analisis vegetasi strata pohon di bukit sulap ...mahasiswa.mipastkipllg.com/repository/artikel...
TRANSCRIPT
1
ANALISIS VEGETASI STRATA POHON DI BUKIT SULAP
KOTA LUBUKLINGGAU
M. Ali Akbar1 ., Merti Triyanti, M. Pd2., Sepriyaningsih, M. Pd, Si3 1Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau
2,3Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
Email: [email protected]
ABSTRAK
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah Indeks Nilai Penting (INP)
vegetasi strata Pohon di Bukit Sulap Kota Lubuklinggau?, 2) Bagaimanakah Indeks
Diversitas (Keanekaragaman) jenis strata Pohon di Bukit Sulap Kota Lubuklinggau?, 3)
Bagaimanakah pengaruh lingkungan abiotik pada vegetasi strata Pohon di Bukit Sulap Kota
Lubuklinggau?. Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP)
vegetasi strata Pohon di Bukit Sulap Kota Lubuklinggau, 2) mengetahui Indeks Diversitas
(Keanekaragaman) jenis strata Pohon di Bukit Sulap Kota Lubuklinggau, 3) untuk
mengetahui pengaruh lingkungan abiotik pada vegetasi strata Pohon di Bukit Sulap Kota
Lubuklinggau. Luas wilayah penelitian 49,6 ha yang terbagi menjadi area kajian A (Stand 1-
10), area kajian B (Stand 1-10), dan area kajian C (Stand 1-10). Metode penelitian yang
digunakan adalah metode PCQ (Point Center Quarter). Berdasarkan hasil penelitian di Bukit
Sulap Kota Lubuklinggau rerata INP tertinggi di area kajian A pohon Embacang (Mangifera
altissima) yaitu 70%, area kajian B pohon durian (Durio zibethinus) 77%, area kajian C
pohon belimbing (Averrhoa carambola) yaitu 77%. Rerata Indeks Diversitas
(Keanekarganman) area kajian A yaitu 1,45 kategori sedang, area kajian B yaitu 1,5 kategori
sedang, dan area kajian C yaitu 1,64 kategori sedang. Faktor abiotik yang berada di Bukit
Sulap Kota Lubuklinggau mempenggaruhi jenis pohon yang hidup di Bukit Sulap Kota
Lubuklinggau.
Kata Kunci : Analisis, Vegetasi, Strata Pohon, Bukit Sulap.
A. PENDAHULUAN
Sumatera merupakan pulau yang kaya dengan sumberdaya alam. Sumberdaya
alam di Sumatera khususnya hutan merupakan salah satu sumberdaya yang sangat
penting bagi kehidupan manusia sehingga perlu dijaga keberadaannya. Salah satu cara
perlindungan dan pelestarian hutan di Indonesia khususnya Sumatera dilaksanakan
dengan cara membuat Taman Nasional. Salah satu Taman Nasional yang berada di
Sumatera yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kausar (2010:133)
mengemukakan bahwa Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) mencakup beberapa
provinsi di Sumatera yaitu Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan
2
Bengkulu. Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) merupakan Taman Nasional
terbesar di Sumatera dan Nomor dua terbesar di Indonesia, yang memiliki kekhasan
dalam kekayaan keanekaragaman flora dan fauna.
Kausar (2010:134) mengemukakan bahwa Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS) dinyatakan secara resmi taman nasional dengan SK Menteri Kehutanan
No.1094/Kpts-II/1996 menetapkan luas Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) lebih
kurang 1.368.000 ha. Setelah diadakan penataan batas, Taman Nasional Kerinci Sebelat
(TNKS) secara resmi ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan SK
No.901/Kpts-II/1999 pada bulan oktober 1999 dengan luas 1.375.349 ha. Karena itu,
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) merupakan taman nasional pertama di
Indonesia yang telah menyelesaikan semua prosedur hukum sehingga mendapat
penetapan secara resmi.
Bentuk Bukit Sulap ini sangat unik, yaitu memiliki bentuk pandang sama ketika
ditinjau dari arah manapun. Disamping itu juga menurut para sesepuh adat juga akan
kelihatan dekat ketika memandang Bukit Sulap dan akan kelihatan jauh ketika
mendatangi Bukit Sulap. Konon hal itulah menjadikan penamaan Bukit Sulap. Bukit
Sulap memiliki keanekaragaman flora maupun fauna. Fauna yang banyak terdapat di sini
adalah simpai, monyet ekor panjang, tupai, burung kutilang, burung prenjak, dan tikus.
Sedangkan flora khas Bukit Sulap yaitu Amorphopallus sp (Sunarya, 2016:1).
Pada observasi yang telah dilakukan di Bukit Sulap, terlihat para pelaku
penambang batu giling ilegal di kawasan Bukit Sulap Kota Lubuklinggau. Kegiatan
penambangan batu giling ilegal ini sudah lama dilakukan di Bukit Sulap Kota
Lubuklinggau. Jika hal ini terus menerus dilakukan, maka ekosistem pada Bukit Sulap
Kota Lubuklinggau akan rusak, salah satunya adalah pohon. Hidayati (2010:465)
menjelaskan bahwa pohon adalah kelompok tumbuhan yang berbatang tinggi dan besar.
Pohon memiliki peranan yang sangat penting dalam komunitas hutan dan berfungsi
sebagai penyangga kehidupan, baik dalam mencegah erosi, maupun menjaga stabilitas
3
iklim global. Hingga saat ini masyarakat Kota Lubuklinggau belum mengetahui jenis-
jenis pohon apa saja yang berada di Bukit Sulap berserta nama latin dari pohon tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Vegetasi Strata Pohon di Bukit Sulap Kota Lubuklinggau”.
B. Landasan Teori
1. Pengertian Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi merupakan studi yang bertujuan untuk mengetahui struktur dan
komposisi hutan. Arrijani dkk (2006:147) mengatakan bahwa kehadiran vegetasi akan
memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas.
Analisis vegetasi adalah cara untuk mempelajari susunan atau komposisi jenis dan
bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, suatu vegetasi yang dipelajari atau
diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi kongkret dari semua
spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin
dicapai dalam analisis vegetasi adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur
komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006:138).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis
vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari komposisi spesies dan struktur vegetasi
pada suatu wilyah yang sedang diamati.
2. Pengertian Vegetasi
Palar (2009:325) menjelaskan bahwa vegetasi adalah kumpulan tumbuh-tumbuhan
yang mendiami suatu areal atau jenis habitat tertentu, biasanya mencirikan kondisi atau
karakter habitat yang ditempatinya. Vegetasi sangat berperan dalam kehidupan karena
menjaga iklim global.
Cahyanto (2014:146) menjelaskan bahwa vegetasi merupakan kumpulan dari
beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pada suatu tempat dimana antara
4
individu-individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik antara tumbuh-
tumbuhan maupun dengan hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan
tersebut. Suatu ekosistem alamiah maupun binaan selalu terdiri dari dua komponen
utama yaitu komponen biotik dan abiotik.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa
vegetasi merupakan kumpulan dari tumbuhan, terdiri dari beberapa jenis tumbuhan yang
berada pada suatu tempat. Vegetasi memiliki interaksi yang terjadi antar tumbuh-
tumbuhan maupun tumbuhan dengan hewan disekitar dan faktor-faktor lingkungan.
3. Strata Pohon
Tjitrosoepomo (2007:78) menjelaskan pengertian pohon adalah tumbuhan yang
tinggi besar, batang berkayu dan becabang jauh dari permukaan tanah. Pohon merupakan
kelompok tumbuhan yang berbatang tinggi dan besar (Hidayati, 2010:465).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa strata pohon
merupakan kelompok tumbuhan yang memiliki diameter batang besar dan tinggi yang
mempunyai fungsi sebagai stabilitas iklim global. Pohon merupakan sumber energi yang
di butuhkan semua makhluk hidup oleh karena itu pohon memiliki peranan paling besar
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Bukit Sulap
Bukit Sulap merupakan objek wisata alam yang berada di kota Lubuklinggau,
sumatera selatan. Bukit berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat pada
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah V Provinsi Sumatera Selatan. Bukit
Sulap berada di jantung kota Lubuklinggau Provinsi Sumatera Selatan. Ketinggian pada
Bukit Sulap yaitu 471 m dpl dengan luas 290 Ha. Perjalanan dari kaki Bukit Sulap
menuju puncak Bukit Sulap adalah melalui jalur pendakian dengan waktu tempuh ± 1
jam (Sunarya, 2016:1).
5
Bukit Sulap selalu ramai dikunjungi terutama pada hari libur, pengunjung yang
sering datang adalah pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum untuk menikmati
keindahan Bukit Sulap. Banyak situs peninggalan sejarah yang ada dibukit sulap yaitu
Situs Bujang Kurap, Makam Macam Ulung, makam depati Karang Widaro, dan media
batu judi yang menjadikan daya tarik untuk mengunjungi Bukit Sulap (Sunarya, 2016:2).
Gambar 2.1 Bukit Sulap Kota Lubuklinggau (Sumber: Dokumentasi: pribadi)
C. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode Point Centered Quarted.
Irawati (2014:11) mengemukakan bahwa metode Point Centered Quarted yaitu salah
satu metode pengukuran yang tidak menggunakan plot atau metode plot less. Metode ini
menggunakan jarak terdekat suatu pohon terhadap titik sampling.
D. PROSEDUR PENELITIAN
Adapun langkah-langkah kerja dalam penelitian ini, yaitu:
1. Observasi pendahuluan untuk menentukan batas-batas area kajian yang akan
digunakan untuk penelitian di Bukit Sulap Kota Lubuklinggau.
2. Berdasarkan observasi yang telah dilaksanakan, selanjutnya menghitung luas
wilayah yang akan di teliti, yaitu luas keseluruhan bukit sulap 290 ha dikurang 42
ha untuk parawisata sehingga luas Bukit Sulap 248 ha. Jumlah dari 248 ha di
ambil 20% sehingga luas area kajian adalah 49,6 ha (Irawati, 2016).
6
Area Objek Telkom wisata pintu masuk
Salter 1 salter 2
3. Menentukan luas 3 area kajian, Masing-masing luas dari 3 area kajian A, B, dan C
yang akan di amati seluas 16,5 ha = 165.000 m2, penentuan luas area kajian dapat
dilihat pada gambar 3.1 dibawah ini:
Gambar 3.1 Skema penentuan Area Kajian di Bukit Sulap Kota Lubuklinggau
(Sumber: Desain Peneliti, 2016)
4. Menentukan setiap area kajian dibuat 10 stand, yaitu area kajian A stand 1-10,
area kajian B 1-10, area kajian C 1-10 yang menjadi objek untuk dianalisis
masing-masing stand memiliki 16.500 m2.
5. Dengan menggunakan metode Point Center Quater (PCQ), setiap stand dibuat
garis transek utama sepanjang 165 m, kemudian dibuat garis sub transek yang
memotong garis transek utama yang berjarak masing-masing 16,5 m. Skema
peletakkan titik sampling disajikan pada gambar 3.3 (Irawati, 2016)
Keterangan:
Area
Kajian A
Area
Kajian B Area
Kajian C
16,5 M 16,5 M 16,5 M
165.000 M
: Garis transek utama : Kuadran I
7
6. Mencatat nama tumbuhan yang ditemukan berdasarkan buku Flora (Stennis, 1992)
(Irawati, 2016).
7. Untuk ditemukan strata Pohon diukur keliling diameter batang dari jenis strata
Pohon dan jumlahnya dengan cara menghitung tepat diatas permukaan tanah
(Irawati, 2016).
8. Mengisi tabel pengamatan yang telah dibuat (Irawati, 2016)
9. Mengukur faktor lingkungan pada masing-masing stand yang meliputi suhu tanah,
suhu udara, kelembaban udara, pH tanah. Untuk mengetahui kandungan unsur
tersebut, diambil sampel tanah pada masing–masing area kajian penelitian.
Berikut ini cara pengukuran faktor abiotik (Irawati, 2016):
a. pH Tanah
Cara menghitung pH tanah pertama gali lubang tanah sedalam 2-5 cm dari
permukaan tanah. Selanjutnya isi lubang dengan air dan masukkan alat
pengukur kedalam lumpur, biarkan selama 60 detik dan baca hasilnya.
b. Suhu
Cara menggunakan alat Thermometer yaitu: menancapkan alat Termometer
kedalam tanah dengan kedalaman kurang lebih 2-5 cm dari permukaan tanah.
Tunggu sampai 15 menit, Kemudian mencatat suhu maksimum dan minimum
pada tabel.
: Titik sampling
: Garis sub transek
: Pohon
: Kuadran II
: Kuadran III
: Kuadran IV
Gambar 3.3. Skema Peletakan Titik Sampling dengan Metode Point
Center Quarter dalam Setiap Stand (Sumber: Desain
Peneliti, 2016)
10X165 m2
8
E. TEKNIK ANALISIS
Data keanekaragaman jenis vegetasi strata pohon di Bukit Sulap dianalisis dengan
cara mengukur atribut komunitasnya. Untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas
tumbuhan diperlukan minimal tiga macam parameter kuantitatif antara lain: densitas,
frekuensi, dan dominansi. Parameter vegetasi yang diukur yaitu Densitas, Frekuensi,
Densitas relatif, Dominansi Relatif, Frekuensi relatif, dan Indeks Nilai Penting (INP)
(Indriyanto, 2006:141).
F. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
a. Deskripsi Wilayah
Area kajian pada penelitian ini terbagi menjadi tiga yaitu A, B, dan C. Luas
seluruh area kajian yaitu 49,6 Ha. Masing-masing area kajian memiliki luas 16,5 ha
yang terdiri dari (stand 1-10) area kajian A, (stand 1-10) area kajian B, dan (stand 1-
10) area kajian C. Area kajian A merupakan wilayah pertama memasuki kawasan
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang berada pada pintu masuk kawasan.
Pintu masuk yang berada di area kajian A merupakan pemisah antara pariwisata
Bukit Sulap Kota Lubuklinggau dengan wilayah TNKS. Area kajian A ditemukan
aliran air yang mengalir dari atas Bukit Sulap Kota Lubuklinggau. Aliran air ini
dimanfaatkan warga sekitar sebagai tempat mencuci kendaraan. Aliran air berada
pada jurang pemisah antara stand 4 dan stand 5.
Area kajian B merupakan wilayah kedua dalam penelitian strata pohon, pada
area kajian B semak lebih menguasai wilayah ini. Area kajian B memiliki perbedaan
dengan area kajian A, ketika memasuki kawasan area kajian B memerlukan waktu
yang banyak untuk membuat jalan di area kajian B karena pada area kajian ini
banyak semak. Pada area kajian B stand 9 berdekatan dengan selter 1 Bukit Sulap
Kota Lubuklinggau wilayah TNKS.
9
Area kajian C merupakan wilayah terakhir didalam penelitian ini, area kajian
C memiliki tangga seribu yang merupakan jalur menuju puncak Bukit Sulap Kota
Lubuklinggau. Tangga seribu yang merupakan jalur menuju puncak Bukit Sulap
sudah tidak digunakan lagi oleh pengunjung dikarenakan jalan sudah tertutup oleh
semak. Jalan menuju puncak Bukit Sulap sudah menggunakan Inclinator dan jalan
tangga di wilayah zona Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Bukit Sulap Kota
Lubuklinggau. Inclinator merupakan kereta gantung untuk mempermudah
pengunjung menuju Puncak Bukit Sulap yang berada pada kawasan Wisata Bukit
Sulap Kota Lubuklinggau. Area kajian C memiliki lingkungan abiotik yang baik
untuk jenis pohon dapat hidup karena pada area kajian ini kesuburan flora terlihat
ketika peneliti mulai memasuki wilayah penelitian dengan semak yang banyak dan
tinggi.
2. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada area kajian A memiliki sedikit jenis pohon dengan rerata Indeks Nilai
Penting (INP) yaitu sebesar 236%. Pohon embacang (Mangifera altissima) merupakan
pohon yang memiliki INP tertinggi pada area kajian A, Indeks Nilai Penting (INP) pada
pohon embacang (Mangifera altissima) yaitu sebesar 70%, dengan diameter yang besar
pohon embacang menduduki Indeks Nilai Penting (INP) peringkat pertama pada area
kajian A, sedangkan Indeks Nilai Penting (INP) terendah pada area kajian A yaitu pohon
dadap (Erythrina crista-galli) sebesar 19%.
Pohon embacang (Mangifera altissima) ditemukan pada stand 9 dan 10, pohon ini
memiliki diameter batang paling besar diantara pohon yang lain oleh karena itu pohon
embacang menduduki peringkat pertama sebagai pohon yang memiliki INP tertinggi.
Pohon embacang memiliki ciri-ciri: daun bertangkai, bentuk lanset memanjang, dengan
10
ujung runcing. Daun kelopak bulat telur memanjang, tinggi pohon embacang mencapai
8-30 m. Pohon embacang mampu hidup dimusin kemarau yang kuat (Steenis, 2008:252).
Jenis pohon yang mempunyai Indeks Nilai Penting (INP) terendah pada area
kajian A adalah pohon dadap (Erythrina crista-galli) yaitu dengan rerata INP sebesar
19%. Pohon dadap (Erythrina crista-galli) ini hanya dijumpai pada stand 1, pohon dadap
(Erythrina crista-galli) memiliki ciri-ciri: menggugurkan daun, tinggi pohon dadap
mencapai 1–25 m. Dadap merupakan pohon yang dipelihara dan sering ditemukan di
pantai (Steenis, 2008:252).
Pohon dadap (Erythrina crista-galli) dapat hidup di Bukit Sulap Kota
Lubuklinggau karena pohon dadap (Erythrina crista-galli) mampu beradaptasi pada
lingkungan yang mendukung pertumbuhan pohon dadap (Erythrina crista-galli) itu
sendiri.
Indeks Diversitas (Keanekaragaman) yang dimiliki area kajian A yaitu 1,45.
Pohon belimbing (Averrhoa carambola) dan pohon flamboyan (Delonix regia) memiliki
H' paling tinggi yaitu 0,36, sedangkan yang memiliki H' paling rendah yaitu pohon
dadap (Erythrina crista-galli) dengan H' sebesar 0,17. Area kajian A memiliki
keanekaragam yang sedang, karena H' yang dimiliki 1,45.
Faktor abiotik pada area kajian A mempengaruhi keberadaan jenis pohon yang
terdapat pada area kajian A karena faktor abiotik yang terdapat pada area kajian A
dipengaruhi wilayah yang berdampingan dengan zona pariwisata Bukit Sulap Kota
Lubuklinggau. Jika faktor abiotik menentukan kebedradaan atau ketiadaan suatu
organisme di suatu habitat maka faktor tersebut dikenal sebagai faktor pembatas yang
menentukan distribusi dan sebaran suatu organisme (Leksono, 2010:95).
11
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan pohon yang ada pada
area kajian A dipengaruhi oleh faktor abiotik didalamnya oleh karena itu pada area
kajian A memiliki sedikit jenis pohon yang hidup pada wilayah tersebut.
Area kajian B merupakan wilayah kedua dalam penelitian strata pohon di Bukit
Sulap Kota Lubuklinggau zona Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Area kajian B
memiliki pohon terbesar yaitu pohon ara (Ficus variegata). Pohon ara (Ficus variegata)
merupakan pohon yang sering dijumpai pada pinggiran aliran sungai. Pohon ara (Ficus
variegata) memiliki keunikan sendiri yaitu buahnya berada pada batang pohon, buah dari
pohon ara (Ficus variegata) bisa dikonsumsi karena buahnya tidak mengadung racun
didalamnya.
Pada area kajian B pohon durian (Durio zibethinus) menduduki peringkat
pertama dengan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi yaitu sebesar 77%. Pohon
durian memiliki ciri-ciri: tinggi pohon durian 10-30 m, ujung ranting bersisik, daun
bertangkai, memanjang, dengan pangkal membulat dan ujung meruncing, berbau tajam
dan memiliki biji 2-6 ruang (Steenis, 2008:275).
Jenis pohon yang mempunyai Indeks Nilai Penting (INP) terendah pada area
kajian B adalah pohon matoa yaitu dengan rerata INP sebesar 9%. Pohon matoa
(Pometia pinnata) hanya dijumpai pada stand 4. Lumintang dkk (2015:635) menjelaskan
bahwa pohon matoa (Pometia pinnata) merupakan tanaman khas papua dan menjadi
flora identitas Papua Barat, di Papua New Gunie kulit batang dari pohon matoa (Pometia
pinnata) dapat dijadikan obat luka bakar. Pohon matoa (Pometia pinnata) merupakan
pohon yang memiliki banyak manfaat yaitu sebagai obat. Pada kulit batang dan ekstrak
daun matoa dapat digunakan sebagai obat luka bakar, gangguan perut, disentri, diare,
penghilang rasa nyeri (tulang, otot, sendi, dada, sakit kepala demam, flu, dan diabetes).
12
Indeks Diversitas (Keanekaragaman) pada area kajian B sebesar 1,5. Pada area
kajian B pohon belimbing (Averrhoa carambola) memiliki H' paling besar yaitu 0,34.
Sedangkan pohon ara (Ficus variegata), pohon kemiri (Aleurites moluccana), pohon
flamboyan (Delonix regia), pohon pala (Myristica fragrans), dan pohon matoa (Pometia
pinnata) memiliki H' sama yaitu 0,17, karena kelima pohon ini memiliki jumlah yang
sama yaitu 1 jenis pohon. Keanekaragaman pada area kajian B tergolong sedang karena
H' yang terdapat pada area kajian B 1,5.
Faktor abiotik yang ada pada area kajian B mendukung kehidupan pohon yang
tumbuh pada area kajian ini. Salah satu faktor abiotik yang mendukung kehidupan pohon
di area kajian B ini adalah tanah, tekstur tanah yang berada pada area kajian ini lembut
dan warna dari tanahnya coklat kehitaman, sehingga pada area kajian ini memiliki
sebanyak 7 jenis pohon yang terdapat pada area kajain B.
Area kajian C merupakan area yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) terbesar
yaitu 239%, dengan 7 jenis pohon yang hidup pada area kajian C. Pohon belimbing
(Averrhoa carambola) merupakan pohon yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP)
tertinggi pada area kajian C, Indeks Nilai Penting (INP) yang dimiliki pohon belimbing
(Averrhoa carambola) yaitu sebesar 77%. Pohon belimbing dapat dijumpai pada stand 1,
2, 3, 5, 6, 8, 9, dan stand 10.
Area kajian ini didominasi oleh pohon belimbing (Averrhoa carambola), dan
pohon embacang (Mangifera altissima) masing-masing jenis pohon tersebut memiliki
rerata Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 77% dan 53%. Pohon belimbing memiliki ciri-
ciri tinggi pohon 5–12 m, tanda bekas daun berbentuk tonjolan, daun mahkota di tengah
bergandengan. Pohon belimbing hidup sebagai pohon buah (Steenis, 2008:229).
Sedangkan yang memilki Indeks Nilai Penting (INP) terendah pada area kajian C
adalah pohon nangka (Artocarpus heterophyllus) dengan rerata INP sebesar 7%. Pohon
13
nangka merupakan pohon berumah satu, dengan getah yang rekat, tinggi pohon 10–25 m,
daun biasanya tidak berlekuk, buah semu menggantung pada ranting yang pendek dari
batang atau cabang, bentuk telur, memanjang, atau seperti bentuk ginjal, berbau manis
yang keras, dan daging ketat disekeliling biji (Steenis, 2008:166).
Pohon nangka (Artocarpus heterophyllus) hanya ditemukan pada stand 1 area
kajian C, karena pohon nangka (Artocarpus heterophyllus) lebih cocok tumbuh pada
stand 1 yang memiliki faktor abiotik mendukung pertumbuhan pohon nangka (Artocarpus
heterophyllus), salah satu faktor abiotik yang mendukung pohon nangka dapat hidup pada
stand 1 yaitu tekstur tanah yang halus dan berwarna coklat.
Area kajian C memiliki Indeks Diversitas (Keanekaragaman) lebih tinggi yaitu
sebesar 1,64. Pohon belimbing (Averrhoa carambola) merupakan pohon yang memiliki
H' terbesar di area kajian C yaitu 0,36, sedangkan H' paling rendah di area kajian C yaitu
pohon nangka (Artocarpus heterophyllus) 0,13 dan pohon durian (Durio zibethinus) 0,13.
H' pada area kajian C keanekaragamannya tergolong sedang karena H' sebesar 1,64
Area kajian C merupakan wilayah tengah Bukit Sulap Kota Lubuklinggau, pada
area kajian C faktor abiotik mempengaruhi kehidupan jenis-jenis yang ada, terdapat 7
jenis pohon yang berada pada area kajian C. pH pada area kajian C yaitu 6,4 dengan suhu
udara 28˚C-31˚C dan suhu tanah yang dimiliki area kajian C yaitu 27˚C- 29˚C.
G. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pohon embacang (Mangifera altissima) adalah jenis vegetasi strata pohon yang
memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada area kajian A yaitu 70%, pada area
kajian B pohon durian (Durio zibethinus) memiliki Indeks Nilai Penting (INP)
tertinggi yaitu sebesar 77%, dan pada area kajian C pohon belimbing (Averrhoa
14
carambola) merupakan jenis vegetasi strata pohon yang memiliki peranan paling
besar berdasarkan Indeks Nilai Pentingnya yaitu sebesar 77%.
2. Rerata Indeks Diversitas (Keanekaragaman) jenis vegetasi strata pohon pada ketiga
area kajian yaitu pada area kajian A mempunyai rerata H' sebesar 1,45 memiliki
katagori sedang dan pada area kajian B memiliki rerata H' sebesar 1,5 katagori
sedang, sedangkan pada area kajian C memiliki rerata H' sebesar 1,64 memiliki
katagori sedang. Keanekaragaman pada area kajian A, B dan C tergolong sedang
karena memiliki H' 1-2,47.
3. Faktor lingkungan abiotik seperti pH tanah, suhu udara, dan suhu tanah sangat
mempengaruhi jenis yang hidup di kawasan Bukit Sulap, sebanyak 19 jenis strata
pohon yang ditemukan.
H. DAFTAR PUSTAKA
Arrijani., dkk. 2006. Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango. Jurnal Biodiversitas Vol.7 No.2. Hlm 147.
Arifin, Z. 2011. Analisis Nilai Indeks Kualitas Tanah Entisol Pada Penggunaan Lahan
Yang Berbeda. Agroteksos. Vol.21. No.1. Hlm 51.
Cahyanto, T., dkk. 2014. Analisis Vegetasi Pohon Hutan Alam Gunung Manglayang
Kabupaten Bandung. Edisi Agustus 2014 Vol.VIII No.1. Hlm 146.
Handayani, T. 2007. Petunjuk Praktikum Ekologi I. Yogyakarta: Laboratorium Biologi
UAD
Heddy, S. 1987. Ekofisologi Pertanaman. Bandung: C.V. Sinar Baru Bandung.
Hidayati, N. & Retnowati, D. 2010. Kamus Lengkap Biologi. Dwimedia Comp.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Irawati, H. 2014. Analisis Vegetasi Strata Pohon di Sepanjang Sempadan Sungai Code
Yogyakarta. Jurnal Bioedukatika Vol.2 No.1. Hlm 11-15.
Kausar. 2010. Konflik Kepentingan Dibalik Konservasi Studi di Taman Nasional Kerinci
Sebelat (TNKS) Provinsi Jambi. Indonesia Journal of Agricultural Economics
(IJAE). Vol.2 No.1. Hlm 133-134.
15
Leksono, S. A. 2010. Ekologi. Bandung: Bayu Media.
Lumintang, R. F., dkk.. 2015. Uji Efek Analgesik Ekstrak Kulit Batang Pohon Matoa
(Pometia pinnata) Pada Mencit (Mus musculus). Jurnal-e Biomedik (eBm) Vol.3
No.2. Hlm 635.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
(Koetoer, Yanti R, Terjemahan). Jakarta: UI-PRESS
Onrizal., dkk. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah Sekunder
di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Jurnal ISSN Vol.4 No.6.
Hlm 369.
Palar, H. & Rialdi, A. 2009. Kamus Biologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sunarya, A. 2016. Bukit Sulap. Bahan Publikasi Balai Besar TNKS.
Steenis, V., dkk. 2008. Flora. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Tanjung, R. H. R., dkk. 2010. Analisis Vegetasi Jenis Pohon pada Kawasan Hutan di
Kampung Tablanusu Distrik Depapre Kabupaten Jayapura. Jurnal Biologi Papua
Vol.2 No.1. Hlm 25.
Tjitrosoepomo, G. 2007. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: UGM Press
Wardono, S. 2001. Lingkungan Hidup. Jakarta: Pilar Bambu Kuning.