analisis yuridis atas permohonan ada atau tidaknya

249
ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN WEWENANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERHADAP PROSES PERADILAN PIDANA KORUPSI TESIS OLEH MATHILDA CHRYSTINA KATARINA NIM: 157005106/HK PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN WEWENANG

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERHADAP

PROSES PERADILAN PIDANA KORUPSI

TESIS

OLEH

MATHILDA CHRYSTINA KATARINA NIM: 157005106/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara

Page 2: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN WEWENANG

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERHADAP

PROSES PERADILAN PIDANA KORUPSI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MATHILDA CHRYSTINA KATARINA 157005106/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara

Page 3: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Universitas Sumatera Utara

Page 4: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Telah diuji Pada Tanggal 03 Februari 2018 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum Anggota : 1. Dr. Hamdan, SH, M.H 2. Dr. Faisal Akbar Nasution , S.H, M.Hum 3. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum 4. Dr. M. Ekaputra, S.H, M.Hum

Universitas Sumatera Utara

Page 5: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Universitas Sumatera Utara

Page 6: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

ABSTRAK

Perkembangan antara hukum adminitrasi Negara dan hukum pidana memasuki “gray area” sehingga menimbulkan debat ebelitas dikalangan ahli hukum. Betapa tidak, keputusan pejabat Negara baik dalam rangka “beleid” maupun “diskresi” menjadi ajang kajian akademis untuk dijadikan alas an penolakan maupun justifikasi pemidanaan, namun disisi lain diskresi tanpa berdasarkan peraturan perundang-undangan menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Hukum administrasi menempati posisi dominan dalam penanganan tindak pidana korupsi, baik preventif maupun represif. Dari sisi represif, hukum administrasi sangat dominan karena tindak pidana korupsi hanya mungkin terjadi dalam konteks kerugian negara. Dengan adanya Pasal 20 dan Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, membuka ruang bagi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk melakukan pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang dan PTUN untuk memeriksa dan memutuskan adaatau tidak ada unsure penyalahgunaan wewenang, sebagaimana juga dapat dilakukan oleh Pengadilan TIPIKOR menguji menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU PTPK. Kondisi ini akan mempengaruhi persinggungan kewenangan mengadili. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang relevan dibantu dengan mengumpulkan informasi-informasi terkait. Data dikumpulkan dengan studi kepustakaan dan analisis dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut teori titik singgung, terdapat persamaan Hukum Administrasi dan Hukum Pidana terkait penyalahgunaan wewenang, meliputi 1) Persamaan penggunaan istilah 2) Persamaan pengertian, 3) Persamaan subjek norma yaitu pejabat pemerintahan, 4) Persamaan norgeddrag, yaitu perbuatan terlarang (verbod). Hubungan erat hukum administrasi dan hukum pidana tersebut menimbulkan pro kontra diantara pakar hukum apabila hasil pemeriksaan APIP dan/atau Putusan PTUN menyatakan tidak ada unsure penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintahan, apakah mengikat proses peradilan pidana. Sebagian pakar berpendapat penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seharusnya dapat diselesaikan terlebih dahulu secara administrasi melalui PTUN sebelum Pengadilan Tipikor memeriksa dan mengadilinya. Sementara itu pakar hukum lainnya mempunyai pendapat yang berbeda bahwa pejabat pemerintahan dapat dipidana melakukan Tipikor apabila terjadi perbuatan melawan hukum pidana, yang didahului dan diikuti sikap batin jahat (mensrea) dan mengakibatkan kerugian keuangan negara, akan tetapi selain kedua pendapat tersebut ada pakar hukum lain yang berpendapat bahwa tidak ada konflik norma, karena baik PTUN maupun Pengadilan Negeri (Pidana/Tipikor) menjalankan fungsinya masing-masing. Parameter PTUN menguji legalitas keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) dan asas-asas umum pemerintahan yang baik/AUPB (tidak tertulis), sedangkan Pengadilan TIPIKOR hanya berdasarkan peraturan tertulis saja. Dalam hukum administrasi dibedakan antara tanggungjawab jabatan dan tanggungjawab pribadi. Tanggungjawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan) atau cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi sedangkan tanggungjawab pribadi berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan prilaku, maladministrasi. Tanggungjawab pidana adalah tanggungjawab pribadi dalam konteks kerugian Negara disertai niat jahat untuk menguntungkan diri sendiri.

Kata Kunci : Penyalahgunaan Wewenang, Hukum Adminintrasi, dan Hukum Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

ABSTRACT

The development of its administrative HR law between State and criminal law entered into a "gray area" giving rise to debate ebelitas among legal experts. How not to, a decision State officials well in order "beleid" nor "diskresi" became the arena of academic studies for was made the base an pemidanaan justification or denial, but on the other hand diskresi without based on legislation give rise to an abuse of authority. Administrative law occupies a dominant position in the handling of criminal acts of corruption, either preventive or repressive. From the side of the repressive, legal administration very dominant because of the criminal offence of corruption is only likely to occur in the context of the country's losses. By the existence of article 20 and article 21 of ACT No. 30 of 2014 about government administration, opening up space for the internal auditing of the Government Apparatus (APIP) to supervise the prohibition of abuse of authority and PTUN to check and decide adaatau there are no elements of abuse of authority, as may be made by the Court of abusing authority in testing TIPIKOR article 3 of ACT PTPK. This condition will affect the critical interface authorities prosecute. The research method used is the method of normative legal research conducted through the study of legislation and the relevant legal materials assisted with gathering information-related information. Data collected with the study of librarianship and analysis done qualitatively. The results showed that according to the theory of the point of tangent equation, there are administrative law and criminal law related to abuse of authority, including the use of the term Equation 1) 2) Equation, Equation 3) understanding the subject of the norm i.e. Government officials, 4) equation of norgeddrag, i.e. the forbidden deeds (verbod). The close relationship of law and the administration of criminal law that raises the legal experts among the pros cons when APIP inspection results and/or Verdict PTUN stating there are no elements of abuse of authority committed government officials, whether binding the process of criminal justice. Some experts argued the abuse of authority committed should be solved first in administration through PTUN before Court Tipikor check and put on trial. Meanwhile, other legal experts have different opinions that the Government officials are convicted could do if the deed Tipikor against criminal law, which preceded and followed the evil inner attitude (mensrea) and result in the loss finances of the State, but in addition to the second opinion there is another legal experts who argued that there are no conflicts of norms, because good PTUN nor the District Court (Criminal/Tipikor) runs the function of each. Parameter test of legality PTUN decisions and/or actions of government officials is legislation (written) and the General principles of good governance/AUPB (not written), while Court TIPIKOR based solely on regulation in writing only. In administrative law distinguished between personal responsibility and position responsibilities. Responsibilities of the position with regard to the legality of the (validity) or defects regarding the juridical authority, procedures, and the substances while personal responsibility with regards to the functionaries or approach the approach behavior, maladministrasi. Criminal responsibility is personal responsibility in the context of losses of State accompanied by malicious intent to benefit yourself. Keywords: abuse of Authority, law Adminintrasi, and criminal law.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-

Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Yuridis Atas

Permohonan Ada Atau Tidaknya Penyalahgunaan Wewennag Berdasarkan

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Terhadap Proses Peradilan Pidana Korupsi”.

Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister

Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Medan. Dalam penulisan tesis ini telah banyak mendapat bantuan

dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya khusus kepada Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum, selaku

Penasihat Utama, Dr. M. Hamdan, S.H.,M.H, selaku Pembimbing I dan Dr. Faisal

Akbar Nasution, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing II atas kesediannya

memberikan bimbingan dan petunjuk serta saran untuk kesempurnaan tulisan ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para Dosen

Penguji Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum dan Dr. M. Ekaputra, SH., M.Hum yang

telah banyak memberikan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

Universitas Sumatera Utara

Page 9: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H. M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H. M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Guru Besar, Dosen beserta pegawai pada Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Orang tua: Bapak (Alm) Mangatas Sitohang, S.H.M.Sp “itꞌs been a long time

without you my friend” dan mama Evie Saragih.

7. Khusus kepada suamiku Marcos. M.M. Simaremare. S.H. M.Hum “terimakasih

untuk kebaikan hatimu” dan kepada penyemangat hidupku Marcello

Simaremare & Moreno Simaremare.

8. Kepada abang dan adik-adikku yang telah memberikan doa.

9. Kepada rekan hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Katarina Melati Siagian,

S.H. M.Hum & Sangkot L.Tobing, S.H. M.H., rekan hakim angkatan 18

Jimmy Claus Pardede, S.H.M.H dan Jimmy Maruli, S.H.M.H yang telah

memberikan bantuan buku dan literatur, serta kepada teman-teman penulis yang

Universitas Sumatera Utara

Page 10: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

telah memberikan semangat kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu dan para pihak yang telah membantu penulis demi kelancaran

penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu penulis

sangat mengharapkan saran-saran yang membangun yang dapat menjadi masukan

bagi penulis untuk memperbaikinya di kesempatan yang akan datang.

Akhir kata semoga tesis ini nantinya dapat memberikan manfaat bagi para

pembaca dan bagi penulis sendiri.

Medan, Juli 2018 Penulis

MATHILDA CHRYSTINA KATARINA

Universitas Sumatera Utara

Page 11: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ..................................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI................................................................................................................ iii

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 9

C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 10

D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 11

1. Secara Teoritis ......................................................................... 11

2. Secara Praktis ........................................................................... 11

E. Keaslian Penelitian .............................................................................. 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................................. 12

1. Kerangka Teori ........................................................................ 12

2. Kerangka Konsepsi .................................................................. 25

G. Metodelogi Penelitian ......................................................................... 27

1. Jenis dan Sifat Penelitian ................................................. 27

2. Sumber Data Penelitian .................................................... 28

3. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 30

4. Analisis Data .................................................................... 30

Universitas Sumatera Utara

Page 12: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

BAB II : PERBEDAAN SECARA PRINSIPIL TENTANG

PENYALAHGUNAAN WEWENANG BERSADARKAN

HUKUM ADMINISTRASI DAN HUKUM PIDANA

KORUPSI ................................................................................... 32

A. Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Administrasi .............. 32

1. Pengertian Wewenang.............................................................. 32

2. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang .................................. 36

3. Sumber Wewenang .................................................................. 44

4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik…………… ........ 54

5. Diskresi .................................................................................... 57

6. Tanggung Jawab Dalam Hukum Administrasi ........................ 63

7. Peranan APIP Dalam Proses Hukum Administrasidan

Pidana 72

B. Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Pidana ........................ 75

1. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang .................................. 75

2. Perbuatan Melawan Hukum ..................................................... 81

3. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana ............................ 87

C. Perbedaan Secara Prinsipil Penyalahgunaan Wewenang Dalam

Hukum Administrasi dan Hukum Pidana Korupsi ............................ 94

BAB III : SISTEM PEMBUKTIAN DALAM SIDANG PTUN DAN

PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN TIPIKOR

ATAS ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN

Universitas Sumatera Utara

Page 13: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

WEWENANG DARI TINDAKAN PEJABAT

PEMERINTAH .............................................................................. 119

A. Sistem Pembuktian Dalam Sidang PTUN TerhadapAda Atau

Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang ......................................... 119

1. Tata Cara Persidangan Permohonan Ada Atau Tidak

Penyalahgunaan Wewenang .................................................. 119

2. Pembuktian Dalam Permohonan Ada Atau Tidak

Penyalahgunaan Wewenang .................................................. 127

B. Sistem Pembuktian Dalam Sidang Tindak Pidana Korupsi ........ 138

1. Sistem Pembuktian ............................................................... 138

2. Jenis Alat Bukti .................................................................... 144

3. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Tindak Pidana

Korupsi .......................................................................... ...... 148

4. Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Di Sidang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ...................................... 156

C. Perbedaan Sistem Pembuktian Hukum Administrasi dan

Hukum Pidana Korupsi Di Pengadilan Dalam Pengujian Ada

Atau Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang ……………… ........ 164

BAB IV : KONSEKUENSI ATAS PENGAJUAN PERMOHONAN

ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN

KEWENANGAN DALAM KEPUTUSAN PEJABAT

PEMERINTAH KEPADA PTUN TERHADAP PROSES

Universitas Sumatera Utara

Page 14: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, PENUNTUTAN

MAUPUN PROSES PERSIDANGAN TIPIKOR ......................... 170

A. Konsekuensi Atas Pengajuan Permohonan Ada Atau

Tidaknya

Penyalahgunaan Wewenang Dari Tindakan Pejabat

Pemerintah di PTUN .................................. .................................. 170

B. Analisis Terhadap Putusan PTUN No : 25/G/2015/PTUN-

MDN JoPutusan PTTUN Nomor : 176/B/2015/PTTUN-

MDN Kasus Ahmad Fuad Lubis Terhadap Perbandingan

Putusan MA No. 572K/Pid/2003 Terhadap Kasus

Akbar Tandjung Atas ada atau tidaknya Penyalahgunaan

Wewenang yang dilakukan Oleh Pejabat Pemerintah ................. 188

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................ 221

B. Saran ..................................................................................................... 224

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 226

Universitas Sumatera Utara

Page 15: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

DAFTAR TABEL

Tabel I: Kaidah Hukum Penyalahgunaan Wewenang Dalam Beberapa

Yurisprudensi Tindak Pidana Korupsi ................................................ 78

Tabel II: Persinggungan Penyalahgunaan Wewenang antara Hukum

Administrasi dan Hukum Pidana ................................................................. 97

Tabel III: Perbandingan antara Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab

Pribadi ......................................................................................................... 103

Tabel IV: Perbedaan Prinsipil Penyalahgunaan Wewenang Antara

UUAdministrasi

Pemerintahan Dengan UU Pemberantasan Tipikor ..................................... 117

Tabel V: Perbedaan Sistem Pembuktian Hukum Administrasi Dan Hukum

Pidana Di Pengadilan Dalam Pengujian Ada Tidaknya

Penyalahgunaan Wewenang…………………………………………. 168

Universitas Sumatera Utara

Page 16: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam konstitusi dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena

ada pernyataan yang demikian itu, orang akan segera berpendapat, bahwa bukan

negara yang lainlah yang ingin dibangun oleh bangsa ini, melainkan sebuah negara

hukum itulah.1

Salah satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung

makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus

berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Dengan bersandar pada asas legalitas itulah pemerintah melakukan berbagai tindakan

hukum. Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan

kewenangan, maka dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban.

Konsep negara hukum bermakna bahwa segala sendi kehidupan dalam

berbangsa dan bernegara berlandaskan kepada hukum, termasuk dalam

penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada asas legalitas, asas

perlindungan terhadap hak asasi manusia dan asas umum pemerintahan yang baik.

2

Mendengar kata pemerintahan mengingatkan kepada kesejahteraan,

pembangunan dan terkadang mengingatkan kepada hal yang tidak menyenangkan

1Satjipto Rahardjo,Biarkan Hukum Mengalir(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), hlm.21. 2Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara)

(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 239.

1

Universitas Sumatera Utara

Page 17: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

seperti prosedur birokrasi yang berbelit-belit, keangkuhan pejabat pemerintahan,

kekuasaan dan terutama korupsi. Korupsi memang tidak dapat dipisahkan dari

kekuasaan, demikian pula kekuasaan selalu berkaitan dengan kewenangan. Semakin

besar kekuasaan dan kewenangan seseorang, semakin besar pula peluang melakukan

korupsi. 3

Pembiaran dan ketidak pedulian terhadap korupsi kekuasaan pelan-pelan akan

mengantar masyarakat menjadi toleran terhadap korupsi yang kini ingin diberantas

itu. Rakyat dibiasakan untuk menerima saja pelayanan publik dan hasil pekerjaan

dinas-dinas publik yang tidak bermutu. Dengan demikian, korupsi kekuasaan telah

membantu menciptakan iklim korup dalam masyarakat yang menjadi tempat

persemaian korupsi konvensional. Korup konvensional dapat dilawan melalui

penghancuran atmosfer lingkungan yang menyuapi/menghidupinya, dalam hal ini

perlawanan terhadap korupsi kekuasaan.

4

Tidak ingin terpuruk dengan penilaian-penilaian negatif, maka pemerintahan

saat ini terus dengan giat melakukan reformasi birokrasi. Berbicara tentang konsepsi

negara hukum dan reformasi birokrasi, diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30

Masalah korupsi telah lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan dan

telah menjadi suatu fenomena persoalan nasional yang amat sukar ditanggulangi.

Tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan

merupakan salah satu faktor terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia.

3Ibid., hlm. 71. 4Satjipto Rahardjo,Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010),

hlm. 151.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disingkat dengan UU

No. 30 Tahun 2014) menjadi salah satu dasar hukum bagi badan dan/atau pejabat

pemerintahan, warga masyarakat dan pihak-pihak lainnya yang terkait dengan

administrasi pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan

pemerintahan.5

Menanggapi kekhawatiran kepala daerah ini, pada hari Selasa, tanggal 19 Juli

2016 Presiden Joko Widodo mengadakan pertemuan dengan Kepala Kepolisian

Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi di Istana Negara, Jakarta.Dalam pertemuan

Selain reformasi birokrasi, pemerintah negara Republik Indonesia saat ini juga

terus berupaya melakukan percepatan pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan

bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan saja hanya didaerah yang terdekat dengan sentra

pemerintahan akan tetapi juga sampai ke daerah tertinggal yang terdapat dipelosok

negeri. Percepatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut berjalan

bukan tanpa halangan, halangan tersebut salah satunya adalah karena pemerintahan

daerah yang lambat serap anggaran.

Penyebab rendahnya penyerapan anggaran salah satunya adalah karena

penegakan hukum yang tidak terkendali. Seperti yang kerap diberitakan bahwa

banyak kepala daerah yang menyampaikan kekhawatirannya salah dalam bertindak

membuat keputusan dan/atau tindakan sehingga dapat dianggap melakukan

penyalahgunaan wewenang lalu ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

5Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, Bab II, Pasal 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

tersebut mengingatkan kembali lima instruksi yang pernah disampaikan di Istana

Negara, Juli 2016, yaitu:6

1. Kebijakan atau diskresi tidak dapat dipidanakan atau jangan dipidanakan.

2. Tindakan Administrasi Pemerintahan agar dibedakan antara yang berniat mencuri

dengan tindakan administrasi. Karena aturan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

terkait hal ini telah jelas, antara yang perlu dikembalikan dan yang tidak perlu

dikembalikan.

3. Kerugian yang dinyatakan BPK agar masih diberikan peluang 60 hari. Hal ini agar

menjadi catatan bersama.

4. Kerugian Negara harus konkrit dan tidak mengada-ada.

5. Tidak diekposes ke media secara berlebihan sebelum ada penuntutan.

Memperhatikan instruksi Presiden tersebut, maka dapat disimpulkan agar

aparat hukum tidak dengan tergesa-gesa menyatakan suatu keputusan dan/atau

tindakan yang dilakukan badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah suatu perbuatan

penyalahgunaan wewenang dan merupakan tindak pidana korupsi, akan tetapi bisa

saja keputusan dan/atau tindakan tersebut termasuk kedalam ranah Hukum

Administrasi Negara (selanjutnya disingkat dengan HAN).

Jika melihat kepada lima instruksi Presiden tersebut adalah sejalan dengan

latar belakang lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 yang antara lain untuk menyelesaikan

permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai

6Kumpulkan Kapolda dan Kajati, Jokowi Blakblakan Soal Keluhan Kepala Daerah,

Nasional.kompas.com(diakses pada tanggal 19 Juli 2016).

Universitas Sumatera Utara

Page 20: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan

perlindungan hukum baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan.7

Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga

masyarakat, maka UU No. 30 Tahun 2014 memungkinkan warga masyarakat untuk

mengajukan keberatan dan banding terhadap keputusan dan/atau tindakan, kepada

badan dan/atau pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang bersangkutan. Warga

masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan dan/atau tindakan

badan dan/atau pejabat pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena

Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha

Negara. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara

khusus norma konstitusi hubungan atara negara dan warga masyarakat. Pengaturan

Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini merupakan instrument penting

dari negara hukum yang demokratis, dimana keputusan dan/atau tindakan yang

ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau

penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif,

yudikatif dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang

memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan.

8

Selain memberikan hak kepada warga masyarakat, UU No. 30 Tahun 2014

juga memberikan hak kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yaitu untuk

7Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan., Bagian Menimbang Huruf b. 8Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, Penjelasan Angka I Umum Alinea 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

mengajukan permohonanberdasarkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014

disebutkan:

“Badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada

Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam

keputusan dan/atau tindakan”.

Berkaitan dengan permohonan penilaian ada atau tidak ada unsur

penyalahgunaan wewenang, ada suatu peristiwa yang mengejutkan terjadi pada

tanggal 9 Juli 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi

tangkap tangan (OTT) terhadap Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN) Medan. Penangkapan dilakukan karena Majelis Hakim tersebut menerima

suap dari Advokad pada kantor pengacara Otto Cornelius Kaligis & Associates untuk

memenangkan gugatan yang diajukan Drs.Ahmad Fuad Lubis,Msi (selaku Pemohon)

kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (selaku Termohon), dengan dalil

gugatanbahwa tindakan Termohon mengeluarkan panggilan permintaan keterangan

Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 tanggal 31 Maret 2015 terkait tindak pidana

korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Pemohon mendalilkan bahwa pemanggilan

yang dilakukan oleh Termohon telah menyalahgunakan kewenangan dan

bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan.

Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK tersebut membuat

masyarakat semakin gerah dengan tindakan aparatur sipil negara dan penegak hukum

yang dianggap sering memperjual-belikan hukum, namun disisi lain peristiwa

Universitas Sumatera Utara

Page 22: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

tersebut membuat pemerhati hukum memberikan perhatian khusus terhadap substansi

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahankhususnya terhadap Pasal 21 ayat (2) tentang permohonan untuk

menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan

dan/atau tindakan. Permohonan yang dapat diajukan oleh badan dan/atau pejabat

pemerintahan ini menjadi menarik untuk dibahas adalah karena dapat mempengaruhi

proses hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi.

Penyalahgunaan wewenang menjadi unsur yang menjadi penilaian didalam

permohonan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, sementara disisi lain

berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (selanjutnya disingkat dengan UU PTPK), unsur penyalahgunaan wewenang

juga menjadi bagian inti (bestanddeeldelict) didalam pembuktian tindak pidana

korupsi.

Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah dalam setiap penanganan

perkara tindak pidana korupsi harus terlebih dahulu diajukan permohonan penilaian

ada atau tidak penyalahgunaan wewennag ke Pengadilan Tata Usaha Negara, apakah

putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan “tidak ada penyalahgunaan

wewenang”, dalam suatu keputusan dan/atau tindakan maka pejabat pemerintahan

tidak dapat diproses pidana lagi, apakah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak

mengikat dan tidak menghambat penyidikan yang dilakukan KPK, Kejaksaan dan

Polri dalam proses peradilan pidana dan apakah dengan terbitnya UU No. 30 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Page 23: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2014 merupakan langkah mundur dalam penegakkan pemberantasan tindak pidana

korupsi.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan, hampir tidak pernah muncul kepermukaan dan terdengar

permasalahan yang memperdebatkan titik singgung kewenangan pengujian

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat

pemerintahan antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi.9

Dilihat dari perspektif filsafat ilmu, setiap bidang ilmu mempunyai otoritas

dan otonomi (kemandirian) keilmuwan, yaitu wewenang setiap bidang ilmu untuk

mengembangkan disiplin keilmuannnya sendiri terlepas dari disiplin ilmu yang lain.

Setiap bidang ilmu mempunyai objek formal dan objek material sendiri-sendiri.

10

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tidak mengatur tentang pedoman

beracara permohonan penilaian ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang,

maka untuk mengisi kekosongan serta untuk melaksanakan kewenangan mengadili

permohonan penilaian tersebut, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia

menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015

tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang

(selanjutnya disingkat dengan PERMA No. 4 Tahun 2015), hal ini bertujuan agar

9Dani Elpah. et.al.,Laporan Penelitian Pengkajian Titik Singgung Kewenangan Antara PTUN

Dengan Pengadilan Tipikor Dalam Menilai Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang (Jakarta: Balitbang Diklat Kumdil MA RI, 2016), hlm. 4.

10Ibid., hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dalam tidak terjadi perbedaan pendapat hakim dalam tata cara penyelenggaraan

persidangan permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut diatas yang mendorong

peneliti untuk melakukan penelitian tentang analisis yuridis permohonan ada atau

tidaknya penyalahgunaan wewenang berdasarkan UU No. 30 tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan terhadap Peradilan pidana korupsi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka

terdapat beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini yang dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana perbedaan yang prinsipil tentang penyalahgunaan wewenang

bersadarkan hukum administrasi dan hukum pidana?

2. Bagaimana sistem pembuktian dalam sidang PTUN dan pembuktian dalam

persidangan tindak pidana korupsiatas ada atau tidaknya penyalahgunaan

wewenang dari tindakan pejabat pemerintah?

3. Bagaimana konsekuensi atas pengajuan permohonan ada atau tidaknya

penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan pejabat pemerintah kepada PTUN

dapatuntuk menghentikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun proses

Persidangantindak pidana korupsi?

Universitas Sumatera Utara

Page 25: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

C. Tujuan Penelitian

Memperhatikan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan

sebelumnya, maka yang menjadi fokus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahuiperbedaan secara prinsipil tentang penyalahgunaan wewenang

bersadarkan hukum administrasi dan hukum pidana.

2. Untuk mengetahui tentang sistem pembuktian dalam sidang PTUN dan

pembuktian dalam persidangan tindak pidana korupsi atas ada atau tidaknya

Penyalahgunaan wewenang dari tindakan pejabat Pemerintah.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis terhadap konsekuensi atas pengajuan

permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan

pejabat pemerintah kepada PTUN apakah dapat menghentikan penyelidikan,

penyidikan, penuntutan dalam proses Peradilan tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian

Maka penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

pengembangan ilmu atau meberikan manfaat dibidang teoritis dan praktis, yaitu

sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah

keilmuan Hukum Pidana, khususnya dalam bidang yang berhubungan dengan status

dan akibat hukum terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang melalui

Universitas Sumatera Utara

Page 26: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

tindakan pejabat pemerintah yang berdampak kepada proses peradilan tindak pidana

korupsi dan juga penelitian ini diharapkan dapat menambah kahazanah intelektual

tentang pemikiran hukum dan kepastian hukum yang berkaitandengan dinamika

kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

2. Secara praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai masukan

bagi penegak hukum agar dapat memberikan ruang di dalam kanca peradilan terhadap

penerapan dan pemberlakuan proses peradilan bagi penyalahgunaan wewenang

melalui tindakan pejabat pemerintah di Pengadilan Tipikor atau melalui Pengadilan

TUN khususnya ataspengajuan permohonan ada tidaknya penyalahgunaan

kewenangan dalam keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintah kepada

Pengadilan TUN terhadap proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan

Tipikor.dan masukan bagiaparat penegak hukum dalam hal ini hakim, jaksa, polisi

agar dapat menerapkan hukum dengan pasti dan dengan cara seadil-adilnya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta sebagai masukan bagi

masyarakat sipil dan pejabat pemerintah untuk dapat lebih mengetahui tentang hak-

haknya jika tenjadi penyalahguna wewenang dalam segala tindakan disetiap lini

kehidupan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan pemeriksaan serta penelusuran yang telah

dilakukan melalui studi kepustakaan khususnya pada lingkungan perpustakaan

Program Magister Hukum Universitas Sumatera Utara. Maka belum pernah ada

Universitas Sumatera Utara

Page 27: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

penelitian yang sama dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup kajian

penelitian ini, yaitu: “Analisis Yuridis Atas Permohonan Ada Atau

TidaknyaPenyalahgunaan Wewenang Berdasarkan Undang-Undang No. 30

Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Proses Peradilan

Pidana Korupsi”.Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang

penulis lakukan ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa

memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi

bagi peneliti atau akademisi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka teori

Pada setiap penelitian harus pula disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses

tertentu terjadi.11Menurut Lili Rasjidi, Teori adalah ilmu yang mempelajari

pengertian-pengertian pokok dan sistem dari hukum.12 Dalam konteks filsafat ilmu,

dapat dijelaskan bahwa suatu teori merupakan sesuatu yang paling tinggi yang dapat

dicapai oleh suatu disiplin ilmu.13

Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori dalam arti teori ilmu merupakan suatu

penjelasan rasional yang berkesesuaian atau koresponden dengan objek yang

11J.J.JM. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Jilid I; Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 203. 12Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2010), hlm. 11. 13Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dijelaskan,14 sehingga memiliki landasan teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.15Maka

kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau angka-angka

pendapat, teori, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. Sedangkan

Soejono Soekanto menyatakan bahwa, kontinuitas perkembangan ilmu hukum itu,

selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat

ditentukan oleh teori.16

1. Teori kepastian hukum

Sehingga teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka

yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam

kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut.

Konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian

tesis ini adalah :

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama,

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang

boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu

dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu

individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

negara terhadap individu.17

14M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian(Cetakan ke-2; Jakarta: Sofmedia, 2013), hlm.

46. 15Ibid. 16Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.6.

17Riduan Syahri, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 23.

Dengan demikian Teori kepastian hukummengandung 2

(dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

Universitas Sumatera Utara

Page 29: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

mengetahui perbuatanapa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya

aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapatmengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan

hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi

dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya

untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.18

Kepastian hukum (rechtssicherkeit/security/rechtszekerheid) adalah sesuatu

yang baru, yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan, dan menjadi publik.

Kepastian hukum menyangkut masalah “law being written down”, bukan tentang

keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum adalah sicherkeit des rechts selbst

(kepastian tentang hukum itu sendiri), sehingga terlihat bahwa hukum hadir bukan

lagi untuk melayani masyarakat dan mendatangkan kesejahteraan bagi manusia,

melainkan hadir demi dirinya sendiri.

19

Ada empat hal yang berhubungan dengan kepastian hukum yaitu Pertama,

bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches

recht);Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu

rumusan tentang penilaian yang nantinya akan dilakukan oleh hakim seperti

“kemauan baik“, “kesopanan “;Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan

18Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group,2008), hlm 15. 19Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban(Jakarta: UI Press, 2006), hlm. 135.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga

dijalankan; Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering di ubah-ubah.20

Senada dengan itu Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Rama Putra

mengatakan, bahwa secara konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 tidak pernah

menyatakan bahwa kepastian hukum itu identik dengan kepastian undang-undang.

Dengan selalu digunakannya kata “hukum dan keadilan” secara bersamaan, terkesan

bahwa makna “supremasi/penegakan hukum“bukan semata-

matasupremasi/penegakanundang-undangsaja, tetapi lebih mengandung makna

substantif, yaitu supremasi/penegakan nilai-nilai substantif/materil. Dengan kata lain,

tidak sekedar kepastian/penegakan hukum yang formal (legal certainty atau formal

law enforcement), tetapi “substantive/material certainty” atau “substantive law

enforcement”. Terlebih dengan penegasan, bahwaperadilan negara menerapkan dan

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila(Pasal 3 ayat 2 Undang-

Undang Nomor 4 tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor

48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) dan peradilan dilakukan “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“ pada Pasal 4 ayat 1 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, jelas mengandung

makna penegakan nilai-nilai substansial.

21

20Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicial prudence)

termasuk interpretasi undang-undang (legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 292-293.

21Rama Putra, Ide Keseimbangan Dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan Di Indonesia(Semarang: Universitas Diponegoro, 2009), hlm. 97.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Kepastian hukum sesungguhnya sebuah ide yang tidak bisa dirumuskan

mutlak secara gramatikal. Bahasa yang digunakan dalam merumuskan ketentuan-

ketentuan di dalam hukum (undang-undang) tidak bisa diformulasikan secara kaku,

karena bahasa pertama-tama memiliki keterbatasannya sendiri. Di samping itu, teks-

teks di dalam hukum (undang-undang) sesungguhnya memiliki intensi-intensi

tertentu, yang tentu saja sukar untuk ditafsirkan secara baku. Dan untuk memahami

hal demikian, Dworkin mengingatkan diperlukan sebuah moralitas dalam suatu

interpretasi. Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa kepastian hukum itu bukanlah

sesuatu yang mudah untuk diekspresikan dalam kata-kata atau teks di dalam suatu

hukum (undang-undang). Pada kenyataannya pun membatasi kekuasaan, khususnya

kekuasaan yudikatif, juga bukan sebuah jalan yang memberikan kepastian hukum.

Peran peradilan yang kaku bisa-bisa menjadikan kepastian hukum itu kehilangan

relevansinya. Justru peradilan harus diberikan kekuasaan yang lebih luas, karena

dengan demikian, gagasan kepastian hukum itu senantiasa diperbaruhi, berkat

interpretasi-interpretasi yang kritis.22

Kepastian hukum (rule of law) secara normatif adalah ketika suatu peraturan

dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas

dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian

kepastian hukum menjadi sistem norma.

23

22E. Fernando M. Manullang, Legisme Legalitas Dan Kepastian Hukum (Jakarta:Kencana

Prenadamedia Group, 2017), hlm. 179. 23Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif( Jakarta:

Sinar Grafika, 2010 ), hlm. 133.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Kepastian hukum tersebut dalam masyarakat dibutuhkan demi tegaknya

ketertiban dan keadilan. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam

masyarakat dan setiap anggota masyarakat akan berbuat sesuka hati serta bertindak

main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini, menjadikan kehidupan berada dalam

suasana kekacauan sosial.24

Beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Faktor-faktor

tersebut antara lain, terlalu cepatnya perubahan kebijakan dan peraturan perundang-

undangan, adanya pertentangan di antara berbagai peraturan perundang-undangan dan

kekosongan hukum. Ketidakpastian hukum terjadi pula dalam penegakkan hukum.

25

Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 yang termasuk didalam ruang lingkup

Hukum Administrasi Negara memberikan wewenang bagi hakim Peradilan Tata

Usaha untuk melakukan penilaian unsur ada atau tidaknya penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang dilakukan melalui

keputusandan/atau tidakan terhadap kewenangan yang dimilikinya,sementara itu di

dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (disingkat UU PTPK) juga terdapat unsur penyalahgunaan wewenang yang

harus dibuktikan. Penilaian tentang unsur penyalahgunaan wewenang yang terdapat

didalam dua ranah hukum yang berbeda yakni Hukum Administrasi Negara dan

24M. Yahyah Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua; Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 76.

25Ridwan Khairandy dalam Disiplin. F. Manao, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perpektif Hukum Administrasi Negara (Bandung: Kreasi Sahabat Bersama, 2017), hlm. 201.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Hukum Pidana dapat menimbulkan berbagai penafsiran, sehingga dapat

menyebabkan ketidakpastian hukum. UU No 30 Tahun 2014 dapat digunakan sebagai

alat berlindung bagi pelaku tindak pidana korupsi, akan tetapi tentu saja tidak

semudah itu memberikan penilain, sebab latar belakang lahirnya UU No 30 Tahun

2014 adalah untuk pembenahan hukum administrasi pemerintahan, agar hal-hal yang

selama ini belum jelas pengaturannya menjadi lebih jelas dan tegas diatur misalnya

tentang ketentuan pengambilan diskresi, yang sudah barang tentu pengaturannya

bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum. Dengan demikian sudah semestinya

seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu untuk bekerja mewujudkan nilai-nilai

norma dalam hukum. Keberhasilan hakim dalam penegakan hukum akan menjadi

salah satu penentu serta menjadi parameter legitimasi hukum di tengah-tengah

realitas sosial masyarakat.

2. Teori kewenangan

Kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari pemerintah

dalam melakukan perbuatan hukum dalam hubungannya dengan hukum publik

maupun dalam hubungannya dengan hukum privat.Secara yuridis untuk mengetahui

penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus

dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum,

didalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat

pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan(geen bevoegdheis zonder

Universitas Sumatera Utara

Page 34: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

verantwoordelikjkheidatau there is no authoritu without responbility).26 Ini

membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di

dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua pejabat yang

menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab karena harus

dapat melihat apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik

dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan wewenang. Atau

menurutL.J.ADamen,yang mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan

wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang

menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan

tujuan tertentu”. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap

sebagai penyalahgunaan wewenang.27

Teori kewenangan (authority theory) merupakan teori yang mengkaji dan

menganalisis tentang: “kekuasaan dari organ pemerintah untuk melakukan

kewenangannya, baik dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat”.

28

Unsur-unsur yang terkadung dalam teori kewenangan, meliputi :

29

1) Adanya kekuasaan; 2) adanya organ pemerintah; dan 3) sifat hubungan

hukumnya.

26Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam

Pengelolaan Keuangan Daerah(Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009), hlm. 72-79. 27Sjachran Basah,Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia (Bandung:

Alumni, 1985), hlm. 223. 28H. Salim. H. S dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis

Dan Disertasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 186. 29Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Kemudian Indroharto, mengemukakan tiga macam kewenangan yang

bersumber dari peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu, meliputi: 30

Pada atribusi terjadi pemberian wewenangpemerintahan yang baru oleh suatu

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Disini dilahirkan atau diciptakan

suatu wewenang baru. Lebih lanjut legislator yang kompeten untuk memberikan

atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:

a). Atribusi; b). Delegasi; dan c). Mandat.

31

a. Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat

adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama

pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah

adalah DPRD dan pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah;

b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar pada

suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana

diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata

Usaha Negara tertentu.

Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ

pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu

penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi

kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi

selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Mandat, disitu tidak terjadi

30Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara.(Edisi Revisi; Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2016), hlm. 101. 31Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dan Badan atau

Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar

mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.32

Pada atributif wewenang, disitu terjadi pemberian suatu wewenang oleh suatu

ketentuan perundang-undangan, sedang pada delegasi di situ terjadi pelimpahan atau

pemindahan suatu wewenang yang telah ada. Sebaliknya pada mandat, di situ tidak

terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan

atau jabatan TUN yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat maka di situ tidak

terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada, yang ada

hanya suatu hubungan intern, umpamanya antara menteri dengan Dirjen atau

Irjennya, dimana Menteri (mandans) menugaskan Dirjen atau Sekjennya (mandataris)

untuk atas nama Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta

mengeluarkan keputusan-keputusan TUN tertentu.

33

F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, seperti dikutip oleh Ridwan H.R,

mengemukakan bahwa dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu:

34

32H. Salim. H. S dan Erlies Septiana Nurbani., Op.Cit., hlm. 194. 33Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

NegaraBuku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm. 92.

34Ridwan H.R., Op.Cit., hlm. 102-103.

a). Atribusi; dan b). Delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang

baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh

organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi

secara logis selalu didahului oleh atribusi).Pada mandat tidak dibicarakan penyerahan

Universitas Sumatera Utara

Page 37: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun. Kemudian

cara organ pemerintah dalam memperoleh kewenangan itu, dijadikan dasar atau teori

untuk menganalisis kewenangan dari aparatur negara di dalam menjalankan

kewenangannya.

Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara,

yaitu:35

Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang

langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil.

a). Atribusi; dan

b). Delegasi dan kadang-kadang juga mandat.

36

35Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian

AdministrativeLaw) (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2002), hlm. 2. 36Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Jurnal Pro

Justitia XVI Nomor I Januari tahun 1998, hlm. 90.

Atribusi juga

dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan.

Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ

pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari

peraturan perundang-undangan (utamanya Undang-Undang Dasar 1945). Dengan

kata lain, atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan

itu, tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan

sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan

(pejabat tata usaha negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini

berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi delegasi (delegans)

Universitas Sumatera Utara

Page 38: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Suatu delegasi harus memenuhi syarat-

syarat tertentu, antara lain:37

a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri

wewenang yang telah dilimpahkan itu;

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya

delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan

perundang-undangan;

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki

kepegawaiantidak diperkenankan adanya delegasi;

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi berwenang untuk

meminta penjelasan tentang peiaksanaan wewenang tersebut;

e. Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegasi memberikan instruksi

(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan

itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas

nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak

berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi

mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat

hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris

adalah tanggung jawab si pemberi mandat. Sebagai suatu konsep hukum publik,

37Ibid., hlm. 94.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu:38

Dalam kajian HAN, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenag

organ pemerintahan penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum

dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam

negara hukum; “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no

authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).

Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat

didalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.

a). Pengaruh; b).

Dasar hukum; dan c). Konformitas hukum.

39

2. Konsepsi

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. Soejono

Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu

pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering kali

bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi

pegangan konkrit dalam proses penelitian.40

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-

pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka

konsepsional saja, akan tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional

38Ibid., hlm. 95. 39Ridwan H.R., Op.Cit., hlm. 105. 40Soejono Soekanto, Op.Cit., hlm. 133.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

diluar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur

pokok dari suatu penelitian.41

a. Analisis yuridis

Bertolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut ini akan

disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, yaitu

antara lain sebagai berikut:

Maksud dari analisis yuridis adalah, suatu tinjauan atau pengharapan terhadap

masalah tertentu42

b. Permohonan

. Analisis dimaksudkan terhadap ketentuan yuridis atas

permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang

dilakukan oleh pejabat pemerintahan berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak

perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak

mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap

suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.43

c. Penyalahgunaan wewenang

41Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999),

hlm. 24. 42Mas’ud Khasan Abdul Qahar, Kamus Ilmiah Populer, Bintang Pelajar, Tanpa Kota, Tanpa

Tahun. 43https://smjsyariah89.wordpress.com/2011/06/10/pengertian-gugatan-dan-

permohonan/(diakses pada tanggal 10 Juni 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 41: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Penyalahgunaan wewenang44atau disebut “detournement de pouvoir” adalah

perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tindakan tetapi masih dalam

lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara yuridis untuk

mengetahui penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar

hukum) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan

konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat

pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang

bersangkutan” (geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no

authoritu without responbility).45

d. Proses peradilan

Maksud proses peradilan adalah suatu institusi lembaga yang memiliki hak absolut

untuk menangani proses peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku atau suatu rangkaian acara peradilan mulai dari penindakan terhadap

adanya suatu tindak pidana (sumber tindakan) sampai pada lahirnya keputusan

pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.46

e. Pidana korupsi

44Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip

pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu : 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan

kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan

untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

45Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 76. 46http://www.arti-definisi.com/proses%20peradilan(diakses pada tanggal 21 Pebruari 2017).

Universitas Sumatera Utara

Page 42: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Maksud dari pidana korupsi adalah:47

G. Metodelogi Penelitian

setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan

maupun teknologi. Hal ini disebabkan penelitian bertujuan untuk mengungkapkan

kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsistensi, melalui proses penelitian

tersebut diadakan analisa dan kontruksi data yang telah dikumpulkan.48

1. Jenis penelitian dan sifat penelitian

Agar mendapatkan data guna menguraikan Analisis Yuridis Atas Permohonan

Ada Atau Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang Berdasarkan Undang-undang No. 30

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Proses Peradilan Pidana

Korupsi. Maka jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian hukum normatif.49

47Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bab II, Pasal 20.

48Soejono Soekanto, Op.Cit., hlm. 3. 49Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayumedia,

2008), hlm. 295.

Penelitian hukum normatif (normative legal research)

yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan

yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Page 43: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

normatif seringkali disebut sebagai penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek

kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.50

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitis,

51

2. Sumber data penelitian

dengan pendekatan yuridis normatif yang ditujukan untuk menggambarkan

dan menguraikan secara tepat, akurat, dan sistematis atas permohonan ada atau

tidaknya penyalahgunaan wewenang berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap proses peradilan pidana korupsi,

yang dihubungkan dengan teori-teori hukum dan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian

yang dilakukan dengan menitik beratkan pada penelitian terhadap bahan kepustakaan

(librery research),52

50Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum(Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm.

56. 51Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.107. 52Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 33.

yaitu dengan menelusuri, menghimpun, meneliti dan

mempelajari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-

undangan, serta berbagai karya ilmiah berupa jurnal artikel dan lain sebagainya yang

terkait dan mendukung isu hukum penelitian, yang selanjutnya dapat disebut sebagai

data sekunder, baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tertier, yaitu sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 44: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-

undangan yang diurut berdasarkan hierarki,53

b. Bahan hukum sekunder

seperti: Undang-Undang Dasar

1945, serta peraturan organik lainnya (Organieke Wetodening) seperti, Undang-

Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang

No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-

undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51

tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 46 Tahun

2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan putusan-putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia.

Dalam hal ini akan dikumpulkan data dari berbagai sumber, seperti: buku, jurnal,

artikel, hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan

dengan permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang berdasarkan

Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder.54

53Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 141. 54Johny Ibrahim, Op.Cit.,hlm. 298.

Bahan diambil dari

majalah, kamus-kamus hukum, Ensiklopedi, surat kabar, dan kamus ilmiah

Universitas Sumatera Utara

Page 45: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

lainnya, serta dari media Internet sebagai bahan penunjang informasi dan

penelitian tersebut.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan (library research)yaitu, melalui penelusuranperaturan

perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku, putusan-putusan dan

karya ilmiah lainnya, serta dari media cetak dan elektronik yang memiliki

kesesuaianterhadap objek yang akan diteliti.

4. Analisis data

Maka setelah data terkumpul dan dipandang telah cukup lengkap, maka tahap

selanjutnya adalah mengelola data dan menganalisa data. Analisis data yang dipakai

adalah analisis kualitatif.55

55Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum (Malang: UMM Press,

2009), hlm. 121.

Analisis secara kualitatif dimaksudkan bahwa analisis

tidak tergantung dari jumlah berdasarkan angka-angka, melainkan data dalam bentuk

kalimat-kalimat melalui pendekatan yuridis normatif.Tujuan digunakannya analisis

kualitatif ini adalah untuk mendapatkan pandangan-pandangan mengenai pelaksanaan

peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang Undang-undang

Administrasi Pemerintahan yang dikaitkan terhadap proses peradilan pidana korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 46: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Setelah data diolah, langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk

menarik kesimpulan dengan cara logika berfikir induktif dari kenyataan yang ditemui,

serta interpretasi dan analisis yakni penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan

masyarakat sewaktu undang-undang dibuat, hingga kemudian diterapkan. Uraian dan

kesimpulan dalam menginterpretasikan data dari hasil penelitian akan dihubungkan

dengan teori-teori, pendapat-pendapat dan aturan formal yang telah dikemukakan

pada bagian sebelumnya, sehingga diharapkan dapat nantinya menjawab segala

permasalahan hukum yang akan diajukan dalam penelitian tesis ini secara lengkap

dengan cara sistematis, metodologis, dan konsistensi.56

56 M. Solly Lubis, Op.Cit., hlm. 79.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

32

BAB II

PERBEDAAN SECARA PRINSIPIL TENTANG PENYALAHGUNAAN WEWENANG BERDASARKAN HUKUM ADMINISTRASI DAN

HUKUM PIDANA KORUPSI

A. Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Administrasi

1. Pengertian Wewenang

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian

hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan

wewenang ini sehingga F.A.M. Stroink dan J.G.Steenbeek menyatakan “Het

begrip bevoegdheidis da nook een kernbegrip in het staats-en administratief

recht”. Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang

merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. 57

Membahas tentang wewenang tentu terlebih dahulu harus dipahami apakah

yang dimaksud dengan wewenang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata

wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan

kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan

melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.

58

Wewenang dimaknaisebagai antara lain:1. Hak dan kekuasaanuntuk

bertindak;kewenangan; 2. Kekuasaanmembuat keputusan, memerintah,

danmelimpahkan tanggung jawab kepadaorang lain; 3. Huk fungsi yang boleh

tidakdilaksanakan. Ketika di beri prefiks “ke-”dan diberi sufiks “-an” maka kata

“wenang”menjadi “kewenangan” dan kedudukannyatetap sebagai kata benda

57Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 65.

58Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, (Makasar:Pustaka Refleksi, 2010), hlm. 35.

32

Universitas Sumatera Utara

Page 48: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

(noun) yang berarti1. Hal berwenang; 2. Hak dan kekuasaanyang dipunyai untuk

melakukan sesuatu.59

Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum

organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan

yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang

pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.

60

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama

dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan

tidak berbuat.Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.

61

Istilah wewenang dan kewenangan dalambahasa Inggris dikenal dengan

“authority”dan tidak ada pembedaan antara keduanya.Hal ini sama dengan istilah

dalam bahasaBelanda, yang tidak membedakan istilahkewenangan dengan istilah

wewenang. Istilahyang sering digunakan adalah “bevoegdheid”,meskipun ada

istilah lain yang terjemahannyaadalah kewenangan atau kompetensi

yaitubekwaamheid,

62Authority dalam Black’s LawDictionary, 63

59Arti Wenang, kbbi.web.id/wenang(diakses 6 Juni 2017). 60Ridwan HR, Op.Cit., hlm 71. 61Stoud H.D, De Betekenissen Van De Wet, dalam Irfan Fahruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah (Bandung: Alumni, 2004), hlm.4. 62Susi Moeimam dan Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005), hlm. 100. 63Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Revised Fourth Edition, (ST. Paul, Minn: West Publishing, 1968), hlm. 169.

diartikan

sebagai:“Legal power; a right to command or toact; the right and power of public

officersto require obedience to their orders lawfullyissued in scope of their public

duties.”(kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 49: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi

aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik).64

Secara teoritis, wewenang merupakanistilah yang lazim dikenal dan

digunakandalam hukum administrasi, bahkan dalamkepustakaan hukum

administrasi Belanda,masalah wewenang selalu menjadi bagianpenting dan bagian

awal dari hukumadministrasi karena obyek hukumadministrasi adalah wewenang

pemerintahan(bestuurs bevoegdheid dalam konteks hukum publik).

65 Istilah ini

seringkali dipertukarkandengan istilah kewenangan.66

Terhadap pengertian wewenang tersebut, walaupun banyak yang

berpendapat bahwa pengertian “wewenang” sama dengan “kewenangan”, akan

tetapi ada yang berpendapat bahwa “wewenang” tidak sama dengan

“kewenangan”, antara lain Ateng syafrudin yang berpendapat ada perbedaan

antara pengertian kewenangan dan wewenang.

67

Menurut yuridis, definisi wewenang disebutkan didalam UU No. 30 Tahun

2014, pengertian wewenang dibedakan dengan pengertian kewenangan, pada

Kita harus membedakan antara

kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid).

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal

dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya

mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam

kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).

64Dani Elpah. et.al., Op.Cit., hlm. 20.

65Philiphus M. Hadjon. et.al.,Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2012), hlm. 10. 66Ibid., hlm. 23. 67Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hlm. 22.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pasal 1 angka 5 disebutkan: “Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk

mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan”.

Sedangkan pengertian kewenangan, pada Pasal 1 angka 6 disebutkan:

“kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintah atau

penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik”.

Walaupun secara yuridis UU No. 30 Tahun 2014 membedakanpengertian

“wewenang” dan “kewenangan”,pada hakekatnya keduanya merupakan halyang

sama karena sama-sama dilekatkankepada “jabatan” yang yang dimiliki

olehbadan dan/atau pejabat pemerintahan ataupenyelenggara

lainnya.Perbedaannya antara“wewenang” dan “kewenangan” terletak pada luasan

cakupannya,yang nampak pada kata “hak”68 pada definisiwewenang dan

“kekuasaan”69pada definisi kewenangan,cakupan wewenang lebihsempit karena

hanya dikaitkan denganpengambilan keputusan dan/atau tindakan dalam

penyelenggaraan pemerintahan.Sedangkan kewenangan cakupannya lebihluas

karena berkaitan dengan tindakan dalamranah hukum publik. Pembedaan

tersebutmenurut Yulius, hanya sebatas “spesies” dan“genus” dari sebuah

jabatan.70

68“hak” dalam konteks hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai “wewenang menurut hukum”. Lihat: KBBI, “Arti dari Hak”, kbbi.web.id/hak(diakses pada tanggal 14 Juni 2017). 69“kekuasaan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam konteks hukum dimaknai sebagai-eksekutif Huk kekuasaan (wewenang) untuk menjalankan undang-undang; legislatif Huk kekuasaan untuk membuat (membentuk) undang-undang; perundang-undangan kekuasaan legislatif. yudikatif kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang.” Lihat: KBBI, “Arti dari Kuasa”, kbbi.web.id/kuasa(diakses 14 Juni 2017).

70Yulius, “Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia (Tinjauan Singkat Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014)”, Jurrnal Hukum dan Peradilan, Badan Penelitian dan

Universitas Sumatera Utara

Page 51: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang

Ditinjau dari aspek sejarah (historis) penyalahgunaan wewenang sebagai

suatu konsep berasal dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene

beginselen van behoorlijke bestuur/the general principles of good

administration).71

Secara etimologis, penyalahgunaan danmenyalahgunakan berasal dari dua

suku kata“salah guna”,

72

Istilah penyalahgunaan/menyalahgunakandalam kepustakaan hukum

Belanda dikenaldengan misbruik atau missbrauch dalam istilahhukum Jerman,

maknanya menjadi melakukan sesuatu tidak sebagaimana

mestinya; menyelewengkan.Jadi kata “penyalahgunaan” dan“menyalahgunakan”

merupakan 2 (dua)istilah yang berasal dari 2 (dua) suku kata yang sama “salah

guna”. “Penyalahgunaan”menunjuk pada proses, cara, perbuatannya,sedangkan

“menyalahgunakan” menunjukpada tindakan atau pelaksanaanya.

73

atau misuse dan abuse dalam istilah Bahasa Inggris,74

Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah AgungRI Vol. 04, No. 3, (November 2015), hlm. 373.

71Dani Elpah. et.al.,Op. Cit., hlm. 34. 72Arti Salah Guna, Menyalahgunakan, kbbi.web.id/ salah%20guna.menyalahgunakan (diakses pada tanggal 8 Juni 2017)

73Budi Parmono, “Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, (Malang: Fakultas Hukum UB, 2011), Dipublikasikan, hlm. 137.

74Victoria Bull, Oxford Learner’s Pocket Dictionary: Fourth Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2012), hlm. 282.

yang maknanya tidakjauh

berbeda dengan istilah dalam bahasaIndonesia, yaitu sebagai perbuatan

dan/atauperkataan yang dilakukan secara salah atau untuk maksud yang

salah/diselewengkanatau berlebih-lebihan (berkenaan denganperbuatan yang

berkonotasi negatif).

Universitas Sumatera Utara

Page 52: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Penyalahgunaan wewenang dalam konsepHukum Administrasi Negara

selalu diparalelkan dengan konsepdetournament de pouvoir dalam sistemhukum

Prancis atau abuse of power/misuseof power dalam istilah bahasa Inggris.75

Konsep “detournament depouvoir” pertama kali muncul di Prancisdan

merupakan dasar pengujian lembagaperadilan administrasi negara terhadap

suatutindakan pemerintahan dan dianggap sebagaiasas hukum yang merupakan

bagian dari“de principes generaux du droit”. Conseild’Etat adalah lembaga

peradilan pertamayang menggunakannya sebagai alat uji,yang kemudian diikuti

oleh negara-negaralain seperti Belanda dan Indonesia. Pejabatpemerintahan

dinyatakan melanggar prinsipdétournement de pouvoir, manakala tujuandari

keputusan yang dikeluarkan atau tindakanyang dilakukan bukan untuk

kepentingan atauketertiban umum tetapi untuk kepentinganpribadi si pejabat

(termasuk keluarga ataurekannya).

76

Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang

dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero danWaline dalam kaitannya

“detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang

dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:

77

75Philipus M. Hadjon. et. al.,Hukum Administrasi.., hlm. 21-22. 76Yulius, Op. Cit., hlm. 364. 77Sjachran Basah, Loc.Cit.

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;

Universitas Sumatera Utara

Page 53: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau

“detournement de pouvoir” adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan

tujuan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan.78

a. larangan melampaui wewenang;

Secara yuridis, UU No. 30 Tahun 2014 tidak memberikan defenisi dari

penyalahgunaan wewenang, akan tetapi menyebutkan tentang larangan

penyalahgunaan wewenang, pada Pasal 17 ayat (2) diaturtiga larangan yakni:

b. larangan mencampuradukkan wewenang;dan/atau

c. larangan bertindak sewenang-wenang.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No 30 Tahun 2014, kriteria

larangan melampaui wewenang terjadi ketikakeputusan dan/atau tindakan Badan

dan/atauPejabat Pemerintahan dilakukan dengan:

a)melampaui masa jabatan atau batas waktuberlakunya wewenang;

b) melampaui bataswilayah berlakunya wewenang; dan/atau

c)bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Contohmelampui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang:

Pada tanggal 12 Februari 2010 RH selaku walikota Medan menandatangani surat persetujuan perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Center Point Mall Medan, padahal pada tanggal 11 Februari 2010 RH telah diberhentikan sebagai walikota Medan karena mencalonkan diri sebagai walikota Medan untuk periode berikutnya.

Contoh melampaui bataswilayah berlakunya wewenang:

78Ibid., hlm. 224.

Universitas Sumatera Utara

Page 54: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pada tahun 2007 Bupati Taput melakukan perbaikan di suatu ruas jalan umum yang terletak di kota Tarutung, padahal jalan tersebut adalah berstatus jalan propinsi yang berarti perbaikannya harus dilakukan oleh pemerintah propinsi Sumatera Utara. Kebijakan Bupati Taput melakukan perbaikan jalan, karena tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas di jalan tersebut, sementara pemerintah propinsi Sumatera Utara tidak pernah melakukan pemeliharaan jalan tersebut. Namun kebijakan Bupati Taput tersebut tidak masuk ruang pidana korupsi karena tidak terdapat kerugian bagi negara, tidak memberikan keuntungan pribadi dan kepentingan umum terlayani.

Contoh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan:

Memberhentikan pegawai struktural tanpa melalui prosedur yang diatur dalam PP No 53 Tahun 2010 tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pada Pasal 24 ayat (1) disebutkan “sebelum PNS dijatuhi hukuman disiplin setiap atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin”.

Pada Pasal 18 ayat (2) UU No 30 Tahun 2014 disebutkan

laranganmencampuradukkan wewenang terjadiapabila keputusan dan/atau

tindakan tersebut dilakukan:

a)di luar cakupan bidang ataumateri wewenang yang diberikan; dan/atau

b) bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.

Contoh di luar cakupan bidang ataumateri wewenang yang diberikan:

Pada tahun 2008 BP selaku Kepala Dinas (Kadis) Pertanian Kabupaten Dolok Sanggul telah melakukan perbuatan mengarahkan pemenang lelang proyek, bahkan menandatangani surat penunjukan pemenang padahal kewenangan menentukan pemenang lelang adalah wewenang Panitia Lelang.

Contoh bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan:

Kelompok Kerja (POKJA) unit layanan pengadaan (ULP) atau sering disebut dengan panitia lelang yang bertugas atau berwenang melakukan pemilihan pengadaan barang dan jasa secara transparan, namun dalam pelaksanaannya POKJA ULP melakukan penunjukan langsung untuk memenangkan salah satu rekanan, padahal seharusnya dilakukan melalui pelelangan umum.

Universitas Sumatera Utara

Page 55: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pasal 18 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan keputusan dan/atau tindakan

yang dilakukan Badan dan/atauPejabat Pemerintahan dikategorikan

tindakansewenang-wenang manakala dilakukan:

a) tanpa dasar kewenangan; dan/atau

b)bertentangan dengan Putusan Pengadilanyang berkekuatan hukum tetap.

Contoh tanpa dasar kewenangan:

Bupati atau Walikota memberikan ijin usaha pertambangan (IUP), sedangkan berdasarkan UU Pemerintah Daerah kewenangan memberikan IUP telah berada pada Gubernur.

Contoh bertentangan dengan Putusan Pengadilanyang berkekuatan hukum tetap:

Seorang Kepala Daerah yang memberhentikan seorang pegawai dari jabatannya, kemudian pegawai tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Perkara gugatan tersebut berlanjut hingga upaya hukum kasasi dan berdasarkan putusan kasasi tindakan Kepala Daerah tersebut dinyatakan bertentangan dengan hukum, sehingga Kepala Daerah harus memulihkan kedudukan pegawai yang bersangkutan. Akan tetapi Kepala Daerah tidak bersedia memulihkan kedudukan pegawai tersebut walaupun putusan telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam hukum administrasi, wewenang dapat dikategorikan dalam

wewenang terikat dan wewenang bebas (diskresi). Dalam kategori wewenang

terikat (wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan), untuk

menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang harus dicari lebih dahulu

ketentuan hukum mana yang dilanggar, sedangkan pada wewenang bebas

(Discretionary Power, Freies Ermessen) asas “wetmatigheid” tidak memadai,

maka tolok ukurnya adalah asas-asas hukum yang tidak tertulis, dalam hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 56: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

administrasi dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene

beginselen van behoorlijk bestuur).79

Penyalahgunaan wewenang sebagai suatu konsep berasal dari Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur/the

general principles good administration), dalam perkembangannya (AUPB)

merupakan bagian yang penting dari hukum administrasi.

80

a. asas kepastian hukum;

Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 diterangkan yang dimaksud dengan

AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi

pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014

diatur tentang asas apa saja yang termasuk pada AUPB, yakni meliputi:

b. asas kemanfaatan; c. asas ketidakberpihakan; d. asas kecermatan; e. asas tidak menyalahgunakan kewenangan; f. asas keterbukaan; g. asas kepentingan umum; dan h. asas pelayanan yang baik.

Selain asas-asas diatas juga dapat diterapkan asas-asas umum lainnya

sepanjang dijadikan dasar penilaian oleh hakim yang tertuang dalam putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 10 ayat (2) UU No. 30

Tahun 2014).

Memperhatikan AUPB diatas, maka dapat dilihat mengenai

menyalahgunakan kewenangan karena jabatan adalah termasuk sebagai bagian

79Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 58-59. 80Disiplin. F. Manao, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam

Perspektif Hukum Administrasi Negara (Bandung: Kreasi Sahabat Bersama, 2017), hlm. 51.

Universitas Sumatera Utara

Page 57: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dari AUPB, yang disebutdengan asas “tidak menyalahgunakan kewenangan”.

Pada penjelasan UU No. 30 Tahun 2014 dinyatakan bahwa yang dimaksud asas

“tidak menyalahgunakan kewenangan” adalah: asas “yang mewajibkan setiap

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk tidak menggunakan kewenangannya

bagi kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan

tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak

menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan”. Apabila

dicermati, unsur-unsur yang terdapat dalam penjelasan asas “tidak

menyalahgunakan kewenangan”, isinya sama dengan tigalarangan

penyalahgunaan wewenang yang diatur pada Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014,

selain hal tersebut yang terpenting dalam penjelasan asas tersebut adalah unsur

penyimpangan tujuan (Asas Spesialitas),81

Pendapat Indiyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt

menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dengan

menggunakan parameter sebagai berikut:

yang dalam ruang lingkup hukum

administrasi negara selalu diidentikkan dengan pengertian “penyalahgunaan

wewenang” dan juga dimasukkan dalam penjelasan asas “tidak menyalahgunakan

kewenangan”.

82

1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.

2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atauzorgvuldigheid

81Asas Spesialitas disebut juga dengan Asas Tujuan adalah: Parameter “tujuan dan

maksud” pemberian wewenang dalam menentukan terjadinya penyalahgunaan wewenang. 82Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Penegakkan Hukum (Jakarta: Diadit Media, 2009), hlm. 35.

ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar,

Universitas Sumatera Utara

Page 58: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.

Sedangkan menurut Dani Elpah (dkk), Parameter keabsahan wewenang

dan/atau kewenangan pemerintahan tersebut adalah: 83

a. Setiap keputusan dan/atau tindakan “harus” ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang berwenang;

b. Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang “wajib” berdasarkan : 1. Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari: (a) peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar kewenangannya; dan (b) peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan;

2. Asas Umum Pemerintahan Baik, terdiri dari asas (a) kepastian hukum; (b) kemanfaatan; (c) ketidak berpihakan; (d) kecermatan; (e) tidak menyalahgunakan kewenangan; (f) keterbukaan; (g) kepentingan umum; dan (h) pelayanan yang baik;

3. Pejabat administrasi pemerintahan dilarang: menyalahgunakan kewenangan. Larangan menyalahgunakan kewenangan meliputi: 1. Larangan melampaui wewenang, terdiri dari: (a) melampaui masa

jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; (b) melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan (c) bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. Larangan mencampuradukkan wewenang, terdiri dari: (a) di luar cakupan bidang atau materi wewenang; dan (b) bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan; dan

3. Larangan bertindak sewenang-wenang, terdiri dari tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan kedua atas UU No.

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Parameter keabsahan

tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah: 84

1. Sesuai dan berdasarkan peraturan perundang-undangan, terdiri dari;

a. Dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat yang berwenang; b. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

yang bersifat procedural formal prosedur/formal; c. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan yang bersifat

materiil/substansial. 2. Sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik, terdiri dari asas;

83Dani Elpah. et.al.,Op.Cit., hlm. 28-31. 84Ibid., hlm. 32.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

a. Kepastian hukum; b. Tertib penyelenggaraan negara; c. Proporsionalitas; d. Profesionalitas; e. Akuntabilitas.

Berbagai pendapat mengenai pengertian penyalahgunaan wewenang

(detournament de pouvoir) selalu dikaitkan dengan “maksud dan tujuan”

penggunaan wewenang sebagai parameter pengujian ada tidaknya

penyalahgunaan wewenang yang dikenal dengan asas spesialitas

(specialialiteitsbeginsel).85

3. Sumber Wewenang

Sumber kewenangan penyelenggaraan negara dan pemerintahan adalah

kewenangan yang diberikan oleh undang-undang sehingga memiliki

legitimasi,86yang kemudian dikenal dengan asas legalitas sebagai salah satu

prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan

pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama bagi negara-

negara hukum dalam sistem kontinental.87

85Ibid., hlm. 45. 86Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara Pendekatan Hukum Pidana Hukum

Administrasi Negara dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 92. 87Ridwan. H. R, Op. Cit., hlm. 90.

Asas legalitas dalam hukum

administrasi Negara: dat het bestuur aan de wet is onderworpen(bahwa

pemerintah tunduk kepada undang-undang), atau het legaliteitsbeginseil houdt in

dat alle (algemen) de burgers bindende bepalingen op de wet moenten berusten

(asas legalitas menentukan semua ketentuan yang mengikat warga negara harus

didasarkan pada undang-undang). Asas legalitas ini merupakan prinsip negara

Universitas Sumatera Utara

Page 60: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “het beginsel van wetmatigheid

van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintah.88

Wewenang pemerintahan sebagaimana telah disebutkan adalah bersumber

dari peraturan perundang-undangan (legalitas/het van wetmatigeheid van bestuur)

yang didalamnya secara teoritik diperoleh melalui tiga cara, yaitu: atribusi,

delegasi dan mandat. Ketiganya adalah sumber kewenangan yang berkaitan

dengan suatu jabatan (ambt) sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan

perbuatan hukum publik.

89

Secara yuridis dalam hukum administrasi negara, perlu diketahui sumber

dan cara memperoleh wewenang, hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban

hukum dalam penggunaan wewenang, seiring dengan salah satu prinsip dalam

negara hukum. “geen bevoegheid zonder veraantwoordelijkheid atau there is no

authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggung

jawaban) setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahaan, tersirat

didalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.

90

Menurut Indroharto bahwa wewenang diperoleh secara atribusi,delegasi,

dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Wewenang yang

diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru

oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini

dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi

terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan

TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif

88Ibid., hlm. 91. 89Suhendar, Op.Cit., hlm . 96. 90Ridwan. H. R, Op. Cit., hlm. 105.

Universitas Sumatera Utara

Page 61: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului

oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu

pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau

Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.91

Menurut Philipus M. Hadjonbahwa setiap tindakan pemerintahan

disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh

melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi

lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang

dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang

berasal dari pelimpahan. Kemudian Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat

perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur

pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan

yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan

tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan

wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas

”contrarius actus”. Artinya, setiap perubahan, pencabutan suatu peraturan

pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan

peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih

tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan

bawahan yang bersifat rutin,adapun tanggung jawab dan tanggung gugat tetap

pada pemberi mandat, akan tetapi setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan

91Indroharto, Op.Cit, hlm. 92..

Universitas Sumatera Utara

Page 62: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.92Pada mandat tidak terjadi pelimpahan

apapun dalam arti pemberian kewenangan, pejabat yang diberi mandat

(mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam

pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat

lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi

mandat).93

92Ridwan HR,Op.Cit., hlm.108-109. 93Nur Basuki Minarno, Op. Cit., hlm. 75.

Sedangkan atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang

baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.Atribusi

kewenangan dalam peraturan perundang-undangan adalah pemberian kewenangan

membentuk peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh

UUD 1945 atau Undang-undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintah.

Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa

sendiri setiap diperlukan.

Pada Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan kewenangan diperoleh

melalui atribusi, delegasi dan/atau mandat. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 telah

disebutkan dengan jelas ketentuan tentang atribusi, delegasi dan/atau mandat

sebagai berikut:

Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat

pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 atau Undang-Undang (Vide Pasal 1 angka 22 UU No. 30 Tahun 2014).

Lebih lanjut tentang atribusi diatur didalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2014,

menyebutkan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 63: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila:

a. Diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang;

b. Merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.

(3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.

Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat

pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang

lebih rendah dengan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima

delegasi (Vide Pasal 1 angka 23 UU No. 30 Tahun 2014). Lebih lanjut tentang

delegasi diatur pada Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2014, menyebutkan sebagai

berikut:

(1) Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila:

a. Diberikan oleh Badan/pejabat pemerintahan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan lainnya;

b. Ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan/atau Peraturan Daerah; dan

c. Merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. (3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau pejabat

pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Delegasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensub delegasikan tindakan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan lain dengan ketentuan:

a. Dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan;

b. Dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan

Universitas Sumatera Utara

Page 64: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

c. Paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan 1 (satu) tingkat dibawahnya.

(5) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidak efektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan pendelegasian kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan.

(7) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab kewenangan berada pada penerima Delegasi.

Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan

yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah

dengan tanggungjawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandate

(Vide Pasal 1 angka 24 UU No. 30 Tahun 2014). Lebih lanjut tentang mandat

diatur pada Pasal 14 UU No. 30 Tahun 2014, menyebutkan sebagai berikut:

(1) Badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh mandat apabila: a. Ditugaskan oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan diatasnya;

dan b. Merupakan pelaksanaan tugas rutin.

(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

a. Pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalanagan sementara; dan

b. Pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.

(3) Badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan Mandat.

(5) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan ketidak efektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau pejabat

Universitas Sumatera Utara

Page 65: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menarik kembali wewenang yang telah dimandatkan.

(7) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian dan alokasi anggaran.

(8) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Mandat tanggung jawab kewenangan tetap pada pemberi Mandat.

Dari beberapa pengertian tentang atribusi, delegasi dan mandat diatas,

dapat disimpulkan perbedaan anatara ketiganya pada pokoknya sebagai berikut:

Atribusi:

- Bentuk kewenangan yang diberikan oleh UUD atau undang-undang

kepada suatu Badan dan/atau pejabat pemerintahan.

- Merupakan wewenang baru yang sebelumnya belum ada.

- Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas

prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan.

- Tanggung jawab berada pada badan dan/atau pejabat pemerintahan

tersebut.

Delegasi:

- Wewenang telah ada pada suatu Badan atau suatu jabatan berdasarkan

wewenang atribusi.

- Pelimpahan wewenang diberikan dari suatu badan dan/atau pejabat

pemerintahan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan lainnya

berdasarkan perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara

Page 66: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

- Wewenang yang dialihkan dapat pelaksanaan yang bersifat rutin dan

strategis.

- Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada penerima delegasi.

Mandat:

- Prosedur pelimpahan wewenang dalam rangka hubungan atasan dan

bawahan yang sifatnya pelaksanaan rutin.

- Pemberi mandat dapat sewaktu-waktu menggunakan sendiri wewenang

yang dilimpahkannya.

- Tanggung jawab dan tanggung gugat masih tetap berada kepada pemberi

mandat.

Untuk mempermudah memahami perbedaan antara atribusi, delegasi dan

mandat, berikut akan diberikan beberapa contoh:

Contoh atribusi:

- Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan

penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan Pasal 18

UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

- Pembentukan Komisi Pemilihan Umum yang memiliki kewenangan

menyelenggarakan Pemilihan Umum secara nasional berdasarkan Pasal

22 huruf e UUD 1945.

Universitas Sumatera Utara

Page 67: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Contoh delegasi:

- Kepala Dinas secara ex-oficio adalah sebagai Pengguna Anggaran (PA)

menyerahkan sebagian/seluruhnya wewenang kepada Kepala Bidang

sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), KPA dalam melaksanakan

tugasnya memiliki kewenangan sesuai dengan pelimpahan dari PA, hal

ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 54

Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

- Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara, akan tetapi karena besarnya tugas sebagai kepala

pemerintahan dan sebagai kepala negara, maka presiden menyerahkan

tugas dan wewenangnya kepada menteri keuangan selaku pengelola

fiskal dan sebagai wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara

yang dipisahkan, akan tetapi tidak termasuk kewenangan dibidang

moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang,

yang diatur oleh undang-undang. Hal ini sejalan dengan Pasal 6 Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Contoh mandat:

- Kepala Daerah memerintahkan Bendahara untuk mengeluarkan sejumlah

uang daerah untuk suatu kepentingan.

- Kepala Dinas mengikuti pelatihan di luar kota selama 8 (delapan) hari,

sehingga menetapkan salah seorang sekretaris atau Kepala Bidang

sebagai Pelaksana Tugas Harian (PLH). Hal ini berdasarkan Pasal 34

ayat (2) UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Universitas Sumatera Utara

Page 68: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

merumuskan:“Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka atasan pejabat

yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat pemerintahan yang

memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau

pelaksana tugas.”Kepala Dinas menyerahkan wewenang kepada

Sekretaris atau Kepala Bidang hanya kewenangan yang sudah bersifat

rutin, terencana dan jelas, misalnya menetapkan sasaran kerja pegawai

dan penilaian prestasi kerja, kenaikan gaji berkala, cuti, surat penugasan

pegawai, usul mutasi, izin belajar, izin tidak masuk kerja, sebagaimana

diatur dalam Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : K.26-

30/V.20-3/99 tgl 5 Februari 2016, Sedangkan tindakan yang bersifat

strategis tidak diserahkan kepada penerima mandat tersebut. Yang

dimaksud dengan keputusan dan/atau tindakan yang strategis,

sebagaimana penjelasan Pasal 14 ayat (7) UU No. 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan yaitu keputusan dan/atau tindakan yang

berdampak pada perubahan aspek organisasi, kepegawaian dan alokasi

anggaran, yang memiliki dampak besar seperti pengangkatan,

pemindahan dan pemberhentian pegawai, serta penetapan perubahan

rencana strategis dan rencana kerja pemerintah.

Pada Mandat konsekuensi tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada

pemberi mandat. Lalu apakah seorang penerima mandat sama sekali tidak dapat

dimintakan pertanggungjawabannya, seorang penerima mandat dapat diminta

pertanggungjawabannya apabila ia melakukan hal yang lebih dari pada wewenang

Universitas Sumatera Utara

Page 69: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

yang diberikan oleh pemberi mandat, seperti contoh diatas seorang bendahara

yang diperintahkan oleh Kepala Daerah untuk mengeluarkan sejumlah uang, akan

tetapi bendahara tersebut mengeluarkan uang lebih besar dari yang diperintahkan

oleh atasannya atau seorang Kepala Bagian yang diberi mandat sebagai Pelaksana

Tugas Harian (PLH) oleh Kepala Dinas, wewenang yang diberikan adalah sebatas

tugas-tugas rutin dan yang sudah terencana, akan tetapi kemudian selama

menjabat sebagai PLH Kepala Bagian tersebut membuat penentuan pelaksanaan

pengadaan barang dan jasa, sehingga Kepala Bagian tersebut telah melakukan

perbuatan yang lebih dari apa yang ditugaskan.

4. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

Meskipun undang-undang dianggap sebagai sumber Hukum Administrasi

Negara yang paling penting, namun undang-undang sebagai peraturan tertulis

memiliki kelemahan. Menurut Bagir Manan, sebagai ketentuan tertulis (written

rule) atau hukum tertulis (written law), peraturan perundang-undangan

mempunyai jangkauan terbatas, sekedar “moment opname” dari unsur-unsur

politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam yang paling berpengaruh pada saat

pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan dengan

perubahan masyarakat yang semakin menyepat atau dipercepat.94

94Bagir Manan dalam Ridwan. H. R,Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi; Jakarta :

RajaGrafindo Persada), hlm.63.

Oleh karena itu,

administrasi negara dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting

dalam rangka pelayanan kepada masyarakat, meskipun belum ada aturannya

dalam undang-undang (hukum tertulis). Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 70: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

administrasi Negara ini akan melahirkan hukum tidak tertulis atau konvensi, jika

dilakukan secara teratur dan tanpa keberatan (bezwaar) atau banding (beroep) dari

warga masyarakat. Hukum tidak tertulis yang lahir dari tindakan administrasi

negara inilah yang dapat menjadi sumber hukum dalam arti formal dalam rangka

pembuatan peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum administrasi

negara. Dikalangan penulis Hukum Administrasi Negara, HAN tidak tertulis ini

dikenal dengan nama asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemeen

beginselen van behoorlijk bestuur).95

Berdasarkan hasil penelitiannya, Jazim Hamidi menemukan pengertian

AAUPB sebagai berikut:

96

a. AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara;

b. AUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi Negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;

c. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat;

d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.

Dikalangan penulis HAN di Indonesia terdapat perbedaan penerjemahan

algemeen beginselen van behoorlijk bestuur terutama menyangkut kata beginselen

dan behoorlijk. Kata beginselen ada yang menerjemahkan dengan prinsip-prinsip,

dasar-dasar, dan asas-asas. Sedangkan kata behoorlijk diterjemahkan dengan yang

95Ridwan H.R,Op. Cit., hlm.64. 96Ibid., hlm.234-235.

Universitas Sumatera Utara

Page 71: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

sebaiknya, yang baik, yang layak, dan yang patut. Dengan penerjemahan ini

algemeen beginselen van behoorlijk bestuur menjadi prinsip-prinsip atau dasar-

dasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau yang sebaiknya.97

Dalam derap langkah Peradilan Tata Usaha Negara semula penerapan

asas-asas umum pemerintahan yang baik di lingkungan PTUN berpedoman pada

Juklak Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 052/Td.TUN/III/1992 dan

saat ini sudah diatur dalam Pasal 53 ayat 2 melalui UU No. 9 tahun 2004.

98

a. Asas legalitas

Kemudian ditegaskan kembali pada UU Nomor 30 tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan, yaitu :

Pasal 5 menyebutkan: penyelenggara Administrasi Pemerintahan berdasarkan :

b. Asas perlindungan teerhadap hak asasi manusia; dan

c. AUPB

Pasal 8 ayat (2) menyebutkan : Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam

menggunakan wewenang wajib berdasarkan :

a. Peraturan perundang-undangan; dan

b. AUPB

Pasal 10 ayat (1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-undang ini meliputi asas :

a. Kepastian hukum

97Ibid., hlm. 232.

98Philipus M.Hadjon. et.al.,Op. Cit., hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 72: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

b. Kemanfaatan c. Ketidakberpihakan d. Kecermatan e. Tidak menyalahgunakan kewenangan f. Keterbukaan g. Kepentingan umum, dan h. Pelayanan yang baik

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Sebagian besar dari AAUPB

masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali

dalam praktik kehidupan di masyarakat. Hal ini juga terlihat dari penjelasan asas

Kepastian Hukum pada Pasal 10 ayat (1) huruf a menyebutkan “yang dimaksud

dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam Negara hukum yang

mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan,

keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaran pemerintahan.

5. Diskresi

Pejabat pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan administrasi

pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangaan, kebijakan

pemerintahan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), namun

pejabat pemerintahan juga memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam

mengambil keputusan dan/atau tindakan meliputi menggunakan diskresi untuk

mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan

dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak

mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Membahas tentang kewenangan yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan,

maka pembahasan tersebut juga terkait dengan diskresi. Istilah diskresi lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 73: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

banyak dikenal dalam ranah hukum administrasi negara yang berasal dari bahasa

Prancis disebut dengan pouvoir discretonnaire atau freies ermessendalam bahasa

Jerman.99

Berikut ini dikemukakan beberapa rumusan pengertian diskresi dari

beberapa pakar ilmu hukum administrasi Negara :

100

1. Amrah Muslimin

Sebagai salah satu manifestasi delegasi dalam bentuk undang-undang yang meletakkan kerangka dan batas-batas tertentu (kaderwetatau raamwetten) kepada pemerintah, Amrah Muslimin berpendapat bahwa diskresi adalah kebebasan kebijaksanaan.

2. Thomas J. Aaron Didalam bukunya yang berjudul The Control Of Policy Discrettion, Thomas J. Aaron mendefenisikan diskresi: “…is a power or authority confered by the law to act on the basic of judgement or conscience, and it use more an idea of morals than law”.

3. Prajudi Atmosudirdjo Dengan penekanan argumentasi bahwa administrasi Negara tidak boleh menolak mengambil keputusan hanya karena tidak ada peraturannya. Prajudi Atmosudirdjo mengartikan diskresi sebagai: “…kebebasan bertindak atau mengambil keputusan daripada para pejabat administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurud pendapatnya sendiri”.

4. Stanley de Smith Diskresi (discretion) menurut Stanley de Smith dimaksudkan sebagai: “.., implies power to choose between alternative course of action”.

5. Sjachran Basah Diskresi menurut Sjahran Basah adalah “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu” ataupun juga merupakan”…., keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, walaupun demikian sikap tindakannya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun hukum”.

Dari berbagai rumusan pengertian yang dikemukakan oleh para pakar ilmu

administrasi negara tersebut, dapat kiranya diperoleh beberapa hal penting

mengenai pouvoir discretionnaire, yaitu:101

99Jawade Hafidz Arsyad, Op.Cit., hlm. 24.

100Ibid., hlm. 93. 101Ibid., hlm. 93-94.

Universitas Sumatera Utara

Page 74: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

1. Merupakan salah satu bentuk kekuasaan; 2. Bersumber pada ketentuan perundang-undangan atau peraturan yang sah; 3. Ditetapkan dalam dan untuk mencapai tujuan tertentu pada

penyelenggaraan fungsi-fungsi keadministrasian negara; 4. Tindak pelaksanaannya lebih dilandasi oleh pertimbangan moral daripada

hukum; serta 5. Tindakan dan akibatnya harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral

dan hukum.

Dalam hukum administrasi untuk istilah diskresi dapat dipersamakan

dengan istilah Freis Ermessen yang berasal dari bahasa Jerman artinya hampir

sama dengan diskresi. Pengertian Freis Ermessenadalahkebebasan bertindak atau

mengambil keputusan menurut pendapat sendiri.102 Istilah Freis Ermessen

digunakan dalam pembuatan kebijaksanaan, yakni badan atau pejabat tata usaha

Negara yang merumuskan kebijaksanaannya dalam berbagai bentuk seperti

peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran dan lain-lain.103

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, menyebutkan bahwa hanya pejabat pemerintahan yang berwenang

Secara perundang-undangan, mengenai diskresi dan syarat-syarat

pelaksanaannya telah diatur didalam UU No. 30 Tahun 2014. Pengertian diskresi

diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014, disebutkan diskresi adalah

keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat

pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam

penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang

memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau

adanya stagnasi pemerintahan.

102Sadjiono, Polri dalam perkembangan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Laksbang

Press, 2008), hlm. 86. 103Phillipus M.Hadjon. et. al., Op.Cit.,hlm. 152.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

saja yang dapat melakukan diskresi, dan setiap penggunaan diskresi yang

dilakukan oleh pejabat pemerintahan haruslah bertujuan untuk:104

a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;

b. Mengisi kekosongan hukum;

c. Memberikan kepastian hukum; dan

d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna

kemanfaatan dan kepentingan umum.

Melihat kepada ketentuan tujuan dilaksanakannya diskresi tersebut diatas,

maka dapat disimpulkan bahwa diambilnya suatu diskresi oleh pejabat

pemerintahan adalah bukan sekehendak hati pejabat pemerintahan, selain harus

bertujuan sebagaimana disebutkan diatas, diskresi juga memiliki batasan atau

lingkup, sebagaimana diatur didalam Pasal 23 UU No. 30 Tahun 2014 yakni:

a. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan;

b. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;

c. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan

d. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Dilaksanakan diskresi tidak hanya memiliki tujuan yang harus

berlandaskan ketentuan perundang-undangan, akan tetapi UU No. 30 Tahun 2014

secara tegas juga mengatur persyaratan dilakukannya diskresi 105

“bahwa dilakukannya diskresi adalah harus sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana yang diatur didalam Undang-Undang ini, dilakukannya diskresi

yaitu:

104Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, Bab VI,Pasal 22 ayat (2). 105Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, Bab VI, Pasal 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 76: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, diskresi juga harus sesuai dengan AUPB, harus berdasarkan alasan-alasan yang objektif dan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan konflik kepentingan serta haruslah dilakukan dengan itikad yang baik”. Selain syarat-syarat tersebut, pada Pasal 25 UU No. 30 Tahun 2014 juga

disebutkan bahwa:

(1) Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.

(3) Dalam hal penggunaan diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, pejabat pemerintahan wajib memberitahukan kepada atasan pejabat sebelum penggunaan diskresi dan melaporkan kepada atasan pejabat setelah penggunaan diskresi.

(4) Pemberitahuan sebelum penggunaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.

(5) Pelaporan setelah penggunaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak dan/atau terjadi bencana alam. Adapun prosedur penggunaan diskresi harus mengikuti ketentuan pada

Pasal 26 UU No. 30 Tahun 2014 yang mengatur:

1. Pejabat yang menggunakan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan atasannya dengan menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi keuangan.

2. Pemohonan persetujuan dari atasan tersebut harus disampaikan secara tertulis.

3. Atasan pejabat harus menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan atau penolakan dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja.

4. Apabila atasan pejabat tersebut melakukan penolakan, maka harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.

Universitas Sumatera Utara

Page 77: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Penggunaan diskresi termasuk dalam hal larangan penyalahgunaan

wewenang tepatnya dikategorikan mencampur adukkan wewenang apabila: a.

pejabat yang menggunakan diskresi tidak sesuai dengan tujuan wewenang yang

diberikan; b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28

dan/atau c. bertentangan dengan AUPB.

Dengan melihat kepada seluruh uraian pengertian diskresi dan ketentuan-

ketentuan tentang diskresi, maka dapat disimpulkan bahwa dikresi diambil

bukanlah tanpa batasan-batasan, akan tetapi setiap tindakan pejabat pemerintahan

harus memiliki tolak ukur termasuk dalam melakukan diskresi. Diaturnya perihal

diskresi didalam UU No. 30 Tahun 2014 memberikan pedoman dan lingkup yang

jelas untuk suatu dekresi, hal ini memberikan manfaat tidak saja bagi pejabat

pemerintahan akan tetapi bagi aparat hukum, oleh karena akan memberikan

batasan-batasan yang jelas tentang diskresi dan proses pelaksanaannya, sehingga

apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan tugas, pejabat pemerintahan

tidak dengan mudah berdalih bahwa yang ia lakukan adalah diskresi demikian

pula sebaliknya aparat hukum tidak dengan mudah menyatakan suatu tindakan

dan/atau keputusan pejabat pemerintahan telah tidak sesuai dengan aturan,

sehingga dengan diaturnya diskresi didalam UU No. 30 Tahun 2014 akan

memberikan kepastian hukum.

Meskipun kewenangan pejabat pemerintah untuk melakukan diskresi

dalam konsep administrasi disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya

wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan

maksud pemberian wewenang itu sendiri. Dalam hal pejabat pemerintahan

Universitas Sumatera Utara

Page 78: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

menggunakan wewenang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian

wewenang tersebut, maka pejabat pemerintahan yang demikian itu telah

melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan freis

ermessen (diskresi). Dengan demikian sesungguhnya yang menjadi batu penguji

(toetsteen) dari penggunaan diskresi adalah sejauh mana diskresi bersesuaian atau

melampaui kewenangan (de bevoegheden) yang melekat pada jabatan dari pejabat

yang bersangkutan. Ketika terjadi pelampauan kewenangan dari suatu jabatan,

maka hal dimaksud bukan lagi hal ihwal diskresi tetapi pelanggaran hukum

(onrecht matig) atau melawan hukum (wederrechtelijk).106

6. Tanggung Jawab Dalam Hukum Administrasi

Menurut konsep negara hukum, dianut prinsip bahwa setiap penggunaan

kewenangan pemerintahan harus disertai pertanggungjawaban hukum.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa didalam hukum administrasi

pertanggungjawaban melihat kepada sumber dan cara memperoleh wewenang

tersebut, apakah wewenang tersebut diperoleh sebagai mandat, atribusi ataukah

delegasi. Sebab didalam hukum administrasi tidak semua pejabat yang

menjalankan wewenang pemerintahan secara otomatis memikul tanggung jawab.

Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan

delegasi maka ia yang memikul pertanggungjawaban hukum, sedangkan pejabat

yang melaksanakan tugas atau pekerjaan atas dasar mandat maka tidak memikul

tanggung jawab hukum.

106Disiplin. F. Manao, Op. Cit., hlm. 63-64.

Universitas Sumatera Utara

Page 79: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Selain melihat kepada sumber dan cara memperoleh wewenang, tanggung

jawab juga harus dilihat sebagai pejabat dan sebagai pribadi. Dalam perspektif

hukum administrasi negara, jabatan merupakan persoalan mendasar berkaitan

dengan fungsi negara. Negara berisi berbagai jabatan atau lingkungan tetap

dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan negara.107

Tindakan pemerintah dan pemerintahan dijalankan oleh pejabat

pemerintah. Dengan kata lain, pejabat adalah wakil pemerintah dengan segala

kewenangannya. Tentu saja, kualitas tindakan pemerintah yang dilakukan oleh

pejabat, sangat tergantung tindakan pemerintah yang dilakukan oleh pejabat,

sangat tergantung pada pribadi pejabat itu sendiri. Artinya, antara jabatan dan

pejabat memiliki hubungan yang erat, walau keduanya memiliki kedudukan

hukum yang berbeda.

Agar jabatan dan fungsi

negara dapat berjalan, maka diperlukan seseorang (pribadi seorang manusia)

untuk duduk sebagai pemangku jabatan yang disebut pejabat atau jika mengacu

kepada UU No. 30 Tahun 2014 disebut pejabat pemerintahan.

Menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 2014 pengertian pejabat

pemerintahan disamakan dengan Pengertian badan. Badan dan/atau pejabat

pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintah, baik di

lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

108

Menurut Masyhur Efendi, seorang pejabat berkedudukan sebagai

pemerintah apabila mempunyai tanggung jawab yang merupakan suatu refleksi

tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol

107Ridwan. H. R, Op. Cit., hlm. 71. 108Suhendar, Op.Cit., hlm.125.

Universitas Sumatera Utara

Page 80: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau

mentalnya. Bilamana suatu keputusan atau kebijakan telah diambil atau ditolak,

sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada

alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan atau kebijakan

tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektual.109

Jabatan merupakan subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban

(suatu personifikasi), dan oleh hukum tata negara kekuasaan tidak diberikan

kepada pejabat (orang), tetapi diberikan kepada jabatan. Suatu jabatan sebagai

personifikasi hak dan kewajiban dapat berjalan oleh manusia atau subyek hukum,

dimana yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh jabatan ialah

pejabat, artinya jabatan bertindak dengan perantaraan pejabatnya.

110

Menurut Philipus M. Hadjon

111

Menurut Jimliy Asshidiqie, konsep pertanggungjawaban ada dua, yaitu

pertanggungjawaban personal atau pribadi dan pertanggungjawaban institusional

atau jabatan. Jika seorang pejabat didalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya melanggar norma atau aturan hukum yang berlaku, maka

bahwa tanggung jawab jabatan berkenaan

dengan legalitas (keabsahan) tindak pemerintahan berkaitan dengan pendekatan

terhadap kekuasaan pemerintahan. Tanggungjawab pribadi berkaitan dengan

fungsionaris atau pendekatan dalam hukum administrasi.

109Disiplin. F. Manao,Op.Cit., hlm. 160. 110E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Jakarta: Ichtiar, 1963), hlm.

122. 111Philipus. M. Hadjon .et. al., Op.Cit., hlm. 16.

Universitas Sumatera Utara

Page 81: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

pelaksanaan tindakannya tersebut dipertanggungjawabkan secara pribadi atau

pertanggungjawaban personal.112

Perbedaan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi

pada tindakan pemerintahan tersebut membawa konsekuensi yang berbeda dalam

kaitannya dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung

gugat tata usaha negara (TUN). Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab

pribadi. Dalam kaitannya dengan tindak pemerintahan, tanggung jawab pribadi

seorang pejabat berhubungan dengan adanya maladministrasi. Tanggung gugat

perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan dengan perbuatan

melanggar hukum oleh penguasa. Tanggung jawab pribadi apabila terdapat unsur

maladministrasi. Tanggung gugat TUN pada dasarnya adalah tanggung jawab

jabatan.

Dari seluruh uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab

seseorang selaku pemangku jabatan/pejabat pemerintahan terpisah dengan

tanggungjawab seorang pejabat pemerintah selaku pribadi.

113

1. Penyalahgunaan Wewenang (abuse of power/detournament de pouvoir)

Maladministrasi dikonstruksikan sebagai hasil akhir atas adanya

penyalahgunaan wewenang (abuse of power/detournament de pouvoir) dan

sewenang-wenang (willekeur), serta diuji dengan parameter (yang salah satunya

adalah) asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene begiselen van

behookrijk bestuur), dengan uraian sebagai berikut:

Dalam hal ini, pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang

112Disiplin. F. Manao, Op.Cit., hlm. 162. 113Ibid., hlm. 16-17.

Universitas Sumatera Utara

Page 82: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

itu. Dengan demikian, pejabat melanggar asas spesialitas. Asas spesialitas berarti bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu. Sebaliknya penyimpangan dari tujuan diberikannya wewenang akan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan, melainkan dilakukan secara sadar untuk mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi yang negatif, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.114

2. Sewenang-wenang

Tolok ukur dari perbuatan sewenang-wenang adalah jika seseorang (biasanya pejabat) melakukan sesuatu dengan tidak mengindahkan hak orang lain, atau melakukan sesuatu dengan semau-maunya atau dengan kuasanya sendiri. Unsur sewenang-wenang diukur dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Dalam konteks tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan sewenang-wenang (unreasonableness), keduanya merupakan parameter yang utama ada tidaknya penyimpangan dalam penggunaan wewenang pemerintahan, tentunya disamping asas-asas hukum administrasi yang lain. Dalam hal terdapat unsur penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang, maka terdapat unsur maladministrasi dan tentu ada unsur perbuatan melawan hukum dan perbuatan itu menjadi tanggung jawab pribadi pejabat yang melakukannya. Keduanya sangat diperlukan untuk menentukan ada tidaknya korupsi.115

3. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorkrijk bestuur)

Keberadaan AUPB di Indonesia pada mulanya belum diakui secara yuridis formal, termasuk dalam UU PTUN. Namun demikian, bukan berarti eksistensinya tidak diakui, AUPB diterapkan dalam praktik peradilan, terutama pada PTUN.116

4. Maladministrasi

Pada saat ini AUPB telah diatur secara tegas didalam UU No. 30 Tahun 2014 yakni didalam Pasal 10.

Maladministrasi dalam pengertian sederhana, menunjuk kepada prilaku/tindakan aparatur penyelenggara pelayanan publik yang cenderung menyimpang, menyalahgunakan atau melampaui wewenang hukum yang dimilikinya. Maladministrasi berasal dari kata dasar “mal” dalam bahasa latin “malum” yang artinya jahat (jelek). Kata administrasi asal katanya “administrare” dalam bahasa latin yang artinya melayani, maka maladministrasi adalah pelayanan yang jelek. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang

114Suhendar, Op. Cit., hlm. 128. 115Ibid., hlm. 130-131. 116Ibid.,hlm. 135.

Universitas Sumatera Utara

Page 83: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perorangan.117

a. Pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;

Dalam UU No. 30 Tahun 2014 terdapat 3 (tiga) sanksi yang dapat

dijatuhkan dalam kesalahan administratif yakni: (1) sanksi berat, (2) sanksi sedang

dan (3) sanksi ringan. Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pejabat pemerintahan

yang menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat

(2) UU No. 30 Tahun 2014 adalah sanksi administratif berat sebagaimana diatur

dalam Pasal 80 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014, yaitu :

“Pejabat pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 17 dan Pasal 42 dikenai sanksi administratif berat”.

Bentuk sanksi administratif berat berdasarkan Pasal 81 ayat (3) UU No. 30

Tahun 2014 sebagai berikut :

b. Pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;

c. Pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau

d. Pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa. Timbul pertanyaan, apakah sanksinya apabila pejabat pemerintahan

melakukan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 nyata-

nyata menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional,

dan/atau merusak lingkungan hidup. Pasal 80 UU No. 30 Tahun 2014 tidak

menjelaskan apakah dikenakan sanksi administrasi berat saja atau apakah dapat

117Ibid., hlm. 137.

Universitas Sumatera Utara

Page 84: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dipidana, namun demikian apabila merujuk kepada Pasal 20 UU No. 30 Tahun

2014, maka penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan

negara hanyalah merupakan kesalahan administratif yang dapat dikenakan sanksi

adminstrasi berat.

Pasal 80 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2014 juga mengatur pemberian saksi

administrasi berat terhadap perbuatan yang menimbulkan kerugian pada keuangan

Negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak lingkungan hidup atas

perbuatan sebagai berikut :

a. Menggunakan Wewenang tidak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Pasal 8 ayat (2)UU No. 30 Tahun 2014).

b. Menetapkan dan/atau melakukan Keputusan/Tindakan tidak mencantumkan atau menunjukkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan atau melakukan Keputusan/Tindakan (Pasal 9 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).

c. Melanggar prosedur penggunaan Diskresi (Pasal 26 UU No. 30 Tahun 2014).

d. Melanggar prosedur penggunaan Diskresi (Pasal 27 UU No. 30 Tahun 2014).

e. Melanggar prosedur penggunaan Diskresi (Pasal 28 UU No. 30 Tahun 2014).

f. Menolak memberikan bantuan kedinasan dalam keadaan darurat (Pasal 36 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).

g. Tidak memberikan persetujuan atau penolakan dalam waktu 10 (sepuluh hari kerja sejak Izin, Dispensasi atau konsesi diajukan, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 39 ayat(5)UU No. 30 Tahun 2014).

h. Menetapkan/melakukan Keputusan/Tindakan berpotensi memiliki konflik kepentingan (Pasal 42 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).

i. Menetapkan/melakukan Keputusan atau Tindakan memiliki konflik kepentingan (Pasal 43 ayat (2)UU No. 30 Tahun 2014).

j. Tidak menindaklanjuti laporan/keterangan masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya laporan/keterangan (Pasal 44 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).

k. Tidak menetapkan Keputusan/Tindakan terhadap adanya konflik kepentingan bawahan (Pasal 44 ayat (4)UU No. 30 Tahun 2014).

Universitas Sumatera Utara

Page 85: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

l. Tidak melaporkan konflik kepentingan bawahan kepada pejabat diatas Atasan Pejabat dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja (Pasal 44 ayat (5)UU No. 30 Tahun 2014).

m. Membuat keputusan/tindakan yang menimbulkan pembebanan kepada masyarakat/warga tetapi tidak menyampaikan kepada masyarakat/warga dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum mengambil Keputusan/Tindakan, kecuali ditentukan lain Peraturan Perundang-undangan (Pasal 47 UU No. 30 Tahun 2014).

n. Tidak mengumumkan Standar Operasional Prosedur pembuatan Keputusan kepada masyarakat (Pasal 49 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).

o. Tidak memberitahukan kepada pemohon dalam waktu 5 (lima) hari kerja, permohonan yang telah memenuhi persyaratan diterima (Pasal 50 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).

p. Tidak membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada setiap warga/masyarakat, kecuali ditentukan lain Peraturan Perundang-undangan (Pasal 51 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).

q. Tidak menyampaikan setiap keputusan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam keputusan tersebut (Pasal 61 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).

r. Tidak mengumumkan pembatalan keputusan yang menyangkut kepentingan umum melalui media massa (Pasal 66 ayat (6)UU No. 30 Tahun 2014).

s. Tidak mengembalikan dokumen/barang/arsip yang dibatalkan (Pasal 67 ayat (2)UU No. 30 Tahun 2014).

t. Tidak segera menyelesaikan upaya administrasi yang berpotensi merugikan keuangan negara (Pasal 75 ayat (4)UU No. 30 Tahun 2014).

u. Tidak menetapkan keputusan sesuai permohonan keberatan (Pasal 77 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).

v. Tidak menetapkan keputusan sesuai permohonan keberatan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berahirnya tenggang waktu sebagaimana ayat 4 (Pasal 77 ayat (7)UU No. 30 Tahun 2014).

w. Tidak menetapkan keputusan sesuai dengan permohonan banding (Pasal 78 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).

x. Tidak menetapkan keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu (Pasal 78 ayat (6)UU No. 30 Tahun 2014).

y. Menggunakan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran tanpa persetujuan Atasan Pejabat (Pasal 25 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).

z. Tidak memberitahukan penggunaan Diskresi kepada Atasan Pejabat sebelum menggunakan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat dan mendesak (Pasal 25 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014).

aa. Tidak mengambil Keputusan/Tindakan terhadap permohonan setelah permohonan diterima secara lengkap (Pasal 53 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014).

Universitas Sumatera Utara

Page 86: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

bb. Tidak menetapkan keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan (Pasal 53 ayat (6) UU No. 30 Tahun 2014).

cc. Tidak mengembalikan uang negara ke kas negara akibat keputusan pembayaran yang tidak sah (Pasal 70 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).

dd. Membuat Keputusan/Tindakan yang dapat dibatalkan karena kesalahan prosedur dan kesalahan substansi (Pasal 72 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).

Perbuatan pejabat pemerintahan pada huruf a s/d x diatas, jika tidak

menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau

merusak lingkungan hidup, maka berdasarkan Pasal 81 ayat (1) UU No. 30 Tahun

2014, hanya dikenakan sanksi administratif ringan, berupa :

1. Teguran Lisan;

2. Teguran tertulis; atau

3. Penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak jabatan.

Sedangkan perbuatan pejabat pemerintahan pada huruf y s/d dd, jika tidak

menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau

merusak lingkungan hidup, maka berdasarkan Pasal 81 ayat (2) UU UU No. 30

Tahun 2014, hanya dikenakan sanksi administratif sedang, berupa :

1. Pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;

2. Pemberhentian sementara dengan memproleh hak-hak jabatan; atau

3. Pemberhentian sementara tanpa memproleh hak-hak jabatan”.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara dan Undang-Undang RI Nomor : 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara. Pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan:

Universitas Sumatera Utara

Page 87: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

“ Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud”

Sedangkan pada Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara pada Pasal 59 diatur sebagai berikut:

(1) setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan Negara, wajib mengganti kerugian tersebut.

Pada Pasal 62 ayat (2) disebutkan: apabila dalam pemeriksaan kerugian

negara/daerah ditemukan unsur pidana, BPK menindaklanjutinya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada Pasal 64 ayat (1) disebutkan: bendahara, pegawai negeri bukan

bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian

negara/daerah dapat dikenai sanksi adminitratif dan/atau sanksi pidana; Ayat (2)

putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

7. Peranan APIP dalam proses hukum administrasi dan pidana

Untuk melakukan pengawasan, mengindentifikasi adanya Penyalahgunaan

Wewenang dan menjatuhkan sanksi apabila terjadi penyalahgunaan wewenang

yang dilakukan Pejabat Pemerintahan di dilingkungan internal Pemerintahan,

dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Menurut Pasal 20

Universitas Sumatera Utara

Page 88: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,

dirumuskan sebagai berikut:118

1. Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan 18 dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintah;

2. Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Tidak terdapat kesalahan; b. Terdapat kesalahan administratif; atau c. Terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian

negara”. 3. Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

4. Jika hasil aparatur pengawasan intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan;

5. Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Badan Pemerintah, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang;

6. Pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada pejabat pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, maka

dalam hal pelaksanaan administrasi pemerintahan terjadi penyalahgunaan

wewenang maka pengawasannya dilakukan oleh APIP. Apabila Badan atau

Pejabat Pemerintahan menolak putusan yang dijatuhkan Aparat Internal Pengawas

Pemerintahan,maka dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata

118Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Bab VPasal 17 dan 18.

Universitas Sumatera Utara

Page 89: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Usaha Negara untuk dilakukan uji kebenaran ada atau tidaknya Penyalahgunaan

Wewenang.

Dalam ketentuan Pasal 20 UU No. 30 Tahun 2014 tersebut tidak mengatur

apabila hasil pemeriksaan APIP ditemukan penyimpangan yang bersifat pidana,

namun demikian dalam ketentuan Pasal 385 Undang-Undang RI Nomor : 23

tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur sebagai berikut:

(1) Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di instansi daerah kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan /atau aparat penegak hukum;

(2) Aparat Pengawasan Internal Pemerintah wajib melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

(3) Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah non kementerian yang membidangi pengawasan;

(4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawasan Internal Pemerintah;

(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada ayat (5) tersebut telah menyatakan, apabila hasil pemeriksaan APIP

ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut

diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Berdasarkan uraian tersebut, timbul pertanyaan apakah aparat penegak

hukum harus terlebih dahulu menunggu hasil pemeriksaan APIP baru dapat

melakukan proses hukum pidana. Jawabannya tidak karena UU No. 30 Tahun

2014 tidak mewajibkan aparat penegak hukum melakukan proses hukum pidana

Universitas Sumatera Utara

Page 90: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

setelah adanya hasil pemeriksaan APIP, sedangkan Undang-Undang RI Nomor :

23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 385 ayat (3) hanya

menegaskan agar aparat penegak hukum terlebih dahulu berkoordinasi dengan

APIP dalam hal pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat kepada

APIP.APIP bekerja sebagai pengawas internal untuk menciptakan tertib

penyelenggaran adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya

penyalahgunaan wewenang, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada

masyarakat. Disamping itu undang-undang yang mengatur Administrasi

pemerintahan lebih menitikberatkan pada pembangunan administrasi

pemerintahan yang baik dan benar, sedangkan Undang-Undang Tipikor lebih

menitikberatkan pada sistem penindakan (represif). Namun demikian aparat

penegak hukum dapat menjadikan hasil pemeriksaan APIP sebagai salah satu

sumber penyelidikan/penyidikan, selain dari media masa, Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), maupun informasi masyarakat.

B. Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Pidana

1. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang

Pengertian penyalahgunaan wewenang atau menyalahgunakan wewenang,

baik didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun didalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya

disingkat dengan UU Tipikor) tidak ada ditemukan.

Universitas Sumatera Utara

Page 91: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Dalam hukum pidana terdapat konsep yang mirip dengan penyalahgunaan

wewenang, yaitu ketentuan dalam Pasal 52 KUHP, yang menyebutkan: “Bilamana

seorang pejabat karena melakukan perbuatan melanggar suatu kewajiban khusus

dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai

kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan,

pidananya dapat ditambah sepertiga”. Frasa “melanggar kewajiban khusus dari

jabatannya” bermakna menyimpang dari kewajiban yang ditentukan secara khusus

(asas specialitet). 119

Dalam KUHP menggunakan terminologi menyalahgunakan kekuasaan

atau martabat, khususnya dalam bentuk pemancingan (uitlokking), hal tersebut

terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, yang dinyatakan sebagai berikut:

120

(1) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.

Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:

(2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu. Secara historis, perkembangan pengaturan mengenai konsep

penyalahgunaan wewenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, secara

kronologis:121

1. Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tanggal 9 April Tahun 1957 menentukan; tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya.

119Dani Elpah. et.al.,Op. Cit., hlm. 49. 120Nur Basuki Minarno, Op. Cit., hlm. 8. 121Dani Elpah. et.al.,Op..Cit., hlm. 50-51.

Universitas Sumatera Utara

Page 92: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2. Peraturan penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT/Perperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 didalam Pasal 3 menentukan perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan, yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

3. UU No. 24/Prp/1960 tanggal 9 Juni 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi didalam Pasal 1 huruf b menentukan perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan.

4. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi, didalam Pasal ayat (1) huruf b menyebutkan, barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

5. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan pada tanggal 16 Agustus 1999, di dalam Pasal 3 menentukan: setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (selanjutnya disingkat dengan UU PTPK), istilah penyalahgunaan

wewenang ditemukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

menyebutkan:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Universitas Sumatera Utara

Page 93: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Basuki Minarno

terhadap yurisprudensi Mahkamah Agung RI tentang penerapan konsep

penyalahgunaan wewenang, dapat dilihat pengertian dan penafsiran

penyalahgunaan wewenang sebagai berikut dalam tabel dibawah ini:

Tabel I

Kaidah Hukum Penyalahgunaan Wewenang Dalam Beberapa Yurisprudensi Tindak Pidana Korupsi122

No

No. Perkara Kaidah Hukum Penyalahgunaan Wewenang

1 Putusan Mahkamah Agung RI No. 88K/Kr/1969 tanggal 3-11-1971

Mengijinkan penggunaan uang untuk tujuan lain dari pada yang ditetapkan, terdakwa telah melampaui batas wewenang

2 Putusan Mahkamah Agung RI No. 77 K/Kr/1973 tanggal 19-11-1974

Sengaja membiarkan orang lain menggelapkan uang negara yang ada pada terdakwa karena jabatannya (dalam hal ini orang lain tersebut menggunakan uang termasuk untuk tujuan-tujuan diluar tujuan penggunaan semula)

3 Putusan Mahkamah Agung RI No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17-2-1992

Pengertian, menyalahgunakan kewenangan” dengan cara mengambil alih pengertian yang ada dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut (“detournament de pouvoir”).

4 Putusan Mahkamah Agung RI No. 572 K/Pid/2003 tanggal 4-2-2004

Penggunaan dan pengelolaan keuangan negara dalam bentuk dana non budgeter hanya diatur oleh apa yang disebut “konvensi” tidak seperti halnya keuangan negara dalam bentuk APBN yang penggunaannya dan pengelolaannya diatur dalam keppres

Indriyanto Seno Adji mengatakan, unsur “penyalahgunaan wewenang”

tidak mendapatkan penjelasan yang memadai. Hal ini akan menimbulkan

penafsiran beragam. Adanya asas “ius curia novit” hakim perlu melakukan

122Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 94: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

rechtvinding (penemuan hukum) terhadap pengertian konsep “penyalahgunaan

wewenang”.123 Pendapat yang sama juga dikemukakan Adami Chazawi mengenai

apa yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan tidak ada keterangan

lebih lanjut dalam undang-undang.124 Demikian juga pendapat Nur Basuki

Minarno, dalam hal pengertian “penyalahgunaan kewenangan” tidak diketemukan

secara ekplisit dalam aturan hukum pidana, apakah yang dapat dilakukan untuk

memberikan batasan pengertian/konsep tentang “penyalahgunaan wewenang”?

Hal ini penting sekali untuk dilakukan karena “penyalahgunaan wewenang”

merupakan “bestanddeel delict” (bagian inti delik) dan harus dibuktikan

mengingat dalam hukum pidana berlaku asas “nullum delictum nulla poena siena

praevia lege poenali”.125

Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian menyalahgunakan

kewenangan dalam Hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ekstensif

berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A.Demersemen dengan

menggunakan pendekatan ekstensif tentang kajian “De Autonomie van het

Materielle Staffrecht” (otonomi dari Hukum Pidana Materiel), yang pada intinya

mempertanyakan apakah ada harmoni antara pengertian yang sama antara hukum

123Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan

Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah (Surabaya: Laksbang Mediatama,2009), hlm. 15.

124Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Selanjutnya Adami Chazawi I) (Edisi revisi;Jakarta: RajaGrafindo, 2016) hal. 60.

125Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 95: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

pidana, khususnya dengan hukum perdata dan hukum tata usaha negara sebagai

cabang hukum lainnya.126

Putusan Mahkamah Agung RI dalam rangka perkara Tindak Pidanan

Korupsi yang secara expressis verbis merujuk secara langsung kepada Pasal 53

ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai dasar untuk

menguji ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang adalah Putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 1340 K/Pid/1992 tanggal 17-2-1992, Putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 977 K/2004, dan Putusan Mahkamah Agung RI

Nomor 742 K/PID/2007.

127

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan

Wewenang

Mengenai menyalahgunakan kewenangan secara normatif telah diatur

dalam Pasal 17 UU Nomor 30 tahun 2014, yang menyebutkan :

(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi :

a. larangan melampaui Wewenang;

b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau

c. larangan bertindak sewenang-wenang.

126Amir Syamsudin, Putusan Perkara Akbar Tanjung Analisis Yuridis Para Ahli Hukum

(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2004), hlm.24. 127Dani Elpah. et.al., hlm.55.

Universitas Sumatera Utara

Page 96: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2. Perbuatan Melawan Hukum

Untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan perbuatan pidana, (…)

dalam teori hukum pidana terdapat suatu pandangan yang dikenal dengan ajaran

feit materiel. Dalam hal ini penentuan adanya kesalahan dan pertanggungjawaban

pidana dilakukan cukup dengan meninjau apakah pembuat memenuhi seluruh isi

rumusan tindak pidana. Dalam lapangan acara hal ini berarti, pembuktian telah

dilakukannya suatu tindak pidana, dipandang cukup sebagai dasar

pertanggungjawaban pidana terdakwa. Dengan demikian, seseorang dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa

perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang

didakwakan. Dengan sendirinya pengenaan pidana atau pemidanaan semata-mata

didasarkan pada hal tersebut.128

Pandangan ini cukup lama diikuti, hingga akhirnya dirasakan tidak lagi

memuaskan. Ketidakpuasan terhadap ajaran ini dimanifestasikan dalam praktik

peradilan melalui Arrest Hoge Raad 1916, yang dikenal dengan Water en Melk

Arrest. Pada satu sisi, arrest tersebut dapat dipandang memperkenalkan alasan

penghapus kesalahan diluar undang-undang yang disebut dengan ‘tidak ada

kesalahan sama sekali’ atau ‘afwezigheid van alle schuld’ (‘avas’). Terdakwa

yang dalam kasus tersebut didakwa melakukan tindak pidana yang rumusannya

tidak memuat unsur kesengajaan atau kealpaan, dinyatakan tidak bersalah karena

‘tidak ada kesalahan sama sekali’. Padahal apabila merujuk pada ajaran feit

128Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 97: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

materiel, terdakwa dalam kasus tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan

(dapat dipidana), karena seluruh isi rumusan tindak pidana telah dipenuhi.129

Pada sisi lain, arrest tersebut juga mengukuhkan suatu asas hukum, yang

dikenal dengan asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’ (geen straf zonder shuld

beginsel). Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan

pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhi seluruh

unsur suatu tindak pidana.

130

Hal ini sejalan dengan pendapat Andi Hamzah, sebagaimana dalam ajaran

hukum pidana untuk menjatuhkan pidana harus memenuhi dua syarat yang

sifatnya komulatif yaitu melakukan perbuatan pidana (actus reus) dan

pertanggungjawaban pidana (unsur kesalahan/mens rea). Dapat dikatakan

melakukan perbuatan pidana apabila perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-

unsur delik, dalam hal ini harus dibuktikan untuk pertama kali. Jika terbukti,

langkah selanjutnya apakah terpenuhinya unsur pertanggungjawaban pidana

(unsur kesalahan). Untuk pertanggungjawaban pidana (unsur kesalahan) meliputi

dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat, adanya kaitan psikis antara pembuat

dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa),

tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapuskan dapatnya

dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

131

129Ibid. 130Ibid. 131Andi Hamzah dalam Nur Basuki Minarno,Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak

Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah (Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009), hlm. 11-12.

Universitas Sumatera Utara

Page 98: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Dengan demikian untuk penjatuhan pidana terhadap seseorang yang

melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 UUPTK, maka

harus dibuktikan perbuatan pidana (actus reus) dan pertanggungjawaban pidana

(unsur kesalahan/mens rea).

Apabila dirinci, rumusan Pasal 3 UU PTPK menurut Adami Chazawi

mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur-unsur Objektif

a. Perbuatannya: 1) Menyalahgunakan kewenangan 2) Menyalahgunakan kesempatan 3) Menyalahgunakan sarana

b. Yang ada padanya 1) Karena jabatan 2) Karena kedudukan

c. Yang dapat merugikan 1) Keuangan negara 2) Perekonomian negara

Unsur Subjektif

d. Kesalahan : dengan tujuan : 1) menguntungkan diri sendiri; 2) menguntungkan orang lain; 3) menguntungkan suatu korporasi.132

Secara implisit penyalahgunaan wewenang in haeren dengan melawan hukum,

karena penyalahgunaann wewenang essensinya merupakan perbuatan melawan

hukum. Unsur “melawan hukum” merupakan “genus” nya, sedangkan unsur

“penyalahgunaan wewenang” adalah “species”nya.

133

Menurut Moeljatno, sejak adanya putusan pengadilan berkaitan dengan

perkara Cohen-Lindenbaum tahun 1919 di Belanda, pengertian perbuatan

132Adami Chazawi I, Op. Cit., hlm. 59-60.

133Nur Basuki Minarno,Op. Cit., hlm. 58.

Universitas Sumatera Utara

Page 99: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

melawan hukum tidak lagi diartikan secara tektual pada ketentuan perundang-

undangan atau hukum tertulis, tetapi meliputi pelanggaran terhadap nilai atau

kepatutan yang ada dalam masyarakat. Dalam hukum pidana, yang memperoleh

pengaruh perubahan pandangan dalam hukum perdata, hal itu dikenal sebagai

materieele wederrechtelijkheid, yaitu setiap perbuatan yang mengandung suatu

sikap tercela atau tidak patut bagi masyarakat.134

“Bahwa konsep melawan hukum materiil (mateteriele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-

Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), telah mengadopsi adanya perbuatan melawan

hukum formil dan materi sebagaimana diungkapkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat

(1) yaitu :

Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Namun Mahkamah Kontitusi RI telah menyatakan perbuatan melawan

hukum materiil bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana dalam Putusannya

Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, dalam pertimbangannya

menyatakan :

134Moeljatno dalam Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak

Pidana Korupsi(Cetakan Kedua; Jakarta: Indonesia Lawyer Club, 2010), hlm.64.

Universitas Sumatera Utara

Page 100: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat”

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi maka yang dimaksud dengan

secara melawan hukum dalam UUPTPK adalah perbuatan melawan hukum

formil, dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan

perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada

sebagai penjelmaan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Oleh karena

penyalahgunaan wewenang adalah “species” nya dari unsur “melawan hukum”

maka sifat penyalahgunaan wewenang adalah formil.

Pencantuman unsur melawan hukum dalam UUPTPK memiliki makna

sebagaimana diuraikan Lamintang, “Mengenai pencantuman dan tidak

dicantumkannya unsur melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana

menurut Lamintang memiliki konsekuensi yang berbeda, disamping menyangkut

kewajiban pembuktian oleh penuntut umum maupun putusan yang diambil oleh

hakim apabila unsur itu tidak terbukti. Apabila unsur tersebut dinyatakan secara

tegas sebagai unsur dari delik yang didakwakan, dengan sendirinya unsur itu

harus dicantumkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan dalam sidang

pengadilan karena setiap unsur yang didakwakan pada dasarnya harus pula

dibuktikan. Sebaliknya apabila unsur melawan hukum tersebut telah tidak

dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik yang diakwakan, maka unsur

tersebut dengan sendirinya juga tidak perlu dicantumkan dalam surat dakwaan dan

Universitas Sumatera Utara

Page 101: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dalam sidang pengadilan juga tidak perlu dibuktikan karena penuntut umum

memang tidak perlu membuktikan unsur-unsur dari tindak pidana yang tidak

didakwakannya.135

Apabila unsur “wederrchtelijk” itu oleh pembentuk undang-undang telah

dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur

tersebut akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu vrijspraak atau suatu

pembebasan. Apabila unsur “wederrchtelijk” telah tidak dinyatakan secara tegas

sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan

akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle

rechtvervolging atau suatu “pembebasan dari segala tuntutan hukum”.

136

Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan

pidana ini dibeda-bedakan menjadi:

137

(1) Alasan pembenar; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya

perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi

perbuatan yang patut dan benar.

(2) Alasan pemaaf; yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap

merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada

kesalahan.

135Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana

Korupsi(Cetakan Kedua; Jakarta: Indonesia Lawywer Club, 2010), hlm.97. 136Ibid.,hlm.98. 137Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi; Jakarta: Rineka Cipta, 2015),

hlm.148.

Universitas Sumatera Utara

Page 102: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Menurut M.v.T. alasan-alasan penghapus pidana dibagi menjadi:138

(a) Alasan-alasan yang terdapat dalam batin terdakwa, yaitu Pasal 44 KUHP

(b) Alasan-alasan yang diluar, yaitu Pasal 48-51 KUHP.

Alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukum selain diatur

dalam KUHP, ditemukan juga diluar KUHP demi memenuhi tuntutan keadilan

yaitu melalui Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966, No 42

K/Kr/1965, kemudian ditegaskan kembali melalui Putusan Mahkamah Agung

tanggal 16 Desember 1976, No.81K/Kr/1973. Norma yang dapat ditarik dari

Putusan MA tersebut adalah:139

3. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana

“Suatu perbuatan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum; dalam perkara ini misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung”.

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

“toerekenbaarheid”, “criminal responsibility”, “criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime)

yang terjadi atau tidak.140

138Ibid., hlm.149.

139Tjandra Sridjaja Pradjonngo, Op.Cit., hlm.100. 140E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 250.

Universitas Sumatera Utara

Page 103: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Prinsip pertaggungjawaban pidana dapat ditemui dalam Pasal 2 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa “ketentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan

sesuatu tindak pidana di Indonesia.141

Pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya

tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya

telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu

tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada

kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan

yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada yang

dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya. Dengan demikian tidak

mungkin seorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang

bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak

pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban.

142

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya

perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan

kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari

soal apakah dalam melakukan perbuatan ini mempunyai kesalahan. Sebab asas

dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah : Tidak dipidana jika

tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist

141Disiplin. F. Manao, Op. Cit., hlm. 164. 142Chairul Huda, Op. Cit., hlm. 20.

Universitas Sumatera Utara

Page 104: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

rea). Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tidak

tertulis yang juga di Indonesia berlaku.143

Dalam common law system, pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban

pidana apabila adanya kehendak jahat (mens rea) sebagai unsur subjektifdan

adanya perbuatan tindak pidana (actus reus) sebagai unsur objektif, berlaku

maksim Latin actus reus non est reus, nisi mens sit rea, suatu perbuatan tidak

dapat dikatakan bersifat kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya,

pada hakekatnya sama dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen

straf zonder schuld beginsel).

144Hal ini juga sama dengan ajaran dualistis yang

dikemukakan Moeljatno yang memisahkan tindak pidana dan

pertanggungjawaban pidana, walaupun seseorang telah melakukan tindak pidana,

tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan, maka tidak dapat

dipertanggungjawabkan.145

SIMONS berpendapat, kesalahan adalah merupakan unsur subjektif dari

tindak pidana, adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan

terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu:

Perihal kesalahan dalam hukum acara pidana terdapat dalam Pasal 191

ayat (1) KUHAP:

“jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”

146

1) Kemampuan bertanggungjawab (toerekenings vatbaarheid).

143Moeljatno, Op. Cit., hlm. 165. 144Chairul Huda,Op.Cit., hlm.5. 145Ibid., hlm. 6. 146E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 162.

Universitas Sumatera Utara

Page 105: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2) Hubungan kejiwaan (Psichologische betrekking) antara pelaku,

kelakuannya dan akibat yang ditimbulkan (termasuk pula kelakuan yang

tidak bertentangan dengan hukum dalam kehidupan sehari-hari).

3) Dolus atau culpa.

Menurut Andi Hamzah, ciri atau unsur kesalahan dalam arti yang luas,

yaitu:147

1) Dapat dipertanggungjawabkan pembuat.

2) Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja

atau kesalahan dalam arti sempit (culpa).

3) Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya

dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Dalam KUHP alasan-alasan penghapusan pidana terdapat dalam Pasal 44,

48, 49, 50 dan Pasal 51.

Pasal 44 ayat (1) KUHP menyebutkan:

“ Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat

dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena

sakit berubah akal tidak boleh dihukum.”

Pasal 48 KUHP menyebutkan:

“ Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan

yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum.”

Kata terpaksa harus diartikan baik paksaan bathin, maupun lahir, rohani

maupun jasmani. Kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan ialah suatu kekuasaan

147Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana(Selanjutnya Andi HamzahI)(Edisi Revisi;

Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm. 138.

Universitas Sumatera Utara

Page 106: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

yang berlebih, kekuasaan yang pada umumnya dianggap tidak dapat dilawan,

suatu overmacht, Mr. J. E. Jonkers membedakan kekuasaan ini atas 3 macam,

ialah:148

a. Yang bersifat absolut. Dalam hal ini orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya. Ia tidak mungkin memilih jalan lain. Misalnya orang dipegang oleh orang lain yang kuat, dilemparkan ke jendela, sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain.

b. Yang bersifat relatif. Disini kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan untuk memilih akan berbuat yang mana. Bedanya kekuasaan bersifat absolut dan yang bersifat relatif itu ialah bahwa pada yang absolut dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif maka orang yang dipaksa itulah yang berbuat, meskipun dalam paksaan kekuatan. Tidak semua kekuasan yang memaksa dapat membebaskan orang dari hukuman, yang dapat membebaskan itu hanya suatu kekuasaan yang begitu besarnya sehingga oleh pendapat umum dapat dipandang sebagai tidak dapat dihindarkan, tidak harus dilawan. Seorang yang disuruh orang lain untuk membakar rumah dengan ancaman akan dengan dipukul tangan saja misalnya tidak dapat mengatakan dirinya dalam “overmacht”, karena ia bisa melawan atau menghindarkan pukulan itu. Jadi paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya apakah yang dipaksa itu lebih lemah dari pada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya.

c. Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat ini orang yang dipaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana manakah yang ia lakukan itu, sedang pada kekuasaan yang bersifat relatiforang itu tidak memilih, dalam hal ini yang mengambil ini relatif ialah orang yang memaksa.

Pasal 49 KUHP menyebutkan: Ayat (1) “Barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya

untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan

atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang

148R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

komentarnya(Bogor: Politeia,1996), hlm. 63-64.

Universitas Sumatera Utara

Page 107: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh

dihukum.”

Ayat (2) “Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan

itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan

segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.”

Pasal 50 KUHP menyebutkan:

“ Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan

undang-undang, tidak boleh dihukum.”

Pasal 51 KUHP menyebutkan:

Ayat (1) “ Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah

jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum”

Ayat (2) “ Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak

tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas

kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa

yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai

yang dibawah perintah tadi.

Syarat pertama yang disebutkan dalam pasal ini ialah bahwa orang itu

melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan

orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian negeri,

bukan pegawai partikulir. Tidak perlu, bahwa yang diberi perintah itu harus orang

bawahan dari yang memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu

ialah bahwa antara yang diperintah dengan memberi perintah ada kewajiban untuk

mentaati perintah itu. Syarat kedua ialah bahwa perintah harus diberikan oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 108: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tersebut tidak

berhak untuk itu, maka orang yang menjalankan perintah tadi tetap dapat dihukum

atas perbuatan yang telah dilakukannya, melainkan jika orang itu dengan etikad

baik mengira, bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak

untuk itu. Jika demikian, menurut ayat 2 dari pasal ini, orang itu tidak dapat

dihukum.149

Wirjono Prodjodikoro membagi alasan-alasan yang menghapuskan tindak

pidana dalam KUHPidana menjadi 2 kelompok, yaitu:

Ketentuan dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, menyatakan bahwa dipidana

sebagai pelaku tindak pidana: (a) yang melakukan, yang menyuruh melakukan,

dan turut serta melakukan perbuatan, (b) yang dengan memberi atau menjanjikan

sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau

keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Sedangkan Pasal 56 KUHP, menyatakan dihukum sebagai orang yang membantu

melakukan kejahatan: (a) yang dengan sengaja membantu melakukan kejahatan,

(b) yang dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.

150

1. Alasan Pembenar, termasuk didalamnya Pasal 49 ayat 1 KUHPidana (keperluan membela diri atau Noodweer), pasal 50 dan Pasal 51 ayat 1 KUHPidana (tentang melaksanakan perintah jabatan).

Oleh karena yang dihilangkan adalah sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid, sehingga perbuatan si pelaku menjadi dibenarkan, maka alasan menghilangkan tindak pidana (strafuitsluitings-grond) ini juga dikatakan sebagai alasan pembenar (Rechtsvaardigings-grond).

149Ibid., hlm. 67. 150Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana (Jakarta:

Diadit Media, 2009), hlm. 102.

Universitas Sumatera Utara

Page 109: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2. Alasan Pemaaf, termasuk didalamnya Pasal 44 ayat 1 KUHPidana (tentang gangguan penyakit pada daya pikir seseorang), Pasal 48 KUHPidana (tentang Overmacht), Pasal 49 ayat 2 KUHPidana (tentang Noodwee Exces), Pasal 51 ayat 2 KUHPidana (tentang perintah jabatan yang wenang).

Menurut Roeslan Saleh alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum

tindak pidana dalam kepustakaan disebut dengan alasan pembenar. Sedangkan

alasan yang menghapuskan kesalahan disebut dengan alasan pemaaf.151

Indriyanto Seno Adji mengemukakan bahwa Perkembangan antara hukum

adminitrasi Negara dan hukum pidana memasuki “gray area” dengan segala

teknikalitas dengan proses pemidanaan, bahkan hingga kini menimbulkan

debatebelitas dikalangan hukum ahli hukum pidana. Betapa tidak, keputusan

pejabat negara baik dalam rangka “beleid” maupun “diskresi” menjadi ajang

kajian akademis untuk dijadikan alasan penolakan maupun maupun justifikasi

pemidanaan dalam area hukum pidana

C. Perbedaan Secara Prinsipil Penyalahgunaan Wewenang Dalam Hukum

Administrasi dan Hukum Pidana Korupsi

Sebelum membahas perbedaan prinsipil penyalahgunaan wewenang

menurut hukum administrasi dan hukum pidana, terlebih dahulu akan dibahas

persamaan kedua cabang ilmu tersebut.

152

Menurut teori titik singgung hasil penelitian Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hukum dan Peradilan BALITBANG DIKLAT KUMDIL

151Chairul Huda,Op. Cit., hlm.124.

152Nur Basuki Minarno, Op. Cit.,hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara

Page 110: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

MAHKAMAH AGUNG RI, persinggungan Hukum Pidana dan Hukum

Administrasi terkait dengan penyalahgunaan wewenang, meliputi:153

1. Persinggungan Istilah/konsep.

Persamaan dalam penggunaan istilah/konsep yaitu terkait

“penyalahgunaan wewenang” dan menyalahgunakan wewenang.

2. Persinggungan Konprehensi/Konotasi/intensi (Isi) Penyalahgunaan

Wewenang.

Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian menyalahgunakan

kewewenangan dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ekstensif

berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian

“De Autonomie van het Materiele Strafrecht (otonomi dari hukum pidana

materiel). Apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan

eksplisitasnya dalam Hukum Pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan

pengertian dan kata yang sama yang terdapat dari cabang hukum lainnya.

Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Tindak Pidana Korupsi yang

secara expressis verbis merujuk secara langsung kepada Pasal 53 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai dasar untuk menguji ada tidaknya

unsur penyalahgunaan wewenang adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

1340 K/Pid/1992 tanggal 17-2-1992, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 977

K/2004, dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 742 K/PID/2007.

3. Persinggungan Normadressat (Subjek norma) Penyalahgunaan

Wewenang.

153Dani Elpah, et. at., Op. Cit., hlm. 53-60.

Universitas Sumatera Utara

Page 111: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Norma larangan Penyalahgunaan Wewenang berdasarkan ketentuan Pasal

17 ayat 91) yunto Pasal 21 ayat (1) Undang-undang 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan adalah ditujukan kepada “Pejabat Pemerintahan”.

menurut Pasal 1 butir 3 Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan

Fungsi Pemerintahan, baik dilingkungan pemerintah maupun penyelenggara

negara lainnya. Demikian pula halnya yang menjadi normadressat alamat yang

dituju oleh sebuah norma/subjek norma) dalam unsur “menyalahgunakan

kewenangan” yang ada didalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “Pejabat Pemerintahan atau

Penyelenggara lainnya.”

4. Persinggungan Normgeddrag (Perilaku yang dikehendaki atau perilaku

apa yang tidak dikehendaki untuk dilakukan atau tidak boleh dilakukan

oleh sebuah norma).

Dalam hukum administrasi perilaku penyalahgunaan wewenang yang

dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan

Keputusan dan/atau Tindakan adalah merupakan perbuatan yang dilarang

sebagaimana ditentukan didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan di dalam Pasal 17 ayat (1) menentukan : Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang. Ancaman

terhadap Keputusan dan/atau Tindakan yang dikeluarkan secara menyalahgunakan

Wewenang adalah dapat dinyatakan tidak sah dan/atau dapat dibatalkan, dan

bilamana menyalahgunakan wewenang merugikan keuangan negara dapat

dibebani pengembalian kerugian negara kepada Pejabat Pemerintahan.

Universitas Sumatera Utara

Page 112: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Menyalahgunakan kewenangan dalam Hukum Pidana khususnya Tindak

Pidana Korupsi merupakan perbuatan terlarang sebagaimana dimaksud di dalam

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling

sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Berdasarkan paparan tersebut diatas perilaku penyalahgunaan wewenang,

sama-sama merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan terlarang

(verbod) baik di dalam Hukum Administrasi maupun dalam Hukum Pidana

khususnya dalam Tindak Pidana Korupsi, dan sama-sama mempunyai sanksi

bilamana hal tersebut dilanggar.

Jika disederhanakan teori Titik singgung menurut BALITBANG DIKLAT

KUMDIL MAHKAMAH AGUNG RItersebut dalam bentuk tabel, dapat

digambarkan sebagai berikut :

Tabel II

Persinggungan Penyalahgunaan Wewenang Aantara Hukum Administrasidan Hukum Pidana

No Titik Singgung Hukum Administrasi Hukum Pidana

1 Istilah Penyalahgunaan wewenang dan

menyalahgunakan wewenang

Menyalahgunakan kewenangan

Universitas Sumatera Utara

Page 113: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

No Titik Singgung Hukum Administrasi Hukum Pidana

2 Konprehensi/Konotasi/Intensi (isi)

Pengertian penyalahgunaan

wewenang telah dimuat dalam Pasal 53 ayat (2) UU PTUN dan Psl 17

UUAP

Pengertian penyalahgunaan

kewenangan menggunakan konsep yg

berasal dari Hukum Adminitrasi (pendekatan

ekstensif)

3 Normadressat (subjek norma)

Pejabat Pemerintahan atau penyelenggaran Negara

lainnya

Pejabat Pemerintahan atau penyelenggaran

Negara lainnya

4 Normgedrag Penyahgunaan Kewenangan merupakan

perilaku yang tidak dikehendaki

Penyahgunaan Kewenangan merupakan

perilaku yang tidak dikehendaki

Persamaan Hukum Administrasi dan Hukum Pidana yang digambarkan

teori Titik Singgungsebagaimana hasil penelitian Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hukum dan Peradilan BALITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG RItersebut semakin menguatkan pendapatIndriyanto

Seno Adji yang mengemukakan bahwa perkembangan antara Hukum Adminitrasi

dan Hukum Pidana telah memasuki “gray area”.

Persamaaan antara hukum administrasi dan hukum pidana semakin

membuat buram penegakan hukum di Indonesia, bahkan Presiden Republik

Indonesia mengeluarkan arahan kepada KAPOLDA dan KAJATI seluruh

Indonesia agar tindakan administrasi tindak pidana, namun disisi lain sebagian

pelaku korupsi berlindung dibalik hukum administrasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 114: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Persamaan tersebut akan mempengaruhi persinggungan kewenangan

mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan TIPIKOR apabila

ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat

Pemerintahan.

Kewenangan pengadilan Tata Usaha Negara dalam mengadili

penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyebutkan:

“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutus ada atau

tidak unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat

Pemerintahan”.

Yang dimaksud dengan pengadilan dalam Pasal 21 ayat (1) tersebut diatas

adalah Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 18

UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Sedangkan kewenangan mengadili penyalahgunaan kewenangan pada

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur pada Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor

46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan:

“Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan

yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak

pidana korupsi”.

Universitas Sumatera Utara

Page 115: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Kewenangan mengadili penyalahgunaan kewenangan tersebut berdasarkan

delik materil yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor

20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, ata sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015

tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan wewenang,

telah memberikan batasan waktu berlakunya pengajuan permohonan ada atau

tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan,

sebagaimana diatur :

Pasal 2 ayat (1) : Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan sebelum adanya proses pidana.

Ayat(2) : Pengadilan baru berwenang menerima, memeriksa, dan memutus penilaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah adanya hasil pemeriksaan aparat pengawasan internal pemerintah.

Pemberlakukan masa waktu pengajuan permohonan inilah menjadi salah

satu pembeda dari segi proses pemeriksaan penyalahgunaan wewenang pada

Hukum Pidana Korupsi yang tidak terikat dengan putusan APIP (Aparat

Pengawasan Internal Pemerintah) karena Hukum administrasi dan Hukum Pidana

adalah saling mengisi, akan dibahas lebih lanjut pada BAB selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 116: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Hukum administrasi menempati posisi dominan dalam penanganan tindak

pidana korupsi, baik preventif berupa pencegahan tindak pidana korupsi maupun

represif yaitu penanganan/penindakan tindak pidana korupsi. Dari sisi represif,

hukum administrasi sangat dominan karena tindak pidana korupsi hanya mungkin

terjadi dalam konteks kerugian negara yang diakibatkan oleh maladministrasi

dalam penggunaan wewenang. Bentuk maladministrasi yang paling utama adalah

penyalahgunaan wewenang.154

Tanggungjawab pejabat dalam melaksanakan fungsinya dibedakan antara

tanggungjawab jabatan dan tanggungjawab pribadi. Tanggungjawab jabatan

berkenaan dengan legalitas(keabsahan) tindak pemerintahan. dalam hukum

administrasi. Persoalan legalitas tindak pemerintahan berkaitan dengan

pendekatan terhadap kekuasaan pemerintahan. tanggungjawab pribadi berkaitan

dengan pendekatan fungsionarisatau pendekatan perilakudalam hukum

administrasi. Tanggungjawab pribadi berkenaan dengan maladministrasidalam

penggunaan wewenang maupun public service.

155

Perbedaan antara tanggungjawab jabatan dan tanggung jawab pribadi atas

tindak pemerintahan membawa konsekwensi yang berkaitan dengan tanggung

jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara

(TUN).

156

154Philipus M.Hadjon,et. al., Op. Cit., hlm 2.

155Ibid.,hlm. 16. 156Ibid.,hlm. 16-17.

Universitas Sumatera Utara

Page 117: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam kaitan

dengan tindak pemerintahan, tanggung jawab pribadi seorang pejabat

berhubungan dengan adanya maladministrasi.157

Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan

dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Tanggung gugat perdata

menjadi tanggung gugat pribadi apabila terdapat unsur maladministrasi. Tanggung

gugat TUN pada dasarnya adalah tanggung gugat jabatan.

Hal ini berbeda dengan hukum

administrasi berupa tanggung jawab jabatan.

158

Philipus M. Hadjon

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun

2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maladministrasi adalah:

“Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,

melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari

yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau

pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaran pelayanan public

yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang

menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan

orang perseorangan”.

159

157Ibid.,hlm. 17. 158Ibid.

159Ibid., hlm. 20-21

menggambarkan perbandingan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 118: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Tabel III

PERBANDINGAN ANTARA TANGGUNG JAWAB JABATAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI

Tanggung Jawab Jabatan Tanggung Jawab Pribadi

a. Fokus : legalitas (keabsahan) tindakan

- Wewenang

- Prosedur

- Subtansi

Fokus : maladministrasi

Perilaku jelek aparat dalam pelaksanaan tugas ….. perbuatan tercela

Antara lain : - sewenang-wenang

- penyalahgunaan wewenang

b. Parameter :

- Peraturan Perundang-undangan

- Asas-asas umum pemerintahan yang baik

Parameter :

1. Peraturan perundang-undangan

2. Asas-asas umum pemerintahan yang baik

3. Code of good administrative behavior (Uni Eropa

c. Pertanyaan hukum:

Adakah cacat yuridis menyangkut :

- Wewenang

- Prosedur

- Substansi

Pertanyaan hukum:

Adakah maladministrasi dalam tindakan tersebut?

d. Asas praesumtio iustse causa

Setiap tindakan pemerintahan harus dianggap sah sampai ada pencabutan atau pembatalan

Berkaitan dengan tindak pidana : asas praduga tak bersalah

e. Sanksi : administrasi, perdata Sanksi : administrasi, perdata, pidana

Universitas Sumatera Utara

Page 119: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Arti pentingnya membedakan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab

pribadi untuk mengetahui batasan hukum administrasi dan hukum pidana,

sebagaimana juga terlihat dalam pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara

Ir.Akbar Tanjung sebagai berikut :

“Bahwa manakala suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun jabatan dan kedudukan seperti halnya yang didakwakan terhadap diri terdakwa ke-1, maka menurut hemat Mahkamah Agung hal tersebut tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum atau aspek Hukum Administrasi Negara, dimana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungjawab jabatan (liability jabatan) yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggung jawab perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi) sebagaimana yang berlaku sebagai prinsip dalam Hukum Pidana”.

“Bahwa oleh karenanya dalam kasus ini haruslah dipilah-pilah sampai sejauh mana penerapan Hukum Administrasi Negara masih relevant, dan pada tahap mana prinsip-prinsip Hukum Pidana yang secara murni harus diterapkan, baik segi doktrin, hukum positif maupun yurisprudensi”.160

1. Pejabat Pemerintahan melakukan suatu perbuatan dan/atau tindakan yang

cacat yuridis meliputi wewenang, prosedur, substansinya;

Berdasarkan uraian tersebut diatas, terdapat 3 (tiga) ruang lingkup

pembahasan untuk membedakan batasan hukum administrasi dan hukum pidana,

yaitu:

2. Pejabat Pemerintahan melakukan suatu perbuatan dan/atau tindakan

maladministrasi;

3. Pejabat Pemerintahan melakukan perbuatan dan/atau tindakan

maladministrasi dengan menyalahgunakan kewenangan yang mengakibatkan

kerugian negara dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

160Putusan Mahkamah Agung RI perkara Ir. Akbar Tanjung Nomor : 572 K/Pid/2003

tanggal 4 Pebruari 2004, pertimbangan hukum alinea 5 dan 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 120: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pembahasan kesatu, Perbuatan badan/pejabat pemerintahan dilakukan dalam

rangka pelaksanaan fungsi jabatan, sehingga setiap perbuatan dan/atau tindakan

pemerintah tersebut dianggap sah sampai ada pencabutan oleh Pejabat

Pemerintahan tersebut atau Pengadilan Tata Usaha Negara karena cacat yuridis

(wewenang, prosedur, substansi). Badan/pejabat pemerintahan tersebut hanya

dapat dimintai tanggung jawab jabatan dalam rangka hukum administrasi.

Menurut Philipus M.Hadjon Rechtmatig bestuur adalah asas pemerintahan yang

bertumpu atas asas Negara hukum, yaitu asas legalitas. Berdasarkan asas legalitas,

setiap tindak pemerintahan harus dilandaskan pada wewenang yang sah, prosedur

yang tepat dan subtansi yang tepat.161

Untuk menguji keabsahan (legalitas) keputusan/tindakan yang dibuat

pejabat pemerintahan melalui gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dasar

Misalnya : penerbitan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), pembatalan Sertifikat

Tanah.

Pada perbahasan pertama ini perbuatan dan/atau tindakan pejabat

pemerintahan yang cacat yuridis berlaku asas vicarious liability atau tanggung

jawab jabatan atau tanggang jawab pengganti, artinya dapat dimintai

pertanggungjawaban pihak lain (atasan, pimpinan) atas perbuatan seseorang

(bawahan). Dalam praktek pemerintahan, pejabat pemerintahan yang

mengeluarkan keputusan/tindakan yang cacat yuridis sering dikenakan sanksi

administratif ringan (teguran atau peringatan).

161Philipus M.Hadjon, et. al., Op. Cit., hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 121: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

pengajuan gugatan adalah apakah keputusan/tindakan tersebut bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan (tertulis) dan asas-asas umum

pemerintahan yang baik (tidak tertulis).

Pembahasan kedua, Pejabat pemerintahan melakukan perbuatan dan/atau

tindakan maladministrasi dengan menyalahgunakan kewenangan yang

menyebabkan kerugian bagi orang lain, namun tidak merugikan keuangan negara

merupakan tanggung jawab pribadi. Pejabat pemerintahan tersebut dapat dimintai

tanggung jawab pribadi, dalam ruang lingkup hukum administrasi dan hukum

pidana umum. Sanksi administrasi berupa sanksi sedang sampai berat (penurunan

pangkat dan/atau pencopotan jabatan), sedangkan sanksi pidana umum dikenakan

Pasal 421 KUHP, yaitu :

“Pegawai negeri yang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya

memaksa orang untuk membuat, tidak membuat atau membiarkan barang

sesuatu apa, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan”.

Jika perbuatan maladministrasi dilakukan dengan cara pemalsuan surat

dapat dikenakan pidana memalsukan surat-surat sebagaimana diatur dalam Pasal

263 atau 266 KUHP.

Pembahasan ketiga, Perbuatan badan/pejabat pemerintahan melakukan

perbuatan dan/atau tindakan maladministrasi dengan menyalahgunakan

kewenangan, dan merugikan keuangan negara dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan

tanggung jawab pribadi. Pejabat pemerintahan tersebut masuk dalam ruang

Universitas Sumatera Utara

Page 122: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

lingkup hukum adminitrasi dan hukum pidana. sanksi administrati berupa sanksi

berat berupa pemecatan, sedangkan sanksi pidana dikenakan Pasal 3 UUPTPK.

Penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pejabat pemerintahan

tersebut akan diuji melalui Pengadilan Tipikor apakah perbuatan/tindakannya

telah melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak (hukum tertulis), tidak

meliputi pelanggaran hukum tidak tertulis. Parameter pengujian inilah yang

membedakan dengan hukum adminitrasi yang masih berdasarkan perbuatan

melawan hukum/penyalahgunan kewenangan bersifat formil dan materiil,

sedangkan hukum pidana korupsi hanya berdasarkan perbuatan melawan

hukum/penyalahgunaan formil.

Dalam praktek hukum administrasi pemerintahan, keputusan dan/atau

tindakan pejabat pemerintahan yang sering memasuki area hukum pidana adalah

diskresi atau kebijakan. Kriminalisasi terhadap diskresi menjadi perdebatan para

ahli hukum di dalam dan di luar pengadilan. Saat ini banyak pejabat pemerintahan

tidak mau membuat suatu diskresi untuk mengatasi stagnasi pemerintahan karena

takut dikriminalisasi, bahkan Presiden Republik Indonesia Ir.Joko Widodo pada

tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara mengumpulkan para KAPOLDA dan

KAJATI seluruh Indonesia dan memberikan 5 (lima) arahan, salah satunya adalah

diskresi atau kebijakan tidak dapat dipidanakan. Latar belakang Presiden Republik

Indonesia memberikan arahan tersebut akibat penegakan hukum yang tidak

terarah membuat Pejabat Pemerintahan takut membuat diskresi sehingga

perekonomian Indonesia melambat.

Universitas Sumatera Utara

Page 123: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Dalam hukum administrasi, diskresi memang diperlukan untuk

mewujudkan kesejahteraan umum bagi warga negara, namun diskresi tanpa

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB menyebabkan timbulnya

penyalahgunaan wewenang. H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mengatakan

bahwa sejak dianutnya konsepsi welfare state, yang menempatkan pemerintah

sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umum warna

Negara dan untuk mewujudkan kesejahteraan ini pemerintah diberi wewenang

untuk campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, yang dalam

campur tangan ini tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan,

tetapi dalam keadaan tertentu dapat bertindak tanpa bersandar pada peraturan

perundang-undangan, tetapi bersandar pada inisiatif melalui freies ermersen,

ternyata menimbulkan kekhawatiran dikalangan warga negara. Karena dengan

freies ermersen muncul pula peluang terjadinya benturan kepentingan antara

pemerintah dengan rakyat baik dalam bentuk onrechhtmatig, overheidsdaad,

detournement de pouvoir, maupun dalam bentuk wilkeur, yang merupakan

bentuk-bentuk penyimpangan tindakan pemerintahan yang mengakibatkan

terampasnya hak-hak asasi warga negara. Guna menghindari atau meminimalisasi

terjadinya benturan tersebut, pada tahun 1946 Pemerintah Belanda membentuk

komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang bertugas memikirkan dan meneliti

beberapa alternatif tentang verhoogde Rechtsbescherming atau peningkatan

perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara yang

menyimpang. Pada 1950 komisi de Monchy kemudian melaporkan hasil

penelitiannya tentang verhoogde rechtsbescherming dalam bentuk “algemene

Universitas Sumatera Utara

Page 124: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

beginselen van behoorlijk bestuur” atau asas-asas umum pemerintahan yang

baik.162

(1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

Untuk menguji keabsahan keputusan dan/atau tindakan diskresi yang

dibuat Pejabat Pemerintahan dalam Hukum Administrasi Pemerintahan

parapemeternya adalah peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum

pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat 2

melalui Undang-UndangRI Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, dan Pasal 5, Pasal 8 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan.

Norma diskresi meliputi tujuan, lingkup dan persyaratan diatur dalam

Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan.

Pasal 22 menyebutkan :

(2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertjuan tujuan untuk :

a. Melancarkan penyelenggaran pemerintahan;

b. Mengisi kekosongan hukum;

c. Memberikan kepastian hukum; dan

d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna

kemanfaatan dan kepentingan umum

162Ridwan H.R, Op. Cit., hlm. 230-231.

Universitas Sumatera Utara

Page 125: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pasal 23, Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi :

a. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau

Tindakan;

b. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-

undangan tidak mengatur;

c. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-

undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan

d. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi

pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Pasal 24, Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi

syarat:

a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat

(2);

b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Sesuai dengan AUPB;

d. Berdasarkan alasan-alsan yang objektif;

e. Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan

f. Dilakukan dengan itikad baik.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, jika Pejabat Pemerintahan membuat

suatu diskresi sudah sesuai dengan tujuan, lingkup dan persyaratan maka sudah

barang tentu tidak masuk area hukum pidana, khususnya Tindak Pidana Korupsi,

Universitas Sumatera Utara

Page 126: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

namun bagaimana jika diskresi tersebut menimbulkan kerugian negara, apakah

masih masuk area Hukum Adminitrasi Negara dan/atau Hukum Pidana. Pasal 20

UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dirumuskan

sebagai berikut :

1. Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan 18 dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintah;

2. Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Tidak terdapat kesalahan; b. Terdapat kesalahan administratif; atau c. Terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian

negara”. 3. Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

4. Jika hasil aparatur pengawasan intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan;

5. Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Badan Pemerintah, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang;

6. Pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada pejabat pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.

Dengan demikian jika terdapat kesalahan administratif dalam suatu keputusan

adan/atau tindakan dan mengakibatkan kerugian negara maka dikenakan hukuman

administratif kepada Badan Pemerintahan untuk pengembalian kerugian negara

sebagai tanggung jawab jabatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 127: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Contoh 1:

Pada salah satu instansi pemerintah di Tebing Tinggi telah mendapat gaji ke-13 (gaji pokok+tunjangan) dari pemerintah pusat bulan Juli 2017, namun dikarenakan bendahara lupa pada bulan juli 2017 tersebut ternyata tunjangan Pegawai telah naik 20% yang tidak diperhitungkan ke dalam gaji ke-13, sehingga yang diterima para pegawai hanya gaji ke-13 tanpa kenaikan 20%, kemudian bendahara mengajukan kekurangan tersebut pada bulan Oktober 2017 dengan cara menginput data 20% tersebut kedalam aplikasi gaji tanpa merubah sistem perkalian yang ada yaitu dikali 3 bulan yang seharusnya hanya dikali 1, kemudian hasilnya diajukan ke KPKN untuk pencairan, selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada seluruh pegawai. Selanjutnya pada bulan Nopember 2017 KPKN mengajukan surat kepada pimpinan bendahara tersebut untuk menyetorkan kembali kelebihan dana sebesar 40% kepada Negara.

Contoh 2 :

Pada tahun 2016 Bupati Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai membuat suatu diskresi dengan membangun sekolah SMP dengan cara Penunjukan Langsung tanpa melalui Pelelangan Umum dengan alasan sekolah tersebut mendesak untuk dipakai karena sudah waktunya ujian semester.

Jika terjadi kesalahan administrasi dalam diskresi karena penyalahgunaan

wewenang dan mengakibatkan kerugian negara dengan maksud menguntungkan

diri sendiri atau orang lain atau korporasi, maka Pejabat Pemerintahan sebagai

Tanggung jawab pribadi dikenakan hukuman administratif mengembalikan

kerugian Negara dan juga dikenakan Hukum Pidana. Kerugian negara dan dengan

maksud menguntungkan diri sendiri/pribadi atau oranglain menjadi unsur

pembeda dengan penyalahgunaan kewenangan menurut Hukum Administrasi

Negara.

Penjatuhan hukum administrasi dan hukum pidana karena melakukan

perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dan mengakibatkan

kerugian Negara diatur juga dalam Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2003

Universitas Sumatera Utara

Page 128: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang RI Nomor : 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara. Pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan:

“ Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan Negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud”

Sedangkan pada Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara pada Pasal 59 diatur sebagai berikut:

(3) setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(4) bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan Negara, wajib mengganti kerugian tersebut.

Pada Pasal 62 ayat (2) disebutkan: apabila dalam pemeriksaan kerugian

negara/daerah ditemukan unsur pidana, BPK menindaklanjutinya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada Pasal 64 ayat (1) disebutkan: bendahara, pegawai negeri bukan

bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian

negara/daerah dapat dikenai sanksi adminitratif dan/atau sanksi pidana; Ayat (2)

putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

Perbedaan lain antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana Korupsi

terletak pada Proses pengujian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang pada

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan TIPIKOR dari sudut

Universitas Sumatera Utara

Page 129: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

pembuktian. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan tidak mengatur tentang tata beracara permohonan ada atau tidak

penyalahgunaan wewennag, sehingga untuk mengisi kekosongan dan untuk

melaksanakan kewenangan memeriksan permohonan tersebut Mahkamah Agung

RI menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam

Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, berdasarkan PERMA tersebut

terhadap permohonan ada atau tidak penyalahgunaan wewenang hanya ada satu

pihak yakni pemohon tidak ada termohon dan jika memperhatikan UU No. 30

Tahun 2014 juga tidak ada menyebutkan adanya termohon, oleh karena itu hakim

PTUN dalam memeriksa permohonan tersebut hanya berdasarkan bukti yang

diajukan oleh pemohon. Sedangkan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi

tentang adanya penyalahgunaan wewenang, sebagaimana ketentuan hukum acara

pidana maka apabila ada dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

seorang tersangka/terdakwa terlebih dahulu melalui tahap penyelidikan,

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipersidangan. Perbedaan pembuktian

Hukum Administrasi dan Hukum Pidana Korupsi akan dibahas pada BAB

selanjutnya.

Menurut Andi Nirwanto, untuk dapat mengkualifikasikan keputusan

dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan sebagai Tindak Pidana Korupsi apabila

terjadi perbuatan melawan hukum pidana, yang didahului dan diikuti sikap batin

jahat (mens rea) dari Pejabat Publik yang bersangkutan. Sikap batin jahat dari

Pejabat Pemerintahan yang mewarnai kebijakan diskresioner yang dikeluarkannya

dan mengakibatkan kerugian keuangan negara, merupakan indikator telah

Universitas Sumatera Utara

Page 130: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

terpenuhinya unsur Tipikor sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 3 UU

PTPK.163

Pendapat Andi Nirwanto tersebut dapat dibenarkan, karena dalam ajaran

hukum pidana seseorang dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila telah

memenuhi semua unsur delik (subjektif dan objektif). Pasal 3 UU PTPK memiliki

unsur-unsur sebagai berikut: Unsur objektif A. Perbuatannya: 1)

Menyalahgunakan kewenangan; 2) Menyalahgunakan kesempatan; 3)

Menyalahgunakan sarana. B. yang ada padanya: 1)Karena jabatan; 2) Karena

kedudukan. C. Yang dapat merugikan: 1) Keuangan negara; 2) Perekonomian

negara. Unsur subjektif: D. Kesalahan: dengan tujuan: 1) Menguntungkan diri

sendiri; 2) Menguntungkan orang lain; 3) Menguntungkan suatu korporasi.

Apabila seseorang terbukti melakukan perbuatan “menyalahgunakan wewenang,

kesempatan, sarana yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian

negara”, tetapi tidak terbukti melakukan unsur “dengan tujuan menguntungkan

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagai unsur

subjektif/kesalahan/mens rea, maka perbuatan tersebut bukan tindak pidana

korupsi dan karena tidak terbuktinya salah satu unsur delik tersebut, maka dapat

dikenakan hukum administrasi dan hukum perdata, hal ini sejalan dengan isi Pasal

32 ayat UU PTPK yang berbunyi:

Penyalahgunaan wewenang masuk area hukum pidana dalam konteks

kerugian negara dan adanya unsur kesalahan atau niat jahat (mens rea) berupa

dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

163Andi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-undang Adminitrasi Pemerintahan). Makalah yang disampaikan pada seminar Nasional HUT IKAHI ke 62 di Hotel Mercure Ancol Jakarta pada tanggal 26 Maret 2015, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 131: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Ayat (1) “ Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa salah satu unsur tindak pidana korupsitidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”.

Ayat (2) “Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara”.

Selain perbedaan pembuktian unsur kehendak jahat (mens rea)¸ perbedaan

lainnya adalah UU No. 30 Tahun 2014 bertujuan menciptakan tertib

penyelenggaran adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya

penyalahgunaan wewenang dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada

masyarakat, sehingga UU No. 30 Tahun 2014 lebih menitikberatkan pada

pembangunan administrasi pemerintahan yang baik dan benar,164

164Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Bab III, Pasal 5, Asas-asas pemerintahan yang baik dan benar berdasarkan: asas legalitas, dan asas perlindungan terhadap HAM dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

sedangkan

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menitikberatkan

pada sistem penindakan (represif). Selanjutnya proses beracara pembuktian

dipersidangan, PTUN dalam membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang

hanya menggunakan alat bukti dari pemohon (sepihak) saja berupa bukti surat

atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan pemohon, pengetahuan

hakim, alat bukti lain (informasi elektronik atau dokumen elektronik)

sebagaimana diatur dalam Pasal 13 PERMA Nomor 4 tahun 2015 tentang

Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang,

sedangkan pengadilan Tipikor dalam membuktikan adanya penyalahgunaan

wewenang (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001) menggunakan alat bukti yang

Universitas Sumatera Utara

Page 132: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

diajukan para pihak (Penuntut Umum dan Terdakwa) berupa keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Petunjuk dapat diperoleh

dari alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau

disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan

dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan

atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,

baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang

terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,

foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna, hal ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 26 A UU PTPK dengan menganut sistem pembuktian negatief

wettelijk, kemudian PTUN baru berwenang menerima, memeriksa dan memutus

permohonan setelah adanya hasil pengawasan APIP, sedangkan pengadilan

Tipikor dalam memeriksa penyalahgunaan wewenang berdasarkan hasil

penyidikan yang diperoleh dari hasil penyelidikan, informasi dari media massa,

hasil pengawasan APIP, BPK dan sumber lainnya.

Tabel IV

Perbedaanprinsipil Penyalahgunaan Wewenang antara UU Administrasi Pemerintahan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Perbedaan Penyalahgunaan Wewenang

menurut UU No. 30 Tahun 2014 Penyalahgunaan Wewenang

menurut UU Tipikor

Perbuatan melawan hukum formil dan materiil, sehingga parameter pengujian yang digunakan untuk penyalahgunaan wewenang adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) dan AAUPB (tidak tertulis).

Perbuatan melawan hukum formil, parameter pengujian penyalahgunaan wewenang adalah peraturan perundang-undangan (tertulis).

Universitas Sumatera Utara

Page 133: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Perbedaan

Penyalahgunaan Wewenang menurut UU No. 30 Tahun 2014

Penyalahgunaan Wewenang menurut

UU Tipikor Tanggung jawab dalam administrasi: tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi

Tanggung jawab dalam pidana adalah tanggung jawab pribadi

Harus ada hasil pemeriksaan APIP dan belum ada proses pidana untuk dapat diajukan permohonan ke PTUN

Didahului penyelidikan/penyidikan berdasarkan informasi media, LSM, hasil audit BPKP, BPK, APIP, dan sumber lainnya, kemudian dilakukan prapenuntutan/penuntutan dan pemeriksaan di persidangan

Penyalahgunaan wewenang tanpa adanya kerugian negara atau kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian Negara

Penyalahgunaan wewenang konsteks kerugian negara yang didahului dan diikuti sikap batin jahat (mens rea) yaitu maksud menguntungkn diri sendiri/orang lain/korporasi

Tujuan UU No. 30 Tahun 2014 adalah untuk menciptakan tertib penyelenggaran adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, sehingga UU Administrasi Pemerintahan lebih menitikberatkan pada pembangunan adminitrasi pemerintahan yang baik dan benar

Undang-Undang Tipikor lebih menitikberatkan pada sistem penindakan (represif)

Alat bukti pengujian penyalahgunaan wewenang berupa: bukti surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan pemohon, pengetahuan hakim, alat bukti lain (informasi elektronik atau dokumen elektronik)

Alat bukti pengujian penyalahgunaan wewenang berupa: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi secara elektronik dan dokumen elektronik

Para pihak: hanya ada Pemohon (tidak ada termohon)

Para pihak: JPU dan Terdakwa/Penasihat Hukum

Sanksi adminitratif ringan, sedang atau berat.

pidana penjara dan denda dan uang pengganti

Universitas Sumatera Utara

Page 134: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

119

BAB III

SISTEM PEMBUKTIAN DALAM SIDANG PERMOHONAN PENILAIAN ADA ATAU TIDAK PENYALAHGUNAAN WEWENANG DI PTUN DAN PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN TIPIKOR ATAS ADA ATAU

TIDAK UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG

A. Sistem Pembuktian Dalam Sidang PTUN Terhadap Permohonan Ada Atau

Tidak Penyalahgunaan Wewenang

1. Tata Cara Persidangan Permohonan Ada Atau Tidak Penyalahgunaan

Wewenang

Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 memberikan nuansa yang baru bagi

pelaksanaan kegiatan administrasi pemerintahan, demikian juga bagi persidangan di

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), mengapa dikatakan demikian, oleh karena

dalam bidang pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014 memberikan pedoman-pedoman

baru bagi tertib administrasi pemerintahan, sedangkan bagi PTUN akan menambah

tugas baru.

Pada Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan “Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk

menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan

dan/atau tindakan”. Sesuai dengan ketentuan umum Pasal 1 angka 18 UU No. 30

Tahun 2014 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan pada Undang-

Undang ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.

119

Universitas Sumatera Utara

Page 135: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Jika memperhatikan dengan seksama Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun

2014 tersebut, disebutkan bentuk upaya yang dapat dilakukan oleh Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan kepada PTUN adalah “Permohonan” bukan “Gugatan”. Pada

UU No. 30 Tahun 2014 ada disebutkan tentang gugatan, akan tetapi gugatan dapat

diajukan oleh warga masyarakat yang tidak menerima atas penyelesaian banding oleh

atasan pejabat.165

“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada

Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang

Lalu akan timbul pertanyaannya apakah perbedaan “permohonan”

dan “Gugatan” dan bagaimana beracara persidangan “permohonan” tentang penilaian

ada atau tidak penyalahgunaan wewenang.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tidak

ada disebutkan apakah yang dimaksud dengan permohonan dan belum ada mengatur

hukum acara persidangan penilaian permohonan ada atau tidak ada unsur

penyalahgunaan wewenang.

Mahkamah Agung Republik Indonesia karena memandang perlu

mengeluarkan aturan berkenaan dengan tata cara acara persidangan atas penilaian

permohonan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang, maka

mengeluarkan PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam

Penilaian Penyalahgunaan Wewenang, pada Pasal 1 angka 5 disebutkan:

165Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan, Bab X, Pasal 76 ayat (3).

Universitas Sumatera Utara

Page 136: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam Keputusan

dan/atau Tindakan”

Berdasarkan Pasal 5 PERMA No. 4 Tahun 2015 telah diuraikan tentang tata

cara pengajuan permohonan pada pokoknya sebagai berikut:166

1) Permohonan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memiliki wilayah hukum meliputi tempat kedudukan Pejabat Pemerintahan yang menerbitkan keputusan dan atau melakukan tindakan (Pejabat Pemerintahan yang mengajukan permohonan).

2) Permohonan tersebut diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara.

3) Apabila Pemohon berkedudukan atau berada di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta.

4) Berkas permohonan diajukan dengan melengkapi administrasi permohonan dan alat bukti pendahuluan yang mendukung permohonan tersebut,

5) Adapun kelengkapan administrasi dan alat bukti pendahuluan sekurang-kurangnya berupa:

a. Bukti yang berkaitan dengan identitas pemohon yaitu: 1. Fotokopi keputusan dan/atau peraturan perundang-undangana

pembentukan Badan Pemerintahan yang bersangkutan, dalam hal pemohon adalah Badan Pemerintahan; dan/atau

2. Fotokopi KTP atau identitas diri lain, surat keputusan pengangkatan jabatan pemohon pada saat keputusan dan/atau tindakan pemohon yang dimohonkan penilaian itu diterbitkan dan/atau dilakukan, dalam hal pemohon pejabat pemerintahan.

b. Fotokopi keputusan yang dimohonkan penilaian dan hasil pengawasan APIP, serta fotokopi surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan.

c. Daftar calon saksi dan/atau ahli, dalam hal pemohon bermaksud mengajukan saksi dan/atau ahli; dan

d. Bukti-bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik, bila diperlukan.

6) Panitera wajib melakukan penelitian administrasi permohonan dan memeriksa kelengkapan alat bukti pendahuluan.

7) Apabila berkas dinyatakan telah lengkap selanjutnya berkas permohonan dinyatakan diterima dan diberikan tanda terima berkas setelah membayar panjar biaya perkara melalui Bank yang ditunjuk untuk itu.

166Mahkamah Agung, PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam

Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 137: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

8) Dalam hal berkas permohonan dinilai belum lengkap, Panitera Pengadilan memberitahukan kepada pemohon tentang kelengkapan yang harus dipenuhi dan pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak pemohon menerima pemberitahuan berkas kurang lengkap.

9) Apabila berkas permohonan belum lengkap, maka Panitera memberitahukan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam Buku Register Perkara disertai pengembalian berkas permohonan.

10) Permohonan dapat diajukan kembali dengan permohonan baru disertai dengan kelengkapan permohonan. Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa tata cara persidangan

permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang, Pengadilan Tata

Usaha Negara berpedoman kepada PERMA No. 4 Tahun 2015, dengan tata cara

persidangan sebagai berikut:167

1. Pemeriksaan persidangan dilakukan oleh Majelis Hakim.

2. Persidangan dilakukan tanpa melalui proses dismissal maupun pemeriksaan persiapan (sebagaimana biasanya proses perkara gugatan di PTUN).

3. Persidangan dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

4. Setelah Ketua Majelis Hakim menyatakan persidangan dibuka dan terbuka untuk umum, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan:

a. Pemeriksaan pokok permohonan. Pemeriksaan pokok permohonan maksudnya adalah dimulai dengan memberikan kesempatan kepada pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan yang diajukannya.

b. Pemeriksaan bukti surat atau tulisan. c. Mendengarkan keterangan saksi. d. Mendengarkan keterangan ahli. e. Pemeriksaan alat-alat bukti lain berupa informasi elektronik atau

dokumen elektronik. 5. Setelah acara pemeriksaan selesai selanjutnya adalah putusan dari Majelis

Hakim. 6. Dalam hal pemohon mencabut permohonannya, maka Majelis Hakim akan

menerbitkan Penetapan Pencabutan Permohonan. Penetapan Pencabutan Permohonan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan Majelis akan memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret Permohonan

167Mahkamah Agung, PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam

Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 10, 11, 12 dan 16.

Universitas Sumatera Utara

Page 138: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

tersebut dari Buku Register Permohonan, yang salinannya akan disampaikan kepada pemohon.

Berdasarkan Pasal 17 PERMA No. 4 Tahun 2015, amar putusan permohonan

penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang berbunyi:

1. “Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat formal, Pengadilan tidak berwenang dan/atau pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing).

2. Dalam hal pemohon Badan Pemerintahan: - “Mengabulkan permohonan pemohon”. - “Menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan ada

unsur penyalahgunaan wewenang”. - “Menyatakan batal atau tidak sah keputusan dan/atau tindakan pejabat

pemerintahan”. Dalam hal Pemohon Pejabat Pemerintahan:

- “Mengabulkan permohonan pemohon”. - “Menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan tidak

ada unsur penyalahgunaan wewenang”. - “Memerintahkan kepada negara untuk mengembalikan kepada

pemohon uang yang telah dibayar”, dalam hal pemohon telah mengembalikan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.

3. “Menolak permohonan pemohon”, dalam hal keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang apabila pemohonnya Badan pemerintahan, atau dalam hal keputusan dan/atau tindakan pemohon ada unsur penyalahgunaan wewenang apabila pemohonnya pejabat pemerintahan; atau

4. “Menyatakan permohonan gugur”, dalam hal pemohon tidak hadir dalam persidangan 2 (dua) kali berturut-turut pada sidang pertama dan kedua tanpa alasan yang sah atau pemohon tidak serius. Pada Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 diatur bahwa Pengadilan wajib

memutus permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang paling

lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan, dan upaya hukum

terhadap putusan Pengadilan adalah banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara.

Universitas Sumatera Utara

Page 139: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Memperhatikan seluruh uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

d. Yang berhak mengajukan permohonan/subjek pemohon untuk mengajukan

permohonan adalah badan dan/atau pejabat pemerintah.

e. Tidak melalui proses dismissal maupun pemeriksaan persiapan.

f. Dalam persidangan permohonan hanya ada satu pihak yakni pemohon tidak

ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan (sebagai termohon maupun sebagai

tergugat).

Jika hanya ada satu pihak saja, maka tidak ada pihak lawan yang harus

menyangkal/membuktikan bahwa apa yang dimohonkan oleh pemohon tidak benar

adanya, dengan demikian seyogyanya permasalahan yang dimohonkan adalah tidak

mengandung sengketa dengan pihak lain. Pada Pasal 4 ayat (1) huruf d PERMA No.

4 Tahun 2015 diatur bahwa amar putusan permohonan adalah hanya menyatakan

keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintah ada atau tidak ada unsur

penyalahgunaan wewenang, amar putusan tidak ada memutuskan untuk

“menghukum” siapapun untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal, dengan

demikian permohonan ini lebih bersifat kepada kepentingan sepihak yakni pemohon

saja. Memperhatikan hal tersebut jika membandingkannya dengan hukum perdata,

maka ciri-ciri permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang

menyerupai gugatan voluntair /gugatan permohonan, akan tetapi gugatan voluntair

dalam hukum acara perdata diputus dengan penetapan (putusan declatoir) yaitu suatu

putusan yang bersifat menetapkan. Biasanya gugatan voluntair diperiksa dan diadili

oleh hakim tunggal, sedangkan permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan

Universitas Sumatera Utara

Page 140: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

wewenang diputus dalam bentuk putusan dan diperiksa serta diadili oleh majelis

hakim (vide Pasal 1 angka 6 PERMA No.4 Tahun 2015).

g. Yang menjadi objek permohonan adalah keputusan dan/atau tindakan.

Dalam Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 tahun 2014 disebutkan badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan “permohonan kepada Pengadilan untuk

menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan

dan/atau tindakan”, sedangkan dalam Pasal 3 PERMA No. 4 Tahun 2015 disebutkan

permohonan yang diajukan berisi tuntutan agar “keputusan dan/atau tindakan pejabat

pemerintahan dinyatakan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang”. Pasal

21 adalah termasuk kedalam Bagian ketujuh tentang Larangan Penyalahgunaan

Wewenang didalam UU No. 30 Tahun 2014. Bagian ketujuh didalam undang-undang

ini dimulai dari Pasal 17 hingga Pasal 21. Bagian ketujuh mengatur hal-hal yang

dilarang berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang, pada Pasal 20 disebutkan

bahwa pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh Pengawas

Intern Pemerintah (APIP), jika terdapat kesalahan administratif dalam hal

penyalahgunaan wewenang, maka badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat

dikenakan sanksi administratif, apabila badan dan/atau pejabat pemerintahan

dikenakan sanksi maka permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan

wewenang adalah seperti upaya yang dapat dilakukan oleh badan dan/atau pejabat

pemerintahan atas hasil pengawasan APIP, berdasarkan Pasal 3 PERMA No. 4 Tahun

2015 disebutkan “badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merasa kepentingannya

dirugikan oleh hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintahan dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 141: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

mengajukan permohonan….”, selain itu sebagaimana telah diuraikan sebelumnya

bahwa pada persidangan permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan

wewenang hanya terdapat satu pihak yakni pemohon dan putusan Pengadilan adalah

“menyatakan” bukan “menghukum” siapapun, dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa tindakan dan/atau keputusan yang dijadikan dasar untuk dimohonkan dinilai

oleh Pengadilan adalah tindakan dan/atau keputusan pejabat pemerintahan itu sendiri,

dengan kata lain dalam permohonan ini badan dan/atau pejabat pemerintahan

bermohon kepada Pengadilan untuk turut menilai apakah dalam keputusan dan/atau

tindakannya telah terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, oleh karena itu lah

dalam permohonan ada atau tidak penyalahgunaan wewenang, hasil penilaian APIP

tidak diajukan sebagai objek dalam persidangan dan APIP tidak pula disertakan

sebagai pihak didalam persidangan permohonan ini. Akan tetapi timbul pertanyaan

lain sekiranya PTUN mengabulkan permohonan dan membatalkan keputusan

dan/atau tindakan pejabat pemerintahan, hasil APIP yang menyatakan adanya

penyalahgunaan wewenang tetap mempunyai validity (daya laku),168

168Dani Elpah. et.al., Op.Cit., hlm.119.

UU No. 30

Tahun 2014 juga hanya mengatur bahwa upaya hukum terhadap putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara adalah banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,

sedangkan APIP tidak ada diberikan hak untuk melakukan upaya apapun, hal ini tentu

saja karena APIP tidak ditarik sebagai pihak dalam persidangan.

Universitas Sumatera Utara

Page 142: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2. Pembuktian Dalam Permohonan Ada Atau Tidak Penyalahgunaan

Wewenang

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh

pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat

kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim

memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.169

Berikut adalah asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara:

170

1. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causa). Dengan asas ini tiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig samapai ada pembatalan (lihat Pasal 67 ayat (1)).

2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat (Pasal 67 ayat (1) dan ayat (4) huruf a)

3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil.

4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan Mahkamah Agung sebagai puncaknya.

5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan.

6. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. 7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa

hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga

169Bachtiar Effendie. et.al, SuratGugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 23

170Fatria Khairo,Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Cintya Press, 2016), hlm. 30-34.

Universitas Sumatera Utara

Page 143: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN). Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).

8. Asas sidang terbuka untuk umum. 9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang

terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan puncaknya adalah Mahkamah Agung.

10. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimum remedium.

11. Asas obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau penitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan diatas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan Pasal 79 UU PTUN).

Berdasarkan pada Pasal 13 PERMA No. 4 Tahun 2015 disebutkan alat bukti

dalam permohonan penilaian ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang

meliputi:

a. Surat atau tulisan.

b. Keterangan saksi.

c. Keterangan ahli.

- Pada Pasal 14 disebutkan: bahwa Saksi dan/atau ahli dapat diajukan oleh

pemohon atau dipanggil atas perintah Pengadilan.

d. Pengakuan Pemohon.

e. Alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.

Universitas Sumatera Utara

Page 144: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Menurut ketentuan Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014, badan dan/atau

pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi: a)

larangan melampaui wewenang; b) larangan mencampuradukkan wewenang;

dan/atau c) larangan bertindak sewenang-wenang. Maka untuk membuktikan ada atau

tidak nya tindakan pejabat dalam melakukan penyalahgunaan wewenang dilihat dari

hasil proses pemeriksaan di pengadilan TUN, dimana badan dan/atau pejabat

pemerintahan dikategorikan melampaui wewenang apabila keputusan dan/atau

tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya

wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau bertentangan

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan dan/atau pejabat

pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila keputusan

dan/atau tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang

diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Badan

dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila

keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan, dan/atau

bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Berikut akan diuraikan tentang alat bukti didalam persidangan permohonan

penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang:

1. Surat atau Tulisan

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda

bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan

Universitas Sumatera Utara

Page 145: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian

maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat

tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk

dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.171

Menurut Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

pada Pasal 101 diatur bahwa surat sebagai alat bukti terdiri dari3 (tiga) jenis, yaitu:

172

a) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya

b) Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

c) Surat-surat lain yang bukan akta adalah merupakan alat bukti bebas dimana Hakim tidak diharuskan menerima dan mempercayainya.

2. Keterangan Saksi

Keterangan saksi, adalah keterangan mengenai sesuatu yang dialami, dilihat

serta didengar oleh saksi sendiri. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk

memberikan ke saksian,apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang

dapat menjadi saksi.173

171Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Edisi Keenam; Yogyakarta:

Liberty, 2002), hlm. 141. 172Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara(Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 1997), hlm. 70-71. 173Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 132.

Universitas Sumatera Utara

Page 146: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan

dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Dengan demikian

pendapat, dugaan, anggapan atau keterangan yang diperoleh dari orang lain menjadi

tidak relevan dijadikan keterangan saksi.174

Ada beberapa saksi yang dilarangatau tidak diperbolehkandidengar

keterangannya sebagai saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU PTUN

yaitu:

175

a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-lai dan perempuan salah satu

pihak.

yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:

1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.

2. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai.

3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun. 4. Orang sakit ingatan.

Pasal 89 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

disebutkan bahwa orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk

memberikan kesaksian adalah:

b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan

merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan

atau jabatannya itu.

Dalam menilai kesaksian saksi ini, hakim diharuskan memperhatikan Pasal

172 HIR/309 RBg yang menentukan kriteria penilaian yaitu:176

174Fatria Khairo, Op.Cit., hlm. 110. 175ZairinHarahap,Op.Cit., hlm. 133.

Universitas Sumatera Utara

Page 147: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

a. Hubungan kesaksian-kesaksian apakah berdiri sendiri atau ada hubungan

(kecocokannya)

b. Perikehidupan, adat dan martabat saksi

c. Alasan apa sehingga kesaksian itu diberikan.

Sedangkan cara memeriksa saksi di depan persidangan telah ditentukan oleh

Pasal 144 HIR/171 RBg dan Pasal 147 HIR/175 RBg, yaitu:177

1. saksi diperiksa satu persatu

a) Pasal 144 HIR/171 RBg menentukan:

2. ditanya identitas, nama, pekerjaan, umur, dan tempat tinggal 3. ditanya apakah saksi ada hubungan keluarga/pekerjaan dengan pihak-

pihak berperkara. b) Pasal 147 HIR/175 RBg menentukan:

1. ditanya kesediaannya sebagai saksi atau minta dibebaskan menjadi saksi bagi mereka yang termasuk Pasal 146 HIR/174 RBg

2. saksi disumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangannya. Apabila saksi tidak mau disumpah atau tidak mau memberi keterangannya makaatas permintaan dan biaya pihak berperkara, Hakim dapat memerintahkan saksi disandera paling lama 3 bulan (HIR) atau sampai putusan dijatuhkan (RBg).

c) Pasal 150 HIR/178 RBg menentukan:178

1. para pihak beperkara dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui hakim, yakni hal-hal yang relevan dengan pokok perkara.

2. hakim sendiri dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi. Selanjutnya, Undang-Undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak

cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya

suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus

ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.179

176Victor Situmorang, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Bina Aksara,

1987), hlm. 74. 177Ibid., hlm. 75.

178Ibid., hlm. 76. 179Zairin Harahap, Op.Cit., hlm. 135.

Universitas Sumatera Utara

Page 148: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

3. Keterangan Ahli

Pasal 102 UU No. 51 Tahun 2009, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah

pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang

ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Pada Pasal 103disebutkan

keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu

persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang

yang bersangkutan.

Semua ketentuan mengenai larangan menjadi saksi sebagaimana diatur dalam

Pasal 88 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga berlaku bagi seseorang yang akan

memberikan pendapatnya sebagai keterangan ahli.

Pada Pasal 14 PERMA No. 4 Tahun 2015 disebutkan: “Saksi dan/atau ahli

dapat diajukan oleh pemohon atau dipanggil atas perintah Pengadilan”. Hal ini karena

pada persidangan di PTUN yang dicari adalah kebenaran materiil, sehingga berlaku

asas hakim aktif untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas.

4. Pengakuan Pemohon

Pengakuan di muka Hakim di persidangan (gerechtelijke bekenteneis)

merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan

oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan yang membenarkan baik

seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang

Universitas Sumatera Utara

Page 149: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

diajukan oleh lawannya yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim

tidak perlu lagi.180

Pada persidangan permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan

wewenang oleh karena hanya ada pemohon tidak ada pihak lawan, maka timbul

pertanyaan pengakuan yang bagaimana yang diberikan oleh pemohon. Jika melihat

pengertian pengakuan, maka pengakuan dalam hal ini adalah pengakuan sepihak oleh

pemohon tentang apa yang didalilkannya, bahwa pada dasarnya tindakan dan/atau

Menurut Pasal105 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU

No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 51 tahun 2009, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik

kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.

Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri

atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan

bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti

hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun

belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai

pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan

yang diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya

hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya

menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk

menerima atau tidak menerimanya.

180Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 173.

Universitas Sumatera Utara

Page 150: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

keputusan yang diambil adalah tidak menyalahgunakan wewenang, dengan demikian

nilai pembuktian dari suatu pengakuan pemohon adalah terserah kepada majelis

hakim.

5.Alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.

Pada Pasal 15 PERMA No. 4 Tahun 2015 disebutkan bahwa alat bukti

informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat berupa rekaman data atau

informasi yang dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau

tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain

kertas, maupun rekaman secara elektronik, yang berupa tulisan, gambar, peta,

rancangan, foto, huruf, tanda, angka yang memiliki makna.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara belum

ada mengatur tentang alat bukti berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik,

alat bukti elektronik ini dimasukkan sebagai bagian alat bukti karena perkembangan

zaman oleh karenanya sudah dikenal didalam peraturan perundang-undangan terbaru

contohnya seperti UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU

Tipikor tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Universitas Sumatera Utara

Page 151: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Terorisme, UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme, dll

Pada dasarnya ketentuan mengenai pembuktian dijelaskan dalam hukum acara

PTUN diatur dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 107 UU No. 51 tahun 2009

tentang Peradilan Tata Usaha Negara PTUN. Dalam hukum acara PTUN pembuktian

tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang

memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang

berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau

sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang

menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal

menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak

boleh berat sebelah.181

Pada permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang hanya

ada satu pihak saja yakni pemohon tanpa adanya pihak lawan (termohon atau

tergugat), oleh karenanya dari segi tata cara persidangan dan alat-alat bukti terdapat

perbedaan dengan persidangan gugatan. Akan tetapi sepanjang belum ditentukan lain

Dalam persidangan di PTUN berlaku asas hakim aktif artinya

hakim bersikap bebas karena UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas, karena

sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij

bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh

kebenaran materiil, hal ini berbeda dengan persidangan perdata dimana hakim

bersikap pasif.

181Zairin Harahap,Op.Cit.,hlm. 129.

Universitas Sumatera Utara

Page 152: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dalam suatu peraturan perundang-undangan maka segala hal yang diatur didalam

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara masih berlaku

didalam persidangan dan pemeriksaan permohonan penilaian ada atau tidak

penyalahgunaan wewenang, demikian pula dengan ketentuan Pasal 107 UU Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan:

“hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian

pembuktian, dan untuk sah pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti

berdasarkan keyakinan hakim”.

Berdasarkan seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu asas

yang berlaku dalam hukum acara peradilan tata usaha negara adalah asas hakim aktif,

artinya hakim mempunyai peran dalam proses persidangan guna memperoleh suatu

kebenaran materiil, maka hakim dapat memerintahkan untuk memberikan informasi

atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN). Demikian pula halnya dalam

persidangan permohonan ada atau tidak penyalahgunaan wewenang, dalam UU No.

30 Tahun 2014 tidak mengatur tentang hukum acara persidangan permohonan

tersebut, sehingga Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2015, jika

melihat kepada Pasal 14 PERMA No. 4 Tahun 2015, disebutkan bahwa saksi

dan/atau ahli dalam persidangan permohonan ada atau tidak penyalahgunaan

wewenang dapat diajukan oleh pemohon sendiri dan dapat pula dipanggil atas

perintah pengadilan, dengan demikian asas hakim aktif tetap berlaku dalam hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 153: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

acara permohonan ini. Mencari kebenaran materiil adalah merupakan tujuan asas

hakim aktif, akan tetapi menjadi pertanyaan didalam persidangan permohonan ada

atau tidak penyalahgunaan wewenang, apakah kebenaran materiil akan tercapai

mengingat hanya ada satu pihak yakni pemohon dan persidangan dilakukan hanya

dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja (vide Pasal 21 ayat (3)

UU No. 30 Tahun 2014).

Selanjutnya timbul pertanyaan apakah Mahkamah Agung telah melakukan

kekeliruan dengan menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2015 tersebut. Mengapa

Mahkamah Agung hanya menyebutkan hanya ada pemohon pada permohonan ada

atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang, Mengapa Mahkamah Agung tidak

menyebutkan adanya termohon.Mahkamah Agung tidak melakukan kekeliruan, sebab

jika memperhatikan kepada UU No. 30 Tahun 2014 khususnya Pasal 21 tidak ada

menyebutkan adanya pihak yang diajukan sebagai termohon dan tidak pula

menyebutkan bahwa hasil pengawasan APIP yang dijadikan objek dalam

permohonan penilaian ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang

B. Sistem Pembuktian Dalam Sidang Tindak Pidana Korupsi

1. Sistem pembuktian

Tujuan hukum acara pidana ialah menemukan kebenaran materiil, untuk

menemukan kebenaran materil tidak mudah, hakim yang memeriksa suatu perkara

dalam menjatuhkan suatu putusan tentu saja terkadang mengalami kesulitan karena

faktor alat bukti yang dibutuhkan untuk menjatuhkan putusan, disamping kadang-

Universitas Sumatera Utara

Page 154: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

kadang peristiwa pidana telah terjadi beberapa waktu lampau, sehingga untuk proses

menemukan kebenaran materiil mencakup sistem pembuktian dan hukum

pembuktian.

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang

boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat

bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk

keyakinannya, sedangkan yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah

merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat

bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat

dan tata cata mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,

menolak dan menilai suatu pembuktian.182

Sumber hukum pembuktian adalah:

183

1. Undang-undang;

2. Doktrin atau ajaran;

3. Yurisprudensi;

Karena hukum pembuktian merupakan bagian dari hukum acara pidana, maka

sumber hukum yang utama adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3209. apabila didalam praktik menemui kesulitan dalam

182Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (Bandung:

Mandar Maju, 2003), hlm. 10. 183Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 155: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka

dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.

Secara umum dikenal 4 (empat) teori sistem pembuktian: 184

1. Conviction-in time

Sistem pembuktian conviction-in timemenentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa, jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim.

2. Conviction-Raisonee Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-Raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian yang masuk akal.

3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Pembuktian menurut undang-undang secara positifmerupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.

184M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 277-280.

Universitas Sumatera Utara

Page 156: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Meskipun demikian dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.

4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negative, terdapat dua komponen: I. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut undang-undang, II. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur tersebut tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara dan dnegan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersbeut harus “saling mendukung”.

Universitas Sumatera Utara

Page 157: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Negara Indonesia jika memperhatikan kepada Kitab Hukum Acara Pidana

(KUHAP) menganut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara

negatif (negatief wettelijk) sebagaimana terkandung dalam Pasal 183 KUHAP yang

berbunyi sebagai berikut:185

Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau

tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya”.

186

- kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”,

- dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,

hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Menurut D. Simons dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-

undang secara negatif (negatief wettijke bewijstheorie) ini pemidanaan didasarkan

kepada pembuktian ganda (dubbelen grondslag) yaitu pada peraturan undang-undang

185Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana, Pasal 183. 186M. Yahyah Harahap, Op.Cit., hlm. 280.

Universitas Sumatera Utara

Page 158: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan itu

bersumberkan pada peraturan undang-undang.187

Untuk menjajaki alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183

KUHAP, barangkali ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal

mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan

kepastian hukum”. Pendapat ini diambil dari makna penjelasan Pasal 183. Dari

penjelasan Pasal 183 pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa

sistem pembuktian yang paling tepat dalam penegakan hukum di Indonesia ialah

sistem pembuktian menurut undnag-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan,

kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu

kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time dengan “sistem pembuktian

menurut undang-undang secara positif” (positief wettelijk stelsel).

188

Pada dasarnya dalam tindak pidana korupsi juga berlaku sistem pembuktian

berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), akan tetapi ada beberapa

kekhususan sistem pembuktian dalam hukum pidana formal korupsi, yakni

tentang:

189

1. Perluasan bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk

(Pasal 26 A).

187Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua; Jakarta:Sinar Grafika, 2016)

(selanjutnya Andi Hamzah II),hlm. 256. 188M. Yahyah Harahap, Loc.Cit. 189Adami Chazawi I,Op. Cit.,, hlm. 359.

Universitas Sumatera Utara

Page 159: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2. Beberapa sistem beban pembuktian yang berlainan dengan sistem yang ada

dalam KUHAP.

2. Jenis Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu

perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan

pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak

pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.190

Dalam hukum pidana formal umum, macam-macam alat bukti serta cara

penggunaan dan batas-batasnya telah ditentukan di dalam KUHAP. Penegakan

hukum pidana materiil korupsi melalui hukum pidana formal secara umum termasuk

ketentuan perihal pembuktian tetap tunduk dan diatur dalam KUHAP, namun sebagai

hukum pidana khusus terdapat pula ketentuan mengenai hukum acara yang sifatnya

khusus dan merupakan perkecualian. Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam

hukum pidana formal korupsi yang dirumuskan dalam UU Tindak Pidana Korupsi

merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada dalam KUHAP.

191

190Andi Hamzah II, Op.Cit.,hlm. 11.

191Adami Chazawi I, Op.Cit., hlm. 359.

DalamUU No. 20 Tahun 2001tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak diatur

tentang alat bukti dalam perkara tindak pidana korupsi, dengan demikian ketentuan

mengenai alat bukti tetap mengacu kepada KUHAP. Dalam KUHAP jenis-jenis alat

bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

Page 160: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (vide

Pasal 1 angka 27 KUHAP).

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (vide Pasal 1 angka 28KUHAP).

Berdasarkan Pasal 187 KUHAP, Surat dibuat atas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah adalah :

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

4. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Universitas Sumatera Utara

Page 161: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya (vide Pasal 188 ayat (1)KUHAP).

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP. Esensi dari alat

bukti petunjuk diatur didalam ketentuan Pasal 188 KUHAP yang selengkapnya

berbunyi sebagai berikut:

a. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

b. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diperoleh dari : keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesamaan berdasarkan hati nuraninya.

Karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim

yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan

dalam sidang, maka sifat subyektifitasnya hakim lebih dominan. Apabila kita

membaca dengan teliti mengenai rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk

dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, maka unsur atau syarat alat bukti

petunjuk adalah : 192

1. Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian;

2. Unsur kedua, ada dua persesuaian, ialah bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang lain, maupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan;

192Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Bandung: Alumni, 2008) (selanjutnya Adami Chazawi II), hlm. 71.

Universitas Sumatera Utara

Page 162: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

3. Unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) dan menunjukkan adanya 2 ( dua) hal in casu kejadian, ialah menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukkkan siapa pembuatnya;

4. Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dalam Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsidisebutkan:

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan optic atau yang serupa dengan itu; dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik ataupuns elain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau ferforasi yang memiliki makna. Melihat kepada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut,

maka terdapat perluasan pada alat bukti petunjuk, perluasan tersebut berupa macam-

macam alat bukti berikut: 193

1. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

2. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

Alat bukti keterangan ahli dapat digunakan untuk membentuk alat bukti

petunjuk yang mana terdapat dalam Pasal 188ayat (2) telah ditentukan secara

limitatif, apalagi dengan menggunakan kata hanya, maka sudah pasti tidak

193Adami Chazawi I, Op. Cit., hlm. 362.

Universitas Sumatera Utara

Page 163: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

diperkenankan hakim menggunakan alat bukti keterangan ahli untuk membentuk alat

bukti petunjuk. Namun keterangan ahli dapat digunakan untuk tambahan bahan dalam

mebentuk alat bukti petunjuk. Sama halnya dengan barang bukti, yang juga dapat

digunakan sebagai bahan tambahan untuk membentuk alat bukti petunjuk194

Sistem pembuktian yang berlaku pada penanganan perkara tindak pidana

korupsi pada dasarnya berpedoman kepada Kitab Undang-undang Acara Pidana,,

demikian pula terhadap beban pembuktian, sebagai aparat yang berwenang untuk

membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan ada di tangan Jaksa selaku

Penuntut Umum. Akan tetapi pada Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal37 ,Pasal

37A, Pasal 38B Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terdapat beberapa ketentuan khusus tentang sistem pembuktian, dimana pada

.

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (vide Pasal

189 ayat (1)KUHAP).

Alat-alat bukti tersebut dipergunakan untuk membutikan kesalahan terdakwa

baik ditingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di depan persidangan.

3. Sistem Pembebanan Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

194Ibid., hlm. 86.

Universitas Sumatera Utara

Page 164: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

penanganan tindak pidana korupsi juga berlaku sistem pembebanan pembuktian

terbalik.

Pada dasarnya, sistem pembuktiannya sama dengan memberlakukan Pasal 183

KUHAP, khususnya bagi hakim dalam alat-alat bukti. Standar yang harus diturut

untuk menyatakan terbuktinya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana yang didakwakan tetap terikat pada ketentuan Pasal 183

KUHAP. Ini merupakan ketentuan asas pokok atau fondasi hukum pembuktian acara

pidana, yang tidak dengan mudah disimpangi oleh hukum pembuktian acara pidana

khusus. Jadi, sungguh berbeda dengan apa yang sering didengar, bahwa sistem

pembuktian dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem terbalik.

Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanan pembuktian terbalik.195

Sistem pembalikan beban pembuktian “Reversal Burden of Proof” merupakan

sistem pembuktian yang dipergunakan bagi negara-negara Anglo-Saxon dan

bertujuan untuk mempermudah pembuktian dalam kasus-kasus yang khusus sifatnya,

dengan demikian sistem pembalikan beban pembuktian ini sangat terbatas hanya pada

kasus-kasus tertentu yang sangat sulit pembuktiannya, sehingga ditempuhlah suatu

sistem yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip atau asas universal mengenai

pembuktian. Pada negara-negara Anglo-Saxonpun sistem pembalikan beban

pembuktian tetap berada dan menjadi tugas tanggung jawab Penuntut Umum, bukan

pada diri tersangka/terdakwa. Hal ini disebabkan bahwa asas universal dimana pun

tetap menghendaki adanya praduga tidak bersalah “presumption of innocence”

195Ibid.,hlm. 110.

Universitas Sumatera Utara

Page 165: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

sebagai suatu akseptabilitas sifatnya, sehingga tersangka/terdakwa tidak pernah ia

diwajibkan untuk mempersalahkan dirinya sendiri “non self incrimination”, lebih

jauh lagi seorang tersangka/terdakwa memiliki suatu hak yang dinamakan “The right

to remain silent” atau hak untuk diam, kesemuanya ini merupakan bahagian dari

prinsip perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

sebesar apapun dan dengan alasan apapun juga.196

Ketentuan yang menyangkut pembuktian tindak pidana korupsi ada dalam

Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b jo 38, Pasal 12B jo Pasal 12C, Pasal 37, Pasal 37A

dan Pasal 38B. Apabila kita pelajari dengan seksama ketentuan dalam pasal-pasal

tersebut, maka ketentuan mengenai pembuktian dalam hukum pidana formal korupsi

yang berbeda dengan hukum pidana formal umum, yakni sebagai berikut:

197

a. Pertama, pembuktian berimbang terbalik dalam Pasal 37.

b. Kedua, jika dihubungkan dengan jumlah penerimaan gratifikasi antara Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih dengan gratifikasi kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), juga menganut sistem yang dapat disebut dengan berimbang bersyarat (Pasal 12B ayat (1) huruf a dan huruf b).

c. Ketiga bahwa dalam hal objek mengenai harta yang telah didakwakan menganut sistem pembuktian semi terbalik (Pasal 37A).

d. Keempat bahwa dalam hal objek mengenai harta benda yang belum didakwakan dalam perkara yang sedang diperiksa juga menganut sistem pembuktian terbalik (Pasal 38B).

e. Kelima, bagi objek penerimaan gratifikasi yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih menganut sistem pembuktian terbalik. (Pasal 12B ayat (1) huruf a jo Pasal 12C).

Pasal 37 menyebutkan:

196Indriyanto Seno Adji dalam Setyo Utomo, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana

Korupsi (Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Negara Hukum) (Jakarta: Sofmedia, 2014), hlm. 6. 197Adami Chazawi I, Op.Cit., hlm. 363.

Universitas Sumatera Utara

Page 166: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Ayat (1) “terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak

melakukan tindak pidana korupsi”

Ayat (2) “ dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh

pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti”

Melihat kepada Pasal 37 bahwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah

adalah merupakan hak bagi terdakwa, hal ini tampak seperti sistem pembuktian

terbalik, padahal sejak ditetapkan sebagai tersangka seseorang sudah memiliki hak

asasi yang timbul demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 50-68 KUHAP.

Khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan

(termasuk juga yang didakwakan dalam surat dakwaan), tidak dapat menggunakan

Pasal 37, karena Pasal 37 khusus diperuntukkan bagi pembuktian mengenai dakwaan

tindak pidana (khususnya suap menerima gratifikasi yang dilainya Rp10 juta atau

lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan bukan dakwaan

mengenai harta benda terdakwa. Keberhasilan terdakwa membuktikan tentang

kekayaannya bersumber dari hal yang halal, tidak berarti ia dibebaskan dalam

dakwaan tindak pidana dalam perkara pokok, melainkan hanya sekedar menyatakan

bahwa harta benda yang belum didakwakan bukan berasal dari tindakan korupsi dan

karenanya menolak tuntutan Penuntut Umum untuk perampasan harta benda tersebut.

Apabila nilai gratifikasi kurang dari Rp10 juta beban pembuktian tetap pada Penuntut

Umum (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan berlaku sistem pembuktian biasa

sebagaimana dalam KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 167: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pasal 37A menyebutkan:

Ayat (1) “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

didakwakan”

Ayat (2) “dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan

yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan

kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah

melakukan tindak pidana korupsi”

Ayat (3) “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud Pasal 2,

Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, sehingga penuntut umum

tetap berkewajiban untuk membuktikannya.

Pasal 37A menggunakan sistem pembuktian semi terbalik, sebab apabila

terdakwa tidak dapat membuktikan tentang harta bendanya yang telah didakwakan

dalam artian terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak

seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan, maka ketidak

berhasilan terdakwa membuktikan harta bendanyanya dipergunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 168: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

memperkuat alat bukti yang sudah ada tentang terdakwa telah melakukan tindak

pidana korupsi dalam pokok perkaranya.

Pada Pasal 37A ayat (3) menerima gratifikasi sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 12B tidak termasuk didalamnya. Keadaan ini dapat dipergunakan sebagai

dasar/alasan, bahwa:198

1) Sistem beban pembuktian terbalik mengenai objek harta benda terdakwa dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang didakwakan dalam Pasal 37A, berbeda makna, objek, fungsi dan sistem bekerjanya dengan sistem beban pembuktian terbalik mengenai objek gratifikasi yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih seperti yang berlaku pada Pasal 12B huruf a.

2) Demikian juga sistem beban pembuktian terbalik mengenai objek harta benda terdakwa dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang didakwakan dalam Pasal 37A, berbeda akibat hukumnya. Kalau terdakwa tidak dapat membuktikan objek pembuktian mengenai harta benda terdakwa menurut Pasal 37A, keadaan tersebut digunakan oleh penuntut umum untuk memperkuat hasil pembuktiannya bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (tidak termasuk TPK menerima gratifikasi). Sementara itu ketidakberhasilan terdakwamembuktikan ketiadaan salah satu unsur TPK menerima gratifikasi terdakwa dipidana karena melanggar Pasal 12B.

3) Jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi perkara pokoknya sebagaimana dimaksud Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 31/1999 dan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12 UU No. 20/2001, penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pokok tersebut. Sementara pada objek gratifikasi yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih penuntut umum tidak dibebani kewajiban membuktikan, melainkan merupakan hak membuktikan.

198Ibid., hlm. 366.

Universitas Sumatera Utara

Page 169: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Dilihat dari sudut objek apa yang harus dibuktikan oleh terdakwa, maka

pembuktian terbalik hanya berlaku dan diterapkan pada 2 (dua) objek pembuktian,

yaitu:199

1. Pertama: pada korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp10 juta atau lebih (Pasal 12B ayat (1) jo 37 ayat (2) jo 38A). Pembuktian terbalik pada korupsi suap menerima gratifikasi, dimana terdakwa dibebani kewajiban (bukan hak) untuk membuktikan tidak melakukan korupsi menerima gratifikasi, dapat disebut dengan sistem beban pembuktian terbalik murni. Karena objek yang wajib dibuktikan terdakwa adalah langsung pada unsur-unsur (kebalikannya) tindak pidana yang didakwakan (dalam perkara pokok), yang mengandung akibat hukum langsung pada amar pembebasan atau sebaliknya pemidanaan terdakwaatau pelepasan dari tuntutan hukum.

2. Kedua: pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B jo 37). Kewajiban terdakwa membuktikan terbalik (sebaliknya), yang kedua ini adalah bukan terhadap tindak pidana (unsur-unsurnya) yang didakwakan. Akibat hukum dari berhasil atau tidak berhasil terdakwa membuktikan harta benda terdakwa diperoleh dari korupsi atau secara halal, tidak menentukan dipidana ataukah dibebaskan terdakwa dari dakwaan melakukan korupsi dalam perkara pokok. Melainkan sekadar untuk dapat menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal terdakwa tidak berhasil membuktikan harta bendanya tersebut sebagai harta benda yang halal, atau sebaliknya untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal terdakwa berhasil membuktikan harta bendanya sebagai harta benda yang halal.

Tentu saja ada perbedaan antara sistem pembebanan pembuktian biasa dengan

sistem pembebanan pembuktian terbalik, walaupun bukan berupa perbedaan prinsip.

Perbedaan itu terdapat dalam hal cara membuktikan dan alat-alat bukti yang

dipergunakan. Sedangkan mengenai standar bukti pada dasarnya tetap mengacu pada

Pasal 183 KUHAP. Dalam sistem beban pembuktian biasa dan sistem pembuktian

199Setyo Utomo, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Asas Praduga Tak

Bersalah Dalam Negara Hukum) (Jakarta: Sofmedia, 2014), hlm. 186-187.

Universitas Sumatera Utara

Page 170: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

semi terbalik, mengenai apa yang harus dibuktikan jaksa penuntut umum adalah

sama, yakni sama-sama membuktikan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi

semua unsur tindak pidana yang didakwakan.200 Pada sistem beban pembuktian biasa

berlaku cara menggunakan alat-alat bukti menurut KUHAP tanpa kecuali, ialah

membuktikan semua unsur tindak pidana dengan menggunakan alat-alat bukti yang

mengacu pada syarat minimal pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP. Pada dasarnya

alat bukti yang boleh dipergunakan dalam sistem pembebanan pembuktian semi

terbalik sama dengan alat bukti yang dipergunakan dalam sistem beban pembuktian

biasa, ialah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Namun, ada yang

berbeda mengenai dua hal, ialah mengenai bahan atau alat bukti yang digunakan

untuk membentuk alat bukti petunjuk dan cara untuk memperkuat alat- alat bukti

yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam hukum pidana korupsi, sistem

beban pembuktian biasa berlaku dalam 3 (tiga) hal :201

1. Jaksa membuktikan tindak pidana korupsi menerima suap gratifikasi yang nilai objeknya kurang dari Rp.10 juta ( Pasal 12B ayat huruf b). Tidak dapat ditafsirkan lain lagi, baik pembebanan pembuktiannya maupun cara dan prosedurnya karena telah tegas, harus berdasarkan KUHAP.

2. Jaksa membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok, dalam hal terdakwa didakwa juga mengenai harta benda yang menggunakan sistem beban pembuktian semi terbalik. Pembuktian jaksa ini dapat diperkuat dengan hasil pembuktian terdakwa yang tidak berhasil membuktikan tentang harta benda yang didakwakan bukan hasil dari korupsi.

3. Jaksa membuktikan tindak pidana korupsi yang didakwakan, yang mana dalam surat dakwaan tidak mendakwakan mengenai harta benda terdakwa.

200Adami ChazawiII, Op.Cit., hlm.160. 201Ibid., hlm. 163.

Universitas Sumatera Utara

Page 171: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Jadi, dalam hukum pembuktian korupsi, pihak yang dibebani kewajiban

membuktikan tindak pidana yang didakwakan, selain korupsi suap menerima

gratifikasi Rp.10.000.00,-(sepuluh juta rupiah) atau lebih, tetap berada pada jaksa

penuntut umum.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor: 20 tahun 2001 dikatakan pengertian “ pembuktian terbalik yang

bersifat terbatas dan berimbang” . Kata-kata “ bersifat terbatas “ didalam memori

Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa

terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi, hal ini tidak berarti terdakwa tidak

terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum, masih tetap berkewajiban untuk

membuktikan dakwaannya. Kata “berimbang” mungkin lebih tepat sebanding

dilukiskan sebagai/berupa penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta

benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda , sebagai

output.202

4. Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi

a. Penyidikan

Pengertian penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 UU No.8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana adalah: “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

202Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991) (selanjutnya Andi Hamzah III),hlm. 108.

Universitas Sumatera Utara

Page 172: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, yang disebut penyidikan adalah: pejabat polisi negara Republik Indonesia

atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-

Undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam tindak pidana korupsi yang diberi wewenang oleh Undang-Undang

untuk melakukan penyidikan adalah:

1. Penyidik Kepolisian

Selain berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP, juga berdasarkan Pasal 14 ayat

(1) huruf g Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia disebutkan “kepolisian bertugas menyelidik dan

menyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan

perundang-undangan lainnya.

2. Penyidik Kejaksaan

Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan disebutkan: “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan Undang-Undang”, dan Pasal 39 UU No. 31 tahun 1999 dirubah

dengan UU Tipikor Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan: “Jaksa

Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang

yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”, berdasarkan kedua

Universitas Sumatera Utara

Page 173: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

ketentuan tersebut maka Kejaksaan diberi wewenang melakukan penyidikan

dalam perkara tindak pidana korupsi.

3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan KPK mempunyai

tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi.

Melihat kepada ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, maka dapat tujuan dari

penyidikan adalah:

a. Mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi.

b. Menemukan tersangkanya.

Dari tujuan penyidikan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan

tindakan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana akan tetapi tindak pidana

itu belum terang dan belum ditemukan siapa yang melakukan tindak pidana. Adanya

suatu tindak pidana yang belum terang tersebut diketahui dari penyelidikan. Karena

menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP penyelidikan adalah serangkaian tindakan

penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut

cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Dapat disimpulkan pada mulanya dilakukan penyelidikan untuk menemukan

peristiwa yang diduga tindak pidana, kemudian walaupun belum terang karena masih

Universitas Sumatera Utara

Page 174: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dugaan, telah dapat dilakukan penyidikan untuk mencari bukti permulaan yang cukup

dan menemukan tersangka, hal ini juga berlaku bagi tindak pidana korupsi.

Seseorang dianggap telah melakukan tindak pidana jika telah memenuhi bukti

yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184

KUHAP. Penentuan 2 (dua) alat bukti tersebut mencakup pada seluruh unsur Pasal

sangkaan/dakwaan terhadap tersangka/terdakwa.

b. Penuntutan

Penuntutan berdasarkan Pasal 1 angka 7 KUHAP adalah tindakan penuntut

umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.

Menurut Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, disebut Jaksa adalah pejabat yang

diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum

serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, sedangkan pada huruf b disebutkan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim.

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,

disebutkan kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a) melakukan penuntutan; b)

melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap; c) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

Universitas Sumatera Utara

Page 175: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

d) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-

undang; e) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Dalam perkara tindak pidana korupsi, apabila yang bertindak sebagai penyidik

adalah Kepolisian maka setelah dilakukan tindakan penyidikan selanjutnya berkas

tindak pidana korupsi dilimpahkan kepada kejaksaan selaku penuntut umum, sebab

Kepolisian tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penuntutan dalam perkara

tindak pidana korupsi. Apabila yang melakukan penyidikan perkara tindak pidana

korupsi itu, maka pihak Kejaksaan juga berwenang dalam melakukan penuntutan.

Sedangkan jika yang melakukan penyidikan adalah KPK, maka yang melakukan

penuntutan adalah KPK sendiri, sebab berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang

RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan

KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

ditugaskan jaksa dari Kejaksaan Agung RI untuk bertugas di KPK.

Apabila penyidikan dilakukan oleh Kepolisian, hasil penyidikan yang

dilakukan oleh penyidik diserahkan kepada penuntut umum dalam bentuk berkas

perkara untuk dilakukan penuntutan. Berdasarkan Pasal 110 KUHAPdisebutkan:

1. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.

2. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.

Universitas Sumatera Utara

Page 176: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

3. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk dari penuntut umum.

Berdasarkan Pasal 8 KUHAP, penyerahan berkas perkara dilakukan dengan

dua tahap, yaitu :

1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;

2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan

tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Sebelum melakukan penuntutan, penuntut umum terlebih dahulu mempelajari

dan meneliti berkas perkara yang diterima dari penyidik, apakah telah memenuhi

persyaratan formil maupun materiil (alat bukti) untuk membuktikan bahwa tersangka

telah melakukan tindak pidana. Hal ini sejalan dengan asas praduga tak bersalah

yang terdapat dalam Pasal 66 KUHAP, dimana tersangka atau terdakwa tidak

dibebani pembuktian, oleh karena itu penyidik dan penuntut umum wajib mencari

alat bukti yang cukup untuk menyatakan tersangka bersalah sehingga dapat diajukan

kepersidangan.

Apabila ada kekurangan pada penyidikan, Penuntut Umum memberitahukan

kepada penyidik bahwa berkas perkara belum lengkap, kemudian ditindaklanjuti

dengan penyerahan berkas perkara kepada penyidik berikut petunjuk penuntut umum

yang harus dipenuhi, tindakan penuntut umum ini disebut dengan pra penuntutan.203

203Pra Penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah

menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari dan meneliti kelengkapan

Universitas Sumatera Utara

Page 177: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan telah lengkap,

maka penyidik wajib menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti

kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan.

Penuntutan tindak pidana berintikan dakwaan204

Surat dakwaan merupakan wujud dari manunggalnya fakta dan unsur pidana,

dimana arsiteknya adalah penuntut umum.

yang berisi fakta-fakta.

Fakta-fakta ini harus mempunyai makna dalam hukum, yaitu sebagai fakta-fakta

yuridis yang sesuai dengan unsur-unsur pidana yang didakwakan.

205

Surat dakwaan yang dapat dijadikan dasar pemeriksaan di depan persidangan,

dapat dilihat pada Pasal 143 KUHAP. Memperhatikan Pasal tersebut, ditentukan dua

syarat yang harus dipenuhi surat dakwaan, yaitu :

Penuntutan merupakan keputusan

sementara tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana.

206

1. Syarat Formal.

a. Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum.

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan (Pasal 30 ayat 1 huruf a penjelasan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI)).

204Surat Dakwaan (letter of accusation) yaitu surat yang berisi rumusan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa berdasarkan kesimpulan yan ditarik dari hasil penyidikan dan merupakan dasar pemeriksaan di depan sidang pengadilan (Pasal 143, Pasal 182 ayat 4 KUHAP dan Putusan MA No. 68/K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976).

205Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm 2.

206M.Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 384.

Universitas Sumatera Utara

Page 178: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

2. Syarat Materiil.

a. Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.

b. Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.

Kalau ketentuan pada huruf b ini tidak dipenuhi, maka surat dakwaan batal demi

hukum, dengan kata lain surat dakwaan dianggap tidak pernah ada.

Setelah penuntut umum membuat surat dakwaan, selanjutnya berkas perkara

dilimpahkan ke Pengadilan Negeri berikut penyerahan tanggung jawab terdakwa dan

barang bukti, agar dapat dilakukan pemeriksaan perkara tersebut.

c. Pemeriksaan di Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Memeriksa, mengadili serta memutus perkara tindak pidana korupsi adalah

merupakan kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada di

lingkungan peradilan umum (vide Pasal 2 dan Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 46

tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).

Ketentuan beracara didalam pemeriksaan dan persidangan perkara tindak

pidana korupsi adalah sama dengan ketentuan beracara persidangan perkara tindak

pidana umum, oleh karena berdasarkan Pasal 26 UU Tipikor di sebutkan:

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan terhadap tindak

pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Terdapat beberapa prinsip yang berbeda

dengan tindak pidana umum, yakni:

Universitas Sumatera Utara

Page 179: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Dalam perkara tindak pidana umum, tidak memungkinkan untuk diperiksa dan

diputus tanpa hadirnya terdakwa, atau dilakukan secara in absentia, namun dalam

perkara korupsi dibenarkan untuk digelar dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

Menurut Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 pemeriksaan dan diputusnya

perkara korupsi baru boleh dilakukan, apabila terdakwa telah dipanggil secara sah,

tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Jadi harus memenuhi dua

syarat, yakni : 1) harus dipanggil terlebih dahulu secara sah dan 2) tidak hadir tanpa

alasan yang sah. Ketentuan ini dipastikan hanya diperuntukkan bagi terdakwa yang

tidak ditahan, sebab bagi terdakwa yang ditahan untuk menghadap persidangan tanpa

diperlukan panggilan, karena menjadi tanggung jawab penuntut umum untuk

menghadirkannya ke persidangan pengadilan. 207

(2) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi;

Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa

terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi.

Pasal 37:

(3) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

C. Perbedaan Sistem Pembuktian Hukum Administrasi Dan Hukum Pidana

Di Pengadilan Dalam Pengujian Ada Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang

207Adami Chazawi I,Op.Cit., hlm. 353.

Universitas Sumatera Utara

Page 180: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Sumber hukum acara dalam persidangan tindak pidana korupsi adalah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khusus tentang alat bukti

petunjuk dan alat bukti elektronik, sedangkan pada permohonan penilaian ada atau

tidaknya penyalahgunaan wewenang bersumber kepada Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan, akan tetapi karena UU No 30 Tahun 2014 belum

mengatur tentang tata cara persidangan permohonan penilaian ada atau tidaknya

penyalahgunaan wewenang, maka Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian

Penyalahgunaan Wewenang.

Pada sub bab sebelumnya telah dibahas persamaan maupun perbedaan

prinsipil hukum administrasi dan hukum pidana korupsi, meliputi sumber hukum

formil dan materil, syarat pengajuan permohonan ke pengadilan, pembuktian unsur

subjektif dan objektif, dan lain sebagainya. Namun pada sub bab berikut ini akan

dibahas secara khusus perbedaan hukum administrasi dan hukum pidana dari sudut

pembuktian pada saat proses peradilan.

Pada permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang

hanya ada pihak Pemohon (sepihak) tidak ada pihak lain yang ditarik

Universitas Sumatera Utara

Page 181: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

sebagai lawan, sedangkan hukum pidana korupsi terdapat dua

pihakyakniJaksa Penuntut Umum dan Terdakwa (didampingi Penasihat

Hukum).

Pada hukum administrasi dalam permohonan penilaian ada atau tidaknya

penyalahgunaan wewenang jenis alat bukti yang dipergunakan adalah :

i. Bukti surat atau tulisan;

ii. Keterangan saksi;

iii. Keterangan ahli;

iv. Pengakuan Pemohon;

v. Pengetahuan hakim atau bukti lain (informasi elektronik atau

dokumen elektronik).

Sedangkan hukum pidana korupsi jenis alat bukti yang dipergunakan

adalah:

vi. Keterangan saksi;

vii. Keterangan ahli;

viii. Surat;

ix. Petunjuk;

x. Petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi

secara elektronik dan dokumen elektronik;

xi. Keterangan terdakwa.

Universitas Sumatera Utara

Page 182: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pada hukum pidana korupsi terhadap saksi yang tidak hadir tanpa alasan

yang cukup dapat dilakukan upaya paksa, dalam prakteknya Majelis Hakim

akan mengeluarkan penetapan untuk memerintahkan Jaksa Penuntut

Umum menghadapkan saksi ke persidangan (vide Pasal 159 ayat (2)

KUHAP), sedangkan pada ketentuan beracara permohonan penilaian ada

atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang tidak dapat dilakukan

upaya paksa terhadap saksi.

Pada hukum pidana korupsi pembuktian dilakukan oleh Jaksa Penuntut

Umum dan terhadap terdakwa juga diberikan kesempatan untuk

mengajukan saksi-saksi dan ahli yang menguntungkan bagi terdakwa serta

dapat mengajukan bukti-bukti lain yang dapat menguntungkan bagi

terdakwa, sedangkan pada permohonan penilaian ada atau tidaknya

penyalahgunaan wewenang pembuktian berada pada pemohon semata,

sebab dalam permohonan ini tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai

lawan.

Persidangan permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan

wewenang berdasarkan Pasal 21 UU AP pengadilan wajib memutus

permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari, sedangkan persidangan

perkara tindak pidana korupsi dilakukan paling lama sebelum habis jangka

waktu penahanan terdakwa yakni seluruhnya 150 (seratus lima puluh) hari.

Pada permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang

upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemohon yang tidak terima

Universitas Sumatera Utara

Page 183: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

terhadap putusan PTUN adalah banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara dan upaya banding tersebut adalah merupakan upaya hukum

terakhir, sedangkan pada perkara pidana korupsi upaya hukum bagi

Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum

banding dan kasasi, serta dapat dilakukan upaya hukum luar biasa yakni

peninjauan kembali (dikenal dengan istilah PK).

Tabel V

Perbedaan SistemPembuktian HukumAdministrasiDan HukumPidana DiPengadilan Dalam Pengujian AdaAtau Tidaknya Penyalahgunan

Wewenang

PERBEDAAN

Hukum Administrasi Dalam Hal Permohonan Ada atau Tidaknya

Penyalahgunaan Wewenang

Hukum Pidana Korupsi

Pihak: Pemohon (sepihak) tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan.

Pihak: Terdapat 2 (dua) pihak yakni JPU dan Terdakwa (didampingi Penasihat Hukum).

Jenis alat bukti: bukti surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan Pemohon, pengetahuan hakim atau bukti lain (informasi elektronik atau dokumen elektronik).

Jenis alat bukti: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi secara elektronik dan dokumen elektronik, keterangan terdakwa.

Tidak ada upaya paksa terhadap saksi yang tidak hadir di persidangan.

Ada upaya paksa terhadap saksi yang tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang cukup.

Universitas Sumatera Utara

Page 184: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pembuktian dilakukan oleh pemohon (sepihak), sebab dalam permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang tidak ada pihak lain yang menjadi lawan.

Pembuktian dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan terhadap terdakwa juga diberikan kesempatan untuk mengajukan saksi-saksi dan ahli yang menguntungkan bagi terdakwa serta dapat mengajukan bukti-bukti lain yang dapat menguntungkan bagi terdakwa.

PERBEDAAN

Hukum Administrasi Dalam Hal Permohonan Ada atau Tidaknya

Penyalahgunaan Wewenang

Hukum Pidana Korupsi

Persidangan permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 21 UU AP pengadilan wajib memutus permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari.

Persidangan perkara tindak pidana korupsi dilakukan paling lama sebelum habis jangka waktu penahanan terdakwa (seluruhnya 150 (seratus lima puluh) hari).

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemohon yang tidak terima terhadap putusan PTUN adalah banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan upaya banding tersebut adalah merupakan upaya hukum terakhir.

Upaya hukum bagi Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum banding dan kasasi, serta dapat dilakukan upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali (dikenal dengan istilah PK).

Universitas Sumatera Utara

Page 185: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

BAB IV

KONSEKUENSI ATAS PENGAJUAN PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN WEWENANGAN OLEH PEJABAT

PEMERINTAHAN KEPADA PTUN TERHADAP PROSES PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, PENUNTUTAN MAUPUN

PROSES PERSIDANGAN TIPIKOR

A. Konsekuensi Atas PengajuanPermohonan Ada Atau Tidaknya

Penyalahgunaan Wewenang Dari Tindakan Pejabat Pemerintahdi PTUN

Apabila ditinjau dari segi tugas dan wewenangnya, Pengadilan Tata Usaha

Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-

perkara tata usaha negara di tingkat pertama, sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha

Negara berwenang memeriksa dan memutus semua sengketa tata usaha negara dalam

tingkat pertama. Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan tata usaha negara adalah sengketa dalam tata usaha negara.

Seiring berjalannya waktu dan perkembangan perundang-undangan salah satu

yang merupakan kompetensi dari peradilan PTUN adalah memutus permohonan

penilaian apakah tindakan yang dikeluarkan oleh pejabat negara mengandung unsur

penyalahgunaan wewenang atau tidak. Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 21 ayat (2) Undang-UndangNomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintah, menyebutkan: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan

Universitas Sumatera Utara

Page 186: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada tidaknya unsur-unsur

penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan atau tindakan”

. Adanya Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 tahun 2014 sebagaimana telah

disebutkan diatas telah menimbulkan polemik bagi pemerhati hukum, hal ini terjadi

karena disatu sisi UU No. 30 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada

Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menilai ada atau tidaknya unsur

penyalahgunaan wewenang, sedangkan disisi lain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi menguji ada atau tidaknya unsur menyalahgunakan wewenang

sebagai salah satu unsur di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diantara kedua undang-undang tersebut tidak

saling meniadakan kewenangan masing-masing. Sehingga muncul perbedaan

pendapat, di satu pihak ada yang berpendapat bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha

atas permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang menyatakan

tidak ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah

mengakibatkan tidak dapat lagi diproses secara pidana, proses pidana dapat

dilanjutkan untuk dilakukan apabila putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

menyatakan telah ada penyalahgunaan wewenang, sedangkan di lain pihak ada

pemerhati hukum yang berpendapat bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

tidak berpengaruh terhadap proses pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 187: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pada dasarnya secara garis besar polemik pendapat dapat dibagi menjadi 3

(tiga) padangan, yaitu:208

a. Pendapat yang mendahulukan aspek hukum administrasi.

b. Pendapat merupakan ranah hukum pidana.

c. Pendapat moderat tidak ada konflik norma.

Pertama, Pendapat yang mendahulukan aspek hukum administrasi:Zudan Arif

Farullah, menyampaikan makalahnya berjudul “Tindakan Hukum Bagi Aparatur

Penyelenggara Pemerintaha” pada seminar Nasional HUT IKAHI ke 62, menjelaskan

bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Administrasi

Pemerintahan maka setiap pejabat yang keberatan dengan hasil pemeriksaan Aparat

Pengawasan Intern Pemerintah karena dianggap menyalahgunakan kewenangan dapat

mengajukan permohonana ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk meminta agar

hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menilai ada atau tidak adanya unsur

penyalahgunaan kewenangan dalam setiap Keputusan dan/atau Tindakan yang

dibuatnya. Dalam hal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang sudah berkekuatan

hukum tetap menyatakan tidak ada penyalahgunaan kewenangan, maka pejabat

tersebut tidak dapat diperiksa dalam konteks hukum pidana, perdata maupun

administrasi. Sedangkan apabila hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

putusannya menyatakan pejabat tersebut terbukti menyalahgunakan kewenangan

208Dani Elpah. et.al.,Op.Cit., hlm. 93.

Universitas Sumatera Utara

Page 188: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

maka terbukalah pintu bagi aparat penegak hukum untuk membawanya ke arah

pidana ataupun ranah hukum lainnya.209

Senada dengan pendapat Zudan Arif Farullah tersebut, Romli Atmasasmita

berpendapat bahwa dalam hal pembuktian mengenai unsur penyalahgunaan

wewenang karena kedudukan atau jabatan, maka baik Penuntut maupun Terdakwa

dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk

menetapkan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang didugakan.

Sebaiknya diberikan preferensi kepada Pengadilan Tata Usaha Negara sebelum

Pengadilan Tipikor memeriksa dan mengadili penyalahgunaan wewenang. Hal ini

disebabkan untuk mencegah konflik kompetensi peradilan antara Pengadilan Tata

Usaha Negara dan Pengadilan Tipikor sebagaimana terjadi pada perkara Indosat

Media 2 (IM2) dimana putusan MA RI kamar pidana memutuskan bahwa Direktur

Utama IM2 telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi sedangkan putusan MA

RI kamar TUN telah memutuskan bahwa BPKP tidak berwenang menentukan

kerugian keuangan Negara sehingga hasil pemeriksaan BPKP telah dinyatakan tidak

sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

210

Dian Puji Simatupang, seorang pakar hukum Universitas Indonesia

menyatakan bahwa dengan terbitnya UU AP, yang berhubungan dengan

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat

209Ibid. 210Ibid., hlm. 94.

Universitas Sumatera Utara

Page 189: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pemerintahan seharusnya dapat diselesaikan terlebih dahulu secara administrasi,

kemudian apabila berdasarkan putusan pengadilan telah terbit bahwa penyalahgunaan

wewenang tersebut mengandung 3 (tiga) unsur yang termasuk dalam ranah pidana,

yaitu ancaman, suap dan tipu muslihat untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah,

maka atas dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut diselesaikan melalui proses

pidana. Karena ASN dan Pejabat Negara sudah dilekatkan kewenangan publik,

artinya dalam diri ASN dan Pejabat tersebut melekat wewenang dan kewenangan,

sehingga ketika pihak lain mengganggap ada pelanggaran yang dilakukan ASN dan

Pejabat Negara yang menyalahi wewenangnya, maka penyelesaian yang utama

adalah penyelesaian administrasi terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan larangan

penyalahgunaan wewennag dilakukan oleh APIP. Dengan demikian, laporan adanya

dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan tidak

seharusnya diperiksa melalui proses pidana karena sesuai dengan UU AP selama

penyalahgunaan wewenang tersebut tidak mengandung unsur tidak pidana, maka hal

tersebut merupakan ranah administrasi yang penyelesaiannya dilakukan oleh atasan

pejabat yang bersangkutan dan sanksi terhadap pejabat yang telah terbukti melakukan

penyalahgunaan wewenang berupa pencabutan kewenangan, sanksi teguran atau

pemberhentian.211

211Pernyataan Dian Puji Simatupang, dalam Foccus Group Discussion pada tanggal 21 Maret

2016, bertempat di Direktorat Hukum dan Hubungan Masyarakat. Disampaikan kembali oleh Dian dalam FGD pada tanggal 18 Mei 2016 bertempat di Kantor Wilayah DJKN Bali dan Nusa Tenggara, dalam Disiplin. F. Manao, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara (Bandung: Kreasi Sahabat Bersama, 2017), hlm. 242-243.

Universitas Sumatera Utara

Page 190: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas, Sudarsono Guru besar Hukum

Administrasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang menjelaskan bahwa

fokus penyalahgunaan wewenang atau kewenangan dalam Tipikor itu hakikatnya

dilakukan oleh orang yang berwenang atau mempunyai kewenangan. Kalau tidak

punya kewenangan mana mungkin menyalahgunakan wewenang. Dengan demikian

masuk dalam lingkup pelaksanaan fungsi pemerintahan yang baik dalam

pembangunan maupun yang lain. Lalu disitu ada korupsi, berarti ada penyalahgunaan

wewennag. Pelaksanaan fungsi pemerintah ini diatur dalam Undang-Undang

Administrasi Pemerintahan. oleh karena itu perlu diujikan dulu ke Pengadilan Tata

Usaha Negara. Lebih lanjut Sudarsono menjelaskan bahwa mengingat Undang-

Undang Admnistrasi Pemerintahan telah menguraikan dengan jelas lingkup

penyalahgunaan wewenang, jenis-jenisnya dan lain-lain, sedangkan Tipikor tidak

mengaturnya secara rinci. Harusnya mengikuti Undang-Undang Administrasi

Pemerintahan yang lebih rinci mengatur. Sebagaimana perkembangan perubahan

pengaturan Keputusan Tata Usaha Negara mulai dari Undang-Undang 1986, 2004

dan 2009 itu. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan itu kondisi pengaturan

perubahannya tentang penyalahgunaan wewennag juga harusnya sama memaknainya

dengan perkembangan perubahan Keputusan Tata Usaha Negara ini. Satunya

berkaitan dengan Administrasi Pemerintahan dan yang lain terkait Peradilan Tata

Usaha Negara tetapi tetap bisa menyesuaikan dengan penambahan kewenangan atau

mekanisme beracaranya.212

212Dani Elpah. et.al.,Op.Cit., hlm. 95.

Universitas Sumatera Utara

Page 191: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pendapat yang sama juga diberikan oleh Supandi, Hakim Agung pada Kamar

TUN Mahkamah Agung RI yang menyatakan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU

No. 30 Tahun 2014 dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik

dalam melakukan penyidikan terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan

oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan, karena hal tersebut seharusnya

menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan TUN.213

Kedua, Pendapat yang merupakan hukum pidana:Andi Nirwanto, mantan

Wakil Jaksa Agung RI berpendapat pengaturan dan pemahaman bahwa harus melalui

Pengadilan Tata Usaha Negara dahulu baru kemudian Tipikor yang demikian

dianggap oleh kalangan akademisi lainnya sebagai sebuah langkah mundur, atau bila

tidak dianggap jalan memutar penegakkan hukum dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi. Bahkan berpotensi menjadi tempat bersembunyi para Koruptor, untuk

berkilah dari proses peradilan pidana.

214

213Lihat: Fathudin, “Tindak Pidana Korupsi (Dugaan Penyalahgunaan Wewenang) Pejabat Publik (Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan)”, Jurnal Cita Hukum Vol. II, No.1, (Juni 2015): 129, ISSN: 2356-1440.

214Andi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan), Makalah yang disampaikan pada seminar HUT IKAHI ke-62 dalam Dani Elpah, et. al.,Op. Cit., hlm. 95..

Seolah dipahami proses peradilan

administrasi sebagai alat cuci efektif untuk membersihkan diri dari tuduhan dan

pemidanaan penyalahgunaan wewenang karena dimungkinkan penyelesaian dengan

cara menyelesaikannya dengan pengembalian kerugian negara secara administratif.

Padahal dari norma hukum pidana ditegaskan bahwa pengembalian kerugian negara

yang diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang tidak menjadi alasan penghapusan

Universitas Sumatera Utara

Page 192: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

unsur kesalahan dan pengabaian atas pemidanaannya. Dalam konteks ini, Echwan

Irianto (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember) dan Syahrin menyesalkan

adanya pengaturan UU AP yang bertindihan dengan peradilan Tipikor sehingga dapat

menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.215

Dikalangan praktisi, antara lain organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)

sendiri, merasa khawatir dengan keberadaan Pasal 21 UU AP oleh karena

menimbulkan persoalan sebagai berikut: Hakim PTUN diberi kewenangan dalam

penegakkan hukum materiil tentang larangan penyalahgunaan wewenang pada Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan yang diatur dalam UU AP. Sementara itu, hakim

Pengadilan Tipikor diberi kewenangan dalam penegakan hukum materiil

pemberantasan tindak pidana korupsi, yang didalamnya terdapat unsur

menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UU Tipikor. Merujuk pada Pasal 21

UU AP dan ketentuan Pasal 3 UU Tipikor tersebut, jika pengujian penyalahgunaan

wewenang dilakukan PTUN apakah hal tersebut justru akan menguatkan ataukah

sebaliknya melemahkan upaya pemberantasan korupsi, karena ada kekhawatiran

publik, kalau lahirnya ketentuan tersebut PTUN akan menjadi tempat untuk

bersembunyinya para koruptor.

216

215Dani Elpah, et.al., Op. Cit., hlm. 95-96. 216Pimpinan Pusat IKAHI, Term of Reference (TOR) Seminar Undang-Undang Administrasi

Pemerintahan: Menguatkan tau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi dalam Disiplin. F. Manao, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara (Bandung: Kreasi Sahabat Bersama, 2017), hlm. 246.

Universitas Sumatera Utara

Page 193: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Menurut Krisna Harahap, Hakim AgungAd Hoc Tipikor MARI merupakan

langkah nyata menghambat upaya pemberantasan korupsi.Jadi, penerapan asas

preferensi dalam konteks penyelesaian sengketa kewenangan dalam memeriksa dan

memutus unsur “menyalahgunakan kewenangan” karena jabatan dalam Tipikor pada

prakteknya sepertinya masih akan menemui kesulitan, dan belum dapat

menyelesaikan potensi sengketa kewenangan mengadili penyalahgunaan kewenangan

dalam Tipikor antara Peradilan Tipikor dengan Peradilan TUN. Selain berpotensi

menimbulkan sengketa kompetensi antara Peradilan Tipikor dan Peradilan TUN,

perbedaan perspektif mengenai pemberlakuan UU No. 30 Tahun 2014 tersebut

berdampak pada ketidakpastian mekanisme penanganan dugaan perbuatan

menyalahgunakan kewenangan karena jabatan dalam Tipikor, dimana dalam

praktiknya hal ini kemudian dijadikan jalan oleh tersangka dan/atau terdakwa korupsi

untuk melakukan berbagai eksperimen hukum guna lolos dari jeratan hukum.217

Ketiga, Pendapat yang menyatakan bahwa antara Pengadilan Tata Usaha

Negara dan Pengadilan Tipikor sesungguhnya mempunyai kompetensi yang berbeda

dan tidak perlu dipersinggungkan karena konteks penyalahgunaan wewenang yang

menjadi objek masing-masing adalah berbeda.Yulius, Hakim Agung pada kamar

TUN MA RI berpendapat bahwa tidak ada konflik norma antara Pasal 21 Undang-

Undang Administrasi Pemerintahan maupun Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, karena

217Detik.com, “UU Administrasi Pemerintahan Dinilai Mengudeta Pemberantasan Korupsi”, http://news.detik.com/berita/2873765/uu-administrasi-pemerintahan-dinilai-mengudeta-pem-berantasan-korupsi(diakses 28 Februari 2017).

Universitas Sumatera Utara

Page 194: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

baik Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Negeri (Pidana/Tipikor)

menjalankan fungsinya masing-masing. Meskipun dimungkinkan adanya satu

permasalahan hukum diselesaikan di kedua lembaga peradilan tersebut, akan tetapi

keduanya mempunyai aspek pengujian yang berbeda sehingga tidak saling

mencampuri atau menguji putusannya. Tidak tepat apabila PTUN menguji

penyalahgunaan wewenang yang actus reus (tindak pidana yang dilakukan) dan mens

rea (sikap-batin atau niatnya) kesalahan bersifat kepidanaan. Fungsi sebagai hakim

pidana tidak boleh dijalankan oleh Hakim Peradilan TUN. Demikian pula sebaliknya,

hakim pidana tidak dapat mendudukan dirinya sebagai Hakim TUN. Kedua lembaga

peradilan tersebut mempunyai prinsip-prinsip hukum masing-masing yang tidak

saling bertentangan, akan tetapi dapat saling mengisi. Lebih lanjut Yulius

menjelaskan bahwa konteks kompetensi absolut PTUN terhadap penilaian perkara

penyalahgunaan wewenang, hanya berupa pertanggungjawaban (liability dan

responsibility) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atas kesalahan administrative

yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara. Ada kemiripannya dengan teori

Kranenbeurg dan Vegtig mengenai “fautes personalles” dan “fautes de service”.

Dimana penentuan ada atau tidaknya kesalahan secara admnistratif, berkonsekuensi

pada tanggung jawab pribadi.218

218Yulius, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di

Indonesia (Tinjauan Singkat dari Perpektif Hukum Administrasi Negara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014) dalam Dani Elpah. et.al., Laporan Penelitian Pengkajian Titi Singgung Kewenangan Antara PTUN dengan Pengadilan Tipikor Dalam Menilai Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang, Balitbang Diklat Kumdil MA RI, 2016, hlm. 96.

Universitas Sumatera Utara

Page 195: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Senada dengan Yulius, Andi Nirwanto menyatakan bahwa domain PTUN

dalam rangka memeriksa dan memutus ada/tidaknya unsur penyalahgunaan

wewenang oleh Pejabat Pemerintahan haruslah dimaknai sebagai perbuatan hukum

dalam konteks tata usaha Negara. Karena atribusi PTUN sebagaimana diamanatkan

Pasal 21 UU AP, sejatinya tidak perlu dipertentangkan dengan kewenangan hakim

Pengadilan Tipikor apalagi dinaggap sebagai upaya pelemahan upaya pemberantasan

korupsi. Apabila diteliti dengan seksama, unsur menyalahgunakan kewenangan

dalam UU Tipikor memiliki pengertian yang berbeda dengan penyalahgunaan

wewenang yang menjadi kompetensi PTUN, sebagaimana diatur dalam UU AP.

Selanjutnya untuk dapat mengkualifikasikan keputusan dan/atau tindakan Pejabat

Pemerintahan sebagai Tipikor apabila telah terjadi perbuatan melawan hukum pidana,

yang didahului dam diikuti sikap batin jahat (mens rea) dari pejabat publik yang

bersangkutan. Sikap batin jahat dari Pejabat Pemerintahan yang mewarnai kebijakan

diskresioner yang dikeluarkannya dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara,

merupakan indikator telah terpennuhinya unsur Tipikor sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal 3 UU Tipikor.219

Banyak yang berpendapat bahwa jikaselama ini seorang pejabat

ditetapkansebagai tersangka korupsi langsungdiperiksa di Peradilan Umum

(PeradilanTipikor), kini dengan ketentuan Pasal 21ayat (1) jo. Pasal 1 angka 18 jo.

Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014, maka pejabatyang bersangkutan dapat

219Dani Elpah. et.al., Op.Cit, hlm. 97.

Universitas Sumatera Utara

Page 196: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

mengajukanpermohonan kepada Peradilan TUN terlebihdahulu untuk memeriksa dan

memastikanada atau tidak adanya unsur penyalahgunaanwewenang dalam keputusan

dan/atautindakan yang telah diambil, dan prosespenegakan hukum pidana sementara

waktu ditunda.220

Namun demikian, pendapat tersebut diatas memiliki banyak kelemahan antara lain

sebagai berikut : Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan MARI

Nomor 4 Tahun 2015 bukan tanpa persoalan. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun

2016 hanya berlaku bagi Kejaksaan Agung dan Polri sebagai organ pemerintahan

yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi tidak berlaku

bagi KPK yang juga memiliki kewenangan atributif untuk melakukan penyelidikan

Adanya mekanisme pengujian adaatau tidak adanya unsur

penyalahgunaanwewenang melalui Peradilan TUN, dianggap inheren dengan asas

ultimum remedium dalam hukum pidana, di mana keberadaan pengaturan sanksi

pidana harus diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir. Hal ini ditegaskan

dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan

Proyek Strategis Nasional, yang menginstruksikan kepada Jaksa Agung dan Kapolri

untuk mendahulukan proses Administrasi Pemerintahan sesuai ketentuan UU No. 30

Tahun 2014 sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang

menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis

Nasional.

220Mohammad Sahlan, Kewenangan Peradilan Tipikor Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 166-189 diakses melalui 166 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.2, pada tanggal 17 Juni 2017

Universitas Sumatera Utara

Page 197: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dan/atau penyidikan terhadap masalah tersebut. Selain itu, Instruksi Presiden RI

Nomor 1 Tahun 2016, yang merupakan “policy rules” atau “beleidsregels” atau

“quasi legislation” atau “pseudowetgeving” secara formal bukan peraturan

perundang-undangan. W.Riawan Tjandra, pengajar hukum administrasi negara

Fakultas Hukum Universitas Admajaya mengatakan221

221 W. Riawan Tjandra, Menilai Inpres Proyek Strategis Nasional, doa-

bagirajatega.blogspot.co.id, (diakses pada tanggal 19 September 2016).

tujuan inpres tersebut untuk

membangun Administrasi Pemerintahan yang tertib, tidak ada penyalahgunaan

wewenang dan memastikan penegakan hukum berbagai kasus korupsi semakin

efektif. Inpres juga tak memiliki kekuatan mengikat yang setara dengan Undang-

Undang sehingga tak perlu menjadi halangan bagi penegak hukum dalam penegakan

hukum anti korupsi yang berdasarkan undang-undang.

Sesuai Surat Edaran MA RI Nomor : 03 Tahun 2015 tentang Pemberlakukan

rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai pedoman

pelaksanaan tugas bagi pengadilan, pada huruf A.2 :

“Didalam Pasal 21 UU No.30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, pengadilan TUN berwenang memeriksa dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintahan. Ketika proses perkara tindak pidana korupsi berjalan diajukan pula permohonan tentang ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang ke PTUN, maka proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tetap berjalan sedangkan permohonan ke PTUN harus merujuk kepada PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang pedoman beracara dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang”. PERMA No 4 Tahun 2015 pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan:

Universitas Sumatera Utara

Page 198: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan

penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan atau

tindakan pejabat pemerintah sebelum adanya proses pidana”.

Dengan demikian proses pemeriksaan oleh PTUN harus dilakukan sebelum

adanya proses pidana. Sehingga Pejabat Negara yang telah membuat dan

melaksanakan suatu keputusan atau tindakan dapat mengajukan pemeriksaan atas

inisiatif sendiri baik setelah ada hasil pemeriksaan pengawasan intern pemerintah, hal

ini juga diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 pada PERMA No 4 Tahun 2015.

Dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta Pasal 3 PERMA No 4 Tahun

2015 tersebut mencerminkan prinsip hukum equality before the law, sebagaimana

yang dikemukakan oleh Paulus Effendi Lotulung yang menyatakan bahwa pemberian

hak gugat bagi pejabat merupakan pengejawantahan dari Prinsip equality before the

law yang menunjukan asas persamaan kedudukan bagi semua warga negara, baik

selaku pribadi maupun kualifikasinya sebagai pejabat negara.222

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatdilihat bahwa upaya pemerintah dan

Mahkamah Agung RIuntuk mengurai keruwetan mekanisme dalampenanganan

penyalahgunaan wewenangkarena jabatan masih menyisakan banyakpersoalan. Oleh

karena itu,pendekatan represif yang dijadikan sebagai“primum remedium” harus

ditinjau ulang.Hukum pidana harus dikembalikan kepadakhittahnya sebagai senjata

pamungkas dalamupaya penegakan hukum sesuai dengan asas“ultimum

222Tri Cahya Indra Permana, Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: Genta Press, 2016),hlm. 53.

Universitas Sumatera Utara

Page 199: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

remedium”.223Apalagi dalam konteks HukumAdministrasi, keberadaan sanksi

pidanamenurut Barda Nawawi Arief, padahakikatnya merupakan perwujudan

darikebijakan menggunakan hukum pidana sebagaisarana untuk

menegakkan/melaksanakanhukum administrasi,224 sehingga beradapada tahapan

terakhir. Hal ini seperti yangdikemukakan oleh W.F Prinsyang dikutipPhilipus

M.Hadjon,225

“…haruslah dibuktikan terlebih dahulu unsur pokok dalam hukum pidana, apakah terdakwa I memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa memang terdakwa

bahwa hampir setiapperaturan berdasarkan hukum administrasidiakhiri

dengan ketentuan pidana sebagai “incauda venenum” (secara harfiah berarti:

adaracun di ekor/buntut).

Bahwa adanya perbedaan secara prinsipil penyalahgunaaan wewenang

menurut UU No. 30 Tahun 2014 dengan hukum pidana tipikor yang menyebabkan

tidak dapat saling menundukkan diri satu dengan yang lain. Penyalahgunaan

wewenang dalam Hukum Pidana dalam konteks adanya kerugian negara didahului,

disertai adanya kesalahan atau niat jahat (mens rea) sebagai unsur subjektif yaitu

dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Hal ini juga dapat dilihat dalam pertimbangan hukum putusan MA RI Nomor:

572 K/Pid/2003 atas nama terdakwa Ir.Akbar Tanjung,dkk :

223Suhariyono AR, “Perumusan Sanksi Pidana Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Perspektif VoL. XVII, No. 1, (Januari, 2012): 21. 224Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya, 2005), hlm. 139. 225Philipus, M. Hadjon. et.al.,Op.Cit., hlm. 245.

Universitas Sumatera Utara

Page 200: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

I menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tapi tetap dilakukannya”

Selain perbedaan pembuktian unsur kehendak jahat (mens rea)¸ perbedaan

lainnya adalah UU No. 30 Tahun 2014 bertujuan menciptakan tertib penyelenggaran

adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan

wewenang, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, sehingga

UU No. 30 Tahun 2014 lebih menitikberatkan pada pembangunan adminitrasi

pemerintahan yang baik dan benar,226

226Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Bab III, Pasal 5, Asas-asas pemerintahan yang baik dan benar berdasarkan: asas legalitas, dan asas perlindungan terhadap HAM dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

sedangkan undang-undang pemberantasan

tindak pidana korupsi lebih menitikberatkan pada sistem penindakan

(represif).Selanjutnya perbedaan lainnya dalam proses beracara pembuktian

dipersidangan, PTUN dalam membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang hanya

menggunakan alat bukti dari pemohon (sepihak) saja berupa bukti surat atau tulisan,

keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan pemohon, pengetahuan hakim, alat

bukti lain (informasi elektronik atau dokumen elektronik) sebagaimana diatur dalam

Pasal 13 PERMA Nomor 4 tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian

Unsur Penyalahgunaan Wewenang, sedangkan Pengadilan Tipikor dalam

membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 menggunakan alat

bukti yang diajukan para pihak (Penuntut Umum dan Terdakwa) berupa keterangan

saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Petunjuk dapat diperoleh

dari alat bukti lain berupa informasi elektronik, dan dokumen elektronik sebagaimana

Universitas Sumatera Utara

Page 201: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

diatur dalam Pasal 26 A UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor

dengan menganut sistem pembuktian negatief wettelijk, kemudian PTUN baru

berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan setelah adanya hasil

pengawasan APIP dan tidak sedang dalam proses pidana,, sedangkan Pengadilan

Tipikor dalam memeriksa penyalahgunaan wewenang berdasarkan hasil penyidikan

yang diperoleh dari hasil penyelidikan, informasi dari media massa, hasil pengawasan

APIP, BPK dan sumber lainnya.

Parameter pengujian penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi

adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) dan Asas-asas Umum Pemerintahan

yang Baik/AUPB (tidak tertulis), sedangkan pengujian penyalahgunaan wewenang

dalam Hukum Pidana Korupsi adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) saja.

Dengan demikian aparat penegak hukum tidak terikat dengan putusan PTUN,

hal ini juga sejalan dengan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung Tahun 2015

sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan, pada huruf A.2 : Ketika proses

perkara tindak pidana korupsi berjalan diajukan pula permohonan tentang ada atau

tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang ke PTUN, maka proses pemeriksaan

perkara tindak pidana korupsi tetap berjalan.

Selain itu, melihat kepada sudut pandang organisasi dan sumber daya

manusia (SDM), APIP belum memadai bertindak menggantikan aparat kepolisisan

dan kejaksaan serta KPK RI dalam membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang

yang bersifat pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 202: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Andhi Nirwanto, Wakil Jaksa Agung, berpendapat konsepsi “penyalahgunaan

wewenang” dalam UU No. 30 Tahun 2014 berbeda dengan konsepsi

“menyalahgunakan kewenangan” dalam UU Pemberantasan Tipikor. UU No. 30

Tahun 2014 telah membedakan secara jelas pengertian “wewenang” dan

“kewenangan”, sehingga antara keduanya tidak perlu dipertentangkan. Wewenang

yang identik dengan “hak” berimplikasi hukum penggunaan wewenang dibatalkan

atau tidak sah, sedangkan kewenangan identik dengan “kekuasaan” selain

berimplikasi administrasidan TUN juga berakibat Hukum Pidana.227 Pendapat senada

disampaikan oleh Yulius, Hakim Agung pada Kamar TUN MARI, menyatakan tidak

ada tumpang tindih antara norma penyalahgunaan wewenang dalam UU No. 30

Tahun 2014 dan UU Pengadilan Tipikor jo. UU Pemberantasan Tipikor, karena

masing-masing memiliki kompetensi absolut yang berbeda. Tidak tepat apabila

PTUN menguji penyalahgunaan wewenang yang actus reus (tindak pidana yang

dilakukan) dan mens rea (sikap-batin atau niatnya) kesalahan bersifat kepidanaan.

Fungsi sebagai hakim pidana tidak boleh dijalankan oleh Hakim Peradilan TUN.

Demikian pula sebaliknya, hakim pidana tidak dapat mendudukan dirinya sebagai

Hakim TUN. Kedua lembaga peradilan tersebut mempunyai prinsip-prinsip hukum

masing-masing yang tidak saling bertentangan, akan tetapi dapat saling mengisi.228

227Andhi Nirwanto D. Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan) disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka H.U.T. IKAHI Ke-62 dengan tema “Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Menguatkan atau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi”, (Jakarta: Hotel Mercure Ancol, 2015), hlm. 16-19. 228Yulius,Op.Cit., hlm. 379.

Universitas Sumatera Utara

Page 203: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Apabila melihat kepada salah satu histori pembentukan UU No. 30 Tahun

2014 adalah untuk memindahkan pengujian penyalahgunaan wewenang dari

peradilan tipikor menjadi peradilan TUN, maka tindakan tersebut hanyalah

memindahkan persoalan baru, karena secara organisasi adalah sama, hal ini dikuatkan

adanya pengujian penyalahgunaan wewenang di PTUN Medan pertama kali sudah

tersangkut suap menyuap dan tertangkap tangan oleh KPK RI.

Namun demikian untuk mencari suatu kepastian hukum melalui penetapan

atau keputusan yang tidak hanya tertumpu kepada pengadilan di tingkat pertama.

Sehingga terhadap perkara ini Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pun mengajukan

banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan sebagai upaya menguji

terhadap putusan Pengadilan TUN sebelumnya. Maka berkenaan dengan demikian

Pengadilan Tinggi TUN setelah membaca dan mempelajari putusan Pengadilan TUN

dan memori banding dari Pembanding yaitu kejaksaan Tinggi Sumatera Utara,

dimana pihak Pemohon selaku terbanding tidak ada mengajukan kontra memori

banding pada perkara yang dimaksud, sehingga dalam putusan Pengadilan Tinggi

TUN Medan memberikan putusan sebagai berikut: menerima permohonan banding

dari Termohon/Pembanding dan membatalkan Putusan ganti rugi Pengadilan Tata

Usaha Negara Medan Nomor: 25/G/2015/PTUN-MDN tertanggal 7 Juli 2015, yang

dimohonkan banding.229

229Lihat: Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor:176/B/2015/PT TUN-MDN, tanggal 17 Desember 2015, hlm. 8-9.

Universitas Sumatera Utara

Page 204: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

B. Analisis Terhadap Putusan PTUN No : 25/G/2015/PTUN-MDN Jo Putusan PT TUN Nomor: 176/B/2015/PTTUN-MDN Kasus Ahmad Fuad LubisTerhadap Perbandingan Putusan MA No. 572 K/Pid/2003 Terhadap Kasus Akbar Tandjung Atas Ada Atau Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan Oleh Pejabat Pemerintahan

Dalam perkembangan praktik peradilan pada saat ini, banyak hal baru yang

berkembang didalam bidang hukum pidana, misalnya saja Mahkamah Konstitusi RI

telah memberikan legalitas tambahan hak bagi tersangka untuk mengajukan

praperadilan atas tidak sahnya penetapan tersangka, kemudian ada yang unik dalam

perkembangan hukum sekarang ini yaitu dengan lahirnyaUndang-UndangNomor 30

tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, malah justru dijadikan dasar untuk

melawan tindakan hukum pro justitia yang dilakukan oleh penegak hukum, dimana

tindakan pro justitia tersebut dianggap sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang

karena tidak dilakukan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014. Contoh kasus adalah

permohonan pengujian kewenangan yang diajukan oleh Ahmad Fuas Lubis selaku

Kepala Biro Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Utara, hal ini berawal karena yang

bersangkutan merasa tidak terima dipanggil oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera

Utara untuk dimintai keterangan berkenaan dengan dugaan Tipikor terkait dengan

Dana Bansos di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Surat Panggilan Permintaan

Keterangan Nomor:B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015, tanggal 31 Maret 2015.

Dalam gugatannya pemohon mendalilkan telah dirugikan oleh tindakan yang

dilakukan oleh termohon ketika ada panggilan permintaan keterangan Nomor: B-

473/N.2.5/Fd.1/03/2015 tanggal 31 Maret 2015 terhadap Ahmad Fuad Lubis selaku

Universitas Sumatera Utara

Page 205: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Ketua Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemprov Sumut, dimana isi panggilan terkait

dengan dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan Dana Bantuan Sosial

(BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS),

tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD

pada Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Nomor: Print-31/N.2.5/Fd.1/03/2015

tanggal 31 Maret 2015. Bahwa pemohon dalam gugatannya menyebutkan didalam

panggilan permintaan keterangan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan

kewenangan yang dilakukan oleh termohon, dengan alasan sebagai berikut:

1. Tidak disebutkan waktu kejadian tindak pidana tersebut terjadi;

2. Tidak adanya Laporan Kerugian Keuangan Negara yang dikeluarkan oleh

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia untuk Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara sebagai dasar adanya indikasi tindak pidana korupsi;

3. Tidak adanya pembahasan pengawasan internal yang dilakukan oleh pejabat

pengawasan intern (dalam hal ini pejabat pengawasan intern dari Kementerian

Dalam Negeri) sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Akibat yang ditanggung oleh Pemohon dengan adanya objek permohonan

adalah telah dicemarkan nama baik, harkat, martabatnya serta hak-hak

konstitusionalnya. Disamping itu, Institusi dimana Pemohon berada juga telah

dicemarkan atas tindak Termohon, Oleh karena tindakan yang dilakukan oleh

Termohon merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang yang seakan telah

Universitas Sumatera Utara

Page 206: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

menyatakan seseorang sebagai sasaran penyelidikan, sehigga diketahuiarah

dan target dari proses penyelidikan dimaksud dalam Objek Permohonan

Pengujian Kewenangan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Pemohon

selaku Pejabat Pemerintahan yang dituju dan dirugikan kepentingannya

atastindakan Termohon, memiliki kapasitas dan kualitas untuk mengajukan

Permohonan Pengujian Kewenangan berdasarkan Pasal 21 ayat (2) Undang-

UndangAdministrasi Pemerintahan yang menyebutkan “Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan

untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam

keputusan dan/atau tindakan.

4. Termohon telah melakukan tindakan penyalahgunaan yang melampaui

wewenang dengan melakukan tindakan penyelidikan yang melanggar

KUHAP.

5. Termohon telah melakukan tindakan yang melampaui wewenangnya dengan

melakukan tindakan penyelidikan yang melanggar KUHAP dan Undang-

Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. dst

Menanggapi permohonan pemohon tersebut, Kejaksaan Tinggi Sumatera

Utara selaku termohon mengajukan eksepsi didalam jawabannya, yang pada

pokoknya menyatakan bahwa PTUN Medan tidak berwenang mengadili permohonan

tersebut, dengan alasan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 207: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

1. Bahwa dalam penjelasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa Undang-Undang ini merupakan

hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara;

2. Bahwa di dalam Pasal 2 huruf d, Undang-Undang Nomor: 9 Tahun 2004 jo

Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor: 51 Tahun

2009, tidak termasuk dalam pengertian Keputuan Tata Usaha Negara

berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau peraturan

perundang-undangan lain yang bersifat pidana;

3. Bahwa oleh karena dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang

merupakan hukum materiil bagi Peradilan Tata Usaha Negara Pasal tersebut

belum dihapus, maka ketentuan tersebut, masih tetap berlaku;

4. Bahwa dengan demikian maka Pengadilan Tata Usaha Negara Medan tidak

berwenang mengadili permohonan aquo.

Maka berdasarkan Putusan Pengadilan TUN Medan Nomor: 25/G/2015/PTUN-

MDN, permohonan yang telah diajukan tersebut ternyata dikabulkan oleh Majelis

Hakim Pengadilan TUN Medan dengan amar sebagai berikut:

Dalam eksepsi:

- Menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya;

Dalam pokok perkara:

- Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebahagian;

- Menyatakan keputusan termohon Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 tanggal

31 maret 2015 perihal permintaan keterangan terhadap pemohon selaku

Universitas Sumatera Utara

Page 208: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Mantan Ketua Bendahara Umum Dearah (BUD) Pemprov Sumut ada unsur

penyalahgunaan wewenang;

- Menyatakan tidak sah keputusan termohon Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015

tanggal 31 maret 2015 perihal permintaan keterangan terhadap pemohon

selaku mantan ketua Bendahara Umum Daearah (BUD) Pemprov Sumut.

Dasar pertimbangan hakim PTUN Medan mengabulkan permohonan tersebut

dapat dilihat dalam pertimbangan putusannya:

Halaman 70-71:

- Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 (dua) Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan;

- Menimbang, bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini meliputi semua aktifitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;

- Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas menurut pendapat Majelis Hakim bahwa Termohon dalam menerbitkan objek permohonan sedang melaksanakan fungsi pemerintahan;

- Menimbang, bahwa objek permohonan dalam sengketa ini adalah keputusan Termohon berupa Panggilan permintaan keterangan Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 Tanggal 31 Maret 2015 terhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemprov Sumut (vide bukti P-1 = T-6) untuk diuji ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan keputusan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminsitrasi Pemerintahan, bukan gugatan sebagaimana ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

Universitas Sumatera Utara

Page 209: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim PTUN Medan menolak

eksepsi tentang kewenangan absolut termohon dan menyatakan bahwa PTUN Medan

berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan permohonan tersebut.

Halaman 79:

“……..Menimbang, bahwa dari bukti-bukti yang diajukan di persidangan tidak terdapat satupun alat bukti yang menunjukkan bahwa adanya koordinasi oleh Termohon, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Termohon dalam menerbitkan objek sengketa aquo ternyata tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), sehingga telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah”.

Berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis Hakim PTUN Medan mengabulkan

sebahagian permohonan pemohon dan menyatakan keputusan termohon ada unsur

penyalahgunaan wewenang.

Sedangkan Putusan Pengadilan Tinggi TUN Sumut dalam putusannya

membatalkan putusan PTUN Medan tersebut, dengan pertimbangan hukum pada

halaman 7-8: 230

- Bahwa benar materi ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tidak diatur, apalagi dicabut dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, sehingga ketentuan-ketentuan dalam Pasal tersebut masih menjadi hukum positif yang berlaku dan dipedomani oleh Hakim dalam mengadili perkara termasuk perkara aquo;

- Bahwa benar yang menjadi objek sengketa dalam perkara aquo adalah Surat Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/205 tertanggal 31 Maret 2015 Perihal Panggilan Permintaan Keterangan tterhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah Pemprov Sumut, yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Medan, sehubungan Terbanding/Pemohon diduga melakukan

230Lihat: Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor: 176/B/2015/PT TUN-MDN, tanggal 21 Desember 2015, hlm. 7-8.

Universitas Sumatera Utara

Page 210: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara (korupsi) pada penyaluran Dana Bantuan Sosial, Bantuan Daerah Bawahan, Bantuan Operasional Sekolah, Tunggakan Dana Bagi Hasil dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD pada Pemerintahan Sumatera Utara Tahun Anggaran 2012 dan 2013;

- Bahwa benar surat objek sengketa yang diterbitkan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprit-31/N.2/Fd.1/03/2015, yang diterbitkan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tanggal 16 Maret 2015 tentang perintah penyelidikan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan pada angka sebelumnya;

- Bahwa benar mencermati surat objek sengketa tersebut diatas, diterbitkan atas ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka Majelis Hakim Banding berpendapat perkara dengan objek sengketa tersebut diatas termasuk dalam kategori surat atau keputusan yang dikecualikan dan tidak dapat diuji keabsahannya di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 huruf d Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara”.

Berdasarkan pertimbangan diatas, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT

TUN) menyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha tidak berwenang secara absolut

mengadili perkara permohonan tersebut.

Ada 3 (tiga) pokok pikiran yang menarik dalam putusan TUN dan PT TUN

tersebut, yaitu:

Pertama, hakim PTUN dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Kejaksaan Tinggi

selaku penyelidik seharusnya tunduk pada ketentuan Pasal 385 UU Pemda, kedua,

dalam PTUN adanya pihak Pemohon dan Termohon, ketiga PT TUN menerima

eksepsi Termohon dengan alasan objek sengketa dikecualikan dan tidak dapat diuji di

PTUN.

Pembahasan pokok pikiran pertama, berdasarkan referensi hasil penelitian Oswald

Jansen tahun 2013 mengenai keberadaan sanksi administrasi dan sanksi pidana

dibeberapa negara uni eropa sebagaimana dikutip oleh Abdul Latif (Hakim ad hoc

Universitas Sumatera Utara

Page 211: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Tipikor Mahkamah Agung) menunjukkan bahwa terdapat dua pandangan, yaitu

pandangan yang mengakui keberadaan sanksi administratif tidak mengesampingkan

sanksi pidana atau disebut “low degree of differentiation” dan yang berpandangan

bahwa keberadaan sanksi adminitratif harus dipisahkan secara tegas dari sanksi

pidana atau disebut “high degree of differentiation”. Negara inggris, Swedia dan

Spanyol termasuk negara-negara yang tidak membedakan antara sanksi adminitratif

dan sanksi pidana, artinya sanksi pidana dapat diterapkan bersama-sama dengan

sanksi adminitratif, sedangkan Portugis, Italia, Jerman, Belanda, Belgia dan Rumania

adalah negara yang memisahkan antara sanksi adminitratif dan sanksi pidana,

selanjutnya dikatan adalah merupakan tindakan inskonstitusional penerapan sanksi

pidana terhadap pelanggaran yang nyata-nyata termasuk pelanggaran adminitratif.231

Hakim PTUN mengadopsi pandangan hukum administrasi dan hukum pidana satu

kesatuan, sehingga ketika ada laporan mengenai dugaan adanya penyalahgunaan

Indonesia mengikuti model sanksi pidana dapat diterapkan bersama dengan

sanksi administratif, salah satu contoh dapat dilihat pada ketentuan Pasal 64 Undang-

Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara :

Ayat (1) bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah

ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi

adminitratif dan/atau sanksi pidana.

Ayat (2) putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

231Ikhramlawenforcement, Penegakan Hukum Administrasi Pemerintahan dan Tindak Pidana

Korupsi, https://ikramlawenforcement.wordpress.com(diakses tanggal 5 Oktober 2017).

Universitas Sumatera Utara

Page 212: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

wewenang/kewenangan karena jabatan yang ditujukan kepada Penyidik (KPK, Polri,

dan Kejaksaan), maka hal pertama yang harus dilakukan oleh Penyidik sebelum

melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan adalah menyampaikan laporan tersebut

kepada atasan/pimpinan pejabat/badan untuk dilakukan penilaian oleh APIP dan/atau

kemudian dilakukan pengujian oleh Pengadilan TUN. Setelah itu, apabila dinyatakan

adanya penyalahgunaan wewenang/kewenangan, maka Penyidik dapat melakukan

tugasnya untuk menilai aspek pidananya, yaitu dengan melihat mens rea dan actus

reus dari keputusan/tindakan tersebut yang merupakan konsep utama

menyalahgunakan kewenangan dalam Tipikor, kemudian berlanjut pada tahapan

selanjutnya sesuai sistem peradilan pidana. Sebaliknya, ketika hasil pemeriksaan

APIP dan/atau putusan Pengadilan TUN menyatakan tidak ada penyalahgunaan

wewenang, maka penyidik tidak dapat melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan

terhadap kasus tersebut dan kasusnya berhenti sampai disitu.

Kalau dipelajari secara seksama, UU No. 30 Tahun 2014 tidak mewajibkan

aparat penegak hukum melakukan proses hukum pidana setelah adanya hasil

pemeriksaan APIP, sedangkan UU Pemda pada Pasal 385 ayat (3) hanya menegaskan

agar aparat penegak hukum terlebih dahulu berkoordinasi dengan APIP dalam hal

pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat kepada APIP.APIP bekerja sebagai

pengawas internal untuk menciptakan tertib penyelenggaran adminitrasi

pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang,

dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Disamping itu

undang-undang yang mengatur adminitrasi pemerintahan lebih menitikberatkan pada

Universitas Sumatera Utara

Page 213: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

pembangunan adminitrasi pemerintahan yang baik dan benar, sedangkan Undang-

Undang Tipikor lebih menitikberatkan pada sistem penindakan (represif). Namun

demikian aparat penegak hukum dapat menjadikan hasil pemeriksaan APIP sebagai

salah satu sumber penyelidikan/penyidikan, selain dari media masa, BPK, maupun

informasi masyarakat.

Pembahasan pokok pikiran kedua, pengadilan TUN dan pemohon OC Kaligis

menggunakan istilah para pihak dengan pemohon dan termohon, padahal dalam UU

No. 30 Tahun 2014 hanya dikenal istilah permohonan (tidak ada termohon) dan

penggugat-tergugat, sebagaimana diatur :

“Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014, Badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan”

Kemudian dipertegas dalam PERMA Nomor 4 tahun 2015 tentang Pedoman beracara

dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang. Sedangkan adanya para pihak,

diatur dalam Pasal 76 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014 :

“Dalam hal warga masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh atasan pejabat, warga masyarakat dapat mengajukan gugatan ke pengadilan” Pembahasan pokok pikiran ketiga, PT TUN menerima eksepsi Termohon

dengan alasan objek sengketa dikecualikan dan tidak dapat diuji di PTUN. Pandangan

PT TUN disini mutlak memisahkan objek TUN dengan pidana, sehingga segala

sesuatu yang berkaitan dengan proses pidana tidak dapat diuji di pengadilan TUN

karena mengacu UU PTUN.

Universitas Sumatera Utara

Page 214: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Perbedaan putusan antara PTUN dengan PT TUN ini menggambarkan adanya

perbedaan pendapat antara Majelis Hakim PTUN dengan Majelis Hakim PT TUN,

hal ini menjadi menarik untuk dibahas, sebab disatu pihak menafsirkan dengan

terbitnya UU No. 30 Tahun 2014 maka Pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai

kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan penilaian ada atau tidak

penyalahgunaan wewenang termasuk penilaian kewenangan yang dilakukan dalam

rangka melaksanakan proses penegakkan hukum pidana (keputusan berdasarkan atas

ketentuan KUHP dan Hukum Acara Pidana) khususnya Tipikor. Sedangkan Majelis

Hakim PT TUN mempertimbangkan bahwa surat atau keputusan yang termasuk

dalam rangka pelaksanaan hukum pidana dan hukum acara pidana adalah

dikecualikan dan tidak dapat diuji keabsahannya di Peradilan Tata Usaha Negara, hal

ini berpedoman kepada ketentuan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Peradilan Tata

Usaha Negara, yang ketentuan tersebut tidak dicabut oleh UU No. 30 Tahun 2014,

sehingga ketentuan didalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut

hingga saat ini masih berlaku sebagai hukum positif (ius constitutum).

Memperhatikan kepada seluruh ketentuan mengenai Keputusan Administrasi

Pemerintahan yang disebut juga Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan

Administrasi Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 jo Pasal 52 sampai

dengan Pasal 74 jo Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tidak terdapat pengecualian

terhadap yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan, sementara didalam

penjelasan umum alinea ke-11 UU No. 30 Tahun 2014, disebutkan: “….Undang-

Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali keputusan

Universitas Sumatera Utara

Page 215: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan AUPB.

Pada Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara mengatur pengecualian yang tidak termasuk dalam

pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat

umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku;

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Pada Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014, disebutkan dengan berlakunya

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Keputusan Tata Usaha Negara

sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai berikut:

a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan

eksekutif, legislaif, yudikatif dan penyelenggaraan Negara lainnya; c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; d. Bersifat final dalam arti lebih luas;

Universitas Sumatera Utara

Page 216: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

Menurut Majelis Hakim PTUN berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU

No. 30 Tahun 2104, yang dimaksud dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan

yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi

Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan

Pemerintahan.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa UU No. 30 Tahun 2014

tidak mencabut ketentuan didalam UU Peradilan Tata Usaha Negara atau menurut

Dani Elpah, dkk232

232Dani Elpah. et.al.,Op.Cit., hlm. 119.

ketentuan didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara masih mempunyai daya laku (validity) dan daya guna (efficacy)

termasuk ketentuan Pasal 2 huruf d.

Dengan kondisi demikian, selanjutnya bagaimana jika dihubungkan dengan

teori kepastian hukum. Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari

hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi

setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.

Universitas Sumatera Utara

Page 217: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Menurut Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang

berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu:233

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa

kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum

merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.

234

Kemudian

Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif

yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu

ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law, mengajukan 8

(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka

hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat

kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:235

1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

233Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir (Bandung: Refika Aditama, 2006),hlm. 102. 234Ibid., hlm. 103. 235Lon Fuller, the Morality of Law, (1971), hlm. 54-58 melalui http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/hukum-dan-moral-dari-hart-fuller-sampai.html(diakses tanggal19 Juni 2017).

Universitas Sumatera Utara

Page 218: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7. Tidak boleh sering diubah-ubah; 8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara

peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi,

perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan.

Sehingga uraian-uraian mengenai kepastian hukum tersebut, mengenai kepastian

dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan

multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus

berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun

dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang

lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian

hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak

menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan,

yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya

masyarakat yang ada.

Keberadaan UU No. 30 Tahun 2014 tidak saja menimbulkan beberapa

perbedaan pendapat bagi para pemerhati hukum, akan tetapi juga bagi aparat hukum

sendiri juga menimbulkan perbedaan pendapat, sebagaimana telah diuraikan diatas,

perbedaan pendapat tersebut terjadi karena UU No. 30 Tahun 2014 masih belum

mengatur beberapa hal penting misalnya saja tentang tata cara persidangan

permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dan bahkan sebagimana

Universitas Sumatera Utara

Page 219: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

yang peneliti uraikan terakhir bahwa ada ketidak sinkronan ketentuan antara UU No.

30 Tahun 2014 dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga

mengakibatkan multitafsir pengertian dan kontradiktif tetang pengertian keputusan

administrasi Negara, dengan demikian akan menimbulkan ketidak pastian hukum.

Sebagai bahan perbandingan berikut kasus penyalahgunaan wewenang

Putusan Mahkamah Agung RI No. 572 K/Pid/2003 atas nama Akbar Tandjung.

Mahkamah Agung dalam putusannya telah membebaskan Akbar Tanjung karena

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.

Ir. Akbar Tanjung diajukan oleh Penuntut Umum ke persidangan karena

diduga pada saat menjabat sebagai Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara) telah

melakukan tindak pidana korupsi dana non-budgeter BULOG sejumlah

Rp40.000.000.000,00 (empat puluh milyar rupiah), Akbar Tanjung diajukan sebagai

terdakwa bersama-sama dengan H. Dadang Sukandar (terdakwa II) dan Winfred

Simatupang (terdakwa III). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No.

449/Pid.B/2002/PN.Jkt.Pst tanggal 04 September 2002 menjatuhkan putusan

menyatakan Akbar Tanjung (terdakwa I), H. Dadang Sukandar (terdakwa II) dan

Winfred Simatupang (terdakwa III), bersalah melakukan tindak pidana korupsi,

menjatuhkan pidana penjara kepada Akbar Tanjung selama 3 (tiga) tahun, sedangkan

kepada terdakwa II dan terdakwa III masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6

(enam) bulan. Terhadap putusan tersebut Akbar Tanjung, dkk melakukan upaya

hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Pengadilan Tinggi Jakarta melalui

Universitas Sumatera Utara

Page 220: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Putusan No. 171/Pid/2002/PT. DKI tanggal 17 Januari 2003 menguatkan putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Akbar Tanjung, dkk bersalah

melakukan tindak pidana korupsi bahkan Pengadilan Tinggi Jakarta menambah lama

pidana penjara kepada H. Dadang Sukandar (terdakwa II) dan Winfred Simatupang

(terdakwa III) menjadi masing-masing selama 3 (tiga) tahun. Pada pertimbangan

hukumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi

Jakarta pada pokoknya adalah Perbuatan Akbar Tanjung (terdakwa I) yang menunjuk

H. Dadang Sukandar (terdakwa II) untuk melaksanakan pengadaan/penyaluran

sembako, telah bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian yang pararel

dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang berarti menyalahgunakan

kewenangan.

Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut kemudian dibatalkan oleh

Mahkamah Agung setelah Akbar Tanjung melakukan upaya hukum kasasi, melalui

Putusan No. 572 K/Pid/2003 tanggal 4 Pebruari 2004 Mahkamah Agung mengadili

sendiri dengan menyatakan Akbar Tanjung tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum serta

membebaskan Akbar Tanjung dari dakwaan penuntut umum.

Terhadap putusan bebas yang diberikan oleh Mahkamah Agung tersebut,

menimbulkan pro dan kontradi masyarakat. Berikut pendapat yang pro terhadap

putusan Mahkamah Agung.

Universitas Sumatera Utara

Page 221: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Beberapa pendapat pakar hukum yang sependapat dengan Putusan

Mahakamah Agung RI Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 04 Pebruari 2004, antara lain :

Indriyanto seno Adji236

1. Dalam menelaah rumusan unsur dalam perkara Ir.Akbar Tanjung yang

pertama-tama harus diperhatikan pada Dakwaan Primair adalah rumusan

unsur mana yang dikategorikan sebagai bestansddeel delict (delik inti) dan

mana yang harus masuk dalam rumusan element delic. Hal ini harus

dibedakan karena antara bestansddeel delict dengan element delic, dan inilah

yang menentukan suatu perbuatan dapat dipidana atau tidak. Bestanddeel

delict selalu berhubungan dengan perbuatan yang dapat dipidana

(strafbarehandeling), sedangkan elemen delik itu tidak menentukan suatu

perbuatan dapat dipidana atau tidak.

, membuat analisis yuridisnya terhadap Perkara Ir.Akbar

Tanjung yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Ir.Akbar Tanjung masih

dalam kerangka “kebijakan” beleid yang masih dalam area Hukum Administrasi

Negara, diluar kewenangan penilaian dari peradilan umum termasuk peradilan pidana

ini, dengan beberapa alasan sebagai berikut :

237

2. Strafbarehandeling(perbuatan yang dapat dipidana) dalam Pasal 1 ayat (1) sub

b UU No.3 Tahun 1971 terletak pada rumusan unsur yang menyatakan

“menyelahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana padanya karena

236Amir Syamsudin, Op. Cit., hlm.22-32.

237Ibid., hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara

Page 222: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

jabatan atau kedudukan”, artinya rumusan unsur ini merupakan bestansddeel

delict (delik inti).

3. Ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur “menyalahgunakan kewenangan”

dari diri Ir.Akbar Tanjung harus berpijak pada peraturan dasar (legalitas)

mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja

secretariat Negara, dalam hal ini Keppres No.104 Tahun 1998 tanggal 23 Juli

1998. Tugas Mensesneg tidak ada kaitannya dengan dan non neraca. Apabila

tidak ada peraturan dasar yang dipergunakan untuk menilai ada atau tidaknya

penyalahgunaan kewenangan ini, maka berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP

Ir.Akbar Tanjung harus dibebaskan dari Dakwaan Primair tersebut. Prinsip

Legalitas untuk membuktikan unsur (delik inti) adalah untuk kepastian hukum

dari Ir.Akbar Tanjung, dan bukan dengan menerapkan asas kepatutan yang

subyektifitas dan tidak tertulis sifatnya. Ini semuanya untuk kepentingan

konsepsi Nullum crimen Sine Lege strica pada Pasal 1 ayat 1 KUHP.

4. Tidak ditemukan kriteria untuk menentukan dan menerapkan adanya

pelanggaran asas kepatutan (perbuatan melawan hukum materiel dengan

fungsi positif) tersebut, karena apa yang dilakukan adalah pelaksanaan suatu

kebijakan Negara staatsbeleid sesuai dengan Kebijakan Subtanstif (Asas

Kecermatan Materiel) dalam kerangka Asas-asas Umum Pemerintahan yang

Baik (Algemein Beginselen Van Behoorlijk Bestuur).Dalam penerapan asas

Kepatutan sebagai aturan-aturan umum yang tidak tertulis, maka kriteria

untuk menentukan pelanggaran unsur “menyalahgunakan kewenangan”

Universitas Sumatera Utara

Page 223: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

menurut W Koninjenbelt dalam bukunya berjudul Hoofdlijnen van

Administratifrecht adalah asas kepatutan dan kecermatan dalam Hukum

Administrasi Negara dikenal Algemein Beginselen Van Behoorlijk Bestuur

(Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), yaitu Asas Kecermatan Materiel

(Kecermatan Substantif) yang tujuannya untuk tidak menimbulkan kerugian

seseorang dan diperlukan untuk melindungi kepentingan Negara dan

Masyarakat yang lebih luas, meskipun kerugian akan dialami negara secara

adequate.

5. Kebijakan Presiden B.J Habibie untuk pengadaan dan penyaluran sembako

kepada masyarakat miskin dalam upaya menangani krisis pangan, adalah

persoalan kebijakan Negara (state policy atau staatbeleid) yang

pelaksanaannnya (mengkoordinir penyaluran-penyaluran tersebut) dilakukan

oleh Ir. Akbar Tanjung sebagai “overheidbeleid” melalui kebijakan yang

sama. Penilaian benar tidaknya suatu kebijakan Negara yang masuk dalam

kategoris beleidsvrijheid tidak menjadi kompetensi dari Peradilan Umum,

baik Peradilan Perdata, maupun Peradilan Pidana, untuk mengadili dan

memutus perkaranya.

Philipus M. Hadjon,238

238Ibid., hlm.69-72.

memberikan beberapa alasan Ir.Akbar Tanjung tidak dapat

dipidana yaitu:

Universitas Sumatera Utara

Page 224: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

- Bahwa sudah tepat Mahkamah Agung membedakan dua tahap fakta hukum

dalam kasus terdakwa Ir.Akbar Tanjung. Tahap pertama adalah keluarnya

dana Rp.40 milyar dari dana non budgeter BOLOG sampai tahap diserahkan

dan diterimanya cek oleh terdakwa yang harus ditinjau dari aspek hukum

administrasi (Negara). Tahap kedua adalah pelaksanaan dan penyerahan dana

Rp.40 milyar dari Terdakwa I kepada Terdakwa II dan III serta penyaluran

selanjutnya, harus ditinjau dari aspek hukum pidana dan dibuktikan dasar

hukum pidana.

- Bahwa tahap pertama terdapat tiga isu hukum utama yang berkaitan dengan

fakta hukum yng ditinjau dari aspek hukum administrasi yaitu keadaan

darurat, kewenangan diskresioner (discretionary power), dan isu

penyalahgunaan wewenang. Keadaan darurat adalah suatu situasi emergency

dan dalam hubungannya dengan situasi tersebut tidak ada dasar hukum yang

mengaturnya. Kondisi ini melahirkan discretionary power dalam konsep

hukum administrasi.discretionary power adalah sifat aktif dari kekuasaan

pemerintah, artinya dalam situasi yang dibutuhkan pemerintah tidak boleh

berdiam diri hanya dengan alasan tidak ada ketentuan hukumnya.

Penyalahgunaan wewenang terjadi andaikata Ir.Akbar Tanjung tidak

menyerahkan dana tersebut kepada Terdakwa II atau menggunakan dana

tersebut tidak untuk pengadaan penyaluran SEMBAKO, sedangkan perbuatan

Ir.Akbar Tanjung menerima dana Rp.40 milyar dan menyerahkan kepada

terdakwa II bukan merupakan penyalahgunaan wewenang.

Universitas Sumatera Utara

Page 225: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Andi Hamzah, pada pokoknya memberikan pendapat yaitu :239

“Bahwa sebelum Akbar Tanjung atau pada waktu Akbar Tanjung menerima

cek belum terjadi tindak pidana, baru setelah tidak membeli SEMBAKO

terjadi tindak pidana

240

Loebby Loqman,

, kemudian Andi Hamzah juga mengemukakan

”…Memang tidak ada dalam dakwaan dan tidak terbukti adanya persetujuan

Akbar Tanjung untuk tidak usaha membeli sembako, juga tidak ada bukti

adanya uang atau rekening yang mengalir kembali ke Kantor Akbar Tanjung

sebagai bagian dari perbuatan Medeplegen.”

241

“Dana non budgeter Bulog merupakan dana yang selalu ada di tiap Negara

dan pemerintahan. pada masa pemerintahan Soekarno ada dana revolusi,

sedangkan pada masa Orde Baru kita kenal dengan dana pembangunan. Oleh

karena itu, uang yang diserahkan dan diterima Akbar Tanjung merupakan

dana sah-sah saja. Yang terjadi setelah itu, cek yang berasal dari dana non

budgeter tersebut tanpa ada peralihan apapun, diserahkan Akbar Tanjung

kepada dua yayasan untuk dibagikan kepada yang berhak yaitu mereka yang

memerlukan pangan. Dalam hal demikian fungsi Akbar Tanjung hanya

sebagai pengantar saja, bahkan terbukti kepada siapa uang tersebut akan

pada pokoknya memberikan pendapat yaitu :

239Ibid.,hlm.82.

240Ibid.,hlm.81. 241Ibid.,hlm.61.

Universitas Sumatera Utara

Page 226: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

diserahkan sudah mendapat persetujuan dari mereka yang terlibat dalam

kebijakan tersebut. Apabila diperhatikan dengan cermat Putusan Mahkamah

Agung terhadap kasus Akbar Tanjung, dilihat dari fungsi uang yang diterima

dari Presiden secara yuridis sulit untuk dicari penyimpangan oleh Akbar

Tanjung.”

Selain beberapa pakar hukum tersebut diatas, terdapat pendapat sarjana hukum lain

yang memberikan pandangan yang sependapat dengan Putusan Mahkamah Agung RI,

sebagaimana disampaikan Nur Basuki Minarno bahwa Perbuatan yang dikategorikan

sebagai “Materielle wederrechtelijk-heid” apabila bertentangan dengan “nilai

kepatutan dan nilai keadilan masyarakat”, sedangkan “discretionary power” atau

“Freies Ermerson” didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas

umum pemerintahan yang baik (a.a.u.p.b). Di dalam praktek seringkali kedua hal

tersebut saling dicampuradukkan, contoh yang dapat diketengahkan pada kasus

Ir.A.T. In casu Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa

dan mengadili terdakwa Ir.A.T dalam Putusan No.449/Pid.B/2002/PN.Jkt.Pst tanggal

4 september 2002 memberikan pengertian bahwa unsur penyalahgunaan wewenang

dilakukan penilaian berdasarkan “asas kepatutan”, oleh Hakim Pengadilan Tinggi

Jakarta dalam Putusannya No.171/Pid.B/2002/PT/DKI tanggal 17 Januari 2003

sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan

melakukan koreksi mengganti “asas kepatutan” dengan istilah “asas kecermatan”.242

242Nur Basuki Minarno, Op. Cit., hlm. 60.

Universitas Sumatera Utara

Page 227: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Pendapat ini sejalan dengan yang disampaikan Philipus M.Hadjon bahwa

Ketidaktepatan penggunaan “asas kepatutan” diapakai sebagai parameter untuk

menilai adanya penyalahgunaan wewenang dalam kasus Ir.A.T, dengan alasan

sebagai berikut, yang pertama adalah, “asas kepatutan” bukanlah merupakan asas-

asas umum pemerintahan yang baik. Kedua, “asas kepatutan” ditarik melalui prinsip

“materielle wederrechtelijkheid” untuk menilai penyalahgunaan wewenang adalah

tidak tepat, yang semestinya menggunakan parameter pada asas-asas umum

pemerintahan yang baik”.243

Majelis Eksaminasi publik kasus Akbar Tandjung, yang terdiri dari M.H

Silaban (mantan jaksa), Johanes Djohansyah ( mantan hakim agung), Luhut MP

Pangaribuan dan Iskandar Sohanhadji (praktisi hukum), Rudy Satriyo dan Chudry

Sitompul (akademisi dari FH Universitas Indonesia), serta Bambang Widjajanto

(aktivis LSM), disampaikan dalam diskusi publik "Hasil Eksaminasi terhadap Perkara

Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa Akbar Tanjung, Dadang Sukandar dan

Winfried Simatupang".

Namun demikian terdapat juga pendapat yang kontra terhadap putusan

Mahkamah Agung tersebut dengan berbagai pertimbangan, antara lain:

244

243Philipus Mandiri Hadjon dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan

Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah (Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009), hlm. 60.

Dalam penilaian majelis eksaminasi, majelis kasasi

seharusnya tidak hanya mengandalkan pada pemeriksaan berkas semata, tetapi juga

melakukan kembali pemeriksaan fakta (judex factie). Pasalnya, dalam kasus Akbar

244www.hukumonline.com/berita/baca/hol10344/putusan-kasasi-akbar-tandjung-jangan -dijadikan-yurisprudensi (diakses pada tanggal 19 Mei 2014).

Universitas Sumatera Utara

Page 228: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

terdapat setidaknya tiga fakta yang jika diperiksa kembali bisa mempengaruhi

putusan.

Pertama, keterangan saksi Rahardi Ramelan mengenai skenario Grand Mahakam

yang tidak pernah dikemukakan dalam persidangan Akbar. Padahal, keterangan itu

bisa digunakan untuk mengkaji lebih jauh potensi konspirasi untuk mengelabui

perkara tersebut.

Kedua, keterangan yang berkaitan dengan aliran dana Rp 40 miliar yang disinyalir

tidak hanya berhenti pada terdakwa II dan III. Ketiga, tidak pernah diminta

keterangan dari BI tentang kemana larinya aliran uang yang berasal dari pencairan

cek Rp 40 miliar itu.

Perintah jabatan

Majelis kasasi, di mata majelis eksaminasi, juga dinilai tidak pernah

mempertimbangkan secara mendalam dilepaskannya terdakwa I dari pasal 55 KUHP

hanya karena menjalankan perintah jabatan, sehingga perbuatannya menjadi patut dan

benar berdasarkan pasal 51 ayat 1 KUHP.Majelis eksaminasi menambahkan, putusan

MA tidak pernah mempertimbangkan apakah niat terdakwa melanggar ketentuan

perundang-undangan dalam melaksanakan perintah jabatan adalah dalam rangka

melaksanakan perintah jabatan ataukah ada kepentingan lain di luar kepentingan

tercapainya perintah jabatan itu.Jika perintah jabatan membagi-bagi sembako tidak

terlaksana tetapi terdakwa I sudah menjalankan perintah jabatan itu sesuai peraturan

yang ada, maka terdakwa I mendapat perlindungan pasal 51 ayat 1 KUHP. Tapi jika

perintah jabatan itu tidak terlaksana sedangkan terdakwa I dalam menjalankannya

Universitas Sumatera Utara

Page 229: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

banyak melanggar peraturan yang harus dipatuhi, maka perbuatan terdakwa I tidak

mendapat alasan pembenar.

Inkonsistensi

Lebih jauh, majelis eksaminasi berpendapat, majelis kasasi dianggap melakukan

kesalahan yang sangat fatal dalam menginterpretasi penggunaan pasal 51 ayat 1

KUHP untuk diambil sebagai konklusi. Sesuai pasal 51 ayat 1 KUHP, jika dalam

menjalankan perintah jabatan terjadi pelanggaran hukum maka alasan pembenar

menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan itu sehingga perbuatan terdakwa I

menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tapi, dengan begitu, petitum putusan MA

haruslah berupa pelepasan dari segala tuntutan hukum, bukan pembebasan karena

tidak terbukti bersalah.Hasil eksaminasi lainnya adalah ditemukannya inkonsistensi

dalam pertimbangan hukum majelis kasasi. Dalam pertimbangan majelis kasasi

terhadap Dadang dan Winfried mengenai unsur melawan hukum, disebutkan bahwa

kedua terdakwa memenuhi unsur tersebut. Kejanggalan pertimbangan itu adalah

mengapa alasan hukum yang sama tidak diberlakukan juga terhadap Akbar dalam

dakwaan subsidair.Menurut Silaban, majelis eksaminasi hanya membaca dan

mencermati berkas-berkas surat dakwaan, putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Banding dan putusan kasasi MA. Majelis eksaminasi tidak sampai menguji atau

mencari bukti-bukti baru untuk menyanggah atau membenarkan.

Supriyono, dosen fakultas hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

berpendapat bahwa Majelis Hakim kasasi seharusnya memeriksa dan mengadili

Universitas Sumatera Utara

Page 230: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan atau

melanggar hukum yang berlaku. Itu seharusnya yang dilakukan oleh Majelis Hakim

kasasi, bukan memeriksa dengan melihat perspektif hukum lain yaitu hukum

administrasi negara. 245 Majelis Hakim kasasi lebih tepat mempergunakan perspektif

hukum pidana dalam perkara Akbar Tandjung, mengingat perkara yang didakwakan

kepadanya adalah perkara korupsi yang notabene adalah wilayah hukum pidana.

Alhasil, Akbar Tandjung dibebaskan dari segala dakwaan karena Akbar Tandjung

melaksanakan perintah presiden BJ. Habibie, yang berarti Akbar Tandjung

melaksanakan mandat dari presiden.246

245Supriyono, Putusan MA No. 572K/Pid/2003 Dalam Perspekrif Hermeneutika Hukum,

Jurnal ilmiah FENOMENA, Volume X, Nomor 2, November 2012, hlm. 934. 246Ibid., hlm. 937.

Memperhatikan putusan Mahkamah Agung dan pendapat pakar hukum yang

sependapat terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana telah diuraikan diatas,

pada bagian pertimbangan yuridis alinea ke-4 (empat) dan 5 (lima) menyebutkan:

“Bahwa manakala suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun jabatan dan kedudukan seperti halnya yang didakwakan terhadap diri Terdakwa ke-1, maka menurut hemat Mahkamah Agung hal tersebut tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum atau aspek Hukum Administrasi Negara, dimana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungan jawab jabatan (liability jabatan) yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggung jawab perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi) yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggung jawab perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi) sebagaimana yang berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana.”

“Bahwa oleh karenanya dalam kasus ini haruslah dipilah-pilah sampai sejauh mana penerapan Hukum Administrasi Negara masih relevant dan pada tahap mana prinsip-prinsip Hukum Pidana yang secara murni harus diterapkan, baik dari segi doktrin, hukum positif maupun yurisprudensi.”

Universitas Sumatera Utara

Page 231: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Alinea 13 (tiga belas) dan 14 (empat belas) pada pertimbangan yuridis

menyebutkan:

“Menimbang, bahwa oleh karenanya ditinjau dari segi Hukum Administrasi Negara, penanggung jawab atas keluarnya uang sejumlah Rp.40 milyar dari uang dana non budgeter Bulog bukanlah Terdakwa I (Ir. Akbar Tandjung) dan tidak dapat dipersalahkan padanya, sebab Terdakwa I sebagai Mensesneg dan Koordinator hanya menerima dan melaksanakan sesuai perintah jabatan dari Presiden R.I B.J Habibie. Hubungan Presiden dan para Menterinya dalam sistem ketatanegaraan kita, berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, menteri adalah pembantu Presiden, khusus bagi seorang Mensesneg yang mempunyai fungsi sebagai pemberi dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari-hari kepada Presiden, bukan sebagai penentu keputusan (decision maker). Maka dengan landasan tersebut, reponsability administrasi Negara ada pada Presiden, demikian pula in casu dikaitkan dengan petunjuk atau disposisi Presiden tentang dana non-neraca, maka seponsability ada pada Presiden dan tidak ada pada Menteri Sekretaris Negara karena bukan inisiatif Mensesneg mengeluarkan Rp40 milyar tersebut dari dana non budgeter Bulog, kecuali bilamana ternyata ada tindakan penyelewengan dalam pelaksanaannya yang dilakukan oleh Menteri yang bersangkutan, yang harus dibuktikan dari segi Hukum Pidana atas tindak pidana yang didakwakan, dan menjadi tanggung jawab pribadi (personal liability).Olehkarenanya dalam kasus penyaluran sembako ini, yang berawal mula dengan keluarnya dana sejumlah sembako ini, yang berawal mula dengan keluarnya dana sejumlah Rp40 milyar dari dana non-budgeter Bulog atas perintah dan persetujan Presiden, dimana diterapkan asas “vicarious liability”, yang intinya adalah bahwa atasanlah yang harus bertanggung jawab.”

“Menimbang, bahwa dengan demikian dalam memeriksa kasus perkara ini, oleh Mahkamah Agung dibedakan antara tahap fakta hukum mengenai keluarnya dana sejumlah Rp40 milyar dari dana non-budgeter Bulog sampai pada tahap diserahkan dan diterimanya beberapa cek sejumlah dana tersebut oleh Terdakwa I, yang harus ditinjau dari aspek Hukum Administrasi Negara .sedangkan selanjutnya yaitu tahap fakta hukum mengenai pelaksanaanya dan penyerahannya sejumlah dana Rp40 milyar tersebut dari Terdakwa I kepada Terdakwa II dan Terdakwa III serta penyaluran selanjutnya harus ditinjau dari aspek Hukum Pidana….”

Alinea 18 (delapan belas) dan 19 (sembilan belas) pada pertimbangan yuridis

menyebutkan:

Universitas Sumatera Utara

Page 232: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti diatas, Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan Terdakwa I, yaitu menerima dan budgeter sebesar Rp40 milyar kemudian diserahkan kepada Terdakwa II untuk digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada Terdakwa I baik selaku MENSESNEG maupun selaku koordinator yang menangani program pengadaan dan penyaluran sembako tersebut, tetapi merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan seorang koordinator yang ada padanya untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai atasannya. Bahwa dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan menempuh prosedur dan cara-cara dalam keadaan normal, terlebih pula penggunaan dan pengelolaan Keuangan Negara dalam bentuk dana non budgeter hanya diatur oleh apa yang disebut “konvensi”, tidak seperti halnya keuangan Negara dalam bentuk APBN yang penggunaan dan pengelolaannya diatur oleh Keppres, misalnya untuk pengadaan barang oleh Pasal 21 sampai dengan 30 dalam Keppres Nomor 16 Tahun 1999 dan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah dikemukakan diatas.”

“Menimbang, bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pertimbangan hukum judex factie, bahwa unsur “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” itu disimpulkan terbukti dari rangkaian perbuatan Terdakwa I yang tidak melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme koordinasi kerja yang tidak terpadu dengan baik, sehingga perbuatan materiil Terdakwa I menurut hukum bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang Negara padahal Terdakwa I memiliki wewenang untuk itu. Menurut pendapat Mahkamah Agung, haruslah dibuktikan terlebih dulu unsur pokok dalam Hukum Pidana, apakah Terdakwa I memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tetapi tetap diakukannya.”

Dalam pertimbangan yuridis Mahkamah Agung tersebut, terdapat beberapa

point yang menjadi perhatian sebagai berikut:

- Harus dibedakan serta dipisahkan antara aspek Hukum Administrasi Negara dan

prinsip Hukum Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 233: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

- Harus dibuktikan terlebih dahulu apakah terdakwa mempunyai kesengajaan

(opzet) untuk melakukan penyalahgunaan wewenang.

- Bahwa dalam perkara in casuMahkamah Agung membagi kronologi kejadian

menjadi beberapa tahap, yakni tahap membuat kebijakan diskresi yakni mulai dari

Presiden memberikan perintah kepada Akbar Tandjung kemudian Akbar Tandjung

menerima uang sejumlah Rp40 milyar hingga Akbar Tandjung menyerahkan uang

tersebut kepada Terdakwa II (H. Dadang Sukandar), sedangkan tahap selanjutnya

adalah tahap pelaksanaan kegiatan yakni sejak dari Terdakwa II (H. Dadang

Sukandar) menerima uang sejumlah Rp40 milyar dari Akbar Tandjung.

- Apakah penyalahgunaan kewenangan terjadi pada tahap membuat kebijakan

diskresi penggunaan dana Bulog untuk penanganan krisis pangan atau apakah

penyalahgunaan wewenangan terjadi pada tahap pelaksanaan kegiatan.

- Bahwa Mahkamah Agung berpendapat tindak pidana korupsi terjadi pada tahap

pelaksanaan kegiatan, dimana Terdakwa II (H. Dadang Sukandar) dan Terdakwa

III Winfried Simatupang) tidak melaksanakan kegiatan pengadaan dan distribusi

sembako sebagaimana perintah Presiden B.J. Habibie.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara Akbar Tandjung,

maka dapat disimpulkan seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana jika

memenuhi actus reus dan mens rea, serta tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf.

apabila tidak disertai mens rea(kehendak jahat) maka perbuatan tersebut adalah

termasuk kepada pelanggaran administrasi. In casuactus reus dan mens rea terjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 234: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

pada tahap pelaksanaan kegiatan, yaitu pada saat pelaksanaan yang dilakukan oleh

Terdakwa II dan Terdakwa III.

Putusan terhadap Akbar Tanjung memang menarik minat para pemerhati

hukum untuk diperdebatkan secara akademis, oleh karena majelis hakim kasasi telah

mengkaji perkara Akbar Tanjung tersebut bukan saja hanya dengan hukum pidana

korupsi akan tetapi dengan tinjauan hukum administrasi.

Menurut Prof. Dr. Moh. Mahfud. M. D negara hukum Indonesia

dikonsepsikan secara tegas sebagai hukum yang prismatis, menggabungkan segi-segi

positif antara rechtstaat dengan kepastian hukumnya dan the rule of law dengan rasa

keadilannya secara integratif, bukan hanya rechtstaat dan the rule of law. Pasal 1

Ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan menyebutkan bahwa Indonesia adalah “Negara

hukum” titik, tanpa kata rechtstaatyang diletakkan di dalam kurung. Hal itu harus

diartikan bahwa negara hukum Indonesia menerima asas kepastian hukum, yang titik

beratnya pada rechtstaat, sekaligus menerima asas rasa keadilan, yang titik beratnya

pada the rule of law. Pengertian yang demikian dipertegas pula di dalam Pasal 28H

UUd 1945 yang juga menekankan pentingnya kemanfaatan dan keadilan. Pasal 24

UUD 1945 juga menekankan bahwa kekuasaan kehakiman harus menegakkan hukum

dan keadilan, sedangkan Pasal 28D menekankan pentingnya kepastian hukum yang

adil.247

Memang KUHPidana kita sebagaimana terlihat dalam Pasal 1 ayat (1)

menggunakan prinsip kepastian hukum dibawah asas legalitas. Akan tetapi, sejak

247Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op. Cit., hlm.ix.

Universitas Sumatera Utara

Page 235: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970, selain menerapkan bunyi UU, hakim

diwajibkan untuk menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Hal itu

menunjukkan bahwa selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa

keadilan. Dengan kata lain, dalam penegakkan hukum modern, asas kepastian hukum

tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar putusan hakim. Kenapa? Karena ada

keharusan agar putusan hakim didasarkan juga pada asas keadilan dan kemanfaatan.

Dengan demikian jelas bahwa kedua prinsip itu kemudian diakomodasi dalam sistem

peradilan kita. Hanya saja, akomodasi atas keduanya kemudian justru menimbulkan

dilema. Sebab, yang menjadi sumber masalah dalam praktik adalah kedua prinsip itu

bukan diberlakukan secara integratif melainkan alternatif. Akomodasi yang memberi

tempat pada kedua prinsip tersebut menimbulkan ambiguitas orientasi konsep yang

sering dipergunakan aparat penegak hukum untuk mencari “kemenangan” semata dan

bukan “kebenaran” dalam perkara-perkara pidana.248

Hukum administrasi dan hukum pidana adalah saling berkaitan sehingga dapat

saling mengisi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Negara diharapkan dapat menjadi pedoman dalam tertib administrasi

pemerintahan, hendaknya tidak dimaanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin

berlindung dari pertanggungjawaban hukum pidana, demikian pula bagi aparat

penegak hukum. Sehingga sebagaimana tujuan undang-undang ini untuk menciptakan

kepastian hukum tidak terkaburan.

248Ibid., hlm. x.

Universitas Sumatera Utara

Page 236: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Maka adapun yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dalam penelitian tesis ini

yaitu sebagai berikut:

1. Perbedaan yang menjadi prinsipil tentang penyalahgunaan wewenang dilihat dari

sistem penegakan hukum Administrasi Pemerintahan dan tindak pidana korupsi :

a. Parameter pengujian penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi

adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) dan AAUPB (tidak tertulis),

sedangkan pengujian penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Pidana

Korupsi adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) saja.

b. Dalam Hukum Administrasi untuk dapat diajukan permohonan ada atau tidak

ada penyalahgunaan wewenang harus terlebihdahulu adanya hasil

pemeriksaan Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan belum

adanya proses pidana, sedangkan dalam Hukum Pidana Korupsi pemeriksaan

ada tidaknya penyalahgunaan wewenang didahului penyelidikan/penyidikan

berdasarkan sumber media, LSM, hasil audit BPKP, BPK, APIP, dan sumber

lainnya.

c. Penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Pidana dalam konteks adanya

kerugian Negara yang didahului, disertai adanya kesalahan atau niat jahat

221

Universitas Sumatera Utara

Page 237: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

(mens rea) sebagai unsur subjektif yaitu dengan maksud menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

d. UU No. 30 Tahun 2014 bertujuan menciptakan tertib penyelenggaran

adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya

penyalahgunaan wewenang, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya

kepada masyarakat, sehingga UU No. 30 Tahun 2014 lebih menitikberatkan

pada pembangunan adminitrasi pemerintahan yang baik dan benar, sedangkan

Undang-Undang Tipikor lebih menitikberatkan pada sistem penindakan

(represif).

e. Proses beracara pembuktian dipersidangan, PTUN dalam membuktikan

adanya penyalahgunaan wewenang hanya menggunakan alat bukti sepihak

dari pemohon karena tidak ada pihak termohon. Alat bukti yang diajukan

berupa bukti surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan

pemohon, pengetahuan hakim, alat bukti lain (informasi elektronik atau

dokumen elektronik), sedangkan pengadilan Tipikor dalam membuktikan

adanya penyalahgunaan wewenang menggunakan alat bukti yang diajukan

para pihak (Penuntut Umum dan Terdakwa) berupa keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk (informasi elektronik dan dokumen

elektronik), keterangan terdakwa, dengan menganut sistem pembuktian

negatief wettelijk.

2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tidak

mengatur tentang tata beracara permohonan ada atau tidak penyalahgunaan

Universitas Sumatera Utara

Page 238: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

wewenang, sehingga untuk mengisi kekosongan dan untuk melaksanakan

kewenangan memeriksan permohonan tersebut Mahkamah Agung RI menerbitkan

PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur

Penyalahgunaan Wewenang, berdasarkan PERMA tersebut terhadap permohonan

ada atau tidak penyalahgunaan wewenang hanya ada satu pihak yakni pemohon

tidak ada termohon dan jika memperhatikan UU No. 30 Tahun 2014 juga tidak ada

menyebutkan adanya termohon, oleh karena itu hakim PTUN dalam memeriksa

permohonan tersebut hanya berdasarkan bukti yang diajukan oleh pemohon.

Sedangkan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tentang adanya

penyalahgunaan wewenang, sebagaimana ketentuan hukum acara pidana maka

apabila ada dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang

tersangka/terdakwa terlebih dahulu melalui tahap penyelidikan, penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan dipersidangan.

3. Konsekuensi atas pengajuan permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan

kewenangan dalam keputusan pejabat pemerintah kepada PTUN tidak dapat

menghentikan penyelidikan, penyidikan, Dengan demikian aparat penegak hukum

tidak terikat dengan putusan PTUN, UU No. 30 Tahun 2014 dan UU Pengadilan

Tipikor masing-masing memiliki kompetensi absolut yang berbeda. Fungsi

sebagai hakim pidana tidak boleh dijalankan oleh Hakim Peradilan TUN.

Demikian pula sebaliknya, hakim pidana tidak dapat mendudukkan dirinya sebagai

Hakim TUN. Kedua lembaga peradilan tersebut mempunyai prinsip-prinsip

Universitas Sumatera Utara

Page 239: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

hukum masing-masing yang tidak saling bertentangan, akan tetapi dapat saling

mengisi.

B. Saran-saran

Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah

dikemukakan sebelumnya, maka sebagai saran yang dapat diberikan dalam penelitian

tesis ini yaitu:

1. Agar Penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi dan Hukum Pidana

tidak berada pada “gray area” yang dapat menjustifikasi pemidanaan terhadap

perbuatan administratif dan sebaliknya hukum administasi sebagai tempat

berlindung koruptor, maka perlu dilakukan pembenahan diss-harmonisasi

peraturan perundang-undangannya melalui perbaikan regulasi yang

konpeherensif baik peraturan perundang-undangan maupun sektoral termasuk

inpres.

2. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan belum mengatur

hukum acara permohonan ada tidak ada penyalahgunaan wewenang, namun

hanya diatur oleh Perma, sehingga diperlukan peraturan pelaksana yang lebih

terperinci dan menunjukkan hukum acara kedua cabang ilmu tersebut berbeda

secara prinsipil satu dengan yang lain.

3. Agar dilakukan penguatan pada semua sistem lembaga negara, sehingga dalam

melaksanakan fungsinya tidak terjadi ketersinggungan dengan lembaga lain.

Universitas Sumatera Utara

Page 240: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dan APIP diberikan kewenangan dalam

pengawasan penyalahgunaan wewenang terhadap badan dan/atau pejabat

pemerintahan adalah hanya untuk tertib administrasi, sehingga apabila

dilaksanakan dengan baik dan benar serta tidak memiliki konflik kepentingan,

maka tidak perlu ragu kalaupun diuji kembali di Pengadilan Tipikor.

Universitas Sumatera Utara

Page 241: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku: Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Ali, Achmad.Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicial prudence) termasuk interpretasi Undang-Undang (legisprudence). Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009.

Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997.

Abdurrahman, Muslan.Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang: UMM Press, 2009.

Adji, Seno,Indriyanto.Korupsi dan Penegakan Hukum.Jakarta: Diadit Media, 2009.

--------------- . Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana. Jakarta: Diadit Media, 2009.

Arief, Nawawi, Barda. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya, 2005.

Arsyad, Hafidz, Jawade. Korupsi Dalam Perpektif HAN (Hukum Administrasi Negara). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Basah, Sjachran.Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung: Alumni, 1985.

Black, Henry Campbell.Black’s Law Dictionary, Revised Fourth Edition, ST. Paul. Minn.: West Publishing, 1968.

Chazawi, Adami.Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni, 2008.

----------------- .Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017.

Effendie, Bachtiar.et.al.Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

226

Universitas Sumatera Utara

Page 242: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Elpah, Dani. et.al. Laporan PenelitianTitik Singgung Kewenangan Antara PTUN Dengan Pengadilan Tipikor Dalam Menilai Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang. Jakarta: Balitbang Diklat Kumdil MA RI, 2016.

Hadjon, Philiphus M. et.al. Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi (Cetakan Ke-2). Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2012.

-------------- .Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian Administrative Law). Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2002.

Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.

------------------ . Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Gratifika, 2016.

------------------ . Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2014.

Harahap. M. Yahyah. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaam Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997.

Hidjaz, Kamal.Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia.Makasar:Pustaka Refleksi, 2010.

H. Salim. H. S dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.

H.R., Ridwan.Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016.

Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Universitas Sumatera Utara

Page 243: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Ibrahim, Johny.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayumedia, 2008.

Indroharto.Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku I). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.

J.G., Brouwer dari Schilder,

Kanter. E. Y dan Sianturi. S. R. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002.

A Survey of Ductch Administrative Law, Nijmegeo: Ars Aequi Libri, 1998.

Khairo, Fatria. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Cintya Press, 2016.

Koentjaraningrat.Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Lubis, M. Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Jakarta: Sofmedia, 2013.

Marzuki, Mahmud, Peter.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

----------------- .Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Manao, F, Disiplin, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara, Bandung: CV. Kreasi Sahabat Bersama, 2017.

Manullang, Fernando M. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Penerbit Kompas, 2007.

Universitas Sumatera Utara

Page 244: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Mertokusumo, Sudikno,.Mengenal Hukum Suatu Pengantar Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007.

---------------- . Hukum Acara Perdata Indonesia (Edisi Keenam). Yogyakarta: Penerbit Liberty,2002.

Minarno, Nur Basuki.Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009.

Parmono, Budi. “Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum. Malang: Fakultas Hukum UB, 2011.

Permana, Indra, Tri Cahya. Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.Yogyakarta: Genta Press, 2016.

Pradjonggo, Sridjaja, Tjandra.Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi(Cetakan Kedua). Jakarta: Indonesia Lawyer Club, 2010.

Putra, Rama.Ide Keseimbangan Dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro, 2009.

Rasjidi, Lili dan Ira, Thania, Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.

Rawls, John.A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Rahardjo, Satjipto.Hukum Dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UI Press, 2006.

--------------- . Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008.

Universitas Sumatera Utara

Page 245: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

--------------- . Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Ridwan.Diskresi & Tanggungjawab Pemerintah.Yogyakarta: UII Press, 2014.

Rifai, Ahmad.Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju, 2003.

Shidarta.Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung:Refika Aditama, 2006.

Situmorang, Victor. Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara.Jakarta: Bina Aksara,1987.

Sodirjo. Jaksa Dan Hakim Dalam Proses Persidangan. Jakarta: Akademika Pressindo, 1985.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1996.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung: Alumni, 1981.

Suhendar. Konsep Kerugian Keuangan Negara Pendekatan Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara dan Pidana Khusus Korupsi. Malang: Setara Press, 2015.

Universitas Sumatera Utara

Page 246: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Soekanto, Soejono dan Mamudji, Sri.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.

Soekanto, Soejono.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

Soejono dan Abdurrahman.Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Utomo, Setyo. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Negara Hukum). Jakarta: Sofmedia, 2014.

Utrecht, E.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1963.

Syamsudin, Amir. Putusan Perkara Akbar Tanjung Analisis Yuridis Para Ahli Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Victoria Bull. Oxford Learner’s Pocket Dictionary: Fourth Edition. Oxford: Oxford University Press, 2012.

Wuisman, J.J.JM. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. jilid I. Jakarta: UI Press, 1996.

B. Peraturan Perundang-undanganPerma, dan Putusan: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 247: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1340 K/Pid/1992, tanggal 17 Pebruari 1992.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 977K/PID/2004, tanggal 10 Juni 2005.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1485K/Pid.Sus/2013, tanggal 2 Oktober 2013.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor: 25/G /2015/PTUN-MDN tahun 2015.

Putusan Pengadilan Tinggi TUN Medan Nomor: 176/B/2015/PT TUN-MDN, tanggal

21 Desember 2015.

C. Kamus Ilmiah, Jurnal, Makalah, Lokakarya: Ateng Syafrudin. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan

Bertanggungjawab. Jurnal Pro Justitia IV. Bandung: Universitas Parahyangan, 2000.

Universitas Sumatera Utara

Page 248: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

Fathudin, “Tindak Pidana Korupsi (Dugaan Penyalahgunaan Wewenang) Pejabat Publik (Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan)”, Jurnal Cita Hukum Vol. II, No.1, (Juni 2015): 129, ISSN: 2356-1440.

Hadjon, Philipus M. “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid). Jurnal Pro Justitia XVI Nomor I Januari tahun 1998.

Mohammad Sahlan, Kewenangan Peradilan Tipikor Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 166-189 diakses melalui 166 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.2, pada tanggal 17 Juni 2017.

Suhariyono AR, “Perumusan Sanksi Pidana Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Jurnal Perspektif VoL. XVII, No. 1, Januari, 2012.

Yulius, “Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia (Tinjauan Singkat Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014)”, Jurrnal Hukum dan Peradilan, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah AgungRI Vol. 04, No. 3, November 2015.

Andhi Nirwanto D. Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-UndangAdministrasi Pemerintahan) disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka H.U.T. IKAHI Ke-62 dengan tema “Undang-UndangAdministrasi Pemerintahan, Menguatkan atau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi”, Jakarta: Hotel Mercure Ancol, 2015.

Supandi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan(Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana), Makalah tidak diterbitkan.

Sidharta, Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim, Makalah, disampaikan dalam Seminar Nasional Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia, yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial RI, PUSHAM UII, dan Norsk Senter For Menneskerettigheter Norwegian Centre For Human Rights, Medan: Hotel Grand Angkasa, 2011.

Universitas Sumatera Utara

Page 249: ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA

D. Media Elektronik/Internet: Detik.com, “UU Administrasi Pemerintahan Dinilai Mengudeta Pemberantasan

Korupsi”, http://news.detik.com/berita/2873765/uu-administrasi-pemerintahan-dinilai-mengudeta-pem-berantasan-korupsi (diakses 28 Februari 2017)

Nasional.kompas.com. Kumpulkan Kapolda dan Kajati, Jokowi Blakblakan Soal Keluhan Kepala Daerah, pada tanggal 19 Juli 2016.

https://smjsyariah89.wordpress.com/2011/06/10/pengertian-gugatan-dan-permohonan/ (diakses pada tanggal 10 Juni 2011).

https://www.arti-definisi.com/proses%20peradilan (diakses pada tanggal 21 Februari 217)

KBBI, “arti wenang”, kbbi.web.id/wenang (diakses pada tanggal 6 Juni 2017).

KBBI. “arti hak”, web.id/hak, dan kbbi.web.id/kuasa (diakses pada tanggal 18 Pebruari 2017).

Kbbi. “arti kuasa”, kbbi.web. id/kuasa (diakses pada tanggal 14 Juni 2017).

KBBI, “Arti dari Salah Guna, Menyalahgunakan”, kbbi.web.id/ salah%20guna.menyalahgunakan, diakses 8 Juni 2017.

Indriyanto Seno Adji, Antara Kebijakan Publik, melalui; http://id.wiktionary.org/wiki/melampaui wewenang, diakses pada tanggal, 20 Juni 2017.

Ikhramlawenforcement, Penegakkan Hukum Administrasi Pemerintahan dan Tindak Pidana Korupsi.https://ikramlawenforcement.wordpress.com.

Lon Fuller, the Morality of Law, (1971), hlm. 54-58 melalui http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/hukum-dan-moral-dari-hart-fuller-sampai.html(diakses tanggal19 Juni 2017).

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law, (1971), hal. 54-58 melalui http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/hukum-dan-moral-dari-hart-fuller-sampai.html, diakses: pada tanggal, 19 Juni 2017.

W. Riawan Tjandra. menilai Inpres Proyek Strategis Nasional, doa-bagirajatega.blogspot.co.id (diakses pada tanggal 19 September 2016).

www.hukumonline.com/berita/baca/hol10344/putusan-kasasi-akbar-tandjung-jangan -dijadikan-yurisprudensi (diakses pada tanggal 19 Mei 2014).

Universitas Sumatera Utara