analisis faktor-faktor yang...
TRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA BARAT
OLEH MARUTI NURHAYATI
H14103128
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
MARUTI NURHAYATI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat (dibimbing oleh WIDYASTUTIK).
Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Data BPS pada tahun 2004 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 12,10 persen dari total penduduk Jawa Barat, angka tersebut menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1996 sebesar 9,88 persen dari total penduduk Jawa Barat. Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu sebesar 39.140.812 jiwa dengan kepadatan sebesar 1.194/km. Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki keterampilan memadai. Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat menghendaki jumlah dan tingkat kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian dan persediaan lahan pertanian rata-rata per orang sudah sedemikian terbatas, tidak saja sebagian dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi banyak juga yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti ini menyebabkan meluasnya kemiskinan di Jawa Barat.
Kemiskinan juga tidak terlepas dari laju pertumbuhan ekonomi yang lambat dan tidak merata serta tingkat pendapatan perkapita yang rendah. Tidak meratanya laju pertumbuhan yang disebabkan oleh kekayaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusia yang berbeda-beda menyebabkan pendapatan perkapita yang tidak merata. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi kehidupan yang kurang layak dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan. Ini semua faktor-faktor yang membuat mereka tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja secara intensif sehingga tingkat produktivitas rendah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan mengetahui seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kemiskinan, pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan dan investasi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data dari 25 kota/kabupaten di Jawa Barat untuk tahun 2004. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan 2SLS karena variabel-variabel yang terdapat dalam persamaan tersebut saling terkait satu sama lain.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan pada taraf nyata 10 persen adalah tenaga kerja dan investasi, sedangkan variabel lahan dan variabel dummy kota/kabupaten berpengaruh nyata satu persen. Koefisien regresi tenaga kerja bernilai positif yaitu
sebesar 0,0016. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0016 persen. Lahan memiliki koefisien regresi bernilai positif yaitu sebesar 0,0015 yang berarti setiap kenaikan luas lahan pertanian sebesar satu persen akan menyebabkan pendapatan meningkat sebesar 0,0015 persen. Untuk koefisien regresi variabel investasi bernilai positif yaitu sebesar 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0001 persen. Koefisien regresi variabel dummy antara kotamadya dan kabupatan memiliki tanda positif . Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kotamadya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada taraf nyata 10 persen adalah pendapatan dan pendidikan, sedangkan variabel jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata satu persen. Koefisien regresi untuk pendapatan bernilai negatif yaitu sebesar 0,002 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar 1 persen akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,002 persen. Tingkat pendidikan memiliki koefisien regresi bernilai negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat pendidikan meningkat satu persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,38 persen. Nilai koefisien regresi untuk tingkat pengangguran bernilai positif yaitu sebesar 0,17 yang berarti jika tingkat pengangguran meningkat satu persen maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,17 persen. Koefisien regresi untuk variabel tingkat ketergantungan bernilai positif sebesar 0,23. Hal tersebut berarti jika tingkat ketergantungan meningkat sebesar satu persen maka akan menaikkan tingkat kemiskinan sebesar 0,23 persen.
Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan mempengaruhi tingkat kemiskinan, maka pemerintah perlu membuat kebijakan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Kemudian untuk mengurangi pengangguran, pemerintah daerah perlu mendorong program pembangunan yang padat karya. Pemerintah daerah melalui Departemen Kesehatan juga perlu lebih menggalakkan program yang dapat menekan tingkat kelahiran untuk mengurangi tingkat ketergantungan sehingga beban dalam memenuhi kebutuhan hidup berkurang.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI JAWA BARAT
Oleh MARUTI NURHAYATI
H14103128
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2007
Maruti Nurhayati H14103128
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Maruti Nurhayati
Nomor Registrasi Pokok : H14103128
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Analisis : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kemiskinan di Jawa Barat
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Widyastutik, S.E., M.Si. NIP. 132 311 725
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Ir. Rina Oktaviani, M.S., Ph.D. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Maret 1984 sebagai anak
kandung dari Bapak Sri Hartoyo dan Ibu Andayati. Penulis adalah anak ketiga
dari enam bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Polisi I Bogor
pada tahun 1996, menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTP Bina
Insani Bogor pada tahun 2000 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di
SMU Plus Bina Bangsa Sejahtera pada tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis
diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di
Jawa Barat”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Widyastutik, S.E. M.Si., sebagai dosen pembimbing dan atas arahan serta
bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan
dengan baik.
2. Wiwiek Rindayanti, M.S., yang telah menguji hasil penelitian ini. Semua
kritikan dan saran beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam
penyempurnaan skripsi ini.
3. Henny Reinhard, M.Sc., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi
ini.
4. Orangtua penulis yaitu Dr.Ir. Sri Hartoyo, M.S. dan Ibu Andayati serta
saudara-saudara penulis yaitu Hardian Novianto, Muhammad Arianto, Vera
Rahmasari, Muhammad Harizananto dan Muhammad Yuqa Banianto atas
dukungan, dorongan dan doa yang sangat besar artinya dalam penyelesaian
skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar dan staf akademik Departemen Ilmu Ekonomi yang
telah membantu penulis selama menyelesaikan pendidikan di Departemen
Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
6. Sahabat-sahabat penulis (Annisa Anjani, Eva Dwi Prihartanti, Aditya
Kusumaningrum, Ana Pertiwi, Tuti Ratna Dewi, Vivi dan Yudis) yang telah
memberikan dorongan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman di Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan kritik dan
saran baik pada saat pengerjaan skripsi ini maupun pada seminar hasil
penelitian.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2007
Maruti Nurhayati H14103128
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………….......
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
I. PENDAHULUAN…………………………………………………….
1.1. Latar Belakang ……………………………………………......
1.2. Perumusan Masalah ………………………………………......
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………......
1.4. Kegunaan Penelitian ………………………………………….
vi
vii
viii
1
1
5
6
6
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………...
2.1. Definisi Kemiskinan ………………………………………….
2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan ………………………………….
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan …………......
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ..................................................
2.5. Kerangka Pemikiran ..................................................................
2.6. Hipotesis Penelitian ...................................................................
8
8
13
15
18
21
23
III. METODE PENELITIAN …………………………………………......
3.1. Jenis dan Sumber Data ……………………………………......
3.2. Model Ekonometrika ………………………………………….
3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model ……………………………
3.4. Uji Evaluasi Hasil …………………………………………….
3.5. Definisi Operasional ………………………………………….
24
24
24
25
26
32
IV. PERKEMBANGAN KEMISKINAN DAN PENDAPATAN DI JAWA BARAT .....................................................................................
4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan .........................................
4.2. Perkembangan Tingkat Pendapatan ..........................................
4.3. Perkembangan Tenaga Kerja ....................................................
4.4. Perkembangan Investasi ............................................................
4.5. Perkembangan Tingkat Pengangguran ......................................
33
33
34
35
36
37
4.6. Perkembangan Tingkat Ketergantungan ................................... 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
5.1. Pendugaan Model Analisis ........................................................
5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan .......................
5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan ......................
39
39
40
42
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
6.1. Kesimpulan ...............................................................................
6.2. Saran ..........................................................................................
45
45
46
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
LAMPIRAN .................................................................................................
47
50
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi di Indonesia Periode Tahun 2004 ..............................................................................
1.2. PDRB Perkapita atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2005.................................
3.1. Order Condition (kondisi ordo) ............................................................
4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Barat Periode Tahun 1999-2004 ..................................................................................
4.2. Nilai Pendapatan di Jawa Barat Tahun 2001-2005 ..............................
4.3. Jumlah Tenaga Kerja dan Persentase Kontribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi di Jawa Barat Tahun 2001-2005 ...........
4.4. Persentase Tenaga Kerja Jawa Barat Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2001-2005 ..................................................................................
4.5. Nilai Investasi di Jawa Barat periode Tahun 2000-2005 ......................
4.6. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 2000-2005 ........................................................................
4.7. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Persentase Tingkat Ketergantungan di Jawa Barat Periode Tahun 2000-2005.....................
5.1. Hasil Estimasi Model Pendapatan …………………………………….
5.2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan ……………………………………
2
4
25
33
34
35
36
36
37
38
41
43
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran .............................................................................. 22
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data yang dimasukkan dalam Model .......................................................
2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan dan Model Pendapatan .....................
3. Uji Heteroskedastisitas dan Uji Multikolinearitas ...................................
4. Uji Normalitas ..........................................................................................
51
52
53
54
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan
kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Menurut Rintuh
(2003), kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kebutuhan konsumsi
dasar dan kualitas hidupnya. Ada dua macam ukuran kemiskinan yaitu
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah
ketidakmampuan seseorang melampaui garis kemiskinan yang ditetapkan.
Sedangkan kemiskinan relatif berkaitan dengan perbedaan tingkat pendapatan
suatu golongan dibandingkan dengan golongan lainnya.
Berdasarkan data dari BPS tahun 2004 jumlah penduduk miskin di
Indonesia mencapai 37,88 juta. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan angka
tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk
miskin sebesar 22,5 juta jiwa. Secara statistik kemiskinan di perkotaan tidak
sebesar yang terjadi di pedesaan, akan tetapi fenomena ini bukan berarti masalah
kemiskinan di perkotaan tidak perlu ditanggulangi. Kehidupan kota tidak terlepas
dengan para migran. Ketika kondisi ekonomi sudah tidak dapat memberikan
harapan namun masih banyak migran yang berupaya untuk tetap hidup di kota
dengan pekerjaan yang tidak layak dan penghasilan yang rendah. Inilah salah satu
yang menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin di perkotaan.
2
Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi di Indonesia Periode Tahun 2004
Propinsi Jumlah penduduk miskin (ribu jiwa)
Tingkat Kemiskinan (%)
Nanggroe Aceh Darussalam 1157,2 3,22Sumatra Utara 1800,1 5,01Sumatra Barat 472,4 1,31Riau 744,4 2,07Jambi 325,1 0,90Sumatra Selatan 1379,3 3,84Bengkulu 345,1 0,96Lampung 1561,7 4,35Bangka Belitung 91,8 0,25DKI Jakarta 277,1 0,77Jawa Barat 4654,2 12,96Jawa Tengah 6843,8 19,06DI Yogyakarta 616,2 1,71Jawa Timur 7312,5 20,37Banten 779,2 2,17Bali 231,9 0,64Nusa Tenggara Barat 1031,6 2,87Nusa Tenggara Timur 1152,1 3,21Kalimantan Barat 558,2 1,55Kalimantan Tengah 194,1 0,54Kalimantan Selatan 231,0 0,64Kalimantan Timur 318,2 0,88Sulawesi Utara 192,2 0,53Sulawesi Tengah 486,3 1,35Sulawesi Selatan 1241,5 3,45Sulawesi Tenggara 418,4 1,16Maluku 397,6 1,10Maluku Utara 107,8 0,30Papua 966,8 2,69
Sumber : BPS, 2004
Data BPS pada tahun 2004 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Jawa
Barat mencapai 12,10 persen dari total penduduk Jawa Barat, angka tersebut
menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dibandingkan
tahun 1996 sebesar 9,88 persen dari total penduduk Jawa Barat. Tingginya angka
kemiskinan di Jawa Barat juga dapat dilihat dari perbandingan antar propinsi di
3
Indonesia (Tabel 1.1). Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk
terbanyak di Indonesia yaitu sebesar 39.140.812 jiwa dengan kepadatan sebesar
1.194/km (BPS, 2004). Kepadatan penduduk ini disebabkan oleh meningkatnya
migrasi penduduk yang umumnya tidak memiliki keterampilan memadai.
Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat
menghendaki jumlah dan tingkat kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam
keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian dan persediaan
lahan pertanian rata-rata per orang sudah sedemikian terbatas, tidak saja sebagian
dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi banyak juga
yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja
maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti
ini menyebabkan meluasnya kemiskinan di Jawa Barat.
Kemiskinan juga tidak terlepas dari laju pertumbuhan ekonomi yang
lambat dan tidak merata serta tingkat pendapatan perkapita yang rendah. Tidak
meratanya laju pertumbuhan yang disebabkan oleh kekayaan sumber daya baik
sumber daya alam maupun sumberdaya manusia yang berbeda-beda menyebabkan
pendapatan perkapita yang tidak merata (Tabel 1.2). Hal ini erat kaitannya dengan
kondisi kehidupan yang kurang layak dalam memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan. Ini semua faktor-faktor yang
membuat mereka tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja secara intensif
sehingga tingkat produktivitas rendah.
4
Tabel 1.2. PDRB Perkapita atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2005 (Rupiah)
Kabupaten/Kota 2003 2004 2005*
Bogor 5.403.945,98 5.500.975,57 5.618.278,77Sukabumi 3.348.317,80 3.505.333,41 3.564.086,46Cianjur 3.100.933,47 3.173.731,94 3.245.536,28Bandung 4.682.657,52 4.820.921,56 4.937.145,10Garut 3.753.361,17 3.843.508,99 3.942.940,88Tasikmalaya 3.036.100,49 3.106.077,51 3.187.286,88Ciamis 3.522.317,79 3.641.197,93 3.773.513,21Kuningan 2.939.547,98 3.033.410,78 3.129.543,32Cirebon 2.811.526,57 2.899.083,89 3.001.121,19Majalengka 2.754.259,37 2.847.125,06 2.953.844,36Sumedang 4.096.141,74 4.212.797,78 4.341.731,43Indramayu 9.660.946,12 9.945.708,30 9.837.979,50Subang 3.865.560,97 4.107.972,81 4.351.015,48Purwakarta 6.618.777,16 6.756.653,34 3.856.685,20Karawang 6.276.500,61 6.530.634,94 6.820.581,86Bekasi 18.739.868,62 19.057.598,80 19.345.130,91Kota Bogor 4.002.528,64 4.161.551,26 4.326.942,50Kota Sukabumi 4.808.440,56 5.016.745,58 5.242.390,66Kota Bandung 8.391.545,98 8.928.178,55 9.509.358,43Kota Cirebon 15.753.265,31 16.352.426,91 17.010.378,19Kota Bekasi 5.652.150,73 5.723.822,79 5.810.894,96Kota Depok 3.280.844,29 3.380.342,53 3.501.315,46Kota Cimahi 9.835.190,51 9.999.797,70 10.186.556,15Kota Tasikmalaya 3.288.672,39 3.402.507,41 3.486.594,07Kota Banjar 3.343.293,27 3.454.897,19 3.576.584,64
Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat, 2004 Catatan : *) Angka sementara
Masih tingginya angka kemiskinan menunjukkan bahwa penanganan yang
dilaksanakan pemerintah untuk masyarakat miskin belum mampu untuk
menjangkaunya. Sejalan dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang mulai
diberlakukan sejak tahun 2001, pemerintah daerah kini berwenang penuh
merancang dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan sesuai
dengan kebutuhannya. Sesuai UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
5
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah tidak hanya
melaksanakan program pembangunan tetapi juga bertanggung jawab secara
langsung dan aktif dalam penanganan kemiskinan, sehingga untuk menanggulangi
kemiskinan perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat
kemiskinan, khususnya di Jawa Barat.
1.2. Perumusan Masalah
Negara Indonesia merupakan negara yang subur dengan kekayaan
alamnya yang melimpah, namun sebagian besar rakyatnya tergolong miskin.
Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru tak lama setelah
itu terjadi krisis ekonomi yang parah, yang tidak segera diatasi. Dampak dari
krisis tersebut masih terlihat hingga sekarang.
Tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari pendapatan dan pertumbuhan
ekonomi di suatu daerah. Jika pendapatan dan tingkat pertumbuhan ekonomi
meningkat maka tingkat kesejahteraan penduduk juga akan meningkat.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2004, pendapatan perkapita di Jawa Barat
mengalami peningkatan sebesar Rp. 4.280.422 pada tahun 2003 menjadi Rp.
5.707.335 pada tahun 2004. Hal ini juga ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi
yang meningkat dari tahun 2003 sebesar 4,53 persen menjadi 5,47 persen pada
tahun 2004. Namun peningkatan pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi tidak
diiringi oleh penurunan kemiskinan. Pada kenyataannya jumlah penduduk miskin
masih mengalami peningkatan pada tahun 2004 sebesar 4,65 juta jiwa bila
6
dibandingkan dengan tahun 1996 (sebelum krisis) dengan jumlah penduduk
miskin sebesar 3,96 juta jiwa (BPS, 2004; 1996). Hal tersebut dikarenakan
pelaksanaan pengentasan kemiskinan belum dipahami apa saja masalah-masalah
yang terkait dengan masalah kemiskinan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti
adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan dan seberapa besar
faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan mengetahui
seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa
Barat.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa kegunaan, antara
lain :
1. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan serta
menyelaraskan apa yang di dapat selama kuliah dengan kenyataan di lapang.
7
2. Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan di daerah, agar program-program
yang dilaksanakan tepat sasaran.
3. Sebagai sumber informasi bagi pembaca secara umum yang tertarik dengan
topik kajian dari penelitian ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kemiskinan
Kemiskinan dapat dicirikan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi
berbagai kebutuhan pangan, perumahan dan pakaian, tingkat pendapatan rendah,
pendidikan dan keahlian rendah, keterkucilan sosial karena keterbatasan
kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Secara
singkat kemiskinan menurut Suparlan (1984) dapat didefinisikan sebagai suatu
standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi
pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan
yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan
yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan
kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong
sebagai orang miskin.
Menurut Saldanha (1998) persoalan kemiskinan mengandung enam
masalah pokok, yaitu;
1. Masalah kemiskinan adalah kerentanan. Pembangunan infrastruktur ekonomi
dan pertanian dapat saja meningkatkan pendapatan petani dalam jumlah besar
yang memadai, akan tetapi kekeringan musim dua tahun berturut-turut akan
dapat menurunkan tingkat hidupnya sampai titik yang terendah.
2. Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja karena
hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka
untuk berpartisipasi dalam poses produksi, atau mereka terperangkap dalam
hubungan produksi yang eksploitatif yang menuntut kerja keras dalam jam
9
kerja panjang dengan imbalan rendah. Hal ini disebabkan oleh posisi tawar
menawar mereka dalam struktur hubungan produksi amat lemah. Kemiskinan
dengan demikian juga berarti hubungan dependensi kepada pemilik tanah,
pimpinan proyek, elit desa dan sebagainya.
3. Kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional
dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat yang menentukan keputusan
menyangkut dirinya tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan
diri; ketidakberdayaan menghadapi penyakit dan kematian, kekumuhan dan
kekotoran.
4. Kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian terbesar
penghasilannya untuk konsumsi gizi mereka amat rendah yang mengakibatkan
produktivitas mereka rendah.
5. Kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan, karena
besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan
berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat
kecerdasan mereka sehingga di dalam kompetisi merebut peluang dan sumber
dalam masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada pihak yang
lemah.
6. Kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan yang diwariskan dari
satu generasi ke generasi lainnya.
Secara umum SMERU dalam Krisnamurti (2006) menyebutkan definisi
kemiskinan yang memadai harus mencangkup berbagai dimensi, antara lain :
10
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang,
dan papan).
2. Tidak hanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak ada jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan
dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual dan massal.
5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita
korban tindak kekerasan rumah tangga, janda, kelompok marjinal dan
terpencil).
Menurut Sumodiningrat (1999), klasifikasi kemiskinan ada lima kelas, yaitu :
1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar
minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh
tingkat pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat
pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin
atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan
miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan,
11
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan,
sandang, kesehatan, papan dan pendidikan.
Menurut Sunarso dan Mardimin (1996), kemiskinan absolut adalah suatu
keadaan apabila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum,
memelihara fisik, sehingga tidak dapat bekerja penuh dan efisien. Kemiskinan
jenis ini ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi akan
mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan terutama untuk dapat bekerja.
2. Kemiskinan Relatif
Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan
relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibanding kelompok lain tanpa
memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak.
Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan
dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan istilah
ketimpangan distribusi pendapatan.
Kemiskinan relatif untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan berguna
untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat
digunakan untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang dilakukan pada suatu
wilayah tertentu. Pengukuran relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan,
ketimpangan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia berupa kualitas
pendidikan, kesehatan serta perumahan.
3. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat
yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki
12
tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.
Alfian, dkk (1980) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan
yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat
tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya
tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas
pemukiman sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia
sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat diukur dari kurangnya perlindungan
dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah
seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada.
4. Kemiskinan Kronis
Kemiskinan Kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
• Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat
yang tidak produktif.
• Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah kritis sumberdaya
alam dan daerah terpencil).
• Rendahnya pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan
kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.
5. Kemiskinan Sementara
Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya (i) perubahan siklus ekonomi
dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi; (ii) perubahan yang bersifat musiman
dan (iii) bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya
tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
13
2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan
Menurut Sajogyo (1977), cara mengukur kemiskinan dengan pendekatan
kemiskinan absolut adalah dengan memperhitungkan standar kebutuhan pokok
berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi (kalori dan protein) dengan
mengungkapkan masalah garis kemiskinan dan tingkat pendapatan petani. Ada
tiga golongan orang miskin, yaitu golongan paling miskin yang mempunyai
pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240 kg atau kurang, golongan
miskin sekali yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240-
360 kg dan lapisan miskin yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras
sebanyak lebih dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg. Bank dunia (2000)
menetapkan bahwa seseorang dikatakan miskin apabila pendapatannya dibawah
US$ 2 per hari.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga memberikan alternatif untuk mengukur
garis kemiskinan dengan cara menentukan berapa besar kalori minimum yang
harus dipenuhi oleh setiap orang dalam sehari. Badan ini mengusulkan bahwa
setiap orang harus memenuhi 2100 kalori setiap harinya. Jadi, 2100 kalori ini
merupakan batas garis kemiskinan dengan memperhitungkan kebutuhan non
pangan seperti kebutuhan perumahan, bahan bakar, penerangan air, sandang, jenis
barang yang tahan lama serta jasa-jasa. Kemudian kriteria-kriteria ini diubah
dalam angka rupiah. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sendiri akan selalu
mengalami penyesuaian, karena harga kebutuhan itu berubah-ubah.
Menurut Salim dalam Fithrajaya (2004), aktor kemiskinan atau mereka yang
hidup di bawah garis kemiskinan memiliki beberapa ciri, yaitu :
14
1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang
cukup, modal maupun ketrampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit
sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas.
2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan
kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan
maupun modal usaha, sedangkan syarat tidak terpenuhi untuk memperoleh
kredit perbankan seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain, sehingga mereka
yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada ”lintah darat” yang biasanya
meminta syarat yang berat dan memungut bunga yang tinggi.
3. Tingkat pendidikan mereka yang rendah, tak sampai tamat sekolah dasar.
Waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi
untuk belajar. Anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah, karena
harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan atau menjaga adik-
adik di rumah, sehingga secara turun temurun mereka terjerat dalam
keterbelakangan di bawah garis kemiskinan.
4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak di antara mereka tidak
memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali. Umumnya mereka menjadi
buruh tani atau pekerja kasar di luar petani. Karena pertanian bekerja dengan
musiman maka kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak diantara
mereka yang lalu bekerja sebagai ”pekerja bebas” (self employed), berusaha
apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang besar, maka tingkat
upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka di bawah garis kemiskinan.
15
Didorong oleh kesulitan hidup di desa maka banyak diantara mereka mencoba
berusaha di kota.
5. Kebanyakan diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan
tidak mempunyai ketrampilan (skill) atau pendidikan, sedangkan kota di
banyak negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi
penduduk desa ini. Apabila di negara negara pertumbuhan industri menyertai
urbanisasi dan pertumbuhan kota sebagai penarik bagi masyarakat desa untuk
bekerja di kota, maka urbanisasi di negara berkembang tidak disertai proses
penyerapan tenaga dalam perkembangan industri. Bahkan sebaliknya,
perkembangan teknologi di kota-kota negara berkembang justru menapik
pekerjaan lebih banyak tenaga kerja, sehingga penduduk miskin yang pindah
ke kota dalam kantong-kantong kemelaratan.
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan
Menurut Suryadiningrat (2003), kemiskinan pada hakikatnya disebabkan
oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran
ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya
penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan orang lain. Penganiayaan manusia
terhadap diri sendiri tercermin dari adanya : 1) keengganan bekerja dan berusaha,
2) kebodohan, 3) motivasi rendah, 4) tidak memiliki rencana jangka panjang, 5)
budaya kemiskinan dan 6) pemahaman keliru terhadap kemiskinan. Sedangkan
penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja
dan berusaha akibat : 1) Ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang
16
memerlukan atau orang tidak mampu dan 2) kebijakan yang tidak memihak
kepada orang miskin.
Beberapa faktor yang dinilai sebagai sebab-sebab kemiskinan menurut
Handayani (2001) antara lain: (1) Kesempatan kerja, dimana seseorang itu miskin
karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau jika tidak
bekerja penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan, maupun tahun, (2) upah
gaji di bawah minimum, (3) produktivitas kerja yang rendah, (4) ketiadaan aset,
(5) diskriminasi, (6) tekanan harga, dan (7) penjualan tanah.
Menurut Kartasasmita dalam Rahmawati (2006), kondisi kemiskinan dapat
disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, yaitu :
1. Rendahnya taraf pendidikan
dimana taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan
pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang
dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan
untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2. Rendahnya derajat kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan
fisik, daya pikir dan prakarsa.
3. Terbatasnya lapangan kerja
Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh
terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan
usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan
itu.
17
4. Kondisi keterisolasian
Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karenan terpencil dan
terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau
oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati
masyarakat lainnya.
Menurut Todaro (1998) bahwa tinggi rendahnya tingkat kemiskinan
tergantung pada dua faktor yakni tingkat pendapatan nasional rata-rata dan lebar
sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Pendapatan nasional
diperoleh dari faktor-faktor yang digunakan dimana faktor-faktor produksi
merupakan faktor input yang digunakan perusahaan atau industri di dalam
menghasilkan suatu output. Hubungan antara input dan output dapat
diformulasikan ke dalam sebuah fungsi produksi, yang secara sistematis bisa
ditulis :
Y = f (K, T)................................................................................... (1)
dimana :
Y = output yang dihasilkan selama periode tertentu
K = kapital
T = tenaga kerja
Kapital merupakan semua bentuk kekayaan yang dapat digunakan,
langsung maupun tidak langsung, dalam produksi untuk menambah output.
Kapital yang digunakan di perkotaan dan di pedesaan relatif berbeda. Penggunaan
kapital di perkotaan dengan investasi yang dapat berupa investasi perbaikan-
perbaikan pendidikan, kesehatan, keahlian dan lain-lain. Peningkatan investasi
18
yang dapat meningkatkan produktivitas akan meningkatkan pula pendapatan
nasional dan pendapatan perkapita.
Penggunaan kapital di pedesaan lebih banyak menggunakan lahan sebab
pedesaan masih menonjol di sektor pertanian. Hal ini juga disebutkan oleh
Thomas Robert Malthus (tokoh mahzab klasik) bahwa lahan sebagai salah satu
faktor produksi utama yang jumlahnya tetap, walaupun pemakaian lahan untuk
produksi pertanian bisa ditingkatkan, peningkatannya tidak akan seberapa. Dalam
banyak hal, justru jumlah lahan untuk pertanian berkurang. Hal ini karena
sebagian digunakan untuk membangun perumahan, pabrik-pabrik, dan bangunan
lain serta untuk pembuatan jalan. Penggunaan lahan di perkotaan dapat juga
digunakan untuk sewa lahan. Hal ini dikemukakan oleh David Ricardo (tokoh
mahzab klasik) bahwa keuntungan sewa lahan yang subur lebih tinggi
dibandingkan dengan keuntungan sewa lahan yang kurang subur, karena semakin
rendah tingkat kesuburan lahan, maka akan akan semakin tinggi biaya rata-rata
dan biaya marginal untuk mengolah lahan tersebut (Deliarnov, 1995).
Tenaga Kerja adalah bagian dari penduduk yang mampu bekerja untuk
memproduksi barang dan jasa. Produk Domestik Bruto (PDB) atau pendapatan
nasional diperoleh dari upah tenaga kerja yang bekerja pada suatu perusahaan atau
industri. Semakin banyak tenaga kerja yang bekerja pada suatu daerah semakin
besar pendapatan yang diperoleh daerah tersebut.
19
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian Intania (2002) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan adalah
1) umur, 2) tingkat pendapatan, 3) jumlah beban keluarga, 4) pendapatan, 5)
pengalaman dan 6) pelayanan pengelolaan kegiatan. Untuk hasil analisis umur
maka partisipasi juga semakin tinggi, namun hal ini terjadi pada rentan umur
sampai dengan umur 60 tahun.
Faktor–faktor yang berhubungan dengan efektifitas komunikasi dalam
kelompok Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) menurut Nur
(2004) adalah faktor internal, faktor eksternal, dukungan pemimpin formal,
pendidikan formal, pengalaman berusaha dan motivasi anggota kelompok dengan
tingkat pemecahan masalah yang dihadapinya, namun yang berhubungan nyata
dengan pola komunikasi dalam kelompok P2KP adalah dukungan pemimpin
formal.
Menurut penelitian Rahmawati (2006), faktor-faktor yang berpengaruh
nyata terhadap peluang suatu rumah tangga berada dalam kemiskinan antara lain
jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan,
jenis kelamin dan pendapatan. Berdasarkan analisis tersebut, jika kepala rumah
tangga berjenis kelamin wanita maka peluang rumah tangga menjadi miskin
menjadi lebih berkurang.
Penelitian Allen dan Thompson (1990) menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi kemiskinan adalah ras, umur, tipe kepala keluarga, ukuran
keluarga, daerah, pendidikan, pendapatan, lama bekerja dan struktur industri.
20
Model kemiskinan ini menggunakan model logit dan dari semua variabel bebas
yang dimasukkan, hanya variabel tipe kepala keluarga yang tidak signifikan pada
taraf nyata 0,05.
Hal yang sama juga diungkapkan dalam penelitian McDowell (1995)
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah faktor umur,
pendidikan, ras, tipe keluarga, ukuran keluarga, pendapatan, lama bekerja,
struktur industri dan interaksi. Model kemiskinan ini juga menggunakan model
regresi logistik dan semua variabel bebas signifikan terhadap taraf nyata satu
persen.
Penelitian Wiraswara (2005) menunjukkan pertumbuhan ekonomi tidak
berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Dari hasil penelitian ini
terdapat variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan di
Indonesia. Variabel-variabel tersebut adalah angka melek huruf, keterjangkauan
rumah tangga terhadap listrik dan dummy kabupaten/kota di Jawa. Ketiga variabel
ini menurut data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka
kemiskinan. Angka kemiskinannya lebih tinggi dari kabupaten/kota di luar Jawa
dan persentase penduduk melek huruf kabupaten/kota di Jawa lebih rendah dari
kabupaten di kabupaten/kota di luar Jawa. Kabupaten/kota di Jawa lebih unggul
dalam persentase rumah tangga yang terjangkau listrik.
Widiyanti (2001) dari hasil penelitiannya tentang telaah terhadap
partisipasi, pendapatan dan tingkat kemiskinan peserta program perhutanan sosial
dapat disusun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem
(orang yang menggarap lahan). Adapun faktor-faktor tersebut adalah jenis mata
21
pencaharian pesanggem, luas penguasaan lahan pesanggem, pola usaha tani
pesanggem dan pendapatan rumah tangga pesanggem.
Penelitian-penelitian terdahulu lebih berfokus pada upaya penanggulangan
kemiskinan, ada pula yang lebih membahas faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kemiskinan pesanggem. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
terdahulu adalah penelitian ini berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi
kemiskinan dilihat faktor pendapatan, pendidikan, pengangguran dan tingkat
ketergantungan.
2.5. Kerangka Pemikiran
Kemiskinan di Pulau Jawa lebih meluas bila dibandingkan dengan pulau-
pulau lainnya di Indonesia. Sebagai alasan dapat dihubungkan dengan
penduduknya yang lebih padat dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.
Pertumbuhan yang cepat menghendaki pemenuhan hidup yang meningkat pula.
Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja akan meningkat seiring dengan
peningkatan pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam keadaan terbatasnya lapangan
pekerjaan, maka akan sulit bagi sebagian angkatan kerja untuk memperoleh
pekerjaan. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran yang
dapat menyebabkan kemiskinan.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di
Indonesia yaitu sebesar 39.140.812 jiwa pada tahun 2004, dengan kepadatan
penduduk sebesar 1.194,96 jiwa/km. Daerah dengan kepadatan penduduk terbesar
berada di dekat Jakarta serta Bandung yang merupakan ibukota provinsi Jawa
22
Barat dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di Indonesia. Kepadatan penduduk
ini disebabkan oleh meningkatnya migrasi penduduk yang umumnya tidak
memiliki ketrampilan memadai sehingga mereka bekerja secara tidak layak dan
memperoleh penghasilan yang rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup
di kota yang relatif lebih mahal dibandingkan di pedesaan. Keadaan ini akan
meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Penelitian ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi
kemiskinan. Faktor-faktor yang akan diteliti yaitu faktor pendapatan, pendidikan,
pengangguran dan tingkat ketergantungan. Bagan dibawah ini untuk
mempermudah alur penelitian.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan
Rekomendasi kebijakan dalam rangka program kegiatan pengentasan
kemiskinan
Pendidikan pengangguran Beban Ketergantungan Hidup
Pendapatan
Tenaga Kerja
Lahan
Investasi
Dummy Kota/Kab
Keadaan Masyarakat di Jawa Barat
Miskin
23
2.6. Hipotesis Penelitian
a. Hipotesis penelitian untuk faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
adalah sebagai berikut :
1. Lahan berpengaruh positif terhadap pendapatan.
2. Tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pendapatan.
3. Investasi berpengaruh positif terhadap pendapatan.
4. Variabel dummy kota berpengaruh positif terhadap pendapatan.
b. Hipotesis penelitian untuk faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kemiskinan adalah sebagai berikut.
1. Pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.
2. Pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.
3. Jumlah pengangguran berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan.
4. Tingkat ketergantungan berpengaruh positif terhadap tingkat
kemiskinan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data kemiskinan, data
pendapatan, pendidikan, pengangguran, tenaga kerja, lahan dan investasi. Data
yang menunjang penelitian diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS),
perpustakaan IPB dan perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Data
yang digunakan merupakan data dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat untuk
tahun 2004.
3.2. Model Ekonometrika
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
persamaan simultan, yang dapat ditulis sebagai berikut :
Yi= α0 + α1Ei + α2Li + α3Ii + α4Dki + ε1 (3.1)
Mi=β0 + β1Yi + β2Pdi+ β3Ui + β4Depi + ε2 (3.2)
dimana :
Mi : Tingkat kemiskinan di kota/kabupaten i (persen)
Yi : Tingkat Pendapatan di kota/kabupaten i (miliar Rp)
Ei : Jumlah tenaga kerja di kota/kabupaten i (orang)
Pdi : Tingkat pendidikan di kota/kabupaten i (persen)
Ui : Tingkat Pengangguran di kota/kabupaten i (orang)
Depi : Tingkat Ketergantungan di kota/kabupaten i (persen)
Li : Luas Lahan di kota/kabupaten i (Ha)
Ii : Investasi di kota/kabupaten i (juta Rp)
25
Dki : Variabel dummy dengan nilai 1 untuk kota dan 0 untuk kabupaten
ε1, ε2 : Galat 1
Model analisis di atas terdiri dari persamaan pendapatan dan persamaan tingkat
kemiskinan, dua variabel endogen dan tujuh variabel eksogen.
3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model
Identifikasi model digunakan untuk menentukan metode pendugaan dari
persamaan struktural yang sudah dibangun. Untuk mengetahui persamaan
struktural teridentifikasi atau tidak, dapat menggunakan order condition. Order
condition yaitu jika suatu persamaan teridentifikasi, maka jumlah variabel
eksogen diluar persamaan tersebut harus lebih banyak dari atau sama dengan
jumlah peubah endogen dalam persamaan tersebut dikurangi 1. Rumus order
conditon dapat ditulis debagai berikut :
K - M > G-1 (3.3)
dimana :
K : Jumlah semua variabel yang terdapat dalam model persamaan simultan.
M : Jumlah semua variabel di dalam persamaan yang akan di identifikasi.
G : Jumlah persamaan.
Tabel 3.1. Order Condition (kondisi ordo)
Persamaan K-M <, =, > G-1 Kesimpulan (3.3) 9-5 > 2-1 overidentified (3.4) 9-5 > 2-1 overidentified
Hasil dari pengujian order conditon menghasilkan kesimpulan dapat
diidentifikasi untuk persamaan dalam model. Berdasarkan hasil identifikasi model
26
bahwa kedua model dapat dikatakan overidentified, maka metode yang digunakan
untuk mengetahui pengaruh dari variabel-variabel yang digunakan dengan analisis
regresi berganda adalah dengan menggunakan metode 2SLS (Two-Stage Least
Square).
3.4. Uji Evaluasi Hasil
Untuk lebih mengukur validitas dari suatu persamaan maka dilakukan
pengujian orde I atau pengujian orde II. Pengujian orde I meliputi uji koefisien
determinasi (R2), uji t, uji F. Uji orde kedua adalah uji penyimpangan klasik yang
meliputi uji mulikolinearitas, heteroskedastisitas dan uji normalitas. Uji
autokorelasi tidak dilakukan pada model ini karena data yang digunakan
merupakan data cross section dimana tidak terlalu penting untuk melakukan uji
tersebut. Adapun penjelasan mengenai pengujian tersebut adalah :
A. Koefisien Determinasi (R2)
Uji keragaman digunakan untuk melihat sejauh mana besar keragaman
yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Uji ini
juga digunakan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam
model dapat menerangkan model. Dua sifat R2 adalah merupakan besaran negatif
dan batasnya antara nol sampai satu. Suatu R2 sebesar 1 berarti kecocokan
sempurna sedangkan (R2) yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara
variabel tak bebas dengan variabel yang menjelaskan. Rumus untuk menghitung
(R2) adalah :
27
( )( ) JKG
JKT
YY
YYR =
−
−=∑∑
2
1
2
2
ˆ
ˆ (3.4)
JKT = jumlah kuadrat total
JKG = jumlah kuadrat galat
B. Uji t
Uji t digunakan untuk melihat keabsahan dari hipotesis yang telah
disebutkan dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara
statistik bersifat signifikan atau tidak. Melalui uji ini apakah koefisien regresi satu
persatu secara statistik signifikan atau tidak.
j
jj s
tˆβ̂
= (3.5)
dimana, ( )1'21ˆ jjij XXkN
s ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
−= ∑l
N = jumlah observasi
K = jumlah variabel bebas
Jika nilai t hitung lebih kecil dari nilai t tabel atau p-value lebih besar dari
α tertentu maka hipotesis nol βj= 0 diterima. Namun, jika nilai tj lebih besar dari
nilai t tabel atau p-value lebih kecil dari α yang telah ditentukan maka hipotesis
nol ditolak.
28
C. Uji F
Uji F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh
koefisen regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel tak bebas.
Untuk uji F hipotesis diuji adalah :
0...210 ===== kH βββ
Jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan linier antara variabel tak bebas
dengan variabel-variabel bebas. Untuk mengujinya dapat digunakan F statistik
dengan formula sebagai berikut :
( )( )kN
Rk
RF
−−
−= 2
2
11 (3.6)
Jika nilai F satistik lebih kecil dari nilai t tabel maka hipotesis diterima. Namun
jika nilai F statistik lebih besar dari nilai F tabel berdasarkan suatu level of
significance tertentu maka hipotesis ditolak.
D. Multikolinier
Multikolinier adalah situasi adanya korelasi variabel-variabel bebas di
antara satu dengan yang lainnya. Variabel-variabel bebas yang bersifat ortogonal
adalah variabel bebas yang nilai korelasi di antara sesamanya sama dengan nol.
Jika terdapat korelasi sempurna di antara sesama variabel bebas ini sama dengan
satu, maka konsekuensinya adalah koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat
ditaksir, nilai standar error setiap koefisien menjadi tidak terhingga. Hal-hal utama
29
yang sering menyebabkan terjadinya multikolinearitas pada model regresi, antara
lain :
1. Kesalahan teoritis dalam pembentukan model fungsi regresi yang
dipergunakan.
2. Terlampau kecilnya jumlah pengamatan yang akan dianalisis dengan model
regresi.
Untuk mendeteksi multikolinier dapat dilihat dengan menghitung
koefisien korelasi parsial. Disamping itu untuk melihat variabel eksogen mana
yang saling berkorelasi dilakukan dengan meregresi tiap variabel eksogen dengan
sisa variabel eksogen yang lain dan menghitung nilai R2 yang cocok.
Dalam model regresi :
Yi= α0 + α1Ei + α2Li + α3Ii + α4Dki + ε1
Diregresikan setiap variabel bebas atas variabel bebas yang lain dan kemudian
menghitung R2 yang bersangkutan yang kita nyatakan dengan simbol Ri,
kemudian kita tentukan nilai F masing-masing regresi tersebut dan dinyatakan
dengan Fi. Formula hubungan antara F dan R2 dinyatakan sebagai berikut :
( )( )
( )11
2,,,
2,,,
+−−
−=
kNR
kR
FiIiI
iIIi
DkIlE
DkILE
i (3.7)
N = jumlah observasi
K = jumlah variabel bebas
Jika Fi lebih besar dari nilai Fi tabel pada suatu level of significance tertentu, maka
dapat diartikan bahwa variabel bebas Xk tertentu mempunyai variabel bebas yang
lain. Jika Fi lebih kecil dari nilai F tabel pada suatu level of significance tertentu,
30
maka dapat diartikan bahwa variabel bebas Xk tertentu tidak mempunyai korelasi
dengan variabel bebas lain.
E. Heteroskedastisitas
Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas
(tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Gejala
adanya heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh probability Obs*R-squared
pada uji White Heteroskedastisicity.
00
1
0
≠===
γγ
HH
Kriteria uji :
Probality Obs*R-squared < α, maka tolak H0
Probability Obs*R-squared.> α,maka terima H0
Heteroskadastisitas dapat juga dideteksi dengan menggunakan metode
grafik yang memetakan hubungan antara variabel tak bebas dengan kuadrat
residual. Jika terdapat pola yang sistematis antara dua variabel tersebut maka
dapat dikatakan bahwa persamaan regresi mengandung heteroskedastisitas.
Akibat yang ditimbulkan pada model regresi yang mengandung
heteroskedastisitas pada faktor-faktor gangguannya yang diterapkan adalah
sebagai berikut :
1. Penaksir-penaksir OLS tidak akan bias (unbiased)
Artinya, penaksir-penaksir OLS adalah tidak bias sekalipun dalam kondisi
heteroskedastisitas. Hal ini disebabkan karena tidak menggunakan asumsi
homoskedastisitas.
31
2. Varian yang diperoleh menjadi tidak efisien
Artinya, cenderung membesar sehingga tidak lagi merupakan varian yang
terkecil. Kecenderungan semakin membesarnya varian tersebut akan
mengakibatkan uji hipotesis yang dilakukan juga tidak akan memberikan hasil
yang baik (tidak valid). Pada uji t terhadap koefisien regresi, t hitung diduga
terlalu rendah. Kesimpulan tersebut akan semakin buruk jika sampel
pengamatan semakin kecil jumlahnya. Dengan demikian, model diperbaiki
dulu agar pengaruh dari heteroskedastisitasnya hilang.
F. Uji Normalitas
Uji ini dilakukan untuk sampel kurang dari 30, karena jika sampel lebih
dari 30 maka error term terdistribusi secara normal. Untuk menguji error term
terdistribusi secara normal atau tidak dapat ditunjukan dengan menggunakan uji
Jarque-Bera.
Kriteria uji :
a. H0 = error term terdistribusi normal
H1 = error term tidak terdistribusi normal
b. Statistik J-B dapat dihitung melalui tahapan berikut.
1) hitung kecondongan (α3)dan ketinggian (α4) error term.
(2) hitung statistik J-B = ( )⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡ −+
243
24
24
23 αα
Pada software Eviews, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan
descriptive statistic test. Jika nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf
32
nyata yang digunakan maka model persamaan tidak mempunyai masalah
normalitas atau error term terdistribusi secara normal.
3.5. Definisi Operasional
1. Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya.
2. Karakteristik kemiskinan adalah hubungan atau gambaran kondisi; atribut dari
karakteristik masyarakat dengan proses dan kejadian kemiskinan dilihat
kaitannya dengan faktor ekonomi, sosial dan budaya.
3. Garis kemiskinan adalah besarnya pengeluaran (dalam rupiah) untuk
memenuhi kebutuhan dasar minimal makanan dan non makanan.
4. Tingkat pendapatan adalah pendapatan regional dibagi dengan jumlah
penduduk pada tengah tahun berdasarkan harga konstan.
5. Investasi adalah pembelian dari modal barang-barang yang tidak dikonsumsi
tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang.
6. Luas lahan diukur dari jumlah lahan sawah dan lahan kering.
7. Tingkat pendidikan dilihat dari jumlah murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) umum.
8. Tingkat ketergantungan adalah jumlah penduduk umur 0-14 tahun dan 65
tahun ke atas dibagi dengan jumlah penduduk umur 15-64 tahun.
9. Tingkat pengangguran adalah jumlah angkatan kerja yang sedang mencari
pekerjaan.
10. Tenaga kerja adalah jumlah angkatan kerja yang bekerja.
IV. PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT
4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode tahun 1996-2004
berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan
menurun pada periode tahun 1999-2004. Pada periode tahun 1996-1998 jumlah
penduduk miskin meningkat sebesar 4431,3 ribu karena krisis ekonomi, yaitu dari
3962,1 ribu pada tahun 1996 menjadi 14853,2 ribu pada tahun 1998. Persentase
penduduk miskin meningkat dari 9,88 persen menjadi 35,72 persen pada periode
yang sama.
Pada periode tahun 1999-2004 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin
sebesar 37392,2 ribu, yaitu dari 8393,4 ribu pada tahun 1999 menjadi 4654,2 ribu.
Secara relatif juga terjadi penurunan pada persentase penduduk miskin dari 19,78
persen pada tahun 1999 menjadi 12,10 persen pada tahun 2004.
Tabel 4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Barat Periode Tahun 1996-2004
Tahun Jumlah penduduk miskin (ribu) Persentase penduduk miskin 1996 3962,1 9,881997 5675,1 13,901998 14853,2 35,721999 8393,4 19,782000 6658,4 15,402001 6513,6 15,342002 4938,2 13,382003 4889,0 12,902004 4654,2 12,10
Sumber : BPS, 1996-2004
34
4.2. Perkembangan Pendapatan di Jawa Barat
Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat
menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Pendapatan perkapita adalah
nilai PDRB dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun. Semakin tinggi
pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi tingkat
kesejahteraan penduduk.
Secara umum pendapatan perkapita baik harga berlaku maupun dengan
harga konstan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Namun peningkatan
pendapatan perkapita berdasarkan harga berlaku belum mencerminkan tingkat
kesejahteraan masyarakat Jawa Barat secara umum karena sama seperti PDRB
harga berlaku, dalam pendapatan perkapita harga berlaku masih mengandung
faktor inflasi. Untuk melihat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat dapat dilihat
perolehan pendapatan perkapita berdasarkan harga konstan. Peningkatan
pendapatan perkapita terlihat dari jumlah pendapatan pada tahun 2000 sebesar Rp.
1.599.581 menjadi Rp. 1.725.993 pada tahun 2004 dan terlihat pula pertumbuhan
ekonomi yang meningkat dari 3,89 persen pada tahun 2001 menjadi 5,47 persen
pada tahun 2004.
Tabel 4.2. Nilai Pendapatan di Jawa Barat Tahun 2001-2005
Pendapatan Perkapita Tahun Harga Berlaku (Rp) Harga Konstan (Rp) Laju Pertumbuhan
Ekonomi (%) 2001 4.191.621 1.599.581 3,892002 5.250.077 1.571.542 3,942003 5.707.335 1.613.756 4,532004 7.134.248 1.659.231 5,47
2005* 7.880.887 1.725.993 5,47Sumber : BPS, 2005 Keterangan : *) angka sementara
35
4.3. Perkembangan Tenaga Kerja
Perkembangan tenaga kerja di Jawa Barat pada periode tahun 2001-2005
mengalami peningkatan yaitu dari 14.499.420 orang pada tahun 2001 menjadi
14.629.276 orang pada tahun 2005. Dari kontribusi tenaga kerja berdasarkan
sektor ekonomi terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja paling tinggi terjadi di
sektor Pertanian, kurang lebih sebesar 30 persen dari jumlah pekerja yang ada di
Jawa Barat. Sektor non-pertanian memiliki kontribusi dalam penyerapan tenaga
kerja kurang lebih sebesar 70 persen yang terbagi dari beberapa sektor, yaitu
sektor pertambangan dan galian, industri, listrik, gas dan air, konstruksi,
perdagangan, komunikasi, keuangan dan lain-lain. Kendala yang terjadi dalam
tenaga kerja adalah rendahnya kualitas tenaga kerja di Jawa Barat, sekitar 50
persen tenaga kerja di Jawa Barat berpendidikan Sekolah Dasar (SD), yang berarti
bahwa banyak dari pekerja di Jawa Barat yang menempati posisi sebagai pekerja
yang tidak berpendidikan.
Tabel 4.3. Jumlah Tenaga Kerja dan Persentase Kontribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi di Jawa Barat Tahun 2001-2005
Sektor Ekonomi Tahun Tenaga Kerja (orang) Pertanian Non Pertanian
2001 14.499.420 32,67 67,332002 14.417.739 31,81 68,192003 14.345.796 34,57 65,432004 14.618.934 30,34 69,662005 14.629.276 30,06 69,94
Sumber : BPS, 2001-2005
36
Tabel 4.4. Persentase Tenaga Kerja Jawa Barat Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2001-2005
Tingkat Pendidikan 2001 2002 2003 2004 2005
Tdk/blm sekolah 4,46 3,56 1,89 2,26 2,67Tdk/blm sekolah SD 14,00 14,70 11,1 11,80 11,80SD 45,50 45,40 48,3 45,90 44,90SLTP 15,29 15,16 16,1 17,97 17,3SLTA 16,22 16,55 18,1 17,02 18,14Diploma 2,36 2,43 1,95 2,41 2,50Universitas 2,26 2,31 2,48 2,75 2,77
Sumber : BPS, 2001-2005
4.4. Perkembangan Investasi
Perkembangan investasi pada periode tahun 2001-2005 berfluktuasi.
Peningkatan nilai investasi terjadi pada tahun 2001 yaitu pada PMA di tahun 2001
sebesar 7,68 persen menjadi 19,26 persen di tahun 2002, sedangkan pada PMDN
di tahun 2001 sebesar 8,39 persen menjadi 9,32 persen di tahun 2002. Pada
periode tahun 2002-2003, nilai investasi mengalami penurunan baik pada PMA
maupun pada PMDN. Pada tahun 2005 peningkatan terjadi pada PMA sedangkan
pada PMDN mengalami penurunan sebesar 9,43 persen yaitu pada tahun 2004
sebesar 20,02 persen menjadi 10,59 persen pada tahun 2005. Peningkatan
investasi akan membawa dampak yang baik terhadap peningkatan penyerapan
tenaga kerja di Jawa Barat.
Tabel 4.5. Nilai Investasi di Jawa Barat Periode Tahun 2000-2005
Tahun PMA PMDN 2001 7,89 8,392002 19,26 9,322003 7,21 6,922004 8,84 20,022005 11,65 10,59
Sumber : BPS, 2001-2005
37
4.5. Perkembangan Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran di Jawa Barat pada periode tahun 2000-2004
mengalami fluaktuasi. Pada periode tahun 2000 hingga tahun 2004 mengalami
peningkatan yaitu dari 8,99 persen pada tahun 2000 menjadi 13,19 persen pada
tahun 2002, kemudian pada tahun 2003 tingkat pengangguran menurun sebesar
12,49 persen. Namun tidak lama kemudian tingkat pengangguran kembali
meningkat pada tahun 2004 dan 2005. Pengangguran meningkat di Jawa Barat
disebabkan oleh meningkatnya jumlah migrasi dari daerah lain ke Jawa Barat
serta lapangan kerja tidak mampu menampung tenaga kerja tersebut.
Tabel 4.6. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 2000-2005
Tahun Jumlah Pengangguran Tingkat Pengangguran (%) 2000 17.048.013 8,992001 14.499.420 11,772002 14.417.739 13,192003 14.345.796 12,492004 14.618.934 13,692005 14.629.276 14,73
Sumber : BPS, 2001-2005
4.6. Perkembangan Tingkat Ketergantungan
Pada periode tahun 2000-2005, tingkat ketergantungan di Jawa Barat
mengalami penurunan sebagai akibat dari berhasilnya program Keluarga
Berencana yang dijalankan oleh pemerintah. Tingkat ketergantungan adalah angka
yang menyatakan perbandingan antara penduduk tidak produktif dan penduduk
usia produktif. Pada tahun 2000, tingkat ketergantungan sebesar 0,50 yang berarti
tiap orang yang produktif harus menanggung 50 orang yang tidak produktif.
38
Tabel 4.7. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Persentase Tingkat Ketergantungan di Jawa Barat Periode Tahun 2000-2005
Jumlah Penduduk menurut Umur
(ribu) Tahun <15 th 15-64 th >65 th
Tingkat Ketergantungan (persen)
2000 42.831,97 23.901,57 1.477,68 50,972001 10,805,39 24.473,72 1.515,88 50,342002 10.904,81 25.078,30 1.565,42 49,722003 11.000,17 25.708,06 1.625,41 49,112004 11.091,96 26.349,61 1.697,91 48,542005 11.180,84 26.990,05 1.785,27 48,04
Sumber :BPS, 2005
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pendugaan Model Analisis
Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan
kemiskinan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi dari metode
pendugaan yaitu uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan multikolineritas. Untuk
menguji asumsi normalitas error term dilakukan dengan mengunakan uji Jarque-
Bera Test. Hasil pengujian normalitas untuk model pendapatan dapat ditunjukkan
oleh nilai probabilitas sebesar 0,02. Ini berarti bahwa pada taraf nyata 1 persen
dapat dikatakan error term terdistribusi normal. Hal yang sama juga ditunjukkan
oleh model kemiskinan, yaitu bahwa probabilitas ketidaknormalan sebesar 0,98
yang berarti error term tersebut tersebar normal.
Dalam asumsi model regresi linier, gangguan μi semuanya mempunyai
varians yang sama. Jika asumsi ini terpenuhi maka model regresi bersifat
homoskedastisitas tetapi sebaliknya jika asumsi tersebut dilanggar maka model
tersebut mengandung heteroskedastisitas. Untuk menguji asumsi
heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity.
Jika nilai probabilitas dalam uji yang digunakan lebih kecil dari taraf nyata maka
dalam model terdapat heteroskedastisitas. Hasil pengujian heteroskedastisitas
(probabilitas Obs*R-square) untuk model pendapatan dan model kemiskinan
berturut-turut adalah sebesar 0,114 dan 0,58. Berdasarkan nilai tersebut maka
pada taraf nyata satu persen, kedua model tersebut memenuhi asumsi
homoskedastisitas.
40
Untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah multikolinearitas dilihat dari
korelasi antara variabel-variabel independent yang menyusun model. Suatu model
dikatakan terbebas dari multikolinearitas jika korelasi antara variabel-variabelnya
tidak lebih dari 0,8. Dalam model pendapatan dan kemiskinan (Lampiran 3) dapat
terlihat bahwa korelasi diantara variabel tidak lebih dari 0,8, sehingga tidak terjadi
masalah multikolinearitas diantara variabel bebas.
5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan
Dari model faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan (Tabel 5.1)
menunjukkan nilai probabilitas F statistik sebesar 0,000 yang berarti lebih kecil
dari taraf nyata yang dikehendaki yaitu 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa secara
keseluruhan variabel-variabel bebas dalam model secara signifikan berpengaruh
terhadap variabel pendapatan. Disamping itu juga ditunjukkan nilai koefisien
determinasi adalah sebesar 0,66, yang berarti bahwa besarnya variabel pendapatan
yang dapat dijelaskan oleh variabel tenaga kerja, lahan, investasi dan dummy
kota/kabupaten adalah sebesar 66 persen. Dari empat variabel yang dimasukkan
dalam model, dua variabel pengaruh yang nyata pada taraf <1 persen yaitu tenaga
kerja dan investasi dan dua variabel berpengaruh nyata pada taraf <10 persen
terhadap pendapatan yaitu variabel lahan dan dummy kota/kabupaten.
Koefisien regresi tenaga kerja adalah sebesar 0,0016. Hal ini bahwa setiap
kenaikan tenaga kerja sebesar satu orang akan meningkatkan pendapatan sebesar
16 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya tenaga kerja
41
maka akan menurunkan pengangguran yang akan meningkatkan pendapatan
nasional selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perkapita.
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Model Pendapatan
Variabel Koefisien Peluang untuk satu sisi Konstan -490,4733 0,2448 Lahan (L) 0,001473 0,0472 Tenaga Kerja (Tk) 0,001570 0,0047 Investasi (I) 0,000113 0,0084 Dummy Kotamadya (Dk) 774,9002 0,0317 R2 0,656506 F-statistik 9,556285 Peluang (F-stat) 0,000173
Sumber : Lampiran 2
Koefisien regresi lahan adalah sebesar 0,0015 yang berarti setiap kenaikan
luas lahan pertanian sebesar satu hektar akan menyebabkan pendapatan meningkat
sebesar 15 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian
masih sangat penting dalam meningkatkan pendapatan. Pentingnya sektor
Pertanian juga ditunjukkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang
masih tinggi yaitu pada tahun 2004 sebesar 13,43 persen. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Syafwannur (2004).
Untuk koefisien regresi variabel investasi adalah sebesar 0,0001. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu juta rupiah akan
meningkatkan pendapatan sebesar 100 ribu rupiah. Ini menunjukkan bahwa
pentingnya Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) yang menginvestasikan dananya ke kotamadya/kabupaten di
Jawa Barat. Dengan meningkatnya investasi di bidang usaha akan memperluas
lapangan kerja yang akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang
42
selanjutnya akan meningkatkan pendapatan. Hal ini terlihat dari peningkatan
investasi dari 221 proyek pada tahun 2003 menjadi 350 proyek pada tahun 2004
yang meningkatkan jumlah penyerapan tenaga kerja sebesar 97.832 orang pada
tahun 2004 dari 58.281 orang pada tahun 2003 (BPMD, 2004).
Koefisien regresi variabel dummy antara kotamadya dan kabupatan
memiliki tanda positif . Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kotamadya
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten. Hasil ini
sesuai dengan kenyataan dimana pendapatan di kotamadya yang lebih tinggi
karena merupakan pusat suatu daerah dengan berbagai lapangan usaha seperti
industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, dan lain-lain, sedangkan
sebagian besar lapangan usaha di kabupaten adalah di sektor pertanian.
5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan
Berdasarkan model kemiskinan pada Tabel 5.2, dapat ditunjukkan bahwa
nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,000, yang berarti bahwa pendapatan,
pendidikan, jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan secara bersama-
sama mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat kemiskinan. Di
samping itu juga ditunjukkan bahwa koefisien determinasi adalah sebesar 0,73.
Artinya dengan model tersebut variabel tingkat kemiskinan dapat dijelaskan oleh
variabel pendapatan, pendidikan, jumlah pengangguran dan tingkat
ketergantungan sebesar 73 persen. Dari empat variabel bebas yang dimasukkan
dalam model kemiskinan, dua variabel pengaruh yang nyata pada taraf <1 persen
43
dan dua variabel berpengaruh nyata pada taraf <10 persen terhadap tingkat
kemiskinan.
Tabel 5.2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan
Variabel Koefisien Peluang untuk satu arahKonstan 3,985094 0,6544 Pendapatan (Y) -0,00216 0,0084 Pendidikan (Pd) -0,38908 0,0022 Jumlah pengangguran (U) 0,17250 0,0830 Tingkat ketergantungan (Dep) 0,235907 0,0872 R2 0,738774 F-statistik 14,15245 Peluang (F-stat) 0,000012
Sumber : Lampiran 2
Dari Tabel 5.2. juga dapat ditujukkan bahwa pendapatan mempunyai
pengaruh yang sangat nyata pada taraf <1 persen terhadap tingkat kemiskinan.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Allen dan Thompson
(1990), McDowel dan Allen (1995) serta Intania (2002). Nilai koefisien regresi
untuk pendapatan bernilai -0,002 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar
satu miliar rupiah akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,002 persen.
Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa variabel tingkat
pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata pada taraf 1 persen terhadap tingkat
kemiskinan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Allen and
Thompson (1990), McDowel and Allen (1995).Nilai koefisien regresi untuk
variabel tingkat pendidikan bernilai negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat
pendidikan meningkat satu persen maka akan menurunkan tingkat kemiskinan
sebesar 0,38 persen. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi
kemiskinan. Dengan pendidikan yang layak, seseorang diharapkan dapat
44
memperoleh penghasilan lebih tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya lebih baik.
Nilai koefisien regresi untuk jumlah pengangguran berpengaruh nyata pada
taraf 10 persen terhadap kemiskinan. Nilai koefisien regresi untuk jumlah
pengangguran bernilai positif yaitu sebesar 0,17 yang berarti jika tingkat
pengangguran meningkat satu orang maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan
sebesar 0,17 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pengangguran merupakan
masalah yang penting dalam mengurangi kemiskinan. Untuk itu diperlukan
penciptaan lapangan kerja yang memadai bagi penduduk miskin khususnya di
pedesaan.
Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa variabel tingkat
ketergantungan mempunyai pengaruh yang nyata pada taraf 10 persen terhadap
tingkat kemiskinan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Intania
(2002). Koefisien regresi untuk variabel tingkat ketergantungan sebesar 0,236.
Artinya bahwa jika tingkat ketergantungan meningkat sebesar satu persen maka
akan menaikkan tingkat kemiskinan sebesar 0,236 persen. Hal ini terlihat bahwa
peningkatan tingkat ketergantungan mengindikasikan jumlah anggota rumah
tangga yang menjadi tanggungan dalam keluarga lebih banyak daripada mereka
yang produktif bekerja sehingga pendapatan perkapita menjadi rendah yang
selanjutnya menyebabkan kemiskinan meningkat.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan pada taraf nyata
satu persen adalah tenaga kerja dan investasi, sedangkan variabel lahan dan
variabel dummy kota/kabupaten berpengaruh nyata 10 persen. Koefisien
regresi tenaga kerja adalah sebesar 0,0016. Hal ini bahwa setiap kenaikan
tenaga kerja sebesar satu orang akan meningkatkan pendapatan sebesar 16 juta
rupiah. Lahan memiliki koefisien regresi sebesar 0,0015 yang berarti setiap
kenaikan luas lahan sebesar satu hektar akan menyebabkan pendapatan
meningkat sebesar 15 juta rupiah. Untuk koefisien regresi variabel investasi
adalah sebesar 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi
sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pendapatan sebesar 100 ribu
rupiah. Koefisien regresi variabel dummy antara kota dan kabupaten memiliki
tanda positif . Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan di kota lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan pendapatan di kabupaten.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada taraf nyata satu persen
adalah pendapatan dan pendidikan, sedangkan variabel jumlah pengangguran
dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata 10 persen. Koefisien regresi
untuk pendapatan bernilai negatif yaitu sebesar 0,002 yang berarti setiap
kenaikan pendapatan sebesar satu miliar rupiah akan menurunkan kemiskinan
sebesar 0,002 persen. Tingkat pendidikan memiliki koefisien regresi bernilai
negatif yaitu 0,38 yang berarti jika tingkat pendidikan meningkat satu persen
maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,38 persen. Nilai
46
koefisien regresi untuk tingkat pengangguran bernilai positif yaitu sebesar
0,17 yang berarti jika tingkat pengangguran meningkat satu orang akan
meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,17 persen. Koefisien regresi untuk
variabel tingkat ketergantungan bernilai positif sebesar 0,23. Hal tersebut
berarti jika tingkat ketergantungan meningkat sebesar satu persen maka akan
menaikkan tingkat kemiskinan sebesar 0,23 persen.
6.2. Saran
1. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pendidikan mempengaruhi tingkat
kemiskinan, maka pemerintah perlu membuat kebijakan untuk peningkatan
kualitas sumberdaya manusia.
2. Dari hasil penelitian, bahwa pengangguran mempengaruhi tingkat kemiskinan.
Maka untuk mengurangi pengangguran, pemerintah daerah perlu mendorong
program pembangunan yang padat karya.
3. Pemerintah daerah melalui Departemen Kesehatan perlu lebih menggalakkan
program yang dapat menekan tingkat kelahiran untuk mengurangi tingkat
ketergantungan, sehingga beban dalam memenuhi kebutuhan hidup berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian dkk. 1980. Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai. Penerbit Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan HIPIS, Jakarta.
Allen, J dan Thompson. 1990. Rural Poverty Among Racial and Ethnic
Minorities. American Agricultural Economics Assosiation. Badan Pusat Statistik. 2004. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. BPS,
Jakarta. --------------------------. 1996-2004. Indonesia dalam Angka. BPS, Jakarta. --------------------------. 2005. Jawa Barat dalam Angka, BPS, Jakarta. BPMD. Perkembangan Realisasi Investasi di Jawa Barat. Berbagai edisi,
Bandung. Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta. Rintuh, C.. M,. 2003. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. Dikti, Jakarta. Fithrajaya, A. 2004. Identifikasi Wilayah Miskin dan Alternatif Upaya
Penanggulangannya (Studi Kasus di Banten) [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].
Penerbit Erlangga, Jakarta. Hendriawan. 2003. Penanggulangan Kemiskinan Dalam Rangka Kebijakan
Desentralisasi. IPB, Bogor. Intania, O. I. 2003. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [skripsi]. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Krisnamurti, B. 2006. 22 Tahun Studi Pembangunan Pengurangan Kemiskinan,
Pembangunan Agribisnis dan Revitalisasi Pertanian. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB, Bogor.
McDowell, D. R dan Joyce E. 1995. Poverty Among Southern Workers: Metro
and NonMetro Differentials. Journal Agricultural Economic. 77: 796-802. American Agricultural Economics Assosiation.
48
Lu'lu. 2005. Analisis Gender Terhadap Tingkat Keberhasilan Proyek P2KP [skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Nicholson, W. 2001. Teori Ekonomi Mikro. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Nur, N. S. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi
dalam Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [Tesis]. IPB, Bogor.
Rahmawati, Y. I. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskian
Rumah Tangga di Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur [skripsi]. Program Studi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Sajogyo. 1977. Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga
Penelitian Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor. Sumodiningrat, G dkk. 1999. Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. Penerbit
IMPAC, Jakarta Sunarso dan Mardimin. 1996. ’Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan’ dalam
Dimensi Proses Pembangunan di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Suparlan, P. 1984. Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi
Perkotaan. Sinar Harapan, Jakarta. Suryadiningrat, B. 2003. Persepsi dan Tindakan Tokoh Masyarakat Desa
terhadap Kemiskinan [skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Syafwannur, E. 2004. Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kecamatan
Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir [Tesis]. IPB, Bogor. The World Bank Group, 2000, http://www.worldbank.org/ Todaro, M. 1998. Pembangunan Ekonomi. Haris Munandar [penerjemah].
Penerbit Erlangga, Jakarta. Widiyanti, R. 2001. Telaah terhadap Partisipasi, Pendapatan dan Tingkat
Kemiskinan Peserta Program Perhutanan Sosial [skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. IPB, Bogor.
49
Wiraswara, A. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka Kemiskinan di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
LAMPIRAN
52
Lampiran 2. Hasil Estimasi Model Kemiskinan dan Model Pendapatan
2.1. Hasil Estimasi Model Pendapatan Dependent Variable: Y Method: Two-Stage Least Squares Date: 04/28/02 Time: 02:47 Sample: 1 25 Included observations: 25 Instrument list: C L TK I DK PD U DEP
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -490.4733 409.2786 -1.198385 0.2448 L 0.001473 0.000839 1.756058 0.0944
TK 0.001570 0.000547 2.869492 0.0095 I 0.000113 4.31E-05 2.608950 0.0168
DK 774.9002 394.4328 1.964594 0.0635 R-squared 0.656506 Mean dependent var 1235.327 Adjusted R-squared 0.587807 S.D. dependent var 1051.138 S.E. of regression 674.8543 Sum squared resid 9108568. F-statistic 9.556285 Durbin-Watson stat 2.752628 Prob(F-statistic) 0.000173 2.2. Hasil Estimasi dari Model Kemiskinan Dependent Variable: M Method: Two-Stage Least Squares Date: 05/10/06 Time: 09:41 Sample: 1 25 Included observations: 25 Instrument list: C PD U DEP TK L I DK
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.985094 8.769928 0.454404 0.6544 Y -0.002163 0.000829 -2.608668 0.0168
PD -0.389076 0.121223 -3.209593 0.0044 U 0.172501 1.20E-05 1.437346 0.1661
DEP 0.235907 0.167533 1.408126 0.1744 R-squared 0.738774 Mean dependent var 11.62480 Adjusted R-squared 0.686529 S.D. dependent var 4.703081 S.E. of regression 2.633182 Sum squared resid 138.6730 F-statistic 14.15245 Durbin-Watson stat 2.357329 Prob(F-statistic) 0.000012
53
Lampiran 3. Uji Heteroskedastisitas dan Uji Multikolinearitas
3.1. Uji Heteroskedastisitas dari Model Pendapatan White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2.863968 Probability 0.044436 Obs*R-squared 19.29834 Probability 0.114140
3.2. Uji Heteroskedastisitas dari Model Kemiskinan White Heteroskedasticity Test: F-statistic 0.684046 Probability 0.749439Obs*R-squared 12.22968 Probability 0.587863 3.3. Uji Multikolinearitas Model Kemiskinan
Y PDDK JU DEP Y 1.000000 0.070016 0.568946 0.075528
PDDK 0.070016 1.000000 0.011936 -0.745294 JU 0.568946 0.011936 1.000000 0.204485
DEP 0.075528 -0.745294 0.204485 1.000000 3.4. Uji Multikolinearitas Model Pendapatan
LAHAN TK INV DK LAHAN 1.000000 0.398817 -0.161926 -0.507581
TK 0.398817 1.000000 0.275290 -0.518837 INV -0.161926 0.275290 1.000000 0.290873 DK -0.507581 -0.518837 0.290873 1.000000
54
Lampiran 4. Uji Normalitas
4.1. Uji Normalitas dari Model Pendapatan
4.1. Uji Normalitas dari Model Kemiskinan
Lampiran 1. Data yang dimasukkan dalam Model No Kabupaten/Kota M Y Tk I L Pd U Dep Dk 1 Bogor 11,94 2.706,73 1.340.253 4.159.666 189.707 2,15 194.902 59,34 02 Sukabumi 14,70 927,95 823.478 942.452 315.559 1,63 117.451 49,97 03 Cianjur 17,36 925,82 775.245 622.766 262.936 1,52 94.797 55,78 04 Bandung 11,84 2.682,36 1.461.516 6.064.238 194.474 9,40 293.148 54,03 05 Garut 15,37 1.143,09 816.476 543.468 204.771 2,21 84.975 55,72 06 Tasikmalaya 16,14 692,40 671.641 508.553 215.231 1,28 78.955 53,33 07 Ciamis 14,73 749,39 684.812 558.024 177.133 1,04 57.480 49,98 08 Kuningan 18,95 399,59 435.484 339.282 70.799 3,89 45.655 50,64 09 Cirebon 16,59 780,43 804.608 1.534.740 71.962 1,21 114.588 52,56 010 Majalengka 17,42 440,81 495.728 385.008 87.715 2,57 44.608 51,02 011 Sumedang 11,74 595,59 414.520 858.999 106.254 1,80 38.320 48,05 012 Indramayu 16,49 2.175,99 766.150 749.626 962.507 2,69 70.170 52,87 013 Subang 14,67 748,30 568.643 948.014 164.787 6,25 51.224 46,45 014 Purwakarta 12,60 675,87 281.010 4.874.694 69.424 1,78 32.485 52,01 015 Karawang 13,28 1.904,23 624.351 3.020.166 131.333 4,11 123.830 50,04 016 Bekasi 6,35 4.484,72 696.764 11.626.301 104.845 6,96 82.280 50,89 017 Kota Bogor 7,85 434,72 264.216 10.105.251 1.422 9,89 51.012 43,32 118 Kota Sukabumi 6,16 1.931,65 84.378 223.102 2.685 1,09 21.609 47,32 119 Kota Bandung 3,38 2.805,94 869.022 14.708.214 8.309 12,17 143.154 38,03 120 Kota Cirebon 7,52 562,56 105.984 635.161 1.077 11,02 14.112 49,26 121 Kota Bekasi 3,04 1.514,59 656.493 956.966 14.325 29,22 123.304 38,55 122 Kota Depok 4,84 644,03 512.775 716.317 6.476 17,69 75.843 43,71 123 Kota Cimahi 8,85 615,58 162.174 844.372 699 16,23 40.454 43,56 124 Kota Tasikmalaya 8,48 261,28 223.872 486.906 12.799 5,15 32.486 50,49 125 Kota Banjar 10,33 79,42 58.718 57.770 9.896 12,63 10.904 49,97 1