analisis kualitas udara ambien pada ruang krematorium
TRANSCRIPT
1
Analisis Kualitas Udara Ambien pada
Ruang Krematorium dengan Parameter Partikulat
(Studi Kasus : Krematorium Oasis Lestari)
Zebian Paskalis
Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424
Email : [email protected]
Abstrak
Kremasi menghasilkan emisi debu partikulat yang mampu mencemari udara ambien, tak terkecuali udara ambien pada ruang krematorium. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis konsentrasi debu partikulat dalam udara ambien pada ruang krematorium. Hal ini akan dikaitkan dengan kesehatan para pekerja krematorium. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode gravimetri menggunakan High Volume Air Sampler (HVAS) selama satu jam per sampelnya. Konsentrasi partikulat tertinggi terjadi pada kremasi dengan peti berbahan kayu jati, yaitu sebesar 216,919 µg/m3. Bahan jenis lain yang digunakan adalah particle board. Enam dari delapan sampel yang diambil masih berada di bawah standar baku mutu. Dua sampel yang melewati standar baku mutu terjadi akibat kremasi dengan peti kayu jati. Standar baku mutu yang digunakan adalah “Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara”. Hasil pengukuran diameter partikulat menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM) menunjukkan bahwa adanya partikulat memiliki diameter kurang dari 10 µm (PM10). Hal ini menunjukkan bahwa partikulat bisa masuk ke dalam saluran pernapasan dan membahayakan kesehatan. Komposisi kimiawi partikulat yang diuji menggunakan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy menunjukkan tiga unsur tertinggi adalah karbon (C), oksigen (O), dan kalsium (Ca).
Kata Kunci : Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy ; High Volume Air Sampler ; Krematorium ; PM10 ; Scanning Electrone Microscope
Analysis of Ambient Air Quality in Crematory with Particulate Matter Parameter (Case Study : Oasis Lestari Crematory)
Abstract
Cremation produce particulate matter emission which can contaminate ambient air, including ambient air in the crematory. The purpose of this study is to determine and analyze particulate matter concentration in ambient air in the crematory. The analysis will be linked to the crematory workers’ health. The method of sampling is gravimetric method using the High Volume Air Sampler for one hour per sample. The highest particulate matter concentration is 216,919 µg/m3, which occur on teak wood coffin cremation. The concentration of six samples is below the quality standard. The concentration of two sample, which is above the quality standard, caused by teak wood coffin cremation. The quality standard that is used is “Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara”. The results of particulate matter diameter, which is measured with Scanning Electrone Miscroscope, show the presence of PM10. It shows that particulate matter can enter the respiratory system and endanger health. Particulate matter chemical composition, which is tested using Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy, showed the highest three elements, which are carbon (C), oxygen (O), dan calcium (Ca).
Keywords : Crematory ; Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy ; High Volume Air Sampler ; PM10 ; Scanning Electrone Microscope
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
2
Pendahuluan
Kematian merupakan suatu keadaan ketika makhluk hidup, termasuk manusia, tak
lagi memiliki nyawa di dalam tubuhnya. Kematian tidak akan bisa terelakkan karena
kematian merupakan salah satu bagian dari fase kehidupan manusia. Jumlah populasi
manusia di Indonesia yang tercatat adalah 237.641.326 jiwa (Badan Pusat Statistik,
2012). Dan jumlah kematian yang tercatat sejak 1 Januari 2009 sejumlah 61.164.444
jiwa (Badan Pusat Statistik, 2012).
Manusia yang menghasilkan sampah, baik ketika hidup atau pun mati, akan
meninggalkan sampah berupa tubuhnya sendiri ketika meninggal. Jenazah manusia
akan terdekomposisi secara alami, kecuali apabila jenazah manusia diawetkan untuk
dimanfaatkan demi kepentingan ilmu pengetahuan. Namun proses dekomposisi jenazah
manusia cukup lama dan tidak layak untuk dilihat bagi orang pada umumnya. Maka dari
itu, jenazah akan diproses lebih lanjut, yaitu dikubur atau dikremasi. Ketika jenazah
dikubur, maka jenazah akan terdekomposisi secara alami dengan dibantu oleh
dekomposer yang ada di dalam tanah. Berdasarkan Camps dan Cameron (1971),
pembusukan mayat pada medium udara selama satu minggu setara dengan medium air
selama dua minggu dan medium tanah selama delapan minggu.
Kremasi merupakan proses pembakaran jenazah sehingga menjadi abu dengan
suhu di atas 700°, dengan waktu kurang lebih 2-3 jam. Pada umumnya, proses kremasi
menghasilkan abu seberat 1-2% dari volume badan jenazahnya (Castillo et al., 2012).
Kremasi dilakukan di krematorium, yaitu merupakan tempat di mana kremasi dilakukan
dengan bentuk seperti oven yang muat untuk dimasuki peti berisi jenazah.
Krematorium bisa menjadi salah satu penyebab polusi udara. Salah satu jenis
polusi yang dihasilkan adalah debu partikulat. Debu adalah zat padat yang dihasilkan
oleh manusia atau alam akibat dari proses pemecahan suatu bahan yang berukuran 0,1-
25 mikron (Avrianto, 2011). Debu yang sering menjadi indikator pencemaran udara
adalah debu dengan ukuran 10 mikron, atau biasa disebut PM10 (particulate matter 10).
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 12 tahun 2010, pencemaran
udara karena partikel debu biasanya menyebabkan penyakit pernapasan seperti
bronkitis, asma, dan kanker paru-paru.
Peraturan yang dijadikan acuan adalah “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara” mengenai baku mutu
udara ambien mengenai debu dan “Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
3
nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di
Tempat Kerja”.
Krematorium yang menjadi tempat studi kasus adalah Krematorium Oasis Lestari
yang terletak di Jalan Gatot Subroto KM 7-8 Jatake Tangerang. Krematorium ini sudah
berdiri sejak 5 April 2005. Krematorium Oasis Lestari ini menyebut dirinya merupakan
krematorium dengan teknologi paling modern di Indonesia sehingga proses kremasi
dilakukan dengan cepat, bersih, dan ramah lingkungan.
Teknologi yang dipakai untuk kremasi adalah krematorium dengan pembakaran
dua kali sebelum dilepas ke udara (double-chambered). Penelitian ini menjadi penting
untuk dilakukan karena pihak Krematorium Oasis Lestari tidak memiliki data tentang
emisi tersebut yang sebenarnya bisa mengancam kesehatan para pekerjanya. Hasil
penelitian ini bisa digunakan untuk memperbaiki sistem yang ada, baik dari segi teknis
mesin, maupun segi sistem keamanan, kesehatan, dan lingkungan (safety, health, and
environmental). Hasil penelitian ini juga bisa digunakan sebagai acuan AMDAL untuk
krematorium di Indonesia.
Tinjauan Teoritis
Bahan bakar yang digunakan pada kremasi kuno adalah kayu bakar. Jenazah
manusia tersebut langsung ditaruh begitu saja di atas kayu bakar yang sedang menyala
seperti pada api unggun. Namun, krematorium modern saat ini lebih sering
menggunakan solar, Liquefied Petroleum Gas (LPG) atau biasa disebut elpiji, dan listrik
sebagai bahan bakar utama.
Pembakaran utama dalam ruang pertama dilakukan untuk membakar jenazah, peti
mati, dan barang-barang yang ada di dalam peti mati. Pembakaran kedua dalam ruang
kedua dilakukan untuk mengeliminasi gas beracun, bau, dan partikel debu
(Achawangkul et al., 2015). Setiap satu kali kremasi dilakukan, jumlah bahan bakar
yang digunakan berbeda-beda, tergantung dengan jenis bahan bakarnya.
Tabel 1. Perbandingan Jenis Bahan Bakar dengan Jumlah Penggunaannya pada Jenazah Seberat 60 kg
Jenis Bahan Bakar Jumlah Penggunaan Solar 60 liter LPG 82 liter
Listrik 400 kWh Gas biomassa 393 m3
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
4
Peti mati yang digunakan di Indonesia ada dua jenis, yaitu peti untuk kremasi dan
peti untuk dikubur. Peti untuk dikubur terbuat dari kayu jati dengan ketebalan 5 cm – 8
cm dan peti untuk dikremasi terbuat dari particle board dengan ketebalan 3 cm. Namun
tidak bisa dihindari juga apabila ada orang yang memakai peti kayu jati untuk dikremasi
dengan alasan untuk meningkatkan prestise karena harganya lebih mahal.
Kedua bahan tersebut diolah dengan cara yang hampir sama. Kayu dibentuk
dengan cara dipotong dan direkatkan menggunakan lem dan paku. Selesai dibentuk,
peti dipelitur dan dikeringkan menggunakan oven. Interior peti ditambahkan dengan
kain. Bagian luar peti diukir dan ditambahkan pegangan dari kayu atau logam kuningan.
Kayu jati berasal dari pohon dengan nama latin Tectona grandis. Densitas kayu
jati berkisar antara 700-930 kg/m3 (Wanneng, Ozarska, dan Daian, 2014). Kayu jati
termasuk golongan kayu yang awet karena memiliki daya tahan yang kuat terhadap
jamur, udara lembap, dan serangga.
Particle board dengan tebal di atas 23 mm memiliki densitas sebesar 600-660
kg/m3 (Engineered Wood Products Association of Australasia, 2008). Kelembapan di
bawah 8% dan di atas 12% akan menyebabkan particle board mengalami perubahan
kekuatan. Bahan ini juga mudah terbakar api sehingga cocok untuk dijadikan sebagai
peti mati yang dikremasi.
Krematorium yang digunakan sekarang memiliki 2 ruang pembakaran, yaitu
untuk pembakaran primer dan pembakaran sekunder. Ruang pembakaran primer
merupakan tempat untuk membakar jenazah manusia. Ruang pembakaran sekunder
merupakan tempat untuk membakar hasil pembakaran dari pembakaran utama. Dahulu,
ruang pembakaran ini terbuat dari batu bata tahan api. Namun sekarang sudah
menggunakan bahan logam yang memiliki titik leleh yang tinggi, yaitu besi (Fe) dengan
titik leleh 1.538°C.
Pembakaran utama bisa mencapai 1.000°C agar jenazah bisa terbakar dengan
sepenuhnya. Pembakaran sekunder dilakukan untuk membakar hasil-hasil pembakaran
utama, tujuannya adalah untuk menghilangkan debu partikulat, asap, dan senyawa-
senyawa penghasil bau seperti amonia (NH3), hidrogen sulfida (H2S), methyl captane
(CH3SH), metil sulfida ((CH3)2S), dan trimetilamina ((CH3)3N) (Achwangkul, et.al,
2015). Berdasarkan Standar Emisi – Sumber Stasioner tahun 2014, pembakaran
sekunder pada krematorium harus lebih dari 1.600°F atau lebih dari 871°C.
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
5
Gambar
Gambar 1. Krematorium dengan Dua Ruang Pembakaran
Berdasarkan US EPA, partikulat merupakan campuran kompleks dari partikel
yang sangat kecil dan tetesan cairan. Partikel ini terbuat dari beberapa komponen, yaitu
asam dalam bentuk nitrat dan sulfat, kimia organik, logam, tanah, atau partikel debu.
Ukuran partikel sangat berhubungan dengan penyebab masalah kesehatan, khususnya
partikulat dengan diameter lebih kecil dari 10 mikrometer.
Partikulat dengan ukuran lebih kecil daripada 10 µm berbahaya bagi kesehatan
karena partikulat tidak tersaring oleh bulu hidung dan dapat masuk ke dalam paru-paru,
bahkan ke dalam darah. Terpapar partikel terlalu banyak dapat memberikan dampak
buruk terhadap paru-paru dan jantung. Penyakit yang diakibatkan debu partikulat antara
lain kematian prematur akibat penyakit jantung dan paru-paru, serangan jatung yang
tidak fatal, detak jantung yang tidak beraturan, memperburuk asma, penurunan fungsi
paru-paru, dan meningkatkan penyakit pernapasan seperti iritasi, batuk, dan kesulitan
bernapas.
Mineral dalam tubuh manusia sebagian besar terdiri dari hydroxyapatite
(Ca5(PO4)3(OH)) karena 50-70% dari tubuh adalah tulang (Rikhvanov, 2014). Berikut
ini adalah tabel data komposisi kimiawi pada abu manusia :
Tabel 2. Komposisi Kimiawi Abu Manusia
Unsur Persentase dengan kesalahan (%) C 13,6 ± 9,06 O 40,27 ± 2,81 Ca 26,79 ± 7,08 P 10,29 ± 2,31
Na 4,41 ± 0,84 K 1,89 ± 0,65
Mg 1,34 ± 0,54 Total 98,59
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
6
Tahun 1971 US EPA menetapkan standar pertama untuk materi partikulat dalam
National Ambient Air Quality Standard (NAAQS) dalam bentuk Total Suspended
Particulate (TSP). Indonesia sendiri telah mengatur baku mutu konsentrasi pencemar di
udara ambien berdasarkan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999. Batas maksimal
untuk partikulat adalah sebesar 230 𝜇g/m3 per 24 jam.
Baku mutu udara ambien saja tidak cukup untuk melindungi kesehatan dan
keselamatan kerja para petugas krematorium. Maka dari itu, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi mengeluarkan “Peraturan Pemerintah Tenaga Kerja dan Transmigrasi
nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di
Tempat Kerja”. Batas maksimal untuk partikulat respirabel adalah sebesar 3mg/m3.
Menurut Shannon DeCamp (2008) dalam majalah International Cemetery,
Cremation, and Funeral Association (ICCFA), alat pelindung diri yang harus dipakai
adalah pakaian khusus, sarung tangan, celemek, dan kacamata pelindung. Selain itu,
krematorium juga harus menyediakan tempat mandi dan tempat cuci mata khusus. Para
pekerja juga harus diberi vaksin hepatitis B.
Dua faktor yang harus diperhatikan adalah formalin dan patogen yang ditularkan
melalui darah. Formalin menjadi perhatian khusus karena formalin merupakan salah
satu bahan karsinogenik. Formalin bisa terlarut dalam udara ambien. Jika konsentrasi
formalin yang dilepaskan ke udara ambien lebih dari 0,5 ppm, maka pihak krematorium
harus sangat berhati-hati.
Secara umum, ada dua jenis ventilasi yang bisa dipakai di dalam ruangan, yaitu
ventilasi natural dan ventilasi mekanis. Ventilasi natural bergantung pada suhu udara,
laju aliran udara, tekanan udara, dan volume udara di dalam ruang (Spengler, Samet,
dan McCarthy, 2001). Sedangkan ventilasi mekanis bergantung pada alat tambahan
yang menggunakan mesin.
Beberapa konfigurasi sistem ventilasi mekanis menurut Spengler, Samet, dan
McCarthy (2001) adalah lokal, sentralisasi, dan menggunakan pembaruan panas. Sistem
lokal cocok untuk ruangan yang kecil. Kapasitas udara yang bisa disirkulasikan sebesar
25-50 liter per detik. Sistem sentralisasi lebih cocok untuk ruangan yang lebih besar.
Kipasnya diletakkan di atas dan di tengah ruang. Sistem ini biasa digunakan pada
lingkungan industri dan rumah sakit, karena sistem ini bisa menyedot kontaminan
kimiawi dan mikrobiologi.
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
7
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian
kuantitatif. Pendekatan penelitian kuantitatif merupakan pendekatan yang di dalam
usulan penelitian, proses, turun ke lapangan, analisis data, kesimpulan data, dan
penulisannya menggunakaan aspek pengukuran, perhitungan, rumus, dan kepastian data
numerik. Pendekatan penelitian kuantitatif digunakan terkait dengan tingkat konsentrasi
partikulat, diameter partikulat, temperatur udara, tekanan udara, durasi pengambilan
sampel, dan jumlah kremasi selama penelitian di kawasan Krematorium Oasis Lestari.
Variabel penelitian adalah objek yang menjadi perhatian dalam suatu penelitian.
Pada penelitian ini, dua variabel yang diteliti adalah variabel terikat dan variabel bebas.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat konsentrasi partikulat dan diameter
partikulat pada udara ambien yang ada di ruang krematorium. Variabel bebas dalam
penelitian ini berasal yaitu temperatur udara, tekanan udara, jenis peti, dan jumlah
kremasi. Variabel terkontrol dalam penelitian ini yaitu durasi pengambilan sampel.
Kerangka berpikir penelitian ini muncul karena konsentrasi partikulat yang tinggi
dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan pekerja. Pengambilan sampel akan
dilakukan di ruang krematorium. Dengan memperhitungkan akumulasi jumlah kremasi
dan jenis kayu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data kuantitatif tingkat
konsentrasi partikulat pada udara ambien. Pengolahan data serta analisis yang dilakukan
diharapkan bisa menghasilkan kesimpulan dan saran kepada pihak Krematorium Oasis
Lestari agar lebih memperhatikan lagi kesehatan pekerja, pengunjung, serta lingkungan.
Lokasi penelitian akan dilakukan di empat tempat, yaitu di kawasan Krematorium
Oasis Lestari, Laboratorium Teknik Penyehatan Lingkungan Fakultas Teknik
Universitas Indonesia, Laboratorium Sentra Teknologi Polimer Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi, dan Laboratorium Teknologi Biomedis Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Kawasan Krematorium Oasis Lestari merupakan lokasi penelitian untuk
pengambilan sampel. Laboratorium Teknik Penyehatan Lingkungan Fakultas Teknik
Universitas Indonesia merupakan lokasi untuk menimbang berat kertas saring sebelum
dan sesudah pengambilan sampel. Laboratorium Sentra Teknologi Polimer Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi merupakan lokasi pengujian unsur yang
terkandung dalam sampel. Laboratorium Teknologi Biomedis Pascasarjana Universitas
Indonesia merupakan lokasi pengukuran diameter partikulat yang ada di dalam sampel.
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
8
Pengambilan sampel udara yang tercemar partikulat dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode gravimetri. Analisis gravimetri adalah menghitung
determinasi dari konsentrasi partikulat berdasarkan perbedaan berat. (Yreene, 2008).
Setelah proses pengambilan sampel selesai dilakukan, maka akan didapatkan debit laju
alir dan berat filter. Dari data tersebut, hal yang bisa didapatkan adalah koreksi laju alir,
volume udara yang diambil, dan konsentrasi partikulat.
Diameter partikulat diukur dengan menggunakan alat berupa Scanning Electron
Microscope (SEM) dengan merk ZEISS. SEM merupakan salah satu jenis mikroskop
yang digunakan untuk mengamati permukaan sampel. Alat ini menggunakan pancaran
elektron untuk menggambarkan topografi dari suatu permukaan.
Unsur kimiawi yang terkandung dalam partikulat bisa diperiksa dengan metode
Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDS) dengan merk JEOL. Sesuai dengan
namanya, alat ini memanfaatkan sinar-X untuk mempelajari suatu hal yang sangat kecil,
baik mikro, nano, bahkan ukuran atom. EDS merupakan salah satu metode yang ideal
untuk mengetahui kandungan kimiawi yang terkandung dalam sampel (Heath, 2015). Hasil Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dalam 3 hari, yaitu pada tanggal 9 April 2016, 14
April 2016, dan 16 April 2016. Berikut ini adalah data ruangan kremasi berupa suhu
udara, kelembapan udara, dan tekanan udara dengan menggunakan anemometer : Tabel 3. Suhu, Kelembapan, dan Tekanan Udara
Sampel Jumlah Oven Suhu (°C)
Kelembapan (%)
Tekanan Udara (mmHg)
1 1 29,6 74,5 752,31 2 1 30,5 69,5 752,31 3 1 30,3 67,8 752,31 4 2 34,4 58 753,06 5 2 35,1 55,3 753,06 6 2 36,4 53 753,06 7 2 32,4 61 754,56 8 2 33,1 60,3 754,56
Sampel 1, 2, dan 3 diambil pada tanggal 9 April 2016 pada pukul 08.30 – 12.00 di
ruang kremasi II yang memiliki 1 oven. Sampel 1 diambil sebelum ada pembakaran
pada pukul 08.30 – 09.30. Data ini berfungsi untuk mengetahui kondisi standar ruangan
tersebut sebelum dicemari oleh debu kremasi. Sampel 2 diambil pada jam 09.50 –
10.50 dengan kondisi ada 1 pembakaran. Sampel 3 diambil pada jam 11.10 – 12.10,
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
9
yaitu dengan kondisi ada 1 pembakaran. Berhubung kremasi dilakukan berkelanjutan,
maka sampel 2 diambil pada waktu 30 menit pertama kremasi kedua dilakukan.
Pengambilan sampel 4, 5, dan 6 dilakukan pada tanggal 14 April 2016 pada pukul
10.50 – 14.40 di ruang kremasi I yang memiliki 2 oven. Sampel 4 diambil sebelum ada
kremasi, yaitu pada pukul 10.50 – 11.50. Sampel 5 diambil pada pukul 12.20 – 13.20,
dengan kondisi ada 2 pembakaran yang berjalan secara bersamaan. Sampel 6 dilakukan
pada pukul 13.40 – 14.40, dengan kondisi hanya ada 1 pembakaran.
Sampel 7 dan 8 diambil pada tanggal 16 April 2016 pada pukul 11.20 – 13.30 di
ruang kremasi I. Sampel 7 diambil pada jam 11.20 – 12.20 dengan kondisi ada 2
kremasi yang dilakukan secara bersamaan. Sampel 8 diambil pada pukul 12.30 – 13.30
juga dengan kondisi ada 2 kremasi yang dilakukan secara bersamaan.
Kertas saring yang telah terpapar oleh debu partikulat ditimbang kembali
menggunakan neraca yang sama. Selanjutnya, massa kertas saring, dengan kondisi
sebelum dan sesudah terpapar oleh debu partikulat, dibandingkan untuk mengetahui
massa partikulat yang menempel pada kertas saring. Berikut ini adalah data jenis peti,
laju alir, akumulasi kremasi, dan massa partikulat per sampel :
Tabel 4. Jenis Kayu, Laju Alir, Total Kremasi, dan Massa Partikulat
Sampel Jenis Kayu Laju alir (m3/menit)
Total kremasi Massa Partikulat (g)
1 - 1,5 0 0,001 2 Kayu Jati 1,5 1 0,0185 3 Particle board 1,5 2 0,0130 4 - 1,5 0 0,0007 5 Particle board 1,5 2 0,0037 6 Particle board 1,2 3 0,0050 7 Particle board 1,4 2 0,0083 8 Particle board 1,4 4 0,0078
Pembahasan
Kremasi dilakukan secara kontinu dengan durasi rata-rata 75 menit per kremasi.
Berhubung kremasi dilakukan secara nonstop, maka pengambilan sampel dimulai saat
30 menit sebelum kremasi berakhir hingga 30 menit setelah kremasi berakhir dengan
total waktu 60 menit. Hal ini dilakukan dengan dasar standar SNI yang mengharuskan
pengambilan sampel selama 1 jam per sampel agar mendapatkan hasil yang
representatif.
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
10
Pengambilan sampel dimulai saat 30 menit sebelum kremasi berakhir dengan
tujuan untuk mengukur partikulat yang dihasilkan selama proses kremasi. Pengambilan
sampel diberhentikan 30 menit setelah kremasi berakhir untuk mengukur partikulat
yang dihasilkan setelah pintu oven dibuka. Ada dua alasan utama mengapa pengambilan
sampel diberhentikan pada 30 menit setelah kremasi berakhir. Pertama, karena jika
terlalu lama, partikulat juga sudah terhisap keluar melalui ventilasi sehingga tidak
efektif. Kedua, agar tidak tercampur dengan partikulat dari kremasi selanjutnya. Hal ini
ditakutkan karena ada partikulat yang dihasilkan dari kremasi selanjutnya meskipun
jumlahnya tidak terlihat jelas.. Durasi ini diharapkan bisa merepresentasikan jumlah
partikulat yang mencemari udara ambien.
Berdasarkan data-data di atas, konsentrasi partikulat bisa dihitung dengan rumus
yang sudah dijelaskan, berikut ini adalah hasil konsentrasi partikulat tiap sampelnya :
Tabel 5. Laju Alir Koreksi, Volume Udara, dan Konsentrasi Partikulat
Sampel Laju Alir Koreksi (m3/menit)
Volume Udara (m3)
Konsentrasi Partikulat 1 jam
(µg/m3)
Konsentrasi partikulat 24 jam (µg/m3)
1 1,423 85,402 11,709 22,109 2 1,421 85,285 216,919 409,581 3 1,422 85,311 152,383 287,726 4 1,414 84,826 8,252 15,582 5 1,412 84,737 43,665 82,447 6 1,128 67,657 73,902 139,539 7 1,325 79,489 104,417 197,157 8 1,323 79,405 98,231 185,477
Sampel 1, 2, dan 3 diambil di ruang kremasi II dan sampel 4, 5, 6, 7, dan 8
diambil di ruang kremasi I. Berdasarkan data di atas, konsentrasi partikulat paling tinggi
pada ruang kremasi I adalah sampel 7 dengan berat 104,417 µg/m3 dalam waktu 1 jam.
Sedangkan konsentrasi partikulat paling rendah adalah sampel 4 dengan jumlah 8,252
µg/m3 dalam waktu 1 jam. Rata-rata konsentrasi partikulat dalam udara ambien selama
proses pengambilan sampel adalah 65,693 µg/m3 dalam waktu 1 jam.
Konsentrasi tertinggi pada ruang kremasi II ada pada sampel 2 dengan jumlah
216,919 µg/m3 dalam waktu 1 jam. Konsentrasi partikulat terendah ada di sampel 1
dengan jumlah 11,709 µg/m3 dalam waktu 1 jam. Dan rata-rata konsentrasi partikulat
selama pengambilan sampel sebesar 127,004 µg/m3.
Indonesia memiliki standar tersendiri untuk menentukan kualitas udara yang
diatur pada Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999. Standar tersebut diatur dalam
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
11
waktu 24 jam. Maka dari itu, perbandingan dilakukan dengan kondisi hasil konsentrasi
partikulat sudah dikonversi menjadi dalam waktu 24 jam. Berikut ini adalah grafik
perbandingannya : Gambar
Gambar 2. Grafik Perbandingan Konsentrasi Partikulat per Sampel dengan Standar Baku Mutu
Grafik di atas menunjukkan dari 8 sampel yang diambil, 2 sampel melewati
standar yang diatur oleh Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 1999. Namun
sebenarnya konsentrasi dalam ruang krematorium tersebut tidak akan stabil hingga
waktu 24 jam ke depan. Ketidakstabilan tersebut terjadi karena terjadi dispersi di ruang
tersebut akibat adanya exhaust fan yang memang sengaja dipasang untuk mengalirkan
debu yang berada di dalam ruangan menuju ke luar.
Dari 6 kremasi, hanya bahan peti saja yang bisa diketahui. Bahan peti yang
digunakan yaitu particle board dan kayu jati. Rata-rata konsentrasi partikulat pada
udara ambien saat pembakaran peti kayu jati adalah sebesar 216,919 µg/m3 dan saat
particle board sebesar 80,053 µg/m3.
Grafik di atas menunjukkan bahwa peti dengan bahan particle board lebih ramah
lingkungan dan lebih aman terhadap pekerja dibandingkan dengan peti berbahan kayu
jati karena konsentrasi partikulat pada udara ambien saat kremasi kayu jati 2,7 kali lebih
tinggi dibanding saat kremasi particle board. Perbedaan ketebalan dan densitas jenis
kayu mengakibatkan perbedaan jumlah konsentrasi partikulat yang dihasilkan. Namun,
bahan peti saja belum cukup valid untuk membuktikan pengaruhnya terhadap tingkat
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Sampel
Konsen
trasiPar,k
ulatμg/m3
sampel1
sampel2
sampel3
sampel4
sampel5
sampel6
sampel7
sampel8
Standar
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
12
konsentrasi partikulat pada udara ambien. Hal itu disebabkan karena ukuran, berat, dan
isi peti tidak bisa diketahui.
Jika data dari ketiga hari tersebut digabungkan dan dirata-ratakan tanpa
membeda-bedakan jenis kayu, maka jumlah konsentrasi partikulat pada udara ambien
dengan jumlah 1 kremasi sebesar 409,581 µg/m3 ; 2 kremasi sebesar 189,110 µg/m3 ; 3
kremasi sebesar 139,539 µg/m3 ; dan 4 kremasi sebesar 185,477 µg/m3.
Rata-rata pada jumlah satu kremasi begitu tinggi karena satu kremasi tersebut
merupakan kremasi dengan peti kayu jati. Begitu pula dengan dua kremasi, yang masih
dipengaruhi oleh peti kayu jati. Namun tren baru bisa terlihat pada jumlah tiga dan
empat kremasi karena sama sekali tidak dipengaruhi oleh peti kayu jati. Dari jumlah
tiga kremasi ke empat kremasi, terjadi peningkatan sebesar 32,921%.
Dari perbandingan tiga hari pengambilan sampel menunjukkan bahwa tidak
hanya akumulasi jumlah kremasi yang mampu mempengaruhi tingkat konsentrasi
partikulat, melainkan ada faktor lain juga. Faktor tersebut adalah desain ruangan dan
aktivitas di dalam ruang kremasi.
Faktor desain ruangan mencakup keberadaan exhaust fan dan jumlah ventilasi
yang ada di dalam ruangan. Keberadaan exhaust fan dan ventilasi berfungsi untuk
mengurangi konsentrasi partikulat di dalam ruangan. Hal ini bisa dilihat pada tabel
perubahan tingkat konsentrasi di bawah ini :
Tabel 6. Selisih Perubahan Tingkat Konsentrasi Partikulat
Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga Perubahan Pertama 205,210 µg/m3 35,412 µg/m3 96,165 µg/m3 * Perubahan Kedua -64,536 µg/m3 30,237 µg/m3 -6,186 µg/m3
Perubahan pertama dihitung dari selisih antara kondisi kremasi pertama dengan
kondisi sebelum kremasi. Perubahan kedua dihitung dari selisih antara kondisi kremasi
kedua dengan kondisi kremasi pertama. Berhubung pada hari ketiga tidak
didapatkannya data sebelum kremasi, maka data sebelum kremasi menggunakan data
hari kedua. Selisih perubahan kedua selalu lebih rendah dari selisih perubahan pertama.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem ventilasi dalam ruang kremasi.
Faktor lainnya yaitu aktivitas lain yang terjadi dalam ruang krematorium.
Aktivitas yang dimaksud adalah adanya anggota keluarga yang masuk ke dalam ruang
krematorium. Ketika jumlah anggota keluarga yang masuk ke dalam ruang
krematorium lebih dari 10 orang, maka petugas akan membuka pintu belakang agar
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
13
udara tidak terlalu pengap. Terbukanya pintu belakang dengan ukuran pintu dapat
menyebabkan sirkulasi udara menjadi turbulensi. Konsentrasi partikulat akan terdispersi
lebih cepat dan lebih luas ke luar ruangan atau konsentrasi partikulat di dalam ruangan
bertambah karena adanya angin yang masuk ke dalam ruang membawa debu dari luar.
Pengukuran diameter partikulat dilakukan dengan alat Scanning Electron
Microscope (SEM) di Laboratorium Teknologi Biomedis Universitas Indonesia,
Salemba, Jakarta. Sampel yang diteliti adalah sampel 3 dan sampel 8, yaitu dengan
jumlah konsentrasi terbanyak kedua di setiap krematorium. Sebenarnya, sampel dengan
jumlah konsentrasi terbanyak adalah sampel 2 dan sampel 7. Namun, sampel tersebut
tidak bisa digunakan lagi untuk diteliti karena terjadi kesalahan teknis pada penelitian
yang dilakukan di Sentra Teknologi Polimer, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, Serpong. Berikut ini adalah diameter partikulat yang berhasil diukur :
Tabel 7. Hasil Pengukuran Diameter Partikulat
Sampel Pengukuran 1 Pengukuran 2 Pengukuran 3 3 8,611 µm 9,897 µm 3,347 µm 8 3,014 µm 4,378 µm 6,767 µm
Pengukuran dilakukan secara manual, yaitu dengan memperbesar sampel sebesar
500 kali dan diukur dengan menarik garis. Berikut ini adalah perbesaran pada sampel 3:
Gambar
Gambar 3. Perbesaran 500 kali pada Sampel 3
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
14
Unsur kimiawi yang terkandung dalam sampel diuji melakukan Energy
Dispersive X-Ray Spectroscopy di Laboratorium Sentra Teknologi Polimer, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, Serpong. Sampel yang diuji adalah sampel 2 dan sampel 7. Berikut ini
adalah hasil komposisi kimiawinya :
Tabel 8. Unsur Kimiawi Partikulat :
Unsur Sampel 2 Sampel 7 C 58,61% 25% O 25,12% 41,34% Na 0,73%** 0,46%*** Mg 2,58% 0,62% Al - 1,56%*** Si - 1,73%** S 0,69%*** 0,23%*** Cl 1,58% 0,65%** K 4,52% 3,6% Ca 5,67% 22,53%*** Ti - - Fe - - Cu - 1,30%** Zn 0,51%*** 0,98%***
Pada sampel 2, tiga unsur tertinggi adalah karbon 58,61%, oksigen 25,12%, dan
kalsium 5,67%. Pada sampel 7, tiga unsur tertinggi adalah oksigen 41,34%, karbon
25%, dan kalsium 22,53%. Hal ini menunjukkan bahwa hal ini sesuai dengan penelitian
Rikhvanov (2014). Tiga unsur tertinggi menurut Rikhvanov adalah oksigen 40,27%,
kalsium 26,79%, dan karbon 13,6. Hal ini sesuai dengan studi pustaka di subbab 2.5.5
yang mengatakan bahwa mineral yang terkandung dalam manusia adalah
hydroxyapatite (Ca5(PO4)3(OH)) karena 50-70% dari tubuh manusia adalah tulang.
Namun pada sampel 2, kandungan karbon paling mendominasi di antara yang
lain, bahkan berselisih 52,94% dengan kalsium. Hal ini disebabkan karena peti yang
digunakan adalah kayu jati dan menghasilkan karbon yang sangat banyak. Pada sampel
7, tiga unsur utama memiliki presentase yang mirip dengan hasil yang diperoleh
Rikhvanov. Hanya ada perbedaan antara karbon dan kalsium. Karbon menjadi unsur
kedua tertinggi. Hal ini disebabkan karena peti yang berbahan particle board
menaikkan kandungan karbon pada sampel.
Tingkat konsentrasi partikulat mencapai batas aman baku mutu ketika peti yang
dibakar berbahan kayu jati. Namun, bukan berarti para pekerja aman dari paparan
andari� 6/20/16 10:57 AMDeleted:
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
15
partikulat. Hal ini disebabkan radius antara pekerja dengan alat kremasi hanya 50 cm.
Sedangkan saat pengambilan sampel, HVAS memiliki radius 1,5 m dari alat kremasi.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pun sudah memiliki peraturan
pemerintah yang membatasi paparan debu partikulat terhadap pekerja. Partikulat yang
memiliki bahaya lebih besar adalah partikulat dengan diameter kurang dari 10 µm atau
bisa disebut juga dengan partikulat respirabel. Berdasarkan “Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja”, ambang batas partikulat respirabel adalah 3
mg/m3 atau 3.000 µg/m3.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisa pada bab di atas, berikut ini adalah
beberapa kesimpulan yang bisa ditarik, antara lain :
1. Kremasi meningkatkan konsentrasi debu partikulat di dalam ruang kremasi sebesar
1.752,54% untuk kayu jati dan 429,13% untuk particle board.
2. Faktor yang mempengaruhi tingkat konsentrasi debu partikulat dalam ruang
kremasi adalah jenis kayu yang dikremasi, jumlah kremasi, desain ruang, dan
aktivitas di dalam ruang kremasi.
Saran
Dari segala kekurangan yang ada, maka dari itu berikut ini ada beberapa saran
untuk melengkapi skripsi ini :
1. Perlunya penelitian lanjutan untuk mengetahui paparan debu partikulat yang
diterima oleh pekerja.
2. Perlunya dilakukan pemeriksaan kesehatan berkelanjutan untuk para pekerja untuk
mengetahui efek jangka panjang dari terpaparnya debu partikulat.
Daftar Referensi Books : Schmidt, C. W. & Symes, S. A. (2015). The Analysis of Burned Human Remains (2nd ed). London: Elsevier Ltd. Spengler, J. D., Samet, J. M., dan McCarthy, J. F. (2001). Indoor Air Quality Handbook. Amerika Serikat : The McGraw-Hill Companies, Inc.
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
16
Book Chapter : Bohnert, M., Rost, T., & Pollak, S. (1998). The Degree of Destruction of Human Bodies in Relation to The Duration of The Fire. Forensic Science International, 95, 11 – 21. Online Document : Fire Science Demonstration videos. (n.d.). Dipetik Desember 10, 2015. https://sites.google.com/site/srcombexp/fire-protection-engineering---teaching-aids/fire-science-demonstration-videos. History of Cremation. (n.d.). Dipetik November 13, 2015. http://www.cremationassociation.org/?HistoryOfCremation. Mungo Lady and Mungo Man. (n.d.) Dipetik Desember 10, 2015. http://www.visitmungo.com.au/mungo-lady-mungo-man Particulate Matter : Basic Information. (n.d.). Dipetik Desember 12, 2015. http://www3.epa.gov/pm/basic.html What is Particulate Matter. (n.d.). Dipetik Desember 12, 2015. http://www.airinfonow.org/html/ed_particulate.html Tribunimage. (2016). Dipetik November 28, 2016. http://www.tribunnews.com/images/editorial/view/23732/joosje-c-tatipata-di-rumah-duka-oasis-lestari Onsluiting crematorium via Staddjik. (n.d.). Dipetik Desember 12, 2015. http://www.gelderlander.nl/regio/nijmegen-e-o/nijmegen/ontsluiting-crematorium-via-staddijk-1.4388014. Journal Article : Achawangkul, Y., et al. (2013). Biomass Gasification Utilization for Double-Chambered Crematory. 2013 Energy Procedia, 52, 308 – 315.
Achawangkul, Y., et al. (2015). Evaluation on Environmental Impact from The Utilization of Fossil Fuel, Electricity, and Biomass Producer Gas in The Double-Chambered Crematories. Journal of Cleaner Production. Achawangkul, Y., et al. (2015). Evaluation on Environmental Impact from The Utilization of Fossil Fuel, Electricity, and Biomass Producer Gas in The Double-Chambered Crematories. Journal of Cleaner Production. Castillo, R. F., et al. (2012). Effects of Temperature on Bone Tissue. Histological Study of The Changes in The Bone Matrix. Forensic Science International. Jones, N. C., et al. (2000). Indoor/outdoor relationships of particulate matter in domestic homes with roadside, urban and rural locations. Atmospheric Environment, 34, 2603 – 2612. Mari, M. & Domingo, J. L. (2009). Toxic Emissions From Crematories : A Review. Environment International, 36, 131 – 137. Camps dan Cameron. (1971). Practical Forensic Medicine. London : Hutchinson Medical Publications. Rikhvanov, L. P., et al. (2014). Mineralogical and Geochemical Characteristics of the Human Body Ash Residue. Procedia Chemistry, 10, 454 – 459.
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016
17
Santarsiero, A., et al. (2005). Urban Crematoria Emissions as They Stand with Current Practice. Microchemical Journal, 79, 307 – 317. Soemirat, J. (2004). Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Wanneng, P.X., Ozarska, B., dan Daian, M. S. (2014). Physical Properties of Tectona Grandis Grown in Laos. Victoria : Department of Forest and Ecosystem Science, The University of Melbourne. Engineered Wood Products Association of Australasia. (2008). Facts About Particleboard and MDF. Sydney : Australian Wood Panels Association Incorporated Theses, Dissertation : Avrianto, F. (2011). Analisis kadar Particulate Matter 10 (PM10) di Udara dan Keluhan Gangguan Pernafasan Pada Masyarakat Yang Tinggal di Sepanjang Jalan Raya Kelurahan Lalang Kecamatan Sunggal Medan Tahun 2010. Medan : Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. Research Report : Suryamin. (2012). Penduduk Indonesia : Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik.
Analisis kualitas ..., Zebian Paskalis, FT UI, 2016