analisis tentang kesadaran beragama pada masa...

21
BAB IV ANALISIS TENTANG KESADARAN BERAGAMA PADA MASA PUBERTAS TINJAUAN PSIKOLOGI AGAMA DAN ANALISIS TENTANG FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESADARAN BERAGAMA PADA MASA PUBERTAS A. ANALISIS TENTANG KESADARAN BERAGAMA PADA MASA PUBERTAS TINJAUAN PSIKOLOGI AGAMA Bahwa keadaan jiwa pada masa pubertas berada dalam masa transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa pubertas juga berada pada masa peralihan dari kehidupan beragama masa anak-anak menuju kehidupan beragama yang lebih mantap. Perkembangan jiwa pebertas ditandai dengan keadaan jiwanya yang masih labil dan mengalami kegoncangan jiwa, daya berpikir yang abstrak, logik dan kritis mulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan. Selain itu, keadaan emosinya semakin berkembang, motivasinya bersifat otonom dan tidak hanya dikendalikan oleh dorongan biologis semata, tapi sudah dikendalikan oleh aspek-aspek yang lain (misalnya aspek psikologis dan sosio-kultural) yang juga ikut mendorong motivasinya. Dari timbulnya perkembangan jiwa yang dialami masa pubertas tersebut, mengakibatkan keadaan kehidupan beragama pada masa pubertas mudah goyah dan mulai timbulnya keraguan dalam keimanan, kebimbangan dan konflik batin. Tapi di sisi lain, kesadaran beragama pada masa pubertas mulai menunjukkan penghayatan yang mendalam, ini terlihat dalam hubungannya dengan Tuhan sudah adanya kesadaran dari dirinya, 1 karena seseorang melakukan perilaku beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk menghindari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan akan memberi 1 Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), cet. III, hlm. 43

Upload: dinhkhue

Post on 02-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

ANALISIS TENTANG KESADARAN BERAGAMA

PADA MASA PUBERTAS TINJAUAN PSIKOLOGI AGAMA

DAN ANALISIS TENTANG FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KESADARAN BERAGAMA PADA MASA PUBERTAS

A. ANALISIS TENTANG KESADARAN BERAGAMA PADA MASA

PUBERTAS TINJAUAN PSIKOLOGI AGAMA

Bahwa keadaan jiwa pada masa pubertas berada dalam masa transisi dari

masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa

pubertas juga berada pada masa peralihan dari kehidupan beragama masa

anak-anak menuju kehidupan beragama yang lebih mantap. Perkembangan

jiwa pebertas ditandai dengan keadaan jiwanya yang masih labil dan

mengalami kegoncangan jiwa, daya berpikir yang abstrak, logik dan kritis

mulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan. Selain itu, keadaan emosinya

semakin berkembang, motivasinya bersifat otonom dan tidak hanya

dikendalikan oleh dorongan biologis semata, tapi sudah dikendalikan oleh

aspek-aspek yang lain (misalnya aspek psikologis dan sosio-kultural) yang

juga ikut mendorong motivasinya.

Dari timbulnya perkembangan jiwa yang dialami masa pubertas tersebut,

mengakibatkan keadaan kehidupan beragama pada masa pubertas mudah

goyah dan mulai timbulnya keraguan dalam keimanan, kebimbangan dan

konflik batin. Tapi di sisi lain, kesadaran beragama pada masa pubertas mulai

menunjukkan penghayatan yang mendalam, ini terlihat dalam hubungannya

dengan Tuhan sudah adanya kesadaran dari dirinya,1 karena seseorang

melakukan perilaku beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk

menghindari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan akan memberi

1Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), (Bandung: Sinar

Baru Algensindo, 1995), cet. III, hlm. 43

rasa aman bagi diri sendiri.2 Sehingga kesadaran beragama bagi pubertas

merupakan salah satu kebutuhannya sebagai makhluk yang dijuluki “homo

religious” (makhluk beragama) untuk mengabdi kepada Tuhan yang harus

dipenuhinya.

Sehubungan dengan hal tersebut, di bawah ini akan dijelaskan mengenai

ciri dan sikap kesadaran beragama yang dialami seseorang pada masa remaja

termasuk masa pubertas, yaitu:3

1. Adanya pengalaman ke-Tuhanan yang semakin bersifat individual

Salah satu ciri masa pubertas ditunjukkan dengan semakin mulai

mengenal dirinya, merekapun mengenal dirinya bukan hanya dalam

bentuk jasmaniyah saja, tapi sudah lebih meluas dalam kehidupan

psikologis rohaniyah yang berupa “pribadi yang utuh”, sehingga

mengakibatkan sikap yang kritis terhadap dirinya dan segala sesuatu yang

menjadi milik dirinya. Dimana segala pikiran, perasaan, keinginan dan

kebutuhan psikologis lainnya adalah milik pribadinya.

Dari penemuan diri pribadinya tersebut, masa pubertas mengalami

masa kesendirian dan terpisah dari pribadi yang lain. Inilah yang

mengakibatkan masa pubertas memerlukan bimbingan, perlindungan,

dorongan dan petunjuk yang membangkitkan kepribadiannya untuk bisa

berkembang. Dalam pencariannya, masa pubertas bisa saja menemukan

pandangan, ide dan falsafah hidup yang justru bertentangan dengan

keimanan yang telah menjadi bagian dari pribadinya, sehingga

mengakibatkan kebimbangan, kegelisahan, konflik batin dan penderitaan

bagi dirinya sendiri.

Dalam keadaan labil, tentunya masa pubertas mencari ketentraman

jiwa dan pegangan hidup yang abadi guna menepis segala kebimbangan,

kegelisahan dan konflik batin yang mereka alami. Dari penghayatan dan

sikap kritisnya yang dilakukan, akhirnya pubertas menemukan pelindung

2Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami (Solisi Islam Atas Problem-

problem Psikologi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), cet. I, hlm. 71. 3Abdul Aziz Ahyadi, op. cit., hlm. 44.

dan pegangan hidup yang dibutuhkannya, yaitu dalam bentuk keimanan

dan mengabdi kepada Tuhan.

2. Keimanannya semakin menuju realitas yang sebenarnya

Kehidupan beragama pada masa pubertas bukan hanya memiliki

pemikiran secara kongkret, namun kemampuan berfikirnya sudah mulai

berkembang ke arah yang abstrak. Mereka sudah mampu menemukan.

memahami dan menerima ajaran agama yang berhubungan dengan

masalah yang gaib dan bersifat rohaniyah dengan kesadaran, seperti:

mereka sudah bisa memahami dan meyakini adanya kehidupan setelah

dunia (alam kubur, hari kiamat dan akhirat), meyakini adanya makhluk

gaib (malaikat, jin dan setan), adanya surga dan neraka, dzatnya Allah dan

sebagainya.

Hal tersebut menimbulkan kehidupan beragama pada masa pubertas

mempunyai pandangan yang lebih luas dan kritis, sehingga pandangan

hidupnya semakin bersifat otonom.

3. Pelaksanaan peribadatan mulai disertai dengan penghayatan yang

tulus

Peribadatan bisa diartikan sebagai sikap dan tingkah laku keagamaan

yang merupakan efek dari adanya penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan.

Sehingga peribadatan merupakan realisasi dari penghayatan dan keimanan

seseorang (pubertas) yang ditampakkan dalam pelaksanaan ajaran agama

yang terkandung di dalamnya.

Masa pubertas sering kali mengalami kegoncangan jiwa dalam

kehidupan beragama, ini lebih disebabkan karena sikap kritis yang mereka

miliki. Namun kegoncangan jiwa tersebut justru akan membawanya untuk

menemukan jati diri yang sebenarnya dan pegangan hidup, yaitu: berupa

penghayatan atas keimanan terhadap Tuhan yang mantap demi

ketentraman jiwanya.

Untuk merealisasikan keimanan yang telah merasuk ke dalam

jiwanya, mereka akan terdorong untuk melaksanakan peribadatan dan

ajaran-ajaran agama yang disertai dengan hati nurani yang tulus. Semua

itu dilakukan untuk mencapai makna dan tujuan hidup yang sebenarnya.

Dengan demikian, kecenderungan beragama pada masa pubertas telah

dimiliki sejak mereka lahir karena ini merupakan fitrah yang dibawanya,

walaupun jiwa keagamaan pubertas penuh dengan kebimbangan, kegoncangan

dan konflik batin akibat dari pertumbuhan dan perkembangan yang

dialaminya. Sehingga dari kegoncangan jiwa tersebut, pubertas menemukan

jati dirinya melalui kesadaran beragama yang ditujukkan dengan keimanan

yang benar, penghayatan nilai-nilai agama dan pelaksanaan peribadatan

dengan tulus.

B. ANALISIS TENTANG FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KESADARAN BERAGAMA PADA MASA PUBERTAS

1. ANALISIS TENTANG FAKTOR PEMBAWAAN DALAM

MEMPENGARUHI KESADARAN BERAGAMA PADA MASA

PUBERTAS

Bahwa setiap orang termasuk masa pubertas memiliki sifat yang

disebut sebagai “homo religious” atau “homo divinans” (makhluk

beragama), maka seseorangpun mempunyai bakat-bakat dan potensi untuk

beragama dan mengabdi kepada Tuhan. Dengan kata lain, seseorang telah

membawa fitrah untuk beragama atau mempunyai “instink religius”

yaitu: kecenderungan ke arah beragama.4

Mengenai potensi dan bakat yang telah dimiliki seseorang sejak

lahir, sebagaimana pendapat M. Arifin, dan M. thalib:

“Bahwa melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tua. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari ukiran serta gambaran, ia dapat menerima segala yang diukirkan atasnya, dan apabila dibiasakan ke arah kebaikan

4M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: PT. Golden

Terayon Press, 1991), cet. II., hlm. 35.

jadilah ia baik. Tapi sebaliknya, jika dibiasakan ke arah kejelekan jadilah ia jelek. “5

Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Ar-rum ayat

30, yaitu:

������������� ���� ����� �������������� ����������� ��������� ���� ����� ���� ����� �!���"�#� �$�%����

�����&�'������(��#�)$ �*����)��� �����!����+�����,���-����.�/)0���1���������� 23#����4567�

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mau mengetahui”. (Q.S. Ar-rum ayat 30).6

Dari kandungan ayat di atas dapat dijelaskan bahwa Allah SWT

memerintahkan kita untuk menghadapkan wajah kepada agama-Nya

dengan lurus (yaitu harus memurnikan agama Islam) dan diperintah untuk

selalu tetap pada fitrah Allah SWT (dasar agama Islam), dimana Allah

SWT telah menciptakan manusia dengan dasar agama Islam tersebut.

Tidak ada perubahan atas fitrah Allah SWT yaitu Allah telah menciptakan

manusia yang telah ditetapkan-Nya (dengan atas dasar agama Islam). Jadi

barang siapa yang musrik berarti mereka telah merubah apa yang menjadi

ketetapan atau fitrah Allah SWT, dengan kata lain mereka telah keluar dari

agama yang lurus (yaitu agama Tauhid atau agama yang mengesakan

adanya Allah SWT). Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya

(yaitu mengesakan adanya Allah SWT).7

Dari pendapat M. Thalib dan surat Ar-rum ayat 30 dapat diberi

pengertian, bahwa fitrah di sini diartikan sebagai kemampuan dasar yang

suci yang dimiliki seseorang sejak lahir, yaitu: kecenderungannya untuk

5M. Thalib, Analisa Wanita dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-ikhlas, 1996), cet. I,

hlm. 198. 6Soenarjo, dkk, Al-qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm.�645. 7Bisri Musthafa, Al-ibrizi (Ilmu Tafsir Al-qur’an Al-aziz), (Kudus: Penerbit Menara Kudus,

tt), Juz 11, hlm. 1391.

beragama atau mempercayai adanya Tuhan. Sedangkan fitrah ini akan

berkembang tergantung pada proses pendidikan, terutama pendidikan ini

dimulai dari keluarga oleh kedua orang tua, yang dilanjutkan pada

pendidikan di sekolah dan pendidikan di masyarakat.

Dengan demikian bahwa pubertas telah membawa fitrah

kecenderungan beragama sejak lahir, sehingga potensi-potensi untuk sadar

dalam beragama telah ada. Namun potensi-potensi tersebut dapat

berkembang dengan baik ini tergantung pada proses pembinaan, baik

pembinaan dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat.

2. ANALISIS TENTANG FAKTOR LINGKUNGAN DALAM

MEMPENGARUHI KESADARAN BERAGAMA PADA MASA

PUBERTAS

a. Faktor Keluarga

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang

pertama bagi seseorang, sedangkan kedudukan orang tua (bapak dan

ibu) adalah sebagai pendidik yang mempunyai tanggung jawab yang

bersifat ganda, yaitu: tanggung jawab yang bersifat kodrati dan

tanggung jawab yang bersifat keagamaan.8

Tanggung jawab yang bersifat kodrati, karena orang tualah yang

melahirkan anak, sehingga secara naluriyah mereka bertanggung jawab

untuk memelihara, memberi perlindungan, mengawasi dan

mengarahkan anaknya dengan rasa kasih sayang. Sedangkan tanggung

jawab yang bersifat keagamaan, yaitu: orang tua bertanggung jawab

untuk mendidik dan membina anaknya dalam hal agama,9 misalnya:

pendidikan tentang keimanan, pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai

agama sampai pada pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana perintah Allah SWT dalam surat At-tahrim ayat 6,

yaitu:

8Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), cet. III, hlm. 204. 9Muhaimin, Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia,

1989), hlm. 106.

���8��9��$)(� ���:���#��$)(�;)��9����/)%���/)��<=������>������?��@��2$��A����4B7�“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (Q.S. At-tahrim ayat 6).10

Dari ayat ��<=� �����>������?��@����/)� berarti wahai orang-orang yang

membenarkan adanya Allah dan rasulnya ���8��9� �$)(� ���:���#� �$)(�;)��9����/)%

hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan kepada sebagian

yang lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan

menolaknya, karena yang demikian itu merupakan bentuk ketaatan

kepada Allah dan mengikuti perintahnya, dan juga mengajarkan

kepada keluarganya tentang perbuatan ketaatan yang dapat memelihara

dirinya dengan cara memberikan nasihat dan pendidikan.

Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau kewajiban terhadap

keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada mereka. Hal

yang demikian sejalan dengan hadis yang menyatakan bahwa Allah

memberikan kasih sayang kepada seseorang yang mengatakan bahwa

sembahyangnya, puasanya, zakatnya, ibadah hajinya, mengasuh anak

yatimnya dan tetangganya, mudah-mudahan semua itu dapat

menunjukkan mereka ke surga pada hari kiamat.

Buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang datangnya

siksaan api neraka dengan cara menjauhkan diri perbuatan maksiat,

memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat

menjalankan perintah Allah SWT. Jagalah keluargamu (yang terdiri

dari isteri, anak, pembantu, budak dan saudara-saudara yang lain)

dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada

mereka.11

Peran yang diberikan oleh lingkungan keluarga berupa

pendidikan agama merupakan dasar bagi pembentukan jiwa

10Soenarjo, dkk, op. cit., hlm.� 951. 11Abbudin Nara, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-tarbawiy), (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 1, hal. 198-199.

keagamaan masa pubertas, maka pendidikan agama dan penanaman

nilai-nilai keagamaan untuk menumbuhkan kesadaran beragama harus

diperhatikan secara penuh oleh orang tua. Karena semakin

bertambahnya pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman

agama, mereka akan terdorong untuk menghayati nilai-nilai agama dan

selanjutnya mengamalkannya dalam bentuk pelaksanaan ajaran-ajaran

agama yang didasari dengan keimanan yang mantap.

Untuk menumbuh-kembangkan kesadaran beragama pada masa

pubertas, penulis memberi 4 tahapan yang harus dilakukan oleh orang

tua dalam keluarga, yaitu:

1). Menciptakan hubungan yang baik dengan anak (pubertas)

Bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama

dalam kehidupan seseorang, dimana keluarga sebagai tempat untuk

belajar dan tempat untuk menyatakan diri sebagai makhluk sosial

di dalam berinteraksi dengan kelompoknya.12 Sehingga hubungan

yang baik antara orang tua dan anak harus dibina sejak dini, jangan

sampai orang tua bertentangan dengan anak, karena hal ini akan

mengakibatkan sikap memberontak bagi anak dan selanjutnya akan

lari ke perilaku yang melanggar norma dan ajaran agama.

Dari hubungan yang baik antar anggota keluarga dan

pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi sosial dalam

keluarga, bukan hanya menetukan pribadi dan kesadaran beragama

pubertas di dalam keluarga saja, namun juga akan menentukan

kepribadian dan perilaku dalam sosial di masyarakat terutama

perilaku keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila dalam lingkungan keluarga sudah tercipta interaksi

sosial yang baik antar anggota kelompok sosialnya, maka perilaku

keagamaan pubertas kemungkinan besar akan mengikuti perilaku

keagamaan yang diajarkan orang tua. Begitu sebaliknya, apabila

interaksi sosial dalam keluarga terputus (tidak berlangsung secara

12Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1988), hlm. 180.

harmonis), maka orang tua akan sulit menanamkan nilai-nilai

agama terhadap pubertas, membentuk kepribadiannya dan

kemungkinan besar akan berperilaku memberontak kepada orang

tua serta cenderung mencari jalan hidupnya sendiri dan

menghindar dari pengawasan orang tua.

Demi terwujudnya bimbingan dan pengawasan yang baik dari

orang tua dalam pembentukan kepribadian dan perilaku menuju

kesadaran beragama pada masa pubertas, maka perlu adanya

hubungan yang baik antara orang tua dengan masa yang penuh

dengan kegoncangan jiwa tersebut. Jadi tanpa hubungan yang baik

antar anggota keluarga, bimbingan ataupun pengawasan akan sulit

terwujud.

2). Mengembangkan motivasi dan sikap keberagamaan masa pubertas

Motivasi dan potensi beragama yang dimiliki pubertas sejak

lahir, tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya tanpa adanya

pengaruh dari orang lain, terutama dari orang tua.13 Sehingga

dalam lingkungan keluarga peran orang tua untuk mengembangkan

motivasi dan potensi tersebut sangat diperlukan, agar potensi

beragama dapat berkembang ke arah kehidupan beragama yang

benar (agama Islam).

Kegoncangan jiwa terhadap keyakinan dan sikap kritis

sebagai ciri dan sikap keberagamaan yang dimiliki masa pubertas,

menunjukkan masa pubertas memerlukan pembinan ke arah

mantapnya keyakinan terhadap Tuhan. Sikapnya yang kritis diajak

untuk memahami nilai-nilai agama melalui penghayatan.

Terciptanya hubungan yang baik antara orang tua dengan

anak, dapat diambil kesempatan untuk memberikan dorongan atau

motivasi dan perilaku beragama dengan baik, misalnya: orang tua

memberikan pengetahuan-pengetahuan ajaran agama,

13Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2000), cet. III, hlm. 198.

membimbing dan mengarahkan untuk bisa meyakini dan

menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.

3). Pembinaan kebiasaan hidup beragama dalam keluarga

Yang dimaksud dengan kebiasaan hidup beragama dalam

keluarga adalah penampilan perasaan keagamaan yang disadari

berupa pengamalan ajaran-ajaran agama yang dilakukan secara

tetap dan terus-menerus dalam hidup sehari-hari di lingkungan

kelompok manusia yang terdiri dari bapak, ibu dan anak.14

Pemenuhan kebutuhan fitriyah seorang anak, hendaknya

dilayani dengan memberikan pengarahan yang dapat menunjang

perkembangan dirinya dan pembentukan pribadinya (tehadap jiwa

dan perilaku keagamaan). Proses ini hendaknya berlangsung secara

berkesinambungan antara orang tua dan anak, sehingga orang tua

dalam keluarga harus selalu mengarahkan pada adat kebiasaan

yang baik terhadap anak.15

Menurut M. Thalib, bahwa perincian tentang kebiasaan hidup

beragama dalam keluarga adalah:

a). Mengerjakan shalat (shalat wajib, sunah dan jama’ah).

b). Mengerjakan ibadah di bulan Ramadhan, antara lain:

- Mengerjakan puasa

- Mengerjakan shalat terawih

- Tadarus

c). Menunaikan zakat (zakat fitrah dan mal)

d). Ibadah sosial (menyembelih hewan qurban, sedekah, infaq dan

lain-lain)

e). Mempelajari agama, antara lain:

- Membaca Al-qur’an

- Pengajian agama

14M. Thalib, op. cit., hlm. 192. 15Aba Firdaus Al-halwani, Melahirkan Anak Saleh (Kajian Psikologi Dan Agama),

(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), cet. III, hlm. 87.

f). Pendidikan agama atau bimbingan keagamaan berupa:

- Orang tua memberikan pengetahuan/pelajaran agama.

- Orang tua membimbing dan membina dalam pelaksanaan

ajaran agama.

- Orang tua memberi pengawasan terhadap perilaku dan

kesadaran beragama.

g). Berakhlak baik (jujur, tidak sombong, pemurah, dan lain-lain).

h). Adab beragama, antara lain:

- Mengucap salam ketika masuk dan keluar rumah.

- Membaca do’a ketika akan bepergian.

- Membaca do’a ketika akan makan dan sesudahnya.

- Membaca basmalah ketika akan memulai suatu pekerjaan

yang baik.

- Membaca do’a ketika masuk dan keluar kamar mandi.

- Membaca do’a ketika akan tidur dan bangun tidur.16

Untuk mencapai keluarga yang mempunyai pribadi muslim,

maka seluruh anggota keluarga harus mampu melakukan kebiasaan

hidup beragama dalam keluarga, sehingga apa yang telah

dilakukannya menjadi ciri kepribadian muslim untuk keluarga

tersebut.

Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memupuk kebiasaan

untuk menumbuh-kembangkan rasa cinta kepada hal-hal yang baik,

serta kemauannya untuk merealisasikan dan mempraktekkan

ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

4). Orang tua harus menjadi suri tauladan yang baik bagi anak.

Ketika orang tua akan membiasakan kehidupan beragama

dalam keluarga terhadap anak-anaknya, maka haruslah terlebih

dahulu orang tua melaksanakan perbuatan-perbuatan kehidupan

beragama, sebelum meraka memerintahkan anak-anaknya untuk

16M. Thalib, op. cit., hlm. 194.

berperilaku agama, karena orang tua dalam keluarga adalah suri

tauladan atas perilaku bagi anak-anaknya.

Juga disebutkan dalam surat Al-baqarah ayat 44, yaitu:

����� �.�#)�)<�C����������D����(���� �.�/)����� �$)��9���#� �$)(�;)��9��� �.�/�;����#� �������E� ���

��.�/)��*�1��F����2G�*����4HH7�

“Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-kitab (taurat), maka tidakkah kamu berfikir”. (Q.S. Al-baqarah ayat 44).17

Apabila kamu suruh manusia berbuat kebaikan dan kamu

lupakan dirimu sendiri, padahal kamu menbaca kitab, apakah kamu

tidak pikirkan?. Teguran keras ini ditujukan kepada Bani Israel,

yaitu kepada pemuka-pemuka agama dan pendeta-pendeta mereka.

Bukan main keras larangan mereka, yaitu: ini haram, seakan-akan

merekalah yang empunya agama itu, padahala diri mereka sendiri

dilupakan. Hanya mulut mereka yang keras mempertahankan

agama untuk dipakai oleh orang lain, adapun untuk diri sendiri

tidaklah dipersoalkan; padahal dia membeca kitab, tetapi intisari

dan isi dari kitab itu serta apa maksudnya yang sejati, tidaklah

mereka mengetahuinya dan tidaklah mereka pikirkan.18

Pada dasarnya setiap orang (termasuk masa pubertas) akan

mempunyai kecenderungan untuk meniru terhadap seluruh gerak

dan perbuatan orang tua, sehingga dari kecenderungan tersebut

orang tua harus mengambilnya sebagai indikasi yang positif dalam

rangka pembentukan dan perilaku anak. Untuk mewujudkan

tercapainya kesadaran beragama bagi anak, maka orang tua harus

bisa menjadi figur yang baik atas perilakunya agar anak megikuti

dan meniru perilaku keagamaan yang ditampilkannya.

17Soenarjo, dkk, op. cit., hlm. 16. 18Hamka, Tafsir Al-azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz. 1, hlm. 190.

Jadi, peranan orang tua dalam keluasga dapat mencapai hasil

yang baik atas pendidikan dan pembinaan agama terhadap pubertas

menuju kesadaran beragama, jika melakukan hal-hal sebagai berikut:

1). Mengusahakan suasana yang baik dalam lingkungan keluarga,

suasana yang baik misalnya: terciptanya hubungan yang baik antar

anggota keluarga, terciptanya ketentraman, terciptanya rasa kasih

sayang dan sebagainya. Hal inilah yang akan membantu proses

pendidikan agama yang disampaikan orang tua dan sekaligus

melatih dalam kesadarannya beragama.

2). Memberi pemahaman terhadap anggota keluarga untuk belajar

berpegang teguh pada hak dan kewajiban masing-masing. Hal ini

juga akan membantu anggota keluarga untuk bersikap disiplin dan

bertanggung jawab, yang selanjutnya akan membentuk pribadi dan

perilaku mereka, khususnya perilaku keagamaan.

3). Mengetahui kebutuhan dan karakter anak. Bahwa dengan

memahami kebutuhan dan karakter anak pada masa pubertas baik

berkaitan dengan fisik dan psikisnya, maka orang tua harus dapat

membimbing dan mengarahkan mereka pada jalan yang benar.

4). Tidak menjadi penghambat atas perkembangan psikis anak, tapi

justru memotivasinya untuk mengembangkan bakat-bakat atau

potensi yang dimiliki anak seusia pubertas termasuk potensinya

dalam beragama yang memang penuh dengan tantangan dan sikap

coba-coba. Namun sikap tersebut justru membawanya melatih

berkreatif dan kritis terhadap sesuatu yang dihadapi, selagi potensi

yang dikembangkannya tersebut tidak terarah kepada hal yang

sifatnya negatif. Sehingga orang tua haruslah memberi pengawasan

terhadap mereka dan selalu memberi pengarahan ke hal yang

sifatnya positif.

5). Membiarkan anak untuk bergaul dengan temannya di luar keluarga.

Pergaulan dengan teman sebaya di masyarakat memang suatu

kebutuhan pada masa pubertas, karena teman sebaya adalah

sebagai pengganti anggota keluarga ketika di masyarakat, namun

pergaulan ini harus tetap terawasi oleh orang tua, jangan sampai

pergaulan ini lepas kendali dan membawa kepada rusaknya

kepribadian pubertas dan berperilaku menyimpang dari ajaran

agama.

Dengan demikian peran keluarga untuk menumbuhkan dan

meningkatkan kesadaran beragama anak pada masa pubertas sangat

penting, terutama peran kedua orang tua dalam mendidik dan

mengawasi anak. Sehingga jiwa keagamaan pubertas dapat

berkembang dengan baik menuju kematangan kesaadaran beragama.

b. Faktor Sekolah

Bahwa pendidikan agama di lembaga pendidikan akan memberi

peranan terhadap pembentukan jiwa keagamaan dan perilaku

keagamaan bagi siswa. Tapi besar kecilnya pengaruh tersebut sangat

tergantung pada faktor yang memotivasi siswa untuk memahami nilai-

nilai agama, menghayati sekaligus mengamalkannya.

Tujuan pendidikan di sekolah berarti mendidik anak untuk

menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan

merdeka tenaganya. Ini berarti guru tidak hanya sekedar memberikan

ilmu pengetahuan dan siswa memahaminya saja, namun diharapkan

guru dapat menerapkan cara agar siswa dapat memakai ilmu tersebut

sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan lahir

dan batinnya.19 Kebutuhan batin termasuk adalah bagaimana siswa

dapat memahami, menghayati dan mengamalkan pengetahuan agama

yang didapatnya dari sekolah.

Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa

kepribadian dan perilaku keagamaan siswa, yaitu antara lain sebagai

pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga.20 Dalam hal ini,

19M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1995), hlm. 25. 20Jalaluddin, op. cit., hlm. 207.

guru agama atau tokoh-tokoh agama di lembaga pendidikan

mempunyai tugas dan tanggung jawab ganda.

Pertama, tanggung jawab untuk mengajar (menyampaikan

ilmunya), karena kewajiban guru agama (Islam) sebagai seorang

muslim harus saling membantu muslim lainnya dalam menuntut ilmu.

Kedua, tanggung jawab untuk mendidik siswa yang disebabkan

karena pelimpahan sebagian tanggung jawab orang tua kepada

anaknya (karena kenyataan membuktikan bahwa orang tua di rumah

tidak mampu dan tidak mempunyai banyak kesempatan untuk

mendidik anaknya secara baik).21

Menurut Jalaludin, bahwa proses perubahan sikap dari sikap

tidak menerima ke sikap menerima dapat berlangsung melalui 3 proses

perubahan, yaitu:

1). Adanya perhatian

Bahwa pendidikan agama yang diberikan oleh guru agama

harus dapat menarik perhatian para siswa, maka guru agama harus

bisa mengetahui karakteristik siswa, mengetahui tingkat

kemampuan siswa serta menciptakan suasana dan hubungan yang

baik terhadap siswa. Hal ini akan menunjang terciptanya perhatian

siswa terhadap materi pengajaran, yang selanjutnya membantu

tercapainya tujuan pendidikan.

2). Adanya pemahaman

Para guru agama harus mampu memberikan pemahaman

kepada peserta didik tentang materi yang disampaikannya. Guru

agama harus bisa merencanakan materi pengajaran, memilih dan

menggunakan metode yang tepat dan memakai media pendidikan

yang cocok. Sehingga dapat memungkinkan para siswa untuk bisa

memahami terhadap apa yang disampaikannya. Pemahaman ini

akan lebih mudah diserap, jika pendidikan agama yang

disampaikan dapat dipraktekkan oleh siswa.

21Muhaimin, op. cit., hlm. 106.

3). Adanya penerimaan

Penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang

disampaikan ini sangat tergantung pada hubungan antara materi

pengajaran dengan kebutuhan bagi kehidupan siswa.22

Adanya sikap menerima tersebut juga ditentukan oleh sikap

guru agama, antara lain seorang guru agama harus mempunyai

keahlian dalam bidang agama dan terutama harus memiliki sifat-

sifat atau kepribadian yang sejalan dengan ajaran agama. Maka hal

ini akan mendukung dan menentukan keberhasilan pendidikan

agama di sekolah.

Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi sebagaimana dikutip

oleh Chabib Thoha, bahwa untuk menunjang penerimaan

pendidikan agama Islam di sekolah, mereka memberikan metode

sebagai berikut:

a). Metode hiwar (percakapan)

Metode hiwar (dialog) adalah percakapan antara dua

pihak atau tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah

pada suatu tujuan. Metode ini digunakan untuk mengetahui

sejauh mana penerimaan siswa terhadap materi pelajaran yang

disampaikan.

b). Metode kisah

Metode ini digunakan agar para siswa dapat mengetahui

kisah-kisah terdahulu, yang selanjutnya dapat mengambil

manfaat sebagai suri tauladan yang baik dalam pengamalan

ajaran agama.

c). Metode amsal (perumpamaan)

Metode ini digunakan untuk memperjelas tentang mater

yang disampaikan, dan perumpamaan ini sebaiknya

disesuaikan dengan kebutuhan dan kehidupan siswa dalam

sehari-hari.

22Jalaluddin, op. cit., hlm. 207.

d). Metode teladan

Para siswa memandang guru sebagai teladan utama bagi

mereka, maka merekapun cenderung akan meniru segala

tindak-tanduk dan perilaku guru. Sehingga guru memegang

peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku siswa

untuk berpegang teguh pada ajaran agama, akidah, cara berfikir

siswa dan sebagainya.

e). Metode pembiasaan diri dan pengalaman

Dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa dan perilaku

keagamaan siswa, maka metode ini penting untuk diterapkan,

sehingga guru agama harus bisa menerapkan kebiasaan hidup

beragama di lingkungan sekolah, karena hal ini akan

menunjang keberhasilan pendidikan agama dan sebagai

hasilnya siswa dapat mengamalkan ajaran agama.

f). Metode ibrah dan mauidhah

Dengan metode ibrah siswa dapat mengambil pelajaran

atau manfaat dari materi pelajaran (misal: tentang kisah-kisah

dalam Al-qur’an), sehingga siswapun dapat mengetahui akibat

baik dan jelek, yang selanjutnya akan menentukan siswa untuk

selalu berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan metode mauidhah berarti memberi nasehat

dengan cara menyentuh kalbu. Dengan metode ini siswa

merasa terbimbing dan terbina terhadap ajaran agama, sehingga

akan mengarahkan siswa untuk selalu berfikir dahulu sebelum

bertindak sesuatu, agar apa yang akan dilakukan sesuai dengan

ajaran agama.

g). Metode targhib dan tarhib

Istilah targhib berarti janji terhadap kesenangan, atau

dengan kata lain istilah ini berkaitan dengan pahala. Sedangkan

tarhib berarti ancaman karena dosa yang dilakukan seseorang,

atau berkaitan neraka.

Dengan metode ini siswa dapat mengetahui tentang hal-

hal yang baik dan jelek, mana perintah agama yang harus

dilakukan dan larangan agama yang harus tinggalkan, sehingga

siswa akan terdorong untuk sadar beragama dan selalu berbuat

baik.23

Dengan demikian, pembinaan agama dapat dilakukan dalam

proses menghadapi masalah melalui pendekatan agama, sehingga

ajaran agama tersebut dapat tercerminkan kepada siswa dalam

menghadapi masalah serta menjadi bagian penting dalam kehidupan

sehari-hari siswa untuk diteladaninya.

Guru hendaknya berjiwa dan berakhlak agama, sehingga siswa

terdorong untuk mencintai agama dan hidup sesuai dengan ajaran

agama. Apabila jiwa dan semangat agama tidak tercermin oleh sikap

dan tindakan guru di sekolah, maka pendidikan agama yang diberikan

guru akan sulit berkembang dalam jiwa anak dan bahkan akan

menimbulkan antipatinya terhadap pendidikan agama.24

Selain itu, guru tidak hanya mendidik dan mengawasi

perkembangan perilaku keagamaan siswa ketika di lingkungan sekolah

saja, namun guru juga harus memperhatikan perkembangan siswa

ketika di luar sekolah (masyarakat), sehingga siswa dapat terawasi dan

terhindarkan dari pengaruh yang bertentangan dengan ajaran agama.

c. Faktor Masyarakat

Lingkungan masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang

ketiga setelah lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam masyarakat

juga ikut berperan dalam menciptakan dan meningkatkan kesadaran

beragama pada masa pubertas, sehingga lingkungan masyarakat juga

23Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1999), hlm 123–126. 24Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),

cet. III., hlm. 90.

ikut bertanggung jawab atas terwujudnya pendidikan dan pengamalan

ajaran agama.25

Terciptanya suasana yang agamis dalam lingkungan masyarakat

akan membawa masing-masing anggota masyarakat untuk terlibat di

dalamnya, maka akan mendorong anggota masyarakat (pubertas) untuk

berperilaku sesuai dengan ketentuan agama dan kesadarannya

menjalankan perintah agama.

Untuk mendukung terwujudnya kesadaran beragama pada masa

pubertas perlu adanya kerja sama yang baik antara orang tua dalam

keluarga, para guru di sekolah dan anggota masyarakat yang bersedia

membantu dan membina anggota masyarakat lainnya dalam hal

pendidikan agama. Hubungan dari ketiga elemen tersebut harus selalu

dibina untuk memberikan pendidikan dan pengawasan, sehingga

pubertas benar-benar terkontrol dalam perilaku beragamanya.

Dalam lingkungan keluarga dan sekolah memang telah terjadi

proses pendidikan agama oleh orang tua dan guru, tetapi proses

pendidikan tersebut hanya dapat berlangsung dalam kurun waktu

tertentu saja dan bersifat sementara ketika di sekolah. Setelah para

peserta didik (pubertas) kembali kepada pergaulan di masyarakat,

maka proses pendidikan inipun harus dilakukan dalam masyarakat.

Ketika pubertas sudah bergabung di masyarakat perlu adanya proses

pembinaan kembali yang dilakukan di masyarakat, sehingga fungsi

keluarga, masyarakat harus diterapkan secara bersama-sama dalam

proses pembinaan kembali terhadap pendidikan agama .

Ditinjau dari segi perkembangan sosial, masa pubertas mulai

menampakkan hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya,

terutama yang menonjol adalah pergaulannya dengan teman sebaya

atau lawan jenis. Berkaitan dengan proses pembinaan kembali di

masyarakat, maka pubertas harus bisa mencari dan memilih teman

yang baik, teman yang mampu menjadi pendidik, pembina sekaligus

25Muhaimin, op. cit., hlm. 107.

pengontrol atas dirinya dalam berperilaku keagamaan. Dan bukan

teman yang membawa ke pergaulan yang menyesatkan.

Sebagaimana At-Thagra’i yang ditulis oleh Muhammad As-

Suderi dalam buku yang berjudul “Bahaya Teman” mengtakan yaitu:

“Musuh yang paling berbahaya adalah orang kepercayaanmu yang paling dekat, maka waspadalah terhadap manusia dan pergauilah mereka dengan hati-hati”.26

Masa pubertas yang juga ditandai dengan mulai berkembangnya

hubungan dengan masyarakat khususnya dengan teman sebaya atau

lawan jenis harus selalu diperhatikan oleh orang tua, karena pergaulan

ini bisa membawa pendewasaan diri dan kesadaran beragama, atau

justru membawa pada perilaku amoral dan bertentangan dengan nilai-

nilai agama jika pergaulan tersebut tidak terkontrol.

Oleh karena itu, pubertas dalam pergaulan di masyarakat harus

bisa memilih teman bergaulnya dengan cermat, khususnya teman

sebaya dan teman lawan jenisnya karena merekalah yang memberikan

pengaruh dominan atas perkembangan pribadi dan sikapnya. Teman

yang bisa membantu dirinya dalam pembinaan dan memberi

pengawasan atas dirinya agar tidak terjerumus pada hal-hal yang

dilarang agama. Jika pubertas sudah dapat menyadari arti pentingnya

teman yang baik dan mewaspadai bahayanya teman yang menyesatkan

dirinya, maka proses pembinaan kembali terhadap pubertas di

masyarakat akan dapat terwujud, yang tentunya didukung oleh

pengawasan dari orang tua.

Dengan demikian demi keberhasilan pendidikan dan pengawasan

anak pada masa pubertas menuju kesadaran beragama secara maksimal,

maka kerja sama antara orang tua, guru dan anggota masyarakat

hendaknya dilakukan dan dikembangnkan dengan baik. Sehingga pubertas

benar-benar terdidik dan terawasi terhadap perilakunya rtermasuk Perilaku

keagamaannya dakam kehidupan sehari-hari.

26Muhammad As-Suderi, Bahaya Teman, (Jakarta: Gema insani Press, 1997), hlm. ii.