analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan
Program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat
Argihta Marettia
0706272603
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
DEPOK
MEI 2011
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya
sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah saya
nyatakan dengan benar.
Nama : Argihta Marettia
NPM : 0706272603
Tanda Tangan :
Tanggal : 12 Mei 2011
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Argihta Marettia NPM : 0706272603 Program Studi : Kesehatan Masyarakat Judul Skripsi : Analisis faktor-faktor yang berhubungan
dengan pelaksanaan program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. dr. L. Meily Kurniawidjaja M.Sc., Sp.Ok. (...........................) Penguji : Dr. dr. Zulkifli Djunaedi M. App Sc. Penguji : Delta Digita Rinaldo, SKM Ditetapkan di : Depok Tanggal : 12 Mei 2011
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
iv
KATA PENGANTAR & UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunianya, ditulis dalam rangka pemenuhan sistem kredit semester dan sebagai prasyarat
kelulusan program studi kesehatan dan keselamatan kerja, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia. Skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Pelaksanaan Program STOP di Lingkungan PT. X Indonesia tahun
2011” diharapkan dapat memberikan informasi dan meningkatkan ilmu pengetahuan bagi
para pembaca.
Dalam pembuatan laporan ini, penulis juga meminta maaf atas segala kesalahan
baik secara lisan atau tulisan. Skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis bersikap
terbuka terhadap masukan dan menerima kritik dan saran yang membangun untuk
meyempurnakan laporan magang ini. Selain itu, dalam pembuatan skripsi ini penulis
dibantu oleh banyak pihak yang tak dapat dituliskan satu per satu. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. My Saviour, Jesus Christ, terima kasih untuk kebaikan dan kasih-Mu selama
ini. Tak pernah berkesudahan kasih setia-Mu padaku. Biarlah ini menjadi
persembahan yang berkenan pada-Mu.
2. Orang tua yang terkasih dan adik tercinta, terima kasih atas dukungan dan
kasih sayangnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan
baik.
3. Ibu Meily Kurniawidjaja selaku pembimbing akademik yang selalu
memberikan masukan, nasihat, dan dukungan. Terima kasih Ibu atas petunjuk
yang diberikan pada saya selama penyusunan skripsi ini.
4. Mbak Shinta selaku pembimbing lapangan di PT. X, terima kasih atas
bantuannya selama saya di PT. X dan mohon maaf atas segala kesalahan yang
saya buat.
5. Inangtua Vera, tak ada kata yang bisa terucapkan selain terima kasih banyak
atas kebaikannya selama ini, dari sebelum KP hingga saat ini, the best motivator
di saat tersulit.
6. Seluruh orang-orang E5, khususnya HSE, Mbak Erna, Mbak Mega, Kak
Yuni, Kak Mey, Kak Gina, Om Vit, Mbak Elsye, dll dan Kak Delta, terima
kasih untuk semuanya. I’m happy to know all of you.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
v
7. Seluruh responden yang telah membantu penyebaran kuesioner ini, para
driver (Mas Sandy, dan rekan-rekan), para security (Pak Suwandi, dan rekan),
para pantry (Mbak Pony, Mbak Yanti, Mbak Siti, Mbak Asih, dkk), para cleaner
(Bang Yono, Mbak Nisa, dll), para helper (Mas Turmin, dkk), para mail room,
para penduduk E3 (Mbak Gita, Mas Rijal, dkk), E5, E8 (Mbak Maria, Mbak
DinarShita), E9 (Mas Deva), D2 (Mbak Santi), D3 (Mbak Livi), D4 (Mbak
Ani), dan D5 (Mbak Nunik).
8. Leidiana L., teman satu perjuangan dalam suka dan duka, terima kasih telah
mendengarkan keluh kesah selama perjuangan skripsi ini.
9. Eldi Risania, Resty Tri Anissa, Ajeng Tantri, Indah Purnamasari, Febri
Himawan, kawan-kawan seperjuangan di PT. X. Thanks yaa guyss
10. Christiana S., Ka Aswin, Bang Sabam, Tika, Kiting, yang selalu gw recoki
dengan curhat-curhat gw selama ini.
11. Teman-teman tercinta, Dwi Astuti, Asti Rosiana, Fazariah Rachmawati,
Arry Rinaldy, Ary Rachmawan, Dimas R., Yusy Aprianty, dan Andi
Darma.
12. Geng Gabil, yang eksis kapanpun dan dimanapun, hedon terus, hehe. Buat
ketuanya terutama Elyana A. dan wakilnya Dwi Okta R. Dan juga untuk para
anggotanya, Cesie Nadia, Miranty Jasmine, Devani Ersa, Devi Partina, Putri W.,
dll, maju terus dan sukses bersama ya,
13. Teman-teman K3 2007, yang selama 3 tahun ini telah berjuang bersama-sama
untuk menuntaskan kuliah ini. Bersama kita bisa, sampai berjumpa pada
September ceria
14. Teman-teman POSA, yang selalu mendoakan kami setiap saat, khususnya
sang Koor tergeje, mari kita jalan-jalan *loh..
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih untuk semua orang yang telah
membantu penyusunan skripsi ini. Banyak pihak yang tidak tertuliskan, namuan
dari dalam hati terdalam, saya ucapkan terima kasih. Saya berharap skripsi ini bisa
menjadi manfaat untuk orang lain
Jakarta, Mei 2011
Argihta Marettia
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan
di bawah ini:
Nama : Argihta Marettia
NPM : 0706272603
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Departemen : Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-
exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Program STOP
di PT. X Indonesia tahun 2011”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas
Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format- kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 12 Mei 2011
Yang Menyatakan
( Argihta Marettia )
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
vii
ABSTRAK Nama : Argihta Marettia Program Studi : Kesehatan Masyarakat Judul : Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011 Program STOP merupakan program penanaman nilai keselamatan pada karyawan. Yang dilakukan dengan cara mengobservasi perilaku yang aman dan tidak aman. Penelitian ini didasarkan pada persepsi karyawan mengenai pelaksanaan STOP dengan metode kuesioner, observasi, dan wawancara. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis deskriptif maupun analitik mengenai pengetahuan, persepsi bahaya, prosedur, komunikasi, sosialisasi, pelatihan, reward/punishment, pengawasan, dan komitmen. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara pengetahuan, persepsi, komunikasi, pelatihan, dan komitmen terhadap perilaku dalam pelaksanaan STOP. Program ini secara umum sudah berjalan dengan baik, tetapi belum optimal dan harus ditingkatkan. Program ini dapat menumbuhkan kesadaran akan keselamatan yang akan menuju pada terciptanya budaya keselamatan. Kata Kunci : Program STOP, Persepsi, Budaya Keselamatan
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
viii
ABSTRACT
Name : Argihta Marettia Degree : Bachelor Title : Analyze of STOP Program in PT. X Indonesia 2011
STOP Program is a program for internalized a safety value of employees. The program is conducted by observing the behavior of safe and unsafe. The study was based on the perceptions of employees regarding the implementation of the STOP. The method used was a questionnaire, observation, and interviews. In this study, an analysis of descriptive and analytical knowledge, perception of danger, procedures, communication, socialization, training, reward / punishment, supervision, and commitment. From the survey results revealed that there is a relationship between knowledge, perception, communication, training, and commitment to the behavior in the execution of STOP. The program generally has been running well, but not optimal. This program can raise awareness of safety that will lead to the creation of a safety culture. Key word: STOP Program, Perception, Safety Culture
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
x
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iii
KATA PENGANTAR & UCAPAN TERIMA KASIH ........................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................................. vii
ABSTRACT .............................................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 5
1.3 Pertanyaan penelitian .......................................................................................... 6
1.4 Tujuan ................................................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................ 7
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................... 7
1.5 Manfaat ................................................................................................................. 8
1.5.1 Manfaat bagi Perusahaan ........................................................................ 8
1.5.2 Manfaat bagi Mahasiswa......................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup ..................................................................................................... 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi keselamatan ......................................................................................... 9
2.2 Definisi Kecelakaan .......................................................................................... 9
2.4 Pencegahan kecelakaan .................................................................................. 12
2.5 Konsep Budaya ............................................................................................... 13
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
xi
2.5.1 Tiga Tingkatan Budaya........ ........................................................... 14
2.5.1.1 Artefak dan perilaku ........................................................... 14
2.5.1.2 Tata Nilai ............................................................................. 15
2.5.1.3 Asumsi dasar ..................................................................... 15
2.5.2 Karakteristik pada tingkat artefak dan/atau tata nilai ...................... 16
2.5.3 Karakteristik pada Tingkatan Tata Nilai (IAEA, 2002) .................. 17
2.5.4 Asumsi dasar (IAEA, 2002) ............................................................. 18
2.6 Definisi budaya keselamatan .......................................................................... 18
2.7 Model dan konsep budaya keselamatan ........................................................ 19
2.8 Safety culture maturity level .......................................................................... 23
2.9 Latar belakang program STOP....................................................................... 24
2.10 Safety Training Observation Program ........................................................... 27
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori .................................................................................................... 31
3.1.1 Safety Culture ........................................................................................... 31
3.2 Kerangka Konsep ............................................................................................... 32
3.3 Definisi Operasional, Skala Ukur, Hasil Ukur, Alat Ukur, dan Skala Ukur .. 33
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain penelitian .................................................................................................. 35
4.2 Waktu dan Lokasi ................................................................................................ 35
4.3 Populasi Sampel ................................................................................................... 35
4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................................ 36
4.5 Uji Validitas Kuesioner ....................................................................................... 36
4.6 Uji Reliabilitas Kuesioner .................................................................................. 37
4.7 Teknik Pengumpulan Data ................................................................................. 37
4.8 Manajemen Data .................................................................................................. 37
4.9 Analisis Data ........................................................................................................ 38
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
xii
BAB 5 Gambaran Umum Perusahaan
5.1 Visi, Misi dan Tujuan PT. X Global ................................................................. 39
5.2 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan............................................................ 41
5.3 PT. X Indonesia ................................................................................................. 42
5.4 Sejarah LNG Tangguh ...................................................................................... 43
5.5 Struktur Organisasi Perusahaan ....................................................................... 45
5.6 Proses Kerja ....................................................................................................... 45
5.7 Alat-Alat dan Mesin .......................................................................................... 47
5.8 Gambaran Umum HSE Department ................................................................ 48
5.9 Kebijakan dan Komitmen Perusahaan Terhadap HSE ................................... 49
5.10 Struktur Organisasi K3 (terlampir) .................................................................. 50
5.11 Program Kerja Departemen HSE ..................................................................... 50
BAB 6 HASIL
6.1 Karakteristik Informan ......................................................................................... 54
6.2 Pelaksanaan Program STO ................................................................................. 55
6.3 Perilaku terhadap program STOP ..................................................................... 63
6.4 Analisis Hubungan .............................................................................................. 64
6.4.1 Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ....... 64
6.4.2 Hubungan Persepsi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ............. 65
6.4.3 Hubungan Prosedur dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ............ 66
6.4.4 Hubungan Sosialisasi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP.......... 67
6.4.5 Hubungan Komunikasi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ....... 67
6.4.6 Hubungan Pelatihan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ............. 68
6.4.7 Hubungan Reward/Punishment dengan Perilaku Pelaksanaan STOP...... 69
6.4.8 Hubungan Pengawasan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP....... 70
6.4.9 Hubungan Komitmen dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .........70
BAB 7 PEMBAHASAN
7.1 Analisis Pelaksanaan Program STOP ................................................................ 71
7.2 Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Pelaksanaan STOP ........... 74
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
xiii
7.3 Analisis Hubungan Persepsi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ........ 75
7.4 Analisis Hubungan Prosedur dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ....... 76
7.5 Analisis Hubungan Komunikasi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP 77
7.6 Analisis Hubungan Sosialisasi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ... 78
7.7 Analisis Hubungan Pelatihan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ...... 79
7.8 Analisis Hubungan Reward/Punishment dengan PerilakuPelaksanaanSTOP . 80
7.9 Analisis Hubungan Pengawasan dengan Perilaku Pelaksanaan STOP ........... 81
7.10 Analisis Hubungan Komitmen dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .. 82
BAB 8 PENUTUP
8.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 85
8.2 Saran .................................................................................................................. 87
Daftar Pustaka............................................................................................................. 91
Lampiran
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Definisi Kecelakaan ............................................................................. 10
Tabel 2. Tingkatan budaya dalam aplikasi aspek keselamatan ............................ 15
Tabel 3. Definisi Budaya Keselamatan ............................................................... 18
Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Pengisian kartu STOP di PT. X Indonesia tahun 2011 ..........................................................................................................57
Tabel 6.2 Distribusi Univariat .............................................................................59
Tabel 6.3 Distribusi Persepsi Bahaya di Lingkungan Kerja PT. X Indonesia tahun 2011 .................................................................................................60
Tabel 6.4 Distribusi Prosedur Kerja di PT. X Indonesia tahun 2011 ....................60
Tabel 6.5 Distribusi Metode Pelatihan Program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011 .................................................................................................63
Tabel 6.6 Distribusi perilaku safe/ unsafe act di PT. X Indonesia tahun 2011 ......64
Tabel 6.7 Distribusi Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .....................................................................................64
Tabel 6.8 Distribusi Hubungan Persepsi Bahaya dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .....................................................................................66
Tabel 6.9 Distribusi Hubungan Prosedur dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .........................................................................................................66
Tabel 6.10 Distribusi Hubungan Sosialisasi Perilaku dalam Pelaksanaan STOP . 67
Tabel 6.11 Distribusi Hubungan Komunikasi Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .........................................................................................................68
Tabel 6.12 Distribusi Hubungan Pelatihan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .........................................................................................................68
Tabel 6.13 Distribusi Hubungan Sanksi Reward dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .....................................................................................69
Tabel 6.14 Distribusi Hubungan Pengawasan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP ........................................................................................................ 70
Tabel 6.15 Distribusi Hubungan Komitmen Perilaku dalam Pelaksanaan STOP .71
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Domino Theory (Heinrich, 1980) ...................................................... 11
Gambar 2. Piramida kecelakaan (Bird, 1986) ..................................................... 12
Gambar 3. Konsep Budaya Keselamatan (Cooper, 2000) ................................... 20
Gambar 4. Total safety culture (Geller, 2001) .................................................... 20
Gambar 5. Hubungan perilaku keselamatan berdasarkan waktu dan insiden rate 23
Gambar 6 Safety Culture Maturity Level............................................................ 24
Gambar 7. Penyebab utama hilangnya hari kerja (United steelworkers of America) ................................................................................................... 25
Gambar 8. Siklus STOP (Dupont, 2000) ............................................................ 29
Gambar 10. Layout LNG Tangguh ..................................................................... 44
Gambar 9. Peta Proyek LNG Tangguh ............................................................... 44
Gambar 11. Alur Kerja LNG .............................................................................. 47
Gambar 12. Karakteristik responden berdasarkan umur .......................................54
Gambar 13. Karakteristik responden berdasarkan lama kerja ...............................54
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
UU no.1 tahun 1970 mengenai keselamatan kerja pada pasal 3
menyebutkan mengenai syarat-syarat keselamatan kerja salah satunya sebagai
upaya untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan. Dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja no. 4 tahun 1998 yang dimaksud kecelakaan akibat kerja adalah
kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit
yang timbul karena hubungan kerja, demikan pula kecelakaan yang terjadi dalam
perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah
melalui jalan yang biasa dan wajar dilalui. Kecelakaan adalah kejadian yang tidak
direncanakan dan tidak dapat dikontrol yang disebabkan oleh manusia, situasi,
atau faktor lingkungan, atau dari kombinasi beberapa faktor yang mempengaruhi
proses kerja, yang mana dapat menghasilkan ataupun tidak menghasilkan
kerugian, kesakitan, kematian kerusakan barang atau kejadian lain yang tidak
diinginkan, tapi memiliki potensial untuk terjadi (Colling, 1990). Dari dua definisi
tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa kecelakaan merupakan kejadian
yang tidak diinginkan dan tidak diharapkan terjadi karena menimbulkan dampak
secara langsung maupun tidak langsung.
Kecelakaan merupakan permasalahan umum yang terjadi di tempat kerja
utamanya. Estimasi ILO tahun 2002, menggambarkan dari 2,8 milyar tenaga kerja
di dunia terjadi 2,2 kematian terkait dengan pekerjaan, 270 juta kecelakaan kerja.
NiOSH mengestimasikan 4 juta pekerja di Amerika menderita nonfatal injury
yang berhubungan dengan pekerjaan atau mengalami sakit penyakit
(www.cdc.gov). Menurut United States Department of Labor, diketahui bahwa
pada tahun 2007 terdapat 5657 kecelakaan kerja yang berakibat fatal di Amerika
Serikat, kemudian pada tahun berikutnya terjadi 5214 kecelakaan kerja fatal, dan
pada tahun 2009 diketahui 4340 kecelakaan kerja fatal. Jumlah tersebut tidak
dapat dikatakan kecil sehingga dapat diabaikan begitu saja, karena menyangkut
nyawa manusia. Data tersebut cukup signifikan bila dibandingkan dengan Bureau
of Labor Statistics (BLS) Census of Fatal Occupational Injuries yang mengatakan
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
2
Universitas Indonesia
bahwa tercatat sekitar 5.700 trauma akibat cidera kerja di Amerika terjadi setiap
tahunnya (Levvy, 2006).
Badan Pusat Statistik RI pada bulan Agustus 2009 mencatat bahwa
penduduk Indonesia berjumlah 231,83 juta jiwa, 113,89 (49,13%) diantaranya
adalah populasi usia produktif (15-64 tahun). Sebanyak 104.87 juta jiwa (92,08%)
adalah bagian dari angkatan kerja (Meily, 2010). Dengan jumlah angkatan kerja
yang besar ini, timbullah suatu masalah baru, yaitu pada tingkat keselamatan kerja
para pekerja. Data PT Jamsostek menyebutkan bahwa kecelakaan kerja pada
tahun 2007 mencapai 83.714 dengan kasus fatal sebanyak 1.883 kasus. Pada tahun
2008, kasus kecelakaan kerja meningkat menjadi 93.823 kasus dengan fatalitas
sebanyak 2.124 kasus. Pada tahun 2009, angka kecelakaan kerja justru mengalami
kenaikan kembali menjadi 96.697 dengan kasus fatal sebanyak 3.015 (Meily,
2010). Dari tahun 2007 hingga 2008, kasus kecelakaan dan kasus fatal terus
meningkat. Tingginya angka kecelakaan ini menunjukkan bahwa masalah
keselamatan dan kesehatan kerja masih terabaikan.
Industri minyak dan gas merupakan industri yang memberikan kontribusi
besar pada Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Namun, industri ini
mempunyai tingkat risiko dan bahaya yang tinggi. Hal ini terkait pada jam kerja
yang lebih lama dan tingkat pekerjaan yang sulit. Pada tahun 2005, total jumlah
pekerja produksi dan non-produksi meningkat dari 34.822 menjadi 38.228 dalam
kurun waktu lima tahun (www.migas-indonesia.com). Pekerja di industri minyak
secara umum menerima upah yang tinggi terkait lamanya jam kerja. Jam kerja
untuk pekerja sektor ekstraksi minyak di Indonesia rata-rata 50-60 jam per
minggu atau lebih tinggi dari jam kerja sektor manufaktur yang hanya 38-40 jam
per minggu. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan risiko pada sektor minyak
dan gas ini cukup tinggi.
Dari data BP Migas tahun 2005 terdapat 328 kecelakaan. Kecelakaan ini
terdiri dari beberapa kategori, seperti kecelakaan ringan tanpa hilangnya hari kerja
sebanyak 262 kasus, kecelakaan sedang dengan kehilangan hari kerja sebanyak 48
kasus, kecelakaan berat sebanyak 14 kasus, dan kecelakaan fatal sebanyak 5
kasus. Sedangkan data Ditjen Migas pada 2007 menunjukkan terjadi 103
kecelakaan di hulu migas dan 27 kecelakaan di hilir migas. Pada tahun 2008, di
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
3
Universitas Indonesia
hulu migas terjadi 100 kecelakaan dan 23 kecelakaan di hilir migas. Pada tahun
2009, sampai Oktober 2009, data kecelakaan industri migas terus mengalami
penurunan menjadi 34 kasus kecelakaan operasi hulu migas dan 35 kasus
kecelakaan di hilir migas (bataviase.co.id). Hingga tahun 201, kasus kecelakaan
industri migas terus menurun, kecelakaan operasi di hulu migas terdiri dari 11
kecelakaan ringan, 14 kecelakaan sedang, enam kecelakaan berat, dan tiga
kecelakaan fatal. Sedangkan di hilir migas, tercatat terjadi 23 kecelakaan ringan,
enam kecelakaan sedang, satu kecelakaan berat dan empat kecelakaan fatal
(bataviase.co.id).
Pada dasarnya, kecelakaan dapat dikontrol dengan pendekatan budaya
keselamatan dan kesehatan kerja. Pendekatan ini tidak hanya menekankan pada
keselamatan dan kesehatan individu saja, tetapi juga untuk menjaga keselamatan
orang lain. Dengan ini, karyawan diharapkan saling menjaga dan mengawasi
orang lain sehingga terbentuk jaringan kerja yang saling mendukung. Budaya ini
sebaiknya diaplikasikan di dalam dan di luar organisasi (Groeneweg, 2005).
Pendekatan budaya keselamatan dan kesehatan kerja ini meliputi pendekatan
teknis, pendekatan manajemen, dan pendekatan perilaku. Professor E. Scott Geller
dalam buku The Psychology of Safety Handbook menyatakan bahwa terdapat tiga
faktor yang berkontribusi pada kecelakaan kerja, yaitu faktor lingkungan, faktor
manusia, dan faktor perilaku. Ketiga faktor ini yang disebut safety triads (Geller,
2001).
Perilaku manusia (human behavior) merupakan aspek penting yang
menjadi pusat perhatian para ahli di bidang Ilmu Keselamatan. Kecelakaan
umumnya disebabkan oleh kondisi yang tak aman (unsafe condition) dan tindakan
yang tak aman (unsafe act) (Heinrich, 1928). Teori yang dikemukan Heinrich ini
yang menjadi dasar dari penelitian penyebab kecelakaan selanjutnya. Dalam riset
yang dilakukan oleh beberapa peneliti lain mengenai faktor penyebab kecelakaan,
ditemukan bahwa faktor manusia mempunyai kontribusi yang besar dalam
menyebabkan kecelakaan. Penelitian Joshchek pada tahun 1981 menyimpulkan
80-90% kecelakaan disebabkan oleh kesalahan manusia (www.csb.gov).
Sedangkan penelitian lain oleh Uehara dan Hoosegow (1986) menyebutkan 58%
dari kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia (www.csb.gov). Selain
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
4
Universitas Indonesia
itu, pada tahun 1971, Oil insurance Association Report on Boiler Safety
memberikan persentase sebesar 73% untuk kesalahan manusia sebagai penyebab
kecelakaan (CCPS, 1995). Lebih jauh lagi Wagenar dan Groeneweg
menyimpulkan 96% dari kecelakaan diakibatkan setidaknya oleh satu kesalahan
manusia, sementara Salminen dan Tallberg meyakini bahwa kontribusi kesalahan
manusia dalam menyebabkan kecelakaan sebesar 84-94%.
(www.informaworld.com)
Menurut Hollnagel kontribusi kesalahan manusia pada insiden yang terjadi
pada tahun 1960 diperkirakan sebesar 20% dan pada tahun 1990 kontribusi
kesalahan manusia meningkat hingga lebih dari 80% (Trepes, 2003). Barry
Kirwan mengidentifikasi bahwa faktor kesalahan manusia berkontribusi 34% dari
semua faktor penyebab kecelakaan, sedangkan Bea dan Moore menyebut angka
80% kecelakaan disumbang dari kesalahan manusia (API-Publication-2351).
Human factors yang berkontribusi pada kecelakaan kerja selalu menjadi sesuatu
hal yang kompleks, seringkali tidak dapat diprediksikan dan tidak dapat dikontrol
(Geller, 2001).
Kesalahan manusia tentunya secara tidak langsung akan berpengaruh pada
loss. Profit suatu perusahaan akan menurun jika loss bertambah besar. Untuk
menurunkan potensi dari loss, diperlukan suatu implementasi budaya keselamatan
secara massif. Implementasi budaya keselamatan ini memerlukan peran
leadership, dalam hal ini komitmen manajemen sebagai dukungan untuk program
keselamatan diperusahaan. Selain itu, dibutuhkan partisipasi dari pekerja dalam
menjalankan budaya keselamatan ini. Budaya keselamatan akhirnya merupakan
sebuah komunikasi yang efektif antara pekerja dan pihak manajemen. Dengan
budaya keselamatan ini diharapkan munculnya safety awareness.
Dari penjabaran diatas, disimpulkan bahwa banyak kejadian kecelakaan
yang terkait dengan “tindakan” (behavior/act) orang. Salah satu cara untuk
mengembangkan perilaku selamat pada pekerja adalah dengan Safety Training
Observation Program (STOP). STOP merupakan kartu keselamatan yang
digunakan untuk mengobservasi tindakan aman atau tindakan yang tidak aman.
Program STOP merupakan suatu program keselamatan yang berfokus pada
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
5
Universitas Indonesia
tindakan aman/tidak aman yang dilakukan pekerja. Program ini dikembangkan
oleh institut keselamatan, DuPont. Program ini dikembangkan sebagai salah satu
alat untuk mengembangkan keahlian observasi dan komunikasi dengan
pendekatan positif guna memastikan tempat kerja yang lebih aman. Selain itu,
program ini juga dilaksanakan untuk membangun budaya keselamatan di
lingkungan kerja. Program ini telah diterapkan pada beberapa perusahaan, seperti
PT. X.
PT. X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang minyak
dan gas. Produk utama yang dihasilkan perusahaan ini adalah gas. Dalam
peranannya sebagai produsen gas terbesar di Indonesia, PT. X juga menjalankan
komitmennya dalam keselamatan dan kesehatan kerja. Salah satu program yang
dilakukan di perusahaan ini untuk menciptakan budaya keselamatan di kalangan
karyawan adalah dengan program STOP. Walau tingkat insiden di office hampir
tidak ada, namun program ini dilakukan sebagai upaya preventif. Dengan program
ini, karyawan dilatih untuk peka akan kondisi yang safe atau unsafe .
Kartu STOP yang digunakan di PT. X mengadopsi lisensi dari DuPont.
Program STOP ini lazimnya digunakan di lapangan (site), karena bahaya dan
risiko yang ada di lapangan tentunya lebih besar dari lingkup kantor. Namun,
untuk mengurangi risiko kejadian yang tidak aman, PT. X sudah mengaplikasikan
program ini di kantor. Namun, pelaksanaannya kurang berjalan secara
menyeluruh. Ini dikarenakan tidak semua divisi melakukan pemantauan dengan
kartu STOP. Hal ini terjadi karena pengaruh dari perilaku karyawan yang less
awarness terhadap keselamatan dan menganggap risiko keselamatan di kantor
rendah. Perilaku ini yang menjadikan program STOP kurang efektif. Oleh karena
itu, dilakukan suatu kajian untuk melihat gambaran perilaku karyawan terhadap
pelaksanaan program STOP di kalangan karyawan PT. X Indonesia tahun 2011.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan data yang dijabarkan pada latar belakang, diketahui bahwa
mayoritas penyebab kecelakaan disebabkan oleh kesalahan manusia. Ini
menandakan bahwa perilaku manusia berhubungan dengan terciptanya budaya
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
6
Universitas Indonesia
keselamatan. Untuk itu, PT. X mencanangkan program STOP. Dalam prakteknya,
pengembangan budaya keselamatan merupakan komponen penting yang harus
dibangun dalam suatu sistem. Program STOP dapat dijadikan sebagai salah satu
indikator dalam pengembangan budaya keselamatan khususnya dalam pendekatan
pada perilaku manusia. Namun, pelaksanaan program STOP di head office PT. X
Indonesia masih belum menyeluruh dan mencakup semua divisi. Banyak hal yang
berpengaruh dalam belum optimalnya program ini, seperti komitmen dari team
leader, partisipasi dari karyawan sendiri, dan komunikasi dua arah yang kurang
terbangun. Dari pra-survey yang dilakukan mengenai program ini, diketahui ada
beberapa hal yang membuat program ini berjalan belum optimal, seperti anggapan
bahaya dan risiko di lingkungan kantor rendah dan binggung untuk mengisi kartu
STOP. Hal ini terjadi karena kategori pengamatan yang ada membuat ambigu
karyawan. Selain itu, pengamatan yang dilakukan cenderung monoton karena
risiko di kantor rendah. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis terhadap pelaksanaan
program STOP di kalangan karyawan PT. X Indonesia tahun 2011
1.3 Pertanyaan penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka disusunlah
pertanyaan mengenai masalah ini, seperti :
1. Bagaimana analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
pelaksanaan program STOP PT. X Indonesia tahun 2011?
2. Bagaimana pengetahuan karyawan mengenai program STOP di PT. X
Indonesia tahun 2011?
3. Bagaimana persepsi karyawan mengenai bahaya yang ada di
lingkungan kerja PT. X Indonesia tahun 2011?
4. Bagaimana pengawasan yang berjalan di PT. X Indonesia tahun 2011?
5. Bagaimana pelatihan yang berjalan dalam pelaksanaan program STOP
di PT. X Indonesia tahun 2011?
6. Bagaimana sanksi/penghargaan yang berjalan dalam pelaksanaan
program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011?
7. Bagaimana komitmen yang berjalan di PT. X Indonesia tahun 2011?
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
7
Universitas Indonesia
8. Bagaimana komunikasi yang yang berjalan dalam pelaksanaan
program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011?
9. Bagaimana sosialisasi yang yang berjalan dalam pelaksanaan program
STOP di PT. X Indonesia tahun 2011?
10. Bagaimana prosedur keselamatan kerja yang ada di PT. X Indonesia
tahun 2011?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan
program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya analisis pengetahuan karyawan mengenai program STOP di
PT. X Indonesia tahun 2011
2 Diketahuinya analisis persepsi karyawan mengenai bahaya yang ada di
lingkungan kerja PT. X Indonesia tahun 2011
3 Diketahuinya analisis pengawasan team leader yang berjalan di PT. X
Indonesia tahun 2011
4 Diketahuinya analisis pelatihan yang berjalan dalam pelaksanaan program
STOP di PT. X Indonesia tahun 2011
5 Diketahuinya analisis sanksi-penghargaan yang berjalan dalam
pelaksanaan program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011
6 Diketahuinya analisis komitmen team leader yang berjalan di PT. X
Indonesia tahun 2011
7 Diketahuinya analisis komunikasi yang yang berjalan dalam pelaksanaan
program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011
8 Diketahuinya analisis sosialisasi yang yang berjalan dalam pelaksanaan
program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011
9 Diketahuinya analisis prosedur keselamatan kerja yang ada di PT. X
Indonesia tahun 2011
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
8
Universitas Indonesia
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat bagi Perusahaan
Perusahaan dapat melihat persepsi karyawan terhadap pelaksanaan
program STOP di kalangan karyawan PT. X Indonesia tahun 2011. Selain itu,
penelitian ini dapat membantu perusahaan dalam rangka membangun budaya
keselamatan di kalangan karyawan PT. X Indonesia. Penelitian ini juga
diharapkan menjadi sumber informasi untuk perusahaan dalam meninjau
partisipasi karyawan dan komitmen team leader. Dengan penelitian ini,
perusahaan juga dapat mengetahui pengetahuan dan sikap karyawan mengenai
program STOP.
1.5.2 Manfaat bagi Mahasiswa
Sebagai wadah pengembangan pengetahuan dan wawasan penulis, serta
sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan menerapkan ilmu dan teori yang telah
dipelajari oleh penulis selama kuliah.
1.6 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah analisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan pelaksanaan program STOP di PT. X Indonesia tahun 2011.
Penelitian ini juga ingin menggambarkan pengetahuan terhadap program STOP
yang berjalan di PT. X Indonesia. Penelitian ini juga dilakukan dalam rangka
melihat komitmen dan pengawasan dari team leader serta sangksi-penghargaan,
sosialisasi, komunikasi, pelatihan, prosedur yang ada dalam menunjang
pelaksanaan program STOP
Dalam kegiatan penelitian ini, penulis melakukan observasi dokumen
dan observasi pada pekerja. Penelitian ini dilakukan sepanjang Maret-Mei 2010
di PT. X Indonesia. Metode yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah
dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dengan cara analisa kuesioner, wawancara, dan observasi langsung di lingkungan
kerja. Data sekunder didapat dari dokumen internal perusahaan dan studi literatur
maupun kepustakaan.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi keselamatan
Keselamatan diambil dari kata safety dalam bahasa Inggris, yang artinya
keadaan atau situasi yang aman. Dalam hal ini, keselamatan berhubungan dengan
pekerjaan, atau biasa disebut dengan keselamatan kerja. Keselamatan kerja adalah
suatu kondisi yang bebas dari risiko kecelakaan. Keselamatan kerja ini juga
mencakup pencegahan kecelakaan dan perlindungan terhadap tenaga kerja dari
kemungkinan kecelakaan atau kondisi kerja yang tidak aman/sehat. Menurut
LaDou, keselamantan kerja menekankan pada kesalahan sistem dan kesalahan
manusia.
Keselamatan juga mengandung pengertian interaksi anata manusia, mesin,
dan lingkungan sehingga tercapai suatu keseimbangan yang dinamis. Namun,
interaksi ini tidak selalu berjalan dengan mulus (gagal) sehingga menghasilkan
masalah besar sebagai akibat dari kurangnya pengawasan. Untuk itu, ada
beberapa upaya kesealamtan yang perlu diimplementasikan dalam suatu program
keselamatan. Menurut David E. Geotsh (2005), program dasar dalam
pengendalian keselamatan meliputi Engineering, Education, dan Enforcement.
Aspek Engineering, dengan mengurangi bahaya yang berisiko dalam proses kerja.
Aspek Education, dengan menjamin pekerja untuk tahu bagaimana cara bekerja
yang aman. Aspek Enforcement, dengan menyakinkan pekerja untuk mematuhi
kebijakan peraturan, pelaksanaan, dan prosedur yang berlaku. Dari penjelasan
diatas, keselamatan kerja harus memperhatikan faktor alat, lingkungan, dan faktor
manusia.
2.2 Definisi Kecelakaan
Kecelakaan memang tak lepas dari perkembangan dunia industri.
Kecelakaan merupakan dampak yang ditimbulkan dari industrialisasi yang
bertumbuh sangat pesat. Lebih lanjut lagi, ada beberapa definisi baku mengenai
kecelakaan, seperti :
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
10
Universitas Indonesia
Tabel 1. Definisi Kecelakaan
Referensi Definisi
Index nakertrans, 2004
Kecelakaan dan atau penyakit yang menimpa tenaga
kerja karena hubungan kerja di tempat kerja
Oglesby at all, 1994 Kecelakaan kerja yang dimaksud disini tidak hanya
luka/cedera fisik pada pekerja atau kerusakan properti,
tetapi juga berdampak pada kesehatan pekerja baik
jangka pendek maupun jangka panjang
Departemen kesehatan
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tak terduga dan
tak diharapkan yang dapat menyebabkan kerugian
material atau penderitaan dari yang paling ringan
sampai yang paling berat.
David Colling, 1990 Kecelakaan adalah peristiwa yang tidak terencana dan
tidak terkendali yang disebabkan oleh faktor manusia
atau lingkungan atau kombinasi dari faktor-faktor
tersebut yang mengganggu proses kerja yang mungkin
dapat mengakibatkan kerusakan properti, cedera,
kematian, atau penyakit akibat kerja
Royal Society for the Prevention of Accidents (RoSPA)
Kecelakaan sebagai sebuah penyimpangan dari keadaan
normal yang berujung pada injury
Bird, 1986 Kejadian yang tidak diinginkan dan berbahaya untuk
manusia atau properti.
Dari beberapa definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa
kecelakaan merupakan kejadian yang menyimpang dan tidak direncanakan yang
dapat menyebabkan kerugian, baik untuk manusia, alat, atau lingkungan.
Kecelakaan terjadi akibat adanya interaksi atau kontak yang tidak seimbang antara
manusia, mesin (alat), dan lingkungan.
2.4 Teori Kecelakaan
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
11
Universitas Indonesia
Heinrich dalam teori domino menjelaskan bahwa kecelakaan timbul
karena adanya kontribusi dari berbagai faktor, seperti faktor lingkungan,
kesalahan manusia, unsafe act, dan unsafe condition. Teori ini mengemukan
bahwa kecelakaan sekitar 88% disebabkan oleh perilaku yang tidak aman, 10%
karena situasi yang tidak aman dan 2% karena hal yang sulit dirinci. (Heinrich,
1980)
Gambar 1. Domino Theory (Heinrich, 1980)
Pada teori domino ini, Heinrich memaparkan bahwa terdapat lima urutan
faktor kecelakaan yang pada akhirnya akan menyebabkan injury. Terjadinya
injury ini dapat dicegah dengan menghilangkan faktor sentral, yaitu, unsafe act
yang merupakan 98% faktor penyebab kecelakaan.
Konsep dasar dari teori ini adalah :
1. Accident merupakan salah satu hasil dari serangkaian kejadian yang
berurutan. Accident tidak terjadi dengan sendirinya.
2. Penyebab terjadinya accident adalah faktor manusia dan faktor fisik.
3. Accident tergantung kepada lingkungan fisik kerja dan lingkungan
sosial kerja.
4. Accident terjadi karena kesalahan manusia.
(Heinrich, 1980)
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
12
Universitas Indonesia
Gambar 2. Piramida kecelakaan (Bird, 1986)
Gambar diatas menunjukkan bahwa kontribusi tindakan yang tidak aman akan
menyebabkan cedera yang parah. Fenomena ini sering digambarkan dengan
fenomena gunung es, dimana kejadian nearmiss dan tindakan yang tidak aman
seringkali terabaikan. Untuk itu, sebaiknya dilakukan pencegahan pada tindakan
yang tidak aman agar tidak berpotensi menjadi cedera yang lebih parah. Dalam
practical loss control leadership menjelaskan bahwa satu kecelakaan terjadi
akibat akumulasi dari (piramida) near miss ini merupakan at risk behaviour atau
perilaku kerja yang tidak aman (Bird, 1986). Bila at risk behaviour ini dapat
dikendalikan maka puncak kecelakaan yang paling parah tidak akan terjadi
2.4 Pencegahan kecelakaan
Prinsip pencegahan kecelakaan dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan, seperti :
1. Pendekatan Teknis
Pendekatan teknis dapat dikendalikan melalui 3 titik, yaitu
pengendalian teknis pada sumber, pengendalian pada path way, dan
pengendalian pada penerima. Pada hirarki pengedalian, pendekatan teknis
dilakukan dengan cara engineering control. Pendekatan teknis ini dapat
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
13
Universitas Indonesia
diaplikasikan dalam bentuk isolasi pada mesin atau modifikasi mesin.
(Ramli, 2010)
2. Pendekatan Manajemen
Bercermin dari loss causation model yang dijelaskan sebelumnya,
manajemen mempunyai kontribusi penting dalam terjadinya kecelakaan.
Pendekatan manajemen ini dilakukan sebagai komitmen dalam
pencegahan kecelakaan di tempat kerja. Dalam hirarki pengendalian,
pendekatan manajemen dilakukan dengan cara administratif control.
Mengembangkan sistem manajemen K3 pada perusahaan adalah salah satu
contoh dalam pendekatan manajemen ini. (Ramli, 2010)
3. Pendekatan Behaviour
Manusia berpotensi melakukan perilaku yang tidak aman. Perilaku
ini dapat menjadi bumerang dalam menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Oleh karena itu, pendekatan terhadap perilaku manusia harus dilakukan
untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Pendekatan ini dilakukan dengan
cara memberikan pelatihan dan pengetahuan tentang K3 pada pekerja.
Pendekatan behaviour ini menjadi alasan bagi pengembangan model aspek
perilaku dalam K3 seperti safety culture. (Ramli, 2010)
2.5 Konsep Budaya
Budaya adalah suatu peradaban dan sebuah tradisi yang merefleksikan
“apa yang telah berlaku di masa lampau”. Budaya juga mencerminkan bagaimana
cara manusia belajar untuk melihat lingkungan dan diri mereka sendiri, anggapan-
anggapan tidak tertulis tentang dunia dan cara manusia berperilaku
(ansn.bapeten.go.id). Dengan kata lain, budaya adalah bagian dari interaksi
manusia dan lingkungannya.
Definisi budaya menurut Edgar Schein, yaitu pola asumsi-asumsi
mendasar yang ditemukan, diperoleh, atau dikembangkan oleh sekelompok orang
sebagai hasil dari proses belajar untuk menyelesaikan masalah adaptasi eksternal
(bagaimana untuk bertahan hidup) dan integrasi internal (bagaimana untuk hidup
bersama), yang tersusun dari waktu ke waktu dan diwariskan dari generasi ke
generasi (ansn.bapeten.go.id). Pertama, budaya muncul dalam interaksi saling
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
14
Universitas Indonesia
menyesuaikan diri. Kedua, budaya terdiri dari unsur-unsur yang dimiliki bersama,
seperti bahasa dan kesempatan untuk berinteraksi. Ketiga, budaya diwariskan
lintas waktu dan lintas generasi dengan media komunikasi. Budaya adalah konsep
kompleks yang harus dianalisis pada setiap tingkatannya sebelum dapat
dimengerti (ansn.bapeten.go.id).
2.5.1 Tiga Tingkatan Budaya
Diagram berikut ini menunjukkan model tingkatan budaya yang
dikembangkan oleh Edgar Schein
Sesuatu yang tampak, misalnya arsitektur, salam
ritual, pakaian, bentuk-bentuk nasehat
Sesuatu yang dapat dijabarkan, misalnya strategi,
tujuan, filsafat hidup
Sesuatu yang tidak tampak – secara tidak sadar
berlaku dan biasanya tersembunyi – seperti sifat-
sifat manusia, alasan seseorang dihormati (IAEA,
2002)
2.5.1.1 Artefak dan perilaku
Tingkatan budaya yang paling mudah diamati adalah artefak, yaitu apa
yang kita lihat, dengar, dan rasakan. Ketika kita memasuki suatu organisasi,
artefak yang paling jelas adalah arsitektur atau desain bangunan. Aspek lainnya
adalah tata letak. Pada tingkat ini budaya sangat jelas dan mempunyai dampak
emosional yang tegas. Akan tetapi kita tidak tahu pasti mengapa setiap organisasi
berbentuk susunan seperti ini atau mengapa manusia berperilaku seperti itu, sulit
untuk dimengerti apa yang sedang terjadi. (IAEA, 2002)
2.5.1.2 Tata Nilai
Artefak dan perilaku
Tata nilai yang dianut
Asumsi-asumsi mendasar
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
15
Universitas Indonesia
Tata nilai yang dianut adalah nilai-nilai yang diterapkan dan didukung
oleh seseorang atau organisasi. Informasi tentang hal ini dapat diperoleh melalui
tanya jawab tentang sesuatu yang kita amati dan kita rasakan. Tata nilai yang
dianut adalah nilai-nilai yang dikatakan oleh suatu kaum dan didukung oleh
mereka. Tata nilai adalah keadaan yang diinginkan tentang sesuatu yang
seharusnya. (IAEA, 2002)
2.5.1.3 Asumsi dasar
Tingkatan ini terletak di tingkat paling dalam dari suatu budaya. Tingkat
ini terdiri dari sikap-sikap yang mendasar yang dimiliki oleh sebagian besar
anggota kelompok budaya, mengakar pada diri mereka tetapi tidak disadari.
(IAEA, 2002). Setiap kelompok budaya dapat dipelajari pada ketiga tingkatan ini,
yaitu tingkat artefak dan tingkah laku, tingkat tata nilai yang dianut dan tingkat
asumsi-asumsi mendasar. Esensi dari budaya terletak pada pola asumsi-asumsi
mendasar, dan sekali seseorang mengerti hal ini, maka ia dapat mengerti tingkatan
budaya yang berada di atasnya dan bertindak dan bersikap benar terhadap
tingkatan budaya tersebut. Untuk mengerti budaya keselamatan secara
menyeluruh, kita harus mengidentifikasi artefak, tata nilai yang dianut, dan
asumsi-asumsi mendasar yang membentuk konsep budaya sebagaimana dapat
diterapkan pada aspek keselamatan.
Artefak paling mudah diamati, tetapi paling sulit untuk ditafsirkan
maknanya. Pengetahuan tentang tata nilai akan membantu dalam mengerti
maknanya, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan apabila asumsi-asumsi dasar telah
dimengerti, maka makna komponen pada tingkat artefak akan lebih jelas.
Tabel 2. Tingkatan budaya dalam aplikasi aspek keselamatan
Tingkatan Contoh Artefak: - objek - bahasa - sejarah - ritual - perilaku
• Kebijakan keselamatan. • Nihil kecelakaan • Penghargaan keselamatan. • Penggunaan alat keselamatan.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
16
Universitas Indonesia
Tata nilai
• Keselamatan adalah prioritas utama. • Tidak ada toleransi pada penurunan
kualitas keselamatan. • Lingkungan kerja yang sehat. • Kesalahan adalah kesempatan untuk
belajar.
Asumsi-asumsi dasar
• Kecelakaan disebabkan oleh kecerobohan.
• Sebagian kecil orang bersifat cenderung celaka.
• Risiko harus diambil untuk mencapai sasaran.
• Keselamatan dapat selalu ditingkatkan. • Kecelakaan pada dasarnya dapat
dihindari. Sumber : IAEA, 2002
2.5.2 Karakteristik pada tingkat artefak dan/atau tata nilai (IAEA, 2002)
Karakteristik pada tingkat ini, dapat berupa :
1. Komitmen top manajemen terhadap keselamatan. Ini merupakan
karakteristik penting, yang jika tidak ada akan sangat menghambat
pengembangan budaya keselamatan secara positif. Top manajemen harus
menunjukkan komitmen mereka dalam bentuk perilaku, sikap terhadap
keselamatan, dan alokasi sumberdaya.
2. Kepemimpinan yang nyata. Ini berhubungan dengan karakteristik
sebelumnya, bahwa top manajeman harus berperilaku mendukung
keselamatan harus terlihat nyata bagi pekerja lainnya. Para top manajer
dapat meningkatkan keselamatan dengan role-play.
3. Pendekatan sistematis terhadap keselamatan. Ini akan tampak pada
kualitas prosedur keselamatan dari sistem manajeman keselamatan dan
dokumentasi keselamatan. Hal yang penting dalam pendekatan sistematis
ini adalah pengkajian risiko dan pengendalian risiko.
4. Kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur. Prosedur harus menyatakan
apa yang harus dilakukan dalam kejadian yang tidak diharapkan, yang
tidak hanya mencakup peraturan atau prosedur yang ada. Pelanggaran
peraturan dan prosedur adalah tanda jelas bahwa budaya keselamatan
lemah.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
17
Universitas Indonesia
5. Motivasi dan kepuasan bekerja. Perilaku para pekerja akan sangat
dipengaruhi oleh motivasi dan kepuasan bekerja mereka miliki.
6. Keterlibatan semua pekerja. Para pekerja tidak akan mempunyai rasa
memiliki terhadap aspek keselamatan jika mereka tidak terlibat dalam
identifikasi masalah-masalah keselamatan dan mencari penyelesaiannya.
Keselamatan adalah suatu bidang di mana semua orang dapat terlibat aktif.
7. Hubungan antara para manager dengan para pekerja. Ada hubungan
yang sehat, keterbukaan dan saling menghormati antara para manajer dan
para pekerja akan membentuk suatu sinergisasi dalam organisasi.
8. Kesadaran akan proses kerja. Para pekerja harus memiliki pengertian
yang baik tidak hanya pada proses kerja yang mereka lakukan, tetapi juga
bagaimana masing-masing proses berinteraksi dengan proses lainnya.
Seharusnya ada dokumentasi yang baik tentang proses-proses yang
berlaku dalam organisasi. Hal itu mencakup manusia, teknologi dan
bagian-bagian organisasi.
2.5.3 Karakteristik pada Tingkatan Tata Nilai (IAEA, 2002)
1. Prioritas utama terhadap keselamatan. Banyak organisasi yang
menyatakan bahwa keselamatan adalah prioritas utama, tetapi tindakan
dan perilakunya tidak selalu sesuai dengantata nilai yang dianutnya.
Kredibilitas organisasi akan merosot jika kenyataannya tidak konsisten
dengan tata nilai yang ada.
2. Keselamatan selalu dapat ditingkatkan. Organisasi tidak akan puas begitu
saja dengan performa kerja dalam keselamatan. Tata nilai ini akan
mencerminkan adanya penerapan terhadap pengkajian-diri.
3. Keterbukaan dan komunikasi. Komunikasi yang baik diperlukan dalam
suatu organisasi. Pekerka mendapatkan saran untuk mendiskusikan
masalah mereka baik secara kelompok atau secara individual. Organisasi
dapat menggunakan saluran komunikasi untuk menjadi penjembatan
antara pekerja. Suatu organisasi akan secara terus menerus mendorong
suasana keterbukaan di antara para karyawannya jika mereka menganut
tata nilai ini.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
18
Universitas Indonesia
2.5.4 Asumsi dasar (IAEA, 2002)
Pandangan terhadap keselamatan: tanggung jawab terhadap keselamatan
berada pada setiap karyawan dan bukan hanya berada pada para manajer dan
pengawas.
2.6 Definisi budaya keselamatan
Tabel 2. Definisi Budaya Keselamatan
Referensi Definisi
ACSNI, Human Factor Study Group, HSC, 1993
The product of individual and group values, attitudes, perceptions, competenciesand patterns of behaviour that can determine the commitment to, and the style and proficiency the competencies and behaviour that of an organisation’s health and safety management system
UK Health and Safety Commission (1993)
‘... the product of individual and group values, attitudes,competencies, and patterns of behaviour that determine the commitment to, and the style and proficiency of, an organisations Health & Safety programmes. Organisations with a positive safety culture are characterised by communications founded on mutual trust, by shared perceptions of the importance of safety, and by confidence in the efficacy of preventative measures'
The International Atomic Energy Authority (IAEA, 1991)
‘...that assembly of characteristics and attitudes in organisations and individuals which establishes that, as an overriding priority, nuclear plant safety issues receive the attention warranted by their significance’
The Confederation of British Industry (CBI, 1991)
‘the ideas and beliefs that all members of the organisation share about risk, accidents and ill health’
Uttal (1983) ‘Shared values and beliefs that interact with an organisations structures and control systems to produce behavioural norms’
Turner, Pidgeon, Blockley & Toft (1989)
‘the set of beliefs, norms, attitudes, roles, and social and technical practices that are concerned with minimising the exposure of employees, managers, customers and members of the public to conditions considered dangerous or injurious’.
Sumber : Towards a Model of Safety Culture (M. D. Cooper Ph.D, 2000)
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
19
Universitas Indonesia
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Budaya keselamatan merupakan konsep yang menggambarkan suatu
kelompok yang mengacu pada nilai yang dimiliki oleh kelompok atau
organisasi.
2. Budaya keselamatan memiliki komitmen yang tinggi akan masalah safety
di organisasi yang berhubungan erat namun tidak terbatas sistem
manajemen serta pengawasan
3. Budaya keselamatan menekankan pada keterlibatan semua pihak di semua
tingkatan dari sebuah organisasi
4. Budaya keselamatan dari suatu organisasi memiliki dampak positif
terhadap perilaku bekerja pada karyawan
5. Budaya keselamatan tercermin dari adanya penghargaan terhadap safety
serta adanya kinerja safety yang terus meningkat
6. Budaya keselamatan akan menggambarkan keunggulan organisasi dalam
mengembangkan diri dan belajar dari setiap kesalahan, insiden, dan
kecelakaan,
7. Budaya keselamatan relatif bertahan lama, stabil, dan tahap terhadap
perusahaan.
2.7 Model dan konsep budaya keselamatan
Model dan konsep budaya keselamatan terus dikembangkan oleh para ahli
dalam penerapannya di berbagai bidang, termasuk dunia industri. Dominic
Cooper, misalnya, seorang ahli psikologi organisasi yang mendalami masalah ini.
Cooper mencoba menguraikan budaya keselamatan dalam suatu batasan yang
mudah dipahami dan mudah diukur. Cooper melihat konsep budaya keselamatan
ini dari sisi : aspek psikologis, aspek perilaku, dan aspek situasi atau organisasi.
Aspek psikologis menekankan pada pribadi manusia sebagai individu. Aspek
pribadi ini misalnya cara pikir, nilai, pengetahuan, motivasi, dan harapan. Aspek
perilaku berkaitan dengan perilaku sehari-hari, seperti kebiasaan dalam
melakukan pekerjaan. Aspek situasi lebih menekankan pada apa yang dimiliki
perusahaan untuk mengatur suatu pekerjaan berlangsung dengan aman, seperti
standar dan sistem keselamatan kerja, SOP, peralatan, dan juga lingkungan kerja.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
20
Universitas Indonesia
Ketiga aspek ini saling mempengaruhi. Dari tiga aspek tersebut dapat diukur
sejauh mana budaya keselamatan tercapai dalam sebuah perusahaan. Jadi,
perkembangan budaya keselamatan tidak lepas dari ketiga aspek tersebut.
Gambar 3. Konsep Budaya Keselamatan (Cooper, 2000)
Perkembangan model budaya keselamatan juga dipaparkan oleh E. Scott
Geller yang banyak berkontribusi juga dalam pengembangan Behaviour Based
Safety (BBS). Konsep budaya keselamatan Geller disebut ‘total safety culture’.
Prinsip model budaya keselamatan Geller dan Cooper hampir serupa, menekankan
pada tiga aspek. Geller memaparkan bahwa budaya keselamatan merupakan hasil
interaksi antara tiga komponen, yaitu pribadi, perilaku, dan lingkungan.
Gambar 4. Total safety culture (Geller, 2001)
SAFETY CULTURE
Person (knowledge, skill,
abilities, intelligence)
Environment (SOP, Tools, Equipment,
Hosekeeping)
Behaviour (complying, coaching,
recognizing)
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
21
Universitas Indonesia
Tabel 3. Perbandingan Beberapa Model mengenai Budaya Keselamatan
Scott Geller Dominic Cooper IAEA
Pengertian In a total safety culture (TSC), everyone feels responsible for safety and pursues it on a daily basis (safety culture)
concerned with the shared perceptions and beliefs that workers hold regarding safety in their work place
that assembly of characteristics and attitudes in organizations and individuals which establishes that, as an overriding priority, nuclear plant safety issues receive the attention warranted by their significance
Fokus Behaviour and person approach
Safety climate, Manajemen sistem
Manager’s Commitment
Sumber Engineering (i.e. equipment design) and psychology (i.e. behavioural and social sciences)
Literature review of characteristics that differentiate between high versus low accident-rate companies
Literature review
Model Kausal
ABC-model (A=Activator, B= Behaviour and C=Consequence)
Not explicitly stated Not explicitly stated
Variabel Environment, Behaviour, Person
Job, Organization, Person
Policy level commitment, Managers’ commitment, Individuals’ commitment
Kekurangan dan Kelebihan
`A safety professional's ultimate goal is to achieve a total safety culture'
Assess any changes in the perceptions of safety climate that may have occurred as a result of a goal-setting and feedback intervention
Subset of the culture of the whole organization, whereby the latter comprises the mix of shared values, attitudes and patterns of behaviour that give the organization its particular character.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
22
Universitas Indonesia
Menurut HRMI Project Spesification, 2004, terdapat lima indikator dalam
budaya keselamatan, yaitu :
1. Komitmen
Dalam hal ini, komitmen team leader akan berpengaruh pada
performance pekerja dalam melakukan pekerjaan yang aman. Selain itu,
komitmen team leader akan berpengaruh aspek dimana keselamatan itu
ditempatkan, apakah keselamatan itu merupakan suatu prioritas atau tidak.
Komitmen dari team leader dapat dilihat dari komunikasi verbal (safety tour dan
safety meeting) dan komunikasi tertulis (kebijakan)
2. Komunikasi dua arah
Komunikasi dua arah ini dilakukan secara horishontal maupun vertikal,
antara atasan dan bawahan atau sesama karyawan. Komunikasi secara vertikal
dibuktikan dengan kebijakan tertulis yang menjelaskan mengenai isu keselamatan.
Salah satu cara lain dalam komunikasi dua arah ini adalah dengan melakukan
safety reporting, yaitu komunikasi isu untuk mendapatkan feedback. Komunikasi
horishontal dapat dilakukan dengan media verbal.
3. Keterlibatan karyawan
Dalam hal ini, partisipasi karyawan juga penting untuk menciptakan
budaya keselamatan. Salah satu fasilitas yang digunakan dalam memancing
keterlibatan karyawan adalah dengan adanya pelatihan, menyediakan kesempatan
untuk karyawan dalam melakukan tanggung jawab personal, dan konsultasi.
4. Pembelajaran budaya keselamatan
5. Attitude toward blame
Budaya keselamatan lebih menekankan pada aspek perilaku (apa yang
orang lakukan), dimana keselamatan berhubungan dengan aksi dan perilaku
manusia. Selain itu, budaya keselamatan memperhatikan aspek situasional (apa
yang organisasi lakukan). Aspek situasional ini meliputi prosedur, regulasi, dan
kebijakan. Kajian budaya keselamatan suatu organisasi tidaklah mudah. (Ridwan,
2011)
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
23
Universitas Indonesia
Dalam prakteknya, budaya keselamatan dengan pendekatan perilaku
memakan waktu yang lama dalam prosesnya. Dalam bagan berikut akan
digambarkan tentang hubungan waktu dengan tingkat insiden :
Bagan tersebut menjelaskan bahwa ketiga pendekatan tersebut
berpengaruh dalam suatu tingkat insiden yang terjadi. Pendekatan perilaku
memang membutuhkan waktu yang lama, namun pengaruhnya cukup signifikan
dalam menurunkan tingkat insiden yang terjadi.
2.8 Safety culture maturity level
Terdapat 10 elemen dari safety culture maturity model :
1. Komitmen manajemen
2. Komunikasi
3. Produktivitas vs keselamatan
4. Pembelajaran organisasi
5. Sumber daya safety
6. Partisipasi
7. Persepsi tentang safety
8. Kepercayaan
Engineering improvements
Safety emphasis Compliance
• Reporting • Assurance • Competence • Risk
Management
• Behaviour • Visible leadership / personal
accountability • Shared purpose & belief • Aligned performance
commitment & external view
Gambar 5. Hubungan perilaku keselamatan berdasarkan
waktu dan insiden rate
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
24
Universitas Indonesia
9. Hubungan industri dan kepuasan kerja
10. Pelatihan
Gambar 6 Safety Culture Maturity Level
Salah satu metode pengamatan perilaku dengan STOP. Program STOP
merupakan salah satu tools yang dikembangkan untuk observasi tindakan aman
atau tidak aman. Program ini, dikembangkan dari program Behaviour Based
Safety, sebagai tools untuk menciptakan penanaman nilai-nilai keselamatan pada
karyawan
2.9 Latar belakang program STOP
Dupont melakukan penelitian selama 10 tahun dan menghasilkan suatu
produk bernama kartu STOP. Fokus penelitian dupont adalah mencari solusi
dalam melindungi manusia, properti, dan lingkungan. Penelitian ini digunakan
dengan pendekatan behaviour based safety. Awalnya, penelitian ini dilakukan
untuk membuktikan teori Heinrich mengenai kontribusi faktor unsafe act/unsafe
condition dalam menyebabkan kecelakaan. Program keselamatan dari Dupont
menyatakan kecelakaan di tempat kerja akibat dari perilaku yang berisiko (at risk
behaviour), khususnya unsafe act. Perilaku yang tidak berisiko ini yang menjadi
cikal bakal dari pembuatan kartu STOP.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
25
Universitas Indonesia
Heinrich dalam teori domino menyebutkan bahwa 88% dari kecelakaan di
dunia industri disebabkan oleh unsafe act, sisanya sebesar 10% disebabkan oleh
unsafe condition dan 2% disebabkan oleh keadaan yang sulit dirinci. Inilah yang
menjadi dasar penelitian yang dilakukan Dupont. Dalam penelitian ini, Dupont
menyimpulkan bahwa 96% dari kasus injuri disebabkan oleh unsafe acts dan 4%
disebabkan oleh unsafe condition (United steelworkers of America, 2005). Itulah
yang menjadi dasar dari pembuatan kartu STOP untuk mengobservasi perilaku
seseorang.
Gambar 7. Penyebab utama hilangnya hari kerja (United
steelworkers of America)
Dasar dari pengembangan kartu STOP ini adalah behaviour based safety
(BBS). Thomas Krause menegaskan kembali bahwa BBS adalah sebuah program
yang berkontribusi untuk meningkatkan efektivitas penerapan hierarchi of
control, dengan memasukkan unsur intervensi perilaku manusia. BBS melakukan
upaya pencegahan dengan mengandalkan perilaku manusia karena kecelakaan
disebabkan 88% unsafe act. Dalam hal ini, peran BBS dalam mengintervensi
perilaku manusia melalui stimulus (teori Pavlov) dan respons (teori Bandura).
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
26
Universitas Indonesia
Pavlov dengan teori perilaku classical condition menyatakan pemberian
stimulus akan otomatis berpengaruh pada respon seseorang. Berikut merupakan
bagan yang menggambar teori perilaku classical condition :
Conditioned Stimulus (CS) Conditioned Respon (CR)
Unconditioned Stimulus (UCS) Unconditioned Respon (UCR)
(Sunyoto, 2000)
Keterangan :
1. Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui
kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik.
2. Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral
dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi (UCS).
3. Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara
otonom atau dengan sendirinya.
4. Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari
penggabungan CS dan US.
Respon mengacu pada perubahan perilaku yang melibatkan adanya
aktivitas yang disebabkan oleh otot dan kelenjar. Respon dapat berupa respon luar
dan respon dalam. Sedangkan stimulus mengacu pada segala perubahan yang ada
dalam lingkungan. Istilah lain dari stimulus adalah rangsangan. Seperti halnya
respon, stimulus dapat berasal dari luar maupun dari dalam. Dalam penerapan
BBS, stimulus yang diberikan terus menerus adalah melakukan observasi perilaku
secara terus menerus yang pada akhirnya menghasilkan perubahan perilaku yang
aman. (Sunyoto, 2000)
Operant conditioning merupakan tingkah laku membentuk suatu
konsekuensi, seperti perilaku positif akan mendapatkan konsekuensi pujian atau
hadiah, sebaliknya perilaku negatif akan mendapatkan sebuah konsekuensi berupa
pujian atau hadiah. Operant conditoning merubah perilaku dengan
menghubungkan akibat yang didapat. Teori Operant Conditioning dikemukan
oleh B.F Skinner. Penerapan dalam BBS adalah bila dalam melakukan observasi
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
27
Universitas Indonesia
perilaku kerja didapatkan pekerja yang telah melakukan pekerjaannya dengan
benar dan aman maka pekerja tersebut harus diberi reinforcement agar pekerja
tersebut mengerti bahwa yang ia lakukan benar dan aman sehingga perilaku kerja
aman diulangi terus menerus. (Sunyoto, 2000)
Penguatan (reinforcement) adalah peristiwa atau sesuatu yang dianggap
sebagai hadiah atau mungkin hukuman yang menyebabkan makin besar
kemungkinan stimulus tertentu menghasilkan respon tertentu, makin besar
kemungkinan stimulus tertentu menghasilkan respon tertentu. Penerapan dalam
BBS reinforcement memotivasi seseorang melakukan perilaku yang aman.
(Sunyoto, 2000). Geller dalam jurnal yang berjudul “Understanding Behaviour
Based Safety” menjelaskan bahwa teori ABC menjelaskan hubungan antara
Activator, Behaviour, Consequence. Activator adalah keadaan yang memicu
behaviour, sedangkan consequence adalah keadaan yang timbul akibat perilaku.
2.10 Safety Training Observation Program
Program STOP adalah suatu program untuk mengobservasi tindakan yang
tidak aman yang dilakukan orang lain. Dengan program ini, setiap individu dilatih
untuk mengamati lingkungan kerja dan mengamati perilaku yang tidak aman dari
sesama pekerja. Program ini tidak hanya melatih pekerja untuk mengamati
lingkungan sekitarnya, tetapi juga melatih seseorang untuk mengidentifikasi
bahaya yang ada di lingkungan kerja. Program ini diaplikasikan dalam bentuk
kartu yang dapat diisi pekerja. Kartu STOP ini juga dapat digunakan untuk
mencatat hal-hal yang sudah aman. STOP memberi wewenang setiap orang untuk
melakukan intervensi dari tindakan yang tidak aman, bersedia melakukan
pendekatan dengan karyawan, menekankan tindakan yang aman di tempat kerja,
membiasakan budaya aman dan selamat.
Program ini mencoba menekan angka insiden dengan penekanan pada
perilaku selamat dan menghilangkan perilaku berisiko di tempat kerja. Program
ini bertujuan untuk mengubah perilaku dengan observasi dan memberikan umpan
balik, baik yang positif maupun perilaku yang berisiko. Observasi yang dilakukan
dalam pengamatan STOP ini adalah observasi perilaku bukan observasi kondisi.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
28
Universitas Indonesia
Namun, kondisi yang tidak aman tetap bermula dari perilaku yang tidak
aman.Selain itu, program ini melatih tenaga kerja untuk mengamati, mencegah,
dan melaporkan tindakan yang tidak aman, melatih pekerja mengamati dan
menanamkan praktek kerja yang selamat. Dengan STOP dapat meningkatkan
safety performance, mengurangi kemunduran produksi dan biaya terkait cidera.
Tujuan dari aplikasi kartu STOP adalah untuk meningkatkan tingkat
kesadaran keselamatan (safety awarness) pada karyawan. Untuk jangka panjang,
diharapkan program ini dapat membentuk safety culture pada karyawan. Namun,
untuk membentuk safety culture tidaklah mudah. Untuk itu, tujuan jangka pendek
dari program ini adalah untuk melatih karyawan dalam mengamati tindakan yang
aman/tidak aman. Manfaat dari penggunaan kartu STOP antara lain,
meningkatkan keahlian pengamatan, meningkatkan kualitas komunikasi diseluruh
organisasi, mengkomunikasikan komitmen manajemen tentang keselamatan,
mengembangkan keahlian safety leadership, mengurangi jumlah cedera
(www.pdo.com). Adapun, prinsip dasar dari aplikasi kartu STOP adalah :
Semua cedera dan penyakit akibat kerja dapat dicegah.
Keselamatan adalah tanggungjawab setiap orang.
Manajemen bertanggungjawab langsung dalam pencegahan cedera dan
penyakit akibat kerja.
Keselamatan merupakan persyaratan kerja.
Pelatihan merupakan elemen penting guna menciptakan tempat kerja yang
aman
Audit keselamatan haruslah dilakukan.
Praktek kerja aman haruslah didorong dan semua tindakan/kondisi tidak
aman harus diperbaiki dengan segera.
Cedera, penyakit akibat kerja dan near-miss haruslah diselidiki.
Safety off the job merupakan bagian penting dari keseluruhan upaya
keselamatan.
Pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja merupakan tindakan yg
menguntungkan.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
29
Universitas Indonesia
Orang/karyawan merupakan elemen terpenting untuk mencapai sukses
dalam program keselamatan dan kesehatan kerja.
Siklus kartu STOP akan dijabarkan sebagai berikut :
Gambar 8. Siklus STOP (Dupont, 2000)
Dalam melakukan program STOP ini, hal yang terpenting dilakukan adalah
melakukan pengamatan. Kategori pengamatan dalam kartu STOP adalah posisi
seseorang, reaksi seseorang, perkakas dan peralatan, kerapihan, prosedur, dan alat
pelindung diri. Selain melakukan observasi, tahap yang tidak kalah penting adalah
melakukan intervensi sesudah melakukan observasi. Intervensi ini digunakan
untuk melengkapi proses pengamatan STOP untuk menentukan penyebab dasar
dari tindakan seseorang. Untuk melakukan intervensi, dapat dilakukan beberapa
cara, seperti melakukan percakapan dengan orang yang diamati, mendiskusikan
hasil pengamatan mengenai tindakan tidak aman, dan bersepakat mengenai
tindakan perbaikan guna mencegah terjadinya pengulangan. Dalam pengamatan
STOP nama orang yang diamati tidak boleh dicantumkan dalam kartu.
Pengamatan ini tidak terkait dengan kebijakan disiplin karyawan. Rollout dari
program STOP ini adalah pembentukan stop team yang akan memberikan training
kepada VP/manager, manager kemudian melakukan training pada supervisor,
supervisor pada pekerja bawahnya.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
30
Universitas Indonesia
Ada beberapa arti penting dari STOP (STOP Training Package) :
1. STOP berarti komunikasi, komunikasi antara sesama rekan kerja atau
komunikasi antara atasan dan staff. Komunikasi ini perlu dibangun untuk
meningkatkan kesadaran akan perilaku yang selamat bagi pekerja. Dengan
adanya komunikasi secara dua arah, pekerja dilatih untuk lebih peka dalam
mengamati lingkungan kerja sekitarnya.
2. STOP juga berarti komitmen dari top manajemen dalam bidang K3.
Komitmen ini juga dilaksanakan oleh karyawan. Pengisian kartu STOP
bukan hanya untuk memenuhi kuantitas dan target pencapaian tetapi juga
mencapai suatu kualitas pengembangan budaya keselamatan pada
individu.
3. Program stop tidak mengenal hukuman terhadap perilaku kerja yang tidak
aman karena hal tersebut tidak akan merubah perilaku permanen.
Pelaporan observasi perilaku dengan kartu STOP tidak boleh menyebutkan
nama, jenis kelamin atau identitas lainnya yang mudah dikenal terhadap
pekerja yang diobservasi. Hal ini untuk mencegah agar pekerja tidak
menaruh curiga terhadap observasi sebab tujuannya bukan untuk blame
person tapi memperbaiki perilaku yang tidak aman.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
BAB III
Kerangka Teori, Kerangka Konsep, dan Definisi Operasional
3.1 Kerangka Teori
3.1.1 Safety Culture
Scot Geller (2001) mengembangkan suatu teori budaya keselamatan yang
dikenal dengan "The Safety Triad". Dalam teorinya ini, Geller menyebutkan
bahwa budaya keselamatan dipengaruhi 3 faktor yang saling berinteraksi, yaitu
person, behaviour, environment
Sumber : Geller, 2001
Budaya keselamatan sangat penting diterapkan pada sebuah organisasi
karena akan membentuk suatu sikap selamat berguna untuk meningkatkan
perilaku selamat setiap individu (Zohar,1980). Aspek person dalam budaya
keselamatan dikenal dengan istilah safety climate. Aspek ini merupakan aspek
mendasar yang mempengaruhi aspek perilaku manusia. Ketika perilaku yang
dilakukan oleh individu sudah mencakup kesadaran akan keselamatan, ini akan
berpengaruh pada lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, perilaku yang baik
akan menular pada lingkungan sekelilingnya. Lingkungan yang mendukung akan
membentuk budaya keselamatan.
Kunci dari budaya keselamatan adalah dimulai dari aspek person. Oleh
karena itulah, faktor person menjadi fokus variabel utama. Selain itu, dalam faktor
Environment
Safety Culture
Behaviour Person
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
32
Universitas Indonesia
person juga terkandung nilai-nilai, kepercayaan, maupun persepsi yang dimiliki
oleh individu maupun kelompok akan organisasi terhadap nilai safety suatu
organisasi (Cox&Flin, 1998). Dari aspek tersebut akan membentuk suatu perilaku
maupun suatu sistem yang mempengaruhi organisasi sehingga diharapkan mampu
mengukur sampai dimana pemahaman nilai safety yang ada di suatu organisasi
tersebut. Aspek person ini dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Dengan berlandaskan alasan tersebut, kerangka teori diatas akan
disederhakan dan difokuskan pada faktor person saja.
3.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep disesuaikan dengan variabel dari kerangka teori yang
diadaptasi dari Safety Triad oleh Geller (2001) yang mencakup tiga aspek dalam
pembentukan budaya keselamatan. Teori ini cukup sesuai untuk pembentukan
suatu perilaku selamat dalam suatu kelompok untuk terciptanya budaya selamat.
Tiga aspek tersebut, yaitu faktor orang, lingkungan, dan perilaku. Dari faktor
orang itu sendiri, dapat dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Penulis
menyederhanakan variabel yang ada, sehingga didapatkan faktor internal dan
eksternal yang terkait dengan perilaku pekerja.
Faktor Internal : Pengetahuan Persepsi Bahaya
Faktor Eksternal : Pelatihan Pengawasan Sanksi/Reward Prosedur Komitmen Komunikasi Sosialisasi
Pelaksanaan Program STOP
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
33
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur
1 Pengetahuan Hasil tahu dari keadaan manusia yang mencari informasi mengenai suatu hal
Kuesioner Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar kuesioner Ordinal
2 Persepsi bahaya Suatu langkah awal untuk memandang adanya potensi bahaya yang ada di tempat kerja dengan subjektivitas individu.
Observasi Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar/Form identifikasi bahaya (checklist)
Nominal
3
Pengawasan Upaya pendorong yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekuasaan dalam mengayomi orang lain
Kuesioner Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar kuesioner Ordinal
4 Pelatihan Proses pembelajaran pendek yang sistematis untuk menambah pengetahuan atau meningkatkan keterampilan dalam suatu hal. .
Kuesioner Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar kuesioner Ordinal
5 Sangksi/ penghargaan
Upaya pemberian hadiah dan hukuman sebagai risiko melakukan pekerjaan yang benar/salah
Kuesioner Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar kuesioner Ordinal
6 Prosedur Suatu aturan yang dibuat untuk menjamin suatu pekerjaan dilakukan dengan benar
Kuesioner Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar kuesioner Ordinal
3.3 Definisi Operasional, Skala Ukur, Hasil Ukur, Alat Ukur, dan Skala Ukur
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
34
Universitas Indonesia
7 Komunikasi Cara penyampaian pesan dengan media tertentu oleh sumber pada penerima
Kuesioner Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar kuesioner Ordinal
8 Sosialisasi program
Cara komunikasi untuk menyampaikan pesan dari komunikan kepada khayalak
Kuesioner Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar kuesioner Ordinal
9 Komitmen Sikap untuk terlibat dalam upaya-upaya mencapai misi, nilai-nilai dan tujuan organisasi dan bentuk loyalitas yang konkret
Kuesioner Baik, jika nilai lebih dari mean Tidak baik, jika nilai kurang dari mean
Lembar kuesioner Ordinal
10 Pelaksanaan Program Stop
Proses yang berlangsung dalam menjalankan suatu program STOP hingga mencapai tujuan tertentu
Observasi Safe act Unsafe act
Lembar kuesioner Ordinal
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
BAB 4
Metodologi Penelitian
4.1 Desain penelitian
Penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
pelaksanaan program STOP di lingkungan perkantoran PT. X Indonesia tahun
2011 ini dilakukan secara kuantitatif analitik. Penelitian ini ingin menggambarkan
hubungan faktor individu, baik faktor internal atau eksternal, dengan pelaksanaan
program STOP di lingkungan kantor. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
desain studi observasional, yaitu cross sectional (potong lintang). Desain studi ini
dipakai karena variabel dependen dan variabel independen diteliti dalam waktu
bersamaan.
4.2 Waktu dan Lokasi
Penelitian mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Pelaksanaan Program STOP di lingkungan perkantoran PT. X Indonesia tahun
2011 ini dilakukan pada bulan Maret hingga April 2010 di perusahaan British
Petroleum (PT. X), Jakarta.
4.3 Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT. X Indonesia yang
tercatat bekerja di head office. Jumlah seluruh populasi pekerja mencapai 327
orang yang tersebar dalam 10 departemen. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini dipilih secara random dari beberapa divisi. Untuk menghitung
banyak sampel yang ingin diteliti, digunakan perhitungan sebagai berikut:
2/12
z * )1(* pp * N
d2 (N-1) + 2/12
z * )1(* pp
(Ariwan, 1998)
s =
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
36
Universitas Indonesia
Keterangan :
p = perkiraan proporsi (0,5) nilai 0,5 ini didapatkan karena tidak ada angka
prevalens pada penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, diambil nilai proporsi
sebesar 50% dari populasi keseluruhan
d = presisi nilai presisi pada penelitian in sebesar 10% (0,1) diambil karena
penelitian ini baru pertama dilakukan
z = nilai z pada interval kepercayaan dipakai 95% yang nilainya 1,96
N = jumlah populasi di lingkungan kantor
S = jumlah sampel seluruhnya
Dari hasil perhitungan sampel diatas, didapatkan nilai S sebesar 76 sampel.
4.4 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen utama berupa kuesioner. Dalam
kuesioner tersebut, dibagi menjadi beberapa kategori besar, seperti kategori
pengetahuan sebanyak 13 pertanyaan dengan beberapa alternatif jawaban.
Kategori komunikasi dan sosialisasi sebanyak 4 pertanyaan dengan 3 pertanyaan
tertutup dan 1 pertanyaan terbuka. Kategori persepsi bahaya berupa checklist
sebanyak 9 jenis bahaya dengan alternatif jawaban, tinggi, sedang, rendah.
Kategori komitmen dengan pertanyaan sebanyak 7. Kategori pelatihan dengan
pertanyaan sebanyak 5. Kategori sanksi dan reward sebanyak 4 buah. Instrumwn
lain yang digunakan adalah panduan wawancara yang terstruktur. Wawancara
tidak dilakukan pada semua responden karena keterbatasan waktu, sehingga
wawancara dilakukan secara acak pada beberapa responden yang mempunyai
waktu untuk dimintai keterangan dalam pelaksanaan STOP ini.
4.5 Uji Validitas Kuesioner
Instrumen yang baik harus memenuhi dua syarat yaitu validitas dan
reliabel. Untuk menguji keandalan kuesioner dilakukan uji validitas dan
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
37
Universitas Indonesia
reliabilitas dengan SPSS. Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan
suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Uji validitas ini dilakukan
dengan menggunakan SPSS. Bila nilai r hitung komputer lebih besar dari nilai r
tabel artinya pertanyaan valid, namun sebaliknya jika nilai r hitung lebih kecil dari
r tabel maka pertanyaan tidak valid. Untuk mencari r tabel, Df = n-2 dengan alfa =
5 % (0,05). Jika hasilnya tidak valid maka dilakukan uji kembali dengan
penghapusan/penghilangan item yang bernilai kurang dari R tabel. Uji validitas
akan dilampirkan pada lembar lampiran.
4.6 Uji Reliabilitas Kuesioner
Reliabilitas adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran atau
serangkaian alat ukur. Uji yang digunakan adalah uji crombach alpha. Prinsip uji
reliabilitas ini adalah dengan membandingkan nilai crombach alpha dengan nilai
konstanta (0,6). Bila nilai Crombach ≥ 0,6 maka kuesioner reliable, namun bila
nilai crombach < 0,6, maka kuesioner tidak reliable. Uji reliabilitas akan
dilampirkan pada lembar lampiran.
4.7 Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer didapatkan dengan observasi, wawancara terstuktur
pada responden yang mengisi kuesioner, dan kuesioner. Kuesioner merupakan
instrumen pengumpulan data atau informasi yang dioperasionalkan dalam bentuk
pertanyaan. Kuesioner dapat berbentuk pertanyaan terbuka atau pertanyaan
tertutup. Kuesioner ini diarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai
pengetahuan karyawan tentang program STOP, pelatihan, persepsi bahaya,
komitmen, sanksi dan reward, serta mengenai komunikasi-sosialisasi. Wawancara
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen perusahaan
4.8 Manajemen Data
Data-data yang telah diperoleh dalam penelitian selanjutnya akan diolah
sehingga dapat dilakukan intepretasi yang benar. Adapun manajemen data yang
dilakukan adalah :
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
38
Universitas Indonesia
1. Coding Data, yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode pada
masing-masing data. Editing Data, yaitu penyuntingan data sebelum
proses pemasukan data.
2. Struktur Data dan File Data, yaitu pengembangan data dengan
menggunakan perangkat lunak yang ada.
3. Entry Data, yaitu pemasukan data pada perangkat yang digunakan.
4. Cleaning Data, yaitu pembersihan data dari kesalahan yang mungkin saja
terjadi pada tahap pemasukan data.
4.9 Analisis Data
Data yang telah diperoleh dan diolah selanjutnya dianalisis sehingga dapat
dilakukan intepretasi terhadap data-data tersebut. Analisis data diolah dengan
menggunakan software SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Data
tersebut merupakan hasil dari lembar kuesioner yang telah disebar pada responden
karyawan PT. X Indonesia. Sebelumnya kuesioner akan diuji validitas dan
reliabilitas pada karyawan untuk mengetahui pertanyaan apa yang relevan untuk
ditulis di kuesioner.
Analisis data pada setiap variabel disesuaikan, misalkan pada variabel
sangksi dan reward, dilakukan skoring (nilai 1= Sangat tidak setuju, 2= Tidak
setuju, 3=Setuju, 4=Sangat Setuju). Pada proses SPSS, nilai-nilai ini kemudian di
proses dengan compute lalu di recode menjadi satu kelompok. Dari kelompok
variabel baru inilah kemudian dilakukan analisis deskriptif, dengan mencari mean,
median, CI, persentase, dan percentil. Dari analisis tersebut dikelompokkan
menjadi dua kategori, baik dan tidak baik. Untuk mengetahui hasilnya, nilai
keluaran dibandingkan dengan mean (jika distribusi variabel normal) atau
dibandingkan dengan median (jika distribusi variabel tidak normal). Analisis data
untuk variabel lainnya dilakukan per item, untuk mendapatkan analisis deskriptif.
Untuk mengetahui hubungan antara setiap variabel dengan pelaksanaan STOP,
dilakukan uji chi square.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
BAB 5
Gambaran Umum Perusahaan
PT. X adalah salah satu perusahaan terbesar yang bergerak di bidang
energi, khususnya minyak dan gas. PT. X merupakan produsen minyak dan gas
terbesar di Inggris dan North Sea dan Shetland West. Di Amerika, PT. X
merupakan produsen minyak dan gas terbesar berdasarkan aset utamanya di Teluk
Meksiko. Di Asia, PT. X merupakan prionir produksi gas alam lepas pantai
(offshore) dan menjadi produsen gas terbesar untuk pasar domestik di Indonesia.
Perusahaan ini berpusat di UK, Inggris dan mempunyai banyak cabang di Eropa,
Amerika Utara, dan Amerika Selatan, Asia, Australasia, Afrika, dan Rusia.
Aktivitas utama dari perusahaan ini adalah eksplorasi dan produksi minyak dan
gas alam, penyulingan minyak, marketing, supply dan transportasi, dan
manufactur petrokimia. Hampir 100.000 orang bekerja di 100 negara di 6 benua.
Aktivitas eksplorasi perusahaan ini mencakup 26 negara, dan 27.800 service
stasion disediakan sekitar 13 milyar pelanggan per hari. PT. X merupakan salah
satu investor asing terbesar di Indonesia.
5.1 Visi, Misi dan Tujuan PT. X Global
a. Visi
Membantu dunia dalam memenuhi kebutuhan energi dengan memproduksi
energi yang terjangkau, aman , dan tidak merusak lingkungan.
b. Misi
Progresif
Menjalin hubungan baik dengan mitra kerja dan pelanggan yang saling
menguntungkan.
Bertanggung jawab
Berkomitmen terhadap keselamatan dan pengembangan sumber daya
manusia serta masyarakat dimana PT. X beroperasi. Bertujuan untuk
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
40
Universitas Indonesia
tidak ada kecelakaan, membahayakan manusia, dan kerusakan pada
lingkungan.
Inovatif
Mendorong batas dan menciptakan terobosan baru melalui kerjasama
antara manusia dan teknologi.
Kinerja Optimal
Perbaikan yang berkesinambungan dan aman serta operasi yang handal
menjadi bukti kinerja optimal PT. X dalam memenuhi janji.
c. Tujuan
Mendukung masyarakat, melestarikan lingkungan
PT. X memiliki komitmen jangka panjang terhadap komunitas
dimana PT. X bekerja. PT. X menyadari bahwa tidak hanya memiliki
tanggung jawab untuk menciptakan pendapatan yang cepat dari
investasi tetapi juga memiliki tanggung jawab terhadap komunitas
dimana PT. X bekerja. Apapun yang PT. X lakukan, dimanapun PT. X
melakukannya, PT. X selalu berusaha untuk melestarikan dan
memperbaiki lingkungan sekitar, memberikan dukungan terhadap
pengusaha dan membantu pendidikan yang berhubungan dengan energi.
Perbaikan organisasi
Perbaikan organisasi di PT. X dilakukan dengan mengukur
kemajuan yang ada di PT. X. Ukuran kemajuan tidak hanya bergantung
pada sudut pandang PT. X sendiri, tetapi juga melalui laporan tahunan
PT. X yang mencatat mengenai kemajuan terhadap lingkungan,
kesehatan, keamanan dan ukuran lainnya yang diverifikasi oleh Ernst &
Young. PT. X juga secara teratur mengundang pelanggan, pemegang
saham, pemasok dan lainnya untuk memberikan pendapat tentang PT.
X sebagai bahan perbaikan organisasi.
Mencari energi untuk bahan bakar masa depan
Beberapa tantangan yang begitu besar ada di dunia. Salah satu
contoh tantangan tersebut adalah ancaman perubahan iklim. Kebutuhan
untuk memanfaatkan energi dengan sebaik-baiknya untuk menopang
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
41
Universitas Indonesia
kehidupan sangat diperlukan. PT. X berusaha menemukan cara untuk
menyeimbangkan tantangan yang akan menentukan masa depan energi,
setidaknya untuk beberapa dekade mendatang. PT. X membantu dengan
memberikan beberapa solusi dengan menyediakan bahan bakar,
produk-produk, dan energi yang dibutuhkan untuk saat ini dan masa
yang akan datang.
5.2 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan
a. Tahun 1901-1908
Pada tahun 1901, pencarian minyak dimulai oleh William D’Arcy.
Pada tahun 1908 dilakukan pemboran hingga mencapai
kedalaman1.180 kaki, setelah itu minyak keluar dari tanah. Dalam
waktu setahun, perusahaan minyak Anglo-Persian yang saat ini
menjadi PT. X, melakukan perdagangan di London dan Glasgow.
b. Tahun 1909-1924
Sekitar tahun 1909, Anglo-Persian membangun kompleks kilang di
Naphtha untuk mengubah aliran minyak mentah kental menjadi produk
yang berguna. Pada tahun 1914 proyek Anglo-Persian hampir
mengalami kebangkrutan.
c. Tahun 1925-1945
Pada tahun 1920-1930 mobil-mobil membanjiri jalanan Eropa dan
Amerika Serikat. Pompa bensin berlabel PT. X muncul di sekitar
Inggris. Ada 69 pompa bensin pada tahun 1921 dan lebih dari 6.000
pompa bensin pada tahun 1925. Pada tahun 1935, Persia berubah nama
menjadi Iran sehingga Anglo-Persian berubah nama menjadi Anglo-
Iranian.
d. Tahun 1946-1970
Seperti perusahaan lainnya, Anglo-Iranian, yang kemudian menjadi
PT. X mengalami banyak kerugian dalam perang dunia II. Pada tahun
1954, Anglo-Iranian berubah nama menjadi The British Petroleum.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
42
Universitas Indonesia
Pada tahun 1960, teknologi minyak telah mengalami banyak
kemajuan. Pada tahun 1965, British Petroleum menemukan gas alam
di selat Inggris yang dapat digunakan sebagai sumber energi untuk
sebuah kota menengah. Pada tahun 1969, British Petroleum melakukan
eksplorasi di Prudhoe Bay di Alaska. Pada tahun 1970, eksplorasi
lepas pantai berpindah dari Selat Inggris ke Laut Utara. Ditemukan
sebuah lahan yang disebut “Forty Field” yang dapat menghasilkan
400.000 barel minyak mentah dalam sehari.
e. Tahun 1971-1999
Pada tahun 1971 terjadi kudeta militer di Libya. Hal ini
menyebabkan British Petroleum mengalami kesulitan dalam distribusi
pengangkutan minyak di kawasan Timur Tengah. Pada akhir 1990-an
British Petroleum berubah nama menjadi PT. X dan dengan persaingan
yang ketat dalam industri energi maka terjadi serangkaian merger
terkemuka. PT. X dan Amoco bergabung dan membentuk PT. X
Amoco. Kemudian ARCO,Castrol dan Aral juga begabung dengan PT.
X
f. Tahun 2000
Pada tahun 2000, periode pertumbuhan PT. X beserta kelompok
seperti Amoco dan ARCO serta Castrol terbilang baik. PT. X
meluncurkan logo baru yang diidentifikasikan dengan warna hijau,
kuning dan putih. Logo baru tersebut melambangkan energi dalam
segala bentuk yang dinamis.
5.3 PT. X Indonesia
PT. X telah beroperasi selama lebih dari 35 tahun di Indonesia. Kegiatan
terbesar yang dilakukan oleh perusahaan ini adalah produksi dan eksplorasi gas
dan minyak. Saat ini, PT. X Indonesia mempekerjakan 1200 orang. Kantor pusat
PT. X membawahi bagian upstream performance unit yaitu Java Gas PU dan
Tangguh PU. Proyek LNG Tangguh ini akan dibahas lebih lanjut. LNG Tangguh
terletak di Teluk Bintuni, Kabupaten Babo, Papua Barat. Lahan LNG Tangguh ini
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
43
Universitas Indonesia
ditemukan oleh Arco. Ladang ini kemudian dieksplorasi menjadi ladang gas.
Hasil utama dari LNG Tangguh berupa Liqufied Natural Gas (LNG). Proyek
LNG Tangguh ini melibatkan pengambilan gas bersih sekitar 14,4 trilliun kubik
feet dari perut bumi.
PT. X Indonesia memiliki pernyataan (statement) yang dirangkai oleh
perusahaan dalam bentuk tujuan dan komitmen, yaitu :
1. Tujuan PT. X Indonesia
Tujuan PT. X Indonesia adalah untuk berhasil di setiap kegiatan yang
dilakukan dengan mempersembahkan kinerja yang berkualitas tinggi yang
menggerakan daya saing perusahaan serta pengembalian yang sesuai dan
kompetitif bagi perusahaan dan masyarakat.
2. Komitmen PT. X Indonesia
Komitmen PT. X untuk menyalurkan penampilan yang terbaik di seluruh
operasi di Indonesia dengan menggunakan teknologi, dan kemampuan dan
pengalaman untuk mencari solusi baru dan inovatif dalam menghadapi tantangan
pada sektor minyak dan gas di Indonesia.
5.4 Sejarah LNG Tangguh
LNG tangguh memiliki area kerja sebesar 3.380 hektar per property area.
Area kerja ini merupakan area hutan hujan tropis. Proyek ini berada dalam remote
area di daerah Papua Barat. LNG ini merupakan komoditi yang menghasilkan
devisa yang cukup besar untuk Indonesia. PT. X merupakan perusahaan yang
dipegang oleh Arco. Selanjutnya terjadi merger antara PT. X dengan Arco, Vico,
dan Amoco. Pada tahun 2002, mulai dilakukan pencarian lokasi untuk
menemukan lahan yang berpotensi menghasilkan minyak atau gas. Tahun 2005,
LNG Tangguh mulai melakukan konstruksi untuk membangun sarana prasarana
operasi. Sebagian dari wilayah yang digunakan oleh PT. X merupakan daerah
pemukiman penduduk di daerah Wiriagar dan Tanah Merah Lama pada rentang
tahun 2004-2005. Awalnya, tahun 2002 mulai dilakukan pencarian awal lokasi
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
44
Universitas Indonesia
yang berpotensi menghasilkan minyak dan gas. Sejak tahun 2009, LNG tangguh
sudah mulai beroperasi.
Gambar 10. Layout LNG Tangguh
Gambar 9. Peta Proyek LNG Tangguh
Gambar 1. Peta LNG Tangguh
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
45
Universitas Indonesia
5.5 Struktur Organisasi Perusahaan
Sebagai suatu perusahaan multinasional dan multidisiplin, PT. X Indonesia
mempunyai struktur organisasi seperti PT. X dipimpin oleh seorang presiden dan
resident manager, yang membawahi 17 executive vice president, vice president,
senior vice president , dan senior manager. Adapun bidang-bidang yang dikelola
oleh VP dan senior VP, meliputi : Supply Chain Management, Goverment and
Public Affair, Human Resources Administration, subsurface, FC & P, Marketing,
Java Gas, Tangguh Gas, Pagerungan, East Java Growth Gas, On North West Java,
Java LNG, Drilling, PSS, Field & Support Team, dan HSE (Health and Safety
Environment)
5.6 Proses Kerja
PT. X merupakan salah satu investor asing terbesar di Indonesia. PT. X
telah beroperasi selama lebih dari 35 tahun di Indonesia. Kegiatan terbesar yang
dilakukan oleh perusahaan ini adalah produksi dan eksplorasi gas dan minyak.
Saat ini, PT. X Indonesia mempekerjakan 1200 orang. Salah satu proyek yang
dilakukan PT. X Indonesia adalah proyek LNG Tangguh. LNG Tangguh terletak
di Teluk Bintuni, Babo, Papua Barat. Lahan LNG Tangguh ini ditemukan oleh
Arco. Ladang ini kemudian dieksplorasi menjadi ladang gas. Hasil utama dari
LNG Tangguh berupa Liqufied Natural Gas (LNG). Proyek LNG Tangguh ini
melibatkan pengambilan gas bersih sekitar 14,4 trilliun kubik feet dari perut bumi.
Proses kerja produksi LNG Tangguh akan dijabarkan sebagai berikut : dua
platform produksi mengumpulkan gas bersih dari reservoir, kemudian dikirim
melalaui pipa bawah laut. Dua platform ini biasa dinamai dengan VRA dan VRB.
Dalam VRA, terdapat 6 sumur minyak yang dialirkan ke bawah laut. Sedangkan,
dalam VRB terdapat 9 sumur minyak yang digunakan untuk mengambil minyak
dan gas dari bawah laut. Pada sumur minyak tersebut dilakukan proses drilling
untuk mencapai dasar laut. Minyak dan gas yang sudah diambil kemudian
dialirkan melalui pipa dengan panjang 42 km dan diameter 26 inch. Namun,
kapasitas gas yang diambil lebih banyak daripada minyak, karena produk utama
dalam LNG Tangguh ini berupa gas. Dari VRA dan VRB dihasilkan gas sekitar
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
46
Universitas Indonesia
7,6 mtpa. Gas tersebut disimpan dalam ORF (Onshore Receiving Facilities). Di
ORF ini, terjadi pemisahan antara gas yang ingin diolah menjadi LNG dan
kondensat. Kondensat yang dihasilkan kemudian dialirkan ke tangki kondensat.
Sedangkan gas yang dihasilkan, diolah kembali dalam dua train. Gas yang ingin
dihasilkan untuk produksi LNG ini adalah gas metana. Namun, ada hasil
sampingan yang dihasilkan dari gas tersebut adalah ethana, propona, butana, dan
pentana. Untuk propana, butana, dan pentana digunakan untuk memproduksi
LPG. Dari ORF, gas dibawa ke train 1 dan train 2, tepatnya pada unit 21 dan 22.
Pada unit ini, dilakukan proses AGRU (Acid Gas Removal Unit) untuk
memisahkan asam dan karbondioksida. Dari unit 21 dan 22 ini dihasilkan sweet
gas dengan kadar karbondioksida yang diperbolehkan (CO2 on spec). Produk yang
sudah dihasilkan pada unit 21 dan 22 dibawa ke unit 31 dan 32 untuk dilakukan
proses mercury removal dan dehidration, untuk menghilangkan mercury dan H2O.
Hasil dari proses ini didapatkanlah dry gas dengan kadar mercuri dan H2O on
spec. Selain itu pada unit ini juga dilakukan proses pemisahan terhadap metana,
etana, propana, butana, dan propana. Untuk produk metana yang dihasilkan lalu
dijual, untuk produk etana digunakan sebagai freon untuk proses pendinginan.
Freon ini dilakukan untuk menurunkan suhu dari metana yang berkisar 5700C
hingga suhu metana yang diinginkan sekitar -1600C. Metana yang sudah sesuai
dengan spec akan dialirkan ke tanki LNG. Ada dua tangki LNG. Kapasitas tangki
LNG sebesar 170.000 m3. Dari tangki LNG, gas akan siap dijual. Sedangkan
propana, butana, dan pentana akan menjadi kondensat dan dibawa ke tangki
kondensat. Kapasitas tangki kondensat sebesar 20.000 m3.
Berikut ini adalah bagan alir proses kerja di LNG Tangguh :
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
47
Universitas Indonesia
Gambar 11. Alur Kerja LNG
Fasilitas lain yang terdapat pada LNG Tangguh ini meliputi :
1. Sistem pembuangan limbah padat
2. Ventilasi untuk emisi gas
3. Sistem pengolahan limbah
4. Utilities lain, seperti pasokan air untuk memenuhi kebutuhan operasi
dari 41 cubik meter per jam dan generator listrik untuk menggerakan
turbin sebesar 105 MW, bahan bakar, dan supply nitrogen.
5.7 Alat-Alat dan Mesin
Alat yang digunakan untuk proses produksi adalah train gas, LNG @ 3,8
mtpa, 2 NUI @vorwata with dedicate pipeline. NUI (Normally Unattendent
Information) dikontrol secara terpusat dari pusat main control building (MCB),
dan 1 tank condesor, VRA dan VRB yang digunakan sebagai deck dan pipa.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
48
Universitas Indonesia
5.8 Gambaran Umum HSE Department
HSE Department yang terdapat di PT. X Indonesia merupakan sebuah
departemen yang berdiri sendiri dan sejajar dengan departemen lainnya. HSE
Department ini berhubungan langsung dengan departemen lain dan memiliki
program-program kerja K3 tersendiri. Departemen ini memiliki laporan bulanan
yang harus diberikan kepada project manager dan safety manager regional serta
laporan triwulan (tiga bulanan) ke Depnaker.
Our goals
“No Accidents, no harm to people, and no damage to the environment.”
“NIhil kecelakaan, tidak membahayakan manusia, dan tidak membahayakan lingkungan”
Sasaran PT. X terhadap HSE, PT. X memiliki ciri khas dalam mengejar
dan mencapai prestasi di bidang kesehata, keselamatan kerja, dan lindungan
lingkungan tetapi di perusahaan PT. X disebut HSE. Komintmen PT. X terhadap
prestasi HSE merupakan salah satu dari lima kebijakan grup bisnis (etika,
karyawan, hubungan kerja, prestasi HSE, pengendalian dan manajemen
keuangan). Untuk mencapai sasaran tersebut PT. X memiliki HSE Management
Sytem Network yang terdiri dari 13 elemen sebagai sarana untuk mencapai
sasaran tersebut, yaitu :
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
49
Universitas Indonesia
5.9 Kebijakan dan Komitmen Perusahaan terhadap HSE
PT. X Indonesia memiliki kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja yang
merupakan sebuah bentuk komitmen yang dipegang teguh oleh perusahaan.
Kebijakan tersebut dijabarkan sebagai berikut :
Setiap orang yang bekerja untuk PT. X E&PAsPac SPU bertanggung
jawab untuk melaksanakan HSSE dengan tepat. Kinerja HSE dan
kesehatan, keselamatan dan keamanan yang baik dari setiap orang yang
bekerja untuk kami sangat penting untuk keberhasilan bisnis PT. X.
Target kita dinyatakan dengan sederhana - nihil kecelakaan, tidak melukai
orang, dan tidak merusak lingkungan
Kami akan :
berkonsultasi, mendengarkan dan memberikan respon terbuka kepada para
pembeli, karyawan, tetangga, kelompok kepentingan umum dan mereka
yang bekerja dengan kami
bekerja dengan orang lain - mitra kami, pemasok, pesaing dan regulator -
untuk meningkatkan standar industri kami
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
50
Universitas Indonesia
patuh dengan semua hukum dan peraturan yang berlaku dan setiap
persyaratan lainnya perusahaan perlu taati
seluruh jajaran manajemen di site operasional PT. X bertanggung jawab
atas performa HSE terus meningkatkan dan melaporkan secara terbuka
performa kami, baik dan buruk
mengenali mereka yang berkontribusi untuk meningkatkan performa kerja
HSE
Rencana bisnis kami meliputi pencapaian target HSE. Kami semua berkomitmen
untuk memenuhinya dan terus memperbaikii performa HSE melalui
melaksanakan sistem manajemen setempat dan peninjauan secara berkala.
Safety adalah kewajiban setiap orang dan semua personil mempunyai
tanggung jawab untuk menghentikan pekerjaan jika tidak aman
5.10 Struktur Organisasi K3 (terlampir)
5.11 Program Kerja Departemen HSE
Adapun program kerja Departemen HSE, meliputi :
1. COW (Control of Work), meliputi :
Menerapkan dan memelihara COW site steering commitee
Melakukan audit eksternal COW
Update prosedur dan material COW
Mengembangkan kampanye terhadap hazard awarness
2. Process Safety, program kerjanya antara lain :
Mengembangkan dan menerapkan proses operasi manajemen
risiko di site
Menyediakan pelatihan mengenai root causes untuk
menyampaikan prinsip 5 Why, faktor kritikal, dan metode
investigasi yang terstruktur
Mengembangkan dan melaksanakan proses pengukuran untuk
mendorong audit yang konsisten dan meningkatkan analisis
kecenderungan monitoring.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
51
Universitas Indonesia
Mengembangkan metode untuk memonitor ketersediaan sistem
keamanan kritis dengan persyaratan Standar Kinerja. Fokus pada
sistem Fire & Gas untuk mematuhi rekomendasi OMS.
Mengembangkan lesson learned dari kejadian atau insiden yang
terjadi di dalam dan luar proyek Tangguh, serta memberikan
pemahaman dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip keselamatan
dan pengetahuan proses manajemen risiko.
Memberikan modul dan pelatihan model keselamatan untuk
Tangguh site.
Menyampaikan laporan bulanan mengenai proses keselamatan
untuk identifikasi progress KPI
Memberikan asuransi kesehatan
3. Deliver site S&O audit action
4. Investigasi Insiden dan Lesson Learning, meliputi program kerja sebagai
berikut :
Program pelatihan untuk PT. X TL dan manager dalam proses
investigasi kecelakaan untuk meluruskan teminologi, proses, alat,
dan meningkatkan kualitas hasil.
Implementasi program lesson learn di site untuk mendapatkan
pelajaran baik secara internal maupun eksternal
5. HSE induction, meliputi :
Memperbaharui video induction
Mengembangkan sebuah video induction NUI lepas pantai
Mengembangkan video HSE Induction mengenai LNG Plant
Mengembangkan sebuah video induksi untuk fasilitas Babo
Mengembangkan kartu informasi pra-kedatangan bagi personil
baru ke site
6. HSE Kampanye, meliputi :
Memberikan 5 program kerja dan membahas tentang STOP yang
tidak aman pada pertengahan tahun
Melakukan penelaahan kepatuhan APD untuk semua kontraktor
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
52
Universitas Indonesia
Meningkatkan kampanye Keselamatan Mengemudi di situs
disesuaikan dengan kami rencana perbaikan Keselamatan
Mengemudi
Memulai sidang untuk transisi dari STOP untuk program
keselamatan BOSS perilaku
7. Program Asuransi
8. Prosedur Hse
Semua prosedur ISSOW dapat direvisi dalam bentuk bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris
Memperbaharui prosedur HSE dan ekspektasi OMS
9. Sistem Tanggap Darurat
Menyelesaikan pemeriksaan fungsi fasilitas: ICP, Shorebase,
MCB, Babo dan Bravo Sierra
Pastikan kesiapaan HSE untuk CAT 5 dan otorisasi bandara Babo
Sosialisasi dan revisi IMP Tangguh dan ERP IMT
Atur audit sebagai per tindakan 1017-015-011 untuk ditinjau ER
sebelum 31 Juli
10. Project interface – WWT safe start up
11. Safey execution of project & TARs in 2011
Memastikan persyaratan training dan standar HSE diidentifikasi
untuk setiap aktivitas proyek.
Implementasi lesson learn sebelum TAR 1 dan pre TAR 2
Review latihan dan pelajaran HSE sesudah TAR 1 dan 2
12. Manajemen kontraktor
Implementasi persyaratan revisi HSE untuk tahun 2011
berdasarkan kontrak kerja
Mengenali perbaikan terms & conditions untuk personil kontraktor
dalam meminimalisasi risiko.
13. Health
Pengenalan mengenai program Tangguh Healthy Living
Promosi terhadap manajemen stress kerja dan fatique
Pengenalan program skrinning obat
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
53
Universitas Indonesia
Program surveilans kesehatan
Membangun program untuk skrining malaria
14. Environment
Implementasi ISO-14001 dengan program manajemen lingkungan,
kampanye dan training lingkungan, audit surveilans,internal audit
dan review manajemen
Mendukung TAR 2011, untuk penanganan kontaminasi merkuri.
15. Compliance
Menjaga keabsahan peraturan yang berlaku
16. Kapabilitas organisasi
Program CMAS
Kepatuhan secara resmi di site
Kompetensi manajemen risiko
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
BAB 6
HASIL
6.1 Karakteristik Responden
Responden yang dapat dimasukkan sebagai objek penelitian adalah
Responden yang bekerja di lingkungan perkantoran PT. X Indonesia, baik karyawan
kontrak maupun karyawan tetap dari beberapa departemen. Responden yang menjadi
objek penelitian digolongkan berdasarkan umur dan lama bekerja. Dari hasil tersebut
didapatkan :
Gambar 12. Karakteristik responden berdasarkan umur
Gambar 13. Karakteristik responden berdasarkan lama kerja
01020304050
< 25 26-30 31-35 >36
Karakteristik Responden berdasarkan Umur
Umur
05
101520253035
1-3 tahun 3-5 tahun 5-7 tahun 7-9 tahun
Karakteristik Responden berdasarkan Lama Kerja
Lama Kerja
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
55
Universitas Indonesia
Karakteristik responden berdasarkan umur, diketahui bahwa responden
mayoritas berumur 26-30 tahun sebanyak 41 responden (54%), sedangkan 17
responden berusia 31-35, sisanya 12 responden berusia kurang dari 25 tahun, dan 1
responden berusia lebih dari 36 tahun. Sedangkan untuk karakteristik responden
berdasarkan masa kerja, diketahui bahwa 32 responden sudah bekerja selama kurun
waktu 3-5 tahun, 25 orang sudah bekerja dalam kurun waktu 5-7 tahun, 14 orang
sudah bekerja dalam rentang 7-10 tahun, dan sisanya 5 responden bekerja dalam
kurun lebih dari 10 tahun. Beberapa responden dalam kuesioner ini juga yang
menjadi Responden dalam wawancara yang dilakukan.
6.2 Pelaksanaan Program STOP
Dari hasil wawancara terstuktur yang dilakukan, dapat diketahui bahwa
pelaksanaan program ini sudah berjalan dengan baik. Program yang telah dijalankan
selama 10 tahun di lingkungan perkantoran PT. X Indonesia ini, terbukti berhasil
dalam menurunkan angka insiden yang terjadi. Dari tahun 2008 hingga tahun 2010,
diketahui angka insiden yang terjadi mengalami penurunan. Di tahun 2011 ini, belum
terjadi insiden di wilayah perkantoran. Pelaksanaan program ini mengacu pada
pencapaian target per bulan. Untuk masing-masing departemen, target penerimaan
kartu STOP bersikar antara 2-3 kartu per bulan. Setiap departemen mempunyai target
masing-masing. Pernyataan Responden mengenai pelaksanaan program STOP ini
dapat dilihat dari kutipan berikut :
“Di team ku setiap orang diminta submit stopcard minimal 2 per bulan. Ini masuk di
performance contract (daftar kerjaan yang akan dikerjakan pertahun), dan ini
dijadikan nomor pertama di performance contract, buat nunjukin kalo kita sangat
perduli dengan safety. Tapi bukan berarti wajib, nanti nya bisa submit bisa engga,
tapi nanti akhir tahun di review, siapa yang submit terus dikasih penghargaan, dan
siapa yang ga pernah submit atau kurang performance nya di ajak diskusi biar lebih
rajin. Tapi ini beda2 tiap team ya, kalo team yang di office mungkin mirip, 2 stop
perbulan.” (Responden 1 dari team Eksplorasi)
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
56
Universitas Indonesia
“Kalo disini, setiap orang per bulannya submit 2 kartu per bulan. Gak wajib
juga sih, tapi nanti kalo paling banyak submit bisa dapet reward di akhir
tahunnya.” (Responden 2 dari team Tangguh Operation)
“Sama dengan kebanyakan departemen lainnya, disini submit 3 kartu
sebulan. Tapi, disini wajib mengsubmit 3 kartu, termasuk dalam daftar tugas
bulanan yang harus dikerjakan. Kartu tersebut dikumpulkan pada STOP
representatif” (Responden 3 dari team Drilling)
Pelaksanaan program ini pada beberapa departemen sudah berjalan dengan
baik. Namun, secara menyeluruh, tidak semua departemen aktif menjalankan
program ini. Dari hasil observasi diketahui bahwa departemen HR kurang
berpartisipasi dalam pelaksanaan program ini. Ini dikarenakan kesadaran yang rendah
akan keselamatan di lingkungan kerja. Karyawan departemen ini menganggap bahaya
dan risiko yang ada di lingkungan perkantoran rendah. Selain itu, karyawan
mempunyai anggapan bahwa susah menemukan kejadian yang aman/tidak aman
dalam sebulan. Beberapa responden menilai program ini kurang efektif, karena
adanya target oriented, yang menyebabkan rekayasa cerita dari karyawan untuk
memenuhi kuantitas kartu. Selain itu, pengamatan yang dilakukan cenderung
monoton.
“Sepertinya bahaya dan risiko yang ada di kantor minim ya, jadi sulit
rasanya menemukan tindakan yang tidak aman dalam 1 bulan” (Responden 1
HR)
“Tidak rutin mengsubmit kartu STOP karena kurang dibudayakan disini”
(Responden 2 HR)
“Program ini memang bagus, tapi adanya target per departemen
menyebabkan suka ada yang ngarang-ngarang cerita untuk memenuhi target”
(Responden 1 Tangguh Operation )
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
57
Universitas Indonesia
Dari hasil penelitian, frekuensi pengisian kartu STOP pada 50% karyawan
dilakukan 2x dalam satu bulan. Sebanyak 11 responden mengisi kartu STOP 1 bulan
sekali, sisanya 17 responden mengisi kartu STOP 1 bulan 3x, dan 8 responden
mengisi kartu STOP 1 bulan lebih dari 3x (tabel 6.1). Frekuensi pengisian kartu
STOP ini didasarkan pada kuantitas (target) masing-masing departemen. Ada
beberapa departemen yang mempunyai target pengisian kartu STOP 2 kali dalam
sebulan, seperti departemen operation, departemen finance, dan departemen
explorasi. Ada juga beberapa departemen yang mempunyai target pengisian kartu
STOP 3 kali dalam sebulan, seperti departemen drilling dan Ada pula beberapa
departemen yang tidak menjalankan program ini, karena less awarness mengenai
keselamatan.
Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Pengisian kartu STOP di PT. X Indonesia tahun
2011
Variabel Frekuensi Pengisian
n %
1 x 11 16 %
2 x 38 50 %
3 x 17 24 %
Lebih dari 3 x 8 10 %
Total 76 100%
Pelaksanaan program ini juga mendapatkan dukungan dari manajemen. Ini
dilakukan sebagai komitmen manajemen dalam mendukung program keselamatan di
perusahaan. Selain, dukungan dari manajemen, program ini juga cukup banyak dikuti
karyawan. Dalam arti kata, partisipasi karyawan dalam program ini sudah membumi
di beberapa divisi. Secara kasat mata, memang program ini berjalan dengan baik,
namun masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaan program ini. Hambatan
yang ada ini meliputi hambatan secara teknis ataupun non teknis. Pernyataan
Responden mengenai hambatan pelaksanaan STOP ini akan dikutip sebagai berikut :
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
58
Universitas Indonesia
“Persediaan kartu STOP terbatas” (Responden 1 dari team FM)
“Lupa untuk menuliskan kondisi aman/tidak aman pada saat kejadian”
(Responden 1 dari team Finance)
“Sudah banyak terjadi kesamaan dalam hal pengisiian STOP.
sehingga terjadi pengulangan pengamatan dalm hal tidakan dan kondisi yang
tidak aman. ketika ada target yg di-set, kualitas tidak menjadi prioritas.
Pengisian STOP menjadi kebiasaan berupa perulangan-perulangan
tindakan.” (Responden 2 dari team Finance)
“Masih banyak sifat sungkan dalam budaya kita sehingga menghambat
pengembangan kesadaran akan kondisi aman. Misalnya sungkan dalam
menegur orang yang menyebabkan kondisi tidak aman” (Responden 2 dari
team Eksplorasi)
“Isi dari apa yang diamati di kartu STOP tidak dibaca team
leader.“(Responden 2 dari team FM)
”Lamanya tindakan perbaikan yang dilakukan, selain itu, kondisi aman/tidak
aman ataupun tindakan perbaikan/pencegahan jarang dibagikan untuk proses
pembelajaran.” (Responden 3 dari team FM)
“Menemukan tindakan tidak aman dalam satu bulan terkadang sulit”
(Responden 3 dari team Finance)
Dalam pelaksanaan program STOP ini, dominasi perilaku aman dan tidak
aman masih menjadi isu utama. Program ini merupakan suatu program untuk
penanaman nilai keselamatan tahap awal dalam mengobservasi perilaku aman dan
tidak aman. Perilaku aman dan tidak aman ini tentunya dipengaruhi beberapa faktor,
seperti faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang ada di dalam
pribadi masing-masing, seperti tingkat pengetahuan dan persepsi bahaya. Faktor
eksternal yaitu faktor yang muncul dari pengaruh luar diri sendiri, seperti lingkungan.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
59
Universitas Indonesia
Cut of point dari setiap variabel yang termasuk faktor eksternal dan internal
adalah nilai mean. Jika nilai dari item-item pertanyaan pada variabel kurang dari
mean, maka dikategorikan menjadi tidak baik. Sebaliknya jika nilai dari item-item
pertanyaan pada variabel lebih dari mean, maka dikategorikan menjadi baik.
Tabel 6.2 Distribusi Univariat Variabel-Variabel Penelitian terhadap Program STOP di PT. X
Indonesia tahun 2011
Variabel Baik Tidak Baik Jumlah
n % n % n %
Pengetahuan 28 37% 48 63% 76 100%
Persepsi 43 57% 33 43% 76 100%
Prosedur 70 92% 6 8% 76 100%
Komunikasi 67 88% 9 12% 76 100%
Sosialisasi 69 90% 7 10% 76 100%
Pelatihan 65 86% 11 14% 76 100%
Reward/Punishment 45 59% 31 41% 76 100%
Pengawasan 36 33% 40 47% 76 100%
Komitmen 43 57% 33 43% 76 100%
Dalam kuesioner yang disebarkan, terdapat enam pertanyaan mengenai
pengetahuan. Pertanyaan ini dikembangkan seputar program STOP, seperti tujuan,
manfaat, siklus STOP, intervensi yang dilakukan, kategori pengamatan dalam STOP,
dan juga pertimbangan sebelum melakukan pengamatan. Dari hasil penelitian dapat
diketahui bahwa lebih dari 50% karyawan yang mempunyai tingkat pengetahun yang
kurang baik mengenai program STOP (tabel 6.2).
Persepsi karyawan terhadap bahaya tergolong baik (57%) (tabel 6.2). Lebih
lanjut, persepsi bahaya ini sebelum dilakukan pengkategorian, dilihat menurut
masing-masing bahaya yang ada, seperti :
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
60
Universitas Indonesia
Tabel 6.3 Distribusi Persepsi Bahaya yang Muncul di Lingkungan Kerja PT. X
Indonesia tahun 2011
Variabel Rendah Tinggi Total
Persepsi Bahaya N % N % n %
Ergonomi 30 39,5% 46 60,5% 76 100%
Bising 39 51,3 % 37 48,7 % 76 100%
Cahaya 48 63,2% 28 36,8 % 76 100%
Listrik 20 26,3 % 56 73,7 % 76 100%
Kebakaran 33 43,4 % 43 56,6 % 76 100%
IAQ 25 32,9 % 51 67,1 % 76 100%
Suhu 27 35,5% 49 64,5 % 76 100%
House keeping 19 25% 57 75 % 76 100%
Stress 17 22,4% 59 77,6 % 76 100%
Dari hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa, persepsi bahaya yang
muncul tergolong pada tingkat bahaya yang tinggi. Bahaya yang tergolong rendah
hanya bising, bahaya yang lain masih terbilang cukup tinggi.
Untuk variabel prosedur, diketahui bahwa 72 responden (92%) karyawan
menilai prosedur yang ada di lingkungan kerja sudah baik (tabel 6.2). Penilaian item-
item pertanyaan pada prosedur, meliputi prosedur yang memadai, tujuan HSE PT. X,
prosedur awal dalam penanganan tindakan yang tidak aman. Dari item tersebut,
diketahui bahwa :
Tabel 6.4 Distribusi Prosedur Kerja di PT. X Indonesia tahun 2011
Variabel Prosedur
Keselamatan
Tujuan HSE Prosedur
Memadai
n % n % n %
Ya 76 100 % 75 99 % 75 99%
Tidak 0 0 % 1 1% 1 1%
Total 76 100% 76 100% 76 100%
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
61
Universitas Indonesia
Dari hasil penyebaran kuesioner mengenai prosedur kerja kepada 76
responden di lingkungan kantor, sebanyak 75 responden (99%) menyatakan bahwa
prosedur kerja di PT. X Indonesia sudah memadai, sisanya sebanyak 1 (1%)
menyatakan prosedur kerja yang ada kurang memadai (tabel 6.4). Sebanyak 75
responden (99%) mengetahui tujuan dari HSE PT. X Indonesia, sedangkan sisanya 1
repsonden (1%) tidak mengetahui tujuan HSE PT. X (tabel 6.4). Untuk setiap
pekerjaan yang ada sudah dilengkapi prosedur keselamatan, ini diketahui dari 100%
responden menilai bahwa dalam prosedur pekerjaan yang dilakukan telah
dicantumkan juga prosedur keselamatan.
Dalam variabel komunikasi diketahui bahwa sebanyak 67 responden (88%)
menyatakan bahwa komunikasi yang dilakukan sudah baik. Untuk sosialisaisi,
sebanyak 90% menyatakan bahwa sosialisasi program ini sudah berjalan dengan baik.
(tabel 6.2). Komunikasi ini baik secara horishontal maupun vertikal, sesama
karyawan, maupun atasan dan bawahan. Ini ditunjukkan dengan hasil wawancara
beberapa Responden mengenai cara komunikasi pesan dalam kartu STOP pada objek
yang diamati. Pernyataan responden tersebut dikutip sebagai berikut :
“Menyampaikan secara langsung dengan cara yang friendly, tidak men-
judge jika tindakan orang tersebut salah dan memberi tahu tindakan yang
sebaiknya diambil sebagai langkah koreksi dari kesalahan/keadaan tidak
aman yang disebabkan.” (Responden 1 eksplorasi)
“Menyampaikan dengan cara baik-baik, bukan menegur dgn keras jika ada
tindakan/keadaan kurang aman dan memberikan apresiasi kepada
seseorang jika ia bekerja secara aman atau membuat lingkungan kerja
menjadi aman” (Responden 2 eksplorasi)
“Penyampaian lebih ke asking, bukan instruction, kemudian memberikan
pandangan kita/anjuran bila diperlukan, tidak bersifat blaim.” (Responden
3 eksplorasi)
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
62
Universitas Indonesia
“Mengamati orang apabila dalam aktivitasnya kondisinya tidak aman/
aman, memberikan arahan yang benar apabila tindakannya salah dan
mempertahankan apabila tindakannya benar dalam melakukan
aktivitasnya.” (Responden 1 finance)
“Berkomunikasi dengan baik dan sopan dan berupaya untuk berdiskusi
tentang dampak yang mungkin timbul dari perbuatan tersebut serta
bagaimana solusinya. “(Responden 2 finance)
Dalam item pertanyaan sosialisasi program, didapatkan sebesar 54% (41
responden) disampaikan oleh team leader, sebesar 20% (15 responden) mengetahui
program STOP dari rekan kerja, dan sisanya sebesar 26% (20 responden) tahu
program STOP dari sumber lain, seperti HSE Group, Safety Induction, atau Safety
Meeting. Sosialisasi program ini ditunjang dengan media sebagai perantara kepada
karyawan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden 47 (62%)
sosialisasi program dilakukan dengan media visual, sedangkan sisanya 29 responden
(38%) menyatakan program sosialisasi lebih efektif dilakukan dengan media verbal.
Sebesar 65 responden atau 86% karyawan menilai pelatihan mengenai STOP
ini sudah berjalan dengan baik (tabel 6.2). Dalam variabel pelatihan terdapat
pertanyaan, mengenai keikutsertaan pelatihan, metode pelatihan, dan analisis
kebutuhan pelatihan. Hampir seluruh responden, 88% responden sudah mengikuti
pelatihan mengenai STOP. Sedangkan untuk metode pelatihan yang banyak
dilakukan adalah dengan metode lain-lain, seperti audiovisual, multimedia, dan
gambar (tabel 6.5). Sedangkan untuk analisis kebutuhan pelatihan, sebesar 71 (93%)
responden menilai kebutuhan akan pelatihan STOP ini diperlukan dan sisanya
sebanyak 5 responden (7%) menilai kebutuhan akan pelatihan ini tidak perlukan
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
63
Universitas Indonesia
Tabel 6.5 Distribusi pendapat karyawan mengenai metode pelatihan program
STOP di PT. X Indonesia tahun 2011
Variabel Metode Pelatihan
n %
Kuliah Umum 11 14 %
Role play/simulasi 17 23 %
Studi kasus 13 17 %
Diskusi Kelompok 13 17 %
Lain-lain 22 29 %
Total 76 100%
Sebesar 45 responden menilai bahwa reward dan punishment yang selama ini
dilakukan dalam menunjang program STOP ini berjalan dengan baik. Untuk
pengawasan, sebanyak 36 responden mengatakan pengawasan yang berjalan dalam
pelaksanaan program ini sudah baik. Komitmen manajemen yang ada juga sudah
baik, dilihat dari 57% karyawan menilai komitmen dari top manajemen sudah
memfasilitasi program ini dengan baik (lihat tabel 6.2).
6.3 Perilaku terhadap program STOP
Untuk menilai perilaku dilakukan observasi tindakan yang aman atau yang
tidak aman yang dilakukan responden. Observasi ini dilakukan dengan mengamati
proses kerja yang dilakukan apakah sesuai dengan prosedur dan standar yang ada atau
tidak. Dari hasil observasi tersebut didapatkan bahwa responden lebih dominan
melakukan tindakan yang tidak aman, ini dibuktikan dengan sebanyak 50 responden
(66%) melakukan tindakan yang tidak aman yang memenuhi kategori pengamatan
dalam kartu STOP. Mayoritas responden melakukan tindakan tidak aman yang
melanggar kategori posisi seseorang dan kerapihan. Tindakan ini meliputi posisi kerja
yang salah dan workstation yang dipenuhi buku, file, dan makanan.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
64
Universitas Indonesia
Tabel 6.6 Distribusi perilaku safe dan unsafe act pada responden penelitian di
PT. X Indonesia tahun 2011
Variabel Perilaku dalam
Pelaksanaan STOP
n %
Perilaku Unsafe Act 50 66 %
Perilaku Safe Act 16 44%
Total 76 100%
6.4 Analisis Hubungan
6.4.1 Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Dalam kuesioner yang disebarkan, terdapat enam pertanyaan mengenai
pengetahuan. Pertanyaan ini dikembangkan seputar program STOP, seperti tujuan,
manfaat, siklus STOP, intervensi yang dilakukan, kategori pengamatan dalam STOP,
dan juga pertimbangan sebelum melakukan pengamatan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 6.7 Distribusi Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Pengetahuan
Pelaksanaan Total
P value (one tail)
OR 95% CI unsafe act safe act
N % N % N %
pengetahuan Tidak baik 36 75% 12 25% 48 100%
0,046
Baik 8 29% 20 71% 28 100% 1,2 0,421-
3,424 Total 32 42% 44 58% 76 100%
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dan pelaksanaan program STOP
diperoleh bahwa sebanyak 36 (75%) responden memiliki pengetahuan tidak baik
yang diikuti dengan perilaku tidak aman. Sedangkan diantara responden yang
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
65
Universitas Indonesia
memiliki pengetahuan baik, ada 20 (71%) responden cenderung berperilaku aman.
Hasil uji statistik diatas memperlihatkan nilai p value sebesar 0,046, maka dapat
disimpulkan semakin baik pengetahuan dari responden kecenderungan perilaku yang
aman juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tidak baik pengetahuan responden
kecenderungan berperilaku tidak aman juga cenderung tinggi. Dari hasil analisis ini
juga diperoleh nilai OR sebesar 1,2 yang artinya responden yang berpengetahuan baik
mempunyai peluang 1,2 kali untuk beperilaku aman dibanding responden yang
berpengetahuan tidak baik.
6.4.2 Hubungan Persepsi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Berikut ini hasil analisis mengenai hubungan persepsi terhadap bahaya
dengan perilaku dalam pelaksanaan STOP :
Tabel 6.8 Distribusi Hubungan Persepsi terhadap Bahaya Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Persepsi Pelaksanaan Total
P
value
OR 95% CI unsafe act safe act N % N % N %
Persepsi Tidak baik 21 64% 12 36% 33 100% 0,05 1,4 10,8-
15,8 Baik 8 19% 35 81% 43 100% Total 29 38% 47 62% 76 100%
Hasil analisis hubungan antara persepsi bahaya dan perilaku pelaksanaan
program STOP diketahui bahwa semakin baik persepsi pekerja mengenai suatu
bahaya dapat meningkatkan perilaku aman dalam pelaksanaan STOP. Sebanyak 35
responden (81%) yang mempunyai persepsi baik cenderung berperilaku aman lebih
besar dari pada kecenderungan untuk berperilaku tidak aman. Sedangkan, pada
responden yang mempunyai persepsi yang tidak baik mengenai bahaya mempunyai
kecenderungan melakukan perilaku yang tidak aman lebih tinggi (lihat tabel 6.8).
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui juga terdapat hubungan antara persepsi
bahaya dan perilaku dalam pelaksanaan STOP, karena p value 0,05. Selain itu,
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
66
Universitas Indonesia
diperoleh juga nilai OR sebesar 1,4 yang artinya responden yang memiliki persepsi
bahaya yang baik mempunyai peluang 1,7 untuk berperilaku yang aman
dibandingkan responden dengan persepsi terhadap bahaya yang tidak baik.
6.4.3 Hubungan Prosedur dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Berikut ini hasil analisis mengenai hubungan prosedur dengan perilaku dalam
pelaksanaan STOP :
Tabel 6.9 Distribusi Hubungan Prosedur dan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Prosedur
Pelaksanaan Total
P value (one tail)
OR 95% CI unsafe act safe act
N % N % N %
Prosedur Tidak baik 3 50% 3 50% 6 100% 0,2 0,6 4,8-8,8 Baik 37 53% 33 47% 70 100%
Total 40 53% 36 47% 76 100%
Hasil analisis hubungan antara prosedur dan perilaku dalam pelaksanaan
program STOP diperoleh bahwa sebanyak 3 (50%) responden menilai prosedur yang
tidak baik dapat mempengaruhi perilaku yang tidak aman pada karyawan. Sedangkan,
sebagian responden menilai prosedur yang baik juga tidak membentuk perilaku
selamat pada karyawan (lihat tabel 6.9), karena sebanyak 37 responden (53%) menilai
prosedur sudah baik namun tidak ikuti dengan perilaku aman. Hanya 47% responden
yang menilai prosedur baik dan diikuti perilaku aman pada karyawan dalam
pelaksanaan program STOP ini. Kedua variabel ini tidak mempunyai perbedaan rata-
rata, karena nilai p value lebih dari nilai alpha. Jadi, tidak ada hubungan antara
prosedur yang baik atau yang tidak baik terhadap perilaku karyawan dalam
pelaksanaan program STOP.
6.4.4 Hubungan Sosialisasi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
67
Universitas Indonesia
Berikut ini hasil analisis mengenai hubungan sosialisasi dengan perilaku
dalam pelaksanaan STOP :
Tabel 6.10 Distribusi Hubungan Sosialisasi Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Sosialisasi Pelaksanaan Total
P
value
OR 95% CI unsafe act safe act N % N % N %
Sosialisasi Tidak baik 6 86% 1 14% 7 100%
0,403
Baik 50 72% 19 28% 69 100% 0,28 0,257-
20,208 Total 56 74% 20 26% 76 100%
Hasil analisis hubungan antara sosialisasi program dan pelaksanaan program
STOP diperoleh bahwa sebanyak 6 (86%) responden menilai sosialisasi yang tidak
baik dapat mempengaruhi perilaku yang tidak aman pada karyawan. Sedangkan,
sebagian responden menilai sosialisasi yang baik juga tidak membentuk perilaku
selamat pada karyawan (lihat tabel 6.10), karena sebanyak 50 responden (72%)
menilai sosialisasi program yang dilakukan sudah baik namun tidak ikuti dengan
perilaku aman. Hanya 28% responden yang menilai sosialisasi program baik dan
diikuti perilaku aman pada karyawan dalam pelaksanaan program STOP ini. Kedua
variabel ini tidak mempunyai perbedaan rata-rata, karena nilai p value lebih dari nilai
alpha. Jadi, tidak ada hubungan antara sosialisasi program yang baik atau yang tidak
baik terhadap perilaku karyawan dalam pelaksanaan program STOP.
6.4.5 Hubungan Komunikasi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Berikut ini hasil analisis mengenai hubungan komunikasi dengan perilaku
dalam pelaksanaan STOP
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
68
Universitas Indonesia
Tabel 6.11 Distribusi Hubungan Komunikasi Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Komunikasi Pelaksanaan Total
P
value
OR 95% CI unsafe act safe act N % N % N %
Komunikasi Tidak baik 8 72% 3 28% 11 100%
0,000
Baik 17 26% 48 74% 65 100% 1,94 0,224-
3,977 Total 25 33% 51 67% 76 100%
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara
komunikasi dan perilaku dalam pelaksanaan STOP. Nilai p value yang signifikan
sebesar 0,000 menunjukkan ada hubungan signifikan. Hasil analisis hubungan antara
komunikasi dan perilaku dalam pelaksanaan program STOP diperoleh semakin baik
komunikasi yang dilakukan perilaku aman pada karyawan pun cenderung meningkat
(lihat tabel 6.11). Sebaliknya, jika komunikasi yang dilakukan tidak baik maka
perilaku yang tidak aman pun akan meningkat. Sebesar 8 (72%) responden menilai
komunikasi yang tidak baik dapat mempengaruhi perilaku tidak aman pada karyawan
dalam pelaksanaan program STOP. Dari hasil analisis ini juga diperoleh nilai OR
sebesar 1,9 yang artinya responden dengan komunikasi baik mempunyai peluang 1,9
kali untuk beperilaku aman dibanding responden dengan komunikasi yang tidak baik.
6.4.6 Hubungan Pelatihan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Berikut ini hasil analisis mengenai hubungan pelatihan dengan perilaku dalam
pelaksanaan STOP :
Tabel 6.12 Distribusi Hubungan Pelatihan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Pelatihan Pelaksanaan Total
P
value
OR 95% CI unsafe act safe act N % N % N %
Pelatihan Tidak baik 9 82% 2 18% 11 100%
0,04
Baik 18 28% 47 72% 65 100% 1.72 0,339-
8,758 Total 27 36% 49 64% 76 100%
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
69
Universitas Indonesia
Hasil analisis hubungan antara pelatihan dan perilaku pelaksanaan program
STOP diketahui bahwa semakin baik pelatihan yang diberikan pada karyawan dapat
meningkatkan perilaku aman dalam pelaksanaan STOP. Ini dapat dilihat pada tabel
6.12 yaitu sebanyak 47 responden (72%) yang memperoleh pelatihan yang baik
cenderung berperilaku aman lebih besar dari pada kecenderungan untuk berperilaku
tidak aman. Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui juga terdapat hubungan antara
pelatihan dan perilaku dalam pelaksanaan STOP, karena p value 0,04 lebih kecil dari
alpha (0,05). Selain itu, diperoleh juga nilai OR sebesar 1,7 yang artinya responden
dengan pelatihan baik mempunyai peluang 1,7 kali untuk beperilaku aman dibanding
responden dengan komunikasi yang tidak baik.
6.4.7 Hubungan Reward/Punishment dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
STOP
Berikut ini hasil analisis mengenai hubungan prosedur dengan perilaku dalam
pelaksanaan STOP :
Tabel 6.13 Distribusi Hubungan Reward/Punishment Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Reward/Punishment
Pelaksanaan Total
P value
OR 95% CI unsafe act safe act N % N % N %
RP Tidak baik 20 65% 11 35% 31 100%
0,537
Baik 31 69% 14 31% 45 100% 1,7 0,433-
6,777 Total 51 67% 25 33% 76 100%
Hasil analisis hubungan antara reward/punishment dan pelaksanaan program
STOP diperoleh sebanyak 20 (65%) responden menilai pemberian reward dan
punishment yang tidak memadai dapat menunjang perilaku yang ke arah yang tidak
aman dalam pelaksanaan program STOP. Sedangkan diantara responden, sebanyak
14 (31%) menilai pemberian reward dan punishment yang baik dapat menunjang
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
70
Universitas Indonesia
perilaku yang aman. Namun, hasil dari hubungan ini tidak signifikan, karena nihali p
value lebih dari alpha (0,05). Ini menunjukkan tidak ada hubungan antara pemberian
reward dan punishment dengan perilaku dalam pelaksanaan STOP.
6.4.8 Hubungan Pengawasan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Berikut ini hasil analisis mengenai hubungan pengawasan dengan perilaku
dalam pelaksanaan STOP :
Tabel 6.14 Distribusi Hubungan Pengawasan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Pengawasan Pelaksanaan Total
P
value
OR 95% CI unsafe act safe act N % N % N %
Pengawasan Tidak baik 27 75% 9 25% 36 100% 1,00 0,87 0,315-
2,449 Baik 29 72% 11 28% 40 100% Total 56 74% 20 26% 76 100%
Hasil analisis hubungan antara pengawasan dan perilaku dalam pelaksanaan
program STOP diperoleh sebanyak 29 (72%) responden menilai pengawasan yang
tidak baik masih berkontribusi mempengaruhi perilaku tidak aman pada karyawan.
Pengawasan yang tidak baik cenderung mempengaruhi perilaku tidak aman dari pada
perilaku yang aman dalam perilaku dalam pelaksanaan STOP. Sebanyak 9 (25%)
menilai pengawasan yang baik berpengaruh pada tindakan aman. Nilai ini masih
rendah, karena lebih dari 50% responden pengawasan yang baik dominan diikuti
dengan perilaku yang tidak aman (lihat tabel 6.14). Berdasarkan tabel diatas dapat
diketahui nilai p value (0,1) lebih dari alpha, artinya tidak ada perbedaan rata-rata
atau hubungan antara pengawasan dengan perilaku dalam pelaksanan program STOP.
6.4.9 Hubungan Komitmen dengan Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Berikut ini hasil analisis mengenai hubungan prosedur dengan perilaku dalam
pelaksanaan STOP :
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
71
Universitas Indonesia
Tabel 6.15 Distribusi Hubungan Komitmen Perilaku dalam Pelaksanaan STOP
Variabel Komitmen
Pelaksanaan Total
P value (one tail)
OR 95% CI unsafe act safe act
N % N % N %
Komitmen Tidak baik 26 79% 7 21% 33 100% 0,00 1,7 10,8-
15,8 Baik 13 30% 30 70% 43 100% Total 39 51% 37 49% 76 100%
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa semakin baik komitmen dari
pihak manajemen, perilaku dalam pelaksanaan program STOP ini semakin ke arah
tindakan yang aman, begitu juga sebaliknya. Tabel diatas menunjukan bahwa
sebanyak 26 responden (79%) menilai komitmen yang tidak baik akan berpengaruh
pada tidak aman. Sedangkan, sebanyak 30 responden (70%) yang menilai komitmen
baik akan berpengaruh pada tindakan aman karyawan dalam pelaksanaan program
STOP. Nilai p value sebesar 0,00 menunjukan bahwa terdapat hubungan signifikan
antara komitmen dan perilaku dalam pelaksaan program STOP. Selain itu nilai OR
sebesar 1,7 menunjukkan bahwa komitmen yang baik mempunyai peluang 1,7 kali
dalam mempengaruhi responden unstuk beperilaku aman.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
BAB 7
PEMBAHASAN
7.1 Analisis Pelaksanaan Program STOP
Dari hasil penelitian pada bab 6 sebelumnya sudah diketahui, bahwa
pelaksanaan program ini berjalan dengan baik. Pelaksanaan program ini didukung
manajemen dan menjadi salah satu performance contract atau daftar pekerjaan
yang harus dilakukan per tahunnya. Namun, tidak ada kewajiban dalam mengisi
kartu STOP pada karyawan. Untuk kebijakan dalam program ini disesuaikan per
departemen. Setiap departemen mempunyai kebijakan yang berbeda mengenai
pengsubmitan kartu STOP perbulannya. Seperti, departemen Eksplorasi setiap
karyawan diminta untuk mengsubmit kartu STOP sebanyak 2 buah per bulannya.
Lain lagi dengan departemen Drilling yang setiap karyawannya diminta untuk
mengsubmit kartu STOP sebanyak 3 buah per bulan (lihat kutipan pada halaman
62-63). Jadi, kebijakan mengenai pengsubmitan kartu STOP bergantung pada
masing-masing departemen. Setiap departemen mempunyai STOP representatif
yang berfungsi sebagai perwakilan untuk mengumpulkan dan melakukan analisis
kuantitatif. Selanjutnya STOP representatif akan memberikan hasilnya kepada
departemen HSE.
Pelaksanaan program ini juga belum diikuti secara aktif oleh beberapa
departemen (lihat kutipan pada halaman 63). Hal ini terjadi karena karyawan
menganggap bahaya dan risiko yang ada di lingkungan perkantoran relatif rendah
sehingga susah menemukan kejadian yang tidak aman. Dari segi efektivitas,
program ini berjalan cukup efektif. Dari sisi karyawan yang mengikuti aktif
program ini, STOP ini efektif dalam menumbuhkan kesadaran akan keselamatan
di lingkungan kerja. Program ini juga sudah memberikan nilai bahwa keselamatan
adalah penting untuk diperhatikan. Hal ini bisa dilihat dari kutipan wawancara
dibawah ini.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
73
Universitas Indonesia
“Program ini efektif bisa menumbuhkan kesadaran karyawan akan
keselamatan. Saya juga jadi aware dengan safety, kebiasaan mengisi
STOP jadi ikut menular kalo saya dirumah” (Responden 1 Eksploration)
Pelaksanaan program ini juga tidak lepas dari berbagai hambatan seperti
yang sudah dijelaskan pada kutipan halaman 65 Hambatan ini datang baik secara
teknis ataupun non-teknis. Hambatan secara teknis, seperti persediaan kartu STOP
yang kurang. Untuk itu perlu dilakukan penambahan stok pada setiap departemen.
Stok dapat diatur dengan melihat distribusi jumlah populasi karyawan terbesar.
Untuk departemen dengan populasi yang besar dan aktif menjalankan program
ini, disediakan kartu yang cukup banyak. Untuk departemen yang pasif dalam
program ini harus kembali digiatkan untuk mengisi kartu STOP dengan tetap
memberikan stok kartu. Selain itu, jika persediaan sudah habis, STOP
representatif juga dapat langsung meminta kartu pada departemen HSE.
Hambatan dari non-teknis, datang dari individu itu sendiri, seperti lupa
menuliskan kejadian atau budaya sukan dalam menegur perbuatan yang tidak
aman. Untuk menghindari hal tersebut, salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah menuliskan kejadian di handphone terlebih dahulu sehingga tidak lupa
menulis. Selain itu, untuk menghilangkan budaya sungkan, karyawan dilatih
untuk berkomunikasi dengan sesama karyawan. Selain itu, hambatan lain adalah
mengenai isi dari kartu STOP kadang tidak dibaca oleh team leader. Ini dapat
menyebabkan lamanya tindakan perbaikan yang dilakukan. Team leader
sebaiknya memberikan contoh pada karyawan. Team leader sebaiknya membaca
isi dari kartu STOP, kemudian melakukan diskusi bersama karyawan lain untuk
membahas upaya perbaikan selanjutnya dari hasil temuan tersebut. Diskusi ini
dapat masuk dalam agenda safety meeting tiap departemen. Ini dilakukan supaya
terdapat feedback antara karyawan yang berpartisipasi dan team leader. Selain itu,
upaya ini juga dapat dilakukan untuk menemukan isu keselamatan apa yang
sedang menjadi isu hangat. Selain itu, untuk setiap STOP representatif masing-
masing departemen dapat melakukan diskusi untuk membahas isu keselamatan
per departemen.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
74
Universitas Indonesia
7.2 Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
Program STOP
Pengetahuan merupakan hasil tahu dari sesuatu setelah melalui proses
pembelajaran. Menurut Bloom ada 6 tingkatan pengetahuan, yaitu tahu,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian. Dalam hal ini, diketahui
bahwa lebih dari 63% karyawan yang mempunyai tingkat pengetahun yang
kurang baik mengenai program STOP (tabel 6.2). Hanya 37% responden yang
memiliki pengetahuan baik. 37% tersebut dapat digolongkan dalam tingkatan
pengetahuan, yaitu pemahaman. Tingkat pemahaman, dimana responden mengerti
akan essensi dari program STOP.
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan merupakan hal yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang kurang pada
pengenalan progam STOP ini didasarkan pada konsep yang ada kurang matang
dalam penyampaian kerangka pikir program ini. Beberapa konsep yang sering
disalah artikan oleh responden adalah konsep siklus STOP. Siklus STOP yang
benar adalah dimulai memutuskan-berhenti-mengamati-bertindak-melaporkan.
STOP adalah suatu pengamatan dan pemikiran itu digeneralisasi pada siklus
STOP, sehingga membentuk pola pikir bahwa mengamati merupakan langkah
pertama dari siklus ini. Ini yang membuat salah penangkapan persepsi dalam
siklus STOP. Kategori pengamatan dalam kartu STOP adalah reaksi seseorang,
posisi seseorang, alat pelindung diri, kerapihan, prosedur, dan
peralatan/perlengkapan. Namun, persepsi karyawan terhadap hal ini masih lemah.
Inilah pengaruh dari konsep yang kurang matang dalam pemberian edukasi pada
karyawan. Untuk itu perlu diadakan brainstroming dalam membangun
pengetahuan karyawan. Ini dilakukan agar konsep dasar dari program ini tidak
dilupakan
Analisis hubungan pengetahuan dan perilaku dalam pelaksanaan STOP
diketahui bahwa semakin baik pengetahuan dari responden kecenderungan
perilaku yang aman juga semakin tinggi (tabel 6.3). Sebaliknya, semakin tidak
baik pengetahuan responden kecenderungan berperilaku tidak aman juga
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
75
Universitas Indonesia
cenderung tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Rogers (1974) menyatakan
bahwa adopsi perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap.
7.3 Analisis Hubungan Persepsi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
Program STOP
Bahaya yang tergolong rendah dalam peneltiaan ini hanyalah bising,
bahaya yang lain masih terbilang cukup tinggi. Bahaya bising biasanya berasal
dari mesin fotokopi, mesin scan, atau printer. Namun intensitasnya rendah
sehingga tidak terlalu menyebabkan gangguan. Risiko pada bahaya bising masih
dalam batasan yang aman. Selain itu, bahaya fisik berupa pencahayaan juga
tergolong rendah. Ini dikarenakan cahaya yang menyinari pada ruang kerja sudah
cukup memenuhi kriteria standar. Pada rentang cahaya ini, karyawan dapat
mengerjakan sesuatu dengn nyaman. Bahaya yang termasuk tingkat tinggi adalah
bahaya ergonomi (tabel 6.2). Bahaya ergonomi dapat muncul dari postur tubuh
yang berhubungan dengan work stasion ataupun layout kerja. Bahaya ergonomi
ini juga muncul karena durasi dan frekuensi dalam melakukan pekerjaan. Seperti
yang diketahui, karyawan di kantor, mempunyai rutinas yang cenderung statis.
Oleh karena itu, potensi risiko dari ergonomi juga tinggi.
Bahaya lain yang tergolong tinggi adalah listrik, kebakaran, Indoor Air
Quality, house keeping, temperatur dan stress (tabel 6.2). Bahaya listrik tidak
terlepas dari segala peralatan yang digunakan di kantor menggunakan listrik
sebagai sumber penyalaan. Risiko dari bahaya listrik ini dapat menyebabkan
korselting yang akan berpotensi menjadi kebakaran. Bahaya fisik, berupa
temperatur, berasal dari penggunaan AC sentral pada seluruh gedung. AC sentral
tidak bisa diatur manual oleh karyawan, sehingga kadangkala suhu dapat diatur
dibawah suhu ruangan (24-25oC). Suhu akan berpengaruh pada kualitas udara
dalam ruangan, sehingga keduanya akan berhubungan. Jika suhu rendah, kualitas
udara dalam ruangan tidak akan stabil.
Bahaya lain adalah house keeping, kerapihan dalam menata ruangan.
Dalam satu workstation karyawan dipenuhi oleh barang-barang, seperti map, file,
kertas, ataupun makanan minuman. Ini berpotensi untuk menyebabkan kondisi
yang tidak aman dan ketidaknyamanan dalam bergerak. Kondisi yang tidak aman
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
76
Universitas Indonesia
ini akan berpengaruh langsung pada munculnya tindakan yang tidak aman.
Bahaya lainnya, stress, bahaya psikososial ini memang mayoritas dialami pekerja
kantor. Ini dikarenakan rutinas yang cenderung sama dan tuntutan pekerjaan/tugas
yang dijalani. Untuk mengendalikan bahaya tersebut dapat dilakukan hirarki
pengendalian sesuai dengan potensi bahaya masing-masing. Misal, pada bahaya
housekeeping, pengendalian yang dilakukan yaitu menerapkan 5R (Ringkas, Rapi,
Resik, Rawat, dan Rajin) dalam lingkup kantor.
Analisis hubungan antara persepsi bahaya dan perilaku dalam pelaksanaan
STOP menunjukkan hasil yang signifikan, bahwa terdapat hubungan antara
keduanya (tabel 6.8). Hal ini menunjukan persepsi berpengaruh pada perilaku.
Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang
menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi
untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (dalam
Arindita, 2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti
atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi mencakup penafsiran
obyek, penerimaan stimulus (input), pengorganisasian stimulus, dan penafsiran
terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku
dan pembentukan sikap.
7.4 Analisis Hubungan Prosedur dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
Program STOP
Dalam setiap pekerjaan, tentu ada suatu prosedur kerja. Sebagaimana
adanya, prosedur kerja dibuat agar pekerjaan menjadi terstruktur dan sistematis.
Selain itu, prosedur kerja dibuat agar menjamin seseorang untuk bekerja secara
aman dan nyaman. Untuk itu, analisis mengenai prosedur kerja yang aman
dibutuhkan sebagai dasar pengembangan budaya kerja di suatu
organisasi/perusahaan. Prosedur kerja merupakan tahapan dalam tata kerja yang
harus dilalui suatu pekerjaan baik mengenai dari mana asalnya dan tujuan
pekerjaan tersebut. Selain itu, prosedur juga mencakup hal-hal yang harus dan
tidak boleh dikerjakan. Prosedur yang baik juga seyogyianya menyusun kerangka
tugas dengan sistematis, dari alat yang pakai, kapan pekerjaan itu harus selesai,
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
77
Universitas Indonesia
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keselamatan dan kenyamanan
karyawan dalam menjalankan tugasnya.
Prosedur kerja yang ada di PT. X Indonesia sudah mencakup semua aspek
tersebut. PT. X adalah salah satu perusahaan dengan kompleksitas prosedur kerja
yang tinggi. Selain itu, prosedur di PT. X Indonesia sudah memperhatikan aspek
tujuan, fasilitas, alat, material, biaya, waktu, dan sifat atau macam tugas. Prosedur
yang memadai juga harus mencakup penjelasan mengenai tujuan pokok organisasi
dan analisis tugas. Hal lain yang harus termuat sebagai prosedur yang memadai
adalah detail pekerjaan, tahapan pekerjaan, keterampilan yang dibutuhkan, dan
job desk. Namun, prosedur kerja juga harus disesuai dengan kemajuan jaman
(tidak kaku) dan bersifat stabilitas.
Prosedur keselamatan harus menganalisis, mengevaluasi, dan
mengendalikan potensi bahaya dan risiko pada semua aktivitas guna membuat
suatu metode kerja yang tepat. Prosedur keselamatan ini berpedoman pada tujuan
HSE PT. X Indonesia yaitu “nihil kecelakaan, tidak membahayakan manusia, dan
tidak membahayakan lingkungan.” Untuk menunjang tujuan tersebut harus ada
prosedur mengenai keselamatan kerja dalam menjamin kenyamanan karyawan.
Analisis hubungan antara prosedur dan perilaku dalam pelaksanaan STOP
menunjukkan tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Prosedur adalah
satu satu alat atau fasilitas yang mendukung karyawan dalam melakukan suatu
pekerjaan. Prosedur hanya memandu pekerjaan karyawan. Jadi, prosedur
merupakan faktor pendukung dalam pelaksanaan program STOP dan tidak
berpengaruh pada perilaku karyawan secara langsung.
7.5 Analisis Hubungan Komunikasi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
Program STOP
Komunukasi yang baik dalam penyampaian pengamatan juga
memperhatikan beberapa aspek kontak mata, gestur tubuh. Selain itu, sebaiknya
komunikasi juga mengedepankan bahaya dan risiko apa yang akan muncul jika
melakukan tindakan yang tidak aman. Pada saat berkomunikasi atau berdiskusi,
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
78
Universitas Indonesia
sebaiknya tidak menghakimi, pesan disampaikan dengan sopan dan alasan masuk
akal, persuasif, tidak vulgar, dan tetap berada dalam koridor kesopanan.
Komunikasi sangat esensial untuk pertumbuhan kepribadian manusia.
Fisher menyebut 4 ciri pendekatan psikologi pada komunikasi, yaitu sensory
reception of stimuli, internal meditation of stimuli, prediction of response,dan
reinforcement of responses. Komunikasi dalam pelaksanaan STOP yang sesuai
adalah komunikasi persuasif. Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman
tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan pesan menimbulkan efek pada
komunikate. Komunikasi persuasif ini merupakan proses mempengaruhi
pendapat, sikap, dan tindakan (Sunyoto,1990).
Analisis hubungan antara komunikasi dan perilaku dalam pelaksanaan
STOP menunjukkan hasil yang signifikan, bahwa terdapat hubungan antara
keduanya (tabel 6.11). Hal ini sesuai dengan training package STOP berarti
komunikasi, komunikasi antara sesama rekan kerja atau komunikasi antara atasan
dan staff. Komunikasi ini perlu dibangun untuk meningkatkan kesadaran akan
perilaku yang selamat bagi pekerja. Dengan adanya komunikasi secara dua arah,
pekerja dilatih untuk lebih peka dalam mengamati lingkungan kerja sekitarnya
(STOP Training Package, 2009).
7.6 Analisis Hubungan Sosialisasi dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
Program STOP
Sosialisasi program sebaiknya dilakukan oleh team leader sesuai dengan
roll out program. Rollout dari program STOP ini adalah pembentukan stop team
yang akan memberikan training kepada VP/manager, manager kemudian
melakukan training pada supervisor, supervisor pada pekerja bawahnya. Oleh
karena itu, team leader seharusnya menjadi orang yang mensosialisasikan
program STOP pada karyawan lain.
Sosialisasi program ini ditunjang dengan media pendukung. Media ini
memudahkan penyampaian pesan dari sumber pada penerima. Media yang
digunakan dapat dilakukan secara verbal atau visual. Metode verbal yang efektif
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
79
Universitas Indonesia
sebaiknya dirancang secara jelas, ringkas, dan memperhatikan intonasi saat bicara.
Metode non-verbal yang efektif sebaiknya dirancang secara menarik dan simple.
Metode yang efektif digunakan untuk sosialiasi program STOP adalah media non-
verbal, seperti media visual (STOP Training Package, 2009). Analisis hubungan
antara sosialisasi dan perilaku dalam pelaksanaan STOP menunjukkan hasil yang
tidak signifikan, bahwa tidak terdapat hubungan antara keduanya (tabel 6.12).
7.7 Analisis Hubungan Pelatihan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
Program STOP
Berdasarkan jenis pelatihan yang dikemukan oleh Vaughn, pelatihan
STOP tergolong pada jenis pelatiahan prosedural, dimana pelatiahan ini berisi
informasi mengenai bagaimana cara melakukan sesuatu. Selain itu, pelatihan
STOP juga termasuk jenis pelatihan faktual, dimana adanya pemaparan mengenai
data dan informasi. Berdasarkan tujuan pelatihan, pelatihan STOP termasuk
dalam pelatihan keterampilan, dimana pelatihan ini berisi pengetahuan dan
keterampilan. Pelatihan ini dapat dilakukan secara menyeluruh pada seluruh
karyawan. Oleh karena itu, pelatihan ini diperlukan untuk memberikan
keterampilan dalam mengisi kartu STOP.
Karyawan yang belum pernah mendapatkan pelatihan, biasanya mereka
mengetahui cara menggunakan kartu STOP dengan petunjuk rekan kerja.
Sebaiknya, pada karyawan yang belum mendapatkan pelatihan, team leader
secara khusus membantu dan melatih mereka dalam pemakaian kartu STOP agar
karyawan dapat mengaplikasikannya dengan benar. Selain itu, diperlukan suatu
pelatihan refreshment untuk mengetahui sejauh mana efektivitas dari pelatihan
sebelumnya.
Ada beberapa perubahan yang terjadi sesudah mendapatkan pelatihan
STOP ini. Berikut pernyataan dari Responden mengenai perubahan setelah
mendapat pelatihan.
“Saya jadi mengerti mengenai bekerja yang aman dan sesuai prosedur
keselamatan demi tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.”
(Responden 1 FM)
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
80
Universitas Indonesia
“Saya lebih peka dalam melakukan observasi keadaan atau tindakan
aman/tidak aman.” (Responden 1 Finance)
“ Pengetahuan mengenai program STOP, cara mengisi kartu STOP juga
bertambah setelah mengikuti pelatihan.” (Responden 2 Finance)
“Saya jadi berani menghentikan pekerjaan yang tidak aman, lebih
bijaksana dalam mengambil keputusan jika melihat kondisi aman/tidak
aman dan tidak menyalahkan orang lain, dan juga lebih memperhatikan
lingkungan dan menerapkan keselamatan kerja dalam aktivitas sehari-
hari.” (Responden 1 Eksplorasi)
Analisis hubungan antara persepsi bahaya dan perilaku dalam pelaksanaan
STOP menunjukkan hasil yang signifikan, bahwa terdapat hubungan antara
keduanya (tabel 6.8). Dengan pelatihan yang memadai, pengetahuan akan
meningkat. Pelatihan juga membimbing karyawan pada perubahan perilaku
seperti yang ditunjukkan pada kutipan hasil wawancara diatas. Pelatihan ini
memfasilitasi karyawan dalam mengerti dan memahami pelaksanaan STOP lebih
mendalam sehingga terbentuk perubahan perilaku ke arah yang aman.
7.8 Analisis Hubungan Reward/Punishment dengan Perilaku dalam
Pelaksanaan Program STOP
Sejauh ini, PT. X memang sudah menerapkan pemberian penghargaan
pada karyawan yang mengisi kartu STOP terbanyak pada setiap bulannya.
Namun, PT. X tidak memberikan sanksi/hukuman karena STOP bukan
merupakan suatu hukuman. Itulah juga yang menyebabkan program ini tidak
mencantumkan nama orang yang diamati melakukan tindakan yang tidak aman.
STOP bahwa diketahui program stop tidak mengenal hukuman terhadap perilaku
kerja yang tidak aman karena hal tersebut tidak akan merubah perilaku permanen.
Pelaporan observasi perilaku dengan kartu STOP tidak boleh menyebutkan nama,
jenis kelamin atau identitas lainnya yang mudah dikenal terhadap pekerja yang
diobservasi. Hal ini untuk mencegah agar pekerja tidak menaruh curiga terhadap
observasi sebab tujuannya bukan untuk blame person tapi memperbaiki perilaku
yang tidak aman (STOP Training Package, 2009)
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
81
Universitas Indonesia
Analisis hubungan antara sanksi/reward dan perilaku dalam pelaksanaan
STOP menunjukkan hasil yang tidak signifikan, bahwa tidak terdapat hubungan
antara keduanya (tabel 6.13). Hal ini sudah sesuai dengan package PT. X 2009,
bahwa pelaksanaan STOP tidak mengenal hukuman. Namun, PT. X tetap
memakai metode penghargaan untuk memancing partisipasi karyawan. Metode
penghargaan ini sesuai dengan teori operant conditioning. Operant contioning
merupakan tingkah laku membentuk suatu konsekuensi, seperti perilaku positif
akan mendapatkan konsekuensi pujian atau hadiah, sebaliknya perilaku negatif
akan mendapatkan sebuah konsekuensi berupa pujian atau hadiah. Operant
conditoning merubah perilaku dengan menghubungkan akibat yang didapat.
Kecenderungan orang untuk melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh
reinforcement. Reinforcement tersebut dapat berupa penghargaan, pujian, atau
sanksi.
7.9 Analisis Hubungan Pengawasan dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
Program STOP
George R. Tery (2006:395) mengartikan pengawasan sebagai
mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi
kerja dan apabila perlu, menerapkan tidankan-tindakan korektif sehingga hasil
pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Sedangkann, Robbin
(dalam Sugandha, 1999 : 150) menyatakan pengawasan itu merupakan suatu
proses aktivitas yang sangat mendasar, sehingga membutuhkan seorang manajer
untuk menjalankan tugas dan pekerjaan organisasi. Dale (dalam Winardi,
2000:224) dikatakan bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan
seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti
memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan
apa yang direncanakan. Jadi, pengawasan merupakan suatu usaha sistematik
untuk menetapkan standar pelaksanaan tujuan dengan tujuan-tujuan
perencanaan,merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan
nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
82
Universitas Indonesia
mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang
diperlukan.
Ada tiga jenis pengawasan, yaitu pengawasan pendahuluan, cocurent
control, pengawasan feedback. Pengawasan pendahuluan meliputi pengawasan
pendahuluan sumber daya manusia dan pengawasan pendahuluan bahan-bahan.
Cocurent control, pengawasan yang terjadi ketika pekerjaan dilaksanakan.
Memonitor pekerjaan yang berlangsung guna memastikan bahwa sasaran-sasaran
telah dicapai. Pengawasan feedback yaitu mengukur hasil suatu kegiatan yang
telah dilaksakan, guna mengukur penyimpangan yang mungkin terjadi atau tidak
sesuai dengan standar.
Analisis hubungan antara pengawasan dan perilaku dalam pelaksanaan
STOP menunjukkan hasil yang tidak signifikan, bahwa tidak terdapat hubungan
antara kedua variabel tersebut. Hal ini menunjukan bahwa ketidaksesuaian antara
pengawasan dan perilaku. Pengawasan merupakan faktor eksternal yang
berpengaruh pada pelaksanaan STOP. Namun, ketidaksesuaian ini disebabkan
karena pengawasan yang dilakukan selama ini masih belum optimal. Pengawasan
hanya berbentuk pengawasan pendahuluan yang berupa kebijakan dan aturan dan
pengawasan saat bekerja. Pengawasan ini meliputi pengawasan secara umum
yang tidak rutin dilakukan dan bergantung pada kualitas pemimpin.
7.10 Analisis Hubungan Komitmen dengan Perilaku dalam Pelaksanaan
Program STOP
Panduan PT. X :
1. Kepatuhan ini ditunjukkan dalam bentuk komitmen terhadap K3 dengan
partisipasi kegiatan K3 dan menjalankan prosedur/kebijakan yang ada.
Pada item
2. Komitmen team leader pada tindakan/kondisi yang tidak aman adalah
menghentikan tindakan yang tidak aman yang dilakukan orang lain untuk
menjamin keselamatan bersama.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
83
Universitas Indonesia
3. Kompetensi personal team leader tidak hanya mempunyai keterampilan
kepemimpinan tetapi juga mengembangkan diri untuk meningkatkan
keterampilan kepemimpinan tersebut.
4. Umpan balik yang baik menyediakan fasilitas umpan balik yang spesifik
dalam rentang 1 minggu
5. Reaksi team leader terhadap feedback ditunjukkan dengan menerima
umpan balik dari karyawan dan melakukan perubahan. Sebaiknya umpan
balik memenuhi 5 kriteria, seperti Ada lima karakteristik dari feedback
yaitu :
Speed, lebih cepat feedback yang diberikan setelah terjadinya error
lebih cepat pula tindakan perbaikan yang akan dilakukan, selain itu
pekerja dapat langsung belajar dari error tersebut.
Specificity – lebih tajam feedback yang berfokus pada kekeliruan
secara spesifik maka akan lebih aktif.
Accuracy - feedback harus terliti, error pada feedback menimbulkan
tindakan yang keliru
Content – isi dari informasi yang akan disampaikan harus sesuai
dengan perilaku yang diinginkan
Amplitude – feedback harus cukup menimbulkan perhatian
terhadap pekerja
(William E. Tarrants dalam The Measurement of Safety Performance)
6. Ide dan masukan, team leader juga mendorong pekerja untuk
mengumpulkan isu tentang keselamatan.
7. Isu keselamatan team leader menyediakan informasi mengenai safety yang
terbaru dan relevan.
Komitmen team leader yang baik adalah komitmen dimana team leader
tidak hanya membuat program, kebijakan, atau prosedur tetapi juga terlibat dalam
setiap aktivitasnya. Analisis hubungan antara komitmen dan perilaku dalam
pelaksanaan STOP menunjukkan hasil yang signifikan, bahwa terdapat hubungan
antara keduanya (tabel 6.15). STOP berarti komitmen dari top manajemen dalam
bidang K3. Komitmen ini juga dilaksanakan oleh karyawan. Pengisian kartu
STOP bukan hanya untuk memenuhi kuantitas dan target pencapaian tetapi juga
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
84
Universitas Indonesia
mencapai suatu kualitas pengembangan budaya keselamatan pada individu (STOP
Training Package PT. X, 2009). Hal ini juga sesuai dengan survei CBI bahwa
pentingnya kepemimpinan dan komitmen untuk mereduksi angka insiden.
STOP merupakan program pengembangan dari behaviour based safety,
yaitu program penanaman nilai keselamatan pada kegiatan sehari-hari, termasuk
dalam pekerjaan. Nilai-nilai keselamatan yang tumbuh akan berpengaruh pada
meningkatnya kesadaran akan keselamatan. Kesadaran ini yang akan mendorong
seseorang untuk melakukan perilaku yang aman. Dengan kesadaran untuk
berperilaku yang aman, lingkungan sekitar akan terpengaruh sehingga
terbentuklah suatu jaringan yang aman dan saling mendukung. Faktor-faktor
tersebut kemudian secara tidak langsung akan berkontribusi dalam menurunkan
angka kecelakaan. Selain itu, faktor tersebut akan membentuk suatu budaya
keselamatan di suatu organisasi.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
BAB 8
Penutup
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran perilaku karyawan
terhadap program STOP, penulis menyimpulkan beberapa hal, yaitu :
1. Program STOP merupakan program internalisasi nilai-nilai keselamatan
dalam kegiatan sehari-hari. Program ini adalah pengembangan dari
Behaviour Based Safety untuk mengobservasi perilaku yang aman dan
tidak aman. Program ini juga salah satu tools yang digunakan untuk
menanamkan budaya keselamtan dari hal yang kecil. Dalam prakteknya,
program ini diaplikasikan dengan kartu observasi keselamatan.
2. Perilaku karyawan yang melakukan unsafe act tergolong tinggi sebesar
66% unsafe act dan 44% safe act.
3. Prosedur yang ada di PT. X Indonesia sudah memadai dan sudah
mencakup prosedur keselamatan yang sesuai dengan tujuan HSE PT. X.
Analisis hubungan prosedur dan perilaku dalam pelaksanaan STOP
menunjukkan hasil yang tidak signifikan bahwa tidak ada perbedaan rata-
rata antara prosedur dengan perilaku dalam pelaksanaan STOP.
4. Tingkat pengetahuan karyawan terhadap program STOP masih rendah
sebesar 63%. Sedangkan analisis hubungan prosedur dan perilaku dalam
pelaksanaan STOP menunjukkan hasil yang signifikan, bahwa ada
hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku dalam pelaksanaan
STOP. Ini menjelaskan bahwa semakin tidak baik tingkat pengetahuan
karyawan, semakin cenderung karyawan melakukan tindakan yang tidak
aman. Begitu juga sebaliknya, semakin baik pengetahuan karyawan
tersebut akan diikuti oleh perilaku yang aman.
5. Pengisian kartu STOP berdasarkan target atau pencapaian kuantitas,
sehingga frekuensi pengisian kartu STOP masing-masing divisi berbeda.
6. Persepsi bahaya yang tergolong kategori tinggi adalah bahaya ergonomi,
listrik, kebakaran, suhu, IAQ, stress, dan house keeping. Sedangkan,
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
86
Universitas Indonesia
bahaya bising dan pencahayaan tergolong kategori rendah. Analisis
hubungan persepsi terhadap bahaya dan perilaku dalam pelaksanaan STOP
menunjukkan hasil yang signifikan, bahwa semakin baik persepsi
karyawan terhadap bahaya akan diikuti oleh perilaku yang aman pada
karyawan.
7. Partisipasi dalam pelatihan STOP pada karyawan sudah baik, hampir 88%
responden pernah mengikuti pelatihan. Pelatihan ini membawa perubahan
perilaku pada karyawan (lihat kutipan wawancara halaman 80). Analisis
hubungan pelatihan dan perilaku dalam pelaksanaan STOP menunjukkan
hasil signfikan bahwa semakin baik pelatihan yang dilakukan, akan
semakin mengembangkan perilaku karyawan dalam bertindak.
8. Sosialisasi program STOP ini berjalan baik (90 %), dimana media
sosialisasi yang digunakan adalah media visual. Selain itu, sosialisai
program ini dilakukan baik oleh team leader atau sesama pekerja. Analisis
hubungan sosialisasi dan perilaku dalam pelaksanaan STOP menunjukkan
hasil tidak signfikan bahwa tidak ada hubungan antara sosialisasi dan
pembentukan perilaku pada pelaksanaan STOP. Jadi, sosialisasi tidak
membentuk perilaku, hanya menjadi fasilitasi dalam menyampaikan pesan
mengenai program ini pada karyawan.
9. Komunikasi yang dilakukan dalam program ini baik (88%) dilihat dari tata
cara penyampaian pesan pada karyawan. Komunikasi ini baik secara
horishontal maupun vertikal, sesama karyawan, maupun atasan dan
bawahan. Analisis hubungan komunikasi dan perilaku dalam pelaksanaan
STOP menunjukkan hasil signfikan bahwa semakin baik komunikasi yang
dilakukan, akan diikuti dengan perilaku yang aman. Ini juga telah sesuai
karena STOP merupakan komunikasi, komunikasi antara sesama rekan
kerja atau komunikasi antara atasan dan staff. Dengan adanya komunikasi
secara dua arah, pekerja dilatih untuk lebih peka dalam mengamati
lingkungan kerja sekitarnya.
10. Komitmen team leader dalam kepatuhan akan prosedur, reaksi pada
umpan balik, keterbukaan dalam menerima ide, penyampaian isu
keselamatan, dan kompetensi personal tergolong dalam kategori yang
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
87
Universitas Indonesia
komitmen baik 57%. Analisis hubungan komitmen dan perilaku dalam
pelaksanaan STOP menunjukkan hasil signfikan bahwa semakin baik
komitmen dari manajemen, perilaku aman karyawan akan meningkat. Ini
sesuai dengan STOP yang merupakan suatu komitmen manajemen.
Berdasarkan hal ini, komitmen ini sudah dilaksanakan oleh karyawan.
11. Pengawasan yang dilakukan terhadap program ini masih kurang baik
(47%). Analisis hubungan pengawasan dan perilaku dalam pelaksanaan
STOP menunjukkan hasil tidak signfikan bahwa tidak ada hubungan
antara pengawasan terhadap perilaku pelaksanaan STOP. Hal ini tidak
sesuai dengan pengawasan manajemen yang mendukung dan menunjang
perilaku dalam pelaksanaan STOP.
12. Pemberian sanksi dan reward telah baik dilakukan. PT. X Indonesia
menerapkan pemberian reward dalam pelaksanaan program ini. Analisis
hubungan sanksi/reward dan perilaku dalam pelaksanaan STOP
menunjukkan hasil tidak signfikan bahwa tidak ada hubungan antara
sanksi dan reward terhadap perilaku pelaksanaan STOP. Ini sesuai dengan
STOP bukan merupakan suatu hukuman. Pelaporan observasi perilaku
dengan kartu STOP tidak boleh menyebutkan nama, jenis kelamin atau
identitas lainnya yang mudah dikenal terhadap pekerja yang diobservasi.
Namun, reward masih dibutuhkan dalam program ini sesuai dengan teori
operant condition, dimana reinforcement dapat menguatkan perilaku
seseorang.
13. Program STOP ini dinilai bermanfaat dalam mengembangkan budaya
keselamatan di kalangan karyawan. Namun, masih terdapat hambatan
dalam pelakasanaan program ini.
7.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, ada beberapa hal yang
dapat disampaikan, seperti :
1. Pengetahuan
Untuk meningkatkan pengetahuan akan konsep dasar STOP, dapat
dilakukan brainstroming antara karyawan dan team leader. Dengan
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
88
Universitas Indonesia
program ini, diharapkan karyawan mendapatkan input berupa edukasi dari
team leader. Selain itu, kedua belah pihak juga dapat melakukan tukar
pikiran.
2. Prosedur
Prosedur yang ada memang sudah baik. Prosedur yang baik ini sebaiknya
diperbaharui sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan jika sewaktu-
waktu berubah, sehingga sifatnya dapat diaplikasikan pada semua
golongan. Prosedur ini juga sebaiknya dibentuk dalam sebuah package
atau manual handbook agar lebih menarik.
3. Pelatihan
Dibutukan suatu refreshment training, semacam post test untuk
mengingatkan karyawan. Selain itu, perlu dilakukan pemetaan pelatihan
yang cocok sesuai dengan jabatan masing-masing pekerja. Ini dilakukan
karena kebutuhan setiap level jabatan berbeda-beda dalam pelaksanaan
program ini. Dengan pemetaan ini, pelatihan dapat sesuai target dan akan
lebih fokus.
4. Sosialisasi
Sosialisasi program sebaiknya dilakukan oleh team leader sesuai dengan
roll out STOP. Team leader sebaiknya aktif memberi tahu mengenai
program ini, sehingga dapat menuntun karyawan dalam melaksanakan
program ini.
5. Komunikasi
Hilangkan budaya sungkan dalam berkomunikasi. Karyawan mempunyai
kecenderungan untuk takut mengatakan hal yang dilihat. Jika melihat hal
yang tidak aman, sebaiknya karyawan berani untuk melakukan diskusi dan
tidak segan untuk bertindak. Ini biasa pada komunikasi vertikal. Untuk itu,
dibutuhkan suatu pengembangan komunikasi vertikal antara karyawan dan
pimpinan. Ini dapat dilakukan dengan cara diskusi dalam forum atau
meeting.
6. Pengawasan
Pengawasan oleh team leader sebaiknya mengandung unsur partisipatif
dari karyawan, sehingga tercipta sebuah simbosis mutualisme bagi kedua
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
89
Universitas Indonesia
belah pihak. Selain itu, perlu juga diadakan pengawasan feedback, untuk
mendapatkan umpan balik dari karyawan mengenai pengawasan
pelaksanaan program ini.
7. Komitmen
Komitmen team leader sebaiknya tidak hanya membuat program,
kebijakan, atau prosedur tetapi juga terlibat dalam setiap aktivitasnya.
Team leader harus memastikan secara langsung sejauh mana aplikasi
komitmennya berjalan dilapangan. Dengan keterlibatan manajemen,
partisipasi dari karyawan akan meningkat.
8. Sanksi/reward
Pemberian reward dapat tetap dipertahankan. Hal ini dilakukan untuk
memotivasi karyawan untuk mengisi kartu STOP. Selain itu, pemberian
reward dapat diadakan untuk setiap divisi dan untuk individu dalam divisi.
Dalam hal ini maksudnya, diadakan perlombaan antar divisi dalam
pelaksanaan program ini. Dengan perlombaan antar divisi, diharapkan
dapat memacu kontribusi dari divisi yang kurang aktif menjadi aktif.
9. Masalah hambatan pelaksanaan STOP, seperti
Penambahan jumlah kartu STOP pada tiap departemen agar kartu
ini mudah didapatkan. Penyediaan kartu STOP ini disesuaikan
dengan kerajinan suatu divisi dalam mengisi kartu STOP. Untuk
itu, setiap divisi melalui STOP representatif perlu menetapkan
kuota kartu yang dibutuhkan setiap bulannya.
Kadangkala observasi tindakan yang tidak aman ditemukan secara
tidak sengaja, sehingga ada kecenderungan untuk lupa menuliskan
pada kartu STOP. Untuk mengatasi itu, sebaiknya observer
menuliskan terlebih dahulu pada sebuah kertas/handphone, baru
kemudian dituliskan pada kartu STOP.
Program STOP ini memiliki kecenderungan target-oriented,
dimana ada kecenderungan untuk merekayasa cerita. Untuk itu,
sebaiknya karyawan mengembangkan cara observasi yang variatif
agar tidak menemukan kejadian tidak aman yang sama untuk
diamati.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
90
Universitas Indonesia
Untuk meningkatkan kualitas observer, karyawan dilatih untuk
lebih peka pada keadaan yang tidak aman.Kualitas observer akan
meningkat seiring dengan frekuensi pengamatan yang dilakukan.
Orang akan lebih cepat tanggap jika sering melakukan
pengamatan. Selain itu, dengan frekuensi pengamatan yang sering,
dapat menumbuhkan insting keselamatan pada karyawan
Menyediakan waktu untuk memperhatikan keselamatan. STOP
tidak hanya terbatas dalam lingkungan kantor saja, tetapi juga di
jalan raya ataupun di lingkungan rumah. Untuk itu, bagi karyawan
yang sulit mencari sela-sela waktu dalam mengamati, bisa mencoba
melakukan pengamatan pada saat istrihat atau saat pulang/pergi
kantor
Meningkatkan kesadaran pada diri individu dengan bantuan
lingkungan kerja sebagai pendukung. Orang yang diamati
kadangkala bersikap bebal dan melakukan pekerjaan yang tidak
aman berulang-ulang. Ini karena STOP masih berupa kuantitas dan
prosedur yang tidak dijalani dengan benar.
Mengontrol pengamatan pada masing-masing observer agar tidak
mengulang pengamatan yang sama
Melakukan follow up untuk tindakan perbaikan dari pihak
manajemen, kemudian dikomunikasikan pada karyawan.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
91
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Bird, Frank. 1986. Practical loss control leadership. International Loss Control Institute
Bureau of Labor Statistics. National Census of Fatal occupational injuries in 2008, US
Department of Labor, News Release (August 20, 2009). www.bls.gov
Bureau of Labor Statistics. October 2009. Workplace injuries and illnesses in 2008, US
Department of Labor, News Release. www.bls.gov
Burman, R. & Evans, A.J. 2008. Target Zero: A Culture of Safety. Defence Aviation Safety
Centre Journal 2008, 22-27
CBI. 1991. Developing a Safety Culture. London : Confederation of British Industry
Center for Chemical Process Safety. 1995. www.aiche.org (diunduh tanggal 11 April 2011
pukul 11.00)
Canadian Centre for Occupational Health and Safety. 2008-2009. www.ccohs.ca
Cooper, Dominic. 2000. Toward a Model of Safety Culture. Safety Science 36, 111-136.
Pergamon
Cooper, Dominic. 2000. Improving Safety Culture: A Practical Guide. Applied Behavioral
Science
Cooper, Dominic. 2002. Culture, A Model for understanding and Quantifying Difficult
concept, Management. American Society for Safety Engineer, Professional Safety
Colling, David A. 1990. Industrial Safety Management & Technology. New Jersey : Prenctice
Hall
Cox, S. & Cox, T. 1991. The Structure of Employee Attitudes to Safety - A European
Example Work and Stress. 93 - 106.
Geller, Scott. 2001. The Psychology of Safety Hand Book. Lewis Publisher
Geller, Scott. 1994. Ten Principles for Achieving a Total Cafety culture. Professional Safety :
ABI/Inform Global page 18
Geller, E. Scott. 2004. Behavior-based safety: A Solution to Injury Prevention: Behavior-
based safety 'empowers' Employees and Addresses the Dynamics of Injury Prevention.
Risk & insurance. 15
Geller, E. Scott. 1998. Working Safe: How to Help People Actively Care for Health and
Safety. Lewis Publishers
Guldenmund, F. 2000. The Nature of Safety Culture : A Review of Theory and Research,
Safety Science 34, 215-257. Pergamon
Heinrich. 1980. Industrial accident prevention. New Jersey : McGraw-Hill
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
92
Universitas Indonesia
Health and Safety Executive. 2005. A review of safety culture and safety climate literature for
the development of the safety culture inspection toolkit.
Hopkins, Andrew. 2002. Safety Culture, Mindfulness and Safe Behaviour : Converging
ideas? Australian National University
IAEA. 2002. Safety culture in nuclear installations : Guidance for use in the enhancement of
safety culture.
International Safety Advisory Group (INSAG). 1991. Safety Culture, Safety Series No.75-
INSAG-4, IAEA
International Safety Advisory Group (INSAG). 2002. Key Practical Issues in Strengthening
Safety Culture, INSAG-15, IAEA
Krause, Thomas. 2005. Leading with Safety. Hoboken, NJ, Wiley Publishing Company
Kurniawidjaja, Meily. 2010. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta : UI Press
Munandar, Ashar Sunyoto. 1990. Psikologi Industri. Jakarta : UI Press
Notoadmojo, Soekidjo. 2000. Promosi Pendidikan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta
Reason, J. 1998. Achieving a Safe Culture: Theory and Practice Work and Stress, 12, 293 -
306.
Roughton, James. 2002. Developing an Effective Safety Culture: A Leadership Approach (1st
edition ed.). Butterworth-heinemann
Rundmo, T. 1996. Associations Between Risk Perception and Safety. Safety Science 24, 107
- 209
Shappell, A. Scott dan Douglas A. Wiegmann. 2000. The Human Factors Analysis and
Classification System – HFACS, US Department of Transportation, Federal Aviation
Administration. Virginia : National Technical Information Service.
Soehatman Ramli. 2010. Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja, OHSAS
18001
Stranks, Jeremy. 2006. The A-Z of Health and Safety. London : Thorogood Publishing Ltd
Syaaf, Ridwan. 2001. Implementasi program pengembangan budaya K3 di tempat kerja.
Tarrants, William. 1980. The Measurement of Safety Performance. New York : Garland
STPM Press
United Steelworkers of America. 2005. Not Walking the Talk: DuPont’s Untold Safety
Failures. Allied-industrial, chemical and energy workers international union.
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
93
Universitas Indonesia
Wiemann, D., Zhang, H., Von Thaden, T., Gibbons, A. and Sharma, G. 2004. Safety Culture:
An Integrative Review. International Journal of Aviation Psychology 14 (2): 117-134.
NJ: Lawrence Earlbaum Associates.
Zohar, D. 1980. Safety Climate in Industrial Organizations: Theoretical and Applied
Implications. Journal of Applied Psychology, 65, 96 - 102.
Zohar, D. 2002. The Effects of Leadership Dimensions, Safety Climate and Assigned
Priorities on Minor Injuries in Work Groups. Journal of Organizational Behaviour, 23,
75 - 92.
“Injury Prevention & Control: Data & Statistics.” www.cdc.gov
“Data statistik kecelakaan.” bataviase.co.id (diunduh tanggal 10 April 2011 pukul 15.00)
“Investigation Report” www.csb.gov (diunduh tanggal 10 April 2011 pukul 15.00)
“Human errors in fatal and serious occupational accidents in Finland”.
www.informaworld.com (diunduh tanggal 19 April 2011 pukul 10.00)
“Budaya keselamatan” ansn.bapeten.go.id (diunduh tanggal 11 April 2011 pukul 11.00)
“Safety culture maturity model.” 2000. www.hse.gov.uk (diunduh tanggal 20 April 2011
pukul 11.00)
“Safety Culture Maturity Model (SCMM).” www.iagc.org (diunduh tanggal 20 April 2011
pukul 11.10)
“STOP Cards” www.pdo.co.om (diunduh tanggal 11 April 2011 pukul 19.00)
“STOP Card” www.migas-indonesia.com (diunduh tanggal 19 April 2011 pukul 10.00)
“STOP Training Package.” 2009. Jakarta : BP Indonesia
www.bp.com
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
LAMPIRAN
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
KUESIONER PENELITIAN Salam sejahtera bagi kita semua, Saya Gita, mahasiswa K3 FKM UI, saat ini saya sedang magang di Departemen HSE BP. Dalam tugas akhir ini, saya melakukan penelitian mengenai program STOP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan program STOP yang telah berjalan di lingkungan head office BP. Bersama ini saya memohon kesediaan Bapak/ Ibu/ Sdr untuk memberikan penilaian terhadap beberapa perrtanyaan dibawah ini. Saya sangat mengharapkan kesediaan waktu Anda untuk membantu saya dalam mengisi kuesioner ini. Penilaian yang Bapak/ Ibu/ Sdr berikan akan sangat membantu kelancaran penyusunan skripsi saya. Jawaban Bapak/ Ibu/ Sdr merupakan pendapat dan pandangan pribadi. Kuesioner ini hanya dibuat untuk penelitian semata tidak akan berpengaruh pada pekerjaan Bapak/Ibu/Saudara Terima kasih atas kesediaan Bapak/ Ibu/ Sdr untuk memberikan penilaian terhadap pernyataan di dalam kuesioner. Divisi : Umur : Lama Kerja : Prosedur 1. Dalam setiap pekerjaan, tentu ada prosedur kerja. Menurut Saudara, apakah prosedur yang berlaku sudah memadai untuk menjamin bekerja secara aman? a. memadai b. cukup memadai c. kurang memadai d. tidak memadai 2. Apakah prosedur kerja yang berlaku tersebut mencakup hal keselamatan kerja? a. Ya b. Tidak
3. Dalam prosedur kerja, jika melihat kondisi atau tindakan yang tidak aman, apa yang seharusnya dilakukan? a. menghentikan pekerjaan tersebut b. menghentikan pekerjaan tersebut dan melaporkan pada supervisi c. menegur orang tersebut d. tidak melakukan tindakan apapun 4. Apakah Saudara mengetahui tujuan dan sasaran BP di bidang HSE? a. Ya b. Tidak Pengetahuan 1. Apakah Saudara tahu mengenai tujuan jangka panjang dari penggunaan kartu STOP? a. mengobservasi tindakan/kondisi yang aman/tidak aman b. mencegah insiden c. membentuk komunikasi antar karyawan d. membentuk budaya yang selamat 2. Apakah manfaat dari penggunaan kartu STOP? a. kesadaran akan budaya keselamatan dalam diri pekerjameningkat b. komunikasi dua arah meningkat c. tingkat kecelakaan/inciden turun sampai 50-60 persen. d. semua benar 3. Apa motivasi Anda mengisi kartu STOP? a. memenuhi kuantitas target b. keinginan pribadi c. alasan keselamatan rekan kerja d. dorongan team leader e. mendapat intensif f. lain-lain 4. Berapa kali dalam sebulan Saudara mengisi kartu STOP? a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. > 3 kali
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
5. Bagaimana cara menggunakan STOP Card? a. mengamati – memutuskan – berhenti – melakukan tindakan - melaporkan b. memutuskan – berhenti – mengamati – melakukan tindakan – melaporkan c. berhenti – memutuskan - mengamati – melakukan tindakan – melaporkan d. memutuskan - mengamati – melakukan tindakan – melaporkan – berhenti 6. Sebelum memutuskan melakukan pengamatan dengan kartu STOP, apa saja yang dipertimbangkan? a. tindakan aman/tidak aman b.orang yang diamati c. kondisi aman/tidak aman d. A,B,C dipertimbangkan 7. Setelah diobservasi, tindakan intervensi apa yang Saudara dilakukan pada objek pengamatan bila kondisi/tindakan tidak aman? a. diam saja b. menegur c. memberi tahu tindakan yang aman d. tidak peduli 8. Manakah yang merupakan kategori pengamatan dari kartu STOP? a. reaksi dan posisi seseorang, prosedur, kerapihan, APD, perlengkapan/peralatan b. tindakan atau kondisi yang aman dan tidak aman c. tindakan perbaikan dan pencegahan d. semua benar 9. Apa kategori pengamatan dalam kartu STOP mudah dimengerti? a. mudah dimengerti b. sulit dimengerti Persepsi bahaya Berikut adalah bahaya-bahaya yang muncul di lingkungan kerja, khususnya pada lingkungan perkantoran. Isilah dengan Saudara checklist, sesuai tingkat bahayanya, apakah bahaya tersebut dalam kategori tinggi, sedang, atau rendah.
Bahaya Tinggi Sedang Rendah Ergonomi Bising Pencahayaan Elektrik Fire (kebakaran) Kerapihan ruangan
Temperatur – AC Kualitas udara di ruangan
Psikososial (stress kerja)
Sick Building Syndrom
Bencana alam (gempa bumi)
Komitmen 1. Menurut pandangan Saudara, bagaimana kepatuhan dan partisipasi dari team leader? a. mengabaikan kebijakan dan prosedur serta menghindari partisipasi dalam aktivitas K3 b. mengikuti kebijakan dan prosedur c. aktif dalam kegiatan K3 d. aktif dalam kegiatan K3 dan menunjukkan komitmen K3 e. mengikuti kebijakan, prosedur, mengikuti kegiatan K3, dan membuktikan dalam aktivitas pekerjaaan 2. Menurut pandangan Saudara, bagaimana pelaksanaan dari komitmen team leader? a. tidak konsisten dalam merespon kondisi yang tidak aman b. menghentikan tindakan yang tidak aman dalam keadaan mendesak dengan alasan keselamatan pribadi c. menghentikan tindakan yang tidak aman yang dalam keadaan mendesak untuk kepentingan pekerja lain. d. menghentikan tindakan yang tidak aman yang dilakukan orang lain e. menghentikan tindakan yang tidak aman yang dilakukan orang lain untuk menjamin keselamatan bersama
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
3. Menurut pandangan Saudara, bagaimana kompetensi personal dari team leader? a. tidak mengerti mengenai kepemimpinan b. hanya menggambarakan peraturan dalam sistem keselamatan dan mengembangkan kepemimpinan sesuai dengan kebutuhan c. mempunyai keterampilan kepemimpinan d. mengembangkan diri dengan mengikuti training kepemimpinan e. mengembangkan diri untuk meningkatkan keterampilan kepemimpinan 4. Apakah team leader menyediakan fasilitas umpan balik (feedback)? a. hanya menyediakan fasilitas umpan balik setahun sekali b. menyediakan fasilitas umpan balik 6 bulan sekali c. menyediakan fasilitas umpan balik jika diminta d. menyediakan fasilitas umpan balik secara teratur setiap bulan e. menyediakan fasilitas umpan balik yang spesifik dalam rentang waktu 1 minggu 5. Apakah reaksi team leader dalam menerima umpan balik (feedback) dari karyawan? a. reaksi negatif pada umpan balik yang diterima b. reaksi positif dan penerimaan yang baik terhadap umpan balik yang diterima c. menerima umpan balik dan melakukan perubahan d. mencoba mengumpulkan umpan balik dari orang banyak e. menerima umpan balik dari banyak karyawan dan melakukan perubahan
6. Apakah team leader mendengarkan ide dan masukan dari karyawan? a. Jarang mendengarkan ide dan masukan pada karyawan b. Aktif mendengarkan ide dan masukan dari karyawan c. Mencari tahu dan mendengarkan ide karyawan dari sudut pandang yang berbeda d. Mendorong pekerja untuk mengumpulkan isu tentang keselamatan e. Mendorong pekerja untuk mengumpulkan isu tentang keselamatan dari sudut pandang yang berbeda dan mendorong sesama team leader untuk melakukan hal sejenis. 7. Apakah team leader menyampaikan isu keselamatan diinformasikan pada karyawan? a. Jarang menginformasikan tentang isu keselamatan pada karyawan b. Kadang-kadang menginformasikan mengenai isu keselamatan pada karyawan c. Menginformasikan isu keselamatan secara teratur dalam rapat d. Menyediakan informasi mengenai safety yang terbaru dan relevan e. Menyediakan informasi mengenai safety yang terbaru dan relevan secara efektif Sosialisasi 1. Darimanakah Saudara tahu mengenai program STOP ini? a. Team leader b. Rekan kerja c. Lain lain, sebutkan... 2. Apakah sosialisasi program STOP ini sudah berjalan dengan baik? a. Sudah baik b. Cukup baik c. Kurang baik 3. Apakah ada media komunikasi yang digunakan dalam sosialisasi program ini? a. Ya b. Tidak
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
4. Apa saja media komunikasi yang digunakan dalam sosialisasi program ini? a. media verbal (dari mulut ke mulut) b. Media visual (poster atau publikasi lainnya) Pengawasan 1. Apakah team leader mengetahui kondisi lingkungan kerja dan pekerja dengan baik? a. Ya b. Tidak 2. Apakah team leader mempunyai komitmen terhadap safety? a. Ya b. Tidak 3. Bagaimana komitmen team leader ini ditunjukan? a. dengan adanya kebijakan b. dengan adanya prosedur c. dengan adanya program kerja d. dengan adanya partisipasi dalam aktivitas keselamatan, seperti safety meeting 4. Apakah Team leader mendorong pekerja untuk melakukan observasii pada tindakan/kondisi yang tidak aman? a. Ya b. Tidak 5. Apakah team leader menyediakan sumber daya dan waktu untuk partisipasi karyawan dalam mengerjakan budaya selamat? a. Ya b. Tidak 6. Apakah team leader sering memantau pekerjaan saudara? a. selalu memantau b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah 7. Apakah team leader pernah memberi tahu mengenai bahaya dan risiko yang ada di tempat kerja? a. pernah b. Tidak pernah 8. Apakah Team leader pernah mengingatkan Saudara jika dalam kondisi yang tidak aman? a. pernah b. Tidak pernah
Komunikasi 1. Bagaimana cara Saudara dalam menyampaikan pengamatan dalam kartu STOP pada orang yang sedang diamati? a. langsung menjelaskan tindakan aman/tidak aman yang dilakukan b. langsung memberhentikan pekerjaan yang dilakukan c. melakukan pendekatan terlebih dahulu setelah itu menyampaikan hasil pengamatan d. tidak menyampaikan pesan keselamatan setelah melakukan pengamatan 2. Jika Saudara sedang mengamati tindakan yang tidak aman, apakah Saudara memberikan solusi pada orang yang diamati bagaimana seharusnya tindakan yang aman? a. iya b. tidak 3. Jika Saudara mengamati tindakan yang tidak aman, apakah Saudara menyampaikan bahaya dan risiko pada orang yang diamati jika melakukan tindakan tersebut? a. iya b. tidak Pelatihan 1. Apakah Saudara pernah mendapatkan pelatihan mengenai STOP? a. Pernah b. Tidak pernah 2. Jika pernah mendapatkan pelatihan mengenai STOP, metode pelatihan apa yang digunakan?
a. kuliah umum b. simulasi/role play c. diskusi kelompok d. studi kasus e. Lain-lain : ____________ 3. Jika Saudara tidak mendapatkan pelatihan STOP, bagaimana cara Saudara tahu mengenai penggunaan kartu STOP? a. petunjuk dari team leader b. belajar sendiri dari buku atau internet c. diskusi kelompok d. lain-lain : ____________
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
4. Menurut Saudara, apakah pelatihan mengenai STOP dibutuhkan? a. Ya b. Tidak Sanksi/Reward 1. Bagaimana pendapat Saudara jika ada kewajiban untuk mengisi kartu STOP? a. setuju b. tidak setuju 2. Bagaimana pendapat Saudara jika pekerja yang tidak berpartisipasi mengisi kartu STOP mendapatkan sangksi dari atasan? a. setuju b. tidak setuju 3. Apakah Saudara setuju dengan pemberian reward bagi karyawan yang mengisi kartu STOP sesuai dengan target? a. setuju b. tidak setuju 4. Menurut Saudara, apakah sangksi dan penghargaan itu diperlukan untuk meningkatkan pengisian kartu STOP? a. perlu b. tidak perlu
Penutup 1. Menurut Saudara, objek apakah yang diamati kartu STOP? a. perilaku aman/tidak aman b. kondisi aman/tidak aman c. dua-duanya d. tidak tahu 2. Apakah kategori pengamatan yang diamati pada kartu STOP sudah sesuai dengan kondisi lingkungan kerja Saudara? a. sesuai b. tidak sesuai 3. Menurut Saudara, apakah program yang STOP yang sudah berjalan di BP berjalan dengan efektif? a. Ya, alasan..... b. Tidak, alasan..... 4. Apakah program STOP ini bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran akan budaya keselamatan di lingkungan kerja dan diantara pekerja? a. Bermanfaat b. Minim manfaat c. Tidak bermanfaat
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
Gambar Kartu STOP
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
SPU Leader
VP Operation
VP Resources
VP Development
VP Exploration
VP HSSE & Engineering
VP OBO VP Vietnam
VP Indonesia
CFO VP HR
Tax
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011
Analisis Faktor..., Argihta Marettia, FKM UI, 2011