analisis mengenai perkembangan indonesia melalui pendekatan historical guna membangun
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada
pada suatu masa.Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan
mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau
era setelah Orde Baru Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama
muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada
abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin,
dan lain-lain. Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada
pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21
Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Ada beberapa catatan menarik yang mungkin dapat menjadi refleksi dari
perjalanan mulia reformasi itu sendiri. Dalam kurun waktu tersebut, cita-cita
bersama para penggagas gerakan reformasi untuk dapat memperbaiki kualitas
manusia Indonesia dalam kehidupan berkebangsaan terkesan masih jauh
panggang dari api. Bahkan agenda reformasi belum bisa direalisasikan secara
sempurna. Bisa kita lihat upaya reformasi yang dicanangkan sebelumnya yaitu
enam agenda reformasi seperti yang diamanatkan pada tahun 1998, yakni
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, penghapusan doktrin Dwi Fungsi
ABRI, Penegakkan hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN, Otonomi Daerah,
Kebebasan Pers dan Mewujudkan kehidupan demokrasi, nampaknya belum
sepenuhnya berhasil.Akan tetapi tujuan dibentuk dan dilaksanakannya reformasi
adalah untuk membuat kesejahteraan dapat tercapai dengan baik.
Oleh karena itu kami mencoba untuk menganalisis perkembangan reformasi yang
terjadi dari masa ke masa, dan mencoba mendapatkan benang merah dari
ketidaksempurnaan pelaksanaan reformasi tersebut.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Masa 1945-1965 ( Orde Lama )?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan Negara Indonesia ( Orde Baru
1966-1998 )?
3. Seperti apa akar-akar Negara Kolonial di Indonesia ?
4. Bagaimana bentuk Negara Reformasi ( Kebijakan
Ekonomi,Sosiopolitik,Keamanan ) ?
1.3 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari karya tulis ini adalah untuk mengetahui
bagaimana perkembangan Indonesia masa 1945-1965, masa 1966-199, dasar-
dasar kolonial di indonesia, ,seperti apa aplikasi kebijakan di era reformasi baik
dalam bidang ekonomi,sosiopolitik dan keamanan.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari karya tulis ini adalah membantu pembaca sebagai
bahan analisis dalam menentukan sikap dan mengambil posisi untuk memberikan
keputusan apakah perjuangan untuk mendapatkan reformasi telah sampai pada
tahap yang diharapkan dan membuahkan hasil yang positif. hal ini dimaksudkan
untuk membantu mengumpulkan opini public dalam rangka mencari solusi yang
tepat untuk membentuk Negara yang lebih baik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Masa 1945-1965 ( Orde Lama )
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan Indonesia
yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia yang
telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai
titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah
merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia – sejarah berdirinya
negara Republik Indonesia.
Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama; kesadaran
mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku,
etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam
menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia.
Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan
UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas
dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945
secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah
memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan
kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme
Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang
berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik,
suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang
3
persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak
pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh
Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa
ampun demi perjuangan tersebut (baca: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”
yang ditulis Bung Karno 1926.).
Berdirinya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation
Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif
dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa.
Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak
dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun. Analisis atau
pandangan yang menyimpulkan bahwa “Indonesië bestaat niet” (Indonesia itu
tidak ada) dengan alasan kata “Indonesia” berasal dari asing telah mengalami
kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme
Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau
tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran
nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya
sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.
Bicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak bisa
menerapkan padanan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia
adalah nasionalisme yang berpondasi Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut
bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-
nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan,
penghormatan, toleransi kepada bangsa/suku bangsa lain. Maka nasionalisme
Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke sovinisme --
nasionalisme sempit – yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap
bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul dll. sesuai dengan
individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap
bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building telah tercapai dan
bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya – state building, yang terhambat
dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building, perjuangan melawan 4
pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa kolonialisme. Tapi tahap perjuangan
state building ini ternyata terpangkas oleh timbulnya peristiwa G30S dan
berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru/Jendral Soeharto.
2.2 Sejarah Perkembangan Negara Indonesia ( Orde Baru 1966-1998 )
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas
penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu
tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan
dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan
antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun
sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Politik Presiden Soeharto
memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia
menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966
mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama
dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan
menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun
setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde
Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi
5
kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk
mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan
aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi
kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR
dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih
dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian
PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus
disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat
dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II
1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa
tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak
lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta
dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini,
dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan
1980-an.
6
Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak
tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia
dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung
juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka,
perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski
kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari
komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa
Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa
Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan
menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini
dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski
beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional
Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika
itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan
akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan
berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu
bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat
mengharamkan perdagangan dilakukan[
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio
7
dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu
cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari
daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,
terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi
terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang
yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program
transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah,
meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain
dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.
Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil
dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh
ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku
tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national, anti
HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia.
Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan
pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat,
memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan
kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan
alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau
dikatakan terjadi penjajahan oleh rezim Orba/rezim Soeharto. Kolonialisme Orba
ini meskipun hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika
dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme Belanda) menjajah Indonesia tapi
kerusakan yang diakibatkannya telah menimbulkan krisis multi dimensional yang
luar biasa, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat yang tak terhingga. Dari situasi
yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidak adilan yang sangat
mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi
dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, mis.: 8
antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat Kristen
dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan
pengrusakan harta benda etnik Tionghoa (di Jakarta) dll. adalah juga tengara
retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.
Maka dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan
nasionalisme tersebut, adalah kekuasaan rezim Orde Baru di bawah pimpinan
jendral Soeharto. Tanpa mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan
bisa dengan tepat memperbaiki/menyehatkan nasionalisme Indonesia yang sedang
sakit tersebut.
Sedang hujatan-hujatan terhadap “Pusat” tanpa kejelasan Pusat itu siapa, akan
mengarah kepada solusi yang keblinger, yang hanya akan memperparah
nasionalisme yang sedang sakit dewasa ini. Mengacu pada uraian di atas Pusat
harus diartikan kekuasaan rezim Orba (termasuk rezim Habibie). Akan tidak
benarlah kalau pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati dimasukkan
dalam kategori Pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba. Sebab tanpa
menutup kekurangan-kekurangannya pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan
Megawati adalah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala
kebobrokan rezim Orba. Kedua pemerintahan tersebut tidak mungkin bisa
memperbaiki keadaan negara yang amburadul dewasa ini, bahkan siapa pun yang
akan memegang pemerintahan kelak. Kalau mereka bisa mengadakan seberapa
pun perbaikan, itu adalah suatu kemajuan dan keberhasilan. Sedang pemlintiran
kata “pusat” diidentikkan dengan suku Jawa (sehingga timbul tuduhan dijajah
oleh Jawa), jelas hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidaksenangan,
permusuhan antara suku non-Jawa terhadap suku Jawa. Jadi kalau kita ingin
mencari akar penyebab retaknya ideal nasionalisme Indonesia, tidak boleh tidak
kita harus tunjuk hidung pada kekuasaan rezim Orde Baru/Soeharto, yang dengan
kejam menjajah dan rakus menjarah kekayaan daerah.
Ada suatu pendapat bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi (Arief
Budiman). Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut, bahwa
9
tidak hanya nasionalisme saja yang rentan manipulasi, pun hukum, demokrasi,
humanisme, keadilan, Pancasila demikian juga. Kerentanan itu harus dipandang
sebagai konsekwensi/akibat proses demokrasi yang belum mantap dan budaya
orba yang masih eksis di semua lapangan kehidupan. Pengalaman tragedi bangsa
dan negara selama 32 tahun dalam kekuasaan rezim orde baru telah membuktikan
hal tersebut. Bahkan apa saja bisa dimanipulasi oleh rezim Orde Baru kala itu
dengan segala cara termasuk politik kekerasan.
Tapi akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme
dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa
menunjukkan raison d’etre sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis
penyelenggara negara yang berkuasa saat itu (orde baru). Sebab manakala
seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasan
rejim orde baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannya akan tidak
jujur dan tidak obyektif. Baik hal itu kebobrokan dalam bidang kehidupan
bermasyarkat dan bernegara maupun dalam bidang-bidang khusus – hukum,
keadilan HAM, ekonomi, moral/budaya. Dengan demikian, manakala seseorang
mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya
nasionalisme Indonesia tidak bisa dibenarkan. Dan dari situ, juga tidak dapat
dibenarkan solusi pembentukan negara federasi sebagai penyembuh nasionalisme
Indonesia yang sedang sakit dewasa ini.
Acuan pada kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia tidaklah bisa
membuktikan kebenaran tesis di atas. Pertama-tama, banyak orang dari permulaan
tidak melihat bahwa sesungguhnya negara-negara tersebut adalah negara
federasi. Bahkan sistem federasi Uni Soviet mempunyai struktur yang paling
desentralistik di dunia : Uni Soviet sebagai Negara Federasi, terdiri a.l. negara
bagian yang berbentuk federasi juga (misalnya negara bagian Rusia), sedang di
dalam struktur beberapa negara-bagian yang lain terdapat republik-otonom, yang
semuanya lengkap dengan segala alat perlengkapan negara. Tapi toh Negara
Federasi Uni Soviet jatuh berantakan. Dengan demikian solusi pembentukan
10
negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme Indonesia tidak
dapat dibenarkan.
Di samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi
pembentukan negara federal di Indonesia:
a. Dalam situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan
dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan
mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi
luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih
menghadapi kendala-kendala yang sangat serius.
b. Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa kekuatan Orde Baru
masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada era
kejayaannya, semboyan “mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI)”, semata-
mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap
daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan
Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru
untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki
sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar.
Dari persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan
bagaimana perspektif nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul
pandangan pesimistik, yang menjadi dasar pendorong untuk pembenaran gagasan-
gagasan disintegrasi. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik yang
cukup kuat. Penulis yang termasuk dalam golongan terakhir berpendapat, bahwa
nasionalisme Indonesia bisa “sehat”, sebab sebagian besar rakyat Indonesia masih
teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air Indonesia. Tapi hal itu sulit
akan terjadi apabila tidak didasari oleh upaya-upaya serius oleh penyelenggara
negara untuk:
11
1. Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi otonomi
daerah secara luas.
2. Penegakan demokrasi yang tidak anarkhistik, supremasi hukum yang
berkeadilan dan demokratik.
3. Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun dalam
masyarakat yang multi agama, suku, etnik dan budaya.
Kegagalan atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya proses
penipisian kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya
gerakan disintegrasi bangsa dan negara. Inilah tugas berat pemerintahan Megawati
dewasa ini. Tetapi tuntutan yang tidak proporsional terhadap Megawati adalah
suatu kecupetan pikir. Sebab sebagai pemerintahan transisional dia tidak mungkin
mensukseskan tugas-tugas di atas secara tuntas, dan cepat berhubung kerusakan
yang diakibatkan oleh rezim Orba begitu hebat. Mungkin dalam waktu 10 tahun
mendatang baru akan tampak hasil yang signifikan. Jadi kalau sekarang ini
pemerintahan Megawati sudah “berhasil” menenteramkan kerusuhan-kerusuhan di
Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah; kalau dia berhasil mengerem
laju proses disintegrasi di beberapa daerah, men”stabil”kan ekonomi sudah dapat
dikatakan suatu kesuksesan. Maka adalah tugas kita semua untuk membantu
pemerintahan Megawati dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan negara dewasa
ini. Penggoyangan pemerintahan Megawati, apalagi seruan penggulingan
terhadapnya, adalah tindakan tidak bertanggung jawab dan berpenyakit kekanak-
kanakan (kekiri-kirian), yang akan hanya menguntungkan kekuatan Orde Baru
saja yang kini masih kuat bercokol di semua bidang. Memang pemerintahan
Megawati memiliki tidak sedikit kekurangan, tapi itu adalah kekurangan obyektif
dalam situasi transisi dewasa ini. Jadi strategi dan taktik perjuangan harus
disesuaikan dengan peta politik dewasa ini.
12
Mau tidak mau PDI Perjuangan harus diakui sebagai benteng pertahanan
nasionalisme (sosio-nasionalisme) yang kini menghadapi lawan politik yang tidak
ringan. Maka perpecahan di dalam partai yang dilanjutkan dengan pembentukan
partai-partai baru oleh beberapa tokoh yang nyempal, dapat disesalkan. Dan lebih
disesalkan lagi “hantaman” dari salah satu keluarga Bung Karno sendiri terhadap
pemerintahan Megawati. Bukankah itu semuanya merupakan tindakan pecah
belah kekuatan nasionalis? Yang seharusnya mereka semua – kaum nasionalis –
menyatukan diri mensukseskan tugas pemerintah untuk memperbaiki kerusakan-
kerusakan akibat kezaliman rezim Orba? Dalam hal ini wajar adanya pertanyaan:
siapa yang diuntungkan? Tentu saja jawabnya: kekuatan Orde Baru. Apakah ini
bukan berarti terperangkap dalam skenario licin, licik dan jijik dari kekuatan Orde
Baru? Mudah-mudahan kekuatan nasionalis menyadari hal tersebut dan bersatu
dalam satu front perjuangan politik demi keselamatan Negara Kesatuan RI,
Pancasila dan UUD 45. Hanya dengan demikian ada harapan besar untuk
suksesnya penegakan ideal nasionalisme Indonesia yang telah dicabik-cabik oleh
kekuasaan fasis Orde Baru.
2.2 Akar-akar Negara Kolonial di Indonesia
Kolonialisme merupakan upaya mempertahankan status kewarganegaraan dalam
suatu koloni, kemudian diartikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah
dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Bentuk dari penaklukan
tersebut seperti didirikannya pemukiman baru, dengan kompleksitas dan
traumatik antara penduduk asli dan pendatang. Penguasaan ditandai dengan
praktik-praktik pengasingan penduduk asli dari lingkungannya sendiri. Contohnya
dengan memberikan kewajiban-kewajiban bagi penduduk asli dengan pemungutan
pajak atau upeti untuk kemakmuran kerajaan penguasa.
Melalui praktik-praktik penguasaan yang dilakukan baik secara ekonomi, politik,
agama, budaya dan sebaginya, lahirlah perasaan tidak nyaman dari masyarakat
yang terdomisasi. Perasaan tersebut menghendaki adanya persatuan atas keadaaan
nasib karena ditindas. Maka sikap dan tindakan paling tepat, meskipun sadar atau
13
tidak disadari perlu untuk melawan dan memperjuangkan nasib selanjutnya,
dalam membebaskan penuh daulat dan kemerdekaan diri dari jerat rantai
kolonialis.
Di wilayah kolonial Indonesia, kebutuhan akan kemakmuran ekonomis bangsa
Belanda yang kecil di Eropa, dikelilingi oleh para tetangga yang kuat,
diterjemahkan ke dalam pengertian bahwa orang Indonesia bukanlah anggota
masyarakat yang setara, namun dianggap binatang penjaga yang mendukung
“benteng” kolonial Belanda yang tak terkalahkan, tanpa diberi kesempatan untuk
berbagi dalam kemakmuran materi dan budaya. Kekuatan buruh tani Indonesia-
lah yang secara langsung telah mendatangkan kemakmuran bagi benteng Belanda
di negeri tropis dan menjaga kesejahteraan ibu pertiwi di metropolis Eropa.
Tentu saja, orang Belanda tidak sendirian di ladang kolonial Asia. Karenanya,
masuk akal jika kita berpikir dalam kerangka pembandingan, tentang perbedaan
sejarah kolonial bangsa barat lainnya di Asia. Memang, di hampir semua koloni,
dominasi bangsa Eropa di Asia mencampuri lembaga adat dan praktik-praktik
budaya dengan memperkenalkan bentuk baru masyarakat sipil dan meneruskan
politik mempertahankan kelompok ekslusif, seperti pegawai sipil berkulit putih
dan para pembantu dari bangsa pribumi.
Rezim kolonial secara seksama juga memelihara banyak unsur dari masa
prakolonial, tergantung pada kebutuhan mereka. Melalui proses pengabdian
serigala berbulu domba”, meminjam istilah yang begitu tepat, yang dipakai oleh
Nicholas Dirks, kolonialisme menyamarkan intervensinya sendiri baik dengan
menumpulkan atau menyesuaikan kembali makna adat setempat, atau dengan
membalikkan fungsi lembaga pribumi. Sejalan dengan hal itu, peraturan kolonial
menciptakan suatu bentuk budaya “dominasi tanpa hegemoni”. Meskipun hal itu
sepenuhnya merupakan suatu proses yang tidak seimbang dan setengah jadi.
Budaya kolonial mencoba menawarkan pembenaran struktur sosial yang
14
diciptakannya dengan mengabaikan praktik-praktik tertentu atau memaksakan
makna budaya lain dan berhasil menyebutnya sebagai tradisi.
Nasionalisme merupakan salahsatu bentuk pengejawantahan dari belenggu
kolonialisme serta imperialisme. Dimanapun dari setiap wilayah-wilayah ditindas
kemanusiaannya. Seperti penjelasan nasionalisme Indonesia sebagai respon
dengan memutus mata rantai kolonialisme Eropa, berikut petikan penjelasan
sukarno melalui Ruslan Abdulghani. Ruslan Abdulgani (1976), seorang perumus
Pancasila di era Sukarno, mengatakan bahwa “Lima asas (dalam sidang Badan
Persiapan Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno
adalah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan
sosial, dan last but not least – terakhir, namun bukan tidak penting ialah
keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa”. Dari segi politik, Pancasila
merupakan lambang rekonsiliasi dan sintesis tiga arus politik utama dalam
kehidupan Indonesia modern, yaitu nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (baca:
sosialisme, agar lebih netral). sentrumnya adalah nasionalisme.
Meskipun persatuan Indonesia telah berakar dalam sejarah bangsa Indonesia sejak
lama, namun semangat kebangsaan secara resmi hadir pada permulaan abad ke-
20. Ia lahir sebagai perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Oleh
karena nasionalisme merupakan kelanjutan dari gerak perlawanan terhadap
kolonial VOC dan Belanda, terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-
pemimpin agama Islam. Ikatan kuat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan
nasionalisme ini telah diurai banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam
bukunya Militant Islam (1979). Namun, sebelum menguraikan hubungan ini akan
kita lihat dulu unsur-unsur kolonialisme yang menimbulkan semangat perlawanan
terhadapnya.
Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia
mengandung setidak-tidaknya tiga unsur penting; pertama, Politik dominasi oleh
15
pemerintahan asing dan hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai
aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk wacana, pemikiran dan kehidupan
sosial budayanya. Jadi bukan semata-mata dominasi dan hegemoni dalam
kehidupan soial politik; kedua, Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial
berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk kemakmuran
dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga diperas dan
dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya seperti terlihat
system tanam paksa (Culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di
Jawa pada awal abad ke-19 dan menimbulkan perlawanan seperti Perang
Diponegoro; ketiga, Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara sistematis
menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan dan
budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang dianutnya. Caranya dengan
melakukan penetrasi budaya, terutama melalui sistem pendidikan.
Ashis Nandy, salah seorang perintis studi pascakolonial India, dalam The
Intimidate Enemy (1983) yang menimba analisis Foucault tantang konsep kuasa.
Namun ia melangkah lebih jauh dengan membagi dua tahap kolonialisme.
Pertama, penaklukan sederhana, hanya berupa penguasaan tanah dan teritori.
Kedua, kolonialisme justru lebih tertuju pada penaklukan pikiran dan budaya.
Tahap ini merupakan kerja-kerja para sarjana, kaum rasionalis, modernis dan
liberalis. Menurutnya tahapan kedua inilah merupakan bentuk beroperasinya
pendakwahan Eropa tentang ide-ide “pencerahan”, liberalisme dan modernitas ke
wilayah jajahannya, pada saat yang sama mereka memperkokoh genggaman
kekuasaannya melalui ide-ide “mencerahkan” itu. (Kata melalui ini dimaksudkan
oleh para ahli pascakolonial untuk menentukan sejauhmana hubungan batas-batas
antara ekspresi teritorial dengan invasi pemikiran dan kebudayaan).
Penemuan kalangan liberalis tentang individu tampil misalnya dalam hukum,
kedokteran dan psikologi. Penemuan tersebut kemudian memperlebar jalan bagi
kuasa untuk memasuki individu, baik pikiran maupun kesadarannya. Dalam hal
ini, penguasaan tidak sekadar menguasai tanah, mamun bagaimana
16
“memanusiakan” manusia di tanah jajahan. Ini dilakukan dengan
membebaskannya dari kultur Timur yang dianggap terbelakang menuju kultur
Barat yang modern dengan nilai-nilai liberalistik dan humanistiknya itu.
Karena nasionalisme Indonesia bangkit sebagai bentuk perlawanan terhadap
kolonialisme, maka nasionalisme Indonesia dengan sendirinya juga mengandung
tiga aspek penting. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi
politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang
berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang
lain seperti Ruslan Abdulgani). Nasionalisme Indonesia muncul untuk
menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang
bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan. Nasionalisme Indonesia bertujuan
menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan
perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, namun
menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia
(worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk
mengingkari kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan
realitas antropologis bangsa Indonesia.
Dalam pidatonya, Bung Karno mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia tampil
dalam sejarahnya, ia didorong oleh tiga faktor, yakni; “economische uitbuilding”
(eksploitasi ekonomi yang dilakukan kolonialisme Belanda), “political
frustration” (kekecewaan politik disebabkan dominasi kekuasaan asing, yaitu
kolonial Belanda) dan “hilangnya kebudayaan yang berkepribadian” disebabkan
oleh sistem pendidikan dan tiadanya hak-hak budaya bagi masyarakat Indonesia
untuk melindungi dan mengembangkan kebudayaannya. Yang pertama,
menghendaki sistem ekonomi terpimpin sebagai tandingan ekonomi kapitalis
yang menimbulkan “le exploitation de l’homme par l‘homme” (penindasan
manusia atas manusia). Sedangkan kekecewaan politik menghendaki sistem
17
pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat (demokrasi) dan bebas dari
dominasi asing.
Harus ditambahkan di sini bahwa dalam proses perjalanan nasionalisme, maka
komponen pembentuk gerakan kebangsaan di Indonesia menjadi berbeda dengan
komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang membentuk
masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya bangsa
Indonesia dan faham-faham atau “ideologi Barat”.
Komponen Islam penting dicatat. Semangat kebangsaan mencapai bentuknya
yang tersendiri tidak bisa dilepaskan dari gerak perjuangan islam. Gerakan
perjuangan ini dijiwai oleh ajaran dan semangat Islam tentang pembebasan
manusia dari perbudakan dan eksploitasi. Selain itu juga terdapat komponen
penting lain berupa realitas antropologis masyarakat Indonesia. Indonesia yang
multietnik dan multiagama, serta lahirnya ideologi-ideologi modern
mempengaruhi gerakan kebangsan pada abad ke-10. Misalnya Marxisme dan
sosialisme, melengkapi komponen humanisme dan sejenisnya.
Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan, bahwa nation dalam
konteks nasionalisme Indonesia merupakan suatu konsep yang ditujukan pada
suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama, mencakup berbagai unsure-
unsur berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan,
kebudayaan, bahasa dan bahasa. Kesemuanya terintegrasikan dalam
perkembangan sejarah sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas
yang ditopang oleh kemauan politik bersama.
Politik islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah islam yang multiinterpretatif. Pada
sisi lain, hampir setiap muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip islam
dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat islam yang
multiinterpretatif itu, maka tidak pernah ada pandangan tunggal maengenai
bagaimana seharusnya islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan sejauh yang
dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan
18
praktik politik islam, ada banyak pendapat yang berbeda, beberapa bahkan saling
bertentangan mengenai hubungan yang sesuai antara islam dan politik.
Dalam kaitannya dengan bentuk pemerintahan atau negara, Soepomo dan
Mohamad Yamin mengemukakan agar bangsa Indonesia menganut paham
integralistik, dalam arti bahwa negara yang didiami bangsa Indonesia merupakan
suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya. Faham integralistik
mengandaikan bahwa negara harus mengatasi semua golongan, tidak memihak
pada mayoritas. Namun dalam kenyataannya, justru inilah yang melahirkan
persoalan, seperti yang terjadi adalah Tirani Minoritas dalam berbagai hal,
termasuk dalam wacana kehidupan berbangsa, pemikiran dan ideologi.
Notonagoro di lain mengusulkan agar NKRI menjadi negara yang berasaskan
kekeluargaan, namun dibawah rezim Suharto penafsiran mengenai konsep
kekeluargaan dimonopoli selama lebih 30 tahun.
2.3 Negara Reformasi ( Kebijakan Ekonomi,Sosiopolitik,Keamanan )
Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami
perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil
dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan
dengan keadaan. Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan
ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
19
Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan
ekonomi antara lain :
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada
pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar
negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan
negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan
negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban
negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk
menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan
kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan
harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia.
Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan,
serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
20
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua,
yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT
tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai
masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan
perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji
memperbaiki iklim investasi. Summit pada bulan November 2006 lalu yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. masalah
pemanfaatan kekayaan alam, Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi.
Utang LN tetap harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit
dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai
kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan (namun sepertinya terlalu
“bebas”). Media masa menjadi terbuka. dalam sistem reformasi pemerintahan
tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan
muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme),
tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini. Tampaknya
analisis kebijakan yang di tempuh harus lebih detail dan tajam lagi hal ini
diperlukan untuk menghindari kebijakan yang tidak tepat sasaran,sehingga
diharapkan kedepan tidak ada lagi pemborosan anggaran karena kebijakan yang
keliru.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masa Orde Lama
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi awal lahirnya
Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno,oleh Bung Karno sekat-sekat ideologi
pun ditebas tanpa ampun demi perjuangan Indonesia. Di masa ini pula Perumusan
teks Proklamasi dan Rancangan UUD 1945 dilakukan yang hingga saat ini menjadi
landasan NKRI.
Masa Orde baru
Lingkungan administrative lebih banyak didominasi pihak militer,pembagian
PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus
disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat
dan daerah.pada titik klimaks nya terjadi lah kerusuhan 1998 yang menjadi
tonggak awal perubahan bangsa Indonesia.
Akar-akar Kolonial
Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsur penting akar colonial yang
diterapkan VOC dan Belanda; pertama, Politik didominasi oleh pemerintahan
asing dan hegemoni pemerintahan asing, kedua, Eksploitasi ekonomi. Setiap
pemerintahan kolonial berusaha mengeksploitasi sumber alam negeri yang
dijajahnya untuk kemakmuran dirinya,seperti yang terlihat di dalam system tanam
paksa (Culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada
awal abad ke-19, ketiga, Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara sistematis
menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan, Caranya
dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui sistem pendidikan.
22
Negara Reformasi
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum
melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Akan
tetapi dibidang Sosiopolitik pada pemerintahan Habibie membuat suatu gebrakan
yang mengejutkan dengan mengadakan jajak pendapat tahun 1999 yang membuat
Timor-timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi,dengan lebih dari 76 % suara
masyarakat timor-timur menginginkan lepas dari Indonesia,hal ini yang
menjadikan kepemimpinan Habibie tidak bertahan lama.
3.2 Saran
Dari uraian di atas penulis dapat memberikan saran atau rekomendasi sebagai
berikut ;
Di dalam setiap perpindahan kepemimpinan yang menjadi hal terpenting adalah
pengambilan kebijakan,pengambilan kebijakan yang bijak adalah dengan
mempertimbangkan aspek sosiologis dan ekonomi serta efektifitas dari keputusan
tersebut,untuk mencapai ke tiga hal tersebut diperlukan adanya analisis yang
fundamental serta kritis,ini dimaksudkan agar keputusan atau kebijakan yang
diambil bukan suatu bentuk kebijakan yang Spontanitas dan “asal-asalan”.jika ini
dapat dipertimbangkan dengan sebenar-benarnya tentu pemerintah tidak perlu
melakukan peninjauan yang sia-sia karena kesalahan keputusan sebelumnya,jika
hal ini dapat dihindari berarti biaya yang diperlukan untuk melakukan peninjauan
dapat dihemat.
23
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia:_Era_Reformasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29
http://www.detiknews.com/read/2010/01/31/133049/1289756/10/sby-minta-tni-
tak-ragukan-janji-modernisasi-alutsista
Pamungkas,Sri.2001.Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi
Total.Jakarta.Erlangga
24