terapi ska 2
Post on 14-Apr-2016
15 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. Banyak
kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan oleh karenanya diperlukan pedoman
tatalaksana sebagai rangkuman penelitian yang ada Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan
suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit
dan angka kematian yang tinggi. Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan
oleh karenanya diperlukan pedoman tatalaksana sebagai rangkuman
penelitian yang ada.
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan
iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP).
Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat
menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tata Laksana Secara Umum
Prinsip penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah coroner dengan
trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi
luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Penderita SKA perlu penanganan
segera mulai sejak di luar rumah sakit sampai di rumah sakit. Pengenalan SKA dalam keadaan
dini merupakan kemampuan yang harus dimiliki dokter/tenaga medis karena akan memperbaiki
prognosis pasien. Tenggang waktu antara mulai keluhan-diagnosis dini sampai dengan mulai
terapi reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi IMA harus dimulai sedini
mungkin, reperfusi/rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam.
Pasien yang telah ditetapkan sebagai penderita APTS/NSTEMI harus istirahat di ICCU
dengan pemantauan EKG kontiniu untuk mendeteksi iskemia dan aritmia. Oksigen diberikan
pada pasien dengan sianosis atau distres pernapasan. Perlu dilakukan pemasangan oksimetri jari
(finger pulse oximetry) atau evaluasi gas darah berkala untuk menetapkan apakah oksigenisasi
kurang (SaO2 <90%). Morfin sulfat diberikan bila keluhan pasien tidak segera hilang dengan
nitrat, bila terjadi endema paru dan atau bila pasien gelisah. Penghambat ACE diberikan bila
hipertensi menetap walaupun telah diberikan nitrat dan penyekat-β pada pasien dengan disfungsi
sistolik faal ventrikel kiri atau gagal jantung dan pada pasien dengan diabetes. Dapat diperlukan
intra-aortic ballon pump bila ditemukan iskemia berat yang menetap atau berulang walaupun
telah diberikan terapi medik atau bila terdapat instabilitas hemodinamik berat
2
2.1.1 Terapi Farmakologi
Farmakoterapi SKA didasarkan pada pengetahuan tentang mekanisme, manifestasi klinis,
perjalanan alamiah dan patologis baik dari sisi selular, anatomis dan fisiologis dari kasus SKA
yang hendak diobati dan pengertian yang mendalam, luas serta profesional tentang farmakologi
obat yang akan digunakan.
Pada prinsipnya terapi pada kasus SKA ditujukan untuk mengatasi nyeri angina dengan
cepat, intensif dan mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard akut atau
kematian mendadak. Oleh karena setiap kasus berbeda derajat keparahan atau riwayat
penyakitnya, maka cara terapi terbaik adalah individualisasi dan bertahap, dimulai dengan masuk
rumah sakit (ICCU) dan istirahat total (bed rest).
2.2 Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
Anti Iskemia
2.2.1 Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1
yang mengakibatka turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan
3
pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan
injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat
hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat kontra indikasi penyekat beta oral
hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama . Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada kontra indikasi .Pemberian penyekat beta
pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap
dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III . Beberapa penyekat beta yang sering
dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat pada tabel
2.2.2 Nitrat.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjutsebaiknya mendapat nitrat
sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan
penggunaan nitrat intravena jika tidak ada kontra indikasi
4
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi
dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh
menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat
beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I)
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg
di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung,
atau infark ventrikel kanan
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase:
sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah
pemberian vardenafil belum dapat ditentukan
2.2.3 Calcium channel blockers (CCBs).
Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa
efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek
terhadap SA
Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB
tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama
golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi
menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah
mendapatkan nitrat dan penyekat beta
5
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan kontra indikasi
terhadap penyekat beta
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi
penyekat beta
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan
kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.
2.2.4 Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa kontra indikasi dengan dosis loading 150-
300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa
memandang strategi pengobatan yang diberikan
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontra indikasi seperti risiko perdarahan berlebih
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual
antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien
dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien
dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama
dengan antikoagulan atau steroid
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian
indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang
hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg
dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini
6
juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian dihentikan)
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis
loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis
tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi
invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu dipertimbangkan
untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu menjalani
pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan
pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara
klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan) setelah
pembedahan CABG begitu dianggap aman
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2 selektif dan
NSAID non-selektif )
2.2.5 Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan .
Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang
telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang
terlihat) apabila risiko perdarahan rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin
sebelum angiografi atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif.
7
2.2.5 Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan
profil efikasi-keamanan agen tersebut.
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling
baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85
IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP
Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan
rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul
rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan
hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan
8
2.2.6 Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan
dan oleh karena itu harus dipantau ketat .
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan
bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih
efektif.
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau
yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih
2.2.7 Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangiremodeling
dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi
sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien
dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah
terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada kontra
indikasi, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes
mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK)
9
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas. Pilih
jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran
terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa
gejala klinis gagal jantung
2.2.8 Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua
penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak
terdapat kontra indikasi. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar
rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL .
Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.
2.3 Defibrilator
Defibrillator adalah alat yang digunakan untuk memberikan terapi energi listrik dengan
dosis tertentu ke jantung pasien melalui electrode (pedal) yang ditempatkan di permukaan
dinding dada pasien. Sedangkan tindakan pengobatan definitif untuk mengancam jantung
aritmia-hidup, fibrilasi ventrikel dan takikardi ventrikel pulseless disebut defibrillasi. Ini
merupakan depolarizes massa kritis dari otot jantung, mengakhiri aritmia, dan memungkinkan
irama sinus normal untuk dibangun kembali dengan alat pacu jantung alami tubuh, di node
sinoatrial jantung. Terapi listrik merupakan tindakan yang sangat penting dalam tatalaksana
kegawat daruratan kardiovaskular.
10
2.3.1 Defibrilasi
Defibrilasi segera merupakan tindakan yang sangat penting dalam penanganan pasien
henti jantung. Irama paling sering yang terdeteksi pada pasien henti jantung adalah ventricular
fibrillation dan terapi terpenting adalah defibrilasi elektrik. Keberhasilan defibrilasi akan
menurun ketika henti jantung berjalan lama dan VF akan cenderung berubah menjadi asistol
dalam beberapa menit. Angka kematian akan eningkat 7-10% untuk setiap menit yang terlewati
pada pasien henti jantung akibat VF, penolong harus mampu menggabungkan resusitasi jantung
paru dengan penggunaan defibrillator.
2.3.2 Defibrilasi dan Tingkat Energi
Proses defibrilasi mencakup penghantaran energy listrik melalui dinding dada menuju ke
jantung untuk memadamkan aliran-airan listrik ”liar” sel-sel miokard. Pengaturan energy untuk
defibrillator diatur untuk menyediakan energy dengan tingkat terendah namun masih efektif
untuk menghilangkan VF. Karena defibrilasi merupakan sebuah proses elektrofisiologis yang
terjadi dalam 300-500 milidetik setelah pengantaran energy, istilah defibrilasi didefinisikan
sebagai hilang nya VF selama kurang lebih 5 detik setelah dilakukan kejutan listrik VF
seringkali kembali setelah kejut listrik berhasil namun ini tidak dikategorikan dalam kegagalan
kejut listrik.
Defibrillator modern diklasifikasikan berdasarkan 2 tipe bentuk gelombang, monofasik
dan bifasik. Defibrillator monofasik adalah yang pertama kali muncul, tapi defibrillator bifasik
paling banyak digunakan akhir-akhir ini. Tingkat energy bervariasi dihubungkan dengan peluang
yang lebih tinggi untuk kembalinya irama secara spontan. Defibrillator gelombang monofasik
menhantarkan energy dengan satu polaritas. Gelombang monofasik sinusoidal lemnali ke nergi
nol secara bertahap( monofasik damped sinusoidal –MDS) atau mendadak (monophasic
truncated exponential waveform-MTE)
Defibrillator gelombang bifasik menggunakan satu dari dua gelombang dan setiap
gelombang terbukti efektif menghilangkan VF dengan dosis tertentu. Pada dosis yang sama atau
lebih rendah dari gelombang monofasik, diketahui bahwa gelombang bifasik lebih aman dan
efektif untuk menghilangkan VF. Satu kejut defibrilasi bifasik setara bahkan lebih baik dari tiga
kali kejut defibrilasi monofasik.
11
2.3.3 Energi Kejut
Saat ini sudah jelas bahwa kejut dengan menggunakan gelombang bifasik energy rendah
maupun energy besar sama efektifnya . dosis kejut ideal menggunakan alat bifasik harus sesuai
rentang dosis yang diketahui efektif. Pada defibrillator bifasik, penggunaan energy sebesar 150-
200 J menggunakan bentuk gelombang bifasik eksponensial yang diperpendek atau 120 J
menggunakan gelombang bifasik rectilinear adalah besaran energy yang dapat diterima untuk
kejut awal. Untuk kejutan kedua dan selanjutnya, gunakan energy yang sama atau lebih besar,
namun sebaiknya menggunakan energy sesuai anjuran pabrik ( atau yang deprogram oleh
pembuatan AED). Bila provider menggunakan defibrillator manual bifasik tidak mengetahui
rentang dosis yang efektif untuk mengatasi VF, penolong dapat menggunakan pilihan dosis 200 J
untuk awal dan dosis sama selanjutnya. Bila digunakan defibrillator monofasik, pilih dosis 360 J
untuk semua kejutannya.
2.3.4 Elektroda
Bila lempeng elektroda digunakan menggantikan lembaran pads, lempeng tersebut harus
terpisah dan pasta atau gel yang digunakan jangan disapukan kebagian dada yang tidak menjadi
tempat perlekatan. Lempeng elektroda atau defibrilator yang disertai perekat sama efektifnya
dengan lempeng yang menggunakan pasta atau gel dan dapat ditempatkan sebelum terjadi
serangan jantung yang memungkinkan untuk melakukan pemantauan dan kemudian pemberian
kejutan secara cepat bila dibutuhkan. Penggunaan lempeng dengan perekat harus lebih ering
dilakukan daripada lempeng standar.
Saat memberikan kardioversi atau defibrilasi pada pasien dengan pacu jantung permanen
atau ICD, jangan meletakkan elektroda diatas atau dekat dengan generatornya, karena defibrilasi
dapat menyebabkan malfungsi pacu jantung tersebut. Berikan jarak minimal 5 cm dari alat pacu
jantung atau ICD bila memungkinkan.
Jangan menempatkan lempeng elektroda tepat diatas lembar medikasi transdermal karena
lembaran tersebut dapat menghambat penghantaran energi dari lempeng ke jantung dan
menyebabkan luka bakar pada kulit. Lepaskan lembar medikasi dan bersihkan daerah tersebut
sebelum menempelkan lempeng elektroda.
12
2.3.5 Kardioversi Tersinkronisasi
Kardioversi tersinkronisasi adalah hantaran kejut yang bersamaan denga kompleks RS.
Sinkronisasi ini menghindarkan hantaran kejut selama masa refrakter relatif siklus jantung.
Energi yang digunakan untuk kejut sinkronisasi lebih rendah dari pada yang digunakan untuk
kejut yang tidak tersinkronisasi (defibrilasi).
Hantaran kejut tersinkronisasi diindikasikan untuk mengobati takiaritmia yang tidak
stabil yang berhubungan dengan pembentukan kompleks QRS dan irama nadi. Pasien yang tidak
stabil memperlihatkan tanda-tanda perfusi yang jelek termasuk status mental yang berubah, nyeri
dada yang berlanjut, hipotensi atau tanda lain syok dan edema paru.
Kardioversi tersinkronisasi tidak digunakan pada pengobatan VF, VT tanpa nadi atau VT
polomorfik (iregular). Irama ini membutuhkan hantaran kejut tidak tersinkronisasi energi tinggi.
Dosis energi awal yang direkomendasikan untuk kardioversi atrial fibrilasi adalah 120-
200 J. Sedangkan kardioversi untuk atial flutter dan supraventrikular takikardia alinnya secara
umum membutuhkan energi yang lebih rendah : yakni 50-100J. Jika dengan dosis 50J awal
gagal. Penolong sebaiknya meningkatkan dosis secara bertahap. Pada anak-anak dapat diberikan
energi awal 0,5 – 1 JKG untuk SVT, dengan dosis maksimal 2 J/Kg. Dosis untuk anak-anak
direkomendasikan energi awal 0,5-1 J/Kg, dengan dosis maksimal 2 J/Kg sama pada SVT.
2.3.6 Automated External Defibrilator – AED ( defibrilator Eksternal Otomatis)
AED adalah alat yang diprogram oleh komputer menggunakan bantuan suara dan visual
untuk memandu tenaga kesehatan melakukan defibrilassi VF secara aman. AED tidak berguna
pada serangan yang tidak desibabkan oleh VT/VF tanpa nadi dan hal ini tidak efektif untuk
penatalaksanaan iraa yang tidak dapat diberi terapi kejut yang mungkin terjadi setelah VF.
AED memiliki prosesor mikro yang menganalisis berbagai sinyal EKG, termasuk
frekuensi, amplitudo dan beberapa integrasi frekuensi dan amplitudo seperti lekuk atau
morfologi gelombang. AED sangat akurat dalam menganalisis irama. Walau AED tidak
dirancang untuk memberikan kejutan listrik tersinkronisasi, tetapi AED akan menganjurkan
untuk melakukan kejutan tidak tersinkronisasi pada VT monomorfik dan polimorfik bila
kekerapan dan morfologi gelombang R melampaui niilai normal.
13
2.3.7 Pacing
Pacing tidak direkomendasikan pada pasien dengan asistol. Pacing dapat dilakukan pada
pasien-pasien dengan bradikardia simptomatik. Transkutaneus pacing direkomendasikan untuk
pengobatan bradikardia simptomatis jika teraba nadi. Penyedia sarana kesehatan harus
mempersiapkan pacing awal pada pasien tidak berespon dengan atropin. Pacing segera
diindikasikan pada pasien dengan gejala berat terutama adanya blok dibawah his purkinje. Jika
tidak berefek dengan transkutaneus pacing maka dianjurkan pemasangan transvenous pacing.
14
Daftar Pustaka
1. Anonim. Buku panduan kursus bantuan hidup jantung lanjut. ACLS Indonesia. 2015
2. Perhimpunan Dokter spesialis jantung Indonesia. Pedoman tatalaksana sindroma coroner
akut. Edisi ke-3. 2015
15
top related