analisa vertical total electron content
TRANSCRIPT
ISSN: 1411-3082
121 ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA 26 MEI 2006 UTC
I Made Kris Adi Astra dan I Putu Pudja
ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER
DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA
YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA
26 MEI 2006 UTC
I Made Kris Adi Astra1, I Putu Pudja
2
1Jurusan Geofisika, Akademi Meteorologi dan Geofisika
2Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
ABSTRAK
Kenyataan bahwa dampak gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (local time) memberikan dampak negatif bagi kehidupan menjadikannya salah satu bencana yang tidak
memberikan waktu yang cukup lama untuk sebuah peringatan. Sebelumnya, telah banyak
dilakukan penelitian untuk membangun sebuah system yang diharapkan memberikan petunjuk untuk mem-pre-deteksi gempabumi. Salah satunya adalah pendekatan dengan
Seismo-Ionospheric Coupling. Dalam pemikiran ini dijelaskan tahapan-tahapan yang
terjadi di Ionosfer ketika gempabumi akan terjadi dan saat terjadi.Dalam tulisan ini dipilih Densitas Elektron dalam arah Vertical (Vertical Total Electron Content) di
Ionosfer sebagai parameternya. Total Electron Content (TEC) adalah jumlah elektron
dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan sinyal
perangkat GPS yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km.Dari analisa didapatkan, terjadi tiga kali penurunan nilai VTEC yang signifikan di daerah
Jawa dan sekitarnya. Yaitu pada 18, 20 dan 22 Mei 2006. Namun setelah dikoreksi Dst
Index, penurunan nilai VTEC pada tanggal 18 Mei 2008 berkaitan dengan gangguan magnetic. Selanjutnya pada tanggal 20 Mei 2006 dan 22 Mei 2006, penurunan nilai VTEC
diindikasikan sebagai akibat dari proses fisis Seismo-Ionospheric Coupling sebelum
terjadinya gempabumi. Hal ini diperkuat dari koreksi Dst. Index yang tidak menunjukan adanya gangguan magnetic yang berarti.
Kata kunci: Seismo-Ionospheric Coupling, VTEC, Dst. Index
ABSTRACT
Earthquake that struck Jogjakarta on May 27 2006 (local time) gives negative impact to
life and it became of no awareness disaster. Previously, there are many researches that
developed a system which can give signal to earthquake pre-detection. One of them is
Seismo-Ionosperic Coupling. This research, explain phases in Ionospere before and after shock.Electron densities in vertical direction in Ionospere (Vertical Total Electron
Content) is selected as parameter. Total Electron Content (TEC) is defined as the amount
of electron in vertical column (cylinder) with cross-section of 1 m2 along GPS signal
trajectory in Ionospere at arround 350 km of height.There are three times of significant
decrease of VTEC value in Java and its surrounding, i.e. at 18, 20, 22 of May 2006.
However, after corrected by Dst Index, the decrease VTEC value on May 18 2008 has relationship with magnetic disturbance. The decrease of VTEC value on May 20 and May
122
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 10 NOMOR 2 TAHUN 2009 : 121 – 131
22 2006 is indicated as effect of Seismo-Ionosperic Coupling physical process before
shock. This is supported by correction of Dst. index that shows there is no significant
magnetic disturbance.
Keywords : Seismo-Ionospheric Coupling, VTEC, Dst. Index
1. PENDAHULUAN
Kenyataan bahwa gempabumi memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan terlihat
begitu nyata ketika gelombang ini
meluluhlantakkan bangunan, mematahkan
jembatan, memicu gelombang tsunami dan memakan ratusan ribu korban jiwa. Gelombang
yang terpancar secara tiba-tiba dari suatu sistem
pelepasan energi pada batuan ini sangat sukses menjadikan dirinya sebagai bencana alam yang
tidak memberikan waktu lama untuk sebuah
peringatan. Sehingga muncul gagasan-gagasan untuk memantau, mempre-deteksi bahkan
memprediksi kapan akan terjadinya sebuah
gempabumi secara komprehensif.
Selama bertahun-tahun metode untuk memprediksi kapan akan terjadinya gempabumi
dibangun sedemikian rupa, tahap demi tahap.
Banyak metode yang digunakan untuk hal terebut diantaranya metode matematis-statistik dan
metode fisis. Metode matematis-statistik
dianggap cukup mampu untuk menjelaskan fenomena pengulangan siklus gempabumi yang
dinamakan periode ulang. Namun karena
kompleksitas gaya yang bekerja pada bidang
sumber gempabumi, metode statistik periode ulang dianggap belum cukup untuk memprediksi
gempabumi dalam waktu yang spesifik pada saat
akan terjadinya gempabumi. Belakangan, metode dengan
memperhatikan kondisi fisis di sekitar titik pusat
epicenter gempa semakin giat dikembangkan.
Sebut saja pengukuran terhadap anomali emisi gas radon, pengukuran air tanah, gejala
geomagnet, dan gangguan pada konsentrasi
electron di ionosfer sebelum terjadinya gempabumi. Pengukuran perubahan sifat fisis
tersebut sebelum terjadinya gempabumi
diharapkan memberikan petunjuk awal precursor prediksi gempabumi dalam waktu
yang singkat (short term prediction).
Dengan menggunakan parameter Total
Electron Content (TEC) atau sering juga disebut
dengan densitas elektron, maka akan diketahui jumlah elektron dalam kolom vertikal (silinder)
berpenampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan
sinyal Ionosonde ataupun perangkat GPS dalam
lapisan ionosfer. Saat sebelum terjadinya gempabumi, konsentrasi elektron-elektron
tersebut akan terganggu. Gangguan ini dijelaskan
dalam model fisis mekanisme Seismo-Ionosperic Coupling.
Model fisis ini terdiri dari beberapa
tahapan sebelum nantinya menyebabkan ketidakteraturan konsentrasi elektron di ionosfer
dalam skala yang besar. Mulai dari tahap
persiapan, pembentukan plasma, clustering ion,
dan pembangkitan medan anomali elektrik. Tulisan ini mengkhususkan pada
identifikasi anomali nilai dari kerapatan elektron
tersebut sebelum terjadi gempabumi. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui
apakah ada fluktuasi nilai Vertical TEC ketika
akan terjadinya gempabumi dan kemungkinan anomali ini digunakan untuk mempre-deteksi
akan datangnya gempabumi.
Dan lingkup penelitian ini difokuskan pada
gangguan konsentrasi elektron di ionosfer dalam arah vertical (nilai vertical TEC) beberapa hari
menjelang terjadinya gempabumi yang terjadi
pada saat gempa Yogyakarta 26 Mei 2006 pada UTC atau 27 Mei 2006 WIB.
2. LANDASAN TEORI
2.1. Teori Gempabumi
2.1.1. Elastic Rebound Theory
Gempabumi merupakan pelepasan energi
secara tiba-tiba dari energi strain yang
terakumulasi dalam periode waktu tertentu. Kemudian termanifestasi kesegala arah dalam
ISSN: 1411-3082
123 ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA 26 MEI 2006 UTC
I Made Kris Adi Astra dan I Putu Pudja
rangkaian gelombang dan kejutan. Gempabumi
dipercayai terjadi karena sebuah mekanisme yang mengacu kepada Elastic Rebound Theory. Teori
ini dikembangkan pada tahun 1906 setelah
terjadinya gempabumi San Francisco.
Mekanismenya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Gambar 1. Elastic Rebound Theory
Apabila terdapat dua buah gaya yang
bekerja dengan arah yang berlawanan pada batuan kulit bumi, maka batuan tersebut akan
terdeformasi. Hal ini dikarenakan batuan
mempunyai sifat elastis. Bila gaya yang bekerja pada batuan terjadi secara terus menerus, maka
lama kelamaan daya dukung pada batuan akan
mencapai batas maksimum dan akan mulai
terjadi pergeseran. Akibatnya batuan akan mengalami patahan secara tiba – tiba sepanjang
bidang patahan. Setelah itu batuan akan kembali
stabil, namun sudah mengalami perubahan bentuk dan posisi. Pada saat batuan mengalami
gerakan yang tiba–tiba akibat pergeseran batuan,
energi stress yang tersimpan akan dilepaskan
dalam bentuk getaran yang kita kenal sebagai gempa bumi.
2.1.2 Efek Piezo Electric dan formasi Antena
Dipole
T.K. Das membuat sebuah hipotesa tentang efek piezo elektrik pada patahan.
Menurut pandangan pemikiran ini, retakan yang
terjadi pada sebuah lempengan mengacu kepada stress termal. Lempengan menekan dan energi
stess termalnya dikeluarkan oleh geospot pada
batas bidang patahan.
Gambar 2 Keadaan Normal
Gambar 3 Strain Tumbuh
Gambar 4. Strain Dilepaskan
124
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 10 NOMOR 2 TAHUN 2009 : 121 – 131
Gambar 5. Kontraksi Sebelum Rebound
Gambar 6. Dilatasi Setelah Rebound
Terdapat lima buah garis lurus dan parallel yang mewakili serat elastis yang mengarah ke
garis patahan yang ditekan oleh mekanisme
energy dari geospot. Ketika dorongan pada
crustal rock di C lebih besar dari kekuatan batuan yang menahannya, maka terjadilah gempabumi.
Hasilnya pada daerah tersebut terjadi pergeseran
pada bidang patahan, yang berakibat terjadinya kompresi pada segmen BC dan C
1D serta dilatasi
pada CD dan BC1.
Getaran mekanis terjadi di daerah BD dan menghasilkn gelombang elastic (gelomban P dan
S) yang menjalar diantara B dan D. Pada saat
yang sama, batuan yang bersebelahan dengan
patahan akan kembali ke kesetimbangan awal (rebound) karena sifat dari material elastic batuan
tersebut. Setelah kembali ke posisi awal,
kedudukan dari B dan D ditunjukan pada gambar 2.4, dan menghasilkan kontraksi pada daerah
diantara B-C dan C1D. kontraksi pendek pada
batuan crystalline ini memunculkan arus pada
kedua sisi batuan seperti pada gambar 2.5. Begitu pula setelah pelepasan akumulasi stress. Terjadi
dilatasi pada batuan crystalline yang
menghasilkan arus dengan polaritas yang
berlawanan. Jenis formasi arus yang berasal dari kontraksi dan dilatasi dari batuan crystalline
dikenal dengan efek Piezo Electric.
Gambar 7. Kapasitor Piezo Electric (T.K.Das)
Seperti ditunjukkan pada gambar 2.7.
batuan crystalline yang menunjukkan efek Piezo Electric –bertindak sebagai kapasitor. Daerah
diantara B-C dan C1-D terisi oleh material
dielektrik silico. PQ dan RS adalah medium penghantar tempat arus elektik mengalir.
Medium penghantar dimana arus elektrik
berosilasi ini bertindak sebagai sebuah antenna
dipole. Konsekuensinya adalah memunculkan emisi elektromagnetik (T.K. Das)
2.2 Total Electron Content (TEC)
Total Electron Content adalah jumlah
elektron dalam kolom vertikal (silinder)
berpenampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan
sinyal perangkat GPS yang dilalui di lapisan
ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km.
Propagasi gelombang radio melalui ionosfer akan mengalami delay time sebagai akibat dari
keterkaitannya dengan elektron bebas di ionosfer.
Delay time ini dikarakteristikan oleh total electron content (TEC) ionosfer yang merupakan
fungsi dari variable-variabel seperti lokasi
geografis, waktu lokal, musim, radiasi eksrim UV
(Ultra Violet) dan aktivitas medan magnet. Jumlah ini merepresentasikan kerapatan atau
densitas dari electron di Ionosfer (electron
ISSN: 1411-3082
125 ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA 26 MEI 2006 UTC
I Made Kris Adi Astra dan I Putu Pudja
density). Nilai TEC dinyatakan dalam TEC Unit
(TECU) dimana 1 TEC Unit sama dengan 10
16 elektron/m
2.
Gambar 8. Penentuan Parameter Predeteksi
Gempabumi di Ionosfer dengan GPS
Penentuannya menggunakan perangkat GPS yang terdiri dari tiga segmen, segmen
angkasa, yaitu satelit GPS, segmen control yaitu
stasiun-stasiun pemonitor dan segmen pemakai. GPS Receiver dibumi memancarkan sinyal setiap
30 detik dan diterima oleh satelit GPS, sinyal-
sinyal tersebut kemudian diolah menjadi berbagai
produk, salah satunya adalah kerapatan electron di ionosfer atau TEC.
Jumlah elektron dan ion bebas pada lapisan
ionosfer ini bergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari.
2.3 Seismo-Ionospheric Coupling
Seismo-Ionospheric Coupling adalah pemikiran
yang dibangun untuk menjelaskan fenomena-
fenomena anomali di Ionosfer akibat dari terjadinya gempabumi. Fenomena ini terjadi di
berbagai lapisan Ionosfer yang meliputi :
Lapisan D, adalah lapisan yang paling dekat dengan bumi dengan ketinggian 50 hingga 90
km. Lapisan E, yang berada diatas lapisan D. Dan
lapisan F yang berada diatas lapisan E hingga ketinggian 400 km dari permukaan bumi.
2.3.1 Model Fisis Seismo-Ionospheric Coupling
Model fisis Seismo-Ionospheric Coupling dapat
dijabarkan seperti berikut :
Tahap permulaan dari precursor Ionosfer adalah pembentukan plasma di sekitar permukaan
bumi yang berasal dari reaksi ion-molekul
(setelah terionisasi oleh Radon) dengan pengikatan molekul air sehingga terbentuklah ion
pada lapisan atmosfer didekat permukaan bumi.
Hanya molekul air dengan momen dipole tinggi
yang dapat lolos dari terbentuknya cluster ion dari rekombinasi tersebut. Apabila terjadi tarikan
Coulomb pada cluster ion positif dan cluster ion
negatif maka cluster ion netral terbentuk. Dalam teori Dusty Plasma, proses ini disebut koagulasi.
Pembentukan cluster ion netral adalah proses
akhir dari tahapan permulaan.
Gambar 9. Diagram Fenomena Fisis Yang Terjadi
Saat Gempabumi
Tahap kedua adalah pembangkitan medan
anomali elektrik. Hal ini telah diketahui sesaat sebelum gempabumi terjadi. Pengeluaran gas
yang hebat dari kerak bumi (terutama CO2) di
daerah persiapan gempabumi. Dengan membangkitkan gerakan udara, gas tersebut
menciptakan ketidak-seimbangan yang dapat
memicu terbentuknya gelombang gravitasi akustik.
Pergerakan udara yang hebat ini berakibat
menghancurkan cluster ion netral karena
lemahnya interaksi Coulomb. Hasilnya, dalam waktu singkat lapisan atmosfer yang berada di
dekat permukaan bumi menjadi kaya akan ion. Proses selanjutnya adalah pemisahan
muatan. Pemisahan ini menimbukan medan
anomali elektrik yang kuat. Salah satu faktor
utama dari pemisahan muatan adalah perbedaan
126
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 10 NOMOR 2 TAHUN 2009 : 121 – 131
pergerakan dari ion positif dan negatif komponen
plasma atmosfer. Anomali medan elektromagnetik adalah
tahap akhir dari proses dari rantai proses pertama
Seismo-Ionospheric coupling di troposfer-
atmosfer bagian atas dan ionosfer. Medan anomali elektrik pada lapisan E
ionosfer menciptakan ketidakteraturan yang telah
dicatat dengan berbagai eksperimen. Pada lapisan F due efek yang penting harus dicatat. Pada
daerah dengan konduktivitas maksimal yang
mengacu kepada gelombang gravitasi akustik dari pemanasan Joule akan menciptakan
ketidakteraturan densitas electron (TEC) dalam
ionosfer dalam skala kecil. Proses tersebut
termanifestasi pada osilasi densitas elektron secara periodik. Seanjutnya terdapat formasi
ketidakteraturan konsentrasi elektron pada daerah
F2 di ionosfer. Hal ini telah tercatat oleh satelit maupun dari pengamatan yang berbasis di bumi
yang menggunakan Ionosonde dan jaringan GPS
receiver(Pulinets.2004).
Gambar 10. Diagram Blok Seismo-Ionospheric
Coupling
2.3.2 Anomali Ionosfer Karena Gempabumi
Berbagai eksperimen tentang pengaruh
gempabumi terhadap Ionosfer telah dilakukan
dan dicatat dalam tabel berikut :
ISSN: 1411-3082
127 ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA 26 MEI 2006 UTC
I Made Kris Adi Astra dan I Putu Pudja
Tabel 1. Precursor Gempabumi Pada Ionosfer
(Eksperimen) (Liperovsky. Et.al.2007)
Gambar 11. Kondisi TEC di Wilayah Pulau Sumatera
(Stasiun ABGS) pada bulan Desember
2004 (Hendri Subakti 2008)
Gambar 12. Kondisi TEC di Wilayah Pulau Sumatera
(Stasiun PSKI) pada bulan Maret 2005
(Henry Subakti 2008)
Kondisi TEC di wilayah Pulau Sumatera pada bulan Desember 2004. Gempabumi terjadi pada
tanggal 26 Desember, anomali terjadi pada
tanggal 21 Desember 2004. Gangguan natural akibat badai magnetik terjadi pada 5, 7, 8, 9
Desember 2004 dan kondisi TEC di wilayah
Pulau Sumatera pada bulan Maret 2005.
Gempabumi terjadi pada tanggal 28 Maret 2005, gangguan terjadi pada tanggal 22, 23 dan 24
Maret 2005 (Hendri Subakti, 2008).
3. DATA DAN METODOLOGI
3.1 Data
3.1.1 Data Gempabumi
Data gempabumi Yogyakarta didapatkan
dari Laporan Meteorologi dan Geofisika Mei
2006, Badan Meteorologi dan Geofisika.
Gempabumi Yogyakarata terjadi pada tanggal 26 Mei 2006 jam 22:53:57.0 waktu UTC
atau pada 27 Mei 2006 jam 05:53:57.0 WIB.
Dengan magnitudo 5.9 SR berpusat di 8.26 LS, 110.31 BT dengan kedalaman 33 km. Gempa
berada di laut, 37.2 km arah selatan Yogyakarta
128
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 10 NOMOR 2 TAHUN 2009 : 121 – 131
3.1.2 Data Total Electron Content (TEC)
Data Total Electron Content didapatkan dari Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa
(Pusfatsainsa), Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional di Bandung. Berada pada
6.894 LS dan 107.586 BT. Alat yang digunakan adalah GPS
TECMETER Ashtech Z/Y-12 Dual Frequency.
Alat ini menerima informasi setiap 30 detik secara kontinyu dari satelit GPS yang mengorbit
di atas Indonesia. Nilai TEC dinyatakan dalam
TEC Unit (TECU) dimana 1 TEC Unit sama dengan 10
16 elektron/m
2.
3.2 Metodologi
3.2.1 Pengolahan Data TEC
Dengan adanya medium dispersif pada
ionosfer, nilai TEC dapa diturunkan dari data
sinyal GPS yang terekam setiap 30 detik. Slant Total Electron Content (STEC) sepanjang
rambatan sinyal l antara satelit GPS, Tx, dan
receiver di bumi, Rx, dapat ditulis sebagai :
(3.1)
Dimana N adalah densitas electron dalam el/m
3, n menunjukkan tetapan indeks refraktif, f
dan fN menunjukan gelombang radio dan
frekuensi plasma dalam Hz. Dari rekaman rekaman ephemeris (parameter satelit GPS) dan
ketinggian sub-ionosfer lokal, STEC dapat
dikonversikan kedalam Vertical Total Electron
Content (VTEC). Baik STEC dan VTEC dinyatakan dalam TECU (Liu Et.All, 2004).
Gambar 13 Geometri Total Electron Content
(3.2)
Untuk model ionosfer ini digunakan h = 325 km;
(Hendri Subakti, 2008)
3.2.2 Pemilihan Parameter TEC
Dalam data TEC setiap satelit akan menampilkan informasi sebagai berikut:
Time (UT), menunjukkan waktu penerimaan
sinyal,
PRN, menunjukkan satelit yang
memancarkan sinyal,
Elevation, elevasi dari receiver di bumi,
Azimuth, azimuth dari receiver di bumi,
STEC (Code), Slant Total Electron Content,
VTEC (Code), Vertical Total Electron
Content,
STEC (Code & Phase),
VTEC (Code & Phase),
Latitude, Lintang dari perlintasan satelit
GPS,
Longitude. Bujur dari perlintasan satelit
GPS. Selanjutnya dipilih parameter VTEC (Code
& Phase) untuk semua hari. Parameter ini dipilih
dengan alasan fluktuasi yang lebih smooth
daripada VTEC code (Sri Ekawati, 2008).
ISSN: 1411-3082
129 ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA 26 MEI 2006 UTC
I Made Kris Adi Astra dan I Putu Pudja
Disini dianalisa data TEC selama sepuluh
hari dari hari kejadian gempa bumi hingga 9 hari kebelakang sebelum hari kejadian gempa bumi.
3.2.3 Identifikasi Sinyal Abnormal
Untuk menganalisa sinyal yang abnormal, digunakan perhitungan Running
median X untuk setiap epoch data. Running
median tersebut kemudian dihubungkan dengan Interquartile Range IQR(jangkauan interkuartil).
(3.3)
Kuartil adalah metoda statistik yang membagi
data menjadi empat bagian, yaitu Kuartil Pertama (Q1), Kuartil Kedua (Q2) dan Kuartil Ketiga
(Q3). Jangkauan iterkuartil (IQR) adalah selisih
dari kuartil ketiga dengan kuartil pertama.
IQR=Q3-Q1 …………………(3.4)
Untuk membentuk batasan atas (upper
bound) digunakan rumus :
Upper Bound = X + IQR …..(3.5)
Untuk membentuk batasan bawah (lower
bound) digunakan rumus :
Lower Bound = X – IQR …. (3.6)
pada setiap epoch data (Liu, Et.all,
2004)
3.2.4 Plotting Data
Setelah pemilihan parameter, selanjutnya data diplot untuk semua hari. Data diplot dengan
Software Matlab 7.
Untuk pemetaan digunakan software Surfer 7.
3.2.5 Koreksi Penunjang
3.2.5.1 Disturbance Storm Time Index (Dst
Index)
Dst adalah indeks geomagnet yang
digunakan untuk menunjukkan level badai
magnet di seluruh dunia. Dst indeks didapatkan
dari nilai rata-rata komponen horizontal medan
geomagnet pada lintang-lintang tengah dan lintang ekuatorial di seluruh dunia yang
mengukur intensitas dari equatorial electrojet
global. Dst Index yang bernilai negatif
mengindikasikan sebuah proses badai magnetik, semakin negatif nilai Dst index tersebut
menunjukkan intensitas sebuah badai magnetik
yang semakin kuat. Penyimpangan negatif pada Dst index
disebabkan oleh arus badai yang melintasi bidang
ekuatorial dari timur ke barat(ring current). Arus badai ini didapatkan dari gradien dan kurva
pergeseran elektron dan proton ionosfer bumi dan
berhubungan erat dengan kondisi angin matahari
(solar wind). Hasil dari arus ini adalah sebuah medan elektrostatik yang berarah timur-barat
pada ionosfer ekuatorial. Saat berada pada medan
geomagnetik horizontal, medan elektrik ini menghasilkan peningkatan aliran arus pada ±3
0
dari ekuator magnetik, hal ini dikenal dengan
equatorial electrojet. Dst Index ini digunakan sebagai koreksi
gangguan selain akibat dari gempabumi.
Gambar 14. Diagram Alir Pengolahan dan Analisa
Data
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN
Dari pengolahan data telah didapatkan
variasi VTEC selama sepuluh hari. Nilai TEC akan mengikuti suatu siklus normal, saat pagi
hari menuju siang hari local time nilai VTEC
akan naik. Nilai VTEC tertinggi berada pada tengah hari. Selanjutnya turun kembali dan
berlanjut ke hari berikutnya.
130
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOLUME 10 NOMOR 2 TAHUN 2009 : 121 – 131
Pada hari H-8 dari gempabumi yaitu 18
Mei 2006 UTC terjadi penurunan jumlah kandungan electron VTEC yang cukup
signifikan. Namun setelah dilakukan koreksi
dengan Dst Index didapatkan gangguan magnetik
pada waktu tersebut. Yang mengindikasikan terjadi gangguan natural di ionosfer oleh aktifitas
matahari.
Pada hari H-6 dari gempabumi yaitu 20 Mei 2006 UTC terjadi penurunan jumlah
kandungan electron VTEC. Penurunan tersebut
dapat dilihat setelah tengah hari waktu local. Penurunan ini diindikasikan karena telah
melewati fase-fase fisis dalam mekanisme
Seismo-Ionospheric coupling. Hal tersebut
diperkuat dari koreksi Dst Index. Dimana pada tanggal 20 Mei 2006 tidak terdapat gangguan
magnetic global.
Selanjutnya pada H-4 dari gempabumi yaitu 22 Mei 2006 UTC kembali terjadi
penurunan jumlah kandungan electron VTEC.
Penurunan yang cukup tajam tersebut terlihat setelah melewati tengah hari waktu lokal.
Kembali dilakukan koreksi menggunakan Dst
Index, dan didapatkan tidak terjadi gangguan
natural berupa gangguan magnetic di ionosfer. Dengan kata lain dapat diindikasikan penurunan
kandungan electron VTEC disebabkan oleh
gempabumi di lapisan Litosfer bumi.
Gambar 15. Variasi VTEC pada 17 Mei 2006 26 Mei
2006
Gambar 16. Kontur Variasi VTEC Di Daerah Jawa
dan Sekitarnya pada 17 Mei 2006
hingga 26 Mei 2006
5. KESIMPULAN
Dari hasil pengolahan data dan analisa,
dapat disimpulkan bahwa :
1. Terjadi penurunan jumlah kandungan
electron di ionosfer VTEC pada tanggal 18 Mei 2006 UTC, yaitu delapan hari
sebelum gempabumi Yogjakarta.
Penurunan ini berasosiasi dengan
gangguan magnetic yang dapat dilihat dari Dst Index.
2. Terjadi penurunan jumlah kandungan electron di ionosfer VTEC pada tanggal
20 Mei 2006 UTC, yaitu enam hari
sebelum gempabumi Yogyakarta.
ISSN: 1411-3082
131 ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA 26 MEI 2006 UTC
I Made Kris Adi Astra dan I Putu Pudja
3. Terjadi penurunan jumlah kandungan
electron di ionosfer VTEC pada tanggal 22 Mei 2006 UTC, yaitu empat hari
sebelum gempabumi Yogyakarta.
4. Penurunan jumlah kandungan electron di ionosfer VTEC pada tanggal 20 Mei
2006 UTC dan 22 Mei 2006 UTC tidak
berasosiasi dengan gangguan natural magnetic. Penurunan ini diindikasikan
sebagai akibat dari proses fisis Seismo-
Ionospheric Coupling sebelum terjadinya gempabumi.
5. Variasi nilai VTEC sebelum gempabumi
Yogyakarta ini semestinya dapat digunakan sebagai pre-deteksi sebelum
gempabumi terjadi.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Djedi S Widarto, Tohru MogiYoshikazu
Tanaka, Toshiyasu Nagao, Katsumi
Hattori, Jann-Yenq Liu, and Seiya Uyeda.,: Seismo-Electromagnetic
Signatures Associated With The
Earthquake During The Period Of
1997&2000 In The Southern Part of
Sumatera Island, Indonesia (1). Procedding, IWSEP
2. Dst Index (Provisional) May 2006,
http://swdcwww.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_provisional/200605/index.htm
l, 26 Januari 2009.
3. Effendy and Srikaloka.,: Seismo -
Ionospheric Coupling Detected During
Earthquake. National Institute of
Aeronautics and Space of Indonesia. LAPAN- Bandung
4. Hendri Subakti, 2008: Analisis Variasi
GPS – TEC Yang Berhubungan
Dengan Gempabumi Besar Di
Sumatera. Bidang Sistem Jaringan
Observasi Geofisika. Pusat Sistem
Jaringan.BMG, Jakarta
5. Hendri Subakti, Personal communication
6. J.Y. Liu, Y.J. Chuo, S.J. Shan, Y.B.
Tsai,Y.I. Chen, S.A. Pulinets, S.B. Yu,
2004: Pre-earthquake Ionospheric Anomalies Registered by Continuous
GPS TEC Measurements. Annales
Geophysicae, European Geosciences
Union, 22: 1585-1593
7. Kearey, P. and Vine, F.J., 1996: Global
Tectonics, 2nd
ed., Blackwell Science, Ltd, Malden
8. Liperovsky, V.A., Pokhotelov, O.A., Meister, C.V., Liverovskaya, E.V., 2007:
On Recent Physical Model of
Lithosphere-Atmosphere Coupling Before
Earthquakes.Natural Hazard And Earth
System Sciences, nhess June
9. Pulinets, Sergey., 2004: Ionospheric Precursors of Earthquake; Recent
Advances in Theory and Practical
Applications.TAO, 15, No.3,pp. 413-435.
10. Sri Ekawati, Personal Communication,
Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa,
LAPAN-Bandung
11. T.K.Das, S.Das and A. Chauduri.,: Role
Of Geospot In Seismoelectromagnetics. Centre for Space Physics. Kolkata-India
12. Virdis, Salvatore, 2006: GPS Basics,