analisis titik impas pajak terutang sebagai dampak
TRANSCRIPT
ANALISIS TITIK IMPAS PAJAK TERUTANG SEBAGAI DAMPAK PENERAPAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 PADA USAHA MIKRO
KECIL DAN MENENGAH
(STUDI KASUS PADA PETERNAKAN AYAM PETELUR DI BLITAR)
Oleh
Arrizal Bondan Sawega
Dosen Pembimbing
Ayu Fury Puspita, MSA.,Ak.,CA
Jurusan Akuntansi, Universitas Brawijaya Malang
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik impas pajak terutang Wajib Pajak Orang
Pribadi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 pada UMKM peternakan ayam petelur di Kabupaten Blitar. Jenis
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus.
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang diperoleh langsung dari
sumber data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 merugikan Wajib Pajak Orang Pribadi kategori usaha mikro, sebaliknya untuk
kategori usaha kecil dan menengah diuntungkan dengan penerapan peraturan tersebut.
Strategi bagi Wajib Pajak agar tidak dirugikan dengan penerapan peraturan tersebut adalah
meningkatkan profit margin minimal menjadi 35,54% untuk kategori usaha mikro, 10,9%
untuk kategori usaha kecil, dan 8,59% untuk usaha menengah.
Kata kunci: Pajak Terutang, Titik Impas, UMKM, Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013
1. PENDAHULUAN
Pada tahun 2012, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mempunyai kontribusi 57%
dari total Produk Domestik Bruto. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 menyebutkan
jumlah tenaga kerja di sektor UMKM sebesar 107,6 juta pekerja atau sekitar 97% dari jumlah
pekerja di Indonesia. Dengan penyerapan tenaga kerja dan PDB yang tinggi, diasumsikan
UMKM mampu menyumbang pajak yang besar. Sementara itu kontribusi UMKM pada
perpajakan masih rendah yaitu sebesar 0,7% dari total penerimaan pajak pada tahun 2012
(Daud, 2013). Oleh sebab itu, pemerintah melakukan upaya meningkatkan penerimaan pajak
dari sektor UMKM dengan menerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 diperuntukkan untuk Wajib Pajak orang
pribadi maupun badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar setahun dikenakan
tarif pajak final sebesar 1% dari omzet. Tujuan penerbitan peraturan tersebut adalah
memudahkan dan menyederhanakan aturan perpajakan khususnya Pajak Penghasilan untuk
Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dengan omzet tertentu, yang selama ini
merasa sulit menghitung Pajak Penghasilannya sehingga diharapkan Wajib Pajak dapat dengan
mudah melaksanakan kewajiban perpajakannya (Paramitha, 2013).
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 menimbulkan pro dan kontra
di lingkungan masyarakat, sebagian menilai bahwa aturan tersebut memberatkan wajib pajak
karena meningkatkan jumlah pajak terutangnya. Hal ini didukung oleh Faisal Basri ahli
ekonomi dari Universitas Indonesia yang mengkritik pemberlakuan pajak berdasarkan besar
omzet penjualan karena untung tidak untung harus membayar pajak. Pihak lain yang
mendukung beranggapan bahwa peraturan tersebut memudahkan dalam penghitungan,
penyetoran, pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang, dan yang terpenting yaitu pajak
terutang lebih rendah. Hal ini didukung oleh Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri yang
menyebutkan bahwa UMKM akan diuntungkan karena pajak penghasilan hanya dikenakan
tarif 1% (Majalah UKM, 2014).
Menurut Purba dan Suandy (2014), UMKM milik Wajib Pajak Orang Pribadi dengan
peredaran bruto kurang dari Rp 250 juta (usaha mikro) cenderung dirugikan dengan penetapan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 daripada Wajib Pajak Orang Pribadi dengan
peredaran bruto lebih dari Rp 2,5 miliar (usaha menengah). Jenis usaha yang diuntungkan dan
yang dirugikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 juga dijelaskan oleh
Akhmad (2015), yaitu bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan peredaran bruto Rp 120 juta
(usaha mikro), harus memiliki profit margin sebesar 85% agar tidak dirugikan.
Menurut Kartiko (2016), Wajib Pajak yang memiliki omzet Rp 300 juta sampai dengan Rp
2,5 miliar (usaha kecil) lebih diuntungkan dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 daripada usaha mikro. Menurut Zulfan (2016), wajib pajak dengan omzet Rp 480
juta (usaha kecil) yang memiliki profit margin 20% akan diuntungkan.
Pajak terutang Wajib Pajak yang memiliki omzet lebih dari Rp 2,5 miliar (usaha menengah)
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 paling diuntungkan daripada jenis
usaha mikro dan kecil. Dalam penelitian Akhmad (2015), Wajib Pajak Orang Pribadi dengan
peredaran bruto Rp 4,8 miliar per tahun akan diuntungkan jika memiliki profit margin minimal
8%. Hal ini juga didukung Wahdi et al. (2015) yang menunjukkan Wajib Pajak Orang Pribadi
dan Badan yang memiliki peredaran bruto Rp 4,8 miliar (usaha menengah) dengan tingkat
keuntungan lebih dari 8% akan diuntungkan, karena pajak yang dibayar lebih rendah jika
dibandingkan dengan tarif Pajak Penghasilan.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa UMKM dengan kriteria
tertentu akan lebih diuntungkan daripada yang lainnya. Kriteria tersebut meliputi omzet dan
profit margin berdasarkan titik impas pajak terutang. Penelitian ini memfokuskan pada
pengelompokan omzet berdasarkan kategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta jenis
kepemilikan usaha Wajib Pajak Orang Pribadi. Identifikasi omzet dilakukan untuk mengetahui
Wajib Pajak yang diuntungkan dan dirugikan atas penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013. Ini dapat dilakukan salah satunya dengan menentukan titik impas pajak yang
terutang dan ini menjadi sangat penting bagi para pemangku kepentingan untuk merespon
dampak yang terjadi.
Titik impas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menghitung dan membandingkan
pajak terutang apabila dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pada objek pajak yang sama (Wajib Pajak dengan
peredaran bruto tertentu). Sebelum penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013,
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri termasuk yang menerima penghasilan bruto
menghitung pajak terutang berdasarkan pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008. Oleh karena itu, pembandingan kedua peraturan tersebut untuk menentukan jenis
UMKM yang diuntungkan dan dirugikan berdasarkan hasil analisis titik impas pajak terutang
dari kedua peraturan tersebut.
UMKM yang menjadi unggulan dan menjadi salah satu penyumbang Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) terbesar di Kabupaten Blitar adalah usaha peternakan ayam petelur
(BPS Kabupaten Blitar, 2015). Menurut Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Blitar, Mashudi, Kabupaten Blitar menjadi produsen terbesar telur ayam di Jawa Timur dengan
populasi ayam petelur mencapai 15 juta ekor dan dalam setahun bisa memproduksi sekitar 162
ribu ton telur ayam atau 10% dari produksi nasional (Nita, 2017).
Menurut Zulfan (2016) peternakan ayam dengan omzet Rp 136 juta (usaha mikro) dirugikan
dengan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Oleh karena itu, diperlukan
suatu penelitian untuk mengidentifikasi kriteria usaha yang diuntungkan dan dirugikan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dengan membedakan kategori
UMKM yang meliputi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berdasarkan titik impas pajak
terutang.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) adalah peraturan
perpajakan yang mengatur tentang pengenaan Pajak Penghasilan kepada badan dan orang
pribadi. Subjek pajak orang pribadi yang tidak dikenakan pajak bersifat final maka menghitung
pajak terutang berdasarkan penghasilan kena pajak (PKP) yang diperoleh dari penghasilan
dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
2.2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 membahas tentang Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tidak melebihi Rp. 4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak, dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final dengan tarif 1%.
2.3 Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 mengelompokkan UMKM berdasarkan
omzet yang diperoleh. Usaha mikro adalah usaha dengan omzet tahunan paling banyak Rp 300
juta. Usaha kecil adalah usaha dengan omzet tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan
paling banyak Rp 2,5 miliar. Usaha menengah adalah usaha dengan omzet tahunan dari Rp 2,5
miliar sampai dengan paling banyak Rp 50 miliar.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Sumber: Olahan peneliti, 2017.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian ini
mencoba mengklasifikasikan tiga jenis UMKM berdasarkan omzet sesuai Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 yaitu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Selanjutnya peneliti
membandingkan titik impas pajak terutang untuk menentukan rugi tidaknya penerapan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pada UMKM Peternakan Ayam Petelur di
Kabupaten Blitar.
3.2 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data
primer yang digunakan adalah wawancara dengan pemilik UMKM dan data sekunder yang
digunakan berupa catatan keuangan pemilik UMKM.
3.3 Metode Analisis Data
1. Menghitung pajak terutang Wajib Pajak Orang Pribadi sesuai Pasal 17 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008. Ini seperti yang tercantum dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1
Pajak Terutang Berdasarkan
UU No. 36 Tahun 2008
Sumber: Data yang diolah
2. Menghitung jumlah pajak terutang wajib pajak orang pribadi menggunakan tarif 1%
dari omzet sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
3. Menganalisis perbandingan jumlah pajak terutang Wajib Pajak Orang Pribadi
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun sebagai dasar penentuan analisis titik impas pajak terutang. Analisis
titik impas dilakukan berdasarkan kategori usaha UMKM yaitu Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah untuk menentukan pajak terutang yang berjumlah sama antara kedua aturan
tersebut sehingga diperoleh kategori omzet usaha yang diuntungkan atau dirugikan.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Pajak Terutang Berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013
1. Usaha mikro
Usaha peternakan ayam petelur milik Lutfi memperoleh omzet sebesar Rp
271.344.400,00 pada tahun 2015. Perhitungan pajak terutang berdasarkan Peraturan
Peredaran Bruto xxx
Biaya-biaya xxx
Penghasilan Neto xxx
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Wajib pajak xxx
Kawin xxx
Tanggungan xxx xxx
Penghasilan Kena Pajak (PKP) xxx
Pajak Terutang
Tarif pasal 17 UU PPh x PKP xxx
Jumlah Pajak terutang xxx
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebesar Rp 2.713.444,00 yang merupakan
akumulasi pajak terutang setiap bulan dalam tahun 2015.
2. Usaha Kecil
Usaha peternakan ayam petelur milik Heru memperoleh omzet sebesar Rp
1.849.031.700,00 pada tahun 2015. Perhitungan pajak terutang berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebesar Rp 18.490.317,00 yang merupakan
akumulasi pajak terutang setiap bulan dalam tahun 2015.
3. Usaha Menengah
Usaha peternakan ayam petelur milik Sigit memperoleh omzet sebesar Rp
3.655.419.400,00 pada tahun 2015. Perhitungan pajak terutang berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebesar Rp 36.554.194,00 yang merupakan
akumulasi pajak terutang setiap bulan dalam tahun 2015.
4.2 Pajak Terutang Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008
1. Usaha Mikro
Wajib Pajak menghitung pajak terutang dengan cara mengurangkan omzet yang diterima
dengan harga pokok produksi dan beban usaha. Kemudian, laba usaha dikurangi dengan
PTKP sehingga didapatkanlah PKP yang selanjutnya dikalikan dengan tarif pajak pasal
17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Pada Tabel 4.5 terlihat bahwa, Wajib
Pajak tidak memiliki pajak terutang karena PTKP sebesar Rp 45.000.000,00 lebih besar
daripada laba usaha yang hanya sebesar Rp 37.856.500,00 sehingga PKP bernilai negatif.
Tabel 2
Pajak Terutang Usaha Mikro Berdasarkan
UU No. 36 Tahun 2008
Penjualan Rp 271.344.400,00
HPP Rp 231.147.900,00
Laba Kotor Rp 40.196.500,00
Beban Usaha
Gaji -
Perbaikan Rp 1.500.000,00
Listrik & air Rp 840.000,00
Rp 2.340.000,00
Laba Usaha Rp 37.856.500,00
PTKP
WP Rp36.000.000,00
Kawin Rp 3.000.000,00
Tanggungan Rp 6.000.000,00 Rp 45.000.000,00
PKP (Rp 7.143.500,00)
Pajak terutang
Jumlah pajak terutang nihil
Sumber: Data yang diolah
2. Usaha Kecil
Wajib Pajak Orang Pribadi telah menikah dan memiliki dua anak (tanggungan). Wajib
Pajak mempunyai omzet Rp 1.849.031.700,00 pada tahun 2015, sehingga perhitungan
pajak terutang pada tahun 2015 berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2008 sebagai berikut:
Tabel 3
Pajak Terutang Usaha Kecil Berdasarkan
UU No. 36 Tahun 2008 Penjualan Rp1.849.031.700,00
HPP Rp1.421.792.500,00
Laba Kotor Rp 427.239.200,00
Beban Usaha
Gaji Rp86.400.000,00
Perbaikan Rp30.000.000,00
Listrik & air Rp 6.000.000,00 Rp122.400.000,00
Laba Usaha Rp304.839.200,00
PTKP
WP Rp36.000.000,00
Kawin Rp 3.000.000,00
Tanggungan Rp 6.000.000,00 Rp 45.000.000,00
PKP Rp259.839.200,00
Pajak terutang
5% Rp 2.500.000,00
15% Rp30.000.000,00
25%
Rp 2.459.800,00
Jumlah pajak terutang Rp 34.959.800,00
Sumber: Data yang diolah
3. Usaha Menengah
Tabel 3
Pajak Terutang Usaha Menengah Berdasarkan
UU No. 36 Tahun 2008 Penjualan Rp3.655.419.400,00
HPP Rp3.091.792.500,00
Laba Kotor Rp 563.626.900,00
Beban Usaha
Gaji Rp158.400.000,00
Perbaikan Rp 45.000.000,00
Listrik & air Rp 9.800.000,00 Rp213.200.000,00
Laba Usaha Rp350.426.900,00
PTKP
WP Rp36.000.000,00
Kawin Rp 3.000.000,00
Tanggungan Rp 9.000.000,00 Rp 48.000.000,00
PKP Rp302.426.900,00
Pajak terutang
5% Rp 2.500.000,00
15% Rp30.000.000,00
25%
Rp13.106.725,00
Jumlah pajak terutang Rp 45.606.725,00
Sumber: Data yang diolah
4.3 Perbandingan Pajak Terutang Berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013 dengan UU No.
36 Tahun 2008
1. Usaha Mikro
Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 merugikan Wajib Pajak Orang
Pribadi pemilik usaha mikro karena pajak terutangnya lebih besar sejumlah Rp
2.713.444,00. Tabel 4 berikut ini merupakan penjelasan dari deskripsi di atas.
Tabel 4
Selisih Pajak Terutang Usaha Mikro Wajib Pajak Dasar Perhitungan Pajak Pajak Terutang
Orang Pribadi
(K/2)
UU No. 36 Tahun 2008 Nihil
PP No. 46 Tahun 2013 Rp 2.713.444,00
Selisih Rp 2.713.444,00
Sumber: Data yang diolah
2. Usaha Kecil
Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 menguntungkan Wajib Pajak
Orang Pribadi pemilik usaha kecil karena pajak terutangnya lebih kecil sebesar Rp
16.469.483,00. Tabel 5 berikut ini merupakan penjelasan dari deskripsi di atas.
Tabel 5
Selisih Pajak Terutang Usaha Kecil Wajib Pajak Dasar Perhitungan Pajak Pajak Terutang
Orang Pribadi
(K/2)
UU No. 36 Tahun 2008 Rp 34.959.800,00
PP No. 46 Tahun 2013 Rp 18.490.317,00
Selisih Rp 16.469.483,00
Sumber: Data yang diolah
3. Usaha Menengah
Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 menguntungkan Wajib Pajak
Orang Pribadi pemilik usaha menengah karena pajak terutangnya lebih kecil sebesar
Rp 9.052.531,00. Tabel 6 berikut ini merupakan penjelasan dari deskripsi di atas.
Tabel 6
Selisih Pajak Terutang Usaha Menengah Wajib Pajak Dasar Perhitungan Pajak Pajak Terutang
Orang Pribadi
(K/2)
UU No. 36 Tahun 2008 Rp 45.606.725,00
PP No. 46 Tahun 2013 Rp 36.554.194,00
Selisih Rp 9.052.531,00
Sumber: Data yang diolah
4.4 Titik Impas Pajak Terutang Usaha Mikro Kecil dan Menengah
1. Usaha Mikro
Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sangat memberatkan bagi
jenis usaha mikro. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha mikro dengan
omzet maksimal Rp 300 juta harus membayar pajak final sebesar Rp 3 juta setahun tanpa
mempertimbangkan PTKP yang seharusnya bisa menjadi pengurang penghasilan kena
pajak jika menggunakankan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Artinya meskipun
Wajib Pajak tersebut rugi, asalkan memperoleh omzet berapapun jumlahnya tetap
diwajibkan membayar pajak. Pada Tabel 7 ditunjukkan bahwa, Wajib Pajak harus
memiliki profit margin tertentu sehingga penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 tidak merugikannya. Misal Wajib Pajak Orang Pribadi dengan status tidak
kawin dan tanpa tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang
memiliki omzet Rp 300 juta harus mendapatkan profit margin minimal sebesar 29,8%
dari omzet atau sebesar Rp 89.400.00,00. Wajib Pajak dengan omzet yang sama namun
memiliki tanggungan yang lebih banyak, maka profit margin yang harus didapat juga
semakin besar.
Tabel 7
Titik Impas Pajak Terutang Usaha Mikro
Sumber: Data yang diolah
Apabila analisis tersebut diterapkan pada usaha mikro dalam kasus Wajib Pajak atas
nama Lutfi yang memiliki omzet sebesar Rp 271.344.400,00 pada tahun 2015, maka
profit margin minimal yang harus dicapai agar tidak dirugikan dengan penerapan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebesar 35,54% dari omzet atau
sebesar Rp 96.422.232,54 setiap tahun. Profit margin sebesar 35,54% merupakan
estimasi peneliti berdasarkan Tabel 7. Tabel 8 merupakan skema yang dibuat peneliti
untuk memperjelas deskripsi sebelumnya.
Tabel 8
Pajak Terutang Usaha Mikro Berdasarkan Penghitungan Neto
Sumber: Data yang diolah
2. Usaha Kecil
Wajib Pajak ketegori kecil atas nama Heru memiliki pajak terutang berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sebesar Rp 18.490.317,00 pada tahun 2015.
Jika Wajib Pajak Orang Pribadi kategori usaha kecil menghitung pajak terutang
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, maka profit margin yang
harus diperoleh agar tidak dirugikan adalah sebagai berikut:
Tabel 9
Titik Impas Pajak Terutang Usaha Kecil
Sumber: Data yang diolah
Pada Tabel 9 ditunjukkan bahwa, Wajib Pajak harus memiliki profit margin tertentu
sehingga penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tidak merugikannya.
Misal Wajib Pajak Orang Pribadi dengan status tidak kawin dan tanpa tanggungan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang memiliki omzet Rp 1 miliar
harus mendapatkan profit margin minimal sebesar 13,6%. Wajib Pajak dengan omzet
yang sama (1 miliar) namun memiliki tanggungan yang lebih banyak (misal berstatus
K/I/3), maka profit margin yang harus didapat juga semakin besar yaitu 18,4% dari
omzet. Apabila analisis tersebut diterapkan pada usaha kecil dalam kasus Wajib Pajak atas
nama Heru yang memiliki omzet sebesar Rp 1.849.031.700,00 pada tahun 2015, maka
profit margin minimal yang harus dicapai agar tidak dirugikan dengan Penerapan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sebesar 10,9% dari omzet atau sebesar Rp
201.544.455,30 setiap tahun. Profit margin sebesar 10,9% merupakan estimasi peneliti
berdasarkan Tabel 9. Tabel 10 merupakan skema yang dibuat peneliti untuk memperjelas
deskripsi sebelumnya.
Tabel 10
Pajak Terutang Usaha Kecil Berdasarkan Penghitungan Neto
Sumber: Data yang diolah
3. Usaha Menengah
Tabel 11
Titik Impas Pajak Terutang Usaha Menengah
Pada Tabel 11 ditunjukkan bahwa, Wajib Pajak Orang Pribadi dengan status tidak
kawin dan tanpa tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang
memiliki omzet Rp 3 miliar harus mendapatkan profit margin minimal sebesar 8,98%
dari omzet atau sebesar Rp 269.400.000,00 agar tidak dirugikan. Wajib Pajak dengan
omzet yang sama namun memiliki tanggungan yang lebih banyak, maka profit margin
yang harus didapat juga semakin besar. Misal Wajib Pajak dengan status (K/I/3) maka
harus memperoleh profit margin sebesar 10,58% dari omzet. Wajib Pajak dengan omzet
Rp 4,8 miliar (omzet maksimal Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013) adalah
yang paling diuntungkan daripada jenis kategori usaha dengan omzet dibawahnya. Hal
ini dapat dilihat dalam Tabel 11 yang menunjukkan profit margin yang harus dicapai
agar tidak dirugikan adalah yang paling kecil dibandingkan dengan kategori yang lain.
Apabila analisis tersebut diterapkan pada usaha menengah dalam kasus Wajib Pajak
atas nama Sigit yang memiliki omzet sebesar Rp 3.655.419.400,00 pada tahun 2015,
maka profit margin minimal yang harus dicapai agar tidak dirugikan dengan Penerapan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebesar 8,59% dari omzet atau
sebesar Rp 314.216.909,00 setiap tahun. Profit margin sebesar 8,59% merupakan
estimasi peneliti berdasarkan Tabel 11. Tabel 12 berikut ini merupakan skema yang
dibuat peneliti untuk memperjelas deskripsi sebelumnya:
Tabel 12
Pajak Terutang Usaha Menengah Berdasarkan Penghitungan Neto
Sumber: Data yang diolah
4.5 Strategi UMKM Sebagai Dampak Penerapan PP No 46 Tahun 2013
Wajib Pajak pemilik UMKM menerima dampak yang beragam dengan penerbitan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Wajib Pajak yang memiliki usaha kategori
mikro cenderung dirugikan dan sebaliknya untuk usaha kategori kecil dan menengah.
Hasil perhitungan pajak terutang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menjadi dasar untuk merumuskan strategi
bagi UMKM sehingga Wajib Pajak pemilik UMKM tidak dirugikan dengan penerapan
peraturan tersebut.
1. Usaha Mikro
Wajib Pajak yang menjadi objek penelitian untuk kategori usaha mikro adalah usaha
peternakan ayam petelur milik Lutfi yang memiliki omzet sebesar Rp 271.344.400,00 dan
profit margin sebesar 13,95% pada tahun 2015. Strategi yang dapat dilakukan oleh pemilik
usaha mikro ini adalah meningkatkan profit margin atau menambah omzet. Apabila Wajib
Pajak meningkatkan profit margin dengan asumsi omzet yang diterima tetap sebesar Rp
271.344.400,00 maka, target minimal yang harus dicapai sebesar 35,54%. Tabel 13
menunjukkan bahwa profit margin harus ditingkatkan sebesar 21,59% dari sebelumnya.
Tabel 13
Profit Margin yang harus diperoleh Usaha Mikro
Profit margin Pajak Terutang
PP No. 46 Tahun 2013 UU No. 36 Tahun 2008
Realisasi 13,95% Rp 2.713.444,00 -
Target 35,54% Rp 2.713.444,00 Rp 2.713.344,88
Selisih 21,59%
Sumber: Data yang diolah
Strategi lain agar tidak dirugikan dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 adalah meningkatkan omzet yang diperoleh. Apabila Wajib Pajak
meningkatkan omzet dengan asumsi profit margin tetap sebesar 13,95% maka, target
minimal yang harus diperoleh sebesar Rp 1.075.514.900,00. Tabel 14 menunjukkan bahwa
omzet harus ditambah sebesar Rp 804.170.500,00 dari sebelumnya, sehingga menjadi
usaha dengan kategori kecil.
Tabel 14
Omzet yang harus diperoleh Usaha Mikro
Omzet Pajak Terutang
PP No. 46 Tahun 2013 UU No. 36 Tahun 2008
Realisasi Rp 271.344.400,00 Rp 2.713.444,00 -
Target Rp 1.075.514.900,00 Rp 10.755.149,00 Rp 10.755.149,28
Selisih Rp 804.170.500,00
Sumber: Data yang diolah
2. Usaha Kecil
Wajib Pajak yang menjadi objek penelitian untuk kategori usaha kecil adalah usaha
peternakan ayam petelur milik Heru yang memiliki omzet sebesar Rp 1.849.031.700,00
dan profit margin sebesar 16,49% pada tahun 2015. Strategi yang dapat dilakukan oleh
pemilik usaha kecil ini adalah mempertahankan profit margin dan omzet yang diperoleh.
Apabila Wajib Pajak tetap mempertahankan omzet sebesar Rp 1.849.031.700,00 maka,
profit margin minimal yang harus dicapai sebesar 10,90%. Tabel 15 menunjukkan bahwa
Wajib Pajak memperoleh profit margin lebih besar 5,59% dari target minimal agar tidak
dirugikan.
Tabel 15
Profit Margin yang harus diperoleh Usaha Kecil
Profit margin Pajak Terutang
PP No. 46 Tahun 2013 UU No. 36 Tahun 2008
Realisasi 16,49% Rp 18.490.317,00 Rp 34.959.800,00
Target 10,90% Rp 18.490.317,00 Rp 18.481.668,30
Selisih 5,59%
Sumber: Data yang diolah
Strategi lain agar tidak dirugikan dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 adalah mempertahankan profit margin yang diperoleh. Apabila Wajib Pajak
mempertahankan profit margin sebesar 16,49% maka, omzet minimal yang harus
diperoleh sebesar Rp 797.421.100.00. Tabel 16 menunjukkan bahwa Wajib Pajak
memperoleh omzet lebih besar lebih besar Rp 1.051.610.600,00 dari target minimal agar
tidak dirugikan.
Tabel 16
Omzet yang harus diperoleh Usaha Kecil
Omzet Pajak Terutang
PP No. 46 Tahun 2013 UU No. 36 Tahun 2008
Realisasi Rp 1.849.031.700,00 Rp 18.490.317,00 Rp 34.959.800,00
Target Rp 797.421.100,00 Rp 7.974.211,00 Rp 7.974.210,91
Selisih Rp1.051.610.600,00
Sumber: Data yang diolah
3. Usaha Menengah
Wajib Pajak yang menjadi objek penelitian untuk kategori usaha menengah adalah
usaha peternakan ayam petelur milik Sigit yang memiliki omzet sebesar Rp
3.655.419.400,00 dan profit margin sebesar 9,59% pada tahun 2015. Strategi yang
dapat dilakukan oleh pemilik usaha kecil ini adalah mempertahankan profit margin dan
omzet yang diperoleh. Apabila Wajib Pajak tetap mempertahankan omzet sebesar Rp
3.655.419.400,00 maka, profit margin minimal yang harus dicapai sebesar 8,59%%.
Tabel 17 menunjukkan bahwa Wajib Pajak memperoleh profit margin lebih besar 1%
dari target minimal agar tidak dirugikan.
Tabel 17
Profit Margin yang harus diperoleh Usaha Menengah
Profit margin Pajak Terutang
PP No. 46 Tahun 2013 UU No. 36 Tahun 2008
Realisasi 9,59% Rp 36.554.194,00 Rp 45.606.725,00
Target 8,59% Rp 36.554.194,00 Rp 36.554.227,25
Selisih 1,00%
Sumber: Data yang diolah
Strategi lain agar tidak dirugikan dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 adalah mempertahankan profit margin yang diperoleh. Apabila Wajib
Pajak mempertahankan profit margin sebesar 9,59% maka, omzet minimal yang harus
diperoleh sebesar Rp 2.782.212.000,00. Tabel 18 menunjukkan bahwa Wajib Pajak
memperoleh omzet lebih besar lebih besar Rp 873.207.400,00 dari target minimal agar
tidak dirugikan.
Tabel 18
Omzet yang harus diperoleh Usaha Menengah
Omzet Pajak Terutang
PP No. 46 Tahun 2013 UU No. 36 Tahun 2008
Realisasi Rp 3.655.419.400,00 Rp 36.554.194,00 Rp 45.606.725,00
Target Rp 2.782.212.000,00 Rp 27.822.120,00 Rp 27.822.119,62
Selisih Rp 873.207.400,00
Sumber: Data yang diolah
Strategi yang dirumuskan pada penelitian ini bergantung pada objek yang diteliti.
Status pemilik, omzet, dan profit margin UMKM mempengaruhi perhitungan pajak
terutang yang dilakukan karena titik impas pajak terutang merupakan kombinasi antara
ketiga faktor tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Akhmad (2015) yang
menyebutkan jika profit margin berada dibawah titik impas maka beban pajak semakin
tinggi, sehingga disarankan Wajib Pajak pemilik UMKM meningkatkan profit margin
pada titik tertentu bergantung dengan omzet yang diperoleh. Menurut Purba dan Suandy
(2014) Wajib Pajak pemilik UMKM harus memperoleh omzet lebih dari Rp 1,25 miliar
jika ingin diuntungkan dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013,
maka strategi untuk usaha dengan omzet tidak lebih dari Rp 300 (usaha mikro) harus
meningkatkan omzet yang diperoleh hingga mencapai Rp 1,25 miliar (usaha kecil).
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap Wajib Pajak Orang
Pribadi pada kategori usaha mikro pada Peternakan Ayam di Kabupaten Blitar
dirugikan karena pajak terutang yang dibayar lebih besar, jika dibandingkan dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Sehingga Wajib Pajak kategori usaha mikro
harus meningkatkan profit margin atau omzet yang diperoleh agar tidak dirugikan
dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
2. Pada dasarnya, tidak ada jumlah pasti mengenai omzet dan profit margin yang harus
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi peternakan ayam petelur di Kabupaten Blitar
untuk mengkategorikan untung dan tidaknya UMKM dengan penetapan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Strategi untuk UMKM agar tidak dirugikan dengan
peraturan tersebut bergantung dengan jumlah omzet yang diperoleh. Pada penelitian
ini, Wajib Pajak pemilik usaha mikro harus memiliki profit margin minimal 35,54%,
usaha kecil harus memiliki profit margin minimal 10,9%, dan usaha menengah harus
memiliki profit margin minimal 8,59% agar tidak dirugikan.
5.2 Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat
keterbatasan yang dialami yaitu sebagai berikut:
1. Peneliti melakukan penelitian hanya pada 1 periode, sehingga peneliti tidak dapat
mengamati kondisi usaha yang mungkin saja mengalami fluktuasi dan mempengaruhi
jumlah pajak terutang.
2. Data yang digunakan sebagian besar adalah catatan keuangan Wajib Pajak yang
menjadi objek penelititan sehingga tidak dapat dipastikan sepenuhnya apakah
pencatatan tersebut dilakukan dengan benar.
5.3 Saran
Dari hasil penelitian ini, adapun saran yang dapat diberikan kepada peneliti
selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Penelitian selanjutnya dapat menambah periode operasional bisnis. Misalnya, 3-5 tahun
dengan tujuan mengamati fluktuasi usaha yang terjadi.
2. Penelitian berikutnya melakukan penelitian pada objek yang memiliki catatan keuangan
yang detail sehingga dapat melakukan analisis biaya produksi dan jumlah produksi
dengan akurat sebagai dasar perhitungan pajak terutang.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, M. (2015). Kebijakan Fiskal dan Peningkatan Peran Ekonomi UMKM. Jakarta:
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Badan Pusat Statistik. (2015). Produk Domestik Regional Bruto Kabupaaten Blitar Menurut
Lapangan Usahan 2010-2014. Blitar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Blitar.
Akhmad, S. (2015). Analisis Penerapan Pajak Penghasilan Final PP 46 Tahun 2013 dan
Implikasinya. Jurnal Fokus Bisnis.14.2. Hal. 45-71.
Antara. (2016, 29 Desember). Menkeu: Jatuh Bangun Negara Bergantung pada Pajak. Media
Indonesia. Diakses dari http://mediaindonesia.com
Daud, A. (2013, 28 Juni). Hanya 20 juta UKM yang patuh bayar pajak. Sindonews. Diakses
dari https://ekbis.sindonews.com
Hakim, F. & Mildawati, T. (2016). Implikasi PP 46 Tahun 2013 atas PPh Badan, Laba Usaha
Setelah Pajak, dan Peredaran Bruto. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi.5.12.
Irawati, S. (2006). Manajemen Keuangan. Bandung: Pustaka.
Kartiko, D. (2016). Analisis Perencanaan Pajak dan Titik Impas bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi Kriteria UMKM Berdasarkan PER Nomor 17 Tahun 2015 dan PP Nomor 46
Tahun 2013. Jurnal ilmiah FEB UB. Vol 4, No 2.
Kasmir. (2011). Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers.
Nita. (2017, 5 Januari). 85% Produksi Telur Ayam di Kabupaten Blitar Dikirim ke Luar
Daerah. Mayangkaranews. Diakses dari
http://mayangkaranews.com/85-produksi-telur-ayam-di-kabupaten-blitar-dikirim-ke-
luar-daerah/
Oktavia, I. (2015). Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Siapa
Diuntungkan? Siapa Dirugikan?. Skripsi. Universitas Jember.
Paramitha, N. (2013, 05 Oktober). Penerapan PP 46 Tahun 2013 Untuk Keadilan Pajak.
Republika. Diakses dari http://republika.co.id
Pemerintah Kabupaten Blitar. (2012). Gambaran Umum Kabupaten Blitar. Diakses padar 2
Juni 2017 dari http://www.blitarkab.go.id/2012/06/06/gambaran-umum-2/
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu.
PP No. 46 Tahun 2013 Tidak Adil dan Tidak Pro Pengusaha Kecil. (2013). Diakses pada 4
Maret 2017, dari http://majalahukm.com/pp-no-46-tahun-2013-tidak-adil-dan-tidak-pro-
pengusaha-kecil/
Purba, H. & Suandy, E. (2014). Analisis Perbedaan Pajak Penghasilan Terutang Berdasarkan
Norma Penghitungan dengan PPh Final Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan di bidang
Usaha Perdagangan pada KPP Pratama Indramayu. Skripsi. Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Resmi, S. (2013). Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Sekaran, U. (2014). Research Methods for Business. United Kingdom: Wiley.
Setiawan, E. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online. (kbbi.web.id) diakses 28 Juli
2016.
Serena. (2014, 13 Mei). Ambiguitas Keberlakuan PP No.46 Tahun 2013 Terhadap UU No. 36
Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Kompasiana. Diakses dari
http://www.kompasiana.com/
Sigit, S. (2002). Analisa Break Even Ancangan Linear Secara Ringkas dan Pasti. Edisi 3.
Yogyakarta: BPFE.
Sugiyono. (2016). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan kombinasi (mixed method).
Bandung: Alfabeta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Wahdi, N., Agnesia, C., & Yulianti. (2015). Analisis Penerapan PP Nomor 46 Tahun 2013
tentang UMKM Terhadap Tingkat Pertumbuhan Wajib Pajak, Penerimaan Pajak
Penghasilan dan UMKM yang mana yang diuntungkan. Seminar Nasional. Universitas
PGRI Semarang.
Widi, R. K. (2010). Asas Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Zulfan. (2016). Analisis Komparasi Pajak Terutang Sebelum dan Sesudah Penerapan PPh Final
1 % terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013.
Skripsi. Universitas Andalas.