uin syarif hidatullah -...
Post on 14-Aug-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
WALI ADHAL DALAM PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADHAB
DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Uinversitas Islam Negri
UIN SYARIF HIDATULLAH
Oleh :
ENDANG SETIAWAN
NIM: 204044103023
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1432 H/ 2011 M
WALI ADHAL DALAM PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADHAB
DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
ENDANG SETIAWAN
NIM: 204044103023
Di bawah bimbingan
Drs. H. Ahmad Yani, MA NIP. 19640412194031004
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1432 H/ 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “WALI ADHAL DALAM PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADHAB
DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA”
Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Februari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) pada Jurusan Akhwal
Syahsiyah.
Jakarta, 10 Februari 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (........................................)
NIP. 196404121994031004
Sekretaris : Moch Syafi’i, SEI (........................................)
NIP.
Pembimbing : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (........................................)
NIP. 196404121994031004
Penguji I : prof. Dr. H. Hasanudin.,AF.,MA (.........................................)
NIP.150150917
Penguji II : Sri Hidayati. M.Ag (..........................................)
NIP.19710215119970320
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 19 Januari 2011 M 14 Shafar 1432 H
Endang Setiawan
ABSTRAK
ENDANG SETIAWAN, Nim: 204044103023 TELA’AH MAZHAB FIKIH TENTANG WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010 Kata Kunci: Pernikahan , Perwalian, Wali adhal. Dalam perbankan, salah satu yang dijual adalah jasa, yaitu pelayanan. Karena secara langsung akan berpengaruh pada jumlah nasabah yang akan semakin bertambah atau berkurang. Semakin baik pelayanan suatu bank semakin banyak nasabah yang menabung dibank tersebut, yang tentu saja nasabah tidak akan memindahkan dana mereka di tempat lain....................................................................................................... ( i + 86 + Lampiran)
v
MOTTO
Dengan menyebut Asmamu
Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah yang menciptakan cahaya di atas
cahaya, beri anugrah pada ayah dan ibuku, beri cita- citamu pada mereka agar aku tahu mereka
sangat kau sayangi, karena merekalah cermin hidupku.”
Goresan kita tak cukup menaung makna untukmu yah dan ibuku beribu helai kertas tak
cukup untuk menguap terima kasih ibu penghargaanku padamu melebihi apapun, setiap senyum,
tatapan mata, dan serta doa yang mengantarkanmu meraih ilmu, buatku merasa pantas
menggores namamu di helai pertama terima kasih untuk peluk, cinta, karyaku semua
karenamu, ibu, bapak tak ada lelaki yang sanggup menandingi kesabaranmu sedikit kata
mengungkapbijaksana, dukungan, kasih sayang, serta wibawamu, membuatku yakin kau yang
terbaik untukmu dan anakmu.
Ayah, ibu rasa hormat, tunduk, dan patut ananda, hanya bisa menghasilkan sebuah karya kecil,
yang aku harap bisa menghantarkan pada suatu jalan hidup, masa depan yang baik.
Ayah, ibu terima kasih buat semuanya, peluk cium, serta cinta kasih kalian,
selalu memberikan nada dalam setiap helai tulisan ini.
KATA PENGANTAR
Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
segala Rahmat-Nya, hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi Muhammad SAW.
Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian syarat
untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan yang tak ternilai
bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua,
seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis sampaikan ucapan terima
kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program Studi Ahwalu Al Sakhshiyyah dan Kama
Rusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program Studi Ahwalu Al Sakhshiyyah yang telah
membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan skripsi ini.
3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H. Ahmad Yani,
MA. Sekretaris Program Non Reguler.
4. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya
memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan literatur dalam proses penyelesaian
tugas akhir ini.
vi
vii
5. Segenap pengurus dan pegawai perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta setaf-setafnya yang tak bosan-bosanya melayani penulis
dalam proses penulisan sekripsi ini.
6. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda khaerudin dan Ibunda
erohaeni atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta
dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan Do’a-do’a munajatnya yang tak henti-
hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis persembahkan skripsi ini. untuk
kedua orangtua .
7. Kakak dan adikku tersayang: agus salim,n lukman Hakim,adik-adikku ulpah,henti,anwar
yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih untuk semua perhatian dan
kasih sayangnya.
Dan akhirnya penulis akhiri dengan rasa Syukur kepada Allah SWT, Raja dari segala
Raja, pencipta Jagad Raya dan penguasa Ilmu Pengetahuan, Dengan segala kelemahan dan
kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca
pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Amin.
Jakarta, 19 Januari 2011 M 14 Shafar 1432 H
Endang Setiawan
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii
MOTO……………………………………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 6
D. Reviw Studi Terdahulu ......................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................. 9
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah ........................... 12
B. Syarat-syarat Wali Nikah ..................................................... 17
C. Macam-macam Wali dalam Perkawinan ............................. 24
D. Kedudukan Wali dalam Perkawinan..................................... 30
BAB III WALI ADHAL DALAM FIQH MADZHAB
A. Definisi Wali Adhal ............................................................. 32
B. Latar Belakang Wali Adhal................................................... 37
C. Kriteria Wali Adhal .............................................................. 46
BAB IV PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB TENTANG WALI
ADHAL
A. Menurut Madzhab Maliki ..................................................... 48
B. Menurut Madzhab Hambali .................................................. 50
C. Menurut Madzhab Hanafi ..................................................... 54
D. Menurut Madzhab Syafi’i ...................................................... 55
E. Relevansi Pendapat Empat Imam Madzhab dengan Hukum
Perkawinan di Indonesia ....................................................... 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 65
B. Saran-Saran ........................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 70
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah merupakan salah satu ajaran syariat Islam. Di dalam
suatu perkawinan, perwalian adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan itu sendiri, karena seorang wali adalah orang yang harus ada pada
saat dilangsungkannya suatu perkawinan. Keterlibatan seorang wali di dalam
suatu perkawianan, sangatlah menentukan (sah atau tidaknya) akad
perkawinan dalam pandangan syari’at Islam.1
Sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya seorang wali,
sebab itu wali menempati kedudukan yang sangat penting dalam perkawinan,
seperti diketahui dalam prakteknya yang mengucapkan ikrar ijab adalah pihak
perempuan dan yang mengucapkan ikrar qabul adalah pihak laki-laki,
disinilah peranan wali yang sangat menentukan sebagai wakil dari pihak calon
pengantin perempuan.2 Mengenai keberadaan wali yang sedemikian penting
ini pernah di ungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui haditsnya yang
diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadits, yang bermula dari Abu Mua Al-
1Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majelis al-A’la al-Indonesia li al-
Dakwah al-Islamiyah, 1972), Cet. IX, h. 100 2Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: H. Dakarya Agung, 1979), h.53
1
Asy’ari dan dari Aisyah r.a, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau pernah
bersabda:
نإ فلاط بلاط بلاطا بهاحكنا فهيل ونذ إريغ بتا آمرأميأ ويلو بال إاحك نال
.ه ليل و الن ميلو انطلالس فيلا وه لنك يمل
“Tidak ada nikah melainkan dengan adanya wali, siapa saja perempuan yang nikah tanpa memperoleh izin dari walinya maka nikahnya batal, batal, batal, kemudian jika perempuan itu tidak ada walinya maka penguasa (Hakim) yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak ada walinya itu”3
Jika perempuan itu tidak ada walinya maka penguasa (hakim) yang
menjadi pengganti bagi perempuan yang tidak ada walinya itu, pernyataan
ayat hadits dari Nabi di atas cukup jelas, bahwa seorang wali sungguh tidak
bisa di abaikan begitu saja bagi terselenggaranya suatu akad perkawinan yang
tentu saja menghendaki jaminan hukum yang sah menurut pandangan syara.
Namun demikian, keberadaan seorang wali yang sangat menentukan ini, tidak
lepas dari kemungkinan akan menghadapi suatu kesulitan. Diantaranya ialah
manakala wali yang bersangkutan justru memperlihatkan keengganan adalnya
untuk melangsungkan akad perkawinan.
Dengan adanya permasalahan tersebut, kiranya penulis menganggap
penting untuk diungkapkan dan dipecahkan. Dan di sini pula pentingnya
mengungkap kajian Madzhab Fiqh empat yang populer dikalangan umat
3Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Autar, Syar Muntahal Akbar, Juz
IV,(Beirut Darul Fikri, TT) h. 230
Islam di Indonesia khususnya yaitu: Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i
guna memperoleh kejelasan yang lebih rinci, terutama mengenai upaya
penyelesaianya terhadap problem kewalian di atas, dengan tetap berpijak pada
kajian dan penelusuran pendapat ahli fikih klasik yang saat ini masih
dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam.
Sebagaimana keberagaman pendapat dari Madzhab fikih yang menjadi
penelitian penulis tentang perwalian dalam perkawinan. Misalnya pandangan
pendapat dari empat madzhab populer mengenai kedudukan wali nikah dalam
hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun perkawinan, oleh karena itu
Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan dianggap tidak sah atau batal,
apabila wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada. Hal itu berbeda
pendapat dengan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa wali nikah tidak
merupakan salah satu rukun nikah. Karena itu, nikah dipandang sah sekalipun
tanpa wali.4
Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam, sebenarnya subtansi dari
perkawinan itu lebih pada kebahagiaan yang di dapat, seperti yang terdapat
pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam Islam adalah “Pernikahan
4R. Subekti. R. Tjirosudibyo, Terjemah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1999), Cet. Ke-29, h. 5
adalah aqad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.5
Berdasarkan pengertian di atas, hakikat perkawinan adalah persekutuan
hidup seorang pria dan seorang wanita yang tak terputuskan. Kesatuan dan
sifat tak terputuskan ini merupakan sifat-sifat esensial perkawinan, jadi
perkawinan bukanlah untuk sesaat saja akan tetapi kalau mungkin untuk
sekali dan seumur hidup.6
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan
yang sangat diutamakan dalam Islam. Aqad nikah diadakan adalah untuk
selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama-
sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung menikmati
naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam
pertumbuhan yang baik. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa ikatan antara
suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada
suatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang
demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menanamkan ikatan
perjanjian antara suami isteri dengan mitsaqan ghalidhan (perjanjian yang
kokoh).7
5Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo,
2004), h. 13 6 Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998), h. 9 7Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 2
Oleh karena keberagaman dari mazhab fikih dalam menentukan penting
atau tidaknya seorang perwalian dalam perkawinan, maka ini menjadi
persoalan yang menarik menurut penulis, karena itu persoalan tersebut akan
penulis teliti dalam bentuk skripsi dengan judul “Wali ‘adhal dalam
perspektif Empat imam mazhab dan relevansinya dengan hukum positif
SPerkawinan Islam di Indonesia”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis
membatasi lingkup permasalahan yang terjadi dalam hal-hal yang berkenaan
dengan masalah Wali adhal dalam persepektif empat imam Madzhab dan
relevansinya hukum perkawinan Islam di Indonesia.
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, agar pembahasan ini tidak meluas maka dalam penelitian ini
peneliti terfokus pada tinjauan Mazhab Fikih Islam terhadap problematika
ke’adhalan wali dan upaya ketentuan hukum dalam pengembangan
mazhab Fikih Islam untuk mengantisipasi munculnya wali ‘adhal.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka pokok permasalahan
yang dihadapi adalah sesuai dengan ketentuan hukum tentang
keberagaman pendapat mazhab fikih yang mestinya perkawinan itu secara
teoritis adanya wali ‘adhal. Lalu apakah benar keberagaman pendapat
mazhab pikih islam mewajibkan perwalian dalam perkawinan.
Selanjutnya dapat penulis rumuskan sebagai berikut:
1) Apakah beragamnya pendapat mazhab fikih Islam mewajibkan
perwalian dalam perkawinan?
2) Bagaimana perspektif Empat Imam Mazhab fikih tentang wali adhal
dan relevansinya dengan hukum perkawinan di indonesia?
Rincian di atas adalah merupakan kerangka pertanyaan yang hendak di
teliti dan dicarikan jawabannya, sehingga peneliti ini diarahkan dalam
kerangka pencarian jawaban tersebut dilakukan dalam proses identifikasi
terhadap fakta dan realita hukum baik yang sedang berlaku maupun yang
pernah berlaku.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana beragamnya pendapat mazhab fikih
islam mewajibkan perwalian dalam perkawinan.
2. Untuk mengetahui Bagaimana perspektif Empat Imam Mazhab fikih
tentang wali adhal dan relevansinya dengan hukuh perkawinan di
indonesia.
3. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan teoritis mengenai
perwalian dalam pernikahan terutama wali ‘adhal serta tambahan
informasi yang bermanfaat dan relevansinya bagi mahasiswa yang akan
menyusun sebuah penelitian yang akan datang.
2. Bagi Akademis
Sebagai wacana informasi dan masukan dalam mengadakan
penelitian lebih lanjut dibidang pernikahan dan perwalian.
D. Riview Studi Terdahulu
Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan penelitian ini, ada
beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir
sama dengan yang dituliskan oleh penulis, namun tentunya ada sudut
perbedaan dalam hal pembahasan maupun obyek kajian dalam penelitian ini,
adapun penelitian tersebut diantaranya adalah:
1. Ade Puspita Sari, 2008, Penyelesaian Perkara Wali ‘adhal Di Pengadilan
Agama Cibinong, pada penelitian ini penulis membahas mengenai status
pernikahan wanita bila walinya menolak menikahkan juga membahas
mengenai gambaran dan uraian faktor yang menyebabkan timbulnya wali
menolak utuk menikahkan anak perempuannya skripsi ini juga membahas
cara penyelesaian apabila terjadi wali yang tidak mau menikahkanya.
2. Lukman Hakim, 2007,, Wali hakim bagi anak perempuan yang dilahirkan
diluar nikah (studi kasus di KUA kebayoran Baru) skripsi ini membahas
tentang pengangkatan wali hakim karena alasan bahwa pihak wanita tidak
mempunyai wali karena merupakan anak luar nikah yang mengakibatkan
terputusnya hubungan nasab antara wali (Ayahnya). Sehingga wali
Hakimlah yang yang menikahkan. Bagi anak perempuan yang dilahirkkan
diluar nikah hanya memiliki hubungan dengan ibunya saja.
3. Neneng Soraya,2006’ Kedudukan Wali Nikah Menurut KHI dan Mazhab
Empat. Skripsi ini membahas tentang permasalahan wali secara umum:
menurut KHI dan beberapa padangan mazhab empat. Dijelaskan bahwa
terdapat perbedaan mengenai kedudukan wali dalam pernikahan menurut
beberapa mazhab. Menurut jumhur ulama nikah tanpa wali adalah tidak
sah. Sedangkan menurut mazhab hanafi, wali tidak termasuk salah satu
syarat sahnya suatu pernikahan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam wali merupakan rukun dari suatu perkawinan sehingga apabila
dalam suatu pernikahan tidak ada wali dari pihak wanita maka secara
otomatis pernikahan itu adalah tidak sah.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Adapun pendekatan analisis penyajian data yang peneliti gunakan adalah
pendekatan deskriptif analisis, dengan pendekatan secara normatif dimana
akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
menggunakan analisis normatif yang didasarkan pada hasil analisis
dengan melakukan penelitian terhadap data kepustakaan, dan teori-teori
yang terkait dengan pembahasan masalah atau disebut dengan data
sekunder. Yang bersifat deskriptif analisis, yaitu memberikan data seteliti
mungkin yang menggambarkan obyek penelitian, kemudian menganalisa
keberagaman pendapat para madzhab fikih Islam, untuk melihat sejauh
mana para madzhab fiqih Islam menerapkan peraturan hukum tentang
perwalian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan
cara sebagai berikut:
a. Data Primer, melalui data primer penulis dapat melakukan sebuah
kajian dari pandangan madzhab fiqh dalam bentuk buku yaitu: buku
Imam Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki
b. Data Sekunder, melalui data sekunder penulis dapat melakukan berupa
buku-buku literatur yang berkenaan dengan masalah-masalah pendapat
para ulama tentang perwalian.
3. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini didasarkan, mengarah pada pedoman yang
berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007, yakni buku pedoman penulisan skripsi, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan
uraian sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB I : Pada bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat
diantaranya latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Membahas mengenai tinjauan umum tentang wali dalam
perkawinan meliputi diantaranya mengenai pengertian wali dalam
perkawinan, landasan hukum wali dalam perkawinan, kedudukan
wali dalam perkawinan, dan macam-macam wali dalam
perkawinan
BAB III : Bab ini menguraikan mengenai kajian wali ‘adhal dalam fiqh
madzhab, yang meliputi latar belakang wali ‘adhal, kriteria wali
‘adhal.
BAB IV : Pada bab ini dibahas mengenai pengaruh wali ‘adhal dalam
perkawinan menurut madzhab fiqh, menurut madzhab Maliki
Hambali, Hanafi dan Syafi’i, serta relevansi pendapat Imam
Madzhab dalam korelasi perkawinan di Indonesia.
BAB V : Adalah pada bab lima ini merupakan penutup, yang terdiri dari
kesimpulan yang diberikan penulis dan beberapa saran-saran
terhadap permasalahn yang penulis bahas.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah
1. Pengertian Wali
Kata wali menurut bahasa berasal dari kata al-wali (الولي) dengan bentuk
jamak auliya (اولياء) yang berarti pecinta, saudara, penolong.1 Menurut istilah
wali adalah orang yang berhak dan berkuasa untuk melakukan perbuatan
hukum bagi orang yang berada di bawah perwaliannya menurut ketentuan
syari’at. Sayyid Sabiq mengatakan wali adalah sesuatu ketentuan hukum yang
dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.2
Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh
yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan
melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaaan perwalian di
sebut wali.3 Perwalian ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.
Kewalian bersifat umum ialah mengenai orang banyak dalam suatu wilayah
atau negara. Sedangkan kewalian yang bersifat khusus ialah menyangkut
1Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut Masyriq, 1975), h. 919 2Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), (Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1997), Cet. Ke-13, jilid 7, h.7 3Kamal Muhtar, Azas-azas dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), Cet. II, h. 92
12
13
pribadi seseorang atau hartanya. Dalam pembahasan skripsi ini adalah wali
menyangkut pribadi dalam masalah perkawinan atau biasa disebut menjadi
wali nikah. Menurut kamus istilah fiqih, wali nikah adalah mereka yang
berhak menjadi wali bagi perempuan yang menikah, karena keturunan atau
kekuasaan.4
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wali nikah adalah orang-
orang yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang akan menikah dan hak
perwalian diperoleh berdasarkan garis keturunan dari pihak laki-laki atau
berdasarkan kekuasaan.
2. Dasar Hukum Wali Nikah
Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Karena perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah, maka perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu
agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai.
4M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III, h. 416 5Departemen Agama R.I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2004), h. 14
14
Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan
terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Dalam
kaitannya dengan rukun nikah. Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun nikah
terdiri atas:6
a. Adanya calon suami;
b. Adanya calon isteri;
c. Adanya wali dari pihak calon penganti wanita;
d. Adanya dua orang saksi
e. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali/wakilnya
dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat di kalangan
ulama, pendapat pertama oleh jumhur ulama, bahwa suatu pernikahan tidak
sah tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash al-Qur’an dan hadits.7
a. Firman Allah SWT
فورعالم بمهنيا بواضرا تذ إنهجاوز أنحكن ين أنوهلضع تالف )232:البقرة(
6Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999),
Cet. I, h. 89, lihat juga Aminur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974, dan KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. III, h. 8
7Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: ELSAS, 2008), Cet. I, h. 15
15
Artinya: “.....Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. ......” (QS. Al-Baqarah / 2: 232)
Ayat ini ditunjukkan kepada wali jika mereka tidak mempunyai hak
dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-
halangi.8
)221: البقرة (نمؤي تىح اتآرشلما واحكنت الوArtinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman ... (QS. Al-Baqarah / 2: 221)
Ayat ini juga ditunjukkan kepada wali supaya mereka tidak
menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang musrik. Andai kata wanita
mempunyai hak secara langsung untuk menikahkah dirinya tanpa wali,
maka tidak ada artinya ayat tersebut ditunjukkan kepada wali dan
semestinya ditunjukkan kepada wanita. Akan tetapi karena akad nikah
adalah urusan wali larang tersebut ditunjukkan kepada wali bukan kepada
wanita. Ini menunjukkan bahwa urusan nikah terletak kepada wali nasab.
8 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Terj), (Semarang; CV. Asy-Syifa, 1990), Cet. I, h. 366
16
Jika tidak demikian, tentulah larangan tersebut tidak ditunjukkan kepada
para wali.9
b. Hadits Nabi Muhammad SAW
: ال قمل س وهيل ع اهللال صيب الننى أسوي مب أن عةدري بب أنع )رواه أبو داود (يلو بال إاحك نال
Artinya: “Dari Abu Burdah R.A dari Abi Musa R.A, Rasulullah SAW Bersabda: Tidak ada pernikahan kecuali seorang wali.” (HR. Abu Daud)
باطل ذن وليها فنكاحها إريغ بتحك نةأرما إمي أتال قةشا ئ عنعدخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن فإن) ثالث مرات(
10أشجروا فا لسلطان ولي من ال ولي له Artinya: “Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah SAW, Bersabda: Barang
siapa wanita yang nikah tanpa izin walinya, nikahnya batal (diucapkan tiga kali), maka jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya, karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.”(HR. Abu Daud)
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari
R.A:
)رواه أبو داود (يلو بال إاحك نالArtinya: “Bahwa sebuah pernikahan tidak sah kecuali dengan wali”.
(HR. Abu Daud)
9 Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Kewarisan,
(Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), h. 1761 10 Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Kewarisan,
h. 194
17
Maksud dari hadits di atas adalah sebuah pernikahan tidak sah jika
wali tidak ada, karena seorang wnaita tidak punya kapasitas untuk
menikahkan dirinya tanpa adanya seorang wali atau mewakilkannya
kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahkannya, dan jika ia
lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah.11
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 19 dijelaskan bahwa wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikah.12
Mengingat pentingnya wali dalam perkawinan dan dengan pertimbangan
bahwa perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu tidak hanya
menggabungkan hubungan dua individu tapi juga menghubungkan dua
keluarga besar sehingga tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, dan
warahmah. Maka untuk menciptakan tujuan mulia itu dapat ditarik ketegasan
bahwa wali dalam pernikahan itu merupakan rukun artinya wali harus ada di
dalam setiap pernikahan. Tanpa adanya wali nasab maupun wali hakim maka
pernikahan itu dianggap tidak sah.
B. Syarat-syarat Wali Nikah
11 Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Hijr, 1413 H / 1992 M), jilid. 9, h. 345 12 Departemen Agama R.I, h. 132
18
Orang yang akan menjadi wali harus memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan. Apabila wali tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh
hukum maka perwaliannya tidak sah. Oleh karena itulah persyaratan menjadi wali
harus dipenuhi. Imam Taqiyuddin dalam bukunya berjudul khifayatul akhyar
menyatakan beberapa persyaratan tentang wali nikah, diantaranya adalah:
1. Islam;
2. Baligh;
3. Sehat akalnya;
4. Merdeka;
5. laki-laki;
6. adil.13
Dalam buku lain juga disebutkan oleh karena wali sudah ditentukan sebagai
rukun bagi sahnya nikah, maka syariat telah menentukan pula syarat-syarat untuk
boleh seorang menjadi wali, syarat-syarat tersebut adalah:
1. Islam (Orang kafir tidak sah menjadi wali);
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali);
3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali);
13 Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Khifayatul Akhyar, (Terj),
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. I, h. 371-379
19
4. Laki-laki (Perempuan tidak sah menjadi wali);
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali).14
Persyaratan tentang wali lebih rinci dijelaskan dalam buku Pedoman
Pembantu Pencatat Nikah, yaitu :
1. Beragama Islam;
2. Baligh;
3. Berakal;
4. Tidak dipaksa;
5. Terang laki-lakinya;
6. Adil (bukan fasik);
7. Tidak sedang ihram;
8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah;
9. Tidak rusak pikirannya;
10. Merdeka.15
14 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 28 15 Departemen Agama RI. Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1985/1986), h. 12
20
Pada prinsipnya dari beberapa pendapat-pendapat tersebut tidak ada
perbedaan yang mendasar, dari ketiga pendapat tersebut dapat diambil
kesimpulan, bahwa syarat untuk menjadi wali adalah:
1. Orang yang Mukallaf
Karena orang yang mukallaf adalah orang-orang yang dibebani hukum
dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Anak-anak tidak sah
menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan
berfikir dan bertindak secara sadar dan baik.16
ملق العفر: ال قملس وهيل ع اهللالص يب النن عيل عني عحى ضب أنع ن اتي حيب الصنع وأرب ين اتى حمائ الننع: ثال ثنع
)رواه ابو داود ( ملتحي Artinya: “Dari Abu Dhuha, dari Ali R.A, Rasulullah SAW, bersabda
diangkatlah hukum itu dari tiga perkara: dari orang yang tidur sehingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia bermimpi (dewasa), dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh.” (HR. Abu Daud)
2. Muslim
Disyaratkan wali itu seorang muslim apabila yang kawin itu orang muslim
juga, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 28:
☺
☺
⌧
16 Abdurrahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1986), Cet. I, h. 48
21
Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Iram / 3: 28)
Ayat di atas sebagai landasan bahwa umat Islam jika ingin menikah atau
menikahkan dilarang mengangkat wali yang bukan muslim. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa beragama Islam merupakan syarat yang harus dipenuhi
oleh wali nikah.
3. Laki-laki
Laki-laki merupakan syarat perwalian, demikian merupakan pendapat
seluruh ulama karena dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap
mempunyai kekurangan. Wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya
sendiri apalagi orang lain.17 Pernyataan memberikan pengertian bahwa wali
haruslah laki-laki tidak boleh perempuan.
4. Berakal
17 Syekh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. I, h. 50
22
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali haruslah orang
yang bertanggung jawab, karena orang yang menjadi wali harus orang yang
berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya, atau gila tidak memenuhi
syarat untuk menjadi wali.
5. Adil (cerdas)
Salah satu syarat lain yang harus dimiliki oleh wali adalah adil. Adil yang
dimaksud adalah berbuat adil, tidak fasik. Menurut Imam Syafi’i yang yang
dimaksud dengan adil itu adalah cerdas.18 Cerdas yang dimaksud adalah dapat
atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau
seadil-adilnya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
ال إاحك نال: ملس وهيل ع اهللال ص اهللالوس رالعن عا ئشة قالت ق 19) رواه دار قطني (لد عيداهش ويلوب
Artinya: “Dari Aisyah, dari Nabi SAW bersabda: tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ad-Daaruquthni)
Berdasarkan hadits tersebut, maka orang yang tidak cerdas atau tidak
mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan. Ini berarti
jika wali ingin berbuat fasik, maka wali itu harus digantikan oleh orang lain
yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
18 Kamal Mukhtar, Azas-azas dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 92 19Daaruquthni, Sunan Daaruquthni, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), jilid III, h. 139
23
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah
memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari
melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr,
membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia
tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pesyaratan ini adalah
merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan
merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah. Adapun
Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai
wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-
terangan berbuat dosa. Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang
fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat
penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya,
yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita
yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya
fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang
memiliki20
Pernyataan tersebut di atas memberikan pengertian bahwa syarat utama
yang harus ada pada wali dalam pernikahan adalah Islam, dewasa, dan laki-
20 http://kuakalideres.blogspot.com/2009/12/pernikahan Tanpa Restu Wali. (artikel diakses
pada tanggal, 12 Mei 2010
24
laki. Tentang persyaratan lain seperti berakal dan adil dapat diambil
pengertian baligh karena baligh menunjukkan bahwa orang itu telah berakal
dan muslim atau beragama Islam menunjukkan bahwa orang tersebut pasti
dapat berbuat adil. Dengan demikian tiga persyaratan tersebut pada dasarnya
telah mencakup lima persyaratan yang banyak dibahas dalam berbagai buku
fiqih atau hukum Islam.
C. Macam-macam Wali dalam Perkawinan
Secara umum wali dalam perkawinan digolongkan menjadi dua macam, yaitu
wali nasab dan wali hakim.21 Kedua macam wali tersebut akan diuraikan lebih
lanjut di bawah ini.
1. Wali Nasab
Nasab artinya bangsa, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan
nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.22 Wali ditunjuk
berdasarkan skala prioritas secara tertib mulai dari orang yang paling berhak,
yaitu orang yang paling dekat/aqrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur
Ulama mengatakan bahwa wali itu adalah wali waris dan diambil dari garis
ayah, bukan ibu.23
21Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.
IV, h. 80, lihat juga Departemen Agama RI, h. 134 22Slamet Abidin dan H Aminudin, Fiqih Munakahat, h. 89 23Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. I, h.
63
25
Urutan wali nasab yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam pada
pasal 21 dan 22, adalah sebagai berikut:
Pasal 21:
a) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai dengan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
b) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatanna dengan calon mempelai wanita.
c) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah adhal kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
d) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.24
Apabila diuraikan lebih rinci lagi susunan wali adalah sebagai berikut:
24 Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, h. 135-136
26
a. Ayah kandung;
b. Kakek (dari garis ayah) seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;
c. Saudara laki-laki sekandung;
d. Saudara laki-laki seayah;
e. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
f. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
h. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
i. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman);
j. Saudara laki-laki ayah seayah (paman ayah);
k. Anak laki-laki paman sekandung;
l. Anak laki-laki paman seayah;
m. Saudara laki-laki kakek sekandung;
n. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung;
o. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.25
Wali yang paling berhak dan paling utama menjadi wali nikah adalah
ayah, karena sangat dekat kekerabatannya dengan mempelai wanita dan ayah
adalah orang yang mempunyai keutamaan dibandingkan dengan wali nikah
yang lain. Oleh karena itu ayah disebut wali yang dekat atau wali aqrab, dan
25 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, h. 90-91, lihat juga, Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia, h. 87
27
wali lain disebut wali yang jauh atau wali ab’ad (saudara terdekat atau yang
agak jauh).
Pasal 21 KHI menjelaskan bahwa apabila wali nikah yang paling berhak
urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali
nikah rungu atau sudah udzur, maka yang menjadi wali bergeser kepada wali
nikah yang lain menurut derajat berikutnya.26
Mengenai perpindahan wali dari yang dekat kepada yang lebih jauh
urutannya yaitu apabila wali yang dekat ada atau karena sesuatu hal dianggap
tidak ada, yaitu:
1. Wali aqrabnya tidak ada sama sekali
2. Wali aqrab ada, tetapi belum baligh;
3. Wali aqrab ada, tetapi menderita sakit gila;
4. wali aqrab ada, tetapi pikun karena tua;
5. wali aqrab ada tetapi bisu dan tidak dapat dimengerti isyaratnya;
6. wali aqrab ada, tetapi tidak beragama Islam.27
Wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu Pertama, wali nasab yang berhak
memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan mesti
26 Departemen Agama R.I., h. 435-436 27 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 88
28
kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali nasab yang mujbir
dipendekan dengan sebutan wali mujbir. Wali mujbir terdiri dari bapak, kakek
dan ayah dari kakek seterusnya ke atas. Mujbir artinya orang yang
memaksa.28 Walaupun wali mujbir dapat memaksa tetapi ia harus memenuhi
persyaratan:
1. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis;
2. Sekufu antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya;
3. Calon suami itu mampu membayar mas kawin;
4. Calon suami tidak cacat yang membahayakan pergaulan dengan dia.29
Apabila keempat syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi oleh wali yang
memaksa menikahkan anaknya (wali mujbir) maka wanita yang dipaksa
menikah dapat meminta fasakh ke pengadilan.
Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau wali
nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman yaitu
saudara laki-laki kandung atau sebapak, dari bapak dan seturusnya anggota
keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilineal.
2. Wali Hakim
28 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), Cet. Ke-1, h. 69 29 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, (Jakarta:
Hudakarya Agung, 1996), Cet. 15, h. 55
29
Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam
bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen
Agama. Dalam hal ini ditemui kesulitan untuk harirnya wali nasab atau ada
halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seorang calon
pengantin perempuan dapat menggunakan bantuan wali hakim baik melalui
Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur yang dapat
ditempuh.30
Rasulullah SAW bersabda:
31) رواه ابن ماجه (ه ليل و الن مىل وانطلالسفArtinya: “ ..... Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang
yang tidak ada walinya.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam prakteknya wali hakim yang diangkat oleh pemerintah pada saat ini
adalah Pegawai Pencatat Pernikahan (Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan). Ketentuan tentang wali hakim diatur dalam Peraturan Menteri
Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang wali hakim khususnya pada Bab
III pasal 4 dan pasal 5 mengenai Penunjukan wali hakim yang berbunyi:
Pasal 4
1) Kepala Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
30 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, h. 56 31 Abi Abdullah Muhammad Ibnu Yaziida Quzwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-
Fikr), Jilid I, h. 605
30
2) Apabila si wilayah kecamatan, kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Pasal 5
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi kewenangan untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
D. Kedudukan Wali dalam Perkawinan
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perjanjian
perkawinan. Menurut Mazhab Hanafi perizinan wali bukan merupakan
persyaratan syah nikah tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan.
Alasannya adalah dari riwayat Muslim dari Ibnu Abbas yang katanya Rasulullah
SAW bersabda yang artinya "Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya dari
walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah diamnya". Menurut
mazhab Hanafi, hadits di atas menerangkan sah pernikahan baik janda maupun
perawan tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu mereka menganggap
izin wali bukan termasuk syarat sah nikah.32
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menganggap perizinan wali merupakan
syarat sah perjanjian perkawinan dimana perkawinan tanpa izin wali adalah tidak
32 http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com, (artikel di akses pada
tanggal 12 Mei 2010
31
sah. Pendapat ini beralasan pada Al-Qur’an dan hadits. Dari ayat Al-Qur’an yang
dijadikan dalil antara lain pada QS. al Baqarah ayat 232 :
⌧
)232 : البقرة( Artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf...” (QS. Al-Baqarah, 2/232)
Dalam ayat ini terdapat dalil yang sangat jelas tentang eksistensi seorang wali
di mana Allah melarang para wali dari menghalangi para wanita dari kembali
kepada suami mereka dan sekiranya seorang wanita itu boleh menikahkan dirinya
sendiri, maka sudah tentu tiada artinya larangan Allah SWT dalam ayat tersebut
dan tiada gunanya para wali menggunakan haknya melakukan ‘Adhal 33
Imam Bukhari meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat di atas ialah karena
ulahnya Ma’qal bin Yasar yang mengawinkan saudarinya dengan seorang lelaki
33Sebab turun ayat ini adalah berkenaan peristiwa Ma’qil bin Yasar yang telah menikahkan
saudara perempuannya, kemudian diceraikan oleh suaminya dengan talak raj’i. Setelah habis masa iddah, kemudian bekas suami dan saudara perempuan Ma’qil ini bermaksud untuk menikah kembali. Ma’qil marah dan bersumpah tidak ingin menikahkan mereka. Maka, turunlah ayat 232, Surah al-Baqarah. Menurut riwayat Abu Daud, Ma’qil membayar kafarah sumpahnya dan kemudian menikahkan saudaranya atas perintah Rasulullah SAW. Jelas di sini, wali yang berhak untuk menikahkan seorang perempuan, di mana saudara perempuan Ma’qil, walaupun berstatus janda juga tidak dapat menikahkan dirinya sendiri (tanpa wali) meskipun dalam kondisi Ma’qil (wali) enggan menikahkannya pada awalnya. Lihat, Jalaluddin al-Suyuthi, Asbab al-Nuzul: Latar belakang sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an, Terj. Qomaruddin Shaleh, dkk, Cet. XVII, (Bandung: CV Diponegoro 1995), h. 81. lihat juga, http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com, artikel yang diakses pada tanggal 12 Mei 2010
32
kemudian diceraikan oleh suaminya. Sesudah masa iddahnya habis, datang bekas
suaminya ingin mengawini kembali, namun Ma’qal melarang dan bersumpah
tidak akan mengawinkan saudarinya itu dengan bekas suaminya tadi. Turunlah
ayat di atas menegur tindakan Ma’qal yang kedudukannya sebagai wali dan
akhirnya Ma’qal membayar kafarah atas sumpahnya.
Di dalam beberapa buah hadits dijelaskan tentang wali hakim yang dapat
menggantikan kedudukan wali nasab apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab
enggan mengawinkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, padahal
perjodohan antara keduanya seimbang. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
"Maka apabila (wali nasab) enggan sulthanlah yang menjadi wali bagi yang tidak
mempunyai wali"
عن سليمان ابن موسى عن زهري عن عروة عن عا ئشة قالت أيما دخل بها فإن) ثالث مرات(باطل إمرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها
تحل من فرجها فإن أشجروا فا لسلطان ولي من ال ولي فلها المهر بما اس 34) رواه أبو داود، ترميذى، ابن ماجه، أحمد عن عائشة(له
Artinya : “Dari Sulaiman ibn Musa dari Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka dia berhak mendapat mas kawin dengan sebab si lelaki itu telah menghalalkan kehormatannya. Dan jika mereka berselisih, sultan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah).
34 Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum 8, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2001), Cet. III, h. 39
33
Jadi, keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim sebagai wali nikah
adalah wali nasab tidak ada sama sekali; wali nasab enggan padahal keduanya
sekufu; wali nasab berada di tempat yang jauh sekitar 95 Km dari tempat wanita
yang ingin menikah; wali nasab dianggap hilang atau tidak diketahui
keberadaannya, hidup atau matinya; calon suami juga adalah wali nikah
perempuan; wali nasab dalam keadaan berihram haji atau umrah.35
35http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com, artikel yang diakses pada
tanggal 12 Mei 2010
BAB III
WALI ADHAL DALAM FIQH MADZHAB
A. Definisi Wali Adhal
Kata ‘adhal menurut bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa Arab, yaitu
yang artinya mencegah atau menghalang-halangi.1 (عضل يعضل عضل)
Wali ‘adhal adalah wali yang tidak bisa menikahkan wanita yang telah
baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya, sedangkan masing-
masing pihak menginginkan pernikahan itu dilangsungkan.2
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tanggal 28
Oktober 1987 tentang Wali Hakim: Wali ‘adhal ialah wali Nasab yang
mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah
perwaliannya, tetapi tidak bias atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya
seorang wali yang baik.
Pada dasarnya hak untuk menjadi wali dalam perkawinan ada di tangan
wali aqrab, atau orang yang mewakili wali aqrab atau orang yang diberi wasiat
untuk menjadi wali. Hanya wali aqrab saja yang berhak mengawinkan perempuan
yang dalam perwaliannya dengan orang lain. Demikian pula ia berhak
1Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet. 14, h. 441 2Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993), Cet. I, h. 1339
34
35
melarangnya kawin dengan seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima,
misalnya suami tidak sekufu atau karena si perempuan sudah dipinang orang lain
lebih dulu, atau jelek akhlaknya, atau cacat badan yang menyebabkan
perkawinannya dapat difasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini wali aqrab adalah
yang berhak menjadi wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang lain,
hingga kepada hakim sekalipun.3
Tetapi apabila wali tidak bersedia mengawinkan tanpa alasan yang dapat
diterima, padahal si perempuan sudah mencintai bakal suaminya karena telah
mengenal kafa’ahnya, baik agama, budi pekertinya, wali yang enggan
menikahkan ini dinamakan wali ‘adhal, zalim.4
Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah
alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan
oleh hukum syara’, misalnya anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain
dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau
orang fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat tubuh yang
menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak
3Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002),
Edisi Kedua, h. 120 4Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), h. 120
36
menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali wajib
ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim)5
Seorang wali dapat dikatakan ‘adhal apabila :
a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sekufu
dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik
penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada walinya
maupun tidak;
b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki pilihannya yang sepadan
dengan wanita itu, sedang wanita yang bersangkutan meminta walinya supaya
menikahkan dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengannya.6
Dalam buku yang berjudul 20 prilaku durhaka orang tua terhadap anak, M.
Thalib mengemukakan ada beberapa alasan mengapa orang tua berusaha
menghalangi perkawinan anaknya, yaitu:
1. Orang tua itu melihat calon menantunya itu orang miskin karena
kemiskinanya orang tua khawatir anaknya hidup dalam kesengsaraan;
2. Orang tua mendapat calon menantu dari kalangan rendahan atau kalangan
orang tuanya tidak terpelajar. Orang tua merasa khawatir kelak
5http://kuakalideres.blogspot.com/2009/12/pernikahan Tanpa Restu Wali. (artikel diakses
pada tanggal, 12 Mei 2010 6Abdul Aziz Dahlan Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1340
37
keturunanya menjadi orang bodoh atau tidak memiliki sopan santun
dalam tata pergaulan keluarga bangsawan;
3. Orang tua melihat calon menantunya dari keluarga yang dahulunya
pernah bermusuhan dengan dirinya, karena itu merasa malu dan
direndahkan harga dirin oleh anaknya yang kini hendak menjalin ikatan
suami istri dengan keluarga semacam ini7
Memang tidak diragukan lagi bahwa pangkat, status social, kedudukan
yang tinggi dan beberapa pertimbangan lainya merupakan hal-hal yang dituntut
dan tidak dikesampingkan dalam mencari kan dan memilihkan pasangan untuk
wanita, maka adanya berbagai pertimbangan bukanlah perbuatan yang dicela.
Jika selurhan pertimbangan diatas sudah dijadikan prioritas utama didalam
menjatuhkan pilihan, tanpa melihat pertimbangan agama dan ahlak, maka
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela. Sehingga apabila terdapat
orang tua yang menolak menikahkan anaknya yang disebabkan oleh hal-hal yang
tidak syari, yaitu alas an yang tidak dibenarkan hukum syarat; maka wali tersebut
disebut wali adhal.
Ketentuan tentang masalah wali yang tidak mau menikahkan (Adhal) juga
telah diatur dalam peraturan yang berlaku di Negara kita yaitu peraturan mentri
7M. Thalib, 20 Prilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung: Irsyat Baitus Salam,
1996), cet-ke 12, h. 90-91
38
Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang wali Hakim bada Bab dua
yang berbunyi :
Pasal 2
1.) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.
2.) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.
3.) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.
Pasal 3
Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
Mengenai faktor-faktor yang dibolehkan oleh hukum Islam terhadap orang
tua untuk menolak menikahkan anaknya dengan catatan adanya bukti-bukti yang
kuat yang menunjukan bahwa hal-hal yang menjadi penyebab adhalnya adalah
benar diantaranya adalah:
1. Orang tua mendapati calon menantunya berbeda agama, anak perempuan
muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki dari agama apapun selain
Islam. Bahkan sekalipun laki-laki muslim dengan wanita yang tidak
39
beragama Islam.8 Jika hal ini terjadi orang tua harus merintangi dengan
segala upaya sekalipun ke Pengadilan Agama.
2. Orang tua mendapat calon menantunya berakhlak rusak, misalnya
perempuan pelacur atau laki-laki pencuri, penjudi dan pemabuk. Orang
yang berakhlak seperti itu tidak layak menjadi imam isteri anaknya.
3. Mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami dan
sebagainya.
B. Latar Belakang Wali ‘adhal
Peristiwa wali ‘adhal dalam perkawwinan, tercatat dalam sejarah
perkembangan fiqih islam. Bermula dari kasus/peristiwa yang di alami oleh
seorang sahabat Nabi Muhamad SAW, yang bernama Ma’qil Ibnu Yasar. dari
kasus yang mengenai dirinya inilah kemudian turun satu ayat yang bernada
memberikan keterangan dan ketentuan hukum atas kasus yang mengenai dirinya
itu.
8Departemen Agama RI, h. 142-143. lihat juga Pasal 40 huruf c dan pasal 44 KHI
40
Ayat tersebut yaitu:
⌧
Artinnya:”apabila kamu mentalak istri-istrimu,lalu habis iddahnya,maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,apabila telah terdapaat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.itulah yang di nasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada alllah dan hari kemudian.itu lebih baikbagimu dan lebih suci.allah mengetahui,sedang kamu tidak mengetahui (Al-Baqarah Ayat: 232)
Untuk bisa memperoleh pemahaman yang jelas dan dapat dipertanggung
jawabkan dalam arti/kehendak ayat tersebut, kirannya perlu dikutip jalan cerita dari
peristiwa yang melatar belakangi diturunkan ayat tersebut.
Imam Syafi’i di dalam kitabnya “Ihkamul Qur’an” dan Imam Bukhari di
dalam “Jami ‘Sahihnya”.merriwatkan hadits ma’qil, yang bermula dari al Hasan dari
Ashabul hikayahnya sendiri, yaitu ma’qil Ibnu Yasar, yang matan hadistnya berbunyi
ي انتأف تخي ا لتناآ ال ق ارس ين بلقعى منثد حنسحا ل نع تطقف اتىا حهآر تم ثةعجر هال قاالا طهقل طمث. اهيا اهحكنأي ف لم عنابال (ا هحكنأ الاهللا و التالقف. اهبطخي يانت أيل اتبطا خملا ، فهندم. ةيألا اذ هتلزي نغ فالا قدبا) اهكتحكنأ
41
Artinya : Dari Hasan, bercerita kepada ma’qil ibnu yasar iya berkata: aku punya saudara perempuan yang urusan lamarannya (perkawinan) ada ditanganku, lalu datang kepadamu untuk melamar saudara sepupuku sendiri yaitu anak lelaki dari pamanku. Kemudian aku kawinkan dia dengan nya. (akan tetapi tidak lama) kemudian mentalaknya dengan talak raj’i. kemudian membiarkannya sampai habis massa iddahnya. Kemudian tatkala saudara perempuanku mendesakku menerima lamaran lagi, lalu datanglah ia (untuk kedua kalinya) untuk melamar dan mengawininya kembali. Lalu jawabku : tidak, demi Allah tidak aku kawinkan dengannya untuk selama-lamanya. Kata ma’qil : pada peristiwa inilah turun ayat tersebut (di atas). (Shahih Bukhari : 36)
Imam abu daud dalam riwayatnya ini menambahkan :
اهيا إهتحكنأ فني يمن عترفكف الق
Artinya : ma’qil berkata : kemudian (setelah turun ayat), aku bayar kafarat atas sumpah yang aku ucapkan dan aku kawinkan dia dengan saudara perempuanku (Imam Abu Daud VI : 110)
Kemudian untuk mengatasi kemungkinan adanya pertanyaan yang bersifat
mendasar mengenai status ayat yang memakai ungkapan yang umum dan sebab
nuzul yang khusus. Kiranya patut dikutip ulasan fukaha mengenai hal ini.
Diantaranya adalah mufassir, Fahruddin Arrozi, sebagaimana diungkapkan
Abdurrahman al Jaziri bahwa beliau memberikan keterangan:
ابطح النإا ، فهصوصح بلقع متن اةثدي ح فتلزن ةألي انا
هري غوا أيل وان آاءو ساءس النلضع ين ملكا لام عنوك ين ابيجا هيف
.ةروقص متسيلف
42
Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa saudara perempuan
ma’qil secara khusus, tetapi khitab dari ayat tersebut adalah umum, sehingga
dengan demikian, (kandungan) sama) yaitu menghalang-halangi wanita (untuk
kawin) baik yang menghalangi itu wali atau bukan (karena) maka ayat tersebut
tidak saja terbatas pada para wali, (akan tetapi) juga yang lain). (Abdurrahman Al
Jaziri. 48)
Kiranya tidak berlebihan, kalau pengertian dari kaumuman dari khitab
ayat tersebut dibatasi para wali saja. Artinya para wali secara umum, baik
mengenai ma’qil atau yang lain, asalkan dalam kondisi yang sama yaitu ‘‘adhal.
Pengertian yang sama seperti ini pula yang pernah dijelaskan oleh imam
syafi’i dalam pembelaannya terhadap pendapat beliau sendiri. Antara lain
menjelaskan :
ةآليي اف فاجوزأل ارآي ذل عةآلي اأدتب منأ بدحأى ل عهب شناف تغلب فقلا طذ إجو الزنأل ، اءيلوال للضي علعى ه نمن اهنى ال عةلالد ه لكرشال ولب س النا مهل عفيكا فهي فاس الندعا بوه فلجأل اةأرمال.اهضعي ب فهلضعي ا فهلضع ين أنم
Ada tuduhan sementara orang, bahwa kehendak ayat (diatas) tertuju pada
para suami. Padahal ayat memberikan petunjuk bahwa sesungguhnya syar’i,
melarang melakukan ‘adhal, itu kepada para wali, karena apabila para suami telah
mentalak istrinya dan telah habis masa iddahnya, dia adalah sejauh-jauh manusia
43
dari padanya (bekas istrinya). Bagaimana mungkin orang sudah tidak ada hak dan
bersangkutan bisa melakukan pencegahan terhadapnya. ( Imam Syafi’i. 172)
Demikian kisah wali adhal yang termuat di dalam sejarah fiqih islam,
berikut tanggapan atau ulasan berbagai pendapat para fuqaha’mengenai hal
tersebut. namun demikian, hal yang perlu di perhatikan dan dilindungi oleh
hukum (syara) yaitu hak dan kewajiban antara pihak wali dan pihak orang di
walinya. yang manakala di langgar atau di abaikan akan menimbulkan
kekeliruan atau bahkan ketidak adilan wali ‘adhal. bila ditelusuri melalui sejarah,
adalah wali yang melakukan tindakan yang kalau di nilai tidak adil. karena itu
syari’melarangnya. hal ini pula pernah di ungkap oleh seorang ahli fiqih yaitu
syeh Abdurrahman al jaziri melalui keterangannya:
اجو الزن منهعن من عماههني فاس الناءيلو أباطخى يالع ت اهللاناا م لعنلم اق حاءيلوأل اءالؤله نك يم لولا ، فجو زنهسفنأل هنوضر ينبم ني منتعنا مذ إاءس النلوق يني أفك يان آهنأل هجا وذ هلثم بمهابطح لانآ .نكسفنوا أجوز فجاوالز
Artinya: “sesungguhnya Allah SWT berbicara terhadap para wali dan melarang mereka mencegah para wanita yang hendak kawin dengan seseorang yang mereka sukai sebagai suami merekla sendiri, maka kalau bukan tidak adanya hak para wali untuk mencegah, tidak mungkun berbicara di hadapan mereka (para wali) dengan ungkapan seperti ini, karena bila (wali ada hak) cukuplah pembicaraan Allah kepada wanita dengan “tatkala kamu tercegah dari kawin, maka kawinkanlah terhadap dirimu sendiri “(Abdurrahman aljaziri.47).
44
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, kiranya menjadi penting, dan perlu
kiranya untuk di ungkapkan seberapa hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang di
miliki kedua belaah pihak, yakni wali dari maulanya. Sehingga dari sini akan
Nampak jelas, hak mana bila di cegah akan akan di nilai suatu pelanggaran
(ketidakadilan .dari ini juga dapat di temukan kriteria fiqih mengenai wali ‘adhal
ini.
Pada dasarnya seorang wali mempunyai hak-hak di samping mempunyai
kewajiban-kewajiban,terutama ,yang menyangkut hal-hal mengatur,menjaga,
mengusahakan sampai pada pelaksanaan perkawinan atas dirinya perempuan
yang di walinya.namun di samping hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi si
wali,perempuan yang di walipun tidak sepi dari hak dari kewajiban yang di
milikinya.seorang anak perempuan memang sudah menjadi kewajibannya untuk
patut kepada aturan dan kehendak walinya,jika hal itu sudah menjadi haknya.
Untuk ini bisa di ambil sebagai berikut:
1. Pelanggaran wali atas perempuan yang di walinya kawin dengan :
a. Laki-laki yang berbeda agama (musyrik) hal ini telah di jelaskan
pelarangannya dalam nash alQur’an: pada surat Al-Baqarah ayat: 122
☺
45
Artinya : “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
b. Laki-laki yang tidak sejodoh (sekufu).hal ini di peroleh keterangan dari
hadits riwayat ibnu majjah,al-hakim dan baihaqi dari aisyah ra.bahwa
nabi SAW pernah bersabda:
)الحديث (مهيلوا إحكان واءفآألوا احكان ومكتفطنوا لريخت
Artinya : “Pilihlah wahai para wali untuk anak keturunan (anak perempuanmu),kawinkanlah laki-laki dengan sejodoh,dan kawinkanlah dengan mereka.” (Jalauddin as Suyuti :130)
Juga di terangkan dalam hadits yang lain,yaitu di riwayatkan oleh
attirmidji dari abu hatim al muzanni,yang berbunyi:
ادسف وةنت فنك تهولعف تالوا احكان فهقلخ وهني دنوضر تن مماآتا أذإ
ريبآ
Artinya : “takkala datang kepadamu (untuk melamar kawin)seseorang yang kamu sukai agama dan akhlaknya,maka kamu kawinkan dia,sebab jika tidak kamu lakukan itu tinggal tungguan fitnah yang menimpa selai kerusakan yang besar” (M.Ali As saukani V1:261)
2. Pelarangan/ pencegahan wali karena menurut pengetahuan ada rintangan
syar’i seperti :
46
a. Harus melalui kawin muhallil, karena baginya telah terkena talak tiga
(ba’in kubro), atau
b. Laki-laki yang meminangnya ada hubungan sesusuan (syihabuddin
alqayubi III : 225)
Adapun hak-hak perempuan yang diwali diantaranya:
1. Hak untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk mementukan jodoh yang
melamarnya. Hal ini terlihat pada perempuan yang menjanda. Hal ini
diterangkan oleh Imam Muslim abu hurairah ra. Bahwa nabi pernah
bersabda :
ا هنذ افي آووا ال قنذأتس تتى حركب الحكن تال ورمأتس تتي حميال احكن تال.تكس تنأ : ال؟ ق اهللالوس ريا
Artinya: tidak boleh dikawinkan janda sehingga ia dimintai persetujuannya, dan tidak bisa dikawinkan gadis sehingga ia dimintai izinnya. Tanya sahabat, lalu bagaimana izinnya wahai rasulullah? Jawab beliau, dia berdiam. (Imam Muslim : 594)
Juga di temui pada hadits yang lain dari ibnu abbas,yang berbunyi:
.اهاتما صهنذإ ونذأتس تركبالا وهيل ون ماهسفنب قح أمأليا
Artinya: bagi janda yang lebih berhak atas dirinya dari pada walinya,sedang bagi gadis cukup dengan meminta ijinnya adalah diamnya.(Imam Muslim : 594)
2. Hak untuk menerima atau mengambil/mencegah mahar dari pihak (calon)
suaminya.perkara besar kecil mahar,atau maharnya di tangguhkan (tidak
47
kontan),hal itu tidak mempengarui akan haknya. Bagaimanapun mengenai
mahar adalah hal perempuan juga (untuk menerima atau
membebaskannya).hal ini di dasarkan padafirman allah SWT.yang
berbunyi.
☺
⌧
Artinya: “berikanlah maskawin (mahar)kepada wanita (yang kamu nikahi)sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika merekla menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan)yang sedang baik lagi akibatnya”.(QS An Nisa’:4)
3. Hak untuk menaruh kasih sayang terhadap calon suami yang lazimnya di
lambangkan dengan bentuk kerelaan kepadanya.
4. Hak mengenai cacat badan yang mengenai diri calon suami ini juga
termasuk hak perempuan, untuk meneruskan atau membatalkan.
(sihabudin al Qalyubi 111, 225)
ل العضل إذا دعت بالغت عاقلة إلى آفاء وامتنع الولى من وإنما يحص
.اها لق حضتزويجه وإن آان امتناعه لنقص المهر ينم
48
Demikian contoh hak-hak,baik bagi wali maupun bagi perempuan di
wali. Dengan hak yang di milikinya,seorang wali yang melakukan pencegahan
terhadap perempuan yang di walinya,bila atas dasar-dasarhak yang di
milikinya untk melakukan hal tersebut memang di benarkan,karena
mempunyai hak yang di benarkan syara’. Maka dari itu pelanggaran tadi
tidaklah sebagai tindakan ‘adhal,akan tetapi tindakan yang atas dasar apa yang
sebenarnya (‘adil). (sihabuddin Al Qalyubi,111:225)
Dengan demikian dapat di peroleh gambaran, bahwa latar belakang
wali ‘adhal adalah terpenuhinya hak-hak wali atas perkawinan maulanya,
yang
seharusnya si wali tidak berkeberatan (sudah menjadi kewajiban) untuk
melangsungkan perkawinannya, akan tetapi justru melakukan pencegahan dari
dilangsungkan perkawinannya. Akan tetapi justru melakukan pencegahan dari
49
dilangsungkanya perkawinan. pencegahan inilah yang oleh Fiqih sebagai pencegahan
yang tidak beralasan (tidak ada sebab syar’i) dan ini pula yang di kenal sebagai wali
‘adhal dalam perkawinan. adapun untuk memudahkan dalam mendeteksi wali ‘adhal
ini, maka di susunlah kriterianya.
C. Keriteria wali ‘adhal
Para ulama sepakat, bahwa untuk kriteria wali ‘adhal setidaknnya ada dua
syarat yang dapat di penuhinya, di antaranya adalah : lelaki yang melamarnya
adalah sekufu (sejodoh), dan sanggup membayar mahar mitsil.
Mengenai kesepakatan ulama di atas, pernah di ungkapkan oleh ibnu
rusydi di dalam kitabnya “bidayatul mujtahid”dalam keterangan:
Para ulama sepakat bahwa tidak di benarkan bagi wali untuk mencegah
anak perempuannya (dari kawin) takkala ia berhadapan dengan pasangan yang
sejodoh berikut dengan mahar mitsilnya.(Ibnu Rusydi)9
Begitu juga sayyid sabiq dalam “Fiqhus Sunnahn” juga memberi
keterangan senada:
Di kalangan ulama telah ada sepakat bahwa sesungguhnya tidak ada hak
bagi wali untuk menghalangi maulanya, apalagi melarangnya untuk
9Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asyafi’iyah, 1990) Cet ke-1
50
melangsugkan perkawinan, manakala ada yang menghendaki laki-laki yang
sejodoh (dengannya) dan dengan membayar mahar mitsil.10
Dari dua keterangan di atas walaupun secara tidak langsung mengenai
kriteria wali ‘adhal akan tetapi keterangan tersebut mengandung pengertian,
bahwa seorang wali akan di nyatakan sebagai wali ‘adhal, manakala
pencegahan/pelarangnya terhadap perempuan yang di bawah perwaliannya itu
telah memenuhi dua syarat di atas,yaitu pasangan/laki-laki yang mengawininya
telah sejodoh, serta membayar mahar mitsil.
Demikian penjelasan ulama perihal kriteria wali ‘adhal yang bila di
simpulkan akan terkumpul empat syarat yaitu:
1. laki-laki yang akan mengawini telah sejodoh dengan perempuan yang
akan di kawini
2. Dengan membayar mahar mitsil
3. adanya keinginan(kehendak)dari maula utuk kawin
4. telah saling mencintai (saling rela) antara yang satu dengan yang lainnya.
Dengan terpenuhinya kriteria-kriteria tersebut di atas maka jika seorang
wali menolak untuk mengawinkan orang yang di bawah perwaliannya maka wali
10 Sayiq Sabiq, Fiqh Sunah Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Bandung: PT. Alma’arif , 1997,
cet ke-13 jilid 7, h.121
51
tersebut dinamakan wali ‘adhal,dan hak perwaliannya berpindah kepada orang
lain.
51
BAB IV
PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB TENTANG WALI ‘ADHAL
A. Menurut Madzhab Maliki
Dalam Mazhab Maliki, terutama sekali pada ulama’ nya ada kecendrungan
sama dalam menyampaikan pendapatnya mengenai wali ‘‘adhal ini dengan
Mazhab Syafi’i, dalam pendapatnya dalam kalangan maliki menyatakan
ي ذ الءفك الن مةيالوا الهيل عه لن مهري غو أربجـ الميلو العنا مذإو مآاا الحهرم أعفر ين أا لهل بدصبألي ال إةيالو اللقتنت اله بتضر هرم االا وهيلا إهد رالوقعما ببا سرهظ أنإ فهاعنت امبب سن عهلأسيل.مآا الحجو زمآا الحرم أدعا بهجيوز تن ععنت امنإا فهجيوزتب
Artinya : “Tatkala ada seorang wali baik itu mujbir atau bukan, menghalangi maulanya untuk kawin dengan pasangan yang sekufu lagi pula si maula rela terhadapnya, maka perwalian tidak pindah pada wali yang jauh (wali ab’ad) akan tetapi berhak bagi si maulanya untuk melaporkan perkaranya kepada hakim, dengan maksud untuk mempertanyakan kepada si wali mengenai sebab sebab itu dan masuk akal, maka hakim menyerahkan urusan maula tersebut kepadanya, akan tetapi kalau tidak, hakim memerintahkan pada si wali membangkang untuk mengawinkannya setelah di perintahkan hakim, maka hakim bertindak untuk mengawinkannya.1
Dalam keterangan lain di jelaskan :
1 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus
Syakhsiyyah, Jilid IV, Riyad, Muktabah al Riyadul Hadisah, TT, h.35
52
هرورج منأل عنمل لداص قكل ذلص فهن اهيل عتبث أن االاض عربنع يمناو اس النقغش اوه ويلوا الهملع يةحلصم لد قل بلضع الىل علدي الباطخال جو زم ثجيوزالت بمآا الحهرم أةر مول ورر الضدص قققح تنا وهثني بلع .ذغف ي لمنا
Artinya: “Sesungguhnya seorang wali di nyatakan ‘‘adhal itu manakala telah pasti bahwa apa yang dia lakukan memang dengan maksud mencegah/melarang maulanya dari kawin, sebab kalau hanya untuk menolak orang yang melamar itu tidak bisa menunjukan bahwasanya ia ‘‘adhal, bahkan terkadang untuk menarik kemaslahatan yang diajarkan wali untuk maulanya apapun dia adalah sesayang-sayangnya manusia terhadap perempuan, akan tetapi bila nyata-nyata dengan maksud merusak dengan sekali saja, hakim memerintah utuk mengawinkannya, dan kalau tidak sanggup mengawinkan, maka hakimlah yang mengawinkan.2
Lebih Dari itu, dalam keterangan salah seorang pendukung dari mazhab ini
yaitu Ibnu Rusydi juga di dapati keterangan yang sama dengan apa yang telah di
sebutkan di muka yakni mengenai penentuan problema berikut upaya
penyelesainya yang sama-sama melalui seorang hakim, akan tetapi dalam Ibnu
Rusydi tersebut menagani pergantian wali tidaklah dilakukan oleh hakim, akan
tetapi oleh wali berikutnya selain wali akrab, hal ini tampak pada keterangan:
ا هناا وهلث ماقدصي وءفى آل اتعارذ إهتيلو لضع ين أىلول لسلي بألاا داعا مهجوزي فانطلى السلا اهرم أعفرت
Artinya: “Bahwa bagi wali tidak berhak untuk menghalangi anak yang di walinya (dari kawin),manakala ia menghendaki pasangan yang telah sekufu dan dengan mahar mitsilnya. (maka bila si wali mecegah ) hendaknya bagi perempuan yang di wali melaporkan perkaranya pada hakim, dan
2 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus
Syakhsiyyah, h.35
53
kemudian untuk perkawinannya di lakukan oleh wali berikutnya selain bapa (aqrab).3)
Pendapat yang di sampaikan oleh Ibnu Rusydi, menurut keterangan di
dasarkan pada petunjuk hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A yang di
antaranya menyebutkan
ه لىل و الن مىل وانطلالسوا فرجت اشنإف...
Artinya: “Maka apabila terjadi sengketa,hakim adalah wali bagi seorang yang baginya tidak punya wali (Ibnu Rusydi:7)
Dengan dapat diperoleh kesimpulan umum, bahwa dalam mazhab maliki
bagaimana problema dan penyelesaian wali ‘‘adhal tentu melihat seorang hakim,
dan bagi hakim berkewajiban menggantikannya (sebagai jalan menuju jalan
penyelasiannya) bila dalam wali yang bersangkutan tetap dalam sikap ‘‘adhalnya.
Namun demikian ada di antara ulama’dari mazhab ini yang berpendapat lain,
yakni melalui wali kerabat yang lain (selain wali akrab), guna mencapai
penyelesainya.
3 Abi Abdillah Muhammad Al Andalusi asy Syahrir bin Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, juz II, (Beirut, darul Fiqr,TT), h.15
54
B. Menurut Madzhab Hambali
Di dalam Mazhab Hambali di ceritakan tentang Ahmad bin Hambal bahwa
beliau pernah memberikan penjelasan mengenai wali ‘‘adhal ini. di satu riwayat,
bahwa wali yang ‘‘adhal terutama yang ‘adhal itu adalah wali aqrab, maka
dengan demikian perwalian berpindah kepada wali ab’ad. sedang di sisi yang lain
menjelaskan, bahwa perwalian menjadi pindah kepada hakim.4
Namun dengan demikian, wali ‘adhal berikut upaya penyelesaiannya, telah di
tanggapi/di bahas oleh kalangan mazhab Hambali (Hanabilah) ini, walau tetap
tidak melepaskan kemungkinan perbedaan pendapat di antara mereka. Walau
demikian Syeh Abdurrahman al Jaziri sebagaimana ada Dalam keterangannya,
yakni hampir sama dengan pendapat hanabilah mengenai wali ‘adhal ini,
pendapat beliau:
ن ما لههردا قمب وه بتيضى رذ الجو الزن مةيالوا الهيل عهل ن معنم ينا لض عال فكل ذنو دنا مم ارثآأ فنين سعس تتغلا بذا إه مألـ لحلص يرهم ىلوا الهعنى متلا اجو زراثبى يذ الوه فماآحل للاضع الن مقح اللقتنتو. اهل .هري غو أربج مان آاءو سجو الزنم
Artinya: “Apabila ada seseorang yang mempunyai hak perwalian (wali) mencegah maulanya dari kawin dengan calon (suami) yang telah ia cintai, dan dengan memberi mahar, dan dia telah mencapai umur sembilan tahun bahkan lebih (ia telah baligh), sikap wali tersebut tidaklah sebagai ke’adhalan wali terhadap maulanya .(dan bila wali itu ‘adhal) maka perwalian berpindah kepada hakim, karena dialah yang berkewenangan untuk mengawinkan atas diri maula yang di wali mencegah dari kawin, baik itu wali mujbir maupun bukan mujbir5
4Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa
Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 368. 5 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus
Syakhsiyyah, h.41
55
Sebagaimana telah disinggung di atas, mazhab hambali pun ada di antara
ulama yang cendrung berpendapat lain. yaitu Ibnu Qadamah, dalam
menyampaikan pendapatnya mengenai wali ‘adhal beliau cendrung untuk
upayanya penyelesaian wali ‘adhal, dengan beberapa pertimbangan terutama
berdasarkan petunjuk hadits ‘Aisah RA, tidak melepaskan keterlibatan seluruh
wali (dari wali aqrab) yang ada. Jadi jika terjadi ke’adhalan pada diri wali, dalam
hal ini adalah wali yang paling dekat (wali aqrab) maka untuk perwaliannya di
gantikan oleh wali berikutnya yang lebih jauh (ab’ad), dan seterusnya hingga
habis para wali kerabat, dan seterusnya baru pindah ke wali hakim. dalam
pendapatnya tersebut Ibnu Qadamah menjelaskan sebagai berikut:
لضعال بقسف يهنأل ونجوا لم آدصبأل اابرقال اةه جن مجيوز الترذص تهنا انلو انطللس اهلوا، قن لةج حثيدحال ومآا الحجو زمهل آاءيلوال الض عنإ فهن علقتنتف لاونت يعم جريم ض"وارجتشا" نال .لك للضا عذاا مهذهو. ه لىلو الن مىلولكال
Artinya: “Menurut kami (Ibnu Qadamah) bahwa terhalangnya kawin oleh sebab pencegahan wali aqrab, (dengan sendirinya) pindah untuk kepentingan perkawinan itu kepada wali ab’ad. hal ini sebagaimana bila wali (aqrab) itu lagi pula perbuatan mencegah kawin (‘adhal) itu menjadi fasiq bagi wali (yang bersangkutan), karena itu pindahlah perwalian dari wali aqrab tersebut kepada wali yang lain (ab’ad). dan bila seluruh wali telah ‘adhal, barulah pindah kepada hakim. adapun hadits yang menjadi landasan kami adalah “sultan (hakim) adalah wali bagi seseorang yang baginya tidak mempunyai wali” hal ini adalah urusan wali bagi perempuan dan kemungkinan bagi hakim untuk menjadi wali, manakala dari seluruh wali itu ‘adhal, karena ada penjelasan hadits “maka apabila
56
mereka bersengketa”, damir jama’(sebagian ada penjelasan tadi) menarik pengertian keseluruhan, (bukan sebagiannya).6
لوص حرذع تبرقألان ألو. اهيل وانطل السنوك يال فبرقألا اهلضا عذاو هالا حهنألو ات مو أتجوا لم آاتبصع الن مهيل ينم لةيالو التبثت فهن مجيوزالتلصألا آدعبأل لكل ذانك فبرقأل اريغ لجيوزا التهي فزوجي
Artinya: “Apabila wali aqrab mencegah (‘adhal) terhadap maulanya, terhadap kawin, maka hakim tidak bisa menjadi walinya, karena wali aqrab telah menjadi halangan dari dirinya sendiri terhadap perkawinan. Maka dengan demikian beralihlah perwaliannya kepada wali yang berikutnya (dari ‘asabah). hal ini terjadi sebagaimana wali aqrab itu gila atau bahkan mati, sehingga dengan demikian bolehlah perkawinan di lakukan atas diri maulanya, oleh wali selain aqrab. maka demikian, bagi wali ab’ad (menduduki) sebagaimana wali asli (wali aqrab).7
Demikian penjelasan/ulasan dari mazhab Hambali (hanabilah) mengenai wali
‘adhal berikut upaya penyelesaiannya. Kiranya dari keterangan tersebut dapat di
peroleh kesimpulan bahwa dalam mazhab Hambali dalam hal ini ulamanya
cendrung dalam proses dan penyelesaian wali ‘adhal dengan melalui seorang
hakim, dan hakim pula yang tampil sebagai penggantinya manakala ia (wali yang
bersangkutan ) tetapi dalam ke’adhalannya. Namun demikian ada di antara
mereka yang berpendapat lain, yakni penyelesaian wali ‘adhal dengan melalui
wali kerabat yang lain (walaupun wali yang jauh sekalipun), baru kemudian
pindah ke hakim, setelah mereka tidak bisa di harapkan untuk tampil sebagai
wali.
6Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kitabil Ilmiyah, TT, hl. 368.
7 Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 370.
57
C. Menurut Madzhab Hanafi
Di dalam mazhab hanafi juga telah di dapati keterangan mengenai wali ‘adhal
tersebut. Namun demikian, keterangan yang dapat di ungkapkan di sini adalah
keterangan dari para ulama’mazhab tersebut.
Sebagaimana di ungkapkan oleh Abdurrahman al Jaziri melalui kitabnya,
bahwa menurut Ulama’ Madzhab Hanafi adalah wali aqrab yang melakukan
pencegahan terhadap maulanya dari kawin dengan pasangan yang telah sekufu
berikut dengan membayar mahar mitsil, maka jalan penyelesaianya di sebut sama
halnya dengan penyelesaian atas wali yang ghaib yang sulit di temukan dan di
datangkan. Demikianlah itu perwaliannya tidak pindah kepada wali hakim, selagi
masih ada wali yang lain yaitu wali ab’ad.(Abdul al Jaziri IV :41).
Lebih lanjut Syekh Abdurrahman al Jaziri mengutip penjelasan mereka
(hanafiah), mengenai wali ‘adhal tersebut sebagaimana penjelasannya sebagai
berikut:
رهما بهبلاطذ اءفك الاجوزأل احلص يتى الةريغ الصهتن ببأل اعنا مذإف خأللالا ودج واندجالا آهيلى يذل لةيالو اللقتنت والاض عن علثمالا،ذكه وقيقالش
Artinya: “Apabila ada seorang bapak mencegah (melarang) anak perempuannya
yang masih kecil, dan ia telah patut untuk di kawinkan, lagi pula
pasangan 6 calon suami telah sekufu dan dengan membayar mahar
58
mitsil, maka dengan demikian wali yang bersangkutan (bapak) adalah
‘adhal dan dengan demikian pula perwalian menjadi pindah kepada wali
berikutnya, seperti kepada kakek, jika ada dan kalau kakek tidak ada
maka kepada saudara sekandung dan seterusnya.8
D. Menurut Madzhab Syafi’i
Pembahasan mengenai problema wali ‘adhal berikut penyelesaiannya, di
dalam madzhab Syafi’i kedua sama-sama melibatkan seorang penguasa (Hakim)
sebagai pengendalinya. Adapun mengenai keterlibatan penguasa/ hakim selaku
pengendali kedua hal tersebut maksudnya adalah dialah yang berwenang untuk
memproses dan mengusut permasalahan wali yang berkondisi ‘adhal tersebut
berikut mengusahakan dengan upaya apa yang mengantintisipasi dan
penyelesaian munculnya permasalahan tersebut. hal ini di lakukan
penguasa/hakim tentunya setelah ada laporan/pengajuan dari maula wali ‘adhal
tersebut. (sebagai pihak yang di perlukan tidak adil/di rugikan).
Mengenai keterlibatan seorang hakim terhadap wali ‘adhal tampak pada
ulasan seorang ulama’dari mazhab syafi’i, yakni Imam Jalaluddin al Mahalli
dalam satu kitabnya ”Sarh minhajuattalibin”, yang antara lain menerangkan:
8 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus
Syakhsiyyah, h.41
59
ني بجوز التن مىلو النوم ينأ بجوزي لماآح الدن علضع التوب ثن مد بالو و أررقت لهيل عةنيب الامقتو أانراض حباطحال وةأرلما وه بهرم أدع بهيدي لاضعفال ا وضرف اللص حدقف جو زن إهنإ فرضا حذا ففلخى باروت
Artinya: “Di haruskan dalam mencari kepastian bahwa seorang wali itu ‘adhal adalah di muka hakim setelah di perintah dan nyata-nyata menolak untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan perempuan (yang menjadi maulanya) berikut laki-laki yang melamar juga hadir, atau juga ia di datangkan saksi untuk memperkuat atau menyembunyikannya (ini bila ia tidak hadir), dan setelah di hadapkan hakim, lalu si wali bersedia mengawinkannya. tercapailah tujuan untuk mengantisipasi wali ‘adhal akan tetapi sebaliknya bila ia tidak bersedia mengawinkan maka nyatalah ia sebagai wali ‘adhal.9
Demikian keterlibatan seorang hakim dalam menghadapi wali ‘adhal berikut
upaya awal untuk mengansitipasinya, namun demikian bila dipahami, bahwa
upaya tersebut akan membawa hasil manakala si wali kembali dari ‘adhalnya
(bertaubat), yaitu bersedianya untuk melangsungkan akad perkawinan dalam
kaitan ini, pernah di ulas oleh seorang ulama’ Mazhab Syafi’i juga, yaitu al
Qalyubi, dalam keterangan menjelaskan:
م ثلضع الماآح الجو زول وه بهتيل ودوعت فهجيوزت بلصح تلاضع الةبوت ال البق يم لمآا الحجيوز تلب قجوز ولضعلا ن ععج رهن اىلوى العاد .هنيبب
Artinya: “Taubat seorang wali yang ‘adhal itu dapat terwujud dengan bersedianya untuk mengawinkan, dan dengan itu pula kembali perwaliannya, dan andai kata si hakim yang melangsungkan perkawinan karena ke ‘adhalan wali, lalu si wali mengaku bahwa dirinya telah menarik kembali dari ‘adhalnya dan akan
9 Jalaluddin bin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, Syarh Minhajut Talibin, Juz III,
(Surabaya, Maktabah Nabhan, 1974) , cet IV, h.225
60
melangsungkan perkawinannya sebelum di langsungkan oleh hakim, hal tersebut yakni pengakuan kembali wali, tidak bisa di terima kembali kecuali dengan saksi-saksi.10
Dari ulasan di atas semakin terang, bahwa langkah awal yang di sajikan
ulama’ fiqih dalam menghadapi wali ‘adhal tersebut, yakni melalui hakim agar
wali yang bersangkutan menarik kembali (taubat) dari ‘adhalnya, bagaimanapun
langkah awal tersebut dapat di pahami sebagai wujud dari analog terhadap sejarah
masa lalunya, yaitu sejarah wali ‘adhal yang terjadi pada masa Rasulullah, dan
pelakunya adalah Ma’qil Ibnu Yasar. dalam proses penyelesaian atas sikap
‘adhalnya, Ma’qil tidak keberatan dan menarik kembali (taubat) dari ‘adhalnya.
hal itu di lakukan di hadapan dan setelah ada fatwa yang bernada melarang dari
Nabi SAW. (Selaku Hakimnya) atas perbuatannya yang tercela tersebut,
pernyataan yang menggambarkan taubatnya Ma’qil secara terang di muat dalam
suatu riwayat hadits yang di keluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Abu
Qadamah mengutip sebagaimana tersebut:
اهيإا هجوز فالق. اهللالوسار يلعف أآلن اتلقف...
Artinya: “Lalu aku katakan, sekarang akan aku kerjakan wahai Rosulullah (sebagai pernyataan taubatku) dan kata perawi, lalu dia kawinkan maulanya dengal bakal suaminya.11
10 alaluddin bin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, Syarh Minhajut Talibin, Juz III, h.225
11 Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa
Syahrul Kabir juz VII, h. 369.
61
Namun demikian, bila terjadi pembangkangan dari wali ‘adhal ini, artinya
cara awal yang ditempuh hakim belum dapat diantisipasi sikap ke’adhalan wali
tersebut. Menurut Madzhab ini, maka hakim yang telah mengawinkan atas diri
maula dari wali ‘adhal tersebut atau mewakilkan kepada orang lain untuk
mengawinkan. Mengenai hal ini, pernah dijelaskan langsung oleh Imam As
Syafi’i melalui kitabnya “AL UM” yang antara lain memberi keterangan :
. هرم الاض عىلو النإ فرظن تنوا أرجت اشن إانطلى السل عنإوا يل ول آو يو اجوز ين أانطلى السلع وهعن مقح فجو زنإ فجيوزالتبجوزي فهريغ
Artinya: “Bila para wali terjadi sengketa, hendaknya seorang hakim
memperhatikan, bahwa kalau saja si wali itu seorang wali yang ‘adhal, maka diperintahkan untuk sanggup mengawinkan, maka apabila wali mengawinkan, habislah masalahnya, tetapi apabila wali tidak mau mengawinkan, maka teranglah pencegahan atau pembangkangannya, dan kewajiban bagi wali hakim untuk mengawinkan atau mewakilkannya kepada orang (wali) lain untuk mengawinkan.12
Dalam keterangan yang lain Imam Syafi’i menjelaskan bahwa perpindahan
wali/pergantian wali atas diri wali ‘adhal kepada hakim. Ini terjadi manakala yang
‘adhal itu dari wali dekat (akrab). Sedang wali yang lain yaitu wali yang (ab’ad)
tidak bisa mengganti pengganti, dengan kata lain ditangguhkan, karena hakim
sajalah yang berwenang untuk penggantinya. Lebih jauh dijelaskan oleh beliau
melalui keterangan:
ةابرقى ال فهيلى يذ الىلوا الهجوز يال فجيوز التن معنتماا فراض حىلو الانآ نإو ن أهيل عقح فانطلى السل اكل ذعفر انإ فهمك حوجى يذ الانطل السالا اهجوز يالو
12Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’i, AlUmm, jilit III, Juz V,(Beirut,
Darul Fiqri, 1983), cet-II, h.14
62
Artinya: “Tatkala seorang wali itu hadir, lalu dia membangkang dan melangsungkan perkawinan, maka tidak bisa melangsungkan perkawinan maulanya wali yang lain dari golongan kerabat, tetapi hakim sajalah yang berwenang (berhak) mengawinkannya. Dan ini setelah ada laporan (dan pembuktian) oleh hakim. Di antaranya hakim berhak mempertanyakan mengenai wali (yang ‘adhal tersebut), kalau saja ghaib, maka beralih mengenai pihak yang melamar. Maka, kalau saja hakim telah menerima laporannya (dan telah membenarkan laporan tersebut) maka hakim (memerintahkan) untuk mendatangkan wali yang lebih dekat (wali akrab) dan kerabat lain dari keluarganya. Lalu hakim mempertanyakan : apakah kamu sekalian berkeberatan sekali (untuk mengawinkan)?, kalau saja mereka menjawab berkeberatan , maka hakim harus memandang kalau saja bagi si pelamar dipandang telah sekufu, sedangkan bagi si perempuan telah rela untuk menerimanya, maka hakim memerintahkan kepada mereka untuk mengawinkannya. Dan kalaupun hakim tidak memerintahkan mereka (terlebih dahulu), hakimpun berkewenangan untuk mengawinkannya, karena kalau saja terjadi ada seorang wali yang hadir lalu ia membangkang untuk mengawinkan maulanya dengan pasangan yang disukainya, maka hakim juga akan mengawinkannya dengan pasangan yang disukai tadi.13
Adapun mengenai perwakilan seorang hakim, juga telah diterangkan beliau
melalui keterangannya :
ا ذ إهجيوز تدج وهامق مهليآ وامق لآوا فراض حهن مبرق أى الذ الىلو الان آنإو تأرمى الضر تهجوزى فأ رن مجوز ين أهلآ وو أهجوز فهنيص بلج رجيوزت بهلآو ءالآو الءار وهرما بدص تهنا مذ هانآ وزجي ا لمؤف آري غجو زنإ فهنيص بهب
13 Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’i, AlUmm, jilit III, Juz V, h.14
63
Artinya: “Kalau wali yang bukan akrab (artinya wali ab’ad) itu hadir, lalu diangkatnya menjadi wakil (oleh hakim), maka dengan demikian perwakilannya menduduki kedudukan hakim, dan boleh mengawinkan. Hal tersebut diperbolehkan (mengingat) diperbolehkannya menjadi wali untuk mengawinkan orang laki-laki yang telah tertentu (adanya), atau menjadi wakil untuk mengawinkan atau mengawinkan dengan seorang yang dia lihat, dan betul telah mengawinkan dengan seseorang yang telah sekufu dan si perempuan telah menerima (rela) terhadap seseorang tadi. Akan tetapi bila seseorang tadi tidak sekufu maka perkawinannya tidak boleh dilangsungkan, karena dengan tidak sekufu itu menjadi tertolak perkawinannya begitu pula perwakilannya kepada para wakil, itu juga tertolak.14
Namun demikian ada kecendrungan dari kalangan mazhab Syafi’i, bahwa
untuk menyelesaikan wali ‘adhal tidak saja terkuasai oleh hakim sebagai pihak
yang berkewenangan untuk menggantikannya, akan tetapi juga wali yang jauh
(wali ab’ad) pun berkewenangan untuk menggantikannya, dengan syarat
ke’adhalannya yang di lakukan wali akrab telah berkali-kali, yaitu tiga kali
berturut –turut atau lebih, sedangkan bagi si hakim belum sanggup melakukan
penggantiannya (belum melangsungkan perkawinan bagi maulanya) mengenai hal
ini di ungkapkan oleh seorang wali fiqih masa kini, yakni Syeh Abdurahman al
Jaziri dalam kitabnya “kitabul fiqih ‘Alal Madzahibin Arba’ah” mengungkapkan,
kalangan mazhab Syafi’i berpendapat:
أجل تنا أه لناا فهعنم ولثم الرهلم انود بول واءفك النا مهجوز ين اهن متبلا طذإف و أةر معنالم بةيالو ال فىطقس يم لىلو الق حنأل ىللو ان عةابيا نهجوزي فماآحى اللا كلذ بنوك يهنا فرثآأ فاتر مثالا ثهلضاعذإ، فىلو النا عبائ نماآح النوكي فنيترم دع بك للقتنتوةيالوى ال فهق حطقسيا فروظح مبكترا دا قاسقف
14 Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’i, AlUmm, jilit III, Juz V, h.15
64
Artinya: “Bahwa apabila seorang wali melakukan pencegahan terhadap perempuan di walinya dari perkawinan, sedangkan dia menghendaki untuk di langsungkan perkawinan tersebut, mengingat pasangannya yang telah sekufunya dan walaupun dengan mahar kurang dari mahar mitsil, dari itu ia berhak untuk melaporkan perkaranya kepada hakim, kemudian hakim mengawinkannya sebagai penggantinya dari wali (yang bersangkutan) karena hak bagi si wali tersebut belum gugur lantaran pencegahannya yang di lakukan baru sekali atau dua kali saja, maka hakim lah yang menggantikannya. Akan tetapi pencegahannya itu sampai berkali-kali (tiga kali atau lebih), maka ialah yang menjadi fasiq dan di nyatakan telah melakukan perbuatan terlarang dengan demikian gugurlah haknya dan pindahlah perwalian kepada wali lain yaitu wali ab’ad.15
Demikianlah penjelasan dari mazhab Syafi’i berikut para ulama’ pengikutnya
mengenai problema wali ‘adhal berikut upaya penyelesaiaannya, dan dari
penjelasan tadi atas , dapat di peroleh kesimpulan bahwa dalam mazhab Syafi’i
wali ‘adhal akan tampak dan nyata sebagai suatu problema dalam perwalian,
manakala telah di hadapkan dan di buktikan oleh hakim (yang menanganinya)
mengenai ke’adhalannya tersebut menurut mazhab ini, hakim berkewajiban untuk
mengupayakan agar perkawinan maulanya bisa berlangsung pertama dengan
intruksi (perintah) untuk mencabut ke’adhalannya yaitu dengan sanggup
melangsungkan perkawinannya, dan kalau saja dia masih mecegah
(membangkang) maka kewajiban bagi hakim untuk menempuh cara kedua yaitu
penggatian wali.
15 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus
Syakhsiyyah, h.40
65
Dalam hal ini akan di lakukan oleh hakim sendiri untuk mengawinkannya,
karena dalam hal wali ‘adhal tidaklah gugur hak perwaliaannya, maka dari itu
hakim sajalah yang berhak menggantikannya.
Adapun perpindahannya pada wali yang lain (wali kerabat), pendapat ini
dapat di pahami sebagai kemungkinan dari ulah hakim yang kurang bisa
mengantisipasi kondisi wali yang ada tersebut, sehingga membawa akibat yang
lebih buruk, yaitu perbuatan terlarang dan gugurnya hak perwalian.dengan
demikian pindahlah hak perwalian tidak pada hakim akan tetapi pada wali yang
lain (wali ab’ad).
E. Relevansinya Pendapat empat Imam Madzhab fikih tentang wali adhal dan
dengan hukum Perkawinan di Indonesia
Pada bagian ini penulis akan mengaitkan pendapat dari empat mazhab
mengenai perkawinan pada umumnya dan perwalian mengenai wali ‘adhal pada
khususnya dan relefansinya terhadap hukum islam Indonesia pada umumnya
beberapa pendapat para imam mazhab mengenai wali ‘adhal dapat menjadi
beberapa kelompok di antaranya:
Kelompok yang menyatakan bahwa masalah wali ‘adhal itu di tentukan di
muka hakim. Dan bila terjadi penggantinya wali atasnya, maka hakim pula yang
menggantikannya, bukan wali yang lain dari kerabat, kecuali kalau si hakim
mewakilkannnya,
66
Adapun ulama yang berpendapat demikian, di antaranya adalah: imam as-
syafi’i dan para ulama dari mazhabnya (syafi’iyah),dan ulama dari mazhab Maliki
(malikiah) dan ulama dari mazhab Hambali (hanabilah)
Kelompok yang menyatakan, bahwa wali ‘adhal itu di tentukan di muka
hakim. Akan tetapi bila terjadi penggantian wali atasnya, maka di lakukan (di
gantikan ) oleh wali yang lain dari kerabat,kecuali kalau sudah tidak lagi wali dari
kerabat yang sanggup menjadi wali, maka hakim yang menggantikannnya.
pendapat ini adalah pendapat yang di sampaikan oleh Ibnu Rusydi dari mazhab
maliki, Ibnu Qadamah dan mazhab hambali dan umumnya ulama’ dari mazhab
hanafi.
Ketentuan tentang masalah wali yang tidak mau menikahkan anak
perempuan atau yang disebut wali ‘adhal dalam konteks keindonesiaan pendapat
empat Imam Mazhab mengenai hal ini dapat terealisasikan pada Kompilasi
Hukum Islam Indonesia yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu
peraturan mentri Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang wali
Hakim pada Bab dua yang berbunyi :
Pasal 2
1.) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia
atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak
mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak
67
memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau ‘adhal, maka
nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.
2.) Untuk menyatakan ‘adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal
ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal calon mempelai wanita.
3.) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya Wali
dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan
menghadirkan wali calon mempelai wanita.
Pasal 3
Pemeriksaan dan penetapan ‘adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita
warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan
oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
Pada dasarnya Negara Indonesia menganut ajaran mazhab empat hal ini
berpengaruh pada ketetapan dalam hal pernikahan yang berdampak pada
ketetapan pemerintah mengenai perkawinan No 1 tahun 1974 dalam Kompilasi
Hukum Islam Indonesia.
68
BAB V
A. Kesimpulan
1. Pada penulisan skripsi ini selanjutnya penulis dapat simpulkan yang
merupakan jawaban rumusan permasalahan yang penulis buat adapun
kesimpulan yang didapat adalah sebagaimana berikut: beragamnya pendapat
imam mazhab fikih islam mewajibnya adanya wali dalam perkawinan karena
merupakan salah satu syarat syahnya suatu perkawinan dalam hokum islam
baik itu dari hokum positif di Indonesia pun mensyaratkan adanya perwalian
mengenai wali adhal dalam hal ini dapat di gantikan oleh wali hakim.
2. Empat imam mazhab fikih tentang wali adhal dan relevansinya dengan hokum
perkawinan di Indonesia pada bagian ini penulis mengaitkan pendapat empat
imam mazhab mengenai perkawinan dan perwalian wali adhal pada
khususnya dan relevansinya terhadap hokum perkawinan di Indonesia pada
umumnya beberapa pendapat para imam mazhab mengenai wali adhal dapat
menjadi beberapa kelompok di antaranya:
adalah:imam Asyafi’i dan para ulama dari mazhabnya(syafi’iyah),dan ulama dari
mazhab maliki(malikiyah)dan ulama dari mazhab hambali(hambaliyah).
Kelompok yang menyatakan,bahwa wali adhal itu di tentukan di muka
hakim.akan tetapi bila terjadi penrgantian wali atasnya,maka di lakukan (di
69
gantikan)oleh wali yang lain dari kerabat,kecuali kalau tidak lagi dari wali
kerabat yang sanggup untuk menjadi wali,maka hakim yang
menggantikannya.pendapat ini adalah pendapat yang di sampaikan oleh ibnu
rusydi dari mazhab maliki,ibnu Qadamah dan mazhab hambali dan umumnya
ulama dari mazhab hanafi.
Ketentuan tentang maslah wali yang tidak mau menikahkan anak
perempuan atau yang di sebut wali adhal dalam konteks keindonesian pendapat
empat imam mazhab mengenai hal ini dapat terealisasikan pada kompilasi hokum
islam Indonesia yang telahdi atur dalam peraturan yang berlaku yaitu mentri
Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang wali Hakim pada Bab dua
yang berbunyi :
Pasal 2
1.) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia
atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak
mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak
memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau ‘adhal, maka
nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.
2.) Untuk menyatakan ‘adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal
ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal calon mempelai wanita.
70
3.) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya Wali
dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan
menghadirkan wali calon mempelai wanita.
Pasal 3
Pemeriksaan dan penetapan ‘adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita
warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan
oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
Pada dasarnya Negara Indonesia menganut ajaran mazhab empat hal ini
berpengaruh pada ketetapan dalam hal pernikahan yang berdampak pada
ketetapan pemerintah mengenai perkawinan No 1 tahun 1974 dalam Kompilasi
Hukum Islam Indonesia.
B. Saran-saran
Dengan adanya kemungkinan seorang wali melakukan pencegahan
terhadap maulanya untuk melangsungkan perkawinan,kiranya pula untuk di
sarankan khususnya kepada pihak yang mempunyai kewenangan untuk
menangani hal tersebut,yaitu hakim,untuk melakukan hal-hal :
1. kepada kepala kantor urusan agama yang berwenang,serta pejabat yang telah
di beri wewenang oleh pemerintah,khususnya di lingkungan kantor urusan
agama (KUA) di sarankan dalam melangsungkan suatu pernikahan tetap
71
berpegang teguh bahwa wali merupakan rukun mutlak yang harus di penuhi,
karena di dalam suatu perkawinan tanpa adanya wali nikah maka nikahnya
tidak sah,
2. Hendaknya seorang hakim mengintruksikan (mengajak)kepada wali yang
melakukan adhal itu,untuk menarik kembali (taubat)dari adhalnya, yakni
untuk sanggup melangsungkannya perkawinan sebagaimana yang di
kehendaki maulanya.
3. Bila si wali tetap bertahan (membangkang) dengan penolakannya untuk
melangsungkan perkawinan maulanya maka hakim sendiri yang
berkewajiban untuk mengambil alih perwaliannya,demi berlangsungnya
perkawinan atas diri perkawinan maulanya itu,dan di sinilah peranan hakim,
selaku wali bagi seorang yang tidak ada walinya.
1. Penutup
Dengan terselesainya penulisan skripsi ini yang mungkin masih
memperlihatkan kekurangan, namun penulis amat bersyukur yang teramat
dalam bahwa dengan kemampuan terbatas ini mampu menyelesaikan
penulisan satu karya tulis yang cukup menarik, walau terasa sulit dan
melelahkan.
Dengan menyadari sedalam-dalamnya akan ada kemungkinan
terjadinya kekhilafan dalam skripsi ini baik dari segi sisi analisis maupun sisi
72
penyimpulan dari pembahasan yang ada memang terjadi tanpa sepengetahuan
penulis, kiranya menjadi kewajiban sidang pembaca yang budiman untuk
memperbaiki dan meluruskannya.
Maka dengan itu penulis membuka dengan lapang dada akan
datangnya saran kritik konstruktif demi perbaikan atau penulisan skripsi ini.
Akhirnya sebagai kata penutup dari penulis, dengan terselesainya
penulisan skripsi ini,penulis berharap semoga skripsi ini dapat membawa
manfaat besar, khusus bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. amin ya
robbal alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya Departemen Agama RI
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majelis al-A’la al-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972), Cet. IX.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: H. Dakarya Agung, 1979).
Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Autar, Syar Muntahal Akbar, Juz IV,(Beirut Darul Fikri, TT).
R. Subekti. R. Tjirosudibyo, Terjemah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1999), Cet. Ke-29.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2004).
Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998).
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004).
Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut Masyriq, 1975).
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), (Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1997), Cet. Ke-13, jilid 7.
Kamal Muhtar, Azas-azas dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. II.
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III.
Departemen Agama R.I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2004).
72
73
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 89, lihat juga Aminur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974, dan KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. III.
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: ELSAS, 2008), Cet. I.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Terj), (Semarang; CV. Asy-Syifa, 1990), Cet. I.
Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), h. 1761
Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Hijr, 1413 H / 1992 M), jilid. 9.
Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Khifayatul Akhyar, (Terj), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. I.
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981).
Departemen Agama RI. Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1985/1986).
Abdurrahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), Cet. I.
Syekh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. I.
Daaruquthni, Sunan Daaruquthni, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), jilid III.
http://kuakalideres.blogspot.com/2009/12/pernikahan Tanpa Restu Wali. (artikel diakses pada tanggal, 12 Mei 2010
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, h. 80, lihat juga Departemen Agama RI.
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. I.
74
Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), Cet. Ke-1.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, (Jakarta: Hudakarya Agung, 1996), Cet. 15.
Abi Abdullah Muhammad Ibnu Yaziida Quzwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-Fikr), Jilid I.
http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com, (artikel di akses pada tanggal 12 Mei 2010
Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum 8, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. III.
http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com, artikel yang diakses pada tanggal 12 Mei 2010
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, Jilid IV, Riyad, Muktabah al Riyadul Hadisah, TT, h.35
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, h.35
Abi Abdillah Muhammad Al Andalusi asy Syahrir bin Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, juz II, (Beirut, darul Fiqr,TT), h.15
Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 368.
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, h.41
Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 368.
Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 370.
75
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, h.41
Jalaluddin bin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, Syarh Minhajut Talibin, Juz III, (Surabaya, Maktabah Nabhan, 1974) , cet IV, h.225
Jalaluddin bin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, Syarh Minhajut Talibin, Juz III, h.225
Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, h. 369.
Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’I, AlUmm, jilit III, Juz V,(Beirut, Darul Fiqri, 1983), cet-II, h.14
Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’I, AlUmm, jilit III, Juz V, h.14
Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’I, AlUmm, jilit III, Juz V, h.15
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, h.40
top related