analisis framing bab i, ii & iii
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kongres PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang digelar pada
tahun 2011 ternyata meninggalkan masalah yang tak kunjung selesai. Kepengurusan
PSSI di bawah ketua umum Djohar Arifin mendapat banyak penentangan dari
berbagai kubu yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Berbagai masalah menjadi
pemicu penentangantersebut, diantaranya adalah masalah kompetesi liga yang carut
marut sehingga banyak klub anggota PSSI memilih untuk memisahkan diri dari
kompetisi liga yang disahkan oleh PSSI dan memilih untuk bermain di kompetisi lain
yaitu Indonesian Super League (ISL) yang diselenggarakan oleh PT. Liga Indonesia
yang tidak disahkan oleh PSSI
Beberapa anggota Komite Eksekutif yang tak puas dengan kebijakan PSSI
melakukan maneuver yang dianggap menentang kebijakan Pengurus dan kemudian
mereka dipecat. Toni Apriliani, La Nyalla Mahmud Mattaliti, Robertho Rouw dan
Edwin Budiawan yang dibuang oleh PSSI pun akhirnya membentuk sebuah
organisasi tandingan dengan nama Komite Penyelamat Sepakbola (KPSI), yang
didalamnya juga terdapat Benny Dollo, mantan pelatih Timnas dan beberapa tokoh
lainnya.
Sampai dengan tulisan ini dibuat, konflik kedua kubu terus berlanjut dengan
seluruh dinamikanya dan tidak lepas dari pemberitaan media baik media cetak
1
2
maupun media elektronik yang juga berperan aktif dalam menyampaikan
perkembangan dari peristiwa tersebut dalam perannya sebagai penyampai pesan
kepada khalayak banyak sebagai bagian dari komunikasi massa.
Komunikasi massa adalah komunikasi yang sangat mengandalkan pada
ketepatan jumlah pesan yang disampaikan dalam waktu yang singkat. Pada masa
sekarang ini, komunikasi massa memberikan informasi, gagasan dan sikap pada
khalayak yang beragam dan besar jumlahnya dengan menggunakan media. Dari
definisi tersebut dapat diketahui bahwa “komunikasi massa itu harus
menggunakan media massa” (Ardianto & Erdinaya, 2005:3).
Media massa adalah media yang digunakan sebagai sarana komunikasi
yang melibatkan penerima pesan yang tersebar di mana-mana tanpa diketahui
keberadaannya. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian
pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat
komunikasi mekanis, seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Media massa
mempunyai beberapa peranan penting yang dimainkan dalam masyarakat.
Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami
dan dijelaskan secara tertentu kepada khalayak. Berita adalah produk dari
profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan
dikonstruksi (Eriyanto, 2009: 80).
Salah satu metode untuk mengetahui proses konstruksi adalah analisis
framing. Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam
3
literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan
penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media (Sobur, 2009: 162).
Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan
bagian mana yang ditonjolkan atau dianggap penting agar informasi dapat terlihat
lebih jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat, untuk menuntun interpretasi
khalayak sesuai dengan perspektifnya.
Penggunaan media massa untuk penyampaian pesan dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi komunikasi yang tersedia. Bentuk paling baru dari media
massa adalah media online. Media online memiliki kelebihan-kelebihan yang
menawarkan peluang untuk menyampaikan berita jauh lebih besar daripada media
konvensional seperti surat kabar.
Menurut Deuze dalam Santana (2005:137), perbedaan media online dengan
dengan media tradisional terletak pada keputusan jenis baru yang dihadapi oleh para
warawan cyber. Media online harus membuat keputusan-keputusan mengenai format
media yang paling tepat mengungkapkan sebuah sebuah kisah tertentu dan
mempertimbangkan cara-cara untuk menghubungkan kisah tersebut dengan kisah
lainnya, arsip-arsip, sumber-sumber dan lain-lain melalui hyperlinks.
Rafaeli dan Newhagen dalam Santana (2005:137) mengidentifikasi 5
perbedaan utama antara media online dan media massa tradisional adalah
kemampuan internet untuk mengkombinasikan sejumlah media, kurangnya tirani
penulis atas pembacanya, tidak dapat mengendalikan perhatian khalayak, internet
4
dapat membuat proses komunikasi berlangsung berkesinambungan, dan interaktivitas
web.
Dua dari sekian banyak media online yang sering memuat berita tentang
berbagai peristiwa berkaitan dengan konflik PSSI-KPSI serta cukup populer di
kalangan pengguna media, adalah Detik.com dan VIVA News.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud untuk melakukan
penelitian yang laporannya dipaparkan dalam skripsi ini dengan judul “Analisis
Framing Terhadap Pemberitaan Konflik PSSI-KPSI Dalam Media Online
Detik.com dan Viva News.”
1.2. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis membatasi materi dari objek penelitian yaitu
pemberitaan tentang konflik antara SPSI dan KPSI pada media online Detik.com
dan Viva News yang ditayangkan mulai tanggal 2 Februari sampai dengan 31
Januari 2013
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di
atas, maka terdapat beberapa masalah penelitian yang dituangkan dalam bentuk
rumusan masalah sebagai berikut :
5
1. Bagaimana pembingkaian terhadap berita-berita tentang konflik PSSI-
KPSI di Detic.com dan Viva News ?
2. Bagaimana kecenderungan sikap Detic.com dan Viva News terhadap
peristiwa-peristiwa konflik SPSI-KPSI?
1.4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pembingkaian terhadap berita-berita tentang konflik
PSSI-KPSI di Detic.com dan Viva News.
2. Untuk mengetahui kecenderungan sikap Detic.com dan Viva News
terhadap peristiwa-peristiwa konflik SPSI-KPSI Kegunaan Penelitian.
1.5. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan penulis dan
menjadi bahan referensi berguna dalam pengembangan penelitian Ilmu
Komunikasi khususnya bagi pengembangan penelitian yang berbasis
kualitatif yang berkaitan dengan media massa khususnya dalam hal ini
framing dalam media online.
2. Secara Praktis
a. Memberikan gambaran kepada pembaca yang ingin mengetahui media
online dalam membingkai berita tentang konflik PSSI-KPSI di
Detic.com dan Viva News ?.
6
b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat umum berkenaan dengan
konsepsi framing yang dilakukan oleh wartawan Detik.com dan
Viva.com dalam melihat dan menyederhanakan realitas mengenai
peristiwa konflik PSSI-KPSI.
c. Untuk pembuatan skripsi sebagai salah satu syarat guna meraih gelar
sarjana pada Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.
1.6. Sistematika Penulisan
Bab I PENDAHULUAN
Meliputi Latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian,
kegunaan penelitan, dan sistematika penulisan.
Bab II KERANGKA TEORI
Meliputi tinjauan studi pustaka, operasionalisasi konsep, kerangka
pemikiran dan hipotesis.
Bab III METODE PENELITIAN
Meliputi desain penelitian, bahan penelitian dan unit analisis, teknik
pengumpulan data dan metode analisis data.
Bab IV HASIL PENELITIAN
Meliputi Subyek Penelitian, Hasil Penelitian, Pembahasan,
Bab V PENUTUP
Berisikan Kesimpulan dan saran-saran.
7
3. Kerangka Konseptual
Harian kompas aktif memuat pemberitaan tentang kontroversi Freeport
dan bahkan sering menjadi headline dalam setiap edisinya. Bila media menaruh
sebuah kasus sebagai headline diasumsikan kasus itu pasti memperoleh perhatian
yang besar oleh khalayak (Sobur, 2009: 167). Berkaitan dengan hal tersebut,
sangat menarik mengamati isi pemberitaan media massa untuk mengetahui
bagaimana Kompas mengemas pemberitaan Freeport.
Kompas merupakan satu-satunya media nasional Indonesia yang
mempunyai editorial yang bersifat internasional. Harian Kompas juga terkenal
dengan idealisme dan semangat untuk memberikan informasi yang objektif
kepada masyarakat. Menurut A.M. Resenthal dalam (Pardede, 2001: 17), seorang
kolumis pada New York Times, objektivitas adalah bagian penting dari karakter
surat kabar. Karakter surat kabarlah yang membuat para pembaca
mempercayainya, dan oleh karena itu membuatnya berarti serta berharga.
Sekalipun objektivitas total mungkin mustahil, karena setiap berita ditulis oleh
manusia yang memiliki muatan emosi, kewajiban setiap reporter dan redaktur
adalah mengupayakan objektivitas yang semanusiawi mungkin.
Pada dasarnya, pekerjaan media adalah mengkonstruksikan realitas. Isi
media adalah hasil para pekerja mengkonstruksikan realitas yang dipilihnya.
Konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal
sejak diperkenalkan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya
8
yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Teatise in the Sociological of
Knowledge” (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan
interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus – menerus suatu
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. (Bungin, 2006: 202)
Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara
atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam
kategori penelitian konstruksionis. Analisis framing termasuk ke dalam paradigma
konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri
terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Pertanyaan utama dalam
pandangan konstruksionis adalah, fakta berupa kenyataan itu sendiri bukan
sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut.
Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan
(Eriyanto, 2009: 23).
Analisis framing dipahami dan banyak digunakan dalam penelitian sebagai
salah satu teknik analisis isi. Tetapi pada perkembangan berikutnya, analisis
framing telah berubah menjadi seperangkat teori yang oleh sejumlah pakar
komunikasi dipahami sebagai salah satu pendekatan untuk melihat bagaimana
domain di balik teks media mengkonstruksi pesan.
Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media.
Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan
9
aspek tertentu dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas. Media
menghubungkan dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa
tersebut lebih mudah diingat oleh khalayak. Karenanya, seperti yang dikatakan
Frank D. Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti .
Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu.
Menurut pandangan subjektif, realitas sosial adalah suatu kondisi yang cair dan
mudah berubah melalui interaksi manusia dalam kehidupan sehari–hari (Mulyana,
2006: 34).
Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial adalah pengetahuan yang
bersifat keseharian yang hidup dan terus berkembang di masyarakat seperti
konsep, kesadaran umum, wacana publik sebagai hasil dari konstruksi sosial.
Realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh
Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman
semacam ini. Realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai
konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.
Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis
untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok atau apa saja)
dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi.
Di analisis Framing realitas dimakai dan dikonstruksi dengan makna tertentu.
Menurut Erving Goffman secara sosiologis konsep frame analysis
memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi dan
10
menginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat
memahaminya. Schemata interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan
individu dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi dan memberi label
terhadap peristiwa – peristiwa serta informasi (Sobur, 2009:163).
Secara metodologi analisis framing memiliki perbedaan yang sangat
menonjol dengan analisis isi (content analysis). Analisis isi dalam studi
komunikasi lebih menitikberatkan pada metode penguraian fakta secara kuantitatif
dengan mengkategorisasikan isi pesan teks media. Pada analisis isi, pertanyaan
yang selalu muncul seperti apa saja yang diberitakan oleh media dalam sebuah
peristiwa? Tetapi, dalam analisis framing yang ditekankan adalah bagaimana
peristiwa itu dibingkai. Analisis framing yang menjadi pusat perhatian adalah
pembentukan pesan dari teks. Framing, terutama, melihat bagaimana pesan/
peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi
peristiwa dan menyajikannya kepada masyarakat (Eriyanto, 2009:3).
Metode analisis framing yang kita lihat adalah bagaimana cara media
memaknai, memahami dan membingkai kasus/peristiwa yang diberitakan. Metode
semacam ini tentu saja berusaha mengerti dan menafsirkan makna dari suatu teks
dengan jalan menguraikan bagaimana media membingkai isu. Peristiwa yang
sama bisa jadi dibingkai berbeda oleh media.
Ada beberapa model pendekatan analisis framing yang dapat digunakan
untuk menganalisa teks media , salah satunya model analisis Robert N. Entman
11
yang digunakan dalam penelitian ini. Menurut Robert N. Entman apa yang kita
ketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung pada bagaimana kita
membingkai dan menafsirkan realitas tersebut.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan
penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Framing
dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang
lain. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau
cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis
berita.
Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu dari suatu isu.
Penonjolan aspek tertentu dari suatu isu
Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Tabel 1.1. Dua Unsur Framing Media Versi Entman (Eriyanto, 2011: 222)
Penonjolan seperti yang disinggung di atas, merupakan proses membuat
informasi menjadi lebih bermakna. Realitas yang disajikan secara menonjol atau
mencolok tentu mempunyai peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi
khalayak dalam memahami realitas. Karena itu dalam praktiknya, framing
12
dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain,
serta menonjolkan aspek isu tertentu dan menggunakan pelbagai strategi wacana
serta penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, di halaman depan,
atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan
memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang
atau peristiwa yang diberitakan. Kata penonjolan (salience) didefinisikan sebagai
membuat sebuah informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan (Sobur,
2009: 164).
Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas hadir di hadapan
khalayak. Seperti yang dikatakan Edelman, apa yang kita tahu tentang realitas
sosial pada dasarnya tergantung bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa
itu yang memberikan pemahaman tertentu atas suatu peristiwa.
Konsep framing, dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan
sebuah cara untuk mengungkap the power of a communication text. Framing pada
dasarnya merujuk pada pemberitaan definisi, penjelasan, evaluasi, dan
rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu
terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Untuk mengetahui bagaimana pembingkaian yang dilakukan media,
terdapat sebuah perangkat framing yang dikemukakan Entman yang dapat
menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh
13
wartawan. Entman membagi perangkat framing ke dalam empat elemen sebagai
berikut :
a. Define Problems (pendefinisian masalah)
Elemen pertama ini merupakan bingkai utama/master frame yang
menekankan bagaimana peristiwa dimaknai secara berbeda oleh wartawan, maka
realitas yang terbentuk akan berbeda
b. Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah)
Elemen kedua ini merupakan elemen framing yang digunakan untuk
membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab
disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana
peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai
sumber masalah. Oleh sebab itu, masalah yang dipahami secara berbeda, maka
penyebab masalahnya akan dipahami secara berbeda pula. Dengan kata lain,
pendefinisian sumber masalah ini menjelaskan siapa yang dianggap sebagai
pelaku dan siapa yang menjadi korban dalam kasus tersebut.
c. Make moral judgement (membuat pilihan moral)
Elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi
pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Setelah masalah didefinisikan
dan penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan argumentasi yang kuat
untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan denga
sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.
14
d. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian)
Elemen keempat ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh
wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian
itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa
yang dipandang sebagai penyebab masalah.
Kerangka Konseptual Penelitian
15
4. Definisi Operasional
a. Analisis framing merupakan salah satu cara menganalisis teks media untuk
melihat bagaimana perspektif yang digunakan oleh Harian Kompas
Makassar dalam mengangkat isu tentang Freeport dan aspek apa yang ingin
diangkat.
b. Pemberitaan Freeport maksudnya pemberitaan Harian Kompas Makassar
yang berkaitan dengan aksi mogok pekerja Freeport dan penembakan yang
terjadi di sekitar kawasan Freeport.
c. Headline maksudnya berita mengenai aksi mogok dan peristiwa
penembakan yang ada pada halaman satu harian Kompas.
d. Harian Kompas adalah harian nasional di Makassar yang intens memuat
berita mengenai kasus Freeport.
16
e. Define Problems (pendefinisian masalah) adalah suatu peristiwa dilihat
sebagai apa dalam sebuah berita.
f. Diagnose causes (memperkirakan masalah atau sumber masalah) adalah
elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor atau
penyebab dari peristiwa freeport.
g. Make moral judgement (membuat keputusan moral) adalah nilai moral yang
disajikan untuk menjelaskan masalah.
h. Treatment recommendation (menekankan masalah) adalah jalan yang dipilih
untuk menyelesaikan masalah dari peristiwa Freeport.
5. Metode Penelitian
1. Objek dan Waktu Penelitian
Objek penelitian ini adalah berita-berita headline mengenai
kontroversi Freeport di harian Kompas pada pertengahan September 2011
hingga awal November 2011. Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari
hingga Mei 2011 dengan jumlah berita sebanyak 15 berita.
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini ialah deskriptif dengan menggunakan pendekatan
Kualitatif. Penelitian ini digunakan untuk menggambarkan aspek tertentu dari
sebuah realitas yang dibingkai oleh Harian Kompas menjadi sebuah berita
yang kemudian menjadi realitas media dalam hal ini pemberitaan mengenai
Freeport. Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan,
17
meringkas berbagai kondisi, situasi, atau fenomena realitas sosial dalam
masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu
ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran
tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2006: 68).
Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan
paradigma atau pendekatan konstruksionis. Paradigma konstruksionis
memandang bahwa tidak ada realitas yang obyektif, karena realitas tercipta
melalui proses konstruksi dan pandangan tertentu.
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi penelitian adalah berita – berita mengenai kasus Freeport
selama pertengahan bulan September hingga pertengahan bulan November
2011 di Harian Kompas Makassar.
b. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah berita headline di Harian Kompas Makassar
edisi 16 September 2011, 17 September 2011, 22 September 2011, 11
Oktober 2011, 16 Oktober 2011, 20 Oktober 2011, 21 Oktober 2011, 23
Oktober 2011, 25 Oktober 2011, 27 Oktober 2011, 29 Oktober 2011, 28
Oktober 2011, 30 Oktober 2011, 7 November 2011, dan 9 November 2011.
18
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan penulis
berdasarkan kebutuhan analisis dan pengkajian. Pengumpulan data tersebut
sudah dilakukan sejak penulis menentukan permasalahan apa yang sedang
dikaji. Pengumpulan data yang dilakukan adalah :
a. Pengkajian berita–berita headline yang terkait dengan Freeport dalam
rentang waktu pertengahan September sampai pertengahan November
2011.
b. Kajian pustaka dengan mempelajari dan mengkaji buku-buku, artikel serta
situs internet dengan permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi
sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah analisis framing. Dalam hal ini, analisis framing dirasa mampu untuk
mencari tahu bagaimana Kompas melakukan proses pembingkaian kasus
Freeport. Pasalnya, analisis framing merupakan sebuah pendekatan yang
digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan wartawan dalam melakukan seleksi isu dan menuliskan berita.
Dalam hal ini memakai analisa yang dikembangkan oleh Robert N.
Entman. Peneliti memilih perangkat framing Entman dalam penelitian ini
dengan argumen perangkat frame Entman mampu membantu peneliti dalam
19
mendefinisikan masalah Freeport yang diungkap oleh media dan
memperkirakan penyebab dari masalah itu. Selanjutnya, perangkat ini akan
membantu peneliti dalam mencari tahu keputusan moral yang diangkat oleh
media. Kemudian pada tahap akhir, perangkat framing Entman ini akan
membantu peneliti dalam mencari tahu rekomendasi seperti apa yang
dikemukakan oleh media dalam upaya penyelesaian masalah Freeport.
Dalam pandangan Entman, framing dipandang sebagai penempatan
informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat
alokasi penempatan yang lebih besar daripada isu lainnya.
Define Problems(pendefinisian masalah)
Bagaimana suatu peristiwa / isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?
Diagnose causes(memperkirakan masalah atau sumber masalah)
Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?
Make moral judgement(membuat keputusan moral)
Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan msalah? nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendegitimasi suatu tindakan?
Treatment Recommendation(menekankan penyelesaian)
Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah / isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?
Tabel 1.2. Perangkat Framing Entman (Eriyanto, 2011: 223)
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konstruksi Realitas Sosial
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar
batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal. Manusia
secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap
stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih
tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial,
terutama para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu
realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial.
21
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality)
menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Teatise in
the Sociological of Knowledge” (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui
tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2006:
202).
Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan
manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial di sekelilingnya. Dunia sosial
itu dimaksud sebagai yang disebut oleh George Simmel dalam Bungin (2006:
201), bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut
kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang
menguasainya.
Peter L.Berger berpendapat bahwa realitas tidak terjadi begitu saja tetapi
dibentuk dan dikonstruksikan. Hasil akhir yang diperoleh adalah realitas yang
sama dapat dipahami secara berbeda oleh setiap orang tergantung dari konstruksi
yang dilakukan dalam realitas tersebut (Eriyanto, 2009:15).
Berger dan Luckman dalam Bungin (2008: 14) mulai menjelaskan realitas
sosial dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan pengetahuan’. Realitas
diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui
sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita
22
sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu
nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckman dalam Bungin (2008: 15) mengatakan terjadi
dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan
individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi.
Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia
ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan
sifat dasar manusia. Manusia akan selalu mencari dan mencurahkan dirinya
dimana dia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang
lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses
inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya
sendiri dalam suatu dunia.
Kedua, objektivasi yaitu hasil yang didapatkan baik mental maupun fisik
dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang
bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang
berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses
objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari
ekternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi
kemudahan hidupnnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik
23
alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika
berhadapandengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia.
Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk ekternalisasi
tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia
sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus
sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap
orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia
menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.
Ketiga, internalisasi, penyerapan kembali dunia objektif ke dalam
kesadaran sedemikian rupa hingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh
struktur dunia sosial. Dalam peoses ini, wartawan akan berhadapan dengan
realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap ke dalam kesadaran
wartawan. Secara tidak langsung wartawan akan menceburkan dirinya ke dalam
realitas tersebut untuk kemudian dimaknainya.
Oleh karena itu, konstruksi realitas sosial yang dilakukan wartawan
sangat berpotensi untuk menggiring kita pada pemaknaan wartawan terhadap
suatu peristiwa, ditambah ideologi media massa tempat wartawan bekerja
dibangun sesuai visi dan kepentingan perusahaan yang bersangkutan.
B. Media dan Berita Dalam Paradigma Konstruksionis
24
Pandangan konstruksionis melihat media, wartawan dan berita dengan cara
pandang tersendiri. Pada dasarnya studi media massa merupakan proses pencarian
pesan dan makna. Media massa semakin banyak dijadikan sebagai objek studi
disebabkan semakin meningkatkanya peran media massa itu sendiri sebagai
intitusi yang tergolong penting dalam masyarakat saat ini. Media massa
memproduksi pesan yang merupakan hasil konstruksi realitas (Eriyanto, 2009:
25).
Paradigma konstruksionis ini diperkenalkan oleh Peter L. Berger yang
menyatakan bahwa sebuah realitas hadir di hadapan pembaca setelah melalui
sebuah proses konstruksi (Eriyanto, 2011: 15). Hal ini menyebabkan setiap orang
memiliki konstruksi yang berbeda terhadap realitas yang muncul di hadapannya.
Menurut Eriyanto (2011: 18), berita yang muncul merupakan sebuah proses
konstruksi dengan suatu peristiwa, karena adanya interaksi antara wartawan
dengan fakta yang muncul di lapangan.
Bagi kaum konstruksionis, realitas adalah sesuatu yang subjektif. Fakta
dan realitas bukanlah sesuatu yang sudah ada, tersedia dan tinggal diambil untuk
menjadi bahan sebuah berita. Realitas yang tertuang dalam berita adalah sesuatu
yang dikostruksi dan dibentuk oleh pandangan tertentu. Fakta atau realitas pada
dasarnya dikonstruksi. Sebuah fakta berupa kenyataan bukanlah sesuatu yang
sudah ada seperti itu, melainkan apa yang ada di benak dan pikiran kita. Kita
sendirilah yang memberikan definisi dan makna atas fakta tersebut sebagai sebuah
25
kenyataan. Fakta yang ada dalam sebuah berita bukanlah sebuah peristiwa yang
memang begitu adanya, wartawanlah yang secara aktif memproduksi dan
mendefinisikan berita tersebut.
Fakta yang dikumpulkan dan disusun selanjutnya akan disebarkan. Media
sebagai sarana penyalur pesan tidak hanya berfungsi sebagai saluran pesan dari
komunikator kepada penerima (khalayak). Media tidak bertindak sebagai suatu
institusi yang netral dalam menyampaikan pesan. Media bukanlah saluran yang
bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan,
bias, dan pemihakannya (Eriyanto, 2011: 26). Sebagai contoh media juga
menentukan dari sekian banyak peristiwa yang terjadi, peristiwa mana yang harus
diliput oleh wartawannya kemudian dari sisi mana si wartawan harus melihat
peristiwa tersebut. Pemilihan realitas oleh media dikarenakan media memiliki
kepentingan antara lain kepentingan ekonomi, politik ataupun ideologi. Media
tentunya akan membentuk reaitas yang dapat mendukung kepentingan-
kepentingannya. Oleh karena itu media turut berperan dalam mengkonstruksi
realitas. Konstruksi realitas terbentuk bukan hanya dari cara wartawan
memandang realitas tetapi kehidupan politik tempat media itu berada. Sistem
politik yang diterapkan sebuah negara ikut menentukan mekanisme kerja media
massa negara itu mempengaruhi cara media massa tersebut mengkonstruksi
realitas (Hamad, 1999: 55).
26
Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya:
mengaburkan dan mengelimirnya. Media bisa mengkonstruksi realitas, namun
juga bisa menghadirkan hiperrealitas. Hiperrealitas menggiring orang
mempercayai sebuah citra sebagai kebenaran, meski kenyataannya hanya
dramatisasi realitas dan pemalsuan kebenaran, yang “melampaui realitas” (Sobur,
2009: 170). Dalam memberitakan konflik, media seharusnya tidak melakukan
dramatisasi terhadap fakta. Karena hal itu langsung ataupun tidak langsung akan
memicu konflik lanjutan dan menjadi provokasi bagi pihak-pihak yang bertikai.
Menjadi suatu hal yang menarik ketika kebanyakan orang awam melihat
media atau berita yang disuguhkan oleh media massa adalah sesuatu yang benar-
benar apa adanya tanpa adanya konstruksi realitas di dalamnya. Mereka kemudian
menjadi sepenuhnya percaya akan apa yang disampaikan oleh media massa.
Dengan melihat realitas, berita dan media massa atau dengan kata lain tidak
mudah mempercayai apa yang disampaikan oleh media karena begitu banyak
muatan-muatan kepentingan di dalamnya.
Setiap media tentunya memiliki kebijakan masing-masing dalam
mekanisme kerja untuk mengkonstruksi dan menghasilkan berita yang
“diinginkan”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berita adalah hasil
mekanisme kerja individu-individu yang ada dalam media (redaksional)
berdasarkan kebijakan, pertimbangan serta ideologi.
27
Fakta atau realitas yang diliput kemudian ditampilkan dalam media lewat
pemberitaan. Pada dasarnya berita adalah laporan dari suatu peristiwa atau
realitas. Namun gambaran realitas atas peristiwa dalam media bukanlah realitas
yang sebagaimana adanya, yang diambil oleh sang wartawan dan dituangkan.
Berita adalah hasil dari konstruksi yang selalu melibatkan pandangan ataupun
nilai-nilai dari wartawan dan media yang bersangkutan. Bagaimana sebuah realita
dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana ia dimaknai dan dipahami oleh
wartawan. Proses pemahaman selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga
mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas (Eriyanto, 2011: 28). Proses
pemaknaan realitas oleh wartawan sebagai aktor atau agen pembentuk realitas.
Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Dia tidak hanya
melaporkan sebuah peristiwa namun mendefinisikan dan secara aktif membentuk
peristiwa dalam pemahaman mereka. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada di
luar”, objektif, benar dan seakan-akan ada sebelum wartawan meliputnya. Ada
proses konstruksi makna dalam peristiwa yang diliput sehingga menghasilkan
suatu realitas baru. Laporan-laporan jurnalistik yang ada di media pada dasarnya
tidak lebih dari hasil penyusunan realitas-realitas dalam bentuk cerita (Barata
dalam Birowo, 2004: 168).
Seperti yang dikatakan Judith Lichtenberg dalam Eriyanto (2011: 35),
realitas hasil konstruksi itu selalu terbentuk melalui konsep dan kategori, tanpa
kita buat, kita tidak bisa melihat dunia tanpa kategori, tanpa konsep. Artinya,
28
kalau seorang wartawan menulis berita,ia sebetulnya membuat dan membentuk
dunia, membentuk realitas.
Dalam konsepsi konstruksionis, wartawan tidak mungkin membuat jarak
dengan objek yang hendak dia liput. Karena ketika ia meliput suatu peristiwa dan
menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak menggunakan dimensi perseptuilnya
ketika memahami masalah. Dengan begitu, realistas yang kompleks dan tidak
beraturan ditulis dan dipahami, untuk semua proses itu melibatkan konsepsi,
pemahaman yang mau tidak mau sukar dilepaskan dari unsur subjektif.
Dalam pandangan konstruksionis, berita itu ibarat sebuah drama. Ia bukan
menggambarkan realitas, melainkan potret dari arena pertarungan antara berbagai
pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita bukan representasi dari realitas.
Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik,
bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta,
sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil
bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak (Eriyanto, 2011: 30).
C. Headline Sebagai Bentuk Penonjolan dan Penekanan Isu
Bila satu media, apalagi sejumlah media, menaruh sebuah kasus sebagai
headline, diasumsikan kasus itu memperoleh perhatian yang besar dari khalayak.
Ini tentu berbeda jika, misalnya kasus tersebut dimuat di halaman dalam, bahkan
pojok bawah pula. Faktanya konsumen media jarang memperbincangkan kasus
29
yang tidak dimuat oleh media, yang boleh jadi kasus itu justru sangat penting
untuk masyarakat.
Memang, setiap peristiwa yang dianggap dapat menarik minat pembaca,
selalu dijadikan headline atau diletakkan pada halaman muka surat kabar.
Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa umumnya pembaca ketika akan
membaca atau membeli sebuah surat kabar, yang pertama dilihatnya adalah
headline berita pada hari itu atau berita-berita yang ada di halaman mukanya. Hal
ini didukung oleh pendapat Rivers dan Mathews dalam Sobur (2009: 167) yang
menyatakan bahwa sekitar 98% dari semua pembaca surat kabar membaca berita
yang terdapat di halaman muka.
Pembaca media saat ini terkena dengan apa yang disebut headline
syndrome, yaitu dengan semakin tingginya mobilitas serta aktivitas khalayak
terhadap headline. Pembaca seperti ini lebih suka menelusuri judul-judul berita
ketimbang membaca berita secara keseluruhan. Menurut Assegaf pembaca surat
kabar Amerika sering disebut sebagai “headline reader”, pembaca judul atau
pembaca kepala berita. Hal ini tidak menjadi masalah jika judul-judul berita
tersebut mencerminkan isi berita. Persoalannya bisa muncul jika judul berita yang
ditampilkan secara sensasional (Sobur, 2009: 168).
Apabila dikaitkan dengan framing, yang dilakukan oleh suatu media,
headline merupakan aspek seintaksis atau cara wartawan menyusun fakta dari
wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi yang menunjukkan
30
kecenderungan berita. Pembaca cenderung lebih mengingat headline yang dipakai
dibandingkan bagian berita. Headline mempunyai fungsi framing yang kuat.
Headline memengaruhi bagaimana kisah dimengerti untuk kemudian digunakan
dalam membuat pengertian isu dan peristiwa sebagaimana dibeberkan oleh media.
Headline dapat menunjukkan bagaimana wartawan mengkonstruksi isu.
Headline sebagai berita utama, merupakan hasil konstruksi wartawan atau
media, sebab bagaimana realitas itu dijadikan sebagai headline (berita utama)
sangat bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai pada
wartawan yang meliputnya. Proses pemaknaan oleh wartawan selalu melibatkan
nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita yang dijadikan sebagai headline
merupakan pencerminan realitas. Buktinya realitas yang sama bisa jadi
menghasilkan berita yang berbeda, dengan porsi pemberitaan yang berbeda dan
diproduksi menjadi jenis berita yang berbeda.
Dalam tradisi jurnalistik di Indonesia, headline biasanya ditentukan lewat
rapat redaksi yang melibatkan pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur,
serta beberapa wartawan. Dalam rapat ini dikumpulkan semua berita yang masuk
dan kemudian dibahas, berita mana saja yang layak dan harus dimuat. Dari rapat
itu, diputuskanlah berita yang akan menjadi headline. Pada umumnya, ukuran dan
pertimbangan semua media dalam memilih headline sama. Ukuran tersebut pada
umumnya adalah berita yang dinilai actual, besar dan sangat penting bagi banyak
orang, juga cocok untuk karakter medianya.
31
Pemilihan judul berita memang merupakan hak prerogatif dari surat kabar
yang bersangkutan. Juga terkadang merupakan gaya (style) atau ciri khas dari
masing-masing surat kabar. Namun sesuai dengan prinsip jurnalistik, judul berita
jangan sampai menghilangkan atau meengaburkan fakta yang sebenarnya. Dengan
kata lain, jurnalis atau editor sebaiknya tidak membuat judul yang provokatif
tetapi mengelabui pembaca atau cenderung mereduksi fakta demi menarik
perhatian pembaca (Sobur, 2009: 168).
Konsep framing Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi
dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang
sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu
tertentu mendapat alokasi lebih besar dari pada isu lain. Framing memberi tekanan
lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang
ditonjolkan/dianggap oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat
didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih
mudah diingat oleh khalayak. Informasi yang menonjol kemungkinan lebih
diterima oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori dibandingkan
dengan yang disajikan secara biasa.
Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam; menempatkan satu aspek
informasi lebih menonjol dibandingkan yang lain, lebih mencolok, melakukan
pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek
budaya yang akrab dibenak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah
32
ide/gagasan/informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan
ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena
kemenonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame
dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat
mungkin mempunyai pandangan apa yang dia pikirkan atas suatu teks dan
bagaimana teks tersebut dikonstruksi dalam pikiran khalayak (Eriyanto 2011: 220)
D. Konsep Framing
Analisis framing merupakan strategi konstruksi dalam memproses berita,
perangkat kognisi yang dipergunakan dalam memperoleh informasi, menafsirkan
peristiwa, dan dihubungkan dalam rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955.
Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan
yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang
menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini
kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan
frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing
individu dalam membaca realitas. Menurut Gitlin, frame adalah bagian yang pasti
hadir dalam praktik jurnalistik. Dengan frame, jurnalis memproses berbagai
informasi yang tersedia dengan jalan yang mengemasnya sedemikian rupa dalam
kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak. Secara luas,
33
pendefinisian masalah ini menyertakan di dalamnya konsepsi dan skema
interpretasi wartawan. Pesan, secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia
hidup, membentuk, dan menginterpretasikan makna di dalamnya.
Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam
literature ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penseleksian dan
penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media.
Disiplin ilmu ini bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa
konsep ini bisa ditemui di berbagai literature lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku.
Secara sederhana analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi
bahasa, visual, pelaku dan menyampaikanya kepada pihak lain atau
menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisis
bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat
diinterpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis.
Dalam ranah komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang
mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis
fenomena atau aktivitas komunikasi. Dalam perspektif komunikasi, analisis
framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat
mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan
pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti
atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.
Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana
34
perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu
dan menulis berita. Cara pandang atau fakta apa yang diambil, bagian mana yang
ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur,
2009: 162)
Gamson dan Modigliani menyebut cara pandang itu sebagai kemasan
(package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan
diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide
yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dan
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.
Kemasan (package) adalah gugusan ide-ide yang mengindikasikan
tentangisu yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan wacana
yang terbentuk. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang
digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan diterima.
Package diibaratkan sebagai sebuah wadah atau strukturdata yang
mengorganisir sejumlah informasi yang dapat menunjukkan posisi atau
kecenderungan politik dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan
muatan-muatan dibalik suatu isu atau peristiwa.
Ada dua aspek dalam framing, Pertama, memilih fakta/realitas. Proses
memilih fakta ini ditujukan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat
peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).
35
Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang
diberitakan dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu
dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan
fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya.
Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi
atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media
yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita
yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta
yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata,
kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan
sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan
pemakaian perangkat tertentu dan penempatan yang mencolok (menempatkan di
headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk
mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika
menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol
budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang berhubungan dengan
penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi
dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang
ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang
besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi
36
tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.
Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami
suatu realitas.
Konsep framing dapat dilihat dari dua tradisi, yaitu psikologi dan
sosiologi. Hal ini disebabkan karena framing banyak mendapat pengaruh dari
konsep psikologi dan sosiologi. Framing dalam konsep psikologi melihat
bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri,
sesuatu, dan gagasan tertentu. Selain itu framing dalam kondisi ini dilihat sebagai
bentuk penempatan informasi dalam konteks yang unik, hingga elemen tertentu
suatu ilmu membentuk alokasi sumber kognitif individu yang lebih besar (Sobur,
2009: 163).
Dalam dimensi psikologi, framing adalah upaya atau strategi yang
dilakukan wartawan dalam menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna,
mencolok dan mendapat perhatian oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal
ini teks berita) lebih menonjol dan mencolok ini, pada taraf awal tidak dapat
dilepaskan dari aspek psikologi. Secara psikologi, orang cenderung melakukan
penyederhanaan realitas dan dunia yang kompleks dalam perspektif/dimensi
tertentu.
Selain psikologi, konsep framing juga banyak mendapat pengaruh dari
lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama ditarik dari Alfred Schutz, Erving
37
Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level sosiologis, frame dilihat terutama
untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan pembuat berita
membentuk berita secara bersama-sama. Menurut Erving Goffman secara
sosiologis konsep frame analysis memelihara kelangsungan kebiasaan kita
mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman-
pengalaman hidup kita untuk memahaminya. Dengan konsep yang sama Gitlin
mendefinisikan frame sebagai seleksi, penegasan dan ekslusi yang ketat. Ia
menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita
dengan mengatakan, “Frames memungkinkan para jurnalis memproses sejumlah
besar informasi secara cepat dan rutin, sekaligus mengemas informasi demi
penyiaran yang efisien kepada khalayak.” (Sobur, 2009: 163).
Frame adalah sebuah prinsip dimana pengalaman dan realitas yang
kompleks tersebut diorganisasi secara subjektif. Lewat frame itu, orang melihat
realitas dengan pandangan tertentu dan melihat sebagai sesuatu yang bermakna
dan beraturan. Frame media mengorganisasikan realitas kehidupan sehari-hari dan
akan ditransformasikan ke dalam sebuah cerita. Analisis framing karenanya,
meneliti cara-cara individu mengorganisasikan pengalamannya sehingga
memungkinkan seseorang mengidentifikasi dan memahami peristiwa-peristiwa,
memaknai aktivitas-aktifitas kehidupan yang tengah berjalan (Eriyanto, 2011:96)
Menurut Entman, framing memiliki implikasi penting bagi komunikasi
politik. Frames, menurutnya, menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari
38
realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan
khalayak memiliki reaksi berbeda. Dalam konteks ini, lanjut Entman, framing
memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuasaan politik, dan frame dalam
teks berita sungguh merupakan kekuasaan yang tercetak, ia menunjukkan identitas
para aktor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks.
Konsep framing, dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan
sebuah cara untuk mengungkapkan the power of a communication text. Analisis
framing dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran
manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi) informasi dari sebuah
lokasi, seperti pidato, ucapan/ungakapan, news report, atau novel. Framing kata
Entman, secara esensial meliputi penseleksian dan penonjolan. Membuat frame
adalah menseleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas, dan
membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan
sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang
khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral, dan atau merekomendasikan
penanganannya (Siahaan, 2001: 81).
Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di
hadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya
tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa itu yang
memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Framing
dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang
39
secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika
melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita.
E. Framing dan Ideologi
Produksi berita berhubungan dengan bagaimana rutinitas terjadi dalam
ruang pemberitaan, yang menentukan bagaimana wartawan didikte/dikontrol
untuk memberitakan peristiwa dalam perspektif tertentu. Selain praktik
organisasidan ideologi profesional tersebut, ada satu aspek lain yang sangat
penting yang berhubungan dengan bagaimana peristiwa ditempatkan dalam
keseluruhan produksi teks, yakni bagaimana berita itu bisa bermakna dan berarti
bagi khalayak. Stuart Hall dalam Eriyanto (2011: 141) menyebut aspek ini sebagai
konstruksi berita. Aspek ini berhubungan dengan bagaimana wartawan/media
menampilkan peristiwa tersebut sehingga relevan bagi khalayak.
Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami
bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Diantara
berbagai fungsi dari media dalam mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam
ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media berfungsi
menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu
dijalankan.
40
Sebuah teks, kata Aart van Zoest (Sobur, 2011: 60), tak pernah lepas dari
ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu
ideologi, sedangkan Eriyanto menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam
analisis wacana karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik
ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu.
Istilah Ideologi menurut Jorge Larrain (1996) dalam Sobur (2011: 61)
mempunyai dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi
dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-
nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-
kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu
kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara
memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial.
Raymond Williams dalam Sobur (2011: 64) menamakan ideologi
“himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan material tertentu
atau, secara lebih luas, dari sebuah kelas atau kelompok tertentu”. Sedangkan John
B. Thomson dalam Sobur (2011: 64) menyatakan bahwa ideologi hanya dapat
dipahami dengan tepat sebagai “ideologi dominan” di mana bentuk-beentuk
simbolis dipakai oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk “membangun dan
melestarikan hubungan dominasi (masyarakat yang timpang).”
Begitulah, meskipun istilah ideologi dipergunakan dalam banyak arti,
namun pada hakikatnya semua arti itu, menurut Magnis-Suseno dalam Sobur
41
(2011: 66) dapat dikembalikan pada salah satu (atau kombinasi) dari tiga arti,
yakni:
1) Ideologi sebagai kesadaran palsu
Secara spontan bagi kebanyakan orang, kata ideologi mempunyai konotasi
negatif, sebagai claim yang tidak wajar atau sebagai teori yang tidak berorientasi
pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya.
Biasanya ideologi sekaligus dilihat sebagai sarana kelas ataupun kelompok yang
berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya secara tidak wajar.
2) Ideologi dalam arti netral
Ideologi ini kebanyakan ditemukan di negara-negara yang sangat
mementingkan sebuah “ideologi negara”, misalnya negara-negara komunis. Arti
dari ideologi netral ialah keseluruhan sistem pikir, nilai-nilai, dan sikap dasar
rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. Nilai ideologi
tergantung isinya: kalau isinya baik, ideologi itu baik, kalau isinya buruk
(misalnya, membenarkan kebencian), dia buruk.
3) Ideologi: keyakinan yang tidak ilmiah
Segala penilaian etis dan moral, anggapan-anggapan normatif, begitu pula
teori-teori dan paham-paham metafisik dan keaagamaan atau filsafat sejarah,
termasuk ideologi. Arti ketiga ini maunya netral, tetapi dalam penilaian Magnis
Suseno, sebenarnya bernada negatif juga karena memuat sindiran bahwa
“ideologi-ideologi” itu tidak rasional, di luar hal nalar, jadi merupakan
42
kepercayaan dan keyakinan subjektif semata-mata, tanpa kemungkinan untuk
mempertanggungjawabkannya scara objektif.
Daniel Hallin membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang/peta
ideologi, yaitu bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi
(sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus).
Bidang-bidang ini menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan
ditempatkan oleh wartawan dalam keseluruhan peta ideologis.
Apakah peristiwa dibingkai dan dimaknai sebagai wilayah penyimpangan,
kontroversi, ataukah konsensus? Dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa,
gagasan, atau prilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang. Ini
semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum
dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Peristiwa PKI masuk
dalam wilayah penyimpangan karena dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan
tidak sesuai dengan nilai-nilai komunitas. Bidang kedua adalah wilayah
kontroversi. Kalau pada bidang yang paling luar ada kesepakatan umum bahwa
realitas (peristiwa, prilaku, atau gagasan) dipandang menyimpang dan buruk,
dalam area ini realitas masih diperdebatkan/dipandang kontroversial. Kegiatan
seksual misalnya masih diperdebatkan. Ia tidak serta merta dipandang sebagai
perbuatan yang menyimpang, tetapi diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang
paling dalam adalah konsensus; menunjukkan bagaimana realitas tertentu
43
dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai realitas yang sesuai dengan
nilai-nilai ideologi kelompok.
Sebagai area ideologis, peta semacam ini dapat dipakai untuk menjelaskan
bagaimana prilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda karena
memakai kerangka yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideologi
yang berbeda akan menjelaskan dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke
dalam peta yang berbeda, karena ideologi yang menempatkan bagaimana nilainilai
bersama yang dipahami dan diyakini secara bersama-sama dipakai untuk
menjelaskan berbagai realitas yang hadir setiap hari.
Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan
dalam tempat-tempat tertentu. Seperti yang dikatakan Mattew Kieran dalam
Eriyanto (2011: 154), berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita
diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu.
Ideologi yang dimaksud disini tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide-ide
besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan.
F. Efek Framing
Framing berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan
kepada khalayak. Dari definisi yang sederhana ini saja sudah tergambar apa efek
framing. Salah atu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang
kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai
sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu.
44
Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas
dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak
untuk memproses informasi ke dalam kategori yang dikena, kata-kata kunci dan
citra tertentu. Kahalyak tidak disediakan atau disajikan informasi yang rumit,
melainkan informasi yang tinggal diambil, konstektual, berarti baginya, dan
dikenal dalam benaknya. Teori framing memperlihatkan seperti apa jurnalis
membuat simplikasi, prioritas, dan struktur tertentu dari peristiwa. Untuk itu,
framing pada fungsinya sebagai penyedia kunci untuk melihat peristiwa
bagaimana dipahami oleh media dan hasilnya yang berupa konstruksi media yang
telah mengalami pembingkaian.
Proses pembingkaian itu dapat dicontohkan sebagai berikut:
Mendefinisikan realitas tertentu Melupakan definisi lain atas realitas
Penonjolan aspek tertentu Pengaburan aspek lain
Penyajian sisi tertentu Penghilangan sisi lain
Pemilihan fakta tertentu Pengabaian fakta lain
Tabel 2.1. Efek Framing (Eriyanto, 2011: 167)
Menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek lain. Framing
umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam
penulisan sering disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan
pada aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lain yang tidak mendapatkan perhatian
45
yang memadai. Pemberitaan suatu peristiwa dari perspektif politik misalnya,
mengabaikan aspek lain: ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Menampilkan Sisi Tertentu dan Melupakan Sisi Lain. Sebut misalnya
pemberitaan media meengenai aksi mahasiswa. Berita misalnya, banyak
menampilkan bagaimana demonstrasi akhirnya diwarnai dengan bentrokan. Berita
secara panjang lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekat
menembus barikade, dan akhirnya diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang
luka-luka. Dengan menampilkan sisi ini dalam berita, ada sisi lain yang dilupakan.
Seolah dengan menggambarkan berita seperti itu, demonstrasi tersebut tidak ada
gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat
keributan saja di tengah masyarakat.
Menampilkan Aktor Tertentu dan Menyembunyikan Aktor Lainnya.
Berita seringkali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu
tidak salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak
atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting
dalam pemberitaan menjadi tersembunyi.
1) Mobilisasi Massa
Framing berkaitan dengan opini publik. Karena isu tertentu ketika dikemas
dengan bingkai tertentu bisa mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda
atas suatu isu. Misalnya, mengirim pasukan ke Timor Timur adalah upaya
mempertahankan nasionalisme Indonesia. Timor Timur adalah wilayah yang sah
46
dari Indonesia, karena itu, meski pasukan internasional telah datang tetap harus
dikirim pasukan ke daerah tersebut. Terbukti kemasan tersebut berhasil menarik
dukungan masyarakat dan mobilisasi massa. Framing atas isu umumnya banyak
dipakai dalam literature gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya khalayak
mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu. Itu sering ditandai dengan
menciptakan masalah masalah bersama, musuh bersama dan pahlawan bersama.
2) Menggiring Khalayak Pada Ingatan Tertentu
Individu mengetahui peristiwa sosial dari pemberitaan media. Karenanya,
perhatian khalayak, bagaimana orang mengkonstruksi realitas sebagian besar
berasal dari apa yang diberitakan oleh media. Misalnya, khalayak menilai sosok
Gus Dur, apakah Gus Dur terlibat dalam skandal Bulog dan Brunei ataukah tidak,
sebagian besar di antaranya berasal dan bersumber dari media. Media adalah
tempat di mana khalayak memperoleh informasi mengenai realitas politik dan
sosial yang terjadi di sekitar mereka. Karena itu, bagaimana media membingkai
realitas tertentu berpengaruh pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa
tersebut. Dengan kata lain, frame yang disajikan oleh media ketika memaknai
realitas mempengaruhi bagaimana khalayak menafsirkan peristiwa.
Apa yang menyebabkan suatu berita lebih mudah diingat orang?
Pristiwa-peristiwa tertentu yang dramatis dan diabadikan, ternyata mempunyai
pengaruh pada bagaimana seeorang melihat peristiwa.W. Lance Bennet dan
47
Regina G. Lawrence (Eriyanto 2011:178) menyebut sebagai ikon berita (news
icon). Apa yang khalayak tahu tentang sedikit banyak tergantung pada
bagaimana dia menggambarkannya. Peristiwa dramatis dan digambarkan media
dramatis pula, bahkan mempengaruhi pandangan khalayak tentang realitas.
G. Strategi Framing Model Robert N. Entman
Robert N. Entman adalah salah satu seorang ahli yang meletakkan dasar-
dasar bagi analisis framing untuk studi isi media. Konsep mengenai framing
ditulis dalam sebuah artikel untuk Journal of Political Communication dan tulisan
lain yang mempraktikan konsep itu dalam suatu studi kasus pemberitaan media.
Konsep framing, oleh Entman, digunakan untuk menggambarkan proses seleksi
dan menonjiolkan aspek tertentu dari realitas oleh media (Eriyanto 2011: 220).
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan
penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Framing
dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang
lain dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai
strategi wacana, salah satunya penempatan yang mencolok (menempatkan di
headline depan atau bagian belakang).
48
Framing menurut Entman dapat muncul dalam dua level. Pertama,
konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi sebagai
karakteristik dari teks berita. Misalnya, frame anti-militer yang dipakai untuk
melihat dan meproses informasi demonstrasi atau kerusuhan. Kedua, perangkat
spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai
peristiwa. Frame berita dilihat dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra
yang ada dalam narasi berita.
Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian
definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk
menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Menurut Entman (Eriyanto 2011: 225) framing dalam berita dilakukan
dengan empat cara, yaitu :
Define Problems (pendefinisian masalah). Elemen ini merupakan master
frame/bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami
oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu
tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Ketika
ada demonstrasi mahasiswa dan diakhiri dengan bentrokan, bagaimana peristiwa
ini dipahami. Peristiwa ini bisa dipahami sebagai anarkisme gerakan mahasiswa,
bisa juga dipahami sebagai pengorbanan mahasiswa.
Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah). Elemen kedua ini
merupakan elemen framing yang digunakan untuk membingkai siapa yang
49
dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa
(what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu
saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Oleh
sebab itu, masalah yang dipahami secara berbeda, maka penyebab masalahnya
akan dipahami secara berbeda pula. Dengan kata lain, pendefinisian sumber
masalah ini menjelaskan siapa yang dianggap sebagai pelaku dan siapa yang
menjadi korban dalam kasus tersebut.
Make moral judgement (membuat pilihan moral) Elemen framing yang
dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian masalah
yang sudah dibuat. Setelah masalah didefinisikan dan penyebab masalah sudah
ditentukan, dibutuhkan argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan
tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan
dikenal oleh khalayak.
Treatment recommendation (menekankan penyelesaian) Elemen framing
yang dipakai untuk membenarkan/member argumentasi pada pendefinisian
masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab
masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk
mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu
yang familiar dan dikenal oleh khalayak.
DAFTAR PUSTAKA
50
Birowo, M. Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Gitanyali.
Bulaeng, Andi. 2004. “Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer”. Yogyakarta: Andi
Bungin, Burhan. 2008. “Konstruksi Sosial Media Massa”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
______________ . 2006. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Jakarta: PT Raja Grafindo
______________ . 2006. “Sosiologi Komunikasi”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Effendi, Onong Uchjana 2003. “Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Eriyanto. 2011. “Analisis Framing”: Konstruksi Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis
Hamad, Ibnu. 1999. “Media Massa dan Konstruksi Realitas”, dalam Jurnal Pantau. ISAI, 6 Oktober-November 1999.
Kriyantono, Rachmat. 2009. “Teknik Praktis Riset Komunikasi”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication”. Edisi Kesembilan. Terjemahan oleh Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika
Mulyana, Deddy. 2006. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Nurudin, 2007. “Pengantar Komunikasi Massa”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Oetama, Jacob. 1987. “Perspektif Pers Indonesia”. Jakarta: LP3ES
51
Perdede, Pemmiliana. 2001. “Dramatisasi Cukup Dominan”. Jurnal Media Watch Kupas. Vol.3 No.2
Pareno, Sam Abede. 2005. “Media Massa Antara Realitas dan Mimpi”. Surabaya: Papyrus
Saripudin & Quisyaini Hasan. 2003. “Tomy Winata Dalam Citra Media: Analisis Berita Pers Indonesia”. Jakarta: JARI.
Santana K, Septiawan, Jurnalisme Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Siahaan, Hotman M, dkk. 2001. “Pers yang Gamang Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur”. Surabaya: Lembaga Studi Perubahan Sosial dan Jakarta Institut Studi Arus Informasi.
Severin, Werner J dan James W Tankard. 2008. “Teori Komunikasi : Sejarah, Teori dan Terapan di Dalam Media Massa”
Sobur, Alex. 2009. “Analisis Teks Media : Suatu Pengantar analisis wacana, analisis semiotika, dan analisis framing”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Vivian, John. 2008. “Teori Komunikasi Massa”. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
http://regional.kompas.com/read/2011/09/15/09025427/Mulai.Hari.Ini.Karyawan.Freeport.Mogok.Kerja diakses pada tanggal 19 November 2011
http://nasional.kompas.com/read/2011/11/13/17521224/Dua.Tahun.40.Kali.Penembakan.di.Freeport diakses pada tanggal 22 November 2011 pukul 19.45 WITA
http://matanews.com/2011/10/28/kasus-freeport-aparat-bermain/ diakses pada tanggal 22 November 2011 pukul 20.55 WITA
52