophilic gastrointestinal disorders. Manifestasi alergi makanan tipe 4
meliputi dietary protein-induced proctitis/proctocolitis, food protein-induced
enterocolitis syndrome, celiac disease.4
Imunopatogenesis alergi makanan
1. Dengan perantaraan Ig E
Selama respon alergi Ig E mediated, antigen masuk ke mukosa
gastrointestinal. Antigen presenting cells (APC) akan memakan antigen
dan mempresentasikan ke sel Th0. Pada individu atopik proses ini
akan menstimulasi produksi Th2 yang akan menstimulasi sel B untuk
memproduksi Ig E spesifik terhadap protein tersebut. Ini disebut
sensitisasi, jika ada paparan antigen berikutnya, Ig E spesifik antibodi
mengenali epitop atau area tertentu dari protein makanan, dan akan
terjadi ikatan antara protein dan antibodi, sehingga terjadi degranulasi
sel mast dan pelepasan histamin dan mediator lain, yang
menyebabkan peningkatan dilatasi vaskular dan permeabilitas
sehingga terjadi inflamasi.
Pada anak, paparan pertama dapat terjadi di dalam kandungan
atau melewati asi. Paparan berikutnya pada pejamu yang telah
tersensitisasi dapat terjadi reaksi immediated hypersensitivity.
2. Dengan perantaraan non-Ig E mediated (T cell-mediated)
Banyak penelitian berbasis imunologi saluran cerna menunjukkan
bahwa jelas ada keterlibatan T sel (terutama Th1) dan eosinophil
dalam alergi yang diperantarai non Ig E-mediated. Tsel tersensitisasi
pada awal paparan. Pada paparan berikutnya, epitop akan
berkombinasi dengan T sel yang tersensitisasi dan mengeluarkan
sitokin, yang akan menimbulkan inflamasi kronik. Pada banyak kasus,
diperlukan biopsi untuk penegakan diagnosis.
Alergi makanan terhadap makanan tertentu
Makanan yang sering menyebabkan alergi pada bayi meliputi susu sapi,
kacang dan kedelai. Pada anak kecil, makanan yang biasanya
menimbulkan alergi adalah susu sapi, telur, kacang, gandum, kerang. Pada
anak yang lebih besar, alergi terhadap kacang-kacangan, apel, melon, dan
beberapa macam buah lain, wortel mentah dan sayur lainnya semakin
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 31 Manado, 17-19 Maret 2017
meningkat.5
Penelitian berbasis populasi pada anak menyatakan bahwa
prevalensi alergi susu sapi sebesar 2,5%, alergi telur 1,5%, dan alergi
kacang 1%.6
Walaupun alergi terhadap makanan-makanan tersebut tidak
berbahaya, tetapi ada rasa tidak enak. Kacang merupakan penyebab syok
anafilaksis, dan dapat berakibat fatal. Maka perlu peringatan makan
makanan alergen, walaupun dalam dosis yang sangat kecil.
Perjalanan alamiah alergi makanan
Alergi makanan pada anak bersifat dinamis dengan adanya resolusi
spontan pada banyak makanan tapi tidak pada semua makanan yang
menyebabkan alergi. Alergi terhadap susu dan telur akan menghilang pada
umur 3 tahun, sedangkan alergi terhadap kacang, ikan laut tidak hilang dan
menetap sampai dewasa.4
Reaksi klinis lebih cepat hilang dibanding
hilangnya Ig E spesifik yang diukur dengan skin prick test atau RAST. Anak
yang pada awalnya hanya alergi terhadap satu macam alergen bisa
berkembang menjadi alergi terhadap yang lain. Proses mengatasi alergi
makanan bervariasi di antara individu dan dengan makanan yang berbeda-
beda. Anak dengan alergi makanan perlu dipantau secara berkala dengan
dilakukan tes untuk menentukan apakah mereka sudah dapat mengatasi
sensitivitas mereka terhadap makanan. Penghindaran makanan yang ketat
dapat membantu dalam berkembangnya toleransi.
Tabel 1. Presentasi klinis alergi gastrointestinal
Disorder Characteristic Symptoms
Oral allergy
syndrome
Caused by sensitisation to
aeroallergen which cross react with
fruit, vegetable
Mild itching, tingling,
angioedema of the lip, tounge,
mouth, throat
Gastrointestinal
anaphylaxis
Quick onset of
nausea/vomiting, abd
pain/cramps, with or without
diarrhea. Skin or resp
symptoms are present
Food protein-
induced
proctocolitis
Common in infancy, usually caused
by cow‘s or soy milk formula or
passed through breasth milk. An 80%
resolve within 72 hr on extensively
hydrolized formula. Tolerant by 1 year
Specks of blood in stool,
occasionally anemic.
Hypoalbuminemia is rare
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 32 Manado, 17-19 Maret 2017
Allergic
eosinophilic
esophagitis
Infiltration of esophagus by
eosinophil, papillary elongation,
peripheral eosinophilia; food allergy is
usually non-IgE mediated
GER, vomiting and
dysphagia-children typically
complain of food sticking in
the throat
Allergic
eosinophilic
gastroenteritis
May present in any age group, even
infants. Often present as pyloric
stenosis with outlet obstruction. There
is inflammation of stomach and
intestines in response to milk, soy,
egg. Endoscopy and biopsy are gold
standart.
Food protein-
induced
enterocolitis
Most commonly seen in infants under
3months of age, but may be delayed
in breastfed infants. The term
enterocolitis implies both small and
large bowel involvement
Protracted vomiting and
diarrhea, often getting
dehydrated, sometimes even
hypotension
Diagnosis Alergi makanan dengan manifestasi di gastrointestinal
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit tetap merupakan hal paling penting untuk menegakkan
diagnosis alergi makanan. Ciri dari alergi makanan adalah munculnya
gejala yang menetap selama berhubungan dengan makanan, melibatkan
dua atau lebih organ dan ada predisposisi alergi. Gejala akan muncul
setelah kontak dengan makanan yang tidak berbahaya untuk banyak
orang. Mekanisme imunologi terlibat di patogenesis, tidak ada mekanisme
patogenik lain dan lesi atau fungsi abnormal dari usus dapat ditampilkan
Gejala klinis yang ada bila dicurigai alergi makanan:
Gatal di mulut, muntah, diare segera setelah menelan makanan
Mukus/darah di feses bayi
Malabsorpsi/gagal tumbuh
Muntah kronis/diare/disfagia
Gastroesofageal refluk disease/konstipasi kronik yang tidak membaik
dengan terapi khusus
Kolik infantil yang tidak berrespon dengan terapi perilaku
Gejala gastrointestinal pada pasien dengan atopi
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 33 Manado, 17-19 Maret 2017
Pemeriksaan laboratorium
1. Uji kulit (skin test). Apabila dicurigai adanya reaksi dengan perantara
IgE, maka uji tusuk kulit (skin prick test) merupakan metode yang
berguna untuk menetapkan apakah pasien mempunyai antibodi IgE
terhadap sesuatu makanan yang spesifik. Anak dengan IgE mediated
alergi makanan hasil test akan positif walaupun hasil negatif palsu
dapat pula terjadi pada anak kurang dari 3 tahun.
2. Antibodi spesifik terhadap makanan tertentu dan RAST (Radio Allergo
Sorbent Test). Alat ini digunakan sebagai indikator sensitivitas dan
pengukuran kuantitative. RAST mempunyai positif palsu yang tinggi
terutama pada bayi muda
3. Test tambahan. Endoskopi dengan biopsi, analisis feses (eritrosit,
leokosit, eosinofil) membantu dalam diagnosis alergi makanan non-IgE
mediated, dan bentuk campuran dari alergi makanan dan untuk
membedakan penyebab lain dari esofagitis, enterocolitis, enteropati
dan colitis
4. Diet eliminasi alergen diagnostik. Begitu suatu makanan tertentu
dicurigai sebagai penyebab alergi makanan, dimulailah suatu diet
eliminasi dalam upaya mendukung diagnosis. Keberhasilan dengan
cara ini membutuhkan eksklusi dari alergen-alergen dalam diet
eliminasi. Apabila gejala penyakit menghilang dengan diet eliminasi,
dalam memastikan diagnosis perlu dilakukan uji tantangan makanan.
Pada alergi makanan yang bermanifestasi di gastrointestinal, diagnosis
akan menjadi pasti apabila endoskopi dan biopsi menunjukkan
perbaikan patologis sesudah 6-8 minggu dengan diet eliminasi.6
5. Uji tantangan makanan oral . Uji tantangan makanan oral dapat
dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap sesuatu jenis makanan
yang menyebabkan gejala alergi makanan. Uji makanan juga
diperlukan dalam menilai kesembuhan alergi. Uji tantangan makanan
seyogyanya tidak dilakukan apabila terdapat riwayat reaksi alergi
makanan berat yang jelas dalam kaitannya dengan adanya antibodi
terhadap makanan yang dicurigai. Uji tantangan makanan dapat
dilakukan secara terbuka, secara pembutaan tunggal, atau secara
pembutaan ganda dengan kontrol plasebo (double blind placebo food
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 34 Manado, 17-19 Maret 2017
control challenge atau DBPFCC). DBPFCC dianggap sebagai baku
emas dalam diagnosis alergi makanan.
Tata laksana
Begitu diagnosis dari hipersensitivitas makanan ditegakkan, terapi yang
terbukti paling baik adalah eliminasi dengan ketat dari alergen yang
dicurigai. Dalam memberikan diet eliminasi terapeutik perlu pertimbangan-
pertimbangan yang sama seperti halnya dengan obat, keduanya dapat
menyebabkan efek-efek samping. Diet eliminasi dapat menyebabkan
malnutrisi dan atau gangguan-gangguan makanan, terutama bila
menyangkut sejumlah besar makanan dan atau digunakan untuk waktu
yang lama.2
Bayi yang minum asi, ibu diminta tetap meneruskan asi, sementara ibu
menghindari susu dan semua produk susu dari diet mereka. Bayi yang
minum susu formula, bayi diberi susu berbahan dasar ekstensive hidrolisat
formula. Bila gagal bayi diberikan formula berbahan dasar asam amino.
Formula berbahan dasar soya bisa diberikan sebagai alternative pada bayi.
Protokol terapi yang penting adalah mengedukasi orang tua dan anak
untuk selalu membaca label pada makanan baru. Disarankan untuk
menunda mengenalkan makanan baru setiap 5-7 hari. Obat-obatan seperti
H1 dan H2 antihistamin dan glukokortikoid dapat mengurangi gejala pada
alergi makanan namun secara keseluruhan hanya berefek sedikit dan
muncul efek samping yang tak menyenangkan.
Terapi modulasi sistem imun yang baru seperti anti-IL-5 sangat
menjanjikan pada masalah eosinofilia. Terapi baru yang masih dalam
evaluasi berupa non spesifik alergi makanan (meliputi antibodi monoclonal
anti-IgE) dan terapi spesifik (meliputi oral immunotherapy) ditujukan untuk
mereka dengan riwayat anafilaksis berat dan yang tidak bisa mengatasi
alerginya.
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa tatalaksana terkini berdasar
pada penghindaran alergen dan persiapan kondisi emergensi, dan
meningkatkan perbaikan keamanan dan kesejahteraan untuk pasien dan
keluarganya.7
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 35 Manado, 17-19 Maret 2017
Penutup
Alergi makanan banyak terjadi pada anak-anak terutama tahun-tahun
pertama kehidupan dan hanya sebagian kecil pada orang dewasa. Proses
imunologis dan non-imunologis bekerja sendiri maupun bersama-sama
untuk menangani antigen makanan yang masuk ke dalam usus. Di
samping sebagai organ sasaran, saluran pencernaan juga berfungsi
sebagai kendaraan pembawa antigen ke organ-organ di seluruh tubuh.
Saluran pencernaan merupakan organ yang tersering menjadi sasaran, di
samping kulit dan saluran pernapasan. Mekanisme imunopatogenesis
alergi makanan bisa dengan perantaraan IgE mediated atau non-IgE
mediated. Diagnosis alergi makanan dapat ditegakkan berdasar evaluasi
riwayat medis, pemeriksaan klinis, tes kulit, studi laboratorium, endoskopi
dan biopsi, diet eliminasi dan tantangan makanan oral. DBPFCC
merupakan gold standart untuk alergi makanan. Penatalaksanaan utama
alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab.
Daftar Pustaka
1. Srinivas S. Food Allergy. Textbook of Pediatric Gastroenterology
Hepatology and Nutrition. First edition. Jaypee Brothers Medical
Publisher (P) Ltd. New Delhi. 2015;14:218-25.
2. Sampson HA. Food Allergies. Sleisenger and Fordtrans‘s.
Gastrointestinal and liver disease.
Pathophysiology/Diagnosis/Management. Feldman, Friedman and
Brandt (Eds). Elsevier; 2010;1:139-48.
3. L van der Poel, J Chen, M Penagos. Allergy epidemic-Is it only a
western phenomenon? Current Allergy and Clinical Immunology.
2009;22:121-6.
4. Sampson HA, Leung DYM. Adverse reactions to foods. Nelson text
book of pediatrics. 19 th edition. Elsevier. Kliegman, Stanton, St.
Geme, Schor and Behrman (Eds). Philadelphia, 2011;pp:820-24
5. Bjorksten B., Dietary Management. In: International Seminar in
Paediatric Gastroenterology and Nutrition, Vol1,2nd, June 1992
6. Hill D, Hasking CS. Clinical Management: Food allergy in Paediatric
Clinical Practice. In: KM Hendricks, W Allan Walker eds. International
Wahyu Damayanti
KONAS VII PGHNAI 36 Manado, 17-19 Maret 2017
Seminars in Paediatric Gastroenterology and Nutrition. Decker
Periodicals Inc. 1992:2-7.
7. Koletzko S, et al. European Society of Pediatric Gastroenterology,
Hepatology, and Nutrition. Diagnostic approach and management of
cow‘s-milk protein allergy in infants and children: ESPGHAN GI
Committee practical guidelines. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2012;55(2):221-9.
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 37 Manado, 17-19 Maret 2017
TERAPI REHIDRASI PADA DIARE CAIR AKUT
Alpha Fardah Athiyyah
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Pendahuluan
Dehidrasi merupakan suatu kondisi dimana tubuh mengalami kekurangan
cairan. Leksana menyebutkan bahwa dehidrasi didefinisikan sebagai suatu
kondisi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh1. Anak-anak merupakan
golongan yang rentan terhadap dehidrasi. Bayi dan anak (terutama balita)
lebih rentan mengalami dehidrasi karena komposisi air tubuh lebih banyak,
fungsi ginjal belum sempurna dan masih bergantung pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya, selain itu penurunan berat badan
juga relatif lebih besar2. Dehidrasi merupakan salah satu faktor utama
pembunuh anak-anak di dunia. Hal ini juga ditegaskan oleh Powers yang
menyebutkan bahwa penyakit diare dan dehidrasi menyumbang angka
persentasi kematian bayi dan balita di dunia sebanyak 14% - 30%3.
Dehidrasi pada anak terutama banyak disebabkan oleh penyakit
diare. Penyakit yang banyak dihubungkan dengan dehidrasi pada
kelompok anak-anak adalah infeksi diare yang disebabkan oleh virus atau
bakteri4. Selain itu, dehidrasi juga dapat terjadi karena peningkatan
kebutuhan cairan tubuh, seperti demam, suhu lingkungan yang tinggi, dan
aktivitas ekstrim1.
Dehidrasi merupakan komplikasi utama yang terjadi pada anak yang
mengalami diare. Banyak dampak yang dapat terjadi karena infeksi saluran
cerna antara lain : pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan
sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi,
gangguan keseimbangan elektrolit dan gangguan keseimbangan asam
basa5. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kalkuta, India, didapatkan
382 kematian dari 2536 subyek dengan diare, dimana 20 pasien meninggal
dalam waktu 24 jam, 7 dalam waktu 25-48 jam dan 5 pasien meninggal
setelah 2 hari perawatan di rumah sakit6. Laporan Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 38 Manado, 17-19 Maret 2017
penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita
(25,2%). Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi diare terjadi
pada anak balita (1-4 tahun), yaitu 16,7%7. Finberg menyebutkan bahwa
apabila anak mengalami gizi buruk, maka diare dengan dehidrasi adalah
penyebab utama kematian di dunia, terutama di daerah dimana kemiskinan
dan rendahnya higienitas merupakan hal yang lazim4.
Tingginya angka kematian pada anak yang disebabkan oleh dehidrasi
yang merupakan komorbiditas dari penyakit diare menunjukkan perlunya
untuk mengetahui secara tepat penanganan dehidrasi pada anak.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang disebabkan oleh
dehidrasi harus segera diterapi untuk mengembalikan keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh1. Manajemen terapi pada anak dengan dehidrasi
adalah memberikan terapi rehidrasi. Terapi rehidrasi yang tepat merupakan
ujung tombak keberhasilan tatalaksana dehidrasi pada anak, sehingga
perlu diketahui bagaimana memberikan terapi rehidrasi yang benar dan
tepat.
KOMPOSISI CAIRAN TUBUH ANAK
Gambar 1. Komposisi Cairan Tubuh Manusia4,8
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 39 Manado, 17-19 Maret 2017
Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air. Seluruh cairan tubuh
didistribusikan di antara dua kompartemen utama : cairan ekstraseluler
(ECF) dan cairan intraseluler (ICF)9. Massa bebas lemak atau ―lean body
mass‖ (LBM) manusia terdiri dari air sebanyak 70%, dimana 25% dari LBM
pada anak-anak merupakan ECF dan 45% merupakan cairan ICF.
Kompartemen ECF dan ICF selalu dipisahkan, selain oleh permeabilitas
bebas dari air dan ion Na+ and Cl- melalui proses pengeluaran natrium dari
sel yang bergantung pada energi dan obligat fosfat, juga oleh protein
bermuatan negatif di dalam sel. Dari usia 12 sampai 18 bulan hingga
sekitar usia 5 tahun, proporsi cairan tubuh anak berangsur berubah
menjadi ECF sebanyak 20% dan ICF sebanyak 50%. Maka kesempurnaan
komposisi untuk komponen cairan tubuh menjadi lengkap kurang lebih di
usia 5 tahun. Untuk di awal usia 6 sampai 12 bulan setelah lahir dan untuk
semua pasien gizi buruk, LBM dan berat badan (BB) dapat dianggap sama,
dengan kadar air 70% dari BB. Pada anak dengan usia lebih tua dan gizi
yang terpenuhi, sekitar 10% dari BB adalah lemak, membuat kadar air
menjadi 60% dari BB total4.
Pada kondisi diare, dimana tubuh anak mengalami dehidrasi, terjadi
perubahan volume cairan. Pada dehidrasi, hilangnya cairan kebanyakan
terjadi di ECF10
. ECF terdiri dari 3 komponen cairan yaitu cairan
intravaskular (IVF), cairan interstisial (ISF), dan plasma. Kehilangan cairan
ECF yang mendadak, seperti yang terjadi pada diare, diikuti dengan
penurunan yang bermakna pada volume ECF, terutama pada bagian ISF11
.
Hal ini biasanya dialami pada kondisi dehidrasi ringan sedang. Sedangkan
pada dehidrasi berat, dimana kehilangan cairan terus terjadi akibat BAB
cair dalam jumlah banyak dan disertai kurangnya cairan pengganti, maka
akan menyebabkan kondisi tubuh menjadi hipertonis. Kondisi hipertonis
akan menyebabkan air berpindah dari ICF ke ECF 11
.
TANDA KLINIS DEHIDRASI DAN KLASIFIKASI DEHIDRASI
Dehidrasi sebagai akibat sekunder dari gastroenteritis masih tetap menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas12
. Dalam memberikan
pengobatan yang sesuai untuk dehidrasi pada anak dengan gastroenteritis,
utamanya para tenaga medis harus bisa mengidentifikasi secara akurat
keparahan dari dehidrasinya13
. Oleh karena itu, tanda klinis dehidrasi yang
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 40 Manado, 17-19 Maret 2017
akurat sangat penting untuk mendeteksi dehidrasi dan untuk mengelola
pasien secara tepat14
.
Dari tanda klinis, kita bisa menentukan derajat keparahan dehidrasi
pada anak. Pada anak yang lebih tua, tanda dehidrasi lebih cepat terlihat
dibandingkan bayi karena kadar cairan ekstrasel lebih rendah. Menentukan
derajat dehidrasi pada anak juga dapat menggunakan skor WHO, dengan
penilaian keadaan umum, kondisi mata, mulut dan turgor (tabel 1)15
.
Tabel 1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Derajat Keparahannya16
KLASIFIKASI TANDA KLINIS
Dehidrasi Berat Terdapat 2 atau lebih dari tanda klinis berikut :
- Letargis (mengantuk) atau tidak sadar
- Mata cowong
- Tidak bisa minum atau malas minum
- Turgor kulit perut kembali sangat lambat (≥ 2
detik)
Dehidrasi Ringan
Sedang
Terdapat 2 atau lebih dari tanda klinis berikut :
- Gelisah, rewel
- Mata cowong
- Tampak haus, minum banyak
- Turgor kulit kembali lambat
Non-Dehidrasi Tidak terdapat cukup tanda untuk mengklasifikasikan
sebagai dehidrasi ringan sedang atau berat
Namun, Powers menyebutkan bahwa dehidrasi secara umum
diklasifikasikan menjadi ringan (3%-5% cairan hilang), sedang (6%-9%
cairan hilang), atau berat (≥10% cairan hilang)3. Hal ini sedikit berbeda dari
klasifikasi dehidrasi yang dibuat WHO. Dalam klasifikasi ini disebutkan
beberapa tanda klinis lain yang dapat digunakan sebagai prediktor derajat
keparahan dehidrasi pada anak. Sebuah studi systematic review mengenai
keakuratan dari prediksi secara klinis, setidaknya 5% dehidrasi pada anak
didapatkan pemanjangan waktu pengisian kapiler (CRT), turgor kulit yang
tidak normal, serta pola nafas yang tidak normal merupakan prediktor yang
baik (tabel 2)17
.
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 41 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 2. Tanda Klinis Dehidrasi pada Anak3
TANDA
KLINIS
RINGAN
(3%-5%)
SEDANG
(6%-9%)
BERAT
(≥10%)
Tanda
Sistemik
Rasa haus
meningkat
Rewel Letargis (mengantuk)
Produksi
Urine
Berkurang Berkurang
(< 1 ml/kg/jam)
Sangat berkurang
(oliguria/anuria)
Membran
Mukosa
Lengket Kering Sangat kering
Turgor Kulit Normal Kembali lambat Kembali sangat lambat
CRT Normal Lambat Sangat lambat
Suhu Kulit Normal Dingin Dingin dan basah
Fontanela
Anterior
Normal Cekung Sangat cekung
Nadi Normal Cepat Sangat cepat atau sangat
lemah
Tekanan
Darah
Normal Normal ke rendah Rendah
Pola
Respirasi
Normal Dalam, bisa
meningkat
Dalam dan meningkat atau
menurun sampai hilang
Dehidrasi juga dapat dikategorikan menjadi beberapa tipe berdasarkan
jumlah kehilangan cairan dan elektrolit. Berdasarkan perbandingan jumlah
natrium dengan jumlah air yang hilang, dehidrasi dibedakan menjadi tiga
tipe yaitu dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik, dan dehidrasi hipotonik.
Berikut ini adalah tipe dehidrasi3:
1. Dehidrasi isotonik (isonatremik).
Tipe ini merupakan yang paling sering (80%) dan memiliki prognosa
yang paling baik. Pada dehidrasi isotonik kehilangan air sebanding
dengan jumlah natrium yang hilang, dan biasanya tidak mengakibatkan
cairan ekstrasel berpindah ke dalam ruang intraseluler. Kadar natrium
dalam darah pada dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan osmolaritas
efektif serum 275-295 mOsm/L.
2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik).
Natrium hilang yang lebih banyak daripada air. Penderita dehidrasi
hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 42 Manado, 17-19 Maret 2017
135 mmol/L) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mOsml/L).
Karena kadar natrium rendah, cairan intravaskuler berpindah ke ruang
ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi cairan intravaskuler.
3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik).
Hilangnya air lebih banyak daripada natrium. Dehidrasi hipertonik
ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mmol/L)
dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 295 mOsm/L).
Karena kadar natrium serum tinggi, terjadi pergeseran air dari ruang
ekstravaskuler ke ruang intravaskuler. Untuk mengkompensasi, sel
akan merangsang partikel aktif (idiogenik osmol) yang akan menarik air
kembali ke sel dan mempertahankan volume cairan dalam sel. Saat
terjadi rehidrasi cepat untuk mengoreksi kondisi hipernatremia,
peningkatan aktivitas osmotik sel tersebut.
PENYULIT DEHIDRASI
Akibat dari dehidrasi bila tidak ditangani dengan segera, menyebabkan
gangguan pada fungsi fisiologis tubuh. Gangguan fisiologis tubuh yang
dapat terjadi antara lain :
A. KETIDAKSEIMBANGAN ELEKTROLIT
Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada jumlah
yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya
elektrolit2,18
. Hilangnya elektrolit menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan yang juga dikenal dengan ketidakseimbangan
osmolalitas. Ketidakseimbangan osmolalitas melibatkan zat terlarut
dalam cairan-cairan tubuh11
.
Natrium merupakan zat terlarut utama yang sering terganggu pada
kondisi dehidrasi. Ketika dehidrasi terjadi akibat diare, mekanisme
homeostasis biasanya ikut menyesuaikan dimana kebutuhan fisiologis
akan air dan natrium klorida berkurang, sehingga dengan begitu
konsentrasi natrium dalam serum dipertahankan dalam kisaran normal.
Bila diikuti dengan muntah, maka asupan air menjadi terbatas,
mengakibatkan hilangnya air lebih banyak dari hilangnya garam dan
menimbulkan hipernatremia. Ketika hilangnya air dan garam sangat
banyak melalui feses masih terjadi dan asupan hanya air, maka
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 43 Manado, 17-19 Maret 2017
hilangnya garam menonjol menimbulakn kondisi hiponatremia4.
Hiponatremia berat dapat memicu kejang hebat2.
Selain natrium, kalium juga terganggu. Pada diare, biasanya kadar
kalium menurun karena hilang bersama dengan feses3. Kehilangan
feses dalam jumlah banyak mengakibatkan berkurangnya volume ECF,
asidosis metabolik dan penurunan kalium. Kekurangan kalium sulit
dinilai karena asidosis menyebabkan K+ keluar dari sel, sehingga
meningkatkan kadar K+ dalam serum dan mengaburkan kekurangan
yang sebenarnya dari kalium tubuh total11
. Konsentrasi kalium harus
dipantau dan dicukupi kebutuhannya untuk menghindari aritmia jantung
dan juga ileus fungsional3.
B. KETIDAKSEIMBANGAN ASAM-BASA
Anak-anak yang mengalami dehidrasi cenderung sering mengalami
asidosis metabolik. Asidosis metabolik yang terjadi biasanya
disebabkan oleh menurunnya kadar bikarbonat bersamaan dengan
keluarnya feses akibat diare. Hal ini lazim terjadi pada diare dengan
dehidrasi berat, dimana hilangnya cairan yang sangat banyak
melemahkan kemampuan ginjal untuk ekskresi dalam rangka
mempertahankan keseimbangan asam-basa19
. Semakin banyak cairan
yang hilang, diare bisa menyebabkan penurunan ECF yang bermakna,
menurunkan GFR, dan membatasi kemampuan ginjal untuk
memperbaiki gangguan yang terjadi. Jika perfusi ginjal menurun,
ekskresi asam oleh ginjal menjadi terganggu3. Bila diare berat, asidosis
laktat dapat terjadi sebagai akibat dari hipoperfusi19,20,21
.
TERAPI REHIDRASI PADA DIARE
Setelah mengetahui cara menentukan derajat dehidrasi, maka hal
selanjutnya yang penting dilakukan adalah melakukan koreksi pada
dehidrasi. Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah
mengganti cairan yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit,
sehingga keseimbangan hemodinamik kembali tercapai dengan terapi
rehidrasi. Tujuan utama terapi rehidrasi adalah mengetahui derajat dan tipe
dari dehidrasi dan untuk mengembalikan defisit air dan elektrolit dengan
menyesuaikan kebutuhan rumatan dan menggantikan kehilangan cairan
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 44 Manado, 17-19 Maret 2017
yang sedang berjalan3. Berikut adalah terapi-terapi rehidrasi yang dapat
diberikan pada anak yang mengalami dehidrasi akibat diare :
A. TERAPI REHIDRASI ORAL (ORT)
Ketika terjadi diare, tidak hanya air saja yang hilang, tetapi elektrolit
juga hilang bersamaan dengan keluarnya tinja. Untuk mengganti cairan
dan elektrolit yang hilang bisa menggunakan terapi rehidrasi oral
(ORT). Guideline terbaru dalam tatalaksana diare merekomendasikan
penggunaan ORT ini, terutama dalam penanganan dehidrasi ringan
sedang. Maka dari itu, ORT dengan menggunakan oral rehydration
solution (ORS) atau yang lebih dikenal dengan oralit diberikan untuk
mengganti cairan dan elektrolit dalam tubuh yang hilang saat diare22
.
Namun, pemberiannya sering diabaikan saat di Rumah Sakit maupun
Instalasi Gawat Darurat. Dalam sebuah penelitian RCT oleh Atherly-
John dan kawan-kawan menyebutkan bahwa penggunaan ORT di unit
gawat darurat anak di negara berpenghasilan besar berakibat secara
bermakna pada penurunan biaya, pemendekan waktu di unit gawat
darurat, dan lebih menguntungkan bagi para pengasuh dengan terapi
ini 23,24
. Meskipun diare tetap berlangsung, air masih bisa diserap oleh
usus. Bukti-bukti tersebut yang mendukung tatalaksana praktis yang
merekomendasikan ORT sebagai pilihan pertama dari tatalaksana
dehidrasi pada anak sebagai akibat sekunder dari gastroenteritis24
.
Penemuan inilah yang mengarahkan ke perkembangan ORS oleh
WHO, yang disebutkan sebagai ―kemajuan medis yang berpotensial
terpenting abad ini‖ 3,25
.
Formula asli oralit yang diracik WHO dan UNICEF (WHO-ORS)
memiliki osmolalitas dan kadar natrium yang sama tinggi. Namun, pada
tahun 2002, rekomendasi tersebut diperbaharui dengan kadar natrium
dan osmolalitas yang lebih rendah, sehingga menurunkan frekuensi
BAB dan insiden hipernatremia3. Penelitan menunjukkan bahwa oralit
formula baru mampu mengurangi volume tinja hingga 25%,
mengurangi mual-muntah hingga 30%, dan mengurangi secara
bermakna pemberian cairan melalui intravena22
. Formula oralit baru
juga mengurangi keluhan mual muntah pada pemberian oralit. Rupani
dan kawan-kawan menyebutkan ORS dengan osmolalitas yang rendah
menurunkan volume tinja secara bermakna dibandingkan WHO-ORS
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 45 Manado, 17-19 Maret 2017
biasa (pooled standardized mean difference -0.44, 95% CI -0.72 to -
0.15)26
. Dalam studi meta-analisisnya didapatkan ORS osmolalitas
rendah dibandingkan WHO-ORS biasa dihubungkan dengan
penurunan pemberian infus yang tidak diperlukan (Odds Ratio 0.62,
95% CI 0.47 to 0.83)26
. Pada lima percobaan klinis dilakukan meta-
analisis pada kejadian muntah didapatkan bahwa anak yang mendapat
ORS osmolalitas rendah cenderung tidak mengalami muntah
dibandingkan anak yang mendapat WHO-ORS biasa (Odds Ratio 0.74,
95% CI 0.57 to 0.97)26
.
Tabel 3. Perbedaan Komposisi Elektrolit pada Oralit Lama dan Oralit Baru22
No. ORALIT LAMA
(WHO/UNICEF 1978)
ORALIT BARU
(WHO/UNICEF 2004)
Dengan Osmolaritas
1.
2.
3.
4.
5.
Na+ : 90 mEq/l
K+ : 20 mEq/l
HCO3 : 30 mEq/l
Cl- : 80 mEq/l
Glucose : 111 mmol/l
Na+ : 75 mEq/l
K+ : 20 mEq/l
Citrate : 10 mmol/l
Cl- : 65 mEq/l
Glucose : 75 mmol/l
Osmolar. 331 mmol/l Osmolar. 245 mmol/l
Beberapa jenis minuman juga digunakan sebagai terapi rehidrasi, tapi
penggunaannya tidak tepat sebagai terapi rehidrasi karena minuman-
minuman tersebut tidak mengandung kadar natrium dan rasio glukosa
yang tepat untuk mendorong penyerapan garam dan air di sepanjang
lumen usus. Campuran garam dan glukosa yang terkandung dalam
oralit dapat diserap dengan baik oleh usus penderita diare22
.
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 46 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 4. Komposisi ORS dan Beberapa Minuman yang Sering Digunakan
sebagai Terapi Rehidrasi3
CAIRAN/
MINUMAN
KARBOHIDRAT
(g/L)
NATRIUM
(mEq/L
[mmol/L]
KALIUM
(mEq/L
[mmol/L]
)
BASA
(mEq/L
[mmol/L])
OSMOLARITAS
(mOsm/kg
[mmol/kg])
Pedialyte 25 45 20 30 250
Enfalyte 30 50 25 30 200
CeraLyte 40 70 20 10 235
WHO (2002) 135 75 20 30 245
TIDAK TEPAT UNTUK REHIDRASI
Gatorade 45 20 3 3 280-360
POWERADE 58 10 3 1 403
Jus Apel 100-150 3 20 0 700
The 0 0 0 0 5
Ginger ale 90 3.5 0.1 3.6 565
Cola 100-150 2 0.1 13 550
Kaldu Ayam 0 250 5 0 450
ORS dapat diberikan pada dehidrasi isonatremik dengan derajat ringan
sampai sedang. Selama anak masih bisa dan mau minum, lebih baik
diberikan ORS. Pemberiannya mudah dan dapat dilakukan di rumah,
sehingga biaya pengobatan lebih terjangkau. Cara pemberiannya
dengan melarutkan 1 bungkus Oralit dilarutkan dalam satu gelas air
matang (200 ml). Sebaiknya oralit tidak diminum secara langsung
dihabiskan. Untuk anak < 2 tahun, diminumkan satu sendok teh tiap 1-2
menit dan untuk anak yang lebih besar bisa menggunakan cangkir teguk
demi teguk16
. Jika anak muntah, tunggu 10 menit lalu lanjutkan lagi lebih
lambat27
.
Tabel 5. Pemberian Oralit pada Dehidrasi Ringan/Sedang27
UMUR Sampai 4
bulan
4-12
bulan
12 - 24
bulan
2 – 5
tahun
Berat Badan <6 kg 6 – 10 kg 10 – 12 kg 12 – 19 kg
Jumlah Cairan
Oralit*
200-400 400-700 700-900 900-1400
*Oralit diberikan dalam periode 3 jam pertama
*Jumlah oralit yang diberikan 75 ml/kg berat badan
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 47 Manado, 17-19 Maret 2017
Pemberian oralit dirasa banyak memberikan keuntungan bagi pasien
dibandingkan dengan terapi intravena (IVT). Nager dan Wang
menyebutkan bahwa pemberian ORT melalui sonde lebih tidak invasif
dibandingkan dengan IVT, serta biayanya lebih murah dan sama-sama
bisa diberikan segera seperti IV28
. Ketika memberikan terapi untuk
dehidrasi pada anak yang mengalami gastroenteritis, IVT memberikan
sedikit keuntungan dari rehidrasi oral atau nasogastrik. Tidak ada bukti
penelitian yang mendukung penggunaan IVT berlanjut sebagai lini
pertama dalam tatalaksana kasus gastroenteritis pada anak24
. Selain itu,
dibandingkan anak yang mendapat terapi rehidrasi IV, anak yang
mendapat rehidrasi oral secara bermakna mengalami lebih sedikit efek
samping, termasuk kematian dan kejang (relative risk, 0.36; 95%
confidence interval [CI], 0.14-0.89)29
. Phlebitis secara bermakna terjadi
lebih sering pada IVT (number needed to treat [NNT] 33; 95% CI:
25,100), tetapi pada pemberian ORT kejadian ileus paralitik lebih sering
terjadi (NNT 33; 95% CI: 20,100). Penurunan masa perawatan di RS
yang bermakna (mean, 21 hours; 95% CI, 8-35 hours) juga terjadi pada
pemberian ORT. Dalam studi meta-analisis yang dilakukan Bellemare,
masa perawatan pada grup ORT secara bermakna lebih pendek
(weighted mean difference [WMD] -1.2 days; 95% CI: -2.4,-0.02)24
.
ReSoMal (Rehydration Solution for Malnutrition Children)
Anak dengan gizi buruk sangat rentan mengalami diare. Diare pada
anak gizi buruk memiliki derajat keparahan yang lebih besar dan
meningkatkan risiko kematian 8-9 kali dibandingkan dengan anak
gizi baik30,31,32
. Anak gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan
memiliki kadar natrium yang sangat tinggi33
. Akibat kondisi adaptasi
dari malnutrisi ini, timbul pertimbangan bahwa ORS yang
mengandung kadar natrium yang tinggi dapat meningkatkan kadar
natrium intraseluler dan risiko kelebihan cairan serta gagal jantung 32
,33
.
WHO merekomendasikan ORS yang berbeda yaitu ReSoMal
(rehydration solution for malnourished children) untuk terapi rehidrasi
pada anak gizi buruk. ReSoMal ini mengandung kadar natrium yang
lebih rendah dan kadar kalium yang lebih tinggi daripada oralit WHO
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 48 Manado, 17-19 Maret 2017
(WHO-ORS) untuk anak gizi baik. Komposisi ReSoMal adalah 37.5
mmol Na, 40 mmol K, dan 3 mmol Mg per liter27
. Sayangnya di
Indonesia larutan ReSoMal ini belum tersedia dalam bentuk instan
seperti oralit. Namun, ReSoMal dapat dibuat dari modifikasi WHO-
ORS dengan tambahan gula dan larutan mineral mix (tabel 6).
Larutan mineral mix dibuat dari bubuk mineral mix yang dilarutkan
terlebih dahulu dalam air matang sebanyak 20 ml.
Tabel 6. Resep ReSoMal27
BAHAN JUMLAH
Oralit WHO 1 sachet (200 ml)
Gula Pasir 10 g
Larutan mineral mix* 8 ml
Ditambahkan air sampai menjadi 400 ml
*Bila bubuk mineral mix tidak tersedia dapat diganti dengan bubuk KCl 0,8 g.
Kebutuhan ReSoMal untuk mengembalikan hidrasi ke kondisi normal
sekitar 70-100ml/kg berat badan33
. Beri ReSoMal, secara oral atau
melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika melakukan
rehidrasi pada anak dengan gizi baik27
:
- Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
- Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-
seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama
10 jam
B. TERAPI INTRAVENA (INFUS)
Dehidrasi berat harus diterapi dengan cairan intravena (IV) sampai
pasien stabil (dengan kata lain volume sirkulasi darah kembali
pulih)10
. Semua anak yang mengalami dehidrasi berat dan dalam
kondisi syok atau mendekati syok membutuhkan terapi IV dengan
cepat dan adekuat. Dalam tatalaksana diare, studi klinis sangat
menekankan pemberian ORT; tetapi klinisi harus tahu kapan dan
bagaimana cara memberi terapi IV, yang menyokong peran penting
dalam tatalaksana diare pada anak13
. Cairan IV dibutuhkan pada
kasus seperti34
:
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 49 Manado, 17-19 Maret 2017
- Syok
- Dehidrasi dengan perubahan status mental atau asidosis berat
- Perburukan dari dehidrasi atau kurangnya perbaikan meski dengan
pemberian terapi rehidrasi oral atau enteral
- Muntah persisten meski dengan pemberian cairan yang tepat
secara oral atau melalui NG tube
- Distensi abdomen yang berat dan ileus
Cairan IV harus segera diberikan pada anak yang mengalami
dehidrasi berat. Bila anak masih bisa minum, dapat diberikan ORT
terlebih dahulu selagi persiapan pemasangan infus. Cairan IV yang
digunakan sebaiknya cairan kristaloid seperti Ringer Laktat atau
normal saline (NaCl 0.9%). Terapi harus diulang sesuai kebutuhan
dengan memonitor kekuatan denyut nadi pasien, CRT, status mental,
dan produksi urin10
. Berdasarkan guideline WHO dalam tatalaksana
diare akut dehidrasi berat, berikan cairan IV 100 ml/kg yang terbagi
dalam16
:
Tabel 7. Pemberian Cairan Intravena bagi Anak dengan Dehidrasi Berat
UMUR Pemberian Awal
30 ml/kg selama :
Pemberian Berikutnya
70 ml/kg selama :
Bayi
(dibawah umur 12 bulan)
1 jam* 5 jam
Anak
(12 bulan sampai 5 tahun)
30 menit* 2 ½ jam
*Ulangi kembali bila denyut nadi masih teraba lemah
Daftar Pustaka
1. Leksana E. Dehidrasi dan Syok. CDK-228. 2015;42(5):391–4.
2. Leksana E. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. CDK-224.
2015;42(1):70–3.
3. Powers KS. Dehydration: Isonatremic, Hyponatremic, and
Hypernatremic Recognition and Management. Pediatr Rev.
2015;36(7):274–83.
4. Finberg L. Dehydration in Infancy and Childhood. Pediatr Rev.
2002;23(8):277–81.
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 50 Manado, 17-19 Maret 2017
5. Sudarmo SM, Ranuh R, Djupri L, Soeparto P. Managemen Diare Pada
Bayi Dan Anak. Div Gastroenterol Lab/SMF Ilmu Kesehat Anak FK
Unair / RSU Dr Soetomo Surabaya. 2010;
6. Nair GB, Ramamurthy T, Bhattacharya MK, Krishnan T, Ganguly S,
Saha DR, et al. Emerging trends in the etiology of enteric pathogens as
evidenced from an active surveillance of hospitalized diarrhoeal
patients in Kolkata, India. Gut Pathog. 2010;2(4).
7. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2014.
Yudianto, Budijanti D, Hardhana B, Soenardi TA, editors. Vol. 51,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 40.
8. Jéquier E, Constant F. Water as an essential nutrient: the physiological
basis of hydration. Eur J Clin Nutr. 2010;64:115–23.
9. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Setiawan
I, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. 1428.
10. Canavan A, Arant BS. Diagnosis and management of dehydration in
children. Am Fam Physician. 2009;80(7):692–6.
11. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses
penyakit. 4th ed. Jakarta: EGC; 1995. 302-322.
12. Friedman JN, Goldman RD, Srivastava R, Parkin PC. Development of
a clinical dehydration scale for use in children between 1 and 36
months of age. J Pediatr. 2004 Aug;145(2):201–7.
13. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter: The
Management of Acute Gastroenteritis in Young Children. Pediatrics.
1996;97:424–35.
14. Al Sabbagh M. The Accuracy of Clinical Signs in Detecting Dehydration
in Children. Middle East J Fam Med. 2013;11(8):28–35.
15. Pringle K, Shah SP, Umulisa I, Mark Munyaneza RB, Marie
Dushimiyimana J, Stegmann K, et al. Comparing the accuracy of the
three popular clinical dehydration scales in children with diarrhea. Int J
Emerg Med. 2011;4(58):1–6.
16. World Health Organization. Pocket Book of Hospital Care for Children :
Guidelines for The Management of Common Childhood Illnesses. 2nd
ed. Geneva: World Health Organization; 2013.
17. Steiner MJ, Dewalt DA, Byerley JS. Is This Child Dehydrated? J Am
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 51 Manado, 17-19 Maret 2017
Med Assoc. 2004;291(22):2746–54.
18. Thomas DR, Cote TR, Lawhorne L, Levenson SA, Rubenstein LZ,
Smith DA, et al. Understanding Clinical Dehydration and Its Treatment.
J Am Med Dir Assoc. 2008;9:292–301.
19. Gennari FJ, Weise WJ. Acid-base disturbances in gastrointestinal
disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3(6):1861–8.
20. Wesson D, Laski M. Hyperchloremic Metabolic Acidosis Due to
Intestinal Losses and Other Nonrenal Causes. In: Acid-Base Disorders
and Their Treatment. CRC Press; 2005:487–99.
21. Gennari FJ, Adrogué HJ, Galla JH, Madias NE. Acid–Base Disorders
and Their Treatment. N Engl J Med. 2005;353(23):2520–1.
22. Departemen Kesehatan RI. Buku Saku Petugas Kesehatan : Lintas
Diare. Jakarta; 2011:1-40.
23. Atherly-John YC, Cunningham SJ, Crain EF. A randomized trial of oral
vs intravenous rehydration in a pediatric emergency department. Arch
Pediatr Adolesc Med. 2002;156(12):1240–3.
24. Bellemare S, Hartling L, Wiebe N, Russell K, Craig WR, Mcconnell D,
et al. Oral rehydration versus intravenous therapy for treating
dehydration due to gastroenteritis in children: a meta-analysis of
randomised controlled trials. BMC Med. 2004;2(2).
25. Water with sugar and salt. Lancet (London, England). 1978 Aug
5;2(8084):300–1.
26. Rupani MP, Gaonkar NT, Bhatt GS. Low osmolar oral rehydration
solution (ORS) for treating diarrhea in children: A systematic review
and meta-analysis. Online J Heal Allied Sci. 2015;14(3):1–6.
27. WHO Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta;
2009. 406 p.
28. Nager AL, Wang VJ. Comparison of Nasogastric and Intravenous
Methods of Rehydration in Pediatric Patients With Acute Dehydration.
Pediatrics. 2002;109(4):566-72.
29. Fonseca BK, Holdgate A, Craig JC. Enteral vs Intravenous Rehydration
Therapy for Children With Gastroenteritis A Meta-analysis of
Randomized Controlled Trials. Arch Pediatr Adolesc Med.
2004;158:483–90.
30. Ahmed T, Ali M, Ullah MM, Choudhury IA, Haque ME, Salam MA, et al.
Alpha Fardah Athiyyah
KONAS VII PGHNAI 52 Manado, 17-19 Maret 2017
Mortality in severely malnourished children with diarrhoea and use of a
standardised management protocol. Lancet. 1999
Jun;353(9168):1919–22.
31. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children
dying every year? Lancet. 2003;361:2226–34.
32. Kumar R, Kumar P, Aneja S, Kumar V, Rehan HS. Safety and Efficacy
of Low-osmolarity ORS vs. Modified Rehydration Solution for
Malnourished Children for Treatment of Children with Severe Acute
Malnutrition and Diarrhea: A Randomized Controlled Trial. J Trop
Pediatr. 2015 Aug 27;61(6):435-41.
33. World Health Organization. Management Of Severe Malnutrition: A
Manual For Physicians And Other Senior Health Workers. Geneva;
1999:60.
34. Guarino A, Ashkenazi S, Gendrel D, Lo Vecchio A, Shamir R,
Szajewska H, et al. European Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology, and Nutrition/European Society for Pediatric Infectious
Diseases evidence-based guidelines for the management of acute
gastroenteritis in children in Europe: update 2014. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2014;59(1):132–52.
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 53 Manado, 17-19 Maret 2017
DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA DISENTRI PADA ANAK
Yusri Dianne Jurnalis
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP dr. M. Djamil Padang
Pendahuluan
Disentri merupakan peradangan yang terjadi pada usus yang disebabkan
oleh infeksi bakteri atau amuba, dengan gejala terjadinya diare yang
mengandung lendir dan darah.1
Di negara berkembang, diare merupakan
salah satu penyebab kesakitan dan kematian terutama pada anak usia
dibawah 5 tahun.2 Di Indonesia, diperkirakan 60 juta kasus diare setiap
tahun dengan 70-80% penderita berusia dibawah 5 tahun, 15%
diantaranya menderita diare berdarah.3,4
Pfeiffer et al melaporkan dari 44
studi pada tahun 2012 ditemukan 36% Shigella spp dan 47,7% Entamoeba
histolytica dari semua kasus diare anak di negara berkembang.5
Penularan disentri dipengaruhi faktor higiene dan sanitasi, tingkat
sosial ekonomi dan kebiasaan. Penularan dapat langsung ataupun melalui
faktor pembawa seperti lalat. Penyakit ini dapat mewabah pada
pemukiman padat penduduk dengan sanitasi rendah.1, 2
Diagnosis yang tepat dan tata laksana yang sesuai sangat
mempengaruhi prognosis dan komplikasi. Diagnosis disentri ditegakkan
atas dasar gejala klinis, didukung dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang. Mikroba penyebab dapat diidentifikasi melalui analisis dan
biakan tinja. Tata laksana umum bersifat suportif seperti tata laksana diare
pada umumnya, sedangkan tata laksana spesifik menggunakan
antimikroba empiris dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan penunjang.2
Etiologi
Disentri berdasarkan penyebabnya dikelompokan menjadi disentri basiler
(disebut juga : shigellosis) yang disebabkan oleh Shigella spp, Salmonella
spp, enteroinvasif Escherichia coli (EIEC), Campylobacter jejuni dan
disentri amuba yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica.5,6
Penyebab
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 54 Manado, 17-19 Maret 2017
tersering diare berdarah adalah Shigella spp yang merupakan basil Gram
negatif fakultatif anaerob dengan pH pertumbuhan 6,4-7,8 dan suhu
optimum 370C. Serogrup Shigella spp yang sering menyebabkan diare
yaitu Shigella flexneri, Shigella dysenteriae, Shigella boydii dan Shigella
sonnei. Yang sering ditemukan di daerah tropis adalah Shigella flexneri
dan Shigella dysenteriae.7,8
Patogenesis
Penularan disentri terjadi secara fekal-oral melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi, melalui tangan, serta peralatan makan yang tidak
dibersihkan dengan baik dan benar, dan penularan langsung dari orang ke
orang. Keadaan ini biasanya terjadi di daerah yang memiliki tingkat sanitasi
buruk.8
Patogenesis terjadinya diare pada Shigella spp menyerupai diare
yang disebabkan oleh enteroinvasif Escherichia coli (EIEC). Kolonisasi di
ileum terminal atau kolon (terutama kolon distal), kemudian menginvasi sel
epitel mukosa usus dan bereplikasi,sehingga memicu terjadinya infiltrasi
sel PMN dan nekrosis sel epitel mukosa yang kemudian membentuk ulkus-
ulkus kecil, sehingga eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus dan
bercampur dengan tinja.Shigella spp dan EIEC memproduksi enterotoksin
yang mengakibatkan hipersekresi usus sehingga terjadi diare cair/diare
sekresi. Selain itu S. dysenteriae type 1 juga memproduksi eksotoksin
(Shiga toxin) yang bersifat sitotoksik.1,3,7
Salmonella spp dapat menginvasi mukosa usus seperti halnya
Shigella spp, terus masuk ke lamina propria sehingga menyebabkan
infiltrasi sel radang dan penyebaran ke kelenjar getah bening mesenterium,
menyerang sistem retikulo-endotelial (RES) dan dapat mengakibatkan
infeksi sistemik.1,3
Campylobacter jejuni membentuk kolonisasi di jejunum/ileum/kolon,
invasi ke sel epitel mukosa usus sampai ke lamina propria,terjadi infiltrasi
sel-sel radang, kemudian nekrosis mukosa dan dapat masuk ke sirkulasi
(bakteremia).3
Entamoeba histolytica merupakan protozoa komensal usus, ada
dalam dua bentuk, trofozoit atau kista, dapat menginvasi dinding usus dan
menyerang hati, paru dan otak. Perubahan Entamoeba histolytica menjadi
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 55 Manado, 17-19 Maret 2017
patogen diduga karena faktor kerentanan penderita, keganasan mikroba
ataupun lingkungan yang mendukung terjadinya infeksi.9,10
Entamoeba histolytica masuk ke saluran cerna berupa kista dan
kemudian mengeluarkan bentuk trofozoit yang menginvasi sel epitel
mukosa sampai submukosa usus, mengakibatkan nekrosis jaringan
mukosa usus, sehingga menimbulkan ulkus-ulkus yang dapat melebar dan
saling berhubungan sehingga membentuk sinus-sinus submukosa yang
mengakibatkan malabsorpsi karena kerusakan permukaan absorpsi
sehingga terjadi diare osmotik.9- 11
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Manifestasi klinis bervariasi mulai dari diare ringan tanpa demam, sampai
disentri hebat disertai demam dan tenesmus. Tenesmus merupakan nyeri
perut mulas melilit berkepanjangan, terlebih ketika buang air besar. Nyeri
perut pada anak atau bayi biasanya tidak terlihat dengan jelas, gejala yang
tampak biasanya menangis, rewel atau ekspresi nyeri lainnya.3
Shigellosis dapat menyebabkan tiga bentuk diare, disentri klasik
berupa diare disertai darah dan lendir, watery diarrhea ataupun kombinasi
keduanya. Masa inkubasi shigellosis 2-4 hari, bisa sampai 1 minggu.Masa
inkubasi disentri amuba bervariasi antara 2 hari sampai 4 bulan, invasi
berawal dari perlengketan trofozoit dengan epitel usus.7,9
Diagnosis klinis disentri dapat ditegakkan dengan menemukan tinja
bercampur darah dan lendir.
1. Anamnesis
Deskripsi keluhan berupa lama diare, frekuensi, volume, konsistensi
tinja, warna, adanya darah atau lendir, bau, serta gejala nyeri perut, perut
kembung, adanya demam merupakan informasi penting dalam penegakan
diagnosis.2
Gejala disentri basiler bervariasi, seperti defekasi sedikit-sedikit
hingga terus-menerus, nyeri perut, muntah, nyeri kepala dan demam.
Permulaan diare encer tanpa darah, selanjutnya keadaan memberat
dengan ditemukannya darah dan lendir pada tinja (red currant jelly).3
Pada disentri amuba biasanya dikeluhkan perut kembung, kram perut
disertai nyeri terutama di daerah sigmoid, diare berlendir dan berdarah
dengan tinja berbau busuk. Penderita (carrier) dapat tidak menunjukkan
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 56 Manado, 17-19 Maret 2017
gejala klinis apabila amuba tidak menginvasi usus. Riwayat perjalanan ke
daerah endemi amebiasis dapat menjadi pertimbangan diagnosis.9,10
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda vital meliputi berat badan, suhu tubuh, frekuensi
dan kualitas nadi, pernapasan serta tekanan darah. Penentuan derajat
dehidrasi meliputi tingkat kesadaran, rasa haus, turgor kulit dan tanda-
tanda dehidrasi lainnya seperti ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata
cekung atau tidak, adanya air mata atau tidak, mukosa mulut dan lidah
kering atau basah, bising usus, serta pemeriksaan akral dan capillary
refilling time.2
Tabel 1. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 19952
Penilaian A B C
Lihat :
Keadaan
umum
Baik, sadar
*Gelisah, rewel, sangat haus
*Lesu, lunglai atau
tidak sadar
Mata
Air mata
Mulut dan
lidah
Rasa haus
Normal
Ada
Basah
Minum biasa
Cekung
Kering
Kering
*Haus
Sangat cekung
Sangat kering
Sangat kering
*Malas minum
Periksa :
Turgor kulit
Kembali cepat
*Kembali lambat
*Kembali sangat
lambat
Hasil : Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/sedang Dehidrasi berat
Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain
3. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum dan analisis gas darah
tidak rutin dilakukan padasemua kasus disentri, sedangkan analisis tinja
(termasuk tes darah samar),kultur dan tes sensitifitas tinja terhadap
antimikroba perlu dilakukan untuk ketepatan diagnosis dan pengobatan.
Diagnosis etiologi ditegakkan berdasarkan penemuan bakteri ataupun
parasit pada tinja, bahan pemeriksaan sebaiknya tinja segar.2,8
Pada disentri basiler secara makroskopis terlihat darah yang
berwarna merah segar bercampur tinja dan secara mikroskopis tampak
eritrosit, leukosit, sel makrofag yang banyak.2,9
Selain tinja segar, bahan
pemeriksaan dapat diambil dari rectal swab ataudari ulkus mukosa usus
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 57 Manado, 17-19 Maret 2017
saat pemeriksaan endoskopi. Pada kondisi spesimen tidak dapat diperiksa
langsung, sebaiknya digunakan media transpor karena Shigella peka
terhadap suasana lingkungan. Koloni Shigella spp tampak kecil, halus dan
tidak berwarna, dapat ditanam pada agar Shigella-Salmonela (SS), agar
Endo, atau agar Mac Conkey.7
Pada disentri amuba secara makroskopis tampak darah segar pada
permukaaan tinja dan berbau busuk, secara mikroskopis ditemukan bentuk
kista atau trofozoit, eritrosit, eosinofil, dan sedikit makrofag.3
Trofozoit
biasanya ditemukan pada tinja cair, sedangkan kista pada tinja yang
berbentuk. Pemeriksaan tinja serial perlu dilakukan karena pengeluaran
kista terjadi intermiten. Tes serologi amuba juga tersedia untuk mendeteksi
tipe dan konsentrasi antibodi 2
Gambar 1. Trofozoit Entamoeba histolytica11
Tata Laksana
Disentri basiler dapat mengalami penyembuhan spontan dalam waktu 2-7
hari, tapi dapat menjadi septikemia bahkan kematian pada usia lebih muda
dan penderita dengan komplikasi lain seperti gizi buruk atau
imunodefisiensi.7
Dalam pemberian obat-obatan, harus diperhatikan bahwa
obat-obat yang memperlambat motilitas usus sebaiknya tidak diberikan
karena adanya risiko untuk memperpanjang masa sakit.2
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 58 Manado, 17-19 Maret 2017
Lima pilar penatalaksanaan diare pada semua kasus diare yang diderita
anak balita baik yang dirawat dirumah atau di rumah sakit :
1. Rehidrasi dengan oralit baru
Penilaian dan koreksi terhadap status hidrasi dan keseimbangan
elektrolit pada penderita diare merupakan hal penting agar tidak terjadi
komplikasi lanjut. Upaya rehidrasi dengan cairan intravena pada kasus
dehidrasi berat atau cairan rehidrasi oral (oralit) untuk kasus dehidrasi
sedang atau tanpa dehidrasi. Oralit merupakan campuran dari air bersih,
garam dan gula, sebagai pengganticairan dan elektrolit yang keluar saat
diare. Dosis oralit yang diberikan untuk anak berumur kurang dari 2 tahun
yaitu 50-100 ml tiap kali BAB dan untuk anak lebih dari 2 tahun diberikan
100-200 ml tiap BAB.2, 12
Tabel 2. Perbandingan kandungan oralit formula lama dan baru (volume 1 liter).2, 12
Kandungan Formula lama (WHO 1978) Formula baru
(WHO 2004)
NaCl
NaHCO3
KCl
Glukosa
Natrium
Kalium
HCO3
Klorida
Glukosa
Osmolaritas
(g)
(g)
(g)
(g)
(mEq/l)
(mEq/l)
(mEq/l)
(mEq/l)
(mmo l/l)
(mOsm/l)
3,5
2,5
1,5
20
90
30
30
80
111
331
2,6
2,9
1,5
13,5
75
20
10
65
75
245
2. Suplementasi zinc
Berikan zinc selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anak telah
sembuh dari diare dengan dosis 10 mg/hari untuk usia dibawah 6 bulan
dan 20 mg/hari untuk 6 bulan keatas. Suplementasi zinc dapat
meningkatkan absorpsi air dan elektrolit, serta meningkatkan regenerasi
epitel usus sehingga mengurangi durasi dari episode diare dan penurunan
volume tinja.2, 12
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 59 Manado, 17-19 Maret 2017
3. ASI dan makanan lain tetap diteruskan
Pemberian diet tetap dilanjutkan sesuai dengan usia anak dan menu
yang diberikan saat anak sehat, berikan makanan lunak tinggi kalori dan
protein termasuk ASI selama diare, untuk mencegah malnutrisi.2, 12
4. Antibiotik selektif
Anak dengan diare berdarah harus dicurigai menderita shigellosis dan
mendapatkan terapi yang sesuai. Pengobatan dengan antibiotik yang tepat
akan mengurangi masa sakit dan menurunkan risiko komplikasi dan
kematian.2, 12
Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan pola resistensi
Shigella. Di Amerika Serikat dan China ditemukan resistensi terhadap
ampisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol (kotrimoksazol), dengan tingkat
resistensi lebih tinggi di Asia dan Afrika dibanding Amerika dan Eropa.1
Terdapat beberapa laporan resistensi kotrimoksazol di Indonesia.13,14
Dari
empat Rumah Sakit di Jakarta didapatkan hampir 87 % dari 50 penderita
shigellosis resisten terhadap kotrimoksazol.15
Kotrimoksazol diberikan
dengan dosis trimetoprim 5-10mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian,
selama 5 hari dan ampisilin 100mg/kgBB/haridibagi dalam 4 dosis.3
Penggantian antibiotik harus dipertimbangkan, bila dalam 2 hari tidak
terjadi perbaikan. Antibiotik alternatif lain yang dapat diberikan :
- Gongan macrolide yaitu azithromycin 10 mg/kgBB/hari satu kali sehari
selama 3 hari diberikan per oral.1,5
- Golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone satu kali sehari
50 mg/kgBB/hari iv atau im selama 3-5 hari, dan cefixime
8mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 2 dosis.1, 5, 16, 17
- Golongan quinolone generasi pertama yaitu nalidixic acid
55mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam 4 dosis juga efektif untuk
shigellosis.1, 3, 12
- Golongan fluoroquinolone yaitu ciprofloxacin 15 mg/kgBB diberikan
dua kali sehari selama 3 hari.1, 5
Terapi antiamuba diberikan dengan indikasi ditemukannya trofozoit
Entamoeba histolytica dalam pemeriksaan mikroskopis tinja, serta tinja
berdarah menetap setelah terapi dengan antibiotik. Keadaan klinis akan
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 60 Manado, 17-19 Maret 2017
membaik dalam 2-3 hari terapi, bila disentri memang disebabkan oleh E.
histolytica. Terapi pilihan untuk disentri amuba pada anak adalah :2, 3, 5
- Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 7-10
hari.
- Tinidazol, dapat diberikan pada usia lebih dari 3 tahun dengan dosis 50
mg/kgBB/hari (dosis maksimal 2 gr) sekali sehari selama 3 hari.
5. Edukasi atau penyuluhan kepada orangtua atau pengasuh, mencakup
tindakan bila anak diare dan kapan harus kembali ke fasilitas
kesehatan.2
Beberapa pertimbangan terapi dalam merawat penderita diare dan
dehidrasi :
1. Terapi cairan dan elektrolit2
- Pengobatan diare tanpa dehidrasi diberikan cairan 10 ml/kgBB
dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit.
- Pada dehidrasi ringan sedang diberikan oralit 75 ml/kgBB dalam 3
jam pertama melalui oral atau NGT dengan kecepatan 20
ml/kgBB/jam. Perhitungan cairan pada anak dengan dehidrasi
ringan sedang :
Berat badan 3-10 kg, 200 ml/kgBB/hari
Berat badan 10-15 kg, 175 ml/kgBB/hari
Berat badan lebih dari 15 kg, 135 ml/kgBB/hari
- Pada dehidrasi berat cairan diberikan intra vena dan bila anak bisa
minum diberikan oralit 5 ml/kgBB/jam. Cairan yang diberikan pada
rehidrasi parenteral adalah ringer laktat 100 ml/kgBB dengan cara :
Usia kurang dari 12 bulan, 30 ml/kgBB/dalam 1 jam pertama,
dilanjutkan 70 ml/kgBB dalam 5 jam berikutnya
Usia lebih dari 12 bulan, 30 ml/kgBB dalam setengah jam
pertama, dilanjutkan 70 ml/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya.
2. Terapi non spesifik dengan anti diare. Obat ini sering digunakan
meskipun tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak diindikasikan
untuk pengobatan diare pada anak :2
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 61 Manado, 17-19 Maret 2017
- Adsorben, contohnya kaolin, attapulgite, smectite, cholestyramine.
- Antimotilitas seperti loperamide hidrocloride, diphenoxylate dengan
atropine, tinctura opii, paregoric, codein. Obat golongan ini dapat
menyebabkan ileus paralitik yang berat dan memperpanjang
infeksi dengan memperlambat eliminasi organisme penyebab.
- Bismuth salisilat, mempunyai efek anti inflamasi dan antibiotik,
mekanisme anti diare diduga melalui peningkatan absorpsi air dan
elektrolit (anti sekretori) dan juga sebagai penghambat sintesis
prostaglandin sehingga terjadi efek antiinflamasi dan penurunan
motilitas usus serta mengikat toksin yang diproduksi oleh bakteri.
Pencegahan
Pemberian ASI/makanan yang benar, menjaga higiene dan sanitasi pribadi
serta lingkungan terbukti efektif dalam pencegahan disentri. Mencuci
tangan terutama sebelum makan dan penyiapan makanan, sesudah buang
air besar dan penyediaan sumber air bersih, sarana MCK yang memenuhi
standar penting dalam mencegah penularan.2,18
Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang terjadi dapat ringan sampai berat mengancam jiwa,
berupa dehidrasi, gangguan elektrolit, kejang dan hipovolemia. Abses
intestinal dapat terjadi pada infeksi Shigella, serta dapat memicu perforasi
usus dan peritonitis.1
Entamoeba histolytica selain menginvasi dinding
usus, juga dapat menyerang hati, paru dan otak.9
Prognosis baik dengan pengobatan yang tepat, namun beberapa
kasus perlu tindak lanjut dan pengawasan seperti pada bayi, anak kurang
gizi, dan dehidrasi berat.1
Penutup
Diagnosis klinis disentri ditegakkan dengan menemukan tinja bercampur
lendir dan darah, sedangkan diagnosis etiologi ditegakkan berdasarkan
penemuan bakteri ataupun parasit pada tinja. Pengobatan dengan
antibiotik yang tepat akan mengurangi masa sakit, menurunkan risiko
komplikasi dan kematian.
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 62 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Ochoa TJ, Cleary TG. Shigella. In: Behrman RE, et al editors. Nelson
textbook of pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier, Inc.;
2015.p.1272-6.
2. Subagyo B, Santoso NB. Diare akut. Dalam: Juffrie M, Soenarto Y,
Oswari H, Arief S, Rosalina I, et al, editor. Buku ajar gastroenterologi-
hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010.p.87-120.
3. Noerasid H, Suraatmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (diare) akut.
Dalam: Suharyono, Boediarso A, Halimun EM, editor. Gastroenterologi
anak praktis. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1994.p.51-76.
4. Soenarto Y, Suryono A, Supardi S. Dysentry in children under five
year of age: a longitudinal prospective study in primary health care in
Indonesia. Paediatr Indones. 2001;41:141-8.
5. Pfeiffer ML, DuPont HL, Ochoa TJ. The patient presenting with acute
dysentery-A systematic review. Journal of Infection. 2012;64:374-86.
6. Elvira J, Firmansyah A, Akib AAP. Shigellosis in children less than five
years in urban slum area: a study at primary health care in Jakarta.
Paediatr Indones. 2007;47:42-6.
7. Karsinah, HM Lucky, Suharto, HW Mardiastuti. Batang negatif Gram.
Dalam: Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara;
1994.p.165-8.
8. Vanderhoof JA. Infectious diarrhea. In: Wyllie R, Hyams JS eds.
Pediatric gastrointestinal and liver disease. 4th ed. Saunders Co;
1993.p.411-3.
9. Walker WA. Bacterial, parasitic, and other infections. Dalam: Pediatric
gastrointestinal disease-physiology, diagnosis, management. 4th
ed.p.869.
10. Petri WA, Singh U. Diagnosis and Management of Amebiasis. Clin
Infect Dis. 1999;29:1117–25.
11. Gideon C. Amebic Colitis. The Internet Journal of Advanced Nursing
Practice. 2007;9:1-6
Yusri Dianne Jurnalis
KONAS VII PGHNAI 63 Manado, 17-19 Maret 2017
12. Farthing M, Lindberg G, Dite P, Khalif I, Salazar-Lindo E,
RamakrishnaBE, et al. Acute diarrhea. World Gastroenterology
Organisation practice guideline. 2008:1-28.
13. Nafianti S, Ramayani OR, Daulay DG, Supriatmo, Hasibuan B,
Sinuhaji AB.The efficacy of trimethoprim-sulfamethoxazole treatment
in children with acute bloody diarrhea. Paediatr Indones.2007;47:17-
20.
14. Nafianti S, Sinuhaji AB. Resisten Trimetoprim-Sulfametoksazol
terhadap Shigellosis. Sari Pediatri. 2005;7:39-44.
15. Dwipoerwantoro PG, Pulungsih SP, Susanti NI, Sadikin H, Firmansyah
A. A study on the antibiotic resistance of Shigella. Paediatr Indones.
2005;45:49-54.
16. Das JK, Ali A, Salam RA, Bhutta ZA. Antibiotics for the treatment of
Cholera, Shigella and Cryptosporidium in children. BMC Public Health.
2013;13:1-9.
17. Traa BS, Walker F, Munos M, Black RE. Antibiotics for the treatment
of dysentery in children. International Journal of Epidemiology.
2010;39:170-4.
18. Zalbawi S, Santoso SS. Perilaku pencegahan penyakit shigella
(disentri) pada masyarakat di Jakarta Utara. Media litbang kesehatan.
2004;XIV:35-41.
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 64 Manado, 17-19 Maret 2017
INTOLERANSI LAKTOSA PADA ANAK:
GEJALA KLINIS, DIAGNOSIS, DAN TATA LAKSANA
Ariani Dewi Widodo
Pendahuluan
Intoleransi laktosa adalah masalah yang sering ditemukan dalam praktik
klinik sehari-hari.1Gejala klinis intoleransi laktosa antara lain diare, nyeri
perut, dan buang angin setelah mengonsumsi susu atau produk yang
mengandung susu. Gejala ini disebabkan oleh kadar laktase yang rendah
di usus halus, yang dapat disebabkan karena kerusakan mukosa atau yang
lebih sering akibat berkurangnya ekspresi genetik enzim lactase-phlorizin
hydrolase.2
Terminologi
● Defisiensi laktase: aktivitas enzim laktase di brush border lebih rendah
dari bayi normal
● Malabsorpsi laktosa: usus halus tidak dapat menyerap laktosa yang
dikonsumsi secara bermakna
● Intoleransi laktosa: suatu sindrom klinis saat konsumsi laktosa
menimbulkan gejala (nyeri perut, kembung, buang gas, diare) akibat
malabsorpsi laktosa
Epidemiologi
Prevalensi malabsorpsi laktosa rendah pada anak berusia kurang dari
enam tahun dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian
Budiarso dkk.3 dan Hegar dkk.
4,5 pada anak Indonesia mendapatkan
prevalensi 21,3% pada anak usia 3-5 tahun, 57,8% pada anak usia 6-11
tahun, dan 73% pada anak usia 12-14 tahun.
Aktivitas laktase bervariasi antar populasi dan etnis di dunia. Pada
populasi Belanda, Swedia, dan Denmark enzim laktase tetap bertahan
(laktase persisten) di masa dewasa pada hampir 100% populasi.
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 65 Manado, 17-19 Maret 2017
Sebaliknya, pada sebagian besar negara Asia dan Afrika, populasi yang
mengalami laktase nonpersisten pada saat dewasa adalah sekitar 80-90%,
penelitian di Malaysia mendapatkan prevalensi 83% pada populasi orang
India, 88% pada populasi Malaysia sendiri, dan 91% pada populasi
keturunan Tiongkok.6Hal ini diketahui berkaitan erat dengan riwayat
konsumsi susu pada populasi suatu negara. Negara dengan budaya dan
pola konsumsi susu yang tinggi penduduknya dominan laktase persisten
dan mendapatkan nutrisi dari produk susu.
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat polimorfisme genetik yang
merupakan faktor penentu apakah seseorang dapat mengonsumsi laktosa.
Analisis genetik populasi menunjukkan bahwa aktivitas laktase yang
rendah merupakan faktor yang diturunkan secara autosomal resesif,
sedangkan aktivitas laktase yang tinggi autosomal dominan.7
Patofisiologi
Asupan laktosa bervariasi sesuai usia. Pada bayi, karbohidrat (terutama
laktosa) merupakan 35-55%kalori harian yang dikonsumsi. Asupan laktosa
menurun drastis seiring diperkenalkannya makanan tambahan dan
akhirnya mendekati kadar yang dimakan oleh orang dewasa. Diet orang
Indonesia tidak terlalu tinggi laktosa meskipun mengandung 70-80%
karbohidrat. Diet makanan Barat umumnya rata-rata dewasa mengonsumsi
sekitar 300 g karbohidrat per hari, dan 5% sebagai laktosa (terutama dalam
susu). Digesti laktosa adalah tahap yang menentukan dalam keseluruhan
proses absorpsinya.Laktosa dihidrolisis oleh laktase dalam usus menjadi
glukosa dan galaktosa pada membran mikrovili sel adsorptif usus, dan
ambilan monosakarida ini dilakukan oleh karier glukosa dependen
natrium.8
Laktosa yang tidak diabsorpsi oleh usus halus diteruskan dengan
cepat ke kolon. Pada orang dengan aktivitas laktase yang rendah, sampai
dengan 75% laktosa lewat tanpa diabsorpsi melalui usus halus ke caecum
dan kolon.9Dalam kolon, laktosa diubah menjadi asam lemak rantai pendek
dan gas hidrogen oleh flora bakteri, menghasilkanasetat, butirat, dan
propionat. Bila terjadi malabsorpsi laktosa yang cukup banyak, produk
fermentasi dan laktosa yang tidak difermentasi menyebabkan gejala
intoleransi laktosa. Kolon neonatus dan dewasa dengan aktivitas laktase
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 66 Manado, 17-19 Maret 2017
usus halus yang rendah dapat beradaptasi dengan konsumsi laktosa
persisten (terus menerus) melalui konversi laktosa oleh bakteri menjadi
asam lemak rantai pendek yang dapat diserap di kolon. Hal ini
menyelamatkan (salvage) laktosa yang termalabsorpsi untuk utilisasi
energi. Belum jelas apakah flora feses juga dapat beradaptasi terhadap
laktosa dalam diet seiring berjalannya waktu, dan berkontribusi dalam
penurunan insiden dan beratnya gejala setelah pemberian laktosa.10
Etiologi malabsorpsi laktosa
Malabsorpsi laktosa primer
Penyebab tersering malabsorpsi laktosa primer adalah enzim laktase
nonpersisten. Penyebab yang lebih jarang antara lain defisiensi laktase
kongenital dan defisiensi laktase pada bayi prematur (developmental
lactase deficiency).
1. Laktase nonpersisten
Penurunan aktivitas enzim laktase secara genetik, ditentukan oleh
faktor ras atau etnis, dan merupakan mekanisme penyebab
malabsorpsi laktosa pada individu sehat. Mayoritas populasi dunia
mengalami kadar laktase usus yang rendah mulai pertengahan masa
kanak-kanak (sekitar usia 3 hingga 5 tahun). Karakteristik ini tersering
ditemukan pada populasi Asia dan Afrika. Sebaliknya, mayoritas
populasi ras Kaukasia, khususnya yang berdarah Eropa Utara,
memiliki aktivitas laktase yang tetap tinggi (persisten) hingga dewasa.
Aktivitas laktase yang tetap tinggi tersebut juga ditemukan pada
beberapa populasi kecil di seluruh dunia, yang memiliki sejarah
beternak sapi atau hewan penghasil susu lain, dan mengonsumsi
produk susu hingga dewasa. Bukti menunjukkan bahwa pada
kelompok tersebut telah terjadi evolusi ke arah laktase
persisten.11
Analisis genetik menemukan bahwa laktase persistenpada
dewasa diturunkan secara autosomal dominan.
Saat ini telah diketahui beberapa single nucleotide polymorphisms
(SNPs) pada sekuens DNA area pengkode dan area regulasi gen
laktase di 2q21. Secara khusus, adanya alel T pada SNP yang terletak
pada -13.9 kb di bagian atas gen laktase telah diketahui berkaitan erat
dengan laktase persisten12
karena alel ini mengatur kadar mRNA
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 67 Manado, 17-19 Maret 2017
laktase sehingga menyebabkan laktase persisten. Namun, hal ini
hanya memiliki nilai diagnostik pada kelompok genetik homogen
seperti Eropa Utara, tidak bermakna pada populasi Afrika maupun
Amerika Serikat yang heterogen.13,14
2. Defisiensi laktase kongenital
Defisiensi laktase kongenital adalah suatu kelainan autosomal resesif
yang jarang. Gangguan ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas
laktase di usus halus, dengan temuan histologi yang normal dan kadar
disakaridase lain yang normal.Bayi dengan defisiensi laktase
kongenital mengalami diare sejak lahir dan dilaporkan mengalami
hiperkalsemia dan nefrokalsinosis.15
Dari seluruh kasus yang dilaporkan
di dunia, terbanyak adalah pada populasi Finlandia.
3. Defisiensi laktase bayi prematur (developmental lactase
deficiency)
Malabsorpsi laktase akibat kadar laktase yang rendah pada bayi
prematur. Aktivitas laktase pada fetus baru meningkat secara
bermakna pada tahap akhir gestasi. Bayi prematur yang lahir pada usia
gestasi 28-32 minggu memiliki aktivitas laktase yang rendah.16
Bila bayi
tersebut sehat, kolon dapat menyelamatkankarbohidrat yang tidak
terserap, sehingga mencegah malnutrisi dan diare. Seiring dengan
bertambahnya usia, mukosa usus berangsur menjadi matur dan gejala
menghilang.
Malabsorpsi laktosa sekunder
Malabsorpsi laktosa dapat terjadi sekunder akibat gangguan usus.
● Bakteri tumbuh lampau di usus halus (small intestinal bacterial
overgrowth)dapat menyebabkan peningkatan fermentasi laktosa
dalam diet di usus halus, yang menyebabkan gejala intoleransi
laktosa. Dugaan diagnosis muncul dari riwayat penyakit dan dari
peningkatan hidrogen napas yang sangat dini pada pemberian
laktosa. Peningkatan ini biasanya terjadi 15-30 menit setelah
konsumsi laktosa, seringkali disertai gejala.
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 68 Manado, 17-19 Maret 2017
● Infeksi atau inflamasi usus halus yang menyebabkan vili menjadi rata
atau kerusakan epitel usus dapat menyebabkan malabsorpsi laktosa.
Enzim laktase biasanya merupakan disakaridase pertama yang
terpengaruh, karena letaknya di vili bagian distal.17
Gejala klinis
Manifestasi klinis — Gejala intoleransi laktosa mencakup nyeri perut,
kembung, buang angin, dan diare.Pada remaja juga dapat ditemukan
muntah-muntah. Nyeri perut yang dirasakan seperti kram dan seringkali
terlokalisasi di area periumbilikal atau kuadran bawah. Feses biasanya
berbusa, dan cair. Borborygmi mungkin terdengar pada pemeriksaan fisis
dan terdengar oleh pasien.1 Terdapat variasi gejala yang bermakna antar
pasien dengan intoleransi laktosa. Makanan dengan osmolalitas dan
kandungan lemak yang lebih tinggi memperlambat pengosongan lambung
dan mengurangi beratnya gejala yang dipicu laktosa. Orang dengan waktu
transit laktosa ke caecum yang lebih singkat biasanya mengalami gejala
yang lebih jelas. Selain itu, sensitivitas setiap orang bervariasi terhadap
distensi abdomen akibat udara atau masuknya air ke lumen usus halus
akibat adanya laktosa yang tidak tercerna.
Hasil laboratorium — Pasien dengan intoleransi laktosa memiliki gap
osmotik feses >125 mOsm/kg akibat adanya karbohidrat yang tidak
terserap di lumen usus dan pH feses <6 akibat fermentasi laktosa oleh
bakteri kolon. Namun temuan ini tidak spesifik untuk malabsorpsi laktosa
saja.
Diagnosis
Diagnosis intoleransi laktosa tidak selalu mudah karena banyak
mengandalkan keluhan dan laporan pasien, yang dapat bervariasi sesuai
dengan beratnya gejala, tingkat toleransi pasien terhadap keluhan yang
dialami, dan jenis gejala yang bervariasi, sehingga terkadang sulit
melakukan penilaian secara objektif. Apalagi anak yang lebih kecil
seringkali belum dapat mengungkapkan keluhan yang dialaminya dengan
baik.
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 69 Manado, 17-19 Maret 2017
Diagnosis intoleransi laktosa dipikirkan pada pasien dengan kembung,
buang gas, nyeri perut, dan/atau diare kronik. Dugaan diagnosis intoleransi
laktosa dapat ditetapkan pada pasien yang mengalami gejala ringan
setelah mengonsumsi laktosa dalam jumlah yang bermakna (misalnya >2
porsi susu/hari atau >1 porsi dalam sekali konsumsi yang tidak bersama
makanan) dan menghilang setelah 5-7 hari menghindari makanan yang
mengandung laktosa, dan timbul kembali pada provokasi.18
Anamnesis
yang cermat harus dilakukan untuk mengidentifikasi jenis makanan yang
dimakan, karena seringkali orangtua atau anak tidak mengenali produk
susu yang terkandung dalam makanan tertentu seperti pasta, macaroni
schotel, kue, cafe latte, cappucino, sehingga tidak mengaitkan keluhan
dengan konsumsi susu.
Uji napas hidrogen untuk laktosa juga dilakukan untuk menegakkan
diagnosis intoleransi laktosa pada pasien yang tidak ingin melakukan diet
restriksi laktosa, terutama bila mereka tidak terlalu berisiko mengalami
laktase nonpersisten (misalnya ras Kaukasia). Pasien dengan gejala berat
atau gejala yang menetap meskipun dengan diet pembatasan laktosa juga
harus menjalani evaluasi untuk menyingkirkan penyebab lain.
Uji hidrogen napas
Uji hidrogen napas memeriksa malabsorpsi laktosa. Pemeriksaan ini
mudah dilakukan, tidak invasif, dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi dari uji absorpsi. Uji napas laktosa memiliki sensitivitas
78% dan spesifisitas 98%.19
Laktosa oral diberikan dalam keadaan puasa,
dengan dosis 2 g/kg (maksimal 25 g). Hidrogen napas diperiksa sebelum
laktosa dan setiap interval 30 menit setelah konsumsi laktosa, selama 3
jam. Dilakukan perbandingan antara kadar hidrogen napas sebelum dan
setelah laktosa. Kadar hidrogen napas 10 ppm (parts per million) dianggap.
Kadar antara 10 dan 20 ppm dianggap tidak dapat ditentukan
(indeterminate)kecuali bila disertai gejala, dan di atas 20 ppm dianggap
diagnostik untuk malabsorpsi laktosa. Pada sebagian besar pasien
puncaknya adalah antara 90 hingga 120 menit, jadi bila sudah terlihat jelas
pemeriksaan dapat dipersingkat. Merokok atau olahraga yang
menyebabkan hiperventilasi dapat mempengaruhi ketepatan hasil
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 70 Manado, 17-19 Maret 2017
pemeriksaan, sehingga harus dihindari setidaknya dua jam sebelum
pemeriksaan.
Hasil positif palsu ditemukan bila puasa tidak adekuat sebelum
pemeriksaan. Hasil negatif palsu dapat ditemukan bila terdapat
penggunaan antibiotik sebelum pemeriksaan, pada pasien dengan
penyakit paru, atau pada sekitar 1% pasien yang bukan merupakan
produsen hidrogen.
Uji toleransi laktosa
Kemampuan penyerapan laktosa dapat diukur dengan uji absorpsi laktosa,
namun pemeriksaan ini relatif sulit dan merepotkan, makan waktu, dan
hampir seluruhnya telah digantikan oleh uji hidrogen napas. Setelah
pemberian dosis uji sebanyak 50 gram pada deewasa atau 2 g/kg pada
anak, kadar glukosa darah diperiksa pada menit ke-0, 60, dan 120.
Peningkatan kadar glukosa darah kurang dari
20 mg/dL (1.1 mmol/L) disertai timbulnya gejala merupakan dasar
diagnosis intoleransi laktosa. Hasil negatif palsu dapat ditemukan pada
pasien dengan diabetes atau bakteri tumbuh lampau. Pengosongan
lambung yang tidak normal juga dapat menyebabkan hasil yang tidak
akurat, glukosa darah dapat relatif lebih tinggi pada pengosongan lambung
yang terlalu cepat dan relatif lebih rendah pada pengosongan lambung
yang lambat. Sensitivitas pemeriksaan ini pada dewasa adalah 75% dan
spesifisitas 96%.
Pemeriksaan lain
Terdapat pemeriksaan lain untuk malabsorpsi lemak, namun memiliki
berbagai keterbatasan dan jarang digunakan. Biopsi usus halus dapat
membedakan antara intoleransi laktosa primer dan sekunder melalui
evaluasi histologi usus halus. Uji aktivitas laktase merupakan standar emas
malabsorpsi laktosa, namun jarang dilakukan karena harus melalui
endoskopi saluran cerna atas dan adanya uji diagnostik noninvasif. Selain
itu, pada lesi yang hanya terjadi pada beberapa bagian usus saja, hal ini
dapat terlewat pada pemeriksaan. Pemeriksaan genetik juga tersedia untuk
mengevaluasi adanya malabsorpsi laktosa primer, namun pemeriksaan ini
mahal dan tidak dapat diterapkan pada pasien dari semua ras dan
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 71 Manado, 17-19 Maret 2017
populasi. Anak dengan intoleransi laktosa juga harus dievaluasi akan
adanya penyebab sekunder. Namun, seberapa banyak uji diagnostik yang
dilakukan harus ditentukan oleh keadaan klinis pasien secara umum.
Daignosis banding
Gejala intoleransi laktosa kurang spesifik, dan dapat mirip dengan gejala
penyakit lain. Diagnosis banding diare akibat intoleransi laktosa mencakup
penyebab lain diare osmotik dan intoleransi terhadap komponen lain dalam
susu.18,20
Maldigesti karbohidrat sederhana (seperti sorbitol dan manitol),
konsumsi gula dalam jumlah besar dengan kapasitas absorpsi yang
terbatas (misalnya fruktosa), dan inhibitor terapeutik absorpsi karbohidrat
(misalnya akarbosa) dapat menyebabkan diare osmotik.Obat yang
mengandung magnesium dan penggunaan laksatif dapat menyebabkan
diare osmotik.Alergi susu sapi (ASS) juga harus dipertimbangkan pada
bayi dan anak yang tetap bergejala meski dilakukan restriksi laktosa dalam
diet.
Tata Laksana
Tujuan tata laksana adalah untuk menghilangkan gejala dengan tetap
mempertahankan asupan kalsium dan vitamin D. Pada pasien dengan
malabsorpsi laktosa sekunder, mengatasi penyakit primer dapat
mengembalikan aktivitas laktase. Namun, intoleransi laktosa dapat terus
terjadi berbulan-bulan setelah proses pemulihan dimulai dan tertinggal dari
pemulihan morfologi usus normal.
Pembatasan laktosa dalam diet
Orang dengan malabsorpsi laktosa dapat mentoleransi produk susu dalam
jumlah terbatas.Pasien harus disarankan untuk membatasi dan bukan
menghilangkan laktosa sama sekali dalam diet. Orang dengan intoleransi
laktosa sebaiknya membatasi asupan laktosa hingga dua cangkir susu
(atau kadar laktosa yang setara) per hari dalam dosis terbagi dua,
dikonsumsi bersama makanan. Pasien yang mengonsumsi lebih dari dua
cangkir susu (atau kadar laktosa yang setara) per hari atau produk susu
tanpa nutrien lain sebaiknya menggunakan produk rendah laktosa atau
suplementasi laktosa. Konsumsi harian rutin produk yang mengandung
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 72 Manado, 17-19 Maret 2017
laktosa mungkin dapat ditoleransi dengan lebih baik dibandingkan dengan
konsumsi secara intermiten. Sejauh ini konsentrasi laktosa tertinggi per
porsi adalah dalam susu dan es krim, namun kandungan lemak yang tinggi
dan pengosongan lambung yang lambat dapat membuat konsumsi es krim
tidak menimbulkan gejala.Keju biasanya mengandung laktosa yang jauh
lebih rendah.
Enzim pengganti
Pasien yang mengkonsumsi lebih dari dua cangkir susu (atau laktosa yang
setara) per hari atau produk susu tanpa makanan lain harus menggunakan
preparat enzim laktase. Preparat enzim laktase yang tersedia di pasaran
adalah beta-galaktosidase ragi atau bakterial dan tersedia sebagai
preparat yang dapat ditaburkan pada makanan atau sebagai tablet yang
diminum per oral bersama makanan yang mengandung laktosa. Preparat
laktase cair dapat dituangkan ke susu (14 tetes/quart), dan kemudian
dimasukkan ke dalam kulkas satu malam sebelum diminum. Hasil hidrolisis
laktosa menghasilkan susu yang lebih manis rasanya dibandingkan
dengan susu yang mengandung laktosa.
Preparat enzim laktase dapat mengurangi gejala dan kadar hidrogen
napas pada banyak subjek yang mengalami intoleransi laktosa. Namun,
produk tersebut tidak mampu menghidrolisis seluruh laktosa dalam diet,
dan hasilnya bervariasi antar pasien.21
Yogurt yang berisi kuman hidup, yang mengandung beta-
galaktosidase endogen, merupakan sumber kalsium alternatif dan dapat
ditoleransi dengan baik pada sebagian besar pasien. Namun, yogurt yang
mengandung susu atau produk susu yang ditambahkan setelah fermentasi,
dapat tetap menimbulkan gejala.
Asupan Kalsium dan Vitamin D — Lakukan evaluasi asupan kalsium
harian, dan pasien dengan asupan kalsium yang kurang disarankan untuk
meningkatkan konsumsi makanan tinggi kalsium. Bila hal ini tidak
memungkinkan, diberikan suplementasi kalsium.
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 73 Manado, 17-19 Maret 2017
Penutup
Malabsorpsi laktosa ditandai dengan kegagalan usus halus menyerap
secara bermaknalaktosa yang dikonsumsi. Intoleransi laktosa adalah
sindrom klinis yang timbul setelah konsumsi laktosa, berupa gejala (nyeri
perut, kembung, buang gas, diare) akibat malabsorpsi laktosa.Prevalensi
intoleransi laktosa bervariasi antar ras dan kelompok etnik. Tingkat
malabsorpsi laktosa rendah pada anak berusia kurang dari enam tahun
dan meningkat seiring usia. Penyebab tersering malabsorpsi laktosa primer
adalah enzim laktase nonpersisten. Malabsorpsi laktosa dapat terjadi
secara sekunder akibat gangguan pada usus.Diagnosis intoleransi laktosa
harus dipikirkan pada pasien dengan kembung, buang gas, nyeri perut,
dan/atau diare kronik. Dapat ditetapkan dugaan diagnosis intoleransi
laktosa pada pasien sehat dengan gejala ringan yang muncul setelah
makan laktosa dalam jumlah yang bermakna (>2 porsi susu/hari atau >1
porsi yang dikonsumsi tersendiri tidak bersama makanan) dan menghilang
setelah 5-7 hari menghindari makanan yang mengandung laktosa, dan
muncul kembali saat mencoba mengkonsumsi lagi. Dapat pula digunakan
uji napas hidrogen untuk laktosa (lactose hydrogen breath test)untuk
memastikan diagnosis malabsorpsi laktosa. Pasien dengan gejala berat
atau gejala yang tetap ada meskipun telah diet rendah laktosa harus
dievaluasi untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Anak dengan
intoleransi laktosa harus dievaluasi akan adanya penyebab sekunder
malabsorpsi laktosa.Edukasi pasien untuk membatasi asupan laktosa,
bukan menghilangkan sama sekali konsumsi laktosa dalam diet. Asupan
laktosa maksimal dua cangkir susu sehari atau yang setara, dibagi dalam
dua porsi makanan dalam sehari. Pasien dapat mengonsumsi lebih dari
dua porsi produk susu per hari atau produk susu tidak bersama dengan
makanan lain bila menggunakan produk rendah laktosa atau suplementasi
laktase. Pasien dengan asupan yang kurang dalam diet mungkin
memerlukan suplementasi kalsium. Kadar vitamin D harus dipantau pada
pasien yang sama sekali tidak mengonsumsi produk susu.
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 74 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Hegar B, Widodo A. Lactose intolerance in Indonesian children. Asia
Pac J Clin Nutr. 2015;24:31-40.
2. Mattar R, de Campos Mazo DF, Carrilho FJ. Lactose intolerance:
diagnosis, genetic, and clinical factors. Clin Exp Gastroenterol.
2012;5:113-21.
3. Budiarso AD, Sofia D, Hadinegoro SR, Hegar B. Lactose
malabsorption in junior high school children. Paediatrica Indonesiana.
2003;42:46-50.
4. Hegar B, Firmansyah A, Boediarso A, Sunoto. Lactase enzyme activity
in pre-elementary school children. Maj Kes Mas Indones. 1997;2:125-7.
5. Hegar B, Pritayati N, Firmansyah A. Lactase activity in elementary
school children. Maj Kedokt Indon. 2001;51:154-7.
6. Barling PM, Lactose tolerance and intolerance in Malaysians. IeJSME
2012;6:12-23.
7. Rings E, Grand RJ, Buller HA. Lactose intolerance and lactase
deficiency in children. Curr Opin Pediatr 1994;6:562-7.
8. Martín MG, Turk E, Lostao MP, Kerner C, Wright EM. Defects in
Na+/glucose cotransporter (SGLT1) trafficking and function cause
glucose-galactose malabsorption. Nat Genet. 1996; 12:216-20.
9. Shaw AD, Davies GJ. Lactose intolerance: problems in diagnosis and
treatment. J Clin Gastroenterol. 1999;28:208-16.
10. Hertzler SR, Savaiano DA. Colonic adaptation to daily lactose feeding
in lactose maldigesters reduces lactose intolerance. Am J Clin Nutr.
1996;64:232-6.
11. Tishkoff SA, Reed FA, Ranciaro A, Voight BF, Babbitt CC, Silverman
JS, et al. Convergent adaptation of human lactase persistence in Africa
and Europe. Nat Genet. 2007;39:31-40.
12. Enattah NS, Sahi T, Savilahti E, Terwilliger JD, Peltonen L, Järvelä I.
Identification of a variant associated with adult-type hypolactasia. Nat
Genet. 2002;30:233-7.
13. Troelsen JT, Olsen J, Møller J, Sjöström H. An upstream polymorphism
associated with lactase persistence has increased enhancer activity.
Gastroenterology. 2003; 125:1686-94.
Ariani Dewi Widodo
KONAS VII PGHNAI 75 Manado, 17-19 Maret 2017
14. Baffour-Awuah NY, Fleet S, Montgomery RK, Baker SS, Butler JL,
Campbell C, et al. Functional significance of single nucleotide
polymorphisms in the lactase gene in diverse US patients and evidence
for a novel lactase persistence allele at -13909 in those of European
ancestry. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2015;60:182-91.
15. Saarela T, Similä S, Koivisto M. Hypercalcemia and nephrocalcinosis in
patients with congenital lactase deficiency. J Pediatr 1995; 127:920-3.
16. Mobassaleh M, Montgomery RK, Biller JA, Grand RJ. Development of
carbohydrate absorption in the fetus and neonate. Pediatrics. 1985;
75:160-6.
17. Mishkin B, Yalovsky M, Mishkin S. Increased prevalence of lactose
malabsorption in Crohn's disease patients at low risk for lactose
malabsorption based on ethnic origin. Am J Gastroenterol. 1997;
92:1148-53.
18. Johnson AO, Semenya JG, Buchowski MS, Enwonwu CO, Scrimshaw
NS. Correlation of lactose maldigestion, lactose intolerance, and milk
intolerance. Am J Clin Nutr 1993; 57:399-401.
19. Gasbarrini A, Corazza GR, Gasbarrini G, Montalto M, Di Stefano M,
Basilisco G, et al. Methodology and indications of H2-breath testing in
gastrointestinal diseases: the Rome Consensus Conference. Aliment
Pharmacol Ther.2009; 29 Suppl 1:1-49.
20. Yang J, Deng Y, Chu H, Cong Y, Zhao J, Pohl D, et al. Prevalence and
presentation of lactose intolerance and effects on dairy product intake
in healthy subjects and patients with irritable bowel syndrome. Clin
Gastroenterol Hepatol 2013;11:262-8.
21. Ramirez FC, Lee K, Graham DY. All lactase preparations are not the
same: results of a prospective, randomized, placebo-controlled trial.
Am J Gastroenterol. 1994;89:566-70.
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 76 Manado, 17-19 Maret 2017
KOLESTASIS: DETEKSI DINI, TERAPI, DAN FOLLOW UP
I G N Sanjaya Putra, I P G Karyana, Nyoman Metriani Nesa
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Kulit atau mata yang terlihat kuning pada anak merupakan keluhanatau
gejala yang sering dijumpai. Dalam kamus kedokteran gejala demikian
disebut jaundice atau ikterus. Istilah jaundice berasal dari bahasa Perancis
yaitu jaune yang berarti kuning, sedangkan ikterus berasal dari bahasa
Yunani icterus yang berarti pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau
membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan
pada jaringan.Ikterus akan menimbulkan warna kuning pada mata bila
kadarnya lebih dari 2-3 mg/dl dan pada kulit bila kadarnya > 5 mg/dl.1
Ikterus ini sering ditemukan dalam praktek sehari-hari dokter anak yang
memerlukan evaluasi diagnostik segera agar tidak terjadi keterlambatan
pemberian terapi.Untuk kepentingan klinis, pendekatan dalam mencari
etiologi ikterus dilakukan berdasarkan jenis hiperbilirubinemia dan usia
timbulnya ikterus, karena keduanya memberikan penyebab yang spesifik.
Peningkatan bilirubin indirek disebabkan akibat produksi berlebihan
bilirubin, sedangkan peningkatan bilirubin direk disebabkan akibat penyakit
hepatoselular, gangguan ekskresi kanalikular dan obtruksi bilier. Secara
praktis juga dapat dibagi berdasarkan usia yaitu: neonatus, bayi dan
anak.2Kolestasis harus dipikirkan sebagai salah satu penyebab ikterus
pada neonatus bila ikterus tersebut menetap setelah bayi berumur 2
minggu, yang mungkin disertai pula dengan perubahan warna urin yang
lebih tua tanpa atau disertai perubahan warna tinja. Pada bayi prematur,
evaluasi kearah kolestasis dapat ditunggu hingga bayi berusia3 minggu
bahkan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat ditunggu hingga bayi
berusia 2 bulan bila tidak disertai warna urin yang lebih tua atau tinja yang
bewarna pucat/alkoholik. Pada kondisi tersebut, pemeriksaan fraksi
bilirubin harus dilakukan untuk memastikan terjadinya kolestasis. Secara
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 77 Manado, 17-19 Maret 2017
teoritis bilirubin direk bersifat larut dalam air sehingga dapat mewarnai urin
menjadi kuning tua atau kuning seperti teh. Pada bayi diketahui produksi
urin relatif banyak sehingga kadang-kadang bilirubin direk yang meningkat
di darah dapat tidak terlihat sebagai warna urin yang kuning pada bayi.3-5
Kesalahan yang sering terjadi adalah dokter merasa senang
ketikamelihat klinis kuning pada bayi berkurang, terlebih lagi jika melihat
kadar bilirubin total yang menurun, padahal kondisi tersebut bisasaja terjadi
karena penurunan bilirubin indirek pada saat yang sama dengan
peningkatan bilirubin direk. Penurunan bilirubin indirek yang terjadi dapat
lebih besar dari pada peningkatan bilirubin direk, sehingga secara total
memang terjadi penurunan kadar bilirubin, tetapi dengan adanya
peningkatan bilirubin direk,maka kondisi ini sesuai dengan sindrom
kolestasis.
Definisi kolestasis
Kolestasis didefinisikan sebagai hambatan sekresi dan/atau aliran empedu
yang biasanya terjadi 3 bulan pertama kehidupan bayi oleh berbagai
macam penyebab. Pada keadaan ini terjadi akumulasi, retensi serta
regurgitasi bahan-bahan yang harus diekresikan oleh empedu seperti
bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma. Beberapa
macam pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan adanya kolestasis,
tetapi pemeriksaan kadar bilirubin direk darah merupakan cara skrining
langsung yang termudah. Berdasarkan rekomendasi North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition,
disebut kolestasis apabila kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl dengan
bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total
lebih dari 5 mg/dl dengan kadar bilirubin direk adalah lebih dari 20 % dari
bilirubin total.6
Patofisiologi kolestasis
Sekresi cairan empedu yang normal bergantung pada fungsi beberapa
transporter pada membran hepatosit dan sel epitel duktus bilier
(kolangiosit) misalnya Na+ K+ ATP-ase, Na bile acid co transporting
protein (NCTP), OATP (organic anion transporting protein), MDR 1 (multi
drug resistance 3). Selain itu penting pula peran struktur serta integritas
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 78 Manado, 17-19 Maret 2017
fungsi beberapa aparatus dalam sel hati untuk menyekresikan cairan
empedu tersebut misalnya organel intrahepatik, mikrofilamen
perikanalikulus atau tight junction. Akibatnya, berbagai kelainan anatomik
sistem hepatobilier misalnya atresia bilier, kista atau penyakit yang
memengaruhi fungsi normal transporter serta aparatus intrahepatik
tersebut misalnya penggunaan obat-obatan tertentu (antara lain
androgen/estrogen) atau terdapatnya endotoksin pada sepsis, dapat
menyebabkan cholestatic jaundice.7Hambatan aliran empedu pada
cholestatic jaundice ini akan mengakibatkan.8,9
a. Berkurangnya jumlah garam empedu yang masuk ke usus sehingga
terjadi malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut di dalamnya dengan
konsekuensi klinis berupa malnutrisi, retardasi pertumbuhan, dan gejala
defisiensi vitamin A, D, E, K bila kolestasis berlangsung kronik.
b. Retensi komponen empedu dalam sel hati dan sistem bilier yang
selanjutnya akan beregurgitasi ke dalam darah sehingga akan terjadi
pruritus (akibat garam empedu yang meningkat), xantomatosis (akibat
kolesterol yang meningkat), dan cholestatic jaundice (akibat bilirubin
direk yang meningkat). Kerusakan sel hati terjadi akibat penumpukan
sebagian komponen empedu yang bersifat hepatotoksik terutama asam
empedu primer dan sekunder serta mineral, misalnya kuprum. Bila
kolestasis ini berlangsung kronik, kelainan hati akan progresif menjadi
sirosis bilier dengan berbagai komplikasinya di antaranya asites,
hipertensi porta, varises dan perdarahan.
Deteksi bayi kuning
Ikterus atau kuning terlihat secara klinis ketika serum bilirubin total
melebihi 2,5 sampai 3.0 mg/dL (42-51 mol/L). Langkah awal paling
penting dalam mengevaluasi bayi kuning adalah mengukur bilirubin total
dan bilirubin direk (terkonjugasi).Ikterus yang terjadi pada usia 2 minggu
adalah hal yang umum terjadi pada 2,4% sampai 15% bayi baru
lahir;Tetapi tetap harus waspada terhadap kemungkinan kolestasis.10
Bayi berusia 2 minggu yang datang ke dokter dengan riwayat
pemberian ASI, pemeriksaan fisik normal, tidak ada riwayat urin gelap
(dark-urine) atau feses acholic maka disarankan untuk kontrol kembali 1
minggu kemudian. Setelah 1 minggu, jika masih didapatkan kuning (usia 3
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 79 Manado, 17-19 Maret 2017
minggu)maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan bilirubin total dan
direk.Sedangkan bila bayi berusia 2 minggu dengan riwayat minum susu
formula (bottle-feed) maka dianjurkanuntuk segera melakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk. Bayi yang datang dengan keluhan
kuning pada usia 4 minggu, maka harus diperiksa bilirubin total dan
bilirubin direk.Pengukuran bilirubin yang dilakukan lebih awal dapat
menentukan diagnosis kolestasis lebih cepat sehingga penanganan yang
optimal dapat diberikan.11
Bayi baru lahir sehat dengan kadar bilirubin indirek yang tinggi
paling sering disebabkan oleh ikterus fisiologis dan breast milk icterus.Bayi
yang mendapat ASI lebih rentan mengalami ikterus neonatal karena air
susu ibu mengandung -glucuronidase yang dapatmengganggu perubahan
bilirubin indirek menjadi direk. dan meningkatkan sirkulasi enterohepatik
bilirubin.10
Rekomendasi yang dianjurkan pada bayi dengan kuning adalah10
:
1. Setiap bayi dengan susu formula kemudian didapatkan kuning setelah
usia 2 minggu, maka harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan
direk untuk mengetahui adanya kolestasis.Sedangkan bayi yang diberi
ASI dapat diikuti sampai usia 3 minggu, apabila masih didapatkan
kuning saat usia 3 minggu maka dilakukan pemeriksaan bilirubin total
dan bilirubin terkonjugasi (direk).
2. Pengukuran bilirubin serum harus selalu difraksinasi menjadi
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (indirek) atau terkonjugasi (direk).
3. Hiperbilirubinemia terkonjungasi (direk) (> 1,0 mg/dL, 17mmol/L)
dianggap sebagai kadar yang patologis dan dapat menjadi evaluasi
diagnostik.
Evaluasi bayi dengan kolestasis
Kecurigaan ke arah kolestasis dapat ditegakkan dengan menanyakan
riwayat dan melakukan pemeriksaan fisis yang nantinya akan dilanjutkan
dengan pemeriksaan laboratorium. Penelusuran riwayat prenatal secara
rinci adalah sangat penting.Anamnesis yang dilakukan harus sistematis
untuk mengumpulkan informasi tentang timbulnya ikterus, perubahan
pigmentasi tinja, dan warna urin.Hal ini penting untuk mengidentifikasi
riwayat tinja yang berwarna pucat atau acholic dan sangat dianjurkan untuk
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 80 Manado, 17-19 Maret 2017
mengamati pigmen tinja.Sering ditemukan kesalahan bahwa orang tua dan
tenaga kesehatan menilai pigmentasi tinja secara subyektif dan tinja
berwarna pucat sering disalah artikan sebagai normal.Riwayat lain juga
harus ditelusuri seperti prematuritas, puasa lama serta penggunaan nutrisi
parenteral berbahan dasar lemak kedelai dalam jangka waktu lama,
umumnya dikenal sebagai cholestasis associated parenteral nutrition
(PNAC).12
Pemeriksaan fisis yang dilakukan tidak hanya difokuskan pada
pemeriksaan abdomen, tetapi juga harus mempertimbangkan tanda-tanda
ekstrahepatik, seperti: wajah dismorfik, gangguan pertumbuhan, kelainan
dermatologi, neurologis, atau gejala paru.Palpasi abdomen dapat
menunjukkan hepatomegali. Pembesaran lobus tengah atau kiri hepar
sering ditemukan pada kasus atresia bilier. Splenomegali pada atresia
bilier muncul segera setelah lahir. Splenomegali yang ditemukan pada
usia2 sampai 4 minggu mengarahkan kita pada penyakit lain seperti
gangguan penyimpanan (storage disease) atau hematologi. Pemeriksaan
jantung juga sangat penting dilakukan, adanyamurmur mengarahkan pada
kelainan jantung terkait dengan atresia bilier (misalnya defek septum).
Gagal jantung kanan juga dapat menyebabkan gangguan aliran vena,
hepatomegali, dan kolestasis. Pengamatan langsung pada warna urin serta
warna tinja sangat penting. Tinja yang berwarna acholic serta urin yang
berwarna gelap sering menunjukkan adanya kolestasis.Identifikasi adanya
tinja acholic dapat menggunakan bantuan stool color chart yang memiliki
sensitifitas 95,2%. Rekomendasi yang dianjurkan untuk evaluasi awal
kemungkinan kolestasis adalah:10
1. Pemeriksaan fisis menyeluruh sangat penting untuk evaluasi bayi kuning
secara tepat.Hal yang harus diperhatikan adalah memperhatikan ada
tidaknya hepatomegali, splenomegali, dan bayi dalam kondisi sakit.
2. Visualisasi langsung pigmen tinja dengan stool color chart adalah aspek
penting dalam evaluasi lengkap bayi kuning.
Setelah terbukti terdapat kolestasis melalui pemeriksaan fraksi
bilirubin, maka dilakukan beberapa evaluasi. Langkah pertama evaluasi
kolestasis pada bayi ditujukan untuk mencari penyebab yang harus dan
dapat ditangani segera dengan medikamentosa seperti sepsis, infeksi
saluran kemih, galaktosemia, atau endokrinopati. Langkah kedua adalah
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 81 Manado, 17-19 Maret 2017
melakukan diferensiasi untuk mengetahui apakah terdapat obtruksi bilier
total (atresia bilier) yang memerlukan intervensi operasi segera agar
prognosis menjadi lebih baik. Langkah terakhir untuk mengetahui
komplikasi klinis kolestasis termasuk koagulopati karena
hipoprotrombinemia atau defisiensi vitamin K dan konsekuensi nutrisi
akibat malabsorpsi lemak.4, 10
Berdasarkan penyebabnya, kolestasis neonatal dibagi menjadi 2
yaitu kolestasis ekstrahepatik yang sering juga disebut obstruktif jaundice
dan sindrom hepatitis neonatal yang sering juga disebut kolestasis
intrahepatik. Beberapa penyebab yang sering ditemukan pada kolestasis
neonatal dapat dilihat pada tabel 1.
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 82 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 1.Penyebab kolestasis pada bayi.13
Kolestasis ekstrahepatik
Atresia bilier ekstrahepatik
Kista duktus koledokus
Inspissated bile syndrome
Sindrome caroli
Perforasi spontan duktus biliaris komunis
Sindrom hepatitis neonatal
Infeksi
Sepsis
TORCH
Infeksi saluran kemih
Malaria
Hepatitis B,C
HIV
Virus lainnya
Kelainan metabolik
Kelainan metabolisme asam amino
Tirosinemia
Hipermetioninemia
Kelainan metabolisme lipid
Penyakit Niemann- Pick
Penyakit Wolman
Penyakit Gaucer
Kalainan metabolisme lain
Defisiensi alfa 1-antitripsin
Sindrom Alagille
Progressive familial intrahepatic cholestasis
Kelainan endokrin
Hipopitutarisme
Hipotiroidisme
Kelainan kromosom
Trisomi 18,21
Kelainan toksik
Obat-obatan
Nutrisi parenteral
Hepatitis neonatal idiopatik
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengingat banyaknya penyebab kolestasis pada bayi, perlu dipilih
pendekatan diagnosis yang bersifat cost effective. Evaluasi yang umumnya
digunakan adalah evaluasi bertahap yang dapat dilihat pada tabel 2.
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 83 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 2. Tahapan evaluasi kolestasis neonatal.4
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Membedakan kolestasis dengan ikterus fisiologis akibat ASI dan menentukan beratnya
penyakit
-Evaluasi klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis dan warna BAB)
-Pemeriksaan bilirubin direk dan indirek
-Tes kelainan hepatoseluler dan bilier (ALT, AST, fosfatase alkali, GGT)
-Tes fungsi hati (albumin serum, waktu protrombin, glukosa darah, amonia)
Mencari kelainan yang dapat diterapi serta kelainan spesifik lainnya
-Kultur bakteri (darah,urin)
-Serologi virus (TORCH)
-FT4 dan TSH
Membedakan obstruksi ekstrahepatik dengan kelainan intrahepatik
-USG
-Biopsi hati
Walaupun penyebab kolestasis sangat beragam, diagnosis atresia bilier
dan hepatitis neonatal idiopatik mencakup 60% kasus kolestasis.Beberapa
hal dapat membantu membedakan atresia bilier (atresia bilier
ekstrahepatik) dan sindrom hepatitis neonatal (tabel 3)
Tabel 3. Gambaran klinis atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal.14
Sindrom hepatitis neonatal Atresia bilier
Jenis kelamin lebih sering pada laki perempuan
Pertumbuhan sering terganggu pada awal normal
Keadan umum biasanya tampak sakit biasanya tampak sehat
Tinja pucat/dempul berfluktuatif terus menerus
Gambaran dismorfik sering kadang-kadang
Fungsi sintetik sering terganggu umumnya awalnya baik
Hipoglikemia sering jarang
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 84 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambaran klinis kolestasis
Gambar 1. Gambaran klinis kolestasis .15
Bilirubin
- Ikterus
Lemak : malnutrisi,
retardasi pertumbuhan,
diare/steatore
kehilangan kalsium
Retensi / regurgitasi
Malabsorbsi
Vitamin yang larut dalam
lemak
A: Kulit tebal, rabun senja
D: Osteopenia
E: Degenerasi
neuromuskular, anemia
hemolitik
K: Hippoprotrombinemia
Kolesterol:
- Xantomatosis
hiperkolesterolemia
Gagal hati Hipertensi portal
- Hipersplenisme
- Asites
Asam empedu:
- Pruritus
- Hepatotoksik
Trace element
hepatotoksik
- tembaga, dll
Penyakit hati progresif
(sirosis bilier)
Kolestasis
Konsentrasi asam empedu
intraluminal menurun
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 85 Manado, 17-19 Maret 2017
Penatalaksanaan kolestasis
Tujuan talalaksana kolestasis adalah memperbaiki aliran empedu, menjaga
tumbuh kembang bayi optimal, mengatasi komplikasi dan memberikan
dukungan secara psikologis.
Memperbaiki aliran empedu dapat dilakukan dengan cara mengoreksi
atau mengobati etiologi kolestasis dengan operasi pada kolestasis
obstruktif dan medikamentosa pada kolestasis hepatoseluler dan
menstimulasi aliran empedu.3
Terapi kolestasis intrahepatal
Terapi kolestasis intrahepatal disesuaikan dengan etiologi penyebab
kolestasis seperti yang tercantum dalam tabel 4.
Tabel 4. Beberapa penyebab sindrom hepatitis neonatal dengan upaya
diagnostik serta terapinya.15
Penyebab Diagnosisi Terapi
Infeksi
Cytomegalovirus Kultur virus pada urin Gansiclovir
Toksoplasmosis Antibodi IgM Spiramisin
Rubella Antibodi IgM Suportif
Herpes simpleks ME/Kultur virus Acyclovir
Sifilis Tes VDRL Penisilin
Sepsis Kultur darah AB sesuai test
ISK Kultur urin AB sesuai test
Metabolik
Galaktosemia Galaktose 1-6 fosfat Dietbebas galaktose
Uridiltransferase
Tirosenemia Suksinil aseton urin, NTBC
Asam amino serum,
Alfafetoprotein
Endokrin
Hipopituitarism Kortisol,TSH,T4 Hormon
Hipotiroidism TSH, T4, T4 bebas, T3 Hormon
NTBC = Nitrotrifluorometilbenzoilcyclonescanedion
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 86 Manado, 17-19 Maret 2017
Terapi kolestasis ekstrahepatal
Terapi operatif dilakukan pada kolestasis ekstrahepatik, seperti
portoenterostomi kasai pada atresia bilier. Tindakan bedah merupakan
satu-satunya terapi dan sebaiknya dilakukan pada usia sebelum 6-8
minggu, karena angka keberhasilannya dapat mencapai 80-90%,
sementara bila dilakukan diatas 10-12 minggu, angka keberhasilannya
hanya mencapai 10%. Tatalaksana untuk inspissatedbile syndromeadalah
dengan kolangiografi (laparoscopic cholecystostomy dan bile duct lavage)
yang selain digunakan untuk diagnosis juga digunakan sebagai terapi
irigasi saluran bilier.Kolangiografi dapat dilakukan per kutaneus atau
melalui laparotomi.16
Terapi suportif:
a. Obat-obat medikamentosa:
Asam ursodeoksikolat:
Merupakan asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih hidrofilik
serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer
atau sekunder dan merupakan competitif binding terhadap asam
empedu toksik. Asam ursodeoksikolat juga merupakan suplemen
empedu untuk mengabsorpsi lemak. Manfaat lainnya adalah sebagai
hepatoprotektor karena dapat menstabilkan dan melindungi membran
sel hati serta sebagai flow inducer karena meningkatkan regulasi
sintesis dan aktifitas transporter pada membran sel hati. Dosis yang
diberikan adalah 10-30 mg/kgBB/hari.16
Rifampisin:
Rifampisin dapat meningkatkan aktifitas mikrosom serta menghambat
ambilan asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya,
sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50% kasus, namun efek
sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas yang terjadi
pada 5-10% kasus. Dosis yang diberikan adalah 5-10 mg/kgBB/hari,
biasanya digunakan untuk mengontrol pruritus yang berat.16
Fenobarbital:
Fenobarbital (5-phenyl-5-ethylbarbiturat acid) dapat bermanfaat sebagai
obat koleretik dan anti pruritus serta dapat mengurangi kuning.
Mekanisme kerjanya dengan meningkatkan fraksi independen asam
empedu pada aliran empedu, meningkatkan sintesis asam empedu dan
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 87 Manado, 17-19 Maret 2017
menginduksi sitokrom P 450 pada tingkat transkripsi. Peningkatkan fraksi
independen asam empedu dan peningkatkan sintesis asam empedu
secara bersama sama akan meningkatkan aliran empedu. Stimulasi
sitokrom P450 tersebut diduga dapat menghilangkan substansi yang
bersifat pruritogenik. Dosis yang dianjurkan untuk fenobarbital adalah 3-
10 mg/kgbb/24 jam.17
Kolesteramin:
Kolesteramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehinngga
juga akan menghilangkan gatal. Kolesteramin dapat mengikat asam
empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi
enterohepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya. Dosis :
0,25-0,5 g/kgBB/hari, efek sampingnya adalah trombositopenia dan
hepatotoksisitas yang terjadi pada 5-10% kasus.16
Rifampisin:
Rifampisin dapat meningkatkan aktifitas mikrosom serta menghambat
ambilan asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya,
sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50% kasus, namun efek
sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas yang terjadi
pada 5-10% kasus. Dosis: 5-10 mg/kgBB/hari, biasanya dipakai untuk
mengontrol pruritus yang berat.16,18
b. Nutrisi
Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari
kolestasis hal ini hampir terjadi pada 60% pasien. Pada keadaan
steatorrhea yang sering terjadi pada bayi kolestasis dan peningkatan
expenditure, asupan kalori diharapkan 125% RDA sesuai dengan berat
badan ideal. Susu formula pada bayi dapat dicampur dengan air lebih
sedikit jumlahnya untuk menyediakan 24 atau 27 kkal/oz atau
ditambahkan polimer glukosa atau minyak MCT (medium chain
trigliserid).16,19
Susu formula MCT (medium chain triogliserida) yang paling
sering digunakan pada kolestasis dan mengandung kira-kira 50-60%
kalori lemak. C8-C12 asam lemak akan memberikan keseimbangan
energi yang lebih baik pada anak dengan kolestasis, tidak seperti LCT
(long chain trigliserida) yang memerlukan asam empedu untuk
membuatnya larut. MCT lebih larut air dan dapat diabsorpsi secara
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 88 Manado, 17-19 Maret 2017
langsung ke sirkulasi porta. Bayi dengan kolestasis kronik yang
mendapat ASI harus diberikan tambahan formula ini apabila
pertumbuhan tidak adekuat.18,19
Saat pemberian energi yang optimal, protein yang diberikan
harus adekuat yaitu sekitar 2-3 gram /kgbb/hari. Pada kolestasis dan
sirosis, plasma aminogramnya biasanya tidak normal dengan
penurunan asam amino rantai cabang dan peningkatan asam amino
aromatik dibandingkan dengan asam amino rantai cabang. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa makanan yang kaya asam amino rantai cabang
memberikan keuntungan yang baik pada terapi nutrisi penyakit kronis,
namun MCT yang mengandung asam aminorantai cabang yang
lengkap relatif mahal dan tidak tersedia secara gampang. Pada
keadaan ensefalopati hepatikum, asupan protein harus dibatasi sampai
0,5-1 gram/kgbb/hari.16,18,19
Kombinasi dari malabsorpsi LCT dan tidak kuatnya asupan energi
dapat menyebabkan terjadi defisiensi asam lemak esensial. Asam
lemak esensial (asam linoleac dan asam linolenic) adalah asam lemak
yang tidak dapat dihasilkan oleh mamalia melalui proses desaturasi dan
elongasi dari asam lemak yang lebih pendek. Defisiensi asam lemak
esensial dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, ruam bersisik
atau kering, trombositopenia dan gangguan fungsi imun. Jumlah
minimal asam linoleic yang diperlukan untuk mencegah defisiensi asam
lemak esensial adalah 3-4% dari asupan kalori. Salah satu contoh susu
formula extensive hidrolisat mengandung linoleat.16
Asam empedu dibutuhkan dalam proses absorpsi vitamin-vitamin
larut lemak (A,D,E,K). Untuk mencegah komplikasi akibat defisiensi
vitamin tersebut perlu diberikan suplementasi otal. Suplementasi tetap
diberikan minimal sampai 3 bulan bebas ikterus. Vitamin-vitamin
tersebut diberikan dengan dosis sebagai berikut: Vitamin A Aquasol
A:5000-25.000U/hari, vitamin D3: calcitriol: 0,05-0,3 ug/kgbb/hari, vitamin
E Aquasol E:25-50IU/kgbb/hari, vitamin K Phytonadione (K1)2,5-5 mg/2-
7x/minggu oral atau 2-5 mg intramuskuler setiap 3- 4 minggu.16,18,19
Bila jumlah asam empedu <1,5-2,0 mmol/L dapat terjadi gangguan
absorpsi vitamin larut lemak. Penggunaan agen pengikat empedu
contohnya kolesteramin dapat mengganggu vitamin A dan vtamin E
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 89 Manado, 17-19 Maret 2017
yang membutuhkan asam empedu untuk dapat dihidrolisis sebelum
dapat diabsorpsi di usus. Pada bayi kolestasis penurunan cadangan
tubuh akan terjadi secara cepat sehingga akan tampak gejala klinis
defisiensi vitamin yang larut dalam lemak pada usia 4-12 bulan tidak
diberikan suplementasi.16,18,19
Follow up kolestasis
Sepertu halnya penyakit kronis lainya, follow up atau pemantauan
sangatlah penting. Pada pemantauan ini kita juga bedakan kolestasis
intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik. Pada kolestasis intrahepatik,
etiologi penyebab sangatlah penting pada pemantauan. Adapun hal-hal
yang perlu dipantau pada kolestasis: gejala klinis dan laboratorium
(bilirubin total, bilirubin direk, alkali posfatase, gamma GT, albumin,
PT/INR). Pemantauan tersebut dilakukan secara berkala sampai kolestasis
dinyatakan membaik.
Pemantauan pada kolestasis ekstrahepatik (atresia bilier) lebih difokuskan
paska tindakan kasai prosedur. Pemantauan selanjutnya adalah dengan
memantau adanya tanda-tanda kolangitis baik klinis maupun laboratorium.
Prognosis
Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis
tersebut. Pasien dengan atresia bilier memiliki prognosis yang buruk.
Beberapa faktor yang memengaruhi prognosis pada atresia bilier antara
lain pengalaman operator dan sentral rujukan, luasnya kerusakan hati saat
operasi (umur saat operasi < 8 minggu keberhasilan mencapai 80%, umur
>8 minggu keberhasilan operasi hanya 20%), frekuensi kolangitis dan ada
tidaknya sindrom yang menyertai.20
Sedangkan pada sindrom hepatitis
neonatal akibat infeksi mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan
atresia bilier atau sindrom hepatitis neonatal akibat metabolik maupun
genetik. Hal ini dihubungkan dengan tersedianya pengobatan antimikroba
spesifik.3Angka kesembuhan kolestatik intrahepatik akibat infeksi berkisar
60-80%.21
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 90 Manado, 17-19 Maret 2017
Penutup
Bayi yang berusia lebih dari 2 minggu dengan gejala kuning yang menetap
perlu dipikirkan sebagai suatu kolestasis. Pada kolestasis harus segera
(kasus’emergency
’) dibedakan apakah kolestasis ektrahepatik (obtruktif
jaundice) yang memerlukan tindakan operatif segera atau sindrom hepatitis
neonatal yang memerlukan intervensi medikamentosa untuk menghindari
kerusakan hepar lebih lanjut. Dari berbagai macam penyebab sindrom
hepatitis neonatal, hal yang paling penting adalah menentukan penyebab
yang dapat diterapi. Hepatitis neonatal idiopatik merupakan diagnosis
terakhir yang umumnya digunakan bila penyebab lain tidak diketahui.
Terapi sindrom hepatitis neonatal bertujuan memperbaiki aliran empedu,
menjaga tumbuh kembang bayi secara optimal, mengatasi komplikasi dan
dukungan psikologis.
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 91 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 1. Alur tatalaksana kolestasis
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 92 Manado, 17-19 Maret 2017
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 93 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Gourley GR. Jaundice. Dalam:Wyllie R, Hyams JS penyunting.
Pediatric gastrointestinal disease.Pathophysiology,
diagnosis,management. Edisi ke-2. Philadelphia:Sauders;1999. h.88-
102.
2. Agus Firmansyah. Pendekatan klinis anak kuning.Dalam: Hadinegoro
SR, Prawitasari T, Endyarni B, Kadim M, Sjakti HA. Diagnosis dan tata
laksana penyakit anak dengan gejala kuning. Pendidikan kedokteran
berkelanjutan ilmu kesehatan anak LIII FKUI. Jakarta. Bagian IKA
FKUI,2007:1-11.
3. Suchy F. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy F,
Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins;2001. h.187-194.
4. Mclin V,Balstreri WF. Approach to neonatal cholestasis. Dalam: Walker
W, Goulet O,Kleinman R, Sherman P, Shneider B, Sanderson,
penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Edisi ke -4. Ontario: BC
Decker Inc; 2004.1079-1093.
5. Ratnavel N, Ives NK. Investigation of prolonged neonatal jaundice.
Current Paediatrics. 2005;15: 85-91.
6. Moyer V, Freese DK, Whitington PF, Olson AD, Brewer F, Coletti R, et
al.Guidelines for the evaluatin of cholestasis jaundice in infants:
Recomendations of the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol.
Nutr 2004;39:115-28.
7. Philips MJ, Suchy FJ. Mechanism and morphology of cholestasis.
Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balisteri WF, penyunting. Liver disease in
children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2001.h.23-38.
8. Whitington P, Emerick KM. Cholestasis. eMed J. (diunduh 9 Februari
2017). Tersedia dari: http://www.emedicine.com
9. Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliary disease in children. Clin
Fam Practice. 2000;2:1-36.
10. Fawaz R, Baumann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL, et al.
Guidelines for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: Join
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 94 Manado, 17-19 Maret 2017
recommendations of the north american society for pediatric
gastroenterology, hepatology, and nutrition. JPGN. 2017;64:154-68.
11. Mover V, Freese DK, Whintington PF, Olson AD, Brewer F, Colleti RB,
Heyman MB. Guidelines for the evaluation of cholestatic jaundice in
infants: recommendation of the north american society for pediatric
gastroenterology, hepatology, and nutrition. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2004;39:115-28.
12. Bakshi B, Sutcliffe A, Akindolie M, Vadamalayan B, John S, Arkley C,
Griffin L D, Baker A. How reliably can paediatric professionals identify
pale stool from cholestatic newborns?. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed. 2012;97:F385-387.
13. Davis MK, Andreas JM. Cholestasis in neonates and infants. Dalam:
Neu J, Polin RA, penyunting. Gastroenterology and nutrition
Neonatology Questions and Controversies.Philadelphia:Sauders;2008.
h.135-55.
14. Forbes D. Liver disease in childhood. Dalam: Robinson MJ, Roberton
DM, penyunting. Practical paediatrics. Edisi ke-5. Edinburg: Churchill
Livingstone;2003.701-12.
15. Kelly DA. Pediatric liver disease. Dalam: O‘Grady JG, Lake JR, Howdle
PD, penyunting. Comprehensive clinical hepatology. Edisi ke-1.
London Mosby;2000.h.231-6.
16. Ferancak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional
management of cholestasis. Dalam:Suchy FJ, Sokol RJ, Balistri
WF,penyunting. Liver disease in children. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins,2001. h. 195-203.
17. McNamara JO. Drugs effective in the therapy of epilepsies. Dalam:
Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG,penyunting. Goodman and
Gilman,s the pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-10.New
York: MCGraw-Hill; 2001. h.531-2.
18. Roberts EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting.
Disease of the liver and biliary system in children, edisi ke-3. Oxford:
Wiley-Blackwell. 2008: 57-104.
19. Suchy FJ. Neonatal Cholestasis. Pediatr Rev 2004; 25: 388-396.
IGN Sanjaya Putra, IPG Karyana, Nyoman Metriani Nesa
KONAS VII PGHNAI 95 Manado, 17-19 Maret 2017
20. Davenport M, Howard ER. Surgical disorder of the liver and bile ducts.
Dalam: Kelly DA, penyunting. Diseases of the liver and biliary system
in children. Edisi ke-1. Oxford Blackwell Science; 1999. H.253-78.
21. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infection. Dalam:Suchy
FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h.239-52.
22. SK Yaccha. Consensus report on neonatal cholestasis syndrome.
Indian Pediatrics. 2000;37:845-51.
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 96 Manado, 17-19 Maret 2017
HEPATITIS A PADA ANAK
GEJALA KLINIS, ETIOLOGI DAN TATALAKSANA
Titis Widowati
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito
Pendahuluan
Hingga saat ini infeksi Virus Hepatitis A (VHA) masih menjadi penyebab
morbiditas yang tinggi di seluruh dunia. Laporan WHO menyebutkan
jumlah kasus Hepatitis A meningkat dari 117 juta kasus pada tahun 1990
menjadi 126 juta kasus pada tahun 2005 dan mortalitas hepatitis A
meningkat dari 30.283 pada tahun 1990 menjadi 35.245 pada tahun 2005.
Insidensi infeksi VHA biasanya berhubungan erat dengan tingkat sanitasi
lingkungan dan penyediaan sarana air bersih. Semakin buruk kondisi
sanitasi lingkungan dan higiene suatu daerah semakin tinggi prevalensi
hepatitis A. Di berbagai Negara Asia, Afrika, India dan negara dunia
sedang berkembang lainnya, lebih dari 75% anak berusia kurang dari 5
tahun sudah terkena infeksi VHA sejak usia dini tanpa menunjukkan gejala
yang nyata (asimtomatis).1,2,3
Perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene
akan menyebabkan risiko terinfeksi bergeser ke usia yang lebih tua
sehingga jumlah orang yang berisiko terinfeksi akan meningkat. Kondisi
tersebut akan meningkatkan terjadinya epidemik akibat kontaminasi feses
dari seorang penderita hepatitis A.4 Sejak tersedianya vaksin hepatitis A
jumlah penderita hepatitis A menurun drastis di negara maju, namun
demikian risiko terinfeksi masih cukup tinggi melalui foodborne outbreak
ataupun pelancong yang bepergian ke negara-negara dengan endemisitas
tinggi .3
Etiologi
VHA termasuk klasifikasi hepatovirus dari family Picornaviridae.
Karakteristik VHA adalah non-enveloped, single-stranded, dan merupakan
virus linear ribonucleic acid (RNA) dengan diameter 27 to 32 nm.5,6
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 97 Manado, 17-19 Maret 2017
HVA resisten terhadap:4,5,6,7
- Suhu denaturasi (tetap hidup pada suhu 70°C hingga 10 menit)
- pH 1 hingga 2 jam (pada suhu kamar), 20% ether, chloroform,
dichlorodifluoromethane, dan trichlorotrifluoroethane
- asam perchloracetic (300 mg/l selama 15 menit pada suhu 20°C)
- detergent untuk melemahkan (mampu bertahan hidup pada suhu 37°C
selama 30 menit dalam 1% SDS)
- penyimpanan pada suhu –20°C selama beberapa tahun
HVA dapat dilemahkan dengan: 4,5,6,7
- pemanasan suhu hingga 85°C selama 1 menit
- autoclaving (121°C selama 20 menit)
- radiasi ultraviolet (1.1 W pada kedalaman 0.9 cm selama 1 menit)
- formalin (8% selama 1 mennt pada suhu 25°C)
- â-propriolactone (0.03% selama 72 jam pada suhu 4°C)
- potassium permanganate (30 mg/l selama 5 menit)
- iodine (3 mg/l selama 5 menit)
- chlorine (konsentrasi 2.0 - 2.5 mg/l selama 15 min)
- senyawa yang mengadung chlorine (3 - 10 mg/l sodium hypochlorite
pada suhu 20°C selama 5 sampai 15 menit)
Patogenesis
VHA masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran cerna. Sesudah
tertelan virus akan menembus mukosa usus, bereplikasi di sel epital kripta
kemudian mengikuti sirkulasi darah ke hepar melalui aliran porta. Di dalam
hepar virus akan bereplikasi dan menimbulkan viremia sebelum akhirnya
diekskresikan ke kantung empedu dan dikeluarkan ke feses. Feses dapat
mengandung 109
virion infeksius per gram dan menjadi sumber utama
penularan VHA.
Puncak ekskresi VHA pada feses dan tingginya infektifitas VHA
terjadi sebelum munculnya gejala ikterik, gejala klinis lainnya dan
peningkatan enzim transaminase, kemudian akan menurun sesudah
menghilangnya gejala ikterik. Dibandingkan dewasa, pada anak-anak dan
bayi feses dapat mengandung VHA untuk waktu yang lebih lama yaitu
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 98 Manado, 17-19 Maret 2017
hingga beberapa bulan sesudah hilangnnya gejala klinis bahkan pada bayi
prematur dapat hingga 6 bulan. Viremia berlangsung 1-2 minggu sesudah
terpapar VHA dan berlangsung selama periode peningkatan enzim
transaminase. Konsentrasi virus dalam serum 2-3 kali log10 unit lebih
rendah dibanding di dalam feses. VHA juga terdapat di dalam saliva
dengan konsentrasi 1-3 log10 unit lebih rendah dibanding dalam serum,
namun belum ada data epidemiologi yang mendukung bahwa saliva dapat
menjadi sumber utama penularan. Studi tentang VHA pada kultur jaringan
menunjukkan bahwa VHA tidak secara langsung bersifat sitopatogenik.
Mekanisme terjadinya kerusakan hepatosit oleh VHA masih belum jelas
namun diduga dimediasi oleh sistem imun. 3,5
Gambaran Klinis
Infeksi VHA pada umumnya self limited disease dan memberikan
gambaran klinis yang bervariasi mulai dari asimtomatis hingga kematian
karena hepatitis fulminant. Kemungkinan munculnya gejala klinis infeksi
VHA meningkat susuai bertambahnya umur penderita. Pada anak < 6
tahun sekitar 70% asimtomatis dan bila muncul gejala klinis biasanya tidak
ikterik. Pada anak yang lebih besar dan dewasa sebagian besar simtomatis
dengan 70% pasien akan mengalami ikterik.
Sesudah masa inkubasi rata-rata 28 hari (15-50 hari) pasien yang
terinfeksi VHA akan menunjukkan gejala yang tidak spesifik kemudian
akan diikuti dengan keluhan gastrointestinal. Gejala yang khas biasanya
berupa demam, malaise, anorexia, nausea, abdominal discomfort, urine
berwarna gelap, dan ikterik yang biasanya berlangsung selama 2 bulan.
Hingga kini belum ada bukti terjadinya penyakit hati kronis atau infeksi
persisten sesudah infeksi VHA akut. Namun demikian 15-20% penderita
mungkin akan mengalami gejala yang memanjang atau relaps yang dapat
berlangsung hingga 6 bulan dan pada kondisi tersebut VHA dapat
terdeteksi di dalam serum penderita selama 6 – 12 bulan sesudah
terinfeksi.
Hepatitis fulminan adalah komplikasi yang jarang. Risiko mengalami
gagal hati akut berkisar antara 0.015 hingga 0.5% dan tertinggi terjadi pada
populasi anak yang masih kecil atau usia tua dengan penyakit yang
mendasarinya adalah penyakit hati kronis. Selain usia tua dan penyakit hati
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 99 Manado, 17-19 Maret 2017
kronis yang mendasarinya hingga kini belum teridentifikasi faktor lain yang
menjadi predisposisi terjadinya hepatitis A fulminan. Pernah dilaporkan
faktor-faktor yang dijumpai pada penderita hepatitis A fulminan antara lain
adalah viral load rendah dan factor genetik yaitu substitusi nukleotide dan
atau asam amino pada 5 untranslated region (5 UTR), P2 region, dan P3
region dari genome HVA. 5,7,8,9
Perjalanan alamiah infeksi VHA akut dibagi menjadi 4 fase klinis:7,10,11,12
- Inkubasi : berlangsung antara 10-50 hari. Pada fase ini pasien
asimtomatis walaupun virus bereplikasi, sehingga penderita sangat
infeksius
- Fase prodromal atau preikterik : berlangsung beberapa hari hingga
lebih dari 1 minggu, ditandai dengan munculnya gejala seperti
kehilangan nafsu makan, nyeri perut, nausea dan muntah, demam,
diare, air kencing seperti teh dan tinja akolik
- Fase ikterik : gejala ikterik meningkat dengan kadar bilirubin total
mencapai 20-40 mg/l. Pada kondisi ini biasanya pasien akan datang
berobat. Ikterik biasanya akan muncul dalam 10 hari sesudah
munculnya gejala. Demam akan membaik beberapa hari sesudah
munculnya ikterik. Viremia akan berhenti segera sesudah munculnya
gejala hepatitis walaupun feses masih mengandung banyak virus
(infeksius) selama 1-2 minggu kemudian. Manifestasi ekstrahepatik
jarang terjadi. Pada fase ini mortalitas rendah (0,2%) dan penyakit
akhirnya sembuh. Kadang-kadang, terjadi nekrosis hati yang ekstensif
dalam 6-8 minggu sejak timbulnya gejala. Pada kondisi ini akan muncul
gejala demam tinggi, nyeri perut hebat, muntah, ikterik dan munculnya
gejala ensefalopati hepatikum disertai koma dan kejang yang
mengarah terjadinya hepatitis fulminant dengan risiko mortalitas antara
70-90%. Risiko mortalitas meningkat seiring bertambahnya usia. Pada
pasien dengan Hepatitis B atau C kronis yang terinfeksi VHA mortalitas
akan meningkat signifikan.
- Fase konvalesen : gejala penyakit mulai membaik perlahan-lahan
hingga mencapai kesembuhan penuh. Beberapa kondisi yang bisa
terjadi sesudah fase konvalesen antara lain :
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 100 Manado, 17-19 Maret 2017
Hapatitis relaps (kekambuhan) akan terjadi pada 3-20% pasien
sekitar 4-15 minggu sesudah gejala infeksi menyembuh.
Hepatitis kolestatik dengan kadar bilirubin yang menetap
selama beberapa bulan.
Tabel 1. Kemungkinan luaran klinis infeksi VHA(4)
Luaran
Parameter Anak < 5 tahun Dewasa
Infeksi 80-95% 10-25%
Anikterik atau ikterik 5-20% 75-90%
Penyembuhan 99% 98%
Menjadi penyakit kronis Tidak ada
Mortalitas :
14 tahun 0,1%
15-39 tahun 0,3%
40 tahun 2,1%
Diagnosis
Respon imun humoral (serologi tes) memegang peran penting untuk
menegakkan diagnosis infeksi VHA karena secara klinis dan biokimiawi
sulit dibedakan dengan penyebab hepatitis virus yang lain seperti VHB,
VHC, VHD, dan VHE. Hepatitis sendiri ditegakkan dengan pemeriksaan
AST,ALT, alkali phosphatase, tes fungsi hati (bilirubin, total protein,
albumin, prothrombin time), bilirubin urin. Antibodi IgM, IgA dan IgG anti-
VHA biasanya terdeteksi pada saat munculnya gejala. Marker utama untuk
mendeteksi infeksi VHA akut adalah pemeriksaan IgM anti VHA dari serum
penderita. Pemeriksaan lainnya adalah dengan mendeteksi virus dan atau
antigen di dalam feses penderita. IgG anti VHA akan menetap lama
sesudah terinfeksi sehingga berguna untuk mendeteksi infeksi masa
lampau (telah menyembuh). Pemeriksaan essays komersial yang ada saat
ini hanya mendeteksi IgM anti VHA dan anti VHA total (IgM anti VHA dan
IgG anti VHA), sehingga bila ditemukan anti VHA total dan IgM anti VHA
negatif maka dapat ditentukan bahwa infeksi VHA yang terjadi adalah
infeksi masa lampau. Virus hepatitis A masih mungkin bisa menetap
walaupun antigen VHA sudah tidak terdeteksi, sehingga memerlukan
metode pemeriksaan yang lebih sensitif .4,5
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 101 Manado, 17-19 Maret 2017
Respon immune host
Pada infeksi virus hepatitis A akut, IgM anti VHA akan terdeteksi sekitar 3
minggu sesudah paparan kemudian jumlahnya meningkat antara 4 sampai
6 minggu dan akhirnya menurun hingga tidak terdeteksi umumnya dalam 6
bulan sesudah terinfeksi (21-23,40). IgG dan IgA Anti VHA terdeteksi
dalam beberapa hari sesudah munculnya gejala. Antibodi IgG akan
memetap selama bertahun-tahun sesudah infeksi dan memberikan
kekebalan jangka panjang. Antibodi VHA akan meningkat bersamaan
dengan menurunnya jumlah virus selama viremia dan di dalam feses
(Gambar1) 4,5,12
Gambar 1. Peristiwa virologi, imunologi dan biokimiawi selama perjalanan
infeksi VHA.13
Penularan
Hepatitis virus A biasanya ditularkan melalui rute fekal oral baik dengan
cara kontak erat orang ke orang ataupun karena mengkonsumsi makan
dan minuman yang telah terkontaminasi. Penularan melalui transfusi darah
jarang, namun hal ini bisa saja terjadi bila pendonor pada saat diambil
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 102 Manado, 17-19 Maret 2017
darahnya sedang mengalami viremia pada fase prodromal. Praktek donor
darah saat ini tidak melakukan skrining untuk mendeteksi infeksi VHA akut.
Viremia akan berlangsung selama beberapa minggu sehingga
memungkinkan terjadinya penularan virus melalui jarum suntik di antara
pengguna obat-obatan, walaupun konsentrasi VHA di dalam darah jauh
lebih rendah di banding dalam feses. VHA tidak ditularkan dari ibu ke bayi
baru lahir karena IgG anti VHA yang muncul pada saat awal infeksi mampu
menembus barier plasenta sehingga mampu memberikan perlindungan
pada bayi saat persalinan. VHA tidak ditularan melalui paparan urin,
sekresi nasofaring atau aerosol dari orang yang terinfeksi tanpa
memandang status fase klinik saat itu.2,4,14,15
Kelompok orang yang berisiko tertular hepatitis A adalah:4
Anggota keluarga/ pasangan seksual dari orang yang terinfeksi
hepatitis A
Tenaga medis dan paramedis di rumah sakit
Pelancong dari Negara maju yang bepergian ke Negara endemis
Orang yang tinggal di Negara endemis hepatitis A
Orang yang tinggal di suatu area yang sedang mengalami wabah
Anak-anak usia pra sekolah di Tempat Penitipan Anak berserta orang
tua dan saudaranya
Petugas penitipan anak
Staf di suatu komunitas yang tertutup (institusi)
Pengungsi di tempat pengungsian akibat bencana alam
Homoseksual
Pengguna abat terlarang yang memakai jarum suntik secara
bergantian
Penderita gangguan pembekuan darah
Penderita penyakit hati kronis
Penyaji makanan
Orang yang bekerja dengan primata
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 103 Manado, 17-19 Maret 2017
Tatalaksana
Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya yang penting untuk mengendalikan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus karena sejauh ini sebagian
besar obat anti virus tidak memberikan hasil yang memuaskan seperti
halnya pemberian antibiotik pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri (4). Upaya pencegahan infeksi VHA dapat dilakukan melalui 2 cara
yaitu pencegahan secara umum dan khusus (imunisasi). Pencegahan
umum melalui peningkatan perilaku hidup sehat, kebersihan sanitasi
lingkungan dan penyediaan air bersih sesuai standar yang ditetapkan.
Perilaku hidup sehat diterapkan pada tiap anggota keluarga seperti rajin
mencuci tangan dengan benar sesudah buang air besar dan sebelum
menyiapkan makanan. Pencegahan khusus dengan imunisasi dapat dibagi
menjadi imunisasi pasif dan aktif.
- Imunisasi pasif :
Imunisasi pasif dengan immunoglobulin (IG) dapat menurunkan
insidensi hepatitis A hingga 90% dan sangat efektif bila diberikan
sebelum paparan, namun demikian IG hanya memberikan kekebalan
jangka pendek sekitar 6 bulan (sesudah dosis tunggal IG 100 IU) dan
harus diulang tiap 5 bulan apabila masih kontak dengan pengidap
hepatitis A. Tentu saja hal ini tidak praktis dan memerlukan biaya yang
cukup mahal. Untuk mendapatkan kekebalan jangka panjang lebih
diutamakan imunisasi aktif. Imunisasi pasif lebih diutamakan untuk
sasaran yang harus segera mendapatkan kekebalan seperti pelancong
yang akan bepergian ke daerah endemis (preexposure). Individu yang
telah terpapar dengan virus hepatitis A kurang dari 2 minggu namun
belum pernah mendapatkan vaksin hepatitis A sebelumnya dapat
diberikan IG (0.02ml/kg) dalam kurun waktu 2 minggu pasca paparan
(postexposure). Sedangkan orang yang telah mendapatkan 1 dosis
vaksin hepatitis A sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum terpapar
virus hepatitis A tidak memerlukan pemberian IG. Skrening serologi
anti VHA total pada individu yang telah terinfeksi virus hepatitis A
sebelum diberi IG tidak diperlukan karena pertimbangan masalah biaya
mahal dan justru akan menunda waktu pemberian.4,10,15,16
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 104 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 2. Rekomendasi pemberian immunoglobulin (IG) untuk
pencegahan hepatitis A.3,4
Indikasi Durasi perlindungan Dosis IG
Preexposure Jangka pendek
1 – 2 bulan
0,02 ml/Kg (im)
Jangka panjang
3 – 5 bulan
0,06 ml/Kg (im)
Postexposure 0,02 ml/Kg (im)
Imunisasi pasif aman diberikan untuk anak-anak, wanita hamil dan
menyusui atau penderita defisiensi imun. Imunoglobulin mempengaruhi
jenis vaksin hidup atau yang dilemahkan seperti MMR (Mumps,
Measles dan Rubella) atau Varisela. Vaksinasi MMR harus ditunda 3
bulan sedang Varisela ditunda 5 bulan sesudah pemberian IG.
Sebaliknnya IG tidak dianjurkan diberikan dalam waktu 2 minggu
sesudah pemberian imunisasi dengan vaksin hidup atau yang
dilemahkan.4,10,15
- Imunisasi aktif
Saat ini ada 4 jenis vaksin dilemahkan (Havrix®, Vaqta®, Epaxal®, dan
Avaxim®) yang beredar di pasaran. Vaksin yang dilemahkan aman,
mempunyai imunogenitas tinggi dan memberikan perlindungan jangka
panjang terhadap infeksi VHA (20 tahun). Vaksin ini dapat diberikan
bersama-sama dengan sejumlah vaksin (diphtheria, polio, tetanus,
typhoid oral, cholera, Japanese encephalitis, rabies, yellow fever dan
hepatitis B) tanpa mempengaruhi serokonversi. Sasaran imunisasi aktif
adalah mereka yang berisiko tertular hepatitis A, anak-anak usia ≥ 2
tahun di daerah endemis sedang dan tinggi dan mereka yang
menginginkan kekebalan terhadap hepatitis A. Untuk individu yang
memerlukan kekebalan tetapi alergi dengan salah satu komponen
vaksin dapat diberikan immunoglobulin dan dapat diulang bila masih
memerlukan perlindungan terhadap hepatitis A lebih dari 5 bulan.
Untuk orang yang memerlukan pemberian IG berulang perlu dilakukan
skrining status imunitasnya guna menghindari pemberian dosis IG
yang tidak perlu. Durasi proteksi vaksin hepatitis A berlangsung
setidaknya selama 20 tahun .4,17
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 105 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 3. Dosis yang direkomendasikan untuk vaksin yang tersedia.4
HAVRIX® (SMITHKLINE BEECHAM BIOLOGICALS)
Grup
Umur
(tahun)
Dosis(ELISA
Units, EL.U.) Volume
No.
dosis
Jadwal
(bulan)
Anak dan
dewasa muda
2-19 720 EL.U. 0.5 ml 2 0, 6-12
Anak dan
dewasa muda
1-18
360EL.U.
(US$ 19.50)°
0.5 ml
3
0, 1, 6-12
Dewasa >18 1440EL.U.
(US$ 56.90)° 1.0 ml 2 0, 6-12
Keamanan Vaksin
Havrix®, Vaqta®, Avaxim®, Epaxal® and Twinrix® mempunyai profil
keamanan yang bagus dan memberikan imunogenitas yang tinggi pada
manusia. Hampir 100% vaksin akan membentuk antibodi yang protektif
dalam waktu 1 bulan sesudah pemberian dosis pertama.4,18
Efek samping
biasanya lokal pada tempat dilakukan penyuntikan berupa rasa nyeri (17%)
dan kemerahan (9%), dengan intensitas ringan dan durasi pendek.
Keamanan vaksin untuk ibu hamil belum diketahui. Vaksin yang tersedia
saat ini adalah inactivated vaksin, sehingga dapat diberikan untuk
penderita HIV ataupun imunokompromis walaupun mungkin respon
imunitasnya kurang bagus.1,12,15
Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk infeksi hepatitis A dan terapi bersifat
suportif. Tujuan pengobatan terutama untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
yang seimbang yaitu 1 g/Kg protein dan 30-35 cal/Kg. Tidak ada diit
khusus untuk penderita hepatitis A. Restriksi lemak tidak terbukti
bermanfaat terhadap perjalanan penyakitnya.4,15
Hepatitis A adalah self limiting disease, namun demikian dalam
perjalanannya dapat terjadi variasi bentuk klinis seperti fulminan, tipe
kolestasis atau relaps.
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 106 Manado, 17-19 Maret 2017
Hepatitis Fulminan :
Hepatitis fulminan ditandai dengan gejala encephalopati dan pemanjangan
masa protrombin yang terjadi dalam masa 8 minggu terjadinya penyakit.
Pengobatan bersifat suportif untuk mengurangi gejala udem serebri dan
pemantauan ketat masa perdarahan. Biasanya penderita memerlukan
perawatan di PICU (Pediatrics Intensive Care Unit). Angka harapan hidup
sekitar 65 % dan akan meningkat bila dilakukan transplantasi hati. 7,10
Tipe kolestasis :
Penderita akan mengalami kolestasis berkepanjangan dengan kadar
bilirubin > 10 mg/dl, biasanya disertai gejala pruritus hebat, demam, diare
dan penurunan berat badan. Prognosis biasanya baik. Pengobatan dengan
kortikosteroid jangka pendek akan memperpendek durasi gejala dan
abnormalitas biokimiawi. Vitamin larut dalam lemak (A,D,E,K) dan anti
pruritus bisa diberikan untuk mengurangi gejala.10,11,12
Relaps
Gejala timbul kembali sesudah 2 – 8 minggu mengalami perbaikan secara
klinis. Pengobatan bersifat suportif dan walaupun dapat berlangsung
beberapa bulan tetapi biasanya semua dapat sembuh sempurna (10).
Penderita bisa berobat dengan rawat jalan. Indikasi rawat inap antara lain
adalah:2,4
Encephalopati
Gangguan koagulopati
Muntah persisten dan dehidrasi
Sulit makan
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 107 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Bonanni P,Boccalini S, Bechini A. Vaccination against hepatitis A in
children: a review of the evidence. Therapeutics and Risk
Management. 2007;3:1071-6.
2. Fiore A.E. Hepatitis transmitted by Food. CID. 2004;38:705-15.
3. World Health Organization. WHO position paper on hepatitis A
vaccines–June 2012. Wkly Epidemiol Rec. 2012;87:261–76.
4. WHO.Departement of Communicable Disease Surveilance and
Response. Hepatitis A. 2000.7
5. Nainan OV et al. Diagnosis of hepatitis A virus infection: a molecular
approach. Clinical microbiology reviews.2006, 19:63-79.
6. Martin A et al. Hepatitis A virus: from discovery to vaccines.
Hepatology, 2006, 43:164–72.
7. Yazigi NA, Balistreri WF. Acute and chronic viral hepatitis in Suchi FJ,
Sokol RJ, Balistreri WF. Liver disease in children 2nd
ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2001. p. 366-427.
8. Bower WA, Nainan OV, Han X, Margolis HA. Duration of viremia in
hepatitis A virus infection. J Infect Dis. 2000;182:12–7.
9. Gabrieli R, Sanchez G, Macaluso A, Cenko F, Bino S, Palombi L, et al.
Hepatitis in Alba- nian children: molecular analysis of hepatitis A virus
isolates. J Med Virol. 2004;72:533–7.
10. Anonymous.Prevention of Hepatitis A Through Active or Passive
Immunization Recommendation of the Advisory Committee on
Immunizat Practices (ACIP).MMWR. 2006;55:1-23
11. Davison S, Boxaill EH. Infective disorder of the liver in Kelly D. Disease
of the liver and biliary system in children. 3rd
ed. Wiley-Blackwell; 2008.
p.129-44.
12. Koff RS. Hepatitis A. Lancet, 1998, 341:1643-1649.
13. Margolis HS, Nainan OV, Krawczynski K, Bradley DW, Ebert JW,
Spelbring J, et al. Appearance of immune complexes during
experimental hepatitis A infection in chimpanzees. J. Med. Virol.
1988;26:315–26.
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 108 Manado, 17-19 Maret 2017
14. Centers for Disease Control and Prevention. Prevention of hepatitis A
through active or passive immunization: recommendations of the
Advisory Committee on Immunization Practices. Morbidity and Mortality
Weekly Report. 1996;45:1-30.
15. Renge RL, Dani VS, Chitambar SD, Arankalbe VA. Vertical
transmission of hepatitis A. Indian J Pediatr. 2002;69:535-6.
16. Stapleton JT. Host immune response to hepatitis A virus. J Infect Dis.
1995;171:9-14.
17. Clemens R et al. Clinical experience with an inactivated hepatitis A
vaccine. J Infect Dis. 1995; 171:44-9.
18. Niu MT et al. Two-year review of hepatitis A vaccine safety: data from
the vaccine adverse event reporting system (VAERS). Clinical
Infectious Diseases. 1998; 26:1475-6.
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 109 Manado, 17-19 Maret 2017
HEPATITIS B IN CHILDREN:
DIAGNOSE, MANAGE, AND WHEN TO REFER
Bagus Setyoboedi
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr.Soetomo Surabaya
Pendahuluan
Virus hepatitis B (HBV) ditemukan pada tahun 1966. Diperkirakan dua
miliar orang di seluruh dunia terinfeksi HBV dan lebih dari 350 juta orang
menderita infeksi hepatitis B kronis.1
Infeksi virus Hepatitis B (HBV) dapat
menyebabkan hepatitis akut atau kronis, sirosis dan karsinoma
hepatoseluler. Gambaran klinis mulai dari gejala hepatitis subklinis hingga
dalam beberapa kasus bisa terjadi hepatitis fulminan. komplikasi jangka
panjang dari hepatitis B yang umum terjadi adalah sirosis dan karsinoma
hepatoseluler.2
Meskipun pengenalan vaksinasi secara universal pada bayi dilakukan
sejak tahun 1990-an, infeksi hepatitis B masih belum bisa
diberantas. Banyak dari populasi tinggal di daerah dengan risiko seumur
hidup tertular hepatitis B melebihi 60%.3 Kejadian kasus hepatitis B akut
terutama pada anak telah menurun secara signifikan, tetapi hepatitis B
kronis masih menjadi masalah besar yang berkaitan dengan penularan
vertikal, imigrasi dari daerah endemisitas, dan infeksi antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg) kontak rumah tangga yang positif. Bayi dan anak-anak
mempunyai risiko besar untuk menjadi infeksi hepatitis B kronis setelah
terpapar virus. Sembilan puluh persen dari bayi yang terinfeksi pada masa
neonatus dan 25% - 50% anak-anak usia 1 sampai 5 tahun yang akut
terinfeksi HBV akan berkembangkan menjadi infeksi kronis, sedangkan
pada remaja <5% dan hanya 5% - 10% pada orang dewasa.4
Manifestasi Klinis
Infeksi HBV dapat bermanifestasi dalam tiga bentuk: hepatitis akut yang
self-limited, hepatitis kronis atau nekrosis hati luas yang mengakibatkan
kegagalan hati akut. Infeksi kronis dibedakan dari infeksi akut dengan
antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) menetap lebih dari 6 bulan setelah
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 110 Manado, 17-19 Maret 2017
infeksi akut. Kemungkinan perkembangan dari hepatitis akut menjadi
kronis berbanding terbalik dengan usia. Anak-anak yang terinfeksi pada
awal kehidupan lebih beresiko untukmengalami infeksi kronis.5 Nekrosis
hati luas (fulminan) yang dapat mengakibatkan gagal hati akut terjadi pada
lebih kurang 1% dari infeksi HBV.
Sulit untuk membedakan hepatitis B dari bentuk-bentuk penyakit hati
yang lain berdasarkan kondisi klinis saja. Infeksi akut atau kronis mungkin
asimtomatik atau didapatkan gejala kuning disertai peningkatan
aminotransferase. Mungkin disertai pula gejala artralgia, artritis, ruam
makula atau glomerulonefritis. Dalam banyak kasus, riwayat paparan
dengan faktor risiko yang baru terjadi menunjukkan infeksi akut, sedangkan
riwayat setelah tinggal sejak kecil di daerah endemik lebih mengarah pada
infeksi kronis.6
Perjalanan alamiah hepatitis B kronis (CHB) dinamisdankompleks,
serta berlangsung non linear melalui beberapa tahapan. Istilah "immune
tolerant", "immune active", "immune control" dan "immune escape" telah
umum digunakan untuk menggambarkan fase-fase yang berbeda, tetapi
semakin diakui tidak sepenuhnya didukung oleh data imunologis.7
Fase
adalah durasi yang bervariasi, tidak selalu berurutan, dan tidak selalu
berhubungan langsung dengan kriteria dan indikasi untuk terapi antiviral.
Fase-fase hepatitis B kronis:8
1. Fase"immune tolerant", umumnya terjadi pada anak dan dewasa muda
dengan HBsAg-positif yang terinfeksi pada masa perinatal atau periode
awal anak-anak. Biasanya berlanjut menjadi dewasa muda dan dapat
berlangsung 10-30 tahun setelah infeksi perinatal. Biasanya HbeAg
serum terdeteksi, kadar HBV DNA tinggi (lebihdari 200 000 IU / mL),
dan kadar alanin aminotransferase (ALT) mungkin normal atau hanya
sedikit meningkat. Didapatkan peradangan hati minimal, tidak ada
fibrosis atau perkembangannya lambat, dan kemungkinan hilangnya
HbeAg secara spontan rendah.
2. Fase"immune active",ditandai HBeAg-positif dan inflamasi aktif. Serum
ALT mungkin abnormal atau berfluktuasi dan disertai dengan
penurunan bervariasi kadar HBV DNA. Gejala hepatitis dapat terjadi
dan bisa lebih parah, secara histologis nampak jelas gambaran hepatitis
dan fibrosis. Fase ini dapat berlangsung dari beberapa minggu hingga
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 111 Manado, 17-19 Maret 2017
tahunan, dan dapat terjadi serokonversi dari HBeAg-positif menjadi anti-
HBe. Angka serokonversi lebih tinggi pada mereka dengan
aminotransferase serum meningkat dan yang terinfeksi dengan
genotipe D, A, F dan (di Asia) B.
3. Fase "immune control", disebut juga non-replikatif atau tidakaktif
(sebelumnya disebut fase pembawa tidak aktif / ―inactive carrier‖),
ditandai serokonversi dari HbeAg positif menjadi anti-HBepositif, yang
terjadi pada lebih kurang 10-15% HBeAg-positif per tahun. Dengan
hilangnya HBeAg, perkembangan fibrosis minimal, kadar ALT serum
kembali normal,dan kadar HBV DNA rendah (kurang dari 2000 IU / mL)
atau tidak terdeteksi. Serokonversi HbeAg pada usia muda, sebelum
timbulnya penyakit hati yang signifikan, mengurangi risiko substansial
sirosis dan kanker hati sehingga memberikan prognosis yang baik.
Namun pada beberapa orang replikasi virus yang aktif dapat muncul
kembali.
4. Fase "immune escape", selainHBeAg-positif, hepatitis kronis aktif
dengan HBeAg-negatif (―immune escape-mutant‖) terjadi pada sekitar
5-15% dari orang dengan HBeAg-negatif, anti-HBe-positif dalam status
pembawa tidak aktif.9-11
HbeAg tidak terdeteksi (dan anti-Hbe
terdeteksi) terjadi karena mutasi pada pre-core atau promoter basal inti
dari genom virus yang menghasilkan varian HBV yang tidak
mengekspresikan HBeAg. Ini merupakan fase akhir dari penyakit,
umumnya pada orang yang lebih tua, memiliki perjalanan yang
bervariasi, dengan kadar ALT dan HBV DNA abnormal atau
berfluktuasi. Histopatologi menunjukkan perubahan necroinflammatory,
dan perkembangan menjadi sirosis yang lebih cepat (8 - 20%tiap
tahun).
5. Reaktivasi HBV dapat terjadi secara spontan atau mungkin dipicu oleh
kemoterapi dan terapi imunosupresif lainnya, dan dapat menyebabkan
hepatitis acute-on-chronic yang fatal, oleh karena itu perlu diberikan
terapi analog nukleosida (NA). Infeksi HBV tersembunyi / occult
(didefinisikan sebagai persistensi HBV DNA dalam hati pada orang
dengan HbsAg tidak terdeteksi dalam darah) juga dapat diaktifkan oleh
kemoterapi yang lama atau terapi imunosupresif. Subyek dengan infeksi
tersembunyi juga merupakan sumber penting dari infeksi baru pada
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 112 Manado, 17-19 Maret 2017
layanan transfusi darah di daerah endemik HBV yang menggunakan
HbsAg sebagai satu-satunyapenanda infeksi pada populasi donor.
Orang yang telah bersih dari HbsAg dan HBV DNA negatif tetapi anti-
Hbcpositif dapat menjadi aktif kembali jika diberi obat imunosupresif
yang kuat.
Diagnosis
Identifikasi dan diagnosis penyakit infeksi HBV memerlukan hasil
pemeriksaan serologi dan virologi. Meskipun tidak semua inklusif, tabel 1
menunjukkan interpretasi klinis pola khas serologi dan virologi HBV. HBsAg
terdeteksi lebih dari6 bulan menunjukkan infeksi kronis. Antibodi terhadap
antigen permukaan virus (anti-HBs) terbentuk selama masa pemulihan dari
hepatitis B akut yang menjadi kekebalan terhadap infeksi di masa
depan. ‗Window period‘ merupakan periode HBsAg hilang dan anti-HBs
belum berkembang, namun antibodi terhadap antigen inti hepatitis B (anti-
HBc) dapat terdeteksi. Anti-HBs juga dapat terbentuk setelah vaksinasi
hepatitis B.6
Antigen kedua, antigen e hepatitis B (HBeAg) dilepaskan ke dalam
darah selama periode replikasi virus yang tinggi dan menunjukkan keadaan
yang sangat menular. Status serokonversi anti-HBe-positif dapat
berkembang setelah infeksi akut atau dalam fase akhir dari infeksi
kronis. terbentuknya anti-HBe mengidentifikasi pembawa HBsAg yang
berisiko rendah untuk transmisi HBV. Serokonversi jarang terjadi pada
infeksi virus 'precore mutan' (mutasi terjadi pada nukleotida 1896 di wilayah
precore dari genom HBV DNA). Mutasi ini virulensi pasti terjadi selama
perjalanan infeksi dan membuat virus tidak mampu memproduksi HBeAg.12
Serologi anti-HBc terbentuk sekitar 8 minggu setelah
infeksi. Kehadirannya dapat menunjukkan infeksi saat ini atau
sebelumnya. Pemeriksaan anti-HBc mendeteksi kedua immunoglobulin,
yaitu antibodi Ig G dan IgM, sementara uji kedua hanya mendeteksi
antibodi IgM. Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, IgM anti-
HBc sangat spesifik untuk diagnosis infeksi akut karena ada selama awal
infeksi dan window period. Titer HBV DNA diukur dengan alat tes
hibridisasi dan berkorelasi dengan tingkat replikasi virus.6
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 113 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 1. Interpretasi klinis dari profil klasik serologi dan virologi virus
hepatitis B (HBV)6
Interpretasi klinis HBsAg Anti-
HBc
Anti-
HBs HBeAg
Anti-
HBe HBV DNA
Infeksikronis + > 6
bulan
‗Window period‘ infeksi HBV
diselesaikan (HBsAg hilang
tapi anti-HBs belum
terbentuk)
– +*
(IgM)
–
Sangat menular (replikasi
virus tinggi)
+ + – +
HBsAg-karier berisiko
rendah transmisi HBV
(replikasi aktif)
+ – ± –
Kemungkinan mutan – ± +
Kemungkinan―escape
mutant‖ (mis.mendapat
lamivudine)
± ± meningkat
Kekebalansetelahvaksinasi – – +
* Saat atau sebelumnya infeksi (sangat spesifik untuk infeksi akut pada anak-anak yang lebih
tua dan orang dewasa) terbentuk sekitar delapan minggu setelah infeksi. + Positif; - Negatif; ±
Mungkin positif atau negatif; Anti-HBc Antibodi terhadap antigen inti hepatitis B; Anti-HBe
antibodi antigen e hepatitis B; Anti-HBs Antibodi terhadap antigen permukaan hepatitis B;
HBeAg antigen e Hepatitis B; HBsAg antigen permukaan Hepatitis B; IgM immunoglobulin M.
Pengobatan
Keputusan untuk mengobati harus dilakukan konsultasi dengan ahli
hepatologi anak. Pemantauan kepatuhan pengobatan, efek samping dan
respon pengobatan dapat dikoordinasikan bersama konsultan hepatologi.
Umumnya, anak dengan peningkatan kadar aminotransferase dan
penanda replikasi virus persisten (HbeAg dan HBV DNApositif) harus
dipertimbangkan untuk pengobatan (jika serum alanine aminotransferase
[ALT] naik2 -3 kali batas normal selama > 4 bulan tanpa diikuti anti-HBc
positif). Respon terhadap pengobatan umumnya didefinisikan sebagai
serokonversi HBeAg ke anti-HBe dengan hilangnya DNA HBV karena hasil
tersebut terkait dengan penurunan insiden sirosis dan karsinoma
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 114 Manado, 17-19 Maret 2017
hepatoseluler. Studi pada orong dewasa menyimpulkan interferon-alpha
dan lamivudine sebagai pilihan pengobatan untuk penderita dengan
hepatitis B.13-15
Peran terapi kortikosteroid sebagai agen priming untuk
meningkatkan keberhasilan terapi masih harus diklarifikasi, tapi tampaknya
tidak perlu dan mungkin bisa menimbulkan bahaya.16
Sejauh ini, pada
anak-anak dengan hepatitis B kronis, hasil penelitian yang menggunakan
priming dengan steroid tidak berbeda secara signifikan dengan tanpa
steroid.17-18
Hasil uji terkontrol secara acak pemantauan jangka panjang
dari orang dewasa dengan hepatitis B kronis yang dirawat menunjukkan
bahwa interferon-alpha lebih efektif daripada plasebo dalam mencegah
perkembangan karsinoma hepatoseluler dan memperpanjang
kelangsungan hidup.19
Sejauh ini respon terapi pada anak mirip dengan orang dewasa, tetapi
jumlah obat yang disetujui untuk anak-anak masih terbatas. Untuk orang
dewasa, ada 7 obat antivirus yang saat ini disetujui oleh Food and Drug
Administration Amerika Serikat untuk digunakan sebagai terapi awal untuk
hepatitis B kronis: 2 jenis interferon (interferon alfa-2b dan peginterferon
alfa-2a) dan 5 analog nukleotida (lamivudine, adefovir dipivoxil, entecavir,
telbivudine, dan tenofovir). Untuk anak-anak, ada 4 terapi yang disetujui,
yaitu: adefovir untuk usia 12 ke atas;entecavir untuk usia 16 tahun ke
atas; interferon alfa-2b disetujui untuk digunakan pada anak-anak mulai
usia 12 bulan; dan lamivudine dapat digunakan mulai dari usia 3 tahun.4
Keputusan untuk memulai dan memilih pengobatan masih rumit dan
terus berkembang. Lamivudine dan adefovir adalah salah satu pilihan yang
kurang kuat, tetapi penggunaannya bukan tanpa risiko. Untuk lamivudine,
resistensi obat merupakan masalah yang signifikan. Sebuah studi oleh
Sokal et al 20
menunjukkan tingkat resistensi dari 64% pada anak-anak
yang menerima lamivudine selama 36 bulan. Jika memungkinkan,
lamivudine monoterapi harus dihindari karena tingginya insiden
resistensidan kekhawatiran bahwa hal itu akan mempengaruhi pilihan
pengobatan masa depan. Adefovir adalah obat antivirus kurang kuat
terhadap HBV, dan peningkatan resistensi terhadap adefovir terjadi dari
waktu ke waktu.21
Resistensi terhadap interferon belum ditemukan, dan
meskipun keberhasilan pada orang dewasa bervariasi, anak-anak (berusia
≤5 tahun) mungkin memiliki respon yang baikpada obat ini, namun efek
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 115 Manado, 17-19 Maret 2017
samping tetap menjadi perhatian.22,23
Selain resistensi obat, dampak klinis
terhadap prognosis pasien (penurunan serokonversi, peningkatan laju
perkembangan penyakit) dan tantangan pengobatan seumur hidup
dihadapi seorang anak yang terinfeksi virus resisten.Hal tersebut juga
memiliki konsekuensi kesehatan masyarakat termasuk transmisi strain
yang resistan terhadap obat kepada orang lain. Dengan demikian, anak-
anak yang menerima terapi antivirus golongan nukleotida baik sendiri
maupun kombinasi harus dipantau kemungkinan terjadinya resistensi
denganpemeriksaan periodik kadar HBV DNA dan ALT, seperti yang
disarankan pada beberapa pedoman dewasa.24,25
Terapi antivirus umumnya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
penyakit hati aktif, yang ditunjukkan dengan peningkatan ALT (umumnya
mereka yang telah pindah dari fase immune-tolerant ke fase immune-
clearance). Untuk anak-anak yang HBeAg-positif dengan kadar ALT tinggi
dan penyakit hati terkompensasi, dipertimbangkan pengamatan selama 6
sampai 12 bulan untuk menentukan apakah terjadi serokonversi spontan
HBeAg. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam keputusan
untuk memulai pengobatan dengan terapi antivirus, potensi khasiat, durasi
terapi, dan risiko resistensi obat dalam pandangan pilihan terapi yang
terbatas untuk anak-anak.4
Skrining dan Rujukan
HbsAg dan anti-HBs serum merupakan alat skrining yang paling efektif
untuk infeksi HBV. HBsAg terdeteksi pada hampir semua orang dengan
infeksi kronis, bahkan saat HBV DNA tidak terdeteksi. Kadar anti-HBs yang
rendah mengidentifikasi anak yang rentan dan membutuhkan
vaksinasi. Anak-anak dengan HBsAg-positif harus diperiksa ulang 6 bulan
kemudian untuk menentukan ada tidaknya infeksi kronis. Kadar ALT serum
tidak meningkat pada fase imun-toleran, oleh karena itu pengukuran ALT
bukan merupakan metode skrining yang tepat untuk mendeteksi infeksi
HBV.4
Gambar 1 menunjukkan pendekatan yang disarankan untuk
memantau anak-anak dengan infeksi HBV kronis. Secara khusus, panel
merekomendasikan evaluasi awal: tingkat ALT (bagian dari panel fungsi
hati); sel darah putih dan platelet, karena nilai-nilai yang rendah merupakan
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 116 Manado, 17-19 Maret 2017
penanda fibrosis hati lanjut (bagian dari hitung darah lengkap). Serologi
hepatitis B, khususnya HBeAg dan anti-HBe, dan HBV DNA kuantitatif,
digunakan bersama dengan kadar ALT untuk menentukan tahap
penyakit. USG hati dasar, digunakan untuk penilaian tekstur hati dan
adanya nodul serta ukuran limpa. Kadar α-fetoprotein (AFP), yang
digunakan untuk stratifikasi risiko HCC terutama pada penderita dengan
riwayat keluarga kanker hati atau penyakit hati. Anak-anak dengan HBeAg-
positif, kadar ALT dan AFP normal, harus dievaluasi ulang setiap 6 sampai
12 bulan bersama dengan pemantauan terus status HBeAg / anti-
HBe. Pada fase immune-toleran ttersebut, masih ada risiko perkembangan
penyakit atau HCC, namun terapi pada saat ini tidak efektif. Jika ALT
meningkat, anak berisiko untuk perkembangan penyakit hati dan juga
menjadi kandidat untuk pengobatan. Jika HBeAg tidak terdeteksi namun
HBV DNA terdeteksi, maka penderita mengalami hepatitis B kronis antigen
e negatif.4
Penutup
Hepatitis B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV), masih menjadi
masalah kesehatan di seluruh dunia. Hepatitis B sering hanya
menimbulkan gejala yang ringan pada kebanyakan penderita anak, namun
semakin muda terinfeksi kemungkinan berkembang menjadi kronis
semakin besar. Sebagian penderita berisiko mengalami perkembangan
yang progresif dan komplikasi serius saat dewasa. Diagnosis umumnya
ditegakkan dengan pemeriksaan serologi dan virologi. Keputusan mulai
pengobatan, efek samping dan respon pengobatan sebaiknya
dikoordinasikan bersama konsultan hepatologi anak. Anak dengan HBsAg-
positif harus diperiksa ulang 6 bulan kemudian untuk menentukan ada
tidaknya infeksi kronis, bila mengalami infeksi kronis perlu dilakukan
pemantauan HBeAg, HBV DNA, ALT, AFP, serta USG secara berkala
setiap 6 sampai 12 bulan.
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 117 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 1. Pendekatan untuk memantau anak-anak dengan infeksi hepatitis B
kronis (persisten HBsAg positif).4
aSetiap anak yang memiliki ALT atau AFP tinggi, memiliki riwayat keluarga menderita HCC,
atau HBeAg-negatif tetapi HBV DNA >2000 IU / mL harus dirujuk ke spesialis hepatologi
anak. ALT dan sel darah putih / platelet (WBC / Plt) umumnya termasuk dalam evaluasi awal
sebagai bagian dari panel fungsi hati dan hitung darah lengkap. bTingkat ALT harus
dipertimbangkan tinggi jika lebih besar dari leih dari batas normal yang ditentukan atau >40 IU
/ L, pilih mana yang lebih rendah. cPeriksa kadar ALT dan AFP setiap 6 sampai 12 bulan dan
HBeAg / Anti-HBe dan HBV DNA setiap 12 bulan. Banyak spesialis anak juga
mempertimbangkan USG setiap 1 sampai 2 tahun (terutama dengan riwayat keluarga kanker
hati atau jika ALT atau tingkat AFP meningkat).
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 118 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Kane M. Global programme for control of hepatitis B infection. Vaccine.
1995;Suppl 1:S47-9.
2. Izzo F, Cremona F, Ruffolo F, et al. Outcome of 67 patients with
hepatocellular cancer detected during screening of 1125 patients with
chronic hepatitis. Ann Surg. 1998.227:513-8.
3. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and
Prevention of Vaccine Preventable Diseases. 10th ed, 2nd printing.
Washington, DC: Public Health Foundation; 2008:211–234. Available
at: www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/pink-chapters.htm. Diunduh
30 Januari 2017.
4. Haber BA, Block JM, Jonas MM, Karpen SJ, London WT, McMahon
BJ, et al. Hepatitis B Foundation. Recommendations for screening,
monitoring, and referral of pediatric chronic hepatitis B. Pediatrics.
2009;124:e1007-13.
5. Tassopoulos NC, Papaevangelou GJ, Sjogren MH, Roumeliotou-
Karayannis A, Gerin JL, et al. Sejarah alam dari permukaan hepatitis B
antigen-positif hepatitis akut pada orang dewasa Yunani.
Gastroenterologi. 1987;92:1844-50.
6. Yeung LTF, Roberts EA. Hepatitis B in childhood: An update for the
paediatrician. Paediatr Child Health. 2001;6:655-60.
7. Bertoletti A, Kennedy PT. The immune tolerant phase of chronic HBV
infection: new perspectives on an old concept. Cell Mol Immunol.
2014;doi: 10.1038/cmi.2014.79. [Epubahead of print].
8. WHO. Guidelines for the prevention, care and treatment of persons
with chronic hepatitis B infection. Geneva: World Health Organization;
Maret 2015:16–7.
9. Hadziyannis SJ, Papatheodoridis GV. Hepatitis B e antigen-negative
chronic hepatitis B: natural history and treatment. Semin Liver Dis.
2006;26:130–41.
10. Hadziyannis SJ, Vassilopoulos D. Hepatitis B e antigen-negative
chronic hepatitis B. Hepatology. 2001;34:617–24.
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 119 Manado, 17-19 Maret 2017
11. Brunetto MR, Oliveri F, Coco B, Leandro G, Colombatto P, Gorin JM, et
al. Outcome of anti-HBe positive chronic hepatitis B in alpha-interferon
treated and untreated patients: a long term cohort study. J Hepatol.
2002;36:263–70.
12. Koh K, Lee H, Kim C. Universal emergence of precore mutant hepatitis
B virus along with seroconversion to anti-HBe irrespective of
subsequent activity of chronic hepatitis B. Korean J Intern
Med. 1994;9:61–6.
13. Schalm SW, Heathcote J, Cianciara J, et al. Lamivudine and alpha
interferon combination treatment of patients with chronic hepatitis B
infection: A randomised trial. Gut. 2000;46:562–8.
14. Wong D, Cheung A, O'Rourke K, Naylor C, Detsky A, Heathcote J.
Effect of alpha-interferon treatment in patients with hepatitis B e
antigen positive chronic hepatitis B. Ann Intern Med. 1993;119:312–
23.
15. Lai CL, Chien RN, Leung NW, et al. A one-year trial of lamivudine for
chronic hepatitis B. Asia Hepatitis Lamivudine Study Group. N Engl J
Med. 1998;339:61–8.
16. Liaw YF, Tsai SL, Chien RN, Yeh CT, Chu CM. Prednisolone priming
enhances Th1 response and efficacy of subsequent lamivudine therapy
in patients with chronic hepatitis B. Hepatology. 2000;32:604–9.
17. Gregorio GV, Jara P, Hierro L, et al. Lymphoblastoid interferon alfa with
or without steroid pretreatment in children with chronic hepatitis B: a
multicenter controlled trial. Hepatology. 1996;23:700–7
18. Vajro P, Migliaro F, Fontanella A, Orso G. Interferon: A meta-analysis
of published studies in pediatric chronic hepatitis B. ActaGastroenterol
Belg. 1998;61:219–23.
19. Lin SM, Sheen IS, Chien RN, Chu CM, Liaw YF. Long-term beneficial
effect of interferon therapy in patients with chronic hepatitis B virus
infection. Hepatology. 1999;29:971–5.
20. Sokal EM, Kelly DA, Mizerski J, et al. Long-term lamivudine therapy for
children with HBeAg-positive chronic hepatitis B. Hepatology.
2006;43:225–32.
Bagus Setyoboedi
KONAS VII PGHNAI 120 Manado, 17-19 Maret 2017
21. Pallier C, Rodriguez C, Brillet R, Nordmann P, Hézode C, Pawlotsky
JM. Complex dynamics of hepatitis B virus resistance to adefovir.
Hepatology.2009;49:50–9.
22. Burczynska B, Madalinski K, Pawlowska J, et al. The value of
quantitative measurement of HBeAg and HBsAg before interferon-
alpha treatment of chronic hepatitis B in children. J
Hepatol.1994;21:1097–102.
23. Kobak GE, MacKenzie T, Sokol RJ, Narkewicz MR. Interferon
treatment for chronic hepatitis B: enhanced response in children 5
years old or younger. J Pediatr.2004;145:340–5.
24. Keeffe EB, Dieterich DT, Han SH, et al. A treatment algorithm for the
management of chronic hepatitis B virus infection in the United States:
2008 update. Clin Gastroenterol Hepatol. 2008;6:1315–41.
25. Lok AS, McMahon BJ. Chronic hepatitis B [published correction
appears in Hepatology. 2007;45(6):1347]. Hepatology.2007;45
(2):507– 539.
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 121 Manado, 17-19 Maret 2017
HOW TO INTERPRET FECAL ANALYSIS IN DAILY PRACTISE
Nuraini Irma Susanti
Pendahuluan
Analisis tinja merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang sering
digunakan oleh klinisi, baik sebagai pemeriksaan rutin maupun untuk
menegakkan diagnosis penyakit saluran cerna. Pemeriksaan ini
memberikan informasi penting yang diperlukan untuk diagnosis banding
berbagai kelainan saluran cerna seperti infeksi, perdarahan, maldigesti,
malabsorbsi, maupun kelainan hati, empedu dan pankreas yang
menyebabkan gangguan enzim pencernaan.1,2
Cara pengumpulan
sampel yang benar, cara pemeriksaan dan interpretasi yang benar akan
menentukan ketepatan diagnosis.
Pemeriksaan analisis tinja terdiri dari pemeriksaan makroskopik,
mikroskopik, kimia dan mikrobiologi. Pemeriksaan makroskopik mencakup
pemeriksaan warna, bau, konsistensi, mendeteksi adanya mukus atau
darah. Pemeriksaan mikroskopik terdiri dari pemeriksaan leukosit, eritrosit,
sisa makanan seperti amilum, lemak, serat daging, serat tumbuhan, telur
cacing, amuba dan jamur. Pemeriksaan kimia meliputi pemeriksaan Ph, uji
reduksi dan darah samar.2-4
Analisis tinja secara komprehensif bermanfaat dalam mendeteksi
adanya infeksi, adanya darah dalam tinja, juga dalam memberikan
informasi dan evaluasi terhadap proses digesti, absorpsi serta fungsi usus.
Hasil analisis tinja juga dapat berperan dalam menentukan adanya
ekskresi lemak (steatorrhea), menentukan jenis diare dan
penyebabnya.1,3,5
Pengumpulan Bahan
Proses pengumpulan bahan merupakan faktor penting dalam semua
prosedur pemeriksaan laboratorium. Selama 1 – 2 hari sebelum
pemeriksaan tinja disarankan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan
seperti antasida, anti diare, antiparasit, anti biotika, laksan, zat besi dan
lain-lain.2,6
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 122 Manado, 17-19 Maret 2017
Bahan pemeriksaan tinja ditampung dalam wadah bersih, tidak dapat
meresap, berlabel identitas pada wadah penampung, bertutup rapat, tidak
mudah pecah dan mudah dibawa. Penderita atau orangtua diberi
penjelasan agar tinja tidak terkontaminasi dengan urin dan air toilet yang
mengandung sabun atau desinfektan. Gas yang terkumpul dalam wadah
dikeluarkan secara periodik dengan membuka tutup wadah.3-7
Selain itu tinja tidak mengenai bagian luar wadah dan diisi tidak terlalu
penuh. Tinja yang menempel di sarung tangan pada saat colok dubur,
dapat dipindahkan ke kertas saring untuk pemeriksaan makroskopik dan
darah samar. Tinja sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar, kurang dari
1 jam setelah di ambil7, karena bila dibiarkan unsur dalam tinja akan
berubah.
Interpretasi Pemeriksaan
A.Pemeriksaan Makroskopik
Warna
Tinja normal berwarna kuning coklat berasal dari urobilinogen yang
teroksidasi dalam usus menjadi urobilin, dan warna ini dapat berubah
menjadi lebih tua dengan terbentuknya lebih banyak urobilin. Selain
urobilin, warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan
dalam saluran pencernaan dan obat yang dimakan.
Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang
mengandung khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh
biliverdin dan porphyrin dalam mekonium.3,5
Tinja berwarna kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada
urobilinogen dalam saluran pencernaa , seperti yang terdapat pada ikterus
obstruktif, tinja tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat
pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang
menyebabkan makanan yang mengandung banyak lemak tidak dapat
dicerna dan juga setelah pemberian garam barium setelah pemeriksaan
radiologik.4
Tinja berwarna hitam seperti ―ter‖ (tarry stool), biasanya disebabkan
perdarahan saluran cerna bagian atas.1,2,4,5,
. Perdarahan pada esophagus,
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 123 Manado, 17-19 Maret 2017
lambung dan duodenum, memerlukan waktu sekitar 3 hari untuk darah
sampai dalam tinja. Terjadi pemecahan hemoglobin menjadi hematin asam
oleh asam lambung sehingga tinja berwarna hitam. Tinja berwarna hitam
juga dapat disebabkan oleh obat yang mengandung besi, arang, atau
bismuth.7
Tinja yang berwarna merah terang dapat disebabkan oleh perdarahan
yang segar dibagian distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau
tomat.
Bau
Bau tinja berasal dari hasil metabolism bakteri usus.1,2,
Bila terjadi
perubahan keseimbangan flora normal usus atau komposisi zat makanan
yang dicerna berubah dapat terjadi perubahan bau tinja. Bau busuk
didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna
dan dipecah oleh kuman.1,4
Feses yang berbau busuk didapatkan pada
infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides. 8
Tinja yang berbau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna
seperti pada diare. Konsumsi makanan dengan rempah-rempah dapat
mengakibatkan rempah-rempah yang tercerna menambah bau tinja.5,7
Konsistensi
Pada keadaan normal konsistensi tinja agak lunak dan berbentuk. Pada
kasus diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan
sebaliknya tinja yang keras atau skibala didapatkan pada konstipasi. Tinja
yang cair tanpa lendir atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin
virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran cerna.8
Konsistensi tinja cair, bercampur darah dan lendir dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif
yang menyebabkan peradangan mukosa atau adanya parasit diusus
seperti E. hystolitica, B. coli dan T. trichiura. 8,9
Tinja yang lengket, berminyak dapat disebabkan karena mengandung
banyak lemak, yang disebut sebagai steatorrhea. Peragian dari karbohidrat
dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas.4,5
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 124 Manado, 17-19 Maret 2017
Lendir
Lendir atau mukus merupakan suatu zat gelatin yang tidak dijumpai pada
tinja normal. Terdapatnya lendir yang banyak menunjukkan adanya
rangsangan atau radang pada dinding usus. Bila lendir hanya terdapat di
bagian luar tinja, lokasi iritasi itu mungkin terletak pada usus besar dan
sebaliknya bila lendir bercampur dengan tinja, lokasi iritasi terletak pada
tempat yang lebih tinggi, seperti di usus halus. Ditemukannya lendir saja
tanpa tinja dapat terjadi pada intususepsi dan ileokolitis 3,5
. Pada kasus
keganasan serta peradangan rektal anal, didapatkan tinja dengan lendir
dan bercampur darah. Bila ditemukan tinja dengan lendir bercampur nanah
dan darah pikirkan adanya kolitis ulseratif, disentri basiler, divertikulitis
ulseratif, tbc usus. Adanya tinja dengan lendir yang sangat banyak dapat
dikarenakan adanya vilous adenoma colon.10,11
Darah
Darah dalam tinja dapat bewarrna merah terang, coklat atau hitam. Darah
itu mungkin terdapat di bagian luar tinja atau bercampur dengan tinja.
Adanya darah di dalam tinja dapat diketahui bila perdarahan lebih dari 50 -
100 mL/hari. Bila perdarahan terjadi di daerah saluran cerna bagian atas,
darah akan bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam karena
bercampur dengan asam lambung, ini disebut ―melena‖ seperti pada tukak
lambung atau varises esofagus. Warna hitam pada tinja dapat juga
disebabkan oleh darah yang tertelan karena perdarahan di rongga mulut
atau hidung. Pada perdarahan di saluran cerna bagian bawah, darah
yang berwarna merah segar terdapat di bagian luar tinja dan dijumpai pada
hemoroid atau karsinoma rektum. Tinja yang mengandung darah bisa
disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri
enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau adanya parasit
diusus seperti E. hystolitica, B. coli dan T. trichiura.8,11
Pada pemeriksaan tinja dapat ditemukan nanah. Hal ini terdapat
pada penyakit kolitis ulseratif kronik, fistula kolon sigmoid, abses local.
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 125 Manado, 17-19 Maret 2017
Parasit
Pemeriksaan parasit dilakukan untuk mengetahui adanya cacing ascaris,
ancylostoma dan spesies cacing lainnya , juga Giardia lamblia yang
mungkin didapatkan dalam feses.10
Lain-lain
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan makroskopik tinja adalah
adanya unsur lain dalam tinja, misalnya sisa makanan yang tidak tercerna,
cacing dan pus atau nanah. Sisa makanan sebagian berasal dari
makanan, sayur-sayuran dan sebagian lagi makanan berasal dari hewan,
seperti serat otot, dan zat-zat lainnya.
B. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan cara memeriksa sejumlah
kecil suspensi tinja, kemudian dilakukan pewarnaan dengan menggunakan
eosin 2%, lugol dan sudan III. Pemeriksaan ini dapat membantu
menentukan penyebab diare dan sebagai penyaring terhadap steatorrhea.
Secara kualitatif dengan pewarnaan eosin 2% dapat dinilai adanya
leukosit, eritrosit, telur cacing, dan sisa makanan yang tidak dicerna
dengan baik seperti serat daging dan serat tumbuhan, Untuk melihat sisa
makanan berupa amilum digunakan lugol.2,6,7,8
Leukosit
Dalam keadaan normal tidak dijumpai leukosit dalam tinja.2,10
Leukosit
menunjukkan suatu keadaan inflamasi atau infeksi. Terdapat berbagai
penelitian tentang jumlah leukosit yang menunjukkan adanya infeksi pada
saluran cerna. Huicho , Sanchez D dkk dalam penelitiannya terhadap 446
anak diare, didapatkan leukosit dinyatakan positif bila didapatkan >5/lpb11
.
Jumlah leukosit >10/lpb dipakai WHO sebagai tanda adanya infeksi bakteri
patogen Shigella disentriae pada anak dengan klinis disentri.10
Pada disentri basiler, kolitis ulseratif dan peradangan didapatkan
peningkatan jumlah leukosit. Untuk meningkatkan kemampuan identifikasi
leukosit, dapat dilakukan pewarnaan dengan methylene blue atau Wright
pada sediaan basah. 10
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 126 Manado, 17-19 Maret 2017
Eritrosit
Eritrosit hanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus.
Sedangkan bila lokasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya
eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal.11
Lemak
Lemak dalam tinja terdiri dari trigliserida, asam lemak dan garam lemak
(fatty acid salts). Adanya lemak dari pemeriksaan mikroskopik
menggunakan zat warna Sudan III, Sudan IV atau Oil Red O. Adanya
lemak tampak sebagai globul berwarna orange sampai merah. 4,5
Protozoa
Biasanya protozoa didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair
baru didapatkan bentuk trofozoit.10
Telur cacing
Telur cacing yang mungkin didapat adalah Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, S trongyloides
stercoralis dan sebagainya.5,6
Jamur
Untuk membedakan antara kandida (jamur) dalam keadaan normal
dengan kandidiasis adalah dari hasil pemeriksaan dapat ditemukan
bentuk pseudohifa yang merupakan bentuk invasif dari kandida pada
sediaan tinja. Timbulnya kandidiasis juga dapat dipermudah dengan
adanya faktor risiko seperti diabetes melitus, AIDS, pengobatan antikanker,
dan penggunaan antibiotika jangka panjang.
Serat sisa makanan
Untuk melihat adanya serat makanan, baik serat daging atau serat
tumbuhan, dilakukan pemeriksaan suspense dengan larutan eosin 10%
dalam alkohol.1,2,4
Dalam keadaan normal tidak ditemukan serat daging
dalam tinja dan bisa dijumpai 1 – 4 serat tumbuhan /lpb.Beberapa
penelitian menunjukkan korelasi yang baik antara ditemukannya
peningkatan jumlah serat daging dengan maldigesti. 3,9,10
Untuk identifikasi
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 127 Manado, 17-19 Maret 2017
lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan Lugol maka pati (amylum)
yang tidak sempurna dicerna nampak seperti butir-butir biru atau merah.
3.Pemeriksaan Kimia
pH
Pada keadaan normal pH tinja berkisar antara 7 – 8. pH sering dikaitkan
dengan adanya fermentasi karbohidrat dalam usus akibat defisiensi
enzyme disakaridase. 1,2
Pemeriksaan pH berhubungan dengan konsumsi
serat, produksi asam lemak rantai pendek dan rantai panjang serta
dikaitkan kepentingannya dengan kanker kolon.3,10
pH tinja < 5,5
menunjukkan adanya intoleransi karbohidrat, yang umumnya terjadi
sekunder karena infeksi virus.
Uji Reduksi
Uji reduksi dilakukan dengan mencampur 4 tetes suspense tinja dengan
2,5 ml larutan Benedict, dipanaskan sampai mendidih. Kemudian dilihat
perubahan warna yang terjadi, sama seperti pada pemeriksaan reduksi
urin. Pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai penyaring adanya intolerasi
karbohidrat. Uji reduksi positif disertai penurunan pH tinja 5 – 6 dapat
merupakan petanda adanya intoleransi karbohidrat. 1, 10
Darah Samar
Sering perdarahan di dalam tinja tidak tampak secara makroskopik. Tes
terhadap darah samar dilakukan untuk mengetahui adanya perdarahan
kecil yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopik atau mikroskopik.
Menurut Brunzel 1 dalam keadaan normal dikeluarkan kurang dari 2,5 mL
darah di dalam tinja per hari, keadaan ini setara dengan < 2miligram
hemoglobin per gram tinja. Perdarahan yang terdapat di dalam tinja dapat
disebabkan oleh perdarahan dari saluran cerna atas maupun saluran cerna
bawah. Pada saluran cerna atas dapat disebabkan esofagitis, varises
esophagus, ulkus duodenum , ulkus gaster, gastritis, tumor ganas atau
jinak di lambung. Penyebab perdarahan saluran cerna bawah antara lain
colitis, karsinoma kolon, hemoroid dan fisura anal. Pemeriksaan darah
samar dianggap penting karena 50% kasus keganasan saluran cerna
merupakan keganasan kolorektal. Adanya darah samar tinja yang positif,
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 128 Manado, 17-19 Maret 2017
merupakan gejala awal dan paling sering pada keganasan saluran cerna.
Adanya peningkatan ekskresi darah dalam tinja harus diikuti dengan
pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan darah samar tinja berdasarkan
aktivitas pseudoperoksidase hemoglobin yang bereaksi dengan hidrogen
peroksida untuk mengoksidasi suatu indikator tidak berwarna menjadi
komponen yang berwarna. Pada umunya indikator yang digunakan adalah
benzidine, ortho-toluidin dan guaiac. Saat ini benzidine sudah tidak
digunakan karena bersifat karsinogenik . 1,7,12
Reakti oksidasi ini sensitif untuk mendeteksi adanya darah. Namun
demikian adanya zat lain dalam tinja seperti mioglobin, klorofil yang berasal
dari sayuran, serat hewan dan beberapa bakteri usus dapat menyebabkan
reaksi positif palsu.12
Oleh sebab itu interpretasi hasil pemeriksaan darah
samar harus dilakukan dengan hati-hati pada orang yang tanpa
pembatasan diet tertentu.1
4.Pemeriksaan Mikrobiologi
Pada keadaan normal, didalam usus banyak terdapat flora normal, antara
lain E.coli, Lactobacillus sp, Bifidobanteria. Mikroorganisme ini berperan
dalam membantu proses pencernaan sehingga proses penyerapan zat
yang diperlukan dapat berlangsung optimal. Selain itu flora normal juga
berperan dalam mencegah kolonisasi oleh mikroorgansme patogen. 6
Perubahan dalam komposisi flora normal usus sering terjadi bersama
dengan diare. Beberapa mikroorganisme yang sering menyebabkan diare
adalah Salmonella, Shigella, Klebsiella, Aeromonas, Staphylococcus
aureus, Proteus, Pseudomonas dan sebagainya. Beberapa
mikroorganisme dilaporkan sebagai petunjuk adanya ketidak seimbangan
flora usus, yaitu Enterobacter, Streptococcus beta hemolyticus dan mucoid
E.coli. 10
Selain kultur tinja untuk mencari mikroorganisme patogen, pewarnaan
Gram dapat dilakukan sebagai penyaring. Dilaporkan penggunaan ratio
pewarnaan Gram dapat digunakan untuk menilai adanya keseimbangan
flora usus. Pada keadaan normal, komposisi kuman di usus70 – 80%
kuman Gram negative dan 20 -30% adalah kuman Gram positif. 2, 5,6
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 129 Manado, 17-19 Maret 2017
Penutup
Analisis tinja merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang
penting dalam membantu menegakkan diagnosis kelainan saluran cerna.
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang dapat dipercaya harus
diperhatikan prosedur pengambilan bahan serta seluruh hasil pemriksaan
makroskopik, mikroskopik, kimia dan mikrobiologi secara komprehensif.
Dengan demikian didapatkan informasi yang bermanfaat dalam diagnosis
banding berbagai kelainan saluran cerna seperti diare , infeksi saluran
cerna, perdarahan, malabsorpsi dan sebagainya.
Daftar Pustaka
1. Brunzel NA. Fundamental of urine body fluid analysis. Edisi 2.
Philadelphia: Saunders; 2004. p. 281-92.
2. Sukartini N. Update Analisis Tinja. Dalam: Lokakarya B Analisis Tinja.
Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2005. Departemen
Patologi Klinik FKUI-RSCM. Jakarta, 2005. p 14-22.
3. Fischbach FT.Stool Examination, Dalam: A of Laboratory and
Diagnostic Test. Edisi 5. Lippincott Philadelphia, New York, 1998; 254-
276
4. Bluth MH, Hardin RE, Tenner S, Zenilman ME, Threatte GA.
Laboratory diagnosis of gastrointestinal and pancreatic disorders.
Dalam: Mc Pherson RA, Pincus MR, penyunting. Henry‘s Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. Edisi 7. New
York: Esevier-Saunders; 2007. p. 291-3.
5. Wilson DD. Dalam: McDonald Q, Nagiieri C, penyunting. Manual of
Laboratory and Diagnostic Tests. New York: McGraw Hill; 2008. p 528-
30.
6. Washington W, Allen S, Janda W, Koneman E, Procop
G,Schreckenberger P, Woods G. Koneman‘s Color Atlas and Text
Book of Diagnosis Microbiology. Edisi 6. Lippincott: Williams and
Wilkins; 2006. p. 931-39.
7. Pagana KD, Pagana TJ. Mosby‘s Manual of Diagnostic and Laboratory
Tests. Edisi 4. St. Louis: Mosby Elsevier-Mosby; 2010. p. 898-909.
Nuraini Irma Susanti
KONAS VII PGHNAI 130 Manado, 17-19 Maret 2017
8. Subagyo B, Santoso NB. Diare Akut. Dalam: Juffrie M, Soenarto SS,
Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku Ajar
Gastrenterologi-hepatologi. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,
2010; p. 87-118
9. Bonheur JL. Bacterial Gastroenetritis. 2013. Diakses tanggal 10
Februari 2017. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/17
6400- overview.
10. World Health Organization. Diarrhoea Treatment Guidelines. Geneva:
World Health Organization, 2009; p 1-46.
11. Huicho L, Sanchez D, Contreras M, Paredes M, dkk. Occult blood and
fecal leucocytes as screening test in childhood infectious diarrhea: an
old problem revisited. Pediatr Infect Dis J, 1993;12:474-7.
12. Wirawan R. Pemeriksaan Darah Dalam Tinja. Dalam: Lokakarya B
Analisis Tinja. Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2005.
Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM. Jakarta, 2005. p 23-28.
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 131 Manado, 17-19 Maret 2017
HOW TO INTERPRETED LIVER FUNCTION IN DAILY PRACTICE
Yudith Setiati Ermaya
Pendahuluan
Hati merupakan organ multi faktorial yang berperan dalam menghasilkan
berbagai hasil sekresi yang penting, sintesis dan fungsi metabolik,
walaupun secara umum sering digunakan istilah tes fungsi hati, hal ini
memperlihatkan berbagai macam uji, seperti transaminase bukan untuk
mengukur fungsi hepar.1 Namun demikian uji tersebut mengacu pada uji
enzim hati dan uji fungsi hati istilah ini digunakan untuk menilai fungsi
sintesis hepatosit, seperti albumin serum dan prothrombin time. Sejauh ini
secara umum dilakukan uji biokimia mungkin dapat dihasilkan nilai normal
pada pasien dengan penyakit hati (sirosis terkompensasi) dapat hasil yang
tidak normal pada anak yang sehat.1 Pada makalah ini akan di bahas
mengenai bagaimana menginterpretasikan berbagai hasil uji fungsi hati
pada praktik sehari-hari dan pendekatan terhadap uji fungsi hati yang
abnormal.
1. Hati
1.1 Anatomi Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan
memiliki berbagai fungsi, berperan penting dalam metabolisme dan
memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk sintesis protein plasma,
penyimpanan glikogen, dan penetralan obat. Hati memproduksi empedu,
yang penting dalam pencernaan.2 Zat-zat gizi dari makanan diserap ke
dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah kapiler. Kapiler ini
mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang
lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta.
Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati,
dimana darah yang masuk diolah. Hati terdiri dari lobus kanan dan lobus
kiri dengan disertai arteri hepatika, dan vena porta. (Gambar 1) 2-3
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 132 Manado, 17-19 Maret 2017
Pada tahun 1957 Couinaud membagi hati ke dalam bentuk segmen,
didasarkan pada distribusi portal intrahepatik dan vena hepatika untuk
digunakan dalam praktek klinis, terutama dalam perencanaan tindakan
reseksi bedah. Couinaud membagi hati menjadi dua lobus fungsional yang
sama ukurannya dan dipisahkan oleh garis imajiner diatas permukaan hati
melalui pembuluh darah cava sulkus inferior dan bagian tengah dari
kantung fossa empedu. Pada bagian kanan selanjutnya dibagi kebelakang
dan sektor anterior, serta lobus kiri ke medial dan bagian rusuk. Setiap
segmen dibagi dua yaitu segmen inferior dan segmen superior, dan
mendapatkan pasokan darah tersendiri, secara keseluruhan terdapat
delapan segmen yaitu: (I) lobus ekor, (II) subsegmen superior dari segmen
lateral kiri, (III) subsegmen inferior dari segmen lateral kiri, (IV) segmen
medial, (V) subsegmen inferior dari segmen anterior kanan, (VI)
subsegmen inferior dari segmen posterior kanan, (VII) subsegmen superior
dari segmen posterior kanan, serta (VIII) subsegmen superior dari segmen
anterior kanan. (Gambar 1) 2-5
Gambar 1. Anatomi hati dan sistem kandung empedu.
4
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 133 Manado, 17-19 Maret 2017
1.2 Persarafan dan limfatik hati
Hati menerima suplai darah secara ganda melalui vena portal dan arteri
hepatika. Pada janin dan postnatal awal kehidupan arteri pada hati
merupakan arteri terbesar adalah cabang dari sumbu celiac, kaliber
menurun berdasarkan bertambahnya usia menjadi setengahnya pada
orang dewasa. Porta hepatika terbagi menjadi arteri hepatika kanan dan
kiri, arteri ini merupakan percabangan akhir dari arteriol hati yang
berkomunikasi dengan sinusoid hati. Arteri ini memberikan suplay darah
pada percabangan saluran empedu melalui sebuah pleksus peribiliaris dan
pleksus perivenosus disekitar cabang vena porta.5
Trombosis arteri hepatika dapat meyebabkan nekrosis iskemik pada
saluran empedu dikarenakan tergantung pada suplay darah yang
disediakan oleh arteri tersebut. Aliran pembuluh darah terbanyak
didapatkan dari usus dan dibentuk pada vertebra lumbal kedua sebagai
pertemuan dari arteri mesenterika superior, inferior dan saluran limfatik,
kemudian memasuki hati melalui porta hepatika dan membagi menjadi
cabang kanan dan kiri, kemudian semakin turun ke venula porta akhir dan
masuk melalui venula ke sinusoid. Pada sistem sinusoidal darah mengalir
ke venula centrilobular, dan akhirnya melalui vena hepatika ke vena cava
inferior.(Gambar. 2) Segmen II, III dan IV dialiri darah oleh vena hepatika
kiri, vena hepatika tengah bersama-sama memberi suplai pada segmen IV,
V dan VIII, juga vena hepatika kanan memberi aliran pada segmen V-VIII.
Terdapat pula vena hepatika inferior kecil yang mengalir melalui lobus
caudatus (segmen I) langsung ke vena cava inferior. Biopsi hati yang
dilakukan melalui rute transjugular merupakan prosedur yang dapat
digunakan untuk mendapatkan sampel parenkim hati melalui vena
hepatika.5
Drainase limfatik dari parenkim hati terjadi dalam dua arah. Salah
satunya adalah melalui porta hepatika ke seliak node. Sedangkan yang
lainnya adalah melalui ligamentum falsiformis dan ke parasternal node
serta mediastinum.4-6
Persarafan hati muncul di tahap akhir perkembangan embrio, dan
berlangsung terus terus hingga fase postpartum, dan terdiri dari serabut
saraf simpatis dan parasimpatis yang masuk melalui porta hepatika.
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 134 Manado, 17-19 Maret 2017
Selaputnya disuplai oleh beberapa cabang saraf interkostal yang lebih
rendah.6,7
Gambar 2. Sistem pembuluh darah dan limfatik hati.
7
2. Kandung empedu
Kandung empedu merupakan organ berbentuk buah pir yang dapat
menyimpan cairan empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses
pencernaan. Ukuran kandung empedu pada anak usia <1 tahun memiliki
panjang sekitar 1.5-3 cm dan pada anak yang lebih besar sekitar 3-7 cm
dan berwarna hijau gelap.
Organ ini terhubungkan dengan hati dan
duodenum melalui saluran empedu atau common bile duct (CBD) pada
neonatus memiliki ukuran 1 mm, bayi – usia 1 tahun 2 mm, dan pada anak
yang lebih besar 4 mm, serta dewasa 7 mm. 2,8-10
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:2
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 135 Manado, 17-19 Maret 2017
Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah
dan kelebihan kolesterol.
2.1 Metabolisme Bilirubin
Penumpukan bilirubin merupakan penyebab terjadinya kuning pada bayi
baru lahir. Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM).
Hemoglobin (Hb) yang berada di dalam SDM akan dipecah menjadi
bilirubin. Satu gram Hb akan menghasilkan 34 mg bilirubin.11
Bilirubin ini dinamakan bilirubin indirek (tidak terkonjugasi) yang larut
dalam lemak dan akan diangkut ke hati berikatan dengan albumin. Bilirubin
di dalam hati akan dikonjugasi oleh enzim glukoronid transferase menjadi
bilirubin direk (terkonjugasi) yang larut dalam air dan disalurkan melalui
saluran empedu ke usus.11
Bilirubin direk di usus akan terikat oleh makanan dan dikeluarkan
sebagai sterkobilin bersama tinja, apabila tidak ada makanan di dalam
usus, bilirubin direk ini akan diubah oleh enzim di dalam usus dan enzim
yang terdapat dalam air susu ibu (ASI), yaitu beta-glukoronidase menjadi
bilirubin indirek yang akan diserap kembali dari dalam usus ke dalam aliran
darah. Bilirubin indirek ini akan diikat oleh albumin dan kembali ke dalam
hati. Rangkaian ini disebut sirkulus enterohepatik (rantai usus-hati).11
Metabolisme bilirubin 80% berasal dari degenerasi hemoglobin yang
berasal dari hemolisisi sel darah merah baik di intravaskuler atau
ekstravaskuler yang membentuk bilirubin tidak terkonjugasi (indirek) dan
berikatan dengan albumin, dari pembuluh darah akan masuk ke sinusoid
hepatik kemudian akan masuk sel hati dengan bantuan transporter yaitu
ligandin atau proein Z, dan akan terkonjugasi dengan asam glukoronic
sehingga menjadi bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk).12
Bilirubin terkonjugasi tersebut akan masuk ke sisitem bilier dan
kemudian diteruskan ke usus halus dan dengan adanya protease bakteri
usus akan diubah menjadi urobilinogen. Urobilinogen tersebut 90% akan
dibuang melalui feses menjadi sterkobilin sedangkan sisanya 10 % akan
kembali melalui vena porta masuk ke hati dan menjadi suatu siklus
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 136 Manado, 17-19 Maret 2017
enterohepatik yang akan diserap kembali oleh pembuluh darah dan masuk
ke ginjal dan diekskresi menjadi urobilin.12
Sehingga untuk mengetahui gangguan metabolisme bilirubin ini kita
bisa mendeteksi awal dari adanya gangguan warna feses yang pucat
karena sterkobilin yang harusnya terbentuk dan dikeluarkan menjadi tidak
ada atau berkurang, begitu juga pada urin (Gambar 3).
Gambar 3. Siklus metabolisme bilirubin.13
Hemolisis Intravaskuler atau Ekstravaskuler
DARAH
Bilirubin tak terkonjugasi + Albumin
Bilirubin tak terkonjugasi (Indirek)
Transport dengan ligandin
atau Protein Z
Terkonjugasi dengan asam
Glukoronic
Bilirubin terkonjugasi (Direk)
Urobilinogen
Sistem Bilier Vena
porta
Ginjal
Sinusoid Hepatik
Protease Bakteri
Bilirubin terkonjugasi
Urobilinogen USUS HALUS
Feses
Urobilinogen
Urobilin
90 % 10 %
Sterkobilin
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 137 Manado, 17-19 Maret 2017
2.2 Uji fungsi hati
Fungsi hati yang tidak normal sering ditemukan pada pasien yang
asimptomatik yang diperiksa secara skrining rutin.14
Terdapat beberapa
keterbatasan pada uji fungsi hati.
1. Pada uji hati yang normal, tidak selalu menunjukkan bahwa pasien
tersebut tidak mempunyai penyakit hati (sirosis terkompensasi)
2. Beberapa tes tidak secara spesifik untuk menilai fungsi hati
3. Tes-tes yang dilakukan tidak menunjukkan etiologi spesifik namun
mengindikasikan suatu gangguan hati, sehingga menginterpretasikan
setiap kelainan hasil uji hati yang tidak normal bersifat individu dan
per-kasus
Dalam menilai uji fungsi hati dibagi menjadi lima kategori:15,16
1. Cedera hati (Liver injury): Enzim hati, ALT atau SGPT, dan Aspartat
aminotransferase (AST) atau (SGOT)
2. Gangguan aliran empedu atau Kolestasis: Alkali fosfatase(ALP),
gamma glutamil transpeptidase (GGT) dan 5’-nuncleotidase.
3. Gangguan fungsi sintesis hati: albumin serum, prothrombin time (PT),
partial thromboplastin time (PTT), Internasional normalized rasio (INR)
serta faktor V dan VII.
4. Gangguan fungsi ekskresi hati: bilirubin, Asam empedu
5. Metabolisme fungsi hati dapat mengindikasikan peranan detoksifikasi
di dalam hati dan mekanisme pembersihan metabolit endogen seperti
amonia.
Berdasarkan kategori yang dijelaskan sebelumnya, enzim hati seperti
SGOT dan SGPT yang sangat umum diperiksa pada pemeriksaan pasien
dengan penyakit hati, sebenarnya tidak mengindikasikan terhadap
gangguan fungsi hati namun hanya memperlihatkan adanya kerusakan
hati.17,18
Sejauh ini tidak ada hubungan secara langsung antara level
enzim dengan derajat atau keparahan kerusakan hati. Secara normal
SGOT dan SGPT didapatkan pada serum dengan level yang rendah pada
populasi orang sehat. Pemeriksaan serum kimia hati sangat berguna dan
memiliki biaya yang efektif dalam menilai fungsi hati, pemeriksaan ini rutin
juga dilakukan pada orang yang asimtomatik seperti skrining rutin, bank
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 138 Manado, 17-19 Maret 2017
darah, pemeriksaan untuk kepentingan asuransi, ataupun pasien yang
akan melakukan prosedur operasi yang tidak berhubungan langsung
dengan fungsi hati.15
Serum kimia hati yang umum di periksa adalah
alanine aminotransferase (ALT), aspartate ami- notransferase (AST),
bilirubin, alkali phosphatase, prothrombin time, albumin serum, γ-
glutamyltransferase (GGT), asam empedu, 5′-nucleotidase, dan lactate
dehydrogenase.1
3.Enzim Hati
3.1 Serum glutamic-pyruvic transaminase (SGPT) atau alanine
aminotransferase (ALT)
Serum SGPT atau ALT adalah salah satu penanda tertua yang
digunakan untuk menilai penyakit hati. SGPT merupakan enzim sitosol
yang didapatkan dengan konsentrasi tinggi pada hati.1,15,19
selain itu
didapatkan pula pada ginjal, jantung, otot, pankreas, limpa, dan jaringan
paru. Peningkatan SGPT mengindikasikan pula suatu penyakit hati,
miokard infark, distrofi muscular, dan kerusakan organ.15
Pradat dkk. telah
menunjukkan bahwa ALT merupakan serum yang berguna untuk
mengukur fungsi hati karena sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (2,25
kali lipat lebih besar dari tingkat normal memprediksi kelainan histologi
hati). Namun, tingkat serum ALT dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk
jenis kelamin, indeks massa tubuh, dan penggunaan obat hepatotoksik.20,21
Namun didapatkan hubungan yang kuat antara SGPT dengan masa indeks
tubuh (BMI)
Perhimpunan Gastroenterology Amerika mengkategorikan tingkat
SGPT berdasarkan tingkatan elevasi dengan berbagai diferensial diagnose
pada kemungkinan penyebab kerusakan hati.15
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 139 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 1. Peningkatan level SGPT dengan penyebab utamanya
Ringan (<5x nilai normal tertinggi) Berat (>15x nilai normal tertinggi)
Hepatitis kronis B atau C Hepatitis akut (A-E, herpes)
Hepatitis akut (A-E, EBV, CMV) Obat/toksin
Steatosis/ steato hepatitis Hepatitis iskemia
Hemoktomatosis Hepatitis autoimun
Obat/toksin Penyakit wilson
Hepatitis autoimun Obstruksi akut saluran empedu
Defisiensi 1- antitripsin Sindroma Budd-Chiari akut
Penyakit wilson Ligasi arteri hepatik
Penyakit seliac
Cedera hati karena alkohol
Sirosis
(penyebab non hepatic: hemolysis,
miopati, penyakit tiroid)
Pada penelitian yang dilakukan di LabCorp Amerika didapatkan nilai
interval SGPT berdasarkan usia dan jenis kelamin.15,22
Tabel.2 Nilai Interval Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Interval Usia (Tahun) SGPT /ALT (U/L)
Perempuan
0-11 <29
12-17 <25
18 <33
Laki-laki
0-11 <30
12-17 <31
18 <45
ALT (SGPT) adalah penanda primer pada cedera hepatoseluler (lebih
sensitif dan spesifik daripada AST (SGOT).23
Peningkatan ALT/SGPT dapat disebabkan: 23
a. Peningkatan SGPT Tinggi (>15-20 kali)
Iskemia (Syok, hipotensi, Gagal jantung Kongestif, )
Hepatitis virus, Autoimun
Toksistas Obat, Hepatitis berat toksik
Budd chiary syndrome akut
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 140 Manado, 17-19 Maret 2017
b. Peningkatan SGPT sedang (5-15 kali)
Hati: Penyakit hati kronik (hepatitis kronis, kolestasis (ALP,GGT))
Jantung: hepatik kongestif berat pada gagal jantung
Lain-lain: cedera otot, cerdera ginjal.
c. Peningkatan SGPT ringan (<5 kali)
Hati: Hepatitis neonatal
Hemokromatosis
Hepatitis Autoimun
NASH, Atresia Biliaris
Defisiensi alpha 1- antitripsin, Penyakit wilson
Infeksi: Infeksi mononukleosis
Obat : Beberapa jenis obat (obat anti tuberkulosis, obat anti
Epilepsi, antibiotik, NSAIDS)
d. False SGPT rendah: Dialisis, defisiensi piridoksin
3.2 Aspartat Aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase (SGOT)
AST atau SGOT ditemukan pada kedua isoenzim sitosol dan
mitokondria, dan ditemukan pula dengan konsentrasi tinggi pada berbagai
jaringan seperti hati, otot jantung, otot, ginjal, otak, pankreas, paru, leukosit
dan sel darah merah.22,23
Konsentrasi rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera
seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi.23
Enzim SGOT dapat ditemukan sangat meningkat dalam serum pada
keadaan peningkatan metabolisme jaringan. Apabila penyakit atau
kerusakan terjadi pada salah satu sel tersebut maka sel akan menjadi lisis,
enzim SGOT akan dilepaskan ditangkap oleh darah sehingga kadar serum
meningkat.23,24
Nilai normal serum SGOT adalah 20-60 U/L pada bayi, <35
U/L (anak laki-laki), dan <31 U/L (anak perempuan).25
Serum SGOT akan
meningkat 8 jam setelah terjadi kerusakan, dengan puncak pada 24 hingga
36 jam sertelah kerusakan dan kembali normal dalam 3 hingga 7 hari.
Apabila kerusakan telah terjadi kronis maka peningkatan akan menetap.
Peningkatan enzim SGOT ini memperlihatkan adanya kerusakan sel hati,
dan kurang spesifik pada penyakit hati.23-25
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 141 Manado, 17-19 Maret 2017
Peningkatan SGPT/AST dapat disebabkan:23
1. SGOT/ AST Tinggi (>20 kali)
Iskemia (Syok, hipotensi, Gagal jantung Kongestif, )
Hepatitis virus akut
Hepatitis Drug Induced
2. Peningkatan SGOT sedang (15-20 kali)
Sistem Kardio Vaskuler: Gagal jantung Kongestif
Infeksi: Infeksi mononukleosis
Hati: Sirosis alkoholik
3. Peningkatan SGOT ringan (5-10 kali)
Hati: Hepatitis Kronik (Alkoholik)
Otot: DMD,Dermatomyositis
4. PeningkatanSGOT sangat ringan (<5 kali)
Darah: Anemia Hemolitik, Hemolisis
Hati: Perlemakan hati, metastase tumor hati
Lain-lain: Pankreatitis akut
Obat: berbagai jenis obat
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 142 Manado, 17-19 Maret 2017
Pada alogaritma dibawah ini dapat dilakukan penilaian secara klinis dan
laboratorium pada peningkatan ringan serum SGPT dan atau SGOT.
(Gambar.4) 22,26
Gambar 4. Alogaritma Evaluasi klinis dan laboratorium pada peningkatan ringan
serum SGPT dan Atau SGOT. 22,26
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 143 Manado, 17-19 Maret 2017
3.3 Bilirubin
Hiperbilirubinemia terkonjugasi (>20% dari bilirubin total) memiliki indikasi
penyakit hepatobilier dan selalu bersifat patogenik. Hal ini sering disertai
adanya bilirubin dalam urine (menyebabkan urine berwarna kuning gelap)
dan dapat juga diperiksa dengan menggunakan dipstick. Bilirubunemia
dapat disertai ikterus secara klinis. Pada kasus penyakit hati akut yang
tidak disertai jaundis (anikterik), tidak menutup kemungkinan mengalami
gagal hati fulminant yang disertai dengan adanya peningkatan level
bilirubin. Sehingga serum bilirubin dapat menjadi indikator prognosis pada
pasien dengan gangguan hati akut.1
Tabel.3 Kadar Bilirubin Total pada Bayi dan Anak Sesuai dengan usia
Usia Kadar Serum Bilirubin Total
Tali pusat, prematur, aterm < 2mg/dL
0-1 hari prematur 1.0-8.0 mg/dL
0-1 hari aterm 2.0-6.0 mg/dL
1-2 hari prematur 6.0-12.0 mg/dL
1-2 hari aterm 6.0-10.0 mg/dL
3-5 hari prematur 10.0-14.0 mg/dL
3-5 hari aterm 4.0-8.0 mg/dL
Anak 0-2.0 mg/dL
Pada bilirubin yang terikat atau bilirubin direk memiliki nilai normal
pada anak adalah 0.0-0.2 mg/dL.25
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke
duodenum dalam jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari
membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuknya saluran
empedu ke dalam duodenum.27
Hambatan aliran empedu tersebut menyebabkan retensi berbagai
substansi yang seharusnya dieksresikan ke kandung empedu dengan
bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau bilirubin direk
>20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total >5 mg/dL.28
Berdasarkan
the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition Indikator kolestasis:11
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 144 Manado, 17-19 Maret 2017
Bilirubin direk >17μmol/L (1,0 mg/dL)
Bilirubin direk >20% dari konsentrasi serum bilirubin total, jika
jumlah bilirubin >85μmol/L (5,0 mg/dL)
3.4 Gamma Glutamyl Transferase
Enzim Gamma-glutamyltranspeptidase-1 (GGT-1, gamma-GT, gamma-
glutamyl transferase). Digunakan sebagai marker diagnostik penyakit, γ
Glutamyl transferase (GGT) adalah glikoprotein membrane yang
mengkatalisis transfer γ lainnya, asam amino
maupun air.
Gambar. 5. Gamma-glutamyltranspeptidase.
29
GGT dalam jumlah besar dapat ditemukan di ginjal, pankreas, hati,
usus halus, maupun prostat. Di Ginjal, GGT banyak terdapat di permukaan
luminal sel tubulus proksimal. Di hati, GGT banyak terdapai di sel epitel
empedu dan kanalikulus empedu. GGT juga banyak ditemukan pada sel
acinar pankreas, sel endotel yang melapisi otak, korda spinalis, dan sel-sel
dalam organ reproduksi laki-laki. GGT yang terdapat pada sel-sel astrosit
di pembuluh darah otak memiliki peran dalam sawar darah otak, baik
dalam menkonjugasi toksik xenobiotic maupul memetabolisme leukotriene.
GGT juga dapat ditemukan di sel darah putih. Fungsi GGT pada sel darah
putih masih belum dapat dijelaskan. Namun ada 2 teori yang menyatakan
GGT memproteksi sel darah putih dari radikal bebas terutama pada proses
inflamasi dan membantu memodifikasi interaksi antara reseptor dengan
ligan pada sel membran.1,30,31
GGT banyak ditemukan pada jaringan yang memiliki fungsi transport
seperti ginjal dan system biliaris. GGT memiliki hubungan yang erat
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 145 Manado, 17-19 Maret 2017
dengan dalam membantu mensintesis glutathione. Hubungan spesifik
antara GGT dan glutathione serta respons GGT terhadap konsumsi alkohol
yang berlebih menyebabkan GGT digunakan sebagai marker konsumsi
alkohol yang berlebihan.30,31
Kadar GGT tinggi pada usia neonatus, bayi sampai dengan usia 1
tahun, dan pada usia >60 tahun. Laki-laki memilki kadar GGT yang lebih
tinggi dibandingkan perempuan. Kadar normal GGT adalah 0-30 IU/L.25
Pada infeksi akut virus hepatitis, kadar GGT akan mencapai kadar tertinggi
pada minggu ke-2 dan ke-3 dan tetap tinggi selama 6 minggu. Pada atresia
bilier ekstrahepatal, kadar GGT juga meningkat. GGT hanya meningkat
pada kondisi kolestasis dan tidak pada penyakit tulang. Sehingga kadar
GGT dapat membantu membedakan adanya kelainan pada hepar atau
tulang pada kondisi peningkatan kadar ALP dalam darah. 1,30,31
Kondisi lain yang berhubungan dengan peningkatan kadar GGT
adalah diabetes mellitus tanpa komplikasi, pakreatitis akut, dan infark
miokard. Obat-obatan seperti phenobarbital, fenitoin, paracetamol,
antidepresan trisiklik dapat meningkatkan kadar GGT. 1,30,31
Rentang referensi nilai normal GGT sama untuk segala usia. Namun
terdapat perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Beberapa
faktor juga mempengaruhi nilai normal GGT di dalam serum antara lain
usia, jenis kelamin, kehamilan, persalinan, ras, kebiasaan merokok,
penggunaan kkontrasepsi oral, maupun olahraga. 1,30,31
Kadar GGT didapatkan abnormal pada penyakit hati sehingga tes
fungsi hati GGT dikatakan sensitif. Peningkatan tertinggi kadar GGT dalam
serum didapatkan pada kondisi inflamasi hati akibat konsumsi alkohol
berlebih atau pada kondisi inflamasi hati yang dipengaruhi oleh konsumsi
obat-obatan. Namun peningkatan kadar GGT dalam serum tidak spesifik
untuk penyakit hati saja karena peningkatan tersebut juga didapatkan pada
kondisi pankreatitis, obesitas, konsumsi alkohol berlebih. Kadar GGT
dalam serum meningkat pada penyakit hati kronis berasosiasi dengan
infeksi hepatitis C. Kadar GGT dalam memprediksi respons tubuh terhadap
pemberian interferon pada individu dengan infeksi hepatitis C banyak
diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar GGT memiliki
sensitivitas 87% namun spesifisitasnya hanya 27%.30,31
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 146 Manado, 17-19 Maret 2017
3.5 Alkali posfatase (ALP)
Alkali posfatase (ALP) ditemukan pada beberapa jaringan termasuk
membrane kanilikuler hepatosit, osteoblast tulang, enterosit usus halus,
tubulus proksimal ginjal, plasenta, sel darah putih. ALP merupakan enzim
hasil dari sintesis oleh dinding sel kanalikuli biliaris yang memberikan
respons terhadap kolestasis intra ataupun ekstrahepatik. ALP merupakan
penanda primer pada gangguan kolestasis sebelum bilirubin meningkat.
Fungsi dari ALP tidak diketahui, namun berperan dalam proses transport,
level serum ALP bervariasi berdasarkan usia, ALP adalah kelompok
metaloenzim zinc dan terdapat pada hampir seluruh jaringan tubuh. Pada
hati, ALP terdapat pada mikrovili di sepanjang kanalikuli saluran empedu
dan pada permukaan sinusoid hepatosit. ALP yang terdapat pada hati,
tulang, dan ginjal berasal dari gen yang sama, namun ALP yang terdapat
pada usus halus dan plasenta berasal dari gen yang berbeda. ALP dapat
dideteksi di dalam serum, urine, garam empedu, dan cairan limfe. 1,23,32
Pada individu yang sehat, ALP yang bersirkulasi di dalam darah
berasal dari hati atau tulang. Kadar ALP relatif lebih tinggi pada usia anak-
anak hingga pubertas. Kadar ALP berbanding lurus dengan berat badan
namun berbanding terbalik dengan tinggi badan. Kadar ALP yang tertinggi
ditemukan pada kondisi kolestasis. Peningkatan ALP terjadi karena adanya
obstruksi aliran garam empedu di intrahepatal maupun ekstrahepatal.
Mekanisme pelepasan ALP ke dalam darah masih belum diketahui. Ada
teori yang menyebutkan bahwa adanya kerusakan pada tight junction di
kanalikuli garam empedu menyebabkan pelepasan ALP ke sinusoid
hepatosit. Kadar ALP normal pada anak (IFCC pada 37C) adalah 39-117
U/L.25
Peningkatan kadar ALP yang tinggi mengindikasikan suatu obstruksi
biliaris (intrahepatik dan ekstrahepatik), atresia biliaris, hepatitis virus.1,23
Pada infeksi virus hepatitis akut, kadar ALP dapat normal atau sedikit
meningkat. Pada infeksi Hepatitis A, dapat ditemukan kondisi kolestasis
yang ditandai dengan gatal-gatal dan peningkatan kadar ALP. Tumor juga
dapat melepaskan ALP ke dalam plasma. Peningkatan kadar ALP dari
usus halus dapat ditemukan pada kondisi sirosis yang berhubungan secara
spesifik dengan penyakit intrahepatal. Kondisi-kondisi lain yang dapat
dihubungkan dengan peningkatan kadar ALP antara lain metastasis ke
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 147 Manado, 17-19 Maret 2017
tulang dan hepar, penyakit hepar yang bersifat infiltrasi, abses, penyakit
hati bergranuloma, dan amyloidosis.23,32
Peningkatan ringan dari kadar ALP dapat ditemukan pada kondisi
sirosis dan hepatitis akibat gagal jantung kongestif. Kadar ALP yang
rendah di darah dapat ditemukan pada kondisi malnutrisi, hipotiroid,
anemia pernisius, defisiensi zinc, defisiensi vitamin C dan hipofosfatemia
kongenital.23,32
Apabila kadar ALP serum meningkat namun kurang dari 1,5 kali batas
atas nilai referansi normal, maka harus dilakukan pemeriksaan ulang 3
bulan kemudian. Apabila kadar ALP serum lebih dari 1,5 kali nilai batas
atas referensi dan secara persisten mengalam peningkatan, maka perlu
diakukan pemeriksaan penunjang seperti USG hati untuk melihat
mendeteksi adanya kolestasis atau penyakit hari infiltrasi lainnya. Apabila
hasil pemeriksaan tersebut normal dan serum ALP meningkat kurang dari
1,5 kali batas atas referensi normal, maka harus dilakukan pemeriksaan
ulang 6 bulan kemudian. Namun apabila kadar ALP dalam serum
meningkat lebih dari 1,5 kali batas atas referensi normal dan pemeriksaan
USG dan serologi memberikan hasil normal, maka penderita harus dirujuk
ke hepatologist untuk dilakukan biopsi hati. 32
Apabila didapatkan peningkatan kadar serum ALP namun kadar GGT
normal, hal ini menunjukan bahwa peningkatan kadar ALP berasal dari
jaringan di luar hati dan kemungkinan besar berasal dari tulang akibat
defisiensi vitamin D. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan kadar
vitamin D dalam darah. Apabila kadar vitamin D dalam batas normal dan
peningkatan kadar ALP kurang dari 1,5 kali batas atas referensi normal,
maka penderita cukup diobservasi. 32,33
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 148 Manado, 17-19 Maret 2017
Berikut algoritma untuk mengevaluasi adanya peningkatan ALP di dalam
darah.32
Gambar 6. Alogaritma Evaluasi pada Peningkatan Alkali Posfatase.
32
3.6 Protein Serum
3.6.1 Albumin
Albumin merupakan protein serum dan hanya disintesa di hati.
Protein ini disintesa dalam retikulum endoplasma hepatosit
sebanyak 150 mg/kg/hari dan masa hidup di salam serum berkisar
20 hari. Dengan mempertimbangkan lamanya masa hidup
tersebut, rendahnya albumin serum mengindikasikan suatu
penyakit hati kronik.1 Nilai normal albumin pada anak adalah 3.5-
5.2 g/dL.25
Pada keadaan penyakit hati dengan peningkatan
globulin dan protein yang normal ini mengindikasikan suatu proses
infeksi atau hepatitis autoimun. Namun pada pasien dengan
penyakit hati yang terkompensasi serum albumin dapat ditemukan
memiliki nilai yang normal. Hipoalbumin tidak spesifik terhadap
penyakit hati Karena dapat terjadi pula pada malnutrisi, protein
losing enteropaty, infeksi kronik dan sindroma nefrotik.1
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 149 Manado, 17-19 Maret 2017
3.6.2 Faktor Koagulasi
Gangguan koagulasi ditemukan pada pasien penyakit hati yang
mengacu pada suatu gangguan sintesis koagulasi hati faktor V,VII,
IX, X dan XI protrombin, fibrinogen dan defisiensi vitamin K
dikarenakan kurang asupan atau malabsorpsi dan
disfibrinogenemia. Besarnya peranan pada gangguan koagulasi
hati ini sulit ditemukan pada penyalit hati yang ringan atau sedang.
Namun sering ditemukan pada hepatik failure akut yang berat atau
penyakit hati kronik terminal.1
Peningkatan Enzim Hati Non Hepatik
Pada keadaan tertentu enzim hati dapat meningkat disebabkan oleh
kelainan selain penyakit hati, bila sebelumnya telah disingkirkan kelainan
hati namun enzim hati didapatkan meningkat maka perlu dipertimbangkan
dan diinvestigasi kelainan yang disebabkan oleh kelainan otot, jantung,
penyakit tiroid, penyakit seliak, dan yang jarang adalah insufisiensi adrenal.
Kondisi yang disebabkan oleh meningkatnya cedera pada otot dan
meningkatkan enzim transaminase, dapat menyebabkan meningkat pula
creatine phosphokinase (CPK) dan Lactat dehydrogenase (LDH). Bila
didapatkan keadaan peningkatan SGOT dan SGPT yang menetap lebih
dari tiga bulan, melebihi dua kali nilai normal dan hasil pemeriksaan lain
tidak menghasilkan hasil yang jelas, maka perlu direkomendasikan
pemeriksaan fungsi hati.1
Penutup
Pemeriksaan serum kimia hati sangat berguna dan efektif dalam menilai
fungsi hati, pemeriksaan serum kimia hati yang umum di periksa adalah
alanine aminotransferase (ALT), aspartate ami- notransferase (AST),
bilirubin, alkali phosphatase, prothrombin time, albumin serum, γ-
glutamyltransferase (GGT), asam empedu, 5′-nucleotidase, dan lactate
dehydrogenase. Dengan mengetahui interpretasi dari enzim hati maka
dapat memudahkan mendiagnosis ataupun memprediksi suatu penyakit
atau keadaan yang berhubungan dengan hati dalam praktek sehari-hari.
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 150 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Haghighat M. Approach to Liver Fungtion Tests in Children. J Compr
Ped. 2014;5:1-4.
2. Choe BH. Early exclusive diagnosis of biliary atresia among infants
with cholestasis. Korean J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;14:122-9.
3. Yamada T, Alpers DH. Liver: Anatomy, microscopic structure, and cell
type. Textbook of gastroenterology. Chichester: Blackwell Pub;
2009;9:2059-72.
4. Ranzer. Abdomen: Solid viscus: Couinaud segments. [Online] 2016
[diunduh 26 Januari 2017]. Tersedia dari: http://ranzcrpart1.
wikia.com/wiki/Abdomen:Solid_viscus: Couinaud_segmens.
5. Jones J. Couinaud classification of hepatic segments. [Online Journal]
2016 [diunduh 17 Januari 2016]. Tersedia dari: http://radiopaedia.
org/articles/couinaud-classification-of-hepatic-segments.
6. Cotoi CG, Quaglia A. Normal liver anatomy and introduction to liver
histology. Dalam: Guandalini dkk, penyunting. Textbook of pediatric
gastroenterology, hepatology and nutrition. Switzerland: Springer
International Publishing; 2016. h. 609-12.
7. Lynch CJ. GI normal biology and diseases web resources. [Online
journal] 2016 [diunduh 21 februari 2016]. Tersedia dari: https://
wikispaces.psu.edu/display/MedicalGIandNutrition730/G.I.+Normal+Bio
logy+and+Diseases+Web+Resources
8. Gubernick JA, Rosenberg HK, Ilaslan H, Kessler A. US approach to
jaundice in infants and children. Radiographics. 2000;20:17395.
9. Deganello A, and Sellars MEK. Diagnostic Procedures in Pediatric
Hepatology Dalam: Guandalini dkk, penyunting. Textbook of Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. Switzerland: Springer
International Publishing. 2016;613-23.
10. Hernanz-Schulman M, Ambrosino MM, Freeman PC, Quinn CB.
Common bile duct in children: sonographic dimensions.
Radiology.1995;195:193-5.
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 151 Manado, 17-19 Maret 2017
11. Moyer V, Freese DK, Whintington PF, Olson AD, Brewer F, Colleti RB,
dkk. Guidelines for the evaluation of cholestatic jaundice in infants:
recommendation of the north american society for pediatric
gastroenterology, hepatology, and nutrition. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2004;39:115-28.
12. Fitzpatrick E, Jardine R, Farrant P, Karani J, Davenport M, Mieli
Vergani G, Baker A. Predictive value of bile duct dimensions measured
by ultrasound in neonates presenting with cholestasis. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2010;51:55–60.
13. Crisscros DJ. Bilirubin. Metabolism. [diunduh 24 Januari 2017].
Tersedia dari: http://www.slideshare.net/crisbertc/approach-to-a patient
-with-jaundice 32886908
14. Pratt DS, Kaplan MM. Evaluation of abnormal liver-enzyme re- sults in
asymptomatic patients. N Engl J Med. 2000;342:1266– 71.
15. Green RM, Flamm S. AGA technical review on the evaluation of liver
chemistry tests. Gastroenterology 2002 Oct; 123:1367-1384.
16. Kim HC, Nam CM, Jee SH, Han KH, Oh DK, Suh I. Normal serum
aminotransferase concentration and risk of mortality from liver
diseases: prospective cohort study. BMJ. 2004;328:983.
17. Berman DH, Leventhal RI, Gavaler JS, Cadoff EM, Van Thiel DH. Clin-
ical differentiation of fulminant Wilsonian hepatitis from other causes of
hepatic failure. Gastroenterology. 1991;100:1129–34.
18. Giannini E, Risso D, Botta F, Chiarbonello B, Fasoli A, Malfatti F, et al.
Validity and clinical utility of the aspartate aminotransferase- alanine
aminotransferase ratio in assessing disease severity and prognosis in
patients with hepatitis C virus-related chronic liver disease. Arch Intern
Med. 2003;163:218–24.
19. Young S, Azzam RK. Infantile cholestasis approach and diagnostic
algorithm. Dalam: S. Guandalini, Dhawan A, Branski D, penyunting.
Textbook of pediatric gastroenterology, hepatology and nutrition.
Switzerland: Springer Inc; 2016:62531
20. Fallatah HI. Noninvasive biomarkers of liver fibrosis: an overview.
Advances in hepatology. [Online Journal] 2014 [diunduh 5 Februari
2017]. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1155/2014/357287
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 152 Manado, 17-19 Maret 2017
21. Pradat P, Alberti A, Poynard T, dkk. Predictive value of ALT levels for
histologic findings in chronic hepatitis C: a European collaborative
study. Hepatology. 2002;36:9737.
22. New ALT Reference Intervals for Children and Adults. LabCorp.
Directory of Services and Interpretive Guide. 2012. [diunduh 22 Januari
2017]. Available at: https://www.labcorp.com /wps/portal/ provider/
testmenu.
23. Pediatric Liver function test: smarter way. [diunduh 5 Februari 2017].
Tersedia pada http://www.criticalpediatrics.org/2015/05/pediatric-liver-
function-test-smarter.html
24. Poynard T, Imbert-Bismut F. Laboratory Testing for Liver Disease. In
Boye T, Manns M, Sanyal A, editors. Zakim and Boyer‘s Hepatology : A
Textbook of Liver Disease 6th Ed. Philadephia: Saunders Elsevier;
2012;201-15.
25. Laboratory reference values. [diunduh 8 Februari 2017]. Tersedia pada
http:// www.med-u.org.
26. American Gastroenterological Association medical position statement:
Evaluation of liver chemistry tests. Gastroenterology. 2002; 123:1364-
1366
27. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal
cholestasis. Clin Perinatol. 2002;29:159-80.
28. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis.Liver disease in
children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2001:18794.
29. Gamma Glutamyl transpeptidase [diunduh 7 Februari 2017]. Tersedia
padahttp://previews.123rf.com/images/molekuul/molekuul1502/moleku
ul150200063/36765903-Gamma-glutamyltranspeptidase-1-GGT-1
gamma-GT-gamma-glutamyl-transferase-enzyme-Used-as-diagnostic-
m-Stock-Photo.jpg
30. Whitfield J.B. Gamma Glutamyl Trasferase. Critical Reviews in Clinical
Laboratory Sciences. 2001;38:263-355
31. Hanigan MH, Frierson HF. Immunohistochemical detection of Gama-
glutamyl transpeptidase in normal human tissue. J Histochem
Cytochem 1996;44: 1101–08.
Yudith Setiati Ermaya
KONAS VII PGHNAI 153 Manado, 17-19 Maret 2017
32. Thapa B.R., Walia A. Liver function tests and their interpretation. Indian
J Pediatr. 2007;74:663–71.
33. Shipman K.E, Holt A.D, Gama R., Interpretating an isolated raised
serum alkaline phosphatase level in an asymptomatic patient. BMJ
2013;346:1-6
Badriul Hegar
KONAS VII PGHNAI 154 Manado, 17-19 Maret 2017
MENYUSUI : KEMAJUAN DALAM NUTRISI BAYI
Badriul Hegar
Departmen Ilmu Kesehatan Anak FK UI-RSCM
Pendahuluan
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan pilihan pertama untuk setiap bayi.
Dengan demikian pemberian ASI secara eksklusif dari ibu yang tidak
dibatasi makanannya merupakan ‗baku emas‘. Sebelum tahun 2001, World
Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif
pada bayi berusia 4-6 bulan dan selanjutnya diperkenalkan makanan
pendamping (makanan atau minuman selain ASI). Pada tahun 2001,
setelah dilakukan kajian sistematis dan mendengarkan pendapat para ahli,
rekomendasi tersebut diubah menjadi ASI eksklusif diberikan sampai bayi
berusia 6 bulan. Banyak alasan mengapa ASI merupakan nutrisi yang
dapat memberikan pertumbuhan maksimal seorang anak, antara lain nutris
yang lengkap untuk bayi yang lahir cukup bulan, memenuhi kebutuhan
fisiologis,, nutrisi dengan nilai biologis yang tinggi, imunitas alamiah,
praktis, ekonomis, serta terjalinya ‗bonding‘ ibu kepada bayi.
Seribu hari pertama kehidupan adalah ‗window of opportunity‘ bagi
pertumbuhan dan perkembangan fisik, perkembangan kognitif, serta
perkembangan emosi dan sosial. Tahun-tahun pertama kehidupan
merupakan periode yang rentan karena bayi terekspos oleh begitu banyak
kuman sedangkan sistem imunnya masih belum matang. Bayi dengan
sistem imun yang jelek akan mudah terinfeksi. Bayi yang sering mengalami
infeksi akan kehilangan ‗window of opportunity‘ untuk mengembangkan
potensinya.2 Secara fisiologi saluran cerna bayi belum sepenuhnya
berkembang, epitel mukosa saluran cernanya masih terbuka satu dengan
yang lainnya (‗tight junction), sistem imunnya pun belum sepenuhnya
berkembang, menyebabkan bayi sangat sensitif terhadap keadaan yang
tidak sesuai dengan dirinya.1
Badriul Hegar
KONAS VII PGHNAI 155 Manado, 17-19 Maret 2017
Suboptimal ASI eksklusif
Berbagai masalah banyak dilaporkan akibat pemberian ASI yang tidak
optimal, antara lain infeksi saluran cerna yang menyebabkan diare, infeksi
saluran napas, dermatitis atopi, NEC, otitis media, asma, diabetes melitus
tipe 1, dan obesitas. Dalam satu perhitungan biaya memperlihatkan bila
90% keluarga mengikuti rekomendasi medis untuk memberikan ASI secara
eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya, maka sebuah negara dapat
menghemat mencapai milayaran dolar per tahunnya dan mencegah ribuan
kematian yang sebagian besar terjadi pada bayi.2
Komponen imunologis
Berbagai komponen imunologis terdapat dalam ASI, beberapa yang sangat
dikenal adalah oligosakarida, sekretori IgA (SIgA), dan faktor bifidus
sebagai anti mikroba serta nukleotida yang berperan dalam
pengembangan sistem imun.3 Beberapa kajian terhadap oligosakarida
memperlihatkan penurunan kejadian infeksi dan dermatitis atopi karena
sifat imunoaktifnya.4,5
Oligosakarida merupakan komponen nutrisi
terbanyak ketiga setelah laktosa dan lemak, analog dengan reseptor
glikokonjugat sel epitel saluran cerna sehingga mengikat virus dan bakteri.6
Keberadaan Bifidobacteria dan Lactobacillus di dalam usus besar akan
memfermentasi oligosakarida menjadi energi dan asam lemak rantai
pendek (asam asetat, proprionat, butirat) sehingga suasana di dalam usus
besar cocok untuk pertumbuhan dan aktivitas Bifidobacteria dan
Lactobacillus. Asam laktat yang terbentuk dapat meningkatkan motilitas
dan aliran darah usus besar, berikut penyerapan mineral. Asam butirat
meningkatkan proliferasi sel epitel usus besar dan penyerapan cairan,
serta menstimulasi produksi mukus pada epitel usus, sedangkan asam
propionat menurunkan mediator inflamasi.7
Kadar SIgA di dalam ASI tinggi (kolostrum 1-2g/L dan ASI matur 0.5-1
g/L) melebihi cairan biologis lainnya sehingga merupakan mekanisme
pertahanan tubuh di lini pertama. Kadar SIgA dalam tinja bayi ASI eksklusif
(0.11 + 0.07 mg/ml) lebih tinggi dibanding bayi mendapat susu formula
standar (0.03 + 0.01 mg/ml) pada 1 bulan pertama kehidupan.8 SIgA
menghambat akses antigen pada reseptor epitel, memerangkap bakteri di
dalam mukus, dan memfasilitasi pengeluaran antigen dari dalam saluran
Badriul Hegar
KONAS VII PGHNAI 156 Manado, 17-19 Maret 2017
cerna melalui aktivasi mukosilier dan peristaltik.9 SIgA ASI juga mampu
mengikat mikrobiota komensal sehingga ikut mengontrol keberadaan
mikrobiota saluran cerna bayi baru lahir. Keberadaan mikrobiota akan
menstimulasi pematangan GALT yang selanjutnya akan memproduksi
IgA.10,
Sekresi IgA melawan beberapa mikrobiota penyebab infeksi saluran
cerna, seperti E. coli, V. cholerae, C. difficile, Salmonella, Rotavirus, C.
albicans. Selain itu, sekretori IgA dapat menyebabkan bakteri mengalamai
aglutinasi sehingga menurunkan kemampuannya menempel pada mukosa
saluran ceran.11
Nukleotida merupakan zat nutrisi yang esensial untuk bayi karena
perannya dalam sistem imun, maturasi sel limfosit, respons antibodi saat
vaksinasi, meningkatkan imunoglobulin A sekretori, dan menurunkan
kejadian berbagai infeksi terutama infeksi saluran cerna dan saluran napas
atas. Nukleotida juga memberikan respons yang lebih baik terhadap
imunisasi difetri, polio dan influensa.12
Lactoferin yang terkandung di dalam ASI dapat mengikat besi,
sehingga memfasilitasi ambilan besi. Laktoferin mempunyai afinitas tinggi
terhadap zat besi sehingga mempunyai efek bakteriostatik dengan
melakukan kompetisi dengan zat besi yang digunakan oleh mikrobiota
patogen. Lactoferin juga menurunkan kemampuan EPEC menempel pada
saluran cerna.13
Komponen nutrisi
Casein adalah protein susu dengan konsekuensi biologi yang berbeda.
Sesuatu yang baik untuk sapi belum tentu sepenuhnya memberikan
konsekuensi yang sama untuk manusia, bahkan mungkin membahayakan.
Beberapa alasan mengapa susu sapi tidak cocok untuk bayi, kandungan
nutrisinya tidak seimbang untuk bayi manusia, kandungan zat yang terlarut
dalam ginjal tinggi, kadar zat besi terlalu rendah, dan kandungan lemaknya
sulit untuk dicerna. Beberapa perbedaan kandungan nutrisi ASI dan susu
sapi, antara lain ASI mengandung 65% whey dan 40% casein sedangkan
susu sapi mengandung 20% whey dan 80% casein. Whey ASI mengadung
sebagian besar laktoferin, alpha lactalbumin, dan imunoglobulin,
sedangkan whey susu sapi sebagian besar mengandung B lactalbumin.14
Badriul Hegar
KONAS VII PGHNAI 157 Manado, 17-19 Maret 2017
Masukkan protein yang tinggi akan mempengaruhi volume dan fungsi
ginjal bayi sehat, demikian sebaliknya masukkan protein yang kurang akan
mempengaruhi pertubuhan berat badan anak pada 2 tahun pertama.15,16
Sebuah kajian memperlihatkan bayi yang mendapat susu formula standar
mengalami pertumbuhan yang terakselerasi sedang bayi yang mendapat
susu formula dengan kandungan protein terhidrolisis parsial mempunyai
pertubuhan berat badan yang normal sesuai kurve pertumbuhan.17
Asam lemak esensial tidak dapat disintesis oleh tubuh, oleh karena itu
harus diberikan dalam jumlah cukup melalui makanan yang diberikan
kepada bayi. Asam lemak ensensial merupakan prekusor beberapa long-
chain poly-unsaturated fatty acids (LCPUFAs). Asam lemak esensial yang
kita kenal adalah asam arakidonat (ARA) yang mempunyai peran sebagai
pro-inflamasi dan asam dokosohesanoik (DHA) sebagai anti inflamasi.
Kadar DHA dalam lemak ASI ternyata berbeda dari 1 ras dengan ras lain
yang mencerminkan perbedaan masukkan nutrisinya, sebagai contoh
kadar DHA ASI dari ibu Cina sebesar 0.9% dari total lemak sedangkan
pada ibu Amerika sebesar 0.2% dari total lemak dalam ASI nya. Ratio DHA
: ARA dalam ASI adalah 1 : 1, perlu diyakinkan kadar ARA adekuat
meskipun pada kondisi bayi mendapat suplemntasi DHA. Hindarkan
suplementasi LC-PUFA berlebihan karena merupakan risiko terjadinya
oksidasi metabolik. ARA diperoleh dalam jumlah cukup dari asam linoleat.
Kelebihan ARA dapat menyebabkan proses inflamasi yang tidak
diharapkan. Asam lemak esensial juga terbukti meningkatkan aksi
Bifidobcateria dan Lactobacillus sebagai mikrobiota ‗baik‘ dengan
memudahkan bakteri tersebut menempel pada permukaan mukosa saluran
cerna. Beberapa kajian memperlihatkan komposisi asam lemak esensial
yang diambil dari darah umbilikal bayi merupakan faktor risiko penyakit
atopi. ASI dari ibu yang anaknya mengalami eksim atopi mengandung
kadar LC-PUFA yang rendah.18,19
Kesalahan persepsi
Beberapa kajian memperlihatkan sekitar 37.2% bayi yang telah
mendapatkan susu formula mulai diberikan makanan sebelum usia yang
direkomendasikan, sedangkan pada bayi ASI eksklusif sebanyak 17.2%.
Sekitar 99% bayi yang mendapat susu formula sudah menerima makanan
Badriul Hegar
KONAS VII PGHNAI 158 Manado, 17-19 Maret 2017
padat lengkap pada usia 7 bulan, sedangkan pada bayi ASI eksklusif
sebesar 97.7%. Sebagian besar orangtua dari golongan pasangan usia
muda, tingkat pendiidkan rendah, dan ibu-ibu yang merokok.22
Sampai saat
ini belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat untuk menghindari atau
menunda pemberian makanan yang diduga berpotensi alergi, seperti ikan
dan telur dengan tujuan untuk mengurangi reaksi alergi, termasuk pada
bayi yang mempunyai risiko alergi.21
Daftar Pustaka
1. Doughty D. Structure and function of the gastrointestinal tract in infants
and children. J Wound Ostomy Continence Nurs. 2004;31:207-12.
2. Bartick M. The burden of suboptimal breastfeeding in the United
States: a pediatric cost analysis Pediatrics. 2010;125:e1048-56
3. Field CJ. The immunological components of human milk and their
effect on immune development in infants. CJJ Nutr. 2005 Jan;135:1-4
4. Westerbeek. Neutral and acidic oligosaccharides in preterm infants: a
randomized, double-blind, placebo-controlled trial, AJCN 2010, 91:
679-686
5. Grüber C, Mosca F, Moro G, Chirico G. Reduced occurrence of early
atopic dermatitis because of immunoactive prebiotics among low-
atopy-risk infants. J Allergy Clin Immunol. 2010 Oct;126:791-7.
6. Newburg DS, Shen Z, Warren CD. Quantitative analysis of human milk
oligosaccharides by capillary electrophoresis. Adv Exp Med Biol. 2000;
478: 381-2
7. Guarner F1, Malagelada JR. Gut flora in health and disease. Lancet.
2003 Feb 8;361:512-9
8. Köhler H, Donarski S, Stocks B. Antibacterial characteristics in the
feces of breast-fed and formula-fed infants during the first year of life. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2002;34:188-93
9. Mantis NJ, Roi N. Secretory IgA's complex roles in immunity and
mucosal homeostasis in the gut. Mucosal Immunol. 2011 Nov;4:603-
11.
10. Sekirov I, Russell SL, Antunes LC, Finlay BB. Gut microbiota in health
and disease. Physiol. Rev. 2010;90:859 – 904
Badriul Hegar
KONAS VII PGHNAI 159 Manado, 17-19 Maret 2017
11. Walter J, Ley RE. The human gut microbiome: ecology and recent
evolutionary changes . Annu. Rev. Microbiol, 2011;65:411-29.
12. Gutiérrez CP, Mora MI, Díaz-García L, Immune response to nucleotide-
supplemented infant formulae: systematic review and meta-analysis.Br
J Nutr. 2007;Suppl 1:S64-7.
13. Edde L, Hipolito RB, Hwang FF. Lactoferrin protects neonatal rats from
gut-related systemic infection. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol.
2001;281:G1140-50.
14. Miller MJ1, Witherly SA, Clark DA. Casein: a milk protein with diverse
biologic consequences. Proc Soc Exp Biol Med. 1990;195:143-59
15. Escribano J, Luque V, Ferre N. Increased protein intake augments
kidney volume and function in healthy infants. Kidney Int. 2011;79: 783-
90
16. Koletzko B , Closa R, Lower protein in infant formula is associated with
lower weight up to age 2 y: a randomized clinical trial. Am J Clin Nutr.
2009;89:1836-45.
17. Escribano J, Scaglioni S, Giovannini M, Beyer J, Demmelmair H,
Gruszfeld D, Dobrzanska A, Sengier A, Langhendries JP, Rolland
Cachera MF, Grote V; European Childhood Obesity Trial Study Group.
18. Beck M, Zelczak G, Lentze MJ. Abnormal fatty acid composition in
umbilical cord blood of infants at high risk of atopic disease. Acta
Paediatr 2000;89:279-84
19. Businco L, Ioppi M, Morse NL, Nisini RWright S. Breast milk from
mothers of children with newly developed atopic eczema has low levels
of long chain polyunsaturated fatty acids. J Allergy Clin Immunol.
1993;91:1134-9.
20. Schiess S. Grote V, Scaglioni. Introduction of complementary feeding
in 5 European countries. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50:92-8
21. Agostoni C, Decsi T, Fewtrell M. Complementary feeding: a
commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2008. 46:99-110.
Nenny Sri Mulyani
KONAS VII PGHNAI 160 Manado, 17-19 Maret 2017
LIVER: DAMPAK GANGGUAN FUNGSI HATI PADA KESEHATAN
ANAK
Nenny Sri Mulyani
Divisi Gastrohepatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UGM
Pendahuluan
Hati adalah kelenjar terbesar yang letaknya strategis dan merupakan organ
yang innocent bystander (organ yang dilewati oleh sistem sirkulasi
sistemik). Fungsi utama hati adalah sebagai kelenjar eksokrin dan
endokrin. Selain itu juga sebagai filter darah yang berasal dari saluran
cerna sebelum diedarkan kembali ke seluruh tubuh. Fungsi lainnya yang
tidak ada hubunganya dengan fungsi kelenjar antara lain metabolisme
kolesterol, sintesis albumin, sintesis faktor pembekuan darah, detoksifikasi
obat dan racun serta katabolisme hemoglobin dari pemecahan eritrosit.
Hati mendapat aliran darah yaitu dari vena Porta dan arteri Hepatika.
Vena Porta membawa darah yang baru saja melewati usus dan lien. Arteri
Hepatika membawa darah segar kaya oksigen dari aorta. Darah yang
berasal dari keduanya akan bercampur di sinusoid sebelum meninggalkan
hati melalui vena Hepatika.
Sebagai kelenjar eksokrin, fungsi utama hati adalah membentuk
empedu. Melalui empedu ini hati menjadi jalan utama untuk mengeluarkan
(ekskresi) sejumlah komponen endogen maupun eksogen yang berbahaya.
Dengan kata lain peran utama hati adalah mengeluarkan zat2 yang tidak
digunakan dari darah dan menjaga komposisi darah tetap normal.
Aliran empedu terutama ditentukan oleh adanya sekresi asam
empedu selain ion organik, non-organik, reseptor membran, transporter,
difusi, endositosis, vesikuler transport, serta energi yang berasal dari
gradien osmotik dan elektrogenik. Hepatosit mempunyai struktur dan fungsi
yang sangat sesuai dengan tujuan tersebut. Empedu dibuat di hepatosit
yang sel-selnya berkontak erat dengan kapiler yang berasal dari arteri
Hepatika dan cabang dari vena Porta. Empedu terdiri dari 95% air, garam
empedu, bilirubin direk (hasil akhir dari pemecahan sel darah merah dan
memberi warna empedu), kolesterol, lipid lainnya, asam amino, steroid,
Nenny Sri Mulyani
KONAS VII PGHNAI 161 Manado, 17-19 Maret 2017
enzim, vitamin, logam berat, obat-obatan, xenobiotik, toxin (produk akhir
atau sisa metabolik). Produk tersebut dibawa keluar oleh kapiler dari setiap
sel hati yang kemudian dialirkan ke cabang vena Hepatika dan kembali ke
jantung. Cabang dari duktus biliaris mengalirkan air, bilirubin direk, asam
empedu, kolesterol dan substansi lainnya. Mekanisme tersebut
membutuhkan proses yang sangat kompleks. Empedu dikeluarkan dari
hati melalui duktus biliaris ekstrahepatal kemudian disimpan di kandung
empedu dan dikeluarkan ke duodenum saat ada lemak, sebagian
direabsorbsi kembali.
Pengetahuan tentang pentingnya empedu ini sudah dikenali sejak
jaman dahulu tetapi pengetahuan tentang mekanisme pembentukan
empedu masih sangat kurang sampai pertengahan abad ke 20. Sampai
saat inipun belum diketahui sepenuhnya dan banyak konsep baru yang
masih pro dan kontra.
Pembentukan empedu melalui mekanisme yang kompleks. Transport
empedu ke kanalikulus oleh transporter spesifik akan menjadikan
perbedaan gradien kimia dan osmotik, menyebabkan air mengalir melalui
jalur paraseluler. Beberapa transporter telah diketahui fungsi spesifiknya.
Ditemukannya defek pada transporter pada beberapa kolestasis familial
menambah pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme terjadinya
kolestasis di tingkat molekuler. Adanya retensi empedu akan menurunkan
produksi empedu sehingga menurunkan sirkulasi enterohepatik.
Kepentingan klinis
Jejas pada hepatosit dan sistema biliaris oleh sebab apapun akan
mengganggu pembentukan dan sekresi empedu sehingga dapat terjadi
retensi dan bermanifestasi sebagai kolestasis.
Fungsi ekskresi juga akan terganggu apabila terdapat obstruksi
ekstrahepatal (misal Atresia Biliaris). Adanya paucity atau berkurangnya
duktus biliaris intrahepatal ( misal sindroma Alagille) dapat menyebabkan
obstruksi fungsional dari seluruh sistem hepatobiliaris.
Kolestasis dapat berlangsung kronis dan berlanjut menjadi sirosis
yang akan berdampak pada gangguan fungsi sintesis albumin, faktor
koagulasi dan fungsi yang lain yang mengakibatkan terjadinya gangguan
Nenny Sri Mulyani
KONAS VII PGHNAI 162 Manado, 17-19 Maret 2017
tumbuh kembang anak. Dibawah ini beberapa contoh retensi dari substansi
yang seharusnya dikeluarkan
Retensi kolesterol
Retensi kolesterol akan menyebabkan penimbunan kolesterol pada
membran sel berakibat mengganggu protein membran dan menurunkan
fungsi dari membran yang berakibat terjadinya kegagalan mekanisme
sekresi empedu. Kenyataan ini membuat klinisi lebih sulit untuk
mengetahui etiologi kolestasis.
Retensi garam empedu
Seperti retensi kolesterol, retensi garam empedu dapat meyebabkan jejas
pada membran sel di seluruh organ terutama di hati yang selanjutnya akan
mengganggu fungsi membran itu sendiri. Retensi garam empedu sekunder
lebih meningkatkan kerusakan membran. Garam empedu ini merupakan
mediator terjadinya fibrosis dan jejas pada sel darah merah yang dapat
menyebabkan terjadinya spur-cell hemolytic anemia.
Fungsi imatur dari sistem hepatobilier pada neonatus
Fungsi yang imatur pada masa neonatus dapat menyebabkan kolestasis
pada masa ini lebih banyak dibanding pada usia yang lebih besar,
sehingga diagnosis banding menjadi lebih banyak. Terdapat bukti adanya
defek pada pembentukan empedu dengan mekanisme yang belum jelas.
Hal ini sering dinamakan kolestasis fisiologis pada bayi akibat dari
imaturitas saat itu.
Nenny Sri Mulyani
KONAS VII PGHNAI 163 Manado, 17-19 Maret 2017
Penutup
Empedu dengan molekulnya yang relatif kecil dan simpel ternyata
mempunyai berbagai fungsi yang luar biasa. Biosintesis empedu
merepresentasikan salah satu jalur utama regulasi kolesterol. Molekul ini
juga sangat penting untuk fungsi sekresi dan merupakan elemen kunci
untuk pemeliharaan sirkulasi enterohepatik. Asam empedu juga
mempunyai peran utama untuk mencerna dan mengabsorbsi lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak pada usus halus.
Gangguan pada fungsi sintesis, sekresi dan ekskresi yang merupakan
tugas utama hati dapat menyebabkan kolestasis. Meskipun dampak yang
utama adalah fungsi di hati dan usus tetapi efek sekundernya dapat
mengenai setiap organ. Efek primernya adalah retensi empedu, regurgitasi
empedu ke serum dan penurunan aliran empedu ke usus. Hal ini dapat
mengakibatkan efek sekunder yang dapat memperberat penyakit hatinya
dan penyakit sistemis
Daftar Pustaka
1. Suchy FJ, Sokol RK, Balistreri WF. Liver disease in children. Third
edition. Cambridge University Press.
2. Boyer JL. Bile formation and secretion. Compr Physiol.2013;3: 1035-
78.
3. Nazer H. Cholestasis. 2015. Accessed 20 February 2017,
<http://emedicine.medscape.com/article/927624-overview
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 164 Manado, 17-19 Maret 2017
KELAINAN GASTROINTESTINAL ORGANIK YANG SERING DIJUMPAI
PADA ANAK
Ninung RD Kusumawati, Rizki Rahim
Pendahuluan
Kelainan gastrointestinal pada anak-anak dapat disebabkan etiologi
organik maupun fungsional. Kelainan gastrointestinal organik maupun
fungsional ini ditandai dengan berbagai keluhan, dimana keluhan yang
sering didapatkan adalah muntah, nyeri perut dan konstipasi. Diantara
kelainan organik dengan keluhan-keluhan tersebut yang sering dijumpai
pada anak-anak diantaranya adalah Hipertrofi sphincter pylorus,
Intussusepsi, dan Penyakit Hirschsprung (megakolon kongenital).
Pengenalan dini dan penanganan yang tepat pada penyakit-penyakit
tersebut di atas diperlukan untuk mencegah akibat yang fatal dan
komplikasi yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak.
Hipertrofi Sphincter Pylorus
Hipertrofi sphincter pylorus(HSP) adalah kelainan bedah yang paling sering
dijumpai pada populasi anak khususnya neonatus.1,2
Pada Hipertrofi
sphincter pylorus didapatkan obstruksi outlet gaster oleh karena hipertrofi
dan penebalan otot sirkuler pilorus.1Penebalan sphincter pylorus
menyebabkan obstruksi hampir seluruh outlet gaster, yang akan
menghalangi pengosongan lambung. Sebagai akibatnya, penderita akan
mengalami muntah yang proyektil setelah makan, dimana bila hal ini tidak
teratasi akan meyebabkan gangguan pertumbuhan bahkan penyakit yang
serius.3
Angka kejadian Hipertrofi sphincter pylorus bervariasi sesuai geografi,
diperkirakan sekitar 2-3 kasus setiap 1000 kelahiran hidup. Dengan
kejadian pada laki-laki lebih sering dijumpai dibanding
perempuan.Onsetnya diperkirakan terjadi antara 2 sampai 8 minggu
pertama kehidupan.1,2
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 165 Manado, 17-19 Maret 2017
Etiologi Hipertrofi Sphincter Pylorus
Beberapa teori diduga berhubungan dengan patogenesis HSP,
diantaranya:4
1) Teori abnormalitas imunohistokimia
Pada HSP terjadi peningkatan ekspresi sphincter levels of insulin like
growth factor (IGF), platelet derived growth factor (PDGF) dan growth
signaling pathway sehingga terjadi hipertrofi pada otot pylorus. Selain
itu dilaporkan juga pada HSP terjadi penurunan jumlah sel saraf
intramuskular, saraf kolinergik dan molekul adhesi sel-sel saraf yang
menginervasi otot pylorus.
2) Teori genetik
Diduga bahwa mutasi gen pada kromosom 12q yang mengkode enzim
nitric oxide synthetase berperan dalam kejadian HSP. Abnormalitas
gen Transient Receptor Potential (TRPC) yang berperan dalam
mengontrol otot polos dan hipertofi juga diduga berhubungan dengan
HSP.
3) Teori infeksi
Infeksi Helicobacter pylori diduga berhubungan dengan kejadian
HSP.Teori infeksi ini merupakan teori yang paling lemah terkait dengan
kejadian HSP. H.pylori merupakan kuman patogen yang dapat
meningkatkan stimulasi dan sekresi asam lambung.Kondisi
hiperasiditas ini dapat meningkatkan risiko HSP.Meskipun demikian,
studi terhadap 16 bayi HSP yang dilakukan biopsi gaster menunjukkan
hasil yang berbeda, dimana tidak ditemukan H. pylori.
4) Teori hiperasiditas
Pada bayi HSP diketahui memiliki pH gaster yang lebih asam
dibanding bayi non HSP. Beberapa bukti yang mendukung
diantaranya:
(a) Terapi medikamentosa pada HSP dengan gastric wash-out dan
penggunaan atropine dosis titrasi memberikan luaran yang sama
dengan terapi bedah. Prinsip terapi medikamentosa adalah dengan
mengurangi keasaman lambung sementara ketika obat-obatan
diberikan.
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 166 Manado, 17-19 Maret 2017
(b) Uji coba terhadap induk anjing yang mendapat injeksi pentagastrin
berisiko terjadinya HSP pada keturunannya. Hal ini menunjukkan
bahwa gastrin dapat melewati barrier plasenta sehingga sekresi
asam lambung meningkat pada fetus.
Penggunaan antibiotik golongan makrolida juga diduga meningkatkan
risiko HSP. Studi tahun 2014 terhadap 880 bayi HSP menunjukkan bahwa
penggunaan antibiotik golongan makrolida (eritromisin) meningkatkan
kejadian HSP dengan rasio 29,8 kasus (IK 95% 16,4 – 54,1) pada
pemakaian usia 0 – 13 hari dan 3,24 kasus (IK 95% 1,2 – 8,74) pada
pemakaian usia 14 – 120 hari, per 1000 bayi yang mendapat makrolida.
Pada studi tersebut juga dilaporkan bahwa penggunaan antibiotik
makrolida (eritromisin) pada kehamilan meningkatkan kejadian HSP padai
bayi dengan rasio 1,02 kasus (IK 95% 0,65 – 1,59) pada trimester pertama
atau kedua dan 1,77 kasus (IK 95% 0,95 – 3,31) pada trimester ketiga.5
Studi lainnya tahun 2015 terhadap 2466 bayi menderita HSP menujukkan
paparan antibotik azitromisin meningkatkan risiko HSP dengan OR 8,26 (IR
95% 2,62 -26,0) pada usia 14 hari pertama kehidupan, OR 2,98 (IR 95%
1,24 – 7,20) pada usia 15 – 42 hari. Tidak ada hubungan bermakna pada
penggunaan antibiotik makrolida pada usia 43 – 90 hari.6
Gambaran Klinis Hipertrofi Sphincter Pylorus
Otot-otot pylorus pada pasien dengan HSP menunjukan penebalan dan
edematus.Pada serat otot sirkuler ditemukan adanya hypertrophi tanpa
hyperplasi.Secara makroskopis pylorus membesar dan teraba seperti
tumor yang berbentuk seperti buah zaitun. Pada masa lalu tanda ini
digunakan untuk mendiagnosis 70-90 % kasus. Akan tetapi saat ini tanda
ini hanya didapatkan pada kurang lebih 20% kasus.Diduga hal ini terjadi
karena saat ini kasus-kasus hipertrofi sphinter pylorus datang pada saat
dini dan juga bisa karena perabaan terhalang oleh kondisi bayi yang
gemuk.
Pada penderita didapatkan muntah yang proyektil dan tidak
mengandung empedu 10-20 menit setelah makan, keadaan ini biasanya
baru terlihat setelah bayi berusia antara 3 dan 5 minggu.3,7
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 167 Manado, 17-19 Maret 2017
Bayi-bayi dengan Hipertrofi sphincter pylorus hanya dapat meloloskan
sangat sedikit cairan dan atau makanan ke usus untuk diabsorbsi, oleh
krena itu penderita akan cepat jatuh pada keadaan dehidrasi dan gizi
kurang bahkan buruk. Kombinasi dehidrasi dan hilangnya cairan lambung
mengakibatkan terjadinya gangguan elektrolit dan asidosis
metabolik.Sejumlah kecil pasien dapat mengalami ikterik akibat gangguan
pada aktivitas hepatic glucuronyl transferase. Bila tidak segera diatasi
penderita akan mengalami keadaan kritis hanya dalam beberapa hari.3
Pemeriksaan Laboratorium untuk Hipertrofi sphincter Pylorus
Gambaran klasik yang dijumpai adalah alkalosis metabolik hipokloremik
karena hilangnya asam klorida oleh karena pengeluaran cairan lambung
saat muntah. Hal ini mungkin berkaitan dengan hipokalemia sebagai
kompensasi ginjal untuk alkalosis yang mendasari, khususnya melalui
ekskresi potassium untuk mempertahankan ion hidrogen. Hal ini biasanya
terjadi sebagai akibat dari muntah terus-menerus (sering lebih dari tiga
minggu). Muntah persisten dan dehidrasi juga dapat mengakibatkan baik
hiper atau hiponatremia.8
Pemeriksaan Penunjang Radiologi untuk Hipertrofi sphincter Pylorus
USG
USG adalah tes diagnostik pilihan, meskipun akurasinya tergantung pada
operator. Ukuran pilorus diukur dan dibandingkan dengan nilai
standar.Ketebalan otot pylorus > 4 mm, panjang otot pylorus >14-20mm
dan diameter pylorus >10-14mm, adalah kriteria diagnostik Hipertrofi
sphincter pylorus pada bayi (Kriteria HSP menurut Spitz), dengan
sensitivitas 90-99% dan spesifisitas 97-100%. Akan tetapi USG kurang
memberikan hasil yang akurat pada bayi prematur.8
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 168 Manado, 17-19 Maret 2017
Barium meal
Pemeriksaan dengan menggunakan barium menunjukkan tanda-tanda
klasik dari kanal pilorus yang memanjang (‗string sign’) atau mukosa
pylorus yang menebal (‗double-track sign‘). Karena kekhawatiran akan
paparan radiasi, pencitraan dengan barium hanya digunakan ketika hasil
USG tidak jelas.8
(a) (b)
Gambar 2. X foto polos abdomen (a) single buble10
dan (b) caterpillar sign11
Gambar 1. Penebalan dan pemanjangan otot pylorus.9
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 169 Manado, 17-19 Maret 2017
Diagnosis Hipertrofi sphincter Pylorus
Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesa yang khas dan
ditemukannya massa seperti buah zaitun pada palpasi. Pada tahap awal,
Hipertrofi sphincter pylorus sulit untuk dibedakan dari penyakit refluks
gastro-esofagus atau sepsis. Dalam situasi seperti ini, pemeriksaan
radiologis dapat dilakukan untuk konfirmasi diagnosis.8
Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis : Muntah yang memancar/proyektil dan tidak
mengandung empedu 10-20 menit setelah makan, biasanya baru
terlihat setelah bayi berusia antara 3 dan 5 minggu
2. Pemeriksaan fisik: Gastric wave, Massa di epigastrium akibat
dilatasi gaster dan Olive sign (massa di epigastrium yang
merupakan penebalan otot pilorus)
3. Pemeriksaan penunjang: Darah rutin, elektrolit, gula darah, USG
pilorus dan barium meal bila hasil USG meragukan
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 170 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 3. Alur diagnosis HSP
12
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 171 Manado, 17-19 Maret 2017
Tatalaksana Hipertrofi Sphincter Pylorus
Resusitasi
Tatalaksana awal harus memperhatikan 'ABC', dan manajemen cairan
harus difokuskan pada koreksi dehidrasi, serta gangguan elektrolit dan
asam basa.Bolus awal 20 ml/kg dengan Ringer Laktat harus digunakan jika
bayi mengalami dehidrasi. Setelah itu, cairan rumatan harus dimulai,
dimana tujuan utama tatalaksana awal ini adalah untuk mempertahankan
hidrasi untuk mencegah hipernatremia dan hipoglikemia. Cairan rumatan
yang tepat adalah 5% glukosa / 0,45% saline, asalkan natrium plasma
tidak rendah; bila natrium plasma rendah maka harus digunakan cairan 5%
glukosa / 0,9% saline. Kalium klorida harus segera ditambahkan setelah
didapatkan produksi urin. Monitor keseimbangan cairan secaraakurat dan
terus-menerus dan kateterisasi urin harus dipertimbangkan jika anak
mengalami dehidrasi. Pengukuran serial elektrolit, asam basa dan
pengukuran glukosa darah harus dilakukan.Diperlukan pemasangan pipa
nasogastrik untuk dekompresi lambung.8
Tatalaksana Konservatif
HSP dapat dikelola secara konservatif dengan pemberian diet melalui
tabung naso-duodenal.Cara pemberian diet ini harus dilanjutkan selama
beberapa bulan untuk memberikan kesempatan terjadinya proses
perbaikan dari obstruksi gaster dan berat badan penderita mengalami
peningkatan. Dengan kemajuan teknik operasi dan efektivitas serta
keamanan operasi, maka tatalaksana konservatif ini hanya diperuntukkan
bagi penderita-penderita dengan keadaan yang tidak memungkinkan
dilakukan operasi.8
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 172 Manado, 17-19 Maret 2017
Tatalaksana Operasi
Operasi bukan merupakan prosedur darurat, dan operasi hanya dapat
dilakukan jika keseimbangan cairan, status asam-basa dan elektrolit dalam
keadaan normal. Bayi akanberisiko mengalami apnoe pasca operasi jika
alkalosis metabolik tidak dikoreksi sebelum operasi. Prosedur operasi
klasik adalah piloromiotomi Ramstedt; sayatan membujur dari pilorus
dengan diseksi tumpul ke tingkat sub mukosa, sehingga menghilangkan
obstruksi lambung. Operasi ini dianggap kuratif dengan angka kematian
minimal.8
Piloromiotomi juga dapat dilakukan dengan laparoskopi.Studi
prospektif acak terkontrol yang membandingkan teknik laparoskopi dengan
teknik operasi terbuka menyatakan bahwa teknik laparoskopi mengurangi
angka kejadian emesis pasca operasi, mengurangi kebutuhan analgesia,
diet enteral yang lebih cepat dan masa rawat di rumah sakit yang lebih
pendek.8
Endoskopi dengan balon dilatasi juga dapat dipertimbangkan, tetapi
hasilnya tidak sebaik prosedur piloromiotomi bedah. Teknik ini
diperuntukkan bagi penderita dengan risiko operasi yang signifikan.8
Tatalaksana Medikamentosa
Tatalaksana medikamentosa pada HSP diantaranya pemberian atropin
(acetylcholine inhibitor) per oral atau intravena. Dasar teori pemberian
atropin yaitu, pada HSP terjadi spasme otot yang akan menyebabkan
hipertrofi. Atropin bekerja dengan menekan kontraksi otot pylori dan
mengurangi peristaltik gastrointestinal. Dosis atropin intravena yang
digunakan 0,01 mg/kgbb/hari dibagi menjadi 6 kali pemberian, dilanjutkan
per-oral jika tidak ada kontraindikasi.13
Studi tahun 2013 di Saudi Arabia
menujukkan efektivitas pemberian atropin pada HSP. Dosis atropin yang
digunakan 0,01 mg/kgbb/hari dibagi 6 kali secara intravena diberikan 5
menit sebelum makan, dilanjutkan dengan 0,02 mg/kgbb/hari dibagi 6 kali
secara peroral jika tidak ada muntah, diberikan juga sebelum makan
selama satu bulan dan kemudian dievaluasi satu tahun kemudian. Hasil
USG evaluasi menunjukkan atropin dapat mengurangi ketebalan otot
pilorus (2,88 ± 0,64) mm dibandingkan sebelum terapi (4,75 ± 0,71 mm);
p=0,0001. Panjang otot pilorus juga lebih pendek setelah diberikan atropin
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 173 Manado, 17-19 Maret 2017
(18,13 ± 3,26 mm) dibandingkan sebelum terapi (22,75 ± 3,28); p=0,013.
Efek samping atropin diantaranya flushing ringan pada wajah, takikardi dan
peningkatan enzim hepar.14
Intussusepsi
Intussusepsi adalah invaginasi atau masuknya satu segmen usus dalam
segmen yang lebih distal. Intussusepsi adalah penyebab paling umum dari
kasus obstruksi usus pada bayi, terjadi biasanya pada bayi usia antara 4
dan 10 bulan. Pada sebagian besar kasus, intussusepsi melibatkan ileum
yang masuk melalui katup ileocecal ke sekum. Saat proses intussusepsi
terjadi, ususakan juga menarik pembuluh darah bersamanya. Jika
intussusepsi tidak dilepaskan, pasokan vaskular usus menjadi berkurang,
yang akan berakibat iskemia usus dan mungkin juga perforasi.
Intussusepsi yang tidak diobati dapat berakibat fatal.15
Gambaran Klinis Intussusepsi
Intusussepsi biasanya terjadi rata-rata pada anak usia 6-9 bulan, yang
sehat dan dengan status gizi yang baik.
Dari anamnesis biasanya didapatkan hal-hal sebagai berikut16,17
:
1. Didapatkan riwayat anak yang tiba-tiba menangis dengan tangis yang
tidak dapat ditenangkan, tangisan ini muncul secara intermitten tiap 10
sampai 30 menit dan berlangsung beberapa detik atau lebih. Hal ini
terjadi bersamaan dengan kolik abdomen yang terjadi tiba-tiba pada
saat intussusceptum bersama dengan mesenterium dan saraf masuk
ke dalam intussuscipiens. Tipe tangisannya adalah high-pitched Crying
2. Di antara dua serangan, anak akan berhenti menangis dan beraktivitas
normal sampai timbul serangan kolik berikutnya. Tipe nyeri perut ini
merupakan tanda patognomonik intussusepsi pada bayi karena pola
yang didapatkan, yaitu bayi menangis tiba-tiba, kemudian berhenti
menangis dan beraktivitas normal, kemudian menangis lagi, jarang
didapatkan pada keadaan lain.
3. Saat serangan kolik, anak sering menarik tungkai bawah ke perut
seolah-olah untuk mengurangi rasa sakit. Antar episode kolik, anak
mungkin nampak lesu dan pucat.
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 174 Manado, 17-19 Maret 2017
4. Muntah karena obstruksi adalah tanda yang muncul pada keadaan
lanjut, dan muntahan biasanya berwarna kehijauan
5. Feses mungkin pada awalnya berlendir. Darah dalam feses akan
muncul paling awal dalam 6 jam pertama, tapi dapat juga tidak muncul
bahkan sampai beberapa hari kemudian. Darah bercampur dengan
lendir, memberikan karakteristik red currant jelly stools of
intussusceptions ,yang muncul hanya pada sekitar 30% kasus.
Kadang-kadang tinja dengan lendir darah dijumpai pada saat
pemeriksaan colok dubur.
6. Trias nyeri abdomen intermitten, muntah, dan tinja berdarah
didapatkan pada sekitar 30% bayi dengan intussusepsi.16,18
7. Mungkin didapatkan riwayat diare atau konstipasi. Diare biasanya
didapatkan sebelum ada keluhan berak lendir darah. Hal ini dapat
menyebabkan kebingungan dalam diagnosis, karena pada kondisi
seperti ini hal pertama yang biasanya dipikirkan adalah disentri.
Akibatnya, ada penundaan dalam diagnosis, terutama jika lini pertama
petugas medis memiliki indeks kecurigaan yang rendah untuk
intussusepsi.
8. Ada riwayat imunisasi rotavirus dalam waktu dekat, atau riwayat infeksi
virus sebelumnya.
9. Pada anak-anak yang lebih besar, gejala utama yang didapatkan
adalah sakit perut, yang ditemukan pada hampir semua kasus. Tinja
berdarah dan muntah dilaporkan pada sekitar 25% kasus. Trias nyeri
abdomen, muntah dan tinja berdarah adalah kombinasi langka dalam
kelompok usia ini, dan ini adalah gejala yang tidak spesifik.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan anak nampak sehat, terutama jika
pasien dibawa untuk periksa pada beberapa jam pertama terjadinya
intussusepsi. Meskipun didapatkan trias khas: nyeri abdomen intermitten,
muntah, dan BAB lendir darah, tetap diperlukan pemeriksaan yang teliti
untuk membuat diagnosis yang tepat.16
Bayi dan balita yang datang terlambat (yaitu, setelah 24 jam), nampak
irritable, lemah, dan lesu. Untuk menghindari keterlambatan dalam
membuat diagnosis, adanya keluhan pucat dan letargi pada anak yang
menangis selama beberapa jam sampai beberapa hari harus
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 175 Manado, 17-19 Maret 2017
diwaspadaisebagai tanda intussusepsi selain adanya satu atau dua gejala
klasik trias intussusepsi.16
Pada 60% kasus dapat dijumpai massa yang palpable seperti sosis di
area hipokondriaka dekstra. Studi tahun 2016 menunjukkan manifestasi
klinis invaginasi, diantaranya muntah (76,9%), rewel (65,38%), BAB
disertai darah (53,8%), nyeri perut (34,6%), demam (30,76%), distensi
abdomen (11,53%), diare (9,6%) dan konstipasi (7,69%). Beberapa kasus
disertai dengan komplikasi seperti syok (7,69%), peritonitis dan perforasi
(3,84%). Penyebab kasus invaginasi terbanyak yaitu idiopatik (90%),
sedangkan penyebab sekunder dapat disebabkan oleh diverticulum
meckel, polip, neurofibroma, duplication cyst, inverted appendix stump,
leiomyoma, hamartoma, ectopic pancreatic tissue, anastomotic suture
lines, enterostomy tubes, post-transplant lymphoproliferative diseases,
haemangioma atau keganasan lainnya seperti limfoma, dan sarkoma
Kaposi.18
Pada pemeriksaan colok dubur, rektum mungkin kosong atau dapat
teraba intussuseptum atau titik utama dari intussusepsi di rektum, dan saat
pemeriksa menarik jari, mungkin ada bagian dari lendir saja atau tinja
dengan lendir-darah; jari dapat bernoda darah. Pada keadaan akhir,
kemungkinan adanya hematochezia semakin besar, berkait dengan
adanya nekrosis usus. Prolaps intussuseptum dapat terjadi melalui lubang
dubur pada penderita yang datang pada keadaan yang sangat terlambat.16
Pemeriksaan Penunjang Intussusepsi
USG dapat secara akurat mendeteksi intususepsi dan dapat juga
mendeteksi keadaan patologis lain, mencari pathological lead points (PLP),
dan juga dapat memberikan informasi lokasi intususepsi.19,20
Dari hasil
pemeriksaan USG dapat ditemukkan gambaran doughnut sign (gambar 4).
Studi tahun 2014 menunjukkan USG abdomen memiliki sensitivitas 100%
(IK 95%; 66 – 100), spesifisitas 97% (IK 95; 82 – 100), NPV 100% (IK 95%;
86 – 100) dan PPV 91% (IK 95%; 57 – 99).21
USG abdomen pada
invaginasi dapat juga memberikan gambaran pseudokidney atau target
sign (gambar 5).22
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 176 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 4. Gambaran klasik invaginasi dari pemeriksaan USG; doughnut sign
21
(a) (b)
Gambar 5. Gambaran USG abdomen (a) pesudokidney sign, (b) target sign22
Pada pemeriksaan radiologi dengan kontras didapatkan dua tanda
klasik, yaitu tanda meniscus yang dihasilkan oleh ujung bulat dari
intussusceptum yang menonjol ke dalam kontras dan tanda ―coiled
spring‖.17
Foto polos abdomen juga dapat digunakan untuk mendiagnosis
intussusepsi tetapi sensitivitasnya rendah, hanya sekitar 45%.Foto polos
abdomen digunakan untuk mengeksklusi pneumoperitoneum, terutama
pada anak-anak yang terlambat didiagnosis dengan intussusepsi.17
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 177 Manado, 17-19 Maret 2017
Computed tomography (CT) scan danmagnetic resonance imaging
(MRI) sangat jarang digunakan untuk mendiagnosis intussusepsi. Kedua
pemeriksaan ini hanya digunakan bila didapatkan keraguan dalam
menegakkan diagnosis intussusepsi .17
Klasifikasi Intussusepsi
Berdasarkan penyebabnya, invaginasi diklasifikasikan menjadi invaginasi
primer dan sekunder. Berdasarkan lokasi invaginasi terhadap lumen usus,
yaitu intraluminal, mural dan ekstraluminal. Sedangkan berdasarkan lokasi
anatominya, invaginasi diklasifikasikan menjadi enterik, kolon dan
enterokolon.23
Tipe-tipe Intussusepsi17
Enterocolic: ileocolic (tipe intususepsi yang paling sering dijumpai
pada bayi dan toddler); ileo-ileocolic; ileocaecal
Enteroenteric: jejunojejunal, jejunoileal, ileo-ileal
Colocolic: caecocolic, colocolic.
Bentuk khusus dari intususepsi :
Retrograde intussusception: Invaginasi dari usus distal
(intussusceptum) dalam usus proximal (intussuscipiens).
Postoperative intussusception:Komplikasi dari keadaan post
operasi sekitar 0.5–16% dari laparotomy. Sebagian besar kasus
muncul setelah pembedahan retroperitoneal atau manipulasi usus
ekstensive.
Spontaneous reduction of intussusception: Lebih dari separuh
kejadian intususepsi asimtomatik dan seringkali ditemukan pada
saat USG, pemeriksaan barium enema, atau CT scan pada saat
dilakkan pemeriksaan untuk keadaan lain.
Bentuk lain Other: Intususepsi dapat terjadi di sekitar kateter,
seperti tabung gastrojejunostomi, tabung nasojejunal
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 178 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 6. (A) Invaginasi ileus ke dalam caecum, (B) mesenterium, (C)
bagian lipatan kolon, (D) bagian striktur akibat invaginasi, (E) Rektum, (F)
Anorektal23
Diagnosis Intussusepsi
Kriteria diagnosis invaginasi berdasarkan klinis dan pemeriksaan
penunjang dikategorikan menjadi tiga kriteria (tabel 1).24
Tabel 1. Kriteria diagnostik invaginasi pada anak 24
Kriteria A
Nyeri abdomen atau gelisah
BAB disertai darah
Massa atau distensi abdomen
Kriteria B
Muntah
Pucat
Letargi
Syok
Distribusi udara yang tidak normal pada x-foto polos abdomen
Kriteria C
Sesuai karakteristik invaginasi berdasarkan USG abdomen, enema atau
MSCT/MRI
Interpretasi
Suspek invaginasi : 1 kriteria A (nyeri abdomen atau gelisah) yang berulang,
atau
2 kriteria A, atau
1 kriteria A + 1 kriteria B
3 kriteria B
Diagnosis definitif : kriteria suspek + 1 kriteria C
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 179 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 7. Algoritma diagnosis invaginasi
22
Tatalaksana Intussusepsi
Intussusepsi adalah keadaan darurat, sehingga harus ditangani secara
cepat baik dengan metode non-operatif atau operatif. Keterlambatan
tatalaksana akan menyebabkan iskemia dan nekrosis usus, perforasi usus,
peritonitis, syok, dan mungkin kematian. Nonoperative reduction (NOR)
adalah lini pertama tatalaksana bila fasilitas tersedia, jika gagal, maka
pilihan selanjutnya adalah operasi.17
Kontraindikasi NOR adalah peritonitis, pneumoperitoneum sekunder pada
perforasi usus, syok, perut terlalu buncit (kontraindikasi relatif),
intussusepsi usus halus seperti ileo-ileal atau ileo-ileokolika, dan durasi
yang panjang sebelum masuk ke rumah sakit (> 24 jam).17
Sebelum modalitas pengobatan diputuskan, anak mendapat resusitasi
cairan atau darah (jika diperlukan) secara progresif. Pipa nasogastrik
(NGT) digunakan untuk dekompresi lambung, dan dipasang kateter urin
untuk memantau efektivitas resusitasi. Antibiotik spektrum luas harus mulai
diberikan.17
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 180 Manado, 17-19 Maret 2017
Sebagaimana disampaikan di atas, intussusepsi dapat dikelola baik
dengan operasi maupun non operasi Non-operative Reduction saat ini oleh
para ahli bedah dianggap tatalaksana pilihan untuk intususepsi. NOR dapat
dilakukan dengan menggunakan cairan seperti barium, normal salin, dan
kontras yang larut air. Metode ini disebut sebagai metode hidrostatik,
berbeda dengan metode reduksi dengan menggunakan metode pneumatik
atau udara (Air Enema Reduction =AER), yang hanya menggunakan
udara. Bahan-bahan ini dapat digunakan dengan guided fluoroscopic atau
USG. Sebagai catatan, barium dapat menginduksi peritonitis bila barium
bocor melalui perforasi usus ke dalam rongga peritoneum. Air tidak cocok
karena akan diserap sehingga prosedur akan memanjang dan dapat
menyebabkan keracunan air.17
Komplikasi Pasca-operasi
Komplikasi pasca operasi termasuk berulangnya intussusepsi, perforasi
usus selama prosedur NOR, infeksi di sisi bedah, kebocoran anastomosis,
kerusakan anastomosis, enterocutaneous fistula (terutama jika pasien
kurang gizi), obstruksi usus akibat perlekatan pasca operasi, dan hernia
insisional .17
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 181 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 8. Algoritma tatalaksana invaginasi 24
Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan bawaan di mana sistem saraf
enterik (Enteric Nervous System = ENS) di usus distal gagal untuk
berkembang. Kontraksi tonik dari bagian usus aganglionik dan dilatasi
usus pada proksimal dari bagian yang aganglionik mengakibatkan
terjadinya obstruksi fungsional. Panjang usus yang terkena bervariasi,
penyakit Hirschsprung segmen pendek biasanya terbatas pada rektum /
sigmoid dan menyumbang lebih dari 80% dari kasus . Penyakit
Hirschsprung segmen panjang bagiang yang terkena meluas sampai
proksimal rektosigmoid junction dan angka kejadian berkisar 15-20%.25,26
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 182 Manado, 17-19 Maret 2017
Gejala klinis yang paling konsisten dilaporkan adalah tertundanya
pengeluaran mekonium, dan ini terjadi pada 90% dari pasien yang
didiagnosis Penyakit Hirschsprung. Neonatus dengan penyakit
Hirschsprung nampak mengalami distensi abdomen dan terdapat
pengeluaran gas serta meconium yang menyemprot setelah pemeriksaan
colok dubur.27,28,29,30,31
Penyakit Hirschsprung dapat muncul dengan
komplikasi serius seperti Hirschsprung-associated enterocolitis. 17
Epidemiologi Penyakit Hirschsprung
Kejadian penyakit Hirschsprung diperkirakan 1/5000 kelahiran hidup.
Kejadian penyakit ini bervariasi menurut etnis tertentu. Studi tahun 2016 di
Taiwan selama 13 tahun, menunjukkan kejadian yang lebih tinggi sedikit,
yaitu 1/4545 kelahiran hidup dengan rasio laki-laki dan perempuan 2,38.32
Etiologi penyakit Hirschsprung belum diketahui pasti. Berbagai faktor risiko
telah dilaporkan terkait dengan kejadian penyakit Hirschsprung.
Diantaranya adalah mutasi pada gen RET (Rearranged during transfection)
yang mengekspresikan krista neuralis dalam membentuk sel ganglion,
mutasi gen EDNRB (Endothelin receptor B) ditemukan pada 5% kasus
dengan penyakit Hirschsprung. Penyakit ini dapat terjadi secara tunggal
(70% kasus) atau disertai dengan sindrom tertentu (12% kasus).Trisomi 21
merupakan sindrom tersering yang menyertai penyakit Hirschsprung
(>90%).Sindrom lainnya pernah dilaporkan berhubungan dengan penyakit
Hirschsprung, seperti sindrom DiGeorge dan mosaik trisomi 8. Berbagai
spektrum klinis terkait keterlibatan berbagai organ telah dilaporkan dengan
kejadian bervariasi 5-30%.Defek pada jantung (5%), terutama defek
septum atrial atau ventrikel, merupakan kelainan organ yang paling sering
ditemukan. Displasia ginjal (4,4%), hipospadia (2-3%) dan malformasi
gastrointestinal dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
Hirschsprung.33,34
Diagnosis Penyakit Hirschsprung
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung bervariasi sesuai umur.Pada
neonatus didapatkan gejala obstruksi intestinal, sedangkan pada anak
didapatkan konstipasi kronik progresif. Sekitar 80% anak di usia satu bulan
pertama kehidupan ditemukan gangguan pasase usus, kesulitan menyusu
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 183 Manado, 17-19 Maret 2017
dan distensi abdomen yang progresif. Studi tahun 2014 di Tanzania
terhadap 110 anak usia 7 hari – 10 tahun dengan penyakit Hirschsprung
menunjukkan gejala klinis obstruksi usus total (58,2%), konstipasi usus
kronik (38,2%) dan perforasi usus (3,6%). Konstipasi (94,5%) dan distensi
abdomen (92,7%) merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
Gejala lainnya yaitu gagal tumbuh (61,8%), gambaran peristaltik usus
(22,7%), muntah (22,7%), dan diare (6,4%).35
Konstipasi pada anak harus dibedakan berdasarkan etiologinya, yaitu
konstipasi fungsional atau organik. Kriteria diagnosis Rome IV
menunjukkan konstipasi fungsional pada anak didefinisikan dengan adanya
dua gejala atau lebih (selama satu bulan) pada anak hingga usia 4 tahun
dengan :36
1) defekasi ≤ 2 kali per minggu,
2) riwayat retensi feses dalam jumlah banyak,
3) riwayat nyeri perut atau gangguan pasase usus,
4) riwayat feses dengan ukuran diameter yg lebar
5) adanya massa fecal yang besar pada rektum
Pada anak yang sudah terlatih untuk toilet, kriteria tambahan dapat
digunakan :
6) minimal satu episode/minggu inkontinensia setelah mendapat
keterampilan toilet
7) riwayat feses yang besar sehingga terjadi obstruksi pada toilet.
Adapun perbedaan konstipasi fungsional dan organik (penyakit
Hirschsprung) dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan konstipasi fungsional dan penyakit Hirschsprung 37
Gambaran klinis Konstipasi
fungsional
Penyakit
Hirschsprung
Pengeluaran mekoneum
terlambat
Onset
Inkontinensia fecal
Riwayat fisura
Gagal tumbuh
Tidak ada
Setelah 2 tahun
Umum terjadi
Umum terjadi
Tidak umum
terjadi
Umum terjadi
Pada saat lahir
Sangat jarang
Jarang terjadi
Dapat terjadi
Dapat terjadi
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 184 Manado, 17-19 Maret 2017
Enterokolitis
Distensi abdmomen
Pemeriksaan rektal
Malnutrisi
Tidak terjadi
Jarang terjadi
Didapati feses
Tidak terjadi
Umum terjadi
Tidak didapati
feses
Dapat terjadi
Beberapa gejala dan tanda (red flags) juga dapat digunakan dalam
mendiagnosis konstipasi organik, diantaranya jika didapati (1) mekoneum
keluar >24 jam, (2) usia saat onset <12 bulan, (3) gagal tumbuh, (4)
distensi, (5) tidak ditemukan feses pada pemeriksaan rektum atau feses
yang besar dan (6) berhubungan dengan gejala gastrointestinal atas dan
ekstraintestinal. Etiologi dari penyakit endokrin atau metabolik juga harus
disingkirkan.38
Pemeriksaan non invasif dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyakit
Hirschsprung, diantaranya pemeriksaan radiologi.X-foto polos abdomen
menujukkan zona transisi antara kolon yang mengalami dilatasi berisi
udara dan kolon proksimal yang tidak dilatasi, memberikan gambaran
funnel-shaped. Colon in loop menggunakan kontras barium enema
menunjukkan beberapa gambaran :39
1) Zona transisi, yaitu zona dimana terdapat perbedaan diameter kolon
dilatasi dan non dilatasi (sensitivitas 94,4%; spesifisitas 68,4%, PPV
85%; NPV 86,7%)
2) Rectosigmoid index (RSI), yaitu rasio diameter rektum yang terlebar
dengan diameter sigmoid terlebar, dikatakan abnormal jika rasio < 1
(sensitivitas 86%; spesifisitas 68,4%, PPV 83,7%; NPV 72,7%)
3) Kontraksi irreguler pada kolon aganglionik, seperti saw teeth
appearance (sensitivitas 41,6%; spesifisitas 100%, PPV 100%; NPV
47,5%)
4) Mukosa kolon ireguler curiga enterokolitis atau cobblestone
appearance (sensitivitas 18,3%; spesifisitas 94,7%, PPV 76,5%; NPV
36,5%)
5) Filling defect akibat fecal material (sensitivitas 61,1%; spesifisitas
63,1%, PPV 76%; NPV 46,1%)
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 185 Manado, 17-19 Maret 2017
(a) (b)
(c)
Gambar 9. Pemeriksaan barium enema, (a) zona transisi, (b) saw teeth
appearance, (c) cobblestone appearance39
Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis penyakit Hirschsprung
berdasarkan pemeriksaan biopsi histopatologi, menunjukkan tidak adanya
sel ganglion pada pleksus mienterikus dan submukosa serta peningkatan
aktivitas asetilkolinesterase di lamina propia. Beberapa teknik biopsi
rektum dapat dilakukan, yaitu dengan metode suction, endokskopi atau
open biopsy, menggunakan pengecatan hematoxylin eosin,
Acetylcholinesterase histochemistry atau Calretinin
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 186 Manado, 17-19 Maret 2017
immunohistochemistry.27
Systematic reiview terhadap 14 studi
menunjukkan bawah suction rectal biopsy paling akurat dalam
mendiagnosis penyakit Hirschsprung (sensitivitas 93%, spesifisitas 98%)
dibandingkan dengan barium enema (sensitvitas 70%, spesifisitas 83%).40
Klasifikasi Penyakit Hirschsprung
Klasifikasi penyakit Hirschsprung berdasarkan area kolon yang
aganglionik, yaitu :41
1) Ultra short segment : Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat
kecil dari rektum,
2) Short segment : Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil
dari kolon,
3) Long segment : Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar
kolon,
4) Very long segment : Ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum
dan kadang sampai sebagian usus kecil
Sebanyak 84,48% penyakit Hirschsprung termasuk ke dalam jenis short
segment atau rektosigmoid.40
Tatalaksana Penyakit Hirschsprung
Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan, tatalaksana operatif
harus segera direncanakan. Tatalaksana preoperatif diantaranya :41
1) Dekompresi dengan pipa lambung dan pipa rektum,
2) Irigasi rektal (washed out)
3) Resusitasi cairan dan koreksi imbalans elektrolit
4) Tatalaksana nutrisi dengan nutrisi parenteral total
5) Jika didapatkan enterokolitis, diberikan antibiotik spektrum luas
atau definitif
Tatalaksana bedah terdiri dari dua, yakni bedah sementara dan bedah
definitif. Tindakan bedah sementara pada penyakit Hirschsprung yaitu
kolostomi pada bagian usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini bertujuan menghilangkan obstruksi usus dan mencegah
enterokolitis. Kolostomi dapat menurunkan angka kematian pada saat
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 187 Manado, 17-19 Maret 2017
dilakukan tindakan bedah definitive, dan mengurangi kaliber usus yang
telah membesar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.
Tindakan bedah definitif dengan prosedur pull-through dapat dilakukan
pada periode neonatus. Terdapat empat metode tindakan bedah definitif
diantaranya :42
1) Prosedur Swenson
Orvar Swenson dan Bill (1948) pertama kali memperkenalkan teknik
pull-through. Pada dasarnya operasi yang dilakukan adalah
rektosigmoidektomi dengan preservasi sphincter ani.Dengan
meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya
adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam
pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum
yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode
operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spincterektomi posterior,
yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-
1 cm rektum posterior.
2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar
prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah
anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan
dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior
kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru
dengan anastomose end to side.
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di
dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.
3) Prosedur Soave
4) Prosedur Rehbein
5) Prosedur Trans Anal Endorectal Pull-Through (TEPT)
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 188 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Cappiello CD, Strauch E. A rare case of recurrent hypertrophic pyloric
stenosis. J Ped Surg Case Reports 2 .2014;519-521
2. Feng Z, Nie Y, Zhang Y, Li Q, Xia H, Gong ST, Huang H. The Clinical
Features of Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis in Chinese Han
Population: Analysis from 1998 to 2010. PLOS ONE. 2014;9:e88925
3. Svenningsson A. Genetic And Epidemiological Studies Of Infantile
Hypertrophic Pyloric Stenosis. Karolinska Institutet.2011;45:31-32.
4. Rogers IM. New Insights on The Pathogenesis of Pyloric Stenosis of
Infancy. A Review with Emphasis on The Hyperacidity Theory. Open
Journal of Pediatrics. 2012;2:97-105.
5. Lund M, Pasternak B, Davidsen RB, Feenstra B, Krogh C, diaz LJ et al.
Use of Macrolides in Mother and Child and Risk of Infantile
Hypertrophic Pyloric Stenosis: Nationwide Cohort
Study.BMJ.2014;348:1-10.
6. Eberly MD, Eide MB, Thompson JL, Nylund CM. Azithromycin in Early
Infancy and Pyloric Stenosis. Pediatrics. 2015;135(3):483-8.
7. Ranells JD, Carver JD, Kirby RS. Infantile Hypertrophic Pyloric
Stenosis: Epidemiology, Genetics, and Clinical Update. Advances in
Pediatrics.2011;58: 195–206.
8. Davies I. Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis Anaesthesia Tutorial
Of The Week 276. ATOTW 276 Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis,
26th November. 2012;1-5
9. Dias SC, Swinson S, Torrao H, Goncalves L, Kurochka S, Vaz CP, et
al. Hypertrophic Pyloric Stenosis: Tips and Tricks for Ultrasound
Diagnosis. Insights Imaging .2012;3:247–50.
10. Maclennan. Investigation on vomiting children. Seminars in pediatric
surgery. 2003;12:220-28.
11. Lee JH. Plain Abdominal Radiography in Infants and Children. Korean
J pediatr gastroenterology nutrition. 2011;14:130-6.
12. Cincinnati Children‘s Hospital Medical Center. Evidence Based Clinical
Practice Guideline For Hyperthropic Pyloric Stenosis. 2007
13. Aspelund G, Langer JC. Current Management of Hypertropic Pyloric
Stenosis. Seminars in pediatric surgery. 2007;16:27-33.
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 189 Manado, 17-19 Maret 2017
14. Almaramhy HH, Alshareif HA. Use Of Atropine Sulfate In The
Treatment of Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis. Journal of Taibah
University Medical Sciences. 2013;8:173–7.
15. Jiang J, Jiang B, Parashar U, Nguyen T, Bines J, Patel MM. Childhood
Intussusception: A Literature Review . PLOS ONE .2013;8(7): e68482
16. Hesse AAJ, Abantanga FA, Lakhoo K. Intussusception. Available from :
URL: www.global-help.org/publications/books/help_pedsurgeryafrica
68.pdf
17. Navarro O, Daneman A. Intussusception. Part 3: Diagnosis and
Management of Those with An Identifiable or Predisposing Causeand
Those that Reduce Spontaneously. Pediatroc Radiology. 2004;
34:305–312.
18. John M, Siji CR. A Clinical Study Of Children with Intussusceptions. Int
J Contemp Pediatr. 2016;3:1083-8.
19. Chahine AA. Intussusception. Available at: http://emedicine.
medscape.com/article/930708 (accessed 25 December 2008).
20. Ko HS, Schenk JP, Troger J, Rohrscheider WK. Current Radiological
Management of Intussusception in Children. European Radiology
.2007; 17:2411–2421.
21. Lam SHF, Wise A, Yenter C. Emergency Bedside Ultrasound for The
Diagnosis of Pediatric Intussusception: A Retrospective Review. World
Journal Emergency Medicine. 2014;5:255-8
22. Wall J. Acute Abdominal Pain in Children: Is It Intussusceptions?.
.TSMJ. 2001;2:22-4.
23. Loukas M, Pellerin M, Kimball Z, Garza-Jordan J, Tubss RS, Jordan R.
Intussusception: An Anatomical Perspective With Review of the
Literature. Clinical Anatomy.2011;24:552–61.
24. Ito Y, Kusakawa I, Murata Y, Ukiyama E, Kawase H, Kamagata S, et
al. Japanese Guidelines for The Management of Intussusception in
Children. Pediatrics International. 2012;54:948–58.
25. Bethell G, Wilkinson D, Fawkner-Corbett D, Mesa A, Shukla R, Edgar
D, K Simon. Enteric Nervous System Stem Cells Associated with
Thickened Extrinsic Fibers in Short Segment Aganglionic
Hirschsprung's Disease Gut Are Absent in The Total Colonic and
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 190 Manado, 17-19 Maret 2017
Intestinal Variants of Disease. Journal of Pediatric Surgery 2016.
Available from : http://dx.doi.org/10.1016/j.jpedsurg.2016.06.006
26. Obermayr F, Hotta R, Enomoto H, et al. Development and
Developmental Disor- Ders of The Enteric Nervous System. Nat Rev
Gastroenterology Hepatology. 2013;10: 43-57.
27. Muise ED, Cowles RA. Rectal biopsy for Hirschsprung's disease: a
review of techniques, pathology, and complications. World Journal
Pediatrics. 2016;12:135-141.
28. Martucciello G. Hirschsprung's Disease, One of The Most Difficult
Diagnoses in Pediatric Surgery: A Review of The Problems From
Clinical Practice to The Bench. Eur J Pediatric Surgery.2008;18:140-
149.
29. Martucciello G, Pini Prato A, Puri P, Holschneider AM, Meier- Ruge W,
Jasonni V, et al. Controversies Concerning Diagnostic Guidelines for
Anomalies of The Enteric Nervous System: A Report From The Fourth
International Symposium on Hirschsprung's Disease and Related
Neurocristopathies. J Pediatric Surgery. 2005;40:1527-31.
30. Langer JC. 50 Years ago in the Journal of Pediatrics: Rectal Biopsy As
An Aid in The Diagnosis of Diseases of Infants and Children. Journal
Pediatrics. 2013;162:301-7.
31. Lewis NA, Levitt MA, Zallen GS, Zafar MS, Iacono KL, Rossman JE, et
al. Diagnosing Hirschsprung's Disease: Increasing The odds of A
Positive Rectal Biopsy Result. Jornal Pediatric Surgery.2003;38:412-
16.
32. Chia S, Chen SC, Lu C, Sheu S, Kuo H. Epidemiology of
Hirschsprung‘s Disease in Taiwanese Children: A 13-year Nationwide
Population-based Study. Pediatrics and Neonatology. 2016;57: 201-6.
33. Amiel J, Sproat-Emison E, Garcia-Barcelo M, Lantieri F, Burzynski G,
Borrego S et al. Hirschsprung Disease, Associated Syndromes and
Genetics: A Review. Journal Medicine Genetica. 2008;45:1-14.
34. Heuckeroth RO. Hirschsprung‘s Disease, Down Syndrome, and
Missing Heritability: Too Much Collagen Slows Migration. Journal Clinic
Invest. 2015;125:4323-26.
35. Mabula JB, Kayange NM, Manyama M, Chandika AB, Rambau PF,
Chalya PL.. Hirschsprung‘s Disease in Children: A Five Year
Ninung RD Kusumawati, Rizki Hakim
KONAS VII PGHNAI 191 Manado, 17-19 Maret 2017
Experience at A University Teaching Hospital in Northwestern
Tanzania. BMC Research Notes.2014;7:410.
36. Benninga MA, Nurko S, Faure C, Hyman PE, Roberts ISJ, Schechter
NL. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Neonate/Toddler.
Gastroenterology .2016;150:1443-55.
37. Poddar U. Approach to Constipation in Children. Indian pediatrics.
2016;53:319-27.
38. Brown RA, Wood RJ. Constipation in Children. S Atr Family Practice.
2013;55:350-3.
39. Alehossein A, Roohi A, Pourgholami M, Molleian M, Salamati P.
Diagnostic Accuracy of Radiologic Scoring System for Evaluation of
Suspicious Hirschsprung Disease in Children Iran Journal Radiology.
2015;12: 12451.
40. Lorijin F, Kremer LCM, Reitsma JB, Benninga MA. Diagnostic Tests in
Hirschsprung Disease: A Systematic Review. J Pediatr
Gastroenterology Nutrional. 2006;42:496-505.
41. Izadi M, Mansour-Ghanaei F, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH,
Tareh F. Clinical Manifestations of Hirschsprung‘s Disease: A Six Year
Course Review of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle
East Journal of Digestive Diseases. 2009;1:68-73.
42. Zafar M, Azam H. Hirschsprung‘s Disease : Modified Duhamel‘s
Procedure. Professional Medicine Journal.2010; 17: 223-31
Muzal Kadim
KONAS VII PGHNAI 192 Manado, 17-19 Maret 2017
GANGGUAN FUNGSIONAL GASTROINTESTINAL
Muzal Kadim
Divisi Gastrohepatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Gangguan fungsional gastrointestinal adalah gangguan saluran cerna yang
kronis dan berulang, bila dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang sederhana tidak dapat ditemukan adanya kelainan
struktural/organ. Gangguan fungsional gastrointestinal pada bayi dan anak
sering menjadi penyebab orang tua datang ke dokter anak. Orang tua
sering kali merasa cemas akan kondisi anaknya dan dianggap sebagai
penyakit yang berat. Ketika usia anak mencapai 4 bulan, sebanyak 20%
orang tua melaporkan gejala sakit perut yang dialami oleh anaknya.1-3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Iacono, dari populasi sebanyak
2879 kasus, didapatkan regurgitasi atau gumoh merupakan gangguan
yang paling sering dialami (23.1%), diikuti dengan kolik (20.5%), konstipasi
(17.6%), gagal tumbuh (15.2%), muntah (6%), dan diare (4.1%).4 Makalah
ini akan membahas tentang algoritma dari tiga gangguan fungsional
gastrointestinal pada bayi dan anak yang tersering yaitu regurgitasi, kolik
infantil, dan konstipasi.
Regurgitasi atau gumoh merupakan gangguan fungsional
gastrointestinal yang paling sering terjadi. Regurgitasi banyak dialami oleh
bayi usia 4-6 bulan, hanya 10% kejadian pada anak usia lebih dari 1 tahun.
Hal ini merupakan masalah yang wajar, mengingat regurgitasi dapat
dianggap sebagai suatu fenomena fisiologis pada anak di tahun pertama
kehidupan.5
Kolik dengan gejala tangisan yang berlebihan pada bayi yang sehat
dan tumbuh normal merupakan keluhan yang sering menimbulkan stres
sehingga menyebabkan ibu datang meminta pertolongan kepada dokter.
Tangisan biasanya terjadi pada sore hari dimulai pada minggu pertama
kehidupan dan biasanya akan hilang setelah bulan ke empat atau ke lima
kehidupan. Kolik infantil, menduduki posisi kedua setelah regurgitasi,
sangat sering terjadi pada 4 bulan pertama kehidupan. Kolik infantil terjadi
Muzal Kadim
KONAS VII PGHNAI 193 Manado, 17-19 Maret 2017
pada 5-25% anak di seluruh dunia bergantung dari definisi dan metode
penelitian yang digunakan.6-9
Konstipasi merupakan masalah kesehatan pada anak yang masih
cukup tinggi, merupakan 3% kunjungan pasien ke dokter anak umum dan
15-25% kunjungan ke konsultan gastroenterologi anak.10-12
Manifestasi Klinis
Gejala atau manifestasi klinis yang paling menonjol pada gangguan
saluran cerna tersebut pada bayi berusia beberapa bulan adalah bayi
menangis dan rewel. Bayi yang rewel dapat disebabkan berbagai
penyebab yang kompleks dan saling berinteraksi, mulai dari faktor budaya,
psikososial, lingkungan, dan biologis.2
Gangguan saluran cerna pada bayi seringkali ditangani dokter secara
konvensional dengan berbagai pendekatan tanpa mengharuskan sang bayi
untuk rawat inap serta tanpa pemeriksaan penunjang lain yang lebih
spesifik. Namun, untuk memberikan terapi yang sesuai terhadap bayi
secara lebih terstruktur, diperlukan penatalaksanaan baku untuk tiap
gangguan saluran cerna fungsional. Algoritma tiga kasus gangguan
saluran cerna fungsional yang tersering, yaitu regurgitasi, kolik infantil, dan
konstipasi, berikut dapat membantu klinisi dalam menentukan penyebab
perilaku rewel bayi.
Regurgitasi atau gumoh
Untuk membantu menegakkan diagnosa pada bayi atau anak dengan
regurgitasi, dibutuhkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dibawah ini
terdapat algoritme diagnosis dan tatalaksana regurgitasi pada bayi yang
dikeluarkan oleh IDAI. Untuk membedakan antara GER (Gastroesofageal
reflux) dan GERD (Gastroesofageal reflux desease), dapat dilihat dari
adanya tanda bahaya yaitu:3
1. Muntah
2. Muntah Darah (Hematemesis)
3. Gelisah dan Menangis
4. Posisi melengkung (Sandifer)
5. Batuk berlebihan
6. Gagal Tumbuh
Muzal Kadim
KONAS VII PGHNAI 194 Manado, 17-19 Maret 2017
7. Masalah Makan
8. Gangguan Neurologi
Gambar 1. Algoritme Regurgitasi
Kolik infantil
Terminologi kolik pada bayi bermacam macam, sebagian
ahli menyebutnya infantile colic, ahli lain menyebut evening colic karena
terjadi terutama pada sore hari, sering pula disebut sebagai three month
colic karena setelah bayi berumur 3 bulan biasanya akan membaik
sendiri.13,14
Prevalensi kolik pada bayi sangat bervariasi sekitar antara 10%
sampai 40% tergantung pada desain penelitian, kriteria kolik dan cara
pengumpulan data. Lucassen melakukan suatu systematic review kejadian
kolik pada bayi di komunitas di Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda
dengan menggunakan kriteria Wessel dan mendapatkan kejadian kolik
pada bayi berkisar antara 5% sampai 19%. Di Amerika Serikat angka
Muzal Kadim
KONAS VII PGHNAI 195 Manado, 17-19 Maret 2017
kejadian kolik pada bayi berkisar antara 16% sampai 26% tergantung pada
definisi kolik dan metode penelitiannya. 6
Publikasi yang menggambarkan
prevalens kolik pada bayi di Indonesia belum banyak, tetapi lebih kurang
prevalens di Indonesia sama dengan penelitian diatas.
Menangis merupakan cara bayi menyatakan lapar, rasa tidak nyaman,
lelah, nyeri dan takut. Rasa tidak nyaman timbul bila bayi kencing,
defekasi, kepanasan, kedinginan, gatal, dan sebagainya. Bayi normal
menangis rata rata 2,2 jam sehari, sampai berusia sekitar 6 minggu
merupakan puncak frekuensi tangisan, kemudian berangsur-angsur
berkurang sampai ia berusia 4 bulan, dan pada usia selanjutnya, bayi
umumnya hanya menangis sedikit pada sore atau malam hari. Studi kasus
kontrol menggunakan kriteria wessel mendapatkan bayi dengan kolik
menangis rata rata selama 241 menit sampai 300 menit per hari,
sedangkan bayi normal menangis rata rata selama 103 menit sampai 112
menit per hari. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa bayi normal
menangis lebih sering pada sore dan malam hari antara pukul 6 sore
sampai pukul 12 malam.15
Etiologi
Faktor risiko kolik pada bayi telah banyak dipelajari. Penelitian yang
dilakukan oleh Illingworth menemukan tidak adanya hubungan antara umur
ibu, jumlah anak, dan riwayat kehamilan dengan kejadian kolik pada bayi.
Kolik mempunyai penyebab yang multifaktorial seperti imaturitas sistem
saluran cerna, ketidakmampuan susunan saraf pusat untuk menerima
stimulus dari lingkungan, alergi dan hipersensitifitas, hubungan orangtua
anak, budaya dan variasi normal dari perilaku bayi. 13
Dibawah ini adalah algoritme diagnosis dan tatalaksana kolik pada
bay yang dikeluarkan oleh IDAI. Berdasarkan kriteria Rome 3, yang disebut
kolik : 1,2
1. Usia ≤ 3 bulan
2. Sering rewel,marah, atau menangis
3. Episode berlangsung > 3 jam perhari, > 3 hari perminggu dan terjadi
minimal dalam satu minggu
4. Tidak ada gangguan pertumbuhan
Muzal Kadim
KONAS VII PGHNAI 196 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 2 . Algoritme kolik infantil
Konstipasi
Secara umum definisi konstipasi menurut the North American Society for
Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPHGAN) adalah kesulitan
atau keterlambatan melakukan defekasi selama dua minggu atau lebih,
dan mampu menyebabkan stres pada pasien.10
Sedangkan menurut Kriteria Rome III diagnosis konstipasi fungsional,
adalah bayi dan anak usia < 4 tahun, dalam 1 bulan minimal terjadi 2 dari
gejala-gejala berikut: 1,2
1. Defekasi dua kali atau kurang per minggu
2. Minimal 1 episode inkontinens/minggu (setelah anak terlatih ke toilet)
3. Riwayat retensi feses yang berlebihan
4. Riwayat mengedan yang sulit atau sangat sakit
5. Adanya massa feses yang besar pada rektum
6. Riwayat adanya feses dengan diameter besar sehingga menyumbat
toilet
Muzal Kadim
KONAS VII PGHNAI 197 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 3. Algorirme konstipasi pada bayi
Tanda Bahaya (Red Flag) pada Konstipasi
1. Tidak ada meconium >48 jam
2. Distensi Abdominal
3. Muntah
4. Gagal tumbuh
5. BAB berdarah
6. Perkembangan saraf terhambat
7. Ketidaknormalan pada anus
8. Gejala penyebab organik lain
Muzal Kadim
KONAS VII PGHNAI 198 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Milla, PJ.; Hyman, PE.; Benninga, MA.; Davidson, GP.; Fleisher, DF.;
Taminiau, J. Childhood functional gastrointestinal disorders:
neonate/toddler. In: Drossman, DA.; Corazziari, E.; Delvaux, M., et al.,
editors. ROME III: The Functional Gastrointestinal Disorders. 3rd ed..
Allen Press; Lawrence, KS: 2006. p. 687-722.
2. Hyman PE, Milla PJ, Benninga MA, Davidson GP, Fleisher DF,
Taminiau J. Childhood functional gastrointestinal disorders:
neonate/toddler. Gastroenterology 2006;130:1519–1526.
3. Hegar B, Satari DH, Sjarif DR, Vandenplas Y. Regurgitation and
gastroesophageal reflux disease in six to nine months old indonesian
infants. Pediatric Gastroenterology Hepatology and
Nutrition. 2013;16:240–247
4. Iacono G, Merolla R, D'Amico D, Bonci E, Cavataio F, Di,Prima L,
Scalici C, Indinnimeo L, Averna MR, Carroccio A., Paediatric Study
Group on Gastrointestinal Symptoms in Infancy. Gastrointestinal
symptoms in infancy: a population-based prospective study. Digestive
and Liver Disease. 2005;37:432–438.
5. Hegar B, Dewanti NR, Kadim M, Alatas S, Firmansyah A, Vandenplas
Y. Natural evolution of regurgitation in healthy infants. Acta
Paediatrica. 2009;98:1189–1193.
6. Lucassen PL, Assendelft WJ, Van Eijk JT, Gubbels JW, Douwes AC,
Van Geldrop WJ. Systematic review of the occurrence of infantile colic
in the community. Arch Dis Child. 2001;84:398–403.
7. Savino F, Cordisco L, Tarasco V, Calabrese R, Palumeri E, Matteuzz
D. Molecular identification of coliform bacteria from colicky breastfed
infants. Acta Pædiatrica. 2009; 98:1582–158.
8. Rhoads JM, Fatheree YN, Norori J, Liu Y, Lucke JF, Tyson EJ, Ferris
MJ. Altered Fecal Microflora and Increased Fecal Calprotectin in
Infants with Colic. J Pediatr. 2009;155:823-8.
9. Roberts DM, Ostapchuk M, O‘brien JG. Infantile Colic. Am Fam
Physician. 2004;70:735-40,741-2.
Muzal Kadim
KONAS VII PGHNAI 199 Manado, 17-19 Maret 2017
10. Evaluation and Treatment of Constipation in Infants and Children:
Recommendations of the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN 2006;43:e1-13
11. Baucke VL. Prevalence, symptoms and outcome of constipation in
infants and toddlers. J Pediatr 2005;146:359-63
12. Biggs WS, Dery WH. Evaluation and treatment of constipation in
infants and children. Am Fam Physician 2006;73:469-77, 479-80, 481-
2.
13. Illingworth R. Three months colic. Arch Dis Child. 1954;29:165–174.
14. Wessel M. Paroxysmal fussing in infants, sometimes called ―colic.‖ J
Pediatr. 1954;14:421–423.
15. Lehtonen L, Korvenranta H. Infantile colic: seasonal incidence and
crying profiles. Arch Pediatr Adolesc Med.1995;149:533-536.
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 200 Manado, 17-19 Maret 2017
GASTROESOFAGEAL REFLUX: ETIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN
MANAJEMEN
Andy Darma
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo
Pendahuluan
Gastroesofageal refluks adalah suatu peristiwa fisiologis dengan gerakan
kembali dari isi lambung menuju esofagus. Bila isi lambung tersebut
malampaui mulut atau hidung sehingga bisa diamati dari luar disebut
regurgitasi. Gastro Esofageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu
peristiwa gastroesofageal refluks yang memberikan gejala yang
mengganggu dan membutuhkan evaluasi dan tatalaksana yang lebih
mendalam. Gejala yang mengganggu pada bayi dapat meliputi menangis
lama, back arching, regurgitasi yang berlebihan, dan gangguan feeding
dimana kesemuanya dapat digolongkan tidak spesifik. Gejala GERD pada
anak dan remaja misalnya gejala heartburn adalah gejala yang lebih
spesifik pada GERD. Meskipun gejala tersebut dapat tergolong ringan
tetapi gejala tersebut dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius
dan menurunkan kualitas hidup anak. Pada kasus yang lebih serius seperti
esofagitis, hematemesis, gagal tumbuh, seharusnya dapat dicegah1.
Gastroesofageal refluks adalah alasan yang cukup sering didapatkan
pada kunjungan ke spesialis anak dan juga rujukan pada ahli
gastroenterologi anak. Regurgitasi terjadi lebih dari satu kali perhari pada
67% dari bayi usia 4 bulan. Sebagian besar orang tua memandang
regurgitasi adlaah peristiwa yang abnormal; 24% dari orang tua
menyebutkan regurgiasi sebagai keluhan yang penting pada kunjungan
bayi usia 6 bulan2. Meskipun keluhan gastroesofageal refluks adalah
keluhan yang umum didapatkan dan biasanya dapat ditangani di fasilitas
kesehatan primer, perjalanan klinis secara alamiah belum banyak
didokumentasikan3.
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 201 Manado, 17-19 Maret 2017
Patofisiologi Gastroesofageal Reflux
Gastroesofageal refluks adalah aliran balik dari isi lambung melewati
sphincter gastroesofageal menuju esofagus dengan atau tanpa regurgitasi
atau muntah4. Gastroesofageal refluks adalah suatu peristiwa fisiologis
yang terjadi beberapa kali dalam sehari pada bayi yang sehat, anak dan
bahkan dewasa. Sebagian besar episode GER terjadi kurang dari 3 menit
dan hampir selalu terjadi sesudah minum atau makan dan tidak
menyebabkan keluhan yang berarti1,4
. Penyakit gastroesofageal reluks
terjadi bila peristiwa refluks dari isi lambung menyebabkan keluhan dan
gejala dan atau komplikasi4,5
.
Regurgitasi adalah peristiwa refluks dimana isi lambung dapat
mencapai faring atau mulut dan terkadang dapat keluar melalui mulut
ataupun hidung. Regurgitasi adalah suatu peristiwa tanpa usaha yang
berarti (effortless) dan tidak proyektil meskipun terkadang kita
mendapatkan regurgitasi yang cukup kuat2,6
. Spitting up terjadi pada lebih
dari 50% kasus bayi kurang dari 3 bulan adalah gejala regurgitasi yang
paling sering didapatkan. Regurgitasi akan berkurang secara spontan pada
hampir semua bayi sehat pada usia 12-14 bulan7,8
. Episode refluks dapat
menjadi pemicu dari terjadinya muntah, suatu peristiwa dimana terjadi
integrasi dan koordinasi dari respon motorik yang otonom dengan respon
motorik yang volunter. Muntah dipicu oleh rangsangan pada stimulasi
faring oleh isi lambung. Ruminasi adalah regurgitasi dari makanan yang
baru saja ditelan ke rongga mulut dengan disertai gerakan mengunyah dan
menelan kembali. Ruminasi adlaah sindroma yang terpisah dari
gastroesofageal yang terjadi dengan regurgitasi dari makanan atau
minuman yang ditelan dan dalam hitungan menit yang terjadi karena
kontraksi dari otot abdomen9.
Peristiwa refluks terjadi pada relaksasi transient dari lower esophageal
sphincter (LES) yang tidak diikuti dengan proses menelan sehingga
memungkinkan isi lambung untuk kembali mengalir menuju esofagus4.
Pada sebagian kecil dari populasi pemederita refluks gastroesofageal,
episode refluks terjadi bila tekanan dari lower esophageal sphincter (LES)
gagaal untuk ditingkatkan ketika terjadi suatu peningkatan yang mendadak
dari tekanan intra abdominal atau bila tekanan lower esophageal sphincter
(LES) pada saat resting terkurangi secara kronis2,10
. Perubahan pada
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 202 Manado, 17-19 Maret 2017
beberapa mekanisme protektif dari mukosa menyebabkan refluks yang
fisiologis dapat berubah menjadi GERD; klirens yang insufisien dan
buffering dari refluksat, penurunan pengosongan isi lambung, abnormalitas
perbaikan mukosa, dan penurunan refleks protektif neural dari aerodigestif.
Pada hernia hiatal semua mekanisme penghalang pada lower esophageal
sphincter (seperti crural support, segmen intra abdominal, dan
His)terpengaruh juga relaksasi LES yang transient pada proporsi yang
lebih besar. Esofagiti erosiv akan menyebabkan pemendekandari esofagus
dan menyebabkan terjadinya herniasi hiatal.. Prevalensi hiatus hernia
cukup banyak terjadi baikpada anak ataupun dewasa dan ukuran dari hiata
hernia menentukan tingkat keparahan GERD4,11,12
.
Terdapat faktor genetik pada GERD yang dibuktikan dengan
peningkatan konkordansi pada monoziotik dibandingkan dizigotik. Terdapat
peningkatan kasus GERD pada beberaa populasi khusus dibandingkan
dengan kelompok populasi yan g sehat baik pada bayi atau pun anak dan
remaja. Termasuk didalamnya kelompok dengan gangguan neurologis,
obesitas, beberapa sindrom genetik, atresia esofagus, penyakit paru kronis
dan riwayat kelahiran prematur4,10,12,13
.
Pengaruh pemberian makanan pada kejadian GER
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa bayi yang mendapat ASI dan
susu formula akan mengalami regurgitasi lebih besar dibandingkan bayi
yang mendapatkan ASI secara ekslusif terutama pada usia 2 hingga 6
bulan7. Sebagai tambahan bayi dengan regurgitasi adalah bayi yang tidak
berhasil dalam mendapatkan ASI, sehingga American Academy of
Pediatric memberikan rekomendasi untuk memberikan ASI adalah nutrisi
utam hingg usia 12 bulan dengn pemberian ASI ekslusif dalam 6 bulan
pertama1.
Meskipun bayi dengan gejala GER masih mempuyai penambahan
berat badan yang cukup8, telah direkomendasikan juga dalam beberapa
literatur untuk tetap menambahkan thickening milk untuk meningkatkan
berat badan bayi dengan GER6, dengan menambahkan sereal beras dan
bean gum pada susu formula. Pemberian makanan padat lebih dini tidak
menunjukkan perbaikan pada penanganan refluks gastroesofageal dan
pemberian susu formula meningkatkn risiko kejadian GER6.
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 203 Manado, 17-19 Maret 2017
Sebagai tambahan pada tatalaksana GER orng tua perlu memperoleh
edukasi tentang tatalaksana awal GER. Edukasi bahwa GER adalah
peristiwa fisiologis adalah sangat penting untuk mengurangi kecemasan
orang tua meskipun kewaspadaan perlu diberitahukan kepada orang tua
mengenai tanda bahaya dari GER, posisi bayi, tehnk pemberian makan,
serta diet merupakan tatalaksana yang penting sebelum meberikan obat
obatan dan bila perlu tindakan operatif pada GER yang parah5,6,8
.
Menegakkan diagnosis Gastroesofageal Refluks
Diagnosis GER lebih banyak ditegakkan dengan menggunakan gejala
klinis dan keluhan yang disampaikan oleh orang tua. Meskipun gejala yang
disampaikan tidak spesifik tetapi saat ini metode tersebiut adalah cara
yang paling banyak dilakukan dalam menegakkan diagnosis GER.
Diagnosis penyakit gastroesofageal refluks atau lebih dikenal dengan
GERD ditegakkan bila ditemukan gejala yang mengganggu pada kualitas
hidup dari bayi. Juga diperkenalkan tentang tanda bahaya atau Red Flag
untuk mengenali bahwa peristiwa refluks yang diamati telah berubah
menjadi GERD14–16
.
Tabel 1. Gejala klinis yang dikategorikan sebagai tanda bahaya (Red Flag)6
Muntah hijau
Perdarahan saluran cerna (Hematemesis/Hemtoschezia)
Muntah yang proyektil dan konsisten
Demam
Hepatosplenomegali
Makro/mikrosefali
Ubun ubun besar menumbung
Kejang
Distensi abdomen
Sindrom metabolik/genetic
Untuk menegakkan diagnosis GER dengan lebih akurat terutama
dalam membedakan dengan GERD dikembangkan suatu sistem skoring.
Salah satu skor untuk refluks pada anak adalah iGERQ yang
dikembangkan oleh Susan Orenstein tahun 1993 yang telah dimodifikasi
ada tahun 20063,4,17,18
.
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 204 Manado, 17-19 Maret 2017
Skor tersebut menggunakan beberapa variabel yang dapat digunaka
secara mudah untuk membantu dalam membedakan GER dan GERD. Bila
skor didapatkan lebih dari 9 maka bayi tersebut mempunyai kemungkinan
besar untuk mengalami GERD. Bila skor kurang dari 7 maka kecil
kemungkinan bayi tersebut mengalami GERD3,19
.
Dalam beberapa dekade ini telah dikembangkan alat alat diagnostik
untuk meningkatkan pemahaman tentang peristiwa refluks baik dalam
upaya untuk penegakan diagnosis klinis dan diagnosis etiologis serta
melihat korelasi klinis dengan gambaran refluks. pHmeter baik dengan
kateter ataupun nir kabel serta penggunaan endoskopi dengan biopsi telah
banyak memberikan pemahaman dalam proses refluks juga untuk melihat
kejadian refluks baik itu adlaah refluks asam ataupun non asam. Kondisi
klinis lain yang dapat menyerupai GER seperti penyakit Eosinofilik
Esofagitis serta kondisi Hernia Hiatal juga dapat didiagnosis dengan
metode ini1,4,12,15
.
Uji dengan menggunakan Proton Pump Inhibitor dapat digunakan
untuk menduga kejadian refuks asam. PEnurunan gejala dan tanda setelah
pemberian PPI selama 2 minggu merupakan suatu kondisi sugestif
kejadian suatu refluks asam. KElemahan dari metode ini adalah tidak dapat
membedakandengan kejadian lain yang juga melibatkan asama lambung
seperti tukak peptik dan dispepsia fungsional. Hal lain hanya bisa dilakukan
pada anak usia 2-12 tahun sedangkan pada bayi dibawah 2 tahun tidak
diakukan karena pada umumnya refluks yang terjadi adalah non asam6,12
.
Penggunaan endoskopi dan biopsi merupakan suatu metode
diagnostik yang bagus dalam melihat kondisi mukosa, tidak hanya secara
makroskopis tetapi juga secara mikroskopis. Kerusakan mukosa akibat
refluks baik asam ataupun non asam dapat dilihat secara makroskopis
pada saat endoskopi dan juga secara mikroskopis, misalnya esofagitis
mikroskopis. Kelainan mukosa lain yang bisa dideteksi adalah penyakit
eosinofilik esofagitis6,12,15,20
.
pH meter baik dengan menggunakan kateter ataupun nir kabel
dengan menggunakan kapsul dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis GER dan GERD terutama yang mempunyai sifat refluks asam.
Korelasi klinis melalui skor dengan kondisi refluks melalui pHmeter
dibandingkan dengan kondisi mikroskopis melalui biopsi terkadang
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 205 Manado, 17-19 Maret 2017
memberikan hasil yang tidak sejalan. Kelemahan utam dari pHmeter
adalah ketidak mampuan untuk mendeteksi refluks non asam dimana
refluks asam lemah banyak didapat pada bayi6,10,15,19,21
.
Impedansi adalah suatu metode deteksi refluks tanpa mempedulikan
pH dari refluksat. Penggunaan impedansi yang digabung dengan pHmeter
memberikan pemahaman lebih baik dalam proses refluks dan mempunyai
korelasi klinis lebih baik dibandingkan dengan pHmeter saja. Penggunaan
impedansi sangat berguna terutama setelah penggunaan anti sekresi asam
yang menyebabkan refluksat menjadi tidak asam sehingga deteksi dengan
pHmeter kurang sensitif dalam deteksi refluks6,12,22
.
Tabel 2. Uji diagnostik untuk GERD pada anak (Modifikasi)12
Tatalaksana GER dan GERD
Tatalaksana refluks gastroesofageal sangat ditentukan dari
pemahaman akan mekanisme kejadian refluks dan kondisi yang
menyertainya. Pada refluks gastroesofageal yang fisiologis tidak
dibutuhkan tatalaksana yang berlebihan. Edukasi orang tua tentang proses
fisiologi yang akan berkurang dan menghilang pada usia lebih dari 12
bulan sangat penting. Posisi bayi dan teknik pemberian makanan akan
Metode Investigasi Keuntungan Kerugian
Kuesioner GERD Baik untuk menentukan beban
dari GERD
Spesifitas rendah
Tidak dapat digunakan untuk
diagnosis
PPI Test Pada usia 2-12 tahun dan
remaja.
Tidak untuk bayi atau usia 0-2
tahun.
Endoskopi Dapat menegakkan diagnosis
esofagitis dan komplikasi
GERD.
Eksklusi sebab lain.
Membutuhkan pembiusan
Biopsi mukosa Dapat menegakkan diagnosis
esofagitis mikroskopis.
Ekslusi Esofagitis Eosinofilik
TIdak spesifik
Korelasi kurang dengan pH
meter atau impedansi
pHmeter Deteksi paparan asam dan
asosiasi reflux dan gejala.
Analisis otomatis.
Korelasi sedang dengan gejala
dan mikroskopik esofagitis.
pHmeter-impedansi Deteksi refluks non-asam Analisis otomatis sulit
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 206 Manado, 17-19 Maret 2017
membantu terutama pada usia diatas 6 bulan karena akan memulai
makanan padat dan juga bayi mulai duduk sehingga posisi akan terbanu
dengan gravitasi sehingga keluhan dan gejala refluks akan berkurang
dengan sendirinya6,7
.
Pada beberapa kasus akan dibutuhkan tambahan farmakoterapi
seperti penggunaan anti sekretori seperti proton pump inhibitor dan anti
histamin 212
. Penggunaan prokinetikyang baik dalam hal ini akan
memperbaiki kontraktilitas esofagus, meningkatkan tekanan LES dan
meningkatkan pengosongan lambung dalam mengurngi gejala GERD telah
banyak diteliti dan hingga saat ini tidak ditemukan preparat yang sanggup
memberikan kegunaan yang cukup seimbang dengan risiko efek simpang
yang ditimbulkan sehingga konklusi akhir tidak didapatkan keuntungan
yang menyeluruh dalam penggunaan prokinetik6. Operasi anti refluks juga
dilakukan pada kasus yang tidak membaik dengan pengobatan atau kasus
dengan kondisi yang akan berakibat pada refluks dalam waktu yang
lama12
.
Daftar Pustaka
1. Randel A. AAP releases guideline for the management of
gastroesophageal reflux in children. Am Fam Physician. 2014 Mar
1;89(5):395–7.
2. Campanozzi A, Boccia G, Pensabene L, Panetta F, Marseglia A,
Strisciuglio P, et al. Prevalence and natural history of gastroesophageal
reflux: pediatric prospective survey. Pediatrics. 2009 Mar;123(3):779–
83.
3. Orenstein SR, Shalaby TM, Cohn JF. Reflux symptoms in 100 normal
infants: diagnostic validity of the infant gastroesophageal reflux
questionnaire. Clin Pediatr (Phila). 1996 Dec;35(12):607–14.
4. Orenstein SR, Khan S. Gastroesophageal Reflux Disease. In:
Kliegman R, editor. Nelson‘s Textbook of Pediatrics. 20th ed.
Philadelphia; 2016. p. 1787–90.
5. Heidelbaugh JJ, Gill AS, Van Harrison R, Nostrant TT. Atypical
presentations of gastroesophageal reflux disease. Am Fam Physician.
2008 Aug 15;78(4):483–8.
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 207 Manado, 17-19 Maret 2017
6. Lightdale JR, Gremse DA, Section on Gastroenterology, Hepatology
and N. Gastroesophageal reflux: management guidance for the
pediatrician. Pediatrics. 2013 May;131(5):e1684-95.
7. Hegar B, Dewanti NR, Kadim M, Alatas S, Firmansyah A, Vandenplas
Y. Natural evolution of regurgitation in healthy infants. Acta Paediatr.
2009 Jul;98(7):1189–93.
8. Hegar B, Safira F, Kadim M, Putri ND, Wardhani WI. Natural Evolution
of Regurgitation in Children Aged 12-24 Months : A 1-year Cohort
Study. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2013;14(1):13–8.
9. Absah I, Rishi A, Talley NJ, Katzka D, Halland M. Rumination
syndrome: Pathophysiology, diagnosis, and treatment.
Neurogastroenterol Motil. 2016;(May):1–8.
10. Baird DC, Harker DJ, Karmes AS. Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux in Infants and Children. Am Fam Physician.
2015 Oct 15;92(8):705–14.
11. Jancelewicz T, Lopez ME, Downard CD, Islam S, Baird R, Rangel SJ,
et al. Surgical management of gastroesophageal reflux disease
(GERD) in children: A systematic review. J Pediatr Surg. 2016;xxx.
12. Nikaki K, Woodland P, Sifrim D. Adult and paediatric GERD: diagnosis,
phenotypes and avoidance of excess treatments. Nat Rev
Gastroenterol Hepatol. 2016;13(9).
13. Chogle A, Velasco-benitez CA, Koppen IJ, Moreno JE, Hernández
CRR, Saps M. A Population-Based Study on the Epidemiology of
Functional Gastrointestinal Disorders in Young Children. J Pediatr.
2016;0–5.
14. Vandenplas Y, Gutierrez-Castrellon P, Velasco-Benitez C, Palacios J,
Jaen D, Ribeiro H, et al. Practical algorithms for managing common
gastrointestinal symptoms in infants. Nutrition. 2013 Jan;29(1):184–94.
15. Vandenplas Y, Rudolph CD, Di Lorenzo C, Hassall E, Liptak G, Mazur
L, et al. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines:
joint recommendations of the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, a. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2009;49(4):498–547.
Andy Darma
KONAS VII PGHNAI 208 Manado, 17-19 Maret 2017
16. Vandenplas Y. Challenges in the diagnosis of gastroesophageal reflux
disease in infants and children. Expert Opin Med Diagn. 2013 May
12;7(3):289–98.
17. Orenstein SR, Cohn JF, Shalaby TM, Kartan R. Reliability and validity
of an infant gastroesophageal reflux questionnaire. Clin Pediatr (Phila).
1993 Aug;32(8):472–84.
18. Gold BD. Is gastroesophageal reflux disease really a life-long disease:
do babies who regurgitate grow up to be adults with GERD
complications? Am J Gastroenterol. 2006 Mar;101(3):641–4.
19. Orenstein SR. Tests to assess symptoms of gastroesophageal reflux in
infants and children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2003;37 Suppl
1(December):S29-32.
20. D‘Antiga L, Nicastro E, Papadopoulou A, Mearin ML, Tzivinikos C,
Vandenplas Y, et al. European Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology, and Nutrition Syllabus for Subspecialty Training. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2014;59(3):417–22.
21. Borrelli O, Mancini V, Thapar N, Giorgio V, Elawad M, Hill S, et al.
Cow‘s milk challenge increases weakly acidic reflux in children with
cow‘s milk allergy and gastroesophageal reflux disease. J Pediatr.
2012 Sep;161(3):476–481.e1.
22. Vandenplas Y, Salvatore S, Devreker T, Hauser B. Gastro-
oesophageal reflux disease: oesophageal impedance versus pH
monitoring. Acta Paediatr. 2007 Jul;96(7):956–62.
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 209 Manado, 17-19 Maret 2017
FUNCTIONAL CONSTIPATION
START TO INTERVENTION AND MANAGEMENT
Satrio Wibowo
Divisi Gastroenterologi – Hepatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Pendahuluan
Konstipasi masih merupakan salah satu masalah saluran cerna tersering
pada anak selain diare. Angka kejadian konstipasi di seluruh dunia
berviariasi, antara 0,7% - 29,6%.1 Di Amerika, 3% anak di bawah usia 1
tahun dan 10% anak di bawah usia 2 tahun setidaknya pernah mengalami
1 kali konstipasi.2 Di Indonesia diperkirakan 3-5% dari kunjungan anak ke
dokter disebabkan karena konstipasi.
Konstipasi bukan merupakan penyakit, melainkan gejala dari kelainan
fungsional atau organik di area kolon atau anorektal. Sebagian besar
(95%) konstipasi bersifat fungsional, yaitu konstipasi yang terjadi tanpa
penyebab organik.3 Konstipasi fungsional menimbulkan kecemasan dan
perubahan perilaku pada anak, stres dan kebingungan pada orang tua dan
bahkan pada dokter yang merawat karena pemasalahan yang terus
berulang.
Definisi
North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition (NASPGHAN) mendefinisikan konstipasi sebagai kelambatan atau
kesulitan buang air besar yang terjadi selama 2 minggu atau lebih dan
menyebabkan distres yang nyata pada pasien.3 Dalam praktek klinik
konstipasi lebih sering didefinisikan sebagai kesulitan buang air besar,
yang umumnya ditandai dengan konsistensi tinja yang keras, ukuran tinja
yang besar, frekuensi defekasi yang jarang dan sering disertai dengan rasa
nyeri saat defekasi.4
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 210 Manado, 17-19 Maret 2017
Konstipasi sering disertai dengan kejadian soiling dan encopresis.
Soiling adalah keluarnya tinja cair yang menyebabkan pewarnaan kuning
pada celana dalam. Sedangkan encopresis didefinisikan sebagai keluarnya
tinja secara tidak disadari atau tidak mampu dikendalikan di celana dalam.
Etiologi
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan organ konstipasi dapat dibagi
menjadi konstipasi karena penyebab organik dan non organik (table 1).
Konstipasi non organik ini sering disebut dengan konstipasi fungsional.
Sembilan puluh lima persen konstipasi pada anak disebabkan oleh
konstipasi fungsional.
Anak-anak dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji dan
sedikit serat (sayur, buah, serealia) lebih sering mengalami konstipasi. Pola
hidup dengan diet yang rendah serat dan tinggi lemak, serta kurang minum
dan olahraga merupakan penyebab tersering dari konstipasi. Kurangnya
aktifitas fisik atau olahraga juga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.3
Pada anak, konstipasi juga sering dipicu oleh beberapa masalah
psikologis atau sosial, seperti : pindah rumah, lingkungan baru, sekolah
baru, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan seksual,
penelantaran, dsb. Adanya pengalaman nyeri atau tidak nyaman saat
defekasi juga dapat menyebabkan anak menunda atau menahan keinginan
BAB sehingga meningkatkan risiko terjadinya konstipasi.
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 211 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 1. Etiologi dan klasifikasi konstipasi
A. Konstipasi sekunder
Pola hidup
diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang buruk,
kurangnya aktifitas fisik/olah raga.
Kelainan anatomi (struktur)
anus imperforata, stenosis ani, fissura ani, hemoroid, striktur, tumor,
abses perineum, megakolon, rectal outlet obstruction (anismus, tukak
rectal soliter, intusesepsi)
Kelainan endokrin/sistemik/metabolik
hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, diabetes mellitus, celiac disease
Kelainan syaraf
stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple, lesi sumsum
tulang belakang, Chagas disease, disotonomia familier.
Kelainan jaringan ikat
skleroderma, amiloidosis, mixed connective-tissue disease
Obat
antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth),
anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa
kalsium), ―calcium channel blockers‖ (verapamil), OAINS (ibuprofen,
diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan
laksan stimulans jangka panjang.
Gangguan psikologi (depresi)
B. Konstipasi fungsional/simple/temporer
Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi
Irritabel bowel syndrome
Konstipasi dengan dilatasi kolon (idiopathic megacolon/ megarektum)
Konstipasi tanpa dilatasi kolon (idiopathic slow transit constipation)
Obstruksi intestinal kronik
Pelvis yang lemah (descending perineum)
Mengejan yang kurang efektif (ineffective straining)
Mekanisme dan Pola Defekasi Normal
Mekanisme dan pola defekasi normal merupakan hal yang sangat penting
untuk dipahami seorang dokter dan juga orang tua pasien. Pengetahuan
tentang mekanisme defeksi ini menjadi dasar bagi keberhasilan terapi
konstipasi.
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 212 Manado, 17-19 Maret 2017
Secara anatomis, lumen rektum dan anus tidak berada dalam satu
garis lurus, tetapi membentuk sudut (anorectal angle). Sudut anorektal ini
dibentuk oleh aksis rektum dan aksis dari kanal anus (gambar 1). Besar
suduk anorektal berkisar antara 85-1050 saat relaksasi.
3 Sudut inilah yang
secara anatomis dapat berfungsi sebagai salah satu penahan massa tinja.
Gambar 1. Regio anorektal, aksis rektum, aksis canal ani dan sudut anorectal
Selain sudut anorektal, pada area rektum terdapat dua otot sirkuler
yang berfungsi pula sebagai penahan (sfingter), yaitu : muskulus ani
internus, muskulus puborektalis dan muskulus ani eksternus. Saat sisa
makanan atau bolus tinja mengisi rektum, dinding rektum akan mengalami
peregangan. Regangan tersebut akan menyebabkan relaksasi muskulus
ani internus. Relaksasi otot tersebut akan mengirim informasi ke sistem
saraf pusat sehingga timbul keinginan buang air besar. Otak merespon
dengan memerintahkan kontraksi muskulus ani eksternus dan muskulus
poburectalis untuk menahan tinja agar tidak keluar (ekspulsi). Kontraksi
otot ini dikendalikan secara sadar. Selanjutnya, apabila anak ingin buang
air besar maka otak akan memerintahkan otot-otot dinding perut
berkontraksi dan pada saat yang bersamaan memerintahkan muskulus ani
eksternus dan puborectalis relaksasi. Pada saat anak jongkok/duduk dan
mengejan sudut antara rektum dan anus menjadi lurus, hambatan volunter
dari muskulus ani eksternus dan puborectalis menurun dan terjadi ekspulsi
bolus feces. 3
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 213 Manado, 17-19 Maret 2017
Frekuensi Defekasi Normal
Frekuensi defekasi normal pada anak berubah-ubah menurut umur. Pada
neonatus umumnya frekuensi defekasi lebih sering, antara 2 – 10 kali/hari.
Bayi usia 4 bulan sudah mulai bekurang, sekitar 1 – 3 kali/hari. Sedangkan
pada anak 2 tahun pada umumnya telah memiliki pola yang sama dengan
orang dewasa, yaitu dalam kisaran 1 – 3 kali/hari sampai dengan 3
kali/minggu.7,8
Pola diet juga berpengaruh. Bayi yang minum ASI memiliki
frekuensi defekasi lebih sering daripada bayi minum formula. Anak yang
mengkonsumsi cukup serat memiliki frekuensi defekasi yang lebih sering
dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi makanan rendah serat
dalam menu kesehariannya.
Gambar 2. Frekuensi defekasi berbagai umur
Gambar 3. Perbandingan frekuensi defekasi harian anak dengan ASI dan formula
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 214 Manado, 17-19 Maret 2017
Patogenesis
Pada konstipasi fungsional, tidak terdapat kelainan anatomis, metabolik,
sistemik, neurogenik atau riwayat penggunaan obat tertentu. Adanya
pengalaman nyeri atau tidak nyaman saat buang besar dapat membuat
anak menahan keinginan buang air besar. Demikian pula anak-anak
dengan masalah psikologis, seperti : pindah rumah, lingkungan baru,
sekolah baru, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan seksual,
penelantaran, dsb. Kontraksi otot pelvis yang berlangsung lama akan
menyebabkan tinja tertahan, sehingga pada batas tertentu rektum masih
dapat menampung peningkatan massa tinja. Namun, kolon distal akan
terus menerus melakukan absorbsi cairan, sehingga tinja menjadi keras,
kering dan makin besar. Tinja yang besar, keras dan kering ini akan
menyebabkan nyeri, bahkan luka (fisura ani) saat defekasi. Adanya rasa
nyeri dan luka akan menyebabkan anak akan menahan saat merasakan
akan buang air besar, akibatnya tinja akan makin besar, keras dan kering.
Hal ini berakibat rasa nyeri makin bertambah. Demikian seterusnya
membentuk lingkaran setan (circulus vitiosus).
Konstipasi fungsional dapat terjadi kapan saja pada periode
perkembangan anak. Beberapa waktu yang perlu diwaspadai adalah pada
saat periode penyapihan (weaning) dan saat transisi makanan atau
penambahan variasi makanan. Periode masa awal sekolah, kebiasaan
nenunda berak dan toilet training yang kurang juga dapat memicu
timbulnya konstipasi fungsional.
Kapan Memulai Intervensi ?
Seorang harus mulai melakukan upaya diagnostik maupun terapeutik bila
didapatkan :
1. Didapatkan keluhan sulit buang air besar dengan satu dari gejala : tinja
yang besar, keras, BAB yang nyeri atau jarang
2. Bila ada tanda bahaya (red flag)
Saat ini para pakar di bidang saluran cerna umumnya menyepakati kriteria
Roma III untuk menegakkan diagnosis konstipasi fungsional pada anak
(tabel 2).
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 215 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 2. Diagnosis konstipasi fungsional berdasarkan kriteria Roma III 5,6
Kriteria Roma III untuk Konstipasi Fungsional pada Bayi dan Todlers (< 4
tahun)5
Sedikitnya didapatkan 2 atau lebih gejala dibawah ini, setidaknya dalam 1 bulan
< 2 kali defekasi per minggu
> 1 episode inkontinensia per minggu setelah toilet raining
Adanya riwayat retensi tinja yang banyak
Adanya riwayat BAB yang nyeri atau keras
Ditemukannya massa tinja yang besar/keras di rektum
Riwayat adanya tinja dengan diameter yang besar yang kadang dapat
menyumbat toilet
Kriteria Roma III untuk Konstipasi Fungsional Pada Anak dan Remaja6
Gejala di bawah ini terjadi setidaknya satu kali per minggu selama minimal 2
bulan serta didapatkan 2 atau lebih keadaan di bawah ini, pada anak berusia >4
tahun, serta tidak memenuhi kriteria irritable bowel disease
Frekuensi BAB 2 kali atau kurang, per minggu
Setidaknya 1 kali inkontinensia tinja per minggu
Riwayat retensive posturing (gerak/postur tubuh retensif/menahan)
atau keluarnya tinja yang besar setelah retensi
Adanya riwayat nyeri atau keras saat BAB
Ditemukannya massa tinja yang besar/keras di rektum
Riwayat adanya tinja dengan diameter yang besar yang kadang dapat
menyumbat toilet
Pada saat melakukan anamnesis dan pemeriksaan penunjang, perlu
diwaspadai apabila ditemukan Red Flag, atau tanda bahaya (tabel 3). Pada
keadaan-keadaan di bawah ini seorang dokter sebaiknya segera merujuk
kasus dugaan konstipasi ke spesialis.
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 216 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 3. Red Flag atau tanda bahaya
Tanda bahaya untuk dirujuk ke spesialis atau pusat pelayanan yang lengkap
Konstipasi sebelum usia 2 bulan
Kelambatan pengeluaran mekoneum
Rectal ampula yang kosong
Pengeluaran tinja yang eksplosif saat dilakukan pemeriksaan rektal
Diare berdarah yang intermitten
Gagal tumbuh
Gejala dan tanda neurologis yang abnormal
Didapatkan adanya gangguan perilaku
Gagal terapi konvensional
Diagnosis
Diagnosis konstipasi fungsional pada umumnya dapat ditegakkan dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat.
Anamnesis
Pada anamnesis penderita dengan konstipasi, penting untuk mengetahui
frekuensi, pola defekasi, konsistensi tinja, ada tidaknya nyeri, nyeri
abdomen serta ada tidaknya perdarahan saat defekasi. Perlu pula
ditanyakan keluhan penyerta seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
perubahan nafsu makan, riwayat soiling/encopresis, ada tidaknya
kebiasaan menahan berak, penurunan berat badan, dll. Berak yang keras,
kering, besar, sakit perut dan defekasi yang nyeri dan berdarah
mengarahkan kecurigaan ke arah konstipasi.
Pada riwayat terapi perlu ditanyakan mengenai obat-obatan yang
sedang dikonsumsi, jenis obatnya, lama pemakaiannnya, adakah riwayat
dirawat di rumah sakit, dsb. Juga penting utnuk ditanyakan mengenai
riwayat konstipasi pada keluarga serta ada tidaknya penyakit lain seperti
Hirschsprung’s disease, penyakit thyroid, parathyroid, infeksi saluran
kemih, dll.
Anamnesis mengenai riwayat sosial ekonomi, riwayat pertumbuhan
dan berkembangan serta ada tidaknya gangguan psikologik pada
penderita juga perlu digali. Seringkali permasalahan sosial, kesenjangan
ekonomi, hubungan anak dengan orang tua, perkembangan yang
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 217 Manado, 17-19 Maret 2017
terlambat, prestasi sekolah dan interaksi dengan teman yang buruk, juga
dapat memicu timbulnya konstipasi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat sangat membantu penegakan
diagnosis konstipasi. Adanya distensi abdomen, terabanya massa tinja
yang besar dan keras pada palpasi perut bagian kiri atau kiri bawah dapat
mengarahkan dugaan ke arah konstipasi. Selain itu, pada pemeriksaan
anus penderita sering didapatkan adanya tinja disekitar anus/celana dalam,
erythema perianal, skin tag dan fissura ani. Pada colok dubur bisa
ditemukan massa tinja yang keras, darah dari luka fisura ani atau darah
pada tinja dan tinja cair yang menyemprot pada waktu jari ditarik.
Pemeriksaan fisik pada punggung perlu dilakukan dengan cermat utuk
mencari ada tidaknya dimple, spina bifida, fistula dan tuft of hair.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai reflex cremaster, reflex
tendon dan kekuatan otot. 4
Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang pada umumnya digunakan untuk
menyingkirkan penyakit lain seperti : Hypothyroidi, Hyperkalsemia,
Hiperkalemia, penyakit ginjal kronik dan infeksi saluran kemih. Sedangkan
pemeriksaan penunjang yang dapat mengarahkan pada dugaan konstipasi
fungsional, antara lain : foto polos abdomen, barium enema, biopsi rektum
dan manometri rektal 4
Tatalaksana
Tatalaksana konstipasi fungsional pada anak meliputi 4 langkah
1. Edukasi
Komunikasi, pemberian informasi yang jelas serta edukasi pada orang tua
memegang peranan yang sangat penting dalam tatalaksana konstipasi
fungsional. Orang tua harus memahami mekanisme dan pola buang air
besar yang normal. Selanjutnya harus diberikan penjelasan mengapa bisa
terjadi konstipasi, soiling atau encopresis. Orang tua harus memahami
bahwa anak sangat butuh pendampingan, sehingga diminta untuk tidak
menyalahkan anak bila terjadi encopresis atau soiling. Berikan penjelasan
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 218 Manado, 17-19 Maret 2017
bahwa konstipasi fungsional, soiling dan encopresis akan hilang setelah
pengobatan. Orang tua juga harus diajak berdiskusi mengenai rencana dan
tahapan-tahapan terapi. Dijelaskan bahwa penyembuhan akan butuh
waktu lama dan mungkin perlu pemeriksaan penunjang lain. 3,4,9,11
2. Evakuasi (fase disimpaksi/initial phase)
Langkah kedua adalah evakuasi tinja atau disimpaksi. Sebaiknya langkah
evakuasi awal dilakukan dengan pemberian obat per os (oral laxatives),
karena pada anak dengan konstipasi fungsional yang khronis seringkali
telah terjadi luka atau fisura ani pada rektum, sehingga penggunaan
supositoria akan menyebabkan anak semakin trauma. Evakuasi kolon dari
tinja yang menumpuk dilakukan sampai kolon bersih dari tinja yang
padat/keras (skibala). Program evakuasi tinja ini biasanya dilakukan
selama 2 – 5 hari. Obat oral yang dapat digunakan adalah mineral oil
(parafin liq.) dengan dosis : 15 – 20 ml/th umur (max. 240 ml sehari).
Sediaan ini tidak boleh diberikan pada bayi.
Apabila upaya evakuasi tinja dengan sediaan obat per os gagal, maka
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan rectal spoeling dengan NaCl 0,9%
atau campuran NaCl 0,9% dengan gliserin dengan perbandingan 1 : 1
dengan dosis 10-20 cc/kgBB. Selain NaCl dan gliserin, sediaan per rektal
lain yang dapat digunakan adalah : fosfat hipertonik (3 ml/kg, 2 x sehari,
max. 6 x enema), garam fisiologis (600 – 1000 ml). 4,9,10,11
3. Fase Rumatan
Fase kedua bertujuan untuk mencegah stool reimpaction atau kembalinya
timbunan tinja pada kolon. Pada fase ini dapat dilakukan intervensi diet 4F
(fluid, fiber, fruit, fat). Anak dianjurkan banyak minum, mengkonsumsi
karbohidrat kaya serat, buah dan sayur. Buah pepaya, semangka,
bengkuang dan melon banyak mengandung serat dan air yang baik untuk
melunakkan tinja. Jus apel dan jus pear banyak mengandung serat dan
sorbitol yang dapat meningkatkan frekuensi berak dan melunakkan tinja.
Obat-obatan softening agent seperti Laktulosa (larutan 70%) dapat
diberikan sebagai terapi rumatan dengan dosis 1 – 3 ml/kg/hr terbagi
dalam 2 dosis pemberian per hari. Obat lain yang dapat diberikan adalah
Sorbitol (larutan 70%) 1 – 3 ml/kg/hr dalam 2 x pemberian. Bila respon
terapi belum memadai dapat ditambahkan Cisapride : 0,1 – 0,3 mg, 3 kali
sehari atau dapat pula diberikan bisacodyl oral drop.4,9,10,11
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 219 Manado, 17-19 Maret 2017
4. Fase folllow up atau Behavioral Conditioning4,9,11
Anak perlu dilatih untuk buang air besar (toilet training).
Terdapat 7 utama langkah dalam toilet training
1. Mengajari ibu atau pengasuh untuk mengenali tanda-tanda anak akan
buang air besar
2. Mengajari kapan waktu yang tepat untuk menggunakan celana dalam
atau diapers. Sebaiknya diapers hanya digunakan pada saat anak tidur
malam.
3. Sebaiknya anak diberikan baju yang mudah dibuka saat akan buang
air besar
4. Sebaiknya anak diajak untuk jongkok (toilet training) sekitar 30 menit
setelah makan pagi selama 15 menit. Anak diminta untuk jongkok dan
mengejan. Bila dilakukan teratur, toilet training dapat mengembangkan
reflek gastrokolik.
5. Berikan dudukan atau posisi yang nyaman pada anak di atas lubang
toilet
6. Bantu atau latihlah anak untuk membersihkan anusnya dari depan ke
belakang setelah selesai buang air besar
7. Bantu atau latihlah anak untuk cuci tangan setelah buang air besar
Penutup
Konstipasi sering ditemukan pada anak baik yang akut maupun kronik.
Sebagian besar (90 – 95%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi
konstitusional. Pada sebagian besar kasus anamnesa dan pemeriksaan
fisik saja sudah cukup memadai untuk memulai tatalaksana pada anak
dengan konstipasi. Hanya sebagian kecil kasus (5 – 10%) yang
penyebabnya organik, diperlukan beberapa pemeriksaan untuk
memastikan penyebab. Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja
dilanjutkan dengan terapi rumatan berupa obat, modifikasi perilaku,
edukasi orang tua dan konsultasi. Terapi konstipasi memerlukan waktu
yang lama dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orang tua.
Prognosis pada umumnya baik sepanjang orang tua dan anak dapat
mengikuti program terapi dengan baik.
Satrio Wibowo
KONAS VII PGHNAI 220 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Van den Berg MM, Benninga MA, Di Lorenzo C. Epidemiology of
childhood constipation: a systematic review. Am J Gastroenterol.
2006;101:2401-09.
2. Loening-Baucke V. Prevalence, symptoms and outcome of constipation
in infants and toddlers. J Pediatr 2005; 146:359-363.
3. Evaluation and treatment of constipation in infants and children:
recommendations of the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2006;43:e1-e13.
4. Phatak UP, Pashankar DS. Constipation. Dalam: Bishop‘s Pediatric
Practice: Gastroenterology. McGraw-Hill Company 2010: 56-64
5. Hyman P.E., Milla P.J., Benninga M.A.,et al : childhood functional
gastrointestinal disorder : neonate/toddler. Gastroenterology
2006;130:1519-26.
6. Rasquin A., Di Lorenzo C., Forber D.,et al : childhood functional
gastrointestinal disorders : child/adolescent. Gastroenterology
2006;130:1527-37.
7. Fontana M., Bianchi C., Cataldo F., et al: Bowel frequency in healthy
children. Acta Paediatr Scand 1989; 78:682-684.
8. Yong D., Beattie R.M.: Normal bowel habit and prevalence of
constipation in primary school children. Amb Child Health 1998; 4:277-
282.
9. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam: Buku Ajar
Gastroenterologi-Hepatologi.UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI
2010. 201-214.
10. Loening-Baucke V., Pashankar D.S.: A randomized, prospective,
comparison study of polyethylene glycol 3350 without electrolytes and
milk of magnesia in children with constipation and fecal
incontinence. Pediatrics 2006; 118:528-535.
11. Benninga M.A., Taminiau J.A.J.M.: Diagnosis and treatment efficacy of
functional non-retentive fecal in childhood. J Pediatr Gastroenterol
Nutr 2001; 32(suppl 1):42-43.
Josef S.B. Tuda
KONAS VII PGHNAI 221 Manado, 17-19 Maret 2017
BLASTOCYSTIS HOMINIS YANG DIISOLASI DARI TINJA ANAK
DENGAN DIARE DI MANADO
Josef S. B. Tuda
Bagian Parasitologi Klinik FK Unsrat
Laboratorium Klinik Sentral RSUP Prof Dr.R.D. Kandou. Manado
Pendahuluan
Blastocystis hominis yang dikelompokkan dalam protozoa, akhir-akhir ini
mulai banyak diperhatikan karena dilaporkan berhubungan dengan
penyebab gangguan saluran pencernaan. Sejak awal ditemukan oleh
Alexeifff ( 1911 ), Brumpt ( 1912 ) yang diduga sebagai ―sel ragi‖ pada tinja
orang sakit maupun sehat, sehingga dipertanyakan apakah sebagai
komensal atau patogen, hingga tahun 1991 Zierdt menyatakan bahwa
organisme tersebut adalah suatu protozoa, tergolong sporozoa yang
menyebabkan penyakit pada manusia.
Gejala klinis blastosistosis yang dapat ditemukan berupa diare, nyeri
perut, muntah, penurunan berat badan. Pada tahun 1980-an B. hominis
mulai dilaporkan banyak ditemukan pada pemeriksaan tinja mikroskopis
penderita infeksi saluran cerna dengan gejala diare tanpa gangguan
imunitas dan dengan gangguan imunitas. Infeksi terjadi melalui faecal-oral
route dengan menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi
parasit. Kelainan saluran cerna terjadi karena invasi parasit pada epitel
mukosa dapat meluas hingga lamina propria. Invasi parasit menyebabkan
inflamasi, erosi dan ulserasi saluran cerna. Keadaan fisik, kandungan dan
warna tinja yang dihasilkan berhubungan dengan derajat dan lokasi
dimana proses infeksi pada saluran cerna terjadi.
Infeksi B. hominis pada anak banyak ditemukan di daerah tropis
khususnya di negara sedang berkembang termasuk Indonesia ( Hotez PJ,
2014 ) dengan infection rates 54%. Pada tahun 2000-an B. hominis mulai
ditemukan pada tinja anak yang diperiksa mikroskopis di Laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Secara makroskopis tinja positif B. hominis berupa tinja berdarah, tanpa
darah, berlendir, warna mulai dari kuning, hijau gelap, merah, hitam.
Josef S.B. Tuda
KONAS VII PGHNAI 222 Manado, 17-19 Maret 2017
Pada makalah ini akan dipaparkan B. hominis yang diisolasi dari tinja
dan spesimen klinis lainnya yang diperiksa di Laboratorium Parasitologi
Fakultas Kedokteran UNSRAT dan Rumah Sakit Prof R.D. Kandou,
Manado.
Data Blastocystis hominis
Tabel 1. Distribusi jumlah Blastocystis hominis pada pemeriksaan
tinja mikroskopis penderita anak diare
Jumlah
Blastocystis hominis
Jumlah
5 – 9 (per LP) 36
10 – 15 (per LP) 7
> 15 (per LP) 7
Jumlah 50
Data tahun 2004
Dari hasil diatas terlihat dengan kepadatan parasit 5 – 9 B. hominis per
lapang pandang mikroskop sudah menyebabkan terjadinya gejala diare.
Tan (2008) melaporkan kasus diare terjadi pada keadaan densitas parasit
lebih dari 5 parasit per lapang pandang mikroskop. Hammood (2016)
menemukan 33.7% kasus diare pada orang dewasa disebabkan oleh B.
hominis sebagai penyebab tunggal.
Tabel 2. Karakteristik penderita diare sebab Blastosistosis hominis
Karakteristik Jumlah
Jenis Kelamin
- Laki – laki
- Perempuan
26
24
Umur
- 1 bulan – 2 tahun
- > 2 – 5 tahun
- > 5 tahun
40
7
3
Data tahun 2004
Josef S.B. Tuda
KONAS VII PGHNAI 223 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 3. Karakteristik Blastocystis hominis pada pemeriksaan tinja
mikroskopis penderita anak diare tahun 2016
Karakteristik Jumlah
jenis kelamin
- laki – laki
- perempuan
umur
- 0 – 2 tahun
- 2 – 5 tahun
- 5 – 13 tahun
16
15
3
10
18
Pada tabel 2 dan 3 terlihat kasus blastosistosis pada anak kurang dari 5
tahun lebih banyak dibandingkan anak besar, hal tersebut dapat berkaitan
dengan jalan masuk parasit yang melalui mulut, dapat berhubungan
dengan keadaan hygiene penyediaan makanan dan minuman anak. Eassa
(2016) melakukan penelitian B. hominis pada kasus imunokompromais dan
imunokompeten dengan menggunakan jamban sebagai sarana
pembuangan tinja menemukan 65% anak dengan umur kurang 5 tahun
sampai kurang 15 tahun terinfeksi B. hominis.
Tabel 4. Karakteristik Tinja penderita blastosistosis anak penderita diare
tahun 2016
Karakteristik tinja Jumlah
Konsistensi : Cair
Warna
Coklat
Kuning
Hijau
Merah
Benzidine Test (+)
31
6
12
8
0
8
Josef S.B. Tuda
KONAS VII PGHNAI 224 Manado, 17-19 Maret 2017
Berdasarkan konsistensi dan warna tinja penderita blastosistosis pada
tabel 4, kemungkinan B. hominis hanya menginfeksi lapisan atas mukosa
saluran cerna, belum sampai ke lapisan submukosa yang terdapat
pembuluh darah, sehingga belum terjadi perubahan warna tinja walaupun
terdapat perdarahan mikro yang bisa disebabkan adanya erosi mukosa.
Gambar 1. Siklus hidup B. hominis
Josef S.B. Tuda
KONAS VII PGHNAI 225 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 2. Bentuk Vakuolar dan Granular B. hominis
Gambar 3. Bentuk Ameboid dan Kista B. hominis
Josef S.B. Tuda
KONAS VII PGHNAI 226 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 4. B. hominis dari abses hati
Gambar 5. Lapisan mukosa usus yang lepas dari usus
Josef S.B. Tuda
KONAS VII PGHNAI 227 Manado, 17-19 Maret 2017
‘
Gambar 6. Reaksi radang pada mukusa usus
Daftar Pustaka
1. Eassa SA, Ali HS, Masry SAE, El-Fattah AHA. Blastocystis hominis
among immunocompromised and immunocompetent children in
Alexandria, Egypt. Annals of Clinical and Laboratory Research. 2016.
4; 2 : 92
2. Hammood AM, Ahmed BA, Salman YJ. Blastocystis hominis detection
among gastrointestinal disorders patients in Kirkuk Province using
three different laboratory methods. Int Journal Curr Microbiol App Sci.
2016. 5(7): 883-901
3. Tan KS. New insights on classification, identification, and clinical
revelence of Blastocystis spp. Clin Microbiol Rev. 2008. 21:639-65
4. Zierdt CH. Blastocystis hominis – past and future. Clin Microbiol Rev.
1991. 4:61-79
Deddy Satriya Putra
KONAS VII PGHNAI 228 Manado, 17-19 Maret 2017
DETEKSI DINI NECROTIZING ENTEROCOLITIS
Deddy Satriya Putra
RSUD Arifin Achmad/FK UR Riau
Pendahuluan
Necrotizing Enterocolitis (NEC) adalah kejadian kegawatan saluran cerna
berat yang paling sering mengenai bayi baru lahir1 NEC sebagai penyebab
kematian terbesar kedua pada bayi prematur 2 Ketika bayi terkena NEC
saluran cernanya tidak akan berfungsi sehingga fungsi absorpsi tidak
terlaksana 3 Kondisi ini pertama kali dikenalkan oleh Paltauf tahun 1888,
tetapi istilah NEC dipakai pertama kali oleh Schmid dan Quaiser tahun
1953. Semenjak itu terjadi peningkatan kejadian dari NEC. Terdapat dua
faktor besar yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kejadian
NEC, pertama karena peningkatan kelahiran prematur secara seksio
karena alasan terapeutik , kedua karena kemajuan tehnologi perawatan
neonatal seperti perawatan intensive dan pemakaian surfactant sehingga
banyak bayi prematur yang selamat.4 Diagnosis dan deteksi dini diperlukan
untuk mencegah terjadinya NEC. Kejadian NEC bervariasi tidak hanya
antar negara tetapi juga antar perawatan neonatal pada negara yang
sama. Kejadian NEC bervariasi antara 0,3 - 2,4 bayi per 1000 kelahiran
hidup, dengan sebagian besar mengenai bayi lahir dengan kehamilan 36
minggu atau kurang.5
Definisi
NEC difesinisikan sebagai suatu kondisi yang ditandai dengan nekrosis
spontan dari segmen usus halus atau kolon dengan hasil akhir berupa
gejala sepsis, udara intramural dan perforasi dinding usus.6
Faktor Risiko
Banyak faktor risiko potensial yang telah di pelajari berhubungan dengan
penyebab NEC. Meskipun etiologi yang definitive masih terus diteliti secara
modern. Tidak ada satu faktor yang berdiri sendiri sebagai faktor yang
Deddy Satriya Putra
KONAS VII PGHNAI 229 Manado, 17-19 Maret 2017
dominan sebagai penyebab NEC. Sejauh ini beberapa factor yang telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko penyebab NEC (Tabel 1)
Tabel 1. Risk factors for necrotising enterocolitis.
Prematurity
Intrauterine growth restriction
Placental abruption
Premature rupture of membranes
Perinatal asphyxia Low Apgar score
Umbilical catheterisation Hypoxia and
shock
Patent ductus arteriosus Hypertonic
feeds Nonhuman milk formula
Rapid introduction of enteral feeds
Fluid overload Pathogenic bacteria
Polycythaemia Thrombocytosis
Anaemia
Exchange transfusion
Cyanotic congenital heart disease
Roberton’s Textbook of Neonatology
Berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur merupakan faktor
risiko mayor untuk terjadinya NEC . hampir 5 % kejadian NEC pada bayi
dengan berat badan sangat rendah dengan usia kehamilan sekitar 29
minggu dimana 65% terjadi pada berat badan lahir di bawah 1500gram dan
hanya 12% pada kelahiran aterm.4 Penelitian Wilson R menyatakan risiko
NEC berhubungan dengan usia kehamilan dan terjadi penurunan secara
tajam pada kehamilan 35-36 minggu hal ini mendukung bahwa maturasi
saluran cerna sebagai pelindung terjadinya NEC.7 Beberapa aspek dari
fungsi intestinal yang immature memberikan kontribusi terhadap risiko
NEC, berupa kecendrungan imflamasi dari usus yang immature, fungsi
barrier usus yang belum sempurna, dan ganguan pertahanan imun saluran
cerna.8
Infeksi nosokomial merupakan salah satu faktor risiko terjadinya NEC.
Deddy Satriya Putra
KONAS VII PGHNAI 230 Manado, 17-19 Maret 2017
Bayi lahir dengan berat badan amat sangat rendah (<1000grm) dengan
NEC biasanya kultur darah menunjukan sepsis sebelum terjadinya NEC
dibanding yang tidak mengalami NEC.9 Bayi yang menderita NEC didapati
sebelumnya mengalami bachterimia yang kemudian menjadi sepsis onset
lambat sebelum berkembang menjadi NEC dibanding bayi yang tidak
mengalami NEC.10
Bayi prematur dengan lahir dengan nilai apgar yang
rendah, penyakit membran hialin, berat badan lahir rendah dan kehamilan
kurang bulan sering berhubungan dengan kejadian NEC ketika terpapar
infeksi bahkteri yang berlanjut menjadi iskemia intestinal dan NEC,11
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) akan menurunkan kejadian NEC tujuh
kali lipat dibanding dengan pemberian susu formula.12
Mekanisme
terjadinya penurunan kejadian NEC karena faktor immunoproteksi dalam
ASI seperti Imunuglobulin A, Lysozim, faktor pertumbuhan epidermal dan
Laktoferin.12
Bayi prematur akan kekurangan lysozim sebagai antimikroba
sehingga pemberian ASI akan melindungi usus.13
Hal ini dapat
menjelaskan kenapa bayi dengan susu formula akan meningkatkan risiko
terkena NEC dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI atau ASI
donor.12
Abnormal mikrobiota intestinal, kurangnya microbiota yang
menguntungkan, rendahnya keragaman dari bachteria atau lebih besarnya
jumlah bachteri pathogen kesemua hal ini memberikan kontribusi atas
risiko terjadinya NEC.8 Bayi bayi yang mengalami NEC berdasarkan hasil
culture fases selama dua dekade memperlihatkan perbedaan bachteri 72
jam sebelum onset NEC, perubahan bachteri feces berupa peningkatan
enterobachter clocae dan e coli sejalan dengan penurunan bacteri
streptococcus faecalis dan staphylococcus spescies. Penelitian Heida H
Fardau memperlihatkan kejadian NEC berhubungan dengan C perfrigens
dan B Dorei pada meconium bayi prematur yang mempunyai risiko NEC.
Data ini mendukung bahwa keadaan selama hari pertama lahir atau
kejadian in utero dapat berhubungan dengan pembentukan mikrobiota
pada NEC. Pemeriksaan sampel feces setelah meconium memperlihatkan
peningkatan jumlah staphylococcus dan penurunan bifidobachteria tidak
berhubungan dengan insiden NEC.14
Apnu berulang, distres pernapasan, pemakaian ventilator, pemakaian
cateter umbilical memberikan kontribusi terhadap kejadian hypoxia pada
Deddy Satriya Putra
KONAS VII PGHNAI 231 Manado, 17-19 Maret 2017
minggu pertama kehidupan . Penelitian Palmer dan Thomas tahun 1987
telah mengidentifikasi hal-hal di atas sebagai faktor risiko NEC pada bayi
dengan berat lahir VLBW (< 1500gram). Pada bayi matur dengan NEC
faktor risiko terjadinya hypoxia usus sangat bervariasi. NEC mungkin
terjadi pada hypoxia umum yang berat pada ibu seperti penggunaan
cocaine, atau tranfusi tukar. Studi awal dari Goldberg dan Thomas pada 5
bayi aterm yang menderita NEC pada hari ke 5-7 kehidupan didapatkan
semua bayi menderita hypoxia berat selama awal kehidupan.4
Deteksi Dini
Pengenalan awal NEC bisa menurunkan angka kematian dan menghindari
berlanjutnya NEC menjadi stadium lebih berat. Secara klinis kita masih
memakai Bells staging untuk diagnosis dan prognosis NEC. Stage I atau
sangkaan NEC bisa dipakai untuk deteksi dini NEC secara klinis dan
radiologi dimana pada stadium ini ditemukan gejala klinis yang tidak khas
yang secara sistemik dapat ditemukan gejala berupa apnue, bradikardi,
letarghi, dan temperature yang tidak stabil , temuan pada sistem saluran
cerna dapat berupa intoleransi dalam pemberian minum, didapatkannya
residu gaster berulang, Pada pemeriksaan sampel fases ditemukan tes
darah samar yang positif. Pemeriksaan radiologi pada keadaan ini masih
normal atau tidak ada tanda spesifik karena belum mengalami NEC
ringan.15
Residu gaster berperan sebagai proteksi dan sebagai petanda dari
kematangan saluran cerna, residu gaster merupakan keadaan normal
dijumpai dalam 2 minggu pertama kehidupan bayi . Residu gaster kadang
bewarna hijau atau kuning, hal ini bukan merupakan tanda dari NEC atau
impending NEC kecuali terdapat gejala lain dari NEC, volume residu gaster
sangat dipengaruhi posisi tubuh dan akan ada sampai meconium hilang.16
Residu Gaster sebagai marker dari intoleransi pemberian minum dan
residu yang mengandung darah adalah sebagai petanda terbaik untuk
NEC . Untuk deteksi dini dari bayi lahir berat badan sangat rendah yang
punya risiko terhadap NEC dengan terdapatnya volume residu gaster dan
residu yang mengandung darah merupakan petanda awal yang relevan
terhadap terjadinya NEC.17
Penelitian toleransi minum pada bayi berhubungan dengan volume
residu gaster, warna residu gaster, pola feses, terdapatnya hematochezia,
Deddy Satriya Putra
KONAS VII PGHNAI 232 Manado, 17-19 Maret 2017
muntah , distensi dan ketegangan dinding perut.18
Lory Smith, Cohen, et
al. (2004) meneliti pengaruh posisi tubuh terhadap pengosongan dan
residu gaster. Hipotesa mengatakan posisi berbaring lateral kanan
mengasilkan lebih sedikit residu gaster dari pada posisi berbaring lateral
kiri. Bayi prematur yang dapat susu formula dengan suhu lebih dingin
secara significant mempunyai volume residu gaster lebih banyak dari bayi
prematur yang minum susu formula dengan suhu sesuai suhu tubuh. Dan
bayi prematur minum susu formula sesuai suhu ruangan secara significan
mempunyai volume residu gaster lebih banyak dibanding dengan bayi
premature yang minum susu formula sesuai suhu tubuh. Toleransi minum
didefinisikan apabila residu gaster kurang dari separuh jumlah total
minuman tanpa muntah, tidak ada distensi perut dan pola feses yang
normal. 19.
Toleransi minum pada bayi prematur juga diteliti oleh Dollberg, et al.
tahun 2000 dengan melakukan pemeriksaan pengaruh pemberian secara
bolus dan kontinu. Hasil penelitiannya memperlihatkan pada bayi lahir
dengan berat badan sangat rendah memiliki toleransi minum lebih baik
dengan pemberian secara bolus dibanding pemberian secara kontinu.20
Pengaruh ASI dan susu formula telah diteliti sebagai faktor yang
berpengaruh terhadap pengosongan gaster. Penelitian Ewer et al tahun
1994 bagaimanan ASI dan susu formula berbeda pengaruh terhadap
toleransi minum. Dengan pemberiam ASI terbukti pengosongan gaster
lebih cepat dari pemberian susu formula dan perbedaannya bermakna
secara statistik dengan (p<0.0001).21
Aly, et al. tahun 2006 pada penelitiannya sacara acak untuk menilai
efikasi eritomisin sebagai prokinetik untuk meningkatkan motilitas saluran
cerna pada bayi prematur dengan intoleransi minum. Eritromisin
berhubungan dengan beberapa episode residu gaster pada bayi kurang 32
minggu (p=0.03), tetapi tidak pada bayi lebih dari 32 minggu (p=0.77).
Penelitian ini membuktikan pemberian eritromisin meningkatkan
pengosongan gaster , menurunkan stasis gaster, dan penurunan kejadian
residu gaster pada bayi > 32 minggu.22
Residu gaster akan lebih penting bila terdapat tanda bahaya lain
seperti muntah hijau, perut tegang, kemerahan dinding perut, feses
berdarah, henti nafas, bradikardi, suhu tidak stabil dan penurunan bising
Deddy Satriya Putra
KONAS VII PGHNAI 233 Manado, 17-19 Maret 2017
usus. Ketika tanda tanda diatas bersamaan dengan residu gaster ,
pemeriksaan foto abdominal harus dilakukan untuk menyingkirkan NEC.19
Penutup
NEC merupakan penyakit yang disebabkan multifaktor sehingga tidak ada
satu pun tanda yang dapat dipakai sebagai pertanda awal sebelum
terjadinya NEC. Langkah awal yang dapat dipakai sebagai deteksi dini
NEC adalah menentukan apakah pasien memiliki factor risiko terhadap
kejadian NEC setelah itu sebagai klinisi tentunya gejala klinis yang kita
temukan dapat membantu kita untuk Deteksi dini NEC . Gejala klinis yang
paling berhubungan dengan kematangan saluran cerna adalah toleransi
minum yang dapat dinilai dari volume residu gaster atau aspirasi gaster
sebelum minum, akan menjadi penting bila terjadi bersamaan dengan
munculnya tanda tanda nekrosis usus.
Daftar Pustaka
1. Josef Neu MD Martha Doulas Escobar MD, Necrotizing Enterocolitis :
Pathogenesis, CLINICAL care and Prevention hal 281-289 in
Gastroenterology and Nutrition editor josef Neu Saunders 2008
2. World J Pediatr, Vol 12 No 2 . May 15, 2016 Yu Liu, Liang-Fu Jiang,
Rong-Peng Zhang, Wen-Tong Zhang Clinical signifi cance of FABP2
expression in newborns with necrotizing enterocolitis
3. Nationwide Children, Necrotizing Enterocolitis, in Helping Hand
Nationwide Children‘s Hospital 1991
4. Thomas Peter Fox and Charles Godavitarne What Really Causes
Necrotising Enterocolitis? International Scholarly Research Network
ISRN Gastroenterology Volume 2012 , tahun 2012
5. Douglas Drenckpohl, MS, et al, Risk Factors That May Predispose
Premature Infants to Increased incidence of Necrotizing Enterocolitis .
ICAN: Infant, Child, & Adolescent Nutrition Vol 2 no 1 tahun 2010.
6. John Meehan, Surgical Emergencies hal 314-315 dalam
Pediatricpractice Gastroenterology editor Warren P Bishop Mc Ggraw
Hill 2010.
7. Rickey Wilson, MD, et al , Risk Factors for Necrotizing Enterocolitis in
Infants Weighing More Than 2,000 Grams at Birth: A Case-Control
Study, PEDIATRICS Vol. 71 No. 1 January 1983
Deddy Satriya Putra
KONAS VII PGHNAI 234 Manado, 17-19 Maret 2017
8. Ravi Mangal Patel and Patricia W. Denning, Intestinal Microbiota and
Its Relationship with Necrotizing Enterocolitis Pediatr Res. 2015
September ; 78(3):
9. Salhab, W. A., Perlman, J. M., Silver, L., & Broyles, R. S. (2004).
Necrotizing enterocolitis and neurodevelopmental outcome in
extremely low birth weight infants <1000 grams. Journal of
Perinatology, 24(9), 534-540.
10. Stoll, B. J., Gordon, T., Korones, S. B., Shankaran, S., Tyson, J. E.,
Bauer, C. E., et al. (1996). Late-onset sepsis in very low birth weight
neonates: A report from the National Institute of Child Health and
Human Development Neonatal Research Network. Journal of
Pediatrics, 129(1),72-80.
11. Boccia, D., Stolfi, I., Lana, S., & Moro, M. L. (2001). Nosocomial
necrotizing enterocolitis outbreaks: epidemiology and control
measures. European Journal of Pediatrics, 160, 385-391.
12. Chauhan, M., Henderson, G., & McGuire W. (2007). Enteral feeding for
very low birth weight infants: reducing the risk of necrotising
enterocolitis. Archives of Disease in Childhood-Fetal and Neonatal
Edition, 93, F162-F166.
13. Noerr, B. (2003). Part 1. Controversies in the Understanding of
Necrotizing Enterocolitis , Advances in Neonatal Care, 3(3), 107-120
14. Fardou H. Heida,1,2 Anne G. J. F. van Necrotizing Enterocolitis
Associated Gut Microbiota Is Present in the Meconium: Results of a
Prospective Study A NEC-Associated Microbiota • CID 2016:62
15. Gomella TL, Necrotizing enterocolitis and spntaneous Intestinal
Perforation hal 482-87, dalam Neonatology management, Procedures,
on Call Problem, Diseases and drugs editor Tricia Lacy Gomella edisi5
Mc Graw Hill 2007
16. David H Adamkin Measuring Gastric Residuals in VLBW Infants, Why?
24th Annual Middlesborough Neonatal Conference Middlesborough
UK June 2016
17. Enrico Bertino, et al Necrotizing Enterocolitis: Risk Factor Analysis and
Role of Gastric Residuals in Very Low Birth Weight Infants. JPGN
48:437442, 2009.
18. Gomella, T. L., Cunningham, M. D., & Eyal, F. G. Neonatology:
Deddy Satriya Putra
KONAS VII PGHNAI 235 Manado, 17-19 Maret 2017
Management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. New
York: McGraw-Hill Medical. 2009
19. Lori Smith, Gastric Residuals in Neonates: Evidence-Based Practice
Approach gastric residuals or pre-feeding aspirates. St. Catherine
University 2004
20. Dollberg, S., Kuint, J., Mazkereth, R., & Mimouni, F. B. Feeding
tolerance in preterm infants: Randomized trial of bolus and continuous
feeding. Journal of the American College of Nutrition, 19(6) (2000),
797-800.
21. Ewer, A. K., Durbin, G. M., Morgan, M. E., & Booth, I. W. (1994).
Gastric emptying in preterm infants. Archives of Disease in
Childhood.Fetal and Neonatal Edition, 71(1), F24-F27.
22. Aly, H., Abdel-Hady, H., Khashaba, M., & El-Badry, N. Erythromycin
and feeding intolerance in premature infants: A randomized trial.
Journal of Perinatology: Official Journal of the California Perinatal
Association, 27(1),(2007)39-43.
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 236 Manado, 17-19 Maret 2017
APENDISITIS
Ishak Lahunduitan
Bagian Ilmu Bedah
FK Unsrat / RSUP Prof Dr.R.D. Kandou Manado
Pendahuluan
Pada tahun 1886, Fitz memperkenalkan istilah apendisitis. Morton
menerima penghargaan setelah ia sukses melakukan apendektomi
pertama kalinya di Amerika Serikat, pada tahun 1887. Pada tahun 1889,
McBurney melaporkan penanganannya terhadap apendisitis dengan cara
apendektomi sebelum ruptur. Penanganan bedah modern dan terapi
antibiotik telah mengubah penyakit yang pernah dikenal mematikan ini,
menjadi jarang membahayakan pada saat ini. Apendisitis masih menjadi
kondisi akut abdomen yang paling banyak ditemukan pada saat ini, banyak
aspek perawatan apendisitis masih tetap menimbulkan kontroversi.
Embriologi dan Anatomi
Selama embriogenesis, apendiks pertama kali tampak pada minggu ke
delapan usia gestasi sebagai suatu lanjutan ujung inferior sekum. Apendiks
akan berotasi ke posisi akhirnya di bagian posteromedial sekum, sekitar 2
cm di bawah katup ileosekal, selama masa kanak-kanak akhir. Variabilitas
pada rotasi ini menentukan berbagai posisi akhir apendiks. Apendiks
banyak berlokasi di intraperitoneal pada 95% kasus, tetapi lokasi yang
tepat sangat bervariasi. Pada 30% kasus ujung apendiks berada di pelvis,
65% berada di belakang sekum, dan 5% berada diekstraperitoneal pada
posisi retrokolon atau retrosekum. Pada kasus malrotasi atau situs
inversus, apendiks yang mengalami malposisi menimbulkan tanda-tanda
inflamasi pada lokasi yang tidak umum.
Apendiks memiliki panjang rata-rata 8 cm tetapi dapat bervariasi dari
0,3 hingga 33 cm. diameter apendiks berkisar antara 5 hingga 10 cm.
pasokan darah nya berasal dari cabang apendiks pada arteri ileokolik,
yang melewati belakang ileum terminal. Basis apendiks dimulai dari
hubungan tiga tinea coli, landmark/patokan penting dalam melokalisir
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 237 Manado, 17-19 Maret 2017
posisi apendiks yang sukar. Lapisan epitel kolon dan lapisan otot sirkuler
maupun longitudinalnya masih bersambungan dengan lapisan sekum.
Beberapa folikel limfe submukosa tampak pada saat lahir. Hal ini
meningkat, diperkirakan sekitar 200 pada saat usia 12 tahun dan
berkurang tajam setelah umur 30 tahun.
Fungsi apendiks masih belum diketahui. Primata mempunyai
apendiks, tetapi banyak mamalia tidak memilikinya. Menariknya, kelinci
mempunyai apendiks dan dipercaya merupakan tempat penting untuk
perkembangan sel-sel B.
Spektrum Penyakit
Variasi geografis pada insiden apendisitis cukup luas. Apendisitis
lebih jarang dijumpai pada negara-negara industri. Selama lebih dari
beberapa dekade, insiden apendisitis di seluruh dunia telah mengalami
penurunan yang signifikan. Di Amerika Serikat, lebih dari 70,000 anak
didiagnosis apendisitis setiap tahunnya, atau sekitar 1 per 1000 anak per
tahun. Resiko seumur hidup untuk terkena apendisitis ialah 9% bagi pria
dan 7% bagi wanita. Sekitar sepertiga pasien apendisitis berusia lebih
muda dari 18 tahun. Apendisitis lebih sering dijumpai pada orang berkulit
putih dan selama musim panas. Puncak insiden terjadi di antara usia 11
dan 12 tahun. Walaupun penyakit ini jarang dijumpai pada bayi, perforasi
apendisitis bisa saja terjadi bahkan pada bayi prematur. Perforasi bisa
merupakan hasil akhir dari proses penyakit lainnya, seperti yang terlihat
pada neonati dengan penyakit Hirschsprung. Meskipun diagnosis dan
penanganan telah mengalami kemajuan, apendisitis terus menimbulkan
morbiditas yang signifikan dan masih menjadi, meski jarang, penyebab
kematian.
Banyak istilah telah digunakan untuk mendeskripsikan berbagai tahap
apendisitis termasuk apendisitis akut, apendisitis supuratif, apendisitis
gangrenous, dan apendisitis perforasi. Umumnya, apendisitis akut dan
apendisitis supuratif cenderung memiliki perjalanan klinis yang sederhana,
sedangkan apendisitis gangrenous dan apendisitis perforasi cenderung
mengalami perjalanan dengan berbagai komplikasi.
Penyebab apendisitis kronis dan apendisitis yang rekuren masih
menjadi perdebatan hingga saat ini. Literatur menyatakan bahwa penyebab
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 238 Manado, 17-19 Maret 2017
keduanya ada dan hendaknya dipertimbangkan dalam diagnosis banding
untuk nyeri abdomen bawah yang berulang/rekuren. Inflamasi pada
apendiks tidak selalu berakhir dengan perforasi karena biasanya
mengalami resolusi spontan. Antibiotik menolong pula dalam resolusi
inflamasi tersebut. Pengenalan akan hal ini bisa berkontribusi dalam
menurunkan jumlah apendektomi.
Gambaran Klinis
Pengajaran tradisional ialah bahwa apendisitis terjadi sebagai suatu
lanjutan dari inflamasi sederhana hingga perforasi khususnya terjadi
setelah 24 hingga 36 jam dari gejala pertama yang timbul, dan selanjutnya
pembentukan abses yang terjadi setelah periode 2 hingga 3 hari. Akan
tetapi, variabilitas gambaran klinis apendisitis yang berujung pada
laparotomi tidak menunjukkan adanya apendiks yang mengalami
inflamasi.
Apendisitis terjadi karena obstruksi lumen yang diikuti oleh infeksi.
Proses ini pertama kali dideskripsikan oleh van Zwalenberg pada tahun
1905 dan dikonfirmasi melalui eksperimen oleh Wangensteen pada tahun
1939. Wangensteen memperlihatkan bahwa apendiks manusia terus
mensekresi mukus bahkan ketika tekanan intralumen melebihi 93 mmHg.
Meskipun jelas bahwa obstruksi lumen menimbulkan apendisitis, penyebab
obstruksi tidak selalu jelas. Inspisasi dan kadang-kadang material feses
yang mengalami kalsifikasi yang disebut dengan fecalith, seringkali
berperan. Fecalith bisa ditemukan dengan pembedahan pada sekitar 20%
anak-anak yang menderita apendisitis perforasi. Keberadaan fecalith bisa
didokumentasikan melalui pemeriksaan radiografi. Hyperplasia folikel-
folikel limfe apendiks sering menimbulkan obstruksi lumen, dan insiden
apendisitis paralel dengan jumlah jaringan limef yang ada. Penyebab
reaksi lokal atau general/umum jaringan limfe seperti Yersinia, Salmonella,
dan Shigella bisa mengarah pada obstruksi lumen apendiks, begitu pula
dengan infestasi parasit oleh Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma atau spesies Ascaris. Infeksi enterik dan viral
sistemik seperti measles/campak, cacar air, dan cytomegalovirus bisa juga
menimbulkan apendisitis. Pasien-pasien dengan kistik fibrosis
menunjukkan peningkatan insiden apendisitis, yang diasumsikan berasal
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 239 Manado, 17-19 Maret 2017
dari perubahan pada kelenjar pensekresi mukus. Tumor-tumor karsinoid
bisa menyumbat apendiks, terutama jika mereka berlokasi di sepertiga
proksimal. Benda asing seperti peniti, bibit tanaman, dan batu ceri telah
dikenal sebagai penyebab apendisitis selama lebih dari 200 tahun. Trauma
juga telah dilaporkan sebagai penyebab, begitu pula dengan stress
psikologis dan keturunan.
Pada mulanya, pasien mendeskripsikan gejala gastrointestinal ringan
sebelum onset nyeri (misalnya berkurangnya nafsu makan, indigesti, atau
perubahan pola defekasi). Anoreksia merupakan tanda yang membantu,
terutama pada anak-anak, karena anak yang lapar jarang mengalami
apendisitis. Setiap simptom gastrointestinal berat apa pun sebelum onset
nyeri hendaknya mengarahkan pada diagnosis alternatif lain. Distensi pada
apendiks menyebabkan aktivasi serat-serat nyeri viseralnya. Nyeri visceral
awal yang khas ialah nyeri nonspesifik pada area periumbilikus. Nyeri
awal yang sukar dilokalisir ini dideskripsikan sebagai nyeri tumpul, dalam
pada area dermatome T-10. Distensi yang terus berlanjut pada dinding
apendiks akan menimbulkan nausea (mual) dan muntah, tipikalnya
mengikuti onset nyeri dalam waktu beberapa jam. Nausea umum dijumpai,
tetapi muntah tipikalnya tidak parah. Adanya simptom ini sebelum onset
nyeri menimbulkan keraguan pada diagnosis.
Apendiks yang mengalami obstruksi amat sempurna untuk tempat
pertumbuhan bakteria. Seiring peningkatan tekanan intraluminal, drainase
limfatik akan terhambat, menyebabkan edema yang lebih parah dan
bengkak. Akhirnya, peningkatan tekanan akan menyebabkan obstruksi
vena, yang akan mengarah pada iskemi jaringan, infark dan gangren.
Invasi bakteri pada dinding apendiks akan terjadi. Demam, takikardi, dan
leukositosis terjadi sebagai hasil dari pelepasan mediator oleh jaringan
iskemi, sel-sel darah putih dan bakteri. Ketika eksudat inflamasi dari
dinding apendiks bersentuhan dengan peritoneum parietal, serat-serat
nyeri somatik akan teraktivasi dan nyeri akan berlokasi di dekat tempat
apendiks khususnya pada titik McBurney. Nyeri kadang-kadang terjadi
hanya di kuadran kanan bawah tanpa adanya komponen visceral awal.
Pada apendiks yang berada di pelvis atau di retrosekal, nyeri somatik
tersebut seringkali tertunda karena eksudat inflamasi tidak bersentuhan
dengan peritoneum parietal sebelum terjadi ruptur dan penyebaran infeksi.
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 240 Manado, 17-19 Maret 2017
Nyeri apendiks retrosekal bisa berada di pinggang atau di punggung.
Appendiks pelvis dekat ureter atau pembuluh darah testis, akan
menimbulkan frekuensi urin, nyeri testikular atau keduanya. Inflamasi pada
ureter atau kandung kemih oleh apendiks yang meradang bisa pula
menyebabkan nyeri pada saat mikturisi atau nyeri tipuan seperti pada saat
distensi kandung kemih akibat retensi urin.
Kerusakan selanjutnya pada dinding apendiks akan menyebabkan
perforasi dengan penyebaran konten infeksi intraluminal dengan
pembentukan abses terlokalisir atau peritonitis general/umum. Proses ini
bergantung pada kecepatan progresi menuju perforasi dan pada
kemampuan pasien dalam berespon terhadap konten apendiks. Tanda-
tanda apendisitis perforasi ialah temperatur lebih dari 38.60C, hitung
leukosit lebih dari 14,000, dan adanya tanda-tanda peritonitis umum.
Faktor-faktor resiko lain yang dilaporkan meliputi jenis kelamin laki-laki,
umur yang ekstrim, dan faktor anatomis sepeti posisi apendiks di
retrosekal. Akan tetapi, apendisitis perforasi dan non-perforasi bisa
merupakan entitas yang terpisah. Resolusi spontan apendisitis biasa
terjadi. Pasien bisa asimptomatik sebelum perforasi, dan gejala akan
muncul hingga lebih dari 48 jam tanpa perforasi. Pada umumnya durasi
simptom yang lebih lama sering berhubungan dengan resiko tinggi
perforasi. Konstipasi jarang dijumpai, tapi sensasi rektum penuh atau
tenesmus sering terjadi. Diare terjadi lebih sering pada anak-anak
dibanding pada orang dewasa dan dapat menimbulkan misdiagnosis
gastroenteritis. Diare khususnya berdurasi pendek dan sering terjadi akibat
iritasi ileum terminal atau sekum; akan tetapi, ini bisa mengindikasikan
abses pelvis.
Anak-anak yang lebih muda khususnya mengalami apendisitis
dengan komplikasi karena ketidakmampuan mereka untuk memberikan
riwayat yang akurat dan indeks dugaan klinisi yang rendah seringkali
mengarah ke misdiagnosis (diagnosis yang keliru). Simptom yang paling
sering pada anak-anak masa sekolah ialah muntah, diikuti oleh demam
dan nyeri abdomen. Perforasi hampir selalu ditemukan pada laparotomi,
dan pada anak-anak ini berhubungan dengan obstruksi usus halus akibat
inflamasi ekstensif pada ileum terminal dan sekum.
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 241 Manado, 17-19 Maret 2017
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Seperti pada banyak proses penyakit lain, banyak yang bisa dipelajari
sebelum pasien disentuh. Anak-anak dengan apendisitis biasanya
terbaring di tempat tidur dengan pergerakan yang minim. Anak yang
mengeliat, berteriak amat jarang mengalami apendisitis. Pengecualian
ialah pada anak-anak dengan apendisitis retrosekal dan iritasi lanjut di
ureter yang menunjukkan nyeri yang sama dengan nyeri kolik ginjal. Anak-
anak yang lebih tua bisa berjalan pincang atau memfleksikan tungkai
kanan mendekati abdomen. Nyeri terlokalisir yang terinduksi berulangkali
pada saat melewati gundukan di jalan pada saat transportasi ke rumah
sakit juga amat membantu.
Sebelum memulai palpasi abdomen, penting untuk meminta anak
menunjuk dengan satu jari lokasi nyeri abdomennya. Dengan lutut yang
dilipat untuk merelaksasi otot-otot abdomen, palpasi lembut pada abdomen
hendaknya dimulai pada titik yang jauh dari lokasi nyeri. Palpasi abdomen
pada area yang jauh dari tempat nyeri bisa menimbulkan nyeri pada
kuadran kanan abwah (tanda Rovsing; nyeri rujukan), mengindikasi adanya
iritasi peritoneum. Anak-anak yang lebih muda akan lebih bekerja sama
jika tangan mereka atau stetoskop yang dipakai untuk melakukan palpasi.
Stetoskop berperan pada evaluasi pasien yang berpotensi menderita
apendisitis, yang kurang penting ialah auskultasi. Meskipun pasien
seringkali menunjukkan bising usus yang berkurang atau tidak ada, hal ini
tidak seragam dan auskultasi abdomen hanya memberi keuntungan kecil.
Akan tetapi, auskultasi dada untuk memeriksa infeksi saluran nafas bawah
amat bermanfaat karena pneumonia lobus kanan bawah bisa menyerupai
apendisitis. Hiperestesia kutaneus, suatu sensasi yang berasal dari akar
saraf T10 hingga L1, sering merupakan tanda apendisitis yang tidak
konsisten. Sentuhan ringan pada pasien dengan stetoskop bisa
menimbulkan sensasi tersebut.
Nyeri terlokalisir amat penting untuk diagnosis dan tampak pada saat
melakukan palpasi atau perkusi. Nyeri bisa ringan dan bahkan ditutupi oleh
nyeri abdomen yang lebih umum, terutama pada tahap awal. Titik
McBurney merupakan lokasi yang paling sering. Apendisitis retrosekal bisa
terdeteksi oleh nyeri di antara iga ke duabelas dan spina iliaka posterior
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 242 Manado, 17-19 Maret 2017
superior. Apendisits pelvis menimbulkan nyeri rektum. Seorang anak
dengan malrotasi akan mengalami nyeri terlokalisir yang berespon terhdap
posisi drainase eksudatif dari apendiks yang meradang.
Seiring penyakit menuju ke perforasi, terjadilah peritonitis. Pola nyeri
bergantung pada lokasi apendiks. Perforasi bisa terjadi pada saat
pemulihan symptom temporer karena nyeri dari viskus yang berdistensi
hilang sejenak. Awalnya, peritonitis terlihat sebagai rigiditas otot lokal. Hal
ini akan berlanjut dari kekakuan involunter/rigiditas sederhana menuju ke
rigiditas umum pada abdomen. Tanda lainnya meliputi rigiditas otot Psoas
(didemostrasikan dengan cara mengekstensikan panggul kanan atau
mengangkat tungkai bawah secara lurus melawan tahanan) atau pada otot
obturator (didemonstrasikan dengan cara rotasi internal pasif paha kanan),
keduanya mengindikasikan adanya iritasi pada otot-otot tersebut akibat
apendisitis retrosekal. Tes lainnya untuk inflamasi peritoneum seperti nyeri
pantul (rebound) jarang diperlukan untuk diagnosis dan malah
menyebabkan nyeri yang tidak diperlukan.
Pemeriksaan rektal rutin pada diagnosis apendisitis telah
dipertanyakan pada akhir-akhir ini. Nyeri selama pemeriksaan ini tidak
spesifik untuk apendisitis. Jika tanda lain mengarah pada apendisitis,
pemeriksaan rectum tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, bisa bermanfaat
untuk maneuver diagnostik pada kasus-kasus yang masih dipertanyakan
seperti pada dugaan apendiks pelvis atau abses atau ketika kondisi
patologik uterin atau adneksa sedang dipertimbangkan.
Jika apendisitis dibiarkan berlanjut, maka ada dua hasil yang
mungkin terjadi: (1) peritonitis difus dan syok akan terjadi atau (2) infeksi
akan terisolasi dan terbentuk abses. Peritonitis difus lebih banyak dijumpai
pada bayi, mungkin karena tidak adanya lemak omentum. Anak-anak yang
lebih tua dan remaja lebih mungkin mengalami pembentukan abses.
Pemeriksaan fisik pada kasus pembentukan abses akan menunjukkan
massa nyeri, boggy di area abses.
Pemeriksaan Laboratorium
Banyak yang telah didiskusikan mengenai temuan laboratorium apendisitis.
Hitung leukosit total dan neutrophil telah diperiksa dengan ekstensif.
Sensitivitas dari peningkatan hitung leukosit berkisar dari 52% hingga 96%
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 243 Manado, 17-19 Maret 2017
dan pergeseran kekiri hitung neutrophil berkisar dari 39% hingga 96%.
Yang disebut terkahir memiliki nilai diagnostik yang lebih baik tapi
misinterprestasi nilai-nilai ini masih sering dijumpai. Hitung leukosit yang
normal terjadi pada 5% pasien apendisitis. Spesifisitas dan sensitivitas
yang lebih besar telah dilaporkan dengan menggunakan rasio neutrophil-
limfosit lebih dari 3,5.
Pada mayoritas anak dengan dugaan apendisitis, kombinasi dari
riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium memberikan data
yang cukup untuk membuat diagnosis. Akan tetapi, misdiagnosis
mengarah pada negative apendektomi berkisar dari 10% hingga 30% yang
telah dilaporkan. Skor apendisitis berdasarkan pada delapan faktor klinis
(nyeri kuadran kanan bawah yang terlokalisir, leukositosis, nyeri berpindah,
left shift, mual muntah, anoreksia, iritasi perioneum) telah diajukan untuk
meningkatkan keakuratan diagnsotik. Pada evaluasi prospektif anak-anak
dengan nyeri abdomen akut, sensitivitas sistem skoring berkisar dari 76%
hingga 100% dan spesifisitasnya berkisar dari 79% hingga 87%. Pada
kasus-kasus dimana diagnosis masih ekuivokal, observasi serial
diharuskan dan pencitraan dapat bermanfaat.
Studi Pencitraan
Radiografi barium enema dengan kontras bisa menunjukkan tidak adanya
atau pengisian inkomplit pada apendiks, iregularitas lumen apendiks dan
efek massa ekstrinsik pada sekum atau ileum terminal. Sensitivitas dan
spesifisitas teknik ini rendah, dan paling baik jika digunakan untuk
mendiagnosis nyeri abdomen yang tidak spesifik.
Pada tangan yang terampil, ultrasonografi telah terbukti merupakan
alat bantu diaagnostik yang efektif. Studi prospektif menunjukkan bahwa
ultrasonografi lebih akurat daripada kesan klinis awal ahli bedah. Banyak
penelitian yang mendemonstrasikan sensitivitas yang melebihi 85% dan
spesifisitas lebih dari 90%.
Computed tomography (CT) telah digunakan secara luas dalam
mendiagnosis apendisitis. Penemuan apendiks yang membesar (>6mm),
penebalan dinding apendiks (>1mm), fat stranding periapendiks, dan
kejelasan dinding apendiks merupakan kriteria diagnostik yang berguna.
Sensitivitas CT scan lebih dari 90% dan spesifisitasnya lebih dari 80%.
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 244 Manado, 17-19 Maret 2017
Perbandingan ultrasonografi dengan CT scan menunjukkan bahwa yang
terakhir lebih sensitive, sedang yang pertama lebih spesifik. Kedua
pencitraan ini, hendaknya diterapkan hanya jika diagnosis masih belum
jelas.
Diagnosis Banding
Appendiks
Tumor apendiks
Tumor karsinoid
Appendiceal muccocele
Penyakit Crohn
Sekum & Kolon
Karsinoma sekum
Divertikulitis
Penyakit chron
Obstruksi intestinal
Ulcer sterkoral
Typhlitis
(leukemik,amebik)
Hepatobilier
Kolesistitis
Hepatitis
Kolangitis
Usus halus
Adenitis
Ulcer doudenum
Gastroenteritis
Obstruksi intestinal
Intususepsi
Divertikulitis Meckel
Tuberkulosis
Typhoid (perforasi ulcer)
Traktus Urinari
Hidronefrosis
Pyelonefritis
Kalkulus renal atau
ureteral
Tumor Wilms
Uterus, ovarium
Kehamilan ektopik
Torsi ovarium
Ruptur kista ovarium
Salpingitis
Abses tubo-ovarium
Lain-lain
Infeksi citomegalovirus
Ketoasidosis diabetik
Henoch-schonlein
purpura
Penyakit Kawasaki
Limfoma Burkitt
Torsi omentum
Hematoma
pembungkus rektus
Pankreatitis
Infeksi parasit
Pleuritis
Pneumonia
Porfiria
Abses Psoas
Penyakit Sickle cell
Torsi apendiks
apiploica
Tumor-tumor karsinoid terdapat pada kurang dari 1% pasien yang
menjalani apendektomi. Sebagian besar tumor karsinoid apendiks
kekurangan sel-sel yang mengandung serotonin khususnya untuk tumor
karsinoid midgut, sehingga jarang simptomatik dan ditemukan secara
kebetulan pada saat apendektomi. Sebagian besar jinak dan apendektomi
sederhana merupakan terapi kuratif. Kontroversi terjadi pada penanganan
bedah tumor karsinoid yang ganas. Konsensusnya ialah bahwa tumor
karsinoid yang berdiameter lebih dari 2 cm, telah bermetastasis dan
berlokasi pada basis apendiks memerlukan hemikolektomi kanan,
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 245 Manado, 17-19 Maret 2017
sedangkan yang berdiameter kurang dari 1 cm dan tidak bermetastasis
pada saat diagnosis ditangani dengan apendektomi saja. Penanganan
tumor berdiameter 1 hingga 2 cm masih tetap kontroversial. Moertel
percaya bahwa prosedur bedah konservatif diperlukan terlepas dari ukuran
atau lokasi tumor selama belum bermetastasis.
Penanganan
Meskipun kesepakatan umum bahwa penanganan untuk apendisitis adalah
apendektomi, detail penanganan masih bervariasi. Sebagai contoh, teknik
pembedahan seperti pendekatan laparoskopik, penggunaan drain,
keperluan untuk irigasi peritoneum, penggunaan appendiceal stump, dan
penutupan insisi masih terus diperdebatkan. Keperluan untuk interval
apendektomi setelah penanganan nonoperasi pada awalnya masih belum
jelas. Pilihan antibiotik dan lama penggunaannya masih bervariasi dari
seorang ahli bedah ke ahli bedah lainnya.
Antibiotik
Regimen terbaik dan durasi antibiotik merupakan subyek kontroversi yang
masih berlanjut. Penggunaan 10 hari ampisilin, gentamisin dan klindamisin
atau metronidazole merupakan patokan standar untuk penanganan
apendisitis berkomplikasi, dan kefektifan kombinasi antibiotik lain biasanya
diukur melawan regimen empirik tersebut. Akhir-akhir ini, telah
diperlihatkan bahwa antibiotik spektrum luas tunggal atau ganda masing-
masing sama efektifnya untuk penanganan apendisitis berkomplikasi.
Ada kecenderungan untuk menurunkan durasi terapi antibiotik. Hanya
antibiotik perioperatif yang dibutuhkan untuk apendisitis sederhana. Durasi
yang direkomendasikan ialah dari terapi antibiotik dosis tunggal, preoperatif
hingga 24 jam paska operasi untuk apendisitis sederhana. Untuk
apendisitis komplikasi, studi akhir-akhir ini menyarankan bahwa sekurang-
kurangnya 48 jam sudah adekuat. Lainnya menyarankan bahwa
penanganan diteruskan sesuai indikasi klinis dengan menggunakan hitung
leukosit dan demam sebagai petunjuk. Ada pula kecenderungan untuk
menggunakan antibiotik oral daripada antibiotik intravena jika fungsi
gastrointestinal sudah kembali. Penelitian prospektif, randomisasi
memperlihatkan ekuivalensi antara 10 hari durasi antibiotic intravena
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 246 Manado, 17-19 Maret 2017
dengan 10 hari kombinasi antibiotic oral dan intravena untuk apendisitis
komplikasi.
Appendektomi
Tidak ada peningkatan tingkat komplikasi di antara kelompok pasien yang
didiagnosis dengan apendisitis akut dan perforasi dalam waktu 6 jam
setelah masuk rumah sakit dengan mereka yang ditunda 6 hingga 18 jam
setelah masuk rumah sakit. Akan tetapi, mayoritas ahli bedah anak akan
melakukan apendektomi dalam waktu 8 jam.
Pada teknik terbuka, insisi kuadran kanan bawah secara transversal
atau oblik dibuat melalui titik McBurney (gambar 100-1). Otot-otot dinding
abdomen biasanya dipisahkan. Setelah abdomen dapat dimasuki, sekum
dan apendiks dimobilisir dan apendiks dikeluarkan melalui insisi.
Mesoapendiks kemudian dibagi dan basis apendiks diligasi. Basis yang
pendek ditinggalkan untuk menghindari inflamasi pada stump. Stump ini
ditangani dengan cara ligasi sederhana, ligasi dengan inversi yang
menggunakan jahitan purse-string atau Z-stich, atau inversi tanpa ligasi.
Ligasi sederhana bisa dilakukan dengan cepat dan bisa mengurangi
adhesi. Inversi secara teori akan memberi pengontrolan perdarahan yang
lebih baik, penutupan yang lebih aman, dan kurangnya kemungkinan
kontaminasi; akan tetapi, bisa menimbulkan artefak pada pemeriksaan
kontras di kemudian hari dan bisa pula menyebabkan intususepsi. Untuk
apendisitis sederhana, irigasi luka tidak diperlukan. Luka ditutup menurut
lapisan, dan tidak diperlukan drainase. Diet normal bisa dimulai sesegera
mungkin setelah apendektomi, dan pasien bisa dipulangkan dalam waktu 1
hingga 2 hari. Jika ditemukan normal apendiks, kavitas peritoneum perlu
diinspeksi untuk penyakit inflamasi usus, adenitis mesenterium,
diverticulitis Meckel atau kondisi patologi ovarium pada wanita.
Apendektomi―Endoscopic‖ pertama kali dideskirpsikan pada tahun
1983. Apendektomi laparoskopik bisa dilakukan dengan teknik
laparoscopic-assisted dimana apendiks dimobilisir secara laparoskopik
dengan menggunakan satu atau dua port dan ditarik keluar melalui
pembukaan kecil abdomen dan dikeluarkan dengan standar teknik terbuka.
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 247 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 1. A, insisi transversal dibuat pada kuadran kanan bawah di sepanjang otot lateral. B,
fasia oblik eksternal diinsisi memaparkan fasia oblik internal dan ototnya. C, otot abdomen
tranversal dan peritoneum dibuka, dan sekum didentifikasi. D, apendiks yang meradang
diidentifikasi, dan mesoapendiks diisolir, diklem, dibagi dan diikat. E, jahitan purse-string
ditempatkan pada dinding sekum. F, basis apendiks dihancurkan dan diikat, dan apendiks
dieksisi. G, stump/tunggul apendiks diinversikan masuk ke dinding sekum, dan jahitan purse-
string diikat.
Gambar 2 A, tiga port diletakkan untuk apendektomi laparoskopik. Port umbilikus berukuran
12 mm untuk mengakomodasi stapler endoskopik. Dua port lainnya berukuran 3 atau 5 mm
untuk instrumen diseksi/pemotongan. B, apendiks diangkat keluar dengan menggunakan
pemegang yang ditempatkan pada mesoapendiks, dan sebuah jendela dibuat pada basis
mesoapendiks dengan menggunakan disektor. Mesopendiks dibagi dengan menggunakan
kauter elektrik atau skalpel harmoni. C, scope dipindahkan ke port kuadran kiri bawah untuk
memungkinkan stapler endoskopi memasuki port umbilikus untuk membagi apendiks.
Penanganan pasien dengan apendisitis komplikasi lebih kontroversial.
Oleh karena aspek sosial, budaya , ekonomi dan pengaruh medis pada
diagnosis dan penanganan penyakit ini, tingkat perforasi bervariasi dari
16% hingga 57% pada institusi yang berbeda. Belum ada konsensus
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 248 Manado, 17-19 Maret 2017
mengenai penanganan yang optimal pada pasien yang menderita
apendisitis komplikasi. Banyak opini bervariasi dari penanganan
nonoperatif hingga reseksi bedah agresif dengan irigasi antibiotik, drainase
kavitas peritoneum, dan penutupan luka yang ditunda. Weiner melaporkan
tidak ada perbedaan yang signifikan pada jumlah hari perawatan di rumah
sakit, biaya perawatan, atau tingkat komplikasi dengan menggunakan
penanganan nonoperatif pada awalnya yang dikuti oleh interval
apendektomi dalam waktu 8 minggu. Terapi operatif tetap merupakan
pendekatan standar karena kesulitan dalam menentukan apakah perforasi
telah terjadi sebelum eksplorasi.
Prosedur operasi untuk apendisitis berkomplikasi adalah
apendektomi. Kontroversi berlanjut mengenai detail prosedurnya: apakah
melakukan drainase kavitas peritoneum, apakah perlu menutup luka atau
meninggalkannya terbuka dengan penutupan tertunda, apakah perlu
mengirigasi kavitas peritoneum, dan, jika demikian, apakah perlu
menggunakan larutan antibiotik. Drainase telah dilaporkan bisa
meningkatkan komplikasi infeksius dan bisa pula mencegahnya. Banyak
penelitian tidak menyokong penggunaan drainase, dengan kemungkinan
pengecualian terhadap abses retrosekal yang tidak dapat dibersihkan
dengan baik. Penutupan luka tertunda tidak didukung oleh literatur, dan
tampaknya tidak bisa dijamin karena tingkat infeksi luka yang
berhubungan dengan apendektomi kira-kira kurang dari 3%. Irigasi masih
menjadi kontroversi. Putnam, Gagliano, dan Emmons menyarankan bahwa
irigasi memperpanjang ileus dan bisa menimbulkan obstruksi usus kecil
dan melaporkan hasil yang amat baik tanpa melakukan irigasi. Beberapa
penelitian terakhir menyokong penggunaan irigasi saline pada kavitas
peritoneum dengan atau tanpa antibiotik.
Penanganan pasien dengan massa abdomen yang teraba merupakan
topik kontroversial lain. Hal ini terjadi sebagian kecil tetapi signifikan pada
pasien-pasien yang mengalami apendisitis komplikasi, terutama pada
anak-anak yang lebih muda setelah perforasi. Beberapa menyarankan
apendektomi sesegera mungkin sedangkan yang lain melalukan prosedur
jika massa telah dikonfirmasi pada pasien setelah berada dalam keadaan
anestesi. Jika operasi dilakukan, perawatan hendaknya diambil untuk
menghindari kerusakan struktur yang berdekatan dengan proses inflamasi
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 249 Manado, 17-19 Maret 2017
seperti usus kecil, tuba falopi, dan ovarium, serta ureter. Surana dan
Nitecki merekomendasikan perawatan dengan antibiotik intravena hingga
hitung leukosit telah kembali normal dan pasien tetap afebris selama 24
jam. Jika kondisi pasien memburuk atau massa meluas pada ultrasonografi
serial, maka massa didrainase secara perkutaneus, diikuti oleh
apendektomi interval. Apendektomi interval mencegah episode berulang
apendisitis dan memberikan ahli bedah kesempatan untuk mengevaluasi
pasien untuk kondisi lainnya yang bisa menyerupai massa apendiks.
Apakah apendektomi interval diperlukan, juga masih menjadi perdebatan.
Nitecki menyarankan bahwa apendektomi interval tidak diperlukan karena
hanya 14% pasien yang mengalami rekurensi dan rekurensi dalam waktu
2 tahun setelah diagnosis awal juga tidak umum terjadi. Perawatan standar
sekarang ini ialah penanganan konservatif dengan apendektomi interval
setelah 8 hingga 12 minggu.
Komplikasi
Insiden komplikasi meningkat seiring derajat keparahan apendisitis.
Komplikasi meliputi infeksi luka, pembentukan abses intra-abdomen,
obstruksi usus paska operasi, ileus yang lebih lama, dan jarang, fistula
enterokutaneus. Infeksi luka merupakan komplikasi yang paling sering
tetapi telah menurun dari 50% hingga kurang dari 5%, bahkan pada
apendisitis komplikasi. Pembentukan abses intraabdomen lebih sering
terjadi pada apendisitis komplikasi tetapi masih kurang dari 2%. Abses bisa
didrainase secara perkutaneus dibawah bimbingan CT atau secara
transrektal di ruang operasi, meskipun ada yang menyarankan pendekatan
yang lebih konservatif. Obstruksi usus paska operasi terjadi pada 1%
pasien dengan apendisitis komplikasi, yang seringkali membutuhkan
operasi adhesiolisis. Fistula enterokutaneus merupakan komplikasi yang
jarang dan biasanya berespon terhadap penanganan nonoperatif.
Pylephlebitis supuratif merupakan komplikasi yang amat serius, meskipun
jarang. Sepsis dan kegagalan sistem multi organ bisa terjadi pada anak
yang lebih muda yang mengalami penyakit yang lebih lama sebelum
diagnosis ditegakkan. Komplikasi mayor termasuk obstruksi usus paska
operasi dan pembentukan abses intra abdomen juga telah berkurang
dengan insiden kurang dari 5 %.
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 250 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Eriksson S, Granstro¨m L. Randomized controlled trial of
appendicectomy versus antibiotic therapy for acute appendicitis. Br J
Surg 1995;82:166.
2. Fraser JD, Aquayo P, Sharp SW, et al. Accuracy of computed
tomography in predicting appendiceal perforation. J Pediatr Surg
2010;45:231.
3. Hernanz-Schulman M. CT and US in the diagnosis of appendicitis: An
argument for CT. Radiology 2010;255:3.
4. Jen HC, Shew SB. Laparoscopic versus open appendectomy in
children: Outcomes comparison based on a statewide analysis. J Surg
Res 2010;161:13.
5. Mason RJ. Surgery for appendicitis: Is it necessary? Surg Infect
(Larchmt) 2008;9:481.
6. Ponsky TA, Hafi M, Heiss K, et al. Interobserver variation in the
assessment of appendiceal perforation. J Laparoendosc Adv Surg
Tech A 2009;19:S15.
7. Solomkin JS, Mazuski JA, Bradley JS, et al. Diagnosis and
management of complicated intra-abdominal infection in adults and
children: Guidelines by the Surgical Infection Society and the Infectious
Diseases Society of America.Surg Infect (Larchmt) 2010;11:79.
8. St Peter SD, Aquayo P, Fraser JD, et al. Initial laparoscopic
appendectomy versus initial nonoperative management and interval
appendectomy for perforated appendicitis with abscess: A prospective,
randomized trial. J Pediatr Surg 2010;45:236.
9. Strouse PJ. Pediatric appendicitis: an argument for US. Radiology
2010;255:8.
10. Sameul M. Pediatric Appendicitis Score. J Pediatr Surg 37:877-881.
11. C. Keyzer and P. A. Gevenois (eds.), Imaging of Acute Appendicitis in
Adults and Children, Medical Radiology. Diagnostic Imaging, DOI:
10.1007/174_2011_211
12. Humes D. J, Simson J. Clinical Presentation of Acute Appendicitis:
Clinical Signs—Laboratory Findings—Clinical Scores, Alvarado Score
and Derivate Scores : in : C. Keyzer and P. A. Gevenois (eds.),
Ishak Lahunduitan
KONAS VII PGHNAI 251 Manado, 17-19 Maret 2017
Imaging of Acute Appendicitis in Adults and Children, Medical
Radiology. Diagnostic Imaging, DOI: 10.1007/174_2011_211: 13-20
13. Goulder F. Simson T. Pediatric appendicitis score: A retrospective
analysis. J Indian Assoc Pediatr Surg 13;4: 124-127
14. Dunn J C. Appendicitis; In: Coran AG.. Adzick S. et al. Pediatric
surgery 7th ed.:2012. 100;1255-1264
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 252 Manado, 17-19 Maret 2017
SAKIT PERUT: FUNGSIONAL ATAU ORGANIK?
Jeanette I.Ch.Manoppo
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UNSRAT/ RSUP Prof. Dr. R. D Kandou, Manado
Pendahuluan
Sakit perut merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh anak-
anak dan remaja. Sakit perut yang akut mungkin memerlukan intervensi
medis dan bedah segera untuk mencegah terjadinya disabilitas bahkan
kematian. Hal yang berbeda bila anak datang dengan keluhan sakit perut
kronis. Hanya sejumlah kecil rasa sakit perut kronis pada anak yang
disebabkan oleh sebab organik yang mendasari penyakit. Pada
kebanyakan anak, rasa sakit adalah fungsional, tidak terdapat kondisi
patologis, seperti anatomi, metabolisme, infeksi, inflamasi, atau gangguan
neoplastik yang mendasari.1,2
Anak-anak dan remaja yang datang dengan sakit perut kronis
menimbulkan tantangan yang unik.Sakit yang dialami menimbulkan
kecemasan, dimana hal tersebut dapat mengganggu kegiatan sehari-
hari.Meskipun gejala yang dialami tidak berat, orang tua dapat menjadi
sangat khawatir.Sakit perut kronis merupakan keluhan yang sering
membawa anak datang berulang dan dalam jangka waktu yang lama pada
layanan kesehatan primer tanpa diketahui adanya penyebab organik yang
jelas.Tantangan tersendiri juga dihadapi olehpetugas kesehatan yang
merawat,dimana tatalaksana masalah ini dapat memakan banyak waktu
dan membuat frustasi dokter yang merawat. Dokter juga seringkali
melakukan banyak tes kesehatan untuk menghindari terlewatnya suatu
diagnosis penyakit yang serius, dan pada akhirnya keluarga dapat terjerat
dalam kompleksitas psikososial. Kurangnya pengetahuan petugas
kesehatan untuk dapat membedakan penyebab sakit perut kronis,
fungsional ataukah organik, menyebabkan manajemen yang seringkali
tidak efektif.1,3
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 253 Manado, 17-19 Maret 2017
Definisi
Pada tahun 1958, John Apley, mendefinisikan sakit perut berulang sebagai
episode sakit perut sekurang-kurangnya 3 kali dalam jangka waktu minimal
3 bulan dan mengakibatkan aktivitas sehari-hari terganggu. Sejak saat itu,
selama hampir 4 dekade, definisi ini telah digunakan sebagai definisi
standar. Pada tahun 2005, American Academy of Pediatrics dan North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
(NASPGHN) merekomendasikan isitilah sakit perut berulang harus diganti
dengan istilah sakit perut kronis, yang didefinisikan sebagai sakit perut
berkepanjangan yang intermiten atau konstan, baik fungsional atau
organik.4,5
Sakit perut fungsional didefinisikan menurut kriteria diagnosis yang
diambil berdasarkan gejala.Kriteria diagnosis yang pertama kali
dipublikasikan adalah kriteria Roma II pada tahun 1999. Kriteria Roma IV
yang dipublikasikan pada tahun 2016 telah menggantikan kriteria Roma III
yang telah digunakan sejak tahun 2006.6,7
Pada kriteria Roma IV, konsep ―tidak adanya penyakit organik‖ yang
terdapat pada seluruh definisi sebelumnya diganti menjadi ―setelah
evaluasi medis yang sesuai, gejala tidak dapat diklasifikasikan sebagai
kondisi medis lain‖. Perubahan ini memungkinkan para klinisi untuk lebih
selektif dalam melakukan pemeriksaan penunjang.Selain itu,kriteria Roma
IV menggunakan istilah fungsional abdominal pain disorder (FAPD) untuk
menggantikanistilah abdominal pain - related functional gastrointestinal
disorder (AP-FGID) yang digunakan pada kriteria sebelumnya.FAPD dapat
dikategorikan sebagai salah satu atau kombinasi dari irritable bowel
syndrome (IBS), functional dyspepsia (FD), abdominal migraine (AM), dan
functional abdominal pain-not otherwise specified (FAP-NOS).Fungsional
abdominal pain disorder (FAPD) pada kriteria Roma IV telah dapat
mendeskripsikan berbagai macam kondisi sakit perut kronis pada anak.8
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 254 Manado, 17-19 Maret 2017
Etiologi
Penyebab Organik
Berbagai kelainan organik dapat menyebabkan sakit perut, sebagian besar
patofisiologinya berhubungan dengan infeksi, inflamasi atau
distensi/obstruksi dari organ berongga. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Memon dkk pada anak usia 2- 15 tahun, didapatkan penyebab sakit
perut kronis adalah infeksi protozoa (33%), H. Pylori (31%) dan infeksi
cacing (Ascariasis, Giardia, E. Hystolityca) sebanyak 13%.9,10
Penyebab dari sakit perut kronis pada remaja perempuan perlu
mendapat perhatian khusus, rasa sakit mungkin diakibatkan oleh penyebab
ginekologi, seperti dismenorrhea, endometriosis, pelvic inflammatory
disease (PID), atau abnormalitas ovarium.Dismenorrhea merupakan
penyebab yang sering pada remaja anak, dapat dikategorikan menjadi
dismenorrhea primer dan sekunder.Gejala biasanya muncul pada 6 hingga
12 bulan setelah menarche.Pasien mengeluh nyeri abdomen bagian
bawah yang terasa keram, spasme, menusuk, atau tumpul. Rasa nyeri
terjadi selama menstruasi namun dapat terjadi satu atau 2 hari sebelum
onset terjadinya menstruasi gejala lain meliputi mual, muntah, diare.9,11
Tabel 1. Penyebab utama sakit perut kronis berdasarkan sistem organ12
Sistem gastrointestinal
Gastroesophageal reflux disease (GERD), Gastritis Helicobacter pylori, Ulkus
peptikum, Esofagitis, Intoleransi laktosa, Penyakit celiac, Infeksi parasit
(Giardia, Blastocystis hominis), Inflammatory bowel disease (IBD), Meckel
diverticulum, Malrotasi dengan volvulus intermiten, Apendisitis kronik,
Konstipasi
Kantung empedu, Hepar, dan Pankreas
Hepatitis, Abses liver, Pankreatitis rekuren, Kolelitiasis, Kista Koleduktus
Sistem Genitourinaria
Hidronefrosis, Infeksi saluran kemih, Urolithiasis, Dismenorrhea, Pelvic
inflammatory disease (PID), Mittelschmerz
Lain- lain
Keganasan, Krisis sickle sel, Keracunan timbal (Pb), Vakulitis ( terutama
Henoch-Schonlein purpura), Edema angioneurotik, Porfiria intermiten akut
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 255 Manado, 17-19 Maret 2017
Penyebab Fungsional
Pada sebagian besar kasus sakit perut kronis disebabkan oleh penyabab
fungsional. Kriteria Roma IV, mengklasifikasikan functional abdominal pain
disorder (FAPD) dalam empat kategori, yaitu Functional Dyspepsia (FD),
Irritable Bowel Syndrome (IBS), Abdominal Migraine (AM), Functional
Abdominal Pain-Not Otherwise Specified Epidemiology (FAP-NOS).8,13,14
1. Functional Dyspepsia (FD)8
Kriteria diagnosis:
Terdapat 1 atau lebih gejala yang mengganggu selama minimal 4 hari
setiap bulan, yang telah berlangsung selama minimal 2 bulan sebelum
diagnosis ditegakkan.
Rasa penuh setelah makan
Cepat kenyang
Nyeri epigastrium atau rasa terbakar yang tidak berhubungan
dengan defeksi
Setelah dilakukan evaluasi, gejala tidak dapat dijelaskan secara
penuh oleh kondisi medis lain
Terdapat 2 subtipe:
1. Postprandial distress syndrome
Meliputi rasa penuh postprandial yang mengganggu atau rasa
cepat kenyang yang mencegah pasien dalam menghabiskan porsi
makan biasanya. Tanda lain yang mendukung meliputi rasa
kembung pada bagian abdomen atas, mual postprandial, atau
sendawa yang berlebihan.
2. Epigastric pain syndrome
Rasa sakit atau terbakar yang mengganggu (cukup parah hingga
mengganggu aktifitas normal), terlokalisir pada epigastrium. Rasa
sakit ini tidak terasa merata ataupun terlokalisir pada bagian dada
atau abomen yang lain dan tidak reda oleh defekasi maupun
kentut. Kriteria lain yang mendukung meliputi (a) rasa nyeri
disertai terbakar tanpa adanya komponen retrosternal (b) rasa
sakit yang pada umumnya dapat diinduksi atau terasa lebih ringan
dengan ingesti makanan namun dapat timbul bila puasa.
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 256 Manado, 17-19 Maret 2017
2. Irritable Bowel Syndrome (IBS) 8
Diagnosis terpenuhi bila memenuhi seluruh kriteria minimal selama 2
bulan
Nyeri abdomen yang terjadi minimal 4 hari setiap bulan yang
berhubungan dengan satu atau lebih:
a. Berhubungan dengan defekasi
b. Perubahan frekuensi buang air besar
c. Perubahan bentuk tinja
Anak dengan konstipasi, rasa sakit tidak membaik meskipun
gejala konstipasi membaik ( apabila rasa sakitnya membaik, anak
bukan mengalami IBS, melainkan functional constipation)
Setelah dilakukan evaluasi, gejala tidak dapat dijelaskan secara
penuh oleh kondisi medis lain
Pada anak yang mengalami konstipasi dan nyeri abdomen, pada
awalnya dilakukan terapi hanya untuk konstipasi saja.Apabila nyeri
abdomen membaik dengan terapi konstipasi, anak diagnosis sebagai
functional constipation. Namun apabila nyeri tidak membaik dengan
terapi konstipasi yang sesuai, pasien mungkin menderita IBS dengan
konstipasi.8
3. Abdominal Migraine (AM)8
Diagnosis dipenuhi bila kriteria dialami minimal 2 kali dalam 6 bulan
sebelumnya
Episode paroksismal nyeri abdomen akut dan intens pada
daerah periumbilikal, difus atau midline, yang menetap selama 1
jam atau lebih ( seharusnya merupakan gejala yang paling berat
dan menyakitkan)
Episode sakit berjarak beberapa minggu hingga bulan
Rasa sakit mengganggu aktivitas normal
Terdapat gejala dan pola yang stereotip pada setiap individu
pasien
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 257 Manado, 17-19 Maret 2017
Rasa nyeri berhubungan dengan 2 atau lebih gejala:
a. Anoreksia
b. Mual
c. Muntah
d. Sakit kepala
e. Fotofobia
f. Pucat
Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh, gejala tidak dapat
dijelaskan secara penuh oleh kondisi medis lain
4. Functional Abdominal Pain-Not Otherwise Specified
Epidemiology (FAP-NOS) 8
Kriteria dialami minimal 4 kali setiap bulan selama minimal 2 bulan
Nyeri abdomen episodik atau terus-menerus yang terjadi tidak
hanya selama kejadian fisiologis ( cth: makan, menstruasi)
Kriteria tidak memenuhi untuk didiagnosis sebagai IBS, FD,
ataupun AM
Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh, gejala tidak dapat
dijelaskan secara penuh oleh kondisi medis lain
Patogenesis
Rasa sakit kronis disebabkan oleh sentisisasi dari saraf aferen viseral
primer terhdap tekanan dan regangan (hiperalgesia primer) dan amplifikasi
pesan nyeri oleh deep brain nonspecific arousal system (hiperalgesia
sekunder).Ketika impuls nyeri pada arousal system cukup kuat, pesan
nyeri dihantarkan menuju konteks sensori.Individu dengan coping skill yang
baik, signal dari lobus frontal dapat menurunkan transmisi nyeri dari
arousal center ke korteks sensori. Berbeda halnya dengan individu yang
memiliki coping skill yang buruk, pengalaman rasa sakit dahulu, stress
akademik, sosial, ansietas, dan depresi, signal transmisi dari lobus frontal
sebalinya justru meningkatkan transmisi nyeri dari arousal center sehingga
meningkatkan persepsi nyeri pada korteks sensori.13
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 258 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 1. Jalur nyeri kronik aferen
13
Patogenesis terjadinya sakit perut kronis disebabkan oleh gabungan
hiperalgesia viseral dan perubahan motilitas gastrointestinal. Beberapa
faktor, seperti faktor psikologis, inflamasi mukosa intestinal, disfungsi sel
mast dan serotonin, mikrobiota saluran cerna, kejadian pada kehidupan
awal, faktor genetik dan lingkungan, diperkirakan berperan dalam
terjadinya hiperalgesia visceral dan perubahan motilitas.15
Faktor psikologis pada anak dapat berupa perpisahan dengan teman
baik di sekolah, kegagalan dalam ujian, perpisahan orang tua,
permasalahan dalam keluarga, dan kekerasan pada anak.Serotonin
merupakan komponen yang penting pada brain-gut axis, diperkirakan
meningkat pada mukosa rektal anak dengan IBS. Peningkatan serotonin
diperkirakan berinteraksi dengan saraf perifer, menyebabkan peningkatkan
sensitivitas viseral dan stimulasi jalur nyeri pada anak.15
Perubahan dari mikrobiota usus juga sejak lama dipertimbangkan
sebagai salah satu faktor. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rigsbee
dkk membandingkan mikrobiota pada feses, didapatkan peningkatan
Veillonella, Prevotella, Lactobacillus, dan Parasporbacterium dan
penurunan kadarBifidobacterium dan Verrucomicrobium pada anak dengan
IBS bila dibandingkan dengan anak sehat. Perubahan mikrobiota usus ini
menyebabkan perubahan persepsi viseral, motilitas usus, produksi gas
intestinal, dan permeabilitas usus.15,16
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 259 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 2.Patogenesis terjadinya sakit perut fungsional pada anak.Beberapa faktor
resiko berhubungan dengan perubahan pada hipersensitivitas visceral
dan motilitas, sehingga berperan dalam timbulnya sakit perut
fungsional.15
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 260 Manado, 17-19 Maret 2017
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pendekatan untuk evaluasi sakit perut pada anak harus dimulai dari
anamnesis yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik yang
lengkap.Anamnesis harus dilakukan secara menyeluruh dan sistematik
terhadap riwayat sakit perut dan gejala lain yang menyertai, termasuk
onset, durasi, frekuensi, lokasi karakteristik, faktor pencetus dan
pelega.Pada anak dengan sakit perut kronis, informasi mengenai waktu
onset sakit ang berhubungan dengan dengan aktivitas (seperti selama
makan, sekolah), durasi setiap episode, dan frekuensi berulangnya sangat
membantu dalam menentukan diagnosis. Sebagai contoh, sakit perut yang
membaik setelah defekasi dijumpai pada keadaan IBS.17
Informasi tambahan tentang keluarga (penyakit keturunan,
penyakit yang sekarang dialami, penyakit kronis yang diderita), riwayat
sakit sebelumnya (operasi sebelumnya, medikasi kronik, gangguan
pertumbuhan), dan faktor lingkungan dan kebiasaan harus ditanyakan.
Pada anak usia remaja, anamnesis tambahan harus meliputi riwayat
menstruasi, riwayat seksual, pengguanan obat dan alkohol, dan faktor
deprsi. Waktu nyeri perut berhubungan dengan mestruasi juga harus
dipertimbangkan. Selain itu gejala lain yang dapat menyertai seperti
kembung, hilangnya nafsu makan, mual, muntah juga harus
ditanyakan.12,14
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama.Pemeriksaan
fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan orifisium uretra, vagina dan rektal
harus selalu dilakukan pada pemeriksaan fisik awal. Hasil yang normal
pada pemeriksaan fisik, tanpa ditemukannya adanya tanda dan gelala
alarm mengindikasikan bahwa sakit perut yang terjadi lebih mengarah
pada sakit perut fungsional.12,17
Anak yang datang dengan keluhan sakit perut yang terjadi
berulang harus dicari tanda dan gejala alarm. Meskipun gejala alarm tidak
secara spesifik mengindikasikan adanya kelainan organik pada anak
dengan sakit perut kronis, namun bila tidak ditemukan adanya gejala alarm
ini meningkatkan kemungkinan sakit perut disebabkan oleh penyebab
fungsional.8,18
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 261 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 2. Tanda dan gejala alarm pada anak dengan sakit perut kronis8
Riwayat keluarga dengan IBD, penyakit celiac, atau ulkus peptikum
Nyeri perut pada kuadran kanan atas dan bawah yang persisiten
Disfagia
Odinofagia
Muntah persisten
Perdarahan gastrointestinal
Diare nokturnal
Artritis
Penyakit perirektal
Penurunan berat badan involunter
Deselerasi pertumbuhan linier
Keterlambatan pubertas
Demam tanpa sebab
Pada anak yang mengalami sakit perut fungsional, sakit yang
dirasakan bukan merupakan sakit perut yang imaginer atau dilebih-
lebihkan, namun rasa sakit tersebut nyata terjadi tanpa ditemukannya
kelainan patologi.Sebagai contoh, seorang pelari mengalami kram otot
sehingga menyebabkan rasa nyeri yang hebat, walaupun rasa nyeri
tersebut nyata namun masih dalam rentang yang diharapkan dari fungsi
tubuh normal. Kriteria Roma IV dapat dijadikan dasar bagi para klinisi untuk
membuat ―diagnosis positif‖ FAPD berdasarkan gejala yang ada.14
Pada anak dengan sakit perut fungsional, ansietas diketahui dapat
menyebabkan eksaserbasi gejala yang telah ada.Sakit perut fungsional
lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan (OR 1,5, 95% CI 1,3-
1,7, p<0,01), adanya ansietas, tingkat depresi, dan kejadian trauma. Oleh
karena itu, perlu ditanyakan apakah anak menghadapi permasalahan
emosi dan psikologis di sekolah, seperti bullying, ansietas terhadap ujian,
kesulitan bergaul, maupun kesulitan di rumah, seperti kondisi keuangan
keluarga, perpisahan orang tua, dan perceraian. Penting juga ditanyakan
mengenai riwayat infeksi gastrointestinal dalam waktu dekat, dimana
seringkali menjadi pencetus timbulnya gejala.12,19
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 262 Manado, 17-19 Maret 2017
Pemeriksaan penunjang
Pada anak dengan sakit perut kronis, investigasi yang tidak perlu
sebaiknya tidak dilakukan.Pemeriksaan penunjang harus dibatasi dan
terfokus untuk mengeksklusi suatu diagnosis spesifik.Pemeriksaan
terutama diperlukan bila anak datang dengan tanda peringatan. Selain itu,
pemeriksaan juga dibutuhkan untuk meyakinkan pasien dan orang tua bila
terdapat kekhawatiran berlebih terhadap suatu penyakit.13
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain yang dilakukan tanpa
indikasi medis tidak membantu. Kesalahan yang sering dilakukan terjadi
pada saat orang tua meminta klinisi melakukan pemeriksaan penunjang
yang berlebih untuk mengeksklusi semua penyakit yang dikhawatirkan
terjadi oleh orang tua.9,14
Pada beberapa tahun akhir, Calprotectin feses banyak digunakan
sebagai screening noninvasive untuk inflamasi mukosa intestinal dan
tampak lebih superior bila dibandingkan tes standar seperti C-reactive
protein (CRP). Peningkatan kadar dihubungkan dengan biomarker yang
bermkna dalam mendiagnosis IBD pad anak. Pada studi yang dilakukan
oleh Flagstad dkk pada 126 anak dengan FGID menunjukkan konsentrasi
calprotectin feses dalam batas normal, oleh karena itu, tes ini dapat
menjadi modalitas yang noninvasive dan berguna dalam membedakan
sakit perut fungsional dan IBD pada anak.8,20
Pada kasus sulit dimana diagnosis tidak jelas hanya berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, terutama bila didapati kecurigaan
terhadap IBD, sebaiknya dilakukan rujukan ke subspesialis
gastroenterologi anak untuk penilaian ulang serta investigasi lebih lanjut,
meliputi endoskopi danMRI usus halus. Anak dengan gejala dyspepsia,
Esophagogastroduodenoscopy (EGD) diindikasikan pada anak yang
memiliki riwayat keluarga dengan ulkus peptikum atau infeksi H. pylori,
anak usia lebih dari 10 tahun, apabila gejala menetap lebih dari 6 bulan,
dan gejala cukup parah yang mengganggu aktivitas sehari-hari termasuk
tidur.8,14
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 263 Manado, 17-19 Maret 2017
Tatalaksana
Tatalaksana dilakukan sesuai dengan etiologi yang mendasari.Sakit perut
yang disebabkan oleh kelainan organik, terapi diberikan sesuai dengan
kelainan yang mendasari.Sedangkan terapi untuk sakit perut dengan
penyebab fungsional bervariasi sesuai dengan preferesi klinisi yang
menangani, pasien, dan orang tua serta ketersediaan berbagai macam
modalitas. Tujuan utama dari terapi tidak selalu untuk menghilangkan rasa
sakit secara total, namun lebih ke arah kemampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari dengan normal, pola tidur yang normal serta
kemampuan anak untuk dapat bersekolah dan ikut serta dalam kegiatan
ekstrakulikuler tanpa adanya gangguan.21,22
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 264 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 3. Evaluasi anak dan remaja datang dengan keluhan sakit perut12
Anamnesis
Apakah sakit
akut?
Anamnesis dan PF menyeluruh
Urinalisis
Pemeriksaanlaboratorium dan pencitraan yang terarah
Anamnesis dan PF
menyeluruh
Urinalisis
Identifikasi kategori diagnosis sakit perut yang
timbulberulang
Disfungsional / Psikogenik/ Organik
Terapkan prinsip managemen sakit perutkronis
Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan yang terarah
Rujukan dan konsultasi seusai indikasi
Terapi spesifik
Apakah intervensi medis dan bedahterindikasi?
Ya Tidak
Ya Tidak
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 265 Manado, 17-19 Maret 2017
Terdapat bukti yang terbatas penggunaan terapi farmakologis pada
anak.Pada anak FD dimana gejala nyeri dominan, antagonis reseptor
histamin dan proton pump inhibitor dapat digunakan.Meskipun data yang
ada masih kurang, terapi antidepresan trisiklik dosis rendah seperti
amitriptilin dan imipramin seringkali dipertimbangkan pada kasus sulit.
Mual, kembung, dan rasa cepat kenyang lebih sulit untuk diterapi,
prokinetik seperti cisapride dan domperidon dapat digunakan bila
tersedia.8,2
Pada anak dengan IBS, terdapat data yang menunjang penggunaan
probiotik maupun peppermint oil untuk mengurangi rasa sakit. Walaupun
demikian belum ada satupun obat yang diterima oleh U. S. Food and Drug
Adnimistration (FDA) sebagai terapi anak dengan IBS.Antidepresan trisiklik
efektif untuk terapi IBS pada dewasa, namun pada anak belum ada bukti
klinis yang memuaskan.Amitriptilin memiliki efek sedasi dan
konstipasi.Apabila pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen, diare,
dan insomnia, antidepresan trisiklik dapat menjadi pilihan yang baik.Pada
anak yang tidak dapat diberikan amitriptilin karena kekhawatiran terhadap
aritmia jantung, kejang, efek pada mood, antagonis reseptor serotonin-3,
alosteron dapat digunakan.Terdapat beberapa alternatif pada anak dengan
IBS predominan gejala konstipasi, klinisi dapat memilih untuk memberikan
terapi dengan polyethylene glycol bersamaan dengan antidepresan trisiklik
atau inhibitor serotonin reuptake. Terapi profilaksis dengan amitriptilin
1mg/kg/hari untuk mencegah berulangnnya episode abdominal
migraine.8,13
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 266 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 3.Terapi medikamentosa13
Obat Dosis Golongan Durasi
terapi
Efek
samping
FD Nyeri
epigastrium
Amitriptilin
Distres
postprandia
l
Siprohep-
tadin
10-50 mg
sebelum
tidur
0,25-0,5
mg/kg/ha
ri
F=2-3X
/hari
Antidepres
an trisiklik
Antagonis
histamin-1
dan
serotonin-
1
Hingga
tidak
dirasakan
nyeri dalam
6 bulan
Hingga
tidak
didapatkan
gejala
dalam 6
bulan
Konstipasi,
sedasi,
mimpi
buruk
Lelah,
pusing,peni
ngkatan
berat
badan
Mulai 10
mg,
ditingkatkan
10mg/mgg
hingga nyeri
mereda/ 50
mg
Peningkatan
nafsu
makan pada
±50% anak
IBS d-IBS:
Amitriptilin
Alosteron
c-IBS:
Imipramin
Lubiprostone
10-50 mg
sebelum
tidur
0,5-1mg,
1-2x/hari
10-50 mg
sebelum
tidur
8-24 µg
F=1-
2x/hari
Antidepres
an trisiklik
Antagonis
reseptor
serotonin-
3
Antidepres
an trisiklik
Aktivator
kanal
klorida
Hingga
tidak
dirasakan
nyeri dalam
6 bulan
Tidak
didefinisi-
kan
Hingga
tidak
dirasakan
nyeri dalam
6 bulan
Tidak
didefinisi-
kan
Konstipasi,
sedasi,
mimpi
buruk
Konstipasi
Sedasi
Diare, mual
EKG tidak
harus
dilakukan
pada pasien
tanpa
penyakit
jantung
Sangat
efektif,
mahal
Efek
kostipasi
dan sedasi
lebih kurang
bila
dibanding-
kan
amitritilin
Mahal
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 267 Manado, 17-19 Maret 2017
Meskipun terapi farmakologis banyak digunakan, cognitive behavioral
therapy (CBT) dan hipnoterapi efektif pada anak dengan sakit perut
kronis.Keberhasilan intervensi psikologis menunjukkan adanya hubungan
antara otak dan sakuran pencernaan serta pentingnya sistem saraf pusat
dalam patofisiologi terjadinya sakit perut.Pada sebagian pasien yang telah
mengidentifikasi beberapa jenis makanan sebagai sumber nyeri, harus
melakukan eliminasi makanan tersebut dari diet sehari-hari.Terapi non-
farmakologis lain yang juga dikatakan bermanfaat seperti yoga, akupuntur,
dan fisioterapi.Pada akhirnya, orang tua, anak, dan guru perlu untuk
diyakinkan bahwa sakit perut fungsional merupakan gejala yang normal
dalam hidup. Perlunya empati dan diskusi yang berkualitas antar dokter
orang tua, dan anak mutlak diperlukan.14,24
Daftar Pustaka
1. Marin JR, Alpern ER. Abdominal pain in children. Emerg Med Clin
North Am. 2011;29:401-28.
2. Leung AK, Sigalet DL. Acute Abdominal Pain in Children. Am Fam
Physician. 2003;67:2321-6.
3. Leeuwen YL, Spee, LA, Benninga MA, Zeinstra, SM, Berger MY.
Prognosis of abdominal pain in children in primary care-a prospective
cohort study. Ann Fam Med. 2013;11:238-44
4. Lorenzo CD, Colletti RB, Lehmann HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams
JS, et all. Chronic Abdominal Pain in Children. Pediatrics.
2005;115:812-5
5. Paul SP, Cancy DC, Clinical update:recurrent abdominal pain in
children. Community Pract. 2013;86:48-51.
6. Rasquinn A, Lorenzo CD, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano
A, et al. Childhood Functional Gastrointestinal Disorders:
Child/Adolescent. Gatroenterology. 2006;130:1527-37.
7. Devanarayana NM, Adhikari C, Pannala W, Rajindrajith S. Prevalence
of functional gastrointestinal deisease in cohort of Sri Langkan
Adolescents: Comparison between Rome II and Rome III criteria.
2011;57:34-9
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 268 Manado, 17-19 Maret 2017
8. Hyams JS, Lorenxo CD, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, Tilburg M.
Childhood Functional Gastrointestinal Disorders: Child/ Adolescent.
Gastroenterology. 2016;150:1456-68.
9. Devaryana NM, Rajindrajith S, De Silva HJ. Recurrent abdominal pain
in children. Indian Pediatr. 2009;46:389-99.
10. Memon IA, LAL MN, Murtaza G, Jamal A, Bhattis RN, Tariq S.
Recurrent abdominal pain in children. Pak J Med Sci. 2009;25:26-30.
11. Osayande AS, Mehulic S. Diagnosis and initial management of
dysmenorrhea. Am Fam Physician. 2014;89:341-6.
12. Lozides AM, Orellana KA, Thompson JF. Abdominal Pain. In: Adam
HM, Foy JM, editors. Sign and symptoms in pediatrics. 1st ed. US:
American Academy of Pediatrics; 2015. p. 13-26
13. Hyman PE. Chronic and recurrent abdominal pain. Pediatrics in
Review. 2016:37:377-90.
14. Paul SP, Basude D. Non-pharmacological management of abdominal
pain-related functional gastrointestinal disorders in children. Worl J
Pediatr. 2016;12:389-98
15. Korterink J, Devanarayana NM, Rajindrajith S, Vlieger A, Benninga
MA. Childhood functional abdominal pain: mechanisms and
management. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2015;12:159-71.
16. Rigsbee L, Agans R, Shankar V, Kenche H, Khamis HJ, Michail S,
Paliy O. Quantitative profiling of gut microbiota of children with
diarrhea-predominant irritable bowl syndrome. Am J Gastroenterol.
2012;107:1740-51.
17. Bufler P, Gross M, Uhlig HH. Recurrent abdominal pain in childhood.
Dtsch Arztebl Int. 2011;108:295-304.
18. Motamed F, Mohsenipour R, Selfirad S, Yusefi A, Farahmand F,
Khodadad A, et all. Red flags of organic recurrent abdominal pain in
children: study on 100 subjects. Iran J. Pediatr. 2012;22:457-62.
19. Koterink JJ, Diederen K, Benninga MA, Tabbers MM. Epidemiology of
pediatric functional abdominal pain disorder: a meta-analysis. PLoS
One. 2015;10:1-17.
20. Flagstad G, Helgeland H, Markestad T. Faecal calprotectin
concentrations in children with functional gastrointestinal disorders
Jeanette I.Ch.Manoppo
KONAS VII PGHNAI 269 Manado, 17-19 Maret 2017
diagnosed according to the Pediatric Rome III criteria. Acta Paediatr.
2010;99:734-7.
21. Rutten JM, Koterink JJ, Venmans LM, Benningan MA.
Nonpharmacologic treatment of functional abdominal pain disorders: a
systematic review. Pediatrics. 2015;135:522-35
22. Schurman JV, Kessler ED, Friesen CA. Understanding and treatment
of chronic abdominal pain in pediatric primary care. Clin Pediatr (phila)
2014;53:1032-40.
23. Spee LA, Leeuwen YL, Benninga MA, Bierma Z, Berger MY.
Prevalence, characteristics, and management of childhood functional
abdominal pain in general practice. Scand J Prim Health Care.
2013;31:297-202.
24. Brett T, Rowland M, Drumm B. An approach to functional
abdominalpain in children and adolescents. British Journal of General
Practice. 2012;62:386-7.
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 270 Manado, 17-19 Maret 2017
PERAN MIKROBIOTA SALURAN CERNA PADA ANAK SEHAT DAN
SAKIT
Reza Ranuh
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/ RSUD Dr.Soetomo
Pendahuluan
Mikrobiota saluran cerna adalah bakteria hidup atau bakteria campuran
yang memiliki efek menguntungkan pada saluran cerna host melalui
kemampuannya menjaga keseimbangan mikrobiota usus dan mempunyai
manfaat mempertahankan kesehatan host.1 Terdapat lebih dari 100
spesies dan lebih dari 10 milyar bakteri dalam usus manusia. Bakteri
dalam usus manusia dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok
bakteri yang berguna (useful) dan kelompok yang berbahaya (harmful).2
Pada keadaan infeksi yang disebabkan oleh kuman patogen akan
menyebabkan inflamasi dan stimulasi sistem imunitas yang berlebihan.
Proses inflamasi dan stimulasi imunitas yang timbul ini akan dihambat oleh
mikrobiota yang ada. Pemahaman fungsi mikrobiota untuk menjaga
kesehatan dan mencegah penyakit untuk meningkatkan status kesehatan
secara menyeluruh sangat penting untuk diketahui.3–6
Kolonisasi Mikrobiota
Pada saat lahir, saluran cerna bayi yang pada awalnya steril, selanjutnya
terkontaminasi (terkolonisasi) oleh bakteri yang diawali dengan
berkembangnya kuman Bifidobacteria, Clostridia, dan Cocci gram positif
berada di jalan lahir (vagina) dan saluran cerna ibu.Mikroba prokariotik dan
eukariotik dapat ditemukan, pada saluran cerna bayi dengan dominasi oleh
spesies bakteri, sebagian besar spesies bakteri anaerob (97%), 3% adalah
aerobik (fakultatif anaerob).
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 271 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 1. Gut microbiota colonization. Modified from Mitsuoka, 1984.(dikutip dari
Pärtty A)7
Genera anaerobik yang paling umum dalam konsentrasi dalam
saluran pencernaan adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium,
Fusobacterium, Clostridium dan Lactobacillus. Koloni mikrobiota aerob
adalah bakteri Gram-negatif enterik (Escherichia coli dan Salmonella spp.)
dan bakteri gram-positif cocci (Enterococcus, Staphylococcus dan
Streptococcus). Selain bakteri aerob, spesies jamur aerobik, seperti
Candida albicans, yang juga termasuk anggota mikrobiota normal8. Bayi
yang mendapatkan ASI sejak awal kehidupan, Bifidobacteria merupakan
flora normal yang paling dominant, dibandingkan dengan kelompok bayi
yang mendapatkan susu formula.9,10
Setelah itu, terjadi perubahan yang pesat dari flora normal usus, dan
dalam perjalanan perkembangan kolonisasi ini juga dipengaruhi oleh nutrisi
pada kehidupan seorang bayi. Pola mikrobiota usus akan mengalami
modifikasi yang besar pada tahap awal kehidupan dan keadaan in
mempunyai peran penting dalam perkembangan fungsi fisiologi sistem
imun innate dan adaptif saluran cerna yang penting untuk pertahanan
mukosa saluran cerna maupun sistemik. Faktor lingkungan seperti
antibiotik, diet dan inokulasi mikroba, dapat menyebabkan perubahan
dalam stabilitas mikrobiota baik yang bersifat sementara dan
permanen.2,11,12
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 272 Manado, 17-19 Maret 2017
Penjelasan di atas mempertegas kembali bahwa kolonisasi dan
perkembangan mikrobiota normal yang seimbang pada masa neonatal
khususnya padasaluran pencernaan mempunyai peranan yang penting
karena adanya gangguan keseimbangan mikroflora pada masa ini akan
mempengaruhi perkembangan sistem imunitas neonatal. Gangguan
perkembangan sistem imunitas ini merupakan faktor predisposisi
terjadingan infeksi.
Fungsi Mikrobiota Saluran Cerna
Interaksi antara mikrobiota saluran cerna dan host, merupakan interaksi
yang saling menguntungkan. Host akan menyediakan nutrisi sebagai
sumber yang menguntungkan, demikian pula sebaliknya bahwa mikrobiota
akan merubah nutrisi menjadi komponen yang memberikan manfaat baik
untuk kesehatan penjamu. Namun beberapa mikrobiota dalam jumlah
dominan (berlebihan), seperti misalnya Clostridium difficile dapat
memproduksi toksin yang merugikan. Beberapa mikrobiota tertentu akan
berubah menjadi patogen pada keadaan kerusakan mukosa usus seperti
misalnya kuman gram negative Enterobacteriaceae. Namun demikian,
pengetahuan mengenai manfaat mikrobiota saluran cerna secara
keseluruhan belum sepenuhnya dipahami. Beberapa bukti ilmiah
menyebutkan bahwa, hewan coba tanpa mikrobiota saluran cerna (free
germ animal model) menunjukan adanya perbedaan nyata dalam hal
struktur anatomi dan fungsi organ, bila dibandingkan dengan hewan coba
dengan kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang normal. Perbedaan
dalam hal berat organ saluran cerna, fungsi fisiologi dan kerentanan
saluran cerna terhadap infeksi, merupakan parameter perbedaan yang
nyata terjadi. Demikian juga organ lainnya seperti misalnya jantung, hati,
cardiacoutput, kelenjar getah bening akan berkurang pada kelompok free
germ animal model. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa
keseimbangan mikrobiota saluran cerna mutlak diperlukan untuk
keseimbangan fisiologi individu.2
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 273 Manado, 17-19 Maret 2017
Pengaruh Mikrobiota Saluran Cerna Untuk Pertahanan Tubuh
Mikrobiota normal saluran cerna, sangat penting dalam memberikan
pertahanan saluran cerna, dengan cara mengahambat kolonisasi kuman
patogen. Peningkatan jumlah mikrobiota seperti misalnya kuman
bifidobakteria pada bayi yang mendapatkan ASI yang mengandung bifido
faktor, merupakan salah satu faktor penting untuk menghambat kolonisasi
kuman pathogen. Beberapa cara eliminasi kuman patogen oleh
bifidobakteria antara lain dengan meningkatnya status imun mukosa
usus, proses inhibisi, mengeluarkan hasil akhir metabolik seperti
misalnya asam yang akan menurunkan pH lingkungan saluran cerna.
Pada keadaan suasana asam bakteri probotik dapat hidup dengan subur
sedangkan bakteri pathogen tak dapat hidup. Banyak spesies kuman
laktobaksilus, dan bifidobakteri, mampu untuk memproduksi antibiotika
alamiah, yang mempunyai kemapuan spektrum luas (seperti misalnya
lactocins, helveticins, lactacins, curvacins, nisin atau bifidocin). Kuman
bifidobakteria mempunyai kemampuan mensekresi antimikrobial yang
dapat mengeliminasi berbagai macam kuman pathogen gram negatif
saluran cerna termasuk salmonella, campylobacters dan Escherichia coli.
Mikrobiota saluran cerna juga mampu menurunkan konsentrasi endotoksin
bakteri secara signifikan, hal ini dimungkinkan oleh karena kemampuan
mikrobiota ini akan meningkatkan pertahanan mukosa untuk mencegah
translokasi kuman. Beberapa spesies bifidobakteria, seperti misalnya
Bifidobacterium infantis dan B. longum mempunyai efek yang kuat untuk
eliminasikuman E. coli 0157. Dengan bukti diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa dengan meningkatnya jumlah bifidobacteria dengan spesies
tertentu bersamaan dengan meningkatnya sistem imun mukosa, akan
memberikan proteksi terhadap infeksi saluran cerna.11,13,14
Mikrobiota sebagai pertahanan mukosa saluran cerna
Fungsi proteksi dan pertahanan imunitas saluran cerna seperti misalnya
lapisan epitel, lapisan mukus, peristalsis dan deskuamasi epitel, serta
sekresi IgA, sangat berpengaruh terhadap perlekatan dari kuman patogen.
Mikrobiota mempunyai kemampuan mensintesa short-chain fatty acids
(SCFAs), polyamines, vitamins, antioxidan dan asam amino. SCFA, butyric
acids yang disintesa dari fermentasi karbohidrat, merupakan bahan penting
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 274 Manado, 17-19 Maret 2017
untuk colonocytes di usus besar.15
Selain fungsi di atas, spesies mikrobiota
tertentu seperti Lactobacillusmemproduksi antioxidant dan beberapa
macam vitamin, serta menghilangan efek tosik makanan, dan mencegah
efek Enterobacteriaceae, S. aureus, dan Enterococci yang sering dijumpai
pada makanan fermentasi. Lactobacilli juga berfungsi untuk meningkatkan
fungsi seluler dan humoral imunitas. Kuman ini mampu menstimulasi
sistem immun antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag,
natural killer cell , monosit dan netrofil. Latobacillus GG mampu
merangsang sekresi IgM setelah vaksinasi rotavirus dan meningkatkan
produksi IgA dengan hasil akhir meningkatkan produksi imunoglobulin.16
Mikrobiota sebagai modulator sistem immun lokal dan sistemik
Dua fungsi immunitas di saluran cerna yang penting adalah sebagai peran
proteksi/supresi, mencegah respon immune terhadap protein dan
menghindari reaksi hipersensitivitas, khususnya pada alergi dan
Inflammatoty Bowel Disease (IBD); indukdusi respons immun spesifik
dengan sekresi IgA antibodi di dalam lumen saluran cerna yang bertujuan
untuk mencegah kolonisasi kuman patogen. Kedua peran ini terutama
penting mencegah reaksi hipersensitivitas terhadap makanan pada usia 2
tahun pertama. Walaupun tidak diketemukan agen penyebab secara
spesifik, adanya gangguan mikrobiota intestinal kemungkinan menjadi
penyebab adanya gejala klinik, menurut hygene hypotesis. Keadaan
patologi lain , seperti misalnya diare karena rotavirus dan alergi. Beberapa
penelitian melaporkan adanya peran penting dari mikrobiota terhadap
kejadian ini. Berapa spesies mikrobiota, ternyata meningkatakan sekresi
IgA yang spesifik pada keadaan infeksi virus rota pada bayi. Telah
diketahui bahwa mikrobiota akan menginduksi produksi beberapa sitokin
antara lain IL-12, IL-18 dan IFN- -sel mononuklir darah perifer
manusia dan dan sitokin IL-12, TNF- - -sel limpa tikus.
Semua sitokin yang diproduksi tersebut adalah sitokin dari TH1. Selain
menginduksi produksi sitokin TH1 mikrobiota saluran cerna ini juga
diketahui mampu menginduksi populasi Limfosit T untuk memproduksi
sitokin IL-10 dan TGF- Keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran
cerna ini juga telah terbukti dapat mencegah reaksi alergi susu sapi pada
mencit dengan meng -lactoglobulin.16,17
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 275 Manado, 17-19 Maret 2017
Mikrobiota dan Diare
Virus rota merupakan penyebab terbanyak diare pada anak. Infeksi virus
rota akan mengakibatkan kerusakan brush border. Brush border
merupakan komponen terpenting dari usus untuk menjalankan fungsi
sekresi elektrolit, enzim pencernaan, reabsorpsi cairan, dan beberapa
komponen nutrient penting. Brush border juga berfungsi sebagai
pertahanan tubuh dari kuman patogen / imunogen yang masuk melalui
saluran cerna. Invasi virus/kuman patogen akan menyebabkan
perubahan/kerusakan protein penyusun brush border.
Perubahan/kerusakan protein penyusun brush border ini akan
menyebabkan gangguan fungsi brush border. Keseimbangan kolonisasi
mikrofora sangat penting untuk mencegah terjadinya diare sebagai
manifestasi klinis kerusakan brush border yang disebabkan karena
infeksi18,19
. Selain manfaat lokal, manfaat sistemik seperti penjelasan di
atas, sangat mempengaruhi timbulnya diare pada anak. Selain fungsi
immunitas mikrobiota dapat mengatasi infeksi saluran cerna, karena
kemampuannya untuk mengekspresikan musin intestinal MUC2 dan
MUC3. Adanya peningkatan produksi musin ini , akan menghambat
perlekatan kuman patogen pada mukosa saluran cerna.20–22
Mikrobiota dan Gangguan Saluran Cerna Fungsional
Gangguan saluran cerna fungsional (Functional Gastrointestinal
DisorderS/FGIDs) adalah gangguan fungsi saluran cerna tanpa diketahui
ada kelainan organik saluran cerna. Beberapa hal yang mempengaruhi
prevalensi FGIDs pada anak antara lain pola infeksi dan pelayanan
kesehatan berbeda, penggunaan antibiotik terutama dalam 2 tahun
pertama kehidupan, infeksi saluran cerna dan infeksi ekstraintestinal.
Riwayat alergi, diet, proses kelahiran (spontan maupun sectio secaria) dan
lama menyusui juga merupakan faktor penting terjadinya masalah
gangguan fungsional saluran cerna.23,24,24
Patogenesis FGIDs belum diketahui dengan jelas.Namun diyakini
bahwa unsur-unsur hormonal, neuronal dan psikogenik berperan dalam
timbulnya gejala FGIDs. Beberapa faktor penting yang diperkirakan
mempunyai pengaruh pada FGIDs antara lain sistem saraf enterik (ENS),
motilitas, sekresi enzim dan mikrosirkulasi, respon imun dan proses
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 276 Manado, 17-19 Maret 2017
inflamasi saluran cerna. Kemampuan respon adaptif dari ENS sebagai
pemicu fisiologis dan stres psikologi mempengaruhi terjadinya FGIDs24,25
.
Gangguan kolonisasi mikrobiota dan atau kolonisasi mikrobiota
saluran cerna yang belum optimal pada usia awal kehidupan hingga usia 2
tahun pertama merupakan faktor penting terjadinya gangguan fungsional
saluran cerna pada anak.2,6,17,26–28
Gangguan saluran cerna fungsional
yang sering dijumpai antara lain refluk, konstipasi dan kolik. Saluran cerna
pada bayi baru lahir steril. Namun, beberapa faktor internal dan ekternal
akan mempengaruhi fungsi fisiologi saluran cerna dan ekosistem kolonisasi
mikrobiota pada saat bayi lahir. Beberapa faktor prenatal, seperti misalnya
penggunaan antibiotika pada ibu hamil mempunyai pengaruh yang cukup
kuat terhadap kolonisasi mikrobiota saluran cerna bayi.29
Segera setelah
lahir, mikrobiota secara aktip melakukan kolonisasi diseluruh permukan
tubuh bayi, termasuk saluran cerna. Kolonisasi ini berlangsung secara
bertahap sesuai usia kehamilan dan usia bayi. Sebagai contoh bayi
prematur mempunyai gambaran kolonisasi mikrobiota yang berbeda,
sehingga pada kelompok bayi prematur.9,10
Demikian juga pada bayi yang
sering mengalami kolik, mempunyai gambaran kolonisasi mikrobiota
saluran cerna yang berbeda bila dibandingkan dengan kelompok bayi
tanpa kolik.7,30
Kolonisasi mikrobiota pada kelompok usia bayi ini sangat mempunyai
peran terhadap fungsi motilitas saluran cerna. Intestinal mikrobiota
diketahui memproduksi bahan-bahan penting untuk menstimulasi system
saraf saluran cerna yang berperan untuk fungsi motilitas saluran cerna
yang terjadi pada kondisi sehat maupun sakit.13
Mikrobiota dan Alergi Makanan dengan manifestasi gejala saluran
cerna
Pengaruh mikrobiota dalam menurunkan reaksi alergi belum jelas. Bukti-
bukti mengenai pengaruh spesifik dari mikrobiota saluran cerna ke sistim
imun innate sangat penting untuk kelangsungan toleransi imun mukosa.
Pada uji klinik probiotik telah dibuktikan dapat menurunkan gejala alergi
yang berhubungan dengan dermatitis atopik dan alergi makanan.
Suplementasi probiotik ini akan merubah komposisi mikrobiota saluran
cerna yang selanjutnya akan mencegah penyakit atopik dini pada anak
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 277 Manado, 17-19 Maret 2017
dengan resiko tinggi alergi, mencegah dermatitis atopik pada 2 tahun
pertama kehidupan anak. Modifikasi mikrobiata saluran cerna anak atopi
selanjutnya akan menimbulkan efek untuk mencegah reaksi alergi dan
menurunkan reaksi alergi susu sapi pada bayi.11,31
Mikrobiota dan Gut-Brain Axis
Hubungan antara saluran cerna dan system saraf pusat, merupakan sitem
komunikasi timbal balik yang komplek, yaitu memberikan multi efek seperti
menjaga afek, motivasi dan kognitif tingkat tinggi bagi manusia secara
keseluruhan.32
Beberapa penelitian membuktikan bahwa mikrobiota saluran
cerna mempunyai kontribusi penting untuk menjaga gut-brain axis berjalan
normal. Gangguan fungsi saluran cerna dipengaruhi oleh system saraf
pusat, demikian juga sebaliknya perubahan kolonisasi mikrobiota usus
akan mempengaruhi fungsi system saraf pusat.33
Pada penelitian hewan
coba didaptkan bahwa keadaan stress pada awal kehidupan akan
meningkatkan kadar kortikosteron sitokin inflamasi, dan keadaan ini
dipengaruhi oleh status kolonisasi mikrobiota usus 34
.
Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan pengaruh mikrobiota
saluran cerna terhadap fungsi system saraf pusat (gut-brain axis )antara
lain :
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 278 Manado, 17-19 Maret 2017
Secara tidak langsung, bahan yang dihasilkan mikrobiota saluran cerna
akan mempengaruhi fungsi system saraf pusat.
Gambar 2.Pathways involved in bidirectional communication between the gut
microbiota and the brain ( dikutip dari Cryan & Dinan, Nature Nurosci Rev 2012)35
Pada penelitian hewan coba telah dibuktikan bahwa suplementasi
bakteri probiotik mempengaruhi metabolisme nutrisi dan proses fermentasi
yang akan menghasilkan bahan tertentu yang dapat menghambat atau
merangsang pertumbuhan kuman komensal saluran cerna yang dapat
memberikan efek negatif atau efek stimulasi respons imunologi innate
dengan cara meningkatan kadar proinflammatory and anti-inflammatory
cytokines. Respon ini dapat mempengaruhi fungsi sistem saraf
pusat.36,37
Secara langsung mikrobiota saluran cerna juga dapat
memberikan signal melalui nervus vagus sebagai salah satu komponen
penting sistem otonom saraf parasimpatik.37
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 279 Manado, 17-19 Maret 2017
Serotonin dan mikrobiota.
Hormon serotonin merupakan komponen penting untuk mengendalikan
fungsi gut-brain axis. Serotonin diproduksi di saluran pencernaan di
kelenjar pineal, sistem saraf pusat, dan platelet darah. Serotonin dengan
nama lainya 5-HT atau 5-hydroxytryptamines adalah neurotransmiter
monoamine dapat mempengaruhi berbagai fungsi otak antara lain
berfungsi mengontrol mood atau suasana hati, nafsu makan dan tidur.
Keseimbangan kadar serotonin sangat diperlukan untuk fungsi fisiologi
manusia. Kelebihan hormon serotonin bisa menyebabkan kegelisahan,
kebingungan, peningkatan denyut jantung, pupil melebar, kehilangan
koordinasi otot, berkeringat, diare, sakit kepala, menggigil, mual, muntah,
kejang, demam tinggi, detak jantung tak teratur, gerakan tidak terkendali
dan hilangnya kesadaran. Pada keadaan hormon serotonin yang kurang
dapat menyebabkan rasa cemas, tertekan, fobia, pesimistis, gelisah, tidak
percaya diri, mudah marah, gangguan tidur.38,39
Bacterial metabolites seperti Short Chain fatty acid (SCFAs),
merupakan hasil metabolisme dari mikrobiota saluran cerna telah diketahui
mempunyai pengaruh stimulasi sistem saraf simpatik.SCFAs akan masuk
sistem sirkulasi dan akan mempengaruhi regulasi imunitas saluran cerna
dan sistemik hingga mencapai sistem saraf pusat.37,38
Penutup
Kolonisasi dan perkembangan mikrobiota normal di dalam saluran cerna
mutlak diperlukan untuk mempertahankan fungsi fisiologi saluran cerna
pada anak. Beberapa hal penting manfaat keseimbangan mikrobiota
saluran cerna antara lain untuk menjaga keseimbangan produksi hormon,
sistem imunitas saluran cerna dan fungsi normal gut-brain axis.
Keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran cerna secara langsung
maupun tidak langsung sangat diperlukan pada keadaan anak sehat
maupun sakit. Gangguan keseimbangan mikrobiota pada masa anak
secara keseluruhan dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak secara
optimal.
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 280 Manado, 17-19 Maret 2017
Daftar Pustaka
1. Bested AC, Logan AC SE. Intestinal microbiota, probiotics and
mental health: from Metchnikoff to modern advances: part III –
convergence toward clinical trials Alison C. Gut Pathog.
2013;5(4):2–13.
2. Guarner F, Malagelada J-R. Gut flora in health and disease. Lancet
(London, England). 2003 Feb;361(9356):512–9.
3. Guarner F, Foxx-Orenstein A, De Paula JA, Quigley E, Fedorak R,
Wu J, et al. WGO Handbook on Gut Microbes. World Gastroenterol
Organ Glob. 2014;1(414).
4. Guarner F, Bourdet-Sicard R, Brandtzaeg P, Gill HS, McGuirk P,
van Eden W, et al. Mechanisms of disease: the hygiene hypothesis
revisited. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol. 2006;3(5):275–84.
5. Collins SM. MICROBIOTA IN DISORDERS OF MOTILITY AND
THE GUT BRAIN AXIS . 2016;
6. Kim J, Lin H. Contribution of gut microbes to gastrointestinal motility
disorders. Pract Gastroenterol. 2007;(April).
7. Pärtty A, Yliopisto T. INFANT COLIC CRYING AND Causes ,
Consequences and Cure by. TURUN YLIOPISTO UNIVERSITY OF
TURKU; 2013.
8. Noverr MC HG. Does the microbiota regulate immune responses
outside the gut? Trends Microbiol USA. 2004;
9. Duttaa Sourabh, Ganesh Meenakshi, Anesh RP and NA. Week of
Life. INDIAN Pediatr. 2014;1082(261):8–10.
10. Rotimi VO, Olowe SA, Ahmed I. The development of bacterial flora
of premature neonates. J Hyg (Lond). 1985;94(3):309–18.
11. Purchiaroni F, Tortora A, Gabrielli M, Bertucci F, Gigante G, Ianiro
G, et al. The role of intestinal microbiota and the immune system.
Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2013;17(3):323–33.
12. Groer MW, Luciano AA, Dishaw LJ, Ashmeade TL, Miller E, Gilbert
JA. Development of the preterm infant gut microbiome: a research
priority. Microbiome . 2014;2(1):38.
13. Pier M, Guarino L. ― Microbiota and gut motility .‖
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 281 Manado, 17-19 Maret 2017
14. Korpela K. Intestinal Microbiota Development in Childhood:
Implications for Health and Disease. 2016.
15. Kasubuchi M, Hasegawa S, Hiramatsu T, Ichimura A, Kimura I.
Dietary gut microbial metabolites, short-chain fatty acids, and host
metabolic regulation. Nutrients. 2015;7(4):2839–49.
16. Moal VL-L, Servin AL. The Front Line of Eneteric Host Defense
against Unwelcome Intrusion of Harmful Microorgansims: Mucins,
Antimicrobial Peptides and Microbiota. Clin Microbiol Rev.
2006;19(2):315–37.
17. Allan Walker W. Initial intestinal colonization in the human infant and
immune homeostasis. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):8–15.
18. Kozáková H, Štěpánková R, Řeháková Z, Kolínská J. Differences in
enterocyte brush border enzyme activities in ageing rats reared in
germ-free and conventional conditions. Vol. 47, Physiological
Research. 1998. p. 253–8.
19. Davila AM, Blachier F, Gotteland M, Andriamihaja M, Benetti PH,
Sanz Y, et al. Re-print of ―intestinal luminal nitrogen metabolism:
Role of the gut microbiota and consequences for the host.‖
Pharmacol Res. 2013;69(1):114–26.
20. de La Cochetière M-F, Montassier E, Hardouin J-B, Carton T, Le
Vacon F, Durand T, et al. Human intestinal microbiota gene risk
factors for antibiotic-associated diarrhea: perspectives for
prevention. Risk factors for antibiotic-associated diarrhea. Microb
Ecol. 2010;59:830–7.
21. Gilchrist CA, Petri SE, Schneider BN, Reichman DJ, Jiang N,
Begum S, et al. Role of the Gut Microbiota of Children in Diarrhea
Due to the Protozoan Parasite Entamoeba histolytica. J Infect Dis.
2016;213(10):1579–85.
22. Sommer F, Bäckhed F. The gut microbiota--masters of host
development and physiology. Nat Rev Microbiol. 2013;11(4):227–
38.
23. Chogle A, Velasco-Benitez CA, Koppen IJ, Moreno JE, Ramírez
Hernández CR, Saps M. A Population-Based Study on the
Epidemiology of Functional Gastrointestinal Disorders in Young
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 282 Manado, 17-19 Maret 2017
Children. J Pediatr. 2016 Dec [cited 2017 Jan 3];179:139–143.e1.
24. Rana Fayez Ammoury, Marian Del Rosario Pfefferkorn JMC.
Functional gastrointestinal disorders: past and present. World J
Pediatr. 2009;5(2):103–12.
25. Eric Chiou, SN. No Title. Therapy. 2011;8(3):315–331.
26. Bachner HA. A Healthy Gut and a Healthy Brain: Implications for
Counseling and Lifestyle. VISTAS Online. 2015;Article 47.
27. Quigley EMM. Intestinal Microbiota in Health and Disease.
Gastroenterology. 2015;535(7610):7610.
28. Versalovic J. The human microbiome and probiotics: Implications for
pediatrics. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):42–52.
29. Bailey MT, Lubach GR, Coe CL. Prenatal stress alters bacterial
colonization of the gut in infant monkeys. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2004;38(4):414–21.
30. Pärtty A, Isolauri E. Gut microbiota and infant distress – the
association between compositional development of the gut
microbiota and fussing and crying in early infancy. Microb Ecol Heal
Dis. 2012;23(0):26–7.
31. Chan YK, Estaki M, Gibson DL. Clinical consequences of diet-
induced dysbiosis. Ann Nutr Metab. 2013;63(SUPPL.2):28–40.
32. Carabotti M, Scirocco A, Maselli MA, Severi C. The gut-brain axis:
Interactions between enteric microbiota, central and enteric nervous
systems. Ann Gastroenterol. 2015;28(2):203–9.
33. Collins SM, Bercik P. The Relationship Between Intestinal
Microbiota and the Central Nervous System in Normal
Gastrointestinal Function and Disease. Gastroenterology [Internet].
2009;136(6):2003–14. Available from: http://dx.doi.org/10.1053/j.
gastro.2009.01.075
34. O‘Mahony SM, Marchesi JR SP. Early life stress alters behavior,
immunity, and microbiota in rats: implications for irritable bowel
syndrome and psychiatric illnesses. Biol Psychiatry. 2009;65:263–
267.
35. Cryan JF & DT. Mind-altering microorganisms: the impact of the gut
microbiota on brain and behaviour. Nat Rev Neurosci. 2012;13:701–
12.
Reza Ranuh
KONAS VII PGHNAI 283 Manado, 17-19 Maret 2017
36. Wang X, Wang B, Zhang X, Xu Z, Ding Y, Ju G. Evidences for
vagus nerve in maintenance of immune balance and transmission of
immune information from gut to brain in STM-infected rats.
2002;8(3):540–5.
37. Forsythe P, Bienenstock J and KW. Vagal Pathways for
Microbiome-Brain-Gut Axis Communication. In: Lyte M CJ, editor.
Microbial Endocrinology: The Microbiota-Gut-Brain Axis in Health
and Disease, Advances in Experimental Medicine and Biology. New
York: Springer New York; 2014. p. 115–26.
38. Mu C, Yang Y, Zhu W. Gut microbiota: The brain peacekeeper.
Front Microbiol. 2016;7(MAR):1–11.
39. Smith PA. Brain, Meet Gut. Nature. 2015;526(7573):312.
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 284 Manado, 17-19 Maret 2017
BERBAGAI MACAM KELAINAN SALURAN CERNA YANG DAPAT
DIDIAGNOSIS MENGGUNAKAN ENDOSKOPI
Pramita G.Dwipoerwantoro
Divisi Gastrohepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Pendahuluan
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna pada anak (usia 0-18 tahun)
berkembang secara perlahan selama 30 tahun terakhir, sejak era 1970an,
dengan peningkatan aplikasi diagnostik dan terapeutik. Perkembangan
teknologi terkait desain endoskopi dan alat endoskopi tersebut
berkontribusi pada evolusi bidang endoskopi anak.1,2
Sejak 40 tahun
terakhir prosedur endoskopi saluran cerna anak berkembang dari prosedur
yang menggunakan lensa single menjadi prosedur rutin rawat jalan dengan
sedasi intravena dan menggunakan monitor TV besar.2 Saat ini prosedur
endoskopi saluran cerna anak telah mengalami perkembangan yang pesat
sejalan dengan peningkatan kompetensi spesialisasi gastroenterologi-
hepatologi anak maupun kebutuhan diagnostik dan/atau terapetik yang
memerlukan endoskopi saluran cerna.3
Penggunaan Endoskopi di Bidang Pediatrik
Teknik endoskopi di bidang pediatrik pada umumnya sama dengan
dewasa, hanya saja anatomi saluran cerna atas berbeda dalam ukuran.
Esofagus pada neonatus memiliki panjang sekitar 10cm dengan diameter
0,5cm. Posisi trakhea yang bersebelahan dengan esofagus sangat mudah
mengalami kompresi saat dilakukan endoskopi. Posisi antrum dan
duodenum proksimal membentuk sudut yang runcingsehingga memerlukan
defleksi yang cukup besar sebelum dapat intubasi ke duodenum yang
memiliki diameter 1cm.4
Prosedur EGD sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnostik
maupun terapeutik pada anak.5 Informasiyang didapatkan berupa
gambaran makroskopik maupun biopsi mukosa esofagus, lambung, dan
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 285 Manado, 17-19 Maret 2017
usus halus.6 Tindakan tersebut cukup aman walaupun kadangkala terdapat
keluhan nyeri menelan ataupun serak pasca tindakan yang dapat hilang
dengan sendirinya.6
Tindakan endoskopi saluran cerna anak di RSCM awalnya dimulai
dilakukan di Departemen Penyakit Dalam oleh Prof. Dr. dr Agus
Firmansyah,SpA(K) menggunakan skop dewasa, yang selanjutnya sejak
tahun 1999 Departemen IKA FKUI-RSCM memiliki skop anak. Awalnya
tindakan hanya menggunakan sedasi intravena gunakan diazepam
ataupun midazolam, yang selanjutnya sejak tahun 2003 Departemen
Anestesi terlibat dalam tindakan endoskopi diagnostik maupun terapetik
pada anak. Saat ini prosedur endoskopi saluran cerna Departemen IKA
RSCM - FKUI masih bergabung dengan ruang prosedur endoskopi
saluran cerna (PESC) Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM - FKUI.
Fasilitas yang dimiliki mencakup alat endoskopi saluran cerna atas (flexible
esophago gastroduodenoscopy / EGD),nasal endoscopy, endoskopi
saluran cerna bawah (flexible colonoscopy) baik untuk diagnostik maupun
terapetik dengan alat anestesi dan monitor yang lengkap.Ruang PESC
RSCM ini pun dilengkapi dengan fasilitas fluoroskopi.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna pada anak sebaiknya
dilakukan oleh seorang konsultan Gastrohepatologi Anak.7 Sejak tahun
1999 NASPGHAN (the North American Society of Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition) dan FISPGHAN (the
Federation of International Society of Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition) telah membuat panduan bagi kompetensi
konsultan gastrohepatologi termasuk kompetensi endoskopi pada anak.8,9
Pemeriksaan endoskopi diagnostik yang tersering digunakan adalah
endoskopi saluran cerna atas (EGD) dan kolonoskopi. Pemeriksaan ERCP
(endoscopic retrograde cholangio-pancreaticography) tidak sesering kedua
pemeriksaan tersebut dan biasanya dilakukan oleh spesialis
gastroenterologi dewasa. Pemeriksaan menggunakan wireless capsule
endoscopy ataupun double balloon enteroscopy pada anak belum
merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan di Indonesia. Berkat
kemajuan yang cukup pesat di bidang teknik endoskopi maupun anestesi,
maka bayi prematur bahkan yang sakit berat dapat dilakukan pemeriksaan
EGD ataupun kolonoskopi sejak hari pertama kelahiran.7
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 286 Manado, 17-19 Maret 2017
Endoskopi Saluran Cerna Atas (Esophagogastroduodenoscopy, EGD)
Sejalan dengan peningkatan penggunaan prosedur EGD pada anak sejak
era 1970an, maka insidens penyakit yang memerlukan diagnostik gunakan
EGD juga meningkat.10
Terjadi peningkatan lebih dari 12 kali terhadap
jumlah pertama kali dilakukan prosedur EGD sejak tahun 1985 sampai
2005. Selama kurun waktu 20 tahun tersebut terjadi peningkatan proporsi
pasien dengan nyeri perut berulang dari 23% menjadi 43%. Selain itu
terjadi pula peningkatan pemeriksaan EGD yang dilengkapi dengan biopsi
daerah esofagus, lambung dan duodenum sebesar 18% pada tahun 1985
menjadi 95% pada tahun 2005.10
Kelainan saluran cerna fungsional (functional gastrointestinal disorder,
FGID) merupakan kombinasi gejala saluran cerna yang terjadi berulang
ataupun kronik tanpa kelainan struktur atau gangguan kimiawi. Kriteria ini
pertama kali dipublikasi pada tahun 1999 sebagai Kriteria Roma II,11
yang
selanjutnya direvisi menjadi Kriteria Roma III pada tahun 2006 dengan
harapan meningkatkan upaya diagnosis bagi para klinisi maupun periset
yang menghadapi kasus FGID.12,13
Sebuah studi gunakan Kriteria Rome II
untuk menseleksi kandidat yang akan dilakukan EGD menunjukkan bahwa
Kriteria Rome II cukup akurat dan memberikan dampak positif dalam
mengurangi tindakan EGD yang tidak perlu.14
Gejala ―alarm‖ yang
menyertai FGID merupakan salah satu upaya skrining penentuan tindakan
EGD menurut ketentuan AAP (the American Academy of Pediatrics)
maupun NASPGHAN (Evidence D).15
Akan tetapi gejala ―alarm‖ FGID yang
erat kaitannya dengan temuan kelainan organik pada pemeriksaan EGD
adalah muntah dan gagal tumbuh.14-16
Ketentuan ini merupakan panduan
terkini indikasi dilakukannya EGD pada anak dengan nyeri perut
berulang.17
Hal ini merupakan bagian dari pediatric best practise yaitu
deteksi dini risiko terjadinya komplikasi PRG atau berikan informasi serta
keyakinan pada orangtua jika anaknya hanya menderita refluks fisiologik.17
Kemajuan teknologi dan peningkatan pengalaman teknis operator
membuahkan hasil penemuan baru dan perhatian lebih pada kelainan
inflamasi saluran cerna pada anak, antara lain esofagitis eosinofilik (EoE)
yang dianggap sebagai penyakit ‗baru‘. Konsensus mengenai EoE baru
dipublikasi pertama kali pada tahun 2007.18
Penyakit EoE adalah kelainan
yang berbeda dengan penyakit refluks gastroeasofageal (PRG) maupun
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 287 Manado, 17-19 Maret 2017
nyeri perut fungsional. Penegakkan diagnosis EoE memerlukan tindakan
endoskopi dan biopsi, karena gejala yang timbul mirip dengan penyakit
refluks gastroesofageal (PRG) yaitu nyeri dada, kesulitan makan, disfagia,
odinofagia dan impaksi makanan. Walaupun PRG dapat secara
bersamaan timbul dengan EoE, akan tetapi gejala klinis dan gambaran
patologik (lebih dari 15 eosinofil per-lapang pandang besar pada biopsi
spesimen)18,19
secara intrinsik EoE tidak respons terhadap pemberian obat
penekan asam lambung. Gambaran endoskopi yang sering didapatkan
adalah linear furrowing (garis vertical pada mukosa esophagus), eksudat
berwarna putih, cincin melingkar, mukosa seperti kertas kreps, atau striktur
esophagus (gambar 1).18
Sensitivitas diagnosis meningkat dari 55%, bila
hanya 1 buah biopsi jaringan, menjadi 94% jika dilakukan > 4 biopsi
jaringan.19
Berdasarkan panduan EGD terkini1 maka pasien yang dicurigai
mengidap penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel disease, IBD)
terindikasi untuk dilakukan EGD tanpa memperhatikan apakah terdapat
keluhan saluran cerna atas atau tidak. Adanya inflamasi duodenum berupa
kriptitis fokal secara bermakna lebih tinggi pada penyakit Crohns
dibandingkan kolitis ulseratif dan non-IBD (19% vs. 0% dan 1%; p=0,008
dan p=0,001). Nilai spesifisitas dan nilai prediksi positif kriptitis fokal pada
penyakit Crohns dibandingkan colitis ulseratif dan non-IBD adalah 99% dan
93%.20
Pada umumnya EGD dilakukan untuk keperluan diagnostik, akan
tetapi ada beberapa prosedur terapetik yang memerlukan tindakan EGD;
antara lain ekstraksi benda asing yang tertelan, impaksi bolus makanan
akibat striktur, stenosis ataupun EoE. Tertelan benda asing yang telah
melewati esofagus biasanya akan dengan sendirinya melewati anus. Akan
tetapi benda yang tajam ataupun toksik (betere) harus segera dikeluarkan.
Batere yang tertelan dapat mengakibatkan kerusakan mukosa esofagus
yang hebat dan pembentukan fistula. Begitupun bila benda yang tertelan
tersebut mengalami keterlambatan pengeluaran dari lambung maka harus
segera dikeluarkan. Tertelan magnet multipel harus segera dikeluarkan
dengan tindakan EGD karena dapat menyebabkan obstruksi usus dan
perforasi.21
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 288 Manado, 17-19 Maret 2017
Indikasi EGD terapetik yang lain adalah pemasangan gastrostomi
(percutaneous endoscopic gastrostomy, PEG) pada bayi ataupun anak
yang memerlukan pemberian enteral nutrisi jangka lama (lebih dari 4-6
minggu) melalui tabung.22,23
Tatalaksana perdarahan saluran cerna atas
menggunakan EGD bertujuan baik untuk diagnostik ataupun terapetik.
Etiologi terbanyak penyebab perdarahan non-varises adalah ulkus peptic
(lambung dan duodenum), erosi gastroduodenum, esofagitis erosive,
sobekan Mallory-Weiss, malformasi arterio-vena, lesi Dieulafoy, dan tumor
serta keganasan saluran cerna atas.24
Tata laksana perdarahan saluran
cerna atas akibat pecahnya varises esofagus menggunakan EGD dengan
teknik ligasi ataupun skleroterapi cukup aman dan efektif bagi anak
maupun bayi kecil.25
Endoskopi Saluran Cerna Bawah (Kolonoskopi)
Keamanan dan efektifitas tindakan endoskopi saluran cerna bawah
(kolonoskopi) dalam mendiagnosis kelainan maupun tindakan terapetik
telah terbukti sejak tiga dekade terakhir. Tindakan tersebut bahkan telah
diterapkan pada neonatus karena ketersediaan alat yang diperlukan.3
Indikasi kolonoskopi pada anak adalah hematoskezia, nyeri perut dan
diare. Diagnosis terbanyak saat tindakan kolonoskopi meliputi penyakit
radang usus (IBD), polip juvenile /multiple / sindrom poliposis, kolitis
alergik, kolitis infektif, tumor, anomali vaskular, dan penyakit graft-versus-
host.26
Temuan adanya polip soliter ataupun multipel pada saluran cerna
bawah akan dilanjutkan dengan polipektomi. Kondisi ini adalah temuan
terbanyak etiologi hematoskezia pada anak. Kontra indikasi absolut
tindakan kolonoskopi adalah tersangka perforasi usus dan peritonitis akut.
Perdarahan pasca tindakan biopsy ataupun polipektomi biasanya minimal
dengan prevalens sebesar 0,26% - 2,5%. Komplikasi perforasi kolon
biasanya terjadi pasca tindakan polipektomi, dengan kisaran 0,06% - 0,3%.
Bakteremia jarang terjadi walaupun pasca polipektomi ataupun tindakan
biopsi kolon multipel.26
Tindakan gunakan teknik endoskopi lainnya pada anak yang belum
berkembang dengan pesat di Indonesia adalah ERCP (endoscopic
retrograde cholangiopancretography), capsule endoscopy, double balloon
enteroscopy, narrow band imaging dan chromoen-doscopy. Saat ini
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 289 Manado, 17-19 Maret 2017
tindakan ERCP pada kelainan hepatobilier dan pankreas di Indonesia dan
beberapa negara lain masih dilaksanakan oleh konsultan gastroenterologi
dewasa.
Persiapan sebelum tindakan endoskopi pada anak
Beberapa hal penting yang berkaitan dengan persiapan sebelum tindakan
endoskopi perlu dilakukan agar tindakan endoskopi dapat dilakukan secara
aman dan efektif. Keunikan persiapan tersebut pada anak adalah harus
mempertimbangkan kondisi fisiologik anak selain kebutuhan psikososial
dan emosional anak serta kedua orangtua mereka.3,27
Sebelum tindakan
elektif dilakukan, harus mendapatkan izin orang tua/wali setelah dilakukan
penjelasan akan manfaat tindakan, prosedur yang akan dijalani, maupun
risiko yang akan dihadapi. Penjelasan manfaat dan risiko tindakan tersebut
harus disampaikan pula kepada pasien dengan bahasa yang dimengerti
sesuai dengan tingkat usia.3
Pemeriksaan laboratorium meliputi darah tepi lengkap, faktor
koagulasi, dan uji fungsi hati.28
Bila terjadi koagulopati berat maka
tindakan endoskopi merupakan kontra indikasi, dan kelainan tersebut perlu
dikoreksi sebelum tindakan endoskopi yang diperlukan dimulai.3,28
Untuk
mengurangi ansietas pasien, maka kehadiran orangtua ataupun wali pada
saat pra-sedasi diperlukan.29
Puasa sebelum tindakan dan persiapan usus
tergantung pada usia pasien dan rencana tindakan. Pada umumnya pasien
puasa makanan solid 6 jam sebelum tindakan, dan puasa minum cairan
bening dua sampai tiga jam sebelum sedasi. Bayi kurang dari 6 bulan
dapat diberikan susu formula sampai 4 jam sebelum sedasi dan pemberian
ASI atau cairan bening sampai 2 jam sebelum sedasi.5
Persiapan kolonoskopi
Persiapan tindakan kolonoskopi tergantung pada usia pasien, tingkat
kooperatif pasien, maupun pengalaman tiap pusat endoskopi yang
berbeda. Persiapan pada bayi biasanya menggunakan jumlah enema yang
tidak terlalu banyak dibandingkan pada anak besar. Prinsipnya pemberian
cairan bening (clear fluids) dilakukan 12-24 jam sebelum tindakan. Pada
bayi keseluruhannya dapat diberikan susu formula ataupun ASI. Preparat
pembersih usus tidak ada yang ideal,30
akan tetapi pengalaman
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 290 Manado, 17-19 Maret 2017
Departemen IKA FKUI-RSCM menggunakan preparat sodium fosfat
peroral cukup aman. Turner dkk telah melaporkan angka keracunan akut
menggunakan preparat tersebut cukup rendah yaitu 0,041% (3/7320
kolonoskopi).30
Antibiotik profilaksis
Sesuai dengan panduan the American Heart Association (AHA) dan the
American Society of Gastroenterological Endoscopy (ASGE) antibiotik
profilaksis direkomendasikan hanya pada kondisi tertentu. Hal tersebut
mencakup lesi jantung yang memiliki risiko tinggi ataupun sedang terhadap
terjadinya endokarditis bakterialis, kondisi neutropenia, pirau
ventrikuloperitoneal, tindakan endoskopi terapetik (insersi PEG/selang
nasojejunal, skleroterapi, dilatasi striktur).31
Adapun jenis antibiotik yang
diberikan tidak ditentukan oleh rekomendasi tersebut.
Sedasi
Tindakan EGD dan kolonoskopi pada anak pada umumnya dalam sedasi
sedang ataupun anestesi umum. Manfaat sedasi sedang adalah menjaga
refleks jalan napas dan napas spontan selama tindakan, karena pasien
anak sering mengalami komplikasi respiratorik akibat tahanan paru yang
masih tinggi selain sangat rentan dengan kondisi hipoksemia. Sedasi
menggunakan propofol merupakan merupakan metode yang paling aman
dan menyenangkan untuk mencapai kondisi sedasi yang diperlukan
tersebut.32
Prosedur endoskopi saluran cerna di Departemen IKA FKUI-RSCM
Sejak berdirinya PESC sampai saat ini, jumlah dan variasi tindakan
endoskopi saluran cerna pada anak meningkat sejalan dengan
ketersediaan fasilitas endoskopi diagnostik dan terapetik maupun fasilitas
anestesi. Jumlah dan jenis tindakan yang telah dilakukan di PESC RSCM
sejak Januari 2008 sampai dengan Desember 2016 dapat dilihat pada
Gambar 1. dan Tabel 2. berikut ini. Kasus rujukan rumah sakit luar harus
melalui Poliklinik Gastrohepatologi IKA RSCM untuk evaluasi dan
penjadwalan oleh konsultan gastroenterologi anak serta rujukan pra-
tindakan di Poliklinik Perioperatif Departemen Anestesi FKUI-RSCM.
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 291 Manado, 17-19 Maret 2017
Rentang usia pasien yang menjalani prosedur endoskopi saluran cerna
adalah usia 5 hari sampai dengan 18 tahun.
Gambar 1. Jumlah tindakan endoskopi saluran cerna Departemen IKA RSCM-
FKUI periode 2008 – 2016
Tabel 2. Diagnosis dan jumlah tindakan endoskopi saluran cerna
Departemen IKA FKUI-RSCM tahun 2013 vs. 2016
Diagnosis Jumlah Tindakan
Endoskopi
(n=194) in 2013
Jumlah Tindakan
Endoskopi
(n=458) in 2016
- Varises esofagus*
- Striktur esofagus*
- Striktur Pilorus*
- Dilatasi striktur
- GERD
- Polip soliter / multipel*
- Gastritis erosiva
- Ekstraksi benda asing*
- Gastritis kronis
- Ulkus duodenum*
- Ulkus peptikum
58
39
25
36
35
15
7
8
8
4
2
116
12
21
35
110
9
14
13
34
--
2
0
100
200
300
400
500
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah Tindakan Endoskopi
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 292 Manado, 17-19 Maret 2017
- Kolitis infektif / ulseratif
- Pemasangan NJFT*
- IBD
- Tumor kolon
- Tumor duodenum
- Pemasangan PEG*
- Peutz-Jegger syndrome*
- Achalasia*
- Rapunzel Syndrome*
- Hypertrophy Pyloric
Stenosis*
- ERCP dengan/tanpa
sten*
- Pasca transplantasi hati
- Dieulafoy Syndrome
5
3
1
1
1
--
--
--
--
--
--
--
33
80
6
1
1
7
6
3
1
1
3
1
2
Keterangan: *Endoskopi diagnostik dan terapetik. Pada 1 pasien (kasus) dapat
dilakukan tindakan terapeutik multipel
Variasi indikasi dilakukannya endoskopi diagnostik dan/ atau terapeutik
meningkat sejalan dengan berkembangnya fasilitas di PESC RSCM.
Penggunaan selang nasojejunal meningkat sejalan dengan kondisi pasien
dengan penyakit kronis/kritis yang memerlukan dukungan nutrisi
enteral.Pasien yang tidak dapat mentoleransi nutrisi enteral via selang
lambung karena adanya gastroparesis sehingga berisiko refluks
gastroesofageal yang rekuren yang dapat menyebabkan aspirasi, dapat
diatasi dengan penggunaan selang nasojejunal.
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 293 Manado, 17-19 Maret 2017
a)
b)
c)
Gambar 2. Beberapa kondisi yang memerlukan tindakan endoskopi terapetik (a.
AdenoCa gaster pada anak usia 14 tahun; b. Bayi 4 bulan dengan muntah
persisten akibat hypertrophic pylorus stenosis yang mendapat enteral nutrisi via
NGT sejak awal; c. Ulkus duodenum dengan perdarahan hebat akibat robekan
vena)
Daftar Pustaka
1. Thomson M, Tringali A, Dumonceau J-M, Tavares M, Tabbers MM,
Furlano R, et al. Paediatric Gastrointestinal Endoscopy: European
Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition and
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 294 Manado, 17-19 Maret 2017
European Society of Gastrointestinal Endoscopy Guidelines. JPGN.
2017;64(1):133-53.
2. Gilger MA. Gastroenterologic endoscopy in children: past, present, and
future. Curr Opin Pediatr. 2001;13(5):429–34.
3. Murray JA, Van Dyke C, Plevak MF, Dierkhising RA, Zinsmeister AR,
Melton LJ 3rd. Trends in the identification and clinical features of celiac
disease in a North American community, 1950-2001. Clin Gastroenterol
Hepatol 2003;1(1):19–27.
4. Barth BA, Banerjee S, Bhat YM, Desilets DJ, Gottlieb KT, Maple JT, et
al. Equipment for pediatric endoscopy. Gastrointest Endosc. 2012;76:8-
17.
5. ASGE Standards of Practice Committee: Lightdale JR, Acosta R,
Shergill AK, Chandrasekhara V, Chathadi K, Early D, et al. Modification
in endoscopic practice for pediatric patients. Gastrointest Endosc.
2014;79:699-710.
6. Samer Ammar M, Pfefferkorn MD, Croffie JM, Gupta SK, Corkins MR,
Fitzgerald JF. Complications after outpatient upper GI endoscopy in
children: 30-day follow-up. Am J Gasterol 2003;98:1508–11.
7. Friedt M, Welsch S. An update on pediatric endoscopy. Eur J Med Res.
2013;18:24. doi: 10.1186/2047-783X-18-24.
8. Thomson M, Elawad M, Barth B, Seo JK, Vieira M. Worldwide strategy
for implementation of pediatric endoscopy. Report of the FISPGHAN
Working Group. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;55:636-9.
9. Rudolph CD, Winter HS. NASPGN guidelines for training in pediatric
gastroenterology. NASPGN Executive Council, NASPGN Training and
Education. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1999; 29:S1-S26.
10. Franciosi JP, Florino K, Ruchelli F, Shults J, Spergel J, Liacouras CA, et
al. Changing indications for upper endoscopy in children during a-20
year periode. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;51:443-7.
11. Rasquin-Weber A, Hyman PE, Cucchiara S, Fleisher DR, Hyams JS,
Milla PJ, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders. Gut.
1999;45 Suppl 2: 1160-8.
12. Hyman PE, Lilla PJ, Benninga MA, Davidson JP, Fleisher DF, Taminiau
J. Chilshood functional gastrointestinal disorders: neonate/toddler.
Gastroenterology. 2006;130:1519-26.
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 295 Manado, 17-19 Maret 2017
13. Rasquin AC, Di Lorenzo C, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano
A, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders:
Child/adolescent. Gastroenterology. 2006;130:1527-37.
14. Miele E, Giannetti E, Martinelli M, Tramontano A, Greco L, Staiano A.
Impact of the Rome II paediatric criteria on the appropriateness of the
upper and lower gastrointestinal endoscopy in children. Aliment
Pharmacol Ther. 2010;32:582-90.
15. Di Lorenzo C, Colletti RB, Lehmann HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams
JS, et al. Chronic abdominal pain in children: a clinical report of the
American Academy of Pediatrics and the North American Society for
Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2005;40:245-61.
16. Thakkar K, Chen I, Tatevian N, Shulman RJ, McDhuffie A, Tsou M, et
al. Diagnostic yield of oesophagogastroduodenoscopy in children with
abdominal pain. Aliment Pharmacol Ther. 2009;30:662-9.
17. Lightdale JR, Gremse DA; Section on Gastroenterology, Hepatology,
and Nutrition. Gastroesophageal reflux: Management guidance for the
pediatrician. Pediatrics. 2013;131 (5):e1684-95.
18. Furuta GT, Liacouras CA, Collins MH, Gupta SK, Justinich C, Putnam
PE, et al. Eosinophilic esophagitis in children and adults: A systematic
review and consensus recommendations for diagnpsos and treatment.
Gastroenterology. 2007;133:1342–63.
19. Pellicano R, De Angelis C, Ribaldone DG, Fagoonee S, Astegiano M.
2013 Update on celiac disease and eosinophilic esophagitis. Nutrients.
2013;5:3329-36.
20. Hummel TZ, ten Kate FJW, Reitsma JB, Benninga MA, Kindermann A.
Additional value of upper tract GI endoscopy in the diagnostic
assessment of childhood IBD. J Gastroenterol Hepatol Nutr.
2012;54:753-7.
21. Behrens R. Ingestion of foreign bodies in the gastrointestinal tract of
children and adolescent. HNO. 2012;60:781-7.
22. Braegger C, Decsi T, Dias JA, Hartman C, Kolacek S, Koletzko B, et al.
Practical approach to pediatric enteral nutrition: A comment by the
EPSGHAN Committee on nutrition, J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2010;51:110-22.
Pramita G.Dwipoerwantoro
KONAS VII PGHNAI 296 Manado, 17-19 Maret 2017
23. Frohlich T, Richter M, Carbon R, Barth B, Kohler H. Review article:
Percutaneous endoscopic gastrostomy in infants and children. Aliment
Pharmacol Ther. 2010;31:788-801.
24. Khamaysi I, Gralnek IM. Acute upper gastrointestinal bleeding (UGIB) –
Initial evaluation and management. Best Pract Res Clin Gastroenterol.
2013;27:633-8.
25. Zargar, SA, Javid G, Khan BA, Yattoo GN, Shah AH,Gulzar GM, et al.
Endoscopic ligation compared with schlerotherapy for bleeding
esophageal varices in children with extrahepatic portal venous
obstruction. Hepatology. 2002;36:666-72.
26. Park JH. Role of colonoscopy in the diagnosis and treatment of pediatric
lower gastro-intestinal disorders. Korean J Pediatr. 2010;53:824-9.
27. Gorospe EC, Oxentenko AS. Preprocedural considerations in
gastrointestinal endoscopy. Mayo Clin Proc. 2013;88:1010-6.
28. Giles E, Walton-Salih E, Shah N, Hinds R. Routine coagulation
screening in children undergoing gastrointestinal endoscopy does not
predict those at risk of bleeding. Endoscopy. 2006;38:508-10.
29. Messeri A, Caprilli S, Busoni P. Anesthesia induction in children: A
psychological evaluation of the efficiency of parents‘ presence. Paediatr
Anaesth. 2004;14:551-6.
30. Turner D, Levine A, Weiss B, Hirsh A, Shamir R, Shaoul R, et al.
Evidence-based recommendations for bowel cleansing before
colonoscopy in children: A report from a national working group.
Endoscopy. 2010;42:1063-70.
31. Hirota WK, Petersen K, Baron TH, Goldstein JL, Jacobson BC,
Leighton JA, et al. Guidelines for antibiotic prophylaxis for GI
endoscopy. Gastrointest Endosc. 2003;58:475-82.
32. van Beek EJ, Leroy PL. Safe and effective procedural sedation for
gastrointestinal endoscopy in children. J Pediatr gastroenterol Nutr.
2012;54:171-85.
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 297 Manado, 17-19 Maret 2017
TATALAKSANA NUTRISI PADA PENYAKIT HATI KRONIS
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unsrat/RSUP Prof.dr.R.D. Kandou, Manado
Pendahuluan
Dalam 60 tahun terakhir, ilmu hepatologi anak telah banyak mengalami
perkembangan baik dalam hal diagnosis dan tatalaksana. Gagal tumbuh
dan malnutrisi selalu menjadi faktor yang penting dalam tatalaksana
hepatologi pada anak. Hati memegang peranan penting dalam
metabolisme, abnormalitas yang terjadi pada penyakit hati kronik
mengakibatkan terjadinya defisiensi nutrien dan metabolisme. Kebutuhan
nutrisi tergantung dari jenis penyakit hati yang diderita, usia penderita, dan
apakah penyakit hati tersebut bersifat akut atau kronik. Pada penyakit hati
akut seperti hepatitis viral akut malnutrisi jarang terjadi akan tetapi pada
gagal hati fulminant, modifikasi nutrisi diperlukan untuk mengatasi
ensefalopati hepatikum. Penyakit hati kronis dapat bersifat kolestatik atau
non-kolestatik dan kebanyakan berhubungan dengan malnutrisi.1
Pada penyakit hati kronis, metabolisme, absorpsi dan penyimpanan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dapat terganggu sehingga
berpotensi mengalami malnutrisi.2 Malnutrisi pada penyakit hati kronis perlu
ditangani secara khusus karena apabila tidak dikelola secara efektif akan
berdampak serius terhadap luaran jangka panjang dan kelangsungan
hidup pasien.3
Masalah Nutrisi
Hati adalah organ tubuh yang paling besar, dan merupakan pusat
metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks antara lain (1)
mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, membentuk glikogen,
memecah glikogen sesuai kebutuhan, (2) mengubah protein menjadi
glukosa, sintesis albumin, globulin, fibrinogen, protombin, dan transferrin,
mengeluarkan sisa nitrogen (ammonia), menyediakan transaminase,
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 298 Manado, 17-19 Maret 2017
sintesis purin dan pirimidin, membentuk amin melalui dekarboksilasi, (3)
sintesis trigliserida, membentuk sintesis trigliserida, membentuk very low
density lipoprotein (VLDL), oksidasi asam lemak untuk energi dan keton,
(4) sintesis kolesterol dari asetat, membuat high-density lipoproteins
(HDLs), (5) tempat menyimpan vitamin A, D, E, K dan sedikit vitamin B12
dan C, (6) hidroksilasi vitamin D untuk akitvasi renal, mengaktifkan asam
folat menjadi tetrahidrofolat (THFA), (7) tempat menyimpan mineral (Fe,
Mangan, Zn, Mg), (8) detoksifikasi, (9) memproduksi asam empedu.2
Penyakit hati kronis memiliki karakteristik berupa penurunan atau
tidak adanya sekresi empedu ke dalam usus sehingga menimbulkan
kolestasis dan masalah nutrisi. Penyebab tersering penyakti hati kronis
pada anak adalah atresia bilier. Sindrom Allagille, Progressive familial
intrahepatic cholestasis (PFIC), berbagai macam infeksi, gangguan
kromosom, gangguan metabolisme, kelainan bawaan sintesis asam
empedu semuanya dapat mengakibatkan penyakit hati kronis. Pada usia
remaja dan dewasa muda penyakit hati kronis lebih sering diakibatkan oleh
hepatitis autoimun, primary biliary cirrhosis atau primary sclerosing
cholangitis.4
Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya
sekresi cairan empedu. Cairan empedu akan tertahan dalam hati sehingga
menimbulkan kerusakan hepatosit. Secara teoritis, retensi asam empedu
akan merusak membran sel. Pengendapan yang terjadi akan mengganggu
membrane fluidity dan fungsinya. Di lain pihak retensi kolesterol
menyebabkan peningkatan kolesterol dalam membran sel sehingga akan
mengurangi fungsi membran dan akhirnya akan mengakibatkan kegagalan
total sekresi empedu. Gangguan aliran empedu ke usus mengakibatkan
tidak adanya asam empedu di dalam usus sehingga absorpsi lemak dan
vitamin larut lemak berkurang. 2,4
Secara klinis kolestasis dibedakan atas kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik. Pada kolestasis ekstrahepatik yang dapat muncul adalah
atresia bilier, dengan insiden 1 : 10.000 - 15.000 kelahiran hidup. Pada
keadaan kolestasis ekstrahepatik terapi yang dianjurkan adalah operasi,
namun untuk kolestasis intrahepatik dianjurkan pemberian obat dan terapi
suportif.2
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 299 Manado, 17-19 Maret 2017
Patofisiologi Masalah Nutrisi
Asupan makanan yang tidak adekuat merupakan dasar patofisiologi
malnutrisi pada anak dengan penyakit hati kronis. Status nutrisinya
diperberat dengan penurunan absorpsi makronutrien (lemak, karbohidrat,
dan protein). Pada usia yang lebih muda lemak merupakan sumber energi
utama (lebih dari 50% total asupan energi). Asam lemak esensial dan
asam lemak rantai panjang sangat diperlukan untuk perkembangan dan
fungsi beberapa organ sebagai contoh sistem saraf pusat. Absorpsi
mikronutrien juga terpengaruhi pada penyakit hati kronis, terutama
absorpsi beberapa vitamin larut lemak (A, D, E, dan K).4
Malnutrisi energi protein merupakan kondisi yang terjadi pada seluruh
tahap penyakit hati kronis dan biasanya terdapat pada 65-90% pasien
dengan penyakit tahap lanjut. Malnutrisi sudah mulai terjadi pada tahap
awal penyakit hati dan terdapat hubungan antara tingkat keparahan
penyakit dengan derajat malnutrisi.5
Pasien yang menderita kolestasis lebih rentan terhadap defisiensi
kalori dan vitamin larut lemak. Pasien dengan masalah hepatoselular lebih
rentan terhadap defisiensi protein. Pasien dengan sirosis memiliki risiko
terhadap defisiensi mikronutrien. Deteksi dini terhadap defisiensi
makronutrien dan mikronutrien sangatlah penting karena tatalaksana nutrisi
terbukti dapat mengurangi risiko infeksi, mencegah komplikasi tahap lanjut,
mortalitas rumah sakit, dan memperbaiki fungsi hati.
1. Penurunan Asupan Makanan
Penurunan asupan makanan merupakan salah satu penyebab utama
malnutrisi. Anoreksia, perubahan persepsi rasa, cepat kenyang, mual, dan
muntah adalah keluhan umum pada anak dengan penyakit hati kronis dan
berkontribusi terhadap kekurangan asupan kalori dan protein. Metabolisme
asam amino meningkatkan kadar triptofan plasma dan aktivitas
serotonergik otak berkontribusi terhadap anoreksia. Anoreksia dapat
mengakibatkan peningkatan kadar tumor necrosis factor dan leptin
sehingga menekan keinginan untuk makan. Penurunan sensasi rasa yang
terkait dengan kekurangan mineral berkontribusi terhadap asupan oral
yang rendah, kemudian mengakibatkan malnutrisi. Rasa mual dan kenyang
pada penyakit hati kronis diperkirakan berhubungan dengan berbagai
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 300 Manado, 17-19 Maret 2017
penyebab, termasuk gastroparesis, asites, dismotilitas halus, pertumbuhan
bakteri yang berlebihan, dan efek samping terapi medis yang merugikan.3
Organomegali dan asites dapat mempengaruhi jumlah asupan
makanan karena keadaan ini mengurangi kapasitas lambung. Sebagai
tambahan, berbagai macam modifikasi nutrisi seperti pembatasan terhadap
asupan natrium, cairan, dan protein membuat rasa makanan menjadi lebih
tidak enak. 4
2. Gangguan Penyerapan Makanan
Malabsorpsi berkontribusi terhadap kejadian malnutrisi. Masalah utama
pada pasien dengan gangguan hati tahap lanjut adalah berkurangnya
produksi garam empedu sehingga mengakibatkan penurunan ekskresi
empedu dan pada akhirnya akan menimbulkan masalah dalam absorpsi
lemak. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar asupan energi total
pada anak berasal dari lemak.3
Selain itu, dekonjugasi garam empedu dari bakteri yang berlebih,
dapat mengakibatkan malabsorpsi lemak dengan mengurangi jumlah asam
empedu terkonjugasi yang tersedia untuk memfasilitasi penyerapan lemak
dan vitamin yang larut dalam lemak pada misel usus. Pasien dengan
penyakit hati dapat mengalami progresi menjadi hipertensi portal,
mengakibatkan enteropati dengan kongesti pembuluh darah yang akhirnya
akan berkontribusi terhadap gangguan absorpsi nutrien.3
3. Peningkatan Energy Expenditure
Basal metabolic rate (BMR) merupakan kebutuhan energi minimal
yang diperlukan untuk metabolisme dan pertumbuhan. BMR akan
menentukan besarnya Energy expenditure. Anak dengan gangguan hati
kronis BMR-nya akan meningkat, hal ini didukung oleh berbagai penelitian
yang sudah dilakukan.4
Hipermetabolisme ditemukan pada sepertiga pasien dengan sirosis,
dengan kebutuhan energi yang meningkat sebanyak 140% dari perkiraan
kebutuhan harian.24
Meskipun penyebab pasti dari hipermetabolisme pada
gangguan hati kronis masih belum jelas, faktor predisposisi tertentu telah
diidentifikasi. Salah satu faktor tersebut adalah asites. Asites meningkatkan
pengeluaran energi. Faktor predisposisi lain adalah infeksi. Individu dengan
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 301 Manado, 17-19 Maret 2017
penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko infeksi karena
penurunan γ-globulin dan faktor komplemen yang penting dalam
melindungi tubuh dari infeksi virus dan bakteri. Hipertensi portal
memberikan kontribusi untuk peningkatan pengeluaran energi sehingga
terlihat bahwa pengobatan hipertensi portal mampu menurunkan
hipermetabolisme.3
4. Gangguan Metabolisme
Pasien dengan gangguan hati tahap lanjut memiliki pola metabolisme
yang berubah sehingga ada transisi dari penggunaan karbohidrat sebagai
sumber energi utama menjadi penggunaan cadangan lemak untuk sumber
energi.10
Akibat penurunan fungsi hati, terjadi penurunan penyimpanan
glikogen di hati dan otot serta peningkatan penggunaan lemak dan asam
amino sebagai bahan bakar alternatif. Hal ini mengakibatkan pengecilan
otot, hiperamonemia, hipoproteinemia, hipoglikemia, dan penurunan
sirkulasi trigliserida sekunder dari peningkatan oksidasi lemak.3
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien dengan penyakit hati kronis bervariasi tergantung
dari gangguan metabolisme yang terjadi. Pada umumnya pasien
mengalami muntah dan anoreksia akibat kompresi lambung oleh
organomegali dan asites, diare juga dapat terjadi akibat malabsorpsi.6
Karakteristik fisik pada pasien dengan penyakit hati kronis menjelaskan
mengapa pengukuran BB/U tidak cukup untuk menilai status nutrisi. Anak
dengan penyakit hati kronis biasanya perutnya tampak cembung dan
ekstremitas terlihat kurus. Penurunan ukuran lingkar lengan atas
merupakan perubahan yang pertama kali timbul, diikuti dengan penurunan
tebal lipatan kulit. Lingkar perut pasien lama kelamaan akan bertambah
besar menyamai ukuran lingkar dada. Apabila tidak ada komplikasi riketsia
akibat defisiensi vitamin D, TB/U merupakan ukuran antropometrik terakhir
yang akan turun.3
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 302 Manado, 17-19 Maret 2017
Tatalaksana Nutrisi
Tatalaksana nutrisi pada penyakit hati kronis bertujuan untuk menunjang
pertumbuhan optimal, mempertahankan massa tubuh, mengurangi retensi
cairan, mencegah ensefalopatihepatik, mengurangi katabolisme protein,
memberikan cairan untuk mencegah dehidrasi, dan mengurangi morbiditas
dan mortalitas yang terkait dengan malnutrisi.2
Prinsip dasar asuhan nutrisi pediatrik juga berlaku untuk tatalaksana
nutrisi pada penyakit hati kronis, yakni:
1. Penilaian status nutrisi dan pengkajian masalah nutrisi
2. Perhitungan kebutuhan gizi
3. Penentuan rute makanan
4. Pemilihan jenis makanan
5. Pemantauan (monitoring) dan evaluasi asuhan nutrisi
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 303 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 1. Manifestasi klinis dan etiologi masalah nutrisi pada gangguan hati.7
Nutrien Manifestasi Etiologi
Protein Stunting, muscle wasting
Keterlambatan perkembangan motorik
Asites atau edema perifer
Koagulopati
Ensefalopati Hepatikum
Malnutrisi energi protein,
penurunan sintesis insulin-like
growth factor 1.
Penurunan sintesis albumin
Gangguan sintesis faktor
pembekuan
Penurunan metabolisme asam
amino aromatik
Lemak Steatorrhea, defisiensi asam lemak
esensial, defisiensi vitamin larut lemak.
Hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia
(xanthomas)
Kegagalan penyerapan di usus,
penurunan asupan asam lemak
esensial
Kegagalan metabolisme lipid di
hati
Karbohidrat Hiperglikemia
Hipoglikemia saat puasa
Resistensi insulin yang
mengakibatkan kegagalan
sintesis glikogen di hati dan otot
Penurunan simpanan glikogen
dengan disfungsi hepatoselular
Vitamin A Rabun senja, degenerasi retina,
xerophthalmi, gagal tumbuh,
hyperkeratosis
Gangguan absorpsi
intratintestinal
Vitamin D Riketisia, osteoporosis, cranial bossing,
pembesaran epifiseal, ubun-ubun kepala
membuka persisten.
Gangguan penyerapan
intraintestinal, penurunan 25-
hidroksilasi di hati
Vitamin E Neuropati perifer, ataksia, anemia
hemolitk.
Gangguan absorpsi
intraintestinal
Vitamin K Koagulopati, manifestasi perdarahan
seperti lebam, masalah tulang
Gangguan absorpsi
intraintestinal
Mineral Kadar Fe, Mangan, Zinc, Selenium, dan
Kalsium rendah
Gangguan absorpsi
intraintestinal
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 304 Manado, 17-19 Maret 2017
Gambar 1. Langkah-langkah melakukan asuhan nutrisi pediatrik
Oral
Jangka Pendek
-Nasogastrik
-Nasoduodenal
-Nasojejunal
Jangka Panjang
-Gastrostomi
-Jejunostomi
Fungsi
kembali
normal
Nilai fungsi oromotor
Tidak ada
gangguan
Ada gangguan
Baik
Terganggu
2.Penentuan Kebutuhan:
Tentukan kebutuhan zat gizi menurut height for age
3.PenentuanCara Pemberian:
Tentukan status gizi dan masalah nutrisi
1.Assessment:
Tentukan status gizi dan masalah
nutrisi
Nutrisi Enteral:
-Sesuai kelompok umur
-Formula medis khusus
(Polimerik,Oligomerik,Modular)
Nutrisi Parenteral:
-Rute perifer (≤7 hari)
-Rute sentral (>7 hari)
4.Penentuan Jenis Makanan:
(Polimerik, Oligomerik, Modular)
5.Pemantauan dan Evaluasi
-Akseptabilitas
-Toleransi (reaksi simpang)
-Efektivitas (pertambahan BB)
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 305 Manado, 17-19 Maret 2017
1. Penilaian status nutrisi
Penilaian status nutrisi terdiri dari dua penilaian, yakni penilaian kondisi
umum dan penilaian pertumbuhan. Penilaian kondisi umum pada pasien
dengan penyakit hati kronis dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang untuk menilai berbagai faktor yang akan
mempengaruhi morbiditas atau mortalitas pasien, dan secara khusus tata
laksana nutrisi yang akan diberikan. Penilaian pertumbuhan dilakukan
dengan menggunakan dua jenis grafik yaitu grafik WHO 2006 dan grafik
CDC 2000. Grafik WHO 2006 digunakan untuk anak usia 0 – 5 tahun dan
grafik CDC 2000 digunakan untuk anak berusia diatas 5 tahun.
Penilaian status nutrisi pada pasien dengan penyakit hati kronis tidak
mudah karena pertambahan berat badan dapat diakibatkan adanya
hepatosplenomegali ataupun ascites. Pengukuran lingkar lengan atas dan
tebal lipatan kulit secara serial berguna untuk memperkirakan lemak tubuh
dan massa otot. Pengukuran anggota gerak atas tidak dipengaruhi oleh
edema sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai
status nutrisi secara keseluruhan.4,6
2. Perhitungan kebutuhan nutrisi
Kebutuhan nutrisi yang diberikan mencakup kebutuhan energi total,
kebutuhan makronutrien (protein, karbohidrat, dan lipid), serta kebutuhan
mikronutrien dan elektrolit. Asupan cairan dan natrium harus diperhatikan,
asites dan edema dapat mengakibatkan perubahan berat badan sehingga
tampak sebagai kenaikan berat badan. Hipoalbuminemia dapat
menggambarkan gangguan fungsi sintetis hati seperti pada manutrisi
energi protein.
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 306 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 2. Alat ukur dan kebutuhan nutrisi pada anak dengan penyakit hati kronis.3
Nutrien Alat Ukur Tatalaksana
Energi Antropometri
Tebal lipatan kulit
Target kalori 130%-180% dari RDA
berdasarkan persentil 50 menurut
BB/TB
MCT: 1-2 ml/kg/hari dalam 2-4
dosis
Tambahkan glukosa polimer dan
makan malam tambahan via NGT
Defisiensi asam
lemak esensial
Rasio Triene–tetraene > 0.3
Asam linoleat menurun
MInyak sayur atau emulsi lemak
intravena
Defisiensi
Vitamin A
Rasio Retinol–RBP < 0.8 or
serum retinol <20 mcg/dL
Xerosis
Bercak Bitot
Vitamin A: 5000-25,000 units/hari per
oral dalam sediaan larut air
Defisiensi
Vitamin D
Kadar Vitamin D serum (25-
OHD) <30 ng/mL
Ergokalsiferol: 3-10 kali RDA
Kolekalsiferol berdasarkan berat dan
kadar vitamin D:
BB >40 kg
<10 ng/mL: 5000 units/hari
11-19 ng/mL: 4000 units/hari
20-29 ng/mL: 3000 units/hari
BB <40 kg
<10 ng/mL: 100 units/kg/hari
11-19 ng/mL: 75 units/kg/hari
0-29 ng/mL: 50 units/kg/hari
Defisiensi
Vitamin E
Kadar Vitamin E
Rasio Vitamin E–lipid total
lipid:
<0.6 mg/g (Usia <1 thn)
<0.8 mg/g (Usia >1 thn)
α-Tocopherol (acetate): 25-200
IU/kg/hari
TPGS: 15-25 IU/kg/hari
Defisiensi
Vitamin K
PT memanjang
Peningkatan PIVKA-II
Vitamin K: 2.5-5 mg, 2-7 kali/minggu
Vitamin K IV mungkin dibutuhkan.
Defisiensi
vitamin larut air
Kadar vitamin serum Multivitamin minimal 100% dari RDA
Defisiensi
Trace element
Zinc plasma <60 mcg/dL Zinc Elemental: 1 mg/kg/hari
Defisiensi besi Penurunan kadar besi dan
peningkatan TIBC
Fe Elemental: 5-6 mg/kg/hari
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 307 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 3. Rekomendasi suplementasi vitamin dan mineral pada pasien kolestasis.6
Sediaan Dosis
Vitamin A Vitamin A 5.000-25.000 IU/hari
Vitamin D Vitamin D 200 – 1000 IU/hari
Vitamin E Vitamin E cair 15 – 25 IU/kg/hari
Vitamin K Vitamin K1 2,5-5 mg/hari, setiap 2-3 hari
Zinc Zinc sulfate 1 mg/kg/hari
Kalsium Kalsium elemental 25-100 mg/kg/hari
Fosfor Fosfor elemental 25-50 mg/kg/hari
3. Penentuan rute makanan
Pemberian makan secara oral merupakan cara pemberian zat gizi yang
alamiah dan ideal. Jika pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan padat,
maka diberikan dalam bentuk cair. Apabila cara tersebut tidak
memungkinkan atau tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi secara
lengkap, dalam pelaksanaan asuhan nutrisi terdapat dua macam alternatif,
yaitu pemberian nutrisi secara enteral atau parenteral. Kedua cara
pemberian tersebut dikenal dengan istilah nutritional support. 8
Nutrisi enteral terindikasi jika pemberian makanan per oral dan
keadaan lambung tidak memungkinkan atau tidak dapat memenuhi
kebutuhan gizi dengan syarat fungsi usus masih baik. Rute nutrisi enteral
dapat melalui oral ataupun melalui pipa makanan. Pemberian nutrisi
enteral lebih aman, mudah, murah, dibandingkan dengan pemberian nutrisi
parenteral. Keuntungan lain dari nutrisi enteral adalah bentuknya fisiologis
dan komposisi zat gizinya lengkap. Nutrisi parenteral baru dipertimbangkan
jika nutrisi enteral tidak memungkinkan.8
Untuk mengkompensasi peningkatan kebutuhan energi dan
anoreksia, pemberian makanan lewat pipa makanan dapat membantu. Drip
nasogastrik secara kontinyu dapat dipilih untuk memaksimalkan asupan
nutrien dalam keadaan berkurangnya volume lambung, muntah, asites,
dan hipoglikemia yang mengakibatkan berkurangnya absorpsi nutrient jika
makanan diberikan dalam bentuk bolus feeding.8
Nutrisi parenteral dipilih sebagai jalur nutrisi pada pasien yang tidak
memungkinkan menerima asupan makanan lewat jalur oral, selang
nasogastrik, atau pasien yang menolak untuk makan via oral. Walaupun
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 308 Manado, 17-19 Maret 2017
terdapat kontroversi dalam penggunaanya terkait risiko hepatotoksisitas,
jalur parenteral dapat digunakan untuk jangka waktu pendek. 9
Penyakit hati terkait nutrisi parenteral memiliki manifestasi gejala
kuning dan failure to thrive. Secara histologi sesuai dengan gambaran
kolestasis intrahepatik dan dapat menjadi fribrosis bahkan sirosis dengan
penggunaan nutrisi parenteral terus menerus. Gejala kuning biasanya
tampak 2 minggu setelah pasien diberikan nutrisi parenteral. Diagnosis
ditegakkan bila pada pemeriksaan laboratorium hasil bilirubin indirek > 2
mg/dl tanpa disertai penyakit hati lainnya. Tatalaksana utama sampai saat
ini adalah menghentikan pemakaian nutrisi parenteral dan pemberian
nutrisi dilanjutkan secara enteral.10
Apabila kolestasis diakibatkan oleh pemakaian nutrisi parenteral dalam
jangka waktu panjang, pengurangan dosis lipid intravena sebesar 1-2
g/kg/hari dapat dipertimbangkan. Penggunaan sediaan lipid alternatif
harus dipertimbangkan karena sediaan lipid yang berbasis kedelai dicurigai
menyebabkan gangguan hati yang diakibatkan oleh kegagalan usus.10
4. Pemilihan jenis makanan
Pemilihan jenis formula yang digunakan untuk nutrisi enteral pada pasien
dengan kebutuhan nutrisi khusus tergantung pada pasien (umur, diagnosis,
masalah gizi, terkait, kebutuhan nutrisi, dan fungsi gastrointestinal) serta
faktor formula (osmolalitas, renal solute load, kekentalan kalori, komposisi
zat gizi: jenis karbohidrat, protein, lemak, ketersediaan produk serta harga).
Penggunaan makanan komersial adakalanya diperlukan dengan alasan
praktis, efisien, tidak memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan,
terkandung zat gizi obat (medicinal nutrient) untuk memenuhi kebutuhan
makro dan mikronutrien, meskipun dari segi harga lebih mahal.
Air susu ibu dan susu formula merupakan pilihan bentuk makanan
yang mayoritas digunakan pada nutrisi enteral. Pada anak dengan penyakit
hati kronis kebutuhan energi meningkat 120-150% dari RDA. Untuk
memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, dapat diberikan susu formula
padat kalori atau diperkaya dengan suplemen tambahan seperti polimer
glukosa atau lemak terutama dari golongan Medium Chain Tryglycerides
(MCT). 11
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 309 Manado, 17-19 Maret 2017
Mayoritas susu formula bayi tidak cukup mengandung minyak MCT
yang dibutuhkan untuk penderita kolestasis. Sekitar 30%-60% dari total
lemak harus tersedia sebagai minyak MCT, dengan 40% dari LCFAs.
Selain itu, minyak MCT dapat diberikan secara terpisah dengan dosis total
harian 1-2 ml/kg/hari dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Meskipun
suplementasi minyak MCT penting dalam pengelolaan gizi pada anak
dengan ESLD, minyak MCT bukanlah sumber asam lemak esensial yang
layak. Oleh karena itu, penting untuk memastikan asupan LCFAs yang
cukup untuk mencegah defisiensi asam lemak esensial.4
5. Pemantauan dan evaluasi
Respons pasien terhadap peberian makan dinilai dengan cara melakukan
berbagai jenis kegiatan evaluasi. Penilaian mencakup respons jangka
pendek dan jangka panjang.
Respons jangka pendek adalah daya terima (akseptansi) makanan.
Toleransi saluran cerna dan efek samping di saluran cerna. Respons
jangka panjang adalah menilai penyembuhan penyakit serta tumbuh
kembang anak. Kegiatan evaluasi tersebut sebaiknya dilakukan pada
setiap pasien dengan melakukan aktifitas pengamatan yang dicatat
perawat, pemeriksaan fisik oleh dokter, analisis diet oleh ahli gizi,
pemeriksaan laboratorium dan antropometri sesuai dengan keperluan
masing-masing pasien. Evaluasi ini diperlukan untuk menentukan kembali
upaya pemenuhan kebutuhan gizi, karena penentuan kebutuhan gizi dan
pemberiannya tidak diketahui secara pasti sampai teruji dampaknya pada
pasien.
Komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutrisi enteral dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu mekanis, gastrointestinal, dan
infeksi
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 310 Manado, 17-19 Maret 2017
Tabel 4. Tatalaksana komplikasi nutrisi enteral
Masalah Pencegahan/Intervensi
Mual dan
muntah
Posisi kepala lebih tinggi
Pertimbangkan penggunaan obat-obat prokinetik
Mulai pemberian makan melalui pipa dengan kecepatan
rendah kemudian ditingkatkan bertahap
Pertimbangkan rute makanan berselang-seling misalnya
duodenal/jejunal.
Konstipasi
Tingkatkan asupan air
Disimpaksi manual
Pilih formula yang mengandung serat atau tambahkan serat
Diare
Konsultasikan pada ahli farmasi tentang kemungkinan efek
samping obat dan kemungkinan penghentiannya
Cari kemungkinan adanya sorbitol pada label obat oral
Pertimbangkan pemberian makan secara kontinyu, dimulai
dengan kecepatan lambat, bertahap dipercepat sesuai
dengan toleransi
Kurangi kecepatan pemberian makan sampai dapat
ditoleransi.
Komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutisi parenteral
dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu mekanis atau teknis, infeksi, dan
metabolik. Komplikasi mekanis atau teknis adalah yang berkaitan dengan
pemasangan kateter, antara lain pneumotoraks, hemotoraks, tamponade
jantung atau malfungsi peralatan. Insidens sepsis akibat nutrisi parenteral
berkisar 6-20%. Diagnosis serta tatalaksana dini komplikasi sepsis sangat
menentukan prognosis, oleh sebab itu setiap demam pada nutrisi
parenteral ditatalaksana sebagai sepsis sampai terbukti bukan. Komplikasi
metabolik akibat nutrisi parenteral yang tersering adalah kolestasis,
terutama pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral lebih dari 2 minggu.12
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 311 Manado, 17-19 Maret 2017
Penutup
Malnutrisi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit hati
kronis dan akan menimbulkan konsekuensi berat jika tidak ditangani.
Penyakit hati kronis pada usia muda meningkatkan risiko terjadinya
malnutrisi karena cadangan nutrisinya tidak sebesar anak yang berusia
lebih tua.
Langkah awal penanganan masalah nutrisi adalah penentuan status
nutrisi terutama ukuran lingkar lengan atas, penentuan kebutuhan gizi
dengan meningkatkan jumlah asupan makronutrien diikuti asupan
suplemen vitamin larut lemak dalam jumlah banyak. Pemasangan pipa
makanan lewat hidung ataupun mulut dipertimbangkan apabila nafsu
makan menurun, sangat penting untuk melanjutkan makanan secara oral
untuk mempertahankan keterampilan makan.
Pemilihan jenis makanan disesuaikan dengan kondisi klinis pasien
dimana mencakup glukosa polimer, lemak MCT, penambahan protein, dan
vitamin larut lemak dengan harapan dapat mencukupi kebutuhan energi
yang meningkat. Pemantauan dan evaluasi diperlukan untuk menilai
akseptabilitas, toleransi, dan tumbuh kembang pasien dikemudian hari.
Daftar Pustaka
1. Cameron R, Kogan-Liberman D. Nutritional Considerations in Pediatric
Liver Disease. Pediatrics in Review; 2014: 35: 493-96.
2. Nasar SS, Djoko S, Hartati SAB, Budiwiarti YE. Penuntun Diet Anak.
Edisi ketiga. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2015. h. 120-26
3. Sultan MI, Leon CDG, Biank VF. Role of Nutrition in Pediatric Chronic
Liver Disease. Nutrition in Clinical Practice; 2011. 26: 401-08.
4. Los EL, Lukovac S, Werner A, Dijkstra T, Verkade HJ, Rings EHHM.
Nutrition for Children with Cholestatic Liver Disease. In: Cookie RJ,
Vandenplas Y, Wahn U, editors. Nutrition support for infants and
children at risk. Basel: Nestle Nutr Workshop Ser Pediatr Program,
2007. 59: 147-59.
HA Tangkilisan, Sarah Maria Warouw
KONAS VII PGHNAI 312 Manado, 17-19 Maret 2017
5. Silva M, Gomes S, Peixoto A, Torres-Ramalho P, Cardoso H, Azevedo
R, et al. Nutrition in Chronic Liver Disease. Port J Gastroenterol; 2015.
67:1-8.
6. Yuksekkaya HA, Cakir M, Tumgor G, Baran M, Arikan C, Yagel RV, et
al. Nutritional statu s of infants with neonatal cholestasis. Dig Dis Sci;
2008: 803-08.
7. Raphael BP. Nutritional Management in Cholestatic Liver Disease. In:
Koletzko, et al, editors. Pediatric Nutrition in Practice. Basel: World Rev
Nutr Diet; 2015.113:178-181.
8. Siocha P. Nutritional Management of Cholestatic Syndromes in
Childhood. Ann Nestle; 2008. 66: 137-47.
9. Nel ED, Terblanche AJ. Nutritional support of children with chronic liver
disease. S Afr Med J; 2015. 105: 607-11.
10. Nandivada P, Carlson SJ, Chang MI, Cowan E, Gura KM, Puder M.
Treatment of Parenteral Nutrition-Associated Liver Disease: The Role
of Lipid Emulsions. Adv. Nutr; 2013. 4: 711-17.
11. Baker A, Stevenson R, Dhawan A, Goncalves I, Socha P, Sokal E.
Guidelines for nutritional care for infants with cholestatic liver disease
before live transplantation. Pediatr Transplantation; 2007. 11: 825-34.
12. Sjarif DR. Pediatric nutritional care. Dalam: Pulungan AB, Hendarto A,
Hegar B, Oswari H, penyunting. Nutrition Growth-Development.
Continuing Professional Development IDAI Jaya. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta. 2006. h.01-10.
KONAS VII PGHNAI 313 Manado, 17-19 Maret 2017
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Nutricia
2. Novell pharmaceuticals
3. Nestle Indonesia
4. Kalbe Farma
5. Combiphar
6. Interbat
7. Prodia laboratorium klinik
8. Futamed Pharmaceuticals
top related