anak aids

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV ( Human Immuno Deficiency Virus ) yang akan mudah menular dan mematikan. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia, dengan berakibat yang bersangkutan kehilangan daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terinfeksi dan meninggal karena berbagai penyakit infeksi kanker dan lain-lain. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin pencegahan atau obat untuk penyembuhannya. Jangka waktu antara terkena infeksi dan munculnya gejala penyakit pada orang dewasa memakan waktu rata-rata 5-7 tahun. Selama kurun waktu tersebut walaupun masih tampak sehat, secara sadar maupun tidak pengidap HIV dapat menularkan virusnya pada orang lain. B. Tujuan 1. Untuk mengetahui defenisi HIV/AIDS 2. Untuk mengetahui etiologi HIV/AIDS 3. Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS 4. Untuk mengetahui cara penularan HIV/AIDS 5. Untuk mengetahui pencegahan HIV/AIDS 6. Untuk mengetahui komplikasi HIV/AIDS 1

Upload: buyung-tegar-aribowo

Post on 08-Dec-2015

227 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

askep anak aids

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Acquired Immune Deficiency Syndrome  (AIDS) merupakan kumpulan gejala

penyakit yang disebabkan oleh virus HIV ( Human Immuno Deficiency Virus ) yang

akan mudah menular dan mematikan. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh

manusia, dengan berakibat yang bersangkutan kehilangan daya tahan tubuhnya,

sehingga mudah terinfeksi dan meninggal karena berbagai penyakit infeksi kanker dan

lain-lain.

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin pencegahan atau obat untuk

penyembuhannya. Jangka waktu antara terkena infeksi dan munculnya gejala penyakit

pada orang dewasa memakan waktu rata-rata 5-7 tahun.

Selama kurun waktu tersebut walaupun masih tampak sehat, secara sadar maupun

tidak pengidap HIV dapat menularkan virusnya pada orang lain.

B.     Tujuan

1. Untuk mengetahui defenisi HIV/AIDS

2. Untuk mengetahui etiologi  HIV/AIDS

3. Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS

4. Untuk mengetahui cara penularan HIV/AIDS

5. Untuk mengetahui pencegahan HIV/AIDS

6. Untuk mengetahui komplikasi HIV/AIDS

7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS

8. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan HIV/AIDS

1

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang

menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif

lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma

penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan

sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang

menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang

diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut sepertii

keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan

sebagainya ( Rampengan & Laurentz ,1997 : 171).

AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan

tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).

AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan

tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).

Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang

sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan dibahas

mengenai penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam

kehamilan.

B. MACAM-MACAM INFEKSI HIV

Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi

menjadi tiga Tahap :

1. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan

limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan

pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara klinis

merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia

non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T

menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.

2. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan replikasi.

virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+ secara

perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe yang luas

2

tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap

ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat

berakhir antara 7-10 tahun.

3. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita

secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare, infeksi

oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal sebagai AIDS.

Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap semua orang dengan infeksi

HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun

gambaran klinis belum terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )

C. ETIOLOGI

Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human

immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai

retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru

yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan

dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.

1. Cara penularan HIV:

a. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi.

Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.

b. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah

tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.

c. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang

yang telah terinfeksi.

d. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa

kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.

2. Penularan secara perinatal

a. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang

dikandungnya.

b. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat

itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari

ibu dapat menular pada bayi.

3

c. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam kandungan atau

juga melalui ASI. HIV teridentifikasi ada dalam kolostrum dan ASI,

menyebabkan infeksi kronis pada bayi dan anak.Infeksi yang ditularkan ibu ini

akan mengganggu sistem kekebalan tubuh sehingga anak mudah terkena infeksi

berulang, seperti infeksi saluran cerna, infeksi jamur, infeksi tuberkulosis,dsb

sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu

d. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI

3. Kelompok resiko tinggi:

a. Lelaki homoseksual atau biseks.

b. Orang yang ketagian obat intravena

c. Partner seks dari penderita AIDS

d. Penerima darah atau produk darah (transfusi).

e. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

D. PATOFISIOLOGI

Tanpa intervensi yang baik, penularan HIV dari bayi kepada bayinya dapat melalui:

• Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)(5-10 %)

• Selama persalinan (intrapartum)(10-20 %)

• Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (postpartum)

• Bayi tertular melalui pemberian ASI

Sebagian besar (90%), infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu,

hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses tranfusi. 

HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,

yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit

penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga

meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.

Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.

HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,

yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit

penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga

memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.

Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,

4

meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis

melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel

yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau

disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening.

HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak

seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang

terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi,

dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan

hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus,

epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang

paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan

banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama

disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.

Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering

simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada

replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan

imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik

kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan

beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun

simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV, dihubungkan

dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis vital,

pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.

Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “

priode inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum

lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama

fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan

dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional

lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering

meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap

antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi

tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi

bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering

merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik.

Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal,

5

dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4

terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan

menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan

perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang

terjadi pada infeksi HIV anak

E. PATHWAY

1. Fase I

Virion HIV–>sel dendrit–>kelenjar getah bening–>jaringan limfoid–>virema &

sindrom HIV akut–>ke seluruh tubuh–>respon imun adaptif–>virema berkurang.

2. Fase II

replikasi HIV & destruksi sel –> penghancuran sel T CD4+ –> fase kronik progresif

3. Fase III

infeksi–> respon imun–>peningkatan produksi HIV–>AIDs–>distruksi seluruh

jaringan limfoid perifer, penurunan jumlah sel T CD4, virema HIV meningkat –>

infeksi oportunistik, neoplasma, gagal ginjal, degenerasi SSP

F. MANIFESTASI KLINIK

Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang

diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control

sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan

splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm

terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare.

Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan

memunculkan gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi

the European Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka

menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala

yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi

yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik

antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis,

limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang tidak

jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang terinfeksi

daripada bayi yang tidak terinfeksi.

6

PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI HIV PADA

ANAK

Kelas P-O: infeksi intermediate

Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda infeksi HIV

Kelas P-1: infeksi asimtomatik

Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin memiliki fungsi

imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)

Kelas P-2: infeksi sitomatik

P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal

berkembang,   limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare rekuren

atau persistem yang tidak spesifik.

P-2B: penyakit neurologi yang progresif

P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid

P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren, kandidiasis

oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster multidermatomal.

P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau limforma otak

P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati, gangguan

hematologi)

Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah:

• Gangguan tumbuh kembang

• Kandidiasis oral

• Diare kronis

• Hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien)

Anak dengan HIVsering datang berobat karena infeksi diare berulang, infeksi

jamur di mulut, tuberkulosis dengan gizi kurang, atau bahkan sampai gizi buruk

G. FAKTOR RESIKO

Dari cara penularan tersebut di atas maka faktor risiko untuk tertular HIV pada

bayi dan anak adalah:

1. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,

2. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,

3. bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena,

7

4. bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang,

5. anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah

seksual), dan

6. anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.

H. PENCEGAHAN

Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :

1. Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar vital

load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh

kurang efektif untuk menularkan HIV.

2. Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan bayi

baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar

karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.

3. Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI

Untuk mengurangi resiko penularan, ibu dengan HIV positif bisa memberikan

susu formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian susu formula harus

sesuai dengan persyaratan AFASS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu

Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga

terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, dan Safe = aman penggunaannya

Pada daerah tertentu di mana pemberian susu formula tidak memenuhi

persyaratan  AFASS, ibu HIV positif harus mendapatkan konseling jika memilih

untuk memberikan ASI eksklusif.

I. PENATALAKSANAAN

1. Perawatan

Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:

Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan

mencegah kemungkinan terjadi infeksi

Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan

yang ada

Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan

dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim

RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi

DNA HIV

8

Mengatasi dampak psikososial

Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit,

dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis

Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu

memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

2. Pengobatan

Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.

Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan

perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan

menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi dan status klinik

dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi sedang dan 3) tanda

supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan gejala ringan tetapi tanpa

bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada

jumlah CD$ atau persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden,

2002).

Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan

terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan

pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC)

adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan

DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat. Trimetoprin

sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan untuk pengobatan

dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan sekali berguna untuk mencegah

infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi

disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin

poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV)

(Betz dan Sowden, 2002).

J. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :

- ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)

- Western blot (positif)

- P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)

9

- Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi

enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)

2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.

- LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)

- CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi

terhadap antigen)

- Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)

- Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya

penyakit).

- Kadar immunoglobulin (meningkat)

K. KOMPLIKASI

1. Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,

peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,

dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai

oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,

kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan

gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di

balik sternum (nyeri retrosternal).

2. Neurologik

Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS

(ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya

ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan

psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif

global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang

kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor,

inkontinensia, dan kematian.

Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala,

malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang.

diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.

10

3.       Gastrointestinal

Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang

diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB

> 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan

yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain

yang dapat menjelaskan gejala ini.

Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan

sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,

malabsorbsi, dan dehidrasi.

Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,

alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam

atritis.

Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang

sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal,

gatal-gatal dan diare.

4. Respirasi

Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),

batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi

infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare

(MAI),

5. Dermatologik

Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis

karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,

gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes

zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri

dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus

yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis

sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai

kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis

menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan

dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.

11

6. Sensorik

- Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis

sitomegalovirus berefek kebutaan

- Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran

dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,

sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

12

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Biodata Klien

2. Riwayat Penyakit

- Lakukan pengkajian fisik

- Dapatkan riwayat imunisasi

- Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada

anak-anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap

produk darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan

prilaku resiko tinggi

- Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh,

limfadenopati, hepatosplenomegali

- Infeksi bakteri berulang

- Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter

interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).

- Diare kronis

- Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai

sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan  neurologis abnormal

- Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak

dengan HIV antara lain:

1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi secret sekunder

terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi

2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder

terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)

3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan pemasukan

dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare

13

4. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus

sekunder proses inflamasi system pencernaan

5. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan

herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen

6. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya

organisme infeksius dan imobilisasi

7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan

penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral

8. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik, hospitalisasi, stigma

sosial terhadap HIV

9. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit (misal:

ensefalopati, pengobatan).

10. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup

yang beresiko.

C. INTERVENSI KEPERAWTAN

Diagnosa

Keperawatan

Tujuan Rencana Tindakan Rasional

1. Nersihan jalan

nafas tidak

efektif b.d.

akumulasi secret

sekunder

terhadap

hipersekresi

sputum karena

proses inflamasi

Bersihan jalan nafas

kembali efektif

setelah dilakukan

tindakan keperawatn

selama …x 24 jam.

Dengan criteria hasil:

1. Klien mampu

mengidentifikasi

dan mencegah

factor yang dapat

mencegah jalan

nafas

2. Menunjukan jalan

nafas yang paten:

klien tidak merasa

1. Auskultasi area

paru, catat area

penurunan/tidak

ada aliran udara

dan bunyi napas

adventisius

2. Mengkaji ulang

tanda-tanda vital

(irama dan

frekuensi, serta

gerakan dinding

dada

3. Bantu pasien

latihan napas

sering.

1. penurunan aliran

udara terjadi pada

area konsolidasi

dengan cairan.

Bunyi napas

bronkhial dapat

juga terjadi pada

area konsolidasi

2. takipnea,

pernapasan

dangkal dan

gerakan dada

tidak simetris

terjadi karena

ketidaknyaman

14

tercekik, tidak

terjadi aspirasi,

RR batas normal

Bayi: 30-50x

permenit

Balita: 30-40x/

mnt

Anak: 22x/

menit

3. Mampu

mengeluarkan

sputum dari jalan

nafas

4. Menunjukan

ventilasi adekuat

Tunjukkan/bantu

pasien

mempelajari

melakukan batuk,

misalnya

menekan dada

dan batuk efektif

sementara posisi

duduk tinggi

4. Suction sesuai

indikasi

5. Kolaborasi

pemberian terapi

gerakan dinding

dada dan atau

cairan paru-paru

3. untuk

mengeluarkan

sputum

4. mengeluarkan

sputum untuk

jalan nafas yang

efektif

5. pemeberian obat

sesuai therapi

2. Hipertermi

berhubungan

dengan

pelepasan

pyrogen dari

hipotalamus

sekunder

terhadap reaksi

antigen dan

antibody

Setelah dilakukan

tindakan keperawtaan

selama …x 24 jam

klien termoregulasi.

Dengan criteria hasil:

1. Suhu kulit dalam

rentan yang

diharapkan

2. Suhu tubh dalam

batas normal

3. Nadi dan

pernafasan dalam

rentang yang

diharapkan

4. Keletihan dan

mudah

tersinggung tidak

Nampak

1. Pantau adanya

kejang

2. Pantau hidrasi

3. Pantau TTV

4. Ajarkan indikasi

keletihan karena

panas dan

tindakan

kedaruratan yang

diperlukan

5. Kolaborasi

pemberian

antipertik sesuai

dengan

kebutuhan

1. Untuk

menghindari

2. Mengetahui input

klien

3. Sebagai tolak ukur

kenormalan klien

4. Istirahat

menghindari

keletihan

5. Antipiretik

menurunkan suhu

tubuh

15

3. Risiko tinggi

kekurangan

volume cairan

berhubungan

dengan

pemasukan dan

pengeluaran

sekunder karena

kehilangan nafsu

makan dan diare

Setelahdilakukan

tindakan

keperawatan selama

…x 24 jam

keseimbangan cairan

klien adekuat.

Dengan criteria hasil:

1. Asupan cairan

oral/ parenteral

adekuat

2. Hb, Ht dalam

batas normal

3. Output : urine,

diare, cairan

melalui route

abnormal sesuai

dengan usia dan

BB

4. Tidak ada tanda-

tanda dehidrasi

5. Ttv dalam batas

normal

1. Beriakan cairan

oral/ parenteral

sesuai indikasi

(KU, usia, kasus

penyakit)

2. Monitor intake

dan outpute klien

3. Observasi adanya

kehilangan cairan

4. Monitor

kelembaban

mukosa

5. Monitor respon

klien terhadap

penambahan

cairan

6. Kolaborasi

pemberian terapi

IV, dan

pemeriksaan

elektrolit

1. Mengetahui input

cairan klien

2. Menilai

keseimbangan

cairan

3. Mengetahui output

kien per hari

4. Menilai apakah

klien dehidrasi atau

tidak

5. Menilai agar tidak

ada penimbunan

caira dan aspirasi

6. Therapy sesuai

indikasi

4. Perubahan

eliminasi (diare)

yang

berhubungan

dengan

peningkatan

motilitas usus

sekunder proses

inflamasi system

pencernaan

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama …x 24 jam

eliminasi defekasi

klien efektif dengan

criteria hasil:

1. Feses terbentuk,

BAB 1 hari 1-3x

2. Tidak terdapat

lender atau darah

1. Observasi dan

catat frekuensi

defekasi,

karakteristik,

jumlah dan faktor

pencetus

2. Tingkat tirah

baring, berikan

alat-alat

disamping tempat

1. Membantu

membedakan

penyakit individu

dan mengkaji

beratnya episode

2. Istirahat

menurunkan

motilitas usus

16

dalam feses

3. Status hidrasi

baik

tidur

3. Identifikasi

makanan dan

cairan yang

mencetuskan

diare (misalnya

sayuran segar,

buah, sereal,

bumbu, minuman

karnonat,

produks susu)

4. Berikan

kolaburasi

antibiotik

3. Menghindarkan

irirtan

meningkatkan

istirahat usus

4. Mengobati

infeksi supuratif

fokal

5. Risiko kerusakan

integritas kulit

yang

berhubungan

dengan

dermatitis

seboroik dan

herpers zoster

sekunder proses

inflamasi system

integument

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama …x24 jam

integritas jaringan :

kulit dan membrane

mukosa. Dengan

criteria hasil:

1. Pertahanan

perfusi jaringan

dan mukosa baik

(sensasi,elastisita

s, suhu, )

2. Tidak ada lesi/

iritasi kulit

3. Klien mampu

melindungi kulit

dan

1. Bersihkan daerah

yang tidak

infeksi

2. Sarankan klien

untuk tidak

menggaruk

3. Monitor

aktivitas,

mobilisasi klien

dan adanya

kemerahan pada

kulit

4. Kolaborasi

dengan tim medis

dan ahli gizi

1. membersighan

daerah yang tidak

terinfeksi dapat

mencegah

terjadinya

perluasan infeksi

kulit

2. menghindari lecet

3.

17

mempertahankan

kelembaban kulit

6. Risiko infeksi

(ISK)

berhubungan

dengan

kerusakan

pertahanan

tubuh, adanya

organisme

infeksius dan

imobilisasi

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

…x 24 jam Anak

mengalami risiko

infeksi yang minimal

dan anak tidak

menyebarkan

penyakit pada orang

lain

1. Gunakan teknik

mencuci tangan

yang cermat

2. Tempatkan anak

diruangan

bersama anak

yang tidak

mengalami

infeksi atau

diruangan

probadi

3. Batasi kontak

dengan individu

yang mengalami

infeksi, termasuk

keluarga, anak

lain, dan teman,

jelaskan bahwa

anak sangat

rentan terhadap

infeksi

1. Untuk

meminimalkan

pemajanan pada

organisme

infeksius

2. Agar klien lebih

bisa bersosialisasi

3. Mengurangi

tingkat penularan

4.

7. Perubahan nutrisi

kurang dari

kebutuhan tubuh

berhubungan

dengan

kekambuhan

penyakit, diare,

kehilangan nafsu

makan,

Setelah dilakukan

tindakan

keperawatan selama

…x24 jam klien

mendapat asupan

nutrisi yang optimal

dengan criteria hasil:

1. intake

nutrisi/ASI/PASI

1. Berikan makanan

dan kudapan

tinggi kalori dan

tinggi protein

2. Beri makanan

yang disukai

anak

3. Perkaya makanan

dengan suplemen

1. Menambah nutrisi

tubuh klien

2. Agar anak mau

makan

3. Menambah nafsu

makan klien

4. Mengetahui

adanya perubahan

nutrisi

18

kandidiasis oral adekuat

2. nafsu makan

meningkat

Bising usus dalam

batas normal

nutrisi, misalnya

susu bubuk atau

suplemen yang

dijual bebas

4. Pantau berat

badan dan

pertumbuhan

5. Kolaborasi

pemberian obat

antijamur sesuai

instruksi

5. Pemeberian

therapy sesuai

indikasi

8. Hambatan

interaksi sosial

berhubungan

dengan

pembatasan fisik,

hospitalisasi,

stigma sosial

terhadap HIV

Setelah dilakukan

tindakan

keperawatan selama

…x24jam Pasien

berpartisipasi dalam

kelompok sebaya

dan aktivitas

keluarga,

1. Bantu anak

dalam

mengidentifikasi

kekuatan pribadi

2. Dorong anak

untuk

berpartisipasi

dalam aktivitas

bersama anak-

anak dan

keluarga yang

lain

3. Dorong anak

untuk

mempertahankan

hubungan via

telepon dengan

teman-temannya

selama

hospitalisasi

1. Untuk

memfasilitas

koping

2. Menjamin anak

dapat

mengembangkan

hubungan dengan

anak lain atau

orang lain

3. Untuk

mengurangi

isolasi

19

9. berhubungan

dengan proses

penyakit (misal:

ensefalopati,

pengobatan

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

…x 24 jam Pasien

tidak menunjukkan

atau tidak ada bukti

nyeri atau peka

rangsang dengan

kriteria hasil bukti-

bukti atau peka

rangsang yang

ditunjukkan anak

minimal atau tidak

ada

1. kaji adanya nyeri

2. ajarkan Teknik-

teknik seperti

relaksasi,

pernapasan

dalam berirama

dan distraksi

3. Untuk bayi dapat

dicoba tindakan

kenyamanan

umum (misalnya:

mengayun,

menggendong,

membuai,

menurunkan

stimulus

lingkungan

4. Kolaborasi

pemberian

analgetik

10. Resiko tinggi

infeksi

berhubungan

dengan

imunosupresi,

malnutrisi dan

pola hidup yang

beresiko.

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama …x 24 jam

Pasien akan bebas

infeksi oportunistik

dan komplikasinya.

Dengan kriteria tak

ada tanda-tanda

infeksi baru, lab tidak

ada infeksi oportunis,

tanda vital dalam

batas normal, tidak

1. Monitor tanda-

tanda infeksi

baru.

2. gunakan teknik

aseptik pada

setiap tindakan

invasif. Cuci

tangan sebelum

meberikan

tindakan.

3. Anjurkan pasien

metoda

Untuk pengobatan

dini

Mencegah pasien

terpapar oleh kuman

patogen yang

diperoleh di rumah

sakit.

Mencegah

bertambahnya infeksi

Meyakinkan diagnosis

akurat dan

pengobatan

20

ada luka atau

eksudat.

mencegah

terpapar

terhadap

lingkungan yang

patogen.

4. Kumpulkan

spesimen untuk

tes lab sesuai

order.

5. Atur pemberian

antiinfeksi sesuai

order

Mempertahankan

kadar darah yang

terapeutik

D. IMPLEMENTASI

Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau potensial.

Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai berdasarkan NCP.

E. RENCANA EVALUASI

Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil,

sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan, atau diganti

jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil

21

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang

menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama

dapat menyebabkan AIDS. Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut

human immunodeficiency virus (HIV). Cara penularan HIVmelakukan penetrasi seks,

melalui darah yang terinfeksi, dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat

bius dengan seseorang yang telah terinfeksi, wanita hamil. Penularan secara perinatal

terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat itu terjadi kontak secara

lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.

Kelompok resiko tinggi: lelaki homoseksual atau biseks, orang yang ketagian obat

intravena, partner seks dari penderita AIDS, penerima darah atau produk darah

(transfusi), bayi dari ibu/bapak terinfeksi. Gejala mayor infeksi HIV adalah BB menurun

lebih dari 10% dalam 1 bulan, diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan,

penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis, demensia / HIV ensefalopati.

Gejala minor: batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalist, adanya herpes

zoster yang berulang, kandidiasis orofaringeal, herpes simplex kronik progresif,

limfadenopati generalist,

infeksi jamur berulang pada kelamin wanita, retinitis cytomegalovirus.

B. SARAN

1. Bagi yang belum terinfeksi virus HIV/AIDS sebaiknya :

a. Belajar agar dapat mengendalikan diri;

b. Memiliki prinsip hidup yang kuat untuk berkata “TIDAK”    terhadap segala jenis

yang mengarah kepada narkoba dan psikotropika lainnya.

c. Membentengi diri dengan agama;

d. Menjaga keharmonisan keluarga karena pergaulan bebas sering kali   menjadi

pelarian bagi anak – anak yang depresi.

2. Bagi yang sehat kepada pengidap HIV-AIDS

22

Mereka bukanlah seorang yang hina, mereka membutuhkan kita agar

mereka mampu melanjutkan hidupnya dengan baik, jauhi penyakitnya, bukan

orangnya

DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth J. Crownin. Buku Saku Patofisiologi. 2009. Jakarta: penerbit buku

kedokteran EGC

Judith M. Wilkinson. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. 2006. Jakarta: penerbit

buku kedokteran EGC

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I

Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

23