analisis perlakuan perpajakan atas piutang tak …
TRANSCRIPT
1 Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PIUTANG TAKTERTAGIH YANG DIHAPUSBUKUKAN PADA INDUSTRI
PERBANKAN
ARTIKEL JURNAL
MUHAMMAD TAUFIQURRAKHMAN
IMAN SANTOSO
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI EKSTENSI ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
JANUARI 2013
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
2
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Muhammad TaufiqurrakhmanProgram Studi : Administrasi FiskalJudul : Analisis Perlakuan Perpajakan Atas Piutang Tak Tertagih Yang
Dihapusbukukan Pada Industri Perbankan
Skripsi ini membahas tentang perlakuan perpajakan atas beban kerugian piutang taktertagih yang dihapusbukukan yang mencakup latar belakang, permasalahan dan perbedaanpenafsiran antara DJP dan perbankan mengenai piutang tak tertagih pada industri perbankan.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini untuk menunjukkantentang perlakuan perpajakan penghapusbukuan kredit bermasalah beserta permasalahan yangtimbul selama proses penghapusbukuan kredit bermasalah, seperti pajak tidak mengenalhapus buku, kebijakan perpajakan tidak konsisten dalam memakai metode pembebanankerugian dan tidak ada kepastian hukum dalam kebijakan perpajakan atas beban kerugianpiutang tak tertagih yang dihapusbukukan. Permasalahan tersebut mengakibatkan perbedaanpenafsiran antara DJP dan perbankan mengenai ‘upaya-upaya penagihan yang maksimal atauterakhir’, pencantuman informasi NPWP debitur pada daftar piutang yang dihapusbukukandan pencadangan piutang tak tertagih yang telah dihapusbukukan secara komersial. Di akhiridengan penulis memberikan saran agar peraturan perpajakan melakukan beberapapenyelarasan dengan peraturan perbankan seperti memperbolehkan penghapusbukuan kreditbermasalah sepanjang tidak melebihi 5%, memohon kepada menteri keuangan untukmenghapuskan atau tidak mewajibkan pencantuman NPWP pada daftar piutang debitur yangdihapusbukukan dan membuat peraturan pemerintah yang spesifik mengenaipenghapusbukuan kredit bermasalah.
Kata kunci:Hapus Buku, Kredit Macet, dan Piutang Tak Tertagih
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
3
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Muhammad TaufiqurrakhmanMajor / Course : Fiscal AdministrationTitle : Analysis of Tax Treatment for Bad Debts Expense Are Written
Off In The Banking Industry
This thesis discusses about the tax treatment for bad debt expense are written-off thatinclude background, problem and and differences in interpretation between DirectorateGeneral of Taxes (DGT) and banks regarding bad debts in the banking industry. This researchis a qualitative descriptive. The results of this thesis to demonstrate the taxation treatment ofnon performing loans write-off with problems that arise during the process off nonperforming loans write-off, such taxes are not familiar with write-off, tax policy isinconsistent in using the method of loading losses and there is no legal certainty in tax policyat the loss of bad debts written off. These problems lead to differences in interpretationbetween DGT and banking regarding ‘last or maximum collection efforts’, inclusion ofNPWP debitor information on the receivables written off list and provision of bad debtswritten-off in commercial. In the end the author advises tax laws do some alignment withbanking regulations such as allowing non performing loans write-off provided they do notexceed 5%, appealed to the Minister of finance eliminate inclusion of NPWP or not require onthe list of debtors receivables written off and made specific regulations regarding write-off.
Key Word:Bad Credit, Bad Debt and Write-off
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
4
Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Lembaga keuangan, khususnya perbankan merupakan lembaga yang bersifat sebagai
perantara (intermediasi). Dalam suatu negara, lembaga keuangan memiliki peranan sebagai
pembangunan tatanan perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika
peranan ini dapat berjalan dengan baik, lembaga keuangan dapat menghasilkan nilai tambah,
inilah yang menjadi faktor penting di dalam skala usaha kegiatan ekonomi.
Pada dasarnya, fungsi sebuah Bank adalah sebagai lembaga perantara keuangan
(financial intermediation). Dana yang ada di masyarakat (unit surplus) dihimpun untuk
kemudian disalurkan kepada masyarakat (individu dan Perusahaan) yang membutuhkan (unit
defisit) (Arifin, 2007 : 139).
Fungsi intermediasi Bank sebagai lembaga keuangan terlihat dalam Bagan berikut :
Gambar 1.2
Fungsi Intermediasi Bank
Sumber : Arifin, Imamul, (2007). Membangun Cakrawala Ekonomi
Bank melaksanakan penghimpunan dana dari masyarakat dengan mengeluarkan
produk-produk berupa simpanan dan deposito. Sebaliknya Bank menyalurkan dana yang
diperoleh dari masyarakat dengan cara mengeluarkan produk-produk berupa pinjaman.
Berikut data penyaluran dana terhadap masyarakat yang bersumber dari Bank
Indonesia, yaitu posisi pinjaman yang diberikan Bank umum per bulan Agustus 2012 dapat
digambarkan dalam tabel sebagai berikut :
Unit Surplus
Rumah Tangga
Perusahaan
Pemerintah
Luar Negeri
Lembaga Keuangan
Bank
Bukan Bank
Unit Defisit
Rumah Tangga
Perusahaan
Pemerintah
Luar Negeri
Pembelanjaan Langsung
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Tabel 1.1
Posisi Pinjaman Rupiah yang Diberikan Bank Umum menurut Kelompok Bank per Agustus 2012 (dalam
Miliar Rupiah)
No. Kelompok Bank Jumlah
1. Bank Persero 866.0622. Bank Pemerintah Daerah 289.1073. Bank Swasta Nasional 1.190.6874. Bank Asing & Campuran 127.807
Jumlah 2.473.663
Sumber : Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) Tabel I.5 (www.bi.go.id/web/id)
Risiko kredit merupakan masalah besar bagi industri perbankan, dan lembaga
keuangan pada umumnya. Berikut tabel data non performing loan (NPL) Bank Umum
berdasarkan sektor ekonomi yang dicatat oleh Bank Indonesia :
Tabel 1.2
Non Performing Loan Bank Umum Berdasarkan Sektor Ekonomi
(dalam Miliar Rupiah)
Sektor Ekonomi2011 2012
Okt Nov Des Jan Feb1. Pertanian, perburuan dan sarana
pertanian2. Pertambangan
3. Perindustrian
4. Listrik, gas dan air
5. Konstruksi
6. Perdagangan, restoran dan hotel
7. Pengangkutan, pergudangan dankomunikasi
8. Jasa dunia usaha
9. Jasa sosial/masyarakat
10. Lain-lain
2.135
720
13.087
177
3.325
15.470
3.008
2.532
1.552
13.922
2.031
515
12.667
210
3.151
14.859
2.914
2.464
1.537
13.491
1.813
302
11.746
247
2.865
13.129
2.355
2.121
1.276
11.840
1.872
582
11.862
202
3.292
13.747
2.306
3.341
1.360
12.888
2.250
643
12.121
210
3.258
13.963
2.321
2.317
1.435
12.905
Sumber : Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia – Vol. 10, No. 3, Februari 2012
(www.bi.go.id/web/id)
Belakangan untuk menurunkan rasio kredit bermasalah, industri perbankan melakukan
penghapusan kredit macet sebagai upaya untuk memperbaiki kinerja, karena Bank Indonesia
membuat standar NPL Bank tidak boleh lebih dari 5% dari total seluruh kreditnya.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Penghapusan kredit macet sudah lazim dilakukan sebagai salah satu cara untuk menurunkan
tingkat rasio kredit bermasalah.
Pada prinsipnya, penghapusbukuan kredit adalah penghapusbukuan secara
administratif , yaitu kredit yang telah dihapusbukukan, tidak dihapustagihkan karena tetap
ditagih oleh Bank, yang biasa disebut dengan hapus buku. Dalam penerapannya, terdapat
berbagai permasalahan dalam tindakan penghapusbukuan industri perbankan, terutama dalam
hal perpajakan. Ini terlihat dalam kasus-kasus sengketa perpajakan yang terjadi karena
perbedaan pendapat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan perbankan dalam menafsirkan
ketentuan UU Pajak Penghasilan (UU PPh) beserta peraturan pelaksananya. Atas dasar itulah
peneliti tertarik untuk mengkaji tentang penghapusbukuan kredit bermasalah pada sektor
industri perbankan terutama dari segi teori dan juga dari konsep perpajakan.
1.2 Pokok Permasalahan
Untuk menjaga likuiditas perbankan, suatu kredit dapat dihapusbukukan tergantung
terhadap lamanya tunggakan dan harapan kolektibilitasnya. Piutang tak tertagih yang
dihapusbukukan tersebut memicu permasalahan-permasalahan dan perbedaan penafsiran
antara industri perbankan dengan fiskus.
Perbedaan penafsiran antara fiskus dan pihak perbankan mengenai piutang tak tertagih
yang dihapusbukukan dan pencadangan piutang tak tertagih yang diperkenankan dalam
industri perbankan terjadi karena terdapat perbedaan dalam menafsirkan UU PPh dan
peraturan pelaksananya mengenai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Berdasarkan
uraian pokok permasalahan di atas, maka permasalahan yang ingin diteliti adalah :
a. Bagaimana perlakuan perpajakan atas piutang tak tertagih yang dihapusbukukan
pada industri perbankan?
b. Permasalahan-permasalahan apakah yang memicu perbedaan pendapat antara DJP
dan pihak Bank dalam menafsirkan hal-hal yang terkait dengan piutang tak tertagih
yang dihapusbukukan?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan perlakuan perpajakan atas piutang tak tertagih yang
dihapusbukukan pada industri perbankan
b. Untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan perbedaan
pendapat antara DJP dan pihak Bank atas hal-hal yang terkait dengan piutang tak
tertagih yang dihapusbukukan bisa terjadi.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
7
Universitas Indonesia
2. TINJAUAN TEORITIS
2.1 Kredit bermasalah
Dalam pengertian sehari-hari, istilah kredit bermasalah disebut juga non performing
loan (NPL) adalah kredit yang kategori kolektibilitasnya diluar kolektibilitas kredit lancar dan
kredit dalam perhatian khusus. Kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit
kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Kredit macet inilah yang sangat
dikhawatirkan oleh setiap Bank, karena akan mengganggu kondisi keuangan bank, bahkan
dapat mengakibatkan berhentinya kegiatan usaha bank.
Kredit macet pada mulanya selalu diawali dengan terjadinya “wanprestasi” (ingkar
janji), yaitu suatu keadaan dimana debitur tidak mau dan atau tidak mampu memenuhi janji-
janji yang telah dibuatnya sebagaimana tertera dalam perjanjian kredit. Penyebab debitur
wanprestasi dapat bersifat alamiah (di luar kemampuan dan kemauan debitur), maupun akibat
itikad tidak baik pihak debitur (Rivai, Veithzal & Idroes, 2007 : 451-453).
Sebagaimana dikutip Hariyani, Poesoko menyatakan bahwa wanprestasi dianggap
sebagai suatu kegagalan untuk melaksanakan janji yang telah disepakati disebabkan debitur
tidak melaksanakan kewajiban tanpa alasan yang dapat diterima hukum. Dalam praktik
hukum di masyarakat, untuk menentukan sejak kapan debitur wanprestasi kadang-kadang
tidak selalu mudah. Kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam
perjanjian. Dalam perjanjian yang prestasinya untuk memberikan sesuatu atau untuk berbuat
sesuatu, yang tidak menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi itu. Untuk pemenuhan
prestasi tersebut debitur harus lebih dahulu diberi teguran atau somasi agar ia memenuhi
kewajibannya (Rivai, Veithzal & Idroes, 2007 : 28).
2.2 Piutang tak tertagih
Piutang usaha menurut Gunadi (1997), meliputi piutang yang timbul karena penjualan
produk atau penyerahan jasa dari kegiatan usaha normal Perusahaan (Gunadi, 2009 : 45).
Sedangkan pengertian piutang tak tertagih menurut Firdaus (2010), adalah beban operasi yang
timbul dari kegagalan memperoleh hasil tagihan piutang (Dunia, 2008 : 146).
2.3 Metode pembebanan piutang tak tertagih
Ada dua metode untuk mencatat dan melaporkan beban piutang tak tertagih, yakni
metode penyisihan (allowance method) disebut juga metode tidak langsung, dan metode
langsung (direct write-off method atau direct charge-off method) (Dunia, 2008 : 146-151).
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
8
Universitas Indonesia
1. Allowance Method (Pencadangan)
“The allowance method is required when bad debts are deemed to be material in
amount. Uncollectible accounts are estimated and the expense for the uncollectible
accounts is matched against sales in the same accounting period in which the sales
occurred” (Weygandt, Kieso, Kimmel and Trenholm, 2007 : chapter 9)
Dalam metode ini, Perusahaan menentukan jumlah piutang tak tertagih
berdasarkan taksiran atau estimasi. Pencatatan piutang tak tertagih merupakan
bagian dari ayat jurnal penyesuaian (adjusting entries) pada akhir tahun buku.
Ayat jurnal penyesuaian ini mempunyai dua tujuan :
a) Menyajikan piutang dengan jumlah kas yang diharapkan dapat diterima atau
direalisasi di masa yang akan datang, disebut dengan nilai yang dapat direalisir
neto (net realizable value).
b) Memperbandingkan (matches) beban piutang tak tertagih tahun berjalan
dengan pendapatan periode yang sama. Pada dasarnya ada dua cara menaksir
jumlah penyisihan untuk piutang tak tertagih, yaitu berdasarkan persentase
penjualan kredit (piutang) dan berdasarkan analisis umur piutang (aging
schedule)
2. Direct Write-Off Method (Langsung)
“Under the direct write-off method, no entries are made for bad debts until an
account is determined to be uncollectible at which time the loss is charged to bad
debts expense. No attempt is made to match bad debts to sales revenues or to show
the net realizable value of accounts receivable on the balance sheet” (Weygandt,
Kieso, Kimmel and Trenholm, 2007 : chapter 9).
Dalam kondisi tertentu, suatu Perusahaan tidak dapat mengadakan penyisihan
untuk piutang yang mungkin tak tertagih. Pencatatan piutang tak tertagih hanya
dapat dilakukan apabila piutang dagang dari debitur sudah pasti tidak dapat ditagih
lagi dengan mendebit akun beban piutang tak tertagih dan mengkredit akun
piutang dagang.
Metode ini dapat digunakan dalam hal :
a) Kesulitan dalam menaksir jumlah piutang tak tertagih secara wajar.
b) Sebagian besar penjualan dilakukan dengan tunai.
c) Jumlah piutang merupakan bagian yang relatif kecil dalam aset lancar.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
9
Universitas Indonesia
d) Jumlah pelanggan sedikit dan berdasarkan pengalaman bertahun-tahun
sbelumnya, tidak ada piutang yang tak tertagih.
2.4 Cadangan piutang tak tertagih dalam perpajakan
Ketentuan perpajakan bertentangan dengan penggunaan konsep konservatisme.
Kerugian hanya dapat diakui jika telah terjadi realisasi atau transaksi (Prabowo, 2004 : 260),
sehingga dana cadangan piutang tak tertagih kurang diperkenankan untuk dibentuk, karena
pembentukan dana cadangan piutang tak tertagih didasarkan pada perkiraan atas penafsiran.
Akan tetapi, untuk usaha tertentu (seperti usaha perbankan) dana cadangan piutang tak
tertagih dapat dibentuk secara limitatif. Pengecualian peraturan perpajakan ini dikarenakan
alasan-alasan rasional dan keakuratan dari penghitungan dana cadangan piutang tak tertagih
tersebut. Dalam pandangan pihak perpajakan, pembentukan dana cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha Bank diperkenankan dengan alasan usaha perbankan sangat
membutuhkan dana cadangan piutang tak tertagih tersebut dalam mengantisipasi kerugian
yang mungkin akan diderita usaha perbankan.
2.5 Penghapusbukuan kredit macet
Menurut Kamus Bank Indonesia hapus buku adalah write off yaitu pinjaman atau
kredit macet yang tidak dapat ditagih lagi, dihapusbukukan dari neraca (on-balance sheet) dan
dicatat pada rekening kontijensi atau rekening administratif di luar neraca (off-balance sheet),
yang dimaksud dengan kontijensi Bank adalah keadaan yang masih meliputi ketidakpastian
mengenai kemungkinan diperolehnya laba atau rugi oleh suatu Bank, yang baru akan
terselesaikan dengan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa di masa datang (Taswan, 2005 :
195).
Sementara yang dimaksud dengan off-balance sheet pada hakikatnya adalah transaksi
yang terjadi dalam Perusahaan, tetapi karena menurut aturan, baik aturan prinsip akuntansi
maupun aturan lainnya tidak dimasukkan dalam neraca atau belum boleh dicatat dalam prses
akuntansi (Harahap, 2008 :211).
Hapus buku hanya dapat dilakukan terhadap penyediaan dana yang memiliki kualitas
macet. Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana (partial write-
off). Pelaksanan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan dana yang diberikan dan
diikat dalam satu perjanjian. (Hariyani & Toruan, 2010 : 149).
Tujuan utama penghapusbukuan kredit macet adalah untuk memperbaiki kondisi
kualitas aktiva produktif Bank-Bank. Penghapusbukuan kredit bersifat sangat rahasia dan
secara yuridis tidak menghapus hak tagih Bank kepada debitur.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
10
Universitas Indonesia
3. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah sebuah pemahaman dari proses penelitian berdasarkan pada
perbedaan tradisi metodologi dari suatu penelitian yang mengeksplorasi suatu masalah sosial
atau manusia. Peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan tujuan mendapatkan
gambaran mengenai piutang tak tertagih yang dihapusbukukan pada industri perbankan yang
diperoleh berdasarkan analisis kata-kata yang berasal dari hasil wawancara kepada informan
ketika penulis melakukan studi lapangan.
3.2 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, yaitu
berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dimensi waktu, dan teknik pengumpulan
data. Berikut dapat dipaparkan lebih jauh kaitan antara jenis-jenis penelitian dengan
penelitian yang dilakukan.
a. Jenis penelitian berdasarkan tujuan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang ingin memberikan gambaran
yang lengkap mengenai keadaan yang menimbulkan beda penafsiran antara fiskus
dengan pihak industri perbankan terkait perlakuan perpajakan piutang tak tertagih
yang dihapusbukukan pada industri perbankan.
b. Jenis penelitian berdasarkan manfaat penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian murni, karena penelitian ini bermaksud
menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah ditetapkan
sebelumnya. Penelitian ini juga dilakukan dalam rangka akademis dan
ditujukan bagi pemenuhan peneliti untuk memahami perlakuan perpajakan
terhadap piutang tak tertagih yang dihapusbukukan pada industri perbankan dan
menemukan alternatif cara agar tindakan hapus buku kredit macet tidak
menjadi sengketa dan memenuhi ketentuan perpajakan.
Penelitian ini menggunakan teori-teori yang menyangkal dan mendukung
pandangan-pandangan mengenai piutang tak tertagih, menjelaskan mengapa
permasalahan terkait kerugian piutang tak tertagih dapat terjadi dan konsekuensi
akibat piutang tak tertagih tersebut.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
11
Universitas Indonesia
c. Jenis penelitian berdasarkan dimensi waktu
Penelitian ini dilakukan hanya dalam satu waktu, yaitu pada bulan September
2012 - bulan Desember 2012 dengan mewawancarai beberapa narasumber terkait
dengan piutang tak tertagih.
d. Jenis penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa
studi kepustakaan dan studi lapangan dengan wawancara.
Kedua teknik pengumpulan data ini digunakan dalam rangka mendapatkan
jawaban yang lebih komprehensif atas permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini. Penjelasan atas kedua teknik pengumpulan data tersebut yaitu
sebagai berikut :
a. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang
diperoleh dari referensi yang bersumber dari berbagai literatur seperti buku-
buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, paper atau makalah, surat kabar,
dan hasil penelitian sebelumnya yang nantinya akan digunakan sebagai acuan
dalam pengembangan analisis mengenai perlakuan perpajakan piutang tak
tertagih yang dihapusbukukan pada industri perbankan.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi wawancara dengan
narasumber dan juga studi atas dokumen-dokumen yang ditemukan. Peneliti akan
melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang berisi butir-butir
atau pokok-pokok pemikiran mengenai hal yang akan ditanyakan pada waktu
wawancara berlangsung.
e. Jenis penelitian berdasarkan teknik analisis data
Berdasarkan tehnik analisis data, penelitian ini menggunakan teknik analisis
data kualitatif. Merujuk kepada Creswell, teknik analisis data kualitatif dapat
dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan, salah satunya berasal dari
wawancara. Dalam analisis data kualitatif Creswell mengatakan “… to hear what
interviewees said” (Creswell, 1997 : 144), peneliti mendengarkan kata demi kata dari
hasil wawancara yang dilakukan melalui media audio atau visual, cara ini menurut
Creswell dikenal dengan textual analysis.
Proses analisis data kualitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah
data dari hasil wawancara dengan informan penelitian terkait dengan piutang tak
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
12
Universitas Indonesia
tertagih yang dihapusbukukan oleh Bank. Setiap data yang ditelaah tersebut harus
diketahui maksud serta maknanya, kemudian dihubungkan dengan masalah
penelitian.
3.3 Proses Penelitian
Merujuk kepada Neuman, (2006 : 14-15) mengemukakan tahap-tahap dalam
pendekatan kualitatif, yaitu : keperdulian yang tinggi terhadap pengakuan sosial
(acknowledgement social self), mengadopsi pandangan-pandangan dalam masyarakat (adopt
a perspective), mendesain penelitian (design study), mengumpulkan data (collect data),
analisis data (analyze data), interpretasi data (intrepret data), dan menginformasikan kepada
orang lain (inform others).
Pada tahap analisis data, peneliti berusaha mengindentifikasi data yang ada baik data
sekunder maupun data primer, dimana data tersebut akan dianalisis menggunakan konsep-
konsep dan teori-teori yang ada pada kerangka teori untuk menjawab sejumlah pertanyaan
penelitian secara komprehensif. Sedangkan pada tahap terakhir, yaitu menginformasikan
kepada orang lain, peneliti akan membuat kesimpulan dari hasil penelitian serta memberikan
rekomendasi sehubungan dengan permasalahan perlakuan perpajakan piutang tak tertagih
yang dihapusbukukan pada industri perbankan.
3.4 Batasan Penelitian
Dasar hukum dari penelitian ini dibatasi pada PMK No. 81/PMK.03/2009 mengenai
pemmbentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya dan
PMK 57/PMK.03/2010 mengenai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto sebagai peraturan pelaksana sejak diberlakukannya Pasal
6 ayat (1) huruf h dan Pasal 9 ayat (1) huruf c UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
13
Universitas Indonesia
4. PEMBAHASAN
4.1 Analisis Perlakuan Perpajakan atas Piutang Tak Tertagih yang Dihapusbukukan
Pada industri Perbankan
Sikap hati-hati pemerintah dalam mengamankan penerimaan Negara menyebabkan
ketentuan pajak bersifat over conservatism sebagaimana tampak dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
h yang hanya menetapkan tentang piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan
pembebasan utang Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh. Berbeda dengan ketentuan perbankan,
dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak, ketentuan perpajakan hanya mengenal
istilah ‘piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih‘ yang bersifat umum, termasuk bagi
perbankan.
Dalam hal penghapusbukuan pinjaman penafsiran antara pihak DJP dan kalangan
perbankan berbeda. Berikut adalah ilustrasi perhitungan perubahan pinjaman yang diberikan
oleh Bank baik secara komersial maupun fiskal.
Perubahan pinjaman yang diberikanKomersial Fiskal
Rp RpSaldo, awal tahun 969,284 969,284Penerimaan pinjaman
Selama tahun berjalan (184,957) (184,957)Penghapusbukuan selama
Tahun berjalan (382,065) -Penyesuaian karena penjabaran
Mata uang asing 35,837 35,837Selisih kurs -Saldo, akhir tahun 366,425 748,490
Sumber : Laporan Konsolidasi PT. Bank X
Belum dihapuskannya piutang secara perpajakan mengakibatkan masih diakuinya
piutang/pinjaman tersebut kepada debitur secara perpajakan, hal ini dikarenakan secara
perpajakan penghapusbukuan kredit tidak dapat diakui sebagai biaya untuk mengurangi
penghasilan bruto dan masih menjadi objek pajak. Dengan tidak diakuinya keberadaan
piutang, pencadangan yang sebelumnya dibentuk untuk piutang tersebut juga dikoreksi.
Penghapusbukuan NPL dan cadangan yang sebelumnya dibentuk tersebut dikoreksi
diakibatkan terdapat permasalahan-permasalahan dalam proses penghapusbukuan NPL.
Permasalahan-permasalahan tersebut muncul diakibatkan perbedaan penafsiran mengenai
definisi piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang boleh dijadikan biaya untuk
mengurangi penghasilan bruto.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
14
Universitas Indonesia
4.2 Analisis Permasalahan-Permasalahan yang Menyebabkan Perbedaan Penafsiran
antara DJP dan Wajib Pajak Bank Tentang Piutang Tak Tertagih yang
Dihapusbukukan
Perbedaan penafsiran mengenai kerugian kredit bermasalah dalam ketentuan UU
Perpajakan dapat membawa implikasi yang berpotensi untuk melemahkan perkembangan
sektor perbankan. Perbedaan tersebut, akibat di dalam ketentuan perpajakan masih terdapat
permasalahan-permasalahan dalam penghapusbukuan NPL, antara lain :
a) Kredit bermasalah merupakan bentuk inefisiensi.
Kredit bermasalah merupakan salah satu bentuk inefisiensi di dalam industri
perbankan, karena semakin tinggi rasio kredit bermasalah semakin tinggi potensi
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha perbankan. Hal tersebut
membuat peraturan perpajakan hanya memperbolehkan perbankan mengakui
piutang tak tertagih yang memang sudah terjadi, bukan saat dihapusbukukan.
Aturan penghapusan piutang yang tak tertagih di dalam perpajakan yang tertera
pada UU PPh dan peraturan pelaksananya tidak mengadopsi peraturan perbankan
yang mengenal adanya hapus buku. Hal ini dikarenakan jika peraturan perpajakan
mengadopsi secara utuh peraturan perbankan dikhawatirkan akan terjadi inefisiensi
dalam hal penerimaan pajak, sedangkan pajak dalam fungsinya ‘mengatur’
berusaha untuk mendorong pertumbuhan industri perbankan ke arah yang positif,
yang artinya segala bentuk inefisiensi dalam industri perbankan harus dihilangkan.
b) Kebijakan perpajakan tidak konsisten dalam memakai metode pembebanan
kerugian.
Tidak konsistennya kebijakan perpajakan dalam memakai metode pembebanan
kerugian piutang tak tertagih karena terdapat dua metode yang digunakan untuk
pembebanan kerugian atas kredit bermasalah, yaitu metode lengsung dan
penyisihan. Apabila dikaitkan dengan akuntansi komersial, nampaknya Pasal 6
ayat (1) huruf h UU PPh menganut metode langsung penghapusan piutang karena
menekankan pada kenyataan/fakta adanya piutang tidak tertagih, bukan estimasi.
Hal ini tidak sejalan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h angka 1 yang
mensyaratkan bahwa pengurangan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, kemudian juga
tidak sejalan dengan best practice akuntansi komersial yang menerapkan metode
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
15
Universitas Indonesia
penyisihan. Aturan ini juga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c
UU PPh yang menyatakan bahwa industri perbankan diperbolehkan membentuk
pencadangan piutang tak tertagih.
Inkonsistensi regulasi perpajakan dalam menerapkan metode pembebanan
kerugian kredit baik secara formal, prosedural maupun substansial dapat dilihat
dari tidak sejalannya peraturan pembebanan antara Pasal 6 ayat (1) huruf h dan
Pasal 9 ayat (1) huruf c pada UU PPh. Apabila dicermati, kedua ketentuan ini
terlihat ambigu, membingungkan atau bertentangan karena terdapat dua kali
pengurangan atas piutang tak tertagih dalam menentukan besarnya penghasilan
kena pajak (Gunadi, Rosdiana, Putranti, Inayati & Santoso, Kebijakan Pajak
Penghasilan Atas Cadangan dan Biaya Piutang Tak Tertagih pada Kegiatan Jasa
Perbankan, Februari 2012).
c) Tidak ada kepastian hukum dalam kebijakan perpajakan atas piutang tak tertagih
yang dihapusbukukan pada industri perbankan.
Tidak adanya kepastian hukum dalam kebijakan perpajakan atas piutang tak
tertagih yang dihapusbukukan diakibatkan oleh ketidakjelasan definisi ‘piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih‘ yang menjadi dasar piutang tak tertagih pada
industri perbankan. Hal ini membuat fiskus dan Wajib Pajak mencoba menafsirkan
sendiri berdasarkan penafsiran masing-masing, karena keputusan pengadilan pajak
mengenai sengketa piutang tak tertagih tidak dapat dijadikan yurisprudensi.
Peraturan perpajakan tidak mengatur ‘piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih‘ secara spesifik, hanya mengatur secara umum saja, sedangkan dalam
industri perbankan mengenal istilah hapus buku. Tidak diketahui secara spesifik
batasan penghapusan menurut peraturan perpajakan, sedangkan perbankan
merupakan sebuah industri yang spesifik.
Permasalahan-permasalahan dalam penghapusbukuan NPL mengakibatkan
perbedaan penafsiran yang akhirnya menimbulkan perdebatan mengenai beberapa
definisi pada UU PPh dan peraturan pelaksananya, Berikut adalah matriks
perbedaan penafsiran mengenai definisi pada UU PPh yang mengakibatkan
sengketa perpajakan antara DJP dengan Wajib Pajak Bank :
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
16
Universitas Indonesia
Tabel 5.1
Matriks Perbedaan Penafsiran DJP dan Wajib Pajak Bank
No. Uraian DJP (Fiskus) Perbankan1. Penagihan yang
maksimal atauterakhir
Hapus buku belummerupakan upayapenagihan yangmaksimal, karena barumenghapus kredit yangmemiliki kualitas macetdari neraca tanpamenghilangkan hak tagihBank kepada debitur
Hapus buku sudahmerupakan upayapenagihan maksimal,karena sampai ketindakan hapus bukudebitur sudahmenunggak selama 270hari
2. PencantumanNPWP
Pasal 4 ayat (1) PMKNo. 105/PMK.03/2009sebagaimana diubahterakhir PMK No.57/PMK.03/2010mengatur pencantumanNPWP debitur yangpiutangnya dihapuskansebagai syarat agar Bankdapat mengakui kerugianpiutang yang dihapuskanuntuk keperluanperpajakan.
Tidak seluruh debiturmemiliki NPWP, jikaseluruh debitur yangmengajukan kredit harusmemiliki NPWP makaitu akan melemahkanpenyaluran kredit padaperbankan.
3. Pencadanganpiutang taktertagih yangbelum memenuhipersyaratan fiskal
Tidak mengakui secarafiskal piutang yang telahdihapuskan secaraakuntansi namun belummemenuhi persyaratanfiskal penghapusanpiutang yang nyata-nyatatidak dapat ditagih.Pencadangan yangsebelumnya dibentukuntuk piutang tersebutjuga dikoreksi.
Jika pencadangan yangsebelumnya dibentukuntuk piutang tersebutdikoreksi, Bank seolah-olah memilikipenghasilan akibatpenurunan pencadanganpiutang tak tertagih.
4.2.1 Upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir
Hal pertama yang diperdebatkan adalah mengenai definisi ‘upaya-upaya penagihan
yang maksimal atau terakhir‘ pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh. Pendapat DJP,
tindakan hapus buku belum memenuhi kriteria sebagai piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih menurut PMK No. 57/PMK.03/2010 karena tidak menghapus hak tagih Bank kepada
debitur, sehingga atas kredit yang telah dihapusbukukan belum merupakan biaya yang dapat
dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
17
Universitas Indonesia
Pihak perbankan mengatakan bahwa tindakan hapus buku sudah merupakan suatu
upaya penagihan yang maksimal. Kredit yang disalurkan oleh Bank digolongkan termasuk
kredit macet apabila terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui
270 hari, selama waktu tersebutpun pihak debitur telah dipanggil dan diajak berunding
mengenai penyelesaian kredit bermasalah tersebut, sehingga menurut pihak Bank tindakan
hapus buku sudah merupakan upaya penagihan yang maksimal.
4.2.2 Pencantuman informasi NPWP debitur pada daftar piutang yang
dihapusbukukan
Pasal 4 ayat (1) dari PMK No. 105/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah terakhir
PMK No. 57/PMK.03/2010 tentang piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto menyatakan bahwa daftar piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih yang diserahkan kepada DJP harus mencantumkan identitas debitur yang salah
satunya adalah NPWP. Pihak DJP bersikap hati-hati dan meminta pihak perbankan untuk
memberitahukan identitas beserta NPWP debitur yang piutangnya telah dihapusbukukan.
Walaupun PMK ini mengemban mandat Undang-undang dan wajib dipenuhi, Bank
tidak dapat dengan mudah melaksanakan ketentuan tersebut karena belum ada ketentuan
formal perpajakan yang mewajibkan nasabah Bank untuk menyediakan informasi NPWP pada
saat mengajukan kredit kepada Bank. Hal ini mempersulit Bank dalam mengumpulkan
informasi NPWP debitur dalam hal piutang di bawah Rp50.000.000,-, karena SK Direksi BI
No. 28/83/ Kep/Dir tanggal 12 Oktober 1995 hanya mengatur pemohon kredit dengan plafon
di atas Rp50.000.000,- yang wajib melampirkan foto copy kartu NPWP dalam pengajuan
kredit kepada perbankan.
Tanpa ketentuan mengikat dari otoritas terkait, usaha Bank untuk mengharuskan
penyediaan informasi NPWP dapat berakibat terganggunya bisnis Bank karena nasabah dapat
saja menolak untuk menyediakan informasi NPWP dan memilih untuk tidak menggunakan
jasa perbankan. Selain itu, penghapusbukuan tanpa mencantumkan identitas dan NPWP
debitur yang bersangkutan sejalan dengan kerahasiaan Bank, jika kerahasiaan ini diaduk-aduk
oleh pihak lain, maka sudah barang tentu nasabah akan terganggu privatisasinya dan pada
gilirannya kepercayaan masyarakat kepada Bank akan berkurang.
4.2.3 Pencadangan piutang tak tertagih yang telah dihapusbukukan secara komersial
UU PPh memperbolehkan pengakuan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak dengan pemenuhan
beberapa syarat yang diatur lebih lanjut dalam PMK. Apabila persyaratan yang dimaksud
dalam PMK No. 57/PMK.03/2010 tidak dipenuhi maka piutang tidak dapat diakui sebagai
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
18
Universitas Indonesia
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih walaupun telah dihapuskan dari pencatatan
akuntansi Bank, karena belum dihapuskan secara perpajakan, piutang tersebut masih diakui
sebagai piutang/pinjaman kepada debitur secara perpajakan dan sesuai ketentuan PMK No.
81/PMK.03/2009 Bank dapat mengakui pencadangan kerugian atas piutang tersebut.
Pendekatan yang diambil DJP dalam beberapa kasus pemeriksaan pajak umumnya
tidak mengakui secara fiskal piutang yang telah dihapuskan secara akuntansi namun belum
memenuhi persyaratan fiskal penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
Dengan tidak diakuinya keberadaan piutang tersebut, pencadangan yang sebelumnya dibentuk
untuk piutang tersebut juga dikoreksi.
Penjelasan pasal 28 ayat (7) Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyatakan bahwa pembukuan harus
diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan
menentukan lain.
Terdapat peraturan perpajakan yang mengatur khusus untuk perhitungan cadangan
piutang tak tertagih dan pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sehingga
mengakibatkan adanya perbedaan antara perlakuan perpajakan dan perlakuan akuntansi,
peraturan perpajakan yang berlaku saat ini hanya mengatur mengenai pembentukan atau
pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya, tidak ada peraturan khusus
untuk pembentukan cadangan atas piutang yang sudah dihapuskan secara akuntansi atau
disebut juga sebagai piutang yang dihapusbukukan.
Pasal 2 ayat (1) PMK No. 81/PMK.03/2009 mengatur tentang jumlah piutang yang
digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan adalah ‘pokok pinjaman yang
diberikan oleh bank umum‘. Dengan mempertimbangkan ketentuan tersebut, piutang yang
sudah dihapuskan secara akuntansi atau piutang yang sudah dihapusbukukan seharusnya dapat
masuk dalam definisi jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar perhitungan cadangan,
karena piutang tersebut belum dihapuskan secara fiskal sehingga masih merupakan ‘pokok
pinjaman yang diberikan oleh bank umum‘.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
19
Universitas Indonesia
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan terminologi perpajakan, penghapusbukuan non performing loan
(NPL) masih tetap menjadi objek pajak. Sedangkan bagi kalangan perbankan,
penghapusbukuan NPL seharusnya bukan merupakan objek pajak.
2. Permasalahan-permasalahan perpajakan yang timbul saat Bank
menghapusbukukan piutang tak tertagih adalah sebagai berikut :
a) Kredit bermasalah merupakan salah satu bentuk inefisiensi
b) Kebijakan perpajakan tidak konsisten dalam memakai metode pembebanan
kerugian
c) Tidak ada kepastian hukum dalam kebijakan perpajakan atas piutang tak
tertagih yang dihapusbukukan pada industri perbankan.
3. Terjadinya perbedaan penafsiran antara DJP dan pihak Bank tentang piutang tak
tertagih yang dihapusbukukan terjadi karena perbedaan penafsiran definisi berikut
ini :
a) Upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir
b) Pencantuman informasi NPWP debitur pada daftar piutang yang
dihapusbukukan
c) Pencadangan piutang tak tertagih yang telah dihapusbukukan secara komersial
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan untuk mengatasi masalah-masalah piutang tak
tertagih yang dihapusbukukan pada industri perbankan adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan perpajakan mengenai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih perlu
diselaraskan dengan peraturan perbankan, misalnya biaya NPL yang dibebankan
secara fiskal pada tahun berjalan diperbolehkan dengan batas 5% dari total seluruh
kredit, kemudian pencadangan atas kredit menyesuaikan.
2. Khusus untuk NPWP, sebaiknya industri perbankan memohon kepada Menteri
keuangan agar meninjau ulang ketentuan tersebut dan apabila memungkinkan
mengubah ketentuan penyediaan informasi NPWP menjadi ketentuan tidak wajib
(opsional), karena sulit untuk dipenuhi oleh perbankan ; atau
3. Pemerintah dapat membentuk peraturan pemerintah yang jelas mengenai
kerahasiaan Bank dan penghapusbukuan kredit.
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013
20
Universitas Indonesia
KEPUSTAKAAN
I. Buku Referensi :Arifin, Imamul. (2007). Membuka Cakrawala Ekonomi. Bandung : Setia Purna Inves.
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design : Choosing Among Five
Traditions. New Delhi : Sage Publications India.
Dunia, Firdaus A. (2008). Ikhtisar Lengkap Pengantar Akuntansi. Edisi Ketiga. Jakarta :
Lembaga FE UI.
Gunadi. (2009). Akuntansi Perpajakan Edisi Revisi 2009. Jakarta : Grasindo.
Harahap, Sofyan Syafri. (2008). Teori akuntansi. Jakarta : Rajawali Press.
Hariyani, Iswi & L. Toruan, Rayendra. (2010). Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet.
Jakarta : Elex Media Komputindo.
Neuman, William Lawrence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. Needham Heights: A Pearson Education Company.
Prabowo, Yusdianto. (2004). Akuntansi Perpajakan Terapan. Jakarta : Grasindo.
Rivai, Veithzal, Veithzal, Andria Permata, Idroes, Ferry N. (2007). Bank and Financial
Institution Management. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Weygandt, Jerry J and Kieso, Donald E and Kimmel, Paul D. (2007). Accounting Principles
Pengantar Akutansi, Edisi Ketujuh. Jakarta : Salemba Empat
II. Karya Ilmiah :Gunadi, Rosdiana, Haula, Putranti, Titi Muswati, Inayati, Santoso, Iman. Kebijakan Pajak
Penghasilan Atas Cadangan dan Biaya Piutang Tak Tertagih pada Kegiatan Jasa Perbankan.
Pusat Kajian Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Depok : 2012.
III.Peraturan Perundang-UndanganRepublik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
________________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
________________, Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum
________________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang
Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh dikurangkan sebagai Biaya
________________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 Tentang Piutang
Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
________________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 Tentang Piutang Yang Nyata-
Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Analisis Perlakuan ..., Muhammad Taufiqurrakhman, FISIP UI, 2013