analisis faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
TRANSCRIPT
18
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG
MEMPENGARUHI KEJADIAN MALARIA DI DESA AWIU
KECAMATAN LAMBANDIA KABUPATEN KOLAKA
ANALYSIS ON RISK FACTORS INFLUENCING MALARIA
INCIDENT AT AWIU VILLAGE LAMBANDIA DISTRICT
KOLAKA REGENCY
MOSES
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
19
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG
MEMPENGARUHI KEJADIAN MALARIA DI DESA AWIU
KECAMATAN LAMBANDIA KABUPATEN KOLAKA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Disusun dan Diajukan Oleh
MOSES
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
20
21
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Moses
Nomor Mahasiswa : P1801211501
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar 31 juli 2013
Yang menyatakan
Moses
22
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas tuntunan dan penyertaanNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Program Studi Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.
Banyak rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam
penelitian dan penyusunan tesis ini, namun semuanya dapat dijalani
berkat bantuan dari berbagai pihak, maka tesis ini dapat selesai pada
waktunya. Terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak dr. H.
Hasanuddin ishak, M.Sc.,Ph.D. selaku pembimbing I dan Dr. Mappeaty
Nyorong, MPH. selaku pembimbing II atas bimbingan, petunjuk dan saran
yang senantiasa diberikan kepada penulis.
Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS., Bapak Dr. Darmawangsyah,
SE., MS dan Bapak Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, selaku tim
pengiji yang telah memberikan kritik dan masukan berharga dalam
penyelesaian tesis ini.
2. Ibu kepala Puskesmas Lambandia Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka yang telah memberikan bantuan informasi dan
data awal penelitian.
23
3. Bapak Kepala Desa Awiu sekeluarga dan Sekertaris Desa Awiu
sekeluarga yang telah banyak membantu dan menerima penulis
selama melaksanakan penelitian.
4. Seluruh rekan seperjuangan mahasiswa pascasarjana Kesehatan
Lingkungan Angkatan 2011 yang senantiasa menjaga tali
persaudaraan.
5. Terima kasih buat Debby yang telah memberikan dukungan dan
dengan setia telah menemani penulis baik dalam suka maupun
duka selama penyusunan tesis ini.
Akhirnya dengan kerendahan hati, penulis
mempersembahkan tesis ini kepada kedua orang tuaku (Sempa
marthen dan Daria Missing) yang saya banggakan atas segala
motivator serta sumbangsih yang tidak terbatas nilainya, buat saudara-
saudaraku terima kasih atas bantuan dalam bentuk motivasi maupun
materi dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari
kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu dengan penulis berharap
kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis
ini. Akhirnya saya berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Makassar, 29 Juli 2013
Penulis
24
ABSTRAK
MOSES. Analisis Faktor-Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian
Malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun
2010-2012 (dibimbing oleh Hasanuddin Ishak dan mappeaty Nyorong).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Faktor-Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2010-2012
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain case control. Kelompok kasus adalah semua responden yang pemeriksaan darah dilaboratorium dinyatakan positif mengandung plasmodium, sedangkan kelompok kontrol adalah orang yang dinyatakan negatif plasmodium. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Awiu dengan jumlah sampel 60 responden, yang terdiri dari 30 kelompok kasus dan 30 kelompok kontrol. Data di analisis dengan menggunakan Software SPSS.
Hasil analisis bivariat yang menjadi faktor risiko kejadian malaria adalah faktor lingkungan fisik seperti keberadaan breeding site (p-value = 0,028 OR=3,500 Cl 95%=1,112 – 11,017) dan kondisi dinding rumah rumah (p-value = 0,037 OR=3,763 Cl 95%=1,038 – 13,646) sedangkan lingkungan biologi adalah keberadaan semak-semak (p-value =0,004 OR=6,882 Cl 95%=1,707 – 27,752) dan keberadaan larva anopheles spp spp (p-value =0,028 OR=3,500 Cl 95%=1,112 – 11,017). Dari hasil analisis multivariat di dapatkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah keberadaan breeding site, kondisi dinding rumah dan keberadaan semak-semak. Faktor yang paling berpengaruh terhadap risiko kejadian malaria adalah keberadaan breeding site (p-value = 0,028 OR=3,500 Cl 95%=1,112 – 11,017).
Kata kunci: Faktor risiko, lingkungan fisik, biologi, sosial budaya,
pelayanan kesehatan, kejadian malaria, Lambandia dan Kolaka.
25
ABSTRACT
MOSES. Analysis on Risk Factors Influencing Malaria Incident at Awiu Village, Lambandia District, Kolaka Regency in 2010 -2012 (supervised by Hasanuddin Ishak and Mappeaty Nyorong).
The research aimed at analyzing the risk factors influencing the malaria incident at Awiu Village, Lambandia District, Kolaka Regency in 2010 -2012.
This was an observational research with the case control design. The case group was all the respondents whose blood examination in the laboratory was stated to contain a positive plasmodium, where as the control group was the people who were stated to have a negative plasmodium. The research was carried out at Awiu Village with the number of samples as many as 60 respondents who consisted of 30 people of the case group. The data were analysed using the soft-ware SPSS.
The result of the bivariate analysis which becomes the risk factors of the malaria incident are: physical environmental factors such as the presence of the breeding site (p-value=0.028 OR = 3.500 CI 95% = 1.112-11.017) and the house wall condition (p-value = 0.037 OR = 3.763 CI 95% = 1.038 – 13.646), whereas the biological environmental is the presence of shrubs (p-value = 0.004 OR = 6.882 CI 95% = 1.707 – 27.752), and the presence larvaof the larva Anopheles spp (p-value=0.028 OR = 3.500 CI 95% = 1.112-11.017). from the result of the multivariate analysis, the risk factors influencing the malaria incident are: the presence of the breeding site, the house wall condition and presence of shrub. The most influential risk factors of the malaria incident is the presence of the breeding site (p-value=0.028 OR = 3.500 CI 95% = 1.112-11.017).
Key-word : Risk factors, Physical environment, biology, sosio-culture,
health service, malaria incident.
26
DAFTAR ISI
halaman HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR SINGKATAN xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 12
C. Tujuan Penelitian 14
D. Manfaat Penelitian 16
II. TINJAUAN PUSTAKA 18
A. Tinjauan Umum tentang Malaria 18
B. Siklus Hidup Plasmodium 31
27
C. Epidemiologi Malaria 35
D. Bionomik Vektor Malaria 36
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian malaria 42
F. Kerangka Teori 59
G. Kerangka Konsep 60
H. Definisi Operasional, Kriteria Objektif dan skala
pengukuran 61
I. Hipotesis Penelitian 67
III. METODE PENELITIAN 69
A. Desain dan Rancangan Penelitian 69
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 70
C. Populasi dan Sampel Penelitian 70
D. Pengumpulan Data 73
E. Pengolahan Data 74
F. Analisa Data 75
G. Cara Penentuan Badan Air Positif Larva Anopheles 77
H. Instrumen Penelitian 78
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 79
A. Hasil Penelitian 79
B. Pembahasan 134
C. Keterbatasan Penelitian 164
V. PENUTUP 166
28
A. Kesimpulan 166
B. Saran 167
DAFTAR PUSTAKA 169
LAMPIRAN 176
29
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Jenis-jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor di Indonesia
Tabel sintesa, hasil penelitian tempat istirahat nyamuk
Anopheles spp Tabel sintesa hubungan antara suhu udara dengan
kejadian malaria Tabel sintesa hubungan antara kelembaban udara
dengan kejadian malaria Tabel sintesa hasil penelitian tentang hubungan antara
faktor lingkungan sosial bidaya dengan kejadian malaria
Distribusi Responden berdasarkan jenis kelamin di desa
Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di
Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan jenis kelamin di Desa
Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa
Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan
Breeding site di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013.
Distribusi Respoden Berdasarkan Jarak Rumah Dengan
Breeding Site di Desa Awiu Tahun 2013. Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Dinding
Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan keberadaan Langit-
24
40
48
50
56
81
102
103
103
106
107
107
30
14. 15 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
26.
langit Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Suhu di Dalam
Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Suhu di Luar Rumah
di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Kelembaban di
Dalam Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Kelembaban di Luar
Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Hewan
Ternak di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
Distribusi Responden Berdasarkan Semak Belukar di
Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Larva
Anopheles spp di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan penyemprotan di
Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Keluar
Rumah Pada Malam Hari di Desa Awiu Tahun 2013
Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan
Menggunakan Obat Anti Nyamuk di Desa Awiu Tahun 2013
Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan
Menggunakan Kelambu di Desa Awiu Tahun 2013
Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan
Menggantung Pakaian di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko Keberadaan Breeding Site dengan
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
108
109
110
111
111
112
113
114
115
116
116
117
118
119
31
27. 28. 29. 30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39. 40. 41.
Analisis Faktor Risiko Kondisi dinding rumah dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko keberadaan langit-langit rumah
dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko Suhu Udara dalam rumah dengan
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013 Analisis Faktor Risiko Keberadaan Ternak Besar dengan
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013 Analisis Faktor Risiko Keberadaan Semak Belukar
dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko keberadaan larva anopheles spp
dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko pelaksanaan penyemprotan
dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Keluar Rumah Pada
Malam Hari Tanpa Menggunakan Pelindung dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Obat
Anti Nyamuk dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan
Kelambu dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggantung Pakaian
dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Rekapitulasi Hubungan Variabel Faktor Risiko dengan
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
120
122
122
124
125
126
127
128
129
130
131
132
32
42. 43.
Hasil Analisis Bivariat yang di Jadikan Model Analisis
Multivariat Hasil Analisis Regresi Logistik antara variabel Potensial
dengan Kejadian malaria di Desa Awiu Tahun 2013.
134
134
33
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Telur Anopheles sp pembesaran 260 x 194 dan telur Anopheles spp 30 jam setelah pengambilan
Larva Anopheles sp pembesaran 10 x 20 dan larva
Anopheles spp dengan ciri istirahat di permukaan air
Pupa Anopheles sp pembesaran 10 x 20 saat berada di
permukaan air Nyamuk Anopheles dirus pada pembesaran 678 x 456 Siklus hidup parasit penyebab malaria, Plasmodium sp Kerangka teori penelitian Kerangka konsep penelitian Rancangan Penelitian case control Peta Lokasi Penelitian di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia Diagram Persentase Jumlah Penduduk berdasarkan
Administrasi Dusun di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2013
Grafik Annual Malaria Incidence (AMI) berdasarkan Desa
di Kecamatan Lambandia Tahun 2010 – 2012 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
Grafik Annual Parasite Incidence (API) berdasarkan
Desa di Kecamatan Lambandia Tahun 2010 – 2012 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia
Tahun 2010 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia
19
20
22
23
33
58
59
68
80
83
88
89
90
34
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Tahun 2011 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia Tahun 2012 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus
dan kelompok kontrol di dusun I dan dusun IV di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus
dan kelompok kontrol di dusun III dan dusun IV di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus
dan kelompok kontrol di dusun II di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok
kontrol di dusun I di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok
kontrol di dusun II di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok
kontrol di dusun III di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok
kontrol di dusun IV di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
Diagram Persentase Responden berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2013
Diagram Persentase Responden berdasarkan Jenis
Pekerjaan di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2013
91
92
95
96
97
98
99
100
101
104
105
35
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti dan Keterangan
AMI Annual Malaria Incidence
An. Anopheles API Annual Parasite Incidence Breeding Site Habitat Perkembangbiakan Nyamuk et al et alii, dan kawan-kawan Dip Dipper, cidukan GIS Geografis Information System
GPS Global Positioning System
HIA High Insidencs Area, Wilayah Insiden Tinggi
LL Lower Limit
LIA Low Insidence Area, Wilayah Insiden
Rendah
MIA Moderat Insidence Area,Wilayah Insiden
Sedang
m dpl Meter Diatas Permukaan Air Laut
OR Odds Rasio
P Plasmodium
pH Power Hydrogen
SIG Sistem Informasi Geografis
spp Sub spesies
36
UL Upper Limit
0C Derajat Celcius, satuan derajat panas
‰ Per Seribu Penduduk
37
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Form Kuesioner Penelitian 179
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Form Lembar Observasi Penelitian
Dokumentasi Penelitian
Master Tabel Penelitian
Hasil Analisis SPSS
Surat Izin Penelitian dari Direktur PPs UNHAS Makassar
Surat Izin Penelitian dari Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten
Kolaka
Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
184
188
198
210
220
221
222
38
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Malaria merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam
kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia. The World Malaria
Report (2010) melaporkan bahwa setengah dari penduduk dunia berisiko
terkena malaria. Jumlah kasus positif 81 juta, dengan kematian 781 ribu
orang. Kasus terbanyak terdapat di Afrika dan beberapa Negara Asia,
Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa bagian Negara Eropa.
Transmisi malaria di Indonesia juga masih terjadi, Data World
Health Organization (WHO) menyebutkan pada tahun 2009 terdapat
1.100.000 kasus klinis, dan pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi
1.800.000 kasus. Menurut laporan riset kesehatan dasar hingga tahun
2011, terdapat 374 Kabupaten endemis malaria, dengan jumlah kasus
malaria 256.592 orang dari 1.322.451 kasus suspek malaria yang
diperiksa sediaan darahnya, dengan Annual Parasite Insidence (API)
1,75 per seribu penduduk. Artinya, setiap 1000 penduduk di daerah
endemis terdapat 2 orang terkena malaria. Dampaknya sangat nyata
terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia yang mengakibatkan
39
berbagai masalah sosial, ekonomi bahkan berpengaruh terhadap
ketahanan nasional. Oleh karena itu malaria adalah satu di antara
penyakit yang menjadi target pemerintah untuk dieleminasi secara
bertahap dan ditargetkan Indonesia bebas malaria pada 2030 (Hadi,
2012).
Indikator yang di gunakan untuk mengukur angka kejadian
malaria disuatu wilayah adalah Annual Parasit Incidence (API) dengan
kriteria sebagai berikut : dikatakan edemis tinggi (high) jika API = > 5‰,
endemis sedang (moderat) API = 1 sampai < 5‰, endemis rendah (low)
API = 0 sampai 1‰ dan bebas malaria API = 0 (Kemenkes RI, 2011).
Kabupaten Kolaka adalah salah satu Kabupaten di Provinsi
Sulawesi Tenggara yang memiliki 4 kecamatan yang endemis malaria
yakni Kecamatan Lambandia, Kecamatan Toari, Kecamatan Ladongi
Welala dan Kecamatan Tosiba. Data tiga tahun terakhir menunjukkan
kejadian malaria di Kabupaten Kolaka berfluktuasi dari tahun 2010 sampai
tahun 2012. Pada tahun 2010, jumlah penderita malaria klinis atau Annual
Malaria Incidence (AMI) sebesar 336 orang (1,090/00), yang positif malaria
atau Annual Parasite Incidence (API) sebesar 42 (0,130/00). Pada tahun
2011, AMI sebesar 243 orang (8,580/00) dengan API sebesar 84 orang
40
(2,980/00) dan tahun 2012, AMI sebesar 1030 orang (3,360/00), API sebesar
37 (0,120/00) (Dinkes Kabupaten Kolaka, 2012).
Kecamatan Lambandia merupakan salah satu kecamatan di
kabupaten Kolaka yang mempunyai wilayah endemis malaria tiga tahun
terakhir yaitu pada Tahun 2010 API sebanyak 37 (35,840/00), Tahun 2011
sebanyak 46 (43,750/00), Tahun 2012 sebanyak 23 (28,250/00). Sedangkan
data AMI tiga Tahun terakhir yaitu Tahun 2010 sebanyak 113 (120.240/00),
Tahun 2011 sebanyak 68 (66,280/00) dan Tahun 2012 sebanyak 95
(94,830/00).
Desa Awiu merupakan desa tertinggi angka penderita malaria.
Berdasarkan laporan bulanan Puskesmas Lambandia, di desa Awiu pada
tahun 2010 Annual Malari Incidence (AMI) tiga tahun terakhir adalah
tahun 2010 sebanyak 16 (28,12‰), tahun 2011 sebanyak 17 (29,56‰)
dan tahun 2012 sebanyak 24 (41,17‰) dan data API tiga tahun terakhir
adalah tahun 2010 sebanyak 10 (17,57‰), tahun 2011 sebanyak 10
(17,39‰), tahun 2012 sebanyak 10 (17,15‰) (Puskesmas Lambandia,
2012).
Perubahan lingkungan merupakan faktor penting terjadinya
malaria. Ahmadi et al (2009) telah membuktikan bahwa lingkungan dan
41
perilaku dapat mempengaruhi kejadian malaria. Perubahan signifikan dari
salah satu atau beberapa faktor lingkungan yaitu faktor-faktor
meteorologis, perkembangan alur irigasi, perubahan hutan, dan kegiatan
penambangan pasir dapat mempengaruhi habitat larva dan dinamika
transmisi malaria. Selain itu faktor pelayanan kesehatan, pola
perpindahan penduduk juga berhubungan erat dengan kejadian malaria.
Oleh karena itu keberhasilan pengendalian malaria tidak dapat tercapai
tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut diatas.
Secara epidemiologi terjadinya penyakit malaria disebabkan
oleh tiga faktor utama yang saling berhubungan yakni host
(manusia/nyamuk), agent (parasit plasmodium) dan environment
(lingkungan). Faktor individual yang berperan dalam penularan malaria
adalah usia, jenis kelamin, genetik, kehamilan, status gizi, aktivitas keluar
rumah pada malam hari (perilaku individu) dan faktor kontekstual adalah
lingkungan perumahan, keadaan musim, sosial ekonomi, dan lain-lain
(Arsin, 2012).
Penelitian Ernawati et al (2011), menunjukkan bahwa faktor
yang mempengaruhi kejadian malaria di Kecamatan Punduh Pedada
42
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor individu (pengetahuan, persepsi,
penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, penggunaan kawat
kasa, penutup tubuh, aktivitas ke luar rumah malam, pekerjaan) dan faktor
lingkungan perumahan (kondisi perumahan, lingkungan perindukan
nyamuk, pemeliharaan ternak dan jarak rumah dengan perindukan
nyamuk).
Penelitian serupa dilakukan oleh Erdinal et al (2006)
melaporkan bahwa dari hasil analisis multivariat didapatkan faktor yang
paling berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah keberadaan
kandang ternak, tempat perkembangbiakan nyamuk, pemakaian obat anti
nyamuk, pemakaian kelambu dan penggunaan kawat kasa nyamuk.
Konradsen et al. (2004) menunjukkan bahwa konstruksi rumah yang
sangat buruk memiliki risiko sebesar 30% atau lebih sebagai tempat
tinggal Anopheles culcifacies dan An. subpictus. Suryana (2003)
melakukan studi case control di Purworejo menjelaskan bahwa dinding
rumah yang berupa bilik memiliki risiko 5,62 kali untuk terinfeksi malaria
dibandingkan dengan penghuni yang rumahnya dinding bata atau kayu.
Adanya genangan air di sekitar rumah sebagai salah satu
sumber perkembangbiakan nyamuk vektor malaria. Penelitian Babba
43
(2007) menemukan bahwa ada hubungan antara jarak breeding site yang
< 50 m dengan kejadian malaria (p=0,047). Dengan demikian orang yang
memiliki breeding site dari rumah yang jaraknya < 50 m berisiko untuk
terkena malaria 1,77 kali dibandingkan dengan jarak breeding site dari
rumah > 50 m (OR : 1,77 ; 95% CI : 1,01 – 3,10). Penelitian yang serupa
dilakukan oleh Erdinal et al (2006) mendapatkan bahwa hubungan antara
tempat perkembangbiakan nyamuk dengan kejadian malaria berdasarkan
tabulasi silang (uji chi square) diperoleh nilai p = 0,006, yang berarti
terdapat hubungan bermakna antara tempat perkembangbiakan nyamuk
dengan kejadian malaria. Dalam uji tersebut diperoleh Odds Ratio (OR)
2,8 dengan confidence interval (CI) 95 % 1,381 – 5,512, hal ini berarti
responden yang tinggal dekat tempat perkembangbiakan nyamuk
mempunyai risiko 2,8 kali untuk terserang malaria dibandingkan dengan
responden yang tinggal jauh dari tempat perkembangbiakan nyamuk.
Suatu wilayah diinterpretasikan sebagai daerah yang berpotensi
sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Anopheles spp sebagai
vektor penular malaria sangat tergantung pada jenis atau tipe perairan
dan letak geografis daerah tersebut. Nyamuk yang ada di daerah pantai
kemungkinannya berbeda dengan di daerah pedalaman, demikian pula
44
nyamuk yang ada di sekitar daerah persawahan kemungkinannya
berbeda dengan di daerah non persawahan (Depkes RI, 2001).
Nawangsasi (2012) dalam penelitiannya tentang kajian deskriptif kejadian
malaria di wilayah kerja puskesmas Rowokele Kabupaten Kebumen
melaporkan bahwa penderita malaria paling banyak berada di Desa
Wonoharjo yang merupakan daerah dataran tinggi
(pegunungan/perbukitan) dibandingkan daerah dataran rendah, dengan
kecenderungan kasus malaria terbanyak pada daerah perkebunan dan
sungai.
Perilaku nyamuk Anopheles spp sebagai host defenitive,
sangat menentukan proses penularan malaria, seperti tempat
hinggap/istirahat yang eksofilik (senang hinggap di luar rumah) dan
endofilik (suka hinggap di dalam rumah), tempat menggigit yakni
eksofagik (menggigit diluar rumah) dan endofagik (lebih suka menggigit
didalam rumah), obyek yang digigit yakni antrofilik (manusia) dan zoofilik
(hewan) (Depkes, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Sukowati dan
Shinta (2009), menemukan bahwa An. sundaicus di desa Jati Malang aktif
menggigit sepanjang malam didalam dan diluar rumah, tetapi kepadatan
tiap jamnya lebih banyak tertangkap diluar rumah (eksofagik) aktivitas
45
puncak terjadi antara pukul 23.00-01.00 dan cenderung lebih banyak
menggigit ternak (di kandang) daripada menggigit manusia
(zooantropofilik) sedangkan di desa Gedangan ditemukan An. subpictus
lebih aktif menggigit di luar rumah (eksofagik) pada manusia (antrofilik)
daripada di kandang, terjadi antara pukul 19.00-20.00 dengan kepadatan
sebesar 1,4 nyamuk/orang/jam, kemudian pada pukul 21.00-22.00 dan
pukul 23.00-24.00 sebesar 2,8 nyamuk/orang/jam.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk Anopheles antara lain lingkungan fisik seperti
suhu udara, kelembaban, hujan, angin, sinar matahari, arus air,
lingkungan biologi (flora dan fauna) dan lingkungan sosial budaya
(pendidikan, pekerjaan, penghasilan, kebiasaan diluar rumah pada malam
hari, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan menggantung
pakaian). Penelitian Yawan (2006) tentang analisis faktor risiko kejadian
malaria di wilayah kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak menemukan
bahwa ada hubungan antara keberadaan genangan air, langit–langit
rumah, penggunaan kelambu, kebiasaan keluar rumah pada malam hari,
kebiasaan menggantung pakaian dan perilaku tidak patuh minum obat
terhadap kejadian malaria. Hasil penelitian ini berbeda dengan Anjasmoro
46
(2013) yang melaporkan terdapat hubungan antara kondisi dinding rumah
dengan kejadian malaria tetapi tidak ada hubungan antara keberadaan
kasa ventilasi,keberadaan genangan air, penggunaan obat nyamuk,
penggunaan kelambu dan kebiasaan keluar pada malam hari dengan
kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Rembang Kabupaten
Purbalingga.
Kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan
lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan penyakit
malaria. Kelembaban yang optimum yang diperlukan untuk
perkembangbiakan nyamuk di atas 60%. (Harijanto, 2000). Kustiyo dan
Surlan (2008) menemukan bahwa suhu optimal untuk perkembangbiakan
nyamuk Anopheles adalah 250C - 300C, dan kelembaban optimal untuk
perkembangbiakan nyamuk adalah 65-70%; Hardiman (2009)
menemukan nyamuk Anopheles hidup pada suhu 26,30C-27,90C dan
kelembaban berkisar 76-83,6%; Amirullah (2012) dalam penelitiannya di
Kabupaten Selayar menemukan rata-rata nyamuk Anopheles
berkembangbiak pada suhu 300C-320C dan kelembaban udara 72,8-
84,3%.
47
Keberadaan semak-semak, tanaman liar dan tanaman
perkebunan di sekitar rumah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
perkembangbiakan nyamuk. Semakin banyak semak-semak dan tanaman
perkebunan semakin banyak nyamuk, sehingga frekuensi kontak antara
nyamuk dengan manusia semakin tinggi (Fibrianto, 2009). Pada penelitian
entamologik oleh Ernst et al (2009) menunjukkan bahwa vektor malaria
potensial adalah An. sundaicus banyak di temukan bersarang di semak-
semak dan perkebunan kelapa. Betht et al (2007) menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara semak-semak dan tanaman perkebunan
dengan kejadian penyakit malaria.
Desa Awiu memiliki karakteristik wilayah dataran tinggi
(pegunungan) yang terdiri atas perkebunan dan hutan. Beberapa faktor
yang diduga merupakan faktor risiko adalah faktor pendidikan,
pengetahuan dan pekerjaan, faktor lingkungan seperti kondisi rumah di
desa Awiu yang tidak permanen, adanya tempat perindukkan nyamuk
berupa breeding site, semak-semak, perkebunan, serta adanya
persawahan yang terletak di kaki Bukit. Dengan gambaran geografis
diatas desa Awiu merupakan daerah yang berpotensi sebagai habitat
48
perkembangbiakan (breeding site) dan tempat beristirahat (resting site)
bagi nyamuk vektor malaria.
Hasil penelitian di desa Awiu Kecamatan Lambandia
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
malaria adalah keberadaan breeding site (p-value = 0,028 OR=3,500 Cl
95%=1,112 – 11,017), kondisi dinding rumah (p-value = 0,037 OR=3,763
Cl 95%=1,038 – 13,646) dan keberadaan larva anopheles spp (p-value
=0,028 OR=3,500 Cl 95%=1,112 – 11,017) dan keberadaan semak-
semak disekitar rumah (p-value =0,004 OR=6,882 Cl 95%=1,707 –
27,752). sedangkan yang tidak berpengaruh adalah pemasangan kawat
kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, suhu udara, kelembaban udara,
keberadaan kandang ternak, penyemprotan, kebiasaan keluar rumah
pada malam hari, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan
menggunakan kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian.
Selama ini upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Kolaka lebih banyak berorientasi pada pencegahan penyakit
seperti pengendalian vektor berupa distribusi kelambu berinsektisida,
penyemprotan rumah/Indoor Residural Spraying (IRS), kegiatan
penemuan kasus dan pengobatan malaria baik di Rumah Sakit (RS),
49
Puskesmas, maupun kegiatan Mass Blood Survey (MBS) dan penyuluhan
(Dinkes Kabupaten Kolaka, 2012). Kita perlu menyadari bahwa upaya
pemberantasan penyakit malaria memerlukan penanganan terpadu dan
menyeluruh. Keberhasilan pengendalian malaria tidak dapat tercapai
tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut diatas. Berdasarkan
permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk mengkaji tentang faktor-
faktor yang yang mempengaruhi kejadian malaria di Desa Awiu
Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.
B. Rumusan Masalah
Wilayah kerja Puskesmas Lambandia di Kabupaten Kolaka
merupakan wilayah endemis malaria. Upaya pemberantasan dan
pengendalian vektor dan pengobatan penderita telah dilakukan namun
kenyataannya kasus malaria masih tetap ada di daerah ini. Salah satu
desa dimana lokasi penelitian ini dilaksanakan yaitu Desa Awiu
merupakan Desa endemis malaria dengan total penemuan penderita
berdasarkan hasil penghitungan angka parasit malaria (API) perseribu
penduduk tiga tahun terakhir adalah tahun 2010 sebanyak 10 (17,57‰),
tahun 2011 sebanyak 10 (17,39‰), tahun 2012 sebanyak 10 (17,15‰)
50
dan data Annual Malari Incidence (AMI) tiga tahun terakhir adalah tahun
2010 sebanyak 16 (28,12‰), tahun 2011 sebanyak 17 (29,56‰) dan
tahun 2012 sebanyak 24 (41,17‰). (Puskesmas Lambandia, 2012).
Secara geografis desa Awiu merupakan daerah dataran tinggi
yang dikelilingi perkebunan, persawahan dan hutan, sehingga
memungkinkan tingginya transmisi penularan malaria. Dengan gambaran
geografis desa Awiu berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan
(breeding site) dan tempat beristirahat (resting place) bagi nyamuk vektor
malaria. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di
suatu wilayah menurut Depkes (2007) dan Becker (2010), dapat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, faktor lingkungan biologis dan
sosial budaya. Sehubungan dengan kenyataan tersebut maka kajian
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah faktor lingkungan fisik (keberadaan breeding site, jarak rumah
dengan breeding site, dinding rumah, pencahayaan, keberadaan kawat
kasa pada ventilasi, keberadaan langit-langit, suhu udara dan
kelembaban udarah) berpengaruh terhadap kejadian malaria di Desa
Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka?
51
2. Apakah faktor lingkungan biologi (keberadaan kandang ternak,
keberadaan larva anopheles spp dan keberadaan semak-semak)
berpengaruh terhadap kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia Kabupaten Kolaka?
3. Apakah faktor pelayanan kesehatan (penyemprotan) berpengaruh
terhadap kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka?
4. Apakah faktor sosial budaya (kebiasaan keluar rumah pada malam
hari, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan
menggunakan kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian)
berpemngaruh terhadap kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia Kabupaten Kolaka?
5. Faktor apakah yang paling besar pengaruhnya terhadap kejadian
malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.
52
2. Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan fisik
(keberadaan breeding site, dinding rumah, keberadaan kawat
kasa pada ventilasi, keberadaan langit-langit, suhu udara dan
kelembaban udara) terhadap kejadian malaria di Desa Awiu
Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.
2. Untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan biologi
(keberadaan kandang ternak, keberadaan larva anopheles
spp dan keberadaan semak-semak) terhadap kejadian
malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten
Kolaka.
3. Untuk menganalisis pengaruh faktor pelayanan kesehatan
(penyemprotan) terhadap kejadian malaria di Desa Awiu
Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.
4. Untuk menganalisis pengaruh faktor sosial budaya
(kebiasaan keluar rumah pada malam hari, kebiasaan
menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan menggunakan
kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian) terhadap
53
kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka.
5. untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap
kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Pengembangan Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang kejadian malaria dan
upaya-upaya pencegahan serta penanggulangannya.
2. Manfaat Bagi Masyarakat
Memberikan informasi tentang beberapa faktor penting yang
berpengaruh terhadap kejadian malaria di desa Awiu Kecamatan
Lambandia Kabupaten Kolaka.
3. Manfaat Bagi Institusi
Memberikan gambaran informasi yang ada di daerah endemis
tentang keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat,
54
sehingga dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan akan bisa
lebih baik lagi.
Memberikan informasi beberapa faktor penting yang
berpengaruh terhadap kejadian malaria, sehingga dapat
menyusun rencana dan strategi yang efektif dalam penanganan
malaria.
Memberikan informasi tambahan bagi pemerintah Kabupaten
Kolaka dalam pelaksanaan program pengendalian malaria yang
akan dilakukan.
55
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Malaria
1. Pengertian Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah
manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina (Depkes, 2003).
Secara umum di Indonesia terdapat 4 spesies parasit malaria
yang menginfeksi manusia yaitu P. falciparum, P. vivax, P. malariae, dan
P. ovale. Dimana P. falciparum menyebabkan malaria tertiana maligna
(malaria tropika), P. vivax menyebabkan tertiana benigna, disebut juga
malaria vivax atau ”tertiana ague”, P. malariae menyebabkan malaria
kuartana spesies ini paling jarang dijumpai, P. ovale menyebabkan
malaria tertiana benigna atau malaria ovale. Spesies yang paling banyak
di temukan ialah P. falciparum dan P. vivax (Depkes, 2008)
2. Vektor Malaria
56
Nyamuk termasuk dalam Phylum Arthropoda; Ordo Diptera; Klas
Hexapoda; Famili Culicidae; Sub Famili Anopheline; Genus Anopheles
(Wald,1925; Damar, 2008). Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina yang mengandung Plasmodium. Jumlah nyamuk di
dunia ditemukan tidak kurang dari 3.500 spesies nyamuk. Sedangkan
untuk Anopheles telah ditemukan 400 spesies, 80 spesies diantaranya
terbukti sebagai vektor malaria, dan 22 diantaranya ditemukan di
Indonesia (WHO, 1989 dalam Babba, 2007).
Semua vektor tersebut hidup sesuai dengan kondisi ekologi
setempat antara lain ada nyamuk yang hidup di air payau pada tingkat
salinitas tertentu (An. sundaicus, An.subpictus), ada yang hidup di sawah
(An.aconitus), air bersih dipegunungan (An. maculatus), genangan air
yang terkena sinar matahari (An. punctulatus, An. Farauti) (Harijanto,
2000).
Semua nyamuk, khususnya Anopheles memiliki empat tahap
dalam siklus hidupnya yaitu telur, larva, kepompong dan nyamuk dewasa.
Telur, larva dan kepompong berada dalam air selama 5-14 hari. Nyamuk
Anopheles dewasa adalah vektor penyebab malaria. Nyamuk betina dapat
57
bertahan hidup selama sebulan. Siklus nyamuk Anopheles sebagai
berikut:
1. Telur
Nyamuk betina meletakkan telurnya sebanyak 50-200 butir sekali
bertelur. Telur-telur itu diletakkan di dalam air dan mengapung di tepi air.
Telur tersebut tidak dapat bertahan di tempat yang kering dan dalam 2-3
hari akan menetas menjadi larva (CDC, 2004)
2. Larva
Larva nyamuk memiliki kepala dan mulut yang digunakan untuk
mencari makan, sebuah torak dan sebuah perut. Mereka belum memiliki
kaki. Dalam perbedaan nyamuk lainnya, larva Anopheles tidak mempunyai
saluran pernafasan dan untuk posisi badan mereka sendiri sejajar
dipermukaan air. Larva bernafas dengan lubang angin pada perut dan
oleh karena itu harus berada di permukaan (CDC, 2004).
58
Makanan larva nyamuk adalah berbagai mikroplankton yang
berada pada habitatnya berupa alga, rotifera, protozoa, bakteri dan spora
jamur (Clements 1963) serta detritus hasil penguraian sampah organik
(Bates 1970). Keberadaan ganggang dan tumbuhan air yang membusuk
membantu perkembangan larva nyamuk (Rao 1981). Mereka hanya
menyelam di bawah permukaan ketika terganggu. Larva berenang tiap
tersentak pada seluruh badan atau bergerak terus dengan mulut. Larva
berkembang melalui 4 tahap atau stadium, setelah larva mengalami
metamorfisis menjadi kepompong. Disetiap akhir stadium larva berganti
kulit, larva mengeluarkan exokeleton atau kulit ke pertumbuhan lebih
lanjut.
Habitat Larva ditemukan di daerah yang luas tetapi kebanyakan
spesies lebih suka di air bersih. Larva pada nyamuk Anopheles ditemukan
di air bersih atau air payau yang memiliki kadar garam, rawa bakau, di
2 (a) 2 (b)
59
sawah, selokan yang dirtumbuhi rumput, pinggir sungai dan kali, dan
genangan air hujan. Banyak spesies lebih suka hidup di habitat dengan
tumbuhan. Habitat lainnya lebih suka sendiri. Beberapa jenis lebih suka di
alam terbuka, genangan air yang terkena sinar matahari.
3. Pupa
Pupa terdapat dalam air dan tidak memerulukan makanan tetapi
memerlukan udara. Pada pupa belum ada perbedaan antara jantan dan
betina. Pupa menetas dalam 1-2 hari menjadi nyamuk, dan pada
umumnya nyamuk jantan lebih dulu menetas daripada nyamuk betina.
Lamanya dari telur berubah menjadi nyamuk dewasa bervariasi
tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh panasnya suhu. Nyamuk
bisa berkembang dari telur ke nyamuk dewasa paling sedikit
membutuhkan waktu 10-14 hari.
, 2007
60
4. Nyamuk Dewasa
Semua nyamuk, khususnya Anopheles dewasa memiliki tubuh
yang kecil dengan 3 bagian : kepala, torak dan abdomen (perut). Kepala
nyamuk berfungsi untuk memperoleh informasi dan untuk makan. Pada
kepala terdapat mata dan sepasang antena. Antena nyamuk sangat
penting untuk mendeteksi bau host dari tempat perindukan dimana
nyamuk betina meletakkan telurnya. Kepalanya juga dapat diperpanjang,
maju ke depan hidung yang berguna untuk makan dan 2 pancaindra.
Thorak berfungsi sebagai penggerak. Tiga pasang kaki dan sebuah kaki
menyatu dengan sayap.
Perut berfungsi untuk pencernaan makanan dan mengembangkan
telur. Bagian badannya beperan mengembang agak besar saat nyamuk
betina menghisap darah. Darah tersebut lalu dicerna tiap waktu untuk
membantu memberikan sumber protein pada produksi telurnya.
Nyamuk Anopheles dapat dibedakan dari nyamuk lainnya, adanya
sisik hitam dan putih pada sayapnya. Nyamuk Anopheles dapat juga
dibedakan dari posisi beristirahatnya yang khas : jantan dan betina lebih
suka beristirahat dengan posisi perut berada diudara daripada sejajar
dengan permukaan.
61
Nyamuk bisa menjadi vektor bila memenuhi beberapa syarat
tertentu, antara lain; umur nyamuk, kepadatan, ada kontak dengan
manusia, rentan (tahan) terhadap parasit dan ada sumber penularan
(Depkes, 2004).
Tabel 1. Jenis-jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor di Indonesia
No Wilayah Penyebaran Jenis Nyamuk
1 D. I. Aceh An. balabancensis, An.sundaicus, An.Nigenimus, An. Sinensis
2 Sumatera Utara An.Nigenimus, An. sinensis, An. fetiier, An. rnaculatus, An.sundaicus
3 Sumatera Barat An. maculates, An.sundaicus
4 Riau An. letifer, An. maculatus, An.sundaicus
5 Jambi An. letifer, An. maculatus, An.sundaicus
6 Sumatera Selatan An. tetifer, An. maculatus, An.sundaicus
7 Bengkulu An. maculatus, An.sundaicus
8 Lampung An. aconitus, An. maculatus, An.sundaicus
9 DKI Jakarta An.sundaicus
10 Jawa Barat An. aconitus, An. maculatus, An.sundaicus
11 D.I. Yogyakarta An.balabancensis, An. Maculatus, An.sundaicus
12 Jawa Timur An. aconilus, An. maculates, An.sundaicus, An. Balabancensis
13 Bali An. aconilus, An. maculatus, An.sundaicus, An.sundaicus
14 Kalimantan Barat An. letifer, An. balabancensis, An.maculatus
15 Kalimantan Tengah An. letifer, An. balabancensis, An. maculatus
16 Kalimantan Selatan An. letifer, An. balabancensis, An. maculatus, An.sundaicus
17 Kalimantan Timur An. letifer, An. balabancensis, An. maculatus, An.sundaicus
18 Sulawesi Utara An.barbirosfis, An.subpictus, An.sundaicus
19 Sulawesi Tengah An.barbirosfis, An.subpictus
20 Sulawesi Selatan An.barbirostris, An.subpictus, An.sundaicus
21 Sulawesi Tenggara An.aconitus, An.sundaicus, An. balabancensis, An.barbirostris, An. maculatus, An.subpictus
62
21 Sulawesi Tenggara An.aconitus, An.sundaicus, An. balabancensis, An.barbirostris, An. maculatus, An.subpictus
22 NusaTenggara Barat
An.aconitus, An.sundaicus, An. balabancensis, An.barbirostris, An. maculatus, An.subpictus
23 NusaTenggaraTimur
An.aconitus, An.sundaicus, An. balabancensis, An.barbirostris, An. maculatus, An.subpictus
24 Maluku An.subpictus, An.farauti, An.punculatus
25 Irian Jaya An.farauti, An.kodensis, An.punculatus
Sumber: Depkes (1987), Hadi (1999) dan Harijanto (2000) 3. Gejala Umum Malaria
Gejala malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan
interval tertentu (disebut parokisme), diselingi oleh suatu periode yang
penderitanya bebas sama sekali dari demam (disebut periode laten).
Gejala yang khas tersebut biasanya ditemukan pada penderita non imun.
Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh
sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual, di ulu hati, atau
muntah (semua gejala awal ini disebut gejala prodormal) (Sutrisna, 2004).
Masa tunas malaria sangat tergantung pada spesies Plasmodium
yang menginfeksi. Masa tunas paling pendek dijumpai pada malaria
falciparum, dan terpanjang pada malaria kuartana (P.malariae). Pada
malaria yang alami, yang penularannya melalui gigitan nyamuk, masa
tunas adalah 12 hari (9-14) untuk malaria falciparum, 14 hari (8-17 hari)
untuk malaria vivax, 28 hari (18-40 hari) untuk malaria kuartana dan 17
63
hari (16-18 hari) untuk malaria ovale. Malaria yang disebabkan oleh
beberapa strain P.vivax tertentu mempunyai masa tunas yang lebih lama
dari strain P.vivax lainnya. Selain pengaruh spesies dan strain, masa
tunas bisa menjadi lebih lama karena pemakaian obat anti malaria untuk
pencegahan (kemoprofilaksis) (Sutrisna, 2004).
4. Pola Demam Malaria
Demam pada malaria ditandai dengan adanya parokisme, yang
berhubungan dengan perkembangan parasit malaria dalam sel darah
merah. Puncak serangan panas terjadi berbarengan dengan lepasnya
merozit – merozit ke dalam peredaran darah (proses sporulasi). Untuk
beberapa hari pertama, pola panas tidak beraturan, baru kemudian
polanya yang klasik tampak sesuai spesiesnya. Pada malaria falciparum
pola panas yang ireguler itu mungkin berlanjut sepanjang perjalanan
penyakitnya sehingga tahapan – tahapan yang klasik tidak begitu nyata
terlihat (Sutrisna, 2004).
Suatu parokisme demam biasanya mempunyai tiga stadia yang
berurutan, terdiri dari :
a. Stadium dingin
64
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin.
Nadi penderita cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari – jari pucat kebiru –
biruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin muntah
dan pada penderita anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung
selama 15 menit – 1 jam (Harijanto, 2000).
b. Stadium Demam
Setelah menggigil/merasa dingin, pada stadium ini penderita
mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya
kering dan dirasakan sangat panas seperi terbakar, sakit kepala
bertambah keras, dan sering disertai dengan rasa mual atau muntah–
muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa
sangat haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 41ºC. Stadium ini
berlangsung selama 2 – 4 jam (Harijanto, 2000).
c. Stadium berkeringat
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai
membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan
cepat, kadang – kadang sampai di bawah normal. Biasanya penderita
tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa
gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2-4 jam. Sesudah serangan
65
panas pertama terlewati, terjadi interval bebas panas selama antara 48-72
jam, lalu diikuti dengan serangan panas berikutnya seperti yang pertama;
dan demikian selanjutnya. Gejala–gejala malaria “klasik” seperti diuraikan
di atas tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini tergantung
pada spesies parasit, umur, dan tingkat imunitas penderita (Harijanto,
2000).
5. Mekanisme Periode Panas
Periode demam pada malaria mempunyai interval tertentu,
ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus aseksual / sizogoni
darah untuk mengahasilkan sizon yang matang, yang sangat dipengaruhi
oleh spesies Plasmodium yang menginfeksi. Demam terjadi menyusul
pecahnya sizon–sizon darah yang telah matang dengan akibat masuknya
merozoit–merozoit, toksin, pigmea dan kotoran / debris sel ke peredaran
darah. Masuknya toksin – toksin, termasuk pigmen ke darah memicu
dihasilkannya tumor necrosis faktor (TNF) oleh sel – sel makrofag yang
teraktifkan. Demam yang tinggi dan beratnya gejala klinis lainnya,
misalnya pada malaria falciparum yang berat, mempunyai hubungan
dengan tingginya kadar TNF dalam darah (Sutrisna, 2004).
66
Pada malaria oleh P.vivax dan P.ovale sizon – sizon pecah setiap
48 jam sekali sehingga demam timbul setiap hari ketiga, yang terhitung
dari serangan demam sebelumnya (malaria tertiana) pada malaria karena
P.malariae pecahnya sizon (sporulasi) terjadi setriap 72 jam sekali. Oleh
karena itu, serangan panas terjadi setiap hari keempat (malaria kuartana).
Pada P.falciparum kejadiannya mirip dengan infeksi oleh P.vivax
hanya interval demamnya tidak jelas, biasanya panas badan di atas
normal tiaphari, dengan puncak panas cenderung mengikuti pola malaria
tertiana (disebut malaria subtertiana atau malaria quotidian) (Sutrisna,
2004).
6. Kekambuhan (relaps dan rekrudesensi)
Serangan malaria yang pertama terjadi sebagai akibat infeksi
parasit malaria, disebut malaria primer (berkorelasi dengan siklus sizogoni
dalam sel darah merah). Pada infeksi oleh P.vivax/P.ovale, sesudah
serangan yang pertama berakhir atau disembuhkan, dengan adanya
siklus ekso eritrositik (EE) sekunder atau hipnozoit dalam sel hati, suatu
saat kemudian penderita bisa mendapat serangan malaria yang kedua
(disebut: malaria sekunder). Berulangnya serangan malaria yang
67
bersumber dari siklus EE sekunder pada malaria vivax/ovale disebut
relaps (Sutrisna, 2004).
Umumnya relaps terjadi beberapa bulan (biasanya>24 minggu)
sesudah malaria primer, disebut long- term relapse. Pada malaria karena
P.falciparum dan P. malariae, relaps dalam pengertian seperti diatas tidak
terjadi, karena kedua spesies ini tidak memiliki siklus EE sekunder dalam
hati. Kemungkinan berulangnya serangan malaria pada kedua jenis
malaria ini disebabkan oleh kecenderungan parasit malaria yang tersisa
dalam darah, yang kemudian membelah diri bertambah banyak sampai
bisa menimbulkan gejala malaria sekunder. Kekambuhan malaria seperti
ini disebut rekrudesensi. Pada malaria karena P.falciparum rekrudesensi
terjadi dalam beberapa hari atau minggu (biasanya <8 minggu) sesudah
serangan malaria primer, disebut short term relapse. Namun pada malaria
karena P.malariae, karena suatu mekanisme yang belum begitu jelas,
kekambuhan terjadi dalam rentang waktu jauh lebih lama. Bisa terjadi
beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun sejak serangan pertama
(Sutrisna, 2004).
68
B. Siklus Hidup Plasmodium
Sebelum terjadinya penyakit malaria Plasmodium mempunyai 2
(dua) siklus yaitu pada manusia (siklus aseksual) dikenal sebagai
schizogoni dan dalam tubuh nyamuk (siklus seksual) membentuk
sporozoit sebagai sporogoni (Putu, 2004).
a. Siklus aseksual dalam tubuh manusia
- Stadium Hati (Exo-Eryhrocytic Schizogony)
Stadium ini dimulai ketika nyamuk Anopheles betina menggigit
manusia dan memasukkan sporozoit yang terdapat pada air liurnya ke
dalam darah manusia sewaktu menghisap darah. Dalam waktu yang
singkat (± ½-1 jam) semua sporozoit menghilang dari peredaran darah
masuk ke dalam sel hati dan segera menginfeksi sel hati. Selama 5-16
hari dalam sel-sel hati (hepatosit) sporozoit membelah diri secara
aseksual, dan berubah menjadi sizon hati (sizon kriptozoik) tergantung
dari spesies parasit malaria yang menginfeksi. Sesudah sizon kriptozoik
dalam sel hati menjadi matang, bentuk ini bersama sel hati yang diinfeksi
akan pecah dan mengeluarkan 5.000-30.000 merozoit tergantung
spesiesnya yang segera masuk ke sel-sel darah merah (Harijanto, 2000).
69
Siklus di darah dimulai dengan keluarnya dari merozoit dari skizon
matang di hati ke dalam sirkulasi dan berubah menjadi trofozoit muda
(bentuk cincin). Trofozoit muda tumbuh menjadi trofozoit dewasa dan
selanjutnya membelah diri menjadi sizon. Sizon yang sudah matang
dengan merozoit-merozoit di dalamnya dalam jumlah maksimal tertentu
tergantung dari spesiesnya, pecah bersama sel darah merah yang
diinfeksi, dan merozoit-merozoit yang dilepas itu kembali menginfeksi ke
sel-sel darah merah tadi untuk mengulang siklus tadi. Keseluruhan siklus
yang terjadi berulang di dalam sel darah merah disebut siklus eritrositik
aseksual atau sizogoni darah (Putu, 2004).
b. Siklus seksual dalam tubuh nyamuk
Setelah siklus sizogoni darah berulang beberapa kali, beberapa
merozoit tidak lagi menjadi sizon, tetapi berbuah menjadi gametosit dalam
sel darah merah, yang terdiri dari gametosit jantan dan betina. Siklus
terakhir ini disebut siklus eritritistik seksual atau gametogoni. Jika
gametosit yang matang diisap oleh nyamuk Anopheles, di dalam lambung
nyamuk terjadi proses ekflagelasi gametosit jantan, yaitu dikeluarkannya 8
sel gamet jantan (mikrogamet) yang bergerak aktif mencari sel gamet
betina (Harijanto, 2000).
70
Selanjutnya pembuahan terjadi antara satu sel gamet jantan
(mikrogamet) dan satu sel gamet betina (makrogamet) menghasilkan zigot
dengan bentuknya yang memanjang lalu berubah menjadi ookinet yang
bentuknya vermiformis dan bergerak aktif menembus mukosa lambung. Di
dalam dinding lambung paling luar ookinet mengalami pembelahan inti
menghasilkan sel-sel yang memenuhi kista yang membungkusnya disebut
ookista. Di dalam ookista dihasilkan puluhan ribu sporozoit, menyebabkan
ookista pecah dan menyebarkan sporozoit-sporozoit yang berbentuk
seperti rambut ke seluruh bagian rongga badan nyamuk (hemosel) dan
dalam beberapa jam saja menumpuk di dalam kelenjar ludah nyamuk
(Harijanto, 2000).
Sporozoit bersifat infektif bagi manusia jika masuk ke peredaran
darah. Keseluruhan siklus aseksual eritrosit ini disebut periodisitas
skizogoni yang lamanya berbeda-beda pada masing-masing spesies yaitu
11-14 hari untuk P.falciparum, 9-12 hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk
P.ovale dan 15-21 hari untuk P.malariae (Harijanto, 2000).
C. Epidemiologi Malaria
Malaria ditemukan di daerah-daerah yang terletak pada posisi 64º
Lintang Utara sampai 32º Lintang Selatan. Penyebaran malaria pada
71
ketinggian 400 meter di bawah permukaan laut dan 2600 meter diatas
permukaan laut. P. vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas
yaitu mulai daerah beriklim dingin, subtropik, sampai dengan daerah
tropik, kadang-kadang juga dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium
falciparum jarang ditemukan di daerah beriklim dingin tetapi paling sering
ditemukan di daerah tropis (Sucipto, 2011).
Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas di semua pulau
dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda. Penyakit tersebut dapat
berjangkit di daerah yang mempunyai ketinggian sampai dengan 1800
meter di atas permukaan laut. Spesies terbanyak yang dijumpai adalah
P.falciparum dan P.vivax, P.ovale pernah ditemukan di Papua dan Nusa
Tenggara Timur. Kondisi wilayah yang adanya genangan air dan udara
yang panas mempengaruhi tingkat endemisitas penyakit malaria di suatu
daerah (Rudono, 2003).
Penyebaran penyakit malaria pada dasarnya sangat tergantung
dengan adanya hubungan interaksi antara tiga faktor dasar epidemiologi
yaitu agent (penyebab malaria), host (manusia dan nyamuk), dan
environment (lingkungan). Parasit malaria atau Plasmodium merupakan
penyebab penyakit malaria. Untuk kelangsungan hidupnya parasit malaria
72
tersebut melalui 2 siklus yang terdiri dari siklus aseksual di dalam tubuh
manusia sebagai host intermediate dan siklus seksual dalam tubuh
nyamuk Anopheles sebagai host definitive. Untuk perkembangbiakan
nyamuk Anopheles sebagai vektor penular penyakit malaria diperlukan
kondisi lingkungan/habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidup nyamuk.
Lingkungan dapat berupa lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan
biologi, dan lingkungan sosial budaya (Depkes, 1999).
D. Bionomik Vektor Malaria
1. Tempat Perindukan
Keberadaan nyamuk malaria di suatu daerah sangat tergantung
pada lingkungan, keadaan wilayah seperti perkebunan, keberadaan
pantai, curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari, ketinggian
tempat dan bentuk perairan yang ada. Nyamuk Anopheles aconitus
dijumpai di daerah-daerah persawahan, tempat perkembangbiakan
nyamuk ini terutama di sawah yang bertingkat-tingkat dan di saluran irigasi
(Barodji, 2001).
Kepadatan populasi nyamuk ini sangat dipengaruhi oleh musim
tanam padi (Sundararman, 1957). Larva nyamuk ini mulai ditemukan di
73
sawah kira-kira pada padi berumur 2-3 minggu setelah tanam dan paling
banyak ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga sampai
menjelang panen. Di daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan
sepanjang tahun ditemukan tanaman padi pada berbagai umur, maka
nyamuk ini ditemukan sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan
yang terjadi sekitar bulan Pebruari-April dan sekitar bulan Juli-Agustus
(Barodji, 1987).
Anopheles balabacencis dan An. maculatus adalah dua spesies
nyamuk yang banyak ditemukan di daerah-daerah pegunungan non
persawahan dekat hutan. Kedua spesies ini banyak dijumpai pada
peralihan musim hujan ke musim kemarau dan sepanjang musim kemarau
(Barodji, 2001). Tempat perkembangbiakannya di genangan-genangan air
yang terkena sinar matahari langsung seperti genganan air di sepanjang
sungai, pada kobakan-kobakan air di tanah, di mata air-mata air dan
alirannya, dan pada air di lubang batu-batu (Barodji, 1987).
Kepadatan larva An. balabacencis bisa ditemukan baik pada
musim penghujan maupun pada musim kemarau. Larva An. balabacencis
ditemukan di genangan air yang berasal dari mata air seperti
penampungan air yang dibuat untuk mengairi kolam, untuk merendam
74
bambu/kayu, mata air, bekas telapak kaki kerbau dan kebun salak. Dari
gambaran di atas tempat perindukan An. balabacencis tidak spesifik
seperti An. maculatus dan An. aconitus, karena larva An. Balabacencis
dapat hidup di beberapa jenis genganan air, baik genangan air hujan
maupun mata air, pada umumnya kehidupan jentik An. balabacencis
dapat hidup secara optimal pada genangan air yang terlindung dari sinar
matahari langsung, diantara tanaman/vegetasi yang homogen seperti
kebun salak, kebun kapulaga dan lain-lain (Barodji, 2001).
Anopheles maculatus yang umum ditemukan di daerah
pegunungan, ditemukan pula di daerah persawahan dan daerah pantai
yang ada sungai kecil-kecil dan berbatu-batu (Barodji, 2001). Puncak
kepadatan An. maculatus dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau
kepadatan meningkat, hal ini disebabkan banyak terbentuk tempat
perindukan berupa genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat
atau tergenang. Perkembangbiakan nyamuk An. maculatus cenderung
menurun bila aliran sungai menjadi deras (flushing) yang tidak
memungkinkan adanya genangan di pinggir sungai sebagai tempat
perindukan (Sunaryo, 2001).
75
Anopheles sundaicus dijumpai di daerah pantai, tempat
perindukannnya adalah di air payau dengan salinitas antara 0-25 per mil,
seperti rawa-rawa berair payau, tambak-tambak ikan tidak terurus yang
banyak ditumbuhi lumut, lagun, muara-muara sungai yang banyak
ditumbuhi tanaman air dan genangan air di bawah hutan bakau yang kena
sinar matahari dan berlumut. An. sundaicus ditemukan sepanjang tahun
dan paling banyak ditemukan pada pertengahan sampai akhir musim
kemarau (September-Desember) (Barodji, 2001; Hiswani, 2004).
2. Tempat Istirahat
Tempat istirahat alam nyamuk Anopheles berbeda berdasarkan
spesiesnya. Tempat istirahatnya An. aconitus pada pagi hari umumnya di
lubang yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar,
2002).
Menurut Barodji (2000) tempat istirahat An. aconitus pada
umumnya ditempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas
cahaya rendah, serta di lubang tanah bersemak. An. aconitus hinggap di
tempat-tempat dekat tanah. Nyamuk ini biasanya hinggap di daerah-
daerah yang lembab, seperti di pinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat
air yang selalu basah dan lembab (Hiswani, 2004).
76
Tempat istirahat An. balabacencis pada pagi hari umumnya di
lubang yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar,
2002). An. balabacencis juga ditemukan di tempat yang mempunyai
kelembaban tinggi dan intensitas cahaya yang rendah serta di lubang
tanah bersemak (Harijanto, 2000). Di luar rumah tempat istirahat An.
maculatus adalah di pinggiran sungai-sungai kecil dan di tanah yang
lembab. Menurut Damar (2002) tempat istirahat An. maculatus adalah di
lubang sampah daun salak, semak-semak dan bebatuan.
Perilaku istirahat Anopheles sundaicus biasanya hinggap di
dinding-dinding rumah penduduk (Hiswani, 2004). Sedangkan menurut
Sundaraman (1957) tempat istirahat nyamuk di dalam rumah yaitu:
pakaian tergantung, kelambu, di bawah-bawah almari, langit-langit rumah
dan kantong padi.
Tabel 2. Sintesa hasil penelitian tempat istirahat nyamuk Anopheles spp
Peneliti/Tahun Lokasi Metode Hasil Temuan
Handayani dan Darwin / 2006
Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Deskriptif Eksploratif
An. Maculatus ditemukan 65,9% beristirahat di lubang tanah, 41,3% di semak-semak, 60% di kandang ternak, sedangkan An. balabacensis ditemukan istirahat di
77
kandang ternak dan pangkal pohon salak
Boesri dan Boewono / 2006
Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Survey Entomologi
Di desa Giripurno dan desa Giritengah ditemukan An aconitus dan An. vagus beristirahat di tebing sungai dan rumput dekat parit
3. Aktivitas Menghisap Darah
Pola aktivitas nyamuk Anopheles mencari darah berbeda menurut
sepesiesnya. An. aconitus sebagian besar menghisap darah sebelum jam
22.00, setelah itu kepadatan nyamuk yang menghisap darah menurun
(Barodji, 2001). Vektor An. aconitus biasanya aktif menghisap darah
antara jam 18.00-22.00 dengan puncak aktivitasnya terjadi pukul 20.00
(Hiswani, 2004; Damar, 2002). Aktifitas menghisap darah An. aconitus
sekitar pukul 19.00-21.00 di dalam dan luar rumah.
Aktifitas menghisap darah An. balabacencis cenderung sepanjang
malam, tetapi puncaknya sekitar pukul 01.00-03.00, baik di dalam rumah,
di luar rumah maupun di kandang hewan. Puncak aktivitas menghisapm
darah An. balabacencis yaitu setelah tengah malam pukul 01.00. Aktivitas
menghisap darah An. maculatus cenderung meningkat pada malam hari
sekitar pukul 22.00-24.00 (Damar, 2002). Sedangkan Barodji (2000) An.
78
maculatus sebagian besar mencari pakan darah pada tengah malam
sekitar pukul 23.00-02.00. Pada vektor An. sundaicus lebih sering
menghisap darah manusia dari pada darah binatang. Biasanya Nyamuk
hinggap di dinding baik sebelum maupun sesudah menghisap darah, aktif
menghisap darah sepanjang malam, tetapi puncaknya antara pukul 22.00-
01.00 dini hari (Hiswani, 2004).
E. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Malaria
1. Faktor Manusia (Host)
a. Umur
Anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Anak yang
bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria selebral
dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk. Akan tetapi anak yang
bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat
dibandingkan anak bergizi buruk (Gunawan, 2000; Depkes, 1999).
b. Jenis kelamin
Perempuan mempunyai respon yang kuat dibandingkan laki-laki
tetapi apabila menginfeksi ibu yang sedang hamil akan menyebabkan
anemia yang lebih berat (Supariasa et al, 2001).
79
c. Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya
terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap malaria demikian juga yang
tinggal di daerah endemis biasanya mempunyai imunitas alami terhadap
penyakit malaria (Depkes, 1999).
d. Ras
Beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai
kekebalan alamiah terhadap malaria, misalnya sickle cell anemia dan
ovalositas (Depkes, 1999).
e. Status gizi
Masyarakat yang gizinya kurang baik dan tinggal di daerah
endemis malaria lebih rentan terhadap infeksi malaria. Status gizi dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Depkes, 1999) :
Berat Badan (Kg) IMT =
[Tinggi Badan (m)]2
2. Faktor Nyamuk (Host)
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus
kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak
ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-200 butir, besar
80
telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari
menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Umur
nyamuk relatif pendek, nyamuk jantan umurnya lebih pendek (kurang 1
minggu), sedang nyamuk betina lebih panjang sekitar rata-rata 1-2 bulan
(Depkes, 1999).
Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukannya dan makan
cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin
sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam
setelah keluar dari kepompong. Makanan nyamuk Anopheles betina yaitu
darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya. Nyamuk Anopheles
yang ada di Indonesia berjumlah 80 spesies. Sampai saat ini di Indonesia
telah ditemukan sejumlah 24 spesies yang dapat menularkan malaria.
Tidak semua Anopheles tersebut berperan penting dalam penularan
malaria. Beberapa aspek penting dari nyamuk adalah :
a. Perilaku nyamuk
1. Tempat hinggap atau istirahat
Eksofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau
istirahat di luar rumah.
81
Endofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau
istirahat di dalam rumah.
2. Tempat menggigit
Eksofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di luar
rumah.
Endofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di
dalam rumah.
3. Obyek yang digigit
Antrofofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit
manusia.
Zoofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit hewan.
Indiscriminate biters/indiscriminate feeders, yaitu
nyamuk tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes
(Depkes, 2003).
b. Frekuensi menggigit manusia
Frekuensi membutuhkan darah tergantung spesiesnya dan
dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, yang disebut siklus
gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar 48-96
jam (Depkes, 2003).
82
c. Siklus gonotrofik
Siklus gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya
telur. Waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk (Depkes,
2003).
d. Faktor lain yang penting
Umur nyamuk (longevity), semakin panjang umur
nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau
vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan
dipengaruhi oleh lingkungan. Pengetahuan umur nyamuk ini penting
untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor.
Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit (Arsin,
2012).
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan dimana manusia dan nyamuk berbeda, nyamuk dapat
berkembang biak dengan baik apabila faktor lingkungan mendukung.
Faktor lingkungan dapat dikelompokan sebagai berikut :
83
1) Lingkungan Fisik
Ditinjau dari perairan yang menjadi tempat perindukannya,
nyamuk dibedakan sebagai berikut (Achmadi, 2005):
Temporary Pool Type yaitu tempat perindukan nyamuk
yang berupa genangan air yang besifat sementara seperti bekas
pijakan kerbau, manusia dan beberapa lainnya.
Artificial Container Type yaitu tempat perindukan
nyamuk yang berupa genangan air yang terdapat dalam kaleng-kaleng
bekas, yang dibuang sembarangan.
Tree Hole Type yaitu tempat perindukan nyamuk yang
berupa genangan air yang bersifat sementara terdapat pada lubang-
lubang pohon ditemukan pada daerah yang sering turun hujan.
Rock Pool Type yaitu sama dengan treehole type,
hanya saja yang dipilih genangan air yang terdapat pada lubang –
lubang batu karang.
Beberapa faktor lngkungan dan faktor geografi serta meteorologi
di Indonesia sangat berperan dan menguntungkan dalam
perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor dan transmisi dalam penularan
malaria, sebagai berikut:
84
a) Suhu
Proses kehidupan nyamuk tergantung pada suhu lingkungannya.
Nyamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Suhu rata-rata optimum
untuk perkembangan nyamuk adalah 25º – 27ºC. Nyamuk dapat bertahan
hidup dalam suhu rendah, tetapi proses metabolismenya menurun atau
bahkan terhenti bila suhu turun sampai dibawah suhu kritis pada suhu
yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologinya
(Depkes, 2004).
Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang
dari 10ºC atau lebih dari 40ºC. Kecepatan perkembangan nyamuk
tergantung dari kecepatan proses metabolisme sebagian diatur oleh suhu.
Oleh karena kejadian-kejadian biologis tertentu seperti lamanya masa
pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap, pematangan
indung telur, frekwensi mencari makanan atau menggigit, dan lamanya
pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dipengaruhi oleh suhu
(Sucipto, 2011).
Pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap spesies, pada suhu 26,7ºC
masa inkubasi ekstrinsik adalah 10 – 12 hari untuk P. falciparum dan 8 –
85
11 hari untuk P. vivax, 14 – 15 hari untuk P. malariae dan P. Ovale
(Sucipto, 2011).
Tabel 3. Sintesa hubungan antara suhu udara dengan kejadian malaria
Peneliti/Tahun Lokasi Metode Hasil Temuan
Friaraiyantini / 2006
Barito Selatan Cross sectional
suhu berpengaruh terhadap kejadian malaria dengan nilai p = 0,02
Harmendo / 2008
Amirullah / 2012
Kepulauan Bangka Belitung
Kabupaten Kepulauan Selayar
Case control
Studi Korelasi
Suhu dalam rumah sebesar 26 – 34OC (mean = 30,27OC) memungkinkan untuk berkembangnya vektor penyakit malaria
Suhu optimal untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles adalah 25,6 – 39,5ºC
b) Kelembaban
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk,
meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Sistem pernafasan pada
86
nyamuk menggunakan pipa udara yang disebut trachea dengan lubang-
lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle. Adanya spiracle
yang terbuka tanpa ada mekanisme pengaturnya, pada waktu
kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh
nyamuk yang dapat mengakibatkan keringnya cairan pada tubuh nyamuk.
Salah satu musuh nyamuk adalah penguapan (Depkes, 2004).
Indonesia adalah Negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan
(air), dengan ekosistem kepulauan dan kelembaban yang tinggi.
Ekosistem kepulauan menyebabkan nyamuk beradaptasi pada
kelembaban yang tinggi dengan pengaruhnya pada populasi nyamuk
sebagai berikut (Depkes, 2004).:
Adaptasi pada kelembaban yang tinggi menyebabkan
nyamuk kurang kuat dan pada waktu kering menyebabkan kematian
yang banyak akibat kekeringan. Dengan demikian populasi nyamuk
tertentu subur dimana iklim mikro dapat memberikan kelembaban yang
diperlukan oleh nyamuk.
Adanya spiracle yang terbuka lebar tanpa ada
mekanisme pengaturnya membatasi penyebaran atau jarak terbang
nyamuk. Oleh karena jarak terbangnya terbatas, pola penyebarannya
87
akan terbentuk cluster (menggerombol tidak merata), tidak bisa
memilih mangsa ( indiscriminate feeder ) dan menghisap darah
sembarang hospes dengan dasar yang terdekat yang dihisap.
Kebutuhan kelembaban yang tinggi juga
mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembab basah di
luar rumah sebagai tempat hinggap istirahat pada siang hari, oleh
karena kelembaban yang tinggi tidak terdapat didalam rumah kecuali di
daerah-daerah tertentu.
Pada kelembaban kurang dari 60 % umur nyamuk
akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk siklus pertumbuhan
parasit didalam tubuh nyamuk.
Tabel 4. Sintesa hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian malaria
Peneliti/ Tahun
Lokasi Metode Hasil Temuan
Suwito / 2010 Lampung Selatan
Prospektif Kelembapan udara berpengaruh 40,5% terhadap kepadatan nyamuk Anopheles dimana kelembapan rata-rata tertinggi pada Desember (84,30%) dan terendah pada Agustus (76%)
Hakim dan Sugianto / 2009
Kabupaten Ciamis
Survey Entomologi
Kelembaban udara yang memungkinkan perkembangan nyamuk Anopheles di setiap
88
pengulangan pada 3 lokasi penelitian adalah 95%
c) Hujan
Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban dan menambah
jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places). Curah hujan yang
lebat menyebabkan bersihnya tempat perkembangbiakan vektor oleh
karena jentiknya hanyut dan mati. Kejadian penyakit yang ditularkan
nyamuk biasanya tinggi beberapa waktu sebelum musim hujan atau
setelah hujan (Depkes, 2004).
Pengaruh hujan berbeda-beda menurut banyaknya hari hujan dan
keadaan fisik daerah. Terlalu banyak hujan akan menyebabkan banjir,
menyebabkan berpindahnya perkembangbiakan vektor akan berkurang,
tetapi keadaan ini akan segera pulih cukup bila keadaan kembali normal.
Curah hujan yang cukup dengan jangka waktu lama akan memperbesar
kesempatan nyamuk untuk berkembang biak secara optimal (Depkes,
2004).
d) Ketinggian
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin
bertambah, hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada
89
ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisa
berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El – nino. Di
pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih
sering ditemukan malaria. Ketinggian paling tinggi masih memungkinkan
transmisi malaria ialah 2500 m diatas permukaan laut (Anonimus, 1989
dalam Achmadi, 2008).
e) Angin
Angin sangat mempengaruhi terbang nyamuk. Bila kecepatan
angin 11 – 14 meter per detik atau 25 – 31 mil per jam akan menghambat
penerbangan nyamuk. Secara langsung angin akan mempengaruhi
penguapan (evaporasi) air dan suhu udara (konveksi).
Penelitian Miura (1970) menunjukkan bahwa ada pengaruh
kecepatan angin terhadap aktivitas terbang nyamuk. Sebuah perangkap
nyamuk yang biasanya dapat mengumpulkan 2.436 sampai 6.832 ekor
nyamuk pada malam yang tenang (tidak ada angin), hanya dapat
menangkap 832 sampai 956 nyamuk selama malam yang berangin.
Hampir seluruh nyamuk yang masuk perangkap adalah pada kecepatan
angin kurang dari 5,4 meter per detik atau 12 mil per jam (Depkes, 2004).
90
f) Sinar Matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk
berbeda-beda. An. Sundaicus lebih suka perairan payau yang berlumut
yang terkena sinar matahari langsung, An. hyracanus spp dan An.
puntulatus spp lebih menyukai tempat terbuka sedangkan An. barbirostris
dapat hidup baik di tempat teduh maupun kena sinar matahari (Sucipto,
2011).
g) Arus Air
Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis /
mengalir lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras
dan An. letifer menyukai air tenang (Sucipto, 2011).
2) Lingkungan Biologik
Adanya tempat perindukan nyamuk Anopheles, sangat
menentukan kepadatan nyamuk tersebut. Berdasarkan ukuran lamanya
air dan macam tempat air maka genangan air diklasifikasikan sebagai
danau, kolam ikan, muara sungai, waduk, tambak udang (tempat
pemeliharaan udang), lagun dan sawah (tempat menanam padi, palawija).
Selain itu genangan air ditepi sungai dan kubangan, irigasi, saluran
91
pembuangan air limbah (rumah tangga domestik, pabrik, industri),
comberan dan lubang bekas galian (Arsin, 2012; Depkes, 2004).
Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala
timah (Pachax spp), gambusia, nila dan mujair, akan mempengaruhi
populasi nyamuk disuatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti
sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia,
apabila kandang tersebut diletakan di luar rumah, tetapi tidak jauh
jaraknya dari rumah (Anonim, 1989 dalam Achmadi, 2008).
3) Lingkungan kimia
Faktor lingkungan kimiawi yang baru diketahui pengaruhnya
adalah kadar garam dari tempat perindukan, sebagai contoh Anopheles
sundaicus tumbuh optimal pada air payau dengan kadar garam 12 –
180/00, dan tidak dapat berkembangbiak pada kadar garam 40 0/00 ke atas,
meskipun dibeberapa tempat di Sumatera utara An sundaicus ditemukan
pula di air tawar. An latifer dapat hidup di tempat yang asam atau pH
rendah (Harijanto, 2000).
4) Lingkungan Sosial Budaya
Lingkungan sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian
malaria seperti : kebiasaan keluar rumah pada malam hari, dimana
92
vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak
dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria
akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria
seperti penyehatan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat
kasa pada rumah dan menggunakan obat nyamuk. Berbagai kegiatan
manusia seperti pembuatan bendungan, pembauatan jalan,
pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering
mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan
malaria. Akibat dari derap pembangunan yang kian cepat adalah
kemungkinan timbulnya tempat perindukan buatan manusia sendiri (man
made breeding places). Pembangunan bendungan, penambangan emas
dan pembukaan tempat pemukiman baru adalah beberapa contoh
kegiatan pembangunan yang menimbulkan perubahan lingkungan yang
menguntungkan bagi nyamuk Anopheles (Anonim, 1989 dalam Achmadi,
2008).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon
seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit, penyakit dan
sistem pelayanan kesehatan (Harijanto, 2000).
93
Tabel berikut menyajikan beberapa penelitian terdahulu yang
meneliti tentang hubungan antara Faktor lingkungan sosial budaya
dengan kejadian malaria.
Tabel 5. Sintesa hasil penelitian tentang hubungan antara faktor lingkungan sosial budaya dengan kejadian malaria
Peneliti Judul Penelitian Metode/ Desain
Hasil Penelitian
Semuel Franklyn Yawan (2006)
Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak-Numfor Papua
Case Control Study
Ada hubungan antara penggunaan kelambu, kebiasaan keluar rumah pada malam hari, kebiasaan menggantung pakaian dan perilaku tidak patuh minum obat terhadap kejadian malaria
Rumbiak Helmin (2006)
Analisis Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Malaria di Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak-Numfor Papua
Case Control Study
Faktor lingkungan sosial budaya seperti kebiasaan keluar rumah pada malam hari, jarang membersihkan halaman sekitar rumah akan mempengaruhi kejadian malaria
Supri Ahmadi (2008)
Faktor Risiko Kejadian Malaria di Desa Lubuk Nipis Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim
Case Control Study
Faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian malaria antara lain : kebiasaan menggunakan kelambu (p=0,002 dan OR=4,060 ), kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk (p=0,001 dan OR = 4,210 ), Sedangkan faktor risiko pemasangan kawat kasa, kebiasaan keluar rumah pada malam hari menunjukan hubungan yang tidak bermakna.
Ikrayama Babba (2007)
Faktor-faktor Risiko Yang mempengaruhi
Case Control Study
Berdasarkan hasil analisis multivariat diperoleh bahwa faktor risiko lingkungan sosial
94
Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura
budaya seperti Kasa tidak terpasang pada semua ventilasi mempunyai risiko 2,14 kali untuk terkena malaria daripada kasa terpasang pada semua ventilasi (OR : 2,14 ; 95% CI : 1,02– 4,47).
Peneliti Judul Penelitian Metode/ Desain
Hasil Penelitian
Kebiasaan keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko untuk terkena malaria 5,54 kali dibandingakn dengan orang yang tidak keluar rumah pada malam hari (OR : 5,54 ; 95% CI : 2.37 – 12,98), Penghasilan yang rendah (< Rp 1.006.000) mempunyai risiko untuk terkena malaria 3,24 kali daripada yang berpenghasilan >= Rp 1.006.000
Kholis Ernawati, et al (2011)
Hubungan Faktor Risiko Individu dan lingkungan Perumahan dengan kejadian Malaria di daerah endemis Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
Cross Sectional dengan metode survey
Faktor individu (pengetahuan, persepsi, penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, penggunaan kawat kassa, penutup tubuh, aktivitas ke luar rumah malam dan pekerjaan) merupakan faktor risiko kejadian malaria
95
F. Kerangka Teori Penelitian
Lingkungan Fisik
Keberadaan Habitat Perkembangbiakan (Breeding Site)
Jarak rumah dengan Breeding Site
Suhu
Kelembaban
Curah Hujan
Ketinggian
Angin
Pencahayaan
Sinar Matahari
Arus Air
Lingkungan Biologi
Tumbuhan Kakao
Tumbuhan Air
Semak-semak
Kandang Ternak
Lingkungan Kimia
pH
Salinitas (Kadar Garam)
Kepadatan Nyamuk
Pelayanan Kesehatan
Penyemprotan
Jumlah Juru Malaria Desa (JMD)
Penyuluhan
Pengobatan
Gigitan Nyamuk yang mengandung Plasmodium
Sosial Budaya Masyarakat
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Kebiasaan menggunakan kelambu
Kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk
Kebiasaan keluar pada malam hari
Kebiasaan menggunakan insektisida untuk proteksi lahan pertanian
Memasang Kawat Kasa
Kejadian Malaria
Demografi
Umur
Jenis Kelamin
Status gizi
Manajemen Lingkungan
Pengaturan pengairan
Membersihkan tanaman air
Penimbunan Kolam, Kubangan/Ground pool
Gambar 6. Kerangka teori penelitian (Yawan, 2006; Arsin, 2012)
96
G. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 7. Kerangka konsep penelitian
Keterangan :
= Variabel Independen/bebas
= Variabel Dependen/terikat
Lingkungan Fisik
Keberadaan Breeding site larva Anopheles spp (genangan air, Ground pool, selokan, sungai, rawa, sumur, kolam dan sawah)
Kondisi dinding rumah
Pemasangan kawat kasa pada ventilasi
Langit-langit rumah
Suhu udara
Kelembaban udara
Lingkungan Biologi
Keberadaan kandang ternak
Keberadaan semak-semak
Keberadaan larva Anopheles spp
Pelayanan Kesehatan
Penyemprotan/IRS
Kejadian
Malaria
Sosial Budaya
Kebiasaan keluar pada malam hari tanpa menggunakan pelindung
Kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk
Kebiasaan menggunakan kelambu
Kebiasaan menggantung pakaian
97
H. Definisi Operasional, Kriteria Objektif dan Skala Pengukuran
1. Kejadian Malaria
Kejadian malaria yaitu terjadinya infeksi parasit sporozoit di desa
Awiu selama kurun waktu tiga tahun yang didasarkan pada hasil
pemeriksaan sediaan darah plasmodium malaria positif.
Kasus : Jika didiagnosa menderita malaria
Kontrol : Jika didiagnosa tidak menderita malaria
Skala : Nominal
2. Keberadaan Breeding Site
Keberadaan Breeding site yang dimaksud disini adalah
keberadaan genangan air yang diduga sebagai tempat potensial
perkembangbiakan vektor malaria berupa:
Selokan adalah lubang panjang di tanah tempat aliran air.
Sungai adalah aliran air yang besar di permukaan tanah yang
mengalir ke laut dan biasanya buatan alam
Rawa adalah genangan air yang terbentuk secara alamiah
maupun buatan, permanen atau sementara dan biasanya banyak
tumbuhan air
Sumur adalah sumber air buatan dengan cara menggali tanah
98
Kubangan adalah lekukan tanah yang biasanya berisi air sewaktu
habis hujan
Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam
jumlah tertentu sehingga dapat dipergunakan untuk pemeliharaan ikan
dan atau hewan air lainnya.
Sawah merupakan lahan yang dibuat untuk menanam padi dan
biasanya terisi air
Ada : Jika terdapat genangan air sebagai tempat
perkembangbiakan vektor malaria dengan jarak ≤50 meter
dari rumah
Tidak ada : Jika tidak ada genangan air dengan jarak >50 meter dari
rumah
Skala : Nominal
3. Keberadaan Dinding Rumah
Dinding yaitu pembatas rumah terhadap lingkungan luar ataupun
sebagai pembatas antar ruangan yang terbuat dari bata merah, batako,
kayu atau anyaman.
Memenuhi Syarat : Apabila dindingnya tidak memiliki celah/lubang
Tidak Memenuhi Syarat : Apabila memiliki celah/lubang
Skala : Nominal
99
4. Keberadaan kawat kasa
Keberadaan kawat kasa pada ventilasi untuk menghindari
masuknya vektor malaria melalui lubang ventilasi.
Ada : Jika terpasang kawat kasa pada ventilasi
Tidak Ada : Jika tidak terpasang kawat kasa pada ventilasi
Skala : Nominal
5. Keberadaan Langit-langit rumah
Langit-langit adalah Batas bagian atas ruangan dengan atap yang
terbuat dari kayu, triplex, asbes yang berfungsi sebagai penghalang
masuknya nyamuk ke dalam rumah. Dilihat dari dipasang tidaknya secara
keseluruhan ( ruang tamu, kamar tidur, ruang keluarga dan dapur ).
Ada : Jika terdapat langit-langit pada rumah responden
Tidak Ada : Jika tidak tidak terdapat langit-langit saat survei
Skala : Nominal
6. Suhu Udara
Suhu udara adalah derajat panas udara di luar rumah responden yang
diukur dengan Thermometer dan dinyatakan dalam satuan derajat celcius
(0C) Depkes RI (2001).
100
Memenuhi Syarat : 20ºC – 30 ºC
Tidak Memenuhi Syarat : < 20ºC dan >30ºC
Skala : Nominal
7. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah kandungan uap air dalam udara, diukur
menggunakan alat hygrometer dan dinyatakan dalam persen relative
humadity (rH) dalam satuan persen (%) (Harijanto, 2000).
Memenuhi syarat : jika hasil pengukuran > 60%
Tidak memenuhi syarat : jika hasil pengukuran ≤ 60%
Skala : Nomina
8. Kandang Ternak
Kandang ternak adalah bangunan yang dapat digunakan untuk
melindungi ternak dari pengaruh cuaca buruk seperti hujan, panas
matahari, angin kencang dan gangguan lainnya (Mulyantini, 2010).
Ada : Jika terdapat kandang ternak di sekitar rumah
Tidak Ada : Jika tidak terdapat kandang ternak disekitar rumah
Skala : Nominal
101
9. Keberadaan Semak-semak
Keberadaan semak-semak yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah tumbuh-tumbuhan berupa rumput-rumputan.
Ada : Jika ditemukan semak-semak disekitar rumah
Tidak Ada : Jika tidak ditemukan semak-semak
Skala : Nominal
10. Keberadaan larva Anopheles spp
Keberadaan larva Anopheles spp pada habitat perkembangbiakan
seperti selokan, sungai, kolam, Ground pool, rawa-rawa dan sumur.
Positif Larva : Jika pada saat survei, ditemukan satu atau lebih larva
Anopheles spp.
Negatif Larva : jika pada saat survei, tidak ditemukan larva Anopheles
spp.
Skala : Nominal
11. Kebiasaan di luar rumah pada malam hari
Kebiasaan penduduk keluar rumah pada malam hari akan
memudahkan tergigit oleh nyamuk karena sifat vektor yang eksofilik dan
eksofagik.
102
Ya : Jika responden keluar pada malam hari
Tidak : Jika responden tidak keluar pada malam hari
Skala : Nominal
12. Kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk
Kebiasaan responden untuk menggunakan obat nyamuk bakar,
repellent, penyemprotan insektisida, untuk menghindari gigitan nyamuk.
Ya : Jika responden menggunakan obat anti nyamuk
Tidak : Jika responden tidak menggunakan obat anti nyamuk
Skala : Nominal
13. Kebiasaan menggunakan kelambu
Kebiasaan responden untuk menggunakan kelambu pada waktu
tidur.
Ya : Jika responden menggunakan kelambu pada waktu tidur
Tidak : Jika responden tidak menggunakan kelambu pada waktu tidur
Skala : Nominal
14. Kebiasaan menggantung pakaian
Kebiasaan responden menggantung pakaian baik yang habis
dipakai maupun yang belum dipakai di dalam rumah (Arsin, 2012).
103
Ya : Jika responden selalu menggantung pakaian di dalam rumah
dengan sembarangan
Tidak : Jika responden tidak menggantung pakaian sembarangan di
dalam rumah.
Skala : Nominal
15. Penyemprotan
Penyemprotan yaitu kegiatan pemberantasan vektor dengan
menyemprotkan insektisida ke dalam rumah penduduk.
Ya : Jika dilakukan penyemprotan di rumah responden
Tidak : Jika tidak dilakukan penyemprotan di rumah responden
Skala : Nominal
I. Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh antara faktor lingkungan fisik (keberadaan breeding
site dan dinding rumah) dengan kejadian malaria di Desa Awiu
Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.
2. Ada pengaruh antara faktor lingkungan biologi (keberadaan semak-
semak dan keberadaan larva anopheles spp) dengan kejadian
malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.
104
3. Tidak ada pengaruh antara faktor pelayanan kesehatan dengan
kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten
Kolaka.
4. Tidak ada pengaruh antara faktor sosial budaya (kebiasaan keluar
pada malam hari, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk,
kebiasaan menggunakan kelambu dan kebiasaan menggantung
pakaian) dengan kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia Kabupaten Kolaka.
105
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain dan Rancangan Penelitian
Desain penelitian ini adalah observasional menggunakan
rancangan case control study yaitu suatu rancangan epidemiologi yang
dimulai dengan seleksi individu menjadi kelompok kasus dan kelompok
kontrol, yang faktor risikonya akan diteliti. Kedua kelompok itu
dibandingkan dalam hal adanya penyebab atau keadaan/pengalaman
masa lalu yang mungkin relevan dengan penyebab penyakit. Adapun
rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 8. Rancangan penelitian case control (Notoatmodjo, 2005)
FR (+)
FR (-)
FR (+)
FR (-)
Malaria Positif
Retrospektif (Matching)
Malaria Negatif
Sampel
106
Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi atau mencari
hubungan seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya penyakit
(cause effect relationship). Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah
faktor risiko tertentu berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti
dengan membandingkan pajanan dan faktor risiko tersebut pada
kelompok kasus dengan kelompok kontrol.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di desa Awiu Kecamatan
Lambandia Kabupaten Kolaka dengan pertimbangan bahwa desa Awiu
memiliki angka malaria tergolong tinggi diantara desa lainnya yang ada di
wilayah kerja puskesmas Lambandia.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April tahun 2013. C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
a. Populasi referens
Populasi referens pada penelitian ini adalah semua penduduk
yang menetap di desa Awiu Kecamatan Lambandia yakni sebanyak 583
jiwa.
107
b. Populasi Studi
1) Populasi Kasus
Populasi kasus adalah semua penderita positif malaria di desa
Awiu yang dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium atau Rapid
Diagnostic Test (RDT).
2) Populasi Kontrol
Populasi kontrol adalah semua penduduk di desa Awiu yang
dinyatakan bebas malaria serta memiliki umur dan jenis kelamin yang
sama dengan kasus serta mempunyai faktor risiko sama dengan
kelompok kasus.
2. Kriteria Inklusi Subjek Penelitian
a. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian
b. Bertempat tinggal tetap di Desa Awiu Kecamatan Lambandia minimal
3 tahun terakhir
c. Untuk kelompok kasus, tercatat sebagai penderita positif malaria
berdasarkan pemeriksaan laboratorium atau RDT dalam 3 (tiga) tahun
terakhir
108
d. Untuk kelompok kontrol :
1) Memiliki umur yang sama dengan kelompok kasus
2) Memiliki jenis kelamin yang sama dengan kelompok kasus
3) Bertempat tinggal di dusun terdekat dari kasus
3. Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
cluster sampling. Pemilihan cluster di desa Awiu berdasarkan wilayah
administatif yang dilakukan satu tahap (single stage). Desa Awiu terdiri
dari 5 dusun, yang dikategorikan menurut status endemisitas malaria
berdasarkan data tahun 2010 - 2012, kriteria kasus tinggi/High Case
Incidence (HCI) jika API > 5 0/00, kriteria kasus sedang Moderate Case
Incidence (MCI) jika API 1 – 5 0/00, dan kriteria kasus rendah/Low Case
Incidence (LCI) jika API < 1 0/00.
Untuk sampel kasus diambil melalui screening test berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium RDT Puskesmas Lambandia dalam 3
tahun terakhir. Sedangkan kelompok kontrol dipilih dengan matching umur
dan jenis kelamin. Perbandingan jumlah kasus dan kontrol sebesar 1 : 1.
109
D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara langsung dengan melakukan
kunjungan ke rumah pada siang hari. Data yang berkaitan dengan
variabel bebas didapatkan melalui wawancara , pengamatan dan
pengukuran. Sedangkan data variabel terikat diperoleh dari Puskesmas
Lambandia yang berdasarkan data register pasien malaria.
Data yang dikumpulkan dibedakan menjadi dua, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer pengumpulannya dilakukan dengan
menggunakan kuisioner, dengan metode wawancara dan observasi
langsung.
Data primer lingkungan fisik meliputi keberadaan breeding site
(kubangan, selokan, sungai, rawa, sumur, kolam dan sawah), jarak rumah
dengan breeding site, dinding rumah, pemasangan kawat kasa, langit –
langit, suhu dan kelembaban. Lingkungan biologi seperti keberadaan
kandang ternak, keberadaan semak-semak, keberadaan larva Anopheles
spp. Sosial budaya antaralain: penggunaan kelambu, penggunaan obat
anti nyamuk, kebiasaan diluar rumah pada malam hari dan kebiasaan
menggantung pakaian.
110
Data sekunder dikumpulkan dari dokumentasi gambar dan hasil-
hasil pencatatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, Kantor Desa,
Kantor Kecamatan dan Puskesmas, meliputi data demografi,
kependudukan serta angka morbiditas dan mortalitas akibat malaria. Data
sekunder juga diambil melalui studi dokumentasi dari buku – buku dan
hasil penelitian – penelitian sebelumnya.
E. Pengolahan Data
Setelah data penelitian terkumpul dan lengkap, kemudian
dilakukan langkah–langkah sebagai berikut :
1. Editing
Untuk mengecek kelengkapan data, kesinambungan data dan
keseragaman data untuk menjamin validitas data.
2. Coding
Pemberian kode dan skor terhadap jawaban responden, hal ini
dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data.
3. Tabulating
Pembuatan tabel untuk variabel yang akan dianalisa.
111
4. Entry Data
Memasukkan data – data ke dalam program komputer.
F. Analisa Data
Data dianalisa dan diinterpretasikan untuk menguji hipotesis yang
diaujukan dengan menggunakan program computer Statistical Product
and Service Solution (SPSS ) versi 18.0 dengan tahapan sebagai berikut :
a. Analisa Univariat
Data yang terkumpul diolah dan dianalisa secara deskriptif, yaitu
data untuk variabel disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi,
gambar atau gambar diagram maupun grafik.
b. Analisa Bivariat
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan dan kekuatan
hubungan antara dua variabel penelitian, yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Analisis faktor risiko antara dua variabel tersebut dengan melihat
nilai odds ratio (OR) yang menunjukkan besar risiko antara dua variabel
yang diuji. Besar risiko OR variabel bebas dengan terikat secara sendiri-
sendiri. Hasil interpretasi nilai OR adalah:
112
a) Jika OR lebih dari 1 dan batas bawah 95% CI tidak mencapai nilai 1,
menunjukkan bahwa variabel yang diteliti bukan faktor risiko. Contoh
: OR > 1, 95% CI : 0,8 – 4,9.
b) Jika OR lebih dari 1 dan batas bawah 95% CI melewati nilai 1, maka
variabel yang diteliti merupakan faktor risiko. Contoh : OR > 1, 95%
CI : 1,2 – 2,5.
c) Jika OR kurang dari 1 dan 95% CI tidak mencapai nilai 1,
menunjukkan bahwa variabel yang diteliti merupakan faktor protektif.
Contoh : OR < 1, 95% CI : 0,1 – 0,9, dan P < 0,05.
c. Analisa Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel
bebas dengan variabel terikat dan variabel bebas mana yang paling besar
pengaruhnya terhadap variabel terkait. Analisis multivariat dilakukan
dengan cara menghubungkan beberapa variabel bebas dengan satu
variabel terikat secara bersamaan. Karena data variabel bebas bersifat
dikotomis (kategori) berskala nominal, maka analisis yang digunakan
regresi logistik. Analisis regresi logistik dapat menjelaskan hubungan
variabel bebas dengan variabel terikat. Semua variabel dimasukkan
bersama-sama untuk dipertimbangkan menjadi model dengan nilai
113
signifikan (p < 0,05). Menurut Sabri (2006) model regresi logistik secara
matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
1 P =
1 +
Dimana :
P = Probabilitas terjadinya suatu kejadian
e = Bilangan natural
β = Nilai koofisien tiap variabel
x = nilai variabel bebas
y = Nilai variabel terikat
G. Cara Penentuan Badan Air yang Positif Larva
1. Penentuan dilakukan dengan menciduk badan air, dimana untuk
badan air yang sempit dilakukan sebanyak 10 kali sedangkan untuk
badan air yang luas dilakukan lebih dari 10 kali.
2. Apabila hasil cidukan mengandung larva, maka larva tersebut diamati
spesiesnya (Anopheles atau bukan).
3. Kalau posisi larva sejajar dengan permukaan air, maka larva tersebut
adalah Anopheles.
114
4. Kalau posisi larva tersebut tidak sejajar dengan permukaan air yang
diciduk, maka larva tersebut bukan Anopheles.
H. Instrumen Penelitian
1. Alat tulis yang digunakan untuk mencatat dan melaporkan hasil
penelitian, kertas dan computer.
2. Kuisioner terstruktur sebagai panduan wawancara dan pengamatan
untuk mendapatkan data dari responden.
3. Cidukan, untuk menangkap larva
4. Thermo-Hygrometer, untuk mengukur suhu udara dan kelembaban
udara
5. Lembar observasi, untuk mencatat hasil survey
6. Global Positioning System (GPS) Merk Garmin tipe 12 XL, untuk
mengukur titik koordinat dan ketinggian daerah dari permukaan laut.
115
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Letak Geografis
Daerah Kabupaten Kolaka di wilayah Tenggara pulau Sulawesi
dan secara geografis terletak pada bagian barat Propinsi Sulawesi
Tenggara memanjang dari utara ke selatan berada diantara 2º00’-5º00’
Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120º45’-
124º06’ Bujur Timur.
Kecamatan Lambandia merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Kolaka terletak di bagian Selatan Tenggara ibu kota
Kabupaten Kolaka yaitu melintang dari Selatan Tenggara ke Barat.
Kecamatan Lambandia mencakup wilayah daratan dengan luasnya ±
308,63 Km² atau 4,46 % dari luas wilayah kabupaten Kolaka. Dari luas
wilayah tersebut kecamatan Lambandia memiliki sungai diantaranya
sungai Lambandia, sungai Andowengga dan sungai Tokai yang sangat
potensi untuk dijadikan sebagai sumber kebutuhan rumah tangga dan
116
imigrasi. Dipandang dari sudut oceanografi kecamatan Lambandia tidak
memiliki perairan laut untuk dijadikan sebagai usaha penangkapan ikan di
laut.
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di desa Awiu Kecamatan
Lambandia, dengan luas wilayah 10,50 km². Adapun batas-batas desa
Awiu adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Taore
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana
c. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Watubangga
d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa iwoi mea jaya
Untuk lebih jelasnya peta spasial lokasi penelitian di desa Awiu
Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka dapat dilihat pada gambar 9
berikut ini.
117
Gambar 9. Peta Spasial Lokasi Penelitian Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka
118
b. Demografi
Penduduk yang tinggal di desa Awiu terdiri dari tiga suku antara
lain: suku makassar, suku toraja dan suku bugis dengan jumlah penduduk
583 jiwa.
c. Kependudukan
Struktur umur penduduk pada suatu daerah sangat ditentukan
oleh perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Oleh karena
itu jika angka kelahiran pada suatu daerah cukup tinggi maka dapat
mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang banyak
berpenduduk usia muda.
Keadaan struktur umur penduduk di kecamatan Lambandia
menunjukkan bahwa pada tahun 2011 sebesar 65,93 % dari jumlah
penduduk adalah tergolong penduduk usia produktif yaitu penduduk yang
berumur 15 tahun ke atas. Menurut jenis kelamin jumlah penduduk tahun
2012 adalah penduduk laki-laki sebesar 12.853 jiwa atau 50,40 % dan
penduduk perempuan sebesar 12.651 jiwa atau 49,60 %. Perbandingan
jumlah penduduk laki-laki berbanding penduduk perempuan tersebut
berdasarkan rasio jenis kelamin pada tahun 2012 adalah 101 yang
memiliki arti bahwa di kecamatan Lambandia untuk tiap 100 penduduk
119
perempuan terdapat 101 penduduk laki-laki. Atau dapat dikatakan bahwa
di kecamatan ini lebih banyak penduduk laki – laki dibandingkan
penduduk perempuan.
Jumlah rumah tangga meningkat sebesar 0,57 % yaitu dari 7.887
rumah tangga tahun 2011 menjadi 7.932 rumah tangga pada tahun 2012
dengan rata-rata anggota rumah tangga 3 orang dalam setiap rumah
tangga.
Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin di desa Awiu
disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Distribusi Responden berdasarkan jenis kelamin di desa Awiu Tahun 2013
No Dusun Jenis Kelamin Jumlah
penduduk Persentase
(%) L P
1 Dusun 1 93 53 146 25.04
2 Dusun 2 88 86 174 29.85
3 Dusun 3 37 42 79 13.55
4 Dusun 4 76 33 109 18.70
5 Dusun 5 46 29 75 12.86
Jumlah 340 234 583 100.0
Sumber: Kantor Desa Awiu, 2013
120
Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di
desa Awiu adalah sebanyak 583 jiwa, jumlah penduduk perempuan 243
jiwa dan laki-laki 340 jiwa.
Berdasarkan gambar 10 menunjukkan bahwa Dusun yang
terbanyak jumlah penduduknya yaitu dusun II sebanyak 174 jiwa
(29,85%), sedangkan yang paling sedikit penduduknya yaitu dusun V
sebanyak 75 jiwa (12,86%).
Gambar 10. Diagram Persentase Jumlah Penduduk berdasarkan Administrasi Dusun di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2013.
d. Pendidikan
121
Sebagaimana diamanatkan dalam GBHN dimana sasaran
pembangunan pendidikan dititikberatkan pada peningkatan mutu dan
perluasan kesempatan belajar di semua jenjang pendidikan mulai dari
taman kanak-kanak sampai kepada perguruan tinggi. Upaya peningkatan
pendidikan yang ingin dicapai tersebut agar menghasilkan manusia
seutuhnya. sedangkan perluasan kesempatan belajar dimaksud agar
penduduk usia sekolah setiap tahunnya mengalami peningkatan sejalan
dengan laju pertumbuhan penduduk. Menyadari akan arti pentingnya
pendidikan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan
antara lain dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang
semakin memadai sehingga dapat memperluas jangkauan pelayanan dan
kesempatan memperoleh pendidikan.
Sarana pendidikan pada tahun 2011/2012 di Kecamatan
Lambandia untuk sekolah taman kanak-kanak swasta ada 4 unit dengan
jumlah guru sebanyak 8 orang dan murid 156 orang. Untuk sekolah dasar
pada tahun 2011/2012 terdapat 12 sekolah dasar negeri dengan jumlah
guru sebanyak 71 orang dan murid sebanyak 2.160 orang. Sementara
untuk jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama terdapat 7 unit sekolah
negeri dengan 36 guru dan memiliki 1.280 murid. Sedangkan sekolah
122
menengah atas ada sebanyak 2 unit sekolah negeri dengan 18 guru dan
501 murid.
Sarana pendidikan di desa Awiu masih sangat rendah untuk
jumlah penduduk yang mencapai 583 jiwa karena hanya terdapat 1 unit
SD dan tidak memiliki SLTP/sederajat dan SMA/sederajat.
e. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk desa Awiu pada umumnya bekerja
sebagai petani dengan bercocok tanam, tanaman jangka pendek seperti
jagung, padi dan kacang-kacangan sedangkan untuk tanaman jangka
panjang seperti kakao dan cengkeh.
f. Sarana Pelayanan Kesehatan
Pembangunan kesehatan di kecamatan Lambandia dititikberatkan
pada peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk
mencapai sasaran pembangunan sebagaimana tersebut di atas
semuanya diarahkan pada bidang kesehatan. selama terbentuknya yaitu
tahun 2001 dalam wilayah ini diupayakan pelaksanaan pembangunan
sarana dan prasarana serta tenaga untuk pelayanan kesehatan sampai
ke pelosok pedesaan.
123
Pada tahun 2012 ada 36 unit fasilitas kesehatan yang terdiri dari 1
unit puskesmas, 3 unit puskesmas pembantu, 25 unit posyandu dan 7 unit
bakesra. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah fasilitas
kesehatan sebesar 28,57 % yaitu dari 28 unit fasilitas kesehatan tahun
2010 menjadi 36 unit tahun 2012.
Tenaga kesehatan (tenaga medis dan para medis) menunjukkan
bahwa tahun 2012 terdapat 18 tenaga kesehatan yang terdiri atas 1 orang
dokter, 2 orang sarjana kesehatan masyarakat, 7 orang perawat, 10 orang
bidan, dan 4 orang tenaga kesehatan lainnya.
Tidak satupun sarana pelayanan kesehatan di desa Awiu, hanya
sekali dalam satu bulan diadakan posyadu yang ditempatkan di rumah
Sekertaris Desa. Namun jika ada masyarakat yang sakit untuk menuju
puskesmas harus menempuh perjalanan selama 3 jam.
g. Keadaan Iklim
Keadaan musim di daerah ini umumnya sama seperti di daerah
lain di Indonesia, mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim
kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan Nopember sampai Maret
dimana pada bulan tersebut angin Barat yang bertiup dari Asia dan
Samudra Pasifik banyak mengandung uap air.
124
Musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai Oktober dimana
antara bulan tersebut angin Timur yang bertiup dari Australia sifatnya
kering dan kurang mengandung uap air. Khusus pada bulan April arah
angin tidak menentu, demikian pula curah hujan sehingga pada bulan ini
dikenal sebagai musim pancaroba. Curah hujan di wilayah ini umumnya
tidak merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah ini kering
dengan curah hujan kurang dari 2000 mm pertahun bahkan memiliki bulan
basah antara 3 sampai 4 bulan dalam setahun.
h. Annual Malaria Incidence (AMI)
Wilayah kerja puskesmas Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi
SulawesiTenggara termasuk daerah endemis malaria yang setiap
tahunnya kasus malaria tetap ada . Data kasus malaria klinis di desa Awiu
yang dilihat Annual Malari Incidence tiga tahun terakhir adalah tahun 2010
sebanyak 16 (28,12‰), tahun 2011 sebanyak 17 (29,56‰) dan tahun
2012 sebanyak 24 (41,17‰).
125
Gambar 11. Grafik Annual Malaria Incidence (AMI) berdasarkan Desa di Kecamatan Lambandia Tahun 2010 – 2012 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
i. Annual Parasite Incidence (API)
Wilayah kerja Puskesmas Lambandia Kecamatan Lambandia
termasuk daerah dengan Annual Parasite Incidence (API) tertinggi di
Kabupaten Kolaka.
Data kasus positif malaria di wilayah kerja puskesmas Lambandia
Khususnya di desa Awiu yang dilihat Annual Parasite Incidence (API) tiga
126
tahun terakhir adalah tahun 2010 sebanyak 10 (17,57‰), tahun 2011
sebanyak 10 (17,39‰), tahun 2012 sebanyak 10 (17,15‰).
Gambar 12. Grafik Annual Parasite Incidence (API) berdasarkan Desa di Kecamatan Lambandia Tahun 2010 – 2012 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
Berikut ini disajikan peta endemisitas malaria berdasarkan
angka posif malaria (API) di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi
Tenggara, sejak tahun 2010 – 2012.
127
Gambar 13. Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia Tahun 2010 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
128
Gambar 14. Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia Tahun 2011 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
129
Gambar 15. Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia Tahun 2012 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
130
2. Analisis Univariat Variabel Penelitian
a. Peta Distribusi Breeding Site Larva Anopheles spp
dengan Jarak Rumah Terdekat Kelompok Kasus dan
Kontrol di Desa Awiu Tahun 2013.
Pada penelitian ini di dapatkan bahwa jarak breeding site larva
anopheles spp dengan rumah kelompok kasus adalah ≤50 m sebanyak
14 (46,7%) dan >50 m sebanyak 16 (53,3%) sedangkan jarak breeding
site larva anopheles spp dengan rumah kelompok kontrok ≤50 m
sebanyak 6 (20%) dan >50m sebanyak 24 (80%).
Berdasarkan gambar 16 bahwa rumah kelompok kasus dan
kontrol sebanyak 24 titik, masing-masing untuk kelompok kasus terdapat
12 titik dan kelompok kontrol 12 titik. Titik yang dimaksud masing-masing
di beri simbol lingkaran warna yaitu simbol, rumah responden kelompok
kasus di beri warna merah sedangkan simbol rumah responden kelompok
kontrol di beri warna hijau. Breeding site larva anopheles spp berjumlah
11 titik, terdapat 9 titik positif larva anopheles spp sisanya 2 titik negatif
larva anopheles spp. Titik masing-masing diberi simbol lingkar warna yaitu
simbol, breeding site positif larva anopheles spp diberi warna kuning
sedangkan breeding site negatif larva di beri warna putih.
131
Berdasarkan gambar 17 bahwa rumah kelompok kasus dan
kontrol sebanyak 16 titik, masing-masing untuk kelompok kasus terdapat 8
titik dan kelompok kontrol 8 titik. Titik yang dimaksud masing-masing di
beri simbol lingkaran warna yaitu simbol, rumah responden kelompok
kasus di beri warna merah sedangkan simbol rumah responden kelompok
kontrol di beri warna hijau. Breeding site larva anopheles spp berjumlah 2
titik, semua titik positif larva anopheles spp. Titik masing-masing diberi
simbol lingkar warna yaitu simbol, breeding site positif larva anopheles spp
diberi warna kuning.
Berdasarkan gambar 18 bahwa rumah kelompok kasus dan
kontrol sebanyak 20 titik, masing-masing untuk kelompok kasus terdapat
10 titik dan kelompok kontrol 10 titik. Titik yang dimaksud masing-masing
di beri lingkaran warna yaitu simbol, rumah responden kelompok kasus di
beri warna merah sedangkan simbol rumah responden kelompok kontrol
di beri warna hijau. Breeding site larva anopheles spp berjumlah 7 titik,
semua titik positif larva anopheles spp. Titik masing-masing diberi lingkar
warna yaitu simbol, breeding site positif larva anopheles spp diberi warna
kuning.
132
Gambar 16. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol di dusun I dan dusun IV di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
133
Gambar 17. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol di dusun III dan dusun IV di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
134
Gambar 18. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol di dusun II di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
135
b. Peta Distribusi Jenis Breeding Site Larva Anopheles spp
Kelompok Kasus dan Kontrol di Desa Awiu.
Dari gambar 16 dibawah ini terlihat bahwa di dusun I Desa Awiu
Kecamatan Lambandia memiliki lima breeding site dimana jumlah yang
positif larva anopheles spp sebanyak tiga breeding site yaitu dua sumur
dan satu kubangan sedangkan negatif larva anopheles spp berjumlah dua
breeding site yaitu sawah dan bekas ban kendaraan.
Gambar 19. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok kontrol di dusun I di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
136
Dari gambar 17 dibawah ini terlihat bahwa di dusun II Desa Awiu
Kecamatan Lambandia memiliki tujuh breeding site dimana semua jumlah
breeding site positif larva anopheles spp yaitu satu kubangan, tiga sawah,
satu rawa, satu sumur dan satu selokan. Titik masing-masing diberi
lingkar warna yaitu simbol, breeding site positif larva anopheles spp diberi
warna kuning.
Gambar 20. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok kontrol di dusun II di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
137
Dari gambar 18 dibawah ini terlihat bahwa di dusun III Desa Awiu
Kecamatan Lambandia memiliki satu breeding site positif larva anopheles
spp yaitu kubangan.
Titik tersebut diberi lingkar warna yaitu simbol, breeding site
positif larva anopheles spp diberi warna kuning.
Gambar 21. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok kontrol di dusun III di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
138
Dari gambar 19 dibawah ini terlihat bahwa di dusun IV Desa Awiu
Kecamatan Lambandia memiliki tujuh breeding site dimana semua jumlah
breeding site positif larva anopheles spp yaitu tiga sawah, satu sumur,
satu rawa, satu kubangan dan satu selokan. Titik masing-masing diberi
lingkar warna yaitu simbol, breeding site positif larva anopheles spp diberi
warna kuning.
Gambar 22. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok kontrol di dusun IV di Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
c. Karakteristik Responden
139
1. Umur
Distribusi responden berdasarkan kelompok umur dapat dilihat
pada Tabel 7:
Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Awiu Tahun 2013
No Kelompok
Umur (tahun)
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % n % n %
1 0 – 15 4 13,3 4 13,3 8 13,3
2 16 – 30 10 33,3 10 33,3 20 33,3
3 > 30 16 53,4 16 53,4 22 53,4
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa kelompok umur 0-15
tahun merupakan responden yang paling sedikit yaitu 8 orang (13,3%),
kelompok umur 16-30 berjumlah 20 orang (33,3%), sedangkan kelompok
umur diatas 30 tahun responden yang paling banyak yaitu 22 orang
(53,4%).
2. Jenis Kelamin
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 8:
Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan jenis kelamin di Desa Awiu Tahun 2013
140
No Jenis
kelamin
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Laki-laki 16 53,3 16 53,3 32 53.3
2 Perempuan 14 46,7 14 46,7 28 46,7
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah laki-laki yang
menjadi responden lebih banyak yaitu 32 orang (53,3%) dibanding dengan
responden perempuan sebanyak 28 orang (46,7%).
3. Pendidikan
Distribusi responden berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada
Tabel 9:
Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa Awiu Tahun 2013
No Pendidikan
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Belum Sekolah 1 3,3 1 3,3 2 3,3
2 3 4 5
Tidak Sekolah SD SMP SMA
11 15 3 0
36,7 50 10 0,0
7 18 2 2
23,3 60 6,7 6,7
18 33 5 2
30 55 8,4 3,3
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SD
yang terbanyak pada responden kasus 15 (50%) maupun responden
141
kontrol 18 (60%), dan tingkat pendidikan SMA hanya terdapat pada
responden kontrol sebanyak 2 (6,7%).
Berdasarkan gambar 23 dibawah ini terlihat bahwa persentase
responden berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SD
sebanyak 55 % sedangkan yang paling sedikit adalah belum sekolah dan
SMA masing – masing sebanyak 3,3%.
Gambar 23. Diagram Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2013
4. Pekerjaan
142
Berdasarkan gambar 24 terlihat bahwa responden dengan jenis
pekerjaan yang paling banyak adalah petani sebanyak (50%) sedanglan
yang paling sedikit adalah yang bekerja sebagai tenaga honorer 2%,
sebagai pelajar 3%, ibu rumah tangga sebanyak 30% selebihnya
responden yang tidak mempunyai pekerjaan yaitu 15%.
Gambar 24. Diagram Persentase Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2013
d. Lingkungan Fisik
1. Keberadaan Breeding Site
143
Distribusi responden berdasarkan keberadaan genangan air di
sekitar rumah dapat dilihat pada tabel 10:
Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Breeding site dengan jarak ≤50 m di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013.
No Keberadaan
Breeding site
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ada 14 46,7 6 20 20
2 Tidak Ada 16 53,3 24 80 40
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kelompok kasus yang terdapat breeding site di sekitar rumah sebanyak 14
(46,7%), sedangkan pada kelompok kontrol dari 30 responden hanya
terdapat breeding site di sekitar rumah yaitu sebanyak 6 (20%).
2. Kondisi Dinding Rumah
Distribusi responden berdasarkan kondisi dinding rumah di lihat
pada Tabel 11:
Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Dinding Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
No Kondisi Dinding Rumah
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Rapat 4 13,3 11 36,7 15 25
144
2 Tidak Rapat 26 86,7 19 63,3 45 75
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013 Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus kondisi dinding yang rapat 4 (13,3%) dan yang tidak rapat 26
(86,7%) sedangkan responden kontrol yang mempunyai kondisi dinding
rumah yang rapat 11 (36,7%) dan dinding rumah yang tidak rapat 19
(63,3%).
3. Keberadaan Kawat Kasa Pada Ventilasi
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi keberadaan kawat
kasa pada ventilasi rumah responden, tidak terdapat rumah yang
memasang kawat kasa pada ventilasi mereka baik pada responden kasus
maupaun responden kontrol.
4. Keberadaan Langit-Langit
Distribusi responden berdasarkan keberadaan langit-langit rumah
di lihat pada Tabel 12:
Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan keberadaan Langit-langit Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
No Keberadaan
Langit-Langit
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ada 0 0,0 2 6,7 2 3,3
2 Tidak Ada 30 100,0 28 93,3 58 96,7
145
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer tahun 2013 Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa keberadaan langit-
langit hanya terdapat pada kelompok kontrol yaitu dari 30 responden
kelompok kontrol hanya terdapat 2 (6,7%) yang memiliki plafon dan yang
tidak memiliki plafon sebanyak 28 ( 93,3%).
5. Suhu Udara
Distribusi responden berdasarkan suhu udara lihat pada Tabel
13:
Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Suhu Udara Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
No Suhu Dalam
Rumah
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 20ºC-30ºC 7 23,3 6 20 13 21,7
2 <20ºC->30ºC 23 76,5 24 80 47 78,3
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 13 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus 20ºC-30ºC suhu udara 7 (23%) dan <20ºC->30ºC suhu udara 23
(76,5%) sedangkan untuk responden kontrol 20ºC-30ºC suhu udara 6
(20%) dan <20ºC->30ºC suhu udara 24 (80%).
6. Kelembaban Udara
146
Distribusi responden berdasarkan kelembaban udara lihat pada
Tabel 14:
Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan Kelembaban Udara di Desa Awiu Tahun 2013
No Kelembaban
Udara
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 >60% 30 100,0 30 100,0 60 100,0
2 ≤60% 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus >60% kelembaban udara 30 (100%) dan untuk responden kontrol
>60% kelembaban udara 30 (100%) sedangkan untuk kelembaban udara
≤60% tidak satupun ditemukan baik pada rumah responden kasus
maupun responden kontrol.
e. Lingkungan Biologi
1. Keberadaan Kandang Ternak
Distribusi responden berdasarkan keberadaan hewan ternak di
sekitar rumah dapat dilihat pada tabel 15:
Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Kandang Ternak di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
No Keberadaan
Kandang Ternak
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
147
N % N % n %
1 Ada 5 16,7 2 6,7 7 11,7
2 Tidak Ada 25 83,3 28 93,3 53 88,3
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus terdapat 5 (16,7%) rumah yang memiliki kandang ternak di sekitar
rumah, sedangkan pada kelompok kontrol dari 30 responden hanya
terdapat 2 (6,7%) rumah yang memiliki Kandang ternak.
2. Keberadaan Semak Belukar
Distribusi responden berdasarkan keberadaan semak belukar di
sekitar rumah dilihat pada Tabel 16:
Tabel 16. Distribusi Responden Berdasarkan Semak Belukar di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013.
No Keberadaan
Semak Belukar
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ada 27 90,0 16 53,3 43 71,7
2 Tidak Ada 3 10,0 14 46,7 17 28,3
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
148
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus keberadaan semak belukar di sekitar rumah 27 (90%) dan yang
tidak memiliki semak belukar hanya 3 (10%) sedangkan responden kontrol
keberadaan semak belukar di sekitar rumah 16 (53,3%) dan yang tidak
memiliki semak belukar14 (46,7%).
3. Keberadaan Larva Anopheles spp
Distribusi responden berdasarkan keberadaan larva anopheles
spp di lihat pada Tabel 17:
Tabel 17. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Larva Anopheles spp di Desa Awiu Tahun 2013.
No
Keberadaan Larva
Anopheles spp
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Positif 14 46,7 6 20 20 33,3
2 Negatif 16 53,3 24 80 40 66,7
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus keberadaan larva anopheles spp 14 (46,7%) dan yang tidak
memiliki larva anopheles spp 16 (53,3%) sedangkan responden kontrol
keberadaan larva anopheles spp 6 (20%) dan yang negatif larva
anopheles spp 24 (80%).
f. Pelayanan Kesehatan
149
Penyemprotan
Distribusi responden berdasarkan penyemprotan untuk
penanggulangan nyamuk malaria oleh petugas kesehatan di sekitar
rumah dilihat pada Tabel 18:
Tabel 18. Distribusi Responden Berdasarkan penyemprotan di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013.
No Penyemprotan
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ya 18 60,0 18 60,0 46 76,7
2 Tidak 12 40,0 12 40,0 14 23,3
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus yang dilakukan penyemprotan di sekitar rumah 18 (60%) dan yang
tidak pernah di lakukan penyemprotan 12 (40%) sedangkan responden
kontrol yang di lakukan penyemprotan di sekitar rumah 18 (60%) dan yang
tidak memiliki semak belukar12 (40%).
g. Sosial Budaya
1. Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari
Distribusi responden berdasarkan kebiasaan keluar pada malam
hari di lihat pada Tabel 19:
150
Tabel 19. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari di Desa Awiu Tahun 2013
No Kebiasaan
Keluar Rumah
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ya 16 53,3 12 40,0 28 46,7
2 Tidak 14 46,7 18 60,0 32 53,3
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus yang sering keluar rumah pada malam hari 16 (53,3%) dan yang
tidak pernah keluar rumah pada malam hari 14 (46,7%) sedangkan
responden kontrol yang sering keluar rumah pada malam hari 12 (40%)
dan yang tidak pernah keluar rumah pada malam hari 18 (60%).
2. Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk
Distribusi responden berdasarkan kebiasaan menggunakan obat
anti nyamuk di lihat pada Tabel 20:
Tabel 20. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk di Desa Awiu Tahun 2013
No Menggunakan
Obat Anti Nyamuk
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ya 1 3,3 2 6,7 3 5,0
151
2 Tidak 29 96,7 28 93,3 57 95,0
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus yang menggunakan obat anti nyamuk hanya 1 (3,3%) dan yang
tidak menggunakan obat anti nyamuk 29 (96,7%), sedangkan respoden
kontrol dari 30 responden yang menggunakan obat anti nyamuk hanya 2
(6,7%) dan yang tidak menggunakan obat anti nyamuk 28 (93,3%).
3. Penggunaan Kelambu
Distribusi responden berdasarkan kebiasaan menggunakan
kelambu di lihat pada Tabel 21:
Tabel 21. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Menggunakan Kelambu di Desa Awiu Tahun 2013
No Kebiasaan
Menggunakan Kelambu
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ya 28 93,3 30 100,0 58 96,7
2 Tidak 2 6,7 0 0,0 2 3,3
Total 30 0,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2913
152
Berdasarkan Tabel 21 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus yang menggunakan kelambu 28 (93,3%) dan yang tidak
menggunakan 2 (6,7%), sedangkan respoden kontrol dari 30 responden
semua respoden menggunakan kelambu 30(100%).
4. Kebiasaan Menggantung Pakaian
Distribusi responden berdasarkan kebiasaan menggantung
pakaian di lihat pada Tabel 22:
Tabel 22. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Menggantung Pakaian di Desa Awiu Tahun 2013
No Kebiasaan Menggantung Pakaian
Kejadian Malaria Total
Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ya 29 96,7 28 93,3 57 95,0
2 Tidak 1 3,3 2 6,7 3 5,0
Total 30 0,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus yang biasa menggantung pakaian di dalam kamar 29 (96,7%) dan
yang tidak menggantung pakaian di dalam kamar 1 (3,3%), sedangkan
dari 30 respoden kontrol yang sering menggantung pakaian di dalam
kamar 28(93,3%) dan yang tidak menggantung pakaian di dalam kamar 2
(6,7%).
153
3. Analisis Bivariat
Dalam analisis bivariat dijabarkan hasil penelitian tentang
hubungan antara variabel indevenden yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian malaria antara lain: faktor lingkungan fisik, faktor
lingkungan biologi, faktor pelayanan kesehatan dan faktor sosial budaya
dengan variabel dependen yaitu kejadian malaria di gunakan perhitungan
Odds Ratio (OR). Analisis bivariat dilakukan dengan membuat tabel silang
(crosstab) dua kali dua.
Hasil analisis bivariat penelitian mengenai faktor risiko kejadian
malaria di desa Awiu pada tahun 2013 di sajikan pada tabel-tabel berikut
antara lain:
a. Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Malaria
1. Faktor Risiko Keberadaan Breeding Site dengan kejadian
malaria
Hasil analisis keberadaan breeding site terhadap kejadian malaria
dapat dilihat pada tabel berikut:
154
Tabel 23. Analisis Faktor Risiko Keberadaan Breeding Site dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Keberadaan
Breeding Site
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI)
Kasus Kontrol
1 Tidak Ada 16 24 0,028
3,500 (1,112-11,017)
2 Ada 14 6 Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,028 (0,028 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada
hubungan antara keberadaan breeding site dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,500 dengan nilai lower
limit (LL) = 1,112 dan upper limit (UL) = 11,017. Karena nilai lower limit
dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.
Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara
keberadaan breeding site dengan kejadian malaria. Hasil ini
diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki breeding site di sekitar
rumah lebih beresiko terkena malaria 3,500 kali lebih besar dari yang
rumahnya tidak ada breeding site dengan jarak 50 meter.
2. Faktor Risiko Kondisi Dinding Rumah dengan Kejadian
Malaria
Hasil analisis kondisi dinding rumah terhadap kejadian malaria
dapat dilihat pada tabel berikut.
155
Tabel 24. Analisis Faktor Risiko Kondisi dinding rumah dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Kondisi Dinding Rumah
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI) Kasus Kontrol
1 Tidak Rapat 26 19 0,037
3,763 (1,038-13,646)
2 Rapat 4 11 Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,037 (0,037 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada
hubungan antara kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,763 dengan nilai lower
limit (LL) = 1,038 dan upper limit (UL) = 13,646. Karena nilai lower limit
dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.
Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara
kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria. Hasil ini diinterpretasikan
bahwa responden yang memiliki dinding rumah tidak rapat lebih beresiko
terkena malaria 3,763 kali lebih besar dari yang dinding rumahnya rapat.
3. Faktor Risiko Pemasangan Kawat Kasa pada Ventilasi
dengan Kejadian Malaria.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi keberadaan kawat
kasa pada ventilasi rumah responden, tidak terdapat rumah yang
memasang kawat kasa pada ventilasi mereka. Sehingga variabel
156
keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah tidak dapat di analisis lebih
lanjut kedalam uji bivariat.
4. Faktor Risiko Keberadaan Langit-langit Rumah dengan
Kejadian Malaria.
Hasil analisis keberadaan langit-langit rumah terhadap kejadian
malaria dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 25. Analisis Faktor Risiko keberadaan langit-langit rumah dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Keberadaan Langit-langit
Rumah
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI) Kasus Kontrol
1 Tidak Ada 30 28 0,492
0,483 (0,370-0,630)
2 Ada 0 2 Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,492 (0,492 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara keberadaan langit-langit rumah dengan kejadian
malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 0,483 dengan nilai
lower limit (LL) = 0,370 dan upper limit (UL) = 0,630. Karena nilai lower
limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..
Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa keberadaan langit-langit rumah
tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
5. Faktor Risiko Suhu Udara dengan Kejadian Malaria
157
Hasil analisis suhu udara dalam rumah terhadap kejadian malaria
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 26. Analisis Faktor Risiko Suhu Udara dalam rumah dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Suhu Udara Kejadian Malaria
p-value OR (95% CI) Kasus Kontrol
1 20ºC-30ºC 7 6 0,754
1,217 (0,355-4,170)
2 <20ºC->30ºC 23 24 Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,754 (0,754 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara suhu udara dalam rumah dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 1,217 dengan nilai lower
limit (LL) = 0,355 dan upper limit (UL) = 4,170. Karena nilai lower limit dan
upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil
analisis ini diinterpretasikan bahwa suhu udara dalam rumah tidak
memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
6. Faktor Risiko Kelembaban Udara dengan Kejadian
Malaria
Berdasarkan hasil pengukuran kelembaban di rumah responden,
tidak terdapat rumah kasus maupun rumah kontrol yang kelembabannya
≤60%. Sehingga variabel kelembaban rumah tidak dapat di analisis lebih
lanjut kedalam uji bivariat.
158
b. Faktor Lingkungan Biologi Terhadap Kejadian Malaria
1. Faktor Risiko Keberadaan Ternak Besar dengan
Kejadian Malaria
Hasil analisis keberadaan ternak besar terhadap kejadian malaria
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 27. Analisis Faktor Risiko Keberadaan Ternak Besar dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Keberadaan
Ternak Besar
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI)
Kasus Kontrol
1 Tidak 25 28 0,424
2,800
(0,498-15,734) 2 Ya 5 2
Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,424 (0,424 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara keberadaan ternak besar dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,800 dengan nilai lower
limit (LL) = 0,498 dan upper limit (UL) = 15,734. Karena nilai lower limit
dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil
analisis ini diinterpretasikan bahwa keberadaan hewan ternak besar tidak
memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
2. Faktor Risiko Keberadaan Semak Belukar di Sekitar
Rumah Terhadap Kejadian Malaria
159
Hasil analisis keberadaan semak belukar terhadap kejadian
malaria dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 28. Analisis Faktor Risiko Keberadaan Semak Belukar dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Keberadaan
Ternak Besar
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI)
Kasus Kontrol
1 Tidak 3 14 0,004
6,882
(1,707-27,752) 2 Ya 27 16
Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,004 (0,004 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada
hubungan antara keberadaan semak belukar dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 6,882 dengan nilai lower
limit (LL) = 1,707 dan upper limit (UL) = 27,752. Karena nilai lower limit
dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.
Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara
keberadaan semak belukar dengan kejadian malaria. Hasil ini
diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki semak belukar di sekitar
rumah lebih beresiko terkena malaria 6,882 kali lebih besar dari yang
rumahnya tidak ada semak belukar dengan jarak 50 meter.
3. Faktor Risiko Keberadaan Larva Anopheles spp
Terhadap Kejadian Malaria
160
Hasil analisis keberadaan larva anopheles spp terhadap kejadian
malaria dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 29. Analisis Faktor Risiko keberadaan larva anopheles spp dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No
Keberadaan Larva
Anopheles spp
Kejadian Malaria
p-value OR (95% CI) Kasus Kontrol
1 Tidak 16 24 0,028
3,500
(1,112-11,017) 2 Ya 14 6
Jumlah 30 30
asil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value penelitian
sebesar 0,028 (0,028 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada hubungan
antara keberadaan larva anopheles spp dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,500 dengan nilai lower
limit (LL) = 1,112 dan upper limit (UL) = 11,017. Karena nilai lower limit
dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.
Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara
keberadaan larva anopheles spp dengan kejadian malaria. Hasil ini
diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki keberadaan larva
anopheles spp di sekitar rumah lebih beresiko terkena malaria 3,500 kali
lebih besar dari yang rumahnya tidak ada larva anopheles spp.
c. Faktor Pelayanan Kesehatan Tehadap Kejadian Malaria
161
1. Faktor Risiko Penyemprotan Terhadap Kejadian Malaria.
Hasil analisis pelaksanaan penyemprotan terhadap kejadian
malaria dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 30. Analisis Faktor Risiko pelaksanaan penyemprotan dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Penyempro-
tan
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI)
Kasus Kontrol
1 Tidak 18 18 1,000
1,000
(0,356-2,809) 2 Ya 12 12
Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 1,000 (1,000 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara penyemprotan dengan kejadian malaria. Kemudian
uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 1,000 dengan nilai lower limit (LL) =
0,356 dan upper limit (UL) = 2,809. Karena nilai lower limit dan upper limit
melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil analisis ini
diinterpretasikan bahwa penyemprotan tidak memiliki risiko yang
bermakna terhadap kejadian malaria.
d. Faktor Risiko Sosial Budaya Terhadap Kejadian Malaria
1. Faktor Risiko Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari
Tanpa Menggunakan Pelindung Terhadap Kejadian
Malaria
162
Hasil analisis Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari Tanpa
Menggunakan Pelindung terhadap kejadian malaria dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 31. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari Tanpa Menggunakan Pelindung dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Kebiasaan
Keluar Rumah
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI) Kasus Kontrol
1 Tidak 16 12 0,301
1,714
(0,616-4,772) 2 Ya 14 18
Jumlah 30 30
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,301 (0,301 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa
menggunakan pelindung dengan kejadian malaria. Kemudian uji Odds
ratio di peroleh nilai OR = 1,714 dengan nilai lower limit (LL) = 0,616 dan
upper limit (UL) = 4,772. Karena nilai lower limit dan upper limit melewati
angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil analisis ini
diinterpretasikan bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa
menggunakan pelindung tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap
kejadian malaria.
163
2. Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Obat Anti
Nyamuk dengan Kejadian Malaria
Hasil analisis kebiasaan menggunakan obat anti Nyamuk
terhadap kejadian malaria dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 32. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No
Kebiasaan Menggunakan Obat Anti
Nyamuk
Kejadian Malaria
p-value OR (95% CI) Kasus Kontrol
1 Tidak 29 28 1,000
2,071
(0,178-24,148) 2 Ya 1 2
Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 1,000 (1,000 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan
kejadian malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071
dengan nilai lower limit (LL) = 0,178 dan upper limit (UL) = 24,148. Karena
nilai lower limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak
bermakna.. Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan
menggunakan obat anti nyamuk tidak memiliki risiko yang bermakna
terhadap kejadian malaria.
164
3. Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Kelambu dengan
Kejadian Malaria
Hasil analisis kebiasaan menggunakan kelambu terhadap
kejadian malaria dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 33. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Kelambu dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Kebiasaan
Menggunakan Kelambu
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI) Kasus Kontrol
1 Tidak 2 0 0,492
2,071
(1,587-2,704) 2 Ya 28 30
Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,492 (0,492 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian
malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071 dengan nilai
lower limit (LL) = 1,587 dan upper limit (UL) = 2,704. Karena nilai lower
limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..
Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggunakan
kelambu tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
4. Faktor Risiko Kebiasaan Menggantung Pakaian Terhadap
Kejadian Malaria
165
Hasil analisis kebiasaan menggantung pakaian terhadap kejadian
malaria dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 34. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggantung Pakaian dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Kebiasaan
Menggantung Pakaian
Kejadian Malaria p-value OR (95% CI) Kasus Kontrol
1 Tidak 1 2 1,000
2,071
(0,178-24,148) 2 Ya 29 28
Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 1,000 (1,000 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian
malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071 dengan nilai
lower limit (LL) = 0,178 dan upper limit (UL) = 24,148. Karena nilai lower
limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.
Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggantung pakaian
tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
166
Rekapitulasi hubungan variabel faktor risiko dengan kejadian
malaria di Desa Awiu Tahun 2013 dapat di lihat pada Tabel berikut.
Tabel 35. Rekapitulasi Hubungan Variabel Faktor Risiko dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Faktor Risiko Kategori OR 95% Cl p-value Kesimpulan
1 Keberadaan Breeding Site
0. Tidak ada 1. Ada
3,500
1,112 – 11,017
0,028 Bermakna
2 Kondisi Dinding Rumah
0. Tidak rapat 1. Rapat
3,763 1,038 – 13,646
0,037 Bermakna
3
4
5
6
7
Keberadaan Kawat Kasa pada Ventilasi
Keberadaan Langit-Langit Rumah
Suhu Udara
Kelembaban Udara
Keberadaan Kandang Ternak
0. Tidak ada 1. Ada
0. Tidak ada 1. Ada
0. Tidak memenuhi syarat
1. Memenuhi syarat
0. Tidak memenuhi syarat
1. Memenuhi syarat
0. Tidak ada 1. Ada
0. Tidak ada 1. Ada
0. Tidak ada 1. Ada
*
0,483
1,217
*
2,800
*
0,370 – 0,630
0,355 – 4,170
*
0,498 – 15,734
*
0,492
0,754
*
0,424
*
Tidak Bermakna
Tidak Bermakna
*
Tidak Bermakna
167
8
9
10
11
12
13
14
Keberadaan Semak-semak
Keberadaan Larva
Anopheles spp
Penyemprotan
Kebiasaan Keluar Rumah pada Malam Hari
Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk
Kebiasaan Menggunakan Kelambu
Kebiasaan Menggantung Pakaian
0. Tidak 1. Ya
0. Tidak 1. Ya
0. Tidak 1. Ya
0. Tidak 1. Ya
0. Tidak 1. Ya
6,882
3,500
1,000
1,741
2,071
2,071
2,071
1,707 – 27,752
1,112 – 11,017
0,356 – 2,809
0,616 – 4,772
0,178 – 24,148
1,587 – 2,704
0,178 – 24,148
0,004
0,028
1,000
0,301
1,000
0,492
1,000
Bermakna
Bermakna
Tidak Bermakna
Tidak Bermakna
Tidak Bermakna
Tidak Bermakna
Tidak Bermakna
Ket : * = Tidak dapat dianalisis karena jawabannya homogen
168
4. Analisis Multivariat
Hasil analisis bivariat yang mempunyai nilai probabilitas kurang
dari 0,25 dilanjutkan analisisnya dengan menggunakan analisis statistik
multivariat regresi logistik dengan metode backward (conditional). Semua
variabel yang merupakan faktor risiko dimasukkan ke dalam proses
interasi selanjutnya variabel yang tidak berpengaruh dikeluarkan satu per
satu sampai dengan diperoleh variabel yang diperkirakan berperan
penting dengan kejadian malaria.
a. Pemilihan Variabel Multivariat
Variabel yang di lanjutkan pada analisis statistik multivariat adalah
Keberadaan breeding site, kondisi dinding rumah, keberadaan semak
belukar dan keberadaan larva anopheles spp. Analisis ini dimaksudkan
untuk menentukan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap
kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia.
Untuk melanjutkan keanalisis multivariat maka semua variabel
yang telah dilakukan analisis bivariat yang memiliki nilai p ≤ 0,25 dapat
dijadikan sebagai variabel terpilih. Hasil analisis yang dijadikan model
analisis multivariate dapat dilihat pada tabel 36.
169
Berdasarkan Tabel 36 menunjukkan bahwa variabel yang akan
dilakukan model analisis multivariate regresi logistik adalah Keberadaan
breeding site, kondisi dinding rumah, keberadaan semak belukar dan
keberadaan larva anopheles spp,
Tabel 36. Hasil Analisis Bivariat yang di Jadikan Model Analisis Multivariat
No Faktor Risiko Kategori OR 95% Cl p-value
1 Keberadaan Breeding Site
0. Tidak ada 1. Ada
3,500 1,112 – 11,017 0,028
2 Kondisi Dinding Rumah
0. Tidak rapat 1. Rapat
3,763 1,038 – 13,646 0,037
3
4
Keberadaan Semak Belukar
Keberadaan Larva
Anopheles spp
0. Tidak Ada
1. Ada
0. Tidak ada 1. Ada
6.882
3,500
1,707 – 27,752
1,112 – 11,017
0,004
0,028
b. Hasil Analisis Regresi Logistik
Hasil analisis regresi logistic sederhana dapat dilihat pada tabel 37:
Tabel 37. Hasil Analisis Regresi Logistik antara variabel yang Berpengaruh terhadap Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013.
No Convariat B S.E Wald p-value Exp.(B) 95% Cl
1 Keberadaan Breeding Site
1,883 0,763 6,083 0,014 6,572 1,472 – 29,344
170
2
3
Kondisi Dinding Rumah
Keberadaan Semak-semak
1,635
1,870
0,834
0,792
3,843
5,575
0,050
0,018
5,128
6,491
1,000 - 26,281
1,374 – 30,656
Constant -2,113 0,746 8,030 0,005 0,121
Dari Tabel 37 menunjukkan bahwa setelah dilakukan uji regresi
logistic untuk melihat faktor risiko yang paling berpengaruh dari semua
variabel yang diteliti maka didapatkan bahwa faktor yang berpengaruh
secara signifikan dengan kejadian malaria adalah keberadaan breeding
site 0,014 (0,014 < 0,005).
B. Pembahasan
1. Faktor Lingkungan Fisik dengan Kejadian Malaria
a. Faktor keberadaan Breeding Site dengan kejadian malaria
Nyamuk berkembangbiak dengan baik bila lingkungannya sesuai
dengan keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembangbiak.
Kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan nyamuk tidak sama
tiap jenis/spesies nyamuk. Lingkungan fisik berhubungan dengan
kehidupan nyamuk sebagai vektor malaria maupun pada kehidupan
parasit di dalam tubuh nyamuk itu sendiri (Arsin, 2012).
171
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa Hasil
analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value penelitian sebesar
0,028 (0,028 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada hubungan antara
keberadaan breeding site dengan kejadian malaria. Kemudian uji Odds
ratio di peroleh nilai OR = 3,500 dengan nilai lower limit (LL) = 1,112 dan
upper limit (UL) = 11,017. Karena nilai lower limit dan upper limit tidak
melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna. Dengan nilai OR > 1,
menunjukkan adanya hubungan positif antara keberadaan breeding site
dengan kejadian malaria. Hasil ini diinterpretasikan bahwa responden
yang memiliki breeding site di sekitar rumah lebih beresiko terkena malaria
3,500 kali lebih besar dari yang rumahnya tidak ada breeding site dengan
jarak 50 meter.
Analisis data spasial dengan menggunakan Sistim Informasi
Geografis, untuk menentukan titik koordinat dengan menggunakan alat
GPS (Global Posistioning System) dengan tujuan untuk memudahkan
peneliti menentukan rumah yang berada dalam radius 50 meter dari
breeding site. Jenis breeding site yang di temukan di sekitar rumah
responden di Desa Awiu Kecamatan Lambandia antara lain: sawah, rawa,
kubangan, sumur dan selokan. Jenis breeding site yang terbanyak adalah
172
sawah 9 (45%) dan yang paling sedikit yaitu selokan dan rawa masing-
masing 2 (10%). Keberadaan breeding site di sekitar rumah tentunya
merupakan faktor risiko terjadinya penularan malaria. Berdasarkan
penelitian dari Depkes diketahui bahwa faktor utama penularan malaria di
Sulawesi Tenggara adalah nyamuk An. barbirortris, An.subpictus,
An.vagus dan An. sundaicus. Nyamuk jenis ini dapat ditemukan di sawah,
rawa, dan kolam/ tambak yang tidak terurus, sumur, selokan dan
kubangan. Jentik akan berkumpul pada tempat yang tertutup oleh
tanaman, dan pada lumut yang mendapat sinar matahari. Terdapatnya
kasus malaria pada rumah yang disekitarnya terdapat genangan air dapat
dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa proporsi keberadaan
genangan air di sekitar rumah lebih besar pada kelompok kasus yaitu
46,7% dibanding kelompok kontrol yaitu 20%. Dengan adanya genangan
air yang ditumbuhi oleh rumput-rumput dan lumut-lumut disekitar rumah
tentunya peningkatan populasi nyamuk di sekitar rumah. Hal ini tentunya
sangat berisiko meningkatkan peluang kontak antara nyamuk sebagai
vektor malaria dengan orang yang rumahnya berada disekitar genangan
air. Berdasarkan teori nyamuk An.sundaicus An. barbirortris, An.subpictus
dan An.vagus bersifat antropofilik yaitu lebih menyukai darah manusia, jika
173
kepadatan nyamuk di sekitar rumah tinggi dan didukung dengan
ketersediaan manusia, maka akan meningkatkan kapasitas vektor
sehingga kemungkinan orang di sekitar genangan air untuk tertular
malaria akan semakin besar (Depkes, 2007).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
di wilayah kerja puskesmas lowa di temukan bahwa sebagian besar
genangan air yang terdapat disekitar rumah responden terdapat larva
nyamuk anopheles dengan spesies yang ditemukan adalah
An.Barbirortris, An.Subpictus, An.Vagus dan An.Sundaicus (Amirullah,
2012). Penelitian ini juga di perkuat oleh penelitian Dedi Mahyudi Syam
(2010) di kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju, dimana di temukannya
spesies Anopheles di sekitar rumah responden antara lain: An. Subpictus,
An. Barbirortris dan An. Aconitus.
Penelitian ini di perkuat oleh hasil penelitian Haque et al (2011) di
Rajasthali, Bangladesh yang mengatakan bahwa adanya genangan air
disekitar rumah respoden lebih beresiko terkena malaria di banding rumah
yang tidak terdapat genangan air. Penelitian yang sama dilakukan oleh
Slamet (2010), Wahyuningtyas (2011) dan Ernawati et al (2011) yang
melaporkan bahwa rumah tangga yang disekitarnya ada tempat
174
perkembangbiakan nyamuk memiliki proporsi kejadian malaria lebih besar
dibandingkan dengan rumah tangga yang di sekitarnya tidak ada tempat
perkembangbiakan nyamuk dengan prevalence rate 1,10.
b. Faktor kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30
responden kasus kondisi dinding yang rapat 4 (13,3%) dan yang tidak
rapat 26 (86,7%) sedangkan responden kontrol yang mempunyai kondisi
dinding rumah yang rapat 11 (36,7%) dan dinding rumah yang tidak rapat
19 (63,3%). Dengan kondisi dinding tidak rapat maka nyamuk Anopheles
spp akan bebas masuk kedalam rumah pada malam hari sehingga akan
beresiko terjadinya penularan malaria.
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,037 (0,037 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada
hubungan antara kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,763 dengan nilai lower
limit (LL) = 1,038 dan upper limit (UL) = 13,646. Karena nilai lower limit
dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.
Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara
kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria. Hasil ini diinterpretasikan
175
bahwa responden yang memiliki dinding rumah tidak rapat lebih beresiko
terkena malaria 3,763 kali lebih besar dari yang dinding rumahnya rapat.
Hal ini disebabkan keadaan dinding rumah responden yang
terbuat dari papan maupun yang terbuat dari anyaman bambu yang
sebagian besar terdapat dinding yang tidak rapat. Keadaan dinding yang
demikian akan mempermudah masuknya nyamuk ke dalam rumah lebih
besar bila dibandingkan dengan kondisi dinding rumah yang rapat. Kondisi
tersebut menyebabakan penghuni rumah lebih potensial digigit nyamuk
Anopheles, karena nyamuk lebih leluasa masuk ke dalam rumah,
sehingga akan memperbesar risiko terjadinya penularan penyakit malaria.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh
Barragatti et al (2009) di wilayah Ouagadougou, Burkina Faso yang
melaporkan bahwa transmisi malaria terjadi akibat keadaan dinding rumah
yang buruk dan berlubang. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan
penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang
diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara kondisi dinding rumah
dengan kejadian malaria (p = 0,016, OR = 4,452). Hal ini berarti orang
yang tinggal di rumah dengan kategori dinding kondisi tidak rapat
mempunyai risiko terkena malaria 4,5 kali lebih besar. Sementara Hidayat
176
(2012) dan Getas (2012) menemukan bahwa Kondisi dinding rumah
merupakan faktor risiko terjadinya malaria artinya responden yang kondisi
rumahnya tidak rapat mempunyai risiko terkena malaria lebih besar
dibandingkan dengan responden yang dinding rumahnya rapat.
c. Faktor pemasangan kawat kasa dengan kejadian malaria
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi keberadaan kawat
kasa pada ventilasi rumah responden, tidak satupun rumah yang
memasang kawat kasa pada ventilasi mereka, baik pada responden kasus
maupun responden kontrol. Sehingga variabel keberadaan kawat kasa
pada ventilasi rumah tidak dapat di analisis lebih lanjut kedalam uji
bivariat. Melihat kondisi tersebut, nampaknya pemasangan kasa pada
ventilasi jendela maupun pintu belum menjadi budaya dan belum
dianggap penting.
Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di
Wilayah kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga,
berdasarkan analisis bivariat didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan
antara keberadaan kasa ventilasi dengan kejadian malaria (p= 0,161).
Banyak rumah penduduk di wilayah Puskesmas Rembang tidak
memasang kasa pada ventilasi rumahnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil
177
penelitian bahwa proporsi rumah tidak memakai kasa nyamuk pada
kelompok kasus (80,0%), sedangkan pada kelompok kontrol (96,3%).
(Anjasmoro, 2013).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Kampar
Kiri Tengah Kabupaten Kampar, analisis hubungan antara penggunaan
kawat kasa nyamuk dengan kejadian malaria berdasarkan tabulasi silang
(uji chi square), diperoleh nilai p = 0,027 yang berarti secara statistik
mempunyai hubungan yang bermakna. Dalam uji tersebut diperoleh Odds
Ratio 2,3 dengan confidence interval (CI) 95 % = 1,153 – 4,513 dengan
responden yang tidak memasang kawat kasa nyamuk mempunyai risiko
terkena malaria sebesar 2,3 kali dibandingkan dengan responden yang
memasang kawat kasa nyamuk (Erdinal, 2006).
Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan antara ventilasi
rumah dengan kejadian malaria di Desa Ketosari Kecamatan Bener
Kabupaten Purworejo (nilai p sebesar 0,013, OR = 5,20). Dari hasil
perhitungan OR = 5,20 (Confidence Interval (CI) 95% = 1,3 – 19,7) dapat
diartikan bahwa keluarga yang tinggal di rumah dalam kondisi ventilasi
yang tidak dipasang kawat kasa mempunyai risiko untuk tertular penyakit
178
malaria 5 kali lebih besar dibanding dengan keluarga yang tinggal di
rumah yang ventilasinya dipasang kawat kasa (Aprilia, 2009).
d. Faktor keberadaan langit- langit dengan kejadian malaria
Langit-langit merupakan pembatas ruangan dinding bagian atas
dengan atap yang terbuat dari kayu, internit maupun anyaman bambu
halus. Jika tidak ada langit-langit berarti ada lobang atau celah antara
dinding dengan atap sehingga nyamuk lebih leluasa masuk ke dalam
rumah. Dengan demikian risiko untuk kontak antara penghuni rumah
dengan nyamuk Anopheles lebih besar dibanding dengan rumah yang ada
langit-langitnya (Depkes RI, 1999).
Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa keberadaan langit-
langit rumah hanya terdapat pada kelompok kontrol yaitu dari 30
responden kelompok kontrol hanya terdapat 2 (6,7%) yang memiliki langit-
langit dan yang tidak memiliki langit-langit sebanyak 28 ( 93,3%).
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,492 (0,492 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara keberadaan langit-langit rumah dengan kejadian
malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 0,483 dengan nilai
lower limit (LL) = 0,370 dan upper limit (UL) = 0,630. Karena nilai lower
179
limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..
Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa keberadaan langit-langit rumah
tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan
oleh Stefani et al (2011) di Camopi, French Guiana dalam jurnalnya yang
berjudul Environmental, Entomological, Sosioeconomic and Behavioural
Risk Factor for Malaria Attacks in Ameridian Children, melaporkan bahwa
tidak ada hubungan yang significant antara kondisi langit-langit rumah
yang buruk pada anak-anak kelompok kasus dan kontrol karena kondisi
kedua kelompok ini adalah sama sehingga menyebabkan tingginya
transmisi malaria. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hidayat
(2012) keberadaan langit-langit rumah tidak memiliki risiko terhadap
kejadian malaria.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Desa Keto Sari
Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo Hasil analisis statistik melalui uji
chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara langit-langit rumah
dengan kejadian malaria bahwa nilai α = 0,05 dengan p (value) = 0,002.
Besar hubungan tersebut dari odds ratio diperoleh 8,5 yang berarti bahwa
keluarga yang tinggal di rumah dalam kondisi tidak terdapat langit-langit
180
pada semua atau sebagian ruangan rumah mempunyai risiko untuk
terjadinya penyakit malaria 8-9 kali dibanding keluarga yang tinggal di
rumah yang terdapat langit-langit pada semua bagian ruangan rumah
(Aprilia 2009).
e. Faktor suhu udara dengan kejadian malaria
Perubahan suhu mempunyai efek terhadap periode
perkembangan nyamuk, meliputi siklus hidup nyamuk, frekuensi mengisap
darah, umur nyamuk (longevity), dan siklus gonotropik (suatu periode
waktu pematangan telur, sejak nyamuk mengisap darah sampai dengan
telur matang dan siap untuk dikeluarkan) (Arsin, 2012).
Pada suhu yang meningkat, aktivitas pencarian darah nyamuk
juga meningkat, pada gilirannya akan mempercepat perkembangan
ovarium, telur, dan mempersingkat siklus gonotropik, serta frekuensi
menggigit pada manusia meningkat pula sehingga kemungkinan
meningkatkan transmisi atau penyebarab penyakit (Arsin, 2012).
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,754 (0,754 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara suhu udara dalam rumah dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 1,217 dengan nilai lower
181
limit (LL) = 0,355 dan upper limit (UL) = 4,170. Karena nilai lower limit dan
upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil
analisis ini diinterpretasikan bahwa suhu udara dalam rumah tidak
memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
Tidak ada pengaruh faktor suhu udara dengan kejadian malaria di
Desa Awiu disebabkan karena suhu di lokasi penelitian baik kasus
maupun kontrol sama yaitu berkisar antara 20- 34ºC, Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu ini sangat memungkinkan sekali untuk
perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk. Suhu yang optimum berkisar
antara 20ºC -30ºC, sedangkan suhu yang sedikit dibawah suhu optimum
dan sedikit diatas optimum masih memungkinkan untuk perkembangan
parasit dalam tubuh nyamuk.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Eckhoff (2011) dalam jurnal malaria yang berjudul A Malaria
Transmission Directed Model of Mosquitoes Life Cycle and
Ecology, menemukan bahwa perkembangan vektor malaria mulai
dari stadium telur hingga menjadi nyamuk dewasa sampai
terjadinya transmisi malaria memerlukan suhu antara 25 - 30ºC.
182
Hasil penelitian di Dulanpokpok Kabupaten Fakfak
didapatkan hasil bahwa suhu udara selama penelitian berlangsung
24,3ºC sampai 25,8ºC hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada
saat suhu udara tinggi yakni bulan mei (25,8ºC) rata-rata kepadatan
An. Punculatus 1,34/ekor/orang/malam. Sementara itu disaat suhu
udara rendah bulan juli sebesar (24,3ºC) kepadatan An. Punculatus
sebesar 0,59 ekor/orang/malam, terlihat dalam pengamatan ini ada
kecenderungan disaat terjadi penurunan suhu udara terjadi
penurunan kepadatan nyamuk An. Punculatus, demikian
sebaliknya pada saat terjadi kenaikan suhu udara kepadatan
nyamuk An. Punculatus ikut meningkat. Hasil uji korelasi
menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sangat lemah kearah
negative sebesar 0,080 antara suhu udara dengan kepadatan
nyamuk An. Punculatus, hubungan tersebut tidak berbeda nyata
antara suhu udara dengan kepadatan nyamuk pada taraf
kesalahan 5 % (Saputro, 2010).
f. Faktor kelembaban udara dengan kejadian malaria
Kelembaban mempengaruhi ke langsungan hidup dan kebiasaan
nyamuk menghisap. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur
183
nyamuk, sebaliknya kelembaban tinggi memperpanjang umur nyamuk.
Pada kelembaban yang lebih tinggi, nyamuk akan menjadi lebih aktif dan
lebih sering menggigit (Gunawan, 2000).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden baik
kasus maupun kontrol memiliki kondisi kelembaban dalam rumah
memenuhi syarat, sehingga faktor risiko kelembaban dalam rumah tidak
terukur sebagai faktor risiko terjadinya penyakit malaria, senada dengan
penelitian Yawan (2006), dimana tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara kelembaban dengan kejadian malaria.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh
Suwito, dkk (2010) Kepadatan Anopheles per orang per malam
dipengaruhi oleh kelembaban udara dan curah hujan. Hasil perhitungan
statistik kelembaban udara mempunyai hubungan bermakna dengan
kepadatan Anopheles per orang per malam (p=0,025). Kepadatan
Anopheles 40,5% dipengaruhi oleh kelembaban udara. Kelembaban
udara berfluktuasi, dengan rata-rata tertinggi pada Desember sebesar
84,30% dan terendah pada Agustus sebesar 76%. Kelembaban udara
mempunyai hubungan bermakna dengan kepadatan nyamuk Anopheles
per orang per malam (MBR). Hal ini dibuktikan berdasarkan uji statistik
184
korelasi pearson pada C=0,05 didapatkan nilai p=0,026 (p<0,05). Nilai
koefesien determinasi sebesar 0,405, artinya kepadatan Anopheles 40,5%
dipengaruhi oleh kelembaban udara, selebihnya 59,5% oleh faktor lain di
luar kelembaban udara.
2. Faktor Lingkungan Biologi dengan Kejadian Malaria
a. Faktor keberadaan ternak besar dengan kejadian malaria
Kandang ternak merupakan tempat peristirahatan vektor nyamuk
malaria sebelum dan sesudah kontak dengan manusia, karena sifatnya
terlindung dari cahaya matahari dan lembab. Selain itu beberapa jenis
nyamuk Anopheles ada yang bersifat zoofilik dan antropofilik atau
menyukai darah binatang dan darah manusia. Sehingga keberadaan
kandang ternak berisiko untuk terjadinya kasus malaria.
Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus terdapat 5 (16,7%) rumah yang memiliki hewan ternak di sekitar
rumah, sedangkan pada kelompok kontrol dari 30 responden hanya
terdapat 2 (6,7%) rumah yang memiliki hewan ternak.
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,424 (0,424 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara keberadaan ternak besar dengan kejadian malaria.
185
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,800 dengan nilai lower
limit (LL) = 0,498 dan upper limit (UL) = 15,734. Karena nilai lower limit
dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil
analisis ini diinterpretasikan bahwa keberadaan hewan ternak besar tidak
memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
Nyamuk Anopheles lebih menyukai hewan ternak besar berupa
sapi, kambing, dan kuda dibandingkan dengan ayam, itik, anjing dan
kucing. Di Desa Awiu sebagian besar memiliki ternak ayam dan itik.
Hewan tersebut bukan jenis hewan yang disukai nyamuk untuk
persinggahan. Hal ini yang menyebabkan tidak ada hubungan signifikan
antara kepemilikan kandang ternak dengan kejadian penyakit malaria di
Desa Awiu Kecamatan Lambandia.
Penelitian yang sama juga dilakukan Wilayah Kerja Puskesmas
Biak menunjukkan bahwa 57,6% ibu hamil yang pernah menderita malaria
memiliki rumah dengan jarak kandang ternak yang jauh. Berdasarkan uji
statistik dengan chi-square hasil RR sebesar 3,844 dengan CI= 1,984-
7,448 dengan nilai P=0,000 bermakna secara statistik yang artinya ibu
hamil yang tinggal dengan jarak kandang ternak yang jauh dengan rumah
memiliki resiko 3,844 kali lebih besar menderita malaria dibandingkan ibu
186
hamil yang tinggal dengan jarak kandang ternak yang dekat dengan
rumah (Tuzzulfa, 2012).
Penelitian ini di perkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh
Harmendo (2008) di Wilayah Kerja Puskesamas Kenanga Kecamatan
Sungai Liat, yang melaporkan bahwa berdasarkan uji Chi-Square
didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara keberadaan
kandang ternak dengan kejadian malaria nilai (p = 0,67, OR = 1,3 dengan
95% Cl = 0,56 - 3,02). Walaupun faktor keberadaan kandang ternak di
sekitar rumah memiliki risiko 1,3 kali menyebabkan malaria tetapi tidak
terbukti secara statistik berhubungan dengan kejadian malaria. Hasil yang
sama juga di peroleh dari hasil penelitian yang dilakukan Budiyanto (2011)
di Kabupaten Oku, yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara keberadaan kandang ternak di sekitar rumah dengan
kejadian malaria (p=0,519).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdinal (2006)
yang melaporkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
memelihara ternak besar dengan kejadian malaria (p = 0,001).
Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai Odds Ratio 3,3 dengan
confidence interval (CI) 95% 1,650 – 6,693, yang artinya responden yang
187
disekitar tempat tinggalnya tidak memelihara ternak besar mempunyai
risiko sebesar 3,3 kali dibandingkan dengan responden yang disekitar
tempat tinggalnya ada ternak besar.
Begitu juga yang didapatkan oleh Aprilia (2009), menunjukkan
bahwa ada hubungan antara keberadaan kandang ternak dengan
kejadian malaria di Desa Ketosari Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo
pada α = 0,05 dengan p-value = 0,000. Besar hubungan tersebut dari hasil
odds ratio diperoleh angka sebesar 0,01 berarti keluarga yang tinggal di
rumah dengan kondisi terdapat kandang ternak di sekitar rumah
mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit malaria 0,01 kali dibanding
dengan keluarga yang tinggal di rumah dengan kondisi tidak terdapat
kandang ternak di sekitar rumah.
b. Faktor keberadaan semak- semak dengan kejadian malaria
Keberadaan semak (vegetasi) yang rimbun akan mengurangi
sinar matahari masuk/ menembus permukaan tanah, sehingga lingkungan
sekitarnya akan menjadi teduh dan lembab. Kondisi ini merupakan tempat
yang baik untuk untuk beristirahat bagi nyamuk dan juga tempat
perindukan nyamuk yang di bawah semak tersebut terdapat air yang
tergenang.
188
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30
responden kasus keberadaan semak belukar di sekitar rumah 27 (90%)
dan yang tidak memiliki semak belukar hanya 3 (10%) sedangkan
responden kontrol keberadaan semak belukar di sekitar rumah 16 (53,3%)
dan yang tidak memiliki semak belukar14 (46,7%).
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,004 (0,004 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada
hubungan antara keberadaan semak belukar dengan kejadian malaria.
Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 6,882 dengan nilai lower
limit (LL) = 1,707 dan upper limit (UL) = 27,752. Karena nilai lower limit
dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.
Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara
keberadaan semak belukar dengan kejadian malaria. Hasil ini
diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki semak belukar di sekitar
rumah lebih beresiko terkena malaria 6,882 kali lebih besar dari yang
rumahnya tidak ada semak belukar dengan jarak 50 meter.
Hal ini disebabkan semak-semak yang rimbun dan tidak bias
ditembus oleh sinar matahari berada dekat di sekitar rumah. Dilihat dari
bionomik nyamuk Anopheles di daerah Ketosari bahwa pada siang hari
189
Anopheles maculatus dan Anopheles balabacensis ditemukan istirahat di
semak-semak. Keberadaan semak-semak yang rimbun akan menghalangi
sinar matahari menembus permukaan tanah, sehingga adanya semak-
semak yang rimbun berakibat lingkungan menjadi teduh serta lembab dan
keadaan ini merupakan tempat istirahat yang disenangi nyamuk
Anopheles, sehingga jumlah populasi nyamuk di sekitar rumah bertambah
dan menyebabkan keluarga yang tinggal di rumah yang terdapat semak di
sekitarnya mempunyai risiko untuk terjadi penularan penyakit malaria
dibanding dengan keluarga yang tinggal di rumah tidak ada semak-semak
di sekitarnya (Lestari dkk, 2007).
Penelitian ini di perkuat oleh Aprilia (2009) yang melaksanakan
penelitian di Desa Ketosari Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo, hasil
analisis statistik melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan
antara semak-semak dengan kejadian malaria di Desa Ketosari
Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo pada _ = 0,05 dengan p (value) =
0,019. Besar hubungan tersebut dari hasil odds ratio diperoleh angka
sebesar 0,1 berarti keluarga yang tinggal di rumah dengan kondisi
terdapat semak-semak di sekitar rumah mempunyai risiko untuk terjadinya
190
penyakit malaria 0,1 kali dibanding dengan keluarga yang tinggal di rumah
dengan kondisi tidak terdapat semak-semak di sekitar rumah.
c. Faktor keberadaan larva Anopheles dengan kejadian malaria
Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus keberadaan larva Anopheles di sekitar rumah 14 (46,7%) dan yang
tidak memiliki larva Anopheles 16 (53,3%) sedangkan responden kontrol
keberadaan larva Anopheles di sekitar rumah 6 (20%) dan yang tidak
memiliki larva Anopheles 24 (80%).
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,028 (0,028 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada
hubungan antara keberadaan larva anopheles spp dengan kejadian
malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,500 dengan nilai
lower limit (LL) = 1,112 dan upper limit (UL) = 11,017. Karena nilai lower
limit dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.
Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara
keberadaan larva anopheles spp dengan kejadian malaria. Hasil ini
diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki keberadaan larva
anopheles spp di sekitar rumah lebih beresiko terkena malaria 3,500 kali
lebih besar dari yang rumahnya tidak ada larva anopheles spp.
191
Penelitian ini sesuai yang dilakukan di Lampung Barat bahwa
Keberadaan Larva Anopheles di sawah yang akan ditanami dan mulai
diberi air, yang masih ada batang padi dan jerami yang berserakan,
merupakan sarang yang sangat baik untuk perkembangbiakan nyamuk
(Mardiana, 2009).
Persawahan merupakan salah satu tempat perindukan nyamuk
malaria. Keterjangkauan habitat vektor malaria dari tempat aktivitas
manusia, dipengaruhi oleh jenis nyamuk dalam terbang dan kecepatan
angin. Jarak antara rumah dengan persawahan merupakan faktor risiko
terjadinya penyakit malaria. Bentuk campur tangan manusia dalam
pengolahan lahan pertanian, contohnya pola penanaman padi terus-
menerus yang menyebabkan tersedianya genangan air menyebabkan
siklus hidup nyamuk tidak terputus. Jenis nyamuk malaria yang tempat
perkembangbiakan di persawahan adalah jenis An. Aconitus (Saxena et
al., 2009).
3. Faktor Pelayanan Kesehatan dengan Kejadian Malaria
Faktor penyemprotan dengan kejadian malaria
Program pemberantasan penyakit malaria selain dengan cara
pengobatan terhadap penderita, dilakukan pula dengan cara
192
pemberantasan vektornya. Pemberantasan terhadap vektor malaria yang
selama ini dilakukan antara lain dengan cara penyemprotan
menggunakan insektisida.
Pemberantasan malaria di Indonesia merupakan bagian dari
program pemberantasan penyakit tular vektor yang hingga saat ini masih
bermasalah karena belum bisa ditangani dengan tuntas. Hal tersebut
ditandai dengan masih tingginya kasus malaria baik di Jawa maupun di
luar Jawa, bahkan di beberapa daerah dilaporkan adanya kejadian luar
biasa malaria (Depkes 2001).
Penyemprotan yang dilakukan di Desa Awiu dibagi dalam dua
siklus, dimana tiap siklus dilakukan selama enam bulan sekali. Yaitu siklus
pertama pada bulan januari dan siklus kedua pada bulan juli dimana
penyemprotan dilakukan dengan menggunakan insektisida. Namun
berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa pelaksanaan
penyemprotan pada tahun 2012 hanya dilakukan sekali saja yaitu siklus
pertama saja dan juga pada tahun 2013 hanya dilakukan siklus pertama
saja. Hal ini tidak memenuhi salah satu syarat penyemprotan yaitu
keteraturan (Regularity) dimana dalam keteraturan itu pun harus
dipertimbangkan berdasarkan bulan dimana kepadatan vektor meningkat.
193
Upaya pemberantasan malaria telah lama dilakukan, namun
hasilnya masih belum sesuai dengan harapan. Kendala umum yang
dijumpai dalam pemberantasan malaria ini antara lain disamping kualitas
pemberantasan khususnya dalam penyemprotan rumah belum sesuai
dengan syarat-syarat yang ditentukan. Upaya pemberantasan juga belum
didasarkan pada pengetahuan bionomik vektornya sehingga tindakan
yang dilakukan tidak efektif dan efisien belum tepat sasaran, belum tepat
waktu dan cara, jenis dan dosis insektisida juga tidak tepat. Pengendalian
vektor dengan cara konvensional mengunakan insektisida diketahui
kurang efektif karena dapat mengakibatkan matinya flora maupun fauna
non target, timbulnya pencemaran lingkungan dan resistensi terhadap
insektisida tertentu bahkan sering terjadi resistensi silang (cross
resistance), yang mengurangi efektifitas pengendalian. Karena upaya
pengendalian malaria belum memberikan hasil yang memadai, maka
diperlukan cara lain untuk membantu pemberantasan vektor malaria,
antara lain dengan Teknik Serangga Mandul (TSM) (Unicef, 2001).
4. Faktor Sosial Budaya dengan Kejadian Malaria
a. Faktor kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan
kejadian malaria
194
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,301 (0,301 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa
menggunakan pelindung dengan kejadian malaria. Kemudian uji Odds
ratio di peroleh nilai OR = 1,714 dengan nilai lower limit (LL) = 0,616 dan
upper limit (UL) = 4,772. Karena nilai lower limit dan upper limit melewati
angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil analisis ini
diinterpretasikan bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa
menggunakan pelindung tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap
kejadian malaria.
Tidak adanya pengaruh kebiasaan keluar rumah dengan kejadian
malaria di Desa Awiu dikarenakan proporsi orang yang punya kebiasaan
di luar rumah pada malam hari pada kelompok kasus hampir sama
dengan kelompok kontrol. Kebiasaan di luar rumah pada malam hari pada
kedua kelompok ini sama yakni tanpa menggunakan pelindung sehingga
berisiko terjadinya kontak antara orang sehat dengan nyamuk Anopheles
spp. yang membutuhkan darah untuk memenuhi siklus gonotropiknya.
Jika nyamuk yang menggigit mengandung sporozoid dalam kelenjar
ludahnya, maka peluang orang tertular malaria akan semakin besar.
195
Berdasarkan hasil wawancara dilokasi penelitian ditemukan bahwa
kegiatan responden kasus pada malam hari di luar rumah 57,1 %
sedangkan untuk respoden kontrol 42,9 %.
Menurut Becker (2010) dalam bukunya Mosquitoes and Their
Control mengemukakan bahwa seseorang yang mempunyai kebiasaan
keluar rumah pada malam hari memudahkan gigitan nyamuk diluar rumah,
sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya infeksi malaria. Waktu
mencari darah nyamuk Anopheles pada umumnya malam hari dengan
kecenderungan menggigit mulai senja hingga tengah malam. Anopheles
lebih cenderung bersifat eksofagik (mencari darah di luar rumah), apabila
pada malam hari di luar rumah tidak ada orang, nyamuk ini masuk
kerumah orang untuk menggigit orang.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30
responden kasus jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan adalah jaga
kebun 10 (62,5%) dan sisanya ngobrol 6 (37,5%) sedangkan responden
kontrol jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan jaga kebun 9 (75%),
kegiatan yang jarang dilakukan ngobrol 2 (16,7%) dan main kartu 1
(8,3%). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hasan Husin (2007), hasil analisis bivariat variabel kebiasaan keluar
196
rumah malam hari dengan kejadian malaria didapat nilai p = 0,730 atau p
> 0,05. Secara statistik dapat dikatakan tidak ada hubungan antara
kebiasaan keluar rumah malam hari dengan kejadian malaria.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di
Wilayah Kerja Puskesmas Sarmi Kota, Kabupaten Sarmi, hasil analisis
bivariat variabel kebiasaan keluar rumah malam hari dengan kejadian
malaria didapat nilai p = 0,560 atau p > 0,05. Secara statistik dapat
dikatakan tidak ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah malam hari
dengan kejadian malaria (Imbiri dkk, 2012).
Berbeda denganpenelitian yang dilakukan di Kelurahan Poboya
Kecamatan Palu Timur Kota Palu, Ada hubungan antara kebiasaan
berada di luar rumah pada malam hari dengan kejadian penyakit Malaria,
dengan nilai P = 0,000 (P Value < 0,5) dan responden yang memiliki
kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari mempunyai peluang 8
kali untuk tertular penyakit Malaria di banding dengan responden tidak
biasa berada di luar rumah pada malam hari (Iwan, 2011).
b. Faktor kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan
kejadian malaria
197
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan
kejadian malaria (p = 1,000). Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR =
2,071 dengan nilai lower limit (LL) = 0,178 dan upper limit (UL) = 24,148.
Karena nilai lower limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan
tidak bermakna. Dapat diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggunakan
obat anti nyamuk tidak memiliki pengaruh yang bermakna terhadap
kejadian malaria di Desa Awiu.
Tidak terbuktinya kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk
sebagai faktor kejadian malaria karena, berdasarkan hasil pengamatan
selama penelitian ini ditemukan semua responden kasus tidak
mempunyai kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk. Begitu juga pada
responden kontrol hanya sebagian kecil yang mempunyai kebiasaan
menggunakan obat anti nyamuk (6,7%), sehingga antara kelompok kasus
dan kelompok kontrol memiliki peluang yang sama untuk digigit nyamuk
pada malam hari.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Harmendo (2008)
Berdasarkan analisa bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian
198
malaria dimana p = 0,25. dari perhitungan Odds Ratio menunjukkan
kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk berisiko menyebabkan
kejadian malaria (OR= 1,5) namun tidak terbukti secara bermakna
berhubungan dengan kejadian malaria (95% Cl= 0,806-2,92).
Penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh
Anjasmoro (2013) di Puskesmas Rembang yang melaporkan berdasarkan
hasil analisis bivariat diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara
penggunaan obat nyamuk dengan kejadian malaria (p = 0,759). Alasan
yang dapat diberikan adalah berdasarkan hasil wawancara di lapangan,
dimana responden biasanya menggunakan obat anti nyamuk yang
diletakkan di dalam kamar tidur. Sedangkan peluang terjadinya kontak
antara nyamuk dengan orang sehat tidak hanya di dalam kamar tidur
tetapi juga di ruangan lain.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto
(2011), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pemakaian anti nyamuk dengan kasus malaria di Kecamatan
Pengandonan Kabupaten OKU, dengan nilai OR=0,231 dan p = 0,0001
(95% CI0,130-0,409). Dapat diinterpretasikan bahwa orang yang memakai
anti nyamuk pada saat tidur pada malam hari hanya akan berisiko terkena
199
malaria sebesar 0,23 kali dibanding dengan mereka yang tidur tidak
memakai anti nyamuk.
c. Faktor kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian
malaria
Pemakaian kelambu adalah salah satu usaha untuk menghindari
gigitan nyamuk yang diharapkan dapat menurunkan kejadian malaria. Hal
ini menunjukkan bahwa pencegahan gigitan nyamuk dengan
menggunakan kelambu sangat dianjurkan sesuai dengan program
Departemen Kesehatan (Depkes 2003).
Berdasarkan Tabel 31 menunjukkan bahwa dari 30 responden
kasus yang menggunakan kelambu 28 (93,3%) dan yang tidak
menggunakan 2 (6,7%), sedangkan respoden kontrol dari 30 responden
semua respoden menggunakan kelambu 30(100%).
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 0,492 (0,492 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian
malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071 dengan nilai
lower limit (LL) = 1,587 dan upper limit (UL) = 2,704. Karena nilai lower
limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..
200
Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggunakan
kelambu tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
Tidak terbuktinya kebiasaan menggunakan kelambu karena
meskipun ada responden yang mengatakan bahwa saat tidur
menggunakan kelambu tetapi berdasarkan pengamatan saat tidur mereka
keluar dari kelambu karena kepanasan sehingga menyebabkan nyamuk
menggigit mereka. Dimana aktiitas nyamuk menggigit pada malam hari
mulai dari jam 20.00 sampai jam 04.00 (Depkes, 2007).
Kebiasaan menggunakan kelambu merupakan upaya yang efektif
untuk mencegah dan menghindari kontak antara nyamuk Anopheles spp
dengan responden pada saat tidur pada malam hari.
Hasil Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Anjasmoro (2013) di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten
Purbalingga berdasar hasil analisis bivariat diketahui bahwa tidak ada
hubungan kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian malaria
(p=0,479).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hidayat (2012), hasil analisis menunjukkan bahwa p-value penelitian
sebesar 0,008 (0,008 < 0,005) berarti Ho ditolak artinya ada hubungan
201
antara penggunaan kelambu dengan kejadian malaria, hasil ini di
interpretasikan bahwa respoden yang tidak menggunakan kelambu lebih
beresiko terkena malaria 10,714 kali lebih besar dari yang menggunakan
kelambu.
d. Faktor kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian
malaria
Berdasarkan Tabel 36 menunjukkan bahwa dari 30
responden kasus yang biasa menggantung pakaian di dalam kamar
29 (96,7%) dan yang tidak menggantung pakaian di dalam kamar 1
(3,3%), sedangkan dari 30 respoden kontrol yang sering
menggantung pakaian di dalam kamar 28(93,3%) dan yang tidak
menggantung pakaian di dalam kamar 2 (6,7%).
Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value
penelitian sebesar 1,000 (1,000 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak
ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian
malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071 dengan nilai
lower limit (LL) = 0,178 dan upper limit (UL) = 24,148. Karena nilai lower
limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..
202
Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggantung pakaian
tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan suwito (2005)
Adanya kebiasaan menggantung pakaian pada kelompok kasus sebesar
77,8% dan pada kelompok kontrol 71,1%. Hasil uji statistic dipdapatkan
hasil nilai p=0,629 dengan OR=1,4(95% Cl= 0,55-3,69) berarti kebiasaan
menggantung pakaian bukan menjadi resiko.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di
Wilayah Kerja Puskesmas Sarmi Kota, Kabupaten Sarmi, hasil analisis
bivariat variabel kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian
malaria didapat nilai p-value = 0,551 atau p > 0,05. Secara statistik dapat
dikatakan tidak ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian
dengan kejadian malaria (Imbiri et al, 2012).
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol (case
control) dimana penetuan subyek penelitian berdasarkan status penyakit,
dalam hal ini kejadian malaria, kemudian dilakukan pengamatan tentang
riwayat keterpaparan terhadap faktor risiko lingkungan fisik, lingkungan
203
biologi, pelayanan kesehatan dan sosial budaya. Pengukuran variabel
bebas maupun variabel terikat dilakukan satu kali pada saat yang relatif
bersamaan, sehingga terdapat beberapa kelemahan antara lain :
1. Penentuan kelompok kasus didasarkan pada diagnosa tenaga medis
berdasarkan sediaan darah yang positif mengandung Plasmodium
falcifarum, dimana rata–rata kasus perbulan sangat kecil dibanding
jumlah pengunjung keseluruhan yang positif malaria, sehingga
jumlah kasus dalam penelitian ini terlalu sedikit seharusnya kontrol
digandakan. Oleh sebab itu hasil yang diperoleh belum tentu
mewakili populasi yang sebenarnya. Kemungkinan adanya bias
informasi yang diperoleh dari responden karena keterbatasan
mengingat kejadian yang sudah terjadi.
2. Kemungkinan adanya bias informasi khususnya untuk faktor perilaku
responden karena peneliti tidak melakukan observasi khusus
terhadap informasi yang diperoleh
3. Tidak semua faktor risiko kejadian malaria diteliti karena
keterbatasan waktu dan biaya. Selain itu variabel perancu lingkungan
lain seperti pencahayaan, curah hujan kecepatan angin dan lain-lain
tidak diteliti.
204
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian Analisis Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka, maka dapat disimpulkan anatar lain:
1. Faktor lingkungan fisik yang berpengaruh secara signifikan terhadap
kejadian malaria di Desa Awiu adalah keberadaan breeding site dan
kondisi dinding rumah
2. Faktor lingkungan biologi yang berpengaruh secara signifikan
terhadap kejadian malaria di Desa Awiu adalah keberadaan semak
belukar dan keberadaan larva Anopheles spp.
3. Faktor pelayanan kesehatan tidak berpengaruh terhadap kejadian
malaria di Desa Awiu.
4. Faktor sosial budaya seperti kebiasaan keluar rumah pada malam hari,
kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan menggunakan
kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian tidak berpengaruh
terhadap kejadian malaria di Desa Awiu.
205
5. Hasil analisis multivariat diperoleh bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap kejadian malaria di Desa Awiu adalah
keberadaan breeding site.
B. Saran
1. Bagi Instansi Kesehatan
a. Diperlukan adanya tambahan penyuluhan kesehatan bagi
masyarakat khususnya tentang malaria. Hal ini dapat dilakukan
melalui sosialisasi pada saat PKK, Posyandu, atau pada saat ke
Puskesmas.
b. Perlunya pembangunan sarana pelayanan kesehatan dan
penambahan tenaga kesehatan khususnya yang menangani
penyakit malaria.
2. Bagi Masyarakat
a. Melakukan pemberantasan habitat perkembangbiakan nyamuk
seperti menutup sumur yang sudah tidak dipakai, menutup
kubangan dan memperlancar aliran air selokan agar tidak
tergenang.
206
b. Membersihkan semak-semak yang ada di sekitar rumah secara
teratur.
c. Dinding rumah dibuat rapat agar nyamuk tidak dapat masuk ke
dalam rumah.
3. Bagi Peneliti Berikutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk
melakukan penelitian tentang penyakit malaria. Karena pada dasarnya
masih terdapat faktor lain yang menyebabkan kejadian penyakit malaria
seperti tingkat imunitas dan sosial ekonomi.
207
Daftar Pustaka
Ahmadi, S. 2008. Faktor Risiko Kejadian Malaria di Desa Lubuk Nipis Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Amirullah. 2012. Karakteristik Lingkungan Habitat Perkembangbiakan dan Korelasinya dengan Spesis dan Kepadatan Larva Anopheles spp di kabupaten Kepulauan Selayar. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Anonim. 2009. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. (Online), http://infeksi.wordpress.com/2009/05/06/malaria/ diakses 19 Februari 2013.
Aprilia, P. 2009. Hubungan kondisi fisik rumah dan Lingkungan Sekitar Rumah Dengan Kejadian Malaria di Desa Ketosari Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo. Sripsi Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Arsin, A. Arsunan 2012. Malaria di Indonesia. Tinjauan Aspek
epidemiologi. Makassar: Masagena Press. Anjasmoro, R. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 2, No. 1 Tahun 2013.
Babba I. 2007. Faktor-faktor Risiko yang mempengaruhi Kejadian malaria (Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura). Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Barodji. 1987. Fluktuasi Kepadatan Populasi Vektor Malaria An. aconitus Di Daerah Sekitar Persawahan. Proc. Seminar Entomologi II, Jakarta.
Barodji. 2000. Bionomik Nyamuk Anopheles spp di Daerah Endemis Malaria di Kabupaten Pekalongan. Seri Biologi, Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Barodji dan Suwasono, H. 2001. Keberadaan Sapi dan Kerbau di Daerah Pedesaan dan Pengaruhnya Terhadap Vektor Malaria. Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Salatiga.
Becker et al. 2010. Mosquitos and Their Control. Secon Edition, Springer Heidelberg Dordrecht London, New York.
Beth, K., Scholthof, G. 2007. The Disease Triangle: Pathogens, The Environment and Society. Nature Publising Group, 5.
Budiyanto. A. Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria di Daerah Endemis di Kabupaten Oku. Jurnal Pembangunan Manusia. Vol.5 No.2 Tahun 2011.
Boesri Hasan dan Boewono, D. T. 2006. Situasi Malaria dan Vektornya di desa Giri Tengah dan desa Giri Purno Kecamatan Borobudur
208
Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 5 No. 3, Desember 2006 : 458 – 471.
CDC. 2004. Malaria: Anopheles Mosquitoes, National Center for Infectious Diseases. Division of Parasitic Diseases.
Clements, A. N. 1992. The Biology Mosquitoes. Vol. 1. CABI Publishing. London.
Damar, T.B. 2002. Studi Epidemiologi Malaria di Daerah Endemi Malaria Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. (Online), (http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2002-damar-1737-malaria diakses 20 Februari 2013).
Damar T. 2008. Mata Kuliah Pengendalian Vektor Nomenklatur, Klasifikasi dan Toxonomi Nyamuk. Pascasarjana Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang.
Departemen Kesehatan R.I. 1987. Ekologi Vektor dan Beberapa Aspek Perilaku. Jakarta: Ditjen. PPM dan PL Departemen Kesehatan R.I.
Departemen Kesehatan R.I. 2003. Laporan Pelatihan Dinamika Penularan dan Faktor Resiko Malaria bagi Petugas Propinsi-Kabupaten Regional Sumatera, Palembang. Sub Direktorat Malaria.
Departemen Kesehatan R.I. 1989. Kumpulan Buletin Riset Nyamuk (Mosquito) di Indonesia. Ditjen. PPM dan PLP Departemen Kesehatan R.I.
Departemen Kesehatan R.I. 1999. Modul Epidemiologi Malaria. Jakarta: Ditjen. PPM dan PL Departemen Kesehatan R.I.
Departemen Kesehatan R.I. 1999. Entomologi Malaria. Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen Kesehatan R.I.
Departemen Kesehatan R.I. 2001. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku
Vektor. Jakarta:Ditjen. PPM & PL Departemen Kesehatan R.I. Departemen Kesehatan 2001. Pedoman Survei Entomologi Malaria.
Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Depkes R.I.
Departemen Kesehatan R.I. 2003. Modul Entomologi Malaria 3. Jakarta:
Ditjen. PPM & PL Departemen Kesehatan R.I. Departemen Kesehatan R.I. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Prilaku
Vektor. Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan R.I Departemen Kesehatan R.I. 2005. Pedoman Tehnis Penyehatan
Perumahan. Ditjen PPM dan PLP Departemen Kesehatan R.I. Departemen Kesehatan R.I. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus
Malaria di Indonesia. Direktorat Jenderal P2PL, Departemen Kesehatan R.I.
209
Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan. Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum.
Dinkes Kabupaten Kolaka. 2012. Profil Dinkes Kabupaten Kolaka Tahun
2012. Erdinal, Susanna D., Wulandari R. A. 2006. Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar 2005/2006. Jurnal Makara Kesehatan, Vol. 10, No. 2:64-70.
Ernawati K., Soesilo B., Adah R., Duarsa A. 2011. Hubungan Faktor Risiko Individu dan lingkungan Rumah dengan Malaria di Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Indonesia 2010. Jurnal Makara Kesehatan, Vol. 15, No. 2: 51-57.
Ernst, K. C., Lindblade, K. A., Koech D., Sumba, P. O., Kuwuor, D. O., John C. C., and Wilson M. L. 2009. Environmental, Socio-demographic and Behavioral Determinants of Malaria Risk in The Western Kenyan Highlands: A Case-Control Study. Tropical Medicine and International Health. Vol. 4. No. 10: 1258-1265.
Fibrianto D dan Mardiana. 2009. Hubungan karakteristik Lingkungan Luar Rumah dengan Kejadian Penyakit Malaria. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 5. No. 1: 11-16.
Friaraiyatini, et al. 2006. Pengaruh Lingkungan dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Malaria di Kab. Barito Selatan Propinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 2 No. 2, Januari 2006 : 121 – 128
Getas I Wayan dan Zaetun Siti. 2012. Faktor Risiko Penularan Penyakit Malaria di Sekitar Lagunan Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara. Media Bina Ilmiah 1 Volume 6, No. 4.
Gunawan, S. 2000. Epidemiologi Malaria dalam Malaria : Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganannya. EGC, Jakarta. Hadi, U. K. 1999. Telaah Nyamuk dalam Hubungannya Sebagai Vektor
Potensial Dirofilariasis Pada anjing di Bogor. Majalah Parasitologi Indonesia. 12 (1-2): 24-38.
Hadi, U. K. 2012. Hari Malaria Sedunia 2012. (Online), (http://upikke.staff.ipb.ac.id/2012/04/19/hari-malaria-sedunia-2012/ diakses 17 Februari 2013)
Hakim, L., Sugianto, 2009. Hubungan Kepadatan Populasi Nyamuk Anopheles Sundaicus dengan Tempat Perkembangbiakan di Kabupaten Ciamis. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 8 No. 2, Juni 2009 : 964 – 970.
Handayani, F. D., Darwin Akhid. 2006. Habitat Istirahat Vektor Malaria di Daerah Endemis Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo
210
Propinsi Daerah Istirahat Yogyakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 5, No. 2, Agustus 2006 : 438 – 446.
Hardiman. 2009. Pola Spasial Habitat Perkembangbiakan Nyamuk Malaria di Kecamatan Mamuju Kabupaten Mamuju dengan Sistem Informasi Georafis (SIG). Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Harijanto, A. 2000.Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Pengobatan. EGC, Jakarta.
Harmendo. 2008. Faktor Risiko Kejadian Malaria
di Wilayah Kerja Puskesmas Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tesis tidak diterbitkan. Semarang. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Hidayat Mohammad Yusuf, 2012. Analisis Faktor Risiko Lingkungan,
Kondisi Rumah dan Kebiasaan Masyarakat Terhadap Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Lowa Kabupaten Kepulauan Selayar. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Hiswani. 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor
Malaria di Indonesia. (Online), (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani11.pdf diakses 25 Februari 2013)
Husin. H. 2007. Analisis Faktor Risiko Kejadian
Malaria di Puskesmas Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu Propinsi Bengkulu. Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
211
Imbiri. J.K., Suhartono,. Nurjazuli. 2012. Analisi Faktor Risiko Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Sarmi Kota, Kabupaten Sarmi, Jurnal Kesehatan Lingkungan. Indonesia Vol. 11 No. 2 .
Iwan dan Zamil Mardani. 2012. Hubungan Kebiasaan Masyarakat dengan Kejadian Malaria di Kelurahan Poboya kecamatan Palu Timur Kota Palu. Jurnal Keperawatan. Sulawesi Tengah.
Kecamatan Lambandia. 2010. Profil Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara
Kementerian Kesehatan. R.I. 2009. Kepmenkes RI No. 293 /Menkes/SK/IV/2009 Tentang Eliminasi Malaria di Indonesia. Jakarta: Depkes R.I.
Kementerian Kesehatan. RI. 2011. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Departemen Kesehatan R.I.
Konradsen, F. et al. 2004. Strong Association Between House
Characteristics and Malaria Vectors in Srilanka. Am Journal Trop Med Hyg. 68 (2):177-181.
Lee, D. J., M. M. Hicks, M. Grifiths, M. L. Debenham, J. H. Bryan, R. C. Russel, M. Geary dan E. N. Mark. 1987. The Culicidae Australian Region Volume 5. Australian Government Publishing Service, Canbera.
Lestari. E.W., Sukowati S., Soekidjo., dan Wigati. Vektor Malaria di Daerah Bukit Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Vol. 17. No. 1. 2007:30-35.
Mardiana. Dwi Fibrianto. Hubungan Karateristik Lingkungan Luar Rumah Dengan Kejadian Penyakit Malaria. Jurnal Kesehatan Lingkungan, vol. 5 No. 1. 2009: 11-16
Mulyadi. 2010. Distribusi Spasial dan Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Anopheles spp serta Peranannya dalam Penularan Malaria di Desa Doro Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Mulyantini. 2010. Manajemen Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Nawangsasi, C. P. 2012. Kajian Deskriptif Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Rowokele Kabupaten Kebumen. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 1, No. 2, Hal: 911-921.
Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka
Cipta, Jakarta. Puskesmas Lambandia. 2011. Profil Puskesmas Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara.
212
Putu, S. 2004. Malaria Secara Klinis : dari Pengetahuan Dasar Sampai
Terapan. EGC, Jakarta. Rudono. 2003. Hubungan Penyakit Malaria Pada Ibu Hamil dengan
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Daerah Endemik Malaria Kabupaten Purworejo. Tesis Pascasarjana Universitas Gadja Mada, Yogyakarta.
Unicef. Indonesia. 2001 Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Multiple Indicator Cluster Survey Report on the Education and Health of Mothers and Children.
Saputra G, Hadi U. K. dan Koesharto FX. 2010. Perilaku Nyamuk Anopheles punctulatus dan Kaitannya dengan Epidemiologi Malaria di Desa Dulanpokpok Kabupaten Fakfak Papua Barat. Indonesian Journal of Veterinary Science and Medicine. Vol. II No. 2 : 25 – 33.
Saxena, R., Nagpa, B.N., Srivastava, A., Gupta, S.K. and Dash, A.P. 2009. Application of Spatial Technology in Malaria Research & Control: Some New Insights. Indian Journal Med Res, 130: 125-132.
Sucipto, C. D. 2011. Vektor Penyakit Tropis, Seri Kesehatan Lingkungan. Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Sukowati, S & Shinta. 2009. Habitat Perkembangbiakan dan Aktivitas Menggigit Nyamuk An. sundaicus dan An.Subpictus di Purworejo Jawa Tengah. Jurnal ekologi Kesehatan, Vol. 8, No. 1, Hal: 915-925.
Sulistio Irwan. 2010. Karakteristik Habitat Larva Anopheles sundaicus dan Kaitannya dengan Malaria di Lokasi Wisata Desa Senggigi Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian, Bogor.
Sunaryo. 2001. Bionomik Vektor Malaria di Kabupaten Banjarnegara. SLPV, Banjarnegara.
Sundararman, R.M. et al. 1957. Malaria Vector Control In Mid Java. Indian Jurnal Malariol.
Supariasa D.N, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC, Jakarta Suryana, M. 2003. Kehamilan Sebagai Salah Satu Faktor Risiko Infeksi
Malaria Pada Usia Reproduksi Di Daerah Endemis Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Tesis Program Studi Epidemiologi. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.
Sutrisna, P. 2004. Malaria Secara Ringkas dari Pengetahuan Dasar Sampai Terapan. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Suwito. 2005. Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat Sebagai Faktor Risiko Malaria. Tesis Pascasarjana Undip Semarang.
213
Suwito, et al. 2010. Hubungan Iklim, Kepadatan Nyamuk Anopheles dan Kejadian Penyakit Malaria. Jurnal Entomologi Indonesia, April 2010, Vol. 7, No. 1, 42 – 53.
Syam Dedi Mahyudin, 2010. Hubungan Distribusi Spasial Larva dan Nyamuk Dewasa Anopheles dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Tuzzulfa. Anisa 2012. Hubungan Antara Lingkungan Fisik dengan Kejadian Malaria pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Biak Kota Kecamatan Biak Kota Kabupaten Biak Numform Provinsi Papua. Universitas Respati Yogyakarta. Yogyakarta.
Wahyuningtyas Mahadmika, 2011. Hubungan Faktor Lingkungan dan
Perilaku dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Ayah I Kabupaten Kebumen. Universitas Diponegoro. Semarang.
World Health Organization. 1989. Geographical Distribution of Anthropod-Borne Diseases and Their Principal Vektor. WHO Vector Biology and Control Division. Geneva, Switzerland.
World Health Organization. 2010. WHO Global malaria Programme. World Malaria Report.
World Health Organization. 2010. Global Marlaria Burden. World Malaria Report.
Yawan S. F. 2006. Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak-Numfor Papua. Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
214
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Kandang ternak kambing dusun II di Desa Awiu Kecamatan Lambandia tahun 2013
Gambar 2. Kandang ternak babi dusun IV di Desa Awiu Kecamatan Lambandia tahun 2013
215
Gambar 3. Wawancara responden di dusun III Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
Gambar 4. Wawancara responden di dusun II Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
216
Gambar 5. Dinding rumah yang tidak rapat di dusun I Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
Gambar 6. Dinding rumah yang tidak rapat di dusun I Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
217
Gambar 7. Semak belukar di sekitar rumah di dusun IV Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
Gambar 8. Semak belukar di sekitar rumah di dusun III Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
218
Gambar 9. Kelambu di dusun I Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
Gambar10. Kelambu di dusun I Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Tahun 2013
219
Gambar 11. Breeding site Kubangan di dusun I Desa Awiu Kecamatan
Lambandia Tahun 2013
Gambar12. Breeding site Sumur di dusun I Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
220
Gambar 13. Breeding Site Sawah Negatif Larva di dusun I Desa Awiu
Kecamatan Lambandia Tahun 2013
Gambar 14. Breeding Site bekas pijakan ban negative larva di dusun I
Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
221
Gambar 15. Breeding Site Rawa di dusun II Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
Gambar 16. Breeding site Selokan di dusun II Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
222
Gambar 17. Breeding site Sawah di dusun III Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
Gambar 18. Breeding site Sawah di dusun IV Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
223
Gambar 19. Breeding site Sawah di dusun IV Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
Gambar 20. Breeding site Sumur di dusun IV Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
224
CROSSTABS
/TABLES=BS Dinding Kasa Plafon Penghuni Suhu Kelembaban BY
Plasmodium
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Crosstabs
[DataSet0] D:\SPSS Penelitian.sav
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Keberadaan BS * Hasil
Pemeriksaan 60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Kondisi Dinding * Hasil
Pemeriksaan 60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Keberadaan Kasa * Hasil
Pemeriksaan 60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Keberadaan Plafon * Hasil
Pemeriksaan 60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Kepadatan Penghuni * Hasil
Pemeriksaan 60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Suhu * Hasil Pemeriksaan 60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Kelembaban * Hasil
Pemeriksaan 60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Keberadaan BS * Hasil Pemeriksaan
Crosstab
Hasil Pemeriksaan Total
Positif Negatif
Keberadaan BS
Ya Count 14 6 20
% within Keberadaan BS 70.0% 30.0% 100.0%
Tidak Count 16 24 40
% within Keberadaan BS 40.0% 60.0% 100.0%
Total Count 30 30 60
% within Keberadaan BS 50.0% 50.0% 100.0%
225
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.800a 1 .028
Continuity Correctionb 3.675 1 .055
Likelihood Ratio 4.902 1 .027
Fisher's Exact Test .054 .027
Linear-by-Linear Association 4.720 1 .030
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Keberadaan
BS (Ya / Tidak) 3.500 1.112 11.017
For cohort Hasil
Pemeriksaan = Positif 1.750 1.087 2.816
For cohort Hasil
Pemeriksaan = Negatif .500 .244 1.023
N of Valid Cases 60
Kondisi Dinding * Hasil Pemeriksaan
Crosstab
Hasil Pemeriksaan Total
Positif Negatif
Kondisi Dinding
Tidak Rapat Count 26 19 45
% within Kondisi Dinding 57.8% 42.2% 100.0%
Rapat Count 4 11 15
% within Kondisi Dinding 26.7% 73.3% 100.0%
Total Count 30 30 60
% within Kondisi Dinding 50.0% 50.0% 100.0%
226
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.356a 1 .037
Continuity Correctionb 3.200 1 .074
Likelihood Ratio 4.490 1 .034
Fisher's Exact Test .072 .036
Linear-by-Linear Association 4.283 1 .038
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kondisi
Dinding (Tidak Rapat /
Rapat)
3.763 1.038 13.646
For cohort Hasil
Pemeriksaan = Positif 2.167 .903 5.201
For cohort Hasil
Pemeriksaan = Negatif .576 .364 .910
N of Valid Cases 60
Keberadaan Kasa * Hasil Pemeriksaan
Crosstab
Hasil Pemeriksaan Total
Positif Negatif
Keberadaan Kasa Tidak Count 30 30 60
% within Keberadaan Kasa 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 30 30 60
% within Keberadaan Kasa 50.0% 50.0% 100.0%
227
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square .a
N of Valid Cases 60
a. No statistics are computed
because Keberadaan Kasa is a
constant.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Keberadaan
Kasa (Tidak / .) .a
a. No statistics are computed because
Keberadaan Kasa is a constant.
Keberadaan Plafon * Hasil Pemeriksaan
Crosstab
Hasil Pemeriksaan Total
Positif Negatif
Keberadaan Plafon
Tidak Count 30 28 58
% within Keberadaan Plafon 51.7% 48.3% 100.0%
Ya Count 0 2 2
% within Keberadaan Plafon 0.0% 100.0% 100.0%
Total Count 30 30 60
% within Keberadaan Plafon 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2.069a 1 .150
Continuity Correctionb .517 1 .472
Likelihood Ratio 2.842 1 .092
Fisher's Exact Test .492 .246
Linear-by-Linear Association 2.034 1 .154
N of Valid Cases 60
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.00.
b. Computed only for a 2x2 table
228
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort Hasil
Pemeriksaan = Negatif .483 .370 .630
N of Valid Cases 60
Suhu * Hasil Pemeriksaan
Crosstab
Hasil Pemeriksaan Total
Positif Negatif
Suhu
20 - 30 Count 7 6 13
% within Suhu 53.8% 46.2% 100.0%
< 20 atau > 30 Count 23 24 47
% within Suhu 48.9% 51.1% 100.0%
Total Count 30 30 60
% within Suhu 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .098a 1 .754
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .098 1 .754
Fisher's Exact Test 1.000 .500
Linear-by-Linear Association .097 1 .756
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50.
b. Computed only for a 2x2 table
229
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Suhu (20 -
30 / < 20 atau > 30) 1.217 .355 4.170
For cohort Hasil
Pemeriksaan = Positif 1.100 .615 1.969
For cohort Hasil
Pemeriksaan = Negatif .904 .472 1.732
N of Valid Cases 60
Kelembaban * Hasil Pemeriksaan
Crosstab
Hasil Pemeriksaan Total
Positif Negatif
Kelembaban > 60 Count 30 30 60
% within Kelembaban 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 30 30 60
% within Kelembaban 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square .a
N of Valid Cases 60
a. No statistics are computed
because Kelembaban is a constant.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Kelembaban
(> 60 / .) .a
a. No statistics are computed because
Kelembaban is a constant.
230
Lampiran 5. Analisis SPSS
GET FILE='D:\SPSS Penelitian.sav'.
DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Plasmodium
/METHOD=ENTER BS Dinding Semak Larva
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).
Logistic Regression
[DataSet1] D:\SPSS Penelitian.sav
Warnings
Due to redundancies, degrees of freedom have been reduced for
one or more variables.
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases
Included in Analysis 60 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 60 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 60 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Positif 0
Negatif 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
Hasil Pemeriksaan Percentage
Correct Positif Negatif
Step 0 Hasil Pemeriksaan
Positif 0 30 .0
Negatif 0 30 100.0
Overall Percentage 50.0
231
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .258 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equationa
Score df Sig.
Step 0 Variables
BS 4.800 1 .028
Dinding 4.356 1 .037
Semak 8.523 1 .004
Larva 4.800 1 .028
a. Residual Chi-Squares are not computed because of redundancies.
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1
Step 18.830 3 .000
Block 18.830 3 .000
Model 18.830 3 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 64.348a .269 .359
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
Hasil Pemeriksaan Percentage
Correct Positif Negatif
Step 1 Hasil Pemeriksaan
Positif 27 3 90.0
Negatif 15 15 50.0
Overall Percentage 70.0
232
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a
BS 1.883 .763 6.083 1 .014 6.572 1.472 29.344
Dinding 1.635 .834 3.843 1 .050 5.128 1.000 26.281
Semak 1.870 .792 5.575 1 .018 6.491 1.374 30.656
Constant -2.113 .746 8.030 1 .005 .121
a. Variable(s) entered on step 1: BS, Dinding, Semak.
233
KUESIONER ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN MALARIA DI DESA AWIU
KECAMATAN LAMBANDIA KABUPATEN KOLAKA
No. Responden : .................... Dusun : ..........................
Nama Responden : ..................... Desa : Awiu
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia
Tanggal Wawancara : ................................................2013
Pewawancara : ..........................................
I. IDENTITAS RESPONDEN
1 Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan
2 Berapakah umur anda/ibu/bapak? ................. (tahun)
3
Pendidikan terakhir ? 1. Tidak Sekolah 5. SMP 2. Belum Sekolah 6. SMA 3. TK 7. S1 4. SD 8. S2/S3
4
Pekerjaan? 1. Petani 6. Pelajar/Mahasiswa 2. PNS 7. TNI/Polri 3. Honorer 8. Buruh/Kuli 4. Ibu Rumah Tangga 9. Tidak Bekerja 5. Nelayan 10. Lainnya, (........................)
5 Hasil Pemeriksaan sediaan Darah di Puskesmas Lowa? 1. Positif 2. Negatif
6 Waktu Pemeriksaan? ..................................................................
II. KUESIONER KEBIASAAN BERADA DI LUAR RUMAH
7 Apakah anda punya kebiasaan/aktifitas di luar rumah pada malam hari (sebelum pemeriksaan sediaan darah)? 1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no.13)
8
Jika Ya, Kebiasaan apa saja yang anda lakukan? 1. Ngobrol 5. Jaga di Pos Ronda 2. Memancing 6. Jaga Kebun 3. Main kartu 7. Lainnya, sebutkan, (............................) 4. Buang hajat
9 Jenis kegiatan yang anda lakukan berdekatan dengan apa? 1. Pegunungan 4. Perkebunan
Lampiran 1. Form Kuesioner Penelitian
234
2. Sawah 5. Lainnya, sebutkan (.............................) 3. Pantai
10 Apakah kegiatan yang saudara lakukan rutin setiap malam? 1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no. 12)
11 Jika rutin berapa kali dalam seminggu kegiatan itu dilakukan? 1. 1 kali dalam seminggu 3. 3 kali dalam seminggu 2. 2 kali dalam seminggu 4. Lebih dari 3 kali seminggu
12 Sejak jam dan sampai jam berapa saudara melakukan aktifitas tersebut? (.............................................................................................)
III. KUESIONER PENGGUNAAN KELAMBU
13 Apakah ibu/bapak memakai kelambu setiap saat menjelang tidur (sebelum pemeriksaan sediaan darah)? 1. Tidak (lanjut.no 21) 2. Ya
14 Jika Ya, sejak kapan menggunakan kelambu? ................ bulan
15 Jika Ya, seberapa rutin anda menggunakan kelambu? 1. Setiap malam menjelang tidur 2. Kadang-kadang
16
Mengapa ibu/bapak menggunakan kelambu pada saat tidur? 1. Kebiasaan 2. Menghindari gigitan nyamuk 3. Lainnya, sebutkan( ..............................................................)
17 Berapa orang yang tidur di dalam 1 kelambu? Sebutkan, ............................... orang.
18 Jenis kelambu apa yang ibu/bapak gunakan? 1. Kelambu biasa 2. Kelambu berinsketisida
19 Dimana ibu/bapak memperoleh kelambu? 1. Dipasar 2. Dari petugas kesehatan
20 Jika Tidak, mengapa ibu/bapak tidak menggunakan kelambu pada saat akan tidur? (...........................................................................................)
IV. KUESIONER PENGGUNAAN OBAT ANTI NYAMUK
21 Apakah ibu/bapak menggunakan obat nyamuk pada setiap akan tidur (sebelum pemeriksaan sediaan darah)? 1. Tidak (lanjut ke no. 27) 2. Ya
22 Jika Ya, sejak kapan anda menggunakan obat anti nyamuk? ........................... bulan.
23 Seberapa rutin anda menggunakan obat anti nyamuk? 1. Setiap malam menjelang tidur 2. Kadang-kadang
24 Jenis obat anti nyamuk apa yang digunakan? 1. obat anti nyamuk bakar
235
2. obat anti nyamuk semprot 3. obat anti nyamuk elektrik 4. obat anti nyamuk lotion 5. obat anti nyamuk alami, sebutkan (.......................................)
25
Kapankah obat anti nyamuk dipasang/disemprotkan? 1. Setiap malam 2. Hanya sesekali pada saat banyak nyamuk 3. Pada waktu akan istirahat/tidur
26
Mengapa ibu/bapak tidak menggunakan obat anti nyamuk? 1. Tidak suka baunya 2. Takut keracunan 3. Alergi 4. Lainnya, sebutkan (..........................................)
V. KUESIONER MENGENAI LINGKUNGAN
27 Apakah bapak/Ibu mempunyai ternak hewan di sekitar rumah (sebelum pemeriksaan sediaan darah)? 1. Tidak (lanjut ke no. 31) 2. Ya
28 Jika Ya, sejak kapan anda memelihara hewan ternak? ............... bulan
29
Hewan apa saja yang ada pelihara? 1. Sapi 2. Kuda 3. Kambing 4. Lainnya, sebutkan (..........................................................)
30
Dimana anda memelihara hewan tersebut? 1. Di belakang rumah 2. Di depan rumah 3. Di samping rumah 4. Lainnya, sebutkan (...........................................................)
31 Apakah ada genangan air yang ada di sekitar rumah anda (sebelum pemeriksaan sediaan darah)? 1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no. 34)
32
Jika ya, genangan airnya berupa apa? 1. Got/Selokan 7. Sawah 2. Parit 8. Lagun 3. Rawa 9. Bekas galian 4. Tambak 10. Lainnya, sebutkan (............................)
33 Bagaimana kondisi genangan air tersebut? 1. Selalu terisi sepanjang tahun 2. Kadang-kadang terisi (tergantung musim)
34 Apakah ada semak belukar di sekitar rumah anda? 1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no. 37)
35 Jika Ya, Sejak kapan keberadaan semak belukar tersebut? ........................... bulan.
236
36
Dimana letak semak belukar tersebut? 1. Di Samping rumah 2. Di Depan rumah 3. Di Belakang rumah 4. Lainnya, sebutkan (.....................................................)
VI. KUESIONER MENGENAI KONDISI RUMAH
37 Apakah bapak/Ibu memasang kawat kasa pada ventilasi? 1. Tidak (lanjut ke no. 41) 2. Ya
38 Jika Ya, sejak kapan anda memasang kawat kasa tersebut? ............... bulan
39
Jenis kawat kasa yang anda gunakan adalah? 1. Aluminium 2. Tembaga 3. Plastik 4. Lainnya, sebutkan (..........................................................)
40
Dibagian mana saja kawat kasa itu dipasang? 1. Di semua ventilasi yang terhubung dengan luar rumah 2. Di ventilasi depan rumah saja 3. Di ventilasi kamar tidur 4. Di ventilasi rumah bagian belakang
41 Apakah rumah anda menggunakan langit-langit/plafon? 1. Tidak (lanjut ke no. 44) 2. Ya
42 Jika Ya, sejak kapan anda menggunakan plafon tersebut? ..................... (bulan)
42
Jenis langit-langit / plafon yang anda gunakan adalah? 1. Kayu 2. Internit 3. Anyaman bambu 4. Lainnya, sebutkan (.......................................................)
43
Dibagian mana plafon dipasang? 1. Di semua bagian rumah yang berbatasan dengan atap 2. Di ruang tamu (ruang tengah) 3. Di kamar tidur 4. Lainnya, sebutkan (...........................................................)
44 Apa jenis dinding yang anda gunakan? 1. Beton 3. Bambu 2. Papan 4. Seng
45 Kondisi Dinding? 1. Tidak Rapat 3. Berlubang 2. Rapat
18
Lampiran 2. Form Lembar Observasi Penelitian
LEMBAR OBSERVASI LINGKUNGAN
No. Responden : ...................................
Dusun/Lingk : .................................................
Nama Responden : ................................................
Desa/Kel : Awiu
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia
No
Observasi Keberadaan Hewan Ternak Besar
KET
Hewan Ternak Besar
Hewan yang dipelihara Jarak
dengan rumah
(m)
Ya Tidak Sapi Kambing
Kuda Lainnya,
Sebutkan
No
Observasi Keberadaan Semak Belukar
KET Semak Belukar
Nyamuk yang hinggap
Jarak dengan rumah (m)
Ya Tidak Ya Tidak
No
Observasi Keberadaan Genangan Air
KET
Genangan air Jenis genangan air Jarak
dengan rumah
(m)
Ya Tidak Parit Got Selokan
Lainnya,
Sebutkan
19
LEMBAR OBSERVASI KONDISI RUMAH
No. Responden : ...................................
Dusun/Lingk : .................................................
Nama Responden : ................................................
Desa/Kel : Awiu
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia
No
Observasi Kerapatan Dinding
KET Jenis Dinding Kondisi Dinding
Beton Papan Bambu Lainnya, Rapat Tidak rapat
No
Observasi Keberadaan Kawat Kasa
KET Kawat Kasa Jenis Kasa Ukuran lubang
Ya Tidak Tembaga
Aluminium
Plastik
< 2,5 cm > 2,5 cm
No
Observasi Keberadaan Langit-Langit
KET Langit-Langit Semua
atap rumah
Jenis Langit-Langit
Ya Tidak Ya Tidak
Kayu Internit
Anyaman
bambu
Lainnya, sebutka
n
20
LEMBAR OBSERVASI KEBIASAAN
No. Responden : ...................................
Dusun/Lingk : .................................................
Nama Responden : ................................................
Desa/Kel : Awiu
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia
No
Observasi Penggunaan Kelambu
KET Menggunakan
Kelambu Jenis Kelambu Kondisi
Kelambu
Ya Tidak Biasa Insektisida
Baik Rusak
No
Observasi Penggunaan Obat Anti Nyamuk
KET
Menggunakan Obat Anti Nyamuk
Jenis obat anti nyamuk
Ya Tidak Bakar
Semprot
Elektrik
Repelent
Lainnya, sebutkan
21
LEMBAR PENGUKURAN KONDISI LINGKUNGAN
No. Responden : ...................................
Dusun/Lingk : .........................................................
Nama Responden : ................................................
Desa/Kel : Awiu
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia
No Pengukuran Suhu (°C)
Suhu Dalam Rumah Suhu Luar Rumah
No Pengukuran Kelembaban (%)
Kelembaban Dalam Rumah Kelembaban Luar Rumah