unearthly prolog dan bab 1
Post on 17-Mar-2016
229 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
�
�
Pada awalnya, ada seorang pemuda yang berdiri di antara
pepohonan. Dia sebayaku, mungkin umurnya tujuh belas.
Aku tidak yakin bagaimana bisa sampai mengetahuinya.
Aku hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya,
rambutnya yang berwarna gelap ikal lembap. Ada cahaya
oranye ganjil yang mengisi langit timur. Ada bau sangit
tajam. Aku melangkahkan kaki ke arah pemuda itu dan
tanah remuk di bawah kakiku. Dia mendengarku. Dia
mulai berlari. Satu detik lagi maka aku akan bisa melihat
wajahnya.
Di situlah penglihatan ini meninggalkanku. Aku
mengerjap. Penglihatan itu pun lenyap.
Prolog
�
Awalnya, tepatnya pada 6 November, aku terbangun
pukul dua pagi dengan rasa menggelitik di dalam kepalaku,
seperti ada kunang-kunang mungil menari-nari di belakang
mataku. Aku mencium bau asap. Aku bangun dan berkeliling
dari satu ruangan ke ruangan lain untuk memastikan tak
ada bagian rumah yang terbakar. Semuanya baik-baik
saja, semua orang sedang tidur, hening. Lagi pula, bau ini
seperti asap di perkemahan, tajam dan beraroma kayu. Aku
menganggapnya sebagai keganjilan yang biasa terjadi dalam
hidupku. Aku mencoba, tetapi tidak bisa tidur lagi. Jadi,
aku turun ke lantai bawah. Aku sedang minum segelas
air dari keran di dapur, ketika, tanpa peringatan apa pun,
aku berada di tengah hutan yang terbakar. Bukan seperti
sebuah mimpi, melainkan secara fisik aku berada di sana.
Tidak lama, mungkin sekitar tiga puluh detik, kemudian
Punya Tujuan
11
�
aku kembali ada di dapur, berdiri di dalam genangan air
karena gelasnya terjatuh dari tanganku.
Aku segera berlari membangunkan Mom. Aku duduk
di kaki tempat tidurnya dan berusaha tidak tersengal-sengal
sewaktu menceritakan setiap detail penglihatan yang bisa
kuingat. Hanya sedikit, sungguh, hanya api, dan seorang
pemuda.
“Kalau terlalu banyak sekaligus akan membuatmu
kewalahan,” katanya. “Itulah sebabnya penglihatan datang
padamu seperti ini, sedikit demi sedikit.”
“Seperti itu jugakah ketika Mom mengetahui tujuan-
mu?”
“Kurang lebih begitu untuk sebagian besar dari kita,”
katanya, dengan lihai menghindari pertanyaanku.
Mom tidak mau memberitahuku tujuannya. Tujuan ter-
masuk salah satu dari beberapa topik terlarang. Aku merasa
terganggu karena kami dekat, kami selalu dekat, tetapi ada
bagian besar dari dirinya yang tidak mau dia bagikan.
“Coba ceritakan pohon-pohon dalam penglihatanmu,”
katanya. “Seperti apa kelihatannya?”
“Pinus, kukira. Berdaun jarum, bukan berdaun lebar.”
Mom mengangguk-angguk sambil berpikir, seolah-olah
ini petunjuk penting. Sebaliknya, aku tidak memikirkan
pohon. Aku memikirkan pemuda itu.
“Seandainya aku bisa melihat wajahnya.”
“Kau akan melihatnya.”
“Aku ingin tahu apa aku harus melindungi dia.”
�
Aku senang membayangkan jadi seorang penolong.
Semua keturunan malaikat punya tujuan yang berbeda—
beberapa di antaranya pembawa pesan, sebagian jadi saksi,
sebagian lagi ditakdirkan untuk menghibur, beberapa hanya
melakukan sesuatu yang menyebabkan hal-hal lainnya
terjadi—tetapi pelindung kedengarannya asyik. Rasanya
seperti malaikat sungguhan.
“Rasanya aku percaya kau sudah cukup umur untuk
mendapatkan tujuan,” kata Mom sambil menghela napas.
“Membuatku merasa tua.”
“Mom ‘kan memang sudah tua.”
Mom tak bisa mendebat itu, mengingat usianya sudah
lebih dari seratus tahun, walau tidak kelihatan sehari pun
lebih tua dari empat puluh. Sebaliknya, aku merasa persis
seperti diriku: remaja berusia enam belas tahun yang belum
tahu apa-apa (kalau tidak mau dibilang biasa-biasa saja)
yang masih harus bersekolah pada pagi hari. Saat ini, aku
sama sekali tidak merasa memiliki darah malaikat. Aku
memandang ibuku yang cantik dan penuh semangat. Aku
tahu apa pun tujuannya, dia pasti menghadapinya dengan
keberanian, selera humor tinggi, dan keterampilan.
“Menurut Mom…,” kataku setelah beberapa saat,
sulit rasanya mengutarakan pertanyaan ini karena aku tidak
mau Mom menganggap aku pengecut. “Apa menurut Mom
mungkin aku akan terbunuh dalam kebakaran?”
“Clara.”
“Serius.”
“Kenapa kau bilang begitu?”
�
“Karena ketika aku berdiri di belakang pemuda itu, aku
merasa sangat sedih. Aku tidak tahu kenapa.”
Mom memelukku, menarikku mendekat hingga aku bisa
mendengar detak jantungnya yang kuat dan stabil.
“Barangkali alasan aku sangat sedih adalah karena aku
akan mati,” bisikku.
Pelukannya mengencang.
“Itu jarang terjadi,” kata Mom pelan.
“Tapi bisa terjadi.”
“Kita akan cari tahu bersama-sama.” Mom memelukku
lebih erat lagi dan menyibakkan rambut dari wajahku seperti
yang biasa dilakukannya setiap aku bermimpi buruk sewaktu
masih kanak-kanak. “Sekarang kau harus istirahat.”
Aku tidak pernah merasa sesegar ini sepanjang hidupku,
tapi kubaringkan tubuhku di tempat tidurnya dan mem-
biarkan Mom menarik selimut menyelubungi kami. Dia
memelukku. Tubuh Mom hangat, memancarkan panas
seakan-akan dari tadi berdiri di bawah sinar matahari, bahkan
pada tengah malam sekalipun. Aku menghirup aromanya:
minyak mawar dan vanilla, parfum seorang wanita tua. Bau
itu selalu membuatku merasa aman.
Saat memejamkan mata, aku masih bisa melihat
pemuda itu. Berdiri di sana menunggu. Menungguku. Hal
yang tampaknya lebih penting daripada kesedihan atau
kemungkinan melewati kematian yang mengerikan dalam
kobaran api. Dia sedang menungguku.
�
Aku dibangunkan suara hujan dan cahaya abu-abu yang
menembus tirai. Aku mendapati Mom sedang berdiri di
depan kompor di dapur, menuangkan telur orak-arik ke
mangkuk. Dia sudah berpakaian dan siap untuk berangkat
kerja seperti hari-hari lain. Rambut pirangnya yang panjang
masih basah sehabis mandi. Dia bersenandung. Kelihatannya
dia gembira.
“Pagi,” sapaku.
Mom berbalik, meletakkan spatulanya, dan melintasi
lantai linoleum untuk memberiku pelukan singkat. Dia ter-
senyum bangga, seperti sewaktu aku memenangi perlombaan
mengeja tingkat wilayah di kelas tiga: bangga, namun tak
pernah mengharapkan kurang dari itu.
“Bagaimana keadaanmu pagi ini? Baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja.”
“Ada apa?” kata adikku, Jeffrey, dari ambang pintu.
Kami berputar memandangnya. Dia bersandar pada
kusen pintu, masih terkantuk-kantuk, bau, dan merengut
seperti biasanya. Jeffrey bukan orang yang biasa bangun
pagi. Dia memandang kami. Sebersit ketakutan melintas di
wajahnya, seolah bersiap mendengar berita buruk, berita
seseorang yang kami kenal meninggal dunia, misalnya.
“Kakakmu menerima tujuannya.” Mom tersenyum
lagi, tetapi kali ini tidak segembira sebelumnya. Senyuman
berhati-hati.
Adikku menatapku dari atas ke bawah seolah akan bisa
menemukan bukti suci di suatu tempat di tubuhku. “Kau
mendapat penglihatan?”
�
“Ya. Sesuatu tentang kebakaran hutan.” Aku memejam-
kan mata dan kembali melihat semuanya: punggung
bukit yang dipenuhi pohon pinus, langit oranye, asap yang
bergulung-gulung. “Dan, seorang pemuda.”
“Bagaimana kau tahu itu bukan cuma mimpi?”
“Karena aku tidak sedang tidur.”
“Lalu, apa artinya?” tanyanya. Semua informasi yang
berhubungan dengan malaikat ini masih baru untuknya. Dia
masih dalam masa saat hal-hal supernatural itu menarik dan
keren. Aku iri kepadanya.
“Entahlah.” jawabku. “Itulah yang harus kucari
tahu.”
Aku mendapat penglihatan lagi dua hari kemudian. Aku
sedang berada di tengah putaran jogingku mengelilingi
garis luar gedung olahraga Mountain View High School,
dan mendadak penglihatan itu muncul, dengan begitu saja.
Dunia yang kukenal—California, Mountain View, gedung
olahraga—mendadak lenyap. Aku berada di hutan. Aku
benar-benar bisa merasakan apinya. Kali ini aku melihat
kobaran api menyelimuti punggung bukit.
Dan kemudian, aku hampir menabrak seorang pemandu
sorak.
“Lihat-lihat kalau jalan, Lemot!” tukasnya.
Aku terhuyung-huyung menepi untuk membiarkan gadis
itu lewat. Aku bersandar pada tempat duduk berlipat sambil
10
tersengal-sengal dan mencoba mendapatkan penglihatan itu
lagi. Tetapi, rasanya mirip mencoba bermimpi lagi setelah
benar-benar terbangun. Sudah lenyap.
Sial. Belum pernah ada yang memanggilku lemot.
Kependekan dari lemah otak. Bukan pertanda bagus.
“Tidak boleh berhenti,” seru Mrs. Schwartz, guru
olahraga. “Kita ingin mendapatkan rekaman akurat seberapa
cepat kau bisa berlari menempuh satu setengah kilometer.
Yang kumaksud kau, Clara.”
Wanita itu pastilah sersan pelatih baris-berbaris di
kehidupan lain.
“Kalau kau tidak berhasil dalam waktu kurang dari se-
puluh menit, kau harus lari lagi minggu depan!” teriaknya.
Aku mulai berlari. Aku mencoba berkonsentrasi pada
tugas yang harus diselesaikan sambil melesat di tikungan
selanjutnya, menjaga kecepatan tetap tinggi untuk menutupi
waktu yang terbuang. Tetapi, pikiranku mengembara lagi
pada penglihatan itu. Bentuk-bentuk pohon. Tanah hutan
di bawah kakiku yang diseraki bebatuan dan daun-daun
pinus. Pemuda yang berdiri memunggungiku di sana sambil
menyaksikan kebakaran semakin mendekat. Jantungku yang
mendadak berdebar-debar.
“Putaran terakhir, Clara,” kata Mrs. Schwartz.
Aku menambah kecepatan.
Kenapa dia ada di sana? Aku bertanya-tanya, tidak
memejamkan mata tetapi masih bisa melihat bayangannya
seakan-akan terpatri di retinaku. Akankah dia terkejut kalau
melihatku? Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan, tetapi
11
di balik semua itu, hanya ada satu pertanyaan: Siapakah
dia?
Pada saat itu, aku melesat melewati Mrs. Schwartz,
berlari sekuat tenaga.
“Bagus, Clara!” serunya. Dan, satu menit kemudian,
“Tidak mungkin.”
Sambil melambat jadi berjalan, aku berputar lagi untuk
melihat catatan waktuku.
“Aku mencatat waktumu lima menit empat puluh
delapan detik.” Kedengarannya dia benar-benar terkejut. Dia
memandangku seakan-akan sedang mendapatkan penglihatan
juga, tentang aku yang tergabung dalam tim lari.
Ups.... Aku tidak memperhatikan, tidak menahan diri.
Aku akan mendapat kritikan pedas kalau Mom sampai
tahu.
Aku mengedikkan bahu.
“Jamnya pasti rusak,” kataku menjelaskan, mencoba
berkelit, berharap dia akan menerimanya meski itu berarti aku
harus melakukan olahraga bodoh ini lagi minggu depan.
“Ya,” katanya, sambil mengangguk bingung. “Pasti
mulainya keliru.”
Malam itu, ketika Mom pulang, dia mendapati aku
bermalas-malasan di atas sofa, menonton tayangan ulang
I Love Lucy.
“Seburuk itukah?”
1�
“Ini rencana cadanganku karena tidak bisa menemukan
Touched by an Angel,” jawabku pedas.
Mom mengeluarkan sewadah es krim Ben and Jerry
rasa Chubby Hubby dari kantong kertas. Seolah sudah
membaca pikiranku.
“Mom memang dewi,” ujarku.
“Belum.”
Dia mengacungkan sebuah buku: Pohon-pohon di
Amerika Utara, Panduan untuk Identifikasi Lapangan.
“Mungkin pohonku bukan di Amerika Utara.”
“Kita mulai saja dengan ini.”
Kami membawa buku itu ke meja dapur dan bersama-
sama membungkuk di atasnya, mencari jenis pohon pinus
yang sama persis dengan yang ada dalam penglihatanku.
Bagi orang luar, kami terlihat tak lebih dari seorang ibu
yang sedang membantu anak gadisnya mengerjakan tugas
sekolah, bukan sepasang keturunan malaikat yang sedang
meneliti misi dari surga.
“Itu dia,” kataku akhirnya, sambil menunjuk pada
sebuah gambar dalam buku, kemudian bersandar di kursiku,
merasa senang pada diri sendiri. “Pinus lodgepole.”
“Daun jarum berpilin kekuningan tumbuh berpasang-
pasangan,” kata Mom membaca dari buku. “Bunganya
cokelat berbentuk lonjong telur?”
“Aku tidak melihat bunganya dengan jelas, Mom. Cuma
bentuknya sama, dengan dahan-dahannya mulai tumbuh
dari pertengahan batang ke atas seperti itu, dan rasanya
1�
ini benar.” Aku menjawab sambil mengunyah sesendok
penuh es krim.
“Baiklah.” Mom memeriksa buku itu lagi. “Sepertinya
pinus lodgepole hanya ditemukan di Rocky Mountains
dan pesisir barat laut Amerika dan Kanada. Penduduk asli
Amerika biasa menggunakan kulitnya sebagai penyangga
utama wigwam—rumah tenda orang Indian. Karena itu,
namanya lodgepole. Dan,” Mom meneruskan, “di sini dika-
takan daun jarumnya memerlukan panas ekstrem—seperti,
katakanlah, dari kebakaran hutan—untuk membuka dan
melepaskan benihnya.”
“Ini sungguh mendidik,” sindirku. Akan tetapi, gagasan
pohon yang hanya tumbuh di tempat-tempat yang terbakar
mengirimkan getaran semangat kepadaku. Bahkan, pohon
pun memiliki suatu makna yang sudah ditentukan sebelum-
nya.
“Bagus. Jadi, kita tahu kira-kira di mana ini akan
terjadi,” kata Mom. “Sekarang yang harus kita lakukan
hanyalah memperkecil kemungkinan yang ada.”
“Setelah itu apa?” Aku mengamati gambar pohon pinus
itu, tiba-tiba membayangkan dahan-dahannya terbakar.
“Setelah itu, kita akan pindah.”
“Pindah? Seperti meninggalkan California?”
“Ya,” jawabnya. Tampaknya Mom serius.
“Tapi—” Aku tergagap. “Bagaimana dengan sekolah?
Bagaimana dengan teman-temanku? Bagaimana dengan
pekerjaanmu?”
1�
“Kau akan pindah ke sekolah baru, kurasa, dan punya
teman-teman baru. Aku akan mencari pekerjaan baru, atau
mencari cara untuk bekerja dari rumah.”
“Bagaimana dengan Jeffrey?”
Mom tertawa kecil dan menepuk tanganku seolah itu
pertanyaan bodoh. “Jeffrey akan ikut juga.”
“Oh ya, dia akan sangat menyukainya,” kataku, sambil
memikirkan Jeffrey dengan pasukan teman-temannya dan
parade tanpa akhir permainan bisbol, pertandingan gulat,
latihan sepak bola, dan lain-lain. Jeffrey dan aku punya
kehidupan. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa
aku terlibat jauh lebih dalam daripada yang kubayangkan.
Tujuanku akan mengubah segalanya.
Mom menutup buku tentang pohon-pohon itu dan
dengan tenang menatap mataku dari seberang meja dapur.
“Ini penting, Clara,” katanya. “Penglihatan ini, tujuan
ini—inilah alasan kau ada di sini.”
“Aku tahu. Aku hanya tidak menyangka kita harus
pindah.”
Aku menatap keluar jendela ke arah pekarangan tempat
aku tumbuh dan bermain di sana, seperangkat ayunan tuaku
yang tak pernah sempat Mom bongkar, dan barisan semak-
semak mawar yang tumbuh di pagar belakang yang sudah
ada di sana sepanjang ingatanku. Di belakang pagar, aku
hampir bisa melihat siluet samar pegunungan di kejauhan
yang selama ini selalu menjadi ujung duniaku. Aku bisa
mendengar kereta Caltrain bergemuruh saat melintasi
Shoreline Boulevard, dan, jika aku berkonsentrasi cukup
1�
keras, musik teredam dari Great America yang berjarak
tiga kilometer. Rasanya mustahil kami akan meninggalkan
tempat ini.
Sudut bibir Mom melengkung naik menjadi senyuman
simpatik.
“Kau pikir kau bisa terbang ke suatu tempat di akhir
pekan, memenuhi tujuanmu, dan pulang lagi?”
“Yah, mungkin.” Aku mengalihkan pandangan dengan
malu-malu. “Kapan Mom akan memberi tahu Jeffrey?”
“Kurasa itu harus menunggu sampai tahu ke mana kita
akan pergi.”
“Bolehkah aku ikut melihat saat Mom memberi tahu
Jeffrey? Aku akan bawa popcorn.”
“Giliran Jeffrey akan tiba,” katanya, kesedihan tak
terucap muncul di matanya, sorot mata yang sama dengan
ketika Mom berpikir kami tumbuh terlalu cepat. “Saat dia
menerima tujuannya, kau juga harus berkompromi dengan
itu.”
“Dan, kita akan pindah lagi?”
“Kita akan pergi ke mana pun tujuannya membawa
kita.”
“Ini gila,” kataku, sambil menggelengkan kepala.
“Rasanya semua ini gila. Mom tahu itu, ‘kan?”
“Cara-cara misterius, Clara.” Dia meraih sendokku dan
menyendok segumpal besar Chubby Hubby dari kotak. Mom
nyengir, berubah kembali menjadi ibu yang penuh muslihat
dan jenaka tepat di depan mataku. “Cara-cara misterius.”
1�
Selama dua minggu berikutnya, penglihatan itu berulang
setiap dua atau tiga hari. Aku asyik mengerjakan sesuatu,
tiba-tiba dor—aku jadi Humas bagi tokoh kartun Smokey
the Bear, si maskot dinas perhutanan Amerika Serikat yang
melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya
kebakaran hutan. Aku mengalaminya pada waktu-waktu
yang ganjil, dalam perjalanan ke sekolah, sedang mandi,
atau makan siang. Pada waktu-waktu tertentu, aku hanya
mendapatkan sensasi tanpa penglihatan. Aku merasakan
panas. Aku mencium bau asap.
Teman-temanku menyadarinya. Mereka menjuluki aku
dengan nama panggilan baru yang menyebalkan: Kadet,
seperti di film Space Cadet. Kurasa itu tidak seberapa buruk.
Guru-guruku juga menyadarinya. Tetapi, PR-ku selesai
semua. Jadi, mereka tidak terlalu membuatku menderita
saat aku menghabiskan waktu di kelas dengan asyik menulis
sesuatu dalam sebuah buku yang mustahil adalah catatan
pelajaran.
Jika kau melihat buku harianku beberapa tahun lalu,
diari merah muda berhias bulu lembut yang kumiliki ketika
berusia dua belas tahun, dengan Hello Kitty di sampulnya,
dikunci dengan anak kunci emas tipis yang kusimpan dengan
cara mengalungkannya di leherku dengan rantai agar aman
dari si tukang intip Jeffrey, kau akan melihat perjalanan
seorang gadis yang sangat normal. Ada gambar bunga-bunga
dan putri-putri, tulisan tentang sekolah dan cuaca, film-film
yang kusukai, musik yang bisa membuatku menari, mimpi-
mimpiku tentang memerankan Peri Sugar Plum dalam kisah
1�
The Nutcracker, atau bagaimana Jeremy Morris menyuruh
salah satu temannya untuk memintaku menjadi pacarnya.
Tentu saja aku tolak karena untuk apa berkencan dengan
seseorang yang terlalu pengecut untuk mengajakku jalan
secara langsung?
Lalu, muncul diari malaikat, yang kumulai saat berusia
empat belas tahun. Yang ini berupa buku catatan berjilid
spiral berwarna biru gelap dengan gambar sesosok malaikat
di atasnya. Malaikat feminin, tenang, yang sangat mirip
Mom, dengan rambut merah dan sayap keemasan, berdiri
di atas sepotong bulan sabit dikelilingi bintang-bintang,
dengan cahaya memancar dari kepalanya. Di dalamnya
aku mencatat semua yang Mom pernah ceritakan tentang
malaikat dan keturunan malaikat, setiap fakta atau kepingan
spekulasi yang bisa kukorek darinya. Aku juga mencatat
berbagai eksperimenku, seperti ketika aku mengiris lengan
bawahku dengan pisau hanya untuk melihat apakah aku
akan berdarah (dan aku berdarah, banyak) dan secara
hati-hati mencatat berapa lama yang diperlukan untuk
sembuh (sekitar dua puluh empat jam, sejak mengiris hingga
saat garis merah bekasnya benar-benar lenyap), ketika aku
bicara bahasa Swahili kepada seorang lelaki di bandara
San Fransisco (bayangkan betapa terkejutnya kami), atau
bagaimana aku bisa melakukan dua puluh lima gerakan
grands jetés maju-mundur melintasi lantai studio balet tanpa
kehabisan napas. Saat itulah Mom mulai menceramahiku
dengan serius tentang bersikap tidak menarik perhatian,
setidaknya di depan umum. Saat itulah aku mulai mendapati
1�
diriku sebagai Clara keturunan malaikat, Clara yang ajaib,
bukan hanya Clara si anak perempuan biasa.
Sekarang buku harianku (sederhana, hitam, bersampul
kulit) berfokus sepenuhnya pada tujuanku: sketsa, catatan
dan detail dari penglihatan, khususnya ketika melibatkan
si pemuda misterius. Dia terus-menerus melekat di ujung
pikiranku, kecuali saat-saat membingungkan ketika tanpa
dinyana dia bergerak ke panggung utama.
Aku mulai mengenalnya melalui siluet bentuk badannya
di mata pikiranku. Aku mengenali ayunan bahunya yang
lebar, rambutnya yang terurai rapi, berwarna cokelat gelap,
cukup panjang untuk menutupi kedua telinganya dan
menyentuh kerah belakangnya. Tangan terbenam dalam
saku jaket hitamnya, yang tampak agak kabur, mungkin
terbuat dari bulu domba. Bobotnya selalu sedikit condong
ke satu sisi, seolah sedang bersiap-siap pergi menjauh. Dia
tampak ramping, tapi kuat. Saat mulai berbalik, aku bisa
melihat sedikit garis tulang pipinya, dan itu tak pernah
gagal membuat jantungku berdetak lebih cepat dan napasku
tercekat di tenggorokan.
Apa yang akan dia pikirkan tentangku? Aku ingin
tahu.
Aku ingin membuatnya terkesan. Ketika aku muncul
di depannya di hutan, ketika dia akhirnya berbalik dan
melihatku berdiri di sana, aku ingin setidaknya tampak
mirip keturunan malaikat. Aku ingin berpendar-pendar
dan melayang seperti ibuku. Tampangku tidak jelek-jelek
amat, aku tahu itu. Keturunan malaikat adalah kaum yang
1�
cukup menarik. Kulitku mulus dan bibirku berwarna alami
semerah mawar, jadi aku tidak pernah memakai apa pun
selain pelembap bibir. Lututku sangat menarik, atau konon
begitulah kata orang. Tapi, aku terlalu tinggi dan kurus.
Aku juga tidak gemulai bak supermodel, tetapi kekar dengan
lengan dan tungkai yang panjang.
Kelebihanku terletak pada rambut, panjang dan ber-
gelombang, terang keemasan dengan semburat merah,
tergerai mengikuti di belakangku ke mana pun aku pergi,
seperti sebuah pikiran yang timbul kemudian. Masalah
dengan rambutku adalah sulit diatur. Kusut. Tersangkut
di berbagai benda: kancing tarik, pintu mobil, makanan.
Menguncir atau mengepangnya tidak pernah menyelesaikan
masalah. Rambut itu seperti makhluk hidup yang mencoba
membebaskan diri. Saat sedang berusaha menaklukkannya,
beberapa helai jatuh di wajahku. Dalam jangka waktu
satu jam, biasanya rambut itu sudah tergerai bebas dari
ikatannya. Rambut itu membawa kata “tak dapat diatur”
ke tingkat yang sama sekali baru.
Jadi, dengan peruntunganku yang seperti itu, bisa-bisa
aku tidak akan pernah bisa menyelamatkan pemuda di
hutan tepat pada waktunya gara-gara rambutku tersangkut
di ranting pohon satu setengah kilometer dari tempatnya
berada.
�0
“Clara, teleponmu bunyi!” teriak Mom dari dapur. Aku
melompat, terkejut. Buku harianku tergeletak terbuka di
atas meja di depanku. Di halamannya tergambar sebuah
sketsa detail bagian belakang kepala anak lelaki itu, leher,
rambut kusut, sedikit pipi, dan bulu matanya. Aku tidak
ingat pernah menggambarnya.
“Baiklah!” balasku berteriak. Aku menutup buku harian
dan menyelipkannya di bawah buku aljabar. Kemudian, aku
berlari menuruni tangga. Tercium aroma seperti toko roti.
Besok hari Thanksgiving, dan Mom membuat banyak pai.
Dia memakai celemek ibu rumah tangga tahun lima puluhan
(yang dimilikinya sejak sekitar tahun lima puluhan meskipun
saat itu belum jadi istri, katanya) dan celemek itu berlepotan
tepung. Dia menyodorkan telepon itu kepadaku.
“Ayahmu.”
Aku menaikkan sebelah alis sebagai isyarat bertanya
tanpa suara.
“Aku tidak tahu,” ujar Mom. Dia memberikan telepon-
nya kepadaku, lalu berbalik dan perlahan keluar ruangan.
“Hai, Dad,” kataku ke telepon.
“Hai.”
Jeda. Baru tiga patah kata terucap dan dia sudah
kehabisan bahan pembicaraan.
“Jadi, ada apa?”
Untuk sesaat, dia tidak mengatakan apa-apa. Aku
menghela napas. Selama bertahun-tahun aku sering melatih
pidato tentang betapa aku marah kepadanya karena
meninggalkan Mom. Aku berusia tiga tahun ketika mereka
�1
berpisah. Seingatku mereka tidak pernah bertengkar. Hal
yang kuingat tentang masa-masa mereka bersama hanyalah
beberapa kilasan singkat. Sebuah pesta ulang tahun. Suatu
sore di pantai. Dad bersandar di wastafel sambil bercukur.bercukur..
Dan kemudian, kenangan menyakitkan tentang hari ke-
pergiannya. Aku berdiri bersama Mom di jalan masuk,
sambil menggendong Jeffrey di pinggangnya dan menangis
patah hati sewaktu Dad pergi naik mobil. Aku tak bisa
memaafkan Dad karena melakukan itu. Banyak yang tak
bisa kumaafkan darinya. Karena pindah jauh ke seberang
negeri agar bisa menyingkir dari kami. Karena tidak cukup
sering menelepon. Karena tidak pernah tahu apa yang harus
diucapkannya ketika menelepon. Tetapi, yang terutama, aku
tak bisa melupakan bagaimana wajah Mom yang seperti
tersengat setiap mendengar Dad disebut-sebut.
Mom tidak akan mau membahas apa yang terjadi di
antara mereka sama seperti dia enggan membahas tujuannya.
Tetapi, inilah yang aku tahu: ibuku sangat mendekati sosok
wanita sempurna yang ingin dilihat dunia. Bagaimanapun,
dia separuh malaikat, meskipun ayahku tidak tahu itu.
Dia cantik. Dia pandai dan kocak. Dia ajaib. Dan, Dad
mencampakkannya. Dad mencampakkan kami semua.
Oleh karena itu, Dad sama saja dengan orang bodoh.
“Aku hanya ingin tahu apa kau baik-baik saja,” katanya
akhirnya.
“Kenapa aku bisa tidak baik-baik saja?”
Dad terbatuk.
��
“Maksudku, jadi remaja itu berat, bukan? SMA. Cowok-
cowok.”
Sekarang percakapan ini telah berubah dari tidak biasa
menjadi benar-benar aneh.
“Benar,” kataku. “Yah, memang berat.”
“Ibumu bilang nilai-nilaimu bagus.”
“Dad bicara dengan Mom?”
Sunyi lagi.
“Bagaimana rasanya hidup di Big Apple?” tanyaku,
untuk mengalihkan pembicaraan tentang diriku.
“Seperti biasa. Lampu-lampu terang. Kota besar. Aku
melihat Derek Jeter di Central Park kemarin. Hidup memang
mengerikan.”
Dia juga bisa memesona. Aku selalu ingin marah
kepadanya, memberitahunya agar tidak usah bersusah payah
membangun hubungan batin denganku, tetapi tidak pernah
bisa melakukannya. Kali terakhir aku bertemu dengannya
dua tahun lalu, musim panas ketika aku beranjak empat
belas tahun. Aku sudah melatih pidato istimewa “aku benci
padamu”-ku di bandara, di pesawat, di luar gerbang, di
terminal. Dan kemudian, aku melihatnya sedang menungguku
di samping tempat pengambilan bagasi, lalu aku dipenuhi
kebahagiaan yang aneh. Aku menghambur ke dalam pelukan
Dad dan mengatakan betapa aku merindukannya.
“Aku cuma berpikir,” sekarang Dad bicara. “Mungkin
kau dan Jeffrey bisa berlibur di New York.”
Aku hampir tertawa pada pilihan waktunya.
��
“Aku ingin sekali,” kataku, “tetapi ada semacam hal
penting saat ini.”
Misalnya, menemukan kebakaran hutan. Hal yang
menjadi satu alasan keberadaanku di Bumi ini. Sesuatu
yang takkan pernah bisa kujelaskan kepadanya dalam seribu
tahun.
Dad tidak mengatakan apa-apa.
“Maaf,” kataku, dan aku mengejutkan diriku sendiri
karena benar-benar tulus. “Aku akan memberitahumu kalau
ada perubahan.”
“Kata ibumu kau juga lulus ujian mengemudi.” Dia
jelas-jelas berusaha mengubah topik pembicaraan.
“Ya, aku mengikuti ujiannya, berhasil parkir paralel
dan semuanya. Aku enam belas tahun. Aku sudah sah
menurut undang-undang sekarang. Tapi, Mom tidak mau
membiarkanku membawa mobil.”
“Mungkin sudah waktunya kita mempertimbangkan
kau punya mobil sendiri.”
Mulutku menganga. Dad benar-benar penuh kejutan.
Lalu, aku mencium bau asap.
Apinya pastilah lebih jauh kali ini. Aku tidak melihatnya.
Aku tidak melihat pemuda itu. Embusan angin panas ber-
campur pasir membuat rambutku kabur dari kuncirannya.
Aku terbatuk dan berbalik pergi dari hempasan itu,
menyingkirkan rambut dari wajahku.
Saat itulah aku melihat truk berwarna perak. Aku
berdiri beberapa langkah dari tempat kendaraan itu diparkir
di ujung jalanan tanah. AVALANCHE, itulah yang tertulis
��
dengan huruf-huruf perak di bagian belakangnya. Truk itu
sangat besar dengan tempat tidur pendek berselimut. Truk
milik pemuda itu. Entah bagaimana aku mengetahuinya.
Lihat plat nomornya, kataku kepada diriku sendiri.
Fokus pada itu.
Plat nomor itu bagus. Warnanya hampir semua biru:
langit, dengan awan-awan. Sisi kanannya didominasi oleh
gunung berbatu-batu yang berpuncak rata, samar-samar
rasanya sudah tidak asing lagi. Di sisi kiri ada siluet hitam
seorang koboi menunggang kuda, sedang melambaikan topi-
nya di udara. Aku pernah melihatnya, tetapi tidak langsung
mengenalinya. Aku mencoba membaca plat nomornya.
Tadinya aku hanya bisa melihat angka besar di sisi kiri: 22.
Dan kemudian, empat digit di sisi lain koboi itu: 99CX.
Aku menyangka akan merasa sangat senang, bersemangat
karena kepingan informasi yang sangat menolong ini
diberikan kepadaku dengan semudah itu. Tetapi, aku masih
berada dalam penglihatan, dan itu berlanjut. Aku menjauh
dari truk dan berjalan dengan cepat ke pepohonan. Asap
melayang melewati tanah hutan. Di suatu tempat yang dekat
aku mendengar bunyi patahan, seperti cabang jatuh. Lalu,
aku melihat pemuda itu, sama persis dengan penampakannya
selama ini. Punggungnya berbalik, api tiba-tiba menjilat
punggung bukit. Bahayanya sangat jelas, sangat dekat.
Hantaman kesedihan melingkupiku seperti tirai yang di-
turunkan. Tenggorokanku menutup. Aku ingin menyebutkan
namanya. Aku melangkah maju ke arahnya.
“Clara? Kau baik-baik saja?”
��
Suara ayahku. Aku melayang kembali ke diriku sendiri.
Aku bersandar pada lemari es, menatap jendela dapur tempat
seekor burung kolibri terbang di dekat tempat memberi
makan burung milik Mom, sayap-sayapnya tampak buram.
Burung itu melesat masuk, mematuk, lalu terbang pergi.
“Clara?”
Dad terdengar cemas. Masih linglung, aku mengangkat
telepon ke telingaku.
“Dad, kurasa aku akan meneleponmu lagi.”
*
��
2Banyak sekali markah jalan di sepanjang perjalanan
menuju Wyoming. Kebanyakan berisi semacam peringatan
bahaya. AWAS ADA RUSA. AWAS TEBING LONGSOR.
TRUK, PERIKSA REM. SIMAK BERITA PENUTUPAN
JALAN. AREA PENYEBERANGAN RUSA �� KM DI. AREA PENYEBERANGAN RUSA �� KM DI
DEPAN. DAERAH LONGSORAN SALJU, DILARANG
PARKIR ATAU BERHENTI. Sepanjang hari aku menge-menge-
mudikan mobilku di belakang mobil Mom dari California mobilku di belakang mobil Mom dari California
bersama Jeffrey yang duduk di bangku penumpang. Aku
mencoba tidak mencemaskan semua penanda jalan yang
mengisyarat-kan bahwa kami sedang menuju suatu tempat bahwa kami sedang menuju suatu tempat
yang liar dan berbahaya.
Saat ini aku sedang menyetir melalui sebuah hutan pinus
lodgepole. Sangat surealis. Aku tidak bisa menghentikan
diri dari memperhatikan semua plat nomor Wyoming di
SELAMAT DATANGDI JACKSON HOLE
2
top related