analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, ipm,...
TRANSCRIPT
ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, IPM,
AGLOMERASI, DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2013-2017
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
Ayu Arsita
(11150840000058)
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M/ 1440 H
i
ii
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
1. Nama Lengkap : Ayu Arsita
2. Tempat , Tanggal Lahir : Tangerang, 24 Juli 1997
3. Alamat : Jalan H. Soleh No. 63 RT 02/ RW 06,
Kelurahan Gaga, Kecamatan Larangan,
Kota Tangerang
4. Telepon : 083874553964
5. E-mail : [email protected]
II. Pendidikan Formal
1. MI. At-Taufieq Jakarta Tahun 2003-2009
2. SMPN 41 Jakarta Tahun 2009-2012
3. SMKN 6 Jakarta Tahun 2012-2015
4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015-2019
III. Pengalaman Organisasi
1. Anggota Student Company Divisi Produksi SMKN 6 Jakarta, Prestasi
Junior Indonesia (PJI) Tahun 2012-2013
2. Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ekonomi Pembangunan
Departemen Ekonomi Kreatif Tahun 2016-2017
IV. Pengalaman Bekerja
1. Praktik Kerja Lapangan di PT. Astra Internasional- TSO (Auto 2000)
Ciledug pada Mei-Juni 2014
2. Praktik Kerja Lapangan di Kantor Akuntan Publik Drs. Basri Hardjosusmito
pada Juli 2014
3. Asisten Museum di Museum MACAN Jakarta pada November 2018-
Agustus 2019
4. Crew Attendant di Team Lab Future Park Jakarta pada Juni 2019-Agustus
2019
vi
ABSTRACT
The aims of this research is to classify regencies and cities of Banten Province by
Klassen Typology, and analyze the effect of Economic Growth, Human
Development Index (HDI), Agglomeration, and Local Government Expenditure to
Regional Development Disparity between regencies/cities in Banten Province from
2013 to 2017. This research uses Klassen Typology method to classify
regencies/cities and uses panel data regression with Random Effect Model (REM)
to analyze the effect of independent variable to dependent variable. Regional
Development Disparity measured by GRDP per capita relative. The result of
Typlogy Klassen shows that Tangerang City and Cilegon City are classified in
advanced but pressured area. Serang City, South Tangerang City, and Lebak
Regency are classified in fast growing area and three other regencies in Banten
Province are classified in relatively under developed area. The method of panel
data regression with Random Effect Model (REM) shows that partically Economic
Growth has positive and significant effect on Regional Development Disparity.
Human Development Index (HDI) and Local Government Expenditure have
negative and significant effect. Agglomeration has no significant effect.
Simultaneously, Economic Growth, HDI, Agglomeration, and Local Government
Expenditure have a significant effect on Regional Development Disparity between
regencies/cities in Banten Province 2013-2017.
Keywords : Regional Development Disparity, GRDP per Capita Relative,
Klassen Typology, Economic Growth, Human Develompent Index
(HDI), Agglomeration, Local Government Expenditure, Random
Effect Model (REM)
vii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasikan kabupaten/kota di Provinsi
Banten serta menganalisis faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan
antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2013-2017 yaitu
Pertumbuhan Ekonomi, IPM, Aglomerasi, dan Belanja Pemerintah Daerah.
Penelitian ini menggunakan metode Tipologi Klassen untuk mengklasifikasikan
daerah di Provinsi Banten serta metode analisis data panel dengan estimasi Random
Effect Model (REM) untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen. Ketimpangan pembangunan antar wilayah diukur dengan
menggunakan konsep PDRB Per Kapita Relatif. Hasil penelitian menggunakan
Tipologi Klassen menunjukan bahwa Kota Tangerang dan Kota Cilegon termasuk
daerah maju dan tertekan. Kabupaten Lebak, Kota Serang, dan Kota Tangerang
Selatan termasuk daerah berkembang cepat, sementara tiga kabupaten di Provinsi
Banten termasuk daerah relatif tertinggal. Kemudian, berdasarkan analisis regresi
data panel dengan estimasi REM menunjukan bahwa variabel Pertumbuhan
Ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Ketimpangan Pembangunan
Antar Wilayah, variabel IPM dan Belanja Pemerintah Daerah berpengaruh negatif
dan signifikan, serta variabel Aglomerasi tidak berpengaruh terhadap Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah. Secara bersama-sama, variabel Pertumbuhan
Ekonomi, IPM, Aglomerasi, dan Belanja Pemerintah Daerah berpengaruh secara
signifikan terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2013-2017.
Kata Kunci : Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah, PDRB Per Kapita
Relatif, Tipologi Klassen, Pertumbuhan Ekonomi, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Aglomerasi, Belanja Pemerintah
Daerah, Random Effect Model (REM)
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
Subhanahu Wata’ala atas segala rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kepada penulis
selama ini, sehingga berkat izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, IPM, Aglomerasi, dan Belanja
Pemerintah Daerah Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2013-2017” dengan baik. Shalawat serta
salam penulis curahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam yang telah
memberikan syafa’at kepada umatnya dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh
dengan ilmu pengetahuan.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini dapat selesai atas bimbingan, dukungan, semangat, serta doa dari orang-
orang di sekeliling penulis. Oleh karena itu, izinkan penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Orang tua, Ibuku Marsi dan Ayahku Tanu yang selalu memberikan doanya
tiada henti, serta dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat
bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segalanya,
semoga penulis dapat selalu membahagiakan kalian dan semoga kita semua
selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
2. Adikku Nungky Ariani yang selalu membantu penulis dan memberikan
semangat saat penulis ada masalah, serta berbagi canda dan tawa saat penulis
sedang lelah. Semoga adikku lancar kuliahnya dan selalu berada dalam
lindungan Allah SWT.
3. Saudara-saudaraku Lek Un, Lek Ni, Mbak Ira, Mbak Anis, Mbak Ati, Mbak
Lisa dan semua saudaraku yang tidak bisa kusebutkan satu-persatu terima kasih
atas dukungan dan doanya selama ini.
ix
4. Bapak Prof. Dr. Amilin, SE., Ak., M.Si., CA., QIA., BKP., CRMP selaku
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
seluruh jajarannya.
5. Bapak Dr. Hartana Iswandi Putra, M.Si. dan Bapak Deni Pandu Nugraha, SE.,
M.Sc. selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Prodi Ekonomi Pembangunan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Fahwmi Wibawa, SE., MBA. selaku dosen pembimbing skripsi. Terima
kasih atas seluruh kesediaan waktu, pikiran, tenaga, dan ilmu yang bermanfaat
yang telah diberikan hingga penulisan skripsi ini selesai. Semoga Bapak selalu
diberikan kesehatan dan keberkahan oleh Allah SWT.
7. Ibu Utami Baroroh, M.Si. selaku dosen pembimbing akdemik penulis sejak
awal perkuliahan. Semoga Ibu selalu diberikan kesehatan dan keberkahan oleh
Allah SWT.
8. Seluruh Dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis beserta
jajarannya yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga dan
bermanfaat selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
9. Sahabat terbaik sejak zaman OPAK (Cilpi, Ana, Ute, Eja, Destiy, dan Tea)
yang selalu memberikan bantuan serta dukungan dan selalu mewarnai hari-hari
penulis saat berada di kampus. Terima kasih atas segala-galanya, kawan.
Sukses untuk kita.
10. Teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2015 yang selalu berjuang
bersama terima kasih atas kenangan yang berharga. Sukses untuk kalian.
11. Terima kasih kepada Kak Zizi yang selalu membantu penulis saat penulis
bertanya terkait masalah perkuliahan.
12. Teman KKN penulis terutama Nene Fida, Diyah, dan Mak Ariani serta teman
KKN MARTABAK lainnya.
13. Teman-teman SMK penulis (Ara, Iings, Umi, Neneq, Mbak Didin, dan
keluarga besar SIXACONE15) terima kasih atas dukungan selama ini.
14. Teman-teman Asmus Macan (Kak Nisa, Kak Elsha, Aisyah, Dewi, Perry dan
lainnya) yang selalu berbagi keluh kesah dan canda tawa saat ada shift bersama
dan terus mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsinya.
x
15. Teman-teman di Team Lab Future Park Jakarta. Terima kasih atas kerja sama
dan pengalamannya yang sangat berharga selama dua bulan. Sukses untuk
kalian.
16. Teman masa kecil penulis di Sekolah Dasar MI. At-Taufieq (Farha, Sulis,
Kholidah, Mitha, Wulan, dan lainnya) yang terus memberikan semangat untuk
menyelesaikan skripsi.
17. Teman SMP penulis (Ajeng, Citra, Maul, Nike, Putri) yang memberikan
dukungan walaupun sudah lama tidak bertemu.
18. Serta untuk orang-orang yang turut membantu penulis dalam penulisan skripsi
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu,
penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
pencapaian yang lebih baik.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jakarta, November 2019
Ayu Arsita
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ......................... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ................................................. iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... v
ABSTRACT ....................................................................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR GRAFIK .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Batasan Masalah................................................................................... 11
C. Rumusan Masalah ................................................................................ 11
D. Tujuan Penelitian ................................................................................. 12
E. Manfaat Penelitian ............................................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 14
A. Landasan Teori ..................................................................................... 14
1. Pembangunan Ekonomi ................................................................. 14
2. Pertumbuhan Ekonomi ................................................................... 17
3. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah .................................. 21
4. Tipologi Klassen ............................................................................ 31
5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ............................................ 32
6. Aglomerasi ..................................................................................... 34
xii
7. Belanja Pemerintah Daerah ............................................................ 36
8. Hubungan Antar Variabel .............................................................. 41
B. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 45
C. Kerangka Teoritis ................................................................................. 56
D. Hipotesis ............................................................................................... 58
BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 59
A. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 59
B. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 59
C. Metode Analisis Data ........................................................................... 60
D. Operasional Variabel Penelitian ........................................................... 66
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................... 72
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ..................................................... 72
B. Gambaran Umum Variabel Penelitian ................................................. 79
C. Analisis Tipologi Klassen .................................................................... 84
D. Analisis Regresi Data Panel ................................................................. 86
1. Estimasi Model ................................................................................ 86
a. Uji Chow ..................................................................................... 87
b. Uji Hausman ............................................................................... 88
c. Individual Effect (Random Effect Model) ................................... 89
2. Pengujian Hipotesis ......................................................................... 91
a. Uji Koefisien Determinasi R2 ..................................................... 91
b. Uji F Statistik .............................................................................. 92
c. Uji t Statistik ............................................................................... 93
E. Analisis Ekonomi ................................................................................. 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 104
A. Kesimpulan .......................................................................................... 104
B. Saran ..................................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 107
LAMPIRAN ..................................................................................................... 113
xiii
DAFTAR GRAFIK
1.1. Indeks Williamson Provinsi Banten Tahun 2013-2017 ............................ 5
1.2. Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap PDRB Provinsi Banten
ADHK 2010 Tahun 2017 .......................................................................... 8
1.3. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Banten Tahun 2013-
2017 ........................................................................................................... 10
4.1. Presentase Luas Wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Banten..................... 74
4.2. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2013-
2017 ........................................................................................................... 75
4.3. PDRB Per Kapita Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten Tahun 2013-
2017 ........................................................................................................... 78
4.4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun
2013-2017 ................................................................................................. 80
4.5. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten Tahun 2013-2017 .......................................................................... 83
xiv
DAFTAR GAMBAR
2.1. Kurva Ketimpangan Wilayah ................................................................... 24
2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................... 57
4.1. Peta Administrasi Provinsi Banten ........................................................... 72
xv
DAFTAR TABEL
1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun
2013-2017 ............................................................................................... 4
1.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Menurut Provinsi di Pulau Jawa
Tahun 2013-2017 .................................................................................... 5
1.3. PDRB Per Kapita Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten Tahun 2013-
2017 ........................................................................................................ 7
2.1. Klasifikasi Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen......................... 32
2.2. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 50
3.1. Klasifikasi Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen......................... 61
3.2. Operasional Variabel Penelitian ............................................................. 70
4.1. Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Provinsi
Banten Tahun 2017 ................................................................................. 73
4.2. Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten
Tahun 2013-2017 .................................................................................... 76
4.3. PDRB Provinsi Banten ADHK 2010 Menurut Lapangan Usaha
antar Kabupaten/ Kota Tahun 2013-2017 (Miliar Rupiah) ................... 77
4.4. Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Banten Tahun 2013-2017 ...... 79
4.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota Provinsi
Banten Tahun 2013-2017 ....................................................................... 81
4.6. Aglomerasi Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2013-2017 .......... 82
4.7. Tipologi Klassen Provinsi Banten Tahun 2013-2017 ............................. 84
4.8. Hasil Estimasi Common Effect Model/ PLS ........................................... 86
4.9. Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM).............................................. 87
4.10. Uji Chow (Redundant Fixed Effects-Likelihood Ratio).......................... 87
4.11. Hasil Estimasi Random Effect Model (REM) ......................................... 88
4.12. Uji Hausman (Correlated Random Effects-Hausman Test) ................... 89
4.13. Hasil Individual Effect (Random Effect Model)...................................... 89
4.14. Koefisien Determinasi (R2)..................................................................... 92
4.15. Uji F-Statistik ......................................................................................... 93
4.16. Uji t-Statistik ........................................................................................... 94
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Hasil Estimasi Data Panel .......................................................... 113
A. Common Effect Model .......................................................................... 113
B. Fixed Effect Model ............................................................................... 114
C. Uji Chow .............................................................................................. 115
D. Uji Hausman ......................................................................................... 116
E. Random Efect Model ............................................................................ 117
Lampiran 2 : Data Penelitian............................................................................ 118
A. Data Sebelum di LOG ......................................................................... 118
B. Data Setelah di LOG ........................................................................... 120
Lampiran 3 : Perhitungan Data ....................................................................... 122
A. Pehitungan Tipologi Klassen ............................................................... 122
B. Perhitungan Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah (Konsep
PDRB Per Kapita Relatif) .................................................................... 123
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu proses atau usaha yang meliputi
berbagai hal agar terjadi perubahan yang lebih baik di masa mendatang.
Berbagai negara, khususnya Indonesia memfokuskan pembangunan pada
pembangunan ekonomi karena pembangunan ekonomi akan berdampak pada
bidang lainnya yaitu sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Pembangunan
ekonomi sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya
pembangunan ekonomi yang baik maka akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi biasanya dapat dilihat dari peningkatan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sedangkan pembangunan ekonomi
dapat dilihat dari adanya perubahan yang terjadi pada taraf hidup masyarakat.
Namun, suatu negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi belum tentu
juga memiliki pembangunan ekonomi yang bagus. Hal ini terjadi karena
pemerintah hanya berfokus pada peningkatan pertumbuhan tanpa melihat
adanya dampak lain yakni ketidakmerataan dalam pembangunan.
Adanya ketimpangan pembangunan ini salah satunya dikarenakan sistem
pemerintahan Indonesia yakni sentralisasi dimana semua kewenangan ada di
pemerintah pusat. Sehingga, untuk mengurangi ketimpangan tersebut, maka
sistem pemerintahan diubah menjadi desentralisasi. Dengan adanya
desentralisasi, maka muncul suatu kewenangan bagi pemerintah daerah untuk
mengatur daerahnya sendiri atau yang biasa disebut otonomi daerah. Oleh
karena itu, untuk mendukung hal tersebut maka dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 5, Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kebijakan
otonomi daerah diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi daerah,
2
khususnya dalam meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
daerah sesuai dengan potensinya. Namun, realisasinya tergantung dari
kesiapan pemerintah daerah masing-masing. Jika pemerintah daerah tidak
mampu mengalokasikan dana secara efisien, sistem administrasi buruk, dan
rendahnya redistribusi antar daerah dalam satu provinsi, maka dapat
menghambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah, bahkan dapat
meningkatkan ketimpangan regional (Kurniawan dan Sugiyanto, 2013).
Pembangunan daerah dapat dikatakan berhasil jika kesejahteraan
masyarakat juga meningkat. Namun, hasil pembangunan setiap daerah
berbeda-beda, hal ini terjadi dikarenakan perbedaan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Menurut Banendro (2016) terdapat empat faktor yang
mempengaruhi hasil pembangunan daerah yaitu adanya perbedaan potensi
daerah, keterlibatan stakeholder (masyarakat, pengusaha domestik, dan
investor), perbedaan kualitas sumber daya manusia, dan sisi kemampuan
pemerintah daerah dalam mengelola ekonomi daerah.
Daerah yang memiliki sumber daya alam berlimpah memiliki
kesempatan untuk lebih memanfaatkan potensinya. Lalu, adanya keterlibatan
stakeholder yang dapat menciptakan kondisi iklim investasi yang kondusif
akan mengundang investor dan hal ini membawa dampak baik bagi
pembangunan di daerah. Kemudian, kualitas sumber daya manusia yang baik
merupakan modal dasar bagi keberhasilan pembangunan. Terakhir,
kemampuan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam mengelola daerahnya
dengan melakukan kebijakan inovatif yang mampu membangun
perekonomian. Bagi daerah yang mengembangkan keempat faktor tersebut,
maka akan berhasil dalam membangun perekonomian daerah dibandingkan
dengan daerah yang tidak mengembangkannya.
Namun, terjadinya keberhasilan pembangunan daerah, bukan berarti
tidak adanya ketimpangan di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan,
ketimpangan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dari pembangunan
atau dapat dikatakan bahwa ketimpangan sudah menjadi bagian dalam proses
pembangunan tersebut. Sesuai dengan pendapat Doughlas C. North dalam
3
Sjafrizal (2012) bahwa pada tahap awal proses pembangunan, ketimpangan
regional cenderung meningkat, tetapi setelah mencapai titik maksimum dan
proses pembangunan dilanjutkan, maka ketimpangan pembangunan antar
wilayah akan menurun dengan sendirinya. Hal ini terjadi, karena pada awal
proses pembangunan, peluang ini dimanfaatkan oleh daerah yang sudah
berkembang lebih baik. Sedangkan daerah yang masih terbelakang, belum
mampu memanfaatkan peluang pembangunan tersebut. Sehingga ketimpangan
pembangunan antar wilayah meningkat.
Adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya, perbedaan kandungan sumber daya alam, kondisi
demografi, konsentrasi kegiatan ekonomi, kurang lancarnya mobilitas, dan
alokasi dana pembangunan antar wilayah (Sjafrizal, 2012). Sehingga,
perbedaan tersebut mengakibatkan kemampuan pemerintah daerah dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan juga berbeda.
Oleh karena itu, di suatu daerah pasti terdapat daerah relatif maju dan daerah
relatif terbelakang.
Provinsi Banten merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat.
Provinsi Banten disahkan pada tanggal 17 Oktober 2000 berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000 dan menjadi provinsi ke-
28 di Indonesia. Saat ini, Provinsi Banten memiliki 8 daerah administrasi yang
terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota. Keempat kabupaten tersebut yaitu
Kabupaten Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Serang, sedangkan keempat
kota yaitu Kota Tangerang, Serang, Cilegon, dan Tangerang Selatan. Kota
Serang merupakan ibukota Provinsi Banten.
4
Tabel 1.1.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Provinsi di Pulau Jawa
Tahun 2013-2017 (%)
Provinsi 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
DKI Jakarta 6,11 5,91 5,91 5,88 6,22 6,01
Jawa Barat 6,34 5,09 5,05 5,66 5,29 5,49
Jawa Tengah 5,14 5,27 5,47 5,27 5,27 5,28
DI Yogyakarta 5,49 5,17 4,95 5,05 5,26 5,18
Jawa Timur 6,08 5,86 5,44 5,57 5,45 5.68
Banten 6,67 5,51 5,45 5,28 5,71 5,82
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2018
Berdasarkan tabel 1.1, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi
Banten selama periode 2013-2017 yakni sebesar 5,82%. Bahkan, laju
pertumbuhan ekonomi Banten merupakan terbesar kedua di Pulau Jawa setelah
Provinsi DKI Jakarta yaitu 6,01%. Sehingga hal ini mengindikasikan bahwa
pertumbuhan ekonomi di Banten cukup baik. Namun laju pertumbuhan
ekonomi ini terus menurun hingga pada tahun 2016 sebesar 5,28% dan
meningkat kembali pada tahun 2017 yaitu 5,71%. Menurut hasil Kajian
Ekonomi Regional yang dilakukan oleh BI (2018), menurunnya laju
pertumbuhan ekonomi Banten merupakan pengaruh dari melambatnya laju
pertumbuhan ekonomi secara nasional dan melambatnya industri pengolahan
di Banten.
Perbedaan kondisi demografis atau sumber daya manusia (SDM) di suatu
daerah juga berpengaruh terhadap ketimpangan wilayah. Kualitas SDM
biasanya diukur melalui IPM. Tinggi atau rendahnya IPM akan mempengaruhi
tingkat produktivitas penduduk dan akan berpengaruh pada tingkat pendapatan
penduduk. Semakin tinggi IPM di suatu daerah, maka akan meningkatkan
produktivitas penduduk dan hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan
penduduk. Namun, nilai IPM di setiap daerah berbeda-beda, sehingga hal ini
yang dapat menyebabkan ketimpangan antar wilayah.
5
Tabel 1.2.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Menurut Provinsi di Pulau Jawa
Tahun 2013-2017
Provinsi 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
DKI Jakarta 78,08 78,39 78,99 79,60 80,06 79,02
Jawa Barat 68,25 68,80 69,50 70,05 70,69 69,46
Jawa Tengah 68,02 68,78 69,49 69,98 70,52 69,36
DI Yogyakarta 76,44 76,81 77,59 78,38 78,89 77,62
Jawa Timur 67,55 68,14 68,95 69,74 70,27 68,93
Banten 69,47 69,89 70,27 70,96 71,42 70,40
Sumber: BPS Nasional, 2018
Jika dilihat dari kondisi demografis atau kualitas sumber daya manusia
yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka Provinsi
Banten termasuk dalam kategori tinggi, karena nilai rata-rata IPM berada di
atas 70. Berdasarkan tabel 1.2, dapat diketahui bahwa Provinsi DKI Jakarta
memiliki nilai rata-rata IPM tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di
Pulau Jawa yaitu 79,02. Kemudian, di urutan kedua yaitu Provinsi DI
Yogyakarta sebesar 77,62 dan Provinsi Banten berada di urutan ketiga sebesar
70,40. Sejak tahun 2013, IPM di Provinsi Banten terus mengalami kenaikan.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa kualitas SDM di Provinsi Banten semakin
membaik.
Grafik 1.1.
Indeks Williamson Provinsi Banten Tahun 2013-2017
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2018
0,7760,779
0,775
0,7640,761
0,75
0,76
0,77
0,78
0,79
2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Williamson
6
Laju pertumbuhan ekonomi dan nilai IPM di Provinsi Banten tergolong
cukup baik, namun berbeda dengan tingkat ketimpangan pembangunan di
Provinsi Banten. Ketimpangan pembangunan dapat diukur melalui Indeks
Williamson. Berdasarkan grafik 1.1, perkembangan Indeks Williamson di
Provinsi Banten tahun 2013 hingga 2014 mengalami kenaikan, dan tahun 2014
hingga 2017 mengalami penurunan. Rata-rata Indeks Williamson pada tahun
2013-2017 sebesar 0,771 menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan di
Provinsi Banten masih tergolong cukup tinggi dan mengindikasikan bahwa
pembangunan antar kabupaten/kota yang masih belum merata.
Berdasarkan RPJMD Provinsi Banten 2017-2022, kesenjangan wilayah
merupakan salah satu isu strategis yang saat ini masih harus ditangani. Hal ini
terlihat dari Indeks Williamson Banten yang masih menunjukan nilai indeks
yang tinggi hampir mendekati satu. Sehingga, Provinsi Banten masih belum
menunjukan adanya pemerataan antar wilayah. Selain itu, hal ini juga terlihat
dari adanya perbedaan pembangunan antara daerah Banten yang dekat dengan
ibu kota dan daerah Banten yang berada di pedalaman. Pembangunan daerah
Banten yang dekat dengan ibu kota seperti Kota Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan memiliki pembangunan yang lebih baik dibandingkan
dengan daerah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Ketimpangan pembangunan antar wilayah juga dapat dilihat dari
perbedaan PDRB per kapita. Perbedaan PDRB per kapita antar daerah yang
tinggi mengindikasikan bahwa adanya ketimpangan pendapatan antar daerah.
Ketika suatu daerah memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan
daerah lainnya, maka hal ini akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat
dan proses pembangunan yang ada. Selain itu, PDRB per kapita juga dapat
dijadikan indikator untuk mengukur proses pembangunan. Sehingga, tingginya
PDRB per kapita di suatu derah dapat menunjukan bahwa pembangunan
ekonomi di daerah tersebut lebih baik.
7
Tabel 1.3.
PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun
2013-2017 (Juta Rupiah)
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018 (data diolah)
Tabel 1.3, menunjukan bahwa rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota
di Provinsi Banten sejak tahun 2013-2017 selalu meningkat. PDRB per kapita
tertinggi adalah Kota Cilegon sebesar 156,513 juta pada tahun 2017. Bahkan
PDRB per kapita Kota Cilegon lebih tinggi dibandingkan dengan PDRB per
kapita rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Banten. Sementara PDRB per
kapita terendah adalah Kabupaten Lebak sebesar 14,586 juta pada tahun 2017
dan nilainya jauh di bawah rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota di
Provinsi Banten yakni 40,047 juta.
Walaupun pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten cukup tinggi,
ternyata tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut
juga tinggi. Perbedaan antara PDRB per kapita tertinggi dan terendah terlihat
sangat mencolok sehingga hal ini juga mengindikasikan adanya ketimpangan
antar daerah. Besar kecilnya ketimpangan PDRB per kapita antar
kabupaten/kota memberikan gambaran tentang kondisi dan perkembangan
pembangunan di Provinsi Banten yang mengindikasikan besarnya
ketimpangan di Provinsi Banten.
Kabupaten/ Kota 2013 2014 2015 2016 2017
Kab. Pandeglang 12,185 12,704 13,368 14,041 14,832
Kab. Lebak 11,930 12,512 13,178 13,847 14,586
Kab. Tangerang 22,188 22,614 23,310 23,620 24,252
Kab. Serang 27,663 28,912 30,153 31,472 32,910
Kota Tangerang 41,982 43,094 44,359 45,676 47,330
Kota Cilegon 137,415 141,282 145,552 150,498 156,513
Kota Serang 25,324 26,533 27,687 28,895 30,212
Kota Tangerang Selatan 27,194 28,407 29,475 30,495 31,743
Rata-Rata 38,235 39,507 40,863 42,318 40,047
8
Faktor lain yang dapat menyebakan ketimpangan yaitu adanya
konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di suatu daerah. Kegiatan
pengkonsentrasian disebut juga aglomerasi. Aglomerasi yang cukup tinggi di
suatu daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tumbuh lebih
cepat. Hal ini dikarenakan, dengan adanya aglomerasi, maka terjadi
peningkatan penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan
masyarakat. Namun, jika suatu daerah memiliki aglomerasi yang rendah, maka
hal ini akan membuat daerah tersebut semakin tebelakang. Sehingga,
pengkonsentrasian kegiatan ekonomi di suatu daerah justru dapat
meningkatkan ketimpangan antar wilayah. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian Jaime Bonet (2006) bahwa aglomerasi berhubungan positif dengan
ketimpangan wilayah. Sehingga, ketika adanya peningkatan aglomerasi, maka
akan meningkatkan ketimpangan antar wilayah. Aglomerasi dapat tercermin
dari seberapa besar kontribusi PDRB suatu daerah terhadap pembentukan
PDRB dalam wilayah tersebut (Bonet, 2006).
Grafik 1.2.
Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap PDRB Provinsi Banten
ADHK 2010 Tahun 2017
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018
Berdasarkan grafik 1.2, dapat diketahui bahwa adanya ketidakmerataan
distribusi PDRB Banten dari setiap daerah. Terdapat daerah yang berkontribusi
besar dan berkontribusi kecil bagi PDRB Banten. Kota Tangerang pada tahun
4,30%4,60%
21,10%
11,90%
24,50%
16,10%
4,90%
12,60% Kab. Pandeglang
Kab. Lebak
Kab. Tangerang
Kab. Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang Selatan
9
2017 merupakan penyumbang PDRB terbesar di Banten yakni sebesar 24,50%,
sementara Kabupaten Pandeglang memiliki kontribusi kecil bagi PDRB
Banten yaitu hanya sebesar 4,30%. Jika dilihat dari struktur ekonomi, tingginya
kontribusi Kota Tangerang merupakan dampak dari sektor industri dan
perdagangan yang memberikan nilai tambah besar, sementara struktur ekonomi
Kabupaten Pandeglang masih didominasi oleh sektor pertanian.
Intervensi pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Menurut Dhyatmika dan Amanti
(2013), peranan pemerintah dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah yang
merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
akan berdampak pada pembangunan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dapat
meningkatkan perekonomian melalui program atau kegiatan yang menunjang
produktivitas sumber daya yang ada, sehingga akan mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
Pengeluaran pemerintah daerah dapat dilihat dari realisasi belanja daerah
yang terbagi menjadi belanja langsung dan tidak langsung. Belanja langsung
merupakan belanja yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan program atau
kegiatan, sedangkan belanja tidak langsung yaitu belanja yang tidak
berhubungan langsung dengan pelaksanaan program atau kegiatan. Belanja
langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja
modal. Kemudian, belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja
bunga, hibah, bantuan sosial, bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota,
belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kabupaten/kota, dan belanja tidak
terduga. Belanja pemerintah daerah baik langsung maupun tidak langsung,
diharapkan mampu mendorong perekonomian dan pembangunan daerah yang
dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah.
10
Grafik 1.3.
Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Banten Tahun 2013-2017
(Miliar Rupiah)
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018
Berdasarkan grafik 1.3. belanja pemerintah daerah Provinsi Banten terus
mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 sebesar 14.499,43 miliar rupiah dan
terus meningkat hingga pada tahun 2017. Namun, pada tahun 2015, terjadi
sedikit penurunan yaitu sebesar 2,92% dari tahun 2014. Kemudian, sejak tahun
2016 terjadi peningkatan yang cukup pesat yaitu 56,41% dan pada tahun 2017,
belanja daerah juga meningkat yaitu 7,41% atau 32.208,18 miliar rupiah.
Belanja pemerintah daerah Provinsi Banten yang terus meningkat
mengindikasikan bahwa peran pemerintah untuk mendorong perekonomian
juga cukup besar. Dengan adanya belanja pemerintah daerah, maka proses
pembangunan akan berjalan dengan lancar dan diharapkan dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, kualitas IPM yang cukup baik dan belanja pemerintah
daerah yang terus meningkat di Provinsi Banten, ternyata belum
mengindikasikan adanya pembangunan yang merata. Masih terdapat
ketimpangan pembangunan antar wilayah dan tingkat pengkonsentrasian
kegiatan wilayah atau yang disebut aglomerasi juga bisa menjadi pemicu
ketimpangan antar wilayah di Provinsi Banten. Oleh karena itu, penulis ingin
menganalisis kondisi tersebut dengan mengambil judul “Analisis Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, IPM, Aglomerasi, dan Belanja Pemerintah Daerah
14.499,4319.746,50 19.169,19
29.984,18 32.208,18
0,00
10.000,00
20.000,00
30.000,00
40.000,00
2013 2014 2015 2016 2017
Belanja Pemerintah Daerah
11
Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2013-2017”
B. Batasan Masalah
Berdasarkan luasnya cakupan masalah yang ada, maka diperlukan
pembatasan masalah agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus. Dalam
penelitian ini, penulis akan membatasi permasalahan yaitu objek penelitian ini
adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, kemudian penelitian ini terbatas
pada empat variabel bebas (X) yaitu variabel Pertumbuhan Ekonomi, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Aglomerasi, dan Belanja Pemerintah Daerah
yang dapat mempengaruhi variabel terikat (Y) yaitu Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah.
C. Rumusan Masalah
Hampir 20 tahun pasca pemekaran wilayah, Provinsi Banten sudah
memiliki perekonomian yang baik jika dibandingkan dengan provinsi lainnya
di Pulau Jawa. Hal ini dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi Banten yang
merupakan urutan kedua di Pulau Jawa. Kemudian, jika dilihat dari kondisi
penduduk atau kualitas sumber daya manusia yang diukur dengan Indeks
Pembangunan Manusia, maka nilai IPM Banten juga termasuk kategori tinggi
dan merupakan urutan ketiga di Pulau Jawa.
Namun, ketimpangan pembangunan Provinsi Banten masih tergolong
tinggi yakni dengan rata-rata Indeks Williamson sebesar 0,771. Sehingga hal
ini mengindikasikan bahwa pembangunan antar wilayah di Provinsi Banten
masih tidak merata. Kemudian, masih terdapat kabupaten/kota di Provinsi
Banten yang merupakan daerah terbelakang.
Faktor lain yang menyebabkan ketimpangan pembangunan antar wilayah
di Provinsi Banten yaitu adanya pengkonsentrasian kegiatan ekonomi wilayah
(aglomerasi) di suatu daerah yang tergolong maju dan dapat tercermin dari
kontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap pembentukan PDRB Provinsi
Banten.
12
Dukungan pemerintah terhadap perekonomian di Provinsi Banten dapat
terlihat melalui belanja pemerintah yang terus meningkat. Belanja pemerintah
merupakan faktor penunjang perekonomian dan berdampak pada
pembangunan. Dengan adanya belanja pemerintah, diharapkan mampu
mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di
Provinsi Banten.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana klasifikasi daerah kabupaten/kota Provinsi Banten berdasarkan
Tipologi Klassen tahun 2013-2017?
2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017?
3. Bagaimana pengaruh IPM (Indeks Pembangunan Manusia) terhadap
ketimpangan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Banten tahun 2013-2017?
4. Bagaimana pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan pembangunan
antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2013-2017?
5. Bagaimana pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017?
6. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi, IPM, aglomerasi, dan
belanja pemerintah daerah secara bersama-sama terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengklasifikasikan daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten
berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2013-2017.
13
2. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017
3. Menganalisis pengaruh IPM terhadap ketimpangan pembangunan antar
wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2013-2017.
4. Menganalisis pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan pembangunan
antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2013-2017.
5. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017.
6. Menganalisis pengaruh laju pertumbuhan ekonomi, IPM, aglomerasi, dan
belanja pemerintah daerah secara bersama-sama terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka adapun manfaat dari penelitian ini
yaitu:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah untuk mengambil
kebijakan yang dapat menguranngi ketimpangan pembangunan antar
wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten.
2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian di bidang yang sama.
3. Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pembangunan Ekonomi
a. Definisi Pembangunan Ekonomi
Istilah pembangunan ekonomi selalu berkaitan dengan pertumbuhan
ekonomi, kesejahteraan masyarakat, kemajuan ekonomi, dan perubahan
jangka panjang. Secara tradisional, pembangunan memiliki arti peningkatan
secara terus-menerus pada Produk Domestik Bruto atau PDRB untuk suatu
daerah. Kemudian, muncul definisi yang lebih menekankan pada
peningkatan pendapatan per kapita. Definisi tersebut menekankan pada
tingkat kemampuan suatu wilayah dalam peningkatan output yang dapat
melebihi tingkat pertumbuhan penduduk (Kuncoro, 2010:136). Hal ini juga
pernah diungkapkan oleh Meier dalam Jhingan (2012:6) bahwa
pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan riil per
kapita dalam jangka waktu yang panjang atau terus-menerus.
Namun, pembangunan ekonomi saat ini memiliki definisi yang sangat
luas. Beberapa ekonom modern, mulai memberikan definisi pembangunan
yang lebih luas yaitu tidak hanya peningkatan pertumbuhan ekonomi,
namun juga terkait pengentasan kemiskinan, pengurangan distribusi
pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat pengangguran
yang ada (Kuncoro, 2010:136).
Pembangunan ekonomi tidak hanya menggambarkan tindakan
kuantitatif perekonomian yang sedang berkembang seperti laju kenaikan
dalam pendapatan per kapita, tetapi menggambarkan perubahan ekonomi,
sosial, dan perubahan lainnya yang mengarah pada pertumbuhan. Sehingga,
pembangunan ekonomi dapat menggambarkan faktor-faktor penentu yang
mendasari pertumbuhan ekonomi, seperti perubahan dalam teknik produksi,
sikap masyarakat dan lembaga-lembaga (Jhingan, 2012:5).
15
Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan bahwa pembangunan
ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang meliputi perubahan
mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi
nasional, namun tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi,
penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
Sehingga, pembangunan ekonomi tidak hanya dilihat dari pendapatan per
kapita, namun juga tercermin melalui berbagai aspek yakni sikap
masyarakat dan lembaga nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembangunan ekonomi tidak hanya berkaitan pada kenaikan pendapatan
atau output per kapita, namun pembangunan ekonomi juga mencakup
berbagai aspek lainnya yakni perubahan sosial, pengentasan kemiskinan,
penurunan tingkat pengangguran, pengurangan ketimpangan, serta
mencakup perilaku masyarakat dan pemerintah. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Arsyad (2016) bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan
proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola setiap sumber
daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah
daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru
dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut.
b. Persyaratan Dasar Pembangunan Ekonomi
Menurut Jhingan (2012) terdapat beberapa persyaratan dasar
pembangunan ekonomi yaitu :
1. Pembangunan ekonomi harus bertumpu pada kemampuan perekonomian
di dalam negeri atau daerah. Sehingga, adanya pembangunan ekonomi
berdasarkan atas kekuatan dan kemampuan sendiri.
2. Pembangunan ekonomi harus mampu menghilangkan
ketidaksempurnaan pasar yang menyebabkan kurang lancarnya faktor-
faktor produksi serta menghambat ekspansi sektoral dan pembangunan.
3. Adanya perubahan struktural yaitu peralihan dari masyarakat pertanian
tradisional menjadi masyarakat industri modern ditandai dengan
16
meluasnya sektor sekunder dan sektor tersier. Perubahan ini juga
mencakup perubahan sistem sosial serta kelembagaan menjadi lebih
baik.
4. Adanya pembentukan modal yakni meningkatnya tabungan dan investasi
masyarakat, karena pembentukan modal merupakan faktor paling
penting dalam pembangunan ekonomi.
5. Persayaratan sistem sosial budaya yang dapat menghambat
pembangunan ekonomi harus dihilangkan atau disesuaikan agar selaras
dengan pembangunan yang ada.
6. Adanya administrasi pemerintahan yang kuat, tidak korup, dan
berwibawa, mampu menegakan hukum dan keadilan serta pemerintahan
yang stabil sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan ekonomi.
c. Teori Pembangunan Ekonomi
Terdapat beberapa teori mengenai pembangunan diantaranya yaitu teori
pembangunan seimbang dan teori pembangunan tidak seimbang. Berikut ini
merupakan penjelasan dari teori tersebut (Adisasmita, 2013) :
1. Teori Pembangunan Seimbang (Rosenstein-Rodan dan Ragnar Nurkse)
Teori ini beranggapan bahwa dalam menciptakan pembangunan
seimbang, harus dilakukan pembangunan berbagai jenis industri yang
saling berkaitan, sehingga setiap industri akan memperoleh eksternalitas
ekonomi. Cara yang dapat dilakukan yaitu melaksanakan penanaman
modal pada waktu bersamaan di industri yang memiliki keterkaitan.
Sehingga, hal ini akan memperluas kesempatan kerja, peningkatan
pendapatan, serta terjadinya perluasan pasar. Menurut Soemitro
Djojohasikoesoemo dalam Adisasmita (2013) dengan melakukan
pembangunan seimbang di sektor pertanian dan industri, maka
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan
kebanyakan masyarakat bermata pencaharian di sektor pertanian,
sedangkan sektor industri merupakan sektor yang mampu menjadi
penyangga dalam perekonomian.
17
2. Teori Pembangunan Tidak Seimbang (Kindleberge, H.W. Singer, dan A.
Hirschman)
Teori ini bertentangan dengan teori pembangunan seimbang. Teori ini
berpendapat bahwa tidak ada negara berkembang yang memiliki modal
dan sumber daya yang cukup untuk melakukan investasi pada semua
sektor. Sehingga, investasi seharusnya dilakukan pada beberapa sektor
atau industri terpilih agar cepat berkembang dan hasil tersebut dapat
digunakan untuk membangun sektor lain serta menghasilkan peluang
investasi yang baru.
Berdasarkan teori tersebut, terdapat persamaan dalam pembangunan
yaitu berhubungan dengan peran negara/pemerintah serta peranan
keterbatasan modal. Sehingga, dalam proses pembangunan, diperlukan
peranan pemerintah serta adanya modal untuk investasi agar pembangunan
dapat berjalan dengan lancar. Selain itu, pemerintah sebaiknya menerapkan
kebijakan pembangunan yang sesuai potensi daerahnya.
2. Pertumbuhan Ekonomi
a. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai
peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi
barang-barang dan jasa-jasa. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Sukirno
(2011:331) bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan
kegiatan perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang
diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat
meningkat.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur penting yang harus
dilakukan dalam pembangunan ekonomi daerah. Bahkan hingga saat ini,
pertumbuhan ekonomi tinggi merupakan sasaran utama dalam rencana
pembangunan. Melalui pertumbuhan ekonomi tinggi, diharapkan
kesejahteraan masayarakat secara bertahap dapat pula ditingkatkan.
Sehingga, dalam era otonomi, masing-masing daerah bersaing
18
meningkatkan pertumbuhan ekonomi guna mendorong kemakmuan
masayarakat setempat (Sjafizal, 2012: 89).
Pengukuran tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dapat dilakukan
dengan menghitung peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) pada tahun tertentu ke tahun berikutnya. Untuk menghindari
kenaikan harga dalam perhitungan, maka data yang digunakan adalah data
PDRB atas dasar harga konstan bukan atas dasar harga berlaku (Sjafrizal,
2014).
b. Faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan, jika output yang
dihasilkan di tahun tertentu lebih besar dari tahun sebelumnya. Terjadinya
pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Menurut Jhingan (2012) pertumbuhan ekonomi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Sumber Daya Alam
Sumber daya alam merupakan faktor utama yang mempengaruhi
perekonomian karena tersedianya sumber daya alam yang potensial akan
menjamin berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara lancar. Namun,
sumber daya alam yang melimpah saja belum cukup untuk menunjang
perekonomian, masih harus dilengkapi dengan fasilitas pengolahan,
pemasaran, transportasi dan sumber daya manusia yang mampu
mengolah serta memanfaatkannya
2. Organisasi
Organisasi berkaitan dengan penggunaan faktor produksi dalam
kegiatan ekonomi dan merupakan bagian penting dari proses
pertumbuhan. Organisasi bersifat melengkapi modal, buruh, dan
membantu meningkatkan produktivitas. Organisasi juga berkaitan
dengan para wiraswasta yang tampil sebagai organisator dan berfungsi
untuk melakukan pembaharuan.
19
3. Akumulasi Modal
Akumulasi modal merupakan investasi dalam bentuk barang-barang
modal yang dapat meningkatkan stok modal, output nasional, dan
pendapatan nasional. Jadi, pembentukan modal merupakan kunci utama
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
4. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi berkaitan dengan perubahan dalam metode
produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil teknik penelitian
baru, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, modal
dan sektor produksi, serta berdampak meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi.
5. Pembagian Kerja dan Skala Produksi
Adanya spesialisasi dan pembagian kerja dapat menciptakan
peningkatan produktivitas. Pembagian kerja menghasilkan perbaikan
kemampuan produksi buruh, sehingga setiap buruh menjadi lebih efisien.
6. Faktor Sosial dan Budaya
Faktor sosial dan budaya dapat mengubah pandangan, harapan, dan
nilai sosial. Hal ini dapat dilakukan melalui penyebaran pendidikan dan
ilmu pengetahuan.
7. Faktor Manusia
Pertumbuhan ekonomi tidak hanya tergantung pada jumlah sumber
daya manusia saja, namun lebih menekankan pada efisiensi dan
produktivitas mereka. Diperlukan pelatihan dan program pendidikan
untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan SDM.
8. Faktor Politik dan Administrasi
Struktur politik dan administrasi yang kuat, efisien dan tidak korupsi
merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, juga
diperlukan kebijakan pemerintah yang mendorong perekonomian.
20
c. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Terdapat beberapa teori mengenai pertumbuhan ekonomi di antaranya
yaitu Teori Ekonomi Klasik yang dipelopori oleh Adam Smith, kemudian
Teori Ekonomi Neo-Klasik, Teori Schumpeter, dan Teori Harrod-Domar.
Berikut penjelasan mengenai teori tersebut (Adisasmita, 2013):
1. Teori Ekonomi Klasik
Adam Smith mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi
bergantung pada mekanisme pasar. Mekanisme pasar akan mengatur dan
mengatasi permasalahan sehingga perekonomian akan berfungsi secara
efisien. Jadi, para pelaku kegiatan ekonomi atau masyarakat bebas
melakukan kegiatan perekonomian tanpa adanya campur tangan
pemerintah (Laissez Faire). Selain itu, ia juga menekankan pentingnya
pembagian kerja dan spesialisasi karena hal ini akan menyebabkan
peningkatan kemahiran tenaga kerja dan efisiensi waktu yang diperlukan
dalam memproduksi barang.
2. Teori Ekonomi Neo- Klasik
Teori ini beranggapan bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan
pendapatan nasional, adanya perbandingan yang tetap antara modal dan
tenaga kerja dimana perekonomian dapat melakukan akumulasi modal
tanpa meperbesar tenaga kerja, serta adanya penemuan baru dapat
menghemat tenaga kerja.
3. Teori Schumpeter
Schumpeter berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi diciptakan
melalui inisiatif dari golongan para wirausaha, karena mereka dapat
memberikan inovasi dalam proses produksi contohnya seperti
memperkenalkan barang baru, metode baru dalam memproduksi barang,
memperluas pasar, megadakan restruktur organisasi, dan sebagainya.
4. Teori Harrod-Domar
Teori ini menekankan pentingnya akumulasi modal pada proses
pertumbuhan ekonomi, karena akumulasi modal atau investasi dapat
menghasilkan pendapatan dan menambah kapasitas produksi. Model
21
Harrod-Domar dapat dipakai untuk menganalisis pertumbuhan wilayah
dengan memperhitungkan perpindahan modal dan tenaga kerja. Wilayah
yang tidak memiliki tingkat tabungan tinggi, maka akan mendatangkan
modal dan tenaga kerja dari wilayah lain agar dapat melakukan
pertumbuhan yang cepat.
Berdasarkan penjelasan teori tersebut maka dapat diketahui bahwa
terdapat banyak hal yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Menurut
teori ekonomi klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung pada mekanisme
pasar yakni para pelaku kegiatan ekonomi serta pentingnya pembagian kerja
dan spesialisasi. Adapun pelaku ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi menurut Schumpeter yaitu wirausaha. Hal ini
dikarenakan para wirausaha mampu memberikan inovasi pada proses
produksi. Selain itu, hal penting lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi menurut teori ekonomi Neo-Klasik dan Harrord-Domar yaitu
adanya akumulasi modal yang mampu mengembangkan teknologi baru
sehingga terjadi penghematan tenaga kerja dan produksi dapat berjalan lebih
efisien.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa menurut beberapa teori tersebut, hal
penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu sumber daya
manusia, akumulasi modal/investasi, serta kemajuan teknologi. Oleh karena
itu, diharapkan adanya peningkatan pada hal tersebut agar pertumbuhan
ekonomi menjadi lebih baik dan bisa berdampak pada proses pembangunan.
3. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
a. Definisi Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Menurut Sjafrizal (2012:107) ketimpangan pembangunan ekonomi
antar wilayah merupakan fenomena umum yang terjadi dalam proses
pembangunan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada awalnya
disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan
perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah.
Akibatnya, kemampuan daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Sehingga tidak
22
mengherankan jika setiap daerah terdapat wilayah relatif maju dan wilyah
relatif terbelakang.
Ketimpangan pembangunan antar wilayah dalam suatu daerah
bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Berbeda dengan ketimpangan
distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antar kelompok
masyarakat, sedangkan ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat
perbedaan tingkat pembangunan antarwilayah. Sehingga, hal yang
diperdebatkan bukan antara kelompok kaya dan miskin namun antara
daerah maju dan terbelakang.
Menurut Myrdal dalam Jhingan (2012:212) ketimpangan regional
berkaitan erat dengan sistem kapitalis yaitu motif laba. Motif laba yang
mendorong berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-wilayah
yang berpotensi memberikan keuntungan tinggi, sementara wilayah lainnya
dihiraukan. Penyebab hal ini adalah kekuatan pasar. Menurut Myrdal, jika
segala sesuatu diserahkan pada kekuatan pasar, tanpa ada intervensi
kebijakan apapun, maka kegiatan ekonomi akan mengelompok di daerah
tertentu saja dan meninggalkan daerah lainnya. Ketimpangan regional ini
akan semakin parah, jika hanya sebagian daerah yang tumbuh dan daerah
lain mengalami stagnansi.
b. Teori Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan ketimpangan
pembangunan antar wilayah, di antaranya yaitu:
1. Hipotesis Neo-Klasik (Doughlas C. North)
Ketimpangan antar wilayah dimunculkan oleh Douglas C. North
dalam analisanya mengenai Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Menurut
Hipotesis Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu
negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat
sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila
proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur
ketimpangan pembangunan antar wilayah akan menurun. Berdasarkan
hipotesis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada awal
23
pembangunan suatu negara sedang berkembang, umumnya ketimpangan
pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sementara pada
negara maju ketimpangan akan menjadi lebih rendah.
Pada saat proses pembangunan baru dimulai di negara sedang
berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya
dimanfaatkan oleh daerah dengan kondisi yang sudah lebih baik.
Sedangkan, daerah yang terbelakang belum mampu memanfaatkan
peluang ini karena keterbatasan prasarana dan kualitas SDM. Sehingga,
ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat karena
pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisi lebih baik,
sedangkan daerah terbelakang mengalami pertumbuhan ekonomi yang
lambat (Sjafrizal, 2012:108-109).
Neo-Klasik juga berpendapat bahwa mobilitas faktor produksi, yaitu
modal dan tenaga kerja pada permulaan proses pembangunan adalah
kurang lancar. Sehingga, modal dan tenaga ahli cenderung terkonsentrasi
di daerah yang lebih maju dan ketimpangan pembanguna wilayah
cenderung melebar. Namun, bila proses pembangunan terus berlanjut,
dengan semakin baik sarana dan prasarana, maka mobilitas modal dan
tenaga kerja akan semakin lancar. Sehingga, setelah negara tersebut
sudah maju, maka ketimpangan regional secara bertahap akan berkurang.
Dengan demikian, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah
berbentuk huruf U terbalik (reverse U-Shape curve).
24
Gambar 2.1.
Kurva Ketimpangan Wilayah
Sumber : Sjafrizal (2012)
Sehingga, dari hipotesis ini dapat disimpulkan bahwa kemajuan
teknologi, peningkatan investasi, dan peningkatan tenaga kerja
berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Kemudian, pada permulaan proses pembangunan, ketimpangan regional
cenderung meningkat, tetapi setelah mencapai titik maksimum bila
pembangunan dilanjutkan, maka ketimpangan regional akan berkurang.
2. Teori Backwash-Spread Effect (Myrdal)
Myrdal (1957) berpendapat bahwa pembangunan ekonomi
menghasilkan suatu proses yang menyebabkan daerah maju semakin
maju, sementara daerah tertinggal semakin terbelakang. Myrdal
menggunakan istilah dampak balik (backwash effect) dan dampak
menyebar (spread effect). Analisisnya mengatakan bahwa backwash
effect cenderung membesar dan spread effect cenderung mengecil.
Sehingga, hal inilah yang menyebabkan ketimpangan regional antar
wilayah.
Menurut Myrdal, dampak balik merupakan perubahan yang bersifat
merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu tempat karena faktor-faktor
Ketimpangan Wilayah
Tingkat Pembangunan
Nasional
25
eksternal yaitu dampak migrasi, perpindahan modal, dan perdagangan.
Sementara, dampak sebar merupakan suatu proses pembangunan yang
menyebar dari pusat pembangunan ekonomi ke wilayah lainnya.
Penyebab utama ketimpangan regional adalah kuatnya dampak balik dan
lemahnya dampak sebar. Myrdal menyarankan untuk membuat
kebijakan yang melemahkan dampak balik dan memperkuat dampak
penyebaran, agar semakin memperkecil ketimpangan regional.
3. Teori Kutub Pertumbuhan (Perroux) dan Pusat Pertumbuhan
(Boudeville)
Menurut Perroux (1955), konsep kutub pertumbuhan yaitu bahwa
kegiatan ekonomi suatu daerah cenderung beraglomerasi di sekitar pusat-
pusat pertumbuhan. Daerah di sekitar kutub pertumbuhan merupakan
wilayah pengaruh dan pertumbuhannya. Industri pendorong merupakan
pusat dari kutub pertumbuhan. Ciri-cirinya yaitu konsentrasi yang tinggi,
pengaruh multiplier dan polarisasi yang besar, tingkat teknologi yang dan
keahlian manjerian yang sudah modern.
Growth poles bukanlah suatu kota atau wilayah, melainkan suatu
kegiatan ekonomi yang dinamis dan hubungan kegiatan ekonomi yang
dinamis tercipta di dalam dan diantara sektor-sektor ekonomi. Selain
growth poles, terdapat juga konsep growth centre atau konsep pusat
pertumbuhan yang dikemukakan oleh Boudeville (1961). Ia
menggunakan konsep kutub pertumbuhan dijadikan konsep keruangan.
Pusat pertumbuhan adalah suatu kota atau wilayah yang memiliki suatu
industri propulsive yang komplek. Propulsive industries adalah industri
yang mempunyai pengaruh besar baik langsung maupun tidak langsung
terhadap semua kegiatan lainnya (Darnilawati, 2018).
Pusat pertumbuhan memiliki karakteristik utama yaitu sekelompok
kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu, konsentrasi
kegiatan ekonomi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, dan dalam
kelompok kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri induk yang
mendorong pengembangan kegiatan ekonomi.
26
Adanya pusat pertumbuhan di suatu wilayah dapat mengakibatkan
ketimpangan antar wilayah, apabila pusat pertumbuhan tersebut tidak
memberikan dampak terhadap wilayah lain di sekitarnya. Sehingga,
proses pertumbuhan dan pembangunan yang tinggi hanya terjadi di
wilayah pusat pertumbuhan, sementara wilayah lain yang bukan
merupakan pusat pertumbuhan, memiliki perekonomian yang rendah.
4. Trickling Down Effect-Polarization (Hirschman)
Terdapat beberapa titik pertumbuhan dalam suatu wilayah, di mana
industri berkumpul di tempat karena terdapat beberapa manfaat dalam
bentuk penghematan dan kemudahan. Kesempatan investasi, lapangan
kerja dan upah buruh relatif tinggi lebih banyak terdapat di pusat-pusat
pertumbuhan dari pada daerah belakang. Antara daerah pusat dan daerah
belakang terdapat ketergantungan dalam penyediaan barang dan tenaga
kerja.
Jika komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran
pembangunan ke daerah-daerah belakang (trikling down) dan sebaliknya
jika komplementaritas lemah akan terjadi pengaruh polarisasi. Jika
pengaruh polarisasi lebih kuat dari pengaruh penyebaran pembangunan
maka akan timbul masyarakat dualistik, yaitu selain memiliki ciri-ciri
daerah perkotaan modern juga memiliki daerah perdesaan terbelakang.
Hirschman (1958) percaya bahwa pengaruh trikling-down akan
mengatasi pengaruh polarisasi. Misalnya, bila daerah perkotaan
berspesialisasi pada industri dan daerah perdesaan berspesialisasi pada
produksi primer, maka meluasnya permintaan daerah perkotaan harus
mendorong perkembangan daerah perdesaan. Hirschman menyarankan
untuk membentuk lebih banyak titik pertumbuhan agar dapat
menciptakan dampak penyebaran pembangunan yang efektif.
27
c. Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Menurut Sjafrizal (2012:119) terdapat beberapa penyebab ketimpangan
pembangunan antar wilayah yaitu :
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi
kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah yang memiliki
kandungan sumber daya alam cukup banyak akan dapat memproduksi
barang dan jasa tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan
daerah yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih sedikit.
Maka, hal tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang
bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah yang mempunyai
kandungan sumber daya alam lebih sedikit, maka biaya produksi barang
dan jasa akan lebih tinggi dan daya saing menjadi lemah sehingga hal ini
akan membuat pertumbuhan ekonomi daerah menjadi lebih lambat.
Dengan demikian, perbedaan sumber daya alam ini dapat mendorong
ketimpangan pembnagunan antar wilayah menjadi lebih tinggi.
2. Perbedaan kondisi demografis
Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat
pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan
dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan, serta perbedaan etos
kerja yang dimiliki masyarakat daerah.
Daerah dengan kondisi demografi yang baik akan cenderung
memiliki tingkat produktivitas kerja yang lebih tinggi. Kemudian,
kondisi tersebut akan mendorong investasi ke daerah yang bersangkutan
dan meningkatkan penyediaan lapangan kerja serta pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Jika kondisi demografis daerah kurang baik, maka
tingkat produktivitas kerja masyarakat rendah dan hal ini kurang menarik
bagi investor sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi lebih lambat.
3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
Ketika mobilitas barang dan jasa di suatu daerah kurang lancar,
maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain
28
yang membutuhkan. Hal ini juga berlaku ketika migrasi kurang lancar,
dimana ketika suatu daerah memiliki kelebihan tenaga kerja, maka
tenaga kerja tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang
membutuhkan. Sehingga, ketimpangan ekonomi antar wilayah akan
cenderung lebih tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat
dimanfaatkan oleh daerah lain yang membutuhkan dan daerah
terbelakang sulit mendorong kegiatan ekonominya.
4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada
wilayah akan mempengaruhi ketimpanagan ekonomi antar wilayah.
Pertumbuhan ekonomi daerah akan lebih cepat pada daerah yang terdapat
konsentrasi kegiatan ekonomi lebih besar. Kondisi tersebut selanjutnya
akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan
lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Sebaliknya, jika
konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah
selanjutnya akan mendorong terjadinya pengangguran dan rendahnya
tingkat pendapatan masyarakat.
Konsentrasi kegiatan ekonomi dapat disebabkan oleh beberapa hal
yaitu terdapat sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu,
lebih meratanya fasilitas tranportasi baik darat, laut, dan udara, kemudian
yang terakhir yaitu kondisi demografis dengan kualitas yang lebih baik
dan kuantitas yang mencukupi.
5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Daerah yang mendapatkan alokasi investasi yang lebih besar dari
pemerintah atau dapat menarik investor swasta ke daerahnya, maka akan
cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Kondisi ini tentunya akan mendorong pembangunan daerah yang
bersangkutan melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan
tingkat pendapatan per kapita yang lebih tingi. Sebaliknya, jika investasi
pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah tertentu ternyata
29
lebih rendah, maka kegiatan ekonomi dan pembnagunan daerahnya
kurang berkembang baik.
d. Pengukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Untuk mengetahui dan menganalisis tingkat ketimpangan antar
wilayah, maka terdapat beberapa rumus yang dapat digunakan yaitu:
1. Indeks Williamson
Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah pada mulanya
digunakan dalam studi Jeffrey G. Williamson pada tahun 1966 yaitu
Williamson Index. Indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation
yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Walaupun
indeks ini mempunyai kelemahan yaitu sensitif terhadap definisi wilayah
yang digunakan dalam perhitungan, namun indeks ini lazim digunakan
dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Adapun
formulasi Indeks Williamson yaitu :
Vw = √∑ (yi − y)2n
i=1 (fi n⁄ )
y
Keterangan :
Vw = Williamson Index
yi = PDRB per kapita daerah i
y = PDRB per kapita rata-rata seluruh daerah
fi = Jumlah penduduk daerah i
n = Jumlah penduduk seluruh daerah
Bila Vw mendekati 1 berarti sangat timpang dan bila Vw mendekati
0 (nol) berarti sangat merata.
2. Theil Index
Indeks lainnya yang dapat digunakan untukmengukur ketimpangan
wilayah yaitu Theil Index. Data yang dibutuhkan untuk mengukur Theil
Index yaitu PDRB per kapita dan jumlah penduduk tiap wilayah. Adapun
formulasi Theil Index yaitu :
30
Td = ∑ ∑{yij Y⁄ ) log [{yij Y}⁄ {nij N}⁄⁄ ]
n
j=1
n
i=j
Keterangan :
yij = PDRB per kapita Kabupaten i di Provinsi j
Y = Jumlah PDRB per kapita seluruh Provinsi j
nij = Jumlah penduduk Kabupaten i di Provinsi j
N = Jumlah penduduk seluruh Provinsi j
Bila Td mendekati 1, maka artinya sangat timpang dan bila Td
mendekati 0 (nol) berarti sangat merata.
3. Konsep PDRB Per Kapita Relatif
Ketimpangan wilayah juga merupakan ketimpangan pendapatan
yang diterima antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Untuk
mengukur ketimpangan wilayah dapat menggunakan konsep PDRB per
kapita relatif. Ketimpangan ini menggunakan formulasi yang dipakai
dalam penelitian Jaime Bonet (2006) dan juga digunakan dalam
penelitian Hidayat (2014) dan Yusika (2018) yaitu :
Iit= |PDRB Kap Kab/kotait
PDRB Kap Provinsit-1|
Keterangan :
Iit = Ketimpangan antar kabupaten/kota i tahun t
PDRB Kap Kab Kotait⁄ = PDRB per kapita kabupaten/kota i tahun t
PDRB Kap Provinsit = PDRB per kapita Provinsi Banten tahun t
Berdasarkan formulasi tersebut, maka kesetaraan sempurna terjadi
pada saat PDRB per kapita wilayah sama dengan PDRB per kapita
Provinsi Banten. Menurut Jaime Bonet (2006), jika hasil perhitungan
31
pendapatan per kapita relatif kurang dari 0 atau mendekati 0, maka
semakin kecil ketimpangan dan menunjukan tingkat pemerataan, tetapi
jika hasilnya lebih dari 1 atau mendekati 1, maka semakin besar
ketimpangan antar wilayah.
4. Tipologi Klassen
Tiplogi Klassen (Klassen Typology) digunakan untuk mengetahui pola
dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah. Tipologi Klassen
menggolongkan daerah berdasarkan dua indikator yaitu laju pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan per kapita. Laju pertumbuhan ekonomi pada
sumbu vertikal dan pendapatan per kapita pada sumbu horizontal.
Berdasarkan hal tersebut, maka daerah dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (Sjafrizal, 1997):
1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh pada kuadran I adalah daerah yang
memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih
tinggi dari rata-rata wilayah.
2. Daerah maju tapi tertekan pada kuadran II adalah daerah yang memiliki
pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi laju pertumbuhan ekonominya
lebih rendah dari rata-rata wilayah.
3. Daerah berkembang cepat pada kuadran III adalah daerah yang
memiliki laju pertumbuhan tinggi, tetapi pendapatan per kapita lebih
rendah dari rata-rata wilayah.
4. Daerah relatif tertinggal pada kuadran IV adalah daerah yang memiliki
laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih rendah
dari rata-rata wilayah.
32
Tabel 2.1.
Klasifikasi Kabupaten/Kota menurut Tipologi Klassen
Keterangan :
yi = Pendapatan per kapita wilayah kabupaten/kota i
y = Pendapatan per kapita wilayah provinsi
ri = Laju pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten/kota i
r = Laju pertumbuhan ekonomi wilayah provinsi
5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
a. Konsep Indeks Pembangunan Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pembangunan di suatu daerah, baik dari segi
kuantitas maupun kualitasnya. Sehingga, setiap daerah diharapkan dapat
mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas serta diperlukan
pembangunan manusia secara merata. Menurut Schultz dalam Jhingan
(2012:414) terdapat lima cara untuk mengembangkan sumber daya manusia
yaitu :
1. Perlunya fasilitas dan pelayanan kesehatan
2. Perlunya latihan keterampilan
3. Pendidikan secara formal mulai dari tingkat dasar, menengah dan tinggi.
4. Adanya program studi bagi orang dewasa yang tidak diorganisasikan
oleh perusahaan, termasuk program ekstension khususnya pada
pertanian
(y)
(r)
yi > y yi < y
ri > r Kuadran I : Daerah
Cepat Maju dan Cepat
Tumbuh
Kuadran III : Daerah
Berkembang Cepat
ri < r Kuadran II : Daerah
Maju Tapi Tertekan
Kuadran IV : Daerah
Relatif Tertinggal
33
5. Migrasi perorangan dan keluarga untuk menyesuaikan diri terhadap
kesempatan kerja yang selalu berubah
Pada awalnya, IPM diperkenalkan oleh UNDP (United Nations
Development Programme) tahun 1990 dan dilaporkan secara berkala
melalui laporan tahunan Human Development Report (HDR). Menurut BPS
(2015), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjelaskan bagaimana
penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh
pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
UNDP menciptakan IPM atau HDI untuk menekankan bahwa manusia
dan kemampuannya harus menjadi kriteria utama untuk menilai
pembangunan suatu negara, sehingga bukan hanya pertumbuhan ekonomi
saja. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar yaitu :
1. Umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life)
2. Pengetahuan (knowledge)
3. Standar hidup layak (decent standard of living)
Dimensi dasar tersebut, dibentuk oleh beberapa variabel yaitu :
1. Dimensi kesehatan dinilai oleh Angka Harapan Hidup (AHH) saat Lahir.
AHH saat Lahir merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat
ditempuh oleh seseorang sejak lahir atau usia harapan hidup saat lahir.
2. Dimensi pendidikan atau pengetahuan dinilai dari Rata-rata Lama
Sekolah (RLS) dan Angka Harapan Lama Sekolah (HLS). RLS
merupakan jumlah tahun yang digunakan penduduk dalam pendidikan
formal dan perhitungan rata-rata lama sekolah adalah orang dewasa yang
berusia 25 tahun atau lebih. Kemudian, HLS merupakan lamanya sekolah
(dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur
tertentu di masa mendatang dan perhitumgan HLS adalah penduduk
berusia 7 tahun ke atas.
3. Dimensi standar hidup layak dinilai dari pengeluaran per kapita
disesuaikan. Pengeluaran per kapita yang disesuaikan ditentukan dari
nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (Purcashing Power
Parity-PPP)
34
Menurut UNDP (2018), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hanya
ukuran yang menyederhanakan dan menggambarkan sebagian dari apa yang
dibutuhkan pada pembangunan manusia. Namun, hal ini tidak
mencerminkan ketidaksetaraan, kemiskinan, keamanan manusia,
pemberdayaan dan lainnya. Terdapat indeks komposit lainnya untuk
menggambarkan hal-hal tersebut.
b. Manfaat dan Kategori IPM
IPM sebagai indeks yang dapat menggambarkan kondisi serta kualitas
Sumber Daya Manusia di suatu wilayah memiliki beberapa manfaat
diantaranya yaitu dapat mengukur keberhasilan dalam membangun kualitas
hidup manusia, menentukan peringkat atau level pembangunan suatu
wilayah/negara, serta IPM merupakan data strategis sebagai ukuran kinerja
pemerintah dan IPM juga digunakan sebagai salah satu alokasi penentuan
Dana Alokasi Umum (DAU).
BPS (2015) mengelompokan IPM ke dalam empat kategori untuk
melihat pencapaian IPM antar wilayah. Adapun kategori tersebut, yaitu :
1. IPM rendah jika nilai IPM < 60
2. IPM sedang jika nilai 60 ≤ IPM < 70
3. IPM tinggi jika nilai 70 ≤ IPM < 80
4. IPM sangat tinggi jika nilai IPM ≥ 80
6. Aglomerasi
a. Definisi Aglomerasi
Pertumbuhan ekonomi antar daerah tidaklah sama. Terdapat daerah
yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi dan ada juga daerah yang
memiliki pertumbuhan ekonomi rendah. Pertumbuhan ekonomi yang
cenderung terkonsentrasi di beberapa daerah tertentu maka akan
mengakibatkan kegiatan ekonomi terpusatdi suatu daerah tertentu dan tidak
tersebar secara merata atauyang disebut aglomerasi. Menurut Montgomery
dalam Kuncoro (2002) aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas
35
ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang
berdekatan.
Menurut Perroux dalam Sjafrizal (2012) munculnya aglomerasi
dikarenakan adanya daerah yang menjadi pusat pertumbuhan, sehingga
pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di daerah tertentu saja, dan hal ini dapat
menyebabkan ketimpangan antar daerah. Namun, adanya konsentrasi
kegiatan ekonomi daerah dapat mendorong peningkatan efisiensi kegiatan
ekonomi yang berdampak positif bagi pembangunan ekonomi secara
keseluruhan.
b. Keuntungan Aglomerasi
Menurut Tarigan (2009) keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi
kegiatan ekonomi atau aglomerasi disebabkan oleh faktor skala economi
(economic of scale) dan faktor lokasi (economic of localization). Economic
of scale merupakan keuntungan karena dapar berproduksi berdasarkan
spesialisasi sehingga produksi dapat lebih besar dengan biaya per unitnya
lebih efisien. Economic of localization merupakan keuntungan yang terjadi
karena di lokasi itu terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat
digunakan oleh perusahaan. Hal ini juga seperti yang diungkapkan oleh
Isard (1960) dalam Sjafrizal (2012) bahwa keuntungan aglomerasi meliputi
tiga unsur utama yaitu :
1. Keuntungan skala besar
Keuntungan skala besar merupakan keuntungan yang diperoleh
dalam bentuk penurunan biaya produksi rata-rata per unit, akibat
produksi dilakukan dalam skala besar.
2. Keuntungan lokalisasi
Keuntungan lokalisasi merupakan keuntungan dalam bentuk
penghematan ongkos angkut, biak untuk bahan baku dan hasil produksi
yang timbul karena berlokasi secara terkonsentrasi dengan perusahaan
terkait lainnya.
36
3. Keuntungan urbanisasi
Keuntungan urbanisasi merupakan keuntungan yangmuncul karena
penggunaan fasilitas secara bersama seperti listrik, pergudangan,
telepon, air minum, dan lainnya yang menunjang kegiatan operasi
perusahaan. Adanya penggunaan fasilitas secara bersama, akan
menurunkan biaya karena dapat ditanggung secara bersama.
c. Pengukuran Aglomerasi
Konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi akan
cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan
antarwilayah, karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada
daerah dengan konsentrasi ekonomi yang lebih tinggi (Sjafrizal, 2012).
Namun, adanya aglomerasi juga dapat mengurangi ketimpangan antar
wilayah jika pembangunan kawasan aglomerasi dapat dikembangkan secara
lebih tersebar ke daerah lain, sehingga mendorong proses pembangunan
pada daerah lainnya. Aglomerasi dapat diukur dengan beberapa cara yaitu :
1. Menggunakan proporsi jumlah penduduk perkotaan (urban area)
dalam suatu provinsi terhadap jumlah penduduk provinsi tersebut.
2. Menggunakan konsep aglomerasi produksi yang dipopulerkan oleh
Jaime Bonet (2006) yaitu menghitung proporsi PDRB kabupaten/kota
terhadap PDRB provinsi.
3. Menggunakan Indeks Spesialisasi yang dipopulerkan oleh Glaeser
(1992) yaitu menghitung proporsi jumlah tenaga kerja sektor industri di
kabupaten/kota terhadap jumlah tenaga kerja sektor industri dalam
provinsi.
7. Belanja Pemerintah Daerah
a. Definisi Belanja Pemerintah Daerah
Peran pemerintah sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan
pembangunan ekonomi. Peran pemerintah dapat dilihat melalui pengeluaran
pemerintah. Menurut Idris (2016:31) pengeluaran pemerintah merupakan
pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai
37
setiap kegiatan dalam rangka menjalankan fungsinya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Pengeluaran pemerintah biasanya juga disebut belanja pemerintah, dan
dalam ruang lingkup daerah, maka disebut belanja pemerintah daerah.
Menurut PP 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja
daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang
tidak perlu diterima kembali oleh daerah dan pengeluaran lainnya yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diakui sebagai
pengurang ekuitas yang merupakan kewajiban daerah dalam 1 (satu) tahun
anggaran.
b. Teori Pengeluaran Pemerintah
Ada beberapa teori mengenai pengeluaran pemerintah yaitu :
1. Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang
menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahap pembangunan
ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut.
Pada tahap awal, presentasi investasi pemerintah terhadap total
investasi besar karena pada tahap ini, pemerintah harus menyediakan
prasarana pendidikan, kesehatan, transportasi, dan sebagainya.
Kemudian, pada tahap menengah, investasi pemerintah masih diperlukan
walaupun peranan investasi swasta sudah membesar. Peran pemerintah
tetap besar, karena pada tahap ini peranan swasta banyak menyebabkan
kegagalan pasar, sehingga pemerintah harus menyediakan barang dan
jasa publik yang lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik. Terakhir
yaitu tahap lebih lanjut, dimana peran pemerintah beralih dari penyediaan
prasarana menjadi pengeluaran untuk kegiatan sosial seperti program
pensiun, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.
2. Hukum Wagner
Teori Adolf Wagner mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah
dan kegiatan pemerintah semakin lama akan meningkat. Inti dari teori
Wagner yaitu peran pemerintah akan selalu meningkat dalam kegiatan
38
dan kehidupan ekonomi masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Terdapat
beberapa penyebab meningkatnya pengeluaran pemerintah yaitu
meningkatnya fungsi pertahanan dan keamanan, meningkatnya fungsi
kesejahteraan, meningkatnya fungsi perbankan, dan meningkatnya
fungsi pembangunan.
Wagner juga mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian,
jika pendapatan per kapita meningkat, maka secara relatif pengeluaran
pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner juga dikenal dengan
“The Law of Expanding State Expenditure”. Peranan pemerintah semakin
besar karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam
masyarakat.
3. Teori Peacock dan Wiseman
Teori Peacock dan Wiseman didasarkan pada suatu pandangan
bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk meperbesar pengeluaran,
sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar
untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peacock dan Wiseman
mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat
mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana
masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan
oleh pemerintah untuk membiayai pengeluatran pemerintah. Sehingga
adanya tingkat toleransi ini menjadi kendala bagi pemerintah untuk
menaikan pemungutan pajak secara semena-mena.
Adapun teori Peacock dan Wiseman yaitu pertumbuhan ekonomi
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif
pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan
pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat.
c. Klasifikasi Belanja Pemerintah Daerah
Belanja daerah disusun untuk mendanai pelaksanaan urusan
pemerintahan daerah yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan
pilihan. Menurut Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan
39
Keuangan Daerah, belanja pemerintah daerah dapat dikelompokan menjadi
dua yaitu :
1. Belanja tidak langsung
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi,
hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belaja
tidak terduga. Berikut merupakan penjelasan dari jenis-jenis belanja
tidak langsung tersebut :
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk
gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada
pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai ketentuan perundang-
undangan.
b. Belanja Bunga
Belanja bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran
bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang berdasarkan
perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.
c. Belanja Subsidi
Belanja subsidi digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya
produksi kepada perusahaan tertentu agar harga jual produksi atau jasa
yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat.
d. Belanja Hibah
Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah
dalam bentuk uang, barang atau jasa kepada pemerintah atau
pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat atau
perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
40
e. Bantuan Sosial
Bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian
bantuan dalam bentuk uang atau barang kepada masyarakat yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
f. Belanja Bagi Hasil
Belanja bagi hasil digunakan untuk menganggarkan dana bagi
hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota
atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau
pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah
Iainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
g. Bantuan Keuangan
Bantuan keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan
keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada
kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah
Iainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa
dan pemerintah daerah Iainnya dalam rangka pemerataan atau
peningkatan kemampuan keuangan.
h. Belanja Tidak Terduga
Belanja tidak terduga merupakan belanja untuk kegiatan yang
sifatnya tidak biasa atau diharapkan tidak berulang seperti
penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak
diperkirakan sebelumnya.
2. Belanja langsung
Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan secara
langsung dengan terkait pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja
langsung erdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja
modal. Adapun penjelasan dari jenis-jenis belanja tersebut yaitu :
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai yang dimaksud yaitu untuk pengeluaran
honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah
41
b. Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran
pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12
bulan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah. Adapun contohnya yaitu pengadaan premi
asuransi, jasa kantor, perawatan kendaraan bermotor, sewa gedung,
sewa perlengkapan atau peralatan kantor, dan sebagainya.
c. Belanja Modal
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan
dalam rangka pembelian, pengadaan atau pembangunan aset tetap
berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Adapun contohnya yaitu
dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,
irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
8. Hubungan antar Variabel
a. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah
Pertumbuhan ekonomi dapat mencerminkan keberhasilan
pembangunan di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan ketika suatu wilayah
dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, maka dapat dikatakan
wilayah tersebut juga mampu melaksanakan pembangunan dengan baik.
Namun, permasalahannya adalah apakah pertumbuhan ekonomi yang
tinggi sudah tersebar merata di setiap wilayah, atau hanya beberapa
wilayah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi. Adanya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan per kapita masyarakat, sehingga akan berdampak pada
kesejahteraan masyarakat serta ketimpangan akan berkurang.
Menurut Sjafrizal (2012) pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat di
daerah yang memiliki kandungan sumber daya alam banyak. Hal ini
dikarenakan daerah tersebut dapat memproduksi barang dan jasa tertentu
dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah yang mempunyai
42
kandungan sumber daya alam lebih sedikit. Daerah dengan kandungan
sumber daya alam sedikit, maka biaya produksi barang dan jasa akan lebih
tinggi dan daya saing menjadi lemah sehingga hal ini akan membuat
pertumbuhan ekonomi daerah menjadi lebih lambat. Sehingga, adanya
perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar wilayah yang disebabkan
oleh kandungan sumber daya alam dapat meningkatkan ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Kurniawan dan
Sugiyanto (2013) yang menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi
terhadap ketimpangan wilayah antar kabupaten/kota di Jawa Tengah dan
hasil penelitian menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah. Ketika
pertumbuhan ekonomi meningkat, maka ketimpangan juga akan
meningkat. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di
kabupaten/ kota Provinsi Jawa Tengah belum tersebar merata.
Penelitian juga pernah dilakukan oleh Yusica, dkk (2018) yang
menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan
wilayah antar di Kalimantan Timur. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan wilayah. Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, maka
akan menurunkan ketimpangan wilayah. Hal ini mengindikasikan bahwa
pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Timur
tersebar merata dan wilayah tersebut mampu melaksanankan
pembangunan ekonomi.
b. Hubungan Antara IPM dan Ketimpangan Antar Pembangunan
Wilayah
IPM menunjukan kualitas sumber daya manusia di suatu daerah.
Jika IPM antar daerah tidak merata, maka akan berdampak pada
pembangunan antar daerah. Jika IPM di suatu daerah lebih baik, maka
daerah tersebut akan lebih maju dan pertumbuhan ekonomi di daerah itu
juga akan baik. Sebaliknya, jika IPM di suatu daerah rendah, maka hal ini
43
akan menyebabkan daerah tersebut terbelakang. Adanya perbedaan inilah
yang mendorong ketimpangan antar wilayah muncul.
Namun, menurut Becker dalam Hidayat (2014) menyatakan bahwa
IPM berpengaruh negatif terhadap ketimpangan. Becker kemudian
mengkaji lebih dalam mengenai peran pendidikan formal dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pendidikan formal
yang diperoleh oleh masyarakat, maka produktivitas tenaga kerja juga
akan meningkat. Kemudian, teori tersebut sesuai dengan teori human
capital yaitu pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi dan akan mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Pendidikan memiliki peran penting dalam kemajuan pembangunan
ekonomi suatu daerah. Dengan pendidikan, maka keterampilan dan
kecerdasan masyarakat akan meningkat. Sehingga hal ini akan berdampak
pada penggunaan tenaga kerja menjadi lebih efektif dan efisien. Selain
pendidikan, kesehatan juga berperan penting dalam pembangunan
manusia di suatu daerah. Ketika suatu daerah memiliki sumber daya
manusia yang sehat dan berpendidikan tinggi, maka hal ini akan
berdampak pada produktivitas masyarakat dalam melakukan kegiatan
ekonomi. Kemudian, tingkat pendapatan masyarakat akan meningkat,
serta berpengaruh terhadap pengurangan ketimpangan pembangunan
antar wilayah.
Penelitian Didia dan Pujiati (2016) menganalisis tentang pengaruh
IPM terhadap ketimpangan di Kawasan Kedungsepur. Hasil penelitian
menunjukan bahwa IPM berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketimpangan. Jika IPM naik, maka akan meningkatkan ketimpangan.
Kemudian penelitian juga pernah dilakukan oleh Samsir dan Rahman
(2018) yang menganalisis tentang pengaruh IPM terhadap ketimpangan
antar kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa IPM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan. Jika IPM meningkat, maka akan menurunkan ketimpangan.
44
c. Hubungan Antara Aglomerasi dan Ketimpangan Pembangunan
Antar Wilayah
Aglomerasi atau konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang
cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan
pembangunan antarwilayah, karena proses pembangunan daerah akan
lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi ekonomi yang lebih tinggi.
Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi
kegiatan ekonomi yang lebih rendah (Sjafrizal, 2012: 112-113).
Menurut Emilia dan Imelia (2006) pertumbuhan ekonomi akan
cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan
ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong
proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan
kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula, apabila
konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang
selanjutnya juga mendorong terjadinya pengangguran dan rendahnya
tingkat pendapatan masyarakat setempat. Sehingga, adanya aglomerasi
yang tinggi dapat meningkatkan ketimpangan pembangunan antar
wilayah.
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Jaime Bonet (2006)
yang menganalisis pengaruh variabel aglomerasi produksi terhadap
ketimpangan pendapatan regional. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa aglomerasi memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan regional. Kemudian, menurut penelitian Yusika,
dkk. (2018) aglomerasi memiliki pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap ketimpangan wilayah di Provinsi Kalimantan Timur. Ketika
aglomerasi meningkat, maka ketimpangan wilayah juga akan meningkat
naik.
d. Hubungan Antara Belanja Pemerintah Daerah dan Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah
Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan
suatu daerah. Ketika belanja pemerintah daerah dapat ditingkatkan untuk
45
kegiatan yang bersifat pembangunan, maka diharapkan pembangunan di
daerah berjalan lancar. Contohnya yaitu belanja untuk peningkatan
pelayanan publik, belanja bantuan sosial, belanja peningkatan
infrastruktur, dan sebagainya. Sehingga dengan meningkatnya belanja
pemerintah daerah, maka proses pembangunan berjalan lancar dan
kesejahteraan masyarakat akan meningkat dan hal ini dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Menurut teori Wagner, pengeluaran pemerintah terus meningkat,
karena disebabkan dengan meningkatnya beberapa fungsi pemerintah.
Selain itu, pengeluaran pemerintah akan meningkat seiring dengan
meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat. Pendapatan per kapita
masyarakat merupakan salah satu indikator pembangunan, sehingga
pengeluaran pemerintah yang meningkat dapat mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Harun dan Maski
(2012) yang menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah daerah
terhadap ketimpangan pembangunan di Jawa Timur. Hasil penelitian
menunjukan bahwa belanja pemerintah memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap ketimpangan pembangunan. Jika pengeluaran
pemerintah naik, maka akan menurunkan ketimpangan pembangunan.
Penelitian juga pernah dilakukan oleh Sucihati (2014) yang
menganalisis pengaruh belanja pemerintah terhadap ketimpangan
wilayah di Provinsi Kalimantan Barat. Hasil penelitian menunjukan
bahwa belanja pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketimpangan wilayah. Jika belanja pemerintah naik, maka akan
meningkatkan ketimpangan wilayah.
B. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa studi empiris terdahulu yang berkaitan dengan variabel
dan metode yang sesuai dengan penulis, diantaranya yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Ketut Wahyu Dhyatmika dan Hastarini Dwi
Amati (2013) dengan judul “Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi
46
Banten Pasca Pemekaran”. Periode penelitian yaitu tahun 2001-2011.
Metode yang digunakan untuk menghitung besarnya ketimpangan
pembangunan yaitu Indeks Williamson, metode Tipologi Klassen untuk
mengklasifikasikan kabupaten/kota di Provinsi Banten dan analisis regresi
data panel Fixed Effect Model (FEM) untuk mengetahui pengaruh variabel
independen yaitu pengeluaran pemerintah, tingkat pengangguran dan
penanaman modal asing (PMA) terhadap ketimpangan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa tingkat ketimpangan cenderung meningkat. Menurut
Tipologi Klassen, kabupaten/kota di Provinsi Banten masuk ke tiga
klasifikasi yaitu daerah maju cepat tumbuh adalah Kota Cilegon dan Kota
Tangerang, daerah berkembang adalah Kabupaten Tangerang, dan untuk
daerah tertinggal adalah Kabupaten Pandeglang, Lebak, dan Serang.
Variabel penanaman modal asing (PMA) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ketimpangan, variabel pengeluaran pemerintah
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan, dan variabel
tingkat pengangguran tidak berpengaruh terhadap ketimpangan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Liling Vera Yusica, dkk. (2018) dengan
judul “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Aglomerasi, dan Tingkat
Pengangguran terhadap Ketimpangan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Timur”. Metode yang digunakan untuk menghitung
ketimpangan yaitu konsep PDRB per kapita relatif dan analisis regresi data
panel Fixed Effect Model (FEM) untuk mengetahui pengaruh variabel
independen yaitu pertumbuhan ekonomi, aglomerasi, dan tingkat
pengangguran terhadap ketimpangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
tingkat ketimpangan di Provinsi Kalimantan Timur masih kategori rendah,
namun ada beberapa daerah yang mengalami ketimpangan tinggi. Variabel
pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan wilayah, variabel aglomerasi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ketimpangan wilayah, dan variabel tingkat
pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan
antar wilayah.
47
3. Penelitian yang dilakukan oleh Riandoko Adi Kurniawan dan FX.
Sugiyanto (2013) dengan judul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Share
Sektor Industri dan Pertanian, serta Tingkat Jumlah Orang Yang Bekerja
Terhadap Ketimpangan Wilayah Antar Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah
Tahun 2002-2010”. Metode yang digunakan untuk menghitung
ketimpangan yaitu konsep PDRB per kapita relatif dan metode analisis
regresi data panel Fixed Effect Model (FEM) untuk mengetahui pengaruh
variabel independen yaitu pertumbuhan ekonomi, aglomerasi sektor
pertanian, aglomerasi sektor industri, dan tingkat orang bekerja terhadap
ketimpangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel pertumbuhan
ekonomi berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap ketimpangan,
kemudian variabel aglomerasi sektor pertanian berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ketimpangan, variabel aglomerasi sektor industri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan, dan variabel
tingkat orang bekerja berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap
ketimpangan.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Nita Tri Hartini (2017) dengan judul
“Pengaruh PDRB Per Kapita, Investasi, dan Indeks Pembangunan
Manusia Terhadap Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-2015”. Metode yang digunakan
untuk menghitung ketimpangan yaitu konsep PDRB per kapita relatif dan
metode analisis regresi data panel Fixed Effect Model (FEM) untuk
mengetahui pengaruh variabel independen yaitu PDRB per kapita,
investasi dan indeks pembangunan manusia terhadap ketimpangan. Hasil
penelitian menunjukan bahwa variabel PDRB per kapita berpengaruh
positif dan signifikan terhadap ketimpangan, kemudian variabel investasi
dan indeks pembangunan manusia berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap ketimpangan.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Jaime Bonet (2006) dengan judul “Fiscal
Decentralization and Regional Income Disparities: Evidence From The
Colombian Experience”. Metode yang digunakan untuk menghitung
48
ketimpangan yaitu konsep pendapatan per kapita relatif, dan metode regresi
data panel Fixed Effect Model (FEM) untuk mengetahui pengaruh
desentralisasi fiskal dan tren aglomerasi terhadap ketimpangan. Hasil
penelitian menunjukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ketimpangan, sehingga desentralisasi fiskal dapat
meningkatkan ketimpangan regional. Kemudian, aglomerasi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap ketimpangan regional
6. Penelitian yang dilakukan oleh Khoir Akfini Didia (2016) dengan judul
“Analisis Ketimpangan Pembangunan di Kawasan Kedungsepur”. Metode
yang digunakan untuk menghitung ketimpangan yaitu Indeks Williamson,
dan analisis regresi linier berganda dengan metode Ordinary Least Square
(OLS) untuk mengetahui pengaruh investasi, IPM, dan tingkat pasrtisipasi
angakatan kerja (TPAK), dan jumlah penduduk terhadap ketimpangan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat ketimpangan wilayah di
kawasan Kedungsepur masih tergolong tinggi. Variabel IPM berpengaruh
positif dan signifikan terhadap ketimpangan, variabel jumlah penduduk
berpengaruh positif dan signifikan. Sementara, variabel investasi
berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap ketimpangan dan
variabel TPAK berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap
ketimpangan.
7. Penelitian yang dilakukan oleh Lukman Harun dan Ghozali Maski (2018)
dengan judul “Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah dan
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah
(Studi pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur”. Metode yang digunakan
untuk menghitung ketimpangan yaitu Indeks Williamson, dan analisis
regresi data panel dengan metode Random Effect Model (REM) untuk
mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah daerah dan pertumbuhan
ekonomi terhadap ketimpangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
variabel pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap ketimpangan. Variabel pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan.
49
8. Penelitian yang dilakukan oleh Michael Albert Baransano,dkk. (2016)
dengan judul “Analysis of Factors Affecting Regional Development
Disparity in the Province of West Papua”. Metode yang digunakan adalah
Indeks Williamson dan regresi data panel metode Fixed Effect Model
(FEM). Hasilnya menunjukan bahwa ketimpangan di Provinsi Papua
cenderung berfluktuasi. Variabel PDRB per kapita, populasi, dan dana
perimbangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan
pembangunan. Variabel IPM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan.
9. Penelitian yang dilakukan oleh Kurt Geppert dan Andreas Stephan (2008)
dengan judul “Regional Disparities in the European Union: Convergence
and Agglomeration”. Metode yang digunakan adalah regresi data cross
section dengan metode OLS. Hasilnya menunjukan bahwa konvergensi
pendapatan per kapita menjadi lebih kuat, sehingga hal ini menyebabkan
ketimpangan menurun. Penurunan ketimpangan hanya terjadi antar negara
bukan antar wilayah di negara-negara Uni Eropa. Adanya aglomerasi pada
kegiatan ekonomi menyebabkan kenaikan ketimpangan antar negara
anggota Uni Eropa.
10. Penelitian yang dilakukan oleh Linda Ika Wahyuntari dan Amin Pujiati
(2016) dengan judul “Disparitas Pembangunan Wilayah Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Tengah”. Metode yang digunakan adalah analisis
Tipologi Klassen dan analisis regresi data panel dengan metode
Generalized Least Square (GLS). Hasilnya menunjukan bahwa Kabupaten
Cilacap, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang berada pada
kasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Variabel aglomeraasi
industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap disparitas
pembangunan. Sementara variabel dana perimbangan, IPM, dan klasifikasi
daerah cepat maju dan cepat tumbuh berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap disparitas pembangunan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah.
50
Tabel 2.2.
Penelitian Terdahulu
No. Nama
Peneliti
Judul Penelitian Metode
Penelitian
Hasil Penelitian Perbedaan
1. Ketut
Wahyu
Dhyatmika
dan
Hastarini
Dwi Amati
(2013)
Jurnal
Analisis
Ketimpangan
Pembangunan
Provinsi Banten
Pasca
Pemekaran
Indeks
Williamson,
Tipologi
Klassen, dan
analisis regresi
data panel
Fixed Effect
Model (FEM)
Variabel
independen
yaitu
pengeluaran
pemerintah,
tingkat
pengangguran
dan penanaman
modal asing
(PMA).
Variabel
dependen yaitu
ketimpangan
Berdasarkan Tipologi
Klassen, daerah maju
cepat tumbuh adalah
Kota Cilegon dan Kota
Tangerang, daerah
berkembang cepat
adalah Kab.
Tangerang, dan untuk
daerah tertinggal
adalah Kab.
Pandeglang, Lebak,
dan Serang.
Variabel PMA
berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap ketimpangan,
pengeluaran
pemerintah
berpengaruh negatif
dan signifikan
terhadap ketimpangan,
dan variabel tingkat
pengangguran tidak
berpengaruh terhadap
ketimpangan.
Metode:
Indeks
Willliamson
dan Fixed
Effect Model
Variabel
Independen:
Tingkat
Pengangguran
dan
Penanaman
Modal Asing
(PMA)
Periode: 2001-
2011
2. Liling Vera
Yusica, dkk.
(2018)
Jurnal
Analisis
Pengaruh
Pertumbuhan
Ekonomi,
Aglomerasi, dan
Tingkat
Pengangguran
Konsep PDRB
per kapita
relatif dan
analisis regresi
data panel
Fixed Effect
Model (FEM)
Variabel pertumbuhan
ekonomi berpengaruh
negatif dan signifikan
terhadap ketimpangan
wilayah, variabel
aglomerasi
berpengaruh positif
Metode : Fixed
Effect Model
Variabel
Independen:
Tingkat
Pengangguran
51
terhadap
Ketimpangan
Antar Wilayah
Kabupaten/Kota
di Provinsi
Kalimantan
Timur
Variabel
independen
yaitu
pertumbuhan
ekonomi,
aglomerasi, dan
tingkat
pengangguran.
Variabel
dependen yaitu
ketimpangan
dan signifikan
terhadap ketimpangan
wilayah, dan variabel
tingkat pengangguran
berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap ketimpangan
antar wilayah.
Objek:
Kalimantan
Timur
3. Riandoko
Adi
Kurniawan
dan FX.
Sugiyanto
(2013)
Jurnal
Pengaruh
Pertumbuhan
Ekonomi, Share
Sektor Industri
dan Pertanian,
serta Tingkat
Jumlah Orang
Yang Bekerja
Terhadap
Ketimpangan
Wilayah Antar
Kabupaten/ Kota
di Jawa Tengah
Tahun 2002-
2010
Konsep PDRB
per kapita
relatif dan
metode analisis
regresi data
panel Fixed
Effect Model
(FEM)
Variabel
independen
yaitu
pertumbuhan
ekonomi,
aglomerasi
sektor
pertanian,
aglomerasi
sektor industri,
dan tingkat
orang bekerja
Variabel
dependen yaitu
ketimpangan.
Variabel pertumbuhan
ekonomi berpengaruh
positif dan tidak
signifikan terhadap
ketimpangan,
kemudian variabel
aglomerasi sektor
pertanian berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap ketimpangan,
variabel aglomerasi
sektor industri
berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap ketimpangan,
dan variabel tingkat
orang bekerja
berpengaruh negatif
dan tidak signifikan
terhadap ketimpangan.
Metode : Fixed
Effect Model
Variabel
Independen:
Share Sektor
Industri dan
Pertanian,
Jumlah orang
yang Bekerja
Objek: Jawa
Tengah
Periode: 2002-
2010
52
4. Nita Tri
Hartini
(2017)
Skripsi
Pengaruh PDRB
Per Kapita,
Investasi, dan
Indeks
Pembangunan
Manusia
Terhadap
Ketimpangan
Pendapatan
Antar Daerah di
Provinsi Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Tahun 2011-
2015
Konsep PDRB
per kapita
relatif dan
metode analisis
regresi data
panel Fixed
Effect Model
(FEM)
Variabel
independen
yaitu PDRB per
kapita, investasi
dan indeks
pembangunan
manusia
Variabel
dependen yaitu
ketimpangan.
Variabel PDRB per
kapita berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap ketimpangan,
kemudian variabel
investasi dan IPM
berpengaruh negatif
dan signifikan
terhadap ketimpangan.
Metode : Fixed
Effect Model
Variabel
Independen:
PDRB Per
Kapita dan
Investasi
Objek:
Yogyakarta
Periode: 2011-
2015
5. Jaime Bonet
(2006)
Jurnal
Fiscal
Decentralization
and Regional
Income
Disparities:
Evidence From
The Colombian
Experience
Konsep
pendapatan per
kapita relatif,
dan metode
regresi data
panel Fixed
Effect Model
(FEM)
Variabel
independen
yaitu
desentralisasi
fiskal dan
aglomerasi
Variabael
dependen yaitu
ketimpangan
Variabel desentralisasi
fiskal berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap ketimpangan.
Kemudian, aglomerasi
berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap ketimpangan
regional
Metode : Fixed
Effect Model
Variabel
Independen:
Desentralisasi
Fiskal
Objek:
Kolombia
53
6. Khoir
Akfini Didia
(2016)
Jurnal
Analisis
Ketimpangan
Pembangunan di
Kawasan
Kedungsepur
Indeks
Williamson,
dan analisis
regresi linier
berganda
dengan metode
Ordinary Least
Square (OLS)
Variabel
Independen
yaitu investasi,
IPM, dan
tingkat
pasrtisipasi
angakatan kerja
(TPAK), dan
jumlah
penduduk
Variabel
dependen yaitu
ketimpangan
Variabel IPM
berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap ketimpangan,
variabel jumlah
penduduk
berpengaruh positif
dan signifikan.
Sementara, variabel
investasi berpengaruh
negatif namun tidak
signifikan terhadap
ketimpangan dan
variabel TPAK
berpengaruh positif
dan tidak signifikan
terhadap ketimpangan.
Metode:
Indeks
Williamson
dan OLS
Variabel
Independen:
Investasi,
TPAK, dan
Jumlah
Penduduk
Objek:
Kedungsepur
7. Lukman
Harun dan
Ghozali
Maski
(2018)
Jurnal
Analisis
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah
Daerah dan
Pertumbuhan
Ekonomi
Terhadap
Ketimpangan
Pembangunan
Wilayah (Studi
pada Kabupaten
dan Kota di Jawa
Timur
Indeks
Williamson,
dan analisis
regresi data
panel dengan
metode
Random Effect
Model (REM)
Variabel
independen
yaitu
pengeluaran
pemerintah
daerah dan
Variabel pengeluaran
pemerintah daerah
berpengaruh negatif
dan signifikan
terhadap ketimpangan.
Variabel pertumbuhan
ekonomi berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap ketimpangan.
Metode:
Indeks
WIlliamson
Objek: Jawa
Timur
Periode: 2007-
2011
54
pertumbuhan
ekonomi.
Variabel
dependen yaitu
ketimpangan.
8. Michael
Albert
Baransano,
dkk. (2016)
Jurnal
Analysis of
Factors Affecting
Regional
Development
Disparity in the
Province of West
Papua”.
Metode yang
digunakan
adalah Indeks
Williamson dan
regresi data
panel metode
Fixed Effect
Model (FEM).
Variabel
independen
yaitu PDRB per
Kapita,
populasi, dana
perimbangan,
dan IPM
variabel
dependen yaitu
ketimpangan
pembangunan
Ketimpangan di
Provinsi Papua
cenderung
berfluktuasi. Variabel
PDRB per kapita,
populasi, dan dana
perimbangan
berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap ketimpangan
pembangunan.
Variabel IPM
berpengaruh negatif
dan signifikan
terhadap ketimpangan
pembangunan.
Metode:
Indeks
Willimson dan
FEM
Variabel
Independen:
PDRB per
Kapita,
Populasi, Dana
perimbangan.
Objek: Papua
Barat
9. Kurt
Geppert dan
Andreas
Stephan
(2008)
Jurnal
Regional
Disparities in the
European Union:
Convergence and
Agglomeration
Analisis regresi
data cross-
section dengan
metode OLS.
Variabel yang
digunakan yaitu
pendapatan per
kapita dan
aglomerasi
Konvergensi
pendapatan per kapita
menjadi lebih kuat,
sehingga
menyebabkan
ketimpangan
menurun. Penurunan
ketimpangan hanya
terjadi antar negara
bukan antar wilayah di
negara-negara Uni
Eropa. Adanya
Metode: OLS
Variabel
Independen:
Pendapatan
Per Kapita
Objek: Uni
Eropa
55
aglomerasi pada
kegiatan ekonomi
menyebabkan
kenaikan ketimpangan
antar negara anggota
Uni Eropa
10. Linda Ika
Wahyuntari
dan Amin
Pujiati
(2016)
Jurnal
Disparitas
Pembangunan
Wilayah
Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa
Tengah
Analisis
Tipologi
Klassen dan
analisis regresi
data panel
dengan metode
Generalized
Least Square
(GLS).
Variabel
independen
yaitu
aglomerasi
industri, IPM,
dana
perimbangan,
dan klasifikasi
daerah cepat
maju dan cepat
tumbuh.
Variabel
dependen yaitu
disparitas
pembangunan
Analisis Tipologi
Klassen menunjukan
bahwa Kabupaten
Cilacap, Kota
Magelang, Kota
Surakarta, dan Kota
Semarang berada pada
kasifikasi daerah cepat
maju dan cepat
tumbuh.
Variabel aglomeraasi
industri berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap disparitas
pembangunan.
Sementara, variabel
dana perimbangan,
IPM, dan klasifikasi
daerah cepat maju dan
cepat tumbuh
berpengaruh negatif
dan signifikan
terhadap disparitas
pembangunan.
Variabel
Independen:
Aglomerasi
Industri, Dana
Perimbangan,
dan Klasifikasi
daerah cepat
maju dan
tumbuh
Objek: Jawa
Tengah
56
C. Kerangka Teoritis
Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan hal yang tidak bisa
terhindarkan dalam proses pembangunan. Hal ini dikarenakan ketimpangan
antar wilayah merupakan dampak dari adanya pembangunan yang tidak
merata. Ketimpangan pembangunan antar wilayah berbeda dengan
ketimpangan distribusi pendapatan. Ketimpangan distribusi pendapatan
melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat, sedangkan ketimpangan
pembangunan antar wilayah melihat perbedaan tingkat pembangunan antar
wilayah. Sehingga, hal yang diperdebatkan bukan antara kelompok kaya dan
miskin namun antara daerah maju dan terbelakang (Sjafrizal, 2012).
Adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu dapat mengurangi
ketimpangan wilayah, begitu pula adanya kualitas hidup manusia yang baik
atau yang biasa diukur dengan menggunakan IPM juga belum tentu dapat
mengurangi ketimpangan. Kemudian, adanya tingkat konsentrasi kegiatan
ekonomi wilayah atau aglomerasi juga dapat meningkatkan ketimpangan. Hal
ini karena konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah hanya terdapat di beberapa
daerah, sehingga persebaran konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah tersebut
belum merata.
Peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Peran pemerintah dapat dilihat melalui belanja
pemerintah daerah. Belanja pemerintah digunakan untuk mendanai kegiatan
dan program pemerintah sehingga proses pembangunan dapat berjalan lancar
yang akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibahas faktor-
faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah (Y) yaitu
pertumbuhan ekonomi (X1), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (X2),
aglomerasi (X3), dan belanja pemerintah daerah (X4). Adapun kerangka
pemikiran yang dapat digambarkan oleh penulis yaitu :
57
Gambar 2.2.
Kerangka Pemikiran Teoritis
Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, IPM, Aglomerasi, dan
Belanja Pemerintah Daerah Terhadap Ketimpangan Pembangunan
Antar Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2013-2017
Variabel Dependen:
Ketimpangan
Pembangunan Antar
Wilayah
(Metode PDRB per
Kapita Relatif)
(Y)
Variabel Independen :
Pertumbuhan Ekonomi (X1)
IPM (X2)
Aglomerasi (X3)
Belanja Pemerintah Daerah
(X4)
Uji Regresi Data Panel
(Uji Chow)
(Uji Hausman)
(Uji Lagrange Multiplier)
Uji Hipotesis
Uji Secara Parsial (Uji t)
Uji Secara Simultan (Uji F)
Koefisien Determinasi (R2)
Kesimpulan dan Saran
Klasifikasi
Daerah di
Provinsi Banten
Metode
Tipologi
Klassen
Random Effect Model (REM)
Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari
proses pembangunan, sehingga terdapat daerah yang relatif maju dan relatif terbelakang.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah.
58
D. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Ada pengaruh signifikan Pertumbuhan Ekonomi secara parsial terhadap
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten tahun 2013-2017.
2. Ada pengaruh signifikan IPM secara parsial terhadap Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017.
3. Ada pengaruh signifikan Aglomerasi secara parsial terhadap Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017.
4. Ada pengaruh signifikan Belanja Pemerintah Daerah secara parsial terhadap
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten tahun 2013-2017.
5. Ada pengaruh signifikan Pertumbuhan Ekonomi, IPM, Aglomerasi, dan
Belanja Pemerintah Daerah secara bersama-sama terhadap Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017.
59
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
ketimpangan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel dependen dan
variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah, sedangkan variabel independen
dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi, IPM, Aglomerasi, dan
Belanja Pemerintah Daerah.
Penelitian ini bersifat kuantitatif yaitu metode penelitian yang
menggunakan data berupa angka yang bermakna kemudian diolah
menggunakan statistik. Penelitian ini merupakan penelitian populasi karena
data yang digunakan adalah seluruh data dari kabupaten/kota di Provinsi
Banten. Ruang lingkup penelitian ini dengan menggunakan metode data panel
yang mencakup data cross section yaitu 4 kabupaten dan 4 kota yang berada di
Provinsi Banten, serta data time series dengan periode waktu dari tahun 2013-
2017. Data penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang tidak
diperoleh langsung dari sumber aslinya, namun berasal dari lembaga atau
instansi tertentu yang memberikan informasi atau mempublikasikannya.
B. Metode Pengumpulan Data
Menurut Sugiyono (2013:224) metode pengumpulan data merupakan
langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data. Data yang dikumpulkan akan dianalisis
dan akan menjadi hasil yang diperoleh dari penelitian.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh dengan secara tidak langsung atau
bukan melalui tangan pertama melainkan dari lembaga atau instansi yang
mempublikasikan. Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dengan
cara dokumentasi, yaitu pengumpulan data dari berbagai sumber, seperti buku,
60
jurnal, website atau sumber lainnya dan kemudian data tersebut dianalisis.
Adapun data yang diperoleh untuk penelitian ini berasal dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Banten, BPS Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten serta
menggunakan literatur, website, dan jurnal yang sesuai sebagai sumber atau
bahan kajian.
C. Metode Analisis Data
1. Metode Tipologi Klassen
Metode Tipologi Klassen dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui klasifikasi daerah, khususnya daerah relatif maju dan daerah
terbelakang di Provinsi Banten. Berdasarkan Tipologi Klassen, maka daerah
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh pada kuadran I adalah daerah yang
memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih
tinggi dari rata-rata wilayah.
2. Daerah maju tapi tertekan pada kuadran II adalah daerah yang memiliki
pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi laju pertumbuhan ekonominya
lebih rendah dari rata-rata wilayah.
3. Daerah berkembang cepat pada kuadran III adalah daerah yang
memiliki laju pertumbuhan tinggi , tetapi pendapatan per kapita lebih
rendah dari rata-rata wilayah.
4. Daerah relatif tertinggal pada kuadran IV adalah daerah yang memiliki
laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih rendah
dari rata-rata wilayah.
61
Tabel 3.1.
Klasifikasi Kabupaten/Kota menurut Tipologi Klassen
Keterangan :
yi = Pendapatan per kapita wilayah kabupaten/kota i
y = Pendapatan per kapita wilayah provinsi
ri = Laju pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten/kota i
r = Laju pertumbuhan ekonomi wilayah provinsi
2. Metode Analisis Data Panel
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data panel. Data panel merupakan analisis data yang menggabungkan data
cross section dengan data time series. Kemudian, model analisis yang
digunakan yaitu analisis regresi data panel. Dengan menggunakan regresi
data panel, maka dapat mengetahui pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen. Adapun alat pengolahan data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu Microsoft Excel 2013 dan aplikasi Eviews 8. Berikut
model estimasi regresi data panel yaitu:
𝐘 = 𝛃𝟎 + 𝛃𝐧𝐗𝐧𝐢𝐭 + 𝛆𝐢𝐭
Keterangan :
Y = Variabel Dependen
Xnit = Variabel Independen n kabupaten/kota i tahun t
β0 = Konstanta/ Intersept
(y)
(r)
yi > y yi < y
ri > r Kuadran I : Daerah
Cepat Maju dan Cepat
Tumbuh
Kuadran III : Daerah
Berkembang Cepat
ri < r Kuadran II : Daerah
Maju Tapi Tertekan
Kuadran IV : Daerah
Relatif Tertinggal
62
βn = Koefisien regresi pada masing-masing variabel
independen
ε = error term
Dalam penelitian ini, terdapat empat variabel independen yaitu variabel
Pertumbuhan Ekonomi (X1), IPM (X2), Aglomerasi (X3), dan Belanja
Pemerintah Daerah (X4), maka model yang digunakan ini disebut regresi.
Adapun variabel dependen dalam penelitian ini adalah Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah (Y). Adapun model yang diestimasi adalah :
𝐊𝐞𝐭𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 = 𝛃𝟎 + 𝛃𝟏𝐏𝐄𝐢𝐭 + 𝛃𝟐𝐈𝐏𝐌𝐢𝐭 + 𝛃𝟑𝐀𝐆𝐋𝐎𝐢𝐭 + 𝛃𝟒𝐁𝐄𝐋𝐀𝐍𝐉𝐀𝐢𝐭 + 𝛆𝐢𝐭
Keterangan :
Ketimpangan = Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
(Variabel Dependen)
PEit = Pertumbuhan Ekonomi kabupaten/kota i tahun t
IPMit = IPM di kabupaten/kota i tahun t
AGLOit = Aglomerasi di kabupaten/kota i tahun t
BELANJAit = Belanja Pemerintah kabupaten/kota i tahun t
i = Cross Section (Kabupaten/kota)
t = Time Series (tahun)
β0 = Konstanta/ Intersept
β1, β2, β3, β4 = Koefisien regresi pada masing-masing variabel
independen
ε = error term
63
a. Model Estimasi Regresi Data Panel
Dalam menganalisis model regresi dengan menggunakan data panel
dapat dilakukan dengan tiga macam pendekatan yaitu:
1. Pooled Least Square (PLS)/ Common Effect Model
Model Pooled Least Square (PLS) atau Common Effect Model
merupakan teknik pendekatan data panel yang paling sederhana karena
hanya menggabungkan data time series dan cross section. Kemudian,
pendekatan ini mengestimasi data panel dengan metode Ordinary Least
Square (OLS).
2. Fixed Effect Model (FEM)
Pada Fixed Effect Model (FEM), diasumsikan bahwa intersep setiap
individu dianggap konstan pada berbagai periode waktu. Oleh karena
itu, diperlukan dummy variabel untuk menunjukan intersep yang
berbeda-beda baik cross section maupun time series. Sehingga FEM
biasa disebut juga Least Square Dummy Variabel (LSDV).
3. Random Effect Model (REM)
Random Effect Model (REM) merupakan model yang dikenal
sebagai model regresi yang mengestimasi data panel dengan
memperhitungkan error dari model regresi yang dianalisis dengan
metode Generalized Least Square (GLS). Pada Random Effect Model
(REM), perbedaan antar individu atau waktu diakomodir melalui error,
sedangkan pada FEM perbedaan antar individu dan antar waktu
digambarkan melalui intersep (Suliyanto, 2011). Hal ini dikarenakan
error/ residual pada REM diduga memiliki hubungan antar individu
dan antar waktu.
b. Uji Spesifikasi Model
Untuk menentukan model terbaik analisis regresi data panel di antara
PLS, FEM dan REM, maka diperlukan beberapa tahapan pengujian.
Pengujian tersebut terdiri dari dua tahapan yaitu Uji Chow dan Uji
Hausman. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing uji spesifikasi
model :
64
1. Uji Chow
Uji Chow digunakan untuk memilih model terbaik antara PLS atau
FEM. Adapun hipotesis dalam pengujian ini yaitu:
H0 : Pooled Least Square (PLS)
H1 : Fixed Effect Model (FEM)
Jika nilai probabilitas lebih besar dari α = 0,05 maka H0 diterima
dan model yang digunakan adalah PLS. Sebaliknya, jika nilai
probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikasi α = 0,05 maka
H0 ditolak, sehingga model yang terbaik adalah FEM. Namun, untuk
lebih memastikan apakah FEM merupakan model terbaik, diperlukan
uji Hausman.
2. Uji Hausman
Uji Hausman digunakan untuk memilih model terbaik antara REM
atau FEM. Adapun hipotesis dalam pengujian ini yaitu:
H0 : Random Effect Model (REM)
H1 : Fixed Effect Model (FEM)
Jika nilai probabilitas lebih besar dari α = 0,05 maka H0 diterima
dan model yang digunakan adalah REM. Sebaliknya, jika nilai
probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikasi α = 0,05 maka H0
ditolak, sehingga model yang terbaik adalah FEM. Namun, jika yang
terpilih adalah REM.
c. Uji Statistik
Setelah melakukan uji spesifikasi model, maka langkah selanjutnya
adalah pengujian statistik. Dalam penelitian ini dilakukan beberapa uji
statistik yaitu :
1. Uji Signifikansi Parsial (Uji t-Statistik)
Uji t dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen
secara parsial (masing-masing variabel) terhadap variabel dependen.
Adapun hipotesis dalam pengujian t-statistik pada model ini yaitu :
65
H0 : Tidak berpengaruh signifikan antara variabel independen
terhadap variabel dependen secara parsial (individu)
H1 : Ada pengaruh signifikan antara variabel independen terhadap
variabel dependen secara parsial (individu)
Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam uji t adalah 95% atau
taraf signifikan 5% (α = 0,05) dan 90% atau taraf signifikan 10% (α =
0,10) dapat disimpulkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima berarti
terdapat pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen.
b. Jika t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak berarti tidak
terdapat pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen.
2. Uji Signifikansi Simultan (Uji F-Simultan)
Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel
independen secara simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap
variabel dependen. Adapun hipotesis dalam pengujian ini yaitu :
H0 : Semua variabel independen tidak berpengaruh signifikan secara
simultan (bersama-sama) terhadap variabel dependen.
H1 : Semua variabel independen berpengaruh signifikan secara
simultan (bersama-sama) terhadap variabel dependen.
Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam uji t adalah 95% atau
taraf signifikan 5% (α = 0,05) dan 90% atau taraf signifikan 10% (α =
0,10) dapat disimpulkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima berarti
variabel independen secara bersama-sama mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap variabel dependen.
b. Jika F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak berarti
variabel independen secara bersama-sama tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
66
3. Uji koefisien Determinan (R2)
Koefisien determinasi merupakan suatu ukuran yang penting dan
harus dipertimbangkan dalam melakukan analisis regresi, karena nilai
koefisien determinasi dapat menginformasikan baik tidaknya model
regresi yang terestimasi. Nilai koefisien determinasi (Goodness of fit)
menjelaskan seberapa besar variasi dari variabel dependen (Y) dapat
diterangkan oleh variabel independen (X). Koefisien determinasi dapat
dilambangkan dengan R2. Nilai R2 berkisar di antara nol sampai dengan
satu. Jika R2 = 0, maka variasi dari variabel dependen tidak dapat
diterangkan oleh variabel independen sama sekali. Sementara jika R2 =
1, maka variasi variabel dependen secara keseluruhan dapat
diterangkan oleh variabel independen. Semakin besar nilai R2 maka
semakin besar pengaruh yang diberikan variasi variabel independen
terhadap variabel independen.
D. Operasional Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat empat variabel independen dan satu
variabel dependen. Variabel independen tersebut yaitu Pertumbuhan Ekonomi,
IPM, Aglomerasi, dan Belanja Pemerintah Daerah. Sedangkan variabel
dependen yaitu Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah. Adapun definisi
operasional dari masing-masing variabel yaitu :
1. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan ketidakmerataan
distribusi pembangunan ekonomi antara wilayah satu dengan wilayah
lainnya. Untuk memberikan gambaran tentang ketimpangan pembangunan
antar wilayah, maka dapat digunakan rumus pendapatan per kapita relatif
yang dipopulerkan oleh Jaime Bonet (2006). Adapun rumus ketimpangan
menggunakan konsep pendapatan per kapita relatif :
Iit= |PDRB Kap Kab Kotait⁄
PDRB Kap Provinsit-1|
67
Keterangan :
Iit = Ketimpangan antar kabupaten/kota i tahun t
PDRB Kap Kab Kotait⁄ = PDRB per kapita kabupaten/kota i tahun t
PDRB Kap Provinsit = PDRB per kapita Provinsi Banten tahun t
Dalam penelitian ini, untuk mengukur ketimpangan wilayah dalam
kabupaten/ kota tidak menggunakan Indeks Williamson, tetapi
menggunakan konsep pendapatan per kapita relatif. Hal ini dikarenakan jika
menggunakan Indeks Williamson, adanya keterbatasan data yakni data yang
diperlukan dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu dalam lingkup
kecamatan. Menurut Jaime Bonet (2006), jika hasil perhitungan pendapatan
per kapita relatif kurang dari 0 atau mendekati 0, maka semakin kecil
ketimpangan, tetapi jika hasilnya lebih dari 1 atau mendekati 1, maka
semakin besar ketimpangan antar wilayah. Karena aksesibilitas data yang
lebih mudah, maka ketimpangan wilayah diukur berdasarkan konsep PDRB
per kapita relatif.
2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan proses perubahan kondisi
perekonomian menuju kondisi yang lebih baik atau suatu proses kenaikan
kapasitas produksi suatu perekonomian yang dilihat dalam bentuk
pendapatan. Laju pertumbuhan ekonomi dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Git=PDRBit-PDRBi0
PDRBi0
×100%
Keterangan :
Git = Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota i tahun t
PDRBit = PDRB kabupaten/ kota i tahun t
PDRB0 = PDRB kabupaten/ kota i tahun t-1
68
3. IPM (Indeks Pembangunan Manusia)
Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks yang digunakan
untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu wilayah dalam tiga hal yang
mendasari pembangunan manusia yaitu umur panjang dan hidup sehat,
pengetahuan, dan standar hidup layak. Adapun rumus untuk menghitung
IPM yaitu:
IPM= √IKesehatan+IPendidikan+IPengeluaran3
×100
Keterangan :
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
IKesehatan = Dimensi kesehatan yang berdasarkan angka harapan hidup
IPendidikan = Dimensi pendidikan yang berdasarkan angka harapan lama
sekolah dan rata-rata lama sekolah
IPengeluaran = Dimensi pengeluaran yang berdasarkan dari Produk
Nasional Bruto (PNB) per kapita
4. Aglomerasi
Aglomerasi merupakan konsentrasi kegiatan ekonomi di suatu wilayah.
Dalam penelitian ini, aglomerasi diukur dengan menggunakan rumus yang
dipakai dalam penelitian Jaime Bonet (2006) yaitu berdasarkan aglomerasi
produksi. Adapun rumusnya yaitu :
Agit=
PDRB Kab Kotait⁄
PDRB Provinsit
Keterangan :
Agit = Aglomerasi di Kabupaten/Kota i tahun t
PDRB Kabupaten Kotait⁄ = PDRB di Kabupaten/Kota i tahun t
PDRB Provinsit = PDRB Provinsi Banten tahun t
69
5. Belanja Pemerintah Daerah
Belanja pemerintah merupakan kewajiban pemerintah dalam mendanai
suatu kegiatan atau program pemerintah dalam jangka waktu satu tahun
anggaran. Dalam penelitian ini, data belanja pemerintah berasal dari
realisasi belanja pemerintah daerah yang merupakan total penjumlahan dari
belanja langsung dan belanja tidak langsung.
Belanjait = Belanja Tidak Langsung
it+ Belanja Langsung
it
Keterangan :
Belanjait = Pengeluaran Pemerintah atau Belanja
Pemerintah Kabupaten/ Kota i tahun t
Belanja Tidak Langsungit = Belanja tidak langsung Kabupaten/ Kota i
tahun t
Belanja Langsungit = Belanja langsung Kabupaten/Kota i tahun t
70
Tabel 3.2.
Operasional Variabel Penelitian
Variabel Definisi Satuan
Ketimpangan
Pembangunan
Antar
Wilayah (Y)
Ketimpangan pembangunan antar wilayah
merupakan keadaan pembangunan suatu wilayah
yang tidak merata, sehingga muncul daerah maju
dan daerah terbelakang, serta dapat dilihat dari
adanya ketimpangan pendapatan antar daerah.
Untuk mengukur ketimpangan pembangunan,
maka digunakan rumus PDRB per kapita relatif
yang ditemukan oleh Jaime Bonet (2006). Data
yang digunakan yaitu PDRB per kapita
kabupaten/kota dan PDRB per kapita Provinsi
Banten tahun 2013-2017
Indeks
Pertumbuhan
Ekonomi
(X1)
Pertumbuhan ekonomi merupakan tingkat atau
laju pertumbuhan PDRB tahun tertentu
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam
penelitian ini, data yang digunakan adalah laju
pertumbuhan PDRB ADHK 2010 kabupaten/kota
di Provinsi Banten tahun 2013-2017
Persen
Indeks
Pembangunan
Manusia
(IPM) (X2)
IPM merupakan indeks yang menggambarkan
kualitas penduduk atau sumber daya manusia
yang ada di wilayah tersebut. Data yang
digunakan yaitu nilai IPM masing-masing
kabupaten/ kota di Provinsi Banten tahun 2013-
2017
Indeks
Aglomerasi
(X3)
Aglomerasi merupakan konsentrasi spasial dari
aktivitas ekonomi di suatu daerah. Untuk mencari
Indeks
71
tingkat aglomerasi, penelitian ini menggunakan
pendekatan aglomerasi produksi yang pernah
diteliti oleh Jaime Bonet (2006). Data yang
digunakan yaitu PDRB ADHK 2010
kabupaten/kota di Provinsi Banten dan PDRB
ADHK 2010 Provinsi Banten tahun 2013-2017
Belanja
Pemerintah
Daerah (X4)
Belanja pemerintah daerah merupakan kewajiban
pemerintah dalam mendanai suatu kegiatan atau
program pemerintah dalam jangka waktu satu
tahun anggaran yang terdiri dari belanja langsung
dan tidak langsung. Data yang digunakan adalah
realisasi belanja pemerintah daerah
kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2013-
2017
Rupiah
72
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Kondisi Geografis dan Administrasi Provinsi Banten
Provinsi Banten terletak di Ujung Barat Pulau Jawa dan berbatasan
langsung dengan Ibu Kota Negara yaitu DKI Jakarta. Provinsi Banten
merupakan pintu gerbang yang menghubungkan antara Pulau Jawa dan
Pulau Sumatera, karena berada pada titik temu dari jalur lalu lintas yang
strategis yaitu jalur Lampung-Jakarta. Posisi geostrategis ini, menyebabkan
Banten sebagai penghubung utama jalur perdagangan Sumatera – Jawa serta
sebagai lokasi aglomerasi perekonomian dan permukiman yang potensial.
Gambar 4.1
Peta Administrasi Provinsi Banten
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018
73
Secara astronomis, Provinsi Banten terletak pada 05007'50" dan
07001'01" Lintang Selatan, serta 105001'11" dan 106007'12" Bujur Timur.
Secara geografis, Provinsi Banten berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi
Jawa Barat.
Pada awalnya, Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Namun, melalui Undang-undang No. 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Provinsi Banten pada tanggal 17 Oktober 2000, Banten menjadi daerah
provinsi yang otonom. Secara administratif, Provinsi Banten terdiri dari 8
wilayah yang terbagi menjadi 4 wilayah kabupaten (Pandeglang, Lebak,
Serang, dan Tangerang) dan 4 wilayah kota (Tangerang, Cilegon, Serang, dan
Tangerang Selatan) dengan 155 kecamatan, 313 kelurahan, dan 1.238 desa.
Tabel 4.1.
Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Provinsi
Banten Tahun 2017
Kabupaten/Kota Luas Wilayah
(Km2) Kecamatan Desa Kelurahan
Kab. Pandeglang 2.746,89 35 326 13
Kab. Lebak 3.426,56 28 340 5
Kab. Tangerang 1.011,86 29 246 28
Kab. Serang 1.734,28 29 326 -
Kota Tangerang 153,93 13 - 104
Kota Cilegon 175,50 8 - 43
Kota Serang 266,71 6 - 66
Kota Tangerang Selatan 147,19 7 - 54
Provinsi Banten 9.662,92 155 1.238 313
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018
74
Grafik 4.1.
Presentase Luas Wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Banten
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018
Provinsi Banten memiliki luas sebesar 9.662,92 Km2. Kabupaten Lebak
merupakan wilayah terluas di Provinsi Banten yaitu 3.426,56 Km2 atau
sebesar 35,46% dari luas Provinsi Banten. Kemudian, luas wilayah terbesar
kedua yaitu Kabupaten Pandeglang sebesar 2.746,89 km2 atau 28,43% dari
luas Provinsi Banten. Sedangkan, wilayah terkecil di Provinsi Banten yaitu
Kota Tangerang Selatan dengan luas hanya 147,19 Km2 atau sebesar 1,52%
dari luas Provinsi Banten. Kota Serang yang merupakan Ibu kota Provinsi
Banten hanya memiliki luas 266,71 Km2 atau sebesar 2,76% dari luas
Provinsi Banten.
Topografi wilayah Provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0 – 2.000
meter di atas permukaan laut. Secara umum kondisi topografi wilayah
Provinsi Banten merupakan dataran rendah yang berkisar antara 0 – 200
meter di atas permukaan laut yang terletak hampir diseluruh
kabupaten/kota. Adapun daerah Lebak Tengah dan sebagian kecil
Kabupaten Pandeglang memiliki ketinggian berkisar 201 – 2.000 meter di
atas permukaan laut dan daerah Lebak Timur memiliki ketinggian 501 –
28,43%
35,46%
10,47%
17,95%
1,59%
1,82% 2,76% 1,52%
Kab. Pandeglang
Kab. Lebak
Kab. Tangerang
Kab. Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang Selatan
75
2.000 meter di atas permukaan laut yang terdapat di Puncak Gunung
Sanggabuana dan Gunung Halimun.
Kondisi iklim di Provinsi Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Monson
(Monson Trade) dan Gelombang La Nina (El Nino). Saat musim hujan,
yakni antara bulan November-Maret, cuaca dipengaruhi oleh angin dari
barat. Saat musim kemarau yakni antara Juni-Agustus, cuaca dipengaruhi
oleh angin dari Timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami
kekeringan, terutama di wilayah bagian pantai utara. Temperatur di daerah
pantai dan perbukitan berkisar antara 22ºC dan 32ºC, sedangkan suhu di
pegunungan dengan ketinggian antara 400 –1.350 m dpl mencapai antara
18ºC –29ºC.
2. Kondisi Demografi Provinsi Banten
Kondisi demograsi merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
kependudukan di suatu daerah. Terdapat banyak indikator untuk mengetahui
kondisi demografi, di antranya yaitu jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk. Kepadatan penduduk merupakan rasio banyaknya penduduk per
kilometer persegi.
Grafik 4.2.
Jumlah Penduduk Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten
Tahun 2013-2017
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018
0500.000
1.000.0001.500.0002.000.0002.500.0003.000.0003.500.0004.000.000
2013 2014 2015 2016 2017
76
Berdasarkan grafik 4.2. jumlah penduduk di Provinsi Banten selalu
mengalami peningkatan sejak tahun 2013-2017. Penduduk terbanyak berada
di Kabupaten Tangerang yaitu 3,58 juta jiwa pada tahun 2017. Hal ini
dikarenakan Kabupaten Tangerang memiliki wilayah yang luas dan dekat
lokasinya dekat dengan ibu kota. Sementara, jumlah penduduk yang paling
sedikit berada di Kota Cilegon yaitu 425 ribu jiwa.
Tabel 4.2.
Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten
Tahun 2013-2017
Kabupaten/ Kota 2013 2014 2015 2016 2017
Kab. Pandeglang 431 433 435 437 439
Kab. Lebak 364 368 371 373 376
Kab. Tangerang 3.121 3.227 3.331 3.437 3.543
Kab. Serang 837 844 850 856 861
Kota Tangerang 12.684 12.992 13.299 13.602 13.902
Kota Cilegon 2.270 2.309 2.348 2.386 2.422
Kota Serang 2.320 2.366 2.412 2.456 2.499
Kota Tangerang Selatan 9.806 10.143 10.484 10.828 11.175
Provinsi Banten 1.185 1.211 1.237 1.263 1.288
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018
Kepadatan penduduk merupakan perbandingan antara jumlah penduduk
dengan luas wilayah. Kepadatan penduduk di Provinsi Banten terus
meningkat, sejalan dengan bertambahnya penduduk. Pada tahun 2017,
kepadatan penduduk mencapai 1.288 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di
kabupaten/kota cukup beragam. Kepadatan penduduk tertinggi terletak di
Kota Tangerang sebesar 13.902 jiwa/km2, kemudian di Kota Tangerang
Selatan sebesar 11.175 jiwa/km2. Sementara kepadatan terendah berada di
Kabupaten Lebak sebesar 376 jiwa/km2. Kepadatan penduduk tertinggi
terletak di Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan karena kedua daerah
tersebut terletak di dekat Ibu Kota Negara, dan merupakan wilayah hinterland
bagi DKI Jakarta, sehingga banyak masyarakat yang tertarik tinggal di
wilayah tersebut.
77
3. Kondisi Perekonomian Provinsi Banten
Untuk mengetahui kondisi ekonomi di Provinsi Banten yaitu dengan
menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan
jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu
daerah atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh
unit ekonomi.
Tabel 4.3.
PDRB Provinsi Banten ADHK 2010 Menurut Lapangan Usaha antar
Kabupaten/ Kota Tahun 2013-2017 (Miliar Rupiah)
Kabupaten/ Kota 2013 2014 2015 2016 2017
Kab. Pandeglang 14.388 15.097 15.974 16.857 17.876
Kab. Lebak 14.888 15.756 16.733 17.716 18.788
Kab. Tangerang 70.066 73.828 77.963 82.139 86.937
Kab. Serang 40.137 42.301 44.455 46.720 49.154
Kota Tangerang 81.965 86.184 90.808 95.631 101.280
Kota Cilegon 54.733 57.262 59.983 63.014 66.534
Kota Serang 15.671 16.745 17.809 18.927 20.139
Kota Tangerang
Selatan 39.251 42.412 45.486 48.603 52.214
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2018
Berdasarkan tabel 4.3, dapat diketahui bahwa PDRB kabupaten/kota di
Provinsi Banten selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. PDRB
tertinggi berada di Kota Tangerang dengan nilai 101 miliar rupiah,
kemudian, Kabupaten Tangerang dengan nilai 86 miliar rupiah pada tahun
2017. Tingginya PDRB kedua daerah tersebut dikarenakan struktur
perekonomian yang didominasi oleh industri pengolahan dan sektor tersebut
memberikan nilai tambah yang cukup besar. Sementara, PDRB terendah
berada di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang dengan nilai 17
miliar rupiah dan 18 miliar rupiah. Rendahnya PDRB di daerah tersebut,
salah satu faktornya yaitu struktur perekonomian yang masih didominasi
78
oleh sektor pertanian dan sektor tersebut memberikan nilai tambha yang
kecil.
Selain PDRB, PDRB per kapita juga dapat digunakan untuk mengetahui
kondisi perekonomian di suatu wilayah. Perkembangan PDRB per kapita
merupakan salah sau indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan
wilayah. PDRB per kapita diukur dengan membandingkan total PDRB suatu
wilayah dengan jumlah penduduk suatu wilayah.
Grafik 4.3.
PDRB Per Kapita Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten
Tahun 2013-2017
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2018
Berdasarkan grafik 4.3, PDRB per kapita setiap kabupaten/ kota di
Provinsi Bnaten terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. PDRB per
kapita tertinggi berada di Kota Cilegon yakni 156,5 juta rupiah pada tahun
2017. Selain itu, PDRB per kapita terendah berada di Kabupaten Lebak
dengan nilai 14,6 juta rupiah. PDRB per kapita Cilegon tertinggi,
dikarenakan penduduk Kota Cilegon yang sedikit, tidak sebanding dengan
PDRB Kota Cilegon yang tinggi. Menurut struktur perkonomian, Kota
Cilegon didominasi oleh sektor industri berat, salah satunya perusahaan
Krakatau Steel yang merupakan perusahaan baja terbesar di Indonesia. Selain
0
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
160.000
2013 2014 2015 2016 2017
79
industri pengolahan, Kota Cilegon juga di dominasi oleh sektor perdagangan,
hotel dan restoran.
B. Gambaran Umum Variabel penelitian
1. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten
Dalam pembangunan suatu daerah tidaklah selalu berjalan dengan lancar,
karena pasti ada masalah yang muncul. Salah satu masalah yang sering terjadi
yaitu ketimpangan pembangunan antar wilayah. Ketimpangan antar wilayah
terjadi karena proses pembangunan yang tidak merata, serta adanya
perbedaan karakteristik setiap daerah. Sehingga, hal inilah yang
mengakibatkan beberapa daerah lebih maju dibandingkan daerah lain.
Dalam penelitian ini, ketimpangan pembangunan antar wilayah diukur
dengan menggunakan konsep PDRB per kapita relatif. Data yang dibutuhkan
yaitu PDRB per kapita Kabupaten/Kota dan PDRB per kapita Provinsi
Banten. Untuk menghitung PDRB per kapita, yaitu data PDRB atas dasar
harga konstan 2010 dibagi dengan jumlah penduduk.
Tabel 4.4.
Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Banten Tahun 2013-2017
Kabupaten/ Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Kab. Pandeglang 0.579 0.575 0.567 0.560 0.553 0.567
Kab. Lebak 0.587 0.581 0.573 0.566 0.560 0.573
Kab. Tangerang 0.233 0.243 0.251 0.260 0.269 0.251
Kab. Serang 0.043 0.032 0.024 0.014 0.008 0.024
Kota Tangerang 0.452 0.443 0.436 0.431 0.427 0.434
Kota Cilegon 3.753 3.730 3.713 3.714 3.718 3.723
Kota Serang 0.124 0.112 0.104 0.095 0.089 0.105
Kota Tangerang
Selatan 0.059 0.049 0.046 0.045 0.043 0.048
Sumber : BPS Provinsi Banten, Data diolah
Nilai ketimpangan akan semakin besar, jika nilai PDRB per kapita relatif
mendekati satu atau lebih dari satu. Kemudian, jika nilainya mendekati angka
80
nol, maka menunjukan pemerataan. Berdasarkan konsep PDRB per kapita
relatif, menunjukan bahwa di Provinsi Banten masih mengalami ketimpangan
wilayah antar kabupaten/kota cukup tinggi. Namun, selama tahun 2013-2017,
menunjukan ada kecenderungan penurunan ketimpangan di setiap kabupaten/
kota.
Wilayah yang memiliki tingkat ketimpangan tinggi yaitu Kota Cilegon
dengan rata-rata nilai PDRB per kapita relatif lebih dari satu yaitu 3.723. Hal
ini dikarenakan PDRB per kapita Kota Cilegon juga memiliki nilai yang
sangat tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Provinsi Banten. Setelah Kota
Cilegon, ketimpangan tertinggi selanjutnya terletak di Kabupaten Lebak
sebesar 0.573 dan Kabupaten Pandeglang sebesar 0.567. Sementara wilayah
yang memiliki ketimpangan terendah yaitu Kabupaten Serang sebesar 0.024
dan Kota Tangerang Selatan sebesar 0.048.
2. Pertumbuhan Ekonomi menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten
Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan
perekonomian yang dapat menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi
oleh masyarakat meningkat. Laju pertumbuhan ekonomi yaitu dengan
menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan tahun tertentu dan tahun
sebelumnya.
Grafik 4.4.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun
2013-2017
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2018
1,00%
3,00%
5,00%
7,00%
9,00%
Kab.
Pandeglang
Kab. Lebak Kab.
Tangerang
Kab.
Serang
Kota
Tangerang
Kota
Cilegon
Kota
Serang
Kota
Tangerang
Selatan
2013 2014 2015 2016 2017
81
Berdasarkan grafik 4.4, laju pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten/kota
memiliki kondisi yang berbeda. Terdapat beberapa kabupaten/kota yang
memiliki laju fluktuatif, ada yang cenderung menurun dan juga meningkat.
Laju pertumbuhan ekonomi tertinggi berada di Kota Tangerang Selatan
dengan nilai rata-rata 7.68%. Sementara, laju pertumbuhan terendah berada
di Kabupaten Serang dengan nilai rata-rata 5.33% Pertumbuhan ekonomi di
Kota Tangerang Selatan merupakan yang tertinggi selama tahun 2013-2017.
Hal ini mengindikasikan bahwa ekonomi di Kota Tangerang Selatan cukup
berkembang pesat, khususnya di sektor tersier yaitu perdagangan dan jasa-
jasa.
3. Indeks Pembangunan Manusia menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan untuk menunjukan
kualitas sumber daya manusia di suatu daerah dan merupakan indikator
penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan. Adanya IPM, dapat
menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan di
suatu daerah, seperti pendapatan, kesehatan, pendididkan, dan lainnya.
Tabel 4.5.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota Provinsi
Banten Tahun 2013-2017
Kabupaten/ Kota 2013 2014 2015 2016 2017
Kab. Pandeglang 61.35 62.06 62.72 63.40 63.82
Kab. Lebak 61.13 61.64 62.03 62.78 62.95
Kab. Tangerang 69.28 69.57 70.05 70.44 70.97
Kab. Serang 63.57 63.97 64.61 65.12 65.60
Kota Tangerang 75.04 75.87 76.08 76.81 77.01
Kota Cilegon 70.99 71.57 71.81 72.04 72.29
Kota Serang 69.69 70.26 70.51 71.09 71.31
Kota Tangerang Selatan 78.65 79.17 79.38 80.11 80.84
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2018
82
Berdasarkan tabel 4.5, nilai IPM setiap kabupaten/kota sangat bervariasi.
Terdapat beberapa kabupaten/kota yang memiliki kategori nilai IPM sedang
dan tinggi. Kabupaten Lebak, Pandeglang, dan Serang memiliki kategori nilai
IPM sedang yakni lebih dari 60, namun kurang dari 70. Sedangkan kabupaten
lainnya, termasuk ke kategori tinggi yakni lebih dari 70, namun kurang dari
80. Kota Tangerang Selatan memiliki nilai IPM yang tinggi dengan nilai rata-
rata 79.63. Bahkan, pada tahun 2017, nilai IPM Tangerang Selatan termasuk
ke kategori sangat tinggi. Tingginya nilai IPM di Tangerang Selatan
dikarenakan adanya dukungan sarana penunjang yakni fasilitas kesehatan dan
pendidikan yang cukup lengkap, sehingga hal ini akan mempengaruhi SDM
di daerah tersebut yang berimplikasi pada peningkatan IPM. Nilai IPM
terendah berada di Kabupaten Lebak yaitu 62.11. Hal ini dikarenakan masih
kurangnya sarana yang menunjang pendidikan dan kesehatan di daerah
tersebut, sehingga akses masyarakat untuk mencapai pendidikan dan
kesehatan yang berkualitas masih sulit.
4. Aglomerasi Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
Aglomerasi merupakan konsentrasi kegiatan ekonomi di suatu daerah.
Dalam penelitian ini, menggunakan konsep aglomerasi produksi yaitu
membandingkan PDRB kabupaten/ kota dengan PDRB Provinsi Banten.
Tabel 4.6.
Aglomerasi Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2013-2017
Kabupaten/ Kota 2013 2014 2015 2016 2017
Kab. Pandeglang 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Kab. Lebak 0.04 0.05 0.05 0.05 0.05
Kab. Tangerang 0.21 0.21 0.21 0.21 0.21
Kab. Serang 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12
Kota Tangerang 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25
Kota Cilegon 0.17 0.16 0.16 0.16 0.16
Kota Serang 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
Kota Tangerang Selatan 0.12 0.12 0.12 0.13 0.13
Sumber : BPS Provinsi Banten, Data diolah
83
Tingkat aglomerasi di Provinsi Banten tidak begitu tinggi, hal ini
dikarenakan adanya persebaran kegiatan ekonomi di beberapa daerah. Daerah
yang memiliki tingkat aglomerasi atau konsentrasi kegiatan ekonomi yang
tinggi yaitu Kota Tangerang sebesar 0.25 dan Kabupaten Tangerang sebesar
0.21. Jika dilihat dari struktur perekonomian, kedua daerah tersebut
terkonsentrasi pada sektor industri pengolahan yang juga memberikan
kontribusi besar pada pembentukan PDRB Banten. Sehingga, daerah yang
memiliki aglomerasi tinggi, akan mendorong pembangunan di wilayah
tersebut melalui penyediaan lapangan kerja serta pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Sementara daerah yang memiliki aglomerasi rendah yaitu Kabupaten
Pandeglang sebesar 0.04, karena konsentrasi kegiatan ekonomi di daerah
tersebut yaitu pertanian yang hanya memberikan kontribusi kecil pada
pembentukan PDRB Banten.
5. Belanja Pemerintah Daerah menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi
Banten.
Belanja pemerintah merupakan suatu bentuk intervensi pemerintah
dalam proses pembangunan. Sehingga, ketika belanja pemerintah di suatu
daerah meningkat, maka diharapkan proses pembangunan berjalan lancar.
Grafik 4.5.
Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten Tahun 2013-2017
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2018
- 1.000.000.000 2.000.000.000 3.000.000.000 4.000.000.000 5.000.000.000 6.000.000.000 7.000.000.000
2013 2014 2015 2016 2017
84
Berdasarkan grafik 4.5, dapat diketahui bahwa belanja pemerintah
setiap daerah memiliki kecenderungan yang berbeda, yakni ada yang
fluktuatif dan ada juga selalu meningkat. Hal ini dikarenakan kebutuhan dan
program masing-masing kabupaten/kota setiap tahun juga berbeda. Namun,
secara keseluruhan belanja pemerintah kabupaten/kota selalu mengalami
peningkatan karena seiring bertambahnya kebutuhan dan program yang akan
dilaksanakan pemerintah. Belanja pemerintah tertinggi berada di Kabupaten
Serang dengan rata-rata 3,4 miliar. Sementara belanja pemerintah terendah
berada di Kota Serang yaitu 1,07 miliar.
C. Hasil Analisis Tipologi Klassen
Analisis Tipologi Klassen dapat digunakan untuk mengetahui gambaran
pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah. Dua indikator utama yang
menjadi dasar dalam analisis ini yaitu laju pertumbuhan ekonomi daerah dan
pendapatan per kapita. Pada dasarnya, pertumbuhan PDRB dan pendapatan per
kapita di setiap daerah berbeda-beda termasuk di kabupaten/ kota Provinsi
Banten. Oleh karena itu, dengan adanya Tipologi Klassen, maka setiap
kabupaten/ kota dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu daerah maju
dan tumbuh cepat, daerah maju tapi tertekan, daerah berkembang cepat dan
daerah relatif tertinggal.
Tabel 4.7.
Tipologi Klassen Provinsi Banten Tahun 2013-2017
Kuadran I Daerah Cepat Maju
dan Cepat Tumbuh
-
Kuadran III Daerah Berkembang Cepat
Kab. Lebak, Kota Serang, Kota Tangerang
Selatan
Kuadran II Daerah Maju tapi
Tertekan
Kota Tangerang dan Kota Cilegon
Kuadran IV Daerah Relatif Tertinggal
Kab. Pandeglang, Kab. Tangerang, Kab.
Serang
Sumber: Diolah oleh penulis
Tipologi Klassen masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun
2013-2017 menunjukan bahwa tidak ada daerah yang masuk dalam klasifikasi
85
daerah cepat maju dan tumbuh cepat yang berada di kuadran I, berarti tidak ada
kabupaten/ kota di Provinsi Banten yang memiliki laju pertumbuhan serta
pendapatan per kapita lebih tinggi dari Provinsi Banten (high growth and high
income).
Kemudian, terdapat 2 kota yang termasuk dalam klasifikasi daerah maju tapi
tertekan yang berada di kuadran II yaitu Kota Tangerang dan Kota Cilegon
tersebut berarti memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi dari Provinsi Banten,
tetapi laju pertumbuhan ekonomi lebih rendah (high income but low growth).
Adapun daerah yang termasuk dalam klasifikasi daerah berkembang cepat
yang berada di kuadran III, terdiri dari 1 kabupaten dan 2 kota yaitu Kabupaten
Lebak, Kota Serang, dan Kota Tangerang Selatan. Sehingga, daerah tersebut
memiliki laju pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari Provinsi Banten namun
pendapatan per kapita lebih rendah (high growth but low income).
Terakhir, daerah yang termasuk dalam klasifikasi daerah tertinggal yang
berada di kuadran IV, terdiri dari 3 kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang,
Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Serang. Hal ini mengindikasikan bahwa
kabupaten tersebut memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
kapita yang lebih rendah dari Provinsi Banten (low growth and low income).
Jadi, dapat disimpulkan berdasarkan analisis Tipologi Klassen, tidak ada
kabupaten/kota di Provinsi Banten yang termasuk dalam klasifikasi daerah maju
dan tumbuh cepat (kuadran I). Kemudian, sebagian besar kabupaten di Provinsi
Banten termasuk dalam klasifikasi daerah relatif tertinggal (kuadran IV), kecuali
Kabupaten Lebak yang termasuk dalam kategori daerah berkembang cepat
(kuadran III). Sedangkan kota-kota di Provinsi Banten termasuk dalam
klasifikasi daerah maju tapi tertekan (kuadran II) dan daerah berkembang cepat
(kuadran III).
Kabupaten Lebak pada awalnya merupakan daerah tertinggal, namun
berdasarkan tipologi klassen tahun 2013-2017, masuk klasifikasi daerah
berkembang cepat. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Lebak lebih tinggi dibandingkan Provinsi Banten. Tingginya laju pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Lebak disebabkan karena berkembangnya infrastruktur
86
di daerah tersebut dan adanya peningkatan di sektor perdagangan dan jasa.
Selain itu, beroperasinya kereta rel listrik menyebabkan mobilitas penduduk
menjadi lancar, dan kegiatan perekonomian pun menjadi lancar. Hal inilah yang
menyebabkan kondisi perekonomian Lebak mulai membaik jika dilihat dari
indikator laju pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, pemerintah daerah masing-masing kabupaten/kota dan
Provinsi Banten seharusnya dapat membuat suatu kebijakan yang dapat
mendorong perekonomian daerahnya. Sehingga, kabupaten/kota bisa menjadi
daerah maju dan diharapkan tidak ada lagi daerah yang tertinggal.
D. Hasil Analisis Model Data Panel
1. Estimasi Model
Dalam melakukan analisis regresi data panel, maka diperlukan pemilihan
metode estimasi yang akan digunakan. Terdapat tiga model pendekatan
estimasi yang biasa digunakan pada regresi data panel, yaitu pendekatan
dengan model Pooled Least Square (PLS)/ Common Effect Model, Fixed
Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM).
Tabel 4.8.
Hasil Estimasi Common Effect Model/ PLS
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
C 16.60583 1.044651 0.3033
PE? -53.43271 -2.152022 0.0384
LOGIPM? 3.413867 1.043004 0.3041
AG? 2.787400 0.752747 0.4566
LOGBELANJA? -1.280551 -3.410517 0.0016
R-squared 0.369246
Adjusted R-squared 0.297160
F-statistic 5.122292
Prob(F-statistic) 0.002346
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
87
Tabel 4.9.
Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM)
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
C 2.794876 4.165430 0.0003
PE? 0.506521 1.773823 0.0870
LOGIPM? -0.457870 -2.514225 0.0180
AG? 1.239993 1.012396 0.3200
LOGBELANJA? -0.014994 -2.228341 0.0341
R-squared 0.999960
Adjusted R-squared 0.999945
F-statistic 64415.68
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
a. Uji Chow
Uji Chow merupakan metode untuk menentukan model yang terbaik
digunakan antara Pooled Least Square atau Fixed Effect Model. Jika nilai
probabilitas F-statistik lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5%, maka
model terbaik yang digunakan adalah Fixed Effect Model. Sebaliknya,
jika nilai probabilitas F-statistik lebih besar dari tingkat signifikansi α =
5%, maka model terbaik yang digunakan yaitu Pooled Least Square atau
Common Effect. Adapun perumusan hipotesisnya yaitu :
H0 : Pooled Least Square (PLS)
H1 : Fixed Effect Model (FEM)
Berikut ini merupakan tampilan dari hasil Uji Chow dengan
menggunakan Redundant Fixed Effects-Likelihood Ratio :
Tabel 4.10.
Uji Chow (Redundant Fixed Effects-Likelihood Ratio)
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 63846.343418 (7,28) 0.0000
Cross-section Chi-square 387.120115 7 0.0000
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
88
Berdasarkan tabel 4.10, dapat diketahui bahwa nilai probabilitas
Cross-section F sebesar 0.0000 dan nilai tersebut lebih kecil dari tingkat
signifikansi α = 5% (0.0000 < 0.05), maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga, model yang baik digunakan yaitu Fixed Effect Model.
Tabel 4.11.
Hasil Estimasi Random Effect Model
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
C 2.793346 3.477957 0.0014
PE? 0.508084 1.780394 0.0837
LOGIPM? -0.459643 -2.527125 0.0162
AG? 1.308438 1.088824 0.2837
LOGBELANJA? -0.014977 -2.227318 0.0325
R-squared 0.521188
Adjusted R-squared 0.466466
F-statistic 9.524377
Prob(F-statistic) 0.000026
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
b. Uji Hausman
Setelah melakukan Uji Chow, dan hasilnya bahwa model yang
terbaik yaitu Fixed Effect Model. Maka, langkah selanjutnya yaitu
melakukan Uji Hausman. Uji Hausman merupakan metode untuk
menentukan model yang terbaik digunakan antara Random Effect Model
atau Fixed Effect Model. Jika nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari
tingkat signifikansi α = 5%, maka model terbaik yang digunakan adalah
Fixed Effect Model. Sebaliknya, jika nilai probabilitas F-statistik lebih
besar dari tingkat signifikansi α = 5%, maka model terbaik yang
digunakan yaitu Random Effect Model. Adapun perumusan hipotesisnya
yaitu :
H0 : Random Effect Model (REM)
H1 : Fixed Effect Model (FEM)
89
Berikut ini merupakan tampilan dari hasil Uji Hausman dengan
menggunakan Correlated Random Effects-Hausman Test :
Tabel 4.12.
Uji Hausman (Correlated Random Effects-Hausman Test)
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 3.698137 4 0.4484
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
Berdasarkan tabel 4.11, dapat diketahui bahwa nilai probabilitas
Cross-section random sebesar 0.4484 dan nilai tersebut lebih besar dari
tingkat signifikansi α = 5% (0.4484 > 0.05), maka H0 terima. Sehingga,
model yang baik digunakan yaitu Random Effect Model.
c. Individual Effect (Random Effect Model)
Berdasarkan hasil estimasi model yang telah dilakukan, maka dapat
diketahui bahwa dalam penelitian ini, model terbaik dan paling tepat yang
digunakan yaitu Random Effect Model.
Tabel 4.13.
Hasil Individual Effect (Random Effect Model)
Variable Coefficient Prob. Individual Effect
C 2.793346 0.0014
PE? 0.508084 0.0837
LOGIPM? -0.459643 0.0162
AG? 1.308438 0.2837
LOGBELANJA? -0.014977 0.0325
Random Effects
(Cross)
_KABPANDEGLANG--C -0.088709 2.704637
_KABLEBAK--C -0.090581 2.702765
_KABTANGERANG--C -0.568769 2.224577
_KABSERANG--C -0.710770 2.082576
_KOTATANGERANG--C -0.387989 2.405357
_KOTACILEGON--C 2.970806 5.764152
_KOTASERANG--C -0.517764 2.275582
_KOTATANGSEL--C -0.606224 2.187122
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
90
Random Effect Model merupakan model data panel yang digunakan
dalam penelitian ini dan dapat dijelaskan melalui persamaan berikut
sebagai berikut :
KETIMPANGAN = 2.79335 + 0.50808 PE – 0.45964 LOGIPM +
1.30844 AG – 0.01498 LOGBELANJA + 𝛆
Keterangan :
Ketimpangan : Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
PE : Laju Pertumbuhan Ekonomi
LOGIPM : Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
AG : Aglomerasi
LOGBELANJA : Belanja Pemerintah Daerah
Berdasarkan tabel 4.13, dapat diketahui bahwa coefficient konstanta
sebesar 2,793346 yang menunjukan :
1. Apabila masing-masing variabel pertumbuhan ekonomi, IPM,
aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah mengalami perubahan
sebesar 1%, maka Kabupaten Pandeglang akan mendapat pengaruh
individu terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah sebesar
2,704637%.
2. Apabila masing-masing variabel pertumbuhan ekonomi, IPM,
aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah mengalami perubahan
sebesar 1%, maka Kabupaten Lebak akan mendapat pengaruh
individu terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah sebesar
2,702765%.
3. Apabila masing-masing variabel pertumbuhan ekonomi, IPM,
aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah mengalami perubahan
sebesar 1%, maka Kabupaten Tangerang akan mendapat pengaruh
individu terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah sebesar
2,224577%.
91
4. Apabila masing-masing variabel pertumbuhan ekonomi, IPM,
aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah mengalami perubahan
sebesar 1%, maka Kabupaten Serang akan mendapat pengaruh
individu terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah sebesar
2,082576%.
5. Apabila masing-masing variabel pertumbuhan ekonomi, IPM,
aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah mengalami perubahan
sebesar 1%, maka Kota Tangerang akan mendapat pengaruh individu
terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah sebesar
2,405357%.
6. Apabila masing-masing variabel pertumbuhan ekonomi, IPM,
aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah mengalami perubahan
sebesar 1%, maka Kota Cilegon akan mendapat pengaruh individu
terhadap ketimpangan antar wilayah sebesar 5,764152%.
7. Apabila masing-masing variabel pertumbuhan ekonomi, IPM,
aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah mengalami perubahan
sebesar 1%, maka Kota Serang akan mendapat pengaruh individu
terhadap ketimpangan antar wilayah sebesar 2,275582%.
8. Apabila masing-masing variabel pertumbuhan ekonomi, IPM,
aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah mengalami perubahan
sebesar 1%, maka Kota Tangerang Selatan akan mendapat pengaruh
individu terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah sebesar
2,187122%.
2. Pengujian Hipotesis
a. Uji Koefisien Determinasi R2 (R Squared)
Uji koefisien determinasi (R2) berfungsi untuk mengukur seberapa
besar kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel
dependen.
92
Tabel 4.14.
Koefisien Determinasi (R2)
R-squared 0.521188
Adjusted R-squared 0.466466
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
Berdasarkan tabel 4.14, dapat diketahui bahwa koefisien determinasi
R-squared sebesar 0,521188 atau 52,12%. Hal ini menununjukan bahwa
variabel pertumbuhan ekonomi, IPM, aglomerasi, dan belanja pemerintah
daerah dapat menjelaskan variabel ketimpangan pembangunan antar
wilayah sebesar 52,12%, sedangkan sisanya sebsar 47,88% dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model.
b. Uji F-statistik
Uji F-statistik berfungsi untuk mengetahui apakah semua variabel
bebas mempunyai pengaruh secara bersama-sama atau menyeluruh
terhadap variabel terikat. Uji F-statitik dilakukan dengan cara
membandingkan nilai probabilitas F-statistik terhadap tingkat signifikansi
α = 5%, kemudian jika nilai probabilitas < α, maka H0 ditolak. Adapun
hipotesis dalam penelitian ini yaitu :
H0 : Tidak ada pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, IPM, Aglomerasi,
dan Belanja Pemerintah Daerah secara simultan terhadap
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota di
Provinsi Banten tahun 2013-2017.
H1 : Ada pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, IPM, Aglomerasi, dan
Belanja Pemerintah Daerah secara simultan terhadap
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota di
Provinsi Banten tahun 2013-2017.
93
Adapun hasil uji F-statistik sebagai berikut :
Tabel 4.15.
Uji F-statistik
F-statistic 9.524377
Prob(F-statistic) 0.000026
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
Berdasarkan tabel 4.15, dapat diketahui bahwa nilai probabilitas (F-
statistik) sebesar 0,000026. Nilai tersebut lebih kecil dari tingkat
signifikansi α = 5% (0.000026 < 0.05). Sehingga, variabel independen
secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen.
c. Uji t-statistik
Uji t-statistik berfumgsi untuk mengetahui pengaruh variabel bebas
secara parsial atau secara individual terhadap variabel terikat. Uji t-statitik
dilakukan dengan cara membandingkan nilai probabilitas t-statistik setiap
variabel terhadap tingkat signifikansi α = 5% dan α = 10%, kemudian jika
nilai probabilitas < α, maka H0 ditolak. Adapun hipotesis dalam penelitian
ini yaitu :
1. H0 : Tidak ada pengaruh Pertumbuhan Ekonomi secara parsial
terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten tahun 2013-2017.
H1 : Ada pengaruh Pertumbuhan Ekonomi secara parsial terhadap
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota
di Provinsi Banten tahun 2013-2017.
2. H0 : Tidak ada pengaruh IPM secara parsial terhadap
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota
di Provinsi Banten tahun 2013-2017.
H1 : Ada pengaruh IPM secara parsial terhadap Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota di Provinsi
Banten tahun 2013-2017.
94
3. H0 : Tidak ada pengaruh Aglomerasi secara parsial terhadap
Ketimpangan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota di Provinsi
Banten tahun 2013-2017.
H1 : Ada pengaruh Aglomerasi secara parsial terhadap
Ketimpangan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota di Provinsi
Banten tahun 2013-2017.
4. H0 : Tidak ada pengaruh Belanja Pemerintah secara parsial
terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten tahun 2013-2017.
H1 : Ada pengaruh Belanja Pemerintah secara parsial terhadap
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Kabupaten/ Kota
di Provinsi Banten tahun 2013-2017.
Adapun hasil uji t-statistik sebagai berikut :
Tabel 4.16.
Uji t-statistik
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2.793346 0.803157 3.477957 0.0014
PE? 0.508084 0.285377 1.780394 0.0837*
LOGIPM? -0.459643 0.181884 -2.527125 0.0162**
AG? 1.308438 1.201698 1.088824 0.2837
LOGBELANJA? -0.014977 0.006724 -2.227318 0.0325**
Sumber : Hasil Pengolahan Data dengan E-Views 8
*Signifikansi pada α = 10% atau 0,1
** Signifikansi pada α = 5% atau 0,05
Setelah mendapatkan hasil pada tabel 4.16, maka hipotesis yang
diuraikan di atas, dapat dibuktikan sebagai berikut :
1. Variabel Pertumbuhan Ekonomi memiliki koefisien sebesar 0,508084
dengan nilai probabilitas 0,0837. Nilai probabilitas lebih kecil dari
tingkat signifikansi α = 10% (0,0837 < 0,1) yang berarti H0 ditolak.
Sehingga, variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan
terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Tanda koefisien
bernilai positif menunjukan bahwa ketika terjadi peningkatan
95
pertumbuhan ekonomi 1%, maka akan meningkatkan ketimpangan
pembangunan antar wilayah sebesar 0,508084%
2. Variabel Indeks Pembangunan Manusia memiliki koefisien sebesar -
0,459643 dengan nilai probabilitas 0,0162. Nilai probabilitas lebih
kecil dari tingkat signifikansi α = 5% (0,0162 < 0,05) yang berarti H0
ditolak. Sehingga, variabel IPM berpengaruh signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Tanda koefisien bernilai
negatif menunjukan bahwa ketika terjadi peningkatan Indeks
Pembangunan Manusia 1%, maka akan mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah sebesar 0,459643%
3. Variabel Aglomerasi memiliki koefisien sebesar 1,308438 dengan
nilai probabilitas 0,2837. Nilai probabilitas lebih besar dari tingkat
signifikansi α = 10% (0,2837 > 0,1) yang berarti H0 diterima.
Sehingga, variabel aglomerasi tidak berpengaruh signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Tanda koefisien bernilai
positif menunjukan bahwa ketika terjadi peningkatan aglomerasi 1%,
maka akan meningkatkan ketimpangan pembangunan antar wilayah
sebesar 1,308438%
4. Variabel Belanja Pemerintah memiliki koefisien sebesar -0,014977
dengan nilai probabilitas 0,0325. Nilai probabilitas lebih kecil dari
tingkat signifikansi α = 5% (0,0325 < 0,05) yang berarti H0 ditolak.
Sehingga, variabel belanja pemerintah berpengaruh signifikan
terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Tanda koefisien
bernilai negatif menunjukan bahwa ketika terjadi peningkatan belanja
pemerintah 1%, maka akan mengurangi ketimpangan pembangunan
antar wilayah sebesar 0,014977%.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga variabel yang
signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antar
wilayah dan satu variabel yang tidak mempengaruhi ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Variabel Pertumbuhan Ekonomi memiliki
96
pengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan
antar wilayah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Belanja
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Sedangkan, variabel Aglomerasi memiliki pengaruh positif namun tidak
signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah.
3. Analisis Ekonomi
a. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang dapat
menggambarkan proses pembangunan ekonomi di suatu daerah. Namun,
pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu dapat
menciptakan pemerataan pembangunan di setiap wilayah. Pada penelitian
ini, variabel independen pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten. Hal ini berarti jika pertumbuhan
ekonomi meningkat, maka belum mampu mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah di Provinsi Banten. Peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi justru meningkatkan ketimpangan pembangunan
antar wilayah.
Sesuai dengan teori Hipotesis Neo-Klasik yang mengatakan bahwa
pada awal proses pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang meningkat
memberikan dampak negatif yaitu meningkatnya ketimpangan wilayah.
Sehingga, belum adanya pemerataan pembangunan di setiap daerah.
Namun, pada tahap tertentu ketimpangan akan berkurang.
Hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan
wilayah di Provinsi Banten disebabkan karena pertumbuhan ekonomi
antar kabupaten/kota di Provinsi Banten belum merata. Laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di Provinsi Banten, ternyata tidak dibarengi dengan
pemerataan pembangunan di setiap wilayah. Adanya perbedaan laju
pertumbuhan ekonomi yang berbeda antara daerah maju dan tertinggal
97
menyebabkan ketimpangan antar wilayah semakin meningkat. Daerah
maju memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, sementara daerah
tertinggal memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lambat, bahkan
mengalami stagnansi.
Daerah yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cepat
biasanya unggul pada sektor sekunder dan tersier seperti Kota Tangerang
Selatan dan Kota Tangerang. Daerah tersebut mengalami kemajuan yang
cukup pesat dalam proses pembangunan. Kemudian, daerah yang
memiliki laju pertumbuhan lambat biasanya unggul pada sektor primer
seperti pertanian. Contohnya, Kabupaten Pandeglang. Sehingga,
kemajuan yang ada pada daerah tersebut tidak begitu pesat. Selain itu,
perbedaan kondisi infrastruktur dan geografis juga menjadi penyebab
adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan
ketimpangan antar wilayah.
Tingginya laju pertumbuhan ekonomi juga menyebabkan
peningkatan investasi, modal dan tenaga kerja. Para investor akan tertarik
untuk menanamkan modalnya pada daerah yang memiliki laju
pertumbuhan ekonomi yang baik serta adanya perpindahan tenaga kerja
dari daerah tertinggal ke daerah maju karena tingkat upah yang lebih besar
dibandingkan daerah tertinggal, sehingga aktivitas perekonomian pun
menjadi lebih lancar di daerah maju. Sementara, di daerah tertinggal,
kondisi perekonomian tidak sebaik di daerah maju.
Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Banten ternyata
memberikan dampak balik yang lebih besar sehinga hal inilah yang
menyebabkan ketimpangan regional semakin meningkat. Hal ini sesuai
dengan teori Myrdal (1957) bahwa kuatnya backwash effect
dibandingkan spread effect menyebabkan ketimpangan regional antar
wilayah. Backwash effect merupakan perubahan yang bersifat merugikan
dari ekspansi ekonomi di suatu tempat karena faktor-faktor eksternal
yaitu dampak migrasi, perpindahan modal, dan perdagangan.
98
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lukman Harun dan Ghozali Maski (2012) dengan judul “Analisis
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi
terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah (Studi Pada Kabupaten
dan Kota di Jawa Timur)”. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa
perumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan wilayah. Hal ini dikarenakan daerah maju
yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi memiliki keunggulan yaitu
modal, tenaga kerja, dan lengkapnya fasilitas publik. Selain itu, salah satu
penyebab pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berdampak pada
meningkatnya ketimpangan pembangunan wilayah yaitu adanya
pergeseran sektor primer ke sektor sekunder yang berimbas pada
pendapatan per kapita.
b. Pengaruh IPM terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar
Wilayah
IPM merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di
suatu daerah karena menggambarkan bagaimana penduduk dapat
mengakses hasil pembangunan. Indikator pada IPM terdiri dari
pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Jika kondisi IPM di
kabupaten/kota meningkat, maka hal ini mengindikasikan bahwa kualitas
sumber daya manusia juga meningkat, khususnya kecerdasan, kesehatan,
serta pendapatan masyarakat. Hal inilah mendorong keberhasilan
pembangunan di suatu daerah sehingga dapat mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
Pada penelitian ini, variabel independen Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Banten. Hal ini berarti jika IPM meningkat, maka akan mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Banten.
Kualitas sumber daya manusia yang diukur dengan IPM ternyata
memberikan pengaruh bagi pembangunan suatu daerah. Hal ini sesuai
99
dengan teori human capital yang dipelopori oleh Becker dalam Nugroho
(2018). Teori ini menjelaskan bahwa manusia yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, akan memiliki pekerjaan dan upah yang
lebih besar dibandingkan dengan manusia yang memiliki pendidikan
rendah. Jika tingkat upah dapat mencerminkan produktivitas, semakin
banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, maka semakin tinggi
produktivitas dan perekonomian pun akan lebih baik.
Sehingga, meningkatnya IPM di suatu wilayah, dapat
menggambarkan bahwa produktivitas tenaga kerja juga meningkat.
Kemudian, hal ini akan menyebabkan pendapatan meningkat, khususnya
pendapatan per kapita. Ketika pendapatan per kapita suatu daerah
meningkat, maka dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar
wilayah. Karena, ketimpangan antar wilayah dapat diukur melalui
pendapatan per kapita.
Nilai IPM masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Banten terus
mengalami peningkatan dan rata-rata berada di kategori tinggi. Sehingga,
menggambarkan bahwa kualitas SDM di Provinsi Banten terus
mengalami perbaikan. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan dan
mudahnya akses untuk mencapai pendidikan dan kesehatan yang optimal.
Sehingga, nilai IPM yang meningkat di kabupaten/ kota Provinsi Banten
dapat mengurangi ketimpangan pembnagunan antar wilayah.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuntari dan Pujiati (2016) dengan judul “Disparitas Pembangunan
Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah”. Hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa variabel IPM berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap disparitas pembangunan wilayah kabupaten/kota di
Provinisi Jawa Tengah tahun 2009-2013. IPM memiliki peran penting
untuk mengurangi disparitas pembangunan, karena IPM menggambarkan
produktivitas dan kualitas tenaga kerja. Namun, kontribusi IPM untuk
menurunkan ketimpangan pembangunan sangat rendah. Hal ini
dikarenakan rendahnya pembangunan manusia yang tercermin dari
100
rendahnya taraf kesehatan dan pendidikan dan hal ini disebabkan karena
keterbatasan perekonomian penduduk.
c. Pengaruh Aglomerasi terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar
Wilayah
Aglomerasi merupakan konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di
kawasan tertentu. Jadi, aglomerasi mucul ketika kegiatan ekonomi saling
berkaitan atau memiliki keterpaduan di suatu kawasan yang saling
berdekatan, sehingga dapat memberikan keuntungan penghematan.
Menurut Sjafrizal (2012) adanya konsentrasi kegiatan ekonomi yang
tinggi di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap proses pembangunan,
baik dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya yaitu dapat
mengurangi ketimpangan jika pembangunan kawasan aglomerasi dapat
tersebar, sementara dampak negatifnya yaitu dapat meningkatkan
ketimpangan pembangunan, karena pembangunan akan lebih cepat pada
daerah yang memiliki tingkat aglomerasi atau konsentrasi yang tinggi.
Pada penelitian ini, variabel independen aglomerasi memiliki
pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Hasil
penelitian menunjukan bahwa nilai probabilitas variabel aglomerasi
sebesar 0,2387 dimana nilai tersebut lebih besar dari tingkat signifikansi
α = 10% (0,2837 > 0,1). Sehingga, variabel aglomerasi tidak
mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi
Banten.
Variabel aglomerasi dalam penelitian ini diukur dengan
menggunakan formula dari penelitian Jaime Bonet (2006) yakni
aglomerasi produksi. Aglomerasi produksi dihitung dengan
membandingkan PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Banten.
Sehingga, dengan membandingkan hal tersebut, dapat diketahui tingkat
konsentrasi kegiatan ekonomi di setiap wilayah kabupaten/kota.
Aglomerasi tidak mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar
wilayah, karena tingkat aglomerasi di kabupaten/kota Provinsi Banten
101
masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari setiap PDRB kabupaten/kota
memiliki kontribusi PDRB yang hampir merata terhadap pembentukan
PDRB Banten. Sehingga, konsentrasi kegiatan ekonomi bukan hanya ada
di suatu kawasan tertentu, tetapi hampir di semua wilayah Provinsi
Banten.
Masing-masing kabupaten/kota memiliki tingkat konsentrasi yang
berbeda karena sektor unggulan juga berbeda. Kabupaten/kota yang
berkontribusi besar terhadap PDRB Banten yakni kabupaten/kota yang
unggul di sektor sekunder dan tersier. Sehingga, konsentrasi kegiatan
ekonomi lebih tinggi di daerah tersebut. Contohnya seperti Kota
Tangerang, Kota Tangsel, Kota Cilegon dan sebagainya. Sementara
wilayah yang terkonsentrasi pada sektor primer hanya memberikan
kontribusi kecil pada PDRB Banten. Contohnya seperti Kabupaten
Pandeglang dan Lebak.
Tingkat konsentrasi yang berbeda antar daerah, dimana terdapat
daerah yang berkonsentrasi pada sektor industri/manufaktur dan
perdagangan/jasa, serta terdapat daerah yang berkonsentrasi pada sektor
pertanian menyebabkan tidak ada keterkaitan antara wilayah tersebut
sehingga aglomerasi masih tergolong rendah. Hal inilah yang
menyebabkan bahwa tingkat aglomerasi di Provinsi Banten tidak
mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Selain itu,
tingkat konsentrasi kegiatan ekonomi yang hampir merata yakni sebagian
besar wilayah di Provinsi Banten berkonsentrasi pada kegiatan ekonomi
yang unggul di sektor industri/manufaktur serta perdagangan dan jasa,
juga menjadi pemicu bahwa variabel aglomerasi tidak berpengaruh
terhadap ketimpangan. Oleh karena itu, menurut Bappenas dibutuhkan
konektivitas antar wilayah Provinsi Banten untuk mengurangi
ketimpangan serta memperlancar mobilitas barang dan jasa.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Andhiani dan Bhakti (2018) dengan judul “Analisis Pertumbuhan
Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan di Wilayah Sumatera”. Hasil
102
penelitian tersebut menunjukan bahwa variabel Aglomerasi berpengaruh
positif dan tidak signifikan signifikan terhadap ketimpangan
pembangunan di wilayah Sumatera pada tahun 2011-2015. Hal ini
dikarenakan tingkat aglomerasi industri yang rendah, serta tidak adanya
keterkaitan antar kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
d. Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap Ketimpangan
Pembangunan Antar Wilayah
Pada penelitian ini, variabel independen belanja pemerintah daerah
memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Hal ini
berarti jika belanja pemerintah meningkat, maka akan mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Banten.
Belanja pemerintah daerah memiliki fungsi yaitu untuk mendorong
proses pembangunan yang ada di daerah. Sesuai dengan teori Wagner,
pengeluaran pemerintah semakin lama terus meningkat, karena
disebabkan dengan meningkatnya beberapa fungsi pemerintah. Ketika
belanja pemerintah daerah meningkat, maka kegiatan dan program
pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan daerah serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat.
Dalam penelitian ini, belanja pemerintah daerah dihitung dengan
menjumlahkan belanja tidak langsung dan belanja langsung. Terdapat
beberapa komponen dari belanja tersebut yang berfungsi untuk membantu
masyarakat dalam perekonomian seperti bantuan subsidi dan bantuan
sosial, kemudian juga terdapat komponen belanja yang berfungsi untuk
mendukung program pemerintah untuk mencapai pembangunan yang
optimal diantaranya belanja barang dan jasa dan belanja modal. Sehingga,
ketika komponen belanja tersebut dapat ditingkatkan, maka diharapkan
peran pemerintah menjadi lebih optimal dan efektif dalam mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Selain itu, juga terdapat
komponen belanja bantuan keuangan yang berfungsi untuk pemerataan
103
dan peningkatan kemampuan keuangan di setiap daerah. Dengan
demikian setiap daerah dapat saling membantu.
Hubungan negatif dan signifikan mengindikasikan bahwa belanja
pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten sudah efektif
dalam melakukan kegiatan pembangunan dan untuk program
kesejahteraan masyarakat, sehingga hal inilah yang menyebabkan bahwa
ketika belanja pemerintah daerah meningkat dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Namun, pengaruhnya masih
relatif kecil untuk pengurangan ketimpangan pembangunan antar wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lukman Harun dan Ghozali Maski (2012) dengan judul “Analisis
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi
terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah (Studi Pada Kabupaten
dan Kota di Jawa Timur)”. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa
pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap ketimpangan pembangunan wilayah. Hal ini dikarenakan
pengeluaran pemerintah telah diprogramkan untuk mengatasi masalah
ketimpangan pembangunan. Namun, peran pemerintah masih tergolong
kecil dalam mengurangi ketimpangan, karena masih terlalu banyak
belanja pemerintah yang digunakan untuk hal-hal yang tidak terlalu
penting, seperti belanja pegawai dan belanja perjalanan dinas.
104
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengklasifikasikan daerah di Provinsi
Banten menurut Tipologi Klassen serta mengetahui pengaruh pertumbuhan
ekonomi, IPM, aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah terhadap
ketimpangan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, yakni dengan
menggunaan metode Tipologi Klassen, serta menggunakan model regresi data
panel yaitu Random Effect Model maka, penulis memperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Hasil penelitian dengan menggunakan Tipologi Klassen menunjukan bahwa
tidak ada daerah di Provinsi Banten yang termasuk dalam klasifikasi daerah
maju dan cepat tumbuh. Kemudian, terdapat dua daerah yang merupakan
daerah maju dan tertekan yaitu Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Terdapat
tiga daerah yang termasuk daerah berkembang cepat yaitu Kabupaten Lebak,
Kota Serang, dan Kota Tangerang Selatan. Terdapat tiga daerah yang
termasuk daerah relatif tertinggal yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Tangerang, dan Kabupaten Serang.
2. Hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten dengan
tingkat kepercayaan 90%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika
pertumbuhan ekonomi meningkat, maka ketimpangan pembangunan antar
wilayah akan meningkat.
3. Hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika
105
IPM meningkat, maka akan mengurangi ketimpangan pembangunan antar
wilayah.
4. Hasil penelitian menunjukan bahwa aglomerasi memiliki pengaruh positif
dan tidak signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten. Hal ini mengindikasikan bahwa
aglomerasi tidak mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten
5. Hasil penelitian menunjukan bahwa belanja pemerintah daerah memiliki
pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar
wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten dengan tingkat kepercayaan
95%. Hal ini mengindikasikan ketika belanja pemerintah daerah meningkat,
maka akan mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.
6. Seluruh variabel independen dalam penelitian ini yaitu pertumbuhan
ekonomi, IPM, aglomerasi, dan belanja pemerintah daerah berpengaruh
secara simultan atau secara bersama-sama terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Jika terjadi
perubahan pada variabel pertumbuhan ekonomi, IPM, aglomerasi, dan
belanja pemerintah daerah, maka secara bersama-sama akan turut mengubah
ketimpangan pembangunan antar wilayah pada objek penelitian.
B. Saran
1. Bagi Pemerintah
a. Pemerintah daerah baik pemerintah provinsi Banten maupun pemerintah
kabupaten/kota sebaiknya melakukan koordinasi dan merumuskan
kebijakan serta strategi untuk mendorong proses pembangunan daerah
yang optimal, sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Banten dapat berkurang. Khususnya,
melakukan pembangunan di daerah tertinggal serta mengembangkan
setiap daerah agar menjadi daerah yang maju dan cepat tumbuh.
b. Pemerintah daerah sebaiknya dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi terhadap wilayah yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah
serta belum menghasilkan kontribusi perekonomian yang cukup tinggi.
106
Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan proses pembangunan
yang ada di setiap wilayah, sehingga adanya pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.
c. Pemerintah daerah sebaiknya dapat meningkatkan IPM di seluruh daerah
Provinsi Banten melalui program dan kebijakan dalam bidang
pendidikan dan kesehatan sehingga produktivitas dan taraf hidup
masyarakat juga akan meningkat serta mampu mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
d. Pemerintah daerah sebaiknya meningkatkan belanja pemerintah daerah
khususnya untuk program yang berkaitan dengan pembangunan wilayah
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
e. Pemerintah daerah dalam melakukan kebijakan pembangunan, harus
memperhatikan pertumbuhan ekonomi, IPM, aglomerasi dan belanja
pemerintah daerah karena berpengaruh terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
2. Bagi Peneliti
a. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperbarui tahun penelitian
sesuai dengan yang terbaru dan periode yang lebih panjang, sehingga
mampu memberikan gambaran ketimpangan pembangunan antar
wilayah di Provinsi Banten secara lebih luas
b. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti variabel-variabel lain di
luar variabel dalam penelitian ini agar memperoleh hasil penelitian yang
lebih bervariatif serta menggambarkan faktor yang dapat mempengaruhi
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
107
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2013. Teori-Teori Pembangunan Ekonomi Pertumbuhan
Ekonomi dan Pertumbuhan Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Adisasmita, Rahardjo. 2014. Pertumbuhan Wilayah dan Wilayah Pertumbuhan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Andhiani, Kartira Dorcas. 2018. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Pembangunan di Wilayah Sumatera. Jurnal Perspektif Ekonomi dan
Pembangunan Daerah Volume 7, Nomor 1. Jambi: Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Jambi.
Angelia, Yuki. 2010. Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Provinsi
DKI Jakarta Tahun 1995-2008. Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.
Arsyad, Lincolin. 2016. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah, Edisi 3. Yogyakarta: BPFE (Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi).
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan, Edisi Kelima. Yogyakarta: UPP
STIM YKPN.
Badan Pusat Statistik. 2018. Provinsi Banten Dalam Angka. Banten: Publikasi BPS
Provinsi Banten
Badan Pusat Statistik. 2018. Kabupaten/Kota Provinsi Banten Dalam Angka.
Banten: Publikasi BPS Provinsi Banten
Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Keuangan Daerah Provinsi Banten. Banten:
Publikasi BPS Provinsi Banten.
Badan Pusat Statistik. 2018. Analisis Sosial Ekonomi Provinsi Banten. Banten:
Publikasi BPS Provinsi Banten
108
Banendro, Sigit Dwiwahju. 2016. Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar
Kecamatan di Kabupaten Bondowoso Tahun 2006-2012. Tesis. Jember:
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember.
Bank Indonesia. 2018. Publikasi Kajian Ekonomi Regional Provinsi Banten.
Diunduh dari https://www.bi.go.id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/
pada 20 September 2019.
Bappeda. 2017. RPJMD Provinsi Banten 2017-2022. Banten: Publikasi Bappeda.
Bappenas. 2019. Rancangan Awal RPJMN 2020-2025. Jakarta: Publikasi
Bappenas.
Baransano, dkk. 2016. Analysis of Factors Affecting Regional Development
Disparity in the Province of West Papua. Journal of Economics and
Development Studies Vol. 4, No. 2, pp 112-128.
Bonet, Jaime. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Income Disparities:
Evidence From The Colombian Experience. Original Paper Regional
Economics Volume 40, 661-676. Urbana: University of Illinois.
Darnilawati. 2018. Strategi Kutub Pertumbuhan Ekonomi. UIN Sultan Syarif
Kasim Riau. Jurnal Ekonomi Volume 26, Nomor 2 Juni 2018.
Damayanti, Mela Apriani. 2018. Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
Antar Wilayah Dalam Perpekstif Ekonomi Islam (Studi di Kabupaten/Kota
Provinsi Lampung Tahun 2013-2017). Skripsi. Lampung: Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Raden Intan.
Dhyatmika, Ketut Wahyu dan Hastarini Dwi Atmanti. 2013. Analisis Ketimpangan
Pembangunan Provinsi Banten Pasca Pemekaran. Jurnal Ekonomi Volume
2, Nomor 2, Halaman 1-8. Semarang: Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro.
109
Didia, Khoir Akfini. 2016. Analisis Ketimpangan Pembangunan di Kawasan
Kedungsepur. Economics Developemnt Anlysis Journal (EDAJ) Volume 5,
Nomor 1. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
Emilia dan Imelia. 2006. Modul Ekonomi Regional. Jambi: Fakultas Ekonomi
Universitas Jambi.
Ermalina, dkk. 2015. Tingkat Ketimpangan dan Desentralisasi Fiskal Provinsi
Banten. Jurnal Ilmiah Gema Ekonomi Volume 5, Nomor 2, Halaman 717-
736. Jakarta: Fakultas Ekonomi STIE Ahmad Dahlan Jakarta.
Fleisher, Belton dkk. 2010. Human Capital, Economic Growth, and Regional
Inequality in China. Journal of Development Economics Volume 92, 215-
231.
Gepperrt, Kurt dan Andreas Stephan. 2008. Regional Disparities in The European
Union: Convergence and Agglomeration. Papers in Regional Science
Volume 87, Nomor 2.
Hartini, Nita Tri. 2017. Pengaruh PDRB Per Kapita, Investasi, dan Indeks
Pembangunan Manusia Terhadap Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-2015. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
Harun, Lukman dan Ghozali Maski. 2012. Analisis Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan
Pembangunan Wilayah (Studi pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur).
Jurnal Ilmiah Vol. 1, Nomor 2. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya.
Hidayat, Muhammad Haris. 2014. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Investasi, dan IPM Terhadap Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2012. Skripsi. Semarang: Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Idris, Amiruddin. 2016. Ekonomi Publik. Yogyakarta: Deepublish.
110
Islami, Fitrah Sari dan Nugroho. 2018. Faktor-faktor Mempengaruhi Ketimpangan
Wilayah di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Media Ekonomi dan
Manajemen Volume 33, Nomor 1. Semarang: Fakultas Ekonomika dan
Bisnis Universitas Diponegoro.
Jhingan, M.L. 2012. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisis Spasial dan Regional Studi Aglomerasi &
Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: AMP YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Masalah, Kebijakan, dan Politik Ekonomika
Pembangunan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kurniawan, Benedictus Riandoko Adi dan FX. Sugiyanto. 2013. Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, Share Sektor Industri dan Pertanian Serta Tingkat
Jumlah Orang Yang Bekerja terhadap Ketimpangan Wilayah Antar
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2002-2010. Jurnal Ekonomi
Volume 2, Nomor 1, Halaman 1-14. Semarang: Fakultas Ekonomika dan
Bisnis Universitas Diponegoro.
Lubis, Ferry Kurniawan. 2016. Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah di
Provinsi Sumatera Utara Tahun 1990-2013. Tesis. Medan: Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
Nurhuda, Rama dkk. 2012. Analisis Ketimpangan Pembangunan (Studi di Provinsi
Jawa Timur Tahun 2005-2011). Jurnal Administrasi Publik (JAP) Volume
1, Nomor 4, Halaman 110-119. Malang: Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah.
111
Priyanto, Andri. 2009. Analisis Ketimpangan dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten. Skripsi. Bogor:
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Rahmawaty, Diniar. 2014. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan
Spasial Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2001-2013. Skripsi.
Semarang: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Samsir, Andi dan Abdul Rahman. 2018. Menelusur Ketimpangan Distribusi
Pendapatan Kabupaten dan Kota. Jurnal EcceS (Economics, Social, and
Development Studies) Volume 5, Nomor 1. Makassar: Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Makassar dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Universitas Islam Negeri Alauddin.
Sjafrizal. 2006. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah
Indonesia Bagian Barat. Prisma, Nomor 3 hal. 27-28.
Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Sjafrizal. 2014. Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Era Otonomi Daerah.
Jakarta: Rajawali Pers
Sriyana, Jaka. 2014. Metode Regresi Data Panel (Dilengkapi Analisis Kinerja Bank
Syariah di Indonesia). Yogyakarta: Penerbit EKONISIA.
Sucihati, Heny. 2014. Pengaruh Kenaikan Investasi Swasta dan Pengeluaran
Pemerintah Daerah terhadap Ketimpangan Pembangunan di Kalimantan
Barat. Jurnal Ilmiah Tesis. Pontianak: Fakultas Ekonomi Universitas
Tanjungpura.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: CV
ALFABETA
Sukirno, Sadono. 2011. Makro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta:
Rajawali Pers.
112
Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan-Teori dan Aplikasi Dengan SPSS.
Yogyakarta: Andi.
Sumiyarti. 2018. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Wilayah, dan Kemiskinan
di Provinsi Banten. Media Ekonomi Volume 26, Nomor 2, Halaman 77-88.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti.
Tarigan, Robinson. 2009. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi Edisi Revisi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi
Kesembilan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Provinsi Banten.
United Nations Development Programme (UNDP). 2018. Human Development
Index (HDI). Diakses dari hdr.undp.org/en/content/human-development-
index-hdi pada 29 September 2019
Wahyuntari, Linda Ika dan Amin Pujiati. 2018. Disparitas Pembangunan Wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Economics Development Anlysis
Journal (EDAJ) Volume 5, Nomor 3. Semarang: Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Semarang.
Yusika, dkk. 2018. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Aglomerasi, dan
Tingkat Pengangguran Terhadap Ketimpangan Antar Wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Ilmu Ekonomi Vol.
2 Jilid 2 Hal. 230-240. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
113
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Hasil Estimasi Data Panel
A. Common Effect Model
Dependent Variable: KETIMPANGAN
Method: Panel Least Squares
Date: 10/28/19 Time: 20:14
Sample: 2013 2017
Periods included: 5
Cross-sections included: 8
Total panel (balanced) observations: 40 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 16.60583 15.89606 1.044651 0.3033
PE -53.43271 24.82907 -2.152022 0.0384
LOGIPM 3.413867 3.273110 1.043004 0.3041
AG 2.787400 3.702970 0.752747 0.4566
LOGBELANJA -1.280551 0.375471 -3.410517 0.0016 R-squared 0.369246 Mean dependent var 0.716512
Adjusted R-squared 0.297160 S.D. dependent var 1.170869
S.E. of regression 0.981605 Akaike info criterion 2.917212
Sum squared resid 33.72416 Schwarz criterion 3.128322
Log likelihood -53.34424 Hannan-Quinn criter. 2.993543
F-statistic 5.122292 Durbin-Watson stat 0.418130
Prob(F-statistic) 0.002346
114
B. Fixed Effect Model
Dependent Variable: KETIMPANGAN
Method: Panel Least Squares
Date: 10/28/19 Time: 20:15
Sample: 2013 2017
Periods included: 5
Cross-sections included: 8
Total panel (balanced) observations: 40 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.794876 0.670969 4.165430 0.0003
PE 0.506521 0.285553 1.773823 0.0870
LOGIPM -0.457870 0.182112 -2.514225 0.0180
AG 1.239993 1.224811 1.012396 0.3200
LOGBELANJA -0.014994 0.006729 -2.228341 0.0341 Fixed Effects
(Cross)
_KABPANDEGLANG--C -0.094146
_KABLEBAK—C -0.095859 _KABTANGERANG--C -0.562882
_KABSERANG—C -0.710973 _KOTATANGERANG--C -0.379839
_KOTACILEGON--C 2.973360 _KOTASERANG--C -0.523073 _KOTATANGSEL--C -0.606587
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.999960 Mean dependent var 0.716512
Adjusted R-squared 0.999945 S.D. dependent var 1.170869
S.E. of regression 0.008686 Akaike info criterion -6.410791
Sum squared resid 0.002113 Schwarz criterion -5.904127
Log likelihood 140.2158 Hannan-Quinn criter. -6.227597
F-statistic 64415.68 Durbin-Watson stat 0.908960
Prob(F-statistic) 0.000000
115
C. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 63846.343418 (7,28) 0.0000
Cross-section Chi-square 387.120115 7 0.0000
Cross-section fixed effects test equation:
Dependent Variable: KETIMPANGAN
Method: Panel Least Squares
Date: 10/10/19 Time: 21:45
Sample: 2013 2017
Periods included: 5
Cross-sections included: 8
Total panel (balanced) observations: 40 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 16.60583 15.89606 1.044651 0.3033
PE -53.43271 24.82907 -2.152022 0.0384
LOGIPM 3.413867 3.273110 1.043004 0.3041
AG 2.787400 3.702970 0.752747 0.4566
LOGBELANJA -1.280551 0.375471 -3.410517 0.0016 R-squared 0.369246 Mean dependent var 0.716512
Adjusted R-squared 0.297160 S.D. dependent var 1.170869
S.E. of regression 0.981605 Akaike info criterion 2.917212
Sum squared resid 33.72416 Schwarz criterion 3.128322
Log likelihood -53.34424 Hannan-Quinn criter. 2.993543
F-statistic 5.122292 Durbin-Watson stat 0.418130
Prob(F-statistic) 0.002346
116
D. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 3.698137 4 0.4484
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. PE 0.506521 0.508084 0.000100 0.8759
LOGIPM -0.457870 -0.459643 0.000083 0.8458
AG 1.239993 1.308438 0.056082 0.7726
LOGBELANJA -0.014994 -0.014977 0.000000 0.9449
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: KETIMPANGAN
Method: Panel Least Squares
Date: 10/10/19 Time: 21:47
Sample: 2013 2017
Periods included: 5
Cross-sections included: 8
Total panel (balanced) observations: 40 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.794876 0.670969 4.165430 0.0003
PE 0.506521 0.285553 1.773823 0.0870
LOGIPM -0.457870 0.182112 -2.514225 0.0180
AG 1.239993 1.224811 1.012396 0.3200
LOGBELANJA -0.014994 0.006729 -2.228341 0.0341 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.999960 Mean dependent var 0.716512
Adjusted R-squared 0.999945 S.D. dependent var 1.170869
S.E. of regression 0.008686 Akaike info criterion -6.410791
Sum squared resid 0.002113 Schwarz criterion -5.904127
Log likelihood 140.2158 Hannan-Quinn criter. -6.227597
F-statistic 64415.68 Durbin-Watson stat 0.908960
Prob(F-statistic) 0.000000
117
E. Random Effect Model
Dependent Variable: KETIMPANGAN
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 10/10/19 Time: 21:47
Sample: 2013 2017
Periods included: 5
Cross-sections included: 8
Total panel (balanced) observations: 40
Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.793346 0.803157 3.477957 0.0014
PE? 0.508084 0.285377 1.780394 0.0837
LOGIPM? -0.459643 0.181884 -2.527125 0.0162
AG? 1.308438 1.201698 1.088824 0.2837
LOGBELANJA? -0.014977 0.006724 -2.227318 0.0325 Random Effects
(Cross)
_KABPANDEGLANG--C -0.088709
_KABLEBAK--C -0.090581 _KABTANGERANG--C -0.568769
_KABSERANG--C -0.710770 _KOTATANGERANG--C -0.387989
_KOTACILEGON--C 2.970806 _KOTASERANG--C -0.517764 _KOTATANGSEL--C -0.606224
Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 1.249754 1.0000
Idiosyncratic random 0.008686 0.0000 Weighted Statistics R-squared 0.521188 Mean dependent var 0.002227
Adjusted R-squared 0.466466 S.D. dependent var 0.011841
S.E. of regression 0.008649 Sum squared resid 0.002618
F-statistic 9.524377 Durbin-Watson stat 0.732271
Prob(F-statistic) 0.000026 Unweighted Statistics R-squared 0.022078 Mean dependent var 0.716512
Sum squared resid 52.28600 Durbin-Watson stat 3.67E-05
118
Lampiran 2 : Data Penelitian
A. Data Penelitian Sebelum di LOG
Kab/Kota Tahun Ketimp
angan
(Y)
Pert.Ek
(X1)
IPM
(X2)
AG
(X3)
Belanja
Pemerintah
(X4)
Kab. Pandeglang 2013 0.5785 4.72% 61.35 0.0435 1.536.136.054
Kab. Pandeglang 2014 0.5747 4.93% 62.06 0.0432 1.640.017.296
Kab. Pandeglang 2015 0.5671 5.96% 62.72 0.0433 2.037.028.432
Kab. Pandeglang 2016 0.5602 5.49% 63.40 0.0434 2.215.360.537
Kab. Pandeglang 2017 0.5529 6.05% 63.82 0.0436 2.537.861.072
Kab. Lebak 2013 0.5874 6.30% 61.13 0.0449 1.519.338.643
Kab. Lebak 2014 0.5811 5.83% 61.64 0.0451 1.725.537.969
Kab. Lebak 2015 0.5733 5.80% 62.03 0.0454 2.092.695.059
Kab. Lebak 2016 0.5663 5.70% 62.78 0.0456 2.434.575.832
Kab. Lebak 2017 0.5603 6.05% 62.95 0.0458 2.481.358.756
Kab. Tangerang 2013 0.2326 6.41% 69.28 0.2116 3.285.526.097
Kab. Tangerang 2014 0.2428 5.37% 69.57 0.2113 1.909.367.172
Kab. Tangerang 2015 0.2510 5.36% 70.05 0.2116 4.179.069.902
Kab. Tangerang 2016 0.2602 5.32% 70.44 0.2117 2.543.616.889
Kab. Tangerang 2017 0.2689 5.84% 70.97 0.2120 2.741.996.854
Kab. Serang 2013 0.0432 6.04% 63.57 0.1212 1.711.378.015
Kab. Serang 2014 0.0320 5.39% 63.97 0.1210 3.512.778.492
Kab. Serang 2015 0.0236 5.02% 64.61 0.1206 2.342.220.891
Kab. Serang 2016 0.0143 5.00% 65.12 0.1204 4.535.329.446
Kab. Serang 2017 0.0079 5.21% 65.60 0.1199 4.981.819.064
Kota Tangerang 2013 0.4520 6.52% 75.04 0.2475 2.766.418.069
Kota Tangerang 2014 0.4429 5.15% 75.87 0.2466 2.656.087.932
Kota Tangerang 2015 0.4364 5.37% 76.08 0.2465 3.101.034.565
Kota Tangerang 2016 0.4306 5.30% 76.81 0.2465 3.697.410.215
119
Kab/Kota Tahun Ketimp
angan
(Y)
Pert.Ek
(X1)
IPM
(X2)
AG
(X3)
Belanja
Pemerintah
(X4)
Kota Tangerang 2017 0.4268 5.91% 77.01 0.2470 3.896.051.044
Kota Cilegon 2013 3.7527 6.69% 70.99 0.1653 1.022.902.183
Kota Cilegon 2014 3.7304 4.62% 71.57 0.1639 1.222.804.815
Kota Cilegon 2015 3.7131 4.78% 71.81 0.1628 1.463.977.641
Kota Cilegon 2016 3.7139 5.05% 72.04 0.1624 1.613.348.915
Kota Cilegon 2017 3.7183 5.59% 72.29 0.1622 1.758.155.073
Kota Serang 2013 0.1241 7.30% 69.69 0.0473 865.076.351
Kota Serang 2014 0.1116 6.86% 70.26 0.0479 949.970.142
Kota Serang 2015 0.1035 6.29% 70.51 0.0483 1.061.917.793
Kota Serang 2016 0.0949 6.22% 71.09 0.0488 1.129.841.327
Kota Serang 2017 0.0892 6.41% 71.31 0.0491 1.330.488.752
Kota Tangsel 2013 0.0595 8.75% 78.65 0.1185 1.837.733.514
Kota Tangsel 2014 0.0489 8.05% 79.17 0.1214 6.128.937.574
Kota Tangsel 2015 0.0456 7.20% 79.38 0.1234 2.621.240.245
Kota Tangsel 2016 0.0449 6.98% 80.11 0.1253 2.888.885.248
Kota Tangsel 2017 0.0431 7.43% 80.84 0.1273 2.967.633.309
120
B. Data Penelitian Setelah di LOG (IPM dan Belanja Pemerintah Daerah)
Kab/Kota Tahun
Ketimpa
ngan
(Y)
Pert.
Ek
(X1)
LOG
IPM
(X2)
AG
(X3)
LOG Belanja
Pemerintah
(X4)
Kab. Pandeglang 2013 0.5785 0.0472 4.116595 0.0435 21.15254
Kab. Pandeglang 2014 0.5747 0.0493 4.128102 0.0432 21.21797
Kab. Pandeglang 2015 0.5671 0.0596 4.138680 0.0433 21.43476
Kab. Pandeglang 2016 0.5602 0.0549 4.149464 0.0434 21.51868
Kab. Pandeglang 2017 0.5529 0.0605 4.156067 0.0436 21.65459
Kab. Lebak 2013 0.5874 0.0630 4.113003 0.0449 21.14154
Kab. Lebak 2014 0.5811 0.0583 4.121311 0.0451 21.26880
Kab. Lebak 2015 0.5733 0.0580 4.127618 0.0454 21.46172
Kab. Lebak 2016 0.5663 0.0570 4.139637 0.0456 21.61304
Kab. Lebak 2017 0.5603 0.0605 4.142341 0.0458 21.63207
Kab. Tangerang 2013 0.2326 0.0641 4.238156 0.2116 21.91279
Kab. Tangerang 2014 0.2428 0.0537 4.242333 0.2113 21.37004
Kab. Tangerang 2015 0.2510 0.0536 4.249209 0.2116 22.15335
Kab. Tangerang 2016 0.2602 0.0532 4.254761 0.2117 21.65685
Kab. Tangerang 2017 0.2689 0.0584 4.262257 0.2120 21.73195
Kab. Serang 2013 0.0432 0.0604 4.152142 0.1212 21.26056
Kab. Serang 2014 0.0320 0.0539 4.158414 0.1210 21.97967
Kab. Serang 2015 0.0236 0.0502 4.168369 0.1206 21.57437
Kab. Serang 2016 0.0143 0.0500 4.176232 0.1204 22.23516
Kab. Serang 2017 0.0079 0.0521 4.183576 0.1199 22.32906
Kota Tangerang 2013 0.4520 0.0652 4.318021 0.2475 21.74082
Kota Tangerang 2014 0.4429 0.0515 4.329021 0.2466 21.70012
Kota Tangerang 2015 0.4364 0.0537 4.331785 0.2465 21.85500
Kota Tangerang 2016 0.4306 0.0530 4.341335 0.2465 22.03090
Kota Tangerang 2017 0.4268 0.0591 4.343935 0.2470 22.08323
121
Kab/Kota Tahun
Ketimpa
ngan
(Y)
Pert.
Ek
(X1)
LOG
IPM
(X2)
AG
(X3)
LOG Belanja
Pemerintah
(X4)
Kota Cilegon 2013 3.7527 0.0669 4.262539 0.1653 20.74591
Kota Cilegon 2014 3.7304 0.0462 4.270676 0.1639 20.92441
Kota Cilegon 2015 3.7131 0.0478 4.274024 0.1628 21.10442
Kota Cilegon 2016 3.7139 0.0505 4.277222 0.1624 21.20158
Kota Cilegon 2017 3.7183 0.0559 4.280686 0.1622 21.28753
Kota Serang 2013 0.1241 0.0730 4.244057 0.0473 20.57833
Kota Serang 2014 0.1116 0.0686 4.252203 0.0479 20.67194
Kota Serang 2015 0.1035 0.0629 4.255755 0.0483 20.78334
Kota Serang 2016 0.0949 0.0622 4.263947 0.0488 20.84534
Kota Serang 2017 0.0892 0.0641 4.267037 0.0491 21.00881
Kota Tangsel 2013 0.0595 0.0875 4.365008 0.1185 21.33180
Kota Tangsel 2014 0.0489 0.0805 4.371597 0.1214 22.53629
Kota Tangsel 2015 0.0456 0.0720 4.374246 0.1234 21.68691
Kota Tangsel 2016 0.0449 0.0698 4.383401 0.1253 21.78414
Kota Tangsel 2017 0.0431 0.0743 4.392472 0.1273 21.81103
122
Lampiran 3 : Hasil Perhitungan
A. Perhitungan Tipologi Klassen
1. Pertumbuhan Ekonomi (%)
Kab/Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Kab. Pandeglang 4.72 4.93 5.96 5.49 6.05 5.43
Kab. Lebak 6.30 5.83 5.80 5.70 6.05 5.936
Kab. Tangerang 6.41 5.37 5.36 5.32 5.84 5.66
Kab. Serang 6.04 5.39 5.02 5.00 5.21 5.332
Kota Tangerang 6.52 5.15 5.37 5.3 5.91 5.65
Kota Cilegon 6.69 4.62 4.78 5.05 5.59 5.346
Kota Serang 7.30 6.86 6.29 6.22 6.41 6.616
Kota Tangsel 8.75 8.05 7.2 6.98 7.43 7.682
BANTEN 6.67 5.51 5.45 5.28 5.71 5.82
2. Pendapatan Per Kapita (Juta Rupiah)
Kab/Kota 2013 2014 2015 2016 2017 Rata-rata
Kab. Pandeglang 12.19 12.70 13.37 14.04 14.83 13.426
Kab. Lebak 11.93 12.51 13.18 13.85 14.59 13.212
Kab. Tangerang 22.19 22.61 23.13 23.62 24.25 23.16
Kab. Serang 27.66 28.91 30.15 31.47 32.91 30.22
Kota Tangerang 41.98 43.09 44.36 45.68 47.33 44.488
Kota Cilegon 137.41 141.28 145.55 150.5 156.51 146.25
Kota Serang 25.32 26.53 27.69 28.9 30.21 27.73
Kota Tangsel 27.19 28.41 29.47 30.49 31.74 29.46
BANTEN 28.91 29.87 30.88 31.93 33.17 30.952
123
B. Perhitungan Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah (Konsep
PDRB per Kapita Relatif)
1. Tahun 2013
Kab/Kota PDRB Per
Kapita
PDRB Per Kapita
Provinsi Banten
Ketimpangan
Kab. Pandeglang 12.185 28.913 0.579
Kab. Lebak 11.930 28.913 0.587
Kab. Tangerang 22.188 28.913 0.233
Kab. Serang 27.663 28.913 0.043
Kota Tangerang 41.982 28.913 0.452
Kota Cilegon 137.415 28.913 3.753
Kota Serang 25.324 28.913 0.124
Kota Tangsel 27.194 28.913 0.059
2. Tahun 2014
Kab/Kota PDRB Per
Kapita
PDRB Per Kapita
Provinsi Banten
Ketimpangan
Kab. Pandeglang 12.704 29.867 0.575
Kab. Lebak 12.512 29.867 0.581
Kab. Tangerang 22.614 29.867 0.243
Kab. Serang 28.912 29.867 0.032
Kota Tangerang 43.094 29.867 0.443
Kota Cilegon 141.282 29.867 3.730
Kota Serang 26.533 29.867 0.112
Kota Tangsel 28.407 29.867 0.049
3. Tahun 2015
Kab/Kota PDRB Per
Kapita
PDRB Per Kapita
Provinsi Banten
Ketimpangan
Kab. Pandeglang 13.368 30.883 0.567
Kab. Lebak 13.178 30.883 0.573
Kab. Tangerang 23.130 30.883 0.251
Kab. Serang 30.153 30.883 0.024
Kota Tangerang 44.359 30.883 0.436
Kota Cilegon 145.552 30.883 3.713
Kota Serang 27.687 30.883 0.104
Kota Tangsel 29.475 30.883 0.046
124
4. Tahun 2016
Kab/Kota PDRB Per
Kapita
PDRB Per Kapita
Provinsi Banten
Ketimpangan
Kab. Pandeglang 14.041 31.927 0.560
Kab. Lebak 13.847 31.927 0.566
Kab. Tangerang 23.620 31.927 0.260
Kab. Serang 31.472 31.927 0.014
Kota Tangerang 45.676 31.927 0.431
Kota Cilegon 150.498 31.927 3.714
Kota Serang 28.895 31.927 0.095
Kota Tangsel 30.495 31.927 0.045
5. Tahun 2017
Kab/Kota PDRB Per
Kapita
PDRB Per Kapita
Provinsi Banten
Ketimpangan
Kab. Pandeglang 14.832 33.171 0.553
Kab. Lebak 14.586 33.171 0.560
Kab. Tangerang 24.252 33.171 0.269
Kab. Serang 32.910 33.171 0.008
Kota Tangerang 47.330 33.171 0.427
Kota Cilegon 156.513 33.171 3.718
Kota Serang 30.212 33.171 0.089
Kota Tangsel 31.743 33.171 0.043