analisis hukum penyelesaian hutang piutang perseroan terbatas dalam likuidasi_agung yuriandi
DESCRIPTION
Likuidasi perusahaan dilakukan oleh perorangan atau badan hukum dengan dasar RUPS. Namun, permasalahan yang didapati oleh Likuidator adalah proses pembayaran hutang dan penagihan piutang.TRANSCRIPT
ANALISIS HUKUM PENYELESAIAN HUTANG PIUTANG PERSEROAN TERBATAS DALAM LIKUIDASI
Oleh :
Agung Yuriandi Medan 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik, dan
acapkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut
tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya. Hal demikian dapat pula terjadi
terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha.1 Kehidupan suatu perusahaan
dapat saja dalam kondisi untung atau keadaan rugi. Kalau keadaan untung,
perusahaan berkembang dan berkembang terus, sehingga menjadi perusahaan
raksasa. Sebaliknya, apabila kondisi perusahaan menderita kerugian, maka garis
hidupnya menurun. Jadi, garis hidup suatu perusahaan pada suatu saat naik dan pada
saat lain menurun, begitu seterusnya, sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan
garis yang menaik dan menurun seperti grafik. Sebagian perusahaan dapat
mempertahankan hidupnya, tetapi sebagian tidak dapat mempertahankan lagi
hidupnya, akhirnya perusahaan tersebut terpaksa gulung tikar.
1 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,
(Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 1., sebagaimana dikutip Elvira Dewi Ginting, ”Analisis Hukum Mengenai Pengaturan Reorganisasi Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Hukum Kepalitan”, (Tesis : Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 1.
2
Kegagalan perusahaan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, terutama dalam
memenuhi kewajibannya kepada pihak lain, dapat disebabkan oleh kondisi internal
dan eksternal. Kondisi internal biasanya diakibatkan mismanagement dan fraud yang
dilakukan oleh kalangan internal perusahaan, dimulai dari Pemegang Saham,
Komisaris, Direksi, karyawan maupun pihak terkait yang dapat mengendalikan
perusahaan secara tidak langsung.2 Kondisi eksternal adalah kondisi di luar jangkauan
pihak perusahaan yang berdampak kepada kinerja perusahaan, antara lain kebijakan
pemerintah atau publik dan kondisi makro ekonomi di suatu negara maupun global.
Dalam rangka pengembangan suatu perusahaan mungkin atau pasti
mempunyai hutang. Bagi suatu perusahaan, hutang bukanlah merupakan sesuatu yang
buruk, asal perusahaan itu masih dapat membayar kembali. Perusahaan yang seperti
ini disebut perusahaan yang solvable artinya perusahaan yang mampu membayar
hutang-hutangnya. Sebaliknya, jika suatu perusahaan yang sudah tidak mampu
membayar hutang-hutangnya lagi disebut insolvensi, artinya tidak mampu membayar.
Istilah hukumnya insolvensi menunjukkan pada suatu kumpulan dari aturan-aturan
yang mengatur hubungan debitor (yang berada dalam kesulitan pembayaran akibat
ketidakmampuan finansial) dengan para kreditornya.3
Dalam meningkatkan pendapatan perusahaan dibutuhkan cash flow yang baik.
Cash flow adalah arus kas yang masuk dan keluar dari rekening perusahaan. Apakah
pemasukan lebih sedikit dari pengeluaran ataukah pemasukan lebih besar dari
2 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group 2007), hal 149. 3 J. B. Huizink, Insolventie, Alih Bahasa Linus Doludjawa, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 21., sebagaimana dikutip Elvira Dewi Ginting, Loc.cit., hal. 1-2.
3
pengeluaran. Pendapatan perusahaan adalah hal yang penting untuk ditingkatkan,
begitu juga dengan pengeluaran perusahaan yang harus ditekan (cut spending). Dalam
dunia perbankan harus memperhatikan cara menyimpan pendapatan, bukan hanya
meningkatkan pendapatan. Maka, sebelum mendirikan sebuah perusahaan sebaiknya
diperhatikan perusahaan tersebut bergerak dalam bidang usaha apa, bagaimana
kinerjanya, bagaimana manajemennya, dan lain sebagainya.
Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia di pertengahan
tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha
merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah
melanda. Hal ini juga dirasakan oleh Indonesia, yang mengakibatkan Indonesia telah
mengalami krisis kepercayaan khususnya terhadap perbankan. Kondisi perbankan di
Indonesia telah mengalami masalah-masalah yang menuju suatu kehancuran akibat
krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar. Krisis tersebut telah menyebabkan
kinerja perekonomian Indonesia menurun tajam, dan kemudian berubah menjadi
krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang usaha. Proses penyebaran krisis
berkembang cepat mengingat tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan
ketergantungan pada sektor luar negeri yang sangat besar.4
Dalam dunia bisnis, masalah di perusahaan sudah pasti berbagai macam
ragam. Setiap perusahaan pastinya menghadapi masalah, jika ada masalah berarti
perusahaan tersebut berkembang ke arah yang lebih baik. Keberhasilan sebuah
perusahaan bukan hanya diukur dengan besar kecil perusahaan melainkan seberapa
4 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah : Suatu Gagasan Tentang Pendirian
Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 2., sebagaimana dikutip Ibid., hal. 2.
4
baik perusahaan itu keluar dari masalah tersebut.5 Adapun masalah yang sering
dihadapi oleh perusahaan, antara lain : hutang-piutang; karyawan; investasi;
perpajakan; dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai hutang-piutang perseroan
terbatas dalam likuidasi. Pada umumnya dalam transaksi jual beli untuk penyerahan
dan pembayaran atas barang yang dibeli terjadi pada waktu yang sama. Hal ini berarti
modal kerja atau modal usaha si penjual cepat diperolehnya kembali dan langsung
dipakai untuk perputaran bisnis selanjutnya. Namun, dalam hal ini tidak jarang
pelaksanaan pembayaran dari pembeli itu baru dapat ditunaikan berdassakan
kesepakatan di antara mereka dalam tenggang waktu tertentu, misalnya sekitar dua
sampai empat bulan berikutnya. Kondisi sebelum dilaksanakan konsekuenssi
timbulnya hak tagih dari pihak penjual sehingga keadaan ini disebut masa penagihan
(collection period). Hak tagih atas piutang ini dalam dunia ekonomi dikenal sebagai
piutang dagang (account receivable).6
Dalam hal perusahaan sudah tidak beroperasi lagi diakibatkan oleh
kemunduran pendapatan perusahaan, maka pemegang saham dapat mengadakan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk membubarkan perusahaan tersebut.
Namun, oleh karena perseroan merupakan badan hukum yang lahir dan diciptakan
berdasarkan proses hukum (created by a legal process), maka pembubaran perseroan
juga harus melalui proses hukum pula. Pembubaran perseroan tidak mempunyai arti
identik dengan ”berakhirnya” eksistensi perseroan. Perseroan adalah subjek hukum,
5 Bismar Nasution, “Catatan Perkuliahan : Hukum Perusahaan”, (Medan : Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009). 6 Rinus Pantouw, Hak Tagih Factor Atas Piutang Dagang, (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 1.
5
memiliki aktiva dan passiva. Setelah pembubarannya diucapkan, eksistensinya tetap
ada dengan dengan catatan bahwa posisinya itu dalam stadium likuidasi
(pemberesan). Hak yang dimilikinya harus direalisasikan dan kewajiban yang dipikul
wajib dipenuhi. Perusahaan tidak boleh lagi melakukan hak dan kewajibannya itu.
Perusahaan itu ada sepanjang diperlukan untuk pemberesan.7
Pembubaran Perseroan menurut hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 143
ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mempunyai
arti :
a. Penghentian kegiatan usaha Perseroan;
b. Namun penghentian kegiatan usaha itu, tidak mengakibatkan status hukumnya
hilang; dan
c. Perseroan yang dibubarkan baru kehilangan status badan hukumnya, sampai
selesainya likuidasi, dan pertanggung jawaban likuidator proses akhir
likuidasi diterima oleh RUPS, Pengadilan Negeri, atau Hakim Pengawas.
Berdasarkan Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dinyatakan, pembubaran perseroan terjadi8 :
a. “Berdasarkan keputusan RUPS; b. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah
berakhir; c. Berdasarkan penetapan pengadilan;
7 Mariam Darus Badrulzaman dalam Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di
Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 168. 8 Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
6
d. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan Pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ; atau
f. Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Likuidasi (vereffening, winding-up) mengandung arti pemberesan
penyelesaian dan pengakhiran urusan Perseroan setelah adanya keputusan, apakah itu
berdasar keputusan RUPS, atau berdasar Penetapan Pengadilan yang menghentikan
atau membubarkan Perseroan. Selama penyelesaian pembubaran atau pemberesan
berjalan, Perseroan itu berstatus “Perseroan dalam Penyelesaian” yang oleh pasal 143
ayat (2) disebut Perseroan “Dalam Likuidasi”. Kata tersebut harus dicantumkan
dibelakang nama Perseroan pada setiap surat keluar Perseroan.9
Pengertian likuidasi yang disebutkan di atas, tidak jauh berbeda dengan apa
yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank.10 Disebutkan dalam Pasal
1 angka 4, bahwa yang dimaksud dengan likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian
seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan
pembubaran badan hukum bank. Ini berarti, likuidasi bank merupakan kelanjutan dari
tindakan pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank, begitu juga
dengan Perseroan Terbatas. Pada akhirnya akan ditunjuk suatu tim yang bertugas
9 Pasal 143 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Ibid. 10 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan
Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3831.
7
melakukan pemberesan Perseroan Terbatas yang telah dicabut izin usahanya oleh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Apabila terjadi pembubaran Perseroan baik berdasarkan keputusan RUPS,
karena jangka waktu berdiri yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah berakhir
atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga yang
telah berkekuatan hukum tetap, maka pembubaran itu wajib diikuti dengan likuidasi.
Pihak yang melakukan likuidasi dalam pembubaran Perseroan adalah Likuidator.
Salah satu tugas terberat dari likuidator dalam proses likuidasi perusahaan ini adalah
penyelesaian utang dan penagihan piutang perusahaan pada pihak ketiga.
Sebagaimana diketahui Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, dalam hal pengaturan tentang pembubaran dan likuidasi
perusahaan diatur dalam Bab X, dalam pasal-pasal tersebut sama sekali tidak
dijumpai adanya pengaturan tentang penyelesaian hutang piutang pada perusahaan
yang sedang dilikuidasi. Sehingga likuidator dalam melakukan penyelesaian hutang
piutang ini mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam proses
pembayaran hutang dan penagihan piutang inilah sering timbul konflik, yang
terkadang harus diselesaikan melalui jalur hukum dengan proses gugat-menggugat di
Pengadilan. Dalam proses pembayaran utang dan penagihan piutang ini sering timbul
konflik, yang terkadang harus diselesaikan melalui jalur hukum di Pengadilan.
Ada perbedaan signifikan antara kondisi kesulitan keuangan, kebangkrutan
(pailit) dan likuidasi. Perusahaan dikatakan mengalami kesulitan keuangan jika
perusahaan tidak mampu membayar kewajibannya sesuai dengan tenggang waktu
yang telah disepakati. Pada umumnya, kesulitan keuangan diawali dengan
8
tertundanya pembayaran utang pemasok, kemudian diikuti dengan terlambatnya
pembayaran bunga pinjaman dan diakhiri dengan katidakmampuan perusahaan
membayar pokok pinjaman pada bank atau kreditor lainnya. Restrukturisasi utang
dapat menjadi solusi untuk kondisi ini. Pihak perusahaan dapat melakukan negosiasi
dengan para kreditor untuk memberikan kemudahan dengan cara menurunkan suku
bunga kredit, memperpanjang jangka waktu pinjaman, atau bahkan sampai
disetujuinya tidak dibebankan bunga pinjaman selama periode tertentu. Pada
dasarnya, masa-masa kesulitan keuangan menyebabkan para kreditor menjadi
disibukkan untuk mencari cara agar pinjaman yang telah diberikan nantinya tetap
dapat dikembalikan oleh peminjam.11
Istilah kebangkrutan (kapailitan) sering dirancukan dengan istilah likuidasi.
Hati-hati dengan istilah bangkrut. Kondisi kebangkrutan bisa berarti bahwa
perusahaan sedang melakukan proses reorganisasi di bawah pengawasan pengadilan.
Dalam literatur dari Amerika Serikat terkenal dengan istilah Chapter 11.12 berbeda
dengan literatur dari Inggris, istilah bangkrut hanya diterapkan untuk individu, bukan
perusahaan. Untuk perusahaan, mereka mengenal istilah insolvensi.13
11 Candra Dermawan, “Kesulitan Kuangan, Kebangkrutan, dan Likuidasi”,
http://candra.us/blog/?p=91., diakses pada 14 Maret 2011. 12 Chapter 11 adalah Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat atau populer dengan
sebutan Chapter 11 adalah satu peraturan tentang Reorganisasi sesuai dengan hukum kepailitan Amerika Serikat. Bidang usaha berbentuk apapun bisa meminta perlindungan Chapter 11 Undang-Undang Kepailitan termasuk perseroan, perusahaan perseorangan, atau perorangan yang memiliki utang tanpa jaminan paling sedikit US$. 336.900,- atau utang beragun paling sedikit US$. 1.010.650,-. Walaupun demikian, perlindungan Chapter 11 ini sebagian besar hanya diajukan oleh badan perseroan. Dalam Wikipedia, ”Chapter 11 Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat”, http://id.wikipedia.org/wiki/Bab_11_Undang-Undang_Kepailitan_Amerika_Serikat., diakses pada 14 Maret 2011.
13 Candra Dermawan, Loc.cit.
9
Jadi apabila manajer mengatakan bahwa perusahaannya mengalami
kebangkrutan (Chapter 11), berarti perusahaan masih memiliki 2 pilihan. Pertama,
perusahaan akan membaik. Perusahaan dapat melewati krisis keuangan dan keluar
dari kebangkrutan sebagai perusahaan yang sehat. Istilahnya, perusahaan mengalami
turn around. Kedua, perusahaan harus dilikuidasi atau perusahaan mengalami kondisi
upside down. Istilah likuidasi (Chapter 7)14 berarti proses penjualan harta dibawah
pengawasan pengadilan. Teori keuangan mengatakan bahwa likuidasi terjadi karena 2
hal. Pertama, memang karena perusahaan dalam kesulitan keuangan. Kedua, likuidasi
dilakukan karena untuk memaksimumkan kekayaan pemilik. Meskipun perusahaan
dalam keadaan sehat, tetapi jika nilai jual harta sekarang melebihi going concern-nya,
maka pemilik bisa melikuidasi perusahaan.15
Pada tulisan ini, penulis mengambil contoh kasus pada proses likuidasi
PT.Schutter Indonesia.Likuidasi ditempuh oleh PT. Schutter Indonesia pada tahun
2006. Setelah Perusahaan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
untuk membubarkan Perusahan, dan dilanjutkan RUPS tersebut untuk menentukan
likuidator. Selanjutnya likuidator bekerja untuk melikuidasi perusahaan, dan dalam
melaksanakan likuidasi ini, likuidator masih berpedoman pada Undang-Undang No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas16 dan dalam proses likuidasi PT. Schutter
14 Chapter 7 adalah suatu proses kebangkrutan dimana perusahaan memberhentikan semua
operasi dan keluar dari bisnis atau bidang usaha tersebut. Seorang likuidator ditunjuk untuk melikuidasi (menjual) aset perusahaan, dan uang tersebut digunakan untuk melunasi utang perusahaan. Dalam Investopedia, “Chapter 7”, http://www.investopedia.com/terms/c/chapter7.asp., diakses pada 14 Maret 2011.
15 Ibid. 16 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587.
10
Indonesia terdapat beberapa masalah dalam penyelesaian utang dan penagihan
piutang perusahaan, seperti adanya utang perusahaan kepada pemegang saham dan
adanya piutang perusahaan kepada pemegang saham.17
Proses likuidasi dapat diselesaikan dengan penyelesaian melalui pengadilan
(formal) atau penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan (informal). Sebagian besar
perusahaan Indonesia memilih penyelesaian informal. Dalam resolusi informal,
perusahaan dapat merestrukturisasi harta atau kewajibannya tanpa harus mengikuti
hukum kepailitan. Sebagai contoh : perusahaan dapat menjual beberapa hartanya
untuk melunasi kewajiban-kewajibannya. Dalam restrukturisasi kewajiban,
perusahaan mencoba untuk mencari investor baru atau melakukan debt to equity
swap. Pilihan yang terakhir menyebabkan pemberi hutang berubah status menjadi
pemilik perusahaan.18
Masalah utama pada penjualan harta adalah pasar yang tidak likuid.
Perusahaan menghadapi kesulitan menjual harta pada harga yang layak. Pembeli
potensial yang ingin membeli dengan harga terbaik adalah perusahaan-perusahaan di
industri yang sama. Jika perusahaan pesaing juga terkena dampak penurunan industri
sehingga mereka juga dalam kesulitan likuiditas, maka harga jual harta bisa
tertekan.19
Resolusi formal melibatkan pengadilan sebagai pengawas proses resolusi.
Pengadilan mencoba untuk membagi wewenang dan tanggung jawab setiap kreditor
17 Iskandar, Aziarni Hasibuan & Partners, “Laporan Pertanggungjawaban Likuidator PT.
Schutter Indonesia (Dalam Likuidasi)”, Medan, 18 Feburari 2008. 18 Candra Dermawan, Op.cit. 19 Ibid.
11
dengan tujuan tercapainya penyelesaian yang cepat dan terbaik. Negara-negara yang
mengadopsi hukum (common law) seperti, Amerika Serikat, Inggris dan negara-
negara bekas jajahannya lebih memilih menggunakan pendekatan formal. Pada
umumnya negara yang menganut common law lebih memberikan kepastian hukum
sehingga penyelesaian lewat hukum mampu memberi resolusi yang efisien. Alasan
yang sebaliknya terjadi mengapa negara-negara yang akar hukumnya berasal dari
civil law (hukum sipil), termasuk Indonesia, lebih memilih menggunakan
penyelesaian informal.20
Pemilihan penyelesaian masalah keuangan ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Bank Dunia (1999). Dibanding 5 negara di Asia (Indonesia, Korea,
Philipina, Malaysia, dan Thailand), perusahaan Indonesia memiliki persentase
terkecil dalam hal memanfaatkan resolusi formal. Dari 66 perusahaan kesulitan
keuangan yang menjadi subjek observasi yang dilakukan oleh Bank Dunia, hanya 2
(3.03%) perusahaan Indonesia yang melakukan reorganisasi formal. Sebagai
bandingan, perusahaan di Korea (22.41%), Malaysia (7.09%), Philipina (5%), dan
Thailand (22.6%) memiliki angka yang lebih tinggi. Sekali lagi, alasan utama yang
mendasari pemilihan itu adalah sistem hukum yang tidak berjalan dengan baik,
sehingga perusahaan ‘enggan’ memilih berurusan dengan pengadilan. Padahal,
penegakan hukum akan sangat membantu kreditor untuk menyelesaikan masalah
kebangkrutan perusahaan. Dengan penyelesaian yang efisien, nilai perusahaan
20 Ibid.
12
diharapkan tidak terdistorsi percuma. Untuk itu, pemerintah perlu terus memperbaiki
sistem dan penegakan hukum di Indonesia.21
Likuidasi mungkin tampak seperti proses yang ideal bagi direksi perusahaan
yang ingin menutup atau mengakhiri perusahaan. Prosedur likuidasi dapat
mempengaruhi masa depan semua yang terlibat terutama jika perusahaan mengalami
masalah selama dalam masa likuidasi. Jika dapat ditemukan prosedur yang salah
selama masa likuidasi maka dapat memiliki efek negatif bagi masa depan untuk
semua pihak yang terkait.22
Dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a.,23 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Jo.
Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,
tidak ada ditentukan kapan likuidator tersebut harus ditunjuk sehingga yang terjadi
adalah Perseroan Terbatas sudah dibubarkan namun likuidator belum diangkat tapi
yang dilakukan adalah penunjukan Pelaksana Tugas Direktur. Sebenarnya menurut
ketentuan hukum ini harus ditunjuk likuidator untuk melakukan likuidasi. Inilah yang
sering terjadi di dunia usaha. Setelah ditunjuk Pelaksana Tugas Direktur maka
beberapa bulan kemudian barulah diangkat likuidator. Sementara itu, pada saat
kepengurusan oleh Pelaksana Tugas Direktur banyak sekali kebijakan-kebijakan yang
dibuat tidak menguntungkan perseroan. Kebijakan tersebut merugikan dalam bentuk
21 Ibid. 22 “Perusahaan – Company Profil – Setelah sebuah Perusahaan Likuidasi Sukarela”,
http://www.companyprofil.com/perusahaan-company-profil-setelah-sebuah-perusahaan-likuidasi-sukarela.html., diakses pada 14 Maret 2011.
23 Pasal 142 ayat (2) huruf a., Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit., menyatakan bahwa : ”Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) : a. Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator”.
13
penggelapan aset perusahaan. Penggelapan aset itu menjadi hambatan bagi likuidator
untuk melakukan pembayaran utang kepada pihak ketiga/kreditur.
Kesulitan selanjutnya adalah dalam Pasal 147 ayat (3) Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas24 telah ditentukan menenai jangka waktu
pengajuan tagihan oleh kreditor, namun sering terjadi kreditor baru melakukan
penagihan setelah jangka waktu tersebut berlalu. Hal ini adalah problem dalam
melikuidasi perseroan terbatas oleh likuidator.
Beberapa perusahaan mungkin ingin memulai usaha baru setelah likuidasi
tetapi hal ini dapat sulit dicapai. Hal tersebut sulit dicapai karena likuidasi memiliki
dampak negatif terhadap reputasi perusahaan. Namun, beberapa perusahaan mungkin
dalam posisi yang nyaman untuk memulai bisnis lagi terutama jika sebelumnya
melewati Anggota Sukarela Likuidasi yang biasanya dilakukan oleh perusahaan.
Likuidasi kadang-kadang menjadi proses yang sulit.25 Dalam rangka untuk
menghindari masalah di kemudian hari perusahaan PT. Schutter Indonesia mencari
bantuan dari praktisi insolvensi untuk melakukan likuidasi.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
tesis yang mengangkat judul ”Analisis Hukum Penyelesaian Hutang Piutang
Perseroan Terbatas Dalam Likuidasi”.
24 Pasal 147 ayat (3), Ibid., menyatakan bahwa : “Jangka waktu pengajuan tagihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d., adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
25 Ibid.
14
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka pada tulisan ini didapat
3 (tiga) permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan mengenai penyelesaian hutang-piutang terhadap
perseroan terbatas yang dilikuidasi?
2. Bagaimana penentuan Likuidator pada Perusahaan yang sedang dalam tahap
Likuidasi menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas?
3. Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai Likuidator dalam penyelesaian
hutang piutang terhadap likuidasi Perusahaan Terbatas?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis hukum penyelesaian hutang
piutang perseoan terbatas dalam likuidasi. Dari rumusan masalah yang disebutkan di
atas, maka tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui pengaturan penyelesaian hutang-piutang terhadap
perseroan terbatas yang dilikuidasi;
2. Untuk mengetahui penentuan Likuidator pada Perusahaan yang sedang dalam
tahap Likuidasi menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas; dan
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang sering dijumpai Likuidator pada
penyelesaian hutang piutang terhadap likuidasi perseroan terbatas.
15
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini memberikan manfaat kepada Perseroan Terbatas,
Praktisi Hukum, akademisi, dan dapat memperkaya literatur di perpustakaan. Ada dua
manfaat yang tersirat, yaitu manfaat :
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan masukan bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.
b. Memperkaya literatur di perpustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam
melakukan likuidasi terhadap perusahaan.
b. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi Hukum yang menjadi likuidator,
dalam hal melakukan likuidasi suatu perusahaan agar sistem hukum dapat
berjalan dengan baik.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang didapat melalui penelusuran kepustakaan pada
repository.usu.ac.id., bahwa penelitian dengan judul : ”Analisis Hukum Penyelesaian
Hutang Piutang Perseroan Terbatas dalam Likuidasi” tidak pernah dilakukan. Namun,
apabila digunakan kata kunci ”hutang piutang + likuidasi perusahaan” sebagai
pencarian, maka hasil yang didapat antara lain :
1. Elvira Dewi Ginting, ”Analisis Hukum Mengenai Pengaturan Reorganisasi
Perusahaan Dalam Kaitannya dengan Hukum Kepailitan”, (Tesis : Sekolah
16
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005). Tesis ini membahas
mengenai manfaat reorganisasi perusahaan dan pengaturan reorganisasi
perusahaan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dibimbing
oleh Bismar Nasution, Keizerina Devi, dan Sunarmi; dan
2. Manahan M. P. Sitompul, ”Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan
Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi :
Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)”, (Disertasi :
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009). Disertasi ini
membahas mengenai kinerja lembaga mediasi, sebab-sebab kegagalan upaya
penyelesaian sengketa utang-piutang perusahaan dengan perdamaian melalui
Kepailitan dan PKPU, perbandingan pengaturan reorganisasi perusahaan di
Amerika. Dibimbing oleh Mariam Darus Badrulzaman, Amiruddin Abdul
Wahab, dan Bismar Nasution.
Penulisan penelitian ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang
berbeda. Begitu juga dengan kajiannya berupa penyelesaian hutang-piutang perseroan
terbatas dalam hal perusahaan likuidasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Pertanggungjawaban tersebut dapat berupa isi dan contoh kasus yang
dipaparkan dalam tesis ini.
17
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori atau teori yang digunakan adalah untuk menjawab
permasalahan yang disebutkan di atas, yaitu : mengenai pengaturan penyelesaian
hutang-piutang pada perseroan terbatas yang dilikuidasi; pelaksanaan penentuan
likuidator; hambatan-hambatan yang ditemukan oleh likuidator. Perkembangan ilmu
selalu dipengaruhi oleh penemuan baru dalam hal metodologi, kontinuitas penelitian
dan kesinambungan eksistensi ilmu itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya suatu
teori yang menjelaskan hubungan di antara data dan fakta walaupun tidak begitu
sempurna tetapi memberi pedoman tentang cara penelitian, tujuan penelitian serta
pengumpulan data.26
Teori akan berfungsi untuk memberikan petunjuk atas gejala-gejala yang
timbul dalam penelitian. Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang
berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun
meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan
benar.27 Teori sebenarnya merupakan suatu generalisasi yang dicapai setelah
mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup faktor yang sangat
luas. Kadang-kadang dikatakan orang, bahwa teori itu sebenarnya merupakan ”an
elaborate hypothesis”, suatu hukum akan terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan
diterima oleh ilmuwan, sebagai suatu keadaan yang benar dalam keadaan-keadaan
26 Manahan M. P. Sitompul, “Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)”, (Disertasi : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 42.
27 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 27., sebagaimana dikutip Ibid.
18
tertentu.28 Seperti yang dikemukakan oleh James E. Mauch, Jack W. Birch, sebagai
berikut29 :
”Theory explains the relations among facts, though not completely. In turn, they guide research procedures, objectives and data collection. In (this) general sense, every thesis or disertation proposal should be based on theory”. Kerangka teori dan kerangka konsep dalam penelitian ini akan dikemukakan
beberapa teori yang dapat memberikan pedoman dan arahan untuk tercapainya tujuan
penelitian ini yang berasal dari pendapat para ilmuwan dan selanjutnya disusun
beberapa konsep yang bersumber dari berbagai peraturan dan perundang-undangan
yang menunjang tercapainya tujuan penelitian ini. Teori hukum dimaksud adalah
teori kepastian hukum dan teori manfaat hukum.
Kepastian hukum (rule of law) secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian
kepastian hukum menjadi sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan dapat berbentuk konstelasi norma, reduksi norma atau distorsi
norma. Menurut David M. Trubek, rule of law merupakan30 :
”hal penting bagi pertumbuhan ekonomi dan membawa dampak yang luas bagi reformasi sistem ekonomi di seluruh dunia yang berdasarkan pada teori
28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press.,
1996), hal. 126-127. 29 James E. Maruch, Jack W. Birch, Guide To The Succesful Thesis and Disertation, Books in
Library and Information Science, (New York : Marcel Dekker Inc., 1993), hal. 102., sebagaimana dikutip Ibid.
30 Bismar Nasution, “Modul Perkuliahan : Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 7.
19
apa yang dibutuhkan untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam perubahan ekonomi”. Selanjutnya Adam Smith, sebagai bapak perekonomian modern telah
melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice) mengatakan bahwa tujuan keadilan
adalah untuk melindungi dari kerugian (”the end of justice is to secure from
injury”).31 Setiap perusahaan yang akan dilikuidasi sudah pasti ingin menghindari
kerugian yang akan dialaminya di kemudian hari. Jadi, dengan begitu akan tercapai
keadilan bagi pengurus, pengawas, maupun pemegang saham perusahaan.
Penyelesaian hutang piutang juga tidak luput dari teori hukum ini, bahwa hutang yang
harus dibayar tercapai kesepakatan yang bersifat win-win solution. Piutang yang
ditagih juga harus berkeadilan bagi debitor dan kreditornya. Tata cara penagihan
piutang dan pembayaran hutang tersebut dilakukan agar terhindar dari kerugian
(potential losses).
Salah satu unsur rule of law yang dapat mendorong tingkat pertumbuhan
ekonomi adalah kepastian hukum yaitu kepastian berusaha. Lamanya prosedur dalam
berusaha mengakibatkan sulitnya pertumbuhan ekonomi. Banyak aturan yang
tumpang tindih mengakibatkan prosedur yang lama, berbelit-belit dan ekonomi biaya
tinggi. Data yang terkait dengan korupsi, belum berjalan, e-governement dan
transparansi. Aspek certainty dan predicttbiliy belum dilaksanakan secara
menyeluruh. Kepastian berusaha serta aturan-aturan yang akan ditetapkan harus
melalui proses keterbukaan dan terutama tidak berlaku surut tanpa alasan yang jelas
31 Ibid.
20
serta tidak diubah dari waktu ke waktu (predictable), sehingga pengusaha dapat
menyesuaikan kegiatan usahanya berdasarkan aturan dan kebijakan yang sudah ada.32
Dengan terselesaikannya hutang piutang dari perseroan terbatas yang
dilikuidasi, selanjutnya akan tercipta kemanfaatan hukum bagi pihak yang terkait di
dalamnya. Adapun teori manfaat hukum disebut juga dengan teori utilitarian yang
dikemukakan oleh Jeremy Bentham (”greatest amount of happiness for the greatest
number of people”). Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat
yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai
baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan.33 Dalam
hal penyelesaian hutang piutang perseroan terbatas yang dilikuidasi haruslah
memperoleh hasil yang baik. Maksudnya adalah menekan pihak-pihak yang
menderita kerugian, demi kelancaran proses likuidasi dan orang-orang yang terkait di
dalamnya.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan dari berbagai kegiatan
manusia, dimana hukum itu harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat
berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi berbagai pelanggaran
terhadap hukum. Dalam hal ini hukum harus ditegakkan. Penegakan hukum atau yang
dikenal dengan law enforcement merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan
32 Ibid. 33 Bryan Magee, The Story Of Philosophy : Kisah Tentang Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius,
2008), hal. 182.
21
suatu perlindungan dan kepastian hukum. Melalui penegakan hukum itu menjadi
suatu kenyataan yang hidup di dalam masyarakat.34
Terkait dengan penyelesaian hutang piutang perseroan terbatas dalam
likuidasi adalah untuk menegakkan hukum yaitu ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf
a., bahwa setiap terjadi pembubaran Perseroan harus diikuti dengan likuidasi yang
dilakukan oleh likuidator atau kurator. Walaupun sudah ditentukan hal tersebut oleh
ketentuan perundang-undangan namun perseroan terbatas yang ada tetap melakukan
penunjukan Pelaksana Tugas Direksi. Hal ini terjadi karena tidak adanya bagian
hukum, atau orang yang mengerti hukum yang bekerja di perusahaan tersebut. Jadi,
karena kebiasaan memberikan tugas kepada karyawan dengan cara membuat surat
kuasa maka sering disalahgunakan oleh Pelaksana Tugas Direktur tersebut.
Di dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan, di
antaranya35 : kepastian hukum (rectssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigheit), dan
keadilan (gerechtigheit). Kepastian hukum merupakan suatu perlindungan yustiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat
mengharapkan adanya kepastian hukum, dimana dengan kepastian hukum masyarakat
akan lebih tertib. Sebaliknya juga masyarakat mengharapkan manfaat dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah diciptakan untuk mengatur
manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat
34 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogjakarta : Liberty, 1995),
hal. 14., sebagaimana dikutip Budi Satrio, “Penegakan Hukum Pidana di Bidang Pasar Modal”, (Tesis: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
35 Ibid.
22
atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan
atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.
Jika kepastian hukum sudah tercapai maka kemanfaatan hukum, dan keadilan
hukum juga akan tercapai. Kaitannya dengan penyelesaian hutang piutang perseroan
terbatas yang dilikuidasi adalah apabila ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a., sudah
ditegakkan dari awal pembubaran perseroan maka akan tidak ada masalah
kedepannya seperti penyalahgunaan wewenang Pelaksana Tugas Direksi dan
penggelapan aset perusahaan. Hal ini akan meminimalisir kerugian yang diderita oleh
Perseroan. Oleh karena perseroan tidak menegakkannya maka akibat hukum yang
dialami adalah adanya hambatan-hambatan likuidator pada saat melikuidasi perseroan
terbatas.
Pada akhirnya keadilan juga sangat berperan penting di dalam pelaksanaan
dan penegakan hukum di masyarakat. Jangan ada keberpihakan hukum terhadap salah
satu kepentingan selain kepentingan-kepentingan bersama yang hidup di dalam
masyarakat. Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan
menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna
menjamin penataan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut
Satjipto Rahardjo penegakan hukum adalah ”suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang
yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan”.36 Secara
konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
36 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, (Bandung : Sinar Baru, 1988), hal. 24.,
sebagaimana dikutip Budi Satrio, Op.cit.
23
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah dari sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan keberhasilan
penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti
netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolok
ukur dari efektivitas penegakaan hukum. Faktor-faktor tersebut antara lain37 :
1. ”Hukum (undang-undang); 2. Penegakan Hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum; 3. Semua atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup”.
Setelah mengetahui pengaturan dan pelaksanaan penyelesaian hutang piutang
pada perseroan terbatas yang dilikuidasi selanjutnya apa yang tertulis (das sollen)38
akan dipelajari untuk dilakukan pendekatan dengan contoh kasus yang dibahas pada
penelitian ini (das sein).39
37 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1983), hal. 5.
38 Das Sollen adalah sesuatu yang mengharuskan kita untuk berfikir dan bersikap. Contoh : norma, kaidah, dan sebagainya. Dapat diartikan bahwa das sollen merupakan kaidah dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan.
39 Das Sein adalah sesuatu yang merupakan implementasi dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat dipahami bahwa das sein merupakan peristiwa konkrit yang terjadi.
24
2. Kerangka Konsep
Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep
yang digunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi
operasional dari konsep-konsep yang digunakan, yaitu :
1. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas serta peraturan
pelaksanaannya.40
2. Hutang adalah kewajiban-kewajiban yang dibuat oleh perusahaan atau
perseroan terbatas dalam hal perdagangannya ataupun perikatan kontrak yang
dilakukan.
3. Piutang adalah hak-hak dari perseroan terbatas yang dibuat oleh perusahaan
karena adanya wanprestasi atau melanggar ketentuan dari kontrak kerja yang
sudah diperbuat.
4. Kreditor adalah pihak (perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah)
yang memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau
layanan jasa yang diberikan (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian)
dimana diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan
properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai
40 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit.
25
peminjam atau yang berhutang. Secara singkat dapat dikatakan pihak yang
memberikan kredit atau pinjaman kepada pihak lainnya.41
5. Debitor adalah pihak yang berhutang ke pihak lain, biasanya dengan
menerima sesuatu dari kreditor yang dijanjikan debitor untuk dibayar kembali
pada masa yang akan datang. Pemberian pinjaman kadang memerlukan juga
jaminan atau agunan dari pihak debitor. Jika seorang debitor gagal membayar
pada tenggat waktu yang dijanjikan, suatu proses koleksi formal dapat
dilakukan yang kadang mengizinkan penyitaan harta milik debitor untuk
memaksa pembayaran.42
6. Aktiva adalah sarana atau sumber daya ekonomik yang dimiliki oleh suatu
kesatuan usaha atau perusahaan yang harga perolehannya atau nilai wajarnya
harus diukur secara objektif.43
7. Passiva adalah pengorbanan ekonomis yang harus dilakukan oleh suatu
perusahaan pada masa yang akan datang, pengorbanan untuk masa yang akan
datang ini terjadi akibat kegiatan usaha kewajiban ini dibedakan menjadi
utang lancar dan utang jangka panjang.44
8. Likuidasi adalah pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi
pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa
41 Wikipedia, “Kreditor”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kreditur., diakses pada 22 Maret 2011. 42 Wikipedia, “Debitor”, http://id.wikipedia.org/wiki/Debitur., diakses pada 22 Maret 2011. 43 Jopie Jusuf, Analisis Kredit Untuk Account Officer, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1995). 44 “Definisi Aktiva & Pasiva”, http://rahasiaakuntansi.blogspot.com/2010/03/definisi-aktiva-
pasiva.html., diakses pada 22 Maret 2011.
26
kepada para pemegang saham. Likuidasi dilakukan dalam rangka pembubaran
badan hukum.45
9. Likuidator adalah orang atau badan yang berwenang untuk menyelesaikan
segala urusan yang berkaitan dengan pembubaran perusahaan. Likuidator
dapat ditunjuk oleh pengadilan atau Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS).46
10. Perusahaan Dalam Likuidasi adalah setelah suatu perusahaan dinyatakan
dalam dalam likuidasi oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau oleh
pihak-pihak lain maka selanjutnya perusahaan tersebut ditulis kata ”Dalam
Likuidasi” di belakang nama perusahaan tersebut.47
Kerangka konsep digunakan untuk mengabstraksikan gejala atau fenomena
yang akan diteliti. Penyelesaian hutang-piutang misalnya, adalah suatu konsep yang
dipakai untuk menggambarkan cidera janji atau ”wanprestasi”. Dengan kata lain,
konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat
dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Atau dapat pula
dikatakan bahwa konsep adalah suatu kata atau lambang yang menggambarkan
kesamaan-kesamaan dalam berbagai gejala walaupun berbeda. 48
45 Likuidasi, menurut Black’s Law Dictionary 6th Edition, yaitu : “with respect with winding
up of affairs of corporation, is process of reducing assets to cash, discharging liabilities and dividing surplus or loss. Occurs when a corporation distributes its net assets to its shareholders and ceases its legal existence”.
46 Pasal 152 ayat (1), Loc.cit. 47 Pasal 143 ayat (2), Ibid. 48 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004), hal. 27.
27
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian
dilakukan untuk mencari kegunaan atau mencari jawaban dari keingintahuan.
Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian
termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.49
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat
dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan
pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun
masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan
penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh
semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian
termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.50 Kejujuran ilmiah adalah kode
etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :
1. ”Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat; 3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan
cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan; 4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan
penghubung dengan pembaca; 5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan
sebagainya; 6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting; 7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak
menutupi kelemahan diri; 8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak
mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri;
49 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2. 50 Ibid.
28
9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain”. 51
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan juridis normatif.52 Objek penelitian adalah penyelesaian hutang piutang
perseroan terbatas dalam likuidasi, yang menjadi contoh untuk penelitian ini adalah
PT. Schutter Indonesia.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Pada penelitian hukum, tidak semua masalah-masalah kemasyarakatan dapat
dijadikan masalah dalam penelitian. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini
haruslah mengandung issu hukum yaitu masalah likuidasi PT. Schutter Indonesia.
Jadi, jenis penelitian yang digunakan adalah menggunakan pendekatan kasus (case
approach).53 Untuk selanjutnya akan dilakukan pendekatan peraturan perundang-
undangan (statute approach). Pendekatan ini adalah memisahkan dan
mengelompokkan mana yang merupakan kaidah hukum dan mana yang bukan kaidah
hukum.
Sedangkan sifat penelitian dari penulisan tesis ini adalah deskriptif yang
ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis mengenai gejala-
51 Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.
52 Adapun tahap-tahap dalam analisis yuridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
53 Pendekatan Kasus (case approach) adalah dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa.
29
gejala hukum terkait dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi studi
terhadap penyelesaian hutang-piutang dalam perseroan terbatas yang dilikuidasi.
2. Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian hukum dengan studi kasus yang dilakukan ini maka maka
sumber bahan hukum yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok,
yaitu :
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain : Undang-
Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing; Undang-Undang
No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan; Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal; Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas; Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas; Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank; Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata); dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
jurnal, buku-buku, makalah, serta karya ilmiah mengenai likuidasi, kepailitan,
30
reorganisasi perusahaan, dan restrukturisasi, berita, ulasan media, juga
sumber-sumber lain yang relevan dengan penyelesaian hutang-piutang
perseroan terbatas dalam likuidasi. Bahan hukum sekunder pada penelitian
hukum ini adalah Laporan Pertanggungjawaban Likuidator PT. Schutter
Indonesia (Dalam Likuidasi).
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, khususnya kamus-kamus hukum dan ekonomi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan tekhnik studi
kepustakaan54 (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang
dipandang relevan, antara lain mengenai hutang piutang dalam hukum keperdataan
dan perseroan terbatas dalam likuidasi. Perpustakaan yang digunakan adalah
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Cabang Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Kasus yang digunakan diambil dari likuidator langsung
PT. Schutter Indonesia sebagai contoh kasus pada tesis ini.
54 Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.
31
4. Analisis Data
Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan
sesuai dengan substansi yang diatur dengan mempertimbangkan relevansinya
terhadap rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan
prediktabilitas hukum, mencari keadilan hukum, perlindungan hukum, dan lain-lain.55
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah
dalam penyelesaian hutang piutang dan proses likuidasi perseroan terbatas. Teorisasi
induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian,
bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya teori dan
teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif – induktif adalah
penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan
data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut.56
55 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda, 2006), hal. 248,
dalam Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Ed. 1, Cet. 3, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 144-145.
56 Ibid., hal. 26-29.
32
BAB II
PENGATURAN PENYELESAIAN HUTANG PIUTANG TERHADAP PERSEROAN TERBATAS YANG DILIKUIDASI
Sebelum menguraikan mengenai pengaturan penyelesaian hutang-piutang
terhadap perseroan terbatas yang dilikuidasi. Ada baiknya dilakukan pengelompokan
variabel terhadap bab ini, yang terdiri dari : Penyelesaian Hutang, Hak Tagih Factor
atas Piutang Dagang dan Perseroan Terbatas yang dilikuidasi. Pada penyelesaian
hutang-piutang perusahaan biasanya dimulai dari perjanjian bisnis yang tidak
dijalankan dengan baik. Jika perjalanan bisnis tidak baik dalam hal ini merugi dan
tidak bisa ditutupi dengan daya apapun lagi maka perusahaan tersebut dapat
dilikuidasi. Sebelum dilikuidasi perusahaan tersebut harus menyelesaikan hutang
piutangnya terhadap pihak lain. Untuk pertama sekali yang akan dibahas adalah
mengenai Likuidasi Perseroan Terbatas.
Pengaturan mengenai Likuidasi Perseroan Terbatas dipengaruhi oleh
masuknya Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasii Perdagangan
Dunia).57 Sejak masuknya Indonesia ke WTO, pasar di Indonesia menjadi sangat
terbuka dan semakin mengurangi kebijakan-kebijakan yang restriktif. Peraturan
perundang-undangan di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh Amerika Serikat.
57 Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564.
33
Banyak peraturan yang diselaraskan dengan prinsip perdagangan bebas (structural
adjutment). Hal ini dapat dilihat dari disesuaikannya peraturan-peraturan yang
berlaku di Indonesia seperti Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak
Cipta, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentag Perbankan, dan lain sebagainya.58
A. Likuidasi Perseroan Terbatas di Amerika Serikat
Likuidasi Perseroan Terbatas di Amerika Serikat dapat dilihat pada Chapter 7,
Title 11 Bankruptcy Code. Pada peraturan tersebut mengatur mengenai proses
likuidasi berdasarkan hukum kepailitan Amerika Serikat. Sebaliknya, Chapter 11 dan
13 mengatur mengenai proses reorganisasi perseroan terbatas debitur dalam
kebangkrutan. Chapter 7 adalah bentuk paling umum dari kebangkrutan di Amerika
Serikat.59 Pada bulan April 2005, Kongres Amerika Serikat mengeluarkan sebuah
undang-undang baru yang efektif 17 Oktober 2005, yang berkaitan dengan
kebangkrutan pribadi. Peraturan-peraturan baru ini diharapkan mempersulit mereka
yang ingin menghapuskan atau merestrukturisasi hutang-hutang mereka, salah
satunya dengan cara membuat biaya-biayanya lebih tinggi.60
Pada bulan Mei 2003, kurang dari 2 (dua) tahun setelah dikeluarkannya
undang-undang tersebut. Strouds, suatu rantai usaha toko seprai dan peralatan rumah
58 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Studi Kesiapan dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Cetakan Kedua : Revisi, (Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008), hal. 487.
59 Investopedia, “Chapter 7”, Op.cit. 60 Robert D. Hisrich, Michael P. Peters, dan Dean A. Shepherd, Enterpreneurship
Kewirausahaan, Edisi 7, (Jakarta : Salemba Empat, Tanpa Tahun), hal. 738.
34
tangga, melaporkan kebangkrutan likuidasi Chapter 7. Rantai usaha yang berpusat di
Los Angeles itu tidak mampu menghadapi kompetisi dari Bed, Bath, & Beyond dan
Linens ’n Things, dalam perekonomian yang lemah. Rantai usaha itu didirikan lebih
dari 70 toko dengan lebih dari 1.500 pekerja di seluruh Amerika Serikat. Keputusan
untuk menutup perusahaan dibuat setelah perusahaan itu mengalami kerugian sebesar
US$. 8,8 juta selama 10 bulan terakhir operasinya.61
Pada tahun 1995, Edison Brothers Shoe Stores, dahulu salah satu rantai usaha
toko sepatu terbesar di Amerika Serikat, menyatakan kebangkrutannya. Sebagai
generasi ketiga dari dinasti Edison dengan gelar MBA dari Harvard University, pada
tahun 1999 Peter Edison mampu membeli produk terpenting yaitu rantai sepatu
Edison, Bakers Shoe, senilai US$. 8 juta. Dengan persediaan yang hanya cukup untuk
musim yang sedang berjalan dan sebuah citra label sepatu murah, ia memulai sebuah
strategi untuk merevitalisasi citra label tersebut. Ia menutup lusinan toko kurang
menguntungkan dan mengubah model toko-toko yang tersisa secara satu per satu agar
tampak seperti butik-butik kelas atas. Penjualan di toko-toko yang telah direnovasi
tersebut naik 50% dan bisnisnya secara perlahan memperoleh keuntungan.62
Kedua contoh kasus di atas membedakan antara likuidasi dan reorganisasi.
Likuidasi mengisyaratkan bahwa perusahaan tidak ingin untuk membuka perusahaan
lagi, sedangkan reorganisasi adalah bahwa perusahaan memperoleh pinjaman modal
kembali untuk bangkit dari keterpurukan. Namun, yang akan dibahas dalam riset
penelitian ini adalah mengenai likuidasi perseroan terbatas.
61 Ibid. 62 Ibid.
35
1. Alternatives to Chapter 7
Debitur harus menyadari bahwa ada beberapa alternatif untuk Chapter 7.
Sebagai contoh, debitur yang terlibat dalam bisnis, termasuk perusahaan, kemitraan,
dan perseorangan, mungkin lebih suka untuk tetap dalam bisnis dan menghindari
likuidasi. Debitur tersebut harus mempertimbangkan pengajuan permohonan pada
Chapter 11 dari Bankcruptcy Code. Dalam Chapter 11, debitur dapat meminta
penyesuaian hutang, baik dengan mengurangi hutang maupun dengan
memperpanjang waktu untuk pembayaran (dalam hal ini disebut Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang – PKPU), atau mungkin mencari reorganisasi yang
lebih komprehensif. Perusahaan perorangan juga mungkin memenuhi persyaratan
untuk bantuan di bawah Chapter 13 Bankcruptcy Code.63
Selain itu, debitur individu yang memiliki penghasilan tetap dapat meminta
penyesuaian hutang di bawah Chapter 13 dari Bankcruptcy Code. Sebuah keuntungan
tertentu dari Chapter 13 adalah bahwa pada peraturan tersebut menyediakan
kesempatan bagi debitur individu untuk menyelamatkan rumah debitur dari penyitaan
dengan mengizinkan debitur untuk “mengejar” pembayaran yang tertunggak melalui
rencana pembayaran. Selain itu, pengadilan dapat memberhentikan Chapter 7, kasus
yang diajukan oleh individu yang memiliki hutang terutama konsumen daripada
hutang bisnis jika pengadilan menemukan bahwa pemberian bantuan akan menjadi
penyalahgunaan Chapter 7, Title 11, United State Code § 707 (b).64
63 United States Courts, “Chapter 7 : Liquidation Under the Bankruptcy Code”,
http://www.uscourts.gov/FederalCourts/Bankruptcy/BankruptcyBasics/Chapter7.aspx., diakses pada 08 Mei 2011.
64 Ibid.
36
Jika “penghasilan debitur pada bulan pengajuan likuidasi” debitur65 :
1. Lebih dari pendapatan rata-rata per kapita, Bankcruptcy Code mensyaratkan
penerapan “means test” untuk menentukan apakah Chapter 7 disalahgunakan
atau tidak. Penyalahgunaan dianggap jika pendapatan pemohon bulanan
debitur saat ini selama 5 (lima) tahun, setelah dikurangi biaya statutorily
tertentu diperbolehkan, adalah lebih dari : (i) US$. 11.725,- atau (ii) 25% dari
hutang non-priority tanpa jaminan debitur, selama jumlah yang setidaknya
US$. 7.025,-;
2. Debitur mungkin membantah dugaan penyalahgunaan ketentuan Likuidasi
tersebut hanya dengan menunjukkan keadaan khusus yang membenarkan
biaya tambahan atau penyesuaian penghasilan bulanan saaat ini. Kecuali
debitur mengatasi dugaan penyalahgunaan, kasus ini umumnya akan
dikonversi ke Chapter 13 (dengan persetujuan debitur) atau akan
diberhentikan menurut Title 11, United State Code § 707 (b) (1);
Debitur juga harus menyadari bahwa perjanjian di luar pengadilan dengan
kreditur atau debt counseling dapat memberikan alternatif untuk pengajuan
kebangkrutan selanjutnya.66
2. Latar Belakang Likuidasi
Sebuah perkara Likuidasi yang diatur dalam Chapter 7 tidak melibatkan
rencana pembayaran seperti yang termaksud dalam Chapter 13. Sebaliknya,
65 Ibid. 66 Ibid.
37
likuidator mengumpulkan dan menjual aset-aset debitur dan menggunakan hasil
penjualan tersebut untuk membayar hutang atas klaim kreditur sesuai dengan
ketentuan Bankruptcy Code. Bagian aset debitur dapat mengganggu hak gadai dan
hipotek yang diperjanjikan kepada kreditur lainnya. Selain itu, Bankruptcy Code akan
memungkinkan debitur untuk menjaga sisa aset tertentu, tetapi likuidator akan
melikuidasi aset debitur yang tersisa. Dengan demikian calon debitur harus
menyadari bahwapengajuan permohonan melalui Chapter 7 – Likuidasi dapat
mengakibatkan kerugian harta benda.67
Di dalam Bankcruptcy Code jika dianalogikan dengan peraturan perundangan
di Indonesia, maka Chapter 7 adalah Likuidasi dan Tata Caranya, Chapter 13 adalah
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan Chapter 11 adalah
Reorganisasi Perusahaan. Melalui proses likuidasi di Amerika Serikat sudah pasti
menyebabkan kerugian harta benda karena pembayaran-pembayaran hutang kepada
pihak lain yang melakukan hubungan dagang dengan pemohon likuidasi.
3. Chapter 7 Eligibility
Untuk memenuhi persyaratan pada bantuan Likuidasi – Chapter 7,
Bankruptcy Code, debitur mungkin seorang individu, kemitraan, atau korporasi atau
badan usaha lain sesuai dengan 11 United State Code § § 101 (41), 109 b. Tunduk
pada tes-tes yang diajukan berarti yang dijelaskan di atas untuk debitur perorangan,
bantuan tersedia untuk Chapter 7 terlepas dari jumlah hutang debitur atau apakah
debitur adalah bangkrut. Seorang individu tidak dapat mengajukan permohonan
67 Ibid.
38
Chapter 7 atau Chapter lainnya, namun, jika selama 180 hari sebelum permohonan
pailit sebelum diberhentikan karena kegagalan disengaja debitur untuk tampil di
depan pengadilan atau mematuhi perintah pengadilan, atau debitur secara sukarela
diberhentikan kasus sebelumnya setelah kreditur mencari bantuan dari pengadilan
kepailitan untuk memulihkan properti dimana debitur memegang hak gadai
(11 United State Code § § 109 g., 362 d., dan e.). Selain itu, individu tidak mungkin
menjadi debitur pada Chapter 7 atau Chapter pada Bankruptcy Code kecuali atas
permohonannya sendiri dan dalam waktu 180 hari sebelum pengajuan likuidasi,
menerima konseling kredit dari lembaga kredit yang disetujui konseling baik dalam
individual ataupun grup konseling (11 United State Code. § § 109, 111). Ada
pengecualian dalam situasi darurat atau dimana U.S. Trustee (atau administrator
kepailitan) telah menetapkan bahwa ada lembaga yang cukup menyediakan konseling
yang dibutuhkan. Jika suatu manajemen utang (PKPU) dikembangkan selama
konseling kredit diperlukan, maka harus diajukan kepada Pengadilan.68
Salah satu tujuan utama dari kebangkrutan adalah untuk kejujuran terhadap
hutang debitur tertentu adalah sebuah “fresh start”. Debitur tidak memiliki kewajiban
pembayaran hutang. Dalam hal Chapter 7, bagaimanapun, discharge hanya tersedia
untuk debitur individual, bukan untuk kemitraan atau perusahaan (11 United State
Code § 727 a., 1). Meskipun Chapter 7 individu biasanya menghasilkan debit hutang,
hak untuk melepaskan adalah tidak mutlak, dan beberapa jenis hutang yang tidak
68 Ibid.
39
habis dibayarkan. Selain itu, debit kepailitan tidak memadamkan hak pada properti
yang dimiliki debitur.69
Chapter 7 Eligibility adalah studi kelayakan terhadap subjek hukum yang
akan dilikuidasi. Studi kelayakan tersebut berupa penghitungan hutang-piutang
pemohon (debitur) terhadap aset yang dimiliki. Biasanya aset yang dimiliki lebih
sedikit dari pada hutang yang ada. Dengan demikian studi kelayakan dipandang perlu
untuk melakukan penghitungan tersebut. Jadi, mengecilkan kemungkinan subjek
hukum yang sanggup membayar namun menyalahgunakan peraturan Likuidasi ini. Di
Amerika Serikat, pemerintah bertanggung jawab penuh kepada setiap subjek hukum
yang melakukan suatu usaha perdagangan, salah satu contohnya dapat dilihat pada
peraturan-peraturan mengenai likuidasinya bahwa pemerintah tidak lepas tangan
terhadap pemohon (debitur) yang akan melakukan likuidasi.
Campur tangan pemerintah kental sekali jika dilihat dalam peraturan likuidasi
yang diatur dalam Chapter 7 tersebut. Hal ini diupayakan agar tercipta kepastian
hukum yang baik. Terkait dengan teori yang digunakan dalam penulisan riset ini,
David M. Trubek, rule of law yang dapat mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi
adalah kepastian hukum yaitu kepastian berusaha.
4. How Chapter 7 Works (Cara Kerja Chapter 7)
Kasus likuidasi pada Chapter 7 dimulai dengan debitur mengajukan
permohonan untuk likuidasi pada Bankcruptcy Court (Pengadilan Kepailitan di
Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia disebut Pengadilan Niaga). Pengadilan
69 Ibid.
40
tersebut terletak di wilayah tempat tinggal debitur ataupun usaha dan aset yang paling
besar dimiliki. Ada 3 (tiga) persyaratan permohonan debitur yang harus diajukan,
antara lain70 :
1. Schedule of Assets and Liabilites (Laporan Keuangan);
2. Schedule of Current Income and Expenditures (Laporan Laba Rugi); dan
3. A Statement of Financial Affairs (Pernyataan dari Lembaga Keuangan).
4. A Schedule of Executory Contracts and Unexpired Leases (Kontrak-Kontrak
Perjanjian yang dibuat dan belum berakhir). Poin ini adalah tambahan.
Debitur juga harus menyediakan trustee (kurator) yang ditugaskan melalui
salinan pengembalian pajak atau transkrip untuk tahun pajak yang terbaru serta pajak
pada saat pengajuan likuidasi (termasuk pengembalian pajak untuk tahun sebelumnya
yang belum mengajukan saat permohonan diajukan) (11 United State Code § 521).
Debitur dengan hutang yang dimiliki konsumen, konsumen harus mengajukan
dokumen-dokumen sebagai bukti yang diajukan sebagai persyaratan pengajuan
tambahan. Debitur dan konsumen yang memiliki hutang harus memeriksa kebenaran
dokumen yang diajukan berdasarkan konseling kredit, bukti pembayaran dari debitor
jika ada, diterima 60 hari sebelum pengajuan. Sebuah laporan laba bersih per bulan
dan setiap peningkatan dalam pendapatan atau biaya yang timbul akibat pengajuan,
dan catatan kepentingan debitur memiliki kualifikasi pendidikan formal atau
pendidikan negara bagian. Contoh : seorang suami dan istri dapat mengajukan
permohonan petisi bersama atau perorangan (11 United State Code § 302 a.). bahkan
70 Ibid.
41
jika pengajuan bersama, suami dan istri tunduk pada semua persyaratan dokumen
pengajuan debitur individu (formulir pengajuan dapat dibeli di toko buku, atau di
download melalui internet.71
Pengadilan harus mengenakan biaya untuk pengajuan permohonan tersebut
yaitu US$. 245,- biaya US$. 39,- administrasi lainnya, dan biaya tambahan trustee
US$. 15,-. Biasanya, biaya yang harus dibayarkan kepada panitera pengadilan atas
pengajuan pemrohonan tersebut. Dengan izin pengadilan, bagaimanapun, debitur
dapat membayar biaya tersebut secara mengangsur (28 United State Code § 1930 a.).
Angsuran tersebut dapat dilakukan sebanyak 4 (empat) kali selama 120 hari setelah
formulir permohonan diajukan. Pengadilan juga dapat memperpanjang masa angsuran
atas biaya tersebut selama 180 hari setelah pengajuan permohonan. Debitur juga
dapat membayar biaya administrasi US$. 39,- dan surcharge trustee US$. 15,-
dengan angsuran. Jika permohonan bersama yang diajukan maka hanya 1 (satu) biaya
yang akan dibayarkan. Debitur harus menyadari bahwa kegagalan untuk membayar
biaya perkara tersebut dapat mengakibatkan pemberhentian kasus tersebut (11 United
Stated Code § 707 a.).72
Jika penghasilan debitur kurang dari 150% dari tingkat kemiskinan
(sebagaimana didefinisikan dalam Bankruptcy Code), dan debitur tidak dapat
membayar biaya Chapter 7 bahkan dengan angsuran, maka pengadilan dapat
71 Ibid. 72 Ibid.
42
mengenyampingkan persyaratan biaya harus dibayar (28 United Stated Code
§ 1930 f.).73
Untuk melengkapi Official Bankruptcy Forms yang terdiri dari laporan
keuangan, jadwal pembayaran hutang, debitur harus memberikan informasi tambahan
sebagai berikut74 :
1. Daftar semua kreditur dan jumlah dan sifat klaim kreditur;
2. Sumber, jumlah, dan frekuensi pendapatan debitur;
3. Daftar semua harta debitur, dan
4. Sebuah daftar rinci dari biaya bulanan debitur, seperti : biaya pengeluaran
sewa bangunan tempat usaha; rekening air, listrik, dan telepon; pajak-pajak;
transportasi, jaminan sosial, dan lain sebagainya.
Pengajuan permohonan secara bersama-sama, pemohon harus mengumpulkan
informasi apakah mengajukan petisi bersama, petisi individu yang terpisah, atau
bahkan jika hanya satu yang mengajukan. Dalam situasi dimana berkas-berkas
debitur hanya satu, pendapatan dan beban dari debitur lain yang dibutuhkan agar
pengadilan, trustee dan kreditur dapat mengevaluasi posisi keuangan usaha tersebut.75
Di antara jadwal bahwa debitur yang mengajukan permohonan jadwal properti
“exemt” atau dikecualikan. Bankruptcy Code memungkinkan seorang debitur
perorangan untuk melindungi beberapa kekayaan dari klaim kreditor yang bebas
pajak menurut Federal Bankruptcy Law atau berdasarkan Laws of the Debtor’s Home
73 Ibid. 74 Ibid. 75 Ibid.
43
State (11 United State Code § 522 b.). Banyak negara bagian telah mengambil
keuntungan dari ketentuan dalam Bankruptcy Code yang memungkinkan masing-
masing negara bagian untuk mengadopsi hukum pembebasan sendiri di tempat
pengecualian federal. Dalam yurisdiksi lain, debitur individual memiliki pilihan untuk
memilih antara paket Pengecualian Federal atau Pengecualian Tersedia di bawah
hukum negara. Jadi, apakah properti tertentu yang dikecualikan dan dapat disimpan
oleh debitur sering merupakan masalah hukum negara. Debitur harus berkonsultasi
dengan seorang pengacara untuk menentukan pengecualian yang tersedia di negara
tempat tinggal debitur.76
Pengajuan permohonan berdasarkan Chapter 7 secara otomatis berhenti
berdasarkan tindakan pengumpulan data-data aset yang tidak termasuk dalam aset
likuidasi (11 United State Code § 362). Pengajuan permohonan aset yang tidak
termasuk dalam aset likuidasi tersebut adalah tindakan yang terdaftar berdasarkan (11
United State Code § 362 b.) dan tinggal menunggu waktu efektif terhadap putusan
hanya untuk waktu yang singkat dalam beberapa situasi. Tinggal menunggu putusan
penetapan dan tidak memerlukan tindakan hukum lain. Selama tetap berlaku, kreditur
umumnya tidak dapat memulai atau melanjutkan tuntutan hukum, wage
garnishments, atau bahkan panggilan telepon untuk menuntut pembayaran. Petugas
Kebangkrutan memberikan pemberitahuan dari kasus kebangkrutan itu untuk semua
kreditur yang nama dan alamatnya diberitahukan oleh debitur.77
76 Ibid. 77 Ibid.
44
Antara 20 sampai dengan 40 hari setelah permohonan diajukan, trustee akan
mengadakan pertemuan kreditur. Jika trustee Amerika Serikat atau administrator
kebangkrutan menetapkan jadwal pertemuan di tempat yang tidak memiliki trustee
Amerika Serikat atau staf administratof kebangkrutan (Staf Pengadilan Niaga),
pertemuan dapat diadakan tidak lebihd ari 60 hari setelah perintah untuk itu. Selama
pertemuan ini, trustee menempatkan debitur di bawah sumpah, dan keduanya trustee
dan kreditur dapat mengajukan pertanyaan. Debitur harus menghadiri pertemuan
tersebut dan menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan tentang urusan keuangan
debitur dan properti (11 United State Code § 343). Jika pemohon telah mengajukan
petisi bersama, maka keduanya harus menghadiri pertemuan kreditur dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam waktu 10 hari rapat kreditur,
trustee Amerika Serikat akan melaporkan ke pengadilan apakah kasus tersebut harus
dianggap merupakan penyalahgunaan dalam studi kelayakan Likuidasi (11 United
State Code § 704 b).78
Hal ini penting bagi debitur untuk bekerja sama dengan trustee dan untuk
menyediakan laporan keuangan atau dokumen-dokumen yang diminta oleh trustee.
Bankruptcy Code mengharuskan trutee untuk mengajukan pertanyaan debitur pada
pertemuan kreditur untuk memastikan bahwa debitur menyadari adanya potensi
konsekuensi mencari aset pada kebangkrutan seperti efek pada sejarah kredit,
kemampuan untuk mengajukan permohonan di bawah peraturan yang berbeda, efek
menerima debit, dan efek untuk menegaskan kembali utang. Beberapa trustee
memberikan informasi tertulis tentang topik ini pada atau sebelum pertemuan untuk
78 Ibid.
45
memastikan bahwa debitur mengetahui informasi ini. Untuk menjaga penilaian
independen, hakim pengadilan dilarang menghadiri pertemuan kreditur (11 United
State Code § 341 c).79
Dalam rangka kesepakatan debitur memperoleh bantuan (pinjaman),
Bankruptcy Code memungkinkan debitur untuk mengkonversi Chapter 7 kepada
Chapter 11, 12, atau 13 sepanjang debitur yang memenuhi syarat untuk menjadi
debitur di bawah Chapter yang baru. Namun, kondisi konversi sukarela debitur
adalah bahwa kasus tersebut belum pernah dikonversi ke Chapter 7 dari Chapter lain
(11 United State Code § 706 a). Dengan demikian, debitur tidak akan diizinkan
untuk mengkonversi kasus tersebut berulang kali dari satu Chapter ke Chapter yang
lain.80
Kelihatan disini bahwa pemerintah tidak lepas tangan dari perannya terhadap
penegakan hukum. Pemohon sudah membayar biaya administrasi, maka saat likuidasi
diajukan inilah Pemerintah bekerja untuk memprosesnya. Tidak lepas tangan begitu
saja seperti yang terjadi di Indonesia. Pemerintah hanya mengenakan biaya
administrasi tetapi tidak ada pelayanan yang diberikan kepada pemohon likuidasi.
Ketidakjelasan peran pemerintah (dalam hal Indonesia) menyebabkan perseroan
terbatas kebingungan dalam mengambil sikap apakah akan melikuidasi perusahaan,
mempailitkan, dan/atau mereorganisasi perseroan terbatas. Berbeda dengan Amerika
Serikat, pihak pengadilan menunjuk trustee terpercaya untuk menetapkan apakah
79 Ibid. 80 Ibid.
46
suatu perseroan terbatas itu layak atau tidak untuk dilikuidasi. Dengan demikian
berjalanlah sistem hukum dengan baik.
5. Role of The Case Trustee
Ketika persyaratan untuk pengajuan likuidasi pada Chapter 7 diajukan, trustee
Amerika Serikat (atau Pengadilan Kebangkrutan di Alabama dan North Carolina)
menunjuk trustee pada kasus yang diterima untuk mengelola kasus tersebut dan
melikuidasi aset pemohon/debitur (11 United State Code § § 701, 704). Jika semua
aset debitur dibebaskan atau tunduk pada hak gadai yang berlaku, maka trustee
biasanya akan menetapkan “tidak ada aset” di dalam laporan kepada pengadilan, dan
tidak akan ada distribusi kepada kreditur tanpa jaminan. Kebanyakan kasus Chapter 7
melibatkan debitur individu yang tidak memiliki aset dalam pembayaran hutang.
Tetapi jika kasus tersebut tampaknya memiliki aset, pada awal kasus, kreditur tanpa
jaminan harus mengajukan gugatan mereka kepada pengadilan dalam jangka waktu
90 hari setelah tanggal pertama ditetapkan untuk pertemuan kreditur tersebut.
Bagaimanapun setelah 180 hari terlewati sejak tanggal perkara ini diajukan untuk
mengajukan klaim (11United State Code § 502 b). Dalam kasus Chapter 7 ada aset
yang khas, tidak perlu bagi kreditur untuk mengajukan bukti klaim karena tidak akan
ada distribusi. Jika trustee kemudian memiliki aset yang akan dibagikan kepada
kreditur tanpa jaminan, Pengadilan Kepailitan (Pengadilan Niaga) akan memberikan
pemberitahuan kepada kreditur dan akan memberikan waktu tambahan untuk
mengajukan bukti klaim. Meskipun kreditur dijamin tidak perlu mengajukan bukti
klaim dalam kasus Chapter 7 untuk menjaga kepentingan keamanan atau gadai,
47
mungkin ada alasan lain untuk mengajukan klaim. Seorang kreditur dalam kasus
Chapter 7 yang memiliki hak gadai atas properti, debitur harus berkonsultasi dengan
seorang pengacara untuk meminta nasihat.81
Dimulai dari kasus kepailitan yang menciptakan properti. Properti tersebut
menjadi milik sah dari semua harta debitur. Ini terdiri dari semua kepentingan hukum
atau adil dari debitur dalam properti pada saat dimulainya kasus ini, termasuk properti
yang dimiliki atau dipegang oleh orang lain jika debitur memiliki kepentingan
properti. secara umum, kreditur debitur dibayar dari properti yang dikecualikan dari
warisan yang didapat dari debitur.82
Peran utama dari trustee dalam kasus Chapter 7 pada kasus aset adalah untuk
melikuidasi aset pengecualian debitur dengan cara memaksimalkan kembali kepada
kreditur konkuren debitur. Trustee yang menyelesaikan hal ini adalah dengan cara
menjual properti debitur jika bersih dari hak gadai (selama properti tidak dibebaskan).
Trustee juga mungkin mencoba untuk memulihkan keuangan atau properti di bawah
kewenangan trustee “avoiding powers”. Kekuatan trustee yang menhindari termasuk
kuasa untuk menyisihkan transfer khusus dibuat untuk kreditur dalam waktu 90 hari
sebelum permohonan, membatalkan kepentingan keamanan dan transfer prepetition
lain dari kekayaan yang tidak benar disempurnakan berdasarkan hukum Non-
Bankruptcy Law pada saat permohonan; dan mengejar klaim untuk tidak dinyatakan
pailit. Selain itu, jika debitur adalah sebuah bisnis, Pengadilan Kebangkrutan
(Pengadilan Niaga) dapat memberikan wewenang kepada trustee untuk menjalankan
81 Ibid. 82 Ibid.
48
bisniss tersebut untuk jangka waktu yang terbatas, jika operasi tersebut akan
menguntungkan kreditur dan meningkatkan nilai likuidasi debitur (11 United State
Code § 721).83
Pada §. 726 dari Bankruptcy Code mengatur tentang pembagian harta warisan.
Pasal ini mengatur ada enam kelas klaim dan masing-masing kelas harus dibayar
secara penuh sebelum kelas yang lebih rendah berikutnya dibayar. Debitur hanya
dibayarkan jika semua kelas lain klaim telah dibayar lunas. Oleh karena itu, debitur
tidak tertarik disposisikan hal ini kepda trustee tentang aktiva sebenarnya, kecuali
sehubungan dengan pembayaran hutang-hutang yang untuk beberapa alasan tidak
dischargeable dalam perkara kepailitan. Perhatian utama debitur individu dalam
kasus Chapter 7 adalah untuk mempertahankan properti dengan membebaskan dan
menerima penjualan aset yang mencakup sebagai hutang sebanyak mungkin.84
Ternyata di dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat yang diatur di dalamnya
mengenai Likuidasi. Fungsi likuidator juga dapat menjalankan perusahaan apabila
ada suatu perjanjian-perjanjian kerja sama yang belum diselesaikan. Apabila
memperoleh keuntungan hal tersebut dapat menjadi nilai tambah pada aset debitur.
6. The Chapter 7 Discharge
Pada The Chapter 7 Discharge diharapkan kepada pemohon untuk
berkonsultasi dengan penasehat hukum yang berkompeten sebelum mengajukan
untuk membahas ruang lingkup debitur tersebut. Secara umum, termasuk kasus-kasus
83 Ibid. 84 Ibid.
49
yang diberhentikan atau dikonversi, debitur individu menerima debit lebih dari 99%
dari kasus Chapter 7. Dalam kebanyakan kasus, kecuali sebuah pihak yang
berkeinginan untuk mengklaim objek, Pengadilan Kebangkrutan (Pengadilan Niaga)
akan mengeluarkan perintah debit yang relatif awal dalam kasus umumnya. Waktu 60
sampai dengan 90 hari setelah tanggal pertama ditetapkan untuk pertemuan kreditur.85
Dasar-dasar untuk menolak suatu debitur individual debit pada kasus Chapter
7 adalah pihak-pihak yang berpindah-pindah. Di antara alasan lain, pengadilan dapat
menolak debitur yang tidak menyertakan laporan keuangan, tidak menjelaskan laba
rugi terhadap aset yang dimiliki, melakukan kejahatan pailit seperti sumpah palsu,
gagal mematuhi perintah yang sah dari Pengadilan Kebangkrutan (Pengadilan Niaga),
atau menghancurkan properti yang akan menjadi milik warisan, atau gagal untuk
menyelesaikan kursus instruksional yang disetujui oleh manajemen keuangan. (11
United State Code § 727).86
Kreditur akan mempertahankan beberapa hak-haknya untuk memperoleh
properti yang dimiliki debitur walaupun sebuah penetapan discharged ini telah
dikeluarkan pengadilan. Tergantung pada keadaan pemohon, jika debitur memohon
untuk menjaga properti yang dijamin (seperti mobil), debitur mungkin memutuskan
untuk “reaffirm” hutang. Penegasan kembali adalah suatu perjanjian antara debitur
dan kreditur bahwa debitur akan tetap bertangung jawab dan akan membayar seluruh
atau sebagian dari uang yang terutang, meskipun hutang sebaliknya akan habis dalam
85 Ibid. 86 Ibid.
50
proses kepailitan. Sebagai gantinya, kreditur tidak akan mengambil mobil tersebut
selama debitur menunjukkan pembayaran kepada kreditur.87
Jika debtiru memutuskan untuk menegaskan kembali hutangnya, maka debitur
harus melakukan sebelum debit dimasukkan. Debitur harus menandatangani
perjanjian tertulis dan penegasan kembali melalui pengadilan (11 United State Code
§ 524 c). Bankruptcy Code mensyaratkan bahwa perjanjian penegasan kembali harus
berisi serangkaian luas pengungkapan yang dijelaskan dalam (11 United State Code §
524 k). Antara lain, pengungkapan yang harus diberitahu kepada debitur dari jumlah
hutang yang akan ditegaskan kembali dan bagaimana hal tersebut dihitung dan
ditegaskan kembali itu berarti bahwa kewajiban pribadi debitur untuk hutang yang
tidak akan habis dalam kepailitan. Pengungkapan juga mengharuskan debitur untuk
menandatangani dan melampirkan laporan laba rugi tahun berjalan dan biaya yang
menunjukkan bahwa saldo pembdapatan membayar biaya yang cukup untuk
membayar penegasan kembali hutang tersebut. Jika saldo tidak cukup untuk
membayar hutang yang akan ditegaskan kembali tersebut, ada dugaan dari kesulitan
yang tidak semestinya, dan pengadilan dapat memutuskan untuk tidak menyetujui
perjanjian penegasan kembali. Kecuali debitur diwakili oleh pengacara, hakim
kepailitan harus menyetujui perjanjian penegasan kembali.88
Jika debitur diwakili oleh pengacara sehubungan dengan perjanjian penegasan
kembali, pengacara harus menyatakan secara tertulis bahwa pengacara tersebut
menyarankan debitur dari efek hukum dan konsekuensi dari perjanjian yang akan
87 Ibid. 88 Ibid.
51
dibuat, termasuk hal-hal yang sudah ada dalam perjanjian itu. Pengacara itu juga
harus menyatakan bahwa debitur sepenuhnya menginformasikan dan secara sukarela
membuat kesepakatan dan penegasan kembali hutang tidak akan menciptakan
kesulitan yang tidak semestinya untuk debitur atau keluarga debitur (11 United State
Code § 524 k). Bankruptcy Code membutuhkan pendengaran penegasan kembali jika
debitur belum diwakili oleh pengacara selama negosiasi perjanjian, atau jika
pengadilan menyetujui perjanjian penegasan kembali (11 United State Code
§ 524 d dan m). Debitur dapat membayar seluruh hutang secara sukarela,
bagaimanapun caranya, walaupun tidak ada kesepakatan penegasan kembali (11
United State Code § 524 f).89
Dalam hal likuidasi diterima oleh Pengadilan Kepailitan/Kebangkrutan
(Penagdilan Niaga) atau dengan kata lain Chapter 7 terpenuhi maka kreditur tidak
dimungkinkan lagi untuk melanjutkan tindakan hukum lainnya terhadap debitur. Tapi
tidak semua hutang dari Pemohon/Debitur dihapus dengan Chapter 7. Hutang tidak
habis termasuk hutang untuk tunjangan dan tunjangan anak, pajak tertentu, hutang
dengan pasti kelebihan pembayaran manfaat pendidikan atau pinjaman dibuat atau
dijamin oleh unit Pemerintah, hutang asuransi kematian, hutang asuransi jaminan
dana kecelakaan, dan hutang untuk perintah restitusi kriminal (11 United State Code
§ 523 a). Debitur akan terus bertanggung jawab untuk jenis hutang sejauh mereka
tidak dibayar dalam hal Chapter 7. Hutang untuk uang atau harta yang diperoleh
palsu, hutang untuk penipuan atau penyalahgunaan kepercayaan sementara bertindak
dalam kapasitas fidusia, dan hutang untuk asuransi kesehatan disengaja atau
89 Ibid.
52
berbahaya oleh debitur untuk entitas lain atau milik entitas lain akan dibuang kecuali
kreditur tepat waktu melampirkan bukti hutang dan berlaku dalam sebuah tindakan
untuk memiliki hutang tersebut dinyatakan non-dischargeable (11 United State Code
§ 523 c).90
Pengadilan dapat membatalkan sebuah permohonan likuidasi atas permintaan
trustee, kreditur, jika aset tersebut berasal dari penipuan oleh debitur. Jika debitur
membeli properti yang dengan sengaja dan curang dalam laporan pembeliannya maka
properti tersebut diserahkan kepada trustee, atau jika debitur (tanpa penjelasan
memuaskan) membuat kesalahan terhadap materi-materi yang disajikan atau gagal
untuk menyediakan dokumen atau informasi lainnya sehubungan dengan audit kasus
debitur (11 United State Code § 727 d).91
Permohonan likuidasi di Amerika Serikat juga harus berdasarkan saran dari
pengacara atau konsultan hukum. Bagi debitur yang ingin melikuidasi perusahaannya
maka pemohon harus mengikuti segala tata cara yang berlaku. Tata cara tersebut juga
harus dibarengi dengan kejujuran dari debitur mengenai asal-muasal aset yang
dimilikinya sehingga dapat memudahkan trustee untuk melakukan penjualan aset-aset
agar dapat dibayarkan kepada kreditur. Dalam peraturan kepailitan Amerika Serikat
kelihatan adanya perlindungan kepada debitur. Namun, apabila debitur tersebut tidak
benar dalam mengajukan lampiran-lampiran dalam permohonannya maka
perlindungan tersebut akan berkurang dan lebih mengutamakan kreditur. Jadi, ada
90 Ibid. 91 Ibid.
53
keseimbangan hukum disini antara kreditur dan debitur mengenai penyelesaian
hutang-piutang.
Setelah mengetahui peraturan mengenai likuidasi yang berlaku di Amerika
Serikat, selanjutnya akan dibahas mengenai likuidasi Perseroan Terbatas yang ada di
Indonesia. Likuidasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, dan untuk masalah penyelesaian hutang-piutangnya
diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
B. Pengaturan Mengenai Likuidasi dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
1. Pengertian Likuidasi
Tidak ditemukan satu pasalpun di dalam KUHD ataupun KUH Perdata yang
menggunakan istilah likuidasi. Dari beberapa kepustakaan yang ada, banyak yang
membahas dalam bab yang diberi judul berakhirnya perseroan terbatas. Pemecahan
atau bubarnya perseroan terbatas untuk menjelaskan tentang likuidasi. Secara umum,
penyebutan likuidasi sudah menjadi suatu istilah yang dapat dimengerti di dalam
masyarakat.92
Jika ditinjau dari asal katanya, yang dimaksud dengan bubarnya atau
berakhirnya sebenarnya adalah ”ontbinding”, dimana arti yang lebih mendekati
ketepatan adalah ”pemecahan”. Pemecahan disini dimaksudkan adalah pecahnya para
92 Murni, “Analisis Terhadap Likuidasi Persekutuan Komanditer (CV), Untuk Menjadi
Perseroan Terbatas (PT) dalam Perspektif Hukum Ekonomi”, (Tesis : Universitas Diponegoro Semarang, 1998), hal. 79.
54
pemegang saham dengan tujuan untuk menghakhiri berdirinya persekutuan. Setelah
pecahnya para Pemegang Saham bukan berarti langsung perseroan terbatas menjadi
bubar, akan tetapi para Pemegang Saham masih harus melakukan beberapa urusan
yang sifatnya pemberesan terhadap perseroan terbatas yang masih berjalan beberapa
waktu lagi (loopende zaken), seperti pembayaran hutang-hutang dan tagihan-tagihan
perseroan terbatas kepada pihak ketiga, pembagian keuntungan atau saldo kepada
para Pemegang Saham jika masih ada, dan sebagainya. Setelah urusan pemberesan
selesai barulah Perseroan Terbatas tersebut dinyatakan bubar (einde). Segala proses
yang terjadi dari mulai pemecahan sampai urusan pemberesan itu disebut dalam
banyak literatur hukum sebagai likuidasi.93
Meskipun KUHD tidak menggunakan istilah likuidasi, namun kepustakaan
hukum banyak yang menggunakan istilah likuidasi, dan peraturan yang dikeluarkan
sekarang ini telah memasukkan likuidasi dalam pasal-pasal khusus, bahkan
digunakan pula sebagai judul peraturan, yaitu peraturan yang berkaitan dengan
lembaga keuangan perbankan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada Pasal 37
ayat (3), yang menyebutkan bahwa94 :
”Dalam hal direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
93 Ibid., hal. 79-80. 94 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.
55
Meskipun ketentuan tersebut tidak memberikan definisi, ciri-ciri, dan struktur
hukum terhadap makna lembaga likuidasi, namun terminologi likuidasi telah
dimasukkan di dalam perundang-undangan. Tampaknya undang-undang perbankan
melihat likuidasi dalam pengertian luas, yaitu sebagai suatu proses, yang diawali
dengan pembubaran dan diikuti dengan pemberesan. Jadi istilah likuidasi ini mecakup
lembaga pembubaran dan pemberesan,95 meskipun tidak disebutkan dalam pasal-
pasalnya.
Agar lebih jelas, kiranya perlu diketahui pula pengertian likuidasi dari
berbagai literatur, antara lain :
Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyebutkan bahwa96 :
”Likuidasi adalah proses membubarkan perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditur dan pembagian harta yang tersisa kepada pemegang saham (persero)”.
Kamus Hukum Ekonomi Elips, menyebutkan bahwa97 :
”Liquidation adalah pembubaran perusahaan diikuti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan hutang, serta penyelesaian sisa harta atau hutang antara para pemegang saham”.
Kamus Perbankan, menyebutkan bahwa98 :
”Likuidasi adalah suatu tindakan untuk membubarkan suatu perusahaan atau badan hukum”.
Black’s Law Dictionary, menyebutkan bahwa99 :
95 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 124,
sebagaimana dikutip Murni, Op.cit. 96 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, ”Likuidasi”,
http://kamusbahasaindonesia.org/likuidasi., diakses pada 08 Mei 2011. 97 ELIPS, Kamus Hukum Ekonomi Elips, (Jakarta : Proyek Elips, 1997). 98 Institut Bankir Indonesia, Kamus Perbankan Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia,
1980).
56
”Liquidation is the act or process of setting or making clear, fixed and determinate that which before was uncertain or unascertained”.
Dalam pandangan ahli hukum Andi Hakim, likuidasi diartikan sebagai
penyelesaian, khususnya untuk badan hukum/organisasi lain mengenai pengakhiran,
setelah keputusan untuk membubarkannya, suatu badan hukum setelah
pembubarannya masih bekerja untuk menyelesaikan urusannya.100
Sementara itu Van Schilfgaarde dan Doorhout Mees dalam Van de BV en de
NV dan Nederlands Handels en Faillissementrecht mengemukakan101 :
“Likuidasi (pembubaran) adalah penghentian kegiatan Perseroan Terbatas sebagai akibat dari berakhirnya tujuan perseroan. Pembubaran tidak mempunyai arti identik dengan “berakhirnya” eksistensi perseroan. Perseroan adalah subjek hukum, memiliki aktiva dan pasiva. Setelah pembubarannya diucapkan, eksistensinya tetap ada dengan catatan bahwa posisinya itu dalam stadium likuidasi (pembubaran). Hak yang dimilikinya harus direalisasikan dan kewajiban yang dipikulnya wajib dipenuhi. Perseroan Terbatas tidak boleh lagi melakukan hak dan kewajibannya itu. Perseroan Terbatas itu ada sepanjang diperlukan untuk pemberesan”. Pemerintah banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang
menggunakan istilah-istilah yang berkembang di dalam dunia usaha akibat dari
masuknya Indonesia ke World Trade Organization (WTO). Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merupakan salah satu produk hukum yang
dikeluarkan untuk tujuan mengurangi resktriktif yang ada pada peraturan
sebelumnya. Peraturan ini mengalami banyak penyempurnaan mengenai masalah
likuidasi.
99 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, h. 639, sebagaimana dikutip
Murni, Op.cit. 100 Andi Hakim, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 354, sebagaimana
dikutip Murni, Op.cit., hal. 82. 101 Sebagaimana dikutip Mariam Darus Badrulzaman dalam Rachmadi Usman, Op.cit., hal.
168.
57
Di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
pengertian likuidasi dibedakan dengan pembubaran, dikatakan dalam Pasal 142 ayat
(1), bahwa pembubaran merupakan proses menuju ke arah likuidasi yang selanjutnya
akan diikuti dengan likuidasi oleh likuidator. Walaupun ketentuan ini tidak dijelaskan
mengenai likuidasi, namun mengenai sebab-sebab terjadinya likuidasi, proses
pembubaran dan pemberesannya diatur cukup rinci mulai dari Pasal 142 sampai
dengan Pasal 152.102
Sebenarnya ada suatu keadaan yang sangat mirip dengan likuidasi yaitu yang
disebut “Kepailitan” (Faillisement, Bankruptcy). Pailit adalah suatu keadaan dimana
debitur berada dalam keadaan tidak mampu membayar hutang-hutang kemudian
kreditur memohon kepada hakim agar dinyatakan pailit.103 Kadang kala kepailitan
dapat menjadikan suatu badan usaha dapat dilikuidasi, namun likuidasi tidak selalu
disebabkan oleh kepailitan.104
Kerangka pengertian likuidasi, memberikan kemungkinan yang lebih luas
mengenai sebab-sebab terjadinya likuidasi, misalnya karena ingin bergabung dengan
perusahaan lain (merger) atau ingin merubah bentuk badan usaha. Demikian juga
mengenai akibat hukum dari likuidasi adalah berbeda dengan akibat hukum dari
terjadinya kepailitan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa pada terminologi
likuidasi dan kepailitan terdapat perbedaan yang cukup prinsipil. Yang pertama,
terjadinya likuidasi tidak selalu disebabkan karena ketidakmampuan membayar
hutang-piutang. Sebab pada saat terjadinya likuidasi kadang kala aset/harta kekayaan
102 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit. 103 Sunarmi, Hukum Kepailitan, Terbitan Pertana, (Medan : USU Press, 2009), hal. 20. 104 Murni, Op.cit., hal. 83.
58
perseroan masih ada (tidak habis). Namun kepailitan terjadi oleh karena
ketidakmampuan membayar hutang-piutang, memang sudah tidak tersisa lagi harta
kekayaan perseroan.105
Kedua, dalam likuidasi selalu akan mengakibatkan eksistensi suatu badan
menjadi bubar/berakhir, sedangkan dalam kepailitan tidak selalu mengakibatkan
bubarnya perseroan, oleh karena dapat diambil alih oleh pemilik yang baru, seorang
kreditur atau pihak ketiga lainnya. Ketiga, likuidasi dapat terjadi tanpa putusan
pengadilan atau dengan putusan dari pengadilan, sedangkan terjadinya kepailitan
dengan melalui putusan pengadilan, dimana sebelumnya harus ada permohonan
kepada hakim komisaris.106
Vollmar menekankan bahwa orang harus dapat membedakan antara
pembubaran kebersamaan perkawinan dengan pembubaran pada kebersamaan dalam
perseroan. Pembubaran perkawinan menyangkut lenyapnya atau putusnya suatu
hubungan hukum, sedangkan pada pembubaran perseroan, usaha yang dijalankan
bersama berakhir dalam arti bahwa lantas tidak dapat diterimanya pekerjaan-
pekerjaan baru, dan disitu masih ada sesuatu yang harus diselesaikan, hutang-piutang
yang ada masih harus dilunasi, harus ada perhitungan keuntungan dan kerugian.107
Menelusuri beberapa pengertian dari para ahli dan sumber kepustakaan yang
ada, maka dapat membantu penegasan bahwa likuidasi merupakan suatu proses
berangkai yang diawali dari tahap pemberesan, keseluruhan proses tersebut yang
105 Ibid., hal. 83-84. 106 Ibid., hal. 84-85. 107 F.H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid II, Cetakan I, Terjemahan I.S.
Adiwimarto, (Jakarta : Rajawali Press, 1984), hal. 372-372, sebagaimana dikutip Murni, Op.cit., hal. 85.
59
disebut dengan likuidasi. Proses likuidasi itu selesai barulah suatu badan hukum itu
dapat dikatakan bubar/berakhir.108
Seiring dengan semakin pesatnya dunia usaha, kemajuan dan kehancuran
usaha dapat terjadi dengan berbagai sebab. Kompleksitas persoalan bubarnya suatu
usaha juga tidak dibatasi hanya dengan apa yang dikatakan peraturan saja melainkan
masih bisa disebabkan oleh berbagai macam keadaan-keadaan diluar ketentuan
perundang-undangan. Oleh sebab itu, banyak kalangan yang berpendapat bahwa
ketentuan mengenai bubarnya perseroan bukanlah suatu ketetapan yang bersifat harga
mati.109
2. Pembubaran dan Likuidasi Perseroan Terbatas
Pembubaran dan likuidasi perseroan terbatas berpedoman pada Pasal 142 ayat
(1), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dapat terjadi
karena110 :
a. “Berdasarkan keputusan RUPS; b. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah
berakhir; c. Berdasarkan penetapan pengadilan; d. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tenang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f. Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
108 Murni, Op.cit., hal. 85. 109 Ibid., hal. 90. 110 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit.
60
Dengan demikian, jika perseroan telah bubar maka perseroan tidak dapat
melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk membereskan kekayaan dalam proses
likuidasi. Sementara itu, dalam proses pemberesan (likuidasi) yang dilakukan oleh
likuidator maka mengenai nama-nama anggota ditentukan oleh Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) jika perseroan tersebut dibubarkan berdasarkan keputusan
RUPS. Namun, jika keanggotaan likuidator dapat diangkat oleh pengadilan, sehingga
pembubaran perseroan tersebut berdasarkan penetapan pengadilan. Selain itu, jika
pembubaran perseroan telah diputuskan dua lembaga, dalam hal ini tidak disertai
penunjukan likuidator maka direksi secara ex officio bertindak sebagai likuidator.111
Selain itu, pengangkatan dan pemberhentian likuidator perseroan terbatas atas
permohonan satu orang atau lebih yang berkepentingan atau atas permohonan
kejaksaan. Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat likuidator baru dan
memberhentikan likuidator lama, karena yang bersangkutan tidak melaksanakan
tugas sebagaimana mestinya atau dalam hal hutang perseroan melebihi kekayaan
perseroan.112
Dalam pada itu, kewajiban likuidator dari perseroan terbatas menurut Pasal
147 ayat (1), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
menyatakan bahwa113 :
“Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan :
111 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, (Jakarta :
Grasindo, Tanpa Tahun), hal. 65-66. 112 Ibid., hal. 66. 113 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit.
61
a. Kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan
b. Pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa perseroan dalam likuidasi”.
Dengan kata lain, berdasarkan ketentuan di atas dapat diartikan bahwa
likuidator dari perseroan yang telah bubar wajib memberitahukan kepada semua
kreditornya dengan surat tercatat mengenai bubarnya perseroan. Pemberitahuan
tersebut memuat nama dan alamat likuidator, tata cara pengajuan tagihan, dan jangka
waktu mengajukan tagihan yang tidak boleh lebih dari 60 hari terhitung sejak surat
pemberitahuan diterima.114 Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku tetapi ditolak, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri, paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal penolakan.115 Likuidator wajib
mendaftarkan dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi sesuai ketentuan yang
berlaku.116
Perseroan yang sedang dalam proses likuidasi harus selalu mencantumkan
kata “Dalam Likuidasi” di belakang nama perseroan di setiap surat keluar. Likuidator
wajib memberitahukan mengenai bubarnya perseroan kepada semua kreditor
perseroan dengan surat tercatat.117 Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS untuk
melakukan likuidasi yang dilakukannya atas kekayaan perseroan. Sisa kekayaan hasil
114 Pasal 147 ayat (2) dan (3), Ibid. 115 Pasal 150 ayat (1), Ibid. 116 Pengumuman tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 149 ayat (1) huruf b., yang
menyatakan bahwa “Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi meliputi pelaksanaan : b. Pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi”, Ibid.
117 Pasal 143 ayat (2), Ibid.
62
likuidasi dibagikan kepada pemegang saham secara proporsional.118 Likuidator wajib
mendaftarkan dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi tersebut dan
mengumumkannya dalam dua surat kabar harian.119
Pembubaran sebagaimana tersebut di atas wajib untuk dilakukan pendaftaran
dan pengumuman tentang telah dibubarkannya perseroan. Dalam pendaftaran dan
pengumuman wajib disebutkan nama dan alamat likuidator. Jika hal itu tidak
dilakukan, akibat bubarnya perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Jika likuidator
lalai melakukan pendaftaran dan pengumuman, likuidator secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga.120
Jika perseroan bubar, perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum,
kecuali diperlukan untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi.
Tindakan pemberesan dari likuidator meliputi121 :
1. Pencatatan dan pengumpulan kekayaan perseroan;
2. Penentuan tata cara pembagian kekayaan;
3. Pembayaran kepada para kreditur;
4. Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan
5. Tindakan-tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan
kekayaan.
118 Pasal 149 ayat (1) huruf d., Ibid. 119 Pasal 147 ayat (4) huruf b., Ibid. 120 Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, & Komisaris
Perseroan Terbatas, Cetakan Pertama, (Jakarta : Visimedia, Oktober 2009), hal. 38. Lihat Pasal 149 ayat (1) huruf b., Ibid.
121 Ibid., hal. 38-39. Lihat Pasal 149 ayat (1). Ibid.
63
Setelah mengetahui kewajiban likuidator, selanjutnya dapat ditarik
kesimpulan mengenai tanggung jawab likuidator. Mengenai tanggung jawab ini dapat
dilihat melalui hak dan tanggung jawab Pemegang Saham maupun Likuidator. Jika
ada hak pemegang saham maka disitu ada kewajiban likuidator. Begitu juga
sebaliknya, jika ada hak Likuidator maka ada tanggung jawab Pemegang Saham.
3. Tanggung Jawab Likuidator
Tanggung jawab likuidator adalah kepada Pemegang Saham karena
Likuidator ditunjuk berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), atau
dengan kata lain atas kehendak dari RUPS. Seluruh tanggung jawab likuidator dapat
dilihat berdasarkan Pasal 149 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Jika dibandingkan dengan Likuidasi di Amerika Serikat
mengenai tanggung jawab Likuidatornya atas penyelesaian hubungan perjanjian kerja
sama, apabila di Amerika Serikat, Likuidatornya berhak untuk menjalankan atau
menyelesaikan perjanjian kerja sama ataupun perjanjian bisnis yang masih berjalan
tetapi dengan persyaratan seluruh hasil kekayaan hasil hubungan kerja tersebut harus
dimasukkan ke dalam harta likuidasi sebagai aset yang akan dibagikan nantinya
kepada Kreditur ataupun Pemegang Saham. Begitu juga dengan di Indonesia, bahwa
Likuidator juga berperan sampai pada tahap seperti di Amerika Serikat. Dapat
dikatakan peran Likuidator Perseroan Terbatas adalah sebagai fasilitator dalam hal
pemberesan harta kekayaan dan pembubaran Perseroan Terbatas.
Tujuan pemberesan harta kekayaan ini adalah agar tercapailah makna dari
hukum itu, yaitu keadilan. Pemegang Saham sudah pasti tidak terdiri dari satu orang
64
saja (individu) ataupun satu perusahaan (badan hukum) walaupun undang-undang
mengizinkan untuk itu. Jadi, oleh karena itu pembagian sisa hasil kekayaan setelah
pembayaran hutang dan penagihan piutang yang ada barulah dibagikan kepada
Pemegang Saham. Disinilah peran dari Likuidator dalam memfasilitasi hal tersebut
secara adil dan merata. Likuidator harus berlaku adil terhadap besaran saham yang
dimiliki setiap subjek hukum sebagai Pemegang Sahamnya..
Likuidator juga bertanggung jawab kepada Pengadilan yang mengangkatnya
atas likuidasi Perseroan Terbatas yang dilakukan.122 Likuidator wajib
memberitahukan kepada Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia
(Menkumham)123 dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam surat kabar
setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah
Pengadilan menerima pertanggung jawaban likuidator yang ditunjuknya.124
Likuidator dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang. Likuidator dapat
dipilih dari para karyawan ataupun pengurus perusahaan bertindak langsung secara
mandiri, ataupun juga orang di luar persekutuan (dalam hal ini Konsultan Hukum
atau Pengacara). Bila tidak terdapat kesepakatan, maka dapat dimintakan kepada
Pengadilan Negeri setempat untuk menunjuk likuidatornya. Untuk itu sebaiknya sejak
saat perseroan didirikan telah diadakan pengaturan dalam anggaran dasar perseroan
mengenai pihak yang bertindak sebagai likuidator.125
122 Pasal 146 ayat (2) jo. Pasal 152 ayat (1), Ibid. 123 Pasal 152 ayat (8), Ibid. 124 Memberikan “pelunasan dan pembebasan kepada Likuidator” artinya adalah bahwa
Pemegang Saham perseroan terbatas tersebut melaksanakan kewajibannya dalam hal pembayaran berupa uang tunai sesuai dengan yang diperjanjikan pada saat RUPS penunjukan likuidator.
125 Murni, Op.cit., hal. 97.
65
Dalam hal penunjukan likuidator, Vollmar mengatakan bahwa126 :
“Jika tidak ditentukan dalam anggaran dasar mengenai siapa yang dapat bertindak sebagai likuidator dan berapa jumlah yang dikehendaki, maka disinilah mereka secara bersama-sama dapat bertindak sebagai likuidator”. Tugas likuidator ini selain melakukan urusan penghitungan juga harus
mendaftarkan akte pembubaran perseroan ke Pengadilan Negeri setempat barulah
setelah itu mendaftarkannya ke Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia
(Depkumham) untuk diumumkan di Berita Negara Republik Indonesia. Pengumuman
pada surat kabar sesungguhnya untuk menunjukkan iktikad baik dari pembubaran
perseroan terbatas tersebut agar diketahui oleh pihak ketiga (kreditur).127
a. Internal
Proses pemberesan dikatakan selesai apabila penagihan dari pihak ketiga
sudah dilunasi semuanya (seluruh kreditur). Setelah itu barulah honorarium para
likuidator, dan bila masih ada sisa, maka dapat diadakan pembagian antara para
sekutu, sedangkan jika tidak terdapat sisa, maka pembagian beban kerugian
ditetapkan sesuai dengan aturan dalam perjanjian pendirian perseroan (anggaran
dasar) dan bilamana tidak diperjanjikan maka akan dibagi sesuai dengan imbangan
nilai pemasukannya. Akan tetapi, apabila beberapa waktu kemudian masuh muncul
kreditur baru yang mendalilkan bahwa dirinya mempunyai beberapa tagihan yang
masih belum terbayar, maka perkara tersebut harus diserahkan kepada hakim. Hakim
dapat membuka kembali arsip pemberesannya, sepanjang ada bukti yang menguatkan
126 F.H.F.A. Vollmar, Op.cit., hal. 376, sebagaimana dikutip Murni, Op.cit., hal. 98. 127 Ibid.
66
untuk itu, bahkan dimungkinkan hakim mengangkat seorang likuidator baru bila
diperlukan.128
Setelah likuidator betul-betul telah selesai melaksanakan tugas pemberesan,
maka likuidator harus memberikan laporan hasil penghitungannya itu secara internal
kepada struktur Perseroan Terbatas yaitu Pemegang Saham. Penyampaian laporan
tersebut pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Laporan disampaikan
secara tertulis dengan disertai segala dokumen-dokumen yang menunjang. Setelah
para perseroan meneliti semua laporan, apakah semua kreditur sudah dilunasi
termasuk honorarium likuidator, maka likuidator dapat dibebaskan dari tanggung
jawab atas tugas-tugasnya.129
b. Eksternal
Dalam menjalankan tugas pemberesan, likuidator tidak hanya
bertanggungjawab menyampaikan laporannya saja kepada para Pemegang Saham
ataupun Pengadilan tapi juga likuidator harus bertanggung jawab secara eksternal
yang berkaitan dengan pihak luar. Pada azasnya, dalam setiap bentuk badan usaha,
baik yang berbentuk Perseroan maupun Persekutuan, tanggung jawab eksternal
adalah berkaitan dengan pihak luar. Pihak luar disini maksudnya adalah para kreditur
atau masyarakat luas, namun pada beberapa bentuk badan usaha tertentu. Tanggung
128 Ibid., hal. 98-99. 129 Ibid., hal. 99.
67
jawab eksternal itu tidak hanya berkaitan dengan para kreditur perseroan saja tetapi
juga menyangkut tanggung jawab kepada lembaga pemerintah.130
Misalnya, dalam struktur Perseroan yang bergerak di lingkungan lembaga
keuangan atau perbankan, likuidator bertanggung jawab kepada pejabat pemerintah
yang berwenang, dalam hal ini adalah Menteri Keuangan. Jika perseroan tersebut
bergerak di luar bidang keuangan, likuidator harus memberikan laporan pertanggung
jawaban tugasnya kepada menteri tekhnis yang membawahi bidang usaha perseroan
tersebut, dalam kapasitasnya sebagai forum RUPS.131
Dalam struktur Perusahaan Daerah, laporan pertanggung jawaban juga harus
diberikan kepada Pemerintah Daerah yang mendirikan perusahaan yang
bersangkutan.132 Dalam hal seorang likuidator yang pengangkatannya ditunjuk oleh
hakim juga harus memberikan laporan pertanggung jawaban itu kepada hakim.
Sedangkan bagi perseroan terbatas, tanggung jawab likuidator secara eksternal adalah
berkaitan dengan pelunasan kepada para kreditur perseroan.133
Setelah mengetahui ruang lingkup likuidasi dan tugas-tugas likuidator tersebut
di atas, maka selanjutnya akan dibahas mengenai perkembangan Likuidasi dalam
kegiatan bisnis. Likuidasi dalam kegiatan berusaha.
130 Ibid., hal. 101. 131 Ibid. 132 Sebagai contoh Perusahaan Daerah adalah dapat dilihat pada PT.Bank Sumut dan
PT.Pembangunan Prasarana Sumatera Utara, disini Pemegang Sahamnya adalah Pemerintah Daerah yaitu Kepala Daerah.
133 Murni, Loc.cit.
68
4. Perkembangan Likuidasi dalam Kegiatan Bisnis
Pada dasarnya likuidasi dapat dipahami sebagai arti dari pembubaran, dan
prosedur likuidasi dalam arti luas mengandung suatu proses, dimana tahap awal dari
proses tersebut adalah pecah/bubarnya para perseroan dan diikuti dengan tahap
pemberesan.134 Akibat hukum dari terjadinya likuidasi adalah bubarnya eksistensi
suatu badan hukum. Dengan pesatnya perkembangan kegiatan bisnis, menjadikan
semakin ketatnya persaingan di dalam dunia usaha. Tampaknya masalah umum yang
sering menjadi persoalan dunia usaha adalah kesedian sumber dana atau modal yang
tidak cukup bagi perseroan agar tetap eksis di dalam menjalankan kegiatan usaha.135
Untuk itulah berbagai strategi bersaing telah banyak dikembangkan dalam
prakteknya, seperti melalui strategi merger, akuisisi, konsolidasi, dan likuidasi.
Likuidasi untuk merger ataupun likuidasi untuk menutup badan hukum atau
menyudahi badan usaha. Hal ini menunjukkan bahwa dunia usaha itu menuntut
adanya perubahan-perubahan (inovasi) baik dari aspek hukum maupun aspek
manajerial, seperti perubahan kinerja, perubahan organisasi kepemilikan, ataupun
penyempurnaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan dunia usaha. Dalam
beberapa tahun terakhir, upaya merger dan likuidasi juga telah dilakukan oleh
pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan negara (BUMN) yang dinilai mengalami
kesulitan keuangan serta tidak dapat mengembangkan usaha atau yang sering kali
dikatakan sebagai perusahaan yang tidak sehat.136 Berdasarkan Surat Keputusan
134 Gunawan Widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas : 150 Tanya Jawab Tentang
Perseroan Terbatas, Cetakan Pertama, (Jakarta : Forum Sahabat, Agustus 2008), hal. 122. 135 Murni, Loc.cit., hal. 102. 136 Ibid.
69
Menteri Keuangan No. 749/1989 yang menyebutkan bahwa kriteria penilaian BUMN,
yaitu : rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas. Sebagai contoh : pada tahun 1990, PT.
Pusat Perkayuan Marunda dilikuidasi dan hasil aset likuidasinya disertakan ke PT.
Kawasan Berikat Nusantara,137 PT. Tirta Raya, dan PT. Batu Bara dilikuidasi
kemudian merger dengan PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam.
Sebagaimana dalam uraian sebelumnya, dalam arti luas likuidasi dipahami
sebagai suatu proses yang diawali dengan pembubaran dan diikuti dengan
pemberesan, dimana akibat dari likuidasi itu menjadikan bubarnya eksistensi badan
usaha. Terlepas dari apa yang menjadi sebab dan tujuan diadakan likuidasi, kedua
tahap pembubaran dan pemberesan itu perlu dilalui dalam setiap proses likuidasi.
Dalam struktur hukum merger, pengertian merger dipahami sebagai bentuk kerja
sama yang ada di antara perusahaan, yakni adanya sebuah perusahaan yang
mengambil alih satu atau lebih perusahaan yang lain. Setelah terjadi pengambilalihan,
perusahaan yang diambil alih tersebut dibubarkan sehingga eksistensinya sebagai
badan hukum lenyap dan kegiatan usahanya dilanjutkan oleh perusahaan yang
mengambil alih.138 Pada waktu terjadinya pengambilalihan, tentunya perusahaan
137 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1990 tentang Pembubaran Perusahaan Perseroan
(Persero) PT. Pusat Perkayuan Marunda dan Penambahan Penyertaan Modal Negara yang Berasal dari Kekayaan Negara Hasil Likuidasi Perusahaan Perseroan (Persero) Tersebut ke Dalam Modal Saham Perseroan (Persero) PT.Kawasan Berikat Nusantara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 39.
138 Pasal 1 angka 9, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit., menyatakan bahwa : “Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.
70
harus berada dalam stadium likuidasi, dimana pada umumnya perusahaan dalam
stadium ini diberi tanda “Dalam Likuidasi”.139
Dengan demikian, likuidasi untuk merger dapat dipahami bahwa proses
pemberesan itu tidak dilakukan sesuai dengan maksud pemberesan. Jika terdapat
perhitungan dalam pemberesan, hal itu dimaksudkan dalam rangka untuk mengetahui
posisi akhir (sebelum diadakan likuidasi) dari aktiva dan pasiva perusahaan yang
akan di-merger. Biasanya perusahaan-perusahaan yang akan di-merger dapat menjadi
perusahaan cabang dan pemilik perusahaan yang di-merger dapat bergabung dengan
perusahaan hasil merger.140
Di dalam perkembangan kegiatan bisnis, penggunaan likuidasi tidak hanya
sebagai upaya pembubaran suatu institusi/badan hukum saja namun juga dapat
digunakan sebagai cara pengembangan perusahaan.141 Oleh sebab itu selain likuidasi
itu untuk tujuan merger, diketahui pula adanya likuidasi yang bertujuan untuk
merubah bentuk badan usaha. Hal ini biasanya dilakukan terhadap badan-badan usaha
yang masih berbentuk persekutuan Comanditaire Venootschap (CV) atau Firma
untuk menjadi suatu Perseroan Terbatas (PT).
Dengan begitu banyak perkembangan yang ada mengenai likuidasi perseroan
terbatas hal yang paling mendasar alasan dilikuidasinya perseroan terbatas adalah
ketidaksanggupan untuk tetap bertahan dalam dunia bisnis. Pemerintah sendiri juga
139 Pasal 143 ayat (2), Ibid. 140 Murni, Op.cit., hal. 106. 141 Dalam likuidasi dilakukan untuk pengembangan usaha adalah apabila perusahaan awalnya
berbentuk Comanditaire Venootschap kemudian dilikuidasi untuk didirikan kembali menjadi Perseroan Terbatas. Lihat : Robert D. Hisrich, Op.cit., Lihat juga Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktik, Buku Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 28., sebagaimana dikutip Ibid., hal. 107.
71
merasakan hal itu dengan melikuidasinya BUMN yang tidak bisa memberikan
keuntungan kepada Negara. Notabene memberikan profit sharing pada saat
pembagian dividen, yang terjadi adalah BUMN tersebut terus-menerus melakukan
permohonan penyertaan modal.
C. Pertimbangan Likuidasi Perseroan Terbatas
Bila ditinjau dari sudut penyebutannya saja, yaitu Perseroan Terbatas (PT),
maka yang terbayang adalah suatu perusahaan besar dengan modal yang cukup kuat.
Secara sederhana penyebutan ini telah dapat menyatakan karakteristik Perseroan
Terbatas, yang tersimpul dari kata “Perseroan” dan “Terbatas”. Dari kedua kata
perseroan dan terbatas itu dapat diartikan bahwa Perseroan Terbatas, seluruh modal
yang dimiliki terbagi dalam sero-sero (saham-saham) sedangkan terbatas memberi
makna pada tanggung jawab para pemegang saham adalah terbatas pada nilai jumlah
saham yang dimilikinya. Sekalipun dalam beberapa kepustakaan belum ditemukan
penjelasan asal-muasal terjadinya penyebutan itu, namun penggunaan istilah itu telah
lazim digunakan dan bahkan kini telah menjadi judul resmi undang-undang, yaitu
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.142
Likuidasi dilakukan berdasarkan keputusan RUPS sesuai dengan yang
tersebut di dalam Pasal 142, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas sudah pasti setiap perseroan terbatas memiliki alasan-alasan dalam hal
pembubaran perseroan. Latar belakang tersebut dapat dilihat pada Akte Risalah Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) pada saat pembubaran perseroan. Latar belakang
142 Murni, Op.cit., hal. 110-111.
72
sebuah Perseroan Terbatas dilikuidasi dapat disamakan dengan pertimbangan
likuidasi perseroan terbatas. Namun, subjek yang mempertimbangkan hal tersebut
adalah Pemegang Saham sebagai pemilik perseroan. Perkembangan bisnis persreoan
juga menjadi suatu pertimbangan dalam pengambilan keputusan melikuidasi
perseroan.143
Seluruh tindakan direksi dalam Perseroan Terbatas juga harus dicatat melalui
Anggaran Dasar yang perubahannya juga disesuaikan melalui Surat Keputusan
Menteri Hukum dan HAM (SK MENKUMHAM).144 Hal ini ditempuh agar dapat
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan memberitahukan
masyarakat luas. Dalam hal likuidasi juga harus diumumkan di Berita Negara
Republik Indonesia.145
Namun, pertimbangan dari dilikuidasi perseroan terbatas tidak dicantumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia. Dalam membahas mengenai “Analisis
Hukum Penyelesaian Hutang Piutang Perseroan Terbatas Dalam Likuidasi” ini tidak
dibahas mengenai aspek-aspek lain mengenai pertimbangan likuidasinya melainkan
143 RUPS adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan RUPS mengangkat Direksi dan Komisaris. Kemudian keputusan-keputusan yang menyangkut struktur organisasi Perseroan, yaitu perubahan anggaran dasar, penggabungan, peleburan, pemisahan, pembubaran dan likuidasi Perseroan, hak dan kewajiban para pemegangg saham, pengeluaran saham baru dan pembagian/penggunaan keuntungan yang dibuat Perseroan sepenuhnya menjadi wewenang RUPS. Lihat : Laura Ginting, “Analisis Hukum Kedudukan Rapat Umum Pemegang Saham pada Perseroan Terbatas Dilihat Dari Anggaran Dasar”, (Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008), hal. 107.
144 Veronica Tampubolon, “Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum Perseroan yang Dimuat Dalam Akta Notaris (Ditinjau Dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)”, (Tesis : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010).
145 Pasal 149 ayat (1) huruf b., Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit.
73
hanya pertimbangan bisnis karena perseroan terbatas tidak mencukupi antara
pendapatan dengan pengeluaran.
Oleh sebab itu, para pemegang saham harus turut bertanggung jawab secara
penuh sampai harta kekayaan pribadi atas perbuatan yang dilakukan oleh salah satu
persero, maka akan banyak kendala dalam melacak harta kekayaan pribadi dari tiap-
tiap pemegang saham dan karenanya sulit untuk dapat dilaksanakan. Atas dasar inilah
karakteristik pertanggungjawaban yang terbatas sangat mutlak dilekatkan pada
bentuk Perseroan Terbatas.146 Dengan melekatnya tanggung jawab terbatas pada
Perseroan Terbatas, hal ini dapat menjadi pertimbangan tersendiri bagi seseorang
yang akan melakukan investasi modalnya ke dalam suatu Perseroan Terbatas, bahwa
harta kekayaan pribadi akan terhindar dari tuntutan para kreditur Perseroan Terbatas,
sementara harapan keuntungan dari Perseroan Terbatas masih dapat diperoleh.147
Adapun yang menjadi pertimbangan dilikuidasinya sebuah perseroan terbatas
dalam riset ini adalah Laporan Keuangan yang terdiri dari Laporan Laba Rugi
perseroan terbatas dan Neraca Keuangan didapat bahwa tidak seimbangnya antara
pendapatan dengan pengeluaran. Berbagai cara sudah dilakukan namun tidak
menunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini terkait juga dengan hukum persaingan
146 Murni, Op.cit., hal. 112. 147 Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
maka prinsip pertanggungjawaban kini dapat diterobos dalam hal jika terjadi keadaan-keadaan khusus, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa : “ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila : a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. Pemegang Saham yang bersangutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan”, Loc.cit.
74
yang semakin ketat. Studi kelayakan (feasibility study) juga dilakukan dalam hal
memperoleh keadaan pasar saat ini, namun didapat bahwa perseroan terbatas (yang
menjadi subjek penelitian ini PT. Schutter Indonesia). Ada juga mengenai
pertimbangan-pertimbangan lain dalam melikuidasi perseroan terbatas yakni :
mengenai infrastruktur yang tidak mendukung, hambatan-hambatan yang terjadi
dalam pengurusan perusahaan baik internal maupun eksternal, dan lain sebagainya.
Jadi, berdasarkan itu pula Pemegang Saham dapat mengambil keputusan untuk
menyudahi atau menutup atau membubarkan perseroan.
D. Pengaturan Penyelesaian Hutang Piutang Perseroan Terbatas Dalam Likuidasi
Pengaturan penyelesaian hutang piutang perseroan terbatas pada saat likuidasi
dilakukan oleh Likuidator.148 Jika aset cukup maka tidak perlu ditempuh jalur
kepailitan namun sebaliknya apabila aset tidak cukup maka akan ditempuh jalur
tersebut. Dalam hal tidak perseroan memiliki aset yang cukup, maka tidak ada
masalah dalam proses likuidasinya. Sebaliknya jika aset tidak cukup likuidasi akan
terganggu karena proses yang pertama ditempuh adalah melakukan permohonan pailit
ke Pengadilan Niaga dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).149
Permohonan pailit dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Hal pertama sekali yang dilakukan oleh likuidator adalah mengumumkan
selanjutnya diikuti dengan pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang
148 Pasal 149 ayat (1) huruf c., Ibid. 149 Pasal 104 ayat (1), Ibid.
75
perseroan.150 Pencatatan tersebut bertujuan untuk menghitung seluruh kekayaan
apakah cukup atau tidak dalam hal pembayaran hutang. Selain hutang ada juga
piutang usaha yang harus ditagih oleh likuidator. Hal ini juga bermanfaat agar aset
perseroan terbatas cukup untuk membayar seluruh hutang dan kewajiban perseroan
terbatas.
Sudah dibahas pada bab sebelumnya mengenai asal-muasal hutang piutang
dari perseroan terbatas adalah berasal dari hubungan-hubungan bisnis dengan pihak
lain. Namun, dalam hal ini banyak sekali perjanjian kerja sama yang tidak diberikan
haknya kepada perseroan. Perseroan dilikuidasi bergerak atas nama Perseroan
Terbatas Dalam Likuidasi dilakukan oleh Likuidator. Penyelesaian hutang-piutang
bisa melalui jalur pengadilan (in-court) maupun luar pengadilan (out-court).
Penyelesaian sengketa utang piutang melalui jalur pengadilan, antara lain : a. Gugatan
perdata biasa; b. Arbitrase; c. Proses kepailitan dan atau PKPU. Sedangkan
penyelesaian utang piutang melalui luar pengadilan antara lain dapat menggunakan :
a. Alternative Dispute Resolution (ADR); b. Jasa Mediator “Prakarsa Jakarta”; dan
lain sebagainya. Hal tersebut di atas demi melakukan penegakan hukum.151
Ketegasan masalah sengketa hutang piutang merupakan sengketa perdata
dipertegas dalam beberapa yuridsprudensi, antara lain berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1970 No. 93 K/Kr/1969 yang secara jelas dan
tegas menyatakan ”Sengketa tentang hutang-piutang merupakan sengketa perdata”.
Jadi, penjelasan penyelesaian sengketa hutang piutang harus menempuh jalur perdata.
150 Pasal 149 ayat (1) huruf a., Ibid. 151 Manahan M. P. Sitompul, Op.cit.
76
Dalam perusahaan terbatas yang sedang dalam tahap likuidasi, jika ingin menuntut
haknya berupa pembayaran hutang dapat ditempuh jalur pengadilan. Dasar hukumnya
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dengan dalil
wanprestasi.152
1. Jalur Pengadilan (Gugatan Perdata Biasa)
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan
suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua
belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata153 :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang”.
Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi
isi perjanjian yang disepakati, seperti :
a. Tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. Tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. Tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjikan,
Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan
lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal
ini sebagaimana dimaksud Pasal 1243 KUH Perdata yang menyatakan “Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23. 153 Ibid.
77
sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang
mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon)
atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186
K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :
“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”. Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian.
Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUH Perdata yang menyatakan bahwa154 :
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”. Pasal 1246 KUH Perdata menyatakan bahwa : “biaya, ganti rugi dan bunga,
yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan
keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”.155 Berdasarkan pasal 1246 KUH
Perdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur
berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan
yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga
(interest).
Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi
(injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas. Meskipun tuntutan
ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung
membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :
154 Ibid. 155 Ibid.
78
a. Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976
menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum,
dipegangi prinsip Pasal 1372 KUH Perdata yakni didasarkan pada penilaian
kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”.
b. Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978,
menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal
kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.
Namun, ada kelemahan dalam berperkara pada jalur pengadilan, dimana
pihak-pihak yang ada yang dengan sengaja memperlambat proses ini untuk maksud-
maksud tertentu sehingga penyelesaian perkara terkesan lambat dan makan biaya
yang banyak. Terhadap proses litigasi melalui pengadilan ini muncul berbagai kritik
yang dilontarkan oleh masyarakat pencari keadilan terutama dari pelaku usaha, wujud
kritik tersebut menurut Suyud Margono dapat diuraikan sebagai berikut156 :
a. “Penyelesaian sengketa ‘lambat’ (waste of time), kelambatan tersebut diakibatkan oleh pemeriksaan yang sangat formal dan sangat teknis menjadikan arus perkara semakin deras, beban terlalu banyak (over loaded);
b. Biaya perkara ‘mahal’, apabila dikaitkan dengan lama penyelesaian perkara. Biaya perkara mahal membuat orang berperkara menjadi lumpuh dan terkuras waktu dan pikiran (litigation paralyze people);
c. Perkara tidak tanggap (unresponsive), karena dianggap sering mengabaikan perlindungan hukum dan kebutuhan masyarakat, dan sering berlaku tidak adil atau unfair;
d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa, tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan yang memberikan kedamaian dan ketentraman kepada pihak-pihak disebabkan oleh : 1. Salah satu pihak pasti menang, dan pihak lain pasti kalah (win-lose); 2. Keadaan win-lose akan menumbuhkan bibit dendam, permusuhan serta
kebencian;
156 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 65-66., sebagaimana dikutip Manahan M. P. Sitompul, Op.cit.
79
3. Putusan pengadilan membingungkan; 4. Putusan pengadilan sering tidak memberi kepastian hukum (uncertainty)
dan tidak bisa diprediksi (unpredictable). e. Kemampuan para hakim bersifat ‘generalis’, memiliki pengetahuan yang
terbatas hanya di bidang hukum saja”.
Selain kritik di atas yang paling menonjol adalah kritik terhadap sistem
perkara yang tidak sistematis dan tidak didisain untuk menyelesaikan sengketa secara
efisien karena hanya memberi putusan yang abstrak melalui proses banding, kasasi,
dan peninjauan kembali yang kemudian sulit dieksekusi. Kaitannya dengan likuidator
yang menyelesaikan pembayaran hutang-piutang ini adalah bahwa likuidator akan
memakan waktu yang lama dalam hal likuidasi. Waktu yang lama akan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dengan begitu perseroan terbatas yang sedang
dalam likuidasi akan sulit untuk menghemat pengeluaran (cut spending) perseroan.
Untuk menyelesaikan sengketa agar lebih efektif dan efisien perlu dilakukan
inovasi terhadap peraturan dan lembaga-lembaga yang menyangkut peradilan.
Lembaga dading yang diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBG mewajibkan hakim
untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa sebelum memeriksa pokok
perkara. Mekanisme dading (damai) ini mempunyai beberapa keuntungan yang
dibuat dan disetujui kedua belah pihak yang bersengketa dan selanjutnya diajukan
kepada hakim yang memeriksa lalu hakim membuat suatu keputusan perdamaian
yang memuat akta perdamaian itu sendiri ditambah perintah untuk melaksanakan isi
perdamaian. Putusan perdamaian ini bersifat final and binding artinya terhadap
80
putusan itu tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi dan hal ini mengikat kedua belah
pihak yang berperkara.157
Dari uraian mengenai penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan ini
untuk menuntut hak/hutang dari kreditor maka Likuidator membutuhkan waktu yang
lama dalam pemberesan harta kekayaan perseroan terbatas. Terkait dengan
pembatasan masalah pengaturan penyelesaian sengketa hutang piutang perseroan
terbatas dalam likuidasi maka pembahasan mengenai jalur pengadilan (in-court)
dengan gugatan biasa saja yang akan dibahas. Untuk pembahasan jalur pengadilan
lainnya tidak termasuk dalam substansi penulisan penelitian ini. Pada jalur luar
pengadilan (out-court) selanjutnya akan dibahas mengenai penyelesaian hutang
piutang melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).
2. Jalur Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution – ADR)
Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan beberapa istilah seperti : Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme
Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) dan Penyelesaian Sengketa Alternatif
(PSA).158
Penggunaan istilah ADR adalah untuk mengelompokkan proses negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan arbitrase. ADR dapat diartikan dalam 2 (dua) hal, yaitu :
a. Alternative to Litigation : Seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian ADR.
157 Manahan M. P. Sitompul, Op.cit. 158 Ibid.
81
b. Alternative to Adjudication : yang termasuk ADR hanyalah negosiasi, mediasi
dan konsiliasi yakni mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat
konsensus atau kooperatif.
Di Indonesia penggunaan ADR tersebut adalah termasuk dalam pengertian
Alternative to Adjudication, hal ini dapat dilihat dari judul Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.159 Jadi jelas,
yang dimaksud dengan ADR itu dalam ketentuan tersebut adalah penyelesaian di luar
Adjudication (out of court), sedangkan Arbitrase termasuk ke dalam kelompok
adjudikasi bersama-sama dengan litigasi. Dalam penjelasan ketentuan ADR ini
disebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau bedan pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsoliasi atau penilaian ahli.160
Dalam perkembangan selanjutnya istilah ADR memberi kesan bahwa
pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa secara konsensus hanya dapat
dilakukan di luar penagdilan (out of court), sedang saat ini sudah diterapkan mediasi
di pengadilan sebagai annexed court berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2003. Hadimulyo memperkenalkan Strategi Penyelesaian Sengketa, yaitu :
konsiliasi; fasilitasi; negosiasi; ditambah dengan pengalaman di bidang birokrasi
159 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872.
160 Manahan M. P. Sitompul, Loc.cit.
82
yakni konsultasi dan koordinasi, sedang fasilitasi adalah bantuan pihak ketiga untuk
menghasilkan suatu pertemuan atau perundingan yang produktif.161
a. Negosiasi
Negosiasi merupakan salah satu bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif
dimana par apihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung (ada
kalanya didampingi pengacara masing-masing) untuk mencari penyelesaian sengketa
yang sedang mereka hadapi ke arah kesepakatan bersama (konsensus) atas dasar win-
win solution. Negosiasi dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda.162
Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian
sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan tercapai
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.163
Pengertian sehari-hari dari negosiasi adalah berunding atau bermusyawaran, asal
katanya adalah negotiation yang berarti perundingan, sedang yang mengadakan
perundingan disebut negotiator. Manusia selalu melakukan negosiasi dalam
kehidupannya sehari-hari baik dalam kehidupan bisnis, pribadi, keluarga, pergaulan,
mitra kerja, majikan, karyawan, teman bahkan dengan lawan sengketa. Bila seorang
pelaku usaha, pengacara hendak melakukan negosiasi akan diperhadapkan dengan
161 Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR : Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Jakarta : ELSAM, 1997), hal. 31-32., sebagaimana dikutip oleh Ibid.
162 Sayud Margono, Op.cit., sebagaimana dikuttip Ibid. 163 Jony Emirson, Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta : Proyek Peningkatan Penelitian
Pendidikan Tinggi, Dirjendikti DepPenNas, PT. Prehalindo, 2002), hal. 494., sebagaimana dikutip Ibid.
83
kegiatan besar, sehingga perlu mempersiapkan diri tentang apa yang harus
dilakukannya sewaktu menggunakan strategi agar dapat dijalankan sebaik mungkin
untuk mencapai hasil yang saling menguntungkan.164
Ada 7 (tujuh) prinsip umum negosiasi yang harus dilaksanakan, yaitu165 :
1. Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih;
2. Pihak-pihak yang bersengketa harus menjunjung tinggi ketertiban satu sama lain
dalam mencapai hasil yang diinginkan bersama;
3. Pihak-pihak yang bersangkutan setidak-tidaknya pada awalnya menganggap
negosiasi sebagai cara yang lebih memuaskan untuk menyelesaikan sengketa
dibandingkan dengan metode-metode yang lain;
4. Masing-masing pihak harus beranggapan bahwa ada kemungkinan untuk
membujuk pihak lain untuk memodifikasi posisi awal mereka;
5. Setiap pihak harus mempunyai harapan akan sebuah hasil akhir yang mereka
terima dan suatu konsep tentang seperti apa hasil akhir itu;
6. Masing-masing pihak harus mempunyai suatu tingkat kuasa atas kemampuan
pihak lain untuk bertindak;
7. Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu interaksi di
antara orang-orang, terutama antara komunikasi lisan yang langsung walaupun
kadang-kadang dengan elemen tertulis.
164 Manahan M. P. Sitompul, Op.cit. 165 Alan Fowler dalam Runtung Sitepu, Modul Penyelesaian Sengketa Alternatif, (Medan :
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2003), hal. 5., sebagaimana dikutip oleh Ibid.
84
b. Mediasi
Mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak
ketiga yang netral. Peranan pihak netral tersebut adalah untuk membantu para pihak
untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dipersengketakan dengan membangun
suatu proposal yang diharapkan dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Mediator
tidak berwenang untuk memutus sengketa yang ditanganinya, hanya dapat mengikuti
pertemuan-pertemuan rahasia bersama pihak-pihak yang bersengketa.166
Dari rumusan atau definisi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur sebagai
berikut167 :
1. “Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan;
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan;
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian;
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung;
5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa”.
Peran mediator ini sangat tergantung kepada kebutuhan para pihak untuk
menyelesaikan sengketa, peran itu bisa dari yang paling ringan hingga yang paling
berat sesuai kebutuhan dari sengketa itu dengan kemauan para pihak. Peran dan
kegiatan mediator dapat dilihat sebagai jenis terapis negosiasi. Terapis artinya
menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa dan kemudian menyusun acara yang
166 Manahan M. P. Sitompul, Loc.cit. 167 Suyud Margono, Op.cit., hal. 253., sebagaimana dikutip Ibid.
85
memungkinkan intervensi lain dengan tujuan mencapai suatu kesepakatan yang
memuaskan kedua belah pihak.168
Peran penting mediator adalah melakukan diagnosa konflik, identifikasi
masalah serta kepentingan-kepentingan kritis, menyusun agenda, memperlancar dan
mengendalikan komunikasi, mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan
tawar menawar, membantu para pihak mengumpulkan informasi penting,
penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan, dan diagnosa sengketa
untuk memudahkan penyelesaian problem.169
Bilamana menurut mediator diperlukan bertemunya salah satu pihak untuk
membicarakan sesuatu tanpa disertai pihak lainnya, maka mediator membuat
pertemuan dalam bilik kecil (caucusing). Caucusing adalah melakukan pertemuan
antara mediator dengan salah satu pihak, dimana mediator memanggil para pihak satu
per satu di dalam kamar tersendiri (dimungkinkan memanipulasi situasi dalam
pembicaraan) demi untuk tercapainya tujuan perdamaian.170 Hal memanipulasi situasi
ini juga perlu dimaklumi oleh mediator agar dalam melakukan caucusing bila
menemukan situasi yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak dapat
dieliminasi oleh mediator demi tercapainya perdamaian antara pihak-pihak yang
bersengketa.171
168 Loc.cit. 169 Gary Goodpaster dalam Ibid. 170 Runtung Sitepu, Bahan Kuliah ADR, (Medan : PPS S3 Universitas Sumatera Utara,
Tanggal 12 September 2003), sebagaimana dikutip Ibid. 171 Manahan M. P. Sitompul, Op.cit.
86
b. Konsiliasi
Konsiliasi juga merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa bisnis.
Konsiliasi dapat diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan
keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan
perselisihan itu. Menurut Oppenheim, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa
dengan menyerahkan kepada komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan
atau mejelaskan fakta-fakta dan setelah mendengar para pihak dan mengupayakan
agar mereka mencapai suatu kesepakatan, membuat usulan-usulan untuk suatu
penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.172
Pada mulanya konsiliasi timbul dalam penyelesaian sengketa internasional
diatur dalam perjanjian antara Swedia dan Chili pada tahun 1920. kemudian pada
tahun 1922, konsiliasi dan arbitrase ditetapkan sebagai alternatif penyelesaian
sengketa dalam suatu perjanjian yang dibuat antara Jerman dan Swiss. Konsiliasi di
Amerika Serikat merupakan tahap awal dari proses mediasi, dengan acuan penerapan
apabila terhadap seseorang diajukan proses mediasi, dan tuntutan yang diajukan
climant dapat diterimanya dalam kedudukannya sebagai respondent. Dalam tahap
yang demikian telah diperoleh penyelesaian tanpa melanjutkan sengketa, karena
pihak responden dengan kemauan baik (goodwill) bersedia menerima apa yang
172 Oppenheim, dalam Huala Adolf, et.al., Masalah-Masalah Hukum dan Perdagangan
Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 186., sebagaimana dikutip Ibid.
87
dikemukakan oleh climant. Cara penyelesaian dengan goodwill demikian ini disebut
konsiliasi winning over by goodwill.173
Biasanya alasan responden memenuhi tuntutan secara iktikad baik (goodwill)
adalah karena : a. responden sendiri mengerti dan menyadari sejauh mana seriusnya
persoalan yang dipersengketakan, sehingga dianggap layak untuk memenuhi
permintaan; dan b. tidak ingin permasalahan ini dicampuri pihak ketiga, dengan
pengharapan penyelesaian akan lebih baik tercapai antara kedua belah pihak.174
Jadi, dalam hal pengaturan penyelesaian sengketa hutang piutang pada
perseroan terbatas dalam likuidasi tidak ada pengaturan pasti untuk itu. Tugas
likuidatorlah yang menerapkan bagaimana cara menyelesaikan hutang piutang
perseroan terbatas dalam likuidasi. Semua pilihan yang tersedia adalah sepenuhnya
hak likuidator. Pengaturannya dapat dikejar dengan menggunakan KUH Perdata
khususnya mengenai wanprestasi (cidera janji). Cidera janji tersebut terkait dengan
tidak dipenuhinya perjanjian-perjanjian dalam hubungan bisnis antar badan hukum
(dengan tujuan kepastian hukum).
Sebuah hubungan bisnis pada dasarnya adalah hubungan yang berlandaskan
kepercayaan. Sebuah perseroan terbatas merasa sudah menjalankan kewajibannya,
tetapi perseroan terbatas lain tersebut belum membayar ongkos atas pekerjaan yang
sudah dilakukan. Kejadian seperti ini sering terjadi di Indonesia dan sering
menimbulkan kerugian yang besar bagi pihak yang dikhianati. Untuk mengatasi
173 Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, (Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan
Tinggi, Dirjendikti, Depennas, 2002)., sebagaimana dikutip Ibid. 174 M. Yahya Harahap, et.al., Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang ADR, (BPHN :
Depkeh RI, 1995/1996), hal. 52., sebagaimana dikutip Ibid.
88
masalah seperti ni maka harus dicermati surat perjanjian kerja sama yang dibuat. Di
dalam surat perjanjian kerja sama biasanya memuat objek yang harus dikerjakan oleh
kedua belah pihak.175
Seandainya perseroan terbatas dalam likuidasi sudah melakukan kewajiban
sesuai dengan isi perjanjian kerja sama tersebut dan hingga batas waktu pembayaran,
mitra kerja belum juga memenuhi kewajibannya (wanprestasi) maka dapat
dilayangkan surat tagihan dengan cara persuasif. Bila melakukan somasi terhadap
kreditur tersebut maka isi somasi itu antara lain peringatan terhadap kelalain kreditur
dan tuntutan sanksi yang diinginkan. Jika somasi tidak juga digubris, maka dapat
diselesaikan melalui jalur pengadilan.176
Terkait dengan teori hukum yang digunakan untuk membedah permasalahan
yang timbul dalam penelitian ini yaitu teori keadilan (Adam Smith) yang mengatakan
bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian. Untuk menyelesaikan
hutang piutang oleh likuidator dibutuhkan likuidator yang dapat melihat keadilan itu
sendiri. Kerugian harus bisa diminimalisir, apalagi masalah biaya berperkara di
pengadilan. Maka dari itu, peran likuidator adalah penting guna terciptanya keadilan
bagi kreditur maupun debitur. Jika keadilan tercipta dalam mengambil jalan tengah
yaitu perdamaian penyelesaian hutang piutang maka akan terhindar dari kerugian
yang besar.
175 Eka An Aqimuddin dan Marya Agung Kusmagi, Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis,
Cetakan Pertama, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2010), hal. 198. 176 Ibid.
89
BAB III
PENENTUAN LIKUIDATOR TERHADAP LIKUIDASI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007
TENTANG PERSEROAN TERBATAS
Penentuan Likuidator menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas adalah berdasarkan Pasal 142 ayat (2) huruf a., yang menyatakan
bahwa “Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) : a. Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator”.
Pada ketentuan ini jelas bahwa penunjukan likuidator dilakukan setelah adanya
pernyataan melalui RUPS, karena jangka waktu berdirinya telah habis, berdasarkan
penetapan pengadilan, dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup
membayar biaya kepailitan karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit
berada dalam keadaan insolvensi, karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga
mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi.177 Tidak ada diatur di dalam ketentuan
hukum perusahaan mengenai jangka waktu perseroan terbatas untuk menentukan
likuidatornya.
A. Direktur Bertindak Sebagai Likuidator
Adanya celah hukum dalam ketentuan hukum perusahaan mengenai
penentuan siapa yang menjadi likuidator terhadap perseroan terbatas yang dilikuidasi
177 Pasal 142 ayat (1), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Op.cit.
90
adalah dapat dilihat dalam Pasal 142 ayat (3), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator”.
Berdasarkan Pasal inilah Direksi dapat bertindak sebagai Likuidator. Maka
seluruh kewajiban likuidator dibebankan kepada Direksi karena bertindak sebagai
Likuidator. Sudah pasti penegakan hukum dalam ketentuan likuidasi ini tidak berjalan
dengan maksimal dikarenakan Direksi yang bertindak sebagai Likuidator tidak
mengetahui tugas-tugasnya karena tidak sesuai dengan bidang keilmuan yang
dimiliki. Disinilah peran dari bagian hukum perusahaan untuk membantu Direksi
dalam melikuidasi perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia pada
umumnya memiliki karyawan untuk mengurusi persoalan hukum yang dihadapi oleh
perusahaan.
Namun, dikarenakan kebiasaan atau faktor budaya Direksi dalam menjalankan
tugas sehari-hari dengan cara memerintahkan para karyawannya. Maka secara
langsung Direksi melakukan penunjukan Pelaksana Tugas Direksi untuk melakukan
Likuidasi tersebut. Dikarenakan tidak adanya kesadaran hukum Pelaksana Tugas
Direksi maka seluruh tindakan hukumnya dibebankan oleh pemberi kewenangan
yaitu Direksi. Pelaksana Tugas Direksi tersebut berbuat sewenang-wenang karena
diberikan kewenangan yang besar, yaitu : dapat melakukan penggelapan aset-aset
perusahaan. Hal ini menyulitkan untuk membayar hutang-hutang perseroan.
91
Seharusnya Direksi dalam hal melakukan likuidasi menggunakan atan
meminta advice (nasihat) hukum dari Konsultan Hukum atau Pengacara. Tujuannya
agar Direksi dapat bertindak dengan baik tidak lari dari code of conduct yang sudah
ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas.178 Sebenarnya permasalahan
mencuat setelah Direksi bertindak sebagai Likuidator. Dengan penunjukan tersebut
maka penegakan hukum akan sulit dilakukan (dalam hal Direksi tidak memiliki
pendidikan hukum yang cukup). Penegakan hukum tidak tercapai maka tujuannya
juga tidak tercapai yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum.
Kepastian hukum terkait dengan penentuan Likuidator terhadap likuidasi
Perseroan Terbatas adalah berhubungan dengan Pasal 142 ayat (2) a., Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Jadi disini ditentukan bahwa
yang melakukan likuidasi adalah likuidator atau kurator. Namun, karena undang-
undang juga menentukan likuidator juga dapat dilaksanakan oleh Direksi maka
dengan tujuan menghemat pengeluaran perseroan (cut spending) Direksilah yang
melakukan likuidator. Budaya hukum Direksi adalah menyuruh bawahan untuk
melakukan pekerjaannya, bisa dikatakan pendelagasian tugas. Tetapi yang terjadi
adalah penyalahgunaan wewenang oleh pelaksana tugas tadi. Jadi, sebaiknya apabila
Perseroan Terbatas memutuskan untuk melikuidasi perusahaannya maka RUPS harus
menunjuk likuidator (orang yang mempunyai keahlian hukum) untuk melaksanakan
tugas likuidasi tersebut.
178 Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dibuat oleh Notaris namun pengumumannya dilakukan oleh Menteri pada Berita Negara Republik Indonesia. Seluruh perubahan anggaran dasar ini harus ada penyesuaian dengan ketentuan hukum perusahaan berdasarkan Pasal 30 ayat (1), Ibid., Lihat juga Hiasinta Yanti Susanti Tan, “Konsekuensi Perubahan Undang-Undang Perseroan Terbatas Terhadap Eksistensi Perseroan Terbatas”, (Tesis : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008).
92
B. Penentuan Likuidator Terhadap Likuidasi Perseroan Terbatas
Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
tepatnya Pasal 142 ayat (2) huruf a., maka likuidator harus ditunjuk setelah RUPS
memutuskan pembubaran perseroan terbatas.179 Jika penunjukan likuidator dilakukan
maka diharapkan akan tercapai penegakan hukum. Tergantung dari kompeten atau
tidak likuidator dalam melakukan tugasnya. Sudah pasti terkait mengenai pendidikan
dan spesialisasi hukum dari likuidator itu sendiri.
Berangkat dari teori penegakan hukum (Soerjono Soekanto) yang mengatakan
faktor-faktor penegakan hukum, antara lain180 :
1. “Undang-Undang; 2. Penegakan hukum, orang-orang yang melakukan itu; 3. Fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Masyarakat, tempat hukum itu ditegakkan; 5. Faktor kebudayaan, kebiasaan hukum”.
Maka penegakan hukum dapat dilakukan jika undang-undang tersebut tidak
memberikan pengartian yang berbeda-beda, atau dapat dikatakan substansinya baik.
Lalu orang-orang yang melakukan likuidasi tersebut apakah mengerti atau tidak
mengenai tahapan likuidasi perseroan terbatas. Fasilitas yang mendukung adalah
lembaga peradilannya untuk menyelesaikan hutang piutang perseroan terbatas.
Masyarakat tempat hukum itu ditegakkan adalah ketentuan hukum perusahaan yang
berlaku bagi dunia usaha/pelaku usaha. Faktor kebudayaan atau kebiasaan hukum
adalah mengenai kebudayaan hukum pelaku usaha tersebut apakah patuh dan taat
terhadap undang-undang atau tidak.
179 Loc.cit. 180 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Op.cit.
93
Setelah mengetahui seluruh aspek-aspek hukum yang terdapat dari penegakan
hukum. Selanjutnya likuidator dapat bertindak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu tahapan likuidasi.
C. Praktek Pelaksanaan Pembubaran Perseroan Terbatas
Dalam praktek pembubaran Perseroan menurut Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas akibat keputusan RUPS ternyata terdapat
inkonsistensi pelaksanaan Pasal 152 ayat 5 yang mengatur tentang pencatatan
berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dalam
Daftar Perseroan. Pembubaran perseroan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
diatur dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 152, dimana yang berbeda dengan
pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(Pasal 114 sampai dengan 124) adalah mengenai berakhirnya status badan hukum
Persroan.181
Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
ditegaskan bahwa Menteri akan mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan
yaitu setelah mendapatkan pemberitahuan dari Likuidator tentang hasil akhir proses
likuidasi yang dicantumkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
”terakhir”. Untuk lebih jelasnya berikut akan diuraikan langkah-langkah pembubaran
Perseroan Terbatas berdasarkan RUPS, yaitu :
181 Jusuf Patrianto Tjahjono, “Praktek Pelaksanaan Pembubaran PT”,
http://notarissby.blogspot.com/2008/07/praktek-pelaksanaan-pembubaran-pt.html., diakses pada 11 Mei 2011.
94
1. Pelaksanaan RUPS dengan materi acara pembubaran Perseroan Terbatas
diikuti dengan penunjukan likuidator untuk melakukan proses likuidasi;182
2. Dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan,
Likuidator harus mengumumkan dalam Surat Kabar dan Berita Negara
Republik Indonesia serta memberitahukan kepada Menteri;183 (dalam tahap ini
Menteri hanya mencatat bahwa Perseroan dalam Likuidasi).
3. Dalam tahap pemberesan harta kekayaan Perseroan, Likuidator wajib
mengumumkan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia
mengenai Rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;184
4. Diadakan RUPS tentang pertanggungjawaban Likuidator dalam melaksanakan
proses likuidasi, sekaligus memberikan pelunasan dan pembebasan kepada
Likuidator, yang diikuti pengumuman dalam Surat Kabar mengenai hasil
akhir proses likuidasi dan pemberitahuan kepada Menteri;185
5. Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus
nama Perseroan dari Daftar Perseroan diikuti dengan pengumuman dalam
Berita Negara Republik Indonesia.186
Singkatnya Likuidator harus mengumumkan 3 (tiga) kali dalam Surat Kabar
(mengenai pembubaran, rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi, dan hasil akhir
proses likuidasi) dan 1 (satu) kali dalam Berita Negara Republik Indonesia (mengenai
182 Pasal 142 ayat (1) dan (2), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Op.cit. 183 Pasal 147 ayat (1), Ibid. 184 Pasal 149, Ibid. 185 Pasal 152 ayat (3), Ibid. 186 Pasal 152 ayat (5) jo., ayat (8), Ibid.
95
pembubaran), serta memberitahukan kepada Menteri 2 (dua) kali (mengenai
pembubaran dan hasil akhir likuidasi).187
Dalam praktek ketika memasukkan data untuk memenuhi ketentuan Pasal 152
ayat (3), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (proses
pemberitahuan hasil akhir likuidasi) ternyata data di database Sistem Administrasi
Badan Hukum (Sisminbakum) telah dihapus. Rupanya pada waktu pertama kali
melaporkan/memberitahukan pembubaran Perseroan, seketika itu pula Menteri
(melalui Sisminbakum) melakukan pencatatan berakhirnya status badan hukum
Perseroan (seharusnya Menteri hanya melakukan pencatatan bahwa Perseroan dalam
proses likuidasi).188
Jadi dalam praktek Berita Acara RUPS ”terakhir” yang berisi hasil akhir
proses likuidasi dan pelunasan serta pembebasan likuidator tidak dapat diberitahukan
kepada Menteri melalui Sisminbakum, oleh karena data Perseroan telah dihapus. Hal
ini menimbulkan pertanyaan apakah implikasinya bagi likuidator bila prosedur Pasal
152 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak
dilaksanakan. Diperlukan kajian tambahan atau penelitian lanjutan mengenai hal
ini.189
Dari uraian di atas dapat disimpulkan status badan hukum suatu Perseroan
berakhir yaitu bukan oleh karena pencatatan yang dilakukan oleh Menteri namun
pada saat dilakukan pemberesan dan pertanggungjawaban likuidator telah diterima
oleh RUPS demikian sesuai dengan Pasal 143 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun
187 Jusuf Patrianto Tjahjono, Op.cit. 188 Ibid. 189 Ibid.
96
2007 tentang Perseroan Terbatas. Seharusnya perlu diadakan koreksi terhadap
ketentuan dalam Pasal 152 ayat (5) dan (6) yang mengesankan bahwa
hapusnya/berakhirnya status badan hukum Perseroan dengan adanya tindakan
pencatatan oleh Menteri. Tindakan pencatatan oleh Menteri adalah suatu tindakan
administratif yang tidak mempunyai implikasi hukum apapun terhadap
hapusnya/berakhirnya suatu Perseroan.190
190 Ibid.
97
BAB IV
HAMBATAN-HAMBATAN PENYELESAIAN HUTANG PIUTANG TERHADAP LIKUIDASI PERSEROAN TERBATAS
Hambatan penyelesaian hutang piutang dihadapi oleh likuidator karena
likuidator bertanggung jawab kepada Pemegang Saham atas pemberesan yang
dilakukan terhadap Perseroan Terbatas. Adapun permasalahan yang dihadapi oleh
likuidator, antara lain : a. Tidak ada ditentukan kapan seharusnya likuidator tersebut
harus ditunjuk oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Pembagian sisa hasil
likuidasi perseroan; c. Pungutan liar dalam laporan pencabutan izin usaha pada
instansi pemerintah; d. Penggelapan aset oleh pengurus perusahaan; e. Pada saat
menagih hutang, ternyata kreditor sudah tidak beroperasi lagi; dan lain sebagainya.
Pembahasan pertama akan dibahas mengenai sisa hasil likuidasi perseroan.
A. Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan
Dalam praktek likuidasi perseroan terbatas, salah satu tahap yang harus
dilakukan adalah tahap pemberesan oleh likuidator. Dalam tahap pemberesan ini ada
satu masalah yang cukup krusial untuk dibahas secara mendalam, karena dalam
masalah ini menyangkut beberapa bidang hukum yaitu hukum perusahaan, hukum
pertanahan, dan hukum perpajakan. Masalah yang terjadi adalah dalam tahap
pemberesan ternyata terdapat sisa aset perseroan berupa hak atas tanah (Hak Guna
98
Bangunan) atas nama perseroan. Bagaimana cara membagikan aset tersebut kepada
pemegang saham.191
Pembubaran dan likuidasi adalah dua perbuatan hukum yang tidak
terpisahkan, karenaa setiap pembubaran wajib diikuti oleh tindakan likuidasi.192 Jika
Sisminbakum konsekuen terhadap bunyi peraturan yang ada, maka sebelum
dilakukan tindakan likuidasi, status badan hukum dari Perseroan Terbatas tetap ada.
Oleh karena itu, pasti ada implikasinya apabila tindakan pembubaran tidak diikuti
oleh tindakan likuidasi. Salah satu kewajiban likuidator adalah melakukan
pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham yang dilakukan
setelah dilaksanakannya pembayaran kepada seluruh kreditor.193
Masalahnya adalah jangka waktu setelah keputusan pembubaran perseroan,
likuidator melaksanakan pembagian sisa hasil likuidasi. Dalam ketentuan Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan “tenggang
waktu” waktu yang berbeda dalam Pasal 147 ayat (3) dan Pasal 149 ayat (3). Jika
diamati seolah-olah ketentuan mengenai tenggang waktu tersebut mengatur hal yang
berbeda, dalam Pasal 147 ayat (3) mengatur jangka waktu pengajuan tagihan,
sedangkan dalam Pasal 149 ayat (3) adalah mengenai jangka waktu untuk
mengajukan keberatan terhadap rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi. Namun
yang menjadi masalah adalah acuan penghitungan jangka waktu 60 hari dimulai dari
mana.
191 Jusuf Patrianto Tjahjono, “Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan”, http://notarissby.blogspot.com/2008/08/pembagian-sisa-hasil-likuidasi.html., diakses pada 12 Mei 2011.
192 Pasal 142 ayat (2), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit.
193 Pasal 149 ayat (1), huruf d., Ibid.
99
Dalam Pasal 147 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan penjelasannya diketahui 60 hari sejak tanggal pengumuman
paling akhir yaitu tanggal pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia
(bukan tanggal pengumuman di Surat Kabar); sedangkan dalam Pasal 149 ayat (3)
jangka waktu 60 hari dihitung dari pengumuman tentang rencana pembagian
kekayaan hasil likuidasi jadi bukan dari pengumuman pembubaran seperti yang
tercantum dalam Pasal 147 ayat (1).194
Dalam praktek para Notaris sering hanya berpatokan pada tanggal
Pengumuman pembubaran sesuai dengan Pasal 147 ayat (1) Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahkan jarang sekali menyarankan kepada
kliennya untuk melakukan Pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil
likuidasi. Padahal akibat tidak dilaksanakannya tindakan ini adalah fatal. Karena
dengan tidak dilakukannya tindakan tersebut hak kreditor untuk mengajukan
keberatan telah ditiadakan, oleh karena itu setiap tindakan hukum berikutnya yang
dilakukan oleh likuidator terhadap sisa hasil kekayaan perseroan dapat dinyatakan
“batal demi hukum”. Ketentuan Pasal 150 tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk
membela diri.195
Jadi, solusi mengenai kapan dapat dibagikan sisa kekayaan hasil likuidasi
kepada pemegang saham adalah sebagai berikut196 :
194 Dalam hal ini harus juga ditafsirkan tanggal pengumuman yang paling akhir yaitu tanggal
pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia, walaupun dalam penjelasan resmi Pasal 149 ayat (3) cukup jelas, Ibid.
195 Jusuf Patrianto Tjahjono, “Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan”, Op.cit. 196 Ibid.
100
1. Apabila terdapat kreditor yang mengajukan tagihan, maka paling tidak
pembayarannya harus menunggu setelah lewatnya waktu 60 hari setelah
pengumuman rencana pembagian (atau setidak-tidaknya 120 hari setelah
pengumuman pembubaran perseroan);
2. Apaila terdapat kreditor yang mengajukan tagihan dan keberatannya terhadap
rencana pembagian ditolak oleh Likuidator, maka pembagiannya harus
menunggu sampai dengan adanya putusan Pengadilan terhadap pokok gugatan
tersebut;197
3. Apabila tidak terdapat kreditor yang mengajukan tagihan, maka setelah
lewatnya jangka waktu 60 hari setelah tanggal pengumuman pembubaran
(yang digunakan adalah tanggal pengumuman di Berita Negara Republik
Indonesia, bukan tanggal Pengumuman di Surat Kabar), dapat dilakukan
pembagian.
Khusus mengenai point ketiga di atas, karena tidak ada aturannya dalam
undang-undang, maka demi keamanan terhadap sahnya tindakan likuidator perlu
diadakan penegasan dalam suatu RUPS bahwa setelah jangka waktu yang ditetapkan
dalam Pasal 147 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, benar-benar tidak terdapat tagihan dari kreditor manapun dan oleh karena
itu RUPS memutuskan memberikan kewenangan kepada likuidator untuk
membagikan sisa kekayaan perseroan kepada pemegang saham sesuai dengan
proporsi kepemilikan sahamnya di dalam perseroan, semuanya dengan mengingat
197 Pasal 149 ayat 4, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit.
101
ketentuan dalam Pasal 150 ayat (2) bahwa “kreditor dapat mengajukan tagihan
melalui Pengadilan dalam jangka waktu 2 tahun sejak pengumuman pembubaran
Perseroan”.198
Dalam melakukan pembagian sisa kekayaan perseroan hasill likuidasi kepada
pemegang sahamnya harus benar-benar diperhatikan waktu pelaksanaannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan akibat hukum bahwa jika
tidak dilakukan sesuai prosedur maka perbuatan hukum tersebut dapat dinyatakan
batal demi hukum. Peringatan kepada para calon pembeli aset yang berasal dari sisa
hasil likuidasi perseroan yang dibubarkan agar lebih berhati-hati, lebih aman jika
membeli aset tersebut selewatnya 2 tahun setelah pengumuman pembubaran
perseroan.199
B. Aset Perseroan Adalah Aset Bersama dari Pemegang Saham Sesuai Dengan Proporsi Kepemilikan Saham Masing-Masing Pemegang Saham Dalam Perseoan
Permasalahan berikutnya adalah subjek hukum dalam tindakan pembagian
aset perseroan jika masih ada sebidang tanah dengan Hak Guna Bangunan atas nama
perseroan. Persoalan ini dapat diselesaikan dengan mudah apabila para pemegang
saham sepakat untuk menjual aset tersebut, namun jka pemegang saham tidak sepakat
maka masalah yang akan timbul. Pertanyaan yang mendasar adalah mengenai
pemegang saham adalah pemilik perseroan yang merupakan satu kesatuan dengan
keberadaan Perseroan atau Perseroan sebagai Person/Orang (legal entity) yang
198 Jusuf Patrianto Tjahjono, “Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan”, Loc.cit. 199 Ibid.
102
mandiri terdiri dari para pemegang saham (karena Perseroan didirikan berdasarkan
perjanjian dan setelah didirikan maka Perseroan seolah-olah mempunyai “jiwa”
tersendiri dari para pendirinya (Pemegang Saham).200
Pilihan tersebut membawa implikasi hukum yang berbeda, dapat dilihat
terlebih dahulu mengenai Teori Karakteristik Perseroan, yaitu201 :
“Dalam Teori Karakteristik Perseroan mendalilkan bahwa dalam perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup, tanggung jawab pemegang saham lebih besar dibandingkan tanggung jawabnya dalam perseroan dengan karakteristik terbuka, dengan demikian pula kekuasaan RUPS lebih utama daripada kekuasaan Pengurus, perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup lebih berkarakter sebagai person yang mandiri, dibandingkan perseroan terbatas dengan karakteristik terbuka lebih sebagai alat (fungsi) daripada berkarakter sebagai person.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik terbuka, beda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik tertutup karena kekuasaan RUPS dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 diakui sebagai pemegang kekuasaan tertinggi”.
Relevansi pembahasan mengenai karakteristik perseroan ini erat kaitannya
dengan penentuan apakah aset perseroan tersebut merupakan barang milik bersama
secara bebas atau milik bersama secara terikat. Penentuan ini berdampak pada
pengenaan pajak bagi para pemegang saham yang memperoleh aset/kekayaan hasil
likuidasi perseroan.202
Menurut Herlien Budiono mengenai Pemilikan Bersama menurut teori dan
praktek, penentuan kepemilikan bersama bersifat terikat atau bebas bergantung pada
200 Ibid. 201 Ibid. 202 Ibid.
103
sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu kebendaan
bersama-sama, antara lain203 :
1. Pemilikan bersama yang bebas (vrje medeeigendom) – pemilikan bersama
merupakan tujuan dari para pemiliknya;
2. Pemilikan bersama yang terikat (gebonden medeeigendom) – pemilikan
bersama merupakan akibat dari suatu peristiwa hukum yang lain.
Persamaan dari pemilikan bebas dan terikat di atas adalah bahwa pemiliknya
memiliki bagian yang tidak terbagi atas keseluruhan benda yang dimiliki bersam.
Contoh : pemilikan bersama yang terikat : karena bubarnya perkawinan, ex suami-
isteri bersama memiliki harta benda perkawinan; karena bubarnya persekutuan
perdata (maatschap) atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, para persero
bersama memiliki harta perseroan; karena meninggalnya pewaris, para ahli waris
bersama memiliki harta peninggalan.204
Kewenangan bertindak dari kepemilikan bersama adalah terwujud pada bebas
atau tidaknya para pemilik untuk setiap saat mengalihkan bagian yang tidak terbagi
yang dimiliki atas harta bersama. Pada pemilikan bersama yang terikat, para
pemiliknya tidak bebas untuk mengalihkan bagian tidak terbaginya semua tindakan
hukum harus dilakukan bersama-sama. Sedangkan pada pemilikan bersama yang
bebas, para pemilik bebas untuk mengalihkan bagian tidak terbagi aset tersebut.205
203 Herlien Budiono, “Pemilikan Bersama Menurut Teori dan Praktek”, Seminar di Surabaya,
08 Februari 2008., sebagaimana dikutip Ibid. 204 Pasal 833 ayat (1) jo. Pasal 955, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit. 205 Jusuf Patrianto Tjahjono, “Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan”, Op.cit.
104
Pemisahan dan pembagian pemilikan bersama yang bebas diatur dalam Pasal
573 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “membagi sesuatu kebandaan yang
menjadi milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan-aturan yang
ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta pembagian”. Pada pemisahan dan
pembagian persekutuan perdata (maatschap) diatur dalam Pasal 1652 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa : “aturan-aturan tentang pembagian warisan-warisan, cara-
cara pembagian itu dilakukan, serta kewajiban-kewajiban yang terbit karenanya
antara orang-orang yang turut mewaris, berlaku juga untuk pembagian di antara para
persero”.206
Pemisahan dan pembagian bersifat pengalihan hak, pada Pasal 1083 KUH
Perdata menyebutkan bahwa207 :
“Tiap waris dianggap seketika menggantikan si meninggal dalam hak miliknya atas benda-benda yang dibagikan kepadanya atau yang secara pembelian diperolehnya berdasarkan Pasal 1076. Dengan demikian, maka tiada seorang pun dari para waris dianggap pernah memperoleh hak milik atas benda-benda yang lainnya dari harta peninggalan” Jika kepada ahli waris A dibagikan sebuah rumah, maka ahli waris B sebuah
pabrik, yang terjadi adalah : A tidak pernah memiliki pabrik dan B tidak pernah
memiliki rumah; A dan B masing-masing memperoleh rumah dan pabrik bukan
karena pemisahan dan pembagian tetapi karena warisan. Bukan peralihan/perolehan
hak, tetapi mengkonstatir peristiwa hukum.208
Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang terikat bersifat
deklaratif, berlaku surut sejak terjadinya pemilikan bersama yaitu sejak bubarnya
206 Ibid. 207 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit. 208 Jusuf Patrianto Tjahjono, “Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan”, Loc.cit.
105
perkawinan dan bubarnya persekutuan perdata (maataschap)/perkumpulan tidak
berbadan hukum, meninggalnya pewaris. Pemisahan dan pembagian untuk
kepemilikan bersama yang bersifat pengalihan hak “translatif” berlaku sejak
terjadinya pemisahan dan pembagian. Tujuan pemisahan dan pembagian tersebut
adalah mengakhiri pemilikan bersama dan kepada pihak yang dipisahkan dan
dibagikan suatu benda mempunyai hak pengurusan dan pemilikan atas bendanya.209
Aset sisa hasil likuidasi perseroan merupakan harta pemilikan bersama bebas
atau terikat dari pemegang saham, patokannya bergantung pada sebab (oorzaak) yang
mengakibatkan para pemilik memiliki suatu benda. Dalam hal inilah penting sekali
untuk menganalisa dari segi karakteristik Perseroan. Jika karakteristik Perseroan
terbuka, maka keberadaan Perseroan Terbatas sebagai alat (fungsi) membawa akibat
pemilikan suatu benda adalah untuk memenuhi suatu tujuan yang hendak dicapai
Perseroan melalui Pengurusnya untuk kepentingan para pemegang saham, sehingga
dalam hal ini dapat dikatakan hakekat pemilikan benda oleh Perseroan merupakan
pemilikan bersama yang bebas. Konsekuensinya pembagian aset tersebut kepada para
pemegang saham merupakan peralihan hak yang translatif. Contoh : Perseroan yang
berusaha di bidang developer/real estate, bubar dan dilikuidasi, maka sisa asetnya
berupa kaplingan dan/atau rumah di perumahan yang dikembangkan oleh Perseroan
(contoh Perseroan Terbatas karakteristik terbuka di bidang kepemilikan bersama,
perseroan terbatas sebagai alat, aset yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama).
209 Ibid.
106
Terhadap perbuatan hukum ini pemegang saham dikenai pajak khususnya Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).210
Jika Perseroan dengan karakteristik tertutup, maka aset yang diperoleh
Perseroan adalah merupakan aset yang digunakan untuk menunjang keberadaan
perseroan. Dalam hal ini kepemilikan aset merupakan kepemilikan bersama yang
terikat. Konsekuensinya pembagian aset hasil likuidasi kepada para pemegang saham
merupakan tindakan yang bersifat deklaratif (hanya untuk mengkonstatir suatu
peristiwa hukum dalam hal ini likuidasi) dan oleh karena itu terhadap tindakan
tersebut tidak dapat dikenai pajak, karena tidak terjadi peralihan hak secara translatif.
Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang industri, memiliki aset pabrik berikut
hak atas tanahnya, bubar dan dilikuiasi, sisa asetnya berupa bangunan dan tanah
dimana pabrik tersebut didirikan (contoh Perseroan Terbatas karakteristik tertutup di
bidang kepemilikan bersama, pembelian dan kepemilikan atas aset untuk menunjang
keberadaan Perseroan dan bukan untuk tujuan Perseroan).211
Sisa hasil likuidasi harta Perseroan yang dibubarkan tidak harus dalam bentuk
uang tunai, namun dapat saja berupa aset. Barang tidak bergerak (khususnya hak atas
tanah dan/atau bangunan) dan/atau barang bergerak baik berwujud maupun tidak
berwujud. Khusus mengenai sisa hasil likuidasi yang berupa aset dalam bentuk
barang tidak bergerak khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila aset
tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk menunjang keberadaan Perseroan, maka
dapat dikategorikan sebagai barang milik bersama secara terikat dari para pemegang
210 Ibid. 211 Ibid.
107
saham, sedangkan jika aset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk memenuhi
tujuan Perseroan maka sisa hasil likuidasi tersebut adalah merupakan barang milik
bersama secara bebas.212
C. Jangka Waktu Pengangkatan Likuidator
Dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a., Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas tidak ada ditentukan kapan saat yang tepat likuidator
tersebut harus ditunjuk. Hal ini menyebabkan Perseroan Terbatas sudah dibubarkan
tetapi likuidator belum diangkat. Perseroan Terbatas hanya menunjuk Pelaksana
Tugas Direktur, padahal jika Perseroan Terbatas sudah dibubarkan tidaklah mungkin
adalagi Pelaksana Tugas Direktur. Inilah yang sering terjadi sehingga menyebabkan
banyak kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Pelaksana Tugas Direktur tersebut.
Barulah setelah beberapa bulan diangkat likuidator untuk menyelesaikan likuidasi
Perseroan Terbatas.
Dengan kata lain, substansi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas belum lengkap mengatur mengenai likuidasi Perseroan Terbatas.
Hal ini mengakibatkan tidak adanya dasar hukum mengenai kapan saatnya likuidator
tersebut diangkat. Terkait dengan teori penegakan hukum bahwa setiap proses
pembubaran perseroan terbatas harus diikuti dengan likuidasi. Jadi, likuidator
diangkat pada saat RUPS tentang pembubaran perseroan, disinilah langsung diangkat
likuidator tersebut. Jika melihat undang-undang itu dari satu sisi saja maka, akan sulit
untuk menentukan kapan saat yang tepat untuk mengangkat likuidator.
212 Ibid.
108
Kegunaan mengangkat likuidator tersebut bertujuan untuk menegakkan
hukum yaitu Pasal 149 ayat (2) huruf a., Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Jika hukum sudah tegak maka akan diperoleh kepastian hukum,
dalam hal likuidasi, kepastian hukum tersebut adalah Perseroan Terbatas akan segera
melakukan pemberesan harta kekayaan dan mengumumkan atas likuidasi perseroan
terbatas tersebut pada Berita Negara Republik Indonesia. Jika kepastian hukum
tercapai, kemanfaatan hukum juga ikut tercapai dalam hal likuidasi perseroan terbatas
ini manfaat hukumnya adalah bahwa likuidator tidak dihadapkan dengan kasus-kasus
penggelapan aset perusahaan. Kemanfaatan hukum tidak terlepas dari keadilan
hukum, likuidasi perseroan terbatas mengakibatkan keadilan bagi seluruh karyawan
dan pemegang saham dalam hal pembagian sisa hasil likuidasi perseroan terbatas.
Maka untuk kedepannya terkait dengan teori rule of law (David M. Trubek)
diharapkan kepada pembuat undang-undang agar lebih memperhatikan predictability,
stability, dan fairness.213 Dalam hal ini, di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas harus memuat mengenai jangka waktu penunjukan
likuidator. Penetapan jangka waktu tersebut akan membuat ketentuan ini bisa
diprediksi. Jika tidak ditentukan kapan jangka waktu penunjukan likuidator tersebut,
maka yang terjadi adalah mis-interpretation (kesalahan dalam menafsirkan).
Pengurus perusahaan dalam hal ini Direksi akan mengacu pada Pasal 142 ayat (3),
yang menyatakan bahwa214 :
213 Bismar Nasution, “Modul Perkuliahan : Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”,
Op.cit., hal. 7. 214 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Op.cit.
109
“Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator”.
Jika hal itu terjadi maka Direksi akan kebingungan dalam melakukan tindakan
dalam hal likuidasi perseroan terbatas. Hal ini dikarenakan bidang keilmuan yang
berbeda dalam mengurusi masalah likuidasi. Untuk melikuidasi perusahaan
dibutuhkan seseorang yang mengerti mengenai hukum perusahaan, bisa dikatakan
seorang Konsultan Hukum, Pengacara, ataupun Notaris.
D. Pungutan Liar Dalam Laporan Pencabutan Izin Usaha
Laporan pencabutan izin usaha dilakukan berdasarkan pada Undang-Undang
No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan pada Pasal 25 ayat (3),
menyatakan bahwa215 :
”Apabila terjadi pembubaran perusahaan atau kantor cabang, kantor pembantu atau perwakilannya, pemilik atau pengurus maupun likwidatur berkewajiban untuk melaporkannya”.
Pasal ini mengisyaratakan agar laporan pembubaran perseroan terbatas juga
dilaporkan pada lembaga terkait yaitu Dinas Pendatan Daerah (dahulu Departemen
Perindustrian dan Perdagangan) yang menggunakan azas satu pintu. Namun,
kenyataannya tetap saja harus menghadapi dari meja satu ke meja lainnya. Hal ini
membutuhkan biaya yang banyak. Pada saat pendaftaran pertama sudah dilakukan,
begitu juga pada perpanjangan, dan selanjutnya pada saat pembubaran juga harus
215 Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214.
110
melaporkan. Padahal tidak ada suatu apapun yang dilakukan oleh instansi pemerintah
yang berwenang untuk itu dalam hal pengawasan perusahaan. Seharusnya instansi
pemerintah tersebut bertugas untuk menyediakan data-data perusahaan yang ada di
wilayah kerjanya. Pada bagian Menimbang huruf b., disebutkan bahwa :
”adanya Daftar Perusahaan itu penting untuk Pemerintah guna melakukan pembinaan, pengarahan, pengawasan dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat karena Daftar Perusahaan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih menjamin perkembangan dan kepastian berusaha bagi dunia usaha”.
Pada tujuan ini berarti Dinas Pendapatan Daerah mempunyai kewenangan
untuk membina, mengarahkan, mengawasi, dan menciptakan iklim dunia usaha yang
sehat. Tetapi cara-caranya tidak dicantumkan dalam peraturan tersebut. Undang-
undang ini hanya melegalisasikan kutipan-kutipan liar (pungli) bagi Pemerintah untuk
meningkatkan pendapatannya. Akibatnya akan timbul transaction cost yang tinggi
bagi perusahaan untuk mendaftarkan, merubah, atau membubarkan perseroan.216 Jika
tidak didaftarkan atau diberitahukan bahwa perseroan sudah dibubarkan maka akan
terjerat ketentuan pidana pada Pasal 32 yang menyatakan bahwa217 :
(1) ”Barang siapa yang menurut Undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya diwajibkan mendaftarkan perusahaannya dalam Daftar Perusahaan yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini merupakan kejahatan”.
216 Transaction Cost timbul akibat dari keperluan untuk mengurusi Tanda Daftar Perusahaan.
Pada saat pembubaran juga, likuidator wajib untuk melaporkannya. Hal ini dikutip biaya administrasi yang besarannya ditetapkan oleh Menteri (Pasal 30, Ibid.).
217 Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Loc.cit.
111
Apabila peraturan ini dijalankan dengan baik maka pelaku usaha tidak
keberatan untuk menjalankannya apalagi hanya membayar biaya administrasi yang
masih terjangkau pelaku usaha. Kenyataannya selain membayar administrasi tersebut
ada juga pembayaran yang dilakukan kepada oknum-oknum tertentu. Hal ini dapat
dilihat pada korupsi yang dilakukan sebagai berikut218 :
”Lembaga Penyalur Aspirasi Rakyat (Lempar) melakukan aksi unjukrasa di Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), Jalan Abdul Haris Nasution, Medan, Selasa (08/03/2011). Dalam aksi ini salah satu tuntutan dari Lempar adalah meminta Kejatisu untuk mengusut dugaan korupsi pembangunan Kantor Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Pendapatan Sumut sebesar Rp. 8,2 miliar di sepuluh Kabupaten/Kota se-Sumut. Di antaranya UPT Pematang Siantar, Kisaran, Padang, Sidempuan, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Balige, Samosir, Sidikalang, Tarutung, dan Rantau Parapat”.
Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa Dinas Pendapatan Daerah
terindikasi korupsi dana-dana taktis pembangunan UPT. Korupsi juga dilakukan
melalui pungutan liar di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan
yang mengeluarkan perizinan usaha perdagangan, seperti yang dikatakan Sugisno,
salah seorang pelaku usaha di Kota Medan bahwa219 :
”Praktik pungutan liar (pungli) ini terbilang sangat halus dan rapi sehingga sangat sulit untuk pembuktiannya. Biasanya, praktik pungli ini dilakukan saat masyarakat, pelaku usaha dan Usaha Kecil Menengah (UKM) akan mengambil izin kepada petugas juru bayar di loket depan seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) dan beberapa izin lainnya. Saat mengambil izin itu, petugas loket tanpa malu-malu meminta kepada masyarakat uang terima kasih yang jumlahnya bervariasi. Sementara tanda bukti setoran tertulis tarif sesuai retribusi yang tertuang di Perda No. 22 Tahun
218 Mandailing Online, “Usut Kasus Dugaan Korupsi di Dispenda Sumut Rp. 9,3 M”,
http://www.mandailingonline.com/2011/03/usut-kasus-dugaan-korupsi-di-dispenda-sumut-rp93-m/., diakses pada 11 Mei 2011.
219 Jurnal Medan, “Pungli Menggurita di BPPT Medan”, http://medan.jurnas.com/index.php?option=com_content&task=view&id=57953&Itemid=53., diakses pada 11 Mei 2011.
112
2002. Seperti Tarif SIUP golongan kecil retribusi Rp.150.000,- menjadi Rp.250.000,- golongan menengah berbentuk CV Rp.300.000,- menjadi Rp.450.000,- dan SIUP besar bentuk usaha PT retribusi Rp.450.000,- membengkak menjadi Rp.600.000,-. Demikian juga untuk tarif TDP untuk golongan perorangan atau CV kecil Rp.150.000,- menjadi Rp.250.000,-, usaha besar berbentuk PT dari Rp.300.000,- menjadi Rp.400.000,-. Demikian juga tarif izin gangguan industri (HO) dari Rp.680.400,- menjadi Rp.900.000,-. Sedangkan tarif SIUJK dari Rp.150.000,- menjadi Rp.250.000,-. Ironisnya lagi, tarif izin daftar ulang HO industri membengkak naik sampai 100% dengan alasan uang perubahan dan ditambah dengan uang badan hukum. Contohnya : seperti izin CV. Aur Indah kalau dihitung-hitung retribusinya hanya sekitar Rp.900.000,- saja. Tetapi di BPPT tarif membengkak menjadi Rp.2.250.144,- dengan perincian retribusi Rp.1.102.571,-, uang perubahan tambah 100% dan ditambah uang usaha berbadan hukum Rp.25.000,- jadi total yang dibayar adalah Rp.2.230.144,-”.
Pengalaman Sugino di atas membuktikan bahwa pelayanan masyarakat masih
belum mudah, transparan, tepat waktu, dan prima. Para pejabat tersebut kebanyakan
menginginkan untuk dilayani, dengan begitu, sebaik apapun dibuat peraturan
perundang-undangan maka akan dimentahkan oleh sikap perilaku aparaturnya sendiri.
Inilah salah satu faktor dari tidak tegaknya hukum dengan baik yaitu budaya suap.
Seperti yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum yaitu salah satunya adalah faktor budaya atau
kebiasaan hukum.
3. Penggelapan Aset oleh Pengurus Perusahaan
Penggelapan aset masa likuidasi oleh pengurus perusahaan terjadi
dikarenakan tidak adanya ditentukan waktu dalam hal penunjukan likuidator. Dengan
113
begitu maka Direksi bertindak sebagai likuidator.220 Bertindaknya Direksi sebagai
likuidator dikarenakan tidak adanya perintah dari RUPS untuk menunjuk likuidator.
Sehingga Direksi menunjuk lagi Pelaksana Tugas Direksi dalam hal melikuidasi
perusahaan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya Pelaksana Tugas Direksi dengan
seenaknya menjual aset-aset perusahaan tanpa memasukkan hasil penjualan kedalam
rekening perusahaan.
Dengan penggelapan yang dilakukan oleh Pelaksana Tugas Direksi ini maka
perusahaan dapat mengambil langkah untuk memberhentikan secara langsung
Pelaksana Tugas Direksi tersebut dan menunjuk likuidator yang berkompeten dalam
melaksanakan likuidasi perseroan terbatas. Kasus penggelapan ini dapat diadukan ke
Kepolisian dengan membuat pengaduan sesuai prosedur yang berlaku. Dengan
begitu, pelaku penggelapan akan menjalani proses hukum. Proses hukum tersebut
adalah proses hukum pidana dimana pelaku akan diganjar dengan hukuman penjara
selama-lamanya 4 (empat) tahun.221
Penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV (Buku II) KUHP Pasal
372-377. Pengertian yuridis mengenai penggelapan itu sendiri diatur dalam ketentuan
Pasal 372 KUHP. Pengertian dari penggelapan itu sendiri tidak dirumuskan secara
khusus dalam KUHP. Penggelapan bukan berarti membuat sesuatu menjadi gelap
atau tidak terang, namun memiliki pengertian yang lebih luas. Ada beberapa bentuk
220 Pasal 142 ayat (3), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Op.cit. 221 Pasal 372, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyebutkan bahwa : ”Barangsiapa
dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
114
tindak pidana penggelapan, baik dalam penggelapan dalam bentuk pokok yang diatur
dalam Pasal 372 KUHP yang merupakan ketentuan yuridis dari tindak pidana
penggelapan itu sendiri, penggelapan ringan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP,
penggelapan dalam bentuk pemberatan dimana ada ketentuan khusus yang
menyebabkan tindak pidananya dijadikan alasan pemberatan yang diatur dalam Pasal
374 dan 375 KUHP dan tindak pidana penggelapan dalam keluarga yang diatur dalam
Pasal 376 KUHP.
Tindak pidana penggelapan dalam jabatan likuidator itu sendiri terdiri dari
unsur-unsur objektif berupa perbuatan memiliki, objek kejahatan sebuah benda,
sebagian atau seluruhnya milik orang lain dan dimana benda berada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan dan unsur-unsur subjektif berupa kesengajaan
dan melawan hukum. Selain itu ada beberapa unsur khusus yang digunakan terhadap
tindak pidana penggelapan dalam jabatan yaitu karena adanya hubungan kerja,
jabatan, dan mendapat upah khusus. Dalam kasus ini, penjatuhan sanksi pidana yang
harus dilakukan hakim terhadap Pelaksana Tugas Direksi yang melakukan tindak
kejahatan tersebut adalah Pasal 374 yaitu penggelapan dengan pemberatan. Unsur-
unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP sudah terpenuhi, baik unsur objektif
maupun subjektifnya. Selain itu ketentuan khusus yang memberatkan dalam hal ini
terdakwa menggunakan jabatan yang dimilikinya untuk melakukan penggelapan juga
sudah terpenuhi.
Setelah urusan pengaduan dan proses berperkara di pengadilan terkait dengan
penggelapan aset likuidasi oleh Pelaksana Tugas Direksi selesai maka selanjutnya
Likuidator yang sudah ditunjuk oleh RUPS dapat melanjutkan pekerjaannya untuk
115
melikuidasi perseroan terbatas tersebut. Adapun pihak yang melaporkan adalah
Organ Perusahaan, bisa itu Direksi, Komisaris, ataupun Pemegang Saham.
Namun, proses berperkara di pengadilan ini lama dan memakan waktu yang
panjang. Dengan begitu sebaiknya likuidator yang baru ditunjuk langsung
mengadakan perdamaian bisa melalui Negosiasi, Mediasi, ataupun Konsiliasi. Hal ini
untuk mewujudkan penyelesaian perkara melalui Luar Pengadilan dengan
menggunakan Alternative Dispute Resolution (ADR).
116
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian mengenai “Analisis Hukum Penyelesaian
Sengketa Hutang Piutang Perseroan Terbatas Dalam Likuidasi”, maka kesimpulan
yang didapat, sebagai berikut :
1. Mengenai pengaturan penyelesaian sengketa hutang piutang perseroan
terbatas dalam likuidasi dilakukan oleh likuidator melalui 2 (dua) cara yaitu :
a. Jalur Pengadilan dengan cara gugat-menggugat dengan mendalilkan suatu
subjek hukum telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi terjadi karena
debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang
disepakati, seperti : tidak dipenuhinya prestasi sama sekali; tidak tepat
waktu dipenuhinya prestasi; dan tidak layak memenuhi prestasi yang
dijanjikan. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Jalur Luar Pengadilan dengan menempuh Alternative Dispute Resolution
(ADR) diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun caranya, antara
lain : negosiasi; mediasi; dan konsiliasi.
Dalam hal likuidator menyelesaikan likuidasi perseroan terbatas yang diatur
dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka
likuidator untuk menyelesaikan seluruh persoalan dalam hal pemberesan
117
perseroan terbats. Pemberesan perseroan terbatas tersebut, termasuk di
dalamnya adalah penyelesaian sengketa hutang piutang.
2. Penentuan waktu likuidator terhadap likuidasi perseroan terbatas, menurut
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas tidak ada
diatur. Maka hal ini dapat diinterpretasikan dengan melihat ketentuan Pasal
142 ayat (2) huruf a., penunjukan likuidator dilakukan setelah RUPS
mengadakan rapat dalam acara pembubaran perseroan. Maka penunjukan
likuidator dilakukan pada saat itu juga. Hal ini dilakukan demi menegakkan
hukum agar tercapai kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum.
3. Hambatan-hambatan penyelesaian hutang piutang yang dihadapi oleh
likuidator dikarenakan likuidator bertanggung jawab kepada Pemegang
Saham atas pemberesan yang dilakukan terhadap Perseroan Terbatas. Adapun
permasalahan yang dihadapi oleh likuidator, antara lain :
a. Tidak ada ditentukan oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas mengenai kapan seharusnya likuidator
tersebut ditunjuk untuk melikuidasi Perseroan Terbatas;
b. Pembagian sisa hasil likuidasi perseroan apabila salah satu Pemegang
Saham tidak setuju untuk menjualnya;
c. Pungutan liar dalam laporan pencabutan izin usaha;
d. Penggelapan aset oleh pengurus perusahaan.
118
B. Saran
Berdasarkan analisis dari kesimpulan di atas, selanjutnya akan disarankan
beberapa sebagai pemecahan masalah, antara lain :
1. Kesimpulan pertama mengutarakan bahwa penyelesaian hutang piutang
perseroan terbatas dalam likuidasi diatur diselesaikan dengan jalur pengadilan
(in-court) maupun luar pengadilan (out-court). Maka saran yang diajukan
sebaiknya likuidator berupaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut dengan
cara luar pengadilan karena cara ini tidak memakan waktu yang lama dan
biasanya tidak berbiaya mahal. Penumpukan perkara di pengadilan membuat
penyelesaian memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.
2. Pada kesimpulan kedua didapat bahwa tidak ada penetapan jangka waktu
penentuan likuidator dalam melikuidasi perseroan terbatas di dalam Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka sebaiknya hal
ini dijadikan masukan bagi legislator dalam merevisi ketentuan hukum
perusahaan ini. Hal ini dilakukan demi menegakkan hukum agar pelaku usaha
atau badan hukum tidak kebingungan dalam menginterpretasikan ketentuan
likuidasi tersebut. Ketentuan mengenai jangka waktu yang tidak diatur
tersebut membuat mis-interpretation yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas.
Terkait dengan teori penegakan hukum, sebaiknya Likuidasi dapat langsung
dilakukan oleh Likuidator berdasarkan keputusan RUPS. Dengan begitu hal-
hal yang tidak diinginkan akan terhindari. Jika, revisi tidak memungkinkan
sebaiknya para penegak hukum khususnya para Konsultan Hukum baik itu
119
Notaris ataupun Pengacara sudah bisa menginterpretasi kemauan undang-
undang, bahwa setelah melakukan RUPS untuk membubarkan perusahaan
langsung ditunjuk Likuidator dalam putusan RUPS tersebut.
3. Mengenai hambatan-hambatan yang muncul pada saat penyelesaian sengketa
hutang piutang perseroan terbatas dalam likuidasi sebenarnya bisa dianulir
melalui penegakan hukum yang baik berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada. Mengenai penagihan hutang sementara perusahaan sudah
tutup atau tidak beroperasi lagi (sudah likuidasi duluan), dapat dilakukan
berdasarkan Pasal 150 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bahwa : “kreditor dapat mengajukan tagihan melalui
Pengadilan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pengumuman
pembubaran Perseroan.
Demikianlah saran yang diajukan agar kiranya dapat menjadi pertimbangan di
kemudian hari, baik untuk memperkaya khasanah kepustakaan maupun untuk
penelitian selanjutnya mengenai sengketa hutang piutang perseroan terbatas dalam
likuidasi.
120
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adi, Rianto., Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit, 2004.
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010.
Asshiddiqie, Jimly., Konstitusi Ekonomi, Jakarta : Kompas, 2010.
Aqimuddin, Eka An., dan Marya Agung Kusmagi, Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis, Cetakan Pertama, Jakarta : Raih Asa Sukses, 2010.
Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta : Kencana, 2009.
Darmodiharjo, Darji., dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995.
ELIPS, Kamus Hukum Ekonomi Elips, Jakarta : Proyek Elips, 1997.
Ginting, Elvira Dewi., ”Analisis Hukum Mengenai Pengaturan Reorganisasi Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Hukum Kepalitan”, Tesis : Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005.
Ginting, Laura., “Analisis Hukum Kedudukan Rapat Umum Pemegang Saham pada Perseroan Terbatas Dilihat Dari Anggaran Dasar”, Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2007.
121
Hisrich, Robert D., Michael P. Peters, dan Dean A. Shepherd, Enterpreneurship Kewirausahaan, Edisi 7, Jakarta : Salemba Empat, Tanpa Tahun.
Institut Bankir Indonesia, Kamus Perbankan Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1980.
Iskandar, Aziarni Hasibuan & Partners, “Laporan Pertanggungjawaban Likuidator PT. Schutter Indonesia (Dalam Likuidasi)”, Medan, 18 Feburari 2008.
Jusuf, Jopie., Analisis Kredit Untuk Account Officer, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Magee, Bryan., The Story Of Philosophy : Kisah Tentang Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 2008.
Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan Penulisan Hukum”, Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010.
Murni, “Analisis Terhadap Likuidasi Persekutuan Komanditer (CV), Untuk Menjadi Perseroan Terbatas (PT) dalam Perspektif Hukum Ekonomi”, Tesis : Universitas Diponegoro Semarang, 1998.
Nasution, Bismar., “Catatan Perkuliahan : Hukum Perusahaan”, Medan : Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009.
--------------------------., “Modul Perkuliahan : Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009.
Pantouw, Rinus., Hak Tagih Factor Atas Piutang Dagang, Jakarta : Kencana, 2006.
Sari, Elsi Kartika., dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Jakarta : Grasindo, Tanpa Tahun.
122
Satrio, Budi., “Penegakan Hukum Pidana di Bidang Pasar Modal”, Tesis: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
Siregar, Mahmul., Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Studi Kesiapan dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Cetakan Kedua : Revisi, Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008.
Sitompul, Manahan M. P., “Penyelesaian Sengketa Utang-Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)”, Disertasi : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press., 1996.
------------------------., Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1983.
Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010.
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Terbitan Pertana, Medan : USU Press, 2009.
Tampubolon, Veronica., “Pertanggungjawaban Perbuatan Hukum Perseroan yang Dimuat Dalam Akta Notaris (Ditinjau Dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)”, Tesis : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010.
Tan, Hiasinta Yanti Susanti., “Konsekuensi Perubahan Undang-Undang Perseroan Terbatas Terhadap Eksistensi Perseroan Terbatas”, Tesis : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008.
Usman, Rachmadi., Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001.
123
Wicaksono, Frans Satrio., Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, & Komisaris Perseroan Terbatas, Cetakan Pertama, Jakarta : Visimedia, Oktober 2009.
Widjaja, Gunawan., Seri Pemahaman Perseroan Terbatas : 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Cetakan Pertama, Jakarta : Forum Sahabat, Agustus 2008.
ARTIKEL INTERNET
Arsyad, Amirullah., “Globalisasi dan Hukum Perbandingan”, http://amrulgunper82.blogspot.com/2011/01/globalisasi-dan-hukum-perbandingan.html., diakses pada 18 Maret 2011.
Dermawan, Candra., “Kesulitan Kuangan, Kebangkrutan, dan Likuidasi”, http://candra.us/blog/?p=91., diakses pada 14 Maret 2011.
“Definisi Aktiva & Pasiva”, http://rahasiaakuntansi.blogspot.com/2010/03/definisi-aktiva-pasiva.html., diakses pada 22 Maret 2011.
Investopedia, “Chapter 7”, http://www.investopedia.com/terms/c/chapter7.asp., diakses pada 14 Maret 2011.
Jurnal Medan, “Pungli Menggurita di BPPT Medan”, http://medan.jurnas.com/index.php?option=com_content&task=view&id=57953&Itemid=53., diakses pada 11 Mei 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, ”Likuidasi”, http://kamusbahasaindonesia.org/likuidasi., diakses pada 08 Mei 2011.
Mandailing Online, “Usut Kasus Dugaan Korupsi di Dispenda Sumut Rp. 9,3 M”, http://www.mandailingonline.com/2011/03/usut-kasus-dugaan-korupsi-di-dispenda-sumut-rp93-m/., diakses pada 11 Mei 2011.
Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.
124
Nasution, Bismar., “Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”, http://bismar.wordpress.com/., diakses pada 16 Maret 2011.
“Perusahaan – Company Profil – Setelah sebuah Perusahaan Likuidasi Sukarela”, http://www.companyprofil.com/perusahaan-company-profil-setelah-sebuah-perusahaan-likuidasi-sukarela.html., diakses pada 14 Maret 2011.
Sunarmi, “Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Inodnesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System)”, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1597/1/perdata-sunarmi5.pdf., diakses pada 19 Maret 2011.
Tjahjono, Jusuf Patrianto., “Praktek Pelaksanaan Pembubaran PT”, http://notarissby.blogspot.com/2008/07/praktek-pelaksanaan-pembubaran-pt.html., diakses pada 11 Mei 2011.
--------------------------------------., “Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan”, http://notarissby.blogspot.com/2008/08/pembagian-sisa-hasil-likuidasi.html., diakses pada 12 Mei 2011.
United States Courts, “Chapter 7 : Liquidation Under the Bankruptcy Code”, http://www.uscourts.gov/FederalCourts/Bankruptcy/BankruptcyBasics/Chapter7.aspx., diakses pada 08 Mei 2011.
Wikipedia, ”Chapter 11 Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat”, http://id.wikipedia.org/wiki/Bab_11_Undang-Undang_Kepailitan_Amerika_Serikat., diakses pada 14 Maret 2011.
Wikipedia, “Kreditur”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kreditur., diakses pada 22 Maret 2011.
Wikipedia, “Debitur”, http://id.wikipedia.org/wiki/Debitur., diakses pada 22 Maret 2011.
125
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1990 tentang Pembubaran Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pusat Perkayuan Marunda dan Penambahan Penyertaan Modal Negara yang Berasal dari Kekayaan Negara Hasil Likuidasi Perusahaan Perseroan (Persero) Tersebut ke Dalam Modal Saham Perseroan (Persero) PT.Kawasan Berikat Nusantara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 39.
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3831.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2818.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587.
126
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.