tinjauan pustaka kecurangan fraud -...
Post on 02-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
TINJAUAN PUSTAKA
Kecurangan (Fraud)
Menurut Sawyer et al. (2006: 339) kecurangan merupakan
sebuah representasi yang salah atau penyembunyian fakta-fakta
yang material untuk mempengaruhi seseorang agar mau
mengambil bagian dalam suatu hal yang berharga. Institute of
Internal Auditors (IIA), menyebutkan kecurangan adalah meliputi
serangkaian tindakan-tindakan tidak wajar dan illegal yang
sengaja dilakukan untuk menipu. Tindakan tersebut dapat
dilakukan untuk keuntungan ataupun kerugian organisasi dan
oleh orang-orang diluar maupun di dalam organisasi.
Menurut Arens et al. (2008: 430) sebagai konsep legal
yang luas, kecurangan mengambarkan setiap upaya penipuan
yang disengaja, yang dimaksud untuk mengambil harta atau hak
orang atau pihak lain. Dalam konteks audit atas laporan
keuangan, kecurangan didefinisikan sebagai salah saji laporan
keuangan yang disengaja. Dua kategori yang utama adalah
pelaporan keuangan yang curang dan penyalahgunaan aktiva.
Dari beberapa pengertian kecurangan (fraud) di atas,
maka dapat diketahui bahwa pengertian fraud sangat luas dan
dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan. Menurut
BPK (2008) dalam Kurniawati (2012) secara umum, unsur-
unsur dari kecurangan adalah: (1) harus terdapat salah
pernyataan (misrepresentation); (2) dari suatu masa lampau
(past) atau sekarang (present); (3) fakta bersifat material
(material fact); (4) dilakukan secara sengaja atau tanpa
perhitungan (make-knowingly or recklessly); (5) dengan maksud
2
(intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi; (6) pihak yang
dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan
tersebut (misrepresentation); (7) yang merugikannya (detriment).
Klasifikasi Fraud
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE),
membagi kecurangan (Fraud) dalam 3 (tiga) jenis atau
tipologi berdasarkan perbuatan yang dikenal dengan “fraud tree”
dalam Tuanakotta (2010: 195) antara lain Corruption, Asset
Missapropriation, and Fraudulent Statements.
Korupsi (Corruption), jenis fraud ini yang paling sulit
dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain
seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang
terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan
hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata
kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih
dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat
dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati
keuntungan (symbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya
adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan
(conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang
tidak sah/illegal (illegal gratuities) dan pemerasan secara
ekonomi (economic extortion).
Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation),
meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan
atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling
mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat
diukur/dihitung (defined value).
3
Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent
Statement), meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau
eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk
menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan
melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam
penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan
atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.
Fraud Triangle Theory
Penelitian ini menggunakan fraud triangle theory
sebagai dasar teori utamanya. Berdasarkan teori ini ada tiga
faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan.
Ketiga faktor tersebut pressure, opportunity and rationalization
yang digambarkan dalam segitiga kecurangan (fraud triangle).
Konsep segitiga kecurangan pertama kali diperkenalkan oleh
Cressey (1953) dalam Tuanakotta (2010: 207). Melalui
serangkaian wawancara dengan 113 orang melakukan
penggelapan uang perusahaan yang disebutnya “trust
violators” atau “pelanggar kepercayaan”, Cressey
menyimpulkan bahwa:
“Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia
melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah
keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain,
sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya
dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pemegang
kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari
memungkinkan menyesuaikan pandangan mengenai dirinya
sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana
atau kekayaan yang dipercayakan.”
Cressey (1953) dalam Tuanakotta (2010: 207)
menyimpulkan bahwa kecurangan secara umum mempunyai tiga
sifat umum. Fraud triangle terdiri dari tiga kondisi yang
4
umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu pressure,
opportunity, dan rationalization.
Pressure
Opportunity Rationalization
Sumber : Fraud Triangle Theory oleh Cressey (1953)
Dalam Tuanakotta (2010: 207)
Gambar: 1
Fraud Triangle
Pressure (tekanan) yaitu insentif yang mendorong orang
melakukan kecurangan karena tuntutan gaya hidup,
ketidakberdayaan dalam soal keuangan, perilaku gambling,
mencoba-coba untuk mengalahkan sistem dan ketidakpuasan
kerja (Kurniawati 2012). Montgomery et al. (2002) dalam
Kurniawati (2012) mengatakan tekanan ini sesungguhnya
mempunyai dua bentuk yaitu nyata (direct) dan bentuk
persepsi (indirect). Bentuk direct merupakan tekanan yang
nyata disebabkan oleh kondisi-kondisi kehidupan yang nyata
yang dihadapi oleh pelaku yang mendorong untuk melakukan
kecurangan. Kondisi tersebut dapat berupa kebiasaan sering
berjudi, kecanduan obat terlarang, atau menghadapi persoalan
keuangan. Tekanan dalam bentuk persepsi merupakan opini
yang dibangun oleh pelaku yang mendorong untuk melakukan
kecurangan seperti misalnya executive need. Dalam SAS No.
5
99, terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada
pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan. Kondisi
tersebut adalah financial stability, external pressure, personal
financial need dan financial targets. Penelitian ini pressure
diproksikan dengan keadilan distributif dan keadilan prosedural.
Opportunity (kesempatan) yaitu peluang yang
menyebabkan pelaku secara leluasa menjalankan aksinya yang
disebabkan oleh pengendalian internal yang lemah,
ketidakdisiplinan, kelemahan dalam mengakses informasi, tidak
ada mekanisme audit dan sikap apatis (Kurniawati 2012). Hal
yang paling menonjol di sini adalah dalam hal pengendalian
internal. Pengendalian internal yang tidak baik akan memberi
peluang orang untuk melakukan kecurangan, SAS no. 99
menyebutkan bahwa peluang pada financial statements fraud
dapat terjadi pada tiga kategori. Kondisi tersebut adalah nature
of industry, ineffective monitoring, and organizational structure.
Rationalization (rasionalisasi) merupakan sikap,
karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang
memperbolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan
tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam
lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka
merasionalisasi tindakan fraud (Norbarani 2012). Rasionalisasi
adalah komponen penting dalam banyak kecurangan.
Rasionalisasi menyebabkan pelaku kecurangan mencari
pembenaran atas perbuatannya. Rasionalisasi merupakan
bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur (Skousen
6
et al 2009 dalam Norbarani 2012). Dalam penelitian ini
rationalization diproksikan dengan budaya etis organisasi.
Fraud pada Sektor Pemerintahan
Menurut Pristiyanti (2012) semua jenis fraud dapat
terjadi pada sektor pemerintahan, akan tetapi yang paling
sering terjadi adalah korupsi. Korupsi berasal dari bahasa
latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang artinya busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Secara
harfiah korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi
ataupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Keadilan Distributif
Menurut Robbins dan Judge (2013: 145) keadilan
distributif (distributive justice) memusatkan perhatian pada
kewajaran hasil, gaji dan pengakuan, yang diterima oleh para
pekerja. Hasil dapat dialokasikan dalam mendistribusikan
kenaikan yang sama di antara para pekerja, atau dapat
menetapkan dasar pada mereka yang mana sangat memerlukan
uang. Namun, para pekerja cenderung untuk menganggap hasil
mereka paling adil ketika mereka didistribusikan secara adil.
Keadilan distributif merupakan keadilan yang berasal dari hasil-
hasil (outcomes) yang diterima seseorang. Keadilan distributif
bila adil menurut karyawan jika hasil yang mereka terima sama
dibandingkan dengan hasil yang diterima orang lain.
7
Keadilan ini menunjuk pada keadilan yang diterima karyawan
dalam hal hasil (Hwei dan Santosa 2012).
Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu
pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja,
penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja
(Gilliland 1993 dalam Yusnaini 2007). Para karyawan
mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika
menerima penghargaan financial (misalnya gaji atau bonus yang
diterima dari rencana pembagian keuntungan) dalam pertukaran
pekerjaan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya
mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi (Hwei dan
Santosa 2012). Jika di dalam suatu lingkungan pemerintahan
terdapat keadilan distributif yang bisa teraplikasikan secara
baik maka akan bisa mengurangi kecurangan pegawai dalam
pemerintahan.
Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural merupakan pertimbangan yang
dibuat oleh karyawan mengenai proses dan prosedur
organisasi yang digunakan untuk membuat keputusan alokasi
dan sumber daya ( Mustikasari 2013). Keadilan prosedural
menunjuk pada keadilan yang diterima dari prosedur yang
digunakan untuk membuat keputusan-keputusan (Margaretha dan
Santosa 2012). Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadilan prosedural
menunjuk pada tingkat formal proses pengambilan keputusan
yang dihubungkan dengan hasil, termasuk di dalamnya ketetapan
dari beberapa sistem keluhan karyawan atau permohonan yang
8
berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi pada tahap awal
pengambilan keputusan.
Para pekerja memandang bahwa prosedur akan lebih adil
ketika para pengambil keputusan mengikuti beberapa “aturan”,
Robbins dan Judge (2013: 146) hal ini meliputi: (1) mengambil
keputusan secara konsisten: prosedur yang adil harus konsisten
baik dari orang satu kepada orang lain maupun dari waktu ke
waktu. Setiap orang memiliki hak dan diperlakukan sama dalam
satu prosedur yang sama; (2) menghindari bias: dalam upaya
meminimalisasi bias ini, baik kepentingan individu maupun
pemihakan harus dihindarkan; (3) dengan menggunakan
informasi yang akurat: informasi yang dibutuhkan untuk
menentukan agar penilaian keadilan akurat harus mendasarkan
pada fakta. Kalau opini sebagai dasar, hal itu harus
disampaikan oleh orang yang benar-benar mengetahui
permasalahan, dan informasi yang disampaikan lengkap; (4)
mempertimbangkan kelompok atau orang yang akan terpengaruh
oleh keputusan mereka; (5) bertindak dengan etis: prosedur yang
adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral; (6) tetap
terbuka bagi keberatan atau perbaikan: upaya untuk memperbaiki
kesalahan merupakan salah satu tujuan penting perlu
ditegakkannya keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang adil
juga mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki
kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan
muncul.
9
Keefektifan Pengendalian Internal
Menurut Arens et al. (2008: 370) sistem pengendalian
intern terdiri atas kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk
memberikan manajemen kepastian yang layak bahwa perusahan
telah mencapai tujuan dan sasarannya. Kebijakan dan prosedur
ini sering kali disebut pengendalian, dan secara kolektif
membentuk pengendalian internal entitas tersebut. Menurut
(COSO) pengendalian intern adalah suatu proses yang
dipengaruhi oleh dewan komisaris, manajemen dan personel
lainnya untuk memberikan keyakinan memadai guna
mencapai keandalan pelaporan keuangan, menjaga kekayaan
dan catatan organisasi, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan
dan efektivitas dan efisiensi operasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengendalian intern adalah suatu
proses yang berkaitan dengan prosedur-prosedur yang harus
dipatuhi dalam proses operasional organisasi atau perusahaan
agar tujuan dari organisasi atau perusahaan dapat tercapai.
Menurut Arens et al. (2008: 376) agar tujuan
pengendalian dapat terpenuhi, maka di dalamnya harus
terdapat beberapa unsur yang merupakan bagian dari struktur
pengendalian intern yang baik. Unsusr-unsur dari sistem
pengendalian intern adalah sebagai berikut: (1) lingkungan
pengendalian terdiri dari tindakan, kebijakan dan prosedur
yang mencerminkan sikap menyeluruh manajemen puncak,
direktur pelaksana dan komisaris serta pemilik suatu satuan
usaha terhadap pentingnya pengendalian oleh satuan usaha
tersebut; (2) prosedur pengendalian adalah kebijakan dan
10
prosedur yang diterapkan oleh manajemen di dalam lingkungan
pengendalian untuk memberikan cukup kepastian bahwa
sasaran perusahaan dapat tercapai; (3) aktivitas pengendalian
adalah kebijakan dan prosedur yang membantu memastikan
bahwa arahan manajemen dilaksanakan; (4) informasi dan
komunikasi yaitu sistem informasi yang relevan dengan tujuan
pelaporan keuangan; (5) pemantauan adalah proses penentuan
kualitas kinerja pengendalian intern sepanjang waktu.
Budaya Etis Organisasi
Menurut Robbins dan Judge (2013: 355) budaya
organisasi adalah suatu sistem berbagi arti yang dilakukan oleh
para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi
lainnya. Perilaku etis harus menjadi budaya dalam organisasi
yang berarti harus merupakan perilaku sehari-hari semua anggota
organisasi baik dalam sikap, tingkah laku anggota maupun
dalam keputusan manajemen/organisasi. Menurut Pristiyanti
(2012) budaya etis organisasi adalah persepsi karyawan
mengenai suatu pola tingkah laku, kepercayaan yang telah
menjadi suatu panutan bagi semua anggota organisasi.
Tingkah laku disini merupakan seluruh tingkah laku yang
dapat diterima oleh moral dan dapat diterima secara hukum.
Berdasarkan definisi mengenai budaya organisasi, dapat diambil
kesimpulan bahwa budaya organisasi adalah suatu pola yang
dianut bersama dalam suatu organisasi/instansi yang tidak
tertulis agar dapat dipatuhi oleh semua orang atau individu yang
terlibat dalam organisasi tersebut.
11
Robert dan Kinichi (2000) dalam Najahningrum (2013)
menyarankan tindakan-tindakan berikut ini untuk
mengembangkan iklim etika dalam organisasi: (1) bertingkah
laku etis, manajer hendaknya berlaku etis, karena manajer
merupakan model peran yang jelas; (2) penyaringan karyawan
yang potensial, untuk mengembangkan perilaku etis harus
dilakukan sejak awal yaitu sejak seleksi karyawan dilakukan.
Penyaringan yang lebih teliti di bidang ini dapat menyaring
mereka untuk tidak berbuat kesalahan di kemudian hari.
Mengembangkan kode etik yang lebih berarti. Kode etik
dapat menghasilkan dampak yang positif bila mereka
memenuhi empat kriteria: (a) kode etik harus mencakup atau
berlaku kepada setiap karyawan; (b) kode etik sungguh-sungguh
didukung oleh top manajemen; (c) kode etik harus mengacu
kepada praktik spesifik; (d) mereka (karyawan) hendaknya
didorong dengan penghargaan atas prestasinya dan hukuman
yang berat bagi ketidakpatuhan; (3) menyediakan pelatihan
etika, para karyawan dapat dilatih untuk mengidentifikasikan
dan berhadapan dengan isu etis selama masa orientasi dan
melalui sesi seminar dan pelatihan menggunakan video; (4)
meningkatkan perilaku etis, perilaku etis harus didukung,
dibiasakan, diulangi kembali, sedangkan perilaku yang tidak
etis harus diberikan hukuman sementara perilaku etis
hendaknya dihargai; (5) membentuk posisi, unit, dan
mekanisme struktural lain yang menggunakan etika.
12
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Hubungan Keadilan Distributif dengan Kecenderungan
Kecurangan
Menurut Robbins dan Judge (2013: 145) keadilan
distributif (distributive justice) memusatkan perhatian pada
kewajaran hasil, gaji dan pengakuan, yang diterima oleh para
pekerja. Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu
pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja,
penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja
(Gilliland 1993 dalam Yusnaini 2007). Para karyawan
mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika
menerima penghargaan financial (misalnya gaji atau bonus yang
diterima dari rencana pembagian keuntungan) dalam pertukaran
pekerjaan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya
mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi (Hwei dan
Santosa 2012).
Penelitian Hwei dan Santosa (2012) menyimpulkan
bahwa keadilan distributif merupakan penentu signifikan dalam
komitmen organisasi. Penelitian Najahningrum (2013) dengan
hasil penelitian bahwa keadilan distributif berpengaruh negatif
terhadap kecenderungan kecurangan (fraud).
Semakin tinggi keadilan distributif yang dirasakan oleh pegawai
maka akan meminimalisir kecenderungan kecurangan (fraud).
Tekanan seseorang berkaitan dengan ketidakadilan pada keadilan
distributif yang dirasakan akan mendorong orang untuk
melakukan tindakan-tindakan kecurangan. Berdasarkan
13
argumentasi dan hasil penelitian terdahulu maka hipotesis
penelitian ini adalah:
H1: Keadilan distributif berpengaruh negatif terhadap
kecenderungan kecurangan
Hubungan keadilan prosedural dengan kecenderungan
kecurangan
Keadilan prosedural merupakan pertimbangan yang
dibuat oleh karyawan mengenai proses dan prosedur
organisasi yang digunakan untuk membuat keputusan alokasi
dan sumber daya (Mustikasari 2013). Keadilan prosedural
menunjuk pada keadilan yang diterima dari prosedur yang
digunakan untuk membuat keputusan-keputusan (Margaretha dan
Santosa 2012). Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadilan prosedural
menunjuk pada tingkat formal proses pengambilan keputusan
yang dihubungkan dengan hasil. Di dalam suatu pemerintahan
adanya ketidakadilan pada keadilan prosedur yang dirasakan
dalam organisasi dapat menjadi pemicu seseorang untuk
cenderung melakukan kecurangan.
Penelitian Hwei dan Santosa (2012) menyimpulkan
bahwa keadilan prosedural merupakan penentu signifikan dalam
komitmen organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi dapat
menurunkan kecenderungan kecurangan. Keadilan prosedural
berkaitan dengan pembuatan dan implementasi keputusan yang
mengacu pada proses yang adil. Penelitian Najahningrum (2013)
dengan hasil penelitian bahwa keadilan prosedural berpengaruh
negatif terhadap kecenderungan kecurangan, artinya semakin
14
adil keadilan prosedural dalam suatu instansi, maka akan
semakin rendah kecenderungan kecurangan (fraud) yang
mungkin terjadi. Ketidakadilan yang dirasakan oleh karyawan
tentang proses dan prosedur organisasi untuk membuat keputusan
alokasi dan sumber daya, maka akan menjadi tekanan bagi
karyawan yang pada akhirnya melakukan kecurangan (fraud).
Berdasarkan argumentasi dan hasil penelitian terdahulu maka
hipotesis kedua penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:
H2: Keadilan prosedural berpengaruh negatif terhadap
kecenderungan kecurangan
Hubungan keefektifan pengendalian internal dengan
kecenderungan kecurangan
Tujuan dari pengendalian internal adalah agar
kegiatan operasional perusahaan berjalan secara efektif dan
efisien sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Menurut
Kusumastuti (2012) sistem pengendalian internal diharapkan
mampu mengurangi adanya tindakan menyimpang yang
dilakukan oleh manajemen. Manajemen cenderung melakukan
tindakan menyimpang untuk memaksimalkan keuntungan
pribadi. Salah satu tindakan menyimpang tersebut yaitu
kecenderungan melakukan kecurangan.
Salah satu contoh pengendalian internal adalah adanya
beberapa prosedur yang harus dilalui ketika akan melakukan
transaksi seperti otorisasi dari pihak yang berwenang. Jika
pengendalian tidak berjalan dengan baik, prosedur tidak
dilakukan sebagaimana mestinya, maka akan membuka
15
kesempatan bagi pegawai yang terlibat dalam kegiatan
operasional organisasi untuk melakukan kecurangan.
Hasil penelitian Pristiyanti (2012) dan Najahningrum
(2013) menemukan terdapat pengaruh negatif antara keefektifan
pengendalian internal dengan kecenderungan kecurangan di
sektor pemerintahan. Penelitian Wilopo (2006) menunjukkan
bahwa keefektifan pengendalian internal berpengaruh negatif
terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Jadi, dengan
sistem pengendalian internal yang baik, akan meminimalisir
kecurangan yang dilakukan oleh pegawai. Namun lemahnya
pengendalian internal akan membuka peluang terjadinya
kecurangan. Berdasarkan argumentasi dan penelitian terdahulu
maka hipotesis penelitian adalah:
H3: Keefektifan pengendalian internal berpengaruh
negatif terhadap kecenderungan kecurangan
Hubungan budaya etis organisasi dengan kecenderungan
kecurangan
Menurut Robbins dan Judge (2013: 355) budaya
organisasi adalah suatu sistem berbagi arti yang dilakukan oleh
para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi
lainnya. Perilaku etis harus menjadi budaya dalam organisasi
yang berarti harus merupakan perilaku sehari-hari semua anggota
organisasi baik dalam sikap, tingkah laku anggota maupun
dalam keputusan manajemen/organisasi. Menurut Najahningrum
(2013) budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh
organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah,
16
membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan
lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.
Penelitian Sulistyowati (2007) menyimpulkan bahwa
kultur organisasi berpengaruh terhadap persepsi aparatur
pemerintah daerah tentang tindak korupsi. Penelitian
Pristiyanti (2012) menunjukkan bahwa budaya etis organisasi
berpengaruh negatif terhadap kecurangan di sektor
pemerintahan. Penelitian Pramudita (2013) menyimpulkan bahwa
terdapat pengaruh negatif antara budaya etis organisasi terhadap
fraud. Dengan demikian, semakin baik iklim budaya etis yang
dapat diciptakan dalam lingkungan pemerintahan akan
meminimalisir kecenderungan kecurangan (fraud). Sedangkan
bila organisasi dengan standar etika yang rendah akan memiliki
resiko kecurangan yang tinggi. Berdasarkan argumentasi dan
hasil penelitian terdahulu maka hipotesis keempat penelitian ini
adalah:
H4: Terdapat pengaruh negatif antara budaya etis
organisasi dengan kecenderungan kecurangan
Model Penelitian
top related