analisis yuridis atas permohonan ada atau tidaknya
TRANSCRIPT
ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN WEWENANG
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERHADAP
PROSES PERADILAN PIDANA KORUPSI
TESIS
OLEH
MATHILDA CHRYSTINA KATARINA NIM: 157005106/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
ANALISIS YURIDIS ATAS PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN WEWENANG
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERHADAP
PROSES PERADILAN PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MATHILDA CHRYSTINA KATARINA 157005106/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji Pada Tanggal 03 Februari 2018 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum Anggota : 1. Dr. Hamdan, SH, M.H 2. Dr. Faisal Akbar Nasution , S.H, M.Hum 3. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum 4. Dr. M. Ekaputra, S.H, M.Hum
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Perkembangan antara hukum adminitrasi Negara dan hukum pidana memasuki “gray area” sehingga menimbulkan debat ebelitas dikalangan ahli hukum. Betapa tidak, keputusan pejabat Negara baik dalam rangka “beleid” maupun “diskresi” menjadi ajang kajian akademis untuk dijadikan alas an penolakan maupun justifikasi pemidanaan, namun disisi lain diskresi tanpa berdasarkan peraturan perundang-undangan menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Hukum administrasi menempati posisi dominan dalam penanganan tindak pidana korupsi, baik preventif maupun represif. Dari sisi represif, hukum administrasi sangat dominan karena tindak pidana korupsi hanya mungkin terjadi dalam konteks kerugian negara. Dengan adanya Pasal 20 dan Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, membuka ruang bagi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk melakukan pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang dan PTUN untuk memeriksa dan memutuskan adaatau tidak ada unsure penyalahgunaan wewenang, sebagaimana juga dapat dilakukan oleh Pengadilan TIPIKOR menguji menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU PTPK. Kondisi ini akan mempengaruhi persinggungan kewenangan mengadili. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang relevan dibantu dengan mengumpulkan informasi-informasi terkait. Data dikumpulkan dengan studi kepustakaan dan analisis dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut teori titik singgung, terdapat persamaan Hukum Administrasi dan Hukum Pidana terkait penyalahgunaan wewenang, meliputi 1) Persamaan penggunaan istilah 2) Persamaan pengertian, 3) Persamaan subjek norma yaitu pejabat pemerintahan, 4) Persamaan norgeddrag, yaitu perbuatan terlarang (verbod). Hubungan erat hukum administrasi dan hukum pidana tersebut menimbulkan pro kontra diantara pakar hukum apabila hasil pemeriksaan APIP dan/atau Putusan PTUN menyatakan tidak ada unsure penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintahan, apakah mengikat proses peradilan pidana. Sebagian pakar berpendapat penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seharusnya dapat diselesaikan terlebih dahulu secara administrasi melalui PTUN sebelum Pengadilan Tipikor memeriksa dan mengadilinya. Sementara itu pakar hukum lainnya mempunyai pendapat yang berbeda bahwa pejabat pemerintahan dapat dipidana melakukan Tipikor apabila terjadi perbuatan melawan hukum pidana, yang didahului dan diikuti sikap batin jahat (mensrea) dan mengakibatkan kerugian keuangan negara, akan tetapi selain kedua pendapat tersebut ada pakar hukum lain yang berpendapat bahwa tidak ada konflik norma, karena baik PTUN maupun Pengadilan Negeri (Pidana/Tipikor) menjalankan fungsinya masing-masing. Parameter PTUN menguji legalitas keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) dan asas-asas umum pemerintahan yang baik/AUPB (tidak tertulis), sedangkan Pengadilan TIPIKOR hanya berdasarkan peraturan tertulis saja. Dalam hukum administrasi dibedakan antara tanggungjawab jabatan dan tanggungjawab pribadi. Tanggungjawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan) atau cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi sedangkan tanggungjawab pribadi berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan prilaku, maladministrasi. Tanggungjawab pidana adalah tanggungjawab pribadi dalam konteks kerugian Negara disertai niat jahat untuk menguntungkan diri sendiri.
Kata Kunci : Penyalahgunaan Wewenang, Hukum Adminintrasi, dan Hukum Pidana.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
The development of its administrative HR law between State and criminal law entered into a "gray area" giving rise to debate ebelitas among legal experts. How not to, a decision State officials well in order "beleid" nor "diskresi" became the arena of academic studies for was made the base an pemidanaan justification or denial, but on the other hand diskresi without based on legislation give rise to an abuse of authority. Administrative law occupies a dominant position in the handling of criminal acts of corruption, either preventive or repressive. From the side of the repressive, legal administration very dominant because of the criminal offence of corruption is only likely to occur in the context of the country's losses. By the existence of article 20 and article 21 of ACT No. 30 of 2014 about government administration, opening up space for the internal auditing of the Government Apparatus (APIP) to supervise the prohibition of abuse of authority and PTUN to check and decide adaatau there are no elements of abuse of authority, as may be made by the Court of abusing authority in testing TIPIKOR article 3 of ACT PTPK. This condition will affect the critical interface authorities prosecute. The research method used is the method of normative legal research conducted through the study of legislation and the relevant legal materials assisted with gathering information-related information. Data collected with the study of librarianship and analysis done qualitatively. The results showed that according to the theory of the point of tangent equation, there are administrative law and criminal law related to abuse of authority, including the use of the term Equation 1) 2) Equation, Equation 3) understanding the subject of the norm i.e. Government officials, 4) equation of norgeddrag, i.e. the forbidden deeds (verbod). The close relationship of law and the administration of criminal law that raises the legal experts among the pros cons when APIP inspection results and/or Verdict PTUN stating there are no elements of abuse of authority committed government officials, whether binding the process of criminal justice. Some experts argued the abuse of authority committed should be solved first in administration through PTUN before Court Tipikor check and put on trial. Meanwhile, other legal experts have different opinions that the Government officials are convicted could do if the deed Tipikor against criminal law, which preceded and followed the evil inner attitude (mensrea) and result in the loss finances of the State, but in addition to the second opinion there is another legal experts who argued that there are no conflicts of norms, because good PTUN nor the District Court (Criminal/Tipikor) runs the function of each. Parameter test of legality PTUN decisions and/or actions of government officials is legislation (written) and the General principles of good governance/AUPB (not written), while Court TIPIKOR based solely on regulation in writing only. In administrative law distinguished between personal responsibility and position responsibilities. Responsibilities of the position with regard to the legality of the (validity) or defects regarding the juridical authority, procedures, and the substances while personal responsibility with regards to the functionaries or approach the approach behavior, maladministrasi. Criminal responsibility is personal responsibility in the context of losses of State accompanied by malicious intent to benefit yourself. Keywords: abuse of Authority, law Adminintrasi, and criminal law.
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Yuridis Atas
Permohonan Ada Atau Tidaknya Penyalahgunaan Wewennag Berdasarkan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Terhadap Proses Peradilan Pidana Korupsi”.
Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister
Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan. Dalam penulisan tesis ini telah banyak mendapat bantuan
dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya khusus kepada Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum, selaku
Penasihat Utama, Dr. M. Hamdan, S.H.,M.H, selaku Pembimbing I dan Dr. Faisal
Akbar Nasution, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing II atas kesediannya
memberikan bimbingan dan petunjuk serta saran untuk kesempurnaan tulisan ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para Dosen
Penguji Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum dan Dr. M. Ekaputra, SH., M.Hum yang
telah banyak memberikan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :
Universitas Sumatera Utara
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H. M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H. M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Seluruh Guru Besar, Dosen beserta pegawai pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Orang tua: Bapak (Alm) Mangatas Sitohang, S.H.M.Sp “itꞌs been a long time
without you my friend” dan mama Evie Saragih.
7. Khusus kepada suamiku Marcos. M.M. Simaremare. S.H. M.Hum “terimakasih
untuk kebaikan hatimu” dan kepada penyemangat hidupku Marcello
Simaremare & Moreno Simaremare.
8. Kepada abang dan adik-adikku yang telah memberikan doa.
9. Kepada rekan hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Katarina Melati Siagian,
S.H. M.Hum & Sangkot L.Tobing, S.H. M.H., rekan hakim angkatan 18
Jimmy Claus Pardede, S.H.M.H dan Jimmy Maruli, S.H.M.H yang telah
memberikan bantuan buku dan literatur, serta kepada teman-teman penulis yang
Universitas Sumatera Utara
telah memberikan semangat kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu dan para pihak yang telah membantu penulis demi kelancaran
penulisan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran-saran yang membangun yang dapat menjadi masukan
bagi penulis untuk memperbaikinya di kesempatan yang akan datang.
Akhir kata semoga tesis ini nantinya dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca dan bagi penulis sendiri.
Medan, Juli 2018 Penulis
MATHILDA CHRYSTINA KATARINA
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ..................................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................................ iii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 10
D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 11
1. Secara Teoritis ......................................................................... 11
2. Secara Praktis ........................................................................... 11
E. Keaslian Penelitian .............................................................................. 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................................. 12
1. Kerangka Teori ........................................................................ 12
2. Kerangka Konsepsi .................................................................. 25
G. Metodelogi Penelitian ......................................................................... 27
1. Jenis dan Sifat Penelitian ................................................. 27
2. Sumber Data Penelitian .................................................... 28
3. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 30
4. Analisis Data .................................................................... 30
Universitas Sumatera Utara
BAB II : PERBEDAAN SECARA PRINSIPIL TENTANG
PENYALAHGUNAAN WEWENANG BERSADARKAN
HUKUM ADMINISTRASI DAN HUKUM PIDANA
KORUPSI ................................................................................... 32
A. Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Administrasi .............. 32
1. Pengertian Wewenang.............................................................. 32
2. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang .................................. 36
3. Sumber Wewenang .................................................................. 44
4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik…………… ........ 54
5. Diskresi .................................................................................... 57
6. Tanggung Jawab Dalam Hukum Administrasi ........................ 63
7. Peranan APIP Dalam Proses Hukum Administrasidan
Pidana 72
B. Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Pidana ........................ 75
1. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang .................................. 75
2. Perbuatan Melawan Hukum ..................................................... 81
3. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana ............................ 87
C. Perbedaan Secara Prinsipil Penyalahgunaan Wewenang Dalam
Hukum Administrasi dan Hukum Pidana Korupsi ............................ 94
BAB III : SISTEM PEMBUKTIAN DALAM SIDANG PTUN DAN
PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN TIPIKOR
ATAS ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN
Universitas Sumatera Utara
WEWENANG DARI TINDAKAN PEJABAT
PEMERINTAH .............................................................................. 119
A. Sistem Pembuktian Dalam Sidang PTUN TerhadapAda Atau
Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang ......................................... 119
1. Tata Cara Persidangan Permohonan Ada Atau Tidak
Penyalahgunaan Wewenang .................................................. 119
2. Pembuktian Dalam Permohonan Ada Atau Tidak
Penyalahgunaan Wewenang .................................................. 127
B. Sistem Pembuktian Dalam Sidang Tindak Pidana Korupsi ........ 138
1. Sistem Pembuktian ............................................................... 138
2. Jenis Alat Bukti .................................................................... 144
3. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Tindak Pidana
Korupsi .......................................................................... ...... 148
4. Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Di Sidang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ...................................... 156
C. Perbedaan Sistem Pembuktian Hukum Administrasi dan
Hukum Pidana Korupsi Di Pengadilan Dalam Pengujian Ada
Atau Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang ……………… ........ 164
BAB IV : KONSEKUENSI ATAS PENGAJUAN PERMOHONAN
ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN
KEWENANGAN DALAM KEPUTUSAN PEJABAT
PEMERINTAH KEPADA PTUN TERHADAP PROSES
Universitas Sumatera Utara
PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, PENUNTUTAN
MAUPUN PROSES PERSIDANGAN TIPIKOR ......................... 170
A. Konsekuensi Atas Pengajuan Permohonan Ada Atau
Tidaknya
Penyalahgunaan Wewenang Dari Tindakan Pejabat
Pemerintah di PTUN .................................. .................................. 170
B. Analisis Terhadap Putusan PTUN No : 25/G/2015/PTUN-
MDN JoPutusan PTTUN Nomor : 176/B/2015/PTTUN-
MDN Kasus Ahmad Fuad Lubis Terhadap Perbandingan
Putusan MA No. 572K/Pid/2003 Terhadap Kasus
Akbar Tandjung Atas ada atau tidaknya Penyalahgunaan
Wewenang yang dilakukan Oleh Pejabat Pemerintah ................. 188
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................................ 221
B. Saran ..................................................................................................... 224
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 226
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel I: Kaidah Hukum Penyalahgunaan Wewenang Dalam Beberapa
Yurisprudensi Tindak Pidana Korupsi ................................................ 78
Tabel II: Persinggungan Penyalahgunaan Wewenang antara Hukum
Administrasi dan Hukum Pidana ................................................................. 97
Tabel III: Perbandingan antara Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab
Pribadi ......................................................................................................... 103
Tabel IV: Perbedaan Prinsipil Penyalahgunaan Wewenang Antara
UUAdministrasi
Pemerintahan Dengan UU Pemberantasan Tipikor ..................................... 117
Tabel V: Perbedaan Sistem Pembuktian Hukum Administrasi Dan Hukum
Pidana Di Pengadilan Dalam Pengujian Ada Tidaknya
Penyalahgunaan Wewenang…………………………………………. 168
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam konstitusi dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karena
ada pernyataan yang demikian itu, orang akan segera berpendapat, bahwa bukan
negara yang lainlah yang ingin dibangun oleh bangsa ini, melainkan sebuah negara
hukum itulah.1
Salah satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung
makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus
berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Dengan bersandar pada asas legalitas itulah pemerintah melakukan berbagai tindakan
hukum. Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan
kewenangan, maka dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban.
Konsep negara hukum bermakna bahwa segala sendi kehidupan dalam
berbangsa dan bernegara berlandaskan kepada hukum, termasuk dalam
penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada asas legalitas, asas
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan asas umum pemerintahan yang baik.
2
Mendengar kata pemerintahan mengingatkan kepada kesejahteraan,
pembangunan dan terkadang mengingatkan kepada hal yang tidak menyenangkan
1Satjipto Rahardjo,Biarkan Hukum Mengalir(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), hlm.21. 2Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara)
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 239.
1
Universitas Sumatera Utara
seperti prosedur birokrasi yang berbelit-belit, keangkuhan pejabat pemerintahan,
kekuasaan dan terutama korupsi. Korupsi memang tidak dapat dipisahkan dari
kekuasaan, demikian pula kekuasaan selalu berkaitan dengan kewenangan. Semakin
besar kekuasaan dan kewenangan seseorang, semakin besar pula peluang melakukan
korupsi. 3
Pembiaran dan ketidak pedulian terhadap korupsi kekuasaan pelan-pelan akan
mengantar masyarakat menjadi toleran terhadap korupsi yang kini ingin diberantas
itu. Rakyat dibiasakan untuk menerima saja pelayanan publik dan hasil pekerjaan
dinas-dinas publik yang tidak bermutu. Dengan demikian, korupsi kekuasaan telah
membantu menciptakan iklim korup dalam masyarakat yang menjadi tempat
persemaian korupsi konvensional. Korup konvensional dapat dilawan melalui
penghancuran atmosfer lingkungan yang menyuapi/menghidupinya, dalam hal ini
perlawanan terhadap korupsi kekuasaan.
4
Tidak ingin terpuruk dengan penilaian-penilaian negatif, maka pemerintahan
saat ini terus dengan giat melakukan reformasi birokrasi. Berbicara tentang konsepsi
negara hukum dan reformasi birokrasi, diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30
Masalah korupsi telah lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan dan
telah menjadi suatu fenomena persoalan nasional yang amat sukar ditanggulangi.
Tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan
merupakan salah satu faktor terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia.
3Ibid., hlm. 71. 4Satjipto Rahardjo,Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010),
hlm. 151.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disingkat dengan UU
No. 30 Tahun 2014) menjadi salah satu dasar hukum bagi badan dan/atau pejabat
pemerintahan, warga masyarakat dan pihak-pihak lainnya yang terkait dengan
administrasi pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan.5
Menanggapi kekhawatiran kepala daerah ini, pada hari Selasa, tanggal 19 Juli
2016 Presiden Joko Widodo mengadakan pertemuan dengan Kepala Kepolisian
Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi di Istana Negara, Jakarta.Dalam pertemuan
Selain reformasi birokrasi, pemerintah negara Republik Indonesia saat ini juga
terus berupaya melakukan percepatan pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan saja hanya didaerah yang terdekat dengan sentra
pemerintahan akan tetapi juga sampai ke daerah tertinggal yang terdapat dipelosok
negeri. Percepatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut berjalan
bukan tanpa halangan, halangan tersebut salah satunya adalah karena pemerintahan
daerah yang lambat serap anggaran.
Penyebab rendahnya penyerapan anggaran salah satunya adalah karena
penegakan hukum yang tidak terkendali. Seperti yang kerap diberitakan bahwa
banyak kepala daerah yang menyampaikan kekhawatirannya salah dalam bertindak
membuat keputusan dan/atau tindakan sehingga dapat dianggap melakukan
penyalahgunaan wewenang lalu ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi.
5Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Bab II, Pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
tersebut mengingatkan kembali lima instruksi yang pernah disampaikan di Istana
Negara, Juli 2016, yaitu:6
1. Kebijakan atau diskresi tidak dapat dipidanakan atau jangan dipidanakan.
2. Tindakan Administrasi Pemerintahan agar dibedakan antara yang berniat mencuri
dengan tindakan administrasi. Karena aturan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terkait hal ini telah jelas, antara yang perlu dikembalikan dan yang tidak perlu
dikembalikan.
3. Kerugian yang dinyatakan BPK agar masih diberikan peluang 60 hari. Hal ini agar
menjadi catatan bersama.
4. Kerugian Negara harus konkrit dan tidak mengada-ada.
5. Tidak diekposes ke media secara berlebihan sebelum ada penuntutan.
Memperhatikan instruksi Presiden tersebut, maka dapat disimpulkan agar
aparat hukum tidak dengan tergesa-gesa menyatakan suatu keputusan dan/atau
tindakan yang dilakukan badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah suatu perbuatan
penyalahgunaan wewenang dan merupakan tindak pidana korupsi, akan tetapi bisa
saja keputusan dan/atau tindakan tersebut termasuk kedalam ranah Hukum
Administrasi Negara (selanjutnya disingkat dengan HAN).
Jika melihat kepada lima instruksi Presiden tersebut adalah sejalan dengan
latar belakang lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 yang antara lain untuk menyelesaikan
permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai
6Kumpulkan Kapolda dan Kajati, Jokowi Blakblakan Soal Keluhan Kepala Daerah,
Nasional.kompas.com(diakses pada tanggal 19 Juli 2016).
Universitas Sumatera Utara
administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan
perlindungan hukum baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan.7
Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga
masyarakat, maka UU No. 30 Tahun 2014 memungkinkan warga masyarakat untuk
mengajukan keberatan dan banding terhadap keputusan dan/atau tindakan, kepada
badan dan/atau pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang bersangkutan. Warga
masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan dan/atau tindakan
badan dan/atau pejabat pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena
Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha
Negara. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara
khusus norma konstitusi hubungan atara negara dan warga masyarakat. Pengaturan
Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini merupakan instrument penting
dari negara hukum yang demokratis, dimana keputusan dan/atau tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif,
yudikatif dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang
memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan.
8
Selain memberikan hak kepada warga masyarakat, UU No. 30 Tahun 2014
juga memberikan hak kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yaitu untuk
7Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan., Bagian Menimbang Huruf b. 8Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Penjelasan Angka I Umum Alinea 6.
Universitas Sumatera Utara
mengajukan permohonanberdasarkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014
disebutkan:
“Badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam
keputusan dan/atau tindakan”.
Berkaitan dengan permohonan penilaian ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang, ada suatu peristiwa yang mengejutkan terjadi pada
tanggal 9 Juli 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi
tangkap tangan (OTT) terhadap Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Medan. Penangkapan dilakukan karena Majelis Hakim tersebut menerima
suap dari Advokad pada kantor pengacara Otto Cornelius Kaligis & Associates untuk
memenangkan gugatan yang diajukan Drs.Ahmad Fuad Lubis,Msi (selaku Pemohon)
kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (selaku Termohon), dengan dalil
gugatanbahwa tindakan Termohon mengeluarkan panggilan permintaan keterangan
Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 tanggal 31 Maret 2015 terkait tindak pidana
korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Pemohon mendalilkan bahwa pemanggilan
yang dilakukan oleh Termohon telah menyalahgunakan kewenangan dan
bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK tersebut membuat
masyarakat semakin gerah dengan tindakan aparatur sipil negara dan penegak hukum
yang dianggap sering memperjual-belikan hukum, namun disisi lain peristiwa
Universitas Sumatera Utara
tersebut membuat pemerhati hukum memberikan perhatian khusus terhadap substansi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahankhususnya terhadap Pasal 21 ayat (2) tentang permohonan untuk
menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan
dan/atau tindakan. Permohonan yang dapat diajukan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan ini menjadi menarik untuk dibahas adalah karena dapat mempengaruhi
proses hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi.
Penyalahgunaan wewenang menjadi unsur yang menjadi penilaian didalam
permohonan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, sementara disisi lain
berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disingkat dengan UU PTPK), unsur penyalahgunaan wewenang
juga menjadi bagian inti (bestanddeeldelict) didalam pembuktian tindak pidana
korupsi.
Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah dalam setiap penanganan
perkara tindak pidana korupsi harus terlebih dahulu diajukan permohonan penilaian
ada atau tidak penyalahgunaan wewennag ke Pengadilan Tata Usaha Negara, apakah
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan “tidak ada penyalahgunaan
wewenang”, dalam suatu keputusan dan/atau tindakan maka pejabat pemerintahan
tidak dapat diproses pidana lagi, apakah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
mengikat dan tidak menghambat penyidikan yang dilakukan KPK, Kejaksaan dan
Polri dalam proses peradilan pidana dan apakah dengan terbitnya UU No. 30 Tahun
Universitas Sumatera Utara
2014 merupakan langkah mundur dalam penegakkan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, hampir tidak pernah muncul kepermukaan dan terdengar
permasalahan yang memperdebatkan titik singgung kewenangan pengujian
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.9
Dilihat dari perspektif filsafat ilmu, setiap bidang ilmu mempunyai otoritas
dan otonomi (kemandirian) keilmuwan, yaitu wewenang setiap bidang ilmu untuk
mengembangkan disiplin keilmuannnya sendiri terlepas dari disiplin ilmu yang lain.
Setiap bidang ilmu mempunyai objek formal dan objek material sendiri-sendiri.
10
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tidak mengatur tentang pedoman
beracara permohonan penilaian ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang,
maka untuk mengisi kekosongan serta untuk melaksanakan kewenangan mengadili
permohonan penilaian tersebut, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015
tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang
(selanjutnya disingkat dengan PERMA No. 4 Tahun 2015), hal ini bertujuan agar
9Dani Elpah. et.al.,Laporan Penelitian Pengkajian Titik Singgung Kewenangan Antara PTUN
Dengan Pengadilan Tipikor Dalam Menilai Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang (Jakarta: Balitbang Diklat Kumdil MA RI, 2016), hlm. 4.
10Ibid., hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
dalam tidak terjadi perbedaan pendapat hakim dalam tata cara penyelenggaraan
persidangan permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut diatas yang mendorong
peneliti untuk melakukan penelitian tentang analisis yuridis permohonan ada atau
tidaknya penyalahgunaan wewenang berdasarkan UU No. 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan terhadap Peradilan pidana korupsi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka
terdapat beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana perbedaan yang prinsipil tentang penyalahgunaan wewenang
bersadarkan hukum administrasi dan hukum pidana?
2. Bagaimana sistem pembuktian dalam sidang PTUN dan pembuktian dalam
persidangan tindak pidana korupsiatas ada atau tidaknya penyalahgunaan
wewenang dari tindakan pejabat pemerintah?
3. Bagaimana konsekuensi atas pengajuan permohonan ada atau tidaknya
penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan pejabat pemerintah kepada PTUN
dapatuntuk menghentikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun proses
Persidangantindak pidana korupsi?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian
Memperhatikan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan
sebelumnya, maka yang menjadi fokus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahuiperbedaan secara prinsipil tentang penyalahgunaan wewenang
bersadarkan hukum administrasi dan hukum pidana.
2. Untuk mengetahui tentang sistem pembuktian dalam sidang PTUN dan
pembuktian dalam persidangan tindak pidana korupsi atas ada atau tidaknya
Penyalahgunaan wewenang dari tindakan pejabat Pemerintah.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis terhadap konsekuensi atas pengajuan
permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan
pejabat pemerintah kepada PTUN apakah dapat menghentikan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dalam proses Peradilan tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penelitian
Maka penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
pengembangan ilmu atau meberikan manfaat dibidang teoritis dan praktis, yaitu
sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah
keilmuan Hukum Pidana, khususnya dalam bidang yang berhubungan dengan status
dan akibat hukum terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang melalui
Universitas Sumatera Utara
tindakan pejabat pemerintah yang berdampak kepada proses peradilan tindak pidana
korupsi dan juga penelitian ini diharapkan dapat menambah kahazanah intelektual
tentang pemikiran hukum dan kepastian hukum yang berkaitandengan dinamika
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
2. Secara praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai masukan
bagi penegak hukum agar dapat memberikan ruang di dalam kanca peradilan terhadap
penerapan dan pemberlakuan proses peradilan bagi penyalahgunaan wewenang
melalui tindakan pejabat pemerintah di Pengadilan Tipikor atau melalui Pengadilan
TUN khususnya ataspengajuan permohonan ada tidaknya penyalahgunaan
kewenangan dalam keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintah kepada
Pengadilan TUN terhadap proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan
Tipikor.dan masukan bagiaparat penegak hukum dalam hal ini hakim, jaksa, polisi
agar dapat menerapkan hukum dengan pasti dan dengan cara seadil-adilnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta sebagai masukan bagi
masyarakat sipil dan pejabat pemerintah untuk dapat lebih mengetahui tentang hak-
haknya jika tenjadi penyalahguna wewenang dalam segala tindakan disetiap lini
kehidupan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan pemeriksaan serta penelusuran yang telah
dilakukan melalui studi kepustakaan khususnya pada lingkungan perpustakaan
Program Magister Hukum Universitas Sumatera Utara. Maka belum pernah ada
Universitas Sumatera Utara
penelitian yang sama dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup kajian
penelitian ini, yaitu: “Analisis Yuridis Atas Permohonan Ada Atau
TidaknyaPenyalahgunaan Wewenang Berdasarkan Undang-Undang No. 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Proses Peradilan
Pidana Korupsi”.Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang
penulis lakukan ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa
memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi
bagi peneliti atau akademisi.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka teori
Pada setiap penelitian harus pula disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi.11Menurut Lili Rasjidi, Teori adalah ilmu yang mempelajari
pengertian-pengertian pokok dan sistem dari hukum.12 Dalam konteks filsafat ilmu,
dapat dijelaskan bahwa suatu teori merupakan sesuatu yang paling tinggi yang dapat
dicapai oleh suatu disiplin ilmu.13
Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori dalam arti teori ilmu merupakan suatu
penjelasan rasional yang berkesesuaian atau koresponden dengan objek yang
11J.J.JM. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Jilid I; Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 203. 12Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2010), hlm. 11. 13Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dijelaskan,14 sehingga memiliki landasan teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.15Maka
kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau angka-angka
pendapat, teori, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. Sedangkan
Soejono Soekanto menyatakan bahwa, kontinuitas perkembangan ilmu hukum itu,
selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat
ditentukan oleh teori.16
1. Teori kepastian hukum
Sehingga teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka
yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam
kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut.
Konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian
tesis ini adalah :
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama,
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
negara terhadap individu.17
14M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian(Cetakan ke-2; Jakarta: Sofmedia, 2013), hlm.
46. 15Ibid. 16Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.6.
17Riduan Syahri, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 23.
Dengan demikian Teori kepastian hukummengandung 2
(dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
Universitas Sumatera Utara
mengetahui perbuatanapa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapatmengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan
hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi
dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya
untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.18
Kepastian hukum (rechtssicherkeit/security/rechtszekerheid) adalah sesuatu
yang baru, yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan, dan menjadi publik.
Kepastian hukum menyangkut masalah “law being written down”, bukan tentang
keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum adalah sicherkeit des rechts selbst
(kepastian tentang hukum itu sendiri), sehingga terlihat bahwa hukum hadir bukan
lagi untuk melayani masyarakat dan mendatangkan kesejahteraan bagi manusia,
melainkan hadir demi dirinya sendiri.
19
Ada empat hal yang berhubungan dengan kepastian hukum yaitu Pertama,
bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches
recht);Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu
rumusan tentang penilaian yang nantinya akan dilakukan oleh hakim seperti
“kemauan baik“, “kesopanan “;Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan
18Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2008), hlm 15. 19Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban(Jakarta: UI Press, 2006), hlm. 135.
Universitas Sumatera Utara
cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga
dijalankan; Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering di ubah-ubah.20
Senada dengan itu Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Rama Putra
mengatakan, bahwa secara konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 tidak pernah
menyatakan bahwa kepastian hukum itu identik dengan kepastian undang-undang.
Dengan selalu digunakannya kata “hukum dan keadilan” secara bersamaan, terkesan
bahwa makna “supremasi/penegakan hukum“bukan semata-
matasupremasi/penegakanundang-undangsaja, tetapi lebih mengandung makna
substantif, yaitu supremasi/penegakan nilai-nilai substantif/materil. Dengan kata lain,
tidak sekedar kepastian/penegakan hukum yang formal (legal certainty atau formal
law enforcement), tetapi “substantive/material certainty” atau “substantive law
enforcement”. Terlebih dengan penegasan, bahwaperadilan negara menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila(Pasal 3 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 4 tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) dan peradilan dilakukan “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“ pada Pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, jelas mengandung
makna penegakan nilai-nilai substansial.
21
20Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi undang-undang (legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 292-293.
21Rama Putra, Ide Keseimbangan Dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan Di Indonesia(Semarang: Universitas Diponegoro, 2009), hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
Kepastian hukum sesungguhnya sebuah ide yang tidak bisa dirumuskan
mutlak secara gramatikal. Bahasa yang digunakan dalam merumuskan ketentuan-
ketentuan di dalam hukum (undang-undang) tidak bisa diformulasikan secara kaku,
karena bahasa pertama-tama memiliki keterbatasannya sendiri. Di samping itu, teks-
teks di dalam hukum (undang-undang) sesungguhnya memiliki intensi-intensi
tertentu, yang tentu saja sukar untuk ditafsirkan secara baku. Dan untuk memahami
hal demikian, Dworkin mengingatkan diperlukan sebuah moralitas dalam suatu
interpretasi. Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa kepastian hukum itu bukanlah
sesuatu yang mudah untuk diekspresikan dalam kata-kata atau teks di dalam suatu
hukum (undang-undang). Pada kenyataannya pun membatasi kekuasaan, khususnya
kekuasaan yudikatif, juga bukan sebuah jalan yang memberikan kepastian hukum.
Peran peradilan yang kaku bisa-bisa menjadikan kepastian hukum itu kehilangan
relevansinya. Justru peradilan harus diberikan kekuasaan yang lebih luas, karena
dengan demikian, gagasan kepastian hukum itu senantiasa diperbaruhi, berkat
interpretasi-interpretasi yang kritis.22
Kepastian hukum (rule of law) secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian
kepastian hukum menjadi sistem norma.
23
22E. Fernando M. Manullang, Legisme Legalitas Dan Kepastian Hukum (Jakarta:Kencana
Prenadamedia Group, 2017), hlm. 179. 23Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif( Jakarta:
Sinar Grafika, 2010 ), hlm. 133.
Universitas Sumatera Utara
Kepastian hukum tersebut dalam masyarakat dibutuhkan demi tegaknya
ketertiban dan keadilan. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam
masyarakat dan setiap anggota masyarakat akan berbuat sesuka hati serta bertindak
main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini, menjadikan kehidupan berada dalam
suasana kekacauan sosial.24
Beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Faktor-faktor
tersebut antara lain, terlalu cepatnya perubahan kebijakan dan peraturan perundang-
undangan, adanya pertentangan di antara berbagai peraturan perundang-undangan dan
kekosongan hukum. Ketidakpastian hukum terjadi pula dalam penegakkan hukum.
25
Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 yang termasuk didalam ruang lingkup
Hukum Administrasi Negara memberikan wewenang bagi hakim Peradilan Tata
Usaha untuk melakukan penilaian unsur ada atau tidaknya penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang dilakukan melalui
keputusandan/atau tidakan terhadap kewenangan yang dimilikinya,sementara itu di
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (disingkat UU PTPK) juga terdapat unsur penyalahgunaan wewenang yang
harus dibuktikan. Penilaian tentang unsur penyalahgunaan wewenang yang terdapat
didalam dua ranah hukum yang berbeda yakni Hukum Administrasi Negara dan
24M. Yahyah Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua; Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 76.
25Ridwan Khairandy dalam Disiplin. F. Manao, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perpektif Hukum Administrasi Negara (Bandung: Kreasi Sahabat Bersama, 2017), hlm. 201.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Pidana dapat menimbulkan berbagai penafsiran, sehingga dapat
menyebabkan ketidakpastian hukum. UU No 30 Tahun 2014 dapat digunakan sebagai
alat berlindung bagi pelaku tindak pidana korupsi, akan tetapi tentu saja tidak
semudah itu memberikan penilain, sebab latar belakang lahirnya UU No 30 Tahun
2014 adalah untuk pembenahan hukum administrasi pemerintahan, agar hal-hal yang
selama ini belum jelas pengaturannya menjadi lebih jelas dan tegas diatur misalnya
tentang ketentuan pengambilan diskresi, yang sudah barang tentu pengaturannya
bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum. Dengan demikian sudah semestinya
seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu untuk bekerja mewujudkan nilai-nilai
norma dalam hukum. Keberhasilan hakim dalam penegakan hukum akan menjadi
salah satu penentu serta menjadi parameter legitimasi hukum di tengah-tengah
realitas sosial masyarakat.
2. Teori kewenangan
Kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari pemerintah
dalam melakukan perbuatan hukum dalam hubungannya dengan hukum publik
maupun dalam hubungannya dengan hukum privat.Secara yuridis untuk mengetahui
penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus
dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum,
didalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat
pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan(geen bevoegdheis zonder
Universitas Sumatera Utara
verantwoordelikjkheidatau there is no authoritu without responbility).26 Ini
membuktikan bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di
dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua pejabat yang
menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul tanggung jawab karena harus
dapat melihat apakah pejabat yang bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik
dilihat dari cara memperoleh dan menjalankan wewenang. Atau
menurutL.J.ADamen,yang mengatakan bahwa “ada tidaknya unsur penyalahgunaan
wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang
menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan
tujuan tertentu”. Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap
sebagai penyalahgunaan wewenang.27
Teori kewenangan (authority theory) merupakan teori yang mengkaji dan
menganalisis tentang: “kekuasaan dari organ pemerintah untuk melakukan
kewenangannya, baik dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat”.
28
Unsur-unsur yang terkadung dalam teori kewenangan, meliputi :
29
1) Adanya kekuasaan; 2) adanya organ pemerintah; dan 3) sifat hubungan
hukumnya.
26Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah(Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009), hlm. 72-79. 27Sjachran Basah,Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia (Bandung:
Alumni, 1985), hlm. 223. 28H. Salim. H. S dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
Dan Disertasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 186. 29Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Indroharto, mengemukakan tiga macam kewenangan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu, meliputi: 30
Pada atribusi terjadi pemberian wewenangpemerintahan yang baru oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Disini dilahirkan atau diciptakan
suatu wewenang baru. Lebih lanjut legislator yang kompeten untuk memberikan
atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:
a). Atribusi; b). Delegasi; dan c). Mandat.
31
a. Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat
adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama
pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah
adalah DPRD dan pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah;
b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar pada
suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana
diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata
Usaha Negara tertentu.
Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ
pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu
penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi
kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi
selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Mandat, disitu tidak terjadi
30Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara.(Edisi Revisi; Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2016), hlm. 101. 31Ibid.
Universitas Sumatera Utara
suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dan Badan atau
Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar
mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.32
Pada atributif wewenang, disitu terjadi pemberian suatu wewenang oleh suatu
ketentuan perundang-undangan, sedang pada delegasi di situ terjadi pelimpahan atau
pemindahan suatu wewenang yang telah ada. Sebaliknya pada mandat, di situ tidak
terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan
atau jabatan TUN yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat maka di situ tidak
terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada, yang ada
hanya suatu hubungan intern, umpamanya antara menteri dengan Dirjen atau
Irjennya, dimana Menteri (mandans) menugaskan Dirjen atau Sekjennya (mandataris)
untuk atas nama Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta
mengeluarkan keputusan-keputusan TUN tertentu.
33
F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, seperti dikutip oleh Ridwan H.R,
mengemukakan bahwa dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu:
34
32H. Salim. H. S dan Erlies Septiana Nurbani., Op.Cit., hlm. 194. 33Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
NegaraBuku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm. 92.
34Ridwan H.R., Op.Cit., hlm. 102-103.
a). Atribusi; dan b). Delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang
baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh
organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi
secara logis selalu didahului oleh atribusi).Pada mandat tidak dibicarakan penyerahan
Universitas Sumatera Utara
wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun. Kemudian
cara organ pemerintah dalam memperoleh kewenangan itu, dijadikan dasar atau teori
untuk menganalisis kewenangan dari aparatur negara di dalam menjalankan
kewenangannya.
Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara,
yaitu:35
Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang
langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil.
a). Atribusi; dan
b). Delegasi dan kadang-kadang juga mandat.
36
35Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian
AdministrativeLaw) (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2002), hlm. 2. 36Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Jurnal Pro
Justitia XVI Nomor I Januari tahun 1998, hlm. 90.
Atribusi juga
dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan.
Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ
pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari
peraturan perundang-undangan (utamanya Undang-Undang Dasar 1945). Dengan
kata lain, atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan
itu, tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan
sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan
(pejabat tata usaha negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini
berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi delegasi (delegans)
Universitas Sumatera Utara
kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Suatu delegasi harus memenuhi syarat-
syarat tertentu, antara lain:37
a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaiantidak diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi berwenang untuk
meminta penjelasan tentang peiaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegasi memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan
itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas
nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak
berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi
mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat
hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris
adalah tanggung jawab si pemberi mandat. Sebagai suatu konsep hukum publik,
37Ibid., hlm. 94.
Universitas Sumatera Utara
wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu:38
Dalam kajian HAN, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenag
organ pemerintahan penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum
dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam
negara hukum; “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no
authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).
Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat
didalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.
a). Pengaruh; b).
Dasar hukum; dan c). Konformitas hukum.
39
2. Konsepsi
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. Soejono
Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu
pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering kali
bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi
pegangan konkrit dalam proses penelitian.40
Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-
pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka
konsepsional saja, akan tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional
38Ibid., hlm. 95. 39Ridwan H.R., Op.Cit., hlm. 105. 40Soejono Soekanto, Op.Cit., hlm. 133.
Universitas Sumatera Utara
diluar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur
pokok dari suatu penelitian.41
a. Analisis yuridis
Bertolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut ini akan
disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, yaitu
antara lain sebagai berikut:
Maksud dari analisis yuridis adalah, suatu tinjauan atau pengharapan terhadap
masalah tertentu42
b. Permohonan
. Analisis dimaksudkan terhadap ketentuan yuridis atas
permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh pejabat pemerintahan berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak
perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak
mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap
suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.43
c. Penyalahgunaan wewenang
41Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999),
hlm. 24. 42Mas’ud Khasan Abdul Qahar, Kamus Ilmiah Populer, Bintang Pelajar, Tanpa Kota, Tanpa
Tahun. 43https://smjsyariah89.wordpress.com/2011/06/10/pengertian-gugatan-dan-
permohonan/(diakses pada tanggal 10 Juni 2011).
Universitas Sumatera Utara
Penyalahgunaan wewenang44atau disebut “detournement de pouvoir” adalah
perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tindakan tetapi masih dalam
lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara yuridis untuk
mengetahui penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar
hukum) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan
konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat
pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang
bersangkutan” (geen bevoegdheis zonder verantwoordelikjkheid atau there is no
authoritu without responbility).45
d. Proses peradilan
Maksud proses peradilan adalah suatu institusi lembaga yang memiliki hak absolut
untuk menangani proses peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau suatu rangkaian acara peradilan mulai dari penindakan terhadap
adanya suatu tindak pidana (sumber tindakan) sampai pada lahirnya keputusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.46
e. Pidana korupsi
44Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip
pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu : 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
45Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 76. 46http://www.arti-definisi.com/proses%20peradilan(diakses pada tanggal 21 Pebruari 2017).
Universitas Sumatera Utara
Maksud dari pidana korupsi adalah:47
G. Metodelogi Penelitian
setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan
maupun teknologi. Hal ini disebabkan penelitian bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsistensi, melalui proses penelitian
tersebut diadakan analisa dan kontruksi data yang telah dikumpulkan.48
1. Jenis penelitian dan sifat penelitian
Agar mendapatkan data guna menguraikan Analisis Yuridis Atas Permohonan
Ada Atau Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang Berdasarkan Undang-undang No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Proses Peradilan Pidana
Korupsi. Maka jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif.49
47Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bab II, Pasal 20.
48Soejono Soekanto, Op.Cit., hlm. 3. 49Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayumedia,
2008), hlm. 295.
Penelitian hukum normatif (normative legal research)
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian
Universitas Sumatera Utara
normatif seringkali disebut sebagai penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek
kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.50
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis,
51
2. Sumber data penelitian
dengan pendekatan yuridis normatif yang ditujukan untuk menggambarkan
dan menguraikan secara tepat, akurat, dan sistematis atas permohonan ada atau
tidaknya penyalahgunaan wewenang berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap proses peradilan pidana korupsi,
yang dihubungkan dengan teori-teori hukum dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
yang dilakukan dengan menitik beratkan pada penelitian terhadap bahan kepustakaan
(librery research),52
50Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum(Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm.
56. 51Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.107. 52Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 33.
yaitu dengan menelusuri, menghimpun, meneliti dan
mempelajari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-
undangan, serta berbagai karya ilmiah berupa jurnal artikel dan lain sebagainya yang
terkait dan mendukung isu hukum penelitian, yang selanjutnya dapat disebut sebagai
data sekunder, baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tertier, yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan yang diurut berdasarkan hierarki,53
b. Bahan hukum sekunder
seperti: Undang-Undang Dasar
1945, serta peraturan organik lainnya (Organieke Wetodening) seperti, Undang-
Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51
tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 46 Tahun
2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan putusan-putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
Dalam hal ini akan dikumpulkan data dari berbagai sumber, seperti: buku, jurnal,
artikel, hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan
dengan permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang berdasarkan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder.54
53Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 141. 54Johny Ibrahim, Op.Cit.,hlm. 298.
Bahan diambil dari
majalah, kamus-kamus hukum, Ensiklopedi, surat kabar, dan kamus ilmiah
Universitas Sumatera Utara
lainnya, serta dari media Internet sebagai bahan penunjang informasi dan
penelitian tersebut.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research)yaitu, melalui penelusuranperaturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku, putusan-putusan dan
karya ilmiah lainnya, serta dari media cetak dan elektronik yang memiliki
kesesuaianterhadap objek yang akan diteliti.
4. Analisis data
Maka setelah data terkumpul dan dipandang telah cukup lengkap, maka tahap
selanjutnya adalah mengelola data dan menganalisa data. Analisis data yang dipakai
adalah analisis kualitatif.55
55Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum (Malang: UMM Press,
2009), hlm. 121.
Analisis secara kualitatif dimaksudkan bahwa analisis
tidak tergantung dari jumlah berdasarkan angka-angka, melainkan data dalam bentuk
kalimat-kalimat melalui pendekatan yuridis normatif.Tujuan digunakannya analisis
kualitatif ini adalah untuk mendapatkan pandangan-pandangan mengenai pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang Undang-undang
Administrasi Pemerintahan yang dikaitkan terhadap proses peradilan pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Setelah data diolah, langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk
menarik kesimpulan dengan cara logika berfikir induktif dari kenyataan yang ditemui,
serta interpretasi dan analisis yakni penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan
masyarakat sewaktu undang-undang dibuat, hingga kemudian diterapkan. Uraian dan
kesimpulan dalam menginterpretasikan data dari hasil penelitian akan dihubungkan
dengan teori-teori, pendapat-pendapat dan aturan formal yang telah dikemukakan
pada bagian sebelumnya, sehingga diharapkan dapat nantinya menjawab segala
permasalahan hukum yang akan diajukan dalam penelitian tesis ini secara lengkap
dengan cara sistematis, metodologis, dan konsistensi.56
56 M. Solly Lubis, Op.Cit., hlm. 79.
Universitas Sumatera Utara
32
BAB II
PERBEDAAN SECARA PRINSIPIL TENTANG PENYALAHGUNAAN WEWENANG BERDASARKAN HUKUM ADMINISTRASI DAN
HUKUM PIDANA KORUPSI
A. Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Administrasi
1. Pengertian Wewenang
Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian
hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan
wewenang ini sehingga F.A.M. Stroink dan J.G.Steenbeek menyatakan “Het
begrip bevoegdheidis da nook een kernbegrip in het staats-en administratief
recht”. Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang
merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. 57
Membahas tentang wewenang tentu terlebih dahulu harus dipahami apakah
yang dimaksud dengan wewenang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata
wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan
kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.
58
Wewenang dimaknaisebagai antara lain:1. Hak dan kekuasaanuntuk
bertindak;kewenangan; 2. Kekuasaanmembuat keputusan, memerintah,
danmelimpahkan tanggung jawab kepadaorang lain; 3. Huk fungsi yang boleh
tidakdilaksanakan. Ketika di beri prefiks “ke-”dan diberi sufiks “-an” maka kata
“wenang”menjadi “kewenangan” dan kedudukannyatetap sebagai kata benda
57Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 65.
58Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, (Makasar:Pustaka Refleksi, 2010), hlm. 35.
32
Universitas Sumatera Utara
(noun) yang berarti1. Hal berwenang; 2. Hak dan kekuasaanyang dipunyai untuk
melakukan sesuatu.59
Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.
60
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan
tidak berbuat.Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.
61
Istilah wewenang dan kewenangan dalambahasa Inggris dikenal dengan
“authority”dan tidak ada pembedaan antara keduanya.Hal ini sama dengan istilah
dalam bahasaBelanda, yang tidak membedakan istilahkewenangan dengan istilah
wewenang. Istilahyang sering digunakan adalah “bevoegdheid”,meskipun ada
istilah lain yang terjemahannyaadalah kewenangan atau kompetensi
yaitubekwaamheid,
62Authority dalam Black’s LawDictionary, 63
59Arti Wenang, kbbi.web.id/wenang(diakses 6 Juni 2017). 60Ridwan HR, Op.Cit., hlm 71. 61Stoud H.D, De Betekenissen Van De Wet, dalam Irfan Fahruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah (Bandung: Alumni, 2004), hlm.4. 62Susi Moeimam dan Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005), hlm. 100. 63Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Revised Fourth Edition, (ST. Paul, Minn: West Publishing, 1968), hlm. 169.
diartikan
sebagai:“Legal power; a right to command or toact; the right and power of public
officersto require obedience to their orders lawfullyissued in scope of their public
duties.”(kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk
Universitas Sumatera Utara
memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi
aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik).64
Secara teoritis, wewenang merupakanistilah yang lazim dikenal dan
digunakandalam hukum administrasi, bahkan dalamkepustakaan hukum
administrasi Belanda,masalah wewenang selalu menjadi bagianpenting dan bagian
awal dari hukumadministrasi karena obyek hukumadministrasi adalah wewenang
pemerintahan(bestuurs bevoegdheid dalam konteks hukum publik).
65 Istilah ini
seringkali dipertukarkandengan istilah kewenangan.66
Terhadap pengertian wewenang tersebut, walaupun banyak yang
berpendapat bahwa pengertian “wewenang” sama dengan “kewenangan”, akan
tetapi ada yang berpendapat bahwa “wewenang” tidak sama dengan
“kewenangan”, antara lain Ateng syafrudin yang berpendapat ada perbedaan
antara pengertian kewenangan dan wewenang.
67
Menurut yuridis, definisi wewenang disebutkan didalam UU No. 30 Tahun
2014, pengertian wewenang dibedakan dengan pengertian kewenangan, pada
Kita harus membedakan antara
kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid).
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal
dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya
mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).
64Dani Elpah. et.al., Op.Cit., hlm. 20.
65Philiphus M. Hadjon. et.al.,Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2012), hlm. 10. 66Ibid., hlm. 23. 67Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 angka 5 disebutkan: “Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan”.
Sedangkan pengertian kewenangan, pada Pasal 1 angka 6 disebutkan:
“kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintah atau
penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik”.
Walaupun secara yuridis UU No. 30 Tahun 2014 membedakanpengertian
“wewenang” dan “kewenangan”,pada hakekatnya keduanya merupakan halyang
sama karena sama-sama dilekatkankepada “jabatan” yang yang dimiliki
olehbadan dan/atau pejabat pemerintahan ataupenyelenggara
lainnya.Perbedaannya antara“wewenang” dan “kewenangan” terletak pada luasan
cakupannya,yang nampak pada kata “hak”68 pada definisiwewenang dan
“kekuasaan”69pada definisi kewenangan,cakupan wewenang lebihsempit karena
hanya dikaitkan denganpengambilan keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.Sedangkan kewenangan cakupannya lebihluas
karena berkaitan dengan tindakan dalamranah hukum publik. Pembedaan
tersebutmenurut Yulius, hanya sebatas “spesies” dan“genus” dari sebuah
jabatan.70
68“hak” dalam konteks hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai “wewenang menurut hukum”. Lihat: KBBI, “Arti dari Hak”, kbbi.web.id/hak(diakses pada tanggal 14 Juni 2017). 69“kekuasaan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam konteks hukum dimaknai sebagai-eksekutif Huk kekuasaan (wewenang) untuk menjalankan undang-undang; legislatif Huk kekuasaan untuk membuat (membentuk) undang-undang; perundang-undangan kekuasaan legislatif. yudikatif kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang.” Lihat: KBBI, “Arti dari Kuasa”, kbbi.web.id/kuasa(diakses 14 Juni 2017).
70Yulius, “Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia (Tinjauan Singkat Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014)”, Jurrnal Hukum dan Peradilan, Badan Penelitian dan
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang
Ditinjau dari aspek sejarah (historis) penyalahgunaan wewenang sebagai
suatu konsep berasal dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene
beginselen van behoorlijke bestuur/the general principles of good
administration).71
Secara etimologis, penyalahgunaan danmenyalahgunakan berasal dari dua
suku kata“salah guna”,
72
Istilah penyalahgunaan/menyalahgunakandalam kepustakaan hukum
Belanda dikenaldengan misbruik atau missbrauch dalam istilahhukum Jerman,
maknanya menjadi melakukan sesuatu tidak sebagaimana
mestinya; menyelewengkan.Jadi kata “penyalahgunaan” dan“menyalahgunakan”
merupakan 2 (dua)istilah yang berasal dari 2 (dua) suku kata yang sama “salah
guna”. “Penyalahgunaan”menunjuk pada proses, cara, perbuatannya,sedangkan
“menyalahgunakan” menunjukpada tindakan atau pelaksanaanya.
73
atau misuse dan abuse dalam istilah Bahasa Inggris,74
Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah AgungRI Vol. 04, No. 3, (November 2015), hlm. 373.
71Dani Elpah. et.al.,Op. Cit., hlm. 34. 72Arti Salah Guna, Menyalahgunakan, kbbi.web.id/ salah%20guna.menyalahgunakan (diakses pada tanggal 8 Juni 2017)
73Budi Parmono, “Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, (Malang: Fakultas Hukum UB, 2011), Dipublikasikan, hlm. 137.
74Victoria Bull, Oxford Learner’s Pocket Dictionary: Fourth Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2012), hlm. 282.
yang maknanya tidakjauh
berbeda dengan istilah dalam bahasaIndonesia, yaitu sebagai perbuatan
dan/atauperkataan yang dilakukan secara salah atau untuk maksud yang
salah/diselewengkanatau berlebih-lebihan (berkenaan denganperbuatan yang
berkonotasi negatif).
Universitas Sumatera Utara
Penyalahgunaan wewenang dalam konsepHukum Administrasi Negara
selalu diparalelkan dengan konsepdetournament de pouvoir dalam sistemhukum
Prancis atau abuse of power/misuseof power dalam istilah bahasa Inggris.75
Konsep “detournament depouvoir” pertama kali muncul di Prancisdan
merupakan dasar pengujian lembagaperadilan administrasi negara terhadap
suatutindakan pemerintahan dan dianggap sebagaiasas hukum yang merupakan
bagian dari“de principes generaux du droit”. Conseild’Etat adalah lembaga
peradilan pertamayang menggunakannya sebagai alat uji,yang kemudian diikuti
oleh negara-negaralain seperti Belanda dan Indonesia. Pejabatpemerintahan
dinyatakan melanggar prinsipdétournement de pouvoir, manakala tujuandari
keputusan yang dikeluarkan atau tindakanyang dilakukan bukan untuk
kepentingan atauketertiban umum tetapi untuk kepentinganpribadi si pejabat
(termasuk keluarga ataurekannya).
76
Indriyanto Seno Adji, memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang
dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero danWaline dalam kaitannya
“detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang
dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
77
75Philipus M. Hadjon. et. al.,Hukum Administrasi.., hlm. 21-22. 76Yulius, Op. Cit., hlm. 364. 77Sjachran Basah, Loc.Cit.
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
Universitas Sumatera Utara
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau
“detournement de pouvoir” adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan
tujuan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan.78
a. larangan melampaui wewenang;
Secara yuridis, UU No. 30 Tahun 2014 tidak memberikan defenisi dari
penyalahgunaan wewenang, akan tetapi menyebutkan tentang larangan
penyalahgunaan wewenang, pada Pasal 17 ayat (2) diaturtiga larangan yakni:
b. larangan mencampuradukkan wewenang;dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No 30 Tahun 2014, kriteria
larangan melampaui wewenang terjadi ketikakeputusan dan/atau tindakan Badan
dan/atauPejabat Pemerintahan dilakukan dengan:
a)melampaui masa jabatan atau batas waktuberlakunya wewenang;
b) melampaui bataswilayah berlakunya wewenang; dan/atau
c)bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Contohmelampui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang:
Pada tanggal 12 Februari 2010 RH selaku walikota Medan menandatangani surat persetujuan perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Center Point Mall Medan, padahal pada tanggal 11 Februari 2010 RH telah diberhentikan sebagai walikota Medan karena mencalonkan diri sebagai walikota Medan untuk periode berikutnya.
Contoh melampaui bataswilayah berlakunya wewenang:
78Ibid., hlm. 224.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2007 Bupati Taput melakukan perbaikan di suatu ruas jalan umum yang terletak di kota Tarutung, padahal jalan tersebut adalah berstatus jalan propinsi yang berarti perbaikannya harus dilakukan oleh pemerintah propinsi Sumatera Utara. Kebijakan Bupati Taput melakukan perbaikan jalan, karena tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas di jalan tersebut, sementara pemerintah propinsi Sumatera Utara tidak pernah melakukan pemeliharaan jalan tersebut. Namun kebijakan Bupati Taput tersebut tidak masuk ruang pidana korupsi karena tidak terdapat kerugian bagi negara, tidak memberikan keuntungan pribadi dan kepentingan umum terlayani.
Contoh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan:
Memberhentikan pegawai struktural tanpa melalui prosedur yang diatur dalam PP No 53 Tahun 2010 tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pada Pasal 24 ayat (1) disebutkan “sebelum PNS dijatuhi hukuman disiplin setiap atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin”.
Pada Pasal 18 ayat (2) UU No 30 Tahun 2014 disebutkan
laranganmencampuradukkan wewenang terjadiapabila keputusan dan/atau
tindakan tersebut dilakukan:
a)di luar cakupan bidang ataumateri wewenang yang diberikan; dan/atau
b) bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.
Contoh di luar cakupan bidang ataumateri wewenang yang diberikan:
Pada tahun 2008 BP selaku Kepala Dinas (Kadis) Pertanian Kabupaten Dolok Sanggul telah melakukan perbuatan mengarahkan pemenang lelang proyek, bahkan menandatangani surat penunjukan pemenang padahal kewenangan menentukan pemenang lelang adalah wewenang Panitia Lelang.
Contoh bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan:
Kelompok Kerja (POKJA) unit layanan pengadaan (ULP) atau sering disebut dengan panitia lelang yang bertugas atau berwenang melakukan pemilihan pengadaan barang dan jasa secara transparan, namun dalam pelaksanaannya POKJA ULP melakukan penunjukan langsung untuk memenangkan salah satu rekanan, padahal seharusnya dilakukan melalui pelelangan umum.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 18 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan keputusan dan/atau tindakan
yang dilakukan Badan dan/atauPejabat Pemerintahan dikategorikan
tindakansewenang-wenang manakala dilakukan:
a) tanpa dasar kewenangan; dan/atau
b)bertentangan dengan Putusan Pengadilanyang berkekuatan hukum tetap.
Contoh tanpa dasar kewenangan:
Bupati atau Walikota memberikan ijin usaha pertambangan (IUP), sedangkan berdasarkan UU Pemerintah Daerah kewenangan memberikan IUP telah berada pada Gubernur.
Contoh bertentangan dengan Putusan Pengadilanyang berkekuatan hukum tetap:
Seorang Kepala Daerah yang memberhentikan seorang pegawai dari jabatannya, kemudian pegawai tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Perkara gugatan tersebut berlanjut hingga upaya hukum kasasi dan berdasarkan putusan kasasi tindakan Kepala Daerah tersebut dinyatakan bertentangan dengan hukum, sehingga Kepala Daerah harus memulihkan kedudukan pegawai yang bersangkutan. Akan tetapi Kepala Daerah tidak bersedia memulihkan kedudukan pegawai tersebut walaupun putusan telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam hukum administrasi, wewenang dapat dikategorikan dalam
wewenang terikat dan wewenang bebas (diskresi). Dalam kategori wewenang
terikat (wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan), untuk
menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang harus dicari lebih dahulu
ketentuan hukum mana yang dilanggar, sedangkan pada wewenang bebas
(Discretionary Power, Freies Ermessen) asas “wetmatigheid” tidak memadai,
maka tolok ukurnya adalah asas-asas hukum yang tidak tertulis, dalam hukum
Universitas Sumatera Utara
administrasi dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene
beginselen van behoorlijk bestuur).79
Penyalahgunaan wewenang sebagai suatu konsep berasal dari Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur/the
general principles good administration), dalam perkembangannya (AUPB)
merupakan bagian yang penting dari hukum administrasi.
80
a. asas kepastian hukum;
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 diterangkan yang dimaksud dengan
AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi
pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014
diatur tentang asas apa saja yang termasuk pada AUPB, yakni meliputi:
b. asas kemanfaatan; c. asas ketidakberpihakan; d. asas kecermatan; e. asas tidak menyalahgunakan kewenangan; f. asas keterbukaan; g. asas kepentingan umum; dan h. asas pelayanan yang baik.
Selain asas-asas diatas juga dapat diterapkan asas-asas umum lainnya
sepanjang dijadikan dasar penilaian oleh hakim yang tertuang dalam putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 10 ayat (2) UU No. 30
Tahun 2014).
Memperhatikan AUPB diatas, maka dapat dilihat mengenai
menyalahgunakan kewenangan karena jabatan adalah termasuk sebagai bagian
79Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 58-59. 80Disiplin. F. Manao, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam
Perspektif Hukum Administrasi Negara (Bandung: Kreasi Sahabat Bersama, 2017), hlm. 51.
Universitas Sumatera Utara
dari AUPB, yang disebutdengan asas “tidak menyalahgunakan kewenangan”.
Pada penjelasan UU No. 30 Tahun 2014 dinyatakan bahwa yang dimaksud asas
“tidak menyalahgunakan kewenangan” adalah: asas “yang mewajibkan setiap
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk tidak menggunakan kewenangannya
bagi kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan
tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak
menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan”. Apabila
dicermati, unsur-unsur yang terdapat dalam penjelasan asas “tidak
menyalahgunakan kewenangan”, isinya sama dengan tigalarangan
penyalahgunaan wewenang yang diatur pada Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014,
selain hal tersebut yang terpenting dalam penjelasan asas tersebut adalah unsur
penyimpangan tujuan (Asas Spesialitas),81
Pendapat Indiyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt
menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dengan
menggunakan parameter sebagai berikut:
yang dalam ruang lingkup hukum
administrasi negara selalu diidentikkan dengan pengertian “penyalahgunaan
wewenang” dan juga dimasukkan dalam penjelasan asas “tidak menyalahgunakan
kewenangan”.
82
1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atauzorgvuldigheid
81Asas Spesialitas disebut juga dengan Asas Tujuan adalah: Parameter “tujuan dan
maksud” pemberian wewenang dalam menentukan terjadinya penyalahgunaan wewenang. 82Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Penegakkan Hukum (Jakarta: Diadit Media, 2009), hlm. 35.
ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.
Sedangkan menurut Dani Elpah (dkk), Parameter keabsahan wewenang
dan/atau kewenangan pemerintahan tersebut adalah: 83
a. Setiap keputusan dan/atau tindakan “harus” ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang berwenang;
b. Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang “wajib” berdasarkan : 1. Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari: (a) peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar kewenangannya; dan (b) peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan;
2. Asas Umum Pemerintahan Baik, terdiri dari asas (a) kepastian hukum; (b) kemanfaatan; (c) ketidak berpihakan; (d) kecermatan; (e) tidak menyalahgunakan kewenangan; (f) keterbukaan; (g) kepentingan umum; dan (h) pelayanan yang baik;
3. Pejabat administrasi pemerintahan dilarang: menyalahgunakan kewenangan. Larangan menyalahgunakan kewenangan meliputi: 1. Larangan melampaui wewenang, terdiri dari: (a) melampaui masa
jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; (b) melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan (c) bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Larangan mencampuradukkan wewenang, terdiri dari: (a) di luar cakupan bidang atau materi wewenang; dan (b) bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan; dan
3. Larangan bertindak sewenang-wenang, terdiri dari tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan kedua atas UU No.
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Parameter keabsahan
tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah: 84
1. Sesuai dan berdasarkan peraturan perundang-undangan, terdiri dari;
a. Dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat yang berwenang; b. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang bersifat procedural formal prosedur/formal; c. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan yang bersifat
materiil/substansial. 2. Sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik, terdiri dari asas;
83Dani Elpah. et.al.,Op.Cit., hlm. 28-31. 84Ibid., hlm. 32.
Universitas Sumatera Utara
a. Kepastian hukum; b. Tertib penyelenggaraan negara; c. Proporsionalitas; d. Profesionalitas; e. Akuntabilitas.
Berbagai pendapat mengenai pengertian penyalahgunaan wewenang
(detournament de pouvoir) selalu dikaitkan dengan “maksud dan tujuan”
penggunaan wewenang sebagai parameter pengujian ada tidaknya
penyalahgunaan wewenang yang dikenal dengan asas spesialitas
(specialialiteitsbeginsel).85
3. Sumber Wewenang
Sumber kewenangan penyelenggaraan negara dan pemerintahan adalah
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang sehingga memiliki
legitimasi,86yang kemudian dikenal dengan asas legalitas sebagai salah satu
prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama bagi negara-
negara hukum dalam sistem kontinental.87
85Ibid., hlm. 45. 86Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara Pendekatan Hukum Pidana Hukum
Administrasi Negara dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 92. 87Ridwan. H. R, Op. Cit., hlm. 90.
Asas legalitas dalam hukum
administrasi Negara: dat het bestuur aan de wet is onderworpen(bahwa
pemerintah tunduk kepada undang-undang), atau het legaliteitsbeginseil houdt in
dat alle (algemen) de burgers bindende bepalingen op de wet moenten berusten
(asas legalitas menentukan semua ketentuan yang mengikat warga negara harus
didasarkan pada undang-undang). Asas legalitas ini merupakan prinsip negara
Universitas Sumatera Utara
hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “het beginsel van wetmatigheid
van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintah.88
Wewenang pemerintahan sebagaimana telah disebutkan adalah bersumber
dari peraturan perundang-undangan (legalitas/het van wetmatigeheid van bestuur)
yang didalamnya secara teoritik diperoleh melalui tiga cara, yaitu: atribusi,
delegasi dan mandat. Ketiganya adalah sumber kewenangan yang berkaitan
dengan suatu jabatan (ambt) sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan
perbuatan hukum publik.
89
Secara yuridis dalam hukum administrasi negara, perlu diketahui sumber
dan cara memperoleh wewenang, hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban
hukum dalam penggunaan wewenang, seiring dengan salah satu prinsip dalam
negara hukum. “geen bevoegheid zonder veraantwoordelijkheid atau there is no
authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggung
jawaban) setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahaan, tersirat
didalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.
90
Menurut Indroharto bahwa wewenang diperoleh secara atribusi,delegasi,
dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Wewenang yang
diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru
oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini
dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi
terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan
TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif
88Ibid., hlm. 91. 89Suhendar, Op.Cit., hlm . 96. 90Ridwan. H. R, Op. Cit., hlm. 105.
Universitas Sumatera Utara
kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului
oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu
pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau
Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.91
Menurut Philipus M. Hadjonbahwa setiap tindakan pemerintahan
disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh
melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi
lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang
dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang
berasal dari pelimpahan. Kemudian Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat
perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur
pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan
yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan
wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas
”contrarius actus”. Artinya, setiap perubahan, pencabutan suatu peraturan
pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan
peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih
tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan
bawahan yang bersifat rutin,adapun tanggung jawab dan tanggung gugat tetap
pada pemberi mandat, akan tetapi setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan
91Indroharto, Op.Cit, hlm. 92..
Universitas Sumatera Utara
sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.92Pada mandat tidak terjadi pelimpahan
apapun dalam arti pemberian kewenangan, pejabat yang diberi mandat
(mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam
pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat
lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi
mandat).93
92Ridwan HR,Op.Cit., hlm.108-109. 93Nur Basuki Minarno, Op. Cit., hlm. 75.
Sedangkan atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang
baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.Atribusi
kewenangan dalam peraturan perundang-undangan adalah pemberian kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh
UUD 1945 atau Undang-undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintah.
Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa
sendiri setiap diperlukan.
Pada Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan kewenangan diperoleh
melalui atribusi, delegasi dan/atau mandat. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 telah
disebutkan dengan jelas ketentuan tentang atribusi, delegasi dan/atau mandat
sebagai berikut:
Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat
pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 atau Undang-Undang (Vide Pasal 1 angka 22 UU No. 30 Tahun 2014).
Lebih lanjut tentang atribusi diatur didalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2014,
menyebutkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila:
a. Diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang;
b. Merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.
(3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
lebih rendah dengan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima
delegasi (Vide Pasal 1 angka 23 UU No. 30 Tahun 2014). Lebih lanjut tentang
delegasi diatur pada Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2014, menyebutkan sebagai
berikut:
(1) Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila:
a. Diberikan oleh Badan/pejabat pemerintahan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan lainnya;
b. Ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan/atau Peraturan Daerah; dan
c. Merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. (3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau pejabat
pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Delegasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensub delegasikan tindakan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan lain dengan ketentuan:
a. Dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan;
b. Dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan
Universitas Sumatera Utara
c. Paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan 1 (satu) tingkat dibawahnya.
(5) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidak efektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan pendelegasian kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan.
(7) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab kewenangan berada pada penerima Delegasi.
Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan
yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggungjawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandate
(Vide Pasal 1 angka 24 UU No. 30 Tahun 2014). Lebih lanjut tentang mandat
diatur pada Pasal 14 UU No. 30 Tahun 2014, menyebutkan sebagai berikut:
(1) Badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh mandat apabila: a. Ditugaskan oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan diatasnya;
dan b. Merupakan pelaksanaan tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalanagan sementara; dan
b. Pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.
(3) Badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan Mandat.
(5) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan ketidak efektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau pejabat
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menarik kembali wewenang yang telah dimandatkan.
(7) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian dan alokasi anggaran.
(8) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Mandat tanggung jawab kewenangan tetap pada pemberi Mandat.
Dari beberapa pengertian tentang atribusi, delegasi dan mandat diatas,
dapat disimpulkan perbedaan anatara ketiganya pada pokoknya sebagai berikut:
Atribusi:
- Bentuk kewenangan yang diberikan oleh UUD atau undang-undang
kepada suatu Badan dan/atau pejabat pemerintahan.
- Merupakan wewenang baru yang sebelumnya belum ada.
- Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas
prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan.
- Tanggung jawab berada pada badan dan/atau pejabat pemerintahan
tersebut.
Delegasi:
- Wewenang telah ada pada suatu Badan atau suatu jabatan berdasarkan
wewenang atribusi.
- Pelimpahan wewenang diberikan dari suatu badan dan/atau pejabat
pemerintahan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan lainnya
berdasarkan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
- Wewenang yang dialihkan dapat pelaksanaan yang bersifat rutin dan
strategis.
- Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada penerima delegasi.
Mandat:
- Prosedur pelimpahan wewenang dalam rangka hubungan atasan dan
bawahan yang sifatnya pelaksanaan rutin.
- Pemberi mandat dapat sewaktu-waktu menggunakan sendiri wewenang
yang dilimpahkannya.
- Tanggung jawab dan tanggung gugat masih tetap berada kepada pemberi
mandat.
Untuk mempermudah memahami perbedaan antara atribusi, delegasi dan
mandat, berikut akan diberikan beberapa contoh:
Contoh atribusi:
- Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan Pasal 18
UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Pembentukan Komisi Pemilihan Umum yang memiliki kewenangan
menyelenggarakan Pemilihan Umum secara nasional berdasarkan Pasal
22 huruf e UUD 1945.
Universitas Sumatera Utara
Contoh delegasi:
- Kepala Dinas secara ex-oficio adalah sebagai Pengguna Anggaran (PA)
menyerahkan sebagian/seluruhnya wewenang kepada Kepala Bidang
sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), KPA dalam melaksanakan
tugasnya memiliki kewenangan sesuai dengan pelimpahan dari PA, hal
ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara, akan tetapi karena besarnya tugas sebagai kepala
pemerintahan dan sebagai kepala negara, maka presiden menyerahkan
tugas dan wewenangnya kepada menteri keuangan selaku pengelola
fiskal dan sebagai wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara
yang dipisahkan, akan tetapi tidak termasuk kewenangan dibidang
moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang,
yang diatur oleh undang-undang. Hal ini sejalan dengan Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Contoh mandat:
- Kepala Daerah memerintahkan Bendahara untuk mengeluarkan sejumlah
uang daerah untuk suatu kepentingan.
- Kepala Dinas mengikuti pelatihan di luar kota selama 8 (delapan) hari,
sehingga menetapkan salah seorang sekretaris atau Kepala Bidang
sebagai Pelaksana Tugas Harian (PLH). Hal ini berdasarkan Pasal 34
ayat (2) UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
merumuskan:“Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka atasan pejabat
yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat pemerintahan yang
memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau
pelaksana tugas.”Kepala Dinas menyerahkan wewenang kepada
Sekretaris atau Kepala Bidang hanya kewenangan yang sudah bersifat
rutin, terencana dan jelas, misalnya menetapkan sasaran kerja pegawai
dan penilaian prestasi kerja, kenaikan gaji berkala, cuti, surat penugasan
pegawai, usul mutasi, izin belajar, izin tidak masuk kerja, sebagaimana
diatur dalam Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : K.26-
30/V.20-3/99 tgl 5 Februari 2016, Sedangkan tindakan yang bersifat
strategis tidak diserahkan kepada penerima mandat tersebut. Yang
dimaksud dengan keputusan dan/atau tindakan yang strategis,
sebagaimana penjelasan Pasal 14 ayat (7) UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan yaitu keputusan dan/atau tindakan yang
berdampak pada perubahan aspek organisasi, kepegawaian dan alokasi
anggaran, yang memiliki dampak besar seperti pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian pegawai, serta penetapan perubahan
rencana strategis dan rencana kerja pemerintah.
Pada Mandat konsekuensi tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada
pemberi mandat. Lalu apakah seorang penerima mandat sama sekali tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya, seorang penerima mandat dapat diminta
pertanggungjawabannya apabila ia melakukan hal yang lebih dari pada wewenang
Universitas Sumatera Utara
yang diberikan oleh pemberi mandat, seperti contoh diatas seorang bendahara
yang diperintahkan oleh Kepala Daerah untuk mengeluarkan sejumlah uang, akan
tetapi bendahara tersebut mengeluarkan uang lebih besar dari yang diperintahkan
oleh atasannya atau seorang Kepala Bagian yang diberi mandat sebagai Pelaksana
Tugas Harian (PLH) oleh Kepala Dinas, wewenang yang diberikan adalah sebatas
tugas-tugas rutin dan yang sudah terencana, akan tetapi kemudian selama
menjabat sebagai PLH Kepala Bagian tersebut membuat penentuan pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa, sehingga Kepala Bagian tersebut telah melakukan
perbuatan yang lebih dari apa yang ditugaskan.
4. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
Meskipun undang-undang dianggap sebagai sumber Hukum Administrasi
Negara yang paling penting, namun undang-undang sebagai peraturan tertulis
memiliki kelemahan. Menurut Bagir Manan, sebagai ketentuan tertulis (written
rule) atau hukum tertulis (written law), peraturan perundang-undangan
mempunyai jangkauan terbatas, sekedar “moment opname” dari unsur-unsur
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam yang paling berpengaruh pada saat
pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan dengan
perubahan masyarakat yang semakin menyepat atau dipercepat.94
94Bagir Manan dalam Ridwan. H. R,Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi; Jakarta :
RajaGrafindo Persada), hlm.63.
Oleh karena itu,
administrasi negara dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting
dalam rangka pelayanan kepada masyarakat, meskipun belum ada aturannya
dalam undang-undang (hukum tertulis). Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
administrasi Negara ini akan melahirkan hukum tidak tertulis atau konvensi, jika
dilakukan secara teratur dan tanpa keberatan (bezwaar) atau banding (beroep) dari
warga masyarakat. Hukum tidak tertulis yang lahir dari tindakan administrasi
negara inilah yang dapat menjadi sumber hukum dalam arti formal dalam rangka
pembuatan peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum administrasi
negara. Dikalangan penulis Hukum Administrasi Negara, HAN tidak tertulis ini
dikenal dengan nama asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemeen
beginselen van behoorlijk bestuur).95
Berdasarkan hasil penelitiannya, Jazim Hamidi menemukan pengertian
AAUPB sebagai berikut:
96
a. AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara;
b. AUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi Negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;
c. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat;
d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.
Dikalangan penulis HAN di Indonesia terdapat perbedaan penerjemahan
algemeen beginselen van behoorlijk bestuur terutama menyangkut kata beginselen
dan behoorlijk. Kata beginselen ada yang menerjemahkan dengan prinsip-prinsip,
dasar-dasar, dan asas-asas. Sedangkan kata behoorlijk diterjemahkan dengan yang
95Ridwan H.R,Op. Cit., hlm.64. 96Ibid., hlm.234-235.
Universitas Sumatera Utara
sebaiknya, yang baik, yang layak, dan yang patut. Dengan penerjemahan ini
algemeen beginselen van behoorlijk bestuur menjadi prinsip-prinsip atau dasar-
dasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau yang sebaiknya.97
Dalam derap langkah Peradilan Tata Usaha Negara semula penerapan
asas-asas umum pemerintahan yang baik di lingkungan PTUN berpedoman pada
Juklak Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 052/Td.TUN/III/1992 dan
saat ini sudah diatur dalam Pasal 53 ayat 2 melalui UU No. 9 tahun 2004.
98
a. Asas legalitas
Kemudian ditegaskan kembali pada UU Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, yaitu :
Pasal 5 menyebutkan: penyelenggara Administrasi Pemerintahan berdasarkan :
b. Asas perlindungan teerhadap hak asasi manusia; dan
c. AUPB
Pasal 8 ayat (2) menyebutkan : Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
menggunakan wewenang wajib berdasarkan :
a. Peraturan perundang-undangan; dan
b. AUPB
Pasal 10 ayat (1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-undang ini meliputi asas :
a. Kepastian hukum
97Ibid., hlm. 232.
98Philipus M.Hadjon. et.al.,Op. Cit., hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
b. Kemanfaatan c. Ketidakberpihakan d. Kecermatan e. Tidak menyalahgunakan kewenangan f. Keterbukaan g. Kepentingan umum, dan h. Pelayanan yang baik
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Sebagian besar dari AAUPB
masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali
dalam praktik kehidupan di masyarakat. Hal ini juga terlihat dari penjelasan asas
Kepastian Hukum pada Pasal 10 ayat (1) huruf a menyebutkan “yang dimaksud
dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam Negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan,
keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaran pemerintahan.
5. Diskresi
Pejabat pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan administrasi
pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangaan, kebijakan
pemerintahan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), namun
pejabat pemerintahan juga memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam
mengambil keputusan dan/atau tindakan meliputi menggunakan diskresi untuk
mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Membahas tentang kewenangan yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan,
maka pembahasan tersebut juga terkait dengan diskresi. Istilah diskresi lebih
Universitas Sumatera Utara
banyak dikenal dalam ranah hukum administrasi negara yang berasal dari bahasa
Prancis disebut dengan pouvoir discretonnaire atau freies ermessendalam bahasa
Jerman.99
Berikut ini dikemukakan beberapa rumusan pengertian diskresi dari
beberapa pakar ilmu hukum administrasi Negara :
100
1. Amrah Muslimin
Sebagai salah satu manifestasi delegasi dalam bentuk undang-undang yang meletakkan kerangka dan batas-batas tertentu (kaderwetatau raamwetten) kepada pemerintah, Amrah Muslimin berpendapat bahwa diskresi adalah kebebasan kebijaksanaan.
2. Thomas J. Aaron Didalam bukunya yang berjudul The Control Of Policy Discrettion, Thomas J. Aaron mendefenisikan diskresi: “…is a power or authority confered by the law to act on the basic of judgement or conscience, and it use more an idea of morals than law”.
3. Prajudi Atmosudirdjo Dengan penekanan argumentasi bahwa administrasi Negara tidak boleh menolak mengambil keputusan hanya karena tidak ada peraturannya. Prajudi Atmosudirdjo mengartikan diskresi sebagai: “…kebebasan bertindak atau mengambil keputusan daripada para pejabat administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurud pendapatnya sendiri”.
4. Stanley de Smith Diskresi (discretion) menurut Stanley de Smith dimaksudkan sebagai: “.., implies power to choose between alternative course of action”.
5. Sjachran Basah Diskresi menurut Sjahran Basah adalah “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu” ataupun juga merupakan”…., keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, walaupun demikian sikap tindakannya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun hukum”.
Dari berbagai rumusan pengertian yang dikemukakan oleh para pakar ilmu
administrasi negara tersebut, dapat kiranya diperoleh beberapa hal penting
mengenai pouvoir discretionnaire, yaitu:101
99Jawade Hafidz Arsyad, Op.Cit., hlm. 24.
100Ibid., hlm. 93. 101Ibid., hlm. 93-94.
Universitas Sumatera Utara
1. Merupakan salah satu bentuk kekuasaan; 2. Bersumber pada ketentuan perundang-undangan atau peraturan yang sah; 3. Ditetapkan dalam dan untuk mencapai tujuan tertentu pada
penyelenggaraan fungsi-fungsi keadministrasian negara; 4. Tindak pelaksanaannya lebih dilandasi oleh pertimbangan moral daripada
hukum; serta 5. Tindakan dan akibatnya harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
dan hukum.
Dalam hukum administrasi untuk istilah diskresi dapat dipersamakan
dengan istilah Freis Ermessen yang berasal dari bahasa Jerman artinya hampir
sama dengan diskresi. Pengertian Freis Ermessenadalahkebebasan bertindak atau
mengambil keputusan menurut pendapat sendiri.102 Istilah Freis Ermessen
digunakan dalam pembuatan kebijaksanaan, yakni badan atau pejabat tata usaha
Negara yang merumuskan kebijaksanaannya dalam berbagai bentuk seperti
peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran dan lain-lain.103
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, menyebutkan bahwa hanya pejabat pemerintahan yang berwenang
Secara perundang-undangan, mengenai diskresi dan syarat-syarat
pelaksanaannya telah diatur didalam UU No. 30 Tahun 2014. Pengertian diskresi
diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014, disebutkan diskresi adalah
keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat
pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintahan.
102Sadjiono, Polri dalam perkembangan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Laksbang
Press, 2008), hlm. 86. 103Phillipus M.Hadjon. et. al., Op.Cit.,hlm. 152.
Universitas Sumatera Utara
saja yang dapat melakukan diskresi, dan setiap penggunaan diskresi yang
dilakukan oleh pejabat pemerintahan haruslah bertujuan untuk:104
a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan hukum;
c. Memberikan kepastian hukum; dan
d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum.
Melihat kepada ketentuan tujuan dilaksanakannya diskresi tersebut diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa diambilnya suatu diskresi oleh pejabat
pemerintahan adalah bukan sekehendak hati pejabat pemerintahan, selain harus
bertujuan sebagaimana disebutkan diatas, diskresi juga memiliki batasan atau
lingkup, sebagaimana diatur didalam Pasal 23 UU No. 30 Tahun 2014 yakni:
a. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan;
b. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Dilaksanakan diskresi tidak hanya memiliki tujuan yang harus
berlandaskan ketentuan perundang-undangan, akan tetapi UU No. 30 Tahun 2014
secara tegas juga mengatur persyaratan dilakukannya diskresi 105
“bahwa dilakukannya diskresi adalah harus sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana yang diatur didalam Undang-Undang ini, dilakukannya diskresi
yaitu:
104Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Bab VI,Pasal 22 ayat (2). 105Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Bab VI, Pasal 24.
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, diskresi juga harus sesuai dengan AUPB, harus berdasarkan alasan-alasan yang objektif dan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan konflik kepentingan serta haruslah dilakukan dengan itikad yang baik”. Selain syarat-syarat tersebut, pada Pasal 25 UU No. 30 Tahun 2014 juga
disebutkan bahwa:
(1) Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.
(3) Dalam hal penggunaan diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, pejabat pemerintahan wajib memberitahukan kepada atasan pejabat sebelum penggunaan diskresi dan melaporkan kepada atasan pejabat setelah penggunaan diskresi.
(4) Pemberitahuan sebelum penggunaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.
(5) Pelaporan setelah penggunaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak dan/atau terjadi bencana alam. Adapun prosedur penggunaan diskresi harus mengikuti ketentuan pada
Pasal 26 UU No. 30 Tahun 2014 yang mengatur:
1. Pejabat yang menggunakan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan atasannya dengan menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi keuangan.
2. Pemohonan persetujuan dari atasan tersebut harus disampaikan secara tertulis.
3. Atasan pejabat harus menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan atau penolakan dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja.
4. Apabila atasan pejabat tersebut melakukan penolakan, maka harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan diskresi termasuk dalam hal larangan penyalahgunaan
wewenang tepatnya dikategorikan mencampur adukkan wewenang apabila: a.
pejabat yang menggunakan diskresi tidak sesuai dengan tujuan wewenang yang
diberikan; b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28
dan/atau c. bertentangan dengan AUPB.
Dengan melihat kepada seluruh uraian pengertian diskresi dan ketentuan-
ketentuan tentang diskresi, maka dapat disimpulkan bahwa dikresi diambil
bukanlah tanpa batasan-batasan, akan tetapi setiap tindakan pejabat pemerintahan
harus memiliki tolak ukur termasuk dalam melakukan diskresi. Diaturnya perihal
diskresi didalam UU No. 30 Tahun 2014 memberikan pedoman dan lingkup yang
jelas untuk suatu dekresi, hal ini memberikan manfaat tidak saja bagi pejabat
pemerintahan akan tetapi bagi aparat hukum, oleh karena akan memberikan
batasan-batasan yang jelas tentang diskresi dan proses pelaksanaannya, sehingga
apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan tugas, pejabat pemerintahan
tidak dengan mudah berdalih bahwa yang ia lakukan adalah diskresi demikian
pula sebaliknya aparat hukum tidak dengan mudah menyatakan suatu tindakan
dan/atau keputusan pejabat pemerintahan telah tidak sesuai dengan aturan,
sehingga dengan diaturnya diskresi didalam UU No. 30 Tahun 2014 akan
memberikan kepastian hukum.
Meskipun kewenangan pejabat pemerintah untuk melakukan diskresi
dalam konsep administrasi disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya
wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan
maksud pemberian wewenang itu sendiri. Dalam hal pejabat pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan wewenang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian
wewenang tersebut, maka pejabat pemerintahan yang demikian itu telah
melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan freis
ermessen (diskresi). Dengan demikian sesungguhnya yang menjadi batu penguji
(toetsteen) dari penggunaan diskresi adalah sejauh mana diskresi bersesuaian atau
melampaui kewenangan (de bevoegheden) yang melekat pada jabatan dari pejabat
yang bersangkutan. Ketika terjadi pelampauan kewenangan dari suatu jabatan,
maka hal dimaksud bukan lagi hal ihwal diskresi tetapi pelanggaran hukum
(onrecht matig) atau melawan hukum (wederrechtelijk).106
6. Tanggung Jawab Dalam Hukum Administrasi
Menurut konsep negara hukum, dianut prinsip bahwa setiap penggunaan
kewenangan pemerintahan harus disertai pertanggungjawaban hukum.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa didalam hukum administrasi
pertanggungjawaban melihat kepada sumber dan cara memperoleh wewenang
tersebut, apakah wewenang tersebut diperoleh sebagai mandat, atribusi ataukah
delegasi. Sebab didalam hukum administrasi tidak semua pejabat yang
menjalankan wewenang pemerintahan secara otomatis memikul tanggung jawab.
Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan
delegasi maka ia yang memikul pertanggungjawaban hukum, sedangkan pejabat
yang melaksanakan tugas atau pekerjaan atas dasar mandat maka tidak memikul
tanggung jawab hukum.
106Disiplin. F. Manao, Op. Cit., hlm. 63-64.
Universitas Sumatera Utara
Selain melihat kepada sumber dan cara memperoleh wewenang, tanggung
jawab juga harus dilihat sebagai pejabat dan sebagai pribadi. Dalam perspektif
hukum administrasi negara, jabatan merupakan persoalan mendasar berkaitan
dengan fungsi negara. Negara berisi berbagai jabatan atau lingkungan tetap
dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan negara.107
Tindakan pemerintah dan pemerintahan dijalankan oleh pejabat
pemerintah. Dengan kata lain, pejabat adalah wakil pemerintah dengan segala
kewenangannya. Tentu saja, kualitas tindakan pemerintah yang dilakukan oleh
pejabat, sangat tergantung tindakan pemerintah yang dilakukan oleh pejabat,
sangat tergantung pada pribadi pejabat itu sendiri. Artinya, antara jabatan dan
pejabat memiliki hubungan yang erat, walau keduanya memiliki kedudukan
hukum yang berbeda.
Agar jabatan dan fungsi
negara dapat berjalan, maka diperlukan seseorang (pribadi seorang manusia)
untuk duduk sebagai pemangku jabatan yang disebut pejabat atau jika mengacu
kepada UU No. 30 Tahun 2014 disebut pejabat pemerintahan.
Menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 2014 pengertian pejabat
pemerintahan disamakan dengan Pengertian badan. Badan dan/atau pejabat
pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintah, baik di
lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
108
Menurut Masyhur Efendi, seorang pejabat berkedudukan sebagai
pemerintah apabila mempunyai tanggung jawab yang merupakan suatu refleksi
tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol
107Ridwan. H. R, Op. Cit., hlm. 71. 108Suhendar, Op.Cit., hlm.125.
Universitas Sumatera Utara
jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau
mentalnya. Bilamana suatu keputusan atau kebijakan telah diambil atau ditolak,
sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada
alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan atau kebijakan
tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektual.109
Jabatan merupakan subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban
(suatu personifikasi), dan oleh hukum tata negara kekuasaan tidak diberikan
kepada pejabat (orang), tetapi diberikan kepada jabatan. Suatu jabatan sebagai
personifikasi hak dan kewajiban dapat berjalan oleh manusia atau subyek hukum,
dimana yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh jabatan ialah
pejabat, artinya jabatan bertindak dengan perantaraan pejabatnya.
110
Menurut Philipus M. Hadjon
111
Menurut Jimliy Asshidiqie, konsep pertanggungjawaban ada dua, yaitu
pertanggungjawaban personal atau pribadi dan pertanggungjawaban institusional
atau jabatan. Jika seorang pejabat didalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya melanggar norma atau aturan hukum yang berlaku, maka
bahwa tanggung jawab jabatan berkenaan
dengan legalitas (keabsahan) tindak pemerintahan berkaitan dengan pendekatan
terhadap kekuasaan pemerintahan. Tanggungjawab pribadi berkaitan dengan
fungsionaris atau pendekatan dalam hukum administrasi.
109Disiplin. F. Manao,Op.Cit., hlm. 160. 110E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Jakarta: Ichtiar, 1963), hlm.
122. 111Philipus. M. Hadjon .et. al., Op.Cit., hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan tindakannya tersebut dipertanggungjawabkan secara pribadi atau
pertanggungjawaban personal.112
Perbedaan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi
pada tindakan pemerintahan tersebut membawa konsekuensi yang berbeda dalam
kaitannya dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung
gugat tata usaha negara (TUN). Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab
pribadi. Dalam kaitannya dengan tindak pemerintahan, tanggung jawab pribadi
seorang pejabat berhubungan dengan adanya maladministrasi. Tanggung gugat
perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan dengan perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa. Tanggung jawab pribadi apabila terdapat unsur
maladministrasi. Tanggung gugat TUN pada dasarnya adalah tanggung jawab
jabatan.
Dari seluruh uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
seseorang selaku pemangku jabatan/pejabat pemerintahan terpisah dengan
tanggungjawab seorang pejabat pemerintah selaku pribadi.
113
1. Penyalahgunaan Wewenang (abuse of power/detournament de pouvoir)
Maladministrasi dikonstruksikan sebagai hasil akhir atas adanya
penyalahgunaan wewenang (abuse of power/detournament de pouvoir) dan
sewenang-wenang (willekeur), serta diuji dengan parameter (yang salah satunya
adalah) asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene begiselen van
behookrijk bestuur), dengan uraian sebagai berikut:
Dalam hal ini, pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang
112Disiplin. F. Manao, Op.Cit., hlm. 162. 113Ibid., hlm. 16-17.
Universitas Sumatera Utara
itu. Dengan demikian, pejabat melanggar asas spesialitas. Asas spesialitas berarti bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu. Sebaliknya penyimpangan dari tujuan diberikannya wewenang akan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan, melainkan dilakukan secara sadar untuk mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi yang negatif, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.114
2. Sewenang-wenang
Tolok ukur dari perbuatan sewenang-wenang adalah jika seseorang (biasanya pejabat) melakukan sesuatu dengan tidak mengindahkan hak orang lain, atau melakukan sesuatu dengan semau-maunya atau dengan kuasanya sendiri. Unsur sewenang-wenang diukur dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Dalam konteks tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan sewenang-wenang (unreasonableness), keduanya merupakan parameter yang utama ada tidaknya penyimpangan dalam penggunaan wewenang pemerintahan, tentunya disamping asas-asas hukum administrasi yang lain. Dalam hal terdapat unsur penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang, maka terdapat unsur maladministrasi dan tentu ada unsur perbuatan melawan hukum dan perbuatan itu menjadi tanggung jawab pribadi pejabat yang melakukannya. Keduanya sangat diperlukan untuk menentukan ada tidaknya korupsi.115
3. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorkrijk bestuur)
Keberadaan AUPB di Indonesia pada mulanya belum diakui secara yuridis formal, termasuk dalam UU PTUN. Namun demikian, bukan berarti eksistensinya tidak diakui, AUPB diterapkan dalam praktik peradilan, terutama pada PTUN.116
4. Maladministrasi
Pada saat ini AUPB telah diatur secara tegas didalam UU No. 30 Tahun 2014 yakni didalam Pasal 10.
Maladministrasi dalam pengertian sederhana, menunjuk kepada prilaku/tindakan aparatur penyelenggara pelayanan publik yang cenderung menyimpang, menyalahgunakan atau melampaui wewenang hukum yang dimilikinya. Maladministrasi berasal dari kata dasar “mal” dalam bahasa latin “malum” yang artinya jahat (jelek). Kata administrasi asal katanya “administrare” dalam bahasa latin yang artinya melayani, maka maladministrasi adalah pelayanan yang jelek. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang
114Suhendar, Op. Cit., hlm. 128. 115Ibid., hlm. 130-131. 116Ibid.,hlm. 135.
Universitas Sumatera Utara
untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perorangan.117
a. Pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
Dalam UU No. 30 Tahun 2014 terdapat 3 (tiga) sanksi yang dapat
dijatuhkan dalam kesalahan administratif yakni: (1) sanksi berat, (2) sanksi sedang
dan (3) sanksi ringan. Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pejabat pemerintahan
yang menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2) UU No. 30 Tahun 2014 adalah sanksi administratif berat sebagaimana diatur
dalam Pasal 80 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014, yaitu :
“Pejabat pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 dan Pasal 42 dikenai sanksi administratif berat”.
Bentuk sanksi administratif berat berdasarkan Pasal 81 ayat (3) UU No. 30
Tahun 2014 sebagai berikut :
b. Pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
c. Pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau
d. Pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa. Timbul pertanyaan, apakah sanksinya apabila pejabat pemerintahan
melakukan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 nyata-
nyata menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional,
dan/atau merusak lingkungan hidup. Pasal 80 UU No. 30 Tahun 2014 tidak
menjelaskan apakah dikenakan sanksi administrasi berat saja atau apakah dapat
117Ibid., hlm. 137.
Universitas Sumatera Utara
dipidana, namun demikian apabila merujuk kepada Pasal 20 UU No. 30 Tahun
2014, maka penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan
negara hanyalah merupakan kesalahan administratif yang dapat dikenakan sanksi
adminstrasi berat.
Pasal 80 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2014 juga mengatur pemberian saksi
administrasi berat terhadap perbuatan yang menimbulkan kerugian pada keuangan
Negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak lingkungan hidup atas
perbuatan sebagai berikut :
a. Menggunakan Wewenang tidak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Pasal 8 ayat (2)UU No. 30 Tahun 2014).
b. Menetapkan dan/atau melakukan Keputusan/Tindakan tidak mencantumkan atau menunjukkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan atau melakukan Keputusan/Tindakan (Pasal 9 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).
c. Melanggar prosedur penggunaan Diskresi (Pasal 26 UU No. 30 Tahun 2014).
d. Melanggar prosedur penggunaan Diskresi (Pasal 27 UU No. 30 Tahun 2014).
e. Melanggar prosedur penggunaan Diskresi (Pasal 28 UU No. 30 Tahun 2014).
f. Menolak memberikan bantuan kedinasan dalam keadaan darurat (Pasal 36 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).
g. Tidak memberikan persetujuan atau penolakan dalam waktu 10 (sepuluh hari kerja sejak Izin, Dispensasi atau konsesi diajukan, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 39 ayat(5)UU No. 30 Tahun 2014).
h. Menetapkan/melakukan Keputusan/Tindakan berpotensi memiliki konflik kepentingan (Pasal 42 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).
i. Menetapkan/melakukan Keputusan atau Tindakan memiliki konflik kepentingan (Pasal 43 ayat (2)UU No. 30 Tahun 2014).
j. Tidak menindaklanjuti laporan/keterangan masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya laporan/keterangan (Pasal 44 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).
k. Tidak menetapkan Keputusan/Tindakan terhadap adanya konflik kepentingan bawahan (Pasal 44 ayat (4)UU No. 30 Tahun 2014).
Universitas Sumatera Utara
l. Tidak melaporkan konflik kepentingan bawahan kepada pejabat diatas Atasan Pejabat dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja (Pasal 44 ayat (5)UU No. 30 Tahun 2014).
m. Membuat keputusan/tindakan yang menimbulkan pembebanan kepada masyarakat/warga tetapi tidak menyampaikan kepada masyarakat/warga dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum mengambil Keputusan/Tindakan, kecuali ditentukan lain Peraturan Perundang-undangan (Pasal 47 UU No. 30 Tahun 2014).
n. Tidak mengumumkan Standar Operasional Prosedur pembuatan Keputusan kepada masyarakat (Pasal 49 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).
o. Tidak memberitahukan kepada pemohon dalam waktu 5 (lima) hari kerja, permohonan yang telah memenuhi persyaratan diterima (Pasal 50 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).
p. Tidak membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada setiap warga/masyarakat, kecuali ditentukan lain Peraturan Perundang-undangan (Pasal 51 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).
q. Tidak menyampaikan setiap keputusan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam keputusan tersebut (Pasal 61 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).
r. Tidak mengumumkan pembatalan keputusan yang menyangkut kepentingan umum melalui media massa (Pasal 66 ayat (6)UU No. 30 Tahun 2014).
s. Tidak mengembalikan dokumen/barang/arsip yang dibatalkan (Pasal 67 ayat (2)UU No. 30 Tahun 2014).
t. Tidak segera menyelesaikan upaya administrasi yang berpotensi merugikan keuangan negara (Pasal 75 ayat (4)UU No. 30 Tahun 2014).
u. Tidak menetapkan keputusan sesuai permohonan keberatan (Pasal 77 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).
v. Tidak menetapkan keputusan sesuai permohonan keberatan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berahirnya tenggang waktu sebagaimana ayat 4 (Pasal 77 ayat (7)UU No. 30 Tahun 2014).
w. Tidak menetapkan keputusan sesuai dengan permohonan banding (Pasal 78 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).
x. Tidak menetapkan keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu (Pasal 78 ayat (6)UU No. 30 Tahun 2014).
y. Menggunakan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran tanpa persetujuan Atasan Pejabat (Pasal 25 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).
z. Tidak memberitahukan penggunaan Diskresi kepada Atasan Pejabat sebelum menggunakan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat dan mendesak (Pasal 25 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014).
aa. Tidak mengambil Keputusan/Tindakan terhadap permohonan setelah permohonan diterima secara lengkap (Pasal 53 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014).
Universitas Sumatera Utara
bb. Tidak menetapkan keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan (Pasal 53 ayat (6) UU No. 30 Tahun 2014).
cc. Tidak mengembalikan uang negara ke kas negara akibat keputusan pembayaran yang tidak sah (Pasal 70 ayat (3)UU No. 30 Tahun 2014).
dd. Membuat Keputusan/Tindakan yang dapat dibatalkan karena kesalahan prosedur dan kesalahan substansi (Pasal 72 ayat (1)UU No. 30 Tahun 2014).
Perbuatan pejabat pemerintahan pada huruf a s/d x diatas, jika tidak
menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau
merusak lingkungan hidup, maka berdasarkan Pasal 81 ayat (1) UU No. 30 Tahun
2014, hanya dikenakan sanksi administratif ringan, berupa :
1. Teguran Lisan;
2. Teguran tertulis; atau
3. Penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak jabatan.
Sedangkan perbuatan pejabat pemerintahan pada huruf y s/d dd, jika tidak
menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau
merusak lingkungan hidup, maka berdasarkan Pasal 81 ayat (2) UU UU No. 30
Tahun 2014, hanya dikenakan sanksi administratif sedang, berupa :
1. Pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
2. Pemberhentian sementara dengan memproleh hak-hak jabatan; atau
3. Pemberhentian sementara tanpa memproleh hak-hak jabatan”.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan Undang-Undang RI Nomor : 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan:
Universitas Sumatera Utara
“ Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud”
Sedangkan pada Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara pada Pasal 59 diatur sebagai berikut:
(1) setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan Negara, wajib mengganti kerugian tersebut.
Pada Pasal 62 ayat (2) disebutkan: apabila dalam pemeriksaan kerugian
negara/daerah ditemukan unsur pidana, BPK menindaklanjutinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Pasal 64 ayat (1) disebutkan: bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian
negara/daerah dapat dikenai sanksi adminitratif dan/atau sanksi pidana; Ayat (2)
putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
7. Peranan APIP dalam proses hukum administrasi dan pidana
Untuk melakukan pengawasan, mengindentifikasi adanya Penyalahgunaan
Wewenang dan menjatuhkan sanksi apabila terjadi penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan Pejabat Pemerintahan di dilingkungan internal Pemerintahan,
dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Menurut Pasal 20
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
dirumuskan sebagai berikut:118
1. Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan 18 dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintah;
2. Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Tidak terdapat kesalahan; b. Terdapat kesalahan administratif; atau c. Terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian
negara”. 3. Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. Jika hasil aparatur pengawasan intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan;
5. Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Badan Pemerintah, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang;
6. Pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada pejabat pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, maka
dalam hal pelaksanaan administrasi pemerintahan terjadi penyalahgunaan
wewenang maka pengawasannya dilakukan oleh APIP. Apabila Badan atau
Pejabat Pemerintahan menolak putusan yang dijatuhkan Aparat Internal Pengawas
Pemerintahan,maka dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata
118Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Bab VPasal 17 dan 18.
Universitas Sumatera Utara
Usaha Negara untuk dilakukan uji kebenaran ada atau tidaknya Penyalahgunaan
Wewenang.
Dalam ketentuan Pasal 20 UU No. 30 Tahun 2014 tersebut tidak mengatur
apabila hasil pemeriksaan APIP ditemukan penyimpangan yang bersifat pidana,
namun demikian dalam ketentuan Pasal 385 Undang-Undang RI Nomor : 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur sebagai berikut:
(1) Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di instansi daerah kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan /atau aparat penegak hukum;
(2) Aparat Pengawasan Internal Pemerintah wajib melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
(3) Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah non kementerian yang membidangi pengawasan;
(4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawasan Internal Pemerintah;
(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada ayat (5) tersebut telah menyatakan, apabila hasil pemeriksaan APIP
ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut
diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan uraian tersebut, timbul pertanyaan apakah aparat penegak
hukum harus terlebih dahulu menunggu hasil pemeriksaan APIP baru dapat
melakukan proses hukum pidana. Jawabannya tidak karena UU No. 30 Tahun
2014 tidak mewajibkan aparat penegak hukum melakukan proses hukum pidana
Universitas Sumatera Utara
setelah adanya hasil pemeriksaan APIP, sedangkan Undang-Undang RI Nomor :
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 385 ayat (3) hanya
menegaskan agar aparat penegak hukum terlebih dahulu berkoordinasi dengan
APIP dalam hal pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat kepada
APIP.APIP bekerja sebagai pengawas internal untuk menciptakan tertib
penyelenggaran adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat. Disamping itu undang-undang yang mengatur Administrasi
pemerintahan lebih menitikberatkan pada pembangunan administrasi
pemerintahan yang baik dan benar, sedangkan Undang-Undang Tipikor lebih
menitikberatkan pada sistem penindakan (represif). Namun demikian aparat
penegak hukum dapat menjadikan hasil pemeriksaan APIP sebagai salah satu
sumber penyelidikan/penyidikan, selain dari media masa, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), maupun informasi masyarakat.
B. Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Pidana
1. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang
Pengertian penyalahgunaan wewenang atau menyalahgunakan wewenang,
baik didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun didalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disingkat dengan UU Tipikor) tidak ada ditemukan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum pidana terdapat konsep yang mirip dengan penyalahgunaan
wewenang, yaitu ketentuan dalam Pasal 52 KUHP, yang menyebutkan: “Bilamana
seorang pejabat karena melakukan perbuatan melanggar suatu kewajiban khusus
dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai
kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan,
pidananya dapat ditambah sepertiga”. Frasa “melanggar kewajiban khusus dari
jabatannya” bermakna menyimpang dari kewajiban yang ditentukan secara khusus
(asas specialitet). 119
Dalam KUHP menggunakan terminologi menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, khususnya dalam bentuk pemancingan (uitlokking), hal tersebut
terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, yang dinyatakan sebagai berikut:
120
(1) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
(2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu. Secara historis, perkembangan pengaturan mengenai konsep
penyalahgunaan wewenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, secara
kronologis:121
1. Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tanggal 9 April Tahun 1957 menentukan; tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya.
119Dani Elpah. et.al.,Op. Cit., hlm. 49. 120Nur Basuki Minarno, Op. Cit., hlm. 8. 121Dani Elpah. et.al.,Op..Cit., hlm. 50-51.
Universitas Sumatera Utara
2. Peraturan penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT/Perperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 didalam Pasal 3 menentukan perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan, yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3. UU No. 24/Prp/1960 tanggal 9 Juni 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi didalam Pasal 1 huruf b menentukan perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan.
4. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi, didalam Pasal ayat (1) huruf b menyebutkan, barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
5. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan pada tanggal 16 Agustus 1999, di dalam Pasal 3 menentukan: setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disingkat dengan UU PTPK), istilah penyalahgunaan
wewenang ditemukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Basuki Minarno
terhadap yurisprudensi Mahkamah Agung RI tentang penerapan konsep
penyalahgunaan wewenang, dapat dilihat pengertian dan penafsiran
penyalahgunaan wewenang sebagai berikut dalam tabel dibawah ini:
Tabel I
Kaidah Hukum Penyalahgunaan Wewenang Dalam Beberapa Yurisprudensi Tindak Pidana Korupsi122
No
No. Perkara Kaidah Hukum Penyalahgunaan Wewenang
1 Putusan Mahkamah Agung RI No. 88K/Kr/1969 tanggal 3-11-1971
Mengijinkan penggunaan uang untuk tujuan lain dari pada yang ditetapkan, terdakwa telah melampaui batas wewenang
2 Putusan Mahkamah Agung RI No. 77 K/Kr/1973 tanggal 19-11-1974
Sengaja membiarkan orang lain menggelapkan uang negara yang ada pada terdakwa karena jabatannya (dalam hal ini orang lain tersebut menggunakan uang termasuk untuk tujuan-tujuan diluar tujuan penggunaan semula)
3 Putusan Mahkamah Agung RI No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17-2-1992
Pengertian, menyalahgunakan kewenangan” dengan cara mengambil alih pengertian yang ada dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut (“detournament de pouvoir”).
4 Putusan Mahkamah Agung RI No. 572 K/Pid/2003 tanggal 4-2-2004
Penggunaan dan pengelolaan keuangan negara dalam bentuk dana non budgeter hanya diatur oleh apa yang disebut “konvensi” tidak seperti halnya keuangan negara dalam bentuk APBN yang penggunaannya dan pengelolaannya diatur dalam keppres
Indriyanto Seno Adji mengatakan, unsur “penyalahgunaan wewenang”
tidak mendapatkan penjelasan yang memadai. Hal ini akan menimbulkan
penafsiran beragam. Adanya asas “ius curia novit” hakim perlu melakukan
122Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
rechtvinding (penemuan hukum) terhadap pengertian konsep “penyalahgunaan
wewenang”.123 Pendapat yang sama juga dikemukakan Adami Chazawi mengenai
apa yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan tidak ada keterangan
lebih lanjut dalam undang-undang.124 Demikian juga pendapat Nur Basuki
Minarno, dalam hal pengertian “penyalahgunaan kewenangan” tidak diketemukan
secara ekplisit dalam aturan hukum pidana, apakah yang dapat dilakukan untuk
memberikan batasan pengertian/konsep tentang “penyalahgunaan wewenang”?
Hal ini penting sekali untuk dilakukan karena “penyalahgunaan wewenang”
merupakan “bestanddeel delict” (bagian inti delik) dan harus dibuktikan
mengingat dalam hukum pidana berlaku asas “nullum delictum nulla poena siena
praevia lege poenali”.125
Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian menyalahgunakan
kewenangan dalam Hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ekstensif
berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A.Demersemen dengan
menggunakan pendekatan ekstensif tentang kajian “De Autonomie van het
Materielle Staffrecht” (otonomi dari Hukum Pidana Materiel), yang pada intinya
mempertanyakan apakah ada harmoni antara pengertian yang sama antara hukum
123Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan
Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah (Surabaya: Laksbang Mediatama,2009), hlm. 15.
124Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Selanjutnya Adami Chazawi I) (Edisi revisi;Jakarta: RajaGrafindo, 2016) hal. 60.
125Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
pidana, khususnya dengan hukum perdata dan hukum tata usaha negara sebagai
cabang hukum lainnya.126
Putusan Mahkamah Agung RI dalam rangka perkara Tindak Pidanan
Korupsi yang secara expressis verbis merujuk secara langsung kepada Pasal 53
ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai dasar untuk
menguji ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang adalah Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1340 K/Pid/1992 tanggal 17-2-1992, Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 977 K/2004, dan Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 742 K/PID/2007.
127
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Wewenang
Mengenai menyalahgunakan kewenangan secara normatif telah diatur
dalam Pasal 17 UU Nomor 30 tahun 2014, yang menyebutkan :
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
126Amir Syamsudin, Putusan Perkara Akbar Tanjung Analisis Yuridis Para Ahli Hukum
(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2004), hlm.24. 127Dani Elpah. et.al., hlm.55.
Universitas Sumatera Utara
2. Perbuatan Melawan Hukum
Untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan perbuatan pidana, (…)
dalam teori hukum pidana terdapat suatu pandangan yang dikenal dengan ajaran
feit materiel. Dalam hal ini penentuan adanya kesalahan dan pertanggungjawaban
pidana dilakukan cukup dengan meninjau apakah pembuat memenuhi seluruh isi
rumusan tindak pidana. Dalam lapangan acara hal ini berarti, pembuktian telah
dilakukannya suatu tindak pidana, dipandang cukup sebagai dasar
pertanggungjawaban pidana terdakwa. Dengan demikian, seseorang dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa
perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang
didakwakan. Dengan sendirinya pengenaan pidana atau pemidanaan semata-mata
didasarkan pada hal tersebut.128
Pandangan ini cukup lama diikuti, hingga akhirnya dirasakan tidak lagi
memuaskan. Ketidakpuasan terhadap ajaran ini dimanifestasikan dalam praktik
peradilan melalui Arrest Hoge Raad 1916, yang dikenal dengan Water en Melk
Arrest. Pada satu sisi, arrest tersebut dapat dipandang memperkenalkan alasan
penghapus kesalahan diluar undang-undang yang disebut dengan ‘tidak ada
kesalahan sama sekali’ atau ‘afwezigheid van alle schuld’ (‘avas’). Terdakwa
yang dalam kasus tersebut didakwa melakukan tindak pidana yang rumusannya
tidak memuat unsur kesengajaan atau kealpaan, dinyatakan tidak bersalah karena
‘tidak ada kesalahan sama sekali’. Padahal apabila merujuk pada ajaran feit
128Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
materiel, terdakwa dalam kasus tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan
(dapat dipidana), karena seluruh isi rumusan tindak pidana telah dipenuhi.129
Pada sisi lain, arrest tersebut juga mengukuhkan suatu asas hukum, yang
dikenal dengan asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’ (geen straf zonder shuld
beginsel). Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan
pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhi seluruh
unsur suatu tindak pidana.
130
Hal ini sejalan dengan pendapat Andi Hamzah, sebagaimana dalam ajaran
hukum pidana untuk menjatuhkan pidana harus memenuhi dua syarat yang
sifatnya komulatif yaitu melakukan perbuatan pidana (actus reus) dan
pertanggungjawaban pidana (unsur kesalahan/mens rea). Dapat dikatakan
melakukan perbuatan pidana apabila perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-
unsur delik, dalam hal ini harus dibuktikan untuk pertama kali. Jika terbukti,
langkah selanjutnya apakah terpenuhinya unsur pertanggungjawaban pidana
(unsur kesalahan). Untuk pertanggungjawaban pidana (unsur kesalahan) meliputi
dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat, adanya kaitan psikis antara pembuat
dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa),
tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapuskan dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
131
129Ibid. 130Ibid. 131Andi Hamzah dalam Nur Basuki Minarno,Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak
Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah (Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009), hlm. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian untuk penjatuhan pidana terhadap seseorang yang
melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 UUPTK, maka
harus dibuktikan perbuatan pidana (actus reus) dan pertanggungjawaban pidana
(unsur kesalahan/mens rea).
Apabila dirinci, rumusan Pasal 3 UU PTPK menurut Adami Chazawi
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
Unsur-unsur Objektif
a. Perbuatannya: 1) Menyalahgunakan kewenangan 2) Menyalahgunakan kesempatan 3) Menyalahgunakan sarana
b. Yang ada padanya 1) Karena jabatan 2) Karena kedudukan
c. Yang dapat merugikan 1) Keuangan negara 2) Perekonomian negara
Unsur Subjektif
d. Kesalahan : dengan tujuan : 1) menguntungkan diri sendiri; 2) menguntungkan orang lain; 3) menguntungkan suatu korporasi.132
Secara implisit penyalahgunaan wewenang in haeren dengan melawan hukum,
karena penyalahgunaann wewenang essensinya merupakan perbuatan melawan
hukum. Unsur “melawan hukum” merupakan “genus” nya, sedangkan unsur
“penyalahgunaan wewenang” adalah “species”nya.
133
Menurut Moeljatno, sejak adanya putusan pengadilan berkaitan dengan
perkara Cohen-Lindenbaum tahun 1919 di Belanda, pengertian perbuatan
132Adami Chazawi I, Op. Cit., hlm. 59-60.
133Nur Basuki Minarno,Op. Cit., hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
melawan hukum tidak lagi diartikan secara tektual pada ketentuan perundang-
undangan atau hukum tertulis, tetapi meliputi pelanggaran terhadap nilai atau
kepatutan yang ada dalam masyarakat. Dalam hukum pidana, yang memperoleh
pengaruh perubahan pandangan dalam hukum perdata, hal itu dikenal sebagai
materieele wederrechtelijkheid, yaitu setiap perbuatan yang mengandung suatu
sikap tercela atau tidak patut bagi masyarakat.134
“Bahwa konsep melawan hukum materiil (mateteriele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-
Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), telah mengadopsi adanya perbuatan melawan
hukum formil dan materi sebagaimana diungkapkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat
(1) yaitu :
Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Namun Mahkamah Kontitusi RI telah menyatakan perbuatan melawan
hukum materiil bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana dalam Putusannya
Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, dalam pertimbangannya
menyatakan :
134Moeljatno dalam Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak
Pidana Korupsi(Cetakan Kedua; Jakarta: Indonesia Lawyer Club, 2010), hlm.64.
Universitas Sumatera Utara
hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat”
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi maka yang dimaksud dengan
secara melawan hukum dalam UUPTPK adalah perbuatan melawan hukum
formil, dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan
perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada
sebagai penjelmaan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Oleh karena
penyalahgunaan wewenang adalah “species” nya dari unsur “melawan hukum”
maka sifat penyalahgunaan wewenang adalah formil.
Pencantuman unsur melawan hukum dalam UUPTPK memiliki makna
sebagaimana diuraikan Lamintang, “Mengenai pencantuman dan tidak
dicantumkannya unsur melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana
menurut Lamintang memiliki konsekuensi yang berbeda, disamping menyangkut
kewajiban pembuktian oleh penuntut umum maupun putusan yang diambil oleh
hakim apabila unsur itu tidak terbukti. Apabila unsur tersebut dinyatakan secara
tegas sebagai unsur dari delik yang didakwakan, dengan sendirinya unsur itu
harus dicantumkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan dalam sidang
pengadilan karena setiap unsur yang didakwakan pada dasarnya harus pula
dibuktikan. Sebaliknya apabila unsur melawan hukum tersebut telah tidak
dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik yang diakwakan, maka unsur
tersebut dengan sendirinya juga tidak perlu dicantumkan dalam surat dakwaan dan
Universitas Sumatera Utara
dalam sidang pengadilan juga tidak perlu dibuktikan karena penuntut umum
memang tidak perlu membuktikan unsur-unsur dari tindak pidana yang tidak
didakwakannya.135
Apabila unsur “wederrchtelijk” itu oleh pembentuk undang-undang telah
dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur
tersebut akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu vrijspraak atau suatu
pembebasan. Apabila unsur “wederrchtelijk” telah tidak dinyatakan secara tegas
sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan
akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle
rechtvervolging atau suatu “pembebasan dari segala tuntutan hukum”.
136
Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan
pidana ini dibeda-bedakan menjadi:
137
(1) Alasan pembenar; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi
perbuatan yang patut dan benar.
(2) Alasan pemaaf; yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap
merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada
kesalahan.
135Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana
Korupsi(Cetakan Kedua; Jakarta: Indonesia Lawywer Club, 2010), hlm.97. 136Ibid.,hlm.98. 137Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi; Jakarta: Rineka Cipta, 2015),
hlm.148.
Universitas Sumatera Utara
Menurut M.v.T. alasan-alasan penghapus pidana dibagi menjadi:138
(a) Alasan-alasan yang terdapat dalam batin terdakwa, yaitu Pasal 44 KUHP
(b) Alasan-alasan yang diluar, yaitu Pasal 48-51 KUHP.
Alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukum selain diatur
dalam KUHP, ditemukan juga diluar KUHP demi memenuhi tuntutan keadilan
yaitu melalui Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966, No 42
K/Kr/1965, kemudian ditegaskan kembali melalui Putusan Mahkamah Agung
tanggal 16 Desember 1976, No.81K/Kr/1973. Norma yang dapat ditarik dari
Putusan MA tersebut adalah:139
3. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana
“Suatu perbuatan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum; dalam perkara ini misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung”.
Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai
“toerekenbaarheid”, “criminal responsibility”, “criminal liability”.
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime)
yang terjadi atau tidak.140
138Ibid., hlm.149.
139Tjandra Sridjaja Pradjonngo, Op.Cit., hlm.100. 140E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 250.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip pertaggungjawaban pidana dapat ditemui dalam Pasal 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa “ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
sesuatu tindak pidana di Indonesia.141
Pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya
tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya
telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu
tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada
kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan
yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada yang
dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya. Dengan demikian tidak
mungkin seorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang
bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan melakukan tindak
pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban.
142
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan
kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari
soal apakah dalam melakukan perbuatan ini mempunyai kesalahan. Sebab asas
dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah : Tidak dipidana jika
tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist
141Disiplin. F. Manao, Op. Cit., hlm. 164. 142Chairul Huda, Op. Cit., hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
rea). Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tidak
tertulis yang juga di Indonesia berlaku.143
Dalam common law system, pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana apabila adanya kehendak jahat (mens rea) sebagai unsur subjektifdan
adanya perbuatan tindak pidana (actus reus) sebagai unsur objektif, berlaku
maksim Latin actus reus non est reus, nisi mens sit rea, suatu perbuatan tidak
dapat dikatakan bersifat kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya,
pada hakekatnya sama dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen
straf zonder schuld beginsel).
144Hal ini juga sama dengan ajaran dualistis yang
dikemukakan Moeljatno yang memisahkan tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana, walaupun seseorang telah melakukan tindak pidana,
tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan, maka tidak dapat
dipertanggungjawabkan.145
SIMONS berpendapat, kesalahan adalah merupakan unsur subjektif dari
tindak pidana, adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan
terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu:
Perihal kesalahan dalam hukum acara pidana terdapat dalam Pasal 191
ayat (1) KUHAP:
“jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”
146
1) Kemampuan bertanggungjawab (toerekenings vatbaarheid).
143Moeljatno, Op. Cit., hlm. 165. 144Chairul Huda,Op.Cit., hlm.5. 145Ibid., hlm. 6. 146E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 162.
Universitas Sumatera Utara
2) Hubungan kejiwaan (Psichologische betrekking) antara pelaku,
kelakuannya dan akibat yang ditimbulkan (termasuk pula kelakuan yang
tidak bertentangan dengan hukum dalam kehidupan sehari-hari).
3) Dolus atau culpa.
Menurut Andi Hamzah, ciri atau unsur kesalahan dalam arti yang luas,
yaitu:147
1) Dapat dipertanggungjawabkan pembuat.
2) Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja
atau kesalahan dalam arti sempit (culpa).
3) Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Dalam KUHP alasan-alasan penghapusan pidana terdapat dalam Pasal 44,
48, 49, 50 dan Pasal 51.
Pasal 44 ayat (1) KUHP menyebutkan:
“ Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena
sakit berubah akal tidak boleh dihukum.”
Pasal 48 KUHP menyebutkan:
“ Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan
yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum.”
Kata terpaksa harus diartikan baik paksaan bathin, maupun lahir, rohani
maupun jasmani. Kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan ialah suatu kekuasaan
147Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana(Selanjutnya Andi HamzahI)(Edisi Revisi;
Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm. 138.
Universitas Sumatera Utara
yang berlebih, kekuasaan yang pada umumnya dianggap tidak dapat dilawan,
suatu overmacht, Mr. J. E. Jonkers membedakan kekuasaan ini atas 3 macam,
ialah:148
a. Yang bersifat absolut. Dalam hal ini orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya. Ia tidak mungkin memilih jalan lain. Misalnya orang dipegang oleh orang lain yang kuat, dilemparkan ke jendela, sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain.
b. Yang bersifat relatif. Disini kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan untuk memilih akan berbuat yang mana. Bedanya kekuasaan bersifat absolut dan yang bersifat relatif itu ialah bahwa pada yang absolut dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif maka orang yang dipaksa itulah yang berbuat, meskipun dalam paksaan kekuatan. Tidak semua kekuasan yang memaksa dapat membebaskan orang dari hukuman, yang dapat membebaskan itu hanya suatu kekuasaan yang begitu besarnya sehingga oleh pendapat umum dapat dipandang sebagai tidak dapat dihindarkan, tidak harus dilawan. Seorang yang disuruh orang lain untuk membakar rumah dengan ancaman akan dengan dipukul tangan saja misalnya tidak dapat mengatakan dirinya dalam “overmacht”, karena ia bisa melawan atau menghindarkan pukulan itu. Jadi paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya apakah yang dipaksa itu lebih lemah dari pada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya.
c. Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat ini orang yang dipaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana manakah yang ia lakukan itu, sedang pada kekuasaan yang bersifat relatiforang itu tidak memilih, dalam hal ini yang mengambil ini relatif ialah orang yang memaksa.
Pasal 49 KUHP menyebutkan: Ayat (1) “Barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya
untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan
atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang
148R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
komentarnya(Bogor: Politeia,1996), hlm. 63-64.
Universitas Sumatera Utara
melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh
dihukum.”
Ayat (2) “Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan
itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan
segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.”
Pasal 50 KUHP menyebutkan:
“ Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan
undang-undang, tidak boleh dihukum.”
Pasal 51 KUHP menyebutkan:
Ayat (1) “ Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum”
Ayat (2) “ Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak
tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas
kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa
yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai
yang dibawah perintah tadi.
Syarat pertama yang disebutkan dalam pasal ini ialah bahwa orang itu
melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan
orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian negeri,
bukan pegawai partikulir. Tidak perlu, bahwa yang diberi perintah itu harus orang
bawahan dari yang memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu
ialah bahwa antara yang diperintah dengan memberi perintah ada kewajiban untuk
mentaati perintah itu. Syarat kedua ialah bahwa perintah harus diberikan oleh
Universitas Sumatera Utara
kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tersebut tidak
berhak untuk itu, maka orang yang menjalankan perintah tadi tetap dapat dihukum
atas perbuatan yang telah dilakukannya, melainkan jika orang itu dengan etikad
baik mengira, bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak
untuk itu. Jika demikian, menurut ayat 2 dari pasal ini, orang itu tidak dapat
dihukum.149
Wirjono Prodjodikoro membagi alasan-alasan yang menghapuskan tindak
pidana dalam KUHPidana menjadi 2 kelompok, yaitu:
Ketentuan dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, menyatakan bahwa dipidana
sebagai pelaku tindak pidana: (a) yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
dan turut serta melakukan perbuatan, (b) yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Sedangkan Pasal 56 KUHP, menyatakan dihukum sebagai orang yang membantu
melakukan kejahatan: (a) yang dengan sengaja membantu melakukan kejahatan,
(b) yang dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
150
1. Alasan Pembenar, termasuk didalamnya Pasal 49 ayat 1 KUHPidana (keperluan membela diri atau Noodweer), pasal 50 dan Pasal 51 ayat 1 KUHPidana (tentang melaksanakan perintah jabatan).
Oleh karena yang dihilangkan adalah sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid, sehingga perbuatan si pelaku menjadi dibenarkan, maka alasan menghilangkan tindak pidana (strafuitsluitings-grond) ini juga dikatakan sebagai alasan pembenar (Rechtsvaardigings-grond).
149Ibid., hlm. 67. 150Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana (Jakarta:
Diadit Media, 2009), hlm. 102.
Universitas Sumatera Utara
2. Alasan Pemaaf, termasuk didalamnya Pasal 44 ayat 1 KUHPidana (tentang gangguan penyakit pada daya pikir seseorang), Pasal 48 KUHPidana (tentang Overmacht), Pasal 49 ayat 2 KUHPidana (tentang Noodwee Exces), Pasal 51 ayat 2 KUHPidana (tentang perintah jabatan yang wenang).
Menurut Roeslan Saleh alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum
tindak pidana dalam kepustakaan disebut dengan alasan pembenar. Sedangkan
alasan yang menghapuskan kesalahan disebut dengan alasan pemaaf.151
Indriyanto Seno Adji mengemukakan bahwa Perkembangan antara hukum
adminitrasi Negara dan hukum pidana memasuki “gray area” dengan segala
teknikalitas dengan proses pemidanaan, bahkan hingga kini menimbulkan
debatebelitas dikalangan hukum ahli hukum pidana. Betapa tidak, keputusan
pejabat negara baik dalam rangka “beleid” maupun “diskresi” menjadi ajang
kajian akademis untuk dijadikan alasan penolakan maupun maupun justifikasi
pemidanaan dalam area hukum pidana
C. Perbedaan Secara Prinsipil Penyalahgunaan Wewenang Dalam Hukum
Administrasi dan Hukum Pidana Korupsi
Sebelum membahas perbedaan prinsipil penyalahgunaan wewenang
menurut hukum administrasi dan hukum pidana, terlebih dahulu akan dibahas
persamaan kedua cabang ilmu tersebut.
152
Menurut teori titik singgung hasil penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan BALITBANG DIKLAT KUMDIL
151Chairul Huda,Op. Cit., hlm.124.
152Nur Basuki Minarno, Op. Cit.,hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
MAHKAMAH AGUNG RI, persinggungan Hukum Pidana dan Hukum
Administrasi terkait dengan penyalahgunaan wewenang, meliputi:153
1. Persinggungan Istilah/konsep.
Persamaan dalam penggunaan istilah/konsep yaitu terkait
“penyalahgunaan wewenang” dan menyalahgunakan wewenang.
2. Persinggungan Konprehensi/Konotasi/intensi (Isi) Penyalahgunaan
Wewenang.
Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian menyalahgunakan
kewewenangan dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ekstensif
berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian
“De Autonomie van het Materiele Strafrecht (otonomi dari hukum pidana
materiel). Apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan
eksplisitasnya dalam Hukum Pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan
pengertian dan kata yang sama yang terdapat dari cabang hukum lainnya.
Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Tindak Pidana Korupsi yang
secara expressis verbis merujuk secara langsung kepada Pasal 53 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai dasar untuk menguji ada tidaknya
unsur penyalahgunaan wewenang adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1340 K/Pid/1992 tanggal 17-2-1992, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 977
K/2004, dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 742 K/PID/2007.
3. Persinggungan Normadressat (Subjek norma) Penyalahgunaan
Wewenang.
153Dani Elpah, et. at., Op. Cit., hlm. 53-60.
Universitas Sumatera Utara
Norma larangan Penyalahgunaan Wewenang berdasarkan ketentuan Pasal
17 ayat 91) yunto Pasal 21 ayat (1) Undang-undang 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan adalah ditujukan kepada “Pejabat Pemerintahan”.
menurut Pasal 1 butir 3 Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan
Fungsi Pemerintahan, baik dilingkungan pemerintah maupun penyelenggara
negara lainnya. Demikian pula halnya yang menjadi normadressat alamat yang
dituju oleh sebuah norma/subjek norma) dalam unsur “menyalahgunakan
kewenangan” yang ada didalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “Pejabat Pemerintahan atau
Penyelenggara lainnya.”
4. Persinggungan Normgeddrag (Perilaku yang dikehendaki atau perilaku
apa yang tidak dikehendaki untuk dilakukan atau tidak boleh dilakukan
oleh sebuah norma).
Dalam hukum administrasi perilaku penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan
Keputusan dan/atau Tindakan adalah merupakan perbuatan yang dilarang
sebagaimana ditentukan didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan di dalam Pasal 17 ayat (1) menentukan : Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang. Ancaman
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan yang dikeluarkan secara menyalahgunakan
Wewenang adalah dapat dinyatakan tidak sah dan/atau dapat dibatalkan, dan
bilamana menyalahgunakan wewenang merugikan keuangan negara dapat
dibebani pengembalian kerugian negara kepada Pejabat Pemerintahan.
Universitas Sumatera Utara
Menyalahgunakan kewenangan dalam Hukum Pidana khususnya Tindak
Pidana Korupsi merupakan perbuatan terlarang sebagaimana dimaksud di dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan paparan tersebut diatas perilaku penyalahgunaan wewenang,
sama-sama merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan terlarang
(verbod) baik di dalam Hukum Administrasi maupun dalam Hukum Pidana
khususnya dalam Tindak Pidana Korupsi, dan sama-sama mempunyai sanksi
bilamana hal tersebut dilanggar.
Jika disederhanakan teori Titik singgung menurut BALITBANG DIKLAT
KUMDIL MAHKAMAH AGUNG RItersebut dalam bentuk tabel, dapat
digambarkan sebagai berikut :
Tabel II
Persinggungan Penyalahgunaan Wewenang Aantara Hukum Administrasidan Hukum Pidana
No Titik Singgung Hukum Administrasi Hukum Pidana
1 Istilah Penyalahgunaan wewenang dan
menyalahgunakan wewenang
Menyalahgunakan kewenangan
Universitas Sumatera Utara
No Titik Singgung Hukum Administrasi Hukum Pidana
2 Konprehensi/Konotasi/Intensi (isi)
Pengertian penyalahgunaan
wewenang telah dimuat dalam Pasal 53 ayat (2) UU PTUN dan Psl 17
UUAP
Pengertian penyalahgunaan
kewenangan menggunakan konsep yg
berasal dari Hukum Adminitrasi (pendekatan
ekstensif)
3 Normadressat (subjek norma)
Pejabat Pemerintahan atau penyelenggaran Negara
lainnya
Pejabat Pemerintahan atau penyelenggaran
Negara lainnya
4 Normgedrag Penyahgunaan Kewenangan merupakan
perilaku yang tidak dikehendaki
Penyahgunaan Kewenangan merupakan
perilaku yang tidak dikehendaki
Persamaan Hukum Administrasi dan Hukum Pidana yang digambarkan
teori Titik Singgungsebagaimana hasil penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan BALITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RItersebut semakin menguatkan pendapatIndriyanto
Seno Adji yang mengemukakan bahwa perkembangan antara Hukum Adminitrasi
dan Hukum Pidana telah memasuki “gray area”.
Persamaaan antara hukum administrasi dan hukum pidana semakin
membuat buram penegakan hukum di Indonesia, bahkan Presiden Republik
Indonesia mengeluarkan arahan kepada KAPOLDA dan KAJATI seluruh
Indonesia agar tindakan administrasi tindak pidana, namun disisi lain sebagian
pelaku korupsi berlindung dibalik hukum administrasi.
Universitas Sumatera Utara
Persamaan tersebut akan mempengaruhi persinggungan kewenangan
mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan TIPIKOR apabila
ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan.
Kewenangan pengadilan Tata Usaha Negara dalam mengadili
penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyebutkan:
“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutus ada atau
tidak unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan”.
Yang dimaksud dengan pengadilan dalam Pasal 21 ayat (1) tersebut diatas
adalah Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 18
UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Sedangkan kewenangan mengadili penyalahgunaan kewenangan pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur pada Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor
46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan:
“Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
pidana korupsi”.
Universitas Sumatera Utara
Kewenangan mengadili penyalahgunaan kewenangan tersebut berdasarkan
delik materil yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, ata sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015
tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan wewenang,
telah memberikan batasan waktu berlakunya pengajuan permohonan ada atau
tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan,
sebagaimana diatur :
Pasal 2 ayat (1) : Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan sebelum adanya proses pidana.
Ayat(2) : Pengadilan baru berwenang menerima, memeriksa, dan memutus penilaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah adanya hasil pemeriksaan aparat pengawasan internal pemerintah.
Pemberlakukan masa waktu pengajuan permohonan inilah menjadi salah
satu pembeda dari segi proses pemeriksaan penyalahgunaan wewenang pada
Hukum Pidana Korupsi yang tidak terikat dengan putusan APIP (Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah) karena Hukum administrasi dan Hukum Pidana
adalah saling mengisi, akan dibahas lebih lanjut pada BAB selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
Hukum administrasi menempati posisi dominan dalam penanganan tindak
pidana korupsi, baik preventif berupa pencegahan tindak pidana korupsi maupun
represif yaitu penanganan/penindakan tindak pidana korupsi. Dari sisi represif,
hukum administrasi sangat dominan karena tindak pidana korupsi hanya mungkin
terjadi dalam konteks kerugian negara yang diakibatkan oleh maladministrasi
dalam penggunaan wewenang. Bentuk maladministrasi yang paling utama adalah
penyalahgunaan wewenang.154
Tanggungjawab pejabat dalam melaksanakan fungsinya dibedakan antara
tanggungjawab jabatan dan tanggungjawab pribadi. Tanggungjawab jabatan
berkenaan dengan legalitas(keabsahan) tindak pemerintahan. dalam hukum
administrasi. Persoalan legalitas tindak pemerintahan berkaitan dengan
pendekatan terhadap kekuasaan pemerintahan. tanggungjawab pribadi berkaitan
dengan pendekatan fungsionarisatau pendekatan perilakudalam hukum
administrasi. Tanggungjawab pribadi berkenaan dengan maladministrasidalam
penggunaan wewenang maupun public service.
155
Perbedaan antara tanggungjawab jabatan dan tanggung jawab pribadi atas
tindak pemerintahan membawa konsekwensi yang berkaitan dengan tanggung
jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara
(TUN).
156
154Philipus M.Hadjon,et. al., Op. Cit., hlm 2.
155Ibid.,hlm. 16. 156Ibid.,hlm. 16-17.
Universitas Sumatera Utara
Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam kaitan
dengan tindak pemerintahan, tanggung jawab pribadi seorang pejabat
berhubungan dengan adanya maladministrasi.157
Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan
dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Tanggung gugat perdata
menjadi tanggung gugat pribadi apabila terdapat unsur maladministrasi. Tanggung
gugat TUN pada dasarnya adalah tanggung gugat jabatan.
Hal ini berbeda dengan hukum
administrasi berupa tanggung jawab jabatan.
158
Philipus M. Hadjon
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maladministrasi adalah:
“Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari
yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau
pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaran pelayanan public
yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang
menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan
orang perseorangan”.
159
157Ibid.,hlm. 17. 158Ibid.
159Ibid., hlm. 20-21
menggambarkan perbandingan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel III
PERBANDINGAN ANTARA TANGGUNG JAWAB JABATAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI
Tanggung Jawab Jabatan Tanggung Jawab Pribadi
a. Fokus : legalitas (keabsahan) tindakan
- Wewenang
- Prosedur
- Subtansi
Fokus : maladministrasi
Perilaku jelek aparat dalam pelaksanaan tugas ….. perbuatan tercela
Antara lain : - sewenang-wenang
- penyalahgunaan wewenang
b. Parameter :
- Peraturan Perundang-undangan
- Asas-asas umum pemerintahan yang baik
Parameter :
1. Peraturan perundang-undangan
2. Asas-asas umum pemerintahan yang baik
3. Code of good administrative behavior (Uni Eropa
c. Pertanyaan hukum:
Adakah cacat yuridis menyangkut :
- Wewenang
- Prosedur
- Substansi
Pertanyaan hukum:
Adakah maladministrasi dalam tindakan tersebut?
d. Asas praesumtio iustse causa
Setiap tindakan pemerintahan harus dianggap sah sampai ada pencabutan atau pembatalan
Berkaitan dengan tindak pidana : asas praduga tak bersalah
e. Sanksi : administrasi, perdata Sanksi : administrasi, perdata, pidana
Universitas Sumatera Utara
Arti pentingnya membedakan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab
pribadi untuk mengetahui batasan hukum administrasi dan hukum pidana,
sebagaimana juga terlihat dalam pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara
Ir.Akbar Tanjung sebagai berikut :
“Bahwa manakala suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun jabatan dan kedudukan seperti halnya yang didakwakan terhadap diri terdakwa ke-1, maka menurut hemat Mahkamah Agung hal tersebut tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum atau aspek Hukum Administrasi Negara, dimana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungjawab jabatan (liability jabatan) yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggung jawab perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi) sebagaimana yang berlaku sebagai prinsip dalam Hukum Pidana”.
“Bahwa oleh karenanya dalam kasus ini haruslah dipilah-pilah sampai sejauh mana penerapan Hukum Administrasi Negara masih relevant, dan pada tahap mana prinsip-prinsip Hukum Pidana yang secara murni harus diterapkan, baik segi doktrin, hukum positif maupun yurisprudensi”.160
1. Pejabat Pemerintahan melakukan suatu perbuatan dan/atau tindakan yang
cacat yuridis meliputi wewenang, prosedur, substansinya;
Berdasarkan uraian tersebut diatas, terdapat 3 (tiga) ruang lingkup
pembahasan untuk membedakan batasan hukum administrasi dan hukum pidana,
yaitu:
2. Pejabat Pemerintahan melakukan suatu perbuatan dan/atau tindakan
maladministrasi;
3. Pejabat Pemerintahan melakukan perbuatan dan/atau tindakan
maladministrasi dengan menyalahgunakan kewenangan yang mengakibatkan
kerugian negara dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
160Putusan Mahkamah Agung RI perkara Ir. Akbar Tanjung Nomor : 572 K/Pid/2003
tanggal 4 Pebruari 2004, pertimbangan hukum alinea 5 dan 6.
Universitas Sumatera Utara
Pembahasan kesatu, Perbuatan badan/pejabat pemerintahan dilakukan dalam
rangka pelaksanaan fungsi jabatan, sehingga setiap perbuatan dan/atau tindakan
pemerintah tersebut dianggap sah sampai ada pencabutan oleh Pejabat
Pemerintahan tersebut atau Pengadilan Tata Usaha Negara karena cacat yuridis
(wewenang, prosedur, substansi). Badan/pejabat pemerintahan tersebut hanya
dapat dimintai tanggung jawab jabatan dalam rangka hukum administrasi.
Menurut Philipus M.Hadjon Rechtmatig bestuur adalah asas pemerintahan yang
bertumpu atas asas Negara hukum, yaitu asas legalitas. Berdasarkan asas legalitas,
setiap tindak pemerintahan harus dilandaskan pada wewenang yang sah, prosedur
yang tepat dan subtansi yang tepat.161
Untuk menguji keabsahan (legalitas) keputusan/tindakan yang dibuat
pejabat pemerintahan melalui gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dasar
Misalnya : penerbitan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), pembatalan Sertifikat
Tanah.
Pada perbahasan pertama ini perbuatan dan/atau tindakan pejabat
pemerintahan yang cacat yuridis berlaku asas vicarious liability atau tanggung
jawab jabatan atau tanggang jawab pengganti, artinya dapat dimintai
pertanggungjawaban pihak lain (atasan, pimpinan) atas perbuatan seseorang
(bawahan). Dalam praktek pemerintahan, pejabat pemerintahan yang
mengeluarkan keputusan/tindakan yang cacat yuridis sering dikenakan sanksi
administratif ringan (teguran atau peringatan).
161Philipus M.Hadjon, et. al., Op. Cit., hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
pengajuan gugatan adalah apakah keputusan/tindakan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan (tertulis) dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (tidak tertulis).
Pembahasan kedua, Pejabat pemerintahan melakukan perbuatan dan/atau
tindakan maladministrasi dengan menyalahgunakan kewenangan yang
menyebabkan kerugian bagi orang lain, namun tidak merugikan keuangan negara
merupakan tanggung jawab pribadi. Pejabat pemerintahan tersebut dapat dimintai
tanggung jawab pribadi, dalam ruang lingkup hukum administrasi dan hukum
pidana umum. Sanksi administrasi berupa sanksi sedang sampai berat (penurunan
pangkat dan/atau pencopotan jabatan), sedangkan sanksi pidana umum dikenakan
Pasal 421 KUHP, yaitu :
“Pegawai negeri yang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya
memaksa orang untuk membuat, tidak membuat atau membiarkan barang
sesuatu apa, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan”.
Jika perbuatan maladministrasi dilakukan dengan cara pemalsuan surat
dapat dikenakan pidana memalsukan surat-surat sebagaimana diatur dalam Pasal
263 atau 266 KUHP.
Pembahasan ketiga, Perbuatan badan/pejabat pemerintahan melakukan
perbuatan dan/atau tindakan maladministrasi dengan menyalahgunakan
kewenangan, dan merugikan keuangan negara dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan
tanggung jawab pribadi. Pejabat pemerintahan tersebut masuk dalam ruang
Universitas Sumatera Utara
lingkup hukum adminitrasi dan hukum pidana. sanksi administrati berupa sanksi
berat berupa pemecatan, sedangkan sanksi pidana dikenakan Pasal 3 UUPTPK.
Penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pejabat pemerintahan
tersebut akan diuji melalui Pengadilan Tipikor apakah perbuatan/tindakannya
telah melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak (hukum tertulis), tidak
meliputi pelanggaran hukum tidak tertulis. Parameter pengujian inilah yang
membedakan dengan hukum adminitrasi yang masih berdasarkan perbuatan
melawan hukum/penyalahgunan kewenangan bersifat formil dan materiil,
sedangkan hukum pidana korupsi hanya berdasarkan perbuatan melawan
hukum/penyalahgunaan formil.
Dalam praktek hukum administrasi pemerintahan, keputusan dan/atau
tindakan pejabat pemerintahan yang sering memasuki area hukum pidana adalah
diskresi atau kebijakan. Kriminalisasi terhadap diskresi menjadi perdebatan para
ahli hukum di dalam dan di luar pengadilan. Saat ini banyak pejabat pemerintahan
tidak mau membuat suatu diskresi untuk mengatasi stagnasi pemerintahan karena
takut dikriminalisasi, bahkan Presiden Republik Indonesia Ir.Joko Widodo pada
tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara mengumpulkan para KAPOLDA dan
KAJATI seluruh Indonesia dan memberikan 5 (lima) arahan, salah satunya adalah
diskresi atau kebijakan tidak dapat dipidanakan. Latar belakang Presiden Republik
Indonesia memberikan arahan tersebut akibat penegakan hukum yang tidak
terarah membuat Pejabat Pemerintahan takut membuat diskresi sehingga
perekonomian Indonesia melambat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum administrasi, diskresi memang diperlukan untuk
mewujudkan kesejahteraan umum bagi warga negara, namun diskresi tanpa
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB menyebabkan timbulnya
penyalahgunaan wewenang. H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mengatakan
bahwa sejak dianutnya konsepsi welfare state, yang menempatkan pemerintah
sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umum warna
Negara dan untuk mewujudkan kesejahteraan ini pemerintah diberi wewenang
untuk campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, yang dalam
campur tangan ini tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan,
tetapi dalam keadaan tertentu dapat bertindak tanpa bersandar pada peraturan
perundang-undangan, tetapi bersandar pada inisiatif melalui freies ermersen,
ternyata menimbulkan kekhawatiran dikalangan warga negara. Karena dengan
freies ermersen muncul pula peluang terjadinya benturan kepentingan antara
pemerintah dengan rakyat baik dalam bentuk onrechhtmatig, overheidsdaad,
detournement de pouvoir, maupun dalam bentuk wilkeur, yang merupakan
bentuk-bentuk penyimpangan tindakan pemerintahan yang mengakibatkan
terampasnya hak-hak asasi warga negara. Guna menghindari atau meminimalisasi
terjadinya benturan tersebut, pada tahun 1946 Pemerintah Belanda membentuk
komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang bertugas memikirkan dan meneliti
beberapa alternatif tentang verhoogde Rechtsbescherming atau peningkatan
perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara yang
menyimpang. Pada 1950 komisi de Monchy kemudian melaporkan hasil
penelitiannya tentang verhoogde rechtsbescherming dalam bentuk “algemene
Universitas Sumatera Utara
beginselen van behoorlijk bestuur” atau asas-asas umum pemerintahan yang
baik.162
(1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
Untuk menguji keabsahan keputusan dan/atau tindakan diskresi yang
dibuat Pejabat Pemerintahan dalam Hukum Administrasi Pemerintahan
parapemeternya adalah peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat 2
melalui Undang-UndangRI Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dan Pasal 5, Pasal 8 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
Norma diskresi meliputi tujuan, lingkup dan persyaratan diatur dalam
Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
Pasal 22 menyebutkan :
(2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertjuan tujuan untuk :
a. Melancarkan penyelenggaran pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan hukum;
c. Memberikan kepastian hukum; dan
d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum
162Ridwan H.R, Op. Cit., hlm. 230-231.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 23, Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi :
a. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau
Tindakan;
b. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-
undangan tidak mengatur;
c. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-
undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi
pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Pasal 24, Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi
syarat:
a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(2);
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Sesuai dengan AUPB;
d. Berdasarkan alasan-alsan yang objektif;
e. Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. Dilakukan dengan itikad baik.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, jika Pejabat Pemerintahan membuat
suatu diskresi sudah sesuai dengan tujuan, lingkup dan persyaratan maka sudah
barang tentu tidak masuk area hukum pidana, khususnya Tindak Pidana Korupsi,
Universitas Sumatera Utara
namun bagaimana jika diskresi tersebut menimbulkan kerugian negara, apakah
masih masuk area Hukum Adminitrasi Negara dan/atau Hukum Pidana. Pasal 20
UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dirumuskan
sebagai berikut :
1. Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan 18 dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintah;
2. Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Tidak terdapat kesalahan; b. Terdapat kesalahan administratif; atau c. Terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian
negara”. 3. Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. Jika hasil aparatur pengawasan intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan;
5. Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Badan Pemerintah, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang;
6. Pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada pejabat pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang.
Dengan demikian jika terdapat kesalahan administratif dalam suatu keputusan
adan/atau tindakan dan mengakibatkan kerugian negara maka dikenakan hukuman
administratif kepada Badan Pemerintahan untuk pengembalian kerugian negara
sebagai tanggung jawab jabatan.
Universitas Sumatera Utara
Contoh 1:
Pada salah satu instansi pemerintah di Tebing Tinggi telah mendapat gaji ke-13 (gaji pokok+tunjangan) dari pemerintah pusat bulan Juli 2017, namun dikarenakan bendahara lupa pada bulan juli 2017 tersebut ternyata tunjangan Pegawai telah naik 20% yang tidak diperhitungkan ke dalam gaji ke-13, sehingga yang diterima para pegawai hanya gaji ke-13 tanpa kenaikan 20%, kemudian bendahara mengajukan kekurangan tersebut pada bulan Oktober 2017 dengan cara menginput data 20% tersebut kedalam aplikasi gaji tanpa merubah sistem perkalian yang ada yaitu dikali 3 bulan yang seharusnya hanya dikali 1, kemudian hasilnya diajukan ke KPKN untuk pencairan, selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada seluruh pegawai. Selanjutnya pada bulan Nopember 2017 KPKN mengajukan surat kepada pimpinan bendahara tersebut untuk menyetorkan kembali kelebihan dana sebesar 40% kepada Negara.
Contoh 2 :
Pada tahun 2016 Bupati Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai membuat suatu diskresi dengan membangun sekolah SMP dengan cara Penunjukan Langsung tanpa melalui Pelelangan Umum dengan alasan sekolah tersebut mendesak untuk dipakai karena sudah waktunya ujian semester.
Jika terjadi kesalahan administrasi dalam diskresi karena penyalahgunaan
wewenang dan mengakibatkan kerugian negara dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau korporasi, maka Pejabat Pemerintahan sebagai
Tanggung jawab pribadi dikenakan hukuman administratif mengembalikan
kerugian Negara dan juga dikenakan Hukum Pidana. Kerugian negara dan dengan
maksud menguntungkan diri sendiri/pribadi atau oranglain menjadi unsur
pembeda dengan penyalahgunaan kewenangan menurut Hukum Administrasi
Negara.
Penjatuhan hukum administrasi dan hukum pidana karena melakukan
perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dan mengakibatkan
kerugian Negara diatur juga dalam Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2003
Universitas Sumatera Utara
tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang RI Nomor : 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan:
“ Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan Negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud”
Sedangkan pada Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara pada Pasal 59 diatur sebagai berikut:
(3) setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(4) bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan Negara, wajib mengganti kerugian tersebut.
Pada Pasal 62 ayat (2) disebutkan: apabila dalam pemeriksaan kerugian
negara/daerah ditemukan unsur pidana, BPK menindaklanjutinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Pasal 64 ayat (1) disebutkan: bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian
negara/daerah dapat dikenai sanksi adminitratif dan/atau sanksi pidana; Ayat (2)
putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
Perbedaan lain antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana Korupsi
terletak pada Proses pengujian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang pada
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan TIPIKOR dari sudut
Universitas Sumatera Utara
pembuktian. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan tidak mengatur tentang tata beracara permohonan ada atau tidak
penyalahgunaan wewennag, sehingga untuk mengisi kekosongan dan untuk
melaksanakan kewenangan memeriksan permohonan tersebut Mahkamah Agung
RI menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, berdasarkan PERMA tersebut
terhadap permohonan ada atau tidak penyalahgunaan wewenang hanya ada satu
pihak yakni pemohon tidak ada termohon dan jika memperhatikan UU No. 30
Tahun 2014 juga tidak ada menyebutkan adanya termohon, oleh karena itu hakim
PTUN dalam memeriksa permohonan tersebut hanya berdasarkan bukti yang
diajukan oleh pemohon. Sedangkan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi
tentang adanya penyalahgunaan wewenang, sebagaimana ketentuan hukum acara
pidana maka apabila ada dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
seorang tersangka/terdakwa terlebih dahulu melalui tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipersidangan. Perbedaan pembuktian
Hukum Administrasi dan Hukum Pidana Korupsi akan dibahas pada BAB
selanjutnya.
Menurut Andi Nirwanto, untuk dapat mengkualifikasikan keputusan
dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan sebagai Tindak Pidana Korupsi apabila
terjadi perbuatan melawan hukum pidana, yang didahului dan diikuti sikap batin
jahat (mens rea) dari Pejabat Publik yang bersangkutan. Sikap batin jahat dari
Pejabat Pemerintahan yang mewarnai kebijakan diskresioner yang dikeluarkannya
dan mengakibatkan kerugian keuangan negara, merupakan indikator telah
Universitas Sumatera Utara
terpenuhinya unsur Tipikor sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 3 UU
PTPK.163
Pendapat Andi Nirwanto tersebut dapat dibenarkan, karena dalam ajaran
hukum pidana seseorang dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila telah
memenuhi semua unsur delik (subjektif dan objektif). Pasal 3 UU PTPK memiliki
unsur-unsur sebagai berikut: Unsur objektif A. Perbuatannya: 1)
Menyalahgunakan kewenangan; 2) Menyalahgunakan kesempatan; 3)
Menyalahgunakan sarana. B. yang ada padanya: 1)Karena jabatan; 2) Karena
kedudukan. C. Yang dapat merugikan: 1) Keuangan negara; 2) Perekonomian
negara. Unsur subjektif: D. Kesalahan: dengan tujuan: 1) Menguntungkan diri
sendiri; 2) Menguntungkan orang lain; 3) Menguntungkan suatu korporasi.
Apabila seseorang terbukti melakukan perbuatan “menyalahgunakan wewenang,
kesempatan, sarana yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian
negara”, tetapi tidak terbukti melakukan unsur “dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagai unsur
subjektif/kesalahan/mens rea, maka perbuatan tersebut bukan tindak pidana
korupsi dan karena tidak terbuktinya salah satu unsur delik tersebut, maka dapat
dikenakan hukum administrasi dan hukum perdata, hal ini sejalan dengan isi Pasal
32 ayat UU PTPK yang berbunyi:
Penyalahgunaan wewenang masuk area hukum pidana dalam konteks
kerugian negara dan adanya unsur kesalahan atau niat jahat (mens rea) berupa
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
163Andi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-undang Adminitrasi Pemerintahan). Makalah yang disampaikan pada seminar Nasional HUT IKAHI ke 62 di Hotel Mercure Ancol Jakarta pada tanggal 26 Maret 2015, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
Ayat (1) “ Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa salah satu unsur tindak pidana korupsitidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”.
Ayat (2) “Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara”.
Selain perbedaan pembuktian unsur kehendak jahat (mens rea)¸ perbedaan
lainnya adalah UU No. 30 Tahun 2014 bertujuan menciptakan tertib
penyelenggaran adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat, sehingga UU No. 30 Tahun 2014 lebih menitikberatkan pada
pembangunan administrasi pemerintahan yang baik dan benar,164
164Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Bab III, Pasal 5, Asas-asas pemerintahan yang baik dan benar berdasarkan: asas legalitas, dan asas perlindungan terhadap HAM dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
sedangkan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menitikberatkan
pada sistem penindakan (represif). Selanjutnya proses beracara pembuktian
dipersidangan, PTUN dalam membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang
hanya menggunakan alat bukti dari pemohon (sepihak) saja berupa bukti surat
atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan pemohon, pengetahuan
hakim, alat bukti lain (informasi elektronik atau dokumen elektronik)
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 PERMA Nomor 4 tahun 2015 tentang
Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang,
sedangkan pengadilan Tipikor dalam membuktikan adanya penyalahgunaan
wewenang (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001) menggunakan alat bukti yang
Universitas Sumatera Utara
diajukan para pihak (Penuntut Umum dan Terdakwa) berupa keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Petunjuk dapat diperoleh
dari alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan
atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna, hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 26 A UU PTPK dengan menganut sistem pembuktian negatief
wettelijk, kemudian PTUN baru berwenang menerima, memeriksa dan memutus
permohonan setelah adanya hasil pengawasan APIP, sedangkan pengadilan
Tipikor dalam memeriksa penyalahgunaan wewenang berdasarkan hasil
penyidikan yang diperoleh dari hasil penyelidikan, informasi dari media massa,
hasil pengawasan APIP, BPK dan sumber lainnya.
Tabel IV
Perbedaanprinsipil Penyalahgunaan Wewenang antara UU Administrasi Pemerintahan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Perbedaan Penyalahgunaan Wewenang
menurut UU No. 30 Tahun 2014 Penyalahgunaan Wewenang
menurut UU Tipikor
Perbuatan melawan hukum formil dan materiil, sehingga parameter pengujian yang digunakan untuk penyalahgunaan wewenang adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) dan AAUPB (tidak tertulis).
Perbuatan melawan hukum formil, parameter pengujian penyalahgunaan wewenang adalah peraturan perundang-undangan (tertulis).
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan
Penyalahgunaan Wewenang menurut UU No. 30 Tahun 2014
Penyalahgunaan Wewenang menurut
UU Tipikor Tanggung jawab dalam administrasi: tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi
Tanggung jawab dalam pidana adalah tanggung jawab pribadi
Harus ada hasil pemeriksaan APIP dan belum ada proses pidana untuk dapat diajukan permohonan ke PTUN
Didahului penyelidikan/penyidikan berdasarkan informasi media, LSM, hasil audit BPKP, BPK, APIP, dan sumber lainnya, kemudian dilakukan prapenuntutan/penuntutan dan pemeriksaan di persidangan
Penyalahgunaan wewenang tanpa adanya kerugian negara atau kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian Negara
Penyalahgunaan wewenang konsteks kerugian negara yang didahului dan diikuti sikap batin jahat (mens rea) yaitu maksud menguntungkn diri sendiri/orang lain/korporasi
Tujuan UU No. 30 Tahun 2014 adalah untuk menciptakan tertib penyelenggaran adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, sehingga UU Administrasi Pemerintahan lebih menitikberatkan pada pembangunan adminitrasi pemerintahan yang baik dan benar
Undang-Undang Tipikor lebih menitikberatkan pada sistem penindakan (represif)
Alat bukti pengujian penyalahgunaan wewenang berupa: bukti surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan pemohon, pengetahuan hakim, alat bukti lain (informasi elektronik atau dokumen elektronik)
Alat bukti pengujian penyalahgunaan wewenang berupa: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi secara elektronik dan dokumen elektronik
Para pihak: hanya ada Pemohon (tidak ada termohon)
Para pihak: JPU dan Terdakwa/Penasihat Hukum
Sanksi adminitratif ringan, sedang atau berat.
pidana penjara dan denda dan uang pengganti
Universitas Sumatera Utara
119
BAB III
SISTEM PEMBUKTIAN DALAM SIDANG PERMOHONAN PENILAIAN ADA ATAU TIDAK PENYALAHGUNAAN WEWENANG DI PTUN DAN PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN TIPIKOR ATAS ADA ATAU
TIDAK UNSUR PENYALAHGUNAAN WEWENANG
A. Sistem Pembuktian Dalam Sidang PTUN Terhadap Permohonan Ada Atau
Tidak Penyalahgunaan Wewenang
1. Tata Cara Persidangan Permohonan Ada Atau Tidak Penyalahgunaan
Wewenang
Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 memberikan nuansa yang baru bagi
pelaksanaan kegiatan administrasi pemerintahan, demikian juga bagi persidangan di
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), mengapa dikatakan demikian, oleh karena
dalam bidang pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014 memberikan pedoman-pedoman
baru bagi tertib administrasi pemerintahan, sedangkan bagi PTUN akan menambah
tugas baru.
Pada Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan “Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan
dan/atau tindakan”. Sesuai dengan ketentuan umum Pasal 1 angka 18 UU No. 30
Tahun 2014 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan pada Undang-
Undang ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
119
Universitas Sumatera Utara
Jika memperhatikan dengan seksama Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun
2014 tersebut, disebutkan bentuk upaya yang dapat dilakukan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan kepada PTUN adalah “Permohonan” bukan “Gugatan”. Pada
UU No. 30 Tahun 2014 ada disebutkan tentang gugatan, akan tetapi gugatan dapat
diajukan oleh warga masyarakat yang tidak menerima atas penyelesaian banding oleh
atasan pejabat.165
“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang
Lalu akan timbul pertanyaannya apakah perbedaan “permohonan”
dan “Gugatan” dan bagaimana beracara persidangan “permohonan” tentang penilaian
ada atau tidak penyalahgunaan wewenang.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tidak
ada disebutkan apakah yang dimaksud dengan permohonan dan belum ada mengatur
hukum acara persidangan penilaian permohonan ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang.
Mahkamah Agung Republik Indonesia karena memandang perlu
mengeluarkan aturan berkenaan dengan tata cara acara persidangan atas penilaian
permohonan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang, maka
mengeluarkan PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam
Penilaian Penyalahgunaan Wewenang, pada Pasal 1 angka 5 disebutkan:
165Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Bab X, Pasal 76 ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam Keputusan
dan/atau Tindakan”
Berdasarkan Pasal 5 PERMA No. 4 Tahun 2015 telah diuraikan tentang tata
cara pengajuan permohonan pada pokoknya sebagai berikut:166
1) Permohonan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memiliki wilayah hukum meliputi tempat kedudukan Pejabat Pemerintahan yang menerbitkan keputusan dan atau melakukan tindakan (Pejabat Pemerintahan yang mengajukan permohonan).
2) Permohonan tersebut diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara.
3) Apabila Pemohon berkedudukan atau berada di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta.
4) Berkas permohonan diajukan dengan melengkapi administrasi permohonan dan alat bukti pendahuluan yang mendukung permohonan tersebut,
5) Adapun kelengkapan administrasi dan alat bukti pendahuluan sekurang-kurangnya berupa:
a. Bukti yang berkaitan dengan identitas pemohon yaitu: 1. Fotokopi keputusan dan/atau peraturan perundang-undangana
pembentukan Badan Pemerintahan yang bersangkutan, dalam hal pemohon adalah Badan Pemerintahan; dan/atau
2. Fotokopi KTP atau identitas diri lain, surat keputusan pengangkatan jabatan pemohon pada saat keputusan dan/atau tindakan pemohon yang dimohonkan penilaian itu diterbitkan dan/atau dilakukan, dalam hal pemohon pejabat pemerintahan.
b. Fotokopi keputusan yang dimohonkan penilaian dan hasil pengawasan APIP, serta fotokopi surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan.
c. Daftar calon saksi dan/atau ahli, dalam hal pemohon bermaksud mengajukan saksi dan/atau ahli; dan
d. Bukti-bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik, bila diperlukan.
6) Panitera wajib melakukan penelitian administrasi permohonan dan memeriksa kelengkapan alat bukti pendahuluan.
7) Apabila berkas dinyatakan telah lengkap selanjutnya berkas permohonan dinyatakan diterima dan diberikan tanda terima berkas setelah membayar panjar biaya perkara melalui Bank yang ditunjuk untuk itu.
166Mahkamah Agung, PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 5.
Universitas Sumatera Utara
8) Dalam hal berkas permohonan dinilai belum lengkap, Panitera Pengadilan memberitahukan kepada pemohon tentang kelengkapan yang harus dipenuhi dan pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak pemohon menerima pemberitahuan berkas kurang lengkap.
9) Apabila berkas permohonan belum lengkap, maka Panitera memberitahukan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam Buku Register Perkara disertai pengembalian berkas permohonan.
10) Permohonan dapat diajukan kembali dengan permohonan baru disertai dengan kelengkapan permohonan. Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa tata cara persidangan
permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang, Pengadilan Tata
Usaha Negara berpedoman kepada PERMA No. 4 Tahun 2015, dengan tata cara
persidangan sebagai berikut:167
1. Pemeriksaan persidangan dilakukan oleh Majelis Hakim.
2. Persidangan dilakukan tanpa melalui proses dismissal maupun pemeriksaan persiapan (sebagaimana biasanya proses perkara gugatan di PTUN).
3. Persidangan dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
4. Setelah Ketua Majelis Hakim menyatakan persidangan dibuka dan terbuka untuk umum, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan:
a. Pemeriksaan pokok permohonan. Pemeriksaan pokok permohonan maksudnya adalah dimulai dengan memberikan kesempatan kepada pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan yang diajukannya.
b. Pemeriksaan bukti surat atau tulisan. c. Mendengarkan keterangan saksi. d. Mendengarkan keterangan ahli. e. Pemeriksaan alat-alat bukti lain berupa informasi elektronik atau
dokumen elektronik. 5. Setelah acara pemeriksaan selesai selanjutnya adalah putusan dari Majelis
Hakim. 6. Dalam hal pemohon mencabut permohonannya, maka Majelis Hakim akan
menerbitkan Penetapan Pencabutan Permohonan. Penetapan Pencabutan Permohonan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan Majelis akan memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret Permohonan
167Mahkamah Agung, PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 10, 11, 12 dan 16.
Universitas Sumatera Utara
tersebut dari Buku Register Permohonan, yang salinannya akan disampaikan kepada pemohon.
Berdasarkan Pasal 17 PERMA No. 4 Tahun 2015, amar putusan permohonan
penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang berbunyi:
1. “Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat formal, Pengadilan tidak berwenang dan/atau pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing).
2. Dalam hal pemohon Badan Pemerintahan: - “Mengabulkan permohonan pemohon”. - “Menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan ada
unsur penyalahgunaan wewenang”. - “Menyatakan batal atau tidak sah keputusan dan/atau tindakan pejabat
pemerintahan”. Dalam hal Pemohon Pejabat Pemerintahan:
- “Mengabulkan permohonan pemohon”. - “Menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan tidak
ada unsur penyalahgunaan wewenang”. - “Memerintahkan kepada negara untuk mengembalikan kepada
pemohon uang yang telah dibayar”, dalam hal pemohon telah mengembalikan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
3. “Menolak permohonan pemohon”, dalam hal keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang apabila pemohonnya Badan pemerintahan, atau dalam hal keputusan dan/atau tindakan pemohon ada unsur penyalahgunaan wewenang apabila pemohonnya pejabat pemerintahan; atau
4. “Menyatakan permohonan gugur”, dalam hal pemohon tidak hadir dalam persidangan 2 (dua) kali berturut-turut pada sidang pertama dan kedua tanpa alasan yang sah atau pemohon tidak serius. Pada Pasal 21 UU No. 30 Tahun 2014 diatur bahwa Pengadilan wajib
memutus permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan, dan upaya hukum
terhadap putusan Pengadilan adalah banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.
Universitas Sumatera Utara
Memperhatikan seluruh uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
d. Yang berhak mengajukan permohonan/subjek pemohon untuk mengajukan
permohonan adalah badan dan/atau pejabat pemerintah.
e. Tidak melalui proses dismissal maupun pemeriksaan persiapan.
f. Dalam persidangan permohonan hanya ada satu pihak yakni pemohon tidak
ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan (sebagai termohon maupun sebagai
tergugat).
Jika hanya ada satu pihak saja, maka tidak ada pihak lawan yang harus
menyangkal/membuktikan bahwa apa yang dimohonkan oleh pemohon tidak benar
adanya, dengan demikian seyogyanya permasalahan yang dimohonkan adalah tidak
mengandung sengketa dengan pihak lain. Pada Pasal 4 ayat (1) huruf d PERMA No.
4 Tahun 2015 diatur bahwa amar putusan permohonan adalah hanya menyatakan
keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintah ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang, amar putusan tidak ada memutuskan untuk
“menghukum” siapapun untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal, dengan
demikian permohonan ini lebih bersifat kepada kepentingan sepihak yakni pemohon
saja. Memperhatikan hal tersebut jika membandingkannya dengan hukum perdata,
maka ciri-ciri permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang
menyerupai gugatan voluntair /gugatan permohonan, akan tetapi gugatan voluntair
dalam hukum acara perdata diputus dengan penetapan (putusan declatoir) yaitu suatu
putusan yang bersifat menetapkan. Biasanya gugatan voluntair diperiksa dan diadili
oleh hakim tunggal, sedangkan permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan
Universitas Sumatera Utara
wewenang diputus dalam bentuk putusan dan diperiksa serta diadili oleh majelis
hakim (vide Pasal 1 angka 6 PERMA No.4 Tahun 2015).
g. Yang menjadi objek permohonan adalah keputusan dan/atau tindakan.
Dalam Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 tahun 2014 disebutkan badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan “permohonan kepada Pengadilan untuk
menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan
dan/atau tindakan”, sedangkan dalam Pasal 3 PERMA No. 4 Tahun 2015 disebutkan
permohonan yang diajukan berisi tuntutan agar “keputusan dan/atau tindakan pejabat
pemerintahan dinyatakan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang”. Pasal
21 adalah termasuk kedalam Bagian ketujuh tentang Larangan Penyalahgunaan
Wewenang didalam UU No. 30 Tahun 2014. Bagian ketujuh didalam undang-undang
ini dimulai dari Pasal 17 hingga Pasal 21. Bagian ketujuh mengatur hal-hal yang
dilarang berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang, pada Pasal 20 disebutkan
bahwa pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh Pengawas
Intern Pemerintah (APIP), jika terdapat kesalahan administratif dalam hal
penyalahgunaan wewenang, maka badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat
dikenakan sanksi administratif, apabila badan dan/atau pejabat pemerintahan
dikenakan sanksi maka permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan
wewenang adalah seperti upaya yang dapat dilakukan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan atas hasil pengawasan APIP, berdasarkan Pasal 3 PERMA No. 4 Tahun
2015 disebutkan “badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintahan dapat
Universitas Sumatera Utara
mengajukan permohonan….”, selain itu sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
bahwa pada persidangan permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan
wewenang hanya terdapat satu pihak yakni pemohon dan putusan Pengadilan adalah
“menyatakan” bukan “menghukum” siapapun, dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tindakan dan/atau keputusan yang dijadikan dasar untuk dimohonkan dinilai
oleh Pengadilan adalah tindakan dan/atau keputusan pejabat pemerintahan itu sendiri,
dengan kata lain dalam permohonan ini badan dan/atau pejabat pemerintahan
bermohon kepada Pengadilan untuk turut menilai apakah dalam keputusan dan/atau
tindakannya telah terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, oleh karena itu lah
dalam permohonan ada atau tidak penyalahgunaan wewenang, hasil penilaian APIP
tidak diajukan sebagai objek dalam persidangan dan APIP tidak pula disertakan
sebagai pihak didalam persidangan permohonan ini. Akan tetapi timbul pertanyaan
lain sekiranya PTUN mengabulkan permohonan dan membatalkan keputusan
dan/atau tindakan pejabat pemerintahan, hasil APIP yang menyatakan adanya
penyalahgunaan wewenang tetap mempunyai validity (daya laku),168
168Dani Elpah. et.al., Op.Cit., hlm.119.
UU No. 30
Tahun 2014 juga hanya mengatur bahwa upaya hukum terhadap putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara adalah banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
sedangkan APIP tidak ada diberikan hak untuk melakukan upaya apapun, hal ini tentu
saja karena APIP tidak ditarik sebagai pihak dalam persidangan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pembuktian Dalam Permohonan Ada Atau Tidak Penyalahgunaan
Wewenang
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh
pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat
kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim
memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.169
Berikut adalah asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara:
170
1. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causa). Dengan asas ini tiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig samapai ada pembatalan (lihat Pasal 67 ayat (1)).
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat (Pasal 67 ayat (1) dan ayat (4) huruf a)
3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil.
4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan Mahkamah Agung sebagai puncaknya.
5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan.
6. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. 7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa
hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga
169Bachtiar Effendie. et.al, SuratGugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 23
170Fatria Khairo,Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Cintya Press, 2016), hlm. 30-34.
Universitas Sumatera Utara
penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN). Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
8. Asas sidang terbuka untuk umum. 9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang
terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan puncaknya adalah Mahkamah Agung.
10. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimum remedium.
11. Asas obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau penitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan diatas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan Pasal 79 UU PTUN).
Berdasarkan pada Pasal 13 PERMA No. 4 Tahun 2015 disebutkan alat bukti
dalam permohonan penilaian ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang
meliputi:
a. Surat atau tulisan.
b. Keterangan saksi.
c. Keterangan ahli.
- Pada Pasal 14 disebutkan: bahwa Saksi dan/atau ahli dapat diajukan oleh
pemohon atau dipanggil atas perintah Pengadilan.
d. Pengakuan Pemohon.
e. Alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.
Universitas Sumatera Utara
Menurut ketentuan Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014, badan dan/atau
pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi: a)
larangan melampaui wewenang; b) larangan mencampuradukkan wewenang;
dan/atau c) larangan bertindak sewenang-wenang. Maka untuk membuktikan ada atau
tidak nya tindakan pejabat dalam melakukan penyalahgunaan wewenang dilihat dari
hasil proses pemeriksaan di pengadilan TUN, dimana badan dan/atau pejabat
pemerintahan dikategorikan melampaui wewenang apabila keputusan dan/atau
tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya
wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan dan/atau pejabat
pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila keputusan
dan/atau tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang
diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Badan
dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila
keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan, dan/atau
bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Berikut akan diuraikan tentang alat bukti didalam persidangan permohonan
penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang:
1. Surat atau Tulisan
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan
Universitas Sumatera Utara
buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian
maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat
tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk
dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.171
Menurut Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
pada Pasal 101 diatur bahwa surat sebagai alat bukti terdiri dari3 (tiga) jenis, yaitu:
172
a) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
b) Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
c) Surat-surat lain yang bukan akta adalah merupakan alat bukti bebas dimana Hakim tidak diharuskan menerima dan mempercayainya.
2. Keterangan Saksi
Keterangan saksi, adalah keterangan mengenai sesuatu yang dialami, dilihat
serta didengar oleh saksi sendiri. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk
memberikan ke saksian,apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang
dapat menjadi saksi.173
171Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Edisi Keenam; Yogyakarta:
Liberty, 2002), hlm. 141. 172Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara(Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1997), hlm. 70-71. 173Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 132.
Universitas Sumatera Utara
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Dengan demikian
pendapat, dugaan, anggapan atau keterangan yang diperoleh dari orang lain menjadi
tidak relevan dijadikan keterangan saksi.174
Ada beberapa saksi yang dilarangatau tidak diperbolehkandidengar
keterangannya sebagai saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU PTUN
yaitu:
175
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-lai dan perempuan salah satu
pihak.
yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.
2. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai.
3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun. 4. Orang sakit ingatan.
Pasal 89 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
disebutkan bahwa orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk
memberikan kesaksian adalah:
b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan
atau jabatannya itu.
Dalam menilai kesaksian saksi ini, hakim diharuskan memperhatikan Pasal
172 HIR/309 RBg yang menentukan kriteria penilaian yaitu:176
174Fatria Khairo, Op.Cit., hlm. 110. 175ZairinHarahap,Op.Cit., hlm. 133.
Universitas Sumatera Utara
a. Hubungan kesaksian-kesaksian apakah berdiri sendiri atau ada hubungan
(kecocokannya)
b. Perikehidupan, adat dan martabat saksi
c. Alasan apa sehingga kesaksian itu diberikan.
Sedangkan cara memeriksa saksi di depan persidangan telah ditentukan oleh
Pasal 144 HIR/171 RBg dan Pasal 147 HIR/175 RBg, yaitu:177
1. saksi diperiksa satu persatu
a) Pasal 144 HIR/171 RBg menentukan:
2. ditanya identitas, nama, pekerjaan, umur, dan tempat tinggal 3. ditanya apakah saksi ada hubungan keluarga/pekerjaan dengan pihak-
pihak berperkara. b) Pasal 147 HIR/175 RBg menentukan:
1. ditanya kesediaannya sebagai saksi atau minta dibebaskan menjadi saksi bagi mereka yang termasuk Pasal 146 HIR/174 RBg
2. saksi disumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangannya. Apabila saksi tidak mau disumpah atau tidak mau memberi keterangannya makaatas permintaan dan biaya pihak berperkara, Hakim dapat memerintahkan saksi disandera paling lama 3 bulan (HIR) atau sampai putusan dijatuhkan (RBg).
c) Pasal 150 HIR/178 RBg menentukan:178
1. para pihak beperkara dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui hakim, yakni hal-hal yang relevan dengan pokok perkara.
2. hakim sendiri dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi. Selanjutnya, Undang-Undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak
cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya
suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus
ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.179
176Victor Situmorang, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Bina Aksara,
1987), hlm. 74. 177Ibid., hlm. 75.
178Ibid., hlm. 76. 179Zairin Harahap, Op.Cit., hlm. 135.
Universitas Sumatera Utara
3. Keterangan Ahli
Pasal 102 UU No. 51 Tahun 2009, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang
ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Pada Pasal 103disebutkan
keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu
persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang
yang bersangkutan.
Semua ketentuan mengenai larangan menjadi saksi sebagaimana diatur dalam
Pasal 88 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga berlaku bagi seseorang yang akan
memberikan pendapatnya sebagai keterangan ahli.
Pada Pasal 14 PERMA No. 4 Tahun 2015 disebutkan: “Saksi dan/atau ahli
dapat diajukan oleh pemohon atau dipanggil atas perintah Pengadilan”. Hal ini karena
pada persidangan di PTUN yang dicari adalah kebenaran materiil, sehingga berlaku
asas hakim aktif untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas.
4. Pengakuan Pemohon
Pengakuan di muka Hakim di persidangan (gerechtelijke bekenteneis)
merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan
oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan yang membenarkan baik
seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang
Universitas Sumatera Utara
diajukan oleh lawannya yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim
tidak perlu lagi.180
Pada persidangan permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan
wewenang oleh karena hanya ada pemohon tidak ada pihak lawan, maka timbul
pertanyaan pengakuan yang bagaimana yang diberikan oleh pemohon. Jika melihat
pengertian pengakuan, maka pengakuan dalam hal ini adalah pengakuan sepihak oleh
pemohon tentang apa yang didalilkannya, bahwa pada dasarnya tindakan dan/atau
Menurut Pasal105 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 51 tahun 2009, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik
kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.
Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri
atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan
bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti
hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun
belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan
yang diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya
hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya
menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk
menerima atau tidak menerimanya.
180Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 173.
Universitas Sumatera Utara
keputusan yang diambil adalah tidak menyalahgunakan wewenang, dengan demikian
nilai pembuktian dari suatu pengakuan pemohon adalah terserah kepada majelis
hakim.
5.Alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik.
Pada Pasal 15 PERMA No. 4 Tahun 2015 disebutkan bahwa alat bukti
informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat berupa rekaman data atau
informasi yang dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, maupun rekaman secara elektronik, yang berupa tulisan, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka yang memiliki makna.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara belum
ada mengatur tentang alat bukti berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik,
alat bukti elektronik ini dimasukkan sebagai bagian alat bukti karena perkembangan
zaman oleh karenanya sudah dikenal didalam peraturan perundang-undangan terbaru
contohnya seperti UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU
Tipikor tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Universitas Sumatera Utara
Terorisme, UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme, dll
Pada dasarnya ketentuan mengenai pembuktian dijelaskan dalam hukum acara
PTUN diatur dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 107 UU No. 51 tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara PTUN. Dalam hukum acara PTUN pembuktian
tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang
memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang
berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau
sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang
menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal
menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak
boleh berat sebelah.181
Pada permohonan penilaian ada atau tidak penyalahgunaan wewenang hanya
ada satu pihak saja yakni pemohon tanpa adanya pihak lawan (termohon atau
tergugat), oleh karenanya dari segi tata cara persidangan dan alat-alat bukti terdapat
perbedaan dengan persidangan gugatan. Akan tetapi sepanjang belum ditentukan lain
Dalam persidangan di PTUN berlaku asas hakim aktif artinya
hakim bersikap bebas karena UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas, karena
sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij
bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh
kebenaran materiil, hal ini berbeda dengan persidangan perdata dimana hakim
bersikap pasif.
181Zairin Harahap,Op.Cit.,hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
dalam suatu peraturan perundang-undangan maka segala hal yang diatur didalam
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara masih berlaku
didalam persidangan dan pemeriksaan permohonan penilaian ada atau tidak
penyalahgunaan wewenang, demikian pula dengan ketentuan Pasal 107 UU Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan:
“hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sah pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti
berdasarkan keyakinan hakim”.
Berdasarkan seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu asas
yang berlaku dalam hukum acara peradilan tata usaha negara adalah asas hakim aktif,
artinya hakim mempunyai peran dalam proses persidangan guna memperoleh suatu
kebenaran materiil, maka hakim dapat memerintahkan untuk memberikan informasi
atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN). Demikian pula halnya dalam
persidangan permohonan ada atau tidak penyalahgunaan wewenang, dalam UU No.
30 Tahun 2014 tidak mengatur tentang hukum acara persidangan permohonan
tersebut, sehingga Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2015, jika
melihat kepada Pasal 14 PERMA No. 4 Tahun 2015, disebutkan bahwa saksi
dan/atau ahli dalam persidangan permohonan ada atau tidak penyalahgunaan
wewenang dapat diajukan oleh pemohon sendiri dan dapat pula dipanggil atas
perintah pengadilan, dengan demikian asas hakim aktif tetap berlaku dalam hukum
Universitas Sumatera Utara
acara permohonan ini. Mencari kebenaran materiil adalah merupakan tujuan asas
hakim aktif, akan tetapi menjadi pertanyaan didalam persidangan permohonan ada
atau tidak penyalahgunaan wewenang, apakah kebenaran materiil akan tercapai
mengingat hanya ada satu pihak yakni pemohon dan persidangan dilakukan hanya
dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja (vide Pasal 21 ayat (3)
UU No. 30 Tahun 2014).
Selanjutnya timbul pertanyaan apakah Mahkamah Agung telah melakukan
kekeliruan dengan menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2015 tersebut. Mengapa
Mahkamah Agung hanya menyebutkan hanya ada pemohon pada permohonan ada
atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang, Mengapa Mahkamah Agung tidak
menyebutkan adanya termohon.Mahkamah Agung tidak melakukan kekeliruan, sebab
jika memperhatikan kepada UU No. 30 Tahun 2014 khususnya Pasal 21 tidak ada
menyebutkan adanya pihak yang diajukan sebagai termohon dan tidak pula
menyebutkan bahwa hasil pengawasan APIP yang dijadikan objek dalam
permohonan penilaian ada atau tidak unsur penyalahgunaan wewenang
B. Sistem Pembuktian Dalam Sidang Tindak Pidana Korupsi
1. Sistem pembuktian
Tujuan hukum acara pidana ialah menemukan kebenaran materiil, untuk
menemukan kebenaran materil tidak mudah, hakim yang memeriksa suatu perkara
dalam menjatuhkan suatu putusan tentu saja terkadang mengalami kesulitan karena
faktor alat bukti yang dibutuhkan untuk menjatuhkan putusan, disamping kadang-
Universitas Sumatera Utara
kadang peristiwa pidana telah terjadi beberapa waktu lampau, sehingga untuk proses
menemukan kebenaran materiil mencakup sistem pembuktian dan hukum
pembuktian.
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang
boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat
bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk
keyakinannya, sedangkan yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah
merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat
bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat
dan tata cata mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
menolak dan menilai suatu pembuktian.182
Sumber hukum pembuktian adalah:
183
1. Undang-undang;
2. Doktrin atau ajaran;
3. Yurisprudensi;
Karena hukum pembuktian merupakan bagian dari hukum acara pidana, maka
sumber hukum yang utama adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209. apabila didalam praktik menemui kesulitan dalam
182Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (Bandung:
Mandar Maju, 2003), hlm. 10. 183Ibid.
Universitas Sumatera Utara
penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka
dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.
Secara umum dikenal 4 (empat) teori sistem pembuktian: 184
1. Conviction-in time
Sistem pembuktian conviction-in timemenentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa, jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim.
2. Conviction-Raisonee Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-Raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian yang masuk akal.
3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Pembuktian menurut undang-undang secara positifmerupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.
184M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 277-280.
Universitas Sumatera Utara
Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Meskipun demikian dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.
4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negative, terdapat dua komponen: I. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang, II. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur tersebut tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara dan dnegan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersbeut harus “saling mendukung”.
Universitas Sumatera Utara
Negara Indonesia jika memperhatikan kepada Kitab Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menganut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara
negatif (negatief wettelijk) sebagaimana terkandung dalam Pasal 183 KUHAP yang
berbunyi sebagai berikut:185
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau
tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”.
186
- kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”,
- dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Menurut D. Simons dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-
undang secara negatif (negatief wettijke bewijstheorie) ini pemidanaan didasarkan
kepada pembuktian ganda (dubbelen grondslag) yaitu pada peraturan undang-undang
185Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, Pasal 183. 186M. Yahyah Harahap, Op.Cit., hlm. 280.
Universitas Sumatera Utara
dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan itu
bersumberkan pada peraturan undang-undang.187
Untuk menjajaki alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183
KUHAP, barangkali ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal
mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan
kepastian hukum”. Pendapat ini diambil dari makna penjelasan Pasal 183. Dari
penjelasan Pasal 183 pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa
sistem pembuktian yang paling tepat dalam penegakan hukum di Indonesia ialah
sistem pembuktian menurut undnag-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan,
kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu
kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time dengan “sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif” (positief wettelijk stelsel).
188
Pada dasarnya dalam tindak pidana korupsi juga berlaku sistem pembuktian
berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), akan tetapi ada beberapa
kekhususan sistem pembuktian dalam hukum pidana formal korupsi, yakni
tentang:
189
1. Perluasan bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk
(Pasal 26 A).
187Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua; Jakarta:Sinar Grafika, 2016)
(selanjutnya Andi Hamzah II),hlm. 256. 188M. Yahyah Harahap, Loc.Cit. 189Adami Chazawi I,Op. Cit.,, hlm. 359.
Universitas Sumatera Utara
2. Beberapa sistem beban pembuktian yang berlainan dengan sistem yang ada
dalam KUHAP.
2. Jenis Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak
pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.190
Dalam hukum pidana formal umum, macam-macam alat bukti serta cara
penggunaan dan batas-batasnya telah ditentukan di dalam KUHAP. Penegakan
hukum pidana materiil korupsi melalui hukum pidana formal secara umum termasuk
ketentuan perihal pembuktian tetap tunduk dan diatur dalam KUHAP, namun sebagai
hukum pidana khusus terdapat pula ketentuan mengenai hukum acara yang sifatnya
khusus dan merupakan perkecualian. Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam
hukum pidana formal korupsi yang dirumuskan dalam UU Tindak Pidana Korupsi
merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada dalam KUHAP.
191
190Andi Hamzah II, Op.Cit.,hlm. 11.
191Adami Chazawi I, Op.Cit., hlm. 359.
DalamUU No. 20 Tahun 2001tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak diatur
tentang alat bukti dalam perkara tindak pidana korupsi, dengan demikian ketentuan
mengenai alat bukti tetap mengacu kepada KUHAP. Dalam KUHAP jenis-jenis alat
bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (vide
Pasal 1 angka 27 KUHAP).
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (vide Pasal 1 angka 28KUHAP).
Berdasarkan Pasal 187 KUHAP, Surat dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah adalah :
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
4. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya (vide Pasal 188 ayat (1)KUHAP).
Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP. Esensi dari alat
bukti petunjuk diatur didalam ketentuan Pasal 188 KUHAP yang selengkapnya
berbunyi sebagai berikut:
a. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
b. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diperoleh dari : keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesamaan berdasarkan hati nuraninya.
Karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim
yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan
dalam sidang, maka sifat subyektifitasnya hakim lebih dominan. Apabila kita
membaca dengan teliti mengenai rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk
dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, maka unsur atau syarat alat bukti
petunjuk adalah : 192
1. Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian;
2. Unsur kedua, ada dua persesuaian, ialah bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang lain, maupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan;
192Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Bandung: Alumni, 2008) (selanjutnya Adami Chazawi II), hlm. 71.
Universitas Sumatera Utara
3. Unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) dan menunjukkan adanya 2 ( dua) hal in casu kejadian, ialah menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukkkan siapa pembuatnya;
4. Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dalam Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsidisebutkan:
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan optic atau yang serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik ataupuns elain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau ferforasi yang memiliki makna. Melihat kepada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut,
maka terdapat perluasan pada alat bukti petunjuk, perluasan tersebut berupa macam-
macam alat bukti berikut: 193
1. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.
Alat bukti keterangan ahli dapat digunakan untuk membentuk alat bukti
petunjuk yang mana terdapat dalam Pasal 188ayat (2) telah ditentukan secara
limitatif, apalagi dengan menggunakan kata hanya, maka sudah pasti tidak
193Adami Chazawi I, Op. Cit., hlm. 362.
Universitas Sumatera Utara
diperkenankan hakim menggunakan alat bukti keterangan ahli untuk membentuk alat
bukti petunjuk. Namun keterangan ahli dapat digunakan untuk tambahan bahan dalam
mebentuk alat bukti petunjuk. Sama halnya dengan barang bukti, yang juga dapat
digunakan sebagai bahan tambahan untuk membentuk alat bukti petunjuk194
Sistem pembuktian yang berlaku pada penanganan perkara tindak pidana
korupsi pada dasarnya berpedoman kepada Kitab Undang-undang Acara Pidana,,
demikian pula terhadap beban pembuktian, sebagai aparat yang berwenang untuk
membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan ada di tangan Jaksa selaku
Penuntut Umum. Akan tetapi pada Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal37 ,Pasal
37A, Pasal 38B Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi terdapat beberapa ketentuan khusus tentang sistem pembuktian, dimana pada
.
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (vide Pasal
189 ayat (1)KUHAP).
Alat-alat bukti tersebut dipergunakan untuk membutikan kesalahan terdakwa
baik ditingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di depan persidangan.
3. Sistem Pembebanan Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
194Ibid., hlm. 86.
Universitas Sumatera Utara
penanganan tindak pidana korupsi juga berlaku sistem pembebanan pembuktian
terbalik.
Pada dasarnya, sistem pembuktiannya sama dengan memberlakukan Pasal 183
KUHAP, khususnya bagi hakim dalam alat-alat bukti. Standar yang harus diturut
untuk menyatakan terbuktinya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan tetap terikat pada ketentuan Pasal 183
KUHAP. Ini merupakan ketentuan asas pokok atau fondasi hukum pembuktian acara
pidana, yang tidak dengan mudah disimpangi oleh hukum pembuktian acara pidana
khusus. Jadi, sungguh berbeda dengan apa yang sering didengar, bahwa sistem
pembuktian dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem terbalik.
Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanan pembuktian terbalik.195
Sistem pembalikan beban pembuktian “Reversal Burden of Proof” merupakan
sistem pembuktian yang dipergunakan bagi negara-negara Anglo-Saxon dan
bertujuan untuk mempermudah pembuktian dalam kasus-kasus yang khusus sifatnya,
dengan demikian sistem pembalikan beban pembuktian ini sangat terbatas hanya pada
kasus-kasus tertentu yang sangat sulit pembuktiannya, sehingga ditempuhlah suatu
sistem yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip atau asas universal mengenai
pembuktian. Pada negara-negara Anglo-Saxonpun sistem pembalikan beban
pembuktian tetap berada dan menjadi tugas tanggung jawab Penuntut Umum, bukan
pada diri tersangka/terdakwa. Hal ini disebabkan bahwa asas universal dimana pun
tetap menghendaki adanya praduga tidak bersalah “presumption of innocence”
195Ibid.,hlm. 110.
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu akseptabilitas sifatnya, sehingga tersangka/terdakwa tidak pernah ia
diwajibkan untuk mempersalahkan dirinya sendiri “non self incrimination”, lebih
jauh lagi seorang tersangka/terdakwa memiliki suatu hak yang dinamakan “The right
to remain silent” atau hak untuk diam, kesemuanya ini merupakan bahagian dari
prinsip perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
sebesar apapun dan dengan alasan apapun juga.196
Ketentuan yang menyangkut pembuktian tindak pidana korupsi ada dalam
Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b jo 38, Pasal 12B jo Pasal 12C, Pasal 37, Pasal 37A
dan Pasal 38B. Apabila kita pelajari dengan seksama ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut, maka ketentuan mengenai pembuktian dalam hukum pidana formal korupsi
yang berbeda dengan hukum pidana formal umum, yakni sebagai berikut:
197
a. Pertama, pembuktian berimbang terbalik dalam Pasal 37.
b. Kedua, jika dihubungkan dengan jumlah penerimaan gratifikasi antara Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih dengan gratifikasi kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), juga menganut sistem yang dapat disebut dengan berimbang bersyarat (Pasal 12B ayat (1) huruf a dan huruf b).
c. Ketiga bahwa dalam hal objek mengenai harta yang telah didakwakan menganut sistem pembuktian semi terbalik (Pasal 37A).
d. Keempat bahwa dalam hal objek mengenai harta benda yang belum didakwakan dalam perkara yang sedang diperiksa juga menganut sistem pembuktian terbalik (Pasal 38B).
e. Kelima, bagi objek penerimaan gratifikasi yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih menganut sistem pembuktian terbalik. (Pasal 12B ayat (1) huruf a jo Pasal 12C).
Pasal 37 menyebutkan:
196Indriyanto Seno Adji dalam Setyo Utomo, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana
Korupsi (Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Negara Hukum) (Jakarta: Sofmedia, 2014), hlm. 6. 197Adami Chazawi I, Op.Cit., hlm. 363.
Universitas Sumatera Utara
Ayat (1) “terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak
melakukan tindak pidana korupsi”
Ayat (2) “ dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti”
Melihat kepada Pasal 37 bahwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah
adalah merupakan hak bagi terdakwa, hal ini tampak seperti sistem pembuktian
terbalik, padahal sejak ditetapkan sebagai tersangka seseorang sudah memiliki hak
asasi yang timbul demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 50-68 KUHAP.
Khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan
(termasuk juga yang didakwakan dalam surat dakwaan), tidak dapat menggunakan
Pasal 37, karena Pasal 37 khusus diperuntukkan bagi pembuktian mengenai dakwaan
tindak pidana (khususnya suap menerima gratifikasi yang dilainya Rp10 juta atau
lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan bukan dakwaan
mengenai harta benda terdakwa. Keberhasilan terdakwa membuktikan tentang
kekayaannya bersumber dari hal yang halal, tidak berarti ia dibebaskan dalam
dakwaan tindak pidana dalam perkara pokok, melainkan hanya sekedar menyatakan
bahwa harta benda yang belum didakwakan bukan berasal dari tindakan korupsi dan
karenanya menolak tuntutan Penuntut Umum untuk perampasan harta benda tersebut.
Apabila nilai gratifikasi kurang dari Rp10 juta beban pembuktian tetap pada Penuntut
Umum (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan berlaku sistem pembuktian biasa
sebagaimana dalam KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 37A menyebutkan:
Ayat (1) “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan”
Ayat (2) “dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi”
Ayat (3) “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, sehingga penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikannya.
Pasal 37A menggunakan sistem pembuktian semi terbalik, sebab apabila
terdakwa tidak dapat membuktikan tentang harta bendanya yang telah didakwakan
dalam artian terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan, maka ketidak
berhasilan terdakwa membuktikan harta bendanyanya dipergunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
memperkuat alat bukti yang sudah ada tentang terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi dalam pokok perkaranya.
Pada Pasal 37A ayat (3) menerima gratifikasi sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 12B tidak termasuk didalamnya. Keadaan ini dapat dipergunakan sebagai
dasar/alasan, bahwa:198
1) Sistem beban pembuktian terbalik mengenai objek harta benda terdakwa dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang didakwakan dalam Pasal 37A, berbeda makna, objek, fungsi dan sistem bekerjanya dengan sistem beban pembuktian terbalik mengenai objek gratifikasi yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih seperti yang berlaku pada Pasal 12B huruf a.
2) Demikian juga sistem beban pembuktian terbalik mengenai objek harta benda terdakwa dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang didakwakan dalam Pasal 37A, berbeda akibat hukumnya. Kalau terdakwa tidak dapat membuktikan objek pembuktian mengenai harta benda terdakwa menurut Pasal 37A, keadaan tersebut digunakan oleh penuntut umum untuk memperkuat hasil pembuktiannya bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (tidak termasuk TPK menerima gratifikasi). Sementara itu ketidakberhasilan terdakwamembuktikan ketiadaan salah satu unsur TPK menerima gratifikasi terdakwa dipidana karena melanggar Pasal 12B.
3) Jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi perkara pokoknya sebagaimana dimaksud Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 31/1999 dan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12 UU No. 20/2001, penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pokok tersebut. Sementara pada objek gratifikasi yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih penuntut umum tidak dibebani kewajiban membuktikan, melainkan merupakan hak membuktikan.
198Ibid., hlm. 366.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari sudut objek apa yang harus dibuktikan oleh terdakwa, maka
pembuktian terbalik hanya berlaku dan diterapkan pada 2 (dua) objek pembuktian,
yaitu:199
1. Pertama: pada korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp10 juta atau lebih (Pasal 12B ayat (1) jo 37 ayat (2) jo 38A). Pembuktian terbalik pada korupsi suap menerima gratifikasi, dimana terdakwa dibebani kewajiban (bukan hak) untuk membuktikan tidak melakukan korupsi menerima gratifikasi, dapat disebut dengan sistem beban pembuktian terbalik murni. Karena objek yang wajib dibuktikan terdakwa adalah langsung pada unsur-unsur (kebalikannya) tindak pidana yang didakwakan (dalam perkara pokok), yang mengandung akibat hukum langsung pada amar pembebasan atau sebaliknya pemidanaan terdakwaatau pelepasan dari tuntutan hukum.
2. Kedua: pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B jo 37). Kewajiban terdakwa membuktikan terbalik (sebaliknya), yang kedua ini adalah bukan terhadap tindak pidana (unsur-unsurnya) yang didakwakan. Akibat hukum dari berhasil atau tidak berhasil terdakwa membuktikan harta benda terdakwa diperoleh dari korupsi atau secara halal, tidak menentukan dipidana ataukah dibebaskan terdakwa dari dakwaan melakukan korupsi dalam perkara pokok. Melainkan sekadar untuk dapat menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal terdakwa tidak berhasil membuktikan harta bendanya tersebut sebagai harta benda yang halal, atau sebaliknya untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal terdakwa berhasil membuktikan harta bendanya sebagai harta benda yang halal.
Tentu saja ada perbedaan antara sistem pembebanan pembuktian biasa dengan
sistem pembebanan pembuktian terbalik, walaupun bukan berupa perbedaan prinsip.
Perbedaan itu terdapat dalam hal cara membuktikan dan alat-alat bukti yang
dipergunakan. Sedangkan mengenai standar bukti pada dasarnya tetap mengacu pada
Pasal 183 KUHAP. Dalam sistem beban pembuktian biasa dan sistem pembuktian
199Setyo Utomo, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Asas Praduga Tak
Bersalah Dalam Negara Hukum) (Jakarta: Sofmedia, 2014), hlm. 186-187.
Universitas Sumatera Utara
semi terbalik, mengenai apa yang harus dibuktikan jaksa penuntut umum adalah
sama, yakni sama-sama membuktikan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi
semua unsur tindak pidana yang didakwakan.200 Pada sistem beban pembuktian biasa
berlaku cara menggunakan alat-alat bukti menurut KUHAP tanpa kecuali, ialah
membuktikan semua unsur tindak pidana dengan menggunakan alat-alat bukti yang
mengacu pada syarat minimal pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP. Pada dasarnya
alat bukti yang boleh dipergunakan dalam sistem pembebanan pembuktian semi
terbalik sama dengan alat bukti yang dipergunakan dalam sistem beban pembuktian
biasa, ialah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Namun, ada yang
berbeda mengenai dua hal, ialah mengenai bahan atau alat bukti yang digunakan
untuk membentuk alat bukti petunjuk dan cara untuk memperkuat alat- alat bukti
yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam hukum pidana korupsi, sistem
beban pembuktian biasa berlaku dalam 3 (tiga) hal :201
1. Jaksa membuktikan tindak pidana korupsi menerima suap gratifikasi yang nilai objeknya kurang dari Rp.10 juta ( Pasal 12B ayat huruf b). Tidak dapat ditafsirkan lain lagi, baik pembebanan pembuktiannya maupun cara dan prosedurnya karena telah tegas, harus berdasarkan KUHAP.
2. Jaksa membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok, dalam hal terdakwa didakwa juga mengenai harta benda yang menggunakan sistem beban pembuktian semi terbalik. Pembuktian jaksa ini dapat diperkuat dengan hasil pembuktian terdakwa yang tidak berhasil membuktikan tentang harta benda yang didakwakan bukan hasil dari korupsi.
3. Jaksa membuktikan tindak pidana korupsi yang didakwakan, yang mana dalam surat dakwaan tidak mendakwakan mengenai harta benda terdakwa.
200Adami ChazawiII, Op.Cit., hlm.160. 201Ibid., hlm. 163.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, dalam hukum pembuktian korupsi, pihak yang dibebani kewajiban
membuktikan tindak pidana yang didakwakan, selain korupsi suap menerima
gratifikasi Rp.10.000.00,-(sepuluh juta rupiah) atau lebih, tetap berada pada jaksa
penuntut umum.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor: 20 tahun 2001 dikatakan pengertian “ pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas dan berimbang” . Kata-kata “ bersifat terbatas “ didalam memori
Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa
terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi, hal ini tidak berarti terdakwa tidak
terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum, masih tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya. Kata “berimbang” mungkin lebih tepat sebanding
dilukiskan sebagai/berupa penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta
benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda , sebagai
output.202
4. Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi
a. Penyidikan
Pengertian penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 UU No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana adalah: “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
202Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991) (selanjutnya Andi Hamzah III),hlm. 108.
Universitas Sumatera Utara
cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yang disebut penyidikan adalah: pejabat polisi negara Republik Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
Undang untuk melakukan penyidikan.
Dalam tindak pidana korupsi yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
untuk melakukan penyidikan adalah:
1. Penyidik Kepolisian
Selain berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP, juga berdasarkan Pasal 14 ayat
(1) huruf g Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia disebutkan “kepolisian bertugas menyelidik dan
menyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
2. Penyidik Kejaksaan
Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan disebutkan: “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan Undang-Undang”, dan Pasal 39 UU No. 31 tahun 1999 dirubah
dengan UU Tipikor Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan: “Jaksa
Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang
yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”, berdasarkan kedua
Universitas Sumatera Utara
ketentuan tersebut maka Kejaksaan diberi wewenang melakukan penyidikan
dalam perkara tindak pidana korupsi.
3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan KPK mempunyai
tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
Melihat kepada ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, maka dapat tujuan dari
penyidikan adalah:
a. Mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi.
b. Menemukan tersangkanya.
Dari tujuan penyidikan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan
tindakan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana akan tetapi tindak pidana
itu belum terang dan belum ditemukan siapa yang melakukan tindak pidana. Adanya
suatu tindak pidana yang belum terang tersebut diketahui dari penyelidikan. Karena
menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Dapat disimpulkan pada mulanya dilakukan penyelidikan untuk menemukan
peristiwa yang diduga tindak pidana, kemudian walaupun belum terang karena masih
Universitas Sumatera Utara
dugaan, telah dapat dilakukan penyidikan untuk mencari bukti permulaan yang cukup
dan menemukan tersangka, hal ini juga berlaku bagi tindak pidana korupsi.
Seseorang dianggap telah melakukan tindak pidana jika telah memenuhi bukti
yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184
KUHAP. Penentuan 2 (dua) alat bukti tersebut mencakup pada seluruh unsur Pasal
sangkaan/dakwaan terhadap tersangka/terdakwa.
b. Penuntutan
Penuntutan berdasarkan Pasal 1 angka 7 KUHAP adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.
Menurut Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, disebut Jaksa adalah pejabat yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum
serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, sedangkan pada huruf b disebutkan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,
disebutkan kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a) melakukan penuntutan; b)
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap; c) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
Universitas Sumatera Utara
d) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang; e) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dalam perkara tindak pidana korupsi, apabila yang bertindak sebagai penyidik
adalah Kepolisian maka setelah dilakukan tindakan penyidikan selanjutnya berkas
tindak pidana korupsi dilimpahkan kepada kejaksaan selaku penuntut umum, sebab
Kepolisian tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penuntutan dalam perkara
tindak pidana korupsi. Apabila yang melakukan penyidikan perkara tindak pidana
korupsi itu, maka pihak Kejaksaan juga berwenang dalam melakukan penuntutan.
Sedangkan jika yang melakukan penyidikan adalah KPK, maka yang melakukan
penuntutan adalah KPK sendiri, sebab berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang
RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan
KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
ditugaskan jaksa dari Kejaksaan Agung RI untuk bertugas di KPK.
Apabila penyidikan dilakukan oleh Kepolisian, hasil penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik diserahkan kepada penuntut umum dalam bentuk berkas
perkara untuk dilakukan penuntutan. Berdasarkan Pasal 110 KUHAPdisebutkan:
1. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
2. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
Universitas Sumatera Utara
3. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk dari penuntut umum.
Berdasarkan Pasal 8 KUHAP, penyerahan berkas perkara dilakukan dengan
dua tahap, yaitu :
1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Sebelum melakukan penuntutan, penuntut umum terlebih dahulu mempelajari
dan meneliti berkas perkara yang diterima dari penyidik, apakah telah memenuhi
persyaratan formil maupun materiil (alat bukti) untuk membuktikan bahwa tersangka
telah melakukan tindak pidana. Hal ini sejalan dengan asas praduga tak bersalah
yang terdapat dalam Pasal 66 KUHAP, dimana tersangka atau terdakwa tidak
dibebani pembuktian, oleh karena itu penyidik dan penuntut umum wajib mencari
alat bukti yang cukup untuk menyatakan tersangka bersalah sehingga dapat diajukan
kepersidangan.
Apabila ada kekurangan pada penyidikan, Penuntut Umum memberitahukan
kepada penyidik bahwa berkas perkara belum lengkap, kemudian ditindaklanjuti
dengan penyerahan berkas perkara kepada penyidik berikut petunjuk penuntut umum
yang harus dipenuhi, tindakan penuntut umum ini disebut dengan pra penuntutan.203
203Pra Penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah
menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari dan meneliti kelengkapan
Universitas Sumatera Utara
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan telah lengkap,
maka penyidik wajib menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan.
Penuntutan tindak pidana berintikan dakwaan204
Surat dakwaan merupakan wujud dari manunggalnya fakta dan unsur pidana,
dimana arsiteknya adalah penuntut umum.
yang berisi fakta-fakta.
Fakta-fakta ini harus mempunyai makna dalam hukum, yaitu sebagai fakta-fakta
yuridis yang sesuai dengan unsur-unsur pidana yang didakwakan.
205
Surat dakwaan yang dapat dijadikan dasar pemeriksaan di depan persidangan,
dapat dilihat pada Pasal 143 KUHAP. Memperhatikan Pasal tersebut, ditentukan dua
syarat yang harus dipenuhi surat dakwaan, yaitu :
Penuntutan merupakan keputusan
sementara tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana.
206
1. Syarat Formal.
a. Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum.
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan (Pasal 30 ayat 1 huruf a penjelasan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI)).
204Surat Dakwaan (letter of accusation) yaitu surat yang berisi rumusan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa berdasarkan kesimpulan yan ditarik dari hasil penyidikan dan merupakan dasar pemeriksaan di depan sidang pengadilan (Pasal 143, Pasal 182 ayat 4 KUHAP dan Putusan MA No. 68/K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976).
205Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm 2.
206M.Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 384.
Universitas Sumatera Utara
2. Syarat Materiil.
a. Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.
b. Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.
Kalau ketentuan pada huruf b ini tidak dipenuhi, maka surat dakwaan batal demi
hukum, dengan kata lain surat dakwaan dianggap tidak pernah ada.
Setelah penuntut umum membuat surat dakwaan, selanjutnya berkas perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri berikut penyerahan tanggung jawab terdakwa dan
barang bukti, agar dapat dilakukan pemeriksaan perkara tersebut.
c. Pemeriksaan di Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi
Memeriksa, mengadili serta memutus perkara tindak pidana korupsi adalah
merupakan kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada di
lingkungan peradilan umum (vide Pasal 2 dan Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 46
tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).
Ketentuan beracara didalam pemeriksaan dan persidangan perkara tindak
pidana korupsi adalah sama dengan ketentuan beracara persidangan perkara tindak
pidana umum, oleh karena berdasarkan Pasal 26 UU Tipikor di sebutkan:
“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Terdapat beberapa prinsip yang berbeda
dengan tindak pidana umum, yakni:
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkara tindak pidana umum, tidak memungkinkan untuk diperiksa dan
diputus tanpa hadirnya terdakwa, atau dilakukan secara in absentia, namun dalam
perkara korupsi dibenarkan untuk digelar dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
Menurut Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 pemeriksaan dan diputusnya
perkara korupsi baru boleh dilakukan, apabila terdakwa telah dipanggil secara sah,
tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Jadi harus memenuhi dua
syarat, yakni : 1) harus dipanggil terlebih dahulu secara sah dan 2) tidak hadir tanpa
alasan yang sah. Ketentuan ini dipastikan hanya diperuntukkan bagi terdakwa yang
tidak ditahan, sebab bagi terdakwa yang ditahan untuk menghadap persidangan tanpa
diperlukan panggilan, karena menjadi tanggung jawab penuntut umum untuk
menghadirkannya ke persidangan pengadilan. 207
(2) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi;
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi.
Pasal 37:
(3) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
C. Perbedaan Sistem Pembuktian Hukum Administrasi Dan Hukum Pidana
Di Pengadilan Dalam Pengujian Ada Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang
207Adami Chazawi I,Op.Cit., hlm. 353.
Universitas Sumatera Utara
Sumber hukum acara dalam persidangan tindak pidana korupsi adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khusus tentang alat bukti
petunjuk dan alat bukti elektronik, sedangkan pada permohonan penilaian ada atau
tidaknya penyalahgunaan wewenang bersumber kepada Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, akan tetapi karena UU No 30 Tahun 2014 belum
mengatur tentang tata cara persidangan permohonan penilaian ada atau tidaknya
penyalahgunaan wewenang, maka Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian
Penyalahgunaan Wewenang.
Pada sub bab sebelumnya telah dibahas persamaan maupun perbedaan
prinsipil hukum administrasi dan hukum pidana korupsi, meliputi sumber hukum
formil dan materil, syarat pengajuan permohonan ke pengadilan, pembuktian unsur
subjektif dan objektif, dan lain sebagainya. Namun pada sub bab berikut ini akan
dibahas secara khusus perbedaan hukum administrasi dan hukum pidana dari sudut
pembuktian pada saat proses peradilan.
Pada permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang
hanya ada pihak Pemohon (sepihak) tidak ada pihak lain yang ditarik
Universitas Sumatera Utara
sebagai lawan, sedangkan hukum pidana korupsi terdapat dua
pihakyakniJaksa Penuntut Umum dan Terdakwa (didampingi Penasihat
Hukum).
Pada hukum administrasi dalam permohonan penilaian ada atau tidaknya
penyalahgunaan wewenang jenis alat bukti yang dipergunakan adalah :
i. Bukti surat atau tulisan;
ii. Keterangan saksi;
iii. Keterangan ahli;
iv. Pengakuan Pemohon;
v. Pengetahuan hakim atau bukti lain (informasi elektronik atau
dokumen elektronik).
Sedangkan hukum pidana korupsi jenis alat bukti yang dipergunakan
adalah:
vi. Keterangan saksi;
vii. Keterangan ahli;
viii. Surat;
ix. Petunjuk;
x. Petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi
secara elektronik dan dokumen elektronik;
xi. Keterangan terdakwa.
Universitas Sumatera Utara
Pada hukum pidana korupsi terhadap saksi yang tidak hadir tanpa alasan
yang cukup dapat dilakukan upaya paksa, dalam prakteknya Majelis Hakim
akan mengeluarkan penetapan untuk memerintahkan Jaksa Penuntut
Umum menghadapkan saksi ke persidangan (vide Pasal 159 ayat (2)
KUHAP), sedangkan pada ketentuan beracara permohonan penilaian ada
atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang tidak dapat dilakukan
upaya paksa terhadap saksi.
Pada hukum pidana korupsi pembuktian dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum dan terhadap terdakwa juga diberikan kesempatan untuk
mengajukan saksi-saksi dan ahli yang menguntungkan bagi terdakwa serta
dapat mengajukan bukti-bukti lain yang dapat menguntungkan bagi
terdakwa, sedangkan pada permohonan penilaian ada atau tidaknya
penyalahgunaan wewenang pembuktian berada pada pemohon semata,
sebab dalam permohonan ini tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai
lawan.
Persidangan permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan
wewenang berdasarkan Pasal 21 UU AP pengadilan wajib memutus
permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari, sedangkan persidangan
perkara tindak pidana korupsi dilakukan paling lama sebelum habis jangka
waktu penahanan terdakwa yakni seluruhnya 150 (seratus lima puluh) hari.
Pada permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemohon yang tidak terima
Universitas Sumatera Utara
terhadap putusan PTUN adalah banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara dan upaya banding tersebut adalah merupakan upaya hukum
terakhir, sedangkan pada perkara pidana korupsi upaya hukum bagi
Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum
banding dan kasasi, serta dapat dilakukan upaya hukum luar biasa yakni
peninjauan kembali (dikenal dengan istilah PK).
Tabel V
Perbedaan SistemPembuktian HukumAdministrasiDan HukumPidana DiPengadilan Dalam Pengujian AdaAtau Tidaknya Penyalahgunan
Wewenang
PERBEDAAN
Hukum Administrasi Dalam Hal Permohonan Ada atau Tidaknya
Penyalahgunaan Wewenang
Hukum Pidana Korupsi
Pihak: Pemohon (sepihak) tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan.
Pihak: Terdapat 2 (dua) pihak yakni JPU dan Terdakwa (didampingi Penasihat Hukum).
Jenis alat bukti: bukti surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan Pemohon, pengetahuan hakim atau bukti lain (informasi elektronik atau dokumen elektronik).
Jenis alat bukti: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi secara elektronik dan dokumen elektronik, keterangan terdakwa.
Tidak ada upaya paksa terhadap saksi yang tidak hadir di persidangan.
Ada upaya paksa terhadap saksi yang tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang cukup.
Universitas Sumatera Utara
Pembuktian dilakukan oleh pemohon (sepihak), sebab dalam permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang tidak ada pihak lain yang menjadi lawan.
Pembuktian dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan terhadap terdakwa juga diberikan kesempatan untuk mengajukan saksi-saksi dan ahli yang menguntungkan bagi terdakwa serta dapat mengajukan bukti-bukti lain yang dapat menguntungkan bagi terdakwa.
PERBEDAAN
Hukum Administrasi Dalam Hal Permohonan Ada atau Tidaknya
Penyalahgunaan Wewenang
Hukum Pidana Korupsi
Persidangan permohonan penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 21 UU AP pengadilan wajib memutus permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari.
Persidangan perkara tindak pidana korupsi dilakukan paling lama sebelum habis jangka waktu penahanan terdakwa (seluruhnya 150 (seratus lima puluh) hari).
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemohon yang tidak terima terhadap putusan PTUN adalah banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan upaya banding tersebut adalah merupakan upaya hukum terakhir.
Upaya hukum bagi Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum banding dan kasasi, serta dapat dilakukan upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali (dikenal dengan istilah PK).
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KONSEKUENSI ATAS PENGAJUAN PERMOHONAN ADA ATAU TIDAKNYA PENYALAHGUNAAN WEWENANGAN OLEH PEJABAT
PEMERINTAHAN KEPADA PTUN TERHADAP PROSES PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, PENUNTUTAN MAUPUN
PROSES PERSIDANGAN TIPIKOR
A. Konsekuensi Atas PengajuanPermohonan Ada Atau Tidaknya
Penyalahgunaan Wewenang Dari Tindakan Pejabat Pemerintahdi PTUN
Apabila ditinjau dari segi tugas dan wewenangnya, Pengadilan Tata Usaha
Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara tata usaha negara di tingkat pertama, sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha
Negara berwenang memeriksa dan memutus semua sengketa tata usaha negara dalam
tingkat pertama. Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara adalah sengketa dalam tata usaha negara.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan perundang-undangan salah satu
yang merupakan kompetensi dari peradilan PTUN adalah memutus permohonan
penilaian apakah tindakan yang dikeluarkan oleh pejabat negara mengandung unsur
penyalahgunaan wewenang atau tidak. Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 21 ayat (2) Undang-UndangNomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintah, menyebutkan: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
Universitas Sumatera Utara
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada tidaknya unsur-unsur
penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan atau tindakan”
. Adanya Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 tahun 2014 sebagaimana telah
disebutkan diatas telah menimbulkan polemik bagi pemerhati hukum, hal ini terjadi
karena disatu sisi UU No. 30 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menilai ada atau tidaknya unsur
penyalahgunaan wewenang, sedangkan disisi lain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi menguji ada atau tidaknya unsur menyalahgunakan wewenang
sebagai salah satu unsur di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diantara kedua undang-undang tersebut tidak
saling meniadakan kewenangan masing-masing. Sehingga muncul perbedaan
pendapat, di satu pihak ada yang berpendapat bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha
atas permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang menyatakan
tidak ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah
mengakibatkan tidak dapat lagi diproses secara pidana, proses pidana dapat
dilanjutkan untuk dilakukan apabila putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
menyatakan telah ada penyalahgunaan wewenang, sedangkan di lain pihak ada
pemerhati hukum yang berpendapat bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
tidak berpengaruh terhadap proses pidana.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya secara garis besar polemik pendapat dapat dibagi menjadi 3
(tiga) padangan, yaitu:208
a. Pendapat yang mendahulukan aspek hukum administrasi.
b. Pendapat merupakan ranah hukum pidana.
c. Pendapat moderat tidak ada konflik norma.
Pertama, Pendapat yang mendahulukan aspek hukum administrasi:Zudan Arif
Farullah, menyampaikan makalahnya berjudul “Tindakan Hukum Bagi Aparatur
Penyelenggara Pemerintaha” pada seminar Nasional HUT IKAHI ke 62, menjelaskan
bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan maka setiap pejabat yang keberatan dengan hasil pemeriksaan Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah karena dianggap menyalahgunakan kewenangan dapat
mengajukan permohonana ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk meminta agar
hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menilai ada atau tidak adanya unsur
penyalahgunaan kewenangan dalam setiap Keputusan dan/atau Tindakan yang
dibuatnya. Dalam hal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang sudah berkekuatan
hukum tetap menyatakan tidak ada penyalahgunaan kewenangan, maka pejabat
tersebut tidak dapat diperiksa dalam konteks hukum pidana, perdata maupun
administrasi. Sedangkan apabila hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
putusannya menyatakan pejabat tersebut terbukti menyalahgunakan kewenangan
208Dani Elpah. et.al.,Op.Cit., hlm. 93.
Universitas Sumatera Utara
maka terbukalah pintu bagi aparat penegak hukum untuk membawanya ke arah
pidana ataupun ranah hukum lainnya.209
Senada dengan pendapat Zudan Arif Farullah tersebut, Romli Atmasasmita
berpendapat bahwa dalam hal pembuktian mengenai unsur penyalahgunaan
wewenang karena kedudukan atau jabatan, maka baik Penuntut maupun Terdakwa
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
menetapkan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang didugakan.
Sebaiknya diberikan preferensi kepada Pengadilan Tata Usaha Negara sebelum
Pengadilan Tipikor memeriksa dan mengadili penyalahgunaan wewenang. Hal ini
disebabkan untuk mencegah konflik kompetensi peradilan antara Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Pengadilan Tipikor sebagaimana terjadi pada perkara Indosat
Media 2 (IM2) dimana putusan MA RI kamar pidana memutuskan bahwa Direktur
Utama IM2 telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi sedangkan putusan MA
RI kamar TUN telah memutuskan bahwa BPKP tidak berwenang menentukan
kerugian keuangan Negara sehingga hasil pemeriksaan BPKP telah dinyatakan tidak
sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
210
Dian Puji Simatupang, seorang pakar hukum Universitas Indonesia
menyatakan bahwa dengan terbitnya UU AP, yang berhubungan dengan
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat
209Ibid. 210Ibid., hlm. 94.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan seharusnya dapat diselesaikan terlebih dahulu secara administrasi,
kemudian apabila berdasarkan putusan pengadilan telah terbit bahwa penyalahgunaan
wewenang tersebut mengandung 3 (tiga) unsur yang termasuk dalam ranah pidana,
yaitu ancaman, suap dan tipu muslihat untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah,
maka atas dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut diselesaikan melalui proses
pidana. Karena ASN dan Pejabat Negara sudah dilekatkan kewenangan publik,
artinya dalam diri ASN dan Pejabat tersebut melekat wewenang dan kewenangan,
sehingga ketika pihak lain mengganggap ada pelanggaran yang dilakukan ASN dan
Pejabat Negara yang menyalahi wewenangnya, maka penyelesaian yang utama
adalah penyelesaian administrasi terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan larangan
penyalahgunaan wewennag dilakukan oleh APIP. Dengan demikian, laporan adanya
dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan tidak
seharusnya diperiksa melalui proses pidana karena sesuai dengan UU AP selama
penyalahgunaan wewenang tersebut tidak mengandung unsur tidak pidana, maka hal
tersebut merupakan ranah administrasi yang penyelesaiannya dilakukan oleh atasan
pejabat yang bersangkutan dan sanksi terhadap pejabat yang telah terbukti melakukan
penyalahgunaan wewenang berupa pencabutan kewenangan, sanksi teguran atau
pemberhentian.211
211Pernyataan Dian Puji Simatupang, dalam Foccus Group Discussion pada tanggal 21 Maret
2016, bertempat di Direktorat Hukum dan Hubungan Masyarakat. Disampaikan kembali oleh Dian dalam FGD pada tanggal 18 Mei 2016 bertempat di Kantor Wilayah DJKN Bali dan Nusa Tenggara, dalam Disiplin. F. Manao, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara (Bandung: Kreasi Sahabat Bersama, 2017), hlm. 242-243.
Universitas Sumatera Utara
Tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas, Sudarsono Guru besar Hukum
Administrasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang menjelaskan bahwa
fokus penyalahgunaan wewenang atau kewenangan dalam Tipikor itu hakikatnya
dilakukan oleh orang yang berwenang atau mempunyai kewenangan. Kalau tidak
punya kewenangan mana mungkin menyalahgunakan wewenang. Dengan demikian
masuk dalam lingkup pelaksanaan fungsi pemerintahan yang baik dalam
pembangunan maupun yang lain. Lalu disitu ada korupsi, berarti ada penyalahgunaan
wewennag. Pelaksanaan fungsi pemerintah ini diatur dalam Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan. oleh karena itu perlu diujikan dulu ke Pengadilan Tata
Usaha Negara. Lebih lanjut Sudarsono menjelaskan bahwa mengingat Undang-
Undang Admnistrasi Pemerintahan telah menguraikan dengan jelas lingkup
penyalahgunaan wewenang, jenis-jenisnya dan lain-lain, sedangkan Tipikor tidak
mengaturnya secara rinci. Harusnya mengikuti Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan yang lebih rinci mengatur. Sebagaimana perkembangan perubahan
pengaturan Keputusan Tata Usaha Negara mulai dari Undang-Undang 1986, 2004
dan 2009 itu. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan itu kondisi pengaturan
perubahannya tentang penyalahgunaan wewennag juga harusnya sama memaknainya
dengan perkembangan perubahan Keputusan Tata Usaha Negara ini. Satunya
berkaitan dengan Administrasi Pemerintahan dan yang lain terkait Peradilan Tata
Usaha Negara tetapi tetap bisa menyesuaikan dengan penambahan kewenangan atau
mekanisme beracaranya.212
212Dani Elpah. et.al.,Op.Cit., hlm. 95.
Universitas Sumatera Utara
Pendapat yang sama juga diberikan oleh Supandi, Hakim Agung pada Kamar
TUN Mahkamah Agung RI yang menyatakan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU
No. 30 Tahun 2014 dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik
dalam melakukan penyidikan terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan, karena hal tersebut seharusnya
menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan TUN.213
Kedua, Pendapat yang merupakan hukum pidana:Andi Nirwanto, mantan
Wakil Jaksa Agung RI berpendapat pengaturan dan pemahaman bahwa harus melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara dahulu baru kemudian Tipikor yang demikian
dianggap oleh kalangan akademisi lainnya sebagai sebuah langkah mundur, atau bila
tidak dianggap jalan memutar penegakkan hukum dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Bahkan berpotensi menjadi tempat bersembunyi para Koruptor, untuk
berkilah dari proses peradilan pidana.
214
213Lihat: Fathudin, “Tindak Pidana Korupsi (Dugaan Penyalahgunaan Wewenang) Pejabat Publik (Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan)”, Jurnal Cita Hukum Vol. II, No.1, (Juni 2015): 129, ISSN: 2356-1440.
214Andi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan), Makalah yang disampaikan pada seminar HUT IKAHI ke-62 dalam Dani Elpah, et. al.,Op. Cit., hlm. 95..
Seolah dipahami proses peradilan
administrasi sebagai alat cuci efektif untuk membersihkan diri dari tuduhan dan
pemidanaan penyalahgunaan wewenang karena dimungkinkan penyelesaian dengan
cara menyelesaikannya dengan pengembalian kerugian negara secara administratif.
Padahal dari norma hukum pidana ditegaskan bahwa pengembalian kerugian negara
yang diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang tidak menjadi alasan penghapusan
Universitas Sumatera Utara
unsur kesalahan dan pengabaian atas pemidanaannya. Dalam konteks ini, Echwan
Irianto (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember) dan Syahrin menyesalkan
adanya pengaturan UU AP yang bertindihan dengan peradilan Tipikor sehingga dapat
menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.215
Dikalangan praktisi, antara lain organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)
sendiri, merasa khawatir dengan keberadaan Pasal 21 UU AP oleh karena
menimbulkan persoalan sebagai berikut: Hakim PTUN diberi kewenangan dalam
penegakkan hukum materiil tentang larangan penyalahgunaan wewenang pada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang diatur dalam UU AP. Sementara itu, hakim
Pengadilan Tipikor diberi kewenangan dalam penegakan hukum materiil
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang didalamnya terdapat unsur
menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UU Tipikor. Merujuk pada Pasal 21
UU AP dan ketentuan Pasal 3 UU Tipikor tersebut, jika pengujian penyalahgunaan
wewenang dilakukan PTUN apakah hal tersebut justru akan menguatkan ataukah
sebaliknya melemahkan upaya pemberantasan korupsi, karena ada kekhawatiran
publik, kalau lahirnya ketentuan tersebut PTUN akan menjadi tempat untuk
bersembunyinya para koruptor.
216
215Dani Elpah, et.al., Op. Cit., hlm. 95-96. 216Pimpinan Pusat IKAHI, Term of Reference (TOR) Seminar Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan: Menguatkan tau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi dalam Disiplin. F. Manao, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara (Bandung: Kreasi Sahabat Bersama, 2017), hlm. 246.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Krisna Harahap, Hakim AgungAd Hoc Tipikor MARI merupakan
langkah nyata menghambat upaya pemberantasan korupsi.Jadi, penerapan asas
preferensi dalam konteks penyelesaian sengketa kewenangan dalam memeriksa dan
memutus unsur “menyalahgunakan kewenangan” karena jabatan dalam Tipikor pada
prakteknya sepertinya masih akan menemui kesulitan, dan belum dapat
menyelesaikan potensi sengketa kewenangan mengadili penyalahgunaan kewenangan
dalam Tipikor antara Peradilan Tipikor dengan Peradilan TUN. Selain berpotensi
menimbulkan sengketa kompetensi antara Peradilan Tipikor dan Peradilan TUN,
perbedaan perspektif mengenai pemberlakuan UU No. 30 Tahun 2014 tersebut
berdampak pada ketidakpastian mekanisme penanganan dugaan perbuatan
menyalahgunakan kewenangan karena jabatan dalam Tipikor, dimana dalam
praktiknya hal ini kemudian dijadikan jalan oleh tersangka dan/atau terdakwa korupsi
untuk melakukan berbagai eksperimen hukum guna lolos dari jeratan hukum.217
Ketiga, Pendapat yang menyatakan bahwa antara Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Tipikor sesungguhnya mempunyai kompetensi yang berbeda
dan tidak perlu dipersinggungkan karena konteks penyalahgunaan wewenang yang
menjadi objek masing-masing adalah berbeda.Yulius, Hakim Agung pada kamar
TUN MA RI berpendapat bahwa tidak ada konflik norma antara Pasal 21 Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan maupun Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, karena
217Detik.com, “UU Administrasi Pemerintahan Dinilai Mengudeta Pemberantasan Korupsi”, http://news.detik.com/berita/2873765/uu-administrasi-pemerintahan-dinilai-mengudeta-pem-berantasan-korupsi(diakses 28 Februari 2017).
Universitas Sumatera Utara
baik Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Negeri (Pidana/Tipikor)
menjalankan fungsinya masing-masing. Meskipun dimungkinkan adanya satu
permasalahan hukum diselesaikan di kedua lembaga peradilan tersebut, akan tetapi
keduanya mempunyai aspek pengujian yang berbeda sehingga tidak saling
mencampuri atau menguji putusannya. Tidak tepat apabila PTUN menguji
penyalahgunaan wewenang yang actus reus (tindak pidana yang dilakukan) dan mens
rea (sikap-batin atau niatnya) kesalahan bersifat kepidanaan. Fungsi sebagai hakim
pidana tidak boleh dijalankan oleh Hakim Peradilan TUN. Demikian pula sebaliknya,
hakim pidana tidak dapat mendudukan dirinya sebagai Hakim TUN. Kedua lembaga
peradilan tersebut mempunyai prinsip-prinsip hukum masing-masing yang tidak
saling bertentangan, akan tetapi dapat saling mengisi. Lebih lanjut Yulius
menjelaskan bahwa konteks kompetensi absolut PTUN terhadap penilaian perkara
penyalahgunaan wewenang, hanya berupa pertanggungjawaban (liability dan
responsibility) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atas kesalahan administrative
yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara. Ada kemiripannya dengan teori
Kranenbeurg dan Vegtig mengenai “fautes personalles” dan “fautes de service”.
Dimana penentuan ada atau tidaknya kesalahan secara admnistratif, berkonsekuensi
pada tanggung jawab pribadi.218
218Yulius, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di
Indonesia (Tinjauan Singkat dari Perpektif Hukum Administrasi Negara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014) dalam Dani Elpah. et.al., Laporan Penelitian Pengkajian Titi Singgung Kewenangan Antara PTUN dengan Pengadilan Tipikor Dalam Menilai Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang, Balitbang Diklat Kumdil MA RI, 2016, hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
Senada dengan Yulius, Andi Nirwanto menyatakan bahwa domain PTUN
dalam rangka memeriksa dan memutus ada/tidaknya unsur penyalahgunaan
wewenang oleh Pejabat Pemerintahan haruslah dimaknai sebagai perbuatan hukum
dalam konteks tata usaha Negara. Karena atribusi PTUN sebagaimana diamanatkan
Pasal 21 UU AP, sejatinya tidak perlu dipertentangkan dengan kewenangan hakim
Pengadilan Tipikor apalagi dinaggap sebagai upaya pelemahan upaya pemberantasan
korupsi. Apabila diteliti dengan seksama, unsur menyalahgunakan kewenangan
dalam UU Tipikor memiliki pengertian yang berbeda dengan penyalahgunaan
wewenang yang menjadi kompetensi PTUN, sebagaimana diatur dalam UU AP.
Selanjutnya untuk dapat mengkualifikasikan keputusan dan/atau tindakan Pejabat
Pemerintahan sebagai Tipikor apabila telah terjadi perbuatan melawan hukum pidana,
yang didahului dam diikuti sikap batin jahat (mens rea) dari pejabat publik yang
bersangkutan. Sikap batin jahat dari Pejabat Pemerintahan yang mewarnai kebijakan
diskresioner yang dikeluarkannya dan mengakibatkan kerugian keuangan Negara,
merupakan indikator telah terpennuhinya unsur Tipikor sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 3 UU Tipikor.219
Banyak yang berpendapat bahwa jikaselama ini seorang pejabat
ditetapkansebagai tersangka korupsi langsungdiperiksa di Peradilan Umum
(PeradilanTipikor), kini dengan ketentuan Pasal 21ayat (1) jo. Pasal 1 angka 18 jo.
Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014, maka pejabatyang bersangkutan dapat
219Dani Elpah. et.al., Op.Cit, hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
mengajukanpermohonan kepada Peradilan TUN terlebihdahulu untuk memeriksa dan
memastikanada atau tidak adanya unsur penyalahgunaanwewenang dalam keputusan
dan/atautindakan yang telah diambil, dan prosespenegakan hukum pidana sementara
waktu ditunda.220
Namun demikian, pendapat tersebut diatas memiliki banyak kelemahan antara lain
sebagai berikut : Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan MARI
Nomor 4 Tahun 2015 bukan tanpa persoalan. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun
2016 hanya berlaku bagi Kejaksaan Agung dan Polri sebagai organ pemerintahan
yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi tidak berlaku
bagi KPK yang juga memiliki kewenangan atributif untuk melakukan penyelidikan
Adanya mekanisme pengujian adaatau tidak adanya unsur
penyalahgunaanwewenang melalui Peradilan TUN, dianggap inheren dengan asas
ultimum remedium dalam hukum pidana, di mana keberadaan pengaturan sanksi
pidana harus diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir. Hal ini ditegaskan
dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Proyek Strategis Nasional, yang menginstruksikan kepada Jaksa Agung dan Kapolri
untuk mendahulukan proses Administrasi Pemerintahan sesuai ketentuan UU No. 30
Tahun 2014 sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang
menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional.
220Mohammad Sahlan, Kewenangan Peradilan Tipikor Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 166-189 diakses melalui 166 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.2, pada tanggal 17 Juni 2017
Universitas Sumatera Utara
dan/atau penyidikan terhadap masalah tersebut. Selain itu, Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 2016, yang merupakan “policy rules” atau “beleidsregels” atau
“quasi legislation” atau “pseudowetgeving” secara formal bukan peraturan
perundang-undangan. W.Riawan Tjandra, pengajar hukum administrasi negara
Fakultas Hukum Universitas Admajaya mengatakan221
221 W. Riawan Tjandra, Menilai Inpres Proyek Strategis Nasional, doa-
bagirajatega.blogspot.co.id, (diakses pada tanggal 19 September 2016).
tujuan inpres tersebut untuk
membangun Administrasi Pemerintahan yang tertib, tidak ada penyalahgunaan
wewenang dan memastikan penegakan hukum berbagai kasus korupsi semakin
efektif. Inpres juga tak memiliki kekuatan mengikat yang setara dengan Undang-
Undang sehingga tak perlu menjadi halangan bagi penegak hukum dalam penegakan
hukum anti korupsi yang berdasarkan undang-undang.
Sesuai Surat Edaran MA RI Nomor : 03 Tahun 2015 tentang Pemberlakukan
rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai pedoman
pelaksanaan tugas bagi pengadilan, pada huruf A.2 :
“Didalam Pasal 21 UU No.30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, pengadilan TUN berwenang memeriksa dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintahan. Ketika proses perkara tindak pidana korupsi berjalan diajukan pula permohonan tentang ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang ke PTUN, maka proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tetap berjalan sedangkan permohonan ke PTUN harus merujuk kepada PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang pedoman beracara dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang”. PERMA No 4 Tahun 2015 pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan:
Universitas Sumatera Utara
“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan
penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan atau
tindakan pejabat pemerintah sebelum adanya proses pidana”.
Dengan demikian proses pemeriksaan oleh PTUN harus dilakukan sebelum
adanya proses pidana. Sehingga Pejabat Negara yang telah membuat dan
melaksanakan suatu keputusan atau tindakan dapat mengajukan pemeriksaan atas
inisiatif sendiri baik setelah ada hasil pemeriksaan pengawasan intern pemerintah, hal
ini juga diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 pada PERMA No 4 Tahun 2015.
Dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta Pasal 3 PERMA No 4 Tahun
2015 tersebut mencerminkan prinsip hukum equality before the law, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Paulus Effendi Lotulung yang menyatakan bahwa pemberian
hak gugat bagi pejabat merupakan pengejawantahan dari Prinsip equality before the
law yang menunjukan asas persamaan kedudukan bagi semua warga negara, baik
selaku pribadi maupun kualifikasinya sebagai pejabat negara.222
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatdilihat bahwa upaya pemerintah dan
Mahkamah Agung RIuntuk mengurai keruwetan mekanisme dalampenanganan
penyalahgunaan wewenangkarena jabatan masih menyisakan banyakpersoalan. Oleh
karena itu,pendekatan represif yang dijadikan sebagai“primum remedium” harus
ditinjau ulang.Hukum pidana harus dikembalikan kepadakhittahnya sebagai senjata
pamungkas dalamupaya penegakan hukum sesuai dengan asas“ultimum
222Tri Cahya Indra Permana, Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: Genta Press, 2016),hlm. 53.
Universitas Sumatera Utara
remedium”.223Apalagi dalam konteks HukumAdministrasi, keberadaan sanksi
pidanamenurut Barda Nawawi Arief, padahakikatnya merupakan perwujudan
darikebijakan menggunakan hukum pidana sebagaisarana untuk
menegakkan/melaksanakanhukum administrasi,224 sehingga beradapada tahapan
terakhir. Hal ini seperti yangdikemukakan oleh W.F Prinsyang dikutipPhilipus
M.Hadjon,225
“…haruslah dibuktikan terlebih dahulu unsur pokok dalam hukum pidana, apakah terdakwa I memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa memang terdakwa
bahwa hampir setiapperaturan berdasarkan hukum administrasidiakhiri
dengan ketentuan pidana sebagai “incauda venenum” (secara harfiah berarti:
adaracun di ekor/buntut).
Bahwa adanya perbedaan secara prinsipil penyalahgunaaan wewenang
menurut UU No. 30 Tahun 2014 dengan hukum pidana tipikor yang menyebabkan
tidak dapat saling menundukkan diri satu dengan yang lain. Penyalahgunaan
wewenang dalam Hukum Pidana dalam konteks adanya kerugian negara didahului,
disertai adanya kesalahan atau niat jahat (mens rea) sebagai unsur subjektif yaitu
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Hal ini juga dapat dilihat dalam pertimbangan hukum putusan MA RI Nomor:
572 K/Pid/2003 atas nama terdakwa Ir.Akbar Tanjung,dkk :
223Suhariyono AR, “Perumusan Sanksi Pidana Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Perspektif VoL. XVII, No. 1, (Januari, 2012): 21. 224Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya, 2005), hlm. 139. 225Philipus, M. Hadjon. et.al.,Op.Cit., hlm. 245.
Universitas Sumatera Utara
I menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tapi tetap dilakukannya”
Selain perbedaan pembuktian unsur kehendak jahat (mens rea)¸ perbedaan
lainnya adalah UU No. 30 Tahun 2014 bertujuan menciptakan tertib penyelenggaran
adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan
wewenang, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, sehingga
UU No. 30 Tahun 2014 lebih menitikberatkan pada pembangunan adminitrasi
pemerintahan yang baik dan benar,226
226Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Bab III, Pasal 5, Asas-asas pemerintahan yang baik dan benar berdasarkan: asas legalitas, dan asas perlindungan terhadap HAM dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
sedangkan undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi lebih menitikberatkan pada sistem penindakan
(represif).Selanjutnya perbedaan lainnya dalam proses beracara pembuktian
dipersidangan, PTUN dalam membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang hanya
menggunakan alat bukti dari pemohon (sepihak) saja berupa bukti surat atau tulisan,
keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan pemohon, pengetahuan hakim, alat
bukti lain (informasi elektronik atau dokumen elektronik) sebagaimana diatur dalam
Pasal 13 PERMA Nomor 4 tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian
Unsur Penyalahgunaan Wewenang, sedangkan Pengadilan Tipikor dalam
membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 menggunakan alat
bukti yang diajukan para pihak (Penuntut Umum dan Terdakwa) berupa keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Petunjuk dapat diperoleh
dari alat bukti lain berupa informasi elektronik, dan dokumen elektronik sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
diatur dalam Pasal 26 A UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor
dengan menganut sistem pembuktian negatief wettelijk, kemudian PTUN baru
berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan setelah adanya hasil
pengawasan APIP dan tidak sedang dalam proses pidana,, sedangkan Pengadilan
Tipikor dalam memeriksa penyalahgunaan wewenang berdasarkan hasil penyidikan
yang diperoleh dari hasil penyelidikan, informasi dari media massa, hasil pengawasan
APIP, BPK dan sumber lainnya.
Parameter pengujian penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi
adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) dan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik/AUPB (tidak tertulis), sedangkan pengujian penyalahgunaan wewenang
dalam Hukum Pidana Korupsi adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) saja.
Dengan demikian aparat penegak hukum tidak terikat dengan putusan PTUN,
hal ini juga sejalan dengan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung Tahun 2015
sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan, pada huruf A.2 : Ketika proses
perkara tindak pidana korupsi berjalan diajukan pula permohonan tentang ada atau
tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang ke PTUN, maka proses pemeriksaan
perkara tindak pidana korupsi tetap berjalan.
Selain itu, melihat kepada sudut pandang organisasi dan sumber daya
manusia (SDM), APIP belum memadai bertindak menggantikan aparat kepolisisan
dan kejaksaan serta KPK RI dalam membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang
yang bersifat pidana.
Universitas Sumatera Utara
Andhi Nirwanto, Wakil Jaksa Agung, berpendapat konsepsi “penyalahgunaan
wewenang” dalam UU No. 30 Tahun 2014 berbeda dengan konsepsi
“menyalahgunakan kewenangan” dalam UU Pemberantasan Tipikor. UU No. 30
Tahun 2014 telah membedakan secara jelas pengertian “wewenang” dan
“kewenangan”, sehingga antara keduanya tidak perlu dipertentangkan. Wewenang
yang identik dengan “hak” berimplikasi hukum penggunaan wewenang dibatalkan
atau tidak sah, sedangkan kewenangan identik dengan “kekuasaan” selain
berimplikasi administrasidan TUN juga berakibat Hukum Pidana.227 Pendapat senada
disampaikan oleh Yulius, Hakim Agung pada Kamar TUN MARI, menyatakan tidak
ada tumpang tindih antara norma penyalahgunaan wewenang dalam UU No. 30
Tahun 2014 dan UU Pengadilan Tipikor jo. UU Pemberantasan Tipikor, karena
masing-masing memiliki kompetensi absolut yang berbeda. Tidak tepat apabila
PTUN menguji penyalahgunaan wewenang yang actus reus (tindak pidana yang
dilakukan) dan mens rea (sikap-batin atau niatnya) kesalahan bersifat kepidanaan.
Fungsi sebagai hakim pidana tidak boleh dijalankan oleh Hakim Peradilan TUN.
Demikian pula sebaliknya, hakim pidana tidak dapat mendudukan dirinya sebagai
Hakim TUN. Kedua lembaga peradilan tersebut mempunyai prinsip-prinsip hukum
masing-masing yang tidak saling bertentangan, akan tetapi dapat saling mengisi.228
227Andhi Nirwanto D. Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan) disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka H.U.T. IKAHI Ke-62 dengan tema “Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Menguatkan atau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi”, (Jakarta: Hotel Mercure Ancol, 2015), hlm. 16-19. 228Yulius,Op.Cit., hlm. 379.
Universitas Sumatera Utara
Apabila melihat kepada salah satu histori pembentukan UU No. 30 Tahun
2014 adalah untuk memindahkan pengujian penyalahgunaan wewenang dari
peradilan tipikor menjadi peradilan TUN, maka tindakan tersebut hanyalah
memindahkan persoalan baru, karena secara organisasi adalah sama, hal ini dikuatkan
adanya pengujian penyalahgunaan wewenang di PTUN Medan pertama kali sudah
tersangkut suap menyuap dan tertangkap tangan oleh KPK RI.
Namun demikian untuk mencari suatu kepastian hukum melalui penetapan
atau keputusan yang tidak hanya tertumpu kepada pengadilan di tingkat pertama.
Sehingga terhadap perkara ini Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pun mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan sebagai upaya menguji
terhadap putusan Pengadilan TUN sebelumnya. Maka berkenaan dengan demikian
Pengadilan Tinggi TUN setelah membaca dan mempelajari putusan Pengadilan TUN
dan memori banding dari Pembanding yaitu kejaksaan Tinggi Sumatera Utara,
dimana pihak Pemohon selaku terbanding tidak ada mengajukan kontra memori
banding pada perkara yang dimaksud, sehingga dalam putusan Pengadilan Tinggi
TUN Medan memberikan putusan sebagai berikut: menerima permohonan banding
dari Termohon/Pembanding dan membatalkan Putusan ganti rugi Pengadilan Tata
Usaha Negara Medan Nomor: 25/G/2015/PTUN-MDN tertanggal 7 Juli 2015, yang
dimohonkan banding.229
229Lihat: Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor:176/B/2015/PT TUN-MDN, tanggal 17 Desember 2015, hlm. 8-9.
Universitas Sumatera Utara
B. Analisis Terhadap Putusan PTUN No : 25/G/2015/PTUN-MDN Jo Putusan PT TUN Nomor: 176/B/2015/PTTUN-MDN Kasus Ahmad Fuad LubisTerhadap Perbandingan Putusan MA No. 572 K/Pid/2003 Terhadap Kasus Akbar Tandjung Atas Ada Atau Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan Oleh Pejabat Pemerintahan
Dalam perkembangan praktik peradilan pada saat ini, banyak hal baru yang
berkembang didalam bidang hukum pidana, misalnya saja Mahkamah Konstitusi RI
telah memberikan legalitas tambahan hak bagi tersangka untuk mengajukan
praperadilan atas tidak sahnya penetapan tersangka, kemudian ada yang unik dalam
perkembangan hukum sekarang ini yaitu dengan lahirnyaUndang-UndangNomor 30
tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, malah justru dijadikan dasar untuk
melawan tindakan hukum pro justitia yang dilakukan oleh penegak hukum, dimana
tindakan pro justitia tersebut dianggap sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang
karena tidak dilakukan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014. Contoh kasus adalah
permohonan pengujian kewenangan yang diajukan oleh Ahmad Fuas Lubis selaku
Kepala Biro Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Utara, hal ini berawal karena yang
bersangkutan merasa tidak terima dipanggil oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera
Utara untuk dimintai keterangan berkenaan dengan dugaan Tipikor terkait dengan
Dana Bansos di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Surat Panggilan Permintaan
Keterangan Nomor:B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015, tanggal 31 Maret 2015.
Dalam gugatannya pemohon mendalilkan telah dirugikan oleh tindakan yang
dilakukan oleh termohon ketika ada panggilan permintaan keterangan Nomor: B-
473/N.2.5/Fd.1/03/2015 tanggal 31 Maret 2015 terhadap Ahmad Fuad Lubis selaku
Universitas Sumatera Utara
Ketua Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemprov Sumut, dimana isi panggilan terkait
dengan dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan Dana Bantuan Sosial
(BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD
pada Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Nomor: Print-31/N.2.5/Fd.1/03/2015
tanggal 31 Maret 2015. Bahwa pemohon dalam gugatannya menyebutkan didalam
panggilan permintaan keterangan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan
kewenangan yang dilakukan oleh termohon, dengan alasan sebagai berikut:
1. Tidak disebutkan waktu kejadian tindak pidana tersebut terjadi;
2. Tidak adanya Laporan Kerugian Keuangan Negara yang dikeluarkan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia untuk Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara sebagai dasar adanya indikasi tindak pidana korupsi;
3. Tidak adanya pembahasan pengawasan internal yang dilakukan oleh pejabat
pengawasan intern (dalam hal ini pejabat pengawasan intern dari Kementerian
Dalam Negeri) sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Akibat yang ditanggung oleh Pemohon dengan adanya objek permohonan
adalah telah dicemarkan nama baik, harkat, martabatnya serta hak-hak
konstitusionalnya. Disamping itu, Institusi dimana Pemohon berada juga telah
dicemarkan atas tindak Termohon, Oleh karena tindakan yang dilakukan oleh
Termohon merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang yang seakan telah
Universitas Sumatera Utara
menyatakan seseorang sebagai sasaran penyelidikan, sehigga diketahuiarah
dan target dari proses penyelidikan dimaksud dalam Objek Permohonan
Pengujian Kewenangan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Pemohon
selaku Pejabat Pemerintahan yang dituju dan dirugikan kepentingannya
atastindakan Termohon, memiliki kapasitas dan kualitas untuk mengajukan
Permohonan Pengujian Kewenangan berdasarkan Pasal 21 ayat (2) Undang-
UndangAdministrasi Pemerintahan yang menyebutkan “Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam
keputusan dan/atau tindakan.
4. Termohon telah melakukan tindakan penyalahgunaan yang melampaui
wewenang dengan melakukan tindakan penyelidikan yang melanggar
KUHAP.
5. Termohon telah melakukan tindakan yang melampaui wewenangnya dengan
melakukan tindakan penyelidikan yang melanggar KUHAP dan Undang-
Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. dst
Menanggapi permohonan pemohon tersebut, Kejaksaan Tinggi Sumatera
Utara selaku termohon mengajukan eksepsi didalam jawabannya, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa PTUN Medan tidak berwenang mengadili permohonan
tersebut, dengan alasan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Bahwa dalam penjelasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa Undang-Undang ini merupakan
hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara;
2. Bahwa di dalam Pasal 2 huruf d, Undang-Undang Nomor: 9 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor: 51 Tahun
2009, tidak termasuk dalam pengertian Keputuan Tata Usaha Negara
berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat pidana;
3. Bahwa oleh karena dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang
merupakan hukum materiil bagi Peradilan Tata Usaha Negara Pasal tersebut
belum dihapus, maka ketentuan tersebut, masih tetap berlaku;
4. Bahwa dengan demikian maka Pengadilan Tata Usaha Negara Medan tidak
berwenang mengadili permohonan aquo.
Maka berdasarkan Putusan Pengadilan TUN Medan Nomor: 25/G/2015/PTUN-
MDN, permohonan yang telah diajukan tersebut ternyata dikabulkan oleh Majelis
Hakim Pengadilan TUN Medan dengan amar sebagai berikut:
Dalam eksepsi:
- Menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya;
Dalam pokok perkara:
- Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebahagian;
- Menyatakan keputusan termohon Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 tanggal
31 maret 2015 perihal permintaan keterangan terhadap pemohon selaku
Universitas Sumatera Utara
Mantan Ketua Bendahara Umum Dearah (BUD) Pemprov Sumut ada unsur
penyalahgunaan wewenang;
- Menyatakan tidak sah keputusan termohon Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015
tanggal 31 maret 2015 perihal permintaan keterangan terhadap pemohon
selaku mantan ketua Bendahara Umum Daearah (BUD) Pemprov Sumut.
Dasar pertimbangan hakim PTUN Medan mengabulkan permohonan tersebut
dapat dilihat dalam pertimbangan putusannya:
Halaman 70-71:
- Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 (dua) Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan;
- Menimbang, bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini meliputi semua aktifitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;
- Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas menurut pendapat Majelis Hakim bahwa Termohon dalam menerbitkan objek permohonan sedang melaksanakan fungsi pemerintahan;
- Menimbang, bahwa objek permohonan dalam sengketa ini adalah keputusan Termohon berupa Panggilan permintaan keterangan Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 Tanggal 31 Maret 2015 terhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemprov Sumut (vide bukti P-1 = T-6) untuk diuji ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan keputusan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminsitrasi Pemerintahan, bukan gugatan sebagaimana ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim PTUN Medan menolak
eksepsi tentang kewenangan absolut termohon dan menyatakan bahwa PTUN Medan
berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan permohonan tersebut.
Halaman 79:
“……..Menimbang, bahwa dari bukti-bukti yang diajukan di persidangan tidak terdapat satupun alat bukti yang menunjukkan bahwa adanya koordinasi oleh Termohon, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Termohon dalam menerbitkan objek sengketa aquo ternyata tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), sehingga telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah”.
Berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis Hakim PTUN Medan mengabulkan
sebahagian permohonan pemohon dan menyatakan keputusan termohon ada unsur
penyalahgunaan wewenang.
Sedangkan Putusan Pengadilan Tinggi TUN Sumut dalam putusannya
membatalkan putusan PTUN Medan tersebut, dengan pertimbangan hukum pada
halaman 7-8: 230
- Bahwa benar materi ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tidak diatur, apalagi dicabut dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, sehingga ketentuan-ketentuan dalam Pasal tersebut masih menjadi hukum positif yang berlaku dan dipedomani oleh Hakim dalam mengadili perkara termasuk perkara aquo;
- Bahwa benar yang menjadi objek sengketa dalam perkara aquo adalah Surat Nomor: B-473/N.2.5/Fd.1/03/205 tertanggal 31 Maret 2015 Perihal Panggilan Permintaan Keterangan tterhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah Pemprov Sumut, yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Medan, sehubungan Terbanding/Pemohon diduga melakukan
230Lihat: Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor: 176/B/2015/PT TUN-MDN, tanggal 21 Desember 2015, hlm. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara (korupsi) pada penyaluran Dana Bantuan Sosial, Bantuan Daerah Bawahan, Bantuan Operasional Sekolah, Tunggakan Dana Bagi Hasil dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD pada Pemerintahan Sumatera Utara Tahun Anggaran 2012 dan 2013;
- Bahwa benar surat objek sengketa yang diterbitkan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprit-31/N.2/Fd.1/03/2015, yang diterbitkan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tanggal 16 Maret 2015 tentang perintah penyelidikan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan pada angka sebelumnya;
- Bahwa benar mencermati surat objek sengketa tersebut diatas, diterbitkan atas ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka Majelis Hakim Banding berpendapat perkara dengan objek sengketa tersebut diatas termasuk dalam kategori surat atau keputusan yang dikecualikan dan tidak dapat diuji keabsahannya di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 huruf d Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara”.
Berdasarkan pertimbangan diatas, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT
TUN) menyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha tidak berwenang secara absolut
mengadili perkara permohonan tersebut.
Ada 3 (tiga) pokok pikiran yang menarik dalam putusan TUN dan PT TUN
tersebut, yaitu:
Pertama, hakim PTUN dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Kejaksaan Tinggi
selaku penyelidik seharusnya tunduk pada ketentuan Pasal 385 UU Pemda, kedua,
dalam PTUN adanya pihak Pemohon dan Termohon, ketiga PT TUN menerima
eksepsi Termohon dengan alasan objek sengketa dikecualikan dan tidak dapat diuji di
PTUN.
Pembahasan pokok pikiran pertama, berdasarkan referensi hasil penelitian Oswald
Jansen tahun 2013 mengenai keberadaan sanksi administrasi dan sanksi pidana
dibeberapa negara uni eropa sebagaimana dikutip oleh Abdul Latif (Hakim ad hoc
Universitas Sumatera Utara
Tipikor Mahkamah Agung) menunjukkan bahwa terdapat dua pandangan, yaitu
pandangan yang mengakui keberadaan sanksi administratif tidak mengesampingkan
sanksi pidana atau disebut “low degree of differentiation” dan yang berpandangan
bahwa keberadaan sanksi adminitratif harus dipisahkan secara tegas dari sanksi
pidana atau disebut “high degree of differentiation”. Negara inggris, Swedia dan
Spanyol termasuk negara-negara yang tidak membedakan antara sanksi adminitratif
dan sanksi pidana, artinya sanksi pidana dapat diterapkan bersama-sama dengan
sanksi adminitratif, sedangkan Portugis, Italia, Jerman, Belanda, Belgia dan Rumania
adalah negara yang memisahkan antara sanksi adminitratif dan sanksi pidana,
selanjutnya dikatan adalah merupakan tindakan inskonstitusional penerapan sanksi
pidana terhadap pelanggaran yang nyata-nyata termasuk pelanggaran adminitratif.231
Hakim PTUN mengadopsi pandangan hukum administrasi dan hukum pidana satu
kesatuan, sehingga ketika ada laporan mengenai dugaan adanya penyalahgunaan
Indonesia mengikuti model sanksi pidana dapat diterapkan bersama dengan
sanksi administratif, salah satu contoh dapat dilihat pada ketentuan Pasal 64 Undang-
Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara :
Ayat (1) bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah
ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi
adminitratif dan/atau sanksi pidana.
Ayat (2) putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
231Ikhramlawenforcement, Penegakan Hukum Administrasi Pemerintahan dan Tindak Pidana
Korupsi, https://ikramlawenforcement.wordpress.com(diakses tanggal 5 Oktober 2017).
Universitas Sumatera Utara
wewenang/kewenangan karena jabatan yang ditujukan kepada Penyidik (KPK, Polri,
dan Kejaksaan), maka hal pertama yang harus dilakukan oleh Penyidik sebelum
melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan adalah menyampaikan laporan tersebut
kepada atasan/pimpinan pejabat/badan untuk dilakukan penilaian oleh APIP dan/atau
kemudian dilakukan pengujian oleh Pengadilan TUN. Setelah itu, apabila dinyatakan
adanya penyalahgunaan wewenang/kewenangan, maka Penyidik dapat melakukan
tugasnya untuk menilai aspek pidananya, yaitu dengan melihat mens rea dan actus
reus dari keputusan/tindakan tersebut yang merupakan konsep utama
menyalahgunakan kewenangan dalam Tipikor, kemudian berlanjut pada tahapan
selanjutnya sesuai sistem peradilan pidana. Sebaliknya, ketika hasil pemeriksaan
APIP dan/atau putusan Pengadilan TUN menyatakan tidak ada penyalahgunaan
wewenang, maka penyidik tidak dapat melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan
terhadap kasus tersebut dan kasusnya berhenti sampai disitu.
Kalau dipelajari secara seksama, UU No. 30 Tahun 2014 tidak mewajibkan
aparat penegak hukum melakukan proses hukum pidana setelah adanya hasil
pemeriksaan APIP, sedangkan UU Pemda pada Pasal 385 ayat (3) hanya menegaskan
agar aparat penegak hukum terlebih dahulu berkoordinasi dengan APIP dalam hal
pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat kepada APIP.APIP bekerja sebagai
pengawas internal untuk menciptakan tertib penyelenggaran adminitrasi
pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang,
dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Disamping itu
undang-undang yang mengatur adminitrasi pemerintahan lebih menitikberatkan pada
Universitas Sumatera Utara
pembangunan adminitrasi pemerintahan yang baik dan benar, sedangkan Undang-
Undang Tipikor lebih menitikberatkan pada sistem penindakan (represif). Namun
demikian aparat penegak hukum dapat menjadikan hasil pemeriksaan APIP sebagai
salah satu sumber penyelidikan/penyidikan, selain dari media masa, BPK, maupun
informasi masyarakat.
Pembahasan pokok pikiran kedua, pengadilan TUN dan pemohon OC Kaligis
menggunakan istilah para pihak dengan pemohon dan termohon, padahal dalam UU
No. 30 Tahun 2014 hanya dikenal istilah permohonan (tidak ada termohon) dan
penggugat-tergugat, sebagaimana diatur :
“Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014, Badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan”
Kemudian dipertegas dalam PERMA Nomor 4 tahun 2015 tentang Pedoman beracara
dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang. Sedangkan adanya para pihak,
diatur dalam Pasal 76 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014 :
“Dalam hal warga masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh atasan pejabat, warga masyarakat dapat mengajukan gugatan ke pengadilan” Pembahasan pokok pikiran ketiga, PT TUN menerima eksepsi Termohon
dengan alasan objek sengketa dikecualikan dan tidak dapat diuji di PTUN. Pandangan
PT TUN disini mutlak memisahkan objek TUN dengan pidana, sehingga segala
sesuatu yang berkaitan dengan proses pidana tidak dapat diuji di pengadilan TUN
karena mengacu UU PTUN.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan putusan antara PTUN dengan PT TUN ini menggambarkan adanya
perbedaan pendapat antara Majelis Hakim PTUN dengan Majelis Hakim PT TUN,
hal ini menjadi menarik untuk dibahas, sebab disatu pihak menafsirkan dengan
terbitnya UU No. 30 Tahun 2014 maka Pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan penilaian ada atau tidak
penyalahgunaan wewenang termasuk penilaian kewenangan yang dilakukan dalam
rangka melaksanakan proses penegakkan hukum pidana (keputusan berdasarkan atas
ketentuan KUHP dan Hukum Acara Pidana) khususnya Tipikor. Sedangkan Majelis
Hakim PT TUN mempertimbangkan bahwa surat atau keputusan yang termasuk
dalam rangka pelaksanaan hukum pidana dan hukum acara pidana adalah
dikecualikan dan tidak dapat diuji keabsahannya di Peradilan Tata Usaha Negara, hal
ini berpedoman kepada ketentuan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang ketentuan tersebut tidak dicabut oleh UU No. 30 Tahun 2014,
sehingga ketentuan didalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut
hingga saat ini masih berlaku sebagai hukum positif (ius constitutum).
Memperhatikan kepada seluruh ketentuan mengenai Keputusan Administrasi
Pemerintahan yang disebut juga Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan
Administrasi Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 jo Pasal 52 sampai
dengan Pasal 74 jo Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tidak terdapat pengecualian
terhadap yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan, sementara didalam
penjelasan umum alinea ke-11 UU No. 30 Tahun 2014, disebutkan: “….Undang-
Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali keputusan
Universitas Sumatera Utara
dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Pada Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara mengatur pengecualian yang tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Pada Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014, disebutkan dengan berlakunya
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai berikut:
a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislaif, yudikatif dan penyelenggaraan Negara lainnya; c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; d. Bersifat final dalam arti lebih luas;
Universitas Sumatera Utara
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Menurut Majelis Hakim PTUN berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU
No. 30 Tahun 2104, yang dimaksud dengan Keputusan Administrasi Pemerintahan
yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi
Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa UU No. 30 Tahun 2014
tidak mencabut ketentuan didalam UU Peradilan Tata Usaha Negara atau menurut
Dani Elpah, dkk232
232Dani Elpah. et.al.,Op.Cit., hlm. 119.
ketentuan didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara masih mempunyai daya laku (validity) dan daya guna (efficacy)
termasuk ketentuan Pasal 2 huruf d.
Dengan kondisi demikian, selanjutnya bagaimana jika dihubungkan dengan
teori kepastian hukum. Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari
hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi
setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu:233
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.
234
Kemudian
Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif
yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu
ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law, mengajukan 8
(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka
hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat
kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:235
1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
233Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir (Bandung: Refika Aditama, 2006),hlm. 102. 234Ibid., hlm. 103. 235Lon Fuller, the Morality of Law, (1971), hlm. 54-58 melalui http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/hukum-dan-moral-dari-hart-fuller-sampai.html(diakses tanggal19 Juni 2017).
Universitas Sumatera Utara
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7. Tidak boleh sering diubah-ubah; 8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara
peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi,
perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan.
Sehingga uraian-uraian mengenai kepastian hukum tersebut, mengenai kepastian
dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan
multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus
berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun
dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang
lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian
hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak
menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan,
yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya
masyarakat yang ada.
Keberadaan UU No. 30 Tahun 2014 tidak saja menimbulkan beberapa
perbedaan pendapat bagi para pemerhati hukum, akan tetapi juga bagi aparat hukum
sendiri juga menimbulkan perbedaan pendapat, sebagaimana telah diuraikan diatas,
perbedaan pendapat tersebut terjadi karena UU No. 30 Tahun 2014 masih belum
mengatur beberapa hal penting misalnya saja tentang tata cara persidangan
permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dan bahkan sebagimana
Universitas Sumatera Utara
yang peneliti uraikan terakhir bahwa ada ketidak sinkronan ketentuan antara UU No.
30 Tahun 2014 dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga
mengakibatkan multitafsir pengertian dan kontradiktif tetang pengertian keputusan
administrasi Negara, dengan demikian akan menimbulkan ketidak pastian hukum.
Sebagai bahan perbandingan berikut kasus penyalahgunaan wewenang
Putusan Mahkamah Agung RI No. 572 K/Pid/2003 atas nama Akbar Tandjung.
Mahkamah Agung dalam putusannya telah membebaskan Akbar Tanjung karena
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.
Ir. Akbar Tanjung diajukan oleh Penuntut Umum ke persidangan karena
diduga pada saat menjabat sebagai Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara) telah
melakukan tindak pidana korupsi dana non-budgeter BULOG sejumlah
Rp40.000.000.000,00 (empat puluh milyar rupiah), Akbar Tanjung diajukan sebagai
terdakwa bersama-sama dengan H. Dadang Sukandar (terdakwa II) dan Winfred
Simatupang (terdakwa III). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No.
449/Pid.B/2002/PN.Jkt.Pst tanggal 04 September 2002 menjatuhkan putusan
menyatakan Akbar Tanjung (terdakwa I), H. Dadang Sukandar (terdakwa II) dan
Winfred Simatupang (terdakwa III), bersalah melakukan tindak pidana korupsi,
menjatuhkan pidana penjara kepada Akbar Tanjung selama 3 (tiga) tahun, sedangkan
kepada terdakwa II dan terdakwa III masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6
(enam) bulan. Terhadap putusan tersebut Akbar Tanjung, dkk melakukan upaya
hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Pengadilan Tinggi Jakarta melalui
Universitas Sumatera Utara
Putusan No. 171/Pid/2002/PT. DKI tanggal 17 Januari 2003 menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Akbar Tanjung, dkk bersalah
melakukan tindak pidana korupsi bahkan Pengadilan Tinggi Jakarta menambah lama
pidana penjara kepada H. Dadang Sukandar (terdakwa II) dan Winfred Simatupang
(terdakwa III) menjadi masing-masing selama 3 (tiga) tahun. Pada pertimbangan
hukumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi
Jakarta pada pokoknya adalah Perbuatan Akbar Tanjung (terdakwa I) yang menunjuk
H. Dadang Sukandar (terdakwa II) untuk melaksanakan pengadaan/penyaluran
sembako, telah bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian yang pararel
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang berarti menyalahgunakan
kewenangan.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut kemudian dibatalkan oleh
Mahkamah Agung setelah Akbar Tanjung melakukan upaya hukum kasasi, melalui
Putusan No. 572 K/Pid/2003 tanggal 4 Pebruari 2004 Mahkamah Agung mengadili
sendiri dengan menyatakan Akbar Tanjung tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum serta
membebaskan Akbar Tanjung dari dakwaan penuntut umum.
Terhadap putusan bebas yang diberikan oleh Mahkamah Agung tersebut,
menimbulkan pro dan kontradi masyarakat. Berikut pendapat yang pro terhadap
putusan Mahkamah Agung.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa pendapat pakar hukum yang sependapat dengan Putusan
Mahakamah Agung RI Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 04 Pebruari 2004, antara lain :
Indriyanto seno Adji236
1. Dalam menelaah rumusan unsur dalam perkara Ir.Akbar Tanjung yang
pertama-tama harus diperhatikan pada Dakwaan Primair adalah rumusan
unsur mana yang dikategorikan sebagai bestansddeel delict (delik inti) dan
mana yang harus masuk dalam rumusan element delic. Hal ini harus
dibedakan karena antara bestansddeel delict dengan element delic, dan inilah
yang menentukan suatu perbuatan dapat dipidana atau tidak. Bestanddeel
delict selalu berhubungan dengan perbuatan yang dapat dipidana
(strafbarehandeling), sedangkan elemen delik itu tidak menentukan suatu
perbuatan dapat dipidana atau tidak.
, membuat analisis yuridisnya terhadap Perkara Ir.Akbar
Tanjung yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Ir.Akbar Tanjung masih
dalam kerangka “kebijakan” beleid yang masih dalam area Hukum Administrasi
Negara, diluar kewenangan penilaian dari peradilan umum termasuk peradilan pidana
ini, dengan beberapa alasan sebagai berikut :
237
2. Strafbarehandeling(perbuatan yang dapat dipidana) dalam Pasal 1 ayat (1) sub
b UU No.3 Tahun 1971 terletak pada rumusan unsur yang menyatakan
“menyelahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana padanya karena
236Amir Syamsudin, Op. Cit., hlm.22-32.
237Ibid., hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
jabatan atau kedudukan”, artinya rumusan unsur ini merupakan bestansddeel
delict (delik inti).
3. Ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur “menyalahgunakan kewenangan”
dari diri Ir.Akbar Tanjung harus berpijak pada peraturan dasar (legalitas)
mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja
secretariat Negara, dalam hal ini Keppres No.104 Tahun 1998 tanggal 23 Juli
1998. Tugas Mensesneg tidak ada kaitannya dengan dan non neraca. Apabila
tidak ada peraturan dasar yang dipergunakan untuk menilai ada atau tidaknya
penyalahgunaan kewenangan ini, maka berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP
Ir.Akbar Tanjung harus dibebaskan dari Dakwaan Primair tersebut. Prinsip
Legalitas untuk membuktikan unsur (delik inti) adalah untuk kepastian hukum
dari Ir.Akbar Tanjung, dan bukan dengan menerapkan asas kepatutan yang
subyektifitas dan tidak tertulis sifatnya. Ini semuanya untuk kepentingan
konsepsi Nullum crimen Sine Lege strica pada Pasal 1 ayat 1 KUHP.
4. Tidak ditemukan kriteria untuk menentukan dan menerapkan adanya
pelanggaran asas kepatutan (perbuatan melawan hukum materiel dengan
fungsi positif) tersebut, karena apa yang dilakukan adalah pelaksanaan suatu
kebijakan Negara staatsbeleid sesuai dengan Kebijakan Subtanstif (Asas
Kecermatan Materiel) dalam kerangka Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik (Algemein Beginselen Van Behoorlijk Bestuur).Dalam penerapan asas
Kepatutan sebagai aturan-aturan umum yang tidak tertulis, maka kriteria
untuk menentukan pelanggaran unsur “menyalahgunakan kewenangan”
Universitas Sumatera Utara
menurut W Koninjenbelt dalam bukunya berjudul Hoofdlijnen van
Administratifrecht adalah asas kepatutan dan kecermatan dalam Hukum
Administrasi Negara dikenal Algemein Beginselen Van Behoorlijk Bestuur
(Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), yaitu Asas Kecermatan Materiel
(Kecermatan Substantif) yang tujuannya untuk tidak menimbulkan kerugian
seseorang dan diperlukan untuk melindungi kepentingan Negara dan
Masyarakat yang lebih luas, meskipun kerugian akan dialami negara secara
adequate.
5. Kebijakan Presiden B.J Habibie untuk pengadaan dan penyaluran sembako
kepada masyarakat miskin dalam upaya menangani krisis pangan, adalah
persoalan kebijakan Negara (state policy atau staatbeleid) yang
pelaksanaannnya (mengkoordinir penyaluran-penyaluran tersebut) dilakukan
oleh Ir. Akbar Tanjung sebagai “overheidbeleid” melalui kebijakan yang
sama. Penilaian benar tidaknya suatu kebijakan Negara yang masuk dalam
kategoris beleidsvrijheid tidak menjadi kompetensi dari Peradilan Umum,
baik Peradilan Perdata, maupun Peradilan Pidana, untuk mengadili dan
memutus perkaranya.
Philipus M. Hadjon,238
238Ibid., hlm.69-72.
memberikan beberapa alasan Ir.Akbar Tanjung tidak dapat
dipidana yaitu:
Universitas Sumatera Utara
- Bahwa sudah tepat Mahkamah Agung membedakan dua tahap fakta hukum
dalam kasus terdakwa Ir.Akbar Tanjung. Tahap pertama adalah keluarnya
dana Rp.40 milyar dari dana non budgeter BOLOG sampai tahap diserahkan
dan diterimanya cek oleh terdakwa yang harus ditinjau dari aspek hukum
administrasi (Negara). Tahap kedua adalah pelaksanaan dan penyerahan dana
Rp.40 milyar dari Terdakwa I kepada Terdakwa II dan III serta penyaluran
selanjutnya, harus ditinjau dari aspek hukum pidana dan dibuktikan dasar
hukum pidana.
- Bahwa tahap pertama terdapat tiga isu hukum utama yang berkaitan dengan
fakta hukum yng ditinjau dari aspek hukum administrasi yaitu keadaan
darurat, kewenangan diskresioner (discretionary power), dan isu
penyalahgunaan wewenang. Keadaan darurat adalah suatu situasi emergency
dan dalam hubungannya dengan situasi tersebut tidak ada dasar hukum yang
mengaturnya. Kondisi ini melahirkan discretionary power dalam konsep
hukum administrasi.discretionary power adalah sifat aktif dari kekuasaan
pemerintah, artinya dalam situasi yang dibutuhkan pemerintah tidak boleh
berdiam diri hanya dengan alasan tidak ada ketentuan hukumnya.
Penyalahgunaan wewenang terjadi andaikata Ir.Akbar Tanjung tidak
menyerahkan dana tersebut kepada Terdakwa II atau menggunakan dana
tersebut tidak untuk pengadaan penyaluran SEMBAKO, sedangkan perbuatan
Ir.Akbar Tanjung menerima dana Rp.40 milyar dan menyerahkan kepada
terdakwa II bukan merupakan penyalahgunaan wewenang.
Universitas Sumatera Utara
Andi Hamzah, pada pokoknya memberikan pendapat yaitu :239
“Bahwa sebelum Akbar Tanjung atau pada waktu Akbar Tanjung menerima
cek belum terjadi tindak pidana, baru setelah tidak membeli SEMBAKO
terjadi tindak pidana
240
Loebby Loqman,
, kemudian Andi Hamzah juga mengemukakan
”…Memang tidak ada dalam dakwaan dan tidak terbukti adanya persetujuan
Akbar Tanjung untuk tidak usaha membeli sembako, juga tidak ada bukti
adanya uang atau rekening yang mengalir kembali ke Kantor Akbar Tanjung
sebagai bagian dari perbuatan Medeplegen.”
241
“Dana non budgeter Bulog merupakan dana yang selalu ada di tiap Negara
dan pemerintahan. pada masa pemerintahan Soekarno ada dana revolusi,
sedangkan pada masa Orde Baru kita kenal dengan dana pembangunan. Oleh
karena itu, uang yang diserahkan dan diterima Akbar Tanjung merupakan
dana sah-sah saja. Yang terjadi setelah itu, cek yang berasal dari dana non
budgeter tersebut tanpa ada peralihan apapun, diserahkan Akbar Tanjung
kepada dua yayasan untuk dibagikan kepada yang berhak yaitu mereka yang
memerlukan pangan. Dalam hal demikian fungsi Akbar Tanjung hanya
sebagai pengantar saja, bahkan terbukti kepada siapa uang tersebut akan
pada pokoknya memberikan pendapat yaitu :
239Ibid.,hlm.82.
240Ibid.,hlm.81. 241Ibid.,hlm.61.
Universitas Sumatera Utara
diserahkan sudah mendapat persetujuan dari mereka yang terlibat dalam
kebijakan tersebut. Apabila diperhatikan dengan cermat Putusan Mahkamah
Agung terhadap kasus Akbar Tanjung, dilihat dari fungsi uang yang diterima
dari Presiden secara yuridis sulit untuk dicari penyimpangan oleh Akbar
Tanjung.”
Selain beberapa pakar hukum tersebut diatas, terdapat pendapat sarjana hukum lain
yang memberikan pandangan yang sependapat dengan Putusan Mahkamah Agung RI,
sebagaimana disampaikan Nur Basuki Minarno bahwa Perbuatan yang dikategorikan
sebagai “Materielle wederrechtelijk-heid” apabila bertentangan dengan “nilai
kepatutan dan nilai keadilan masyarakat”, sedangkan “discretionary power” atau
“Freies Ermerson” didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas
umum pemerintahan yang baik (a.a.u.p.b). Di dalam praktek seringkali kedua hal
tersebut saling dicampuradukkan, contoh yang dapat diketengahkan pada kasus
Ir.A.T. In casu Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa
dan mengadili terdakwa Ir.A.T dalam Putusan No.449/Pid.B/2002/PN.Jkt.Pst tanggal
4 september 2002 memberikan pengertian bahwa unsur penyalahgunaan wewenang
dilakukan penilaian berdasarkan “asas kepatutan”, oleh Hakim Pengadilan Tinggi
Jakarta dalam Putusannya No.171/Pid.B/2002/PT/DKI tanggal 17 Januari 2003
sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
melakukan koreksi mengganti “asas kepatutan” dengan istilah “asas kecermatan”.242
242Nur Basuki Minarno, Op. Cit., hlm. 60.
Universitas Sumatera Utara
Pendapat ini sejalan dengan yang disampaikan Philipus M.Hadjon bahwa
Ketidaktepatan penggunaan “asas kepatutan” diapakai sebagai parameter untuk
menilai adanya penyalahgunaan wewenang dalam kasus Ir.A.T, dengan alasan
sebagai berikut, yang pertama adalah, “asas kepatutan” bukanlah merupakan asas-
asas umum pemerintahan yang baik. Kedua, “asas kepatutan” ditarik melalui prinsip
“materielle wederrechtelijkheid” untuk menilai penyalahgunaan wewenang adalah
tidak tepat, yang semestinya menggunakan parameter pada asas-asas umum
pemerintahan yang baik”.243
Majelis Eksaminasi publik kasus Akbar Tandjung, yang terdiri dari M.H
Silaban (mantan jaksa), Johanes Djohansyah ( mantan hakim agung), Luhut MP
Pangaribuan dan Iskandar Sohanhadji (praktisi hukum), Rudy Satriyo dan Chudry
Sitompul (akademisi dari FH Universitas Indonesia), serta Bambang Widjajanto
(aktivis LSM), disampaikan dalam diskusi publik "Hasil Eksaminasi terhadap Perkara
Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa Akbar Tanjung, Dadang Sukandar dan
Winfried Simatupang".
Namun demikian terdapat juga pendapat yang kontra terhadap putusan
Mahkamah Agung tersebut dengan berbagai pertimbangan, antara lain:
244
243Philipus Mandiri Hadjon dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan
Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah (Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009), hlm. 60.
Dalam penilaian majelis eksaminasi, majelis kasasi
seharusnya tidak hanya mengandalkan pada pemeriksaan berkas semata, tetapi juga
melakukan kembali pemeriksaan fakta (judex factie). Pasalnya, dalam kasus Akbar
244www.hukumonline.com/berita/baca/hol10344/putusan-kasasi-akbar-tandjung-jangan -dijadikan-yurisprudensi (diakses pada tanggal 19 Mei 2014).
Universitas Sumatera Utara
terdapat setidaknya tiga fakta yang jika diperiksa kembali bisa mempengaruhi
putusan.
Pertama, keterangan saksi Rahardi Ramelan mengenai skenario Grand Mahakam
yang tidak pernah dikemukakan dalam persidangan Akbar. Padahal, keterangan itu
bisa digunakan untuk mengkaji lebih jauh potensi konspirasi untuk mengelabui
perkara tersebut.
Kedua, keterangan yang berkaitan dengan aliran dana Rp 40 miliar yang disinyalir
tidak hanya berhenti pada terdakwa II dan III. Ketiga, tidak pernah diminta
keterangan dari BI tentang kemana larinya aliran uang yang berasal dari pencairan
cek Rp 40 miliar itu.
Perintah jabatan
Majelis kasasi, di mata majelis eksaminasi, juga dinilai tidak pernah
mempertimbangkan secara mendalam dilepaskannya terdakwa I dari pasal 55 KUHP
hanya karena menjalankan perintah jabatan, sehingga perbuatannya menjadi patut dan
benar berdasarkan pasal 51 ayat 1 KUHP.Majelis eksaminasi menambahkan, putusan
MA tidak pernah mempertimbangkan apakah niat terdakwa melanggar ketentuan
perundang-undangan dalam melaksanakan perintah jabatan adalah dalam rangka
melaksanakan perintah jabatan ataukah ada kepentingan lain di luar kepentingan
tercapainya perintah jabatan itu.Jika perintah jabatan membagi-bagi sembako tidak
terlaksana tetapi terdakwa I sudah menjalankan perintah jabatan itu sesuai peraturan
yang ada, maka terdakwa I mendapat perlindungan pasal 51 ayat 1 KUHP. Tapi jika
perintah jabatan itu tidak terlaksana sedangkan terdakwa I dalam menjalankannya
Universitas Sumatera Utara
banyak melanggar peraturan yang harus dipatuhi, maka perbuatan terdakwa I tidak
mendapat alasan pembenar.
Inkonsistensi
Lebih jauh, majelis eksaminasi berpendapat, majelis kasasi dianggap melakukan
kesalahan yang sangat fatal dalam menginterpretasi penggunaan pasal 51 ayat 1
KUHP untuk diambil sebagai konklusi. Sesuai pasal 51 ayat 1 KUHP, jika dalam
menjalankan perintah jabatan terjadi pelanggaran hukum maka alasan pembenar
menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan itu sehingga perbuatan terdakwa I
menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tapi, dengan begitu, petitum putusan MA
haruslah berupa pelepasan dari segala tuntutan hukum, bukan pembebasan karena
tidak terbukti bersalah.Hasil eksaminasi lainnya adalah ditemukannya inkonsistensi
dalam pertimbangan hukum majelis kasasi. Dalam pertimbangan majelis kasasi
terhadap Dadang dan Winfried mengenai unsur melawan hukum, disebutkan bahwa
kedua terdakwa memenuhi unsur tersebut. Kejanggalan pertimbangan itu adalah
mengapa alasan hukum yang sama tidak diberlakukan juga terhadap Akbar dalam
dakwaan subsidair.Menurut Silaban, majelis eksaminasi hanya membaca dan
mencermati berkas-berkas surat dakwaan, putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Banding dan putusan kasasi MA. Majelis eksaminasi tidak sampai menguji atau
mencari bukti-bukti baru untuk menyanggah atau membenarkan.
Supriyono, dosen fakultas hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo
berpendapat bahwa Majelis Hakim kasasi seharusnya memeriksa dan mengadili
Universitas Sumatera Utara
apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku. Itu seharusnya yang dilakukan oleh Majelis Hakim
kasasi, bukan memeriksa dengan melihat perspektif hukum lain yaitu hukum
administrasi negara. 245 Majelis Hakim kasasi lebih tepat mempergunakan perspektif
hukum pidana dalam perkara Akbar Tandjung, mengingat perkara yang didakwakan
kepadanya adalah perkara korupsi yang notabene adalah wilayah hukum pidana.
Alhasil, Akbar Tandjung dibebaskan dari segala dakwaan karena Akbar Tandjung
melaksanakan perintah presiden BJ. Habibie, yang berarti Akbar Tandjung
melaksanakan mandat dari presiden.246
245Supriyono, Putusan MA No. 572K/Pid/2003 Dalam Perspekrif Hermeneutika Hukum,
Jurnal ilmiah FENOMENA, Volume X, Nomor 2, November 2012, hlm. 934. 246Ibid., hlm. 937.
Memperhatikan putusan Mahkamah Agung dan pendapat pakar hukum yang
sependapat terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana telah diuraikan diatas,
pada bagian pertimbangan yuridis alinea ke-4 (empat) dan 5 (lima) menyebutkan:
“Bahwa manakala suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun jabatan dan kedudukan seperti halnya yang didakwakan terhadap diri Terdakwa ke-1, maka menurut hemat Mahkamah Agung hal tersebut tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum atau aspek Hukum Administrasi Negara, dimana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungan jawab jabatan (liability jabatan) yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggung jawab perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi) yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggung jawab perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi) sebagaimana yang berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana.”
“Bahwa oleh karenanya dalam kasus ini haruslah dipilah-pilah sampai sejauh mana penerapan Hukum Administrasi Negara masih relevant dan pada tahap mana prinsip-prinsip Hukum Pidana yang secara murni harus diterapkan, baik dari segi doktrin, hukum positif maupun yurisprudensi.”
Universitas Sumatera Utara
Alinea 13 (tiga belas) dan 14 (empat belas) pada pertimbangan yuridis
menyebutkan:
“Menimbang, bahwa oleh karenanya ditinjau dari segi Hukum Administrasi Negara, penanggung jawab atas keluarnya uang sejumlah Rp.40 milyar dari uang dana non budgeter Bulog bukanlah Terdakwa I (Ir. Akbar Tandjung) dan tidak dapat dipersalahkan padanya, sebab Terdakwa I sebagai Mensesneg dan Koordinator hanya menerima dan melaksanakan sesuai perintah jabatan dari Presiden R.I B.J Habibie. Hubungan Presiden dan para Menterinya dalam sistem ketatanegaraan kita, berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, menteri adalah pembantu Presiden, khusus bagi seorang Mensesneg yang mempunyai fungsi sebagai pemberi dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari-hari kepada Presiden, bukan sebagai penentu keputusan (decision maker). Maka dengan landasan tersebut, reponsability administrasi Negara ada pada Presiden, demikian pula in casu dikaitkan dengan petunjuk atau disposisi Presiden tentang dana non-neraca, maka seponsability ada pada Presiden dan tidak ada pada Menteri Sekretaris Negara karena bukan inisiatif Mensesneg mengeluarkan Rp40 milyar tersebut dari dana non budgeter Bulog, kecuali bilamana ternyata ada tindakan penyelewengan dalam pelaksanaannya yang dilakukan oleh Menteri yang bersangkutan, yang harus dibuktikan dari segi Hukum Pidana atas tindak pidana yang didakwakan, dan menjadi tanggung jawab pribadi (personal liability).Olehkarenanya dalam kasus penyaluran sembako ini, yang berawal mula dengan keluarnya dana sejumlah sembako ini, yang berawal mula dengan keluarnya dana sejumlah Rp40 milyar dari dana non-budgeter Bulog atas perintah dan persetujan Presiden, dimana diterapkan asas “vicarious liability”, yang intinya adalah bahwa atasanlah yang harus bertanggung jawab.”
“Menimbang, bahwa dengan demikian dalam memeriksa kasus perkara ini, oleh Mahkamah Agung dibedakan antara tahap fakta hukum mengenai keluarnya dana sejumlah Rp40 milyar dari dana non-budgeter Bulog sampai pada tahap diserahkan dan diterimanya beberapa cek sejumlah dana tersebut oleh Terdakwa I, yang harus ditinjau dari aspek Hukum Administrasi Negara .sedangkan selanjutnya yaitu tahap fakta hukum mengenai pelaksanaanya dan penyerahannya sejumlah dana Rp40 milyar tersebut dari Terdakwa I kepada Terdakwa II dan Terdakwa III serta penyaluran selanjutnya harus ditinjau dari aspek Hukum Pidana….”
Alinea 18 (delapan belas) dan 19 (sembilan belas) pada pertimbangan yuridis
menyebutkan:
Universitas Sumatera Utara
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti diatas, Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan Terdakwa I, yaitu menerima dan budgeter sebesar Rp40 milyar kemudian diserahkan kepada Terdakwa II untuk digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada Terdakwa I baik selaku MENSESNEG maupun selaku koordinator yang menangani program pengadaan dan penyaluran sembako tersebut, tetapi merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan seorang koordinator yang ada padanya untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai atasannya. Bahwa dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan menempuh prosedur dan cara-cara dalam keadaan normal, terlebih pula penggunaan dan pengelolaan Keuangan Negara dalam bentuk dana non budgeter hanya diatur oleh apa yang disebut “konvensi”, tidak seperti halnya keuangan Negara dalam bentuk APBN yang penggunaan dan pengelolaannya diatur oleh Keppres, misalnya untuk pengadaan barang oleh Pasal 21 sampai dengan 30 dalam Keppres Nomor 16 Tahun 1999 dan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah dikemukakan diatas.”
“Menimbang, bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pertimbangan hukum judex factie, bahwa unsur “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” itu disimpulkan terbukti dari rangkaian perbuatan Terdakwa I yang tidak melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme koordinasi kerja yang tidak terpadu dengan baik, sehingga perbuatan materiil Terdakwa I menurut hukum bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang Negara padahal Terdakwa I memiliki wewenang untuk itu. Menurut pendapat Mahkamah Agung, haruslah dibuktikan terlebih dulu unsur pokok dalam Hukum Pidana, apakah Terdakwa I memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tetapi tetap diakukannya.”
Dalam pertimbangan yuridis Mahkamah Agung tersebut, terdapat beberapa
point yang menjadi perhatian sebagai berikut:
- Harus dibedakan serta dipisahkan antara aspek Hukum Administrasi Negara dan
prinsip Hukum Pidana.
Universitas Sumatera Utara
- Harus dibuktikan terlebih dahulu apakah terdakwa mempunyai kesengajaan
(opzet) untuk melakukan penyalahgunaan wewenang.
- Bahwa dalam perkara in casuMahkamah Agung membagi kronologi kejadian
menjadi beberapa tahap, yakni tahap membuat kebijakan diskresi yakni mulai dari
Presiden memberikan perintah kepada Akbar Tandjung kemudian Akbar Tandjung
menerima uang sejumlah Rp40 milyar hingga Akbar Tandjung menyerahkan uang
tersebut kepada Terdakwa II (H. Dadang Sukandar), sedangkan tahap selanjutnya
adalah tahap pelaksanaan kegiatan yakni sejak dari Terdakwa II (H. Dadang
Sukandar) menerima uang sejumlah Rp40 milyar dari Akbar Tandjung.
- Apakah penyalahgunaan kewenangan terjadi pada tahap membuat kebijakan
diskresi penggunaan dana Bulog untuk penanganan krisis pangan atau apakah
penyalahgunaan wewenangan terjadi pada tahap pelaksanaan kegiatan.
- Bahwa Mahkamah Agung berpendapat tindak pidana korupsi terjadi pada tahap
pelaksanaan kegiatan, dimana Terdakwa II (H. Dadang Sukandar) dan Terdakwa
III Winfried Simatupang) tidak melaksanakan kegiatan pengadaan dan distribusi
sembako sebagaimana perintah Presiden B.J. Habibie.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara Akbar Tandjung,
maka dapat disimpulkan seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana jika
memenuhi actus reus dan mens rea, serta tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf.
apabila tidak disertai mens rea(kehendak jahat) maka perbuatan tersebut adalah
termasuk kepada pelanggaran administrasi. In casuactus reus dan mens rea terjadi
Universitas Sumatera Utara
pada tahap pelaksanaan kegiatan, yaitu pada saat pelaksanaan yang dilakukan oleh
Terdakwa II dan Terdakwa III.
Putusan terhadap Akbar Tanjung memang menarik minat para pemerhati
hukum untuk diperdebatkan secara akademis, oleh karena majelis hakim kasasi telah
mengkaji perkara Akbar Tanjung tersebut bukan saja hanya dengan hukum pidana
korupsi akan tetapi dengan tinjauan hukum administrasi.
Menurut Prof. Dr. Moh. Mahfud. M. D negara hukum Indonesia
dikonsepsikan secara tegas sebagai hukum yang prismatis, menggabungkan segi-segi
positif antara rechtstaat dengan kepastian hukumnya dan the rule of law dengan rasa
keadilannya secara integratif, bukan hanya rechtstaat dan the rule of law. Pasal 1
Ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan menyebutkan bahwa Indonesia adalah “Negara
hukum” titik, tanpa kata rechtstaatyang diletakkan di dalam kurung. Hal itu harus
diartikan bahwa negara hukum Indonesia menerima asas kepastian hukum, yang titik
beratnya pada rechtstaat, sekaligus menerima asas rasa keadilan, yang titik beratnya
pada the rule of law. Pengertian yang demikian dipertegas pula di dalam Pasal 28H
UUd 1945 yang juga menekankan pentingnya kemanfaatan dan keadilan. Pasal 24
UUD 1945 juga menekankan bahwa kekuasaan kehakiman harus menegakkan hukum
dan keadilan, sedangkan Pasal 28D menekankan pentingnya kepastian hukum yang
adil.247
Memang KUHPidana kita sebagaimana terlihat dalam Pasal 1 ayat (1)
menggunakan prinsip kepastian hukum dibawah asas legalitas. Akan tetapi, sejak
247Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op. Cit., hlm.ix.
Universitas Sumatera Utara
berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970, selain menerapkan bunyi UU, hakim
diwajibkan untuk menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Hal itu
menunjukkan bahwa selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa
keadilan. Dengan kata lain, dalam penegakkan hukum modern, asas kepastian hukum
tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar putusan hakim. Kenapa? Karena ada
keharusan agar putusan hakim didasarkan juga pada asas keadilan dan kemanfaatan.
Dengan demikian jelas bahwa kedua prinsip itu kemudian diakomodasi dalam sistem
peradilan kita. Hanya saja, akomodasi atas keduanya kemudian justru menimbulkan
dilema. Sebab, yang menjadi sumber masalah dalam praktik adalah kedua prinsip itu
bukan diberlakukan secara integratif melainkan alternatif. Akomodasi yang memberi
tempat pada kedua prinsip tersebut menimbulkan ambiguitas orientasi konsep yang
sering dipergunakan aparat penegak hukum untuk mencari “kemenangan” semata dan
bukan “kebenaran” dalam perkara-perkara pidana.248
Hukum administrasi dan hukum pidana adalah saling berkaitan sehingga dapat
saling mengisi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Negara diharapkan dapat menjadi pedoman dalam tertib administrasi
pemerintahan, hendaknya tidak dimaanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin
berlindung dari pertanggungjawaban hukum pidana, demikian pula bagi aparat
penegak hukum. Sehingga sebagaimana tujuan undang-undang ini untuk menciptakan
kepastian hukum tidak terkaburan.
248Ibid., hlm. x.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Maka adapun yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dalam penelitian tesis ini
yaitu sebagai berikut:
1. Perbedaan yang menjadi prinsipil tentang penyalahgunaan wewenang dilihat dari
sistem penegakan hukum Administrasi Pemerintahan dan tindak pidana korupsi :
a. Parameter pengujian penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi
adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) dan AAUPB (tidak tertulis),
sedangkan pengujian penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Pidana
Korupsi adalah peraturan perundang-undangan (tertulis) saja.
b. Dalam Hukum Administrasi untuk dapat diajukan permohonan ada atau tidak
ada penyalahgunaan wewenang harus terlebihdahulu adanya hasil
pemeriksaan Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan belum
adanya proses pidana, sedangkan dalam Hukum Pidana Korupsi pemeriksaan
ada tidaknya penyalahgunaan wewenang didahului penyelidikan/penyidikan
berdasarkan sumber media, LSM, hasil audit BPKP, BPK, APIP, dan sumber
lainnya.
c. Penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Pidana dalam konteks adanya
kerugian Negara yang didahului, disertai adanya kesalahan atau niat jahat
221
Universitas Sumatera Utara
(mens rea) sebagai unsur subjektif yaitu dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
d. UU No. 30 Tahun 2014 bertujuan menciptakan tertib penyelenggaran
adminitrasi pemerintahan, kepastian hukum, mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada masyarakat, sehingga UU No. 30 Tahun 2014 lebih menitikberatkan
pada pembangunan adminitrasi pemerintahan yang baik dan benar, sedangkan
Undang-Undang Tipikor lebih menitikberatkan pada sistem penindakan
(represif).
e. Proses beracara pembuktian dipersidangan, PTUN dalam membuktikan
adanya penyalahgunaan wewenang hanya menggunakan alat bukti sepihak
dari pemohon karena tidak ada pihak termohon. Alat bukti yang diajukan
berupa bukti surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan
pemohon, pengetahuan hakim, alat bukti lain (informasi elektronik atau
dokumen elektronik), sedangkan pengadilan Tipikor dalam membuktikan
adanya penyalahgunaan wewenang menggunakan alat bukti yang diajukan
para pihak (Penuntut Umum dan Terdakwa) berupa keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk (informasi elektronik dan dokumen
elektronik), keterangan terdakwa, dengan menganut sistem pembuktian
negatief wettelijk.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tidak
mengatur tentang tata beracara permohonan ada atau tidak penyalahgunaan
Universitas Sumatera Utara
wewenang, sehingga untuk mengisi kekosongan dan untuk melaksanakan
kewenangan memeriksan permohonan tersebut Mahkamah Agung RI menerbitkan
PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur
Penyalahgunaan Wewenang, berdasarkan PERMA tersebut terhadap permohonan
ada atau tidak penyalahgunaan wewenang hanya ada satu pihak yakni pemohon
tidak ada termohon dan jika memperhatikan UU No. 30 Tahun 2014 juga tidak ada
menyebutkan adanya termohon, oleh karena itu hakim PTUN dalam memeriksa
permohonan tersebut hanya berdasarkan bukti yang diajukan oleh pemohon.
Sedangkan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tentang adanya
penyalahgunaan wewenang, sebagaimana ketentuan hukum acara pidana maka
apabila ada dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang
tersangka/terdakwa terlebih dahulu melalui tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan dipersidangan.
3. Konsekuensi atas pengajuan permohonan ada atau tidaknya penyalahgunaan
kewenangan dalam keputusan pejabat pemerintah kepada PTUN tidak dapat
menghentikan penyelidikan, penyidikan, Dengan demikian aparat penegak hukum
tidak terikat dengan putusan PTUN, UU No. 30 Tahun 2014 dan UU Pengadilan
Tipikor masing-masing memiliki kompetensi absolut yang berbeda. Fungsi
sebagai hakim pidana tidak boleh dijalankan oleh Hakim Peradilan TUN.
Demikian pula sebaliknya, hakim pidana tidak dapat mendudukkan dirinya sebagai
Hakim TUN. Kedua lembaga peradilan tersebut mempunyai prinsip-prinsip
Universitas Sumatera Utara
hukum masing-masing yang tidak saling bertentangan, akan tetapi dapat saling
mengisi.
B. Saran-saran
Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka sebagai saran yang dapat diberikan dalam penelitian
tesis ini yaitu:
1. Agar Penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Administrasi dan Hukum Pidana
tidak berada pada “gray area” yang dapat menjustifikasi pemidanaan terhadap
perbuatan administratif dan sebaliknya hukum administasi sebagai tempat
berlindung koruptor, maka perlu dilakukan pembenahan diss-harmonisasi
peraturan perundang-undangannya melalui perbaikan regulasi yang
konpeherensif baik peraturan perundang-undangan maupun sektoral termasuk
inpres.
2. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan belum mengatur
hukum acara permohonan ada tidak ada penyalahgunaan wewenang, namun
hanya diatur oleh Perma, sehingga diperlukan peraturan pelaksana yang lebih
terperinci dan menunjukkan hukum acara kedua cabang ilmu tersebut berbeda
secara prinsipil satu dengan yang lain.
3. Agar dilakukan penguatan pada semua sistem lembaga negara, sehingga dalam
melaksanakan fungsinya tidak terjadi ketersinggungan dengan lembaga lain.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dan APIP diberikan kewenangan dalam
pengawasan penyalahgunaan wewenang terhadap badan dan/atau pejabat
pemerintahan adalah hanya untuk tertib administrasi, sehingga apabila
dilaksanakan dengan baik dan benar serta tidak memiliki konflik kepentingan,
maka tidak perlu ragu kalaupun diuji kembali di Pengadilan Tipikor.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku: Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ali, Achmad.Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (judicial prudence) termasuk interpretasi Undang-Undang (legisprudence). Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009.
Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997.
Abdurrahman, Muslan.Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang: UMM Press, 2009.
Adji, Seno,Indriyanto.Korupsi dan Penegakan Hukum.Jakarta: Diadit Media, 2009.
--------------- . Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana. Jakarta: Diadit Media, 2009.
Arief, Nawawi, Barda. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya, 2005.
Arsyad, Hafidz, Jawade. Korupsi Dalam Perpektif HAN (Hukum Administrasi Negara). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Basah, Sjachran.Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung: Alumni, 1985.
Black, Henry Campbell.Black’s Law Dictionary, Revised Fourth Edition, ST. Paul. Minn.: West Publishing, 1968.
Chazawi, Adami.Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni, 2008.
----------------- .Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017.
Effendie, Bachtiar.et.al.Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
226
Universitas Sumatera Utara
Elpah, Dani. et.al. Laporan PenelitianTitik Singgung Kewenangan Antara PTUN Dengan Pengadilan Tipikor Dalam Menilai Terjadinya Penyalahgunaan Wewenang. Jakarta: Balitbang Diklat Kumdil MA RI, 2016.
Hadjon, Philiphus M. et.al. Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi (Cetakan Ke-2). Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2012.
-------------- .Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian Administrative Law). Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2002.
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
------------------ . Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Gratifika, 2016.
------------------ . Asas-asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2014.
Harahap. M. Yahyah. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaam Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997.
Hidjaz, Kamal.Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia.Makasar:Pustaka Refleksi, 2010.
H. Salim. H. S dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
H.R., Ridwan.Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016.
Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Ibrahim, Johny.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayumedia, 2008.
Indroharto.Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku I). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
J.G., Brouwer dari Schilder,
Kanter. E. Y dan Sianturi. S. R. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002.
A Survey of Ductch Administrative Law, Nijmegeo: Ars Aequi Libri, 1998.
Khairo, Fatria. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Cintya Press, 2016.
Koentjaraningrat.Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Lubis, M. Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Jakarta: Sofmedia, 2013.
Marzuki, Mahmud, Peter.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
----------------- .Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Manao, F, Disiplin, Penyalahgunaan Wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara, Bandung: CV. Kreasi Sahabat Bersama, 2017.
Manullang, Fernando M. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Penerbit Kompas, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Mertokusumo, Sudikno,.Mengenal Hukum Suatu Pengantar Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007.
---------------- . Hukum Acara Perdata Indonesia (Edisi Keenam). Yogyakarta: Penerbit Liberty,2002.
Minarno, Nur Basuki.Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.Surabaya: Laksbang Mediatama, 2009.
Parmono, Budi. “Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum. Malang: Fakultas Hukum UB, 2011.
Permana, Indra, Tri Cahya. Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.Yogyakarta: Genta Press, 2016.
Pradjonggo, Sridjaja, Tjandra.Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi(Cetakan Kedua). Jakarta: Indonesia Lawyer Club, 2010.
Putra, Rama.Ide Keseimbangan Dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro, 2009.
Rasjidi, Lili dan Ira, Thania, Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Rawls, John.A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Rahardjo, Satjipto.Hukum Dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UI Press, 2006.
--------------- . Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008.
Universitas Sumatera Utara
--------------- . Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Ridwan.Diskresi & Tanggungjawab Pemerintah.Yogyakarta: UII Press, 2014.
Rifai, Ahmad.Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju, 2003.
Shidarta.Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung:Refika Aditama, 2006.
Situmorang, Victor. Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara.Jakarta: Bina Aksara,1987.
Sodirjo. Jaksa Dan Hakim Dalam Proses Persidangan. Jakarta: Akademika Pressindo, 1985.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1996.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung: Alumni, 1981.
Suhendar. Konsep Kerugian Keuangan Negara Pendekatan Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara dan Pidana Khusus Korupsi. Malang: Setara Press, 2015.
Universitas Sumatera Utara
Soekanto, Soejono dan Mamudji, Sri.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Soekanto, Soejono.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.
Soejono dan Abdurrahman.Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Utomo, Setyo. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Negara Hukum). Jakarta: Sofmedia, 2014.
Utrecht, E.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1963.
Syamsudin, Amir. Putusan Perkara Akbar Tanjung Analisis Yuridis Para Ahli Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Victoria Bull. Oxford Learner’s Pocket Dictionary: Fourth Edition. Oxford: Oxford University Press, 2012.
Wuisman, J.J.JM. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. jilid I. Jakarta: UI Press, 1996.
B. Peraturan Perundang-undanganPerma, dan Putusan: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1340 K/Pid/1992, tanggal 17 Pebruari 1992.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 977K/PID/2004, tanggal 10 Juni 2005.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1485K/Pid.Sus/2013, tanggal 2 Oktober 2013.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor: 25/G /2015/PTUN-MDN tahun 2015.
Putusan Pengadilan Tinggi TUN Medan Nomor: 176/B/2015/PT TUN-MDN, tanggal
21 Desember 2015.
C. Kamus Ilmiah, Jurnal, Makalah, Lokakarya: Ateng Syafrudin. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggungjawab. Jurnal Pro Justitia IV. Bandung: Universitas Parahyangan, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Fathudin, “Tindak Pidana Korupsi (Dugaan Penyalahgunaan Wewenang) Pejabat Publik (Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan)”, Jurnal Cita Hukum Vol. II, No.1, (Juni 2015): 129, ISSN: 2356-1440.
Hadjon, Philipus M. “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid). Jurnal Pro Justitia XVI Nomor I Januari tahun 1998.
Mohammad Sahlan, Kewenangan Peradilan Tipikor Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 166-189 diakses melalui 166 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.2, pada tanggal 17 Juni 2017.
Suhariyono AR, “Perumusan Sanksi Pidana Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Jurnal Perspektif VoL. XVII, No. 1, Januari, 2012.
Yulius, “Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang di Indonesia (Tinjauan Singkat Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014)”, Jurrnal Hukum dan Peradilan, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah AgungRI Vol. 04, No. 3, November 2015.
Andhi Nirwanto D. Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-UndangAdministrasi Pemerintahan) disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka H.U.T. IKAHI Ke-62 dengan tema “Undang-UndangAdministrasi Pemerintahan, Menguatkan atau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi”, Jakarta: Hotel Mercure Ancol, 2015.
Supandi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan(Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana), Makalah tidak diterbitkan.
Sidharta, Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim, Makalah, disampaikan dalam Seminar Nasional Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia, yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial RI, PUSHAM UII, dan Norsk Senter For Menneskerettigheter Norwegian Centre For Human Rights, Medan: Hotel Grand Angkasa, 2011.
Universitas Sumatera Utara
D. Media Elektronik/Internet: Detik.com, “UU Administrasi Pemerintahan Dinilai Mengudeta Pemberantasan
Korupsi”, http://news.detik.com/berita/2873765/uu-administrasi-pemerintahan-dinilai-mengudeta-pem-berantasan-korupsi (diakses 28 Februari 2017)
Nasional.kompas.com. Kumpulkan Kapolda dan Kajati, Jokowi Blakblakan Soal Keluhan Kepala Daerah, pada tanggal 19 Juli 2016.
https://smjsyariah89.wordpress.com/2011/06/10/pengertian-gugatan-dan-permohonan/ (diakses pada tanggal 10 Juni 2011).
https://www.arti-definisi.com/proses%20peradilan (diakses pada tanggal 21 Februari 217)
KBBI, “arti wenang”, kbbi.web.id/wenang (diakses pada tanggal 6 Juni 2017).
KBBI. “arti hak”, web.id/hak, dan kbbi.web.id/kuasa (diakses pada tanggal 18 Pebruari 2017).
Kbbi. “arti kuasa”, kbbi.web. id/kuasa (diakses pada tanggal 14 Juni 2017).
KBBI, “Arti dari Salah Guna, Menyalahgunakan”, kbbi.web.id/ salah%20guna.menyalahgunakan, diakses 8 Juni 2017.
Indriyanto Seno Adji, Antara Kebijakan Publik, melalui; http://id.wiktionary.org/wiki/melampaui wewenang, diakses pada tanggal, 20 Juni 2017.
Ikhramlawenforcement, Penegakkan Hukum Administrasi Pemerintahan dan Tindak Pidana Korupsi.https://ikramlawenforcement.wordpress.com.
Lon Fuller, the Morality of Law, (1971), hlm. 54-58 melalui http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/hukum-dan-moral-dari-hart-fuller-sampai.html(diakses tanggal19 Juni 2017).
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law, (1971), hal. 54-58 melalui http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/hukum-dan-moral-dari-hart-fuller-sampai.html, diakses: pada tanggal, 19 Juni 2017.
W. Riawan Tjandra. menilai Inpres Proyek Strategis Nasional, doa-bagirajatega.blogspot.co.id (diakses pada tanggal 19 September 2016).
www.hukumonline.com/berita/baca/hol10344/putusan-kasasi-akbar-tandjung-jangan -dijadikan-yurisprudensi (diakses pada tanggal 19 Mei 2014).
Universitas Sumatera Utara