analisis pengenaan pajak penghasilan final …
TRANSCRIPT
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
22
ANALISIS PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN FINAL
TERHADAP WAJIB PAJAK TERTENTU
(Studi Kasus pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah
di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan)
Oleh : Muhammad Yusuf
Komputerisasi Akuntansi, Politeknik LP3I Jakarta
Gedung Sentra Kramat Jl. Kramat Raya No. 7-9 Jakarta Pusat 10450
Telp. 021 – 31904598 Fax. 021 - 31904599
Email : [email protected]
ABSTRACT
This study was conducted to determine the effectiveness of the final income tax for
entrepreneurs of SMEs in terms of the principle of taxation and any barriers faced by SME
entrepreneurs in the implementation of the application of the final income tax.
This study is a qualitative research, this study provides an explanation of the
phenomenon of final income tax imposition on SMEs. By using an interview guide that was
given to ten enterprises SMEs in Jakarta, and then analyzed by linking real conditions with
a review of a particular theory is used as a reference and guide in conducting a study.
Based on the analysis showed that the majority of taxpayers said that they felt the
injustice, the lack of precise rules for SMEs, the lack of legal certainty, the tariff burden.
There was resistance because of overlapping regulatory tax rate of SMEs, SMEs are
already organized bookkeeping feel aggrieved by the imposition of 1% final income tax is
calculated from gross income. Another obstacle is not yet understand how the calculation
and reporting of the final income tax.
Keywords: Rate Taxpayers SMEs, Final Income Tax
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pengenaan pajak penghasilan
final bagi pengusaha UMKM ditinjau dari asas pemungutan pajak dan hambatan apa saja
yang dihadapi pengusaha UMKM dalam pelaksanaan penerapan PPh final.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dalam penelitian ini memberikan
penjelasan mengenai fenomena pengenaan PPh final terhadap UMKM. Dengan
menggunakan panduan wawancara yang diberikan kepada sepuluh badan usaha UMKM
di DKI Jakarta, lalu menganalisis dengan cara mengaitkan kondisi nyata dengan tinjauan
teori tertentu yang digunakan sebagai acuan dan panduan dalam melakukan suatu
penelitian.
Berdasarkan analisisdidapatkan hasil bahwa mayoritas wajib pajak mengatakan
bahwa mereka merasakan ketidakadilan, peraturan tersebut kurang tepat bagi UMKM,
kurang adanya kepastian hukum, tarifnya memberatkan.
Ada pun hambatannya karena tumpang tindih peraturan tarif pajak UMKM, UMKM
yang sudah menyelenggarakan pembukuan merasa dirugikan dengan pengenaan PPh final
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
23
1% yang dihitung dari peredaran bruto. Hambatan lain adalah belum memahamicara
penghitungan dan pelaporan PPh final tersebut.
Kata Kunci : Tarif Wajib Pajak UMKM, PPh Final
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Baru – baru ini sebagaimana yang
dikutip dari harian nasional melalui
Deputi Pembiayaan Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
mendorong Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) Kementerian Keuangan
menghapus PPh final untuk sektor usaha
mikro kecil dan menengah (UMKM).
Penghapusan pajak ini agar UMKM
mampu bertahan dan berkontribusi
semakin besar terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB). Usulan itu merespons
keluhan pelaku UMKM.
Para pelaku UMKM merasa
keberatan atas tarif PPh final yang telah
ditetapkan oleh DJP dan mereka meminta
penangguhan sementara pajak usaha
mikro dengan mempertimbangkan
kontribusi UMKM yang mencapai 57%
terhadap PDB dan menyerap 100 juta
tenaga kerja (Kompas : 23 Februari
2015).
Sejumlah wajib pajak yang
tergolong pengusaha tertentu usaha
mikro kecil dan menengah
mengeluhkan tarifpajak yang dikenakan
saat ini. Mereka merasa keberatan dan
sulit untuk bertahan ditengah kondisi
perekonomian yang belum stabil saat ini.
Mereka menganggap pemerintah tidak
adil dalam pengenaan tarif pajak final
yang memberatkan dan menyulitkan
wajib pajak. Sehingga pelaku usaha ini
merasakan adanya diskriminasi, terlebih
pada pebisnis yang termasuk dalam skala
mikro, kecil dan menengah.
Banyak pengusaha UMKM
beranggapan bahwa peraturan pajak
sering berubah-ubah serta kurangnya
sosialisasi pemerintah kepada para wajib
pajak sehingga menyulitkan dalam
pemenuhan kewajiban administrasi
perpajakan. Tarif sebesar 1%
memberatkan dan tidak tepat karena
dihitung dari peredaran bruto bukan dari
penghasilan neto, mereka harus tetap
membayar pajak walaupun usaha mereka
merugi.
Mereka beranggapan tarif pajak
final 1% tidak adil saat penjualan
sedang turun dan ekonomi sedang lesu ,
mereka tetap harus membayar pajak.
Selain itu peraturan pajak yang sulit
dimengerti, rumit, tidak dibuat secara
sederhana dan membingungkan wajib
pajak, peraturan pajak juga dibuat tanpa
mempertimbangkan banyak hal yang
tentunya berkaitan dengan keberadaan
UMKM.
Hambatan –hambatan yang
dihadapi oleh pengusaha UMKM dalam
pelaksanaan penerapan PPh final sejak
berlakunya PP 46 antara lain disebabkan
karena adanya tumpang tindih peraturan
yang berkaitan dengan tarif wajib pajak
UMKM, PPh final yang dianggap tidak
adil, wajib pajak badan usaha UMKM
yang selama ini telah menyelenggarakan
pembukuan dengan tertib merasa
dirugikan dengan tarif PPh final sebesar
1% yang dihitung dari peredaran bruto,
cara menghitung pengenaan pajak, cara
menyetor dan melaporkan yang masih
belum dipahami oleh pengusaha UMKM.
Hambatan lain wajib pajak UMKM sejak
berlakunya PP 46 antara lain penerapan
tarif 1% ini berlaku mulai Juli tahun 2013
yaitu pertengahan tahun dampaknya
menyulitkan administrasi pajak yaitu
ketika wajib pajak harus menyampaikan
SPT Tahunan tahun 2013 karena
menggunakan double tarif yaitu tarif final
dan tidak final.
Tarif pajak 1% dari omset
dikeluhkan oleh wajib pajak UMKM
karena dianggap tidak efisien karena
memberatkan dan tidak tepat sasaran,
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
24
ketika penjualan turun atau ekonomi
keadaan lesu masih dibebankan dengan
kewajiban membayar pajak. Selain itu
tidak ada rasa keadilan karena wajib
pajak harus membayar PPh meskipun
menderita kerugian dan kerugian tersebut
tidak boleh dikompensasikan ke tahun-
tahun pajak berikutnya. Selain itu
penerapan PPh final dengan tarif khusus
di luar tarif umum secara langsung telah
membeda-bedakan (diskriminasi) jenis
atau sumber penghasilan untuk
kepentingan pemajakan.
Berdasarkan uraian mengenai
fenomena yang terjadi pada penerapan
PPh final bagi usaha mikro kecil dan
menengahmembuat peneliti tertarik untuk
mengangkat topik tersebut kedalam suatu
bentuk penelitian kualitatif yang bersifat
ilmiah dengan judul “Analisis
Pengenaan Pajak Penghasilan Final
Terhadap Wajib Pajak Tertentu Studi
Kasus Pada Usaha Mikro Kecil dan
Menengah di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan.
Dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif dan paradigma
konstruktivisme, penelitian ini dilakukan
pada periode Oktober 2014 hingga
Januari 2015. Penelitian ini
menggunakan beberapa metode yaitu
dengan menggunakan metode
kepustakaan atas dasar teori dan
perundang-undangan serta dengan
melakukan wawancara tertutup kepada
sepuluh wajib pajak badan usaha yang
termasuk wajib pajak pengusaha yang
memiliki peredaran bruto tertentu ,
dimana peredaran brutonya tidak
melebihi 4,8 milyar setahun yang
bergerak dibidang perdagangan barang
dan jasa, usaha mikro, kecil dan
menengah diwilayah kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
Guna melengkapi wawasan
mengenai pengenaan pajak penghasilan
final terhadap wajib pajak tertentu,
peneliti menganalis sejauh mana
efektivitas pengenaan PPh Final terhadap
usaha mikro kecil dan menengah ditinjau
dari asas-asas pemungutan pajak yang
dominan yaitu asas keadilan, kepastian
hukum, efisiensi/ekonomi, kemudahan
administrasi, kesederhanaan dalam
pemungutan pajak dan peraturan
perpajakan, kesenangan dalam
pembayaran pajak. Selain itu peneliti
juga menganalisis hambatan–hambatan
yang dihadapi oleh pengusaha UMKM
dalam pelaksanaan pengenaan PPh final.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini,
dapat lebih membuka wawasan kita
mengenai fenomena yang terjadi.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui implementasi
kebijakan perpajakan, yaitu mekanisme
pengenaan pajak penghasilan final
berdasarkan pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang No. 36 tahun 2008 tentang
perubahan keempat atas Undang-Undang
No 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, yang pelaksanaannya diatur
dalam Peraturan Pemerintah No 46
Tahun 2013, yang terinci :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis
sejauh mana efektivitas pengenaan
pajak penghasilan final bagi wajib
pajak UMKM ditinjau dari asas –asas
pemungutan pajak.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis
hambatan – hambatan yang dihadapi
oleh wajib pajak pengusaha UMKM
dalam pelaksanaan penerapan PPh
final.
TINJAUAN PUSTAKA/KERANGKA
TEORITIS
1. Pajak
Definisi pajak menurut Andriani
yang disadur oleh Santoso Brotodihardjo
dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum
Pajak” (1991:2) menyebutkan bahwa
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh
wajib pajak, yang membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
25
mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk dan gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan
tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.
Definisi yang diberikan S.I
Djojodiningrat (2000 : 15) yaitu “Pajak
adalah suatu kewajiban menyerahkan
sebagian dari pada kekayaan ke kas
negara disebabkan suatu keadaan,
kejadian dan perbuatan yang memberikan
kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai
hukuman, menurut peraturan yang
ditetapkan pemerintah serta dapat
dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal
balik dari negara secara langsung untuk
memelihara kesejahteraan umum”.
Undang-Undang Nomor 28 tahun
2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menyatakan bahwa
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
a. Syarat Pemungutan Pajak
Agar tidak menimbulkan masalah,
maka pemungutan pajak harus
memenuhi persyaratan yaitu :
a. Pemungutan pajak harus adil
b. Pengaturan pajak harus
berdasarkan Undang-Undang
c. Pemungutan pajak tidak
mengganggu perekonomian
d. Pemungutan pajak harus efisien
e. Sistem pemungutan pajak harus
sederhana
b. Asas Pemungutan Pajak
Asas-asas pemungutan pajak
sebagaimana dikemukakan oleh Adam
Smith dalam buku An inquiry Into
The Nature and Cause of the Wealth
of Nations,(2000:285) bahwa
pemungutan pajak hendaknya
didasarkan pada :
1. Equality(asas keseimbangan
dengan kemampuan atau asas
keadilan)
Pemungutan pajak harus
bersifat adil dan merata. Adil yang
dimaksudkan bahwa setiap wajib
pajak menyumbangkan uang untuk
pengeluaran pemerintah sebanding
dengan kepentingannya dan
manfaat yang diminta.
2. Certainty (asas kepastian hukum)
Certainty yang dimaksud oleh
Adam Smith (1976 : 351) adalah
bahwa pajak itu tidak ditentukan
secara sewenang-wenang,
sebaliknya pajak itu harus jelas
bagi semua wajib pajak dan seluruh
masyarakat yaitu berapa jumlah
yang harus dibayar, kapan harus
dibayar, dan bagaimana cara
membayarnya. Apabila tidak ada
kepastian kepada wajib pajak
tentang kewajiban pajaknya, maka
pajak yang terutang tergantung
kepada kebijaksanaan petugas
pajak yang dapat menyalahgunakan
kekuasaannya untuk keuntungan
dirinya sendiri.
3. Asas Convenience of Payment (
asas pemungutan pajak yang tepat
waktu atau asas kesenangan)
Kapan wajib pajak itu harus
membayar pajak sebaiknya sesuai
dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan wajib pajak, misalnya
pada saat wajib pajak memperoleh
penghasilan. Mansury (2002, 12-
13) memberikan pengertian
convenience bahwa saat wajib
pajak harus membayar pajak
hendaknya ditentukan pada saat
yang tidak akan menyulitkan wajib
pajak, misalnya pada saat wajib
pajak menerima gaji atau menerima
penghasilan lain, seperti pada
waktu menerima bunga deposito.
4. Asas Economy (asas efficiency)
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
26
Menurut Adam Smith (1976 :
vol 2, 351) biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin,
jangan sampai terjadi biaya
pemungutan pajak lebih besar dari
hasil pemungutan pajak.
Pemungutan pajak hendaknya
memberikan manfaat yang lebih
besar kepada masyarakat
dibandingkan dengan biaya yang
dikorbankan oleh seluruh
masyarakat (Mansury : 2000, 2
dan 2002,13).
2. Pajak Penghasilan
Final
Pajak penghasilan yang bersifat
final menurut Siti Resmi dalam bukunya
Perpajakan Teori dan Kasus (2009 :
145), menyebutkan pajak penghasilan
bersifat final adalah pajak penghasilan
yang pengenaannya sudah final (berakhir)
sehingga tidak dapat dikreditkan
(dikurangkan) dari total pajak penghasilan
terutang pada akhir tahun pajak.
Berdasarkan pasal 4 ayat 2 Undang
– Undang PPh penghasilanyang
dapatdikenai pajakbersifat final:
a. Penghasilan berupa bunga deposito
dan tabungan lainnya, bunga
obligasi dan surat utang negara, dan
bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi
b. Penghasilan berupa hadiah undian
c. Penghasilan dari transaksi saham
dan sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan di
bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura.
d. Penghasilan dari transaksi
pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate,
persewaan tanah dan bangunan dan
e. Penghasilan tertentu lainnya.
Yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pengenaan PPh final
dihitung berdasarkan penghasilan
bruto tanpa memperhitungkan
biaya – biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh penghasilan
tersebut. Wajib pajak diharuskan
membayar PPh meskipun
menderita kerugian, dan kerugian
tersebut tidak boleh
dikompensasikan ke tahun-tahun
pajak berikutnya. Tarif yang
dipergunakan adalah tarif khusus
diluar tarif umum.
3. Peraturan Pemerintah (PP ) No 46
Tahun 2013
Peraturan Pemerintah Republik
Inonesia No 46 Tahun 2013 adalah
peraturan tentang pajak penghasilan atas
penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu.
Peraturan PP 46 ini dikeluarkan
dengan dasar pertimbangan
a. Untuk memberikan kemudahan
dan penyederhanaan aturan
perpajakan
b. Mengedukasi masyarakat untuk
tertib administrasi
c. Mengedukasi masyarakat untuk
transparansi
Memberikan kesempatan
masyarakat untuk berkontribusi dalam
penyelenggaraan negara.
Ada pun tujuan dikeluarkannya PP
46 adalah
1. Kemudahan bagi masyarakat
dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan
2. Meningkatnya pengetahuan
tentang manfaat perpajakan bagi
masyarakat
3. Terciptanya kondisi kontrol
sosial dalam memnuhi
kewajiaban perpajakan
Besarnya tarif PP No 46 Thn 2013
adalah pajak penghasilan bersifat final
sebesar 1 % (satu persen), pengenaan
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
27
pajak penghasilan didasarkan pada
peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu)
tahun dari tahun pajak terakhir sebelum
tahun pajak yang bersangkutan.
Dasar pengenaan pajak yang
digunakan untuk menghitung pajak
penghasilan yang bersifat final adalah
jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Pajak penghasilan terutang dihitung
berdasarkan tarif dikalikan dengan dasar
pengenaan pajak.
Ketentuan ini tidak berlaku atas
penghasilan dari usaha yang dikenai
Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final
berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di bidang
Perpajakan. Atas penghasilan selain dari
usaha yang diterima atau diperoleh wajib
pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan ketentuan Undang-undang
Pajak Penghasilan.
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam
penelitian ini adalah menggunakan teori
untuk menggambarkan hubungan teori
dengan fenomena yang terjadi
dilapangan. Kebijakan pengenaan PPh
final bagi pengusaha UMKM dengan
tarif 1% dari penghasilan bruto
merupakan bagian dari kebijakan
perpajakan dan pemungutan pajak
sebagai penerapan kebijakan perpajakan
perlu diuji apakah sudah memenuhi asas
-asas pemungutan pajak khususnya asas
keadilan, efisiensi/ekonomi, kepastian
hukum, kesenangan dalam pembayaran
pajak, kesederhanaan sistem perpajakan,
dan kemudahan administrasi bagi
pengusaha UMKM.
Dalam melakukan suatu penelitian
lazimnya peneliti membuat suatu
pedoman yang berfungsi sebagai
penuntun agar penelitian yang
dilakukannya terfokus dan tidak bias
yang menyebabkan hasil penelitiannya
akan jauh dari yang telah
dicanangkannya, dimana pedoman ini
dinamakan kerangka berfikir peneliti.
Dalam karya ilmiah yang peneliti tulis ini
Untuk lebih memudahkan kerangka
berpikir dan berguna untuk menuntun
langkah apa saja yang harus dilakukan
peneliti guna menyelesaikan penelitian
tesis yang berjudul “Analisis Pengenaan
Pajak Penghasilan Final Terhadap Wajib
Pajak Tertentu Studi Kasus Pada Usaha
Mikro Kecil dan Menengah di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan”.
Peneliti membuat suatu diagram alur
kerangka pemikiran yang berguna untuk
menuntun langkah apa saja yang harus
dilakukan guna menyelesaikan penelitian
ini, seperti dibawah ini :
Gambar No.1 : Kerangka Pemikiran Penelitian
Model Penelitian
Berdasarkan kajian literatur dan
kerangka pemikiran yang disajikan di
atas, peneliti menyajikan model sebagai
berikut :
Gambar 2 : Model penelitian
METODE PENELITIAN
Peneliti memilih metode analisa
data yang digunakan adalah metode
kualitatif dan paradigma naturalistik yang
bertujuan agar dapat lebih memahami
gejala yang diteliti dengan cara
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
28
pengamatan dan pengumpulan data yang
dilakukan secara apa adanya tanpa
memanipulasi subyek yang diteliti.
Dalam tesis ini kategori-kategori atau
entitas-entitas (yang dalam pendekatan
kuantitatif disebut sebagai variabel-
variabel ) yang terkait dengan isu
pengenaan PPh final UMKM sebagai
salah satu fenomena dalam pemungutan
pajak, entitas yang dominan diantaranya
azas keadilan, efisiensi/ekonomi,
kepastian hukum, kesenangan dalam
pembayaran pajak, kesederhanaan sistem
perpajakan, dan kemudahan administrasi,
semuanya pada hakikatnya mutual
simultaneous shaping ‘saling
memperkuat ‘ (Norman K. Denzin and
Yvonna S. Lincoln, 1994 : 119)
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Alasan menggunakan
pendekatan kualitatif karena penelitian
ini menekankan analisisnya tidak
menggunakan data numerical atau angka
yang diperoleh dengan metode statistik,
melainkan analisisnya memberikan
penjelasan secara mendalam mengenai
fenomena yang terjadi di lapangan,
dengan teknik pengumpulan data yakni
wawancara mendalam yang terbuka,
pengamatan langsung dan studi
dokumen.
Alasan lain menggunakan
pendekatan kualitatif karena
mempertimbangkan fokus penelitian,
yakni dalam hal ini fokus pada PPh Final
pada UMKM untuk mencapai tujuan
tertentu yang mempunyai banyak segi,
dan tidak bersifat monokausal. Artinya
tidak ada penyebab tunggal dari suatu
realitas sosial. Peneliti tidak
menggunakan pendekatan kuantitatif
yang bersifat linear, karena peneliti ingin
mengungkapkan apa saja kategori-
kategori atau entitas-entitas yang secara
simultan saling membentuk (Yvonna S.
Lincoln and Egon G. 1985 : 38) dalam
fenomena ilmu administarsi, khususnya
fenomena PPh final pada UMKM sebagai
salah satu unsur utama dalam pengenaan
PPh.
Karena pendekatan dalam
penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, maka dari dimensi waktu
penelitian ini termasuk dalam
pemahaman case study tersebut.
Ciri utama dari studi kasus adalah
wawancara mendalam dalam
menghimpun data serta menghimpun”
..... many features in of a few cases over
a duration of time”. (W. Lawrence
Neuman, 2006 :33), yakni menghimpun
banyak ciri/sifat tertentu dalam studi
kasus pada waktu tertentu. Pada
penelitian ini akan dihimpun sebanyak
mungkin ciri atau sifat yang melekat
pada pengenaan PPh final UMKM
selama penelitian berlangsung yakni
antara Oktober 2014 sampai dengan
Januari 2015.
Penelitian ini merupakan penelitian
eksploratoris, dimana dalam penelitian
ini memberikan penjelasan lebih dalam
mengenai fenomena pengenaan PPh final
pada wajib pajak tertentu disebabkan
oleh adanya perubahan peraturan yang
diterapkan secara terus –menerus, dalam
hal pengenaan pajak penghasilan (PPh)
final terhadap pengusaha yang memiliki
peredaran bruto tertentu.
Sebelumnya sudah ada tarif khusus PPh
untuk UMKM tetapi hanya berlaku untuk
yang berbentuk badan usaha.
Sebagaimana yang tertuang di dalam
Undang-undang No.36 tahun 2008 pasal
31E dinyatakan bahwa wajib pajak badan
dalam negeri dengan peredaran bruto
sampai dengan Rp 50 miliar mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50 persen dari tarif umum sebagaimana
diatur dalam pasal 17 ayat (2) UU PPh
yang dikenakan tarif atas penghasilan
kena pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan 4,8 miliar.
Dengan tarif PPh Badan yang
berlaku saat ini yaitu 25 persen, maka
bagi wajib pajak badan dalam negeri
yang memenuhi syarat, tarif efektifnya
menjadi 12,5 persen atas penghasilan
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
29
sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pengenaan
PPh dalam hal ini dilakukan terhadap
penghasilan kena pajak yang dihitung
dari perhitungan laba-rugi akuntansi
(pembukuan) setelah dilakukan koreksi
fiskal, karena berdasarkan pasal 28 ayat
(1) Undang – undang Nomor 28 tahun
2007 ((UU KUP), wajib pajak badan
diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan.
Namun aturan tersebut tidak
berlaku lagi setelah pemerintah
mengeluarkan PP 46 thn 2013 yang
berlaku efektif Juli 2013, yaitu aturan
PPh bagi wajib pajak dengan omset
tertentu . Sebagaimana kita ketahui
bahwa setiap wajib pajak orang pribadi
yang melakukan usaha dan wajib pajak
badan dengan omset tidak melebihi 4,8M
dikenakan PPh final dengan tarif 1% dari
penjualannya. Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) yang digunakan adalah jumlah
peredaran bruto setiap bulan. Sedangkan
besarnya PPh final dihitung dengan cara
mengalikan DPP dengan 1 persen.
PPh Final yang dikenakan dari
penghasilan bruto tanpa
memperhitungkan biaya - biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh
penghasilan tersebut jelas tidak
memenuhi azas keadilan. Kemampuan
membayar pajak dicerminkan oleh
penghasilan neto, bukan penghasilan
bruto. Ketidakadilan ini semakin terasa
ketika wajib pajak harus membayar PPh
meskipun menderita kerugian dan
kerugian tersebut tidak boleh
dikompensasikan ke tahun-tahun pajak
berikutnya. Selain itu penerapan PPh
final dengan tarif khusus di luar tarif
umum secara langsung telah membeda-
bedakan (diskriminasi) jenis atau sumber
penghasilan untuk kepentingan
pemajakan.
Berdasarkan fenomena tersebut,
peneliti mencoba mengangkat topik
tersebut dalam sebuah penelitian yang
berjudul “Analisis Pengenaan Pajak
Penghasilan Final Terhadap Wajib Pajak
Tertentu Studi Kasus Pada Usaha Mikro
Kecil dan Menengah di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan”, dengan
menggunakan panduan wawancara yang
diberikan kepada sejumlah pengusaha
yang memiliki peredaran bruto tertentu
yang berada di wilayah DKI Jakarta.
Kemudian dari hasil wawancara tersebut
dilanjutkan dengan menganalisis kondisi
tersebut dengan cara mengaitkan kondisi
nyata dengan tinjauan teori tertentu yang
digunakan sebagai acuan dan panduan
dalam melakukan suatu penelitian.
Dalam penelitian ini, metode yang akan
digunakan adalah metode kepustakaan,
yang ditempuh melalui pencarian dan
pengumpulan data yang dilakukan
dengan melakukan studi dokumen
dengan menggunakan bahan-bahan
hukum seperti perundang-undangan dan
penelusuran elektronik.
Pengumpulan data primer
dilakukan melalui wawancara terhadap
para informan yang mempunyai
pengetahuan, pengalaman dan pelaku
UMKM. Kajian dokumentasi yang
merupakan data sekunder juga dilakukan
terhadap berbagai dokumen yang relevan.
Dalam melakukan penelitian ini
peneliti mengadakan wawancara terhadap
informan (terwawancara) yang berasal
dari unsur pimpinan yaitu direktur
keuangan dan kepala bagian keuangan di
sepuluh perusahaan bergerak dibidang
perdagangan barang dan jasa antara lain
perdagangan komputer dan suku
cadangnya, jasa transportasi darat, jasa
konsultan Teknologi Informatika, jasa
penyelenggaraan pameran, jasa
konsultan bisnis dan manajemen.
Informan tersebut merasakan
langsung dampak pengenaan PPh final
sebesar 1% yang berada di wilayah
kecamatan Pancoran Jakarta Selatan DKI
Jakarta. Informan ini dipilih dengan
pemikiran bahwa merekalah yang secara
langsung menghadapi masalah akibat
timbulnya peraturan perpajakan yang
selalu berubah-ubah.
Informan yang diwawancarai
memiliki latar belakang jabatan minimal
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
30
setingkat manager dan dipersempit
kepada manager keuangan, agar hasil
wawancara bisa mencerminkan keadaan
yang sebenarnya di lapangan yang
dihadapi pengusaha UMKM . Level
management juga dipilih karena
merekalah yang sering mengambil
keputusan langsung atas masalah yang
timbul di lapangan.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pertama, yakni
wawancara mendalam dengan pedoman
wawancara yang mempunyai pertanyaan
terbuka, peneliti akan berusaha
menjaring jawaban – jawaban yang
terkait dengan fokus penelitian yakni isu
pengenaan PPh final dalam pemungutan
pajak. Yaitu dengan menggali entitas-
entitas yang secara simultan saling
memperkuat dan mempengaruhi dalam
pengenaan PPh final pada pengusaha
UMKM. Pedoman wawancara
sebagaimana terlampir pada bagian akhir
dari tesis ini.
Teknik yang kedua adalah
melakukan observasi langsung dan teknik
yang ketiga ada studi dokumentasi. Maka
dalam penelitian ini penulis
menggunakan pengumpulan data menjadi
dua bagian :
a. Data Primer, adalah data yang
diperoleh langsung dari sumbernya,
yang dalam hal ini data yang di dapat
dari hasil wawancara dengan sejumlah
pengusaha UMKM yang terkena
dampak pengenaan PPh final 1% yang
berada di wilayah kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan DKI Jakarta.
b. Data Sekunder, yaitu data lain yang
terkait berdasarkan studi literatur,
seperti halnya dengan penelitian lain
yang telah dilakukan pihak lain,
namun memiliki keterkaitan
pembahasan yang dibuat saat ini.
Teknik Analisis Data
Analisis data diartikan sebagai
upaya mengolah data menjadi informasi,
sehingga karakteristik atau sifat-sifat data
tersebut dapat dengan mudah dipahami
dan bermanfaat untuk menjawab
masalah-masalah yang berkaitan dengan
kegiatan penelitian, baik berkaitan
dengan deskripsi terhadap data maupun
kesimpulan tentang data yang diperoleh.
Dalam penelitian ini metode analisis
yang digunakan adalah inductive data
analysis (Yvonne S. Lincoln Egon S.
Guba, 1984), yakni metode analisis
umum dilakukan oleh para peneliti yang
didasarkan pada hasil penelitian lapangan
seperti wawancara, kemudian dilakukan
interpretasi, dicari makna dan ditarik
kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
beberapa tempat usaha perdagangan
barang dan jasa, yakni daerah kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Propinsi DKI
Jakarta, mengingat dalam penelitian ini
terfokus pada usaha perdagangan barang
dan jasa meliputi usaha perdagangan
komputer dan suku cadangnya, jasa
transportasi darat, jasa konsultan bisnis
dan manjemen, jasa penyelenggaraan
pameran, dan jasa konsultan teknology
informatika.
Kondisi di lapangan sejumlah wajib
pajak yang bergerak di bidang UMKM
didapati mengeluhkan kondisi pajak yang
dikenakan saat ini. Melalui wawancara
yang dilakukan ditemukan pernyataan
bahwa para pelaku bisnis UMKM merasa
keberatan dengan penerapan peraturan
oleh pemerintah pada saat ini. Sehingga
mereka merasa adanya diskriminasi pada
pelaku bisnis tersebut, terlebih pada
pebisnis yang termasuk dalam skala
UMKM.
Dari hasil wawancara tersebut juga
ditemukan bahwa pemerintah membuat
peraturan kurang memperhatikan prinsip
dan asas-asas pemungutan pajak,
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
31
sehingga pengusaha UMKM sebagai
pelaku usaha merasa tidak yakin dengan
kemampuan pemerintah sebagai
jembatan dan mengakomodir aspirasi
pelaku ekonomi, dalam hal ini adalah
pelaku bisnis UMKM sebagai wajib
pajak, yang terlihat dari sering
dilakukannya perubahan peraturan
perpajakan oleh pemerintah tanpa
mempertimbangkan banyak hal yang
tentunya berkaitan dengan keberadaan
bisnis UMKM.
Selain itu, hal yang dirasakan oleh
pengusaha UMKM adalah ketidak
konsistenan pemerintah dalam
penerapan peraturan yang dibuatnya
sendiri ( terutama peraturan perpajakan),
sehingga menimbulkan anggapan bahwa
pemerintah menerapkan peraturan
dengan cara yang arogan dan disinyalir
menjadi tidak netral dan dipengaruhi
oleh pelaku usaha pengusaha besar
sehingga menimbulkan anggapan rasa
ketidak adilan terhadap pelaku usaha
yang berskala UMKM.
Dalam melakukan penelitian ini
peneliti merujuk pada pada pemikiran
Adam Smith dalam bukunya An Inquiry
Into The Nature and Cause of The Wealth
of Nations (2000:285) yang mengatakan
bahwa dalam kegiatan pemungutan
pajak, pengelola perpajakan haruslah
berpegang teguh kepada empat asas.
Asas-asas pemungutan pajak itu yaitu
bahwa pemungutan pajak hendaknya
didasarkan pada Equality artinya
pemungutan pajak harus bersifat adil dan
merata, Certainty artinya ada kepastian
hukum, convenience artinya tidak
menyulitkan dan memberatkan,
Economic artinya biaya yang seminimum
mungkin dalam hal pemungutan pajak.
Sedangkan rujukan kedua yang
peneliti ambil adalah pendapat Mansury
dalam bukunya “Pajak Penghasilan
Lanjutan Pasca Reformasi 2000” yang
menyatakan bahwa sistem perpajakan
yang adil adalah sistem pajak
penghasilan yang menerapkan globality,
yakni semua tambahan kemampuan
ekonomis merupakan ukuran dari
keseluruhan kemampuan membayar (the
global ability to pay )sehingga harus
dijumlahkan menjadi satu sebagai obyek
pajak, serta pajak penghasilan yang
menerapkan equal treatment for the
equal yakni jumlah seluruh penghasilan
yang memenuhi definisi penghasilan,
apabila jumlahnya sama dikenakan pajak
dengan tarif pajak sama tanpa
membedakan jenis-jenis penghasilan atau
sumber penghasilan serta unequal
treatment for the unequals yakni
pendapat yang menyatakan bahwa yang
membedakan besarnya tarif adalah
jumlah seluruh penghasilan atau jumlah
seluruh tambahan kemampuan ekonomis,
bukan karena perbedaan sumber
penghasilan atau perbedaan jenis
penghasilan.
Melalui wawancara yang dilakukan
peneliti terhadap informan yaitu wajib
pajak UMKM dan studi dokumen
terhadap pengenaan PPh final bagi wajib
pajak UMKM berikut ini hasil penelitian
dimana ada pro dan kontra terhadap
perlakuan perpajakan bagi wajib
UMKM.
1. Efektivitas Pengenaan PPh Final
Bagi Wajib Pajak Pengusaha
UMKM Ditinjau dari Asas – Asas
Pemungutan Pajak
a. Pemungutan Pajak ditinjau dari
Asas Keadilan
Dari hasil wawancara,
sejumlah informan dalam
penelitian ini mayoritas
beranggapan bahwa PPh final
yang diberlakukan saat ini kurang
tepat dan tidak adil bagi UMKM,
sebagian yang lain menyatakan
tidak tepat dan tidak adil,
sebagian lagi menyatakan sudah
tepat dan sudah adil, sisanya
menyatakan sangat tepat dan
sudah adil.
Informan yang menyatakan
pemungutan PPh final kurang
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
32
tepat/tidak tepat dan tidak adil
diberlakukan terhadap pengusaha
UMKM, karena pajak itu
dikenakan terhadap peredaran
bruto bukan dihitung dari
penghasilan neto.
Sedangkan informan yang
menyatakan pengenaan PPh final bagi
UMKM sudah tepat dan sudah adil,
karena mudah dalam penghitungan pajak
dan perusahaan tidak perlu membuat
pembukuan yang rumit, seperti yang
dikutip dari tabel dibawah ini :
Tabel
Hasil Penelitian tentang Asas Keadilan bagi Wajib Pajak UMKM
Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim
01
If 2
If 3
If 9
If 6
If 7
If 4
If 8
If 10
Menurut Bapak/Ibu apakah peraturan (PPh) final 1% bagi wajib
pajak UMKM adalah keputusan tepat yang dapat memberikan
keadilan bagi semua wajib pajak yang berada pada lingkup UMKM ?
Jawaban :
“Kurang tepat, dan tidak adil, karena perusahaan itu belum tahu
apakah untung atau rugi. Harusnya kalau perusahaan itu untung
baru dikenakan pajak, dan kalau rugi tidak dikenakan pajak.”
”Kurang tepat dan tidak adil karena tidak memperhitungkan biaya
biaya yang harus dikeluarkan”
“Kurang tepat karena tidak mencerminkan keadilan, seharusnya
bayar pajak itu dibebankan apabila perusahaan untung, kalau
dihitung dari peredaran bruto kurang tepat”
“Tidak tepat dan tidak adil” karena masih usaha kecil belum
berkembang, tarif 1% memberatkan dan usaha belum tentu
mengalami keuntungan.”
“Tidak tepat, dan tidak adil, karena pendapatan dan pengeluaran
tidak seimbang, usaha belum tentu untung, apalagi kondisi ekonomi
yang sekarang ini sedang sulit dan lesu, BBM naik dan sebagainya.
Ini tidak adil karena pajak itu harus dikenakan ke perusahaan
apabila perusahaan itu mengalami keuntungan”
“Sangat tepat dan sudah adil bagi pelaku UMKM yang belum siap
menyelenggarakan pembukuan dengan baik jadi pelaku UMKM
mudah dalam menghitung pajak”.
“Sudah tepat, sudah bijaksana, dan sudah adil bagi wajib pajak
UMKM”
“Sudah tepat karena memudahkan dalam penghitungan pajak tidak
perlu repot buat pembukuan, sudah adil bagi wajib pajak UMKM,
karena kalau semua wajib pajak bayar pajak membantu pemerintah
untuk mencapai target penerimaan pajak”
tarif pajak
tidak adil
laba usaha
usaha kecil
Kesulitan
ekonomi
sudah adil
sudah tepat
mudah
penghitungan
Sumber : wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Atas dasar ketepatan penerapan
peraturan, sudah dapat dikatakan kurang
tepat atas langkah pemerintah yang
diambil dalam pengenaan pajak UMKM,
dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
33
2. Pemungutan Pajak Ditinjau dari
Asas Kepastian Hukum
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
sebagian menyatakan bahwa adanya
perubahan peraturan PPh bagi UMKM
sudah ada kepastian hukum karena sudah
jelas aturannya ada Peraturan Pemerintah
(PP) dan tarifnya sudah jelas, selain itu
mereka beranggapan bahwa kepastian
hukum itu ada selama peraturan itu
dijalankan sesuai dengan aturan yang
sudah dibuat oleh pemerintah.
Melalui informan lain sebagian
menyatakan bahwa adanya perubahan
peraturan PPh bagi UMKM tidak ada
kepastian hukum karena peraturan pajak
itu sering berubah, sulit dimengerti dan
membingungkan. Seperti kutipan tabel
dibawah ini :
Tabel
Hasil Penelitian tentang Asas Kepastian Hukum bagi WP UMKM
Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim
02
If 1
If 3
If 4
If 7
If 2
If 5
If 6
If 10
“Pada beberapa tahun terakhir pemerintah telah melakukan beberapa
perubahan dalam pengaturan pajak (PPh) bagi pengusaha UMKM.
Menurut Bapak/Ibu apakah dengan adanya beberapa perubahan
tersebut, membuat Bapak/Ibu selaku wajib pajak memiliki suatu acuan
atau kepastian hukum perpajakan?”
Jawaban :
“Sudah ada kepastian hukum karena sudah jelas ada Peraturan
Pemerintahnya. Sudah memberikan kepastian hukum.”
”Sudah ada kepastian hukum selama peraturan itu dijalankan sesuai
dengan aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah”
“Dengan tarif 1% dan bersifat final memberikan kemudahan dan ada
kepastian hukum”
“Peraturan Pemerintah ini apabila ingin dilaksanakan harus
mengevaluasi peraturan yang lama. Untuk membandingkan peraturan
yang mana yang bisa memberikan pendapatan pajak yang lebih
banyak, aturan yang lama kenaikannya berapa persen, aturan yang
baru kenaikannya berapa persen. Pajak itu memberatkan apa tidak,
apabila memberatkan maka perlu memakai aturan yang lama, untuk
menentukan tarif pajak yang lama atau yang baru, harus dilihat dulu
keadaan ekonomi masyarakat.” Ada kepastian hukum.
“Peraturan pajak yang selalu berubah membuat perusahaan itu
bingung, hal ini karena kurangnya sosialisasi dari kantor pajak. Belum
jelas kepastian hukum.”
“Tidak ada kepastian hukum, membuat kami tambah bingung karena
peraturan sering berubah, kurang penyuluhan dan sosialisasi.
Peraturan sering tumpang tindih.”
“Tidak ada acuan kepastian hukum, bikin bingung, tidak ada
penyuluhan, sosialisasi yang kurang, serta peraturan yang tumpang
tindih”.
“Belum mencerminkan adanya kepastian hukum, peraturan pajak
masih membingungkan, sulit dimengerti”.
Kepastian hukum
Peraturan
dijalankan
kemudahan
evaluasi peraturan
kurangnya
sosialisasi
peraturan sering
berubah
peraturan
tumpang tindih
peraturan sulit
dimengerti
Sumber : Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Dari hasil wawancara tersebut
dapat disimpulkan bahwa ada dua
pendapat dari informan yaitu perubahan
peraturan pemerintah sudah
mencerminkan asas kepastian hukum
selama ada Peraturan Pemerintah yang
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
34
mengatur, dan dijalankan sesuai dengan
aturan yang berlaku, sedangkan informan
yang lain menyatakan belum
mencerminkan asas kepastian hukum atas
perubahan Peraturan Pemerintah terhadap
pengusaha UMKM, disebabkan karena
peraturan yang sering berubah, sulit
dimengerti, membingungkan dan
kurangnya sosialisasi.
3. Pemungutan Pajak dari Asas
Efisiensi/Ekonomi
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
mayoritas informan menyatakan bahwa
pemungutan PPh Final atas wajib pajak
UMKM sebesar 1% dari omset tidak
efiisen karena memberatkan perusahaan,
menambah beban biaya perusahaan, 1%
dihitung dari peredaran bruto bukan dari
penghitungan laba rugi perusahaan.
Sedangkan informan lain yang
menyatakan bahwa pemungutan PPh
final 1% sudah efisien dalam hal
pemungutan pajak karena memudahkan
secara administrasi, tidak harus membuat
pembukuan dan menghemat waktu.
Seperti kita lihat tabel kutipan berikut ini:
Tabel
Hasil Penelitian tentang Asas Efisiensi bagi Wajib Pajak UMKM
Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim
03
If 2
If 3
If 7
If 1
If 4
“Menurut Bapak/Ibu wajib pajak UMKM dikenakan PPh final 1%
dari omset yg dihitung setiap bulan sudah sesuai dengan asas
efisiensi/ekonomi dalam hal pemungutan pajak?”
Jawaban
“Tidak efisien, karena memberatkan perusahaan pajak 1%
dibebankan atas peredaran bruto, tidak berdasarkan penghitungan
laba rugi”.
“Dari perpajakan efektif dan efisien, namun dari pihak WP
memberatkan, tdk efisien krn menambah beban biaya, dan pajak yg
dibebankan tdk melihat untung rugi perusahaan,yg dilihat hanya
tarif 1% dari bruto
“Blm efisien, karena pendapatan perusahaan turun naik, biaya
operasional selalu bertambah akibat kenaikan listrik, BBM, UMP,
apabila peraturan pajak itu dipaksakan maka perusahaan akan
mengurangi biaya operasional seperti mengurangi jumlah karyawan,
memangkas biaya”
“Sudah efisien krn memudahkan tdk harus membuat pembukuan,
tidak harus menghitung-hitung lagi, hemat waktu”
“Sudah efisien dan mudah secara administrasi”
tidak efisien
memberatkan
biaya operasional
tinggi
efisien
administrasi mudah
Sumber : Hasil Wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Berdasarkan hasil wawancara di
atas maka dapat disimpulkan bahwa
pemungutan PPh final 1% atas UMKM
tidak tepat dan tidak sesuai dengan asas
efisiensi/ekonomi karena memberatkan
wajib pajak dan penghitungan PPh Final
didasarkan atas peredaran bruto bukan
berdasarkan laba rugi perusahaan.
4. Pemungutan Pajak dari Asas
Kemudahan Administrasi
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
35
menjadi informan dalam penelitian ini
mayoritas informan menyatakan bahwa
pemungutan PPh Final atas wajib pajak
UMKM sebesar 1% memberikan
pendapat bahwa administrasinya menjadi
lebih sulit dan tidak efektif karena
walaupun perusahaan sudah melakukan
pemotongan PPh final, tetap masih harus
membuat laporan SPT Tahunan yang
sulit dan rumit dan kurangnya sosialisasi
dari pemerintah.
Sedangkan informan lain yang
menyatakan bahwa pemungutan PPh
final 1% atas UMKM administrasinya
menjadi lebih mudah dan efektif, karena
memberikan kemudahan administrasi,
lebih sederhana, bisa menghitung dan
memotong sendiri pajak yang harus
dibayar. Seperti kita lihat tabel kutipan
berikut ini:
Tabel
Hasil Penelitian tentang Asas Kemudahan Administrasi bagi WP UMKM
Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim
04
If 3
If 6
If 7
If 1
If 2
If 4
“Apakah menurut Bapak/Ibu kebijakan peraturan (PPh ) final dengan
tarif 1% yang diberlakukan pemerintah tersebut membuat prosedur
administrasi yang dilakukan menjadi lebih mudah dan efektif ?”
Jawaban
“Menurut versinya fiskus administrasinya mudah, tapi menurut wajib
pajak tidak, karena administrasi pajaknya tetap sulit karena masih harus
buat laporan SPT Tahunan dan tidak efektif.”
“Administrasinya masih sulit, tidak mudah dan tidak efektif masih
menambah bingung wajib pajak, karena kurangnya sosialisasi”.
“Walaupun petugas pajak sudah memberikan sosialisasi kepada wajib
pajak prosedur administrasi tetap sulit dan tidak mudah dan tidak efektif,
karena wajib pajak tetap harus lapor SPT Tahunan walaupun PPhnya
sudah dipotong final karena pihak pajak kurang memberikan
sosialisasi.”
“Oh ya memberikan kemudahan prosedur administrasi pajak, dan efektif,
kesulitan hanya pada laporan SPT Tahunan karena kurangnya sosialisasi
dari pihak pajak”
“Memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak, lebih
sederhana bisa menghitung dan memotong sendiri pajak yang harus
dibayar, kesulitan hanya ketika membuat laporan SPT Tahunan karena
kurang nya sosialisasi dari pihak pajak.”
“Lebih efisien, mudah administrasinya dan efektif cukup mencatat
jumlah penjualan saja.”
administrasi
sulit
kurang
sosialisasi
tidak efektif
prosedur mudah
Sumber : Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Dari hasil wawancara tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa
pemungutan PPh final 1% atas UMKM
oleh pemerintah tidak mencerminkan
asas kemudahan dalam administrasi
pajak.
5. Pemungutan Pajak Ditinjau dari Asas
Kesederhanaan Pemungutan Pajak dan
Peraturan Perpajakan
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
mayoritas informan menyatakan bahwa
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
36
sistem perpajakan dan peraturan
perundang-undangan yang sekarang ini
dibuat oleh pemerintah belum sederhana
dan masih sulit dipahami, karena masih
sering beda persepsi antara wajib pajak
dengan pihak pajak, pasal-pasalnya
terlalu banyak, dan jenis pajaknya
banyak, hal ini dikarenakan kurangnya
sosialisasi dari pemerintah.
Informan lain yang menyatakan
bahwa sistem perpajakan dan peraturan
perpajakan yang dibuat oleh pemerintah
saat ini, baik dalam hal pemungutan
pajak maupun peraturan perpajakan
sudah sederhana, dengan catatan perlu
diberikan penyuluhan atau sosialisasi
secara terus-menerus. Seperti dapat
dilihat pada tabel kutipan berikut ini:
Tabel
Hasil Penelitian tentang Asas Kesederhanaan Pemungutan Pajak dan Peraturan Perpajakan bagi Wajib Pajak UMKM
Sumber : Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Berdasarkan hasil wawancara di
atas maka dapat disimpulkan bahwa
sistem perpajakan dan peraturan
perpajakan yang dibuat oleh pemerintah
saat ini belum mencerminkan asas
kesederhanaan dalam pemungutan pajak
dan peraturan perpajakan.
4. Pemungutan Pajak Ditinjau Dari
Asas Kesenangan dalam Pembayaran
Pajak (Convenience Of Payment)
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
mayoritas informan menyatakan bahwa
apabila keadaan ekonomi lesu dan omset
penjualan perusahaan turun mayoritas
mereka berpendapat bahwa pengenaan
PPh final bagi UMKM tidak tepat.
Karena memberatkan perusahaan dan
menjadi beban perusahaan yang akan
berdampak terhadap kelangsungan usaha,
Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim
05
If 1
If 3
If 5
If 9
If10
If 4
If 8
“Menurut Bapak/Ibu apakah sistem perpajakan yang sekarang dibuat oleh
pemerintah mengenai kewajiban wajib pajak khususnya administrasi
perpajakan sudah mencerminkan asas kesederhanaan baik dalam hal
pemungutan pajak maupun dalam peraturan perundang-undangan? Karena
apabila peraturan pajak dibuat sederhana maka wajib pajak akan lebih
mudah memahami peraturan perpajakan”
Jawaban
“Belum mencerminkan kesederhanaan masih rumit karena pelaporan pajak
harus menggunakan E-SPT tidak semua orang mengerti cara menggunakan
program E-SPT . Belum mampu menguasai teknologi Informasi.”
”Tidak mencerminkan kesederhanaan terlalu banyak pajak yang harus
dibayar oleh perusahaan, mulai dari kewajiban memotong pajak PPh psl 21,
PPN, psl 23 dan sebagainya.
“Masih sulit untuk dimengerti belum dibuat sederhana, masih
membingungkan wajib pajak, karena kurang sosialisasi”
“Belum mencerminkan kesederhanaan masih sering beda persepsi terhadap
aturan perpajakan.”
“Masih belum sederhana, pasal-pasalnya masih sulit untuk dimengerti,
sering beda persepsi terhadap peraturan perpajakan”
“Lebih sederhana, namun harus ada sosialisasi dari pemerintah jika
menerbitkan aturan pajak yang baru.”
“Ya memang peraturan sekarang ini memudahkan pemahaman, namun tetap
perlu pembinaan dan sosialisasi terus-menerus, selain itu perlu dibuat
format peraturan yang lebih sederhana. Prinsipnya sudah sederhana.”
adminisrasi
rumit
banyak pasal
sulit dimengerti
beda persepsi
banyak pasal
sosialisasi
perlu bimbingan
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
37
perusahaan akan bangkrut dan gulung
tikar.
Sedangkan informan yang
menyatakan bahwa pengenaan PPh final
bagi UMKM ketika keadaan ekonomi
sedang lesu dan omset penjualan turun
sudah tepat karena dikenakan dari
penjualan. Seperti dikutipan tabel di
bawah ini :
Tabel
Hasil Penelitian tentang Asas Kesenangan dalam Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak UMKM
Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim
06
If 1
If 7
If 8
If 9
If 4
If 5
“Bagaimana menurut pendapat Bapak/Ibu apabila keadaan ekonomi sedang lesu
dan omset penjualan turun apakah pemberlakuan tarif PPh final bagi wajib pajak
UMKM sudah tepat dan mencerminkan azas kesenangan dalam pembayaran
pajak (convenience of payment) ?.”
Jawaban
“Tidak tepat, karena wajib pajak mengalami kemunduran usaha dan
memberatkan”
“Tidak tepat, saat wajib pajak omsetnya turun sebaiknya pemerintah mengambil
kebijakan yang dapat membantu usaha UMKM supaya tidak bangkrut. Harus ada
subsidi atau insentif pajak buat UMKM.”
“Tidak tepat, untuk hal tersebut perlu pemerintah mempertimbangkan dengan
menggunakan azas kemanusiaan supaya pengusaha bisa jalan usahanya, pajak
itu dibebaskan atau pembayarannya dicicil/diangsur”.
“Tidak tepat, pajaknya harus dibebaskan supaya tidak memberatkan
perusahaan.”
“Sudah tepat, karena dikenakan dari penjualan”.
“Sudah tepat”.
Sumber :Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Berdasarkan hasil wawancara di
atas maka dapat disimpulkan bahwa
pengenaan PPh final bagi UMKM ketika
keadaan ekonomi sedang lesu dan omset
penjualan turun tidak tepat dan tidak
mencerminkan asas kesenangan dalam
pembayaran pajak (convenience of
payment).
Hambatan – hambatan yang dihadapi
pengusaha UMKM dalam pelaksanaan
penerapan PPh final
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, semua wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
menyatakan bahwa pelaksanaan
penerapaan pemungutan PPh Final atas
wajib pajak UMKM masih banyak
menghadapi hambatan – hambatan di
lapangandiantaranya adalah adanya
tumpang tindih peraturan, wajib pajak
UMKM belum paham teknis
penghitungan, pembayaran dan pelaporan
PPh final, adanya Surat Keterangan
Bebas, ketidakadilan, kesulitan
keuangan, PPh final merugikan
perusahaan yang sudah tertib
menyelenggarakan pembukuan, hasil
jawaban dapat dilihat pada kutipan tabel
di bawah ini:
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
38
Tabel
Hasil Penelitian tentang Hambatan –hambatan bagi Wajib Pajak UMKM
dalam Pelaksanaan Penerapan PPh Final
Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim
07
If 1
If 2
If 4
If 5
If 6
If 7
If 10
“Hambatan –hambatan apa yang Bapak/Ibu alami terhadap pelaksanaan
penerapan pajak penghasilan final untuk pengusaha UMKM?”
Jawaban
“Tumpang tindih peraturan, karena sudah ada tarif sendiri tentang
UMKM yaitu tarif psl 31E UU PPh tarif efektifnya 12,5% dari
penghasilan neto, untuk perusahaan yang memiliki omset dibawah 4,8
milyar setahun”
“Masih belum paham cara pemotongan penyetoran dan pelaporannya,
soalnya kurang sosialisasi dari kantor pajak”
“Yang sulit waktu laporan SPT Tahunan Badan tahun 2013 karena
laporannya 6 bulan final dan 6 bulan tidak final”
“Memberatkan, tidak adil, usaha belum tentu untung sudah harus bayar
pajak, kesulitan keuangan, bayar pajak sering terlambat “
“ Pemerintah tidak pro UMKM , perusahaan kami yang sudah
menyelenggarakan pembukuan dengan tertib dirugikan dengan tarif PPh
final 1% yang dihitung dari peredaran bruto, padahal tarif yang lama
kami menghitung pajak yang harus dibayar berdasarkan penghasilan
neto, akibatnya perusahaan bayar pajaknya lebih besar “
“Harus membuat Surat Keterangan Bebas dari kantor pajak yaitu SKB
ps 22, atau ps 23 supaya tidak dipotong ganda, yaitu potongan dari
perusahaan lawan transaksi sebesar 1,5% utk ps 22, dan 2% utk ps 23
potongan ini tidak bisa dikreditkan diakhir thn & potongan pajak final
1%
“Perusahaan masih bingung cara penghitungan, pembayaran dan
pelaporannya, terutama saat melaporkan SPT Tahunan Badan, karena
pihak dari kantor pajak kurang memberikan penyuluhan dan sosialisasi”
kurang
sosialisasi
Sumber : Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
KESIMPULAN
Efektivitas Pengenaan PPh Final Bagi
Wajib Pajak UMKM Ditinjau dari Asas-
Asas Pemungutan Pajak
Berdasarkan uraian yang
sebelumnya dapat diambil kesimpulan
pengenaan PPh final bagi UMKM kurang
mengacu pada prinsip-prinsip asas-asas
pemungutan pajak sehingga keadilan,
kepastian hukum, efisiensi, kemudahan
administrasi, kesederhanaan pemungutan
dan peraturan, kesenangan dalam
pembayaran, atas penerapan pajak
penghasilan yang bersifat final terhadap
pengusaha UMKM masih belum dapat
terpenuhi, karena masih ditemui hambatan
dalam penerapan peraturan tersebut seperti
penerapan :
a. Asas Keadilan
Pemungutan pajak adalah adil,
apabila orang-orang yang berada dalam
keadaan ekonomis yang sama dikenakan
pajak yang sama, sedang orang-orang yang
keadaan ekonomisnya tidak sama
diperlakukan tidak sama, setara dengan
ketidaksamaannya itu. Apabila rumusan
tersebut diterapkan untuk pajak
penghasilan, maka rumusannya akan
menjadi sebagai berikut : ”Pajak
Penghasilan itu sesuai dengan asas
keadilan, apabila semua orang dengan
tambahan kemampuan ekonomis yang
sama tanpa memperhatikan sumber
penghasilan dan tanpa membedakan jenis-
jenis penghasilannya dikenakan pajak
yang sama, sedangkan orang-orang dengan
tambahan kemampuan ekonomis berbeda
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
39
dikenakan pajak penghasilan yang berbeda
setara dengan perbedaannya.
Wajib pajak yang menerima
tambahan kemampuan ekonomis lebih
besar dikenakan pajak penghasilan dengan
prosentase tarif yang lebih besar. Namun
nampaknya hal tersebut belum berlaku
pada perpajakan wajib pajak pengusaha
UMKM, dimana tarif pajak UMKM
dikenakan PPh final sebesar 1% dari
peredaran bruto, sedangkan wajib pajak
pengusaha besar dikenakan tarif PPh tidak
final dihitung dari penghasilan neto.
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, mayoritas wajib pajak
beranggapan bahwa peraturan PPh final
yang diberlakukan pemerintah saat ini
kurang tepat dan tidak adil bagi wajib
pajak UMKM, karena pajak itu dikenakan
terhadap peredaran bruto bukan dihitung
dari penghasilan neto.
PPh final yang dikenakan dari
penghasilan bruto tanpa memperhitungkan
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh penghasilan tersebut jelas
tidak memenuhi asas keadilan yang
menganut ability to pay principledimana
pembebanan pajak didasarkan kepada
kemampuan masing-masing wajib pajak.
The more you earn, the more you pay tax,
demikian seharusnya yang adil.
Kemampuan membayar pajak dicerminkan
oleh penghasilan neto bukan penghasilan
bruto.
Ketidakadilan ini semakin terasa
ketika wajib pajak harus membayar PPh
meskipun menderita kerugian dan
kerugian tersebut tidak boleh
dikompensasikan ke tahun-tahun pajak
berikutnya. Penerapan PPh final dengan
tarif khusus di luar tarif umum secara
langsung telah membeda-bedakan
(diskriminasi) jenis atau sumber
penghasilan untuk kepentingan pemajakan.
Tarif pajak 1% dari omset
dikeluhkan oleh wajib pajak UMKM
karena dianggap memberatkan dan tidak
tepat sasaran, ketika penjualan turun atau
ekonomi keadaan lesu masih dibebankan
dengan kewajiban membayar pajak. Atas
dasar ketepatan penerapan peraturan,
sudah dapat dikatakan kurang tepat atas
langkah pemerintah yang diambil dalam
pengenaan pajak UMKM, dan tidak
mencerminkan rasa keadilan.
b. Asas Kepastian Hukum
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
sebagian menyatakan bahwa adanya
perubahan peraturan PPh bagi UMKM
sudah ada kepastian hukum karena sudah
jelas aturannya, ada Peraturan Pemerintah
(PP) dan tarifnya sudah jelas, selain itu
mereka beranggapan bahwa kepastian
hukum itu ada selama peraturan itu
dijalankan sesuai dengan aturan yang
sudah dibuat oleh pemerintah. Melalui
informan lain sebagian menyatakan bahwa
adanya perubahan peraturan PPh bagi
UMKM belum ada kepastian hukum
karena peraturan pajak itu sering berubah,
sulit dimengerti dan membingungkan.
Dari hasil wawancara tersebut dapat
disimpulkan bahwa ada dua pendapat dari
informan yaitu perubahan peraturan
pemerintah sudah mencerminkan asas
kepastian hukum selama ada Peraturan
Pemerintah yang mengatur, dan dijalankan
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sedangkan informan yang lain
menyatakan belum mencerminkan asas
kepastian hukum atas perubahan peraturan
pemerintah terhadap pengusaha UMKM,
disebabkan karena peraturan yang sering
berubah, sulit dimengerti dan
membingungkan.
Menurut Adam Smith kepastian
hukum lebih penting dari keadilan karena
apabila tanpa kepastian hukum
pelaksanaan pemungutan pajak bisa
menjadi tidak adil. Perumusan dan makna
ketentuan undang –undang pajak harus
memberikan kepastian tentang siapa-siapa
yang wajib membayar pajak, apa yang
menyebabkan subyek pajak itu harus
membayar pajak, berapa pajak yang harus
dibayar, dan bagaimana pajak terutang itu
harus dibayar (Mansury : 2002, 22-23).
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
40
Artinya, kepastian bukan hanya
menyangkut kepastian mengenai subyek
pajak (dan pengecualiaannya), obyek pajak
(dan pengecualiaannya), dasar pengenaan
pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga
mengenai prosedur pemenuhan
kewajibannya, antara lain prosedur
pembayaran dan pelaporan serta
pelaksanaan hak-hak perpajakannya.
Tanpa adanya prosedur yang jelas, maka
wajib pajak akan sulit untuk menjalankan
kewajiban serta haknya, dan bagi fiskus
akan kesulitan untuk mengawasi
pelaksanaan kewajiban perpajakan yang
dilakukan oleh wajib pajak juga dalam
melayani hak-hak wajib pajak (Rosdiana :
2004,81).
c. Asas Efisiensi/Ekonomi
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
mayoritas informan menyatakan bahwa
pemungutan PPh Final atas wajib pajak
UMKM sebesar 1% dari omset tidak
efiisen karena memberatkan perusahaan,
menambah beban biaya perusahaan, 1%
dihitung dari peredaran bruto bukan dari
penghitungan laba rugi perusahaan.
Berdasarkan hasil wawancara di atas
maka dapat disimpulkan bahwa
pemungutan PPh final 1% atas UMKM
tidak tepat dan tidak sesuai dengan asas
efisiensi/ekonomi karena memberatkan
wajib pajak dan penghitungan PPh Final
didasarkan atas peredaran bruto bukan
berdasarkan laba rugi perusahaan.
d. Pemungutan Pajak dari Asas
Kemudahan Administrasi
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
mayoritas informan berpendapat bahwa
pemungutan PPh Final atas UMKM
sebesar 1% belum mencerminkan asas
kemudahan administrasi karena
administrasinya menjadi lebih sulit dan
tidak efektif , perusahaan masih harus
membuat laporan SPT Tahunan, dan
kurangnya sosialisasi dari pemerintah.
Berdasarkan hasil wawancara di
atas maka dapat digambarkan bahwa
pemungutan PPh final 1% atas UMKM
administrasinya menjadi lebih sulit dan
tidak efektif. Karena walaupun PPh nya
sudah dipotong final, perusahaan masih
harus lapor SPT Tahunan yang rumit dan
sulit. Dari hasil wawancara tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa pemungutan PPh
final 1% atas UMKM oleh pemerintah
tidak mencerminkan azas kemudahan
dalam administrasi pajak.
e. Pemungutan Pajak Ditinjau dari Asas
Kesederhanaan dalam Pemungutan
Pajak dan Peraturan Perpajakan
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
mayoritas informan menyatakan bahwa
sistem perpajakan dan peraturan
perundang-undangan yang sekarang ini
dibuat oleh pemerintah belum sederhana
dan masih sulit dipahami, karena masih
sering beda persepsi antara wajib pajak
dengan pihak pajak, pasal-pasalnya terlalu
banyak, dan jenis pajaknya banyak, hal ini
dikarenakan kurangnya sosialisasi dari
pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara
di atas maka dapat disimpulkan bahwa
sistem perpajakan dan peraturan
perpajakan yang dibuat oleh pemerintah
saat ini belum mencerminkan azas
kesederhanaan baik dalam hal pemungutan
pajak maupun peraturan perpajakan.
f. Pemungutan Pajak Ditinjau Dari Asas
Kesenangan dalam Pembayaran Pajak
(Convenience Of Payment)
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, sejumlah wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
mayoritas informan menyatakan bahwa
apabila keadaan ekonomi lesu dan omset
penjualan perusahaan turun mayoritas
mereka berpendapat bahwa pengenaan
PPh final bagi UMKM tidak tepat. Karena
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
41
memberatkan perusahaan dan menjadi
beban perusahaan yang akan berdampak
terhadap kelangsungan usaha, perusahaan
akan bangkrut dan gulung tikar.
Berdasarkan hasil wawancara di atas
maka dapat disimpulkan bahwa
pengenaan PPh final bagi UMKM ketika
keadaan ekonomi sedang lesu dan omset
penjualan turun tidak tepat dan tidak
mencerminkan asas kesenangan dalam
pembayaran pajak (convenience of
payment).
Hambatan – hambatan yang dihadapi
pengusaha UMKM dalam pelaksanaan
penerapan PPh final
Menurut hasil wawancara yang
didapatkan, semua wajib pajak yang
menjadi informan dalam penelitian ini
menyatakan bahwa pelaksanaan
penerapaan pemungutan PPh Final atas
wajib pajak UMKM masih banyak
menghadapi hambatan – hambatan di
lapangandiantaranya adalah adanya
tumpang tindih peraturan, hal ini
dikarenakan karena sudah ada tarif pajak
khusus UMKM yaitu Psl 31E UU PPh .
Wajib pajak UMKM belum paham
teknis penghitungan, pembayaran dan
pelaporan PPh final. Hal ini dikarenakan
kurangnya sosialisasi dan penyuluhan
secara intensif dari Dirjen Pajak.
Harus membuat Surat Keterangan
Bebas dari kantor pajak yaitu SKB ps 22,
atau ps 23 supaya tidak dipotong ganda,
yaitu potongan dari perusahaan lawan
transaksi sebesar 1,5% utk ps 22, dan 2%
utk ps 23 potongan ini tidak bisa
dikreditkan diakhir tahun dan potongan
pajak final 1%.
Ketidakadilan yang dirasakan oleh
pengusaha UMKM karena pajak dihitung
dari peredaran bruto bukan dari
penghasilan neto. Kesulitan keuangan,
sehingga sering terjadi keterlambatan
dalam pembayaran pajak. PPh final
merugikan perusahaan yang sudah tertib
menyelenggarakan pembukuan.
SARAN
1. Hendaknya pemerintah meninjau
kembali tarif 1% yang dikenakan
kepada wajib pajak UMKM karena
memberatkan, kurang tepat dan tidak
adil, supaya mencerminkan rasa
keadilan tarif pajak dihitung
berdasarkan penghasilan neto bukan
berdasarkan peredaran bruto.
2. Pemerintah hendaknya menurunkan
tarif pajak UMKM dan perlu ada
kebijakan pajak khusus buat UMKM
misalnya adanya insentif pajak atau
pembebasan pajak untuk kemajuan
UMKM
3. Peraturan perpajakan jangan sering
berubah, supaya tidak membingungkan
wajib pajak.
4. Supaya efisien dan tidak memberatkan
tarif pajak UMKM dibuat tidak final,
tarif pajak dikembalikan ke cara yang
lama yaitu dihitung berdasarkan
penghasilan neto menggunakan tarif
pasal 17 dan pasal 31E Undang-Undang
PPh No 36 tahun 2008
5. Untuk memudahkan wajib pajak
Pemerintah hendaknya membuat
kebijakan peraturanperpajakan yang
sederhana, mudah dipahami dan
dimengerti wajib pajak
6. Untuk memudahkan administrasi pajak
Pemerintah hendaknya membuat aturan
prosedur sistem perpajakan yang tidak
rumit dan tidak menyulitkan wajib
pajak
7. Untuk meningkatkan pemahaman wajib
pajak Pemerintah perlu melakukan
sosialisasi terus menerus dan intensif
melakukan penyuluhan apabila ada
peraturan pajak yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Brotodihardjo, R, Santoso, 1991,
Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
Bandung, Eresco
JURNAL LENTERA AKUNTANSI Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
42
Lincoln, Yvonne S. Egon G. Guba,
1984, Naturalistic Inquiry,
Beverly Hills, London, New
Delhi, Sage Publications
Mansury, R, 1994, Panduan Konsep
Utama Pajak Penghasilan
Indonesia Jilid 1 Jakarta, Bina
Rena Pariwara
_______ 2002, Pajak Penghasilan
Lanjutan Pasca Reformasi 2000,
Jakarta, Bina Rena Pariwara
Monique Hennink, Inge Hutter, Ajay
Bailey, 2011, Qualitative Research
Methods
Neuman, W. Lawrence, 2003, Social
Research Methods Qualitative and
Quantitative Approaches, Boston
Pearson Education In
Rosdiana, Haula, 2004, Perpajakan, Teori
dan Kebijakan, Divisi Administrasi
Fiskal FISIP UI Jakarta
Siti Resmi, 2009, Perpajakan : Teori dan
Kasus, Salemba Empat, Jakarta
Smith, Adam, 2000, An Inquiry Into The
Nature and Cause Of The Wealth Of
Nations, New York, New York Press
DOKUMEN
Republik Indonesia, Undang –Undang
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan
Republik Indonesia, Undang-undang No
36 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Ke Empat Atas Undang-undang No
7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan
Republik Indonesia Peraturan Pemerintah
No 46 Tahun 2013 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Pengusaha Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
LAIN-LAIN
Harian Kompas , 23 Februari 2015,
Usulan Penghapusan PPh Final
bagi UMKM
Hukum Pajak dan Keadilan, Pidato
Pengukuhan Mr Sindian Isa Djajadiningrat
sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam
mata kuliah Hukum Fiskal, pada Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan
dan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia padatanggal 28 Mei 1960, NV
Eresco Bandung,1965.