telaah aspek hukum perdata terhadap kelengkapan informed consent pada pasien operasi di rumah sakit...
Post on 19-Dec-2015
115 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TELAAH ASPEK HUKUM PERDATA TERHADAP KELENGKAPAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN OPERASI DI RUMAH SAKIT
DR. KARIADI SEMARANG
TESIS Diajukan Guna Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Strata 2 Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan
Oleh : NAMA : RASMUDJITO
NIM 06. 93. 0175
PROGRAM MAGISTER HUKUM KESEHATAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG 2008
ABSTRAKSI
Informed Consent merupakan suatu persetujuan pasien terhadap tindakan
medis operasi yang akan dilakukan terhadap dirinya, setelah mendapatkan informasi
tentang kondisi dirinya. Berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku
informasi yang berisi tentang segala sesuatu tindakan yang dilakukan dokter dalam
upaya penyembuhan pasien wajib diberikan baik diminta maupun tidak
Dewasa ini Informed Consent menjadi sangat penting baik bagi dokter
maupun pasien. Hal tersebut seiring dengan maraknya issue dan kasus permasalahan
hukum yang banyak mencuat dipermukaan bahkan sampai meja hijau. Kasus-kasus
ini ternyata salah satunya disebabkan karena ketidak sempurnaan dalam memberikan
Informed Consent baik secara kuantitas maupun kualitas.
Masalah : Bagaimana Telaah Aspek Hukum Perdata Terhadap
Kelengkapan Informed Consent Pada Pasien Operasi di Rumah Sakit Dr. Kariadi
Semarang
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui telaah aspek hukum perdata
terhadap kelengkapan informed consent pada pasien operasi di Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif.
Dengan menggunakan data sekunder ( studi kepustakaan ). Obyek Penelitian dalam
penelitian ini adalah form Informed Consent di RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
Pengambilan sampel dokumen dilakukan dengan teknik simple random sampling
menggunakan kriteria inklusi pada saat pasien di timbang terimakan antara perawat
dari rawat inap dengan perawat kamar bedah.
Hasil dari penelitian ini adalah kelengkapan Informed Consent pasien
operasi di RSUP. Dr. Kariadi Semarang, secara umum tidak lengkap
Kesimpulan : Berdasarkan telaah aspek hukum perdata kelengkapan form
Informed Consent yang menjadi sampel dalam penelitian ini belum dapat dijadikan
sebagai bukti hukum yang sempurna. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut
secara kualitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak lengkapan Informed
consent di RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
Kata Kunci : Dokumen Informed Consent, kelengkapan, rumah sakit,
aspek hukum perdata.
v
ABSTRACT
Informed Consent is an agreement of a patient toward medical operation which
will be carried out to him / herself, after he or she gets information about his / her
condition. According to regulation and prevailing law information containing all
measures in the efforts of treating a patient must be provided whether it is requested or
not.
Recently, Informed Consent has become very important either for a doctor or a
patient. It is in line with greater issues and legal cases arising to public and even to court.
One of the causes of these cases is the imperfection in providing Informed consent either
quantitatively or qualitatively.
Problem : How the Study of Civil Law Aspect Toward the Comprehension of
Informed Consent on Operated Patient at Dr. Kariadi Hospital Semarang.
The Objective of this Research is to identify the Study of Civil Law Aspect
Toward the Comprehension of Informed Consent on Operated Patient at Dr. Kariadi
Hospital Semarang.
Method : This Research uses juridical normative approach. The writer uses
secondary data (library study). The Research objects are Informed Consent forms at Dr.
Kariadi General Hospital. The samples are selected by simple random sampling
technique using inclusion criteria at the time a patient is handed over from in-patient
nurse to a surgery nurse.
The Result of the research finds out that the comprehension of Informed
Consent of operated patient at Dr. Kariadi General Hospital Semarang, in general is
incomprehensive.
Conclusion : Based on the Study of Civil Law Aspect, Informed Consent forms
which become samples in this research are not yet considered as the perfect legal
evidence. Thus further qualitative research is needed and the influencing factors or
incomprehension of Informed Consent at Dr. Kariadi General Hospital Semarang.
The Keywords : Informed Consent Documents, Comprehension, Hospital,
Civil Law Aspect.
vi
viii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi
Penyayang, yang telah melimpahkan rahmad-nya, maka selesailah penyusunan Tesis ini
yang berjudul “TELAAH ASPEK HUKUM PERDATA TERHADAP KELENGKAPAN
INFORMED CONSENT PADA PASIEN OPERASI ”
Dalam tesis ini menelaah tentang aspek hukum perdata terhadap kelengkapan
Informed Consent, hal mana untuk mengetahui sejauh mana kelengkapan atau ketidak
lengkapan suatu Informed Consent dapat dipergunakan sebagai alat bukti hukum
khususnya hukum perdata.
Seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka meningkat
pulalah pengetahuan masyarakat terhadap hukum dan hak-haknya, khususnya dalam
pelayanan kesehatan. Hal tersebut dapat dicermati dimana saat ini masyarakat semakin
kritis dalam menanggapi dan mensikapi segala bentuk pelayanan kesehatan yang dirasa
kurang memuaskan.
Ketidak puasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan utamanya pelayanan
medis operasi, banyak di ungkapkan melalui kritikan-kritikan lewat media masa, bahkan
tidak sedikit yang sampai pada tuntutan hukum. Hal tersebut seperti yang terjadi akhir-
akhir ini banyak kasus yang menimpa para dokter, dianggap telah melakukan kesalahan
atau dianggap lalai pada saat melakukan pertolongan terhadap pasien.
Oleh karena itu masalah-masalah yang terkait dengan kondisi pasien serta
program-program pengobatan harus benar-benar dimengerti dan dipahami oleh masing-
masing pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien dan keluarga. Berdasarkan undang-
undang dan peraturan yang berlaku maka seorang dokter sebelum melakukan tindakan
medis khususnya tindakan medis operasi, harus memberikan Informed Consent. Informed
Consent dalam tindakan medis operasi adalah merupakan persetujuan tertulis yang harus
ditanda tangani oleh pasien atau keluarganya. Karena Informed Consent merupakan
persetujuan suatu tindakan hukum, maka harus diberikan secara lengkap baik konten dalam
proses maupun kelengkapan pengisian form itu sendiri.
Hal tersebut sangat penting karena apabila terjadi sngketa hukum antara dokter
dengan pasien dapat digunakan sebagai alat bukti yang sempurna. Sehingga Informed
viii
Consent dapat melindungi dokter sebagai pemberi pelayanan dan melindungi pasien dari
kesalahan dalam menentukan sikap dan keputusan tentang tindakan medis operasi yang
menyangkut dirinya.
Berdasarkan hal tersebut timbul permasalahan yang hendak diteliti dalam
penelitian ini yaitu: bagaimanakah aspek hukum perdata terhadap kelengkapan Informed
Consent pada pasien operasi, peneliti tertarik untuk mengetahui jawaban dari masalah
tersebut.
Dalam tesis ini penulis mencoba menggali teori-teori, undang-undang khususnya
perdata, serta peraturan-peraturan yang mengatur tentang penggunaan Informed Consent
dalam tindakan medis operasi, untuk mengukur sejauh mana kelengkapan Informed
Consent dan dampak kekuatan hukumnya sebagai alat bukti. Tentu saja teori yang
disajikan dalam tesis ini bukanlah sesuatu yang sempurna dan lengkap.
Setelah mengadakan penelitian di RSUP. Dr. Kariadi Semarang, maka
mendapatkan hasil berdasarkan kelengkapan Informed Consent ditinjau dari hasil telaah
aspek hokum perdata belum dapat digunakan sebagai bukti hokum yang sempurna. Hasil
dari penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan, penelitian ini hanya
berorientasi pada telaah hukum perdata terhadap kelengkapan Informed Consent, sebagai
alat bukti hokum. Sehingga diharapakan kedepan dapat dilakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak lengkapan Informed Consent dan penelitian
secara kualitatif.
Akhir kata, diharapkan penelitian ini bisa bermanfaat bagi akademis khususnya
Program Magister Hukum Kesehatan Universitas Soegijapranata, RSUP. Dr. Kariadi
Semarang, masyarakat, dan tentunya bagi penulis sendiri dalam memperluas dan
memperdalam pengetahuan bagi penulis dalam ilmu Hukum Kesehatan.
Semarang,………………..
Penulis
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa didalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
digunakan orang lain untuk memperoleh gelar kemagisteran di suatu perguruan tinggi, dan juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan orang lain; kecuali yang
secara sengaja tertulis dan diacu dalam naskah tesis ini serta di sebut dalam daftar pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk kepentingan
pernyataan keaslian ( originilitas ) tesis yang saya buat.
Hormat saya
( Rasmudjito, SKep. Ns )
xvi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO :
Be Yourself
Hidup harus lebih bermanfaat bagi sesama, keluarga dan diri sendiri.
PERSEMBAHAN :
Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :
Tuhan Allah Bapa di Surga dan Tuhan Yesus Kristus .
Ayah almarhum dan Ibu tercinta yang sangat mengasihiku, menyayangiku
dan selalu mengharapkan keberhasilan dan kebahagiaanku.
Istri dan kedua anak-anaku yang tercinta dan selalu mengasihiku
Almamater Magister Hukum Kesehatan.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya penyusunan tesis ini, maka penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi bantuan, dorongan, serta petunjuk-
petunjuk yang sangat besarartinya bagi penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih ini,
penulis aturkan kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. Y. Bagus Wismanto, Msi, selaku Rektor Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang.
2. Ibu Prof Dr. Agnes Widanti, M.H, selaku Kepala Program Magister Hukum
Kesehatan.
3. Bapak Valentinus Suroto, SH. MHum selaku Dosen Penguji
4. Bapak Dr. Gatot Suharto, SpF,SH,MKes selaku Dosen Pembimbing Utama
5. Ibu B. Resti Nurhayati, SH, MH selaku Dosen Pembimbing Pendamping
6. Seluruh Staff Dosen dan Karyawan Magister Hukum Kesehatan UNIKA
Semarang.
7. Seluruh Staff Perpustakaan UNIKA Semarang.
8. Bapak Dr. Budi Riyanto, MSc, Sp.PD, KPTI, selaku Direktur Utama RSUP. Dr.
Kariadi Semarang.
9. Bapak Dr. Soleh Kosim, Sp.A (K), selaku Direktur SDM dan Pendidikan Rumah
Sakit Dr. Kariadi Semarang.
10. Dokter Najatullah, SpBP selaku Kepala Instalasi Bedah Sentral dan Rawat Sehari
RSUP. Dr. Kariadi Semarang
11. Ayah almarhum dan Ibu serta Istri dan anak-anaku tercinta yang selalu
mendoakanku.
12. Teman-teman angkatan V Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang yang selalu memberikan spirit dan semangat.
13. Ibu Yuli, Ririn, Anik Nursanti staf Instalasi Bedah Sentral dan Rawat Sehari
RSUP. Dr. Kariadi Semarang yang selalu membatu saya dalam melakukan
observasi.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu sehingga dapat
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
ix
x
Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan civitas akademika pada khususnya.
Semarang,………………….
Penulis
DAFTAR ISI
HAL
Halaman Judul…………………………………………………………………………………...
Lembar Pengesahan……………………………………………………………………………..
Halaman Persetujuan…………………………………………………………………………….
Moto dan Persembahan………………………………………………………………………….
Abstraksi………………………………………………………………………………………...
Abstract………………………………………………………………………………………….
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………..
Ucapan Terima Kasih……………………………………………………………………………
Daftar Isi………………………………………………………………………………………...
Daftar Tabel……………………………………………………………………………………..
Daftar Lampiran…………………………………………………………………………………
Surat Pernyataan Keaslian………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………………
B. Perumusan Masalah…………………………………………………………………
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………………………
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………………..
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
A. Informed Consent
1. Pengertian Informed Concent................................................................................
2. Jenis Informed Consent.........................................................................................
3. Informed Consent diperlukan pada saat................................................................
4. Informasi yang Diberikan pada Pasien atau Keluarga..........................................
5. Pemberi Penjelasan.............................................................................................
6. Tujuan Penjelasan dalam Informed Consent......................................................
7. Kewenangan Memberikan Informed Consent dan Cara Memberikan Informed
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
xi
xiv
xv
xvi
1
6
6
6
8
11
12
13
14
16
xi
xiii
Consent.......................................................................................................
8. Masa Berlaku Informed Consent..........................................................................
B. Format Informed Consent..........................................................................................
1. Format persetujuan tindakan kedokteran..............................................................
C. Aspek Hukum Informed Consent Sebagai Rekam Medis...........................................
1. Aspek Hukum Informed Consent.........................................................................
2. Aspek Hukum Perdata Informed Consent ............................................................
3. Kelengkapan Formulir Informed Consent sebagai rekam medis..........................
4. Informed Consent Sebagai Perjanjian…………………………………………...
D. Tanggung Jawab Doker dari Aspek Hukum Perdata..................................................
E. Hak dan Kewajiban Pasien Selama dalam Proses Pelayanan Kesehatan..................
F. Alat Bukti Perdata.......................................................................................................
1. Alat Bukti Tulisan……………………………………………………………….
2. Alat Bukti Saksi....................................................................................................
3. Alat Bukti Persangkaan.........................................................................................
4. Alat Bukti Pengakuan...........................................................................................
5. Alat Bukti Sumpah................................................................................................
G. Dampak Tidak Adanya Informed Consent..................................................................
1. Hukum pidana.......................................................................................................
2. Hukum perdata......................................................................................................
3. Pendisiplinan oleh MKDKI..................................................................................
H. Konstruksi teori...........................................................................................................
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan………………………………………………………………….
B. Spesifikasi Penelitian………………………………………………………………..
C. Objek Penelitian………………………………………………………......................
D. Lokasi Penelitian…………………………………………………………………….
E. Desain Penelitian…………………………………………………………………….
F. Metode Pengumpulan Data………………………………………………………….
17
19
19
19
20
20
21
23
25
27
29
32
32
37
37
37
37
38
38
38
39
41
42
42
42
43
44
45
xiii
G. Metode Analisa Data………………………………………………………………...
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum RSUP. Dr. Kariadi Semarang……………………………………
B. Gambaran Pelayanan Operasi……………………………………………………….
C. Pemberian Informed Consent Tindakan Medis Operasi……………………………
D. Hasil Observasi Kelengkapan Informed Consent dan Pembahasan…………………
E. Telaah Hukum Perdata............................................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………………….
Telaah dari Aspek Hukum Perdata Terhadap Kelengkapan Informed Consent
Pada Pasien Operasi..............................................................................................
B. Saran-Saran ……………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………………………………………...
46
47
47
48
51
59
61
61
62
64
DAFTAR TABEL
HAL
Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Observasi Kelengkapan Informed Consent…………….
Tabel 2 Bagian I Kelengkapan Bagian Kepala dari Format Informed Consent……
Tabel 3 Bagian II Kelengkapan Identitas Yang Membuat Pernyataan…………………...
Tabel 4 Bagian III Kelengkapan Pemberi Informasi, Diagnosa dan Jenis Operasi……...
Tabel 5 Bagian IV Kelengkapan Identitas Pasien & Hubungan Keluarga……………….
Tabel 6 Bagian V Kelengkapan Tanggal dan Tanda Tangan…………………………….
51
52
54
55
56
57
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Surat Ijin Pengambilan Data dari Direktur RSUP. Dr. Kariadi
Semarang………………………………………………………
67
LAMPIRAN 2 Surat Keterangan Telah Melakukan Observasi dari Kepala
Instalasi Bedah Sentral dan Rawat Sehari RSUP. Dr. Kariadi
Semarang………………………………………………………
68
LAMPIRAN 3 Surat Keputusan Direktur RSUP. Dr. Kariadi Semarang Nomor
: KP. 08. 02-1270, tentang Prosedur Tetap Persetujuan Tindakan
Medik ( Informed Consent )……………………………………
69
LAMPIRAN 4 Surat Edaran Dir. Jend. Pelayanan Medik Dep. Kes RI. No.
YM.00.03.2.2.1730, tanggal 5 Nopember 2001, Perihal
Akreditasi Rumah Sakit………………………………………..
70
LAMPIRAN 5 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
585/MEN.KES/PER/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medik…………………………………………………………….
71
LAMPIRAN 6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/MENKES/PER/III/2008, Tentang Rekam Medis…………..
72
LAMPIRAN 7 Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran Konsil Kedokteran
( Indonesia Medical Consil ) Jakarta 2006……………………
73
xv
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang
Telp.( 024 ) 8453361
SURAT KETERANGAN
No…………………..
Yang bertanda tangan dibawah ini menerangkan bahwa :
Nama : Rasmudjito, SKep. Ns
NIM : 06.93.0175
Institusi Pendidikan : Program Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang
Judul Peneletian : Telaah Aspek Hukum Perdata Terhadap Kelengkapan
Informed Consent Pada Pasien Operasi Di RUSP.
Dr. Kariadi Semaramg
Benar-benar telah melakukan observasi pengambilan data dokumen Informed
Consent di Instalasi Bedah Sentral dan Rawat Sehari RSUP. Dr. Kariadi Semarang
Semarang 20 Maret 2008
Kepala
Instalasi Bedah Sentral dan Rawat Sehari
Dr. Najatullah, SpBP
Nip. 140 346 207
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak yang dimilkiki merupakan
salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat.
Namun ada sisi negatifnya yaitu adanya kecenderungan meningkatnya kasus tenaga
kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut pasien dan
berakibat sangat membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada
gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan
dikemudian hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad
tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimetris
kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran (Kasimin, 2007).
Sebagai pokok permasalahan adalah tidak setiap upaya pelayanan kesehatan
hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya
dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek
(Kasimin, 2007). Tingginya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan
sering kali menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang diberikan. Hal ini menyebabkan masyarakat menuduh rumah sakit atau tenaga
kesehatan telah melakukan malpraktik atau kelalaian dalam melakukan tindakan
medis. Anggapan atau dugaan malpraktik dalam pelayanan kesehatan disebabkan
karena meningkatnya kesadaran pasien dan masyarakat tentang haknya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar yaitu; hal
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk
mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut menentukan
(the right to determination) (Indradi, 2007).
Dalam memenuhi hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, setiap
pelaksanaan tindakan medis harus sesuai dengan standar profesi kedokteran. Karena
setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam
1
2
pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan
berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum (Indradi, 2007). Sebagai salah satu
pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent”
benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak,
yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari
informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan
apakah suatu informasi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut
sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum
yang berkenaan dengan informed consent ini (Irwandy, 2007).
Informed consent merupakan rekam medis berbentuk surat persetujuan
tindakan medis. Rekam medis ini digunakan sebagai pedoman atau perlindungan
hukum yang mengikat karena di dalamnya terdapat segala catatan tentang tindakan,
pelayanan, terapi, waktu terapi, tanda tangan dokter yang merawat, tanda tangan
pasien yang bersangkutan, dan lain-lain (Sanjoyo, 2007). Dengan kata lain, rekam
medis dapat memberikan gambaran tentang standar mutu pelayanan yang diberikan
oleh fasilitas pelayanan kesehatan maupun oleh tenaga kasehatan berwenang. Berkas
rekam medis juga menyediakan data untuk membantu melindungi kepentingan
hukum pasien, dokter dan penyedia fasilitas pelayanan kesehatan. Catatan ini juga
menyediakan data yang dapat melindungi kepentingan hukum pasien dalam kasus-
kasus kompensasi pekerja, kecelakaan pribadi atau malpraktek (Sanjoyo, 2007).
Kelengkapan pengisian formulir informed consent sangat perlu diperhatikan,
karena merupakan rekam medis yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian dalam
mengatasi masalah hukum akibat dugaan malpraktik. Dalam hukum acara perdata
maupun pidana, informed consent dikenal sebagai alat bukti dengan tulisan. Bertolak
dari hal tersebut maka, selama ini rekam medis dianggap dapat digunakan sebagai
’alat bukti tulisan’, meskipun di dalam perkembangan selanjutnya, anggapan tersebut
masih mungkin ditinjau kembali. Rekam medis bukan alat bukti menurut undang-
3
undang, meskipun dapat digunakan sebagai petunjuk pembuktian sepanjang
dilakukan dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku (Iswandari, 2007)
Sebelum dokter melakukan tindakan operasi, dokter berkewajiban untuk
memberikan informasi tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan tindakan medis
yang akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta resiko-resiko yang
mungkin timbul dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Karena
informed consent merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan operasi medis,
maka keberadaan informed consent sangat penting bagi para pihak yang melakukan
perjanjian pelayanan kesehatan, sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan informed
consent sangat penting dan diperlukan dirumah sakit. Suatu hal yang menjadi
permasalahan adalah apakah isi dari informed consent itu sudah memenuhi syarat
sahnya perjanjian dan apakah dengan adanya informed consent dapat dijadikan alat
bukti yang sah apabila timbul perselisihan dan bagaimana penyelesaiaannya (Sari,
2002).
Menurut Sari (2002) informed consent merupakan suatu perjanjian
pelaksanaan tindakan medis antara dokter dengan pasien atau keluarganya. Oleh
karena itu, isi dari informed consent harus memenuhi syarat sahnya perjanjian secara
umum yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Isi dari perjanjian itu dapat
dijadikan Undang-undang bagi mereka yang membuat perjanjian itu. Oleh karena itu
formulir informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah, apabila terjadi
perselisihan antara pihak rumah sakit (dokter) dengan pihak pasien, atau keluarganya
atas tindakan operasi medis. Karena informed consent merupakan surat perjanjian
pelayanan medis yang dibuat antara dokter dengan pasien atau keluarganya,
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1875 KUHPerdata bahwa ”Suatu tulisan di
bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau
yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan
terhadap orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna
seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakunya ketentuan Pasal 1871 untuk
tulisan itu.
4
Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang disebut akta (akta dibawah tangan),
bahwa akta adalah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani ( Subekti, 1993 ). Sementara dalam kontrol catatan
medis yang tidak lengkap ( delinquent ), baik secara kuantitatif dan kualitatif
meliputi; indentifikasi defisiensi spesifik, pola-pola dokumentasi yang jelek, dan
kejadian yang berpotensi tuntutan ganti rugi. Angka kebandelan atau ketidak
lengkapan dan apabila ketidak lengkapan tersebut tidak adanya laporan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, laporan operasi atau tanda tangan pada pernyataan
kebenaran ( attestation statement ), adalah lebih serius ( Edna. K. Huffman, 1994 )
Hasil studi awal yang dilakukan oleh peneliti dengan melakukan observasi
pada 35 rekam medis pasien yang akan menjalani operasi pada tanggal 26 sampai
dengan 29 Desember 2007, ditemukan 100% menggunakan informed consent, 68,6%
ditanda tangani oleh dokter yang akan melakukan tindakan operasi sementara 42,4%
tidak ada tanda tangan dokter, sedangkan 5,7% tidak terdapat tanda tangan pasien,
keluarga maupun saksi. Dari hasil observasi juga didapatkan 25,7% dari 35 rekam
medis tersebut tidak terisi jenis tindakan operasi yang akan dilakukan, sementara dari
33 informed consent yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga, terdapat 39,39%
tidak tercantum status hubungan keluarga. Studi pendahuluan juga peneliti lakukan
dengan 10 perawat bedah dan 2 dokter bedah tentang proses pembuatan persetujuan
tindakan medis atau informed consent.
Dari hasil wawancara dengan perawat, didapatkan 65% perawat mengatakan
jarang dilibatkan dalam pembuatan informed consent dan sebagian besar perawat
(85% perawat) tersebut tidak pernah memeriksa kembali rekam medis pasien,
khususnya kelengkapan informed consent sebelum pasien dikirim ke kamar bedah.
Selain itu juga 96% perawat tidak tahu akibat yang ditimbulkan dari
ketidaklengkapan formulir informed consent tersebut dari aspek hukum. Sedangkan
hasil wawancara dengan 2 dokter bedah, didapatkan kedua-duanya mengungkapkan
perasaan yang biasa-biasa saja dalam menghadapi pengisian formulis informed
consent yang tidak lengkap dan kedua dokter tersebut beranggapan selama ini tidak
5
ada kejadian dugaan malpraktik yang menuntut rekam medis tersebut (informed
consent) sebagai alat bukti yang tertulis.
Adanya ketidaklengkapan dalam pengisian formulir informed consent tidak
dapat dijadikan alat bukti tertulis dalam masalah hukum. Ketidak lengkapan informed
consent tersebut akan dapat menimbulkan masalah tersendiri kaitnannya dengan alat
bukti, bila terjadi tuntutan hukum perdata maupun pidana karena dapat dianggap tidak
sah atau kurang berbobot. Hal mana sesuai dengan pasal 1321 KUHPerdata yang
berbunyi ” Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dalam pasal tersebut dapat
diartikan bahwa secara yuridis, yang dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak
adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan dari para pihak yang mengikatkan dirinya.
Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dimana
para pihak mempunyai kesamaan kehendak ( Anny Isfandiarie, 2006 ).
Ketidak lengkapan informed consent dapat menimbulkan penafsiran berbeda
dari para pihak sehingga dapat terjadi pengingkaran oleh pasien atau keluarga bila
terjadi sengketa medis, terutama pengingkaran makna atau tanda tangan. Sementara
kelemahan dari informed consent ditinjau sudut informed consent sebagai akte
dibawah tangan adalah, apabila pihak yang menandatangani mengingkari tanda
tangannya, karena selama bukti tulisan tersebut masih menjadi pertengkaran maka
tidak akan bermanfaat sebagai alat pembuktian ( Subekti, 1993 ). Berdasarkan uraian
diatas maka kelengkapan informed consent tidak dapat diabaikan, karena dapat
berakibat tidak bermanfaatnya informed consent tersebut sebagai alat bukti bila
timbul tuntutan hukum di kemudian hari.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik membuat proposal penelitian
yang berjudul: ” Telaah Aspek Hukum Perdata Terhadap Kelengkapan Informed
Consent Pada Pasien Operasi di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang ”.
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti tersebut di atas maka
dirumuskan masalah penelitian yaitu “ Bagaimana Telaah Aspek Hukum Perdata
Terhadap Kelengkapan Informed Consent Pada Pasien Operasi di Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang ? “
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui telaah aspek
hukum perdata terhadap kelengkapan informed consent pada pasien operasi di
Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui sejauhmana kelengkapan informed consent pada pasien
operasi di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang.
b. Untuk mengetahui telaah dari aspek hukum perdata terhadap keabsahan
informed consent di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang.
c. Untuk mengetahui ketentuan perundang-undangan yang berlaku tentang
persetujuan tindakan medik yang telah diterapkan dan ditaati oleh para
dokter tentang kelengkapan informed consent di Rumah Sakit Dr. Kariyadi
Semarang.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Departemen Kesehatan, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan
masukan dalam membuat kebijakan yang menyangkut tentang persetujuan
tindakan medik dimasa yang akan dating.
2. Bagi pimpinan rumah sakit, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana
untuk mengendalikan mutu pelayanan kesehatan yang telah diberikan dan untuk
memonitor serta mengevaluasi sejauh mana persetujuan tindakan medik telah
7
diterapkan di rumah sakit yang dipimpinannya, kemudian menentukan langkah-
langkah yang akan diambil dalam meningkatkan kualitas pengisian persetujuan
tindakan medis atau informed consent.
3. Bagi dokter/dokter gigi, hasil penelitian ini bisa dipakai sebagai alat untuk
intropeksi diri, sejauh mana pada dokter tersebut telah melengkapi dan
memberikan informasi kepada pada pasiennya sebelum menandatangani formulir
informed consent serta melakukan tindakan medis atau pembedahan.
4. Bagi pengguna jasa pelayanan kesehatan, hasil penelitian ini akan memberikan
gambaran sejauh mana kelengkapan informed consent sebagai alat bukti hukum
yang tertulis oleh para dokter dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
5. Bagi peneliti, hasil penelitian ini merupakan stimulus untuk mendalami lebih jauh
tentang proses pembuatan persetujuan tindakan medis, faktor-faktor yang
mempengaruhi kelengkapan pengisian formulir informed consent serta implikasi
hukumnya.
6. Bagi peneliti lain hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai informed consent khususnya ditinjau
dari aspek hukum serta faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak lengkapan
pengisian formulir dengan menggunakan jenis maupun cara pengumpulan data
yang berbeda.
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
A. Informed Consent
1. Pengertian Informed Concent
a. Menurut Jacobalis (2005) Informed terkait dengan informasi atau
penjelasan, consent artinya persetujuan, atau lebih ‘tajam’ lagi, ”izin”.
Jadi informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau
keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis
pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk
menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong
bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan
tindak-lanjut jika terjadi kesulitan. Dengan demikian, informed consent
adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada
dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah kepadanya
oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi/penjelasan yang
lengkap tentang tindakan. Mendapat penjelasan lengkap terhadap tindakan
yang akan dilakukan adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh
undang-undang dengan kalimat pendek, informed consent adalah
Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) (Jacobalis, 2005).
b. Menurut Komalawati dalam Irwandy (2007) informed consent dirumuskan
sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari
dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong
dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Mengenai informed consent (persetujuan) masih diperlukan pengaturan
hukum lebih lengkap. Karena tidak hanya untuk melindungi pasien dari
kesewenangan dokter, tetapi juga diperlukan untuk melindungi dokter dari
8
9
kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-
undangan (malpraktek) (Hidayat, 2007).
c. Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain
pada Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 dan Surat Keputusan PB IDI
No 319/PB/A4/88 (Hidayat, 2007). Pernyataan IDI tentang informed
consent tersebut antara lain :
1) Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya
menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter
tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2) Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif)
memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3) Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien,
setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya.
4) Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan
persetujuan lisan atau sikap diam.
5) Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik
diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak
boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam
memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran
seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
6) Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi
biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis
(berkaitan dengan informed consent).
10
d. Dalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) (2006) persetujuan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang sering disebut juga informed
consent, merupakan persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas
rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh
dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang cukup untuk
dapat membuat persetujuan. Persetujuan tindakan kedokteran ini
merupakan pernyataan sepihak dari pasien dan bukan perjanjian antara
pasien dengan dokter atau dokter gigi, sehingga dapat ditarik kembali
setiap saat persetujuan tindakan kedokteran dan kedokteran gigi
merupakan proses sekaligus hasil dari suatu komunikasi yang efektif
antara pasien dengan dokter atau dokter gigi dan bukan sekedar
penandatanganan formulis persetujuan.
e. Informed Consent adalah sebuah izin kusus atau formulir pemberian
kuasa, diperlukan untuk suatu diagnosa tidak biasa atau prosedur terapi
yang dilakukan terhadap pasien. Formulir ini menyediakan bukti tertulis
bahwa pasien menyetujui prosedur – prosedur yang tercantum dalam
pemberian kuasa. Supaya izin tersebut sah, dokter harus memberitahukan
tentang prosedur yang dilakukan, resiko-resiko, prosedur alternative dan
hasil yang mungkin didapat dengan pasien dan/atau wali pasien. Syarat
keikutsertaan atau partisipasi ( Conditions of Participation ) yang
membutuhkan staf medis, yang sesuai dengan peraturan dan ketentuan
menyatakan bahwa sebuah operasi bedah hanya bisa dilakukan atas seijin
pasien atau wakil yang sah, kecuali dalam keadaan darurat. Sebuah
formulir pengesahan izin operasi juga harus terlampir dalam catatan medis
pasien sebelum operasi bedah dilakukan. Komisi bersama mengharuskan
adanya bukti keterangan izin atas prosedur dan perawatan dimana izin
tersebut diharuskan sesuai dengan kebijakan yang telah dikembangkan
oleh staf medis, lembaga berwenang dan hokum. Apabila izin tersebut
11
tidak didapat, maka dalam catatan medis pasien harus dilampirkan alasan
( Edna K. Huffman, 1994 )
f. Informed Consent adalah izin tertulis yang dibuat secara sadar dan
sukarela dari pasien diperlukan seelum suatu pembedahan dilakukan. Izin
tertulis seperti itu melindungi pasien terhadap pembedahan yang lalai dan
melindungi ahli bedah terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum. Demi
kepentingan semua pihak yang terkait, perlu mengikuti prinsip
medikolegal yang baik. Sebelum pasien menandatangani formulir consent,
ahli bedah harus memberikan penjelasan yang jelas dan sederhana tentang
apa yang akan diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga harus
menginformasikan pasien tentang alternatif-alternatif yang ada,
kemungkinan risiko, komplikasi, perubahan bentuk tubuh, menimbulkan
kecacatan, ketidakmampuan, dan pengangkatan bagian tubuh, juga tentang
apa yang diperkirakan terjadi pada periode pascaoperatif awal dan lanjut
( Brunner & Suddarth, 1996 )
2. Jenis Informed Consent
Menurut FKUI (2007) Persetujuan Tindakan Medis (Informed
Consent) dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
a. Implied Consent, yaitu persetujuan yang dianggap telah diberikan
walaupun tanpa pernyataan resmi, yaitu pada keadaan biasa dan pada
keadaan darurat atau emergency. Pada keadaan gawat darurat yang
mengancam jiwa pasien, tindakan menyelamatkan kehidupan (life saving)
tidak memerlukan Informed Consent.
b. Expresed Consent, yaitu persetujuan tindakan medis yang diberikan secara
eksplisit, baik secara lisan (oral) maupun tertulis (written).
Menurut Sanjoyo (2007) pasien memiliki hak untuk memperoleh atau
menolak pengobatan dan terdapat beberapa jenis persetujuan antara lain :
12
a. Ijin langsung (express consent): pasien atau wali segera menyetujui usulan
pengobatan yang ditawarkan dokter atau pihak RS (bisa lisan atau tertulis)
b. Ijin secara tidak langsung (implied consent): tindakan pengobatan
dilakukan dalam keadaan darurat yang dilakukan untuk menyelamatkan
jiwa pasien
c. Persetujuan khusus : pasien wajib mencantumkan pernyataan bahwa
kepadanya telah diberikan penjelasan suatu informasi terhadap apa yang
akan dilakukan oleh tim medis terhadap pasien. Pada informed consent,
pasien sendiri yang harus menandatangani persetujuan kecuali pasien
tersebut tidak mampu atau mempengaruhi fungsi seksual atau reproduksi
(suami/istri).
3. Informed Consent diperlukan pada saat :
Dengan mengacu kepada anjuran General Medical Council (GMC) di
Inggris, KKI (2006) memberikan petunjuk bahwa persetujuan tertulis atau
informed consent diperlukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
a. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau
efek samping yang bermakna
b. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi
c. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien
d. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian
Rujukan di atas menjelaskan bahwa informed consent harus diberikan
pada semua tindakan yang memiliki resiko atau efek samping yang bermakna.
Hal mana juga terhadap tindakan medis yang dapat mengancam status
kepegawaian atau kehidupan pribadi juga sosial. Contoh suatu tindakan medis
yang dapat menimbulkan kecacatan sehingga sesorang harus kehilangan
pekerjaan dan perikehidupan sosial dalam masyarakat. Pemberian informed
13
consent juga harus diberikan pada suatu tindakan medis yang bukan dengan
tujuan terapi, termasuk didalamnya adalah untuk penelitian atau pendidikan.
Sementara menurut Brunner dan Suddarth dalam buku ajar Medical
Bedah ( 1996 ), Informed Consent tindakan medis diperlukan pada saat;
a. Prosedur tindakan invasif seperti insisi bedah, biopsi, sistoskopi, atau
parasentesis
b. Tindakan yang menggunakan anestesi
c. Prosedur non-bedah yang dilakukan di mana risikonya pada pasien lebih
dari sekedar risiko ringan, seperti arteriogram.
d. Terapi radiasi atau kobalt.
Senada dengan General Medical Council (GMC) di Inggris, maka menurut
Brunner dan Suddarth semua tindakan medis yang beresiko lebih dari resiko
ringan harus diberikan informed consent baik tindakan medis terapetik
maupun diganostik serta tindakan yang menggunakan anestesi.
4. Informasi yang Diberikan pada Pasien atau Keluarga
Menurut UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45
ayat (3) bahwa penjelasan sekurang-kurangnya mencakup (Jacobalis, 2005):
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e. Prognosis (perkiraan hasil) dari tindakan yang dilakukan;
f. Pembiayaan.
Konsil Kedokteran Indonesia (2006) bahwa dalam Pasal 45 UU
Praktik Kedokteran memberikan batasan minimal informasi yang selayaknya
diberikan kepada pasien, yaitu:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
14
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Dengan mengacu kepada kepustakaan, KKI memberikan 12 kunci
informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien:
a. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak
diobati
b. Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding)
termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan
c. Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya,
termasuk pilihan untuk tidak diobati
d. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan, rincian dari prosedur
atau pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti
penanganan nyeri, bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri,
rincian apa yang akan dialami pasiens selama dan sesudah tindakan,
termasuk efek samping yang biasanya terjadi dan yang serius.
e. Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang
kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya dan
diskusi tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi dan
perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut.
f. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih
eksperimental
g. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan
dimonitor atau dinilai kembali
h. Nama dokter yang bertanggung jawab secara keseluruhan untuk
pengobatan tersebut, serta bila mungkin nama anggota tim lainnya
i. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan,
maka sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang
akan dilakukan
15
j. Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap
waktu. Bila hal itu dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas
konsekuensi pembatalan yang akan dilakukan
k. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari
dokter lain
l. Bila memungkinkan juga diberitahu tentang perincian biaya.
5. Pemberi Penjelasan
Pemberi informasi yang berkaitan dengan informed consent adalah
dokter yang akan melakukan tindakan medis itu sendiri. Hal tersebut sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 585/MEN.KES/PER/IX/1989,
Pasal 6 (1) Dalam hal tindakan bedah ( operasi ) atau tindakan invasif lainnya
, informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu
sendiri, (1) Dalam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana
dimaksud ayat (1) informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan
pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Penjelasan seharusnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan medis itu sendiri, bukan oleh orang lain, misalnya perawat.
Penjelasan diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang dapat dipahami oleh
pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan ‘kematangannya’, serta situasi
emosionalnya. Dokter harus berusaha mengecek apakah penjelasannya
memang dipahami dan diterima pasien. Jika belum, dokter harus mengulangi
lagi uraiannya sampai pasien memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha
mempengaruhi atau mengarahkan pasien untuk menerima dan menyetujui
tindakan medis yang sebenarnya diinginkan dokter (Jacobalis, 2005).
Dari uraian diatas menunjukan bahwa informsi yang harus diberikan
kepada pasien adalah sangat penting bagi pasien, sehingga harus diberikan
oleh dokter yang akan melakukan tindakan itu sendiri. Informasi juga harus
diberikan dengan cara sedemikian rupa sehingga pasien dapat mengerti dan
16
memahami tentang kondisi dirinya. Dalam memberikan informasi seorang
dokter juga harus memperhatikan tingkat pendidikan dan kondisi emosional
pasien. Hal tersebut agar pasien dapat membuat keputusan tentang tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap dirinya sebaik-baiknya. Oleh karena itu
pulalah maka seorang dokter juga tidak boleh mempengaruhi atau
mengarakan pasien dengan alasan apapun dengan tujuan agar pasien
menyetujui suatu tindakan medis terhadap dirinya, sesuai dengan keinginan
dokter.
6. Tujuan Penjelasan dalam Informed Consent
Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien menentukan
sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed decision).
Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang
dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second
opinion), dan dokter yang merawatnya – berbeda dengan di masa lalu – tidak
boleh merasa tersinggung, apalagi langsung mengatakan, ”silakan saudara
mau ke dokter mana pun, tapi saya tidak bertanggung jawab lagi” (Jacobalis,
2005).
Dari uraian diatas maka tujuan memberikan penjelasan dalam
informed consent adalah agar pasien dapat mengerti dan memahami tentang
kondisinya sebelum mengambil suatu keputusan bagi dirinya. Hal tersebut
juga memberikan kesempatan pada pasien untuk mempertimbangkan tentang
keputusan yang akan diambil. Pasien juga dapat mempertimbangkan tentang
alternatif lain dan bahkan melakukan second opinimum. Sungguhpun
demikian seorang dokter dituntut tetap memberikan penjelasan secara etis
dengan cara komunikasi yang sebaik-baiknya sehingga pasien dan
keluarganya tidak tersinggung.
17
7. Kewenangan Memberikan Informed Consent dan Cara Memberikan Informed
Consent
Siapa yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak
tindakan medis. Pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar
sepenuhnya. Menurut penjelasan Pasal 45 UU No. 29/ 2004 tersebut di atas,
apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau
penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain
suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara
kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi
yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat
persetujuan.
Cara memberikan informed consent dapat diberikan secara tertulis,
secara lisan, atau secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini
dinamakan implied consent. Misalnya, jika pasien mengangguk atau langsung
membuka baju jika dokter mengatakan, ”Boleh saya memeriksa saudara?”.
Untuk tindakan medis dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau
tindakan invasif lainnya), persetujuan harus secara tertulis, ditandatangani
oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi dari
pihak keluarga.
Menurut FKUI (2007) berpedoman pada Permenkes No 585 tahun
1989 mengenai Persetujuan Tindakan Medik, maka yang berhak memberikan
persetujuan atau menandatangani perjanjian adalah pasien yang sudah dewasa
(di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.
Sedapat mungkin Persetujuan Tindakan Medis ditandatangani sendiri oleh
pasien. Namun dalam praktek di lapangan Persetujuan Tindakan Medis lebih
sering ditandatangani oleh keluarga pasien. Hal ini berkaitan dengan kesiapan
mental pasien untuk menjalani tindakan medik maupun untuk
menandatangani Persetujuan Tindakan Medis tersebut. Untuk pasien di bawah
18
umur 21 tahun dan pasien dengan gangguan jiwa maka yang menandatangani
Persetujuan Tindakan Medis adalah orang tua atau keluarga terdekat atau
walinya. Untuk pasien yang tidak sadar, pingsan atau tidak didampingi oleh
keluarga terdekat dan secara medis dalam keadaan gawat darurat dan perlu
dilakukan tindakan segera atau yang bersifat menyelamatkan kehidupan tidak
diperlukan persetujuan.
Dalam rangka menjaga kemanan dan kesahihan Persetujuan Tindakan
Medis diperlukan saksi dari pihak keluarga maupun dari rumah sakit.
Mengenai jumlahnya tidak ada pedoman khusus, namun biasanya ada 2 orang,
yaitu satu mewakili pasien dan satu mewakili rumah sakit. Tetapi hal ini tidak
mutlak, dapat saja dua-duanya dari pihak keluarga ataupun dari rumah sakit
(FKUI, 2007).
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006) yang dapat memberikan
persetujuan adalah individu yang kompeten, ditinjau dari usia maka seseornag
dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah
menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum
berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu
yang tidak berisiko apabila mareka dapat menunjukkan kompetensinya dalam
membuat keputusan.
Suatu persetujuan tindakan medis atau informed consent dianggap sah
apabila pasien telah diberi penjelasan/informasi, pasien atau yang sah
mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan
keputusan/persetujuan dan persetujuan harus diberikan secara sukarela.
Kadang-kadang orang menekankan pentingnya penandatanganan formulir
persetujuan tindakan kedokteran. Meskipun formulis tersebut penting dan
sangat menolong dan kadang-kadang diperlukan secara hukum, tetapi
penandatanganan formulis itu sendiri tidak mencukupi, yang lebih penting
adalah mengadakan diskusi yang rinci dengan pasien dan didokumentasikan
di dalam rekam medis (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006).
19
Ketika dokter mendapat persetujuan tindakan kedokteran, maka harus
diartikan bahwa persetujuan tersebut terbatas pada hal-hal yang telah
disetujui. Dokter tidak boleh bertindak melebihi lingkup persetujuan tersebut,
kecuali dalam keadaan gawat darurat, yaitu dalam rangka menyelamatkan
nyawa pasien atau mencegah kecacatan (gangguan kesehatan yang
bermakna). Oleh karena itu sangat pentingnya diupayakan agar persetujuan
juga mencakup apa yang harus dilakukan jika terjadi peristiwa yang tidak
diharapkan dalam pelaksanaan tindakan kedokteran tersebut (Konsil
Kedokteran Indonesia, 2006).
8. Masa Berlaku Informed Consent
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) (2006) tidak ada satu
ketentuan pun yang mengatur tentang lama keberlakukan suatu persetujuan
tindakan kedokteran. Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap
sah sampai dicabut kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun
demikian, bila muncul informasi baru , misalnya tentang adanya efek samping
atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus diberitahu dan
persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jeda waktu antara saat
pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih
baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku.
Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien terutama bagi mereka yang
sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.
B. Format Informed Consent
1. Format persetujuan tindakan kedokteran
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006) format persetujuan
tindakan kedokteran harus mencakup atau berisi antara lain :
a. Dokter pelaksana tindakan
b. Pemberi informasi
20
c. Penerima informasi/pemberi persetujuan
d. Jenis informasi yang meliputi : Diagnosis (WD & DD), Dasar diagnosis,
Tindakan kedokteran, Indikasi tindakan, Tata cara tindakan, Tujuan
tindakan, Risiko tindakan, komplikasi dari tindakan, prognosis dan
alternatif dan risiko tindakan yang lain
e. Pernyataan dari dokter yang memberikan infomasi, bahwa telah
memberikan informasi secara benar dan jelas dan memberikan
kesempatan untuk bertanya atau berdiskusi yang disertai kolom tanda
tangan.
f. Pernyataan dari yang menerima informasi, bahwa telah menerima
informasi sebagaimana yang diberikan pemberi informasi dan kolom
tanda tangan untuk penerima informasi
g. Identitas pemberi persetujuan yang meliputi: nama, umur, jenis kelamin
dan alamat
h. Pernyataan persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh
dokter terhadap nama, hubungan kekerabatan, umur, jenis kelamin dan
alamat
i. Tempat, tanggal, bulan, tahun dan jam dibuat
j. Tanda dan nama terang yang memberikan pernyataan dan nama serta
tanda tangan dua orang saksi
C. Aspek Hukum Informed Consent Sebagai Rekam Medis
1. Aspek hukum informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis
(dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai
“obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang
sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja
21
maupun oleh dua pihak (Irwandy, 2007). Dalam masalah “informed consent”
dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh
KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak
dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukum perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata,
tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga
jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien,
maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Sedangkan pada masalah
hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa
lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan
sanksi pidana (Irwandy, 2007).
2. Aspek Hukum Perdata Informed Consent
Informed Consent merupakan akta dibawah tangan, hal tersebut sesuai
dengan S. 1867 No. 29 yang berbunyi antara lain ” Sebagai surat-surat dibawa
tangan dipandangnya akta-akta yang ditanda tangani dibawah tangan, surat-
surat regester, catatan-catatan mengenai rumah tangga dan lain-lain tulisa,
yang dibuat tidak dengan memakai perantraan seorang pegawai umum “. Hal
tersebut terkait pula dengan bunyi pasal 1b. “ Surat bawah tangan, berasal dari
bangsa Indonesia atau yang dipersamakan dengan bangsa Indonesia, yang
diakui oleh orang terhadap siapa surat itu digunakannya atau yang dianggap
dakui menurut cara yang sah, menjadi bukti yang cukup seperti suatu akta
otentik terhadap yang menanda tanganinya dan ahli waris mereka serta yang
mendapat haknya. Dari uraian diatas maka Informed Consent memenuhi
syarat untuk disebut sebagai akta dibawah tangan.
22
Informed Consent merupakan alat bukti yang penting dalam hukum
perdata, karena informed consent merupakan bukti tulisan tentang suatu
peristiwa dalam hal ini informed yang dilakukan oleh dokter kepada
pasiennya dan ditandatangani oleh pasien atau yang berhak. Hal tersebut
sesuai dengan apa yang disebut akta (akta dibawah tangan), bahwa akte
adalah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu
peristiwa dan ditandatangani ( Subekti, 1993 ). Mencermati apa yang
disampaikan oleh Subekti di atas maka menurut peneliti, suatu tulisan tersebut
ditulis terlebih dahulu dan bermakna tentang suatu peristiwa dan disepakati
oleh pihak yang menandatangani. Oleh karena itu suatu tulisan yang tidak
lengkap sehingga kurang bermakna tentang suatu peristiwa akan tidak
bermakna pula sebagai bukti hukum, karena tidak memenuhi kaidah-kaidah
sebagai akta dibawah tangan. Sementara sesuai dengan bunyi KUHPerdata
Pasal 1867 ” Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan
otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”, tulisan-tulisan di
bawah tangan tersebut tentu harus sesuai dengan kaidah-kaidah akte di bawah
tangan sesuai yang disampaikan oleh Subekti 1993.
Suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu
memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis
dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu
” Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Pelanggaran hukum yang terkait dengan informed Consent dalam tindakan
medis berdasarkan UUPK No. 29 tahun 2004 Pasal 45 (5) Setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan
23
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan. Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga
dokter harus menghormatinya. Oleh karena itu tidak memberikan informed
Consent pada suatu tindakan medis yang beresiko tinggi adalah suatu perbuatan
melawan hukum. Hal tersebut sesuai dengan bunyi KUHPerdata Pasal 1233 yaitu
” Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-
undang, dan Pasal 1234 yang berbunyi ” Tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Uraian diatas menunjukan bahwa seorang dokter berkewajiban memberikan
informed consent karena terikat oleh Undang-undang, sehingga apabila tidak
memberikan informed consent maka seorang dokter telah melakukan perbuatan
melanggar hukum.
Aspek Hukum Pidana “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan antara lain berbunyi (1) Penganiayaan diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang bersalah
diancam paling lama penjara selama lima tahun (3) Jika mengakibatkan mati,
diancam penjara paling lama tujuh tahun. Suatu tindakan invasive (misalnya
pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan
medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP (Irwandy, 2007).
3. Kelengkapan Formulir Informed Consent sebagai rekam medis
Menurut Sanjoyo (2007) maksud dari aspek hukum adalah mempunyai
nilai hukum dan isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian
hukum atas dasar keadilan dalam rangka usaha menegakkan hukum serta
24
penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan. Sedangkan Rekam
medis yang bermutu adalah (Sanjoyo, 2007):
a. Akurat, menggambarkan proses dan hasil akhir pelayanan yang diukur
secara benar
b. Lengkap, mencakup seluruh kekhususan pasien dan sistem yang
dibutuhkan dalam analisis hasil ukuran
c. Terpercaya, dapat digunakan dalam berbagai kepentingan
d. Valid atau sah sesuai dengan gambaran proses atau produk hasil akhir
yang diukur
e. Tepat waktu, dikaitkan dengan episode pelayanan yang terjadi
f. Dapat digunakan untuk kajian, analis, dan pengambilan keputusan
g. Seragam, batasan sebutan tentang elemen data yang dibakukan dan
konsisten penggunaaannya di dalam maupun di luar organisasi
h. Dapat dibandingkan dengan standar yang disepakati diterapkan
i. Terjamin kerahasiaannya
j. Mudah diperoleh melalui sistem komunikasi antar yang berwenang.
Menurut Sanjoyo (2007) beberapa kewajiban pokok yang menyangkut
isi informed consent sebagai rekam medis yang berkaitan dengan aspek
hukum adalah:
a. Segala gejala atau peristiwa yang ditemukan harus dicatat secara akurat
dan langsung
b. Setiap tindakan yang dilakukan tetapi tidak ditulis, secara yuridis
dianggap tidak dilakukan
c. Rekam medis harus berisikan fakta dan penilaian klinis
d. Setiap tindakan yang dilakukan terhadap pasien harus dicatat dan dibubuhi
paraf
e. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca (juga oleh orang lain)
f. Kesalahan yang diperbuat oleh tenaga kesehatan lain karena salah baca
dapat berakibat fatal.
25
g. Tulisan yang tidak bisa dibaca, dapat menjadi bumerang bagi si penulis,
apabila rekam medis ini sampai ke pangadilan.
h. Jangan menulis tulisan yang bersifat menuduh atau mengkritik teman
sejawat atau tenaga kesehatan yang lainnya.
i. Jika salah menulis, coretlah dengan satu garis dan diparaf, sehingga yang
dicoret masih bisa dibaca.
j. Jangan melakukan penghapusan, menutup dengan tip-ex atau mencorat
coret sehingga tidak bisa dibaca ulang.
k. Bila melakukan koreksi di komputer, diberi space untuk perbaikan tanpa
menghapus isi yang salah.
l. Jangan merubah catatan rekam medis dengan cara apapun karena bisa
dikenai pasal penipuan.
4. Informed Consent Sebagai Perjanjian
Berdasarkan KUHPerdata Pasal 1313, merumuskan pengertian
perjanjian sebagai berikut “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih “
Menurut Guwandi ( 2003 ), secara yuridis timbulnya hubungan
hukum antara dokter dan pasien salah satu hal adalah berdasarkan perjanjian
(lus contractu) yang artinya timbulnya hubungan hukum antara dokter dan
pasien berdasarkan perjanjian mulai pada saat pasien datang ketempat praktek
dokter atau ke rumah sakit, dan dimulainya anamnesa dan pemeriksaan oleh
dokter. Dari seorang dokter harus dapat diharapkan, ia akan berusaha sebaik
mungkin, untuk menyembuhkan pasiennya. Namun seorang dokter tidak
dapat menjamin atas hasil dari suatu pengobatan terhadap pasien, karena hal
tersebut sangat tergantung pada banyak factor. Dengan demikian maka
perjanjian antara dokter dan pasien secara yuridis dimasukan dalam golongan
“ perjanjian berusaha sebaik mungkin“ (inspanningsverbintenis)
26
Menurut Anny Isfandyarie (2006), Informed Consent adalah
hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi terapeutik
menimbulkan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak pemberi pelayanan
( medical providers ) dan pihak penerima pelayanan ( medical receivers ), dan
harus dihormati oleh para pihak.
Jenis-jenis perjanjian yang ada relavansinya dengan Informed Consent
adalah jenis-jenis perjanjian menurut Djaja S. Meliala ( 2007) antara lain :
1) Perianjian Konsensual dan Riil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul (lahir) karena
kata sepakat para pihak, sedang dalam perjanjian riil, kata sepakat para
pihak terjadi bersamaan dengan penyerahan (levering) barangnya.
2) Perjanjian Formil
Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus dibuat secara
tertulis, jika tidak maka perjanjian ini menjadi batal.
3) Perjanjian Standar/baku (standard contract)
Peranjian standar bentuknya tertulis berupa formulir-formulir yang
isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dulu secara sepihak oleh
produsen, serta bersifat masal, tanpa mempertimbangkan perbedaan
kondisi yang dimiliki oleh konsumen.
Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah, apabila
memenuhi empat syarat sebagai berikut:
1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) suatu hal tertentu;
4) suatu sebab yang halal.
27
Dua syarat pertama, disebut syarat subjektif, karena menyangkut
subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat
terakhir adalah mengenai objeknya disebut syarat objektif.
Sahnya suatu perjanjian juga berdsarkan Pasal 1321 KUHPerdata yang
berbunyi ” Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan” Pasal tersebut
menjelaskan bahwa suatu perjanjian dianggap tidak sah bila dibuat dengan
adanya unsur kekhilafan, adanya unsur paksaan atau penipuan.
Sementara berdasarkan Pasal 1335 KUHPerdata ” Suatu perjanjian
tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa suatu
perjanjian tidak memiliki kekuatan bila dibuat dengan adanya unsur suatu
sebab yang palsu atau terlarang
Pasal 1337 KUHPerdata ” Suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik
atau ketertiban umum” Pasal tersebut menjelaskan bahwa suatu perjanjian sah
apabila dibuat karena suatu sebab yang tidak berlawanan dengan undang-
undang, atau kesusilaan baik atau ketertiban umum.
D. Tanggung Jawab Doker dari Aspek Hukum Perdata
Berdasarkan berdasarkan UUPK No. 29 tahun 2004 Pasal 45 (5) Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan. Berdasakan pasal tersebut maka njelas bahwa seorang
dokter mempunyai tanggung jawab secara hukum untuk memberikan Informed
Consent sebelum melakukan suatu tindakan medis yang beresiko tinggi. Oleh
karena itu pula seorang dokter juga terikat dengan suatu perjanjian dengan pasien
yaitu perjanjian formil. Artinya perjanjian yang harus dibuat secara tertulis jika
tidak maka perjanjian ini menjadi batal. Sehingga tidak memberikan Informed
28
Consent atau memberikan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah dan cara yang sudah
diatur dalam peraturan perundangan sehingga mengakibatkan tidak sahnya
Informed Consent. Maka dokter dapat di sebut telah melakukan perbuatan
melawan hukum atau dalam bahasa hukum perdata disebut wanprestasi.
Tanggung jawab perdata dokter terhadap keterikatan kerjasama dengan
pasien dapat sebagai suatu hubungan kontraktual sesuai dengan KUHPerdata
Pasal 1313 yaitu ” Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Oleh karenanya
antara dokter dan pasien memiliki hubungan saling mengikat satu sama lain untuk
masing-masing pihak dapat berbuat atau melakukan sesuatu untuk masing-masing
pihak.
Hal terebut juga sesuai dengan bunyi KUHPerdata Pasal 1233 yaitu ”
Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-
undang. Artinya bahwa dokter telah terikat oleh sumpah dan janji serta Undang-
undang untuk memberikan Informed Consent. Oleh karenanya sesuai dengan
KUHPerdata Pasal 1234 yang berbunyi ” Tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Maka apabila tidak berbuat sesuatu dalam hal ini memberikan Informed Consent
maka dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ingkar
janji atau wanprestasi.
Tanggung jawab perdata dokter karena perbuatan melawan hukum
( onrechtmatig daad ) adalah dapat dituntut berdasarkan KUHPerdata Pasal 1365
” Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”. Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, mempunyai unsur antara lain; ada perbuatan
melawan hukum, ada kesalahan, ada kerugian, dan ada hubungan sebab-akibat
antara kerugian dan perbuatan.
29
E. Hak dan Kewajiban Pasien Selama dalam Proses Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan Undang-undang RI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kodokteran, Paragraf 7, Hak dan Kewajiban Pasien, Pasal 52, adalah sebagai
berikut : Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,
mempunyai hak :
1. mendapatkan pejelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
2. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. menolak tindakan medis dan;
5. mendapat isi rekam medis.
Pasal 53, pasien, dalam menerima pelayanan praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban;
1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2. mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Menurut Sri Praptianingsih ( 2006 ), hak-hak pasien yang harus dihormati
oleh tenaga kesehatan dalam upaya pelayanan kesehatan, antara lain :
1. hak atas pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan;
2. hak atas informasi yang berupa penjelasan berkait dengan penyakitnya,
tindakan medis, dan keperawatan beserta pengobatan yang dapat dilakukan
serta akibat atas tindakan medis dan pengobatan yang dilakukan; informasi
diberikan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter untuk tindakan medis dan
perawat apabila berkait dengan pelayanan/asuhan keperawatan;
3. hak untuk menetukan nasib sendiri, merupakan hak pasien untuk menentukan
pilihan tindakan pengobatan dan atau perawatan yang akan dilakukan
terhadap dirinya/penyakitnya; keputusan untuk memilih ini dilakukan setelah
30
mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap dari dokter/atau perawat
tentang segala sesuatu yang berkait dengan penyakitnya dan upaya yang dapat
ditempuhnya untuk mendapatkan kesembuhan;
4. hak atas second opinium, merupakan hak pasien untuk memperoleh masukan
dari tenaga kesehatan lain, baik dokter, perawat, maupun tenaga kesehatan
yang lainterhadap penyakit dan upaya kesembuhan yang dapat ditempuhnya.
Menurut Indradi (2007) terdapat 3 hak dan kewajiban pasien selama
proses pelayanan kesehatan :
1. Hak atas informasi
Sebelum melakukan tindakan medis tersebut, dokter seharusnya akan
meminta persetujuan dari pasien. Untuk jenis tindakan medis ringan,
persetujuan dari pasien dapat diwujudkan secara lisan atau bahkan hanya
dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa pasien setuju, misalnya
mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko,
persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan
tindakan medis. Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak
sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu : Pasien berhak mendapat
informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan
dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan atau petugas medis lain yang diberi wewenang.
Informasi ini meliputi : bentuk tindakan medis, prosedur
pelaksanaannya, tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya, resiko dan efek
samping dari pelaksanaannya, resiko / kerugian apabila rencana tindakan
medis itu tidak dilakukan dan alternatif lain sebagai pengganti rencana
tindakan medis itu, termasuk keuntungan dan kerugian dari masing-masing
alternatif tersebut.
Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis
yang akan diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan
masih belum jelas, pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari
31
dokter lain untuk memperjelas atau membandingkan informasi tentang
rencana tindakan medis yang akan dialaminya, Pasien berhak menolak
rencana tindakan medis tersebut. Semua informasi diatas sudah harus diterima
pasien sebelum rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi
ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah
menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk
berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.
Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju
maupun tidak setuju. Syarat seorang pasien yang boleh memberikan
pernyataan, yaitu (Indradi, 2007) :
a. Pasien tersebut sudah dewasa. Masih terdapat perbedaan pendapat pakar
tentang batas usia dewasa, namun secara umum bisa digunakan batas 21
tahun. Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah
termasuk kriteria pasien sudah dewasa.
b. Pasien dalam keadaan sadar. Hal ini mengandung pengertian bahwa
pasien tidak sedang pingsan, koma, atau terganggu kesadarannya karena
pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus bisa
diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
c. Pasien dalam keadaan sehat akal.
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan
pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu
sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas, bukan orang tuanya,
anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya. Namun apabila pasien
tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak
untuk menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana
tindakan medis yang akan dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini,
maka hak pasien akan diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya.
Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan
persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali
32
lainnya yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak
sadar atau kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan yang
paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia setuju.
F. Alat Bukti Perdata
Menurut Hapsoro Hadiwidjojo alat bukti/pembuktian adalah bahan atau
alat yang dipakai dalam suatu proses pemeriksaan perkara untuk membuktikan
kebenaran sesuatu.
Alat – alat bukti yang disebut dalam KUHPerdata Pasal 1866, Pasal 164 HIR
Pasal 284 RBg maka yang disebut bukti yaitu : bukti surat, bukti saksi, sangka,
pengakuan, sumpah.
Adapun yang dimasud alat bukti antara lain : 1. Alat Bukti Tulisan
Menurut Hugens Holtz, tulisan adalah semua benda yang mengandung
memuat tanda-tanda bacaan yang dapat dibaca. Menurut Pilto tulisan adalah
tanda bacaan yang dapat dimengerti isinya yang mengungkapkan pikiran ,
atas apa dituliskan bukan menjadi soal apa diatas kertas, karton, sutera, kayu.
Sedangkan akta sendiri dibagi menjadi dua:
1) Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di
dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat
keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya,
dan dilihat di hadapannya.
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata suatu akta otentik ialah suatu akta
yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
33
atau di hadapan pegawai – pegawai umum yang berkuasa untuk itu
ditempat di mana akta dibuat.
Kekuatan Pembuktian akta otentik
Menurut Pasal 1870 KUHPerdata maka akta otentik bagi para
pihak dan ahli warisnya, serta mereka yang memperoleh hak, merupakan
bukti sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan
tentang yang terdapat dalam akta dituturkan itu ada hubungannya
langsung dengan pokok akta. Kalau yang dituturkan dalam akta itu tidak
ada hubungannya langsung dengan pokok akta, menurut Pasal 1871
KUHPerdata hal itu hanya sebagai permulaan bukti tertulis.
(1) Kekuatan pembuktian lahir akta otentik
Berlaku asas acta publica probantsese ipsa, yang bahwa suatu akta
yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat
dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Berarti
bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada
pembuktian sebaliknya.
Kekuatan pembuktian lahir ini berlaku bagi
kepentingan atau keuntungan terhadap setiap orang dan tidak
terbatas para pihak saja. Sebagai alat bukti maka akta otentik, baik
akta pejabat maupun akta para pihak ini keistimewaannya terletak
pada kekuatan pembuktian lahir.
(2) Kekuatan pernbuktian formil akta otentik
Dalam arti formil akta otentik membuktikan kebenaran dari apa yang
dilihat, didengar atau dilakukan pejabat ini adalah pembuktian tentang
kebenaran dari keterangan pejabat sepanjang mengenai apa
dilakukannya dan dilihatnya. Dalam hal ini yang telah pasti ialah
34
tentang tanggal tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan. Pada
pejabat tidak terdapat pernyataan atau keterangan dari para pihak :
pejabatlah yang menerangkan. Maka bahwa pejabat menerangkan
demikian itu sudah pasti bagi siapapun. Dalam hal akta para pihak
bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat menyatakan
seperti tercantum di atas tanda tangan.
(3) Kekuatan pembuktian materiil akta otentik
Akta pejabat tidak lain hanya untuk membuktikan kebenaran apa yang
dilihat dan dilakukan oleh pejabat. Akta pejabat yang mempunyai
kekuatan pembuktian materid ialah akta yang dikeluarkan oleh Kantor
catatan Sipil.
Kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan
hakim. Lain halnya dengan akta yang dibuat oleh para pihak mereka
meperoleh haknya dari bukti yang sempurna. Semua akta para pihak
mempunyai kekuatan pembuktian materiil. Bagi kepentingan pihak
kekuatan pembuktian materiil diserahkan kepada pertimbangan hakim.
2) Akta di bawah tangan Adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak
tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara
pihak yang berkepentingan. Menurut Pasal 1867 yaitu ”Pembuktian
dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan di bawah tangan”.
Kekuatan Pembuktian akta di bawah tangan
Orang terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan
diwajibkan membenarkan atau memungkiri tanda tangannya,
sedangkan ahli warisnya cukup hanya mengenalkan bahwa ia tidak
kenal akan tanda tangan tersebut.
35
(1) Kekuatan pembuktian formil akta di bawah tangan
Kalau tanda tangan akta di bawah tangan telah diakui, maka itu
berarti bahwa keterangan atau pernyataan di atas tanda tangan itu
adalah keterangan atau pernyataan dari si penandatangan.
Kekuatan pembuktian formil dari akta di bawah tangan ini sama
dengan kekuatan pembuktian formil dari akta otentik. Jadi disini
pasti bagi siapapun bagi sipenandatangan menyatakan seperti yang
di atas.
(2) Kekuatan pembuktian materiil akta di bawah tangan
Menurut pasal 1875 KUHPerdata maka akta di bawah tangan yang
diakui menurut undang-undang bagi yang menandatanganinya,
ahli warisnya serta orang yang mendapat hak dari mereka
merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik.
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan memuat
peristiwa menjadi dasar dari pihak, hak atau perikatan yang dibuat
sejak ia dengan sengaja untuk pembuktian. Untuk dapat
digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditanda
tangani. Keharusan ditanda tangani surat untuk dapat disebut akta
dari Pasal 1869 KUHPerdata. Keharusan adanya tanda tangan
tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta
yang lain atau dari akta yang dibuat oleh orang lain. Fungsi tanda
tangan adalah untuk memberi ciri untuk mengindividualisir sebuah
akta.
Surat-surat yang ditanda tangani oleh orang-orang yang
tidak cakap melakukan perbuatan hukum tidak dapat diajukan
sebagai alat bukti. Penanda tanganan ialah membubuhkan nama
dari si penanda tangan, hingga membubuhkan paraf yaitu
singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup. Nama harus
36
ditulis tangan oleh si pendatangan sendiri atas kehendaknya
sendiri.
Ada kemungkinan dua penanda tanganan yang dibuat
oleh satu orang itu berbeda, disebabkan karena berbeda jarak
waktu pembuatan tanda tangan itu jauh. Hal ini sepenuhnya
diserahkan kepada tanpa mendengar saksi ahli.
Tanda tangan yang dibubuhkan pada akta di bawah
tangan dengan perantaraan kertas karbon hanyalah berlaku sebagai
penandatanganan apabila si penanda tangan menghendaki
demikian.
(3) Kekurangan Alat Bukti Akta Di Bawah Tangan
Apabila tanda tangan di dalam akta dibantah kebenarannya maka
lawan pembantah tersebut yang harus membuktikan ke
benarannya.
Sementara menurut KUH Perdata Persangkakan palsu
Pasal 1872 yang berbunyi ” Jika suatu akta otentik, yang berupa
apa saja, dipersangkakan palsu, maka pelaksanaannya dapat
ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara
Perdata”.
Terkait dengan hal tersebut diatas adalah Pasal 1977
KUH Perdata yang berbunyi ” Jika seseorang memungkiri tulisan
atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang-
orang yang mendapat hak daripadanya menerangkan tidak
mengakuinya, maka harus memerintahkan supaya kebenaran dari
tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa dimuka pengadilan.
37
2. Alat Bukti Saksi
Kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
bukan merupakan pihak dalam suatu sengketa, di persidangan, di bawah
sumpah, mengenai peristiwa yang menjadi sengketa yang dilihat, didengar
atau dialami sendiri.
Menurut Hari Sasangka (2005), saksi menurut keadaan saksi dapat
dibagi atas :
a. Saksi kebetulan, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat atau
mendengar atau mengalami sendiri tentang perbuatan atau peristiwa
hukum yang menjadi perkara.
b. Saksi sengaja, yaitu saksi yang pada waktu pembuatan atau peristiwa
hukum itu dibuat, sengaja telah diminta menyaksikannya.
3. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang
atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain
yang belum terang kenyataannya sesuai yang termaktub dalam Pasal 1915
KUHPerdata.
4. Alat Bukti Pengakuan
Menurut Pitlo (1978 : 150 ), pengakuan adalah keterangan sepihak
dari di salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang
dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh
pihak lawan.
5. Alat Bukti Sumpah
Menurut Pitlo ( 1978 : 172 ), sumpah adalah hal menguatkan suatu
keterangan dengan berseru kepada Tuhan.
38
G. Dampak Tidak Adanya Informed Consent
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), jika sesorang dokter tidak
memperoleh persetujuan tindakan kedokteran yang sah, maka dampaknya adalah
bahwa dokter tersebut akan dapat mengalami masalah antara lain :
1. Hukum pidana
Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat
dikategorikan sebagai ”penyerangan” (assault). Hal tersebut dapat menjadi
alasan pasien untuk mengadukan dokter ke peyidik polisi, meskipun kasus
semacam ini sangat jarang terjadi.
Aspek Hukum Pidana “informed consent” mutlak harus dipenuhi
dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tentang penganiayaan antara lain berbunyi (1) Penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat,
yang bersalah diancam paling lama penjara selama lima tahun (3) Jika
mengakibatkan mati, diancam penjara paling lama tujuh tahun. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka
pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan.
2. Hukum perdata
Untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter,
maka pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan
sebelumnya mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud padahal
apabila dia telah diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau
menjalaninya, atau menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan
tanpa persetujuan (perbuatan melanggar hukum).
39
Hal tersebut sesuai KUHPerdata Pasal 1234 yang berbunyi ” Tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk
tidak berbuat sesuatu. Maka apabila tidak berbuat sesuatu dalam hal ini
memberikan Informed Consent maka dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum karena ingkar janji atau wanprestasi.
Tanggung jawab perdata dokter karena perbuatan melawan hukum
( onrechtmatig daad ) adalah dapat dituntut berdasarkan KUHPerdata Pasal
1365 ” Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut”.
3. Pendisiplinan oleh MKDKI
Bila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter atau dokter gigi
yang melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan menyidangkan dan dapat
memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang dapat berupa teguran hingga
rekomendasi pencabutan Surat Tanda Resgistrasi.
Menurut Soeraryo Darsono ( 2006 ) penerapan hukum kedokteran
berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata menyatakan bahwa dokter dapat dituntut
secara perdata apabila; melakukan wanprestasi atau ingkar janji, wanprestasi
tersebut juga termasuk tidak memberikan informed consent dalam suatu
tindakan medis.
Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth ( 1996 ) informed consent
adalah untuk melindungi pasien terhadap pembedahan yang lalai dan
melindungi ahli bedah terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum.
Sementara ditinjau dari KUHPidana Pasal 354, ayat (1) Barangsiapa
sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan berat dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun.
40
Terkait juga dengan dampak ketidak adanya informed consent adalah
KUHPidana Pasal 359 adalah ” Barang siapa karena kesalahannya
( kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Sementara ketidak lengkapan informed consent juga dapat dikaitkan
dengan pemalsuan surat sesuai dengan bunyi KUHPidana Pasal 263 ayat (1)
Barang siapa membuat surat paslu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal yang diperuntukan dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana paling
lama enam tahun.
41
H. Konstruksi teori
Informed Consent: I. Identitas Rekam Medis
II. Identitas yang membuat menandatangani persetujuan III. Identitas dokter pemberi informasi dan isi informasi meliputi
1. Diagnosis & tata cara tindakan medis 2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan 3. Alternatif tindakan lain & resikonya 4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi 5. Prognosis terhadap tindakan
IV. Identitas pasien yang akan dioperasi V. Tanda tangan dokter pemberi informasi
VI. Tanda tangan yang membuat pernyatakan VII. Tanda tangan saksi
Aspek Hukum Keperdataan
Kelengkapan pengisian format informed consent
Gambar 1. Konstruksi Teori (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006; Jacobalis, 2005.; Sanjoyo, 2007)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan Yuridis
Normatif. Hal ini karena data yang dipergunakan adalah data sekunder (studi
kepustakaan dokumen informed consent) dengan mengingat bahwa permasalahan
berkisar tentang kelengkapan format informed consent dan kelengkapan pengisian
informed concent.
B. Spesifikasi Penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik maka penulis menggunakan
spesifikasi penelitian ini secara deskriptif analisis artinya menggambarkan ruang
lingkup yang luas sekaligus memberikan batasan-batasan yang tegas yang
didiskripsikan dalam penelitian ini : Analisis kelengkapan informed consent pada
pasien operasi di RSUP. Dr. Kariadi Semarang ditinjau dari aspek hukum perdata.
C. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah dokumen informed concent
pasien operasi. Data diambil pada saat pasien dilakukan timbang terima pasien antara
perawat ruangan sebagai pengantar dengan perawat kamar bedah sebagai penerima.
Karena jumlah dokumen informed consent yang ada di rekam medis Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang sampai bulan Januari Desember 2007 terdapat 200 dokumen, maka
jumlah dari populasi di bawah 10.000, oleh karena itu penentuan besar sampel
dihitung menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2003).
)(1 2dNNn
+=
Gambar 3. Rumus Perhitungan Sampel
Dimana : N : Besar Populasi n : Besar sampel d : Penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan sebesar 20% atau 0,02.
42
43
Jika jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi 200 pasien, maka :
)02,0(2001200
+=n
41+200
=
= 40
akan
gunakan kriteria inklusi.
nstalasi Bedah Sentral, dengan usia lebih dari 21 tahun atau sudah
. Pasien dalam kondisi sadar dan tidak dalam kondisi kesakitan.
D. mengambil lokasi di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang.
Setelah jumlah dokumen informed consent yang akan dijadikan sampel
penelitian ditentukan, maka selanjutnya pengambilan sampel dokumen
dilakukan dengan teknik simple random sampling meng
Kriteria inklusi informed consent tersebut antara lain :
1. Pasien operasi elektif atau operasi yang direncanakan
2. Pasien sedang di timbang terimakan antara perawat ruang inap dan perawat kamar
bedah di I
menikah.
3
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan
44
E. Desain Penelitian
Keleng tinjau
dari aspek hukum perdata kapan informed consent di
Objek penelitian: Dokumen informed consent
Per
Kelengkapan informed consent ditinjau dari aspek hukum keperdataan umusan masalah :
Metode
Lokasi : Pengumpulan data: Data sekunder : 1. Dokumen informed consent 2. Peraturan-peraturan tentang
Kamar Bedah RS Dr. Kariadi Semarang
informed consent
Pengolahan dan Analisa data
K leng ormed kapan infe Aspek hukum keperdataan ngkapan infoconsent ketidakle rmed consent
Kesimpulan dan saran
45
F. Metod
unan tesis ini penulis
pulkan data, yaitu :
1. Studi K
aik dalam bentuk ketetapan formal maupun
yang
hukum primer antara lain :
adalah literatur, jurnal, hasil
an pendaftaran rawat inap, dokumen pernyataan
persetujuan tindakan medis.
e Pengumpulan data
Dalam usaha pengumpulan data untuk keperluan penyus
menggunakan beberapa cara untuk mengum
epustakaan/Libarary Research
Data yang digunakan untuk keperluan penyusunan tesis ini menggunakan
data sekunder yaitu penelitian dari kepustakaan. Metode pengumpulan data
dengan studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-
pendapat atau tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan
juga untuk memperoleh informasi b
data melalui naskah resmi yang ada.
Data sekunder di bidang hukum dapat dibedakan menjadi :
a. Bahan-bahan hokum primer yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan
ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta
diketahui maupun gagasan atau idea. Bahan
1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2). UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
3). Undang-Undang Praktek Kedokteran No 29 Tahun 2004
4). Peraturan Menteri kesehatan No 585/MEN.KES/PER/IX/1989
5). Dokumen-dokumen informed consent Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang
b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder
penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan-bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan primer dan bahan sekunder, bahan-bahan hukum tertier antara
lain berupa brosur, lampiran-lampiran, dokumen pernyataan-pernyataan
pemberian keterangan tertulis, dokumen pernyataan tindakan medik umum,
dokumen pernyataan persetuju
46
2.
akukan dengan menggunakan lembar observasi
ang telah disusun sebelumnya.
G. Metod
pan format informed consent dan
keleng
menganalisa data yang satu dengan data yang lainnya
disusun
asalahan
dan dapat dipakai sebagai cara untuk menarik kesimpulan dalam tesis ini.
Observasi
Observasi dilakukan pada dokumen informed consent. Fokus observasi diarahkan
pada kelengkapan format informed consent dan kelengkapan pengisian format
informed consent. Observasi dil
y
e Analisa data
Hasil penelitian yang terkumpul dianalisia secara kualitatif yaitu dengan
menganalisa data yang ada untuk dikaitkan dengan teori-teori, konsep-konsep,
doktrin-doktrin dari para ahli serta didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Dimana dengan metode ini diharapkan akan memperoleh jawaban teori dan konsep
mengenai pokok permasalahan yaitu kelengka
kapan pengisian format informed consent.
Setelah data terkumpul dan tersusun secara sistematis, selanjutnya diolah dan
dianalisis dengan metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif disebut analisis
normatif karena penelitian ini bertitik tolak pada peraturan perundang-undangan yang
ada sebagai norma hukum positif, juga berdasarkan pada doktrin yang terkait dan
teori-teori untuk dapat menghasilkan data dan informasi agar mencapai kejelasan
masalah, maksudnya dalam
secara sistematis.
Hasil data diperoleh dari instansi yang terkait baik secara tertulis maupun
secara lisan ini diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai pokok perm
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum RSUP. Dr. Kariadi Semarang
RSUP. Dr. Karadi Semarang merupakan rumah sakit rujukan yang berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 23 Tahun 2005 tanggal 13 Juni 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Berdasarkan PP-BLU Pasal 37 ayat (2)
bahwa status Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan)
beralih menjadi instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.
Sebagai rumah sakit terbesar di Jawa Tengah RSUP. Dr. Kariadi Semarang
menjadi rumah sakit pusat rujukan. RSUP. Dr. Kariadi Semarang memberikan pelayanan
operasi dari operasi kecil sampai operasi jantung terbuka. Prestasi yang telah dicapai
meliputi operasi kembar siam beberapa kali, operasi cakok hepar pertama di Indonesia,
operasi jantung satu-satunya di rumah sakit di luar Jakarta. Data yang didapatkan di
Kamar Bedah SRUP. Dr. Kariadi Semarang jumlah operasi pada tahun 2007 mencapai
7000 operasi meliputi operasi kecil, sedang, besar, canggih dan khusus.
Dari jumlah tersebut 54% pasien kelas III dengan menggunakan ASKESKIN dan
46% pasien kelas II, kelas I, kelas VIP. Data 46% pasien kelas menunjukan bahwa
hampir 50% pasien operasi di RSUP. Dr. Kariadi Semarang adalah pasien dari kalangan
menengah keatas yang dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang relative tinggi. Oleh
karena itu rumah sakit harus dapat memberikan tigkat akontabilitas pelayanan yang tinggi
pula. Karena hampir 50% dari pasien kelas relative lebih kritis dan tahu tentang hokum
dan hak-haknya.
B. Gambaran Pelayanan Operasi
Pelayanan tindakan medis operasi dilakukan secara tim meliputi dokter operator,
anestesi dan keperawatan. Pengelolaan pasien meliputi pre operatif yaitu dimulai sejak
pasien dinyatakan oleh dokter bahwa pasien harus operasi, sampai dengan pasien masuk
kamar operasi. Pada fase ini pasien dipersiapkan mulai pemeriksaan diganostik,
pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium, radiologi, EKG dan USG sesuai
kebutuhan. Pada fase inilah pasien juga harus dipersiapkan secara psikologi termasuk
47
48
didalamnya adalah pemberian informed consent. Sehingga seharusnya informed consent
sudah siap dan lengkap pada saat pasien dikirim ke kamar operasi.
Fase berikutnya adalah fase intra operasi, dimana fase ini mulai dari saat pasien
masuk kamar operasi, saat pasien dioperasi sampai dengan pasien keluar dari kamar
operasi. Sementara fase paska operasi adalah mulai saat pasien keluar dari kamar operasi
sampai dengan pasien pulang bahkan mungkin sampai dengan perawatan dirumah.
C. Pemberian Informed Consent Tindakan Medis Operasi
Pemberian Informed Consent pasien untuk tindakan medis operasi diberikan pada
fase pra operasi dimana mulai saat pasien diputuskan oleh dokter bahwa pasien harus
operasi. Pada saat itulah seharusnya dokter memberikan Informed Consent agar pasien
dapat mengambil keputusan tentang dirinya sesuai dengan kondisinya setelah
mendapatkan informasi dari dokter yang akan melakukan operasi.
Informed Consent pada pasien operasi di RSUP. Dr. Kariadi mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men.Kes./Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis. Hal mana didalamnya sudah termasuk format baku informed consent.
Dalam pelaksanaannya RSUP. Dr. Kariadi Semarang berdasarkan Surat Keputusan
Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270 tanggal 20 Desember 2004,
tentang Prosedur Tetap Persetujuan Tindakan Medik ( informed consent ).
Dari format baku tidak ada perbedaan dari kedua dasar hukum yang digunakan
oleh RSUP. Dr. Kariadi , hanya pada isi ada perbedaan yang berarti yaitu yang termaktup
pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men.Kes./Per/IX/1989 Pasal 5 ayat (1)
Dalam hal tindakan bedah ( operasi ) atau tindakan infasif lainnya, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri. (2) Dalam keadaan
tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) informasi harus
diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung
jawab. (3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah ( operasi ) dan tindakan yang bukan
invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat.
Sementara hal tersebut berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama RSUP. Dr.
Kariadi No. Kp.08.02-1270 tanggal 20 Desember 2004, berbunyi seperti dalam
kebijakan No. 5 yaitu “Tenaga kesehatan yang mempunyai kewajiban memberikan
49
penjelasan adalah dokter yang hendak melakukan tindakan medik, tetapi kewajiban
tersebut dapat didelegasikan kepada dokter lain, perawat, atau bidan dengan catatan, jika
terjadi kesalahan dalam memberikan penjelasan maka yang bertanggung jawab adalah
dokter yang melakukan tindakan medik”. Hal mana tidak dibedakan antara tindakan yang
invasif maupun tindakan bukan invasif yang artinya perawat dan bidan boleh
memberikan informasi tentang hal-hal yang harus diinformasikan kepada pasien baik
tindakan invasif maupun bukan invasif.
Surat Keputusan Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270 tanggal
20 Desember 2004, tentang Prosedur Tetap Persetujuan Tindakan Medik ( informed
consent ) sebagai Standar Operasional Prosedur tidak sesuai dengan surat edaran Dir. Jen.
Pelayanan Medis Dep. Kes. RI. No. YM.00.03.2.2.1730, 5 Nopember 2001 perihal
Akreditasi Rumah Sakit. Hal mana secara definisi standar operasional prosedur adalah
suatu perangkat atau instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan
suatu proses kerja rutin tertentu. Standar operasional prosedur memberikan langkah-
langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsesus bersama untuk melaksanakan
berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan. Sementara Surat Keputusan Direktur Utama
RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270 tanggal 20 Desember 2004, tentang Prosedur
Tetap Persetujuan Tindakan Medik ( informed consent ) berisi tentang paraturan-
peraturan tentang informed consent dan memuat sangat banyak isi. Hal tersebut kurang
memberikan arah dan petunjuk langkah-langkah dalam memberikan informed consent
baik dalam pengisian dokumen maupun prosesnya sendiri.
Format baku informed consent yang dipergunakan oleh RSUP. Dr. Kariadi adalah
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men.Kes./Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis. Format baku informed consent sebagai bagian dari rekam
medis maka secara anatomi menurut peneliti dapat dibagi menjadi beberapa bagian dari
format baku tersebut antara lain; bagian I adalah bagian kepala dari format baku tersebut
yang berisi antara lain bangsal asal pasien, kelas, nomor rekam medis, nama pasien dan
umur pasien; bagian II bagian yang berisi identitas orang yang membuat pernyataan
meliputi antara lain nama yang membuat persetujuan, umur, jenis kelamin, alamat dan
nomor bukti diri ( KTP/SIM ), bagian III berisi antara lain nama dokter yang memberi
penjelasan ( informasi ), diagnose, dan aspek yang harus diinformasikan kepasien
50
meliputi purpose of medical prosedur, contampletedal prosedur medic, risk inherent in
such medical prosedur, alternative medical prosedur and risk, prognosis with and
without medical prosedur; bagian IV berisi persetujuan yang berisi operasi yang akan
dilakukan,hubungan keluarga antara pembuat pernyataan dengan pasien yang akan
dioperasi meliputi pasien sendiri/isteri/suami/anak/ayah kandung, nama pasien, umur dan
jenis kelamin, alamat, bukti diri ( KTP/SIM ), ruang dimana pasien dirawat, nomor rekam
medis; bagian ke V adalah bagian penandatanganan antara lain berisi; tanggal dan nama
kota tempat penandatanganan dilakukan, tanda tangan dokter dan nama terang, tanda
tangan dan nama terang yang membuat persetujuan, tanda tangan nama terang saksi satu
dan saksi kedua, masing-masing saksi dari keluarga pasien dan perawat sebagai saksi dari
pihak rumah sakit. Dari semua item yang harus diisi dalam format baku informed consent
tersebut sejumlah 31 ( tiga puluh satu ) item, seperti dalam tabel I rekapitulasi dibawah
ini.
51
D. HASIL OBSERVASI KELENGKAPAN INFORMED CONSENT DAN PEMBAHASAN
1. Tabel I ( 1 dalam setiap kolom berarti diisi 0 berarti tidak dalam kolom tidak diisi )
REKAPITULASI HASIL OBSERVASI KELENGKAPAN INFORMED CONSENT I II III IV V
IDENTITAS RM YG MENYTAKAN DOKTER IDENTITAS PASIEN PENANDATANGANAN
No
Nam
a Pasien
Um
ur ( TH
)
Bangsal
Kelas
No. RM
Nam
a Pasien
Umur
Nam
a yg m
enyatakan
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
No. KTP/SIM
Dr. yg men
jelaskan
Diganosa
Jenis op
erasi
Hub
' klg dg pasin
Nam
a pasien
Umur pasein
Jenis Kelamin
Alamat pasien
No. KTP/SIM
pasien
Bangsal
Kelas
No. RM
Tgl di tanda
tangani
TT yg men
yatakan
Nm te
rang
pernytaan
TT dokter
Nm te
rang
dokter
TT saksi I
Nm te
rang
saksi I
TT saksi II
Nm Terang saksi II
Kolom yg terisi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 1 Sukarti 78 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 22 2 Suhartini 49 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 23 3 Rahayu 34 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 27 4 Rifan R 70 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 25 5 Cahyo 48 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 20 6 Ngadiran 55 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 20 17 M Moen 54 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 11 18 Riayatul 48 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22 9 Ratnawen 27 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 17 010 Sadiman 44 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22 111 Suyatmi 57 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 23 112 Ngasrini 35 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 26 13 Slamet B 39 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 16 14 Syahroni 53 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 24 15 Sukanto 37 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 13 116 Jari 70 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 22 17 Sulipah 60 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 23 018 Sapto 69 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 9 119 Atminah 67 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 27 020 Wahyuti 49 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 321 Panganli 49 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 1 18 22 Atmanto 41 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 15 123 Mulyadi 50 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 11 024 Patonah 49 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 15 125 Rasipah 77 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 25 126 Susilowa 40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 17 27 Slamet 44 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 19 28 Kasni 69 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 24 129 Kamini 65 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 22 30 Suyami 43 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 21 31 Budiono 21 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 23 132 Samsuri 61 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 21 133 Darto 29 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 24 034 Suntari 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 35 Fatimah 41 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 27 136 Masnun 55 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 16 37 Firman 28 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 16 38 Suwardi 53 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 21 039 Lalu 56 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 25 40 Kusuman 30 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 17 24 21 23 23 22 35 34 23 22 1 25 27 30 20 33 31 21 17 4 23 25 16 30 35 35 31 30 30 28 29 24
52
Berdsarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis Pasal 2 ayat (1) Rekam Medis harus
dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik. Pada ayat tersebut jelas
bahwa Informed Consent merupakan bagian dari Rekam Medis juga harus ditulis secara
lengkap dan jelas.
Ketidak lengkapan informed consent sebagai rekam medis berdasarkan Buku
Pedoman Pelaporan IKP atau Insiden Keselamatan Pasien ( Patient Safety Incident
Report ) di rumah sakit oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( KPP-RS ) tahun
2007, adalah termasuk dalam kategori insiden dokumentasi. Hal yang merupakan insiden
dan harus dilaporkan dalam kategori insiden dokumentasi antara lain adalah meliputi bila
terjadi; informed consent tidak dilakukan atau tidak ada, pelanggaran kerahasiaan, catatan
medis tidak diisi atau tidak dicatat ( termasuk instruksi dokter ), catatan medis tidak
terbaca atau salah baca, catatan medis hilang, salah menulis data di catatan medis atau
tertukar, salah menulis hasil tes atau pemeriksaan diagnosis, salah menulis identitas
pasien atau nomor rekam medis, tidak menulis identitas pasien atau nomor rekam medis.
Menurut Sanjoyo (2007) beberapa kewajiban pokok yang menyangkut isi
informed consent sebagai rekam medis yang berkaitan dengan aspek hukum adalah antara
lain setiap tindakan yang dilakukan tetapi tidak ditulis, secara yuridis dianggap tidak dilakukan.
Sementara merubah catatan rekam medis dengan cara apapun karena bisa dikenai pasal
penipuan. Hal tersebut juga menurut peneliti, penandatanganan informed consent dengan
belum lengkap dan dilengakpi setelah ditandatangani juga termasuk didalamnya.
Tabel 2
Bagian I Kelengkapan Bagian Kepala dari Format Informed Consent
NO ITEM YG HARUS
DI ISI YANG TERISI
TDK TERISI TDK TERISI DLM %
1 Bangsal 24 16 40 % 2 Kelas 21 19 47.5 % 3 No. Rekam Medis 23 17 42.5 % 4 Nama Pasien 23 17 42.5 % 5 Umur 22 18 45 %
Sumber : Informed Consent RSUP. Dr. Kariadi ( diolah ) Maret 2008
53
Data dalam table II adalah merupakan hasil observasi pada bagian kepala
rekam medis dimana terisi antara lain bangsal asal pasien, kelas, nomor rekam medis,
nama pasien dan umur. Dari 40 sampel maka 40 % bangsal asal pasien tidak terisi,
42.5 % kelas pasien tidak terisi, 42.5 % nomor rekam medis tidak terisi, 42.5 % nama
pasien tidak terisi dan 42.5 % umur tidak terisi.
Data tersebut menunjukan bahwa berdasarkan Buku Pedoman Pelaporan IKP
atau Insiden Keselamatan Pasien ( Patient Safety Incident Report ) Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( KPP-RS ) tahun 2007 maka nomor rekam medis
tidak terisi 42.5 %, nama pasien tidak terisi 45 % adalah termasuk kategori insiden
komponen dokumentasi dan harus dilaporkan kepada Tim Pasien Safety tingkat
rumah sakit.
Kemungkinan kejadian yang tidak diinginkan dapat terjadi antara lain
tertukarnya form ( dokumen ) informed consent dengan pasien lain, hilangnya form
informed consent, atau penyangkalan oleh pasien terhadap form informed consent
nya karena tidak terisinya bagian ini pada saat menandatangani form persetujuan
tersebut. Oleh karenanya dampak hukum yang dapat timbul adalah informed consent
tidak dapat sebagai bukti hukum apabila terjadi sengketa hukum.
Sementara informed consent menurut Pasal 1875 KUHPerdata maka akta di
bawah tangan yang diakui menurut undang-undang bagi yang menandatanganinya,
ahli warisnya serta orang yang mendapat hak dari mereka merupakan bukti yang
sempurna seperti akta otentik. Hilangnya form ( dokument ) informed consent juga
dapat berakibat suatu masalah pidana dimana meurut KUHPidana Pasal 354, ayat (1)
Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan berat
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun.
54
Tabel 3
Bagian II Kelengkapan Identitas Yang Membuat Pernyataan
NO ITEM YG HARUS DI ISI
YANG TERISI
TDK TERISI
TDK TERISI DLM %
1 Nama yang membuat pernyataan 35 5 12.5 % 2 Umur 34 6 15 % 3 Jenis Kelamin 23 7 17.5 % 4 Alamat 22 8 2 % 5 No. KTP/SIM 1 39 97.5 %
Sumber : Informed Consent RSUP. Dr. Kariadi ( diolah ) Maret 2008
Dari hasil yang terdapat pada tabel III maka terdapat beberapa item yang
tidak terisi antara lain nama yang membuat pernyataan 12.5 %, umur 15 %, jenis
kelamin 17.5 %, alamat 2 % sementara 97.5 %. Hal mana termasuk kategori insiden
catatan medis tidak diisi yang harus dilaporkan pada tim pasien safety tingkat rumah
sakit. Sementara ditinjau dari kaidah-kaidah informed consent sebagai akte dibawah
tangan maka hal mana adalah, suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani. Oleh karena itu
menurut peneliti tulisan yang dibuat dan ditanda tangani harus lengkap dan bermakna
terlebih dahulu setelah itu baru ditanda tangani. Tidak adanya nama pembuat
pernyataan dalam form informed consent maka dapat dianggap bahwa form informed
consent tersebut tidak sah. Ketidak absahan form informed consent akan berdampak
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti secara sempurna dalam hukum keperdataan.
Ketidak absahan form informed consent menurut Konsil Kedokteran
Indonesia (2006), adalah jika seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan
kedokteran yang sah, maka dampaknya adalah bahwa dokter tersebut akan dapat
mengalami masalah antara lain; hukum pidana hal mana menyentuh atau melakukan
tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat dikategorikan sebagai
”penyerangan” (assault). Hal tersebut dapat menjadi alasan pasien untuk mengadukan
dokter ke peyidik polisi, meskipun kasus semacam ini sangat jarang terjadi. Hal mana
khusunya hukum perdata untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap
dokter, maka pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan
sebelumnya mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud-padahal apabila dia
telah diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya, atau
55
menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan (perbuatan
melanggar hukum).
Tabel 4
Bagian III Kelengkapan Pemberi Informasi, Diagnosa dan Jenis Operasi
NO ITEM YANG HARUS DIISI YANG TERISI
TDK TERISI
TDK TERISI DLM %
1 Dokter yang memberikan informasi 25 15 37,5 % 2 Diagnosa 27 13 32,5 % 3 Jenis operasi 30 10 25%
Sumber : Informed Consent RSUP. Dr. Kariadi ( diolah ) Maret 2008
Pada tabel IV merupakan gambaran pada bagian III yang mana isian
format informed consent yang harus disi adalah dokter yang memberikan informasi,
diagnose dan jenis tindakan operasi. Data yang didapatkan adalah antara lain; adalah
dokter yang memberikan informasi 37,5 % tidak terisi, diagnose 32,5 % tidak terisi
dan jenis operasi 25 % tidak terisi. Bagian III adalah merupakan bagian yang sanggat
penting mengingat dalam bagian ini adalah memuat identitas dokter yang
bertanggung jawah tentang apa yang harus diinformasikan pada pasien sehingga tidak
adanya nama dokter yang memberikan informasi maka informasi yang harusnya
diberikan kepada pasien tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Aspek yang penting juga tentang diagnose dan tindakan operasi mengingat
hal tersebut merupakan informasi yang penting yang harus diberikan pada pasien, hal
mana adalah sebagai suatu pertimbangan pasien dalam menentukan sikap dan
membuat keputusan setuju atau tidak untuk dilakukan operasi yang terkait. Hal
tersebut juga sesuai dengan Undang-undang RI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kodokteran, Paragraf 7, Hak dan Kewajiban Pasien, Pasal 52, adalah sebagai berikut :
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran, mempunyai hak antara
lain mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). Dampak dari hal tersebut adalah penandatangan
persetujuan oleh yang membuat pernyataan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah atau
aturan informed consent hal mana pembuat pernyataan menandatangani form
informed consent setelah mendapatkan informasi termasuk didalamnya adalah aspek-
56
aspek yang terdapat pada bagian III ini, oleh karenanya dapat dianggap tidak sahnya
suatu persetujuan.
Dengan mengacu kepada kepustakaan, KKI memberikan 12 kunci informasi
yang sebaiknya diberikan kepada pasien antara lain adalah nama dokter yang
bertanggung jawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut, serta bila mungkin
nama anggota tim lainnya. Oleh karena itu tidak mencatumkan nama dokter berarti
menyimpang dari kepustakaan Konsil Kedokteran Indonesia.
Tabel 5
Bagian IV Kelengkapan Identitas Pasien & Hubungan Keluarga
NO ITEM YANG HARUS DIISI YANG TERISI
TIDAK TERISI
TDK TERISI DLM %
1 Hubungan keluarga dg pasien 20 20 50% 2 Nama pasien 33 7 17,5 % 3 Umur pasien 31 9 22,5 % 4 Jenis Kelamin 21 11 27,5 % 5 Alamat pasien 17 13 32,5 % 6 Nomor KTP/SIM 4 36 90 % 7 Bangsal tempat pasien dirawat 23 17 47,5 % 8 Kelas 25 15 37,5 % 9 Nomor rekam medis 16 14 92,5 %
Sumber : Informed Consent RSUP. Dr. Kariadi ( diolah ) Maret 2008
Data yang terdapat pada tabel V yang termasuk aspek penting adalah
antara lain; hubungan keluarga dengan pasien tidak terisi 50 %, nama pasien tidak
terisi 17,5 %, dan nomor rekam medis tidak terisi 92,5 %. Dari data tersebut diatas
maka pada tabel IV dan ketiga aspek diatas merupakan kategori insiden menurut
Buku Pedoman Pelaporan IKP atau Insiden Keselamatan Pasien ( Patient Safety
Incident Report ) Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( KPP-RS ) tahun 2007.
Hubungan pasien dengan yang memberikan persetujuan merupakan aspek yang
penting karena hal tersebut telah diatur dalam Pasal 45 UUPK No. 29/ 2004 yang
berbunyi, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau
penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain
suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.
57
Oleh karena kejelasan hubungan keluarga dengan pasien adalah harus terisi demi
sahnya form informed consent.
Tidak terisinya nama pasien 17,% % dan tidak terisinya nomor rekam
medis 92,5 % dapat menimbulkan kejadian penolakan atau pengingkaran pasien
ketika terjadi sengketa hukum, yang apabila hal tersebut terjadi maka informed
consent tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti hukum dalam keperdataan.
Tabel 6
Bagian V Kelengkapan Tanggal dan Tanda Tangan
NO ITEM YANG HARUS DIISI YANG TERISI
TDK TERISI
TDK TERISI DLM %
1 Tanggal ditanda tangani 30 10 25 % 2 Tanda tangan yg membuat persetujuan 35 5 12,5 % 3 Nama terang yg membuat pernyataan 35 5 12,5 % 4 Tanda tangan dokter 31 9 22,5 % 5 Nama terang dokter 30 10 25 % 6 Tanda tangan saksi satu 30 10 25 % 7 Nama terang saksi satu 28 12 30 % 8 Tanda tangan saksi dua 29 11 27,5 % 9 Nama terang saksi dua 24 16 40 %
Sumber : Informed Consent RSUP. Dr. Kariadi ( diolah ) Maret 2008
Bagian ke V adalah merupakan bagian yang sangat penting mengingat
sahnya suatu persetujuan tergantung dari tanda tangan baik dokter yang menjelaskan,
pasien, maupun saksi – saksi. Sementara data dalam tabel V menunjukan antara lain;
tanda tangan pasien atau yang membuat persetujuan dan nama terang tidak terisi
sebanyak 25 %. Hal ini menunjukan bahwa 25 % informed consent adalah tidak sah
dan tidak dapat dipergunakan sebagai bukti hukum. Hal tersebut sesuai dengan suatu
iformed consent dapat digolongkan dalam pengertian akta apabila ditandatangani oleh
yang membuat persetujuan.
Hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 1875 KUHPerdata maka akta di
bawah tangan yang diakui menurut undang-undang bagi yang menandatanganinya,
ahli warisnya serta orang yang mendapat hak dari mereka merupakan bukti yang
sempurna seperti akta otentik. Ketidak sahnya form informed consent juga menurut
Irwandi dapat berakibat pidana sesuai dengan Pasal 351 Kitab Undang-Undang
58
Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya
pembedahan, tindakan (radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat
dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHPidana (Irwandy, 2007).
Tidak adanya tanda tangan dokter sebanyak 22,5 % dan tidak adanya
nama terang sebanyak 25, 5 %, memberikan makna tidak adanya tanggung jawab
oleh dokter terhadap informasi yang harus diberikan kepada pasien. Mengingat
bahwa tanda tangan dokter dan nama terang tersebut sebagai bentuk tanggung jawab
hukum terhadap apa yang telah dilakukan pada pasien termasuk memberikan
informasi pada pasien yang meliputi antara lain; diagnose, purpose of medical
prosedur, contampletedal prosedur medic, risk inherent in such medical prosedur,
alternative medical prosedur and risk, prognosis with and without medical prosedur.
Sesuai dengan Pasal 45 UUPK No. 29 tahun 2004, minimal informasi
yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu; diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan. Oleh karena itu tanpa informasi diberikan terlebih dahulu sebelum pasien
atau ahli waris menandatangani informed consent adalah tidak sah.
Hal tersebut sesuai dengan Konsil Kedokteran Indonesia (2006) Suatu
persetujuan tindakan medis atau informed consent dianggap sah apabila pasien telah
diberi penjelasan/informasi, pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap
(kompeten) untuk memberikan keputusan/persetujuan dan persetujuan harus
diberikan secara sukarela.
Sementara dalam data di atas juga ditemukan tidak adanya tanda tangan
saksi 25 % dan tidak ada nama terang saksi satu 30 %, sedangkan saksi dua yang
tidak ada tanda tangan sebanyak 27,5 % dan tidak ada nama terang sebanyak 40 %.
Tanda tangan para saksi adalah sangat penting baik saksi dari pihak pasien maupun
saksi dari pihak rumah sakit. Hal tersebut mengingat peran saksi sangat penting
karena apabila masing pihak, baik dokter maupun pasien atau ahli waris pasien terjadi
sengketa hukum dan memerlukan telaah mengenai informed consent yang menyakut
59
keabsahannya maka saksi menjadi kunci juga tentang sah atau tidaknya informed
consent.
E. Telaah Hukum Perdata
Informed Consent ditinjau sebagai suatu perjanjian maka sahnya suatu perjanjian
berdsarkan Pasal 1321 KUHPerdata ” Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan” Pasal
tersebut menjelaskan bahwa suatu perjanjian dianggap tidak sah bila dibuat dengan
adanya unsur kekhilafan, adanya unsur paksaan atau penipuan. Uraian di atas
menjelaskan bahwa pemberian informed consent yang dapat menyesatkan pasien dalam
menentukan persetujuan baik secara verbal maupun tulisan dapat dianggap khilaf dan
mengakibatkan tidak sahnya suatu persetujuan.
Ditinjau dari KUHPerdata Pasal 1867 ” Pembuktian dengan tulisan dilakukan
dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”, maka
dokumen form informed consent merupakan bukti hukum perdata yang sangat penting.
Oleh karena itu harus dibuat dan diberikan pada psien sesuai kaidah-kaidah pemberian
informed consent karena ketidak sahnya form informed consent tidak dapat digunakan
sebagai bukti hukum. Apabila suatu dokumen informed consent dianggap tidak ada atau
tidak sah maka ada konsekuensi hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Hal mana
pemberian informed consent merupakan keawajiban dan tanggung jawab hukum dokter,
maka oleh karenanya bila dokter tidak memberikan atau memberikan tetapi tidak sah
dokter dapat dianggap melakukan pebuatan melawan hukum.
Dokumen Informed Consent merupakan alat bukti yang penting dalam hukum
perdata, karena form informed consent merupakan bukti tulisan tentang suatu peristiwa
yaitu peristiwa dimana seorang dokter memberikan informasi kepada pasiennya dan
persetujuan oleh pasien yang artinya menyetujui setelah mendapatkan informasi sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut sesuai dengan apa
yang disebut akta (akta dibawah tangan), bahwa akta adalah suatu tulisan yang sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani (Subekti, 1993).
Oleh karena itu suatu tulisan yang tidak lengkap sehingga kurang bermakna tentang suatu
peristiwa akan tidak bermakna pula sebagai bukti hukum, karena tidak memenuhi kaidah-
60
kaidah sebagai akte dibawah tangan. Artinya form informed consent seharusnya lengkap
terlebih dahulu sehingga bermakna bagi yang memberikan persetujuan kemudian setelah
lengkap dan telah disetujui oleh yang membuat persetujuan baru ditandatangani.
Ketidaklengkapan form informed consent sebagai bukti hukum dapat
menimbulkan permasalahan hukum bila terjadi sengketa hukum, dimana suatu tindakan
medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya
persetujuan atau tidak sahnya form informed consent dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan. Maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu ” Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Tidak adanya atau tidak sahnya suatu informed consent juga dapat menimbulkan
konsekuensi Hukum Pidana dimana “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan
antara lain berbunyi (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (2) Jika
perbuatan mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam paling lama penjara selama
lima tahun (3) Jika mengakibatkan mati, diancam penjara paling lama tujuh tahun. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelittian Telaah dari Aspek Hukum Perdata Terhadap
Kelengkapan Informed Consent Pada Pasien Operasi di Rumah Sakit Dr. Kariadi
Semarang, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Telaah dari Aspek Hukum Perdata Terhadap Kelengkapan Informed Consent Pada
Pasien Operasi.
Informed Consent ditinjau sebagai suatu perjanjian maka sahnya suatu
perjanjian berdsarkan Pasal 1321 KUHPerdata ” Tiada sepakat yang sah apabila
sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan” Pasal tersebut menjelaskan bahwa suatu perjanjian dianggap tidak sah bila
dibuat dengan adanya unsur kekhilafan, adanya unsur paksaan atau penipuan. Uraian
di atas menjelaskan bahwa pemberian informed consent yang dapat menyesatkan
pasien dalam menentukan persetujuan baik secara verbal maupun tulisan dapat
dianggap khilaf dan mengakibatkan tidak sahnya suatu persetujuan.
Dasar hukum pelaksanaan informed consent operasi di RSUP. Dr. Kariadi
adalah berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi No.
Kp.08.02-1270 tanggal 20 Desember 2004. Surat keputusan tersebut mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men.Kes./Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis termasuk format baku yang digunakan.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ada perbedaan antara Surat Keputusan
Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270 tanggal 20 Desember 2004
tentang Prosedur Tetap Persetujuan Tindakan Medis, dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 585/Men.Kes./Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Perbedaan tersebut adalah pada Surat Keputusan Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi
No. Kp.08.02-1270, adalah perawat dan bidan boleh memberikan informasi pada
pasien termasuk tindakan invasif tetapi pada Peraturan Menteri Kesehatan No.
585/Men.Kes./Per/IX/1989, semua tindakan invasif pemberi informasi adalah dokter
yang akan melakukan operasi atau apabila dalam keadaan tertentu dimana tidak ada
dokter sebagaimana dimaksud maka informasi harus diberikan oleh dokter lain
dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
61
62
Ketidak lengkapan informed consent berdasarkan Buku Pedoman Pelaporan
IKP atau Insiden Keselamatan Pasien ( Patient Safety Incident Report ) di rumah sakit
oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( KPP-RS ) tahun 2007 juga termasuk
dalam katagori insiden dokumentasi.
Surat Keputusan Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270
tanggal 20 Desember 2004, tentang Prosedur Tetap Persetujuan Tindakan Medik
( informed consent ) kurang dapat amemberikan arah dan petunjuk karena sebagian
besar secara keseluruhan lebih berisi peraturan-peraturan, bukan langkah-langkah
sesuai dengan panduan dari edaran Dir. Jen. Pelayanan Medis Dep. Kes. RI. No.
YM.00.03.2.2.1730, 5 Nopember 2001 perihal Akreditasi Rumah Sakit.
Hasil penelitian pada kelengkapan dokumen informed consent secara
keseluruhan dari jumlah sampling ( 40 paisen ) pada periode 6 hari yaitu mulai
tanggal 12 Maret sampai degan tanggal 17 Maret 2008. Didapatkan tidak satupun
dokumen informed consent dari 40 pasien tersebut ada yang lengkap pengisiannya.
Artinya dari 31 item yang harus diisi tidak semua terisi, masing-masing pasien
berfariasi. Secara terperinci maka ketidak lengkapan yang mengakibatkan tidak
sahnya informed consent tersebut, tinjau dari aspek hukum keperdataan, maka
disebabkan karena ketidak lengkapan dari, antara lain; 42.5 % nomor rekam medis
tidak terisi, 42.5 % nama pasien tidak terisi, nama yang membuat pernyataan 12.5 %,
dokter yang memberikan informasi 37,5 % tidak terisi, diagnose 32,5 % tidak terisi
dan jenis operasi 25 % tidak terisi, hubungan keluarga dengan pasien tidak terisi 50
%, nama pasien tidak terisi 17,5 %, dan nomor rekam medis pada identitas pasien
tidak terisi 92,5 %, tanda tangan pasien atau yang membuat persetujuan dan nama
terang tidak terisi sebanyak 25 %, tidak adanya tanda tangan dokter sebanyak
22,5 % dan tidak adanya nama terang sebanyak 25, 5 %. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa 100% dari 40 pasien form informed consent pasien operasi di
RSUP. Dr. Kariadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti perdata yang sempurna.
Dalam penelitian pula ditemukan 1 pasien tidak meggunakan informed consent.
B. Saran-Saran
1. Bagi RSUP. Dr. Kariadi Semarang, perlunya melakukan revisi menyesesuaikan
antara Surat Keputusan Direktur Utama RSUP. Dr. Kariadi No. Kp.08.02-1270
tanggal 20 Desember 2004 tentang Prosedur Tetap Persetujuan Tindakan Medis,
63
dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men.Kes./Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
2. Sosialisasi tentang aspek hukum perdata maupun pidana terhadap informed consent
kepada dokter-dokter yang melakukan operasi di di RSUP. Dr. Kariadi Semarang.
3. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang factor-faktor yang menyebabkan banyaknya
ketidaklengkapan pengisian informed consent untuk pasien operasi di RSUP. Dr.
Kariadi Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Anny Isfandyarie, 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Prestasi Pustaka, Jakarta
Bambang Sofari, 2006. Sistem Rekam Medis Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Dian Nuswantoro Program Studi RMIK, Semarang
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medical Bedah, EGC, Jakarta
Djaja S. Meliala, 2007. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Periktanan, Nuansa Aulia, Bandung
Edna K. Huffman, 1994. Health Information Management, Physician Record Company Bernoyn Ielinois, USA
Guwandi, 2003. Dokter, Pasien, dan Hukum, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Soeraryo Darsono, 2006. Etik Hukum Kesehatan Kedokteran, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2007, Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien ( IKP ), KKP-RS, Jakarta
Hapsoro Hadiwidjojo, 1989, Hukum Pembuktian, Fakultas Hukum UNIKA Soegijapranata, Semarang
Subekti, 1993. Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Soesilo, Pramudji, , 2007, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wacana
Intelektual, Jakarta
Undang-undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
64
65
Hari Sasangka, 2005. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung
Tresna, 1993, Komentar HIR, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Men. Kes./Per/IX/1989 tentang Persetujuan tindakan Medis
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Manual Persetujuan Tindakan Medis. Edisi I. Jakarta : Konsil kedokteran Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008, Tentang Rekam Medis
RS Dr. Kariadi. 2004. Prosedur Informed Consent. 24 Desember 2004. tidak diterbitkan.
Dir. Jen. Pelayanan Medis Dep. Kes. RI. No. YM.00.03.2.2.1730, 5 Nopember 2001 perihal Akreditasi Rumah Sakit
C. Down Load
FKUI. 2007. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Retrieved Desember 28, 2007. from http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php
Hidayat, T. 2007. Perlu Diungkap Hak dan Kewajiban Pasien . Retrieved Desember 28, 2007. from http://www.duniaesai.com/hukum/hukum9.html
Indradi, R. 2007. Informed Consent, Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan Rencana Tindakan Medis. Retrieved Januari 25, 2007. from http://ranocenter.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Irwandy, 2007. Mengenal”Informed Consent”. retrieved November 1, 2007. from http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/
Iswandari, H.D. 2007. Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang no. 9/2004 Tentang Praktik Kedokteran. Retrieved Juli 30, 2007. from http://catatan-dini.blogspot.com/2007/07/aspek-hukum-penyelenggaraan-praktik.html
66
Jacobalis,S.2005.Informed Consent–Persetujuan Tindakan Medis. Retrieved Juni 24, 2005.from http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2005/0624/kes3.html
Kasimin, 2007. Modul Hukum Kesehatan, Pokok Bahasan Malpraktik Keperawatan. Retrieved Desember 28, 2007. from http://www.jmpk-online.net/files/iii.mk.hargianti.pdf
Sanjoyo, R. 2007. Aspek Hukum Rekam Medis. Retrieved Desember 28, 2007, from http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/aspekhukumrekammedis.pdf
Sari, D. P., 2002. Eksistensi Formulir Informed Consent Dalam Pelaksanaan Tindakan Operasi Medik Dilihat Dari Segi Hukum Perjanjian. Retrieved Juli 22, 2007. from http://digilib.unikom.ac.id/go.php?id
top related