analisis spatial pattern dan spatial autocorrelation pada industri gerabah di kabupaten kebumen.docx
TRANSCRIPT
ANALISIS SPATIAL PATTERN DAN SPATIAL AUTOCORRELATION PADA INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI KABUPATEN KEBUMEN
1. Pendahuluan1.1. Latar Belakang
Sektor industri dianggap sebagai salah satu sektor yang cukup penting dalam perekonomian
karena dua hal. Pertama, kemampuannya untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sektor lain. Kedua, sektor ini memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga
kerja dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya, terutama dalam industri
yang bersifat padat modal. Dengan demikian, dalam perjalanannya kedua kelebihan tersebut
kemudian menjadikan sektor ini memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan sektor
ekonomi lainnya di Indonesia.
Selain, karena kedua kelebihan yang dimilikinya, sektor industri juga dapat digunakan
sebagai indikator kemajuan ekonomi wilayah. Pada sebagian besar daerah yang baru berkembang,
sektor pertanian serta penggalian biasanya dijadikan sebagai andalan utama pendapatan
masyarakat. Sementara pada adaerah yang maju, sebagian besar sektor ekonomi yang berkembang
biasanya berada pada perdagangan serta jasa. Sektor inustri memiliki peranan sebagai jembatan
yang menghubungkan transformasi dari sektor ekonomi tradisional pertanian serta pertambangan,m
menjadi sektor perdagangan serta jasa.
Namun demikian, dalam perjalanannya sektor industri memiliki tingkat perkembangan yang
berbeda-beda antara daerah. Hal ini merupakan akibat dari ketergantungan industri terhadap
barang modal seperti; tanah, tenaga kerja, uang, kewirausahaan, serta teknologi. Optimasi dari
kombinasi ketersediaan berbagai barang modal tersebut merupakan penentu dari perkembangan
sektor industri suatu wilayah. Diperlukan adanya kesesuaian antara potensi serta daya dukung
daerah, sehingga pada pada akhirnya, di setiap wilayah akan terjadi pengelompokan atau spesialisasi
jenis industri yang berkembang.
Spesialisasi jenis industri tersebut juga terjadi di wilayah Kabupaten Kebumen. Daerah di
selatan Pulau jawa ini memiliki kondisi wilayah yang berupa pegunungan di bagian utara, terdapat
berbagai sungai yang mengalir menuju ke daerah persawahan dan tegalan di wilayah daerah selatan.
Akibatnya struktur tanah yang dilalui menjadi subur, dan sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan berbagai kerajianan gerabah. Pada tahun 2011 berdasarkan data Dinas
Sumber Daya Alam, Pertambangan dan Energi dapat diidentifikasi bahwa usaha penggalian Batu
Lempung masih merupakan usaha penambangan galian C terbesar yaitu sebanyak 625 usaha.
Sementara itu, data besarnya eksploitasi bahan galian sampai dengan tahun 2011 belum bisa
dideteksi padahal sektor pertambangan merupakan sektor yang perlu diperhatikan mengingat
kaitannya dengan kelestarian lingkungan hidup.
Di sisi lain, terdapat jenis industri yang telah lama berkembang dengan menggunakan bahan
baku tersebut, yaitu industri batu bata dan genteng. Industri ini sangat penting bagi masyarakat
Kabupaten Kebumen karena walaupun bukan merupakan jenis industri terbanyak, namuan nilai
tambah yang dihasilkan, serta jumlah pekerja yang diserap merupakan yang terbesar dibandingkan
dengan sektro industri lainnya. Selama ini industri batu bata dan genteng berkembang pada 21 dari
26 di Kabupaten Kebumen, dengan jumlah desa/kelurahan sentra industri pada tahun 2011
mencapai 133 buah. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai 92 buah.
Sementara di tinjau dari segi jumlah, pada tahun 2011 terdapat 2090 buah industri, meningkat
sebesar 14,39 persen dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya sebesar 1827 unit usaha. Begitu
pentingnya industri ini bagi masyarakat, sehingga batu bata dan genteng diabadikan dalam lambang
daerah Kabupaten Kebumen.
Tabel 1. Perbandingan Jumlah Desa Sentra Industri Serta Jumlah Industri kerajinan Gerabah di Kabupaten Kebumen Tahun 2008 dan 2011 Menurut Kecamatan
Kode Wilayah
Nama Jumlah Desa/Kelurahan
Jumlah Desa Sentra Industri
Jumlah Industri
2008 2011 2008 2011(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)010 Ayah 18 3 1 40 3020 Buayan 20 6 7 130 52030 Puring 23 11 3 47 14040 Petanahan 21 11 10 84 85050 klirong 24 1 10 24 312060 Bulus Pesantren 21 1 13 10 156070 Ambal 32 - 1 - 1080 Mirit 22 - - - -081 Bonorowo 11 1 - 1 -090 Prembun 13 5 1 10 1091 Padureso 9 - - - -100 Kutowinangun 19 10 6 80 55110 Alian 16 1 3 1 3111 Poncowarno 11 - - - -120 Kebumen 29 6 9 100 137130 Pejagoan 13 8 8 537 399140 Sruweng 21 11 9 630 605150 Adimulyo 23 - 5 - 46160 Kuwarasan 22 1 8 2 26
170 Rowokele 11 - - - -180 Sempor 16 7 6 61 46190 Gombong 14 1 1 5 8200 Karanganyar 11 2 4 3 87210 Karangayam 19 4 1 27 3220 Sadang 7 2 1 35 3221 Karangsambung 14 - 6 48
3305 Kab. Kebumen 460 92 113 1827 2090Sumber : Pendataan Potensi Desa Tahun 2008 dan 2011, BPS
1.2. Permasalahan
Perkembangan jumlah industri gerabah tersebut tentunya akan membawa dampak yang
sangat baik bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun karena perkembangannya
sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan, maka perlu juga dipikirkan bagaimana agar
perkembangan industri yang tergantung kepada sumber daya alam tersebut dapat berjalan secara
berkesinambungan tanpa menimbulkan dampak lingkungan yang serius di kemudian hari. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengelompokkan industri tersebut ke dalam cluster.
Clustering merupakan salah satu upaya pendekatan startegis untuk membawa industri
kepada bentuk kerjasama pembiayaan, penelitian, dan meningkatkan pemasukan. Selain itu,
clustering juga akan memudahkan dalam upaya penerapan regulasi, serta menyediakan sarana bagi
industri tersebut untuk lebih kuat dalam menghadapi berbagai isu dalam perekonomian. Brookings
Institution’s dalam laporannya “Sizing the Clean Economy” menyatakan bahwa pada periode 2003
dan 2010, perusahaan yang berada dalam cluster tumbuh 1,4 persen lebih cepat dibandingkan usaha
yang menyendiri (terisolasi).1
Hasil penelitian Wang, Liu, dan Mao (2011) mengenai mekanisme cluster industri dan
fenomena Cambridge menunjukkan bahwa cluster industri regional dibentuk berdasarkan
penyebaran mengenai pengetahuan dan teknologi. Cluster industri lebih cocok dipergunakan oleh
usaha kecil, dan skala optimalnya ditentukan oleh upah buruh, biaya sewa tanah, dan permintaan
serta penawaran lokasi usaha. Selain itu usaha padat karya dan padat teknologi dengan permintaan
wilayah yang terbatas lebih memiliki kecenderungan untuk menjadi cluster.2
Mengingat betapa pentingnya pembentukan cluster dalam upaya meningkatkan
pertumbuhan industri gerabah di Kabupaten Kebumen, maka diperlukan adanya informasi mengenai
mengenai persebaran industri tersebut secara spasial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
1 http://www.forbes.com/sites/rebeccabagley/2012/02/09/the-cluster-effect
2 Wang, Z., Liu, C., Mao, K., (2012), Industry cluster: spatial density and optimal scale, Anresc vol. 49, p. 719-731
bagaimana pola spasial dari persebaran industri gerabah di Kabupaten Kebumen, serta bentuk
autokorelasi spasial yang mungkin terjadi. Berdasarkan informasi tersebut diharapkan bahwa dapat
diperoleh suatu rekomendasi untuk pengelolaan kebijakan dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan industri kerajinan gerabah sebagai salah satu industri startegis di Kabupaten
Kebumen.
2. Analisis dan Pembahasan
2.1. Analisis Deskriptif
Secara geografis Kabupaten Kebumen terletak pada 7°27′ – 7°50′ Lintang Selatan dan
109°22′ – 109°50′ Bujur Timur. Kabupaten Kebumen secara administratif terdiri dari 26 kecamatan
dengan luas wilayah sebesar 128.111,50 hektar atau 1.281,115 km², dengan kondisi beberapa
wilayah merupakan daerah pantai dan perbukitan, sedangkan sebagian besar merupakan dataran
rendah. Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, pada tahun 2011 tercatat 39.768,00 hektar atau
sekitar 31,04% merupakan lahan sawah dan 88.343,50 hektar atau 68,96% lahan kering.
Secara kewilayahan, Kabupaten Kebumen memiliki berbagai potensi alam yang dapat
digunakan untuk pengembangan industri berbasis sumber daya alam seperti kerajinan gerabah.
Pada tahun 2008, konsentrasi industri kerajinan gerabah berada di wilayah Kecamatan Sruweng dan
Pejagoan. Sementara wilayah lain yang memiliki jumlah industri kerajinan gerabah yang cukup besar
diantaranya Kecamatan Buayan serta Kebumen. Dalam skala yang lebih kecil, industri tersebut juga
terkonsentrasi di Kecamatan Sempor, Petanahan, dan Kutowaringin. Sepintas terlihat bahwa tidak
terdapat pola pengelompokan tertentu dari industri kerajinan gerabah tersebut sebagaimana
terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kepadatan Industri Kerajinan Gerabah Kabupaten Kebumen Menurut Kecamatan Th 2008
Pada Tahun 2011, terjadi perubahan pola kepadatan industri kerajinan gerabah pada
beberapa wilayah. Terjadi penurunan konsentrasi industri kerajinan gerabah di wilayah Kecamatan
Sempor, Buayan, serta Pejagoan. Sementara itu, peningkatan konsentrasi jumlah industri justru
terjadi di wilayah Kecamatan Karanganyar, Klirong, serta Bulus Pesantren. Hasilnya, secara sepintas
terlihat bahwa telah terjadi perubahan pola pengelompokan industri kerajinan gerabah di
Kabupaten Kebumen dari menyebar pada tahun 2008 menjadi mengelompok pada tahun 2011
dimana wilayah-wilayah yang berdekatan memiliki kepadatan yang hampir serupa (Gambar 2).
Gambar 2. Kepadatan Industri Kerajinan Gerabah Kabupaten Kebumen Menurut Kecamatan Th 2011
2.2. Analisis Inferensi2.2.1. Analisis Pola Spasial
Analisis pola spasial dilakukan terhadap jumlah desa/kelurahan sentra industri kerajinan
gerabah di Kabupaten Kebumen Tahun 2011. Dalam analisis ini, desa/kelurahan yang memiliki
industri kerajinan gerabah dianggap sebagai titik pengamatan. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan tiga metode, untuk membandingkan hasil yang didapatkan, yaitu Quadrat Test untuk
mendapatkan Varians to Means Ratio, Uji Kolmogorov Smirnov, serta Nearest Neighborhood Index
(NNI). Dari pengolahan dengan menggunakan Microsoft Excell, didapatkan hasil sebagai berikut:
2.2.1.1. Quadrat Test-Varians To Mean Ratio (VMR)
H0 dalam uji ini adalah bahwa jumlah sentra industri kerajinan gerabah di Kabupaten
Kebumen menyebar secara seragam.Langkah pertama dalam melakukan Quadrat Test adalah
menghitung jumlah quadrats (area yang akan diobservasi). Dalam penelitian ini, unit observasi
adalah kecamatan, sehingga jumlah quadrat diasumsikan adalah sebanyak jumlah kecamatan di
wilayah Kabupaten Kebumen, yaitu 26 unit. Setelah itu dilakukan penghitungan terhadap mean
(rata-rata) jumlah sentra industri dari ke-26 kecamatan tersebut sehingga dihasilkan nilai mean
sebesar 4,35 unit. Kemudian didapatkan nilai varians dari ke-26 pengamatan tersebut sebesar 15,59,
sehingga nilai rasio varians terhadap means sebesar 3,59.
Berdasarkan rasio tersebut, selanjutnya didapatkan nilai statistik signifikansi sebesar 89,71.
Angka tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai statistik berdistribusi Chi-square dengan tingkat
kepercayaan 95 persen sebesar 14,61. Karena nilai signifikansi lebih besar dibandingkan dengan nilai
teoritis, maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah sentra industri kerajinan
gerabah di Kabupaten Kebumen tahun 2011 tidak menyebar secara seragam. Nilai VMR yang lebih
besar dari 1 (satu) mengindikasikan bahwa terdapat pengelompokan dalam pola spasial penyebaran
jumlah industri tersebut.
2.2.1.2. Quadrat Test-Kolmogorov Smirnov Test
Metode ini menguji pola dalam quadrat dengan membandingkan frekuensi yang diamati,
dengan distribusi statistik tertentu. Dalam penelitian ini, H0 adalah frekuensi pengamatan
merupakan proses acak yang mengikuti fungsi distribusi Poisson. Hasil uji Kolmogorov Smirnov
menghasilkan nilai statistik sebesar 0,354, yang merupakan selisish absolute terbesar antara
distribusi sebenarnya dengan distribusi teoritis. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai
kritis sebesar 5 persen sebesar 0,267. Karena nilai hasil perhitungan lebih besar dibandingkan
dengan nilai kritis, maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpilkan bahwa jumlah sentra industri dalam
setiap Quadrat menunjukkan pola yang tidak acak, atau dengan kata lain terdapat pola
mengelompok dalam persebaran jumlah sentra industri di wilayah Kabupaten Kebumen tahun 2011.
2.2.1.3. Nearest Neigborhood Index
Metode ini membandingkan antara rata-rata jarak yang didapatkan dari setiap titik dan
tetangga terdekatnya, dengan rata-rata jarak yang diharapkan akan muncul jika data mengikuti
distribusi normal. Karena data jarak antara setiap kecamatan tidak diketahui, maka dilakukan
pendekatan dengan menggunakan jarak Euclidean yang dihasilkan dari pengukuran titik tengah
antar kecamatan. Dari kumpulan tersebut, diambil jarak terkecil antar dua kecamatan, sehingga
diperoleh hasil berikut:
Tabel 2. Jarak Terdekat Antar Kecamatan di Kabupaten Kebumen
Kode Wilayah Nama Tetangga Terdekat Jarak (Km)(1) (2) (3) (4)010 Ayah Buayan 7,20020 Buayan Kuwarasan 9,44030 Puring Adimulyo 6,24040 Petanahan klirong 4,80050 klirong Bulus Pesantren 4,64060 Bulus Pesantren klirong 4,64070 Ambal Bulus Pesantren 5,92080 Mirit Bonorowo 5,12081 Bonorowo Mirit 5,12090 Prembun Kutowinangun 5,12091 Padureso Poncowarno 5,12100 Kutowinangun Prembun 5,12110 Alian Poncowarno 5,76111 Poncowarno Padureso 5,12120 Kebumen Kutowinangun 6,40130 Pejagoan Kebumen 6,72140 Sruweng Pejagoan 5,12150 Adimulyo Kuwarasan 6,00160 Kuwarasan Gombong 5,76170 Rowokele Sempor 7,36180 Sempor Gombong 6,72190 Gombong Karanganyar 4,48200 Karanganyar Gombong 4,48210 Karangayam Pejagoan 8,32220 Sadang Karangsambung 6,72221 Karangsambung Alian 6,24
Sumber : Pemetaan 2009 BPS, Data diolah
Dari tabel 2, diperoleh rata-rata jarak terdekat antar kecamatan di Kabupaten Kebumen
adalah sebesar 5,91 Km, sementara nilai jarak yang diharapkan sebesar 3,51 Km. Dengan demikian
diperoleh nilai indeks NNI sebesar 1,68. Selanjutnya dilakukan pengujian dengan menggunakan
statistik Z, diperoleh nilai sebesar 6,67. Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai
statistik teoritis untuk tingkat kepercayaan 95 persen sebesar 1,96. Akibatnya H0 ditolak, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pola yang acak. Dengan kata lain, kepadatan industri
kerajinan gerabah di Kabupaten Kebumen tahun 2011 mengikuti pola tertentu.
2.2.2. Uji Autokorelasi Spasial
Analisis uji autokorelasi spasial dilakukan terhadap jumlah industri kerajinan gerabah yang
terdapat dalam setiap kecamatan di kabupaten Kebumen tahun 2011. Dalam analisis ini, kecamatan
dianggap sebagai suatu area yang mengandung nilai tertentu, yaitu jumlah industri kerajinan
gerabah. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Moran I Global, LISA dengan
menggunakan Moran I, serta metode Getis. Pengolahan dengan menggunakan software Microsoft
Excell dan Geoda. Namun sebelumnya dilakukan pembuatan penimbang kedekatan spasial dengan
metode Queen Contiguity diperoleh matriks berikut:
Berdasarkan matriks tersebut terlihat bahwa secara spasial, terdapat hanya satu kecamatan
yang berbatasan dengan satu kecamatan saja. Sementara itu, dua kecamatan berbatasan hanya dua
kecamatan lain, empat kecamatan yang berbatasan dengan setidaknya tiga kecamatan, lima
kecamatan berbatasan dengan setidaknya empat kecamatan, tujh kecamatan berbatasan dengan
setidaknya lima kecamatan, dan tujuh kecamatan lainnya berbatasan dengan setidaknya enam
kecamamatan
3.2.2.1. Uji Moran I Global
Metode Morans I digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai yang dihasilkan suatu
kecamatan, dengan rata-rata nilai di kecamatan di sekitarnya. Nilai ini dihitung baik secara
unstandardized maupun standardized. Hasilnya kemudian diuji signifikansi dengan menggunakan
statistik Z. dengan H0 adalah tidak terdapat autokorelasi spasial. Nilai unstandardized Morans I
sebesar 0,04 mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial, dan kepadatan jumlah
industri kerajinan gerbah di tiap kecamatan menyebar secara acak. Dengan nilai harapan statistik I
sebesar -0,04 dan varians I sebesar 0,014 maka didapatkan nilai statistik Z untuk Morans I yang tidak
distandarkan sebesar 0,678. Karena nilai Z kurang dari 1,96 maka tidak cukup bukti untuk menolak
H0.
Namun jika matriks penimbang kedekatan tersebut distandarkan, maka didapatkan nilai
Morans I sebesar 0,297. Hasil yang sama dihasilkan antara perhitungan secara manual dengan
menggunakan Microsoft excel dan Geoda mengindikasikan bahwa terdapat pola autokorelasi spasial
antar jumlah industri kerajinan gerabah pada setiap kecamatan. Dengan nilai harapan statistik I
sebesar -0,04 dan varians I sebesar 0,006 maka didapatkan nilai statistik Z untuk Morans I yang tidak
distandarkan sebesar 4,397. Karena nilai Z lebih besar dari Z tabel dengan α = 5 persen, maka H0
ditolak. Artinya dengan menggunakan penimbang kedekatan yang ditandarkan, terdapat pola
autokorelasi spasial serta indikasi bahwa jumlah industri kerajinan gerabah di Kabupaten Kebumen
menyebar mengikuti pola tertentu.
Gambar 3. Scatter Plot untuk Standardized Morans I
Dari Gambar 3 terlihat bahwa terdapat tujuh daerah yang memiliki nilai spatial
autocorrelation positif yang tinggi atara kecamatan tersebut dengan wilayah di sekitarnya.
Sementara itu terdapat empat daerah yang autokorelasi spasialnya negatif rendah, namun daerah di
sekitarnya tinggi. Sementara sisanya memiliki nilai autokorelasi spasial positif yang sama-sama
rendah antara kecamatan tersebut dengan daerah di sekitarnya.
3.2.2.1. Uji Moran I Local (Anselin’s LISA)
Metode LISA dengan Morans I digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai yang
dihasilkan suatu kecamatan, dengan rata-rata nilai di kecamatan di sekitarnya dalam versi local,
yaitu penghitungan dilakukan dengan memperhatikan batas wilayah bersama antar kecamatan. Nilai
ini dihitung baik secara unstandardized maupun standardized. Hasilnya kemudian diuji signifikansi
dengan menggunakan statistik Z. dengan H0 adalah tidak terdapat autokorelasi spasial. Nilai
unstandardized Morans I sebesar 0,17 mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial,
dan kepadatan jumlah industri kerajinan gerbah di tiap kecamatan menyebar secara acak.
Namun jika matriks penimbang kedekatan tersebut distandarkan, maka didapatkan nilai
Morans I sebesar 0,297, sama dengan nilai Morans I secara global. Hasil yang sama dihasilkan antara
perhitungan secara manual dengan menggunakan Microsoft excel dan Geoda mengindikasikan
bahwa terdapat pola autokorelasi spasial antar jumlah industri kerajinan gerabah pada setiap
kecamatan. Berdasarkan nilai tersebut, dapat dibuat tingkat signifikansi antar masing-masing
kecamatan, dimana dari Gambar 4 terlihat bahwa terdapat enam kecamatan yang signifikan pada α
= 1 persen, empat kecamatan signifikan pada α = 5 persen, sementara 16 kecamatan sisanya tidak
signifikan.
Gambar 4. Peta Signifikansi Morans I LISA
Maka dari tingkat signifikansi tersebut dapat dibuat suatu model cluster, dimana Kecamatan
Petanahan, Klirong, Kebumen, Pejagoan, serta Sruweng yang memiliki autokorelasi spasial local
positif tinggi antar masing-masing wilayah dapat diklasisikasikan sebagai cluster utama untuk
wilayah pengembangan industri kerajinan gerabah. Wilayah ini dapat dikembangkan dengan
memasukkan Kecamatan Karanggayam, dan Adimulyo, karena walaupun rendah, keduanya memiliki
spasial autokorelasi positif dengan daerah disekitranya. Sementara untuk Kecamatan Padureso dan
Prembun, memiliki autukorelasi spasial yang rendah.
Gambar 5. Peta Cluster Morans I LISA
3. Kesimpulan dan Saran
3.1. Kesimpulan
i) Pada tahun 2008, konsentrasi industri kerajinan gerabah berada di wilayah Kecamatan Sruweng
dan Pejagoan. Sementara wilayah lain yang memiliki jumlah industri kerajinan gerabah yang
cukup besar diantaranya Kecamatan Buayan serta Kebumen. Pada Tahun 2011, terjadi
penurunan konsentrasi industri kerajinan gerabah di wilayah Kecamatan Sempor, Buayan, serta
Pejagoan. Sementara itu, peningkatan konsentrasi jumlah industri justru terjadi di wilayah
Kecamatan Karanganyar, Klirong, serta Bulus Pesantren. Hasilnya, secara sepintas terlihat
bahwa telah terjadi perubahan pola pengelompokan industri kerajinan gerabah di Kabupaten
Kebumen dari menyebar pada tahun 2008 menjadi mengelompok pada tahun 2011.
ii) Uji analsis pola spasial dengan menggunakan tiga metode yaitu Quadrat Test untuk
mendapatkan Varians to Means Ratio, Uji Kolmogorov Smirnov, serta Nearest Neighborhood
Index (NNI) menghasilkan kesimpulan yang sama, jumlah sentra industri kerajinan gerabah di
Kabupaten Kebumen tahun 2011 tidak menyebar secara seragam.
iii) Uji autokorelasi spasial dengan menggunakan metode Morans I global menghasilkan
kesimpulan yang berbeda. Dengan menggunakan matriks penimbang kedekatan yang tidak
distandarkan, diperoleh nilai Morans I yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi
spasial, dan kepadatan jumlah industri kerajinan gerbah di tiap kecamatan menyebar secara
acak. Sementara jika menggunakan matriks penimbang yang distandarkan, diperoleh nilai
Morans I yang mengindikasikan sebaliknya.
iv) Sebagaimana pada uji autokrelasi spasial secara global, uji autokorelasi spasial dengan
menggunakan metode Morans I LISA, juga menghasilkan kesimpulan yang serupa. Uji tersebut
menghasilkan enam kecamatan yang signifikan pada α = 1 persen, empat kecamatan signifikan
pada α = 5 persen, sementara 16 kecamatan sisanya tidak signifikan.
3.2. Saran
i) Diperlukan pembinaan serta kebijakan khusus untuk mencegah menurunnya jumlah usaha
industry kerajinan gerabah seperti di Kecamatan Sempor, Buayan, serta Pejagoan.
ii) Cluster untuk industry kerajian gerabah di Kabupaten Kebumen dapat dibuat pada kelompok
Kecamatan Petanahan, Klirong, Kebumen, Pejagoan, serta Sruweng untuk memudahkan
pembinaan serta pengembangan.
iii) Ke depannya cluster tersebut dapat dikembangkan dengan memasukkan Kecamatan
Karanggayam dan Adimulyo.