analgetik

22
Mekanisme Kerja Obat A. Analgetika Menurut Tjay dan Rahardja (2007), Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah suatu zat kimia yang dapat mengurangi atau bahkan menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran hal tersebut yang menjadi pembeda antara anastetika umum dengan analgetika. Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah suatu sensasi yang tidak mengenakan yang biasanya erat kaitannya dengan derajat kerusakan. Terdapat dua jenis rasa nyeri, yaitu rasa nyeri yang cepat dan lambat. Rasa nyeri yang cepat dirasakan 0,1 detik setelah stimulus nyeri dikenakan sedangkan rasa nyeri yang lambat dirasakan 1 detik setelah stimulus nyeri dikenakan dan akan semakin meningkat setelah beberapa detik atau menit. Nyeri cepat sering disebut dengan nyeri tajam, nyeri akut, dan nyeri listrik. Sedangkan nyeri lambat sering disebut dengan nyeri kronis, dan nyeri berdenyut (Guyton dan Hall, 2006). Rasa nyeri ini merupakan gejala sebagai isyarat adanya gangguan pada jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik, dan kejang otot. Nyeri tersebut disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimia, dan fisis. (Sherwood, 2007). Rangsangan tersebut dapat memicu

Upload: jamie-alvarado

Post on 15-Feb-2016

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

analgetik

TRANSCRIPT

Page 1: analgetik

Mekanisme Kerja Obat

A. Analgetika

Menurut Tjay dan Rahardja (2007), Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah

suatu zat kimia yang dapat mengurangi atau bahkan menghalau rasa nyeri tanpa

menghilangkan kesadaran hal tersebut yang menjadi pembeda antara anastetika

umum dengan analgetika.

Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah

suatu sensasi yang tidak mengenakan yang biasanya erat kaitannya dengan derajat

kerusakan.

Terdapat dua jenis rasa nyeri, yaitu rasa nyeri yang cepat dan lambat. Rasa nyeri

yang cepat dirasakan 0,1 detik setelah stimulus nyeri dikenakan sedangkan rasa

nyeri yang lambat dirasakan 1 detik setelah stimulus nyeri dikenakan dan akan

semakin meningkat setelah beberapa detik atau menit. Nyeri cepat sering disebut

dengan nyeri tajam, nyeri akut, dan nyeri listrik. Sedangkan nyeri lambat sering

disebut dengan nyeri kronis, dan nyeri berdenyut (Guyton dan Hall, 2006).

Rasa nyeri ini merupakan gejala sebagai isyarat adanya gangguan pada jaringan

seperti peradangan, infeksi jasad renik, dan kejang otot. Nyeri tersebut disebabkan

oleh rangsangan mekanis, kimia, dan fisis. (Sherwood, 2007). Rangsangan

tersebut dapat memicu pelepasan zat tertentu disebut mediator nyeri diantanya

yaitu histamine, bradikin, leukotriene, dan prostaglandin. Seluruh rangsangan

tersebut merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf bebas di

kulit, mukosa serta jaringan.

1. Penggolongan Obat

Berdasarkan dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi menjadi dua

kelompok besar diantaranya yaitu:

a. Analgetika perifer (non-narkotika)/OAINS

Analgetika perifer merupakan obat-obatan yang tidak bersifat narkotik dan

tidak bekerja sentral. Obat-obat analgetika perifer diantaranya adalah

Page 2: analgetik

analgetika antipiretik, dan analgetika antiinflamasi (Suleman, 2006).

Untuk memudahkannya dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

1) Obat yang berefek analgesik dan antiinflamasi lemah, misalnya:

parasetamol.

2) Obat yang berefek analgesik dan antiinflamasi ringan sampai sedang,

misalnya derivate asam propionate yaitu ibuprofen.

3) Obat yang berefek analgesik dan antiinflamsi kuat, misalnya derivate

asam salisilat (aspirin), derivat pirazolon (fenilbutazon, dipiron),

derivat asam asetat (diklofenak), dan derivat oksikan (piroksikam).

Menurut Tjay dan Rahardja (2007), secara kimia analgetika perifer dibagi

menjadi beberapa kelompok, yaitu:

1) Parasetamol

2) Salisilat, misalnya adalah asetosal, salisilamida, dan benorilat.

3) Penghambat prostaglandin (NSAIDs), misalnya ibuprofen.

4) Derivate antranilat: mefenaminat, glafenin

5) Derivate pirazolinon: propifenazon, isopropilaminofenazon, dan

metamizol

6) Lainnya: benzidamin (tantum)

Penggunaan obat ini dapat menghilangkan atau menurunkan rasa nyeri

tanpa menghilangkan kesadaran atau bahkan menyebabkan ketagihan. Zat

ini kebanyakan berkhasiat sebagai antipiretik dan antiradang. Obat ini

digunakan pada nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang seperti nyeri

kepala, nyeri gigi, nyeri otot, atau nyeri sendi, nyeri perut, nyeri haid,

nyeri akibat benturan atau trauma.

1) Daya antipiretik

Hal ini berkaitan dengan rangsangan pada pusat pengatur kalor di

hypothalamus. Mengakibatkan vasodilatasi perifer dikulit dengan

meningkatnya pengeluaran kalor dan disertai banyaknya keringat.

2) Daya antiradang

Page 3: analgetik

Hal ini berkaitan dengan analgetika sebagai antiradang zat-zat

penghambat prostaglandin.

Efek samping penggunaan obat analgetika perifer (non narkotik)/OAINS

adalah gangguan lambung dan usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan

ginjal, dan juga reaksi alergi kulit. efek samping diatas dapat timbul akibat

penggunaan analgetika dalam dosis tinggi dan kontinyu, oleh karena itu

penggunaan analgetika secara kontinyu tidak dianjurkan (Tjay dan

Rahardja, 2007).

b. Analgetika narkotik (Opioid)

Analgetika narkotika disebut juga dengan opioida (mirip opiate).

Analgetika narkotik digunakan untuk mengahalau rasa nyeri yang hebat

misalnya: fraktura dan kanker. Sering disebut dengan opioida (mirip

opiate). Obat ini merupakan zat yang bekerja terhadap reseptor opioid

khas di sistem saraf pusat, sehingga persepsi nyeri dan respons emosional

terhadap nyeri berubah atau dikurangi. Analgesika narkotika ini dapat

bertindak pada empat macam reseptor dalam tubuh untuk menimbulkan

efek analgesia yaitu reseptor mu, kappa, delta dan sigma. tubuh

mensintesa zat-zat opioidnya sendiri yaitu zat-zat endorphin yang bekerja

melalui reseptor opioid (Tjay dan Rahardja, 2007).

Penggolongan analgetika narkotika (opioid) terbagi menjadi 3 kelompok,

yakni:

1) Agonis Opiat, dibagi kedalam:

a) Alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, dan nikomorfin.

b) zat-zat sintetis: metadon, dan derivatnya (dekstromoramida,

proksifen, bezitramida), petidin, dan derivatnya (fentanyl,

sulfetanil), dan tramadol.

Cara kerja obat-obat diatas hampir sama dengan morfin namun

berlainan potensi lama kerja, efek samping, dan risiko ketergantungan

fisik.

Page 4: analgetik

2) Antagonis Opiat, diantaranya adalah nalokson, nalorfin, pentazosin,

dan buprenorfin (temgesik). bila digunakan sebagai analgesik maka

dapat menjadi reseptor.

3) Campuran, diantaranya adalah nalorfin, nalbufin. Zat-zat ini dengan

kerja campuran mengikat pada reseptor dan opioid, tidak

menimbulkan depresi pernafasan.

Penggunaan analgetika narkotik didasarkan pada prinsip untuk

menghilangkan rasa nyeri dilihat dari penyebabnya dan obat tersebut

apakah layak sesuai dengan tangga analgetika. tangga analgetika (tiga

tingkat) berdasarkan WHO menyusun untuk analgetika dengan nyeri hebat

yakni:

1) Non-opiade: NSAID’s, diantaranya asetosal, parasetamol, dan kodein.

2) Opioda lemah: d-propoksifen, tramadol, dan kodein atau juga bisa

kombinasi parasetamol dengan kodein.

3) Opioda kuat: morfin dan derivatnya (heroin) serta opiioda sintesis.

Tujuannya adalah untuk menghindari risiko kebiasaan dan adiksi untuk

opioida bila diberikan sembarangan.

Efek samping yang diakibatkan adalah dapat berupa:

1) Supresi SSP

Misalnya sedasi, menekan pernafasan, dan batuk, miosis, hypothermia,

dan perubahan suasana jiwa (mood). bahkan pada dosis yang lebih

tinggi dapat menyebabkan penurunan aktivitas mental dan motoris.

2) saluran napas, bronchokonstriksi, pernafasan menjadi lebih dangkan

dan frekuensinya menurun.

3) Sistem sirkulasi, vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi dan

bradicardia.

4) Saluran cerna: sekresi pankreas, usus dan empedu berkurang

5) Saluran urogenital: retensi urin, motilitas uterus berkurang.

6) Histamin liberator: urticarial dan gatal-gatal, karena menstimulasi

oelepasan histamine.

Page 5: analgetik

7) Kebiasaan, dengan risiko adiksi pada penggunaan jangka waktu yang

lama.

(Tjay dan Rahardja, 2007).

2. Mekanisme Kerja Obat

a. Analgetika perifer (non narkotik) / OAINS

Mekanisme kerja obat analgetika perifer (non narkotik)/OAINS dan

berkaitan dengan tiga efek yaitu:

1) Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi

2) Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri

3) Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat

Ketiga efek tersebut berkaitan dengan tindakan awal obat yaitu

penghambatan arakidonat siklooksigenase yang sekaligus menghambat

sintesis prostaglandin dan tromboksan (Rang et al., 2003).

Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-

1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan

termasuklah platlet darah (Rang et al., 2003). Enzim ini memainkan

peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya

ginjal, saluran cerna dan trombosit.

Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang

bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori.

Stimulus inflamatoar tersebut seperti sitokin inflamatori primer yaitu

interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin

dan faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat

penting dalam aktivasi enzim tersebut.

COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular

dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis

trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi

dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh

COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan

Page 6: analgetik

menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek

anti-proliferatif (Gunawan et al., 2008).

1) Efek antipiretik

Suhu tubuh yang normal diregulasi oleh pusat suhu di hipotalamus

dengan cara mengatur keseimbangan antara penggunaan dan

penghasilan panas. Demam berlaku apabila terdapat suatu gangguan

pada termostat hipotalamus ini yang kemudiannya dapat menyebabkan

suhu set-point tubuh meningkat. Di sinilah peran OAINS dalam

mengembalikan suhu tubuh seperti semula dengan terjadinya dilatasi

pembuluh darah superfisial, berkeringat dan lain-lain) maka set-point

tubuh kembali normal (Rang et al, 2003).

2) Efek analgesik

OAINS terutamanya sangat efektif dalam meredakan rasa nyeri yang

berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan karena ia

menurunkan produksi prostaglandin yang mensensitisasikan

nosiseptor kepada mediator-mediator inflamasi seperti bradikinin.

Oleh itu, zat-zat ini efektif dalam menanggulangi nyeri gigi, dan

dismenorea (semua kondisi yang berhubungan dengan peningkatan

sintesis prostaglandin).

3) Efek antiinflamasi

Terdapat berbagai mediator kimiawi yang menyebabkan reaksi

inflamasi dan alergi. Setiap respon seperti vasodilatasi, peningkatan

permeabilitas vaskuler, dan akumulasi sel.

OAINS menurunkan hampir semua komponen respon inflamasi dan

reaksi imun di mana COX-2 memainkan peranannya seperti :

a) Vasodilatasi

b) Edema (oleh mekanisme tidak langsung: vasodilatasi membantu

tindakan mediator inflamasi seperti histamin yang meningkatkan

permeabilitas venul postkapiler)

c) Nyeri

Page 7: analgetik

Kesimpulannya, golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase

sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat

menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang

berbeda (Gunawan et al., 2008).

b. Analgetika narkotik (Opioid)

Endofin bekerja dengan menduduki reseptor-reseptor nyeri di

SSP(Susunan Saraf Pusat), hingga perasaan nyeri dapat diblokir. tetapi

bila analgetika tersebut digunakan terus-menerus pembentukan reseptor

baru distimulasi dan diproduksi endorphin di ujung saraf otak dirintangi.

akibatnya menyebabkan terjadinya kebiasaan dan ketagihan (Tjay dan

Rahardja, 2007).

3. Indikasi dan Kontraindikasi

Berdasarkan penggolongan obat analgesik diatas maka kita dapat mengetahui

beberapa indikasi dan kontraindikasi.

Indikasi obat analgesik perifer (non narkotik) / OAINS secara umum adalah:

a. Paracetamol

Paracetamol memiliki khasiat berupa analgetis untuk nyeri ringan hingga

sedang dan antipiretis, namun tidak antiradang. Indikasi menggunakan

paracetamol adalah untuk mengurangi nyeri pada kondisi sakit kepala,

nyeri otot, sakit gigi, nyeri pasca operasi minor, dan nyeri trauma ringan.

Selain itu, berguna untuk menurunkan demam yang disebabkan karena

penyakit dan dapat digunkan pada kondisi kelainan kardiopulmonal

kronis, kelainan metabolik, penyakit neurologis, dan pada anak yang

berisiko kejang demam (Tjay dan Rahardja, 2007).

b. OAINS

1) Ibuprofen           : reumatik arthtritis, mengurangi rasa nyeri, kekakuan

sendi, dan pembengkakan.

2) Diclofenac          : Obat ini diindikasi untuk pasien dengan berbagai

bentuk radang dan degeneratif dari reumatik seperti: artritis

Page 8: analgetik

reumatoid, spondilitis ankilosis, osteoartritis, serangan gout (kadar

asam urat yang tinggi) akut, sindrom nyeri pada tulang belakang.

Selain itu Diclofenac dapat digunakan untuk indikasi nyeri akibat

trauma, nyeri pasca operasi, aman diberikan pada penderita infeksi

telinga, hidung, dan tenggorokan (Tjay dan Rahardja, 2007).

Kontraindikasi obat analgesik perifer (non narkotik) / OAINS secara umum

adalah:

a. Parasetamol

Paracetamol tidak dapat diberikan untuk penderita hipertensi  atau yang

menderita alergi paracetamol dan pada penderita gangguan fungsi hati

berat.

b. OAINS

1) Ibuprofen      : tidak dapat diberikan pada ibu hamil dan menyusui. 

2) Diclofenac     : penderita hipersensitif terhadap diclofenac, penderita

asma, urtikaria, alergi aspirin, dan penderita tukak lambung.

(Tjay dan Rahardja, 2007).

Indikasi obat analgesik narkotik/opioid secara umum adalah:

1) Penangan jenis nyeri yang sedang hingga berat dan kronis yang bersifat

ganas atau tidak ganas melalui infus epidural dan intratekal

2) Mengurangi nyeri pascaoperasi dengan dosis terbatas

3) Penanganan pada kasus kronis yang disebabkan karena penyakit kronis

atau stadium akhir sangat diperhatikan dari waktu pemberiannya yaitu

diberikan pada selang waktu yang singkat

(Goodman dan Gilman, 2007).

Kontraindikasi obat analgesik narkotik/opioid secara umum adalah:

1) Pemberian opioid yang tidak tepat pada nyeri satdium akhir dan nyeri

kanker

2) Penderita penyakit respiratori kronis

3) Penyakit radang usus parah

4) Tidak dapat diberikan bersamaan dengan penggunaan alkohol

Page 9: analgetik

(Goodman dan Gilman, 2007).

4. Dosis Terapeutik

Menurut Tjay dan Rahardja (2007), dosis terapeutik obat analgesik perifer

(non narkotik) / OAINS berdasarkan golongannya:

a. Aminofenazon

1) Isopropilaminofenazon merupakan derivate aminopirin dengan dosis

oral, rektal atau intra vena 3 dd 400 mg selamat 1 mingg kemudian

600 mg/hari.

2) Propifenazon derivate fenazon tanpa daya antiradang dengan dosis 1-3

dd 150-300 mg umumnya terkombinasi dengan analgetika lain.

3) Metamizol derivate sulfonat dari aminofenazon yang larut dalam air.

obat ini sering dikombinasikan dengan aminofenazon. obat ini secara

tidak terduga dapat menyebabkan kelainan darah. karena itu obat ini

sudah tidak beredar dibanyak negara seperti AS, Swedia, Inggris, dan

Belanda. Dosisnya oral 0,5-4 g sehari dalam 3-4 dosis.

b. Asam salisilat

1) Diflunisal adalah derivate difluorfenil. Dengan dosis untuk nyeri, juga

rema permulaan 0,5-1 g, disusul dengan 2 dd 0,25-0,5 g maks 1,5

g/hari.

2) Benorilat adalah estersetosal dengan parasetamol. Dosisnya adalah

maks 4 dd 0,5-1 g.

3) Salisilamida adalah derivate salisilat. Dosis 3-4 dd 0,5-1 g.

4) Natriumsalisilat lebih lemah khasiatnya disbanding dengan asetosal.

Dosis 4-6 dd 1-1,5 g, maks 12 g/hari.

5) Metilsalisilat adalah cairan dengan bau khas dari daun dan akar

tumbuhan akar wangi. Metilsalisilat digunakan pada kulit dalam obat

gosok dank rem 3-10% untuk nyeri sendi dan nyeri otot.

c. Fenilbutazon

Page 10: analgetik

Mirip dengan fenazon, khasiat antiradangnya lebih kuat dibandingkan

dengan daya analgetisnya. Dosisnya pada serangan rema atau encok oral

dan rektal 2-3 dd 200 mg.

d. Glafenin

Suatu derivate 4 aminokinolin yang terikat pada asam antranilat.

Dosisnya, permulaan 400 mg lalu 3-4 dd 200 mg maks 1 g sehari.

e. Parasetamol

Derivat asetanilida dengan khasian analgetis dan antipiretik tetapi bukan

antiradang. Dosis: untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maks 4

g/hari, pada penggunaan kronis maks 2,5 g/hari. Anak-anak 4-6 dd 10

mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 thn 120-180 mh, 4-6 thn

180 mg, 7-12 thn 240-360 m, 4-6 kali sehari. Untuk rektal 20 mg/kg setiap

kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-2

thn 2-3 dd 240 mg 4-6 thn 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 mg.

f. Tramadol

Analgetikum opiate ini tidak menekan pernapasan dan praktis tidak

mempenharuhi system kardiovaskular dan motilitas lambung-usus. Dosis:

anak-anak 1-14 tahun : 3-4 dd 1-2 mg/kg. Diatas 14 tahun 3-4 dd 50-100

mg, maks 400 mg sehari.

Menurut Tjay dan Rahardja (2007), dosis terapeutik obat analgesik

narkotik/opioid berdasarkan golongannya:

a. Morfin

Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperoleh dari

tumbuhan. Dosis dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam HCl, s.c/i.m 3-6 dd

5-20 mg. Sedangkan anak-anak oral 2dd -,1-0,2 mg/kg.

b. Kodein

Dosis pada nyeri oral 3-6 dd 15-60 mg garam HCl, anak-anak diatas 1

tahun 3-6 dd 0,5 mg/kg. pada batuk 4-6 dd 10-20 mg/kg.

c. Fentanil

Page 11: analgetik

Dosis pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain

bila perlu diulang dua kali.

d. Metadon

Dosis pada nyeri oral 4-6 dd 2,5-10 mg garam HCl maks 150 mg/hari.

Terapi pemeliharaan pecandu : permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 m

lalu 1 dd 50-100 mg selama 6 bulan.

e. Tramadol

Dosis diatas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg maks 400 mg sehari. Anak-anak

diatas 1 tahun 3-4 dd 102 mg/kg.

f. Nalokson

Dosis pada overdose opioda intravena permula 0,4 mg bila perlu diulang

setiap 2-3 menit.

g. Pentazosin

Dosis pada nyeri sedang-kuat 3-4 dd 50-100 mg maks 600 mg sehari.

B. Skenario Case Study-1

Doni (24 tahun) seorang pemuda lulusan sarjana datang karena rasa nyeri yang

tajam pada gigi belakang bawah kiri yang berlubang. Pada saat pemeriksaan,

dokter gigi menemukan kavitas yang cukup besar pada gigi 36 dengan warna

kemerahan pada bagian gusi disekitarnya. Doni menceritakan bahwa keluhannya

ini berulang kali terjadi dan mereda saat minum obat puyer yang diperoleh di toko

tetangganya. Dua hari yang lalu rasa sakitnya kambuh dan obat yang biasanya

diminum tidak meredakan nyeri tersebut. Setelah kavitas dibersihkan, dokter gigi

kemudian meresepkan obat Antalgin untuk Doni.

Diskusikan kasus tersebut dengan pendekan pada jenis terapi yang diberikan,

sehingga dapat membahas mengenai:

1. Mekanisme kerja obat

2. Berbagai golongan obat

3. Indikasi dan kontraindikasi

Page 12: analgetik

4. Dosis terapeutik

C. Pembahasan Kasus

Berdasarkan skenario pada kasus tersebut dapat dianalisa untuk mendapatkan

pemilihan analgesik yang tepat.

1. Pemeriksaan intraoral

Terdapat kavitas yang cukup besar pada gigi 36 / karies pada gigi 36 diikuti

dengan warna kemerahan pada bagian gusi disekitarnya.

2. Diagnosis nyeri

Nyeri tersebut tergolong pada nyeri akut. Diakibatkan oleh stimulus noksius

yang berasal dari kerusakan jaringan sebagai suatu proses penyakit yaitu

karies pada gigi 36 yang menimbulkan nyeri. Nyeri akut ini bersifat nosiseptik

dimana sistem syaraf berfungsi secara normal sebagaimana mestinya, dan

nyeri akut ini biasanya berlangsung selama 3-5 hari dan kemudian mereda.

3. Prediksi intensitas nyeri

Intensitas nyeri yang dialami oleh pasien dimungkinkan adalah nyeri ringan

hingga sedang. Hal ini dikarenakan pada karies tersebut terjadi reaksi

inflamasi yang ringan.

4. Medikasi penggolongan obat

Berdasarkan analisa pemeriksaan intraoral, diagnosis nyeri, dan prediksi

intensitas nyeri medikasi dapat diberikan berupa obat analgesik. obat

analgesik yang digunakan adalah analgetika perifer (non narkotika/OAINS).

Page 13: analgetik

Dikarenakan analgetika perifer yang tidak bekerja sentral dan berkaitan untuk

mengurangi terjadinya inflamasi. Serta hal ini berkaitan pula dengan diagnosis

nyeri yang bersifat nosiseptik yaitu terjadi pada sistem saraf perifer sedangkan

sistem syaraf pusatnya normal.

Penggunaan analgetika perifer/OAINS ini dimaksudkan untuk meredakan

nyeri dan mengatasi inflamasi. Golongan analgetika perifer/OAINS tersebut

adalah derivate pirazolinon (metampiron) dengan nama dagang yang dikenal

oleh masyarakat adalah danalgin.

Komposisi danalgin adalah metampiron 500 mg dan diazepam 2 m (Tjay dan

Rahardja, 2007).

5. Mekanisme kerja obat danalgin

Farmakologi: metampiron yang merupakan kandungan obat danalgin ini

bekerja sebagai analgesic antiinflamasi dengan menghambat pembentukan

prostaglandin melalui penghambatan enzim cyclooxygenase dan diazepam

yang bersifat tranquilizer. Tranquilizer adalah termasuk golongan obat

penenang. Dimana dibagi menjadi dua yaitu tranquilizer minor dan

tranquilizer mayor. Tranquilizer minor adalah obat-obatan penenang golongan

benzodiazepine yang salah satu contohnya adalah diazepam.

6. Indikasi dan kontraindikasi obat danalgin

a. Indikasi danalgin

Nyeri otot dan kolik yang sedang hingga berat terutama pasca operasi

dimana membutuhkan kombinasi dengan tranquilizer.

b. Kontraindikasi danalgin

1) Bayi yang berumur dibawah 6 bulan

2) Ibu hamil dan menyusui

3) Depresi pernafasan

4) Penderita dengan tekanan sistolik <100 mmHg

5) Gangguan pulmoner akut

6) Glaukoma

7) Psikosis akut

Page 14: analgetik

7. Dosis terapeutik danalgin

Sediaan obat danalgin adalah kaplet yaitu kapsul tablet.

Penggunaanya:

Dewasa: 1 kaplet tiap 6-8 jam perhari. Maksimal 6 kaplet dalam satu hari.

D. Referensi

Hardman, J., Limbird, L., Gilman, A., 2007, Dasar Farmakologi Terapi Vol.1, EGC, Jakarta

Gunawan, S.G., Nafrialdi, R.S., Elysabeth., 2007, Farmakologi dan Terapi, Departemen Farmakologi dan Teurapeutik FK-UI, Jakarta.

Guyton, A.C., Hall, J.E., 2006, Medical Physiology 11th ed, Elsevier Inc, China.

Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2003, Pharmacology 5th ed, Churchill Livingstone, UK.

Sherwood, L., 2007, Human Physiology 6 th ed, Thomson Books/ Cole, China.

Tjay, T. N., Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi 6, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.