analisis undang

10
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA UNDANG – UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya. Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban.Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat. Seseorang melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. mengenai hakikat kejahatan, Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan 1

Upload: bobby-sanjaya

Post on 31-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

analisis

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS UNDANG

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA UNDANG – UNDANG NOMOR 40

TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana

berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-

syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya.

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk

pertanggungjawaban.Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang

melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya

pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika

tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat. Seseorang

melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di

cela. mengenai hakikat kejahatan,

Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang

yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan

menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa

orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan

normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya

sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.yakni pertama

pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang di

lakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari

sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.

Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi

pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan Dengan

demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :

1

Page 2: ANALISIS UNDANG

1. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus

ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif.

2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau

kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di

pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.

Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka kita

harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan (Subjective guilt ) itu :

1. Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas – Asas Hukum Pidana, berpandangan bahwa “

orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan

perbuatan pidana , dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa

melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui

makna ( jelek ) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang

sengaja dilakukan. Selain itu orang juga dapat dicela karena melakukan perbuatan

pidana ( tindakan pidana menurut UU dan Sudarto ) meskipun tak sengaja dilakukan

tapi terjadinya perbuatan itu dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap

kewajiban – kewajiaban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang

seharusnya ( sepatutnya ) dijalankan olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan

oleh kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti ( mengetahui ) sifat jeleknya

perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tetapi disebabkan oleh kenapa tidak

menjalankan kewajiban – kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga

karenanya masyarakat dirugikan. Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena

kealpaan. Selain itu , orang juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa

adanya kesengajaan ataupun kealpaan, sehingga tidak dapat dicela. Misalnya, orang

yang mengendarai mobil sesuai dengan kewajiban – kewajiban yang diharuskan

kepadanya, namun ada seorang anak yang tiba – tiba menyeberang jalan sehingga

ditabrak oleh mobilnya dan meninggal dunia. Dalam hal ini ia tidak dapat dicela

karena perbuatan yang menyebabkan anak itu mati sama sekali tidak disengaja

olehnya ataupun terjadi karena kealpaannya.

2. Pompe, kesalahan dapat dilihat dari dua unsur ; a) menurut akibatnya ia adalah hal

yang dapat dicelakan ( verwijtbaarheid ), b) menurut hakikatnya ia adalah hal dapat

dihindarkannya ( verwijdbaarheid ) perbuatan yang melawan hukum.

2

Page 3: ANALISIS UNDANG

3. Mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi

dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana ( schuldist

der Erbegriff der Vorraussetzungen, de aus der straftat einen personlichen Verwurf

gegen den tater begrunden ).

4. Sudarto dalam bukunya Hukum Pidana I, cetakan ke -2 mengartikan kesalahan dalam

arti yang seluas – luasnya adalah hubungan bathin antara si pembuat terhadap

perbuatan yang dicelakan pada si pembuat itu. Hubungan batin ini bisa berupa

sengaja atau alpa.

5. Van Hamel mengatakan bahwa “ kesalahan dalam suatu delikmerupakan pengertian

psychologis, perhubungan antara keadaan si pembuat dan terwujudnya unsur – unsur

delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum

( schuld is de verantwoordelijkheid rechtens ).

6. Van Hattum berpendapat ; “ pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua

unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana

terhadap perbuatan melawan hukum, meliputi semua hal yang bersifat psychis yang

terdapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pembuatnya.

Seiiring dengan perkembangan, pertanggungjawaban kesalahan juga tidak hanya

dibebebankan pada individu melainkan juga kepada korporasi, Korporasi sebagai subyek

hukum, menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi yakni mencari keuntungan

sebesar-besarnya, dan mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang

ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan

keadilan sosial.

Alasan keengganan menghukum korporasi, antara lain: korporasi merupakan subyek

hukum fiksi, dan menurut paham ultra vires (bersalah karena bertindak melewati

kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum apabila melanggar Anggaran Dasar Korporasi,

serta terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya mens rea (niat untuk melakukan

kejahatan) serta siapa yang harus hadir dalam persidangan secara pribadi. Mens rea, pada

dasarnya dimiliki oleh “manusia” yang melakukan perbuatan. Sebab elemen umum mental

(general mental element) yang melekat pada mens rea, antara lain: maksud (intention),

sembrono (recklesness), motif jahat (malice), penuh sadar (wilful), mengetahui (knowledge),

dan lalai (negligence). Semua elemen itu, hanya melekat secara inheren pada diri manusia.

3

Page 4: ANALISIS UNDANG

Hal ini semua dapat menjadi hambatan untuk menghukum korporasi dengan sanksi yang

setimpal.

Menurut KUHP di Indonesia, hanya mengenal orang perseorangan sebagai pelaku

tindak pidana dan korporasi bukan merupakan subyek hukum pidana. Hal ini dapat di lihat

dari ketentuan Pasal 59 KUHP yang berbunyi: “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran

ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-

komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut

campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”

Perkembangan selanjutnya, baik dalam perundang-undangan pidana maupun perundang-

undangan administrasi yang bersanksi pidana sebagian besar telah mengatur korporasi

sebagai subyek hukum pidana. Bahkan, dalam Penjelasan Umum Buku I Naskah Rancangan

Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) 1999-2000

dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan,

maka subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural

person), tetapi juga mencakup manusia hukum (jurisical person) yang lazim disebut

korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.

Korporasi subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus

mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan

pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau pengurusnya

saja. Perubahan peranan korporasi masa kini, terjadi karena modrenisasi sosial dan

menjadikan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi

sosial menimbulkan dampak, yaitu semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem

sosial, ekonomi dan politik yang terdapat di dalamnya, maka kebutuhan akan sistem

pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial

tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang sederhana, melainkan dikehendaki

adanya pengaturan yang semakin rapi terorganisasi, jelas dan terperinci. Sekalipun cara-cara

seperti ini bisa memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang

namun persoalan-persoalan yang ditimbulkan semakin bertambah banyaknya.

Pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana diterapkan di negara-negara pada

masa yang berbeda-beda dengan dilatarbelakangi sejarah dan pengalaman yang berbeda di

tiap-tiap negara, termasuk Indonesia. Namun pada akhirnya ada suatu kesamaan pandangan,

4

Page 5: ANALISIS UNDANG

yaitu sehubungan dengan perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam

bidang ekonomi serta perdagangan yang telah mendorong pemikiran bahwa subyek hukum

pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah saja (natural persoon), tetapi juga

meliputi korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu dapat dilakukan korporasi.

Di Indonesia, pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana, saat ini

pengaturannya hanya dapat ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana di luar

KUHP, ataupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Akan tetapi, masih

ada terlihat ketidaktuntatasan pembentuk undang-undang (kebijakan formulasi) dalam

merumuskan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijatuhi pidana. Adapun

ketidaktuntasan tersebut yaitu mengenai kapan suatu korporasi dianggap harus bertanggung

jawab, ataupun bagaimana cara pertanggungjawabannya. Prinsip pertanggungjawaban

korporasi (corporate liability) di Indonesia yang tersebar dalam hukum pidana khusus (di luar

KUHP), menjadikan kebijakan formulasi yang menyangkut subyek tindak pidana korporasi

tidak berlaku secara umum, tetapi terbatas dan hanya berlaku terhadap beberapa perundang-

undangan khusus di luar KUHP tersebut. Di antara contoh pertanggungjawaban korporasi

sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Menurut ajaran vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius), seseorang

dimungkinkan untuk harus bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini

diterapkan pada korporasi, maka korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas

perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya,

atau siapa saja yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Artinya, apapun yang

dilakukan seseorang manager ataupun majikan melalui agennya, hal ini sama dengan dia

melakukannya sendiri. Atau dengan kata lain, hukum memandang bahwa tindakan agen

ataupun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan, dan bahwa

pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan.

Jika melihat pada sanksi pidana Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang

Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis maka pertanggungjawaban pidananya dibebankan

pada dua pihak, yang pertama :

1. Orang/ individu yang melakukan pelanggaran.

2. Korporasi sebagai yang meakukan pelanggaran

5

Page 6: ANALISIS UNDANG

Seperti yang diketahui, pada KUHP tidak mengatur dengan jelas mengenai

pertanggungjawaban korporasi yang melakukan perbuatan pidana, tetapi pada Undang –

Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis mengatur

tentang pertanggungjawaban korporasi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 19 :

1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 dianggap

dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orangorang

yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi,

baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam

lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu

korporasi, maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap

korporasi dan/atau pengurusnya

Jadi pada ketika pelanggaran pidana dalam Undang – Undang ini dilakukan oleh

korporasi maka pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan pada korporasi maupun

pengurusnya. Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2008 menganut ajaran Menurut ajaran

vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius), seseorang dimungkinkan untuk

harus bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini diterapkan pada

korporasi, maka korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan

yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau siapa saja yang

bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Artinya, apapun yang dilakukan seseorang

manager ataupun majikan melalui agennya, hal ini sama dengan dia melakukannya sendiri.

Atau dengan kata lain, hukum memandang bahwa tindakan agen ataupun karyawan

merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan, dan bahwa pengetahuan agen

atau karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan.

6