tinjauan yuridis pengelolaan risiko dan · pdf fileuniversitas indonesia tinjauan yuridis...
Post on 01-Feb-2018
246 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS PENGELOLAAN RISIKO DAN
PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI
DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH ANTARA
BANK SYARIAH X DAN PT. Z PADA
BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
DAN PENGADILAN AGAMA
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP)
SKRIPSI
NAFILA RAHMAWATI
0806461663
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
DEPOK
JULI 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS PENGELOLAAN RISIKO DAN
PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI
DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH
ANTARA BANK SYARIAH X DAN PT. Z
PADA BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
DAN PENGADILAN AGAMA (Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum
NAFILA RAHMAWATI
0806461663
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI
DEPOK
JULI 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di dalam karya
tulis ini dibahas mengenai pengelolaan risiko dalam pembiayaan murabahah serta
penyelesaian sengketa wanprestasi dalam pembiayaan murabahah pada Badan
Arbitrase Syariah Nasional dan Pengadilan Agama dengan melakukan analisis
terhadap putusan Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP. Penulis menyadari bahwa tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk
menyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kedua orang tua penulis di Jombang, Ibu Dwi Retnowati dan Ayah Syamsul
Hidayat, beserta kedua adik penulis, Hanifa Rahmawati dan Hafid Filial
Akbar. Terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah selalu mendoakan,
membimbing dan mendukung penulis, tidak hanya dalam rangka penulisan
skripsi ini namun juga dalam seluruh fase kehidupan. Terima kasih kepada
seluruh keluarga atas semua binaan, nasihat, ridho, dan kekuatan yang
diajarkan selama ini. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai simbol
terima kasih kepada keluarga, semoga ke depannya penulis dapat selalu
berbakti kepada orang tua dan keluarga;
2. Dr. Yeni Salma Barlinti S.H., M.H, sebagai pembimbing skripsi yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
penyusunan skripsi. Mba Yeni tidak hanya berperan sebagai pembimbing,
namun juga teman untuk berbagi kendala yang dihadapi penulis dalam
penyelesaian skripsi. Semoga Mba Yeni tidak jera mengahadapi mahasiswa
bimbingan seperti penulis yang sering merepotkan beliau;
3. Divisi Hukum Bank BNI Syariah, terutama Ibu Bayi‟ Rohayati selaku
General Manager Divisi Hukum, Kepatuhan dan Kesekretariatan BNI
Syariah serta Saudari Ita Munir Rahmawati, selaku Yurist pada Divisi
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
vi
Hukum, Kepatuhan dan Kesekretariatan BNI Syariah yang telah membantu
penulis dalam memperoleh sebagian data yang diperlukan penulis sebagai
rujukan penulisan skripsi;
4. Brian Amy Prastyo. S.H., M.L.I., sebagai pembimbing akademik penulis
selama masa kuliah penulis di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Terima kasih atas segala pengarahan yang diberikan selama masa
perkuliahan;
5. Dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala ilmu pengetahuan,
pengalaman serta pelajaran hidup yang telah disampaikan. Semoga segala
pengabdian Bapak dan Ibu menjadi amal ibadah yang diterima Allah SWT;
6. Biro Admistrasi dan Biro Pendidikan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Program Reguler, antara lain Pak Selam dan Pak Djon (penjaga
PK IV) dan pihak lain yang telah sangat membantu kelancaran proses
administrasi selama masa studi dan pengurusan skripsi di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia;
7. Keluarga besar di Surabaya Mbah Mulyati, Mbah Kaserin, Bude Rintis
Purwati, Tante Hefi Rudiarti, Oom Ahmad Nasrudin, dan Nabila Syaiba
Rahmaniar yang telah mendukung dan memberikan banyak pelajaran hidup
kepada penulis;
8. Keluarga Bapak Umam Syaifudin, Ibu Susanah, Safira Dwi Anggraeni serta
Aldy Reza Pambudi yang selama tujuh tahun terakhir telah menemani,
mendukung, mendoakan dan belajar dewasa bersama. Terima kasih telah
menjadi pemacu semangat dan motivasi penulis untuk selalu menjadi lebih
baik. Semoga Allah SWT selalu meridhoi dan meng-ijabah do‟a kita;
9. Sahabat-sahabat penulis, Januarita Eki Puspitasari (Jep) terima kasih untuk
selalu mengingatkan tentang perjuangan, serta untuk segala inspirasi dan
pengalaman hidup yang dibagi. Untuk Shinta Octavia (Pao-pao) terima
kasih atas segala ketulusan hati dan keramahan selama ini, semoga tetap
menjadi anak Jakarta yang polos dan lugu. Untuk David Irmantius (Pakde)
yang telah menjadi penghibur dan pembuat onar dengan bahan pembicaraan
tentang kedewasaan. Juga untuk Devis Dersi Anugrah yang selalu membuat
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
ix Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Nafila Rahmawati
NPM : 0806461663
Program Studi : Ilmu Hukum (Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi)
Judul : Tinjauan Yuridis Pengelolaan Risiko dan Penyelesaian
Sengketa Wanprestasi Dalam Pembiayaan Murabahah Antara
Bank Syariah X dan PT. Z Pada Badan Arbitrase Syariah
Nasional dan Pengadilan Agama (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP)
Praktek dual banking system di Indonesia semakin menjamur sejak Indonesia
mengalami krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an. Perkembangan ini diikuti
dengan tumbuhnya layanan perbankan dengan sistem konvensional dan syariah,
antara lain dalam bentuk layanan pembiayaan konsumtif dan produktif dengan
sistem murabahah (jual beli dengan margin yang disepakati). Hal yang menjadi
pokok permasalahan penelitian ini adalah praktek pembiayaan murabahah terkait
pengelolaan risiko dan prudential banking pada Bank Syariah X yang diterapkan
pada PT. Z, selain itu peneliti juga mengangkat masalah mengenai komparasi
kesesuaian putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP dengan
peraturan terkait Perbankan Syariah dan hukum Islam. Penelitian dilakukan secara
deskriptif dengan menggunakan teknik analisis data melalui pendekatan kualitatif.
Dalam penelitian ini penulis menganalisa praktek pembiayaan murabahah antara
Bank Syariah X dan PT. Z, serta membandingkan penyelesaian sengketa pada
Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Pengadilan Agama dengan. Penulis
menyimpulkan bahwa terdapat penyimpangan atas hukum Islam serta prinsip
prudential banking yang dilakukan oleh Bank Syariah X. Di samping itu, terdapat
pula penyimpangan atas hukum Islam dan asas keadilan dalam putusan
Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP.
Kata Kunci: Pembiayaan Murabahah, Pengelolaan Risiko, Prudential Banking,
Penyelesaian Sengketa Wanprestasi, Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS), Pengadilan Agama.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
x Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Nafila Rahmawati
NPM : 0806461663
Major Subject : Law (Economic of Law)
Title : Judicial Review of Risk Management and Dispute
Resolution of Default in Murabahah Funding Between
Bank Syariah X and PT. Z at Badan Arbitrase Syariah
Nasional and Religious Court (Analysis on a Verdict of
Religious Court Number 729/Pdt.G/2009/PA.JP)
Since economic crisis in the last 1990, dual banking system practice has grown
bigger in Indonesia. This growth is shown by the amount existence of banks that
provide service using both conventional system and Islamic system, like
consumptive and productive funding services using murabahah system (a trading
system using the negotiated margin). As the subject matter in this study are the
implementation of murabahah funding related to risk management and prudential
Banking of Bank Syariah X which is applied to PT Z, besides that the writer also
examine the suitability of Pengadilan Agama Verdict No.729/Pdt.G/2009/PA.JP
to the Law related in shariah Banking and Islamic Law. The study is done
descriptively by using data analysis in qualitative approach. In this study, the
writer analyzes the implementation of murabahah funding between Bank Syarih X
and PT Z, the writer also compare the dispute settlement in National Department
of Islamic Arbitration (Basyarnas) and Religious Court to positive and Islamic
Law. The writer finally concludes that there are some misappropriations of the
Islamic shariah and prudential banking principal done by Bank Syariah X. In
addition, it is also found that there is inconsistency on Verdict of Pengadilan
Agama Number 729/Pdt.G/2009/PA.JP with Islamic shariah and principle of
justice.
Keywords: Murabahah funding, risk management, prudential banking,
Dispute Resolution of Default, Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS), Religious Court.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
xi Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ................................ vii
ABSTRAK .................................................................................................. viii
ABTRACT ................................................................................................. ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan ....................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 7
1.4 Definisi Operasional ....................................................... 8
1.5 Metode Penelitian ........................................................... 12
1.6 Sistematika Penulisan....................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM PEMBIAYAAN MURABAHAH,
RISIKO, PENGELOLAAN RISIKO, FORCE MAJEURE
SERTA WANPRESTASI ................................................... 16
2.1 Konsep Dasar Pembiayaan Murabahah ......................... 16
2.1.1 Definisi Pembiayaan Murabahah ..................... 16
2.1.2 Landasan Hukum dan Syariah Pelaksanaan
Murabahah di Indonesia .................................. 18
2.1.3 Ketentuan Umum dan Syarat Murabahah ........ 19
2.1.4 Pembebanan Biaya .......................................... 21
2.1.5 Murabahah dengan Pesanan ............................ 23
2.1.6 Pembayaran Dalam Murabahah ....................... 24
2.1.7 Pola Arus Kas Murabahah ............................... 25
2.1.8 Garis Besar Praktik Pembiayaan Murabahah
Oleh Perbankan Syariah Di Indonesia .............. 29
2.2 Konsep Dasar Risiko dan Pengelolaan Risiko ............... 30
2.2.1 Definisi Risiko ................................................ 30
2.2.2 Definisi Pengelolaan Risiko ............................ 32
2.2.3 Karakteristik Manajemen Risiko Dalam
Bank Islam ...................................................... 33
2.2.4 Proses Manajemen Risiko ............................... 36
2.2.5 Jenis-Jenis Risiko ............................................ 37
2.2.6 Risiko Terkait Pembiayaan Murabahah ........... 47
2.3 Konsep Dasar Wanprestasi dan Force Majeure ............. 50
2.3.1 Definisi Wanpretasi ......................................... 50
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
xii Universitas Indonesia
2.3.2 Akibat Wanprestasi ......................................... 51
2.3.3 Wanprestasi Dari Pihak Kreditur ..................... 52
2.3.4 Definisi Force Majeure .................................... 53
2.3.5 Klasifikasi Force Majeure ............................... 54
2.3.6 Pengaturan Force Majeure Terkait Kontrak
Jual Beli dalam KUH Perdata .......................... 56
2.3.7 Syarat-syarat Force Majeure
dalam KUH Perdata ....................................... 57
BAB III ASPEK HUKUM KONTRAK, PRUDENTIAL BANKING
SERTA PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA
DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN
MURABAHAH ................................................................... 58
3.1 Hukum Kontrak dan Perjanjian Dalam Pembiayaan
Murabahah ................................................................... 58
3.1.1 Perikatan Menurut KUH Perdata ..................... 59
3.1.2 Perikatan Menurut Hukum Syariah Islam ........ 63
3.1.3 Kombinasi Hukum Perikatan KUH Perdata
dan Hukum Islam dalam Perjanjian
Pembiayaan Murabahah .................................. 72
3.1.4 Bentuk Hubungan Hukum Para Pihak ............. 74
3.2 Aspek Prudential Banking Terkait
Pembiayaan Murabahah ............................................... 80
3.2.1 Analisis Pembiayaan ....................................... 85
3.2.2 Penetapan Batas Maksimum Pemberian
Kredit .............................................................. 87
3.2.3 Loan to Deposit Ratio ...................................... 88
3.2.4 Modal Minimum Bank ................................... 88
3.2.5 Kualitas Aktiva Produktif ................................ 89
3.2.6 Posisi Devisa Neto .......................................... 90
3.2.7 Giro Wajib Minimum ...................................... 90
3.2.8 Kewajiban Mengumumkan Neraca dan
Perhitungan Laba/Rugi Tiap Tahun ................. 91
3.3 Pilihan Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Murabah ... 91
3.3.1 Penyelesaian Sengketa Pada
Pengadilan Agama .......................................... 94
3.3.2 Penyelesaian Sengketa Pada
Pengadilan Negeri ........................................... 96
3.3.4 Badan Arbitrase Syariah Nasional ................... 97
BAB IV STUDI KASUS PERMASALAHAN PEMBIAYAAN
MURABAHAH DAN PENYELESAIAN SENGKETA
ANTARA BANK SYARIAH X DENGAN PT Z PADA
BASYARNAS DAN PENGADILAN AGAMA .................. 101
4.1 Pelaksanaan Program Pembiayaan Investasi
Dengan Menggunakan Skema Murabahah
Pada Bank Syariah X terhadap PT Z ............................. 101
4.2 Metode Pembuatan Akad Murabahah Antara
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
xiii Universitas Indonesia
Bank Syariah X dan PT Z Berkaitan dengan
Pengelolaan Risiko Pembiayaan ................................... 111
4.3 Kasus Posisi ................................................................. 114
4.4 Analisa Kasus .............................................................. 116
BAB V PENUTUP ........................................................................ 125
5.1 Kesimpulan ..................................................................... 125
5.2 Saran ............................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 129
LAMPIRAN ..............................................................................................
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
xiv Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP
Lampran 2 Contoh Akta Akad Pembiayaan Produktif Al-Murabahah Bank
Syariah
Lampiran 3 Contoh Cara Pengisian Akta Akad Pembiayaan Produktif Al-
Murabahah Bank Syariah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dunia perbankan telah tumbuh menjadi salah satu pendukung yang tangguh
untuk keberlangsungan ekonomi suatu negara. Sejak awal periode 1970, gerakan
Islam di tingkat nasional memasuki bidang perekonomian dengan
diperkenalkannya sistem ekonomi Islam sebagai alternatif dari sistem ekonomi
kapitalis dan sosialis. Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya bukan hal yang baru
dalam tradisi pemikiran intelektual Islam, terutama dalam tradisi para pemikir
Islam Klasik yaitu masa kejayaan umat Islam.1
Pertumbuhan sistem ekonomi Islam telah ditunjukkan dengan lahirnya
lembaga keuangan yang menggunakan Prinsip Syariah Islam. Di antara lembaga
tersebut terdapat Bank Syariah, Asuransi Syariah, dan Pasar Modal Syariah.2
Bank Syariah lahir karena dilarangnya riba dalam Islam. Kelahiran lembaga
keuangan yang bebas bunga, terutama di negara–negara Muslim telah
memberikan dimensi baru dalam bidang ekonomi. Secara umum bank Syariah
merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara
antara yang kelebihan dana dan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan
aktivitasnya harus sesuai dengan prinsip–prinsip Islam.3
Bank syariah telah membuktikan bahwa keunggulan yang dimilikinya
mampu mengatasi dampak krisis perekonomian. Hal ini kemudian disikapi
dengan banyaknya konversi perbankan konvensional menjadi perbankan syariah.
Perbankan syariah mengusung ide bebas bunga atau bebas dari unsur riba dalam
1 Muslimin H Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia
Terhadap Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII-Press. 2005), hlm. 44.
2 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media: 2005), hlm. 158.
3 Sudin Haron, Islamic Banking, Rules and Regulation, (Malaysia: Selangor Darul
Ehsan, Pelanduk Publication, 1997), hlm. 5.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
2
Universitas Indonesia
memberikan pelayanan pada nasabahnya. Kajian bebas bunga ini juga merupakan
konsep yang diajarkan kepada orang Yahudi, Yunani, Romawi serta Nasrani.
Fenomena konversi perbankan konvensional menjadi perbankan syariah ini juga
diikuti oleh dunia Perbankan di Indonesia.
Pengaturan tentang Bank Syariah di Indonesia sebelumnya telah diatur
dalam Undang–undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang diuraikan secara
eksplisit dalam Pasal 1 ayat 13. Yang dimaksud dengan prinsip Syariah adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dunia perbankan syariah Indonesia juga telah menyediakan banyak produk
untuk melayani kebutuhan pembiayaan para nasabahnya dan pengguna jasa
perbankan. Produk-produk tersebut diselaraskan dengan prinsip-prinsip dasar
perbankan syariah yang bebas bunga pada akad dalam Islam. Beberapa prinsip
dasar tersebut antara lain adalah (a) prinsip titipan atau simpanan (Depository / al-
Wadi‟ah), (b) prinsip bagi hasil (profit sharing), prinsip jual beli (sale and
purchase), (c) prinsip sewa (operational lease and financial lease), serta (d)
prinsip jasa (fee-based service).4 Prinsip-prinsip tersebut merupakan bentuk
kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah, dimana hal ini diatur di
dalam Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004. Dari kegiatan usaha
perbankan Syariah sebagaimana disebutkan di atas, salah satu yang sering
digunakan dalam dunia perekonomian adalah kegiatan jual-beli.
Ada banyak bentuk akad jual beli dalam Islam, akan tetapi dalam perbankan
syariah hanya mengakomodasi tiga jenis jual beli dalam pembiayaan modal kerja
4 Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani. 200), hlm. 83.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
3
Universitas Indonesia
dan investasi, yaitu murabahah, istishna‟ dan salam. Dari tiga produk tersebut
penyaluran dana dengan prinsip murabahah adalah yang paling banyak dan
mencapai bilangan 70.4% dari jumlah total pembiayaan (Laporan Bank Syariah
tahun 2007). Angka ini menunjukkan bahwa murabahah merupakan produk bank
syariah yang potensial. Dominannya pembiayaan murabahah terjadi karena
pembiayaan ini cenderung memiliki risiko yang lebih kecil dan lebih
mengamankan bagi shareholder sehingga menjadi bisnis yang populer pada
bank-bank Islam karena nyaris tanpa risiko.5 Dikatakan nyaris tanpa risiko karena
kemungkinan Bank untuk menanggung kerugian dalam transaksi dan perjanjian
murabahah lebih kecil dibandingkan kemungkinan menanggung kerugian dalam
praktek mudharabah dan musyarakah yang murni berkonsep Profit and Loss
Sharing.6
Murabahah merupakan suatu sistem jual-beli dalam suatu keadaan dimana
pihak pembeli - karena satu dan lain hal – tidak bisa membeli langsung barang
yang diperlukannya dari pihak penjual sehingga ia memerlukan perantara untuk
bisa mendapatkan barang tersebut. Dalam proses murabahah, Bank sebagai
perantara dapat menaikkan harga sekian persen dari harga aslinya. Besarnya
angka yang menunjukkan minat pengguna jasa perbankan syariah terhadap
produk murabahah, dapat dijadikan gambaran bagi pihak perbankan syariah untuk
selalu melengkapi variabel yang berhubungan dengan implementasi murabahah.
Penggunaan produk murabahah sendiri dalam perbankan syariah pada umumnya
ditujukan untuk membiayai kebutuhan nasabah maupun pengguna jasa perbankan
syariah non-nasabah.
Murabahah atau Bai‟ al-Murabahah merupakan pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga
pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan
5 Kusmiyati, Asmi Nur Siwi. “Risiko Akad dalam Pembiayaan Murabahah Pada BMT di
Yogyakarta: Dari Teori ke Terapan” Dalam Jurnal Ekonomi Islam La Riba (Vol. 1. No. 1. Juli
2007), hlm. 2
6 Profit and Loss Sharing merupakan sistem bagi hasil dimana Bank dan nasabah saling
berbagi dan menanggung keuntungan maupun kerugian.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
4
Universitas Indonesia
atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau
angsur.7 Di dalam akad murabahah terdapat suatu perikatan antara nasabah dan
Bank, dimana perikatan yang dimaksud adalah bentuk perikatan Islam. Substansi
dari hukum perikatan Islam tentunya lebih luas dibandingkan dengan hukum
perdata Barat, karena mencakup hubungan antara manusia dengan manusia serta
hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah SWT).8 Hukum Perikatan
Islam juga mengandung proteksi yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan
kepada manusia, terhadap kelemahan sifat-sifat manusia yang berpotensi untuk
saling menguasai atau melampaui batas-batas hak orang lain.9 Dengan adanya
perikatan dalam pembiayaan dengan sistem murabahah maka timbul akibat
hukum berupa hak dan kewajiban pada para pihak yang terlibat dalam
murabahah, yaitu pihak Bank dan nasabah yang bersangkutan.
Lahirnya akibat hukum tersebut membuat Bank dan nasabah harus pandai
memposisikan diri untuk melaksanakan hak dan kewajiban, karena setelah akad
murabahah ditandatangani sebagai implikasi dari ijab qabul, maka nasabah dan
bank terikat dalam akad yang mereka sepakati dan sekaligus tunduk kepada
hukum positif dan hukum Islam. Adanya akibat hukum berupa hak dan kewajiban
membuka kemungkinan lahirnya wanprestasi oleh para pihak. Bentuk wanprestasi
misalnya default atau kelalaian dimana nasabah sengaja tidak membayar
angsuran. Dari sisi Bank juga dimungkinkan terjadi wanprestasi, misalnya karena
fluktuasi harga, sehingga harga barang naik setelah bank membelikan untuk
nasabah, sehingga Bank menaikkan harga jual barang dimana harga tidak sesuai
dengan harga pada kontrak.
Dalam akad murabahah yang notabene merupakan akad perjanjian jual beli,
ada persyaratan atau rukun yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah baik
secara hukum maupun dari segi syariah. Perjanjian jual beli pada dasarnya
merupakan perjanjian tukar-menukar pada mana salah satu prestasinya terdiri dari
7 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah. Pasal 20 angka 6 Buku II tentang Akad.
8 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 4.
9 Ibid, hlm. 5.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
5
Universitas Indonesia
sejumlah uang dalam arti pembayaran yang sah.10
Persyaratan perjanjian jual beli
adalah sama dengan persyaratan perjanjian pada umumnya sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan dari para
pihak, para pihak yang membuat perjanjian merupakan subjek hukum yang cakap
hukum, perjanjian tersebut mengenai suatu hal tertentu serta objek yang
diperjanjikan merupakan suatu sebab yang halal. Sementara itu dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES), jual beli atau disebut dengan bai‟11
juga
didasarkan atas suatu perjanjian atau akad, dimana syarat dan rukun akad
ditentukan dalam Pasal 22 KHES. Syarat dan rukun tersebut antara lain adalah
adanya pihak-pihak yang berakad, adanya obyek akad, ada tujuan pokok akad,
dan ada kesepakatan. Ketentuan tambahan agar suatu akad atau perjanjian sah
secara Islam, diatur bahwa akad tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat
Islam, peraturan perUndang-Undangan, ketentuan umum dan/atau kesusilaan.12
Dalam perjanjian jual beli dimungkinkan terjadinya wanprestasi oleh para
pihak. Adanya kemungkinan wanprestasi ini merupakan risiko dalam perjanjian
jual beli. Pasal 1460 KUH Perdata13
menentukan bahwa risiko atas suatu barang
yang telah dibeli menjadi tanggungan si pembeli meskipun barang tersebut belum
diserahkan pada pembeli. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pihak pembeli.
Keadaan ini juga tidak sesuai dengan salah satu asas akad atau asas perjanjian
dalam Islam, yaitu asas keadilan (al-„adalah). Dalam asas ini, para pihak dalam
perikatan dituntut berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan,
memenuhi perjanjian dan semua kewajibannya.14
10 Soerjopratiknjo, Hartono, Aneka Perjanjian Jual Beli. Cet. Ke-2, (Yogyakarta: PT.
Mustika Wikasa: 1994), hlm. 69.
11 Bai‟ adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan uang 12 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah. Pasal 26 Bab Ketiga Buku Kedua.
13 Pasal 1460 KUH Perdata berbunyi “jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang
yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli,
meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntur harganya.
14 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 34.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Kemungkinan akan terjadinya wanprestasi serta risiko selama proses
pembiayaan berlangsung, merupakan hal yang harus disadari oleh masing-masing
pihak. Untuk mengamankan transaksinya dari berbagai macam risiko dan
wanprestasi, maka baik Bank maupun nasabah harus mempelajari klausul kontrak
pembiayaan dan melakukan pengelolaan risiko. Problema hukum di atas harus
diselesaikan sesuai kapasitas tanggung jawab masing-masing pihak dan
didasarkan pada hukum Islam serta ketentuan hukum positif yang berlaku baik
dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, fatwa
DSN MUI terkait, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta berbagai macam
peraturan perUndang-Undangan mengenai jual beli murabahah.
Telah banyak karya tulis yang membahas mengenai pembiayaan
murabahah, termasuk juga yang ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.15
Dalam penulisan ini murabahah yang dibahas difokuskan
pada segi pengelolaan segala jenis risiko, bentuk dan penerapan prinsip prudential
banking pada institusi perbankan syariah, wanprestasi dan tanggung jawab para
pihak terkait wanprestasi. Hal ini dikarenakan risiko, wanprestasi dan tanggung
jawab para pihak dalam pembiayaan murabahah merupakan satu kesatuan. Dalam
pembiayaan murabahah selalu terdapat risiko yang memungkinkan terjadinya
wanprestasi. Dengan adanya risiko, maka diperlukan pengelolaan dan antisipasi
risiko agar dapat menekan kerugian yang mungkin terjadi karena wanprestasi.
Salah satu wujud dari antisipasi dan pengelolaan risiko bagi pihak perbankan
adalah dengan menerapkan prinsip prudential banking. Namun dalam hal risiko
sudah tidak dapat diantisipasi hingga terjadilah wanprestasi, maka diperlukan
tanggung jawab dari para pihak. Berangkat dari pola pikir inilah dikatakan bahwa
risiko, prudential banking, wanprestasi dan tanggung jawab para pihak
merupakan satu kesatuan.
15 Di antaranya adalah penulisan mengenai murabahah untuk pembiayaan KPR, jaminan
dalam murabahah, maupun murabahah secara luas dan umum.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
7
Universitas Indonesia
1.2 Pokok Permasalahan
Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya wanprestasi sekaligus melakukan
upaya pengelolaan terhadap risiko yang mungkin muncul dalam pembiayaan
murabahah pada bank syariah, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian kali ini:
1. Kemungkinan risiko apa saja yang dapat terjadi dan harus diantisipasi oleh
Bank Syariah maupun oleh nasabah dalam praktek pembiayaan murabahah
yang disediakan oleh Perbankan Syariah?
2. Bagaimana kesesuaian implementasi pengelolaan risiko dan pembiayaan
murabahah yang dibiayai oleh Bank Syariah X atas proyek PT Z dibandingkan
dengan hukum syariah Islam dan KUH Perdata?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian murabahah terkait wanprestasi
yang terjadi antara Bank Syariah X dan PT Z pada Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan dengan tema mengenai tanggung jawab bank dan nasabah dalam
hal wanprestasi dan pengelolaan risiko pembiayaan murabahah pada Bank
Syariah ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengidentifikasi risiko wanprestasi yang mungkin terjadi dalam
pembiayaan murabahah, baik dilakukan oleh pihak nasabah maupun pihak
Bank sendiri, serta mempersiapkan antisipasi hukum terhadap kemungkinan
risiko tersebut.
2. Untuk memperdalam pemahaman tentang implementasi hukum kontrak
dalam pembiayaan dengan menggunakan skema murabahah pada perjanjian
pembiayaan murabahah antara Bank Syariah X dengan PT. Z.
3. Untuk membandingkan penyelesaian sengketa perjanjian murabahah terkait
wanprestasi yang terjadi antara Bank Syariah X dan PT Z pada Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama didasarkan
pada ketentuan perUndang-Undangan yang berlaku.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
8
Universitas Indonesia
1.4 Definisi Operasional
Berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini, terdapat
beberapa istilah yang membangun kerangka konsep dan kerangka pemikiran
penelitian ini, antara lain berkaitan dengan murabahah, risiko, wanprestasi serta
tanggung jawab dalam suatu perjanjian baik dari segi hukum Islam maupun
hukum positif Indonesia. Demikian dijabarkan sebagai berikut:
a. Murabahah
Murabahah merupakan suatu prinsip jual-beli dalam Islam, dimana jual beli
dilakukan dengan adanya tambahan dari harga asal.16
Fatwa DSN MUI
Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah,
pada bagian Menimbang, menyebutkan bahwa murabahah merupakan suatu
bentuk jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Nasabah yang memiliki kebutuhan benda tertentu dapat mengajukan
permohonan kepada Bank Syariah untuk membeli benda yang
diperlukannya. Benda yang telah dibeli oleh Bank, kemudian akan dijual
kembali kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal.
Kelebihan harga ini tentunya didasarkan pada kesepakatan di antara
keduanya. Pembayaran yang dilakukan oleh nasabah biasanya dalam bentuk
angsuran, meskipun tidak dilarang untuk membayar secara tunai. Sistem ini
biasanya dilakukan untuk pembiayaan barang-barang investasi dan
pembiayaan persediaan sebagai modal kerja.17
Dalam hal jual beli dilakukan atas barang yang tidak dimiliki oleh penjual,
maka sistem yang digunakan adalah murabahah kepada pemesan pembelian
(disebut dengan murabahah KPP). Hal ini dinamakan demikian karena si
penjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si
pembeli yang memesan.18
Menjual barang yang tidak dimiliki adalah
16
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 161.
17 Ibid.
18 Ibid., hlm 103
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
9
Universitas Indonesia
tindakan yang dilarang syariah karena termasuk bai‟ al-fudhuli. Para ulama
syariah terdahulu telah memberikan alasan secara rinci mengenai pelarangan
tersebut. Akan tetapi, beberapa ulama syariah modern menunjukkan bahwa
konteks jual beli murabahah jenis ini dimana “belum ada barang” berbeda
dengan “menjual tanpa kepemilikan barang”. Mereka berpendapat bahwa
janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan. Oleh karena
itu, para ekonom dan ulama kontemporer menetapkan bahwa nasabah
terikat hukumnya19
.
Dalam pembiayaan murabahah juga terkandung beberapa ketentuan umum,
antara lain tentang jaminan, berhutang dalam murabahah KPP, penundaan
pembayaran oleh debitor mampu, dan aspek bangkrut. Jaminan pada
dasarnya bukan merupakan syarat atau rukun yang harus dipenuhi dalam
murabahah KPP, jaminan dalam hal ini dimaksudkan agar pemesan tidak
main-main dengan pesanannya. Berhutang dalam murabahah KPP
merupakan hutang yang harus segera dilunasi angsurannya kepada pihak
Bank, tanpa melihat apakah nasabah melakukan tindakan hukum lain berupa
menjual lagi barang pesanan kepada pihak ketiga. Hal ini karena transaksi
penjualan kepada pihak ketiga merupakan akad yang benar-benar terpisah
dari akad al-murabahah pertama dengan pihak bank. Dalam hal terjadi
penundaan pembayaran piutang oleh debitor yang mampu, Bank dapat
mengambil tindakan hukum dimana prosedur penyelesaian sengketa diatur
lebih lanjut dalam peraturan perUndang-Undangan. Sementara jika debitor
dinyatakan bangkrut, maka penagihan hutang harus ditunda hingga ia benar-
benar mampu membayar.20
b. Pembiayaan
Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa pembiayaan adalah
penyediaan dan atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
19 Ibid, hlm. 104.
20 Ibid, hlm. 105-106.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
10
Universitas Indonesia
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan
istishna‟;
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan
5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau
UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi
fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
c. Akad
Pengertian akad menurut Buku 2 Pasal 20 angka 1 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan
hukum tertentu. Secara khusus akad berarti keterkaitan antara ijab
(pernyataan penawaran atau pemindahan kepemilikan) dan qabul
(pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan
berpengaruh pada sesuatu.21
Di dalam akad terdapat rukun dan syarat akad yang harus dipenuhi agar
suatu akad dapat dinyatakan sebagai akad yang sah. Rukun akad terdiri atas:
(1) pelaku akad, (2) objek akad, dan (3) shigah atau pernyataan pelaku akad
yang berupa ijab qabul. Sementara syarat akad terdiri atas: (1) syarat
berlakunya akad yang terdiri atas syarat umum dan syarat khusus, dimana
syarat umum adalah sama untuk semua akad dan syarat khusus merupakan
sesuatu yang harus ada pada akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi
pada akad nikah, (2) syarat sahnya akad, merupakan syarat yang diperlukan
21 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007),
hlm. 35.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
11
Universitas Indonesia
secara Syariah agar suatu akad berpengaruh, seperti dalam akad
perdagangan harus bersih dari cacat, (3) syarat terealisasikannya akad
merupakan syarat tentang kepemilikan barang dan wilayah. Syarat
kepemilikan barang yaitu bahwa barang dimiliki oleh pelaku dan berhak
menggunakannya. Sementara syarat selanjutnya (4) adalah syarat lazim
yaitu bahwa akad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat.22
Akad atau
transaksi yang digunakan Bank Syariah dalam operasinya terutama
diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari
kegiatan tolong-menolong (tabarru‟). Turunan dari tijarah adalah
perniagaan (al-bai‟) yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi
hasil dengan segala variasinya.23
d. Risiko
Risiko yang digunakan dalam bahasan penulisan mengenai murabahah ini
adalah risiko dari segi hukum atau risiko yang muncul dalam hukum
perjanjian sebagaimana dijelaskan oleh Subekti, yaitu kewajiban memikul
kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu
pihak.24
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
persoalan risiko berpokok pangkal pada terjadinya peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Peristiwa atau
kejadian di luar kesalahan salah satu pihak ini dengan kata lain disebutkan
oleh Subekti sebagai keadaan memaksa (overmacht atau force majeure).
Sehingga risiko adalah termasuk juga force majeure yang terjadi.
e. Wanprestasi
Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa
wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang (debitur) tidak
22 Ibid, hlm. 35-37.
23 Ibid, hlm. 37.
24 Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. 19. (Jakarta: Intermasa. 2002), hlm. 59.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
12
Universitas Indonesia
melakukan apa yang dijanjikannya. Perkataan wanprestasi sendiri berasal
dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi yang
merupakan kelalaian atau kealpaan seseorang dapat berupa empat macam,
yaitu: 25
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
f. Prudential Banking
Prudential banking merupakan prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh
perbankan melalui prudential principle guna memelihara tingkat kesehatan
bank. Prudential principles dipositifikasi dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi: “Bank wajib memelihara tingkat
kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset,
kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha
sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
1.5 Metode Penelitian
Tipologi penelitian yang diaplikasikan terhadap pokok permasalahan di atas
adalah penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu
gejala.26
Dalam penelitian ini dibahas definisi risiko dan mekanisme pengelolaan
risiko secara hukum. Peneliti juga melakukan studi mengenai tanggung jawab
25
Subekti. Op cit. Hlm: 45
26 Mamudji, Sri. et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005), hlm. 4.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
13
Universitas Indonesia
Bank Syariah dan nasabah terkait wanprestasi, terutama dari aspek kapasitas dan
mekanisme tanggung jawab. Selain itu akan dipaparkan pula mengenai
implementasi hukum kontrak dalam pembiayaan murabahah berdasarkan
peraturan perundang-undangan terkait.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.27
. Data sekunder
berasal dari buku, diktat, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, majalah
maupun internet dan produk perUndang-Undangan terkait dengan pembiayaan
murabahah. Teknik analisis data yang akan digunakan adalah melalui pendekatan
kualitatif, yaitu dengan melakukan analisa pada berbagai jenis data yang
terkumpul antara lain studi dokumen baik artikel ilmiah maupun peraturan
perundang-undangan dengan menyertakan hasil wawancara yang dilakukan
terhadap karyawan dari divisi hukum dan pembiayaan dari salah satu institusi
perbankan syariah di Indonesia.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis
Pengelolaan Risiko dan Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Dalam Pembiayaan
Murabahah Antara Bank Syariah X dan PT. Z Pada Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) Dan Pengadilan Agama” adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Pada Bab pertama ini dijabarkan mengenai latar belakang, pokok permasalahan,
tujuan dari penelitian, definisi operasional yang menjadi landasan pemikiran
penulisan, metodologi penelitian dan teknik pengumpulan data, serta sistematika
penulisan sebagai alur dan koridor penulisan.
27 Ibid, hlm. 6.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
14
Universitas Indonesia
BAB II Definisi Konsep Tentang Risiko, Pengelolaan Risiko, Pembiayaan
Murabahah serta Wanprestasi dari Perspektif Fiqih Islam dan Hukum
Positif
Bab ini akan dibagi dalam beberapa sub-bab. Sub-bab pertama akan membahas
mengenai definisi pembiayaan murabahah, landasan hukum dan landasan syariah
pembiayaan murabahah, ketentuan umum dan persyaratan dalam murabahah,
pembebanan biaya dalam murabahah, jenis murabahah, pembayaran dalam
murabahah, pola arus kas murabahah, serta garis besar praktik pembiayaan
murabahah oleh perbankan syariah di Indonesia.
Pada sub-bab kedua akan dipaparkan definisi dan konsep dasar tentang risiko
dilihat dari aspek ekonomi dan hukum, definisi pengelolaan risiko, karakteristik
manajemen risiko dalam Bank Islam, jenis-jenis risiko, proses manajemen risiko,
serta risiko terkait pembiayaan murabahah.
Kemudian dilanjutkan pada sub-bab ketiga akan dibahas mengenai wanprestasi
berdasarkan hukum positif Indonesia serta Hukum Islam, akibat dari wanprestasi,
kemungkinan wanprestasi dari pihak kreditur, klasifikasi force majeure, syarat-
syarat force majeure dan pengaturan force majeure terkait kontrak jual beli dalam
KUH Perdata.
BAB III Aspek Hukum Kontrak, Prudential Banking Serta Pilihan
Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah
Dalam Bab ini akan terbagi dalam beberapa sub-bab. Sub-bab pertama akan
menganalisa implementasi hukum kontrak dalam pembiayaan murabahah,
perikatan menurut KUH Perdata, perikatan menurut Hukum Syariah Islam,
Kombinasi Hukum Perikatan KUH Perdata dan Hukum Islam dalam Perjanjian
Pembiayaan Murabahah, dan Bentuk Hubungan Hukum Para Pihak.
Sub-bab kedua akan menganalisa aspek prudential banking terkait pembiayaan
murabahah, analisis pembiayaan, penetapan batas maksimum pemberian kredit,
loan to deposit ratio, modal minimum bank, kualitas aktiva produktif, posisi
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
15
Universitas Indonesia
devisa neto, giro wajib minimum dan kewajiban mengumumkan neraca dan
perhitungan laba/rugi per tahun.
Sub-bab ketiga akan menjelaskan mengenai pilihan penyelesaian sengketa
pembiayaan murabahah, penyelesaian sengketa pada pengadilan agama,
penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri, dan penyelesaian sengketa pada
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BAB IV Studi Kasus Permasalahan Pembiayaan Murabahah dan
Penyelesaian Permasalahan pada Bank Syariah X
Pada bab ini akan dilakukan studi kasus pembiayaan murabahah pada Bank
Syariah X. Sub-bab pertama akan membahas mengenai pelaksanaan program
pembiayaan investasi dengan menggunakan skema murabahah pada Bank Syariah
X terhadap PT. Z Sub-bab kedua akan menjelaskan mengenai metode pembuatan
akad muarabahah antara Bank Syariah X dan PT. Z berkaitan dengan pengelolaan
risiko pembiayaan. Sub-bab ketiga akan memaparkan kronologis kasus posisi dan
sub-bab keempat akan menjelaskan analisa kasus.
BAB V Penutup
Dalam Bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan jawaban atas pokok
permasalahan yang telah diajukan serta memberikan solusi dan saran antisipatif
mengenai manajemen risiko untuk produk pembiayaan murabahah yang
disediakan oleh Bank Syariah.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
16
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN UMUM PEMBIAYAAN MURABAHAH, RISIKO,
PENGELOLAAN RISIKO, FORCE MAJEURE SERTA WANPRESTASI
2.1 Konsep Dasar Pembiayaan Murabahah
2.1.1 Definisi Pembiayaan Murabahah
Transaksi murabahah lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para
sahabatnya. Secara sederhana murabahah berarti suatu penjualan barang seharga
barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya seseorang
membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu.
Berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah
tertentu. Secara singkatnya, murabahah adalah akad28
jual beli barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh
penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty
contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of profit-nya
(keuntungan yang ingin diperoleh).29
Murabahah juga diartikan sebagai suatu bentuk jual beli barang dengan
tambahan harga (cost plus) atas harga pembelian yang pertama secara jujur.
Dengan murabahah orang pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya dari
kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli.30
Sementara itu
28 Pengertian “Akad” dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II, Bab 1, Pasal
20 angka 1 adalah: kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Sehubungan dengan hal ini, maka
transaksi murabahah pada perbankan syariah merupakan jenis transaksi yang mengandung unsur
perikatan dan perjanjian sebagaimana ada dalam Hukum Perdata
29 Karim, A. Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Ed. Ketiga. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada). Hlm. 113.
30 Mujieb, Muhammad Abdul at.al, Kamus Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus. 1994),
hlm. 275.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
17
Universitas Indonesia
menurut Sayyid Sabbiq (1998), murabahah adalah penjualan dengan harga
pembelian barang berikut untung yang diketahui.31
Aplikasi Murabahah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada produk
pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar
negeri, seperti Letter of Credit (L/C). Praktek ini paling banyak digunakan karena
sangat sederhana dan tidak dipandang asing bagi yang sudah terbiasa bertransaksi
di bank umum. Dalam Pasal 1 angka 6 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) murabahah diartikan sebagai pembiayaan saling menguntungkan yang
dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi
jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat
nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan
pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
Pelaksanaan transaksi Bai‟ al-murabah adalah jual beli barang pada harga
asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam ba‟i al-murabahah,
penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Contoh transaksi seorang pedagang
eceran membeli komputer dengan harga Rp.10.000.000,00 kemudian ia
menambahkan keuntungan sebesar Rp.2.000.000,00 dan ia menjual kepada
pembeli seharga Rp.12.000.000,00. Umumnya si pedagang tidak akan memesan
dari grosir sebelum ada pemesanan dari calon pembeli. Demikian halnya di Bank
Syariah, Bank Syariah baru akan memesan barang apabila sudah ada pemesanan
dari pembeli. Dengan demikian bai‟ al-murabahah dapat dilakukan untuk
pembelian barang secara pemesanan, biasa disebut sebagai murabahah kepada
pemesan pembelian32
disebut demikian karena si penjual semata-mata
mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya.
31 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung: PT Al-Ma‟Arif, 1998 ), hlm. 82.
32 Antonio, Muhammad Syafi‟i. Op. Cit. Hlm. 103
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
18
Universitas Indonesia
2.1.2 Landasan Hukum dan Syariah Pelaksanaan Murabahah
Dalam fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000
tentang Murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah
sebagai berikut:33
1. Al-Qur‟an: dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275.
"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
2. Al-Qur‟an: dalam QS. An-Nisa [4]: 29.
“ hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil)
harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan sukarela di antaramu….”.
3. Al-Hadits: Hadis Nabi dari Abu Said al-Khudri:
Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.”(H.R. al-Baihaqi dan Ibnu
Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
4. Ijma‟: (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, II/161; al-Kasani, Bada‟i as-
Sana‟i V/220-222).
5. Kaidah Fikih : “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Di sisi hukum positif, yang mengatur mengenai masalah murabahah pada
perbankan syariah adalah:
1. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku Kedua Bagian Ketujuh
Pasal 116 – 113
2. Fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000
tentang Murabahah
33 Majelis Ulama Indonesia (2003), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi
kedua, (Jakarta : MUI), Hlm. 22-25.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
19
Universitas Indonesia
3. Fatwa DSN MUI Nomor 46/DSN-MUI/II/2005 Tentang Potongan Tagihan
Murabahah (Khashm fi al-Murabahah)
4. PBI No. 9/19.PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa
Bank Syariah
2.1.3 Ketentuan Umum dan Syarat Murabahah
Murabahah sebagai salah satu produk layanan yang disediakan perbankan
syariah, dalam pelaksanaannya harus berlandaskan pada prinsip syariah beserta
hukum ekonomi positif sebagaimana disebutkan di atas. Dalam fatwa DSN MUI
Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 bagian pertama, ditetapkan ketentuan umum
murabahah sebagai berikut:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari‟ah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian baran yang telah
disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan
harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank
harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut
biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka
waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut,
pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang,
secara prinsip, menjadi milik bank.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
20
Universitas Indonesia
Sementara itu pada bagian kedua fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN-
MUI/IV/2000, diatur ketentuan murabahah kepada nasabah (yang menggunakan
layanan pembiayaan murabahah) sebagai berikut:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau
aset kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu
aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah
harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah
disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian
kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar
uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank
harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank,
bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak „urbun sebagai alternatif dari uang muka,
maka:
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal
membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut;
dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya.
Berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam murabahah,
sebagaimana disebutkan bahwa murabahah merupakan akad jual beli, maka
persyaratan yang harus dipenuhi dalam murabahah berlaku sama dengan
persyaratan yang ditentukan dalam jual beli pada umumnya. Rukun dan syarat
akad jual beli dalam KHES diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 56. Dalam KHES, buku
Kedua bagian pertama Pasal 22 menyebutkan bahwa rukun dan syarat sebuah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
21
Universitas Indonesia
akad terdiri atas (a) pihak-pihak yang berakad, (b) obyek akad, (c) tujuan-pokok
akad dan (d) kesepakatan. Sementara Pasal 56 menyebutkan bahwa unsur-unsur
bai‟ (jual beli) terdiri atas (a) pihak-pihak, (obyek), dan (c) kesepakatan.
2.1.4 Pembebanan Biaya
Terdapat beda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan
kepada harga jual barang. Mazhab Maliki membolehkan biaya yang langsung
terkait dengan transaksi jual beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait
dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang itu.34
Ulama mazhab Syafi‟i membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara
umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri
karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu pula biaya yang
tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.35
Ulama mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang
secara umum timbul dalam suatu transaksi jual-beli, namun mereka tidak
membolehkan biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual.36
Sementara itu mazhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung
maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya itu harus
dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.37
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan
pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Keempat
mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan
dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya
langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Keempat mazhab juga
34 A Dawsk Hasheite, al Dawski „ala Sharhil-Kabir. Hlm 160; al-Qurthubi, II, hlm. 40
35 Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj „ala Ma‟arif Ma‟ani Alfad al Minhaji. Hlm. 78
36
Al-Kasani, Bada‟us Sana‟ fi Tartibisy-Syara‟: Syarah Tuhfatul-Fuqaha lil-Samarqandi.
Hlm. 223
37 Al-Bahuti, Kasyaful-Qina‟ an Matin al-Aqna, III. Hlm: 234
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
22
Universitas Indonesia
membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak
ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus
dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan pembebanannya,
sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkannya. Mazhab yang empat sepakat
tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai
barang atau tidak berkaitan dengan hal-hal yang berguna.38
Pembebanan dalam hal jaminan pada dasarnya bukan merupakan syarat atau
rukun yang harus dipenuhi dalam murabahah KPP, jaminan dalam hal ini
dimaksudkan agar pemesan tidak main-main dengan pesanannya. Kemudian
berhutang dalam murabahah KPP merupakan hutang yang harus segera dilunasi
angsurannya kepada pihak Bank, tanpa melihat apakah nasabah melakukan
tindakan hukum lain berupa menjual lagi barang pesanan kepada pihak ketiga. Hal
ini karena transaksi penjualan kepada pihak ketiga merupakan akad yang benar-
benar terpisah dari akad al-murabahah pertama dengan pihak bank. Dalam hal
terjadi penundaan pembayaran piutang oleh debitor yang mampu, maka Bank
dapat mengambil tindakan secara hukum dimana prosedur dan mekanisme
penyelesaian sengketa diatur lebih lanjut dalam peraturan perUndang-Undangan.
Sementara jika debitor dinyatakan bangkrut, maka penagihan hutang harus
ditunda hingga ia benar-benar mampu membayar.39
Terkait dengan pembiayaan murabahah, maka ciri pembebanan biaya di
bank Syariah adalah sebagai berikut:40
1. Keuntungan dan beban biaya yang disepakati tidak kaku dan ditentukan
berdasarkan kelayakan tanggungan resiko dan korban masing – masing.
2. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. Sisa
hutang selepas kontrak dilakukan kontrak baru.
38 Karim, Adiwarman. A., Op. Cit., Hlm: 114
39
Ibid. Hal: 105-106
40 M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku 1, (Jakarta: Bangkit,
1992), Hlm. 5 – 6
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
23
Universitas Indonesia
3. Penggunaan persentase untuk perhitungan keuntungan dana biaya administrasi
selalu dihindarkan karena persentase mengandung potensi melipatgandakan.
4. Pada bank Islam tidak dikenal keuntungan pasti (fixed return), ditentukan
kepastian sesudah mendapat untung, bukan sebelumnya.
5. Uang dari jenis yang sama tidak bisa diperjualbelikan atau disewakan atau
dianggap barang dagangan. Oleh karena itu, bank Islam pada dasarnya tidak
memberikan pinjaman berupa uang tunai, tetapi berupa pembiayaan atau
talangan dana untuk pengadaan barang dan jasa.
2.1.5 Murabahah dengan Pesanan
Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan.
Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang
setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak
mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya (bank dapat meminta
uang muka pembelian kepada nasabah).
Dalam kasus jual beli biasa, misalnya seseorang ingin membeli barang
tertentu dengan spesifikasi tertentu, sedangkan barang tersebut belum ada pada
saat pemesanan, maka si penjual akan mencari dan membeli barang yang sesuai
dengan spesifikasinya, kemudian menjual kepada si pemesan. Dalam murabahah
melalui pesanan ini, si penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah.41
Hal ini sekadar untuk menunjukkan bukti keseriusan si pembeli. Hamish ghadiyah
ini dapat digunakan untuk menutupi kerugian penjual dalam hal pembeli
membatalkan pesanannya. Dalam murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat
mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya
41 Hamish ghadiyah merupakan uang tanda jadi ketika ijab-kabul
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
24
Universitas Indonesia
2.1.6 Pembayaran Dalam Murabahah
Sebagaimana jenis pembiayaan lain yang dipraktekkan di dunia perbankan,
pembiayaan dalam murabahah dapat dipilih dengan menggunakan pembayaran
tunai maupun cicilan. Pada pelaksanaannya dikenal murabahah muajjal, yang
dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran di
kemudian (setelah awal akad), baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk
lump sum (sekaligus).42
Berdasarkan sumber dana yang digunakan, pembiayaan murabahah secara
garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok sebagai berikut:43
1. Pembiayaan murabahah yang didanai dengan URIA (Unrestricted Investment
Account atau Investasi Tidak Terikat)
2. Pembiayaan murabahah yang didanai dengan RIA (Restricted Investment
Account atau Investasi Terikat)
3. Pembiayaan murabahah yang didanai dengan modal bank
Dalam membayar cicilan murabahah oleh nasabah, apabila nasabah
mempercepat kewajiban pembayarannya sebelum jatuh tempo, maka bank
memperbolehkan mengurangi bagian keuntungannya, yaitu dengan cara
dikreditkan ke rekening piutang murabahah. Apabila terjadi penundaan
membayar kewajiban dengan sengaja, maka nasabah membayar denda, dengan
jumlah yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama pada saat akad
ditandatangani. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta‟zir yaitu untuk
membuat nasabah untuk lebih disiplin terhadap kewajibannya. Denda tersebut
diperuntukan sebagai dana sosial (qardhul hasan) bukan untuk pendapatan bank.
42 Karim, Adiwarman. A., Op. Cit., hlm 115
43 Ibid. hlm 117
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
25
Universitas Indonesia
2.1.7 Pola Arus Kas Murabahah
Nasabah yang akan menggunakan pembiayaan murabahah sebagai
produk jasa suatu institusi perbankan syariah harus mengerti gambaran
umum operasionalisasi pembiayaan murabahah. Langkah-langkah yang
perlu ditempuh oleh calon nasabah antara lain adalah sebagai berikut:44
1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang
atau aset kepada Bank Syariah.
2. Jika Bank Syariah menerima permohonan tersebut makan Bank harus
membeli terlebih dahulu barang yang dipesan dengan pembelian yang
sah kepada pedagang barang yang dimaksud. Bank membeli barang
keperluan nasabah atas nama Bank sendiri dan pembelian itu harus sah
serta bebas riba. Dalam hal ini Bank harus memberitahu secara jujur
harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya-biaya yang diperlukan.
Dimungkinkan bagi Bank untuk memberikan kuasa pembelian barang
kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang dibutuhkannya. Jika
demikian maka akad jual beli (murabahah) harus dilakukan setelah
barang secara prinsip menjadi milik Bank.
3. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual sebesar harga beli ditambah dengan margin atau
keuantungannya. Nasabah harus membelinya sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut
mengikat. Terkait dengan hal ini maka kedua belah pihak harus membuat
kontrak jual beli.
4. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad atau
perjanjian tersebut, pihak Bank dapat mengadakan perjanjian khusus
dengan nasabah.
5. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang juga merupakan hasil kesepakatan antara
Bank dan nasabah. Dalam jual beli tersebut Bank diperbolehkan meminta
nasabah untuk menyediakan jaminan dan/atau membayar uang muka saat
44 Dikuti Dari Skripsi Analisis Atas Penagihan Pajak Dela Oktafriani FISIP UI 2010
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
26
Universitas Indonesia
menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini untuk
menghindari cedera janji dari nasabah. Jika nasabah kemudian menolak
membeli barang tersebut maka biaya riil dibayarkan oleh bank dari uang
muka tersebut. Apabila nilai uang muka kurang sehingga timbul kerugian
bagi pihak Bank, maka Bank dapat meminta kekurangan untuk
kerugiannya kepada nasabah. Nasabah dapat menjual kembali barang
tersebut dengan keuntungan atau kerugian, dan tetap berkewajiban
menyelesaikan utangnya kepada Bank.
Secara umum, aplikasi perbankan dari bai‟ al-murabahah dapat
digambarkan dalam skema berikut ini:
Skema 1
Transaksi Bai’ al-Murabahah45
1. Negosiasi & Persyaratan
2. Akad Jual Beli
6. Bayar 5. Terima
Barang dan
Dokumen
3. Beli barang 4. Kirim
45 Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hal 114
BANK NASABAH
SUPPLIER
(PENJUAL)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Berdasarkan Skema di atas maka dapat disimpulkan bahwa
murabahah ini terdiri dari:
1. Terdapat tiga pihak yang terkait yaitu:
a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari
lembaga keuangan
b. Penjual barang atau supplier kepada lembaga keuangan
c. Lembaga Keuangan atau Bank yang mebeli barang sekaligus
bertindak sebagai penjual barang kepada pemohon atau nasabah
pemesan barang
2. Terdapat dua akad transaksi yaitu:
a. Akad dari penjual barang kepada Lembaga Keuangan
b. Akad dari Lembaga Keuangan kepada pihak yang memesan barang
(nasabah)
3. Terdapat tiga janji yaitu:
a. Janji dari Lembaga Keuangan untuk membelikan barang
b. Janji mengikat dari Lembaga Keuangan untuk membeli barang untuk
pemohon
c. Janji mengikat dari nasabah oemohon untuk membeli barang yang
btelah dipesan dari Lembaga Keuangan
Dalam prakteknya pola arus kas pembiayaan murabahah adalah
sebagai berikut:
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
28
Universitas Indonesia
Skema 2
Al-Bai’ Naqdan wal Murabahah Taqsith atau Bayar Cicilan46
Rp
Barang diterima oleh Bank
Bank sebagai pembeli
Cash Out
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Bank sebagai penjual
Barang diserahkan oleh Bank
Cash In
Skema 3
Al-Bai’ Naqdan wal Murabahah Muajjal atau Bayar Lump Sum di Akhir47
Rp
Barang diterima oleh Bank
Cash Out
Cash In
Rp
Barang diserahkan oleh Bank Bank sebagai penjual
46 Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 119
47 Ibid. Hlm 121
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
29
Universitas Indonesia
2.1.8 Garis Besar Praktik Pembiayaan Murabahah Oleh Perbankan Syariah
Di Indonesia
Pembiayaan murabahah yang umum dipraktikkan oleh Perbankan Syariah
di Indonesia memiliki perbedaan dengan konsep klasik murabahah.
Perbedaan karakteristik pokok pembiayaan murabahah dalam literatur klasik
dan praktik di Indonesia dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 1
Perbandingan Karakteristik Pokok Pembiayaan Murabahah Dalam
Literatur Klasik dan Praktik di Indonesia48
Karakteristik
Pokok Praktik Klasik Praktik di Indonesia
Tujuan transaksi Kegiatan jual-beli Pembiayaan dalam rangka
penyediaan fasilitas / barang
Tahapan transaksi Dua tahap Satu tahap
Proses transaksi
i. Penjual membeli
barang dari produsen
ii. Penjual menjual
barang pada
pembeli
Bank selaku penjual dapat
mewakilkan kepada nasabah
untuk membeli barang dari
produsen untuk dijual kembali
kepada nasabah tersebut
Status kepemilikan
barang pada saat
akad
Barang telah dimiliki
penjual saat akad
penjualan dengan
pembeli dilakukan
Barang belum jelas dimiliki
penjual saat akad penjualan
dengan pembeli dilakukan
Perhitungan tingkat
margin
i. Perhitungan laba
menggunakan biaya
transaksi riil
i. Perhitungan menggunakan
benchmark atas rate yang
berlaku dalam pasar uang
48 Ascarya. Op. Cit. Hal 221-222
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
30
Universitas Indonesia
ii. Perhitungan laba
merupakan lump
sum dan wholesale
ii. Perhitungan laba
menggunakan presentase per
annum dan dihitung
berdasarkan baki debet
pembiayaan
Sifat pemesanan
barang oleh nasabah
Tidak tertulis
Ada dua pendapat
yaitu mengikat dan
tidak mengikat
Tertulis dan bersifat mengikat
Pengungkapan harga
pokok dan margin Harus transparan Harus transparan
Tenor Sangat pendek Jangka panjang (1-15 tahun)
Cara pembayaran
transaksi jual-beli Cash and carry Dengan cicilan
Kolateral Tanpa kolateral Ada kolateral/jaminan tambahan
2.2 Konsep Dasar Risiko dan Pengelolaan Risiko
2.2.1 Definisi Risiko
Risiko dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai akibat
yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu
perbuatan atau tindakan.49
Selain itu istilah (risk) risiko memiliki berbagai
definisi. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang
49 Diakses dari KBBI online http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php pada 28
November 2011
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
31
Universitas Indonesia
dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Vaughan (1978)
mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:50
Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian)
Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan)
terhadap kemungkinan kerugian. Dalam ilmu statistik, chance
dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya
situasi tertentu. Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat
perbedaan antara tingkat risiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal chance
of loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga risiko tidak ada.
Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian)
Istilah possibility berarti bahwa probabilitas suatu peristiwa berada
diantara nol dan satu. Namun definisi ini kurang cocok dipakai dalam
analisis secara kuantitatif.
Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian)
Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty
merupakan penilaian individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada
pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan
Risk is the dispersion of actual from expected results
Risiko dalam hal ini merupakan penyebaran hasil aktual dari hasil yang
diharapkan.
Sementara itu Prof. Subekti dalam bukunya mengartikan risiko sebagai
kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar
kesalahan salah satu pihak.51
Dari berbagai definisi diatas, risiko
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang
tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu
sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Risiko dapat terjadi pada
50 Diakses dari http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050881/jurnal-akuntansi-
pemerintah/manajemen-risiko-di-lingkungan-pemerintah-pengantar-aplikasi-pada-unit-unit-
departemen-keuangan/pengertian-manajemen-risiko.html pada 28 November 2011
51 Subekti, Op. Cit. Hal:59
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
32
Universitas Indonesia
pelayanan, kinerja, dan reputasi dari institusi yang bersangkutan. Risiko yang
terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kejadian alam,
operasional, manusia, politik, teknologi, pegawai, keuangan, hukum, dan
manajemen dari organisasi.
Risiko dalam konteks dunia perbankan merupakan suatu kejadian
potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak
dapat diperkirakan (unanticipated) yang dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap pendapatan dan permodalan bank.52
Risiko-risiko tersebut tidak
dapat dihindari, namun tetap dapat dikelola dan dikendalikan agar tidak
terjadi dampak sistemik yang fatal bagi kas perbankan.
2.2.2 Definisi Pengelolaan Risiko
Pengelolaan risiko atau biasa disebut juga dengan manajemen risiko
merupakan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang
timbul dari kegiatan usaha.53
Sasaran dari kebijakan manajemen risiko adalah melakukan kegiatan
pengidentifikasian, pengukuran, pemantauan dan pengendalian atas jalannya
kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko yang wajar secara terarah,
terintregasi dan berkesinambungan. Dengan demikian manajemen risiko
berfungsi sebagai filter atau pemberi peringatan dini (early warning system)
terhadap kegiatan usaha bank. Tujuan manajemen risiko itu sendiri adalah
sebagai berikut:54
52
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 255
53 Ibid.
54 Ibid.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
33
Universitas Indonesia
1. Menyediakan informasi tentang risiko kepada pihak regulator.
2. Memastikan bank tidak mengalami kerugian yang bersifat unacceptable.
3. Meminimalisasi kerugian dari berbagai risiko yang bersifat uncontrolled.
4. Mengukur eksposur dan pemusatan risiko.
5. Mengalokasikan modal dan membatasi risiko.
2.2.3 Karakteristik Manajemen Risiko Dalam Bank Islam
Manajemen risiko pada sistem perbankan syariah mempunyai karakter
yang berbeda dengan sistem perbankan konvensional. Perbedaan ini
disebabkan karena adanya jenis-jenis risiko yang khas melekat hanya pada
bank yang beroperasi secara syariah. Adiwarman A. Karim (2007) dalam
bukunya menyebutkan bahwa perbedaan mendasar antara bank Islam dengan
bank konvensional bukan terletak pada bagaimana cara mengukur (how to
measure), melainkan pada apa yang dinilai (what to measure). Perbedaan
tersebut akan tampak terlihat dalam proses manajemen risiko operasional
bank Islam yang meliputi identifikasi risiko, penilaian risiko, antisipasi risiko
dan monitoring risiko.
a. Identifikasi Risiko
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pada perbankan syariah terdapat
risiko-risiko khusus yang melekat pada bank syariah, dimana risiko ini
tidak terdapat pada perbankan konvensional, sehingga diperlukan
penanganan yang khusus pula untuk risiko pada perbankan syariah.
Dalam hal ini, keunikan bank Islam terletak pada enam hal:55
1. Proses transaksi pembiayaan
Karakteristik bank Islam dalam proses ini setidaknya terlihat pada
tiga aspek, yaitu proses transaksi pembiayaan syariah, proses
transaksi bagi hasil dana pihak ketiga dan proses transaksi devisa.
2. Proses manajemen
Keunikan bank Islam dalam proses manajemen terlihat pada sistem
dan prosedur operasional akuntansi dan Chart of Account (CoA),
55 Ibid. hlm 257
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
34
Universitas Indonesia
sistem dan prosedur operasional tutup buku, serta sistem dan
prosedur operasional pengembangan produk.
3. Sumber daya manusia
Keunikan bank Islam terkait sumber daya manusia dapat dilihat
dalam spesifikasi kapabilitas yang tidak hanya mencakup dalam
bidang perbankan secara umum tetapi juga meliputi aspek syariah.
4. Teknologi
Keunikan Bank Islam dalam bidang teknologi terlihat pada Business
Requirement Specification (BRS) untuk pembiayaan berbasis bagi
hasil dan BRS dana pihak ketiga.
5. Lingkungan eksternal
Keunikan bank Islam dalam hal ini terlihat pada keberadaan dual
regulatory body, yaitu bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional
dimana sistem perbankan syariah di Indonesia wajib untuk tunduk
pada dua regulatory body ini.
6. Kerusakan
Keunikan bank Islam dalam hal ini terlihat misalnya ketika terjadi
kerusakan pada objek ijarah atau IMBT (Ijarah Muntahiya
Bittamlik).
b. Penilaian Risiko
Dalam penilaian risiko, keunikan bank Islam terlihat pada hubungan
antara probability dan impact, atau dikenal dengan Qualitative Approach.
Pendekatan secara kualitatif ini digunakan untuk menilai dan mengukur
risiko terutama dari segi ekonomi.
c. Antisipasi Risiko
Antisipasi risiko dalam bank Islam bertujuan untuk:
1. Preventive
Dalam Hal ini, bank Islam memerlukan persetujuan Dewan
Pengawas Syariah (DPS) untuk mencegah kekeliruan proses dan
transaksi dari aspek syariah. Bank Islam juga memerlukan opini
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
35
Universitas Indonesia
bahkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) bila Bank
Indonesia memandang persetujuan DPS belum memadai atau berada
di luar wilayah kewenangannya.
2. Detective
Pengawasan dalam bank Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek
perbankan oleh Bank Indonesia dan aspek syariah oleh DPS karena
seringnya timbul pemahaman yang berbeda atas suatu transaksi,
apakah melanggar syariah atau tidak.
3. Recovery
Koreksi atas suatu kesalahan dapat melibatkan Bank Indonesia untuk
aspek perbankan dan DSN untuk aspek syariah.
d. Monitoring Risiko
Aktivitas monitoring risiko dalam bank Islam tidak hanya meliputi
manajemen bank Islam, tetapi juga melibatkan Dewan Pengawas
Syariah. Hal ini dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut:
Tabel 2
STATUS DAN KONDISI TIAP LANGKAH YANG DIAMBIL56
Frekuensi Materi/Isi Contoh
Dewan Pengawas
Syariah 6 bulanan
Laporan Hasil
Pengawasan
Syariah
Hasil
Pengawasan
(Narrative
Summary)
Board Level &
Risk Management
Commitee
Tahunan Summary
- Risk Map
- Narrative
Summary
Middle
Management Triwulan
Summary +
Detail
Operational
Risk
Management
56 Ibid. Hlm 259
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
36
Universitas Indonesia
Plan (OMRP)
Day to Day
Operation Bulanan Detail Frekuensi
2.2.4 Proses Manajemen Risiko
Untuk dapat menerapkan proses manajemen risiko, pada tahap awal
bank syariah harus secara tepat mengenal dan memahami serta
mengidentifikasi seluruh risiko, baik yang sudah ada (inherent risks) maupun
yang mungkin timbul dari suatu bisnis bank. Selanjutnya secara berturut-
turut, bank syariah perlu melakukan pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko. Proses ini terus berkesinambungan sehingga menjadi
sebuah lifecycle.57
Skema 4
Siklus Manajemen Risiko58
Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan
dan pengendalian risiko memperhatikan Hal-hal sebagai berikut:59
57 Ibid. Hlm 260
58 Ibid.
Assessing
Measuring
Managing
Monitoring
Understanding
Identifying
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
37
Universitas Indonesia
1. Identifikasi risiko dilakukan dengan melakukan analisis terhadap:
a. Karakteristik risiko yang melekat pada aktivitas fungsional.
b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha.
2. Pengukuran risiko dilaksanakan dengan melakukan:
a. Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan
prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko.
b. Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat
perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, dan faktor risiko yang
bersifat material.
3. Pemantauan risiko dilaksanakan dengan melakukan:
a. Evaluasi terhadap eksposur risiko.
b. Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan
kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor risiko, teknologi
informasi dan sistem informasi manajemen risiko ynag bersifat
material.
4. Pelaksanaan proses pengendalian risiko, digunakan untuk mengelola
risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank
2.2.5 Jenis-Jenis Risiko
Secara umum, risiko yang melekat pada aktivitas fungsional Bank
Syariah dapat diklasifikasikan dalam risiko pembiayaan, risiko pasar dan
risiko operasional sebagaimana dijelaskan berikut:60
1. Risiko Pembiayaan
Risiko pembiayaan merupakan risiko yang disebabkan oleh adanya
kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Dalam bank
syariah, risiko pembiayaan ini mencakup risiko terkait produk dan risiko
terkait pembiayaan korporasi.
59 Ibid Hlm 260
60 Ibid. Hlm 260-261
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
38
Universitas Indonesia
1. Risiko Terkait Produk
a. Risiko Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts (NCC)
Analisa ini menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah
sehingga keputusan pembiayaan memperhitungkan risiko yang ada
dari pembiayaan pembiayaan berbasis NCC, seperti murabahah.
Penilaian ini mencakup:
1. Default risk (risiko kebangkrutan), yakni risiko yang terjadi
pada first way out. Risiko ini dipengaruhi oleh:61
i. Industry risk, merupakan risiko yang terjadi pada jenis usaha
yang ditentukan oleh karakteristik jenis usaha yang
bersangkutan, riwayat exposure pembiayaan yang
bersangkutan di bank konvensional maupun bank syariah,
terutama perkembangan Non Performing Financing jenis
usaha yang bersangkutan dan kinerja keuangan jenis usaha
yang bersangkutan (industry financial standard).
ii. Kondisi internal perusahan nasabah, seperti manajemen,
organsasi pemasaran, teknis produksi dan keuangan.
iii. Faktor negatif lainnya yang mempengaruhi perusahaan
nasabah, seperti: kondisi grup usaha, keadaan force majeure,
permasalahan hukum,kewajiban off balance sheet (L/C
import, bank garansi), market risk (forex risk, interest risk,
security risk), riwayat dan restrukturisasi pembayaran.
Default risk digunakan untuk menentukan Customer Risk Rating
(CRR, Rating Risiko Nasabah) yang diukur sebagai berikut:
61 Ibid. Hlm 261-263
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
39
Universitas Indonesia
Tabel 3
Scoring Rating Risiko Nasabah62
RATING SCORE TINGKAT RISIKO
1 = Baik sekali 5 Very Low Risk
2 = Baik 4 Low Risk
3 = Cukup / sedang 3 Moderate Risk
4 = Kurang 2 High Risk
5 = Buruk sekali 1 Very High Risk
Kondisi internal perusahaan nasabah diukur dari hasil analisis
aspek manajemen, pemasaran, teknis produksi, dan keuangan
perusahaan. Industry rating diukur pada tingkat nasional dan
ciri-ciri umum sebagai berikut:
Tabel 4
Scoring Rating Industri63
SCORE Industry Risk Rating Ciri-ciri Umum
5 Very Low Risk
Prospek permintaan sangat
baik, struktur industri sangat
kuat, kinerja keuangan dan
kinerja pinjaman di atas
rata-rata industri
62 Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 154
63 Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 167
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
40
Universitas Indonesia
4 Low Risk Di atas rata-rata kinerja
industri
3 Moderate Risk
Rata-rata industri dengan
prospek pertumbuhan yang
memadai dan mempunyai
kemampuan keuangan yang
cukup untuk membayar
kembali pinjamannya
2 High Risk Di bawah rata-rata kinerja
industri
1 Very High Risk
Industri berisiko untuk
diberikan pinjaman dengan
prospek dan kemampuan
keuangan yang meragukan
2. Recovery risk (risiko jaminan), merupakan pembayaran kembali
atas sisa pinjaman nasabah dari hasil penjualan jaminan, apabila
first way out tidak dapat diharapkan. Hal ini dipengaruhi oleh:
Kesempurnaan pengikatan jaminan.
Nilai jual kembali jaminan (marketability jaminan).
Faktor negatif lainnya, misalnya tuntutan hukum pihak lain
atas jaminan, lamanya taksasi ulang jaminan.
Kredibilitas penjamin (jika ada).
b. Risiko pembiayaan berbasis Natural Uncertainty Contracts (NUC)
Analisa jenis ini mengidentisikasi dan menganalisis dampak dari
seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang
diambil sudah memeperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
41
Universitas Indonesia
berbasis Natural Uncertainty Contracts, seperti mudharabah dan
musyarakah. Penilaian risiko ini mencakup tiga aspek yaitu:
1. Business Risk (risiko bisnis yang dibiayai), yakni risiko yang
terjadi pada first way out.
2. Shrinking risk (risiko berkurangnya nilai pembiayaan
mudharabah atau musyarakah), yakni risiko yang terjadi pada
second way out.
3. Character risk (risiko karakter buruk mudharrib), yakni risiko
yang terjadi pada third way out.
2. Risiko Terkait Pembiayaan Korporasi
Kompleksitas dan volume pembiayaan korporasi menimbulkan risiko
tambahan selain risiko yang terkait dengan produk sehingga
membutuhkan analisis yang lebih komprehensif, yang meliputi
Analisis Sales Cost, Profits, Assests and Liabilities serta Analisis Cash
Flow64
.
Risiko tambahan terkait pembiayaan korporasi yang harus diantisipasi
adalah:65
a. Risiko yang Timbul dari Perubahan Kondisi Bisnis Nasabah
Setelah Pencarian Pembiayaan
Setidaknya ada tiga risiko yang timbul dari perubahan kondisi
bisnis nasabah setelah pencairan pembiayaan. Pertama, yaitu
over trading yang terjadi ketika nasabah mengembangkan volume
bisnis yang besar dengan dukungan modal yang kecil. Keadaan
ini akan menimbulkan krisis cash flow. Kedua, yaitu adverse
trading, terjadi ketika nasabah mengembangkan bisnisnya dengan
mengambil kebijakan melakukan pengeluaran tetap (fixed costs)
yang besar setiap tahunnya serta bermain di pasar yang tingkat
volume penjualannya tidak stabil. Perusahaan dengan
64 Ibid. Hlm 269-271
65 Diadaptasikan dari Brian Coyle, Measuring Credir Risk, (Kent-U.K: CIB Publishing,
2000), Hlm 7-13
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
42
Universitas Indonesia
karakteristik seperti ini merupakan perusahaan yang secara
potensial berada dalam posisi yang lemah serta berisiko tinggi.
Ketiga, adalah Liquidity Run yang terjadi ketika nasabah
mengalami kesulitan likuiditas karena kehilangan sumber
pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang disebabkan oleh
alasan yang tidak terduga. Kondisi ini akan mempengaruhi
kemampuan nasabah menyelesaikan kewajibannya pada bank.
b. Risiko yang timbul dari Komitmen Kapital yang Berlebihan
Dalam memberikan pinjaman, bank dapat juga melakukan
kesalahan dengan mengambil komitmen kapital yang berlebihan
dan menandatangani kontrak untuk pengeluaran berskala besar.
Bank maupun supplier pembiayaan perdagangan seringkali tidak
mampu mengontrol pengeluaran yang berlebihan dari sebuah
perusahaan. Namun demikian, bank dapat mencoba memonitor
dengan melihat neraca perusahaan yang terakhir dipublikasikan
dimana komitmen pengeluaran kapital diungkap.
c. Risiko yang Timbul dari Lemahnya Analisis Bank
Terdapat tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis
bank. Pertama, analisis pembiayaan yang keliru, dalam konteks
ini terjadi bukan karena perubahan kondisi nasabah yang tak
terduga, tetapi memang dikarenakan sejak awal nasabah yang
bersangkutan memiliki risiko tinggi. Keputusan pembiayaan bisa
jadi merupakan keputusan yang tidak valid. Kesalahan dalam
pengambilan keputusan ini biasanya bersumber dari informasi
yang tersedia. Kedua, creative accounting, merupakan istilah
untuk menggambarkan penggunaan kebijakan akuntansi
perusahaan yang memberikan keterangan menyesatkan tentang
laporan posisi keuangan suatu perusahaan. Keuntungan
perusahaan dibuat lebih besar untuk menjamin tingkat
kemampuan membayar kembali pinjaman dan menaikkan rating.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
43
Universitas Indonesia
Ketiga, karakter nasabah, terkadang nasabah dapat memperdaya
bank dengan sengaja menciptakan pembiayaan macet. Terkait
dengan kemungkinan ini bank harus membuat keputusan
berdasarkan informasi objektif tentang karakter nasabah.
2. Risiko Pasar
Market risk atau risiko pasar merupakan risiko kerugian yang terjadi
pada portofolio yang dimiliki oleh bank akibat adanya pergerakan
variabel pasar (adverse movement) berupa suku bunga dan nilai tukar.
Risiko pasar ini mencakup hal-hal sebagai berikut:66
a. Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Risiko ini timbul sebagai akibat dari fluktuasi tingkat bunga.
Meskipun bank syariah tidak menetapkan tingkat bunga, baik dari
sisi pendanaan maupun pembiayaan, tetapi bank syariah tidak akan
dapat terlepas dari risiko tingkat bunga. Hal ini disebabkan karena
pasar yang dijangkau oleh bank syariah juga terdiri atas nasabah
selain nasabah yang loyal atas prinsip syariah. Pricing risk yang
dihadapi oleh bank syariah antara lain sebagai berikut:
1. Direct Competitor Market Rate (DCMR) yaitu tingkat bagi hasil
dari bank-bank yang menjalankan usahanya dengan prinsip
syariah.
2. Indirect Competitor Market Rate (ICMR), yaitu tingkat bunga
pada bank-bank konvensional.
3. Expected Competitive Return for Investor, yaitu hasil investasi
yang kompetitif yang diharapkan oleh investor.
Beberapa contoh risiko yang terkait dengan tingkat bunga pada
pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
1. Dalam pembiayaan murabahah, margin tidak dapat dinaikkan
dari ketetapan di awal akad. Apabila terjadi kenaikan suku
bunga, maka pendapatan margin dari pembiayaan murabahah
66 Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 272-274
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
44
Universitas Indonesia
menjadi lebih kecil dibanding pendapatan bunga. Akibatnya
bagi hasil yang dapat diberikan oleh bank kepada nasabah
menjadi lebih kecil dari bunga.
2. Dalam pembiayaan dikaitkan dengan transaksi murabahah, bila
kenaikan nisbah tidak disepakati oleh masing-masing pihak,
bank hanya akan memperoleh bagi hasil atas margin murabahah
dalam jumlah tetap sebagaimana lazimnya dalam pembiayaan
murabahah.
b. Risiko Pertukaran Mata Uang (Foreign Exchange Risk)67
Risiko ini muncul sebagai konsekuensi pergerakan kurs atau
fluktuasi nilai tukar terhadap rugi-laba bank. Meskipun aktivitas
syariah tidak terpengaruhi risiko kurs secara langsung (karena dalam
bank syariah tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang bersifat
spekulasi), tetapi bank syariah tidak akan dapat terlepas dari adanya
posisi dalam valuta asing.
Risiko kurs ini akan meningkat bila jumlah posisi yang diambil
besar, baik posisi long maupun short dan fluktuasi pasar tinggi.
mengingat bank syariah tidak diperkenankan melakukan transaksi
yang bersifat spekulatif seperti forward, margin trading, option dan
swap, maka yang boleh dijalankan adalah untuk kebutuhan transaksi
atau berjaga-jaga (simpanan) dan transaksi yang dilaksanakan harus
tunai atau spot. Termasuk tunai disini adalah pembayaran dengan
cek, pemindahbukuan, transfer dan sarana pembayaran tunai lainnya.
c. Risiko Harga (Price Risk)
Risiko harga adalah kemungkinan kerugian akibat perubahan harga
instrumen keuangan. Untuk perbankan syariah, di samping risiko
harga atas instrumen keuangan yang masih sangat terbatas, juga
terkait risiko harga komoditas termasuk dalam transaksi murabahah.
67 Ibid. hlm 273-274
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
45
Universitas Indonesia
Risiko ini terjadi apabila harga barang yang dibeli atau dipesan
turum sehingga nasabah membatalkan pesanannya. Sebaliknya bila
harga barang naik maka bank akan terkena risiko tingkat bunga.
d. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Risiko ini antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Risiko likuiditas ini
berupa:
1. Turunnya kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan,
khususnya perbankan syariah dan bank syariah yang
bersangkutan.
2. Dalam mudharabah kontrak, memungkinkan nasabah untuk
menarik dananya kapan saja tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu.
3. Mismatching antara dana jangka pendek dengan pembiayaan
jangka panjang.
4. Keterbatasan instrumen keuangan untuk solusi likuiditas.
5. Bagi hasil antar bank kurang menarik, karena final settlement-
nya harus menunggu selesainya perhitungan cash basis
pendapatan bank yang biasanya baru terlaksana pada akhir
bulan.
3. Risiko Operasional68
Risiko operasional merupakan risiko yang antara lain disebabkan oleh
ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, human error,
kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi
operasional bank. Faktor penyebab terjadinya risiko ini adalah aspek
infrastruktur (terkait teknologi, kebijakan, lingkungan, pengamanan,
perselisihan dan sebagainya), proses dan sumber daya. Risiko
operasional mencakup lima hal, yaitu risiko reputasi, risiko kepatuhan,
risiko transaksi, risiko strategis dan risiko hukum. Dampak dari risiko
68 Ibid. hlm 275-278
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
46
Universitas Indonesia
operasional ini dapat berupa terjadi penarikan besar-besaran terhadap
dana pihak ketiga, timbulnya masalah likuiditas, ditutup oleh Bank
Indonesia maupun kebangkrutan.
a. Risiko reputasi (Reputation Risk)
Risiko ini disebabkan oleh adanya publikasi negatif terkait dengan
kegiatan bank atau adanya persepsi negatif terhadap bank. Beberapa
hal yang mempengaruhi reputasi antara lain adalah manajemen,
pemegang saham, pelayanan yang disediakan, penerapan prinsip-
prinsip syariah, dan publikasi. Alasan-alasan yang menyebabkan
turunnya reputasi adalah kesalahan manajemen, melanggar
peraturan, melanggar Fatwa DSN, terjadi skandal keuangan, kurang
kompeten dalam pengelolaan dan pelayanan, integritas diragukan
dan performance keuangan yang kurang baik.
b. Risiko kepatuhan (Compliance Risk)
Risiko ini disebabkan oleh tidak dipatuhinya ketentuan-ketentuan
yang ada, baik ketentuan internal maupun eksternal sebagai berikut:
i. Ketentuan Giro Wajib Minimum, Net Open Position, Non-
Performing Financing dan Batas Maksimum Pemberian
Pembiayaan.
ii. Ketentuan dalam penyediaan produk.
iii. Ketentuan dalam pemberian pembiayaan.
iv. Ketentuan dalam pelaporan baik laporan internal, laporan
kepada Bank Indonesia maupun laporan kepada pihak ketiga
lainnya.
v. Ketentuan perpajakan.
vi. Ketentuan dalam akad dan kontrak.
vii. Fatwa Dewan Syariah Nasional.
c. Risiko Strategis (Strategic Risk)
Risiko ini disebabkan oleh adanya penetapan dan pelaksanaan
strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang
tidak tepat atau bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
47
Universitas Indonesia
peruabahan perUndang-Undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
Indikasi dalam risiko strategi ini dapat dilihat dari kegagalan dalam
mencapai target bisnis yang telah diterapkan.
d. Risiko Transaksi (Transactional Risk)
Risiko transaksi disebabkan oleh permasalahan dalam pelayanan
atau produk-produk yang disediakan. Penyebab timbulnya risiko ini
antara lain adalah: kekeliruan, kecurangan, kesempurnaan akad,
kasus-kasus hukum, sistem teknologi dan informasi, dan pos terbuka.
e. Risiko Hukum (Legal Risk)
Risiko hukum merupakan risiko yang disebabkan oleh adanya
kelemahan aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan
peraturan perUndang-Undangan yang mendukung atau kelemahan
perikatan (perjanjian) seperti tidak terpenuhinya syarat keabsahan
suatu kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna.
Berkaitan dengan risiko hukum ini, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan antara lain:
i. Keharusan memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis.
ii. Keharusan melaksanakan prosedur analisis aspek hukum
terhadap produk dan aktivitas baru.
iii. Keharusan memiliki satuan kerja yang berfungsi sebagai legal
watch, baik terhadap hukum positif maupun fatwa DSN dan
ketentuan lain yang berdasarkan prinsip syariah.
iv. Keharusan menilai dampak perubahan ketentuan atau peraturan
terhadap risiko hukum.
v. Keharusan untuk menerapkan sanksi secara konsisten.
vi. Keharusan untuk melakukan kajian secara berkala terhadap
akad, kontrak, dan perjanjian-perjanjian bank dengan pihak lain
dalam hal efektivitas dan enforceability.
2.2.6 Risiko Terkait Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah merupakan pembiayaan yang dicirikan dengan
adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran di kemudian, baik
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
48
Universitas Indonesia
dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus). Dengan
demikian pemberian pembiayaan murabahah dengan jangka waktu panjang
dapat menimbulkan risiko tidak bersaingnya bagi hasil pada dana pihak
ketiga.69
Risiko dalam pembiayaan murabahah timbul karena kenaikan
DCRM (Direct Competitor‟s Market Rate), kenaikan ICRM (Indirect
Competitor‟s Market Rate) dan kenaikan ECRI (Expected Competitive Return
for Investors). Oleh karena itu, bank dapat menetapkan jangka waktu
maksimal untuk pembiayaan murabahah dengan mempertimbangkan hal
berikut:
a. Tingkat (margin) keuntungan saat ini dan prediksi perubahannya di masa
mendatang yang berlaku di pasar perbankan syariah (Direct Competitor‟s
Market Rate - DCRM). Semakin cepat perubahan DCRM diperkirakan
akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.
b. Suku bunga kredit saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang
yang berlaku di pasar perbankan konvensional (Indirect Competitor‟s
Market Rate - ICRM). Semakin cepat perubahan ICRM diperkirakan akan
terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.
c. Ekspektasi Bagi Hasil kepada Dana Pihak Ketiga yang kompetitif di pasar
perbankan syariah (Expected Competitive Return for Investors - ECRI).
Semakin besar perubahan ECRI diperkirakan akan terjadi, semakin pendek
jangka waktu maksimal pembiayaan.
Dalam transaksi murabahah, bank menanggung pembelian suatu
barang atau aset dan harga barang di-mark-up (dinaikkan) sebelum dijual
kembali pada nasabah sesuai kontrak dengan prinsip tambah biaya (cost
plus). Dalam transaksi murabahah, bank tidak turut menanggung untung dan
rugi, melainkan lebih berperan sebagai intermediator finansial.70
Fiqih
menganggap murabahah dengan mark-up berbeda dengan transaksi serupa
69 Ibid. hlm 263-264
70 Lewis, Mervyn K. Dan Latifa M. Algoud. Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, dan
Prospek [Islamic Banking]. Diterjemahkan oleh Burhan Subrata. (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2007). Hal 75
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
49
Universitas Indonesia
yang berbunga karena mark-up tidak mesti dihubungkan dengan tempo
pinjaman, tetapi kelebihan dialokasikan untuk biaya pelayanan dan bukan
karena pembayarannya ditangguhkan. Transaksi murabahah dianggap halal
karena bank lebih dulu memperoleh barang untuk dijual kembali dengan
harga yang dinaikkan, artinya bank menjual suatu komoditas untuk
mendapatkan laba. Dalam prosesnya, bank menanggung risiko yang mungkin
terjadi antara waktu pembelian dan penjualan kembali; misalnya, tiba-tiba
harga barang turun sehingga nasabah menolak menerima barang, jadi bank
bertanggungjawab atas barang sebelum diterima nasabah.71
Dalam pelaksanaan transaksi murabahah berdasarkan pesanan, terdapat
beberapa potensi risiko dalam transaksi tersebut, yaitu:
a. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat. Risiko bagi bank
yang timbul berdasarkan pesanan dengan sifat tidak mengikat adalah
setelah bank membeli barang sesuai pesanan pembeli, nasabah
membatalkan barang yang dipesannya itu.
b. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat. Risiko bagi bank atas
transaksi ini adalah lebih kecil daripada tranasaksi murabahah berdasarkan
pesanan yang tidak mengikat. Salah satu cara mengikat nasabah adalah
bank syariah dapat meminta uang muka kepada nasabah dan harus disetor
kepada bank syariah.
Untuk mengatasi kekhawatiran dari bank syariah atas cidera janji
nasabah, maka nasabah sebagai pembeli hendaknya membuat janji (waad).
Waad adalah “Janji salah satu pihak untuk melaksanakan transaksi”.72
Waad
atau promise dalam perspektif Syariah artinya adalah janji salah satu pihak
tetapi belum menjadi suatu perikatan atau akad karena belum ada
kesepakatan mengenai syarat dan kondisi secara spesifik. Dalam waad bila
pihak yang berjanji tidak memenuhi janjinya, maka sanksinya lebih
71 Ibid. Hal 77
72 Bank Indonesia Direktorat Perbankan Syariah, Kamus istilah Keuangan dan Perbankan
Syariah, Cet. 1, (Jakarta: Bank Indonesia, 2006), Hal 85
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
50
Universitas Indonesia
merupakan sanksi moral.73
Waad baru menjadi akad apabila telah terdapat
surat penawaran dari bank yang telah disetujui oleh nasabah. Penawaran
tersebut dilanjutkan dengan penanda tanganan perjanjian pembiayaan
murabahah antara Bank dan Nasabah.
Dalam transaksi pembiayaan murabahah, waad dibuat oleh pihak yang
paling besar kemungkinannya untuk melakukan cidera janji yaitu pihak
pembeli atau nasabah, sedangkan bank sebagai pihak dirugikan bila transaksi
jual beli tersebut batal. Oleh karenaitu, waad pembelian barang dibuat oleh
nasabah bukan oleh bank. Untuk mencegah resiko tersebut bank dapat
meminta uang muka atau tanda jadi kepada nasabah sebagai bukti keseriusan
nasabah untuk melakukan pembelian barang. Apabila di kemudian hari
pemesan menolak membeli barang tersebut, kerugian riil bank dapat diambil
dari uang muka. Dengan demikian jika kerugian bank sebagai penjual lebih
besar dari uang muka yang dibayar nasabah, bank dapat meminta tambahan
biaya kepada nasabah sebagai pemesan barang. Akan tetapi pada
pelaksanannya hal demikian jarang terjadi, karena sebagian besar nasabah
saat mengajukan pembiayaan murabahah sudah melakukan pembayaran uang
muka kepada pihak ketiga yang menjadi supplier bank.
2.3 Konsep Dasar Wanprestasi dan Force Majeur
2.3.1 Definisi Wanpretasi
Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa
wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang (debitur) tidak melakukan
apa yang dijanjikannya. Perkataan wanprestasi sendiri berasal dari bahasa
Belanda, yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi yang merupakan kelalaian atau
kealpaan seseorang dapat berupa empat macam, yaitu: 74
73 Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm. 65
74 Subekti, Op. Cit., Hlm 45
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
51
Universitas Indonesia
e. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
f. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
g. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
h. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Berbicara mengenai wanprestasi tentu tidak terlepaskan dari perikatan dan
perjanjian yang menjadi dasar penentu ada atau tidaknya wanprestasi. Berkaitan
dengan wujud isi atau prestasi perikatan, terdapat pengelompokkan perikatan
sebagai berikut:75
a. Kewajiban untuk memberikan sesuatu
b. Kewajiban untuk melakukan atau berbuat sesuatu
c. Kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu
Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan
dengan Hal ini maka tiap pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus
melaksanakan apa yang menjadi inti dari perjanjian tersebut dengan itikad baik.
Dengan terjadinya wanprestasi maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
unsur itikad baik yang diupayakan para pihak.
2.3.2 Akibat Wanprestasi
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena
ada unsur salah padanya, maka ada akibat hukum yang bisa menimpa dirinya.76
Akibat hukum tersebut antara lain adalah:
a. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1236 dan 1243 KUH Perdata, dalam
Hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya, kreditur berhak
untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos,
75 Satrio, J, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. (Bandung: Alumni. 1993).
Hlm. 50.
76 Ibid. Hlm 144
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
52
Universitas Indonesia
kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam
perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun
untuk tidak melakukan sesuatu.
b. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1237 KUH Perdata, bahwa sejak
debitur lalai, maka risiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur.
c. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1266 KUH Perdata, bahwa jika
perjanjian berupa perjanjian timbal balik maka kreditur berhak menuntut
pembatalan perjanjian dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.
d. Debitur diharuskan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur
(Pasal 1243 KUH Perdata).
e. Debitur diwajibkan membayar biaya perkara di pengadilan, apabila karena
wanprestasinya itu sampai kepada pengadilan (Pasal 181 ayat 1 HIR).
Namun demikian, semua akibat wanprestasi di atas tidak mengurangi hak
dari pihak kreditor untuk tetap menuntut pemenuhan atas kewajiban pihak debitor
atau pihak yang melakukan wanprestasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
debitor dapat menuntut pemenuhan kewajiban yang belum terlaksana sekaligus
menuntut pemenuhan Hal-Hal di atas sesuai dengan ketentuan dalam KUH
Perdata.
2.3.3 Wanprestasi Dari Pihak Kreditur
Pada prakteknya, tidak hanya pihak debitur yang melakukan wanprestasi,
namun dapat terjadi sebaliknya yaitu pihak kreditur yang melakukan wanprestasi.
Meskipun Undang-Undang (dalam hal ini KUH Perdata) banyak menyebut pihak
debitur yang melakukan wanprestasi, tidak menutup kemungkinan terjadinya
wanprestasi justru dilakukan oleh pihak kreditur. Kemungkinan ini perlu
dicermati guna menghindari sengketa antar kedua belah pihak.
Berkaitan dengan wanprestasi yang dilakukan oleh kreditur, J. Satrio (1993)
dalam bukunya menyebutkan bahwa ada cara memandang yang keliru apabila
terdapat wanprestasi yang dilakukan oleh kreditur. Jika dipandang dari sudut
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
53
Universitas Indonesia
kewajiban penyerahan, memang penjual berkedudukan sebagai debitur dan
pembeli berkedudukan sebagai kreditur. Sementara jika ditinjau dari segi
kewajiban untuk menerima penyerahan (dan penjual mempunyai hak untuk
menuntut penerimaan), sehingga pembeli yang dalam perikatan yang satu
berkedudukan sebagai kreditur, dalam perikatan yang lain ia berkedudukan
sebagai debitur. Sehingga sebenarnya tidak benar kalau dikatakan ada wanprestasi
pada kreditur, sebab di sana kreditur sebenarnya berkedudukan sebagai debitur. 77
2.3.4 Definisi Force Majeure
Berdasarkan Pasal 1244 KUH Perdata, force majeure atau yang sering
diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” dapat dikatakan sebagai keadaan
dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan
atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau
peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara
si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut
tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut.
Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut
tidak termasuk kedalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak ketika
kontrak tersebut dibuat. Pasal 1244 dan juga Pasal 1245 KUH Perdata hanya
mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan pergantian biaya rugi
dan bunga saja, akan tetapi perumusan Pasal-Pasal ini dapat digunakan sebagai
pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya.
Dari rumusan-rumusan dalam Pasal KUH Perdata seperti tersebut diatas
dapat dilihat kausa force majeure menurut KUH Perdata, sebagai berikut :
1. Force majeure karena sebab-sebab yang tak terduga.
Dalam Hal ini, menurut Pasal 1244, jika terjadi Hal-Hal yang tidak terduga
(pembuktiannya dipihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan
dalam melaksanakan kontrak, Hal tersebut bukan termasuk dalam kategori
77 Ibid. Hlm 176
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
54
Universitas Indonesia
wanprestasi kontrak, melainkan termasuk kedalam kategori force majeure,
yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beritikad
jahat, dimana dalam hal ini debitur tetap dapat diminta tanggung jawabnya.
2. Force majeure karena keadaan memaksa.
Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan force
majeure sehingga dia idak perlu bertanggung jawab atas tidak
dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut
disebabkan oleh keadaan memaksa. Lihat Pasal 1245 KUH Perdata.
3. Force majeure karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang.
Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur
ternyata dilarang (oleh perUndang-Undangan yang berlaku), maka kepada
debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (Pasal 1245
KUH Perdata).
2.3.5 Klasifikasi Force Majeure
Apabila dilihat dari sasaran yang terkena force majeure, maka force majeure
dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Force majeure yang objektif
Force majeure yang bersifat objektif ini terjadi atas benda yang merupakan
objek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya
unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar.
Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan.
Karena yang terkena adalah benda yang merupakan objek dan kontrak,
maka force majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility.
2. Force majeure yang subjektif.
Sebaliknya, force majeure yang bersifat subjektif terjadi manakala force
majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan objek (yang
merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam
hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri.
Misalnya jika si debitur sakit berat sehingga tidak mungkin berprestasi lagi.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
55
Universitas Indonesia
Selanjutnya jika dilihat dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam
kontrak, suatu force majeure dapat dibeda-bedakan kedalam :
1. Force majeure yang absolut
Yang dimaksud dengan force majeure yang absolut adalah suatu force
majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak
mungkin dilakukan. Misalnya barang yang merupakan objek dari kontrak
musnah. Dalam hal ini kontrak tersebut “tidak mungkin” untuk
dilaksanakan.
2. Force majeure yang relatif
Sementara itu, yang dimaksud dengan force majeure yang bersifat relatif
adalah satu force majeure dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak
mungkin dilakukan, sungguh pun secara tidak normal masih mungkin
dilakukan. Misalnya terhadap kontrak impor-expor dimana setelah kontrak
dibuat terdapat larangan impor atas barang itu. Dalam hal ini barang
tersebut tidak mungkin lagi diserahkan (diimpor), sungguhpun dalam
keadaan tidak normal masih dapat dilakukan. Misalnya jika dikirim barang
dengan jalan penyeludupan. Keadaan seperti ini sering dikatakan bahwa
kontrak masih mungkin (possible) dilaksanakan, tetapi tidak praktis lagi.
Kemudian, apabila dilihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang
menyebabkan terjadinya force majeure, maka dapat dibedakan kedalam :
1. Force majeure permanen,
Suatu force majeure dikatakan bersifat permanen jika sama sekali sampai
kapan pun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan
lagi. Misalnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut
musnah diluar kesalahan debitur.
2. Force majeure temporer
Sebaliknya, suatu force majeure dikatakan bersifat temporer bilamana
terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan
untuk sementara waktu, misalnya karena terjadi peristiwa tertentu, dimana
setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
56
Universitas Indonesia
Misalnya jika barang objek dari kontrak tersebut tidak mungkin dikirim
ketempat kreditur karena terjadinya pergolakan sosial ditempat kreditur
tersebut. Akan tetapi nantinya ketika keadaan sudah menjadi aman, tentunya
barang tersebut masih mungkin dikirim kembali.
2.3.6 Pengaturan Force Majeure Kontrak Jual Beli dalam KUH Perdata
Force majeure untuk kontrak jual beli, khususnya mengenai risiko sebagai
akibat dari force majeure tersebut diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata.78
Dengan demikian, menurut Pasal 1460 setelah kontrak jual beli tersebut
ditandatangani risiko beralih kepada pihak pembeli, sungguhpun benda tersebut
belum diserahkan atau belum masanya diserahkan. Ini merupakan ketentuan yang
tidak tepat, sebab pengalihan risiko (akibat dari force majeure) tersebut
semestinya terjadi sejak saat penyerahan seharusnya dilakukan. Dalam sistem
KUH Perdata suatu kontrak hanya bersifat obligatoir saja. Artinya, setelah
kontrak tersebut dilakukan, masih memerlukan tindakan hukum lainnya, yaitu
yang disebut dengan “penyerahan” yang dapat dilakukan setelah kontrak jual beli
dilakukan. Mestinya risiko baru beralih sejak saat seharusnya penyerahan benda
tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli dilakukan. Karena Pasal
1460 KUH Perdata ini berada diluar sistem dan dirasakan sangat tidak adil bagi
pihak pembeli, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Surat
Edarannya No.3 Tahun 1963 memintakan agar para hakim tidak memberlakukan
Pasal 1460 tersebut. Karena itu pula, pengaturan risiko sebagai akibat dari force
majeure dari Pasal 1460 tersebut tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk
mengartikan risiko dalam hukum kontrak secara umum.
78 Pasal 1460 KUH Perdata berbunyi “jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang
yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli,
meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
57
Universitas Indonesia
2.3.7 Syarat-syarat Force Majeure dalam KUH Perdata
Dari seluruh Pasal-Pasal dalam KUH Perdata yang mengatur tentang force
majeure, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat dari suatu force majeure
adalah sebagai berikut :
a. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah
“tidak terduga” oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
b. Peristiwa tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada
pihak yang harus melaksanakan prestasi tersebut atau debitur (vide Pasal
1244 KUH Perdata).
c. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut diluar
kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
d. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan
kejadian yang disengaja oleh debitur. Ini merupakan perumusan yang
kurang tepat. Sebab yang semestinya tindakan tersebut “diluar kesalahan”
para pihak (lihat Pasal 1545 KUH Perdata), bukan “tidak disengaja”. Sebab
kesalahan para pihak baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun yang
tidak disengaja, yakni dalam bentuk “kelalaian” (negligence).
e. Para pihak tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH
Perdata).
f. Jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan
sedapat mengkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah
dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
g. Jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi.
Vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH
Perdata.
h. Risiko sebagai akibat dari force majeure, beralih dari pihak kreditur kepada
pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal
1545 KUH Perdata). Pasal 1460 KUH Perdata mengatur hal ini secara tidak
tepat (diluar sistem).
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
58
Universitas Indonesia
BAB III
TINJAUAN HUKUM KONTRAK, PRUDENTIAL BANKING SERTA
PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN
PEMBIAYAAN MURABAHAH
3.1 Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah
Setiap produk atau jasa yang ditawarkan oleh perbankan syariah kepada
nasabah harus melalui perikatan, oleh karenanya perikatan dalam setiap produk
atau jasa perbankan syariah merupakan dasar dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali
nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila
hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila
perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.79
Dalam pembiayaan murabahah pada bank syariah, umumnya terdapat dua
pihak yang terlibat yaitu Bank dan nasabah. Dengan adanya dua pihak dalam
pembiayaan murabahah ini berarti terdapat suatu hubungan berupa perikatan di
antara keduanya. Pembiayaan murabahah yang tentunya merupakan suatu bentuk
perjanjian, di dalamnya terdapat aspek hukum kontrak. Dalam karya tulis ini,
penulis membahas perikatan baik secara hukum Islam maupun hukum perdata,
karena dasar pembentukkan bank syariah adalah hukum Islam dan hukum perdata
selaku hukum yang mengatur secara umum di Indonesia.
79 Afzarul Rahman, Economic Doctrines of Islam, Lahore, Islamic Publication, 1990.
Lihat juga Muhammad Syafi‟I Antonio, Op.cit, hlm. 29
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
59
Universitas Indonesia
3.1.1 Perikatan Menurut KUH Perdata
Perikatan menurut Subekti adalah suatu perhubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu.80
Dari sini dapat disimpulkan bahwa suatu perikatan lahir karena adanya
perjanjian antara dua pihak untuk saling melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Dengan adanya perjanjian ini maka timbullah hak dan kewajiban bagi tiap-tiap
pihak yang terlibat dalam perikatan. Pengaturan tentang hukum perjanjian di
Indonesia terdapat dalam Buku III Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan
Bagian Keempat Kitab Undang–undang Hukum Perdata dibawah titel Tentang
Perikatan, mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864.
Kata “perjanjian” dan “perikatan” merupakan dua istilah yang dikenal
dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata, memberikan definisi bahwa
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan tentang
perikatan, sekalipun dalam KUH Perdata tidak secara tegas mendefinisikannya,
tetapi dalam Pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perikatan, selain lahir
dari Undang-Undang, juga karena perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan
belum tentu merupakan perjanjian, sedangkan suatu perjanjian sudah pasti
merupakan suatu perikatan.
Didalam Kitab Undang–undang Hukum Perdata, asas kebebasan untuk
melakukan perikatan (freedom of contract) mendapatkan dasar eksistensinya
dalam rumusan Pasal 1320 angka 4. Dengan kebebasan berkontrak ini, para pihak
yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan
membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama
dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang
terlarang. Ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang–undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa:
80 Subekti, Op. Cit. Hal 1
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
60
Universitas Indonesia
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang – undang atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Ketentuan tersebut memberikan gambaran kepada kita semua, bahwa pada
dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang.
Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak
yang melanggar undang–undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang
dilarang.81
Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda82
dalam
kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak
didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar
(bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak
selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki
posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi
tawar yang lebih lemah. Hal ini banyak ditemui dalam perjanjian atau kontrak
yang berlangsung antara Bank dan nasabah. Bank merupakan pihak yang
mempunyai dana yang sangat dibutuhkan oleh nasabah, sehingga Bank
mempunyai bargaining power yang lenih kuat dibandingkan nasabah. Keadaan ini
sering dimanfaatkan oleh Bank dalam pembuatan perjanjian, dimana klausula
kontrak yang ditawarkan oleh Bank lebih sering berbentuk klausula baku yang
harus diterima begitu saja oleh nasabah apabila nasabah ingin mendapatkan
bantuan pembiayaan dari Bank.
Kebebasan berkontrak dalam hukum kontrak memiliki makna kebebasan
berkontrak yang positif dan negatif. Kebebasan berkontrak yang positif adalah
bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk membuat kontrak yang mengikat
yang mencerminkan kehendak bebas para pihak. Dengan prinsip tersebut, maka
81 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 46
82 Ridwan Khairandy dalam bukunya berjudul Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak
memberikan definisi Kebebasan Berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu
kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan
dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan
untuk menentukan bentuk perjanjian. Sedangkan Pacta sunt servanda adalah apa yang disepakati
oleh para pihak dalam kontrak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak sebagaimana layaknya
undang – undang.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
61
Universitas Indonesia
pembentukan suatu kontrak dan pemilihan isi kontrak adalah hasil kehendak
bebas para pihak. Kebebasan kontrak negatif bermakna bahwa para pihak bebas
dari suatu kewajiban sepanjang kontrak yang mengikat itu tidak mengaturnya.83
Namun kebebasan ini tentunya dibatasi oleh ketentuan perUndang-Undangan
yang berlaku, dimana walaupun suatu hal tidak diatur di dalam kontrak yang
bersangkutan namun apabila hal tersebut diatur di dalam peraturan perUndang-
Undangan maka para pihak wajib menjalankan sesuai dengan apa yang disebutkan
di dalam peraturan perUndang-Undangan terkait.
Asas Kerelaan, hal ini sejalan dengan Pasal 1321 Kitab Undang–undang
Hukum Perdata yang berbunyi:
“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena
kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Asas kejujuran dan kebenaran, hal ini sejalan pula dengan Pasal 1321 Kitab
Undang–undang Hukum Perdata sebagaimana telah disebutkan diatas. Sehingga
jika dalam suatu perjanjian terdapat unsur penipuan, maka perjanjian tersebut
dapat dibatalkan. Untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sebaiknya
suatu akad atau perjanjian dibuat secara tertulis, hal ini yang akan dijadikan
sebagai bukti otentik bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Pada
umumnya perjanjian dalam bentuk tertulis disebut juga dengan kontrak.
Berdasarkan Black‟s Law Dictionary, perjanjian memiliki pengertian yang
luas daripada kontrak, karena kontrak biasanya dibuat dalam bentuk tertulis
diantara dua atau lebih orang yang melahirkan kewajiban untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu hal khusus. Dalam membuat suatu perikatan, hal penting
yang harus ada dan mendasari bentuk suatu perikatan atau kontrakadalah itikad
baik. Dalam hukum kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu:84
83 Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Cet.2, (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), Hal 42
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
62
Universitas Indonesia
1. Penafsiran kontrak harus didasarkan pada itikad baik.
Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata, sehingga untuk menetapkan isi
kontrak perlu dilakukan penafsiran agar diketahui dengan jelas maksud para
pihak. Asas itikad baik berperan penting dalam penafsiran kontrak, jika
kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka setiap isi kontrak
harus ditafsirkan secara fair atau patut. Dalam Pasal 1343 KUH Perdata
ditentukan bahwa:
“Jika kata–kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam
penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak
yang membuat perjanjian itu daripada memegang teguh arti kata –
kata menurut huruf.”
Dengan demikian, kontrak harus diberikan penafsiran yang paling sesuai
dengan kehendak atau maksud para pihak.
2. Fungsi menambah
Dengan fungsi yang kedua ini, itikad baik dapat menambah isi suatu
perjanjian tertentu dan juga dapat menambah kata–kata ketentuan Undang-
Undang mengenai perjanjian itu. Fungsi yang demikian ini dapat diterapkan
apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara
tegas dinyatakan dalam kontrak.
3. Fungsi yang membatasi dan meniadakan
Suatu perjanjian tertentu atau suatu syarat tertentu dalam kontrak atau
ketentuan undang–undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika
sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah sehingga pelaksanaan
kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu,
kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas
itikad baik.
84 P.L. Wery, Perkembangan Hukum tentang Itikad Baik di Nederland, (Jakarta:
Percetakan Negara, 1990), hlm. 11. Sebagaimana dikutip dalam Ridwan Khairandy, Op.cit, hlm.
231
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
63
Universitas Indonesia
3.1.2 Perikatan Menurut Hukum Syariah Islam
Dalam Islam, konsep mengenai perikatan dan perjanjian ini diatur dalam
bab mengenai muamallah. Dalam hukum Islam suatu perikatan memerlukan suatu
tanggung jawab moral yang sangat tinggi untuk, dipenuhi oleh masing-masing
pihak yang melakukan perikatan, karena merupakan tanggung jawab yang wajib
dipenuhi ketika hidup di dunia maupun setelah berada di alam akhirat. Berbeda
dengan perikatan yang ada dalam ketentuan hukum positif yang pemenuhannya
hanya berlaku di dunia saja. Perikatan dalam hukum Islam memiliki tanggung
jawab moral yang sangat tinggi untuk pemenuhannya karena apabila tidak
dipenuhi di dunia akan menjadi tanggung jawab ketika di alam akhirat.
Terdapat dua hal yang berhubungan dengan perjanjian dalam Islam, yaitu
al-„aqdu (akad) dan al-„ahdu (janji).85
Pengertian akad secara bahasa adalah
ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun
atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang
lainnya sehingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang
satu.86
Kata al-„aqdu terdapat dalam QS. al-Maidah: 1, bahwa manusia diminta
untuk memenuhi akadnya. Dalam kaitannya dengan hukum perikatan Islam,
Fathurahman Djamil mengemukakan enam asas yang terdapat dalam hukum
Islam, yaitu:87
1. Asas Kebebasan (Al–Hurriyah)
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu
perikatan. Bentuk dan perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak.
Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat
para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan
kewajibannya, namun kebebasan ini tidaklah absolute. Sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam, maka perikatan tersebut boleh
85 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 45.
86 Ghufron A. Mas‟adi. Fiqih Muamalah Konstektual. Cet.1. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2002). Hal: 75
87 Ibid. Hal 249 – 251
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
64
Universitas Indonesia
dilaksanakan. Adapun dasar hukumnya adalah surat Al – Maidah ayat 1,
yang berbunyi:
“Hai orang – orang yang beriman, penuhilah akad – akad itu”.
Kebebasan berkontrak dalam system hukum Islam dilaksanakan antara dua
jalur. Pertama, perbuatan kontrak sebagaimana difirmankan Allah SWT
melalui kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Kedua, prinsip larangan
terhadap riba dan uncertainty (gharar).
2. Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al–Musawah)
Suatu perbuatan muamallah salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Antara sesama manusia masing–masing memiliki kelebihan
dan kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan yang lain
hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang
dimilikinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki kesempatan yang
sama untuk melakukan suatu perikatan. Dalam melakukan perikatan ini,
para pihak menentukan hak dan kewajiban masing–masing didasarkan pada
asas persamaan dan kesetaraan ini. Tidak boleh ada suatu kezaliman yang
dilakukan dalam perikatan tersebut.
3. Asas Keadilan (Al–„Adalah)
Adil adalah merupakan salah satu sifat Allah SWT yang sering kali
disebutkan dalam Al Qur‟an. Bersikap adil sering kali Allah SWT tekankan
kepada manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan
manusia lebih dekat kepada takwa. Sebagaimana disebutkan dalam Al
Qur‟an Surat Al- A‟raaf (7) ayat 29:
“Katakanlah: “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil.”
4. Asas Kerelaan (Al–Ridha)
Segala transaksi yang dilakuakan harus atas dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing–masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan,
penipuan dan mis–statement. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi
tersebut dilakukan dengan cara yang batil. Disamping itu pula, jika hal
tersebut terjadi, dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur sukarela ini
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
65
Universitas Indonesia
menunjukkan keikhlasan dan itikad baik dari para pihak. Asas kerelaan ini
sesuai dengan Surat An–Nisa ayat 29, yang berbunyi:
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
5. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash–Shidq)
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala
bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika kejujuran
ini tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas perikatan
itu sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidakjujuran dalam perikatan, akan
menimbulkan perselisihan diantara para pihak.
Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi
para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan
lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan
mudharat adalah dilarang. Dalam surat Al–Ahzab ayat 70 disebutkan
bahwa:
“Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah,
dan katakanlah perkataan yang benar.”
6. Asas Tertulis (Al–Kitabah)
Hukum syara‟ mensyaratkan lebih sekedar sepakat terhadap suatu akad
(kontrak), yakni dengan mensyaratkan salah satu dari hal – hal berikut:88
a. Kontrak tertentu tidak cukup dengan ijab kabul semata, tetapi harus
dalam bentuk tertulis, yang sering disebut dengan istilah “kontrak
formal”. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al Qur‟an
surat Al–Baqarah ayat 282, yang artinya sebagai berikut:
“Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka kamu
menuliskannya.”
b. Al–Uqud al–Ainiyah, yang merupakan kontrak riil, yakni akad baru ada
setelah adanya suatu levering (serah terima). Kedalam kelompok akad
88 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku kedua,
Cet.1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 31 – 32
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
66
Universitas Indonesia
seperti ini, termasuk akad–akad sebagai berikut: Hibah, Pinjam
meminjam („ariah), Penitipan barang (Al–Wadi‟ah), Qirad yakni suatu
persekutuan modal (mudharabah), Rahn (Jaminan hutang).
Dengan demikian, Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya
suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh saksi–saksi, dan
diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan dan yang
menjadi saksi. Selain itu, dianjurkan pula bahwa apabila suatu perikatan
dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai
jaminannya. Adanya tulisan, saksi, dan/atau benda jaminan ini menjadi alat
bukti atas terjadinya perikatan tersebut.
Dari keenam asas tersebut Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma
Barlinti (2005) dalam buku yang berjudul Hukum Perikatan Islam di Indonesia
menambahkan asas utama yang mendasari setiap perbuatan manusia, termasuk
perbuatan muamalat, yaitu asas ilahiah atau asas tauhid. Setiap tingkah laku dan
perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti disebutkan
dalam Q.S Al-Hadid ayat 4 bahwa:
“Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.”
Kegiatan muamalat termasuk perbuatan perikatan, tidak akan pernah lepas
dari nilai–nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab
akan hal ini. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak
kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah
SWT. Akibatnya manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya, karena segala
perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT.89
89 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm.. 30-31, Lihat
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional,
Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hlm. 723–727, AM. Hasan Ali, Asuransi dalam
Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, Cet. 1,
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
67
Universitas Indonesia
Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya
terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari
kegiatan tolong menolong (tabarru‟). Turunan dari tijarah adalah perniagaan (al –
bai‟) yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala
variasinya.90
Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh
syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan asas akad dalam
Pasal 21 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) antara lain bahwa akad
dilakukan berdasarkan 11 asas:91
1. Sukarela atau ikhtiyari yaitu setiap akad dilakukan berdasarkan kehendak
para pihak dan bukan karena keterpaksan.92
2. Menepati janji atau amanah yaitu setiap akad wajib dilaksanakan oleh para
pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
3. Kehati-hatian atau ikhtiyati yaitu setiap akad dilakukan dan dilaksanakan
dengan pertimbangan yang matang.
4. Tidak berubah yaitu setiap akad memiliki tujuan yang jelas dan terhindar dari
spekulasi.
5. Saling menguntungkan yaitu setiap akad dilakukan dengan niat untuk
memenuhi kepentingan para pihak sehingga terhindar dari manipulasi.
6. Kesetaraan atau taswiyah yaitu keadaan dimana para pihak yang
melaksanakan akad memiliki kedudukan yang setara serta memiliki hak dan
kewajiban yang seimbang, tidak berat sebelah.
Jakarta:Prenada Media, 2004), Hal. 125-126, dan Yeni Salma Barlinti, Prinsip-prinsip Hukum
Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organization dalam Perspektif Hukum Islam,
Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, Hlm. 78-79.
90 Ascarya, Op. Cit. Hal 37
91 Achmad Fauzi, “Bank Syariah, Urgensi Hukum Perikatan Islam dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah”, http://www.pta-samarinda.net/pdf/Subag%20Umum/EkS
Achmad%20fauzi.pdf, hlm. 6, diunduh tanggal 14 April 2010
92 Hal tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An–Nisa: 9 “Hai orang–orang
yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
68
Universitas Indonesia
7. Transparansi yaitu akad dilakukan dengan pertanggungjawaban kepada para
pihak secara terbuka.
8. Kemampuan yaitu akad dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing
pihak.
9. Kemudahan atau taisir yaitu di dalam akad diberikan kemudahan bagi
masing-masing pihak untuk melaksanakannya.
10. Itikad baik yaitu akad dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemaslahatan.
11. Sebab yang halal yaitu akad tidak bertentangan dengan hukum (Achmad
Fauzi; 2010:6)
Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-„aqdu dapat disamakan dengan
istilah verbintenis dalam KUH Perdata.93
Sedangkan istilah al-„ahdu dapat
disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenskomst, yaitu suatu perrnyataan
dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan orang lain.94
Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu
perikatan (al-„aqdu) melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut:95
1. Al „Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk
melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT
dalam QS. Ali-Imran: 76.
2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang
dinyatakan oleh pihak pertama, persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji
pihak pertama.
93 Djamil, Fathurrahman. Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan
oleh Mariam Darus Badrulzaman et. al. Cet. 1. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001), Hal 247-248
94
Ibid. Hal 248
95 Abdoerraoef. Al-Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study. (Jakarta: Bulan
Bintang. 1970), Hlm 122-123
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
69
Universitas Indonesia
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan aqdu oleh Al Qur‟an yang terdapat dalam QS.
Al-Maidah ayat 1:
“maka, yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan
perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau „ahdu itu, tetapi „akdu.
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus
dipenuhi:96
1. Subjek Perikatan (Al–„Aqidain)
Al–„aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari
suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad
(perikatan), dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum
sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak
pengemban hak dan kewajiban. Subjek dalam perikatan dapat dibagi
menjadi dua, yaitu orang dan badan hukum yang masing – masing memiliki
hak dan kewajiban. Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum
merupakan syarat subjektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara
para pihak.97
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 1 angka 2 yang menyebutkan bahwa subjek
hukum adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan
hukum untuk mendukung hak dan kewajiban.
2. Objek Perikatan (Mahallul „Aqd)
Mahallul „Aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan
padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa
96 Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan
atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatn tersebut dan ada tau tidak adanya
sesuatu itu. Secara singkat rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan. Syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟I dan ia berada
diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada. Sedangkan syarat
secara singkat didefinisikan sebagai ketentuan, peraturan atau petunjuk yang harus diindahkan dan
dilakukan. Rukun dan syarat menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi.
97 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit. Hlm.127
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
70
Universitas Indonesia
benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tidak berwujud
seperti manfaat. Pasal 24 KHES menyebut bahwa objek akad adalah amwal
atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masing-masing pihak.
Pengertian amwal pada Pasal 1 angka 9 adalah benda yang dapat dimiliki,
dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik benda berwujud maupun abstrak,
baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar, benda bergerak atau tidak
bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis
3. Tujuan Perikatan (Maudhu‟ul „Aqd)
Maudhu‟ul „aqd adalah tujuan dan hukum suatu aqad disyariatkan untuk
tujuan tersebut. Menurut ulama Fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila
sesuai dengan ketentuan syariah tersebut, apabila tidak sesuai, maka
hukumnya tidak sah.98
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat – syarat
yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai
akibat hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
b. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
c. Tujuan akad harus dibenarkan syara‟.
4. Ijab Kabul (Sighat al-„Aqd)
Sighat al–„Aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad
berupa ijab kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari
pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah
suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan
oleh pihak pertama. Para ulama Fiqh mensyaratkan tiga hal dalam
melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai
berikut:99
a. Jala‟ul ma‟na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
98
Fathurrahman Djamil, Op. Cit, hlm. 257 – 258
99 Ibid, hlm. 253
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
71
Universitas Indonesia
b. Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul.
c. Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak
para pihak secara pasti, tidak ragu dan tidak terpaksa.
Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan empat cara berikut ini:100
a. Lisan, para pihak menggungkapkan kehendaknya dalam bentuk
perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan
kabul yang dilakukan oleh para pihak.
b. Tulisan, adakalanya suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini
dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung
dalam melakukan perikatan, atau perikatan–perikatan yang sifatnya lebih
sulit, seperti perikatan yang dilakukan badan hukum. Hal ini diperlukan
karena alat bukti dan tanggung jawab terhadap orang–orang yang
bergabung dalam satu badan hukum tersebut.
c. Isyarat, suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal,
orang cacat pun dapat melakukan suatu perikatan (akad). Apabila
cacatnya adalah berupa tunawicara, maka dimungkinkan akad dilakukan
dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut
memiliki pemahaman yang sama. Dengan demikian ijab kabul dalam
bentuk isyarat hanya diakui jika salah satu atau kedua belah pihak tidak
dapat melakukan sighat aqad dalam bentuk lisan atau tertulis.
d. Perbuatan, seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini
perikatan dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara
lisan, tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta‟athi atau
mu‟athah (saling memberi dan menerima).
Di dalam lapangan hukum Islam, jual beli termasuk ke dalam lapangan
hukum perjanjian, atau aqad (Arab). Jual beli merupakan suatu bentuk aqad
khusus yaitu tunduk kepada ketentuan khusus tentang aqad jual beli namun tetap
100 Ahmad Azhar Basyir, Asas–asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam,
(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 2000), hlm. 68 - 71
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
72
Universitas Indonesia
tunduk kepada ketentuan umum tentang aqad.101
Jual beli menurut pengertian
lughawinya adalah saling menukar (pertukaran). Kata al-Bai‟ (jual) dan asy-Syira
(beli) digunakan biasanya dalam pengertian yang sama, tetapi mempunyai makna
yang bertolak belakang.102
Menurut pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran
harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan (yaitu berupa alat tukar).103
Berkaitan dengan jasa jual beli yang disediakan perbankan syariah dalam
bentuk produk pembiayaan selalu menyinggung two level of playing fields, yaitu
sharia level dan legal level. Sebagai konsekuensinya, satu istilah hukum akan
dapat menimbulkan dua arti yang berbeda pada level yang berbeda (the same
word may have two different meanings in different level). Dalam perspektif
hukum positif (legal level), akad sama dengan perjanjian, sementara dalam
perspektif syariah (sharia level) akad tidak selalu berati perjanjian. Suatu akad
baru dikatakan sebagai perjanjian jika dan hanya kesepakatan antara bank syariah
dan nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas dan harga objek transaksi serta
waktu penyerahan telah diketahui. 104
3.1.3 Kombinasi Hukum Perikatan KUH Perdata dan Hukum Islam dalam
Perjanjian Pembiayaan Murabahah
Hal mendasar yang membedakan perikatan antara Hukum Islam dan Hukum
Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada hukum perikatan Islam, janji pihak
pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru kemudian
lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama
101 M. Hasballah Thaib. Hukum dan Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam dan Praktek di
Bank Sistem Syariah. (Medan: Pustaka Bangsa Press. 2004) Hal 8-15.
102 Sayyid Sabiq. Fiqih Sunah. Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A. Marzuki. Jilid 12.
(Bandung: PT al-Ma‟arif. 1987), Hal 44
103 Ibid. Hal 45
104 Karim, A. Adiwarman. Op. Cit. Hal: 362
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
73
Universitas Indonesia
dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan di
antara mereka.105
Dalam pembuatan sebuah kontrak atau surat perjanjian, Bank tetap harus
memperhatikan nilai-nilai syariah dan mengacu pada hukum positif. Dengan
demikian langkah penyusunan serta bentuk formal surat perjanjian bank syariah
tidak akan jauh berbeda dengan surat perjanjian lainnya. Secara umum, dalam
membuat suatu kontrak perjanjian, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan
oleh para pihak, yaitu sebagai berikut:106
1. Penguasaan atas aspek bisnis dari kontrak
Para pihak harus mengetahui, memahami, serta menguasi aspek bisnis dari
kontrak yang akan mereka sepakati, baik dari sisi jenis, karakteristik hingga
risiko bisnis tersebut.
2. Identifikasi pihak-pihak dalam kontrak
Masing-masing pihak harus melakukan identifikasi terhadap para pihak yang
terlibat dalam kontrak yang akan disepakati, apakah yang terlibat dalam
perjanjian tersebut adalah suatu badan hukum atau perorangan.
3. Pengenalan karakteristik pihak-pihak dalam kontrak
Para pihak harus mengetahui serta memahami karakteristik pihak-pihak yang
terlibat dalam kontrak.
4. Penguasaan regulasi
Para pihak harus mengetahui, memahami serta menguasai seluruh regulasi
yang akan terkait dengan isi kontrak yang akan mereka sepakati.
5. Penggunaan tenaga lain
Para pihak harus mempertimbangkan dan memperhitungkan kemungkinan
penggunaan tenaga lain yang dapat menunjang terlaksananya kontrak mereka
dengan baik.
105 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 47
106 Karim, A. Adiwarman. Op. Cit. Hal: 364
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
74
Universitas Indonesia
Setelah mengetahui dan memahami beberapa hal yang terkait sebelum
membuat suatu kontrak, langkah selanjutnya adalah para pihak melakukan
beberapa tahap pembuatan kontrak, yaitu:107
1. Tahapan Permohonan dan Pengajuan Persyaratan
2. Kesepakatan para pihak
Dalam tahapan ini, para pihak berperan langsung untuk mendapatkan
kesepakatan awal tentang apa yang akan disepakati oleh kedua belah pihak
sebelum menuangkannya dalam sebuah kontrak. Kesepakatan harus
disepakati dalam sebuah kontrak. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka
para pihak tidak perlu membuat kontrak.
3. Negosiasi rancangan kontrak
4. Penandatangan kontrak
Penandatangan aqad atau kontrak dilakukan dalam satu majelis dengan
dihadiri oleh para pihak yang akan melakukan transaksi yaitu pihak nasabah,
Bank, Notaris dan saksi-saksi.
5. Pelaksanaan kontrak
Dalam tahapan ini diperlukan pengawasan dari Bank agar pembiayaan yang
diberikan oleh Bank digunakan sesuai tujuan awal oleh nasabah.
6. Sengketa kontrak
Mencantumkan klausula sengketa dalam kontrak merupakan hal yang
penting. Pada umumnya tahapan pertama mengatasi sengketa adalah dengan
musyawarah. Apabila tidak tercapai mufakat dan perdamaian maka ditempuh
langkah selanjutnya sesuai dengan disepakati dalam kontrak, berupa
penyelesaian melalui Arbitrase maupun di Pengadilan. Berkaitan dengan
kegiatan perbankan Syariah, maka penyelesaian dilakukan di Badan Arbitrase
Syariah Nasional, Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.
3.1.4 Bentuk Hubungan Hukum Para Pihak
Pada dasarnya segala transaksi antara bank syariah dengan nasabah,
terutama yang berbentuk fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam suatu
107 Ibid. Hal: 154
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
75
Universitas Indonesia
surat perjanjian. Berkaitan dengan hal ini maka para pihak dapat memasukkan
aspek-aspek syariah dalam konteks hukum positif Indonesia sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak yang memenuhi syarat sahnya perjanjian baik menurut
syariah maupun KUH Perdata Pasal 1320.108
Dengan kata lain, jika bank syariah
dan nasabah membuat perjanjian yang bentuk formalnya didasarkan pada Pasal
1320 dan 1338 KUH Perdata, sementara substansi perjanjian didasarkan atas
ketentuan syariah, maka perjanjian tersebut dikatakan sah baik dilihat dari segi
hukum nasional maupun sisi syariah.
Perikatan dalam Islam tidak jauh berbeda dengan konsep perikatan secara
perdata yang didasarkan pada ketentuan dalam KUH Perdata, karena perikatan
secara hukum Islam maupun hukum perdata sama-sama menimbulkan hubungan
hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perikatan tersebut. Begitu juga dalam
akad murabahah yang di dalamnya terdapat bentuk perikatan antara bank dan
nasabah, dimana bank bertindak sebagai sahib al-mal atau kreditur dan nasabah
bertindak sebagai debitur. Dari perikatan atau akad antara keduanya timbul
hubungan hukum berupa hak dan kewajiban masing-masing. Hak salah satu pihak
merupakan kewajiban pihak lain yang harus dipenuhi. Sehingga hak dan
kewajiban para pihak merupakan satu siklus yang tidak terputus sampai
terwujudnya tujuan perikatan.
Dilihat dari segi mengikat atau tidaknya suatu perikatan jual beli yang sahih,
maka jual beli dengan sistem murabahah bersifat mengikat kedua belah pihak,
sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad tanpa seizin pihak
lain.109
Berkaitan dengan hal tersebut maka terdapat hak dan kewajiban para pihak
yang ditentukan di dalam akad guna mencapai tujuan dari perikatan yang
dimaksud. Timbulnya hak di dalam Islam, menurut ulama Fiqih disebabkan oleh
hal-hal berikut:110
108 Ibid. Hal: 360
109 Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fiqh Muamalat. (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2004). Hlm 111
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
76
Universitas Indonesia
1. Syara‟, seperti berbagai ibadah yang diperintahkan.
2. Akad, seperti akad jual-beli, hibah, dan wakaf dalam pemindahan hak milik.
3. Kehendak pribadi, seperti nazar atau janji.
4. Perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang orang lain.
5. Perbuatan yang menimbulkan mudharat bagi orang lain, seperti mewajibkan
seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaian menggunakan milik seseorang.
Dalam perjanjian pembiayaan murabahah, hak milik nasabah maupun Bank
timbul akibat adanya akad murabahah yang di dalamnya melaksanakan proses
jual-beli. Sebagai akibat dari proses jual-beli, maka muncullah hak menerima
harga dan pembayaran bagi penjual (Bank) dan hak menerima barang bagi
pembeli (nasabah).111
Berkaitan dengan proses jual-beli maka tidak menutup
kemungkinan bahwa di dalamnya terjadi utang-piutang untuk pelunasan
pembayaran. Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya bahwa pelunasan
pembayaran murabahah bisa dilakukan dengan cara angsuran maupun tunai.
Dengan adanya pembayaran secara angsuran dan utang-piutang dalam murabahah
maka diperlukan perlindungan hak bagi Bank dan nasabah.
Perlindungan hak bagi Bank ditujukan agar Bank mendapatkan jaminan
pelunasan pembayaran atas skim murabahah yang telah disediakannya, terutama
bagi pembiayaan murabahah yang dilunasi dengan cara angsur oleh nasabah.
Telah banyak ditemukan kasus kredit macet terkait pembiayaan murabahah,
dimana nasabah mengalami kendala untuk melunasi angsurannya. Dalam
pemenuhan hak utang-piutang, hukum syariah Islam berpedoman pada Al-Qur‟an
sebagaimana disebutkan berikut:
“... dan jika (orang yang berutang) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai
ia berkelapangan. Dan sekiranya engkau menyedekahkannya, hal itu lebih
mulia bagimu jika mengetahui.”112
110 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 74
111
Ibid. Hal 73
112 QS. al-Baqarah ayat 280
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
77
Universitas Indonesia
Sejajar dengan hak masing-masing pihak yang dapat dituntut, ada kewajiban
yang harus dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Kewajiban dalam
pengertian akibat hukum dari suatu akad biasa diistilahkan sebagai “Iltizam”.
Secara istilah iltizam adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain
berbuat memberikan sesuatu atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat
sesuatu.113
Substabsi hak sebagai taklif (yang menjadi keharusan yang
terbebankan kepada orang lain) dari sisi penerima dinamakan hak, sedang dari sisi
pelaku dinamakan iltizam yang artinya keharusan atau kewajiban. Jadi antara hak
dan iltizam keduanya terkait dalam suatu konsep.114
Sebagimana sebab munculnya hak, munculnya kewajiban dalam Islam
disebabkan oleh hal-hal berkut:
1. Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak untuk melakukan sebuah
perikatan, seperti akad jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya.
2. Kehendak sepihak, yaitu keadaan seperti ketika sesorang menyampaikan
suatu janji atau nazar.
3. Perbuatan yang bermanfaat, yaitu seperti ketika seseorang melihat orang
lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongan.
Maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya.
4. Perbuatan yang merugikan, yaitu seperti ketika sesorang merusak atau
melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebani oleh iltizam
atau kewajiban tertentu.
Iltizam atau kewajiban dalam Islam terhadap suatu hutang pada prinsipnya
harus dipenuhi oleh orang yang berutang secara langsung. Namun dalam kondisi
tertentu Hukum Islam memberikan beberapa alternatif pemenuhan iltizam,
misalnya melalui cara:115
113 Ghufron, A. Mas‟adi. Op. Cit. Hal 34
114 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 78.
115 Ibid. Hlm 79-80
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
78
Universitas Indonesia
1. Hawalah, yaitu pengalihan iltizam atau kewajiban berupa keharusan
membayar utang kepada pihak lain (pihak ketiga). Prinsip hawalah ini
banyak digunakan pada kehidupan modern. Sebagai contoh misalnya
seorang nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan
piutang tersebut kepada bank. Pihak bank lalu membayar piutang tersebut
lalu bank menagih pada pihak ketiga.
2. Kafalah (mengumpulkan, menjamin, menanggung), yaitu jaminan yang
diberikan oleh pihak penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua, yakni pihak yang ditanggung.
3. Taqashi, merupakan suatu keadaan di mana orang berpiutang terhalang
menagih piutangnya karena ia sendiri berutang kepada orang yang
berpiutang kepada dirinya. Dalam kondisi seperti ini masing-masing
terhalang untuk menuntut hak tagihan, namun mereka tetap terbebani
dengan iltizam atau kewajiban masing-masing.
Sehubungan dengan hubungan hukum antara Bank Syariah dengan nasabah,
yang berlaku adalah hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata
karena KUH Perdata merupakan hukum positif di Indonesia. Dalam hukum
perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, bagi pembuatan suatu perjanjian
berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Berdasarkan asas ini
maka setiap pihak bebas memperjanjikan hal-hal yang dikehendaki oleh mereka
sebagi isi perjanjian sepanjang isi perjanjian tidak bertentangan dengan Undang-
Undang serta ketertiban umum. Dengan disepakatinya hal-hal tertentu sebagai isi
perjanjian maka perjanjian tersebut berlaku secara sah dan mengikat sebagai
Undang-Undang terhadap para pihak yang membuatnya.
Sebagian besar ketentuan hukum perjanjian dalam KUH Perdata bersifat tidak
memaksa (aanvullend recht) yang berarti boleh disimpangi oleh para pihak
dengan membuat ketentuan dan syarat-syarat lain yang dibuat di dalam perjanjian.
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat di antara para pihak mengenai isi suatu
perjanjian, sementara hal yang dipersengketakan tersebut tidak diatur secara tegas
di dalam perjanjian maupun dalam hukum perjanjian, maka para pihak dapat
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
79
Universitas Indonesia
mengacu pada ketentuan kebiasaan.116
Ketentuan di atas sesuai juga dengan Pasal
1347 KUH Perdata yang menentukan bahwa “hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan, secara diam-diam dianggap telah dimasukkan pula
kedalam perjanjian itu, meskipun hal yang demikian itu tidak secara tegas
dinyatakan dalam perjanjian itu”.
Dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 1347 KUH Perdata itulah
ketentuan syariah berlaku bagi penafsiran perjanjian antara bank syariah dengan
nasabah. Sekalipun prinsip atau ketentuan syariah bukanlah merupakan hukum
positif, tetapi prinsip atau ketentuan syariah berkedudukan sebagai hukum
kebiasaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1347 KUH Perdata. Oleh karena itu
berlaku terhadap hubungan hukum antara bank dan nasabahnya sepanjang belum
diatur dalam perjanjian dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang memaksa
dalam hukum perjanjian. Dengan kata lain apabila di dalam perjanjian antara
Bank Syariah dengan nasabah telah tidak diperjanjikan mengenai hal yang
dipersengketakan, sedangkan dalam KUH Perdata juga tidak mengaturnya, maka
prinsip atau ketentuan syariah itu (yang belum dituangkan sebagai ketentuan dan
syarat-syarat dari perjanjian yang bersangkutan) harus dirujuk.117
Pada umumnya, perjanjian kredit bank mempunyai bentuk baku (standart
contract) yang telah ditentukan oleh masing–masing bank. Standart contract
merupakan perjanjian tertulis yang isinya telah ditentukan secara sepihak oleh
bank sebagai pihak kreditur. Dalam prakteknya bentuk perjanjian kredit bank
memang telah disediakan pihak bank sedangkan nasabah hanya tinggal
mempelajari dan memahaminya dengan baik. Dengan adanya standart contract,
ketika bank telah menyetujui permohonan kredit kepada nasabah, maka bank akan
mengajukan formulir perjanjian kredit yang berisi perjanjian antara pihak bank
dengan nasabah tersebut. Dalam kontrak standar tersebut sebagian besar isisnya
116 Hal ini berdasarkan Pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang”
117 Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia. (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. 1999), Hal 137.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
80
Universitas Indonesia
sudah ditetapkan oleh pihak Bank yang tidak membuka kemungkinan untuk
dinegosisasikan lagi, sementara sebagian lagi sengaja dikosongkan untuk
memberikan kesempatan negosiasi dengan pihak nasabah dan baru diisi setelah
diperolah kesepakatan.118
Pada umumnya nasabah menyetujui apa yang tertera
dalam standart contract tersebut dan menandatanganinya.
Pembuatan perjanjian antara Bank Syariah dan nasabah dengan metode
standard contract tentu merupakan perjanjian yang berat sebelah. Sebagaimana
diketahui bahwa perjanjian baku dalam perbankan dibuat secara sepihak oleh
Bank, sehingga perjanjian baku sering berat sebelah yaitu memuat lebih banyak
hak-hak Bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, dan kurang memuat secara
seimbang mengenai hak-hak nasabah dan kewajiban-kewajiban Bank. Dalam
perjanjian baku seperti ini banyak dimasukkan klausula yang menekan nasabah
dimana hal tersebut bertentangan dengan asas kepatutan atau asas keadilan.
Pada banyak kasus, pengadilan sering berpendapat bahwa dalam hal
pembuatan perjanjian yang berat sebelah, Bank dianggap telah melakukan
penyalahgunaan keadaan atau misbruik van omstandigheden yang berarti bahwa
saat perjanjian dibuat Bank telah menyalahgunakan keadaan nasabah yang lemah
dan tidak berdaya dalam menghadapi Bank yang mempunyai bargaining power
lebih kuat sebagai penyedia dana sementara nasabah sebagai pihak yang sangat
membutuhkan fasilitas pembiayaan. Jika nasabah menolak klausul yang diajukan
oleh Bank maka Bank akan menolak memberikan pembiayaan.119
3.2. Aspek Prudential Banking Terkait Pembiayaan Murabahah
Sebagaimana halnya perbankan konvensional, dunia perbankan syariah juga
memerlukan rambu-rambu sebagai koridor operasional kegiatannya. Hal ini sering
disebut dengan prudential principle yang diartikan sebagai prinsip kehati-hatian
118
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Peransurasian Syariah
Di Indonesia. (Jakarta: Kencana. 2004), Hal 186.
119 Sjahdeini, Op. Cit. Hal 139 – 140
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
81
Universitas Indonesia
di dalam dunia perbankan. Istilah prudent sangat terkait dengan pengawasan dan
manajemen bank. Kata prudent itu sendiri secarara harfiah dalam bahasa
Indonesia berarti bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan
untuk asas kehati–hatian.120
Ketentuan bahwa lembaga perbankan syariah harus
menerapkan prudential principle dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 10
tahun 1998 yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan. Menurut Sutan Remy Sjahdeini diabaikannya rambu –
rambu kesehatan oleh bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah
memberikan dampak kerugian yang jauh lebih besar dari pada hal itu dilakukan
oleh bank konvensional.121
Adapun alasan mengenai hal itu, alasan pertama, karena resiko yang
dihadapi oleh Bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam
hal pembiayaan diberikan berdasarkan prinsip bagi hasil kepada nasabahnya, jauh
lebih besar dari pada resiko yang dihadapi oleh bank konvensional yang
memberikan kredit dengan jaminan. Pada pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil, bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip Syariah tidak boleh
meminta agunan dari nasabah. Dengan kata lain, bank yang menjalankan usaha
bedasarkan prinsip syariah semata–mata hanya dapat mengandalkan first way out
sebagai sumber pengembalian dana yang diinvestasikan oleh bank dalam bentuk
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil. Sedangkan pada pemberian kredit
oleh bank konvensional, penyerahan agunan oleh nasabah debitur merupakan
unsur penting sebagai second way out, juga bank konvensional masih dapat
mengandalkan second way out berupa agunan kredit dan penjaminan apabila first
way out mengalami kegagalan.122
Alasan kedua, apabila terjadi kegagalan pada pembiayaan yang diberikan
oleh bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip Syariah, nasabah tidak
120 Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hal.21.
121
Sjahdeini, Op. Cit. Hal 172
122 Ibid. Hal 173
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
82
Universitas Indonesia
berkewajiban untuk mengembalikan dana bank tersebut. Sebagaimana telah
diuraikan dimuka, pada pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, banklah yang
harus memikul kehilangan dana yang telah diberikan kepada nasabah untuk
diputarkan dalam usahanya. Sedangkan resiko yang dipikul nasabah hanya berupa
tidak memperoleh keuntungan dari jerih payahnya dalam menjalankan dan
mengelola usaha itu.123
Pada prakteknya, bank syariah memang mengenakan agunan atau jaminan
pada beberapa pembiayaan yang dikembangkannya. Alasan utama adanya agunan
pada bank syariah adalah untuk melaksanakan prinsip kehati–hatian dalam
menyalurkan dana pihak ketiga, hal ini sebagai bentuk penerapan prinsip 5 C‟s of
Credit. Alasan ini memang dapat diterima, karena dana yang disalurkan ke
masyarakat bukan hanya dana milik bank sendiri, tetapi juga ada dana yang
berasal dari pihak ketiga yang harus dilindungi oleh pihak bank syariah. Tujuan
dilakukan pengikatan jaminan adalah untuk melaksanakan prinsip kehati–hatian.
Sedangkan prinsip kehati–hatian berdasarkan Syariat Islam adalah pada syarat
sahnya perjanjian Islami itu sendiri. Muhammad Amin Suma mengatakan bahwa
asas – asas perjanjian dalam perbankan Syariah adalah asas rela sama rela (ridha
„iyyah), asas manfaat, asas keadilan, dan asas saling menguntungkan.124
Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh
bank mengandung resiko, sehingga dalam setiap pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus memperhatikan asas–asas
perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan
berdasarkan prinsip kehati–hatian. Untuk itu sebelum memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap berbagai aspek.
Penetapan rambu-rambu perbankan tersebut ditujukan agar bank sebagai
financial intermediary institution yang melakukan kegiatan usaha perkreditannya,
123 Ibid. Hal 174
124 Muhammad Amin Suma, Ekonomi Syariah sebagai Alternatif System Ekonomi
Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 20, Agustus –September 2002, hlm. 18
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
83
Universitas Indonesia
yang menggunakan dana masyarakat dan pihak ketiga lainnya harus selalu dalam
keadaan sehat.125
Baik bank umum, bank perkreditan rakyat maupun bank syariah
wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, serta
wajib melakukan kegiatan usaha bank dengan prinsip kehati-hatian.126
Prinsip kehati-hatian atau prudential principle ini kemudian dituangkan
lebih detail ke dalam prudential standards atau rambu-rambu kesehatan bank.
Pada Pasal 29 ayat 3 Undang – undang Perbankan menegaskan bahwa:
“dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan
melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara - cara yang
tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan
dananya kepadanya.
Ketentuan ini terdapat pula dalam Pasal 36 Undang – undang Perbankan
Syariah, yang berbunyi:
“dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya,
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib menempuh cara–cara
yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan nasabah
yang mempercayakan dananya”.
Pasal 29 ayat 3 UU Perbankan secara khusus meminta perhatian mengenai
kepentingan nasabah penyimpan dana bank yang harus dijaga yang mungkin
dibahayakan sebagai akibat bank tidak memperhatikan prinsip kehati–hatian
dalam memberikan pembiayaan dalam kegiatan usaha lain.127
Mengenai prinsip
125 Ibid. Hal 171
126 Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 29 ayat (2)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
84
Universitas Indonesia
kehati–hatian dalam perbankan syariah secara jelas dinyatakan dalam Pasal 35
ayat 1 Undang – undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008, yang berbunyi:
“Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam melakukan kegiatan
usahanya wajib menerapkan prinsip kehati–hatian”.
Dalam perspektif Islam prinsip kehati–hatian dalam bertransaksi sangat
ditekankan, begitu pentingnya prinsip kehati–hatian ini Rasulullah SAW
menyatakan dalam sabdanya:
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah SAW, beliau
membenarkannya” (H.R. Thabrani dari Ibnu Abbas).
Dalam pelaksanaannya, pelanggaran atas prudential standards pada
perbankan konvensional maupun perbankan syariah dapat dikenakan berbagai
macam sanksi tergantung jenis pelanggarannya. Bank Indonesia dapat
menjatuhkan sanksi administratif, sanksi pidana berupa penjara dan denda,
maupun sanksi perdata baik kepada bank maupun pada pengurus dan pemilik
bank yang bersangkutan.128
127 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontak dan Perlindungan yang Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
hlm. 174
128 Ibid. Hal 172
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
85
Universitas Indonesia
3.2.1 Analisis Pembiayaan
Analisis pembiayaan dilakukan secara mendalam terhadap itikad,
kemampuan serta kesanggupan nasabah untuk mengembalikan dana pembiayaan
yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan129
antara bank sebagai shahib al-
maal dan nasabah sebagai mudharrib. Dalam hal ini Bank Syariah wajib memiliki
keyakinan atas kemampuan nasabah dalam mengembalikan pembiayaan.
Operasionalisasi analisis pembiayaan berdasarkan prinsip syariah ini diatur lebih
lanjut dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Analisis
pembiayaan ini sering diterapkan dengan melakukan penilaian 5C, penilaian 5P,
serta penilaian 3R yang terdiri dari Returns, Repayment, dan Risk Bearing Ability
kepada nasabah pemohon pembiayaan.130
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, yang harus dinilai oleh bank syariah sebelum
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitor (mudharib),
yang kemudian terkenal dengan sebutan “The Five C of Credit Analysis” atau
prinsip 5 C‟s yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Character (Karakter)
Merupakan penilaian watak atau kepribadian calon debitor yang
dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitor
untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman, sehingga tidak akan
menyulitkan bank dikemudian hari. Hal ini dapat diperoleh dengan
didasarkan pada hubungan antara bank dan calon debitor atau nasabah
berdasarkan prinsip syariah atau informasi yang diperoleh dari pihak
lain yang mengetahui moral, kepribadian dan perilaku calon debitor
dalam kehidupan kesehariannya.
2. Capacity (Penilaian Kemampuan)
Merupakan penilaian kemampuan yang dilakukan oleh Bank untuk
meneliti keahlian calon debitor dalam bidang usahanya dan kemampuan
129 Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Pasal 8 ayat (1)
130 Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam
Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), Mandar Maju, 2004, hal.16.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
86
Universitas Indonesia
manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan
dibiayainya dikelola oleh orang–orang yang tepat.
3. Capital (Modal)
Merupakan penilaian terhadap modal nasabah yang dilakukan oleh
Bank dengan cara melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara
menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat
diketahui kemampuan permodalan calon debitor dalam menunjang
pembiayaan proyek atau usaha calon debitor yang bersangkutan.
4. Collateral (Jaminan)
Merupakan penilaian yang dilakukan terhadap agunan, Tujuannya
untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitor umumnya
wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan yang nilai minimalnya sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diberikan kepadanya. Hal ini untuk mengantisipasi
jika debitor tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tersebut dapat
dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau
pembiayaan yang tersisa.
5. Condition of economy (Kondisi Ekonomi)
Merupakan penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitor. Bank
harus menganalisis keadaan pasar didalam dan diluar negeri baik masa
lalu maupun yang akan datang sehingga masa depan pemasaran dari
hasil proyek atau usaha calon debitor yang dibiayai bank dapat
diketahui. 131
Selain menerapkan prisip 5 C‟s diatas, bank juga harus menerapkan
prinsip 5 P sebagai berikut:
1. Party (Para Pihak)
Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap
pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh
suatu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal ini debitor.
Bagaimana karakternya, kemampuannya, dan sebagainya.
2. Purpose (Tujuan)
Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak
kreditor. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal – hal
yang positif yang benar – benar dapat menaikkan income perusahaan.
Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar – benar
diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam suatu perjanjian
kredit serta harus pula diperhatikan urgensi dari kredit yang diminta.
3. Payment (Pembayaran)
131 Rachmadi Usman, Aspek – aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Cet. 1,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002) hlm 246
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
87
Universitas Indonesia
Harus pula diperhatikan apakah sumber pembiayaan kredit dari calon
debitor cukup tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian
diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar
kembali oleh debitor yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan
dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti, debitor punya sumber
pendapatan dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk
membayar kembali kreditnya.
4. Profitability (Perolehan Laba)
Unsur perolehan laba oleh debitor tidak kurang pula pentingnya dalam
suatu pemberian kredit. Untuk itu kreditor harus berantisipasi apakah
laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga
pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi
pembayaran kembali kredit, cash flow, dan sebagainya
5. Protection (Perlindungan)
Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitor.
Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan dari
holding atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan,
terutama untuk berjaga–jaga sekiranya terjadi hal–hal diluar skenario
atau diluar prediksi semula. 132
3.2.2 Penetapan Batas Maksimum Pemberian Kredit
Istilah Batas Maksimum Pemberian Kredit biasa juga disebut sebagai
BMPK, yaitu merupakan prosentase perbandingan batas maksimum penyediaan
dana yang diperkenankan terhadap modal Bank. Latar belakang ditetapkannya
ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah agar bank
melakukan penyebaran risiko dalam penanaman dananya sedemikian rupa agar
tidak terpusat pada peminjam, kelompok peminjam, atau bahkan sektor tertentu.
Pasal 11 ayat (1) Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998
menyebutkan bahwa Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas
maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang
serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok
peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan–perusahaan dalam kelompok
yang sama dengan bank yang bersangkutan.
132 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1996), hlm. 24 – 26
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
88
Universitas Indonesia
Penerapan BMPK ini terbagi dalam BMPK terhadap pihak terkait (yang
merupakan peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai keterkaitan
dengan Bank karena hubungan kerja, keluarga maupun kepemilikan saham) dan
pihak tidak terkait. Ketentuan mengenai besarnya BMPK diatur oleh Bank
Indonesia. Berdasarkan Pasal 20 SK Direksi Bank Indonesia No.
31/177/KEP/DIR maka ketentuan tentang BMPK bagi bank umum berlaku juga
pada bank dengan prinsip syariah.
3.2.3 Loan to Deposit Ratio (LDR)
Adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan
dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. Dengan ditetapkannya
batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan dan loan to deposit ratio
yang harus diperhatikan oleh bank syariah, maka bank syariah tidak dapat begitu
saja secara serampangan melakukan ekspansi pembiayaan dengan hanya bertujuan
untuk secepatnya membesarkan jumlah asetnya. Hal ini dikarenakan dapat
membahayakan kelangsungan hidup bank dan membahayakan dana simpanan
para nasabah penyimpan dana di bank tersebut.133
3.2.4 Modal Minimum Bank
Permodalan suatu Bank terdiri dari modal inti dan modal pelengkap. Modal
minimum bank atau sering juga disebut dengan capital adequacy ratio (CAR)
merupakan kecukupan modal minimum yang harus disediakan oleh bank. Batas
minimum CAR dapat diubah sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia. Berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 ditetapkan
bahwa Bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus)
dari aktiva tertimbang menurut risiko terhitung sejak akhir bulan Desember 2001.
Posisi CAR sangat tergantung pada: 134
133
Sjahdeini, Sutan Remy. Op. Cit. Hal 177
134 Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, 2007, Jakarta : Pustaka
Utama Grafiti. Hlm 165
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
89
Universitas Indonesia
a. Jenis aktiva serta besarnya risiko yang melekat padanya.
b. Kualitas aktiva atau tingkat kolektibilitasnya.
c. Total aktiva suatu bank, semakin besar aktiva, semakin bertambah pula
risikonya.
d. Struktur posisi dan kualitas permodalan bank.
e. Kemampuan bank untuk meningkatkan pedapatan dan laba.
3.2.5 Kualitas Aktiva Produktif
Aktiva produktif adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah
maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, surat berharga syariah,
penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan
kontijensi pada transaksi rekening administratif serta Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia.135
Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa
rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai satu nasabah, dalam
satu bank yang sama. Penetapan kualitas yangsama berlaku pula untuk Aktiva
Produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang diberikan oleh lebih dari satu
bnak yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama dan/atau
sindikasi.
Kualitas Aktiva Produktif wajib dinilai secara bulanan.136
Bank wajib
memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan persyaratan nasabah yang
wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan Publik,
termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian laporan tersebut. Kewajiban
nasabah untuk menyampaikan laporan keuangan wajib dicantumkan dalam
perjanjian antara bank dan nasabah.137
Ketentuan intern itu wajib memperhatikan
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Penanaman dana bank dalam
bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan dokumen yang lengkap. Kualitas
135 Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. TLN No.
4647. Pasal 1 angka 3
136
Ibid. Pasal 7
137 Hasan, Zubairi. Undang – Undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan
Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali Press. 2009. Hal 167
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
90
Universitas Indonesia
Aktiva Produktif yang oleh bank telah ditetapkan Lancar dan Dalam Perhatian
Khusus akan diturunkan oleh Bank Indonesia menjadi setinggi-tingginya kurang
lancar, apabila dokumentasi nasabah tidak dapat memberikan informasi yang
cukup.
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk pembiayaan dinilai berdasarkan (a)
prospek usaha, (b) kinerja nasabah (performance), dan (c) kemampuan membayar.
Kualitas pembiayaan ditetapkan menjadi lima golongan, yaitu Lancar, Dalam
Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet (Pasal 9 PBI No.
8/21/PBI/2006)
3.2.6 Posisi Devisa Neto
Posisi Devisa Neto (PDN) adalah angka yang merupakan penjumlahan dari
nilai absolut untuk jumlah dari: (a) selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca
untuk setiap valuta asing ditambah dengan (b) selisih bersih tagihan dan
kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontijensi dalam rekening
administratif untuk setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.
Posisi Devisa Neto harus dipelihara oleh Bank untuk dihitung secara konsolidasi,
yaitu mencakup seluruh kantor cabang di dalam negeri maupun luar negeri.
Ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto ini ditetapkan melalui SK Direksi Bank
Indonesia No. 31/178/KEP/DIR.
3.2.7 Giro Wajib Minimum
Giro Wajib Minimum atau disebut juga dengan statutory reserve merupakan
simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening
giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar
presentase tertentu dari DPK.138
Pengaturan mengenai besaran GWM bagi Bank
yang bergerak dengan prinsip Syariah dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia
No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing
138 Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 61/15/PBI/2004 Tentang Giro Wajib
Minimum. Pasal 1 angka 4
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
91
Universitas Indonesia
Bagi Bank Umum yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PBI No. 2/7/PBI/2000 ditetapkan bahwa GWM
dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dari DPK Bank dalam
rupiah. Sementara GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 3% (tiga
perseratus) dari DPK Bank dalam valuta asing.
3.2.8 Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi Tahun
Para nasabah sebagai penyimpan dana mempunyai kepentingan untuk selalu
mengetahui keadaan keuangan banknya dari waktu ke waktu. Pemantauan atas
keuangan bank ini antara lain dapat dilakukan melalui neraca dan perhitungan
laba atau rugi bank yang bersangkutan. Undang-Undang Perbankan sendiri telah
mewajibkan Bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba atau rugi
pada masyarakat dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pelaksanaan kewajiban untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba
atau rugi tersebut secara tertib oleh setiap bank termasuk bank syariah sangat
diperlukan oleh masyarakat mengingat tingkat kesehatan masing-masing bank
(sesuai dengan penilaian Bank Indonesia) bersifat rahasia dan tidak boleh
diketahui oleh umum. Hanya melalui neraca dan perhitungan laba atau rugi
tahunan dari bank yang bersangkutan, sebagaimana diumumkan melalui media
cetak, masyarakat dapat mengetahui secara superficial keadaan keuangan bank
tertentu.
3.3 Pilihan Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Murabahah
Dalam konteks perbankan syariah, khususnya di Indonesia mengenai
alternatif penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak telah
mengalami perkembangan yang signifikan baik dari segi peraturan hukum
maupun kelembagaan. Hal ini ditunjukkan dengan diundangkannya Undang-
Undang nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1999 tentang Peradilan Agama. Poin inti dari amandemen Undang–undang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
92
Universitas Indonesia
Peradilan Agama ini adalah terletak pada penambahan kewenangan pengadilan
agama berupa kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus
sengketa di bidang ekonomi syariah.
Islam sebagai sebuah agama yang lebih mencintai perdamaian dan
menjadi pedoman bagi peluknya-pemeluknya, dalam hal sengketa muamalah yang
timbul menegaskan akan lebih utama jika diselesaikan melalui cara-cara damai
(tasaluh). Untuk itu para pihak yang ada sebaiknya lebih mengedepankan
menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa.
Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada
dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak,
serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk
mufakat tidak tercapai baru para pihak dapat menempuh upaya lain yaitu melalui
jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last
resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.
Institusi penyelesaian sengketa dan sanksi-sanksi merupakan fase terakhir
dalam upaya penegakan hukum terkait Perbankan Syariah. Dalam upaya
penyelesaian sengketa pembiayaan murabahah yang termasuk sengketa syariah,
Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa
penyelesaian sengketa tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Penyelesaian sengketa terkait Perbankan Syariah setidaknya telah diatur dalam
tiga peraturan perUndang-Undangan yaitu:139
a. Undang–undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b. Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan
Jasa Bank Syariah.
139 Hasan, Zubairi. Op. Cit. Hal 226
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan melalui dua jalur
pengadilan, yaitu:
1. Dilakukan oleh pengadilan agama dalan lingkungan peradilan agama, serta
2. Di luar pengadilan agama dalam hal para pihak telah memperjanjikan melalui
akad penyelesaian sengketa selain melalui pengadilan agama. Dengan catatan
penyelesaian sengketa tadi tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan
agama sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut: (a) musyawarah,
(b) mediasi perbankan, (c) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau (d) melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.
Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan
kehakiman (judicial power) yang secara konstitusional lazim disebut badan
yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang
memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di
bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang
berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang. Namun berdasarkan Pasal 1851,
Pasal 1855 dan Pasal 1858 KUH Perdata, penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun
1970 serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak
menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non
litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).140
Khusus untuk lembaga-lembaga ekonomi syariah, pada umumnya lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan terutama adalah melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas). Dengan demikian, litigasi atau penyelesaian
140 Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada
Media), 2005, hal. 288
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
94
Universitas Indonesia
sengketa melalui gugatan di pengadilan bukan satu-satunya lembaga atau cara
yang dapat menyelesaikan sengketa, sebab tersedia beberapa alternatif untuk
menyelesaikan perkara di luar pengadilan, yakni arbitrase dan Alternative Dispute
Resolution (ADR).
Alternatif Penyelesaian Sengketa (alternative dispute resolution) diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, dimana dalam Pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa:
“alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi
atau penilaian ahli.” Maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan
sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti
arbitrase atau perdamaian (islah).141
Pada umumnya di dalam kontrak bisnis sudah disepakati mengenai
penyelesaian sengketa agar diserahkan kepada forum tertentu. Para pihak dapat
memilih untuk mengajukan sengketa ke lembaga pengadilan maupun lembaga di
luar pengadilan yaitu arbitrase. Disamping itu, dalam klausul yang dibuat oleh
para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan
apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law).142
3.3.1 Penyelesaian Sengketa Pada Pengadilan Agama
Pasal 49 Undang – undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
menjelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
sedekah dan ekonomi syariah. Berdasarkan penjelasan Pasal 49 tersebut, yang
dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
141 Karnaen Perwataatmaja, Op., Cit, hlm.78
142 Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari`ah, Makalah
Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hlm. 7
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
95
Universitas Indonesia
dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain meliputi: (a) bank syariah, (b)
lembaga keuangan mikro syariah, (c) asuransi syariah, (d) reasuransi syariah, (e)
reksadana syariah, (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah
syariah, (g) sekuritas syariah, (h) pembiayaan syariah, (i) pegadaian syariah, (j)
dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan (k) bisnis syariah.
Ketentuan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah merupakan
bagian dari kewenangan pengadilan agama diperkuat oleh Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
menyebutkan bahwa “penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”. Meskipun demikian dalam Pasal
55 ayat (2) tidak menutup kemungkinan bagi penyelesaian sengketa untuk
dilakukan sesuai dengan kesepakatan para pihak di dalam akad perjanjian.
Kewenangan pengadilan agama untuk melakukan eksekusi putusan
arbitrase dalam sengketa ekonomi syariah tercantum dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 8 tahun 2008 tanggal 10 Oktober 2008 tentang
Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Pada perkembangannya kewenangan
ini dicabut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010
menyebutkan bahwa mengenai eksekusi putusan arbitrase (termasuk putusan
Basyarnas) dilakukan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri.143
Bank dan nasabah sebagai pihak yang membuat perjanjian, pada
pelaksanaannya membuat kesepakatan untuk mengajukan eksekusi pada
pengadilan agama ataupun pengadilan negeri sesuai dengan domisili yang
disepakati. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa
bisnis (ekonomi) syari‟ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini
akan dicapai keselarasan antara hukum materil yang berlandaskan prinsip-prinsip
Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga
Peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama
Islam serta telah menguasai hukum.
143 Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 59 ayat (3)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
96
Universitas Indonesia
3.3.2 Penyelesaian Sengketa Pada Pengadilan Negeri
Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum disebutkan:
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui
Pengadilan Negeri sebagaimana kemungkinan tersebut dimuat dalam penjelasan
Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang menyebutkan secara opsional bahwa penyelesaian sengketa yang
bisa dipilih oleh para pihak diantaranya: (a) musyawarah, (b) mediasi perbankan,
(c) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase
lain; dan/atau (d) melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Pengadilan Negeri disebut sebagai salah satu lembaga penyelesaian
sengketa perbankan syariah dikarenakan di dalam kegiatan perekonomian yang
dijalankan oleh Bank Syariah, selain terkandung ketentuan syariah dan hukum
Islam, mengandung juga ketentuan perdata sebagai hukum positif Indonesia
sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata sehingga penyelesaiannya dapat
dilakukan di Pengadilan Negeri. Institusi Pengadilan Negeri yang dimaksud di
sini adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
tempat para pihak tinggal.
Pengadilan Negeri merupakan institusi yang dirasa kurang tepat untuk
menangani dan mengadili kasus sengketa ekonomi syariah karena bagaimanapun
lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda
dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terkait dalam akad syariah.
Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi
penyelesaian sebuah perkara. Begitu juga dilihat dari kapasitas para hakim pada
Pengadilan Negeri dimana hakim peradilan umum belum tentu menguasai
masalah ekonomi syariah. Peran Pengadilan Negeri dalam sengketa perbankan
syariah adalah dalam hal eksekusi putusan lembaga arbitrase.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
97
Universitas Indonesia
Dalam hal terjadi para pihak yang tidak melaksanakan putusan dari
lembaga arbitrase secara suka rela, maka putusan arbitrase tersebut dijalankan
menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 dan 639 Reglement op de
Rechtsvordering (RV). Menurut ketentuan Pasal 637 dan 639 RV, Pengadilan
Negeri memiliki peranan yang penting dalam memberikan exequatur atau
eksekusi bagi putusan arbitrase.
3.3.4 Badan Arbitrase Syariah Nasional
Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sangat
diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh
kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan
juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan
kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai badan permanen dan independen yang
berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul
dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan
umat Islam.144
Di Indonesia, lembaga penyelesaian sengketa yang dapat menerapkan Hukum
Islam adalah Pengadilan Agama. Ruang lingkup perkara yang dapat diselesaikan
oleh Pengadilan Agama sebenarnya sangat terbatas, seperti yang diatur dalam
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.145
Selain berdasarkan pada Pasal 49 ayat (1) tersebut, kewenangan
Peradilan Agama dapat mencakup juga penyelesaian perkara muamalat di bidang
perekonomian. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi “Selain tugas dan
144 Diakses dari artikel Sejarah BASYARNAS
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57&Itemid=83 pada 12
Desember 2011
145
Isi Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah “ Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a. perkawinan; b. kewarisan;
wasiat; dan hibah; yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam; c. wakaf dan sedekah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
98
Universitas Indonesia
kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51,
Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan
Undang-Undang”.
Sementara Undang-Undang yang dimaksud di atas belum terbit, maka pada
tahun 1993 Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dibentuk sebagai
salah satu upaya untuk melakukan penyelesaian sengeketa di bidang muamalat
(khususnya perekonomian syariah). Berdirinya BAMUI dimaksudkan sebagai
antisipasi atas permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat penerapan
hukum muamalah oleh lembaga keuangan syariah yang pada waktu itu berdiri.146
Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal
21 Oktober 1993. BAMUI didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai
dengan akta notaris Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.
Pada Pasal 1 Peraturan Prosedur BAMUI, disebutkan mengenai yurisdiksi
BAMUI yang meliputi:
a. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri,
keuangan, jasa dan lain-lain dimana para pihak sepakat secara tertulis untuk
menyerahkan penyelesaiannya kepada BAMUI sesuai dengan Peraturan
Prosedur BAMUI.
b. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa
mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para
pihak.
Pada perkembangannya kemudian, BAMUI dijadikan sebagai cikal bakal
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah
satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang
datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain
yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat
memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional selama yang bersangkutan
mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.
146 Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 183
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
99
Universitas Indonesia
Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus
Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-
sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat
diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam. Kedudukan hukum Basyarnas
sendiri menjaid semakin kuat setelah dikeluarkannya Undang – undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam Pasal 4 PBI Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan
Jasa Bank Syariah dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa antara bank dengan
nasabah dilakukan secara musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui mediasi, termasuk
mediasi perbankan. Dan jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka
penyelesaian dilakukan melalui mekanisme arbitase syariah atau melalui lembaga
peradilan yang ditentukan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase syariah bersifat mengikat
(binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada
lembaga arbitrase tersebut). Hasil putusan Badan Arbiterase Syariah bersifat final
dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Apabila hasil
putusan Badan Aribiterase Nasional itu tidak dilakukan secara sukarela, maka
pelaksanaan putusan atau eksekusi dilaksanakan berdasarkan perintah pengadilan
negeri yang disepakati oleh para pihak atau oleh pengadilan Agama. Keputusan
arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan hukum dari putusan Badan Arbitrase
Syariah Nasional tersebut.147
Pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional, sama dengan aturan
yang berlaku dalam Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang diatur dalam Pasal
147
Manan, Abdul. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah Kewenangan Baru
Pengadilan Agama. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis
Universitas YARSI ke 40 pada 7 Februari 2007 di Kampus YARSI Jakarta. Diunduh dari
www.badilag.net/data/ARTIKEL/makalah%20pak%20manan.pdf pada 25 April 2012.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
100
Universitas Indonesia
59-64 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus
melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan
pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada
kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar
asli atau salinan autentik putusan arbitrase oleh arbiter atau kuasanya ke Panitera
Pengadilan Negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase
diucapkan. Upaya hukum atas putusan Basyarnas dan eksekusi sebagaimana
halnya putusan arbitrase lainnya adalah ke Pengadilan Negeri, akan tetapi menurut
Muh. Nasikhin, sengketa perbankan syariah yang diselesaikan Basyarnas, maka
pengajuan permohonan pembatalan terhadap putusan Basyarnas tersebut ke
Pengadilan Agama148
148 Muh. Nasikhin, Perbankan Syariah & Sistem Penyelesaian Sengketanya, (Semarang:
Fatawa publishing, 2010), hlm. 140
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
101
Universitas Indonesia
BAB IV
STUDI KASUS PERMASALAHAN PEMBIAYAAN MURABAHAH DAN
PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK SYARIAH X DAN PT Z
PADA BASYARNAS DAN PENGADILAN AGAMA
4.1 Pelaksanaan Program Pembiayaan Produktif Dengan Menggunakan
Skema Murabahah Pada Bank Syariah X terhadap PT Z
Sebagaimana telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya bahwa Perbankan
Syariah menerapkan pembiayaan dengan sistem murabahah kepada para
pengguna jasanya. Pembiayaan dengan sistem murabahah tersebut dapat
digunakan untuk pembiayaan konsumtif untuk membeli keperluan barang
langsung jadi serta pembiayaan produktif yaitu untuk pembiayaan modal usaha.
Pada karya tulis ini, penulis memfokuskan pada pembiayaan produktif
dengan bentuk pembiayaan murabahah yang disediakan oleh Bank Syariah X
kepada PT Z. Perjanjian pembiayaan murabahah tersebut dituangkan di dalam
Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005 yang
dibuat dihadapan Notaris EY di Jakarta. Di dalam akad perjanjian murabahah
yang dimaksud disebutkan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban PT Z
maupun Bank Syariah X. Akad perjanjian murabahah tersebut secara garis besar
memperjanjikan bahwa Bank Syariah X akan memberikan pembiayaan sebesar
Rp 35.000.000.000 (tiga puluh lima milyar rupiah) kepada PT Z untuk
pembiayaan pembelian material proyek pembangunan Rukan SCS.
Akad perjanjian murabahah yang digunakan sebagai pembiayaan antara
Bank Syariah X dan PT Z memerlukan analisa lebih lanjut untuk menentukan
apakah perjanjian tersebut sesuai dengan ketentuan agar akad dapat dikatakan sah
menurut yuridis Islam maupun menurut hukum perdata. Dalam bab ini, perjanjian
Pembiayaan Al-Murabahah No.53 dianalisa dan dibandingkan dengan kesesuaian
akad dalam hukum syariah Islam maupun hukum perdata karena dunia perbankan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
102
Universitas Indonesia
syariah Indonesia mengenal dan menggunakan bersama hukum syariah Islam
sekaligus hukum perdata, dimana implementasi produk layanannya tidak selalu
sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam hukum Islam. Adanya
kemungkinan penerapan produk layanan yang tidak sesuai dengan hukum Islam
maupun hukum perdata ini menyebabkan tidak sahnya perjanjian yang dapat
mengakibatkan perjanjian batal demi hukum sehingga para pihak dalam perjanjian
mengalami kerugian.
a. Sahnya Perjanjian Berdasarkan Ketentuan Hukum Syariah Islam
Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah akad untuk menyebut
perjanjian (overeenkomst), istilah akad juga digunakan untuk menyebut
kontrak. Agar perjanjian dalam Islam dapat dinyatakan sebagai perjanjian atau
akad yang sah, maka terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Berkaitan dengan Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari
2005, maka rukun dan syarat yang harus terpenuhi tersebut antara lain adalah:
1. Para pihak yang membuat akad (al-„aqidan)
Dalam hukum Islam, para pihak yang membuat akad haruslah merupakan
para pihak yang memiliki kecakapan hukum (tamyiz) sehingga layak untuk
menerima hukum dan bertindak hukum atau layak untuk menerima hak dan
menjalankan kewajiban. Selain ditentukan bahwa para pihak haruslah
tamyiz, hukum Islam juga menentukan bahwa harus adanya berbilang pihak
(lebih dari satu pihak) agar perjanjian dapat terwujud, karena perjanjian
merupakan pertemuan ijab dari satu pihak dan kabul dari pihak lain
sehingga memerlukan dua pihak.
Untuk dapat dinyatakan sah menurut hukum syariah cakap dalam
melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai keadaan dapat membedakan
hal yang berakibat baik dan buruk bagi dirinya sendiri, keadaan dimana
seseorang layak untuk menerima hak dan memikul kewajiban serta mampu
untuk bertanggungjawab atas perbuatannya. Jika dikaitkan dengan definisi
cakap dalam melakukan perbuatan hukum menurut hukum Islam, maka baik
pihak Bank Syariah X maupun PT Z merupakan badan hukum yang masing-
masing telah diwakili oleh pribadi hukum yang telah mampu membedakan
hal yang baik dan buruk, mampu menerima hak dan memikul kewajiban
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
103
Universitas Indonesia
sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam akad murabahah sebagai prestasi
yang harus dilakukan serta mampu bertanggung jawab.
Dilihat dari unsur pertama perjanjian menurut hukum Islam ini, dalam akad
pembiayaan murabahah nomor 53, dapat ditemukan bahwa unsur para
pihak yang membuat akad telah terpenuhi. Para pihak yang mewakili Bank
Syariah X dan PT. Z merupakan para pihak yang bisa disebut tamyiz karena
telah dewasa dan mampu bertindak hukum. Selain itu mengenai jumlahnya,
para pihak dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah Nomor 53 juga dapat
dikatakan sebagai berbilang pihak karena terdapat lebih dari satu pihak,
yaitu Bank Syariah X dan PT. Z diamana masing-masing pihak mempunyai
kewajiban yang harus dilaksanakan dan hak untuk diperoleh.
2. Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-„aqd)
Pernyataan kehendak para pihak merupakan simbol dari kesepakatan yang
terjadi sebagaimana salah satu syarat utama perjanjian dalam KUH Perdata.
Hal ini menunjukkan tidak adanya unsur paksaan yang dapat menyebabkan
batalnya perjanjian. Pernyataan kehendak para pihak terdiri atas ijab dan
kabul. Ijab merupakan pernyataan kehendak pertama yang muncul dari
suatu pihak untuk melahirkan suatu tindakan hukum, yang dengan
pernyataan tersebut ia menawarkan penciptaan tindakan hukum yang
dimaksud dimana bila penawaran itu diterima oleh pihak lain maka
terjadilah akad.149
Sementara kabul adalah pernyataan kehendak yang
menyetujui ijab dan yang dengannya tercipta suatu akad.150
Baik ijab dan
kabul disyaratkan harus jelas artinya, bahwa ungkapan baik lisan, tulisan,
isyarat maupun lainnya menunjukkan secara jelas jenis akad yang
dikehendaki.
Pada dunia perbankan syariah, pernyataan kehendak para pihak diwujudkan
secara tersurat dan tertulis di dalam akta akad dimana redaksinya berbeda-
149
Anwar, Syamsul. (Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007. Hlm. 127
150 Ibid. Hlm 132
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
104
Universitas Indonesia
beda bagi tiap institusi perbankan. Dalam pembiayaan produktif yang
diberikan oleh Bank Syariah X kepada PT. Z pernyataan kehendak kedua
belah pihak diwujudkan dalam Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah
No.53. Sebagai akibat hukum dari adanya akad yang berisi ijab kabul
tersebut maka muncul kewajiban hukum bagi Bank Syariah X dan PT. Z.
Pada dasarnya keberadaan Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53
sebagai kontrak tertulis membuktikan telah ada dan terjadinya kesepakatan
dan ijab kabul antara Bank Syariah X dan PT. Z. Tindakan atau kewajiban
hukum yang lahir dari ijab kabul ini bagi Bank Syariah X adalah
menyediakan sejumlah dana bagi PT. Z sementara bagi PT. Z tindakan atau
kewajiban hukum yang timbul adalah melakukan pelunasan pembayaran
dan memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan di dalam akad. Satu
hal yang kurang sesuai dengan apa yang disyaratkan dalam hukum Islam
mengenai ijab kabul adalah bahwa Bank Syariah X dalam pembuatan ijab
(penawaran) untuk pencairan pembiayaan kedua tidak secara tegas dan jelas
menentukan kapan waktu pemenuhan kewajiban dan persyaratan yang
diperlukan untuk terjadinya pencairan pembiayaan kedua. Hal ini kemudian
menimbulkan sengketa antara Bank Syariah X dan PT.Z.
3. Objek akad (mahallul-„aqd)
Berdasarkan hukum Islam, objek akad ditentukan secara lebih spesifik agar
suatu perjanjian dapat dinyatakan sah menurut syara‟. Ketentuan mengenai
objek akad tersebut antara lain adalah: dapat diserahkan, tertentu dan dapat
ditransaksikan. Berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah antara
Bank Syariah X dan PT. Z yang pada dasarnya pembiayaan murabahah
adalah pembiayaan untuk transaksi jual beli, maka dalam hal ini seharusnya
disebutkan benda apa yang menjadi objek jual beli yaitu barang material
bangunan, sehingga dapat digolongkan ke dalam benda yang dapat
ditentukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam hukum jual beli dalam
Islam bahwa dalam melakukan jual beli, barang yang menjadi obyek dalam
jual beli haruslah barang yang dapat ditentukan (tidak abstrak). Ketentuan
bahwa obyek akad haruslah benda yang dapat ditentukan dimaksudkan agar
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
105
Universitas Indonesia
para pihak dapat mengetahui dengan jelas sehingga tidak menimbulkan
sengketa di kemudian hari tentang obyek akad atau obyek perjanjian.
Pada prakteknya pihak Bank Syariah X memang belum memiliki barang
material yang dimaksud yang menjadi obyek perjanjian karena Bank
Syariah X baru akan melakukan pembelian barang yang dimaksud jika ada
pesanan dari nasabah, sehingga barang yang dimaksud dalam akad masih
ada pada supplier. Jual beli dimana barang belum ada pada penjual dari segi
Islam menurut pandangan mazhab Hanafi merupakan akad jual beli yang
tidak sah karena barang tidak ada secara nyata sebagai milik penjual.
Namun pada perkembangannya dilatarbelakangi oleh dinamisnya kebutuhan
lalu lintas kehidupan perekonomian masyarakat yang menghendaki adanya
akad dengan sistem di atas, maka jula beli dimana barang belum ada secara
nyata pada penjual diperbolehkan sebagai pengecualian berdasarkan prinsip
istihsan.
Dalam kasus ini, objek yang menjadi pokok dalam perjanjian adalah barang
material bangunan yang dapat diserahkan, dapat ditentukan (tertentu),
namun tidak dapat ditransaksikan dengan pembiayaan murabahah karena
Bank Syariah X tidak pernah berkedudukan sebagai penjual yang sah
memiliki barang mengingat pembelian objek perjanjian dilakukan langsung
atas nama PT Z, tidak atas nama Bank Syariah yang seharusnya menjadi
penjual. Hal ini merupakan keadaan yang bertentangan dengan konsep
murabahah yang mensyaratkan kepemilikan barang ada pada Bank.
4. Tujuan akad (maudhu‟ al-„aqd)
Tujuan akad dalam Islam disesuaikan dengan jenis akad itu sendiri secara
spesifik. Dalam hal akad merupakan akad jual beli, maka tujuan dari akad
tersebut adalah memindahkan hak milik atas barang dengan imbalan.
Tujuan akad merupakan maksud para pihak ketika membuat akad151
sehingga tujuan akad merupakan dasar perikatan kedua belah pihak.
151 Ibid. Hlm 219
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
106
Universitas Indonesia
Dalam akad pembiayaan murabahah antara Bank Syariah X dan PT. Z
sebagai perjanjian jual beli, maka tujuan pokok akad adalah pemindahan
hak milik atas barang dari Bank Syariah X kepada PT. Z dengan imbalan.
Sebagaimana disebutkan dalam putusan Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP
bahwa pembiayaan murabahah yang diberikan oleh Bank Syariah X kepada
PT. Z tidak sesuai dengan konsep murabahah yang merupakan jual beli,
karena dalam memberikan pembiayaan yang dimaksud Bank Syariah X
memberikan pencairan pembiayaan yang dikenakan prosentase bunga
fluktuatif untuk pelunasannya. Di samping itu, dikaitkan dengan konsep
pembiayaan murabahah yang merupakan konsep pembiayaan untuk
transaksi jual beli sementara proyek yang akan diselesaikan oleh PT. Z
merupakan kegiatan investasi yang membutuhkan modal kerja, kedua hal ini
tentunya bukan merupakan metode pembiayaan yang cocok dan benar untuk
dilaksanakan dari segi syariah Islam. Proyek pembangunan Rukan PT Z
merupakan kegiatan yang membutuhkan jenis pembiayaan investasi dalam
bentuk mudharabah atau musyarakah dengan pola bagi hasil.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa antara tujuan akad
murabahah yang merupakan akad jual beli dengan maksud untuk
memindahkan kepemilikan suatu barang, dengan proses pelaksanaan
pembiayaan untuk konstruksi Rukan SCS dimana Bank Syariah X hanya
menyediakan dana tanpa pernah memiliki barang objek perjanjian secara
sah adalah kegiatan yang tidak sejalan dengan prinsip murabahah. Sehingga
dalam praktek pembiayaan murabahah tujuan akad dan pelaksanaan Akta
Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 merupakan hal yang tidak sesuai
dengan hukum Islam karena ketidaksesuaiaan tujuan awal akad dengan
proses pelaksanaan akad.
b. Sahnya Perjanjian Berdasarkan Ketentuan Hukum Perdata dalam KUH
Perdata
1. Adanya kesepakatan
Unsur adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yakni Bank Syariah X
dengan PT Z dapat dibuktikan telah tercapai dengan telah ditandatanginya
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
107
Universitas Indonesia
akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005
yang dibuat dihadapan Notaris EY di Jakarta. Dengan penandatangan akta
akad murabahah tersebut dapat diartikan bahwa baik pihak Bank maupun
Direksi yang mewakili PT Z telah saling menyetujui dan bersepakat
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan di dalam
akad tersebut, yang kemudian menjadi prestasi yang harus mereka penuhi.
Kesepakatan dalam bentuk penandatanganan akad tersebut memberikan
suatu akibat hukum kepada para pihak, dimana kemudian perjanjian atau
akad murabahah yang ditandangani berlaku sebagai Undang-Undang bagi
Bank Syariah X dan PT Z.152
Dengan berlakunya perjanjian yang
diwujudkan dalam akta akad murabahah maka perjanjian yang termuat di
dalamnya harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh Bank Syariah X dan
PT Z. Berkaitan dengan itikad baik ini maka Bank Syariah X wajib
menyediakan nominal pembiayaan dimana besarannya harus sesuai dengan
angka yang disepakati di dalam perjanjian. Sementara bagi PT Z, bentuk
itikad baik dalam melaksanakan perjanjian ini harus diwujudkan dalam
pemenuhan persyaratan yang diajukan oleh Bank Syariah X untuk
mendapatkan pembiayaan, serta dalam hal pelunasan pembayaran angsuran
murabahah.
Berkaitan dengan asas Pacta Sunt Servanda, perjanjian dalam bentuk akad
murabahah tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Hal ini berarti
dalam hal terjadi dispute selama periode pembiayaan murabahah, tidak
satupun dari pihak Bank Syariah X maupun dari pihak PT Z dapat
melakukan pembatalan perjanjian secara sepihak meskipun dirasakan
timbulnya kerugian yang besar bagi salah satu pihak. Wajib dimuat di dalam
perjanjian mengenai penyelesaian sengketa. Sementara untuk pembatalan
perjanjian yang merupakan akibat dari terjadinya sengketa di antara para
pihak wajib diselesaikan melalui lembaga Peradilan yang berwenang di
bidang perbankan atau ekonomi syariah karena sengketa yang terjadi
melibatkan badan hukum perbankan.
152 Asas Pacta Sunt Servanda merujuk pada Pasal 1338 KUH Perdata
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
108
Universitas Indonesia
2. Para pihak cakap hukum untuk membuat suatu perjanjian
Pembuatan suatu perjanjian merupakan salah satu perbuatan hukum yang
melahirkan akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya sehingga
diperlukan pribadi yang cakap. Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 330
KUH Perdata bahwa parameter cakap menurut hukum untuk dapat
dinyatakan sah dalam melakukan perbuatan hukum, dalam hal ini adalah
membuat perjanjian, adalah sekurang-kurangnya berusia minimal 21 tahun.
Berkaitan dengan akad murabahah antara Bank Syariah X dan PT Z sebagai
para pihak yang membuat perjanjian, dapat diartikan bahwa Bank Syariah X
dan PT Z merupakan pihak yang cakap hukum dalam membuat perjanjian.
Bank Syariah X dan PT Z sebagai badan hukum dalam melakukan
perbuatan hukum diwakili oleh Direksi atau pihak yang mempunyai
kewenangan mewakili badan hukum tersebut. Bagi pihak PT Z yang
berbentuk Perseroan Terbatas, maka yang berhak mewakili PT untuk
melakukan perbuatan hukum berupa pembuatan perjanjian adalah Direksi
PT Z yang bersangkutan.153
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa para pihak dalam perjanjian murabahah ini adalah para pihak yang
cakap hukum baik cakap hukum menurut KUH Perdata maupun menurut
ketentuan Syariah Islam.
3. Perjanjian memuat mengenai hal tertentu
Semua perjanjian tentunya memuat mengenai suatu hal spesifik yang
menjadi tujuan dari perjanjan. Dengan adanya tujuan dari perjanjian yang
ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak maka timbullah hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak. Dalam Akta Akad Pembiayaan Al-
Murabahah No.53 dimuat perjanjian jual beli barang material. Selain
mengenai perjanjian jual beli, di dalam akad pembiayaan murabahah
tersebut juga diperjanjikan mengenai “melakukan perbuatan tertentu”.
153
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan
bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroam untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
109
Universitas Indonesia
Bank Syariah X berjanji akan memberikan sejumlah pembiayaan kepada PT
Z, dimana pembiayaan tersebut akan digunakan untuk membeli keperluan
material pembangunan Rukan SCS yang merupakan proyek PT Z.
Sementara itu PT Z berjanji untuk memenuhi serangkaian persyaratan untuk
pencairan pembiayaan dan melakukan angsuran pembayaran untuk melunasi
biaya pembelian material pembangunan.
Berkaitan dengan bentuk perjanjian yang merupakan perjanjian jual beli,
dilihat dari segi hukum dalam KUH Perdata maka jual beli antara Bank
Syariah X dan PT Z ini merupakan jual beli mengenai barang tertentu (yaitu
barang material bangunan) yang diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Selain itu dalam Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 ini
ditentukan pula bahwa pembelian barang material yang menjadi obyek jual
beli diserahkan kepada Nasabah. Hal ini berarti penjual (Bank Syariah X)
memberikan kuasa kepada pembeli (PT Z) untuk mewakili pribadi penjual
dalam melakukan pembelian barang dimana pembelian tersebut dilakukan
dengan atas nama penjual. Keadaan yang seperti ini dapat diperjanjikan
antara para pihak sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak.
Sebagai derivasi dari perjanjian jual beli dengan skema murabahah ini,
maka muncul kewajiban untuk melakukan suatu hal tertentu baik bagi Bank
Syariah X maupun PT Z. Bank Syariah X kemudian dibebani kewajiban
untuk melakukan pencairan pembiayaan yang akan digunakan sebagai
pembelian bahan material yang merupakan obyek akad atau perjanjian
murabahah. Bank Syariah X menentukan bahwa pencairan pembiayaan
akan dilakukan melalui beberapa tahapan dimana untuk mendapatkan
pencairan yang dimaksud maka PT Z diharuskan memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain menunjukkan dokumen tertentu kepada Bank
Syariah X sebagai bukti telah dijalankannya pembelian bahan material
sesuai perjanjian, serta mengajukan self financing sebagai bukti
kesungguhan penyelesaian proyek pembangunan Rukan SCS.
Penentuan mengenai obyek akad yang merupakan perjanjian jual beli bahan
material untuk keperluan pembangunan proyek Rukan SCS serta penentuan
mengenai hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh Bank Syariah X
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
110
Universitas Indonesia
dan PT Z merupakan perwujudan dari amanah Pasal 1320 angka 3 KUH
Perdata, yaitu suatu perjanjian harus memuat mengenai suatu hal. Sehingga
hal yang dimuat di dalam perjanjian murabahah antara Bank Syariah X dan
PT Z ini adalah perjanjian jual beli murabahah untuk membeli bahan
material, dimana pembelian barang yang dimaksud diwakilkan oleh Bank
Syariah X kepada PT Z, dengan disertai kewajiban tertentu sebagaimana
disebutkan di atas
4. Perjanjian memperjanjikan sebab yang halal
Dalam KUH Perdata tidak diatur secara spesifik definisi halal untuk sebab
dibuatnya suatu perjanjian. Berdasarkan logika hukum, halal yang dimaksud
dalam Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata adalah bahwa hal yang
diperjanjikan bukan merupakan suatu hal yang melanggar hukum, dapat
diartikan bahwa suatu perjanjian dapat memperjanjikan mengenai hal
apapun selama tidak melanggar hukum. Dikaitkan dengan hal ini, maka
perjanjian jual beli dengan menggunakan akad murabahah dapat
digolongkan sebagai perjanjian atas sebab yang halal karena di dalamnya
tidak memuat obyek perjanjian yang merupakan pelanggaran hukum.
Dilihat dari perspektif hukum Islam, definisi halal jelas ditentukan secara
limitatif sebagai barang yang tidak mengandung unsur haram (Barang yang
mengandung unsur haram dalam Islam antara lain: terdapat unsur riba, tidak
sah kepemilikannya, jenis narkoba, khamar, dan berbagai jenis barang yang
bertentangan dengan syara‟154
. Dengan ditentukannya barang yang haram
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebab yang halal dalam Islam
adalah barang atau sebab di luar dari barang yang ditentukan haram
tersebut.
Dikaitkan dengan obyek perjanjian murabahah antara Bank Syariah X
dengan PT Z maka jual beli bahan material merupakan perjanjian dengan
154
Tidak sahnya jual beli yang dilakukan terhadap suatu yang bukan benar-benar milik
penjual sesuai dengan HR an-Nasa‟i, Abu Dawud, dan Ahmad. Sementara penentuan haram
barang-barang yang bertentangan dengan syara‟ merupakan kutipan dari HR Ahmad yang
berbunyi “Dari Abu Mas‟ud (diriwayatkan) bahwa Rasulullah Saw melarang mengambil harga
anjing, upah pelacur, dan upah tukang tenung”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
111
Universitas Indonesia
sebab yang halal. Hal ini dikarenakan bahan material dilihat dari segi
hukum syariah Islam bukan merupakan barang yang tergolong dalam barang
haram. Bahan material merupakan barang yang halal karena dapat
ditentukan kuantitasnya, kepemilikannya dan cara pembeliannya yang sah
sesuai dengan jual beli dalam Islam. Di samping itu, tujuan dari pembelian
bahan material tersebut juga tidak ditujukan untuk sesuatu yang
bertentangan dengan syara‟. Pembelian bahan material yang ditujukan untuk
pembangunan Rukan SCS merupakan bagian dari pembangunan dan
kemajuan perekonomian masyarakat sehingga unsur keempat dari Pasal
1320 KUH Perdata yaitu sebab yang halal telah terpenuhi baik dari segi
KUH Perdata maupun dari segi hukum Islam.
4.2 Metode Pembuatan Akad Murabahah Antara Bank Syariah X dan PT Z
Berkaitan dengan Pengelolaan Risiko Pembiayaan
Pembiayaan Murabahah memakai prinsip jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual
dan nasabah selaku pembeli. Karakteristiknya adalah Bank Syariah X sebagai
penjual harus memberitahu harga bahan material yang ia beli pada supplier dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pelunasan
pembiayaan oleh PT Z dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan
kesepakatan bersama. Pembuatan Akad Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53
antara Bank Syariah X dengan PT Z dilakukan secara bersama-sama pada tanggal
23 Februari 2005 dan dibuat dihadapan Notaris EY di Jakarta. Pada dasarnya
pihak perbankan selalu telah terlebih dahulu menyediakan standard contracts atau
konrak baku yang berhubungan dengan pembiayaan. Namun keberadaan kontrak
baku ini tidak menutup kemungkinan penambahan atau pengurangan klausula
dalam kontrak oleh Nasabah (dalam hal ini PT Z). Penambahan atau pengurangan
klausula tersebut terutama berhubungan dengan persyaratan untuk pencairan
pembiayaan, tahapan pencairan pembiayaan, angsuran dan pemberian keringanan
jangka waktu pelunasan pembiayaan, serta pilihan penyelesaian sengketa. Hal-hal
yang substansial dalam perjanjian seperti ini dapat diusahakan untuk
dinegosiasikan sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak dan jaminan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
112
Universitas Indonesia
bahwa tidak adanya unsur paksaan dalam pembuatan perjanjian karena apabila
ada paksaan dalam pembuatan perjanjian dapat berakibat batalnya perjanjian. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1323 KUH Perdata yang menentukan bahwa
paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian
merupakan alasan untuk batalnya perjanjian dan seterusnya.
Berkaitan dengan penambahan atau pengurangan dalam klausula perjanjian
yang dimungkinkan dalam kontrak baku pihak perbankan serta sebagai bentuk
pengelolaan risiko pembiayaan, dalam Akta Akad Al-Murabahah No.53 Bank
Syariah X memasukkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT Z.
Beberapa hal yang harus dilakukan sebagai kewajiban PT Z untuk dapat
memperoleh pencairan pembiayaan tahap kedua, yaitu antara lain:
- Dalam Pasal 3 ayat (4) Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53
disebutkan bahwa “Nasabah telah menyetor dana untuk pembayaran biaya
administrasi, notaris, dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan fasilitas
pembiayan yang diberikan.”
- Dalam Pasal 3 ayat (10) Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53
disebutkan bahwa “Nasabah telah menunjukkan seluruh dokumen asli serta
foto copynya yang berhubungan dengan perizinan pembangunan Rukan Soho
Carbela Square.”
- Dalam Pasal 3 ayat (23) Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53
disebutkan bahwa “Nasabah telah menyetor Self Financing secara bertahap
sejumlah porsi Nasabah yang sesuai dengan Cash Flow yang telah dibuat oleh
Bank, yaitu sebesar Rp. 11.804.848.915 (sebelas milyar delapan ratus empat
juta delapan ratus empat puluh delapan ribu sembilan ratus lima belas
rupiah)”
Pada mulanya, klausula Pasal tersebut di atas telah disetujui oleh PT Z
dimana persetujuan tersebut disimbolisasikan dalam penandatangan akta yang
dapat diartikan sebagai bentuk kesepakatan atas isi akta atau perjanjian. Berkaitan
dengan persyaratan yang diajukan oleh Bank Syariah X di dalam Akta Akad
Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tersebut, setelah proses pencairan pembiayaan
tahap pertama, PT Z dituntut untuk membuat surat pernyataan oleh Bank Syariah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
113
Universitas Indonesia
X. Surat pernyataan tertanggal 2 Maret 2005 tersebut pada pokoknya berbunyi
sebagai berikut :
“Selanjutnya apabila kelengkapan dokumen perijinan pembangunan Rukan
SCS seperti, termasuk tetapi tidak terbatas pada dokumen tersebut di atas
tidak dapat diserahkan kepada Bank Syariah X,
MAKA SAYA BERSEDIA UNTUK MENUNDA PENCAIRAN TAHAP
KEDUA DAN TAHAP BERIKUTNYA”
Pembuatan surat pernyataan yang dilakukan pada tanggal 2 Maret 2005
merupakan pembuatan perjanjian tambahan yang dilakukan setelah pembuatan
akad atau perjanjian pokok murabahah. Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian
murabahah sendiri telah dibuat pada tanggal 23 Februari 2005, sementara surat
pernyataan kesanggupan dibuat pada tanggal 2 Maret 2005 setelah dilakukan
pencairan pembiyaan tahap pertama.
Tuntutan pembuatan surat pernyataan oleh Bank Syariah X kepada PT Z ini
pada dasarnya dilatarbelakangi oleh urgensi untuk mendapat kepastian tentang
penggunaan dana pembiayaan yang telah dicairkan pada tahap pertama, sehingga
Bank Syariah X mempunyai landasan kepercayaan untuk memberikan pencairan
pembiayaan tahap kedua pada PT Z. Pembuatan surat pernyataan tersebut juga
merupakan bentuk dari prudential banking (prinsip kehati-hatian) yang harus
dilakukan oleh Bank Syariah X dalam penerapan pemberian pembiayaan kepada
semua nasabah pengguna jasanya termasuk PT Z. Namun kepentingan urgensi
kepastian penggunaan dana dan penerapan prudential banking ini dilakukan
dengan cara yang sedikit memaksa pihak PT Z karena pembuatan surat pernyataan
tersebut dilakukan secara tiba-tiba ketika akan dilakukan pencairan pembiayaan
tahap kedua, yang berarti surat pernyataan ini tidak dibuat sejak awal perjanjian
atau tidak diperjanjikan dalam Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53.
Pembuatan surat pernyataan yang terkesan dipaksakan oleh pihak Bank
Syariah X ini merupakan pembuatan akad perjanjian secara sepihak yang secara
jelas dan terang telah menyalahi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata karena tidak
ada unsur kesepakatan dalam pembuatan surat pernyataan tersebut, mengingat
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
114
Universitas Indonesia
surat pernyataan yang dibuat pada tanggal 2 Maret 2005 tidak ditandatangani oleh
PT Z dikarenakan klausula berikut: “... termasuk tetapi tidak terbatas pada
dokumen tersebut di atas tidak dapat diserahkan kepada Bank Syariah X, maka
saya bersedia untuk menunda pencairan tahap kedua dan tahap” dirasa terlalu
berat untuk dipenuhi PT Z. Di samping itu, tuntutan pembuatan surat pernyataan
yang dilakukan setelah disepakatinya Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah
No.53 merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan Prinsip Syariah
karena merupakan persyaratan yang ditambahkan sehingga haram hukumnya.
4.3 Kasus Posisi
Berdasarkan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Perkara Nomor 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka. Jak serta putusan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Nomor 792/Pdt.G/2009/PA.JP dapat diurutkan kronologis
peristiwa yang menyebabkan terjadinya sengketa dalam pembiayaan murabahah
antara Bank Syariah X dan PT Z sebagai berikut:
Pada mulanya terjadi perjanjian pembiayaan produktif dengan menggunakan
akad murabahah, dimana pembiayaan murabahah tersebut dibiayai oleh Bank
Syariah X untuk pembelian bahan material proyek pembangunan Rukan SCS
yang dijalankan oleh PT Z. Para pihak, yaitu Bank Syariah X dan PT Z saling
sepakat untuk melakukan perjanjian pembiayaan produktif dengan
menggunakan skema murabahah. Perjanjian pembiayaan murabahah tersebut
kemudian dituangkan dalam akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53
yang dibuat pada tanggal 23 Februari 2005 dihadapan Notaris EY, S.H di
Jakarta.
Dalam Akad Pembiayaan al-Murabahah tersebut dimuat prestasi masing-
masing pihak, dimana pihak bank berkewajiban untuk menyediakan fasilitas
pembiayaan Al-Murabahah sebesar Rp. 35.000.000.000 (tiga puluh lima
milyar rupiah) untuk digunakan pembelian bahan material dan jasa guna
pembangunan proyek Rukan SCS, sedangkan nasabah sebagai pihak berhutang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
115
Universitas Indonesia
berkewajiban untuk membayar utangnya sekaligus dengan margin sebagai
Ceiling Price yang sesuai perjanjian mereka.
Dalam akta perjanjian murabahah tersebut diperjanjikan bahwa pembiayaan
murabahah akan dicairkan dalam beberapa tahapan oleh Bank Syariah X
Pencairan pembiayaan murabahah tahap pertama telah dilakukan oleh Bank
Syariah X pada tanggal 2 Maret 2005. Pada pencairan tahap pertama tersebut
telah diterima oleh PT B pembiayaan sebesar Rp. 2.200.000.000,- (dua miliar
dua ratus juta rupiah)
Pada pencairan pembiayaan tahap pertama tersebut, Bank Syariah X menuntut
PT Z untuk menyetujui suatu Surat Pernyataan yang baru dibuat setelah
ditandatanganinya akad murabahah. Surat yang dimaksud adalah Surat
Pernyataan No. 7/031/SP/DPK2 tertanggal 2 Maret 2005 Perihal: Persetujuan
Pencairan Pembiayaan. Di dalam surat pernyataan tersebut dimuat beberapa hal
yang menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT Z untuk mendapatkan
pencairan pembiayaan tahap kedua. Di antara salah satu syarat yang disebutkan
adalah harus ditunjukkannya IMB asli Rukan SCS.
Berkaitan dengan tuntutan Bank Syariah X melalui surat pernyataan yang
dibuat setelah disepakatinya akad murabahah, dimana surat pernyataan berisi
tambahan kewajiban bagi PT Z, maka PT Z menolak untuk menandatangani
surat pernyataan tersebut dengan alasan bahwa perlengkapan dokumen
perizinan Pembangunan Rukan SCS dianggap berlebihan
Seiring dengan perkembangan usahanya dan kebutuhan pendanaan bagi proyek
yang sedang dijalankannya, maka PT Z berkehendak mengajukan pencairan
pembiayaan tahap kedua kepada Bank Syariah X
Berkaitan dengan pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua, Bank
Syariah X tetap bersikukuh pada serangkaian persyaratan yang dimuatkan di
dalam Surat Pernyataan No. 7/031/SP/DPK2 tertanggal 2 Maret 2005 Perihal:
Persetujuan Pencairan Pembiayaan, agar dipenuhi oleh PT Z, di antaranya
adalah penunjukan IMB Rukan SCS yang asli kepada Bank Syariah X
PT Z pada akhirnya berusaha untuk memenuhi persyaratan yang diajukan
tersebut. PT Z kemudian menindaklanjuti dengan menunjukkan dan
memperlihatkan kepada Bank Syariah X mengenai dokumen Kontrak Jasa
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
116
Universitas Indonesia
Pengurusan IMB antara PT Z dengan pihak ketiga yaitu konsultan/kontraktor
JK tertanggal 6 Desember 2005, serta bukti-bukti Kuitansi pembayaran per
tanggal 1 Maret 2005 sebesar Rp.3.212.500.000 (tiga miliar dua ratus duabelas
juta lima ratus ribu Rupiah) yang telah dibayar oleh PT Z kepada
konsultan/kontraktor JK sebagai biaya pengurusan pembuatan IMB dan
perizinan pembangunan lannya untuk proyek Rukan SCS
Namun ternyata bukti surat-surat dan dokumen yang ditunjukkan oleh PT Z
tersebut tidak disetujui oleh Bank Syariah X sebagai dokumen sah untuk
memenuhi persyaratan yang diajukan guna memperoleh pencairan pembiayaan
murabahah tahap kedua. Berkaitan dengan hal ini maka Bank Syariah X
menolak untuk meberikan pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua
kepada PT Z, sehingga menyebabkan penundaan kelangsungan proyek yang
harus diselesaikan oleh PT Z. Hal ini tentunya merupakan sebuah kerugian
bagi PT Z. PT Z melihat suatu keadaan dimana telah terjadi wanprestasi oleh
Bank Syariah X karena Bank Syariah X telah menolak melakukan pencairan
pembiayaan sementara persyaratan telah dipenuhi oleh PT Z
PT Z kemudian mengajukan sengketa ini ke Basyarnas sesuai dengan bunyi
Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005 Pasal 15
Tentang Penyelesaian Perselisihan:
“Apabila Usaha menyelesaikan melalui musyawarah untuk mufakat
tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah
pihak, maka dengan ini Nasabah dan Bank sepakat untuk menunjuk
dan menetapkan serta memberi surat kuasa kepada Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk memberikan putusan…….”;
4.4 Analisa Kasus
Dalam sengketa antara Bank Syariah X dan PT Z yang diselesaikan melalui
Basyarnas dalam Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Perkara No.16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak para pihaknya adalah sebagai berikut:
- Bertindak sebagai Penggugat adalah PT. Z
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
117
Universitas Indonesia
- Bertindak sebagai Tergugat adalah Bank Syariah X, dengan bentuk badan
hukum Perseroan Terbatas (PT)
Sementara itu kedudukan para pihak dalam proses penyeleseian sengketa
lanjutan di Pengadilan Agama sesuai dengan putusan Nomor:
792/Pdt.G/2009/PA.JP berkaitan dengan permohonan pembatalan putusan
Basyarnas, para pihaknya adalah sebagai berikut:
- Bertindak sebagai Pemohon adalah Bank Syariah X
- Bertindak sebagai Termohon 1 adalah Majelis Hakim Basyarnas yang
memeriksa dan memutus perkara Nomor: 16/tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak dan Termohon II adalah PT. Z
Dalam putusan Basyarnas No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak,
disebutkan bahwa PT Z menggugat Bank Syariah X atas wanprestasi karena tidak
melakukan kewajibannya berupa pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua.
Sementara Bank Syariah X mendalilkan bahwa penolakan atas pencairan
pembiayaan murabahah tahap kedua tersebut disebabkan karena tindakan PT Z
yang tidak menyerahkan persyaratan yang diajukan oleh Bank Syariah X. Di
antara persyaratan yang diminta tersebut, yang paling substansial adalah
penunjukan IMB asli Rukan SCS.
Basyarnas dalam amar putusannya menyatakan bahwa perjanjian
pembiayaan murabahah batal demi hukum. Putusan Basyarnas ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa perjanjian murabahah Akta No. 53 tahun 2005
bertentangan dengan prinsip syariah yang terpenting diantaranya sebagai berikut:
1. Bentuk perjanjian murabahah mengambil konstruksi kredit modal kerja yang
biasa digunakan pada bank konvensional sehingga bertentangan dengan prinsip
pembiayaan murabahah yang merupakan akad jual beli.
2. Margin yang ditetapkan dalam perjanjian murabahah berupa ceiling price yang
berubah-ubah secara tidak pasti (uncertain), tidak ditentukan secara lump sum
pertahun tetapi ditetapkan dalam prosentase pertahun seperti halnya bunga
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
118
Universitas Indonesia
pada perbankan konvensional yang menurut prinsip syariah adalah riba yang
haram hukumnya.
3. Tentang pembebanan bunga dalam surat sanggup/promes sehingga sama
artinya dengan riba dan karenanya melanggar prinsip syariah.
4. Akad pembiayaan murabahah No. 53 Tahun 2005 memuat transaksi jual beli
antara pemasok dan bank dan jual beli antara bank dengan nasabah telah dibuat
dalam satu akad saja. Hal ini bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
Poin 1, 2, 3 dan 4 di atas yang menyebutkan bahwa tidak tepatnya
penggunaan pembiayaan murabahah untuk konstruksi kredit modal kerja adalah
hal yang tidak sesuai dengan rukun murabahah, terutama dalam hal objek akad
dan tujuan akad. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa objek akad
dalam pembiayaan murabahah adalah barang yang dipindahkan kepemilikannya
melalui transaksi jual beli. Dalam perjanjian pembiayaan murabahah Nomor 53
antara Bank Syariah X dan PT. Z hal yang merupakan objek akad menjadi
tidaklah jelas karena Bank Syariah X hanya memberikan sejumlah dana kepada
PT Z untuk membeli lahan dan barang material untuk bangunan, dimana dalam
pencairan dana untuk membeli barang tersebut tidak dinyatakan bahwa Bank
Syariah adalah penjual yang sah atau dalam kata lain, pembelian lahan dan barang
material tidak dilakukan atas nama Bank Syariah X sebagai penjual melainkan
langsung atas nama PT. Z yang seharusnya membeli barang terlebih dulu pada
Bank Syariah X. Di samping itu, terhadap pembelian lahan dan barang material
yang dimaksud, Bank Syariah X membebankan sejumlah bunga kepada PT Z
untuk pelunasannya. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip syariah Islam
yang mensyaratkan transaksi yang bebas dari bunga (unsur riba). Uraian di atas
menjelaskan bahwa tujuan awal akad murabahah yang merupakan akad jual beli
tidak dijalankan dengan proses yang benar karena mengandung unsur riba dan
ketidakjelasan kepemilikan barang yang dijual, sehingga dapat disimpulkan
bahwa perjanjian murabahah Akta No. 53 tahun 2005 antara Bank Syariah X dan
PT Z bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Bertitik tolak dari fakta-fakta yuridis yang dikemukakan dalam
pertimbangan putusan Basyarnas, terbukti perjanjian dalam Akta Akad
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
119
Universitas Indonesia
Murabahah No. 53 Tahun 2005 bertentangan dengan prinsip syariah dan
melanggar ketentuan Pasal 1337 juncto Pasal 1335 KUH Perdata, sehingga sudah
tepat kesimpulan dan amar putusan Basyarnas yang menyatakan perjanjian atau
Akta Akad Murabahah Nomor 53 batal demi hukum. Dalam hal suatu perjanjian
dinyatakan batal demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak ada dari
awal sehingga sama sekali tidak menimbulkan akibat hukum bagi para pihak.
Dalam putusannya, Basyarnas juga memutuskan bahwa telah terjadi
wanprestasi yang dilakukan oleh Bank Syariah X, berupa penolakan pencairan
pembiayaan murabahah tahap kedua kepada PT Z. Berkaitan dengan putusan
Basyarnas yang menyebutkan bahwa telah terjadi wanprestasi, hal ini tentunya
bertentangan dengan putusan sebelumnya yang menyebutkan bahwa perjanjian
batal demi hukum. Penentuan batal demi hukum disebabkan karena perjanjian
tidak memenuhi syarat obyektif perjanjian, dalam kasus ini Akad Murabahah
tidak memenuhi syarat halal karena bertentangan dengan prinsip syariah Islam.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa suatu perjanjian yang dinyatakan batal
demi hukum (null and void), tidak mempunyai akibat hukum kepada para
pihaknya dikarenakan perjanjian dianggap tidak ada dari awal atau sama sekali
tidak pernah terjadi. Sementara penentuan keadaan wanprestasi menunjukkan
adanya suatu akibat hukum yang diderita oleh para pihak (dalam hal ini
wanprestasi oleh Bank Syariah X menyebabkan kerugian bagi PT Z) dikarenakan
masih adanya hubungan hukum perjanjian.
Kedua amar putusan Basyarnas ini jelas bertentangan dan tidak konsisten,
dimana di satu sisi menyebutkan bahwa perjanjian batal demi hukum sehingga
menghilangkan akibat hukum perjanjian bagi para pihak, sementara di sisi lainnya
disebutkan telah terjadi wanprestasi yang menyebabkan salah satu pihak (dalam
hal ini Bank Syariah X) diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
(PT Z). Dalam hal disebutkan bahwa sejak awal tidak ada perikatan, maka dengan
sendirinya juga tidak ada wanprestasi, sehingga tidak bisa salah satu pihak
dinyatakan telah melakukan wanprestasi atas perikatan yang batal demi hukum
tersebut. Ketentuan adanya wanprestasi (event of default) hanya dapat terjadi jika
perjanjian yang dimaksud masih ada dan berlaku, namun kemudian salah satu
pihak tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
120
Universitas Indonesia
sehingga berakibat dibatalkannya atau dinyatakan batal (voidable atau
vernietigbaar) perjanjian oleh Hakim pengadilan. Perjanjian pembiayaan
Murabahah antara Bank Syariah X dan PT Z tersebut menjadi tidak ada dan tidak
berlaku lagi terhitung sejak dinyatakan batal oleh Hakim Arbiitrase karena
perjanjian dalam Akta Akad Murabahah tersebut bertentangan dengan prinsip
syariah Islam.
Sengketa yang terjadi antara Bank Syariah X dan PT Z pada intinya
mempermasalahkan mengenai siapa yang terlebih dahulu melakukan wanprestasi.
Bank Syariah X mendalilkan bahwa sejak pembuatan awal akad Akta Pembiayaan
Murabahah No. 53 di dalamnya telah dicantumkan mengenai persyaratan yang
harus dipenuhi oleh PT Z untuk dapat memperoleh pencairan pembiayaan,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal berikut:
- Pasal 3 ayat (4) Nasabah telah menyetor dana untuk pembayaran biaya
administrasi, notaris, dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan fasilitas
pembiayan yang diberikan .
- Pasal 3 ayat (10) Nasabah telah menunjukkan seluruh dokumen asli serta foto
copynya yang berhubungan dengan perizinan pembangunan Rukan SCS
- Pasal 3 ayat (23) Nasabah telah menyetor Self Financing secara bertahap
sejumlah porsi Nasabah yang sesuai dengan Cash Flow yang telah dibuat oleh
Bank, yaitu sebesar Rp. 11.804.848.915 (sebelas milyar delapan ratus empat
juta delapan ratus empat puluh delapan ribu Sembilan ratus lima belas rupiah)
Persyaratan tersebut memang telah dimasukkan di dalam Akad Pembiayaan
Murabahah No. 53 namun didalamnya tidak disebutkan bahwa persyaratan
tersebut harus dipenuhi sejak awal untuk pencairan pembiayaan. Klausula
mengenai persyaratan yang tidak ditentukan secara limitatif kapan waktu
pelaksanaannya ini menimbulkan multi tafsir bagi kedua belah pihak dalam
perjanjian. Bank Syariah X beranggapan bahwa dokumen tersebut di atas harus
sudah diserahkan untuk pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua karena
Bank Syariah memerlukan suatu kepastian bahwa pembiayaan murabahah yang
diberikannya telah digunakan sesuai dengan tujuan awal. Hal ini juga merupakan
perwujudan dari prudential banking yang dilakukan Bank Syariah X dalam
bentuk analisis pembiayaan dan pelaksanaan prinsip 5C serta 5P. Namun
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
121
Universitas Indonesia
dikarenakan waktu pelaksanaan penunjukan dokumen di atas tidak ditentukan
secara pasti oleh Bank Syariah X, maka PT Z dapat beranggapan bahwa
penunjukan dokumen dapat diberikan kepada Bank Syariah X sewaktu-waktu jika
PT Z telah siap dan menyelesaikan administrasi lainnya.
Sehubungan dengan persiapan dokumen yang dibutuhkan untuk persyaratan
pembiayaan, terutama IMB Rukan SCS pihak PT Z sendiri telah berupaya untuk
segera menyelesaikan administrasi dan pengurusan IMB pada pihak ketiga. PT Z
juga telah menunjukkan bukti pengurusan IMB kepada Bank Syariah X melalui
dokumen Kontrak Jasa Pengurusan IMB antara PT Z dengan JK, SH tertanggal 6
Desember 2005, serta bukti-bukti kwitansi pembayaran per tanggal 1 Maret 2005
sebesar Rp.3.212.500.000 (tiga miliar dua ratus duabelas juta lima ratus ribu
Rupiah) yang telah dibayar oleh PT Z kepada JK, SH sebagai biaya pengurusan
pembuatan IMB dan perizinan pembangunan lannya untuk proyek Rukan SCS.
Itikad baik dari PT Z dengan menunjukkan dokumen kontrak jasa dan
kwitansi pembayaran kepada Bank Syariah X ternyata tidak dapat menjadi bukti
yang cukup bagi Bank Syariah X. Hal ini menjadi alasan penolakan Bank Syariah
X dalam menunda pencairan pembiayaan tahap kedua. Berkaitan dengan
kronologis sengketa di atas, Pengadilan Agama melalui putusan Nomor :
792/Pdt.G/2009/PA.JP memberikan pertimbangan sebagai berikut:
1. Menimbang, bahwa oleh karena persyaratan IMB telah nyata terdapat dalam
materi pokok akad Al-Murabahah No. 53/2005 yaitu Pasal 3 ayat 10 yang
bukan persyaratan susulan sebagaimana anggapan Majelis Arbitrase, walaupun
harus diakui memang benar ada pernyataan dari Termohon II pada tanggal 2
Maret 2005 untuk mempertegas persyaratan yang ada dalam akad Al-
Murabahah mengenai IMB itu, sehingga Majelis Hakim menganggap bahwa
Majelis Arbritrase (Termohon I) telah luput mencermati persyaratan yang
terdapat dalam akad Al-Murabahah Pasal 3 ayat 10 sebagai kontra prestasi
yang semestinya wajib dipenuhi oleh Termohon II.
2. Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim suatu perjanjian yang
ditambahkan dari perjanjian pokok selama disepakati oleh para pihak adalah
dibenarkan secara syar‟i kecuali memperjanjikan yang halal menjadi haram
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
122
Universitas Indonesia
atau sebaliknya, terlebih terhadap akad Murabahah No.53/2005 terjembatani
dengan Pasal addendum yang ada di Pasal 18 penutup, dan terhadap hal itu
majelis hakim menganggap bukanlah penambahan akan tetapi sebagai
penegasan terhadap sesuatu yang telah ada dan telah diperjanjikan sebelumnya
3. Menimbang, bahwa selain fakta tersebut diatas, Termohon II ternyata telah
mengabaikan persyaratan lainnya, yaitu yang terdapat di Pasal 3 ayat (4) dan
Pasal 3 ayat (23) akta Al-Murabahah No.53/2005 yaitu tidak membayar biaya
notaris dan tidak menyerahkan self financing, dimana hal inipun luput di
pertimbangkan Termohon I dalam putusannya
Pengadilan Agama dalam hal ini telah menerapkan hukum yang menurut
penulis kurang tepat dan meskipun telah sesuai dengan peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku namun belum dapat memenuhi rasa keadilan. Berikut
analisa dan alasan penulis berkaitan dengan pertimbangan Hakim Pengadilan
Agama terkait poin di atas:
1. Mengenai IMB yang menjadi persyaratan yang baru muncul sebagai syarat
pencairan pembiayaan tahap kedua, memang benar bahwa IMB merupakan
dokumen yang substansial dan penting untuk dijadikan bukti dan landasan
membangun kepercayaan Bank Syariah X terhadap PT Z. Namun jika
dikembalikan pada tidak disebutkannya waktu tertentu dan pasti untuk
penunjukan dikumen tersebut oleh Bank Syariah X, hal ini tentunya merupakan
suatu bukti bahwa Bank Syariah X sendiri kurang atau bahkan tidak
menerapkan prinsip prudential banking sejak semula akad pembiayaan
murabahah dibuat. Kelalaian Bank Syariah X ini tidak dapat lantas begitu saja
dilimpahkan kepada PT Z dengan menggunakan alasan bahwa dokumen IMB
asli sangat penting. Di samping itu, PT Z juga telah menunjukkan itikad baik
dengan menunjukkan bukti-bukti administrasi pengurusan IMB berupa
dokumen Kontrak Jasa dengan pihak ketiga beserta kwitansi-kwitansi
pembiayaan terkait. Namun hal ini tidak dijadikan pertimbangan oleh Bank
Syariah untuk memberikan keringanan atau penangguhan tertentu kepada PT
Z. Bank Syariah X justru secara sepihak melakukan tindakan penghentian
pembiayaan dan menolak untuk mencairkan pembiayaan tahap kedua tanpa
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
123
Universitas Indonesia
memberikan pemberitahuan dalam bentuk apapun kepada PT Z. Tindakan
sepihak Bank Syariah X ini tentunya menimbulkan kerugian yang besar bagi
PT Z dimana proyek pembanguan Rukan SCS yang harus dilaksanakannya
menjadi terhenti karena ketiadaan dana.
Pengadilan Agama seharusnya memberikan perhatian juga kepada itikad baik
yang telah diusahakan untuk ditunjukkan oleh PT Z sebagai upaya
penyelamatan perjanjian. Itikad baik yang diupayakan PT Z ini merupakan
wujud pelaksanaan Pasal 1338 KUH Perdata paragraf ketiga yang berbunyi
“suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Bank Syariah X dalam sengketa
ini adalah pihak yang melakukan kelalaian dengan tidak menerapkan
prudential banking sejak awal perjanjian pembiyaan murabahah. Berkaitan
dengan kelalaian yang dilakukan oleh Bank Syariah X maka berlaku Pasal
1366 KUH Perdata yang berbunyi “ setiap orang bertanggung jawab tidak
saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
2. Dalam sengketa ini kelalaian yang dilakukan Bank Syariah X dengan tidak
menerapkan prudential banking sejak awal pembuatan perjanjian pembiayaan
murabahah, menjadikan suatu keadaan dimana kelalaian tersebut dilimpahkan
kepada PT Z dengan menuntut PT Z untuk menandatangani perjanjian
tambahan yang dibuat saat pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua
akan dilakukan. Penolakan yang dilakukan oleh PT Z merupakan bentuk
respon yang wajar karena walaupun di dalam Pasal addendum yang ada di
Pasal 18 penutup dalam akad pembiayaan murabahah disebutkan bahwa
perjanjian dapat ditambah dengan perjanjian baru, namun penambahan
perjanjian baru tersebut juga memerlukan persetujuan para pihak dalam
perjanjian (unsur sepakat Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata). Sebagaimana
telah dibahas di atas bahwa PT Z belum menyatakan persetujuannya atas
persyaratan tambahan yang diajuan oleh Bank Syariah X, hal ini dapat
diartikan bahwa PT Z belum sepakat tentang tambahan perjanjian tersebut.
Pengadilan agama, disamping melandaskan keputusan pada hukum syariah
Islam juga seharusnya berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
124
Universitas Indonesia
unsur sepakat terkait pembuatan perjanjian, sehingga meskipun substansi
perjanjian baru tidak melanggar syariah Islam namun jika perjanjian tersebut
tidak mendapat kata sepakat dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian,
maka jelaslah bahwa perjanjian baru tersebut tidak sah.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
125
Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kemungkinan risiko yang dapat terjadi dan harus diantisipasi oleh Bank
Syariah dalam praktek pembiayaan murabahah antara lain adalah:
i. Risiko pembiayaan terkait produk yang mencakup: (a) risiko
kebangkrutan (default risk) yang disebabkan oleh jenis usaha
yang bersangkutan dan kinerja keuangan jenis usaha yang
bersangkutan, (b) risiko jaminan (recovery risk) yang
bergantung pada jaminan sebagai pembayaran kembali atas sisa
pinjaman nasabah dari hasil penjualan jaminan.
ii. Risiko terkait pembiayaan korporasi yang disebabkan karena:
(a) perubahan kondisi bisnis nasabah setelah pencarian
pembiayaan, (b) komitmen kapital yang berlebihan, serta (c)
lemahnya analisis Bank.
iii. Risiko hukum yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek
yuridis seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan
perUndang-Undangan yang mendukung atau kelemahan
perikatan (perjanjian) seperti tidak terpenuhinya syarat
keabsahan suatu kontrak atau pengikatan agunan yang tidak
sempurna, serta tidak terpenuhinya prinsip kehati-hatian dalam
pembuatan akad atau kontrak pembiayaan.
iv. Risiko transaksi dalam bentuk Murabahah berdasarkan pesanan
bersifat tidak mengikat timbul karena nasabah membatalkan
barang yang dipesannya.
Selain itu, berdasarkan Pasal 5 PBI Nomor 13/23/PBI/2011 risiko yang
mungkin dihadapi oleh Bank Syariah antara lain adalah Risiko Pasar,
Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Reputasi, Risiko
Stratejik, Risiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil, dan Risiko Investasi.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
126
Universitas Indonesia
Kemungkinan risiko yang dapat terjadi dan harus diantisipasi oleh
nasabah dalam praktek pembiayaan murabahah antara lain adalah
dalam hal Bank menerapkan standard contract dimana di dalamnya
terdapat klausula yang terlalu memberatkan nasabah sehingga
memungkinkan terjadinya wanprestasi bagi pihak nasabah yang dapat
menyebabkan kerugian lebih lanjut. Di samping itu, pihak nasabah juga
perlu mengantisipasi kemungkinan terjadinya wanprestasi dari pihak
Bank dalam bentuk batalnya pencairan pembiayaan murabahah secara
sepihak oleh Bank tanpa persetujuan dari nasabah.
2. Pengelolaan risiko dan pembiayaan murabahah yang dibiayai oleh
Bank Syariah X atas proyek PT Z dalam Akta Akad Pembiayaan
Murabahah Nomor 53 Tahun 2005 telah sesuai dengan yang
diamanahkan dalam KUH Perdata khususnya Pasal 1320 karena telah
memenuhi syarat-syarat perjanjian yaitu para pihak yang membuat
perjanjian cakap untuk melakukan tindakan hukum, tercapainya akata
sepakat, adanya objek perjanjian dan kausa yang halal. Namun dalam
prakteknya tidak sejalan dengan apa yang disyaratkan dalam hukum
syariah Islam mengenai rukun akad terutama rukun yang mensyaratkan
mengenai pernyataan kehendak, rukun mengenai objek akad dan rukun
mengenai tujuan akad yang menyebabkan perjanjian Pembiayaan
Murabahah Nomor 53 bertentangan dengan prinsip syariah Islam
sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.
Disebutkan bahwa perjanjian tidak memenuhi rukun akad karena:
i. Tidak terpenuhinya rukun mengenai pernyataan kehendak
disebabkan karena pernyataan yang dibuat Bank Syariah X
mengenai persyaratan dokumen untuk pencairan pembiayaan
kedua tidak dilengkapi dengan ketentuan yang pasti, jelas dan
tegas mengenai tenggat waktu persyaratan tersebut harus
dipenuhi oleh PT. Z.
ii. Objek akad merupakan objek yang dikategorikan dalam objek
akad yang tidak dapat ditransaksikan dengan pembiayaan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
127
Universitas Indonesia
murabahah karena Bank Syariah X tidak pernah berkedudukan
sebagai penjual yang sah memiliki barang mengingat pembelian
objek perjanjian dilakukan langsung atas nama PT Z, tidak atas
nama Bank Syariah yang seharusnya menjadi penjual. Hal ini
merupakan keadaan yang bertentangan dengan konsep
murabahah yang mensyaratkan kepemilikan barang ada pada
Bank.
iii. Tidak sesuainya tujuan akad murabahah yang merupakan
pembiayaan untuk transaksi jual beli dengan proses pelaksanaan
pembiayaan untuk konstruksi Rukan SCS dimana Bank Syariah
X hanya menyediakan dana tanpa pernah memiliki barang objek
perjanjian secara sah adalah kegiatan yang tidak sejalan dengan
prinsip murabahah. Sehingga dalam praktek pembiayaan
murabahah tujuan akad dan pelaksanaan Akta Akad
Pembiayaan Al-Murabahah No.5 merupakan hal yang tidak
sesuai dengan hukum Islam karena ketidaksesuaiaan tujuan awal
akad dengan proses pelaksanaan akad.
3. Penyelesaian sengeketa perjanjian murabahah terkait wanprestasi yang
terjadi antara Bank Syariah X dan PT Z pada Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) telah sesuai dengan ketentuan perUndang-
Undangan baik KUH Perdata maupun hukum syariah Islam.
Namun penyelesaian sengketa pada Pengadilan Agama justru kurang
memenuhi rasa keadilan karena Pengadilan Agama kurang
memperhatikan fakta-fakta dan itikad baik yang diupayakan oleh pihak
PT. Z dalam pemenuhan kewajibannya. Di samping itu Pengadilan
Agama juga melewatkan mempertimbangkan tercapainya kesepakatan
dalam perjanjian tambahan berupa surat pernyataan.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
128
Universitas Indonesia
5.2 Saran
1. Para pihak yang bermaksud untuk mengadakan suatu perjanjian,
terutama perjanjian pembiayaan, baik bagi institusi perbankan maupun
dari pihak nasabah wajib dan harus sama-sama mengerti serta
memahami konsep perjanjian, konsep pembiayaan, serta berbagai jenis
risiko yang mungkin terjadi dalam pembiayaan.
2. Pihak Bank Syariah perlu untuk lebih jeli dalam menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam pembuatan akad pembiayaan dalam bentuk apapun,
dikaitkan dengan risiko yang mungkin terjadi, serta memasukkan
klausula yang jelas dan tegas mengenai tenggat waktu pelaksanaan
kewajiban masing-masing pihak. Pengelolaan risiko bagi pihak Bank
merupakan bentuk antisipasi risiko sehingga dapat dihindari kerugian
lebih lanjut terutama dalam aspek pendapatan, permodalan dan reputasi
institusi perbankan Syariah.
3. Dewan Pengawas Syariah bersama dengan Bank Indonesia selaku
pengawas kegiatan perbankan Syariah di Indonesia perlu melakukan
tindakan preventif maupun represif dalam menanggulangi pelanggaran
yang mungkin dilakukan oleh institusi Perbankan Syariah yang
menerapkan metode pembiayaan syariah dengan cara salah. Tindakan
preventif yang perlu dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah dan
Bank Indonesia dapat berbentuk upaya pengawasan dan guidance serta
recovery kepada Bank yang menyediakan layanan pembiayaan dengan
konsep Syariah.
4. Pengadilan Agama perlu lebih teliti dan cermat dalam menerima dan
menangani perkara, terutama perkara mengenai ekonomi syariah yang
pada mulanya diperjanjikan oleh para pihak untuk diselesaikan melalui
Badan Arbitrase. Hal ini berkaitan dengan kompetensi absolute agar
tidak melanggar kewenangan mengadili sesama lembaga peradilan.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdoerraoef. Al-Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study. Jakarta: Bulan
Bintang, 1970.
Ahmad Azhar Basyir. Asas – asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 2000.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007.
Aziz, M. Amin. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku 1. Jakarta:
Bangkit, 1992.
Bank Indonesia Direktorat Perbankan Syariah, Kamus istilah Keuangan dan
Perbankan Syariah, Cet. 1. Jakarta: Bank Indonesia, 2006.
Dewi, Gemala., Wirdyaningsih., Barlinti, Yeni Salma. Hukum Perikatan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Peransurasian
Syariah Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Djamil, Fathurrahman . Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum
Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et. al. Cet. 1. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
Fuady, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996.
_________, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku kedua,
Cet.1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Gandapradja, Permadi. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Ghufron, A. Mas‟adi. Fiqih Muamalah Konstektual. Cet.1. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fiqh Muamalat. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Hasan, Zubairi. Undang – Undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam
dan Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Ibrahim, Johannes. Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam
Perjanjian Kredit Bank: Perspektif Hukum dan Ekonomi. Jakarta:
Mandar Maju, 2004.
Karim, A. Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Ed. Ketiga.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Lewis, Mervyn K. Dan Latifa M. Algoud. Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik,
dan Prospek [Islamic Banking]. Diterjemahkan oleh Burhan Subrata.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Mamudji, Sri. et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mujieb, Muhammad Abdul et.al. Kamus Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
Nasikhin, Muh. Perbankan Syariah & Sistem Penyelesaian Sengketanya.
Semarang: Fatawa Publishing, 2010.
Perwataatmaja, Karnaen, dkk. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media, 2005.
Satrio, J. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1993.
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunah. Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A. Marzuki. Jilid 12.
Bandung: PT al-Ma‟arif, 1987.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999.
_________, Kebebasan Berkontak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesi. Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1993.
Soerjopratiknjo, Hartono. Aneka Perjanjian Jual Beli. Cet. Ke-2. Yogyakarta: PT.
Mustika Wikasa, 1994.
Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. 19. Jakarta: Intermasa, 2002.
Sudin Haron. Islamic Banking, Rules and Regulation. Malaysia: Selangor Darul
Ehsan, Pelanduk Publication, 1997.
Thaib, M. Hasballah. Hukum dan Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam dan Praktek
di Bank Sistem Syariah. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.
Usman, Rachmadi. Aspek – aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Cet. 1,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2007.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
MAKALAH JURNAL
Kusmiyati, Asmi Nur Siwi. “Risiko Akad dalam Pembiayaan Murabahah Pada
BMT di Yogyakarta: Dari Teori ke Terapan” Dalam Jurnal Ekonomi
Islam La Riba (Vol. 1. No. 1. Juli 2007.
Manan, Abdul. Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari`ah,
Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007.
_________, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah Kewenangan Baru
Pengadilan Agama. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Panel
Dalam Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40 pada 7 Februari
2007 di Kampus YARSI Jakarta. Diunduh dari
www.badilag.net/data/ARTIKEL/makalah%20pak%20manan.pdf pada
25 April 2012
Muslimin, H Kara. Bank Syariah di Indonesia (Analisis Kebijakan Pemerintah
Indonesia Terhadap Perbankan Syariah). Yogyakarta: UII-Press. 2005.
Suma, Muhammad Amin, Ekonomi Syariah sebagai Alternatif System Ekonomi
Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 20, Agustus –September
2002,
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
________, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
________, Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
________, Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
________, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
LN No. 941. TLN No. 4852.
________, Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
________, Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. LN No. 56 Tahun 2003
________, Peraturan Bank Indonesia Nomor 61/15/PBI/2004 Tentang Giro Wajib
Minimum. TLN No. 4390
________, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah. TLN No. 4647
________, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. TLN No.
5247
________, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet.8. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad
Tahun 1849 No. 63 (Rv)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
INTERNET
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada 28 November 2011
http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050881/jurnal-akuntansi-
pemerintah/manajemen-risiko-di-lingkungan-pemerintah-pengantar-
aplikasi-pada-unit-unit-departemen-keuangan/pengertian-manajemen-
risiko.html diakses pada 28 November 2011 diakses pada 15 Desember
2011
http://www.pta-samarinda.net/pdf/Subag%20Umum/EkS Achmad%20fauzi.pdf.
diakses pada 14 April 2012
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57&Item
id=83 diakses pada 12 Desember 2011
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
LAMPIRAN 1
PUTUSAN
Nomor : 792/Pdt.G/2009/PA.JP
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara
tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas perkara
pembatalan Putusan Badan Arbritrase Syariah Nasional ( BASYARNAS ) Nomor
16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara :
PT. BANK SYARIAH MANDIRI, Perseroan Terbatas ( PT ) yang
berkedudukan di Gedung Bank Syariah Mandiri Jalan MH. Thamrin No. 5 Jakarta
yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Drs. IyanRisyadi Riksan, SH. Heri
Bertus S. Hartojo, SH., MH. Dan Muhammad Bastian, SH., para advokat yang
tergabung pada DIAS dan Associates Low Office yang berkantor di Citylofs
Sudirman Tower lanntai 7 unit 729, Jl. KH. Mas Mansyur No. 121, Jakarta,
selanjutnya disebut sebagai “PEMOHON" ;-
Melawan
I. MAJELIS ARBITER BASYARNAS, yang memeriksa dan memutus perkara
Nomor: 16/tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak atas nama Prof. H. Bismar Siregar,
SH., Hj. Fatimah Achyar , SH. Dan Prof. Dr. Sutan Remi Sjahdeini, SH. Yang
berkedudukan dan berkantor di Gedung MUI, Lantai 3, Jl. Proklamasi No. 51
Menteng, Jakarta yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. Maqdir Ismail ,
SH. LL.M, Dr. S. F. Merbun, SH., MH., M. Rudjito, SH., MH., Dasril Effendi,
SH., MH., Syahrial Zainuddin, SH., Masayun Donny Kertopati, SH. dan Ilham
Nur Akbar, SH. para advokat dan konsultan Hukum pada Maqdir Ismail dan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Partners Law Firm, yang beralamat di Jl. Bandung No. 4, Menteng, Jakarta Pusat,
Selanjutnya disebut sebagai “TERMOHON I”;
II. PT. ATRIUMASTA SAKTI, suatu Perseroan Terbatas (PT) yang
berkedudukan dan berkantor di Taman Gandaria Velley Estate blok A I., RT 012
RW. 005, kelurahan Kebayoran Lama Jakarta Selatan yang dalam hal ini memberi
kuasa kepada Iran Syahril Siregaer, SH., MH., Hendra K. Siregar, SH., Rendy
Tanamo, SH. dan Azis Yanuar, SH., MH. para advokat yang tergabung pada
Firma Hukum H.I Siregar dan Rekan yang beralamat di Gedung Setia Budi
Atrium Lantai 2 Ruang 209, Jl. HR. Rasuna Said Kav. 62 Kuningan, Jakarta
Selatan, selanjutnya disebut sebagai “TERMOHON II”;
Pengadilan Agama Tersebut ;-
Telah mendengar keterangan para pihak ;-
Telah meneliti berkas perkara ;-
Telah meneliti alat bukti ;-
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya tertanggal 10 Nopember
2009 yang didaftarkan pada tanggal yang sama di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dengan Register pendaftaran Nomor 792/Pdt.G/2009/PA.JP.
mengemukakan dalil-dalilnya sebagai berikut:
I. MENGENAI AMAR PUTUSAN BASYARNAS
1. Bahwa Majelis Arbiter BASYARNAS pada tanggal 16 September 2009 telah
membacakan Putusan Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara
TERMOHON II (semula Pemohon Arbitrase) dengan PEMOHON (semula
Termohon Arbitrase) (Bukti P – 1), serta telah mendaftarkan Putusan tersebut
pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagaimana ternyata dalam
Akte Pendaftaran No.01/BASYARNAS/ 2009/PAJP tertanggal 12 Oktober 2009
(Bukti P – 2).
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
2. Bahwa adapun Amar Putusan BASYARNAS yang dimohonkan pembatalannya
oleh PEMOHON selengkapnya adalah sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
-Menyatakan eksepsi Termohon tidak dapat diterima.
DALAM POKOK PERKARA
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
- Menyatakan Termohon melakukan cidera janji;
- Menyatakan batal demi hukum Akad Pembiayaan Murabahah No.53 tanggal 23
Februari yang dibuat oleh dan dihadapan Efran Yuniarto, S.H., Notaris di
Jakarta;
- Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon dana sebesar
Rp.878.791.366,- (delapan ratus tujuh puluh delapan juta tujuh ratus sembilan
puluh satu ribu tiga ratus enam puluh enam Rupiah) yang terdiri atas :
a. Pembayaran biaya provisi Bank sebesar Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima
puluh juta Rupiah) atau sebesar 1% (satu persen) dari nilai fasilitas pembiayaan
yang berjumlah Rp.35.000.000.000,- (tiga puluh lima miliar Rupiah) karena Akad
Murabahah No.53 dinyatakan batal demi hukum;
b. Pembayaran uang asuransi proyek (PT. Asuransi Dayin Mitra) sebesar
Rp.45.027.000,- (empat puluh lima juta dua puluh tujuh ribu Rupiah);
c. Pembayaran uang muka iuran Jamsostek sejumlah Rp.5.962.700,- (lima juta
sembilan ratus enam puluh dua ribu tujuh ratus Rupiah);
d. Pembayaran uang retribusi kepada Dinas Penataan dan Pengawasan
Bangunan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sebesar Rp.298.135.000,- (dua ratus
sembilan puluh delapan juta seratus tiga puluh lima ribu Rupiah);
e. Uang pengembalian cicilan margin sejumlah Rp.179.666.666,- (seratus tujuh
puluh sembilan juta enam ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh
enam Rupiah).
-Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon biayabiaya
lainnya sepanjang biaya-biaya tersebut didukung oleh bukti-bukti pengeluaran
yang telah diverifikasi oleh Kantor Akuntan Publik mengenai kebenarannya, baik
mengenai keaslian bukti-bukti tersebut maupun mengenai besarnya biaya;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
- Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk melakukan
verifikasi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon adalah
Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan Termohon dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan Majelis dibacakan.
- Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil mencapai
kesepakatan mengenai penunjukkan Kantor Akuntan Publik tersebut dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penunjukan Kantor Akuntan Publik
akan dilakukan oleh Majelis setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu
pihak yang berperkara, yaitu atau dari Pemohon atau dari Termohon.
- Memutuskan biaya Kantor Akuntan Publik, baik yang ditunjuk oleh Pemohon
dan Termohon maupun yang ditunjuk oleh Majelis ditanggung oleh Pemohon dan
Termohon masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen).
- Menolak permohonan Pemohon untuk meletakkan sita jaminan.
- Menolak permohonan Pemohon mengenai uang paksa (dwangsom).
- Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan sehingga karena itu tidak
dapat dibatalkan melalui upaya hukum apapun.
- Menolak tuntutan Pemohon selebihnya.
- Menghukum Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambatlambatnya 30
(tiga puluh) hari sejak putusan ini diucapkan.
- Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Pemohon dan
Termohon masing-masing sebesar ½ bagian dari biaya perkara ini.
- Memutuskan bahwa apabila Termohon menolak baik dengan cara berdiam diri
atau melakukan upaya-upaya hukum yang bertujuan dibatalkannya amar putusan
ini, antara lain dengan mengajukan keberatan atau membuat gugatan baru
melalui Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum sehingga eksekusi putusan
ini, menjadi tertunda apalagi menjadi berlarut-larut, maka Pemohon dapat
mengajukan pengaduan dan permohonan kepada Bank Indonesia agar Bank
Indonesia menjatuhkan sanksi administratif dan menurunkan tingkat kesehatan
PT. BANK SYARIAH MANDIRI dan Bank Indonesia wajib berdasarkan kekuatan
hukum putusan ini memenuhi permohonan Pemohon yang demikian itu.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
- Memerintahkan kepada Sekretaris Sidang selaku Kuasa Arbiter untuk
mendaftarkan turunan resmi Putusan Arbitrase ini di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan UU No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa jo Surat
Edaran Mahkamah Agung No.08 Tanggal 10 Oktober 2008.
II. MENGENAI DASAR HUKUM PERMOHONAN PEMBATALAN
PUTUSAN BASYARNAS KE PENGADILAN AGAMA.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 70 dan Penjelasan Umum Bab VII
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (“UU Arbitrase”) jo Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang- Undang No.3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama jo Surat Edaran Mahkamah Agung No.8 Tahun 2008 tentang Eksekusi
Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah, diberikan hak oleh Undang-Undang kepada
salah satu pihak dalam perkara arbitrase untuk mengajukan pembatalan putusan
arbitrase ke Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 70 dan dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Penjelasan
Umum Bab VII UU Arbitrase.
III. PUTUSAN DIAMBIL DARI HASIL TIPU MUSLIHAT YANG
DILAKUKAN OLEH SALAH SATU PIHAK DALAM PEMERIKSAAN
SENGKETA.
4. Bahwa selama persidangan arbitrase terungkap fakta-fakta hukum yang sangat
material akan tetapi sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Majelis Arbiter
(TERMOHON I) sehingga memberikan keyakinan kepada PEMOHON bahwa
TERMOHON I dan TERMOHON II telah memenuhi unsur-unsur yang dimaksud
dalam Pasal 70 serta dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Penjelasan Umum
Bab VII UU Arbitrase.
5. Bahwa salah satu butir amar Putusan BASYARNAS adalah bahwa PEMOHON
semula Termohon Arbitrase melakukan cidera janji. Putusan Majelis Arbiter
tersebut didasarkan pada dalil TERMOHON II semula Pemohon Arbitrase dalam
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Permohonan Arbitrase-nya yang menyatakan bahwa PEMOHON semula
Termohon Arbitrase cidera janji karena telah tidak melakukan pencairan tahap
kedua dan seterusnya dari fasilitas pembiayaan Murabahah. Dalil TERMOHON II
semula Pemohon Arbitrase tersebut diterima secara bulat oleh Majelis Arbiter
(TERMOHON I) dengan mengesampingkan fakta hukum bahwa yang cidera janji
terlebih dahulu sesuai Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23
Februari 2005 yang dibuat dihadapan EFRAN YUNIARTO, SH, Notaris di
Jakarta
(Bukti P – 3), adalah TERMOHON II semula Pemohon Arbitrase (exceptio et
adiplenti contractus). Cidera janji TERMOHON II semula Pemohon Arbitrase
yang mengakibatkan PEMOHON semula Termohon Arbitrase untuk tidak
mencairkan tahap kedua dan seterusnya dari fasilitas pembiayaan Murabahah
adalah sebagai berikut :
(a) TERMOHON II telah tidak menunjukkan asli dan memberikan fotocopy
dokumen/perijinan mendirikan bangunan (in casu, PIMB dan IMB) seperti
yang disyaratkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (10) Akta Akad Pembiayaan Al-
Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat dihadapan EFRAN
YUNIARTO, SH, Notaris di Jakarta, dan kemudian dipertegas TERMOHON II
dalam Surat Pernyataan tertanggal 2 Maret 2005 (Bukti P – 4).
(b) TERMOHON II telah tidak membayar biaya Notaris sesuai ketentuan
Syarat-Syarat Pembiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (4) Akad Al-
Murabahah No.53;
(c) TERMOHON II telah tidak menyerahkan self financing sesuai ketentuan
ketentuan Syarat-Syarat Pembiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (23)
Akad Al-Murabahah No.53.
Terkait dengan persyaratan dalam Akad Murabahah bahwa TERMOHON II harus
menyerahkan IMB sebelum PEMOHON melakukan pencairan pembiayaan tahap
kedua dan seterusnya, Majelis Arbiter telah mengesampingkan fakta hukum
bahwa TERMOHON II telah memperlihatkan kepada PEMOHON dokumen
Kontrak Jasa Pengurusan IMB antara TERMOHON II dengan H. Jayadi
Kusumah, SH tanggal 6 Desember 2004 (Bukti P – 5) serta bukti-bukti Kuitansi
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
pembayaran per tanggal 1 Maret 2005 sebesar Rp.3.212.500.000 (tiga miliar dua
ratus duabelas juta lima ratus ribu Rupiah) yang telah dibayar oleh TERMOHON
II kepada H. Jayadi Kusumah, SH (Bukti P – 6) sebagai biaya pengurusan
pembuatan IMB dan perizinan pembangunan lannya untuk proyek Ruko Soho
Carbella Square.
Bahwa Majelis Arbiter (TERMOHON I) telah tidak secara sungguh-sungguh
untuk membuktikan kebenaran bukti-bukti kuitansi yang diajukan PEMOHON
dalam persidangan dengan memanggil H Jayadi Kusuma, SH untuk dikonfirmasi
mengenai kebenaran isi bukti kuitansi, padahal PEMOHON telah memintanya
melalui Sekretaris BASYARNAS sesuai prosedur persidangan. Adalah sangat
tidak logis dan sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Majelis Arbiter bahwa
permintaan PEMOHON kepada TERMOHON II untuk menyerahkan IMB tidak
pernah dipenuhi oleh TERMOHON II, padahal TERMOHON II mendalilkan
telah mengeluarkan uang sebesar Rp.3.212.500.000 (tiga miliar dua ratus dua
belas juta lima ratus ribu Rupiah) sampai dengan total sebesar Rp.3.800.000.000
(tiga miliar delapan ratus juta Rupiah) yang diserahkan oleh TERMOHON II
kepada H. Jayadi Kusumah, SH untuk mengurus IMB dan izin pembangunan
lainnya sesuai kesepakatan yang tertuang dalam Kontrak Jasa Pengurusan IMB
antara TERMOHON II dengan H. Jayadi Kusumah, SH tanggal 6 Desember 2004.
6. Bahwa PEMOHON menemukan fakta hukum material yang tidak disampaikan
secara terbuka dan transparan kepada PEMOHON terkait dengan adanya
perubahan isi draft final Putusan (Bukti P - 1) dengan isi Putusan BASYARNAS
yang didaftarkan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Bukti P - 2). Dalam butir 48
(halaman 62) Putusan PEMOHON menemukan perubahan isi Putusan butir 48
yang sebelumnya berbunyi :
“48. Tuntutan ganti rugi yang tidak dapat dikabulkan Majelis Arbiter adalah
hal-hal sebagai berikut : …..” Menjadi berbunyi sebagai berikut :
“48. Tuntutan ganti rugi yang tidak dapat dikabulkan Majelis Arbiter sebelum
diverifikasi oleh Akuntan Publik mengenai kebenarannya adalah hal-hal
sebagai berikut : …..”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa terkait dengan perubahan isi butir 48 Putusan di atas, PEMOHON melalui
Surat Ref. No. : DNA/081/X/09 tanggal 15 Oktober 2009 perihal Permohonan
Penjelasan Mengenai Perubahan Isi Putusan No.16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara PT Atriumasta Sakti selaku Pemohon dan PT
Bank Syariah Mandiri selaku Termohon (Bukti P - 7) telah memohon penjelasan
kepada Majelis Arbiter (TERMOHON I). Penjelasan TERMOHON I sangat
diperlukan PEMOHON mengingat perubahan tersebut menurut PEMOHON
sangat mendasar, substansial serta terutama pula tidak sesuai dengan apa yang
disampaikan Majelis Arbiter (TERMOHON I) dalam pembacaan Putusan
tanggal 16 September 2009.
Akan tetapi, sampai tanggal Permohonan Pembatalan aquo PEMOHON ajukan ke
Pengadilan Agama Jakarta Pusat tanggapan Majelis Arbiter belum PEMOHON
terima.
Bahwa disamping itu, cara yang diambil Majelis Arbiter untuk melakukan
perubahan atau perbaikan isi Putusan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal
58 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, dan ketentuan Pasal 26 Peraturan Prosedur
BASYARNAS.
IV. ISI AMAR PUTUSAN SECARA SUBSTANSI TIDAK LOGIS YURIDIS
DAN BERTENTANGAN SATU SAMA LAIN.
7. Bahwa Majelis Arbiter (TERMOHON I) mengeluarkan putusan yang isinya
tidak logis yuridis serta bertentangan satu sama lain. Isi-isi amar yang tidak logis
adalah yang berbunyi sebagai berikut :
- Menyatakan Termohon melakukan cidera janji;
- Menyatakan batal demi hukum Akad Pembiayaan Murabahah No.53 tanggal
23 Februari yang dibuat oleh dan dihadapan Efran Yuniarto, S.H., Notaris di
Jakarta;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa menurut hukum perjanjian, apabila suatu perikatan dinyatakan batal demi
hukum (null and void), berarti perikatan tersebut sejak awal dianggap tidak ada
dan tidak pernah terjadi. Oleh karena sejak awal tidak ada perikatan, maka dengan
sendirinya juga tidak ada cidera janji (wanprestasi), sehingga tidak bisa salah satu
pihak dinyatakan telah melakukan cidera janji atas perikatan yang batal demi
hukum tersebut. Ketentuan adanya cidera janji (event of default) hanya dapat
terjadi jika perikatan tersebut ada dan berlaku, namun kemudian salah satu pihak
tidak memenuhi syaratsyarat dan ketentuan yang diatur dalam perikatan
(perjanjian) aquo sehingga berakibat dibatalkannya (dinyatakan batal) (voidable
atau vernietigbaar) perikatan (perjanjian) aquo oleh hakim pengadilan. Dengan
kata lain, sebelum dinyatakan batal oleh hakim (arbiter) karena adanya
wanprestasi, perjanjian tersebut ada dan berlaku sah serta mengikat para pihak.
Perjanjian tersebut menjadi tidak ada dan tidak berlaku lagi terhitung sejak
dinyatakan batal oleh hakim karena adanya wanprestasi.
Jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia tentang syarat sahnya suatu perjanjian, terdapat syarat subyektif
dan syarat obyektif. Suatu perjanjian (perikatan) batal demi hukum apabila
perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat obyektif, sedangkan apabila suatu
perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan (dinyatakan batal oleh hakim). Cidera janji (wanprestasi) merupakan
syarat subyektif, yaitu para subyek atau salah satu subyek yang membuat
perjanjian (perikatan) misalnya tidak melaksanakan syarat dan ketentuan dalam
Akad Pembiayaan Murabahah seperti dalam perkara arbitrase aquo. Dengan
demikian terdapat cacat hukum dalam Amar Putusan BASYARNAS karena
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
8. Bahwa isi-isi Amar Putusan yang bertentangan satu sama lain adalah yang
berbunyi sebagai berikut :
- Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon biayabiaya
lainnya sepanjang biaya-biaya tersebut didukung oleh buktibukti pengeluaran
yang telah diverifikasi oleh Kantor Akuntan Publik mengenai kebenarannya,
baik mengenai keaslian bukti-bukti tersebut maupun mengenai besarnya biaya;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
- Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk melakukan
verifikasi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon adalah
Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan Termohon dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan Majelis dibacakan.
- Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil mencapai
kesepakatan mengenai penunjukkan Kantor Akuntan Publik tersebut dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penunjukan Kantor Akuntan Publik
akan dilakukan oleh Majelis setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu
pihak yang berperkara, yaitu atau dari Pemohon atau dari Termohon.
- Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan sehingga karena itu tidak
dapat dibatalkan melalui upaya hukum apapun.
Majelis Arbiter telah membuat kabur pengertian ”Putusan Arbitrase bersifat final
and binding” dengan adanya putusan yang masih digantungkan pada keadaan
tertentu dalam waktu tertentu yang belum bersifat final. Bunyi Amar Putusan
yang menyangkut pembayaran biaya dan penunjukkan Kantor Akuntan Publik
yang berkaitan dengan penetapan jumlah biaya yang harus dikembalikan oleh
PEMOHON jelas menunjukkan bahwa Putusan aquo belum final, masih
menggantung dan belum tuntas. Seharusnya Majelis Arbiter dengan keyakinannya
membuat putusan yang tidak menggantung dan masih berpotensi bersengketa
yang tidak berkesudahan antara PEMOHON dengan TERMOHON II. Selain itu,
petitum putusan mengenai biaya yang harus dikembalikan oleh PEMOHON yang
harus mendapat verifikasi terlebih dahulu dari Kantor Akuntan Publik tersebut
bertentangan dengan hukum pembuktian yang seharusnya dilaksanakan dan sudah
tuntas sebelum perkara diputus.
Majelis Arbiter atau TERMOHON I seharusnya memutus sesuai dengan fakta-
fakta yang terungkap dan bukti-bukti yang diajukan oleh TERMOHON II didepan
persidangan. Apabila Majelis Arbiter berdasarkan keyakinannya menganggap
alat-alat bukti TERMOHON II meragukan dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan, maka seharusnya dan sepatutnya Majelis Arbiter
menolak secara tegas alat-alat bukti tersebut demi kepastian hukum. Azas hukum
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
pembuktian tersebut juga sesuai dengan dan dijunjung tinggi oleh Hukum Islam.
Dalam sejarah Islam terkenal kasus kepemilikan Baju Perang yang terjadi antara
Sayyidina Ali (sepupu, sahabat dan menantu Rasulullah SAW) dengan seorang
Yahudi. Dalam perkara tersebut Rasulullah SAW memutuskan berdasarkan bukti-
bukti yang diajukan bahwa orang Yahudi lah sebagai pemilik Baju Perang
tersebut. Sebenarnya baju tersebut milik Sayyidina Ali, namun Sayyidina Ali
tidak dapat membuktikan kepemilikannya atas baju perang tersebut. Dari kasus
baju perang ini kita dapat mengambil I‟tibar (pelajaran) bahwa hakim (arbiter)
mengambil putusan berdasarkan bukti-bukti. Majelis Arbiter setelah putusan
dibacakan tidak boleh lagi menyuruh para pihak untuk meminta pihak ketiga agar
memverifikasi tuntutan dari TERMOHON II mengenai jumlah biaya yang harus
dikembalikan oleh PEMOHON sebagaimana bunyi petitum Putusan
BASYARNAS di atas.
V. ISI AMAR PUTUSAN TIDAK DAPAT LAGI MENJADI RUJUKAN
DALAM PELAKSANAAN ISI PUTUSAN DAN BERTENTANGAN
DENGAN SIFAT FINAL AND BINDING DARI PUTUSAN ARBITRASE.
9. Bahwa terdapat isi Amar Putusan yang tidak dapat dilaksanakan (non
executable) berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang sampai dengan
tanggal Pengajuan Permohonan Pembatalan aquo yaitu yang berbunyi sebagai
berikut :
- Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk melakukan
verifikasi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon adalah
Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan Termohon dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan Majelis dibacakan.
- Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil mencapai
kesepakatan mengenai penunjukkan Kantor Akuntan Publik tersebut dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penunjukan Kantor Akuntan Publik
akan dilakukan oleh Majelis setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu
pihak yang berperkara, yaitu atau dari Pemohon atau dari Termohon.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
10. Bahwa memenuhi isi Amar Putusan yang diuraikan dalam butir (9) di atas,
PEMOHON semula Termohon Arbitrase dan TERMOHON II semula Pemohon
Arbitrase telah berusaha melaksanakan isi Putusan yaitu menunjuk Kantor
Akuntan Publik dengan kronologis sebagai berikut :
(a) Pada tanggal 7 Oktober 2009 TERMOHON II melalui Kuasa Hukumnya
dengan Surat No.097/HIS/AS-BSM/X/2009 perihal Pengajuan Kantor Akuntan
Publik, mengajukan Kantor Akuntan Publik (KAP) Doli, Bambang, Sudarmadji &
Dadang (DBS & D) sebagai Akuntan Publik yang akan melakukan verifikasi
biaya-biaya sesuai isi Putusan BASYARNAS, untuk disetujui PEMOHON (Bukti
P - 8);
(b) Menanggapi Surat TERMOHON II tersebut, PEMOHON melalui Kuasa
Hukumnya atas dasar itikad baik menyampaikan Surat Ref. No.: DNA/080/X/09
tanggal 15 Oktober 2009 perihal Tanggapan Atas Pengajuan Kantor Akuntan
Publik, yang isinya menyetujui penunjukkan KAP DBS & D yang diajukan
TERMOHON II (Bukti P - 9);
(c) PEMOHON dan TERMOHON II bersama-sama kemudian pada tanggal 23
Oktober 2009 melalui Surat Ref. No. : 087/X/09 perihal PermohonanPengajuan
Proposal, meminta KAP DBS & D untuk menyampaikan proposal biaya jasa KAP
DBS & D dalam menangani pekerjaan verifikasi biaya-biaya lain sesuai isi
Putusan BASYARNAS (Bukti P - 10);
(d) Akan tetapi, pada tanggal 2 November 2009 sesuai Surat No.164/OL-
2.11109/DBSD perihal Jawaban Permohonan Pengajuan Proposal, KAP DBS &
D menyatakan tidak bersedia untuk mengajukan Proposal yang berarti menolak
untuk menjadi KAP yang akan melakukan verifikasi biaya-biaya lain sesuai
Putusan BASYARNAS (Bukti P -11).
11. Bahwa akibat penolakan KAP yang tidak bersedia menjadi KAP yang akan
melakukan verifikasi dalam rangka memenuhi isi Amar Putusan yang diuraikan
dalam butir (9) di atas, kemudian menjadi tidak jelas mengenai siapa yang
berwenang untuk menunjuk KAP. Apabila kewenangan penunjukkan KAP
tersebut masih merupakan hak PEMOHON dan TERMOHON II, periode waktu
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Putusan dibacakan sudah terlampaui. Dilain
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
pihak, apabila kewenangan sudah beralih ke Majelis Arbiter, maka hal tersebut
tidak sesuai dengan substansi dan „semangat‟ dari isi Amar Putusan, karena
sebenarnya bukan tidak ada kesepakatan antara PEMOHON dan TERMOHON II
namun karena KAP yang telah disepakati menyatakan menolak ditunjuk sebagai
KAP.
Dengan demikian isi Amar Putusan TERMOHON tidak dapat lagi dijadikan
rujukan dalam pelaksanaan isi Putusan terkait dengan penunjukkan KAP. Apabila
Majelis Arbiter memaksakan untuk menetapkan KAP akan memverifikasi biaya-
biaya lain sesuai isi Putusan, maka tindakan Majelis Arbiter tersebut bertentangan
dengan sifat final and binding dari Putusan arbitrase karena akan ada putusan baru
setelah Putusan yang dibacakan pada tanggal 16 September 2009.
VI. ISI AMAR PUTUSAN TELAH MEREDUKSI DAN/ATAU
MENGHILANGKAN HAK-HAK PEMOHON YANG DIJAMIN
UNDANGUNDANG.
12. Bahwa terdapat isi-isi Amar Putusan yang mereduksi dan menghilangkan hak
PEMOHON yang telah dijamin Undang-Undang yaitu yang berbunyi sebagai
berikut :
- Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan sehingga karena itu
tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum apapun.
- Memutuskan bahwa apabila Termohon menolak baik dengan cara berdiam diri
atau melakukan upaya-upaya hukum yang bertujuan dibatalkannya amar
putusan ini, antara lain dengan mengajukan keberatan atau membuat gugatan
baru melalui Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum sehingga eksekusi
putusan ini, menjadi tertunda apalagi menjadi berlarut-larut, maka Pemohon
dapat mengajukan pengaduan dan permohonan kepada Bank Indonesia agar
Bank Indonesia menjatuhkan sanksi administratif dan menurunkan tingkat
kesehatan PT. BANK SYARIAH MANDIRI dan Bank Indonesia wajib
berdasarkan kekuatan hukum putusan ini memenuhi permohonan Pemohon
yang demikian itu.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa hak untuk mengajukan pembatalan suatu putusan arbitrase adalah hak
yang diberikan serta dijamin hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam
perkara arbitrase. Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa telah memberikan hak bagi pihak-pihak yang
bersengketa melalui forum arbitrase untuk mengajukan pembatalan putusan
arbitrase dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU Arbitrase dimaksud.
Tindakan TERMOHON I selaku Majelis Arbiter yang dengan jelas
menghalangi disertai “ancaman” atau melarang PEMOHON untuk
melaksanakan haknya sesuai Undang-Undang untuk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase adalah melawan hukum,
tendensius dan berpotensi tidak obyektifnya Majelis dalam memeriksa dan
memutus perkara BASYARNAS No.16/Tahun 2008/Ka.Jak.
VII. ISI AMAR PUTUSAN MELANGGAR KETENTUAN UNDANG-
UNDANG NO.30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (UU ARBITRASE).
13. Bahwa terdapat isi Amar Putusan yang melanggar ketentuan UU arbitrase
yaitu yang berbunyi sebagai berikut :
- Menghukum Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari sejak putusan ini diucapkan.
Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 jo UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No.3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama jo Surat Edaran Mahkamah Agung No.8 Tahun 2008 tentang
Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah secara a contrario menegaskan bahwa
suatu Putusan arbitrase baru memiliki kekuatan eksekusi setelah putusan
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Agama. Putusan Majelis Arbiter yang menghukum PEMOHON
semula Termohon Arbitrase untuk melaksanakan putusan sebelum kekuatan
eksekusi timbul secara efektif sesuai UU Arbitrase adalah melanggar hukum,
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
memaksakan diri serta berpotensi tidak independen dalam menangani serta
memutus perkara BASYARNAS No.16/Tahun 2008/Ka.Jak.
14. Bahwa dengan demikian cukup alasan bagi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
berdasarkan ketentuan Pasal 70 dan dengan tidak mengurangi ketentuan dalam
Penjelasan Umum Bab VII Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk membatalkan Putusan Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Perkara No.16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka. Jak yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat sesuai Akte Pendaftaran No.01/BASYARNAS/2009/PAJP
tanggal 12 Oktober 2009.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON memohon kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat agar memberikan putusan sebagai sebagai berikut :
1. Menerima permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;
2. Menyatakan cacat hukum Putusan BASYARNAS karena isi amarnya saling
bertentangan satu sama lain, dan melanggar ketentuan Undang- Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta
ketentuan perundangan yang berlaku.
3. Membatalkan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka. Jak yang telah didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sesuai Akte Pendaftaran
No.01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009 seluruhnya;
4. Membebankan kepada TERMOHON I dan TERMOHON II untuk membayar
seluruh biaya yang timbul dari perkara ini.
Atau, apabila Majelis Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang
menangani perkara aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
Menimbang, bahwa atas Permohonan Pemohon tersebut Termohon I memberikan
jawaban sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
I. EKSEPSI KEWENANGAN ABSOLUT (EXCEPTIO DECLINATOIR)
TERMOHON I mengajukan EKSEPSI KEWENANGAN ABSOLUT
(EXCEPTIO DECLINATOIR) terhadap alasan yang diajukan oleh PEMOHON,
dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut ini :
a. Bahwa pada dasarnya antara PEMOHON dengan TERMOHON II telah
menandatangani suatu perjanjian. Perjanjian tersebut sesuai dengan asas Pacta
Sunt Servanda mengikat kedua belah pihak. Artinya, antara PEMOHON dengan
TERMOHON II telah bersepakat menyelesaikan sengketa mereka sesuai dengan
perjanjian/ klausula arbitrase tersebut;
b. Bahwa asas tersebut telah dinormativisasi ke dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999, Pasal 60 menyatakan ”putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”. Selanjutnya asas
dan ketentuan Pasal 60 tersebut dipertegas kembali melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 08 Tahun 2008, angka 3
menyatakan ”Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, karenanya para pihak harus
melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syari‟ah tersebut secara sukarela;
c. Bahwa meskipun UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 70 menyatakan para pihak
dapat mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase, namun upaya
pembatalan tersebut bukan merupakan ”banding biasa” terhadap suatu putusan
arbitrase. Pembatalan merupakan suatu upaya hukum yang ”luar biasa”. Oleh
karena itu tanpa alasan-alasan yang spesifik sebagaimana ditentukan pada Pasal
70 huruf a, b dan c tersebut, maka pada prinsipnya pembatalan terhadap suatu
putusan arbitrase tidak mungkin dapat dilakukan/ dipenuhi. Dengan demikian,
pada prinsipnya suatu putusan arbitrase adalah tingkat pertama dan terakhir (final
and binding). Oleh karena itu Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan
memutus sengketa Permohonan Pembatalan putusan arbitrase yang di ajukan oleh
PEMOHON.
d. Bahwa dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Pasal 70 menyatakan :
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai
berikut :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;--
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyi oleh pihak lawan;---
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa;--
Selanjutnya pada Penjelasan Pasal 70 dijelaskan :
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang
sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan disebut
dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila
pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak
terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
e. Bahwa menurut ketentuan Pasal 70 beserta Penjelasannya tersebut,untuk dapat
mempertimbangkan suatu permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase
haruslah didukung bukti-bukti berupa putusan pengadilan terhadap alasan-alasan
tersebut. Dengan demikian, apabila permohonan pembatalan terhadap putusan
arbitrase tidak didukung putusan pengadilan, maka permohonan pembatalan
tersebut harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidap dapat
diterima;
f. Bahwa berdasarkan butir 8 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor :
08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah, menyatakan :
”Ketua Pengadilan Agama tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional”.
Bahwa alasan permohonan PEMOHON yang dikemukan pada angka IV. Isi Amar
Putusan, secara subtansial tidak logis yuridis dan bertentangan satu sama lain
(mulai dari halaman 7 s/d halaman 9), angka V. Isi amar putusan tidak dapat lagi
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
menjadi rujukan dalam pelaksanaan isi putusan dan bertentangan dengan sifat
final dan binding dari putusan arbitrase (mulai dari halaman 9 s/d halaman 11),
angka VI. Isi amar putusan telah mereduksi dan/atau menghilangkan hak-hak
pemohon yang dijamin Undang-Undang (mulai dari halaman 11 s/d halaman 12),
dan angka VII. Isi amar putusan melanggar ketentuan Undang-Undang no. 30
tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (UU Arbitrase)
(halaman 12 s/d halaman 13) adalah mengenai alasan atau pertimbangan dari
putusan Badan Arbitrase Syari‟ah. Dengan demikian Ketua Pengadilan Agama
harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa alasan permohonan
PEMOHON pada angka IV s/d VII tersebut.-
II. EXCEPTIO ERROR IN PERSONA DALAM BENTUK DISKUALIFIKASI
IN PERSOON
TERMOHON I mengajukan Exceptio Error In Persona dalam bentuk
Diskualifikasi In Persoon terhadap penarikan TERMOHON I dalam kedudukkan
dan kapasitasnya sebagai Majelis Arbitrase yang menjatuhkan Putusan Arbitrase
A-quo, dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut ini :
1. Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU No.4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan : “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara atau arbitrase.”
Dengan demikian penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui
perdamaian atau arbitrase adalah termasuk dalam kategori lembaga peradilan,
oleh karena itu status dan kedudukan Majelis Arbitrase sama dengan Majelis
Hakim di peradilan Negara, sehingga Majelis Arbitrase tidak dapat dijadikan
pihak dalam setiap upaya hukum yang berhubungan dengan perkara yang
diperiksa dan diputus oleh Majelis Arbitase tersebut, oleh karena itu penarikan
TERMOHON I sebagai pihak dalam permohonan pembatalan putusan Arbitrase
A-quo adalah cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persoon.
2. Bahwa Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut ”UU Arbitrase No.30/99”)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
memberi hak kepada para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan
terhadap putusan Arbitrase.
Berdasarkan ketentuan di atas, hukum memberi hak kepada PEMOHON untuk
mengajukan permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Aquo dan
tindakan itu sah menurut hukum. Akan tetapi yang harus ditarik sebagai pihak
TERMOHON dalam permohonan pembatalan Putusan Arbitrase A-quo adalah
pihak lawan yang bersengketa dalam putusan Arbitrase yang bersangkutan.
In casu yang menjadi pihak lawan PEMOHON dalam Putusan Arbitrase Aquo
yang dimohon pembatalan sekarang adalah TERMOHON II (PT Atriumasta
Sakti), maka yang mesti ditarik oleh PEMOHON sebagai TERMOHON hanya
terbatas dan cukup terhadap TERMOHON II saja. Karena dengan menarik
TERMOHON II sebagai pihak TERMOHON, secara prosesual dan tata tertib
beracara penyelesaian permohonan pembatalan yang diajukannya dapat di
selesaikan secara tuntas, tanpa memerlukan menarik Majelis Arbitrase yang
bersangkutan sebagai pihak termohon.
Bertitik tolak dari tata tertib beracara yang dikemukan TERMOHON I di atas,
penarikan TERMOHON I sebagai pihak TERMOHON dalam permohonan
pembatalan Putusan Arbitrase A-quo dikatagori sebagai diskualifikasi in persoon.
Makna diskualifikasi in persoon dalam tata tertib beracara, orang yang ditarik
sebagai pihak salah dan keliru. Demikian halnya dalam kasus ini ditariknya
TERMOHON I sebagai pihak dalam permohonan pembatalan Putusan Arbitrase
A-quo dikatagori sebagai tindakan yang salah dan keliru apabila ditinjau dari segi
syarat formil. Oleh karena itu penarikan TERMOHON I sebagai pihak dalam
permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo adalah cacat formil error in
persona dalam bentuk diskualifikasi in persoon
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa : “Arbiter atau Majelis Arbitrase
tidak dapat dikenakan tanggung-jawab hukum apapun atas segala tindakan yang
diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya
sebagai arbiter atau Majelis Arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad
tidak baik dari tindakan tersebut.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Dengan demikian Majelis Arbitrase tidak dapat digugat ke pengadilan atas
tindakan yang dilakukan selama proses persidangan berlangsung termasuk dalam
mengambil putusan Majelis Arbitrase, kecuali dibuktikan adanya itikad tidak baik
dari tindakan majelis tersebut.
Bahwa tanpa terlebih dahulu adanya pembuktian tentang iktikad tidak baik dari
Majelis Arbitrase, maka segala bentuk gugatan terhadap Majelis Arbitrase adalah
merupakan perbuatan yang salah dan keliru serta bertentangan dengan hukum,
Oleh karena itu penarikan TERMOHON I sebagai pihak dalam permohonan
pembatalan putusan Arbitrase A-quo adalah cacat formil error in persona dalam
bentuk diskualifikasi in persoon.
4. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 9 Tahun
1976, Perihal: Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim, yang menyatakan :
“hakim dibebaskan pertanggungan jawab perdata mengenai perbuatan yang
dilakukan dalam pelaksanaan tugas peradilan.” Dengan demikian segala bentuk
gugatan terhadap Majelis Arbitrase adalah merupakan perbuatan yang salah dan
keliru serta bertentangan dengan hukum, Oleh karena itu penarikan TERMOHON
I sebagai pihak dalam permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo adalah
cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persoon.
5. Bahwa dengan merujuk kepada praktik internasional sesuai ketentuan
UNCITRAL Arbitration Rules (1976), Article 36 - Correction of the award :
(1). Within thirty days after the receipt of the award, either party, with notice to
the other party, may request the arbitral tribunal to correct in the award any
errors in computation, any clerical or typographical errors, or any errors of
similar nature. The arbitral tribunal may within thirty days after the
communication of the award make such corrections on its own initiative”
maka apa yang dilakukan oleh PEMOHON telah menyalahi praktikinternasional
yang juga merupakan praktik dalam arbitrase di Indonesia. Sebab dari bunyi Pasal
36 UNCITRAL Arbitration Rules (1976) tersebut, yang bisa dilakukan oleh
Majelis Arbitrase hanya terbatas pada melakukan koreksi terhadap putusan dalam
waktu 30 hari sejak putusan diterima, atas inisiatif salah satu pihak dengan
terlebih dahulu memberi tahu pihak lain. Koreksi tersebut hanya terbatas
melakukan koreksi terhadap kesalahan ketik atau perhitungan atau kesalahan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
administrative yang berhubungan dengan pekerjaan panitera, oleh karena itu
penarikan TERMOHON I sebagai pihak dalam permohonan pembatalan putusan
Arbitrase A-quo adalah cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi
in persoon. Oleh karena penarikan TERMOHON I sebagai pihak mengandung
cacat formil error in persona, maka menurut hukum permohonan PEMOHON
terhadap diri TERMOHON I harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya
tidak dapat diterima (niet onvantkelijk verklaard, inadmissable declared).
Berdasarkan tata tertib yang dikemukakan di atas, penempatan dan penarikan
Majelis Arbitrase yang memutus putusan Arbitrase A-quo sebagai TERMOHON I
dalam permohonan pembatalan ini harus dikeluarkan dari arus proses pemeriksaan
perkara.
DALAM POKOK PERKARA
Segala sesuatu yang TERMOHON I kemukakan didalam EKSEPSI merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisah dengan substansi materi yang dikemukakan
dalam POKOK PERKARA ini, dapat TERMOHON I jelaskan, setelah meneliti
permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo ternyata PEMOHON
mengajukan 5 (lima) alasan yang menjadi dasar permohonan pembatalan
sebagaimana yang dikemukakannya pada angka III (mulai dari halaman 4 s/d
halaman 7), angka IV (mulai dari halaman 7 s/d halaman 9), angka V (mulai dari
halaman 9 s/d halaman 11), angka VI (mulai dari halaman 11 s/d halaman 12),
dan angka VII (halaman 12 s/d halaman 13).
Sehubungan dengan itu TERMOHON I akan menanggapi dan membantah satu
persatu alasan tersebut sesuai dengan urutan yang dikemukakan dalam
permohonan sebagai berikut:
1. Alasan permohonan pembatalan tipu muslihat yang diajukan oleh
PEMOHON, tidak memenuhi syarat yang ditentukan penjelasan Pasal 70
UU Arbitrase No.30/99
1.1. Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99 menyebut 3 (tiga) alasan permohonan
pembatalan putusan Arbitrase yang terdiri dari:
a...
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
b...
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Berdasarkan ketentuan Pasal ini terdapat 3 (tiga) alasan permohonan pembatalan
terhadap putusan Arbitrase A-quo yang dapat diajukan oleh PEMOHON.--
1.2. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99 menentukan syarat
keabsyahan alasan-alasan tersebut Penjelasan Pasal 70 tersebut mengatakan;
”...Alasan-alasan permohonan pembatalan yang tersebut dalam Pasal ini harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan”
1.3. Bertitik tolak dari penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99 dimaksud:
- Agar alasan permohonan pembatalan yang diajukan oleh PEMOHON syah
menurut hukum (wettig, lawfull), apakah alasan itu huruf a, b atau huruf c dalam
kasus perkara ini putusan yang diambil oleh Majelis Arbitrase terhadap putusan
Arbitrase A-quo merupakan hasil tipu muslihat dan tipu muslihat itu harus
dibuktikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (gezaag van gewijsde, irrevocable judgement).
- Apabila alasan permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo yang diajukan
oleh PEMOHON tipu muslihat tetapi tanpa didukung oleh alat bukti berupa
putusan pengadilan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
alasan tersebut tidak syah menurut hukum (onwettig, unlawfull).
1.4. In casu, dalam perkara ini alasan permohonan pembatalan putusan Arbitrase
A-quo yang dikemukakan PEMOHON pada angka III (halaman 4 s/d halaman 7)
adalah tipu muslihat tanpa didukung dan dibuktikan dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:
- Berarti alasan ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan
penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99.
- Dengan demikian alasan ini tidak sah menurut hukum. Oleh karena itu alasan
permohonan pembatalan angka III ini harus ditolak dan dikesampingkan.
2. Alasan permohonan pembatalan tentang adanya saling pertentangan
dalam putusan Arbitrase A-quo tidak mempunyai dasar hukum
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Pada angka IV (halaman 7) permohonan, PEMOHON mengemukakan alasan
permohonan pembatalan yang kedua yang menyatakan isi amar putusan secara
substansi tidak logis yuridis dan bertentangan satu sama lain. Jika alasan ini
dihubungkan dengan angka 7 dan seterusnya, intisari dari pada alasan ini adanya
saling pertentangan satu sama lain yang terdapat dalam amar putusan dalam
bentuk satu segi menyatakan TERMOHON melakukan cidera janji, dan pada segi
lain menyatakan batal demi hukum akad pembiayaan murabahah nomor 53
tanggal 23 Februari 2005.
2.1. pada dasarnya baik ditinjau dari segi teori dan praktek tidak ada perbedaan
hakiki antara batal dengan batal demi hukum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1266
KUHPerdata bahwa pembatalan perjanjian apakah itu diakibatkan oleh karena
tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau oleh karena
perjanjian itu melanggar ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, agar perjanjian itu
batal, pembatalannya harus dimintakan ke Pengadilan. Dengan demikian yang
berwenang untuk membatalkan perjanjian itu pada dasarnya adalah hakim.
2.2. Pernyataan Amar Putusan Arbitrase A-quo yang menyatakan perjanjian batal
demi hukum sejalan dan sesuai dengan pertimbangan putusan arbitrase a-quo
yang tercantum dalam halaman 40 dan seterusnya. Dalam pertimbangan mulai
dari halaman 40 dan seterusnya telah dikemukakan beberapa unsur dan
persyaratan perjanjian murabahah Akta No. 53 tanggal 23 Februari 2005
bertentangan dengan prinsipprinsip syariah yang terpenting diantaranya:
2.2.1. bentuk perjanjian murabahah tersebut mengambil konstruksi kredit modal
kerja yang biasa digunakan pada bank konvensional sehingga bertentangan
dengan prinsip pembiayaan murabahah yang merupakan akad jual beli.
2.2.2. margin yang ditetapkan dalam perjanjian murabahah berupa ceiling price
yang berubah-ubah secara tidak pasti (uncertain), tidak ditentukan secara lump
sum pertahun tetapi ditetapkan dalam prosentase pertahun seperti halnya bunga
pada perbankan konvensional yang menurut prinsip syariah adalah riba yang
haram hukumnya.
2.2.3. tentang pembebanan bunga dalam surat sanggup/promes sehingga sama
artinya dengan riba dan karenanya melanggar prinsip syariah.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
2.2.4. akad pembiayaan No. 53, transaksi jual beli antara pemasok dan bank dan
jual beli antara bank dengan nasabah telah dibuat dalam satu akad saja. Hal ini
bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang Murabahah. Bertitik tolak dari fakta-fakta yuridis yang dikemukakan
dalam pertimbangan putusan arbitrase A-quo, terbukti perjanjian murabahah 53
bertentangan dengan prinsip syariah dan melanggar ketentuan Pasal 1337 Jo.
Pasal 1335 KUH Perdata, sehingga sudah tepat kesimpulan dan amar putusan
arbitrase a-quo yang menyatakan perjanjian murabahah 53 batal demi hukum.
2.3. Berdasarkan fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah,
dibolehkan adanya wakalah dan margin dalam transaksi pembiayaan murabahah
dan hal itu telah disepakati oleh PEMOHON dan TERMOHON, sehingga akad
murabahah tersebut dianggap sah oleh PEMOHON dan TERMOHON. Tanpa
mengurangi pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan pada butir 2.2. bahwa
akad murabahah 53 bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, sehingga akad
murabahah itu dinyatakan batal demi hukum, akan tetapi pada segi lain oleh
karena akad murabahah 53 itu telah sesuai dengan fatwa DSN No. 04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Murabahah, timbul anggapan hukum akad murabahah 53
tersebut sah menurut hukum.
Oleh karena akad murabahah 53 dianggap sah menurut hukum maka dengan
sendirinya menimbulkan kewajiban hukum bagi para pihak untuk memenuhi
pelaksanaannya. Ternyata PEMOHON ingkar memenuhi kewajiban untuk
mencairkan sisa fasilitas pembiayaan murabahah sesuai akad. Oleh karenanya
sudah tepat dan benar pertimbangan dan kesimpulan Majelis Arbitrase dalam
Putusan Arbitrase A-Quo yang menyatakan bahwa PEMOHON telah melakukan
wanprestasi. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1243 Jo. 1267 KUHPerdata
kalimat terakhir, cukup dasar alasan untuk menghukum PEMOHON membayar
ganti kerugian dalam bentuk biaya dan kerugian.
Dari fakta-fakta yuridis yang dikemukakan di atas pada hakikatnya tidak ada
saling pertentangan antara Amar kedua dengan Amar Ketiga putusan arbitraser a-
quo, malahan sejalan dan saling mendukung.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
3. Alasan permohonan pembatalan tentang adanya pelaksanaan isi putusan
Arbitrase A-quo bertentangan dengan sifat final and binding
3.1. Putusan arbitrase a-quo tentang Amar poin 5, 6, 7, dan 8 tidak melanggar asas
ultra petitum partium (ultra vires) yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR.
Pada dasarnya amar Putusan arbitrase a-quo poin 5, 6, 7, dan 8 tidak melebihi dari
apa yang dituntut oleh PEMOHON asal bahkan masih dalam kerangka dalil
wanprestasi dan petitum angka 5 dan 6 permohonan PEMOHON asal, dan ganti
rugi yang dikabulkanpun jauh lebih kecil dari tuntutan ganti rugi yang diajukan
oleh PEMOHON asal dalam petitum angka 5 dan 6. Oleh karena itu amar putusan
poin 5.6.7. dan 8 tidak bertentangan dengan asas ultra petitum partium sehingga
tidak dapat dikategori putusan arbitrase a-quo mengandung ultra vires.
3.2. Amar putusan poin 5,6,7, dan 8 memang perumusannya belum bersifat final
dan definitif, akan tetapi tidak bersifat ultra vires karena yang dikehendaki dari
amar tersebut tercipta keadilan dan kebenaran yang hakiki. Berdasarkan fakta
yuridis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan isi putusan
Arbitrase A-quo tidak bertentangan dengan sifat final and binding.
3.3. oleh karena itu amar putusan poin 5,6,7, dan 8 harus dianggap sebagai upaya
konkrit dan definitif untuk menegakkan hukum yang berkeadilan berdasarkan
bukti-bukti dan pembuktian yang sahih. Seperti yang TERMOHON I jelaskan di
atas, satu segi amar putusan tidak bersifat ultra vires dan pada segi lain harus
dianggap sebagai upaya maksimal yang bersifat konkrit dan definitif, dalam
rangka menegakkan hukum yang berdasarkan keadilan. Oleh karena itu eksekusi
terhadap Putusan arbitrase a-quo selain meliputi amar poin huruf a, b, c, dan d,
yang bersifat condemnatur yakni menghukum PEMOHON (TERMOHON dalam
Arbitrase) untuk membayar ganti kerugian yang totalnya berjumlah Rp.
878.791.366,- (delapan ratus tujuh puluh delapan juta tujuh ratus sembilan puluh
satu ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah), maka selebihnya harus ada hasil
perhitungan dari akuntan publik berdasarkan bukti yang akurat dan dihitung
secara benar, bukan hanya berdasarkan klaim sepihak.
4. Alasan permohonan pembatalan tentang adanya isi amar putusan telah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
mereduksi dan/atau menghilangkan hak-hak PEMOHON yang dijamin
Undang-Undang.
Bahwa amar putusan poin 15 yang dikemukakan oleh PEMOHON mereduksi hak
yang diberikan Undang-Undang kepada PEMOHON untuk mengajukan
permohonan pembatalan terhadap putusan Arbitrase A-quo tidak benar. Maksud
dari amar putusan tersebut bukan untuk menghalangi pemohon menggunakan
haknya sesuai dengan UU No.30 Tahun 1999, tetapi adalah untuk mencegah para
pihak tidak melakukan tindakan yang tidak patut dalam menghambat pelaksanaan
putusan yang final and binding yang pada hakekatnya dikehendaki oleh para
pihak.
5. Alasan permohonan pembatalan tentang adanya isi amar putusan
melanggar ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai dasar hukum
Dapat TERMOHON I jelaskan prinsip pelaksanaan putusan Arbitrase maupun
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dilaksanakan dalam 2 (dua)
bentuk :
1) Dilaksanakan pemenuhannya dengan sukarela
2) Apabila tereksekusi tidak melaksanakan secara sukarela, dilaksanakan secara
paksa melalui eksekusi oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama.
Sehubungan dengan itu pelaksanaan putusan Arbitrase sudah dapat dipenuhi oleh
pihak yang kalah terhitung sejak tanggal putusan tersebut diucapkan oleh Majleis
Arbitrase yang bersangkutan. In casu putusan Arbitrase A-quo dijatuhkan pada
tanggal 16 September 2009 dan dihadiri oleh PEMOHON dan TERMOHON II,
sehingga jika tanggal putusan itu dikaitkan dengan sifat putusan Arbitrase yang
bersifat final and binding dan langsung mempunyai kekuatan eksekutorial, maka
terhitung sejak tanggal 16 September 2009 putusan Arbitrase A-quo sudah dapat
dipenuhi oleh pihak yang kalah sejak tanggal putusan tersebut dijatuhkan. Apabila
pihak yang kalah tidak melaksanakan putusan Arbitrase A-quo sejak tanggal 16
September 2009, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi putusan
secara paksa ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat setelah putusan itu didaftarkan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
oleh Majelis Arbitrase atau kuasanya sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU
Arbitrase No.30/99.
Bertitik tolak dari penjelasan yang TERMOHON I kemukakan di atas,
pencantuman amar poin 13 yang menghukum TERMOHON (sekarang
PEMOHON) untuk melaksanakan putusan dalam tempo 30 hari tidak
bertentangan dengan hukum dan Undang-Undang, karena sejak putusan itu
dijatuhkan sudah melekat kekuatan eksekutorial dan apabila tidak dilaksanakan
nanti secara sukarela dapat dimintakan eksekusinya kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
Sehubungan dengan uraian yang dikemukakan di atas, TERMOHON I memohon
agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan
putusan sebagai berikut:
MENGADILI DALAM EKSEPSI
1. Menerima dan Mengabulkan EKSEPSI TERMOHON I;
2. Menyatakan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tidak Berwenang Memeriksa
dan Mengadili Perkara a quo;
3. Menyatakan permohonan PERMOHON tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard).
DALAM POKOK PERKARA
1. Menolak permohonan pembatalan putusan Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional
(BASYARNAS) No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka. Jak, yang diajukan oleh
PEMOHON.
2. Menghukum PEMOHON untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul
dari perkara ini.
Atau Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo
berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Menimbang, bahwa atas Permohonan Pemohon Termohon II memberikan
jawaban sebagai berikut:
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
DALAM KONPENSI.
I. DALAM EKSEPSI.
1. PERMOHONAN YANG DIAJUKAN TIDAK MENERAPKAN DASAR
HUKUM YANG BENAR.
Bahwa dasar hukum yang dikemukakan oleh Pemohon dalam mengajukan
Permohonan Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BASYARNAS) Perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak tidak sesuai
ketentuan hukum yang berlaku, karena:
1.1. Pemohon tidak mengindahkan Pasal 72 Ayat (1) Undangundang No. 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya
disebut UU Arbitrase), yang dikutip sebagai berikut:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri.”
Bahwa permohonan Pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan
BASYARNAS ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, bertentangan dengan
ketentuan hukum.
1.2. Permohonan Pemohon bertentangan dengan Penjelasan Pasal 70 UU
Arbitrase:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang
sudah didaftarkan di pengadilan.
Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal ini harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa
alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan itu
dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan
atau menolak permohonan.”
Bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak mengajukan putusan
pengadilan yang membuktikan bahwa putusan BASYARNAS yang dimintakan
pembatalan oleh Pemohon dalam perkara aquo mengandung unsur-unsur
sebagaimana ditentukan Pasal 70 UU Arbitrase;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa melainkan hanya berdasarkan keyakinan Pemohon semata (vide halaman 4
poin 4 surat permohonan) dan tidak berdasarkan suatu putusan pengadilan
sebagaimana ketentuan Pasal 70 beserta penjelasannya dalam UU Arbitrase;
1.3. Bahwa sehubungan dengan tugas dan wewenang yang diberikan Undang-
Undang terhadap pengadilan agama, tidak terdapat ketentuan mengenai
kewenangan memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan putusan
arbitrase maupun putusan arbitrase syariah.
Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.:
”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”
1.4. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah, sama sekali tidak mengatur mengenai kewenangan
memeriksa permohonan pembatalan putusan Badan Arbitrase Syariah,
melainkan suatu edaran mengenai petunjuk pelaksanaan (eksekusi) putusan
Badan Arbitrase Syariah.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 1.1. – 1.4. di atas
terbukti dan tidak dapat dibantah kebenarannya permohonan pembatalan putusan
BASYARNAS yang diajukan Pemohon tidak menerapkan dasar hukum yang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
benar dan alasan-alasan mengajukan pembatalan tidak sesuai dengan ketentuan
hukum karena semata-mata berdasarkan keyakinan Pemohon bahwa Termohon II
dan Termohon I melakukan tipu muslihat (vide dalil Pemohon halaman 4 poin 4
dalam surat permohonannya) yang nota bene lebih mengarah tuduhan atau fitnah
belaka; Maka Majelis Hakim dalam perkara aquo harus menyatakan permohonan
Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima atau menyatakan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa permohonan
pembatalan Putusan BASYARNAS yang diajukan Pemohon.
2. OBSCUUR LIBELS.
Bahwa Permohonan Pembatalan Putusan BASYARNAS yang diajukan Pemohon
secara hukum harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,
karena:
2.1. Bahwa Pemohon dalam permohonannya halaman 1 mengajukan Permohonan
Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BASYARNAS)
Perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS /Ka.Jak kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat terhadap:
“I. Majelis Arbiter BASYARNAS, yang memeriksa dan memutus Perkara No.:
16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak, Cq. Prof. H. Bismar Siregar, SH., Hj.
Fatimah Achyar, SH., dan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH., beralamat di
Gedung MUI lantai 3, Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta 10320, sebagai
Termohon I; dan” Bahwa Permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas, apakah
Permohonan ditujukan terhadap BASYARNAS selaku Lembaga Arbitrase yang
merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berada di
bawah MUI atau terhadap pribadi (personal) Prof. H. Bismar Siregar, SH., Hj.
Fatimah Achyar, SH., dan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH., karena
sesungguhnya Termohon I secara personal tidak beralamat di Gedung MUI lantai
3, Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta 10320.
2.2. Bahwa Prof. H. Bismar Siregar, SH., Hj. Fatimah Achyar, SH., dan Prof. Dr.
Sutan Remy Sjahdeini, SH., merupakan pelaksana (Majelis Arbiter) yang
ditetapkan Ketua BASYARNAS dalam pemeriksaan sengketa antara PT.
Atriumasta Sakti (Termohon II/ Pemohon Arbitrase) terhadap PT. Bank Syariah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Mandiri (Pemohon/ Termohon Arbitrase) dalam perkara No.: 16/Tahun Hal. 34
dari 76 hal.Put.No.792/Pdt.G/2009/PA.JP 2008/BASYARNAS/Ka.Jak; Oleh
karenanya secara hukum Permohonan Pemohon dimaksud seharusnya diajukan
terhadap BASYARNAS selaku lembaga yang menerbitkan Putusan
BASYARNAS dan atau terhadap MUI selaku lembaga yang menaungi
BASYARNAS, bukan terhadap Termohon I dan Termohon II.
3. ERROR IN PERSONA
Bahwa antara Termohon II dengan Pemohon tidak memiliki hubungan hukum
sehubungan dengan Permohonan Pembatalan Putusan BASYARNAS yang
diajukan, karena fakta hukumnya Termohon II tidak dalam kapasitas dan atau
ikut merumuskan dan memutuskan Putusan BASYARNAS No.: 16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diajukan pembatalan oleh Pemohon, Oleh
karenanya Permohonan Pemohon yang menarik Termohon II sebagai pihak dalam
perkara a quo harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
II. DALAM POKOK PERKARA.
1. Bahwa Termohon II menolak dengan keras seluruh dalil-dalil Pemohon dalam
surat permohonannya kecuali hal-hal yang secara tegas diakui kebenarannya oleh
Termohon II;
2. Bahwa fakta hukum yang tidak dapat dibantah kebenarannya, Termohon II
tidak pernah ikut serta dalam mempertimbangkan dan memutuskan sebagaimana
Putusan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) Perkara No.: 16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak karena Termohon II bukan merupakan Arbiter dalam
pengambilan keputusan dimaksud;
3. Bahwa Amar Putusan No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak (Putusan
BASYARNAS), dikutip sebagai berikut:
“DALAM EKSEPSI
“Menyatakan eksepsi Termohon tidak dapat diterima”.
DALAM POKOK PERKARA
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
“Menyatakan Temohon melakukan cidera janji”;
“Menyatakan batal demi hukum Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23
Februari 2005 yang dibuat oleh dan di hadapan Efran Yuniarto, S.H., Notaris di
Jakarta”;
“Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon dana sebesar
Rp.878.791.366 (delapan ratus tujuh puluh delapan juta tujuh ratus sembilan
puluh satu ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah) yang terdiri atas:
a. Pembayaran biaya provisi Bank sebesar Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima
puluh juta rupiah) atau sebesar 1% (satu persen) dari nilai fasilitas pembiayaan
yang berjumlah Rp. 35.000.000.000,- (tiga puluh lima miliar rupiah) karena Akda
Murabahah No. 53 dinyatakan batal demi hukum”;
b. Pembayaran uang asuransi proyek (PT. Asuransi Dayin Mitra) sebesar Rp.
45.027.000,- (empat puluh lima juta dua puluh tujuh ribu rupiah);
c. Pembayaran uang muka iuran Jamsostek sejumlah Rp. 5.962.700,- (lima juta
sembilan ratus enam puluh dua ribu tujuh ratus rupiah);
d. Pembayaran uang retribusi kepada Dinas Penataan dan Pengawasan
Bangunan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sebesar Rp. 298.135.000,- (dua
ratus sembilan puluh delapan juta seratus tiga puluh lima ribu rupiah);
e. Uang pengembalian cicilan margin sejumlah Rp. 179.666.666,- (seratus tujuh
puluh sembilan juta enam ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh
enam rupiah).
“Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon biaya-biaya lain
sepanjang biaya-biaya tersebut didukung oleh buktibukti pengeluaran yang telah
diverifikasi oleh Kantor Akuntan Publik mengenai kebenarannya, baik mengenai
keaslian bukti-bukti tersebut maupun mengenai besarnya biaya”
“Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk melakukan
verifikasi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon adalah
Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan Termohon dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan Majelis dibacakan”.
“Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil mencapai
kesepakatan mengenai penunjukkan Kantor Akuntan Publik tersebut dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penunjukkan Kantor Akuntan Publik
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
akan dilakukan oleh Majelis setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu
pihak yang berperkara, yaitu atau dari Pemohon atau dari Termohon”
“Memutuskan biaya Kantor Akuntan Publik, baik yang ditunjuk oleh Pemohon
dan Termohon maupun yang ditunjuk oleh Majelis ditanggung oleh Pemohon dan
Termohon masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen)”
“Menolak permohonan Pemohon untuk meletakkan sita jaminan.”
“Menolak permohonan Pemohon mengenai uang paksa (dwangsom)”.
“Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan sehingga karena itu tidak
dapat dibatalkan melalui upaya hukum apapun”
“Menolak tuntutan Pemohon selebihnya”;
“Menghukum Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari sejak putusan ini diucapkan”
“Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Pemohon dan
Termohon masing-masing sebesar ½ bagian dari biaya perkara ini”;
“Memutuskan bahwa apabila Termohon menolak baik dengan cara berdiam diri
atau melakukan upaya-upaya hukum yang bertujuan dibatalkannya amar putusan
ini, antara lain dengan mengajukan keberatan atau membuat gugatan baru
melalui Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum sehingga eksekusi putusan
ini, menjadi tertunda apalagi menjadi berlarut-larut, maka Pemohon dapat
mengajukan pengaduan dan permohonan kepada Bank Indonesia agar Bank
Indonesia menjatuhkan sanksi administratif dan menurunkan tingkat kesehatan
PT. BANK SYARIAH MANDIRI dan Bank Indonesia wajib berdasarkan kekuatan
hukum putusan ini memenuhi permohonan Pemohon yang demikian itu”.
“Memerintahkan kepada Sekretaris Sidang selaku Kuasa Arbiter untuk
mendaftarkan turunan resmi Putusan Arbitrase ini di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan UU No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Jo Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 08 Tanggal 10 Oktober 2008;”
4. Bahwa Putusan perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak sudah
didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagaimana
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Akte Pendaftaran Nomor: 01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober
2009;
5. Bahwa dalil Pemohon halaman 4 poin 3 mengenai dasar hukum permohonan
pembatalan putusan BASYARNAS ke Pengadilan Agama antara lain:
• Pasal 70 UU Arbitrase; jo.
• Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; jo.
• Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah;
Bahwa Pemohon melakukan kekeliruan fatal dengan mengajukan permohonan
pembatalan putusan BASYARNAS ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, karena:
5.1. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan Pemohon berdasarkan
Pasal 70 UU Arbitrase dan Pemohon kemudian tidak mengindahkan ketentuan
Pasal 72 Ayat (1) UU Arbitrase, yang dikutip sebagai berikut:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri.”
5.2. Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.:
”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
i. ekonomi syari'ah.”
Bahwa sehubungan dengan tugas dan wewenang yang diberikan Undang-Undang
terhadap pengadilan agama, tidak terdapat ketentuan mengenai kewenangan
memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase maupun
putusan arbitrase syariah.
5.3. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah, sama sekali tidak mengatur mengenai permohonan
pembatalan putusan Badan Arbitrase Syariah melainkan mengatur prosedur dan
tata cara pelaksanaan (eksekusi) putusan Badan Arbitrase Syariah.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 5.1. – 5.3. di atas,
terbukti Pemohon melakukan kekeliruan hukum yang fatal yaitu tidak
menerapkan ketentuan hukum yang benar sebagai dasar permohonannya, oleh
karena itu permohonan tersebut harus ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan
tidak dapat diterima;
6. Bahwa dalil Pemohon pada halaman 4 – 7 poin 4, 5 dan poin 6 ditanggapi
Termohon II sebagai berikut:
6.1. Bahwa Pemohon untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya tidak
mengajukan bukti berupa putusan pengadilan yang memutuskan bahwa
putusan BASYARNAS yang dimintakan pembatalan oleh Pemohon dalam
perkara aquo mengandung unsur-unsur sebagaimana ditentukan Pasal 70 UU
Arbitrase;
Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang
sudah didaftarkan di pengadilan.
Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal ini harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa
alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan itu
dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan
atau menolak permohonan.”
6.2. Bahwa Pemohon pada halaman 4 poin 4 dalam surat permohonannya
mendalilkan Termohon I dan Termohon II melakukan tipu muslihat, dalil
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Pemohon tersebut berdasarkan keyakinan Pemohon belaka tanpa alat bukti yang
sah berupa putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Termohon I dan
Termohon II dinyatakan bersalah karena melakukan tipu muslihat;.
6.3. Bahwa Pemohon pada halaman 4 – 6 poin 5 dalam surat permohonan
mendalilkan mengenai keberatan Pemohon sehubungan proses pembuktian dan
pemeriksaan saksi dalam perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak
yang diputusakan Termohon I, dalil Pemohon tersebut tidak beralasan sama
sekali, karena pada saat pembuktian baik Pemohon maupun Termohon II hadir
dalam persidangan dan memiliki hak yang sama untuk mengajukan dan atau
menyatakan keberatan terhadap bukti-bukti dan atau saksisaksi; Penilaian dan
Keberatan mengenai terdapatnya “tipu muslihat” dalam putusan Termohon I
menurut ketentuan hukum sudah diberikan kesempatan kepada Pemohon
sebagaimana Pasal 58 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, yang dikutip sebagai
berikut:
“Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para
pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk
melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau
mengurangi sesuatu tuntutan putusan.”
Bahwa faktanya justru Pemohon sejak menerima Putusan BASYARNAS tidak
pernah mengajukan permohonan kepada Majelis Arbiter (Termohon I) mengenai
koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi
sesuatu tuntutan putusan, namun sebaliknya Pemohon berupaya menghindar dari
kewajibannya yang timbul atas Putusan BASYARNAS dengan membiarkan
waktu 14 (empat belas) hari yang diberikan Undang-Undang terlewati dan
kemudian Pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan BASYARNAS
ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
6.4. Bahwa Pemohon pada halaman 6 – 7 poin 6 dalam surat permohonan
mendalilkan mengenai perubahan isi draft putusan dengan isi putusan yang
didaftarkan BASYARNAS ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, yang mana dalil
tersebut sangat tidak beralasan dan tidak berdasar secara hukum karena
sepengetahuan Termohon II isi draft putusan tersebut belum diparaf dan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
ditandatangani oleh Majelis Arbiter (Termohon I) sehingga bukan merupakan
putusan yang resmi atas perkara No.: 16/Tahun 2008 /BASYARNAS/Ka.Jak.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 6.1. – 6.4. di atas, maka
terbukti dan tidak dapat dibantah lagi kebenarannya Pemohon dalam surat
permohonannya mengajukan alasan-alasan pembatalan Putusan BASYARNAS
tidak sesuai dengan ketentuan hukum karena semata-mata berdasarkan keyakinan
Pemohon bahwa Termohon II dan Termohon I melakukan tipu muslihat (vide
dalil Pemohon halaman 4 poin 4 dalam surat permohonannya);
7. Bahwa dalil-dalil Pemohon sepanjang mengenai putusan diambil dari hasil tipu
muslihat, Termohon II menanggapi hal tersebut sebagai tuduhan yang tidak
berdasar, sangat tendensius, semata-mata hanya fitnah dan merupakan
pengingkaran Pemohon terhadap pernyataannya sebagaimana tercantum dalam
Jawabannya sewaktu persidangan dalam perkara No.: 16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang menyatakan “mohon keadilan seadil-adilnya
(ex aquo et bono)”, dengan kata lain sesungguhnya Pemohon/Termohon
Arbitrase telah mempercayakan sepenuhnya tanpa prasangka buruk dan penuh
keikhlasan kepada Majelis Arbiter (Termohon I) untuk memutus sengketanya dan
memberikan putusan yang seadil-adilnya;
Bahwa Termohon II mensumir Pemohon untuk membuktikan dalil Pemohon yang
menyatakan putusan Basyaranas diambil dari hasil tipu muslihat Termohon II dan
Termohon I dalam waktu 14 (empat belas) hari, jika tidak dipenuhi maka
Termohon II menggunakan hak hukumnya untuk menuntut Pemohon baik secara
Pidana maupun Perdata;
8. Bahwa dalil Pemohon pada halaman 7 – 9 poin 7 dan 8 mengenai isi amar
Putusan Basyaranas yang tidak logis yuridis dan saling bertentangan ditanggapi
Termohon II sebagai berikut:
8.1. Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan amar putusan tidak logis dan
bertentangan satu sama lain adalah tidak beralasan dan terkesan terlalu
dipaksakan, karena sesungguhnya Majelis Arbiter (Termohon I) telah memberikan
putusan dengan berpedoman dan melaksanakan al-Quran dan as-Sunnah/al-
Hadits serta ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sebagaimana disampaikan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
oleh Termohon I dalam pengantar dan pertimbangan-pertimbangan dalam Putusan
No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak.;
8.2. Bahwa dalil Pemohon poin 7 pada halaman 7 – 8 sangat tidak beralasan
karena Pemohon menggunakan pemahaman hukum perjanjian mengenai akibat
batalnya suatu perjanjian secara sempit untuk mendukung dalil Pemohon;
Bahwa salah satu konteks cidera janji yang dimaksud dalam amar putusan yang
dikeluarkan Termohon I menurut pemahaman Termohon II berdasarkan
pertimbangan Termohon I dalam putusannya disebabkan karena
Pemohon/Termohon Arbitrase membatalkan secara sepihak
pembiayaan/pencairan pembiayaan sebagaimana Akad Pembiayaan Murabahah
No. 53 tanggal 23 Februari 2005 dengan alasan yang bertentangan dengan Akad
itu sendiri maupun prinsip-prinsip syariah;
Sedangkan Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005 batal
demi hukum dikarenakan Akad tersebut isinya bukan al-Murabahah melainkan
suatu bentuk lain, tegasnya Akad tersebut tidak mengambil konstruksi al-
Murabahah tetapi mengambil konstruksi kredit modal kerja untuk membeli bahan
material seperti yang biasa diberikan oleh Bank konvensional yang didalamnya
membebankan bunga terhadap besar margin serta membebankan bunga dalam
Surat Sanggup/Promes.
8.3. Bahwa dalil Pemohon poin 8 pada halaman 8 – 9 yang menyatakan isi amar
putusan saling bertentangan satu sama lain sehingga membuat kabur pengertian
putusan arbitrase bersifat “final and binding” karena masih terdapat putusan yang
digantungkan pada keadaan tertentu dan waktu tertentu yang belum bersifat final,
yang mana dalil tersebut menurut Ternohon II adalah karangan belaka dari
Pemohon;
Bahwa secara nyata-nyata Pemohon telah “menyetir” pengertian sifat “final”
putusan arbitrase, karena fakta hukum baik secara materiil maupun yuridis formil
telah diberikan pengertian sifat final sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 60 UU Arbitrase.
“Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat
diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa sedangkan pengertian “binding” putusan arbitrase adalah mengikat para
pihak yang bersengketa sebagai konsekuensi dari pilihan hukum (choice of law)
dan pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) yang disepakati oleh para
pihak yang bersengketa dalam perjanjian atau klausula arbitrase.
Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari
2005 Pasal 15 Tentang Penyelesaian Perselisihan.
“Apabila Usaha menyelesaikan melalui musyawarah untuk mufakat tidak
menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak, maka dengan
ini Nasabah dan Bank sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta memberi
surat kuasa kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk
memberikan putusan…….”;
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu Persetujuan-persetujuan
harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
H. Priyatna Abdurrasyid, (BANI 2002: 182).
“…. bahwa putusan akan mengikat hanya terhadap para pihak yang terlibat
secara langsung dan terhadap pihak ketiga yang mempunyai klaim.”
8.4. Bahwa Termohon II meskipun tuntutannya tidak dipenuhi seluruhnya, namun
dengan jiwa besar menghormati putusan Termohon I dan Termohon II merasakan
dan menilai dalam pertimbangan dalam putusannya Termohon I menerapkan dan
mendasarkan prinsip-prinsip syariah serta memperhatikan rasa keadilan dengan
berpedoman pada al-Quran dan as- Sunnah/al-Hadits, karena:
• Termohon I menyerahkan penilaian kebenaran bukti-bukti pengeluaran
Termohon II kepada pihak yang berkompeten untuk melakukan hal tersebut dalam
hal ini Kantor Akuntan Publik, karena sesungguhnya Termohon II bukan tidak
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
memiliki bukti-bukti melainkan masih perlu diverifikasi kebenarannya sehingga
tidak merugikan Pemohon;
• Termohon I menyerahkan penunjukan Kantor Akuntan Publik kepada Termohon
II dan Pemohon dengan persetujuan bersama yang dibatasi dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari, yang menurut Termohon II sebagai upaya Majelis Arbiter (Termohon
I) membantu agar komunikasi dan hubungan baik antara Termohon II dengan
Pemohon tetap terjaganya;
• Termohon I menunjukkan tanggung jawabnya sehubungan penunjukkan
bersama Kantor Akuntan Publik oleh Termohon II dan Pemohon, dengan tetap
mengantisipasi dalam hal tidak terdapatnya kesepakatan penunjukan bersama
maka penunjukan Kantor Akuntan Publik akan dilakukan oleh Majelis Arbiter
(Termohon I), sehingga tetap terdapat kepastian hukum penyelesaian sengketa
tersebut secara menyeluruh.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 8.1. – 8.4. di atas, maka
dalil-dalil Pemohon yang menyatakan Amar Putusan BASYARNAS tidak logis
secara yuridis dan saling bertentangan satu sama lain haruslah dikesampingkan.
9. Bahwa dalil Pemohon halaman 9 – 11 poin 9, 10 dan poin 11 yang menyatakan
terdapat isi Amar Putusan yang tidak dapat dilaksanakan (non-executable) dan
bertentangan dengan sifat “final and binding” sehingga tidak dapat lagi dijadikan
rujukan dalam pelaksanaan putusan ditanggapi Termohon II sebagai berikut:
9.1. Bahwa kekuatan eksekusi putusan arbitrase sudah ada sejak dibacakan dan
mengikat para pihak yang bersengketa untuk melaksanakannya secara sukarela
sebagaimana konsekuensi pilihan sukarela para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya melalui lembaga arbitrase, hal tersebut sejalan dengan:
Pasal 60 UU Arbitrase.
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.”
Pasal 61 UU Arbitrase.
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
SEMA No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syariah.
“3. Putusan Badan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999),
karenanya mengikat para pihak harus melaksanakan putusan Badan Arbitrase
Syariah tersebut secara sukarela;
4. Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara
sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa,
dan oleh …..”
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas apabila permohonan Pemohon dikabulkan
atau diterima oleh Majelis Hakim dalam perkara aquo, maka jelas akan
menimbulkan suatu ketidakpastian hukum secara umum dan secara khusus
terhadap Termohon II; Serta akan menimbulkan ketidakadilan terhadap Termohon
II selaku pencari keadilan yang sudah menempuh prosedur hukum yang disepakati
bersama oleh Termohon II dan Pemohon sebagaimana ketentuan Pasal 15
Penyelesaian Sengketa, Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari
2005;
9.2. Bahwa isi Amar Putusan yang dibuat Termohon I (Majelis Arbiter) menurut
Termohon II sudah jelas, berkeadilan serta dapat dilaksanakan (executable) oleh
Termohon II dan Pemohon, karena:
• Termohon I memberikan keleluasaan kepada para pihak dalam hal ini Termohon
II dan Pemohon untuk menentukan secara bersama dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari Kantor Akuntan Publik ditunjuk untuk melakukan verifikasi;
• Dalam hal penunjukan bersama Kantor Akuntan Publik oleh Termohon II dan
Pemohon tidak terlaksana dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, maka penunjukan
dilakukan Majelis Arbiter (Termohon I) setelah mendapat laporan dari salah satu
pihak;
9.3. Bahwa kronologis penunjukan Kantor Akuntan Publik yang disampaikan
Pemohon dalam dalil permohonannya pada halaman 10 poin 10 telah diartikan
secara sepihak oleh Pemohon sehubungan jawaban Kantor Akuntan Publik yang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
menyatakan tidak bisa memenuhi permintaan pengajuan proposal karena faktor
kesibukan, yang oleh Pemohon diartikan Kantor Akuntan Publik menolak untuk
melakukan verifikasi biaya-biaya lain sesuai Putusan BASYARNAS;
9.4. Bahwa dalil Pemohon dalam surat permohonan halaman 10 – 11 poin 11
menyatakan pada intinya:
• akibat penolakan Kantor Akuntan Publik dan terlampauinya waktu 30 (tiga
puluh) hari untuk menentukan secara bersama Kantor Akuntan Publik menjadikan
tidak jelas/kabur mengenai siapa yang berhak untuk menunjuk Kantor Akuntan
Publik;
• apabila Majelis Arbiter (Termohon I) menetapkan Kantor Akuntan Publik maka
tindakan tersebut bertentangan dengan sifat “final and binding”. Bahwa dalil
Pemohon tersebut merupakan pemahaman yang sempit dan naïf serta patut diduga
sebagai salah satu upaya Pemohon untuk menghindari kewajibannya yang timbul
sehubungan dengan Putusan BASYARNAS No.: 16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak., karena:
• Penunjukkan Kantor Akuntan Publik ditujukan untuk melakukan verifikasi
biaya-biaya lain yang dikeluarkan Termohon II, agar diperoleh perhitungan
mengenai biayabiaya yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, namun
sangat disayangkan Pemohon mengartikan secara harafiah, sempit dan tendensius
dengan menyatakan dengan tidak terlaksananya penunjukan Kantor akuntan
Publik dalam waktu 30 (tiga puluh) hari maka menyebabkan kabur/tidak jelas
mengenai pihak yang berhak menunjuk Kantor Akuntan Publik; Bahkan pada
kenyataannya Pemohon tidak pernah mengajukan penunjukkan Kantor Akuntan
Publik dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, padahal hal tersebut menurut Termohon
II bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan mengingat Pemohon merupakan
Lembaga Perbankan yang cukup besar dan bonafide di negeri ini;
• Penunjukkan Kantor Akuntan Publik sesungguhnya tidak ada kaitan dengan sifat
“final and binding” dari putusan arbitrase, karena berdasarkan ketentuan hukum
sifat final putusan arbitrase berarti terhadap putusan tersebut tidak dapat dilakukan
upaya hukum banding, kasasi ataupun peninjauan kembali, sedangkan sifat
mengikat (binding) putusan arbitrase berarti mengikat para pihak yang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
sengketanya telah diputus oleh Arbiter untuk melaksanakan putusan arbitrase
sebagai konsekuensi dari pilihan penyelesaian dan pilihan hukum para pihak.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 9.1. – 9.4. di atas,
terbukti bahwa dalil-dalil Pemohon yang menyatakan isi Amar Putusan tidak
dapat dilaksanakan (non-executable) dan bertentangan dengan sifat “final and
binding” merupakan dalil yang sangat tidak beralasan dan cenderung mengada-
ngada, oleh karena itu haruslah dikesampingkan;
10. Bahwa dalil Pemohon halaman 11 – 12 poin 12 yang menyatakan isi Amar
Putusan telah mereduksi dan/atau menghilangkan hak-hak Pemohon yang dijamin
Undang-Undang untuk mengajukan pembatalan putusan BASYARNAS
merupakan dalil yang tidak beralasan dan tidak berdasar, karena:
10.1. Termohon II tidak dalam posisi/kedudukan mereduksi atau menghilangkan
hak pemohon untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase sehubungan Isi
Amar Putusan BASYARNAS yang menyatakan bahwa putusan bersifat final dan
mengikat (final and binding) sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum
apapun;
10.2. Isi Amar Putusan BASYARNAS tidak terdapat larangan kepada Pemohon
untuk mengajukan pembatalan putusan terhadap putusan BASYARNAS; (vide
Amar Putusan BASYARNAS No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak.);
10.3. Termohon II tidak melihat adanya “ancaman” dalam Isi Amar Putusan
BASYARNAS, melainkan Amar Putusan yang memutuskan bahwa Termohon II
(Pemohon Arbitrase) diberikan hak berdasarkan putusan BASYARNAS untuk
melakukan pengaduan terhadap lembaga yang berwenang mengawasi Pemohon
dalam hal Pemohon melakukan upayaupaya untuk menghindar dari kewajibannya
yang timbul berdasarkan Putusan BASYARNAS;
11. Bahwa dalil Pemohon halaman 11 – 12 poin 12 yang menyatakan isi Amar
Putusan melanggar ketentuan UU Arbitrase karena menghukum Pemohon/
Termohon Arbitrase untuk melaksanakan putusan sebelum putusan diserahkan
dan didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama adalah dalil karangan belaka
serta terkesan “menyetir” penafsiran ketentuan Undang-Undang untuk sekedar
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
menguatkan dalil Pemohon; Isi Amar Putusan BASYARNAS tersebut justru telah
sejalan dengan:
Pasal 60 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.”
Pasal 61 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
Pasal 62 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
“(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan
kepadaPanitera Pengadilan Negeri.”
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang
Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.
“3. Putusan Badan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999),
karenanya mengikat para pihak harus melaksanakan putusan Badan Arbitrase
Syariah tersebut secara sukarela;
4. Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara
sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa , dan oleh …..”
III. PERMOHONAN KEPADA MAJELIS HAKIM
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, Termohon II dengan
kerendahan hati menyampaikan permohonan kepada Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini untuk berkenan kiranya memberikan
putusan sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
1. Menerima Eksepsi Termohon II karena tepat dan beralasan.
2. Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
DALAM POKOK PERKARA
1. Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pemohon bukanlah Pemohon yang beritikad.
Atau apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono dan atau
Naar goede juctie Recht doen vide Pasal 178 ayat 3 HIR).
Menimbang, bahwa oleh karena dalil-dalil Pemohon dibantah seluruhnya oleh
Termohon I dan Termohon II, maka kepada Pemohon dibebani wajib bukti dan
untuk maksud tersebut, Pemohon telah mengajukan alat bukti sebagai berikut:
No BUKTI NAMA DOKUMEN/BUKTI TERTULIS DAN PENJELASAN
1. P – 1 : Putusan Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara
TERMOHON II (semula Pemohon Arbitrase) dengan PEMOHON (semula
Termohon Arbitrase) yang dibacakan Majelis Arbiter pada tanggal 16
September 2009 yang dimintakan koreksinya oleh Majelis BASYARNAS
kepada PEMOHON dan TERMOHON II.
2. P – 2 : Akte Pendaftaran No.01/BASYARNAS/ 2009/PAJP tertanggal 12
Oktober 2009 berikut Putusan Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak
antara TERMOHON II (semula Pemohon Arbitrase) dengan PEMOHON (semula
Termohon Arbitrase) yang telah diberi catatan pendaftaran oleh petugas
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
3. P – 3 : Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005
yang dibuat dihadapan EFRAN YUNIARTO, SH, Notaris di Jakarta.
4. P – 4 : Surat Pernyataan TERMOHON II tertanggal 2 Maret 2005. Isi Surat
Pernyataan pada pokoknya berbunyi sebagai berikut :
“Selanjutnya apabila kelengkapan dokumen perijinan pembangunan Rukan
Soho Carbella Square seperti, termasuk tetapi tidak terbatas pada dokumen
tersebut di atas tidak dapat diserahkan kepada Bank Syariah Mandiri,
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
MAKA SAYA BERSEDIA UNTUK MENUNDA PENCAIRAN TAHAP
KEDUA DAN TAHAP BERIKUTNYA”
5. P - 5 : Kontrak Jasa Pengurusan IMB antara TERMOHON II dengan H. Jayadi
Kusumah, SH tanggal 6 Desember 2004.
Dalam Kontrak di atas H Jayadi Kusuma SH berjanji bahwa IMB AKAN
DISELESAIKAN DALAM WAKTU 3 (TIGA) BULAN KALENDER
TERHITUNG SEJAK TANGGAL PERJANJIAN.
Dengan demikian seharusnya IMB sudah dapat diperoleh oleh TERMOHON II
dan dapat diperlihatkan aslinya dan diserahkan fotocopy-nya kepada PEMOHON
pada bulan Maret 2005; Namun faktanya, hingga tanggal Berita Acara Serah
Terima Dokumen tanggal 15 Februari 2006 antara PEMOHON dengan
TERMOHON II, PEMOHON belum pernah melihat apalagi menerima fotocopy
IMB dimaksud dari TERMOHON II, padahal biaya pengurusan IMB tersebut
sesuai bukti Kuitansi pembayaran yang fotocopy-nya diserahkan kepada
PEMOHON oleh TERMOHON II yaitu sebesar Rp3.212.500.000 (tiga miliar
dua ratus dua belas juta lima ratus ribu Rupiah) telah dilunasi oleh
TERMOHON II.
6. P – 6 : Kuitansi pembayaran per tanggal 1 Maret 2005 sebesar
Rp3.800.000.000 (tiga miliar delapan ratus juta Rupiah) yang telah dibayar oleh
TERMOHON II kepada H. Jayadi Kusumah, SH.
7. P – 7 : Surat PEMOHON kepada TERMOHON I Ref. No. : DNA/081/X/09
tanggal 15 Oktober 2009 perihal Permohonan Penjelasan Mengenai Perubahan Isi
Putusan No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara PT Atriumasta Sakti
selaku Pemohon dan PT Bank Syariah Mandiri selaku Termohon.
8. P – 8 : Surat Kuasa Hukum TERMOHON II No.097/HIS/ASBSM/ X/2009
tanggal 7 Oktober 2009 perihal Pengajuan Kantor Akuntan Publik, dimana
TERMOHON II mengajukan Kantor Akuntan Publik (KAP) Doli, Bambang,
Sudarmadji & Dadang (DBS & D) sebagai Akuntan Publik yang akan melakukan
verifikasi sesuai Putusan BASYARNAS.
9. P – 9 : Surat Kuasa Hukum PEMOHON Ref. No.: DNA/080/X/09 tanggal 15
Oktober 2009 perihal Tanggapan Atas Pengajuan Kantor Akuntan Publik, dimana
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
PEMOHON atas dasar itikad baik menyampaikan Surat yang isinya menyetujui
penunjukkan KAP DBS & D yang diajukan TERMOHON II.
10. P – 10 : Surat PEMOHON dan TERMOHON II Ref. No. : 087/X/09 tanggal
23 Oktober 2009 perihal Permohonan Pengajuan Proposal, dimana PEMOHON
dan TERMOHON II meminta KAP DBS & D untuk menyampaikan proposal
biaya jasa KAP DBS & D dalam menangani pekerjaan verifikasi biaya-biaya
lain sesuai isi Putusan BASYARNAS.
11. P – 11 : Surat KAP DBS & D No.164/OL-2.11109/DBSD tanggal 2
November 2009 perihal Jawaban Permohonan Pengajuan Proposal, dimana KAP
DBS & D menyatakan tidak bersedia untuk mengajukan Proposal yang berarti
menolak untuk menjadi KAP yang akan melakukan verifikasi biaya-biaya lain
sesuai Putusan BASYARNAS
BUKTI TAMBAHAN
12. P – 12 : Yurisprudensi/Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
: 03/Arb.Btl/2005, yang diambil dari website resmi Mahkamah Agung RI sub
Direktori Putusan.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung (halaman 20 Putusan)
menyatakan BAHWA PERMOHONAN PEMBATALAN PUTUSAN
ARBITRASE DAPAT DIAJUKAN ATAS ALASAN DILUAR YANG
TERTERA DALAM PASAL 70 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 1999.
No BUKTI NAMA DOKUMEN/BUKTI TERTULIS DAN PENJELASAN
Selengkapnya isi pertimbangan hukum Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa pertama-tama Mahkamah Agung akan
mempertimbangkan mengenai alasan permohonan pembatalan putusan
arbitrase yang diajukan oleh Pemohon/Termohon Arbitrase ke Pengadilan
Negeri ; bahwa dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tertera bahwa “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase.
Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa” ; bahwa kata “antara lain” tersebut
memungkinkan Pemohon untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan
arbitrase atas alasan diluar yang tertera dalam Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999”
Menimbang, bahwa atas bukti P.1 sampai dengan P.12 tersebut, Termohon I tidak
mengajukan Bukti bantahan berupa apapun untuk menyanggah bukti-bukti yang
diajukan oleh Pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa atas bukti P.1 sampai dengan P.12 tersebut Termohon II
mengajukan bukti bantahan sebagai berikut:
1. Fotokopi putusan BASYARNAS Nomor 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak
tanggal 16 September 2009 (T.II.1)
2. Surat DIAS & Associates Low Office Ref.no.DNA/087/X/09 tanggal 23
Oktober 2009 (T.II.2)
3. Surat DBS & d. Doli, Bambang, Sudarmaji & Dadang No. 165/OL-
2.11109/DBSD tanggal 02 Nopember 2009 (T.II.3)
Menimbang, bahwa Pemohon, Termohon I dan Termohon II diberikan
kesempatan oleh Majelis untuk menyampaikan kesimpulannya dan masingmasing
telah menyampaikan kesimpulannya dipersidangan pada tanggal 08 Agustus
2009;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat dalam putusan ini ditunjuk segala hal
ihwal yang telah tercantum dalam berita acara persidangan perkara inisebagai satu
kesatuan dalam putusan ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan ini adalah sebagaimana telah
diuraikan di atas;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Menimbang, bahwa perkara ini berupa sengketa tentang sah dan tidaknya putusan
BASYARNAS no. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak. antara PT. Bank
Syari‟ah Mandiri melawan PT. Atriumasta Sakti, yang oleh PT. Bank Syariah
Mandiri diajukan pembatalan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Oleh
karena itu Majelis Hakim berpendapat atas perkara ini tidak mungkin diselesaikan
melalui perundingan para pihak sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 1 tahun 2008, tentang prosedur mediasi di Pengadilan, karena tentang sah
dan tidaknya suatu perbuatan hukum atau apalagi suatu putusan Arbiter sangat
tidak beralasan menurut logika apapun untuk diperbincangkan kembali dalam
mediasi;
TENTANG EKSEPSI :-
Menimbang, bahwa baik Termohon I maupun Termohon II, dalam eksepsinya
mengemukakan dua dalil sebagai berikut;
1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini dengan
alasan sebagai berikut :-
a. Bahwa antara Pemohon dan Termohon II telah menandatangani suatu perjanjian
yang telah bersepakat menyelesaikan sengketa diantara mereka melalui
BASYARNAS.
b. Bahwa seseuai Pasal 60 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 bahwa putusan
arbritrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak, ketentuan ini diperkuat oleh Peraturan Mahkamah Agung RI No. 08 Tahun
2008 angka 3 ;-
c. Bahwa berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 pembatalan
terhadap Putusan Arbritrase haruslah berdasarkan alasan-alasan yang spesipik
sebagaimana ketentuan huruf a, b dan c Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tersebut.
d. Bahwa permohonan pembatalan terhadap Putusan arbritrase harus didukung
bukti-bukti berupa Putusan Pengadilan Negeri alasan-alasan pembatalan yang
ditetapkan dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
e. Bahwa menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 08 Tahun 2008 tentang
eksekusi Putusan BASYARNAS Ketua Pengadilan Agama tidak memeriksa
alasan atau pertimbangan dari Putusan BASYARNAS.
2. Permohonan Pemohon error in Persona dengan alasan sebagai berikut:-
a. Bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat 1 UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, status dan kedudukan Majelis Arbitrase sama dengan Majelis Hakim
di Pengadilan Negeri, sehingga Majelis Arbitrase tidak dapat dijadikan pihak.
b. Bahwa yang mesti ditarik sebagai Termohon hanya terbatas dan cukup terhadap
Termohon II saja sehingga penarikan Termohon I dikategorikan sebagi
diskualifikasi in person.
c. Bahwa berdasarkan Pasal 21 UU No. 30 tahun 1999, Majelis arbitrase tidak
dapat digugat ke Pengadilan atas tindakan yang dilakukan selama proses
persidangan termasuk dalam mengambil putusan, kecuali dibuktikan adanya
I‟tikad tidak baik dari tindakan majelis tersebut.
d. Bahwa menurut surat edaran Mahkamah Agung RI No. 9 tahun 1976, segala
bentuk gugatan terhadap majelis arbitrase adalah merupakan perbuatan yang salah
dan keliru serta bertentangan dengan hukum.
e. Bahwa apa yang dilakukan oleh Pemohon telah menyalahi praktek Internasional
sebagaimana Pasal 36 UNCITRAL ARBITRATION RULES (1976).
Menimbang, bahwa pertama-tama Majelis akan mempertimbangkan dalildalil
eksepsi Termohon I dan Termohon II, sebagai berikut:
1. Tentang Wewenang Mengadili
Menimbang, bahwa dasar perUndang-Undangan yang dijadikan dasar eksepsi
Termohon I dan Termohon II dalam hal ini adalah Pasal 60 dan 70 huruf a, b dan
c UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
beserta penjelasannya serta Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 18 tahun 2008
tentang eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah. Pasal-Pasal mana juga
dijadikan landasan hukum oleh Pemohon.
Menimbang, bahwa dalil eksepsi Termohon I dan Termohon II yang menyatakan
berdasarkan Pasal 60 dan 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang arbitrase Pengadilan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara pembatalan putusan
BASYARNAS. Majelis hakim berpendapat, pendapat tersebut tidak dapat
dibenarkan karena menurut majelis perkara ini merupakan sengketa perbankkan
syariah yang menurut Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tenntang perubahan atas UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, jo. Pasal 55 UUNo. 21 tahun 2008
tentang Perbankkan Syari‟ah secara tegas menentukan penyelesaian sengketa
Perbankkan Syari‟ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama;
Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 60 UU No. 30 tahun 1999 yang menyatakan
putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat harus diartikan apabila tidak ada upaya pembatalan putusan tersebut
sesuai ketentuan Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 yang diajukan sesuai ketentuan
Pasal 71 dan Pasal 72 UU tersebut.
Menimbang, bahwa telah ternyata permohonan pembatalan putusan
BASYARNAS ini diajukan oleh Pemohon secara tertulis ke Pengadilan Agama
Jakarta Pusat dalam waktu kurang dari 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan BASYARNAS kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat
sehingga dengan demikian permohonan Pemohon in Cassu telah diajukan sesuai
dengan ketentuan dan tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh undangundang;
Menimbang, bahwa tentang kenapa perkara ini diajukan ke Pengadilan Agama
Jakarta Pusat, bukan ke Pengadilan Negeri sebagaimana bunyi Pasal 71 dan 72
UU No. 30 tahun 1999 majelis hakim berpendapat sudah benar dan tepat, karena
kecuali telah sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 21
tahun 2008 sebagaimana tersebut diatas majelis juga berpendapat
jikalau tentang kewenangan eksekusi atas putusan BASYARNAS sebagaimana
diatur dalam Pasal 60 sampai dengan 64 UU No. 30 tahun 1999 oleh Mahkamah
Agung RI dengan surat edarannya Nomor 08 tahun 2008 dinyatakan sebagai
wewenang Pengadilan Agama. Maka menurut logika yuridis segala sengketa
tentang perbankkan syari‟ah termasuk pembatalan putusan BASYARNAS atas
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
sengketa perbankkan syari‟ah harus pula menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Dengan demikian kalimat Pengadilan Negeri yang termuat dalam UU No. 30
tahun 1999, khusus yang berkaitan dengan BASYARNAS harus dibaca
Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa telah ternyata pula bahwa dalam melaksanakan ketentuan
dalam Pasal 59, 61 dan 62 ayat (1), UU No. 30 tahun 2008 tentang Arbitrase.
BASYARNAS telah mendaftarkan putusannya dimaksud kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, tidak lagi ke Pengadilan Negeri, maka Majelis hakim
berkeyakinan telah ada kesadaran sejak semula dari majelis arbiter BASYARNAS
dan pihak-pihak yang bersengketa dalam putusan BASYARNAS ini tentang
adanya kewenangan Pengadilan Agama terhadap sengketa perbankkan syari‟ah
ini. Oleh karena itu Termohon I dan Termohon II seharusnya juga menyadari
bahwa perkara pembatalan atas putusan BASYARNAS adalah merupakan
sengketa syari‟ah yang penyelesaiannya berada pada Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas
majelis hakim berpendapat bahwa perkara ini masuk dalam wewenang Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dan oleh karena itu eksepsi Termohon I dan Termohon II
tentang tidak berwenangnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat harus ditolak;
2. Tentang Error In Persona
Menimbang, bahwa tentang eksepsi dari Termohon I dan Termohon II berupa
Error In Persona Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah Majelis Arbiter
BASYARNAS yang didudukkan sebagai Termohon I merupakan bentuk salah
orang dan dengan demikian berakibat permohonan ini cacat formil atau tidak;
Menimbang, bahwa pada prinsipnya dalam menentukan sah dan tidaknya
seseorang sebagai pihak dalam berperkara adalah terdiri dari orang-orang yang
terlibat langsung dalam suatu sengketa, apabila orang-orang yang terlibat
langsung tidak ditarik sebagai Termohon, maka dikawatirkan gugatan akan
mengandung cacat Plurium litis consortium (gugatan kurang pihak), oleh karena
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
itu majelis hakim berpendapat bahwa Majelis Arbiter BASYARNAS adalah orang
yang terlibat langsung dalam perkara ini, sehingga penarikan Majelis Arbiter
BASYARNAS sebagai pihak Termohon dapat dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa telah ternyata pula, bahwa posita yang didalilkan oleh
Pemohon sangat erat kaitannya dan mengenai apa yang telah dilakukan sendiri
oleh majelis arbiter, sehingga menurut majelis hakim, agar putusan dalam perkara
ini dapat menjangkau semua orang yang terlibat dan terkait, maka majelis arbiter
BASYARNAS justru harus dijadikan pihak Termohon dalam perkara ini, namun
sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang arbritrase dan
alternatip penyelesaian sengketa, kedudukan Majelis Arbiter BASYARNAS
sebagai Termohon I, dalam perkara ini harus diartikan tidak dalam rangka
pertanggung jawaban hukum apapun;-
Menimbang, bahwa terhadap argumentasi Termohon I tentang Majelis arbiter
tidak dapat dijadikan pihak berdasarkan Pasal 3 UU No. 4 taghun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, karena status dan kedudukan majelis arbiter sama dengan
majelis hakim di Pengadilan Negeri, majelis hakim berpendapat bahwa majelis
arbiter tidaklah sama status dan kedudukannya dengan majelis hakim Pengadilan
Negeri, karena pengertian hakim sebagaimana maksud Pasal 1 (5) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah hakim pada Mahkamah Agung
dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan Tata usaha Negara dan hakim pada pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Sedangkan arbiter sebagaimana
maksud Pasal 1 (7) UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah seorang atau
lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh
Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan–pertimbangan tersebut diatas,
majelis hakim berpendapat eksepsi Termohon I dan Termohon II tentang Error In
Persona dalam permohonan ini harus ditolak;
DALAM POKOK PERKARA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana tersebut diatas;
Menimbang, bahwa Pemohon sesuai posita permohonannya mendalilkan bahwa
Putusan Badan Arbritrase Syariah Nasional ( BASYARNAS ) Nomor 16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak tanggal 16 September 2009, yang mengadili sengketa
perbankan syariah antara PT. Bank Syariah Mandiri, dalam hal ini adalah
Pemohon, dengan nasabahnya, PT. Atriumasta Sakti , yang dalam hal ini adalah
Termohon II, dinilai oleh Pemohon mengandung beberapa cacat hukum yang
berakibat dapat dibatalkannya putusan tersebut sesuai ketentuan Pasal 70 Undang-
Undang No. 30 tahun 1999, antara lain, Putusan diambil secara tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Selanjutnya menurut Pemohon :
� Isi amar putusan secara substansi tidak logis yuridis dan bertentangan satu sama
lain ;
� Isi amar putusan tidak dapat lagi menjadi rujukan dalam pelaksanaan isi
putusan dan bertentangan dengan sifat final and binding dari putusan arbritrase;
� Isi amar putusan telah mereduksi dan atau menghilangkan hak-hak Pemohon
yang dijamin Undang-Undang ;
� Isi amar putusan melanggar ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbritase dan alternatip penyelesaian sengketa ;
Atas dasar dan alasan tersebut, Pemohon memohon dalam petitumnya agar
Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada pokoknya “ Membatalkan Putusan Badan
Arbritrase Syariah Nasional ( BASYARNAS ) tersebut diatas “ ;-
Menimbang, bahwa pada dasarnya baik Termohon I mapun Termohon II menolak
dalil dan alasan yang dikemukakan Pemohon tersebut khususnya dalil dan alasan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
yang menyebutkan bahwa Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa ;-
Menimbang, bahwa Pemohon telah mengajukan bukti surat P. 1 sampai dengan P.
12, sedangkan Termohon I tidak mengajukan bukti-bukti, Termohon II telah
mengajukan bukti T II. 1, T.II. 2 dan T.II. 3 ;-
Menimbang, bahwa bukti-bukti surat yang diajukan Pemohon tersebut adalah
Fotokopi telah bermeterai cukup dan sebagian telah sesuai aslinya yaitu P.3 dan P.
4 dan sebagian lainnya yaitu P. 1, P. 2 dan P. 5 sampai dengan P. 11 tidka
diperlihatkan aslinya karena menurut Pemohon asli surat-surat tersebut ada pada
Termohon II dan P. 7 karena disaat itu ditujukan kepada Termohon I maka
menurut Pemohon aslinya ada pada Termohon I ;-
Menimbang, bahwa baik Termohon I maupun Termohon II tidak menyangkal
secara langsung terhadap bukti-bukti surat yang dikatakan Pemohon bahwa asli
surat-surat bukti tersebut ada di tangan Termohon I dan Termohon II, sehingga
oleh karenanya bukti-bukti tersebut dapat dipertimbangkan ;
Menimbang, bahwa bukti T II. 1 sampai dengan T.II. 3 yang diajukan Termohon
II adalah fotokopi yang telah bermetari cukup dan telah sesuai aslinya sehingga
dapat dipertimbangkan.
Menimbang, bahwa berdasarkan keberatan dan bantahan Termohon I dan
Termohon II terhadap permohonan Pemohon agar Pengadilan Agama Jakarta
Pusat membatalkan Putusan BASYARNAS ini dikarenakan antara lain sesuai
ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 bahwa Putusan arbritase
baru dapat diajukan permohonan pembatalannya apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur yang antara lain “ ……. Putusan diambil dari hasil
tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa “ , Ternyata menurut Termohon I dan Termohon II dalam
kesimpulannya, Pemohon tidak mampu membuktian adanya unsur tipu muslihat
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
yang dilakukan, sebab pengajuan pembatalan dengan dasar tipu muslihat tanpa
didukung oleh alat bukti berupa Putusan Pengadilan Pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka alasan permohonan pembatalan tersebut
tidak sah menurut hukum, dengan demikian permohonan tersebut harus ditolak
karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam
penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999.
Menimbang, bahwa oleh karena alasan utama permohonan untuk membatalkan
putusan BASYARNAS ini antara lain adanya “ Unsur tipu muslihat “, dan
Termohon I serta Termohon II telah mendifinisikan “ tipu muslihat “ itu secara
normatif sesuai penjelasan Pasal 70 Undang-undnag No. 30 tahun 1999 yang
dipersepsikan lebih jauh oleh Termohon I dan Termohon II dengan keharusan
adanya Putusan Pengadilan Pidana yang telah memperoleh kekauatan hukum
tetap, maka untuk lebih jelasnya dan dalam rangka memenuhi rasa keadilan bagi
semua pihak, disini Majelis Hakim perlu mengkonstruksi lebih jauh definisi “ tipu
muslihat “ yang terdapat dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999
apakah benar tipu muslihat disini berkonotasi pidana dan harus ada putusan
Pengadilan lain terlebih dahulu yang memutus tentang adanya tipu muslihat itu,
kalau seandainya demikian lalu bagaimana dengan limit 30 ( tiga puluh ) hari
perkara pembatalan putusan BASYARNAS harus diputus sejak didaftarkan
putusan arbritrase itu di Pengadilan;-
Menimbang, bahwa apabila definisi “ tipu muslihat “ itu telah jelas dari berbagai
perspektif, selanjutnya perlu pula diproyeksikan apakah dalam pemeriksaan
sengketa BASYARNAS terdapat tipu muslihat yang dilakukan salah satu pihak
atau tidak ;-
Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim pengertian “ tipu msulihat “ disini
harus dimaknai secara lebih luas dan harus dilihat dari berbagai persfektif, baik
pidana, perdata bahkan aspek syari‟ah harus lebih ditonjolkan sebab ini adalah
transaksi yang bermuatan syari‟ah sehingga aspek syar‟i harus lebih diutamakan,
dalam arti jangankan penipuan yang dilakukan secara kongkrit dan kasat mata,
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
penipuan-penipuan terselubung saja bisa berakibat patal disisi Allah , SWT dan
Rosulullah, SAW ;-
Menimbang, bahwa apabila perkataan “ tipu muslihat “ itu dikonotasikan lebih ke
pidana sehingga perkataan itu berimplikasi pada keharusan adanya putusan
pengadilan secara pidana sebelum perkara pembatalannya diajukan, maka ini
artinya, kesempatan Pemohon untuk mengajukan permohonan pembatalan
Putusan BASYARNAS itu akan menjadi hilang sebab secara limitatif Undang-
Undang No. 30 tahun 1999 membatasi waktu permohonan itu diajukan ke
Pengadilan dalam tempo 30 ( tiga puluh ) hari sejak perkara itu didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Agama, kecuali itu azas Peradilan cepat, sederhana dan
biaya ringan akan menjadi terabaikan karena terjebak dengan birokrasi peradilan
yang bertele-tele akibat konstruksi dan interpretasi Pasal dan ayat yang
bertendensi ;-
Menimbang, bahwa oleh karena pembuat Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,
memformulasikan perkataan “ tipu muslihat “ dengan tidak dibatasi ( Muqoyyad
) artinya tidak dikhususkan pada pengertian tertentu maka terhadap perkataan itu
berlakulah kaidah ushul fiqih yang sudah menjadi teori yang baku dikalangan
fuqoha, yaitu " ”بب س صى ص ال خ فظ ال ب ل عوى م ال برة ب ع ال
(yang harus dianggap itu adalah umumnya lafazh (perkataan) bukan khususnya
yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan), maksudnya adalah makna hukum
harus dipahami dari susunan kalimatnya bukan dilihat dari latar belakang
peristiwa hukum itu muncul. Sehingga dengan demikian perkataan “ tipu
muslihat “ itu harus diberi pengertian yang bersifat umum, dalam arti bisa
berkonotasi pidana atau perdata ;-
Menimbang, bahwa untuk memperkuat tafsir bahwa perkataan “ tipu muslihat “
itu bukan klaim dan monopoli ranah hukum pidana ansich tapi juga bisa ranah
hukum perdata, Majelis Hakim disini dapat mengemukakan istilah “ Bedrog “
atau penipuan dalam ranah hukum perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1321 KUHPerdata “ Tiada sesuatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
diberikan karena kekhilapan atau diperoleh dengan paksaan atau “penipuan”.
Lebih jauh Pasal 1328 KUH Perdata menegaskan bahwa
penipuan merupakan satu alasan untuk mebatalkan suatu persetujuan, bila
penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga
nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa
adanya tipu muslihat;
Menimbang, bahwa perkataan “ tipu muslihat ” dalam kepustakaan hukum islam
lebih di kenal dengan istilah “ Ghorror ” bahkan dalam sebuah hadist Rasulullah
SAW menyebutnya dengan istilah “ Ghosysy ” hal ini dikemukakan dalam kitab
“Shubulussalam” Juz III kitabul Buyu„ ” yang menerangkan bahwa ketika
Rasulullah menginspeksi ke pasar di Madinah, beliau mendapatkan pedagang
korma yang mencampuradukkan dagangannya yang kering dan yang basah
dengan menyimpan yang basah dibawah dan yang kering diatas (untuk
memperberat timbangan dan mengelabui konsumen), maka begitu hal itu
diketahui oleh Rasulullah SAW, beliau langsung bersabda dengan mengancam:
نً يس ه ل قد غش وهي غش ف سل ف ت هي اغ
Artinya : Barangsiapa yang membasahi (kurmanya supaya lebih berat) maka
sesungguhnya dia telah tidak transparan (menipu) dan barang siapa yang tidak
transparan (menipu dalam transaksi) maka tidaklah dia masuk golonganku
(bukan muslim); (ashshon‟any, subulussalam, TT, Dahlan, Bandung, Jilid III, hal
29)
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa perbuatan “ tipu muslihat ” yang terdapat dalam Pasal
70 huruf C Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, bisa juga berkonotasi perdata,
bahkan syari‟ah, yang tentunya baik proses maupun akibatnya, harus melalui
proses dan berakibat perdata pula, oleh karenanya klausula yang terdapat dalam
penjelasan Pasal 70 Undang-Undang itu yang menyebutkan bahwa “ alasan-
alasan permohonan pembatalan disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan
dengan putusan Pengadilan …” maka menurut Majelis Hakim putusan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Pengadilan disini adalah pengadilan yang memeriksa perkara itu yakni dalam hal
ini adalah Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Menimbang, bahwa oleh karena berdasarkan Penetapan Majelis Hakim No.
792/Pdt.G/2009/PA.JP tanggal 1 Nopember 2009 dan perubahannya tanggal 27
Nopember 2009, Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat telah menunjuk Majelis
Hakim untuk memeriksa dan memutus perkara ini, maka Majelis Hakim
berwenang untuk memeriksa dan memutus persolan tipu muslihat ini, sehingga
sebelum mengabulkan atau menolak permohonan Pemohon, terlebih dahulu akan
membuktikan dan memutus mengenai ada atau tidak adanya “ tipu muslihat “
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Menimbang, bahwa oleh karena yang dijadikan alasan permohonan pembatalan
putusan BASYARNAS ini oleh Pemohon adalah antara lain “ Putusan diambil
dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa “, maka dalam kontek ini mau tidak mau Majelis Hakim
harus mempertimbangkan pertimbangan-pertimbangan putusan BASYARNAS
No.16/tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak tanggal 16 September 2009
dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan pihak-pihak berperkara.
Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan bahwa selain perkataan “
tipu muslihat “ secara yuridis harus dimaknai tidak dalam arti picik, juga untuk
lebih jelasnya secara etimologis kosa kata “ tipu muslihat ” itu harus
didepinisikan sedemikian rupa.
Menimbang, bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kosa kata “ tipu
muslihat “ berasal dari kata “ tipu “ , yang artinya adalah perbuatan atau
perkataan tidak jujur, (bohong, palsu, dsb) dengan maksud untuk menyesatkan,
mengakali, atau mencari untung, padanannya adalah kata tipu daya, yang
artinya adalah terutama, kecurangan yang merugikan orang lain.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Kemudian berkembang menjadi kata tipu muslihat yang dalam peperangan
diartikan siasat/strategi untuk memenangkan perang (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi II tahun 2005);
Menimbang, bahwa berdasarkan pengertian tersebut maka “ tipu muslihat “ bisa
didepinisikan sebagai, perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong,
palsu atau curang) dengan maksud untuk mengakali dengan mencari
keuntungan sendiri dan merugikan orang lain ;-
Menimbang, bahwa berangkat dari pengertian “ tipu muslihat “ tersebut dalam
kontek perkara ini perlu pertimbangan apakah dalam Putusan BASYARNAS
No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak, ada perbuatan “ tipu muslihat “ atau
tidak. Untuk itu dipertimbangkan sebagai berikut ;-
Menimbang, bahwa sesuai bukti P-3 Pemohon dengan Termohon II telah saling
mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian yang tertuang dalam akad pembiayaan
Al Murabahan No. 53/2005 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat dihadapan
Notaris EFRAN YUNIARTO, SH di Jakarta.
Menimbang, bahwa Pemohon dengan Termohon II telah memenuhi syarat baik
secara subjektif maupun secara objektif untuk melakukan perbuatan hukum
berupa perjanjian terlebih dihadapan Notaris yaitu EFRAN YUNIARTO,SH
sehingga keluar “Akad Pembiayaan Al-Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari
2005 “ maka Majelis Hakim harus menganggap bahwa apa yang diperbuat oleh
Pemohon dengan Termohon II adalah sah secara hukum karena mereka
melakukannya sama-sama ridho, sehingga “ akad Al-Murabahah No. 53/2005
sebagai produk perbuatan hukum dihadapan Notaris adalah sah sebagai akta
notariel kecuali dapat dibuktikan sebaliknya “ ;-
Menimbang, bahwa oleh karena akad Al-Murabahah No. 53/2005 tersebut telah
dianggap sah secara hukum maka nasabah yaitu Iwan setiawan alias Iwan
Soetiawan, dahulu bernama So (Souw) Wie See dan Indra Cahya, bertindak untuk
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
dan atas nama Perseroan Terbatas PT.ATRIUMASTA SAKTI sebagai Direktur &
Wakil Direktur, dan pihak Bank yaitu Intan Pribadi sebagai Kepala Divisi
pembiayaan Korporasi Dua (II) Perseroan Terbatas PT. Bank Syari‟ah Mandiri,
yang terlibat dalam akad Al-Murabahah itu dituntut harus melaksanakan prestasi
dan kontra prestasi sebagaimana isi dari pada akad itu, dimana pihak perbankan
berkewajiban untuk menyediakan pasilitas pembiayaan Al-Murabahah sebesar
Rp. 35.000.000.000 (tiga puluh lima milyar rupiah) untuk digunakan pembelian
bahan material dan jasa guna pembangunan proyek Rukan Soho Carbela Square ,
sedangkan nasabah sebagai pihak berhutang berkewajiban untuk membayar
utangnya sekaligus dengan margin sebagai Ceiling Price yang sesuai perjanjian
mereka.
Menimbang, bahwa penarikan pembiayaan sesuai ketentuan Pasal 3 akad Al-
Murabahah, dilakukan secara bertahap sesuai dengan proses penyelesaian proyek
yaitu kesemuanya setelah nasabah memenuhi persyaratan, antara lain sebagai
berikut:
Pasal 3 ayat (4) Nasabah telah menyetor dana untuk pembayaran biaya
administrasi, notaris, dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan pasilitas
pembiayan yang diberikan .
Pasal 3 ayat (10) Nasabah telah menunjukkan seluruh dokumen asli serta foto
copynya yang berhubungan dengan perizinan pembangunan Rukan Soho
Carbela Square.
Pasal 3 ayat (23) Nasabah telah menyetor Self Financing secara bertahap
sejumlah porsi Nasabah yang sesuai dengan Cash How yang telah dibuat oleh
Bank, yaitu sebesar Rp. 11.804.848.915 (sebelas milyar delapan ratus empat
juta delapan ratus empat puluh delapan ribu Sembilan ratus lima belas rupiah).
Menimbang, bahwa oleh karena antara Pemohon dan Termohon II sebagai pihak
Bank & Nasabah sudah saling berjanji sebagaimana akad Al-Murabahah No.
53/2005 tersebut diatas maka mereka berkewajiban untuk menunaikan janjijanji
mereka tersebut. Sebab perjanjian yang dibuat oleh mereka berlaku sebagai aturan
yang mengikat kepada mereka yang membuatnya sehingga hal itu tidak bisa
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
dilanggar oleh kedua belah (Vacta Sunservanda) secara syar‟I hal ini dipertegas
oleh Rasulullah SAW.
( يذمرتلا هاور )الوسلوىى على شروطهن إال شرطا ّحرم حال ال أو أحّل حراها
Artinya : Syarat-syarat (perjanjian) yang dibuat oleh sesama muslim adalah
mengikat mereka, kecuali mereka membuat syarat/perjanjian yang
menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal (
HR. Tirmidzi). (Ashshon‟ani/Au Bakar Muhammad (Terjemahan), Subulussalam,
Juz III, Al-Ikhlas, Surabaya 1995: 207/208) ;-
Menimbang, bahwa ternyata terdapat fakta bahwa pihak-pihak telah tidak
melaksanakan prestasi sebagai kewajibannya sesuai kesepakatan mereka
sebagaimana tertuang dalam akad Al-Murabahah No.53/2005 itu;-
Menimbang, bahwa selintas, sesuai bukti P-1 yang bermaterai cukup tetapi tidak
dileges, namun hal itu dikuatkan dengan bukti yang sama yang diajukan
Termohon II, yaitu bukti T.II.1, Majelis Hakim menilai bahwa Pemohon telah
terlebih dahulu melanggar kesepakatan itu karena tidak melaksanakan prestasi
berupa pencairan pembiayaan tahap kedua dan seterusnya disaat Termohon II
memerlukan pembiayaan itu untuk melanjutkan konstruksi gedung Rukan yang
digarap Termohon II (Nasabah), dan Majelis Hakim semula memberikan
penilaian yang sama seperti majelis BASYARNAS (Termohon I) bahwa
Pemohon telah berbuat zholim kepada Termohon II bahkan sebagai khianat;
namun ternyata setelah dicermati lebih jauh dengan melakukan penelaahan
terhadap bukti P-1 dan bukti T.II.1 dihubungkan dengan bukti P-3 terdapat fakta
lain bahwa Pemohon tidak melaksanakan prestasi lanjutan sebagai implementasi
dari akad Al-Murobahah No. 53/2005 itu dikarenakan Termohon II sebagai
Nasabah tidak melaksanakan kontra prestasi sebagaimana disyaratkan di Pasal 3
ayat (4), ayat (10) dan ayat (23) akad Al-Murobahah itu ;-
Menimbang, bahwa dengan tidak bermaksud mengenyampingkan syaratsyarat
lainnya yang harus dipenuhi Termohon II sebagaimana akad Al- Murobahah,
Majelis Hakim menilai bahwa IMB merupakan dokumen yang sangat penting dan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
strategis untuk sebuah bangunan di pusat kota, terlebih untuk sebuah Rukan
seperti Rukan Soho Carbela Square yang didirikan dipusat ibu kota Jakarta, sebab
jika hal ini menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bisa saja karena
ketiadaan IMB pihak Pemkot/Pemprop membongkar bangunan tersebut karena
dianggap liar, sehingga berakibat kerugian di pihak perbankan, oleh karenanya
Majelis Hakim berpendapat bahwa dokumen IMB sebagai sebuah persyaratan itu
sangat prinsip dan tidak bisa dianggap sepele apalagi hal ini termasuk dalam
perjanjian pokok yang termuat dalam akad Al-Murobahah Pasal 3 ayat (10) yang
diperkuat surat pernyataan Termohon II tanggal 2 Maret 2005 (P-4) ;-
Menimbang, bahwa persyaratan yang diwajibkan berupa IMB tersebut rupanya
tidak secara palid dan cermat dipertimbangkan oleh Majelis Arbitrase (Termohon
I) sebab ketika mempertimbangkan bukti pada pertimbangan hukumnya di point
huruf K tentang bukti-bukti, Termohon I menganggap bahwa IMB merupakan
syarat susulan ;-
Menimbang, bahwa untuk lebih jelasnya pertimbangan Majelis Arbitrase
mengenai IMB ini dapat dikemukakan pertimbangannya pada huruf K angka
22,23,24,25 dan 27, yang lengkapnya adalah sbb :
22. Sehubungan dengan pencairan pertama senilai Rp. 2.200.000.000,- (dua
miliar dua ratus juta rupiah) (Bukti surat P-19E) No. 7/031/SP/DPK2 tanggal 2
Maret 2005 Perihal: Persetujuan Pencairan Pembiayaan, surat mana tidak
ditandatangani Termohon, akan tetapi telah disetujui Pemohon, timbul
pertanyaan mengapa Bank tidak sejak semula mensyaratkan dalam akad no. 53
adanya 1MB, namun persyaratan tersebut baru muncul ketika akan dilakukan
pencairan kedua; Dengan demikian, sejalan dengan pendapat Bank sendiri,
berarti Bank telah tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian pada saat pencairan
~ pertama dan baru melaksanakan prinsip kehati-hatian itu padapencairan
kedua;
23. Benar oleh Pemohon telah dibuat SURAT PERNYATAAN tertanggal 02 Maret
2005 yakni setelah pencairan biaya pertama tanggal 02 Maret 2005 dimana
Pemohon dituntut membuat surat penyataan, tetapi tidak ditandatangani
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Pemohon dengan alasan bahwa perlengkapan dokumen perijinan
Pembangunan Rukan Soho Carbella Square dianggap berlebihan (P-17, P-18A)
dan (P-18B); Majelis Arbiter berpendapat bahwa Surat Pernyataan yang dibuat
setelah akad al-Murabahah ditandatangani bertcntangan dengan Prinsip
Syariah;
24. Dengan permintaan Termohon kepada Pemohon untuk membuat surat
pernyataan tersebut diajukan oleh Termohon setelah akad al-Murabahah
ditandatangani, Majelis Arbiter berpendapat bahwa Termohon telah berlaku
sewenang-wenang terhadap Pemohon di samping berdasarkan sifat akad al-
Murabahah persyaratan yang ditambahkan setelah akad al-Murabahah
ditandatangani adalah dilarang (haram) karena itu tidak berlaku;
25. Sehubungan dengan sikap Termohon yang demikian itu terhadap Pemohon,
maka benarlah pendapat Pemohon bahwa Termohon telah bertindak yang
bersifat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden);
27. Dari pernyataan kesanggupan tanpa syarat tersebut bagaimana mungkin
Pemohon dapat memenuhi janji tanpa syarat, bila dalam kenyataan fasilitas
pembiayaan tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebagai akibat Termohon
menunda pencairan pembiayaan susulan dengan alasan karena Pemohon tidak
dapat menyerahkan 1MB d.1.1. sebagaimana dipersyaratkan oleh Termohon
belakangan setelah Akad No,53 ditandatangani sebagaimana dikemukakan di
atas; Berkenaan dengan itu, Majelis Arbiter berpendapat bahwa Termohon telah
bertindak zalim terhadap Pemohon yang sangat dilarang dalam Islam;
Menimbang, bahwa dalam pertimbangan tersebut diatas Majelis Arbitrasi
mengulang, paling tidak tiga kali, mengemukakan kata-kata bahwa IMB
merupakan persyaratan yang yang ditambahkan atau dipersyaratkan belakangan
setelah Akad No. 53/2005 ditandatangani, untuk jelasnya hal ini dapat dilihat dan
dikemukakan pertimbangn tersebut pada hurup K sebagai berikut:
- 22. .....mengapa bank tidak sejak semula mensyaratkan dalam akad No.53/2005
adanya IMB..... ;-
- 23. .....perlengkapan dokumen perizinan pembangunan rukan soho carbilla
square dianggap berlebihan...;-
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
- 24. .....persyaratan yang ditambahkan setelah akad al murabahah
ditandatangani risalah dilarang (haram)...;-
- 27. .....Pemohon tidak dapat menyerahkan IMB dll sebagaimana dipersyaratkan
oleh Termohon I belakangan setelah akad No 53/2005 ditandatangani... ;-
Menimbang, bahwa oleh karena persyaratan IMB telah nyata terdapat dalam
materi pokok akad Al-Murobahah No. 53/2005 yaitu Pasal 3 ayat 10 yang bukan
persyaratan susulan sebagaimana anggapan Majelis Arbitrase, walaupun harus
diakui memang benar ada pernyataan dari Termohon II pada tanggal 2 Maret 2005
untuk mempertegas persyaratan yang ada dalam akad Al-Murobahah mengenai
IMB itu, sehingga Majelis Hakim menganggap bahwa Majelis Arbritrase (
Termohon I ) telah luput mencermati persyaratan yang terdapat dalam akad
almurabahah Pasal 3 ayat 10 sebagai kontra prestasi yang semestinya wajib
dipenuhi oleh Termohon II.
Menimbang, bahwa bahwa oleh karena Termohon II telah tidak memenuhi
perjanjian sebagaimana yang disyaratkan dalam akad al-murabahah No.53/2005,
maka menurut pendapat Majelis Hakim sudah sewajarnya apabila Pemohon tidak
mencairkan pembiayaan pada tahap kedua kepada Termohon II, hal ini sebagai
konsekwensi atas kelalaian Termohon II memnuhi kontra prestasi yang menjadi
kewajibannya ;-
Menimbang, bahwa fakta lain yang menjadi catatan Majelis Hakim adalah
pengurusan IMB oleh Termohon II dengan biaya diatas 3 Milyar melalui jasa
konsultan/kontraktor H.Jayadi Kusumah, SH yang memakan waktu bertahuntahun
namun tidak kunjung selesai, padahal sebelumnya dijanjikan dalam hitungan
bulan IMB tersebut selesai, akan tetapi hal ini oleh Termohon I tidak
dipertimbangkan sama sekali dengan dalih bahwa IMB merupakan perjanjian
tambahan, dan persyaratan yang ditambahkan setelah akd al-murbahah
ditandatangani, menurut Termohon ,I adalah dilarang ( haram ) sehingga
Pemohon dianggap telah bertindak yang bersifat penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden) ;-
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim suatu perjanjian yang
ditambahkan dari perjanjian pokok selama disepakati oleh para pihak adalah
dibenarkan secara syar‟i kecuali memperjanjikan yang halal menjadi haram atau
sebaliknya, terlebih lagi terhadap akad No.53/2005 terjembatani dengan Pasal
addendum yang ada di Pasal 18 penutup, dan terhadap hal itu majelis hakim
menganggap bukanlah penambahan akan tetapi sebagai penegasan terhadap
sesuatu yang telah ada dan telah diperjanjikan sebelumnya;
Menimbang, bahwa selain fakta tersebut diatas, Termohon II ternyata telah
mengabaikan persyaratan lainnya, yaitu yang terdapat di Pasal 3 ayat (4) dan Pasal
3 ayat (23) akta al-murabahah No.53/2005 yaitu tidak membayar biaya notaries
dan tidak menyerahkan self financing, dimana hal inipun luput di pertimbangkan
Termohon I dalam putusannya ;-
Menimbang, bahwa bukti bantahan T. II terutama T.II.1 berupa fotokopi Putusan
Arbritrase bukalnah kontra bukti yang melemahkan fakta , sedangkan bukti T.II.2
dan bhukti T.II.3 tidak pula mampu mengkanter bukti, dalil-dalil dan alasan
Pemohon ;-
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dihubungkan dengan
bukti persangkaan hakim, maka telah ternyata bahwa Termohon II telah
melakukan perbuatan yang mengindikasikan ketidakjujuran dalam bertransaksi ;-
Menimbang, bahwa indikator-indikator ketidakjujuran dari Termohon II dalam
bertransaksi dapat dilihat dan simpulkan dari hal-hal sebagai berikut :
� Termohon II telah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan dalam
akta al-murabahah No.53/2005 Pasal 3 ayat (10) yakni berupa IMB yang
merupakan dokumen penting, yang dijanjikan sebelumnya selesai dalam hitungan
bulan sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang belum juga diselesaikan ;-
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
� Termohon II telah ternyata mengabaikan persyaratan Pasal 3 ayat (4) dan Pasal
3 ayat ( 23 ) akta al-murabahah, yaitu berupa pembayaran biaya notaries dan tidak
menyerahkan self financing.
� Termohon II tidak beriktikad baik untuk menetralisir kegundahan Pemohon
mengenai syarat-syarat yang diajnjikan itu terutama yang berkaitan dengan IMB
dengan mencoba menghadirkan pelaksana jasa kontraktor H. Jayadi Kusumah, SH
untuk hadir sebagai saksi dipersidangan BASYARNAS dalam upaya konfirmasi
dan klarifikasi dari yang bersangkutan ;-
� Bahwa ternyata terhadap apa yang telah disimpulkan diatas oleh Termohon I
sebagai Majelis Arbritrase tidak dipertimbangkan.
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon II telah melakukan perbuatan tidak
jujur, maka Majelis Hakim dapat menetapkan bahwa perbuatan tidak jujur yang
dilakukan oleh Termohon II patut dikategorikan sebagai perbuatan “ tipu
muslihat “ , sebagaimana didefisikan dalam pertimbangan sebelumnya ;-
Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan Termohon II dikategorikan sebagai
perbuatan tipu muslihat, maka dalam kontek ini Majelis Hakim berkeyakinan
bahwa Putusan Termohon I sebagai Majelis Arbritrase diambil dari hasli tipu
muslihat yang dilakukan oleh Termohon II ;-
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas tanpa
mempertimbangkan bukti lain yang diajukan Pemohon dan Termohon II, Majelis
Hakim berpendapat bahwa Pemohon telah berhasil membuktikan dalil
permohonannya secara sah dan meyakinkan, sehingga oleh karenanya sesuai
dengan ketentuan Pasal 70 huruf c, Permohonan Pemohon harus dikabulkan ;-
Menimbang, bahwa karena apa yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam
putusan ini lebih mengarah kepada pembatalan karena putusan arbritrase diduga
mengandung unsur-unsur antara lain putusan diambil dari hasil tipu muslihat dan
tidak mengarah kemana-mana termasuk kepada isi amar putusan BASYARNAS,
oleh karenanya petitum No. 2 agar Majelis Hakim menyatakan cacat karena dalam
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
putusan BASYARNAS isi amarnya saling bertentangan satu sama lain harus
dikesampingkan dan tidak perlu dipertimbangkan lagi ;-
Menimbang, bahwa terhadap petitum No. 3 oleh karena telah terbukti T. II telah
melakukan perbuatan “ tipu muslihat “, maka permohonan Pemohon agar Majelis
Hakim membatalkan putusan BASYARNAS No.16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009
dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sesuai akta
pendaftaran No.01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009, adalah
dapat dikabulkan ;-
Menimbang, bahwa oleh karena putusan BASYARNAS akan dibatalkan, maka
sebagai akibat pembatalan putusan tersebut harus dinyatakan bahwa putusan
tersebut tidak berkekuatan hukum, sehingga oleh karenanya dengan
mempertimbangkan petitum subsider Majelis Hakim perlu menambahkan diktum
dalam putusan ini bahwa putusan BASYARNAS tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon I dan Termohon II sebagai pihak yang
kalah dalam perkara ini seharusnya sesuai Pasal 181 HIR keduanya harus
dihukum untuk membayar biaya perkara, akan tetapi sesuai ketentuan Pasal 21
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 bahwa kepada Termohon I sebagai arbrirter
harus dibebaskan dari tanggung jawab hukum, sehingga dengan demikian biaya
perkara ini harus dibebankan sepenuhnya kepada Termohon II;-
Menimbang, bahwa hal-hal yang tidak dipertimbangkan dalam putusan ini
dinyatakan dikesampingkan;-
Mengingat, segala ketentuan perUndang-Undangan yang berlaku, dan dalil syar'i
yang bersangkutan dengan perkara ini;
MENGADILI
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
DALAM EKSEPSI:-
� Menolak eksepsi Termohon I dan T ermohon II seluruhnya ;-
DALAM POKOK PERKARA:-
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;-
2.Membatalkan Putusan BASYARNAS No. 16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009
dan yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakatrta Pusat sesuai
akta Pendaftaran No. 01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009 ;-
3. Menyatakan Putusan BASYARNAS No. 16/tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak
tanggal 16 September 2009 tersebut diatas tidak mempunyai kekuatan hukum;-
4. Membebankan biaya perkara kepada Termohon II yang hingga kini
diperhitungkan sebesar Rp. 306.000,- ( tiga ratus enam ribu rupiah ) ;-
Demikian diputuskan dalam permusyarawaratan Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat pada hari Kamis tanggal 10 Desember 2009 Masehi
bertepatan dengan tanggal 22 Dzulhijjah 1430, yang terdiri dari Drs. H. Masrum,
MH. sebagai Ketua Majelis dan Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH, MH, Drs. H.
Ujang Soleh, SH, Drs. Yusran, MH dan Drs. Subuki, MH masing-masing
sebagai hakim-hakim Anggota, putusan mana oleh Ketua Majelis Hakim tersebut
pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan
didampingi oleh Hakim Anggota yang sama dan di bantu oleh Drs. Ach. Jufri,
SH sebagai Panitera dan dihadiri oleh Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Hukum
Termohon I dan Kuasa Hukum Termohon II;
Hakim Anggota, Ketua Majelis
Ttd. Ttd.
Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH, MH, Drs. H. Masrum, MH.
Ttd.
Drs. H. Ujang Soleh, SH,
Ttd.
Drs. Yusran, MH
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Ttd.
Drs. Subuki, MH Panitera
Ttd.
Drs. Ach. Jufri, SH
Perincian Biaya Perkara :
1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000,-
2. Biaya Panggilan : Rp. 265.000,-
3. Biaya Redaksi : Rp. 5.000,-
4. Materai : Rp. 6.000,- +
Jumlah : Rp. 306.000,-
( tiga ratus enam ribu rupiah ).
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
LAMPIRAN 2
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
top related