tinjauan yuridis dan kepastian hukum terhadap perkawinan campuran di indonesia
Post on 03-Jul-2015
1.122 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam
suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan
beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka
Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di
antara kelompok - kelompok masyarakat yang berbeda.
Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang
bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang
individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan
perkawinan.
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin
kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai
media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai contoh, perkawinan campuran1, perkawinan sejenis2, kawin kontrak, dan
perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun
perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak
mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-
agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas
agama3
Pada saat sekarang ini masyarakat pada umumnya sudah tidak memperhatikan kaidah
– kaidah yang berlaku serta norma – norma yang ada dan berlaku di masyarakat maupun
negara. Kebanyakan yang sering menjadi korban dari perkawinan Siri maupun perkawinan
Campuran adalah anak yang tidak mengerti sama sekali atas apa yang terjadi dan menimpa 1 Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.
2 Sebagai contoh, lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil. Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual, transseksual/transgender
3 http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 1
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
mereka. Dan juga status perkawinan serta status dari anak dari hasil perkawinan tersebut
masih sukar untuk ditentukan.
Dalam hal ini masih banyak terdapat masalah tehadap perkawinan baik itu dari
perkawinan campuran maupun siri tidak sedikit anak yang harus menanggung akibat dari
perkawinan ini dan negara mempunyai peran penting untuk melegalkan hubungan hukum
antara pria dan wanita melalui hubungan perkawinan. Dengan adanya perkawinan dan
melahirkan keturunan merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa.
Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte
perkawinannya. Namun sayangnya, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI tidak memberi
tempat bagi perkawinan beda agama. Sebagai sebuah instrumen hukum, Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 maupun KHI di samping merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku
atau kesamaan sikap (standard of conduct), juga berfungsi sebagai suatu perekayasaan
untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna (as a tool of social engineering)
dan sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu tingkah laku (as a tool of
justification). Fungsi tersebut ditegakkan dalam rangka memelihara hukum menuju kepada
kepastian hukum dalam masyarakat.4
Dalam hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk melindungi serta melayani
hajat hidup warga negaranya secara adil tanpa ada diskriminasi dan intervensi terhadap
warganya berkaitan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum atas dasar ini negara
harus memenuhi hak – hak sipil warga negaranya tanpe melihat agama, ras, suku bangsa
dan kepercayaan yang dianut oleh orang tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam paper ini
adalah “
A. Bagaimana Tinjuan Yuridis Dalam Perkawinan Campuran?
B. Bagaimana Kepastian Hukum Dalam Perkawinan Campuran?
BAB II
4 http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/ diunduh tanggal 05 September 2010
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 2
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
ISI
A. Ruang Lingkup Hukum Perkawinan
Dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, bahwa di Indonesia aturan tata tertib
perkawinan itu sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwidjaya, Majapahit sampai masa
kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah
tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing,
karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia (Hilman Hadikusuma, 1990:1). Akan
tetapi baru pada tahun 1974, bangsa Indonesia memiliki Undang-Undang Perkawinan
nasional yang berdasarkan Pancasila, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku bagi
seluruh warga negara Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan
berbagai daerah. Berbagai hukum perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah
sebagaimana dimuat pada penjelasan umum butir 2 adalah sebagai berikut :
a. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama
yang telah diresipir dalam Hukum Adat;
b. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huweliks
Ordonantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan
sedikit perubahan;
e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainya dan Warga Negara Indonesia
keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka;
f. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 3
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka bangsa
Indonesia telah memiliki Hukum Perkawinan yang bersifat nasional, yang tetap berpijak pada
keanekaragaman suku, bangsa dan adat istiadat.5
I. Ditinjau dari Undang – Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai
hubungan keperdataan saja6. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang - Undang
terhadap upacara - upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang - Undang
hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan
seorang pegawai catatan sipil.
Demikian juga dengan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua
macam syarat7, yaitu:
1. Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat ini meliputi:
A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat itu meliputi:
1. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri,
dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27
KUHPerdata).
2. Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).
3. Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin
kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).
4. Harus ada izin dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum
dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata).
B. Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi
seseorang untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:
1. Larangan kawin dengan keluarga sedarah.
2. Larangan kawin karena zinah
5 http://etd.eprints.ums.ac.id/6985/1/R100030064.pdf diunduh tanggal 05 September 20106 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 3.7 Ibid., hlm. 63.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 4
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
3. Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya
perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
2. Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan
mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).
I. Ditinjau dari Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU
Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak
berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal
ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang
pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa
perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus
dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan
perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat
izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila
keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau
salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan
perkawinan.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 5
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-
masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya
melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan
sedarah, semenda, susuan atau hubungan - hubungan yang dilarang oleh agamanya atau
peraturan lain.8
II. Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia
a. Dalam Instrumen Hukum Internasional
Dasar pemikiran filsafat John Locke terkait di kemudian hari dijadikan sebagai
landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Lock berpendapat bahwa terkait dengan
kehidupan bernegara yang merupakan hasil dari teori perjanjian masyarakat, ada dua instansi 9 yang mempengaruhinya, yaitu pactum unionis yang merupakan anggapan bahwa manusia
semuanya terlahir merdeka dan sama serta pactum subjectionis yang menunjukkan adanya
hak-hak yang tidak tertanggalkan pada setiap individu, termasuk hak untuk hidup dan hak
kebebasan.
Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 DUHAM. Menurut Pasal ini, pria
dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau
agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak
yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian. Syarat
perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat dilakukan bila
keduanya setuju tanpa syarat.
Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan fundamental
dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat perlindungan dari masyarakat dan
negara.
DUHAM menegaskan bahwa pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa
pengecualian apapun, termasuk berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas
dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari
8 http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18 diunduh tanggal 05 September 20109 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 309.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 6
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah
perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga merupakan kesatuan
masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat
dan negara. Setiap laki-laki dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk
melakukan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar
bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo.
Pasal 10 ICESCR).
b. Dalam Hukum Instrumen hukum Nasional
Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran bahwa selama
lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau
pengakuan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan (Penjelasan Umum UU HAM).
Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang
Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Walaupun disebutkan bahwa pengaturan HAM dalam UU HAM
berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, namun materinya disesuaikan dengan kebutuhan
hukum masyarakat dan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Terkait dengan perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 Amandemen (Perubahan kedua
tahun 2000) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Jaminan atas hak ini sebelumnya telah
dipertegas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, yaitu Pasal 10 ayat (1) UU
HAM. Sementara, ayat (2) dari pasal ini mengatur tentang syarat sahnya suatu perkawinan,
yaitu kehendak bebas calon suami atau istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 10
B. Perwujudan Negara Dalam Memberikan Kepastian Hukum
10 http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18 diunduh tanggal 05 September 2010
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 7
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum sedang mengalami amasa
transisi, yaitu sedang terjadi perubahan nilai – nilai dalan masyarakat dari nilai – nilai yang
bersifat tradisional ke nilai – nilai yang modern.11 Namun, masih terjadi persoalan nilai – nilai
manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai – nilai beru yang akan menggantikannya. Sudah
barang tentu dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan – hambatan yang
kadang – kadang akan meninmbulkan keresahan – keresahan maupun kegoncangan di dalam
masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukakan beberapa hambatan utama
seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan
intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai – nilai yang dianjurkan
di samping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama serta
bahasanya berbeda satu dengan yg lainnya.12
Namun keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan
sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.Tujuan hukum tidak hanya keadilan, tetapi juga
kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Menurut Roscoe Pound salah seorang pendukung Socialogical Jurisprudence
mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of
social engineering), tidak hanya sekedar melestarikan status quo.13
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Pengertian negara hukum
(rechtstaat) merupakan kebalikan dari pengertian negara kekuasaan (machstaat). Dasar
yang mendukung keberadaan negara hukum adalah kebebasan rakyat, bukan
kebebasan negara. Tujuan negara hukum adalah memelihara ketertiban umum dan
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.
Pemikiran negara hukum dapat ditelusuri dengan mengacu pada teori Trias
Politika dari Montesquieu. Berdasarkan teori tersebut, ada yang berpendapat bahwa negara
hukum adalah negara yang mengurangi hak - hak dasar warga negaranya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang - undangan. Di lain pihak, ada yang berpendapat bahwa
11 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjid, DASAR-DASAR FILASAFAT DAN TEORI HUKUM, Citra Aditya, hlm 80 -81 dalam Tentang bagaimanakah hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat indonesia, Soejarno Soekanto menjelaskannya pada pengantar Sosiologi Hukum, op cit, hlm 20 dst.
12 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjid, DASAR-DASAR FILASAFAT DAN TEORI HUKUM, Citra Aditya, hlm 80 -81 dalam Lihat Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,op cit, hlm 9. Untuk pembacaana yang lebih mendalam perhatikan Prof. Dr. Kuntjaraningrat : Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi termuat dalam Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta hlm 25 dst.
13 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, POKOK-POKOK FILSAFAT HUKUM Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, jakarta 2004, hlm 197.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 8
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
negara hukum adalah negara yang menjamin kebebasan pengadilan, yaitu kebebasan untuk
melakukan kontrol sosial terhadap segala tindakan dari alat - alat kekuasaan negara.
Negara hukum adalah negara yang membatasi kekuasaan negara terhadap warganya
dengan berlandaskan hukum. Tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum
(rule of law), sebagaimana dikemukakan Paul Scholten bahwa elemen utama suatu
negara hukum adalah, adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum.
Dengan demikian, pembatasan terhadap hak-hak individu hanya dapat dilakukan
apabila diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan dan setiap tindakan negara
harus selalu berdasarkan hukum.
Ciri negara hukum, antara lain dikemukakan dalam “Simposium tentang
Indonesia adalah Negara Hukum” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia pada tanggal 8 Mei 1966, yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan
lain dan tidak memihak.
3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan
dengan keberadaan hukum tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa tujuan hukum
dapat sekaligus tampak dalam fungsi hukum, yaitu :
1. Menjamin keadilan.
2. Menjamin ketertiban dan ketenteraman (kedamaian).
3. Memudahkan hubungan antar anggota masyarakat.
4. Mendorong kemajuan atau perubahan.
Di lain pihak, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa salah satu fungsi
hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam
masyarakat. Selanjutnya dikatakan, tujuan hukum tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir
hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang
menjadi dasar hidup masyarakat tersebut, yang pada akhirnya bermuara pada keadilan.
Undang-Undang Perkawinan diharapkan dapat mengakomodir tujuan-tujuan hukum
sebagaimana dikemukakan di atas. Selain itu juga diharapkan dapat menjamin kepastian
hukum dalam konteks perkawinan dan akibat-akibatnya.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 9
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengatur pengertian perkawinan sebagai
berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Selain pengertian perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan juga diatur
mengenai keabsahan perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,
pembatalan perkawinan, dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal tersebut, diatur pula mengenai Asas-asas hukum perkawinan,
yaitu :
1. Asas Kesukarelaan
Merupakan asas terpenting Perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus
terdapat antara kedua calon suami istri, tapi juga antara orang tua kedua belah pihak.
2. Asas Persetujuan
Kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas pertama tadi, ini berarti
bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
3. Asas Kebebasan Memilih Pasangan
4. Asas Kemitraan
Suami istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat
asal, pembawaan). Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam
beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda, suami menjadi kepala keluarga, istri
menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga.
5. Asas untuk selama-lamanya
Menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan
dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q.S. Al-Rum (30):(21)).14
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan instrumen hukum yang mengatur
HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada pasal 22 ayat (1) bahwa “
Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaanya itu”. Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa “Setiap
orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”. Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang
14 http://intanghina.wordpress.com/2009/02/23/perkawinan-campuran-perlindungan-hukum-perempuan-wni-yang-melangsunkan-perkawinan-campuran/ diunduh tanggal 05 September 2010
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 10
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
dalam beragama dan merupakan tindakan diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya”.
Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama
mesti dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan
kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999. Hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah)
memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi
manusia, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi
tanggung jawab negara, terutama Pemerintah“. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran,
pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan untuk
berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
HAM dan konstitusi itu sendiri.15
C. Pandangan Hukum Agama
Perkawinan beda agama termasuk masalah rumah tangga yang banyak mengandung
persoalan-persoalan sosial dan yuridis, baik ditinjau dari segi kaca mata hukum Islam
maupun menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini memang
menimbulkan berbagai persoalan, masalah yang dapat saja ditimbulkan dari perkawinan beda
agama tersebut. Sebab dalam aturan hukum (Undang-undang) yang berlaku, tidak mengatur
secara jelas tentang prosedur pelaksanaan perkawinan antar agama. Sedang negara kita
adalah negara hukum, yang secara formalistis berpegang pada aturan hukum yang ada
(positif) dalam melihat suatu permasalahan. Namun dalam kenyataan yang berkembang
dalam masyarakat, hal ini (perkawinan beda agama) banyak terjadi.
15 http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/ diunduh tanggal 05 September 2010
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 11
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata,
menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar
pernikahannya dapat dilangsungkan. Empat cara tersebut adalah
1. meminta penetapan pengadilan, Meminta penetapan pengadilan terakhir kali
dilakukan oleh Andi Vonny Gani pada 1989. Jika RUU Adminduk yang saat ini
sedang dibahas DPR disahkan, akan lebih banyak lagi penetapan pengadilan
dimohonkan. Ketua Konsorsium Catatan Sipil Lies Sugondo menyatakan bahwa
solusi penetapan pengadilan yang disarankannya turut dimasukkan dalam RUU
Adminduk.
2. perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, Menurut Prof Wahyono
Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari pasal 2
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pagi menikah sesuai agama laki-
laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan. Masalahnya adalah
perkawinan mana yang sah?
3. penundukan sementara pada salah satu hukum agama, Penundukan diri terhadap salah
satu hukum agama mempelai mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam,
diperbolehkan laki-laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahlul kitab.
Ayat Al-Quran inilah yang dipraktekkan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti
Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace
(ICRP), bahkan diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita
muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan
Kalina, pada awal 2005 lalu. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh
penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina. dan
4. menikah di luar negeri. Solusi terakhir adalah menikah di luar negeri. Lies melihat
banyak artis yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan
perkawinan beda agama. Ia menjelaskan jika melakukan perkawinan di luar negeri,
berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat akte dari
negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak
memperoleh akte lagi dari negara. Farida menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun
UU tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 12
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal,
Kantor Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang
dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia. “Secara hukum tidak sah. Kalau
kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita
dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil
tidak boleh melakukan pencatatan.”
Untuk perkawinan beda agama, mantan Menteri Agama Quraish Shihab berpendapat
agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam jalinan pernikahan antara
suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun
pada kasus pernikahan beda agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-
masing suami dan istri agar tetap menghormati agama pasangannya. “Jadi jangan ada sikap
saling menghalangi untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya”. Romo Andang Binawan
SJ., dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, juga menerangkan hukum gereja Katholik
memperbolehkan perkawinan beda agama selama calon mempelai non-Katholik bersedia
berjanji tunduk pada hukum perkawinan Katholik, monogami dan tidak bercerai seumur
hidup, serta membiarkan pasangannya tetap memeluk Katholik.
Sudhar Indopa, pegawai Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, Mei lalu di depan seminar
tentang perkawinan beda agama yang diselenggarakan Lembaga Kajian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Indonesia terang-terangan menyatakan negara bukannya tidak
mau mengakomodir perkawinan beda agama. Larangan tersebut tidak datang dari negara
melainkan dari agama. “Sepanjang tidak ada pengesahan agama, adalah tidak mungkin
catatan sipil mencatat sebuah perkawinan”.
Pendapat berbeda disampaikan pengajar hukum Islam di UI Farida Prihatini. Farida
menegaskan bahwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, agama-agama
lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. “Semua agama tidak
memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang.
Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya
juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Itu zina”. Ia menilai hukum tidak akan tegak
dengan baik jika masih ada penyelundupan hukum. Jika peraturannya sudah tegas, cukup
ditegakkan saja.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 13
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
Seperti juga yang dikatakan Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.), dalam bukunya
yang berjudul ”Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda”. Dia menguraikan
pandangannya berdasarkan hukum Islam dan sejumlah peraturan hukum di Indonesia, yang
bisa disimpulkan, diantaranya :
1. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara
pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui
keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan
didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum
agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.
2. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola
umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang
Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun
merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak
perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa
dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia.
D. Pandangan Sosiologi Hukum
Sebab dari timbulnya hal seperti ini di masyarakat, maka kita akan menemukan
berbagai macam faktor penyebab yang mereka jadikan landasan dalam melakukan
perkawinan tersebut. Dalam hal ini, hal yang mendasar bukan karena mereka tidak
mengetahui aturan yang ada dan yang berlaku (UU ataupun hukum dari agamanya masing-
masing), namun kebanyakan disebabkan oleh rasa cinta dari keduanya dan tidak ingin
dipisahkan lagi oleh siapun, apakah itu keluarga dari kedua belah pihak, bahkan oleh aturan
sekalipun, yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar tali kasih yang telah mereka
pupuk, bina dapat dilanjutkan pada jenjang perkawinan, yang mungkin telah menjadi
komitmen bersama dari kedua pasangan tersebut.
Inilah salah satu kendala yang dihadapi bagi mereka yang ingin melakukan
perkawinan, namun terbentur (pada aturan yang ada) yaitu oleh persoalan pada perbedaan
agama yang dianut dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Di mana
dalam perkembangan terakhir, jalan bagi pemeluk agama Islam dalam melaksanakan
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 14
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
perkawinan semacam ini telah ditutup sama sekali, namun kita juga tidak dapat menutup
mata bahwa hal-hal seperti ini masih saja dapat kita temui di masyarakat.
Soerjono Soekanto mengatakan dalam peranan hukum untuk mengubah masyarakat,
akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola perilaku yang hidup dalam masyarakat
dengan pola-pola yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang
lazim, bahwa kaidah-kaidah hukum disusun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari
masyarakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda
kepentingan dan pola-pola perilakunya dengan yang diatur. Lagipula suatu kaidah hukum
berisikan patokan perilaku yang kelak diharapkan. Namun hal demikian akan menyebabkan
tertinggalnya hukum di belakang perubahan sosial masyarakat.
Peranan hukum dalam mengatur tentang perkawinan atau membatasi perkawinan
beda agama atau antar agama melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
dan terdapat dalam pasal 2 ayat 1 yaitu : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam kasus diatas bisa disebut suatu penyimpangan, yang sering dideskrispsikan
secara sederhana sebagai pelanggaran atas aturan sosial, norma, dan ekspektasi sosial yang
dapat dikenai hukuman. Seperti yang dikatakan Hargreave adalah problem ketaatan pada
aturan dan penegakan aturan di satu tempat, tampaknya setiap aturan punya aturan sekunder
dan tersier yang mengatur aplikasi aturan primer, dan setiap aturan bisa diabaikan dalam
situasi tertentu, dan hampir setiap aturan mungkin bertentangan dengan aturan lain. Menurut
Matza, orang yang menyimpang dapat melakukan tipu daya. Menurut Leslie Wilkins, sebagai
prilaku yang secara statistic jarang dilakukan tapi jelas ada aktivitas yang sering dilakukan
yang dianggap sebagai penyimpangan. dan Douglas menyatakan penyimpangan sebagai
tindakan orang-orang yang dikalahkan dalam kompetisi politik moral.
Menurut ajaran aliran Sociological Jurisprudence, hukum harus dilihat atau dipandang
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang
mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Sociological
jurisprudence mengkaji bagaimana norma disesuaikan dengan rasa keadilan masyarakat
sehingga ditekankan pada kesebandingan hukum. Disamping itu dalam menetapkan hukum
juga harus diperhatikan pola perilaku yang sesuai, artinya dalam pembuatan hukum
seharusnya terdapat pengkajian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 15
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
keberlakuan dan efektifitas aturan tersebut sehingga hukum tidak tertinggal karena tidak
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Dalam konteks sosiologi hukum, ketidakpatuhan hukum ini terkait dengan budaya
hukum yang menggambarkan kegagalan internalisasi norma dan nilai sosial dari hukum ke
dalam sikap dan perilaku masyarakat. Kegagalan internalisasi norma dapat disebabkan karena
penggunaan hukum yang hanya berpatokan pada kaidah-kaidah agama.
Menurut Satjipto Rahardjo Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti,
bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakatnya. Terjadinya konflik antara nilai-nilai hukum berasal dari interaksi antara nilai-
nilai tertentu dengan struktur sosial dimana nilai-nilai itu dijalankan.
Dalam kondisi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, hukum modern lebih
dikedepankan, sehingga yang akan tersingkir adalah masyarakat tradisional. Namun tentunya
demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, hukum harus mengadopsi nilai-nilai sosial dari
semua kelompok masyarakat yang ada. Hukum sebagai tool of social engineering (Roscou
Pound), mendorong lembaga-lembaga tertentu dalam membangun kondisi sosial ekonomi
(proses rekayasa sosial), sehingga hukum bisa berfungsi sebagai pendorong terciptanya
perilaku-perilaku tertentu. Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada
efektivitas hukum yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologis, yaitu
mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya.
Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan
demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-
kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup,
sehingga sesuai dengan tujuannya. Dari sudut pandang sosiologis, menyangkut
ketidakpatuhan sebagian masyarakat terhadap ketentuan perkawinan, terjadi kegagalan
internalisasi norma dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat, sehingga hukum
seharusnya dapat memenuhi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.16
Dalam hal ini menurut penulis bahwa negara yang berdasarkan hukum adalah negara
yang dapat menjamin terwujudnya hak asasi manusia yang diwujudkan dengan terjaminnya
hak – hak dasar dari setiap warga negaranya baik harkat maupun martabatnya termasuk
perkawinan dan penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak dibenarkan melakukan tindakan
16 http://sonny-tobelo.blogspot.com/2009/02/fenomena-hukum-perkawinan-beda-agama.html diunduh tanggal 05 September 2010
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 16
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
sewenang – wenang kepada warga negaranya dengan mengatasnamakan demi kepentingan
negara.
KESIMPULAN
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 17
Tinjauan Yuridis dan Kepastian Hukum Dalam Perkawinan CampuranYuoky Surinda, SH15 September 2010
Dari penjabaran diatas menjelaskan dan menerangkan bahwa perkawinan campuran
terjadi akibat adanya perkembangan peradaban yang begitu cepat dari pola pikir manusia yg
secara lahiriah tidak bisa di intervensi oleh siapapun. Seiring dengan perkembangan ini
Negara sebagai wadah hukum yang dijalankan melalui penegak hukumnya seharusnya dapat
memberikan suatu jaminan dan kepastian hukum yang berlaku bagi warga negaranya serta
melindungi harkat dan martabat warga negaranya yang dalam hal ini negara tidak serta merta
memaksa warga negaranya untuk mentaati dan menjalankan peraturan atau kontistusi yang
berlaku tanpa memikirkan aspek sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Negara membentuk
serta membuat suatu ketentuan hukum yang akan diberlakukan kepada masyarakat
seharusnya mempertimbangkan banyak hal dan melihat dari seluruh aspek yang ada karena
tujuan hukum itu dibentuk harus dapat mengakomodir aspek keadilan, kepastian dan
kemanfaatan yang akhirnya harus diselenggarakan berdasarkan pernghormatan terhadap
harakat dan martabat manusia yang dapat diwujudkan dalam suatu peraturan perundang –
undangan yang mendasar pada HAM. Perkawinan campuran setidaknya dapat dicarikan jalan
keluar secara yuridis legal meskipun religius tidak legal, karena religius merupakan urusan
orang itu sendiri dan negara tidak berhak mencampurinya namun negara hanya dapat
memberikan suatu kepastian hukum atas perkawinan tersebut melalui peraturan perundang –
undangan yang diberlakukan nantinya.
Copyright Paper Filsafat Hukum Magister FH - UII, Yogyakarta, all right reserved Page 18
top related