analisis integrasi pasar komoditi beras
TRANSCRIPT
INTEGRASI PASAR KOMODITI BERAS DI KABUPATEN MALANG (Studi Kasus di Pasar Induk Gadang dan Pasar Lawang Kabupaten Malang)
Oleh :
Dwita Indrarosa, ST., MP.
Widyaiswara BBPP batu
I. Pendahuluan
Integrasi pasar produk-produk pertanian telah memainkan peranan
penting, terutama di negara-negara berkembang dalam kaitannya dengan
perumusan kebijakan (Lohano dan Mari, 2006). Pengukuran integrasi pasar
dapat digunakan sebagai data dasar untuk memahami mekanisme pasar
(Ravallion, 1986) dan sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam rangka
merumuskan kebijakan, berupa penyediaan infrastruktur dan jasa layanan
informasi untuk menghindari eksploitasi pasar (Lohano dan Mari, 2006).
Integrasi pasar merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan
untuk menyatakan tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran. Pengukuran
integrasi pasar dapat digunakan sebagai data dasar untuk memahami
mekanisme pasar (Ravallion, 1986) dan sebagai bahan informasi bagi
pemerintah dalam rangka merumuskan kebijakan, berupa penyediaan
infrastruktur dan layanan informasi untuk menghindari eksploitasi pasar (Lohano
dan Mari, 2006). Informasi pasar merupakan salah satu aspek penting bagi
pembuat kebijakan dan pelaku pasar dalam rangka tercapainya integrasi pasar
yang kuat. Dalam hal ini, jika informasi pasar dikuasai secara baik oleh pelaku
pasar, baik produsen, konsumen maupun padagang, maka pasar pada wilayah
produksi terintegrasi cukup kuat dengan pasar di wilayah konsumsi (Fadhla,
2002). Informasi pasar yang dibutuhkan oleh para petani berupa perkiraan harga
tren pasar dan harga saat ini serta informasi situasi pasar. Informasi tentang tren-
tren pasar dan perubahan harga berguna untuk perencanaan produksi (Anindita,
2004).
Anindita (2004) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu runtutan kegiatan atau
jasa yang dilakukan untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik
konsumen. Secara umum pemasaran dianggap sebagai proses aliran barang
yang terjadi dalam pasar. Dimana barang mengalir dari produsen sampai kepada
konsumen akhir yang disertai penambahan guna bentuk melalui proses
2
pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui
proses penyimpanan.
Pemasaran komoditi pertanian merupakan proses konsentrasi yaitu
pengumpulan produk-produk pertanian dari petani ke tengkulak, pedagang
pengumpul dan pedagang besar serta diakhiri proses distribusi yaitu penjualan
barang dari pedagang ke agen, pengecer dan konsumen (Sudiyono, 2002). II. Metode Analisis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diklasifikasikan atas dua jenis,
yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung
dengan responden yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Secara garis besar data yang akan dijaring meliputi
data struktur pasar, saluran dan lembaga-lembaga pemasaran, margin
pemasaran, berbagai informasi tentang sarana dan prasarana pemasaran beras.
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari instasi terkait, seperti dari
Kantor Camat Kecamatan Tumpang, BKP3 Kab Malang, Biro Pusat Statistik
Malang, serta berbagai pustaka yang bertalian dengan penelitian ini. Data
sekunder berupa data harga beras secara deret waktu (time series) bulan/tahun
selama kurun waktu 5 tahun mulai dari tahun 2005–2010. Analisis Integrasi Perkembangan Harga Beras
Perkembangan harga beras bulanan di pasar Lawang, pasar Inpres
Gadang dan pasar Kecamatan Tumpang selama kurun waktu 5 tahun (2005-
2010) bergerak secara tidak stabil atau berfluktuasi. Perkembangan harga beras
dari ketiga pasar tersebut dapat diuraikan secara jelas di bawah ini.
a. Perkembangan Harga Beras di Pasar Inpres Gadang Harga beras bulanan di pasar Inpres Gadang selama kurun waktu 5
tahun (2005-2010) selalu berfluktuasi. Harga beras terendah terjadi pada bulan
Maret sampai dengan bulan Juni tahun 2008, yakni sebesar Rp 2500, sedangkan
harga beras tertinggi terjadi selama tahun 2010, yakni sebesar Rp 4000.
Pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei tahun 2006 harga beras
bergerak naik mencapai Rp 3500/kg, sedangkan pada bulan Juni-Juli harga
beras bergerak turun ke Rp 2750/kg, kemudian pada bulan Agustus harga
kembali bergerak naik ke Rp 3500/kg. Pada bulan Januari sampai dengan bulan
Pebruari tahun 2007 harga beras berada pada tingkatan tertinggi, yakni sebesar
3
Rp 3000/kg sedangkan pada bulan Maret-Juni harga beras berada pada
tingkatan terendah, yakni sebesar Rp 2500/kg, kemudian pada bulan Juli-
Desember harga kembali naik ke Rp 2750/kg. Pada tahun 2008 harga beras
berada pada tingkatan yang stabil, yakni sebesar Rp 2750/kg. Pada bulan
Januari - September tahun 2006 harga beras berada pada tingkatan terendah,
yakni sebesar Rp 3250/kg sedangkan pada bulan Oktober-Desember harga
beras berada pada tingkatan tertinggi, yakni sebesar Rp 3500/kg. Pada tahun
2010 harga beras mengalami peningkatan menjadi Rp 4000/kg dan sepanjang
tahun tersebut harga beras berada pada tingkatan yang stabil.
Gambar 1. Harga Beras Bulanan dari Tahun 2006-2010 di
Pasar Inpres Gadang
Bila diamati perkembangan harga beras bulanan selama tahun 2006-
2010 diketahui bahwa harga akan kecenderungan menurun pada bulan Juni. Hal
ini disebabkan terjadinya panen raya. Sedangkan kenaikan harga akan terjadi
pada akhir sampai awal tahun. Hal ini disebabkan terdapatnya hari raya besar
(seperti Natal dan Tahun Baru) dan puncak musim paceklik pangan.
Selain secara grafik, penentuan pola pergerakan data harga beras dapat
dilakukan melalui 2 macam pengujian secara formal, yaitu korelogram dan unit
root test. Pada dasarnya korelogram merupakan teknik identifikasi stasioneritas
2400
2800
3200
3600
4000
4400
2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Harga
4
data time series melalui Fungsi Autokorelasi (Autocorrelation Function = ACF).
Pengujian korelogram pada tingkat level menunjukkan data beras tidak stasioner.
Hal ini ditunjukkan dengan berbagai indikator berikut:
Grafik autokorelasi pada lag pertama berada diluar garis Bartlett dan
menurun secara eksponensial atau perlahan, semakin kecil dan bila
diteruskan akan keluar lagi dari garis Bartlett, meskipun grafik batang
berpindah ke sebelah kiri. Garis Bartlett adalah garis yang ditandai dengan
garis putus-putus di kanan-kiri garis tengah, baik pada grafik autokorelasi
mapun autokorelasi parsial.
Nilai koefisien autokorelasi (lihat kolom AC) cukup besar, yaitu 0,906 (dari
kemungkinan -1 sampai dengan 1) dan menurun secara perlahan-lahan.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa nilai koefisien autokorelasi mendekati
satu.
Nilai probabilitas dari lag ke-1 sampai dengan lag ke-28 yang sangat
mendekati nol, yang berarti lebih kecil dari α = 5%.
Pengujian korelogram dilanjutkan pada tingkat first difference untuk
melihat kestasioneran data pada tingkat tersebut. Hasil pengujian menunjukan
data sudah stasioner pada orde 1 atau I(1). Hal ini ditunjukkan dengan berbagai
indikator berikut:
Grafik autokorelasi dan autokorelasi parsial menunjukkan bahwa semua
grafik batang sudah berada di dalam garis Bartlett (garis putus-putus).
Nilai koefisien autokorelasi (lihat kolom AC) mendekati nol.
Umumnya nilai probabilitas lebih besar dari α = 5%.
Pengujian stasioneritas data harga beras secara formal yang kedua
adalah dengan menggunakan unit root test, yaitu Dickey-Fuller (DF) test dan
Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test secara ringkas dapat dilihat pada tabel 1,
dibawah ini.
5
Tabel 1. Dickey-Fuller (DF) test dan Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test
di tingkat Pasar Inpres Gadang
No Uji
Level First Difference
Test Critical
Value
tstatictic Ket. Test Critical
Value
tstatictic Ket.
1 DF:
Intercept
1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
-1,037
ns
1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
-3,605
***
Intercept
and Trend
1% (-3,736)
5% (-3,161)
10%(-2,863)
-1,769 ns 1% (-3,740)
5% (-3,164)
10%(-2,866)
-5,246 ***
2 ADF:
Intercept
1% (-3,546)
5% (-2,912)
10%(-2,593)
-1,109
ns
1% (-3,542)
5% (-2,913)
10%(-2,594)
-7,514
***
Intercept
and Trend
1% (-4,121)
5% (-3,488)
10%(-3,172)
-1,808 ns 1% (-4,124)
5% (-3,489)
10%(-3,173)
-7,634 ***
None 1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
0,8167 ns 1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
-7,576 ***
Keterangan: ns = tidak signifikan
***) Signifikan pada taraf kepercayaan 1%
Hasil pengujian DF pada tabel 1 menunjukkan bahwa pada tingkat level,
baik dengan intercept maupun dengan intercept and trend data harga beras di
pasar Inpres Gadang tidak stasioner. Hal ini ditunjukkan dengan uji DF lebih
besar dari nilai kritisnya. Untuk itu pengujian stasioneritas data dilanjutkan pada
tingkat first difference. Hasil pengujiannya menunjukkan uji DF lebih kecil dari
nilai kritisnya, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang berarti data sudah
stasioner pada orde 1 atau I (1).
Hasil pengujian ADF pada tabel 1 menunjukkan bahwa pada tingkat level,
baik dengan intercept, intercept and trend maupun none data harga beras di
6
pasar Inpres Gadang tidak stasioner. Hal ini ditunjukkan dengan uji ADF lebih
besar dari nilai kritisnya. Untuk itu pengujian stasioneritas data dilanjutkan pada
tingkat first difference. Hasil pengujiannya menunjukkan uji ADF lebih kecil dari
nilai kritisnya, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang berarti data sudah
stasioner pada orde 1 atau I(1).
b. Perkembangan Harga Beras di Pasar Inpres Lawang Harga beras bulanan di pasar Inpres Lawang selama kurun waktu lima
tahun (2006-2010) selalu berfluktuasi. Harga beras terendah terjadi pada bulan
Januari sampai dengan bulan Pebruari tahun 2006, yakni sebesar Rp 2800,
sedangkan harga beras tertinggi terjadi pada bulan Desember tahun 2010, yakni
sebesar Rp 4500. Pada bulan Maret 2006 sampai dengan bulan Desember 2008
harga beras di pasar Inpres Lawang cenderung tidak berubah/konstan, yakni
sebesar Rp 3000/kg.
Pada bulan Januari sampai dengan bulan Pebruari tahun 2006 harga
beras bergerak pada tingkatan rendah yakni sebesar Rp 2800/kg, sedangkan
pada bulan Maret-Desember harga beras bergerak pada tingkatan yang lebih
tinggi yakni sebesar Rp 3000/kg. Pada tahun 2007 dan 2008 harga beras
cenderung berada pada tingkatan yang stabil, yakni sebesar Rp 3000/kg. Pada
tahun 2009 harga beras mengalami peningkatan dan sepanjang tahun tersebut
harga beras berada pada tingkatan yang stabil, yakni sebesar Rp 3250/kg.
Sedangkan pada tahun 2010 harga beras sangat berfluktuasi dengan trend yang
terus meningkat. Harga terendah berada pada bulan Januari selanjutnya harga
bergerak naik dan mencapai harga yang tertinggi pada bulan Desember, yakni
sebesar Rp 4500/kg. Sedangkan selama bulan Maret-Oktober harga tidak
berubah, yakni sebesar Rp 4000/kg.
7
Gambar 2. Harga Beras Bulanan dari Tahun 2006-2010 di
Pasar Lawang
Gambar 2 di atas terlihat bahwa harga selalu berfluktuasi, sehingga dapat
dikatakan data harga tersebut cenderung tidak stasioner. Selain secara grafik,
penentuan pola pergerakan data harga beras dapat dilakukan melalui 2 macam
pengujian secara formal, yaitu korelogram dan unit root test. Pengujian
stasioneritas data harga beras secara formal yang pertama yaitu korelogram
merupakan teknik identifikasi stasioneritas data time series melalui Fungsi
Autokorelasi (Autocorrelation Function = ACF). Pengujian korelogram pada
tingkat level menunjukan data beras tidak stasioner. Hal ini ditunjukkan dengan
berbagai indikator berikut:
Grafik autokorelasi pada lag pertama berada diluar garis Bartlett dan
menurun secara eksponensial atau perlahan, semakin kecil dan bila
diteruskan akan keluar lagi dari garis Bartlett, meskipun grafik batang
berpindah ke sebelah kiri. Garis Bartlett adalah garis yang ditandai dengan
garis putus-putus di kanan-kiri garis tengah, baik pada grafik autokorelasi
mapun autokorelasi parsial.
Nilai koefisien autokorelasi (lihat kolom AC) cukup besar, yaitu 0,881 (dari
kemungkinan -1 sampai dengan 1) dan menurun secara perlahan-lahan.
2400
2800
3200
3600
4000
4400
4800
2006 2007 2008 2009 2010
Harga
T a hun
8
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa nilai koefisien autokorelasi mendekati
satu.
Nilai probabilitas dari lag ke-1 sampai dengan lag ke-28 yang sangat
mendekati nol, yang berarti lebih kecil dari α = 5%.
Pengujian korelogram dilanjutkan pada tingkat first difference untuk
melihat kestasioneran data pada tingkat tersebut. Hasil pengujian menunjukan
data sudah stasioner pada orde 1 atau I(1). Hal ini ditunjukkan dengan berbagai
indikator berikut:
Grafik autokorelasi dan autokorelasi parsial menunjukkan bahwa semua
grafik batang sudah berada di dalam garis Bartlett (garis putus-putus).
Nilai koefisien autokorelasi (lihat kolom AC) mendekati nol.
Nilai probabilitas lebih besar dari α = 5%.
Pengujian stasioneritas data harga beras secara formal yang kedua
adalah dengan menggunakan unit rooot test, yaitu Dickey-Fuller (DF) test dan
Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test.
Hasil pengujian DF menunjukkan bahwa pada tingkat level, dengan
intercept and trend data harga beras di Pasar Inpres Lawang tidak stasioner. Hal
ini ditunjukkan dengan uji DF lebih besar dari nilai kritisnya. Untuk itu pengujian
stasioneritas data dilanjutkan pada tingkat first difference. Hasil pengujiannya
menunjukkan uji DF lebih kecil dari nilai kritisnya, maka dapat disimpulkan bahwa
H0 ditolak yang berarti data sudah stasioner pada orde 1 atau I(1).
9
Tabel 2. Dickey-Fuller (DF) test dan Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test
di tingkat Pasar Inpres Lawang
No Uji
Level First Difference
Test Critical
Value
tstatictic Ket. Test Critical
Value
tstatictic Ket.
1 DF:
Intercept
1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
1,934
*
1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
-7,338
***
Intercept
and Trend
1% (-3,736)
5% (-3,161)
10%(-2,863)
-0,739
ns
1% (-3,740)
5% (-3,164)
10%(-2,866)
-7,562 ***
2 ADF:
Intercept
1% (-3,546)
5% (-2,912)
10%(-2,593)
1,325
ns
1% (-3,542)
5% (-2,913)
10%(-2,594)
-7,268
***
Intercept
and Trend
1% (-4,121)
5% (-3,488)
10%(-3,172)
-0,254
ns
1% (-4,124)
5% (-3,489)
10%(-3,173)
-7,632 ***
None 1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
2,335
**
1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
-7,576 ***
Keterangan: ns = tidak signifikan
***) Signifikan pada taraf kepercayaan 1%
**) Signifikan pada taraf kepercayaan 5%
*) Signifikan pada taraf kepercayaan 10% Hasil pengujian ADF menunjukkan bahwa pada tingkat level, baik dengan
intercept, intercept and trend data harga beras di pasar Inpres Lawang tidak
stasioner. Hal ini ditunjukkan dengan uji ADF lebih besar dari nilai kritisnya.
Untuk itu pengujian stasioneritas data dilanjutkan pada tingkat first difference.
Hasil pengujiannya menunjukkan uji ADF lebih kecil dari nilai kritisnya, maka
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang berarti data sudah stasioner pada orde
1 atau I(1).
10
c. Perkembangan Harga Beras di Pasar Tumpang
Harga beras bulanan di pasar Inpres Tumpang selama kurun waktu lima
tahun (2006-2010) selalu berfluktuasi. Harga beras terendah terjadi pada bulan
Pebruari-Maret dan bulan Juli-Agustus 2006, yakni sebesar Rp 1750, sedangkan
harga beras tertinggi terjadi pada bulan Agustus-Desember 2006, yakni sebesar
Rp 3250. Terjadi kestabilan harga yang cukup panjang pada bulan September
2006 sampai dengan Desember 2008, yakni sebasar Rp 2000/kg.
Gambar 3. Harga Beras Bulanan dari Tahun 2006-2010 di
Pasar Produsen Tumpang
Pada bulan Januari sampai dengan bulan Pebruari 2006 harga beras
bergerak pada tingkatan rendah, yakni sebesar Rp 2800/kg, sedangkan pada
bulan Maret-Desember harga beras bergerak pada tingkatan yang lebih tinggi,
yakni sebesar Rp 3000/kg. Pada tahun 2007 dan 2008, harga beras berada pada
tingkatan yang stabil, yakni sebesar Rp 3000/kg. Demikian pula pada tahun 2009
harga beras berada pada tingkatan yang stabil, yakni sebesar Rp 3250/kg.
Sedangkan pada tahun 2010 harga beras sangat berfluktuasi dengan trand yang
terus meningkat. Harga terendah berada pada bulan Januari selanjutnya harga
bergerak naik dan mencapai harga yang tertinggi pada bulan Desember, yakni
1600
2000
2400
2800
3200
3600
2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Harga
11
sebesar Rp 4500/kg. Sedangkan selama bulan Maret-Oktober harga tidak
berubah, yakni sebesar Rp 4000/kg.
Gambar 3 di atas terlihat bahwa harga selalu berfluktuasi, sehingga dapat
dikatakan data harga tersebut cenderung tidak stasioner. Selain secara grafik,
penentuan pola pergerakan data harga beras dapat dilakukan melalui 2 macam
pengujian secara formal, yaitu korelogram dan unit root test. Pada dasarnya
korelogram merupakan teknik identifikasi stasioneritas data time series melalui
Fungsi Autokorelasi (Autocorrelation Function = ACF). Pengujian korelogram
pada tingkat level menunjukkan data beras tidak stasioner. Hal ini ditunjukkan
dengan berbagai indikator berikut:
Grafik autokorelasi pada lag pertama berada diluar garis Bartlett dan
menurun secara eksponensial atau perlahan, semakin kecil dan bila
diteruskan akan keluar lagi dari garis Bartlett, meskipun grafik batang
berpindah ke sebelah kiri.
Nilai koefisien autokorelasi (lihat kolom AC) cukup besar, yaitu 0,939 (dari
kemungkinan -1 sampai dengan 1) dan menurun secara perlahan-lahan.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa nilai koefisien autokorelasi mendekati
satu.
Nilai probabilitas dari lag ke-1 sampai dengan lag ke-28 yang sangat
mendekati nol, yang berarti lebih kecil dari α = 5%
Pengujian korelogram dilanjutkan pada tingkat first difference untuk
melihat kestasioneran data pada tingkat tersebut. Hasil pengujian menunjukkan
data sudah stasioner pada orde 1 atau I(1). Hal ini ditunjukkan dengan berbagai
indikator berikut:
Grafik autokorelasi dan autokorelasi parsial menunjukkan bahwa semua
grafik batang sudah berada di dalam garis Bartlett (garis putus-putus).
Nilai koefisien autokorelasi (lihat kolom AC) mendekati nol.
Nilai probabilitas lebih besar dari α = 5%.
Pengujian stasioneritas data harga beras secara formal yang kedua
adalah dengan menggunakan unit rooot test, yaitu Dickey-Fuller (DF) test dan
Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test.
12
Tabel 3. Dickey-Fuller (DF) test dan Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test
di tingkat Tumpang No Uji Level First Difference
Test Critical
Value
tstatictic Ket. Test Critical
Value
tstatictic Ket.
1 DF:
Intercept
1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
0,440
ns
1% (-2,605)
5% (-1,946)
10% (-1,613)
-3,730
***
Intercept
and Trend
1% (-3,736)
5% (-3,161)
10%(-2,863)
-1,660 ns 1% (-3,740)
5% (-3,164)
10% (-2,866)
-6,157 ***
2 ADF:
Intercept
1% (-3,546)
5% (-2,912)
10%(-2,593)
0,1872
ns
1% (-3,542)
5% (-2,913)
10% (-2,594)
-8,344
***
Intercept
and Trend
1% (-4,121)
5% (-3,488)
10%(-3,172)
-2,243 ns 1% (-4,124)
5% (-3,489)
10% (-3,173)
-8,360 ***
None 1% (-2,605)
5% (-1,946)
10%(-1,613)
1,532 ns 1% (-2,605)
5% (-1,946)
10% (-1,613)
-7,918 ***
Keterangan: ns = tidak signifikan
***) Signifikan pada taraf kepercayaan 1%
Hasil pengujian DF pada tabel diatas menunjukkan bahwa pada tingkat
level, baik dengan intercept maupun dengan intercept and trend data harga
beras tidak stasioner. Hal ini ditunjukkan dengan uji DF lebih besar dari nilai
kritisnya. Untuk itu pengujian stasioneritas data dilanjutkan pada tingkatan first
difference. Hasil pengujiannya menunjukkan uji DF lebih kecil dari nilai kritisnya,
maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang berarti data sudah stasioner
pada orde 1 atau I(1). Hasil pengujian ADF menunjukkan bahwa pada tingkat level, baik dengan
intercept, intercept and trend maupun none data harga beras di Pasar Tumpang
tidak stasioner. Hal ini ditunjukkan dengan uji ADF lebih besar dari nilai kritisnya.
13
Untuk itu pengujian stasioneritas data dilanjutkan pada tingkat first difference.
Hasil pengujiannya menunjukkan uji ADF lebih kecil dari nilai kritisnya, maka
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang berarti data sudah stasioner pada orde
1 atau I(1).
Analisis Integrasi Pasar Beras
Analisis Integrasi Pasar Horisontal Analisis integrasi pasar horisontal dilihat dari pergerakan harga beras
bulanan selama kurun waktu 5 tahun (2006-2010) yang terjadi di pasar
konsumen, yaitu pasar Inpres Gadang dan pasar Lawang. Data time series yang
digunakan telah dilakukan uji stasioneritas seperti pada sub bab di atas, dimana
variabel yang diteliti sudah stasioner pada derajad atau orde yang sama, yaitu
pada orde 1 atau I(1). Pengujian integrasi pasar horisontal selanjutnya
menggunakan uji kointegrasi. Hasil uji kointegrasi diperoleh bahwa nilai residual
antara pasar Inpres Gadang dengan pasar Lawang telah mencapai stasioner
pada tingkat first difference atau I(1) baik pada intercept, trend and intercept, dan
none. Besarnya nilai koefisien keseimbangan jangka panjang pada intercept
sebesar -0,982665, pada trend and intercept sebesar -0,982679, dan pada none
sebesar -0,979083. Dari nilai uji ADF lebih kecil dari nilai kritisnya dengan nilai
probalilitas lebih kecil dari 0,0100. Hal ini menunjukkan bahwa nilai residual
antara pasar Inpres Gadang dengan pasar Lawang telah stasioner pada tingkat
kepercayaan 99%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan harga
ditingkat pasar Lawang akan diikuti oleh perubahan harga ditingkat pasar Inpres
Gadang dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan tersedianya sarana-prasarana
transportasi dan komunikasi yang kucup lancar dan memadai. Oleh karena itu
apabila terjadi perubahan harga beras di pasar Inpres Lawang akan diikuti oleh
perubahan harga ditingkat pasar Inpres Gadang dalam jangka panjang.
Analisis integrasi pasar horisontal selanjutnya adalah melalui error
corection model (ECM). Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran
hubungan keseimbangan dinamis jangka pendek dan keseimbangan jangka
panjang dari pasar Inpres Gadang dan pasar Inpres Lawang.
14
Tabel 4. Uji Error Correction Model (ECM) pasar Inpres Gadang dan
pasar Inpres Lawang
Variabel Koefisien t-Statistik Prob. Adjusted R-squared C 120,0441 0,580926 0,5637 0,126707 D(A) 0,371083 1,538042 0,1298 A(-1) -0,034957 -0,547430 0,5863 ECT1 0,224671 2,945186 0,0047***
Keterangan: ***) Signifikan pada taraf kepercayaan 1%
C = konstanta
D(A) = Variabel harga beras di tingkat pasar Inpres Lawang
A(-1) = Variabel harga beras di tingkat pasar Inpres Lawang pada periode
sebelumnya (t-1)
ECT1 = Error Correction Term
Model ECM antara PKt dan PAt sebagai berikut:
ΔPKt = 120,044 + 0,371ΔPAt - 0,035PAt -1 + 0,225ECT1
Secara statistik, ECT signifikan dan bertanda positif, sehingga model
yang digunakan dalam penelitian ini valid. Dari persamaan diatas, dapat
dikatakan bahwa dalam jangka pendek harga di pasar Inpres Gadang di
pengaruhi oleh harga di pasar Inpres Lawang. Pengaruh jangka pendek harga di
pasar Inpres Lawang terhadap harga di pasar Inpres Gadang sebesar 0,371083.
Hal ini berarti bahwa kenaikan harga beras di pasar Lawang sebesar Rp 10 akan
menyebabkan kenaikan harga beras di pasar Inpres Gadang sebesar Rp. 3,71.
Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,126707. Nilai tersebut mempunyai arti
bahwa 12,67% dari variasi atau perubahan variabel harga di pasar Inpres
Gadang mampu dijelaskan oleh variasi atau perubahan variabel harga di pasar
Inpres Lawang, sedangkan sisanya sebesar 87,23% dijelaskan oleh variabel lain
di luar dari model yang diajukan. Nilai Adjusted R-squared tersebut relatif
rendah, karena nilai tersebut diperoleh pada tingkat difference (first difference),
sehingga Adjusted R-squared lebih rendah ketika mengestimasi dalam bentuk
level.
15
Pengaruh jangka panjang harga beras di pasar Inpres Lawang terhadap
harga beras di pasar Inpres Gadang dengan persamaan dibawah maka :
PKt = a + bPAt
Dimana:
1,6516730,2246710,371083
3
0 a
0,8444080,2246710,034957 -
ααα
b
PKt = 1,651673 + 0,844408PAt
Persamaan diatas dapat diinterpretasikan bahwa dalam jangka panjang,
kenaikan harga beras di pasar Inpres Lawang sebesar Rp 10 akan menyebabkan
kenaikan harga beras di pasar Inpres Gadang sebesar Rp. 8,44.
Bila dibandingkan besaran kenaikan harga di tingkat pasar Inpres
Gadang antara jangka pajang dengan jangka pendek, maka dapat dikatakan
bahwa kenaikan harga beras di tingkat pasar Inpres Gadang dalam jangka
panjang lebih besar daripada dalam jangka pendek.
Eksistensi hubungan antar variabel tidak membuktikan kausalitas atau
arah pengaruh. Untuk itu untuk mengetahui arah pengaruh harga beras dapat
diketahui dengan pengujian Kausalitas Granger. Pengujian Kausalitas Granger
memungkinkan untuk menganalisis variabel mana mendahului atau memberi
petunjuk variabel lain. Nilai probabilitas untuk null hypothesis K does not Granger
Cause A sebesar 0.09661. Nilai probalilitas tersebut menunjukkan bahwa
hipotesis nol (H0) ditolak pada tingkat kepercayaan 90%. Sehingga dapat
dikatakan bahwa perubahan harga beras di pasar Inpres Lawang akan
menyebabkan perubahan harga beras di pasar Inpres Gadang. Sedangkan nilai
probalilitas untuk null hypothesis A does not Granger Cause K sebesar 0.31387.
Nilai probalilitas tersebut lebih besar dari 0,1. Ini berarti hipotesis nol (H0)
diterima, sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan harga beras di pasar
Inpres Gadang tidak akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar Inpres
Lawang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara harga
beras di pasar Inpres Lawang dengan harga beras di pasar Inpres Gadang
mempunyai satu arah pengaruh, yaitu perubahan harga beras di pasar Inpres
Lawang akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar Inpres Gadang,
tetapi tidak sebaliknya, yaitu perubahan harga beras di pasar Inpres Gadang
16
tidak akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar Inpres Lawang. Jadi
perubahan harga beras di pasar Inpres Lawang mendahului perubahan harga
beras di pasar Inpres Gadang.
Analisis Integrasi Pasar Vertikal Analisis integrasi pasar vertikal dilihat dari pergerakan harga beras
bulanan selama kurun waktu 5 tahun (2006-2010) yang terjadi di pasar produsen
dengan pasar konsumen, yaitu antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres
Gadang dan antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres Lawang.
Analisis Integrasi Pasar Vertikal antara Pasar Tumpang dengan Pasar Inpres Lawang
Data time series yang digunakan untuk menganalisis Integrasi Pasar
Vertikal antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres Lawang telah dilakukan uji
stasioneritas seperti pada sub bab di atas, dimana variabel yang diteliti sudah
stasioner pada derajad atau orde yang sama, yaitu orde 1 atau I (1). Pengujian
intergasi pasar vertikal selanjutnya menggunakan uji kointegrasi. Hasil uji
kointegrasi diperoleh bahwa nilai residual antara pasar Tumpang dengan pasar
Inpres Lawang telah mencapai stasioner pada tingkat first difference atau I(1)
baik pada intercept, trend and intercept, dan none (lihat lampiran 11). Besarnya
nilai koefisien keseimbangan jangka panjang pada intercept sebesar -0,973801,
pada trend and intercept sebesar -0,972775, dan pada none sebesar -0,972176.
Nilai uji ADF lebih kecil dari nilai kritisnya dengan nilai probalilitas sebesar 0,0000
(lebih kecil dari 0,0100). Hal ini menunjukkan bahwa nilai residual antara pasar
Tumpang dengan pasar Inpres Lawang telah stasioner pada tingkat kepercayaan
99%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan harga ditingkat
pasar Inpres Lawang akan diikuti oleh perubahan harga ditingkat pasar Tumpang
dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan tersedianya sarana dan prasarana
transportasi yang kucup lancar dan memadai. Sedangkan prasarana, berupa
jalan raya dalam kondisi sangat baik. Oleh karena itu apabila terjadi perubahan
harga beras di pasar Inpres Lawang akan diikuti oleh perubahan harga ditingkat
pasar Tumpang dalam jangka panjang.
Analisis integrasi pasar vertikal anrata pasar Tumpang dengan pasar
Inpres Lawang selanjutnya adalah melalui error corection model (ECM).
Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran hubungan keseimbangan
dinamis jangka pendek dan keseimbangan jangka panjang.
17
Tabel 5. Uji Error Correction Model (ECM) pasar Tumpang dan pasar
Inpres Lawang
Variabel Koefisien t-Statistik Prob. Adjusted R-squared C 3.968386 0.035271 0.9720 0,132712 D(A) 0.315185 2.369130 0.0214**
A(-1) 0.002693 0.077412 0.9386
ECT2 0.191731 2.803359 0.0070***
Keterangan: **) Signifikan pada taraf kepercayaan 5%
***) Signifikan pada taraf kepercayaan 1%
C = konstanta
D(KA) = Variabel harga beras di tingkat pasar Inpres Lawang
KA(-1) = Variabel harga beras di tingkat pasar Inpres Lawang pada periode
sebelumnya (t-1)
ECT2 = Error Correction Term
Model ECM antara PBt dan PAt adalah:
ΔPBt = 3,968 + 0,315ΔPAt + 0,003PAt -1 + 0,192ECT2
Secara statistik, ECT signifikan dan bertanda positif, sehingga model
yang digunakan dalam penelitian ini valid. Dari persamaan diatas, dapat
dikatakan bahwa dalam jangka pendek harga di pasar Tumpang dipengaruhi
oleh harga di pasar Inpres Lawang. Pengaruh jangka pendek harga di pasar
Inpres Lawang terhadap harga di pasar Tumpang sebesar 0.315185. Hal ini
berarti bahwa kenaikan harga beras di pasar Inpres Lawang sebesar Rp 10 akan
menyebabkan kenaikan harga beras di pasar Tumpang sebesar Rp. 3,15. Nilai
Adjusted R-squared sebesar 0.132712. Nilai tersebut mempunyai arti bahwa
13,27% dari variasi atau perubahan variabel harga di pasar Tumpang mampu
dijelaskan oleh variasi atau perubahan variabel harga di pasar Inpres Lawang,
sedangkan sisanya sebesar 86,73% dijelaskan oleh variabel lain di luar dari
model yang diajukan. Nilai Adjusted R-squared tersebut relatif rendah, karena
nilai tersebut diperoleh pada tingkat difference (first difference), sehingga
Adjusted R-squared lebih rendah ketika mengestimasi dalam bentuk level.
18
PBt = a + bPAt
Dimana:
20,697680.1917313.968386
α
αa
1,0140460.1917310,194424
ααα
b
PBt = 20,69768 +1,014046PAt
Dari persamaan diatas dapat diinterpretasikan bahwa dalam jangka panjang,
kenaikan harga beras di pasar Inpres Lawang sebesar Rp 10 akan menyebabkan
kenaikan harga beras di pasar Tumpang sebesar Rp. 10,14.
Bila dibandingkan besaran kenaikan harga di tingkat pasar Inpres
Gadang antara jangka pajang dengan jangka pendek, maka dapat dikatakan
bahwa kenaikan harga beras di tingkat pasar Tumpang dalam jangka panjang
lebih besar daripada dalam jangka pendek.
Eksistensi hubungan antara variabel tidak membuktikan kausalitas atau
arah pengaruh. Arah pengaruh harga beras dapat diketahui dengan pengujian
Kausalitas Granger. Pengujian Kausalitas Granger memungkinkan untuk
menganalisis variabel mana mendahului atau memberi petunjuk variabel lain.
Hasil pengujian Kausalitas Granger diketahui nilai probabilitas untuk null
hypothesis A does not Granger Cause B sebesar 0.06449. Nilai probalilitas
tersebut menunjukkan bahwa hipotesis nol (H0) ditolak pada tingkat kepercayaan
90%. Sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan harga beras di pasar Inpres
Lawang akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar Tumpang.
Sedangkan nilai probalilitas untuk null hypothesis KA does not Granger Cause
KK sebesar 0.25381. Nilai probalilitas tersebut lebih besar dari 0,1. Ini berarti
hipotesis nol (H0) diterima, sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan harga
beras di pasar Inpres Tumpang tidak akan menyebabkan perubahan harga beras
di pasar Inpres Lawang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara harga
beras di pasar Inpres Lawang dengan harga beras di pasar Tumpang
mempunyai satu arah pengaruh, yaitu perubahan harga beras di pasar Inpres
Lawang akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar Tumpang, tetapi
tidak sebaliknya, yaitu perubahan harga beras di pasar pasar Tumpang tidak
akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar Inpres Lawang. Jadi
19
perubahan harga beras di pasar Inpres Lawang mendahului perubahan harga
beras di pasar Tumpang.
b. Analisis Integrasi Pasar Vertikal antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres Gadang
Data time series yang digunakan untuk menganalisis Integrasi Pasar
Vertikal antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres Gadang telah dilakukan uji
stasioneritas seperti pada sub bab di atas, dimana variabel yang diteliti sudah
stasioner pada derajad yang sama, yaitu pada orde 1 atau I (1). Pengujian
integrasi pasar vertikal antara pasar Tumpang dengan pasar inpres Gadang
selanjutnya menggunakan uji kointegrasi. Hasil uji kointegrasi diperoleh bahwa
nilai residual antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres Gadang telah
mencapai stasioner pada tingkat first difference atau I(1) baik pada intercept,
trend and intercept, dan none. Besarnya nilai koefisien keseimbangan jangka
panjang pada intercept sebesar -0,989434, pada trend and intercept sebesar -
0,985777, dan pada none sebesar -0,982714. Nilai uji ADF lebih kecil dari nilai
kritisnya dengan nilai probalilitas sebesar 0,0000 (lebih kecil dari 0,0100). Hal ini
menunjukkan bahwa nilai residual antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres
Gadang telah stasioner pada tingkat kepercayaan 99%. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa perubahan harga ditingkat pasar Inpres Gadang akan diikuti
oleh perubahan harga ditingkat pasar Tumpang dalam jangka panjang. Hal ini
disebabkan tersedianya sarana transportasi yang kucup lancar dan memadai.
Sedangkan prasarana, berupa jalan raya dalam kondisi sangat baik. Oleh karena
itu apabila terjadi perubahan harga beras di pasar Inpres Lawang akan diikuti
oleh perubahan harga ditingkat pasar Inpres Gadang dalam jangka panjang.
Tabel 6. Uji Error Correction Model (ECM) pasar Tumpang dan pasar
Inpres Gadang
Variabel Koefisien t-Statistik Prob. Adjusted R-squared C -31.38196 -0.358251 0.7215 0,155510 D(KK) 0.143005 2.061628 0.0440**
KK(-1) 0.015736 0.585249 0.5608
ECT03 0.134566 1.920431 0.0600*
20
Keterangan: *) Signifikan pada taraf kepercayaan 10%
**) Signifikan pada taraf kepercayaan 5%
***) Signifikan pada taraf kepercayaan 1%
C = konstanta
D(KK) = Variabel harga beras di tingkat pasar Inpres Gadang
KK(-1) = Variabel harga beras di tingkat pasar Inpres Gadang pada periode
sebelumnya (t-1)
ECT03 = Error Correction Term
Analisis integrasi pasar vertikal antara pasar Tumpang dengan pasar
Inpres Gadang selanjutnya adalah melalui error corection model (ECM).
Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran hubungan keseimbangan
dinamis jangka pendek dan keseimbangan jangka panjang.
Model ECM antara PPBt dan PKt adalah:
ΔPBt = -31,382 + 0,143ΔPKt + 0,016PKt -1 + 0.135ECT3
Secara statistik, ECT signifikan dan bertanda positif, sehingga model
yang digunakan dalam penelitian ini valid. Pengaruh jangka pendek harga di
pasar Inpres Gadang terhadap harga di pasar Tumpang sebesar 0.143005. Hal ini
berarti bahwa kenaikan harga beras di pasar Inpres Lawang sebesar Rp 10
akan menyebabkan kenaikan harga beras di pasar Inpres Gadang sebesar Rp.
1,43. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0.155510. Nilai tersebut mempunyai arti
bahwa 15,55% dari variasi atau perubahan variabel harga di pasar Tumpang
mampu dijelaskan oleh variasi atau perubahan variabel harga di pasar Inpres
Gadang, sedangkan sisanya sebesar 86,73% dijelaskan oleh variabel lain di luar
dari model yang diajukan. Nilai Adjusted R-squared tersebut relatif rendah,
karena nilai tersebut diperoleh pada tingkat difference (first difference), sehingga
Adjusted R-squared lebih rendah ketika mengestimasi dalam bentuk level.
PBt = a + bKt
Dimana:
-233,208680.134566
31.38196-αα
a
1,1169390.1345660,150302
ααα
b
PBt = -233,20868 +1,116939Kt
21
Dalam jangka panjang, kenaikan harga beras di pasar Inpres Lawang
sebesar Rp 10 akan menyebabkan kenaikan harga beras di pasar Inpres
Gadang sebesar Rp. 11,17.
Bila dibandingkan besaran kenaikan harga di tingkat pasar Inpres
Gadang antara jangka panjang dengan jangka pendek, maka dapat dikatakan
bahwa kenaikan harga beras di tingkat pasar dalam jangka panjang lebih besar
daripada dalam jangka pendek.
Eksistensi hubungan antara variabel tidak membuktikan kausalitas atau
arah pengaruh. Arah pengaruh harga beras dapat diketahui dengan pengujian
Kausalitas Granger. Pengujian Kausalitas Granger memungkinkan untuk
menganalisis variabel mana mendahului atau memberi petunjuk variabel lain.
Nilai probabilitas untuk null hypothesis B does not Granger Cause K sebesar
0.09792. Nilai probalilitas tersebut menunjukkan bahwa H0 ditolak pada tingkat
kepercayaan 90%. Sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan harga beras di
pasar Inpres Gadang akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar
Tumpang. Sedangkan nilai probalilitas untuk null hypothesis KK does not
Granger Cause B sebesar 0.49444. Nilai probalilitas tersebut lebih besar dari
0,1. Ini berarti H0 diterima, sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan harga
beras di pasar Inpres Gadang tidak akan menyebabkan perubahan harga beras
di pasar Tumpang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara harga
beras di pasar Inpres Gadang dengan harga beras di pasar Tumpang
mempunyai satu arah pengaruh, yaitu perubahan harga beras di pasar Inpres
Gadang akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar Tumpang, tetapi
tidak sebaliknya, yaitu perubahan harga beras di pasar Tumpang tidak akan
menyebabkan perubahan harga beras di pasar Inpres Gadang. Jadi perubahan
harga beras di pasar Inpres Gadang mendahului perubahan harga beras di pasar
Tumpang.
Hubungan antara Struktur Pasar, Saluran Pemasaran, Margin Pemasaran dan Integrasi Pasar yang Diperoleh dalam Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Tumpang menunjukkan
bahwa struktur pasar yang terjadi di tingkat petani adalah persaingan tidak
sempurna, yakni oligopsoni. Hal ini berarti derajad konsentrasi di wilayah pasar
tersebut secara umum terjadi ketidak-seimbangan kekuatan posisi tawar antara
petani (penjual) dengan pedagang (pembeli) atau adanya kesulitan masuk-
22
keluar pasar bagi penjual dan pembeli, informasi pasar tidak dapat diakses
secara merata oleh berbagai pelaku pasar, terutama petani. Struktur pasar
tersebut mendorong pedagang mendominasi penentuan harga beras, sedangkan
petani berada pada posisi yang lemah. Pada kondisi tersebut petani tidak
mempunyai banyak pilihan dalam menyalurkan produknya, apalagi jumlah beras
yang diproduksi dan dijual oleh petani secara perorangan tidak terlalu banyak.
Saluran pemasaran yang terjadi adalah sebanyak 5 saluran, namun
secara umum dapat diklasifikasi atas 2 macam, yaitu: petani-pedagang
pengumpul-konsumen dan petani-pedagang pengumpul-pedagang pengecer-
konsumen. Jika saluran pemasaran yang terjadi tersebut dibandingkan dengan
hasil penelitian lain, maka dapat dikatakan bahwa saluran tersebut relatif pendek.
Mardianto et al (2005) mengatakan bahwa struktur pasar akan
berdampak pada nilai margin pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
distribusi margin pemasaran tidak metara/adil dan share harga yang diterima
petani relatif kecil, sedangkan keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pedagang.
Margin pemasaran terbesar dikuasai oleh pedagang pengumpul. Hal ini
disebabkan oleh jumlah petani jauh lebih banyak daripada pedagang pengumpul
dan jumlah beras yang diproduksi oleh petani secara perorangan tidak terlalu
banyak serta dalam penjualan beras petani menjual secara perorangan pula,
sehingga posisi tawar petani terhadap harga jual beras lebih lemah daripada
pedagang pengumpul. Penentuan harga beras bergantung pada pedagang
pengumpul sebagai price maker, sedangkan petani hanya bertindak sebagai
price taker.
Pengukuran integrasi pasar dapat digunakan sebagai data dasar untuk
memahami mekanisme pasar (Ravallion, 1986) dan sebagai bahan informasi
bagi pemerintah dalam rangka merumuskan kebijakan, berupa penyediaan
infrastruktur dan jasa layanan informasi untuk menghindari eksploitasi pasar
(Lohano dan Mari, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi pasar
harisontal antara pasar Inpres Gadang dengan pasar Lawang menunjukkan
bahwa perubahan harga di tingkat pasar Lawang akan diikuti oleh perubahan
harga di tingkat pasar Inpres Gadang, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Perubahan harga di kedua pasar tersebut tidak sebanding baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, walaupun tersedianya sarana
transportasi dan komunikasi yang kucup lancar dan memadai. Perubahan harga
beras dalam jangka pendek di pasar Lawang sebesar Rp 10 akan menyebabkan
23
perubahan harga beras di pasar Inpres Gadang sebesar Rp. 3,71. Demikian juga
dengan perubahan harga beras dalam jangka panjang. Perubahan harga beras
di pasar Inpres Lawang sebesar Rp 10 akan menyebabkan perubahan harga
beras di pasar Inpres Gadang sebasar Rp. 8,44. Perubahan harga yang tidak
sebanding ini, diduga disebabkan konsumen di pasar Inpres Gadang tidak
bergantung sepenuhnya pada beras produksi Kecamatan Tumpang. Perubahan harga di kedua pasar tersebut tidak sebanding baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, walaupun tersedianya sarana
transportasi yang kucup lancar dan memadai. Perubahan harga beras dalam
jangka pendek di pasar Lawang sebesar Rp 10 akan menyebabkan perubahan
harga beras di pasar pasar Tumpang sebesar Rp. 3,15. Demikian juga dengan
perubahan harga beras dalam jangka panjang. Perubahan harga beras di pasar
Lawang sebesar Rp 10 akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar
Kecamatan Tumpang sebasar Rp. 10,14. Perubahan harga yang tidak sebanding
ini, menunjukkan integrasi pasar vertikal antara pasar Tumpang dengan pasar
Lawang belum sempurna. Hal ini disebabkan tidak sempurnanya informasi pasar
di tingkat petani, sehingga dominasi penentuan harga jual beras di tingkat petani
ditentukan oleh pedagang pengumpul sebagai akibat dari struktur pasar
oligapsoni.
Integrasi pasar vertikal antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres
Gadang menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat pasar Inpres Gadang
akan diikuti oleh perubahan harga di tingkat pasar pasar Tumpang, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Perubahan harga di kedua pasar
tersebut tidak sebanding baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,
walaupun tersedianya sarana transportasi yang kucup lancar dan memadai.
Perubahan harga beras dalam jangka pendek di pasar Inpres Gadang sebesar
Rp 10 akan menyebabkan perubahan harga beras di pasar pasar Tumpang
sebesar Rp. 1,43. Demikian juga dengan perubahan harga beras dalam jangka
panjang. Perubahan harga beras di pasar Inpres Gadang sebesar Rp 10 akan
menyebabkan perubahan harga beras di pasar Kecamatan Tumpang sebasar
Rp. 11,17. Perubahan harga yang tidak sebanding ini, menunjukkan integrasi
pasar vertikal antara pasar Tumpang dengan pasar Inpres Gadang belum
sempurna. Hal ini disebabkan tidak sempurnanya informasi pasar di tingkat
petani, sehingga dominasi penentuan harga jual beras di tingkat petani
24
ditentukan oleh pedagang pengumpul sebagai akibat dari struktur pasar
oligapsoni.
Dengan mengetahui integrasi pasar yang terjadi pada setiap tingkat
pasar, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang menunjukan
belum sempuna, berarti masih terdapat peluang untuk memperbaiki sistem
pemasaran beras di lokasi penelitian. Selain integrasi pasar, juga ditunjukkan
dengan struktur pasar yang terjadi, yakni oligopsoni dan margin pemasaran yang
belum terdistribusi secara merata/adil. Untuk memperkuat posisi petani dalam
memperoleh harga beras jual yang lebih tinggi, maka petani dapat bersatu dalam
kelompok tani, sehingga pedagang tidak dapat dengan mudah mempermaikkan
harga beras di tingkat petani. Sedangkan dalam pilihan saluran pemasaran,
petani diharapkan tidak lagi memilih saluran I dan V. Diharapkan pula kepada
pemerintah dan instansi terkait kiranya dapat menyediakan sarana produksi
seperti hand traktor dan perontok padi bagi petani, guna membantu petani pada
awal periode usahatani maupun saat panen. Hal ini bertujuan untuk
menghindarkan petani dari praktek-praktek pasar yang cenderung merugikan
petani secara ekonomi, karena petani sering terikat pada praktek penjualan
beras dengan sistem ijon bahkan pada awal usahatani. Selain itu diharapkan
kepada pemerintah perlunya meningkatkan layanan informasi pasar yang lebih
baik dan akurat.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Dari hasil dan pemhasan penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Struktur pasar yang terjadi pada pemasaran beras di kecamatan Tumpang
adalah persaingan tidak sempurna, yaitu mengarah pada pasar oligopsoni.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya ikatan yang cukup kuat antara petani
dengan pedagang pengumpul berupa penjualan beras/gabah oleh petani
secara ijon, bahkan pada awal tahap usahatani, karena petani kekurangan
modal, mesin pengolahan lahan, perontokan padi dan penggiling beras.
Struktur pasar tersebut juga ditunjukkan dengan informasi pasar yang tidak
menyebar secara merata dan tingkat konsentrasi berada diantara 40%-
80%, yakni sebesar 68,37%. Struktur pasar tersebut memposisikan petani
pada pihak yang lemah sebagai price taker, sehingga penentuan harga
didominasi oleh pedagang pengumpul.
25
2. Secara umum, saluran pemasaran beras di Kecamatan Tumpang dapat
diklasifikasikan atas dua, yaitu:
Petani – Padagang Pengumpul – Konsumen, dan
Petani – Padagang Pengumpul – Padagang Pengecer - Konsumen.
Klasifikasi ini didasarkan pada jenis lembaga atau pelaku pasar yang
terlibat dalam perdagangan beras di kecamatan tersebut. Dari dua saluran
pemasaran tersebut dapat bagi menjadi lima saluran pemasaran sebagai
berikut:
a. Saluran Pemasaran I (Petani gabah – Padagang Pengumpul –
Konsumen Atambua),
b. Saluran Pemasaran II (Petani – Pedagang Pengumpul – Konsumen
Atambua),
c. Saluran Pemasaran III (Petani – Pedagang Pengumpul – Konsumen
Kefamenanu),
d. Saluran Pemasaran IV (Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang
Pengecer Atambua – Konsumen Atambua), dan
e. Saluran Pemasaran V (Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang
Pengecer Kefamenanu – Konsumen Kefamenanu).
Dari saluran-saluran pemasaran tersebut di atas, hanya terdapat dua
lembaga pemasaran sebagai menghubung antara petani dengan
konsumen, yaitu pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa saluran pemasaran beras di kecamatan
Tumpang cukup pendek, sehingga diharapkan petani dapat memperoleh
harga yang cukup tinggi, namun pada kenyataannya petani diperadapkan
pada struktur pasar oligapsoni yang telah melemahkan posisi tawar petani
atas harga jual yang harus diterima oleh petani.
3. Marjin pemasaran beras di Kecamatan Tumpang berbeda antar saluran
pemasaran dan distribusi margin antar pelaku pasar beras tidak merata.
Dimana distribusi marjin terbesar dikuasai oleh para pedagang pengumpul.
Hal ini disebabkan oleh informasi pasar yang tidak menyebar secara
merata sebagai akibat dari struktur pasar oligapsoni di tingkat petani,
26
sehingga penentuan harga di tingkat petani didominasi oleh pedagang
pengumpul.
4. Integrasi pasar beras secara horisontal antara pasar Inpres Gadang
dengan pasar Inpres Lawang menunjukkan bahwa perubahan harga
ditingkat pasar Inpres Lawang akan diikuti oleh perubahan harga ditingkat
pasar Inpres Gadang dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan
tersedianya sarana transportasi dan komunikasi yang kucup lancar dan
memadai.
5. Adanya Integrasi pasar beras secara vertikal antara pasar Kecamatan
Tumpang dengan pasar Inpres Lawang dan antara pasar Kecamatan
Tumpang dengan pasar Inpres Gadang, baik dalan jangka panjang maupun
jangka pendek, sehingga terjadi perubahan harga di pasar Inpres Lawang
dan pasar Inpres Gadang akan diikuti oleh perubahan harga ditingkat pasar
Kecamatan Tumpang. Namun perubahan harga di pasar Inpres Lawang
dan pasar Inpres Gadang belum diikuti sepenuhnya oleh perubahan harga
ditingkat pasar Kecamatan Tumpang. Hal ini disebabkan petani tidak
memiliki informasi pasar yang cukup memadai atau sempurna, sehingga
dominasi penentuan harga di tingkat petani ditentukan oleh pedagang
pengumpul sebagai akibat dari struktur pasar oligapsoni.
Saran Pada kesempatan ini beberapa saran dapat disampaikan, antara lain:
1. Bagi Pemerintah:
a. Pemerintah perlu menyediakan program terpadu berupa pendanaan
usahatani padi dan penyediaan peralatan, seperti hand traktor dan
perontok padi bagi petani, guna membantu petani pada awal periode
usahatani maupun saat panen. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan
petani dari praktek-praktek pasar yang cenderung merugikan petani
secara ekonomi.
b. Agar pemasaran beras dapat lebih menguntungkan petani (lebih
terintegrasi), diharapkan kepada pemerintah perlunya meningkatkan
layanan informasi pasar yang lebih baik dan akurat.
2. Bagi petani: a. Mengingat struktur pasar yang terbentuk, yaitu oligopsani, maka perlu
adanya kelompok tani yang mempunyai peranan bukan hanya pada
tingkat usahatani tetapi berperan juga dalam memasarkan beras,
27
sehingga para petani dapat terhindar dari praktek-praktek pemasaran
yang tidak adil dan berpihak kepada mereka.
b. Informasi pasar merupakan hal penting, diharapkan kiranya petani
lebih aktif dalam mencari informasi pasar dan sarana informasi pasar
yang sudah ada, seperti radio dan TV kiranya dapat lebih
dimanfaatkan.
3. Perlu adanya penelitian tentang praktek pemasaran gabah di tingkat
petani, karena gabah dijual dengan sistem ijon, bahkan gabah dijual pada
awal periode usahatani. Ikatan antara petani dengan pedagang ini
mempunyai resiko. Petani menanggung resiko menjual gabah dengan
harga yang cukup rendah, sedangkan pedagang menaggung resiko
pengembalian modal jika gagal panen.