analisis evaluasi pengawasan barang beredar dan...
TRANSCRIPT
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2015
Analisis Evaluasi Pengawasan Barang
Beredar dan Jasa
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar Belakang
Perlindungan konsumen yang diberikan kepada masyarakat sebaiknya bersifat
preventif, yaitu perlindungan sebelum konsumen mengalami kerugian akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Karena itu pengawasan dilaksanakan pada
dua tahapan, yaitu (1) sebelum barang beredar di pasar (tahap pra-pasar) dan
(2) setelah barang beredar di pasar. Barang beredar di pasar dalam negeri pada
dasarnya dibentuk oleh barang hasil produksi perusahaan-perusahaan di dalam
negeri, ditambah barang yang diimpor dari luar negeri. Kementerian
Perdagangan, dalam upaya melindungi konsumen, telah mengeluarkan tata cara
dan ketentuan yang harus diikuti oleh suatu barang sebelum memasuki pasar
untuk dipertukarkan kepada konsumen (tahap Pra-Pasar). Tahap pra pasar
dimaksudkan untuk memastikan bahwa barang yang akan beredar, telah
memenuhi standar dan ruang lingkup pengawasan lainnya sesuai peraturan yang
ada. Tahap pra pasar meliputi pengujian mutu dan pendaftaran barang kepada
Kementerian Perdagangan, atau badan lain yang ditunjuk.
Setelah pengawasan pada tahap Pra-Pasar, pengawasan kemudian dilanjutkan
pada tahap setelah barang beredar di pasar. Pengawasan barang beredar
dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang
dan/atau Jasa, yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar
dan Jasa (Ditwas), bekerjasama dengan pemerintah daerah, badan lain yang
berhubungan, dan masyarakat. Menurut mekanismenya, pengawasan dilakukan
secara berkala (yang terjadwal) dan pengawasan khusus yaitu pengawasan
dilakukan secara cepat yang dilakukan oleh PPBJ dan PPNS-PK berdasarkan
laporan/pengaduan konsumen/LPSKM.
Pelaksanaan pengawasan setelah barang beredar di pasar ini sangatlah penting.
Kajian Pengawasan Barang Beredar di Daerah Perbatasan, misalnya,
menemukan bahwa efektifitas pengawasan barang pada tahap Pra Pasar, hanya
lah sekitar 40,7% untuk memastikan barang beredar dapat sesuai dengan
parameter pengawasan. Hal ini karena kemudian barang dapat terdistorsi atau
tercampur dengan barang yang rusak/kadaluwarsa, tidak terdaftar, atau hal yang
menurunkan kualitas lainnya, ketika sudah beredar di pasar. Dengan demikian,
Pengawasan Barang Beredar menjadi penting untuk melengkapi dan
iii
memperkuat pengawasan Pra-Pasar dan memastikan bahwa barang-barang dan
jasa yang beredar di pasar sesuai dengan parameter pengawasan yang ada.
Dalam menjalankan tugas pentingnya tersebut, Ditwas perlu melakukan
perbaikan yang terus menerus, baik dari sisi kelembagaan, prosedur,
sumberdaya manusia, sarana, anggaran, dan lain-lain, terutama jika dikaitkan
dengan dinamika otonomi daerah dan keterbukaan pasar ASEAN yang sudah
dilaksanakan tahun ini. Untuk itu, pada saat ini dinilai perlu bagi Ditwas untuk
menganalisis hambatan dan masalah yang dihadapinya dalam menjalankan
tugas dan fungsinya secara efektif. Analisis terhadap hambatan dan masalah ini
diharapkan dapat menjadi landasan untuk menyusun strategi pengembangan
Ditwas yang lebih baik dimasa depan.
Metode Analisis
Stakeholder dibatasi pada Subdit-Subdit yang ada di bawah Ditwas, meskipun
sesungguhnya, stakeholder dapat diperluas dengan melibatkan lebih banyak
pihak yang berperan dalam efektifitas pelaksanaan kegiatan Ditwas, seperti
Bagian Program dan Kerjasama, Biro Organisasi dan Kepegawaian, Dinas
Perdagangan di daerah, BPOM, Polri, LPKSM, Asosiasi pedagang, Dit PMB, dan
lain-lain. Pada saat ini, kegiatan dibatasi pada Subdit dibawah Ditwas sebagai
awal dan mengingat keterbatasan waktu.
Secara umum, bagian analisis hambatan dilakukan melalui beberapa tahapan
yaitu: (1) Identifikasi idaman bersama/forum, (2) Identifikasi Hambatan untuk
mencapai masing-masing idaman bersama, (3) Pengelompokan hambatan, (4)
Penyusunan Pohon Masalah tahap-1, (5) Elaborasi Akar Masalah, dan (6)
Penyusunan Pohon Masalah tahap-2. Seluruh tahapan ini dilakukan dalam
metode partisipatif, dimana hasil adalah konsensus peserta/forum, dan
minimalisasi pengarahan fasilitator. Dalam kegiatan ini metode partisipatif yang
digunakan mengacu pada aturan “tulis dahulu-baru bicara”. Aturan ini sengaja
digunakan agar dalam forum yang pesertanya beragam, semua ide dapat tampil
terlebih dahulu tanpa dihalangi oleh hambatan yang sifatnya komunikatif ataupun
psikologis.
Rekomendasi
1. Meningkatkan peran Pemerintah Daerah dalam urusan perdagangan
khususnya dalam pelaksanaan perlindungan konsumen, melalui:
iv
a. Meningkatkan hubungan dan pemahaman daerah terhadap urusan
perlindungan konsumen
b. Meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk melaksanakan
urusan perlindungan konsumen
c. Melaksanakan monitoring dan evaluasi perlindungan konsumen daerah
secara nasional, berjenjang, dan berkala
d. Mereview produk hukum daerah dan menyusun Standar Pelayanan
Minimum
2. Memperkuat Sistem Perlindungan Konsumen Nasional, melalui:
a. Mengevaluasi Sistem Perlindungan Konsumen Nasional.
b. Mengembangkan Sistem Informasi Perlindungan Konsumen Nasional.
c. Meninjau peraturan dan dokumen operasional di bidang perlindungan
konsumen.
3. Meningkatkan kapasitas lembaga pelaksana sistem perlindungan konsumen
nasional, melalui:
a. Menyesuaikan jumlah dan kemampuan SDM pendukung perlindungan
konsumen
b. Mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan secara berjenjang
melalui pendekatan kewilayahan bagi pelaksana perlindungan konsumen
c. Merevitalisasi sarana perlindungan konsumen yang mendesak
d. Peningkatan komunikasi dan perencanaan
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga laporan Analisis Hambatan Pengawasan Barang Beredar Dalam Mendukung Perlindungan Konsumen dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Perlindungan konsumen yang diberikan kepada masyarakat sebaiknya bersifat preventif, yaitu perlindungan sebelum konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Karena itu pengawasan dilaksanakan pada dua tahapan, yaitu (1) sebelum barang beredar di pasar (tahap pra-pasar) dan (2) setelah barang beredar di pasar. Pengawasan barang beredar dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa, yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, bekerjasama dengan pemerintah daerah, badan lain yang berhubungan, dan masyarakat. Analisis terhadap hambatan dan masalah ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk menyusun strategi pengembangan Ditwas yang lebih baik dimasa depan. Dalam rangka mendukung peningkatan pengawasan barang beredar khususnya di perbatasan, hasil kajian ini merekomendasikan beberapa hal, yaitu: Meningkatkan peran Pemerintah Daerah dalam urusan perdagangan khususnya dalam pelaksanaan perlindungan konsumen, Memperkuat Sistem Perlindungan Konsumen Nasional, dan Meningkatkan kapasitas lembaga pelaksana sistem perlindungan konsumen nasional. Disadari bahwa hasil Analsis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan penyempurnaan lebih lanjut. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat.
Jakarta, Mei 2015
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
vi
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Tujuan Kegiatan .................................................................................. 2
1.3. Sasaran dan Keluaran Kegiatan ........................................................... 2
1.4. Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan ...................................................... 2
BAB II. METODE ANALISIS ...................................................................................... 6
2.1. Analisis Stakeholder ............................................................................. 6
2.2. Analisis Hambatan .............................................................................. 6
BAB III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN.................................................................. 32
BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ......................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 41
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Matriks Log frame ........................................................................................ 3
Tabel 2. Rekapitulasi Idaman Ditwas dan Kartu Ide Pembentuknya .......................... 8
Tabel 3. Rekapitulasi Kartu Hambatan Untuk Masing-Masing Idaman Ditwas dan Kartu Pembentuknya ................................................................ 11
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Keterkaitan Hirarki Log frame dan Kriteria Evaluasi .................................... 4
Gambar 2. Tahapan Pelaksanaan Log frame ............................................................... 5
Gambar 3. Tahapan Analisis Hambatan ...................................................................... 6
Gambar 4. Tahapan Identifikasi Idaman ...................................................................... 7
Gambar 5. Lembar Kerja Diskusi Identifikasi Idaman ................................................... 7
Gambar 6. Lembar Kerja Pengolahan Hambatan Mencapai Idaman............................ 9
Gambar 7. Hasil Pengelompokkan Hambatan Keseluruhan ...................................... 20
Gambar 8. Lembar Kerja Pengolahan Pohon Masalah Tahap 1 ................................ 21
Gambar 9. Pohon Masalah Tahap-1 .......................................................................... 23
Gambar 10. Lembar Kerja Elaborasi Masalah .............................................................. 25
Gambar 11. Lembar Kerja Penggabungan Elaborasi Masalah dan Identifikasi Kartu Runtutan Yang Sama/Senada ....................................... 27
Gambar 12. Penyusunan Agar Kartu Runtutan Yang Senada Berada Dalam Tinggi Yang Sama/Sejajar ............................................................. 28
Gambar 13. Diskusi Konfirmasi Pohon Masalah Tahap-2 ............................................ 29
Gambar 14. Pengaturan Ulang Hirarki Kartu Masalah, Penambahan Hubungan Antar Masalah, dan Penyusunan Pohon Masalah Tahap-2 .................................................................................................... 30
Gambar 15. Penomoran Masalah ................................................................................ 31
1
BAB I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Perlindungan konsumen pada dasarnya menyangkut berbagai kepentingan,
sehingga penyelenggaraannya perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu.
Mewujudkan sistem penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha bukan hal yang
mudah, namun perlu keseriusan dan itikad yang kuat dari seluruh pemangku
kepentingan dalam melaksanakan amanat perlindungan konsumen sesuai fungsi
dan kewenangannya masing-masing.
Perlindungan konsumen yang diberikan kepada masyarakat sebaiknya bersifat
preventif, yaitu perlindungan sebelum konsumen mengalami kerugian akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Karena itu pengawasan dilaksanakan pada
dua tahapan, yaitu (1) sebelum barang beredar di pasar (tahap pra-pasar) dan
(2) setelah barang beredar di pasar. Barang beredar di pasar dalam negeri
pada dasarnya dibentuk oleh barang hasil produksi perusahaan-perusahaan di
dalam negeri, ditambah barang yang diimpor dari luar negeri. Kementerian
Perdagangan, dalam upaya melindungi konsumen, telah mengeluarkan tata cara
dan ketentuan yang harus diikuti oleh suatu barang sebelum memasuki pasar
untuk dipertukarkan kepada konsumen (tahap Pra-Pasar). Tahap pra pasar
dimaksudkan untuk memastikan bahwa barang yang akan beredar, telah
memenuhi standar dan ruang lingkup pengawasan lainnya sesuai peraturan yang
ada. Tahap pra pasar meliputi pengujian mutu dan pendaftaran barang kepada
Kementerian Perdagangan, atau badan lain yang ditunjuk.
Setelah pengawasan pada tahap Pra-Pasar, pengawasan kemudian dilanjutkan
pada tahap setelah barang beredar di pasar. Pengawasan barang beredar
dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang
dan/atau Jasa, yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar
dan Jasa (Ditwas), bekerjasama dengan pemerintah daerah, badan lain yang
berhubungan, dan masyarakat. Menurut mekanismenya, pengawasan dilakukan
secara berkala (yang terjadwal) dan pengawasan khusus yaitu pengawasan
dilakukan secara cepat yang dilakukan oleh PPBJ dan PPNS-PK berdasarkan
laporan/pengaduan konsumen/LPSKM.
2
Pelaksanaan pengawasan setelah barang beredar di pasar ini sangatlah penting.
Kajian Pengawasan Barang Beredar di Daerah Perbatasan, misalnya,
menemukan bahwa efektifitas pengawasan barang pada tahap Pra Pasar, hanya
lah sekitar 40,7% untuk memastikan barang beredar dapat sesuai dengan
parameter pengawasan. Hal ini karena kemudian barang dapat terdistorsi atau
tercampur dengan barang yang rusak/kadaluwarsa, tidak terdaftar, atau hal yang
menurunkan kualitas lainnya, ketika sudah beredar di pasar. Dengan demikian,
Pengawasan Barang Beredar menjadi penting untuk melengkapi dan
memperkuat pengawasan Pra-Pasar dan memastikan bahwa barang-barang dan
jasa yang beredar di pasar sesuai dengan parameter pengawasan yang ada.
Dalam menjalankan tugas pentingnya tersebut, Ditwas perlu melakukan
perbaikan yang terus menerus, baik dari sisi kelembagaan, prosedur,
sumberdaya manusia, sarana, anggaran, dan lain-lain, terutama jika dikaitkan
dengan dinamika otonomi daerah dan keterbukaan pasar ASEAN yang sudah
dilaksanakan tahun ini. Untuk itu, pada saat ini dinilai perlu bagi Ditwas untuk
menganalisis hambatan dan masalah yang dihadapinya dalam menjalankan
tugas dan fungsinya secara efektif. Analisis terhadap hambatan dan masalah ini
diharapkan dapat menjadi landasan untuk menyusun strategi pengembangan
Ditwas yang lebih baik dimasa depan.
1.2. Tujuan Kegiatan
Mengidentifikasikan hambatan dan permasalahan yang dihadapi oleh Direktorat
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa.
1.3. Sasaran dan Keluaran Kegiatan
Sasaran kegiatan adalah Teridentifikasinya hambatan dan permasalahan yang
dihadapi oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa agar dapat
secara efektif menjalankan tugas dan fungsinya dalam mencapai tujuan
perlindungan konsumen. Sementara keluaran kegiatan adalah:
1. Laporan ringkas kegiatan pelaksanaan identifikasi hambatan dan
permasalahan.
2. Pohon masalah
1.4. Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan
Identifikasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Dit PBBJ, akan didekati
dengan bantuan langkah-langkah yang ada dalam kerangka pelaksanaan Project
3
Cycle Management (PCM) atau dikenal juga dengan sebutan Logical Framework
(Log frame). Log frame adalah sebuah tabel/matriks yang menunjukkan
keterkaitan secara keseluruhan antara Tujuan Utama yang ingin dicapai oleh
sebuah program/tindakan, dengan aktivitas-aktivitas dan kegiatan-kegiatan
pembentuknya. Log frame dapat dipandang sebagai “peta” yang memberikan
kesempatan kepada semua pemangku kepentingan yang terlibat untuk melihat
arah mana yang akan dicapai dengan aktivitas yang sedang dilakukannya pada
saat ini.
Tabel 1. Matriks Log frame
Deskripsi mengenai intervensi logis yang dilakukan
Indikator verifikasi
Sumber verifikasi
Asumsi
Overall Objective/Goal
Project Purpose/ Tujuan
Result/Keluaran
Activities/Kegiatan Cara/Sarana Biaya Pra
Kondisi
Matriks Log frame meringkaskan :
• Mengapa proyek dilaksanakan (Intervention Logic)
• Apa yang diharapkan dicapai oleh proyek (Intervention Logic dan Indicator)
• Bagaimana proyek akan dicapai (Aktivitas dan Cara/Sarana)
• Faktor eksternal apa yang penting untuk mendukung kesuksesan (Asumsi)
• Dimana memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk menilai keberhasilan
proyek (Sumber verifikasi)
• Sarana apa yang dibutuhkan (Cara/Sarana)
• Besarnya biaya yang ditimbulkan (Biaya)
• Prakondisi apa yang perlu ada sebelum proyek dilaksanakan.
Dalam kegiatan ini, pendekatan Log frame dipilih karena:
1. Memiliki tahapan identifikasi masalah yang terstruktur, yang sesuai dengan
tujuan kegiatan ini.
4
2. Mendorong pemangku kepentingan untuk memperhatikan keterkaitan antara
visi, masalah, tujuan, aktivitas, sarana, dan indikator penilaian keberhasilan
tindakan.
3. Mendorong diskusi dan pertimbangan yang lebih luas.
4. Serasi dengan kriteria evaluasi yang umum digunakan
Gambar 1. Keterkaitan Hirarki Log frame dan Kriteria Evaluasi
Pendekatan PCM/Log frame dilaksanakan secara partisipatif, dimana proses
identifikasi dan penyusunan matriks melibatkan para pemangku kepentingan
(stakeholder) utama. Pendekatan partisipatif dipilih karena
1. Memberikan pandangan yang lebih lengkap mengenai tujuan dan
permasalahan yang perlu diperhatikan,
2. Meningkatkan komunikasi lintas pelaku, dan
3. Meningkatkan komitmen pemangku kepentingan terhadap kesepakatan atas
prioritas masalahdan solusi yang dipilih.
Pelaksanaan metode PCM/Log framemeliputi 2 (dua) tahapan, yaitu :
1. Tahap Analisis yang meliputi
• Analisis Stakeholder-identifikasi dan penggambaran karakteristik
stakeholder utama, target group, dan penerima manfaat,
mendefinisikan problem siapa yang akan diatas melalui intervensi
yang akan dilakukan
Problematic Situation
Means
Activities
Result
Project Purpose
Overall Objective
Relevance
Efficiency
Effectiveness
Impact
Hirarki Logframe Kriteria Evaluasi
Alokasi
Aksi
Utilisasi
Perubahan
Sustainability
5
• Analisis Masalah-identifikasi permasalahan kunci, hambatan, dan
peluang; menentukan hubungan sebab akibat.
• Analisis Objective-mengembangkan obyektif dari permasalahan yang
ada; identifikasi hubungan means to ends
• Analisis Strategi-mengidentifikasikan rangkaian strategi untuk
mencapai tujuan, memilih yang paling tepat/memungkinkan;
menentukan overall objective dan project purpose (jika ada).
2. Tahap Perencanaan yang meliputi
• Pembuatan Log frame-mendefinisikan struktur program/proyek,
menguji internal logic nya, memformulasikan obyektif dalam bentuk
yang dapat diukur, mendefinisikan cara/means dan biaya
(keseluruhan)
• Alokasi kegiatan-menentukan sequence dan saling ketergantungan
antar kegiatan; estimasi lama pelaksanaan; penetapan milestone dan
penanggung jawab.
• Alokasi Sumberdaya-dari alokasi kegiatan,kemudian dikembangkan
kebutuhan input dan anggaran.
Gambar 2. Tahapan Pelaksanaan Log frame
Dari tahapan-tahapan tersebut, kegiatan saat ini akan fokus pada tahap
Analisis Masalah terlebih dahulu sesuai tujuan kegiatan. Analisis obyektif dan
strategi akan dilaksanakan dalam bentuk yang sangat terbatas. Sedangkan
tahapan Perencanaan tidak akan dilaksanakan karena berada diluar lingkup
kegiatan saat ini.
Fokus Kegiatan
6
BAB II. PELAKSANAAN KEGIATAN
2.1. Analisis Stakeholder
Stakeholder dibatasi pada Subdit-Subdit yang ada di bawah Ditwas, meskipun
sesungguhnya, stakeholder dapat diperluas dengan melibatkan lebih banyak
pihak yang berperan dalam efektifitas pelaksanaan kegiatan Ditwas, seperti
Bagian Program dan Kerjasama, Biro Organisasi dan Kepegawaian, Dinas
Perdagangan di daerah, BPOM, Polri, LPKSM, Asosiasi pedagang, Dit PMB, dan
lain-lain. Pada saat ini, kegiatan dibatasi pada Subdit dibawah Ditwas sebagai
awal dan mengingat keterbatasan waktu.
2.2. Analisis Hambatan
Secara umum, bagian analisis hambatan dilakukan melalui beberapa tahapan
yaitu: (1) Identifikasi idaman bersama/forum, (2) Identifikasi Hambatan untuk
mencapai masing-masing idaman bersama, (3) Pengelompokan hambatan, (4)
Penyusunan Pohon Masalah tahap-1, (5) Elaborasi Akar Masalah, dan (6)
Penyusunan Pohon Masalah tahap-2. Seluruh tahapan ini dilakukan dalam
metode partisipatif, dimana hasil adalah konsensus peserta/forum, dan
minimalisasi pengarahan fasilitator. Dalam kegiatan ini metode partisipatif yang
digunakan mengacu pada aturan “tulis dahulu-baru bicara”. Aturan ini sengaja
digunakan agar dalam forum yang pesertanya beragam, semua ide dapat tampil
terlebih dahulu tanpa dihalangi oleh hambatan yang sifatnya komunikatif ataupun
psikologis.
Gambar 3. Tahapan Analisis Hambatan
Identifikasi Idaman Organisasi
Identifikasi idaman bersama/organisasi perlu dilakukan sebelum identifikasi
hambatan yang dihadapi organisasi. Tahapan identifikasi idaman diharapkan
7
akan membawa seluruh peserta pada tataran harapan yang sama. Hal ini akan
mempermudah proses identifikasi masalah/hambatan, karena permasalahan
akan fokus pada idaman yang disepakati bersama.
Tahapan identifikasi idaman secara umum adalah: (1) pengusulan idaman dari
masing-masing peserta, (2) pengelompokan idaman yang sama, (3)
evaluasi/penyesuaian/penambahan idaman, (4) pemilihan Idaman Utama.
Gambar 4. Tahapan Identifikasi Idaman
Gambar 5. Lembar Kerja Diskusi Identifikasi Idaman
Hasil identifikasi idaman yang dilaksanakan menghasilkan 7 (tujuh) idaman
sebagai berikut:
1) Konsumen terlindungi (1st)
2) Penguatan Pasar Dalam Negeri (2nd)
8
3) Peredaran barang/jasa sesuai ketentuan (3rd)
4) Pengawasan BBJ berjalan sesuai ketentuan (3rd)
5) Dukungan sarana, anggaran, dan SDM berkualitas (3rd)
6) UU PK dapat ditegakkan (3rd)
7) Sinergi dan koordinasi dengan instansi lain berjalan baik (3rd)
Tabel 2. Rekapitulasi Idaman Ditwas dan Kartu Ide Pembentuknya
Kelompok Idaman
1. Konsumen terlindungi (1st)
2. Penguatan Pasar Dalam Negeri (2nd)
3. Peredaran barang/jasa sesuai ketentuan (3rd)
4. Pengawasan BBJ berjalan sesuai ketentuan (3rd)
5. Dukungan sarana, anggaran, dan SDM berkualitas (3rd)
6. UU PK dapat ditegakkan (3rd)
7. Sinergi dan koordinasi dengan instansi lain berjalan baik (3rd)
Kartu Ide
Konsumen terlindungi
Penguatan Pasar Dalam Negeri
Peredaran barang/jasa sesuai ketentuan
Terlaksananya pelaksanaan pengawasan sesuai ketentuan (dari perencanaan, hingga tersosialisasi) ke seluruh Indonesia
Perlu dukungan SDM handal/berkualitas dalam pelaksanaan pengawasan
UU PK dapat ditegakkan
Sinergi dan koordinasi dengan instansi lain berjalan baik
Pelaksanaan PK berhasil
Terlaksananya Tupoksi pada Dit. PBBJ
Keterangan: 1=Idaman Utama; 2=Idaman kedua; 3=idaman ketiga
Dari 7 (tujuh) idaman tersebut, ada 1 (satu) yang menjadi idaman utama, yaitu
“Konsumen Terlindungi dari barang yang tidak baik”. Idaman yang menempati
posisi kedua adalah “Pasar Dalam Negeri menjadi kuat”. Sedangkan 5 (lima)
idaman yang lain menjadi satu sebagai idaman posisi ketiga.
Identifikasi Hambatan Untuk Mencapai Masing-Masing Idaman
Identifikasi hambatan dilakukan untuk mengarahkan peserta mengidentifikasi
hambatan yang dinilai paling utama dalam mencapai idaman. Untuk setiap
idaman, setiap peserta kemudian menyampakan satu hambatan yang paling
9
utama menurutnya. Dengan demikian, untuk setiap idaman akan ada kartu
hambatan sejumlah peserta. Dalam kegiatan ini jumlah hambatan yang
terkumpul adalah sebanyak 35 kartu hambatan (7 idaman x 5 peserta). Khusus
untuk idaman utama dan kedua, peserta diperkenankan memberikan lebih dari
satu usulan hambatan.
Setelah kartu hambatan terkumpul, forum kemudian melakukan pengelompokkan
terhadap masalah yang dihadapi. Kartu hambatan yang sama/senada kemudian
dikelompokkan menjadi satu dan kemudian diberikan nama baru yang
mencerminkan kartu-kartu ide yang membentuknya.
Gambar 6. Lembar Kerja Pengolahan Hambatan Mencapai Idaman
Rekaptulasi pengolahan kartu hambatan dapat dilihat dalam tabel 3. Pada
bagian akhir, ada 5 (lima) kartu hambatan tambahan. Hambatan-hambatan
tambahan ini berasal dari pengolahan lembar kerja yang dikirimkan melalui email
sebelum pelaksanaan diskusi. Hambatan hasil lembar kerja yang belum
disinggung dalam diskusi kemudian ditambahlkan ke dalam daftar hambatan
yang dihadapi.
10
11
Tabel 3. Rekapitulasi Kartu Hambatan Untuk Masing-Masing Idaman Ditwas dan Kartu Pembentuknya
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
1.1. Jumlah SDM PBJ dan PPNS PK kurang
2.1. Koordinasi antar instansi terkait kurang
3.1. Jumlah SDM PPBJ dan PPNS PK kurang
4.1. Kerjasama dukungan data dari unit lain dalam penentuan barang kurang
5.1. TUSI belum dilaksanakan secara baik
6.1. Jumlah PPNS PK yang berkualitas kurang
7.1. Koordinasi internal kurang
8.1. Kesulitan memenuhi ketentuan sampling
9.1. Jumlah produk yang harus diawasi terlalu banyak
10.1 Luas wilayah yang harus diawasi sangat luas
11.1 Dasar hukum untuk melakukan kegiatan belum lengkap
12.1. Standar operasi dan Prosedur untuk melakukan pengawasan belum lengkap
Kurangnya SDM dalam melakukan pelaksanaan pengawasan
Koordinasi antar unit/instansi terkait kurang
jumlah dan kualitas SDM kurang
kerjasama dukungan data dari unit lain kurang
tidak semua SDM melaksanakan TUSI dengan baik
kurangnya SDM dalam hal penindakan
kurang koordinasi
Jumlah SDM kurang optimal
2.2. Kurangnya daya saing produk dalam negeri
3.2. Kualitas sosialisasi ketentuan dan hasil PBBJ kurang
4.2. Frekwensi pengawasan kurang
5.2. Anggaran kurang optimal
terbatasnya PPNS PK yang handal
7.2. masih terdapat ego sektoral
12
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
SDM kurang
Produk dalam negeri kurang bersaing dengan produk impor
Kurang sosialisasi mengenai ketentuan BJ
Frekwensi pengawasan
anggaran kurang tepat
jumlah dan kualitas PPNS PK
masiih terdapat ego sektoral
1.2. Kompetensi dan kualitas/profesionalisme SDM PBJ dan PPNS PK kurang
kurangnya daya saing produk dalam negeri thd barang import China
Kualitas sosialisasi kurang
4.3. Jumlah dan proporsi SDM kurang
jumlah anggaran belum memadai
6.2. Sebaran Penyidik kurang optimal mencover wilayah Indonesia
7.3. Otoda masih membuat hubungan pusat-daerah kurang optimal
Kualitas dan tanggungjawab SDM kurang
2.3. Sosialisasi hasi pengawasan & kebijakan kpd pelaku usaha dan konsumen kurang
3.3. Pengawasan belum optimal dilaksanakan
kurang SDM dari kuantitas dan kualitas
5.3. Tidak ada tunjangan
kurangnya jumlah penyidik tersebar di seluruh Indonesia
otonomi daerah buat koordinasi pusat-daerah kurang optimal
13
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
1.3. Jumlah anggaran kurang optimal
Sosialisasi hasi pengawasan & kebijakan kpd pelaku usaha dan konsumen kurang
Pelaksanaan pengawasan belum optimal
jumlah SDM kurang proporsional
tidak ada tunjangan khusus
6.3. Koordinasi dengan instansi terkait kurang
7.4. Partisipasi instansi terkait dalam pelaksanaan PBBJ kurang
Jumlah
anggaran
kurang
optimal
2.4.
kurangnya
kemampu
an dan
kesadaran
pengusah
a untuk
meningkat
kan mutu
barang
3.4.
Kepatuha
n pelaku
usaha
terhadap
ketentuan
PK kurang
kualitas/si
kap SDM
kurang
5.4.
Jumlah
PPBJ dan
PPNS PK
kurang
Koordinasi
dengan
instansi
terkait
kurang
14
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
1.4.
Frekwensi
pelaksana
an
pengawas
an rendah
kurangnya
kesadaran
pelaku
usaha
untuk
memprod
uksi
barang yg
sesuai
ketentuan
pelaku
usaha
kurang
patuh
dalam
memenuhi
ketentuan
4.4.
Perencan
aan tidak
dapat
dipegang,
mudah
berubah
tidak
semua
SDM
PPBJ dan
PPNS PK
6.4.
Ekses
Otoda
mengham
bat
pelaksana
an PBBJ
Pelaksana
an
pengawas
an kurang
sering
(kuantitas)
produsen
belum
meningkat
kan mutu
produk
pelaku
usaha
tidak
konsisten
dalam
memprod
uksi
barang
sesuai
pelaksana
an belum
sesuai
antara
jadwal
dengan
pelaksana
an
5.5.
Persiapan
pelaksana
an
pengawas
an kurang
otoda
mengham
bat PPNS
PK dan
PPBJ
yang ada
di daerah
15
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
ketentuan
1.5.
Sosialisasi
mengenai
ketentuan
dan hasil
PBBJ
kurang
merata
dan
kurang
berhasil
3.5.
Dana/biay
a
pengawas
an kurang
konsisten
pimpinan
dalam
melaksan
akan
rencana
kurangnya
persiapan
pelaksana
an
pengawas
an
mutasi
PPBJ
sering
terjadi
Sosialisasi
kurang
Dana/Biay
a kurang
yang
sudah
direncana
kan
berubah
5.6.
Dukungan
pimpinan
dalam
berkomuni
16
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
karena
permintaa
n
pimpinan
kasi/koord
inasi dgn
instansi
lain
1.6.
Struktur
organisasi
tidak
optimal
bagi
pencapaia
n PBBJ
yang
maksimal
3.6.
Kompeten
si SDM
rendah
4.5.
Keterbata
san dana
dukungan
pimpinan
terhadap
mkondisi
riil
Struktur
organisasi
tidak
optimal
bagi
Keterbata
san dana
17
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
pencapaia
n PBBJ
yang
maksimal
1.7.
Koordinasi
internal
dan
eksternal
kurang
4.6.
Kurangny
a
pemaham
an
petugas
thd aturan
pengawas
an
Koordinasi
antar unit
kurang
(Internal
dan
eksternal)
Kurangny
a
pemaham
an
petugas
thd aturan
18
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
pengawas
an
1.8.
Jumlah
dan
kualitas
lab uji
kurang
menjangk
au seluruh
Indonesia
Belum
tersediany
a lab uji
yang
jumlah
dan
kualitasny
19
Hambatan Idaman 1
Hambatan Idaman 2
Hambatan Idaman 3
Hambatan Idaman 4
Hambatan Idaman 5
Hambatan Idaman 6
Hambatan Idaman 7
Hambatan Tambahan 1
Hambatan Tambahan 2
Hambatan Tambahan 3
Hambatan Tambahan 4
Hambatan Tambahan 5
a
memadai
di seluruh
Indonesia
20
Pengelompokkan Hambatan Seluruh Idaman dan Pemilihan Pokok Masalah
Setelah diketahui hambatan untuk masing-masing idaman, langkah berikutnya
peserta mengelompokkan hambatan dari seluruh idaman yang ada. Hasil
pengelompokkan dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Gambar 7. Hasil Pengelompokkan Hambatan Keseluruhan
Dengan demikian, hingga saat ini berhasil diidentifikasi 25 hambatan/masalah
yang dihadapi oleh Ditwas dalam melakukan tugas dan fungsinya secara efektif.
Dari 25 hambatan ini, peserta kemudian diminta untuk memilih satu hambatan
yang dapat dianggap sebagai Pokok Masalah. Hasil diskusi dan konsensus yang
dilakukan, kemudian menyepakati bahwa hal yang menjadi POKOK MASALAH
adalah “Kurangnya Jumlah SDM PBJ dan PPNS-PK”. Kartu masalah
kurangnya jumlah SDM dapat difahami mejadi pokok masalah karena memiliki 5
Frekwensi
pelaksanaan
pengawasan
kurang
Jumlah SDM PBJ
dan PPNS PK
kurang
(Pokok Masalah)
Kompetensi/
kualitas/
profesionalisme
SDM PBJ dan
PPNS PK kurang
Dukungan
anggaran kurang
optimal
Jumlah dan
kualitas
laboratorium uji
kurang
menjangkau
seluruh Indonesia
Sosialisasi
mengenai
ketentuan dan
hasil PBBJ kurang
merata/ berhasil
Struktur
organisasi tidak
optimal bagi
pencapaian PBBJ
yang maksimal
Koordinasi antar
unit terkait
kurang (internal)
Kurangnya daya
saing produk
dalam negeri
Kepatuhan pelaku
usaha terhadap
ketentuan PK
kurang
Pengawasan dan
TUSI belum
maksimal
dilaksanakan
Kurang dukungan
informasi dr unit
lain dan
keterlibatan
dalam TPBB
Sebaran SDM
PPBJ dan PPNS PK
kurang optimal
Tidak ada
tunjangan untuk
PPBJ
Persiapan
pelaksanaan
pengawasan
kurang
Dukungan
pimpinan dalam
berkomunikasi/ko
ordinasi dgn unit/
instansi lain
Seringnya mutasi
PPBJ di daerah
membuat
pelaksanaan
pengawasan di
daerah kurang
Ego sektoral
menghambat
kerjasama
Otoda kurang
sempurna
membuat
hubungan pusat-
daerah kurang
optimal
Koordinasi
dengan instansi
terkait kurang
(eksternal)
Kesulitan
memenuhi
ketentuan
sampling
Dasar hukum
untuk melakukan
kegiatan belum
lengkap
Jumlah produk
yang harus
diawasi terlalu
banyak
Prosedur untuk
melakukan
pengawasan
belum lengkap
Luas wilayah yang
harus diawasi
sangat luas
21
(lima) duplikat ketika penggabungan dilakukan, yang menunjukkan bahwa
masalah ini muncul di 5 (lima) dari 7 (tujuh) idaman yang ada.
Penyusunan Pohon Masalah Tahap-1
Setelah kelompok masalah keseluruhan dan Pokok Masalah teridentifikasi,
langkah selanjutnya peserta diminta untuk membandingkan setiap kartu masalah
yang ada dengan Pokok Masalah yang dipilih. Langkah ini dilakukan untuk
mengidentifikasi apakah masih ada masalah yang lebih “bawah” dibandingkan
pokok masalah yang sudah dipilih.Dengan kata lain langkah ini dilakukan untuk
menemukan AKAR masalah. Identifikasi akar masalah membantu kita
membedakan antara hal yang memang menjadi “masalah” (problem) dengan hal
yang hanya sebagai “gejala” (symptom).
Dalam langkah ini, setiap kartu masalah yang tersisa akan dikategorikan sebagai
“Sebab” atau “Akibat” dari Pokok Masalah yang sudah dipilih. Jika kartu
disepakati menjadi Sebab, maka kartu akan diletakkan dibawah Pokok Masalah.
Sedangkan jika kartu disekati menjadi Akibat, maka ia akan diletakkan diatas
Pokok Masalah. Hal ini terus dilakukan, hingga seluruh kartu masalah yang ada
habis terkategorikan sebagai sebab atau akibat.
Gambar 8. Lembar Kerja Pengolahan Pohon Masalah Tahap 1
Hasil kategorisasi menunjukkan bahwa masalah-masalah berikut ini
dikategorikan sebagai AKAR Masalah, atau SEBAB dari Pokok Masalah yang
dihadapi adalah:
22
1) Koordinasi antar unit terkait kurang (internal)
2) Tidak ada tunjangan untuk PPBJ
3) Mutasi PPBJ di daerah membuat pelaksanaan pengawasan di daerah
kurang optimal
4) Sebaran SDM PPBJ dan PPNS PK kurang optimal
5) Dukungan pimpinan dalam berkomunikasi/koordinasi dgn unit/ instansi
lain
6) Struktur organisasi tidak optimal bagi pencapaian Pengawasan yang
maksimal
7) Jumlah dan kualitas laboratorium uji kurang menjangkau seluruh
Indonesia
8) Otoda kurang sempurna membuat hubungan pusat-daerah kurang
optimal
9) Ego sektoral menghambat kerjasama
10) Kompetensi dan kualitas SDM PBJ dan PPNS PK (pusat-daerah) kurang
11) Dasar hukum untuk melakukan kegiatan belum lengkap
12) Standar Operasi Prosedur untuk melakukan pengawasan belum lengkap
23
Gambar 9. Pohon Masalah Tahap-1
SEBAB/AKAR
Frekwensi
pelaksanaan
pengawasan
kurang
Jumlah SDM PBJ dan
PPNS PK kurang
untuk meliputi
seluruh Indonesia
Kompetensi
dan
profesionalis
me SDM PBJ
dan PPNS PK
kurang
Dukungan
anggaran
kurang
optimal
Jumlah dan
kualitas
laboratorium
uji kurang
menjangkau
seluruh
Indonesia
Sosialisasi
mengenai
ketentuan dan
hasil PBBJ
kurang
merata/
berhasil
Struktur
organisasi
tidak optimal
bagi
pencapaian
PBBJ yang
maksimal
Koordinasi
antar unit
terkait kurang
(internal)
Kurangnya
daya saing
produk dalam
negeri
Kepatuhan
pelaku usaha
terhadap
ketentuan PK
kurang
Pengawasan
dan TUSI
belum
maksimal
dilaksanakan
Kurang
dukungan
informasi dr
unit lain dan
keterlibatan
dalam TPBB
Sebaran SDM
PPBJ dan
PPNS PK
kurang
optimal
Tidak ada
tunjangan
untuk PPBJ
Persiapan
pelaksanaan
pengawasan
kurang
Dukungan
pimpinan
dalam
berkomunikas
i/koordinasi
dgn unit/
instansi lain
Mutasi PPBJ di
daerah
membuat
pelaksanaan
pengawasan
di daerah
kurang
optimal
Ego sektoral
menghambat
kerjasama
Dampak
buruk Otoda
membuat
hubungan
pusat-daerah
kurang
optimal
Koordinasi
dengan
instansi terkait
kurang
(eksternal)
Kesulitan
memenuhi
ketentuan
sampling
Dasar hukum
untuk
melakukan
kegiatan
belum
lengkap
Jumlah produk
yang harus
diawasi terlalu
banyak
Standar
Operasi
Prosedur
untuk
melakukan
pengawasan
belum
lengkap
Luas wilayah
yang harus
diawasi sangat
luas
POKOK MASALAH
AKIBAT
24
Sedangkan hal-hal yang dianggap sebagai AKIBAT yang ditimbulkan adalah:
1) Sosialisasi mengenai ketentuan dan hasil PBBJ kurang merata/ berhasil
2) Koordinasi dengan instansi terkait kurang (eksternal)
3) Pengawasan dan TUSI belum maksimal dilaksanakan
4) Kepatuhan pelaku usaha terhadap ketentuan PK kurang
5) Dukungan anggaran kurang optimal
6) Frekwensi pelaksanaan pengawasan kurang
7) Kurangnya daya saing produk dalam negeri
8) Kurang dukungan informasi dr unit lain dan keterlibatan dalam TPBB
9) Persiapan pelaksanaan pengawasan kurang
10) Kesulitan memenuhi ketentuan sampling
11) Jumlah produk yang harus diawasi terlalu banyak
12) Luas wilayah yang harus diawasi sangat luas
Hasil pengelompokan ini dapat digunakan untuk beragam kepentingan, seperti:
• Identifikasi Prioritas Masalah. Pada dasarnya, informasi yang ada pada Akar
Masalah dapat digunakan untuk menyusun strategi dan tindakan untuk
mencapai tujuan. Jika dianalogikan sebagai pohon, maka Pokok Masalah
adalah batang pohon, kartu-kartu Sebab adalah akar, sedangkan kartu-kartu
Akibat sebagai daun dan buahnya. Maka jika ingin memuat pohon yang
sehat, lebat buah dan sehat daunnya, maka yang harus dilakukan adalah
memastikan bahwa akar pohon berada dalam kondisi yang sehat dan
mendapat nutrisi secara baik. Dengan demikian, masalah-
masalah/hambatan-hambatan yang ada dalam kelompok Sebab perlu
mendapat prioritas pertama untuk diselesaikan.
• Penyusunan Strategi, Program, atau Tindakan yang Terarah. Strategi,
program, atau tindakan harus diarahkan untuk menyelesaikan apa yang ada
di bagian akar masalah sebagai prioritas. Pengelompokan ini membantu kita
untuk mengenali masalah (problem) dari gejala (symptom).
Strategi/program/tindakan seharusnya diarahkan untuk mengatasi problem
dan bukan symptom.
• Penyusunan Indikator Pencapaian Kegiatan. Informasi lain yang dapat
diturunkan dari pohon ini adalah ide mengenai indikator pencapaian
strategi/program/kegiatan. Indikator dapat diturunkan dari kartu-kartu Akibat
25
(buah dan daun pohon) sebagai akibat dari apa yang organisasi lakukan
terhadap akar dan pokok masalahnya.
Elaborasi Akar Masalah
Langkah elaborasi akar masalah dilakukan untuk mendapatkan gambaran
mengenai hirarki dalam kelompok akar masalah. Penentuan hirarki ini penting
dijalankan untuk melakukan prioritas kegiatan dan alokasi sumberdaya. Secara
umum, masalah yang menempati posisi paling bawah, seharusnya menjadi
masalah yang pertama diselesaikan karena ia dianggap mempengaruhi
penyelesaian masalah-masalah lain yang ada diatasnya.
Elaborasi akar masalah dilakukan dengan bantuan lembar kerja yang dibawa
pergi oleh peserta (take away). Peserta didorong untuk berdiskusi dengan
anggota Subdit-nya masing-masing dalam mengisi lembar kerja tersebut.
Gambar 10. Lembar Kerja Elaborasi Masalah
26
Data elaborasi masalah dari masing-masing peserta kemudian diolah dan
dikonfirmasikan kepada peserta pada pertemuan berikutnya. Hasil elaborasi dan
penyusunan awal hirarki masalah dapat dilihat dalam gambar berikutnya.
Langkah umum yang dilakukan dalam elaborasi masalah adalah,
• Untuk setiap kartu masalah yang ada dalam kelompok Sebab, ditanyakan
pertanyaan: “Apa yang menyebabkan masalah ini?”. Jawaban atas
pertanyaan tersebut diletakkan dibawah masalah yang bersangkutan,
kemudian terhadap jawaban tersebut ditanyakan kembali pertanyaan :
“Apa yang menyebabkan masalah ini?”, dan seterusnya. Peserta
didorong untuk sebanyak mungkin merinci penyebab dari kartu masalah
yang ada secara logis dan berurutan. Dengan demikian peserta akan
mencari runtutan akar dari 12 kartu masalah yang ada dalam kelompok
SEBAB. Setiap kartu masalah biasanya memperoleh antara 2 (dua)
hingga 5 (lima) kartu runtutan akarnya.
• Jawaban antar peserta terhadap satu kartu masalah kemudian
digabungkan, dikelompokkan, dan dibandingkan untuk mencari urutan
runtutan gabungan peserta terhadap suatu masalah.
• Setelah penggabungan runtutan untuk satu kartu masalah selesai,
kemudian runtutan masalah di satu kartu masalah tersebut dibandingkan
dengan runtutan dari kartu masalah yang lain untuk mencari anak
runtutan yang sama/senada.
• Jika ditemukan anak runtutan yang sama, maka mereka harus diletakkan
dalam tinggi yang sama/sejajar.
• Kemudian ditambahkan garis panah penghubung antara kartu-kartu
masalah yang ada.
27
Gambar 11. Lembar Kerja Penggabungan Elaborasi Masalah dan Identifikasi Kartu Runtutan Yang Sama/Senada
A
Koordinasi antar unit
terkait kurang
(internal) B
Tidak ada tunjangan
untuk PPBJ C
Mutasi PPBJ di
daerah membuat
pelaksanaan
pengawasan di
daerah kurang
optimal D
Sebaran SDM PPBJ
dan PPNS PK
kurang optimal E
Dukungan pimpinan
dalam
berkomunikasi/koord
inasi dgn unit/
instansi lain F
Struktur organisasi
tidak optimal bagi
pencapaian
Pengawasan yang
maksimal G
Jumlah dan kualitas
laboratorium uji
kurang menjangkau
seluruh Indonesia H
Otoda kurang
sempurna membuat
hubungan pusat-
daerah kurang
optimal I
Ego sektoral
menghambat
kerjasama J
Kompetensi dan
kualitas SDM PBJ
dan PPNS PK
(pusat-daerah)
kurang K
Dasar hukum untuk
melakukan kegiatan
belum lengkap L
Standar Operasi
Prosedur untuk
melakukan
pengawasan belum
lengkap
A1 Kurang Komunikasi B1
PPBJ belum menjadi
pejabat fungsional
tertentu C1
Daerah kurang
konsisten dalam
penempatan PPBJ D1
Belum sepenuhnya
Pusat./ Daerah
memahami
pentingnya SDM
PPBJ dalam rangka
perlindungan
konsumen E1 Kebijakan Pimpinan F1
Dit. Was hanya unit
eselon II,
seharusnya menjadi
es. I. G1
Keterbatasan
ketersdiaan lab yang
belum merata di
seluruh Indonesia H1
Tidak ada garis
struktural ke daerah I1
Masih memikirkan
kepentinmgan
organisasi sendiri J1
Tidak adanya
tunjangan bagi PPBJ
dan PPNS PK K1
Belum direvisi
ketentuan yang
mengatur tata-cara
pengawasan
barang/jasa di pasar L1
Sedang diproses/
dibuat SOP
A2 Cenderung Tertutup B1
Kebijakan yg blm
ada C2
Daerah kurang
memahami PPBJ C2
Sistim Otda perlu
direvisi E2
Mungkin hal tsb tdk
dianggap penting
oleh pimp F1
Perlu ada
pemisahan org
pengawasan dan
penyidikan G1
Masalah kompetensi
lab H1 Revisi UU Otda I2 Kurang koordinasi J3
Jarang praktek
melakukan
penyidikan dan
pengawasan K1
Blm responsif thd
kondisi di lapangan L1 Kondisi dinamis
A3
masing2 tertlalu
sibuk B2 Tidak ada input C2
Sistim Otda perlu
direvisi C1 Otonomi Daerah E1
Belum berkomitmen
secara pebuh F2
Kebijakan
kementerian blm
mendukung J2
PPNS dan PPBJ tdk
ada hub struktural
dng pusat K2
jarang melakukan
analisa L2
Kurang SDM di
ditwas utk melakukan
penmyusunan
A1 Keterbatasan waktu C1 Otonomi Daerah J1 Karena Otda
A2
Kurangnya
perencanaan
28
Gambar 12. Penyusunan Agar Kartu Runtutan Yang Senada Berada Dalam Tinggi Yang Sama/Sejajar
C
Mutasi PPBJ di
daerah membuat
pelaksanaan
pengawasan di
daerah kurang
optimal D
Sebaran SDM PPBJ
dan PPNS PK
kurang optimal F
Struktur organisasi
tidak optimal bagi
pencapaian
Pengawasan yang
maksimal G
Jumlah dan kualitas
laboratorium uji
kurang menjangkau
seluruh Indonesia I
Ego sektoral
menghambat
kerjasama J
Kompetensi dan
kualitas SDM PBJ
dan PPNS PK
(pusat-daerah)
kurang L
Standar Operasi
Prosedur untuk
melakukan
pengawasan belum
lengkap
B
Tidak ada tunjangan
untuk PPBJ C1
Daerah kurang
konsisten dalam
penempatan PPBJ D1
Belum sepenuhnya
Pusat./ Daerah
memahami
pentingnya SDM
PPBJ dalam rangka
perlindungan
konsumen F1
Dit. Was hanya unit
eselon II,
seharusnya menjadi
es. I. G1
Keterbatasan
ketersdiaan lab yang
belum merata di
seluruh Indonesia I1
Masih memikirkan
kepentinmgan
organisasi sendiri J1
Tidak adanya
tunjangan bagi PPBJ
dan PPNS PK L1
Sedang diproses/
dibuat SOP
A
Koordinasi antar unit
terkait kurang
(internal) B1
PPBJ belum menjadi
pejabat fungsional
tertentu C2
Daerah kurang
memahami PPBJ F1
Perlu ada
pemisahan org
pengawasan dan
penyidikan G1
Masalah kompetensi
lab I2 Kurang koordinasi J3
Jarang praktek
melakukan
penyidikan dan
pengawasan L1 Kondisi dinamis
A1 Kurang Komunikasi B1
Kebijakan yg blm
ada C2
Sistim Otda perlu
direvisi C2
Sistim Otda perlu
direvisi E
Dukungan pimpinan
dalam
berkomunikasi/koord
inasi dgn unit/
instansi lain F2
Kebijakan
kementerian blm
mendukung J2
PPNS dan PPBJ tdk
ada hub struktural
dng pusat K
Dasar hukum untuk
melakukan kegiatan
belum lengkap L2
Kurang SDM di
ditwas utk melakukan
penmyusunan
A2 Cenderung Tertutup B2 Tidak ada input C1 Otonomi Daerah C1 Otonomi Daerah E1 Kebijakan Pimpinan H
Otoda kurang
sempurna membuat
hubungan pusat-
daerah kurang
optimal J1 Karena Otda K1
Belum direvisi
ketentuan yang
mengatur tata-cara
pengawasan
barang/jasa di pasar
A3
masing2 tertlalu
sibuk E2
Mungkin hal tsb tdk
dianggap penting
oleh pimp H1
Tidak ada garis
struktural ke daerah K1
Blm responsif thd
kondisi di lapangan
A1 Keterbatasan waktu E1
Belum berkomitmen
secara pebuh H1 Revisi UU Otda K2
jarang melakukan
analisa
A2
Kurangnya
perencanaan
29
Penyusunan Pohon Masalah Tahap-2
Penyusunan pohon masalah tahap-2 adalah langkah memasukkan hirarki
masalah ke dalam pohon masalah tahap-1. Informasi mengenai hirarki masalah
diperoleh dari langkah elaborasi akar masalah. Setelah unsur hirarki ini
dimasukkan, kemudian dilakukan penarikan garis hubungan antar kartu masalah.
Gambar 13. Diskusi Konfirmasi Pohon Masalah Tahap-2
Hasil pengolahan Pohon Masalah Tahap-2 dapat diikuti dalam gambar 14.
Dalam gambar ini, semakin ke bawah maka semakin tinggi prioritas masalah.
30
Gambar 14. Pengaturan Ulang Hirarki Kartu Masalah, Penambahan Hubungan Antar Masalah, dan Penyusunan Pohon Masalah Tahap-2
31
Gambar 15. Penomoran Masalah
Koordinasi antar
unit terkait kurang
(internal)
Komunikasi
kurang
Cenderung
tertutup
Masing-masing
terlalu sibuk pada
Tusi Subdit-nya
Pengukuran
kinerja per Subdit,
tidak secara
keseluruhan
Kurangnya
perencanaan
Tidak ada
tunjangan untuk
PPBJ
PPBJ belum
menjadi pejabat
fungsional
Kebijakan yang
belum ada
Belum dianggap
prioritas
Mutasi PPBJ
daerah membuat
pengawasan tidak
optimal
Daerah tdk
konsisten dlm
penempatan PPBJ
Daerah kurang
memahami PPBJ
Sistem Otda tidak
dijalankan serasi
Otonomi daerah
Sebaran SDM
PPBJ & PPNS PK
kurang optimal
Pusat-Daerah
belum memahami
pentingnya PPBJ
dalam PK
Sistem Otda
belum optimal
Otonomi daerah
Pengertian
pimpinan terhadap
kondisi lapangan
Kebijakan
pimpinan
Mungkin hal tsb
tdk dianggap
penting
Struktur organisasi
tdk mendukung
pengawasan
maksimal
Ditwas hanya
eselon II
Perlu pemisahan
organisasi
penindakan dan
penyidikan
Kebijakan
kementerian
belum mendukung
Jumlah & kualitas
lab uji kurang
menjangkau
Indonesia
Kapasitas Lab
rendah
Kompetensi lab
kurang
Hubungan pusat-
daerah kurang
optimal
Tidak ada garis
struktural ke
daerah
Otoda kurang
optimal
Ego sektoral
menghambat
kerjasama
Masih memikirkan
kepentingan
organisasi sendiri
Kurang koordinasi
(ada koordinasi
tapi semu)
Kompetensi dan
kualitas SDM
PPBJ & PPNS PK
rendah
Jarang praktek
melakukan
penyidikan &
pengawasan
PPNS dan PPBJ
tidak ada hub
struktural dg pusat
Dasar hukum utk
melakukan
kegiatan belum
lengkap
Belum revisi
ketentuan yg
mengatur tata
cara PBBJ
Belum responsif
thd kondisi
lapangan
Jarang melakukan
analisis
SOP utk
melaksanakan
pengawasan
belum lengkap
SOP pernah
dibuat tapi tidak
berjalan
Kondisi berubah-
ubah/dinamis
Kurang SDM di
ditwas utk
melakukan
penyusunan
Motivasi petugas
rendah
PPBJ belum
menjadi pejabat
fungsional
Sistem
pengawasan
barang beredar
belum berjalan
Kurang Bimbingan
Teknis
Tidak ada MOU
dengan Lab
Daerah belum
mandiri
menyediakan
PPBJ dan PPNS
Dukungan Biro
kepegawaian
dalam pemenuhan
SDM yg sesuai
Tidak pernah
diminta oleh
Pimpinan
Jumlah SDM PPBJ & PPNS PK kurang untuk
meliputi seluruh Indonesia
1
1
2
2
2
I.1
Prio
ritas
Rendah
E.1
E.2
E.3
E.4 E.5
I.13
I.15
I.14
I.17
I.16
I.10
I.18
I.19
I.20
I.21
I.22
E.6
E.7
I.5
I.4
I.3
I.9
I.8 I.7
I.6
E.1
I.2
I.12 I.11
I.23
E.8
I.3
32
BAB III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Setelah mengetahui hirarki dan pohon masalahnya, maka pada saat ini sudah
dapat dilakukan analisis terhadap hambatan dan permasalahan yang dihadapi
oleh Ditwas. Secara umum ada 2 (dua) jenis hambatan yang dihadapi oleh
Ditwas, hambatan dari sisi Internal dan hambatan yang berasal dari sisi
Eksternal. Namun kedua jenis hambatan ini saling berkelindan sehingga sulit
menarik garis tegas diantara keduanya.
Hambatan Internal yang dihadapi antara lain adalah:
I.1. Sistem pengawasan barang beredar belum lengkap dan terintegrasi
I.2. Kurangnya perencanaan
I.3. PPBJ belum menjadi pejabat fungsional
I.4. Tidak ada tunjangan untuk PPBJ
I.5. Motivasi petugas rendah
I.6. PPNS dan PPBJ tidak ada hubungan struktural dengan Pusat
I.7. Jarang praktek melakukan penyidikan dan pengawasan
I.8. Kurang bimbingan teknis
I.9. Kompetensi dan kualitas SDM PPBJ dan PPNS PK rendah
I.10. Struktur organisasi tidak mendukung pengawasan maksimal
I.11. Pengertian pimpinan terhadap kondisi lapangan
I.12. Dukungan Biro Kepegawaian dalam pemenuhan SDM yang sesuai
I.13. Kurang SDM di Ditwas untuk melakukan penyusunan
I.14. Kondisi berubah-ubah/dinamis
I.15. SOP untuk melaksanakan pengawasan belum lengkap
I.16. Belum revisi ketentuan yang mengatur tata cara PBBJ
I.17. Dasar hukum untuk melakukan kegiatan belum lengkap
I.18. Pengukuran kinerja per Subdit, tidak secara keseluruhan
I.19. Masing-masing terlalu sibuk dengan tugas fungsi Subdit nya
I.20. Cenderung tertutup
I.21. Komunikasi kurang
I.22. Koordinasi antar unit terkait kurang (internal)
I.23. Tidak ada MOU dengan lab
I.24. Jumlah dan kualitas lab uji kurang menjangkau Indonesia
33
Sedangkan hambatan Eksternal yang dihadapi antara lain:
E.1. Otoda kurang serasi dijalankan membuat hubungan Pusat-Daerah
kurang optimal
E.2. Daerah belum memahami urusan PK dan peran PPBJ/PPNS PK
E.3. Daerah belum mandiri dalam menyediakan PPBJ dan PPNS PK
E.4. Mutasi PPBJ dan PPNS PK di daerah membuat pengawasan tidak optimal
E.5. Sebaran SDM PPBJ dan PPNS PK kurang optimal
E.6. Kurang koordinasi (Ada koordinasi tapi semu)
E.7. Ego sektoral menghambat kerjasama
E.8. Jumlah dan kualitas laboratorium uji kurang menjangkau seluruh Indonesia
Gambaran Hambatan Yang Dihadapi Ditwas
Paragraf dibawah ini adalah paparan, seandainya pohon masalah yang ada
dalam gambar 14 dicoba dinarasikan.
• Hambatan utama dari sisi internal adalah (I.1) Belum dimilikinya sistem
pengawasan barang beredar yang jelas dan terintegrasi. Sistem ini
memang tidak murni internal, namun karena inisiasinya hanya dapat berasal
dari pihak Ditwas, maka dianggap sebagai internal. Keberadaan dan
keberhasilan sistem ini oleh peserta diskusi dianggap sebagai hal yang sangat
penting, terutama untuk menghadapi masalah utama Eksternal yaitu (E.1)
Belum serasi/optimalnya komunikasi/kerjasama Pusat-Daerah dalam
otonomi daerah.
• Belum dimilikinya sistem pengawasan barang beredar yang jelas dan
terintegrasi membuat PPBJ dan PPNS PK yang jumlahnya terbatas di Ditwas,
harus melaksanakan pengawasan pada skala yang nasional, sementara pada
saat yang sama Ditwas juga menghadapi masalah (I.13) Keterbatasan
Jumlah SDM, dan (I.15) Belum selesainya penyusunan SOP Pengawasan
Barang Beredar. Padahal (I.14)situasi di lapangan sangatlahdinamis dan
memerlukan dokumentasi prosedur yang cepat dan diperbaiki secara berkala
untuk semakin mengefektifkan kegiatan pengawasan dari waktu ke waktu.
Dalam diskusi yang dilaksanakan dibicarakan mengenai beberapa situasi
dimana (I.17) Dasar hukum yang ada dirasa belum lengkap sebagai dasar
untuk melakukan penindakan dan penyelidikan. (I.16) Review dan perbaikan
peraturan yang segera agar petugas dapat bertindak dengan lebih pasti.
Disini, Ditwas tampak berada pada posisi yang gamang, apakah akan terjun
penuh melaksanakan operasi penindakan dan penyelidikan, atau akan fokus
34
pada tataran pengembangan panduan, pedoman, peraturan, kebijakan, dan
dukungan fasilitasi kepada seksi atau bidang pengawasan barang beredar
yang ada di daerah. Hal ini tercermin dari hambatan dalam (I.10) Struktur
organisasi Ditwas untuk mendukung pelaksanaan sistem pengawasan
barang beredar.
• Penilaian bahwa sistem belum jelas dan terintegrasi salah satunya tercermin
pada pandangan dalam diskusi mengenai ketidakjelasan pengaturan
wewenang pengawasan antara Ditwas dan DitPDN dalam pengawasan. Hal
ini menimbulkan pertanyaan karena Dit PDN sesungguhnya sudah berfungsi
menyusun standar (fungsi regulasi), sehingga tidak tepat jika Dit PDN juga
mengambil fungsi pengawasan terhadap standar yang dibuatnya sendiri.
• Belum serasinya komunikasi dan koordinasi antara Pusat dan Daerah adalah
penyakit kronik yang belum juga selesai sejak otonomi daerah digulirkan
tahun 2001. Hal utama yang dirasakan adalah (E.2) Rendahnya
pemahaman Kepala Daerahkepada urusan perdagangan dan visi
Perlindungan Konsumen khususnya melalui pengawasan barang beredar.
Paradigma penyusunan prioritas dukungan daerah berdasarkan besarnya
sumbangan terhadap APBD masih kerap terjadi di daerah, sehingga urusan
perlindungan konsumen, yang tidak memberikan banyak sumbangan APBD,
tentunya tidak menjadi prioritas bagi Daerah. Disini tampak bahwa
Kementerian Perdagangan perlu berkomunikasi dan memotivasi daerah untuk
memperhatikan urusan-urusan perlindungan konsumen secara lebih baik,
dapat melalui cara-cara penugasan seperti Dekonsentrasi dan Tugas
Perbantuan, maupun menggunakan instrumen keuangan seperti Dana Alokasi
Khusus (DAK). Rendahnya pemahaman daerah juga tercermin pada (E.3)
Belum mandirinya penyediaan tenaga PPBJ, serta (E.4) Mutasi PPBJ dan
PPNS PK tanpa koordinasi dengan Pusat sebagai instansi yang melatih,
mengangkat, dan memberikan legalitasnya. Hal ini menyebabkan (E.5)
Kurang optimalnya jumlah dan sebaran petugas PPBJ dan PPNS PK di
daerah karena tidak dapat dikontrol dan dijaga secara akurat.
• Hambatan kronik lain yang teridentifikasi adalah masalah Koordinasi, baik
(I.22) Koordinasi internal Ditwas, maupun (E.6) Koordinasi dengan pihak
diluar Ditwas. Seorang peserta menyebutkan koordinasi sebagai hal yang
mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Dalam hubungannya dengan pihak
eksternal, sesungguhnya koordinasi dengan daerah dan lembaga terkait
35
sudah dilakukan, namun tingkatan koordinasi yang terjadi dinilai masih semu,
belum koordinasi yang efektif. Masalah (E.7) Ego Sektoral, diduga menjadi
penghambat dalam koordinasi dengan pihak eksternal ini. Sedangkan disisi
internal, koordinasi memang dilaksanakan, namun karena (I.18) penilaian
kinerja adalah per Subdit, maka pada akhirnya setiap (I.19) Subdit akan
fokus pada pelaksanaan tugas dan fungsinya sendiri, yang membuat
(I.20) jadwal untuk berkoordinasi internal menjadi sulit untuk dilaksanakan.
Hal ini membuat (I.21) komunikasi lintas Subdit adalah kurang.
• Masalah di lingkungan SDM sesungguhnya tidak lepas dari Sistem
Pengawasan Barang Beredar dan pilihan Struktur Organisasi yang dianut
Ditwas. Salah satu rule dalam manajemen adalah “Strategy define Structure,
dan System support Structure” menunjukkan bahwa kejelasan pilihan sistem
dan struktur ini harus segera diselesaikan agar kriteria, perencanaan, dan
arah pengembangan SDM dapat segera dirumuskan secara konsisten. Hal-
hal seperti (I.12) Dukungan biro kepegawaian dalam rekrutmen SDM, (I.8)
kebijakan Bimbingan Teknis, (I.6) komunikasi dengan PPBJ dan PPNS
PK daerah, serta (I.7) praktek penyidikan dan pengawasan yang
diperlukan bagi pengembangan kompetensi SDM amat bergantung pada
pilihan ini.
• Salah satu masalah yang berhubungan dengan SDM adalah masalah (I.5)
motivasi dan (I.3) jabatan fungsional bagi PPBJ. Pada awalnya masalah
ini memang tidak mengemuka, namun ketika mendiskusikan arah
pengembangan SDM, baik di Pusat maupun Daerah, maka skema jabatan
fungsional beserta (I.4) tunjangannya menjadi hal yang dipertimbangkan.
Salah satu argumen yang dikemukakan adalahmotivasi petugas PPBJ untuk
melaksanakan pengawasan, bertahan dari mutasi, dan meningkatkan
ketrampilannya dapat didorong melalui penerapan Jabatan Fungsional dan
Tunjangannya.
36
BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN 1. Kajian dan analisis terkait dengan perlindungan konsumen yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa efektifitas pengawasan barang beredar di
pasar hanya sekitar 40,7% barang beredar yang sesuai dengan parameter
pengawasan.
2. Hambatan pertama pelaksanaan perlindungan konsumen adalah belum
selarasnya pandangan mengenai urusan perlindungan konsumen antara
pemerintah pusat dan daerah. Hal ini tercermin dari kurang selarasnya
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan sistem
perlindungan konsumen, perbedaan visi mengenai perlindungan konsumen,
perbedaan pandangan terhadap peran instansi pelaksana urusan
perlindungan konsumen yang ada di daerah, rendahnya prioritas terhadap
urusan perlindungan konsumen, dan rendahnya kemandirian/kemampuan
pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan perlindungan konsumen.
3. Hambatan kedua adalah belum terlaksananya sistem perlindungan
konsumen nasional secara terintegrasi. Hal ini tercermin dari rendahnya
integrasi pelaksanaan sistem perlindungan konsumen pusat dan daerah,
belum terlaksananya urusan perlindungan konsumen di seluruh daerah,
masih adanya kewenangan yang tidak dapat dijalankan di daerah,
ketidaklengkapan kelembagaan di daerah untuk mewadahi tugas tertentu
dalam urusan perlindungan konsumen, masih adanya kegiatan yang dinilai
belum memiliki dasar hukum yang kuat, belum efektifnya kerjasama dengan
lembaga/ kementerian/instansi lain.
4. Hambatan ketiga adalah rendahnya kapasitas lembaga pendukung sistem
perlindungan konsumen nasional, terutama yang paling mendesak adalah
keterbatasan jumlah serta kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) seperti
Pengamat Tera, Penera, Analis Laboratorium Penguji, Pengawas Barang
Beredar dan Jasa, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
5. Hambatan lainnya adalah hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai faktor
pendukung terhadap efektifitas pelaksanaan perlindungan konsumen, yaitu
(1) permasalahan dibidang manajerial, seperti lemahnya perencanaan dan
kurang giatnya koordinasi internal antar bagian pada instansi pelaksana, (2)
keterbatasan anggaran, (3) belum adanya basis data yang akurat,
terintegrasi, dan mutakhir, serta (4) perubahan faktor eksternal/ lingkungan.
REKOMENDASI 1. Meningkatkan peran Pemerintah Daerah dalam urusan perdagangan
khususnya dalam pelaksanaan perlindungan konsumen, melalui:
37
a. Meningkatkan hubungan dan pemahaman daerah terhadap urusan
perlindungan konsumen
1) Menggunakan hasil pemetaan sistem perlindungan konsumen nasional
untuk memetakan kemampuan daerah dalam melaksanakan urusan
perlindungan konsumen (Pemberdayaan Konsumen, Pengawasan
Barang Beredar, Standardisasi, Pengembangan Mutu Barang, dan
Metrologi Legal).
2) Meningkatkan kepedulian (awareness) dan pemahaman Pemerintah
Daerah terhadap urusan perdagangan yang diserahkan kepada
daerah melalui pelaksanaan bimbingan teknis perlindungan konsumen
dan pengayaan materi pelatihan kepala daerah di Kementerian Dalam
Negeri.
3) Bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk merancang
Tugas Perbantuan kepada Pemerintah Provinsi untuk mendukung
sistem perlindungan konsumen nasional.
4) Memperbaiki kualitas perencanaan, komunikasi, dan koordinasi daerah
melalui penyediaan basis data dan statistik perlindungan konsumen
yang akurat, terintegrasi, serta dimutakhirkan berkala secara nasional
b. Meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk melaksanakan
urusan perlindungan konsumen
1) Memotivasi pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan
perlindungan konsumen melalui penyaluran Dana Alokasi Khusus
(DAK) dengan kriteria teknis yang memperhatikan pelaksanaan urusan
perlindungan konsumen dan jumlah SDM fungsional pendukung
perlindungan konsumen di daerah.
2) Mendorong Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri
untuk mempertimbangkan ketersediaan jumlah tenaga fungsional
pendukung urusan bidang perdagangan khususnya bidang
perlindungan konsumen dalam alokasi Dana Alokasi Umum (DAU)
kepada pemerintah daerah.
c. Melaksanakan monitoring dan evaluasi perlindungan konsumen daerah
secara nasional, berjenjang, dan berkala
1) Memasukkan komponen kinerja perlindungan konsumen dalam
monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan bidang perdagangan oleh
daerah.
2) Menggunakan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan perlindungan
konsumen daerah sebagai dasar penyaluran dukungan atau bantuan
kepada daerah.
d. Mereview produk hukum daerah dan menyusun Standar Pelayanan
Minimum
1) Mendorong daerah untuk melakukan review dan menyusun produk
hukum yang mendukung pelaksanaan sistem perlindungan konsumen.
38
2) Menyusun Standar Pelayanan Minimum (SPM) pemerintah daerah
bagi pelaksanaan bidang perlindungan konsumen (Pemberdayaan
Konsumen, Pengawasan Barang Beredar, Standardisasi,
Pengembangan Mutu Barang, dan Metrologi Legal).
2. Memperkuat Sistem Perlindungan Konsumen Nasional, melalui:
a. Mengevaluasi Sistem Perlindungan Konsumen Nasional.
1) Memetakan dan mengevaluasi kondisi saat ini dari sistem
perlindungan konsumen nasional, meliputi kelembagaan, kapasitas,
jumlah dan kualitas sumberdaya, kualitas pelaksanaan operasi, dan
keselarasan tugas, kewenangan, dan output antar lembaga terkait,
mulai dari pusat hingga daerah, dalam menunjang pencapaian tujuan
perlindungan konsumen nasional.
2) Mengidentifikasi dan mengestimasi dampak perubahan lingkungan
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen nasional, seperti
perubahan pasar, penambahan/peningkatan standar, peningkatan
kebutuhan parameter/akurasi uji, perubahan jenis UTTP, munculnya
variasi/turunan produk, keterbukaan wilayah, dinamika wilayah,
peningkatan lalu lintas barang antar daerah dan dari negara lain,
pertambahan penduduk, perubahan cara belanja dan pemasaran
barang, pertambahan jenis jasa yang dipasarkan, dan lain-lain.
3) Mengevaluasi kemampuan daerah dalam melaksanakan dan
mendukung sistem perlindungan konsumen nasional.
b. Mengembangkan Sistem Informasi Perlindungan Konsumen Nasional.
1) Menyusun dan mengelola Sistem Informasi Perlindungan Konsumen
Nasional yang dapat diakses oleh seluruh instansi atau lembaga yang
terlibat dalam sistem perlindungan konsumen nasional (Pemberdayaan
Konsumen, Pengawasan Barang Beredar, Standardisasi,
Pengembangan Mutu Barang, dan Metrologi Legal) untuk mendukung
proses perencanaan, komunikasi, pengarahan, koordinasi, kerjasama,
dan sosialisasi.
2) Menyusun basis data dan statistik perlindungan konsumen yang akurat
serta dimutakhirkan secara berkala dan secara nasional, termasuk
beragam indeks yang diperlukan sebagai indikator pelaksanaan
perlindungan konsumen.
c. Meninjau peraturan dan dokumen operasional di bidang perlindungan konsumen.
1) Meninjau dan memetakan dasar hukum, bisnis proses, prosedur, dan
standar operasi pelaksanaan urusan Perlindungan Konsumen baik
yang dibutuhkan di pusat maupun daerah. Termasuk mengidentifikasi
produk hukum yang dibutuhkan untuk dibuat oleh daerah, dan produk
hukum daerah yang bertentangan dengan pelaksanaan perlindungan
konsumen secara nasional.
39
2) Meninjau, memperbaiki, dan melengkapi dasar hukum, bisnis proses,
prosedur, dan standar operasi pelaksanaan urusan-urusan
perlindungan konsumen agar sesuai dengan strategi, struktur, dan
sistem perlindungan konsumen nasional yang akan dilaksanakan,
pendekatan kewilayahan, dan otonomi daerah.
3. Meningkatkan kapasitas lembaga pelaksana sistem perlindungan konsumen
nasional, melalui:
a. Menyesuaikan jumlah dan kemampuan SDM pendukung perlindungan konsumen
1) Menggunakan hasil pemetaan sistem perlindungan konsumen nasional
untuk memetakan jumlah dan kondisi terkini dari SDM yang terlibat
dalam pelaksanaan urusan perlindungan konsumen, baik ditingkat
pusat maupun daerah.
2) Melakukan estimasi kebutuhan SDM pelaksana urusan perlindungan
konsumen pada masa mendatang, dan menyusun strategi rekrutmen,
insentif, karir, serta pengembangan SDM urusan perlindungan
konsumen.
3) Memastikan Biro Kepegawaian mendukung upaya rekrutmen
tambahan bagi tenaga Pengamat Tera, Penera, Analis Laboratorium
Penguji, Pengawas Barang Beredar dan Jasa, dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil untuk memenuhi kebutuhan di Pusat maupun
diperbantukan ke daerah.
4) Bekerjasama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam
Negeri mendorong daerah untuk menjaga dan memperhatikan
komposisi antara tenaga ahli pelaksana dengan tenaga pendukung
pada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan
perlindungan konsumen melalui pertimbangan kriteria teknis dalam
Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU).
5) Menggunakan kelembagaan milik pusat yang ada di Daerah seperti
Badan Sertifikasi Metrologi Legal (BSML) untuk memeratakan sebaran
SDM fungsional bagi pelaksanaan perlindungan konsumen, terutama
kepada wilayah yang pelaksanaannya rendah.
b. Mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan secara berjenjang melalui pendekatan kewilayahan bagi pelaksana perlindungan konsumen
1) Menyusun strategi pendidikan dan latihan berjenjang/wilayah dengan
memanfaatkan kelembagaan milik pusat yang ada di daerah seperti
BSML, termasuk kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan
Perguruan Tinggi di daerah, untuk menambah, meningkatkan
kemampuan, dan memotivasi SDM pelaksana urusan Perlindungan
Konsumen di daerah.
2) Mempersiapkan Standar Kompetensi Kerja bagi pendidikan dan
pelatihan beberapa bidang tugas yang dibutuhkan mendesak
(pengamat tera, penera, reparatur UTTP, asisten analis lab penguji,
40
dan pengawas barang beredar dan jasa) agar dapat dilaksanakan oleh
lembaga/instansi diklat yang lain yang telah disetujui di daerah.
3) Melakukan sertifikasi internal terhadap kompetensi petugas
perlindungan konsumen.
c. Merevitalisasi sarana perlindungan konsumen yang mendesak
1) Menggunakan hasil pemetaan dan rancangan strategi, struktur, dan
sistem perlindungan konsumen nasional untuk mengidentifikasi
kebutuhan sarana pendukung pelaksanaan perlindungan konsumen
nasional
2) Secara bertahap merevitalisasi kapasitas sarana prasarana
pendukung pelaksanaan tugas perlindungan konsumen sesuai skala
prioritas, pendekatan kewilayahan, dan kemampuan keuangan pusat,
terutama untuk urusan metrologi legal, pengembangan mutu barang,
dan pengawasan barang beredar.
d. Peningkatan komunikasi dan perencanaan
1) Menguatkan komunikasi lintas instansi dan lintas sektor secara berkala melalui forum komunikasi bidang perlindungan konsumen di Pusat.
2) Melaksanakan bimbingan teknis perencanaan perlindungan konsumen dengan memperhatikan hasil forum komunikasi PK di pusat.
3) Memastikan dukungan Kepala Negara dan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap masalah perlindungan konsumen
41
DAFTAR PUSTAKA
Haryanto, 2013, Tahun 2013 Kasus Gula Ilegal Meningkat 245 Persen, diunduh dari http://pontianak.tribunnews.com/2014/01/08/tahun-2013-kasus-gula-ilegal-meningkat-245-persen tanggal 14 Maret 2014.
Kementerian perdagangan, 2009, Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa.
_________________, 2007, Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangankan.
Laporan Akhir Kegiatan Peningkatan Pengawasan Peredaran Barang dan Jasa. 2014. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Sanggau.
Suryowati, Estu, Tabung Elpiji di Perbatasan Tak Sesuai SNI, diunduh dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/31/2050378/Tabung.Elpiji.di.Perbatasan.Tak.Sesuai.SNI tanggal 14 Maret 2014