analisis stratifikasi sosial
TRANSCRIPT
i
SKRIPSI
ANALISIS STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PETANI DAN
PERLUASAN KERJA DI LUAR SEKTOR PERTANIAN PADA
MASYARAKAT DESA MOYO KECAMATAN MOYO HILIR
KABUPATEN SUMBAWA
S U P R I A D I NPM: 06380283
Skripsi Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sosiologi
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
HAMZANWADI SELONG
2010
ii
ABSTRAK
Supriadi (2010) : Analisis Stratifikasi Sosial Masyarakat Petani Dan Perluasan
Kerja Di Luar Sektor Pertanian Pada Masyarakat Desa Moyo
Kecamatan Moyo Hilir Kabuparen Sumbawa.
Di pedesaan, lapangan pekerjaan yang dapat menampung tenaga kerja
masih bertumpuk pada sektor pertanian, sementara lahan yang dapat diolah
pertanian semakin terbatas. Ditambah pula pemilik lahan luas (petani strata
atas), yang selama ini banyak membantu buruh tani dengan cara memberikan
pekerjaan dengan sistem upah, mulai menggunakan teknologi pertanian yang
minim tenaga kerja. Dengan demikian, strata mengenah dan bawah guna
meningkatkan tarap hidupnya melakukan perluasan kerja di luar sektor
pertanian, Hal tersebut sesuai dengan kenyataannya bahwa perbedaan
pendapat yang terjadi di sektor pertanian antara strata sosial petani kadang
kala berlanjut di bawah keluar sektor pertanian. Kenyataan yang dikemukakan
bahwa kondisi objektif desa penelitian seperti apa yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka semakin nampak pentingnya dilakukan penelitian ini
dengan alasan bahwa Desa Moyo kecamatan Moyo Hilir terdapat petani
dengan strata bawah yang jumlahnya relatif banyak. Dengan demikian
beberapa temuan kemungkinan dapat di jadikan dasar kebijakan untuk
peningkatan taraf hidup petani dengan strata bawah di Kabupaten Sumbawa.
Untuk menunjang penelitian ini maka peneliti menggunakan
pendekatan/metodelogi penelitian kualitatif deskripsi naratif dengan tehnik
pengumpulan data menggunakan tehnik Observasi, Studi Kepustakaan dan
Dokumentasi, serta wawancara terstruktur. Dalam menganalisis data yang
dipandang relevan dengan penelitian ini peneliti menggunakan tehnik/ metode
deduksi dan induksi.
Stratifikasi sosial petani di Desa Moyo terlihat dengan masih berorientasi
pada kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian, Untuk mencapai
stratifikasi sosial petani di Desa Moyo tidak terlepas dari hasil pertanian,
Selain dari hasil pertanian stratifikasi sosial di Desa Moyo dibentuk atau
dipengruhi oleh hasil merantau ke luar negeri dan dari hasil usaha
perdagangan, Perluasan kerja di Desa moyo sifatnya juga masih bergantung
pada musim dan ada yang tidak bargantung dengan musim artian mempunyai
peluang kerja tersendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pola perluasan
kerja di luar sektor pertanian bagi strata atas dengan usaha berdagang (mini
market), strata bawah dengan melakukan usaha pertukangan, membuka kios
dll. Bagi strata bawah mereka melakukan perluasan dengan usaha bakulan dan
ngayuk ikan. Faktor pendorong perluasan kerja di luar sektor pertanian pada
masyarakat Desa Moyo adalah proses pemanfaatan peluang ekonomi terhadap
tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup secara makro.
Keywords : Stratifikasi sosial, perluasan kerja dan masyarakat petani
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : SUPRIADI
NPM : 06380283
Tempat/tanggal lahir : Sumbawa 10 Oktober 1985
Program Studi : Sosiologi
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
“Analisis Stratifikasi Sosial Masyarakat Petani Dan Perluasan Kerja Di Luar
Sektor Pertanian Pada Masyarakat Desa Moyo Kecamatan Moyo Hilir Kabuparen
Sumbawa” adalah bukan merupakan hasil karya orang lain, baik sebagian maupun
keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan seperti yang telah disebutkan
sumbernya.
Demikian surat pernyataan ini dibuat sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar, penulis bersedia mendapatkan sanksi akademis.
Selong,……………….2010
Yang Menyatakan
SUPRIADI
NPM: 06380283
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
ABDULLAH MUZAKKAR, M. Si LALU. MUH. ISTIQLAL, M. Si
NIS : 330 2941 152 NIS : 330 2941 482
iv
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PETANI DAN
PERLUASAN KERJA DI LUAR SEKTOR PERTANIAN PADA
MASYARAKAT DESA MOYO KECAMATAN MOYO HILIR
KABUPATEN SUMBAWA
S U P R I A D I NPM: 06380283
Dipertahankan di depan dewan penguji skripsi
STKIP HAMZANWADI Selong
Pada tanggal, 10 Oktober 2010
DEWAN PENGUJI,
AHMAD TOHRI, M.Si : (………………..)
(Ketua Penguji)
ABDULLAH MUZAKKAR, M. Si : (………………..)
(Anggota)
LALU. MUH. ISTIQLAL, M. Si : (………………..)
(Anggota)
Pancor, ………………………….
Ketua
STKIP HAMZANWADI Selong
Drs. H. MUH. SURUJI NIS. 330 30 21 012
v
Persembahan
Skripsi ini saya persembahkan buat Ibu tercinta “Fatimah” dan Ayahanda
tercinta “Nurdin Ali, (Almarhum)” karna atas dukungan baik dari segi
finansial maupun do’a yang tidak henti-hentinya buat saya
Kakak-kakak saya tercinta “ Kak Man Suhardi beserta Istri, Kak Eli Sadli
beserta Suami, K Ati beserta Suami “ yang selalu membantu Ibu dalam
membiayai saya selama menempuh bangku kuliah dan selalu menyemangati
saya
vi
MOTTO
� Kesuksesan adalah keluar dari masalah
Tampa harus kehilangan rasa optimis
� Menunda suatu hal akan membawa kemunduran pada keberhasilan
Melangkahlah satu langkah lebih cepat
� Air mata tidak dapat menyelsaikan persoalan
Akan tetapi setiap persoalan pasti ada jalan keluar
dengan satu keyakinan dan ketabahan karena
perjuangan dan jerih payah yang disertai dengan
kesabaran tidak akan berlaku dengan sia-sia
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat
dan karinia-nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Stratifikasi
Sosial Masyarakat Petani Dan Perluasan Kerja Di Luar Sektor Pertanian Pada
Masyarakat Desa Moyo Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa” ini dapat
penulis selsaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan. Adapun tujuan dari
penelitian skripsi ini adalah sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan
gelar Sarjana Pendidikan.
Dalam penulisan skripsi ini hingga selsai banyak mendapat bantuan baik
berupa informasi, saran, bimbingan, arahan, masukan, motivasi dan lain-lain dari
berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Bapak Drs. H. MUH. SURUJI, selaku ketua STKIP HAMZANWADI Selong
beserta staf.
2. Bapak AHMAD TOHRI, M.Si selaku ketua Program Studi Pendidikan
Sosiologi.
3. Bapak ABDULLAH MUZAKKAR, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Pertama
yang telah banyak mengorbankan waktu, tenaga dan fikirannya dalam
memberikan bimbingan serta motivasi sehingga selsainya skripsi ini.
4. Bapak LALU. MUH. ISTIQLAL, M. Si, selaku Dosen Pembimbing Kedua
yang telah banyak mengorbankan waktu, tenaga dan fikirannya dalam
memberikan bimbingan serta motivasi sehingga selsainya skripsi ini.
5. Segenap staf tenaga edukatif di lingkungan Program Studi Sosiologi yang ikut
memberikan dorongan serta semangat kepada penulis dalam menyelsaiakn
penulisan skripsi ini.
6. Bapak Kepala Desa Moyo beserta stafnya yang dengan penuh ikhlas
memberikan informasi mengenai profil/monografi Desa Moyo dan
memberikan izin untuk meneliti analisis stratifikasi sosial masyarakat petani
dan perluasan kerja di luar sektor pertanian di Desa Moyo Kecamatan Moyo
Hilir Kabupaten Sumbawa.
viii
7. Bapak Kepala Dinas Pertanian Kecamatan Moyo Hilir beserta stafnya yang
dengan penuh ikhlas memberikan informasi mengenai monografi petani yang
berada di Desa Moyo.
8. Bapak SUHARDI, M. NUR ZAKARIAH, ADAM IBRAHIM,
SAHARUDDIN dan informan lainnya yang telah membantu penulis dalam
memberikan informasi dan data yang penulis perlukan dalam penulisan skripsi
ini.
9. Rekan-rekan di lingkungan Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP
HAMZANWADI yang telah memberikan bantuan dan dorongan kerja serta
semangat kepada penulis dalam menyelsaiakn penulisan skripsi ini.
Semoga amal yang diberikan tercatat sebagai ibadah dan mendapat imbalan
yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan pengorbanan yang telah
diberikannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karenanya kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan berikutnya. Semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pemerhati.
Moyo……………………..2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
SURAT PERNYATAAN
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGUJIAN
PERSEMBAHAN .................................................................................. i
MOTTO ................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI .......................................................................................... v
DAFTAR TABEL .................................................................................. viii
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Fokus Penelitian .......................................................................... 3
C. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
D. Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
E. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................ 5
A. Stratifikasi Masyarakat Petani ..................................................... 5
1. Ukuran Kekayaan ............................................................ 6
2. Ukuran Kekuasaan ........................................................... 7
3. Ukuran Kehormatan ......................................................... 7
4. Ukuran Ilmu Pengetahuan ................................................ 7
B. Kelas dan Stratifikasi................................................................... 8
1. Karl Marx ........................................................................ 8
2. Max Weber ...................................................................... 13
3. Erik Olin Wright .............................................................. 16
x
C. Unsur-unsur Lapisan Sosial ......................................................... 20
1. Kedudukan (status) .......................................................... 20
2. Peranan (role) .................................................................. 21
D. Konsep Kerja .............................................................................. 22
E. Tenaga Kerja dan Desa ................................................................ 23
F. Kebijakan dan Petani ................................................................... 27
G. Pekerjaan Di Luar Sektor Pertanian ............................................. 30
H. Masyarakat Pedesaan dan Peluang penghidupan .......................... 32
BAB III. METODE PENELITIAN ......................................................... 26
A. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 37
B. Metode Penelitian ........................................................................ 37
C. Teknik Pengumpulan data ........................................................... 37
1. Observasi ......................................................................... 37
2. Studi Kepustakaan dan Dokumentasi ............................... 37
3. Wawancara ...................................................................... 37
D. Sumber Data ............................................................................... 39
1. Library Research.............................................................. 39
2. Field Research ................................................................. 39
E. Teknik Analisis Data ................................................................... 39
a. Metode Deduksi ............................................................... 40
b. Metode Induksi ................................................................ 40
BAB IV. PEMBAHASAN ...................................................................... 41
A. Desa Moyo Di Tinjau Dari Aspek Geografi
Dan Ekonomi Sosial Budaya Masyarakat .................................... 41
1. Batas Wilayah .................................................................. 41
2. Iklim dan Topografi ......................................................... 41
3. Luas Wilayah ................................................................... 41
4. Mata Pencaharian ............................................................ 42
5. Flora dan Fauna ............................................................... 43
xi
6. Keadaan Penduduk .......................................................... 44
7. Kondisi Ekonomi ............................................................. 44
8. Kondisi Pendidikan dan Agama ....................................... 46
B. Bentuk-bentuk Stratifikasi Sosial Di Desa Moyo ......................... 49
C. Pola Perluasan Kerja Di Luar Sektor Pertanian
Dari Masing-Masing Strattifikasi Sosial ...................................... 59
D. Faktor Pendorong Perluasan Kerja Di Luar Sektor Pertanian ....... 61
BAB V. PENUTUP ................................................................................ 63
A. . KESIMPULAN ........................................................................... 63
B. . SARAN ....................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 68
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
A. Tabel 1 : Nama-nama Dusun yang dan kepala dusun di wilayah Desa
Moyo menurut data tahun 2010.
B. Tabel 2 : Mata pencaharian penduduk Desa Moyo.
C. Tabel 3 : Produksi dan produktifitas tanaman pangan yang telah dicapai
D. Tabel 4 : Produksi ternak besar dan kecil/unggas yang ingin dicapai tahun
2009/2010
E. Tabel 5 : Produksi ternak besar dan kecil/unggas.
F. Tabel 6 : Jumlah penduduk yang dilihat dari jenis kelamin dan rumah
tangga.
G. Tabel 7 : Tata guna tanah masyarakat Desa Moyo
H. Tabel 8 : Warga masyarakat Desa Moyo yng bekerja dibidang jasa
I. Tabel 9 : Stratifikasi dibidang pendidikan masyarakat Desa Moyo
J. Tabel 10 : Agama, jumlah penduduk dan tempat peribadatan yang berada di
Desa Moyo
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran A : Pedoman wawancara
2. Lampiran B : Daftar nama informan
3. Lampiran C : Surat ijin penelitian dari STKIP HAMZANWADI Selong
4. Lampiran D : Surat ijin peneliti dari Bapeda Sumbawa
5. Lampiran E : Rekomendasi/surat ijin penelitian dari kepala Desa Moyo
6. Lampiran F : Peta Desa Moyo
7. lampiran G : Peta lahan pertanian Desa Moyo
8. Lampiran H : Struktur Organisasi Pemerintah Desa Moyo
xiv
Lampiran
PEDOMAN WAWANCARA
Dalam Penyusunan pedoman wawancara ini dibagi menjadi beberapa sub
sesusai dengan rumusan permasalahan yang diuji antara lain sebagai berikut:
a. Nama Informan :
b. Jenis Kelamin :
c. Umur :
d. Pendidikan :
e. Pekerjaan :
f. Agama :
1. Strata Sosial Petani
a. Dalam bercocok tanam dan pemanenan hasil pertanian, berapa jumlah
tenaga kerja yang diperlukan ?
b. Bagaimana bentuk atau cara yang digunakan dalam pemanenan hasil
pertanian ?
c. Bagaimana cara meningtkatkan atau menambah hasil pendapatan
Bapak/Ibu dalam pertanian ?
d. Selain pemilik lahan, apakah Bapak/Ibu juga bekerja sebagai buruh tani ?
e. Berapa biaya atau ongkos yang Bapak/Ibu terima/berikan perhari ?
f. Bagaimana status kepemilikan lahan yang Bapak/Ibu miliki ?
g. Dari mana tenaga kerja yang Bapak/Ibu pekerjakan di lahan pertanian?
2. Bentuk Stratifikasi Sosial Petani di Desa Moyo
a. Apakah kepemilikan lahan pertanian tetap dijadikan ukuran setatus atau
kehormatan di desa Moyo ?
b. Apa kegunaan atau fungsi lahan pertanian ?
c. Mana lebih baik punya lahan pertanian yang luas atau menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) ?
d. Bagaimana cara memanfaatkan hasil pertanian ?
xv
e. Bagaimanakah cara mendaya gunakan lahan pertanian ?
f. Mana lebih baik punya modal atau uang bila dibandingkan dengan punya
lahan luas ?
3. Pola perluasan kerja di luar sektor pertanian dari masing-masing stratifikasi
yang ada ?
a. Apakah Bapak/Ibu memilih jenis-jenis pekerjaan dalam kehidupan sehari-
hari ?
b. Apakah dalam mengerjakan perluasan kerja di luar sektor pertanian
misalkan sebagai tukang ojek tidak gengsi atau malu ?
c. Pekerjaan apa yang dikerjakan apabila di sektor pertanian masih kurang ?
d. Pekerjaan apa atau perluasan kerja yang bagaimana dilakukan apabila
pekerjaan dipertanian padat ?
e. Pekerjaan apa yang diinginkan didalam melakukan perluasan kerja di luar
sektor pertanian ?
f. Apakah dalam mengerjakan pekerjaan di luar sektor pertanian Bapak/Ibu
menyesuaikan diri dengan keadaan status/kehormatannya ?
4. Faktor Pendorong Perluasan Kerja Di Luar Sektor Pertanian
a. Kapan Bapak/Ibu bekerja di luar sektor pertanian ?
b. Berapa luas atau hasil lahan pertaniannya ?
c. Berapa hasil yang didapatkan dari luas lahan yang banyak atau sedikit tiap
tahunnya ?
d. Apakah hasil pekerjaan cukup untuk biaya pendidikan ?
e. Apakah hasil pekerjaan di luar sektor pertanian lebih mengguntungkan
atau tidak ?
f. Apakah hasil yang di dapatkan dari pekerjaan di luar sektor pertanian
dapat lebih maksimal/meningkat ?
5. Non Pertanian
a. Apa pandangan Bapak/Ibu terhadap lahan pertanian di Desa Moyo ?
b. Adakah rencana atau niat Bapak/Ibu untuk membeli lahan pertanian ?
c. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu dengan petani di Desa Moyo ?
xvi
Lampiran
DAFTAR NAMA INFORMAN
No.
Nama
Umur Pendidikan Pekerjaan
1. Adam Ibrahim 40 SD Petani
2. Mursali 50 SMP Petani/kadus
3. Husen 45 SD Petani/ojek
4. M. Nur Zakariah 45 SD Petani/ojek/tukang
5. Nurhayati 35 SMP Petani
6. Suhardi 31 SMP Petani/ peladen
7. Saharuddin 28 SD Petani/tukang
8. A. Rahman 53 SMA Petani
9. Abasri 45 SMA Petani
10. Kending 48 TT Petani/pengembala
11. Awah 40 SD Petani
12. Hasan 30 SD Petani
13. Jawah 55 SMA Petani/pedagang
14. Hairil 37 SMA Kepala Desa
15. Dayah 43 SD Petani/pedagang
16. Fatimah 52 SD Petani/penganyuk ikan
17. Nurbayati 32 PT Petani/guru
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut konsep Patirin Sorikin (Jabrohim, 2006:185) struktur sosial di
bagi menjadi dua yakni struktur sosial Vertikal dan Horisontal. Struktur sosial
Vertikal atau strativikasi sosial mengambarkan kelompok-kelompok sosial
dalam susunan yang bersifat hirargis atau berjenjang. Sehingga dalam dimensi
struktural ini kita melihat adanya kelompok masyarakat yang berkedudukan
tinggi (lapisan atas), sedang (lapisan menengah), dan rendah (lapisan bawah).
Sedangkan struktur sosial Horisontal atau Deferensiasi sosial menggambarkan
kelompok – kelompok sosial tidak dilihat dari tinggi rendahnya kedudukan
kelompok itu satu sama lain, karena lebih tertuju pada variasi atau kekayaan
pengelompokan yang dalam suatu masyarakat. Sehingga lewat dimensi
Struktural Horisontal ini yang kita lihat adalah kekayaan atau kompleksitas
pengelompokan yang ada dalam suatu masyarakat.
Masyarakat pedesaan umumnya masih berorientasi pada tanah, karena
tanah selain dapat memberikan kemakmuran, juga menunjukkan setatus sosial
ekonomi masyarakat. Luas tanah di daerah pedesaan dari waktu rupanya
semakin tidak berimbang dengan jumlah penggarap sawah (tenaga kerja
pedesaan). Hasil sensus tahun 2000 menunjukkan sekitar 70 % tenaga kerja
Indonesia berada di pedesaan. Jumlah ini memberikan petunjuk bahwa
masalah kesempatan kerja di pedesaan cukup serius, karena lapangan
pekerjaan yang dapat menampung tenaga kerja masih bertumpuk pada sektor
pertanian, sementara lahan yang dapat diolah pertanian semakin terbatas.
Ditambah pula pemilik lahan luas (petani strata atas), yang selama ini banyak
membantu buruh tani dengan cara memberikan pekerjaan dengan sistem upah,
mulai menggunakan teknologi pertanian yang minim tenaga kerja.
Penerapan teknologi modern dibidang pertanian sebagaimana yang
dicerminkan dalam revolusi hijau turut mempengaruhi perubahan bentuk
xviii
hubungan kerja yang selanjutnya akan mempengaruhi kesempatan kerja,
tingkat pendapatan dan distribusi pendapatan petani.
Persebaran teknologi pertanian di satu sisi cendrung memperlebar
kesenjangan sosial masyarakat desa, dengan alasan bahwa teknologi pertanian
pada umumnya hanya dapat dijangkau dan dinikmati para petani strata atas,
konsekuensi dari kenyataan tersebut adalah berkurangnya kesempatan kerja
bagi para petani strata menengah dan khususnya petani strata bawah untuk
bekerja sebagai buruh tani.
Sebagaimana diceritakan oleh Suyono Usman (Jabrohim, 2006:201).
Pemeritah secara nasional dirasakan lamban dalam menata sistem pemilihan
dan penguasaan tanah sehingga bekerja dan berusaha di luar sektor pertanian
bagi petani strata menengah dan bawah minimal berfungsi sebagai katup
pengaman atau upaya mendahulukan selamat. Perinsip mendahulukan selamat
ini merupakan upaya petani strata bawah dalam berjuang untuk
mempertahankan hidup. Sedangkan petani strata atas bekerja dan berusaha di
luar pertanian merupakan upaya untuk lebih meningkatkan pendapatannya.
Hal tersebut sesuai dengan kenyataannya bahwa perbedaan pendapat yang
terjadi di sektor pertanian antara strata sosial petani kadang kala berlanjut di
bawah keluar sektor pertanian. Jalinan antara perbedaan pendapatan petani
dan di luar pertanian mengikuti jalinan struktural yakni di duga semakin luas
pemilihan lahan semakin besar surplus hasil pertanian dan selanjutnya
mendukung usaha di luar pertanian dengan porsi pendapatan bagi petani strata
atas kemungkinan besar meningkat. Sebaliknya petani yang berlahan sempit
terutama petani strata bawah kadangkala belum dapat memperbaiki secara
memadai pendapatannya yang bersumber dari pertanian pada sawah dan hal
ini akan mempengaruhi pada penguasaan aset ekonomi di luar sektor
pertanian.
Kenyataan yang dikemukakan bahwa kondisi objektif desa penelitian
seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya, maka semakin nampak
pentingnya dilakukan penelitian ini dengan alasan bahwa Desa Moyo
kecamatan Moyo Hilir terdapat petani dengan strata bawah yang jumlahnya
xix
relatif banyak. Dengan demikian beberapa temuan kemungkinan dapat di
jadikan dasar kebijakan untuk peningkatan taraf hidup petani dengan strata
bawah di Kabupaten Sumbawa.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka Fokus penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Bentuk stratifikasi sosial petani di Desa Moyo.
2. Perluasan kerja di luar sektor pertanian.
3. Pendorong perluasan kerja di luar sektor pertanian
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka dapat di rumuskan
permasalahnya sebagai berikut :
1. Bagaiman bentuk stratifikasi petani di Desa Moyo ?
2. Bagaimana pola perluasan kerja di luar sektor pertanian dari masing –
masing stratifikasi sosial yang ada ?
3. Apa saja yang merupakan faktor pendorong perluasan kerja di luar sektor
pertanian ?
D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan sosial
petani yang tercermin dari adanya perluasan kerja di luar sektor pertanian dan
secara khusus penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui faktor yang mendorong petani pada masing – masing
strata melakukan pekerjaan di luar sektor pertanian di Desa Moyo.
2. Untuk mengetahui bagaimana pola perluasan kerja di luar sektor pertanian
dari masing – masing stratifikasi sosial yang ada dan mengetahui bentuk
stratifikasi sosial petani di Desa Moyo.
3. Untuk mengetahui bentuk stratifikasi sosial masyarakat petani di Desa
Moyo Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa.
xx
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah:
a. Manfaat Teoritis
1. Menambah dan memperdalam khasanah pengetahuan penulis
terutama yang berkaitan dengan struktur sosial sebagai titik tolak
untuk mempelajari perilaku sosial dan kultural masyarakat
pedesaan.
2. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan
yang berharga dalam khasanah ilmu pengetahuan khususnya
dibidang pendidikan Sosiologi.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi Pemerintah Kabupaten.
Menjadi bahan masukan bagi pemerintah, khususnya pemerintah
Kabupaten Sumbawa dalam menetapkan kebijakan pembangunan
dan pengembangan masyarakat pedesaan.
2. Bagi Pemerintah Desa Moyo Hilir
Sebagai wahana masukan dalam memberikan kebijakan yang lebih
dekat dalam pencapaian masyarakat sejahtera yang MAMPIS
RUNGAN SENAP SEMU NYAMAN NYAWE.
3. Bagi Lembaga STKIP Hamzanwadi
Sebagai wacana dan pengembangan penelitian dalam peningkatan
intitas lembaga terhadap lahirnya generasi-generasi intlektual dan
berprestasi.
xxi
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stratifikasi Masyarakat Petani
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap
hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih
tinggi terhadap hal - hal tentu akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan
yang lebih tinggi dari hal-hal lainya. Kalau suatu masyarakat lebih
menghargai kekayaan material dari pada kehormatan misalnya, mereka yang
lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain Aristoteles
(soerjono Soekanto, 2006:197).
Sistem lapisan dalam masyarakat tersebut dalam sosiologi dikenal dengan
Social Stratificatin. Kata stratification berasal dari stratum (strata yang
berarti lapisan) Pitirin A. Sorikin (soerjono Soekanto, 2006:198). Menyatakan
bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat
kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierargis). Perwujudannya adalah
kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorikin
dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam
pembagian hak dan kewajiban serta tanggung jawab nilai-nilai sosial
pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Stratifikasi sosial
merupakan konsep yang berunjuk kepada kenyataan bahwa dalam masyarakat
didapati perbedaan atau pelapisan yang didasarkan atas seperangkat
karakteristik, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat spesifik. Konsep
stratifikasi sosial dalam sosiologi secara eksplesif selalu mengandung unsur
penilaian menurut sekala tertentu.
Ada dua varian dalam sejarah perkembangan sosiologi, yakni varian
Marxian dan varian Weberian. Kalangan varian Marxian melihat bahwa
masyarakat terdiri dari dua struktur atau kelas yaitu: (1) Mereka yang
memiliki alat produksi yang disebut kelas kapitalis. (2) Mereka yang tidak
memiliki alat produksi disebut kelas pekerja atau buruh. Kedua kelas tersebut
xxii
senantiasa terdapat pertentangan kepentingan yang sulit didamaikan .
sementara varian Weberian yang melihat masyarakat terdiri atas beberapa
strata dengan tokohnya Makweber. Berpandangan bahwa aset ekonomi hanya
sebagai salah satu perangkat nilai yang berpengaruh di masyarakat. Bagi
Weber (Dennis Wrong, 2003 : 295) model Marxian dianggap terlalu
sederhana untuk menerangkan kompleksitas masyarakat, karena itu pada
perkembangan selanjutnya ia menyempurnakan teori masyarakat dan
perubahan sosial dari Karl Marx dengan menempatkan status dan kekuasaan
di samping variabel ekonomi secara prinsipil sebagai variabel yang saling
mempengaruhi dan perubahan sosial. Dengan demikian teori struktural Karl
Marx hanya mengenal variable tunggal, sedangkan teori stratifikasi sosial
multi dimensi.
Max Weber (Soerjono Soekanto , 2006:207) membuat pembedaan antara
dasar-dasar ekonomis dan dasar-dasar kedudukan sosial, dan tetap
menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas-kelas yang
bersifat ekonomis dibaginya lagi dalam kelas-kelas yang bersandarkan atas
pemilikan tanah dan benda-benda, serta kelas yang bergerak dalam bidang
ekonomi dengan menggunakan kecakapanya. Adanya golongan yang
mendapat kehormatan khusus dari masyarakat dan dinamakan stand.
Lapisan atasan dengan yang terendah, terdapat lapisan yang jumlahnya
relatif banyak Soerjono Soekanto (2006:208). Biasanya lapisan atasan tidak
hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat akan
tetapi, kedudukanya yang tinggi itu bersifat komulatif artinya mereka yang
mempunyai uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan
dan mungkin juga kehormatan. Ukuran atau kriteria yang biasa di pakai untuk
menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan
adalah sebagai berikut:
1. Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi/kebendaan}dapat dijadikan ukuran atau anggota
masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa yang
memiliki kekayaan paling banyak maka ia akan termasuk lapisan teratas
xxiii
dalam system pelapisan sosial. Kekayaan tersebut. Dapat dilihat salah
satunya pada bentuk tempat tinggal, cara berpakaian maupun kebiasaan
dalam berbelanja.
2. Ukuran kekuasaan
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar
akan menempati lapisan teratas dalam system pelapisan sosial dalam
masyarakat bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari
ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya
dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya atau sebaliknya
kekuasaan dan wewenang dapat mendapatkan kekayaan.
3. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat lepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau
kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau di hormati akan mendapati
lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran
kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat teradisional, biasanya
mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada
masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan
berbudi luhur.
4. Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling
menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi. Penguasaan
ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik
(kesarjanaan) atu profesi yang disandang oleh seseorang.
Stratifikasi sosial merupakan karakteristik permanen dari setiap kehidupan
masyarakat yang teratur. Dalam konteks masyarakat pedesaan, kedudukan
sosial sangat tergantung dari beberapa besar modal yang dikuasai oleh petani
yang tidak lain pemilik lahan itu sendiri. Petani yang memiliki lahan yang luas
tergolong kaya, dan karena kekayaannya maka mereka mempunyai status
sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan petani yang memiliki
tanah sempit.
xxiv
B. Kelas dan Stratifikasi
Beberapa teori tentang kelas dan stratifikasi menurut para ahli antara lain :
1. Karl Marx
Seseorang yang mengguncangkan dunia dengan analisisnya yang
tajam dan akurat tentang keadaan manusia di era kapitalisme. Pembedahan
atas situasi ekonomi dan politik yang dilakukannya dalam kondisi pelarian
politik dan kematian tragis anak-anaknya. Tak ada ungkapan yang tepat
selain revolusioner baginya. Lahir di Jerman pada tanggal 5 mei 1818.
Semuanya berawal ketika ia kuliah di Berlin, dari sinilah seorang pelarian
politik di kemudian hari ini memberi inspirasi kepada jutaan umat manusia
untuk mengemansipasi dirinya lewat perjuangan kelas akibat ketertindasan
dan penghisapan yang dilakukan oleh para kapitalis.
Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan bahwa pelaku-pelaku utama
dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Salah satu kesulitan dalam
teori kelasnya Marx adalah meskipun Marx sering berbicara tentang kelas-
kelas sosial, namun ia tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan istilah “kelas”. Ada baiknya kita ambil saja salah satu definisi
tentang kelas dari seorang marxis sekaligus pemimpin revolusi Bolshevik
1917 yang termahsyur, Lenin mendefinisikan kelas sebagai berikut:
Kelas merupakan kelompok besar,orang berbeda satu sama lain dengan
tempat yang mereka tempati. Dalam suatu sistem historis ditentukan
produk sosial, oleh relasi mereka (dalam banyak kasus,tetap dan
diformulasikan dalam hukum) untuk alat-alat produksi, dengan peran
mereka dalam organisasi sosial tenaga kerja, dan cosequently, oleh
dimensi dan cara memperoleh saham kekayaan sosial yang mereka
buang. Kelas adalah kelompok masyarakat, salah satu yang dapat
sesuai dengan tenaga kerja karena tempat-tempat yang berbeda mereka
tempati dalam sistem sosial ekonomi tertentu.
Inilah definisi kelas khas kaum marxis. Kelas-kelas sosial pun
dibedakan berdasarkan posisinya dalam produksi, menurut mereka:
“kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas adalah posisi yang
mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya menentukan
relasi mereka terhadap alat-alat produksi”
xxv
Kelas-kelas menempati posisi atas alat produksi menentukan peran
mereka dalam organisasi sosial kerja, sebab kelas-kelas memiliki fungsi-
fungsi yang berbeda dalam produksi sosial. Dalam masyarakat antagonis
beberapa kelas mengatur produksi, mengatur perekonomian dan mengatur
seluruh urusan-urusan sosial, misalnya mereka yang memiliki keunggulan
dalam kerja mental. Sementara kelas-kelas lainnya menderita di bawah
beban kewajiban kerja fisik yang berat. Biasanya, dalam masyarakat yang
terbagi atas kelas-kelas, manajemen produksi dijalankan oleh kelas yang
memiliki alat produksi. Namun segera setelah beberapa relasi produksi
menjadi sebuah halangan bagi perkembangan tenaga-tenaga produktif,
kelas-kelas penguasa pun harus mulai memainkan peran yang berbeda
dalam organisasi sosial kerja. Ia berangsur-angsur kehilangan
signifikasinya sebagai organisator produksi, dan merosot posisisnya
menjadi sebuah sampah parasitis dalam tubuh masyarakat dan hidup atas
kerja keras orang lain. Seperti pada nasib tuan tanah feodal dulu, hal inilah
yang dialami oleh para borjuasi atau kapitalis kini. Menurut Marx
kehancuran feodalisme dan lahirnya kapitalisme telah membuat
terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang sifatnya antagonistis,
yaitu kelas borjuis yang memiliki alat produksi dan kelas proletar yang
tidak mempunyai alat produksi. Dua kelas inilah yang dalam terminologi
marxis disebut kelas fundamental karena sifatnya yang tak terdamaikan
atau antagonis. Penghancuran atas salah satunya merupakan gerak sejarah
yang dimanifestasikan lewat perjuangan kelas.
Marx membuktikan bahwa masyarakat kapitalis adalah masyarakat
terakhir dalam sejarah manusia dengan kelas-kelas antagonistisnya. Jalan
yang mengarahkan kepada masyarakat tanpa kelas terletak pada
perjuangan kelas proletariat melawan segala bentuk penindasan, demi
membangun kekuatannya dalam masyarakat yang diciptakan untuk
melindungi kepentingan rakyat pekerja. Marx memandang kelas pekerja
sebagai kekuatan sosial utama di jaman kapitalisme yang memiliki
xxvi
kemampuan untuk mengeliminasi sistem kapitalis dan menciptakan
sebuah masyarakat baru tanpa kelas yang terbebas dari eksploitasi.
Dalam hukum perkembangan masyarakat Marx berdasarkan salah satu
jarannya tentang materialisme histories, Pada awalnya tidak ada kelas
dalam masyarakat yaitu pada jaman komunal primitif. Pada jaman ini,
orang harus saling tolong menolong dalam rangka terus bertahan hidup
dan melindungi diri berbagai macam binatang pemangsa. Hal ini memaksa
orang harus tinggal menetap, untuk bertahan hidup manusia saat itu
berburu hewan, mengumpulkan makanan (tanaman dan buah-buahan)
yang dapat dimakan bersama. Tempat tinggal mereka pun dibedakan, dan
menjadi pembeda antara kelompok manusia yang satu atas yang lainnya.
Berbagai macam keterampilan, bahasa muncul. Semua hal ini di
idetifikasikan sebagai suku atau klan.
Pada saat ini kerja awalnya dibedakan antara laki-laki dan perempuan,
lalu dibedakan atas dasar kelompok-kelompok usia yang berbeda. Lalu
berkembang pada kahasan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh komunitas
penanam, peternak dan pemburu. Pembagian kerja merupakan hak
prerogatif dari anggota komunitas yang tertua dan paling berpengalaman.
Namun demikian, mereka tidaklah dianggap sebagai kelas yang memiliki
privilese istimewa karena jumlah mereka yang sedikit jika dibandingkan
dengan mayoritas dewasa dikomunitas disamping hak mereka didapat
melalui persetujuan dari mayoritas dewasa. Posisi khusus mereka terletak
pada otoritasnya, bukan pada kepemilikan properti atau kekuatan mereka.
Pada jaman ini produksi yang dihasilkan orang dibuat hanya untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan langsung, jadi tidak terdapat lahan untuk
mengakarnya ketidak adilan sosial.
Setelah jaman komunal primitif berangsur-angsur pudar, banyak hal
yang menjadi penyebab hal ini terjadi, selain keharusan sejarah.
Berakhirnya jaman ini tidak terjadi secara berbarengan berbagai daerah di
dunia ini sebgai contoh negara-negara Afrika, formasi kelas-kelas baru
mulai terbentuk setelah rezim-rezim kolonial trsingkirkan, yaitu sejak
xxvii
tahun 1950-an sedangkan kelas di Mesir Kuno pada akhir milenium ke-4
dan di awal milenium ke-3 sebelum masehi.
Kemunculan kelas-kelas sosial ini terjadi akibat dari pembagian
kerja secara sosial, di saat kepemilikan pribadi atas alat produksi menjadi
sebuah kenyataan. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat
berdasarkan dimensi ekonomi, hal yang paling pokok menurut ia adalah
kepemilikan atas alat produksi. Seperti yang selalu dia katakan dalam
berbagai tulisannya, pembagian kerja yang merupakan sumber
ketidakadilan sosial timbul saat memudarnya masyarakat komunal
primitif.
Salah satu dari pra kondisi yang paling general dari kehadiran
masyarakat yang terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga
produktif. Dalam perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat
produksi yang bergerak jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk
melanjutkan hidupnya. Jadi surplus produk memberikan kepada umat
manusia lebih dari yang dibutuhkannya, dan sebagai konsekuensinya,
ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan sendirinya dalam
masyarakat.
Bersamaan dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi yang
menguasai perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan produksi individu
atau keluarga telah menghapuska produksi komunal sebelumnya, ketidak
adilan ekonomi menjadi tidak terhindarkan lagi dan hal ini
mengkondisikan masyarakat ke dalam kelas-kelas.
Para pemimpin dan tetua komunitas yang mempunyai otoritas dalam
komuntas untuk melindungi kepentingan bersama ini. Temasuk dalam hal
pengawasan dan pengambilan putusan yang dianggap adil oleh komunitas.
Hal demikian juga dapat kita sebut sebagai kekuasaan negara elementer,
namun pada dasarnya mereka tidak pernah berhenti mengabdi pada
komunitas.
Perkembangan tenaga-tenaga produktif dan penggabungan komunitas-
komunitas tersebut kedalam entitas yang lebih besar mengarah pada
xxviii
pembagian kerja lebih lanjut. Dalam perkembangnya terbentuklah badan-
badan khusus yang berfungsi untuk melindungi kepentingan bersama serta
juri dalam perselisihan antar komunitas. Secara bertahap badan-badan ini
mendapat otonomi yang semakin besar dan memisahkan dirinya dari
masyarakat sekaligus merepresentasikan kepentingan kelompok sosial
utama. Otonomi ini dari pejabat urusan publik berubah menjadi bentuk
dominasi terhadap masyarakat yang membentuknya, dulunya abdi publik
sekarang para pejabat itu berubah menjadi tuan-tuan (lords).
Pada umumnya, perkembangan produksi sosial menuntut adanya
tenaga kerja manusia yang lebih banyak guna terlibat dalam produksi
material. Tidak ada komunitas yang sanggup mnyediakan hal itu sendiri,
dan tenaga kerja manusia tambahan disediakan oleh peperangan.
Cara lain pembentukan kelas adalah melalui pembudakan terhadap
bala tentara musuh yang tertangkap saat perang. Para peserta perang mulai
menyadari bahwa lebih bermanfaaat untuk membiarkan para tawanan
mereka terus hidup dan memaksa mereka unutuk bekerja. Jadi hak-hak
mereka sebagai manusia dicabut dan diperlakukan tak ubahnya seperti
binatang pekerja.
Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, kita akan mengenal
kelas-kelas yang saling bertentangan. Hal ini disebabkan karena
kepentingan mereka selalu tidak dapat diketemukan. Dalam terminologi
marxis kita akan mengenal bahwa kelas di bedakan menjadi dua macam
bentuk dan sifatnya yaitu kelas-kelas fundamental dan kelas-kelas non
fundamental.
Kelas-kelas fundamental adalah kelas-kelas yang keberadaannya
ditentukan oleh corak produksi yang mendominasi dalam formasi sosial
ekonomi tertentu. Setiap formasi sosial ekonomi yang antagonistis
memilki dua kelas fundamental. Kelas-kelas ini bisa berupa pemilik budak
dan budak, tuan feodal dan hambanya, ataupaun borjuasi dan proletar.
Kontradiksi-kontradiksi antagonistis diantara kelas-kelas tersebut berubah
oleh penggantian sistem yang berlaku dengan sebuah sistem baru yang
progresif.
xxix
Kelas-kelas non fundamental adalah bekas-bekas atau sisa-sisa dari
kelas dalam sistem yang lama dan masih bisa dilihat dalam sistem yang
baru, biasanya kelas ini menumbuhkan corak produksi yang baru dalam
bentuk struktur ekonomi yang spesifik. Sebagai contoh para pedagang,
lintah darat, petani-petani kecil yang terdapat dalam masyarakat
kepemilikan budak dengan kelas yang fundamental pemilik budak dan
budak.
Kelas-kelas fundamental dan non fundamental saling bergantung
secara erat, karena dalam perkembangan sejarahnya, kelas fundamental
bisa menjadi non fundamental, dan demikian pula sebaliknya. Sebuah kels
fundamental merosot menjadi sebuah kelas non fundamental saaat corak
produksi yang dominan yang mendasarinya secara bertahap berubah
menjadi sebuah struktur sosial ekonomi yang sekunder. Sebuah kelas non
fundamental menjadi fundamental saat sebuah struktur sosial ekonomi
baru yang terdapat di dalam sebuah formasi sosial ekonomi berubah
menjadi corak produksi yang dominan.
Masyarakat juga bisa memiliki lapisan orang-orang yang tidak
termasuk ke dalam kelas-kelas tertentu, yaitu elemen-elemen tak
berkelas yang telah kehilangan ikatan-ikatan dengan kelas asalnya. Hal ini
berlaku bagi lumpen-lumpen kapitalisme yang terdiri atas orang-orang
tanpa pekerjaan tertentu atau yang biasa disebut sebagai sampah-sampah
masyarakat, seperti pengemis, pelacur, pencuri dan sejenisnya. Selain
kelas, terdapat kelompok sosial besar lain yang garis pembatasnya terletak
pada latar yang berbeda dengan latar-latar pembagian kelas, ia mungkin
saja didasrkan pada usia, jenis kelamin, ras, profesi, kebangsaaan, dan
pembeda lainnya.
2. Max Weber
Lahir di Jerman pada tahun 1864. Belajar ilmu hukum di Universitas
Berlin dan Universitas Heidelberg, selepas studinya ia bekerja sebagai
dosen ilmu hukum di Univesitas tempat ia belajar dulu. Selain mengajar ia
xxx
pun berperan sebagai konsulatan dan peneliti, dan semasa Perang Dunia I
ia mengabdi di angkatan bersenjata Jerman. Pada tahun 1889 ia menulis
sebuah disertasi yang berjudul A Contribution to the History of Medieval
Buisness Organization. Salah satu bukunya yang terkenal adalah The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam bukunya ini Weber
menggambarkan hubungan antara Etika Protestant dan Kapitalisme di
Eropa Barat.
Max Weber termasuk diantara salah satu sosiolog yang tidak sepakat
dengan penggunaan dimensi ekonomi semata-mata untuk menentukan
stratifikasi sosial. Giddens dalam bukunya sociology menunjukan
persamaan antara Marx dan Weber:
“Seperti Marx, weber dianggap masyarakat yang ditandai dengan konflik
atas kekuasaan dan sumber daya"
Sekaligus pebedaannya,
"Meskipun Weber menerima pandangan Marx bahwa kelas didasarkan
pada obyektif yang diberikan faktor-faktor ekonomi sebagai hal penting
dalam pembentukan kelas dari pada yang diakui oleh Marx".
Baik Marx maupun Weber keduanya melihat bahwasahnya kelas
adalah stratifikasi atas masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi. Namun
seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Weber termasuk ilmuwan
sosial yang menolak penggunaan dimensi stratifikasi ekonomi semata-
mata dalam menntukan stratifikasi sosial masyarakat.
Menurut Weber, stratifikasi sosial tidak sesederhana demikian hingga
dapat dijelaskan lewat kelas, ia menambahkan dalam uraiannya tentang
kekuasaan dalam masyarakat bahwa pembedaan masyarakat dapat dilihat
melalui kelompok status, partai dan kelas.
Kelas menurut Weber adalah sejumlah orang yang mempunyai
persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances).
Peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi
berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh
xxxi
penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat
dari dipunyainya persamaan untuk menguasai barang dan jasa sehingga
diperoleh penghasilan tertentu, mka orang yang berada di kelas yang sama
mempunyai persamaan yang dinamakan situasi kelas.
Situasi kelas adalah persamaan dalam hal peluang untuk menguasai
persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup. Kategori
dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya, dan
faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini
konsep kelas Marx dan Weber adalah sama, yaitu pembedaan kelas dan
faktor yang mendorong terciptanya kelas.
Dimensi lain yang digunakan weber adalah ialah dimensi kehormatan.
Manusia dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok status
merupakan orang yang berada dalam situasi status yang sama, dimana
orang yang peluang hidupnya ditentukan oleh ukuran kehormatan, coba
lihat pembedaan sultan dan abdi dalem yang ada di Yogyakarta.
Persamaan kehormatan status dinyatakan dalam persamaan gaya hidup.
Dalam bidang pergaulan hal ini dapat berupa pembatasan dalam pergaulan
dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain danya pembatasan
dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai oleh adanya
hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun
material. Dalam hal gaya hidup, hal ini bisa kita lihat dari gaya konsumsi.
Disamping pembedaan lewat dimensi ekonomi dan kehormatan Weber
menambakan bahwa masyarakat juga dibeda-bedakan berdasarkan
kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan menurut Weber adalah peluang
bagi seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan mereka
sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami tentangan
dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu. Bentuk dari
tindakan komunal ini adalah partai yang diorientasikan pada diperolehnya
kekuasaan.
xxxii
3. Erik Olin Wright
Sosiolog dari Amerika ini telah membangun teori kelas kombinasi dari
pendekatan Marx dan Weber. Sulit rasanya untuk menulis tentang ilmuan
sosial yang satu ini, hal ini di sebabkan Wright sendiri tidak pernah
mendefinisikan kelas menurut dia sendiri. Dari berbagai tulisannnya
tentang sosiologi Erik Olin Wright dapat digolongkan ke kelompok Neo
Marxis. Tulisannya tentang kelas dapat banyak ditemukan di Internet.
Menurut Wright:
Menurut Wright, ”ada tiga dimensi kontrol Sumberdaya ekonomi
dalam proses produksi kapitalis modern, dan ini memungkinkan kita
untuk mengidentifikasi kelompok utama yang ada”.
1) Kontrol atas investasi atau modal uang.
2) Kontrol atas fisik alat-alat produksi (tanah atau Pabrik-pabrik dan
kantor).
3) Kontrol atas tenaga kerja.
Ketiga point di atas seluruhnya dikuasi oleh kelas kapitalis, sedangkan
kelas pekerjanya sendiri tidak menguasai satu pun dari tiga hal diatas.
Padahal menurut Marx bahwa point pertama dan kedua di atas dihasilkan
dari point ketiga. Ironis memang jika melihat hal demikian, bayangkan ada
sekelompok orang yang telah seharian bekerja keras namun hasil kerja
tidak dapat ia nikmati sendiri.
Diantara dua kelas utama ini ada kelompok yang posisinya ambigu
menurut dia, sebut saja seperti yang dia contohkan yaitu para manajer dan
pekerja kerah putih atau para professional. Letak ambiguitas orang-orang
ini dalam sistem produksi adalah mereka mampu mempengaruhi beberapa
aspek dari produksi namun meraka tidak mampu menguasinya. Sama
seperti para pekerja manual mereka menjual tenaga mereka kepada kaum
kapitalis lewat kontrak kerja namun disatu sisi mereka mempunyai
wewenang dalam perencanaan kerja atau kerja mental.
Kita tentu masih ingat apa yang dikatakan Marx, bahwa di antara kelas
borjuis dan kelas proletar ada kelas yang dinamakan kelas borjuis kecil,
yang dalam perkembangannya akan jatuh kedalam barisan kaum
proletariat disebabkan karena mereka tidak mempunyai modal yang cukup
xxxiii
besar dalam usahanya. Dalam perjalanan kapitalisme besar tidaknya modal
menentukan dalam usaha mempertahankan produksi dan mendapatkan
surplus guna memperbesar modal produksi. Sistem monopoli dan
persaingan bebas yang berlaku didalam kapitalisme telah memaksa orang-
orang yang seperti disebut oleh wright “contradictory class locations”
akhirnya habis dimakan oleh kapitalis-kapitalis besar.
Tentu ada sebab-sebab yang menjadikannya kelompok ini muncul, yaitu
keahlian dan kemampuan. Dalam konsep mobilitas sosial faktor
pendidikan mainkan peranan yang cukup penting disini lewat pendidikan
individu yang berasal dari status rendah namun berpendidikan tinggi,
dalam masyarakat kapitalis yang membutuhkan para pekerja ahli misalnya
manager guna mengawasi berjalannya sistem produksi. Kelas pekerja
tidak mempunyai keahlian yang cukup dalam hal manajemen ini karena
cuma tenaga yang mereka punya. Itupun akan digantikan oleh mesin-
mesin sering dengan kemajuan teknologi. Tentu ada aspek-aspek lain dari
hal ini. Biasanya pekerja yang mempunyai keahlian dan berpengalaman
dalam bidang dapat memperoleh upah kerja diatas-rata yang diterima oleh
pekerja biasa. Kesempatan kerja pun terbuka lebih jauh dan lebar dari
kelompok ini akibat dari keahlian yang dimilikinya. Menurut Wright:
"Karyawan dengan pengetahuan dan keterampilan lebih sulit untuk
memantau dan mengontrol, majikan berkewajiban untuk mengamankan
loyalitas dan kerjasama dengan memberikan penghargaan yang sesuai".
Dimensi kekuasaan dalam sistem produksi dari kelompok ini juga ikut
memasukan konsepnya Weber dalam stratifikasi sosialnya Erik Olin
Wright. Pada hakekatnya sifat dari kelompok ini adalah oportunis dan
pragmatis.
Jaman yang sedang berlangsung ini adalah jaman kapitalisme yang
telah mencapai tahapnya yang tertinggi yaitu Imperialisme, dan sedang
berjalan menuju kehancurannya, seperti yang diyakini Marx dan para
Marxis. Dua kelas utama dalam masyarakat ini adalah borjuis dan proletar.
Borjuasi terdiri dari para pemilik properti pertanian dan industri besar
xxxiv
yang hanya kerja di perusahaanya, dan menikmati surplus dalam bentuk
keuntungan yang didapatnya dari hasil kerja para buruh upahan yang tetap
tidak terbayar sesuai dengan kebutuhannya di dalam jaman kapitalisme.
Kelas yang berseberangan dengan borjuis, yang di satu sisi merupakan
prakondisi dari kemunculannya, dan disisi lain adalah proletar, yaitu kelas
yang harus menjual tenaganya kepada para kapitalis sekedar untuk terus
bertahan hidup.
Ketergantungan kelas ini terhadap para kapitalis cukup besar dan hal
ini diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Seorang pekerja tidak
berhak atas alat produksi. Ia bergantung pada tenaganya sendiri dalam
kehidupan, dalam jaman ini tak seorangpun kecuali para kapitalis yang
memiliki alat produksi dapat membeli dan mempergunakan tenga kerja.
Konsekuensi dari hal ini adalah para pekerja terpaksa bekerja untuk para
kapitalis tersebut. Borjuis bergerak terus dalam perkembangannya yang
sesuai dengan tahap-tahap perkembangan ekonomi dari masyarakat
kapitalis. Munculnya borjuis sebagai kelas dihubungkan dengan jaman
yang disebut akumulasi modal primitif. Indikasi dari jaman ini adalah
perampasan tanah dan instrumen kerja milik masyarakat luas, melalui
eleman terpentingnya yaitu perampasan barang-barang kolonial dan
ekspansionisme. Disaat semua syarat telah tersedia bagi mulainya sebuah
corak produksi kapitalis. Syarat-syarat itu termasuk telah hadirnya masa
pekerja upahan independen dan konsentrasi kapital ditangan borjuasi.
Di Indonesia hal ini berlangsung dengan masuknya kolonialisme
Belanda. VOC sebagai serikat dagangnya waktu itu. Bentuk-bentuk
pengisapan yang dilakukan VOC waktu itu adalah leveratien dan
contingenten. Leverienten adalah sistem penyerahan hasil pertanian oleh
para bupati pesisir kepada VOC dalam jumlah yang ditentukan oleh VOC.
Contingeten adalah sistem jatah penyerahan hasil pertanian yang
dikenakan pada bupati di pesisir Jawa oleh VOC, dengan demikian kaum
tani pada masa itu menderita dua macam penindasan, dari raja-raja, dan
dari VOC. Hal ini terus berjalan hingga sampai ke masa imperialisme yang
xxxv
telah menimbulkan situasi baru di Indonesia. Kemunculan pabrik-pabrik,
perkebunan-perkebunan besar, pelabuhan-pelabuhan, hingga perusahaan
swasta membutuhkan tenaga kerja terdidik untuk melaksanakan pekerjaan
yang serba modern. Perubahan tanah-tanah pertanian yang kini telah
berubah menjadi kawasan tempat berdirinya berbagai fasilitas produksi.
Bersamaaan dengan terjadinya hal ini kelas pekerja pun muncul.
Perkembangan borjuasi dikaitkan dengan revolusi industri dan
kapitalisme pra monopoli sampai periode monopoli kapitalisme dan
revolusi sains dan teknologi. Awal abad ke 20 adalah tahun oligarki
finansial timbul kepermukaan. Sebagai akibat munculnya jutawan-
jutawan, kebangkrutan banyak pengusaha kecil dan menengah, konsentrasi
modal dan produksi, inilah basis ekonomi kapitalisme mulai masuk
ketahapannya yang tertinggi yaitu Imperialisme. Dalam Imperialisme,
borjuasi cenderung secara terus-menerus mengecil jumlahnya hal ini
diakibatkan oleh persaingan bebas yang menjadi hukum dijaman
imperialisme ini. Konsekuensi logis dari hal ini adalah meningkatnya
jumlah kaum pekerja.
Proses pembentukan kelas pekerja di negara berkembang, yang
ekonominya seringkali merupakan kombinasi antara elemen kapitalis,
feodal bahkan patriarkal, merupakan proses yang rumit dan pelik. Hampir
tidak ada negara didunia ini di mana kapitalisme hadir dalam bentuk
aslinya. Biasanya kelas warisan dari sistem sosial ekonomi sebelumnya
terus bertahan dan berdampingan dengan kapitalis, khususnya sisa-sisa
dari kelas feodal atau pemilik tanah yang mendominasi terus bertahan di
bebrapa negara bahkan dibawah kapitalisme seperti di Indonesia dapat kita
jumpai hubungan-hubungan itu dibeberapa daerah misalnya Yogyakarta
dan daerah Jawa lainnya.
Pada masyrakat kapitalis, terdapat beberapa strata kecil yang terdiri
dari pemilik alat produksi kecil strata ini terbentuk dari petani dan borjusi
kecil perkotaaan. Namun dalam perkembangan selanjutnya strata ini akan
hancur jika relasi-relasi produksi akan menajam dalam perkembangannya.
xxxvi
Seperti yang dapat kita lihat didalam kondisi di Indonesia di mana angka
tenaga kerja yang terus meningkat tak pernah tercukupi oleh lapangan
pekerjaan yang tersedia. Negara yang merupakan alat dari kelas yang
berkuasa- di Indonesia adalah kelas kapitalis dan kaum komprador-telah
melegitimasi atas kondisi yang terjadi dan bahkan mengkondisikan hal ini
demi kepentingan kelas yang berkuasa.
C. Unsur-Unsur Lapisan Sosial (Stratifikasi Sosial)
1. Kedudukan (status)
Hal yang menunjukkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem
lapisan ( stratifikasi) masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan.
Soerjono Soekanto (2006 : 205) kedududkan dan peranan merupakan
unsur-unsur baku dalam sistem lapisan, dan mempunyai arti yang penting
bagi sistem sosial . sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur
hubungan timbal balik antara individu dalam masyarakat dan antara
individu dengan masyarakat dan tingkah laku individu-individu tersebut .
dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut. Kedudukan dan peranan
individu memepunyai arti yang penting karena langgengnya masyarakat
tergantung pada keseimbangan kepentingan–kepentingan individu
termaksud.
Kedudukan (status) kadang-kadang dibedakan antara pengertian
kedudukan (status) kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi
seseorang dalam suatu kelompok sosial. Kedudukan sosial artinya adalah
tempat seseorang secara umum dalam masyarakat berhubungan dengan
orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya. Prestisenya dan hak-hak
serta kewajibannya. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang
dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang dikatakan
mempunyai beberapa kedududkan karena seseorang biasanya ikut serta
dalam berbagai pola kehidupan, pengertian tersebut menunjukkan
tempatnya sehubungan dengan kerangka masyarakat secara menyuluruh.
xxxvii
2. Peranan (Role)
Peranan (Role) merupakan aspek dinamis kedudukan (Status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara
kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada
yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau
kedudukan tanpa peranan. Sebaimana halnya dengan kedudukan, peranan
juga memepunyai dua arti. Setiap orang mempunyai macam-macam
peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus
berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi
masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh
masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur
prilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas tertentu
dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Orang yang
bersangkutan akan dapat menyesuaikan prilaku sendiri dengan prilaku
orang-orang sekelompoknya. Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam
masyarakat merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam
masyarakat, peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku. Misalnya,
norma kesopanan menghendaki agar seoarang laki-laki bila berjalan
bersama seorang wanita harus di sebelah luar.
Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan
posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam msyarakat
(yaitu social –position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat
individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih menunjuk pada fungsi,
penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki
suatu fungsi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Ada tiga
hal yang mencakup peranan yaitu sebagai berikut: (a) Peranan yang
meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
xxxviii
kemasyarakatan. (b) peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang
dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. (c)
peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat Soerjono Soekanto (2006 : 213).
D. Konsep Kerja
Penghargaan dan kebutuhan untuk berprestasi adalah merupakan
kebutuhan dasar dan hakiki bagi manusia, tinggal persoalan tinggi dan
rendahnya dorongan-dorongan setiap pribadi untuk mendapatkan penghargaan
dan berprestasi sangat bergantung dari apa yang dikatakan Hegel sebagai
relasi obyektifikasi personal dan lingkungannya, bahwa kebutuhan untuk
mendapatkan penghargaan dan prestasi kerja merupakan gerak dari logika
dialektika tesa, antitesa dan sintesa dari sebuah aktifitas yang bernama
bekerja.
Bahwa dengan bekerja manusia “ memanusiakan “ obyek – obyek di luar
dirinya, sehingga obyek-obyek itu tidak tinggal alamiah dan terasing dari
manusia melainkan pertanyaan diri manusia. Hegel (Hamdi, 2008:8).
Menggambarkan pekerjaan manusa pertama- tama sebagai keterasingan dari
dirinya sendiri, karena dengan pekerjaannya manusia dipaksa meninggalkan
dirinya masuk kedalam dunia obyektif yang nyata membelenggu dirinya dan
memisahkan dari kesadarannya. Tapi justru dalam keadaan inilah manusia
dipaksa untuk makin menyadari kediriannya. Lingkungan yang asing itu
semakin memaksa manusia untuk “memanusiakan lingkungan lewat
pekerjaannya“. Kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan dan berprestasi
menjadi bagian dari mengapa manusia harus bekerja.
Bekerja, berprestasi dan mendapatkan penghargaan dari aktifitasnya
merupakan proses dialektis sebagai “ realitas yang bekerja “ atau terlihat dari
dalam pekerjaan manusia. Kontradiksi dan megasi antara manusia dan dunia
obyektif, juga antara manusia terhadap lingkunganya ini semua akhirnya
mengarah padanya “rekonsilasi“ antara manusia dan lingkunganya dan dengan
demikian manusia juga makin memahami kedirianya, serentak lingkungannya
xxxix
juga diangkat ke derajat yang lebih tinggi, karena telah dimanusiakan oleh
manusia bahwa pengakuan ekstensi ke diri manusia di dapatkanya dengan
bekerja dan berprestasi.
Dalam bekerja manusia terikat oleh aturan dan mekanisme yang tidak
jarang meminjam istilah Karl Marx manusia menjadi terasing dari aktifitas
produksinya, walaupun harus diakui sebagai sebuah bentuk ungkapan yang
dalam perspektif Weber sebagai bentuk rasionalitas ketika ia bekerja dalam
komunitas (kelompok) atau organisasi mempunyai kecenderungan historis
untuk bergerak kearah di terapkanya birokrasi Peter M Blau Marshal W.
Mayer dalam (Hamdi, 2008:9).
E. Tenaga Kerja dan Desa
Tenaga kera (Manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja
(berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memperuduksi barang dan
jasa. Sebelum tahun 2000, Indonesia menggunakan patokan seluruh penduduk
berusia 10 tahun ke atas (lihat hasil sensus penduduk 1971, 1980, dan 1990).
Namun sejak sensus penduduk 2000 dan sesuai dengan ketentuan
internasional, tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun. Undang –
undang ketenaga kerjaan no 13 tahun 2003 tenaga kerja adalah setiap orang
(laki – laki atau perempuan yang berusia peroduktif 15-16 tahun) yang mampu
malaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna
menghasilkan jasa dan barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Desa, atau udik, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi
permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesi, istilah desa adalah
pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang
dipimpin oleh kepala desa. Menurut peraturan pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa bukanlah bawahan kecamatan,
xl
karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota,
dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan
Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam
perkembangannya, sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan.
Pada masa Orde Baru, Indonesia mempunyai UU Pemerintahan Desa (UU
No. 5/1979) yang terpisah dari UU Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (UU
No. 5/1974) Meski bermasalah, UU No. 5/1979 berjalan secara kokoh, stabil
dan tahan lama, sekokoh rezim yang berkuasa waktu itu. Di masa reformasi,
UU No. 22/1999 hadir membongkar masalah yang terkandung dalam UU No.
5/1974 dan UU No. 5/1979, sekaligus memberi kesempatan bagi kebangkitan
desa. Namun pengaturan desa diintegrasikan ke dalam undang-undang
pemerintahan (UU No. 22/1999) itu. Pola yang sama juga diteruskan oleh UU
No. 32/2004. Sekarang, ketika upaya revisi kembali UU No. 32/2004 tengah
bergulir, muncul kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR untuk
memecah UU No. 32/2004 menjadi tiga undan-gundang: UU Pemerintahan
Daerah, UU Pilkada dan UU Desal.
Menurut Paul H. Landis (dalam Jabrohim, 2006:181), sejauh mana besar
kecilnya pengaruh terhadap pola kebudayaan masyarakat desa akan di
tentukan oleh :
1. Sejauhmana ketergantungan mereka terhadap pertanian
2. Tingkat teknologi mereka
3. System produksi yang diterapkan
Ketiga faktor tersebut secara bersama – sama menjadi faktor determinan bagi
terciptanya kebudayaan tradisional, yakni kebudayaan tradisional akan tercipta
apabila, masyarakat tergantung kepada, tingkat teknologinya rendah
peruduksinya hanyan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Perubahan dan perkembangan masyarakat desa secara umum yang terjadi
saan ini adalah semakin menipisnya perbedaan antara desa dan kota. Hal ini di
terutama disebabkan oleh makin menyebar dan meluasya transportasi dan
teknologi lainya. Isolasi fisik dan sosial kultural yang dulu menciptakan
kondisi sebagai kuatnya akar tradisionalisme dalam kehidupan masyarakat
xli
desa kini semakin kurang bahkan hilang perubahan itu telah menciptakan
terjadinya deferensiasi di kalangan masyarakat desa Jabrohim (2006 : 190).
Desa pada perkembangan masa kini adalah desa yang berbeda secara
keseluruhannya pada masa lalu. Merujuk pada apa yang telah didefinisikan
oleh Samuel L. Popkin tentang model desa di kawasan asia. Ia membedakan
desa menjadi dua model yaitu :
1) Desa terbuka adalah pertumbuhan desa pada masa lalu yang dicirikan
dengan pajak desa yang ditanggung secara kolektif, terdapat batas yang
jelas antara satu desa dengan desa yang lain juga termasuk dalam hal
kewargadesaan.
2) Desa tertutup adalah tanah pertanian dikerjakan secara kolektif dengan
distribusi kerja yang lebih jelas dan pola-pola yang kurang lebih sama.
Merujuk tulisan Jochen Ropke tentang konsep hak-hak panen dalam
budidaya padi di Jawa. Terdapat jaminan sosial semacam insurance risk yang
dikembangkan di pedesaan Jawa sebagai bentuk social capital yang sangat
bernilai. Konsep ini disebut sebagai konsep panen padi terbuka. Yaitu sistem
panen padi tradisional di mana setiap orang memiliki hak untuk mengambil
bagian dalam pekerjaan memanen dan akan mendapatkan imbalan in natura,
yaitu pembayaran atau upah dengan barang atau hasil bumi atau dalam bahasa
jawa disebut sebagai bawon. Keikutsertaan dalam panen padi terbuka
biasanya dilakukan oleh perempuan, anak anak atau orang tua sebagai
penghasilan tambahan keluarga. Menurut perhitungan Ropke, penghasilan dari
mengikuti panen padi terbuka bisa sampai 20 % dari kebutuhan padi bagi
keluarga petani yang kurang mampu. Sehingga aktivitas ini disebut oleh
Ropke sebagai sistem jaminan sosial yang berlaku di desa.
Sistim jaminan sosial ini equivalent dengan sistem tanggung renteng
dalam sistem yang banyak digunakan dalam sistem permodalan kredit oleh
pemerintah. Di mana satu orang mempengaruhi yang lain atau di mana
terdapat satu orang petani sedang panen, maka petani lain dalam jaringan yang
mereka kenal mimiliki hak untuk ikut bekerja dan mendapatkan bagian.
Demikian seterusnya sampai seluruh petani subsisten mengalami masa panen.
xlii
Sistem jaminan resiko semacam ini hanya bisa terlaksana secara penuh apabila
sistem panen terbuka berlaku secara meluas. Sehingga terdapat semacam
“ganti tugi” atau upaya saling menjamin dari lingkungan sesama petani
subsisten. Sehigga bisa dikatakan kerugian disuatu tempat akan memperoleh
kompensasi di tempat lain. Dalam konteks ini Roepke menyebutkan, apabila
seseorang bergantung pada bantuan orang lain untuk mengatasi resiko yang
dihadapai dalam produksi, maka hal ini berarti bahwa ia dan beberapa orang
lainnya, mungkin juga semua anggota kelompok, harus dapat memanfaatkan
sumber daya secara bebas. Oleh karena itu norma pokok masyarakat petani
dinyatakan sebagai kesempatan terbuka bagi semua orang untuk memperoleh
pendapatan subsisten (Roepke; 1990).
Disamping jaminan sosial, panen padi sitem terbuka juga menjadi salah
satu pengurai masalah tenaga kerja di pedesaan. Dalam satu kali panen,
menurut perhitungan Roepke, untuk tiap satu hektar sawah akan mampu
menyerap tenaga kerja 100 sampai 300 orang. Seorang pemilik tanah yang
mengerjakan tanahnya sebagai petani subsisten memiliki konsekuensi untuk
membuka peluang seluas luasnya kepada petani atau tenaga kerja yang hendak
menjadi pekerja dengan sistem ini. Menutup kesempatan yang seluas luasnya
(sistem panen ekslusif) kepada tenaga kerja petani lain yang hendak terlibat
dalam kegiatan memanen akan membawa resiko tersendiri terkait dengan
sistem sosial di desa.
Panen padi sistem terbuka hanya berlaku pada karakter desa tertutup
sebagaimana kriteria yang disampaikan oleh Popkin tentang desa tertutup di
atas. Desa tertutup yang menerapkan sistem panen terbuka saat ini mungkin
sudah tidak mudah ditemui. Sistem pertanian yang secara perlahan mulai
menemukan arah ke jalan pertanian modern memungkinkan sistem panen
terbuka juga menjadi persoalan karena semakin rumitnya hubungan sosial,
semakin sempitnya lahan pertanian dan mulai berubahnya kepemilikan tanah,
semakin hilangnya batas antara petani dalam satu jaringannya juga mulai
masuknya era industrialisasi dan jasa yang membawa orang untuk mengalami
transformasi pekerjaan. Apalagi mulai dikenalnya alat alat pertanian modern,
xliii
termasuk alat panen yang sekaligus sebagai alat mesin perontok, yang
memungkinkan beberapa orang petani saja akan mampu menyelesaikan
pekerjaan panen padi dengan lebih cepat dan efesien.
F. Kebijakan dan Petani
Usaha budidaya tanaman merupakan bagian integral dari pembangunan
pertanian yang diarahkan untuk mencapai usaha pertanian yang bernilai
tambah, berdaya saing, berkelanjutan, dan berkeadilan. Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia dan amanah
dari Tuhan Yang Esa kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
pemanfaatannya harus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, upaya pembangunan pertanian
dilakukan dengan memanfaatkan lahan dan pemilihan jenis tanaman yang
tepat, menerapkan teknologi proses serta alat dan mesin pertanian yang
modern, menggunakan tenaga kerja yang terampil, menggunakan modal yang
efisien, dan menerapkan manajemen yang profesional. Pembangunan
pertanian tersebut harus dapat memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan
budaya serta berdampak pada kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan
negara Indonesia.
Peraturan Pemerintah tentang Usaha Budidaya Tanaman didasarkan pada
semangat untuk menciptakan kepastian berusaha di bidang budidaya tanaman
sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha. Peraturan
Pemerintah ini mengatur budidaya tanaman, perizinan usaha budidaya
tanaman, dan pembinaan serta peran masyarakat. Usaha budidaya tanaman
terdiri atas proses produksi yang meliputi pembukaan lahan sampai dengan
pemanenan, sedangkan pasca panen meliputi pembersihan sampai dengan siap
untuk dipasarkan termasuk di dalamnya pengolahan, yang pelaksanaannya
diarahkan melalui kerja sama usaha sehingga akan tercipta hubungan yang
harmonis dan saling menguntungkan antara pelaku usaha budidaya tanaman
dengan masyarakat sekitar dan pemangku kepentingan lainnya.
xliv
Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam pemberian izin dengan tetap
memperhatikan norma, standar, pedoman, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Menteri. Untuk memberikan keadilan dan pemerataan usaha di bidang
budidaya tanaman, Menteri diberi kewenangan untuk menetapkan luas
maksimum lahan usaha. Pelaku usaha budidaya tanaman diberi keleluasaan
untuk mengubah tanaman setelah mendapat persetujuan dari pemberi izin.
Selain itu, pelaku usaha diberi kesempatan untuk memanfaatkan jasa dan atau
sarana milik negara dengan dikenakan pungutan yang merupakan Penerimaan
Negara Bukan Pajak. Atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan di atas,
Pemerintah, gubernur, dan bupati/walikota menyediakan pelayanan berupa
pembinaan dan pengawasan kepada pelaku usaha.
Usaha budidaya tanaman pangan dengan skala usaha 25 hektar atau lebih,
atau yang menggunakan tenaga kerja tetap 10 orang atau lebih, wajib
mengajukan izin menanam komoditas tanaman pangan. Adapun usaha
budidaya yang skala usahanya kurang dari skala usaha tersebut tidak wajib
izin, tetapi akan didaftar oleh bupati atau wali kota.
Demikian disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian
Pertanian Suprahtomo, Selasa (20/4) di Jakarta, menanggapi pemberitaan
Kompas soal perlunya izin budidaya tanaman pangan oleh bupati/wali kota.
Dijelaskan, draf Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman
Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan itu dalam proses finalisasi,
termasuk uji publik dan sosialisasi kebijakan kepada pemangku kepentingan.
”Usaha budidaya tanaman yang skala usahanya kurang dari skala usaha
tersebut di atas tidak wajib izin, tetapi akan didaftar oleh bupati/wali kota
sebagaimana dirumuskan Pasal 6. Ketentuan itu bertujuan untuk pembinaan,
penyuluhan, dan upaya pemberdayaan petani sekaligus alat monitoring dalam
kaitan mewujudkan ketahanan pangan,” ungkap Suprahtomo.
Pada Pasal 6 draf Permentan tertulis: Usaha dalam proses produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dengan skala usaha
kurang dari 25 hektar dan atau menggunakan tenaga kerja tetap kurang dari 10
xlv
orang harus didaftar dan diberikan TDU-P (Tanda Daftar Usaha dalam Proses
Produksi) oleh bupati/walikota.
Dasar hukum Permentan tersebut adalah Pasal 18, Pasal 21, dan Pasal 22
Ayat (6) Peraturan Pemerintah No 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman.
Adapun PP tersebut dibuat berdasarkan Pasal 46 Ayat (3), Pasal 51 Undang-
Undang No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, bukan didasarkan
pada Undang-Undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan, seperti diberitakan Kompas sebelumnya.
Berdasarkan draf Permentan yang diterima Kompas pekan lalu, draf
Permentan telah dilengkapi kolom tanda tangan Menteri Pertanian Suswono
dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, serta kolom
tanggal penetapan dan diundangkan. Draf juga dilengkapi dengan kolom
nomor berita negara. Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno
Tohir menyatakan, Selasa (20/4) malam “pihaknya diundang Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan terkait penyusunan draf Permentan, Undangan itu
bersifat mendadak” kata dia.
Menanggapi draf Permentan, Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera
Tejo Wahyu Jatmiko menyatakan, PP No 18/2010 dan Permentan memang
mengatur bahwa soal lahan dikuasai negara dan pengusaha. ”Semangat
Permentan ini bertolak belakang dengan UU No 12/1992 yang propetani. Jadi,
seperti meloncat, Permentan tidak mengurus petani, tetapi malah mengurus
pengusaha,” ujar dia.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia
Teguh Boediyana, dari pengalaman saat menyusun Rancangan Undang-
Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, peternak diajak bicara,
tetapi usulan peternak tidak diperhatikan sehingga pihaknya mengajukan
judicial review. ”Pembangunan pertanian diarahkan seperti maunya
Kementerian Pertanian, bukan kepentingan petani,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Abdul Wachid
berpendapat, dengan tidak dilibatkannya petani dalam menyusun kebijakan
pertanian, seolah ada upaya pemerintah menghilangkan peran petani. Tidak
xlvi
dilibatkannya petani dalam penyusunan draf Permentan, menurut Ketua
Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Barat Entang
Sastraatmadja, menunjukkan arogansi pemerintah.
Menurut Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Sulawesi Selatan H
Abdurrahman Daeng Tayang, pembangunan pertanian seharusnya fokus pada
peningkatan kesejahteraan petani. ”Bukan malah mempersulit petani,”
katanya.
G. Pekerjaan Di Luar Sektor Pertanian
Para petani di desa sudah tidak homogen dan terisolasi lagi dari dunia luar
dengan semakin meluasnya jaringan transportasi serta komunikasi dan
semakin intens sifat kontaknya dengan luar pedesaan maka telah
mengakibatkan terjadinya deferensiasi dalam struktur mata pencaharian
masyarakat desa mereka tidak lagi bergantung pada pertanian. Sektor – sektor
di luar pertanian Jabrohim (2006 : 191)
Ekonomi pedesaan merupakan bagian integral dari perekonomian nasional
secara keseluruhan. Berbagai perubahan telah terjadi, baik perkembangan
sosial ekonomi pedesaan maupun perkotaan sebagai akses strategi
pembangunan yang selama ini bersifat bias perkotaan. Hal ini menyebabkan
potensi perekonomian pedesaan tidak dapat didayagunakan secara maksimal.
Ada dua hal yang kerap digunakan sebagai indikator keberhasilan
pembangunan, yaitu kesempatan kerja dan pendapatan. Bagi angkatan kerja
rumah tangga, kesempatan kerja dipengaruhi dua faktor, yaitu intern dan
ekstern. Faktor intern meliputi tingkat keterampilan yang dimiliki individu
angkatan kerja dan penguasaan faktor produksi selain tenaga kerja seperti
lahan dan modal yang dikuasai rumah tangga. Sedangkan faktor ekstern antara
lain pola produksi pertanian, sistem produksi dan jasa sektor luar pertanian,
pertumbuhan angkatan kerja, mobilitas tenaga kerja baik antar sektor dan antar
sub sektor maupun antar wilayah. Kontribusi pendapatan dari satu jenis
kegiatan terhadap total pendapatan rumah tangga tergantung pada
produktivitas faktor produksi yang digunakan dari jenis kegiatan yang
xlvii
bersangkutan. Kedua hal ini saling berkaitan baik di tingkat mikro rumah
tangga maupun di tingkat makro pedesaan.
Dari aspek tenaga kerja, masih dijumpai diantaranya kesempatan kerja
yang belum berkembang dan produktivitas tenaga kerja di sektor ekonomi
pedesaan yang rendah. Kedua indikator tersebut turut mendorong arus
urbanisasi tenaga kerja muda terdidik dari desa ke kota (Speare and Harris,
1986 dan Manning, (1992). Fenomena ini didukung pula oleh lambatnya
peningkatan upah riil buruh pertanian (Manning dan Suriya, 1996 dan White,
1992) atau bahkan mengalami stagnasi, sementara upah riil buruh di sektor
luar pertanian terus mengalami peningkatan (Erwidodo et al.,1993).
Rendahnya tingkat upah dan rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor
pertanian tidak lepas dari terbatasnya penguasaan lahan pertanian dan
terbatasnya kesempatan kerja di sektor luar pertanian (Ishikawa, 1978). Dari
situasi demikian, diharapkan perkembangan kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha di sektor luar pertanian merupakan alternatif kegiatan dan sumber
pendapatan masyarakat pedesaan terutama bagi para petani berlahan sempit
(small size land holding farmers) dan petani tanpa lahan (landless farmers).
Akan tetapi pada kenyataannya keterlibatan kelompok masyarakat tersebut
sebagian besar hanya pada kegiatan-kegiatan dengan produktivitas rendah
(Hart, 1986) karena tingkat keterampilan dan permodalan yang terbatas
(Nurmanaf et al, 2004). Secara umum pembangunan pertanian telah
meningkatkan produksi secara fisik, namun produktivitas tenaga kerja
terutama di subsektor tanaman pangan selama dua dekade terakhir tidak
mengalami peningkatan yang berarti (Eng, 1993). Dari beberapa kasus terjadi
perubahan-perubahan bidang usaha dari sektor pertanian ke sektor luar
pertanian. Hadi et al (2003). melaporkan kasus di desa-desa penelitian yang
pada tahun 1998 berbasis pertanian seperti tanaman pangan, peternakan sapi
perah dan perkebunan kopi tidak lagi dijumpai pada tahun 2003. Jenis-jenis
usaha tersebut tidak lagi merupakan sumber utama pendapatan rumah tangga,
tapi telah digantikan oleh kegiatan-kegiatan di sektor luar pertanian, seperti
usaha di sektor informal dan berburuh walaupun dengan produktivitas rendah.
xlviii
Kecenderungan demikian, merupakan penjelasan adanya pergeseran struktur
pendapatan masyarakat di pedesaan. Dominasi sektor pertanian terhadap
pendapatan rumah tangga digantikan oleh sektor di luar pertanian.
Berdasarkan hasil listing sensus ekonomi 2006 yang mencakup seluruh
kegiatan perusahaan atau usaha selain sektor pertanian, jumlah perusahaan
atau usaha di daerah pedesaan tercatat 11,2 juta perusahaan/usaha. Lapangan
usaha perdagangan besar dan eceran tercatat sebagai usaha terbanyak dengan
jumlah 5,1 juta (45,78 persen), diikuti oleh usaha industri pengolahan (20,24
persen), angkutan (10,96 persen), jasa-jasa (10,05 persen), dan
akomodasi/makan/minum (9,86 persen).
Dalam pelaksanaan Sensus Ekonomi 2006, pencacahan perusahaan/usaha
dilakukan dengan pendekatan lokasi usaha yang dipilah menjadi
perusahaan/usaha yang menggunakan lokasi permanent (bangunan khusus
usaha atau bangunan campuran) dan lokasi tidak permanen. Berdasarkan
tempat lokasi usaha, 60,28 persen perusahaan/usaha di daerah pedesaan
melaksanakan kegiatannya pada lokasi permanen, dan sisanya (39,72 persen)
pada lokasi tidak permanen seperti seperti usaha keliling, pedagang kaki lima
di jalan atau trotoar, pangkalan ojek sepeda motor, los-los pasar, koridor
stasiun dan lain-lain.
Dari distribusi perusahaan atau usaha perdagangan besar dan eceran
menurut lokasi usaha dapat dilihat bahwa sekitar 50,64 persennya mempunyai
lokasi usaha tidak permanen. Persentase usaha perdagangan yang dilakukan
secara keliling mencapai 44,36 persen, sementara yang dilakukan di kaki lima
36,10 persen dan sisanya di los-los/koridor. Perlu dicatat bahwa untuk usaha
transportasi mayoritas usaha dilakukan pada lokasi tidak permanen. Hal ini
bisa dimengerti karena data yang ada menunjukkan bahwa 51,77 persen dari
usaha transportasi di pedesaan adalah usaha ojek motor.
H. Masyarakat Pedesaan dan Peluang Penghidupan
Desa dan masyarakat pedesaan hampir selalu dikaitkan dengan kota dan
wilayah yang lebih luas, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya maupun
xlix
politiknya. Secara ekonomi, terintegrasinya desa dengan sistem ekonomi yang
lebih luas (kabupaten dan kota), serta kehadiran industri-industri di sekitar
desa berarti membuka peluang ekonomi yang bisa dijajaki oleh masyarakat
desa baik di kota maupun di desanya sendiri. Beberapa kegiatan ekonomi yang
dapat dilakukan oleh masyarakat desa adalah membuka usaha sendiri seperti
usaha warung/toko kelontong, usaha makanan, industri kecil skala rumah
tangga, bengkel, dll. Selain membuka usaha sendiri orang desa juga bisa tetap
tinggal di desanya dengan menjadi pekerja di pabrik-pabrik yang ada di
dekatnya, meskipun tidak semua orang lokal bisa memenuhi persyaratan untuk
bekerja di industri yang ada.
Tidak semua orang desa bisa memanfaatkan peluang yang hadir lewat
industrialisasi di sekitar pedesaan maupun sistem pasar yang lebih luas.
Effendi mengatakan bahwa masyarakat desa sebetulnya masih belum siap
untuk menghadapi keterbukaan tersebut karena keterbukaan pasar itu berarti
persaingan dengan pendatang maupun sistem ekonomi yang rumit yang
menuntut kualitas yang tinggi dari orang-orang desa. Akibatnya usaha-usaha
ekonomi yang bisa dijajaki oleh orang desa adalah aktivitas ekonomi yang
skalanya kecil dan informal. Sehingga, gagasan mengenai bahwa industri akan
memperbaiki kehidupan warga desa (di sekitar industri) dengan efek tetesan
ke bawah (trickle down effect) tidaklah terbukti (Effendi, 1997:133-137).
Sedangkan mengenai aktivitas pertanian sawah, sudah kerap dikaji dan
diramalkan akan semakin tergeser akibat keterbukaan desa ini; tanah semakin
sempit, dan anak-anak muda di desa sudah enggan untuk turun ke lumpur
sawah. Peluang-peluang ekonomi apakah yang sekiranya bisa dilakukan anak
muda di desa untuk penghidupannya?
Produksi di pedesaan (pada masyarakat petani) umumnya ditandai dengan
kegiatan yang dinamai oleh Bernstein sebagai petty commodity production
atau mungkin bisa diartikan sebagai produksi komoditas kecil-kecilan, yaitu
produksi skala kecil rumah tangga oleh individu maupun keluarga petani yang
mengusahakan satu atau lebih komoditas tertentu (Bernstein 2003:4). Usaha
ini adalah salah satu upaya petani untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya
l
dimana para petani adalah pemilik modal sekaligus pekerjanya. Dengan
matangnya kapitalisme dan ketergantungan petani terhadap input dari luar
(pasar), bentuk produksi skala kecil semacam inilah yang menurut Bernstein
bisa dilakukan petani dengan ragam variasinya (antara kerja pertanian dan
nonpertanian). Dan hampir semua petani masuk ke dalam usaha skala ini,
sehingga di antara mereka sendiri akan terjadi persaingan, terutama pada
petani kecil (miskin) yang masuk pada skala kecil upahan yang ‘ramai’
diperebutkan dalam rangka memenuhi subsistensi mereka.
Elson (1997:173) mengatakan bahwa kerja-kerja off-farm mungkin
merupakan salah satu fenomena terpenting dari kehidupan petani. Kerja
pertanian saja tidak cukup dan sejarah menunjukkan bahwa keanekaragaman
sudah dilakukan oleh petani, baik petani yang tidak punya tanah atau bertanah
kecil dan juga tuan-tuan tanah, untuk memenuhi kebutuhannya masing-
masing. Petani miskin biasanya terlibat pada kegiatan produksi nonpertanian
skala kecil upahan yang ‘ramai’ diperebutkan, dan hanya menjadi kelompok
marjinal. Tujuan utamanya adalah untuk melanjutkan hidup (survival).
Kelompok petani menengah biasanya meragamkan sumber pendapatannya
(dari kerja upahan juga) agar dapat mereproduksi alat produksinya, sedangkan
pada petani kaya adalah untuk menambah akumulasi tanah atau alat produksi
lainnya dan mengembangkan usahanya dengan melibatkan orang-orang diluar
keluarganya (menyewa tenaga kerja) (Bernstein, 2003:5).Mengenai kerja off-
farm, Effendi (1993) mengulasnya dengan menelusuri batasannya, yaitu
kepada jenis pekerjaannya, lokasinya, dan komposisi pelakunya. Dengan
melihat kepada ketiga batasan itu, definisi kerja off-farm adalah kerja yang
biasanya nonpertanian, masih dilakukan di lingkungan desa atau kota
kecamatan, dan dilakukan oleh anggota keluarga berusia produktif yang
tinggal dalam rumah dalam beberapa bulan setahun yang juga ikut mengambil
keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan baik pertanian mupaun
nonpertanian (Effendi 1993:141-142). Kerja di bidang selain pertanian
merupakan bentuk penghidupan yang dipilih anak muda yang enggan bertani.
Seperti dipaparkan sebelumnya, dengan semakin membaiknya transportasi ke
li
kota, hubungan ekonomi (perdagangan), pendidikan, dan industrialisasi di
sekitar desa, maka peluang-peluang untuk bekerja di desa selain pertanian
juga semakin terbuka. Bekerja di pabrik, menjadi buruh serabutan, membuka
warung, bengkel, pondokan, beternak, berdagang, adalah beberapa pilihan
yang bisa dilakukan anak-anak muda di desa, baik laki-laki maupun
perempuan.
Migrasi ke kota dimungkinkan oleh beberapa faktor antara lain
membaiknya transportasi, ada peluang-peluang kerja di kota, dan menipisnya
sumber penghasilan di desa karena sumber daya yang semakin sedikit. Namun
faktor lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah keberadaan jaringan
sosial dari kerabat maupun teman di kota. Kerabat maupun teman satu daerah
yang tinggal di kota, bisa dimintai pertolongan untuk memfasilitasi kebutuhan
kerja di kota. Tanpa keberadaan kerabat atau teman yang sudah lebih dulu
tinggal dan bekerja di kota, keinginan para pendatang untuk tinggal dan
bekerja di kota lebih berat karena mereka berarti harus mengeluarkan uang
untuk rumah dan makan. Selain itu, informasi mengenai peluang kerja dan
pendidikan umumnya bisa diperoleh oleh para pendatang dari kerabat maupun
teman yang sudah lebih dulu menetap di kota. Keberadaan kerabat atau teman
ini menjadi salah satu faktor yang membuat para pendatang berani pergi ke
kota. Kuat lemahnya ikatan kekerabatan dan ikatan budaya seseorang juga
dapat mendorong seseorang untuk kembali ke desa asalnya di saat-saat
tertentu (ketika masa tua atau krisis). Beberapa contoh memperlihatkan bahwa
para migran yang sudah bekerja di kota kembali ke desa atau ke daerah
asalnya di usia tua atau sesudah pensiun, apalagi jika di desa atau daerah
asalnya masih ada aktivitas yang bisa dikerjakan, seperti misalnya mengolah
tanah warisan, atau usaha-usaha mandiri skala rumah tangga lainnya.
Program-program pembangunan pedesaan juga bisa menjadi salah satu faktor
yang menahan para pemuda desa untuk tetap tinggal di desa.
Program-program yang berada di bawah payung penguatan pemerintahan
lokal, penguatan petani, penguatan usaha kecil menengah, bisa diartikan
sebagai peluang para pemuda untuk bisa memperoleh manfaat jangka pendek
lii
maupun jangka panjang baik secara ekonomi maupun sosial politik tanpa
harus pergi jauh dari desanya. Pelatihan kader-kader muda untuk pemimpin
desa, penguatan dan pelatihan ketrampilan untuk pengembangan usaha kecil
menengah, pelatihan dan penguatan petani mandiri, adalah beberapa contoh
program intervensi dari luar desa yang mungkin bisa menahan generasi muda
untuk bertahan di desanya, meskipun mungkin tidak semua berwujud
penguatan ekonomi.
liii
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat dan waktu penelitian ini dilakukan adalah di Desa Moyo
kecamatan moyo Hilir Kabupaten Sumbawa pada bulan mei, juni dan juli
tahun 2010.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu Sugiono (2009:2). Menurut kamus bahasa
Indonesia metode adalah cara yang telah diatur dan difikir baik–baik .
sedangkan penelitian adalah terjemahan dari bahasa Inggris “research“
berasal dari kata re yang berarti kembali dan to research yang berarti mencari.
Dengan demikian arti dari research adalah mencari kembali.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Istilah penulisan
kualitatif kiranya perlu dikemukakanya beberapa definisi, Bokdan Taylor
(dalam Hamdi, 2008:18) mendefinisikan “ Metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghsilkan data deskriptif berupa data-data tertulis
atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati “. Metode kualitatif
sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan
pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga sebagai metode
etnografi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak diguakan untuk
penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif,
karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif. Sugiono
(2009:8)
Dalam menggungkapkan stratifikasi sosial masyarakat petani dan
perluasan kerja di luar sektor pertanian pada masyarakat desa Moyo
menggunakan pendekatan metode Deskripsi Naratif. Deskripsi adalah upaya
pengolahan data menjadi suatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat
dengan tujuan agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak langsung
liv
mengalaminya sedangkan naratif adalah rangkaian kalimat yang bersifat
narasi atau bersifat menguraikan. Metode deskripsi naratif menggambarkan
atau melukiskan keberadaan subjek atau objek peneliti (seseorang, lembaga,
masyarakat dll). Pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta tampak atau
Sebagian adanya.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memudahkan mendapatkan fakta-fakta sosial maka di lakukan
dengan cara :
1. Observasi
Adalah usaha yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek yang diteliti
untuk diamati secara kontinyu oleh seseorang atau melakukan pengamatan
secara langsung menyangkut segala keadaan dan perilaku yang ada di
lapangan, selanjutnya dituangkan dalam catatan-catatan sistematis.
2. Studi Kepustakaan dan Dokumentasi
Yaitu suatu teknik pengumpulan data kepustakaan atau refrensi-refrensi
secara laporan-laporan dari instansi yang terkait. Penulis melakukan
pengamatan langsung di lokasi dengan melihat sasaran penelitian yaitu
dengan melihat dokumen-dokumen baik berupa arsip-arsip, foto atau
peninggalan-peninggalan lainnya yang biasa dijadikan fakta yang
dikumpulkan untuk dijadikan sumber dalam penelitian.
3. Wawancara
Adalah percakapan dengan maksud tertentu dilakukan oleh dua belah
pihak, pewawancara (intervier) yang mengajukan pertanyaan dan pihak
yang diwawancarai (interviewe) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu, pewawacara dalam pengertian disini merupakan teknik
untuk mengambil data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung pada
responden dalam rangka mengumpulkan sumber lisan yang berpedoman
pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Dalam wawancara (intervier) ini peneliti menggunakan teknik
wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur adalah pengumpul data
lv
telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan
tertulis Sugiono (2009:233). Disesuaikan dengan fokus penelitian maka
peneliti menggunakan empat objek responden antara lain: (a) pemilik
lahan (tuan tanah) yang terdiri dari 5 (lima) informan. (b) buruh tani
(pekerja) yang terdiri dari 10 (sepuluh) informan. (c) Masyarakat non
pertanian yang terdiri dari 2 (dua) informan. (d) Pemberi kebijakan
(pemerintah Desa Moyo kec. Moyo Hilir) yang dalam hal ini adalah
kepala Desa.
D. Sumber Data
Dimaklumi bahwa sasaran utama dari sebuah penelitian adalah menggali
atau mengumpulkan data faktual sebagai suatu pembuktian kebenaran dari
sebuah kenyataan atau jawaban dari sebuah pertanyaan, juga sebagai bahan
kajian dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapi, namun data tersebut
tidak mungkin terujud tanpa sumber, setiap data tentu memiliki sumber.
Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dalam
penelitian ini penulis menetapkan dua sumber utama yitu :
1. Library research yaitu sumber-sumber yang digali dari buku-buku yang
relevan dan sangat erat kaitanya dengan topik penelitian.
2. field research yaitu sumber data yang digali atau diperoleh dilapangan
(lokasi penelitian) saat melakukan penelitian. field research di sini adalah
Desa Moyo Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa.
E. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisa data yang terkumpul digunakan teknik atau metode
interpretative (penafsiran) sesuai dengan pendekatan penelitian yang
digunakan yaitu deskriptif kulitatif. Metode yang digunakan dalam
menganalisis data yang dipandang relevan dengan jenis dan sifat data yang
terkumpul adalah metode deduksi dan induksi.
lvi
a. Metode Deduksi
Yaitu suatu system penganalisaan data dengan melihat dan mengkaji data
secara umum sebagai dasar dan landasan untuk menarik kesimpulan.
Tehnik ini dipergunakan untuk menganalisa data tentang pola perluasan
kerja di luar sektor pertanian dari masing-masing stratifikasi sosial yang
ada dan faktor perdorong perluasan kerja di luar kerja sektor pertaniaan di
Desa Moyo Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa.
b. Metode Induksi
Yaitu suatu metode dengan system penganalisaan data dengan melihat dan
mengkaji bagian-bagian (substansi) dan sejumlah data yang ada guna
dijadikan dasar dan landasan dalam rangka penarikan kesimpulan. Metode
ini digunakan untuk menganalisis data tentang bentuk-bentuk stratifikasi
sosial masyarakat petani di Desa Moyo Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten
Sumbawa.
lvii
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Desa Moyo Ditinjau Dari Aspek Geografis Dan Ekonomi Sosial Budaya
Masyarakat
1. Batas Wilayah
Desa Moyo merupakan Desa Ibu Kota Kecamatan yang berada di
Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa. Adapun batas wilayah desa
Moyo adalah sebagai berikut:
- Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Sumbawa
- Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Moyo Mekar
- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Serading
- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Poto
2. Iklim dan Topografi
Iklim di Desa Moyo Kecamatan Moyo Hilir Kabuparen Sumbawa
termasuk iklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan pada bulan
oktober-maret, sedangkan musim kemarau pada bulan april-september dan
mempunyai tipe iklim : C (33-60%), D (50-60%), dan E (100-167%)
dengan rata-rata curah hujan pertahun adalah 875 mm dan hari hujan
sebanyak 69 hari hujan pertahun(Balai Penyuluhan Pertanian 2009).
3. Luas Wilayah
Desa Moyo Mempunyai Luas Wilayah 1.483,00 hektar yang terdiri
dari luas lahan baku sawah 353,00 hektar dan luas lahan bukan sawah
1.130,00 hektar. Desa Moyo terbagi dalam 4 (empat) dusun yang dikepalai
oleh seorang kepala dusun. (Profil Desa Moyo).
lviii
Kepala Dusun mengepalai wilayahnya masing-masing yang dijelaskan
sesuai dengan table 1 di bawah ini:
Table 1 : Nama-nama Dusun dan Kepala Dusun di wilayah Desa Moyo
menurut data tahun 2010
No. Nama Dusun Nama Kepala Dusun
1. Moyo Luar Mursali HB
2. Karang Orong Umar Acin
3. Berang Beru Nurdin Kuling
4. Kapas Sari Usman
Sumber : (Profil Desa Moyo)
4. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Desa Moyo tidak berbeda dengan
penduduk desa-desa lain yang berada di lingkungan persawahan (agraris),
tetapi karena luas daerah sawah tidak sebanding dengan jumlah kepala
keluarga dan jumlah penduduk maka tidak sama jumlah kepala keluara
yang memiliki sawah sebagai mata pencaharian utama, lihat table 2
berikut:
Table 2 : Mata Pencaharian Penduduk Desa Moyo
No. Mata pencaharian Jumlah Ket.
1. Petani 470
2. Buruh Tani 33
3. Pedagang 38
4. PNS/Swasta 28
5. Montir/ Sopir 5
6. Tukang Batu/Bangunan 6
7. Tukang ojek 56
Sumber : (Profil Desa Moyo)
lix
5. Flora dan Fauna
a. Flora
Wilayah Desa Moyo terdiri dari tanah sawah dan tegalan. adapun
jenis produksi dan produktifitas tanaman pangan yang telah dicapai
tahun 2009 seperti yang tergambar pada tabel berikut:
Tabel 3 : Produksi dan Produktifitas Tanaman Pangan Yang Telah
Dicapai Tahun 2009
No. komoditi Luas
Tanah Luas Panen
Produktifitas
(Kw/Ha)
Produksi
(Ton)
1. Padi Sawah 353 ha 353 ha 43,00 15.356
2. Padi Gogo 6 ha 6 ha 27 27
3. Jagung 10 ha 10 ha 29 435
4. Kedelai - - - -
5. Kacang Hijau 415 ha 415 ha 0,80 336
6. Kacang Tanah - - - -
7. Ubi Kayu 5 ha 5 ha - -
8. Ubi Jalar - - - -
Sumber : (Balai Penyuluhan Pertanian Moyo Hilir 2009)
b. Fauna
Bila dilihat dari fauna atau dunia hewan di desa Moyo terdapat
berbagai jenis hewan seperti berikut:
Tabel 4 : Produksi ternak besar dan kecil/unggas yang ingin dicapai
tahun 2009/2010
No. Komoditas Populasi Awal Populasi Akhir Ket.
1. Kerbau 421 ekor 442 ekor
2. Sapi 270 ekor 312 ekor
3. Kuda 188 ekor 215 ekor
4. Kambing 142 ekor 162 ekor
5. Ayam 495 ekor 535 ekor
Sumber : (Balai Penyuluhan Pertanian Moyo Hilir 2009)
lx
6. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Desa Moyo kecamatan Moyo Hilir adalah 1.994
jiwa dengan perincian laki-laki 998 orang dan perempuan 996 dengan
jumlah rumah tangga atau Kepala Rumah Tangga 567 kepala keluarga.
Untuk lebih jelas perhatikan tabel di bawah ini.
Table 5 : Jumlah Penduduk Yang Dilihat Dari Jenis Kelamin dan Rumah
Tangga.
No. Dusun Jumlah Penduduk
Jiwa L P
Rumah Tangga
(KK)
1. Moyo Luar 642 316 326 194
2. Karang Orong 553 271 282 154
3. Berang Beru 535 277 258 143
4. Kapas Sari 264 134 130 76
Sumber : (Profil Desa Moyo)
7. Kondisi Ekonomi
Lembaga perekonomian yang utama di Desa Moyo adalah pertanian
sehingga sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan
beternak.
a) Sektor Pertanian
1. Pertanian
Masyarakat desa Moyo pada umumnya bekerja sebagai petani
dengan luas lahan dari masing-masing petani 1 are sd ± 5 hektar.
Dari masing-masing lahan didapatkan melalui pewarisan, beli
kontan dan penyewaan, berdasarkan hasil yang terhimpun Desa
Moyo memiliki luas lahan baku sawah adalah 353,00 hektar dan
luas lahan bukan sawah adalah 1,130.00 hektar dengan jumlah
kepala keluarga yang bertani adalah 470 serta tata guna tanah
seperti berikut:
lxi
Table 6 : Tata Guna Tanah Masyarakat desa Moyo
No. Tata Guna Tanah Ha
1. Sawah 353 Ha
2. Teknis 345 Ha
3. Tada Hujan 18 Ha
4. Hutan 207 Ha
Sumber : (Balai Penyuluhan Pertanian Moyo Hilir 2009)
2. Peternakan
Usaha dalam bidang peternakan ini sangat digemari oleh
masyarakat Desa Moyo, terlihat dengan masi banyak masyarakat
petani yang mengembala terutama ternak kerbau , sapi, kambing
dan ayam. Peternakan ini merupakan pondasi atau modal dasar
rumah tangga Desa Moyo. Bidang peternakan ini merupakan suatu
kegiatan infestasi dengan membeli hewan-hewan ternak. Hasil
peruduksi peternakan yang dapat kita lihat seperti berikut:
Table 7 : Produksi Ternak Besar Dan Ternak Kecil/Unggas Tahun
2009.
No. Komoditas Populasi Awal Populasi Akhir Ket.
1. Kerbau 383 ekor 421 ekor
2. Sapi 203 ekor 270 ekor
3. Kuda 82 ekor 188 ekor
4. Kambing 133 ekor 142 ekor
5. Ayam 484 ekor 495 ekor
Sumber : (Balai Penyuluhan Pertanian Moyo Hilir 2009)
b) Sektor Perdagangan dan Jasa
1. Perdagangan
lxii
Selain bertani masyarakat Desa Moyo juga melakukan
perluasan kerja di luar sektor pertanian yaitu beternak, ada juga
masyarakat Desa Moyo yang bekerja dalam bidang perdagangan
seperti berdagang di pasar (Pasar Desa Moyo Mekar) dan di tempat
perumahan-perumahan di masyarakat dengan cara didatangkan
kerumah-rumah, jual beli padi/gabah, berkios, tukang bangunan dll
2. Jasa
Beberapa diantara warga masyarakat Desa Moyo ada juga yang
bekerja dalam bidang jasa seperti pada tabel berikut:
Tabel 8 : Warga Masyarakat Desa Moyo yang Bekerja Dibidang Jasa
No. Jenis Pekerjaan Jumlah
1. Ojek 56
2. Monter/Sopir 5
3. Tukang Batu/Bangunan 6
Sumber : (Profil Desa Moyo)
8. Kondisi Pendidikan dan Agama
a. Pendidikan
1. Pendidikan Formal
Jenis pendidikan formal yang ada di Desa Moyo hanya dua (2)
buah sekolah dasar (SD) dengan jumlah siswa keseluruhan 367 dan
guru 37 orang yaitu Sekolah Dasar Negeri satu (I) Moyo dan
Sekolah Dasar Negeri Dua (II) Moyo yang masing-masing terletak
di Dusun Karang Orong dan Dusun Moyo Luar.
2. Pendidikan Non Formal
Pendidikan non formal yang ada di Desa Moyo hanya satu
Taman Kanak-Kanak (TK) yang bernama TK Darma Wanita
dengan jumlah siswa 63 dan 6 jumlah guru dan terletak di Dusun
Moyo Luar.
3. Stratifikasi Bidang Pendidikan di Desa Moyo
lxiii
Stratifikasi pendidikan di Desa Moyo sangat jelas sekali,
terlihat dengan banyaknya tamatan yang berasal dari pendidikan
tingkat SD sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Disamping itu ada
juga penduduk masyarakat Desa Moyo yang buta huruf dan tidak
tamat sekolah Dasar. Agar lebih jelas dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 9 : Stratifikasi Dibidang Pendidikan Masyarakat Desa Moyo
No. Jenjang Pendidikan Jumlah ket
1. Buta Huruf 104
2. Tidak Tamat 5
3. SD/SLTA 413
4. SMA 120
5. D I 31
6. D II 11
7. D III 10
8. S I 21
9. S II -
10 S III -
Sumber : (Profil Desa Moyo)
Dari tahun ke tahun kesadaran penduduk terhadap pendidikan
semakin meningkat terlihat dengan banyaknya anak-anak yang
tamat setiap tahunya dan melanjutkankan sekolah mereka
kejenjang yang lebih tinggi serta kesadaran orang tua yang makin
terbuka tentang pentingnya pendidikan juga ditunjang dengan
berdirinya Sekolah perguruan tinggi di Kota Kabupaten.
b. Agama
Seratus persen dari penduduk Desa Moyo Memeluk agama Islam
dengan pengamalan agama yang cukup kuat. Untuk lebih jelas
mengenai pemeluk agama Islam dan tempat peribatan yang berada di
Desa Moyo lihat pada tabel di bawah ini.
lxiv
Tabel 10 : Agama, jumlah penduduk dan tempat peribadatan yang
berada di Desa Moyo
No. Agama, Jumlah Penduduk Dan
Tempat Peribadatan Jumlah
1. Islam 1.994
2. Penduduk 1.994
3. Tempat Peribadatan 2 Masjid dan
3 Musollah
Sumber : (Profil Desa Moyo)
lxv
B. Bentuk-Bentuk Stratifikasi Sosial Petani Di Desa Moyo
Sistem pelapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap
masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang
berharga dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap masyarakat
berkedudukan dalam lapisan atasan. Mereka yang hanya sedikit sekali atau
tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat
mempunyai kedudukan yang rendah Patirim A. Sorokin (dalam Soerjono
Soekanto, 251:1999).
Struktur sosial Vertikal atau stratifikasi sosial menggambarkan kelompok-
kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkhis atau berjenjang
sehingga dalam dimensi struktural ini kita melihat adanya kelompok-
kelompok masyarakat yang berkedudukan tinggi, sedang dan rendah.
Sedangkat struktur sosial horizontal atau diferensiasi sosial menggambarkan
kelompok-kelompok sosial tidak dilihat dari tinggi rendahnya kedudukan
kelompok itu satu sama lain, melainkn lebih tertuju kepada variasi atau
kekayaan pengelompokkan yang ada dalam suatu masyarakat Patirin Saralin
(dalam Jabrohim, 185:2006).
Secara umum kita melihat masyarakat desa atau petani masih berorientasi
pada tanah dan kompetensi yang digambarkan adalah kepemilikan tanah.
Masyarakat Desa Moyo kecamatan Moyo Hilir terdapat bentuk-bentuk
stratifikasi sosial petani yang dapat kita lihat dari kepemilikan lahan atau
tanah pertanian, status sosial, gaya hidup, bentuk rumah dan pekerjaan.
Tanah merupakan aset yang sangat penting dari mayoritas masyarakat
Desa Moyo. Dengan demikian tanah atau lahan pertanian yang membentuk
stratifikasi sosial di Desa Moyo sehingga dapat dikelompokkan bahwa
tingkatan atas di Desa Moyo adalah mereka yang memiliki lahan pertanian
yang luas dan mereka yang menguasai setengah dari tanah menempati kelas
lxvi
yang menengah dan kelas bawah adalah mereka yang berada di bawah kelas
atas dan menengah (wawancara dengan bapak Mursali 18 juni 2010).
Penguasaan tanah di Desa Moyo dapat dilakukan oleh tiap-tiap strata yang
ada dengan usaha yang mereka lakukan diantaranya dengan membeli lahan
pertanian dari hasil pertanian, hasil beternak, hasil berdagang (usaha) serta
hasil merantau keluar negeri yang kebanyakan dari penduduk Desa Moyo
adalah ke Arab Saudi. Penguasaan tanah itu dapat dilakukan oleh masyarakat
Desa Moyo pada persawahan Orong Rea, Orong Masin, Orong Serading,
Orong Sejeruk, Orong Telaga, Dan Orong Sebeta. Dari masing-masing
persawahan tersebut terletak di Desa Moyo Mekar, Desa Moyo, dan Desa
serading.
Kepemilikan tanah pertanian bagi masing-masing strata selain dari
pembelian yang dilakukan secara tunai juga didapatkan melalui penyewaan
baik yang setahun ataupun dengan pembatasan yang tidak ditentukan dalam
artian dilakukan dengan pinjaman uang dengan menyewakan tanah mereka
dan sebelum uang mereka kembali tanah yang mereka garap tidak bisa
dikembalika ataupun mereka ambil. Penyewaan ini di Desa Moyo dinamakan
penyewan kembali uang atau bahasa Sumbawanya Ramalek Uang.
Adapun cara pembelian atau penyewaan lahan pertanian yang dilakukan
oleh strata yang ada di Desa Moyo adalah sebagai berikut:
- Sewa mate uang: Pemilik lahan atau tanah, menyewakan tanahnya dengan
sistem tidak kembali uang lagi.
Sistemnya: Pemilik tanah menyewakan tanahnya dengan harga Rp
2.000.000 dengan jangka waktu dua tahun dan sesudah dua
tahun maka lahan atau tanahnya diambil lagi/dikembalikan.
- Sewa No mate uang: Pemilik lahan atau tanah menyewakan lahan atau
tanahnya dengan sistem kembali uang.
Sistemnya: Pemilik lahan atau tanah menyewakan Rp 2.000.000 selama
dua tahun setelah jatuh tempo yang disepakati maka uang
yang disewakan akan dikembalikan.
lxvii
- Beli Kontan: merupakan pembelian secara tunai dengan jumlah harga
yang sudah ditentukan oleh pemilik lahan/tanah (wawancara dengan bapak
A. Rahim 19 juni 2010).
Dari proses penyewaan/pembelian di atas masing-msing strata di Desa
Moyo Kecamatan Moyo Hilir memiliki perbedaan dalam proses penguasaan
dan disesuaikan dengan kesepakatan yang ada. Dalam penyewaan/pembelian
ini sebagian besar dilakukan oleh mereka yang strata/tingkat menengah dan
mereka yang strata atas lebih kepada pembelian tanah secara kontan. Mereka
yang kelas atas juga menyewakan tanah mereka, penyewaan ini dilakukan
karna disebabkan untuk mendapatkan hasil dari sewa tanah saja artinya
penyewaan tanah tetap dilakukan secara terus menerus pada mereka yang
punya modal banyak baik dari hasil tanahnya, gaji, hasil merantau dll.
Kelas atas di Desa moyo dapat kita lihat dari luas kepemilikan tanah yang
mereka miliki, mereka yang kelas atas ini memiliki tanah ± 5 hektar dengan
sistem irigasi yang dapat mengairi sawah mereka juga dengan adanya tanah
perladangan (tada hujan) yang pada umumnya dikelolah setiap satu tahun
sekali. Kelas menengah di Desa Moyo adalah mereka yang memiliki luas
tanah dibawah ± 0,5 sd 2 hektar dengan sistem irigasi yang sama dan juga
memiliki tanah perladangan (tada hujan) dan kelas bawah Adalah mereka
yang memiliki tanah 0,5 sd 50 are.
Fakta sosial yang lain juga terlihat antara lain pada bentuk rumah, dari
strata atas adalah bentuk rumah yang dalam hal ini strata atas condong ke
bentuk rumah batu (permanen) dan telah dikeramik serta dipelaster, bagi strata
menengah mereka memilki desain rumah yang kebalikan dari strata atas
(belum diplaster dan masih berlantaikan semen) bagi strata menengah ini juga
mereka ada yang berumah panggung belakangnya dan Rumah batu depannya
yang disatukan (semi permanen), dan strata bawah adalah mereka yang
berumah gedek yang pondasinya sudah dibagun tapi belum jadi (ditembok).
Tingkat pendidikan yang dalam hal stratifikasinya, yang strata atas adalah
yang bertamatan SI, menengah adalah yang bertamatan D3 dan D2 dan strata
bawah adalah yang tamatan SMA,SMP, SD, dan buta huruf. Dalam pergaulan
lxviii
dengan masyarakat juga terlihat dimana strata atas di Desa Moyo adalah
mereka yang menempati status sebagai staf pemerintahan, strata menengah
adalah tokoh-tokoh masyarakat dan kelas bawah adalah dari kalangan
masyarakat biasa yang dalam penempatan dari strata-strata ini terlihat dalam
acara-acara adat ataupun dalam pergelaran budaya di Desa Moyo.
Strata atas ini mempunyai perbedaan dalam memberdayakan lahannya
yaitu dengan mengelolah sendiri lahan pertaniannya di Desa Moyo, orang
yang memberdayakan lahanya sendiri termasuk kelas atas karna dilihat dari
penguasaan tanah yang dimiliki. Tanahnya dikelolah sendiri tidak disewakan
kepada orang lain. Cara pengelolahannya sama seperti petani-petani yang lain,
tetapi kelas ini mengelola hasil pertanian dengan cara menjual hasil pertanian.
Misalkan hasil pertanian langsung dijual sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan untuk modal selanjutnya dalam pengelolahan lahan/sawah tahun-
tahun berikut, serta rata-rata dari kelas menengah dan bawah hasil dari
pertanian mereka selain sebagiannya dijual juga distok untuk kebutuhan
konsumsi pada bulan-bulan musim kemarau. Hal itu berlangsung setiap tahun
(wawancara dengan bapak Suhardi 22 juni 2010).
Masing-masing strata yang ada di Desa Moyo dapat kita lihat pada Musim
tanam dan musim panen padi berlangsung. Jika mereka yang kelas atas dapat
kita lihat dengan proses siapa yang menggarap dan mengerjakan sawah
mereka, biasanya dalam membajak mereka menggunakan mesin traktor
sendiri dengan dijalankan oleh keluarga maupun anak dari mereka juga
diambil dari kelas menengah dan bawah sebagai perluasan kerja mereka di
bidang pertanian.
Setelah sawah mereka selsai digarap maka mereka juga dalam
meningkatkan pendapatan dalam bidang pertanian melakukan pengambilan
penyewaan dengan menggarap sawah orang lain yang umumnya pada mereka
yang kelas menengah dan bawah disesuaikan dengan luas dan besar pematang
yang dimiliki dengan komulasi Rp 600.000/hektar. (wawancara dengan bapak
Sahruddin 22 juni 2010).
lxix
Dalam proses penanaman sawah mereka disewakan kepada orang lain
dengan sistem borongan dan harian. Tenaga kerja yang dipekerjakan biasanya
dari etnis Bima dan Lombok, mereka biasanya datang pada musim tanam dan
malahan sudah menjadi perjanjian dengan yang punya sawah dalam arti
mereka setiap tahun bisa datang dan mengerjakan pekerjaan tanam
sawah/petak mereka juga mempekerjakan tenaga lokal dengan komulasi harga
yang sudah dituangkan dalam PERDES setiap tahunya yaitu berkisar antara
Rp 25.000 sd Rp 30.000. Kalau yang mengerjakan dari etnis Bima/Lombok
juga di sesuaikan dengan luas lahan/jumlah petak dengan komulasi 1 hektar =
Rp 1.000.000 dan beras yang telah sepakati (wawancara dengan Kepala Desa
10 Juni 2010) .
Begitu juga halnya ketika musim panen tiba strata atas ini menyewakan
pemanenan padi mereka dengan sistem:
1. Sanyinggu dalam artian dengan memberikan bentuk borongan yang
dipekerjakan oleh etnis bima/Lombok dan juga lokal dengan:
- Nyinggu 7/nyinggu 14
- Nyinggu 8/nyinggu 16
Artinya: Perhitungan menggunakan Blik(alat takaran yang terbuat dari
kaleng minyak goreng) memberikan 6 Blik untuk yang punya sawah dan
satu blik untuk yang mengerjakanya begitu halnya dengan nyinggu 14 atau
16 dengan klipatannya 2 blik untuk pekerja dan 12/14 blik untuk yang
punya sawa. Sistem nyinggu ini mengapa ada yang 14 atau 16 disesuaikan
dengan bagus tidaknya tanaman padi yang petani miliki.
2. Karampo dalam artian kerja secara bersama yang dikerjakan oleh pihak-
pihak keluarga dari yang kelas menengah dan bawah (masyarakat lokal)
dengan upah harian dan dalam hal ini masyarakat Desa Moyo
pembayarannya dilakukan dengan menggunakan padi/gabah, biasanya
disesuaikan dengan harga gabah (1-2 blik).
Mayoritas petani desa Moyo dari masing-masing strata juga memiliki
ladang untuk menanam kacang hijau dan peroses penggarapan tidak jauh beda
dengan pertanian/padi tetapi disini, proses penggarapannya lebih kepada
lxx
individu dan juga kelompok (keluarga). Strata atas biasanya dalam menggarap
ladang cendrung menggunakan teknologi yang moderen (pembajakan) dan
sistem panennya juga dengan menyewakan/upah harian yang dikerjakan lebih
banyak oleh masyarakat lokal dan dalam pemanenan ini disebut Ngemar.
Proses ini bagi strata atas menggunakan mesin perontok atau tenaga hewan
ternak(kuda,kerbau) dalam proses pengolahan.
Sedangkan strata/kelas menengah dalam proses pertanian mereka selain
mengandalkan tenaga sendiri juga memperkerjakan orang lain atau dalam hal
ini adalah kelas bawah, dalam proses penggarapan lahan pertanian/petak
sawah mereka menyewakan kepada kelas atas yang nota bene memiliki alat
atau teknologi (mesin traktor) yang digaris bawahi bahwa tenaga atau pekerja
yang menjalankannya diambil dari kelas menengah dan bawah dan ini
merupakan perluasan kerja disektor pertanian yang biasa dikelas atas
memberikan kepercayaan kepada kelas menengah/bawah ini untuk
menjalankannya dan mayoritasnya diambil dari pihak keluarga. Begitu pula
halnya dengan proses penanaman kelas menengah ini selain mengerjakan
sendiri juga mereka menghandalkan orang lain dengan sistem dan bentuk yang
sama pada umumnya dengan apa yang sudah tertuang pada kelas atas.
Dalam peroses pemanenan mereka juga mengunakan sistem nyinggu
tetapi juga dalam peroses perluasan kerja disektor pertanian mereka juga
mengerjakan pekerjaan nyinggu ini kepada tanah/sawah strata atas dengan
komulasi yang disesuaikan dengan kesepakatan dan kualitas tanaman padi
(disesuaiakan). Strata menengah ini dalam mengerjakan pekerjaan
perladangan dimulai dengan menggarap tanah. Mereka mengerjakan sendiri
lahan perladangan dengan membajak menggunakan tenaga hewan ternak yang
mereka miliki sendiri dan proses Ngemar atau panennya dengan cara upah
individu ataupun ngemar di ladang orang lain artinya orang lain itu
membayarnya dengan pergi ngemar ke ladangnya dan di Sumbawa dinamakan
Basiru.
Karena dalam tingkatan pemanenan ini masyarakat Desa Moyo mengenal
istiah ngemar dan Ninting. Ninting ini merupakan proses pengelolaan untuk
lxxi
mendapatkan biji kacang hijau yang murni setelah terlepas dari kulit dan juga
daunya. Biasanya strata menengah ini memanfaatkan tenaga kuda, sapi
ataupun kerbau peliharaan mereka. Uniknya dalam proses ninting ini
masyarakat Desa Moyo mengenal istilah Nyepo, nyepo ini adalah si pemilik
lahan/ladang memberikan sedikit kacang hijau mereka kepada orang-orang
yang telah membantunya dalam proses ninting. Jumlahnya tidak ditentukan
tetapi tergantung jumlah dan hasil ninting kacang hijau. Kalau mendapat hasil
4-5 karung, folume dari karung yang diartikan adalah dengan menggunakan
Bak Baskom/Blik yang setiap satu karung berisi 5-6 Baskom/blik, biasanya
diberikan 3,4-5 kg kacang hijau atau dalam bahasa Sumbawa kacang hijau
dinamakan antap dan hal nyepo ini sudah menjadi tradisi yang turun temurun
di Desa Moyo, hal ini juga dilakukan dan tetap ada pada stiap strata secara
umum (wawancara dengan bapak Abasri 10 juni 2010).
Strata bawah pada masyarakat Desa Moyo adalah mereka yang memiliki
luas lahan/tanah 0,5-30 are dan penghasilan padi/gabah sebanyak 4-10 karung
dengan system pengarapan lahan/tanah dengan membajak sendiri dengan
menggunakan tenaga hewan ternak/kerbau. Kerbau mereka adalah kerbau dari
strata atas yang dipercayakan kepada mereka untuk merawatnya. Proses
tanamnya juga dikerjakan sendiri dan dibantu keluarga juga menggunakan
sistem basiru.
Diketahui bahwa dalam pemeliharaan ternak ini, istilah pembagian tetap
ada dalam arti setiap kerbau kawin/beranak dua kali, satunya diberikan kepada
mereka atau setiap penjualan ternak tersebut mereka mendapatkan porsen dari
pemilik ternak(wawancara dengan bapak Kending 22 juni 2010). Diketahui
juga bahwa baik strata atas, menengah dan bawah akan terlihat sekali
memiliki ternak kerbau dan uniknya setiap pagi dan sore hari para pengembala
terlihat di jalan dan biasa menutup jalan ketika pergi mngembala dan pulang
mengembala.
Strata bawah pada masyarakat Desa Moyo dalam perluasan kerjanya di
sektor pertanian mereka bekerja sebagai buruh tani dalam arti mengambil
upah nanam Padi, nyinggu dan upah ngemar di ladang. Dalam proses ini bagi
lxxii
kelas bawah dalam perluasan kerja di sektor pertanian sering sekali mendapat
diskriminasi lapangan kerja, artian kelas atas lebih mementingkat etnis lain
dalam proses pemanenan padi mereka dan juga karena menjamurnya mereka
yang datang setiap tahunnya (wawancara dengan Ibu Awa 19 juni 2010).
Di Desa Moyo pelapisan sosial yang nampak selain strata kepemilikan
tanah juga mereka yang mempunyai status sosial di Masyarakat, sebagian
besar di Desa Moyo yang mempunyai status sosial/kriteria sosial tidak terlepas
dari status kepemilikan tanah tersebut. Semakin luas kepemilikan lahan
seseorang semakin mempermudah dalam pencapaian status sosial/kriteria
sosial tersebut, ini dapat dilihat dengan jelas bagi mereka yang sudah berstatus
dari dulu sampai sekarang adalah mereka yang berstatus pemilikan lahan
pertanian dari kelas atas dan menengah. Mereka yang berstatus sebagian
pegawai Negeri Sipil. Dari masing-masing status atau kelas ini sangat jelas
kelihatannya status kepemilikan lahannya dari dulu sampai sekarang.dari
masing-masing strata yang dapat diketahui sebagaimana pengorbanannya
yang digunakan sebelum terjadi proses status pegawai Negeri Sipil tersebut
dan masing-masing strata pengorbananya berbeda-beda. Mereka yang sebagai
pegawai Negeri Sipil kantor lebih besar pengorbanannya bila dibandingkan
dengan mereka yang jadi Pegawai Negeri Sipil guru. Masing-masing strata,
cara untuk mendapatkan status itu dengan cara pengelolahan hasil pertanian
atau hasil lahan dan penjualan tanah.
Di Desa Moyo juga terdapat status sosial/kriteria sosial setelah guru yaitu
mereka yang sebagai guru juga dan pegawai yang bekerja di instansi swasta.
Status ini juga hampir sama proses pencapaianya dengan status sosial pegawai
kantor/pejabat dengan Pegawai Negeri Sipil guru. Sehingga di Desa Moyo
proses pencapaian status secara umum tidak terlepas dari pengaruh atau hasil
dari tanah tersebut.
Pelapisan sosial di masyarakat Desa Moyo tidak terlepas juga dari
pengaruh banyaknya ekonomi yang dikuasai oleh masyarakat Desa Moyo. Di
Desa Moyo sangat berpengaruh terhadap tanah yang dikuasai, semakin luas
lahan yang mereka kuasai semakin banyak juga ekonominya/kekayaan.
lxxiii
Disamping penguasaan tanah di Desa Moyo terdapat juga golongan ekonomi
yang atas yaitu mereka yang menguasai lahan yang luas dan sekaligus
merangkap sebagai Pegawai Negeri Sipil, selain itu juga terdapat mereka yang
menguasai lahan pertanian sedang dan mereka juga pergi keluar negeri.
Masing-masing kalas/status sosial di atas mempunyai perbedaan pendapat
yang sangat menonjol dan penggunaannya juga terdapat perbedaan-perbedaan,
mereka yang kelas ekonominya atas seperti mereka yang punya lahan luas dan
jadi Pegawai Negeri Sipil biasanya penggunaannya dengan, biaya pendidikan
keluarganya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, biaya haji, biaya
pembuatan rumah, biaya rekreasi, biaya pembelian mobil/sepeda motor untuk
angkutan pribadi dll, bagi mereka yang mempunyai ekonomi dari hasil tanah
dan penggunaannya. Tujuannya pada usaha perluasan lahan, biaya pendidikan,
kebutuhan sehari-hari digunakan untuk haji itupun secara keridit lain halnya
dengan mereka itu yang mempunyai ekonomi seperti diatas biaya haji dengan
cara tunai, pembelian sepeda motor ada yang tunai dan ada yang kridit dan
penggunaan biasanya untuk berusaha dan ojek, pembelian barang mewah
tidak terlalu berlebihan dan lain-lain. Bagi mereka yang kelas ekonomi bawah
mereka hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalaupun ada
usaha lain tapi masi bergantung pada kelas ekonomi atas dan menengah
misalkan mereka sebagai peladen/buruh bangunan,pengikut traktor dan
ngembala kerbau (wawancara dengan bapak Hasan 10 juni 2010).
Dari beberapa penjelasan tentang stratifikasi sosial petani di Desa moyo
maka dapat dilihat bentuk-bentuk stratifikasi sosial petani dan ekonominya
sebagai berikut:
1. Stratifikasi sosial petani secara umum
a. Strata atas adalah mereka yang mengelolah sawah/tanah dengan
memanfaatkan teknologi milik sendiri dan dengan memperkerjakan
strata atas dan bawah.
b. Strata menengah yaitu mereka yang menggarap sawah/tanah mereka
sendiri dan memanfaatkan teknologi/mesin traktor, mesin perontok
padi dari strata atas.
lxxiv
c. Strata bawah yaitu mereka yang menggarap tanah sendiri dan bekerja
sebagai buruh tani di sawah atau ladang kelas atas dan menengah.
2. Stratifikasi sosial petani berdasarkan kriteria ekonomi
a. Kelas ekonomi atas yaitu mereka yang mempunyai hasil pertanian
banyak(lahan luas), hasil dagang dan Pegawai Negeri Sipil serta dari
hasil usaha/bisnis.
b. Kelas ekonomi menengah yaitu mereka yang hasil pertanian dibawah
strata atas, Pegawai Negeri Sipil guru, hasil merantau ke Arab Saudi
dan berdagang
c. Kelas ekonomi bawah yaitu mereka yang menarik pendapatan dari
hasil pladen/buruh dan menjalankan traktor, tukang ojek.
C. Pola Perluasan Kerja di Luar Sektor Pertanian Dari Masing-Masimg
Stratifikasi Sosial
Perluasan kerja pada strata atas adalah mereka yang berdagang. Sangat
terlihat sekali pada mereka dengan usaha atau bentuk barang yang diusahakan
adalah usaha mini market, pola perluasannya dengan menjual barang
kebutuhan sehari-hari, perlengkapan memasak, penjualan pulsa, aksesoris HP
dan lain-lain. Strata atas ini juga mereka menjual baranga-barang berupa baju-
baju, celana, bakal baju hadir dan lain-lain dengan cara menjajakannya
kerumah-rumah dan biasanya juga konsumen memesan dengan pergi
kerumahnya dan ketika berjualan, berdagang seperti ini dilakukan oleh ibu-ibu
istri dari yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (wawancara dengan Ibu
Jawah 12 juni 2010).
Strata menengah, mereka dalam melakukan perluasan kerja di luar sektor
pertanian adalah dengan usaha pertukangan (tukang kayu dan bangunan),
membuka kios, tukang ojek. Pola perluasannya, jika dipertukangan yang pada
umumnya masyarakat Desa Moyo dalam membangun yaitu pada musim habis
panen yaitu berkisar pada bulan april-september. Masyarakat yang
membangun awalnya sudah memesan kepada mereka untuk membangun
lxxv
(membuat rumah) dari bulan-bulan sebelumnya, tinggal mereka mengerjakan
dengan cara borongan. Setiap satu rumah biasanya dikerjakan oleh 2,3-5
tukang dengan masing-masing satu tenaga peladen (pembantu tukang), lama
pengerjaannya disesuaikan oleh besar kecilnya rumah yang dibangun dan
dalam satu tahun mereka biasa menyelsaikan 2-3 rumah itu juga sesuai dengan
pesanan dan banyak tidaknya yang membuat rumah (wawancara dengan bapak
M. Nur Zakariah 19 juni 2010).
Pola perluasan kerja bagi usaha kios kecil-kecilan yang pemanfaatannya di
rumah-rumah mereka, Setiap tahunnya dengan pembelian barang pada mobil-
mobil Bok yang setiap minggunya datang. Mereka juga ada yang membeli
barang dagangannya ke Kota Kabupaten (Sumbawa Besar) dengan
menggunakan angkutan umum dan ojek
Bekerja sebagai tukang ojek juga menjadi usaha yang menjamur di Desa
Moyo, apalagi pada musim tanam dan musim panen tiba. Pola perluasan kerja
ini dilakukan, mengingat tingkat akses masyarakat Desa Moyo dan
persawahan cukup jauh dan berfariasi dengan komulasi, dari Desa Moyo ke
Orong Serading mereka mendapat Rp 7.000, ke Orong Masin Rp 5.000,
Orong Sabeta Rp 2.000, Orong Sajeruk 3.000. Masyarakat Desa Moyo juga
banyak memanfaatkan tukang ojek dalam mengangkut hasil panen
padi/kacang hijau mereka. Dari pola perluasan kerja sebagai tukang ojek
masih menjanjika di Desa Moyo dan itu juga lepas dari musim sepinya
(wawancara dengan bapak Husen 19 juni 2010).
Strata Bawah seperti usaha bakulan (sayur mayur), dan Nganyuk ikan
(membeli dan menjul ikan). Pola perluasan kerja pada usaha bakulan ini
dilakukan setiap paginya dengan proses pengambilan/pembelian keperluan
jualnya (sayur-sayuran,jajanan dll). Berangkat dari habis subuh ke Kota
Kabupaten (Sumbawa Besar) dengan menempuh jarak ± 13 Km, pasnya di
pasar Seketeng dan kembalinya jam 06:30 sd jam 07:00 pagi,mereka ini
berangkat menggunakan sepeda motor sendiri dan ada juga yang memakai
ojek. Ruang lingkup jualnya di Desa Moyo dan Desa Moyo mekar dengan
lxxvi
proses dari rumah kerumah, dan ada juga yang menjualnya di pasar Desa
Moyo Mekar (wawancara dengan ibu Daya 20 juni 2010).
Pola perluasan kerja pada usah nganyuk ikan (jual beli ikan) ini dilakukan
setiap pagi di pasar Desa Moyo Mekar prosesnya, para penganyuk ini
mengambil/membeli ikan pada nelayan dari Labuhan Ijuk, dan Labuhan
Perajak. Umumnya ikan itu di datangkan sendiri oleh para Ibu-ibu yang juga
berpropesi sama dalam arti tangan kedua dan para penggayuk ikan yang di
Desa Moyo menjadi tangan ke tiga. Dalam proses penjualannya, mereka
sebelunya menjual langsung di pasar Desa Moyo Mekar kemudian dibawah
keliling ke dalam kampung (wawancara dengan ibu Fatimah 12 juni 2010).
D. Faktor Pendorong Perluasan Kerja Di Luar Sektor Pertanian
Secara umum faktor pendorong perluasan kerja di Desa Moyo tidak
terlepas dari proses pemanfaatan peluang ekonomi terhadap tuntutan
pemenuhan kebutuhan hidup secara makro. Baik strata atas, menengah dan
bawah ditinjau dari segi individu ataupun komunal (kelompok) terlihat adanya
persaingan dalam tuntutan ketercapaian taraf hidup yang lebih mapan
(wawancara dengan Ibu Nurbayati 19 juni 2010).
Bagi strata atas yang menjadi faktor pendorong perluasan kerja di luar
sektor pertanian adalah selain penambahan kekayaan juga dengan luasnya
keinginan untuk menambah status mereka yang lebih tinggi lagi di dalam
masyarakat (Pertahankan status), menyekolahkan anak mereka ke sekolah
yang lebih tinggi, terlihat banyaknya dari mereka yang menyekolahkan
anaknya keluar Kota Kabupaten Kabupaten, juga sebagai infestasi dengan
membeli tanah dan hewan ternak.
Bagi strata menengah Tekanan ekonomi otomatis menjadi pemacu untuk
lebih meningkatkan taraf hidup, bagi strata menengah ini selain menjadi
tukang kayu, berkios, tukang ojek dan lain-lain mereka juga memanfaatkan
anak/istri mereka untuk menjadi tenaga kerja ke Arab Saudi. Mengingat juga
peluang yang mereka lihat begita meyakinkan serta banyaknya sponsor yang
menyalurkan mereka terhadap celah keberhasilan yang 90 % dapat diraih dan
lxxvii
itupun dapat terbukti dengan adanya masyarakat Desa Moyo yang menjadi
tenaga kerja ke Arab Saudi pulang dengan keberhasilan dan hasil yang
memuaskan. Dengan hasil ini mereka dapat membangun rumah, membeli
tanah dan hewan ternak.
Pasang surutnya laju perekonomian bangsa cukup mempengaruhi terhadap
kelancaran usaha masyarakat Desa Moyo dan untuk memaksimalkannya
sebagian masyarakat Desa Moyo juga Doble propesi dari tukang bangunan
juga bekerja sebagai tukang ojek dari tukang ojek juga bekerja sebagai calo
jual beli hewan Ternak dll.
Bagi strata bawah faktor pendorong dalam melakukan perluasan kerja di
luara sektor pertanian dengan kuat dan tekat keinginannya untuk bisa dapat
meningkatkan status/strata mereka di dalam masyarakat juga sebagai usaha
untuk menutupi kekurangan dalam mengkonsumsi kebutuhan hidup serta
biaya-biaya lainnya.
Secara umum dalam hal faktor yang mendorong perluasan kerja di luar
sektor pertanian ini masyarakat Desa Moyo tidak terlepas dari penanaman
fikir mereka terhadap pentingnya pendidikan dalam peningkatan strata dan
taraf hidup yang lebih memadai, ini terlihat banyaknya anak yang melanjutkan
sekolahnya kejenjang yang leih tinggi yaitu dari Sekolah Menengah Tingkat
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi (PT).
pendidikan di masyarakat Desa Moyo dibiyayai oleh hasil pertanian dan
perluasan kerja di luar sektor pertanian seperti usaha dagang, peternakan, dan
merantau keluar negeri dengan tidak putus asa mereka tetap kontinu
melakukan pekerjaan ini dengan anggapan hasil yang nyata untuk hasil
pekerjaan ini adalah keberhasilan anaknya dalam menuntut ilmu.
lxxviii
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Stratifikasi sosial petani di Desa Moyo terlihat dengan masih berorientasi
pada kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian, penguasaan lahan
pertanian ini di Desa moyo dapat dilihat dengan penguasaan milik sendiri,
dengan membeli kontan dan penyewaan-penyewaan.
2. Untuk mencapai stratifikasi sosial petani di Desa Moyo tidak terlepas dari
hasil pertanian misalkan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi,
memperluas lahan pertanian, membuat rumah, membeli alat transportasi
(mobil, speda Motor), biaya haji dll.
3. Selain dari hasil pertanian stratifikasi sosial di Desa Moyo dibentuk atau
dipengruhi oleh hasil merantau ke luar negeri dan dari hasil usaha
perdagangan.
4. Di Desa Moyo secara umum stratifikasi sosial pertanian dan stratifiksasi
sosial berdasarkan kreteria ekonominya adalah sebgai berikut:
a. Strata atas adalah mereka yang mengelolah sawah/tanah dengan
memanfaatkan teknologi milik sendiri dan dengan memperkerjakan
strata menegah dan bawah.
b. Strata menengah yaitu mereka yang menggarap sawah/tanah mereka
sendiri juga dari strata bawa dan memanfaatkan teknologi/mesin
traktor, mesin perontok padi dari strata atas.
c. Strata bawah yaitu mereka yang menggarap tanah sendiri dan bekerja
sebagai buruh tani di sawah atau ladang kelas atas dan menengah
d. Kelas ekonomi atas yaitu mereka yang mempunyai hasil pertanian
banyak(lahan luas), hasil dagang dan Pegawai Negeri Sipil serta dari
hasil usaha/bisnis.
lxxix
e. Kelas ekonomi menengah yaitu mereka yang hasil pertanian dibawah
strata atas, Pegawai Negeri Sipil, hasil merantau ke Arab Saudi dan
berdagang
f. Kelas ekonomi bawah yaitu mereka yang menarik pendapatan dari
hasil pladen/buruh, menjalankan traktor dan tukang ojek.
5. Secara umum masyarakat Desa Moyo adalah bekerja sebagai petani dan
dalam perluasan kerja di luar sektor pertanian masih bersifat relatif artian
dari mayoritas masyarkat Desa Moyo bekerja di luar sektor pertanian
dianggap pekerjaan sampingan, mengisi waktu luang sambil menanti
musim tanam ataupun musim panen.
6. Dalam perluasan kerja di luar sektor pertanian oleh masing-masing
strata/tingkatan yang ada di Desa Moyo, pola perluasan kerjanya
disesuaikan dengan stratanya atau menyesuaiakn diri dengan kehormatan
yang dimilikinya.
7. Perluasan kerja di Desa moyo sifatnya juga masih bergantung pada musim
dan ada yang tidak bargantung dengan musim artian mempunyai peluang
kerja tersendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
8. Pola-pola perluasan kerja di luar sektor pertanian di Desa Moyo adalah :
a. Perluasan kerja pada strata atas adalah mereka yang berdagang. Sangat
terlihat sekali pada mereka dengan usaha atau bentuk barang yang
diusahakan adalah usaha mini market. Pola perluasannya dengan
berdagang dengan menjual barang kebutuhan sehari-hari, perlengkapan
memasak, manjual pulsa dan aksesoris HP serta barang-barang lipat.
b. Strata menengah, mereka dalam melakukan perluasan kerja di luar
sektor pertanian adalah dengan usaha pertukangan (tukang kayu dan
bangunan), membuka kios, tukang ojek. Jika dipertukangan yang pada
umumnya masyarakat Desa Moyo dalam membangun yaitu pada
musim habis panen yaitu berkisar antara bulan april-september dengan
sistem borongan. Pola perluasan kerja bagi usaha kios kecil-kecilan
yang pemanfaatannya di rumah-rumah mereka, Setiap tahunnya dengan
lxxx
pembelian barang pada mobil-mobil Bok yang setiap minggunya
datang. Mereka juga ada yang membeli barang dagangannya ke kota
kabupaten (Sumbawa Besar). Pola perluasan kerja bagi tukang ojek
adalah dengan mempasilitasi para petani untuk menjangkau lahan-lahan
pertanian mereka
c. Strata bawah perluasan kerja yang dilakukan adalah usaha bakulan
(sayur mayur), dan nganyuk ikan (membeli dan menjul ikan). Bagi
usaha bakulan pola perluasan kerjanya dengan menjual barang
dagangan mereka di Desa Moyo dan Desa Moyo Mekar dan pasar Desa
Moyo Mekar. Pola perluasan kerja bagi penganyuk ikan adalah dengan
pengambilan ikan di tangan kedua yang dijual di pasar Desa Moyo
Mekar dan keliling di Desa Moyo dan Moyo Mekar.
9. Faktor pendorong perluasan kerja di luar sektor pertanian di Desa moyo
adalah sebagai berikut :
a. Proses pemanfaatan peluang ekonomi terhadap tuntutan pemenuhan
kebutuhan hidup secara makro.
b. Bagi strata atas, untuk menyekolahkan anak mereka ke tingkat yang
lebih tinggi, mengimfestasikan dengan membeli tanah dan hewan
ternak.
c. Bagi strata menengah tekanan ekonomi yang memaksimalkan mereka
kepada upaya pengejaran setatus dengan banyak yang memanfaatkan
anak/istri mereka untuk bekerja di luar negeri yang hasilnya untuk
membeli rumah, tanah dan hewan ternak.
d. Bagi strata bawah adalah dengan upayah meningkatkan status/strata
mereka ke yang lebih tinggi serta biayah pemenuhan kebutuhan yang
lainnya.
e. Ketercapaian taraf hidup yang lebih mapan
f. Biaya pendidikan.
lxxxi
B. Saran
Setelah mengadakan penelitian, mendeskripsikan, membahas dan
menyimpulkan, maka peneliti dapat menyampaikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Bagi masyarakat yang sudah menempatkan strata supaya sadar pada posisi
masing-masing pada strata yang sudah dimilikinya agar digunakan dalam
kehidupan sehari-hari tidak dijadikan sebagai penampakan yang negative
tetapi sebagai pendorong bagi mereka yang masih di strata bawahnya.
2. Bagi mereka yang belum mendapatkan posisi yang diinginkan di dalam
masyarakat, supaya giat belajar dan bekerja lewat pemanfaatan lahan yang
dimiliki dan berusaha malakukan perluasan kerja agar bisa dijadikan
sebagai modal ke strata yang dicita-citakan.
3. Bagi masyarakat yang memiliki strata, agar yakin supaya strata yang
dimilikinya itu dari Allah S.W.T, dan itu merupakan amanah yag harus
dijaga sebaik-baiknya melalui tindakan sosial yang bermanfat bagi orang
lain.
4. Bahwa stratifikasi sosial itu adalah penempatan seseorang sesuai dengan
haknya setelah mengerjakan kewajibannya, oleh karna itu maka dalam
kehidupan bermasyarakat supaya saling bertoleransi sesama strata agar
tidak menjadi konflik antar strata.
5. Bagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan dan berhubungan dengan
posisi/strata ini supaya objektif agar tidak terjadi korupsi kolusi dan
nepotisme (KKN) atau kecemburuan sosial tiap-tiap strata.
6. Bagi mereka yang berminat mengadakan lebih lanjut tentang analisis
stratifikasi sosial petani dan perluasan kerja di luar sektor pertanian agar
meneliti permasalahan yang sama dengan Desa yang mempunyai
stratifikasi sosial yang ada di daerah anda agar data yang didapatkan bisa
dijadikan studi perbandingannya.
7. Bagi para pembaca agar menyampaikan saran maupun kritik yang
konstruktif, baik secara lisan maupun tidak lisan agar dapat dijadikan
lxxxii
sebagai sarana penunjang kesempurnaan tulisan ini khususnya dan karya-
karya ilmiah berikutnya.
lxxxiii
DAFTAR PUSTAKA
Ario Adityo (2008). The History Of All Hitherto Existing Society Is The History
Of Class. http://arioadityo.multiply.com/jurnal/item/7/stratifikasi sosial 9
May 2008
Akatiga (2010). Akatika Pusat Analisis Sosial
http://www.akatiga.org/index.php/penelitian. 2010.
Dennis Wrong ( Ed). 2003. Max Weber Sebuah Khasanah. ikon teralitera.
Yogyakarta.
Forum Desa (2010). www.forumdesa.org. 26 April 2010
Jabrohim, ed. 2006. Menggapai Desa Sejahtera Menuju Masyarakat Utama.
Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan bersama
dengan Pustaka Pelajar. Celeban Timur UH III / 548. yogyakarta.
Hamdi (2008). Stratifikasi sosial petani dan perluasan kerja di luar sektor
pertanian (studi pada masyarakat Desa Kaselet kecamatan sakra kabupaten
lombok timur). STKIP Selong
Kompas (2010). Amanat Hati Nurani Rakyat.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/21/03360379/izin.hanya.bagi.usa
ha.tani.25.hektar.ke.atas. Rabu, 21 April 2010
Kontjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. PT Bineka Cipta. Jakarta.
Resa (2009). Metode Naratif Didalam Ilmu-Ilmu
Sosial.http://rezaantonius.wordpress.com/2009/11/28/metode-penelitian-
naratif/. 28 November 2009
MU (2007). Kinerja Non-Pertanian.
pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Semnas4Des07_MU_Kecuk.pdf. 4 Des
2007
Nurmanaf Rozany (2004)http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(7) soca-rozany-sektor
luar pert(1).pdf. 2004
Setio Sapto Nugroho (2010)
peraturan pemerintah republik indonesia nomor 18 tahun
2010.www.depdagri.go.id/media/documents/2010/03/22/.../pp_no.18-
2010.doc. 28 Januari 2010
Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Rajagrafindo Persada.
Jakarta.
lxxxiv
Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta. CV.
Bandung.
Wangsa Jaya’s Weblog. 2008. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data.
http://wangsajaya.woropress.com/2008/11/19/metode-dan-instrumen
pengumpulan-data/. 19 November 2008
Wardi Bachtiar. M.S. 2006. Sosiologi Klasik. PT Remaja Rosada Karya.
Bandung.
Wiki Pedia (2010).Desa. http://www.wrm.org.uy/bulletin/87/Indonesia.html.5
Februari 2010