tifoid dan paratifoid
Post on 08-Aug-2015
73 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan
kepada manusia, namun dalam kenyataannya manusia sering
mengabaikannya. Hidup bersih merupakan langkah yang paling penting
untuk mencegah penyakit dan menjaga kesehatan tubuh. Oleh karena itu
kebersihan harus dijaga baik dari dalam diri manusia itu sendiri, lingkungan
tempat tinggal agar terhindar dari segala penyakit.
Lingkungan yang kotor ini bisa menyebabkan berbagai
mikroorganisme penyakit yang setiap saat dapat menyerang siapapun tanpa
memandang usia dan status sosial, sehingga orang yang sebenarnya dapat
menikmati kesehatan terpaksa harus menderita berbagai macam penyakit
salah satunya adalah tifoid dan paratifoid akibat dari ulah manusia itu
sendiri. Penyakit tifoid ini selain infeksinya berasal dari 5F (food, fluid,
finger, faeces, flies, fomites) juga ditularkan oleh carrier.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini:
1. Memperoleh pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien dengan tifoid dan paratifoid.
2. Mengetahui dan memahami faktor-faktor resiko penyebab, pencegahan
dan penanganan pada pasien tifoid dan paratifoid.
3. Meningkatkan kemampuan perawat dalam menciptakan hubungan yang
terapeutik pada pasien tifoid dan keluarga.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini:
1. Studi kepustakaan dengan mengambil beberapa literatur yang
berhubungan dengan penyakit tifoid dan paratifoid.
2. Pengamatan kasus secara langsung, di unit Elisabeth kamar 403 2 untuk
membandingkan dengan studi kepustakaan, yang meliputi pengkajian,
1
penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, penatalaksanaan dan
evaluasi.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini diawali dengan Bab I Pendahuluan,
yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan. Bab II Tinjauan teoritis yang mencakup konsep dasar
medik yang terdiri dari definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi,
tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik, terapi dan pengelolaan medik,
komplikasi dan konsep asuhan keperawatan, menguraikan tentang
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, perencanaan
pulang serta patoflowdiagram. Bab III Kesimpulan serta ditutup dengan
daftar pustaka.
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Medik
1. Definisi
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut pada
saluran pencernaan pada usus halus (Noer Syaifullah, dkk. Ilmu Penyakit
Dalam hal 435).
Typhus Abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang diawali
di selaput lendir usus halus (dr Jan Tambayong, Patofisiologi untuk
Keperawatan, hal 143).
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus.
Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid adalah typoid dan paratypid
fever, enteric fever, tifus dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid
menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih
ringan (Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, hal. 421).
2. Anatomi Fisiologi
Susunan saluran pencernaan terdiri dari:
a. Mulut, merupakan organ pertama dari saluran pencernaan yang
letaknya meluas dari bibir sampai ke isthmus fausian yaitu perbatasan
antara mulut dengan faring.
b. Faring, menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan. Pada
saat menelan faring mencegah masuknya makanan ke jalan pernafasan
dengan menutup sementara hanya beberapa detik dan mendorong
makanan masuk ke dalam esofagus agar tidak membahayakan
pernafasan.
c. Esofagus/kerongkongan, merupakan saluran yang menghubungkan
faring dengan lambung.
d. Lambung, merupakan sebuah kantong muskular yang letaknya antara
esofagus dan usus halus. Lambung merupakan saluran yang dapat
mengembang karena adanya gerakan peristaltik terutama di daerah
epigaster. Lambung menampung makanan yang masuk melalui
3
esofagus, menghancurkan dan menghaluskan makanan dengan
peristaltik lambung dan getah lambung.
e. Usus halus, panjangnya + 2,5 meter. Usus halus terletak di daerah
umbilikus terdiri dari beberapa bagian:
1) Duodenum
Sekresi dalam duodenum datang dari pankreas, hepar, dan kelenjar
dinding usus itu sendiri. Pada bagian kanan duodenum terdapat
bagian yang merupakan tempat bermuaranya saluran empedu
(ductus koleductus) dan saluran pankreas (ductus pancreatikus)
yang dinamakan papila vateri. Dinding duodenum mempunyai
lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar Brunner
memproduksi getah intestinum. Sekresi pankreas mempunyai pH
alkali yang berfungsi menetralisir asam lambung yang memasuki
duodenum. Empedu disekresikan oleh hepar dan disimpan dalam
kandung empedu, berfungsi untuk mengemulsikan lemak yang
dicerna.
2) Jejunum
Panjangnya 2-3 meter, berkelok-kelok, terdapat di sebelah kiri atas
intestinum minor dengan perantaraan lipatan peritoneum yang
berbentuk kipas (mesenterium). Akar mesenterium memungkinkan
keluar masuknya arteri dan vena mesenterika superior dan
pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara lapisan peritoneum yang
membentuk mesenterium. Penampang jejenum lebih lebar,
dindingnya tebal, dan banyak mengandung pembuluh darah.
3) Ileum
Ujung batas antara ileum dan jejenum tidak jelas, panjangnya
lebih kurang 4-5 meter. Ileum merupakan usus halus yang terletak
di sebelah kanan bawah yang berhubungan dengan sekum
perantaraan lubang yang disebut orifisium ileosekalis yang
diperkuat oleh sfingter dan dilengkapi oleh sebuah katup valvula
ceicalis yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam colon
asendens agar tidak masuk kembali ke dalam ileum.
Lapisan usus halus:
1) Tunika Mukosa
4
Lapisan ini banyak memiliki lipatan yang membentuk plika
sirkularis dan villi intestinal (jonjot-jonjot) yang selalu bergerak
karena pengaruh hormon jaringan villi kinnin. Villi ini banyak
mengandung pembuluh darah dan limfe. Pada bagian ini terjadi
penyerapan lemak yang telah diemulsi.
2) Tunika Propia
Pada bagian dalam dari tunika mukosa terdapat jaringan limfoid
noduli limpatisi dalam bentuk sendiri-sendiri dan berkelompok.
Tiap kelompok kurang 20 noduli lipatisi. Kumpulan ini disebut
plaque peyeri yang merupakan tanda khas dari ileum.
3) Tunika Submukosa
Pada lapisan ini terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf yang
merupakan anyaman saraf simpatis.
4) Tunika Muskularis
Lapisan ini terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan otot sirkuler dan
otot longitudinal. Diantara keduanya terdapat anyaman serabut
saraf yang disebut pleksus mienterikus Auerbachi.
5) Tunika Serosa (adventisia)
Lapisan ini meliputi seluruh jejenum dan ileum.
Kelenjar-kelenjar usus halus terdiri dari:
1) Kelenjar Lieberkum
Merupakan kelenjar yang terdapat di seluruh selaput lendir usus
halus fungsi mengeluarkan getah usus halus untuk
menyempurnakan pencernaan makanan.
2) Kelenjar Brunner
Mensekresi zat alkali yang berfungsi untuk melindungi duodenum
dari pengaruh asam lambung.
3) Kelenjar Suliter
Terdapat di seluruh permukaan usus halus yang berfungsi sebagai
perlindungan terhadap serangan bakteri.
4) Kelenjar Payer
Merupakan kelompok soliter yang panjangnya 20-30 cm di
permukaan mukosa ileum.
f. Usus besar, merupakan saluran pencernaan berupa usus
berpenampang luas atau berdiameter besar. Merupakan lanjutan dari
5
usus halus yang tersusun seperti huruf U terbalik yang terbagi menjadi
colonasendens, transversum dan desendens serta sigmoid. Usus ini
berfungsi menyerap air dan makanan, tempat inggal bakteri E. Coli
dan faeces.
g. Rectum, merupakan lanjutan dari sigmoid yang menghubungkan usus
besar dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan tulang
sacrum dan koksigis.
h. Anus, bagan yang menghubungkan rectum dengan udara luar yang
terletak di dasar pelvis dan dindingnya diperkuat oleh sfingter ani.
3. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sdangkan demam
paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies
Salmonella enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S.
enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratifi C.
Kuman ini mempunyai 3 antigen yaitu:
a. Antigen O: antigen pada bagian soma/tengah
b. Antigen H: antigen pada bagian flagel.
c. Antigen VI: antigen pada bagian kapsul.
Cara perpindahan kuman melalui cara 5 F, yaitu;
a. Food and fluid, yaitu melalui makanan dan minuman yang tercemar.
b. Flies, melalui lalat yang membawa kuman tersebut.
c. Finger, melalui jari atau tangan yang kotor atau terkontaminasi
kuman.
d. Faeces, melalui kuman yang terdapat pada faeces.
e. Fomites, kontaminasi melalui alat makan/minum yang kurang bersih.
Penularan yang paling sering di daerah endemik adalah melalui makanan
yang tercemar oleh karier, yaitu orang yang sembuh dari demam typoid
dan masih mengekskresi kuman salmonella dalam tinja dan urine selama
lebih dari 1 tahun. Karier ini terjadi akibat pengobatan yang tidak tuntas
selama menderita demam typhoid.
4. Patofisiologi
Kuman salmonella masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan
minuman yang tercemar oleh Salmonella dikarenakan oleh faktor 5F.
6
asam lambung merupakan penghambat masuknya salmonella ke dalam
usus. Sekresi asam klorida mampu menghancurkan sebagian dari
salmonella, tetapi karena masuknya kuman bersama dengan makanan dan
minuman maka terjadi pengenceran asam lambung, yang mengurangi
daya hambat terhadap mikroorganisme yang masuk. Daya hambat asam
lambung ini juga akan menurun pada waktu terjadi pengosongan
lambung, sehingga bakteri dapat lebih leluasa masuk ke dalam usus.
Kuman Salmonella kemudian memasuki folikel-folikel limfe yang
terdapat pada lapisan mukosa atau submukosa usus halus dan
memperbanyak diri dengan cepat. Kemudian memasuki saluran limfe dan
akhirnya mencapai ke aliran darah, dengan melewati kapiler-kapiler pada
dinding kantung empedu atau secara tidak langsung melalui kapiler-
kapiler hepar, maka kuman sampai ke empedu dan larut di sana. Melalui
empedu yang efektif, masuklah kuman ke dalam usus untuk kedua
kalinya, yang lebih berat daripada invasi tahap pertama. Invasi kedua ini
akan menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe usus kecil disertai
dengan gejala-gejalanya. Apabila infeksi ini tidak segera ditangani maka
akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat, yakni perdarahan,
peritonitis dan ileus paralitik sedangkan kuman yang masih ada dalam
darah akan terus mengikuti aliran darah. Kerusakan yang terjadi
tergantung dari tempat dimana kuman Salmonella tersebut berada
(bersarang).
5. Tanda dan Gejala
a. Minggu I (fase prodormal/intermiten)
1) Demam (suhu naik turun, khususnya meningkat pada malam hari
dan turun menjelang pagi dan siang) selama 3-7 hari.
2) Merasa kedinginan.
3) Sakit kepala, pusing, nyeri otot, lemas, malaise.
4) Anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak enak pada abdomen.
5) Konstipasi selanjutnya diare.
b. Minggu II (fase fibris continue/remitten)
1) Demam tinggi terus menerus dan konstan.
2) Bradikardi
7
3) Lidah kotor di tengah tapi di bagian tepi dan ujungnya merah dan
tremor, stomatitis, mulut bau.
4) Distensi abdomen.
5) Hepatomegali dan splenomegali.
6) Penurunan kesadaran
7) Gangguan mental: psikosis
8) Hipoperistaltik/hiperperistaltik usus bila terjadi ileus
c. Minggu III (fase penyembuhan)
1) Panas dan tanda gejala lainnya berangsur mulai turun.
6. Test Diagnostik
a. Kultur/gaal:
1) Darah: kuman Salmonella (+) selama minggu I
2) Feses dan urine: Kuman Salmonella (+) bila sudah terkena pada
ginjal dan saluran pencernaan pada minggu II.
b. Liver Fungsi Tes meningkat bila sudah terjadi gangguan pada hepar
dan lien.
c. Pada pemeriksaan USG ditemukan adanya pembesaran hepar dan lien.
d. Pemeriksaan widal: Titer O dan H tinggi selama 10 hari-2 minggu.
Didapatkan titer terhadap antigen O adalah 1/200 atau lebih,
sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak
bermakna untuk menegakkan diagnosis karena titer H dapat tetap
tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama
sembuh.
7. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan demam typoid terbagi atas 3 bagian yaitu:
a. Perawatan
Pasien demam typoid perlu istirahat/dirawat untuk isolasi dan
observasi. Pasien harus tirah baring selama minimal 7 hari bebas
demam atau selama 14 hari. Untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien.
b. Diit
8
Diit tinggi kalori, tinggi protein, tidak mengandung lemak, dalam
bentuk lunak.
c. Obat
Dengan pemberian antibiotika dan antipiretik.
8. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus: terjadi karena melepasnya kerak-kerak ulkus
pada dinding usus halus.
2) Peritonitis: terjadi karena peradangan pada usus halus menembus
ke dalam peritoneum (rongga abdomen) dengan gejala: nyeri di
atas daerah yang meradang, denyut nadi meningkat, mual, muntah
dan perut tegang.
3) Ileus paralitik: muncul pada awal peritonitis akibat respon
otot/neurogenik terhadap peradangan.
b. Komplikasi ekstra intestinal
1) Kardiovaskuler: peradangan pada otot jantung (miokarditis).
2) Paru: pleuritis.
3) Hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis.
4) Ginjal: glomerulonefritis.
5) Tulang: osteomyelitis.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.
- Higiene lingkungan yang kurang baik.
- Higiene perorangan yang buruk.
- Higiene kebersihan alat-alat makan/minum yang kurang baik.
- Tingkat pengetahuan tentang kesehatan yang kurang.
- Ada anggota keluarga yang pernah menderita sakit yang sama.
- Pengobatan tidak tuntas.
b. Pola nutrisi metabolik.
- Kebiasaan makan: jajan sembarang.
- Cara pengobatan dan penyimpanan makanan yang kurang baik.
- Demam tinggi terutama sore hari.
9
- Anoreksia, mual, muntah.
- Lidah khas (putih di tengah dan kotor) tepi dan ujungnya merah.
- Mulut bau dan stomatitis.
c. Pola eliminasi
- Konstipasi/diare (hipo/hiperperistaltik usus).
- Jumlah urine output menurun.
d. Pola aktivitas dan latihan
- Nyeri pada persendian.
- Pusing, lemah, lesu.
e. Pola tidur dan istirahat
- Sulit tidur karena demam, nyeri daerah abdomen.
- Waktu dan kebiasaan lamanya tidur.
f. Pola persepsi kognitif
- Sakit kepala.
- Nyeri abdomen dan nyeri sendi.
2. Tumbuh kembang pada anak usia 6 – 12 tahun
Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai
organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar,
ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg /
tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex
sekundernya.
Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk
dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.
a. Motorik kasar
1) Loncat tali
2) Badminton
3) Memukul
4) motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara
bertahap meningkatkan irama dan keleluasaan.
10
b. Motorik halus
1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan
2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan
bermain alat musik.
c. Kognitif
1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi
2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan
masalah
3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali
sejak awal
4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
d. Bahasa
1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata
keterangan, kata penghubung dan kata depan
3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal
4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan
3. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi oleh kuman
salmonella.
b. Perubahan pola nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah, anoreksia.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
output yang berlebihan.
d. Gangguan pola eliminasi faeces : diare/konstipasi berhubungan
dengan hipo/hiper peristaltik usus akibat infeksi saluran pencernaan
usus halus.
11
4. Perencanaan Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi oleh kuman
salmonella.
HYD: Suhu tubuh dalam batas normal (36o-37oC).
Intervensi:
1) Observasi TTV (S, N, P, T) setiap 3-4 jam selama demam.
R/ Mengetahui proses perjalanan infeksi dan terapi selanjutnya.
2) Beri banyak minum (2-3 liter/hari) bila tidak ada kontraindikasi.
R/ Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat panas.
3) Beri kompres hangat.
R/ Membantu menurunkan suhu tubuh.
4) Beri baju tipis dan menyerap keringat.
R/ Memberi kenyamanan dan menurunkan panas.
5) Anjurkan klien untuk banyak beristirahat di tempat tidur.
R/ Aktivitas yang berlebihan dapat meningkatkan metabolisme.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antipiretik.
R/ Membantu proses penyembuhan.
b. Perubahan pola nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah, anoreksia.
HYD: Kebutuhan nutrisi terpenuhi yang ditandai dengan:
5. Klien mampu menghabiskan 1 porsi makanan.
6. Kadar Hb dan Ht dalam batas normal.
7. IMT dalam batas normal.
Intervensi:
1) Beri makan porsi sedikit tapi sering dan hangat (4-6 kali perhari).
R/ Menghindari muntah.
2) Beri makanan yang lunak.
R/ Makanan yang keras dapat meningkatkan kerja usus.
3) Kaji jumlah makanan yang dihabiskan.
R/ Mengetahui intake nutrisi klien.
4) Bantu dan dampingi klien saat makan, beri support untuk
menghabiskan makanan.
R/ Menambah motivasi klien untuk makan.
12
5) Timbang BB seminggu sekali pada jam dan timbangan yang sama.
R/ Memantau status nutrisi klien.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi antiemetik.
R/ Mengurangi mual dan muntah.
7) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian nutrisi perental.
R/ Untuk pemenuhan nutrisi.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
output yang berlebihan.
HYD: Kebutuhan cairan terpenuhi dengan baik ditandai dengan
turgor kulit elastis, mukosa lembab.
Intervensi:
1) Kaji turgor kulit dan mukosa mulut.
R/ Turgor kulit yang kering merupakan tanda kekurangan cairan.
2) Anjurkan klien banyak minum (2-3 liter/hari) bila tidak ada
kontraindikasi.
R/ Untuk mengganti cairan yang hilang.
3) Catat intake dan output dalam 24 jam.
R/ Mengetahui keseimbangan cairan.
4) Anjurkan klien untuk istirahat di tempat tidur.
R/ Aktivitas yang berlebihan menyebabkan kehilangan cairan.
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian cairan parental bila peroral
tidak memungkinkan.
d. Gangguan pola eliminasi faeces : diare/konstipasi berhubungan
dengan hipo/hiper peristaltik usus akibat infeksi saluran pencernaan
khususnya usus halus.
HYD: - Peristaltik usus dalam batas normal 5-35 x/menit.
8. Pasien dapat BAB 1x sehari.
9. Konsistensi faeces lunak.
Intervensi:
1) Observasi bising usus.
R/ Memantau fungsi usus.
2) Observasi cairan masuk dan keluar pasien.
R/ Memantau hidrasi.
13
3) Observasi konsistensi faeces.
R/ Mengetahui adanya kelainan.
4) Observasi keluhan pasien.
R/ Menentukan intervensi yang akan diberikan.
5) Berikan makanan dalam bentuk lunak.
R/ Mencegah perdarahan pada usus.
14
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi saluran pencernaan bagian
bawah yang menular dan dapat menyerang siapa saja. Timbulnya penyakit ini
erat hubungannya dengan kebiasaan hidup dan gaya hidup yang kurang menjaga
kebersihan seperti sanitasi lingkungan yang kurang diperhatikan kebersihannya,
makanan dan minuman yang tidak dijaga kebersihan, jajan sembarang tempat,
tidak cuci tangan sebelum dan sesudah makan.
Masyarakat baru sadar bila sudah terkena penyakit tersebut. Padahal
penularan penyakit ini dapat dicegah sebelumnya. Intervensi tentang cara
pencegahan dan penularan dari penyakit tifoid dan paratifoid perlu diberikan
secara tepat dan benar seta berasal dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Begitu pula dengan asuhan keperawatan yang diberikan
harus tepat dan benar, karena penyakit ini dapat menyebabkan kematian.
Peran perawat sangatlah diperlukan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada penderita dengan tifoid dan paratifoid secara benar dan tepat
serta memberikan penyuluhan pada klien dan keluarga tentang pencegahan
berulangnya kembali penyakit tersebut. Bagi penderita sendiri, yang terpenting
adanya niat dan kemauan disertai upaya dalam perubahan kebiasaan dan gaya
hidupnya. Keluarga juga hendaknya mampu menjadi fasilitator pada masa
rehabilitasi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth, 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif. M. Kapita Selekta Kedokteran . (2000). Edisi 3 jilid 2. Jakarta,
FKUI.
Noer Prof. Dr. Hm. Sjaifoellah (1996). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3 jilid I.
Jakarta FKUI.
Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi. Edisi 4. Alih bahasa: Dr. Peter. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran E
16
15
top related