tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id filetinjauan pustaka proses pembentukan gambut ... tanah...
Post on 20-Mar-2019
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Pembentukan Gambut
Lahan gambut merupakan daerah dengan akumulasi bahan organik yang
sebagian lapuk, dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman
gambut sama dengan atau lebih dari 50 cm, dan kandungan karbon organik
(berdasarkan berat) minimal 12% (Ditjenbun, 2012). Lahan gambut banyak
dijumpai di daerah rawa belakang (black swamp) atau daerah cekungan yang
drainasenya buruk. Bahan organik penyusun gambut berasal dari sisa-sisa
tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum melapuk
sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Timbunan sisa
tanaman semakin lama semakin bertambah karena proses dekomposisi terhambat
oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan
rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik (Hardjowigeno, 1986). Pembentukan gambut di Indonesia diduga
terjadi 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Pembentukan gambut
membutuhkan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan
rata-rata antara 0-3 mm per tahun (Agus dan Subiska, 2008).
Proses pembentukan gambut diawali dari danau dangkal yang ditumbuhi
oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah, kemudian tanaman yang mati dan
melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan
transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa
tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari
danau dangkal dan secara perlahan membentuk lapisan gambut sehingga danau
tersebut menjadi penuh. Akibat proses pembentukannya disebabkan oleh
topografi daerah cekungan maka bagian gambut yang tumbuh mengisi danau
dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen.
7
Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh
tanah mineral, sehingga tanaman tertentu dapat tumbuh subur diatasnya. Hasil
pelapukan tanaman itu juga membentuk lapisan gambut baru yang semakin lama
membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung. Gambut yang
tumbuh diatas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen. Gambut ini
lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir
tidak ada pengkayaan mineral (Gambar 1). Spesies tanaman hutan yang dapat
tumbuh dengan baik pada lapisan ini, seperti Koompassia malaccensis, Durio
carinatus, Jackia ornate, Tetramerista glabra, Shorea sp., Eugenia sp., E.
acuminatissima, E. clavamyrtus, E. claviflora, Dyera sp.., dan Licuala acutifida.
Gambar 1. Pembentukan gambut, gambut ombrogen diatas gambut
topogen (Agus dan Subiska, 2008 mengutip van de Meene,
1982)
Klasifikasi Gambut
Gambut diklasifikasikan berdasarkan berbagai karakteristik diantaranya
yaitu berdasarkan tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi
pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan
menjadi:
Gambut saprik (matang) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna cokelat tua sampai hiitam dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%.
8
Gambut hemik (setengah matang) yaitu gambut setengah lapuk, sebagian
bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna cokelat dan bila diremas
bahan seratnya 15-75%.
Gambut fibrik (mentah) yaitu gambut yang belum melapuk, bahan asalnya
masih bisa dikenali, berwarna cokelat dan bila diremas > 75% seratnya
masih tersisa.
Bahan fibrik biasanya ditemukan di lapisan bawah dalam profil gambut.
Keadaan kering biasanya dimulai dari bagian atas gambut, sedangkan bagian
bawah masih dalam keadaan tergenang. Oleh sebab itu bahan fibrik biasanya
ditemukan pada lapisan bawah bahan hemik dan saprik. Gambut fibrik banyak
mengandung serat yang dipertahankan dalam bentuk asalnya dan dapat
diidentifikasi asal botaninya. Gambut yang berumur lebih tua banyak didominasi
oleh gambut saprik yaitu mengandung lebih banyak humus. Bahan humus
merupakan produk akhir proses humifikasi yang terjadi di dalam gambut dan
bersifat stabil.
Kedalaman gambut sangat bervariasi hingga lebih dari 10 meter (Hooijer
et al, 2006). Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi Gambut
dangkal (50-100 cm), Gambut sedang (100-200 cm), Gambut dalam (200-300
cm), dan Gambut sangat dalam (> 300 cm). Tingkat kesuburan gambut ditentukan
oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan
ketebalan lapisan gambut. Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan
menjadi:
Gambut eutrofik, merupakan gambut yang kaya akan bahan mineral dan
basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya
adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
Gambut mesotrofik, merupakan gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang.
Gambut oligotofik, merupakan gambut yang tidak subur karena miskin
mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh
dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi
gambut pantai, gambut pedalaman dan gambut transisi. Gambut pantai merupakan
9
gambut yang terbentuk dekat pantai dan mendapat pengayaan mineral dari air
laut. Gambut pedalaman merupakan gambut yang terbentuk di daerah yang tidak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan. Gambut transisi
adalah gambut yang terbentuk diantara kedua wilayah tersebut yang secara tidak
langsung dipengaruhi air pasang laut.
Karakteristik Lahan Gambut
Karakteristik Fisik
Karakterisasi fisik yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian
diantaranya yaitu kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban
(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irreversible drying).
Kadar air gambut erat kaitannya dengan berat isi (BD). Menurut Mutalib
et al. (1991) kadar air gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya.
Kadar air yang tinggi pada gambut menyebabkan berat isi (BD) menjadi rendah,
gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho et al,
1997; Widjaja-Adhi, 1997).
Berat isi (BD) pada lapisan gambut memiliki nilai yang bervariasi
tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut lapisan atas memiliki BD antara
0.1 sampai 0.2 g cm-3
, sedangkan gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan
bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g cm-3
. Akan tetapi menurut Tie and
Lim (1991) gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD >
0.2 g cm-3
karena adanya pengaruh tanah mineral.
Lahan gambut yang didrainase akan mengalami penyusutan volume,
sehingga permukaan tanah akan menurun (subsiden). Selain itu menurut Agus dan
Subiska (2008) subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi.
Laju subsiden dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase bisa
mencapai 50 cm. Laju subsiden pada tahun berikutnya berkisar antara 2-6 cm per
tahun tergantung dari kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase.
Gambut memiliki sifat mengering tidak balik (irreversible drying).
Gambut yang telah mengering, dengan kadar air < 100% (berdasarkan berat),
tidak dapat menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang telah mengering
10
sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan
mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Apabila gambut
terbakar akan sulit dipadamkan karena api/bara api masih menyala di bawah
permukaan.
Karakteristik Kimia
Komposisi utama bahan gambut adalah lignin, selulosa dan hemiselulosa
(Wershaw et al., 1996). Kandungan lignin yang tinggi pada gambut bersal dari
vegetasi kayu-kayuan. Lignin merupakan sumber utama asam organik aromatik,
terutama asam-asam fenolat. Asam-asam organik aromatik dicirikan jumlah gugus
fungsi fenolat-OH yang tinggi, sedangkan asam-asam organik alifatik dicirikan
oleh jumlah gugus fungsi COOH yang tinggi. Jumlah dan jenis asam-asam fenolat
ditentukan oleh bahan asal gambut.
Karakteristik kimia gambut sangat ditentukan oleh kandungan mineral,
ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat
dekomposisi gambut. Gambut memiliki kandungan bahan organik yang sangat
tinggi namun kandungan unsur N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Mo dan Bo yang rendah
(Balitra, 1988 dalam Akbar dan Priyanto, 2008). Agus dan Subiska (2008)
menambahkan, kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari
5% dan sisanya merupakan bahan organik. Fraksi organik terdiri atas senyawa-
senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa
lignin, selulosa, hemiselulosa, lignin, tannin, resin, suberin, protein dan senyawa
lainnya.
Tingkat kemasaman pada lahan gambut umumnya relatif tinggi dengan
kisaran pH 3-5. Namun demikian pH gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5.
Hal ini dikarenakan gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Selain itu
peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi
gambut.
Kandungan kation basa pada gambut oligotropik seperti Ca, Mg, K dan Na
umumnya sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut,
basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin
masam (Drissen dan Suhardjo, 1976). Sifat lain dari gambut yaitu memiliki
11
kapasitas tukar kation (KTK) yang tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa
(KB) menjadi sangat rendah. Berdasarkan laporan Tim Institut Pertanian Bogor
(1974) tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah
mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur
Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976). Walaupun KTK gambut tinggi, namun
daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan sehingga
apabila dilakukan pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application)
dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci.
Lahan gambut secara alamiah memiliki tingkat kesuburan rendah yang
salah satunya disebabkan kandungan beragam asam-asam organik yang sebagian
bersifat racun oleh tanaman. Asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari
tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Pengaruh
buruk asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak engandung kation
polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek yang disebut
dengan Khelat. Oleh karena itu untuk mengurangi sifat racun dari asam organik
dan untuk menambah kesuburan tanah dapat digunakan amelioran yang
mengandung kation polivalen (Sabiham et al., 1997; Saragih, 1996).
Kandungan unsur mikro pada gambut sangat rendah dan diikat cukup kuat
(khelat) oleh bahan organik (Rachim, 1995) sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang
tidak dapat diserap tanaman.
Kandungan lignin gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) lebih
tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah yang memiliki iklim
sedang. Hal ini dikarenakan gambut di Indonesia terbentuk dari pohon-pohonan
(Drissen dan Suhardjo, 1976). Dalam keadaan anaerob lignin yang mengalami
proses degradasi akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenbolat
(Kononova, 1968). Asam-asam fenolat dan derivatifnya bersifat meracuni
tanaman (fitotoksik) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat.
(Drissen, 1978; Rachim, 1995).
12
Potensi Lahan Gambut untuk Pertanian
Meningkatnya kebutuhan pangan dan bahan baku industri bagi penduduk
yang populasinya makin meningkat memaksa pemerintah untuk memperluas areal
budidaya pertanian. Lahan gambut yang saat ini menempati 9-11% dari luasan
daratan di Indonesia merupakan lahan marginal untuk pertanian (kesuburan
rendah, pH sangat masam dan drainase yang jelek) pun menjadi sasaran untuk
melakukan budidaya berbagai komoditas pertanian. Berdasarkan data Departemen
Pertanian RI (2012) luas areal tanaman padi di Provinsi Kalimantan Tengah
mengalami peningkatan pada tahun 2005-2009 yaitu 203,595 ha menjadi 214,480
ha, sementara itu luas areal perkebunan karet meningkat dai 256,596 Ha menjadi
264,947 Ha.
Berdasakan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008),
lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan seperti padi,
jagung, kedelai dan ubikayu disarankan pada gambut dangkal (< 100 cm). Pada
tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, lahan gambut dengan ketebalan
antara 1.4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian lahan S3), sedangkan
gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2) dan gambut dengan
ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali ada
sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral (Djainudin et al., 2003).
Data BB Litbang SDLP (2008) menunjukkan bahwa saat ini luas lahan
gambut di Indonesia adalah 14,905,574 Ha. Jika diklasifikasikan menurut
kedalaman gambutnya, maka sebaran gambut di Indonesia yaitu 5.2 juta Ha D1
(gambut dangkal), 3.92 juta Ha D2 (gambut sedang), 2.8 juta Ha D3 (gambut
dalam) dan 3 juta Ha D4 (gambut sangat dalam).
Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian tidak luput dari
permasalahan aspek lingkungan. Lahan gambut memiliki sifat yang sangat rapuh
(fragile) sehingga mudah terjadi degradasi apabila mengalami gangguan terhadap
ekosistemnya. Apabila lahan gambut terusik akan menyebabkan air tanah menjadi
sangat cepat turun dan gambut mengalami kekeringan serta mengkerut
(subsidence). Penurunan air pada gambut dapat mendorong laju dekomposisi
bahan organik lebih cepat sehingga emisi CO2 dan N2O semakin meningkat. Oleh
13
karena itu, pengembangan lahan gambut untuk perluasan areal pertanian harus
dengan pengelolaan yang tepat demi mencegah terjadinya degradasi.
Pemerintah pun saat ini telah mengatur penggunaan lahan gambut untuk
kegiatan pertanian diantaranya melalui Peraturan Menteri No. 14 Tahun 2009
tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit.
Dalam Peraturan Menteri tersebut diatur bahwa pengusahaan budidaya kelapa
sawit dapat dilakukan di lahan gambut tetapi harus memenuhi persyaratan yang
dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut. Persyaratan tersebut antara lain:
(a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya, (b) ketebalan
lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter, (c) substratum tanah mineral di bawah
gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) tingkat kematangan
gambut saprik (matang) atau hemik (setengah matang); dan (e) tingkat kesuburan
gambut tergolong eutropik.
Emisi Karbon Dioksida pada Lahan Gambut
Lahan gambut memiliki peranan yang sangat besar sebagai pengendali
iklim global karena dapat menyimpan unsur C (karbon) dalam jumlah yang besar.
Lahan gambut menyimpan karbon yang jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan tanah mineral. CO2 akan diikat oleh biomass tanaman selama proses
fotosintesis kemudian disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui
perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut
dikembalikan ke tanah, sehingga tanah gambut dapat bertindak sebagai rosot
(sink) CO2 atmosfer (Rinnan et al., 2003). Menurut Joosten (2007) lahan gambut
menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari
seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa
(massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon
semua hutan di seluruh dunia.
Lahan gambut apabila dalam kondisi alami berkontribusi dalam menjaga
kestabilan lingkungan, tetapi sebaliknya dapat menjadi sumber berbagai masalah
lingkungan apabila kestabilan lahan gambut terganggu. Perubahan fungsi gambut
dari penambat karbon menjadi sumber emisi dapat melalui dua cara yaitu: (1)
14
pembakaran, dalam hal ini degradasi lahan gambut yang menghasilkan emisi gas
CO2 dan (2) drainase lahan gambut yang menyebabkan dekomposisi aerobik.
Menurut Kirk (2004), proses dekomposisi terdiri atas 2 tahap, yaitu (1)
pembentukan asam organik, asetik, propinat dan butirat, ditambah gugus alfatik
dan phenolic, (2) konversi asam-asam organik tersebut menjadi gas.
Pada kondisi aerob hasil dekomposisi berupa CO2, NO3-, SO4
2- dan residu
resisten. Hasil dekomposisi pada kondisi anaerob berupa CO2, H2, CH4, N2, NH4,
H2S, bagian terdekomposisi dan residu humik. Selama kebutuhan oksidator
anorganik tercukupi, CO2 merupakan hasil akhir utama dalam dekomposisi bahan
organik. Namun setelah oksidator anorganik habis terpakai, digantikan oleh
proses metanogen sehingga proporsi CH4 meningkat seperti digambarkan reaksi
sebagai berikut (Kirk, 2004):
SOM0 + a H2O SOM1 + B CH3COOH + C H2 + d CO2
CH3COOH CH4 + CO2
H2 + CO2 CH4 + H2O
Transformasi karbon dari gambut ditandai dengan terbentuknya asam-
asam organik, CH4 dan CO2 sebagai hasil akhir (Alexander, 1977; Hartley dan
Whitehead, 1984). Asam-asam organik seperti vanilat, vanillin, ferulat dan asam
lainnya merupakan sumber karbon yang akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme
dan kemudian dilepas ke udara, sementara cincin karbonnya membentuk asam
protokatekuat yang pada proses degradasi selanjutnya cincin karbon ini akan
terbuka (Alexander, 1977). Asam protokatekuat jarang diidentifikasi dan
jumlahnya relatif sedikit (Hrtley dan Whitehead, 1984).
Emisi Metan pada Tanah Gambut
Metan merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang memiliki
kontribusi terbesar kedua setelah CO2 yaitu sekitar 17% (walaupun dikalikan
dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali CO2). Menurut Shine et al.
(1995), metan mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang
dipancarkan oleh permukaan bumi sebesar 21 kali dibandingkan dengan CO2.
Pada tanah gambut emisi metan diakibatkan oleh metabolisme bakteri metanogen.
Menurut Alexander (1977), laju pembentukan CH4 secara akumulatif ditentukan
15
oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil CH4 dan
lingkungannya.
Gambut dapat memproduksi dan mengkonsumsi metana secara simultan
dibawah kondisi lingkungan tertentu. Menurut Sylvia et al. (1998), total emisi
CH4 diperkirakan sebesar 410 TG CH4-C th-1
. Emisi langsung dari lahan basah
sekitar 32% dari total emisi ke atmosfer. Di lahan basah, mikrob pengoksidasi
CH4 dapat mengkonsumsi lebih dari 90% CH4 di daerah anaerobic sebelum
mencapai atmosfer, sehingga oksidasi metana di lahan basah merupakan satu dari
faktor terbesar yang mempengaruhi siklus global metana. Metanogen dalam tanah
memproduksi metana melalui dua jalan utama, yaitu:
CO2+ H2 CH4 (reduksi CO2)
CH3COOH CH4 + CO2 (fermentasi asetat)
Pada kondisi anaerobik, dekomposisi bahan organik sangat lambat dan
karbon dilepaskan sebagai CH4. Gas CH4 terbentuk dari asam organik atau gas C
oleh bakteri metanogen, kemudian CH4 ditranslokasikan ke zona aerasi dari bahan
gambut yang memungkinkan untuk teroksidasi dan dilepaskan sebagai CO2.
Menurut Roulet dan Moore (1993), emisi CH4 menurun dengan meningkatnya
kedalaman muka air tanah. Tingginya emisi CH4 berasosiasi dengan jaringan
pembuluh vascular dan dalamnya perakaran tanaman yang meningkatkan efisiensi
pergerakan CH4 dari lapisan anaerobic ke atmosfer.
Emisi CH4 dari lahan gambut tergantung pada produksi dan konsumsi CH4
dan kemampuan transport gas ke permukaan oleh tanah dan tanaman. Metana
yang dihasilkan oleh aktivitas metanogen ini akan dilepaskan dari zona reduktif
ke atmosfer melalui tiga proses yaitu difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman
(Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003). Ebulisi merupakan suatu proses
lepasnya bentuk gelembung gas dari pelarut yang volatile dari dalam larutan ke
permukaan tanah dan ke atmosfer. Bentuk gelembung gas terbentuk secara
spontan jika larutan menjadi jenuh dengan pelarut yang volatile. Pembentukan
gelembung gas CH4 dalam tanah melebihi CO2 walaupun kedua gas tersebut
dalam proporsi yang sama, karena CH4 20 kali lebih volatile daripada CO2 (Kirk,
2004).
16
Emisi Dinitrogen Oksida pada Lahan Gambut
Gas N2O mempunyai peranan yang penting dalam pemanasan global.
Proses pembentukan gas N2O melalui dua tahap yaitu, nitrifikasi dan denitrifikasi.
Proses nitrifikasi terjadi pada kondisi aerobic dan terdapat dalam dua langkah
(Haynes, 1986). Langkah pertama adalah oksidasi NH4- menjadi NO2
-, reaksinya
adalah sebagai berikut:
NH4- + ½ O2 NO2
- + 2 H
+ + H2O + energi
Bakteri yang berperan dalam reaksi ini adalah bakteri nitrosomonas.
Langkah berikutnya adalah oksidasi NO2- menjadi NO3
- dengan reaksi sebagai
berikut:
NO2- + ½ O2 NO3
- + energi
Bakteri yang berperan adalah nitrobacter. Hasil dari nitrifikasi berupa NO3
akan diubah menjadi N2O dalam proses denitrifikasi. Denitrifikasi merupakan
langkah terakhir dalam siklus N dan terjadi pada kondisi anaerobic. Transformasi
N melalui proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh pH. Pada kondisi netral
N2O direduksi menjadi hasil akhir berupa N2 oleh enzim nitous oxide yang
tereduksi atau enzim nitrogenase (Hardy dan Knight, 1966; Stouthamer, 1988).
Pada kondisi masam maupun denitrifikasi oleh denitrifier yang tidak mempunyai
enzim N2O reduktase akan mengemisikan N2O.
Berdasarkan kontribusinya dalam pemanasan global, gas N2O merupakan
komponen gas rumah kaca yang berkontribusi cukup kecil di atmosfer yaitu
sekitar 7% (Arrouays et al., 2002). Namun di atmosfer masa hidup dari N2O
sangat panjang yaitu sekitar 150 tahun. Besarnya fluks N2O dari lahan gambut
terutama yang digunakan untuk budidaya pertanian dipengaruhi oleh teknik
budidayanya. Perlakuan penambahan bahan organik, pengelolaan air dan
pemberian pupuk nitrogen akan berinteraksi mempengaruhi besarnya emisi yang
dihasilkan.
17
Ameliorasi
Amelioran merupakan bahan yang dapat ditambahkan ke tanah sehingga
dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik dan kimia.
Amelioran dapat berupa bahan organik maupun anorganik. Kriteria amelioran
yang baik bagi lahan gambut diantaranya memiliki kejenuhan basa (KB) yang
tinggi, mampu meningkatkan derajar pH secara nyata, memiliki kandungan unsur
hara yang lengkap, mampu memperbaiki struktur tanah, dan mampu mengusir
senyawa beracun terutama asam-asam organik.
Lahan gambut di Indonesia pada umumnya bereaksi masam, memiliki
tingkat kesuburan yang rendah, dan miskin unsur hara. Unsur hara mikro lahan
gambut umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, sehingga
menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Menurut Andriesse (1988), gugus
karboksilat dan fenolat pada tapak pertukaran kation gambut dapat membentuk
ikatan kompleks dengan unsur mikro sehingga menjadi tidak tersedia bagi
tanaman. Pemberian bahan amelioran seperti pupuk organik, tanah mineral, zeolit,
dolomit, fosfat alam, pupuk kandang, kapur pertanian, abu sekam, purun tikus
(Eleocharis dulcis) dapat meningkatkan pH tanah dan basa-basa tanah (Subiska et
al., 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).
Setiap aspek kimia logam polivalen dalam tanah berhubungan dengan
pembentukan kompleks logam organik (Stevenson, 1982). Pembentukan senyawa
kompleks merupakan suatu reaksi antara ion logam dan ligan melalui pasangan
elektron. Melalui ikatan logam dan asam organik memungkinkan beberapa kation
dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan reaktivitas asam-asam fenolat, sehingga
tidak membahayakan tanaman.
Pemberian Fe3+
dengan dosis 5% dari jerapan maksimum mampu
menekan konsentrasi asam ferulat hingga 90% pada gambut Jambi (Saragih,
1996), sementara pada gambut Kalimantan Tengah konsentrasi asam kumarat
mampu ditekan sampai 30% dari konsentrasi awal (Salampak, 1999).
Pembentukan kompleks antara molekul organik dengan ion logam dengan
lebih dari satu ikatan akan meningkatkan kestabilan kompleks tersebut sehingga
proses degradasi yang melepaskan C-organik ke udara dapat ditekan. Pemberian
Fe3+
sampai dosis 5% dari erapan maksimum telah mampu menurunkan pelepasan
18
karbon sebesar 22.94% CO2 dan 23.01% CH4 pada gambut Jambi, 27.67% CO2
dan 32.97% CH4 pada gambut Kalimantan Tengah (Sulistyono, 2000).
Bahan-bahan yang kaya akan kation polivalen seperti tanah mineral dan
terak baja (electric furnace slag) dapat digunakan untuk meningkatkan kestabilan
bahan gambut dan mengatasi bahaya asam-asam organik. Pemberian amelioran
bahan tanah mineral dengan kandungan Fe2O3 sebesar 22.06% telah digunakan
Salampak (1999) untuk ameliorasi gambut Kalimantan Tengah. Ameliorasi
dengan bahan tanah mineral sampai 7.5% erapan maksimum Fe menekan
konsentrasi asam-asam fenolat. Selanjutnya dikatakan pemberian amelioran
meningkatkan hara dalam tanah dan kadar hara dalam tanaman serta
meningkatkan bobot kering tanaman dan bobot gabah isi.
Penambahan bahan organik sebagai amelioran ditengarai dapat
meningkatkan emisi N2O dari tanah (Arcara et al., 1999; Friedel et al., 1999;
Mogge et al., 1999; Pidello et al., 1996; Whalen, 2000). Bahan organik yang
mempunyai kandungan karbon tinggi serta mudah termineralisasi seperti pupuk
kandang diduga mampu meningkatkan biomas mikroba sehingga dapat
meningkatkan emisi N2O dari tanah pertanian. Karbon yang mudah
termineralisasi meliputi karbon larut dalam air maupun asam lemak mudah
menguap (volatile fatty acid / VFA) serta karbon antron reaktif (anthrone-reactive
carbon).
Analisis Usahatani
Pada dasarnya analisis usahatani adalah upaya untuk menilai manfaat
(Output) dan biaya (cost) yang tercakup dalam suatu proses usahatani sehingga
sumberdaya yang ada dapat dialokasikan secara efektif dan efisien. Menurut
Gitingger (2008), biaya merupakan segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan
sedangkan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan. Kadariah et al.
(1990) menyebutkan bahwa tujuan analisis usahatani adalah untuk (1) mengetahui
tingkat keuntungan yang dicapai dalam suatu usahatani, (2) menghindari
pemborosan pemakaian sumberdaya, (3) melakukan penilaian terhadap peluang
investasi, dan (4) menentukan prioritas kegiatan usahatani. Soekartawi (2002)
19
menambahkan bahwa analisis usahatani dimaksudkan untuk mencari informasi
tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai aspek.
Indikator yang dapat dipakai untuk menilai kelayakan usahatani
diantaranya dengan menggunakan B/C ratio. Rasio manfaat terhadap biaya (B/C
ratio) merupakan perbandingan antara pendapatan bersih dengan biaya total yang
dikeluarkan. Suatu usahatani dapat dikatakan menguntungkan apabila nilai B/C
ratio lebih besar dari satu.
Suatu usahatani dapat dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat
mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya; dan
dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan
keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Indikator yang dapat dipakai
untuk suatu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang
dikeluarkan yaitu revenue cost rasio (R/C rasio). Rasio penerimaan terhadap
biaya (R/C ratio) merupakan perbandingan antara penerimaan dengan biaya total
yang dikeluarkan. Suatu usaha tani dikatakan efisien dan menguntungkan apabila
nilai R/C rasionya lebih dari satu (R/C > 1), semakin tinggi nilai R/C rasio berarti
penerimaan yang diperoleh semakin besar. Apabila nilai R/C rasio lebih kecil dari
satu (R/C < 1) maka suatu usahatani dikatakan tidak menguntungkan dan tidak
efisien jika dilakukan, sedangkan apabila R/C = 1 artinya usahatani tersebut tidak
memberikan manfaat sama sekali.
top related